ISSN: 1412-033X
THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK
PENERBIT: Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta ALAMAT PENERBIT/REDAKSI: Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. +62-271-663375; +62-271-646994 Psw. 387, Fax.: +62-271-646655. E-mail:
[email protected]. Online: www.biology.uns.ac.id. TERBIT PERTAMA TAHUN: 2000 ISSN: 1412-033X
TERAKREDITASI BERDASARKAN KEPUTUSAN DIRJEN DIKTI DEPDIKNAS RI No. 52/DIKTI/Kep/2002
PEMIMPIN REDAKSI/PENANGGUNGJAWAB: Sutarno SEKRETARIS REDAKSI: Ahmad Dwi Setyawan Purin Candra Purnama PENYUNTING PELAKSANA: Marsusi, Solichatun (Botani), Edwi Mahajoeno, Agung Budiharjo (Zoologi), Wiryanto, Kusumo Winarno (Biologi Lingkungan) PENYUNTING AHLI: Prof. Ir. Djoko Marsono, Ph.D. (UGM Yogyakarta) Prof. Dr. Hadi S. Alikodra, M.Sc. (IPB Bogor) Prof. Drs. Indrowuryatno, M.Si. (UNS Surakarta) Prof. J.M. Cummins, M.Sc., Ph.D. (Murdoch University Australia) Prof. Dr. Jusup Subagja, M.Sc. (UGM Yogyakarta) Prof. Dr. R.E. Soeriaatmadja, M.Sc. (ITB Bandung) Dr. Setijati Sastrapradja (Yayasan KEHATI Jakarta) Dr. Dedi Darnaedi (Kebun Raya Bogor) Dr. Elizabeth A. Wijaya (Herbarium Bogoriense Bogor) Dr. Yayuk R. Suhardjono (Museum Zoologi Bogor) BIODIVERSITAS, Journal of Biological Diversity mempublikasikan tulisan ilmiah, baik hasil penelitian asli maupun telaah pustaka (review) dalam lingkup keanekaragaman hayati (biodiversitas) pada tingkat gen, spesies, dan ekosistem. Setiap naskah yang dikirimkan akan ditelaah oleh redaktur pelaksana, redaktur ahli, dan redaktur tamu yang diundang secara khusus sesuai bidangnya. Dalam rangka menyongsong pasar bebas, penulis sangat dianjurkan menuliskan karyanya dalam Bahasa Inggris, meskipun tulisan dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar tetap sangat dihargai. Hingga nomor ini, jurnal dikirimkan kepada institusi-institusi yang meminta tanpa biaya pengganti, sebagai bentuk pertukaran pustaka demi mendorong penelitian, perlindungan dan pemanfaatan lestari keanekaragaman hayati. Jurnal ini terbit dua kali setahun, setiap bulan Januari dan Juli. Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta juga menerbitkan BioSMART, Journal of Biological Science untuk mempublikasikan tulisan ilmiah, baik hasil penelitian asli maupun telaah pustaka (review) dalam lingkup biologi murni dan ilmu-ilmu serumpun. Jurnal ini terbit dua kali setahun, setiap bulan April dan Oktober.
PEDOMAN UNTUK PENULIS Format penulisan pada nomor ini merupakan acuan utama bagi para penulis, adapun pedoman ini hanya merupakan ringkasannya. Setiap naskah harus disertai surat pengantar yang menyatakan bahwa tulisan merupakan hasil karya penulis atau para penulis dan belum pernah dipublikasikan. Penulis diminta mengirimkan dua kopi naskah dan satu disket ukuran 3 ½”, kecuali naskah yang dikirim melalui e-mail. Pada koreksi terakhir kembali diminta satu disket untuk pencetakan. Tulisan diketik pada satu sisi kertas putih, ukuran A4 (210x297 mm2), dalam satu kolom, menggunakan spasi ganda, jenis huruf Times New Roman, ukuran 12 point, dengan jarak tepi 2 cm di semua sisi. Program pengolah kata atau jenis huruf tambahan dapat digunakan, namun harus PC compatible dan berbasis Microsoft Word. Nama ilmiah (genus, spesies, author), dan kultivar atau strain disebutkan secara lengkap pada penyebutan pertama kali. Nama genus dapat disingkat setelahnya penyebutan yang pertama, kecuali menimbulkan kerancuan. Nama author dapat dihilangkan setelah penyebutan pertama. Misalnya pertama kali ditulis Rhizopus oryzae L. UICC 524, selanjutnya ditulis R. oryzae UICC 524. Nama daerah dapat dicantumkan apabila tidak menimbulkan makna ganda. Penyebutan nama ilmiah secara lengkap dapat diulang pada bagian Bahan dan Metode. Tatanama kimia dan biokimia mengikuti aturan IUPAC-IUB. Simbol-simbol kimia standar dan penyingkatan untuk nama kimia dapat dilakukan apabila jelas dan umum digunakan, misalnya pertama kali ditulis lengkap butilat hidroksitoluen (BHT) selanjutnya ditulis BHT. Ukuran metrik menggunakan satuan SI, penggunaan satuan lain harus diikuti nilai ekuivalen dengan satuan SI pada penyebutan pertama. Penyingkatan satuan, seperti g, mg, ml, dan sebagainya tidak diikuti titik. Indek minus (m-2, l-1, h-1) disarankan untuk digunakan, kecuali dalam hal-hal seperti “per-tanaman” atau “per-plot”. Persamaan matematika tidak selalu dapat dituliskan dalam satu kolom dengan teks, untuk itu dapat ditulis secara terpisah. Angka satu hingga sepuluh dinyatakan dengan kata-kata, kecuali apabila berhubungan dengan pengukuran, sedangkan nilai di atasnya dituliskan dalam angka, kecuali di awal kalimat. Pecahan sebaiknya dinyatakan dalam desimal. Dalam teks digunakan “%” bukannya “persen”. Pengungkapan ide dengan kalimat yang rumit dan berteletele perlu dihindari, sebaiknya digunakan kalimat yang efektif dan efisien. Naskah hasil penelitian diharapkan tidak lebih dari 25 halaman (termasuk gambar dan tabel), naskah telaah pustaka menyesuaikan, masing-masing halaman berisi 700-800 kata, atau sebanding dengan naskah dalam nomor penerbitan ini. Judul ditulis secara padat, jelas, dan informatif, maksimum 20 kata. Judul ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris untuk naskah dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris saja untuk naskah dalam bahasa Inggris. Naskah yang terlalu panjang dapat dibuat berseri, tetapi naskah demikian jarang diterbitkan jurnal ini. Judul pelari (running title) sekitar 5 kata. Nama penulis atau para penulis pada naskah kelompok ditulis secara lengkap dan tidak disingkat. Nama dan alamat institusi ditulis lengkap dengan nama dan nomor jalan (lokasi), kode pos, nomor telepon, nomor faksimili, alamat e-mail dan website. Pada naskah kelompok perlu ditunjukkan penulis untuk korespondensi beserta alamat dengan urutan seperti di atas. Abstract sebaiknya tidak lebih dari 200 kata, ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris untuk naskah dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris saja untuk naskah dalam bahasa Inggris. Kata kunci (Keywords) sekitar 5 kata, meliputi nama ilmiah dan daerah (apabila ada), topik penelitian dan metode-metode khusus yang digunakan. Pendahuluan (Introduction) sekitar 400-600 kata, meliputi latar belakang, tinjauan pustaka dan tujuan penelitian. Bahan dan Metode (Materials and Methods) sebaiknya ditekankan pada cara kerja dan cara analisis data. Hasil dan Pembahasan (Results and Discussion) ditulis sebagai satu rangkaian, pada tulisan yang cukup panjang sebaiknya dibuat beberapa sub judul. Pembahasan merupakan jawaban pertanyaan mengapa dan bagaimana hasil penelitian dapat terjadi, bukan sekedar mengungkapkan kembali hasil penelitian dalam bentuk kalimat. Pembahasan yang lengkap dan menyeluruh lebih disukai dari pada pembahasan yang tidak tuntas. Naskah telaah pustaka tanpa sub judul Bahan dan Metode, serta Hasil dan Pembahasan. Kesimpulan (Conclusion) sebaiknya tetap diberikan, meskipun biasanya sudah terungkap pada Hasil dan Pembahasan. Ucapan terima kasih (Acknowledgments) apabila diperlukan ditulis secara singkat. Gambar dan Tabel maksimum 3 halaman, dapat dibuat dengan tinta cina atau printer laser. Judul gambar ditulis di bawah gambar, sedangkan judul table ditulis di atas tabel. Foto dicetak pada kertas glossy dan diberi keterangan. Gambar berwarna dapat diterima apabila informasi ilmiah dalam naskah dapat hilang tanpa gambar tersebut. Setiap gambar dan foto sebaiknya menyertakan file digital. Penulis dianjurkan menyertakan foto atau gambar untuk sampul depan, meskipun tidak dimuat dalam naskah
sendiri.Tidak ada lampiran, semua data atau analisis data dimasukkan dalam Hasil dan Pembahasan. Pustaka dalam naskah ditulis dalam bentuk nama belakang penulis dan tahun. Pada kalimat yang diacu dari beberapa penulis, maka nama penulis diurutkan berdasarkan kebaharuan pustaka. Naskah yang ditulis oleh dua penulis, maka nama keduanya disebutkan, sedang naskah yang ditulis oleh tiga penulis atau lebih, maka hanya nama penulis pertama ditulis diikuti et al. atau dkk., misalnya: Sprent dan Sprent (1990) atau (Suranto et al., 1998; Baker and Manwell, 1991; Smith 1982a, b). Pada sitasi bertingkat digunakan kata cit atau dalam, misalnya (Gyorgy, 1991 cit Coward, 1999) atau Gyorgy (1991, dalam Coward, 1999). Daftar Pustaka diketik dengan spasi ganda. Sitasi mengikuti CBE-ELSE-Vancouver style dengan modifikasi sebagai berikut: Jurnal: Suranto, S., K.H. Gough, D.D. Shukla, and C.K. Pallaghy. 1998. Coat protein sequence of Krish-infecting strain of Johnson-grass mosaic potyvirus. Archives of Virology 143: 1015-1020. Buku: Sprent, J.l., and P. Sprent. 1990. Nitrogen Fixing Organisms: Pure and Applied Aspects. London: Chapman and Hall. Bab dalam buku: Baker, C.M.A. and C. Manwell. 1991. Population genetics, molecular markers and gene conservation of bovine breeds. In: Hickman, C.G. (ed.). Cattle Genetic Resources. Amsterdam: Elsevier Science Publishers B.V. Abstrak: Liu, Q., S. Salih, J. Ingersoll, R. Meng, L. Owens, and F. Hammerschlag. 2000. Response of transgenic ‘Royal Gala’ apple (Malus x domestica Borkh.) shoots, containing the modified cecropin MB39 gene to Erwinia amylovora [084]. Abstracts of 97th Annual International Conference of the American Society for Horticultural Science. Lake Buena Vista, Florida, 23-26 July 2000. Prosiding: Alikodra, H.S. 2000. Keanekaragaman hayati bagi pembangunan daerah otonom. Dalam: Setyawan, A.D. dan Sutarno (ed.). Menuju Taman Nasional Gunung Lawu, Prosiding Semiloka Nasional Konservasi Biodiversitas untuk Perlindungan dan Penyelamatan Plasma Nutfah di Pulau Jawa. Surakarta, 17-20 Juli 2000. Skripsi, Tesis, Disertasi: Purwoko, T. 2001. Biotransformasi Isoflavon oleh Rhizopus oryzae UICC 524 dan Aktivitas Antioksidan Isoflavon Aglikon dari Tempe terhadap Oksidasi Minyak Kedelai. [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia. Informasi dari Internet: Rosauer, D. 1998. Forest Disturbance and Succession. http:// www.anu.edu.au/ Forestry/silvinative/ daniel/chapter1/1.1.html Naskah publikasi “in press” dapat disitasi dan dicantumkan dalam daftar pustaka. “Komunikasi pribadi” dapat disitasi, tetapi tidak dapat dicantumkan dalam daftar pustaka. Penelitian yang tidak dipublikasikan atau sedang dalam tahap pengajuan publikasi tidak dapat disitasi. Beberapa catatan tambahan. Naskah diketik tanpa tanda hubung (-), kecuali kata ulang. Penggunaan huruf “l” (el) untuk “1” (satu) atau “O” (oh) untuk “0” (nol) perlu dihindari. Simbol α, β, χ, dan lain-lain dimasukkan melalui fasilitas insert, bukan mengubah jenis huruf. Kata-kata dan tanda baca sesudahnya tidak diberi spasi. Kemajuan Naskah. Pemberitahuan naskah dapat diterima atau ditolak akan diberitahukan sekitar satu bulan setelah pengiriman. Naskah dapat ditolak apabila materi yang dikemukakan tidak sesuai dengan misi jurnal, kualitas materi rendah, format tidak sesuai, gaya bahasa terlalu rumit, terjadi ketidakjujuran keaslian penelitian, dan korespondensi tidak ditanggapi. Penulis atau penulis pertama pada naskah kelompok akan mendapatkan satu eksemplar jurnal yang memuat tulisannya selambat-lambatnya sebulan setelah naskah diterbitkan. Penulis akan kembali mendapatkan satu eksemplar jurnal nomor penerbitan berikutnya. PENTING: Penulis atau para penulis dalam naskah kelompok setuju memindahkan hak cipta (copyright) naskah yang diterbitkan BIODIVERSITAS, Journal of Biological Diversity kepada Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta. Penulis tidak lagi diperkenankan menerbitkan naskah secara utuh tanpa ijin penerbit. Penulis atau pihak lain diperkenankan memperbanyak naskah dalam jurnal ini selama tidak untuk tujuan komersial. Untuk penemuan baru, penulis disarankan mengurus hak patennya sebelum mempublikasikan dalam jurnal ini.
BIODIVERSITAS Volume 5, Nomor 1 Halaman: 1-6
ISSN: 1412-033X Januari 2004
Kloning Gen Penisilin V Asilase dari Bacillus sp BAC4 Melalui Pembuatan Pustaka Genom Gene Cloning of Penicillin V Acylase from Bacillus sp BAC4 by Genomic Library ELFI SUSANTI VH ♥, SRI RETNO DWI ARIANI Program Studi Kimia Jurusan PMIPA FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126 Diterima: 12 Agustus 2002. Disetujui: 3 Nopember 2003
ABSTRACT This research was aimed to clone and identify penicillin V acylase (PVA) gene of Bacillus sp. BAC4 by genomic library. Chromosome DNA of Bacillus sp. BAC4 was isolated by Wang method. pHB201 of E. coli was isolated by alkali lyses method. Recombinant DNA of Bacillus sp. BAC4 chromosome fragment and pHB201 was made by ligase process using T4 DNA ligase. Transformation of E. coli using this recombinant plasmid was carried out according to Mandel-Higa method. The results indicated that chromosome DNA fragment of Bacillus sp. BAC4 was bigger 23 kb with purity 1,3. Plasmid DNA fragment of E coli was 6,5 kb. Transformants laboring pHB201 recombinant plasmid was screen as blue-white colonies in a medium containing IPTG/X-gal and chloramphenicol. © 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: genomic library, penicillin acylase, transformation, plasmid, chromosome.
PENDAHULUAN Antibiotik merupakan senyawa kimia yang digunakan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme penyebab infeksi. Kelompok antibiotik β-laktam sangat penting dalam terapi pengobatan. Salah satu antibiotik kelompok ini adalah penisilin, yang ditemukan Alexander Fleming pada tahun 1929 (Crueger dan Crueger, 1982). Antibiotik ini spesifik menghambat sintesis dinding sel bakteri dan telah banyak digunakan untuk terapi pengobatan penyakit infeksi. Antibiotik penisilin pada awalnya digunakan untuk mengobati penyakit infeksi yang banyak terjadi pada saat perang dunia kedua. Namun beberapa tahun kemudian, pengobatan penyakit infeksi dengan antibiotik ini tidak efisien lagi, karena banyak mikroorganisme telah menjadi resisten. Oleh karena itu, dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dikembangkan antibiotik-antibiotik baru melalui modifikasi struktur penisilin agar efektifitas antibiotik ini dapat diperoleh kembali (Wilson, 1982) Berbagai turunan penisilin telah dibuat dan
♥ Alamat korespondensi: Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel.: +62-271-648939. Fax.: +62-271-648939 e-mail:
[email protected]
digunakan. Dalam proses pembuatan turunan antibiotik, banyak dilibatkan gen pengkode enzimenzim tertentu, contohnya gen penisilin V asilase (PVA) yang banyak ditemukan pada bakteri dan jamur. Enzim ini merupakan kunci dalam pembuatan antibiotik β-laktam semisintetik karena dapat menghidrolisis penisilin V untuk menghasilkan senyawa antara yaitu asam 6-amino penisilanat (6-APA), suatu senyawa antara untuk memproduksi penisilin semisintetik, diantaranya metilsilin, kloksasilin, ampisilin dan karbenisilin (Hammond, 1978). Senyawa 6-APA yang diperoleh melalui proses hidrolisis enzimatis ini, ikatan amida pada rantai sampingnya terputus. Peningkatan produksi enzim PVA banyak dilakukan melalui pendekatan genetik, yaitu dengan memindahkan gen pengkode PVA ke dalam suatu sel inang yang dapat mengekspresikan gen tersebut dengan aktivitas tinggi (Priest, 1984). Kloning gen PVA telah banyak dilakukan. Kloning gen yang mengkode PVA dari Bacillus sphaericus dan ekspresinya dalam Escherichia coli dan Bacillus subtilis telah diteliti (Olson, et al., 1985). Strain lokal Bacillus sp. BAC4 selain memproduksi penisilin G asilase (PGA) juga menghasilkan PVA. Teknologi DNA rekombinan atau rekayasa genetika merupakan suatu metode yang dilakukan untuk memanipulasi DNA suatu makhluk hidup tertentu guna memperoleh sifat-sifat tertentu dalam organisme tersebut. Pada umumnya dalam teknologi
2
B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 1, Januari 2004, hal. 1-6
DNA rekombinan, peneliti berusaha menambahkan sifat-sifat unggul ke dalam suatu organisme, sehingga diharapkan menjadi organisme yang menguntungkan kehidupan manusia (Glick dan Pasternack, 1994). Pustaka genom (genomic library) adalah kumpulan klon rekombinan dalam bentuk plasmid, phage atau kosmid yang membawa fragmen molekul DNA tertentu secara independen, berukuran tertentu dan merupakan kumpulan keseluruhan informasi genetik suatu organisme (Winnaker et al., 1987). Kebolehjadian suatu gen spesifik dalam kumpulan klon rekombinan dipengaruhi oleh panjang fragmen DNA dan tingkat kompleksitas genom. Semakin tinggi tingkat suatu spesies, maka semakin kompleks genomnya. Beberapa tahap penting yang dapat menentukan keberhasilan pembuatan pustaka genom adalah penyiapan fragmen DNA, penyiapan vektor, reaksi ligasi, dan perbanyakan DNA dalam sel inang. Pustaka genom dapat dibuat dengan memurnikan DNA kromosom dan memotong DNA tersebut secara parsial dengan enzim restriksi tertentu, baik melalui variasi konsentrasi enzim maupun variasi waktu inkubasi. Fragmen tersebut diharapkan mewakili keseluruhan gen pada suatu organisme. Selanjutnya fragmen DNA diinsersikan ke vektor yang sesua,i sehingga dihasilkan vektor rekombinan. Hasil pengemasan (packing) dapat ditransfeksi ke dalam sel inang yang sesuai, sedangkan bila menggunakan vektor plasmid, hanya dilakukan transformasi dengan metode kejutan panas (heat shock) ke dalam sel inang (Boulnois et al., 1987) Spesies Bacillus sangat cocok untuk produksi enzim, kecuali B. cerus dan B. anthracis. Mikroba jenis Bacillus tidak menghasilkan toksin, mudah ditumbuhkan, dan tidak memerlukan substrat yang mahal. Kemampuan Bacillus untuk bertahan pada temperatur tinggi, tidak adanya hasil samping metabolisme, dan kemampuannya untuk menghasilkan sejumlah besar protein ekstra seluler membuat Bacillus merupakan organisme favorit untuk industri. Saat ini Bacillus subtilis dipakai sebagai organisme inang untuk studi DNA-rekombinan (Doi et al., 1992). Dalam penelitian ini, gen PVA dari Bacillus sp. BAC4 akan diklon ke dalam vektor plasmid menggunakan pustaka genom. Pustaka genom dibuat dengan memurnikan DNA kromosom Bacillus sp. BAC4 dan memotong DNA tersebut secara parsial dengan enzim restriksi tertentu melalui variasi konsentrasi enzim. Fragmen tersebut diharapkan mewakili seluruh gen yang terdapat pada suatu organisme. Selanjutnya fragmen DNA diinsersikan ke vektor yang sesuai sehingga menghasilkan vektor rekombinan. Hasil pengemasan (packing) ditransfeksi ke dalam sel inang yaitu E. coli. Ekspresi skrining dilakukan untuk melihat aktivitas PVA klon rekombinan. Pengukuran aktivitas enzim PVA didasarkan pada jumlah 6-APA yang dibebaskan pada reaksi hidrolisis enzimatik penisilin V. Dari uraian di atas ingin diketahui apakah kloning gen PVA dari Bacillus sp. BAC4 dapat dilakukan
dengan menggunakan pembuatan pustaka genom. Jika telah didapatkan klon yang positif terhadap uji aktivitas PVA, akan dilihat bagaimana ekspesi serta aktivitas PVA dalam E. coli. Penelitian ini bertujuan untuk mengklon dan mengidentifikasi gen PVA dari Bacillus sp. BAC4. Studi perbandingan gen PVA dan aktivitas enzim PVA dari beberapa spesies akan memberikan pengertian yang lebih mendalam mengenai hubungan antara struktur dan fungsi enzim dari beberapa bakteri.
BAHAN DAN METODE Bahan Mikroorganisme, yaitu Bacillus sp. BAC4 dan E.coli JM109 diperoleh dari Laboratorium Rekayasa Genetika, Pusat Penelitian Antar Universitas, Institut Teknologi Bandung. Diperlukan pula enzim restriksi HindIII, enzim T4 ligase, enzim RNAse, protenase-K, dan DNA standar. Bahan untuk ekstraksi DNA, yaitu gliserol, media LB (Luria Bertani medium) padat, medium LB cair, bufer lisis terdiri dari 0,15 M NaCl, 0,1 M EDTA pH 8 dan 10 mg lizosim, SDS 10%, NaClO4 5 M, kloroform:isoamil alkohol (24:1), etanol 95%, etanol 70 %, bufer TEN terdiri dari 10 mM Tris HCl pH 8, 1 mM EDTA pH 8, dan 100 mM NaCl, RNAse, proteinasi K, fenol:kloroform:isoamilalkohol (25:24:1 v/v/v), dan ddH2O. Cara kerja Penentuan aktivitas enzim PVA. Uji pendahuluan dilakukan dengan mengukur aktivitas enzim PVA dalam Bacillus sp. BAC4 menggunakan metode Konferld (1978). Aktivitas PVA diukur berdasarkan jumlah 6-APA yang dibebaskan. Satu unit aktivitas didefinisikan sebagai jumlah enzim yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 μmol 6-APA permenit pada suhu 37 0C. Isolasi DNA kromosom Bacillus sp. BAC4. Isolasi DNA kromosom Bacillus sp. BAC4 dilakukan dengan metode Wang (Doi dan McGloughlin, 1992). Tingkat kemurnian DNA ditentukan dengan spektrofotometer sinar UV pada panjang gelombang 260 dan 280 nm. Karakterisasi DNA dilakukan menggunakan elektroforesis gel agarosa dengan konsentrasi gel 0,8%. Konsentrasi larutan DNA kromosom hasil isolasi dapat diperkirakan dengan membandingkan intensitas warna pitanya dalam gel agarosa dengan intensitas pita standar yang telah diketahui ukuran dan konsentrasinya. Isolasi DNA plasmid pHB201 dari E. coli. Isolasi ini dilakukan dengan metode lisis alkali. Lisis sel bakteri dilakukan secara kimia menggunakan kombinasi larutan EDTA dan lisozim, suatu senyawa yang merusak protein tanpa merusak molekul DNA maupun RNA. Proses lisis sel ini dipercepat dengan penambahan SDS, yang akan menghilangkan molekul lipid sehingga membran sel dapat terbuka secara perlahan. Pada metode ini, sebagian besar protein
SUSANTI VH dan ARIANI – Kloning gen PVA dari Bacillus
HASIL DAN PEMBAHASAN Uji aktivitas PVA dalam kultur Bacillus sp. BAC4 dilakukan untuk membuktikan bahwa bakteri tersebut benar-benar menghasilkan enzim PVA secara ekstraseluler. Hasil uji menunjukkan bahwa Bacillus sp. BAC4 menghasilkan enzim PVA, diperlihatkan dengan adanya aktivitas PVA dari bakteri tersebut. Aktivitas PVA tertinggi dicapai pada jam ke-12. Pada grafik hubungan antara aktivitas PVA dengan waktu (Gambar 1), terlihat adanya pola naik dan turun. Hal ini diduga karena enzim PVA yang dihasilkan bersifat ektraseluler, sehingga kestabilannya tidak dikendalikan lagi oleh sel, melainkan oleh lingkungannya. Isolasi DNA kromosom Bacillus sp. BAC4 dilakukan dengan metode Wang (Doi dan McGloughlin, 1992). Metode ini dilakukan dalam beberapa tahap meliputi pembiakan bakteri, pemecahan dinding sel, dan pemurnian DNA kromosom. Pembiakan bakteri dilakukan pada suhu 370C dan sel dipanen pada fasa logaritma. Pemanenan pada saat ini dipilih karena pada fasa ini sel bakteri relatif masih muda, sehingga memudahkan pemecahan dinding sel. Pemecahan dinding sel dilakukan secara enzimatik menggunakan
lisozim dan SDS. DNA dipisahkan dari debris sel dan protein melalui ekstraksi menggunakan campuran kloroform:isoamilalkohol (24:1 v/v). Kloroform dapat mendenaturasi protein dan melarutkan lipid serta dapat memisahkan fasa organik dan fasa air, sedangkan isoamilalkohol akan membantu pemisahan kedua fasa ini agar lebih sempurna. Pemurnian DNA dilakukan menggunakan campuran fenol:kloroform: isoamilalkohol (25:24:1 v/v/v). Penggunaan campuran ini menyebabkan terjadinya presipitasi protein tetapi DNA dan RNA tetap berada dalam fasa air. Penghilangan RNA dilakukan dengan penambahan RNase. 50 45 40 Aktivitas PVA (U/ml)
dan RNA tidak larut. Penambahan fenol:kloroform: isoamilalkohol (25:24:1) diharapkan dapat mengekstrak protein, sedangkan molekul RNA didegradasi dengan menggunakan RNase. Tingkat kemurnian DNA diukur menggunakan spektrofotometer sinar UV pada panjang gelombang 260 dan 280 nm. Karakterisasi DNA plasmid dilakukan dengan elektroforesis gel agarosa dengan konsentrasi gel 0,8%. Konsentrasi larutan DNA plasmid hasil isolasi dapat diperkirakan dengan membandingkan intensitas warna pitanya dalam gel agarosa dengan intensitas pita standar yang telah diketahui ukuran dan konsentrasinya. Pemotongan DNA kromosom dan DNA plasmid. Pemotongan DNA plasmid, DNA asing, dan DNA rekombinan dilakukan menggunakan enzim restriksi tertentu dengan kondisi tertentu (Sambrook et al., 1989). Enzim restriksi yang dipergunakan adalah enzim HindIII untuk memotong DNA plasmid dan DNA asing. Hasil pemotongan DNA dengan enzim restriksi diamati dengan elektroforesis gel agarosa. Ligasi DNA kromosom ke dalam DNA vektor (pHB201). Ligasi fragmen DNA asing ke dalam vektor plasmid PHB201 dilakukan menggunakan enzim T4 ligase. Hasil ligasi ini merupakan DNA plasmid rekombinan yang siap untuk ditransformasikan ke dalam E coli JM 109. Transformasi ke E.coli JM109 dengan DNA rekombinan. Terdapat dua tahap penting dalam prosedur transformasi, yaitu penyiapan sel kompeten dan pemasukkan DNA ke dalam sel inangnya. Pembuatan sel kompeten E.coli JM 109 dilakukan menurut metode Mendel dan Higa yang telah dimodifikasi (Sambrook et al., 1989).
3
35 30 25 20 15 10 5 0 0
5 10 W a k tu In k u b a s i (ja m )
15
Gambar 1. Hubungan antara aktivitas PVA dengan waktu inkubasi kultur Bacillus sp. BAC4.
Kemurnian dan konsentrasi DNA hasil isolasi dihitung secara kuantitatif dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm. Dari hasil pengukuran diperoleh bahwa konsentrasi DNA Bacillus sp. BAC4 adalah 0,6 μg/μl dengan tingkat kemurnian 1,3. Hasil ini menunjukkan bahwa DNA hasil isolasi masih kurang murni, diduga masih mengandung protein atau sisa-sisa fenol. Visualisasi DNA genom Bacillus sp. BAC4 dalam 0,8% gel agarosa tampak sebagai satu larik dengan ukuran lebih dari 23 kb dengan marker DNA λ/HindIII (Gambar 2). DNA plasmid pHB201 diisolasi dari E. coli dengan metode lisis alkali skala kecil. Isolasi diawali dengan penanaman satu koloni tunggal bakteri E.coli yang mengandung plasmid pHB201 pada medium LB cair yang mengandung antibiotik kloramfenikol. Hal ini dilakukan karena plasmid pHB201 memiliki gen resisten kloramfenikol, sehingga diharapkan koloni yang tumbuh dalam medium adalah koloni bakteri yang mengandung plasmid pHB201. DNA plasmid yang diperoleh dianalisis menggunakan elektroforesis gel agarosa (0,8%). Hasil analisis elektroforesis disajikan pada Gambar 3. Terlihat ahwa molekul DNA plasmid pHB201 memberikan 2 larik. Kedua larik tersebut menunjukkan adanya berbagai bentuk konformasi DNA plasmid. Larik yang berada paling bawah adalah super coiled monomer DNA, sedangkan pita paling atas merupakan DNA plasmid dengan konformasi rilex open circular.
4
B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 1, Januari 2004, hal. 1-6
Gambar 2. Elektroferogram Hasil Isolasi DNA Kromosom Bacillus sp. BAC4 (1 = marker DNA λ/HindIII; 2, 3 = DNA kromosom hasil isolasi).
Gambar 3. Elektroforegram hasil isolasi DNA plasmid pHB201 (isi kesemua sumur merupakan pHB201 dari berbagai tabung).
Ukuran DNA plasmid tersebut tidak dapat dibandingkan dengan standar I karena konformasi molekulnya berbeda. DNA λ/HindIII memiliki konformasi linier, sedangkan DNA plasmid memiliki konformasi covalently closed circular (ccc). Oleh karena itu DNA plasmid perlu dipotong menggunakan enzim restriksi tertentu sehingga konformasinya menjadi linier dan dapat dibandingkan dengan marker DNA λ/HindIII. Pemotongan DNA kromosom dan DNA plasmid pHB201 hasil isolasi dilakukan dengan enzim restriksi HindIII. Enzim ini disolasi dari Haemophilus influenze Rd dan mempunyai urutan pengenal AAGCTT. Pemotongan DNA kromosom dan DNA plasmid dengan enzim HindIII akan menghasilkan ujung lengket AGCT (Brown, 1991). Analisis elektroforesis
gel agarose (0,8%) terhadap hasil pemotongan DNA kromosom dan DNA plasmid disajikan pada Gambar 4. Hasil pemotongan DNA plasmid dengan enzim HindIII memberikan satu pita berukuran 6,5 kb. Ligasi antara fragmen DNA kromosom dengan plasmid pHB201 dilakukan dengan enzim T4 DNA ligase secara acak. Hasil ligasi dapat dianalisis dengan elektroforesis gel agarose (0,8%) karena mempunyai komposisi yang berbeda dibandingkan molekul sebelumnya (Gambar 5). Campuran reaksi ligasi kemungkinan mengandung molekul DNA rekombinan yang dikehendaki, molekul vektor yang tidak mengalami ligasi, fragmen DNA kromosom yang tidak mengalami ligasi, dan molekul vektor yang telah melingkar kembali tanpa adanya insersi DNA.
a
b
Gambar 4. Elekroferogram DNA kromosom dan DNA plasmid pHB201 yang telah dipotong dengan enzim HindIII (1a = marker DNA λ/HindIII, 2a, 3a, 4a = DNA kromosom yang telah dipotong. 1b = marker DNA λ/HindIII, 2b,5b = plasmid pHB201 yang belum dipotong, 4b= DNA plasmid pHB201 yang telah dipotong).
SUSANTI VH dan ARIANI – Kloning gen PVA dari Bacillus
5
penginduksi dihasilkan senyawa galaktosa dan 5bromo-4-kloroindigo yang berwarna biru. DNA sisipan yang masuk pada daerah pengkode gen lacZ menyebabkan gen tersebut akan rusak dan sebagai hasilnya tidak ada aktivitas enzim yang dikode oleh gen lacZ. Enzim β galaktosidase tidak diproduksi dan koloni warna putih dihasilkan (Brown et al., 1991). KESIMPULAN
Gambar 5. Elektroferogram hasil ligasi fragmen DNA kromosom dengan plasmid pHB201.
Plasmid rekombinan hasil ligasi digunakan untuk mentransformasi sel inang E. coli JM109. Transforman yang diperoleh ditumbuhkan pada media LB padat yang mengandung kloramfenikol, X-gal, dan IPTG. Vektor pHB201 membawa gen kloramfenikol menyebabkan koloni yang tumbuh bersifat resisten terhadap antibiotik kloramfenikol. Penyisipan DNA pada daerah gen lacZ dapat diseleksi berdasarkan warna koloni yang dihasilkan dengan adanya X-gal dan IPTG. Hasil transformasi ditandai dengan tumbuhnya koloni biru dan putih (Gambar 6.). Koloni warna putih menandakan adanya vektor dengan DNA sisipan, sedangkan koloni warna biru menandakan tidak terdapatnya DNA sisipan pada vektor pHB201. Adanya koloni biru dan putih disebabkan DNA sisipan dimasukkan pada daerah pengkode gen lacZ. Gen lacZ tersebut merupakan daerah pengkode enzim β galaktosidase. Enzim ini dapat menguraikan senyawa mirip laktosa yaitu X-gal, dan adanya IPTG sebagai
Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa DNA kromosom Bacillus sp BAC4 dan pemotongan DNA kromosom hasil isolasi dengan enzim restriksi HindIII menghasilkan fragmen yang berukuran lebih besar dari 23 kb dengan tingkat kemurnian 1,3. DNA plasmid yang diisolasi dari bakteri E. coli dan pemotongan DNA plasmid hasil isolasi dengan enzim restriksi HindIII menghasilkan fragmen berukuran 6,5 kb. Plasmid rekombinan hasil ligasi digunakan untuk mentransformasi sel inang E. coli JM109. Hasil transformasi ditandai dengan tumbuhnya koloni biru dan putih. Disarankan untuk dilakukan kloning dengan metode PCR (Polymerase Chain Reaction) dan dilakukan transformasi menggunakan inang lain.
DAFTAR PUSTAKA Boulnois, G.J. 1987. Genomic Library Cloning, Genom Cloning and analysis A Laboratory Guide. Oxford: Blacwaell Scientific Publication. Brown, T.A. 1991. Pengantar Kloning Gen. Penerjemah: Sumiati, A.M dan Praseno. Yogyakarta: Yayasan Essentia Medica. Glick,B., and J.J. Pasternack. 1994. Molecular Biotechnology: principle and Applications of Recombinant DNA. Washington, D.C.: American Society for Microbiology. Hammond, S.M. and P.A. Lambert. 1978. Antibiotics and Antimicrobial Action. New York: Edward Arnold. Kieser, T. 1984. Factor affecting the isolation of ccc DNA from Streptomyces lividans and Escherichia coli. Plasmid 12: 1936. Korfeld, J.M. 1978. A new colorimetric method for the determination of 6-aminopenicillanic acid. Analytical Biochemistry 86: 118-
Gambar 6. Hasil transformasi klon rekombinan dalam E.coli JM 109.
6
B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 1, Januari 2004, hal. 1-6
128. Morrison, D.A., 1979. Transformation and preservation of competent bacterial cells by freezing. Methods in Enzymology 68: 326-331. Olsson, A., H. Thomas, N. Bjorn, U. Mathias, and G. Sten. 1985. Molecular cloning of Bacillus sphaericus penicillin V amidase gene and its expression in Escherichia coli and Bacillus subtilis. Applied and Environmental Microbiology 49: 10841089. Priest, F.G. 1984. Extracellular Enzymes. London: Van Nostrand Reinhold Co. Ltd.
Sambrook, J., T. Maniatis, and E.F. Fritsch. 1989. Molecular Cloning: A Laboratory Manual. New York: Cold Spring Harbor Laboratory. Vandamne, E.J. and J.P. Voets. 1974. Microbial penicillin acylases. Advance Applied Microbiology 17: 311-369 Wilson, L. and L. Gisvold. 1982. Textbook of Organic Medicinal and Pharmaceutical Chemistry. Philadelphia: Harper and Row Publishers, Inc. Winnacker, E.L. 1987. From Gene to Clones Genomic Libraries. New York: VHC Verlagsgesellschaft mbHi.
BIODIVERSITAS Volume 5, Nomor 1 Halaman: 7-12
ISSN: 1412-033X Januari 2004
Analisis Kualitas Produk Fermentasi Beras (Red Fermented Rice) dengan Monascus purpureus 3090 The analysis of the quality of red fermented rice (RFR) product with Monascus purpureus 3090 DJUMHAWAN R. PERMANA♥, SUNNATI MARZUKI, D. TISNADJAJA Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, Cibinong - Bogor 16911 Diterima: 31 Agustus 2003. Disetujui: 15 Desember 2003.
ABSTRACT Analysis of red fermented rice product with Monascus purpureus 3090 was conducted on monascus floor product (MFP264), MFP-244 and rice monascus product (RMP). Evaluation of microbiological, pigment intensity and lovastatine content analysis result was aimed to see quality differences on each production of 5 kg rice raw material. Of both product types (MFP-264, RMP) which only oven dried compare to MFP-244 which is sterilized in autoclave showed a significantly difference of population level on total microorganism colonies, that is mould 26x106 propagule/ml, bacteria 13x106 cell/ml (MFP-264), mould 85x106 propagule/ml, bacteria 265x106 cell/ml (RMP). The MFP-244 produced highest absorption spectra 0.3513-0.4050 compare to MFP-264 0.3110-0.3324, rice monascus product (RMP) 0.3343-0.3663. Pigment biosynthesis seems occurred at sexual developmental stage or conidia formation of M. purpureus 3090, which is produced color changes of yellow pigment, orange pigment, and red pigment. Lovastatine content of MFP-264 has Rf value 0.84 MFP-244 Rf 0.83 and RMP Rf 0.82 showed higher value compare to Rf 0.81 of the lovastatine standard solution. © 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: quality analysis, rice fermented product, Monascus purpureus 3090.
PENDAHULUAN Red Fermented Rice (RFR) dikenal juga dengan nama angkak merupakan hasil fermentasi beras yang menggunakan kapang Monascus purpureus. Angkak berasal dari Cina yang dikenal pula dengan nama angquac, red rice, Chinese red rice, beni koji, dan aga koji (Church dalam Palo et al., 1960). Di Taiwan pembuatan angkak menggunakan M. anka nakagawa dan M. anka sato. Jenis lain yang sering digunakan adalah M. ruber, Monascus F-2, M. bropunctatus dan M. rubiginous. Dari beberapa strain kapang monascus yang paling banyak digunakan adalah M. purpureus NRRL 2897 karena menghasilkan kadar pigmen yang tinggi (Broder et al., 1980). Monascus mampu memproduksi pigmen kuning dari monascin dan ankaflavin, pigmen jingga dan merah dari rubropungtamine dan monascorubin, pigmen rubropunctatin dan monascorubramin (Sherperd, 1977). Selain memproduksi pigmen, Monascus juga
♥ Alamat korespondensi: Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911. Tel.: +62-21-8754587. Fax.: +62-21-8754588. e-mail:
[email protected] (ed.)
menghasilkan enzim α dan β–amilase, glukoamilase, protease, dan lipase (Lin, 1973; Steinkraus, 1983). Sedangkan adanya senyawa statin berkhasiat bagi kesehatan tubuh. Monascus dalam bentuk tepung dapat dijadikan campuran makanan dan minuman suplemen sebagai penurun kadar kolesterol. Kegunaan monascus dapat mengobati berbagai penyakit termasuk infeksi, gangguan pencernaan termasuk diare, dan meningkatkan sirkulasi darah. Berdasarkan resep obat-obatan Cina, angkak menyembuhkan penyakit asma dan kelainan urinasi (Steinkraus, 1998). Di Cina, Taiwan, dan Filipina angkak telah digunakan sebagai pewarna makanan maupun minuman seperti chinese cheese dan bagoong makanan khas Filipina dan anggur merah (Susanti, 1998). Pembuatan RFR dilakukan dengan menggunakan bahan dasar beras sebagai substrat media tumbuh kapang M. purpureus. Di Thailand salah satu jenis beras khao-mali menghasilkan angkak yang berwarna gelap keungu-unguan dengan pigmen menembus ke seluruh bagian dalam beras. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hasil produksi tepung monascus pada skala 5 kg bahan baku beras meliputi, uji mikrobiologi, uji pigmen, dan kandungan lovastatin.
BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 1, Januari 2004, hal. 7-12
8 BAHAN DAN METODE
Proses pengolahan bahan baku beras menjadi produk tepung monascus disajikan pada Gambar 1.
(1)
Beras
(2)
Perendaman dalam air (1 : 1) selama semalam
(3)
Sterilisasi dengan pengukusan
(4)
Inokulum (bibit)
selama 2 jam Monascus purpures Bahan umur 5 hari Mikroorganisme. Mikroorganisme yang digunakan (5) Inokulasi dengan 2 ml inokulum untuk 100 g beras pada penelitian ini adalah M. purpureus 3090 dari koleksi biakan Pusat Penelitian (6) Inkubasi Bioteknologi-LIPI Cibinong-Bogor. s.d. 14 hari Beras. Beras yang digunakan adalah beras putih dengan (7) Pengeringan dalam oven untuk menurun kadar air 0 kualitas cukup baik dan tidak selama 1-2 hari, suhu 70 C terlalu lengket. Media. Biakan persediaan (8) Penggilingan (stock culture) ditumbuhkan pada medium agar kentang dektrose (PDA) miring (Difco, USA) dan (9) Sterilisasi, suhu 1600C selama 2 jam secara rutin diremajakan se-tiap 2-3 bulan. Pengembangan inokulum dilakukan dengan (10) (11) Uji mikrobiologi, kandungan pigmen, Pengemasan menggunakan labu erlenmeyer dan lovastatin 250 ml yang berisi medium cair terdiri dari: 0,5 g KH2PO4, 0,3 g NaNO3, 0,2 g MgSO4.7H2O, 0,2 g Gambar 1. Alur produksi tepung monascus. MSG, dan 0,002 g CaCl2 2H2O. Semua bahan tersebut dilarutkan dalam 200 ml akuades dan dikocok sampai homogen dengan tepung monascus yang disterilkan. Sampel sebanyak menggunakan shaker. Setelah itu diinokulasi dengan 1 g dimasukkan ke dalam erlenmeyer berisi 99 ml 5 ml suspensi spora M. purpureus dari PDA miring akuades steril, lalu dikocok dengan shaker hingga yang berumur 5 hari. Inkubasi dilakukan dengan homogen selama 5 menit, sehingga diperoleh menggunakan rotary shaker pada suhu 300C selama pengenceran 10-2. Dari pengenceran 10-2 ini diambil 1 5 hari. ml, dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml Inokulum 2 ml dimasukkan ke dalam media beras akuades steril, sehingga diperoleh pengenceran 10-3 dalam botol yang telah disiapkan sebelumnya. Botol- dan seterusnya dilakukan perlakuan sama sampai botol beras diletakkan dalam rak berada pada ruang pengenceran 10-6. Masing-masing pengenceran 10-6 inkubasi. Pengamatan secara visual dilakukan setiap dari kapang dan bakteri dipipet 0,1 ml dan hari serta setiap 2 hari botol-botol tersebut harus diinokulasikan ke dalam media agar PDA pada cawan dikocok agar pertumbuhannya merata. Proses petri untuk kapang, sedangkan bakteri digunakan inkubasi atau fermentasi dilakukan selama 14 hari media nutrien agar (NA). Kedua kultur diinkubasi yang selanjutnya dilakukan pemanenan. pada suhu 280C untuk kapang dan 320C untuk bakteri, masing-masing selama 48 jam. Analisis mikrobiologi Perhitungan koloni untuk menghitung jumlah total Analisis intensitas pigmen pertumbuhan mikroorganisme kapang dan bakteri Kandungan pigmen yang terdapat dalam RFR dilakukan dengan cara pengenceran. Pengertian diukur berdasarkan absorbannya dengan spektrofotoistilah propagul diberikan bagi kapang sebagai meter UV-Visible pada panjang gelombang 354 nm, struktur reproduksi dalam bentuk potongan populasi 388 nm, dan 401 nm. Sebanyak 0,1 g masing-masing hifa atau miselium. Sedangkan pengertian koloni contoh produk monascus (RFR) ditimbang dimasukdiberikan untuk bakteri yang diartikan sebagai bagian kan ke dalam tabung reaksi, lalu diekstrak dengan 7,5 dari populasi individu mikroorganisme dari jenis yang ml etanol 40%, dikocok menggunakan vortex selama sama setelah dipisahkan (Parker, 1986). 1 menit lalu dibiarkan mengendap. Larutan diekstrasi Sampel yang dianalisis terdiri dari 1 contoh produk kembali sebanyak 3 kali, disentrifugasi selama 15 tepung monascus tidak disterilkan, 1 contoh produk menit pada kecepatan 10.000 rpm. Larutan jernih monascus beras tidak disterilkan dan 1 contoh produk dipipet 1 ml, lalu diencerkan 10 kali dengan akuades.
PERMANA dkk. – Kualitas angkak Monascus purpureus
Analisis kualitatif lovastatin Lovastatin dapat dipisahkan dengan ekstraksi kloroform. Pemisahan hasil ekstraksi diuji secara kualitatif menggunakan metode kromatografi lapisan tipis (thin layer chromatography; TLC) pada plate 25 DC-Alufollin 20x20 cm, 25 TLC alumunium sheet 20x20 cm, Silica gel (60 F24). Kandungan lovastatin dilihat berdasarkan perbedaan migrasi eluen (CHCl3 : CH3OH = 5 : 1 ) (v/v). Perhitungan Rf ditentukan sesuai yang dilakukan Moestofa (2002). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji mikrobiologi ketiga macam produk monascus dengan cara pengenceran (dilution method) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Rata-rata jumlah propagul kapang dan koloni bakteri dari 3 produk monascus setelah diinkubasi 48 jam. Produk Produk monascus tepung (PTM-264) Produk monascus tepung steril (PTM-244)* Produk monascus beras (PMB)
Kapang 6 Nx10 propagul/ml 26
Bakteri 6 Nx10 sel/ml 13
tt
tt
85
56
Keterangan: *) disterilkan pada autoklaf (suhu 121 oC : waktu 15 menit ), tt = tidak tumbuh.
