THE LABOURS OF HERCULES by Agatha Christie
TUGAS-TUGAS HERCULES Alih bahasa: Widya Kirana
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama Cetakan kedua: September 2002
Untuk Edmund Cork yang karena tugas-tugasnya atas nama Hercule Poirot sangat kukagumi buku ini dengan penuh sayang dipersembahkan
KATA PENGANTAR
APARTEMEN Hercule Poirot berperabotan sangat modern. Berkilau karena berlapis kromium. Kursi-kursinya yang nyaman, meskipun berlapis tebal, bentuknya persegi dan kaku—sama sekali tidak luwes. Pada salah satu kursi itu duduk Hercule Poirot, rapi, tepat di tengah-tengahnya. Di seberangnya, di kursi lain, duduk Dr. Burton, anggota Fellow of All Souls. Ia sedang meneguk Château Mouton Rothschild dengan nikmat. Dia memuji anggur koleksi Poirot yang dihidangkan untuknya itu. Penampilan Dr. Burton sama sekali tidak rapi. Gendut, pakaiannya sembarangan, dan di bawah rambut putihnya wajahnya memancarkan keramahan dan kebaikan hatinya. Suaranya dalam dan serak. Kebiasaannya adalah menebarkan abu rokoknya di mana-mana. Dengan susah payah namun tanpa hasil, Poirot mencoba meletakkan asbak di sekeliling tamunya. Dr. Burton sedang menanyakan sesuatu. “Katakan,” katanya, “mengapa kau dinamakan Hercule?”
“Maksudmu, nama baptisku?” “Ah, itu bukan nama baptis yang umum,” sangkal Dr. Burton. “Seratus persen mencerminkan kepercayaan kuno, paganisme. Tapi mengapa? Itu yang aku ingin tahu. Keisengan ayah? Harapan ibu? Alasan-alasan keluarga? Kalau aku tak salah ingat... meskipun ingatanku tak sebaik dulu lagi... kau punya kakak bernama Achille, ya, kan?” Ingatan Poirot melayang cepat pada karier kakaknya, Achille Poirot. Apa benar kakaknya memang sukses dalam kariernya? “Ya, tapi tidak lama,” sahutnya singkat. Dengan cerdik Dr. Burton mengalihkan pembicaraan dari Achille Poirot. “Seharusnya orang hati-hati bila memberi nama anak-anaknya,” gumamnya setengah merenung. “Aku punya sejumlah anak baptis. Ada yang namanya Blanche... padahal kulitnya gelap seperti gadis gipsy! Lalu ada Deirdre, Deirdre yang Berduka—padahal gadis itu amat periang dan ceriwis seperti jangkrik. Dan Patience, seharusnya dia diberi nama Impatience, itu lebih cocok baginya! Lalu Diana... yah, Diana...” Tiba-tiba ahli sastra Yunani Klasik itu bergidik. “Beratnya sudah enam puluh kilo—padahal sekarang umurnya baru lima belas! Orang bilang, itu lemak anak-anak—tapi menurutku tidak begitu. Diana! Mereka ingin memberinya nama Helen, tapi aku berkeras mencegahnya. Kalau ingat seperti apa ayah-ibunya... Belum lagi neneknya! Sudah kuusulkan nama Martha atau Dorcas... nama yang lebih masuk akal, tapi tak diterima, buang-buang energi saja. Dasar orang desa tolol, orangtua...” Pria itu batuk-batuk pelan, wajahnya yang kecil dan tembam sedikit berkerut. Poirot memandangnya penuh ingin tahu. “Bayangkan suatu obrolan khayalan. Ibumu dan almarhum Mrs. Holmes, sambil merajut mantel-mantel bayi, ‘Achille, Hercule, Sherlock, Mycroft...’” Poirot tidak bisa mengerti lelucon kawannya. “Maksudmu, secara fisik penampilanku sama sekali tidak mirip Hercules, begitu?” Mata Dr. Burton menyapu Hercule Poirot sekilas, memandang lelaki kecil berpenampilan serba rapi, mengenakan celana bergaris-garis, jas hitam tanpa cela, dasi kupu-kupu, dan sepasang sepatu kulit mahal yang serasi. Lalu pandangannya beralih ke kepala berbentuk telur dan kumis lebat yang menghiasi bagian bawah hidungnya. “Terus terang, Poirot,” kata Dr. Burton, “kau benar-benar tiruan Hercules yang sama sekali tak ada miripnya! Lagi pula,” tambahnya, “rupanya kau tidak pernah mempelajari sastra Yunani Klasik, ya?” “Itu benar.” “Sayang. Sayang. Kau kehilangan banyak. Kalau aku punya wewenang, setiap orang akan kuharuskan mempelajari sastra Yunani Klasik.” Poirot mengangkat bahu, “Eh bien, tanpa itu pun aku sudah sukses.” “Sukses! Sukses! Bukan itu masalahnya. Itu pandangan yang seratus persen keliru. Sastra Yunani Klasik bukan tangga yang bisa cepat membawa kita ke puncak sukses, seperti kursus korespondensi modern! Bukan jam kerja seseorang yang penting—melainkan justru waktu senggangnya. Itulah kesalahan kita semua. Lihat saja dirimu sekarang, kau masih tetap begitu, kau pasti akan punya keinginan untuk membebaskan diri dari semua ini, hidup santai—lalu, apa yang akan kaulakukan di waktu senggangmu?”
Poirot sudah siap dengan jawabannya. “Aku akan menyibukkan diri—secara serius—dengan usaha menciptakan sumsum sayur-mayur.” Dr. Burton terkejut bukan main. “Sumsum sayur-mayur? Apa maksudmu? Cairan hijau yang rasanya tawar seperti air?” “Ah,” sahut Poirot antusias. “Itulah gagasan utamanya. Sumsum itu tidak harus tawar rasanya.” “Oh! Aku tahu... taburi keju parut, bawang giling, atau saus putih.” “Bukan, bukan... kau keliru. Aku yang menemukan gagasan bahwa rasa sumsum sayur-mayur, atau sari pati sayuran, bisa disempurnakan. Bisa kita beri...”—matanya menyipit—“sebuah bouquet....” “Astaga, kawan, itu kan bukan claret.” Kata bouquet mengingatkan Dr. Burton akan gelas anggur dekat sikunya. Sekali lagi dia meneguk isinya dengan nikmat. “Ini anggur yang sangat bagus. Rasanya sangat enak. Ya.” Kepalanya mengangguk-angguk. “Tapi, tentang urusan rasa sumsum sayuran itu... kau tidak serius, bukan? Kau tidak bermaksud...”— suaranya tiba-tiba berubah ngeri—“untuk membungkuk-bungkuk,” tangannya mengelus perutnya sendiri yang amat gendut, “membungkuk, menggali-gali, membasahinya dengan secarik kain wol yang sudah dicelupkan ke air, dan seterusnya, dan seterusnya?” “Sepertinya kau sudah terbiasa merekayasa sumsum sayuran?” balas Poirot. “Aku pernah lihat tukang kebun melakukannya waktu berkunjung ke desa. Tapi terus terang, Poirot... itu hobi yang sangat aneh! Dibandingkan dengan...”—suaranya merendah, seakan berlagu—“kursi empuk di depan perapian, dalam ruangan panjang dengan dinding penuh buku... ya, harus ruangan yang panjang... bujur sangkar tidak cocok. Buku-buku di mana-mana. Segelas anggur enak... dan sebuah buku terbuka di pangkuan. Waktu berjalan mundur ke masa lalu, sementara kau asyik membaca,” dia mengutip dengan nada penuh irama, { tulisan dengan huruf Yunani } Lalu menerjemahkannya, “‘Dengan terampil, sekali lagi, di tengah badai di samudera merah bagaikan anggur, sang nakhoda meluruskan perahunya yang dipermainkan gelombang.’ “Tentu saja kau takkan dapat memahami keindahan nuansanya dalam bahasa aslinya.” Sejenak, karena terlalu menggebu-gebu, ia tidak menyadari kehadiran Poirot. Dan Poirot, yang asyik memandangi kawannya, tiba-tiba ragu—ada perasaan tidak enak yang mengusik hatinya. Apakah benar ada sesuatu yang tak dimilikinya, yang membuatnya merasa kehilangan? Kekayaan batin? Pelan-pelan rasa sedih merayapi hatinya. Ya, seharusnya dia sudah mengenal sastra Yunani Klasik, sejak dulu. Dan sekarang, sudah terlambat.... Dr. Burton membuyarkan lamunannya. “Maksudmu, kau benar-benar sudah berpikir untuk pensiun?” “Ya.” Kawan Poirot itu tertawa geli. “Tak mungkin!” “Sungguh, aku...”
“Kau takkan sanggup, kawan. Kau terlalu mencintai pekerjaanmu.” “Sungguh, aku sudah membuat persiapan-persiapan. Beberapa kasus lagi—yang benar-benar terpilih—bukan yang biasa-biasa saja, bukan yang muncul di depanku begitu saja. Aku hanya akan menangani kasus-kasus yang secara pribadi membuatku tertarik.” Dr. Burton tersenyum lebar. “Pasti begitu. Sudah kuduga. Satu-dua kasus lagi, lalu satu lagi, dan seterusnya. Gaya penampilan terakhir seorang Prima Donna takkan cocok dengan watakmu, Poirot!” Ia tertawa geli sambil bangkit berdiri, seraut wajah menyenangkan di bawah mahkota rambut yang sudah putih. “Pilihanmu bukanlah Tugas-tugas Hercules,” katanya. “Pilihanmu adalah tugas-tugas karena cinta. Berani taruhan, aku pasti benar. Dua belas bulan lagi kau pasti masih tetap di sini, dan sumsum sayuran masih tetap...”—dia bergidik—“sumsum biasa saja.” Setelah berpamitan pada tuan rumahnya, Dr. Burton meninggalkan ruangan persegi panjang yang kaku itu. Dia keluar dari halaman-halaman buku ini dan takkan muncul kembali. Yang menjadi perhatian kita adalah kesan yang ditinggalkannya, kesan yang kemudian berubah menjadi gagasan. Karena, setelah kawannya itu pergi, Hercule Poirot pelan-pelan kembali duduk di kursinya, dan seperti orang bermimpi ia bergumam, “Tugas-tugas Hercules.... Mais oui, c’est une idée, ça....” *** Keesokan harinya Hercule Poirot menyibukkan diri dengan membuka-buka sebuah buku tebal bersampul kulit dan sejumlah buku lain yang penampilannya sudah lusuh. Sesekali ia membuat catatan atau membaca potongan-potongan kertas berisi catatan yang sudah diketik. Sekretarisnya, Miss Lemon, telah diperintahkannya untuk mengumpulkan segala macam tulisan tentang Hercules, dan menyusun detail-detailnya secara sistematis. Dengan tak acuh (Miss Lemon bukan tipe wanita yang selalu ingin tahu!), tetapi dengan efisiensi yang sempurna, Miss Lemon menyelesaikan tugasnya. Hercule Poirot—boleh dikatakan—terjun begitu saja ke dalam lembah sastra Yunani Klasik yang mengerikan, dan dengan perhatian khusus pada “Hercules, pahlawan yang dipuja, yang setelah kematiannya diangkat menjadi makhluk yang sejajar dengan para dewa, serta mendapat kehormatan sebagaimana layaknya seorang dewa.” Sampai sejauh itu segalanya berjalan lancar—tetapi, setelah itu, kemajuan yang diperolehnya tidak mudah. Selama dua jam dengan tekun Poirot membuat catatan-catatan, mengerutkan dahi, memeriksa potongan-potongan kertas berisi detail-detail penting, dan membaca buku-buku referensi lainnya. Akhirnya ia duduk bersandar sambil menggelenggelengkan kepala. Semangatnya yang menggebu-gebu pada malam sebelumnya kini lenyap. Orang-orang macam apa ini?! Ambil contoh si Hercules ini... si pahlawan! Huh, pahlawan! Dia tak lebih dari makhluk berotot dengan inteligensi rendah dan kecenderungan-kecenderungan kriminal! Tokoh ini mengingatkannya akan Adolfe Durand, si tukang jagal yang diadili di Lyon pada tahun 1895—lelaki dengan kekuatan sapi jantan yang tega membunuh anak-anak kecil. Pembelanya mengatakan ia menderita epilepsi— pernyataan yang tak perlu diragukan lagi—meskipun, apakah kasusnya grand mal atau petit
mal menjadi perdebatan seru selama berhari-hari. Hercules dari Yunani Kuno ini barangkali menderita grand mal. Sialan, Poirot menggeleng. Kalau memang seperti itu gambaran tokoh pahlawan bagi orang-orang Yunani, jika diukur dengan standar modern, jelas takkan cocok. Keseluruhan pola pikir Yunani Klasik membuatnya terkejut dan ngeri. Dewa-dewa dan dewi-dewi itu... rupanya mereka punya banyak nama lain, punya banyak alias, persis tokoh-tokoh kriminal modern. Sungguh, mereka benar-benar mewakili berbagai tipe kriminal. Pemabuk, punya kebiasaan-kebiasaan seksual yang aneh, incest, pemerkosa, pencuri, perampok, pembunuh, penipu ulung—pendek kata, cukup untuk membuat seorang juge d’Instruction selalu sibuk. Tak ada kehidupan keluarga yang sopan dan terhormat. Tanpa aturan jelas dan tanpa metode. Bahkan dalam tindak kejahatan mereka, tak ada aturan jelas dan tak ada metode! “Huh, Hercules!” gumam Hercule Poirot sambil bangkit berdiri. Dia merasa ilusinya hancur. Ia memandang sekelilingnya dengan sikap puas. Ruangan persegi panjang, dengan perabotan persegi yang modern—bahkan dilengkapi dengan patung modern yang berbentuk kubus yang ditumpangkan pada kubus lain, dan di atasnya terdapat bangun geometris dari susunan kawat-kawat tembaga. Dan... di tengah ruangan yang serba rapi, bersih, dan teratur itu... dirinya sendiri. Dipandanginya bayangan dirinya di cermin. Inilah Hercules modern—sangat berbeda dari sketsa menjijikkan yang menggambarkan makhluk telanjang berotot sedang mengayun-ayunkan gada. Hercules modern adalah sosok kecil berpenampilan serba rapi, mengenakan setelan modern yang bagus potongannya, lengkap dengan kumis yang... ya, kumis yang anggun dan amat mengesankan yang tidak dimiliki si Hercules kuno itu. Apakah Hercules dulu pernah berpikir untuk memelihara kumisnya? Namun, ada satu persamaan antara Hercule Poirot dan Hercules dari sastra Yunani Klasik itu. Keduanya jelas berperan penting dalam membersihkan dunia ini dari “kuman-kuman busuk” tertentu.... Masing-masing bisa dikatakan berperan sebagai Penyelamat Masyarakat di tempat mereka hidup.... Apa kata Dr. Burton kemarin, sebelum dia pergi? “Pilihanmu bukanlah Tugas-tugas Hercules....” Ah, kawannya itu keliru. Dasar makhluk pikun. Harus ada, sekali lagi, Tugas-tugas Hercules yang harus diselesaikan... Hercules modern. Seorang tokoh yang cerdas dan amat menarik! Sebelum akhirnya benar-benar pensiun, Hercule Poirot akan menyelesaikan dua belas kasus, tidak lebih, tidak kurang. Dan dua belas kasus itu harus dipilih dengan referensi khusus terhadap dua belas tugas yang diselesaikan Hercules dari Zaman Yunani Kuno itu. Ya, itu pasti tidak hanya menarik, tetapi juga artistik, kecuali itu juga... mungkin akan berkesan spiritual. Poirot mengambil Kamus Sastra Klasik dan sekali lagi menenggelamkan diri ke Zaman Yunani Kuno. Dia tidak bermaksud mengikuti jejak prototipenya itu secara persis. Tak boleh ada wanita, tak boleh ada jubah yang ternoda darah Nessus.... Hanya boleh ada Tugas-tugas, ya, Tugas-tugas semata-mata. Tugas Pertama, kalau begitu, adalah Singa dari Nemea. “Singa dari Nemea,” ulangnya beberapa kali. Tentu saja ia tidak mengharap akan mendapat kasus yang benar-benar melibatkan singa hidup. Pasti akan terlalu mencolok dan tidak bermutu bila ia tiba-tiba dikunjungi Direktur Kebun Binatang yang meminta bantuannya memecahkan kasus yang ada hubungannya dengan singa betul. Tidak, tidak begitu. Harus ada simbolisme dalam kasus-kasus yang akan ditanganinya. Kasus pertama harus ada hubungannya dengan tokoh masyarakat, harus ada sensasinya, harus merupakan kasus yang amat penting! Tokoh kriminal yang amat terkenal... atau, alternatifnya, seseorang yang bisa disejajarkan dengan singa di mata masyarakat. Pengarang terkenal, politikus, pelukis... atau bahkan kerabat Kerajaan?
Hercule Poirot menyukai gagasan terlibatnya seorang kerabat Kerajaan dalam kasus... Dia takkan tergesa-gesa. Dia akan menunggu... menunggu kasus yang penting dan menarik minatnya, yang akan menjadi Tugas Pertama yang dibebankannya pada pundaknya sendiri.
1
SINGA DARI NEMEA I “ADA yang menarik perhatian pagi ini, Miss Lemon?” tanya Hercule Poirot sambil masuk ke ruang kerjanya, keesokan harinya. Dia amat menghargai dan mempercayai pendapat Miss Lemon. Wanita itu tak punya imajinasi, tetapi punya insting kuat. Apa pun yang dikatakannya layak dipertimbangkan, dan kemudian akan terbukti memang layak dipertimbangkan. Miss Lemon memang terlahir sebagai sekretaris. “Tak banyak, M. Poirot. Hanya ada satu surat yang menurut saya akan membuat Anda tertarik. Saya letakkan paling atas di tumpukan surat.” “Tentang apa?” Ia melangkah maju dengan penuh minat. “Dari seorang pria yang meminta bantuan Anda untuk menyelidiki kasus hilangnya anjing peking kesayangan istrinya.” Langkah Poirot langsung terhenti. Kakinya masih menggantung di udara. Dia melemparkan pandangan kesal ke arah Miss Lemon. Wanita itu tidak menggubrisnya. Ia sudah kembali sibuk mengetik. Miss Lemon mengetik dengan cepat dan tepat, seperti senapan otomatis yang ditembakkan penembak ulung. Poirot gemetar; gemetar dan merasa terhina. Miss Lemon, sekretarisnya yang cekatan dan efisien, telah menghinanya! Seekor anjing peking. Seekor anjing peking! Padahal semalam ia bermimpi. Ia sedang meninggalkan Buckingham Palace setelah mendapat ucapan terima kasih secara pribadi, ketika pelayan setianya datang membawakan segelas cokelat hangat dan membangunkannya. Kata-kata bergetar di mulutnya... kata-kata yang tajam menusuk. Ia tidak mengucapkannya secara terang-terangan sebab Miss Lemon, yang sedang asyik mengetik dengan cepat dan efisien, pasti takkan mendengarnya. Dengan geram dan agak jijik ia mengambil surat paling atas dari tumpukan surat-surat di atas mejanya. Ya, surat itu persis seperti yang dikatakan Miss Lemon! Sebuah alamat di pusat kota— permintaan resmi dalam bahasa yang ringkas dan tanpa basa-basi. Masalahnya berhubungan dengan kasus diculiknya seekor anjing peking. Jenis anjing bermata menonjol yang amat disukai wanita-wanita kaya. Bibir Hercule Poirot berkerut sementara dia membaca surat itu. Tak ada yang istimewa tentang isinya. Tak ada yang luar biasa atau... Tapi... ya, ya, tentang satu detail kecil, Miss Lemon ternyata benar. Tentang satu detail kecil, memang
ada sesuatu yang luar biasa. Hercule Poirot duduk. Dengan pelan dan cermat ia membaca kembali surat itu. Bukan jenis kasus yang diinginkannya, bukan jenis yang telah dijanjikannya pada dirinya sendiri. Dari sudut apa pun, ini bukan kasus yang bisa disebut penting—dan hal pokok yang membuatnya keberatan adalah... Ini bukan Tugas Hercules yang sesuai untuknya. Sayangnya, Hercule Poirot tertarik.... Ya, ia merasa tergelitik dan ingin tahu.... Ia berkata dengan suara nyaring, agar dapat terdengar Miss Lemon di tengah bunyi mesin tiknya yang tak kalah nyaringnya. “Telepon Sir Joseph Hoggin,” perintahnya, “dan buatkan janji pertemuan dengannya, di kantornya, seperti yang diusulkannya.” Seperti biasa, Miss Lemon selalu benar. *** “Saya orang biasa, M. Poirot,” kata Sir Joseph Hoggin. Hercule Poirot menggerakkan tangan kanannya tanpa maksud tertentu. Gerakan tangannya itu (kalau kita memilih mengartikannya) mengungkapkan kekagumannya akan keberhasilan Sir Joseph dalam kariernya dan penghargaannya akan kerendah-hatian pria itu dalam menggambarkan dirinya sendiri. Barangkali bisa juga diartikan sebagai gaya anggun untuk membenarkan pernyataan tersebut. Singkatnya, gerakan tangan Poirot sama sekali tidak mengungkapkan apa yang sesungguhnya terlintas dalam pikirannya, yaitu bahwa sebenarnya (kalau kita gunakan istilah yang lebih umum) Sir Joseph adalah pria yang sama sekali tidak istimewa. Mata Hercule Poirot yang kritis menilai dagu yang gemuk, sepasang mata sipit, hidung besar menggelembung, dan bibir yang terkatup rapat. Efek keseluruhannya mengingatkannya pada seseorang atau sesuatu... tapi saat itu ia tak ingat siapa atau apa. Samar-samar sesuatu terlintas dalam ingatannya. Dulu... sudah lama berlalu... di Belgia... sesuatu, ya, sesuatu yang ada hubungannya dengan sabun.... Sir Joseph sedang melanjutkan. “Tak ada rumbai-rumbai atau basa-basi. Saya tak suka berputar-putar. Sebagian besar orang pasti akan membiarkan kasus ini berlalu begitu saja. Menganggapnya nasib sial dan melupakannya. Tapi itu bukan watak Joseph Hoggin. Saya orang kaya... dan uang dua ratus pound sebenarnya tak ada artinya bagi saya...” Poirot menyela dengan cepat, “Saya ucapkan selamat kepada Anda.” “Eh?” Sir Joseph berhenti satu menit lamanya. Matanya yang kecil semakin menyipit. Ia berkata dengan suara tajam, “Tapi itu tidak berarti saya punya kebiasaan membuang-buang uang. Apa yang saya inginkan saya bayar. Saya bayar sesuai dengan harga pasar... tidak lebih.” Hercule Poirot menanggapi, “Tahukah Anda, bayaran saya amat tinggi?” “Ya, ya. Tapi,” Sir Joseph memandang tamunya dengan cerdik, “kasus ini amat sepele.” Hercule Poirot mengangkat bahu. Katanya, “Saya tak suka tawar-menawar. Saya seorang ahli. Untuk layanan jasa seorang ahli, Anda harus bersedia membayar harga yang sesuai.” Sir Joseph berkata terus terang, “Saya tahu, Anda orang yang paling hebat dalam hal-hal semacam ini. Saya sudah menyelidikinya dan saya diberitahu bahwa Anda-lah yang terbaik yang tersedia. Saya memang ingin kasus ini diselesaikan dengan tuntas dan saya takkan
mengomel tentang ongkosnya. Itulah sebabnya Anda menemui saya di sini.” “Anda sangat beruntung,” balas Poirot dengan nada tak kalah tajamnya. Sir Joseph menggumamkan “Eh?” lagi. “Sangat beruntung,” ulang Hercule Poirot dengan tegas. “Saya... saya bisa mengatakannya tanpa harus pura-pura berendah hati, saya sudah mencapai puncak karier saya. Tak lama lagi saya bermaksud pensiun... pindah ke desa, kadang-kadang melakukan perjalanan melihat-lihat dunia. Selain itu, mungkin saya juga akan mengembangkan kebun percobaan... dengan perhatian khusus pada usaha memperbaiki rasa sumsum sayuran. Mengembangkan sayuran yang luar biasa. Yang ada sekarang sudah cukup hebat, tetapi rasanya masih kurang. Namun, itu bukanlah alasan utamanya. Yang ingin saya katakan, sebelum benar-benar pensiun saya sudah mencanangkan sejumlah tugas yang harus saya selesaikan. Saya telah memutuskan menerima dua belas kasus... tidak lebih, tidak kurang. ‘Tugas-tugas Hercules’ yang saya bebankan sendiri ke pundak saya. Kasus Anda, Sir Joseph, adalah tugas pertama dari dua belas tugas itu. Saya tertarik,” desah Hercule Poirot, “justru karena tidak pentingnya kasus ini.” “Penting?” ulang Sir Joseph. “Tidak penting, itu kata saya tadi. Saya telah menangani berbagai macam kasus... menyelidiki kasus pembunuhan, kematian yang tak jelas sebab-sebabnya, perampokan, pencurian permata, dan ini untuk pertama kalinya saya diminta menggunakan bakat-bakat saya untuk memecahkan kasus penculikan seekor anjing peking.” Sir Joseph menggeram. Katanya, “Anda membuat saya heran! Seharusnya Anda saat ini sudah dikerumuni wanita-wanita kaya yang mengeluh tentang hilangnya anjing kesayangan mereka.” “Itulah, memang begitu. Tapi, ini adalah untuk pertama kalinya saya dimintai tolong oleh pihak suami dalam kasus seperti ini.” Mata sipit Sir Joseph makin menyipit, menyorotkan kekagumannya. Katanya, “Saya mulai mengerti, mengapa mereka merekomendasikan Anda. Anda orang yang sangat cerdik, Mr. Poirot.” Poirot bergumam, “Kalau begitu, silakan menceritakan fakta-faktanya sekarang. Kapan anjing itu hilang?” “Tepat seminggu yang lalu.” “Dan saat ini istri Anda pasti panik, ya, kan?” Sir Joseph memandang Poirot lekat-lekat. Katanya, “Anda tidak mengerti. Anjing itu sudah dikembalikan.” “Dikembalikan? Kalau begitu, izinkan saya bertanya, dalam hal apa saya dibutuhkan di sini?” Wajah Sir Joseph menjadi merah padam. “Sebab saya seperti orang tolol kalau mau ditipu begitu saja! Dengar, Mr. Poirot, akan saya ceritakan semuanya. Seminggu yang lalu, anjing itu diculik di Kensington Gardens, ketika sedang diajak jalan-jalan ‘kawan’ istri saya. Esok harinya istri saya menerima surat yang minta tebusan sebesar dua ratus pound. Bayangkan, dua ratus pound! Hanya untuk seekor anjing jelek yang selalu menghalangi langkah kita!” Poirot bergumam, “Anda tidak bersedia membayar uang tebusan itu, tentu saja?” “Tentu saja tidak... atau tidak akan sudi seandainya saya tahu! Milly, istri saya, tahu
benar watak saya. Dia tak mengatakan apa-apa pada saya. Langsung saja dikirimkannya uang itu... dalam pecahan satu pound seperti yang diminta... ke alamat yang telah disebutkan.” “Dan anjingnya kemudian dikembalikan?” “Ya. Malamnya bel pintu dibunyikan, dan ketika pintu dibuka, anjing itu ada di sana. Tak ada siapa-siapa kecuali anjing itu.” “Sempurna. Lanjutkan.” “Kemudian, tentu saja Milly mengakui perbuatannya dan saya agak marah. Tapi saya marah tak lama-lama. Bagaimanapun juga, hal itu sudah telanjur. Kita tak mungkin mengharapkan kaum wanita bertindak sesuai dengan akal sehat, bukan? Dan, kalau saya tidak bertemu dan mengobrol dengan Samuelson di Klub, saya akan melupakan kasus ini begitu saja.” “Ya?” “Sungguh sial! Penculikan anjing pasti merupakan usaha yang amat menguntungkan! Hal yang persis sama terjadi padanya. Tiga ratus pound berhasil mereka keruk dari istrinya! Yah... jumlah itu agak terlalu banyak. Saya memutuskan hal ini harus dihentikan. Saya lalu memanggil Anda.” “Tapi, Sir Joseph, seharusnya—dan ini jauh lebih murah—Anda menghubungi polisi.” Sir Joseph menggaruk-garuk hidungnya. Katanya, “Apakah Anda sudah menikah, M. Poirot?” “Ah,” kata Poirot, “saya belum memperoleh kebahagiaan itu.” “Hmm,” gumam Sir Joseph. “Entahlah kalau Anda menyebut ini kebahagiaan. Tapi jika sudah menikah Anda akan tahu wanita makhluk yang aneh. Istri saya langsung menjerit-jerit histeris begitu saya menyebut-nyebut kata ‘polisi’. Entah bagaimana, dia yakin sesuatu yang buruk akan terjadi pada Shan Tung jika saya menghubungi polisi. Dia menolak gagasan itu mentah-mentah... dan kalau saya boleh mengatakannya, dia pun sebenarnya tidak setuju saya memanggil Anda. Tapi saya bersikap tegas dan akhirnya dia menyerah. Tapi, ingat, dia tidak menyukai gagasan ini.” Hercule Poirot bergumam, “Kalau begitu, sejauh pengamatan saya, kasus ini amat peka. Sebaiknya mungkin saya juga mewawancara Madame, istri Anda, untuk memperoleh beberapa keterangan tambahan dan sekaligus meyakinkannya bahwa anjingnya akan baik-baik saja.” Sir Joseph mengangguk lalu berdiri. Katanya, “Mari saya antarkan dengan mobil saya.” II Dalam sebuah ruang duduk yang cukup luas, panas, dan berperabotan meriah, dua wanita sedang bersantai. Ketika Sir Joseph dan Hercule Poirot masuk, seekor anjing peking kecil melompat ke depan, menggonggong galak, dan dengan sikap mengancam mengelilingi kaki Poirot berkalikali. “Shan... Shan... sini, sini, ikut Mama, Sayang.... Ambil dia, Miss Carnaby.” Wanita yang disuruh cepat-cepat melakukan perintah itu dan Hercule Poirot bergumam, “Seperti singa!” Dengan napas terengah-engah wanita yang berhasil menangkap Shan Tung menyetujui pendapatnya.
“Ya, benar, dia anjing penjaga yang baik. Dia tak takut pada apa pun dan siapa pun. Sini, Sayang, sini....” Setelah memperkenalkan mereka, Sir Joseph berkata, “Well, Mr. Poirot, silakan melakukan penyelidikan Anda. Saya ada urusan lain,” katanya. Lalu sambil mengangguk singkat ia meninggalkan ruangan itu. Lady Hoggin seorang wanita gemuk, berpenampilan aneh dengan rambut yang dicat kemerahmerahan. Kawannya, Miss Carnaby yang selalu terengah-engah, bertubuh gemuk, berwajah ramah, dan menyenangkan. Usianya antara empat puluh dan lima puluh tahun. Dia memperlakukan Lady Hoggin dengan penuh hormat dan jelas sekali ia amat takut pada majikannya. Poirot berkata, “Tolong ceritakan, Lady Hoggin, bagaimana terjadinya kejahatan yang menjengkelkan ini.” Wajah Lady Hoggin memerah. “Saya senang Anda mengatakannya seperti itu, Mr. Poirot. Sebab itu memang kejahatan. Anjing peking sangat sensitif, seperti anak-anak. Shan Tung yang malang... bisa saja dia mati karena ketakutan.” Miss Carnaby menyambung dengan suara seakan menahan napas, “Ya, kejam... sungguh kejam.” “Tolong katakan fakta-faktanya.” “Ya, begini. Shan Tung sedang berjalan-jalan di taman bersama Miss Carnaby....” “Oh, benar... benar... semua ini salah saya,” sela Miss Carnaby. “Betapa tololnya saya waktu itu... ceroboh....” Lady Hoggin berkata dengan suara masam, “Aku tidak ingin mencelamu, Miss Carnaby, tapi menurutku, seharusnya kau lebih waspada.” Poirot mengalihkan pandangannya pada wanita yang satunya. “Apa yang terjadi?” Miss Carnaby langsung nyerocos. “Ya, sangat aneh dan luar biasa! Kami baru saja berjalan-jalan dekat bedeng-bedeng bunga... Shan Tung, tentu saja, tetap terikat pada tali lehernya. Dia telah saya beri kesempatan untuk lari-lari dan berguling-guling di rumput. Dan saya baru saja hendak melangkah pulang ketika perhatian saya tertarik pada bayi dalam kereta dorong... bayi yang lucu dan menggemaskan... dia tersenyum pada saya... pipinya merah jambu dan rambutnya keriting. Saya tak dapat menahan diri untuk tidak mengobrol sebentar dengan perawat pengasuhnya, hanya satu-dua menit, lalu tiba-tiba saya memandang ke bawah dan... Shan Tung tak ada lagi. Tali lehernya sudah dipotong....” Lady Hoggin menyela, “Kalau kau melaksanakan tugasmu dengan baik, orang tak mungkin menyelinap dan memotong tali itu.” Miss Carnaby hampir-hampir menangis. Poirot dengan cepat menengahi, “Lalu apa yang terjadi selanjutnya?” “Yah, tentu saja saya mencarinya di mana-mana. Dan memanggil-manggil dia! Saya juga bertanya pada penjaga taman, kalau-kalau dia melihat orang menggendong seekor anjing peking... tetapi dia mengatakan tak tahu. Saya kehilangan akal... saya terus mencaricari, tapi akhirnya, tentu saja, saya harus pulang....” Kata-kata Miss Carnaby tiba-tiba terputus. Poirot dapat membayangkan apa yang kemudian
terjadi. Ia bertanya, “Lalu Anda menerima sepucuk surat?” Lady Hoggin menyambung cerita itu, “Bersama pos pertama esok harinya. Tertulis di sana, kalau saya ingin melihat Shan Tung dalam keadaan selamat, saya harus mengirimkan uang sebesar dua ratus pound dalam pecahan satu pound dalam sebuah paket yang tak tercatat kepada Kapten Curtis, Bloomsbury Road Square Nomor 38. Ditulis pula, jika uangnya ditandai atau polisi diberitahu, maka... maka... ekor dan telinga Shan Tung akan dipotong!” Miss Carnaby mulai terisak. “Sungguh kejam,” gumamnya. “Bagaimana mungkin orang bisa sejahat itu?!” Lady Hoggin melanjutkan, “Ditulis pula, jika saya segera mengirimkan uangnya, Shan Tung akan langsung dikembalikan malam itu juga, dalam keadaan hidup dan tak kurang suatu apa. Tapi jika... jika sesudah itu saya melapor pada polisi, nyawa Shan Tung akan terancam....” Miss Carnaby menggumam dengan air mata berlinang, “Oh, saya amat cemas... bahkan sekarang pun saya masih khawatir.... Tapi, tentu saja M. Poirot bukan polisi....” Lady Hoggin berkata dengan nada cemas, “Jadi, Mr. Poirot, Anda harus sangat hati-hati.” Dengan cepat Hercule Poirot menenangkan kedua wanita itu. “Tapi saya bukan polisi. Pertanyaan dan penyelidikan saya akan dilakukan secara diam-diam dan tanpa ribut-ribut. Anda harus percaya pada saya, Lady Hoggin, Shan Tung takkan diapa-apakan. Tentang itu saya berani menjamin.” Kedua wanita itu tampak lega setelah mendengar kata ajaib itu. Poirot melanjutkan. “Anda masih menyimpan surat itu?” Lady Hoggin menggeleng. “Tidak. Saya diperintahkan untuk menyertakannya bersama uangnya.” “Dan Anda menuruti perintah itu?” “Ya.” “Hmm, sayang sekali.” Miss Carnaby berkata dengan nada penuh kemenangan, “Tapi saya masih menyimpan sisa potongan tali leher itu. Saya ambil dulu, ya?” Dia langsung meninggalkan ruangan itu. Hercule Poirot memanfaatkan kesempatan itu untuk mengajukan beberapa pertanyaan khusus. “Amy Carnaby? Oh! Dia cukup baik. Wataknya baik, meskipun dia agak tolol. Saya sudah pernah mempekerjakan sejumlah wanita untuk menemani saya, mereka semua tolol. Tapi Amy sangat mencintai Shan Tung dan benar-benar sedih karena peristiwa itu... dia bingung... Yah, dasar tolol. Dia asyik memandangi bayi itu dan melupakan anjing kesayangan saya! Perawan-perawan tua seperti dia biasanya suka bersikap tolol jika melihat bayi! Tidak, saya yakin, dia tak ada hubungannya dengan kasus ini.” “Sepertinya memang tidak,” Poirot sependapat. “Tapi karena anjing itu hilang ketika berada dalam pengawasannya, kita harus meyakinkan diri akan kejujurannya. Sudah lama dia bekerja pada Anda?” “Hampir setahun. Dia punya referensi yang bagus. Pernah bekerja pada almarhum Lady Hartingfield sampai wanita itu meninggal... selama sepuluh tahun di sana. Kemudian dia merawat kakaknya yang invalid selama beberapa waktu. Dia wanita yang baik... tetapi, seperti kata saya tadi, orangnya tolol.”
