TINJAUAN ARSITEKTUR EKLEKTIK PADA GEREJA KATOLIK DI BALI DALAM KONTEKS GLOBALISASI, PLURALISME DAN MULTIKULTURALISME Penulis : I Made Marthana Yusa
[email protected] ISI Denpasar Jl. Nusa Indah Denpasar 80235 ABSTRACT Globalization tends people to adopt similar cultural patterns into one trend. That kind of trend cause resistances spawn from indigenous/local people where the existence of their heritage are endangered. Since that, dynamic people, as a social beings, tried to make many dialectical approaches. Then the cultural substances that formed plurality change naturally into multiculturalism. At this circumstances; cultural, economic and industry sector involved to the changing process. Eclectic means selecting what seems the best from various styles or ideas. In this paper, I have explored and observed many Catholic Churches in Bali that applied eclectic on their architectural custom. The eclectic form was came from dialogue between Catholic custom visual sign and Balinese traditional culture visual sign. The objects of study are Gereja Hati Kudus, Palasari as the largest Catholic church in Bali; Gereja Katolik Kristus Raja, Abianbase, Tangeb as the most visited church in Bali, more than Tuka and Palasari; Gereja Katolik Paroki Roh Kudus Babakan, as the newly formed and modern church; Gereja Punyan Poh (Mango tree), Belimbing Sari, and Gereja St. Yoseph as complement case. I visited Gereja Katolik Kristus Raja, Abianbase to collect all the informations as the primary data. I collected theories related with cultural study, globalization, pluralism, multiculturalism by literature study. I use Pierce’s and Saussure’s Semiotics approaches to analize visual sign on the church buildings and use basic design and culture theory to analize the cultural substances consist in. My conclusion is that most of the Catholic churchs−observed as study objects−use Eclectic Architectures. They are : Gereja Punyan Poh, Belimbingsari; Gereja Katolik Paroki Roh Kudus Babakan; Gereja Katolik Kristus Raja and Gereja Hati Kudus. The way they applied the eclectic on the building was to assimilate their beliefs with local custom. Keywords : eclectic, globalization, pluralism, multiculturalism, catholic church, Bali
63 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
1. PENDAHULUAN
Fenomena dinamika kebudayaan tersebut dapat dilihat pada kondisi Bali yang semakin plural.
Globalisasi kebudayaan akhir-akhir ini menunjukkan dua wajah yang berbeda. Ibarat satu keping mata uang dengan dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, globalisasi mengarahkan semua orang untuk mengadopsi pola kebudayaan yang seragam. Di sisi lain, kecenderungan ini telah memicu resistensi dari budaya-budaya lokal yang merasa eksistensinya terancam seiring gelombang penyeragaman ini. Kecenderungan yang kedua tersebut membuat kebudayaan kita menjadi semacam kontestasi bagi identitas kebudayaan yang berbeda-beda untuk mengekspresikan diri. Budayabudaya dan berbagai nilai yang datang pun ketika bersentuhan dengan nilai lokal mulai berasimilasi dengan berbagai motif. Menghindari terjadinya alienasi adalah salah satunya, berbaur dengan damai dalam pluralitas adalah hal lainnya. Terjadilah perubahan unsur-unsur kebudayaan secara alami sebagai akibat dari adanya dinamika masyarakat pendukung kebudayaan, yang mengalami interaksi sebagai tanggapan aktif manusia terhadap lingkungannya.
Gambar kiri : Adanya pelangkiran (sthana/tempat banten dan sesaji untuk manifestasi Tuhan) yang berdampingan dengan PC (Personal Computer) pada Ruangan Warnet Kojing – Banjar Beraban – Desa Beraban – Tabanan – Bali. Gambar Tengah : PC dengan sasap sebagai atribut upacara, sebagai simbol pemberkatan. Gambar Kanan : Sasap, simbol pemberkatan untuk instrumentasi bermaterial artifisial, bersudut tajam dan bersifat keras (misal:logam). (Sumber : Dokumentasi Penulis)
Di samping itu, terjadinya hubungan dialektis antara sektor budaya, ekonomi dan industri juga merupakan faktor penentu terjadinya perubahan tersebut (Remawa, 1998).