9
PTM-264 mengandung jumlah total propagul kapang sebanyak 26x106 propagul/ml dan koloni bakteri sebanyak 13x106 sel/ml. Sementara jumlah total propagul kapang maupun koloni sel bakteri pada PTM-244 yang melalui proses sterilisasi tidak menunjukkan pertumbuhan mikroorganisme. Pertumbuhan kapang maupun bakteri ditemukan relatif lebih banyak pada sampel PMB (Tabel 1.) kemungkinan hal ini disebabkan oleh kadar air yang lebih tinggi dalam partikel beras dibandingkan dengan bentuk tepung monascus. Hasil permurnian dan identifikasi kapang secara morfologi diperoleh isolat kapang, yaitu: Trichoderma sp. sebagai kontaminan dan M. purpureus. Kedua jenis kapang itu diperoleh dari PTM-264 yang tidak mengalami sterilisasi autoklaf. Produk tepung monascus steril (PTM-244) tidak menunjukkan pertumbuhan kapang. Hal itu disebabkan PTM-244 sebelum dianalisis dilakukan sterilisasi terlebih dahulu dibandingkan PTM-264 yang hanya mengalami proses pemanasan dengan suhu oven. Pada produk monascus beras (PMB) jumlah total pertumbuhan kapang maupun bakteri lebih tinggi dibandingkan PTM-264. Pada Gambar 2. ditunjukkan bentuk pertumbuhan kapang Trichoderma sp. Kapang ini dipertelakan sebagai salah satu kapang kontaminan pada produk tepung monascus yang diakibatkan proses sterilisasi kurang efektif.
a
b
c
Gambar 2. A. Pertumbuhan spora kapang Trichoderma sp., B. Pertumbuhan isolat murni pada media PDA di cawan petri umur 2 hari, C. Bagian hifa dari morfologi Trichoderma sp. Pembesaran 1000 x. Garis = 5 μm.
BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 1, Januari 2004, hal. 7-12
Kandungan pigmen pada berbagai produk RFR dapat terekstraksi alkohol 40% dan terukur intensitas warna berdasarkan absorbannya dengan spekrofotometer pada panjang gelombang 354 nm, 388 nm, dan 401 nm. Pengukuran serapan terhadap ketiga perlakuan contoh ditunjukkan dari nilai maksimumnya, dimana absorban dari senyawa tersebut sudah mendekati daerah tampak UV. Penginderaan ketiga panjang gelombang tersebut sesungguhnya hanya menunjukkan warna bening, tidak menunjukkan warna apapun. Mungkin hal ini disebabkan oleh penggunaan sinar tampak di bawah panjang gelombang 402 nm.
0.45
C
0.4
B
0.35 Absorbansi
10
A
0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 354
388
401
Panjang gelombang (nm)
Gambar 3. Intensitas warna pada berbagai produk yang difermentasi oleh M. purpureus. A. produk tepung monascus (PTM-264); B. produk tepung monascus steril (PTM-244); C. produk monascus beras.
Gambar 4. Struktur kimia biosintesis pigmen dari Monascus sp (Sherperd, 1977).
a
b
c
Gambar 5. Morfologi M. purpureus 3090 dilihat dengan foto mikroskop fase-kontras (x 1000). A. Bagian morfologi menghasilkan pigmen kuning (garis = 1,5 μm); B. Bagian ascomata menghasilkan pigmen jingga (orange) (garis = 2,5 μm); dan C. Bagian ascomata dewasa menghasilkan pigmen merah (garis = 4 μm).
PERMANA dkk. – Kualitas angkak Monascus purpureus
Gambar 6. TLC senyawa lovastatin. S, standar; A, PTM264; B, PTM-244; dan C, PMB.
a
b Gambar 7. A. produk monascus beras belum digiling, B. produk tepung monascus steril (PTM-244).
Hasil analisis serapan absorbansi spektrum terendah diperoleh dari contoh PTM-264 dibandingkan kedua perlakuan tersebut. Sedangkan hasil serapan spektrum rata-rata tertinggi adalah 0,3513-0,4050 yang diperoleh PTM-244. Sementara serapan spektrum yang dihasilkan produk monascus beras adalah 0,3443-0,3540. Pengaruh pengunaan ketiga panjang gelombang tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada berbagai contoh produk. Dilaporkan bahwa pigmen kuning memiliki serapan maksimum relatif rendah dibandingkan pigmen jingga dan merah yang dihasilkan dalam medium kultur
11
terendam maupun kultur padat, pigmen kuning menunjukkan serapan spektrum yang lebih tinggi (Lin dan Suen 1973; Carels dan Sherpherd; Wong et al., 1981; Lin dan Lizuka 1982; dalam Youngsmith, et al., 1993). Beberapa pigmen yang dihasilkan kapang M. rubropunctatus adalah pigmen kuning (monascin) dan pigmen jingga (rubropunctatin), sedangkan M. purpureus menghasilkan pigmen jingga (monascorubrin) dan pigmen kuning (monascin). Biosintesis pigmen ini dilihat dari struktur kimia untuk setiap warna akan berbeda (Broder et al., 1980). Biosintesis pigmen ditentukan juga oleh jenis medium (Susanti, 1998). Produksi pigmen M. purpureus akan dipengaruhi rasio C/N dalam medium (Lin, 1973; Wong 1981). Kandungan nitrogen nitrat dan nitrogen ammonia dapat meningkatkan produksi pigmen karena secara efektif mampu mendorong metabolisme ammonium nitrat (Hawker, 1950 dalam Sukandar, 2003). Perkembangbiakan seksual dan pembentukan konidia akan dipacu oleh kandungan nitrogen organik yang optimum. Karena secara kuantitatif jumlah pigmen yang dihasilkan signifikan dengan pembentukan konidia (Carels et al., 1977). Perbedaan morfologi M. purpureus 3090 menunjukkan tingkat biosintesis pigmen pada perkembangbiakan seksual (Gambar 5.). Pada Gambar 6. memperlihatkan reaksi produk dengan eluen (CHCl3:CH3OH = 5:1) pada kromatografi lapisan tipis (TLC). Nilai Rf masingmasing produk, yaitu PTM 264, PTM 244, dan PMB adalah 0,84, Rf 0,83, dan Rf 0,83. Sedangkan nilai Rf standar lovastatin adalah (Rf 0,81). Kandungan lovastatin paling tinggi diperoleh dari contoh produk kapang monascus (PTM-264) yang memiliki nilai Rf 0,84 lebih tinggi dibandingkan nilai standar lovastatin. Sedangkan contoh produk monascus beras (PMB) menghasilkan nilai Rf terendah (0,82). Perbedaan hasil produksi monascus dalam bentuk beras dan tepung disajikan pada Gambar 7.
KESIMPULAN Kapang M. purpureus 3090 yang diisolasi dari produk tepung monascus (PTM-264) pada kondisi populasi mikroorganisme campuran (26x106 propagul/ml) masih menunjukkan daya viabilitas. Proses sterilisasi menggunakan autoklaf terhadap PTM-244 menunjukkan efektifitas cukup tinggi untuk mematikan mikroorganisme, sehingga produk tersebut aman dikonsumsi. Biosintesis pigmen oleh M. purpureus 3090 pada fase perkembangbiakan menghasilkan berbagai tingkatan pigmen: kuning (monascin), jingga (rubropunctatin), dan merah (monascorubramin). Hasil analisis intensitas serapan warna tertinggi diperoleh PTM-264 0,3513-0,4050. Kandungan pigmen dari ketiga perlakuan produk tidak
12
BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 1, Januari 2004, hal. 7-12
menunjukkan adanya pengaruh suhu pemanasan terhadap kestabilan pigmen. Produksi pigmen sangat dipengaruhi oleh komposisi dan pembentukan konidia, yang secara kualitatif menambah pigmen. Nilai Rf 0,84 adalah kandungan lovaslatin tertinggi yang diperoleh dari contoh PTM-264. Sementara contoh PMB memiliki kandungan lovastatin terendah dengan nilai Rf 0,82. Namun demikian ketiga perlakuan di atas menunjukkan kandungan lovastatin lebih tinggi dibanding nilai Rf larutan standar lovastatin (0,81).
DAFTAR PUSTAKA Broder, C.U. and P.E. Kochler. 1980 Pigments by Monascus purpureus with regard quality and quantity. Food Science 576569. Carels, M. and D. Sherperd. 1977. The effect of different nitrogen source on pigment production and sporulation of Monascus species in submerged, shaken culture. Canadian Journal of Microbiology 23: 1360-1372. Hasseltine, C.W. 1965. A millenium of fungi, food and fermentation. Mycologia 57: 149-197.
Lin, C.F. 1973. Isolation and cultural condition of Monascus sp. for the production of pigment in a submerged culture. Journal of Fermentation Technology 51: 407-414. Moestofa, H.A. dan H.E. Krisnandi. 2002. Dasar-dasar Khromatografi dengan Instrumentasi. Bogor: Sekolah Menengah Analis Kimia. Palo, M.A., L.V. Adeva, and L.M. Maceda. 1960. A study on angkak and its production. The Philippine Journal of Science, 89 (1): 119. Parker, S.P. 1986. Kamus Biologi. New York: Mc Graw-Hill Book, Company. Steinkraus, H. 1983. Indigenous Fermented Food New York: Marcel Dekker. Sukandar. 2003. Singkong sebagai subtrat yang potensial untuk produksi zat warna Monascus. Proseding Seminar Nasional Teknologi Proses Kimia V. Jakarta: Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknik UI. Susanti, M.T. 1998. Optimasi Kondisi Operasi Proses Produksi Pigmen Angkak pada Fermentasi beras oleh Monascus purpureus. Semarang: Universitas Diponegoro. Wong, H.C., Y.C. Lim, and P.E. Kochler. 1981. Regulation of growth and pigmentation of Monascus purpureus by carbon and nitrogen consentration, Mycologia 73: 649-654. Yongsmith, B., W. Tabloka, W. Yongmanitchai, and R. Bavavoda. 1993. Culture conditon for yellow pigment formation by Monascus sp. KB10 grown on cassava medium. World Journal of Microbiology and Biotechnology 9: 85-90.
BIODIVERSITAS Volume 5, Nomor 1 Halaman: 13-16
ISSN: 1412-033X Januari 2004
Populasi Bakteri dari Tanah di Desa Tudu-Aog, Kecamatan Passi, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara Population of bacteria from soil in Tudu-Aog village, Passi district, Bolaang Mongondow, North Sulawesi SRI PURWANINGSIH1♥, RIANI HARDININGSIH1, WARDAH2, AGUS SUJADI2 1
Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Bogor 16122. 2 Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Bogor 16002. Diterima: 21 Agustus 2003. Disetujui: 30 Oktober 2003.
ABSTRACT An experiment was conducted in order to know the population of bacteria from soil in Tudu-Aog village, Passi district, Bolaang Mongondow, North Sulawesi, the purpose of the research was to study the population of bacteria from soil. Fourthy six soil samples were taken from two location, namelyTudu-Aog village and Bugis mountain. Isolation was done by dilution methods on YEMA medium (for Rhizobium bacteria), Winogradsky’s (for Azotobacter bacteria), Pycosvkaya (for Phosphat Solubilizing Bacteria), and selective Difco Pseudomonas (for Pseudomonas bacteria). Incubation at room temperature (27-280C) until 15 days, and the enumeration with plate count method. The highest enumeration of Rhizobium 5 5 bacteria with plant rhizosphere of Alocasia esculenta (27x10 CFU/g soil), Theobroma cacao (29x10 CFU/g soil),and 5 Euphorbia paniculata (26x10 CFU/g soil), Azotobacter bacteria with plant rhizosphere of Lycopersicum esculantum (38x105 CFU/g soil), Eugenia aromaticum (43x105 CFU/g soil), Andropogon sp. (34x105 CFU/g soil), Phosphat Solubilizing bacteria 5 5 5 with plant rhizosphere of Sechium edule (27x10 CFU/g soil), Cinnamomum sp. (48x10 CFU/g soil), Cyathea sp. (72x10 5 CFU/g soil), and Pseudomonas bacteria with plant rhizosphere of Oryza sativa (18x10 CFU/g soil), Vanilla sp. (12x105 CFU/g soil), dan Saurauia sp.(19x105 CFU/g soil). © 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: population, soil, bacteria.
PENDAHULUAN Desa Tudu-Aog terletak di kawasan hutan lindung gunung Bugis, Sulawesi Utara, merupakan kawasan hutan lindung yang memiliki keanekaragaman hayati cukup tinggi. Usaha penggalian sumber daya hayati belum banyak dilakukan dan dilaporkan, terutama mikrobia dari tanah. Salah satu mikrobia tanah adalah bakteri tanah. Bakteri tanah mempunyai banyak sekali manfaatnya antara lain penyedia unsur hara, terutama unsur nitrogen, penghasil zat pengatur tumbuh seperti sitokinin, giberelin dan indol asam asetat (IAA), dan mampu melarutkan unsur fosfat yang dalam bentuk terikat menjadi tersedia, serta sebagai agen biokontrol dan lain-lain (Alexander,
♥ Alamat korespondensi: Jl. Ir. H. Juanda 18, Bogor 16122. Tel.: +62-251-324006. Faks.: +62-251-325854 e-mail:
[email protected] (ed.)
1977), sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesuburan tanah. Untuk meningkatkan tingkat kesuburan tanah dan produktivitas hutan, perlu didukung data dan informasi tentang bakteri tanah. Bakteri tanah banyak sekali jenisnya dan fungsinya, antara lain bakteri Rhizobium mempunyai kemampuan mengikat nitrogen bebas yang berada di udara menjadi amonia (NH3) yang akan diubah menjadi asam amino yang selanjutnya menjadi senyawa nitrogen yang diperlukan oleh tanaman untuk tumbuh dan berkembang (Allen dan Allen, 1981). Bakteri Azotobacter berfungsi sebagai penambat N2 yang melimpah di atmosfer dan menyediakan nitrogen bagi tanaman, bakteri itu tergolong sebagai bakteri pemacu tumbuh (plant growth promoting rhizobacteria atau yield increasing bacteria) yang mengandung vitamin dan zat pengatur tumbuh seperti IAA, kinetin dan giberelin (Tang et al., 1983: Glick, 1995). Bakteri pelarut fosfat berfungsi dalam melarutkan fosfat yang dalam bentuk terikat menjadi tersedia, meningkatkan fosfat tersedia, memperbaiki
14
BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 1, Januari 2004, hal. 13-16
pertumbuhan tanaman dan meningkatkan efisiensi pemupukan fosfat (Subba-Rao, 1994), dan memiliki kemampuan melarutkan mineral-mineral fosfat melalui sekresi asam organik (Kucey, 1987) dan atau enzim fosfatase (Illmer dan Schiner, 1992). Penggunaan inokulan bakteri pelarut fosfat mampu meningkatkan produksi padi antara 10 sampai 70% dengan peningkatan produksi rata-rata sekitar 28% (Datta et al., 1982). Sedangkan bakteri Pseudomonas berpotensi ekonomis sebagai agen biokontrol (Dupler dan Baker, 1984). Jumlah, jenis, dan aktivitas mikrobia dalam tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tersedianya energi dan sumber hara, kondisi fisik, kimia, serta biologi tanah. Sebaliknya aktivitas mikrobia tanah sangat membantu tersedianya unsur hara yang diperlukan oleh tanaman. Sebagai upaya untuk mengetahui keberadaan bakteri dari tanah tersebut diatas, maka dilakukan inventarisasi dan isolasi bakteri dari tanah tersebut dengan tujuan untuk mengetahui populasi bakteri dari tanah dari berbagai lokasi dan pada perakaran tanaman ladang dan hutan, dengan harapan didapatkan koleksi bakteri dari tanah yang selanjutnya dapat digunakan sebagai inokulan (pupuk hayati) pada daerah tersebut.
BAHAN DAN METODE Pengambilan tanah. Sebanyak 500 g contoh tanah diambil dari kedalaman 0-15 cm secara random pada daerah perakaran suatu tanaman, dimasukkan dalam polybag, kemudian dibawa ke laboratoriun dan disimpan pada suhu 4-8oC. Sebanyak 16 contoh tanah diambil dari daerah perakaran tanaman ladang desa Tudu-Aog pada ketinggian 720 m dpl (di atas permukaan laut), 13 sampel tanah pada daerah perakaran tanaman komersial desa Tudu-Aog pada ketinggian 710 m dpl, dan 17 sampel tanah pada daerah perakaran tanaman obat dari desa Tudu-Aog dan gunung Bugis pada berbagai ketinggian. Isolasi bakteri dari tanah. Isolasi bakteri dengan cara pengenceran dengan menggunakan pelarut NaCl 0,85% dengan seri pengenceran 10-1-10-7. Sampel (100 μl) dituang ke petridish yang telah berisi media YEMA (Yeast Extract Mannitol Agar) (Vincent, 1970) untuk bakteri Rhizobium, Winogradsky,s salt agar (Winogrdsky,s, 1949, dalam Thompson dan Skerman, 1979) untuk bakteri Azotobacter, Picovskaya agar (Sundara-Rao dan Sinha, 1963) untuk bakteri pelarut fosfat, dan selektif Difco Pseudomonas Isolation Agar untuk bakteri Pseudomonas. Sampel diratakan dengan spatula, dan diinkubasikan pada suhu kamar (27-28oC), setiap hari diamati pertumbuhannya dan dihitung jumlah koloninya. Penghitungan jumlah koloni dilakukan dengan metode cawan hitung (plate count) (Lay, 1994).
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil isolasi menunjukkan bahwa populasi bakteri Rhizobium, Azotobacter, bakteri pelarut fosfat dan Pseudomonas bervariasi pada masing-masing contoh tanah yang diamati (Tabel 1., 2. dan 3.). Hasil isolasi bakteri dari tanah di desa Tudu-Aog pada ketinggian 720 m dpl menunjukkan bahwa populasi bakteri Rhizobium tertinggi pada contoh tanah dari perakaran tanaman Alocasia esculenta (27x105 CFU/g tanah) dan terendah pada contoh tanah yang tanpa tanaman (3x105 CFU/g tanah). Populasi bakteri Azotobacter tertinggi pada contoh tanah dari perakaran tanaman Lycopersicum esculantum (38x105 CFU/g tanah) dan terendah pada contoh tanah tanpa tanaman (2x105 CFU/g tanah). Populasi bakteri pelarut fosfat tertinggi dari perakaran tanaman Sechium edule (27x105 CFU/g tanah) dan terendah pada contoh tanah tanpa tanaman (4x105 CFU/g tanah), sedangkan populasi bakteri Pseudomonas tertinggi dari contoh tanah dari perakaran tanaman Oryza sativa (18x105 CFU/g tanah) dan terendah pada contoh tanah tanpa tanaman (1x105 CFU/g tanah) (Tabel 1.). Hasil isolasi bakteri dari tanah di desa Tudu-Aog pada ketinggian 710 m dpl menunjukkan bahwa populasi bakteri Rhizobium tertinggi pada contoh tanah dari perakaran tanaman Theobroma cacao (29x105 CFU/g tanah) dan yang terendah pada contoh tanah yang tanpa tanaman (3x105 CFU/g tanah). Populasi bakteri Azotobacter tertinggi pada contoh tanah dari perakaran tanaman Eugenia aromaticum (43x105 CFU/g tanah) dan terendah pada contoh tanah tanpa tanaman (5x105 CFU/g tanah). Populasi bakteri pelarut fosfat tertinggi pada contoh tanah dari perakaran tanaman Cinnamomum sp. (48x105 CFU/g tanah) dan yang terendah pada contoh tanah tanpa tanaman (2x105 CFU/g tanah), sedangkan populasi bakteri Pseudomonas tertinggi pada contoh tanah dari perakaran tanaman Vanilla sp. (12x105 CFU/g tanah) dan terendah pada contoh tanah tanpa tanaman (2x105 CFU/g tanah) (Tabel 2.). Hasil isolasi bakteri dari tanah di desa Tudu-Aog dan gunung Bugis menunjukkan bahwa populasi bakteri Rhizobium tertinggi pada contoh tanah dari perakaran tanaman Euphorbia paniculata (26x105 CFU/g tanah) dan yang terendah pada contoh tanah yang tanpa tanaman (5x105 CFU/g tanah). untuk populasi bakteri Azotobacter tertinggi pada contoh tanah dari perakaran tanaman Andropogon sp. (34x105 CFU/g tanah) dan terendah pada contoh tanah tanpa tanaman (2x105 CFU/g tanah). Populasi bakteri pelarut fosfat tertinggi pada contoh tanah dari perakaran tanaman Cyathea sp. (72x105 CFU/g tanah) dan terendah pada contoh tanah tanpa tanaman (4x105 CFU/g tanah), sedangkan populasi bakteri Pseudomonas tertinggi pada contoh tanah dari perakaran tanaman Saurauia sp. (19x105 CFU/g tanah) dan terendah pada contoh tanah tanpa tanaman (2x105 CFU/g tanah) (Tabel 3.).
PURWANINGSIH dkk. – Bakteri di Tudu-Aog, Sulawesi Utara
Tabel 1. Populasi bakteri dari tanah pada perakaran tanaman ladang di desa Tudu-Aog, pada ketinggian 720 m dpl. No.
Perakaran tanaman
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Vigna unguiculata Arachis hypogaea Glycine max Vigna sinensis Oryza sativa Solanum melongena Manihot utilissima Capsicum frutescen Zea mays Ipomea batatas Sechium edule Alocasia esculenta Lycopersicum esculantum Monordica charantia Carica papaya Tanpa tanaman
5 Populasi bakteri dari tanah (x10 CFU/g tanah) Rhizobium Azotobacter Bakteri pelarut fosfat Pseudomonas 12 11 12 3 7 5 9 5 11 12 17 6 9 13 13 8 4 9 5 18 5 4 7 9 9 5 4 6 6 13 11 13 11 25 7 11 16 11 21 9 14 10 27 7 27 31 21 16 22 38 26 2 24 5 24 4 12 17 10 5 3 2 4 1
Tabel 2. Populasi bakteri dari tanah pada perakaran tanaman komersial di desa Tudu-Aog, pada ketinggian 710 m dpl. No.
Perakaran tanaman
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Pometia pinnata Aleurites molucana Coffea arabica Theobroma cacao Eugenia arimaticum Garcinia mangostana Cinnamomum sp. Nephelium lappaceum Vanilla sp. Lansium domesticum Ananas comosus Myristica fragan Tanpa tanaman
Populasi bakteri dari tanah (x105 CFU/g tanah) Rhizobium Azotobacter Bakteri pelarut fosfat Pseudomonas 6 22 19 5 7 42 41 6 4 21 11 3 29 17 8 9 5 43 44 10 7 6 19 3 9 23 48 7 11 14 27 4 21 7 16 12 8 10 27 8 16 9 13 9 8 11 3 6 3 5 2 2
Tabel 3. Populasi bakteri dari tanah pada perakaran tanaman obat dari gunung Bugis dan desa Tudu-Aog. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Perakaran tanaman Magnolia sp. Cyathea sp. Quercus sp. Cempaka kuning Suku Liliaceae Agathis celebica Caryota sp. Saurauia sp. Magnolia sp. Suku Clusiaceae Suku Euphorbiaceae Mallotus sp. Andropogon sp. Coleus aromaticus Euphorbia paniculata Crotalaria sp. Tanpa tanaman
Populasi bakteri dari tanah (x105 CFU/g tanah) Rhizobium Azotobacter Bakteri pelarut fosfat Pseudomonas 12 8 26 4 9 9 72 9 8 5 14 6 10 5 28 5 14 11 63 10 16 4 5 7 8 3 13 8 9 7 14 19 6 9 8 11 7 11 9 15 7 19 12 5 8 34 7 7 26 21 5 11 8 11 16 16 12 9 13 4 12 4 6 2 5 2 4 1
15
16
BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 1, Januari 2004, hal. 13-16
Populasi bakteri di daerah perakaran tanaman lebih banyak dibandingkan populasi di daerah tanpa perakaran tanaman. Hal ini dikarenakan perkembangan mikrobia dipengaruhi oleh aktivitas metabolisme akar tanaman. Akar tanaman melakukan aktivitas metabolisme sehingga mengeluarkan senyawa metabolit yang disebut eksudat ke dalam tanah. Eksudat tersebut dimanfaatkan bakteri didalam tanah, sehingga bakteri tersebut dapat bertahan hidup dan memperbanyak diri. Oleh karena itu populasi bakteri di daerah perakaran tanaman lebih banyak dibandingkan di daerah tanpa perakaran tanaman. Gibson (1981) menyatakan bahwa aktivitas metabolisme dan senyawa metabolit yang dilepaskan oleh tanaman melalui akar, merupakan faktor penentu keadaan mikrobiologi tanah di daerah perakaran tanaman. Waksman (1952) menambahkan bahwa eksudat terdiri dari senyawa-senyawa gula, asam amino, asam organik, glikosida, senyawa nukleotida dan basanya, enzim, vitamin dan senyawa indol. Selain itu faktor kesuburan tanah, reaksi tanah (pH), ketersediaan energi dan sumber hara, serta kondisi fisik, kimia dan biologi lingkungan sangat pempengaruhi populasi mikrobia didalam tanah (Hoffman, 1914 dalam Waksman, 1952). Perbedaan populasi antar marga dan spesies tanaman tersebut mungkin disebabkan perbedaan aktivitas metabolisme akar, sehingga menyebabkan perbedaan komposisi eksudat yang akan menentukan populasi pada daerah perakaran. Hasil penelitian Stolassa dan Ernest (1905, dalam Waksman, 1952) menyebutkan bahwa populasi bakteri pada daerah perakaran tanaman semanggi jauh lebih banyak dari pada tanaman biji-bijian. Satu gram tanah dari daerah perakaran tanaman semanggi mengandung 7-8x106 bakteri, tanaman Barley mengandung 5-6x106 bakteri dan tanaman gula beet 1-2x106 bakteri.
KESIMPULAN Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa populasi bakteri dari tanah pada perakaran tanaman lebih banyak dibandingkan pada contoh tanah tanpa tanaman. Populasi bakteri Rhizobium tertinggi pada perakaran tanaman Alocasia esculenta (27x105 CFU/g tanah), Theobroma cacao (29x105 CFU/g
tanah), dan Euphorbia paniculata (26x105 CFU/g tanah), bakteri Azotobacter pada perakaran tanaman Lycopersicum esculantum (38x105 CFU/g tanah), Eugenia aromaticum (43x105 CFU/g tanah), Andropogon sp. (34x105 CFU/g tanah), bakteri pelarut fosfat pada perakaran tanaman Sechium edule (27x105 CFU/g tanah), Cinnamomum sp. (48x105 CFU/g tanah), Cyathea sp. (72x105 CFU/g tanah), dan bakteri Pseudomonas pada perakaran tanaman Oryza sativa (18x105 CFU/g tanah), Vanilla sp. (12x105 CFU/g tanah), dan Saurauia sp. (19x105 CFU/g tanah).
DAFTAR PUSTAKA Alexander, M. 1977. Soil Microbiology. 2nd edition. New York: John Wiley and Sons. Inc. Allen, O.N. and E.K. Allen. 1981. The Leguminosae. Madison: The University of Winconsin Press. Datta, M., S. Banik, and R.K. Gupta. 1982. Studies on the efficiency of phytohormone producing fosfate solubilizing Bacillus firmus in augmenting paddy yield in acid soil of Nagaland. Plant and Soil 69: 365-373. Dupler, M. and Baker. 1984. Survival of Pseudomonas putida, a biological control agent in soil. Phytopathology 74(2): 195-200. Gibson, A.H. 1981. Current perspectives in nitrogen fixation. Proceeding of the fourth International Symposium on Nitrogen Fixation. Australian Academic of Science. Glick, B.R. 1995. The enhancement of plant growth by free-living bacteria. Canadian Journal of Microbiology 41: 109-117. Illmer,P and F. Schiner. 1992. Solubilization of organic fosfate by mocroorganism isolated from forest soils. Soil Biology and Biochemistry 24: 38395. Kucey, R.M.N. 1987. Increased phosphorus uptake by wheat and field beans and with vesicular-arbuscular mycorrhizal fungi. Applied and Environmental Microbiology 53: 2699-2703. Lay, B.W. 1994. Analisis Mikroorganisme di Laboratorium. Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada. Subba-Rao, N.S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Sundara-Rao, W.V. and W.K. Sinha. 1963. Fosfate dissolving microorganism in the soil and rhizosphere. Indian Journal of Agricultural Science 33: 272-278. Tang, W., J.J. Pasternak, and B.R. Glick. 1994. Stimulation of canola root growth by Pseudomonas putida GR 12-2 and its genetically engineer derivates. Life Science Advance 13: 8995. Thompson, J.P. and V.B.D. Skerman. 1979. Azotobacteriaceae: The Taxonomy and Ecology of the Aerobic Nitrogen-Fixing Bacteria. London: Academic Press. Vincent, J.M. 1970. A Manual of the Practical Study of the Root Nodule Bacteria. Handbook No. 15. London: International Biological Programme. Waksman, S.A. 1952. Soil Microbiology. New York: John Willey and Sons.
BIODIVERSITAS Volume 5, Nomor 1 Halaman: 17-22
ISSN: 1412-033X Januari 2004
Dispersi Asosiasi dan Status Populasi Tumbuhan Terancam Punah di Zona Submontana dan Montana Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango Dispersion pattern interspecific association and population status of threatened plants on submontane and montane zones of Mount Gede-Pangrango National Park WIHERMANTO♥ Pusat Konservasi Tumbuhan – Kebun Raya Bogor, Bogor 16003. Diterima: 7 Nopember 2003. Disetujui: 15 Desember 2003.
ABSTRACT The Mount Gede-Pangrango National Park has an attractive landscape view of mount summits with its crater, genuine flora and fauna of tropical rainforest, and a mild weather. Exploitation is forbidden in the area, but in reality encroachments occur, which will lead to changes in plant population status, particularly for threatened species. The aims of the research were investigate the populations status, dispersion pattern and possible interspecific associations of threatened plant species occurred in the sub montane and montane zones of the Mount Gede-Pangrango National Park. Most of the threatened species occurred in the park had clumped distributions and only one of those showed a regular dispersion, namely Symplocos costata. It should be realized that populations with a clumped dispersion tend to provide over or under estimation of abundance, indicating the need for a larger sampling unit to cover. Based on the association tests conducted, three species (Antidesma tetrandrum, Pinanga coronata, and Castanopsis javanica) were significantly associated with Saurauia bracteosa, while Altingia excelsa and A. tetrandrum with Symplocos costata, as they had association indices more 0.3 using Jaccard Index. Pinanga coronata seems to be relatively closely associated with Saurauia cauliflora, Altingia excelsa with S. bracteosa, and Castanopsis javanica with S. costata. In contrast, Pinanga javana, Calamus adspersus, and Rhododendron album had low degrees of association, indicating their low abundance and co-occurrence with other species. Seven species of threatened plants were recorded in the Mount Gede-Pangrango: 5 of which had been proposed to change in their status. They were Calamus adspersus from vulnerable (V) changed into vulnerable (V UD2)., Lithocarpus indutus from vulnerable changed into critically endangered, Pinanga javana from endangered changed into vulnerable, Rhododendron album from vulnerable changed into endangered, and Saurauia bracteosa from vulnerable changed into endangered. © 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: dispersion pattern, interspecific association, population status, threatened plants, Gede-Pangrango National Park
PENDAHULUAN Tumbuhan langka Indonesia adalah tumbuhan asli Indonesia yang takson atau populasi taksonnya cenderung berkurang, baik dalam jumlah individu, populasi maupun keanekaragaman genetisnya, sehingga jika tidak dilakukan usaha pelestarian yang cukup berarti maka akan punah dalam waktu singkat (Mogea dkk., 2001). Dalam Whitten (1994), disebutkan bahwa jumlah total tumbuhan yang teridentifikasi di pulau Jawa adalah 4.101 jenis dari jumlah tersebut 285 jenis merupakan endemik pulau Jawa. Kemudian menurut Steenis (1972) dan Hilton-
♥ Alamat korespondensi: Jl.Ir. H.Juanda 13, Bogor 16003 Tel. +62-251-352519. Fax.: +62-251-322187 e-mail:
[email protected],
[email protected]
Taylor (2000), menyebutkan bahwa pada zona submontana dan montana pegunungan di Pulau Jawa dijumpai jenis-jenis tumbuhan langka (terancam kepunahan), antara lain Calamus adspersus Bl., Pinanga javana Bl. (Arecaceae), Lithocarpus indutus (Bl.) Rehd (Fagaceae), Rhododendron album Bl. (Ericaceae), Saurauia bracteosa DC., S. cauliflora DC (Saurauiaceae), dan Symplocos costata (Bl.) Choisy (Symplocaceae). Penurunan populasi suatu jenis di ekosistemnya dapat menjadi indikasi bahwa keseimbangan ekosistem di daerah tersebut mulai terganggu, untuk itu diperlukan pengkajian, penelitian dan pengembangan terhadap tumbuhan endemik terutama yang terancam punah. Konservasi secara in-situ maupun ex situ sangat diperlukan untuk jenis-jenis demikian. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan, menyusun, mengidentifikasi, dan menginventarisasi data populasi tumbuhan terancam kepunahan di zona
B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 1, Januari 2004, hal. 17-22
18
submontana dan montana Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk membangun strategi konservasi.
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan pada bulan April s.d. Juni 2002 di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGP). Penelitian dilakukan dengan sampling vegetasi menggunakan metode systematic parallel lines (transek). Transek dibuat di wilayah Subseksi Gunung Putri, Kabupaten Cianjur, Subseksi Bodogol, Kabupaten Bogor, dan Subseksi Selabintana, Kabupaten Sukabumi. Transek ditentukan dengan menyusuri jalan setapak dan membuat jalan rintisan (sebagai sumbu), kemudian transek-transek tersebut dibuat sejajar di sebelah kiri dan kanan sumbu, berjarak 5-10 m dari jalan setapak. Transek berukuran panjang 100 m dan lebar 10 m. Kemudian di dalam transek tersebut dibuat petak bujur sangkar dengan ukuran 10x10 m (Gambar 1.).
transek
Analisis data dengan menghitung kerapatan, dominansi, frekuensi, dan nilai penting masingmasing jenis pohon. Kerapatan, dominansi frekuensi dan nilai penting akan dianalisis dengan menggunakan Formula Cox (Phillips, 1959). Nilai penting dalam % suatu jenis = NP (%) = KR (%) + DR (%) + FR (%). Pola dispersi digunakan untuk mengetahui pola penyebaran jenis tumbuhan yang termasuk terancam kepunahan (langka). Penentuan kategori tumbuhan terancam kepunahan dapat diperoleh dengan cara menghitung pola dispersi dengan menggunakan hukum kepangkatan Taylor (Philips, 1959) dan menggabungkan dengan luas basal area dan nilai INP setiap jenis, kemudian nilai tersebut diacukan dengan aturan yang tertulis dalam Hilton-Taylor (2000). Pola dispersi dengan menggunakan kepangkatan Taylor (Philips, 1959): 2
2
2
2
n ( log x ) ( Log S ) - ( log x ) ( log S ) b= 2
2 2
n ( log x) - ( log x )
Keterangan: n = jumlah lokasi pengamatan b = pola dispersi (penyebaran) x = jumlah rata-rata jenis S = nilai varians seluruh jenis Untuk mengetahui bahwa dua jenis berasosiasi maka digunakan metode tabel contingency 2x2, kemudian diuji dengan chi-square (x2).
100 m
Jenis A
Jarak antar transek
10 m
10 m
≥ 10 m
Gambar 1. Pola sampling vegetasi dengan metode “systematic parallel lines” (Widyatmoko, 2001).
Obyek yang diamati mencakup pohon (diameter < 10 cm) dan anak pohon (diameter 2,5-5 cm), diameter batang setinggi dada (± 130 cm di atas tanah) atau 20 cm di atas titik awal banir. Alat yang digunakan meliputi: altimeter, kompas, diameter tape, global positioning system (GPS), gunting tanaman, label herbarium, plastik herbarium, kertas koran, dan alkohol 70 %. Variabel yang diukur yaitu jumlah jenis tumbuhan, jumlah individu tumbuhan, dan diameter batang anak pohon dan pohon, khususnya jenis yang masuk dalam kategori terancam punah menurut HiltonTaylor (2000), dibuat herbariumnya dan diidentifikasi di Herbarium Bogoriense dan Kebun Raya Cibodas.
Ada Tidak ada Jumlah
Ada a c a+c
Jenis B Tidak ada b d b+d
Jumlah a+b c+d a+b+c+d=n
Keterangan: a = jumlah sampling dengan kedua jenis hadir. b = jenis A hadir dan B tidak hadir. c = jenis A tidak hadir dan B hadir. d = jenis A dan B tidak hadir. n = jumlah sampling keseluruhan.
[b − E(b) ] 2 + [c − E(c) ] 2 + [d − E(d) ] 2 + E(a) E(b) E(c) E(d) (a + b) x (a + c) (a + b) x (b + d) E(a) = ....E(b) = n n (a + c) x (c + d) (b + d) x (c + d) E(c) = ......E(d) = n n Uji x 2 =
[a - E(a) ] 2
Selanjutnya diuji indeks Jaccard, yaitu:
a . a + b +c
Tipe asosiasi positif jika nilai a > E(a) dan negatif jika a < E(a). Berasosiasi atau tidak jika nilai x2 test < x tabel, dimana x tabel adalah 3,84. Uji indeks Jaccard menyatakan tingkatan asosiasi, semakin mendekati nilai 1, maka asosiasi semakin maksimum (Ludwig dan Reynold, 1988).
WIHERMANTO – Tumbuhan langka di TN Gunung Gede-Pangrango
HASIL DAN PEMBAHASAN Pola dispersi Dari hasil perhitungan kepangkatan Taylor dapat diketahui pola dispersi tujuh jenis terancam punah seperti disajikan pada Tabel 1. Penentuan pola dispersi berkaitan dengan daerah penyebaran suatu jenis di daerah keberadaan, sangat relevan dihubungkan dengan jenis terancam kepunahan, karena dari tujuh jenis terancam kepunahan menunjukkan pola sebaran kelompok dan acak. Hal ini sesuai dengan Hilton-Taylor (2000) yang menyatakan bahwa fragmentasi berat yang mendorong kepunahan suatu taksa terjadi karena kebanyakan individu berada dalam kelompok kecil yang terpisah-pisah dan/atau relatif terisolasi. Kelompok-kelompok kecil ini dapat punah dengan berkurangnya kesempatan untuk bergabung kembali.
Tabel 1. Jenis tumbuhan terancam punah di TNGP. Basal area INP (%) 2 (m ) 1 2,09 (kelompok) 0.01 0.2 Rhododendron album 2 1,46 (kelompok) 0.37 0.3 Saurauia bracteosa 3 3,00 (kelompok) 1.42 1.5 Calamus adpersus 4 3,07 (kelompok) 3.94 1.8 Saurauia cauliflora 5 0,07 (acak) 0.53 1.9 Symplocos costata 6 1,67 (kelompok) 6.76 2.1 Pinanga javana 7 27.24 4.6 Lithocarpus indutus 3,75 (kelompok) Keterangan: b < 0, pola dispersi teratur (reguler), b = 1, pola dispersi acak, b > 1, pola dispersi kelompok. Luas basal area = luas daerah yang ditempati (area of occupancy) suatu jenis, INP (%) = nilai indeks penting suatu jenis. No.
Jenis
Pola dispersi (b)
Tabel 2. Asosiasi tujuh jenis terancam punah dengan pasangannya di TNGP. No 1
2
3
Pola asosiasi Dari hasil perhitungan tabel contingency 2x2, maka dapat diketahui tumbuhan yang termasuk kategori langka (terancam kepunahan) dengan tumbuhan asosiasinya sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Jadi bila nilai x2 test lebih besar dari 3,84 maka jenis tumbuhan tersebut dinyatakan berasosiasi dengan pasangan tumbuhan yang diuji, artinya kemungkinan untuk tumbuh hidup bersama-sama lebih besar daripada tidak dengan pasangan tumbuhan tersebut begitu juga sebaliknya. Setelah tumbuhan dikategorikan bertipe asosiasi positif atau berasosiasi negatif, kemudian tingkat asosiasi diuji dengan indeks Jaccard yang mempunyai arti bahwa semakin mendekati angka 1, maka tingkat asosiasi mendekati maksimum atau asosiasi penuh, begitu juga sebaliknya semakin menjauhi angka 1 semakin kecil tingkat asosiasinya, bahkan berasosiasi negatif dan tidak berasosiasi. Dari hasil pengamatan di lapangan
19
4
5
6
7
Jenis Calamus adspersus
Pasangan jenis
Antidesma tetrandrum Turpinia sphaerocarpa Villebrunea rubescens Schima wallichii Ficus ribes Lithocarpus Turpinia sphaerocarpa Altingia excelsa indutus Dacrycarpus imbricatus Castanopsis javanica Pinanga Turpinia sphaerocarpa javana Macropanax dispermum Dacrycarpus imbricatus Engelhardia spicata Rhododendron Dacrycarpus imbricatus Polyosma ilicifolia album Elaeocarpus obtusus Cyathea latebrosa Castanopsis javanica Turpinia sphaerocarpa Pinanga coronata Saurauia Antidesma tetrandrum bracteosa Pinanga coronata Castanopsis javanica Macropanax dispermum Altingia excelsa Villebrunea rubescens Ficus ribes Polyosma ilicifolia Saurauia Pinanga coronata cauliflora Villebrunea rubescens Castanopsis javanica Antidesma tetrandrum Macropanax dispermum Ficus ribes Altingia excelsa Turpinia sphaerocarpa Symplocos Altingia excelsa Antidesma tetrandrum costata Castanopsis javanica Pinanga coronata Achronychia laurifolia Ficus ribes Elaeocarpus obtusus Macropanax dispermum Villebrunea rubescens Turpinia sphaerocarpa
Tipe Tingkat Asosiasi Chisquare asosiasi asosiasi / tidak 8.40 + 0.14 Asosiasi 5.54 + 0.10 Asosiasi 4.02 + 0.09 Asosiasi 5.26 + 0.07 Asosiasi 0.03 + 0.03 Tidak 11.52 + 0.20 Asosiasi 4.44 + 0.14 Asosiasi 2.97 + 0.13 Tidak 2.49 0.11 Tidak 11.52 + 0.20 Asosiasi 6.19 + 0.14 Asosiasi 2.97 + 0.12 Tidak 0.003 0.05 Tidak 14.09 + 0.12 Asosiasi 11.02 + 0.10 Asosiasi 5.36 + 0.09 Asosiasi 5.36 + 0.09 Asosiasi 5.36 + 0.09 Asosiasi 8.51 + 0.07 Asosiasi 1.05 + 0.03 Tidak 34.98 + 0.42 Asosiasi 40.03 + 0.41 Asosiasi 38.21 + 0.37 Asosiasi 22.67 + 0.27 Asosiasi 16.87 + 0.23 Asosiasi 12.67 + 0.23 Asosiasi 11.53 + 0.16 Asosiasi 11.02 + 0.09 Asosiasi 23.67 + 0.28 Asosiasi 12.67 + 0.23 Asosiasi 18.65 + 0.23 Asosiasi 12.99 + 0.21 Asosiasi 11.38 + 0.20 Asosiasi 10.90 + 0.17 Asosiasi 4.10 + 0.11 Asosiasi 0.38 + 0.05 Tidak 37.63 + 0.38 Asosiasi 25.27 + 0.31 Asosiasi 18.65 + 0.23 Asosiasi 16.83 + 0.22 Asosiasi 11.22 + 0.20 Asosiasi 10.90 + 0.17 Asosiasi 4.13 + 0.10 Asosiasi 1.81 + 0.08 Tidak 1.29 + 0.06 Tidak 0.38 + 0.05 Tidak
20
B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 1, Januari 2004, hal. 17-22
diketahui bahwa C. adspersus bersasosiasi dengan A. tetrandrum karena C. adspersus mempunyai ciri tumbuh memanjat dengan bantuan sulur yang berkait ke batang tumbuhan lain, sedangkan A. tetrandrum mempunyai ciri percabangan yang mudah dijangkau C. adspersus, namun demikian C. adspersus tidak berasosiasi dengan F. ribes, karena percabangan F. ribes jauh dari permukaan tanah dan permukaan kulit yang agak licin sehingga C. adspersus kesulitan untuk memanjat batang pohon tersebut. R. album mempunyai ciri tumbuh epifit, adapun D. imbricatus memiliki batang dengan kulit yang tipis dan pecah-pecah sehingga sangat ideal bagi R. album untuk melekat karena akarnya dapat menempel dengan kuat dan tersedianya sumber makanan di kulit batang tersebut, sebaliknya R. album tidak berasosiasi dengan P. coronata, karena batang P. coronata berkulit sangat licin dan keras, sehingga menyulitkan R. album untuk menempel dan tumbuh. Jenis-jenis yang lain seperti Pinanga javana, Lithocarpus indutus, Saurauia cauliflora, dan Symplocos costata tidak berasosiasi dengan M. dispermum, dan E. spicata karena jenis-jenis tersebut mengandung cukup banyak tanin dan saponin (Heyne, 1987). Dalam Santosa dan Wijayani (1993) dan Agusta dkk. (1993) disebutkan bahwa tanaman yang mengandung zat alelopati dapat menghambat perkembangan tumbuhan lain, sedangkan tanin dan saponin yang berlebihan dapat menjadi zat alelopati bagi jenis lain. Tanin juga sangat menghambat perkembanan mikoriza dan Rhizobium pada akar tanaman. P. javana, L. indutus, S. cauliflora, dan S. costata berasosiasi dengan T. sphaerocarpa, A. tetrandrum, C. javanica, dan A. excelsa karena diantara kedua jenis tersebut saling memberikan keuntungan dengan terbentuknya bintil akar dan mikoriza. Menurut Sutarno (1997) dan Hidayat (1995) di antara kedua jenis yang berasosiasi terjadi mekanisme saling membantu dalam pemberian nutrisi, karena terbentuknya bintil akar (Rhizobium) dan mikoriza yang berperan menyediakan unsur N bagi jenis-jenis tersebut.
Status populasi Dari hasil pengamatan didapatkan tujuh jenis yang termasuk dalam kategori terancam kepunahan (langka) yaitu: Calamus adpersus Bl., Lithocarpus indutus (Bl.) Rehd., Pinanga javana Bl., Rhododendron album Bl., Saurauia bracteosa DC., Saurauia cauliflora DC., dan Symplocos costata (Bl.) Choisy. Status kelangkaan mengacu pada Groombridge dan Jenkins (2000), serta Hilton-Taylor (2000) (Tabel 3.). Calamus adpersus Bl. Sinonim: Daemonorops adpersus Bl. var. oblongus (1908). Nama daerah: rotan gagas (Ind.), howe leuleus, howe bogo (Sunda), penjalin empang, penjalin pang, penjalin wuluh, penjalin ayam, penjalin ragas, penjalin cacing (Jawa).
Tabel 3. Daftar tujuh jenis tumbuhan langka pada zona submontana dan montana di TNGP. No. 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Calamus adspersus Pinanga javana Lithocarpus indutus Rhododendron album Saurauia bracteosa Saurauia cauliflora Symplocos costata
Kategori vulnerable (V; rawan) endangered (E; genting) vulnerable (VU B1+2c) vulnerable (VU B1+2c) vulnerable (VU B1+2c) vulnerable (VU B1+2c) vulnerable (VU B1+2c)
Sumber [1] [1] [2] [2] [2] [2] [2]
Keterangan: [1] Groombridge dan Jenkins (2000), [2] HiltonTaylor (2000).