Saat itu Amy Carnaby masuk ke ruangan, dengan napas terengah-engah. Ia mengulurkan sisa tali leher Shan Tung kepada Poirot dengan sikap khidmat dan memandang pria itu dengan penuh harap. Poirot mengamati benda itu dengan teliti. “Mais oui,” katanya. “Ini jelas bekas dipotong.” Kedua wanita itu masih tetap memandangnya dengan penuh harap. Kemudian Poirot berkata, “Saya akan menyimpan tali ini.” Dengan sikap yang tak kalah khidmatnya dimasukkannya benda itu ke dalam sakunya. Kedua wanita itu mendesah lega. Poirot telah melakukan apa yang diharapkan kedua wanita itu akan dilakukannya. III Hercule Poirot mempunyai kebiasaan menguji segala kemungkinan. Meskipun sekilas seakan tak mungkin Miss Carnaby terlibat dalam kasus itu, karena jelas-jelas tolol dan agak linglung, Poirot tetap mewawancarai seorang wanita ningrat yang semula tidak menerimanya dengan ramah. Ia keponakan mendiang Lady Hartingfield. “Amy Carnaby?” tanya Miss Maltravers. “Tentu saja saya masih ingat dia. Dia baik dan cocok sekali dengan Bibi Julia. Sangat suka anjing dan pandai membaca keras-keras. Dia juga cerdik, dalam arti tidak pernah menentang orang cacat. Ada apa dengan dia? Mudahmudahan dia tidak mendapat kesulitan. Setahun yang lalu saya memberinya referensi karena dia akan bekerja pada seorang wanita yang namanya mulai dengan huruf H....” Cepat-cepat Poirot menjelaskan bahwa Miss Carnaby masih bekerja pada wanita yang dimaksud. Katanya, ada masalah kecil sehubungan dengan hilangnya seekor anjing. “Amy Carnaby sangat mencintai anjing. Bibi saya punya seekor anjing peking. Sebelum meninggal, ia mewariskan anjing itu kepada Miss Carnaby. Dan... Miss Carnaby amat menyayangi anjing itu. Saya yakin, dia pasti sedih sekali ketika anjing itu mati. Oh ya, dia wanita baik-baik. Tentu saja kita tidak bisa mengatakan dia berotak cerdas.” Hercule Poirot sependapat bahwa, bagaimanapun juga, Miss Carnaby tak dapat digambarkan sebagai wanita cerdas. Selanjutnya dia mewawancarai penjaga taman, yang waktu itu ditanyai Miss Carnaby... pada sore hari yang nahas itu. Hal itu dilakukan Poirot tanpa kesulitan. Laki-laki itu masih ingat kejadian tersebut. “Seorang wanita setengah baya, agak gemuk—namun masih normal—dia kehilangan anjing peking-nya. Saya hafal dia—hampir setiap sore ke sini mengajak jalan-jalan anjingnya. Saya melihatnya datang membawa anjing itu. Dia benar-benar bingung ketika anjing itu hilang. Dia lari-lari menemui saya, menanyakan kalau-kalau saya melihat orang membawa anjingnya! Yah, Anda lihat saja sendiri! Taman ini penuh dengan segala macam anjing... terrier, peking, anjing Jerman... bahkan jenis borzoi pun ada. Tentu saya tak bisa mengawasi setiap orang yang membawa anjing peking.” Hercule Poirot mengangguk sambil berpikir-pikir. Kemudian ia pergi ke Bloomsbury Road Square Nomor 38. Nomor 38, 39, dan 40 digabungkan menjadi Balaclava Private Hotel. Poirot menaiki undakannya lalu mendorong sebuah pintu. Pintu itu membuka dan ia disambut aroma kubis rebus serta sisa-sisa sarapan pagi. Ruangan di hadapannya agak suram. Di sisi kirinya ada sebuah meja terbuat dari kayu mahoni dengan sebuah tanaman chrysanthemum yang tampak menyedihkan. Di atas meja terdapat rak besar, berbentuk kotak-kotak, penuh
berisi tumpukan surat. Poirot memandangi rak itu sambil berpikir keras selama beberapa menit. Kemudian ia mendorong pintu di sebelah kanannya. Ruangan di baliknya merupakan ruang duduk dengan sebuah meja kecil dan sejumlah kursi nyaman dengan pola yang sudah usang. Tiga wanita tua dan seorang pria berpenampilan garang mengangkat kepala, memandang Hercule Poirot dengan pandangan tajam dan penuh permusuhan. Wajah detektif itu memerah lalu ia cepat-cepat menutup pintu itu kembali. Ia menyusuri lorong, sampai ke bawah tangga. Di sisi kanannya, lorong itu membelok, membentuk sudut siku-siku, ke arah ruangan yang jelas merupakan ruang makan. Pada lorong tersebut, beberapa langkah darinya, ada sebuah pintu bertanda “KANTOR”. Poirot mengetuk pintu tersebut. Karena tidak mendapat jawaban, ia membukanya dan melongok ke dalam. Ada sebuah meja besar di tengah ruangan, penuh kertas, tetapi tak ada seorang pun di sana. Dia kemudian pergi ke ruang makan. Seorang gadis berpenampilan murung dengan celemek kumal sedang menata meja untuk makan siang. Tangannya membawa sebuah keranjang kecil penuh pisau dan garpu. Hercule Poirot berkata dengan nada orang yang enggan mengganggu, “Maaf, bisakah saya bertemu dengan pemilik hotel ini?” Gadis itu membalas pandangannya dengan sorot mata letih dan tanpa gairah. Katanya, “Entahlah.” Hercule Poirot berkata, “Tak ada siapa-siapa di kantor.” “Wah, entahlah. Saya tak tahu di mana dia.” “Mungkin,” kata Hercule Poirot dengan sabar namun dengan nada menekan, “Anda bisa mencarinya?” Gadis itu mendesah. Tugasnya sehari-hari, yang meletihkan, kini ditambah dengan satu tugas lagi. Dia berkata dengan enggan, “Yah, akan saya coba.” Poirot mengucapkan terima kasih, lalu mengundurkan diri ke lorong. Dia tak berani berhadapan sekali lagi dengan mereka yang sedang berada di ruang duduk. Dia sedang mengamati rak penyimpan surat ketika aroma kuat bunga violet dari Devonshire mendahului munculnya sang pemilik hotel. Mrs. Harte seorang wanita yang suka melebih-lebihkan. Ia berseru, “Maaf, maaf, saya sedang tak ada di kantor tadi. Anda membutuhkan kamar?” Hercule Poirot menggumam, “Tidak persis seperti itu. Saya ingin bertanya, apakah salah seorang kawan saya akhir-akhir ini menginap di sini. Kapten Curtis.” “Curtis,” seru Mrs. Harte. “Kapten Curtis? Ah, rasanya saya pernah mendengar namanya disebut-sebut.” Poirot tidak menanggapi. Wanita itu menggeleng kuat-kuat. Poirot berkata, “Kalau begitu, Anda tidak pernah punya tamu bernama Kapten Curtis?” “Yah... pasti tidak akhir-akhir ini. Tetapi... rasa-rasanya namanya saya kenal. Bisakah Anda menggambarkan, seperti apa kawan Anda itu?” “Ah, sulit sekali,” kata Hercule Poirot. Lalu ia melanjutkan, “Rupanya, kalau saya tidak keliru, banyak surat yang dialamatkan pada orang-orang yang sebenarnya tidak menginap di sini, benarkah?” “Ya, memang. Yang seperti itu sudah biasa di sini.”
“Anda apakan surat-surat seperti itu?” “Kami simpan selama beberapa waktu. Bisa saja orang yang dituju sewaktu-waktu muncul. Tentu saja, kalau ada surat atau paket yang sudah lama dan tak ada yang mengakuinya sebagai pemiliknya, semua itu akan kami kirimkan kembali ke kantor pos.” Hercule Poirot mengangguk sambil berpikir-pikir. Katanya, “Saya mengerti.” Lalu tambahnya, “Rupanya begitu. Saya menulis surat pada kawan saya, ke sini.” Wajah Mrs. Harte kelihatan lega. “Kalau begitu, masalahnya sudah jelas. Saya pasti melihat namanya pada salah satu surat. Tapi, sungguh... banyak sekali pensiunan tentara yang menginap di sini, atau sekadar mampir. Biar saya periksa dulu.” Dia memeriksa tumpukan surat di rak. Hercule Poirot berkata, “Sudah tak ada di situ.” “Saya rasa sudah dikembalikan lewat tukang pos. Maaf sekali. Saya harap, itu bukan sesuatu yang penting.” “Bukan... bukan... tidak penting.” Sementara Hercule Poirot melangkah ke arah pintu, Mrs. Harte—dengan aroma bunga violet yang tajam menusuk—bergegas menyusulnya. “Seandainya kawan Anda datang...” “Rasanya tidak mungkin. Saya pasti telah membuat kesalahan...” “Syarat-syarat kami di sini cukup longgar,” kata Mrs. Harte. “Termasuk kopi sesudah makan malam. Silakan melihat-lihat kamar yang tersedia....” Dengan susah payah Hercule Poirot melepaskan diri dari wanita itu. IV Ruang duduk milik Mrs. Samuelson lebih luas, perabotannya sedikit lebih mewah, dan ada alat pemanas sentralnya—itu jika dibandingkan dengan milik Lady Hoggin. Dengan hatihati Hercule Poirot melangkah di antara meja-meja kecil yang berlapis keemasan dan kelompok-kelompok patung tertentu. Mrs. Samuelson lebih jangkung daripada Lady Hoggin dan rambutnya dicat dengan peroksida. Anjing peking-nya bernama Nanki Poo. Dengan mata melotot angkuh, Nanki Poo mengawasi Hercule Poirot. Miss Keble, yang diupah Mrs. Samuelson untuk menemaninya, adalah wanita kurus kering. Satu-satunya persamaannya dengan Miss Carnaby yang gemuk adalah cara bicaranya yang terengah-engah. Dia juga dipersalahkan karena hilangnya Nanki Poo. “Tapi sungguh, Mr. Poirot, kejadiannya benar-benar luar biasa. Terjadinya hanya dalam waktu sekejap. Di luar Harrods. Seorang perawat menanyakan jam berapa...” Poirot menyela, “Perawat? Perawat rumah sakit?” “Bukan, bukan... perawat anak... tepatnya, pengasuh bayi. Aduh, bayinya manis sekali. Lucu dan menggemaskan. Pipinya merah. Orang bilang, tak ada anak yang kelihatan sehat di London ini, tapi saya yakin yang itu...” “Ellen,” tukas Mrs. Samuelson.
Wajah Miss Keble memerah, ia terbata-bata, lalu berdiam diri. Mrs. Samuelson berkata dengan suara masam, “Dan sementara Miss Keble bercanda dengan si bayi—yang tak ada urusannya dengannya—penjahat yang kejam itu memotong tali pengikat Nanki Poo dan membawanya lari.” Miss Keble menggumam, air matanya berlinang. “Terjadinya hanya sedetik. Saya menoleh, dan anjing itu sudah tak ada... hanya tinggal sisa potongan talinya. Mungkin Anda ingin melihat potongan tali itu, Mr. Poirot?” “Tidak perlu,” tukas Poirot cepat-cepat. Dia tak ingin mengoleksi potongan tali pengikat anjing. “Dan kemudian,” katanya melanjutkan, “tak lama sesudah itu Anda menerima sepucuk surat?” Cerita selanjutnya persis sama—surat itu—ancaman akan keselamatan Nanki Poo. Hanya dua hal yang berbeda... uang tebusan yang diminta adalah tiga ratus pound, dan harus dialamatkan pada Komandan Blackleigh, Harrington Hotel, Clonmel Gardens 76, Kensington. Mrs. Samuelson melanjutkan, “Ketika Nanki Poo sudah aman berada di tangan saya lagi, saya datang sendiri ke sana, Mr. Poirot. Ya, tiga ratus pound kan tidak sedikit.” “Memang tidak sedikit.” “Yang pertama saya lihat adalah surat saya, dengan uang di dalamnya, ada pada semacam rak yang menempel di dinding. Ketika menunggu munculnya pemilik hotel, saya selipkan surat itu ke dalam tas saya. Sayangnya...” Poirot melanjutkan. “Sayangnya, ketika Anda membukanya, isinya hanya kertas-kertas kosong.” “Bagaimana Anda bisa tahu?” tanya Mrs. Samuelson dengan penuh kagum. Poirot mengangkat bahu. “Jelas sekali, chère Madame, penculiknya pasti sudah mengambil uang itu sebelum mengembalikan anjingnya. Dia telah mengganti uang itu dengan kertas-kertas kosong dan mengembalikan amplop surat itu ke rak, supaya jangan ada yang bertanya-tanya kalau surat itu tak ada di sana.” “Tak ada orang bernama Komandan Blackleigh yang menginap di sana.” Poirot tersenyum. “Tentu saja suami saya amat kesal karena kasus ini. Tepatnya, dia marah besar... dia mengamuk!” Dengan hati-hati Poirot berkata, “Anda tidak... eh... tidak meminta nasihatnya sebelum mengirimkan uang itu?” “Tentu saja tidak,” kata Mrs. Samuelson dengan mantap. Poirot menatap wanita itu dengan pandangan bertanya. Mrs. Samuelson menjelaskan, “Saya tak berani mengambil risiko sedetik pun. Saya tak mau membuang-buang waktu. Laki-laki biasanya cerewet bila urusannya menyangkut uang. Jacob pasti akan menyuruh saya menghubungi polisi. Saya tak mau mengambil risiko itu. Nanki Poo, anjing kesayangan saya. Sesuatu yang mengerikan bisa terjadi padanya. Tentu saja, sesudahnya saya bilang juga pada suami saya, sebab saya harus menjelaskan uang yang saya ambil dari bank itu.” Poirot menggumam, “Ya... benar....” “Belum pernah saya melihatnya mengamuk seperti itu. Dasar laki-laki!” Mrs. Samuelson
membetulkan letak gelang dan cincin-cincin berlian yang menghiasi tangan dan jarinya. “Laki-laki hanya memikirkan uang!” V Dengan lift Hercule Poirot naik ke kantor Sir Joseph Hoggin. Diserahkannya kartu namanya, dan ia diberitahu bahwa saat itu Sir Joseph sedang sibuk, namun tak lama lagi akan segera menemuinya. Akhirnya, seorang gadis menarik berambut pirang keluar dari ruangan Sir Joseph dengan tangan penuh kertas. Gadis itu memandang Poirot sekilas— pandangannya tajam dan meremehkan. Sir Joseph duduk di belakang meja mahoni yang lebar. Di dagunya ada bekas lipstik. “Well, Mr. Poirot? Silakan duduk. Ada berita baru?” Hercule Poirot berkata, “Masalah ini sebenarnya sangat sederhana namun menarik. Pada setiap kasus, uang tebusan harus dikirimkan ke sebuah hotel kecil atau rumah penginapan —tempat tak ada penjaga pintu atau petugas penerima tamu—dan tempat ada banyak tamu keluar-masuk setiap hari... termasuk sejumlah besar pensiunan militer. Mudah sekali seseorang masuk ke tempat-tempat seperti itu, tanpa mencurigakan, mengambil sepucuk surat dari rak penyimpan surat... lalu mengambil uangnya atau mengganti isi amplop dengan kertas-kertas kosong. Karenanya, dalam setiap kasus, jejaknya berakhir di tempat-tempat seperti itu.” “Maksud Anda, Anda tak punya gambaran siapa sesungguhnya pelakunya?” “Saya punya sejumlah dugaan. Saya butuh beberapa hari lagi untuk membuktikannya.” Sir Joseph memandang tamunya dengan penuh minat. “Bagus. Jadi, kalau Anda sudah punya sesuatu untuk dilaporkan...” “Saya akan melaporkannya pada Anda, di rumah Anda.” Sir Joseph berkata, “Kalau berhasil membongkar kasus ini Anda telah bekerja dengan sebaik-baiknya.” Hercule Poirot menyahut dengan cepat, “Tak ada kata gagal dalam kamus saya. Hercule Poirot tak pernah gagal.” Sir Joseph Hoggin memandang tamunya dan menyeringai. “Anda sangat yakin akan kemampuan Anda, bukan?” pancingnya. “Dengan alasan yang masuk akal.” “Oh, baiklah,” kata Sir Joseph sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. “Kesombongan akan runtuh sebelum Anda jatuh, ya, kan?” VI Hercule Poirot, sambil duduk di depan radiator listriknya (dan puas melihat bentuknya yang rapi dan geometris), sedang memberikan sejumlah perintah kepada pelayannya yang setia. Ia juga menambahkan beberapa fakta penting. “Kau sudah paham, George?” “Sempurna, Sir.” “Lebih mungkin sebuah flat atau maisonette. Dan pasti ada dalam batas-batas tertentu. Di sebelah selatan Kensington Gardens, sebelah timur Kensington Church, sebelah barat Knightsbridge Barracks, dan sebelah utara Fulham Road.”
“Saya mengerti benar, Sir.” Poirot menggumam, “Kasus kecil yang menarik. Ada bukti suatu kemampuan berorganisasi yang hebat. Dan... tentu saja, kemampuan aktor utamanya untuk menghilang dari pandangan... ya, Singa dari Nemea itu sendiri... kalau aku boleh menjulukinya begitu. Ya, kasus sepele namun sangat menarik. Seharusnya aku makin tertarik pada klienku... tapi sayang dia amat mirip dengan pemilik pabrik sabun di Liege, yang meracuni istrinya agar bisa menikah dengan sekretarisnya yang berambut pirang. Ya, salah satu kasus pertamaku.” George menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia berkata dengan sungguh-sungguh, “Gadis-gadis berambut pirang itu, Sir... mereka menimbulkan banyak kesulitan.” VII Tiga hari kemudian George yang setia dan dapat diandalkan berkata, “Ini alamatnya, Sir.” Hercule Poirot menyambut secarik kertas yang diulurkan kepadanya. “Bagus sekali, George. Dan harinya apa?” “Setiap Kamis, Sir.” “Setiap Kamis. Untung benar, hari ini Kamis. Jadi, aku tak boleh membuang waktu.” Dua puluh menit kemudian Hercule Poirot menaiki tangga sebuah gedung apartemen yang tidak mencolok mata, di sisi sebuah jalan sempit, yang bercabang dari sebuah jalan yang lebih besar. Rosholm Mansions Nomor 10 terletak di lantai tiga alias lantai paling atas. Tidak ada lift di gedung itu. Poirot menaiki tangga yang melingkar-lingkar ke atas. Dia berhenti sejenak di puncak tangga, menarik napas dalam-dalam. Dari balik pintu nomor 10 terdengar salak seekor anjing. Sambil tersenyum sekilas, Hercule Poirot mengangguk-angguk. Dia memencet bel pintu nomor 10. Suara salak anjing terdengar makin keras. Ada langkah-langkah kaki mendekati pintu, lalu... pintu itu dibuka.... Miss Amy Carnaby kaget sekali, tangannya memegangi dadanya yang gemuk. “Anda izinkan saya masuk?” tanya Hercule Poirot, dan tanpa menunggu jawaban ia melangkah masuk. Pintu di sebelah kanannya membuka ke arah ruang duduk. Poirot masuk ke sana. Di belakangnya Miss Amy Carnaby membuntutinya seperti orang linglung. Ruang duduk itu sangat kecil dan penuh perabotan. Di antara perabotan yang berserakan, tampak sesosok tubuh manusia, seorang wanita tua terbaring di atas sofa yang didekatkan ke perapian dari gas. Ketika Poirot masuk, seekor anjing peking melompat menerjangnya dan menyalak-nyalak dengan galak. “Aha,” kata Poirot. “Sang aktor utama! Hormat dan pujiku untukmu, kawan.” Ia membungkuk dan mengulurkan tangannya. Anjing itu mengendus-endus, sementara sepasang matanya yang bersinar cerdik mengawasi wajah tamunya. Miss Carnaby menggumam tak jelas, “Jadi Anda sudah tahu?”
Hercule Poirot mengangguk. “Ya, saya tahu.” Dia berpaling ke arah wanita yang terbaring di sofa. “Kakak Anda, ya?” Secara otomatis Miss Carnaby menjawab, “Ya, ini Emily. Kenalkan, ini Mr. Poirot.” Emily Carnaby tertegun. Dia berkata, “Oh!” Amy Carnaby berkata. “Augustus...” Anjing peking itu berpaling ke arahnya... ekornya bergoyang-goyang... kemudian kembali mengawasi tangan tamunya. Sekali lagi ekornya bergoyang-goyang. Dengan ramah Hercule Poirot mengangkat anjing itu, lalu duduk dengan si anjing di pangkuannya. Katanya, “Dengan demikian, saya telah berhasil menangkap Singa dari Nemea. Tugas saya sudah selesai.” Amy Carnaby berkata dengan suara kering dan kaku, “Benarkah Anda telah tahu semuanya?” Poirot mengangguk. “Saya rasa begitu. Anda mengorganisasi bisnis ini... dengan bantuan Augustus. Anda membawa anjing majikan Anda untuk berjalan-jalan... seperti biasa. Anda bawa kemari, lalu Anda pergi ke taman bersama Augustus. Seperti biasa, penjaga taman melihat Anda menuntun seekor anjing peking. Gadis pengasuh bayi itu, kalau kita bisa menemukannya, tentunya juga akan bersaksi bahwa Anda sedang menuntun seekor anjing peking ketika bercakap-cakap dengannya. Kemudian, sementara bicara, Anda potong tali pengikat Augustus—yang sudah Anda latih—untuk segera kembali ke sini. Beberapa menit kemudian Anda berteriak-teriak kebingungan karena kehilangan anjing.” Hening beberapa saat. Kemudian Miss Carnaby menegakkan duduknya, dan dengan sikap penuh keyakinan dan harga diri berkata, “Ya. Itu semua memang benar. Saya... saya takkan membantahnya.” Wanita invalid yang terbaring di sofa itu kini menangis. Poirot berkata, “Anda tak punya alasan atau sanggahan apa pun, Mademoiselle?” Miss Carnaby berkata, “Tidak. Saya ini pencuri... dan sekarang saya tertangkap basah.” Poirot menggumam, “Anda tak punya alasan apa pun... untuk membela diri, misalnya?” Tiba-tiba pipi Amy Carnaby memerah. Katanya, “Saya... saya tidak menyesali apa yang sudah saya lakukan. Tapi... saya rasa Anda orang yang baik hati, Mr. Poirot, dan mungkin Anda mau mengerti. Ya, saya sebenarnya sangat takut.” “Takut?” “Ya. Mungkin sulit bagi pria untuk mengerti hal ini. Tapi masalahnya begini. Saya ini semakin tua, tidak pintar, dan tak punya kepandaian apa-apa. Saya amat takut memikirkan masa depan. Selama ini saya tak mampu menyisihkan uang untuk menabung—bagaimana mungkin, sementara ada Emily yang membutuhkan perawatan khusus? Dan... kalau saya semakin tua dan semakin tak kuat, takkan ada lagi yang mau menyewa tenaga saya. Orang lebih suka menyewa tenaga muda yang kuat dan cekatan. “Saya kenal banyak wanita tua seperti saya... Tak ada yang mau menampung mereka, dan mereka terpaksa tinggal dalam sebuah kamar sempit, tanpa pemanas, tanpa makanan cukup, dan akhirnya... bahkan untuk membayar sewa kamar pun mereka tak mampu.... Memang ada yayasan-yayasan yang bisa menampung mereka... tapi untuk masuk ke sana pun tak mudah, kecuali jika kita punya kenalan yang berpengaruh... dan orang-orang seperti saya ini
tak punya siapa-siapa yang bisa diandalkan.... “Banyak sekali wanita seperti saya... wanita tua yang tak berguna, tak punya keterampilan... dan hanya bisa menunggu nasib dengan penuh ketakutan....” Suara Miss Carnaby bergetar. Katanya melanjutkan, “Dan kemudian... beberapa di antara kami berkumpul... dan saya tawarkan gagasan ini. Karena punya Augustus, saya berani menawarkan gagasan itu. Anda pasti tahu, bagi orang yang tidak tahu, anjing peking amat mirip satu sama lain. Seperti halnya kalau kita melihat orang Cina. Tentu saja itu tidak benar. Siapa pun yang mengenal Augustus dengan baik, takkan keliru menyangka dia Nanki Poo atau Shan Tung, atau anjing peking lainnya. Satu hal sudah jelas, dia jauh lebih cerdas dibandingkan anjing-anjing lainnya. Dia juga jauh lebih tampan. Tapi, seperti kata saya tadi, bagi kebanyakan orang, anjing peking adalah anjing peking. Augustus menimbulkan gagasan di benak saya, dan melihat kenyataan bahwa banyak sekali wanita kaya punya anjing peking.” Poirot berkata sambil tersenyum samar, “Bisnis ini pasti amat menguntungkan! Berapa anggota... eh... komplotan ini? Atau, mungkin lebih baik jika saya tanyakan, seberapa seringkah operasi ini berhasil?” Miss Carnaby menjawab dengan ringkas, “Shan Tung adalah yang keenam belas.” Hercule Poirot menaikkan alisnya. “Saya ucapkan selamat kepada Anda. Organisasi Anda pasti sangat rapi.” Emily Carnaby berkata, “Amy Carnaby sejak dulu pandai berorganisasi. Ayah kami—beliau pendeta Gereja Kellington di Essex—selalu mengatakan Amy sangat pandai membuat rencana. Dialah yang selalu mengatur dan menyiapkan pertemuan-pertemuan sosial dan berbagai bazar.” Poirot berkata sambil sedikit membungkukkan badan, “Saya sependapat. Sebagai kriminalis, Mademoiselle, Anda termasuk yang kelas satu.” Amy Carnaby menjerit. “Kriminalis! Oh, astaga, ya, mungkin memang begitu. Tapi... tapi saya tak pernah merasa begitu.” “Bagaimana perasaan Anda?” “Tentu saja Anda benar. Ini melanggar hukum. Tapi... cobalah mengerti bahwa... oh, bagaimana harus saya jelaskan? Hampir semua wanita kaya yang mempekerjakan kami itu sangat kasar dan tidak menyenangkan. Misalnya Lady Hoggin, dia tak pernah menjaga katakatanya. Pernah dia bilang obat tonikum yang diminumnya rasanya aneh, dan dia menuduh saya telah mengutak-atik obat itu. Pokoknya mereka rewel dan cerewet.” Wajah Miss Carnaby memerah. “Sungguh menjengkelkan. Sialnya, kami tak berdaya untuk membalas kekasaran mereka, dengan kata-kata atau dengan sikap melawan. Ini sungguh menjengkelkan... itu kalau Anda mengerti apa yang saya ceritakan.” “Saya bisa mengerti,” kata Hercule Poirot. “Itu belum seberapa. Setiap hari kami melihat bagaimana uang diboroskan untuk hal-hal yang tidak berguna.... Oh, itu membuat kami sakit hati. Dan Sir Joseph, kadang-kadang dia mengatakan ada masalah di kota... sesuatu yang menurut saya—tentu saja, saya tahu otak saya ini otak perempuan yang tak tahu apa-apa tentang seluk-beluk masalah keuangan —tidak jujur. Nah, Anda pun tahu, Mr. Poirot, semua itu... semua itu membuat saya kesal, dan saya merasa bahwa mengambil sedikit uang dari orang-orang yang tidak akan merasa kehilangan, dari orang-orang yang memperolehnya dengan jalan tidak benar itu— yah... saya rasa itu tidak terlalu salah....” Poirot menggumam, “Robin Hood modern! Katakan, Miss Carnaby, pernahkah Anda terpaksa harus melaksanakan ancaman Anda—seperti di surat-surat itu?”
“Ancaman?” Miss Carnaby memandang tamunya dengan kaget sekali. “Tak pernah! Sekali pun tak pernah! Tak terbayangkan oleh saya bahwa saya akan tega melakukannya! Itu hanyalah... hanyalah sentuhan artistik!” “Sangat artistik. Dan berhasil.” “Ya, tentu saja saya yakin itu akan berhasil. Saya tahu bagaimana perasaan saya seandainya itu terjadi pada Augustus. Dan saya harus yakin benar wanita-wanita itu takkan menceritakannya pada suami-suami mereka, sampai masalahnya sudah selesai. Setiap rencana kami selalu berhasil dengan baik. Dalam sembilan dan sepuluh kasus, anggota kami sendiri yang disuruh mengantarkan uang tebusannya. Biasanya amplop itu kami buka dengan hati-hati—dengan menguapinya—kami ambil uangnya, dan menggantinya dengan kertaskertas kosong. Satu-dua kali nyonya kaya itu sendiri yang mengeposkannya. Dalam hal itu, tentu saja anggota kami harus pergi ke hotel untuk mengambil suratnya dari rak. Tapi, itu pun bisa dilakukan dengan mudah.” “Dan, cerita tentang pengasuh bayi itu? Apakah selalu pengasuh bayi?” “Ah, Mr. Poirot, wanita-wanita tua yang tidak menikah seperti kami ini sangat terkenal suka akan bayi-bayi. Jadi, rasanya wajar apabila mereka begitu tertarik melihat bayi hingga lupa segala-galanya.” Hercule Poirot mendesah. Katanya, “Dasar psikologis Anda sangat bagus, organisasi Anda kelas satu, dan Anda juga aktris yang sangat berbakat. Penampilan Anda waktu itu, ketika saya mewawancarai Lady Hoggin, sama sekali tak diragukan. Jangan merendahkan kemampuan Anda sendiri, Miss Carnaby. Anda mungkin disebut orang wanita yang tak punya keterampilan, tapi tentang otak dan keberanian Anda... dua-duanya amat istimewa.” Miss Carnaby menanggapi sambil tersenyum samar, “Tapi saya telah tertangkap basah, Mr. Poirot.” “Hanya oleh SAYA. Itu tak bisa dihindari! Ketika saya mewawancarai Mrs. Samuelson, saya segera menyadari penculikan Shan Tung adalah bagian dari rangkaian kejahatan yang sama. Sebelum itu saya sudah berhasil tahu Anda pernah mendapat warisan seekor anjing peking dan bahwa Anda punya seorang kakak perempuan yang invalid. Langkah saya selanjutnya adalah menugaskan pelayan saya yang setia untuk mencari sebuah flat kecil, dalam radius tertentu dari Kensington Gardens, yang dihuni seorang wanita invalid yang punya seekor anjing peking, dan yang seminggu sekali, secara teratur, dikunjungi adiknya—pada saat adiknya itu punya hari libur. Sederhana sekali.” Amy Carnaby menegakkan duduknya. Katanya, “Anda telah sangat berbaik hati. Karena itu, saya berani mengajukan sebuah permintaan kepada Anda. Saya tahu, saya tak dapat menghindari hukuman karena apa yang telah saya lakukan. Saya rasa, saya akan dikirim ke penjara. Tapi, seandainya Anda bisa, M. Poirot, tolonglah agar hal ini tidak dipublikasikan. Akan sangat berat bagi Emily... dan bagi mereka yang mengenal kami sejak dulu. Bolehkah saya masuk ke penjara dengan... misalnya... nama palsu? Atau... permintaan ini sendiri tidak benar?” Hercule Poirot menanggapi, “Saya rasa, saya dapat melakukan yang jauh lebih baik dari itu. Tapi pertama-tama, saya minta satu hal: bisnis ini harus dihentikan. Tak boleh lagi ada anjing menghilang. Selesai. Titik!” “Ya! Oh ya!” “Dan uang yang Anda ambil dari Lady Hoggin harus dikembalikan!” Amy Carnaby menyeberangi ruangan, membuka laci sebuah meja, dan kembali sambil membawa sebuah bungkusan yang kemudian diserahkannya kepada Poirot.
“Rencananya akan saya serahkan ke perkumpulan hari ini.” Poirot menerima uang itu dan menghitungnya. Ia bangkit berdiri. “Saya rasa, Miss Carnaby, saya akan bisa membujuk Sir Joseph agar tidak menuntut Anda.” “Oh, Mr. Poirot!” Amy Carnaby mengatupkan kedua tangannya. Emily menjerit senang. Augustus menyalak dan menggoyang-goyangkan ekornya. “Dan tentang kau, mon ami,” kata Poirot kepada anjing itu, “ada satu permintaanku padamu. Yang kubutuhkan adalah kulitmu—yang membuat pemakainya tak terlihat. Dalam semua kasus ini, tak seorang pun mengira ada anjing lain yang terlibat. Augustus mempunyai kulit seperti Singa dari Nemea yang membuatnya bisa tak terlihat.” “Tentu saja, Mr. Poirot, menurut legenda, anjing peking dahulu adalah singa. Dan sampai saat ini mereka masih berhati singa!” “Saya rasa, Augustus adalah anjing peking yang diwariskan Lady Hartingfield kepada Anda dan telah dilaporkan mati, ya, kan? Tidakkah Anda mengkhawatirkan keselamatannya bila dia harus menyeberang jalan sendirian?” “Oh, tidak, Mr. Poirot. Augustus sangat pandai menyiasati lalu lintas. Saya telah melatihnya dengan baik. Dia bahkan mengerti prinsip yang berlaku di Jalan Satu Jurusan.” “Kalau begitu,” kata Hercule Poirot, “dia lebih pandai dari manusia pada umumnya!” VIII Sir Joseph menerima Hercule Poirot di ruang kerjanya. Katanya, “Well, Mr. Poirot? Apakah kesombongan Anda ada buktinya?” “Pertama-tama, izinkan saya mengajukan sebuah pertanyaan,” kata Poirot setelah ia duduk. “Saya tahu siapa pelakunya dan saya rasa bisa mengumpulkan bukti-bukti yang kuat untuk menyeretnya ke meja hijau. Tetapi, jika itu yang kita lakukan, mungkin uang Anda takkan kembali.” “Uang saya takkan kembali?” Wajah Sir Joseph berubah jadi ungu. Hercule Poirot melanjutkan, “Tetapi saya bukan polisi. Dalam kasus ini, saya bekerja semata-mata karena permintaan Anda. Saya rasa, saya bisa memperoleh kembali uang Anda seutuhnya jika Anda bersedia tidak melakukan tuntutan apa pun.” “Eh?” sahut Sir Joseph. “Kalau begitu, harus saya pikirkan dulu.” “Keputusan sepenuhnya berada di tangan Anda. Terus terang, kalau Anda akan mengajukan tuntutan, pasti akan ada publikasi. Banyak yang akan tahu.” “Ya, benar. Lalu mengapa?” tanya Sir Joseph dengan suara tajam. “Bisa saja sewaktuwaktu uang mereka yang akan hilang. Satu hal yang amat saya benci adalah ditipu mentahmentah. Orang yang menipu saya takkan selamat.” “Baiklah kalau begitu. Jadi, apa keputusan Anda?” Sir Joseph memukul meja dengan tinjunya. “Saya akan menuntut orang itu. Takkan saya biarkan orang menipu saya mentah-mentah... dua ratus pound....” Hercule Poirot bangkit, melangkah ke meja tulis, menulis cek sebesar dua ratus pound,
dan mengulurkannya kepada si tuan rumah. Sir Joseph berkata dengan suara lirih, “Huh, sialan! Siapakah dia?” Poirot menggeleng. “Jika Anda menerima uangnya, Anda tak boleh bertanya-tanya lagi!” Sir Joseph melipat cek itu dan mengantonginya. “Sayang sekali. Tetapi uang ini jauh lebih penting. Dan, berapa utang saya pada Anda, Mr. Poirot?” “Upah saya tidak akan tinggi. Seperti kata saya dulu, kasus ini sangat tidak penting.” Ia berhenti sejenak... kemudian menambahkan. “Sekarang... hampir semua kasus yang saya tangani menyangkut pembunuhan....” Sir Joseph tampak kaget. “Pasti amat menarik, ya?” katanya. “Kadang-kadang memang menarik. Anehnya, Anda mengingatkan saya akan kasus-kasus awal yang saya tangani di Belgia, dulu, bertahun-tahun yang lalu. Tokoh utamanya amat mirip dengan Anda—maksud saya penampilannya. Dia pemilik pabrik sabun yang kaya raya. Dia meracuni istrinya agar bisa menikah dengan sekretarisnya. Ya... kemiripannya dengan Anda sungguh luar biasa....” Terdengar desah tercekat dari bibir Sir Joseph... bibir yang kini berubah menjadi biru mengerikan. Warna merah telah lenyap dari wajahnya. Matanya melotot, seakan hendak copot. Dia terpana menatap Hercule Poirot, sementara duduknya agak merosot. Kemudian, dengan tangan gemetar, ia merogoh sakunya. Dikeluarkannya cek itu dan dirobeknya menjadi serpihan-serpihan kecil. “Lihat... lihat ini! Itu upah Anda.” “Oh, Sir Joseph, upah saya takkan sebesar itu.” “Tak jadi soal. Ambil saja semuanya.” “Akan saya serahkan kepada mereka yang lebih membutuhkan.” “Terserah Anda.” Poirot mencondongkan badannya ke depan. Katanya, “Saya rasa sebenarnya tak perlu saya ulangi lagi, Sir Joseph. Tapi... dalam kedudukan Anda saat ini, seharusnya Anda bersikap sangat hati-hati.” Sir Joseph berkata, suaranya hampir-hampir tak terdengar, “Anda tak perlu khawatir. Saya akan sangat hati-hati.” Hercule Poirot meninggalkan rumah itu. Sambil menuruni tangga, ia berkata pada diri sendiri, “Jadi... dugaanku benar.” IX Lady Hoggin berkata pada suaminya, “Aneh, tonikum ini lain rasanya. Tidak pahit lagi. Mengapa, ya?” Sir Joseph menggeram, “Apotek! Tidak cermat! Selalu keliru meramu obat.” Lady Hoggin berkata dengan bingung, “Benarkah mereka ceroboh?”
“Tentu saja. Siapa lagi kalau bukan mereka?” “Apa laki-laki itu telah berhasil menangkap penculik Shan Tung?” “Ya. Uangku juga sudah kembali.” “Siapa penculiknya?” “Dia tak mau bilang. Orang aneh, si Hercule Poirot itu. Tapi kau tak perlu cemas.” “Dia laki-laki kecil yang agak aneh, ya?” Sir Joseph bergidik. Matanya melirik ke samping, seakan-akan ia merasakan kehadiran Hercule Poirot yang tak terlihat di belakang bahu kanannya. Rasa-rasanya, seumur hidup ia akan terus-menerus merasa dimata-matai pria itu. Katanya, “Laki-laki kecil yang cerdik seperti setan!” Dan, pada dirinya sendiri ia berkata, “Biarlah Greta marah-marah! Aku tak sudi mempertaruhkan leherku demi seorang gadis berambut pirang!” X “Oh!” Amy Carnaby menatap cek senilai dua ratus pound itu dengan tak percaya. Dia berseru, “Emily! Emily! Dengar, kubacakan, ya. “Miss Carnaby yang baik, Izinkan saya menyumbang untuk dana perkumpulan Anda sebelum perkumpulan itu akhirnya dibubarkan. Sahabat Anda yang baru, Hercule Poirot.” “Amy,” kata Emily Carnaby, “kau sangat beruntung. Bayangkan, seharusnya kau saat ini ada di mana...” “Wormwood Scrubbs... atau Holloway,” gumam Amy Carnaby. “Tapi, semua ini sudah selesai... ya, kan, Augustus? Tak ada lagi acara jalan-jalan di taman, dengan Mama dan teman-teman Mama yang membawa gunting kecil.” Matanya menerawang. Ia mendesah. “Augustus sayang! Rasanya sia-sia... Kau amat cerdas... Aku bisa mengajarimu apa saja....”