64 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
Pengaruh-pengaruh agama dan kebudayaan Hindu, Kristen, Islam dan pengaruh asing lainnya telah banyak memberikan perubahan pada unsur-unsur kebudayaan Bali. Masyarakat Bali yang terkenal kooperatif dan memiliki toleransi tinggi cenderung mudah menyerap nilai-nilai baru. Sebagian besar mampu bertindak bijaksana dengan tetap mempertahankan nilai-nilai tradisi dan agama Hindu sebagai jalan hidup mereka, sebagian menyerap mentah-mentah tanpa mengkognisi terlebih dahulu, sebagian kecil lainnya mencoba berdialog dan memberikan ruang untuk berubah. Maka muncullah berbagai tanda kebudayaan dan simbol keagamaan baru di Pulau Dewata. 2. METODE PENELITIAN Dalam makalah ini, penulis menganalisa arsitektur gereja Katolik di Bali yang menerapkan langgam eklektik sebagai dialog antara agama Katolik dengan arsitektur tradisional Bali yang merupakan bagian dari kebudayaan tradisional Bali dalam diskursus pluralitas dan multikulturalisme. Objek penelitian arsitektur Gereja yang dipilih adalah Gereja Hati Kudus, Palasari sebagai gereja Katolik Terbesar di Bali, Gereja Katolik Kristus Raja, Abianbase, Tangeb sebagai basis besar gereja Katolik di Bali setelah Tuka dan Palasari, Gereja Katolik Paroki Roh Kudus Babakan, Bali sebagai gereja yang mewakili semangat zaman, karena tampilan fisik yang baru setelah renovasi, Gereja Punyan Poh (Pohon Mangga) di Belimbing Sari dan Gereja St. Yoseph sebagai kajian pelengkap. Survei langsung dilakukan penulis ke Gereja Katolik Kristus Raja, Abian Base, untuk mendapatkan data primer. Studi literatur dan penelusuran melalui internet dilakukan untuk mendapat data sekunder. Penulis menggunakan pendekatan Semiotika dari Pierce dan Saussure untuk menganalisa tanda–tanda pada Gereja dan menganalisis unsur kebudayaan dengan landasan teori desain dan kebudayaan. 3. SEJARAH GEREJA DI BALI Almarhum Pastor Shadeg SVD dalam tulisannya, Sejarah Gereja Bali, merujuk sebuah pernyataan raja Klungkung yang ditulis pada sebuah lontar tahun 1635 tentang rasa toleransinya terhadap kedatangan misionaris Katolik Portugis yaitu P. Mamul Carvalho S.J dan P. Azemado S.J. dari Malaka menuju Klungkung – Bali. Sempat terhambat oleh pasal 177 mengenai perlindungan agama Hindu di Bali dari konversi agama Kristen, dua misionaris tersebut, atas permohonan Vilkaris Apostolik Batavia, berhasil memperoleh izin Gubernur Jendral Hindia Belanda pada tahun 1891 untuk menetap di Bali. Mgr.Noyen yang menjabat Prefek Apostolik Sunda Kecil mendapatkan
65 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
kesempatan menjalankan misi-nya di Bali pada bulan Desember 1914 dan 1920 hingga meninggal pada tahun 1922. Penugasan kunjungan rohani Pastor Van Der Heijden ke Bali dan Sumbawa menjadi titik awal masuknya gereja Katolik ke Bali. Tanggal 14 Mei 1935 Van Der Heijden menetap di Mataram, dan tgl 9 Juni 1935 Gereja Katolik pertama didirikan dan diresmikan di kota Mataram. Hari ini dipandang sebagai hari masuknya karya gereja Katolik di pulau Lombok. Tgl 11 September 1935, Pastor Van Der Heijden mengantar pastor J. Kersten SVD ke Denpasar dan mulai menetap di Denpasar. Hari tersebut dipandang sebagai tonggak perkembangan agama Katolik di Bali. Tempat pembangunan gereja Katolik pertama adalah Banjar Tuka, Dalung. Pada bulan November 1935, 2 pemuda Bali dari Banjar Tuka: I Made Bronong (Pan Regig) dan I Wayan Diblug (Pan Rosa) datang ke Denpasar dan bertemu dengan Pastor J. Kersten SVD. Konversi pertama terjadi. Pan Regig dan Pan Rosa