Di TNGP, Calamus adpersus hidup berkelompok di titik 06°45.015’LS dan 107°00.184’BT. Jenis ini semula termasuk dalam kategori rawan, V (Groombridge dan Jenkins, 2000), namun dari hasil penelitian jenis ini kemungkinan termasuk dalam kategori rawan, VUD2. Hal ini dikaitkan dengan luas basal area 1,04 m2, maka jika dikonversikan dalam luas TNGP 15,196 Ha, menjadi 3,160 m2. Hal ini sesuai dengan ciri tumbuhan terancam kepunahan menurut IUCN Red List dalam Hilton-Taylor (2000), yang menyatakan bahwa suatu taksa dikategorikan VU (rawan) jika taksa tersebut tidak termasuk kategori CR (kritis) atau EN (genting), tetapi mengalami resiko kepunahan yang tinggi di alam dalam waktu dekat, populasi berjumlah sangat kecil atau terbatas, dan populasi dicirikan oleh terbatasnya daerah yang ditempati, yakni kurang dari 100 km2. Lithocarpus indutus (Bl.) Rehd. Sinonim: Quercus induta Bl. (Backer et Bakh. v.d. Brink, 1965). Nama daerah: pasang bodas, pasang batu (Sunda). Di TNGP, Lithocarpus indutus hidup berkelompok di titik 06°44.466’LS dan 107°00.130’BT pada ketinggian 1000-1500 m dpl. Jenis ini semula termasuk dalam kategori rawan, VUB1+2c, (HiltonTaylor, 2000), namun dari hasil penelitian jenis ini kemungkinan termasuk dalam kategori kritis, CR A2b,c. Hal ini dikaitkan dengan jumlah individu 36 dalam 50.000 m2, maka kalau dikonversikan dalam luas TNGP menjadi 100.000 individu. Adapun luas basal areanya 27,2449 m2 jika dikonversikan dengan daerah yang ditempati menjadi 82.802,7 m2. Dari nilai INP yang diperoleh yaitu 4,6% menunjukkan adanya penurunan jumlah individu sebanyak 75%. Hal ini sesuai dengan ciri tumbuhan terancam kepunahan menurut Hilton-Taylor (2000), yang menyatakan bahwa suatu taksa dikategorikan CR (kritis) jika taksa tersebut mengalami resiko kepunahan yang tinggi di alam dalam waktu yang sangat dekat, diduga akan terjadi penurunan sedikitnya 80%, diduga akan dijumpai dalam 10 tahun terakhir atau 3 generasi, nilai indeks kelimpahan taksa tersebut, penurunan daerah yang ditempati, dengan pola dispersi kelompok.
WIHERMANTO – Tumbuhan langka di TN Gunung Gede-Pangrango
Pinanga javana Bl. Nama daerah: pinang jawa (Indonesia). Di TNGP, Pinanga javana ditemukan hidup dengan pola dispersi kelompok di titik 06°44.466’LS dan 107°00.130’BT, pada ketinggian 1421 – 1153 m dpl.. Jenis ini semula termasuk dalam kategori genting, EN (Groombridge dan Jenkins, 2000), namun dari hasil penelitian jenis ini kemungkinan termasuk dalam kategori rawan, VUB2a,b. Hal ini dikaitkan dengan jumlah individu 34 dalam 50.000 m2 maka jika dikonversikan dalan luas TNGP menjadi 100.000 individu, kemudian berdasarkan luas basal area sebesar 6,765449 m2 jika dikonversikan dengan daerah yang ditempati menjadi 20.561,5 m2. Hal ini sesuai dengan ciri tumbuhan terancam kepunahan menurut Hilton-Taylor (2000), yang menyatakan bahwa suatu taksa dikategorikan VU (rawan) jika taksa tersebut tidak termasuk kategori CR (kritis) atau EN (genting), tetapi mengalami resiko kepunahan yang tinggi di alam dalam waktu dekat, luas daerah keberadaan (extent of occurrence) diperkirakan kurang dari 20.000 km2 atau daerah yang ditempati (area of occupancy) diperkirakan kurang dari 2000 km2, setelah diamati mengalami laju penurunan terus menerus dengan luas daerah keberadaan, dan daerah yang ditempati, dengan pola dispersi kelompok. Rhododendron album Bl. Nama daerah: cantigi koneng (Sunda). Di TNGP, Rhododendron album hidup berkelompok di titik 06°45.378’LS dan 106°59.229’BT pada ketinggian 1840-2188 m dpl. Jenis ini semula termasuk dalam kategori rawan, VUB1+2c (HiltonTaylor, 2000). Dari hasil penelitian, kemungkinan jenis ini termasuk dalam kategori genting, ENB1+2a,b. Hal ini dikaitkan dengan jumlah individu sebanyak dua dalam 50.000 m2, sehingga jika dikonversikan ke dalam luas TNGP menjadi 6.000 individu, sedangkan luas basal areanya 0,008431 m2 sehingga jika dikonversikan dengan luas daerah yang ditempati menjadi 25 m2. Hal ini sesuai dengan ciri tumbuhan terancam kepunahan, menurut HiltonTaylor (2000) suatu taksa dikategorikan EN (genting) jika taksa tersebut tidak termasuk dalam kategori CR (kritis) tetapi mengalami resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dalam waktu dekat, luas daerah keberadaan diperkirakan kurang dari 5000 km2 atau daerah yang ditempati diperkirakan kurang dari 500 km2, dan dari perkiraan menunjukkan fragmentasi berat atau diketahui berada pada tidak lebih dari 5 lokasi, setelah diamati jenis ini mengalami laju penurunan terus-menerus, begitu pula luas daerah keberadaan dan daerah yang ditempati, dengan pola dispersi kelompok. Saurauia bracteosa D.C. Sinonim: Saurauja bracteosa DC. (Koord., 1923). Nama daerah: ki leho (Sunda), lotrok (Jawa).
21
Di TNGP, Saurauia bracteosa tumbuh dengan pola dispersi kelompok di titik 06°44.466’LS dan 107°00.130’BT, pada ketinggian 1421 m dpl. Jenis ini semula termasuk dalam kategori rawan, VUB1+2c, (Hilton-Taylor, 2000), namun dari hasil penelitian jenis ini kemungkinan termasuk dalam kategori genting, ENB1+2a,b. Hal ini dikaitkan dengan jumlahnya yang hanya enam individu dalam area seluas 50.000 m2, maka jika dikonversikan dalam luas TNGP menjadi 20.000 individu, sedangkan luas basal areanya 0,366721 m2, jika dikonversikan dengan daerah yang ditempati menjadi 1000 m2. Hal ini sesuai dengan ciri tumbuhan terancam kepunahan, menurut HiltonTaylor (2000) suatu taksa dikategorikan EN (genting) jika taksa tersebut tidak termasuk dalam kategori CR (kritis), tetapi mengalami resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dalam waktu dekat, luas daerah keberadaan diperkirakan kurang dari 5000 km2 atau daerah yang ditempati diperkirakan kurang dari 500 km2, dan dari perkiraan mengalami fragmentasi berat atau diketahui berada pada tidak lebih dari 5 lokasi, setelah diamati mengalami laju penurunan terusmenerus, dengan pola dispersi kelompok. Saurauia cauliflora D.C. Nama daerah: ki leho beureum (Sunda). Di TNGP, Saurauia cauliflora hidup dengan pola dispersi kelompok di titik 06°44.466’LS dan 107°00.130’BT, pada ketinggian 1200-1421 m dpl. Jenis ini masih tetap termasuk dalam kategori rawan, VUB1+2c (Hilton-Taylor, 2000), karena dari hasil penelitian jenis ini mempunyai ciri yang sama dengan kategori IUCN Red List dalam Hilton Taylor (2000), dinyatakan kategori ini diterapkan pada takson yang tidak termasuk kategori kritis (CR) atau genting (EN), namun mengalami resiko kepunahan yang tinggi di alam dalam waktu dekat. Luas wilayah keberadaan populasi atau taksonnya diperkirakan kurang dari 20.000 km2 atau wilayah yang ditempatinya diperkirakan kurang dari 2000 km2, atau keadaan populasinya diperkirakan mengalami fragmentasi berat atau diketahui hanya tidak lebih dari 10 lokasi. Berdasarkan pengamatan diduga populasi takson ini berkurang secara terus-menerus dengan luas, wilayah keberadaan dan atau kualitas habitat yang menurun, pola dispersi kelompok. Symplocos costata (Bl.) Choisy Nama daerah: ki gledog (Sunda). Di TNGP, Symplocos costata hidup dengan pola dispersi acak di titik 06°44.466’LS dan 107°00.130’BT, pada ketinggian 1000-1421 m dpl. Jenis ini masih tetap termasuk dalam kategori rawan, VUB1+2c (Hilton-Taylor, 2000), karena dari hasil penelitian jenis ini mempunyai ciri yang sama dengan kategori tersebut. Kategori rawan diterapkan pada takson yang tidak termasuk kategori kritis (CR) atau genting (EN), namun mengalami resiko kepunahan yang tinggi di alam dalam waktu dekat. Luas wilayah keberadaannya diperkirakan kurang dari 20.000 km2
22
B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 1, Januari 2004, hal. 17-22
atau wilayah yang ditempatinya diperkirakan kurang dari 2000 km2, atau keadaan populasinya diperkirakan mengalami fragmentasi berat atau diketahui berada tidak lebih dari 10 lokasi. Berdasarkan pengamatan diduga populasi takson ini berkurang secara terus-menerus dengan luas wilayah keberadaan dan/atau kualitas habitat yang menurun.
album dari rawan menjadi genting luas daerah yang ditempati. TNGP sebagai taman nasional tertua dan terkaya keanekaragaman jenisnya di Indonesia perlu ditingkatkan pengelolaannya untuk menjaga agar jenis-jenis yang langka dapat bertahan hidup, sehingga hutan sebagai habitat jenis-jenis tumbuhan dan hewan tetap dapat lestari.
KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA Di zona submontana dan montana TNGP terdapat tujuh jenis tumbuhan langka yaitu: Calamus adspersus, Lithocarpus indutus, Pinanga javana, Rhododendron album, Saurauia bracteosa, dan Saurauia cauliflora yang memiliki pola dispersi kelompok, serta Symplocos costata yang memiliki pola dispersi acak. Tumbuhan berasosiasai adalah Calamus adspersus dengan Antidesma tetrandrum Turpinia sphaerocarpa, Villebrunea rubescens dan Schima wallichii. Lithocarpus indutus dengan Turpinia sphaerocarpa dan Altingia excelsa. Pinanga javana dengan Tupinia sphaerocarpa dan Macropanax dispermum. Rhododendron album dengan Dacrycarpus imbricatus, Polyosma ilicifolia, Elaeocarpus obtusus, Cyathea latebrosa. Saurauia bracteosa dengan Antidesma tetrandrum, Pinanga coronata, Castanopsis javanica, Altingia excelsa. Saurauia cauliflora dengan Pinanga coronata, Castanopsis javanica, Antidesma tetrandrum, dan Ficus ribes. Symplocos costata dengan Altingia excelsa,Castanopsis javanica, Achronychia laurifolia, dan Elaeocarpus obtusus. Kemungkinan terjadi perubahan status kelangkaan tumbuh-tumbuhan di kawasan TNGP yaitu, Calamus adspersus berubah statusnya dari rawan (V) menjadi rawan luas daerah yang ditempati. Lithocarpus indutus dari rawan menjadi kritis penurunan kelimpahan. Pinanga javana dari genting menjadi rawan luas daerah yang ditempati. Rhododendron
Agusta, A., Y. Jamal, dan G. Semiadi, 1993. Senyawa alelopati yang terkandung pada batang dan akar Chromolaena odorata (L.) R.M. King & H. Robinson. Agrijournal 4 (1): 30-34. Groombridge, B. and M.D. Jenkins. 2000. World Conservation Monitoring Centre, Global Biodiversity: Earth’s living resources in the 21st Century. Cambridge: World Conservation Press. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya. Hidayat, E.B. 1995. Anatomi Tumbuhan Berbiji. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Hilton-Taylor, C. 2000. The IUCN Species Survival Commission, 2000 IUCN Red List of Threatened Species. Cambridge: IUCN Publications Services Unit 219c Huntingdon Road. Ludwig, J.A. and J.F. Reynold. 1988. Statistical Ecology, A Premier on Methods and Computing. New York: John Wiley and Sons. Mogea, J.P., D. Gandawidjaja, H. Wiriadinata, R.E. Nasution, dan Irawati. 2001. Tumbuhan Langka Indonesia. Bogor: Puslitbang Biologi – LIPI. Phillips, A.E. 1959. Methods of Vegetations Study. New York: Henry Holt and Company, Inc. Santosa dan S. Wijayani. 1993. Pengaruh alelopati Imperata cylindrica terhadap pembentukan mikoriza dan pertumbuhan bibit Pinus merkusii. Berkala Ilmiah Biologi 1 (6): 245-249. Steenis, C.G.G.J. van. 1972. The Mountain Flora of Java. Leiden: E.J. Brill. Sutarno, H. dan Sudibyo. 1997. Pengenalan Pemberdayaan Pohon Hutan. Bogor: Prosea Indonesia-Prosea Network Office Pusat Diklat Pegawai & SDM Kehutanan. Whitten, A.J. 1994. Conservation of Java’s Flora in Strategies for Flora Conservation in Asia The Kebun Raya Bogor Conference Proceedings. Bogor: Riza Graha Jaya. Widyatmoko, D. 2001. Autecology and Conservation Management of A Rare Palm Spesies: The Case Study of Lipstick Palm Cyrtostachys renda Bl. in Kerumutan Wildlife Sanctuary, Riau. [Dissertation]. Bogor: Bogor Agricultural University.
BIODIVERSITAS Volume 5, Nomor 1 Halaman: 23-27
ISSN: 1412-033X Januari 2004
Jenis-jenis Tumbuhan Suku Poaceae di Kebun Raya Purwodadi Plant species of Family Poaceae in the Purwodadi Botanic Garden
SOLIKIN
♥
Kebun Raya Purwodadi-LIPI, Pasuruan 67163 Diterima: 7 Nopember 2003. Disetujui: 15 Desember 2003.
ABSTRACT Plant species of family Poaceae have important roles in rural economic and daily human life. They have been used in constructional building, tools, handicrafts, pulps, vegetables, fodder, baskets, traditional medicine, etc. Inventory to know the plant species and potentials of Poaceae were conducted in the Purwodadi Botanic Garden through observation in fields, interview, and literature studies. The results showed that there were 25 species of bamboos and 36 species of grasses in the garden. The bamboos genera Bambusa and Gigantochloa have more species than the other genera. Polytrias amaura, Axonopus compressus, and Oplismenus burmanni were the common and dominant grasses in the garden. © 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: bamboos, grasses, Poaceae, Purwodadi Botanic Garden
PENDAHULUAN Kebun Raya Purwodadi merupakan lembaga yang mempunyai tugas dan fungsi untuk melakukan konservasi, penelitian, dan pendidikan flora dataran rendah beriklim relatif kering. Setiap tahun, antara tahun 2000-2002, sekitar 13.652 pelajar dan mahasiswa telah memanfaatkan keanekaragaman tanaman yang dikoleksi dan dikonservasi secara ex situ di kebun raya ini untuk studi biologi dan lingkungan, khususnya berkaitan dengan taksonomi tumbuhan. Kebun dengan luas sekitar 85 ha yang terletak pada ketinggian 302 m di atas permukaan laut ini, telah mengoleksi berbagai jenis tanaman, terutama tumbuhan berbunga dan paku-pakuan dari berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri. Hingga Oktober 2003 tercatat 160 suku, 1032 marga, dan 3788 jenis, serta 15.215 spesimen koleksi tumbuhan yang berada di kebun dan rumah kaca (Anonim, 2003). Tumbuh-tumbuhan dari suku rerumputan (famili Poaceae) merupakan koleksi yang menarik untuk dipelajari biologi dan taksonominya, karena secara nyata memiliki potensi dan kegunaan dalam kehidupan sehari-hari, seperti bahan pangan, obat, ♥ Alamat korespondensi: Jl. Raya Purwodadi, Pasuruan 67163, Indonesia Tel. & Fax. +62-341-426046. e-mail:
[email protected] (ed.)
makanan ternak, bahan kerajinan, kertas, bumbu penyedap, perkakas rumah tangga, tanaman hias dan bahan bangunan (Heyne, 1987). Secara garis besar suku Poaceae terdiri atas tiga anak suku (sub famili), yaitu: Bambusoideae, Pooideae dan Panicoideae (Gilliland et al., 1971). Tanaman ini banyak dibudidayakan atau tumbuh liar pada berbagai macam jenis tanah dan besarnya intersepsi cahaya mulai dari tempat terbuka hingga teduh, dan dari kondisi tanah lembab hingga kering. Di Kebun Raya Purwodadi, beberapa jenis bambu dan rumput secara sengaja dikoleksi dan terdapat pula beberapa jenis yang tumbuh liar pada petakpetak pertanaman, halaman, lapangan, maupun jalurjalur jalan setapak. Dengan mempelajari dan mengenali jenis-jenis tumbuhan bambu dan rumput beserta potensi dan kegunaannya yang dikoleksi atau tumbuh liar di Kebun Raya Purwodadi diharapkan para pelajar, mahasiswa maupun masyarakat dapat mengenal kekayaan jenis-jenis tumbuhan ini di Indonesia khususnya yang berada di Kebun Raya Purwodadi untuk kemudian dapat diupayakan pengembangan dan pelestariannya. Widjaja (1997) melaporkan bahwa keberadaan beberapa jenis bambu di Indonesia sedang terancam karena pemanfaatan dan pengelolaannya kurang sesuai dengan prinsip pemanfaatan yang berkesinambungan dan lestari serta kurangnya perhatian terhadap jenis-jenis bambu yang kurang bernialai ekonomi.
B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 1, Januari 2004, hal. 23-27
24
BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di Kebun Raya PurwodadiLIPI pada bulan Agustus-September 2003 pada petak lokasi tanaman dan lokasi lain di kebun pada kawasan yang terbuka, agak terbuka, ternaung dan agak ternaung serta berbagai habitat, seperti lokasi tanah lembab dan kering. Jenis-jenis bambu dan rumput yang dijumpai diinventarisasi dan diidentifikasi berdasarkan buku katalog tanaman koleksi Kebun Raya Purwodadi (Soewilo et al., 1999). Untuk jenisjenis yang belum teridentifikasi, dibuat spesimen herbariumnya untuk diidenfikasi lebih lanjut dengan menggunakan kunci determinasi pada Flora of Java (Backer dan Bakhuizen van den Brink, 1968) dan Grasses of Malaya (Gilliland et al., 1971).
HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil inventarisasi diketahui terdapat 61 jenis tumbuhan yang termasuk suku Poaceae, terdiri atas 25 jenis bambu (anak suku Bambusoideae) (Tabel 1.) dan 36 jenis rumput (26 jenis anak suku Panicoideae dan 10 jenis anak suku Pooideae) (Tabel 2.). Jenisjenis yang termasuk anak suku Pooideae adalah Agrostis matrella, Arundo donax, Centhoteca lappacea, Cynodon dactilon, Dactylocnium aegyptium, Eleusine indica, Eragrostis tenella, Garnotia cutigluma, Lophaterum gracile, dan Oryza sativa. Sebagian besar jenis-jenis ini tumbuh liar. Bambu Jenis-jenis yang ditanam di kebun merupakan koleksi ex situ yang keberadaannya terdata dengan baik mulai dari asal tanaman, tanggal penanaman dan siklus hidupnya. Koleksi tanaman bambu berasal dari Jawa sebanyak 20 jenis dan sisanya dari luar Jawa atau introduksi dari luar negeri. Menurut Widjaja (1997) Koleksi bambu yang ditanam di Kebun Raya Indonesia sekitar 135 jenis yang tersebar di Kebun Raya Bogor, Kebun Raya Cibodas, Kebun Raya Eka Karya Bali dan Kebun Raya Purwodadi. Dari jumlah ini sebanyak 109 jenis asli Indonesia dan sekitar 11% di antaranya bersifat endemik. Berdasarkan
jumlah ini, koleksi bambu di Kebun Raya Purwodadi relatif sedikit. Oleh sebab itu penambahan koleksi jenis bambu terus diupayakan melalui kegiatan eksplorasi flora, tukar-menukar material tanaman, dan sumbangan dari berbagai pihak. Tanaman bambu umumnya tumbuh berumpun; batang berkayu, buluh beruas, berbuku di tengahnya berongga, kulit luar berwarna kuning, hijau, hijau kebiruan, hijau kecoklatan atau ungu. Batang muda selalu tertutup seludang yang sangat rapat, berbulu coklat, atau kehitaman, seludang akan lepas seiring dengan pertumbuhan panjang batang. Seludang pada batang tua pada umumnya lepas; daunnya berbentuk bulat memanjang, pita atau lanset, ujung runcing atau meruncing, tulang daun sejajar, tangkai semu pendek, pelepah daun memeluk batang, kadang-kadang berbulu. Bunga berbentuk majemuk bulir, tandan atau malai dengan siklus pembungaan yang bervariasi. Beberapa jenis bambu berbunga setelah 20-30 tahun, bahkan sampai 44 tahun. Benang sari pada umumnya berjumlah 6 (Gilliland et al., 1971; Widjaja, 1997). Jenis bambu koleksi Kebun Raya Purwodadi kebanyakan berasal dari marga Bambusa dan Gigantochloa yang masing-masing berjumlah 9 jenis dan 7 jenis. Bambu ini paling banyak ditemukan ditanam di pekarangan atau ladang di daerah pedesaan karena bernilai ekonomi tinggi. Sebagian besar bambu yang diamati tidak berbunga sehingga untuk membedakan masing-masing marga didasarkan pada sifat morfologi vegetatif. Marga
Tabel 1. Jenis-jenis bambu di Kebun Raya Purwodadi No.
Jenis
Lokasi
Keterangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25.
Bambusa agrestis Poir. Bambusa arundinacea (Retz.) Liar. Bambusa glaucescens (Lam.) Munro ex Merr. Bambusa atra Lind. Bambusa blumeana Bl.ex. Schult. Bambusa polymorpha Munro Bambusa sp. Bambusa ventricosa MC. Clure Bambusa vulgaris Schradex Wendl. Cephalosthachym pergracile Munro Dendrocalamus asper (Schult.f.)Backer ex Heyne Dendrocalamus giganteus Munro Dinochloa scandens (Bl. Ex Nees) O.K. Gigantochloa robusta Kurtz. Gigantochloa atter (Hassk.)Kurz.ex Munro Gigantochloa apus (Bl.Ex Schult.)f.Kurz. Gigantochloa atroviolacea Wijaya Gigantochloa haskarliana (Kurz.) Backer ex Heyne Gigantochloa manggong Wijaya Gigantochloa sp. Schizostachyum blumei Nees Schizostachyum brachycladum (Kurz.) Kurz. Schizostachyum irratum Kurz. Schizostachyum sp. Thyrsostachys siamensis Gamble
XII.J.I. 19 XII.J.I. 27,45 XII.J.I. 14-14a XII.J.I. 40-40a-40c XII.J.I. 3-3a XII.J.I. 14 XII.J.I. 10, 13-13a XIV.G. 2-2a XII.J.I. 1-1a, 7-7a XII.J.I. 15 XII.J.I. 12, 33 XII.J.I. 11 XII.J.I. 42 XII.J.I. 17 XIV.G. 1-1a XII.J.I. 23,24 XII.J.I. 18 XII.J.I. 6 XII.J.I. 9 XII.J.I. 26, 29 XII.J.I. 8, 32-32a XII.J.I.26 XII.J.I. 25 XII.J.I. 41 XII.J.I.22,46
Ditanam Ditanam Ditanam Ditanam Ditanam Ditanam Ditanam Ditanam Ditanam Ditanam Ditanam Ditanam Ditanam Ditanam Ditanam Ditanam Ditanam Ditanam Ditanam Ditanam Ditanam Ditanam Ditanam Ditanam Ditanam
SOLIKIN – Poaceae di Kebun Raya Purwodadi
Bambusa secara menyolok dapat dibedakan dengan marga bambu lainnya, yaitu adanya percabangan yang kuat pada batang bagian bawah baik yang berduri atau tidak. Sedangkan untuk membedakan antara marga Gigantochloa dengan Schizostachyum yaitu dengan melihat seludang pada batang dan adanya bulu putih pada batang muda; pada Gigantochloa lidah seludang runcing, bulu berwarna coklat dan mudah lepas; buluh muda tidak berambut putih, sedang pada Schizostachyum lidah seludang meruncing, berbentuk mirip kubah, bulu coklat muda, tidak mudah lepas dan buluh muda umumnya berbulu putih. Tipe pertumbuhan batang yang berbaring atau memanjat merupakan ciri khas dari Dinochloa scandens yang tidak dimiliki oleh marga lain. Adanya bubuk putih berlilin merupakan ciri khas dari marga Dendrocalamus. Bubuk yang berwarna putih kecoklatan adalah ciri dari Dendrocalamus asper, sedangkan yang berwarna putih adalah Dendrocalamus giganteus. Rumput Rumput secara umum termasuk dalam anak suku Panicoideae dan Pooideae (suku Poaceae), banyak ditanam atau tumbuh liar. Berdasarkan hasil inventarisasi diketahui terdapat 36 jenis rumput di kebun, yang terdiri atas 22 jenis tumbuhan liar dan 14 jenis ditanam (Tabel 2.). Rumput merupakan tumbuhan yang dapat tumbuh dan hidup hampir di seluruh daerah terbuka atau terlindung baik di daerah tropis maupun sub tropis. Rumput mempunyai ciri tumbuh berumpun dan jarang soliter. Batang pada permukaan tanah merayap, beruas, stolon di bawah permukaan tanah menjalar, bagian dalam batang berongga atau masif, tidak berkayu, pada ruas-ruas sering tumbuh akar; daunnya tunggal, tersebar berseling, bentuknya bulat memanjang, lanset atau pita, tulang daun sejajar, permukaannya kadang-kadang berbulu, berpelepah, namun tidak bertangkai semu, bunga
25
majemuk, bulir, tandan atau malai, umumnya terminal. Benang sari umumnya berjumlah 3 (Backer dan Backuizen van den Brink, 1968). Pada lokasi yang terbuka dengan tanah tidak lembab banyak didominasi oleh Polytrias amaura (Jawa: suket lamuran). Rumput ini tumbuh tahunan, berumpun, stolon merayap, dapat membentuk lempengan yang tebal, pada ruas-ruas batang di permukaan tanah berakar, batang berwarna coklat keunguan. Lunak, diameter 0,5-1,0 mm. Daun berbentuk lanset, 1,5-7 cm x 0,5-0,7 cm, berbulu halus; bunga majemuk bulir, terminal, benang sari ungu, putik berambut. Rumput ini dapat tumbuh dari 0-1600 m dpl. Di alam, rumput ini sering berasosiasi dengan Desmodium triflorum dan menjadi gulma yang sangat dominan pada budidaya monokultur jambu biji, seperti yang terjadi di Sukolilo, Bangkalan, Madura (Gilliland et. al., 1971; Solikin, 2000). Di Kebun Raya Purwodadi, rumput ini banyak dijumpai pada daerah terbuka seperti halaman, lapangan, di
Tabel 2. Jenis-jenis Rumput di Kebun Raya Purwodadi. No.
Jenis
Lokasi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Agrostis matrella L. Apluda mutica L. Arundo donax L. Axonopus compressus (Swartz.)Beauv. Brachiaria mutica(Forsk) Staff. Centhotheca lappacea (L.) Desv. Chrysopogon aciculatus (Retz.) Trin. Cymbopogon nardus (L.) Rendle Cynodon dactilon (L.) Presl. Dactylocnium aegyptium (L.) Richt. Digitaria ciliaris (Rezt.) Ked. Digitaria sp. Eleusine indica (L.) Gaertn. Eragrostis tenella (L.) P. Beauv. Erianthus procerus Mukherjee Euchlaena mexicana Schrad. Garnotia acutigluma (Steud.) Ohwi Ichnantus vicines (F.M. Bail.) Merr. Imperata cylindrical var. major (Nees) C.E.Hubb. Ischaemum indicum (Houtt.) Merr. Lophaterum gracile Brongn. Oplismenus composita (L.) Beauv. Oplismenus burmani (Retz.) Beauv. Oryza sativa forma mutica Koern. Panicum brevifolium L. Panicum maximum Jacq. Panicum repens L. Paspalum conjugatum Berg. Pennisetum purpurem Schumach. Pogonatherum paniceum (Lamk.)Hack. Polytrias amaura (Buese) O.K. Saccarum sp. Stenotaprum helterri Munro ex Hook Themeda gigantea (Cav.)Hack. Thysanolaena maxima (Roxb.) O.K. Vetivera zizaniodes (L.) Nash ex Small
II.A Terbuka II.A.I.1 Agak teduh-agak terbuka II.A.1. 6-6a Teduh – agak teduh Terbuka- agak terbuka II.A.2-2a Terbuka Terbuka Terbuka-agak terbuka Terbuka-agak terbuka V.A.V 5 terbuka II.A.I. 7-7a-7b II.A.I. 11-11a Terbuka Terbuka Terbuka Terbuka – agak terbuka Teduh – agak terbuka Teduh – agak terbuka Teduh – agak terbuka XII. G. Teduh-agak terbuka II.A.I. 12-12a Agak terbuka Agak teduh-agak terbuka II.A.I II.A.I. Terbuka II.A.I. Terbuka II.A.I. 13 II.A.I.4-4a II.A.I.3
Keterangan Ditanam Liar Ditanam Liar Ditanam Liar Liar Ditanam Liar Liar Liar Liar Ditanam liar Ditanam Ditanam Liar Liar Liar Liar Liar Liar Liar Ditanam Liar Ditanam Liar Liar Liar Ditanam Liar Ditanam Liar Ditanam Ditanam Ditanam
26
B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 1, Januari 2004, hal. 23-27
bawah tegakan tumbuhan koleksi mangga, palem, dan pisang. Pada lokasi agak terbuka atau agak teduh jenisjenis yang banyak tumbuh adalah Axonopus compresus (suket pahitan) dan Oplesminus burmanni. Axonopus compressus tumbuh menahun dan membentuk lempengan rapat terutama pada lokasi yang agak terlindung atau agak terbuka. Tinggi tanaman 20-50 cm; daun lanset lebar 6-16 cm dan panjang 2,5-37 cm, kelopak daun melekat bersama, secara keseluruhan tampak warna hijau muda/pucat, bunga majemuk terminal, rangkaian bunga bercabang berhadapan, butir bijinya melekat pada tangkainya (Backer dan Bakhuizen van den Brink, 1968). Oplismenus burmanni merupakan rumput tahunan, yang banyak tumbuh di tempat-tempat agak teduh dan lembab di sekitar pohon. Tumbuhnya merayap, tinggi 10-30 cm, berbulu halus; daunnya berombak, lebar 4-15 mm dan panjang 1,5-7 cm, berbentuk lanset, hijau keunguan, kadang-kadang berbercak putih. Malai bercabang-cabang dengan masing-masing berisi 2-12 butir, makin ke bawah makin panjang dan banyak butirnya (Gilliland et al., 1971). Untuk lokasi-lokasi yang lembab dan berair pada tempat terbuka hingga agak teduh banyak ditumbuhi jenis rumput Paspalum conjugatum. Sepintas rumput ini mirip dengan Axonopus compressus, namun batangnya lebih kaku dan ruasnya lebih panjang; daun lebih kaku, berwarna hijau kekuningan atau keunguan, permukaan tidak berombak, tidak dapat membentuk lempengan yang tebal dan rapat karena ruas-ruas batang memanjang lebih cepat. Di Jawa rumput Paspalum conjugatum ini disebut juga suket pahitan, sebagaimana Axonopus compressus. Jenis-jenis rumput lain yang tumbuh tegak, dan tinggi adalah: Pennisetum purpureum, Panicun maximum, Themeda villosa, dan Pogonastemon panicum yang ditanam pada petak koleksi. Pennisetum purpureum telah banyak dibudidayakan untuk makanan ternak karena pertumbuhan cepat, batang dan daunnya tidak keras dan hasilnya tinggi, sehingga sangat cocok untuk makanan ternak.
POTENSI DAN PEMANFAATAN Bambu Bambu telah sejak lama digunakan penduduk untuk bahan bangunan, perkakas rumah tangga, sayuran, kerajinan, dan lain-lain. Begitu pentingnya tanaman ini sehingga banyak ditanam penduduk baik di pekarangan, ladang atau tempat lainnya. Untuk sayuran biasanya dipilih jenis yang batang mudanya tidak pahit dan enak rasanya, seperti bambu petung (Dendrocalamus asper), sembilang (Dendrocalamus giganteus) dan ori (Bambusa blumeana). Rebung dari bambu ini sering diperdagangkan. Pengambilan
rebung biasanya dilakukan pada awal musim hujan pada saat tunas baru muncul. Untuk bahan bangunan biasanya dipilih jenis-jenis bambu yang memiliki batang lurus, tinggi, tebal dan diameternya relatif besar. Bambu seperti ini pada umumnya dari marga Bambusa, Dendrocalamus, dan Gigantochloa. Di Jawa jenis-jenis bambu yang banyak digunakan untuk bahan bangunan adalah bambu petung (Dendrocalamus asper), bambu ori (Bambusa blumeana), bambu jawa (Gogantochloa atter) dan bambu apus (Gigantochloa apus). Bambu petung dan ori biasanya digunakan untuk konstruksi atap bangunan dan jembatan. Sedangkan bambu jawa dan apus untuk anyaman atau kadang-kadang untuk bangunan. Untuk bahan kerajinan, anyaman dan perkakas pada umumnya digunakan jenis-jenis bambu yang memiliki batang dengan buku yang lurus, panjang, ruas tidak menonjol, mudah dibelah, dan relatif tidak tebal, seperti bambu dari marga Gigantochloa dan Schizostachium. Kedua bambu ini banyak dijumpai ditanam penduduk di pedesaan. Jenis bambu yang berpotensi untuk obat adalah Bambusa vulgaris var. alba (bambu kuning) yang tunas mudanya dapat digunakan untuk obat liver dengan cara merebus tunas mudanya kemudian meminum air rebusannya. Rumput Rumput juga mempunyai arti ekonomi yang sangat penting karena berfungsi sebagai penghasil pakan ternak, bahan kertas, makanan, bangunan, minyak atsiri, gula, dan obat tradisional. Jenis-jenis rumput yang banyak ditanam dan dibudidayakan untuk pakan ternak adalah Pennisetum purpureum dan Panicum maximum. Beberapa jenis rumput yang tumbuh liar di kebun juga berpotensi untuk pakan ternak seperti Axonopus compressus, Cynodon dactylon, Digitaria ciliaris, Eragrostis tenella, Oplismenus burmanni, Imperata cylindrica Paspalum conjugatum, dan Polytrias amaura. Pada saat musim berbunga dan berbuah, biji beberapa jenis rumput ini sering dimakan burung pipit dan sejenisnya Beberapa jenis rumput yang dapat digunakan untuk tanaman hias adalah Agrostis matrella, Axonopus compressus, Cynodon dactylon, Polytrias amaura, dan Stenotaprum helterri. Rumput-rumput ini sangat bagus untuk taman di halaman rumah, kantor, halaman rumput (lawn) dan tempat terbuka lainnya karena dapat tumbuh rapat dan membentuk lempengan yang tebal, kompak dan rata. Daerah halaman rumput dan lapangan terbuka di Kebun Raya Purwodadi banyak didominasi oleh Polytrias amaura yang nampak indah dan rapi. Stolon dari Imperata cylindrica (alang-alang) dapat digunakan untuk obat diuretik, cuci darah, tonikum, dan demam (Burkill, 1966). Sedangkan daunnya dapat digunakan untuk atap bengunan, kertas, dan makanan ternak. Untuk obat luka orang dayak iban di Kalimantan mengunakan daun Paspalum conjugatum (Sudarnadi, 1996). Jenis rumput lainnya yang dapat
SOLIKIN – Poaceae di Kebun Raya Purwodadi
digunakan untuk obat tradisional adalah akar Crhysopogon aciculatus untuk gejala keracunan; Cymbopogon nardus (C. citratus) untuk obat gosok (Heyne, 1987). Jenis terakhir ini sangat populer bagi masyarakat yang dikenal dengan nama ‘sereh’ atau ‘serei’ karena telah menjadi salah satu bahan industri sebagai penghasil minyak atsiri dan dibudidayakan secara luas. Batangnya juga digunakan dalam masakan yang dapat memberikan aroma dan rasa yang khas. Konservasi keanekaragaman jenis-jenis rerumputan sangat penting untuk menjamin ketersediaan sumber-sumber genetik dan plasma nutfah secara berkesinambungan, sebagai bahan penelitian, pengembangan dan pendayagunaannya.
KESIMPULAN Di Kebun Raya Purwodadi terdapat 61 jenis tumbuhan yang termasuk suku rerumputan (Poaceae) yang terdiri atas 25 jenis bambu (Bambusoideae) dan 36 jenis rumput (Panicoideae). Seluruh jenis bambu di kebun merupakan tanaman koleksi yang dilestarikan secara ex situ. Sedangkan jenis rumput sebanyak 14 jenis merupakan tanaman koleksi dan 22 jenis merupakan tumbuh liar. Jenisjenis tumbuhan ini penting untuk dikenali sebagai bahan studi dan penelitian karena berpotensi untuk bahan bangunan, kerajinan, perkakas rumah tangga,
27
bahan obat, sayuran, pakan ternak dan lain-lain. Pelestarian tanaman ini sangat penting untuk menjamin ketersediaan dan pemanfaatannya secara berkesinambungan.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2003. Laporan Bulanan UPT Balai Konservasi Kebun Raya Purwodadi. Pasuruan: UPT Balai Konservasi Kebun Raya Purwodadi. Backer, C.A. dan R.C. Bakhuizen van den Brink Jr. 1968. Flora of Java. Vol. III. Groningen: Wolters Noordhof. Burkill, I.H. 1966. A Dictionary of The Economic Products of The Malay Peninsula. Kuala Lumpur: Ministry of Agriculture and Cooperative. Heyne, K. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid I. Jakarta: Yayasan sarana Wana jaya. Gilliland, H.B., R.E. Holtum, and N.L. Bor. 1971. Grasses of Malaya. In: Burkill H.M. (ed.). Flora of Malaya. Singapura.: Lim Bian Han, Government Printer. Soewilo, L.P., I.P. Astuti, and T.D. Said (ed.). 1999. An Alphabetical List of Plant Species Cultivated in The Purwodadi Botanical Garden.). Bogor: Botanic Gardens of Indonesia. Solikin. 2000. Komposisi gulma pada budidaya jambu biji di Desa Sukolilo Timur, Bangkalan, Madura. Prosiding Seminar Nasional XVI Tumbuhan Obat Indonesia. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Sudarnadi, H. 1996. Tumbuhan Monokotil. Editor: Guharja, E. Jakarta: Penebar Swadaya. Widjaja, E. 1997. Konservasi jenis-jenis bambu di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Konservasi Flora Nusantara. Bogor: UPT Balai Pengembangan Kebun Raya Bogor.
ISSN: 1412-033X Januari 2004
BIODIVERSITAS Volume 5, Nomor 1 Halaman: 28-35
A Fossil Wood of Dipterocarpaceae from Pliocene Deposit in the West Region of Java Island, Indonesia 1
YANCE I. MANDANG1, NORIKO KAGEMORI Forest Product Research and Development Center, Bogor 16610, Indonesia. 2 Wood Research Institute, Kyoto University, Uji, Kyoto 6110011, Japan. Received: 24 June 2003. Accepted: 15 December 2003
ABSTRACT Fossil woods in Java Island have been excavated and sold for outdoor ornaments or indoor decoration purposes since 30 years ago. These fossils are in danger of being drained out without known identities, composition and history. This study was aimed to find out the botanical identity and geographical aspect of a newly recovered silicified fossil wood from Banten area in the west region of Java Island. The fossil trunk 28 m in length and 105 cm in diameter was buried in a tuffaceous sandstone layer. The age of the stratum was thought to be Lower Pliocene. A small sample was cut from the outer part of the log and then ground to obtain thin section for anatomical observation. The main anatomical features of the fossil wood are as follows: wood diffuse porous; vessel almost exclusively solitary, vascicentric tracheid present; axial intercellular canal present, distributed in long tangential rows; fibers with distinctly bordered pit. These features show affinities of the fossil wood to the extant wood Dryobalanops of the family Dipterocarpaceae, regardless of the fact that this genus is no longer exists living in the natural forest of the present day Java Island. © 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Keywords: fossil wood, Dipterocarpaceae, Dryobalanoxylon, Pliocene, Java Island.
INTRODUCTION Fossil woods in Java have become a commodity, excavated and sold since 30 years ago for ornamental purposes or just for collections by hobbyist. Unfortunately their origin and identity are mostly unknown so they tell nothing except their strange old appearance. It would be more meaningful if their origin, age and identity were known. Very little is known about paleo-vegetation in Java even though it has been subject of study since 19th century. Study on the tertiary flora in Java Island was started by Goppert in 1854, Ettingshouses in 1883 and then by Crie in 1888 (Krausel, 1925). Their study mainly was based on fossil leaves with only a few fossil woods. Goppert described 37 species in 21 genera and several families such as Palmae, Fagaceae, Moraceae, Lauraceae, Ebenaceae, Sapotaceae, Rhamnaceae, and Celasteraceae. Among Goppert`s materials there were 3 specimens which-according to Krausel (1925)-belongs to Dipterocarpaceae. The samples were similar to his ♥ Alamat korespondensi: 1 Jl. Gunung Batu 5, Bogor 16610, Indonesia, Tel. +62-251633378, +62-251-633413. Fax. +62-251-633417. e-mail:
[email protected]. 2 Kyoto 6110011, Japan. Fax. 0774-38-3600. e-mail:
[email protected]
earlier discovery, Dipterocarpoxylon javanense (Krausel, 1922b). In the same year Krausel (1922a) had also discovered several species of Dipterocarpoxylon in South Sumatra. Crie (1888) described 9 species of plant fossils from Pliocene deposit in Gunung Kendang-Java. Two of the plant fossils belong to Dipterocarpaceae. One fossil wood sample described by Crie as Naucleoxylon spectabile (Rubiaceae), was redescribed as Dipterocarpoxylon spectabile (Dipterocarpaceae), by Krausel (1926). Krausel`s findings were then criticized by Den Berger (1923, 1927). Several of Dipterocarpoxylon fossil wood described by Krausel turned out to be Dryobalanoxylon, because they have resin canals distributed in long tangential rows. Dipterocarpoxylon on the other hand, has resin canals diffusely distributed or in short tangential rows. After Krausel’s studies, Schweitzer (1958) described 1 species of Vaticoxylon, 5 species of Dipterocarpoxylon, 4 species of Dryobalanoxylon, and 2 species of Shoreoxylon from Pliocene beds in Java Island, along with other species of the same genera and family from Tertiary and Quartenary beds in Sumatra and Borneo. Many years later, unaware of the previous studies, we conducted a survey on fossil woods at fossil yards of three fossil wood collectors in West Java (Mandang and Martono, 1996). We found
MANDANG and KAGEMORI – Fossil wood of Dipterocarpaceae
29
that 80% of 199 samples examined were belongs to Dipterocarpaceae. Unfortunately the origin of the sample was uncertain, and anatomical descriptions of each genus were not made. The study was based on the features that could be observed with hand lens only. So, this finding should be confirmed by further study on anatomical features of samples collected from well determined horizons. Recently, Srivastava and Kagemori (2001) reported one other dipterocarps fossil wood, Dryobalanoxylon bogorensis, from Pliocene deposit in Leuwiliang, West Java. So up to now there are already 5 species of Dryobalanoxylon fossil wood have been found in Java. Discovery of many Dipterocarpaceae fossil woods in Java is interesting, because Dipterocarpaceae is not a dominant family in the natural forest of the present day Java Island. In this paper, we presented a detailed description of a newly discovered dipterocarps fossil wood. The occurrence and possible causes of its extinction from Java Island are discussed.
comparison. Comparisons were also made with other fossil wood of the same genus from Sumatra, Borneo, and Java (Krausel, 1922a; Krausel, 1922b; Krausel, 1926; Den Berger 1923, 1927; Schweitzer, 1958, Srivastava and Kagemori, 2001).
MATERIAL AND METHODS
Description: Wood: diffuse porous. Growth ring: regularly spaced parenchyma bands containing concentric rows of axial resin canal resemble growth ring boundaries. Vessel: evenly distributed, almost exclusively solitary (92%), a few in radial or oblique pairs; tangential diameter 195-257 μm, average 22±10 μm; radial diameter 217-339 μm, average 274±12 μm; frequency 5-8 per mm2, average 6±0.6 per mm2; length 440-970 μm, average 751±46 μm; end wall horizontal to slightly oblique; intervessel pit not observed; vessel ray pit not observed; perforation plate simple; tyloses common; deposit not observed. Vascicentric tracheid: present, with 2-3 rows of bordered pit. Parenchyma: both paratracheal and apotracheal: paratracheal vascicentric, tendency to aliform with narrow and short to long wing; apotracheal mainly in regularly spaced concentric bands encircling axial resin canals, a few diffuse in aggregates forming short tangential lines between the rays. Rays: heterocellular with 1-4 rows of upright cells; 1-4 seriate, mostly 3-4 seriate; up to 2980 μm tall, average 1405±567 μm (range 5-90 cells high, commonly 30-60 cells high); frequency 5-7, average 5.8±0.6 per tangential mm; tend to be storied in some places; occasionally 2 or 3 rays are longitudinally connected. Fiber: very thick walled, with distinctly bordered pits. Intercellular canal: axial resin canal present, distributed in concentric rows, some definitely not full circle; almost regularly spaced and the distance between rows are 0.5 mm to 2 mm; tangential diameter 91-242 μm, average 129 ± 17 μm: other canals are diffuse as single canals among the axial elements.
A silicified fossil wood log sizing 28 meter in length and 105 cm in diameter were excavated from a rubber wood plantation near Leuwidulang village, Maja District, Lebak Prefecture, Banten Province, Java Island. The coordinate of the site is approximately SL 06026’, EL 106023’ (Fig. 1). According to the geology map composed by Rusmana et al. (1991), the site is situated in Genteng Formation. The age of the formation was thought to be lower Pliocene (van Bemmelen, 1949). The fossil wood was buried in a rather soft; fine grained, grayish color tuffaceous sandstone. It was broken into 15 pieces about 2 m each after the silification process occurred, and apparently no further silification occurred thereafter. There is no deposition of new silica layer in the transverse faces of the broken logs, as have been seen in some other fossil wood. A piece of sample was taken from the outer part of the log and then cut and ground to obtain thin sections of transverse, radial, and tangential face. Observation and description follow the format of the IAWA List of Microscopic Features suitable for hardwood identification (Wheeler et al. 1989). Vessel length was measured from tip to tip. Ray height was also measured from tip to tip, the total height of multiseriate and uniseriate portions. Number of observation for each quantitative character also follows the list as long as permissible by the available slide. For each quantitative character, mean value and standard error of the mean are given. The results of observation were compared with the description of extant wood described by Desch (1941), Chu (1974), and Ilic (1995). Samples of extant wood in the xylarium of the Forest Products Research Institute in Bogor, Indonesia, were also used for
RESULT AND DISCUSSION Systematic Sub Class Family Genus Species
: Dicotyledons : Dipterocarpaceae : Dryobalanoxylon Den Berger, 1923 : Dryobalanoxylon lunaris Y. Mandang and N. Kagemori sp. nov. (Fig. 3-8).
Diagnostic features: Wood diffuse porous, vessel almost exclusively solitary, vascicentric tracheid present; axial resin canals present, distributed in concentric rows; fibers with distinctly bordered pit; ray exceeds 2000 μm tall, prismatic crystal present in enlarged parenchyma cells.