2
HYDRA PENGHUNI RAWA LERNA
I HERCULE POIROT memandang pria yang duduk di depannya dengan pandangan memberi semangat. Dr. Charles Oldfield berusia kira-kira empat puluh tahun. Rambutnya yang berwarna terang sedikit abu-abu di kedua pelipisnya. Matanya yang biru menyorotkan kecemasan hatinya. Tubuhnya agak bungkuk dan keseluruhan gerak-geriknya menandakan pria itu agak peragu. Lebih dari itu, tampaknya amat sulit baginya berbicara langsung mengenai pokok persoalannya. Dia berkata, agak terbata-bata, “Saya datang menemui Anda, M. Poirot, dengan sebuah permintaan yang ganjil. Dan sekarang, setelah ada di sini, rasanya ingin saya batalkan saja niat saya semula. Sebab, sekarang setelah saya renungkan baik-baik masalah saya ini, ternyata ini masalah yang tak mungkin dipecahkan siapa pun.” Hercule Poirot menggumam, “Dalam hal itu, izinkan saya yang menilainya.” Oldfield bergumam pelan, “Entah mengapa, saya tadinya berpikir, mungkin...” Katakatanya terputus. Hercule Poirot menyelesaikan kalimat itu, “Mungkin saya bisa membantu Anda? Eh bien, mungkin saja saya memang bisa. Katakan, apa masalah Anda.” Oldfield menegakkan duduknya. Sekali lagi Poirot melihat, betapa cekung dan murung wajah pria di depannya. Oldfield berkata, suaranya seperti orang putus asa, “Anda tahu, tak ada gunanya melapor kepada polisi.... Mereka takkan bisa berbuat apa-apa. Tapi, masalah ini semakin lama semakin memburuk. Saya... saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan...” “Apa yang menjadi semakin buruk?” “Desas-desus... Oh, M. Poirot, sebenarnya awalnya sangat sederhana. Kira-kira setahun yang lalu istri saya meninggal. Sudah bertahun-tahun dia invalid. Mereka bilang, setiap orang bilang bahwa saya membunuhnya... bahwa saya meracuninya!” “Aha,” kata Poirot. “Dan, apakah Anda memang meracuninya?” “M. Poirot!” Dr. Oldfield terlompat dari duduknya. “Tenang, tenang,” kata Hercule Poirot. “Silakan duduk lagi. Kalau begitu, kita akan mulai dari kenyataan ini... bahwa Anda tidak meracuni istri Anda. Tetapi, setahu saya, Anda berpraktek di sebuah pedesaan....” “Ya. Market Loughborough... di kawasan Berkshire. Saya sebenarnya sudah menyadari sejak awal, di tempat-tempat seperti itu orang suka bergosip. Yang tak pernah terbayangkan oleh saya adalah akibatnya bisa separah ini.” Dia memajukan kursinya sedikit. “M. Poirot, mungkin Anda tak bisa membayangkan apa yang sudah saya alami. Mula-mula, saya tak sadar gosip itu ada hubungannya dengan diri saya. Saya memang tahu orang-orang mulai bersikap kurang ramah dan selalu berusaha menghindar bila berpapasan dengan saya... tetapi saya anggap itu karena keadaan saya sekarang. Kemudian segalanya menjadi semakin jelas. Di jalan-jalan, orang bahkan sengaja menyeberang bila hendak berpapasan dengan saya. Praktek saya menurun. Ke mana pun pergi saya selalu mendengar orang berbisik-bisik di belakang saya, saya merasa ada mata-mata yang mengawasi segala gerakgerik saya dan lidah-lidah beracun yang membisikkan ancaman-ancaman maut. Saya menerima satu-dua surat... sungguh menjijikkan.” Ia berhenti sejenak... kemudian melanjutkan, “Dan... dan saya tak tahu harus berbuat apa. Saya tak tahu harus bagaimana melawan ini semua... gosip, kabar bohong, dan kecurigaan yang tak berdasar. Bagaimana orang akan melawan atau menyangkal yang tak pernah secara terbuka dikatakan kepadanya? Saya ini tak berdaya... terperangkap...
serta pelan-pelan dan tanpa ampun saya sedang dihancurkan.” Poirot mengangguk sambil berpikir-pikir. Katanya, “Ya. Desas-desus atau gosip bagaikan sembilan kepala Hydra, ular penghuni Rawa Lerna, yang tak mungkin dibasmi, sebab secepat sebuah kepala terpenggal, secepat itu pula di tempat yang sama akan muncul dua kepala.” Dr. Oldfield berkata, “Tepat sekali. Tak ada yang bisa saya lakukan... tak ada! Saya datang kepada Anda sebagai harapan saya yang terakhir... tetapi rasanya Anda pun tak mungkin bisa membantu saya.” Hercule Poirot diam selama beberapa saat. Kemudian dia berkata, “Anda keliru. Masalah Anda menarik minat saya, Dr. Oldfield. Saya ingin menguji kemampuan saya untuk membunuh monster berkepala banyak ini. Pertama-tama, ceritakan situasi yang menimbulkan gosip yang berbahaya ini. Istri Anda meninggal, kira-kira setahun yang lalu. Apa penyebab kematiannya?” “Radang lambung.” “Apakah waktu itu dilakukan autopsi?” “Tidak. Dia telah cukup lama menderita karena ada masalah dengan lambungnya.” Poirot mengangguk. “Gejala-gejala radang lambung dan keracunan arsenikum amat mirip—suatu kenyataan yang dewasa ini sudah menjadi pengetahuan umum. Siapa saja tahu. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, sekurang-kurangnya ada empat kasus pembunuhan yang sensasional, yaitu korbannya telah dikuburkan tanpa kecurigaan dan dilengkapi dengan surat keterangan bahwa korban meninggal karena radang lambung. Apakah istri Anda lebih tua atau lebih muda dari Anda?” “Dia lima tahun lebih tua.” “Berapa lama Anda menikah dengannya?” “Lima belas tahun.” “Apakah dia meninggalkan sejumlah warisan?” “Ya. Dia wanita yang cukup kaya. Dia mewariskan uang kira-kira 30.000 pound.” “Jumlah yang sangat besar. Itu diwariskan kepada Anda?” “Ya.” “Apakah hubungan Anda dan istri Anda baik-baik saja?” “Tentu saja.” “Tak pernah bertengkar? Tak pernah ada tindakan kasar?” “Yah...” Charles Oldfield ragu-ragu. “Istri saya termasuk wanita yang sulit. Dia invalid dan sangat peduli akan kondisi kesehatannya, karena itu cenderung cerewet dan sulit dibuat senang. Ada hari-hari ketika apa pun yang saya lakukan salah di matanya.” Poirot mengangguk. Katanya, “Ah, ya, saya tahu tipe wanita seperti itu. Mungkin dia mengeluh merasa diabaikan, tidak diperhatikan... suaminya sudah bosan dengannya, dan suaminya pasti akan senang jika dia mati.” Wajah Dr. Oldfield menunjukkan apa yang dikatakan Poirot benar. Dia berkata dengan senyum hambar, “Anda bisa menggambarkannya dengan tepat!”
Poirot melanjutkan, “Apakah dia dirawat secara khusus oleh seorang perawat yang disewa dari rumah sakit? Atau, adakah seorang wanita yang disewa untuk menemaninya? Atau, apakah dia punya seorang pelayan yang setia?” “Seorang perawat—sekaligus untuk teman. Seorang wanita yang cekatan dan amat baik. Saya rasa dia bukan tipe wanita yang suka bicara.” “Bahkan wanita baik-baik dan cekatan pun dikaruniai lidah oleh le bon Dieu—dan kadangkadang mereka pun tidak menggunakannya secara bijaksana. Saya yakin, perawat sekaligus temannya itu telah bicara, para pelayan pun bergosip, dan setiap orang membumbuinya lagi agar lebih sedap! Anda memiliki bahan yang dapat dijadikan gosip yang amat sedap, gosip yang marak di desa sekecil itu. Sekarang, saya ingin menanyakan satu hal lagi. Siapakah wanita itu?” “Saya tak mengerti maksud Anda.” Wajah Dr. Oldfield memerah. Dia tampak amat marah. Poirot berkata dengan lembut, “Saya rasa Anda amat paham. Saya menanyakan siapakah wanita yang namanya disebut-sebut dalam hubungannya dengan Anda?” Dr. Oldfield berdiri. Wajahnya kaku dan dingin. Katanya, “Tak ada ‘wanita lain’ dalam kasus ini. Maafkan saya, M. Poirot, karena telah membuang-buang waktu Anda yang sangat berharga.” Dia melangkah ke pintu. Hercule Poirot berkata, “Saya juga menyesal. Kasus Anda amat menarik. Sebenarnya saya ingin membantu Anda. Tapi saya takkan bisa membantu Anda kalau Anda tidak bersedia menceritakan semuanya, semua fakta yang benar.” “Sudah saya katakan semuanya. Sejujurnya.” “Belum...” Langkah Dr. Oldfield terhenti Ia membalikkan badan. “Mengapa Anda berkeras bahwa ada wanita lain dalam kasus ini?” “Mon cher docteur! Tidakkah Anda berpikir bahwa saya paham benar mentalitas kaum wanita? Gosip-gosip di pedesaan selalu didasarkan pada hubungan antara lawan jenis. Jika seorang pria meracuni istrinya agar dia bisa menjelajahi Kutub Utara atau bisa menikmati ketenangan hidup seperti bujangan lagi... hal itu tidak akan menarik minat penduduk desa! Sama sekali tidak! Karena orang yakin pembunuhan itu dilaksanakan agar si pria bisa menikah dengan wanita lain, gosip pun merebak dan menyebar dengan cepat. Itu dasar psikologisnya.” Oldfield berkata dengan perasaan tidak enak, “Saya tidak bertanggung jawab atas apa yang ada dalam pikiran tukang-tukang gosip itu!” “Tentu saja tidak.” Poirot melanjutkan, “Karena itu, sebaiknya Anda duduk kembali dan menjawab pertanyaan saya itu.” Pelan-pelan, dengan ragu-ragu, Oldfield duduk kembali di kursinya. Ia berkata, wajahnya memerah, “Saya rasa, mereka menggunjingkan Miss Moncrieffe. Jean Moncrieffe adalah gadis yang membantu saya meracik obat, gadis yang baik.” “Sudah berapa lama dia bekerja pada Anda?” “Tiga tahun.”
“Apakah istri Anda suka padanya?” “Eh... yah... tidak, tidak suka.” “Apakah istri Anda cemburu?” “Itu namanya absurd!” Poirot tersenyum. Katanya, “Istri yang cemburu—itu kalimat yang menyatakan kebenaran... seperti pepatah. Tapi dengar apa yang akan saya katakan. Berdasarkan pengalaman saya, rasa cemburu— betapapun kelihatannya tidak masuk akal atau mengada-ada—sesungguhnya, hampir selalu didasarkan pada kenyataan. Ada pepatah, bukan, yang menyatakan bahwa pembeli selalu benar? Well, ini sama halnya dengan suami atau istri yang cemburu. Meskipun bukti-bukti konkretnya amat sedikit, tetapi secara fundamental itu benar, alias kenyataannya memang demikian.” Dr. Oldfield menyahut dengan sikap gagah, “Nonsens. Saya tak pernah mengatakan apa-apa pada Jean Moncrieffe yang tak bisa didengar istri saya.” “Ya, dalam hal itu Anda mungkin benar. Tetapi itu tidak mengubah kebenaran seperti yang saya katakan tadi.” Hercule Poirot mencondongkan badannya ke depan. Suaranya terdengar mendesak dan menekan. “Dr. Oldfield, akan saya kerahkan kemampuan saya untuk menyelesaikan kasus ini, tetapi saya harus memperoleh kebenaran dari mulut Anda— kebenaran mutlak—tanpa mempertimbangkan hal-hal lain, bahkan tidak juga perasaan Anda sendiri. Kalau saya tidak keliru, benarkah Anda telah agak lama mengabaikan istri Anda sebelum dia meninggal?” Oldfield diam satu-dua menit lamanya. Kemudian ia berkata, “Urusan ini membuat saya hancur. Saya harus punya harapan. Entah bagaimana, saya punya perasaan bahwa Anda akan bisa menolong saya. Karenanya, saya akan berterus terang kepada Anda, M. Poirot. Saya sebenarnya tidak mencintai istri saya. Saya rasa, saya ini suami yang cukup baik, tetapi tidak benar-benar mencintainya.” “Dan gadis itu—Jean?” Dahi Dr. Oldfield basah oleh keringat dingin yang tiba-tiba menyembul keluar. Katanya. “Saya... seharusnya saya segera meminangnya, tetapi karena skandal ini...” Poirot menyandarkan punggungnya. Katanya, “Nah, setidak-tidaknya sekarang saya bisa berpegang pada fakta dan kebenaran! Eh bien, Dr. Oldfield, saya akan menangani kasus Anda. Tapi ingat, saya hanya akan mencari kebenaran!” Oldfield berkata dengan nada pahit, “Bukan kebenaran yang akan menyakitkan saya!” Ia ragu-ragu sebentar, kemudian melanjutkan, “Saya telah merenungkan kemungkinan bertindak dan mengajukan tuntutan! Seandainya saya bisa mengetahui sumbernya dan mengajukan tuduhan yang berdasar terhadap orang itu... saya pasti akan menang. Ya, kadang-kadang saya berpikir begitu.... Tapi, kali lain saya beranggapan hal itu hanya akan memperburuk situasi... publisitas besar-besaran... dan itu akan membuat orang berbisik, ’Pembunuhan itu memang tidak terbukti, tapi... tak ada asap tanpa api.’” Dia memandang Poirot. “Katakan terus terang, apakah masih ada jalan keluar dari keruwetan ini?” “Jalan keluar selalu ada,” kata Hercule Poirot. II
“Kita akan pergi ke desa, George,” kata Hercule Poirot pada pelayannya. “Oh ya, Sir?” George menanggapi dengan sopan. “Dan tujuan kita kali ini membunuh sesosok monster berkepala sembilan.” “Sungguh, Sir? Sesuatu yang mirip Monster Loch Ness?” “Lebih sulit ditangkap dan dibayangkan dibandingkan dengan binatang itu. Yang kumaksud bukan monster dalam ujud nyata, yang berdarah dan berdaging, George.” “Saya tidak mengerti maksud Anda.” “Kalau yang seperti itu memang ada, masalahnya takkan serumit ini. Tak ada yang lebih sulit daripada menemukan sumber gosip.” “Ya, Sir. Saya sependapat.” Hercule Poirot tidak mengunjungi rumah Dr. Oldfield. Ia justru menginap di penginapan desa. Pagi hari pertama sesudah kedatangannya, ia mewawancarai Jean Moncrieffe. Gadis itu bertubuh jangkung, rambutnya berwarna tembaga, matanya yang biru menyorot tajam. Caranya memandang keadaan sekelilingnya seperti orang yang selalu siap, seakanakan sudah menduga sesuatu akan terjadi. Katanya, “Jadi Dr. Oldfield pergi menemui Anda.... Saya tahu dia memang merencanakannya.” Tak ada antusiasme dalam nada suaranya. Poirot berkata, “Dan Anda tidak setuju dengan rencananya itu?” Jean Moncrieffe membalas tatapan Poirot. Dia berkata dengan dingin, “Apa yang bisa Anda lakukan?” Poirot menyahut dengan tenang, “Mungkin ada cara untuk menangani situasi ini.” “Cara apa?” Gadis itu mengucapkannya dengan nada mengejek. “Maksud Anda, pergi berkeliling mengunjungi wanita-wanita tua tukang gosip itu dan berkata, ’Tolong, Anda hentikan omongan seperti itu. Itu tidak baik akibatnya bagi Dr. Oldfield yang malang.’ Dan mereka akan menjawab, ‘Tentu saja, sedikit pun saya tak percaya!’ Itulah yang paling buruk dari kasus ini... mereka tidak akan berkata, ‘Sir, tidakkah pernah terpikir oleh Anda bahwa Mrs. Oldfield meninggal karena sebab-sebab yang tidak wajar?’ Tidak, mereka akan berkata, ‘Ya, tentu saja saya tidak percaya gosip yang beredar tentang Dr. Oldfield dan istrinya. Saya yakin dia takkan tega melakukannya, meskipun benar dia telah mengabaikan istrinya. Lagi pula, menurut saya tidak bijaksana mempekerjakan seorang gadis muda sebagai peracik obat. Tentu saja saya tidak mengatakan ada apa-apa di antara mereka. Tidak, oh, tidak, saya yakin tidak ada apa-apa di antara mereka....’” Gadis itu berhenti bicara. Wajahnya memerah dan napasnya terengah-engah. Hercule Poirot menanggapi, “Sepertinya Anda tahu persis apa yang mereka omongkan.” Mulut Jean Moncrieffe terkatup rapat. Kemudian dia berkata dengan nada pahit, “Ya, saya memang tahu!” “Dan... bagaimana penyelesaiannya menurut Anda?” Jean Moncrieffe menjawab, “Yang paling baik baginya adalah menghentikan prakteknya di sini dan memulainya lagi di tempat lain.” “Tidakkah Anda berpendapat bahwa gosip itu akan terus membuntutinya?”
Gadis itu mengangkat bahu. “Dia harus menanggung risikonya.” Poirot terdiam beberapa saat. Kemudian ia berkata, “Apakah Anda berniat menikah dengan Dr. Oldfield, Miss Moncrieffe?” Gadis itu sama sekali tidak kaget mendengar pertanyaan Poirot. Dia berkata dengan ringkas, “Dia belum meminang saya.” “Mengapa?” Matanya yang biru membalas tatapan Poirot, ada sedikit getar emosi terpancar darinya. Kemudian ia berkata, “Sebab saya tidak memberi kesempatan padanya.” “Ah, bisa berbicara dengan orang yang benar-benar jujur merupakan suatu karunia!” “Saya akan bersikap jujur kalau itu membuat Anda senang. Ketika saya menyadari orangorang bergosip mengatakan Charles telah menyingkirkan istrinya agar bisa menikahi saya, bagi saya kalau kemudian kami memang menikah, sepertinya kami membenarkan omongan mereka. Tetapi, saya berharap, kalau tak ada tanda-tanda kami akan menikah, gosip itu akan reda dan hilang dengan sendirinya.” “Tapi... nyatanya tidak?” “Ya, memang tidak.” “Nah,” kata Hercule Poirot, “ini aneh, bukan?” Jean berkata dengan pahit, “Mereka tidak punya cukup hiburan di sini.” Poirot bertanya, “Apakah Anda ingin menikah dengan Charles Oldfield?” Gadis itu menjawab dengan terus terang, “Ya. Saya ingin menikah dengannya, sejak pertama kali melihatnya.” “Kalau begitu, kematian istrinya amat menguntungkan Anda?” Jean Moncrieffe berkata, “Mrs. Oldfield bukanlah wanita yang menyenangkan. Terus terang, saya senang ketika dia meninggal.” “Ya,” sahut Poirot. “Anda sangat jujur!” Gadis itu membalas senyum Poirot, sama sinisnya. Poirot berkata, “Saya punya usul.” “Ya?” “Dalam kasus ini, dibutuhkan cara-cara yang luar biasa. Saya usulkan agar seseorang... mungkin Anda sendiri... menulis surat ke Kantor Urusan Dalam Negeri.” “Apa maksud Anda?” “Maksud saya, cara terbaik untuk menghentikan gosip ini adalah dengan menggali kembali jenazah Mrs. Oldfield dan melakukan autopsi atasnya.” Gadis itu mundur selangkah. Kedua bibirnya terbuka, kemudian mengatup kembali. Poirot mengawasi reaksinya. “Well, Mademoiselle?” katanya akhirnya.
Jean Moncrieffe berkata dengan lirih, “Saya tidak sependapat dengan Anda.” “Mengapa tidak? Hasil autopsi yang menunjukkan sebab-sebab kematian yang wajar pasti akan menghentikan gosip ini.” “Kalau hasilnya memang demikian, ya.” “Sadarkah Anda bahwa kata-kata Anda itu bisa diartikan lain, Mademoiselle?” Jean Moncrieffe menukas dengan tidak sabar. “Saya tahu apa yang saya katakan. Anda mengira ada peracunan dengan arsenikum—dan Anda akan membuktikan dia tidak mati karena racun itu. Tapi... ada sejumlah racun lain... misalnya, alkaloid untuk pupuk tanaman. Seandainya yang terakhir ini yang digunakan, saya yakin, setelah setahun akan sulit kita menemukan bekas-bekasnya. Saya tahu, seperti apa para analis resmi itu. Mereka mungkin akan mengumumkan bahwa tak ada tanda-tanda yang bisa digunakan untuk menentukan sebab kematiannya—dan kalau begitu... lidah-lidah mereka akan bergoyang semakin cepat!” Satu-dua menit lamanya Poirot terdiam. Kemudian dia berkata, “Menurut Anda, siapakah orang yang paling suka bergosip di desa ini?” Gadis itu mempertimbangkan pertanyaan Poirot beberapa saat. Akhirnya ia berkata, “Menurut saya, Miss Leatheran adalah biang gosip yang paling parah.” “Ah! Dapatkah Anda memperkenalkan saya pada Miss Leatheran... kalau bisa... secara sambil lalu?” “Tak ada yang lebih mudah dari itu. Pada jam-jam seperti sekarang ini, wanita-wanita tua seperti dia pasti sedang berbelanja atau mengerjakan sesuatu. Yang perlu kita lakukan hanyalah menyusuri jalan utama.” Seperti kata Jean, rencana mereka dapat dilaksanakan dengan mudah. Di depan kantor pos, Jean berhenti dan bicara dengan seorang wanita setengah baya, bertubuh jangkung, dengan hidung panjang dan mata yang selalu bersinar penuh ingin tahu. “Selamat pagi, Miss Leatheran.” “Selamat pagi, Jean. Hari ini indah sekali, ya?” Mata yang tajam itu sekilas melirik orang yang berdiri di samping Jean Moncrieffe. Jean berkata, “Izinkan saya memperkenalkan M. Poirot, beliau akan menginap di desa ini selama beberapa hari.” III Sambil mengunyah kue dan menjaga keseimbangan secangkir teh di pangkuannya, Hercule Poirot bersikap terus terang—namun agak penuh rahasia—kepada nyonya rumahnya. Miss Leatheran telah berbaik hati mengundangnya minum teh. Wanita itu jelas-jelas ingin tahu, urusan apa yang membawa pria asing itu ke desanya. Selama beberapa waktu Poirot mempermainkan rasa ingin tahu wanita itu... dengan demikian Miss Leatheran semakin penasaran. Kemudian, ketika dirasanya saatnya sudah tepat, ia mencondongkan tubuhnya ke depan. “Ah, Miss Leatheran,” katanya. “Saya akui, Anda terlalu cerdik untuk saya permainkan! Anda berhasil menebak rahasia saya. Saya berada di sini atas perintah Kantor Urusan Dalam Negeri. Tapi... tolong, ya...,” Poirot merendahkan suaranya, “simpan informasi ini untuk Anda sendiri.” “Tentu saja... tentu saja....” Jelas sekali bahwa Miss Leatheran tampak amat berminat. “Kantor Urusan Dalam Negeri... maksud Anda... oh, bukan urusan Mrs. Oldfield, ya?” Poirot pelan-pelan menganggukkan kepalanya beberapa kali.
“Waaahh...,” Miss Leatheran mengucapkannya dengan perasaan puas yang amat kentara. Poirot berkata, “Anda tentunya paham, kasus ini amat peka. Saya diperintahkan untuk melaporkan, apakah ada cukup bukti untuk memerintahkan dilakukannya penggalian jenazah.” Miss Leatheran berseru, “Anda akan menggali jenazah wanita malang itu? Oh, mengerikan!” Seandainya yang diucapkannya “Oh, menyenangkan!” dan bukan “Oh, mengerikan!”, nada suaranya pasti akan lebih sesuai. “Bagaimana pendapat Anda, Miss Leatheran?” “Yah, M. Poirot, tentu saja selama ini ada banyak omongan. Tapi saya tak pernah mendengarkan omongan orang. Selalu ada gosip yang tak bisa dipercaya beredar di desa ini. Tak diragukan lagi, sejak peristiwa itu, sikap Dr. Oldfield jadi agak aneh, tetapi seperti yang saya katakan berulang-ulang, kita tidak harus menganggap sikapnya itu karena adanya rasa bersalah. Mungkin saja itu karena dia sedih. Tidak... tidak karena hubungannya dengan istrinya semula cukup mesra. Tentang yang ini, saya tahu... dari tangan pertama. Miss Harrison, perawat yang melayaninya sejak tiga atau empat tahun sebelum kematiannya, dialah yang mengatakannya. Dan saya selalu menduga... bahwa Miss Harrison punya alasan kuat untuk kecurigaannya itu... bukan... bukan karena dia pernah mengatakan sesuatu, tetapi orang bisa saja tahu, dari sikap seseorang, bukan?” Dengan nada sedih Poirot menanggapi, “Terlalu sedikit bukti yang dapat digunakan.” “Ya, saya tahu, tetapi, M. Poirot, kalau jenazahnya memang akan diangkat lagi, Anda akhirnya akan tahu.” “Ya,” kata Poirot, “kita akan tahu.” “Dulu pasti pernah ada kasus-kasus seperti ini,” kata Miss Leatheran, cuping hidungnya kembang-kempis karena terlalu bersemangat. “Armstrong, misalnya, dan laki-laki lainnya itu—saya lupa namanya... dan, tentu saja Crippen. Saya masih selalu menebak-nebak, apakah Ethel Le Neve bersekongkol dengan dia atau tidak. Tentu saja, Jean Moncrieffe gadis baik-baik, saya yakin.... Saya tidak mengatakan gadis itu mempengaruhi si lelaki... tetapi laki-laki memang bisa bertindak tolol karena gadis, bukan? Lagi pula, tentu saja, mereka terlalu sering bersama-sama!” Poirot tidak menanggapi. Ia hanya memandang wanita itu dengan pandangan polos, yang dengan cermat sengaja ditampilkannya agar wanita itu berbicara lebih banyak lagi. Dalam hati, dengan geli ia menghitung, sudah berapa kali “tentu saja” diucapkan Miss Leatheran. “Dan, tentu saja, dengan post-mortem dan lain-lain, akan banyak yang terungkap, ya, kan? Pelayan-pelayan. Bukankah para pelayan selalu tahu lebih banyak? Dan, tentu saja, kita tidak mungkin melarang mereka untuk bergosip, ya, kan? Setelah pemakaman, Beatrice, pelayan keluarga Oldfield, langsung dipecat—saya selalu berpikir, itu aneh... lebih-lebih karena sekarang ini amat sulit mencari tenaga pelayan. Seakan-akan Dr. Oldfield kuatir, kalau-kalau dia tahu sesuatu.” “Kalau demikian, rasanya ada cukup alasan untuk memerintahkan pemeriksaan mayat,” kata Poirot dengan khidmat. Miss Leatheran bergidik dan tampak agak ragu-ragu. “Aduh, pasti akan geger,” katanya. “Desa kami yang kecil dan tenang ini... akan menjadi berita di koran-koran... dan publisitas itu!” “Anda tidak suka?” pancing Poirot.
“Tidak. Anda tahu, saya ini berpandangan kuno.” “Lagi pula, seperti kata Anda tadi, mungkin ini hanya gosip!” “Yaah... sebenarnya saya tidak suka mengatakannya begitu. Anda tahu, menurut saya ada benarnya... yaitu... tak ada asap tanpa api.” “Saya pribadi juga berpendapat persis seperti itu,” kata Poirot. Ia bangkit berdiri. “Bisakah saya mempercayai Anda, Mademoiselle?” “Oh, tentu saja! Saya takkan mengatakan sepatah kata pun kepada siapa pun.” Poirot tersenyum lalu berpamitan. Di lorong, di depan pintu, ia berkata pada pelayan yang mengambilkan topi dan mantelnya, “Saya datang kemari untuk memeriksa sebab-sebab kematian Mrs. Oldfield, tapi ingat pesan saya... jangan katakan ini kepada siapa pun.” Gladys, pelayan Miss Leatheran, hampir terjengkang karena kagetnya. Dengan penuh ingin tahu ia berkata, “Oh, Sir, jadi memang benar... Pak Dokter meracuninya?” “Menurutmu begitu, ya?” “Ah, Sir, bukan saya. Itu kata Beatrice. Dia kerja di sana ketika Mrs. Oldfield meninggal.” “Dan menurut Beatrice memang ada...,” Poirot memilih kata yang tepat dan dengan sengaja mengucapkannya secara melodramatis, “...’permainan kotor’, ya?” Gladys mengangguk penuh semangat. “Ya, dia bilang begitu. Dan dia bilang, perawat itu, Miss Harrison, juga berpendapat sama. Miss Harrison sangat menyayangi Mrs. Oldfield dan amat sedih ketika wanita itu meninggal, dan Beatrice selalu bilang bagaimana Miss Harrison sampai tahu, dan sejak itu dia selalu memusuhi Pak Dokter, dan kalau memang tak ada alasan dia takkan begitu, kan?” “Di mana Miss Harrison sekarang?” “Sekarang dia merawat Miss Bristow yang sudah tua... di rumah di ujung desa. Anda pasti bisa menemukan rumah itu. Di berandanya ada pilar-pilar besar.” IV Tak lama kemudian Hercule Poirot sudah duduk berhadapan dengan wanita yang pasti tahu lebih banyak tentang situasi yang menyebabkan timbulnya gosip itu. Wanita itu pasti tahu lebih banyak dari siapa pun di desa itu. Sebagai wanita yang usianya hampir empat puluh tahun, Miss Harrison masih cukup menarik. Penampilannya tenang, seperti wanita-wanita anggun dalam lukisan kuno. Matanya yang besar dan berwarna gelap bersinar penuh simpati. Dengan sabar dan penuh perhatian ia mendengarkan kata-kata Poirot. Kemudian, pelan-pelan ia berkata, “Ya, saya tahu ada desas-desus yang beredar. Saya sudah melakukan apa yang bisa saya lakukan untuk menghentikannya, tapi tak ada gunanya. Orang menyukai kegairahan dan rasa penasaran yang diakibatkan gosip itu.” Poirot menanggapi, “Tetapi, pasti ada sesuatu yang menyebabkan timbulnya desas-desus itu.”
Dalam hati Poirot mencatat bahwa rasa sedih wanita itu tampak makin mendalam. Tetapi Miss Harrison hanya menggeleng dengan sikap putus asa. “Mungkin,” pancing Poirot, “Dr. Oldfield memang tidak akur dengan almarhum istrinya, dan itulah yang menyebabkan timbulnya desas-desus itu?” Dengan tegas Miss Harrison menggelengkan kepalanya. “Oh, bukan begitu. Dr. Oldfield selalu bersikap sabar dan baik kepada istrinya.” “Apakah dia benar-benar mencintai istrinya?” Wanita itu tampak ragu-ragu. “Tidak... saya takkan mengatakannya begitu. Mrs. Oldfield wanita yang sulit, tidak mudah dibuat senang serta selalu menuntut simpati dan perhatian kita, padahal kadangkadang dia hanya rewel, cerewet, dan mengada-ada.” “Maksud Anda,” kata Poirot, “dia melebih-lebihkan kondisi kesehatannya?” Perawat itu mengangguk. “Ya... kesehatannya yang buruk sebenarnya hanyalah karena imajinasinya.” “Namun akhirnya,” kata Poirot dengan sungguh-sungguh, “dia meninggal juga....” “Oh, saya mengerti... saya mengerti....” Poirot mengawasi wanita itu selama satu-dua menit; wajahnya yang murung penuh pikiran— keraguannya kentara sekali. Katanya kemudian, “Saya rasa... saya yakin... Anda pasti tahu apa yang menjadi sumber gosip itu.” Wajah Miss Harrison memerah. Katanya, “Yah... barangkali saya bisa mengemukakan dugaan saya. Saya rasa, Beatrice—si pelayan—yang memulai ini semua. Dan rasanya saya tahu, apa yang ada di kepalanya waktu itu.” “Ya?” Miss Harrison melanjutkan, kata-katanya agak tidak jelas, “Begini... masalahnya karena saya tak sengaja mendengar... potongan pembicaraan antara Dr. Oldfield dan Miss Moncrieffe... dan saya yakin, Beatrice pun mendengarnya, hanya saja dia pasti takkan mau mengakuinya.” “Pembicaraan seperti apa?” Sejenak Miss Harrison merenung, seakan-akan menguji apakah ingatannya masih akurat, kemudian berkata, “Terjadinya kira-kira tiga minggu sebelum serangan penyakit yang akhirnya membuat Mrs. Oldfield meninggal. Mereka sedang di kamar makan. Saya sedang menuruni tangga ketika saya dengar Jean Moncrieffe berkata, “’Berapa lama lagi? Aku tak tahan menunggu lebih lama lagi.’ “Dan Dokter menjawabnya, “’Takkan lama lagi, Sayang, sungguh.’ Dan gadis itu berkata lagi, “’Aku tak tahan menunggu terus seperti ini. Menurutmu, semuanya akan beres, kan?’ Dan
Dokter berkata, ‘Tentu saja. Pasti beres. Kira-kira bulan ini, tahun depan, kita pasti akan menikah.’” Miss Harrison berhenti bicara. “Itu satu-satunya bukti yang saya punyai, M. Poirot, bahwa antara Dr. Oldfield dan Miss Moncrieffe memang ada apa-apa. Tentu saja saya tahu Dokter amat mengagumi gadis itu, dan mereka berteman baik, tetapi tak lebih dari itu. Saya berbalik, naik ke atas lagi... saya sangat kaget... tetapi sekilas saya lihat pintu ke arah dapur terbuka, dan sejak itu saya yakin Beatrice pasti mendengar juga. Dan Anda pun pasti bisa mengatakan— ya, kan—bahwa apa yang mereka perbincangkan itu bisa diartikan menjadi dua hal yang berbeda? Mungkin artinya hanyalah Dokter telah tahu istrinya sakit parah dan takkan hidup lebih lama lagi... tapi bagi orang seperti Beatrice, bisa saja diartikan lain... bisa saja dia mengira Dokter dan Jean Moncrieffe sedang... sedang merencanakan menyingkirkan Mrs. Oldfield.” “Tetapi Anda sendiri tidak berpikir begitu, bukan?” “Tidak... tentu saja tidak....” Poirot memandang wanita itu dengan pandangan penuh selidik. Katanya, “Miss Harrison, ada hal lain yang Anda ketahui. Sesuatu yang belum Anda katakan kepada saya. Ya, kan?” Wajah wanita itu memerah, dan ia berkata dengan sengit, “Tidak. Tidak. Tak ada lagi. Memangnya apa?” “Entahlah. Tetapi, menurut saya, masih ada yang belum Anda ceritakan kepada saya.” Miss Harrison menggeleng. Wajahnya kembali muram. Hercule Poirot berkata, “Ada kemungkinan Kantor Urusan Dalam Negeri akan memerintahkan penggalian jenazah Mrs. Oldfield.” “Oh, tidak!” Miss Harrison benar-benar ngeri. “Sungguh mengerikan!” “Menurut Anda, itu akan menyedihkan, bukan?” “Menurut saya, itu mengerikan! Bayangkan saja, gosip apa lagi yang akan beredar! Akan sangat menyedihkan dan berat sekali bagi Dr. Oldfield.” “Apakah bukan sebaliknya? Bukankah bisa saja itu justru akan membersihkan namanya?” “Bagaimana maksud Anda?” Poirot berkata, “Kalau dia memang tidak bersalah... itu akan terbukti.” Poirot sengaja berhenti sampai di situ. Diamatinya bagaimana kata-katanya merasuk ke dalam pikiran Miss Harrison, dilihatnya bagaimana kening wanita itu berkerut penuh pemikiran, dan kemudian dilihatnya wajah wanita itu berubah menjadi lega. Miss Harrison menarik napas panjang dan membalas pandangannya. “Tak pernah saya berpikir ke arah itu,” katanya ringkas. “Tentu saja itu satu-satunya cara yang dapat kita lakukan.” Terdengar beberapa entakan tak sabar dari arah lantai atas. Miss Harrison terlompat. “Majikan saya. Miss Bristow. Dia telah bangun. Saya harus naik dan membuatnya nyaman sebelum teh sore diantarkan kepadanya, dan saya bisa pergi berjalan-jalan sebentar. Ya, M. Poirot, saya rasa Anda benar. Sebuah autopsi akan menyelesaikan kasus ini sampai tuntas. Ini akan menjelaskan kenyataan yang sebenarnya dan semua desas-desus yang tidak benar mengenai Dr. Oldfield akan hilang dengan sendirinya.”
Wanita itu menyalami tamunya, lalu bergegas keluar ruangan. V Hercule Poirot pergi ke kantor pos dan menelepon sebuah nomor di London. Suara di ujung lain telepon itu terdengar mengejek. “Haruskah kau menyibukkan diri untuk hal-hal seperti itu, kawan? Kau yakin kasus ini pantas kami tangani? Kau pasti sadar, gosip-gosip yang beredar di pedesaan biasanya akan terbukti kosong alias tak ada apa-apanya.” “Yang ini,” kata Hercule Poirot, “kasus khusus.” “Oh, baiklah... jika itu maumu. Sayangnya, kau punya kebiasaan bahwa apa yang kaukatakan akhirnya terbukti benar. Tapi... kalau hanya mengejar umpan kosong... aku pasti tidak akan senang kaupermainkan seperti ini. Awas, ya!” Hercule Poirot tersenyum sendiri Dia bergumam, “Tidak. Akulah yang akan senang.” “He, apa katamu? Aku tak dengar.” “Ah, tidak. Tidak penting.” Diletakkannya gagang telepon. Keluar dari bilik telepon, ia langsung melangkah ke tempat penjualan benda-benda pos. Dengan suara yang amat memikat ia berkata, “Dapatkah Anda jelaskan pada saya, Madame... di mana sekarang alamat pelayan yang pernah bekerja pada Dr. Oldfield... nama gadisnya Beatrice?” “Beatrice King? Dia pernah pindah kerja dua kali sejak itu. Sekarang dia bekerja pada Mrs. Marley, di sebelah sana bank.” Poirot mengucapkan terima kasih, membeli dua helai postcard, sejumlah prangko, dan sebuah hasil kerajinan tangan setempat. Selama membeli benda-benda itu, dengan tak kentara diarahkannya pembicaraan pada kasus meninggalnya Mrs. Oldfield. Dilihatnya betapa wajah wanita yang bekerja di kantor pos itu tampak penuh ingin tahu. Wanita itu berkata, “Sangat mendadak, bukan? Tentu saja mengakibatkan berbagai desas-desus.” Rasa ingin tahu jelas terpancar dari matanya ketika wanita itu bertanya, “Mungkin itu sebabnya Anda ingin menemui Beatrice King? Kami di sini menganggap aneh, karena dia tiba-tiba dipecat begitu saja. Orang bilang, dia pasti tahu sesuatu... dan mungkin dia memang tahu. Kadang-kadang apa yang dikatakannya membuat kita menduga-duga....” Beatrice King seorang gadis bertubuh pendek dan bertampang licik. Penampilannya seperti orang tolol, tetapi sebenarnya matanya jauh lebih cerdik daripada penampilannya itu. Sepertinya, tak ada hal baru yang bisa dikorek Poirot dari Beatrice King. Gadis itu hanya mengulang-ulang, “Entahlah, saya tak tahu apa-apa.... Saya tak boleh mengatakan apa yang terjadi di sana.... Saya tak mengerti, mengapa Anda menuduh saya menguping pembicaraan Pak Dokter dengan Miss Moncrieffe? Saya bukan orang yang suka nguping, dan Anda tak berhak menuduh saya begitu. Saya tak tahu apa-apa.” Poirot berkata, “Pernahkah kau mendengar orang meracun dengan arsenikum?” Sekilas ada rasa tertarik pada wajah Beatrice. Katanya, “Jadi, rupanya itu yang ada dalam botol obat itu.” “Botol obat apa?”