dipermandikan Katolik pada hari raya Pentakosta tgl 6 Juni 1936. Sejarah penting selanjutnya adalah peletakan batu pertama gereja Katolik Tuka tepatnya tgl 12 Juli 1936 oleh Pastor J. Kersten SVD yang dihadiri oleh Pastor Van Der Heijden dan Pastor Conrad SVD. Gereja tersebut diresmikan pada tanggal 14 Februari 1937 oleh Mgr. M. Abraham dengan nama Gereja Tri Tunggal Maha Kudus. Pastor Simon Buis pada tanggal 15 September 1940 berhasil mengadakan eksodus dari Tuka dan sekitarnya ke ujung Barat pulau Bali dan membuka desa ditengah-tengah hutan yang kini terkenal sebagai desa Palasari. Selanjutnya mulai banyak gereja-gereja Katolik dibangun seperti gereja Gumbrih yang diresmikan pada tahun 1939 disusul dengan pendirian gereja di Padangtawang September 1940, di Tangeb pada tgl 8 Desember 1940, dan di Palasari tgl 19 Juni 1941. Imam Bali asli yang pertama yang berhasil ditahbiskan adalah Pastor Servatius Nyoman Subhaga SVD pada tgl 9 Juli 1969 di gereja paroki Roh Kudus Babakan.
Gambar 2. Gereja Tri Tunggal Maha Kudus, Tuka, Bali merupakan Gereja Katolik pertama di Bali yang diresmikan pada 14 Februari 1937 oleh Mgr. M. Abraham. (Sumber : http://erna-sandy.blogspot.com/2008/01/bakti-sosial-di-desa-culik-karangasem. html)
Satu langkah maju lagi dalam perkembangan gereja Katolik Bali ialah dengan ditingkatkannya Profektur Apostolik Bali menjadi Keuskupan Denpasar tanggal 3 Januari 1961 dengan uskup pertama Mgr. Dr. Paulus Sani Kleden SVD yang ditahbiskan menjadi uskup di Palasari tgl 3 Oktober 1961. Pada masa ini karya Gereja Katolik Bali sudah meliputi bidang pendidikan melalui persekolahan dari tingkat Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah. 4. ARSITEKTUR GEREJA KATOLIK DI BALI 4.1
Gereja Hati Kudus, Palasari
Gereja Hati Kudus, Palasari berlokasi di jantung kota Kabupaten Jembrana yang dikelilingi hutan dan kebun kelapa. Palasari bisa dicapai dari Denpasar dalam waktu kurang lebih 3 jam dengan jarak tempuh kurang lebih 120 km. Gereja Hati Kudus, Palasari dides
ain oleh Bapa Ignatius A.M. de Vriese, yang dibantu oleh dua arsitek Bali yaitu Ida Bagus Tugur dari Denpasar dan I Gusti Nyoman Rai dari Dalung, Kuta.
Gambar 3. Gereja Hati Kudus, Palasari, Jembrana, Bali. Sumber : http://blog.baliwww.com/destination-and-resort/1119/comment-page-1
Pembangunan dimulai dari tahun 1954 dan selesai pada 13 Desember 1958. Arsitektur Gereja merupakan amalgamasi atau percampuran dari langgam Gothic dengan arsitektur tradisional Bali sebagai simbol hubungan yang harmonis antara agama Hindu dan Katolik di Bali (Sidarta Wijaya, 2007). Penulis melihat penerapan langgam Gothic diterapkan pada gubahan bentuk fasad pintu masuk Gereja yang monumental, simetris dan menerapkan warna kontras (putih dan gelap). Penerapan langgam Gothic juga terlihat pada jendela yang melengkung seperti yang terlihat pada Gambar 4. Perpaduan eklektik Katolik – Bali terlihat pada penerapan jendela lengkung,
66 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
67 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
gubahan bangunan fasad pintu masuk, dan salib (sebagai signifier) yang mewakili nilai Katolik (sebagai signified-Saussure). Penerapan desain arsitektural atap sebagai puncak fasad pintu masuk dan ornamen Bali (sebagai signifier) mewakili seni dan arsitektur tradisional Bali (signified). Penyandingan kedua langgam Gothic-Katolik dan Arsitektur Tradisional-Bali dapat dilihat pada gambar 5. Kode warna Merah pada gambar mewakili Bali dan kode warna Biru pada gambar mewakili Katolik.