30
B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 1, Januari 2004, hal. 28-35
canal are characteristics of Dipterocarpaceae family. Vessels almost exclusively solitary, resin canal distributed in long concentric lines and fibers with distinctly bordered pit indicated that the Leuwidulang fossil wood, Dryobalanoxylon lunaris, is closely related to modern Dryobalanops Gaertner f. (Table 1.). Dryobalanoxylon lunaris differs from modern Dryobalanops wood mainly in ray height and in size of resin canals. It has much taller rays and has much bigger resin canal. Dryobalanoxylon lunaris has resin canals distributed in closely spaced tangential rows resembling growth ring Figure 1. Map of West Java showing the site of fossil wood under study (x). boundaries. Among modern Dryobalanops, only Dryobalanops fusca has the same distribution of resin canal as in Dryobalanoxylon lunaris. However Dryobalanops fusca has much shorter and narrower rays. Furthermore, the diameter of resin canal in modern Dryobalanops woods is less than 100 μm (Ilic, 1994). There should be silica bodies inside the ray cells of Dryobalanoxylon as in modern Dryobalanops but it might have been dissolved during silification. The occurrence of silica bodies in ray cells is useful in differentiating modern Dryobalanops from Shorea (sections Rubroshorea and Richetia), Figure 2. The fossil wood Dryobalanoxylon after being excavated near Rangkasbitung. Parashorea, and Hopea. It seems impossible however to use this feature for Mineral inclusion: prismatic crystals present in the differentiation of sillicified fossil woods, so we have to enlarged parenchyma cells. rely on other features. Holotype: BF 93, Forest Products Research Institute, Bogor, Indonesia. Size: length, 28 m; diameter at breast height, 105 cm. Origin: Leuwidulang, Banten, West Java. Horizon: Genteng Formation Age: Lower Pliocene Repository: Forestry Museum Jakarta, Indonesia Similarities to extant woods The combinations of diffuse porous and the occurrence of vascicentric tracheids and axial resin
Comparison with other fossil wood Seventeen species of Dryobalanoxylon fossil woods have been found, of which 3 were found in India, 1 in Cambodia, 1 in Vietnam, and 11 species in Indonesia (Table 2: Schweitzer 1958; Srivastava et al, 2001). Anatomical features of Dryobalanoxylon from Indonesia are summarized in Table 3, 4 and 5, compared to the recently recovered fossil wood from Leuwidulang, Dryobalanoxylon lunaris.
MANDANG and KAGEMORI – Fossil wood of Dipterocarpaceae
31
Figure 3-8. Dryobalanoxylon lunaris: (3) transverse surface (scale bar = 1 mm); (4) transverse surface (scale bar = 200 μm); (5) radial surface (scale bar = 200 μm); (6) tangential surface (scale bar = 200 μm); (7) radial surface, showing crystal in enlarged parenchyma cell (scale bar = 100 μm); 8) radial surface, showing vascicentric tracheids (scale bar = 100 μm).
Dryobalanoxylon lunaris differs from the other Dryobalanoxylon fossil wood mainly in vessel length and in mineral inclusions. D. lunaris has much longer vessel elements and has crystal inclusions in the enlarged parenchyma cells. D. lunaris also differs from most of the other Dryobalanoxylon fossil woods in ray height. D. lunaris has rays up to 90 cells high, the same with Dryobalanoxylon sumatrensis. However D. sumatrensis has much shorter vessel elements, and has no crystals in its parenchyma.
Phytogeography Dipterocarpaceae in natural forest of the present day Java Island represented only by 5 genera i.e. Anisoptera, Dipterocarpus, Hopea, Shorea (Anthoshorea) and Vatica (Prawira, 1976). Their occurrences are so rare and therefore they are not considered as economically important trees in the area. There are no records of Dryobalanops occurrence in Java Island except those recently planted in arboretum and experimental forest using seed brought from other islands.
B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 1, Januari 2004, hal. 28-35
32
Table 1. Comparison between Dryobalanoxylon lunaris fosil wood and Dryobalanops wood. Anatomical features Wood Diffuse porous Growth ring boundaries Vessel Mostly solitary
Dryobalanops Gaertner f. Desch, 1941 Chu, 1974
Ilic, 1994
+ + resembling
+ .
+ -
+
+ 89-95% 180-232
Dryobala noxylon lunaris + + resembling
Tangential diameter (μm) Frequency/mm2
182 (D.a.); 181 (D.o.) 8.9 (D.a.) 7.7 (D.o.)
Length (μm)
.
.
+ 90-95% 130-240 (160-220) 5(8-12)17 5 (D.f.) 17 (D.r.) .
Tyloses Vascicentric tracheid Presence Parenchyma Diffuse in aggregates Vascicentric, incomplete Aliform Confluent Banded Ray Heterocellular Marginal cells Sheath cells Width, seriate Height, cells
+
+
+
440-970 ā = 751 +
+
+
+
+
+ +
+ +
+ +
+ +
tendency . +
+ (+) +
tendency . +
+ . . . .
+ 1-3 (+) 1-6 .
+ 1-3 (+) 1-3-6 .
Height (μm)
.
< 2000
up to 1000
Frequency per mm Storied structure
. usually in D.a.
. tendency except in D.r.
4-6(8) .
Fiber Distinctly bordered pit Wall thickness
. .
+ .
Resin canal, axial Diffuse Long tangential rows Diameter (μm)
. + < vessel
. + < vessel
. + 40-70
+ + 91-242 ā = 129
Mineral inclusion Silica in ray cells Silica in parenchyma
+ .
+ .
? .
Crystals in parenchyma
+ (D.o.)
(+) D.f. & D.r.
+ sparse in D.b. & D.o. (+) D.k., D.l. D.o., D.r.
.
+ (92%) 190-257 ā = 228 6-8 ā = 6.5
tendency . + + 1-4 (+) 1-4 (3-4) 5-90 (30-60) 744-2900 ā= 1405 5-7 tendency
(+) + moderately thick thick to thick
+
Legend: D.a.= Dryobalanops aromatica; D.b. = Dryobalanops beccarii; D.f. = Driobalanops fusca; D.k. = D. keithii; D.l. = Dryobalanops lanceolata; D.o. = Dryobalanops oblongifolia; D.r. =Dryobalanops rappa; ā = mean value; + (present); - absent; (+) some conform; . data not available; < less than.
In a recent survey in Leuweng Sancang Nature Reserve situated about 250 km south east of Jakarta, Sidiyasa (1985) found only 3 genera and 4 species of Dipterocarpaceae, these are Dipterocarpus gracilis, Dipterocarpus hasseltii, Shorea javanica and Anisoptera costata. In Yanlapa Nature Reserve, which is only about 10 km east of Leuwidulang village, the site of fossil wood being studied, Sutisna (1995) recorded only one species of Dipterocarpaceae that is Dipterocarpus hasselti. It was dominant only in 3 out of 12 plots surveyed. Jafarsidik and Anwar (1987) did not find any dipterocarps trees in Kali Bedahan mangrove forest, in seashore about 180 km east of Jakarta. Yamada (1975) also did not find dipterocarps trees in montane forest of Mt. Pangrango, about 100 km south of Jakarta. The genus Dryobalanops now occurs only in Sumatra Island, Borneo Island and Peninsular Malaysia. There are two species of Dryobalanops in Sumatra and Peninsular Malaya: Dryobalanops sumatrensis Kosterm. (Syn. D. aromatica Gaertner f.) and D. oblongifolia Dyer. In Sumatra Dryobalanops occurs in most of the provinces except in Lampung and Bengkulu, the two provinces in the south part of the island. Genus Dryobalanops in Borneo Island consists of eight species that are D. sumatrensis Kosterm., D. beccarii Dyer, D. fusca V.Sl., D. keithii Sym., D. lanceolata Burck., D. oblongifolia Dyer and D. rappa Becc., and D. oocarpa V.Sl. The discovery of Dryobalanoxylon fossil wood in this study conform to the previous observation conducted by Krausel (1922a, 1922b, 1926), den Berger (1923, 1927), Schweitzer (1958), Mandang and Martono (1996), and Srivastava and Kagemori (2001). The absence of extant wood in the present day natural forest of Java indicated that it must have extinct by some reasons. According to Endert (Steenis, 1963) the absence of several Sunda shelf elements in Java were due to serious effect of volcanic activities in the Tertiary, and then destruction by agricultural practice. These reasons however did not satisfy Steenis. In part it may be right but he
MANDANG and KAGEMORI – Fossil wood of Dipterocarpaceae Table 2. List of Dryobalanoxylon fossil woods in Indonesia. No. 1
Species D. javanense
2
D. spectabile
3
D. tobleri
4 5
D. rotundatum D. musperi
6
D. mirabile
7
D. neglectum
8
D. bangkoense
9 10 11
D. borneense D. sumatrense D. bogorensis
12
D. lunaris
Origin Bolang, West Java Tenjo, West Java Bogor, West Java Banten Palembang, South Sumatra Banten, West Java Jambi, Sumatra Bogor, West Java Jambi, Sumatra Jambi, Sumatra ? Bogor, West Java Jambi, Sumatra Banten, West Java East Kalimantan Jambi, Sumatra Leuwiliang, West Java Leuwidulang, Banten, West Java
Age Tertiary Pliocene Pliocene
Authors Krausel, 1922 Den Berger, 1923 Schweitzer, 1958
Pliocene
Krausel, 1926 Den Berger, 1927 Schweitzer, 1958 Krausel, 1922 Den Berger, 1923 Schweitzer, 1958
Quaternary Pliocene
Schweitzer, 1958 Schweitzer, 1958
Pliocene Tertiary
Quarternary Schweitzer, 1958 Schweitzer, 1958 Quarternary Schweitzer, 1958 ? Schweitzer, 1958 Quarternary Pliocene Miocene Miocene Pliocene Pliocene Pliocene
Schweitzer, 1958 Schweitzer, 1958 Schweitzer, 1958 Srivastava & Kagemori, 2001 This report
Table 3. Comparison between Dryobalanoxylon lunaris and other Dryobalanoxylon fossil wood species: vessel features [Krausel, 1922b; Krausel, 1926; Schweitzer, 1958; Srivastava & Kagemori, 2001 (except for D. lunaris)].
Fossil species
D. javanense
a b
D. spectabile
a b
D. tobleri
a b
D. rotundatum D. musperi D. mirabile D. neglectum D. bangkoense D. borneense D. sumatrense D. bogorensis D. lunaris
Vessel features Tangential Radial Frequency diameter diameter 2 per mm μm 8-16 70-210 65-275 5-10 125-225 125-275 (250) 10-16 95-170 130-270 9-14 95-200 125-275 (200-250) 8-16 (12-16) 80-230 100-330 5-12 150-200 175-350 10-16 (14) 50-300 15-22 60-150 (100-125) 10-15 60-200 (150-200) 9-22 75-175 100-275 7-13 150-225 225-300 7-13 75-225 125-325 (250-275) 10-16 60-125 100-200 4-8 75-200 125-325 3-4 120-286 165-336 5-8 195-257 217-339 ā = 6.5 ā = 228 ā =274
Legend: ( ) common value; ā : average; . data not available
Vessel length . 250-500 400-700 500 250-550 250 250-500 . 150-500 300-500 100-600 250-600 200-700 308-572 440-970 ā =751
33
had a tentative idea that for a long time in the Tertiary, Java was consisted of islands arc which similar to that of the present Lesser Sunda Island. The last explanation by Endert was not satisfactory because, eventhough agricultural practices might be significant in reducing the population of some elements in Java Island but it was unlikely the main cause of extinction of Dryobalanops. The fact is that Dryobalanops also does not occur in Lampung and Bengkulu, the two provinces in the southern part of Sumatra Island, where agricultural practices have not been as intensive as in Java. Furthermore, there are still considerable amounts of natural forest in these two provinces but still, Dryobalanops also does not occur there. So the cause of Dryobalanops extinction from Java and southern part of Sumatra was most likely by volcanic activities, which was occurred somewhere around the present day Sunda strait. Dryobalanops was obviously not able to withstand the continuous shower of volcanic ash. Dryobalanops is very sensitive as shown by formation of resin canals. Disturbance from outside of the plant stimulate the formation of resin canals in wood, which are mostly distributed in concentric lines. Continuous and heavy disturbance in wide areas must have caused mass extinction of Dryobalanops from West Java and southern part of Sumatra. The results of the present study, together with the early discovery on the abundance of Dipterocarpaceae fossil wood in the west region of Java, are indicative that this part of the island was connected by land to Sumatra and Borneo and Asia’s main land once upon a time during the Tertiary period. Many plants from Asia must have been migrated through this land connection to Java even though some of them were then destroyed and extinct. The inability of Dryobalanops and other extinct genera to remigrate from upper part of Sumatra and Borneo in the later period might had been hampered among others by separation of these islands by sea water, as has been occurred at the end of Pleistocene epoch.
B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 1, Januari 2004, hal. 28-35
34
Table 4. Comparison between Dryobalanoxylon lunaris and other Dryobalanoxylon fossil wood: ray features [Krausel, 1922b; 1926; Schweitzer, 1958; Srivastava and Kagemori, 2001 (except for D. lunaris)].
Fossil species
Ray width (cells)
D. javanense
D. spectabile
D. tobleri
D. rotundatum D. musperi D. mirabile D. neglectum D. bangkoense D. borneense D. sumatrense D. bogorensis D. lunaris
Ray height Ray (cells) height Multi Unise(μm) seriate riate . . 3-30
1-6 (3-5) . 1-6 3-45 (3-5) (30) . 1-6 3-30 (3-6) 1-4 3-35 up to (3) 15 . 1-6 10-50 (2-4) . 1-5 35-50 (2-4) 1-4 2-30 up to (2-3) (18-22) 15 1-4 20-35 up to (2-3) (20-25) 20 . 1-5 20-30 (3-4) . 1-3 56 1-5 4-70 up to (3-4) (25-40) 15 . 1-3 55 1-5 4-90 up to 15 . 1-6 11-36
1-4 5-90 up to (3-4) (30-60) 20
.
Ray distance (cells)
Sheath Storried cells structure .
2-19
+
. .
. .
4-12
+
.
. .
.
6-8
+
.
.
2-20
-
+
.
1-12
.
.
.
2-12
-
.
. .
4-18 2-23
. .
. .
. .
3-9 2-15
+ -
. .
5001200 7442900 ā= 1405
. .
. -
tendency
Legend: ( ) common value; + present; - absent; . data not available Table 5. Mineral inclusions and resin canal in Dryobala-noxylon fossil wood [Krausel, 1922b; 1926; Schweitzer, 1958; Srivastava and Kagemori, 2001 (except for D. lunaris)].
Fossil species D. javanense D. spectabile
Crystal In parenIn ray chyma . . . +? . .
Silica particles in ray +? +
D. tobleri D. rotundatum D. musperi D. mirabile D. neglectum D. bangkoense D. borneense D. sumatrense D. bogorensis D. lunaris
+? . . + + + +? . + -
. . . . . . . . +
+? +? . +? .
Resin canal diameter μm 30-80 30-100 30-120 40-100 50-250 50-100 50-100 40-75 60-200 40-150 25-125 40-70 75-110 33-100 91-242
Legend: + present; - absent; +? questionable; . not mentioned.
CONCLUSION The silicified fossil wood log excavated from Pliocene deposit near Leuwidulang village in Banten, Java Island, belongs to Dipterocarpaceae family. Anatomical features of the fossil wood showed that the fossil wood belongs to genus Dryobalanoxylon Den Berger. However, the fossil wood differs from the previously described Dryobalanoxylon fossil woods species in vessel length, ray height and crystals inclusion in the enlarged parenchyma cells, so it is unlikely that this specimen belong to any of them. It should therefore be assigned to another species, as we proposed Dryobalanoxylon lunaris. The extant genus Dryobalanops Gaertner f. is now existing only in Sumatra, Borneo and Malay Peninsula. The occurrence of Dryobalanoxylon fossil wood in Java indicates that the ancestor of Dryobalanops was distributed in wider areas. Its extinction from Java was thought to be by volcanic activities. The inability of Dryobalanops to remigrate from Sumatra and Borneo in the later period might have been hampered by separation of these islands by seawater.
ACKNOWLEDGEMENT The authors wish to express their sincere gratitude to Professor Shuichi Kawai of Kyoto University for his encouragement and support. We wish also to thank Dr. Kazuo Terada of Fukui Dinosaur Museum Japan for his invaluable help and suggestions.
REFERENCES Bemmelen, R.W. van. 1949. The Geology of Indonesia, Vol. IA. The Hague: Martinus Nijhoff. Chu, Fei Tan F. 1974. Anatomical features of Dipterocarp timbers of Sarawak. Garden`s Bulletin Singapore 27: 95-199. Crie, M.L. 1888. Recherches sur la Flore Pliocenee de Java. Samlung des Geologishen Reichsmuseums in Leiden. Beitrage zur Geologie von Ost-Asians Australlians 5: 1-21 + 8 Tab. Den Berger, L.G. 1923. Fossile houtsoorten uit het Tertiar van Zuid-Sumatra. Verh. Geol. Mijnb. Genootsch.v. Nederland en Kol. Geol. Serie 6: 43-148
MANDANG and KAGEMORI – Fossil wood of Dipterocarpaceae Den Berger, L.G. 1927. Unterscheidung-smerkmale von rezenten und fossilen Dipterocapaceen Gattungen. Bulletin du Jardin Botanique de Buitenzorg Series 3: 495-498. Desch, H.E. 1941. Dipterocarps timbers of the Malay peninsula. Malayan Forest Record No. 14. Ilic, J. 1994. Wood anatomy of Dryobalanops Gaertner f. In Soerianegara, I. and R.H.M.J. Lemmens (eds.) Plant resources of South East Asia 5 (1) Timber trees: Major commercial timbers. Bogor: Prosea. Jafarsidik, Y. and C. Anwar. 1987. The composition of mangrove forest of Kali Bedahan estuary Pamanukan, West Java related to seaward migration of the shoreline. Forest Research Bulletin 491: 4-41. Krausel, R. 1926. Űber einige Fossile Hőlzer aus Java. Leidsche Geol. Mededeel. Bd. 2: 1-8. Krausel, R. 1922a. Fossile Hőlzer aus dem Tertiar von SűdSumatra. Verh. Geol. Minb. Genootsch. V. Nederland en Kol., Geol. Serie 5: 231-294. Krausel, R. 1922b. Ǖeber einen Fossilen Baumstammm von Bolang (Java). Ein Beitrag zur Kenntnis der fossilken flora Niederlandisch-Indiens. Versl. Afd. Natuurkunde Kon. Akad. Amsterdam 31. Krausel, R. 1925. Der Stand Unserer Kenntnisse von der Tertiarflora Nederlandisch-Indien. Verh. Geol. Mijnb. Genootsh. V. Nederlland en Kol., Geol. Serie 8: 3129-342 Mandang, Y.I. and D. Martono. 1996. Wood fossil diversity in the west region of Java Island. Buletin Penelitian Hasil Hutan 14 (5): 192-203.
35
Prawira, R.S.A. 1976. Daftar Nama Pohon Jawa Madura (I): Jawa Barat. Laporan No. 214, Bogor. Lembaga Penelitian Hutan. Rusmana, E., K. Suwitodirdjo and Suharsono. 1991. Geology of the Serang Quadrangle, Java: Explanatory Note and Geological Map. Bandung: Geological Research and Development Centre. Schweitzer, J.H. 1958. Die Fossilen Dipterocarpaceen-Hölzer. Paleontographica B 104 (1-4): 1-66. Sidiyasa, K., S. Sutomo, and R.S. Among Prawira. 1985. Structure and composition of lowland dipterocarp forest at Leuweng Sancang Nature Reserve, West Java. Forest Research Bulletin 471: 37-48. Srivastava, R. and N. Kagemori. 2001. Fossil wood of Dryobalanops from Pliocene deposit of Indonesia. Paleobotanist 50: 395-401. Steenis, C.G.G.J. and S.A.F. Schippers-Lamerste. 1963. Concise Plant Geography of Java. In Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van der Brink. Flora of Java. Vol. II. Leiden: Rijksherbarium. Sutisna, U. 1995. Analysis of vegetation composition at Yanlapa Nature Reserve, West Java. Forest Research Bulletin 571: 4567. Wheeler, E.A. and P. Baas. 1991. A survey of the fossil record for dicotyledonous wood and its significance for evolutionary and ecological wood anatomy. IAWA Bulletin 12 (3): 275-332. Yamada, I. 1975. Forest ecological studies of montane forest of Mt. Pangrango, West Java. I. Stratification and floristic composition of montane rain forest near Cibodas. Tonan Ajia Kenkyu 13(3): 402-426.
BIODIVERSITAS Volume 5, Nomor 1 Halaman: 36-41
ISSN: 1412-033X Januari 2004
R E V I E W:
Herbarium Celebense (CEB) dan Peranannya dalam Menunjang Penelitian Taksonomi Tumbuhan di Sulawesi Herbarium Celebense (CEB) and its role in supporting research on plant diversity of Sulawesi
1
RAMADHANIL 1,2, ♥, S. ROBERT GRADSTEIN 3,♥♥ Jurusan Manajemen Hutan dan Jurusan Budi Daya Pertanian, Universitas Tadulako Palu 94118, Indonesia 2 Herbarium Celebense (CEB) Universitas Tadulako Palu 94118, Sulawesi Tengah, Indonesia 3 Albrecht von Haller Institute of Plant Sciences, Departement of Systematic Botany, Untere Karspüle 2, 37073 Gottingen, Germany Diterima: 31 Agustus 2003. Disetujui: 15 Nopember 2003.
ABSTRACT Sulawesi is the largest island in Wallacea region and a biogeographically unique area. The island is very rich in endemic species, worldwide known only known from Sulawesi. Nevertheless, scientific knowledge of the plants of Sulawesi is still limited and there is a lack of botanical exploration and publications. In 2000, Tadulako University of Palu with support of the German Research Foundation (DFG), the Universities of Göttingen and Leiden and the Herbarium Bogoriense, has constructed a herbarium, the Herbarium Celebense. The herbarium has been registered in the International Index Herbariorum (New York) with the abbreviation CEB. The Herbarium Celebense contains about 3000 plant specimens, especially from Central Sulawesi and mainly spermatophytes and pteridophytes. This article reviews the current knowedge of plant diversity of the Sulawesi and Wallacea bioregion as a basis for the conservation of its rich flora. © 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: central Sulawesi, Wallacea bioregion, flora, biogeography, plant diversity, endemic plants.
PENDAHULUAN Sulawesi merupakan salah satu pulau besar dan penting di Indonesia, karena secara biogeografi termasuk dalam kawasan Wallacea, suatu kawasan yang terdiri atas pulau Sulawesi, sebagian Maluku, kepulauan Banda, dan kepulauan Nusa Tenggara Barat, dengan luas keseluruhan sekitar 346.782 km2. Wilayah ini sangat unik karena merupakan tempat bercampurnya tumbuhan, hewan, dan hidupan lain dari Asia dan Australia, serta merupakan kawasan peralihan ekologi (ekoton) antara kedua benua tersebut (Mittermeier et al., 1999).
Alamat korespondensi: ♥ Kampus Bumi Tadulako, Tondo, Palu 94118, Indonesia Tel. +62-451-422611. Fax.: +62-451-4228474 e-mail:
[email protected] ♥♥ Abteilung Systematische Botanik, Albrecht von Haller Institut fur Pflanzenwissenschaften, Universitat Gottingen, Untere Karspüle 2, 37073 Gottingen, Germany. Phone: 0551392229. Telefax: 0551-392329. e-mail:
[email protected]
Kawasan ini dinamakan Wallacea, merujuk nama Alfred Russel Wallace, seorang penjelajah alam dari Inggris yang pada tahun 1850-an melakukan ekspedisi di kawasan ini. Hasil penelitiannya dipublikasikan dalam buku The Malay Archipelago yang menyimpulkan bahwa flora dan fauna di kawasan ini banyak yang unik dan spesifik, serta mempunyai biogeografi tersendiri yang berbeda dengan bagian barat dan timur Indonesia. Karena hasil pemikirannya ini, Alfred Russel Wallacea dikenal sebagai Bapak Biogeografi, studi tentang persebaran geografi tumbuhan dan hewan (Whitten et al., 1987; Kinnaird, 1997; Mittermeier et al., 1999). Whitmore (1989) dan Mittermeier et al. (1999) menyatakan bahwa kondisi biogeografi pulau Sulawesi yang spesifik merupakan akibat proses pembentukan pulau ini sejak masa purba. Menurut Kinnaird (1997), kawasan ini memiliki sejarah geologi yang komplek, meliputi pergeseran lempeng bumi, perbenturan antar lempeng bumi, pergolakan dalam perut bumi, dan kegiatan gunung api yang memuntahkan isi perut bumi, hingga menjadikan bentuk pulau Sulawesi unik dan tidak beraturan seperti saat ini.
RAMADHANIL dan GRADSTEIN – Herbarium Celebense
Pembentukan pulau Sulawesi dimulai sekitar 200 juta tahun yang lalu, ketika benua besar purba Gondwana (sebelumnya Pangea) terpecah-pecah karena pergerakan lempeng bumi di bawahnya. Di antara pecahan-pecahan benua tersebut ada sebagian yang bergabung kembali membentuk pulaupulau baru. Salah satu penggabungan yang penting secara biogeografi adalah pertemuan sebagian benua Asia dan Australia yang memungkinkan perpindahan dan percampuran flora dan fauna yang sedang berevolusi. Salah satu pecahan daratan Asia bergerak ke arah timur dan kelak membentuk Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi barat. Selanjutnya sekitar 100 juta tahun yang lalu, Australia bersama dengan Irian (Papua) dan Sulawesi timur, memisahkan diri dari Antartika dan bergerak ke utara dengan membawa serta mamalia, burung dan tumbuhan berbunga. Kemudian sekitar 60-70 juta tahun yang lalu, Sulawesi barat terpisah dari Kalimantan, lalu sekitar 15 juta tahun yang lalu Sulawesi timur memisahkan diri dari Irian, serta bergerak ke barat menabrak fragmen Sulawesi barat, sehingga pecahan tersebut membelok dan semenanjung utaranya berputar hampir 90 derajat ke posisinya yang sekarang (Kinnaird, 1997). Aktivitas geologi ini menyebabkan pulau Sulawesi secara biogeografi terisolasi dari pulau-pulau di sebelah barat (Asiatis), maupun di sebelah timur (Australis). Isolasi geografi pulau Sulawesi dan kondisi lingkungannya, seperti variasi topografi, gradien elevasi, dan variasi jenis tanah menyebabkan flora dan fauna di bioregion ini berkembang secara khas (Siebert, 2000). Struktur dan komposisi biota pulau ini sangat unik, walaupun jumlah jenisnya relatif sedikit, dimana jumlah jenis tumbuhan tinggi diperkirakan hanya 5000 spesies, termasuk 2100 tumbuhan berkayu (Whitten et al., 1987; Keßler et al., 2002). Di pulau ini hanya didapatkan 7 spesies anggota familia Dipterocarpaceae, kelompok tumbuhan berhabitus pohon yang bernilai ekonomi tinggi dan mendominasi hutan-hutan di Kalimantan (267 spesies) dan Sumatera (104 spesies). Kemolekan fisik pulau Sulawesi dengan pegunungan berselimut hutan dan terumbu karang yang mengagumkan tentulah menyimpan pesona kehidupan biologi, berupa flora dan fauna yang unik dan spesifik (Kinnaird, 1998; Yuzammi dan Hidayat, 2002). Keanekaragaman hewan di kawasan meliputi sekitar 289 spesies burung, 114 spesies mamalia, dan 117 spesies reptilia (Anonim, 1992). Di pulau ini dikenal beberapa fauna endemik seperti anoa (Buballus depresicornis dan B. quarlesii), tarsius (Tarsius spec-trum, T. pumillus, dan T. diannae), maleo (Macrocephalon maleo), burung alo (Rhyticeros cassidix dan Phanelopides exerhatus), babirusa (Babyrousa babyrusa), musang raksasa (Macrogalidia muschen-broekii), kuskus (Ailurops ursinus dan Strigocuccus celebensis), jalak sulawesi (Scisirostrum dubium), dan lain-lain (Whitten et al., 1987).
37
Menurut Yuzammi dan Hidayat (2002) di Sulawesi terdapat 67 spesies anggrek dan 67 spesies flora non anggrek yang bersifat endemik dan unik, antara lain: Cymbidium finlaysonianum, Coelogyne celebica, Abdominiea minimiflora, Goodyera reticulata, Phalaenopsis celebensis Sweet, Vanda celebica J.J. Smith, Allocasia suhirmaniana Yuzammi & A.Hay, Alocasia megawatii, Alpinia abendanoni Val., Eucalyptus deglupta, Diospyros celebica Bakh., Ficus minahasae Miq., Orophea celebica Miq., Polyalthia celebica Miq., Agathis celebica, dan lain-lain. Menurut Mogea (2002) Sulawesi memiliki tingkat endemisitas palem yang tinggi (72%), dimana 68% spesies dan 58% genus palem yang tumbuh di bioregion ini adalah asli Sulawesi. Di antara jenisjenis palem yang ada dua diantaranya endemik untuk Sulawesi Tengah, yaitu Gronophyllum sarasinorum dan Pinanga sp. nov (longirachilla). Beberapa spesies palem Sulawesi lainnya yang endemik adalah Pigafetta elata Becc., Licuala celebica Miq., serta beberapa spesies rotan seperti taimanu (Korthalsia celebica), tohiti (Calamus inops Becc. ex. celebicus Becc.), batang (Calamus zollingerii Becc.), Calamus minahassae, Calamus koordersianus Becc., Calamus symphisipus Mart. dan lain-lain.
PENELITIAN BOTANI DI SULAWESI Sulawesi memiliki luas daratan sekitar 182.870 km2, tetapi studi keanekaragaman dan kekayaan jenis floranya masih sangat terbatas. Dibandingkan dengan pulau-pulau utama lainnya di Indonesia, jumlah spesimen tumbuhan (herbarium) yang telah dikoleksi dari pulau Sulawesi masih sangat sedikit kira-kira 23 spesimen per 100 km2, sedangkan di Pulau Jawa jumlah spesimen yang terkumpul jauh di atasnya (Whitten et al., 1987). Steenis (1950, dalam Keßler et al., 2002) mencatat sebanyak 32.500 spesimen tumbuhan telah dikoleksi dari pulau Sulawesi, tetapi jumlah tersebut masih merupakan perkiraan kasar, karena pada saat itu data-data yang ada belum dibuat pangkalan data (database)-nya. Sampai saat ini belum ada petunjuk/pedoman yang komprehensif tentang keanekaragaman jenis pohon di hutan-hutan Sulawesi, kecuali beberapa checklist (Whitmore et al. 1989; Keßler et al., 2002) dan beberapa familia yang sudah dicatat pada Flora Malesiana. Whitmore et al. (1989) mencatat sebanyak 84 familia pohon dengan kriteria dapat mencapai tinggi lebih dari 20 m atau mempunyai DBH 35 cm, terdiri dari 295 genus dan sekitar 850 spesies untuk seluruh Sulawesi. Menurut Kessler et al. (2002) di pangkalan data National Herbarium of the Nederlands tercatat 120 familia tumbuhan berkayu, terdiri dari 706 genus dan 2145 spesies, seperti yang terdapat pada Checklist of Woody Plants of Sulawesi. Dari pangkalan data yang sama diketahui bahwa jumlah tumbuhan berkayu yang telah dikoleksi dari Sulawesi Tengah sangat rendah, dibandingkan
38
BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 1, Januari 2004, hal. 36-41
propinsi-propinsi lain di Sulawesi. Jumlah spesimen tumbuhan berkayu tertinggi dikoleksi dari Sulawesi Utara (3950 item), Sulawesi Selatan (3450 item), Sulawesi Tenggara (1500 item) dan Sulawesi Tengah (1500 item). Tumbuhan tidak berpembuluh, yaitu lichenes dan tumbuhan lumut (bryophyta), serta tumbuhan paku (pteridophyta) dari Sulawesi tidak banyak diketahui. Data yang menyangkut keanekaragaman jenis serta ekologi dan distribusinya juga tidak tersedia. Menurut Touw (1991), Sulawesi adalah satu dari beberapa pulau penting di Indo-Malesia yang tidak memiliki data lumut, lichenes dan lumut hati. Steenis (1950, dalam Keßler et al., 2002) memperkirakan sebanyak 150 ahli botani pernah bekerja di Sulawesi, diawali oleh Dampier (1887) yang melakukan koleksi di pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Dalam catatan penulis, selama 50 tahun terakhir beberapa ekspedisi penting telah dilakukan di Sulawesi, antara lain dikoordinnasi oleh Royal Botanic Garden Kew (Coode), Royal Botanic Garden Edinburg (Argent, Newman, Milliken, dan Atkins), serta National Herbarium of the Nederlands (van Balgooy, Hennipman, de Joncheere, Keßler, Vermeulen, dan de Vogel). Para botanis Indonesia juga telah ikut ambil bagian dalam penelitian flora Sulawesi, antara lain dikoordinasi oleh Universitas Tadulako Palu (Ramadhanil), Herbarium BogorienseLIPI (Mogea, Wiriadinata, Mansyur, dan Nasution), Kebun Raya Bogor (Darnaedi, Astuti, dan Hendrian), Universitas Hasanuddin Makassar (Wirawan), dan lain-lain. Hasil studi mereka telah memberikan sumbangan yang berarti terhadap pemahaman flora Sulawesi terutama keanekaragaman jenisnya. Studi lapangan di hutan hujan tropis Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah yang dilakukan dalam rangka kerja sama penelitian antara Institut Pertanian Bogor - Universitas Tadulako Palu (Indonesia) dengan Universitas Göttingen Universitas Kassel (Jerman) melalui proyek STORMA (Stability of Rain Forest Margin) menunjukan bahwa keanekaragaman jenis tumbuhan di kawasan tersebut cukup tinggi (lebih dari 150 spesies pohon per hektar). Jenis tumbuhan yang paling banyak mendominasi kawasan hutan primer berasal dari familia Fagaceae, Lauraceae, Meliaceae, Moraceae, Rubiaceae, serta Arecaceae. Familia terakhir ini meliputi: Arenga, Pigafetta, Areca, Caryota, Calamus dan lain-lain (Kessler et al., in press), sedangkan vegetasi hutan sekunder umumnya didominasi oleh familia Euphorbiaceae, seperti Acalypha cf. catturus, Homalanthus populneus, Mallotus barbatus, dan lainlain (Ramadhanil et al., 2002). Beberapa kegiatan ekspedisi botani yang dilakukan dalam 4 tahun terakhir menemukan beberapa spesies baru, seperti Alocasia megawatii (Yuzammi et al., 2000), Amorphopallus kesslerii (Kessler, 2001, komunikasi pribadi), Impatiens punaensis (Utami dan Wiriadinata, 2002), Calamus sp. nov. 1 (ahlidurii), Caryota sp. nov. 1 (angustifolia),
Caryota sp. nov. 2 (pumila), Pinanga sp. nov. 2 (rubiginosa), Pinanga sp. nov. 3 (tenuirachis), Pinanga sp. nov. 4 (longipes), Pinanga sp. nov. 5 (soroakoensis), Pinanga sp. nov. 6 (dentata), dan Pinanga sp. nov. 7 (mogeana) (Mogea, 2002). Flora Indonesia khususnya dari Sulawesi masih sangat sedikit diketahui (Bass et al., 1990), sampai sekarang kurang dari 20% total flora Indonesia dari Sulawesi yang tercatat dalam Flora Malesiana (Veldkam et al., 1997), karena kurangnya studi dan ekspedisi botani di kawasan ini. Sebagai perbandingan, jumlah ekspedisi botani di Sumatera 20 kali lebih banyak daripada di Sulawesi (Hamman et al. 1999). Jarangnya ekspedisi botani di Sulawesi, berdampak pada sedikitnya publikasi mengenai flora di kawasan ini. Hal ini berbeda dengan informasi dan publikasi flora dari pulau Kalimantan, Jawa, Sumatera, dan Papua yang relatif cukup lengkap. Sampai saat ini baru terdapat beberapa publikasi yang menyangkut flora Sulawesi seperti: Daftar Nama Pohon-pohonan Selebes (Hildebran, 1950), Daftar Nama Pohon-Pohonan, Repisi I Sulawesi Selatan, Tenggara dan Sekitarnya (Soewanda dan Tantra, 1972), Tree Flora of Indonesia, Checklist for Sulawesi (Whitmore, 1989), The Ecology of Sulawesi (Whitten et al., 1987) dan Laporan Perjalanan ke Sulawesi Tengah (Asikin et al., 2000). Pada tahun 2002 tercatat tiga publikasi yang menyangkut flora dari kawasan ini yaitu Ckecklist of Woody Plants of Sulawesi (Keßler et al., 2002), The Unique, Rare and Endemics Flora of Sulawesi (Yuzammi dan Hidayat, 2002), The Orchids of Sulawesi and Maluku: a Preliminary Cataloque (Thomas dan Schuiteman, 2002). Oleh karena terbatasnya informasi dan publikasi tentang flora Sulawesi, perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam dan penulisan flora dari kawasan Sulawesi, hal ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi ahli taksonomi untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam menggali dan meneliti keanekaragaman spesies dan kedudukan taksonomi tumbuhan dari pulau terpenting di bioregion Wallacea ini, sehingga kepustakaan dan publikasi yang menyangkut flora Sulawesi menjadi lebih lengkap.
HERBARIUM DAN PENELITIAN TAKSONOMI TUMBUHAN DI SULAWESI Herbarium merupakan istilah yang pertama kali digunakan oleh Turnefor (1700) untuk tumbuhan obat yang dikeringkan sebagai koleksi. Luca Ghini (14901550) seorang Professor Botani di Universitas Bologna, Italia adalah orang pertama yang mengeringkan tumbuhan di bawah tekanan dan melekatkannya di atas kertas serta mencatatnya sebagai koleksi ilmiah (Arber, 1938). Pada awalnya banyak spesimen herbarium disimpan di dalam buku sebagai koleksi pribadi tetapi pada abad ke-17
RAMADHANIL dan GRADSTEIN – Herbarium Celebense
praktek ini telah berkembang dan menyebar di Eropa. Karl von Linné (1707-1778) adalah orang berjasa mengembangkan teknik herbarium (de Wolf, 1968 dan Radford et al., 1974 dalam Bridson dan Forman, 1998). Pada saat ini istilah herbarium digunakan pula untuk menamai lembaga yang mengelola koleksi spesimen tumbuhan, mempelajari keanekaragam spesies tumbuhan dan kedudukan taksonominya, serta membuat pangkalan datanya secara komputerisasi. Pada tahun 1999 telah didirikan sebuah herbarium di Universitas Tadulako Palu dengan nama Herbarium Celebense (CEB), Herbarium ini didirikan atas dukungan STORMA (Stability of Rain Forest Margin) sebuah proyek kerjasama penelitian antara 3 universitas, yaitu Universitas Göttingen dari Jerman, serta Universitas Tadulako dan Institut Pertanian Bogor dari Indonesia. Pendirian dan pengembangan lembaga ini telah melibatkan dan upaya dari beberapa taksonomist botani seperti: Prof. S. Robert Gradstein (Departement of Systematic Botany, Gõttingen, Germany), Dr. Paul J.A. Keßler ( Nationaal Herbarium Nederland, Universiteit Leiden, Nederlands), Dr. Johanis P. Mogea, Dr. H. Wiriadinata (Herbarium Bogoriense, LIPI-Indonesia), Prof. Dr. Edi Guhardja, M.Sc dan Dr. Sri S. Tjitrosudirdjo (IPB Bogor). Selama perkembangannya CEB juga menjalin kerjasama dengan beberapa herbarium baik dari dalam maupun luar negeri, seperti Herbarium Bogoriense (BO), Herbarium Biotrop (BIOT), Herbarium Göttingen (GOET), National Herbarium of the Netherlands di Leiden (L), Herbarium Wanariset (WAN), Herbarium Universitas Andalas (ANDA) dan National Herbarium of Australia di Canberra. Kehadiran herbarium ini di kawasan Sulawesi sangat penting untuk mempelajari dan mengkoleksi seluruh spesimen tumbuhan dari Indonesia, khususnya flora wallacea. Pada tahun 2002 Herbarium Celebense telah terdaftar secara resmi dalam International Index Herbariorum (New York) dengan akronim CEB. Pada saat ini CEB telah aktif melakukan koleksi botani dan menyimpan lebih dari 3000 spesimen tumbuhan Sulawesi, namun belum dibuat pangkalan datanya. Kebanyakan spesimen herbarium tersebut terdiri atas tumbuhan tingkat tinggi (spermatophyta) seperti rotan, anggrek, pohon, rumput dan paku (Ramadhanil, 2002).
KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN SULAWESI POTENSI PENGEMBANGAN DAN UPAYA KONSERVASINYA Sama seperti masyarakat Cina yang telah menggunakan lebih dari 5100 spesies tumbuhan dan masyarakat pedalaman Amerika Latin yang menggunakan 2000 spesies tumbuhan di Amazonia sebagai bahan obat tradisional, sebagian besar masyarakat lokal di Sulawesi juga telah memanfaatkan tumbuhan sebagai bahan obat.
39
Sistem kearifan lokal ini telah digunakan secara turun temurun oleh masyarakat Sulawesi. Pengalaman empiris ini merupakan informasi dasar yang bernilai untuk dikembangkan dan dimanfaatkan, khususnya dalam rangka menemukan bahan obat baru. Suatu hal yang sangat mungkin mengingat kemajuan teknik biokimiawi modern yang sangat pesat. Misalnya, masyarakat Katu, Napu, dan Besoa secara tradisional menggunakan “pepolo” (Bischoffia javanica) sebagai obat anti schistosomiasis. Hal ini dapat ditindaklanjuti dengan uji biokimia untuk menentukan bahan bioaktif yang dikandung tanaman tersebut dan berkhasiat mengobati penyakit tersebut. Berbagai spesies tumbuhan juga bernilai obat, seperti balaroa, lengaru (Alstonia scholaris), pakanangi (Cinnamomum parthenoxillon) dan lain-lain. Pulau Sulawesi juga memiliki keanekaragaman tumbuhan yang berpotensi dikembangkan sebagai tanaman pangan. Ubi banggai (Dioscorea) adalah salah satu marga tanaman yang tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan masyarakat Banggai Kepulauan (Bangkep). Bersama dengan babanal (Dioscorea warburgiana Uline), ondot (Dioscorea hispida Dennst.), siloto (Dioscorea cf. deltoidea Wall.), baku makuloloang (Dioscorea bulbifera var. celebica Burkill), baku pusus (Dioscorea cf. alata), Dioscorea keduensis Burkill, Dioscorea numularia, ndolungun (Dioscorea esculenta (Lour). Burck.), baku butun (Dioscorea alata L), bakutu, dan lain-lain merupakan makanan pokok masyarakat asli di kawasan ini (Rahmatu dan Ramadhanil, 2001). Berbagai spesies palem Sulawesi berpotensi sebagai tanaman hias, tercatat beberapa diantaranya mempunyai penyebaran terbatas di Sulawesi, misalnya, wanga (Pigafetta elata), dan 2 spesies pinang hutan yaitu harao/pinang yakis (Arecha vestiaria Giseke) yang berwarna merah dan pinang hitam (Pinanga caessea ) yang berwarna hitam. Licuala celebica, mpire (Caryota mytis Lour.), take (Arenga undulatifolia Becc.) adalah spesies-spesies tanaman palem lainnya yang belum dikembangkan potensinya. Sedangkan saguer (Arenga pinnata (Merr). Wurb. adalah spesies palem terpenting bagi sebagian masyarakat Sulawesi (terutama Sulawesi Utara dan Tengah), karena niranya merupakan bahan baku pembuatan arak cap tikus. Anggrek alam merupakan kelompok tumbuhan lain dari Sulawesi yang belum mendapat banyak perhatian, dimana informasi dan publikasi tentang keanekaragaman anggrek ini belum begitu banyak. Tetapi Sulawesi diyakini memiliki cukup banyak anggrek alam dan beberapa diantaranya merupakan spesies yang endemik, seperti Vanda celebica, Phalaenopsis celebensis, Coelogyne celebensis, Macodes celebica, Liparis celebica, Glomerira celebica J.J.Smith. dan Eulophia celebica Bl (Ramadhanil, 2000). Produk hasil hutan baik kayu atau non kayu telah lama dikenal dari Sulawesi. Kayu komersil yang berasal dari Sulawesi antara lain: palapi (Heritieria
40
BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 1, Januari 2004, hal. 36-41
littoralis), damar (Agathis celebica dan Agathis phillipinensis), ebony (Diospyros celebica Bakh.), bayur (Pterospermum celebicum), nyatoh atau nantu (Palaquium obtusifolium dan P. obovatum), matoa (Pometia pinnata), siuri (Koordersiodendron pinnatum), bayam (Instia bijuga), dao (Dracontamelon dao), dongi (Dillenia serata dan D. celebica), palili (Lithocarpus celebica dan L. havilandii ), kurnia (Podocarpus neriifolius), pepolo (Bischoffia javanica), dan Hopea celebica. Sulawesi juga merupakan salah satu penghasil produk hutan non kayu, misalnya rotan, kayu gaharu (Aquilaria), damar dan kayu pakanangi (Cinnamomum parthenoxillon). Menurut Siebert (1998), rotan merupakan produk utama hasil hutan non kayu dari Sulawesi. Pada tahun 1994 lebih dari 22.200 ton rotan telah dikapalkan dari Sulawesi Tengah, terutama spesies rotan batang (Calamus zollingerii Becc.) yang diameter batangnya terkenal besar. Menurut Wardah dkk.(1996), sekurangkurangnya terdapat 20 spesies rotan di Sulawesi Tengah. Akhir-akhir ini terdapat ancaman terhadap kelestarian keanekaragaman tumbuhan pada beberapa kawasan konservasi di Sulawesi. Misalnya; terjadinya penyerobotan kawasan, perburuan , “illegal logging”, pencurian hasil hutan kayu dan hasil hutan non-kayu (“non timber forest product”), dan pengembalaan yang menyebabkan terjadinya penurunan populasi atau suatu saat mungkin pula terjadi kepunahan biota tersebut. Sama dengan beberapa kawasan lainnya di Indonesia terjadinya berbagai kasus tersebut umumnya disebabkan oleh beberapa faktor seperti lemahnya kebijakan dan peraturan perundangundangan, lemahnya penegakan hukum (“law enforcement”), rendahnya pendidikan tentang konservasi pada masyarakat dan pihak-pihak yang terkait serta rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan dan tekanan perekonomian. Oleh sebab itu perlu dilakukan upaya konservasi in-situ secara sungguh-sungguh ataupun ek-situ misalnya; dengan pembentukan kebun botani, arboretum, kebun bibit (“nursery”), “seed bank”, kultur jaringan dan berbagai upaya lainnya.