Beatrice berkata, “Salah satu botol obat yang isinya diracikkan Miss Moncrieffe untuk Nyonya. Miss Harrison sangat kesal... saya dapat melihatnya. Dia mencicipinya, mencium baunya, kemudian membuang isinya ke dalam bak cuci tangan dan menggantinya dengan air dari keran. Obat itu warnanya putih seperti air. Dan pernah sekali, waktu Miss Moncrieffe mengantarkan teh untuk Nyonya, Miss Harrison membawanya kembali ke dapur dan membuatkan yang baru... katanya karena tehnya tidak dibuat dengan air yang benar-benar mendidih... tapi menurut saya... perawat-perawat memang suka repot-repot begitu... tapi entah, ya.... Apakah mungkin memang ada sesuatu?” Poirot mengangguk. Katanya, “Apakah kau menyukai Miss Moncrieffe, Beatrice?” “Saya tak peduli padanya.... Dia memang agak angkuh. Tentu saja saya tahu, dia bersikap terlalu manis pada Pak Dokter. Lihat saja bagaimana dia kalau sedang memandang Pak Dokter.” Sekali lagi Poirot mengangguk. Kemudian dia pamit dan kembali ke penginapan. Di sana dia memberikan sejumlah instruksi kepada George. VI Dr. Alan Garcia, analis dari Kantor Urusan Dalam Negeri, menggosok-gosokkan tangannya sambil mengedipkan matanya pada Hercule Poirot. Katanya. “Nah, ini cocok untukmu, bukan? M. Poirot, orang yang selalu benar.” Poirot menanggapi, “Kau terlalu baik.” “Apa yang membuatmu tertarik pada kasus ini? Gosip?” “Seperti katamu.... Masuklah Sang Biang Gosip... dan lidah-lidah pun menari-nari.” Esok harinya, sekali lagi Poirot naik kereta api ke Market Loughborough. Market Loughborough berdengung seperti sarang lebah. Mula-mula dengungnya masih lirih, yaitu sejak berita penggalian jenazah mulai menyebar. Sekarang, ketika hasil autopsi telah bocor keluar, kegairahan yang ditimbulkannya telah mencapai puncaknya. Poirot baru satu jam berada di penginapan itu dan baru saja selesai menikmati makan siang yang mengenyangkan—steak dan puding lengkap dengan segelas bir—ketika pelayan mendatanginya dan mengatakan ada seorang wanita yang ingin bertemu dengannya. Ternyata Miss Harrison. Wajahnya pucat pasi. Ia langsung melangkah mendekati Poirot dan berkata tanpa basa-basi terlebih dahulu. “Benarkah itu? Benarkah itu, M. Poirot?” Dengan tenang Poirot mempersilakan wanita itu untuk duduk. “Ya. Dosis arsenikum yang cukup banyak untuk menyebabkan kematian telah ditemukan.” Miss Harrison menangis. “Saya tak menyangka... sedikit pun tidak....” Dan ia pun tersedu-sedu. Poirot berkata dengan lembut, “Kebenaran telah tersebar, Anda pun tahu.” Wanita itu terisak-isak. “Apakah mereka akan menggantungnya?”
Poirot berkata, “Masih banyak yang harus dibuktikan. Kesempatan... kemudahan memperoleh arsenikum... dengan cara apa racun itu diberikan.” “Tapi, ini seandainya... M. Poirot, seandainya dia tidak terlibat... benar-benar tidak terlibat....” “Dalam hal itu,” kata Poirot sambil mengangkat bahu, “dia akan dibebaskan.” Pelan-pelan Miss Harrison berkata, “Ada sesuatu... sesuatu yang, saya rasa, seharusnya sudah saya katakan kepada Anda... tapi... masalahnya, saya tak mengira itu ada hubungannya dengan.... Saya hanya merasa itu aneh.” “Saya sudah tahu, pasti ada sesuatu,” kata Poirot. “Sebaiknya sekarang Anda katakan saja kepada saya.” “Tidak banyak. Hanya... pada suatu hari, ketika saya masuk ke ruang obat untuk mengambil sesuatu, Jean Moncrieffe sedang melakukan sesuatu... yang... aneh.” “Ya?” “Kedengarannya tolol. Tetapi saat itu saya lihat dia sedang mengisi tempat bedak padatnya... tempat itu terbuat dari enamel berwarna merah jambu...” “Ya?” “Tapi dia tidak mengisinya dengan bubuk... dengan serbuk bedak, maksud saya. Dia sedang memasukkan sesuatu ke dalam tempat bedak itu... dari sebuah botol yang diambilnya dari lemari penyimpan bahan beracun. Ketika melihat saya masuk, dia amat kaget, cepat-cepat menutup tempat bedaknya dan memasukkannya ke dalam tasnya... dengan cepat pula mengembalikan botol itu ke lemari. Saya tak tahu, botol itu berisi apa. Saya tak menganggap itu ada apa-apanya... tetapi... sekarang setelah terbukti bahwa Mrs. Oldfield memang meninggal karena diracuni...” Kata-katanya terhenti. Poirot berkata, “Maafkan saya.” Dia pergi keluar untuk menelepon Sersan Detektif Grey dari Kantor Polisi Berkshire. Hercule Poirot kembali ke ruang makan dan duduk diam bersama Miss Harrison. Dalam benak Poirot terbayang seorang gadis berambut merah dan seakan didengarnya suara gadis itu... suara yang jernih dan jujur, “Saya tidak setuju.” Jean Moncrieffe tidak menyetujui dilakukannya autopsi. Dia memang mengemukakan alasan yang masuk akal, tetapi fakta yang terungkap tak mungkin diubah lagi. Gadis yang cekatan... efisien, dan penuh percaya diri. Gadis yang jatuh cinta pada seorang pria yang terikat pada istrinya yang invalid, istri yang mungkin masih akan hidup bertahun-tahun lagi, karena—menurut Miss Harrison—keadaan kesehatannya sebenarnya tidak terlalu buruk. Hercule Poirot mendesah. Miss Harrison berkata, “Apa yang Anda pikirkan?” Poirot menjawab, “Hal-hal yang menyedihkan....” Miss Harrison berkata, “Sedikit pun saya tak percaya dia tahu hal ini.” Poirot berkata, “Tidak. Saya yakin Dr. Oldfield tak tahu apa-apa.” Pintu terbuka dan Sersan Detektif Grey masuk. Di tangannya ia membawa sesuatu yang terbungkus saputangan sutra. Dengan hati-hati dibukanya bungkusan itu dan diletakkannya isinya di meja. Itu adalah sebuah tempat bedak, terbuat dari enamel, dan berwarna merah jambu.
Miss Harrison berkata, “Itu yang saya lihat waktu itu.” Grey berkata, “Ditemukan di pojok laci meja di kediaman Miss Moncrieffe. Di dalam kantong penyimpan saputangan. Sejauh yang saya tahu, tak ada sidik jari di sini, tetapi saya akan berhati-hati.” Dengan jari terbungkus saputangan, dipijitnya pegas penutupnya. Tempat bedak itu membuka. Grey berkata, “Ini bukan serbuk bedak.” Dicukilnya dengan ujung jarinya, dan dicicipinya serbuk itu—hati-hati—dengan ujung lidahnya. “Tak ada rasanya.” Poirot berkata, “Racun arsenikum putih tak ada rasanya.” Grey berkata, “Ini akan segera dianalisis.” Ia memandang Miss Harrison. “Anda berani bersumpah bahwa inilah tempat bedak yang Anda maksudkan?” “Ya. Saya yakin. Itu tempat bedak yang saya lihat ada di tangan Miss Moncrieffe di ruang obat waktu itu, kira-kira satu minggu sebelum Mrs. Oldfield meninggal.” Sersan Grey mendesah. Ia memandang Poirot, lalu mengangguk. Yang dipandang membunyikan bel. “Tolong panggil pelayan saya kemari.” George, si pelayan yang sempurna, yang penampilannya sama sekali tidak mencolok, masuk ke ruangan dan dengan pandangan bertanya menatap tuannya. Hercule Poirot berkata, “Anda telah mengidentifikasi tempat bedak ini, Miss Harrison, sebagai benda yang Anda lihat berada dalam tangan Miss Moncrieffe kira-kira setahun yang lalu. Apakah Anda akan terkejut kalau saya katakan bahwa benda ini—tempat bedak yang ini—telah dijual oleh Toko Woolworth hanya beberapa minggu yang lalu dan, lebih dari itu, ternyata pola dan warnanya baru diproduksi tiga bulan yang lalu?” Miss Harrison menjerit tertahan. Ia menatap Poirot dengan pandangan kaget, matanya membulat dan tampak semakin gelap. Poirot berkata, “Apakah kau pernah melihat tempat bedak ini sebelumnya, George?” George melangkah maju, “Ya, Sir. Saya melihat wanita ini, Miss Harrison, membelinya di Toko Woolworth pada tanggal delapan belas, hari Jumat. Mengikuti perintah Anda, saya membuntuti wanita ini ke mana pun dia pergi. Dia naik bus jurusan Darnington pada hari yang saya sebutkan tadi dan membeli tempat bedak itu. Dibawanya benda itu pulang ke rumahnya. Kemudian, pada hari yang sama, dia pergi ke kediaman Miss Moncrieffe. Menuruti perintah Anda, saya telah lebih dahulu bersembunyi di dalam rumah itu. Saya melihat wanita ini masuk ke kamar tidur Miss Moncrieffe dan menyembunyikan benda itu ke dalam salah satu laci meja. Dari balik celah pintu yang sedikit terbuka, saya melihat apa yang dilakukannya dengan jelas. Kemudian dia meninggalkan rumah itu, sama sekali tidak sadar telah saya mata-matai. Di desa ini, rupanya orang tak biasa mengunci pintu rumah, dan saat itu hari sudah mulai gelap.” Poirot berkata pada Miss Harrison, suaranya keras dan penuh ancaman, “Dapatkah Anda menjelaskan fakta-fakta itu, Miss Harrison? Saya rasa tidak. Tak ada arsenikum dalam tempat bedak itu ketika Anda beli dari Woolworth, tetapi ternyata ada ketika benda itu meninggalkan rumah Miss Bristow.” Kemudian ia menambahkan dengan suara lirih, “Tidak bijaksana menyimpan sejumlah racun arsenikum di rumah.” Miss Harrison menyembunyikan wajahnya di balik kedua tangannya. Ia berkata dengan suara tak jelas, “Benar... semua ini benar.... Saya memang membunuhnya. Dan semua ini... tak ada gunanya... Saya memang gila.”
VII Jean Moncrieffe berkata, “Saya harus minta maaf pada Anda, M. Poirot. Saya marah sekali pada Anda, waktu itu... marah sekali. Bagi saya, apa yang Anda lakukan hanyalah memperburuk situasi.” Poirot berkata sambil tersenyum, “Begitulah langkah awal yang saya lakukan. Ini seperti legenda kuno tentang Hydra, ular penghuni Rawa Lema. Setiap kali satu kepalanya berhasil dipenggal, dua kepala akan muncul dari leher yang terpenggal itu. Jadi, saya memulainya dengan menebarkan gosip yang semakin lama semakin tak terkendali. Tapi, Anda pun akan tahu apa tugas saya—seperti yang dilakukan tokoh legenda yang namanya sama dengan saya... Hercules—yaitu mencari kepalanya yang asli—sumbernya. Siapakah yang mulai mengedarkan desa-desus itu? Saya tak butuh waktu lama untuk mengetahui bahwa Miss Harrison-lah pelaku utamanya. Saya pergi mengunjunginya. Dia kelihatan seperti wanita yang amat menyenangkan—cerdas dan penuh simpati. Tapi, tak lama kemudian dia membuat kesalahan yang buruk... dia mengulangi potongan percakapan antara Anda dan Dr. Oldfield, yang secara tak sengaja didengarnya. Dan, seperti Anda ketahui, potongan percakapan itu sama sekali tidak sesuai. Secara psikologis tidak mungkin begitu. Seandainya Anda dan Dr. Oldfield memang merencanakan membunuh Mrs. Oldfield, Anda berdua terlalu cerdas dan cerdik untuk melakukan percakapan seperti itu dalam sebuah ruangan yang pintunya terbuka, sehingga dengan mudah akan terdengar siapa pun yang sedang menuruni tangga atau sedang berada di dapur. Lebih dari itu, kata-kata yang menurutnya Anda katakan, sama sekali tidak sesuai dengan kepribadian Anda. Kata-kata itu akan lebih sesuai seandainya diucapkan seorang wanita yang lebih tua dan dengan tipe kepribadian yang lain sama sekali. Itu adalah kata-kata yang mungkin dibayangkan Miss Harrison, yang mungkin dikatakannya seandainya dia berada dalam situasi seperti itu. “Sampai saat itu, saya menganggap kasus ini sebenarnya sederhana saja. Miss Harrison ternyata masih cukup muda dan menarik—dan selama hampir tiga tahun dia bergaul cukup dekat dengan Dr. Oldfield—dan Dokter amat baik padanya serta amat berterima kasih padanya, karena Miss Harrison telah merawat istrinya dengan telaten dan penuh simpati. Miss Harrison telah membangun impiannya... yaitu seandainya Mrs. Oldfield meninggal... Dr. Oldfield mungkin akan meminangnya. Tetapi, yang terjadi adalah sebaliknya. Setelah meninggalnya Mrs. Oldfield, barulah dia tahu bahwa Dr. Oldfield mencintai Anda. Langsung saja, didorong amarah dan cemburu, dia menebar gosip bahwa Dr. Oldfield telah meracuni istrinya. “Itulah, seperti kata saya tadi, cara saya menganalisis dan membayangkan apa yang terjadi di sini. Ini adalah kasus yang menyangkut seorang wanita yang cemburu dan gosip sang tidak benar. Tetapi, pepatah ‘Tak ada asap tanpa api’ tetap menggelitik saya. Saya menduga-duga, kalau-kalau Miss Harrison telah melakukan sesuatu dan itu lebih dari sekadar menebar gosip. Ada kata-kata yang diucapkannya yang menurut saya aneh. Katanya, parahnya kondisi kesehatan Mrs. Oldfield sebenarnya hanyalah imajinasi wanita itu saja— yaitu sesungguhnya Mrs. Oldfield tidak menderita sakit parah. Tetapi Dr. Oldfield sendiri tak meragukan keadaan istrinya. Dia tidak heran atau kaget ketika akhirnya istrinya meninggal. Sebelum istrinya meninggal, dia sempat memanggil seorang dokter lain, dan dokter itu sependapat dengannya tentang parahnya kondisi istrinya. Dengan sengaja, saya kemukakan gagasan untuk melakukan penggalian jenazah.... Mula-mula Miss Harrison cemas mendengar gagasan itu. Kemudian, hampir seketika, rasa cemburu dan bencinya menguasai akal sehatnya. Biar saja mereka menemukan arsenikum pada tubuh Mrs. Oldfield... orang takkan mencurigainya. Biarlah Dr. Oldfield dan Jean Moncrieffe yang akan menderita. “Hanya ada satu harapan. Membuat Miss Harrison lengah dan bertindak gegabah. Seandainya ada kemungkinan Jean Moncrieffe akan terhindar dari tuduhan, saya yakin, Miss Harrison akan melakukan apa pun untuk menyeret Anda ke dalam tindak kejahatan ini. Saya perintahkan pelayan saya yang setia, George—orang yang paling tidak mencolok mata, yang tidak dikenal Miss Harrison. Dia saya suruh membuntuti wanita itu ke mana pun dia pergi. Dan... begitulah, semua berakhir baik.”
Jean Moncrieffe berkata, “Anda sungguh mengagumkan.” Dr. Oldfield menimpali. Katanya, “Ya, benar. Rasanya, tak mungkin saya ungkapkan rasa terima kasih saya kepada Anda. Betapa butanya saya selama ini!” Poirot bertanya dengan penuh ingin tahu, “Apakah Anda juga buta, Mademoiselle?” Jean Moncrieffe berkata lambat-lambat, “Saya sangat khawatir. Anda tahu, jumlah sisa arsenikum yang tersimpan di lemari obat tidak sesuai dengan catatan saya....” Oldfield menyela cepat, “Jean... kaupikir aku...?” “Bukan, bukan... bukan kamu. Yang kuduga adalah, entah dengan cara bagaimana, Mrs. Oldfield bisa memperoleh racun itu... dan dengan sengaja meminumnya agar mengesankan sakitnya lebih parah dari sesungguhnya, dan dengan demikian dapat menuntut simpati dan perhatianmu. Entah bagaimana, secara tak sengaja, dia minum terlalu banyak.... Tapi yang kukhawatirkan, kalau autopsi jadi dilakukan dan mereka menemukan racun itu, mereka pasti takkan mempertimbangkan kemungkinan lain kecuali bahwa kaulah pelakunya. Itu sebabnya aku tak pernah melaporkan hilangnya sejumlah arsenikum. Aku bahkan telah membakar buku tentang racun! Tapi, orang yang sama sekali tak kusangka dan tidak kucurigai adalah Miss Harrison.” Oldfield berkata, “Aku juga. Dia wanita yang sangat lembut. Seperti wanita-wanita anggun dalam lukisan kuno.” Poirot berkata dengan sedih, “Ya, mungkin dia bisa menjadi istri dan ibu yang baik.... Sayang sekali, emosinya terlalu bergejolak dan dia tak dapat mengendalikannya.” Dia mendesah dan sekali lagi bergumam lirih, “Hal-hal yang menyedihkan....” Kemudian ia tersenyum melihat pasangan itu, lelaki setengah baya yang kelihatan bahagia dan gadis muda yang tampak penuh semangat. Hercule Poirot berkata pada dirinya sendiri, “Dua makhluk ini telah keluar dari bayangbayang kegelapan dan kini berdiri di bawah terang sinar matahari... dan aku... aku telah melaksanakan Tugas Kedua Hercules.”
3
RUSA DARI ARCADIA I HERCULE POIROT mengentak-entakkan kakinya, mencoba menghangatkannya. Ia meniup jarijarinya. Serpihan salju meleleh dan menetes dari ujung-ujung kumisnya. Terdengar ketukan di pintu, disusul munculnya seorang pelayan. Ia adalah gadis desa yang lugu, yang menatap Hercule Poirot dengan pandangan penuh ingin tahu. Mungkin ia belum pernah melihat makhluk asing seperti Poirot. Ia bertanya, “Sir memanggil?” “Ya. Tolong nyalakan perapian.”
Gadis itu keluar dan segera kembali sambil membawa kertas dan ranting-ranting kayu. Ia berlutut di depan perapian kuno, peninggalan dari Zaman Victoria, lalu mulai menyalakannya. Hercule Poirot terus mengentak-entakkan kakinya, mengayun-ayunkan lengannya, dan meniup jari-jarinya. Ia kesal. Mobilnya, Messarro Gratz yang mahal, tidak bekerja dengan baik... tidak seperti yang diharapkannya dari mesin mobil semahal itu. Sopirnya, seorang pemuda yang puas dengan gajinya yang cukup besar, telah gagal menghidupkan mesin. Mobil itu menolak jalan di sebuah jalan sepi, jauh dari mana-mana, tepat ketika salju mulai turun. Hercule Poirot, yang mengenakan sepatu kulit mahal yang hanya cocok dipakai di dalam gedung mewah, terpaksa berjalan kaki kira-kira lima kilometer untuk mencapai desa Hartly Dene yang terletak di pinggir sungai. Desa itu sebenarnya cukup ramai di musim panas, tetapi keadaannya di musim dingin benar-benar suram. Penginapan The Black Swan menyambut kedatangan tamunya dengan sikap murung. Pemiliknya mengatakan bahwa bengkel mobil di desa itu bisa menyediakan sebuah mobil sehingga tamu asing itu bisa melanjutkan perjalanannya. Hercule Poirot semakin kesal mendengar usul itu. Sikap hematnya seakan diremehkan. Menyewa mobil? Ia sudah punya mobil—sebuah mobil yang besar dan mahal. Hanya dengan mobil itu, bukan yang lain, ia akan melanjutkan perjalanannya ke kota. Dan dalam keadaan apa pun, seandainya mobilnya bisa segera diperbaiki, ia takkan sudi melanjutkan perjalanan dalam hujan salju seperti ini. Ia akan menunggu sampai esok hari. Ia minta disediakan kamar, perapian yang hangat, dan makanan panas. Sambil mengeluh, pemilik penginapan itu menyuruh seorang pelayan menyiapkan kamar dan menyalakan perapian. Kemudian ia merundingkan masalah penyediaan makanan panas dengan istrinya. Satu jam kemudian, dengan kaki terjulur ke arah perapian yang hangat, Hercule Poirot merenungkan makanan yang baru saja disantapnya. Bistiknya liat dan banyak lemaknya, brussels-sprouts-nya—sejenis kol berbentuk mungil sebesar telur ayam—terlalu besar ukurannya, pucat warnanya, dan terlalu banyak mengandung air; bagian tengah kentangnya mentah dan keras seperti batu. Tentang setup apel dan saus manis sebagai pencuci mulut juga tak banyak yang bisa dikatakannya. Kejunya keras dan biskuitnya lembek. Bagaimanapun juga, pikir Hercule Poirot—sambil memandangi nyala api dengan penuh rasa syukur, dan menghirup secangkir cairan pekat mirip lumpur yang secara halus disebut kopi—lebih baik perutnya kenyang daripada kosong, lebih-lebih setelah menyusuri jalan desa yang tertutup salju dengan sepatu kulit yang tidak sesuai. Duduk di perapian seperti saat ini, rasanya seperti di surga! Terdengar ketukan di pintu. Pelayan itu datang lagi. “Sir, pegawai bengkel mobil ada di sini, ingin bicara dengan Anda.” Hercule Poirot menjawab dengan ramah, “Suruh dia masuk.” Gadis itu tertawa kecil, kemudian pergi. Poirot menduga-duga dengan perasaan senang, bahwa gadis itu akan bercerita tentang dirinya kepada kawan-kawannya dan ceritanya itu akan membuat malam-malam yang panjang selama musim dingin menjadi mengasyikkan. Terdengar pintu diketuk lagi, bunyinya tidak sama dengan yang tadi, dan Poirot berseru, “Masuk.” Dengan pandangan memuji Poirot menatap pemuda yang kemudian masuk dan berdiri canggung di depan pintu. Tangan si pemuda meremas-remas topinya. Pikir Poirot, inilah contoh makhluk jantan yang sempurna. Seorang pemuda sederhana yang penampilannya mirip dewa Yunani. Pemuda itu berkata, suaranya rendah dan agak serak, “Tentang mobil Anda, Sir, telah
kami bawa ke bengkel. Dan kami telah temukan penyebabnya. Kami butuh kira-kira satu jam untuk memperbaikinya.” Poirot berkata, “Apanya yang salah?” Dengan penuh semangat pemuda itu menyampaikan detail-detail yang amat teknis. Dengan sabar Poirot menganggukkan kepalanya, tapi tidak mendengarkan. Tubuh yang sempurna, itulah yang sedang dikaguminya. Menurutnya, di dunia ini terlalu banyak tubuh yang tidak sempurna. Ia menggumam dengan sikap penuh kagum, “Ya, dewa Yunani... seorang gembala muda dari Arcadia.” Pemuda itu tiba-tiba berhenti bicara. Saat itulah kedua alis Poirot bertaut. Reaksi pertamanya bersifat estetis, sedang yang kedua bersifat mental. Matanya menyipit penuh selidik dan ia mendongakkan kepalanya. Katanya, “Aku mengerti. Ya, aku mengerti.” Ia berhenti sejenak, kemudian melanjutkan, “Sopirku telah memberitahukan apa yang kauceritakan tadi.” Dilihatnya pipi pemuda itu memerah dan tangan yang menggenggam topi itu tampak gelisah. Dengan terbata-bata pemuda itu berkata, “Yyyaa... hmm... ya, Sir. Saya mengerti.” Hercule Poirot melanjutkan kata-katanya dengan luwes, “Tapi menurutmu sebaiknya kau datang kemari dan mengatakannya langsung kepadaku, begitu?” “Eh... ya, Sir, saya pikir sebaiknya begitu.” “Kau sangat baik hati,” kala Hercule Poirot. “Terima kasih.” Meskipun samar, nada mengusir terdengar dalam suaranya. Di lain pihak, sesungguhnya ia sudah menduga bahwa pemuda itu tidak akan mau pergi begitu saja. Dugaannya benar. Pemuda itu tak bergeming. Jari-jarinya bergerak gelisah, meremas-remas topi wolnya, dan ia berkata dengan suara rendah serta malu-malu, “Eh... maafkan saya, Sir, tapi... benarkah Anda seorang detektif terkenal... benarkah Anda Mr. Hercules Pwarrit?” Nama itu diucapkannya dengan amat hati-hati. Poirot menanggapi, “Ya, benar.” Sekali lagi wajah pemuda itu memerah. Katanya, “Saya pernah baca tentang Anda di koran.” “Ya?” Wajah pemuda itu kini benar-benar jadi merah. Matanya memancarkan rasa putus asa—putus asa sekaligus penuh permohonan. Hercule Poirot segera menolongnya. Katanya dengan lembut, “Ya? Apakah yang kau ingin saya lakukan?” Kata-kata itu meluncur begitu saja. “Saya takut Anda katai pengecut, Sir. Tapi, Anda sudah di sini, dan ini kesempatan ajaib yang... tak mungkin saya lepaskan begitu saja. Saya sudah baca tentang Anda dan bagaimana Anda melakukan hal-hal yang ajaib. Jadi, saya pikir ada baiknya kalau saya minta bantuan Anda. Tidak ada salahnya, bukan, meminta bantuan Anda?” Hercule Poirot menggeleng. Katanya, “Kau membutuhkan bantuan saya untuk sesuatu?” Lawan bicaranya mengangguk. Pemuda itu menjawab dengan suara serak dan malu-malu, “Ini tentang... seorang gadis. Seandainya... seandainya Anda bisa menemukan dia... demi
saya.” “Menemukan dia? Apakah dia hilang?” “Benar, Sir.” Hercule Poirot menegakkan duduknya. Ia berkata dengan suara tajam, “Aku dapat membantumu, mungkin. Tapi lebih tepat jika kau melapor pada polisi. Ini tugas mereka dan mereka punya lebih banyak tenaga yang dapat mereka andalkan.” Pemuda itu menggores-goreskan kakinya. Ia berkata dengan canggung, “Tak mungkin, Sir. Masalah ini lain, sama sekali lain. Bahkan agak aneh, kalau saya boleh menyebutnya begitu.” Hercule Poirot menatapnya dengan tajam. Kemudian ia mempersilakan pemuda itu agar duduk. “Eh bien, kalau begitu silakan duduk... siapa namamu?” “Williamson, Sir, Ted Williamson.” “Duduklah, Ted. Dan ceritakan semuanya padaku.” “Terima kasih, Sir.” Ia menarik kursi itu ke depan lalu duduk di ujungnya dengan sikap hati-hati. Matanya masih memancarkan permohonan, seperti mata seekor anjing. Hercule Poirot berkata ramah, “Ceritakan.” Ted Williamson mengambil napas dalam-dalam. “Well, begini, Sir. Saya hanya sekali melihatnya. Dan saya tak tahu siapa namanya atau dari mana dia. Tapi aneh sekali, surat-surat saya selalu dikembalikan.” “Mulailah,” sela Hercule Poirot, “dari awal. Jangan terburu-buru. Ceritakan saja semua yang terjadi.” “Ya, Sir. Well, mungkin Anda tahu Grasslawn, rumah besar di pinggir sungai, sesudah jembatan itu?” “Aku tak tahu apa-apa.” “Itu rumah milik Sir George Sanderfield. Dia menggunakannya untuk berakhir pekan atau mengadakan pesta-pesta di musim panas—tamu-tamunya dari kalangan terkenal. Bintang film, aktris panggung, yang semacam itu. Bulan Juni yang lalu—ada kerusakan pada alat pengeras suara mereka... dan saya dipanggil untuk memperbaikinya.” Poirot mengangguk. “Jadi saya ke sana. Sir George sedang bertamasya di pinggir sungai bersama tamutamunya, koki sedang keluar, dan pelayan laki-laki sedang melayani para tamu di kebun, menghidangkan minuman. Hanya ada gadis itu di dalam rumah, dia pelayan pribadi salah seorang tamu wanita. Dia menyuruh saya masuk dan menunjukkan di mana alat yang harus saya perbaiki itu. Dia menunggui saya sementara saya bekerja. Maka kami pun mengobrol... Nita namanya, begitu katanya pada saya, dan dia pelayan seorang penari Rusia yang sedang bertamu di sana.” “Orang mana dia, Inggris?” “Bukan, Sir. Mungkin Prancis. Logat bicaranya lucu. Tapi bahasa Inggris-nya bagus. Dia... dia amat ramah dan saya jadi berani bertanya, kalau-kalau dia dan pergi nonton bersama saya malam itu. Tapi dia menjawab bahwa majikannya membutuhkannya malam itu. Tapi kemudian dia mengatakan bisa keluar sebentar
cukup bisa keluar akan sebelum
sore, sebab tamu-tamu yang lain baru akan kembali dari bertamasya setelah hari benarbenar gelap. Singkatnya, siang itu saya membolos kerja tanpa izin—dan hampir dipecat karenanya—dan kami pun pergi berjalan-jalan di tepi sungai.” Ia berhenti. Wajahnya tersenyum samar. Matanya menerawang. Poirot berkata dengan lembut, “Dia cantik, kan?” “Dia adalah makhluk paling cantik yang pernah ada di bumi ini. Rambutnya bagaikan emas— kedua sisinya terangkat bagaikan sepasang sayap—dan langkah kakinya begitu lincah, meloncat-loncat. Saya... saya... yah, saya langsung jatuh cinta padanya, Sir. Dan saya tidak pura-pura.” Poirot mengangguk. Pemuda itu melanjutkan, “Dia bilang majikannya akan datang ke sini dua minggu lagi, dan kami pun berjanji bertemu lagi.” Dia berhenti sejenak. “Tapi dia tak pernah datang. Saya menunggunya di tempat yang telah dijanjikannya, tapi dia tak kunjung datang. Akhirnya saya memberanikan diri pergi ke rumah itu dan menanyakan dia. Wanita Rusia itu memang sedang menginap di sana, bersama pelayannya pula, kata mereka. Pelayan itu dipanggil, tapi waktu datang, aneh, gadis itu bukanlah Nita! Dia hanyalah gadis biasa yang bersikap menantang dan berkulit gelap. Namanya Marie. ‘Kau cari aku, ya?’ tanyanya dengan nada kurang ajar. Pasti dilihatnya bahwa saya kaget sekali. Saya tanyakan apakah benar dia pelayan pribadi wanita Rusia itu dan mengapa tidak sama dengan yang saya kenal sebelumnya. Mendengar itu dia tertawa dan berkata bahwa pelayan terakhir sebelum dia tiba-tiba disuruh pergi. ‘Disuruh pergi?’ tanya saya. ‘Untuk apa?’ Gadis itu hanya mengangkat bahu dan mengulurkan tangannya. ‘Mana aku tahu?’ katanya. ‘Aku tak ada di sini waktu itu.’ “Well, Sir, saya kaget sekali. Saat itu saya tak bisa bicara dan tak bisa berpikir. Tapi setelah itu saya beranikan diri untuk menemui Marie lagi. Saya minta alamat Nita padanya. Tak saya katakan padanya bahwa nama keluarga Nita pun saya tak tahu. Saya janjikan sesuatu kalau dia bisa memberikan alamat Nita—dia jenis gadis yang takkan melakukan apa-apa untuk Anda kalau tak diberi upah. Akhirnya dia berhasil memperoleh alamat Nita—sebuah alamat di kawasan London Utara, lalu saya menyurati Nita pada alamat itu—tapi surat saya dikembalikan—lewat kantor pos dengan tulisan tak ada lagi pada alamat tersebut tertulis di sampulnya.” Ted Williamson berhenti bicara. Mata birunya yang menyorot tajam kini menatap Poirot. Katanya, “Anda bisa mengerti sekarang? Ini bukan kasus yang bisa ditangani polisi. Tapi saya ingin menemukan gadis itu. Dan saya tak tahu bagaimana mencarinya. Jika... jika Anda berhasil menemukannya...” wajahnya memerah, “saya... saya punya sedikit uang. Mungkin lima... atau sepuluh pound.” Poirot berkata dengan lembut, “Urusan keuangan tak perlu kita bicarakan sekarang. Coba kita renungkan fakta ini... Nita, gadis itu, apakah dia tahu namamu dan di mana kau bekerja?” “Ya, Sir.” “Dia bisa menghubungimu kalau memang mau?” Ted menanggapi dengan pelan, “Ya, Sir.” “Tidakkah kau berpikir... mungkin...” Ted Williamson menyela, “Maksud Anda, Sir, saya jatuh cinta padanya, tapi dia tidak cinta pada saya? Mungkin ada benarnya... dalam hal tertentu... Tapi dia mencintai saya... sungguh... dan baginya ini bukan sekadar lelucon. Saya sudah lama merenungkan hal ini, Sir, pasti ada alasan tertentu di balik kejadian ini. Anda tahu, yang menginap di sana adalah orang-orang aneh. Mungkin saja dia dalam bahaya, kalau Anda mengerti maksud saya.”
“Maksudmu, apakah dia sedang hamil? Anakmu?” “Bukan anak saya.” Wajah Ted memerah. “Kami tidak berbuat sejauh itu.” Poirot merenung sambil memandang pemuda itu. Ia bergumam, “Dan seandainya dugaanmu itu benar—apakah kau masih tetap ingin menemukannya?” Wajah Ted Williamson semakin merah. Katanya, “Ya! Dan itu tak dapat ditawar lagi! Saya ingin menikahinya, kalau dia bersedia. Saya tak peduli pada masa lalunya. Maukah Anda mencoba mencarinya... demi saya, Sir?” Hercule Poirot tersenyum. Ia berkata, seperti bergumam pada diri sendiri, “‘Rambut bagaikan sayap-sayap emas.’ Ya, kurasa inilah Tugas Ketiga Hercules... Kalau tak salah ingat... peristiwa ini terjadi di Arcadia....” II Sambil merenung Hercule Poirot memandangi secarik kertas dengan sebuah nama dan alamat yang dengan sungguh-sungguh ditulis oleh Ted Williamson. Miss Valetta, 17 Upper Renfrew Lane, N. 15. Poirot tidak yakin apakah ia akan bisa mengorek sesuatu dari alamat tersebut. Rasanya tidak. Tapi hanya itu satu-satunya petunjuk yang dimiliki Ted. No. 17 Upper Renfrew Lane adalah sepotong jalan yang tidak terlalu lebar tetapi cukup terhormat. Seorang wanita berpenampilan gagah membukakan pintu yang diketuk Poirot. “Miss Valetta?” “Sudah lama dia pergi.” Poirot maju selangkah di ambang pintu, tepat ketika pintu itu akan ditutup. “Bisakah Anda memberikan alamatnya?” “Tidak bisa, sungguh. Dia tidak meninggalkan alamat.” “Kapan perginya?” “Musim panas yang lalu.” “Tepatnya kapan?” Terdengar suara gemerincing dari tangan kanan Poirot yang mempermainkan dua keping uang logam. Mata tajam wanita itu langsung melembut. Ajaib! Sikapnya pun langsung berubah jadi ramah. “Ya, saya bersedia membantu Anda, Sir. Coba saya ingat-ingat. Agustus, tidak, sebelum itu—Juli—ya, pasti Juli. Kira-kira minggu pertama bulan Juli. Dia pergi tergesa-gesa. Saya yakin dia kembali ke Italia.” “Jadi dia dari Italia?” “Benar, Sir.” “Dan dia pernah menjadi pelayan pribadi seorang penari Rusia, ya, kan?” “Tepat. Namanya, kalau tidak salah, Madame Semoulina... atau kira-kira begitu bunyinya.
Dia menari di Bally bersama kelompok balet Thespian Theatre yang dipuji-puji di manamana. Dia salah satu bintangnya.” Poirot berkata, “Tahukah Anda mengapa Miss Valetta disuruh pergi?” Wanita itu ragu-ragu sejenak sebelum berkata, “Saya tak bisa bilang apa-apa.” “Bukankah dia diusir?” “Well, menurut saya, istilahnya, keadaan memang sedang dibersihkan! Tapi ingat, Miss Valetta tak terlalu peduli pada omongan orang. Dia bukan tipe gadis yang suka sensasi. Di lain pihak, dia bukan gadis yang suka membuang barang begitu saja. Tapi dia marah sekali mendengar kasus ini. Dia amat mudah marah—khas orang Italia—matanya yang hitam tajam akan menatap kita, seakan-akan dia berniat menusuk kita dengan sorot matanya itu. Saya tak berani mendekatinya, kalau dia sedang marah-marah seperti itu!” “Apakah Anda memang tak tahu alamat Miss Valetta sekarang?” Terdengar gemerincing uang di saku Poirot. Jawabannya amat meyakinkan dan hampir pasti benar. “Ya, seandainya tahu, saya pasti akan senang memberitahukannya pada Anda. Tapi... dia pergi dengan tergesa-gesa... dan itulah faktanya!” Poirot bergumam sambil merenung, “Ya, begitulah faktanya....” III Ambrose Vandel, sambil mengalihkan perhatiannya yang penuh antusias pada décor yang dirancangnya untuk pertunjukan balet berikutnya, dengan senang hati memberikan informasi yang diminta. “Sanderfield? George Sanderfield? Manusia licik. Bergelimang uang, tapi orang bilang dia tidak beres. Penjudi gelap! Ada affair dengan penari? Tentu saja... dia memang ada affair dengan Katrina. Katrina Samoushenka. Anda pasti pernah melihatnya. Oh, dia amat... amat pandai menari. Tekniknya bagus. The Swan of Tuolela... Anda pasti pernah menonton yang itu. My decor! Lalu karya Debussy atau apakah itu Mannine ’La Biche au Bois’? Dia menari berpasangan dengan Michael Novgin. Pria itu sungguh luar biasa, kan?” “Dan gadis itu kawan Sir George Sanderfield?” “Ya. Dia sering berakhir pekan di rumah George Sanderfield di pinggir sungai. Pestapesta yang diadakan di sana sungguh mewah dan meriah.” “Apakah mungkin, mon cher, Anda memperkenalkan saya pada Mademoiselle Samoushenka?” “Tapi dia tidak ada lagi di sini. Tiba-tiba saja dia pergi ke Paris, atau entah ke mana. Orang bilang dia mata-mata Bolshevik—tapi itu tak berarti saya percaya omongan orang—Anda tahu sendiri, orang suka membicarakan yang seperti itu. Katrina selalu berpura-pura bahwa dia orang Rusia Putih—ayahnya pangeran atau bangsawan tinggi—semacam itulah! Hal seperti itu banyak gunanya.” Vandel berhenti bicara dan kembali asyik dengan pekerjaannya. “Nah, dengar kata saya, kalau Anda ingin bisa memahami karakter Bathsheba, Anda harus mempelajari tradisi bangsa Semit. Saya mengungkapkannya dengan...” Dan dia terus bicara tanpa henti.... IV Wawancara yang dilakukan Hercule Poirot terhadap Sir George Sanderfield tidak berjalan mulus, tidak sesuai dengan rencana Poirot.