Gambar 5. Tanda-tanda yang membentuk langgam Arsitektur Eklektik Gereja Palasari. Merah mewakili nilai lokal Bali, Biru mewakili nilai Katolik
Gambar 4. Warna kuning menunjukkan bentuk jendela yang biasa dipergunakan pada Arsitektur Gothic seperti pada Gereja San Francesco
4.2
Gereja Katolik Kristus Raja, Abianbase, Tangeb
(gambar sebelah kanan)
Keharmonisan antara Katolik – Hindu Bali tidak hanya nampak pada wujud arsitektural gereja saja namun menjelajah hingga segi perikehidupan jemaat di gereja dengan berbagai atribut gereja seperti pemasangan penjor pada perayaan Natal atau hari raya keagamaan Katolik lainnya. Jemaat pun tetap berpakaian daerah Bali dalam menjalankan aktivitas ibadah di gereja. Jika ada pertunjukan di gereja, instrumen musik yang digunakan adalah instrumen musik tradisional Bali. Nampak bahwa akulturasi dan asimilasi berjalan dengan sinergi yang baik.
Gambar 6. Gereja Katolik Kristus Raja, Abianbase (Sumber : Dokumentasi penulis)
Wakil Bupati Badung 2004-2009 Drs. I Ketut Sudikerta menyampaikan beberapa hal penting dalam pesta emas pemberkatan Gereja Minggu 25 November 2007. Salah satunya adalah bagaimana para umat, pemuka agama dan pemimpin adat setempat memaknai kehadiran gereja tersebut dalam wacana bhinneka tunggal ika dalam wujud tri kerukunan beragama.
68 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
69 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
Gereja Katolik Kristus Raja Abianbase menerapkan arsitektur eklektik yang memadukan unsur-unsur kebudayaan Bali dengan nilai-nilai Katolik. Unsurunsur kebudayaan dan nilai lokal Bali nampak pada tanda-tanda (signifier) berupa : penerapan material, warna (kombinasi merah bata dan putih), patung, tempelan ornamen ukiran, pemakaian pintu gereja dengan gaya ukiran Bali, dan penggunaan atribut standar bangunan ibadah Tradisional Bali seperti bale kul-kul dan papan pengumuman bergaya Bali.
Gambar 8. Bale Kul-kul. Memiliki fungsi yang sama dengan lonceng pada Gereja Katolik Eropa yaitu sebagai pengumpul massa. Bale Kul-kul berkomunikasi dengan umat atau penduduk sekitar dengan kode bunyi yang ditalukan oleh kul-kul (semacam kentongan dengan ukuran besar)
Gambar 7. Façade Bangunan Gereja Katolik Kristus Raja, Abianbase (Sumber : Dokumentasi penulis)
Gambar 9, 10, dan 11 Papan Pengumuman khas Bali yang biasanya ada di pura dan banjar adat atau balai desa hadir di lapangan Gereja. Patung malaikat dengan stil atau gaya ukir khas Tradisional Bali yang serupa dengan Dewi Saraswati. Sokasi (kiri) sebagai wadah sesaji atau banten terlihat di dekat patung. Sebagai footprint atau jejak dan signifier bahwa jemaat menggunakan sokasi juga dalam ibadahnya (signified)
70 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
71 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
Ada banyak terdapat peminjaman tanda-tanda kebudayaan tradisional Bali pada Gereja Katolik Kristus Raja. Hal tersebut terkait juga strategi misionaris yang ingin menyebarkan ajaran Katolik dengan damai. Nilai Katolik yang terlihat pada gereja Katolik Kristus Raja Abianbase nampak pada tanda-tanda (signifier) berupa bangunan gereja yang memiliki unsur langgam Gothic pada jendela, kolom, dan atribut gereja pada umumnya seperti : salib dan patung malaikat.