KESIMPULAN Pulau Sulawesi merupakan pulau terbesar di Wallacea sangat penting secara biogeografi, tetapi informasi dan publikasi tentang floranya masih sangat terbatas, oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian lebih intensif terhadap floranya, baik kedudukan taksonomi, ekologi, dan prospek pengembangannya untuk kesejahteraan penduduk dan kejayaan bangsa. Untuk maksud tersebut Herbarium merupakan salah satu sarana penting dalam mendukung kajian aspek tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1992. Indonesia Country Study on Biological Diversity. Jakarta: Ministry of State for Population and Environmental Republic Indonesia. Prepared for UNEP under The work Programme for Environment Cooperation between The Republic of Indonesia and The Kingdom of Norway. Asikin, J., I.P.Astuti, Yuzami, A.Fudola, Sarifuddin, R. Pitopang, dan Elijonahdi. 2000. Laporan Ekspedisi ke Sulawesi Tengah. Bogor: Kebun Raya Bogor. Indonesia Bass, P., K. Kalkman, and R. Geesink (ed.) 1990. Plant Diversity of Malesia. Dordrecht: Kluwer Academic Publisher. Bridson, D. and L. Forman. 1989. The Herbarium Handbook. KewLondon: the Royal Botanic Garden of Kew. Hamman, A., E.B. Barbon, E. Curio, and D.A. Madulid. 1999. A botanical inventory of a submontane tropical rainforest on Negros Island, Philippines. Biodiversity and Conservation 8: 1017-1031. Hildebran, F.H. 1950. Daftar nama pohon-pohon Selebes. Laporan Balai Penelitian Kehutanan 43:1-105. Kessler, M., P.J.A. Keßler, S.R. Gradstein, K. Bach, M. Schmull and R. Pitopang (in press). Tree diversity in different land use systems in Central Sulawesi, Indonesia. Biodiversity and Conservation. Keßler, P.J.A., R. Pitopang, M. Bos, and S.R. Gradstein. 2002a; Tree diversity of different land use systems at Lore Lindu National Park, Central Sulawesi Indonesia. 14. Jahrestagung Gesell fur Tropenokolie, Goetingen, 21-24 Febr. 2002 Keßler, P.J.A., M. Bos, S.E.C. Sierra Daza, L.P.M. Willemse, R. Pitopang, and S.R. Gradstein. 2002b. Checklist of Woody plants of Sulawesi, Indonesia. Blumea Suplement 14: 1-160. Kinnaird M.F. 1997. Sulawesi Utara: Sebuah Panduan Sejarah Alam. Jakarta: Yayasan Pengembangan Wallacea Mittermeier, R.A., Myers, N., Gil., P.R dan C.G. Mittermeier. 1999. Hotspot. Earth’s Biologically Richest and Most Endangered Terresterial Ecoregions. Mexico City: CEMEX, S.A. Printed in Japan by Toppan Company. Mogea, J.P. 2002. Preliminary Studi On the Palm Flora of the Lore Lindu National Park, Central Sulawesi, Indonesia. Biotropia 18: 1-20. Primack, R.B.J. Supriatna, M. Indrawan dan P. Kramadibrata. 1998. Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Rahmatu, D.R., Ramadhanil, dan Sangadji, 2001. Inventarisasi dan Identifikasi Tanaman Ubi Banggai di Kepulauan Banggai Sulawesi Tengah. Proyek Penelitian ARMP-II, Kerjasama Universitas Tadulako dengan Balai Penelitian Tanaman Pangan. Palu: Universitas Tadulako. Ramadhanil, 2000. Keanekaragaman Anggrek Sulawesi. Journal Agroland. Edisi September 2001 Ramadhanil, 2002. Herbarium sebagai salah satu bentuk konservasi ek-situ. Lokakarya Penyusunan IBSAB Bioregion Sulawesi. Makassar. Juli 2002 Ramadhanil, S.R. Gradstein, E. Guhardja, dan P.J.A. Keßler. 2002. Tree composition in secondary forest of Lore Lindu National Park, Central Sulawesi Indonesia. Abstract, International Symposium on Land Use, Nature Conservation and the Stability of Rainforest Margins in Southeast Asia, Bogor, 29 September – 3 October 2002. Siebert, S.F. 1998. Rattan Use, Economics, Ecology and Management in the Southern Lore Lindu National Park Region of Sulawesi Indonesia. Missoula: School of Forestry. University Montana, Missoula. Soewanda,A.P. dan I.G.M.Tantra, 1972. Daftar nama pohonpohonan, repisi I Sulawesi Selatan, Tenggara dan sekitarnya. Laporan Lembaga Penelitian Hutan 151: 1-113 Thomas, S dan A. Schuiteman, 2002. Orchids of Sulawesi And maluku: A Preliminary Cataloque. Linleyana 17(1): 1-72.2002 Touw, A. 1996. Biogeographical notes on the Musci of South Malesia and of the Lesser Sunda Islands in particular. Bryobrothera 1: 143-155. Utami, N and H. Wiriadinata, 2002. A new species of Impatiens (Balsaminaceae) from Central Sulawesi. Blumea 47: 391-393. Veldkamp, J.F. and M.A. Rifai. 2002. Flora Malesiana Bulletin. Vol. 13 (2) December 2002. Leiden: Rijksherbarium
RAMADHANIL dan GRADSTEIN – Herbarium Celebense Veldkamp, J.F., M.C. Roos, and M.A. Rifai. 1977. Flora Malesiana Bulletin. 12 (1-2). Leiden: Rijksherbarium. Wardah, A.T. Tellu dan M. Nurdin 1996. Inventarisasi Potensi Tegakan dan Pola Penyebaran Jenis-Jenis Rotan di Sulawesi Tengah. Jurnal Agroland 3 (12): Juni 1996 Whitmore ,T.C.,I.G.M. Tantra. 1989. Tree Flora of Indonesia, Checklist For Sulawesi. Bogor: Agency for Research and Development Forest Research and Development Center Bogor Indonesia Whitten A.J.,M. Mustafa and G.S. Henderson. 1987. The Ecology of Sulawesi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Wilson, E.O. 1992. The Diversity of Life. Allen Lane: The Penguin Press. Wirawan N., 1981. Ecological Survey of the Proposed Lore Lindu National Park Central Sulawesi. Prepared for The Wordl Wildlife Fund Project. Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin.
41
Wiriadinata, H. 2001. Panduan Pengenalan Flora Taman Nasional Lore Lindu. Sulawesi Tengah. Bogor: The Nature Conservancy dan Herbarium Bogoriense, Puslitbang Biologi LIPI. Bogor WWF and Directorate of Nature Conservation Republic Indonesia. 1981. Lore Lindu Management Plan 1981-1986. Bogor: WWF and Indonesia Programme for DNC Directorate General of Forestry, Republic Indonesia. Yuzammi, I.P. Astuti, Jauhar, Sarifuddin, A. Fudola, R. Pitopang dan Elijohnahdi. 2000. Laporan Eksplorasi Botani di Sulawesi Tengah. Bogor: Kebun Raya Bogor- Universitas TadulakoBKSDA Sulawesi Tengah dan Balai Taman Nasional LoreLindu. Yuzammi and Hidayat. 2002. The Unique, Endemic and Rare Flora of Sulawesi. Bogor: Bogor Botanical Garden.
Ralat: • Materi di samping seharusnya tercetak pada: Uji, T. 2003. Keanekaragaman dan potensi flora di Cagar Alam Muara Kendawangan, Kalimantan Barat. Biodiversitas 4 (2): 112-117.
•• Mengingat keterbatasan ruang, tulisan dengan judul “Ekosistem mangrove di Jawa: 2. Restorasi”, sebagai kelanjutan tulisan: Setyawan, A.D., K. Winarno, dan P.C. Purnama. 2003. Ekosistem mangrove di Jawa: 1. Kondisi terkini. Biodiversitas 4 (2): 133-145, ditunda penerbitannya.
Tabel 1. Daftar jenis tumbuhan dan manfaatannya di C.A. Muara Kendawangan (lanjutan). Nama Suku & Jenis DIPTEROCARPACEAE 50. Hopea nigra Burck. 51. Shorea balangeran (Korth.) Burck. 52. S. ovalis (Korth.) Bl. EBENACEAE 53. Diospyros hermaphroditica (Zoll.) Bakh.**) ELAEOCARPACEAE 54. Elaeocarpus glaber Bl. 55. E. palembanicus Miq. ERICACEAE 56. Vaccinium varingiaefolium (Bl.) Miq. ERIOCAULACEAE 57. Eriocaulon hookerianum Stapf. 58. E. longiflorum Nees. EUPHORBIACEAE 59. Antidesma neurocarpum Miq. 60. Aporusa lucida (Miq.) Airy Shaw 61. A. frutescens Bl. 62. Baccaurea pubera (Miq.)Muell.Arg. 63. B. parviflora (Muell. Arg.) Muell. Arg. 64. Bridelia tomentosa Bl. 65. Endospermum diadenum (Miq.) Airy Shaw 66. Glochidion obscurum (Roxb. Ex Willd.) Bl. 67. Macaranga triloba (Bl.)Muell. Arg. 68. M. amisa Airy Shaw 69. M. pinangensis Muell. Arg. 70. Mallotus ricinoides Muell. Arg. FABACEAE 71. Adenanthera pavonina L. 72. Archidendron clypearia (Jacq) Nielsen 73. A. ellipticum (Bl.) Nielsen 74. Dalbergia candenanthesis (Denst.) Prain. 75. Koompassia malaccensis Maing. ex Benth. *) 76. Rhynchosia minima DC. 77. Spatholobus ferrugineus FAGACEAE 78. Lithocarpus cantleyanus (King & Hook. f.) Rehder FLAGELLARIACEAE 79. Flagellaria indica L. 80. Hanguana malayana (Jacq) Merr. GLEICHENIACEAE 81. Dicranopteris linearis (Burm.f) Andrew HYPERICACEAE 82. Cratoxylum formosum (Jack) Dyer 83. C. glaucum Korth ICHACINACEAE 84. Stemonorus malaccensis (Mast.) Sleum. LAURACEAE 85. Alseodaphne canescens (Bl.) Boerl. **) 86. Bielschmieldia madang Bl. **) 87. Cinnamomum subavenium Miq. 88. Cryptocarya lucida Bl. 89. Dehaasia microsepala (Lour.) Kosterm. 90. Endiandra rubescens (Bl.) Miq. 91. Eusideroxylon zwageri T. & B. *) 92. Litsea firma Hook. f. 93. L. forstenii (Bl.) Boerl. 94. L. nidularis (Lour.) Gamble LECYTHIDACEAE 95. Barringtonia reticulata Bl. **) LEEACEAE 96. Leea indica (Burm. f.) Merr. LILIACEAE 97. Dianella ensifolia (L.) DC. **)
Nama lokal
Habitus
Nilai guna & referensi
Amang batu Balangeran Meranti
Ph Ph Ph
1 (J) 1 (A’,J) 1 (A’,J)
Kayu alah
Ph
1 (A’,J); 2 (J)
Empedu kelik
Ph Ph
3 (C) -
Kicak-kicak
S
3 (C,J); 8 (G)
Umbul-umbul
T T
-
Besumsum Baduk Tugal-tugal Basa Sipon Sansang Kepayang Cangkok utan Mahang Belukan Menjalin Kapitatat
Pd Ph Ph Ph Ph Pd Ph Ph Pd Pd Ph Pd
1 (A”); 3 (C,J) 4 (D) 3 (C,J); 8 (J) 3 (C,J) 4 (D) 1 (A’,J) 1 (A”); 3 (C) 2 (B’); 4 (D) -
Petai burung Jering hantu Akar kampas Kampas Akar kamat Akar lencarik
Ph Ph Ph Pd Ph L L
1 (A”); 4 (D) 1 (A”); 4 (D) 1 (A”) -
Kempaning
Ph
1 (A)
Rotan laki Bakung
T T
-
Kelambu rusa
S
-
Buton Idat
Ph Pd
1 (A’) 1 (A”)
Mensirak
Ph
1 (A”)
Gimbor Madang Lawang Medang sandak Kabin Belian Madang Madang
Ph Ph Ph Ph Ph Ph Ph Ph Pd Ph
2 (J) 1 (A”,J); 2 (J) 10 (I,J) 1 (J) 1 (J); 3 (J) 1 (A,J) 1 (A,J) -
Putat
Ph
2 (B’)
Mali-mali
Pd
4 (D); 2 (B,J)
Madang keranjang
Tegari
T
2 (B’,J)
SISIPAN BIODIVERSITAS Volume 5, Nomor 1, Halaman: i-xxxii
ISSN: 1412-033X Januari 2004
Abstrak
Konggres dan Seminar Nasional Penggalang Taksonomi Tumbuhan Indonesia (PTTI) Universitas Sebelas Maret Surakarta, 19-20 Desember 2003
Biodiversitas Oral BO-01 Tipe Spora Lumut Marchantiales Spore types of Liverworth (Marchantiales) Heri Sujadmiko♥ Laboratory of Plant Taxonomy, Faculty of Biology, Gadjah Mada University, Jl. Sekip Utara, Yogyakarta 55281. Tel. +62-274902262, 563942
ABSTRAK. Penelitian mengenai spora lumut telah dilakukan dengan tujuan mempelajari morfologi spora untuk menentukan tipe spora anggota Marchantiales. Spora berbagai jenis lumut anggota Marchantiales sebagai bahan penelitian diperoleh dari Lereng Gunung Merapi dan hasil penelitian Nath & Asthana (1992) dari Pegunungan Himalaya. Data sifat dan ciri morfologi spora yang dipelajari untuk menentukan tipe spora adalah meliputi: bentuk, ukuran, simetri, apertura, perispora dan ornamentasi spora. Hasil pengamatan 10 jenis lumut anggota Marchantiales mempunyai tipe spora dengan sifat dan ciri: Bentuk spora oblat, subsperoidal & prolat; Spora berukuran kecil sampai sangat besar; Simetri spora dari asimetri sampai simetri radial & bilateral, Perispora ada/tidak ada; Ornamentasi striat, retikulat & granulat.
morphologically. This research had been done in 6 sites (populations) of the southern and northern coast of Java, i.e. Bogowonto estuary, Kulonprogo (1 pop.), Segara Anakan, Cilacap (2 pops), coast of Pasar Bangi, Rembang (1pop), Juwana estuary, Pati (1 pop), and Canal Wulan estuary, Demak (1 pop). The research indicated that S. alba was more dominant, but there were some confused in morphological character, that may be caused by hybridization. Isozymic analyses on peroxidase and esterase marker to 60 individuals (10 per population) had been no differing in isozymic band significantly. They have similarity index value more than 60%. It indicated, that they tend to same species than separate it. Keywords: isozyme, diversity, Sonneratia, northern and southern coast of Java.
BO-03 Keanekaragaman Tanaman Pekarangan di Kota Tomohon, Sulawesi Utara Homegarden plants diversity at City of Tomohon, North Sulawesi Dintje F. Pendong1, Arrijani1,2,♥ 1
2
Kata kunci: tipe spora, Marchantiales.
BO-02 Keanekaragaman Sonneratia spp. di Pantai Utara dan Selatan Jawa Tengah Berdasarkan pola Pita Isozim. Isozymic diversity of Sonneratia spp. in northern and southern coast of Java. Ahmad Dwi Setyawan Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS). Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375. e-mail:
[email protected]
ABSTRACT. Sonneratia spp. was genetically unique genera. They had some members in Java, especially Sonneratia alba and S. caseolaris. This species have ability to cross reproduction, and produce fertile hybrid, although the fertility is lower than the parent, so they hard to differ
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Manado, Tondano 95187 Mahasiswa Program Doktor, Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
ABSTRACT. Homegarden (pekarangan) is one of ecosystem types becomes more and more important for support biodiversity in Indonesia because the yard is 4,5 million hectare or more 27% from total farmland in Indonesia (data at 1980). This research had been done to obtain data on the number of the plants species in the pekarangan. This is a descriptive research using survey method at Kota Tomohon city regency of Minahasa North Sulawesi. There are 3 stratum of crop based on high i.e. stratum 1 < 1 m, stratum 2 between 1-3 m and stratum 3 > 3 m. The research findings showed that the plants community in the pekarangan has a low value of species diversity index (Brillouin’s index) when calculated to the number of species and the varieties of the plants. From the environmental quality, the plants species diversity index value is moderate. The Pekarangan plants are dominated by the varieties of decorating plants (59,9%), while the rests are fruit trees (16,5%), various medicinal plants (11,8%), vegetables (9,3%), and shade (2,5%).
ii
SISIPAN BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 1, Januari 2004, hal. : i-xxxii
Keywords: Homegarden (pekarangan), plant diversity, Tomohon city, North Sulawesi.
BO-04 Pemanfaatan Penanda RAPD untuk Melakukan Uji Paternitas Pada Kultivar Tomat (Lycopersicon lycopersicum L.) The use of RAPD marker to get paternity test on tomatos cultivar (Lycopersicon lycopersicum L.) Diah Kusumawaty Program Studi Biologi, Jurusan Pendidikan Biologi, FPMIPA, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Jl. Dr. Setiabudhi 229, Bandung 40154. Tel. & Fax.: +62-22-2001937. e-mail:
[email protected]
ABSTRAK. Studi keanekaragaman genetik dengan menggunakan metode “Random Amplified Polymorphic DNA” telah digunakan untuk melakukan uji paternity pada lima kultivar tomat (Lycopersicon lycopersicum L.). Kelima kultivar tersebut terdiri dari tiga kultivar yang telah diketahui asal usul persilangannya dan telah dideterminasi yaitu Ratna, Mutiara dan Berlian. Sedangkan dua kultivar lainnya yaitu LV2099 dan LV2471 belum dideterminasi dan belum diketahui asal usulnya. Kelima DNA kultivar tomat tersebut diamplifikasi dengan menggunakan sepuluh macam primer berukuran 10 nukleotida dengan alat “ Polymerase Chain Reaction” (PCR). Hanya 4 dari 10 primer yang dianalisis lebih lanjut yang seluruhnya menghasilkan 27 macam larik DNA dengan kisaran berat molekul 150-3380 pb. Analisis klaster berdasarkan “Simple Matching” mengelompokkan kultivar Ratna yang berasal dari Filipina dan LV2099 yang berasal dari Lembang dengan koefisien kesamaan 0.85, diduga LV2099 adalah hasil pemuliaan yang menggunakan Ratna sebagai salah satu induknya. Klaster grup pertama adalah Ratna, LV2099 dan Mutiara (hasil persilangan dari Ratna dan UPCA1169). Kultivar Mutiara memiliki nilai kesamaan 0.67 dengan pasangan kultivar Ratna dan LV2099. Klaster grup kedua adalah Ratna, LV2099, Mutiara dan LV2471. Sedangkan Berlian yang merupakan hasil introduksi dari Taiwan berada di luar kelompok tersebut. Terpisahnya Berlian dari keempat kultivar lainnya diduga karena kultivar Berlian tidak dipakai sebagai induk bagi kultivar LV2099 dan LV2471. Metode RAPD menunjukkan dapat membantu untuk mendeterminasikan hubungan genetik di antara kelima genotip tomat. Kata kunci: RAPD, Lycopersicon lycopersicum L, tomat, uji paternity.
BO-05 Analisis Kualitas Produk Fermentasi Beras (Red Fermented Rice) dengan Monascus purpureus 3090 The analysis of the quality of red fermented rice (RFR) product with Monascus purpureus 3090 Djumhawan R. Permana♥, Sunnati Marzuki, D. Tisnadjaja ♥
Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911. Tel.: +62-21-8754587. Fax.: +62-218754588.
ABSTRACT. Analysis of red fermented rice product with Monascus purpureus 3090 was conducted on monascus floor product (MFP-264), MFP-244 and rice monascus product (RMP). Evaluation of microbiological, pigment intensity and lovastatine content analysis result was aimed to see quality differences on each production of 5 kg rice raw material. Of both product types (MFP-264, RMP) which only oven dried compare to MFP-244 which is sterilized in autoclave showed a significantly difference of population level on total microorganism colonies, that is mould 26x106 propagule/ml, bacteria 13x106 cell/ml (MFP-264), mould 6 6 85x10 propagule/ml, bacteria 265x10 cell/ml (RMP). The MFP-244 produced highest absorption spectra 0.35130.4050 compare to MFP-264 0.3110-0.3324, rice monascus product (RMP) 0.3343-0.3663. Pigment biosynthesis seems occurred at sexual developmental stage or conidia formation of M. purpureus 3090, which is produced color changes of yellow pigment, orange pigment, and red pigment. Lovastatine content of MFP-264 has Rf value 0.84 MFP-244 Rf 0.83 and RMP Rf 0.82 showed higher value compare to Rf 0.81 of the lovastatine standard solution. Keywords: quality analysis, rice fermented Monascus purpureus 3090.
product,
BO-06 Pengetahuan Lokal Suku Marind-Papua versus Ilmiah Botani Tanaman Wati (Piper methysticum Forst.) Local knowledge of Marind trible, Papua versus botanical saintific of tanaman wati (Piper methysticum Forst.) 1 2,♥ Konstantina M.B. Kameubun , Eko Baroto Walujo 1 2
Fakultas MIPA Universitas Cendrawasih, Jayapura "Herbarium Bogoriense", Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16122. Tel.: +62-251322035. Fax.: +62-251-336538. e-mail:
[email protected]
ABSTRAK. Wati (Piper methysticum Forst.), merupakan salah satu jenis tanaman yang memiliki arti penting bagi kehidupan sosial dan religius masyarakat di Papua, masyarakat di kepulauan Pasifik dan Papua Nugini. Sebagian besar masyarakat mengenalnya sebagai bahan dasar minuman keras. Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa jenis ini mengandung senyawa kavain, hidrokavain dan dihidrometistesin yang diidentifikasi sebagai narkotik dan sedatif. Di Papua, terutama di Kabupaten Merauke jenis ini memiliki nama lokal yang berbeda-beda. Melalui penelitian etnobotani dengan menggunakan pendekatan emik dan etik, terungkap bahwa tanaman wati menurut perspektif masyarakat Marind Pantai dan Marind Darat terdapat 10 kategori yang berasal dari 30 nama lokal. Dari jumlah tersebut, 8 kategori diantaranya telah dibudidayakan dan sisanya tidak dibudidayakan. Secara lokal mereka mengelompokkan berdasarkan habitus, tinggi tanaman, warna batang, panjang pendeknya ruas batang, dan ada tidaknya bintik-bintik pada batang. Ternyata pencirian ini belum cukup kuat untuk menentukan mereka sebagai jenis yang berbeda seperti yang diakui dalam tatanama ilmiah botani. Oleh sebab itu, dicari jalan lain dengan cara menganalisis berdasarkan ciri-ciri anatomi pada akar, batang, dan daun. Hasilnya diketahui bahwa tanaman wati (P. methysticum Forst.) memiliki 4 kultivar: masing masing P. methysticum var. babit, P. methysticum var. palima, P. methysticum var. safufare dan P. methysticum var. marub. Kemudian dengan menggunakan program NTSYSpc versi
ABSTRAK – Konggres dan Seminar Nasional PTTI, UNS-Solo, 19-20 Desember 2003 2.0 dapat diketahui hubungan kekerabatannya, dimana var. palima dan var. babid memiliki kemiripan karakter yang paling dekat. Kata kunci: Suku Marind-Papua, tanaman wati (Piper methysticum Forst.)
BO-07 Keanekaragaman Bambu di Pulau Sumba Bamboo diversity in Sumba island Elizabeth A. Widjaja♥, Karsono "Herbarium Bogoriense", Bidang Botani, Pusat Penelitian BiologiLIPI. Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16122. Tel.: +62-251-322035. Fax.: +62-251-336538. e-mail:
[email protected]
ABSTRAK. Bambu merupakan salah satu tanaman ekonomi yang umumnya tumbuh di pedesaan dan banyak dimanfaatkan oleh penduduk di desa. Indonesia diperkirakan memiliki 10% jenis bambu di dunia, 50% di antaranya merupakan bambu endemik di Indonesia. Menurut Widjaja (2001) Kepulauan Sunda Kecil yang termasuk di antaranya Lombok, Sumbawa, Flores, Timor, Sumba dan pulau-pulau di sebelah timur Flores memiliki 14 jenis bambu, namun sebenarnya informasi dari Pulau Sumba belum direkam dengan teliti karena kurangnya data dari daerah ini kecuali jenis yang diusulkan oleh S. Soenarko pada tahun 1977 yang dikoleksi oleh Iboet 443 tahun 1925. Untuk melengkapi data dari Pulau Sumba maka dilakukan eksplorasi ke daerah ini pada bulan Juli 2003. Pengamatan dilakukan di Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Timur terutama pada cagar alam di daerah tersebut. Berdasarkan atas hasil eksplorasi dan penelitian di Pulau Sumba, saat ini terekam ada 10 jenis bambu, 1 jenis di antaranya (Dinochloa sp.) merupakan jenis yang sebelumnya belum pernah ditemukan di pulau ini, demikian pula 1 jenis lagi (Dinochloa kostermansiana) merupakan data baru untuk daerah ini. Jenis-jenis bambu yang terekam dari Pulau Sumba adalah Bambusa blumeana, Bambusa vulgaris, Dendocalamus asper, Dinochloa kostermansiana, Dinochloa sp., Gigantochloa atter, Nastus reholtumianus, Phyllostqachys aurea, Schisotachyum brachycladum dan Schizostachyum lima. Dari antara kesepuluh jenis tersebut, hanya jenis-jenis Dinochloa yang ditemukan tumbuh liar di hutan-hutan, sedangkan jenis lainnya umumnya tumbuh meliar atau ditanam di pekarangan dan kebun penduduk. Di samping itu marga Dinochloa merupakan satu-satunya jenis yang merambat. Adapun jenis endemik yang terdapat di Pulau Sumba adalah Nastus reholttumianus, sedangkan jenis Dinochloa kostermansiana juga tumbuh di Pulau Flores sedangkan jenis Dinochloa sp. juga tumbuh di Papua. Kata kunci: keanekaragaman, bambu, pulau Sumba.
BO-08 Keragaman Oryza sativa dari Pengetahuan Masyarakat Baduy tentang Varietas Padi Lokal Hingga Varietas Padi Hasil Rekayasa Genetik untuk Melestarikan Nilai Budaya dan Ilmiah Diversity of Oryza sativa from knowledge of society Baduy of local varieties paddy till varieties paddy result of genetic engineering to preserve the erudite and cultural value.
iii
Ely Djulia♥ Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Medan (UNIMED), Jl. Willem Iskandar Pasar V Sampali, Medan 20221
ABSTRAK. Masyarakat adat baduy di Banten dan masyarakat ciptagelar di Jawa Barat, Indonesia telah lama mengenal varietas padi lokal yang diklasifikasikan berdasarkan karakteristik morfologi seperti: (i) padi biasa, padi ketan; (ii) padi berbulu dan tidak berbulu; (iii) warna beras: putih, hitam, merah; (iv) bentuk, ukuran, dan warna bulu butir padi; (v) warna jerami, dan (vi) umur tanam padi. Berdasarkan karakteristik tersebut masyarakat baduy telah mengenal 89 varietas padi lokal, masyarakat ciptagelar telah mengenal lebih dari 100 varietas padi lokal. Telah dikenal pula cara tradisional untuk menjaga padi agar tahan terhadap hama dengan menggunakan biopestisida. Perkembangan penelitian padi lebih lanjut yang menyangkut daya tahan terhadap hama telah dilakukan tidak berdasarkan morfologi tapi lebih didasarkan pada kemampuan genetis genetis yang bisa dimunculkan melalui rekayasa genetika. Pergerakan dari taksonomi konvensional berdasarkan klasifikasi rakyat menuju taksonomi modern berdasarkan genetika molekuler, diharapkan bahwa semakin terungkap keragaman varietas padi lokal, semakin ditemukan varietas padi hasil rekayasa genetik, semakin bijak masyarakat memecahkan masalah lingkungannya. Hal ini berimplikasi pada pendidikan lingkungan dalam memelihara nilai budaya dan nilai ilmiah melalui pendidikan lingkungan berkelanjutan Kata kunci: Oryza sativa, varietas lokal, varietas hasil rekayasa genetik, ekosistem berkelanjutan.
BO-09 Variasi Kandungan Serat Kasar dan Vitamin C Varietas Apel (Malus pumila L.) Variation in content of fibers and vitamin C of some apple varieties (Malus pumila L.) Gotri Lastiti, Endang Anggarwulan♥ Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62271-663375. e-mail:
[email protected]
Abstract. Apple (Malus pumila L.) is one of the fruits, which have nutritional content completely. This fruit is not originally from Indonesia, but it had been widely planted in Batu, Malang, and Timor island. Apple has some varieties that have specific aromas and tastes. This research conducted to find out variation of fibers and vitamin C content of three varieties of apple, namely: manalagi, rome beauty, and jonathan. The materials had been collected from Pasar Gede Surakarta in five repetitions randomly. Analyses of fiber content conduct on defeating and digest methods in order to get cellulose and lignin residues. The vitamin C content had been measured by titration-iodometry method. Analyses of data used analysis of variance (ANOVA) one-way factor, followed by orthogonal contrast test. The research result indicated that content of fibers and vitamin was significantly different. Fiber content of rome beauty was 2,6534%, manalagi was 2,2806%, and jonathan was 1,708%. Vitamin C content of manalagi was 5,56 mg, rome beauty was 4,08 mg, and jonathan was 3,80 mg. Keywords: apple (Malus pumila L.), variety, content of fiber, content of vitamin C.
iv
SISIPAN BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 1, Januari 2004, hal. : i-xxxii
BO-10 Plant diversity and population in Mount Kelud, East Java Keanekaragaman tumbuhan dan populasinya di Gunung Kelud, Jawa Timur Inge Larashati "Herbarium Bogoriense", Bidang Botani, Pusat Penelitian BiologiLIPI. Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16122. Tel.: +62-251-322035. Fax.: +62-251-336538. e-mail:
[email protected].
ABSTRACT. Mount Kelud is an uppershed Brantas area which has high potential plant diversity. But the land in that uppershed had experienced much erosion. Beside erosion process, human disturbances in the resort added the burdence to the existence of the vegetation. That is why the existence and condition of the plants must be monitored and studied. Assessment of the plants was conducted through literaturel studies, field surveys and using quadrate plot methods Oosting (see Kent & Paddy, 1992) 0.75 ha each at different altitudes (600 m, 800 m and 1000 m) above sea level. The results showed that a total number of 125 species belonging to 94 genera and 49 families were recorded. All three plots were dominated by Dendrocalamus asper and Villebrunea rubescens. Keywords: Plants; Diversity and population; Mount Kelud, East Java.
BO-11
ABSTRAK. Oncidium Golden Shower adalah tanaman anggrek hasil silangan (F1) antara O. sphacelatum dengan O. flexuosum. Tanaman ini merupakan tanaman hybrid steril. Sterilitas ditunjukkan dengan tidak viabelnya polen (polinium) baik pada pengujian dengan teknik fluorescein diasetat (FDA) maupun pada pengujian secara invitro. Polinasi menggunakan polinium Oncidium Golden shower tidak menunjukkan tabung polen. Tidak adanya tabung polen ini tidak dapat merangsang pertumbuhan ovulum pada ovarium dan sel telur tidak terbentuk. Hasil pengamatan terhadap mikrosporogenesis dengan teknik usapan acetocarmin menunjukkan bahwa meiosis terjadi secara tidak teratur. Ketidakaturan dalam meiosis menyebabkan terbentuknya 1-2 mikrointi pada satu butir polen hasil mikrosporogenesis. Ketidakaturan juga terjadi selama sitokinesis, sehingga pembelahan meiosis dapat menghasilkan 2 sampai 7 sel anak dengan atau tanpa mikrosel. Pada beberapa kasus pembelahan meiosis tidak diikuti sitokinesis sehingga menghasilkan polen monad. Ketidakaturan dalam pembelahan meiosis ini dapat dijadikan indikator rendahnya tingkat homolog kromosom tanaman induk. Kata kunci: Oncidium golden-shower, anggrek hybrid F1, sterilitas, ketidakaturan mikrosporogenesis.
BO-13 Eksplorasi Araceae di Kawasan Cagar Alam Sibolangit Ditinjau dari Kekerabatan Fenetik dan Sifat Fisik Media Tumbuh
Empat Jenis Baru Palem dari Kepulauan Raja Ampat, Kabupaten Sorong, Papua, Indonesia
Exploration of Araceae in Sibolangit Natural Preserve area evaluated with fenetic ralationship and physical character of growth media.
Four new species of palm from Raja Ampat islands, district of Sorong, Papua, Indonesia
Martina Restuati♥, Ashar Hasairi, Riwayati
Johanis P. Mogea "Herbarium Bogoriense", Bidang Botani, Pusat Penelitian BiologiLIPI. Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16122. Tel.: +62-251-322035. Fax.: +62-251-336538. e-mail:
[email protected]
ABSTRAK. Dalam penelitian sepintas mengenai flora di Kepulauan Raja Ampat yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Sorong, Propinsi Papua ditemukan empat jenis palem baru yaitu: masing-masing satu jenis yang termasuk dalam Gulubia, Livistona, Pinanga, dan Calamus. Kata kunci: empat jenis baru, palem, Kepulauan Raja Ampat, dan hasil sementara.
BO-12 Sterilitas Pada Tanaman Anggrek Oncidium Golden – Shower (Hibrida F1) Sterility on golden-shower orchid Oncidium (F1 hybrid) Adi Rahmat, Kusdianti♥ Program Studi Biologi, Jurusan Pendidikan Biologi, FPMIPA, Universitas Pendidikan Indonesia. Jl. Dr. Setiabudhi 229, Bandung 40154. Tel. & Fax.: +62-22-2001937. e-mail:
[email protected]
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Medan (UNIMED), Jl. Willem Iskandar Pasar V Sampali, Medan 20221
ABSTRAK. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis Araceae, melihat pola hubungan kekerabatan fenetik dan memperoleh data sifat fisik media tumbuh Araceae di kawasan Hutan Wisata Cagar Alam Sibolangit Sumatera Utara. Metode yang digunakan survei eksploratif. Teknik pengambilan sampel dengan cara "purpossive sampling". Tumbuhan Araceae yang didapat dikoleksi dengan membuat herbarium untuk keperluan identifikasi. Untuk mendapatkan dendogram pola hubungan kekerabatan fenetik dilakukan dengan analisis program "systat". Penentuan tekstur tanah dengan menggunakan "Segitiga Miller". Hasil penelitian dikawasan Hutan Wisata Cagar Alam Sibolangit ditemukan 20 jenis talas-talasan. Jenis tanah yang paling banyak dijumpai pada tanaman Araceae adalah tekstur tanah liat dan pasir lempung. Suhu tanah berkisar antara 23-24° C dan pH tanah berkisar antara 6,1-6,4. Pola hubungan kekerabatan fenetik Araceae dari 20 jenis terbagi atas 14 kelompok dengan menggunakan 9 ciri morfologi sebagai parameter. Kekerabatan fenetik Araceae yang paling dekat adalah Anthurium scherzerianum var. merah dan A.scherzerianum var. putih diikuti oleh Alocasia macrorrhiza, Alocasia crassifolia dan Homolonema aromaticum memiliki 9 karakter yang sama dari 9 karakter yang diambil. Manfaat Araceae yang banyak ditemukan adalah sebagai tanaman hias.
ABSTRAK – Konggres dan Seminar Nasional PTTI, UNS-Solo, 19-20 Desember 2003 Kata kunci: Eksplorasi, Araceae, Kekerabatan, Fenetik, Media tumbuh.
Floristics of mangrove tree species in Angke-Kapuk protected forest Onrizal 1
BO-14 Variasi Morfologi Daun Pelindung Bunga Jantan pada Kultivar Pisang dengan Komposisi Genom Berbeda Muhammad Abdullah♥, Jumari♥♥ Jurusan Biologi FMIPA Universitas Diponegoro (UNDIP). Jl. Prof. Soedarto Tembalang Semarang
ABSTRAK. Keanekaragaman kultivar pisang dapat diamati dari sitat ciri daun pelindungnya (brachtea). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi morfologi daun pelindung bunga jantan dari kultivar pisang dengan komposisi genom yang berbeda. Bahan penelitian berupa kultivar pisang di Semarang yang sudah diketahui komposisi genomnya. Pengamatan meliputi bentuk brachtea, ujung brachtea, penyirapan kuncup jantan (jantung), rasio punggung brachtea, warna brachtea, sitat saat membuka. Dari hasil pengamatan didapatkan bahwa k ultivar dengan komposisi genom AA, cenderung mempunyai bentuk brachtea lanset, rasio tinggi; genom BB/ABB/ABBB: bentuk membulat, rasio rendah, sedangkan genom AAA dan AAB bentuk brachteanya antara lanset dan membulat, rasio sedang. Genom AA dan AAA umumnya berbrachtea kuning. memudar atau merah pucat, tidak menyirap, saat membuka brachtea menggulung. Genom AB dan AAB: brachtea warna merah merata, agak menyirap dan menggulung. Kultivar dengan genom ABB warna brachteanya merah merata, menyirap dan menggulung. Sedang sifat brachtea kultivar dengan genom BB terangkat tidak menggulung. Kata kunci: kultivar pisang, brachtea, komposisi genom.
v
2
1,♥
, Rugayah2
Program Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara, Medan; & Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. E-mail:
[email protected]. "Herbarium Bogoriense", Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16122. Tel.: +62-251322035. Fax.: +62-251-336538. e-mail:
[email protected].
ABSTRAK. Hutan Lindung Angke-Kapuk dengan luas 44,76 ha merupakan bagian hutan mangrove Tegal AlurAngke-Kapuk. Berdasarkan letaknya, hutan ini berperan penting sebagai penyambung (interface) antara ekosistem daratan dan lautan, baik aspek fisik, biologi atau sosial ekonomi, dan menjadikan ekosistem mangrove sebagai ekosistem yang produktif dan unik di kawasan pesisir. Namun demikian, studi floristik vegetasi hutan mangrove di hutan lindung ini belum pernah dilakukan sebelumnya. Berdasarkan studi yang dilakukan pada bulan SeptemberNovember 2003 ditemukan 7 jenis pohon mangrove di kawasan hutan lindung Angke-Kapuk. Jenis-jenis pohon mangrove tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam dua grup, yakni (a) mangrove sejati yang terdiri atas 6 jenis, yaitu Avicennia officinalis, Rhizophora apiculata, R. mucronata, Sonneratia caseolaris (kompenen utama), Excoecaria agalloca, dan Xylocarpus moluccensis (komponen tambahan), dan (b) sisanya sebagai asosiasi mangrove, yaitu Terminalia catappa. Di kawasan hutan lindung ini juga dijumpai 7 jenis pohon mangrove yang merupakan jenis introduksi, yaitu Bruguiera gymnorrhiza, Calophyllum inophyllum, Cerbera manghas, Paraserianthes falcataria, Tamarindus indicus, Acacia mangium, dan A. auriculiformis. Berdasarkan tingkat pertumbuhannya, B. gymnorrhiza, C. inophyllum dan C. manghas baru sampai tingkat semai dan pancang, sedangkan P. falcataria, T. indicus, A. mangium, dan A. auriculiformis sudah ada yang mencapai tingkat tiang dan pohon. Kata kunci: jenis pohon mangrove, hutan lindung AngkeKapuk.
BO-15 Keanekaragaman Anggrek di Situ Gunung, Kabupaten Sukabumi Orchids diversity of Situ Gunung, district of Sukabumi ♥
BO-17 Keanekaragaman Tumbuhan Obat di Gunung Lawu
Nina Ratna Djuita , Sri Sudarmiyato, Hendrius Candra, Sarifah, Siti Nurlaili, Rully Fathony
Medicinal plant diversity in mount Lawu
Jurusan Biologi, FMIPA Institut Pertanian Bogor, Jl. Pajajaran Baranangsiang Bogor 16144. Tel. & Fax.: +62-251-345011.
Purin Candra Purnama♥, Raden Roro Dwi Rahayu Mianingsih, Wiryanto, Ahmad Dwi Setyawan♥♥
ABSTRACT. Study on the orchids diversity was conducted in Situ Gunung. There were 41 collection numbers, consist of 18 terrestrial orchids, 22 epiphyte orchids and one saprophyte orchid, belong to 26 genera and 41 species. There were eight species of flowering orchids and the rest were not flowering stage. Agrostophyllum bicuspidatum J.J. Sm, Plocoglottis acuminata Bl. dan Appendicula sp. were commonly found at Situ Gunung.
Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta, Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel.: +62-271-663375. Fax.: +62-271-663375. email:
[email protected]
Keyword: orchids, Situ Gunung
BO-16 Flora Mangrove Berhabitus Pohon di Hutan Lindung Angke-Kapuk
ABSTRACT. The aim of the research was to find out plants species that have potent on medicinal purposes in mount Lawu. The research had been done simultaneously from June till October 2003, and it was fully equipped the research a last year ago. The research had been conducted in south slope, along mountainous trekking, from Cemorosewu (1900 m dpl.) to Argo Dumilah peak (3265 m dpl). The research result indicated that there was more than 100 plant species, whereas more that 50% of them had potent to medicinal purposes. Plantago major was one of the cultivated plants in the peak areas and it had high economical value.
vi
SISIPAN BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 1, Januari 2004, hal. : i-xxxii
Keywords: medicinal plant, diversity, mount Lawu
BO-18 Hubungan Kekerabatan Piper spp. Ditinjau dari Sifat Morfologi dan Minyak Atsiri Daun di Daerah Istimewa Yogyakarta Relationship of Piper spp. based on morphological and leaf essential oil character in Yogyakarta Purnomo♥, Rani Asmarayani Laboratorium Taksonomi Tumbuhan, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada (UGM), Jl. Sekip Utara, Yogyakarta 55281
ABSTRAK. Beberapa jenis Piper diinformasikan sebagai bahan alam untuk ramuan berbagai macam obat tradisional dan rempah-rempah. Minyak atsiri diduga merupakan senyawa sebagai komponen utama yang berkhasiat obat. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan kekerabatan antar species Piper ditinjau dari sifat morfologi dan minyak atsiri daun. Dilakukan koleksi sample herbarium, fotografi species Piper di wilayah Yogyakarta, serta identifikasi untuk mengetahui keragaman species Piper di Yogyakarta. Diambil 500 gram sample daun segar setiap species dengan tiga ulangan pada perbedaan habitat. Isolasi minyak atsiri daun dilakukan dengan metoda destilasi Stahl dan dianalisis dengan kromatografi gas cair, dengan senyawa minyak atsiri standard yaitu caryophylene dan alpha pinene. Skema hubungan kekerabatan secara fenetik diperhitungkan berdasarkan pada indek similaritas. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan dendro-gram. Hasil koleksi sample herbarium dan identifikasi menunjukkan, bahwa terdapat 8 species Piper yang ditanam, yaitu P. miniatum Bl., P. betle L., P. recurvum Bl., P. aduncum L., P. nigrum L., P. cubeba L.f., P. retrofractum Vahl., dan P. sermentosum Roxb. Ex Hunter. Hubungan kekerabatan antar species Piper berdasarkan pada sifat morfologi menunjukkan, bahwa P. aduncum dan P. sermentosum mengelompok pada tingkat kesamaan 69.2% dan hanya memiliki tingkat kesamaan 40.4% terhadap kelompok species yang lain. Hubungan kekerabatan antar species Piper berdasarkan pada sifat morfologi dan minyak atsiri memiliki pola yang berbeda, P. retrofractum terpisah dengan kelompok species yang lainnya pada tingkat kesamaan 45.5%, tetapi P. aduncum dan P. cubeba menunjukkan tingkat persamaan yang tinggi (81.5%). Kata kunci: Piper spp., hubungan kekerabatan, morfologi, minyak atsiri daun.
BO-19 Sebaran ekologi Dipterocarpaceae di Indonesia
dipterocarp adalah terdapatnya tingkat endemisitas yang tinggi yaitu 128 jenis (53,78%) dari 238 jenis dipterocarp yang ada di Indonesia. Sebaran dipterocarp di pengaruhi oleh beberapa faktor terutama tanah, iklim, dan ketinggian tempat, Di Indonesia sebaran dipterocarp dapat dilihat berdasarkan sebaran pulau, jumlah jenis serta tipe hutannya. Berdasarkan basil pengamatan pada koleksi di Herbarium Bogoriense penyebaran dipterocarp yang paling banyak pada ketlnggian 0-500 m dan 500-1000 m dpl, pada tipe hutan dipterocarp, Kalimantan dan Sumatera merupakan dua pulau besar yang memiliki persebaran kelompok jenis dipterocarp yang cukup menonjol baik dari populasi maupun jumlah jenisnya. Kata kunci: Dipterocarpaceae, sebaran ekologi, ketinggian tempat, Indonesia.
BO-20 Herbarium Celebense (CEB) dan Peranannya dalam Menunjang Penelitian Taksonomi Tumbuhan di Sulawesi Herbarium Celebense (CEB) and its role in supporting research on plant diversity of Sulawesi Ramadhanil 1,2,♥, S. Robert Gradstein 3,♥♥ 1
2
3
Jurusan Manajemen Hutan dan Jurusan Budi Daya Pertanian, Universitas Tadulako Palu 94118, Indonesia Herbarium Celebense (CEB) Universitas Tadulako Palu 94118, Sulawesi Tengah, Indonesia Albrecht von Haller Institute of Plant Sciences, Departement of Systematic Botany, Untere Karspüle 2, 37073 Gottingen, Germany
ABSTRACT. Sulawesi is the largest island in Wallacea region and a biogeographically unique area. The island is very rich in endemic species, worldwide known only known from Sulawesi. Nevertheless, scientific knowledge of the plants of Sulawesi is still limited and there is a lack of botanical exploration and publications. In 2000, Tadulako University of Palu with support of the German Research Foundation (DFG), the Universities of Göttingen and Leiden and the Herbarium Bogoriense, has constructed a Herbarium, the Herbarium Celebense. The herbarium has been registered in the International Index Herbariorum (New York) with the abbreviation CEB. The Herbarium Celebense contains about 3000 plant specimens, especially from Central Sulawesi and mainly spermatophytes and pteridophytes. This article reviews the current knowedge of plant diversity of the Sulawesi and Wallacea bioregion as a basis for the conservation of its rich flora. Keywords: central Sulawesi, Wallacea bioregion, flora, biogeography, plant diversity, endemic plants.
Ecological distribution of Dipterocarpaceae in Indonesia Purwaningsih "Herbarium Bogoriense", Bidang Botani, Pusat Penelitian BiologiLIPI. Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16122. Tel.: +62-251-322035. Fax.: +62-251-336538. e-mail:
[email protected]
ABSTRAK. Dipterocarpaceae merupakan salah satu suku besar dengan jumlah jenis >500 jenis di seluruh dunia, dan sebagian besar populasi dipterocarp tumbuh di Indonesia yang mempunyai nilai ekonomi tinggi terutama kayunya. Salah satu hal yang menarik dari kelompok jenis
BO-21 Molecular Identification and Detection of Binucleate Rhizoctonia in Roots and Soil Identifikasi dan deteksi molekuler pada Rhizoctonia binukleat pada akar dan tanah Rina Sri Kasiamdari Laboratory of Plant Taxonomy, Faculty of Biology, Gadjah Mada University, Jl. Sekip Utara, Yogyakarta 55281
ABSTRAK – Konggres dan Seminar Nasional PTTI, UNS-Solo, 19-20 Desember 2003 ABSTRACT. Binucleate Rhizoctonia spp. (BNR) consist of a taxonomically diverse group of species that differ in many significant features. Reliable characterization and identification of isolates of BNR using various traditional techniques are often difficult due to similarity in the morphological characteristics of the anamorphs and teleomorphs of BNR. In recent years, the Polymerase Chain Reaction (PCR) has been employed as an important technique for fungal identification and detection offering higher sensitivity and specificity than many traditional methods. The use of PCR has been successfully applied for BNR isolated from soil and roots by designing specific primers. Species specific primers developed from sequences within the ITS regions of the rDNA have the potential to be used in diagnostic studies. The simplicity of this techniques and its potential to detect very small numbers or amounts of target organism make it a suitable method for monitoring BNR. Keywords: binucleate Rhizoctonia, Polymerase Chain Reaction, specific primers.
Solikin Kebun Raya Purwodadi. Jl. Raya Purwodadi, Pasuruan 67163, Indonesia. Tel. & Fax. +62-341-426046.
ABSTRAK. Poaceae merupakan suku tumbuhan rerumputan yang mempunyai peranan penting dalam bidang ekonomi dan kehidupan sehari-hari. Tumbuhan ini berpotensi dan telah didayagunakan untuk pembuatan bangunan, perkakas, peralatan rumah tangga, kerajinan, bahan kertas, makanan, obat-obatan, dan berbagai acara. Inventarisasi dan penggalian potensi jenis rerumputan baik yang ditanam maupun yang tumbuh liar telah dilakukan di Kebun Raya Purwodadi melalui pengamatan langsung di kebun, wawancara dan studi pustaka. Dari hasil inventarisasi diketahui sebanyak 25 jenis bambu dan 35 jenis rumput baik yang ditanam maupun tumbuh liar. Marga bambu Bambusa dan Gigantochloa memiliki jenis yang lebih banyak dibanding marga bambu lainnya. Sedangkan jenis-jenis rumput yag paling banyak dijumpai dan dominan pada tempat-tempat tertentu adalah Polytrias amaura, Axonopus compressus dan Oplismenus burmanni.