Si “Penjudi Gelap”, julukan yang diberikan Vandel padanya, rupanya sedang uringuringan. Sir George seorang pria bertubuh pendek dengan rambut kasar hitam dan lemak yang bergelambir di sekeliling lehernya. Ia berkata, “Well, M. Poirot, apa yang bisa saya lakukan untuk Anda? Eh... saya rasa kita belum pernah bertemu, bukan?” “Belum, memang belum.” “Well, ada apa? Terus terang, saya jadi ingin tahu.” “Oh, hanya soal kecil... saya membutuhkan informasi dari Anda.” Sir George Sanderfield tertawa salah tingkah. “Anda ingin saya memberikan ramalan pemenangnya dari kalangan ‘dalam’? Saya kira Anda tidak tertarik pada masalah keuangan.” “Ini bukan masalah les affaires seperti yang Anda duga. Ini pertanyaan tentang seorang wanita tertentu.” “Oh, seorang perempuan.” Sir George Sanderfield menyandarkan tubuhnya ke kursi. Ia tampak santai sekarang. Suaranya pun terdengar lebih ramah. Poirot berkata. “Saya rasa Anda kenal dengan Mademoiselle Katrina Samoushenka. Benar?” Sanderfield tertawa. “Ya. Makhluk yang sangat menawan. Sayang dia sudah meninggalkan London.” “Mengapa dia meninggalkan London?” “Saya tidak tahu. Bertengkar dengan manajernya, barangkali. Dia wanita yang temperamental. Ya, sangat khas Rusia wataknya. Sulit diduga emosinya. Maaf, saya tak dapat membantu Anda, tapi saya memang tak tahu, sungguh, di mana dia sekarang. Saya sudah tak berhubungan lagi dengannya.” Terdengar nada mengusir dalam suaranya, ketika ia mengucapkan kata-kata terakhir itu sambil bangkit berdiri. Poirot berkata, “Tapi, bukan Mademoiselle Samoushenka sendiri yang ingin saya cari.” “Oh ya?” “Bukan dia. Yang ingin saya tanyakan adalah pelayannya.” “Pelayannya?” Sanderfield menatap Poirot tak percaya. Poirot berkata, “Apakah Anda masih ingat... siapa pelayannya?” Sikap Sanderfield yang kaku kini muncul kembali. Dengan canggung dia menjawab, “Ya, Tuhan, apakah saya harus ingat dia? Tentu saja saya tahu dia punya pelayan... Menurut saya, pelayannya itu bukan gadis baik-baik. Gadis yang suka nguping dan mengintip. Kalau saya jadi Anda, sedikit pun saya takkan percaya pada apa yang dikatakannya. Dia jenis gadis yang terlahir sebagai pembohong.” Poirot bergumam, “Jadi, sesungguhnya banyak yang Anda ingat tentang dia, bukan?” Sanderfield segera menukas, “Hanya kesan saya saja... Saya bahkan tak ingat siapa namanya. Marie siapa... kira-kira begitu namanya. Maaf, rasanya saya tak dapat membantu Anda dalam hal ini. Maaf”
Poirot berkata dengan suara lembut, “Saya sudah mendapat nama Marie Hellin dari Thespian Theatre—dan alamatnya. Tapi, Sir George, yang saya maksud adalah gadis yang melayani Mademoiselle Samoushenka sebelum Marie Hellin. Yang saya maksud Nita Valetta.” Sanderfield terpana, kemudian berkata, “Sungguh, saya tak ingat. Marie, dia satusatunya yang saya ingat. Gadis bertubuh mungil dan berkulit gelap dengan mata yang memancarkan kelicikan hatinya.” Poirot berkata, “Gadis yang saya maksud menginap di rumah Anda, di Grasslawn, bulan Juni yang lalu.” Sanderfield menyahut dengan gusar, “Well, sekali lagi saya katakan, saya tak ingat siapa dia. Saya rasa Katrina tidak membawa pelayan waktu itu. Saya rasa Anda keliru.” Hercule Poirot menggeleng. Ia tidak merasa membuat kekeliruan. V Marie Hellin memandang Poirot sekilas, dengan matanya yang kecil dan cerdas, lalu segera mengalihkan pandangannya lagi. Suaranya terdengar lancar dan bernada datar waktu bicara. “Tapi saya ingat benar, Monsieur. Saya bekerja pada Madame Samoushenka pada minggu terakhir bulan Juni. Pelayannya yang sebelumnya tiba-tiba pergi dengan tergesa-gesa.” “Tahukah kau apa sebabnya dia pergi?” “Dia pergi... tiba-tiba... itu saja yang saya ketahui! Mungkin karena sakit... ya, semacam itulah. Madame tidak mengatakan apa-apa.” Poirot berkata, “Apakah menurutmu, majikanmu wanita yang tidak rewel?” Gadis itu mengangkat bahu. “Perasaannya gampang berubah-ubah. Sering sekali dia menangis, lalu tertawa, lalu menangis lagi, begitu. Kadang-kadang dia seperti putus asa, tidak mau bicara dan tidak mau makan. Kadang-kadang dia amat riang. Ya, penari-penari terkenal memang seperti itu. Wataknya sulit diduga.” “Dan Sir George?” Gadis itu mengangkat kepala dengan sikap waspada. Matanya bersinar jail, tidak menyenangkan. “Ah, Sir George Sanderfield? Anda ingin tahu tentang dia? Mungkin memang dia yang ingin Anda ketahui, dan yang satunya hanya untuk alasan saja, ya, kan? Ah, Sir George, banyak hal ganjil tentang dia yang bisa saya ceritakan pada Anda, misalnya...” Poirot menyela, “Itu tidak penting.” Gadis itu ternganga. Matanya terbelalak menatap Poirot. Rasa marah dan kesal terpancar dari matanya yang licik. VI “Saya selalu berkata bahwa Anda tahu segalanya, Alexis Pavlovitch.” Poirot menggumamkan kata-kata itu dengan suara rendah penuh harapan. Ia sedang merenung-renungkan, ternyata Tugas Ketiga Hercules ini membutuhkan lebih banyak perjalanan dan wawancara dari yang semula dibayangkannya. Masalah sepele tentang
hilangnya gadis pelayan seorang penari terkenal ini ternyata menjadi masalah yang berkepanjangan dan jauh lebih sulit dari masalah-masalah yang pernah ditanganinya. Setiap jejak, setelah diteliti dan ditelusurinya, ternyata berakhir di jalan buntu. Malam ini, jejak itu membawanya ke Samovar Restaurant di Paris. Pemiliknya, Count Alexis Pavlovitch, membanggakan diri dengan mengatakan dirinya selalu tahu segala sesuatu yang terjadi di kalangan seni dan seniman. Kini ia mengangguk sambil berpikir-pikir, “Ya, kawan, ya... saya selalu tahu. Kau bertanya di mana kini Samoushenka... si penari mungil yang amat mengagumkan... berada? Ah, dia adalah contoh penari sempurna.” Alexis mencium ujung jarinya sendiri. “Sungguh suatu kerugian besar! Dia bisa saja mencapai puncak kariernya. Dia bisa menjadi Première Ballerina pada zamannya—tapi, tiba-tiba saja semuanya berakhir. Dia pergi diam-diam... ke ujung dunia, dan tak lama lagi... tak lama lagi orang akan melupakannya.” “Di mana dia sekarang?” tukas Poirot menuntut jawab. “Di Swiss. Di Vagray les Alpes. Ke sanalah mereka pergi, mereka yang menderita batuk kering dan yang tubuhnya makin lama makin kurus. Dia akan mati, ya... dia akan mati! Sifatnya memang fatalistik. Dia pasti akan mati.” Poirot berdeham, menyela ramalan yang tragis itu. Ia membutuhkan informasi. “Apakah Anda ingat gadis pelayannya? Namanya Nita Valetta.” “Valetta? Valetta? Saya memang pernah melihat pelayannya sekali... di stasiun ketika saya mengantarkan Katrina yang akan pergi ke London. Dia gadis Italia dari kota Pisa, ya, kan? Ya, saya yakin dia gadis Italia dari kota Pisa.” Hercule Poirot menggeram. “Kalau begitu,” katanya, “saya terpaksa pergi ke Pisa.” VII Hercule Poirot berdiri di Campo Santo, di Pisa, dan memandang makam itu. Jadi rupanya di sinilah perjalanannya harus berakhir. Di sini, pada seonggok tanah makam yang sederhana. Di bawahnya terbaring makhluk lincah yang telah menggugah hati dan imajinasi seorang pemuda Inggris yang sederhana, seorang pegawai bengkel mobil. Apakah ini akhir yang paling baik bagi kisah cinta kilat yang aneh itu? Kini gadis itu akan hidup sebagai kenangan, seperti yang dilihat pemuda itu selama beberapa jam yang amat indah pada suatu sore di bulan Juni. Perbedaan bangsa, perbedaan derajat, sakitnya perasaan karena impian yang hancur, semua itu takkan terjadi. Hercule Poirot menggeleng dengan sedih. Pikirannya kembali pada pembicaraannya dengan keluarga Valetta. Sang ibu dengan wajah petani desa yang lebar dan sederhana, sang ayah yang tampak sedih sekali, dan sang adik perempuan yang berbibir tebal. “Sangat tiba-tiba, Signor, sangat mendadak. Meskipun sudah bertahun-tahun sakitnya kadang-kadang kambuh... Dokter tak memberikan pilihan bagi kami... katanya usus buntunya harus segera dioperasi. Dibawanya dia ke rumah sakit dan di sana... Si, si, dia meninggal ketika masih dibius. Dia tak pernah sadar lagi.” Ibunya terisak, dan bergumam, “Bianca gadis yang cerdas. Sayang sekali, dia harus mati dalam usia yang amat muda....” Hercule Poirot mengulanginya lirih, “Dia mati dalam usia amat muda....” Itulah pesan yang harus disampaikannya pada pemuda yang telah meminta bantuannya dan
yang percaya penuh akan kemampuannya. “Dia bukan untukmu, kawan. Dia mati muda.” Perjalanannya telah berakhir... di sini, tempat menara miring menampilkan siluet indah berlatar langit senja. Di sini, ketika bunga-bunga mulai bermunculan di awal musim semi, dengan warna-warna pucat yang lembut, penuh janji akan kehidupan dan kegembiraan yang akan datang. Apakah gairah musim semi ini yang menyebabkannya menolak menerima akhir cerita seperti itu? Ataukah ada sesuatu yang lain? Sesuatu terlintas di benaknya—kata-kata—sebuah kalimat—sebuah nama. Bukankah semua ini terlalu sempurna akhirnya? Terlalu jelas? Hercule Poirot mendesah. Ia harus melakukan perjalanan sekali lagi, untuk menyelesaikan teka-teki ini sampai tuntas. Ia harus pergi ke Vagray les Alpes. VIII Inilah, pikir Poirot, yang disebut ujung dunia. Pondok-pondok yang tertutup salju... yang bertebaran dan yang di dalamnya terbaring sesosok manusia yang tak kuasa bergerak, manusia yang berusaha melawan maut. Akhirnya ia bertemu dengan Katrina Samoushenka. Ketika dilihatnya wanita itu terbaring, dengan pipi cekung yang diberi pemerah, dengan tangan kurus panjang yang terulur dari balik selimut, sebuah kenangan mengusiknya. Poirot tidak ingat namanya, tapi pernah melihat wanita itu menari—dan ia pernah tenggelam dalam pesona yang dipancarkan sang penari yang kini terbaring di depannya. Pesona adiseni yang membuatnya lupa akan seni. Ia ingat akan Michael Novgin, sang Pemburu, yang melompat dan berputar-putar dalam hutan ajaib seperti yang dibayangkan Ambrose Vandel. Dan ia ingat akan sang Rusa yang amat menawan, yang berlari bagaikan terbang... yang selalu dikejar-kejar dan didambakan... seekor makhluk cantik berkulit emas dengan sepasang tanduk di kepala dan sepasang kaki yang lincah menari-nari. Poirot ingat bagaimana makhluk cantik itu akhirnya mati, terpanah dan terluka, dan Michael Novgin berdiri dengan perasaan ngeri, tangannya memeluk sang Rusa yang terluka. Katrina Samoushenka memandang tamunya dengan pandangan penuh ingin tahu. Ia berkata, “Saya belum pernah bertemu Anda, bukan? Apa maksud Anda datang kemari?” Hercule Poirot membungkuk memberi hormat. “Pertama-tama, Madame, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Anda... karena seni yang Anda pentaskan telah membuat salah satu malam saya penuh keindahan.” Wanita itu tersenyum samar. “Tapi saya datang kemari juga untuk sesuatu hal. Saya telah lama mencari-cari, Madame, lama sekali saya mencari seorang pelayan Anda... namanya Nita.” “Nita?” Wanita itu terbelalak. Matanya besar dan kelihatan kaget sekali. Katanya, “Apa yang Anda ketahui tentang Nita?” “Akan saya ceritakan.” Poirot bercerita tentang malam ketika mobilnya mogok, tentang Ted Williamson yang datang menemuinya sambil meremas-remas topi wolnya dengan gelisah, dan tentang pemuda yang mengisahkan kisah cintanya dan rasa penasarannya. Wanita itu mendengarkan dengan penuh perhatian. Ketika Hercule Poirot selesai bicara, ia berkata, “Sangat menyentuh hati... ya, sangat
menyentuh hati....” Hercule Poirot mengangguk. “Ya,” katanya. “Itu bagaikan cerita tentang sang Rusa dari Arcadia, bukan? Apa yang bisa Anda ceritakan tentang gadis itu, Madame?” Katrina Samoushenka mendesah. “Saya punya seorang pelayan... Juanita. Dia gadis yang menarik, ya, periang, lincah, dan baik hati. Apa yang terjadi padanya adalah seperti apa yang sering terjadi pada makhluk-makhluk yang dikasihi Tuhan. Dia mati muda.” Itulah kata-kata yang juga diucapkan Poirot... kata-kata terakhir... kata-kata yang terus menggema. Kini didengarnya lagi kata-kata itu... namun Poirot tak mau menerimanya. Ia bertanya, “Dia sudah meninggal?” “Ya, dia sudah mati.” Selama satu menit Poirot diam, kemudian berkata, “Tapi ada satu hal yang tak dapat saya mengerti. Saya bertanya kepada Sir George Sanderfield tentang pelayan Anda itu, dan dia seperti takut. Mengapa?” Sekilas tampak rasa jijik terlintas di wajah sang penari. “Anda hanya menyebut salah satu pelayan saya. Dia mengira itu Marie... gadis yang datang pada saya setelah Juanita pergi. Marie mencoba memerasnya, saya rasa, karena sesuatu yang diketahuinya tentang pria itu. Mulut gadis itu memang berbisa... suka mengintip, selalu mau ikut campur urusan orang, suka membuka-buka surat dan laci yang terkunci.” Poirot bergumam. “Dalam hal itu, masalahnya sudah jelas.” Ia berhenti selama satu menit, kemudian melanjutkan, nada suaranya tetap mendesak, “Nama keluarga Juanita adalah Valetta, dan dia meninggal waktu menjalani operasi usus buntu di Pisa. Benarkah itu?” Poirot melihat adanya keraguan yang samar, hampir tak kentara, sebelum sang penari menganggukkan kepalanya. “Ya, itu benar...” Poirot berkata sambil merenung, “Tapi... masih ada satu titik kecil... keluarganya menyebutnya Bianca, bukan Juanita.” Katrina mengangkat bahunya yang kurus. Katanya, “Bianca... Juanita.. apa hubungannya? Saya rasa nama aslinya Bianca, tapi gadis itu menganggap nama Juanita lebih romantis, jadi dia memilih nama itu sebagai nama panggilannya.” “Ah, Anda pikir itu alasannya?” Hercule Poirot diam sejenak, kemudian melanjutkan dengan nada suara berbeda. Katanya, “Bagi saya, ada penjelasan lain.” “Apakah itu?” Poirot mencondongkan badannya ke depan. Katanya, “Gadis yang dilihat Ted Williamson mempunyai rambut yang digambarkannya bagaikan sayap-sayap emas.” Ia makin mencondongkan tubuhnya ke depan. Tangannya menyentuh ujung rambut Katrina. “Sepasang sayap emas, sepasang tanduk emas? Itu tergantung bagaimana kita melihatnya, apakah kita melihatnya sebagai malaikat atau sebagai setan! Anda bisa saja memerankan dua-duanya. Ataukah mungkin yang kita bayangkan adalah sepasang tanduk emas di kepala
seekor rusa yang terluka?” Katrina menggumam, “Seekor rusa yang terluka...” Suaranya adalah suara seorang wanita yang tak punya harapan lagi. Poirot berkata, “Apa yang digambarkan Ted Williamson selalu mengusik saya... mengingatkan saya akan sesuatu... dan sesuatu itu adalah Anda, yang menari-nari dengan kaki lincah, berputarputar di tengah hutan. Bolehkah saya katakan apa yang saya pikirkan, Mademoiselle? Saya rasa ada waktu selama seminggu ketika Anda tidak punya pelayan, yaitu ketika Anda datang sendirian ke Grasslawn, sebab Bianca Valetta telah pergi dan Anda belum mendapat penggantinya. Anda telah merasa serangan penyakit yang sudah lama Anda derita dan sesekali kambuh. Suatu hari Anda tetap tinggal di rumah ketika tamu-tamu yang lain pergi bertamasya ke tepi sungai. Terdengar bel pintu berdering dan Anda membukakannya, dan Anda melihat... bolehkah saya katakan apa yang Anda lihat ketika itu? Anda melihat seorang pemuda yang polos seperti kanak-kanak, tapi sekaligus sangat tampan bagaikan dewa Yunani! Dan untuknya Anda menciptakan seorang tokoh gadis... bukan Juanita... melainkan Incognita... dan selama beberapa jam Anda berjalan-jalan bersamanya di Arcadia....” Hening yang lama. Akhirnya Katrina bicara, suaranya serak, “Dalam satu hal setidaktidaknya saya telah berkata jujur kepada Anda. Saya telah mengakhiri cerita Anda itu dengan benar. Nita akan mati muda.” “Ah non!” seru Hercule Poirot. Sikapnya berubah. Ia memukul meja dengan tinjunya. Tibatiba ia bersikap wajar, praktis, dan terus terang. Katanya, “Itu tidak perlu! Anda tidak harus meninggal sekarang. Anda bisa berjuang mempertahankan hidup Anda, ya, kan?” Wanita itu menggeleng... sedih dan tanpa harapan... “Kehidupan macam apa yang masih tersisa untuk saya?” “Bukan kehidupan panggung, bien entendu! Tapi, coba pikirkan, masih ada kehidupan lain untuk Anda. Ayolah, Mademoiselle, jujurlah, apakah ayah Anda benar-benar pangeran atau bangsawan, atau bahkan jenderal?” Tiba-tiba wanita itu tertawa. Ia berkata, “Dia masinis kereta api di Leningrad.” “Bagus sekali! Lalu mengapa Anda tidak bisa menikah dengan seorang pemuda desa yang bekerja di bengkel mobil? Dan mempunyai anak-anak yang tampan dan cantik bagaikan dewadewi, dengan kaki-kaki, mungkin, yang akan lincah menari seperti kaki-kaki Anda?” Katrina menahan napas. “Tapi gagasan ini sungguh fantastis!” “Walau demikian,” kata Hercule Poirot penuh rasa puas, “saya percaya, itu akan menjadi kenyataan!”
4
BABI HUTAN DARI GUNUNG ERYMANTHUS I PENYELESAIAN Tugas Ketiga Hercules membawanya ke Swiss. Hercule Poirot memutuskan, karena sudah ada di sana, untuk mengunjungi tempat-tempat yang sampai saat itu belum dikenalnya. Ia menghabiskan beberapa hari yang menyenangkan di Chamonix, bersantai satu-dua hari di Montreux, kemudian pergi ke Aldermatt, suatu tempat yang banyak dipuji sejumlah kenalannya. Sayangnya, Aldermatt membuatnya merasa tidak enak. Letaknya di ujung sebuah lembah, dengan gunung bersalju menjulang tinggi di belakangnya. Ia merasa, walaupun itu tidak masuk akal, seakan-akan sulit bernapas di sana. “Tak mungkin tinggal di sini lama-lama,” kata Poirot pada diri sendiri. Saat itulah ia melihat sebuah funicular—kereta gantung—mendekat. “Jelas aku harus naik kereta gantung itu.” Kereta gantung itu ternyata mula-mula naik ke Les Avines, kemudian ke Caurouchet dan akhirnya ke Rochers Neiges, kira-kira tiga ribu meter di atas permukaan laut. Poirot tidak berencana naik setinggi itu. Menurutnya Les Avines sudah cukup tinggi untuknya. Tapi kejadian itu tidak dianggapnya sebagai kebetulan yang sering terjadi dalam hidup seseorang. Kereta gantung itu baru saja bergerak ketika kondekturnya menghampirinya dan memintanya menunjukkan karcisnya. Setelah memeriksa dan menandainya dengan gunting yang kelihatan menyeramkan, ia mengembalikannya sambil sedikit membungkuk hormat. Pada saat yang sama Poirot merasakan ada secarik kertas yang diselipkan ke dalam tangannya bersama karcisnya. Alis Poirot terangkat sedikit. Kemudian, tanpa kelihatan tergesa-gesa, diluruskannya secarik kertas yang terlipat-lipat itu. Ternyata sebuah pesan yang ditulis dengan pensil dan dengan tergesa-gesa. Tidak mungkin (begitu tertulis di kertas itu) melupakan kumis yang hebat itu! Salam hormatku untukmu, kawan. Jika bersedia kau bisa membantuku. Aku yakin kau sudah membaca kasus Salley. Pembunuhnya—Marrascaud—diduga akan bertemu dengan anggota komplotannya di Rochers Neiges. Tempat paling ajaib di dunia! Tentu saja ada kemungkinan ini semua hanya jebakan—tapi sumber informasi kami bisa dipercaya—selalu saja ada tikus yang mencicit, bukan? Jadi, silakan buka mata lebar-lebar, kawan. Hubungi Inspektur Drouet di sana. Dia orang yang bisa dipercaya... tapi tak mungkin berpura-pura di depan Hercule Poirot yang sangat brilian. Adalah penting menangkap Marrascaud... menangkapnya hidup-hidup. Dia bukan manusia... dia babi hutan liar... salah satu pembunuh berbahaya yang sekarang masih hidup. Aku tak berani ambil risiko bicara padamu di Aldermatt, karena mungkin saja aku selalu dimata-matai. Tapi, dengan begini tanganmu bisa lebih bebas bekerja, kalau mereka menganggapmu sebagai turis biasa. Selamat berburu! Kawan lamamu... Lementeuil. Sambil merenung, Hercule Poirot mengusap-usap kumisnya. Ya, tak mungkin orang melupakan kumis Hercule Poirot. Masalah apa lagi yang akan dihadapinya sekarang? Dia telah membaca l’affaire Salley sampai ke detail-detailnya di koran-koran—pembunuhan berdarah dingin atas seorang hartawan Paris yang amat terkenal. Identitas pembunuhnya sudah diketahui. Marrascaud adalah anggota gang penjudi yang suka bertaruh di pacuan kuda. Ia juga dicurigai telah melakukan banyak pembunuhan lain—tapi kali ini kesalahannya bisa dibuktikan dengan bukti-bukti yang amat kuat. Ia berhasil meloloskan diri, keluar dari Prancis kata orang. Polisi di setiap negara Eropa sedang memburu dan berusaha menangkapnya.
Jadi, terdengar kabar bahwa Marrascaud ingin mengadakan pertemuan di Rochers Neiges.... Hercule Poirot menggelengkan kepalanya pelan-pelan. Ia bingung. Rochers Neiges terletak di atas garis batas daerah bersalju. Di atas sana memang ada sebuah hotel, tetapi satusatunya hubungan dengan dunia luar hanyalah melalui kereta gantung, karena hotel itu terletak di sebuah dataran sempit di punggung gunung yang seakan-akan menggantung di atas lembah. Hotel itu dibuka mulai bulan Juni, tetapi jarang sekali ada tamu yang menginap sebelum bulan Juli dan Agustus. Tempat itu hanya mempunyai satu jalan keluar. Jika seorang buronan dilacak jejaknya sampai ke sana, ia bagaikan tikus masuk perangkap. Sepertinya itu bukan tempat yang tepat yang akan dipilih para penjahat untuk bertemu. Namun begitu, jika Lementeuil mengatakan informasinya dapat dipercaya, kemungkinan besar ia memang benar. Hercule Poirot menghormati Komisaris Polisi Swiss itu. Dia mengenalnya sebagai orang yang teguh dan dapat diandalkan. Karena alasan yang tidak diketahui, Marrascaud memilih tempat pertemuan yang jauh di puncak gunung, jauh dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Hercule Poirot mendesah. Memburu seorang pembunuh kejam bukanlah rencana yang sesuai untuk mengisi liburan yang menyenangkan. Ia lebih suka menghabiskan waktu dengan berpikir, mengasah otak, sambil duduk di sebuah kursi yang nyaman. Ya, kerja otak lebih sesuai untuknya. Bukannya mencoba menangkap babi hutan liar di pegunungan. Babi hutan liar... itu istilah yang dipakai Lementeuil. Suatu kebetulan yang aneh.... Ia bergumam pada diri sendiri, “Tugas Keempat Hercules. Babi Hutan dari Gunung Erymanthus?” Dengan hati-hati, tanpa mencolok mata, ia mulai mengamati kawan-kawan seperjalanannya. Di kursi di depannya, duduk seorang turis Amerika. Motif kain bajunya, mantel panjangnya, tas yang dibawanya, sampai ke sikapnya yang selalu berusaha tampak ramah dan kekagumannya akan pemandangan alam sekitar, bahkan buku panduan wisata di tangannya... semua itu memperkuat cirinya sebagai orang Amerika yang berasal dari sebuah kota kecil yang baru sekali itu mengunjungi Eropa. Satu atau dua menit lagi, tebak Poirot, lelaki itu pasti akan bicara. Pandangannya yang seperti pandangan anjing yang penuh harap... tak mungkin ditafsirkan lain. Di sisi lain kereta gantung itu, seorang pria yang berpenampilan khas, dengan rambut abu-abu dan hidung besar yang bengkok, sedang membaca sebuah buku berbahasa Jerman. Jari-jarinya lincah dan kuat, mungkin ia seorang musikus atau ahli bedah. Agak di sebelah sana ada tiga pria yang bertipe sama. Laki-laki dengan kaki agak bengkok, yang membuat orang menebak bahwa pemiliknya sering menunggang kuda. Mereka sedang main kartu. Mungkin sebentar lagi mereka akan mempersilakan seorang asing ikut dalam permainan mereka. Dan untuk permainan pertama, si orang asing akan menang. Sesudah itu, roda keberuntungan akan berputar dan berganti arah. Tak ada yang istimewa pada ketiga orang itu. Satu-satunya yang tidak wajar pada ketiga orang itu adalah tempat mereka berada sekarang. Orang bisa menemukan lelaki-lelaki seperti mereka dalam sebuah kereta api yang sedang berjalan ke tempat pacuan kuda—atau dalam sebuah kapal pesiar yang biasa-biasa saja. Tapi... dalam kereta gantung yang hampir kosong... aneh! Masih ada satu penumpang lain... seorang wanita. Ia jangkung dan berkulit gelap. Wajahnya cantik... wajah yang mungkin mengekspresikan keseluruhan emosinya... tapi anehnya, saat itu wajah itu justru tampak beku tanpa ekspresi. Wanita itu tidak memandang siapa-siapa, pandangannya terarah ke lembah di bawah sana.
Seperti dugaan Poirot, lelaki Amerika itu angkat bicara. Namanya Schwartz, begitu katanya. Ini kunjungannya yang pertama ke Eropa. Pemandangan di sini benar-benar luar biasa, katanya. Ia sangat terkesan melihat Kastil Chilion. Menurutnya Paris biasa-biasa saja... tidak seperti yang dikatakan orang-orang. Ia telah pergi ke Folies Bergères, Louvre, dan Nôtre Dame... dan menurutnya tak ada restoran di Paris yang bisa menyuguhkan permainan musik jazz yang benar. Champs Elysées menurutnya cukup bagus, terutama air mancurnya yang disinari cahaya aneka warna di malam hari. Tak ada yang turun di Les Avines maupun di Caurouchet. Jelas semua penumpang bertujuan sama: Rochers Neiges. Mr. Schwartz menjelaskan alasannya. Katanya, ia sudah lama ingin berada di tempat yang tinggi, di antara gunung-gunung bersalju. Tiga ribu meter lebih cukup sesuai dengan keinginannya—dia pernah mendengar orang berkata bahwa di tempat setinggi itu kita tidak bisa merebus telur dengan benar. Dengan keramahannya yang lugu, Mr. Schwartz mencoba mengajak pria berambut abu-abu yang duduk di sisi lain kereta untuk mengobrol dengannya, tetapi yang terakhir membalas keramahannya dengan pandangan dingin di balik kacamata tanpa gagang yang dikenakannya. Pria berambut abu-abu itu segera kembali menekuni bukunya. Mr. Schwartz kemudian menawarkan diri untuk bertukar tempat dengan wanita yang berkulit gelap itu... wanita itu akan mendapat sudut pandang yang lebih baik, kata lelaki Amerika itu. Mungkin saja wanita itu tak paham bahasa Inggris. Ia hanya menggeleng dan makin merapatkan mantel bulu yang dikenakannya. Mr. Schwartz berkata lirih pada Poirot, “Aneh sekali melihat seorang wanita melakukan perjalanan sendirian seperti dia. Tak ada yang menemani dan menjaganya. Wanita yang melakukan perjalanan jauh memerlukan pendamping yang bisa diandalkan.” Ingat akan wanita-wanita Amerika yang pernah ditemuinya dalam berbagai perjalanan di Eropa, Hercule Poirot mengangguk sependapat. Mr. Schwartz mendesah. Ia merasa orang-orang tidak bersikap ramah padanya. Padahal, wajahnya menyiratkan, tak ada salahnya bersikap ramah kepada orang lain, bukan? II Diterima oleh seorang manajer hotel yang mengenakan jas lengkap dan sepatu kulit yang mahal sepertinya aneh di tempat yang jauh dari mana-mana seperti itu, atau lebih tepatnya: di atas mana pun. Ia seorang pria tampan bertubuh besar, dengan penampilan seperti orang yang sadar akan pentingnya dirinya. Ia berkali-kali meminta maaf. Terlalu cepat... belum musim wisata... sistem air panasnya rusak... semua belum siap... Tentu saja ia akan berusaha sebaik-baiknya... Staf hotel belum lengkap pada tanggaltanggal seperti saat itu... Ia agak bingung menerima tamu sebanyak itu... benar-benar di luar dugaan. Semua itu diucapkannya dengan lancar, namun mata Poirot yang awas melihat bahwa di balik façade yang serba mulus itu ada secercah rasa waswas yang hendak disembunyikan. Pria ini, dengan sikapnya yang luwes dan santai, sesungguhnya benar-benar sedang tidak santai. Ia mencemaskan sesuatu. Makan siang dihidangkan di ruangan panjang yang menghadap ke lembah di bawah sana. Satu-satunya pelayan laki-laki, Gustave, tampak amat tangkas dan cekatan. Dengan lincah ia bergerak ke sana kemari, mencatat pesanan-pesanan, sambil mengibar-ngibarkan tali pinggangnya. Tiga lelaki yang mirip penunggang kuda itu duduk semeja. Mereka tertawa-
tawa dan berbicara dalam bahasa Prancis. Suara mereka terdengar nyaring. Hai, Joseph! Apa kabarnya si mungil Denise, mon vieux? Kau masih ingat kuda sialan yang membuat kita rugi di Auteuil? Semua terlihat begitu akrab, begitu sesuai dengan penampilan mereka... namun amat tak sesuai dengan tempat dan situasi di sekitar mereka. Wanita berwajah cantik itu duduk sendirian di sebuah meja di pojok ruangan. Ia tidak memandang siapa-siapa. Setelah makan siang, Poirot bersantai di ruang duduk. Manajer datang menghampirinya dan berkata dengan suara rendah. Monsieur jangan menilai hotel ini dengan penilaian yang merendahkan. Saat ini memang belum musim wisatawan. Biasanya tak ada yang berkunjung atau menginap di hotel ini sebelum akhir Juli. Wanita itu, mungkin Tuan telah mengamatinya? Dia selalu datang kemari setiap tahun, pada saat yang sama. Tiga tahun yang lalu suaminya meninggal waktu mendaki gunung. Sungguh menyedihkan. Mereka saling mencintai. Dia selalu datang kemari sebelum musim wisatawan mulai—ketika suasana masih tenang. Dia kemari untuk melakukan ziarah suci. Pria yang sudah agak tua itu dokter terkenal, Dr. Karl Lutz, dari Wina. Dia datang kemari untuk mencari ketenangan dan beristirahat. “Ya, di sini memang tenang dan damai,” Hercule Poirot sependapat. “Dan ces Messieurs yang di sana itu?” katanya sambil menunjuk tiga lelaki itu. “Apakah mereka juga mencari ketenangan? Bagaimana menurut Anda?” Manajer itu mengangkat bahu. Sekali lagi matanya menyiratkan kecemasan hatinya. Ia berkata samar, “Ah, wisatawan biasa, mereka selalu ingin mencari pengalaman baru.... Tempat yang amat tinggi... itu sudah suatu sensasi tersendiri.” Ya, pikir Poirot, tapi bukan sensasi yang menyenangkan. Ia pun sadar akan jantungnya yang berdetak lebih cepat dari biasa. Baris-baris lagu-lagu kanak-kanak terngiangngiang di telinganya. Up above the world so high, Like a tea tray in the sky. Schwartz masuk ke ruang duduk. Matanya bersinar cerah ketika ia melihat Poirot. Langsung saja ia menghampiri detektif itu. “Saya sudah bicara dengan dokter itu. Dia bisa bicara bahasa Inggris. Dia orang Yahudi... pernah diusir dari Austria oleh Nazi. Menurut saya, orang-orang itu gila! Dr. Lutz sungguh besar badannya. Saya rasa dia spesialis penyakit saraf... ahli psikoanalisis... atau yang semacam itulah.” Matanya beralih ke wanita yang sedang memandang ke luar jendela, ke arah pegunungan yang sambung-menyambung. Pria Amerika itu merendahkan suaranya. “Saya tahu namanya dari pelayan. Madame Grandier. Suaminya meninggal waktu mendaki gunung. Itu sebabnya dia kemari. Menurut saya, apakah Anda setuju, sebaiknya kita membantunya dan membuatnya agar tidak terlalu menutup diri seperti itu?” Hercule Poirot menanggapi, “Jika saya jadi Anda, saya takkan berani mengusiknya.” Tapi sikap ramah Mr. Schwartz tak tergoyahkan. Poirot ia pun menit, Wanita
melihat bagaimana pria itu mencoba memperkenalkan diri, mengajak berkenalan, dan melihat bagaimana keramahannya mendapat tanggapan yang dingin. Selama satu kedua orang itu berdiri bagaikan siluet berlatarkan cahaya dari luar sana. itu lebih tinggi dari Schwartz. Kepalanya ditelengkan ke belakang dan
ekspresinya tampak dingin dan tak ingin diganggu. Poirot tak mendengar apa yang dikatakannya, tapi Schwartz kembali padanya dengan sikap seperti terpukul. “Tak ada gunanya,” katanya. Kemudian ia menambahkan, dengan penuh harap, “Bagi saya, karena kita sama-sama manusia, tak ada alasan untuk tidak mencoba bersikap ramah pada orang lain. Bagaimana menurut Anda, Mr.... Maaf, saya tak tahu nama Anda...” “Nama saya,” kata Poirot, “Poirier.” Lalu tambahnya, “Saya pedagang sutra dari Lyons.” “Ini kartu nama saya, Tuan Poirier. Dan jika suatu waktu Anda berkunjung ke Fountain Springs, Anda pasti akan mendapat sambutan yang hangat.” Poirot menerima kartu itu, memasukkan tangannya ke sakunya, dan bergumam, “Sayang, saya tak membawa kartu nama saya saat ini....” Malam itu, sebelum tidur, dengan cermat Poirot membaca surat Lementeuil sekali lagi. Kemudian dilipatnya surat itu dengan rapi dan disimpannya kembali dalam dompetnya. Sambil membaringkan diri ia bergumam sendiri, “Aneh... apakah mungkin...” III Gustave, si pelayan, mengantarkan sarapan pagi Poirot, yaitu kopi dan roti. Ia meminta maaf karena kopi itu. “Saya harap Tuan mengerti, di tempat setinggi ini kita tak bisa membuat kopi yang benar-benar panas. Air yang dimasak terlalu cepat mendidih.” Poirot bergumam, “Orang harus menerima tantangan alam dengan tabah.” Gustave menanggapi, “Tuan seorang filsuf.” Ia pergi ke pintu, tapi bukannya meninggalkan kamar itu, ia malah melongok ke luar dengan cepat, lalu menutup pintu lagi dan kembali ke samping tempat tidur. Katanya, “M. Hercule Poirot? Saya Drouet, inspektur polisi.” “Ah,” kata Poirot, “sudah saya duga.” Drouet merendahkan suaranya, “M. Poirot, sesuatu yang sangat serius telah terjadi, yaitu kecelakaan yang menimpa kereta gantung itu!” “Kecelakaan?” Poirot terduduk. “Kecelakaan apa?” “Tak ada penumpang yang terluka. Terjadinya malam hari. Penyebabnya, mungkin, adalah keadaan alam di sini—telah terjadi longsoran salju yang menggelincirkan batu-batu besar dan kecil. Tapi, mungkin saja itu disengaja oleh seseorang. Siapa tahu? Singkatnya, dibutuhkan waktu beberapa hari sebelum kereta itu bisa diperbaiki, dan selama itu kita terperangkap di sini. Musim wisata belum mulai, salju masih terlalu tebal, dan tak mungkin kita menghubungi desa di lembah di bawah sana.” Hercule Poirot kini benar-benar duduk di tempat tidurnya. Ia berkata pelan, “Sangat menarik. Ini sangat menarik.” Inspektur polisi itu mengangguk. “Ya,” katanya. “Ini membuktikan informasi yang kami peroleh benar. Marrascaud memang merencanakan suatu pertemuan di sini, dan sudah mengambil langkah-langkah yang perlu agar rendezvous mereka tidak terganggu.” Hercule Poirot menyela dengan tidak sabar, “Tapi ini sungguh fantastis!”