Seperti Gereja Katolik Kristus Raja Abianbase dan Gereja Palasari, Gereja Katolik Paroki Roh Kudus Babakan juga berasimilasi dengan langgam arsitektur tradisional Bali. Seperti yang bisa dilihat pada tanda-tanda yang relatif sama pada Gereja Katolik Kristus Raja Abianbase. Misalnya, menghadirkan bale kul-kul dan desain atap menara yang biasa hadir di Pura.
Gambar 14 Gereja Katolik Paroki Roh Kudus Babakan, dari sudut pandang jalan utama
Gambar 12. Desain pintu gereja penuh dengan ukiran bergaya ukiran Tradisional Bali. Nilai Katolik yang terlihat ada pada image kitab yang terbuka dengan bahasa Injil dan image salib
4.3
Gereja Katolik Paroki Roh Kudus Babakan, Bali
Gambar 15 dan 16 Interior Gereja Katolik Paroki Roh Kudus Babakan. Tampak sebagian besar jemaat gereja menghadiri ultah ke 40 Gereja dengan mengenakan pakaian adat Bali. Nampak pada gambar sebelah pojok kiri bawah sekumpulan pemusik tradisional Bali siap memainkan gamelan. Zoning atau pembentuk ruang yang standar pada interior gereja di hampir seluruh dunia. Dari aisle atau gang yang memisahkan dua zona jemaat di Gambar 13 Gereja Katolik
kiri dan kanan, rangka kubah, hingga ruang utama khotbah atau altar.
Paroki Roh Kudus Babakan, Bali
72 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
73 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
4.4
Gereja Punyan Poh (Pohon Mangga) di Belimbing Sari
Pada sebuah muktamar gereja yang penting tahun 1972, gereja-gereja mendapatkan hal baru dari tradisi berpikir dan kepercayaan masyarakat Hindu-Bali tentang inkarnasi Tuhan yang lahir pada tempat dan zaman tertentu. Konsepsi Ketuhanan yang seperti itu membuat Gereja-gereja sadar bahwa pesan Yesus Kristus bisa begitu adaptatif pada berbagai budaya. Dalam hal ini, budaya dan kepercayaan masyarakat Hindu – Bali.
Gambar 18 dan 19
Altar gereja dan Entrance (Akses masuk) ke Gereja Belimbing
Simpulan
Gambar 17. Tampak Gereja Punyan Poh dari pinggir jalan
Gereja Punyan Poh, Belimbingsari seperti gereja-gereja Katolik lainnya di Bali, menerapkan langgam arsitektur Eklektik yang merupakan perpaduan nilai-nilai arsitektur tradisional Bali dengan nilai-nilai Katolik. Shrine atau kuil pemujaan merupakan indeks dari gunung, tempat suci untuk pencerahan rohani bagi masyarakat Bali. Di belakang altar terdapat tembok terbuka yang menghadap kaja (ke arah Utara) dengan pemandangan gunung. Tiga elemen utama air, api dan udara dihadirkan oleh tiga air mancur yang muncul dari batu, berkas sinar matahari dan ruangan terbuka. Air mancur tersebut sebagai signifier yang terkait cerita Nabi Musa sebagai signified. Pihak Gereja Katolik dengan masyarakat Bali yang sudah dibaptis menyelenggarakan penyebaran agama Katolik dengan akulturasi. Misalnya, tarian Bali dibuat sebagai penyampai cerita-cerita Injil dan Pesan Kristus.