BO-22
Kata kunci: jenis, Poaceae, Kebun Raya Purwodadi
Keanekaragaman Kultivar Tebu (Saccharum officinarum L.) di Kecamatan Stabat, Langkat, Sumatera Utara
BO-24
Diversity of sugarcane cultivars (Saccharum officinarum L.) in subdistrict Stabat, Langkat, North Sumatra Riwayati♥, Ashar Hasairi, Martina Restuati Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Medan (UNIMED), Jl. Willem Iskandar Pasar V Sampali, Medan 20221
ABSTRAK. Tujuan penelitian ini adalah untuk (i) memperoIeh data kuItivar Saccharum officinarum L. di Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat, (ii) poIa hubungan kekerabatan S. Officinarum, dan (iii) mengetahui tanggapan masyarakat terhadap manfaat kuItivar S. officinarum Metode yang digunakan adalah metode survei langsung ke Iapangan dan pengamatan literatur diIengkapi dengan wawancara Iangsung pada masyarakat di Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat. Analisis data dilakukan dengan mengkaji adanya variasi kultivar S. officinarum, pola hubungan kekerabatan dengan menggunakan program systat, pemanfaatannya oleh masyarakat dan persebarannya di Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat. Hasil peneIitian ditemukan 11 kultivar S. officinarum diantaranya: kultivar kuning (tebu cina), kultivar hitam, kultivar coklat, kultivar Ps 84, kultivar BT 176, kultivar Bz 110, kultivar Ps 89, kultivar Ps 58, kultivar Ps 86, kultivar Bz 134, dan kultivar Bz 132. PoIa hubungan kekerabatan fenetik terbagi atas 8 keIompok dengan 6 ciri morfoIogi sebagai parameter. Tanggapan masyarakat terhadap konservasi sumberdaya hayati tebu cukup baik, karena dapat dimanfaatkan daIam kehidupan.
Kajian Tetumbuhan Bawah pada Habitat Banteng di Padang Penggembalaan Bekol, Taman Nasional Baluran Study of undergrowth plant on banteng (Bos sondaicus) habitat of Pasturing Bekol, Baluran National Park. Suhadi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang (UM). Jl. Surabaya 6, Malang 65145. Tel. (0341) 14206.
ABSTRAK. Tetumbuhan bawah di padang penggembalaan Bekol, jumlah jenisnya sangat rendah. Banteng merupakan satwa ruminansia yang dilindungi, di Taman Nasional baluran terdapat 260-280 ekor. Tujuan penelitian untuk mengetahui sebaran tetumbuhan pada habitat banteng. Metode pengambilan sampel menggunakan transek mengikuti jejak banteng. Dari hasil penelitian diperoleh: (i) jumlah tetumbuhan bawah pada daerah yang diinjak banteng sebanyak 11 jenis, (ii) jumlah tetumbuhan bawah yang tidak diinjak banteng sebanyak 18 jenis, (iii) nilai penting pada daerah yang diinjak banteng 20,37%, adapun pada daerah yang tidak diinjak banteng 91,67%, (iv) area yang dinjak banteng menurunkan jenis pakan. Kata kunci: tetumbuhan bawah, habitat banteng, Taman Nasional Baluran.
BO-25
Kata kunci: keanekaragaman, kultivar tebu.
Anggrek-anggrek Saprofit di Jawa
BO-23
Saprophytic orchids in Java
Jenis-jenis Tumbuhan Suku Poaceae di Kebun Raya Purwodadi
Sulistyono
Plant species of family Poaceae in Purwodadi Botanic Garden
vii
Mahasiswa Program Pasca Sarjana, Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Sekip Utara Yogyakarta 55281. e-mail:
[email protected]
viii
SISIPAN BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 1, Januari 2004, hal. : i-xxxii
ABSTRAK. Di Jawa terdapat 24 jenis anggrek saprofit yang terdiri dari 14 genera. Salah satu genusnya yaitu Silvorchis merupakan satu satunya genus yang endemik di Jawa. Sedangkan lainnya merupakan jenis endemik di Jawa. Kata kunci: saprofit, Jawa, Silvorchis, endemik
BO-26 Daftar Jenis Tumbuhan Berbunga Taman Nasional Baluran, Jawa Timur List of flowering plants species in Baluran National Park, East Java Tukirin Partomihardjo "Herbarium Bogoriense", Bidang Botani, Pusat Penelitian BiologiLIPI. Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16122. Tel.: +62-251-322035. Fax.: +62-251-336538. e-mail:
[email protected]
ABSTRAK. Daftar jenis tumbuhan berbunga Taman Nasional Baluran ini disusun berdasarkan hasil eksplorasi tahun 1985, 1989, 1996 dan kunjungan lapangan 2001. Pengumpulan contoh tumbuhan terutama dilakukan terhadap jenis-jenis yang belum dikenal secara pasti..Identifikasi dilakukan dengan jalan membandingkan contoh tumbuhan dengan koleksi herbarium yang ada di Herbarium Bogoriense, Bogor. Identifikasi juga dilakukan secara langsung di lapangan terhadap jenis-jenis tumbuhan yang sudah dikenal secara pasti. Untuk mendapatkan nama jenis yang sah dilakukan penelusuran pustaka revisi terbaru. Tercatat sedikitnya 523 jenis tumbuhan berbunga terdapat di kawasan Taman Nasional Baluran yang tergolong dalam 93 suku. Poaceae tercatat suku paling kaya akan jenis disusul oleh Rubiaceae dan Papilionaceae. Kata kunci: daftar jenis, Taman Nasional Baluran, identiifikasi, komunitas.
occurred in the park had clumped distributions and only one of those showed a regular dispersion, namely Symplocos costata. It should be realized that populations with a clumped dispersion tend to provide over or under estimation of abundance, indicating the need for a larger sampling unit to cover. Based on the association tests conducted, three species (Antidesma tetrandrum, Pinanga coronata, and Castanopsis javanica) were significantly associated with Saurauia bracteosa, while Altingia excelsa and A. tetrandrum with Symplocos costata, as they had association indices more 0.3 using Jaccard Index. Pinanga coronata seems to be relatively closely associated with Saurauia cauliflora, Altingia excelsa with S. bracteosa, and Castanopsis javanica with S. costata. In contrast, Pinanga javana, Calamus adspersus, and Rhododendron album had low degrees of association, indicating their low abundance and co-occurrence with other species. Seven species of threatened plants were recorded in the Mount GedePangrango: 5 of which had been proposed to change in their status. They were Calamus adspersus from vulnerable (V) changed into vulnerable (V UD2)., Lithocarpus indutus from vulnerable changed into critically endangered, Pinanga javana from endangered changed into vulnerable, Rhododendron album from vulnerable changed into endangered, and Saurauia bracteosa from vulnerable changed into endangered. Keyword: dispersion pattern, interspecific association, population status, threatened plants, Gede-Pangrango National Park
BO-28 Fossil Wood of Dipterocarpaceae from Pliocene Deposit in the West Region of Java Island, Indonesia Fosil kayu Dipterocarpaceae dari lapisan Pliosen di bagian barat Pulau Jawa, Indonesia Yance I. Mandang
BO-27 Dispersi Asosiasi dan Status Populasi Tumbuhan Terancam Punah di Zona Sub Montana dan Montana Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Dispersion pattern interspecific association and population status of threatened plants on submontane and montane zones of Mount Gede-Pangrango National Park Wihermanto Pusat Konservasi Tumbuhan – Kebun Raya Bogor. Jl.Ir. H.Juanda 13, PO Box 309, Bogor 16003. Tel. +62-251-352519. Fax.: +62251-322187. e-mail:
[email protected],
[email protected]
ABSTRACT. The Mount Gede-Pangrango National Park has an attractive landscape view of mount summits with its crater, genuine flora and fauna of tropical rainforest, and a mild weather. Exploitation is forbidden in the area, but in reality encroachments occur, which will lead to changes in plant population status, particularly for threatened species. The aims of the research were investigate the populations status, dispersion pattern and possible interspecific associations of threatened plant species occurred in the sub montane and montane zones of the Mount GedePangrango National Park. Most of the threatened species
1
2
1,♥
, Noriko Kagemon2,♥♥
Forest Product Research and Development Center Bogor Indonesia. Jl. Gunung Batu 5, Bogor 16610, Indonesia, Tel. +62251-633378, Fax. +62-251-633417. e-mail:
[email protected]. Wood Research Institute, Kyoto University, Uji, Kyoto 6110011, Japan. Fax: 0774-38-3600. e-mail:
[email protected]
ABSTRACT. Fossil woods in Java Island have been excavated and sold for outdoor ornaments or indoor decoration purposes since 30 years ago. These fossils are in danger of being drained out without known identities, composition and history. This study was aimed to find out the botanical identity and geographical aspect of a newly recovered silicified fossil wood from Banten area in the west region of Java Island. The fossil trunk 28 m in length and 105 cm in diameter was buried in a tuffaceous sandstone layer. The age of the stratum was thought to be Lower Pliocene. A small sample was cut from the outer part of the log and then ground to obtain thin section for anatomical observation. The main anatomical features of the fossil wood are as follows: wood diffuse porous; vessel almost exclusively solitary, vascicentric tracheid present; axial intercellular canal present, distributed in long tangential rows; fibers with distinctly bordered pit. These features show affinities of the fossil wood to the extant wood Dryobanoxylon of the family Dipterocarpaceae, regardless of the fact that this genus is no longer exists living in the natural forest of the present day Java Island.
ABSTRAK – Konggres dan Seminar Nasional PTTI, UNS-Solo, 19-20 Desember 2003
ix
Keywords: fossil wood, Dipterocarpaceae, Dryobanoxylon, pliocene, Java island.
Corypha, Metroxylon, Nypa, dan Pigaffeta. Kelompok palem ini sangat berpotensi dan menanti untuk dikembangkan, namun keberadaannya mulai terancam.
BO-29
Kata kunci: Keragaman, palem, Papua.
Variasi Morfologi Daun Kultivar Pisang yang Memiliki Komposisi Genom yang Berbeda
BO-31
♥
Yustian Rovi Alfiansah , Jumari
♥♥
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Diponegoro (UNDIP). Jl. Prof. Soedarto Tembalang Semarang
ABSTRAK. Kultivar pisang yang ada sekarang memiliki berbagai macam komposisi genom. Masing-masing komposisi genom tersebut menunjukkan sifat ciri yang khusus antara lain dalam ciri morfologi daunnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati ciri morfologi daun kultivar pisang yang memiliki komposisi genom yang berbeda. Bahan penelitian berupa tumbuhan pisang yang terdapat di Semarang yang sudah diidentitlkasi komposisi genomnya. Pengamatan meliputi sifat tepi tangkai daun, bentuk pangkal helaian daun, perbandingan panjang dan lebar helaian daun kerebahan daun, warna tepi tangkai daun dan bentuk penampang lintang tangkai daun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kultivar pisang dengan komposisi genom yang sama cenderung mempunyai kesamaan ciri morfologi daun. Sifat ciri yang mudah diamati untuk membedakan genomnya adalah: sifat tepi daun dan pangkal helaian daun. Kultivar pisang genom AA mempunyai tepi daun membuka bersayap dan pangkal helaian daun berbentuk pasak. Genom AAA, tepi tangkai daun membuka bersayap, pangkal helaian daun antara pasak dan membulat. Komposisi genom AAB, tepi daun membuka tegak, pangkal helaian daun antara membulat dan bertelinga. Genom ABB, tepi tangkai daun tegak. Genom ABB, ABBB/BB, tepi tangkai daun menutup, pangkal helaian daun bertelinga.
Biological, Ecological and Usefulness of Acacia nilotica (L.) Del. in this Time and its Attendance this Problem for Grassland in Baluran National Park, East Java Biologi, ekologi, dan kegunaan akasia [Acacia nilotica (L.) Del.]; Saat ini kehadirannya menimbulkan masalah bagi padang rumput di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur Djufri 1
2
1,2
Jurusan PMIPA FKIP Universitas Syiah Kuala (UNSYIAH) Banda Aceh. 23111, NAD, Indonesia Mahasiswa Program Doktor, Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) Bogor 16144.
ABSTRACT. Acacia nilotica (L.) Del. is a thorny wattle native to India, Pakistan, and much of Africa. This species is widely distributed in tropical and subtropical Africa, from Egypt and Mauritania to South Africa. In Africa and Indian subcontinent, A. nilotica is extensivelly used as browse, timber, and fire-wood species. The bark and seeds are used as source of tannins. The species is also used for medicinal purpose. Bark of acacia has been used for threating haemorrhages, colds, diarrhoea, tuberculosis and leprosy, while the roots have been used as aphrodisine and the flower for threating syphillis lession. The invassion of A. nilotica has resulted in the reduction of the savanna in Baluran National Park reaching about 50%. Presence of the species had a great impact on the balance and preservation of whole ecosystem in Baluran National Park.
Kata kunci: Kultivar pisang, komposisi genom, morfologi daun.
Keywords: Acacia nilotica (L.) Del., grassland, Baluran National Park.
BO-30
BO-32
Sekilas Tentang Keragaman Palem di Papua A review on diversity of palm in Papua Charlie D. Heatubun 1
2
Fakultas Kehutanan Universitas Papua, Manokwari, Irian Jaya Barat, Papua. Mahasiswa Departemen Biologi, Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor
ABSTRAK. Perhatian terhadap suku palem-paleman (Arecaceae) di Papua, dalam 10 tahun terakhir meningkat. Hal ini ditandai dengan meningkatnya aktivitas pengumpulan spesimen di lapang, baik spesimen untuk koleksi hidup maupun herbarium, yang kemudian diikuti dengan kajian status taksonomi marga-marga tertentu yang seringkali disertai penemuan jenis-jenis baru. Dari 32 marga palem yang ada di pulau Irian (New Guinea), 29 marga terdapat di Papua (Irian Jaya) yang tersebar dari tepian pantai sampai pegunungan tinggi. Beberapa marga memiliki keragaman jenis cukup tinggi, seperti: Calamus, Calyptrocalyx, Gronophyllum, dan Licuala, namun ada pula yang hanya memiliki satu jenis, sepertiActinorythis, Cocos,
Kajian Pemanfaatan Tumbuhan oleh Masyarakat Melayu di Kabupaten Bungo Tebo, Jambi Study on plants benefit by Melayu community in Bungo Tebo regency, Jambi Mulyati Rahayu♥, Siti Susiarti "Herbarium Bogoriense", Bidang Botani, Pusat Penelitian BiologiLIPI. Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16122. Tel.: +62-251-322035. Fax.: +62-251-336538. e-mail:
[email protected].
ABSTRAK. Masyarakat lokal yang tinggal di dekat hutan, umumnya masih tergantung dengan alam sekitarnya. Masyarakat Melayu yang tingggal di sekitar “Kampus UGM Silvagama” yang termasuk wilayah Desa Aburan, Kecamatan Tebo, Kabupaten Bungo Tebo, Jambi dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya masih memanfaatkan tumbuhan yang ada di sekitarnya. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dan pengamatan langsung di lapangan. Dari hasil penelitian diketahui terdapat tidak kurang dari 70 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat, antara lain sebagai bahan pangan, bangunan, obat, dan racun, kerajinan dan kegiatan
x
SISIPAN BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 1, Januari 2004, hal. : i-xxxii
sosial. Beberapa jenis tumbuhan obat termasuk tumbuhan langka, yaitu: Alstonia scholaris dan Fibraurea chloroleuca.
BO-33
Vaccinium varingaefolium (tree form) and A. lophanta. They have 1-2 storeys and the highest canopy is about 12 m. At 3000-3265 m asl, the forest dominated by V. varingaefolium (shrub form) and A. lophanta. They have only one storey and the highest canopy is about 7 m. Altitude had been reduced high of tree and the number of storey, and influenced dominant tree and morphological characters, in the same manner as V. varingaefolium.
Deskripsi Jenis-jenis dari Suku Rhizophoraceae di Hutan Mangrove Taman Nasional Baluran, Jawa Timur
Keywords: tree stratification, Mount Lawu, forest diagram profile.
Kata kunci: pemanfaatan tumbuhan, masyarakat Melayu, Jambi.
Species description of Rhizophoraceae family of Mangrove Forest at Baluran National Park, East Java Sudarmadji Jurusan Biologi FMIPA Universitas Jember (UNEJ). Jl. Kalimantan III/25, Jember 68121. Tel.: +62-331-330293. Fax.: +62-331330225.
[email protected]
ABSTRACT. Research about species description of Rhizophoraceae family of mangrove forest at Baluran National Park was conducted from June to October 2003. With plot and survey methods are known nine species of Rhizophoraceae. The species are Bruguiera cylindrica, B. gymnorrhiza, S. sexangula, Ceriops decandra, C. tagal, Rhizophora apiculata, R. lamarckii, R. mucronata, and R. stylosa. In addition, if it is compared to another places, the number species of Rhizophoraceae family of the mangrove forest at Baluran National Park are complete, because it is found more than 75 percent of number species of Rhizophoraceae. Keywords: Rhizophoraceae, mangrove forest, Baluran National Park.
Biodiversitas Poster BP-01 Stratifikasi Pepohonan di Gunung Lawu berdasarkan Diagram Profil Hutan secara Horizontal dan Vertikal Tree stratification in Mount Lawu based on horizontally and vertically forest diagram profiles. Ahmad Dwi Setyawan Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS). Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375. e-mail:
[email protected]
ABSTRACT. Mount Lawu is one of the last sanctuaries of mountain forest ecosystem in central part of Java. This mount is an ecotone of wetter ecosystem in western Java and dryer ecosystem in eastern Java. The mount is the western last frontier in distribution of Casuarina junghuhniana that is beginning from Timor island. The research conducted in Juny-October 2003, in the southern slope of Mount Lawu, from 1900-3265 m asl (top of peak). The results indicated that at 1900-2100 m asl, the tree forest dominated by Schefflera spp. They have 3-4 storeys and the highest canopy is about 25 m. At 2100-2500 m asl, the forest dominated by C. junghuhniana and Albizia lophanta. They have 2-3 storeys and the highest canopy is about 18 m. At 2500-3000 m asl., the forest dominated by
BP-02 Analisis Komposisi Nutrisi Rumput Laut Sargassum crassifolium J. Agardh Nutritional Composition Analysis of Sargassum crassifolium J. Agardh. Tri Handayani, Sutarno, Ahmad Dwi Setyawan♥ Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta, Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel.: +62-271-663375. Fax.: +62-271-663375. email:
[email protected]
ABSTRACT. The aim of the research was to find out nutritional composition of seaweed Sargassum crassifolium J. Agardh, i.e. the amount of protein, mineral (ash), mineral elements (Ca, P, Fe), vitamin A, vitamin C, lipid, alginates and fatty acids. S. crassifolium is a species of brown seaweed. It was consumed as source of food by people living in the coastal areas, but the use have not maximal, because nutritional composition information not complete. Related to that case this research is conducted to known nutritional composition of seaweed, which can support as source of food. The measurement of amount of protein was done by Lowry method. The measurement of mineral (ash) by ashing process, mineral elements (P, Ca, Fe) were done by using spectrophotometer and atomic absorption spectrophotometer (AAS). Vitamin C was done by titrimetry method and vitamin A was measured by using spectrophotometer. The measurement of lipid by extraction method with soxhlet, while fatty acids were measured by fatty acids methyl esters (FAMEs) extraction method. The research result showed that talus S. crassifolium have on average of protein 5.19% (w/w), mineral (ash) 36.93% (w/w), calcium (Ca) 1540.66 mg/100g, phosphor (P) 474.03 mg/100g, iron (Fe) 132.65 mg/100g, vitamin C 49.01 mg/100g, vitamin A 489.11 µg RE/100g, lipid 1,63% (w/w), alginates 37.91% (w/w), fatty acids composition i.e. lauric acid (120) 1,45%, meristic acid (140) 3.53%, palmitic acid (160) 29,49%, palmitoleic acid (161) 4,10%, oleic acid (181) 13,78%, linoleic acid (182) 33.58% and linolenic acid (183) 5.94%. Based on the nutritional value, this species have high economical value prospect. Keywords: nutritional composition, seaweed, Sargassum crassifolium.
BP-03 Induksi Poliploidi Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) dengan Pemberian Kolkisin pada Umbi Lapis The Induction of polyploid onions (Allium ascalonicum. L) with giving colchicine on bulbs.
ABSTRAK – Konggres dan Seminar Nasional PTTI, UNS-Solo, 19-20 Desember 2003 Suminah, Endang Anggarwulan♥, Ahmad Dwi Setyawan♥♥ Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS). Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375. e-mail:
[email protected]
ABSTRACT. The aims of this research was to investigate concentration of colchicine, long time put in the colchicine solutions, and interaction concentration of colchicine with long time put in colchicine solutions. The framework of the research was that colchicine cause spindle fibers fail to be formed in many cells. The chromosome did not separate to poles and stayed on the equatorial plate. The duplicated chromosome without membrane forms got a nucleus with double chromosome number. Complete random design was used in the research with 3x3 factorial design, with 3 replicate. The first factor was concentration of colchicine, consisting of 0.02%, 0.04%, and 0.06% subsequently. The second factor was long time put in colchicine solution consisting of 3 level: 6 hours, 9 hours, and 12 hours subsequently. The collected data were analyzed by using ANOVA and continued with DMRT in the level of 5%. Variable observed were morphology, anatomy, and cytology. The result of research indicated that increasing of concentration was not increased ploidi. The increasing of the long put in the colchicine solutions increased chromosome number. There was interaction concentration of colchicine with long time put in the colchicine solutions, that influencing in morphology, anatomy, and cytology characters. Keyword: Allium ascalonicum. L, concentration colchicine, long time in the colchicine solution, polyploid
of
BP-04 Variasi Pola Pita Isozim Beberapa Anggota Genus Curcuma Variation on isozymic pattern of some member of Genus Curcuma Purin Candra Purnama♥, Ahmad Dwi Setyawan♥♥, Asriati Asih Lestari Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta, Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel.: +62-271-663375. Fax.: +62-271-663375. email:
[email protected]
ABSTRACT. The research had been conducted to know diversity of commerce Curcuma in traditional marked of Solo and Yogyakarta, based on isozymic pattern. The plant materials were Curcuma aeruginosa Roxb. (temu ireng), C. heyneana Val. & van Zipj. (temu giring), C. mangga Val. (temu mangga), C. purpurascens Bl. (temu gleyeh), C. xanthorrhiza Roxb. (temu lawak), and C. zedoaria (Berg.) Rosc. (temu putih). The isozymic systems used esterase and peroxidase. The research indicated that all of the species have close relationship, with similarity index more than 60%. Keywords: isozymic pattern, Curcuma
BP-05 Seleksi dan Identifikasi Isolat Cendawan Selulolitik dan Lignoselulolitik dari Limbah Penyulingan Daun Kayu Putih (Melaleuca
xi
leucadendron L.) dari Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Gundih Kabupaten Grobogan Selection and identification of cellulolitic and lignocellulolitic fungi from organic waste of distilled cajuput oil (Melaleuca leucadendron L.) from KPH Gundih, Grobogan regency. Bastiyah Dewi Zumrotiningrum, Ari Susilowati♥, Wiryanto Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta, Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375. e-mail:
[email protected]
ABSTRACT. The aim of this research was isolating and selecting fungi that degrading cellulose and lignocellulose of organic waste from cajuput oil distillation. The research outline is organic waste from cajuput oil distillation contain cellulose and lignocellulose that cause naturally composting process take long time. The difficulty of organic waste decomposition depends on the matters in the tissue. To speed up decomposition process it need microorganism. Fungi have more ability to degrade cellulose and lignocellulose than bacteria. Because of that it was necessary to isolate and select fungi that able degrade cellulose and lignocellulose of organic waste from cajuput oil distillation. According to the aims, this research was done by isolating and identifying fungi from organic waste from cajuput oil distillation and soil where organic waste from cajuput oil distillation was throw away. The selection cellulolytic fungi by inoculate fungi on CMC agar medium and to select lignocellulolytic fungi by inoculate soil dilution -4 10 to agar medium which was added with organic waste from cajuput oil distillation. The result showed that total of 6 fungi was isolated from organic waste from cajuput oil distillation and soil where organic waste from cajuput oil distillation was throws away. Aspergillus parasiticus, A. nidulans and Trichoderma harzianum have ability to degrade cellulose. And fungi that have ability to degrade lignocellulose of organic waste from cajuput oil distillation is A. parasiticus. A. parasiticus more potential degrade cellulose and lignocellulose organic waste from cajuput oil distillation than other fungi that found. Keyword: cellulolytic- lignocellulolytic fungi, organic waste, cajuput oil.
BP-06 Keanekaragaman Tumbuhan Mangrove di Pantai Utara Kabupaten Rembang berdasarkan Pola Pita Isozim Mangrove plants diversity in northern coast of Rembang Regency based on isozymic pattern Asriati Asih Lestari♥, Suranto♥♥, Ahmad Dwi Setyawan♥♥♥ Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta, Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel.: +62-271-663375. Fax.: +62-271-663375. email:
[email protected]
ABSTRACT. Mangrove ecosystem is one of the most threatened ecosystems in Java. Mangrove ecosystem in Pasar Banggi, Rembang is an anthropogenic sustainable ecosystem. The aim of the research is to find out mangrove plant diversity in this area based on isozymic pattern. The research conducted for three main genera of mangrove plant that consist of 5 species, namely Sonneratia alba, S.
xii
SISIPAN BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 1, Januari 2004, hal. : i-xxxii
caseolaris, Rhizophora stylosa, R. mucronata, and Avicennia officinalis. Each species was assayed 10 individual. The used enzyme systems were esterase and peroxidase. The result indicated that intra-specific variation is very little (IS < 80%), while inter specific variation is much greater (IS > 80%), but genus Sonneratia had very little variation (IS ± 80%). Keywords: diversity, mangrove, Rembang, isozyme.
BP-07 Pengaruh Jenis Tegakan Hutan terhadat Biodiversitas Hewan Permukaan Tanah di BKPH Nglerak, Lawu Utara, Kabupaten Karanganyar Biodiversity of animals that are living on the surface of soil under the forest stands surrounding Japan Cave of BKPH Nglerak, North Lawu, Karanganyar Sugiyarto1,2, Dhini Wijaya1, Suci Yuliati Rahayu1 1
2
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS). Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375. email:
[email protected] Program Doktor Pascasarjana UNIBRAW Malang
ABSTRACT. The study of animal biodiversity that lived on the surface of soil under the stands forest surround Japan Cave BKPH Nglerak, North Lawu, Karanganyar has bee done. Observations were conducted in 6 stations of different stands of forest. Animals were caught by pit fall trap method. In each catching was found about 22 animals consisting of 6 families with Simpson’s diversity index of 0.5. The result of identification indicates that those animals belong to 4 classes: Insects (9 orders), Arachnids (2 orders), Diplopods (2 orders), and Crustacean (1 order). The most diverse animals was found in the habitat of pine stands while the lowest one found in the habitat of cultivated plants.
synthesis, further more it would influence cell proliferation and cell metabolism with regulation enzyme action, so that both of induced callus growth and secondary metabolism production from the cell that be cultured. The research used factorial completely randomized design with two factors -1 -1 -1 -1 (2,4-D concentration: 0 mgl , 0,5 mgl , 1 mgl , 1,5 mgl and kinetin concentration: 0 mgl-1, 0,5 mgl-1, 1 mgl-1, 1,5 -1 mgl ) with three replicates. Data that be collected were qualitative data (callus morphology included textur and colour of callus) and quantitative data (callus growth rate, callus wet weight, callus dry weight and saponin content). Data were analyzed by using anova and followed by DMRT 5% confidence level and corelation regresion. The result of the research indicated that the treatment with addition plant regulation (2,4-D and kinetin) on MS medium have significant effect on callus growth and saponin production. Addition 2,4-D 1,5 mgl-1 and kinetin 1,5 mgl-1 as a optimum combination concentration to induce callus growth and saponin production. Keywords: callus growth, saponin, Talinum paniculatum Gaertn., 2,4-D, kinetin.
BP-09 Toksisitas Ekstrak Tembakau Sisa Pabrik Rokok terhadap Lipas (Periplaneta americana L. dan Blatta orientalis L.) Toksisitas Ektrak Tembakau Sisa Pabrik Rokok terhadap Lipas (Periplaneta americana, L. dan Blatta orientalis, L.) Edwi Mahajoeno1, Sunarto1, Partaya2 1
2
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS). Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375. email:
[email protected] Program Pendidikan Biologi FPMIPA UNES Semarang
Dian Pramita Wardani♥, Solichatun♥♥, Ahmad Dwi Setyawan
ABSTRACT. The objectives of this research were to know nicotine concentration on the waste of tobacco from three cigarette manufactures that can be used as an insecticide, and the value of LD50-24 hours of tobacco extract on cockroaches Periplaneta americana and Blatta orientalis. The materials were filtrated and isolated using a steam distillation technique, followed with thin layer chromatography to know the composition of the substance. Total nicotine concentrations were read using spectrophotometer, and the waste with highest concentration was used for the trial on cockroaches. Seven dosage variations between 12,500 to 60,000 ppm were tested on 10 cockroaches triplicate. The value of LD50- 24 hrs was resulted from probit analysis, and the result indicated that the highest concentration of nicotine on the waste was 13,36%. The value of LD50- 24 hrs on cockroaches (Periplaneta americana, L and Blatta orientalis, L) were 86,46 μg/g, and 72,76 μg/g categorized as mild toxicity.
Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta, Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel.: +62-271-663375. Fax.: +62-271-663375. email:
[email protected]
Keywords: toxicity, tobacco extract, Periplaneta americana and Blatta orientalis
Keywords: biodiversity, surface soil animals, Japan Cave, Lawu.
BP-08 Pertumbuhan dan Produksi Saponin Kultur kalus Talinum paniculatum Gaertn. pada Variasi Penambahan 2,4-Dikrorofenoksi Asetat dan Kinetin Growth and saponin production of Talinum paniculatum Gaertn. callus culture on various addition with 2,4dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) and kinetin
ABSTRACT. The objectives of the research were to study the effect of 2,4-dichlorophenoxiacetic acid (2,4-D) and kinetin on callus growth and saponin production from Talinum paniculatum callus. The outline of the research was Talinum paniculatum as a medicinal plant potentially to be developed with in vitro culture method. The addition of 2,4D and kinetin in culture’s medium would induce protein
BP-10 Pertumbuhan Kalus dan kandungan Minyak Atsiri Nilam (Pogostemon cablin (Blanco) Bth.) dengan Perlakuan Asam α – Naftalen Asetat (NAA) dan Kinetin
ABSTRAK – Konggres dan Seminar Nasional PTTI, UNS-Solo, 19-20 Desember 2003 Callus growth and essential oil of nilam (Pogostemon cablin (Blanco) Bth.) on the treatment with α-naphtalene acetic acid and kinetin Guntur Trimulyono1,♥, Solichatun1, ♥♥, Soerya Dewi Marliana2 1
2
Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta, Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375. e-mail:
[email protected] Jurusan Kimia FMIPA UNS Surakarta, Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375. e-mail:
[email protected]
ABSTRACT. The objectives of the research were to study the effect of adding of α-naphtalen acetic acid (NAA) and kinetin on callus growth and essensial oil production from nilam (Pogostemon cablin (Blanco) Bth.) callus culture. The outline of the research was the callus growth and secondary metabolite production from plant’s body could be triggered by the occurrence of plant growth regulation. The addition NAA and kinetin in culture’s medium would influence cell proliferation and synthesis of protein, so that both of induced callus growth and secondary metabolism production from the cell that be cultured. According to the research objectives, the research was done by using in vitro callus culture method to obtain callus from explant P. cablin leaf and to induce essensial oil production. In vitro culture process consist of two stage. First stage was the callus initiation medium induced the callus from explant. The experiment was done by medium Murashige-Skoog (MS) with 2,4-D 0,5 mg/l and kinetin 0.5 mg/l; and the second stage was the medium treatment induced callus growth and essensial oil production. The research used factorial completely randomized design with two factors (NAA concentration: 0mg/l, 0,5 mg/l, 1,0 mg/l, 2,0 mg/l; and kinetin concentration: 0 mg/l, 0,5 mg/l, 1,0 mg/l, 2,0 mg/l) with 3 replicates. The collected data were qualitative data (callus morphology include texture and colour callus) and quantitative data (callus growth rate, callus dry weight and essensial oil content). Data were analyzed by Anova and followed by DMRT 5% confidence level and correlation regretion. The result of the research indicated the treatment with addition plant growth regulation (NAA and kinetin) on Murashige-Skoog’s medium had significant effect on callus growth rate but it didn’t have significant effect on callus dry weight and the increase of produced essential oil. Keywords: Pogostemon cablin (Blanco) Bth., growth rate, In vitro, essential oil.
BP-11 Studi Keanekaragaman Anggrek Epifit di Hutan Jobolarangan A Study of the epiphytic orchids in Jobolarangan Forest Marsusi1, Cahyanto Mukti1, Yudi Setyawan1, Siti 2 3 Kholidah , Adiani Viviati 1
2 3
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS). Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375. email:
[email protected] Mapala "Sentraya" Fakultas Sastra UNS Surakarta 57126 Mapala "Gopala Valentara" Fakultas Hukum UNS Surakarta 57126
ABSTRACT. The objective of the research was to know the species of epiphytic orchids in Jobolarangan forest.
xiii
The orchid samples were taken from all stand-plants. The plants were chosen randomly by considering the diversity and richness of orchids that attach on it. Each plant was sampled in three repetitions. Sampling of orchids existence in the plant’s stand were done using transect method through a zonation system. In this research 11 epiphytic-orchids such as Bulbophyllum bakhuizenii Stenn, Coelogyne miniata Lindl, Coelogyne rochussenii de Vr., Dendrobium bigibbum Lindl., Dendrobchilum longifolium, Eria bogoriensis, J.J.S. Liparis caespitosa (Thou.) Lindl., Liparis pallida (Bl.). Pholidota globosa (Bl.) Lindl., Polystachya flavescens (Bl.) J.J.S., and Trichoglottis sp. were found. The host plant stand that was attached with most orchids was Schefflera fastigiata and Saurauia bracteosa, generally in zone three. Keywords: epiphytic orchids, host plants, diversity.
BP-12 Keragaman Tumbuhan Berbunga Taman Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat Diversity of flowering plants in Gunung Halimun National Park, West Java Harry Wiriadinata "Herbarium Bogoriense", Bidang Botani, Pusat Penelitian BiologiLIPI. Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16122. Tel.: +62-251-322035. Fax.: +62-251-336538. e-mail:
[email protected]
ABSTRAK. Taman Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat merupakan salah satu kawasan konservasi keanekaragaman hayati yang masih baik. Selain berfungsi untuk menjaga tataguna air, kawasan ini merupakan kubu terakhir bagi perlindungan flora dan fauna yang sekarang sudah mulai mengalami erosi menuju kelangkaan. Sayangnya ada beberapa lahan vegetasi yang terganggu oleh adanya PETI (penambang emas tanpa ijin), penebangan liar dan perladangan yang dilakukan masyarakat sekitar kawasan ini. Ditinjau dari segi botani, koleksi tumbuhan yang pernah dilakukan bersifat sporadik sehingga belum semua data flora kawasan tersebut terkumpul. Untuk membantu pengelolaan Taman Nasional ini, sejak 1996 hingga 2003 secara tidak periodik telah dilakukan eksplorasi dan inventarisasi keragaman tumbuhan pada beberapa lokasi. Dari data koleksi herbarium yang terkumpul dapat diketahui bahwa kawasan ini sangat kaya akan keragaman tumbuhannya. Lebih dari 700 jenis tumbuhan berbunga telah terekam. Kata kunci: Tumbuhan taman nasional Gunung Halimun.
BP-13 Kekayaan Tumbuhan Paku di Kawasan Cikaniki, Tanjakan Kudapaeh, Cikeris, Gunung Botol, dan Gunung Bentanggading, Taman Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat Ferns richness in the area of Cikaniki, Tanjakan Kudapaeh, Cikeris, Gunung Botol, and Gunung Bentanggading, Gunung Halimun National Park, West Java Arief Hidayat, Harry Wiriadinata ♥ "Herbarium Bogoriense", Bidang Botani, Pusat Penelitian BiologiLIPI. Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16122. Tel.: +62-251-322035. Fax.: +62-251-336538. e-mail:
[email protected]
xiv
SISIPAN BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 1, Januari 2004, hal. : i-xxxii
ABSTRAK. Walaupun tumbuhan paku banyak terdapat di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun, namun penelitian kelompok tersebut belum secara serius ditangani atau dikemukakan. Penelitian yang baru-baru ini dilakukan dikhususkan untuk mengetahui kekayaan tumbuhan paku, ekologi dan persebarannya pada kawasan Cikaniki, Tanjakan Kudapaeh, Cikeris, Gunung Botol, dan Gunung Bentang Gading. Kekayaan tumbuhan paku cukup tinggi karena berdasarkan hasil eksplorasi dan 10 petak cuplikan a 100 m2 yang diletakan di kawasan tersebut tercatat sekitar 119 jenis tumbuhan paku termasuk dalam 63 marga dan 24 suku.
dengan satu atau lebih perubahan. Penelitian perbanyakan vegetatif dilakukan di rumah kaca Pembibitan Kebun Raya Bali dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap. Bahan penelitian yang digunakan adalah stek batang panjang 15 cm. Perlakuan terdiri dari A: rootone F, B: atonik 1 ml/l, C: atonik 2 mIll, D: IAA 1 mg/l, E: I BA 1 m g/l, F: N AA 1 m g/l, K: K ontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stek lebih responsif terhadap rootone F dengan persentase stek hidup tertinggi (66,67%), rootone F m emacu terbentuknya tunas paling cepat (25 hst, hst=hari setelah tanam), stek paling cepat tumbuh dan berkembang sampai terbentuknya bunga (147 hst).
Kata kunci: tumbuhan paku, Taman Nasional Gunung Halimun
Kata kunci: biologi bunga, perbanyakan, mawar hijau (Rosa x odorata "viridiflora").
BP-14
BP-16
Kaitan Taksonomi Tumbuhan dan Etnobotani pada Masyarakat Dayak Ot Danum, Haruwu, Kalimantan Tengah
Inventarisasi dan Penggunaan Jenis-jenis Bambu di Desa Tigawasa-Bali
Relevance of plant taxonomy and ethnobotany in Dayak people Ot Danum, Haruwu, Central Kalimantan Wardah, Harry Wiriadinata♥ "Herbarium Bogoriense", Bidang Botani, Pusat Penelitian BiologiLIPI. Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16122. Tel.: +62-251-322035. Fax.: +62-251-336538. e-mail:
[email protected]
ABSTRAK. Suku Ot Danum di Desa Haruwu, Kalimantan Tengah adalah masyarakat yang masih menganut sistem kepercayaan Kaharingan, kehidupannya masih sangat sederhana tergantung dari sumber daya tumbuhan yang ada. Tumbuhan yang dimanfaatkan sehari-hari seperti untuk perahu, rumah, kayu bakar, bahan obat dan lainnya sangat beragam. Penelitian taksonomi, etnobotani dan pengumpulan artifak dari daerah tersebut mencerminkan besarnya pengetahuan masyarakat tentang keragaman tumbuhan yang ada dan kearifan dalam pemanfaatan serta kelestarian tumbuhan yang bersangkutan. Kata kunci: keragaman tumbuhan, masyarakat Dayak, Ot Danum, Kalimantan Tengah.
BP-15 Biologi Bunga dan Perbanyakan Mawar Hijau (Rosa x odorata "viridiflora") Flower biology and the reproduction of green rose (Rosa x odorata "Viridiflora") Hartutiningsih-M. Siregar♥, I Putu Suendra UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali – LIPI. Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191. Tel. & Fax.: +62368-21273. e-mail:
[email protected].
[email protected]
ABSTRAK. Mawar hijau (Rosa x odorata "viridiflora") atau popular dengan green rose, merupakan salah satu jenis mawar unik koleksi Kebun Raya Bali. Tinggi berkisar antara 75 cm, batang berduri, daun hijau, mengkilap dengan anak daun 3-5 berbentuk lonjong, bunga membentuk roset yang tersusun atas tajuk yang berwarna hijau. Penelitian fenologi bunga dimulai dari tahap pertumbuhan dan perkembangan kuncup bunga sampai bunga gugur, setiap tahap dicirikan
The inventory and use of bamboo species in Tigawasa village-Bali Ida Bagus Ketut Arinasa UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali – LIPI. Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191. Tel. & Fax.: +62368-21273. e-mail:
[email protected].
[email protected]
ABSTRAK. Tigawasa adalah sebuah desa tradisional yang sangat terkenal sebagai pusat kerajinan anyaman bambu di Kabupaten Buleleng-Bali. Sebagai sentra kerajinan anyaman bambu yang telah digeluti sejak berabad-abad lalu, masyarakatnya telah melaksanakan konservasi bambu secara tradisional disekitar rumah dan kebunnya. Dari hasil inventarisasi diketahui bahwa sebanyak 19 jenis dari 4 marga bambu terdapat di desa ini. Marga Gigantochloa dan Schizostachyum mendominasi jenis-jenis yang ada. Dua marga bambu ini paling banyak populasi dan penggunaannya untuk bahan baku kerajinan anyaman dibandingkan dengan marga dan jenis yang lain. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2003 di desa Tigawasa dengan metode jalur dan wawancara. Penganekaragaman produk anyaman bambu berkembang sesuai kemajuan teknologi dan tuntutan jaman. Banyak muncul motif baru dan pemakaian warna atau cat untuk menghasilkan produk tertentu. Namun demikian masyarakat desa ini lebih menekuni anyaman " sokasi " dan gedeg (bedeg) yang menjadikan desa ini sangat terkenal di Kabupaten Buleleng khususnya dan Bali pada umumnya bahkan ke mancanegara. Pesatnya perkembangan industri rumah tangga berbahan bambu ini berakibat pada kurangnya persediaan bahan baku. Sekitar 2 truk bambu buluh setiap minggu didatangkan secara rutin dari daerah Jawa Timur untuk mengatasi menipisnya persediaan bahan baku lokal. Kata kunci: inventarisasi, bambu, desa Tigawasa, Bali.
BP-17 Keanekaragaman Nepenthes di Taman Wisata Alam Nanggala III, Luwu, Sulawesi Selatan Nepenthes diversity in Taman Wisata Alam Nanggala III, Luwu, Sulawesi Selatan
ABSTRAK – Konggres dan Seminar Nasional PTTI, UNS-Solo, 19-20 Desember 2003 I Dewa Putu Darma♥, I Putu Suendra, Hartutiningsih-M Siregar UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali – LIPI. Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191. Tel. & Fax.: +62368-21273. e-mail:
[email protected].
[email protected]
ABSTRAK. Nepenthes spp. tumbuhan penangkap serangga (carnivorous plants), merupakan herba/epifit, tumbuh memanjat dengan menggunakan sulur yang terletak diujung daun. Daun tunggal, tersebar, bagian ujung mengalami metamorfosis menjadi kantong. Penelitian ekologi untuk mengetahui populasi Nephenthes dilakukan di kawasan hutan wisata Nanggala III, Luwu, Sulawesi Selatan dengan menggunakan metoda transek. Petak dibuat mulai dari ketinggian tempat 900, 1000, 1100 dan 1150 m dpl. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Nepenthes tumbuh pada tempat terbuka, tanah bebatuan dengan humus tipis pada lereng bukit yang menghadap sinar matahari dan pH tanah 6,5. Ditemukan 3 jenis Nepenthes yaitu N. maxima, N. danseri dan N. glabrata dengan kerapatan tertinggi pada N. maxima (35 individu/100 m2), N. danseri (20 individu/100m2 dan N. glabrata (10 individu/100 m2, sedangkan frekuensi tertinggi pada N. maxima (30%), N. danseri (20%) dan N. glabrata (2%). Kata kunci: Nepenthes, Taman Wisata Alam Nanggala III, Luwu.
BP-18 Pengenalan Jenis Anggrek Alam Potensial di Kebun Raya Bali Identification of useful wild orchid species in Bali Botanic Garden I Gede Tirta♥, I Made Raharja Pendit UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali – LIPI. Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191. Tel. & Fax.: +62368-21273. e-mail:
[email protected].
[email protected]
ABSTRAK. Tanaman anggrek memiliki daya pesona yang unik dan menarik, hal ini menggugah masyarakat khususnya para pencinta, ahli, dan pengusaha anggrek untuk mengkoleksi dan mengembangkannya. Jenis-jenis anggrek yang masih alami merupakan plasma nutfah yang bemilai tinggi terutama sebagai bahan induk silangan Kebun Raya Bali sebagai salah satu lembaga konservasi ex-situ telah berhasi mengkoleksi anggrek sebanyak 518 jenis, 136 marga. Upaya untuk meningkatkan koleksi anggrek alam merupakan suatu hal yang sangat penting, hal ini dapat dilakukan dengan berbagai kegiatan di Kebun Raya, seperti eksplorasi, inventarisasi, menentukan status klasifikasi, konservasi ex-situ, publikasi semi ilmiah, melakukan pendidikan dan kerjasama dengan instansi lain. Jenis-jenis anggrek alam yang mempunyai potensi untuk dikembangkan diantaranya; Aerides odorata, Arachnis flos aeris, Arundina graminifoli, Ascocentrum miniatum, Bulbophyllum echinolabium, B. lobbii, Coelogyne celebensis, C. pandurata, C. speciosa, Cymbidium chloranthum, C. finlaysonianum, Dendrobium binoculare. D. macrophyllum Epidendrum ciliare, Paphiopedilum javanicum, Phaius flavus. P. tankervilliae. Phalaenopsis amabilis, P. celebensis, Rhynchostylis retusa, dan Vanda tricolor. Kata kunci: Anggrek alam, pengenalan, potensial.
xv
BP-19 Keanekaragaman dan Habitat Anggrek Epifit di Kebun Raya Eka Karya Bali Species diversity and habitat of epiphytic orchids in Eka Karya Bali Botanic Garden I Gede Tirta UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali – LIPI. Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191. Tel. & Fax.: +62368-21273. e-mail:
[email protected].
[email protected]
ABSTRAK. Pengamatan keanekaragaman anggrek epifit di Kebun Raya Eka Karya Bali dilakukan di 11 lokasi dengan 26 petak ukur. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman dan pohon inang sebagai tempat tumbuhnya anggrek epifit yang ada di Kebun Raya Eka Karya Bali, serta jenis yang dominan. Metode yang digunakan pada penelitian adalah metode survei. Total daerah penelitian adalah 51 hektar. Intensitas sampling yang digunakan sebesar 0,02% dan total petak ukur yang dibuat adalah 26 petak ukur, yang merupakan zona koleksi dan zona konservasi. Luas daerah zona koleksi 41 hektar dan zona konservasi 10 hektar. Peletakan petak ukur dilakukan secara sistematis dengan awalan random artinya peletakan petak ukur berikutnya ditetapkan dari pemilihan sampling pertama. Jarak antara petak ukur pertama dengan petak ukur berikutnya adalah 100 m. Masing-masing petak ukur dengan ukuran 20 x 20 m. Hasil pengumpulan data anggrek epifit yang tumbuh di Kebun Raya Eka Karya Bali diperoleh 41 jenis anggrek yang termasuk dalam 18 marga. Nilai densitas tertinggi pada zona koleksi yaitu pada pohon inang Syzygium polyanthum dengan jenis anggrek yang dominan adalah Bulbophyllum obsconditum dengan nilai 20,2 ind/pohon dan di zona konservasi anggrek Bulbophyllum obsconditum memiliki densitas tertinggi dengan pohon inang adalah Eugenia jamboloides dengan nilai 25,85 ind/pohon. Nilai Indek Diversitas (ID) pada zona koleksi lebih tinggi daripada zona konservasi karena jumlah jenis di zona koleksi lebih banyak yaitu 40 jenis dibandingkan zona konservasi yang jumlahnya 26 jenis. Pada zona koleksi dan zona konservasi merupakan hutan yang heterogen karena nilai indek diversitasnya tinggi dan hampir mendekati satu, yaitu indek diversitas di zona koleksi yang tertinggi 0,87 dan di zona konservasi 0,867. Kata kunci: keanekaragaman, anggrek epifit, pohon inang.
BP-20 Pemanfaatan Tebu dalam Upacara Adat di Kabupaten Tabanan, Bali The use of sugar cane on traditional ceremony in Regency Tabanan, Bali I Nyoman Peneng♥, I Wayan Sumantera UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali – LIPI. Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191. Tel. & Fax.: +62368-21273. e-mail:
[email protected].