“Saya sependapat,” kata Inspektur Drouet sambil mengangkat tangan. “Memang tidak masuk akal... tapi beginilah kenyataannya. Marrascaud, seperti Anda ketahui, adalah makhluk fantastis! Menurut saya,” katanya sambil mengangguk, “dia itu gila!” Poirot berkata, “Lelaki gila dan pembunuh!” Drouet menanggapi dengan nada pahit. “Menurut saya ini tidak lucu!” Poirot berkata pelan, “Tapi jika dia merancang sebuah rendezvous di sini, di dataran sempit bersalju, jauh tinggi di atas dunia, itu artinya Marrascaud pasti sudah ada di sini, karena komunikasi ke luar sudah terputus.” Drouet berkata dengan tenang, “Saya tahu.” Kedua orang itu terdiam beberapa saat lamanya. Kemudian Poirot bertanya, “Dr. Lutz? Mungkinkah dia sebenarnya Marrascaud?” Drouet menggeleng. “Saya rasa bukan. Memang ada tokoh asli Dr. Lutz... saya pernah melihat fotonya di koran-koran... seorang pria terhormat dan terkenal. Pria itu amat mirip dengan fotofotonya.” Poirot bergumam, “Seandainya Marrascaud aktor yang pandai menyamar, dia telah memainkan perannya dengan sangat baik.” “Ya, tapi benarkah dia begitu? Saya belum pernah mendengar orang mengatakan dia pandai menyamar. Dia bukan orang yang licin dan cerdik seperti ular. Dia lebih mirip babi hutan, kasar, liar, dan suka menyiksa musuhnya secara membabi buta.” Poirot berkata, “Bagaimanapun juga...” Drouet cepat-cepat menyetujui. “Ah, ya, dia pelanggar hukum yang melarikan diri. Karenanya, dia dipaksa keadaan untuk selalu mengubah identitasnya. Karenanya, mungkin saja dia—atau lebih tepatnya pasti— sedang menyamar.” “Anda punya gambaran tentang dia?” Inspektur Drouet mengangkat bahu. “Hanya samar-samar. Foto resmi dari Bertillon dan ciri-cirinya seharusnya dikirimkan pada saya hari ini. Saya hanya tahu umurnya kira-kira tiga puluh, tingginya sedang— lebih tinggi sedikit—dan kulitnya gelap. Tak ada ciri-ciri istimewa.” Poirot mengangkat bahu. “Itu bisa sesuai dengan siapa saja. Bagaimana dengan Schwartz, si orang Amerika?” “Saya justru yang akan bertanya pada Anda tentang dia. Anda telah bercakap-cakap dengannya, dan Anda lebih banyak bergaul dengan orang-orang Inggris serta Amerika. Sekilas dia memang mirip seorang wisatawan Amerika biasa. Paspornya beres. Yang aneh mungkin hanyalah mengapa dia memilih tempat ini... tapi wisatawan Amerika memang tak bisa ditebak. Bagaimana pendapat Anda sendiri?” Hercule Poirot menggeleng, agak kaget. Katanya, “Dari luarnya, dari segala hal, dia agaknya pria yang tak berbahaya. Hanya saja dia agak terlalu ramah. Mungkin dia membosankan, tapi sulit membayangkan dia sebagai orang yang berbahaya.” Ia melanjutkan, “Tapi ada tiga tamu lain di sini.”
Inspektur itu mengangguk, wajahnya tiba-tiba bersungguh-sungguh. “Ya, mereka adalah tipe yang kita cari. Saya berani sumpah, M. Poirot, ketiga lelaki itu anggota komplotan Marrascaud. Menurut pengamatan saya, mereka penjudi yang gemar bertaruh di pacuan kuda. Dan satu di antara mereka mungkin saja Marrascaud sendiri.” Hercule Poirot merenungkan kata-kata itu. Diingat-ingatnya wajah ketiga lelaki itu. Yang pertama berwajah lebar dengan alis tebal yang seperti menggantung, dagunya berlemak, serta wajahnya tirus dan kejam. Yang kedua jangkung dan kurus, dengan wajah sempit dan mata yang bersinar dingin. Pria ketiga berwajah lembek dengan kesan menjijikkan. Ya, salah satu dari mereka mungkin Marrascaud. Tapi jika benar begitu, ada satu pertanyaan yang mengganggu: mengapa? Mengapa Marrascaud dan kedua kawannya bersama-sama pergi ke tempat yang seperti perangkap tikus ini, jauh tinggi di puncak gunung? Sebuah pertemuan tentunya bisa diatur di tempat yang lebih aman dan tidak aneh seperti ini. Bisa saja di sebuah kafe, di stasiun kereta api, di gedung bioskop yang penuh, di taman umum... pokoknya di suatu tempat yang punya banyak jalan keluar—bukan di sini, jauh di atas dunia dan di tengah kawasan bersalju tebal. Poirot menyampaikan apa yang direnungkannya itu pada Inspektur Drouet. Lawan bicaranya itu langsung sependapat. “Ah, ini sungguh fantastis dan tidak masuk akal.” “Kalau ini sebuah rendezvous, mengapa mereka melakukan perjalanan bersama-sama? Ya, ini memang tidak masuk akal.” Drouet berkata, wajahnya kelihatan cemas, “Kalau begitu, kita harus menyelidiki kemungkinan kedua. Ketiga orang itu adalah anggota komplotan Marrascaud dan mereka kemari untuk menemui Marrascaud. Lalu, siapakah Marrascaud?” Poirot bertanya, “Bagaimana dengan staf hotel?” Drouet mengangkat bahu. “Tak ada yang bisa disebut staf di sini. Ada seorang wanita tua yang bertugas memasak dan suaminya yang sudah tua, Jacques—mereka sudah bekerja di sini selama lima puluh tahun. Lalu ada satu pelayan yang tugasnya saya gantikan. Hanya itu.” Poirot berkata, “Tentunya Manajer tahu siapa Anda?” “Tentu saja. Kami membutuhkan kerja samanya.” “Apakah Anda tahu,” kata Hercule Poirot, “dia berusaha menyembunyikan kekhawatirannya?” Pertanyaan itu mengagetkan Drouet. Ia berkata sambil merenung, “Ya, dia memang kelihatan takut.” “Barangkali takut karena terlibat dalam urusan polisi.” “Tapi menurut Anda mungkin lebih dari itu? Menurut Anda mungkin dia... tahu sesuatu?” “Itu dugaan saya.” Drouet berkata dengan murung, “Hmm, aneh.” Ia berhenti sejenak, kemudian melanjutkan, “Apakah kita bisa mengorek sesuatu darinya? Bagaimana menurut Anda?” Poirot menggeleng dengan ragu-ragu. Katanya, “Ada baiknya, menurut saya, kalau kita
tidak membuatnya tahu bahwa kita mencurigainya. Awasi saja dia.” Drouet mengangguk. Ia berbalik ke arah pintu. “Anda punya usul, M. Poirot? Saya... saya tahu reputasi Anda. Di negeri kami ini, berita tentang Anda sudah tersebar.” Poirot berkata dengan canggung, “Untuk saat ini saya belum bisa mengusulkan apa-apa. Bagi saya alasannya tidak jelas—alasan untuk mengadakan rendezvous di tempat seperti ini. Bahkan, alasan untuk mengadakan rendezvous itu sendiri sudah aneh.” “Uang,” kata Drouet dengan ringkas. “Kalau begitu, Salley yang malang itu telah dirampok lalu dibunuh, begitu, ya?” “Ya, dia punya uang banyak sekali. Uang itu tak ditemukan.” “Lalu, menurut Anda, pertemuan ini adalah untuk membagi uang itu?” “Sudah jelas, bukan?” Poirot menggeleng dengan sikap tidak puas. “Bisa saja, tapi mengapa di sini?” Lalu ia melanjutkan dengan suara pelan, “Tempat yang paling tidak sesuai untuk pertemuan komplotan penjahat. Tempat ini lebih cocok untuk... misalnya, bertemu dengan seorang wanita....” Drouet melangkah maju dengan cepat. Ia berkata penuh semangat, “Menurut Anda...?” “Menurut saya,” kata Poirot, “Madame Grandier wanita yang sangat cantik. Menurut saya, seorang lelaki akan bersedia mendaki sampai ketinggian tiga ribu meter lebih demi dia... itu kalau wanita itu memang menginginkannya begitu.” “Gagasan Anda,” kata Drouet, “benar-benar menarik. Saya tak pernah menghubungkan dia dengan kasus ini. Nyatanya, dia selalu kemari beberapa tahun terakhir ini.” Poirot berkata tenang, “Ya... karena itu kehadirannya takkan menimbulkan kecurigaan. Itu akan menjadi alasan mengapa Rochers Neiges dipilih sebagai tempat pertemuan. Ya, kan?” Drouet berkata penuh semangat, “Gagasan Anda luar biasa, M. Poirot. Saya akan menyelidiki kemungkinan itu.” IV Hari itu berlalu tanpa kejadian yang berarti. Untunglah persediaan makanan dan minuman di hotel cukup. Dalam hal itu, Manajer menjelaskan, para tamu tak perlu khawatir. Persediaan makanan cukup banyak. Hercule Poirot mencoba mengajak Dr. Karl Lutz bercakap-cakap, tetapi tidak ditanggapi dengan baik. Dengan singkat dokter itu menegaskan bahwa psikologi adalah bidang yang digelutinya dan ia tak hendak membicarakannya dengan seorang amatir. Ia duduk di sudut ruangan, membaca sebuah buku tebal berbahasa Jerman tentang alam bawah sadar sambil membuat catatan-catatan dan sejumlah salinan. Hercule Poirot keluar lalu berjalan tanpa tujuan pasti. Akhirnya ia sampai ke dapur. Di sana ia mengobrol dengan si tua Jacques yang bersikap masam dan penuh curiga. Istrinya, si tukang masak, lebih terbuka sifatnya. Untunglah, katanya pada Poirot, ada banyak sekali makanan kalengan tersedia... meskipun ia sendiri selalu membenci makanan kalengan. Itu makanan mahal dan tak bergizi. Tuhan yang baik tak pernah menghendaki
umatnya hidup dari makanan kalengan. Pembicaraan akhirnya sampai pada staf hotel. Awal bulan Juli nanti pelayan-pelayan wanita yang bertugas membersihkan kamar akan datang, begitu pula pelayan-pelayan lakilaki. Tapi selama tiga minggu mendatang, takkan ada yang datang kemari. Atau... hampir tak ada. Kebanyakan orang datang kemari untuk makan siang, lalu turun lagi. Ia, Jacques, dan satu pelayan yang lain itu pasti dapat mengatasinya dengan mudah. Poirot bertanya, “Pasti sudah ada pelayan lain sebelum Gustave datang, ya, kan?” “Ya, memang. Pelayan yang sangat malang. Tak punya keterampilan, tak punya pengalaman. Benar-benar tidak bermutu.” “Sudah berapa lama dia bekerja di sini sebelum Gustave menggantikannya?” “Hanya beberapa hari... tak sampai seminggu. Tentu saja dia langsung dikeluarkan. Kami tidak heran. Sudah kami duga.” Poirot berkata lirih, “Dia tidak memprotes atau mengeluh?” “Ah, tidak. Dia pergi diam-diam. Memangnya apa yang bisa dia lakukan? Ini hotel yang bermutu. Kami harus memberikan pelayanan yang baik di sini.” Poirot mengangguk, lalu bertanya, “Ke mana dia pergi?” “Maksud Anda, si Robert?” Wanita itu mengangkat bahu. “Pasti kembali ke salah satu kafe tak bermutu, di tempatnya bekerja sebelum ke sini.” “Dia turun dengan kereta gantung itu?” Wanita itu memandang Poirot dengan curiga. “Tentu saja, Monsieur. Tak ada cara lain, kan?” Poirot bertanya, “Apakah seseorang melihat dia pergi?” Mereka berdua terpana menatap Poirot. “Ah! Anda pikir kami mau repot-repot melihat makhluk tak berguna itu pergi? Dia bisa besar kepala kalau begitu. Kami punya banyak urusan yang harus kami selesaikan.” “Tepat sekali,” komentar Poirot. Pelan-pelan ia meninggalkan dapur. Sambil berjalan ia memandang bangunan yang menjulang di atasnya. Hotel ini besar... hanya satu sayap bangunannya yang dibuka saat ini. Di sayap-sayap lain ada banyak kamar, semua tertutup rapat. Orang takkan sudi masuk ke salah satu kamar itu.... Ia berputar di sudut bangunan dan hampir saja bertabrakan dengan salah satu dari ketiga lelaki yang suka bermain kartu. Lelaki yang berwajah lembek dan bermata pucat. Mata itu memandang Poirot tanpa ekspresi. Hanya bibirnya yang tersenyum tipis, menunjukkan deretan gigi seperti gigi kuda liar. Poirot melewatinya dan melanjutkan langkahnya. Ada seseorang di depannya—sosok jangkung yang luwes: Madame Grandier. Poirot mempercepat langkahnya dan menyusul wanita itu. Ia berkata, “Kecelakaan yang menimpa kereta gantung itu, sungguh menyebalkan, bukan? Saya harap hal ini tidak merusak rencana Anda, Madame.” Wanita itu berkata, “Tak jadi soal bagi saya.”
Suaranya amat dalam... suara contralto yang sempurna. Ia tidak memandang Poirot. Ia membelok ke samping lalu masuk ke hotel lewat sebuah pintu samping yang kecil. V Hercule Poirot pergi tidur sore-sore. Ia terbangun beberapa saat setelah tengah malam. Seseorang mencoba mengutak-atik kunci pintu kamarnya. Ia duduk, lalu menyalakan lampu. Pada saat yang sama, kunci pintu berhasil dibuka dan pintu pun terbuka lebar. Tiga pria berdiri di sana, tiga lelaki yang suka bermain kartu itu. Mereka, menurut Poirot, tampak agak mabuk. Tampang mereka tampak tolol tetapi sekaligus juga kejam. Ia melihat kilatan pisau yang tajam. Laki-laki yang bertubuh kekar melangkah maju. Ia bicara dengan suara menggeram. “Dasar detektif tolol! Bah!” Mulutnya terus mengeluarkan umpatan-umpatan kasar. Mereka bertiga maju, mengepung lakilaki tak berdaya yang duduk di tempat tidur. “Kita cincang dia, sobat. Eh, anjing buduk! Kita kuliti saja wajah Monsieur Detektif. Dia bukan yang pertama malam ini.” Mereka terus mendesak maju, makin dekat, makin mengancam. Bilah-bilah belati berkilat.... Dan kemudian, sebuah suara nyaring beraksen Amerika memecah ketegangan, “Angkat tangan!” Mereka berbalik. Schwartz berdiri di ambang pintu. Ia mengenakan piama bergaris-garis dengan motif dan warna yang aneh. Tangannya menggenggam sebuah pistol otomatis. “Simpan pisau-pisau itu, Bung! Aku penembak jitu!” Ia menekan pelatuk... dan sebutir peluru mendesing, lewat tepat di samping telinga si tinggi kekar, lalu menerjang bingkai jendela. Tiga pasang tangan langsung terangkat. Schwartz berkata, “Boleh minta tolong, M. Poirier?” Secepat kilat Hercule Poirot turun dari tempat tidurnya. Dikumpulkannya pisau-pisau yang berkilat-kilat itu dan diperiksanya tubuh ketiga lelaki itu, untuk meyakinkan bahwa mereka tidak menyembunyikan senjata. Schwartz berkata, “Sekarang berbaris, cepat! Ada sebuah lemari besar di lorong sana. Tanpa jendela. Cocok untuk mengurung kalian.” Digiringnya ketiga lelaki itu masuk ke lemari dan dikuncinya dari luar. Kemudian ia berbalik, menghadap Poirot. Suaranya terdengar puas. “Tontonan yang lumayan, ya? Tahukah Anda. M. Poirier, orang-orang di Fountain Springs selalu menertawakan saya karena saya bilang akan membawa senjata kalau pergi ke luar negeri. ‘Kaupikir kau akan pergi ke mana?’ ejek mereka. ‘Ke hutan belantara, ya?’ Well, Sir, saya rasa sayalah yang pantas tertawa sekarang. Pernahkah Anda berurusan dengan orang-orang jelek yang menjijikkan seperti mereka?” Poirot berkata, “Mr. Schwartz, Anda muncul tepat pada waktunya. Bisa saja terjadi tragedi yang menyedihkan! Saya berutang nyawa pada Anda!” “Ah, saya senang bisa menolong. Nah, ke mana kita sekarang? Kita harus menyerahkan
orang-orang itu pada polisi dan itu justru yang tidak dapat kita lakukan. Ini benarbenar rumit. Mungkin sebaiknya kita bicarakan hal ini dengan manajer hotel.” Hercule Poirot berkata, “Ah, sang Manajer. Saya rasa sebaiknya kita bicara dengan Gustave, si pelayan, alias Inspektur Drouet. Ya, Gustave si pelayan sesungguhnya seorang detektif.” Schwartz menatapnya tak percaya. “Oh, jadi itu sebabnya mengapa mereka melakukannya!” “Apa? Mengapa siapa melakukan apa?” “Bajingan-bajingan ini menangani Anda sebagai korban kedua. Mereka sudah mencincang Gustave.” “Apa?” “Ikut saya. Dokter sedang sibuk merawatnya.” Kamar Drouet merupakan kamar sempit di lantai paling atas. Dr. Lutz, dalam baju tidur, sedang sibuk membalut wajah lelaki yang penuh luka itu. Ia memalingkan wajahnya ketika mereka masuk. “Ah! Rupanya Anda, Mr. Schwartz. Benar-benar keji! Dasar tukang jagal yang kejam! Monster yang tidak manusiawi!” Drouet terbaring tak bergerak. Ia mengerang lirih. Schwartz bertanya, “Apakah kondisinya berbahaya?” “Dia tidak akan mati karena ini, kalau itu yang Anda maksud. Tapi dia belum boleh bicara... tak boleh dikagetkan. Saya sudah membersihkan dan membalut luka-lukanya... tak ada risiko kena septicaemia.” Ketiga orang itu meninggalkan ruangan bersama-sama. Schwartz berkata pada Poirot, “Apakah Anda tadi mengatakan Gustave seorang polisi?” Hercule Poirot mengangguk. “Tapi untuk apa dia datang ke Rochers Neiges?” “Dia sedang memburu seorang penjahat yang sangat berbahaya.” Dengan singkat Poirot menjelaskan situasinya. Dr. Lutz menyela, “Marrascaud? Saya baca kasusnya di koran. Kalau saja saya bisa bertemu orang itu. Ada gejala ketidaknormalan yang amat parah! Saya tertarik mempelajari masa kecilnya.” “Bagi saya sendiri,” kata Hercule Poirot, “saya ingin tahu, di mana persisnya dia berada saat ini.” Schwartz berkata, “Apakah dia bukan salah satu dari ketiga lelaki yang kita kurung di dalam lemari?” Poirot berkata dengan nada tidak sabar, “Memang mungkin... ya, tapi saya, saya tidak yakin.... Saya punya gagasan....” Kata-katanya terputus, matanya terbelalak menatap karpet. Karpet itu berwarna terang, dan di atasnya terdapat noda-noda berwarna cokelat tua.
Hercule Poirot berkata, “Jejak kaki... jejak kaki yang telah menginjak darah dan berasal dari sayap hotel yang belum dibuka untuk umum. Cepat... kita harus cepat!” Mereka mengikutinya, melalui pintu goyang, menyusuri koridor yang panjang, berdebu, dan remang-remang. Mereka berbelok di ujung koridor, masih tetap mengikuti jejak kaki itu sampai akhirnya tiba di depan sebuah pintu yang agak terbuka. Poirot mendorong pintu itu hingga terbuka lalu masuk. Ia berseru tertahan penuh kengerian. Ruang di balik pintu itu adalah sebuah kamar tidur. Tempat tidurnya bekas ditiduri dan di meja ada sebuah nampan berisi makanan. Di tengah ruangan, di lantai, terbaring sosok tubuh seorang laki-laki. Tingginya sedang. Ia telah disiksa dengan amat kejam. Tubuhnya penuh luka, kepala dan wajahnya hancur tak berbentuk lagi. Schwartz menjerit seperti orang tercekik, lalu cepat-cepat membuang muka, wajahnya seperti orang kesakitan. Dr. Lutz menyerukan kengeriannya dalam bahasa Jerman. Schwartz bicara lirih sekali. “Siapa dia? Adakah yang tahu, siapa dia?” “Menurut dugaan saya,” kata Poirot, “di sini dia dikenal dengan nama Robert, pelayan yang canggung dan tidak terampil...” Lutz mendekat, membungkuk di atas sosok itu. Ia menunjuk dengan jarinya. Ada secarik kertas disematkan di dada mayat itu. Kata-katanya digoreskan dengan tinta dan tulisannya tidak rapi. Marrascaud takkan membunuh lagi... dia juga takkan merampok kawan-kawannya! Schwartz berseru, “Marrascaud? Jadi ini Marrascaud! Tapi apa yang membuatnya datang ke tempat terpencil seperti ini? Dan mengapa Anda mengatakan namanya Robert?” Poirot berkata, “Dia di sini, menyamar sebagai pelayan... dan dia pelayan yang benarbenar jelek. Begitu jeleknya kerjanya hingga tak ada yang kaget ketika dia dipecat. Dia pergi... diduga untuk kembali ke Aldermatt. Tapi tak ada yang melihatnya pergi.” Lutz bicara, suaranya pelan dan serak, “Jadi... menurut Anda, apa yang sebenarnya terjadi?” Poirot menjawab, “Saya rasa kita sudah menemukan penjelasan untuk sikap manajer hotel yang seperti orang ketakutan dan menyembunyikan sesuatu. Marrascaud pasti sudah menyuap dia agar diizinkan tinggal di sayap hotel yang tidak dipakai ini....” Kemudian ia menambahkan sambil merenung, “Tapi, manajer hotel tidak senang karenanya. Tidak, dia malah ketakutan.” “Dan Marrascaud tetap tinggal di sini, dan hanya Manajer yang tahu akan hal ini, begitu?” “Tampaknya memang demikian. Mungkin saja memang begitu.” Dr. Lutz berkata, “Lalu mengapa dia dibunuh? Dan siapa yang membunuhnya?” Schwartz berseru, “Itu gampang sekali. Dia harus membagi uang itu dengan anggota komplotannya. Dia tak mau. Dia malah mengkhianati dan menjerumuskan mereka. Dia datang
ke sini, ke tempat terpencil ini, untuk menyembunyikan diri—sementara. Dia mengira kawan-kawannya takkan mencarinya sampai ke sini. Dia keliru. Entah bagaimana, mereka tahu dan memburunya ke sini.” Ia menyentuh mayat itu dengan ujung sepatunya. “Dan mereka menyelesaikan perhitungan mereka dengan cara... seperti ini.” Hercule Poirot menggumam, “Ya, ini bukan jenis pertemuan seperti yang kita duga.” Dr. Lutz berkata dengan nada tidak enak, “Bagaimana dan mengapa... semua teori itu memang menarik, tapi saya lebih prihatin akan keadaan kita sekarang. Ada mayat seseorang di sini. Saya punya seorang pasien yang harus dirawat, padahal persediaan obat-obatan sangat terbatas. Dan hubungan kita dengan dunia luar terputus! Sampai kapan?” Schwartz menambahkan, “Dan kita mengurung tiga pembunuh dalam sebuah lemari! Menurutku, situasi ini benar-benar menarik.” Dr. Lutz berkata, “Apa yang bisa kita lakukan?” Poirot berkata, “Pertama, kita harus memberi tahu manajer hotel. Dia bukan penjahat, dia hanya orang yang tamak dan mata duitan. Dia juga pengecut. Dia akan melakukan apa pun yang akan kita perintahkan. Kawan kita Jacques, atau istrinya, mungkin bisa mencarikan tali untuk kita. Tiga penjahat itu harus kita tempatkan sedemikian, sehingga dapat kita awasi terus-menerus sampai bantuan datang. Saya rasa pistol otomatis Mr. Schwartz akan banyak gunanya dalam hal ini.” Dr. Lutz berkata, “Dan saya? Apa yang harus saya lakukan?” “Anda, Dokter,” kata Poirot dengan sungguh-sungguh, “harus melakukan apa yang bisa Anda lakukan, demi pasien itu. Dan kita semua, kecuali Dokter, harus tetap waspada... setiap saat... dan menunggu. Tak ada hal lain yang bisa kita lakukan.” VI Tiga hari kemudian, serombongan pria muncul di depan hotel. Hari masih pagi benar. Hercule Poirot membukakan pintu untuk mereka, lalu berseru riang, “Selamat datang, mon vieux.” Monsieur Lementeuil, komisaris polisi, menyalami kedua tangan Poirot. “Ah, kawan, senang sekali bisa bertemu lagi denganmu! Ini benar-benar luar biasa! Kau pasti melewatkan hari-hari yang amat menegangkan! Dan kami di bawah, cemas, takut... tak tahu apa-apa... amat ngeri. Tak ada radio penghubung... tak ada sarana komunikasi. Heliograph itu, itu akal Anda yang benar-benar jenius.” “Tidak, tidak,” sela Poirot, mencoba bersikap rendah hati. “Jika alat ciptaan manusia tidak berfungsi lagi, kita harus kembali ke alam. Selalu ada matahari di langit.” Rombongan itu masuk ke hotel. Lementeuil berkata, “Kami bukan tamu yang diharapkan, ya?” Senyumnya agak sedih. Poirot juga tersenyum. Katanya, “Bukan begitu! Tapi kami beranggapan kereta gantung itu belum berhasil diperbaiki.” Lementeuil berkata penuh emosi, “Ah, ini hari istimewa. Tak ada keraguan lagi, kan? Benarkah Marrascaud memang di sini?” Mereka naik ke lantai atas. Pintu terbuka dan Schwartz keluar dengan pakaian tidurnya. Ia terbelalak ketika melihat orang-orang itu. “Saya dengar suara-suara,” katanya. “Mengapa? Ada apa ini?”
Hercule Poirot berkata dengan nada seperti orang penting sedang bicara, “Bantuan telah datang! Ikut kami, Monsieur. Ini saat yang amat penting.” Ia menaiki tangga berikutnya. Schwartz berkata, “Anda akan naik menemui Drouet? Bagaimana keadaannya sekarang?” “Menurut laporan Dr. Lutz, semalam keadaannya semakin baik.” Mereka sampai di depan kamar Drouet. Poirot membuka pintu itu lebar-lebar, sambil berkata, “Inilah babi hutan liar yang Anda buru, Tuan-tuan. Bawa dia hidup-hidup dan jangan biarkan dia bebas dari pisau guillotine.” Lelaki yang terbaring itu, dengan wajah masih terbalut rapat, tampak kaget. Tapi para polisi sudah mencekal kedua tangannya sebelum dia sempat melakukan sesuatu. Schwartz berteriak ngeri, “Tapi dia Gustave, si pelayan.... Dia Inspektur Drouet.” “Dia memang Gustave, benar... tapi dia bukan Drouet. Drouet adalah pelayan yang pertama, si Robert yang dikurung dalam sebuah kamar di sayap hotel yang tidak dipakai dan yang dibunuh Marrascaud pada malam saya diserang kawan-kawannya.” VII Sambil menikmati sarapan, dengan tenang Poirot menjelaskan semuanya pada pria Amerika yang masih tampak bingung dan ngeri itu. “Anda bisa mengerti... ada hal-hal tertentu yang dapat kita ketahui—yang bisa segera kita ketahui berkat pengalaman bertahun-tahun dalam profesi seseorang. Misalnya, orang akan bisa membedakan detektif dari pembunuh! Gustave bukan pelayan sebenarnya... itu segera saya ketahui... tapi dia juga bukan polisi. Sepanjang karier saya, saya selalu berurusan dengan polisi dan saya tahu. Bagi orang awam, dia bisa berpura-pura menjadi detektif... tapi dia takkan bisa mengelabui orang yang pernah menjadi polisi. “Karena itu, saya langsung curiga. Malam itu saya tidak minum kopi yang disajikan untuk saya. Saya buang. Dan dugaan saya benar. Larut malam, seseorang masuk ke kamar saya, dengan mudah dan dengan penuh percaya diri, karena yakin penghuni kamar itu telah dibiusnya. Dia menggeledah barang-barang saya dan menemukan surat itu di dompet saya... yang memang sengaja saya letakkan di sana agar ditemukannya! Esok harinya Gustave muncul di kamar saya, menghidangkan kopi. Dia menyapa saya dengan nama saya yang sebenarnya dan memainkan perannya dengan meyakinkan. Tapi dia cemas... sangat cemas... karena bagaimanapun juga polisi telah berhasil mencium jejaknya! Polisi tahu di mana dia bersembunyi, dan itu amat berbahaya baginya. Itu mengacaukan rencananya. Dia terjebak di sini, seperti tikus masuk perangkap.” Schwartz berkata, “Bodoh benar dia memilih sembunyi di sini! Mengapa?” Poirot berkata dengan sungguh-sungguh, “Tidak sebodoh yang Anda duga. Dia membutuhkan— kebutuhan yang sangat mendesak—sebuah tempat terpencil, tempat dia bisa bertemu dengan seseorang, dan tempat sesuatu akan terjadi.” “Orang seperti apa?” “Dr. Lutz.” “Dr. Lutz? Apakah dia juga penjahat?” “Dr. Lutz memang Dr. Lutz. Tapi dia bukan spesialis penyakit saraf... bukan pula ahli psikoanalisis. Dia ahli bedah, kawan, dengan spesialisasi bedah plastik atau mengubah wajah. Itu sebabnya dia harus menemui Marrascaud di sini. Dia sekarang jatuh miskin, terusir dari negaranya. Dia ditawari untuk menemui seseorang di sini, diminta mengubah wajah orang itu dengan keterampilannya sebagai ahli bedah... dan kepadanya dijanjikan
upah yang sangat besar. Mungkin dia tahu pasien yang dirawatnya itu penjahat, tapi dia pura-pura tak tahu. Menyadari kenyataan ini, mereka tidak berani mengambil risiko dengan melakukan perawatan di sebuah rumah sakit di suatu negara asing. Ini tempat yang sangat ideal untuk keperluan mereka. Tak ada orang yang akan menginap di sini sebelum liburan musim panas mulai; manajernya butuh uang dan dengan mudah bisa disuap. “Tapi, seperti yang saya katakan tadi, rencana mereka tidak berjalan mulus. Marrascaud dikhianati. Tiga pengawalnya, yang seharusnya menjaga dan mengawalnya, belum datang juga. Tapi Marrascaud segera bertindak. Polisi yang menyamar sebagai pelayan segera diculiknya, dan dia menggantikan tempatnya. Pengawal-pengawalnya sengaja merusak kereta gantung itu. Kini hanya soal waktu. Malam berikutnya Drouet dibunuh dan secarik kertas disematkan di dadanya. Harapannya, ketika hubungan dengan dunia luar sudah tersambung lagi, mayat Drouet sudah dikuburkan sebagai mayat Marrascaud. Dr. Lutz melakukan operasinya tanpa menunda-nunda lagi. Tapi ada satu orang yang harus dibungkam—yaitu Hercule Poirot. Jadi dia menyuruh anak buahnya untuk menghabisi saya. Terima kasih, kawan....” Hercule Poirot membungkuk penuh hormat dan terima kasih kepada Schwartz yang menanggapinya sambil berkata, “Jadi, Anda benar-benar Hercule Poirot?” “Tepat!” “Dan sedetik pun Anda tak pernah terkecoh mayat itu? Anda sudah tahu itu bukan mayat Marrascaud?” “Tepat!” “Mengapa Anda tidak bilang?” Wajah Hercule Poirot langsung menjadi sungguh-sungguh. “Sebab saya harus yakin bahwa Marrascaud bisa saya serahkan hidup-hidup pada polisi.” Ia menggumam lirih, “Menangkapnya hidup-hidup... menangkap babi hutan liar dari Gunung Erymanthus...”
5
KANDANG-KANDANG SAPI RAJA AUGEAS I “SITUASINYA sungguh sangat gawat dan rumit, M. Poirot.” Senyum tipis tersungging di bibir Poirot. Hampir saja ia berkata, “Biasanya memang begitu!” Namun, yang dilakukannya adalah menahan diri dan berusaha menampilkan sikap dan ekspresi seperti orang yang mendengarkan wasiat seseorang menjelang ajalnya. Dengan berat hati Sir George Conway melanjutkan. Kalimat-kalimat meluncur lancar dari bibirnya... bahayanya bagi posisi Pemerintah... perhatian dan minat masyarakat... solidaritas di dalam tubuh Partai... perlunya menampilkan citra persatuan di depan
umum... kekuatan pers... dan nasib negeri ini.... Semuanya terdengar bagus... dan tak ada maknanya. Hercule Poirot bosan, ia menahan diri agar tidak menguap meskipun dagunya pegal. Ia tak ingin dikatakan tidak tahu sopan santun. Perasaan seperti ini kadang-kadang dirasakannya bila ia harus membaca lembarlembar laporan debat-debat di parlemen. Tapi dalam kesempatan-kesempatan seperti itu, ia tak perlu menahan diri untuk tidak menguap. Dipaksanya dirinya bersikap sabar. Pada saat yang sama, ia bersimpati pada Sir George Conway. Jelas pria itu ingin menyampaikan sesuatu yang penting padanya, dan jelas pula bahwa ia telah kehilangan kemampuannya untuk mengatakan hal tersebut dengan ringkas dan sederhana. Kata-kata baginya telah menjadi senjata untuk menutupi dan mengaburkan kenyataan... bukan membuka dan membuatnya menjadi jelas. Ia amat mahir dalam seni menggunakan kalimat-kalimat yang “berguna”... maksudnya kalimat-kalimat yang enak didengar tetapi sesungguhnya kosong dan tak ada artinya. Kata-kata terus meluncur... Sir George yang malang. Wajahnya kini benar-benar memerah. Dengan putus asa dan penuh permohonan ia memandang pria yang duduk di ujung meja. Yang dipandang segera menanggapi. Edward Ferrier berkata, “Baiklah, George, aku yang akan mengatakannya.” Hercule Poirot mengalihkan pandangannya dari Menteri Dalam Negeri kepada Perdana Menteri. Ia tertarik pada Edward Ferrier. Rasa tertariknya dibangkitkan oleh kata-kata yang pernah didengarnya, yang diucapkan oleh seorang pria berusia 82 tahun. Profesor Fergus MacLeod, setelah memecahkan kasus kimia yang rumit dalam urusan pembuktian suatu pembunuhan, sejenak mengalihkan pembicaraan pada masalah politik. Dengan pensiunnya John Hammett (sekarang bergelar Lord Comworthy) yang terkenal dan dicintai rakyat, menantunya, Edward Ferrier, diminta membentuk sebuah kabinet. Menurut ukuran seorang politikus, menantu John Hammett itu masih muda, belum ada lima puluh tahun umurnya. Profesor MacLeod berkata, “Ferrier pernah menjadi murid saya. Dia sangat jujur dan berpendirian teguh.” Hanya itu yang dikatakannya, tapi kata-kata itu meninggalkan kesan yang dalam pada Hercule Poirot. Jika MacLeod mengatakan seseorang jujur dan teguh, pastilah memang begitu keadaannya, meskipun sering kali karakter seperti ini tidak dipertimbangkan pers atau masyarakat pada umumnya. Karakter seperti itu, dan ini benar, erat kaitannya dengan dugaan khalayak ramai. Edward Ferrier dianggap jujur dan teguh—hanya itu—tidak brilian, bukan negarawan besar, bukan ahli pidato yang pandai memikat, tidak pula sangat terpelajar. Ia jujur dan teguh... orang yang dibesarkan dalam tradisi yang kukuh, yang menikahi putri John Hammett, dan yang telah lama menjadi tangan kanan John Hammett. Edward Ferrier dapat diandalkan dan pasti akan meneruskan jejak John Hammett dalam mengatur negeri ini... sesuai dengan tradisi John Hammett. John Hammett sendiri amat disayangi masyarakat dan pers Inggris. Ia merupakan cerminan kualitas yang amat dikagumi masyarakat Inggris. Tentang dia, orang berkata, “Orang bisa merasakan kejujuran ala Hammett.” Banyak lelucon tentang kehidupan pribadinya yang amat sederhana, tentang kesukaannya berkebun. Sepadan dengan Baldwin dengan pipanya dan Chamberlain dengan payungnya, orang selalu mengasosiasikan Hammett dengan jas hujannya. Ia selalu membawa jas hujannya—yang sudah amat lusuh—ke mana-mana. Benda itu menjadi simbol yang melambangkan iklim Inggris Raya, kebijakan jalan pikiran bangsa Inggris, dan kecintaan bangsa Inggris akan benda yang sudah lama menjadi miliknya. Lebih dari itu, dengan gayanya yang tegas dan khas pria Inggris, John Hammett adalah orator ulung. Pidato-pidatonya, yang disampaikan dengan tenang dan bersungguh-sungguh, banyak mengandung kalimat-kalimat klise yang sentimental, yang amat digemari orang Inggris. Orang-orang asing kadang-kadang mengkritik pidatonya sebagai pidato yang hipokrit dan sok ningrat. John Hammett sendiri memang suka menampilkan kesan bahwa dirinya adalah bangsawan yang sederhana. Itu semua masih ditambah dengan penampilan fisiknya: jangkung, penuh percaya diri,
dengan kulit bersih dan sepasang mata biru yang bersinar cerah. Ibunya berasal dari Denmark dan ia telah menduduki jabatan Lord of the Admiralty (Kepala Staf Angkatan Laut) selama beberapa tahun. Kedua kenyataan itu membuatnya dijuluki “the Viking”. Ketika akhirnya kesehatannya memaksanya meletakkan jabatan, muncullah perasaan tidak enak yang sudah lama terpendam. Siapa yang akan menggantikannya? Lord Charles Delafield yang brilian? (Terlalu brilian... Inggris tidak membutuhkan pemimpin yang brilian.) Evan Whittler? (Pintar... tapi mungkin kurang jujur.) John Potter? (Orang yang mungkin akan senang membayangkan dirinya sendiri sebagai diktator—dan kita tidak menginginkan seorang diktator di negeri ini, terima kasih banyak.) Maka orang menghela napas lega ketika Edward Ferrier mewarisi kantor mertuanya. Ferrier cukup baik. Ia telah dilatih sang Pemimpin, ia menikah dengan putri sang Pemimpin. Dan dalam kalimat klasik bahasa Inggris, Ferrier akan “melanjutkan”. Hercule Poirot mengamati pria berwajah gelap dan berpembawaan tenang yang sedang bicara dengan suara rendah yang bernada menyenangkan. Pria itu sekarang kelihatan murung dan letih. Edward Ferrier sedang berkata, “M. Poirot, mungkin Anda pernah mendengar tentang sebuah mingguan bernama X-ray News?” “Ya, saya pernah membacanya sekilas,” Poirot mengakui, wajahnya sedikit memerah. Perdana Menteri berkata, “Jadi, setidak-tidaknya Anda tahu sedikit tentang isinya. Isuisu yang berbahaya. Kalimat-kalimat tajam yang menyiratkan rahasia-rahasia sejarah yang sensasional. Beberapa di antaranya memang benar, beberapa di antaranya tidak berbahaya— tapi semua disajikan dalam gaya bahasa yang memikat. Kadang-kadang...” Ia berhenti, kemudian melanjutkan, suaranya agak berubah, “Kadang-kadang ada yang lebih dari itu....” Hercule Poirot tidak menanggapi. Ferrier melanjutkan, “Selama dua minggu terakhir ini, telah dimuat berita-berita yang mengarah ke pengungkapan skandal paling besar dalam ‘kalangan politik tertinggi’. ‘Terbongkarnya kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang mengejutkan.’” Hercule Poirot berkata sambil mengangkat bahu. “Akal yang sudah diketahui umum. Ketika berita yang benar akhirnya muncul, pasti itu akan mengecewakan pembaca yang sudah mengharapkan akan disuguhi sensasi.” Ferrier berkata datar, “Yang ini tidak akan mengecewakan mereka.” Hercule Poirot bertanya, “Kalau begitu, Anda tahu pengungkapan apa yang akan mereka sajikan?” “Dari sumber yang dapat dipercaya.” Edward Ferrier diam sesaat, kemudian melanjutkan. Dengan hati-hati, dengan sistematis, diringkasnya bahan berita itu. Itu bukan kisah yang luar biasa. Tuduhan penggelapan yang memalukan, permainan saham, penyalahgunaan dana Partai. Tuduhan itu semua diarahkan pada mantan Perdana Menteri, John Hammett. Mereka menuduhnya sebagai serigala licik, pejabat yang tidak jujur, orang yang mengelabui rakyat di balik sikap anggunnya, yang menggunakan jabatannya untuk memperkaya diri. Akhirnya, suara Perdana Menteri yang bernada rendah itu terhenti. Menteri Dalam Negeri menggeram. Kata-kata ini meluncur begitu saja dari mulutnya, “Mengerikan... mengerikan! Perry, orang yang menyunting berita itu, seharusnya ditembak saja.” Hercule Poirot berkata, “Berita memalukan ini akan dimuat di X-ray News?”