Sebagian besar Arsitektur Gereja Katolik seperti Gereja Punyan Poh, Belimbingsari, Gereja Katolik Paroki Roh Kudus Babakan, Gereja Katolik Kristus Raja, Gereja Hati Kudus menggunakan langgam arsitektur Eklektik sebagai bagian dari misi penyebaran ajaran agama Katolik di Bali. Hal tersebut juga terkait sejarah awal kendala penyebaran agama Katolik terkait pasal 177 mengenai penyelamatan agama Hindu dari pengkonversian Katolik oleh Pemerintah Hindia Belanda dimana masyarakat Bali bersifat toleran pada waktu itu. Ditunjang dengan kondisi masyarakat Bali yang miskin, misionaris mendapat kemudahan dalam penyebaran agama Katolik. Avril Hannah-Jones, pejabat gereja the Romsey, Lancefield, Riddells Creek and Mount Macedon Uniting Churches menyebutkan bahwa kesalahan besar Gereja Barat ketika menyampaikan ajaran Yesus Kristus adalah mereka menyampaikan teologi, bangunan dan budaya. Seharusnya, terjadi proses dialog dengan mencoba berasimilasi dengan budaya sekitar sebagai bagian dari sebuah wacana multikulturalisme. Seperti apa yang disampaikan oleh Alan Bullock tentang definisi Otherness : “Is perceiving, conscious, meaning-conferring other person who helps, or forces, the conscious subject to define his own world picture and his own view of his place in it “ (Melihat dan mengerti, sadar, memberikan makna atau memaknai pribadi lain yang membantu atau melawan, subyek yang sadar untuk mendefinisikan dunianya sendiri dan pandangannya sendiri terhadap tempatnya bernaung).
74 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
75 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
REFERENSI 1. Altman, I. 1975.The Environmental and Social Behaviour. California:Brooks/ Cole Publishing Company 2. Broadbent, Geoffrey. 1980. Sign,Symbols and Architecture. The Pitman Press, Bath 3. Eiseman Jr, Fred B. 1990. Bali : Sekala & Niskala. Periplus Edition 4. Ember, C.R. dan Ember,M. 1985. Anthropology. New Jersey:Prentice Hall
6. Shadeg, SVD. Pastor. 2008. Sejarah Gereja Bali. http://gkpbkudussading. wordpress.com/2008/12/23/sejarah-gereja-bali/. Update terakhir : 23 Desember 2008, diakses : 29 Oktober 2011 17. Suasthawa, D I Made. 1990. Hubungan Adat dengan Agama dan Kebudayaan. Denpasar : CV Kayumas 18. Wijaya, Sidarta. 2007. Palasari: A Tranquil Catholic Outpost in the Sea of Hindu. http://blog.baliwww.com/destination-and-resort/1119/ comment-page-1. Update terakhir : 24 Desember 2007, diakses : 29 Oktober 2011 19. Yusuf,Y. 1991. Psikologi Antarbudaya. Bandung : Remaja Rosda-karya
5. Garna. Judistira K. 1993. Tradisi, Transformasi, Modernisasi dan Tantangan Masa Depan di Nusantara. Bandung : Program Pasca Sarjana Unpad 6. Geertz, Clefford. 1973. The Interpretation of Culture. Basic Inc Publishers 7. Hannah-Jones, Avril. 2008. Go To Bali!!. http://avrilatromsey.wordpress. com/ 2008/07/20/go-to-bali/. Update terakhir : 20 Juli 2008, diakses : 29 Oktober 2011 8. Ihromi, T.O. 1994. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta : Gramedia 9. Koentjaraningrat. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta : Dian Rakyat 10. Koentjaraningrat. 1996. Pengantar Ilmu Antropologi .Jilid I. Jakarta : Dian Rakyat 11. Kusumawanta, Gusti Bagus ; Ratnatha, Y. Made ; Sani Naflalia. 2006. Gereja Katolik di Bali. Yogyakarta : Yayasan Pustaka Nusatama 12. Piliang, Yasraf A. 2009. Materi Perkuliahan Desain dan Kebudayaan II. Bandung : Institut Teknologi Bandung 13. Pitana, I Gde. 1994. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. BP 14. Remawa, A.A.Rai. 1998. Standardisasi Bangunan Rumah Tinggal Sebagai Pengembangan Tata Ruang Dalam (Interior) pada Arsitektur Tradisional Bali. Bandung : Institut Teknologi Bandung 15. Soekanto, Soerjono. 2005. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1
76 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013
77 Serat Rupa Vol. 1 Edisi I April 2013