[email protected]
ABSTRAK. Tebu (Saccharum officinarum L.) berguna dalam upacara adat Hindu di Bali, sehingga masyarakat membudidayakannya terutama di pekarangan rumah. Meskipun populasinya kecil, namun keberadaannya telah
xvi
SISIPAN BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 1, Januari 2004, hal. : i-xxxii
tersebar luas di Bali. Petani telah memanfaatkannya sebagai komuditas perdagangan di pasar, terutama untuk upacara adat. Pemanfaatan tebu dalam upacara adat, sangat populer sebagai identitas perkawinan. Sepucuk tebu selalu dipasang pada bagian depan mobil tatkala rombongan menuju rumah mempelai perempuan untuk berpamit. Batang tebu baik utuh maupun telah dibelah merupakan bahan baten/sesajen seperti sebagai tegentegenan (persembahan hasil bumi), raka-raka (buah canang), pedangal (potong gigi), dan lain-lain. Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Tabanan Bali sebagai upaya untuk mengetahui keanekaragaman tebu dan peranannya dalam upacara adat di Bali. Hasilnya menunjukkan masyarakat menggunakan delapan kultivar tebu untuk upacara adat seperti: tebu ratu/raja, tebu tiying, tebu kuning, tebu selem/hitam/cemeng/ireng, tebu malem, tebu tawar, tebu salah, dan tebu swat. Berfungsi sebagai identitas persembahan, penyucian, penolak bala, pakan sapi putih yang disucikan. Kenyataan di masyarakat Bali menunjukkan masih lemahnya pengetahuan tentang tebu untuk upacara adat dan sedikit orang yang menanamnya. Adanya kepercayaan peranan tebu dalam upacara adat bermakna untuk mendukung upaya pelestariannya di Bali. Untuk itu perlunya penggalakan pembudidayaannya dengan memperkenalkan keragaman, pencerahan makna upacara, dan penyebaran bibitnya. Kata kunci: tebu, upacara adat, Bali.
BP-21 Potensi Hutan Bukit Tapak sebagai Sarana Upacara Adat, Pendidikan dan Konservasi Lingkungan Potency of Bukit Tapak forest as means for traditional ceremony, environmental conservation and education I Wayan Sumantera♥ UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali – LIPI. Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191. Tel. & Fax.: +62368-21273. e-mail:
[email protected].
[email protected]
Bang dari abad ke-16 di kaki Bukit Tapak dan adanya kuburan Islam dan keramat di puncaknya (1938 m. dpl.). Untuk menjaga pelestarian hutan sebagai kawasan konservasi, memerlukan pendekatan pada masyarakat dan para pendaki secara moral dan terintegrasi seperti pemberdayaan potensi hutan sebagai sarana pendidikan lingkungan/ konservasi, sarana upacara adat, dan sumber bahan obat. Kata kunci: pendidikan konservasi, Bukit Tapak, Bali.
BP-22 Keanekaragaman Kultivar Pisang di Semarang Jawa Tengah Diversity of cultivated banana from Semarang, Central Java. Jumari Jurusan Biologi FMIPA Universitas Diponegoro (UNDIP). Jl. Prof. Soedarto Tembalang Semarang
ABSTRAK. Pisang merupakan tanaman asti Indo-Malaya. Keberadaannya mengaiami gangguan serius karena berbagaj serangan hama dan penyakit. Identifikasi dan karakterisasi kultivar pisang penting dilakukan dalam rangka penyediaan sumber genetik untuk perakitan bibit unggul baru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman kultivar pisang di Semarang serta komposisi genomnya. Selain itu juga untuk mencari kuitivar dengan sifat unggul yang mempunyai potensi produksl tinggi, serta tahan terhadap penyakit Materi penelitian berupa populasi kultivar pisang yang terdapat di Semarang. Cara penelitian dengan penjelajahan mencakup 17 desa dan 9 kecamatan. Penentuan komposisi genom menggunakan metode skoring. Dari hasil penelitian didapatkan 46 kultivar pisang, yang terbagi dalarn 7 kelompok genom: AA, AAB, AB, ABB, BB, dan ABBB. Pisang diploid, seperti: Klutuk, Jalinan, Kayenjambe, Mas Mauli, dan Jaran cenderung mempunyai potensi buah yang tinggi serta tahan terhadap penyakit. Kata kunci: Kultivar pisang, komposisi genom
ABSTRAK. Bukit Tapak (1903 m. dpl.) merupakan Cagar Alam Batukau I, bagian dari tiga kawasan yang termasuk Cagar Alam Batukau (1762,8 ha; 1974). Berada di kawasan Bedugul, arah timur Kebun Raya Eka Karya, Bali (154,5 ha; 1979) dan pemukiman wilayah Desa Candikuning (1152 KK, 4475 jiwa) serta berdekatan dengan tiga danau sumber air Bali, yaitu Beratan, Buyan, dan Tamblingan. Tumbuhan khasnya adalah cemara geseng (Casuarina junghuhniana), cemara pandak (Dacrycarpus imbricatus), nyabah (Pinanga arinacea), paku kidang (Dicsonia blumeii), dan purnajiwa (Euchreta horfieldii). Tumbuhan pionir di puncak bukit adalah cemara geseng dan yang endemik cemara pandak, yang keduanya berdaun jarum dan mendasari mula pertama Kebun Raya Bali diperuntukkan sebagai kawasan konservasi ex situ flora berdaun jarum, khususnya dari kawasan timur Indonesia. Nyabah yang dinyatakan sebagai palem jenis baru dinamakan arinasae nama seorang staf kebun raya yang mempelopori konservasinya. Selain paku kidang yang langka, di kawasan Bukit Tapak terdapat 15 jenis tumbuhan yang berguna dalam upacara adat, seperti kayu sisih, kayu tulung, peji, pisang dan lain-lain. Masyarakat Bali percaya bahwa hutan adalah kawasan suci yang keramat, yang dikuatkan dengan adanya Pura Teratai
BP-23 Penyudetan Sungai Citanduy, Buah Simalakama Konservasi Ekosistem Mangrove Segara Anakan Citanduy river diversion, advantages and disadvantages plan to conserve mangrove ecosystem in Segara Anakan Kusumo Winarno, Ahmad Dwi Setyawan • Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS). Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375. email:
[email protected] • Program Studi Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126
ABSTRACT. Mangrove ecosystem at Segara Anakan lagoon, Cilacap having specific characteristics so that in developing this area should consider the conservation aspect. This area is the widest conserved-mangrove ecosystem at Java, and the place for breeding of many species of fish, crustacean and others. Thousand families of
ABSTRAK – Konggres dan Seminar Nasional PTTI, UNS-Solo, 19-20 Desember 2003 fisheries were supported both direct and indirectly from this ecosystem. However, along with the development activities in the watershed of Citanduy, Cimeneng/Cikonde and other rivers connected to the area has brought about the increase of sediment, and threaten the existence of the lagoon and surrounding mangrove ecosystem. Diversion of Citanduy river, dredging sediment, and reboisation of the watershed river was a preference of conserving the ecosystem, however, the diversion could be forming a new ecosystem, that actually threat the fisheries and tourism activities at Pangandaran, Ciamis. Keywords: mangrove, Citanduy river, Segara Anakan lagoon, sedimentation, diversion.
BP-24 Pengaruh Ekstrak Daun Mimba (Azadirachta indica A. Juss) terhadap Penurunan Mortalitas Lele Dumbo (Clarias gariepinus) akibat Infeksi Aeromonas hydrophila The influence of Neem Leaves Extract (Azadirachta indica A. Juss) to Decrease Mortality of Catfish (Clarias gariepinus) caused by the Infection of Aeromonas hydrophila Gde Irawan Satrya Wichaksana, Kusumo Winarno♥, Ari Susilowati Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS). Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375. e-mail:
[email protected]
ABSTRACT. The aims of the research was to know about: (i) the concentration of Aeromonas hydrophila bacteria which resulted in occurring 50% mortality during 72 hours (LC50-72) over catfish, (ii) the concentration of neem leaves extract which resulted in occurring 50% mortality during 12 hours (LC50-12) over catfish, (iii) the optimum concentration of neem leaves extract, which can decrease the level of catfish mortality caused by A. hydrophila infection. The framework of this research is that catfish is the commodity of fishery which is intensively cultivated. However it must face the problem of disease caused by A. hydrophila, which resulted in occurring the high mortality. Neem`s is learned having anti-bacterial within it. It hopes decreasing the level of catfish mortality caused by A. hydrophila infection. In accordance with the problems and aims of this research, it is a laboratory experiment. They are (i) Steeping the catfish (size ± 6-8 cm) into 5 varieties of bacteria concentration at logarithmical phase with 2 repetitions of 0% concentration (control), 2,5%, 5%, 7,5%, 10 with the measuring rod of mortality amount of catfish after 72 hour of treatment (test a). (ii) Steeping the catfish into 5 varieties of the concentration neem leaves extract with 2 repetitions at 0% concentration (control), 2,5%, 5%, 7,5%, 10% with the measuring rod of mortality amount of catfish after 12 hours of treatment (test b). (iii) Determining 6 varieties of neem leaves extract which is tightened from experiment LC50-12 the neem leaves extract over the catfish with 2 repetitions in the concentration of bacteria, and the determined steeping time from the experiment of LC50-72 of A. hydrophila over the cat fish with the measuring rod of catfish mortality after 72 hours treatment (test c). This research is applying probity analysis (test a and b) and ANOVA (test c). This research obtains: (i) LC50-72 of A. hydrophila over catfish is 2,0615%
xvii
8 or equals 1,65x10 cfu/ml. (ii) LC50-12 of neem leaves extract over catfish is 1,34%. (iii) The optimum concentration of neem leaves extract is 0,75% which can decrease 66,67% (in comparison with control) the catfish mortality.
Keywords: neem leaves, mortality decrease, catfish, Aeromonas hydrophila infection.
BP-25 Keragaman Plankton sebagai Indikator Kualitas Sungai di Kota Surakarta Plankton diversity as bioindicator of Surakarta rivers quality Okid Parama Astirin, Ahmad Dwi Setyawan, Marti Harini♥ Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS). Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375. e-mail:
[email protected]
ABSTRACT. Rivers have essential role in human cultures. They are sanctuary for amount of biodiversity, but threatened seriously now. The objective of this research is to know Surakarta (Solo) rivers quality based on plankton diversity. This town has amount of kampongs and industrial estates that discard wastes to rivers directly. Plankton community is one of the river qualities indicators, because pollutant and other organisms can influence their population. The research was conducted at four rivers in Surakarta, namely Pepe River, Premulung River, Anyar River and Jenes River. Data was collected in triple before and after rivers through the town. Data was analyzed by diversity index of Shannon Wienner. The result indicated that Surakarta rivers had been polluted in degree of lightly to seriously. Keywords: bioindicator, plankton, pollutant, river, Surakarta (Solo) town.
BP-26 Aktivitas Sitostatika Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) pada Sel-sel Spermatogenik Mencit (Mus musculus L.) Cytostatic activity of zedoary (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) to mice (Mus musculus L.) spermatogenic cells Noor Soesanti Handajani Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS). Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375. e-mail:
[email protected]
ABSTRACT. Zedoary or temu putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) rhizome is known as one of simplicia that able to protect and cure many illness especially tumor and cancer. The objective of the research was to know Curcuma zedoaria cytostatic effect on proliferate activity of normal cells organism. Twenty four female mice (Mus musculus L.) were grouped into 4 doses, i.e. methanol extracted Curcuma zedoaria radix (0 mg/ kg body weight as control, 100 mg/kg body weight, 200 mg/ kg body weight and 300 mg/ kg body weight), kept on 33 days per oral in 2 cc water solution, and were arranged in Completely Randomized Design with 6 replication and followed Least Significant Design Test 5%. The extract of Curcuma zedoaria rhizome
xviii
SISIPAN BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 1, Januari 2004, hal. : i-xxxii
on 200 mg/kg body weights and up inhibited the mitosis activity. This treatment also decreased number of the spermatogenic cell layers in contortus simeniferus tubules on all doses, according to the level. Without pay attention to its degenerative cells, all of the level doses in this test still produced the spermatozoons of unknown quality. Keywords: temu putih (Curcuma zedoaria), spermatogenic cells, mice (Mus musculus).
BP-27 Peran Pseudomonas dan Khamir dalam Perbaikan Kualitas dan Dekolorisasi Limbah Cair industri Batik Tradisional Okid Parama Astirin, Kusumo Winarno Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS). Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375. e-mail:
[email protected]
ABSTRACT. Water pollution from batik industry is usually the result of wet processes. This process happened when the batik cloth had been washing in hot water to remove the wax/paraffin, some parts of the soga (indigenous coloring stuff) and the indigo. Usually the liquid batik industry waste was thrown away to the neighborhood river by making small canal from the industry site to the river. Some other industry keeps the waste in a temporary container to be processed. This research is trying to find a better solution for batik waste processing so that it could be implemented in the small-scale traditional batik industry to manage their liquid waste. The procedures are as follows. Applying laboratory experimentation processed liquid waste. The waste processing installation in the laboratory was set up in nonflowing condition; with and without aeration. The waste processing installation in the industry was made flowing naturally as it use to be (the liquid waste flown on 13.30 14.00 pm). It could be consider that the liquid flows from the industry was semi continue. Microbe used in this experiment was yeast as an effort to removed the coloring stuff and Pseudomonas to promote waste processing in aerobic manner. Data of the waste observed by looking at the decreasing of coloring stuff by reading the absorbance at the beginning of the experiment and other hour/day periodically as it was pre decided. Improvement of the liquid waste quality by increasing the biodegradation aerobic which using Pseudomonas was observed by reading at the HPLC, AAS, BOD, COD reactor at the beginning and at the end of the treatment. The experiences could be concluded from this program are: To reduce the expenditure /electrician spent for waste processing batik industry could (1) adding oxygen supply and improve the aeration to prolong the yeast survival by making few (three or four) containers with gradation level so that water flow will function as additional supply of oxygen and a better aeration; (2) More careful acclimatization for the yeast so that its survival will improved. Keywords: Pseudomonas, Saccharomyces, liquid waste, traditional batik industry.
BP-28 Penggunaan Enceng Gondok (Eichhornia crassipes Mart. Solms) dalam Penurunan Tingkat Pencemar Limbah cair Industri Tapioka
The utilizing of waterhyacinth (Eichhornia crassipes Mart. Solms) on phytoremediation of tapioca wastewater Imam Jauhari, Wiryanto, Prabang Setyono♥ Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS). Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375. e-mail:
[email protected]
ABSTRACT. The object of this research is to find out the safety liquid waste water concentration for water hyacinth (Eichhornia crassipes) lives and electivity of water hyacinth utility to reduce pollution level of tapioca industrial liquid waste water based on TSS, TDS, BOD5, COD, pH and cyanide (CN) parametric and to know tapioca industrial liquid waste water quality before and after by water hyacinth treatment in every liquid waste water concentrate. In this research, the range of liquid waste water concentration: 25%, 50%, 75% and 100% and 0% as control. The measure of tapioca liquid wastewater parameter before and after water hyacinth treatment is about eight days with interval of liquid wastewater parameter measure every two days. ANOVA test to indicate significance influence and DMRT 5% for significance influence location detection. The result of this research on preface test indicate that water hyacinth adaptable in tapioca liquid waste water up to 100% concentration and extend obvious influence to reduce pollution level of tapioca industrial liquid waste water on the actually test with average reduction percentage of TSS about 16.74%, TDS about 13.64%, BOD5 about 68%, COD about 49.94%, cyanide about 35.94% and average increase percentage of pH about 12.26% Keywords: water hyacinth, wastewater, tapioca.
BP-29 Keragaman Jenis Kapang pada Manisan Buah Salak (Salacca edulis Reinw.) The diversity of moulds in the candied salak (Salacca edulis Reinw.) Ratih Dhamayanti, Suranto, Ratna Setyaningsih♥ Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS). Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375. e-mail:
[email protected]
ABSTRACT. The aims of this research were to identify moulds in candied fruit within three varieties of salak (i.e. sleman, gading and pondoh), and to know the effect of sugar concentration added, the time of storage, and additional of preservative chemical substance (benzoic acid) for the diversity of moulds in candied salak. The isolation method of moulds was used direct plating. In order to determine the kind of moulds, which tolerance in sugar solution (osmotic pressure), the samples were put on the surface of glucose 25% peptone yeast-extract agar (GPYA) medium, and then incubated at 30oC for seven days. After that the colony was transferred on potato dextrose agar (PDA) and czapeks dox agar (CDA) identification media. The results indicated that there were 10 different kind of moulds can be found in all samples, namely Aspergillus flavus, A, niger, A. versicolor, A. fumigatus, Aspergillus sp., Monilia sp., Mucor sp., Penicillium sp., Rhizopus sp. and Wallemia sp. In order to examine the influence of sugar concentration on the growth of moulds, the candied salaks
ABSTRAK – Konggres dan Seminar Nasional PTTI, UNS-Solo, 19-20 Desember 2003 were treated in different concentration. Candied salak with or without additional benzoic acid were treated with sugar concentration of 200 g/l, 250 g/l and 300 g/l. The highest concentration of sugar showed to lowest diversity of moulds for varieties of sleman and gading, conversely for variety of salak pondoh, the additional of high sugar concentration showed increase in their diversity. The diversity of moulds in day of seventh was smaller than the diversity of moulds in day of null. The concentration of benzoic acid (1 g/l) confined the diversity of moulds. Keywords: candied salak, osmotic pressure, diversity of mould.
BP-30 Tipe-tipe Spora Endogone pada Tanah di Hutan Jobolarangan Subterranean Types of Endogone Spores in Jobolarangan Forest Shanti Listyawati, Dewi Handadari, Budi Saryanto, Bayu irawan, Diah Dwi Handayani Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS). Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375. e-mail:
[email protected]
ABSTRACT. Endogone spores are spores produced by Endogone genus of VAM fungi, which are abundance in soil. The objective of the research was to assess the types of Endogone spores found in the soil of Jobolarangan forest. Soil samples were taken based on the dominant vegetation, identification and spores screening were then done to the sample. The result research indicated that there were 5 types of spores, namely: white reticulate, yellow vacuolate, red brown laminate, honey colored sessile, and crenulate. Keywords: Endogone spores, spore types, Jobolarangan forest.
BP-31 Suku Jambu-jambuan dari Kepulauan Sunda Kecil Family Myrtaceae of Sunda Kecil archipelago Siti Sunarti "Herbarium Bogoriense", Bidang Botani, Pusat Penelitian BiologiLIPI. Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16122. Tel.: +62-251-322035. Fax.: +62-251-336538. e-mail:
[email protected]
ABSTRAK. Jambu-jambuan (Myrtaceae) merupakan salah satu suku yang dikenal sebagai penghasil minyak atsiri maupun penghasil buah-buahan. Tidak kurang dari 28 marga dijumpai di Indonesia. Namun demikian untuk memperoleh informasi tentang marga-marga tersebut yang berasal dari berbagai daerah di Indonesian dirasa masih kurang. Oleh karena itu, sebagai langkah awal dilakukan penelitian mengenai marga Jambu-jambuan dari Kepulauan Sunda Kecil. Adapun cara kerjanya yaitu dengan mendata dan mengamati spesimen jambu-jambuan yang berasal dari Kepulauan Sunda Kecil. Dari hasil penelitian ini tercatat 331 nomor yang tergolong menjadi 10 marga. Adapun marga yang mempunyai jumlah koleksi terbesar adalah marga Eucalyptus.
xix
Kata kunci: marga, Myrtaceae, Kepulauan Sunda Kecil.
BP-32 Pertumbuhan dan Produksi Saponin Kultur Kalus Talinum paniculatum Gaertn. dengan Variasi Pemberian Sumber Karbon The growth and saponin production of the callus culture of Talinum paniculatum Gaertn. With variation suplement carbon source Herwin Suskendriyati, Solichatun♥, Ahmad Dwi Setyawan Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62271-663375. e-mail:
[email protected]
ABSTRACT. The aims of this research are to know the effect of sucrose, glucose, and both combination on growth and saponin production of the callus culture of Talinum paniculatum Gaertn. The out line of the research was the callus growth and secondary metabolite production could be increased by optimalization of the cell physiology environment consist of the nutritional medium optimalization with the addition sucrose and glucose in culture’s medium as carbon source. Sucrose and glucose may cause optimum condition of the cell physiology enviroment. Finally, the cell metabolism would be influenced and than it can influence callus growth and saponin production. According to the research aims, the research was done in vitro callus culture method to obtain callus from explant ( T. paniculatum leaf) and to induce saponin production. In vitro culture that be done consist of 2 stage, first stage was the callus initiation medium to induce callus and second stage was the treatment medium to induce saponin production from callus. The research used factorial completely randomized design with 2 factor (sucrose 0 g/l, 10 g/l, 20 g/l, 30 g/l dan glucose 0 g/l, 10 g/l, 20 g/l, 30 g/l) with 3 replication. The data would be collected qualitatively i.e callus morphology and quantitatively i.e percentage of callus fresh weight increase, callus dry weight and saponin content. Data were analized using ANOVA and be followed by DMRT 5% confident level. The result of research showed that the increase of sucrose concentration raised the callus fresh weight, callus dry weight and saponin content. Increase of glucose concentration raised saponin content. Both combination provide effect to percentage fresh weight increase, callus dry weight and saponin content. The combination of sucrose 30 g/l and glucose 0 g/l provide the best of percentage of callus fresh weight increase and callus dry weight. The combination of sucrose 20 g/l and glucose 30 g/l provide the best of saponin content. Keyword: sucrose, glucose, saponin, callus growth, Talinum paniculatum Gaertn.
BP-33 Alelopati Intravarietas Vigna radiata (L.) Wilczek yang Tumbuh pada Ketersediaan Air yang Berbeda terhadap Perkecambahan, Pertumbuhan dan Nodulasinya Intravarieties allelopathy of Vigna radiata (L.) Wilczek grown at different water availability on their germination, growth, and nodulation
xx
SISIPAN BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 1, Januari 2004, hal. : i-xxxii
Solichatun1,♥, Mochamad Nasir2 1
2
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS). Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375. email:
[email protected] Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada (UGM), Jl. Sekip Utara, Yogyakarta 55281
ABSTRACT. The objectives of the research were to know the intra varieties allelopathic effects of three varieties of Vigna radiata (L.). Wilczek (merpati, betet and local) under different water availability on their germination, growth, and nodulation. The research was conducted in the green house, using Factorial Completely Randomized Design with five replications. The treatments were applied included the application of leaf extract of V. radiata which grown under different levels of water availability (25%, 50%, 75% and 1000/0 of field capacity respectively) on the same variety. The result indicated that the different levels of water availability influenced the allelopathic effect of V. radiata. The drought condition (25% field capacity) enhanced the allelopathic effect on germination (percentage of germination, rate of germination, and radicle elongation) and growth (dry weight, height of plant, height relative growth rate, leaf area, shoot-root ratio, and total chlorophyll content) of V. radiata target. The leaf extract from V. radiata grown at different water availability (25%, 50%, 75%, and 100% of field capacity) inhibited nodulation on V. radiata target. Keywords: Vigna radiata, varieties, allelopathy, water availability.
BP-34
Isolation of spore forming bacteria, that was toxic to Culex quinquefasciatus Say. Sugiyarto Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS). Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375. e-mail:
[email protected]
ABSTRACT. Thirty three isolates of Bacillus spore forming bacteria were obtained from soil collected in five different localities of Kebun Biologi UGM Yogyakarta. Three isolates were toxic to Culex quinquefasciatus Say. compared with reference strain, Bacillus thuringiensis H-14, however the three isolates showed enough high toxicity with LD50 value: 5 7 4.1889 X 10 spores/ml (reference strain), 3.4643 X 10 7 spores/ml (INAd isolate), 4.6325 X 10 spores/ml (VNAb 7 isolate) and 4.6844 X 10 spores/ml (IINBb isolate). Following various biochemical and morphological tests using standard procedure, the organisms were identified as Bacillus thuringiensis (INBa isolate), Bacillus sphaericus (INAd isolate), Bacillus cereus (VNAb isolate) and Bacillus polymyxa (IINBb isolate). Keywords: Bacillus, Culex quinquefasciatus Say, isolate, bioinsectiside.
BP-36 Aktifitas Antifungal Ekstrak Kasar Daun dan Bunga Cengkeh (Syzigium aromaticum L.) Pada Pertumbuhan Cendawan Perusak Kayu
Keanekaragaman Flora Hutan Jobolarangan Gunung Lawu: 1.Cryptogamae
Antifungal activities of leaf and flower crude extract of Cengkeh (Syzigium aromaticum L.) against growth of wood rod fungi
Plants Biodiversity of Jobolarangan Forest Mount Lawu: 1. Cryptogamae
Sunarto♥, Solichatun, Shanti Listyawati, Nita Etikawati, Ari Susilowati
Ahmad Dwi Setyawan♥, Sugiyarto
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS). Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375. e-mail:
[email protected]
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS). Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375. e-mail:
[email protected]
ABSTRACT. The objectives of the research were to make: (1) a list of Cryptogamic plants at Jobolarangan forest in mount Lawu, and (2) the actual condition of biodiversity conservation of the plants. All Cryptogamic plants on the forest were studied. The procedures of data collection were including species collection in the field, make up herbaria, observation of flora vegetation using transect method, morphology observation in the laboratory, and interview to residents and government administrations. The results showed that in the forest were found 77 species Cryptogamic plants, consisting of 27 species of fungi, 5 species of lichens, 20 species of Bryophytes and 25 species of Pterydophytes. Government and residents had successfully conserved the forest, however fire and illegal logging damaged another part. Keywords: biodiversity, Cryptogamic plants, Jobolarangan, mount Lawu
BP-35 Isolasi Bakteri Pembentuk Spora yang Patogen Terhadap Larva Nyamuk Culex quinquefasciatus Say
ABSTRACT. The objective of the experiment was to find out the inhibitory effect of crude extract of Scyzigium aromaticum (cengkeh) leave and flowers on mycelium growth of wood deteriorated fungi, Coriolus versicolor and Schizophylum commune. It has been known that crude extract of certain plant could inhibit growth of microorganism, especially in fungi and bacteria. Crude extract of the leave and flowers capable inhibit pathogenicplant fungi, but inhibitory ability to wood deteriorated fungi need to be confirmed experimentally, since every fungi has different susceptibility to certain anti-fungal agent. The experiment was done in vitro using spread-plate method. The crude extract was spread over the entire surface of agar medium, followed by inoculation of the fungi in the middle of the medium, and then incubated in room temperature for a week. Measurement parameter was diameter of mycelium growth. As a conclusion, crude extract of leave and flowers of cengkeh in all concentrations (25%, 50%, 75%, 100%) are able to inhibit growth of both fungi. Keywords: Schizophylum commune, Coriolus versicolor, Scyzigium aromaticum, crude extract, in vitro, mycelium.
ABSTRAK – Konggres dan Seminar Nasional PTTI, UNS-Solo, 19-20 Desember 2003
BP-37
xxi
Analisis Keragaman Genus Ipomoea Berdasarkan Karakter Morfologi
benefits of the plants were hydrological regulation, keep out landslide and erosions etc., however economical benefits of the plants were log, firewood, charcoal, honey bee, medicinal plants, etc.
Variance Analysis of Genus Ipomoea based on Morphological Characters
Keywords: biodiversity, Spermatophyte plants, Jobolarangan forest, mount Lawu.
Suratman♥, Dwi Priyanto, Ahmad Dwi Setyawan Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS). Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375. e-mail:
[email protected]
ABSTRACT. The objective of this research was to find out the variability of morphological characters of genus Ipomoea, including coefficient variance and phylogenetic relationships. Genus Ipomoea has been identified consisting of four species i.e. Ipomoea crassicaulis Rob, Ipomoea aquatica Forsk., Ipomoea reptans Poir and Ipomoea leari. Four species of the genus took from surround the lake inside the campus of Sebelas Maret University, Surakarta. Comparison of species variability was based on the variance coefficient of vegetative and generative morphological characters. The vegetative characters observed were roots, steams and leaves, while the generative characters observed were flowers, fruits, and seeds. Phylogenetic relationship was determined by clustering association coefficient. Coefficient variance analysis of vegetative and generative morphological characters resulted in several groups based on the degree of variability i.e. low, enough, high, very high or none. The phylogenetic relationship showed that Ipomoea aquatica Forsk. and Ipomoea reptans Poir. have higher degree of phylogenetic than Ipomoea leari and Ipomoea crassicaulis Rob. Keywords: Ipomoea, morphological characters, coefficient variance, phylogenetic relationships.
BP-38 Keanekaragaman Flora Hutan Jobolarangan Gunung Lawu: 2...Spermatophyta Plants Biodiversity of Jobolarangan Forest Mount Lawu: 2. Spermatophyta 1,♥ 1 1 Sutarno , Ahmad Dwi Setyawan , Suhar Irianto , 2 Apriana Kusumaningrum 1
2
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS). Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375. email:
[email protected] Mapala "Gopala Valentara" Fakultas Hukum UNS Surakarta 57126
ABSTRACT. The objectives of the research were to make: (1) a list of Spermatophyte plants at Jobolarangan forest in mount Lawu, and (2) the ecological and the economical benefits of the plants. All Spermatophyte plants on the forest were studied. The research procedures were including species collection in the field, make up herbaria, morphological observations in the laboratory, and interview to residents and government administrations. The results showed that in the forest were found 142 species Spermatophyte plants, in which 126 species of 54 family were identified, consisting of 78 species of herbs, 26 species of bushes, and 21 species of trees. Ecological
BP-39 Kondisi Ekosistem (Vegetasi) Hutan di BKPH Lawu Utara Forest ecosystem in BKPH Lawu Utara Sutarno♥, Agung Respati Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta, Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel.: +62-271-663375. Fax.: +62-271-663375. email:
[email protected]
ABSTRAK. Areal Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Lawu Utara meliputi tiga kecamatan, yaitu Tawangmangu, Jenawi dan Ngargoyoso. Topografi areal ini sangat bervariasi dari datar, khususnya di bagian bawah, miring, bergelombang, dan curam di bagian atas. Luas areal secara keseluruhan adalah 6152,1 ha, terdiri dari hutan produksi (1774 ha), hutan lindung (1343,1 ha), dan hutan suaka alam (2666,2 ha). Di samping itu, terdapat pula hutan wisata seluas 287,7ha di daerah puncak Lawu (RPH Blumbang), Pertapaan Pringgondani (RPH Tambak), Buper Sekipan (RPH Banjarsari), dan Wana Wisata Gunung Bromo (RPH Gunung Bromo). Jenis tanaman yang banyak ditemukan adalah pinus, sono keling, mahoni, damar, puspa, dan bintamin. Di samping itu terdapat pula tumbuhan yang sudah sangat jarang (tumbuhan langka) seperti: telasih (Cinnamomum parthenoxylon), songgo langit (Kayia sinegalis), pulosari (Alyxia reinwardtii), pronojiwo (Euchresta horsfeldii), kangean (Litsea cubeba), prwoceng (Pimpinella pruatjan) dan liwung (Caryota sp.). Ancaman kerusakan pada area hutan BKPH Lawu Utara, terdiri atas empat kelompok yaitu: pencurian kayu, tanah longsor, kebakaran, dan pelanggaran batas pertanian. Ancaman ini dapat menyebabkan hutan gundul dan pada akhirnya akan terjadi degradasi ekosistem, seperti: penurunan biodiversitas, hilangnya spesies endemik, penurunan debit air, ancaman penggunaan biodiversitas secara lestari. Tindakan yang perlu dilakukan berupa konservasi yang melibatkan masyarakat sekitar, usaha terintegrasi dari semua pihak, reforestasi dan agro-bisnis untuk memberikan penghidupan masyarakat lokal. Kata kunci: ekosistem, BKPH Lawu Utara.
BP-40 Pengaruh Ekstrak Temu Putih (Curcuma zedoaria Rosc.) terhadap Spermatogenesis dan Kualitas Spermatozoa Mencit (Mus musculus L.) The effect of zedoary extract (Curcuma zedoaria Rosc.) on spermatogenesis and quality of sperms of Mus musculus L. Tutik Siswanti, Okid Parama Astirin, Tetri Widiyani♥ Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS). Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375. e-mail:
[email protected]
SISIPAN BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 1, Januari 2004, hal. : i-xxxii
xxii
ABSTRACT. The aims of the study were to know the effect of zedoary or temu putih extract (Curcuma zedoaria Rosc.) on mice spermatogenesis (Mus musculus L.) and the quality of sperms. Male mice were treated with zedoary extract orally for 34 days, then testis sperms were collected, and the histological section was made using paraffin and Hematoxyllin-Eosin (HE) method. The results indicated that the extract affect spermatogenesis by decreasing spermatogonia cells, spermatocyte and spermatid, as well as decreasing spermatogenic cell layer of mice (Mus musculus L.), sperm viability, and tend to decrease sperm motility. Keywords: zedoary extract (Curcuma zedoaria Rocs.), spermatogenesis, sperm quality.
pulau tersebut belum pernah diungkapkan sebelumnya. Hasil inventarisasi jenis-jenis anggrek di pulau tersebut ditemukan sekitar 27 jenis yang tergolong dalam 21 marga. Beberapa jenis diantaranya yaitu Malaxis latifolia, Dendrobium distichum dan Habenaria medioflexa merupakan rekaman baru untuk Sulawesi. Kata kunci: anggrek, wawonii.
BP-43 Electrophoresis Studies of Ranunculus triplodontus Populations SURANTO
BP-41 Keanekaragaman Jenis Euphorbiaceae (Jarakjarakan) di Beberapa Lokasi Karimunjawa, Jawa Tengah Diversity of Euphorbiaceae species in Karimunjawa, Central Java Tutie Djarwaningsih "Herbarium Bogoriense", Bidang Botani, Pusat Penelitian BiologiLIPI. Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16122. Tel.: +62-251-322035. Fax.: +62-251-336538. e-mail:
[email protected].
ABSTRAK. Informasi mengenai keanekaragaman jenis flora, khususnya dari jenis-jenis Euphorbiaceae di Karimunjawa belum banyak diungkapkan. Eksplorasieksplorasi yang pernah dilakukan kebanyakan pada masamasa sebelum kemerdekaan. Penelitian ini dilakukan dengan metode Balgooy (1987) di dua lokasi kawasan Karimunjawa. Jenis-jenis Euphorbiaceae yang ditemukan di lokasi I (Legon Lele) sebanyak 7 jenis, sedangkan di lokasi II (Bukit Bendera dan Bukit Gajah) sebanyak 8 jenis; 4 jenis diantaranya juga ditemui di lokasi I. Jenis-jenis yang sering dijumpai dilokasi I dan juga ditemukan keberadaannya di lokasi II adalah Antidesma montanum dan Aporosa frutescens. Sedangkan Croton argyratus paling sering dijumpai di lokasi I. Endospermum diadenum merupakan jenis yang belum terekam dalam Flora of Java. Kata kunci: Karimunjawa.
keanekaragaman
jenis,
Euphorbiaceae,
BP-42
Biology Department, Faculty of Mathematics and Sciences, Sebelas Maret University Surakarta. Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375. e-mail:
[email protected]
ABSTRACT. The main purposes of this research were to investigate whether the two distinct types of the morphological character of Ranunculus triplodontus were genetically controlled or environmental influence. In order to prove the above, electrophoretic examinations were carried out employing for four enzyme systems. The medium support of polyacrilamide was chosen. The samples were collected from seven populations around central plateau and the leaves were used as the isozyme data. The result indicated that variation occurred in curtained populations. However, this isozyme data were not able to separate the two types of R. triplodontus into different species. Based on the cluster analysis showed that three groups of seven populations of R. triplodontus were appeared. This research confirms that morphologically distinct species was not supported by the isozyme data, thus the variation found in certain population was mainly influenced by the environmental conditions, and therefore could not be considered as taxonomically distinct. Keywords: Ranunculus triplodontus, isozyme.
BP-44 Tumbuhan yang Berpotensi Obat di Sekitar Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung Barat Plant which have potency to medicines around area of Bukit Barisan Selatan National Park, West Lampung
Jenis-jenis Anggrek di Pulau Wawonii
Wardah
Diversity of orchid species in Wawonii island
"Herbarium Bogoriense", Bidang Botani, Pusat Penelitian BiologiLIPI. Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16122. Tel.: +62-251-322035. Fax.: +62-251-336538. e-mail:
[email protected].
D. Sulistiarini, Sunardi, Uway Warsita Mahyar♥ "Herbarium Bogoriense", Bidang Botani, Pusat Penelitian BiologiLIPI. Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16122. Tel.: +62-251-322035. Fax.: +62-251-336538. e-mail:
[email protected].
ABSTRAK. Pulau Wawonii yang mempunyai makna P. kelapa mempunyai luas sebesar 650 km2, tertelak di Sulawesi Tenggara. Lokasi hutannya terbagi dalam beberapa zona, antara lain hutan lindung yang terletak di tengah-tengah pulau, hutan produksi biasa, hutan produksi terbatas dan hutan produksi masyarakat. Keadaan flora di
ABSTRAK. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan salah satu kawasan hutan tropis yang memiliki kekayaan keanekaragaman jenis tumbuhan tinggi, sayangnya kawasan ini terus menerus di eksploitasi dan di konversi menjadi perkebunan, pemukiman, dan perluasan areal pertanian dengan cara ladang berpindah. Penelitian dilakukan di kawasan sekitar Kubu Perahu dan kawasan hutan Dipterocarpaceae Krui (TNBBS) baru-baru ini tidak kurang dari 71 jenis, 59 marga, dan 34 suku tumbuh dikoleksi. Antara lain dari suku Piperaceae (8 jenis),
ABSTRAK – Konggres dan Seminar Nasional PTTI, UNS-Solo, 19-20 Desember 2003 Fabaceae (6 jenis), Euphorbiaceae (5 jenis), Zingiberaceae (5 jenis), dan lain-lain berpotensi sebagai tumbuhan obat. Data dan informasi terkumpul dari survei eksploratif dan wawancara dengan tokoh adat, dukun, dan masyarakat yang tumbuhan. Data tersebut sangat berguna bagi manajemen pengelolaan kawasan tersebut. Kata kunci: Tumbuhan obat, Lampung Barat.
officinale
Rosc.),
BP-48 Isolasi dan Karakterisasi Gen Homolog LEAFY/ FLORICAULA pada Jati (Tectona grandis L.f.) Isolation and characterization of a LEAFY/FLORICAULA homologue gene of teak (Tectona grandis L.f)
BP-45 Keanekaragaman Jenis, Plasma Nutfah dan Potensi Buah-buahan Asli Kalimantan
Nita Etikawati1,♥, Adi Pancoro2 1
Species diversity, genetic resources and potential indigeneous fruits of Kalimantan
2
Tahan Uji "Herbarium Bogoriense", Bidang Botani, Pusat Penelitian BiologiLIPI. Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16122. Tel.: +62-251-322035. Fax.: +62-251-336538. e-mail:
[email protected].
ABSTRAK. Berdasarkan hasil penelusuran pustaka, pengamatan koleksi spesimen herbarium dan pengamatan langsung di lapangan telah ditemukan 226 jenis buahbuahan asli Kalimantan. Dari 226 jenis tersebut, 58 jenis di antaranya telah dibudidayakan dan 31 jerns lainnya merupakan tumbuhan endemik. Dari hasil penelitian ini dapat pula dilaporkan bahwa kerabat durian (Durio spp.), mangga (Mangifera spp.), manggis (Garcinia spp.) dan rambutan (Nephelium spp.) merupakan jenis-jenis buahbuahan asli yang mempunyai prospek cukup baik untuk dikembangkan di Kalimantan. Kata kunci: keanekaragaman jenis, potensi, buah-buahan asli, Kalimantan.
Keywords: ginger (Zingiber Zingiberaceae, isozim, cultivars.
xxiii
plasma
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS). Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375. email:
[email protected] Depatemen Biologi FMIPA Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesa 10 Bandung. Tel. +62-22-2509172-73 ext 3147. Fax. +62-22-2511575, 2500258.
ABSTRACT. LEAFY (LFY) gene is one of the genes that has been known to be responsible for the initiation of flowering in Arabidopsis and this gene is conserved in Angiosperm. The 3’ end of LFY/FLO homologue gene of teak (Tectona grandis L.f.) has been successfully isolated using 3’RACE-PCR strategy. Analysis of the 577 base pair 3’RACE-PCR product using the data base from GenBank revealed that the sequence had strong similarity with FLORICAULA (FLO) gene from Antirrhinum majus and from other species of herbs and woods. It indicated that the gene was responsible to control flowering and included in the LFY/FLO genes family. Comparison of the predicted amino acid sequence of teak LFY/FLO homologue with the homologue from other species revealed high homology at the carboxyl end.
nutfah,
BP-47 Keragaman Tanaman Jahe (Zingiber officinale Rosc.) dengan Penanda Isozim
Keywords: isolatation, characterization, LEAFY/ FLORICAULA homologue gene, teak (Tectona grandis L.f).
BP-49 Profil Hutan Kawasan Gua Jepang, Nagargoyoso, Karanganyar
Diversity of ginger (Zingiber officinale Rosc.) based on Isozymic Marker
Forest profile diagram in Japan cave area, Ngargoyoso, Karanganyar
Wiryanto ♥, Ahmad Dwi Setyawan ♥ ♥
Prandaya Umara♥, Tias Hesti Kusumawati♥♥
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62271-663375. e-mail:
[email protected]
Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta, Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel.: +62-271-663375. Fax.: +62-271-663375. email:
[email protected]
ABSTRACT. Rhizome of ginger (Zingiber officinale Rosc.) had been used long time ago as spices, flavoring agent and medicinal stuf. This species had three varieties based on color and size of rhizome, i.e. gajah (big white ginger), merah (red or blue ginger), and emprit (white ginger). This research was conducted to find out: (i) isozymic pattern of three ginger varieties, and (ii) phylogenetic relationship of those three varieties. The plant materials were gathered from Wonogiri, Surakarta and Kulonprogo, Yogyakarta. They were sold in traditional marked. It used two enzymic systems, namely esterase (EST) and peroxidase (PER, PRX). The relationship was determined by UPGMA methods. The result indicated that EST showed two bands (i.e. Rf 0.04 and 0.10) and joined at distance 0.60 at least, and PRX showed six bands (i.e. (Rf 0.04, 0.05, 0.09, 0.10, 0.11, and 0.15), and joined at distance 0.63 at least.
ABSTRAK. Hutan merupakan suatu ekosistem yang dicirikan oleh penutupan pohon yang kurang lebih rapat dan luas. Stratifikasi adalah pengelompokkan pohon berdasarkan ketinggiannya. Pembuatan profil hutan bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman tumbuhan di suatu area beserta stratifikasinya. Penelitian dilakukan di areal BKPH (Badan Kesatuan Pemangkuan Hutan) Nglerak, Lawu Utara , kecamatan Ngargoyoso, kabupaten Karanganyar pada bulan November 2001. Metode yang digunakan adalah metode Barbor dengan pembuatan plot 60 x 8 meter persegi dengan penentuan area kajian secara subyektif. Pada area kajian didapatkan 8 jenis pohon dan 1 jenis semak, yaitu Pinus merkusii, Schefflera aromatica, species 1, species 2, Saurauria bracteosa, Azadirachta indica A. Juss, Cinnamomum burmanni, species 5, dan species 6 (Bandotan). Nilai densitas dan nilai penutupannya
xxiv
SISIPAN BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 1, Januari 2004, hal. : i-xxxii
berturut-turut untuk pohon Pinus merkusii 0,02 dan 66,56%, Schefflera aromatica 0,0104 dan 33,65%, species 1 0,0208 dan 4,06%, species 2 0,002 dan 0,1%, Saurauria bracteosa 0,0104 dan 6,15%, Azad irachta indica A. Juss 0,002 dan 0,19%, Cinnamomum burmanni 0,016 dan 2,5%, species 5 0,002 dan 1,25% , species 6 (Bandotan) 0,048 dan 10,24%. Hutan area kajian merupakan hutan peralihan yang pertumbuhannya belum klimaks. Kata kunci: hutan, densitas, nilai penutupan.
BP-50 Pengaruh ekstrak air daun bungur (Lagerstroemia speciosa (L.) Pers.) terhadap aktivitas hipoglikemik dan hipolipidemik tikus diabetik. Hypoglicemic and hypolipidemic activities of water extract of Lagerstroemia speciosa (L.) Pers. leaves in diabetic rat. Udhi Eko Hemawan♥, Sutarno, Ahmad Dwi Setyawan♥♥ Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta, Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel.: +62-271-663375. Fax.: +62-271-663375. email:
[email protected]
ABSTRAK. Studi etnobotani ini membahas sistem pengetahuan masyarakat Karo, Sumatera Utara tentang keanekaragaman jenis tumbuhan yang ada di sekitarnya. Pengetahuan tersebut mencakup pengetahuan lokal masyarakat tentang botani, pemanfaatan, dan pengelolaannya. Di samping itu dibahas pula sistem pengetahuan dan pemahaman masyarakat Karo tentang lingkungannya, meliputi: pembagian tata ruang dan pemanfaatannya. Studi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan masyarakat karo dengan lingkungannya sehingga teridentifikasi jenis-jenis tumbuhan yang memiliki manfaat sosial budaya, ekonomi, dan ekologi (konservasi). Kata kunci: Etnobotani, pengetahuan lokal, pengetahuan tata ruang, tumbuhan berguna, masyarakat Karo, Sumatera Utara
BP-52 Gronophyllum flabellatum: Ditemukan kembali! Rediscovery of Gronophyllum flabellatum Charlie D. Heatubun 1
ABSTRACT. The aim of this study was to know the hypoglycaemic and hypolipidaemic activities of water extract of bungur (Lagerstroemia speciosa (L.) Pers.) leaves in alloxan-induced diabetic rat. Phytochemical studies was conducted to determinate the tannin-contents of the water extract (WE). Male Wistar rats (150- 180 9 BW) were used in this study. The rats were divided into six groups: nonnal control; diabetic control; glibenclamide; WE 0,1 g/200 9 BW; WE 0,2 g/200 9 BW; and WE 0,5 g/200 9 BW. Dried leaves of bungur extracted with boiling water (50 g/L) for 30 minutes. The extract administered orally. Fasting blood glucose, triglyceride, and total cholesterol were determinated at 0, 2, 4, 6 hours after treatment. Total phenol, ellagitannin, gallotannin, and condensed-tannin were determinated from the WE. The results showed that WE exhibited hypoglycaemic activity at doses 0,2 g/200 9 BW and 0,5 g/200 9 BW. The last dose shows similar hypoglycaemic activity compared with glibenclamide. All doses showed the hypolipidaemic activity higher than glibenclamide. Phytochemical studies showed that the WE containing total phenol 0,025%; ellagitannin 0,011%; gallotannin 0,0199%; and condensed-tannin 0,0167%. Keywords: bungur leaves, hypoglycaemic, hypolipidaemic, tannin
BP-51 Pengetahuan Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Masyarakat Karo, Sumatera Utara: Tinjauan dari Aspek Etnobotani Local knowledge of plants diversity of Karo people, North Sumatra: Case study on ethnobotanical aspect Esti Munawaroh Pusat Konservasi Tumbuhan – Kebun Raya Bogor. Jl.Ir. H.Juanda 13, PO Box 309, Bogor 16003. Tel. +62-251-352519. Fax.: +62251-322187. e-mail:
[email protected],
[email protected]
2
Fakultas Kehutanan Universitas Papua, Manokwari, Irian Jaya Barat, Papua. Mahasiswa Departemen Biologi, Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor
ABSTRAK. Gronophyllum flabellatum dapat dikatakan sebagai salah satu jenis palem kharismatik di pulau Irian (New Guinea). Di samping morfologinya sangat menarik, selama hampir 121 tahun palem ini tidak pernah terkoleksi ulang atau dilaporkan, yakni sejak pertama kali dikoleksi oleh botanis besar Odoardo Beccari tahun 1872 di Ramoi (=Remu), ditengah kota Sorong sekarang. Keywords: Gronophyllum flabellatum
Edukasi Oral EO-01 Mengenal Keanekaragaman Tumbuhan Tinggi dalam Klasifikasi Rakyat menuju Klasifikasi Ilmiah melalui Penelitian untuk Mengembangkan Proses Berpikir Introducing Higher Plants Diversity in Flok Classification towards Scientific Classification through Students' Research to Improve Thinking Process Nuryani Y. Rustaman Jurusan Biologi FMIPA Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Jl. Dr. Setiabudhi 229 Bandung 40154. Tel. & Fax.: +62-222001937 e-mail:
[email protected]
ABSTRAK. Berdasarkan temuan penelitian sebelumnya di tingkat pendidikan dasar dan menengah, kesulitan guruguru SLTP dan SMU dalam mengajarkan keanekaragaman dan sistem klasifikasi, dilakukan serangkaian penelitian lanjutan di tingkat pendidikan tinggi melalui model pembelajaran konseptual biologi, dan model praktikum biologi beserta asesmennya untuk meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi mahasiswa calon guru
ABSTRAK – Konggres dan Seminar Nasional PTTI, UNS-Solo, 19-20 Desember 2003 yang pada gilirannya akan mengembangkan kemampuan berpikir siswa SLTP dan SMU melalui klasifikasi dan sistem klasifikasi. Penugasan untuk mengambil sendiri bahan praktikum memaksa mahasiswa untuk mengenal habitat dan habitus. Menggunakan bahan praktikum tersebut, peralatan terbatas, dan skala filogeni, mahasiswa berlatih melakukan pengamatan cermat, penyayatan, pengukuran, pertelaan, penyekoran, pencatatan, inferensi, dan mengambil keputusan dalam melakukan klasifikasikategorisasi-seriasi yang didiskusikan di dalam dan antar kelompok. Praktikum di-ases melalui tes dan nontes (kinerja dan karya). Hasilnya menunjukkan bahwa praktikum memberikan sumbangan nyata dan lebih bermakna untuk mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi (kritis dan logis) daripada perkuliahan. Melalui kegiatan praktikum keterampilan berpikir tingkat tinggi mahasiswa meningkat hingga 60%. Penelitian tindakan diteruskan untuk teori (perkuliahan) dengan melibatkan asesmen portofolio dan menunjukkan hasil yang cukup baik. Penelitian masih terus dilakukan untuk memperbaiki pendekatan dalam perkuliahan teori dengan memanfaatkan hasil praktikum dan bagan dikhotomi konsep (BDK). Kata kunci: Berpikir, pengelompokan, asesmen alternatif, tumbuhan tinggi, BDK.
xxv
mahasiswa diharuskan membawa tumbuhan dari beberapa famili dalam satu sub kelas. Berdasarkan karakteristik yang tercantum pada skala filogeni, mahasiswa melakukan klasifikasi, kategorisasi, dan seriasi. Hasil akhir dari ketiga proses tersebut, mahasiswa mendapat bobot total untuk setiap jenis anggota famili. Jenis tumbuhan yang mendapat bobot lebih tinggi dari jenis yang lain menunjukkan bahwa jenis tersebut lebih maju ditinjau dari evolusinya dibandingkan jenis lain (lebih primitif). Hasil klasifikasi, kategorisasi dan serasi mahasiswa dipresentasikan di depan kelas dan hasilnya dibandingkan dengan sistem klasifikasi menurut Cronquist. Selain melatih keterampilan melakukan klasifikasi, kategorisasi, dan serasi, pada praktikum ini dikembangkan jenis keterampilan proses lain yaitu observasi, interpretasi, komunikasi dan aplikasi. Kata kunci: sistem klasifikasi Cronquist, skala filogeni, keterampilan proses.