“Ya.” “Langkah apa yang Anda usulkan untuk melawan mereka?” Ferrier berkata pelan, “Berita itu merupakan serangan pribadi atas John Hammett. Terserah dia, apakah akan menuntut mingguan itu karena telah mencemarkan namanya.” “Maukah dia?” “Tidak.” “Mengapa tidak?” Ferrier berkata, “Hal itu justru akan menguntungkan X-ray News. Publikasi yang menyusul berita itu pasti akan besar-besaran. Mereka pasti akan membela diri dengan mengatakan apa yang mereka muat itu benar. Masalahnya pasti akan membesar dengan cepat, seperti nyala api.” “Tapi, jika dalam kasus itu mereka kalah, mereka pasti akan rugi besar.” Ferrier berkata pelan, “Mungkin saja mereka akan menang.” “Mengapa?” Sir George menyela, “Sungguh, menurut saya...” Tapi Edward Ferrier telah lebih dahulu bicara, “Sebab apa yang akan mereka muat itu... benar.” Terdengar geram kesal dari arah tempat duduk Sir George Conway. Ia jengkel mendengar pernyataan yang sama sekali tidak diplomatis itu. Pernyataan yang amat jujur. Ia berkata nyaring, “Edward, kawanku. Tentu saja kita tidak mengakui...” Senyum sekilas terlintas di bibir Edward Ferrier yang tampak letih. Ia berkata, “Sayangnya, George, ada saat-saat ketika kebenaran yang pahit harus dinyatakan secara terbuka. Ini salah satu kasus seperti itu.” Sir George berseru, “Anda tahu benar, kan, M. Poirot. Ini semua benar-benar rahasia. Satu kata pun...” Ferrier menyelanya. Katanya, “M. Poirot memahami itu.” Ia menambahkan pelan-pelan, “Apa yang mungkin tidak dimengertinya adalah, masa depan Partai Rakyat sedang dipertaruhkan. John Hammett, M. Poirot, seperti diketahui, selalu dikaitkan dengan Partai Rakyat. Dia merupakan simbol kesopanan dan kejujuran, dua nilai luhur yang amat dihargai orang Inggris. Orang tak menganggap orang-orang seperti kami ini brilian. Kita telah terkecoh dan dibelokkan jalan pikiran kita. Tapi kita akan tetap berteguh demi tugas yang akan kita jalankan sebaik-baiknya... dan kita pun akan berdiri tegak membela kejujuran. Yang dapat menghancurkan kita adalah ini... bahwa tokoh panutan kita... pemimpin Partai Rakyat... sang Pria Jujur, par excellence... ternyata adalah penjahat paling cerdik di zaman kita.” Sekali lagi Sir George menggeram. Poirot bertanya, “Anda semula sama sekali tidak tahu?” Sekali lagi senyum terlintas di wajah letih itu. Ferrier berkata, “Anda mungkin tidak percaya pada saya, M. Poirot, tapi seperti orang-orang lain, saya telah terkecoh. Saya tak bisa memahami sikap menjauh dan menjaga jarak yang ditunjukkan istri saya terhadap ayahnya. Kini saya bisa mengerti. Istri saya tahu bagaimana sebenarnya karakter ayahnya.” Ia berhenti sejenak, kemudian berkata, “Ketika kebenaran mulai bocor ke luar, saya amat
terkejut dan ngeri. Kami memaksa ayah mertua saya mengundurkan diri dengan alasan kesehatan... dan kami segera mulai... mulai membersihkan kotoran itu, begitukah istilahnya?” Sir George menggeram. “Kandang-kandang Sapi Raja Augeas!” Poirot kaget. Ferrier berkata, “Yang saya khawatirkan, untuk membersihkannya dibutuhkan seorang Hercules. Sekali kenyataannya dipublikasikan, negeri ini akan dilanda reaksi dan kekacauan yang luar biasa. Pemerintah akan jatuh. Akan diadakan Pemilihan Umum dan kemungkinan besar Everhard dan partainya akan kembali berkuasa. Anda tahu garis politik Everhard, bukan?” Sir George terbatuk-batuk. “Sapu bersih... benar-benar sapu bersih.” Ferrier berkata dengan murung, “Everhard mempunyai kemampuan... tapi gegabah, tidak panjang pikir, dan sama sekali tidak bijaksana. Para pendukungnya pun cukup berpengaruh... singkatnya, dia akan memerintah seperti diktator.” Hercule Poirot mengangguk. Sir George menyela cepat, “Kalau saja masalah ini bisa dipeti-eskan...” Pelan-pelan Perdana Menteri menggelengkan kepalanya. Ia seperti orang kalah. Poirot berkata, “Menurut Anda, masalah ini tak dapat dipeti-eskan?” Ferrier berkata, “Saya menemui Anda, M. Poirot, sebagai harapan terakhir. Menurut saya, kasus ini sudah amat berkembang, terlalu banyak orang yang tahu dan akan sulit sekali ditutupi. Hanya ada dua cara yang masih terbuka bagi kita, yaitu—kalau saya boleh mengatakannya secara apa adanya—menggunakan kekerasan, atau dengan cara menyuap—duaduanya saya ragukan keberhasilannya. Menteri Dalam Negeri membandingkan masalah kita ini dengan pembersihan Kandang-kandang Sapi Raja Augeas. Untuk itu dibutuhkan, M. Poirot, sungai besar yang berarus deras, yang mempunyai kekuatan penghancur yang besar.... ya, kekuatan alam yang dahsyat... dan itu adalah suatu mukjizat.” “Sesungguhnya, yang dibutuhkan adalah seorang Hercules,” kata Poirot sambil menganggukangguk. Ia kelihatan senang. Ditambahkannya. “Ingat, nama saya adalah Hercule....” Edward Ferrier berkata, “Dapatkah Anda membuat mukjizat, M. Poirot?” “Bukankah untuk itu Anda memanggil saya? Karena Anda menganggap itu bisa saja saya lakukan?” “Benar... ya, benar... Saya menyadari, seandainya pertolongan dan penyelamatan bisa dilakukan, itu harus dilakukan dengan cara yang fantastis dan benar-benar di luar kebiasaan.” Ia diam sesaat, lalu melanjutkan, “Tapi, M. Poirot, barangkali Anda akan mempertimbangkan segi etis situasi ini? John Hammett seorang penjahat. Legenda John Hammett harus dihancurkan. Bisakah orang membangun pemerintahan yang bersih dan jujur berdasarkan fondasi yang kotor dan tidak jujur? Entahlah. Saya tak tahu. Tapi yang saya tahu, saya bersedia mencoba.” Tiba-tiba ia tersenyum pahit. “Para politisi ingin tetap berkuasa... dan seperti biasa, dengan alasan-alasan yang mulia.”
Hercule Poirot bangkit berdiri. Katanya, “Monsieur, pengalaman saya di kepolisian membuat saya tidak terlalu menghargai politikus. Kalaupun John Hammett masih memerintah... saya takkan peduli, tak akan. Tapi saya tahu sesuatu tentang Anda. Saya diberitahu seorang laki-laki terhormat, ilmuwan paling besar di zaman ini, bahwa Anda adalah... orang yang jujur dan berpendirian teguh. Saya akan berusaha sebaik-baiknya.” Ia membungkuk lalu meninggalkan ruangan. Sir George langsung meledak, “Dasar laki-laki aneh....” Tapi, Edward Ferrier berkata sambil tetap tersenyum, “Kuanggap itu sebagai pujian.” II Waktu menuruni tangga, Hercule Poirot digamit seorang wanita berkulit terang dan berambut pirang. Wanita itu berkata, “Silakan singgah ke ruangan saya, M. Poirot.” Hercule Poirot mengangguk, lalu mengikuti wanita itu. Wanita itu menutup pintu, menyilakan Poirot duduk di sebuah kursi, dan menawarinya sebatang rokok. Kemudian ia duduk di depannya. Pelan ia berkata, “Anda baru saja bicara dengan suami saya... dan dia telah mengatakan pada Anda... tentang ayah saya.” Poirot memandang wanita itu dengan penuh minat. Dilihatnya seorang wanita jangkung, masih kelihatan menarik, dengan wajah yang mencerminkan kecerdasan dan wataknya yang kuat. Mrs. Ferrier adalah tokoh yang populer di masyarakat. Sebagai istri Perdana Menteri, tentu saja kehidupan pribadinya selalu mendapat sorotan. Sebagai putri ayahnya, popularitasnya justru lebih besar, Dagmar Ferrier mencerminkan citra ideal wanita Inggris. Ia istri yang penuh bakti, ibu yang penuh kasih, dan sama-sama menyenangi kehidupan di pedesaan—seperti suaminya. Ia menyibukkan diri dengan aspek-aspek kehidupan masyarakat yang jelas-jelas sesuai untuk mendapat perhatian seorang wanita. Pakaiannya selalu rapi dan menarik, tetapi tidak pernah berlebih-lebihan. Sebagian besar waktunya diabdikan untuk berbagai kegiatan sosial berskala besar, ia juga telah menciptakan tunjangan khusus untuk istri-istri para penganggur. Rakyat Inggris amat menghargainya dan karenanya ia merupakan aset tak ternilai bagi partainya. Hercule Poirot berkata, “Anda pasti cemas sekali, Madame.” “Oh ya, memang... Anda tak bisa membayangkan betapa cemasnya saya. Sudah bertahun-tahun saya menahan diri... melihat itu semua.” Poirot menanggapi, “Anda tidak punya bayangan tentang apa yang sebenarnya terjadi?” Dagmar Ferrier menggeleng. “Tidak... sedikit pun tidak. Saya hanya tahu ayah saya tidak... tidak seperti yang dibayangkan orang-orang. Sejak masih kanak-kanak, saya sudah sadar bahwa ayah saya adalah... penjahat yang licin.” Suaranya terdengar sedih dan pahit. Lanjutnya, “Karena menikah dengan saya, Edward... Edward akan kehilangan segala-galanya.” Poirot berkata dengan tenang dan bersungguh-sungguh, “Apakah Anda mempunyai musuh, Madame?” Yang ditanya memandang Poirot dengan kaget. “Musuh? Rasanya tidak.” “Saya rasa Anda punya....” Lalu Poirot melanjutkan, “Apakah Anda punya keberanian, Madame? Segera akan tersiar
berita-berita... yang akan memojokkan dan berusaha menjatuhkan suami Anda... dan Anda sendiri. Anda harus bersiap mempertahankan diri.” Mrs. Ferrier berseru, “Tapi tak jadi soal bila masalahnya menyangkut saya. Asalkan jangan menghancurkan Edward!” Poirot berkata, “Yang satu menarik yang lain. Ingat, Madame, Anda adalah istri Caesar.” Poirot melihat wajah wanita itu memucat. Mrs. Ferrier mencondongkan tubuhnya ke depan. Katanya, “Apa yang sebenarnya ingin Anda katakan?” III Percy Perry, editor X-ray News, duduk di belakang mejanya sambil merokok. Ia bertubuh kecil dengan wajah seperti berang-berang. Ia sedang bicara, suaranya halus dan meluncur lancar, “Akan kita lempari mereka dengan kotoran! Bagus, bagus! Oh, boy!” Wakilnya, pemuda kurus berkacamata, berkata dengan berat hati, “Anda tidak gugup, kan?” “Mengharapkan uluran tangan yang kokoh? Bukan mereka. Mereka tak punya nyali. Tak akan baik juga bagi mereka. Ini bukan cara kita membongkar skandal... di negeri ini, di daratan Eropa, maupun di Amerika.” Lawan bicaranya menanggapi, “Mereka pasti seperti cacing kepanasan. Apakah mereka tidak akan membalas?” “Mereka akan mengirim seseorang untuk merayu kita....” Terdengar dering telepon. Percy Perry mengangkatnya. Katanya, “Siapa, kata Anda? Baik, suruh dia kemari.” Diletakkannya telepon. Ia tersenyum. “Mereka menyewa detektif Belgia yang sombong itu. Sekarang dia datang kemari untuk melakukan tugasnya. Aku mau tahu, akan kulayani permainannya.” Hercule Poirot masuk. Pakaian yang dikenakannya betul-betul sempurna dan dari jenis yang mahal. Sekuntum bunga camelia putih tersemat di lubang kancing jasnya. Percy Perry berkata, “Senang bisa berkenalan dengan Anda, M. Poirot. Sedang akan pergi ke Ascot menonton final pacuan kuda? Tidak? Ah, saya keliru kalau begitu.” Hercule Poirot berkata, “Saya merasa tersanjung. Saya hanya ingin berpenampilan rapi. Dan ini lebih penting lagi,” dengan gaya tanpa dosa matanya menyapu tuan rumahnya dan ruangan tempat kerjanya, “jika seseorang tidak dianugerahi banyak kelebihan.” Perry menyahut singkat, “Apa maksud kedatangan Anda kemari?” Poirot mencondongkan badannya ke depan, menepuk-nepuk lutut tuan rumah, kemudian berkata sambil tersenyum cerah, “Memeras!” “Apa maksud Anda? Memeras?” “Saya mendengar kabar burung... bahwa Anda sudah siap menerbitkan pernyataan-pernyataan yang berbahaya dan sangat merusak dalam majalah Anda yang sangat spirituel... dan karena itu, tabungan Anda meningkat dalam jumlah yang cukup menggiurkan... dan bagaimanapun juga pernyataan-pernyataan tersebut belum juga dipublikasikan.” Poirot bersandar kembali dan kepalanya mengangguk-angguk dengan sikap puas.
“Apakah Anda sadar apa yang Anda katakan itu sama artinya dengan pemerasan juga?” Poirot tersenyum penuh keyakinan. “Saya yakin Anda takkan berani menentangnya.” “Saya tidak menentangnya! Tentang pemerasan yang Anda tuduhkan, tak ada bukti bahwa saya telah memeras seseorang.” “Memang tidak. Dalam hal itu saya pun yakin, tidak. Anda salah mengerti. Saya bukannya mengancam Anda. Saya sedang menggiring Anda ke sebuah pertanyaan sederhana. Berapa?” “Saya tidak mengerti maksud Anda,” kata Percy Perry. “Masalah kepentingan nasional, M. Perry.” Mereka berpandangan, saling mengerti. Percy Perry berkata, “Saya seorang pembaharu, M. Poirot. Saya ingin melihat politik yang bersih. Saya antikorupsi. Tahukah Anda bagaimana keadaan politik di negeri ini? Kotor, busuk, dan menjijikkan! Persis Kandang-kandang Sapi Raja Augeas, persis sekali!” “Tiens!” kata Hercule Poirot. “Anda pun mengutip kalimat yang sama.” “Dan yang kita butuhkan,” lanjut editor itu, “adalah membersihkan kandang-kandang itu dengan banjir besar yang disebut Opini Masyarakat.” Hercule Poirot bangkit berdiri. Ia berkata, “Saya menghargai cita-cita Anda.” Ditambahkannya, “Sayang sekali, Anda tidak butuh uang.” Percy Perry berkata dengan tergesa-gesa, “Eh, tunggu... saya tidak mengatakannya begitu....” Tapi Hercule Poirot telah keluar. Alasan-alasan yang dikemukakannya kemudian adalah, ia benci pada para pemeras. IV Everitt Dashwood, pemuda periang yang menjadi staf di The Branch, menepuk-nepuk punggung Poirot dengan akrab. Katanya, “Ada kotoran dan kotoran, kawan. Punya saya adalah kotoran yang bersih. Titik.” “Saya tidak mendakwa Anda berkomplot dengan Percy Perry.” “Pemeras sialan. Dialah perusak dalam profesi kami. Kami akan menghancurkannya kalau bisa.” “Saat ini,” kata Hercule Poirot, “saya diminta membereskan kasus skandal politik.” “Membersihkan Kandang-kandang Sapi Raja Augeas, ya?” kata Dashwood. “Terlalu berat bagi Anda, kawan. Harapan tinggal harapan. Bagaimana mungkin orang mengalihkan aliran Sungai Thames dan melenyapkan Gedung Parlemen dengan banjir besar?” “Anda sinis,” kata Hercule Poirot sambil menggelengkan kepala. “Saya kenal betul dunia ini. Titik.” Poirot berkata, “Andalah, menurut saya, orang yang saya cari-cari. Anda punya kecenderungan selalu bersikap gelisah. Anda pemburu yang mahir, dan Anda suka sesuatu yang tidak biasa.”
“Dan Anda datang ke sini untuk memberi tugas?” “Saya punya rencana kecil yang harus dilaksanakan. Jika gagasan saya benar, ada rencana sensasional yang bisa kita bongkar. Dan itu, kawan, akan menjadi keuntungan besar bagi majalah Anda.” “Katakan saja,” kata Dashwood riang. “Ini menyangkut rencana jahat yang akan menghancurkan reputasi seorang wanita.” “Bagus, itu justru lebih bagus. Masalah seks selalu laku dijual.” “Kalau begitu silakan duduk dan dengarkan baik-baik.” V Orang-orang bicara. Orang-orang bergosip. Di pub Goose and Feathers di Little Wimplington. “Wah, aku tak percaya. John Hammett... dia orang yang amat jujur. Tidak seperti politikus yang lain.” “Itu yang selalu dikatakan orang tentang para penipu, sebelum mereka ketahuan.” “Katanya dia korupsi ribuan poundsterling, dari bisnis Palestine Oil. Kerja sama yang mencurigakan.” “Para politikus memang berwatak kotor. Semuanya sama saja. Sama bejatnya.” “Tapi tidak demikian halnya dengan Everhard. Dia termasuk politikus berpandangan kuno.” “Eh, tapi aku tak percaya kalau John Hammett bersalah. Kita tak boleh percaya begitu saja pada koran-koran.” “Istri Ferrier adalah anak perempuannya. Kau sudah baca apa yang ditulis koran-koran tentang dia?” Mereka menyimak halaman-halaman X-ray News: Istri Caesar? Kami mendengar bahwa seorang istri politikus tingkat tinggi terlihat berada di suatu tempat yang aneh beberapa hari yang lalu. Bersama gigolonya. Oh, Dagmar, Dagmar, mengapa engkau nakal sekali? Sebuah suara menyela dengan tenang, “Mrs. Ferrier bukan wanita seperti itu. Gigolo? Ini pasti salah satu dari akal busuk mereka.” Suara yang lain berkata, “Ah, wanita selalu tak bisa diduga. Menurutku, mereka semua sama saja. Dasar perempuan.” VI Orang-orang bicara. Orang-orang bergosip. “Tapi, Sayang, aku yakin ini benar. Naomi mendengarnya dari Paul yang mendengarnya dari Andy. Dia benar-benar menjijikkan.” “Tapi dia selalu kelihatan sopan, anggun, dan selalu membuka acara ini-itu.” “Ah, itu kamuflase saja. Mereka bilang Dagmar seorang nymphomaniac. Ya, memang begitu! Semua ada di X-ray News. Yah... memang tidak ditulis secara terang-terangan, tapi kita
bisa mengerti apa yang tersirat di balik kalimat-kalimat itu. Aku tak mengerti, bagaimana mereka bisa tahu.” “Bagaimana pendapatmu tentang skandal politik itu? Orang bilang ayahnya menggelapkan dana Partai.” VII Orang-orang terus bicara. Orang-orang terus bergosip. “Saya tak suka bicara tentang itu, Mrs. Rogers. Harap dimaklumi. Saya selalu beranggapan Mrs. Ferrier wanita baik-baik.” “Apakah menurut Anda semua itu benar?” “Seperti kata saya tadi, saya tak suka membicarakan dia. Mengapa? Bulan Juni lalu dia baru saja meresmikan Bazar di Pelchester. Saya berada dekat dengannya. Dan senyumnya sangat ramah dan sopan.” “Ya, memang. Tapi, orang bilang tak ada asap tanpa api.” “Yah... itu benar juga. Oh, sepertinya sekarang kita tak bisa percaya pada siapa pun.” VIII Edward Ferrier, dengan wajah pucat pasi dan tegang, berkata pada Poirot, “Serangan terhadap istri saya ini! Benar-benar biadab! Biadab! Saya akan menuntut penjahat busuk itu!” Hercule Poirot berkata, “Menurut saya, sebaiknya itu jangan Anda lakukan.” “Tapi kebohongan-kebohongan ini harus dihentikan.” “Anda yakin itu semua memang kebohongan?” “Astaga! Tentu saja!” Poirot berkata, kepalanya agak dimiringkan ke satu sisi, “Apa kata istri Anda sendiri?” Sesaat Ferrier terpana. “Katanya... sebaiknya kita tak usah pedulikan hal itu. Tapi saya tak bisa diam saja... semua orang bicara.” Hercule Poirot berkata, “Ya, semua orang bicara.” IX Sampai suatu saat muncul berita singkat di surat kabar: Mrs. Ferrier menderita tekanan mental ringan, ia pergi ke Skotlandia untuk tetirah. Muncul berbagai reaksi, desas-desus... berita-berita yang positif, yang meyakinkan bahwa Mrs. Ferrier tidak pernah tetirah ke Skotlandia. Cerita-cerita, skandal-skandal bermunculan, tentang di mana sesungguhnya Mrs. Ferrier.... Sekali lagi, orang-orang bicara. “Dengar, Andy memang melihat dia. Di tempat mesum itu! Dia sedang mabuk-mabukan bersama seorang gigolo dari Argentina... Ramon. Asal kau tahu saja!” Gosip semakin seru.
Mrs. Ferrier telah pergi bertamasya bersama si penari Argentina. Ia terlihat di Paris, sedang mabuk-mabukan. Selain itu, sudah bertahun-tahun ia kecanduan. Ia tahan minum bergelas-gelas. Pelan-pelan, pendapat masyarakat Inggris—yang mula-mula tak mau percaya—beralih mencela Mrs. Ferrier. Sepertinya apa yang diberitakan itu benar! Wanita seperti itu tak layak menjadi istri Perdana Menteri. “Dia bagaikan Jezebel!” Kemudian muncul sejumlah foto. Mrs. Ferrier, difoto di Paris—berbaring-baring di sebuah Night Club, tangannya melingkar manja memeluk seorang pria muda berkulit gelap yang tersenyum tak senonoh. Foto-foto lain... setengah telanjang di pantai... kepalanya di punggung si kulit gelap. Dan di bawahnya tertulis: Mrs. Ferrier sedang bersenang-senang.... Dua hari kemudian X-ray News dipanggil pengadilan. X X-ray News diseret ke pengadilan karena tuntutan Sir Mortimer Inglewood, penasihat Raja yang sangat terpandang. Mrs. Ferrier adalah korban rencana busuk... sangat busuk... yang hanya dapat disejajarkan dengan kasus Queen’s Necklace karya Alexandre Dumas yang terkenal itu. Rencana busuk itu sengaja dilaksanakan untuk merendahkan Ratu Marie Antoinette di depan mata rakyat. Rencana ini, seperti halnya kasus tersebut, sengaja dirancang untuk mendiskreditkan seorang wanita terhormat dan amat berbudi yang di negeri ini menduduki posisi seperti istri Caesar. Dengan tegas dan dengan nada pahit, Sir Mortimer bicara tentang kebusukan kaum Fasis dan kaum Komunis yang dengan segala cara selalu berusaha menggulingkan Demokrasi. Kemudian ia menampilkan sejumlah saksi. Yang pertama adalah Uskup Northumbria. Dr. Henderson, Uskup Northumbria, merupakan salah satu tokoh paling berpengaruh di Gereja Inggris. Ia orang yang punya integritas kukuh dan watak kuat. Pandangannya luas, toleran, dan juga pengkhotbah yang pandai. Ia dicintai dan dihormati orang-orang yang mengenalnya. Ia duduk di tempat saksi dan bersumpah bahwa pada masa yang disebutkan itu Mrs. Edward Ferrier menginap di keuskupan, jadi berada bersama keluarganya. Mrs. Ferrier diharuskan beristirahat setelah mengalami keletihan yang amat sangat karena kegiatan sosialnya yang begitu padat. Kunjungannya memang dirahasiakan, agar ia tidak dibuntuti pers. Seorang dokter yang terhormat dan terpercaya maju, menyatakan dirinyalah yang merekomendasikan agar Mrs. Ferrier benar-benar beristirahat total di tempat yang sepi. Seorang dokter setempat memberikan bukti bahwa beberapa kali ia datang memeriksa Mrs. Ferrier di Istana Keuskupan. Saksi berikutnya adalah Thelma Andersen. Ruang sidang berdengung karena seruan-seruan kaget ketika wanita itu melangkah ke tempat saksi. Orang segera menyadari kemiripan wanita itu dengan Mrs. Edward Ferrier. “Nama Anda Thelma Andersen?” “Ya.” “Anda berkebangsaan Denmark?”
“Ya. Saya tinggal di Kopenhagen.” “Sebelum ini Anda bekerja di sebuah kafe di sana?” “Ya.” “Ceritakan pada kami, dengan kata-kata Anda sendiri, apa yang terjadi pada tanggal 18 Maret yang lalu.” “Ada seorang pria yang datang ke meja saya... di sana. Dia orang Inggris. Dia berkata pada saya bahwa dia bekerja untuk sebuah koran Inggris, yaitu X-ray News.” “Anda yakin dia menyebut-nyebut X-ray News?” “Ya, saya yakin, sebab semula saya kira itu koran tentang kedokteran. Tapi rupanya bukan. Kemudian dia berkata bahwa ada seorang aktris Inggris yang mencari seorang ‘pemain pengganti’, dan sayalah orang yang cocok untuk itu. Saya jarang menonton film, dan tidak mengenali nama aktris yang disebutkannya, tapi pria itu mengatakan aktris itu amat terkenal. Wanita itu sedang sakit dan karena itu dia membutuhkan seseorang yang amat mirip dia untuk menggantikan perannya dan muncul di tempat-tempat umum. Untuk itu dia bersedia membayar mahal.” “Berapa yang ditawarkan pria itu kepada Anda?” “Lima ratus poundsterling, dalam mata uang Inggris. Mula-mula saya tak percaya. Saya kira dia penipu, tapi dia langsung membayar separo. Jadi, saya pun berhenti kerja.” Cerita terus berlanjut. Ia diterbangkan ke Paris, diberi gaun-gaun mahal dan dikawal seorang “pengawal”. “Seorang pria Argentina yang sopan dan menyenangkan... sangat halus dan sangat sopan.” Jelas sekali bahwa wanita Denmark itu amat menikmati perannya. Ia diterbangkan ke London dan diajak berkunjung ke sejumlah night club tertentu oleh pengawalnya yang berkulit gelap itu. Di Paris, dia difoto bersama pria itu. Tempat-tempat yang dikunjunginya, wanita Denmark itu mengakui, bukanlah tempat-tempat yang... menyenangkan. Bahkan, bukan tempat-tempat yang terhormat! Dan sejumlah foto yang diambil juga bukan foto yang... sopan. Tapi mereka mengatakan hal itu perlu untuk “advertensi”—dan Senor Ramon sendiri selalu bersikap sangat sopan. Ketika ditanya, wanita itu menjawab bahwa nama Mrs. Ferrier tak pernah disebut-sebut dan ia sama sekali tidak menyangka bahwa wanita itulah yang harus digantikannya. Bukan maksudnya untuk menjelek-jelekkan seseorang. Beberapa foto yang ditunjukkan padanya dapat diidentifikasikannya sebagai foto dirinya, yang diambil di Paris dan di Riviera. Thelma Andersen jelas wanita yang jujur. Ia jelas wanita yang menyenangkan, namun agak tolol. Keterkejutannya dan rasa bersalahnya, kini setelah ia mengetahui duduk perkaranya, bukanlah sesuatu yang dibuat-buat. Pembelaan yang diajukan berurusan dengan Thelma sebagai foto yang asli. menggambarkan kasus itu mendiskreditkan Perdana Ferrier.
tidak meyakinkan. Secara ngawur mereka menyangkal telah Andersen. Foto-foto itu dikirimkan ke London dan dianggap Pidato penutupan Sir Mortimer membangkitkan antusiasme. Ia sebagai skandal politik paling menjijikkan yang dirancang untuk Menteri dan istrinya. Simpati publik kini terarah pada Mrs.
Hukumannya, sebuah kesimpulan yang sudah dapat diduga, sangat berat. Surat kabar itu dituntut ganti rugi yang sangat besar. Ketika Mrs. Ferrier, suaminya, dan ayahnya keluar dari gedung pengadilan, mereka disambut dengan sorak-sorai rakyat yang berkumpul di luar. XI
Edward Ferrier menyalami Poirot dengan hangat. Ia berkata, “Terima kasih, M. Poirot, terima kasih sekali. Sekarang X-ray News pasti bangkrut. Dasar surat kabar picisan. Mereka benar-benar hancur. Pembalasan yang setimpal karena telah berkomplot melaksanakan rencana busuk itu. Menjelek-jelekkan Dagmar, wanita paling baik di dunia. Untunglah Anda berhasil mengungkapkan kebenaran.... Apa yang membuat Anda berpikir mereka mungkin akan menggunakan pisau bermata dua?” “Itu bukan gagasan yang baru,” Poirot mengingatkannya. “Cara itu berhasil bagus dalam kasus Jeanne de la Motte ketika dia menyamar sebagai Marie Antoinette.” “Saya tahu. Saya harus membaca The Queen’s Necklace lagi. Tapi bagaimana cara Anda menemukan wanita yang mereka sewa itu?” “Saya mencarinya di Denmark dan saya menemukannya.” “Tapi... mengapa Denmark?” “Sebab nenek Mrs. Ferrier orang Denmark dan dia sendiri mempunyai ciri khas wanita sana. Kecuali itu, ada sejumlah alasan lain.” “Luar biasa. Mereka begitu mirip. Gagasan yang amat jahat! Heran saya, bagaimana mereka bisa punya pikiran sekotor itu?” Poirot tersenyum. “Bukan mereka.” Ia menepuk dada. “Saya yang merencanakannya.” Edward Ferrier ternganga. “Saya tidak mengerti. Apa maksud Anda?” Poirot berkata, “Kita harus mempelajari sebuah cerita yang jauh lebih tua daripada The Queen’s Necklace—yaitu kisah pembersihan Kandang-kandang Sapi Raja Augeas. Yang digunakan Hercules adalah sebuah sungai—maksudnya, kekuatan alam yang mahadahsyat. Tinggal menerapkannya di zaman modern! Apa kekuatan alam yang mahadahsyat? Seks, bukan? Skandal seks selalu menjadi berita, menjadi buah bibir. Beri publik sesuatu yang ada hubungannya dengan seks, maka skandal politik pun akan terlupakan. “Eh bien, itu gagasan saya! Pertama-tama saya mengaduk lumpur, sama seperti Hercules, untuk membangun bendungan yang akan membelokkan arus sungai. Seorang wartawan, kawan saya, membantu saya. Dia menjelajahi Denmark sampai menemukan wanita yang sesuai untuk penyamaran itu. Dia mendekati wanita itu, sambil lalu menyebut nama X-ray News, dengan harapan dia akan mengingat nama itu. Harapannya terkabul. “Lalu, apa yang terjadi? Lumpur... lumpur yang luar biasa banyaknya. Sekujur tubuh istri Caesar ternoda lumpur. Ini jauh lebih menarik dari skandal politik macam apa pun. Dan hasilnya... sebuah dénouement? Mengapa, reaksi! Kebajikanlah yang menang. Wanita yang tak bersalah itu telah dibersihkan namanya! Banjir roman dan sentimen telah menyapu bersih Kandang-kandang Sapi Raja Augeas. “Kini, kalaupun seluruh surat kabar negeri ini mempublikasikan kebobrokan John Hammett, orang takkan percaya. Itu akan dianggap sebagai salah satu rencana busuk untuk menggulingkan Pemerintah.” Edward Ferrier menghela napas panjang. Sejenak, hampir saja Hercule Poirot diserang secara fisik, sesuatu yang hampir tak pernah dialaminya sepanjang kariernya. “Istri saya! Berani benar Anda menggunakan namanya....” Suatu keberuntungan, mungkin, karena tepat saat itu Mrs. Ferrier masuk ke ruangan. “Bagaimanapun juga,” katanya, “semua berakhir dengan baik.”
“Dagmar... apakah selama ini kau tahu?” “Tentu saja, Sayang,” kata Dagmar Ferrier. Dan wanita itu tersenyum, senyum kasih yang lembut, senyum istri yang penuh cinta. “Dan kau tak pernah bilang padaku!” “Kalau aku bilang, kau takkan mengizinkan M. Poirot melakukannya.” “Tentu saja tidak.” Dagmar tersenyum. “Itu sudah kami duga.” “Kami?” “Aku dan M. Poirot.” Ia tersenyum beristirahat mengharapkan sesuatu yang
pada suaminya dan pada Hercule Poirot. Lalu menambahkan, “Aku benar-benar di kediaman Uskup... sekarang aku merasa penuh energi. Bulan depan mereka aku meresmikan nama sebuah kapal perang baru di Liverpool... kurasa itu pantas dilakukan dan sudah ditunggu-tunggu masyarakat.”
6
BURUNG-BURUNG PENGHUNI DANAU STYMPHALIA I HAROLD WARING pertama kali melihat mereka berjalan mendekat dari arah telaga. Ia sedang duduk-duduk di teras hotel. Cuaca bagus, air danau membiru, dan matahari bersinar. Harold mengisap pipanya dan merasa dunia adalah tempat yang indah dan menyenangkan. Karier politiknya maju pesat. Menjadi asisten menteri pada usia tiga puluh tahun adalah prestasi yang pantas dibanggakan. Orang bilang, Perdana Menteri pernah berkata, “Waring yang masih muda itu pasti bisa sampai ke puncak.” Mendengar itu, tentu saja Harold merasa tersanjung. Hidup bagaikan dipersembahkan padanya, dalam warna-warni yang cerah. Ia masih muda, cukup tampan, dengan kesehatan prima, dan belum pernah terlibat kisah cinta dengan siapa pun. Ia telah memutuskan untuk berlibur di Herzoslovakia, mengunjungi tempat terpencil yang “belum didatangi orang” dan benar-benar beristirahat, menjauhkan diri dari segala macam manusia dan segala macam masalah. Hotel di tepi Danau Stempka, meskipun kecil, amat nyaman dan tidak penuh. Tamu yang tidak banyak jumlahnya itu kebanyakan orang asing. Sampai saat itu, orang Inggris lainnya hanyalah seorang wanita setengah baya, Mrs. Rice, dan putrinya yang sudah menikah, Mrs. Clayton. Harold menyukai mereka. Elsie Clayton wanita yang menawan, dengan penampilan yang agak kuno. Ia jarang memakai rias wajah, dan kalaupun memakai hanya tipis-tipis. Ia lembut dan agak pemalu. Mrs. Rice amat sesuai dengan gambaran “seorang wanita berwatak kuat”. Badannya jangkung, suaranya dalam, dan sikapnya “menguasai keadaan”; tapi ia punya rasa humor dan merupakan teman ngobrol yang menyenangkan. Jelas sekali hidupnya terikat sepenuhnya pada putrinya yang
sudah menikah itu. Harold telah menghabiskan waktu berjam-jam mengobrol dengan ibu dan anak itu, tetapi kedua wanita itu tidak berusaha “memonopoli” dia. Mereka ramah satu sama lain, tetapi tidak saling mengikat. Tamu-tamu lain di hotel itu tidak menarik minat Harold. Kalau bukan orang-orang yang berlibur dengan berjalan kaki, tamu-tamu hotel itu adalah peserta paket perjalanan wisata tertentu. Mereka menginap satu-dua malam, lalu melanjutkan perjalanan. Hampir tak ada yang menarik minatnya—sampai sore ini. Mereka menyusuri jalan yang mendaki dari arah danau, pelan-pelan. Tepat ketika perhatian Harold tertarik pada mereka, segumpal awan bergerak menutupi sang matahari. Harold bergidik. Kemudian ia terpana. Ada sesuatu yang aneh pada kedua wanita itu. Hidung mereka panjang dan bengkok seperti paruh burung. Wajah keduanya amat mirip satu sama lain dan hampirhampir tanpa ekspresi. Mereka mengenakan semacam jubah longgar yang berkibar-kibar ditiup angin, bagaikan sepasang sayap burung raksasa. Harold berkata pada dirinya sendiri, “Mereka sungguh mirip burung...” dan ditambahkannya hampir tanpa berpikir, “burung pembawa kutukan.” Kedua wanita itu naik ke teras dan lewat dekat sekali dengannya. Mereka sudah tidak muda—mungkin usia mereka sekitar lima puluh tahun. Keduanya amat mirip satu sama lain hingga tak perlu diragukan lagi mereka pasti kakak-beradik. Ekspresi wajah mereka penuh misteri. Sambil lewat, hampir semenit lamanya, mata mereka memandang Harold. Pandangan itu aneh, penuh pujian... dan hampir-hampir seperti bukan pandangan manusia. Kesan jahat yang terkilas di benak Harold semakin kuat. Ia memperhatikan bahwa tangan salah satu kakak-beradik itu mirip sekali dengan cakar burung—dengan jari-jari panjang dan kuku runcing.... Meskipun matahari telah muncul kembali dari balik awan, Harold bergidik sekali lagi. Pikirnya, “Makhluk-makhluk yang mengerikan. Seperti burung pemakan bangkai....” Imajinasinya terusik ketika Mrs. Rice keluar dari dalam hotel. Harold terlompat berdiri lalu cepat-cepat menarikkan kursi untuk wanita itu. Sambil mengucapkan terima kasih Mrs. Rice duduk, lalu segera mulai merajut dengan tangan cekatan. Harold bertanya, “Apakah Anda melihat dua wanita yang baru saja masuk?” “Yang mengenakan semacam jubah longgar tanpa kancing? Ya, saya tadi berpapasan dengan mereka.” “Makhluk yang luar biasa, ya?” “Ya... mereka mungkin memang aneh. Saya rasa mereka baru datang kemarin. Sangat mirip... pasti mereka kembar.” Harold berkata, “Mungkin saya mengada-ada, tetapi saya merasa ada sesuatu yang jahat pada diri mereka.” “Aneh sekali. Saya harus mengamati mereka lebih cermat agar tahu apakah saya sependapat dengan Anda atau tidak.” Ditambahkannya, “Kita bisa menanyakan pada pemilik hotel ini, siapa mereka. Saya rasa mereka bukan orang Inggris.” “Jelas bukan.” Mrs. Rice melirik jamnya. Katanya, “Saatnya minum teh. Maafkan saya, maukah Anda masuk dan membunyikan bel, Mr. Waring?”