EO-03 Buku Ajar dan Alam Sekitar dengan Model Belajar Interaktif Handbook and environment with the interactive learn model
EO-02
Ashar Hasairi♥, Martina Restuati, Riwayati
Penerapan Model Pembelajaran Praktikum Botani Phanerogamae dengan Sistem Klasifikasi Filogenetik pada Mahasiswa Jurusan Pendidikan Biologi UPI Bandung
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Medan (UNIMED), Jl. Willem Iskandar Pasar V Sampali, Medan 20221
Applying model the study of praktikum of botany Phanerogamae with the system of classication phylogenetik at Biological Education student of UPI Bandung Siti Sriyati Jurusan Pendidikan Biologi, FPMIPA, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Jl. Dr. Setiabudhi 229, Bandung 40154. Tel. & Fax.: +62-22-2001937. e-mail:
[email protected]
ABSTRAK. Dengan tujuan untuk memudahkan pengenalan makhluk hidup dan menyederhanakan obyek studi, sistem klasifikasi tumbuhan mengalami perkembangan terus. Hingga kini dikenal sistem klasifikasi artifisial, natural, dan filogeni, serta sistem klasifikasi menurut Lawrence (1959), Hutchinson (1960), dan Cronquist (1981). Mengikuti perkembangan sistem klasifikasi tumbuhan, Jurusan Biologi UPI Bandung dalam matakuliah teori dan praktikum Botani Phanerogamae telah menggunakan sistem klasifikasi berdasarkan Cronquist (1981). Sistem ini menggunakan pendekatan sistem filogenetik yang didasarkan pada urutan perkembangan makhluk hidup menurut sejarah filogeni, serta jauh dekatnya kekerabatan antar takson. Pada sistem klasifikasi sebelum Cronquist terdapat pembagian spermatophyta menjadi Gymnospermae dan Angiospermae. Angiospermae dibagi menjadi tumbuhan dikotil dan monokotil. Berdasarkan ada tidaknya perhiasan bunga (petala), dikotil dibagi lagi menjadi Apetalae, Sympetalae, dan Dyalipetalae. Pada sistem klasifikasi Cronquist dikenal pembagian kelas tumbuhan menjadi Pinophyta, Magnoliopsida, dan Liliopsida. Pada praktikum Botani Phanerogamae telah disusun skala filogeni. Skala ini memuat karakteristik tumbuhan yang diberi bobot 1-5 berdasarkan evolusi perkembangan karakteristik bagian tumbuhan tersebut. Pada pelaksanaan praktikum,
ABSTRAK. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas perkuIiahan Botani Sistematika dengan menggunakan buku ajar dan alam sekitar dengan model belajar interaktif Metode penelitian berupa kaji tindak, sikIus I pengembangan perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian. SikIus I membahas tinjauan taxa Gymnospermae (SAP 5); Angiospermae: Monocotyledonae (SAP 6) dan Angiospermae: Dicotyledonae (SAP 7). SikIus II dilakukan ujicoba pada mahasiswa Biologi Non Kependidikan UNlMED. Analisis evalusi dilakukan pengukuran keefektifan dan kemampuan mahasiswa dengan menghitung persentase keberhasilan dan keluIusan, mengacu pada buku pedoman penilaian di UNIMED. Hasil penelitian dan pengembangan perangkat pembelajaran menunjukkan bahwa kuliah mimbar dengan praktikum yang selama ini dilakukan terpisah harus disatukan untuk menghindari terjadi pengulangan materi. Setelah mengikuti perkuliahan dengan menggunakan buku ajar dan alam sekitar dengan pola belajar interaktif terjadi peningkatan. Persepsi mahasiswa berkorelasi tidak signifikan dengan penguasaan konsep Botani Sistematika. Interaksi pembelajaran tergolong baik, hanya saja interaksi mahasiswa dengan dosen kurang. Penggunaan buku ajar dan alam sekitar memudahkan mahasiswa mengenal tumbuhan. Kendala mahasiswa kurang aktif mencari literatur lain dan mata kuliah morfologi harus benar-benar sebagai prasyarat untuk Botani Sistematika. Kata kunci: kualitas perkuliahan, botani sistematika, buku Ajar, alam sekitar, belajariInteraktif
EO-04 Paradigma Baru dalam Dunia Taksonomi Tumbuhan New paradigm on the world of plant taxonomy
xxvi
SISIPAN BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 1, Januari 2004, hal. : i-xxxii
Kusumadewi Sri Yulita♥ ♥
"Herbarium Bogoriense", Bidang Botani, Pusat Penelitian BiologiLIPI. Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16122. Tel.: +62-251-322035. Fax.: +62-251-336538. e-mail:
[email protected]
ABSTRAK. Sejak awal tahun 1990, terjadi perkembangan pesat dalam wacana taksonomi tumbuhan. Walaupun taksonomi masih dipandang sebagai studi klasifikasi suatu organisme ke dalam suatu sistem Internasional yang baku, batasan fungsinya tidak lagi sekedar sebagai ‘tool’ dalam studi ilmu dasar. Sistem klasifikasi diharapkan tidak lagi sebagai sistem yang artifisial namun mencerminkan suatu sistem yang benar-benar natural berdasarkan hubungan kekerabatan (filogenetika). Dengan demikian filogenetika merupakan tema utama dalam wacana taksonomi modern. Pemilihan dan penggunaan karakter untuk klasifikasipun tidak lagi terbatas pada karakter morfologi, anatomi dan sitologi, terlebih jika ‘kekerabatan’ direfleksikan oleh karakter yang bersifat ‘diturunkan’, maka pilihan utama adalah urutan DNA. Perkembangan ini kemungkinan juga merupakan pembaruan yang membawa dampak lebih lanjut terhadap sistem klasifikasi hirarki binomial yang ditemukan oleh Linneaus sekitar tiga abad yang lalu. Nomenklatur filogenetika (Phylocode) mulai dicetuskan sejak tahun 1992 oleh beberapa ahli taksonom seperti de Queiroz dan Gauthier, sebagai kode tatanama berdasarkan prinsip filogenetika. Kode ini pada dasarnya memberikan definisi filogenetika kepada sekelompok nama klade (clade names) yang mana klade tersebut tidak harus diberikan kategori ranking hirakri seperti halnya sistem klasifikasi yang dibuat oleh Linneaus. Akibatnya dalam beberapa tahun belakangan ini terjadi debat antara para ahli taksonom yang mewakili beberapa era perkembangan taksonomi, apakah sistem klasifikasi Linneaus masih cukup representatif dalam mengantisipasi perkembangan taksonomi saat ini. Kata kunci: paradigma baru, taksonomi tumbuhan.
EO-05 Taksonomi Tumbuhan di Masa Depan The future of Plant Taxonomy Mien A. Rifai "Herbarium Bogoriense", Bidang Botani, Pusat Penelitian BiologiLIPI. Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16122. Tel.: +62-251-322035. Fax.: +62-251-336538. e-mail:
[email protected].
ABSTRAK. Untuk menyejajarkan penguasaan taksonomi tumbuhan oleh peserta didik Indonesia, dengan rekanrekannya di luar negeri diperlukan upaya terpadu. Pembantingan kemudi mungkin diperlukan dalam mendekati permasalahan, sehingga biologi molekuler, genetika non-mendel, dan mikrobiologi modern terakomodasikan dalam pemelajaran dan pembelajaran keanekaragaman tumbuhan Indonesia. Suatu contoh cetak biru buku teks perguruan tinggi disarankan untuk ditulis bersama. Masukan dan reformasi pendidikan pertaksonomian Indonesia perlu dipertimbangkan. Keywords: plant taxonomy, future.
EO-06 Comparison of Three Preservation Techniques for Field-Collected Drosera indica L. for DNA Studies
Perbandingan tiga cara pengawetan Drosera indica L. di Lapangan untuk Studi DNA Ratna Susandarini Laboratory of Plant Taxonomy, Faculty of Biology, Gadjah Mada University, Jl. Sekip Utara, Yogyakarta 55281.
ABSTRACT. Difficulties in preserving plant materials collected from field for research on molecular taxonomy often hinder the application of DNA-based methods for resolving taxonomic problems. In this present study, three preservation techniques for Drosera indica leaves were compared to assess the suitability of different media in preserving DNA from field-collected plant materials. Water, silica sand, and silica gel crystal were used as preservation media. Following DNA extraction, gel electrophoresis and spectrophotometry of DNA were carried out to evaluate DNA integrity and quality. Results indicated that water- and silica gel- preserved leaves produced DNA of high molecular weight and adequate quality. Silica gel is particularly found to be effective, facilitating rapid dessication for DNA preservation in plant material. The use of silica sand, however, failed to prevent DNA degradation due to prolonged dessication process. Keywords: preservation, Drosera indica, silica gel, DNA.
EO-07 Potensi Flora Taman Pascasarjana Kampus ITS dalam Mendukung Proses Belajar Mengajar Taksonomi Tumbuhan Possibilities of Taman Pascasarjana flora of ITS campus on plant taxonomy education Sri Nurhatika♥, Kristanti Indah Purwani, Desiree Khrisnawati, Dian Saptarini Program Studi Biologi FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Sukolilo, Surabaya 60111. Tel. +62-31-5963857.
ABSTRAK. Kampus ITS terletak di Kecamatan Sukolilo, di bagian pesisir timur Kota Surabaya, dengan luas lahan sekitar 180 ha, pada ketinggian 125 m. dpl. Landskap Kampus ITS berwawasan lingkungan dengan memperhatikan keseimbangan antara ketersediaan ruang terbuka hijau dan ruang terbangun, sehingga dapat mendukung proses perkuliahan. Pembangunan taman di dekat Gedung Pascasarjana merupakan salah satu usaha mewujudkan ruang terbuka hijau dengan mengacu pada konsep tropical gardening. Tanaman yang dipilih selain memiliki morfologi yang menarik juga memiliki kriteria khusus di antaranya tanaman langka, tanaman yang tahan terhadap lingkungan ITS dengan temperatur dan tingkat kekeringan relaif tinggi. Keberadaan taman ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu laboratorium alam bagi dosen dan mahasiswa Biologi untuk menunjang praktikum matakuliah Taksonomi Tumbuhan. Kata kunci: flora, Taman Pascasarjana, Kampus ITS, Taksonomi Tumbuhan.
EO-08 Kawasan Gunung Patuha dan Sekitarnya sebagai Tempat Pendidikan Taksonomi Tumbuhan
ABSTRAK – Konggres dan Seminar Nasional PTTI, UNS-Solo, 19-20 Desember 2003 Area of Mount Patuha and its surroundings as Place of Education of Plant Taxonomy
xxvii
Kata kunci: pengetahuan botani lokal, klasifikasi populer, masyarakat lokal.
Undang Ahmad Dasuki♥, Haru Suandharu Depatemen Biologi FMIPA Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesa 10 Bandung. Tel. +62-22-2509172-73 ext 3147. Fax. +62-222511575, 2500258. E-mail:
[email protected]
EO-10
ABSTRAK. Kawasan Gunung Patuha dan sekitarnya yang terletak di sebelah selatan Kota Bandung, pada ketinggian 1700-2194 m dpl. Mempunyai beberapa tipe komunitas yang menarik. Pada hutan alami zona Laura-Fagaceae antara lain ditemukan Schima wallichii, Lithocarpus spp., Litsea cubeba, dan Cinnamomum burmanii. Zona EricaMyrtaceae di sekitar Kawah Putih dan Kawah Cibuni ditemukan antara lain Vaccinium varingaefolium, V. laurifolium, Rhododendron retusum, Gaulteria leucocarpa, dan G. punctata. Komunitas tumbuhan rawa pegunungan antara lain Eriocaulon spp., Xyris capensis, Oenanthe javanica, dan Leersia hexandra. Komunitas binaan ditanami Pinus merkusii, Altingia excelsa, Alnus nepalensis, Macadamia ternifolia, Eucalyptus spp, perkebunan teh (Camelia sinensis) dan sayuran. Tumbuhan lumut yang menarik antara lain Rhodobryum giganteum, Mniodendron divaricatum, dan Sphagnum junghuhnianum. Tumbuhan paku antara lain Blechnum vestitum, B. indicum, dan Asplenium spp. Kawasan tersebut sangat baik untuk tempat pendidikan taksonomi tumbuhan, baik tumbuhan berpembuluh maupun tumbuhan tidak berpembuluh.
Application of gene marker in taxonomical purposes
Kata kunci: Gunung Patuha, hutan alam, tumbuhan rawa, komunitas binaan.
Aplikasi Gen Penanda dalam Kegiatan Taksonomi
Mohamad Amin Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang (UM). Jl. Surabaya 6, Malang 65145. Tel. (0341) 14206. E-mail:
[email protected]
ABSTRAK. Sejak penemuan DNA, penelitian dan aplikasi teknik-teknik genetika molekular dan bioteknologi telah mengalami revolusi besar. Salah satunya, penggunaan DNA/gen penanda untuk mengetahui ciri individu, keanekaragamanan, dan hubungan kekerabatan (filogeni). Dalam penelitian ini digunakan sekuens gen rcbl (ribulose1,5-bisphosphate carboxylase) untuk menganalisis filogeni paku-pakuan (tumbuhan) dan sebagai pembanding digunakan sekuens parsial cytochrome-b untuk menganalisis filogeni itik (hewan) dengan menggunakan MEGA2.1 Software. Kedua gen ini merupakan gen yang sering digunakan sebagai penanda untuk analisis filogeni. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan gen penanda ini mendukung hasil filogeni dengan cara konvensional. Kata kunci: filogeni, gene penanda, itik, paku-pakuan
EO-09 Pengetahuan Botani Lokal dan Klasifikasi Populer Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Traditional botanical knowledge and popular taxonomy of plants diversity Y. Purwanto Laboratorium Etnobotani, Bidang Botani, Pusat Penelitian BiologiLIPI. Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16122. Tel.: +62-251-322035. Fax.: +62-251-336538. e-mail:
[email protected].;
[email protected]
ABSTRAK. Studi pengetahuan botani lokal suatu kelompok masyarakat meliputi kemiripan, kesamaan, dan perbedaan dengan bentuk kehidupan tumbuhan dengan tumbuhan lain, serta kemungkinan transformasinya. Studi kehidupan jenis tumbuhan, meliputi tahap-tahap kehidupan secara umum, bentuk tumbuhan, dan morfologinya. Sedangkan untuk memudahkan pemahaman dibuatlah suatu sistem klasifikasi populer atau klasifikasi lokal, terdapat tiga aspek utama dalam sistem ini yaitu identifikasi, penamaan, dan pengklasifikasian dalam suatu urut-urutan sesuai dengan sistem referensinya. Ketiga aspek ini sangat penting untuk memahami dan mengungkapkan sistem klasifikasi makhluk hidup yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat lokal. Umumnya masyarakat lokal menggunakan perbedaan karakteristik tumbuhan yang ada di sekitarnya untuk menyusun keanekaragaman jenis dunia tumbuhan, serta menyususnnya dalam suatu sistem klasifikasi yang mudah dipahami tidak hanya bagi anggota masyarakatnya, tetapi juga masyarakat lain. Klasifikasi populer juga berperan penting pada pengenalan dan pengelolaan jenis tumbuhan.
Edukasi Poster EP-01 Pendidikan dan Pemantauan Studi Flora di Kebun Raya Purwodadi Education and studies guidance of flora in Purwodadi Botanic Garden Solikin Kebun Raya Purwodadi. Jl. Raya Purwodadi, Pasuruan 67163, Indonesia. Tel. & Fax. +62-341-426046.
ABSTRAK. Kebun Raya Purwodadi merupakan salah satu cabang Kebun Raya Indonesia yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan konservasi, penelitian dan pendidikan flora untuk daerah dataran rendah beriklim relatif kering yang bernilai ekonomi,ilmu pengetahuan dan lingkungan. Pendidikan termasuk unsur penting dalam menanamkan sikap, watak dan perilaku dalam melestarikan dan memanfaatkan keanekaragaman sumberdaya tumbuhtumbuhan secara lestari dan berkesinambungan. Institusi ini telah berperan dalam kegiatan tersebut melalui kegiatan pemanduan dan penyuluhan di bidang taksonomi, keanekaragaman, potensi dan manfaat tumbuh-tumbuhan koleksi Kebun Raya Purwodadi bagi para pelajar, mahasiswa dan masyarakat umum. Kata kunci: pendidikan, flora, Kebun Raya Purwodadi
xxviii
SISIPAN BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 1, Januari 2004, hal. : i-xxxii
Sistematika Oral SO-01
terdeteksi, baru gendarusin A dan B yang telah diidentifikasi struktur molekulnya. Pada saat ini uji klinis gendarusin A sedang dilaksanakan.
Kajian Taksonomi Agarophyta berdasarkan Karakter Anatomi
Kata kunci: Justucia gendarussa Burm.f., gendarusin A, gendarusin B.
Taxonomic study of agarophytes based on anatomical characters
SO-03
Abdul Razaq Chasani
Uraian Singkat Kelompok Kerja Inisiatif Nasional Taksonomi Indonesia (Pokja INTI).
Laboratory of Plant Taxonomy, Faculty of Biology, Gadjah Mada University, Jl. Sekip Utara, Yogyakarta 55281. Tel. +62-274902262, 563942
ABSTRAK. Usaha penentuan kedudukan taksonomi makroalgae berdasarkan struktur anatomi belum dilakukan secara intensif termasuk pada golongan Agarophyta. Penelitian ini bertujuan mengamati sel dan jaringan talus Agarophyta sehingga dapat ditentukan struktur anatomi yang dapat dipergunakan untuk menentukan kedudukan taksonomi Agarophyta. Penelitian dilakukan dengan membuat preparat awetan dengan prosedur pembuatan preparat penampang dan melakukan penunjukan histokimia dengan menggunakan preparat segar. Struktur anatomi Agarophyta terdiri dari lapisan korteks dan medulla dengan sel-sel yang bersifat parenkimatis dengan ciri-ciri bentuk sel poligonal dengan sudut agak membulat, susunan sel tidak teratur, dinding sel tebal, sitoplasma sedikit, dan ruang antar sel kecil. Perbedaan struktur anatomi Agarophyta dapat diamati pada bagian korteks yaitu adanya perbedaan jumlah lapisan selnya. Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Agarophyta mempunyai kenampakan struktur anatomi yang hampir sama, sedangkan perbedaannya terletak pada jumlah lapisan sel penyusun korteks. Kata kunci: Agarophyta, struktur anatomi, sel parenkimatis, korteks.
SO-02 Studi Kemotaksonomi Justicia spp dan Penerapannya sebagai Bahan Kontrasepsi Pria Chemotaxonomic study on Justicia spp and the application as male contraception matter Bambang Prajogo E.W. Bagian Ilmu Bahan Alam, Fakultas Farmasi, Universitas Airlangga (UNAIR). Jl. Darmawangsa Dalam Surabaya. Tel. +62-31-5033710. Fax.: +62-31-5020514. e-mail:
[email protected]
ABSTRAK. Marga Justicia memiliki anggota 800 jenis yang tersebar di seluruh dunia, beberapa diantaranya telah diteliti, misalnya J. pectoralis, J. neesii, J. extensa, J. secunda, J. ghiesbreghtiana, J. glauca, J. insularis, J. hayati dan J. gendarussa. Kandungan kimia jenis-jenis tersebut tidak sama, terdiri dari alkaloid, lignan, sterol, dan flavonoid. Justicia gendarussa Burm.f. merupakan satusatunya jenis yang berasal dari Indonesia. Berdasarkan etnofarmakognosi, tumbuhan ini dimanfaatkan sebagai kontrasepsi pria di pedalaman Papua. Kandungan kimia jenis ini terbukti berbeda dengan jenis-jenis Justicia lain. Penelitian yang mengarah pada penggunaan J. gendarussa sebagai kontrasepsi pria secara ilmiah telah dilakukan sejak tahun 1987. Kandungan kimia jenis ini efektif pada mencit, tikus, kelinci, dan manusia, baik dalam kajian seluler, subseluler, maupun molekuler. Dari 10 flavonoid yang
Simple review of Working Group of Indonesian National Taxonomy Initiative Yayuk R. Suhardjono1, Soenartono Adisoemarto1, I Gusti Made Tantra2,♥ 1
2
Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Cibinong-Bogor. Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911. Pusdiklat Kehutanan & Puslitbang Teknologi Hasil Hutan Bogor. Jl. Gunung Batu 5 Bogor 16122. Tel. +62-251-633378. Fax. +62251-633413.
ABSTRAK. Inisiatif Nasional Taksonomi Indonesia (Indonesian National Taxonomy Initiative; INTI) dibentuk untuk menindaklanjuti keputusan COP & SBSTTA. Pembentukannya diawali lokakarya di Kuala Lumpur, 14-17 Agustus 1996 yang memformulasikan dibentuknya NECI (NEtwork Coordinating Institute), NACI (NAtional Coordinating Institute) dan LCC (LOOPs Coordinating Committee). Indonesia menetapkan Kementerian Lingkungan Hidup sebagai NACI. Pada tanggal 11-12 Agustus 1998, Kementerian Lingkungan Hidup RI di Jakarta menyelenggarakan lokakarya mengenai jaringan nasional biosistematika dan membentuk Kelompok Kerja Inisiatif Nasional Taksonomi Indonesia (Pokja INTI). Program Pokja INTI jangka pendek, meliputi sosialisasi Pokja INTI, penyebarluasan pemahaman terhadap taksonomi, pemantauan perkembangan dalam bidang taksonomi secara nasional dan internasional, serta inventarisasi lembaga penghasil jasa taksonomi dan lembaga pengguna jasa taksonomi. Program jangka panjang, meliputi: pemantapan sumber daya pendukung, penyelenggaraan pertemuan teknis setiap bulan, inventarisasi lembaga/unit/ perguruan tinggi, menindaklanjuti pertemuan LCC dan persiapan pertemuan LCC berikutnya, kunjungan ke kerja ke lembaga/unit/ perguruan tinggi dalam rangka sosialisasi Pokja INTI, serta penyiapan pembentukan jaringan kerja dalam NACI (pembentukan NI). Kata kunci: INTI
SO-04 Revisi Marga Licuala Wurb. (Palmae) di Kalimantan Revision of genus Licuala Wurb. (Palmae) in Kalimantan 1, ♥
Jati Baroto 1
2
, Edi Guhardja2, Johanis P. Mogea2
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Brawijaya Malang "Herbarium Bogoriense", Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16122. Tel.: +62-251322035. Fax.: +62-251-336538. e-mail:
[email protected].
ABSTRAK. Revisi marga Licuala di Kalimantan, Indonesia dilakukan berdasarkan bahan utama dari 186 spesimen
ABSTRAK – Konggres dan Seminar Nasional PTTI, UNS-Solo, 19-20 Desember 2003 yang ada di Herbarium Bogoriense dan Herbarium Wanariset Samboja. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa terdapat 15 jenis Licuala di Kalimantan, Indonesia, yang terdiri dari 1 jenis baru, yaitu L. beruiensis, dua varietas, yaitu: L. petiolulate var. Kapepajensis, L. mattanensis var. paucisecta, dan 14 jenis yang telah diketahui, yaitu: L. arbuscula, L. bintulensis, L. borneensis, L. halleriana, L. lanata, L. mattanensis, L. olivifera, L. paludosa, L. petiolulata, L. reptans, L. spicata, l. spinosa, L. triphylla dan L. valida. Kata kunci: revisi, Licuala, Kalimantan.
The Genus Koilodepas Hassk. (Euphorbiaceae) in Malesia Marga Koilodepas Hassk. (Euphorbiaceae) di Malesia 1,♥ 2 3 Muzayyinah , Edi Guhardja , Mien A. Rifai , Johanis P. Mogea3, Peter van Walzen4
2
3
4
Pusat Konservasi Tumbuhan – Kebun Raya Bogor. Jl.Ir. H.Juanda 13, PO Box 309, Bogor 16003. Tel. +62-251-352519. Fax.: +62-251-322187. e-mail:
[email protected]
ABSTRACT. Eight species and one varieties of Trichosabthes that is T. borneensis T. montana T. ovigera T. pubera T. quinquangulata T. tricuspidata T. villosa T. wawrae and T. cucumerina var. anguina have been perceived by the amount of its somatic chromosome. Sum of the chromosome each is 2n=22. Trichosanthes cucumerina var. anguina and T. tricuspidata have been reported before, while in other species chromosome amount represent the new information. Keyword: Trichosanthes, somatic chromosome.
SO-05
1
2
xxix
Program Study of Biological Education, Department of PMIPA FKIP Sebelas Maret University Surakarta 57126, Indonesia. Tel. & Fax.: +62-274-387781. e-mail:
[email protected] Department of Biology, Faculty of Mathematic and Sciences, Bogor Agriculture University, Bogor Indonesia "Herbarium Bogoriense", Department of Botany, Research Center of Biology -LIPI, Bogor 16022, Indonesia Rijksherbarium Leiden, The Netherlands.
ABSTRACT. The Malesian genus Koilodepas Hassk. Has been revised based on the morphological and anatomical character using available herbarium collection in Herbarium Bogoriense and loan specimens from Kew Herbarium and Leiden Rijksherbarium. The present study is based on the abservation of 176 spesimens. Eight spesies has been recognized, namely K. bantamense, K. cordifolium, K. frutescns, K. homalifolium, K. laevigatum, K. longifolium, K. pectinatum, and two varieties within K. brevipes. The highes number of species is found in Borneo (5 species), three of them are found endemically in Borneo, K. cordisepalum endemically in Aceh, and K. homalifolium endemically in Papua New Guinea. A phylogenetic analysis of the genus, with Cephalomappa as outgroup, show that the species within the genus Koilodepas is in one group, starting with K. brevipes as a primitive one and K. bantamense occupies in an advance position. Keyword: Koilodepas Hassk., phylogenetic analysis, outgroup.
Malesia,
outgroup,
SO-07 Taksonomi Numerik Kultivar Kedelai (Glycine max (L.) Merr. di Jawa Numerical taxonomy of cultivated soybean (Glycine max (L.) Merr. in Java Sri Rossati Setya Wirawan ABSTRACT. A taxonomic study on cultivated soybean (Glycine max (L.) Merr in Java has been carried out. The ain of this research is to classify the cultivated soybean in Java by using the numerical morphological taxonomy, and also to determine their scientific names for each group. This research contains the collection of cultivated soy bean’s live, from the entire Java. The first observation was first held when the soybean was blooming, while the second one was held when the fruit ripened. The next step was to make the herbarium specimenand to analize the variation of soybean characters. The measurement of similarity using the distance of unsimilarity euclidean , and analyzing group using averange linkage. The result showed that among the cultivars in Java, the Mandaan and Tengahan cultivars were apart from the other cultivars in Java. The closest relationship was between Kayu and Sungging cultivars. While the farthest one was between Kebo and mandaan cultivars. Among the 28 soybean cultivars showed that all cultivars had spesification, so that the spesific names were given to those 28 cultivars. The characters and morphological soybean are in the shape of root, the leaf’s tip, the leaf venation systems, the shape and the arrangement of the the 3rd leaf, 4th leaf, and the 5th leaf, the number and location of the bean, the shape and the size of the seed. Keywords: numerical, taxonomy, cultivated Glycine max (L.) Merr.
SO-06 Jumlah Kromosom Somatik Beberapa Jenis Trichosanthes di Indonesia Somatic chromosome of Trichosanthes species in Indonesia 1,♥
2
Rugayah , Dedi Darnaedi “Herbarium Bogoriense", Bidang Botani, Pusat Penelitian
soybean,
SO-08 Jenis-jenis Dasymaschalon (Annonaceae) di Malesia Species of Dasymaschalon (Annonaceae) in Malesia
1
Biologi-LIPI. Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16122. Tel.: +62-251322035. Fax.: +62-251-336538. e-mail:
[email protected].
Subekti Nurmawati Jurusan Biolgi FMIPA Universitas Terbuka (UT). Jl. Cabe Raya Pondok Cabe, Ciputat, Tangerang 15418.
[email protected]
xxx
SISIPAN BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 1, Januari 2004, hal. : i-xxxii
ABSTRAK. Penelitian ini didasarkan pada morfologi spesimen herbarium dari Herbarium Bogoriense, Puslit Biologi-LIPI (BO), Herbarium Universitas Andalas ('ANDA'), Philippina (PNH), Nationaal Herbarium Netherland, Universiteit Leiden branch (L), serta koleksi hidup Kebun Raya Bogor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 6 jenis dan 4 varietas Dasymaschalon, yang terdiri dari 3 jenis yang telah dikenal 1) D. blumei Finet & Gagnep. dengan satu varietas yaitu var. wallichii (Hook.f & Thomson) Ban, 2) D. clusiflorum (Merr.) Merr. dengan 3 varietas yaitu var. oblongatum (Merr.) Ban, var. megalanthum Merr., var. minutiflorum Nurmawati var. nov., 3) D. filipes (Ridl.) Ban, dan tiga jenis baru diusulkan: D. hirsutum Nurmawati, D. ellipticum Nurmawati, dan D. borneense Nurmawati. Satu jenis dikeluarkan (D. scandens Merr.) karena termasuk ke dalam genus Mitrella. Dari analisis persebaran jenis-jenis tersebut menunjukkan bahwa D. clusiflorum paling banyak ditemukan di Philippina, sementara D. blumei memiliki wilayah persebaran yang paling luas yaitu di Sumatra, Semenanjung Malaysia, Singapura, Borneo, dan Jawa. Hasil analisis filogenetik, dengan Desmos cochinchinensis sebagai outgroup, menunjukkan bahwa jenis-jenis yang termasuk dalam marga Dasymaschalon tergabung dalam satu kelompok dan outgroup-nya terpisah oleh karakter apomorf 8 (bentuk dasar bunga). Kelompok jenis dalam marga Dasymaschalon terbentuk dua kelompok monofiletik, kelompok pertama D. hirsutum merupakan kelompok saudara dari D. blumei var. blumei dan D. blumei var. wallichii berdasarkan karakter apomorf 1 (panjang tangkai daun) dan karakter 2 (pangkal daun). Sementara di kelompok monopfletik kedua, D. filipes merupakan jenis saudara dari D. ellipticum dan D. borneense berdasarkan karakter apomorf 4 (urat daun) Kata kunci: Dasymaschalon, Annonaceae, Malesia.
SO-09 Prospek Pemanfaatan Sumber-sumber Bukti Baru dalam Pemecahan Permasalahan Taksonomi Tumbuhan
SO-10 Studi Taksonomi Micromelum Blume (Rutaceae) di Indonesia Taksonomic study of Micromelum Blume (Rutaceae) in Indonesia Tahan Uji "Herbarium Bogoriense", Bidang Botani, Pusat Penelitian BiologiLIPI. Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16122. Tel.: +62-251-322035. Fax.: +62-251-336538. e-mail:
[email protected].
ABSTRAK. Studi taksonomi Micromelum telah dilakukan di Herbarium Bogoriense (BO) dan Herbarium Kew (K) dengan menggunakan 84 nomor koleksi spesimen herbarium. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif berdasarkan ciri-ciri morfologi. Terminologi oleh Steam (1983) telah digunakan dan juga metode revisi dari Rifai (1976) dan de Vogel (1987). Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di Indonesia hanya dapat ditemukan 2 jenis Micromelum. Kedua jenis Micromelum tersebut adalah Micromelum diversifolium Miq. dan M. minutllm (Forst.f) Wight & Am., Micromelum diversifolium terdiri atas 2 varietas, yaitu M diversifolium Miq. var. diversifolium dan M. diversifolium Miq. var. cuneata Miq.. Sedangkan Micromelum minutum. terdiri atas 3 varietas, yaitu M. minutum (Forst. f) Wight & Arn. var. minutum, M. minutum (Forst.f.) Wight. & Am. var. tomentosum Tan. dan M. minutum (Forst,f.) Wight & Am. var. villosum Tan. Dilaporkan pula bahwa telah ditemukan spesimen koleksi baru (new record) untuk M. diversifolium yang berasal dari Pulau Biak (Papua). Kata kunci: taksonomi, Micromelum, Indonesia.
SO-11 Sitotaksonomi Pteris L. Liar di Kebun Raya Bogor Cytotaxonomy of wild Pteris L in Bogor Botanic Garden Titien Ngatinem Praptosuwiryo
Possibilities of new taxonomical evidence in order to solve complexity in plants taxonomy Suranto Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS). Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375. e-mail:
[email protected]
ABSTRACT. Modern taxonomy has two approaches, i.e. classical and experimental taxonomy. Classical taxonomy uses morphological characters, while experimental taxonomy uses broader methods including chemistry, physics and mathematics, in the form of laboratory data that are revealed together with the progress of optical technique (microscope), chemistry methods (chromatography, electrophoresis), etc. Modern taxonomy tends to use series of interrelated data. More data used would result in more validity and give better clarification of taxonomic status. A lot of modern taxonomic data such as palynology, cytotaxonomy (cytology), chemical constituent (chemotaxonomy), isozyme and DNA sequencing were used recently. Keywords: modern taxonomy, palynology, cytotaxonomy, chemical constituent, isozyme.
Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Indonesia, LIPI. Jl. Ir. H. Juanda 13, PO Box 309, Bogor 16003. Tel.: +62-251-322187, 352518, 352519. Fax. +62-251-322187, 313985. e-mail:
[email protected];
[email protected]
ABSTRAK. Penelitian sitologi enam jenis Pteris L. liar di Kebun Raya Bogor telah dilakukan. Seluruh jenis konsisten mempunyai jumlah kromosom dasar x=29. Tiga jenis, yaitu P. biaurita, P. ensiformis dan P. vittata hanya mempunyai satu tingkat ploidi. Pteris biaurita bertipe diploid (2n=58), sedangkan P. ensiformis dan P. vittata bertipe tetraploid (2n=116). Dua jenis, yaitu P. multifida dan P. tripartita, mempunyai dua tingkat ploidi. Pteris multifida mempunyai tipe ploidi triploid (2n=57) dan tetraploid (2n=116), sedangkan P. tripartita ditemukan mempunyai tipe diploid (2n=58) dan tetraploid (2n=116). Kata kunci: Sitotaksonomi Pteris L. Liar di Kebun Raya Bogor, ploidi.
ABSTRAK – Konggres dan Seminar Nasional PTTI, UNS-Solo, 19-20 Desember 2003
Sistematika Poster SP-01 Studi Kemotaksonomi pada Genus Curcuma A Chemotaxonomic study on the genus Curcuma Ahmad Dwi Setyawan Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62271-663375. e-mail:
[email protected]
ABSTRACT. Curcuma rhizome had been used long time ago as spices, flavoring agent and medicinal stuf. This genus had about 20 species based on morphological characters, but only seven species can be obtained to assay, namely C. aeruginosa Roxb. (temu ireng), C. domestica Val. (kunir), C. heyneana Val. & van Zipj. (temu giring), C. mangga Val. (temu mangga), C. purpurascens Bl. (temu gleyeh), C. xanthorrhiza Roxb. (temu lawak), and C. zedoaria (Berg.) Rosc. (temu putih). This research was conducted to find out: (i) percentage of volatile oil of seven Curcuma species, (ii) type and percentage of volatile oil components of those Curcuma, and (iii) similarity index of volatile oil of those Curcuma based on type and percentage of each components. The plant materials were gathered from Surakarta, and they were sold in traditional marked. Volatile oils were obtained by hydodistillation method; type and percentage of components were determined by GC method, while similarity index was determined by UPGMA method. The result indicated that (i) volatile oil contents in the seven species of rhizome varies from 0.5-6% (v/w), (ii) the total number of volatile oil components of the rhizome (content >1%) is 64 compounds. The rhizome had 10 major components at the RT value of 5.30, 5.64, 7.98, 13.94, 14.05,14.38, 15.75, 16.43, 17.11, and 17.78 (iii) the relationships of those seven species were as follows: C. mangga and C. zedoaria had close relationship on the similarity index of 81%, and then C. xanthorrhiza joined on the similarity index of 73%. C. domestica and C. purpurascens had close relationship on the similarity index of 75%. Those two groups joined at the similarity index of 67%. C. aeruginosa and C. heyneana had close relationship on the similarity index of 72%. Those three groups joined at the similarity index of 59%. It is usual because they are similar genus. Keywords: Curcuma, Zingiberaceae, volatile oil.
xxxi
dikenal orang sampai sekarang adalah dari jenis Daemonorops draco (Willd.) Becc. dengan sebaran paling banyak di pulau Sumatra. Rotan jenis ini banyak dimanfaatkan sebagai bahan pewarna oleh suku Anak Dalam dan Talang Mamak di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Hanya sayangnya kedudukan taksonomi dari jenis ini diragukan. Hal ini disebabkan nama jenis yang sudah berumur satu abad lebih tidak mempunyai tipe yang jelas sehingga termasuk dalam nama yang salah aplikasinya. Kata kunci: dragon’s blood group, rotan jernang, suku Anak Dalam, suku Talang Mamak, Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Daemonorops draco, Sumatera.
Mundu: Garcinia dulcis (Roxb.) Kurz. atau G. xanthochymus Hook.f.ex T.Anderson
SP-03 Mundu: Garcinia dulcis (Roxb.) Kurz. atau G. xanthochymus Hook.f.ex T.Anderson Mundu: Garcinia dulcis (Roxb.) Kurz. or G. xanthochymus Hook.f.ex T.Anderson 1 2,♥ Rismita Sari , Nanda Utami 1
2
Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Indonesia, LIPI. Jl. Ir. H. Juanda 13, PO Box 309, Bogor 16003. Tel.: +62-251-322187, 352518, 352519. Fax. +62-251-322187, 313985. e-mail:
[email protected];
[email protected] "Herbarium Bogoriense", Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16002. Tel.: +62-251322035. Fax.: +62-251-336538. e-mail:
[email protected]
ABSTRAK. Mundu termasuk suku Clusiaceae, dalam publikasi dikenal dengan nama Garcinia dulcis, tapi ada juga yang menyebutnya G. xanthochymus. Perawakan ke dua tanaman ini hampir mirip, sehingga sering membingungkan. Untuk mengetahui nama yang tepat (correct) pada kedua tanaman ini dilakukan pengamatan morfologi, anatomi daun dan analisis Isoenzymnya. Berdasarkan hasil pengamatan dapat dipertimbangkan bahwa keduanya adalah sinonim. Kata kunci: mundu, Garcinia dulcis (Roxb.) Kurz., G. xanthochymus Hook.f.ex T.Anderson
SP-04
SP-02
Karyotipe Kromosom pada Tanaman Bawang Budidaya (Genus Allium; Familia Amaryllidaceae)
Rotan Jernang (Dragon’s Blood Group), Taksonomi dan Pemanfaatannya
Chromosomal karyotype of Allium (Amaryllidaceae)
Rattan dragon’s blood group, its taxonomy and use Himmah Rustiami♥, Fransisca Maria Setyowati ♥
"Herbarium Bogoriense", Bidang Botani, Pusat Penelitian BiologiLIPI. Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16122. Tel.: +62-251-322035. Fax.: +62-251-336538. e-mail:
[email protected]
ABSTRAK. Dragon’s blood group atau kelompok rotan jernang tersebar dari semenanjung Malaya, Sumatra, Borneo sampai dengan Jawa. Terdapat sekitar 10 jenis rotan yang mengandung jernang namun yang banyak
Endang Anggarwulan, Nita Etikawati♥, Ahmad Dwi Setyawan Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS). Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375. e-mail:
[email protected]
ABSTRACT. This research is objected to find out (1) the number, the type and the size of chromosomes, (2) the karyotype formulae and maps of the chromosomes, and (3) the phylogenetic relationship of Allium. In this research, six species are examined, i.e. A.ascalonicum (shallot), A.cepa
xxxii
SISIPAN BIODIVERSITAS Vol. 5, No. 1, Januari 2004, hal. : i-xxxii
(onion), Allium sp. (“big shallot”), A.sativum (garlic), A.fistulosum (Japanese bunching) and A.porrum. Referring to Backer and Bakhuizen van den Brink’s manual (1968), they are identified before the examination. The result found out that all species has a same number of chromosomes, i.e. 2n = 16. All of chromosomes have metacentric shape, except for the first chromosome pair of Allium sp., which has the sub-metacentric shape. The longest of haploid chromosome length is A.sativum with 196.36 μm, then for A.porrum is 137.27μm, Allium sp. is 132.69 μm, A.ascalonicum is 124.71 μm and A.fistulosum is 113.60 μm. The relative asymetric index is over then 50 (53.79 – 57.70). The R-ratio of A.ascalonicum and A.sativum subsequently are 1.6 and 1.7, then for A.cepa is 2.25, A.fistulosum is 2.28, A.porrum is 2.67 and Allium sp.is 2.71. A.ascalonicum and A.fistulosum have the closest genetic relationship with similarity index of 80, then followed by A.cepa and Allium sp. with similarity index of 75. The four species joint with A. porrum with similarity index of 65. A.sativum is the last species that joint with them with similarity index of 35. Keywords: Allium, chromosomal karyotype, phylogenetic relationship.
SP-05 Rhizophora lamarckii di Angke-Kapuk, Tambahan Baru bagi Daftar Jenis Flora Jawa Rhizophora lamarckii in Angke-Kapuk as a new record for Java flora species
Onrizal1,♥, Suhardjono2,♥♥, Rugayah2 1
2
Program Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara, Medan; & Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. E-mail:
[email protected]. "Herbarium Bogoriense", Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16122. Tel.: +62-251322035. Fax.: +62-251-336538. e-mail:
[email protected].
ABSTRAK. Rhizophora lamarckii dilaporkan sebagai hibrid alam antara R. apiculata dan R. stylosa atau R. apiculata dan R. mucronata. Sampai publikasi terakhir, R. lamarckii tersebar di Queensland, Ceylon, Kepulauan Solomon dan di Malesia dijumpai di New Guinea, Flores dan Bali. Jenis tersebut belum pernah dilaporkan di pulau Jawa. Inventarisasi jenis pohon mangrove telah dilakukan pada bulan November 2003, 2 pohon R. lamarckii ditemukan di kawasan tambak Angke-Kapuk yang berbatasan dengan Hutan Lindung Angke-Kapuk. Tegakan R. lamarckii tersebut diduga merupakan hibrid alam antara R. apiculata dan R, mucronata. Populasi kedua jenis tersebut dijumpai di daerah sekitarnya, sedangkan populasi jenis R. stylosa tidak dijumpai. Hibrid tersebut secara umum mempunyai karakter morfologi pada ukuran daunnya yang relatif besar, bintik-bintik hitam kecil di permukaan bawah daun, mucro pada ujung daun, daun mahkota berbulu pendek yang menyerupai karakter R. mucronata, sedangkan dari perbungaannya yang terdiri atas 2-4 bunga, tangkai putik pendek, bentuk dan ukuran buah, ukuran dan bentuk hipokotil dan kotiledon merah menyerupai R. apiculata. Kata kunci: Rhizophora, hibrid alam, Angke-Kapuk.
THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK
ISSN: 1412-033X
Kloning Gen Penisilin V Asilase dari Bacillus sp BAC4 Melalui Pembuatan Pustaka Genom ELFI SUSANTI VH, SRI RETNO DWI ARIANI
1-6
Analisis Kualitas Produk Fermentasi Beras (Red Fermented Rice) dengan Monascus purpureus 3090 DJUMHAWAN R. PERMANA, SUNNATI MARZUKI, D. TISNADJAJA
7-12
Populasi Bakteri dari Tanah di Desa Tudu-Aog, Kecamatan Passi, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara SRI PURWANINGSIH, RIANI HARDININGSIH, WARDAH, AGUS SUJADI
13-16
Dispersi Asosiasi dan Status Populasi Tumbuhan Terancam punah di Zona Submontana dan Montana Taman Nasional Gunung Gede Pangrango WIHERMANTO
17-22
Jenis-jenis Tumbuhan Suku Poaceae di Kebun Raya Purwodadi SOLIKIN
23-27
A Fossil Wood of Dipterocarpaceae from Pliocene Deposit in the West Region of Java Island, Indonesia YANCE I. MANDANG, NORIKO KAGEMORI
28-35
REVIEW: Herbarium Celebense (CEB) dan Peranannya dalam Menunjang Penelitian Taksonomi Tumbuhan di Sulawesi RAMADANIL
36-41
____________ ABSTRAK Konggres dan Seminar Nasional Penggalang Taksonomi Tumbuhan Indonesia (PTTI) Universitas Sebelas Maret Surakarta, 19-20 Desember 2003
i-xxxii
Gambar sampul depan: Dryobalanoxylon lunaris Terbit dua kali setahun