“Tentu saja, Mrs. Rice.” Mr. Waring membunyikan bel, kemudian sambil kembali ke kursinya ia bertanya, “Di mana putri Anda sore ini?” “Elsie? Tadi kami pergi berjalan-jalan. Mengelilingi danau, setengahnya, lalu kembali lewat hutan cemara. Indah sekali di sana.” Seorang pelayan mendekat dan menerima perintah untuk menyediakan teh dan satu-dua potong kue. Mrs. Rice terus bicara, sementara tangannya yang cekatan terus memainkan jarum rajutnya, “Elsie menerima surat dari suaminya. Mungkin dia tak turun untuk minum teh.” “Suaminya?” Harold sama sekali tak menyangka. “Tahukah Anda, saya selalu mengira dia janda.” Mrs. Rice memandangnya tajam-tajam, sekilas. Ia berkata dengan kaku, “Oh, bukan, Elsie bukan janda.” Ia menambahkan dengan penuh tekanan, “Sayang sekali!” Harold terpana! Mrs. Rice mengangguk dan berkata dengan murung, “Minuman merupakan penyebab banyak kesulitan, Mr. Waring.” “Apakah suaminya peminum?” “Ya. Dan hal-hal buruk lainnya. Dia sangat cemburuan dan gampang sekali marah, bahkan sering mengamuk.” Wanita itu mendesah. “Ini dunia yang sulit, Mr. Waring. Saya sangat mencintai Elsie. Dia anak saya satu-satunya... dan melihatnya tidak bahagia... sangat sulit saya menanggungnya.” Harold berkata penuh emosi, “Putri Anda begitu lembut.” “Barangkali terlalu lembut.” “Maksud Anda...” Mrs. Rice berkata pelan, “Makhluk yang bahagia lebih punya harga diri. Kelembutan Elsie, saya rasa, itu karena dia merasa kalah. Hidup terlalu berat untuknya.” Harold berkata, agak ragu-ragu, “Bagaimana dia menikah dengan suaminya ini?” Mrs. Rice menjawab, “Philip Clayton pria yang amat menarik. Dia punya—dan masih tetap punya—daya tarik yang besar, juga banyak uang. Tak ada orang yang memperingatkan kami tentang wataknya yang sebenarnya. Dua wanita, hidup hanya berdua, tidak bisa menilai watak lelaki dengan benar.” Harold berkata penuh pemikiran, “Tidak, itu tidak benar.” Ia merasa iba dan sekaligus tertantang. Umur Elsie Clayton pasti tak lebih dari 25 tahun. Dikenangnya keramahan wanita itu, matanya yang biru, dan mulutnya yang melengkung lembut. Tiba-tiba dia sadar, rasa tertariknya pada wanita itu telah berkembang dari sekadar hubungan persahabatan. Dan wanita itu terikat pada seorang bajingan.... II Sesudah makan malam, Harold berbincang-bincang dengan ibu dan anak itu. Elsie Clayton mengenakan gaun merah jambu lembut. Harold melihat pelupuk matanya merah. Wanita itu pasti habis menangis.
Mrs. Rice berkata dengan ringkas, “Saya sekarang tahu siapa dua wanita aneh itu, Mr. Waring. Dua wanita Polandia, dari keluarga baik-baik, begitu kata pemilik hotel.” Harold memandang ke seberang ruangan, ke tempat kedua wanita Polandia itu duduk. Elsie berkata dengan penuh minat, “Dua wanita di sana itu? Dengan rambut yang dicat kemerahan? Mereka kelihatan agak mengerikan... entahlah, begitu perasaan saya.” Harold berkata dengan nada penuh kemenangan, “Persis. Itu pula yang saya pikirkan.” Mrs. Rice berkata sambil tertawa, “Saya rasa kau dan Anda, Mr. Waring, terlalu mengadaada. Anda tak bisa menebak watak seseorang hanya dari melihatnya saja.” Elsie tertawa. Katanya, “Ya, saya rasa memang tidak bisa. Tapi biarpun demikian, saya berpendapat mereka memang amat mirip burung pemakan bangkai.” “Yang mematuk-matuk mata mayat!” kata Harold. “Oh, jangan teruskan!” seru Elsie. Harold cepat-cepat berkata, “Maafkan saya.” Mrs. Rice berkata sambil tersenyum, “Bagaimanapun juga, rasanya tak mungkin jalan mereka bersilangan dengan jalan kita.” Elsie berkata, “Kita tidak punya kesalahan yang harus disembunyikan!” “Siapa tahu Mr. Waring menyembunyikan sesuatu,” kata Mrs. Rice sambil mengedipkan matanya. Harold tertawa keras-keras. Katanya, “Tak ada rahasia. Hidup saya bagaikan halaman buku yang terbuka.” Terlintas di pikirannya. “Orang yang meninggalkan jalan yang lurus adalah orang-orang tolol. Suara hati nurani yang murni—itulah yang kita butuhkan. Dengan itu Anda tak perlu takut menghadapi kehidupan—dan Anda bisa mengatakan pada siapa pun yang mengganggu hidup Anda agar pergi ke neraka!” Tiba-tiba Harold merasa amat bersemangat... merasa kuat... dan bisa menguasai hidupnya! III Harold Waring, seperti umumnya orang Inggris, bukanlah orang yang gemar belajar bahasa. Bahasa Prancis-nya terbata-bata dan aksen Inggris-nya amat kental. Ia sama sekali tidak tahu bahasa Jerman dan bahasa Italia. Sampai saat itu, kekurangan itu tidak menjadi soal baginya. Di sebagian besar hotel di daratan Eropa, ia selalu bisa menemukan orang yang bisa berbahasa Inggris. Jadi, untuk apa bersusah-susah belajar bahasa asing? Tapi di tempat terpencil ini, tempat bahasa penduduk aslinya adalah salah satu dialek bahasa Slovakia dan bahkan pemilik hotelnya pun hanya bisa bahasa Jerman, kadang-kadang Harold kikuk ketika kedua wanita itu bertindak sebagai penerjemahnya. Mrs. Rice, yang amat suka belajar bahasa, bahkan bisa sedikit bahasa Slovakia. Harold berjanji pada diri sendiri akan belajar bahasa Jerman. Ia memutuskan membeli buku-buku pelajaran bahasa Jerman dan memaksa dirinya, dua jam setiap pagi, untuk mencoba menguasai bahasa tersebut. Pagi itu udara cerah. Setelah menulis beberapa surat, Harold melirik jam tangannya dan
melihat masih ada waktu satu jam untuk berjalan-jalan sebelum saatnya makan siang. Ia berjalan ke arah danau, lalu berbelok masuk ke hutan cemara. Baru lima menit di sana, telinganya menangkap suara yang amat jelas. Entah di mana, tak jauh dari tempatnya berdiri, seorang wanita sedang menangis dengan pilu. Harold berhenti melangkah. Ia diam beberapa saat, kemudian berjalan ke arah suara itu. Wanita itu Elsie Clayton. Ia sedang duduk di sebatang pohon tumbang, dengan wajah tersembunyi di balik kedua tangannya. Ia menangis tersedu-sedu dan bahunya berguncangguncang tak terkendali. Sesaat Harold ragu-ragu, kemudian mendekati wanita itu. Dengan lembut ia berkata, “Mrs. Clayton... Elsie....” Wanita itu kaget sekali. Ia mengangkat wajahnya memandang pria itu. Harold duduk di sampingnya. Dengan penuh simpati ia berkata, “Adakah yang bisa saya bantu? Katakan saja....” Wanita itu menggeleng. “Tidak... tidak... Anda baik sekali. Tapi tak ada yang dapat menolong saya.” Harold berkata dengan nada agak sengit, “Apakah ini menyangkut... suami Anda?” Wanita itu mengangguk. Kemudian ia mengusap matanya, mengeluarkan tempat bedak padatnya, dan berusaha keras menenangkan dirinya sendiri. Ia berkata dengan suara bergetar, “Saya tak ingin Ibu cemas. Dia akan sedih bila dilihatnya saya tak bahagia. Jadi saya kemari agar bisa menangis sepuas-puasnya. Saya tahu, ini tolol sekali. Menangis saja tak ada gunanya. Tapi... kadang-kadang... hidup ini rasanya tak tertahankan lagi.” Harold berkata, “Saya mengerti.” Wanita itu memandangnya penuh terima kasih. Kemudian ia berkata dengan agak tergesagesa, “Tentu saja ini kesalahan saya sendiri. Saya menikah dengan Philip karena kemauan saya sendiri. Sayang perkawinan kami tidak berjalan baik... dan saya hanya bisa menyalahkan diri sendiri.” Harold berkata, “Anda sungguh berani dan jujur, mau mengakuinya.” Elsie menggeleng. “Tidak, saya bukan orang yang berani. Sama sekali bukan. Saya pengecut. Itu salah satu sebabnya mengapa saya tak cocok dengan Philip. Saya sangat takut padanya... takut sekali... bila dia sedang mengamuk.” Harold berkata dengan penuh perasaan, “Anda harus meninggalkannya!” “Saya tak berani. Dia... dia takkan membiarkan saya pergi begitu saja.” “Tidak masuk akal! Bagaimana dengan perceraian?” Pelan-pelan wanita itu menggeleng. “Saya tak punya tempat berpijak.” Kini ditegakkannya bahunya. “Tidak. Saya harus terus. Saya menghabiskan banyak waktu bersama Ibu, seperti yang Anda lihat. Philip takkan keberatan tentang itu. Terutama bila kami pergi ke tempat-tempat terpencil seperti ini.” Ia menambahkan, wajahnya memerah, “Masalahnya adalah, dia sangat cemburu, cemburu yang tidak masuk akal. Kalau... kalau saya ketahuan bicara dengan seorang pria... dia bisa mengamuk. Sangat mengerikan.” Harold merasa tersinggung. Sudah sering ia mendengar keluhan banyak wanita tentang kecemburuan suami-suami mereka. Dan sementara mengungkapkan rasa simpatinya pada wanita-wanita itu, diam-diam berpendapat bahwa para suami itu ada benarnya. Tapi Elsie Clayton bukanlah wanita seperti mereka. Sekalipun ia tak pernah memandangnya dengan
pandangan menggoda atau mengundang. Elsie bergeser menjauh darinya. Badannya bergetar. Ia memandang ke langit. “Matahari tertutup awan tebal. Dingin. Sebaiknya kita kembali ke hotel. Sudah waktunya makan siang.” Mereka bangkit berdiri lalu berjalan ke arah hotel. Mereka baru berjalan kira-kira satu menit ketika menyusul seseorang yang berjalan ke arah yang sama. Mereka mengenali orang itu karena jubahnya yang melambai-lambai. Ia salah satu dari si Kembar dari Polandia. Mereka mendahului wanita itu. Harold mengangguk sekilas. Wanita itu tidak menanggapi, tapi matanya menatap mereka tajam-tajam selama beberapa saat. Ada pandangan memuji dalam sinar matanya, dan Harold tiba-tiba gelisah. Jangan-jangan tadi wanita itu melihatnya duduk bersama Elsie di batang pohon tumbang itu. Jika ya, mungkin dia menduga.... Yah... tampaknya dia memang menduga.... Gelombang rasa tersinggung menyesakkan hatinya! Dasar perempuan berotak tolol! Anehnya, waktu matahari tertutup awan tebal tadi, mereka berdua menggigil seperti kedinginan... mungkin ketika itu si wanita Polandia sedang mengawasi mereka.... Entah mengapa, Harold merasa tidak enak. IV Sorenya, sesudah minum teh, Harold masuk ke kamarnya. Ia mendapat sejumlah surat dari Inggris, beberapa di antaranya harus segera dibalas. Ia berganti dengan piama dan jas kamar lalu duduk di depan meja, membalas surat-surat itu. Ia telah menyelesaikan tiga surat dan sedang mulai menulis yang keempat ketika tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Dengan terhuyung-huyung Elsie Clayton masuk. Harold terlompat kaget. Elsie telah menutup pintu di belakangnya dan sedang berdiri sambil berpegangan pada salah satu pegangan laci. Napasnya terputus-putus dan wajahnya pucat pasi. Ia tampak takut sekali. Dengan susah payah ia berkata, “Suami saya! Dia datang kemari tanpa memberitahu! Saya... saya kira dia akan membunuh saya. Dia gila... benar-benar gila. Saya butuh pertolongan Anda. Jangan... jangan biarkan dia menemukan saya.” Ia melangkah maju, satu-dua langkah, dengan terhuyung-huyung, seakan hendak jatuh. Harold mengulurkan tangan, menyangganya. Ketika itulah pintu terbuka lagi dan seorang laki-laki berdiri di sana. Tingginya sedang, alis matanya tebal, dan rambutnya yang tebal berwarna hitam. Tangannya memegang sebatang dongkrak mobil. Suaranya tinggi, penuh amarah. Suaranya lebih mirip jeritan. “Jadi wanita Polandia itu benar! Kau berkencan dengan laki-laki ini!” Elsie menjerit, “Tidak, Philip, tidak! Itu tidak benar. Kau keliru!” Ketika Philip Clayton mendesak maju, dengan cepat Harold mendorong Elsie ke balik punggungnya. Philip Clayton menggeram keras, “Keliru?! Aku?! Buktinya kau di sini, di kamarnya! Kau perempuan busuk! Kubunuh kau.” Dengan gerakan tangkas, mengarah ke samping, dipukulnya tangan Harold. Elsie, sambil menjerit-jerit, lari ke sisi lain sambil masih tetap berlindung di balik Harold yang sedang mencoba menangkis serangan lawannya.
Tapi hanya ada satu pikiran di benak Philip Clayton, menyerang istrinya. Ia berputar lagi. Dengan ngeri Elsie lari ke luar. Philip Clayton melesat membuntutinya, dan Harold, tanpa ragu sedetik pun, menyusul di belakangnya. Elsie masuk ke kamarnya sendiri di ujung koridor. Harold bisa mendengar kunci diputar, tetapi rupanya kurang cepat. Sebelum pintu sempat terkunci dengan benar, Philip Clayton telah berhasil mendobraknya. Dia masuk ke dalam dan Harold mendengar Elsie menjerit ketakutan. Semenit kemudian, Harold menyusul masuk. Elsie terperangkap. Di belakangnya hanya ada jendela dan tirai. Ketika Harold masuk, Philip Clayton melompat maju ke arah istrinya, sambil mengacungkan batang besi itu. Wanita itu menjerit ngeri, dengan cepat ia meraih penindih kertas yang berat, yang terletak di atas meja di sampingnya. Sekuat tenaga benda itu dilemparkannya ke arah suaminya. Philip Clayton jatuh seperti pohon tumbang. Elsie menjerit. Langkah Harold terhenti di ambang pintu. Ia terpana. Wanita itu lekas-lekas berlutut di samping suaminya yang tergeletak tanpa bergerak-gerak. Di luar, di koridor, terdengar gerendel sebuah pintu ditarik membuka. Elsie melompat dan berlari ke arah Harold. “Tolong... tolong...” Suaranya lirih, napasnya tertahan. “Cepat kembali ke kamar Anda. Mereka pasti ke sini... Mereka akan menemukan Anda di sini.” Harold mengangguk. Dengan cepat ia menanggapi situasi itu. Untuk saat itu, Philip Clayton adalah hors de combat. Tapi mungkin ada yang mendengar jeritan Elsie. Jika orang melihatnya berada di kamar wanita itu, masalahnya akan menjadi rumit dan akan timbul kesalahpahaman. Demi wanita itu dan demi dirinya sendiri, tak boleh ada skandal. Hampir tanpa suara, ia berlari cepat kembali ke kamarnya. Tepat ketika sampai di depan pintu kamarnya, ia mendengar sebuah pintu dibuka. Ia duduk di dalam kamarnya hampir setengah jam lamanya, menunggu. Ia tak berani keluar. Cepat atau lambat, ia yakin, Elsie pasti akan menemuinya. Terdengar ketukan pelan di pintu. Harold melompat berdiri dan membukanya. Bukan Elsie yang datang, melainkan ibunya. Harold kaget sekali melihat wajah wanita itu. Tiba-tiba saja Mrs. Rice tampak beberapa tahun lebih tua. Rambutnya yang abu-abu acak-acakan dan di sekitar matanya timbul lingkaran hitam. Dengan cekatan Harold membantu wanita itu duduk di kursi. Mrs. Rice duduk, napasnya tersendat-sendat. Cepat-cepat Harold berkata, “Anda pucat sekali, Mrs. Rice. Saya ambilkan minum, ya?” Wanita itu menggeleng. “Tidak usah. Jangan pikirkan saya. Saya tidak apa-apa, sungguh. Hanya terkejut. Mr. Waring, sesuatu yang mengerikan telah terjadi.” Harold bertanya, “Apakah lukanya parah?” Wanita itu tercekat. “Lebih buruk dari itu. Dia mati...” V Ruangan serasa berputar. Selama beberapa saat Harold tak kuasa bicara. Sesuatu yang dingin, sedingin es, terasa menjalar di punggungnya. Dengan bingung ia mengulang kata itu, “Mati?”
Mrs. Rice mengangguk. Wanita itu berkata, suaranya datar seperti orang yang benar-benar telah terkuras tenaganya, “Pinggiran penindih kertas yang terbuat dari marmer itu tepat mengenai pelipisnya. Dia jatuh dengan kepala menimpa batang besi itu. Saya tak tahu, yang mana yang membunuhnya... tapi yang jelas dia sudah mati. Saya sudah banyak melihat orang mati, saya yakin dia sudah mati.” Bencana... kata-kata itu terngiang-ngiang di benak Harold. Bencana, bencana, bencana... Ia berkata dengan berat hati, “Itu kecelakaan.... Saya melihat bagaimana peristiwanya.” Mrs. Rice berkata dengan suara tajam, “Tentu saja itu memang kecelakaan. Saya pun tahu. Tapi... tapi... apakah orang lain juga akan berpikir seperti itu? Saya... terus terang, saya takut, Harold. Ini bukan Inggris.” Harold menanggapi, suaranya amat pelan, “Saya bisa memperkuat kesaksian Elsie.” Mrs. Rice berkata, “Ya, dan dia bisa memperkuat kesaksian Anda. Hebat sekali!” Otak Harold, yang cerdas dan selalu hati-hati, dapat menangkap maksud wanita itu. Dibayangkannya kembali seluruh kejadian itu, dan ia bisa menerima kelemahan kedudukan mereka. Ia dan Elsie sering terlihat bersama-sama. Dan ada kenyataan bahwa salah satu wanita Polandia itu melihat mereka sedang berduaan di hutan cemara. Jelas wanita Polandia itu tak bisa bahasa Inggris, namun mungkin saja mereka mengerti sedikit-sedikit. Mungkin ia tahu arti kata ’jealously’ dan “husband” kalau punya kesempatan menguping pembicaraan mereka. Bagaimanapun juga, jelas apa yang dikatakannya pada Philip Clayton telah membuat pria itu mengamuk karena cemburu. Dan sekarang... ia sudah mati. Ketika Clayton menemui ajalnya, ia, Harold, sedang berada di dalam kamar Elsie. Tak ada bukti yang bisa menunjukkan bahwa ia tidak melempar Philip Clayton dengan penindih kertas itu. Tak ada pula bukti bahwa si suami yang cemburu itu tidak menemukan mereka berduaan di dalam kamar itu. Hanya ada cerita yang sama, dari mulutnya dan dari mulut Elsie. Apakah orang akan percaya? Perasaan dingin mencekamnya. Tak dibayangkannya, tidak... sama sekali tidak... bahwa ia dan Elsie bisa saja dihukum mati karena pembunuhan yang tidak mereka lakukan. Bisa saja, yang paling ringan, mereka dihukum karena tuduhan menganiaya seseorang. (Apakah di negeri asing ini ada penjahat yang digolongkan sebagai tukang siksa manusia?) Bahkan jika mereka terbukti tidak bersalah, masih tetap harus ada penyelidikan... dan semua itu akan dimuat berbagai surat kabar. Seorang pria dan seorang wanita Inggris dituduh... suami yang cemburu... politikus yang sedang menanjak kariernya. Ya, itu sama artinya dengan berakhirnya karier politiknya. Ia takkan bisa keluar dari skandal seperti itu. Didorong perasaan kuat, secara spontan ia berkata, “Bagaimana kalau mayatnya kita singkirkan? Kita kuburkan di sesuatu tempat.” Mrs. Rice terpana. Pandangannya yang kesal membuat wajah Harold memerah. Dengan tegas ia berkata, “Harold yang baik, ini bukan cerita detektif! Melaksanakan rencana seperti itu, artinya sama saja dengan gila.” “Ya, saya rasa Anda benar.” Harold mendesah. “Apa yang bisa kita lakukan? Ya Tuhan, apa yang bisa kita lakukan?” Mrs. Rice menggeleng dengan putus asa. Dahinya berkerut, pikirannya bekerja keras, mencari akal. Harold berkata, menuntut jawab, “Tak adakah yang dapat kita lakukan? Apa saja, asalkan
kita terhindar dari bencana yang mengerikan ini.” Kata itu... bencana... terluncur begitu saja dari mulutnya! Mengerikan... tak dapat diramalkan... dan jelas berbahaya. Mereka berpandangan. Mrs. Rice berkata dengan suara serak, “Elsie, putriku yang mungil. Saya akan melakukan apa saja... Dia pasti akan hancur jika harus melalui bermacam proses seperti ini.” Lalu ditambahkannya, “Anda juga... karier Anda, semuanya, bisa hancur!” Dengan susah payah Harold menanggapi, “Jangan pikirkan saya.” Tapi dalam hati ia berkata lain. Mrs. Rice melanjutkan dengan pahit, “Dan ini tidak adil... benar-benar tidak adil! Padahal di antara kalian berdua tak ada apa-apa. Saya tahu benar itu.” Harold mengusulkan sesuatu; berpegang pada harapan terakhir, “Mungkinkah Anda bisa mengatakan... pada mereka... bahwa itu semua hanya kecelakaan.” “Ya, kalau mereka percaya pada saya. Tapi Anda pun tahu, seperti apa orang-orang itu!” Dengan murung Harold menyetujui pendapat itu. Bagi jalan pikiran orang Eropa daratan, jelas sekali bahwa antara dirinya dan Elsie pasti ada sesuatu, dan semua bantahan serta penyangkalan Mrs. Rice akan dianggap sebagai usaha keras seorang ibu yang berusaha melindungi putrinya. Harold berkata dengan murung, “Ya, sayang sekali, ini bukan Inggris. Nasib buruk.” “Ah!” Mrs. Rice mengangkat kepalanya. “Benar, itu benar... Ini bukan Inggris. Saya punya gagasan... barangkali kita bisa melakukan sesuatu....” “Apa?” Harold memandangnya dengan harap-harap cemas. Mrs. Rice berkata dengan singkat, “Berapa banyak uang yang Anda bawa?” “Tidak banyak.” Kemudian ditambahkannya, “Tentu saja saya bisa mengirim telegram, minta agar uang saya dikirim kemari.” Mrs. Rice menanggapinya dengan murung, “Mungkin kita perlu uang banyak sekali. Tapi saya rasa, tak ada salahnya kita coba.” Harold merasa bebannya terangkat sedikit. Katanya, “Apa gagasan Anda?” Mrs. Rice berkata dengan tegas. “Kita tak punya kesempatan untuk menutup-nutupi kematiannya, tapi rasanya saya bisa mendekati para pejabat agar bersedia tutup mulut.” “Anda pikir itu akan berhasil?” Harold bertanya penuh harap, tetapi sekaligus juga agak tak percaya. “Satu hal sudah jelas, pemilik hotel ini pasti akan berada di pihak kita. Dia pasti lebih suka jika hal ini tak usah diributkan. Menurut saya, di pelosok Balkan, di tempat terpencil ini... Anda bisa menyuap siapa saja... dan polisinya korupsi jauh lebih besar dibandingkan orang-orang lain!” Pelan-pelan Harold berkata, “Ya, saya sependapat. Anda benar.” Mrs. Rice melanjutkan, “Untungnya, saya rasa tak seorang pun di hotel ini yang mendengar sesuatu.” “Siapa yang menginap di kamar di samping kamar Elsie, di seberang kamar Anda?”
“Dua wanita Polandia itu. Mereka tidak mendengar apa-apa. Mereka pasti sudah keluar ke koridor jika mereka mendengarnya. Philip datang sudah larut, hanya penjaga malam saja yang melihatnya. Harold, saya yakin, kita bisa membungkam kasus ini... dan mengatur agar dalam surat kematian Philip ditulis bahwa penyebabnya sesuatu yang wajar! Masalahnya, berapa banyak kita mampu menyuap mereka? Kecuali itu, kita juga harus menemukan orang yang tepat... barangkali Kepala Polisi!” Harold tersenyum samar. Katanya, “Ini seperti opera komedi, bukan? Bagaimanapun juga, yang dapat kita lakukan sekarang adalah berusaha.” VI Mrs. Rice adalah energi yang terwujud dalam bentuk manusia. Pertama-tama ia memanggil manajer hotel. Harold tetap di kamarnya, sengaja, agar tidak terlibat. Ia dan Mrs. Rice telah sepakat bahwa versi cerita terbaik yang akan disampaikan pada umum adalah kisah pertengkaran antara suami-istri. Kemudaan dan kecantikan Elsie pasti akan menarik banyak simpati. Keesokan paginya, sejumlah polisi datang dan diantarkan ke kamar Mrs. Rice. Mereka meninggalkan hotel itu tengah hari. Harold telah minta dikirimi uang, namun selain itu ia sama sekali tidak melibatkan diri dalam urusan tersebut—lagi pula, ia takkan mungkin bisa melibatkan diri sebab tak satu pun dari para polisi dan pejabat pemerintah itu bisa berbahasa Inggris. Pukul dua belas siang Mrs. Rice datang ke kamarnya. Ia tampak pucat dan letih, tetapi kesan lega terpancar di wajahnya. Dengan singkat ia berkata, “Berhasil!” “Ya Tuhan, terima kasih! Anda benar-benar hebat! Tadinya saya sudah tak punya harapan!” Mrs. Rice berkata sambil merenung, “Kalau mengingat mudahnya kita lakukan, mungkin Anda mengira hal itu sudah biasa di sini. Boleh dikatakan mereka langsung mengulurkan tangan begitu saja. Huh... menjijikkan!” Harold berkata datar, “Ini bukan saat yang tepat untuk memperdebatkan kasus korupsi di kalangan abdi masyarakat. Berapa?” “Cukup tinggi juga.” Mrs. Rice membaca sebuah daftar nama dan menyebutkan angka-angkanya. Kepala Polisi Komisaris Polisi Agen Polisi Dokter Manajer Hotel Penjaga Malam Komentar Harold singkat saja, “Penjaga malam itu tak minta banyak, kan? Saya rasa dia cukup puas dengan uang bungkam sekadarnya.” Mrs. Rice menjelaskan, “Manajer hotel menegaskan, harus dijelaskan bahwa kematian tersebut tidak terjadi di hotelnya. Keterangan resminya akan menyebutkan Philip kena serangan jantung di kereta api. Dia keluar menyusuri koridor, hendak mencari udara segar—Anda tahu bagaimana mereka selalu membiarkan pintu di ujung koridor tetap terbuka —dan terjatuh dari lantai ini. Sungguh mengagumkan, betapa polisi-polisi itu bisa diajak kerja sama!”
“Nah,” kata Harold. “Untunglah polisi kita tidak seperti polisi di sini.” Lalu, dengan keangkuhan pria Inggris sejati, ia turun untuk menikmati makan siangnya. VII Biasanya, sesudah makan siang Harold akan bergabung dengan Mrs. Rice dan putrinya, menikmati secangkir kopi. Ia memutuskan untuk tidak mengubah kebiasaannya itu. Itulah pertama kalinya ia melihat Elsie lagi, sejak tadi malam. Wajahnya sangat pucat dan jelas sekali belum pulih dari shock. Tapi wanita itu berusaha keras agar penampilannya biasa-biasa saja. Mereka mengobrolkan hal-hal biasa, yaitu tentang cuaca dan pemandangan di sekitar situ. Mereka memperbincangkan seorang tamu yang baru saja tiba dan mencoba menebak kebangsaannya. Menurut Harold, kumis seperti itu pastilah kumis orang Prancis—Elsie menebak Jerman—dan Mrs. Rice menduga pria itu orang Spanyol. Tak ada tamu lain di teras itu, kecuali kedua wanita Polandia yang duduk di pojok teras sambil melakukan sesuatu yang ganjil. Seperti biasa, bila melihat mereka, Harold merasa bulu kuduknya meremang. Wajah-wajah tanpa ekspresi, hidung bengkok seperti paruh burung, jari-jari panjang bagaikan cakar burung.... Seorang bocah laki-laki yang bertugas sebagai pesuruh datang menghampiri Mrs. Rice dan mengatakan bahwa seseorang memanggilnya. Mrs. Rice bangkit dan mengikuti anak itu. Di gerbang hotel, mereka melihat Mrs. Rice bicara dengan seorang polisi yang mengenakan seragam lengkap. Elsie mendesah tertahan. “Anda... Anda pikir ada yang tidak beres?” Harold lekas-lekas menenangkannya. “Oh, tidak, pasti tidak.” Tapi ia sendiri tidak yakin. Rasa dingin merayapi punggungnya, membuat ia bergidik. Katanya, “Ibu Anda sangat hebat!” “Saya tahu. Ibu seorang pejuang sejati. Dia tak mau menyerah kalah begitu saja.” Elsie bergidik. “Tapi... urusan ini amat mengerikan.” “Ah... ah... mari kita lupakan saja. Semua sudah telanjur dan urusannya bisa diselesaikan.” Elsie berkata dengan suara lirih, “Saya tak dapat mengenyahkan pikiran... bahwa saya yang membunuhnya.” Harold berkata penuh tekanan, “Jangan berpikir begitu. Itu hanya kecelakaan. Cobalah melupakannya.” Mrs. Rice mendekat. Dari ekspresi wajahnya, mereka tahu semuanya beres. “Huh, saya sudah ketakutan tadi,” katanya dengan suara hampir-hampir riang. “Ternyata hanya urusan surat-surat biasa. Semua beres, anak-anakku. Kita sudah terbebas dari bayang-bayang gelap ini. Ada baiknya kita pesan minuman untuk merayakannya.” Minuman dipesan dan segera dihidangkan. Mereka mengangkat gelas. Mrs. Rice berkata, “Demi masa depan!”
Harold tersenyum pada Elsie dan berkata, “Untuk kebahagiaan Anda!” Wanita muda itu membalas senyumnya dan sambil mengangkat gelasnya berkata, “Dan untuk Anda... semoga Anda sukses! Saya yakin Anda akan jadi orang besar!” Setelah kengerian yang mencekam, kini mereka riang, hampir-hampir tanpa beban. Bayangbayang gelap sudah disingkirkan! Semua beres.... Di ujung teras, kedua wanita yang mirip burung itu bangkit. Dengan cepat mereka membereskan apa yang sedang mereka kerjakan tadi. Mereka mendekat, menyeberangi teras. Sambil membungkuk hormat mereka duduk di dekat Mrs. Rice. Salah satu dari mereka mulai bicara. Yang satunya memandangi Harold dan Elsie. Mulutnya tersenyum samar. Senyum itu, menurut Harold, bukan senyum yang manis.... Ia memandang ke arah Mrs. Rice. Wanita itu sedang mendengarkan kata-kata wanita Polandia itu. Meskipun tak mengerti satu patah kata pun, Harold bisa menduga apa yang mereka perbincangkan dari ekspresi wajah Mrs. Rice. Kengerian dan rasa putus asa itu muncul kembali. Mrs. Rice mendengarkan, sesekali menyela dengan kalimat-kalimat pendek. Tiba-tiba kedua wanita Polandia itu bangkit, membungkuk hormat dengan sikap kaku, lalu berbalik masuk ke hotel. Harold mencondongkan badannya ke depan. Ia berkata dengan suara serak, “Ada apa?” Mrs. Rice menjawab, suaranya terdengar letih dan putus asa, “Kedua perempuan itu akan memeras kita. Mereka mendengar semua yang terjadi semalam. Dan sekarang kita berusaha membungkam kasus ini, sekarang urusannya benar-benar rumit....” VIII Harold Waring sedang berdiri di tepi danau. Satu jam lebih ia berjalan-jalan tak tentu arah, mencoba menenangkan kepanikannya dengan menguras tenaga fisiknya. Akhirnya ia tiba di tempat untuk pertama kalinya ia melihat kedua wanita celaka itu, yang menguasai hidupnya dan hidup Elsie dalam cengkeraman cakar mereka. Ia berkata keras-keras, “Terkutuklah mereka! Dasar burung-burung pengisap darah! Terkutuk!” Suara deham lirih membuatnya berbalik badan. Ia berhadapan dengan seorang pria asing berkumis tebal yang baru saja keluar dari balik bayang-bayang pepohonan. Harold kehilangan kata-kata. Laki-laki bertubuh kecil ini pastilah mendengar apa yang baru saja dikatakannya. Tak tahu harus berkata apa, akhirnya Harold menyapa dengan sapaan yang terasa amat janggal dalam situasi seperti itu, “Oh... eh, good afternoon.” Dalam bahasa Inggris yang sempurna, pria itu membalas, “Maaf, tetapi bagi Anda, saat ini mungkin bukan sore yang indah.” “Wah... eh... saya...” Harold kehilangan kata-kata lagi. Laki-laki kecil itu berkata, “Anda, saya rasa, sedang terlibat masalah, Monsieur? Adakah yang bisa saya bantu?” “Oh, tidak, tidak, terima kasih! Hanya masalah sepele.” Lawan bicaranya berkata dengan tenang, “Tapi saya rasa, Anda tahu saya bisa membantu Anda. Saya berani mengatakan masalah Anda ada hubungannya dengan kedua wanita yang tadi duduk di teras itu, kan?”
Harold terpana menatap pria itu. “Anda tahu sesuatu tentang mereka?” Kemudian tambahnya, “Siapakah Anda sebenarnya?” Seakan-akan berhadapan dengan seorang bangsawan, pria kecil itu menjawab dengan rendah hati, “Saya Hercule Poirot. Marilah kita masuk lebih jauh ke hutan ini, dan ceritakanlah masalah Anda. Seperti kata saya tadi, saya yakin bisa membantu Anda.” Sampai hari ini, Harold tidak tahu apa yang membuatnya mau menceritakan seluruh masalahnya pada seorang pria asing yang baru saja dikenalnya. Mungkin karena ia merasa amat tertekan. Bagaimanapun juga, semuanya sudah terjadi. Ia menceritakan semuanya kepada Hercule Poirot. Pria itu mendengarkan dengan saksama. Satu-dua kali ia mengangguk-angguk dengan sikap sungguh-sungguh. Ketika Harold berhenti bicara, Hercule Poirot berkata seakan-akan sambil melamun. “Burung-burung Penghuni Danau Stymphalia, dengan paruh besi mereka mematuk-matuk daging manusia dan... Ya, semuanya cocok.” “Apa maksud Anda?” sela Harold yang kebingungan. Mungkin, demikian pikirnya, laki-laki aneh ini gila! Hercule Poirot tersenyum. “Saya sedang merenung, lain tidak. Saya mempunyai cara tersendiri dalam memandang berbagai kejadian. Dan mengenai kasus Anda ini, Anda telah dijebak dan dipojokkan.” Harold berkata dengan tidak sabar, “Saya tak butuh Anda untuk mengatakannya!” Hercule Poirot melanjutkan, “Ini kasus yang berat, pemerasan. Kedua burung pemakan bangkai itu... mereka akan memaksa Anda membayar... membayar... dan membayar terus! Dan kalau Anda mengkhianati mereka, apa yang akan terjadi?” Harold berkata dengan suara pahit, “Rahasia ini akan terbongkar. Karier saya akan hancur, dan seorang gadis yang tak pernah melakukan satu pun tindak kekerasan akan dijebloskan ke penjara, dan... hanya Tuhan yang tahu bagaimana akhirnya!” “Karena itu,” kata Hercule Poirot, “kita harus melakukan sesuatu.” Harold berkata sinis, “Apa?” Hercule Poirot menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon, matanya setengah terpejam. Ia berkata (dan sekali lagi Harold meragukan kewarasan otaknya), “Inilah saatnya kita memainkan kastanyet yang terbuat dari perunggu.” Harold berkata, “Anda sudah gila, ya?” Lawan bicaranya menggeleng. Katanya, “Mais non! Saya hanya mengikuti teladan seorang tokoh legendaris, tokoh yang namanya sama dengan nama saya, Hercules. Bersabarlah selama beberapa jam. Besok pagi mungkin saya sudah akan bisa membebaskan Anda dari kedua pengisap darah itu.” IX Esok paginya Harold Waring pergi ke teras dan menemukan Hercule Poirot duduk seorang diri di sana. Tak diduganya dirinya amat terkesan oleh janji-janji Hercule Poirot. Sekarang ia mendatangi pria itu dan bertanya dengan cemas, “Bagaimana?” Hercule Poirot tersenyum cerah padanya. “Semua beres.”
“Apa maksud Anda?” “Semua berakhir dengan memuaskan.” “Tapi... apa yang terjadi?” Hercule Poirot menjawab, suaranya seperti orang melamun, “Saya telah menggunakan kastanyet perunggu. Atau, dalam istilah modern, saya telah menggunakan kabel-kabel untuk mengirim kabar... singkatnya, saya telah mengirim telegram! Burung-burung Penghuni Danau Stymphalia yang mencengkeram Anda, Monsieur, telah dipindahkan ke suatu tempat di mana mereka takkan mungkin mempraktekkan kemampuan mereka untuk waktu yang lama.” “Mereka dikejar-kejar polisi? Mereka sudah ditangkap?” “Tepat!” Harold menghela napas panjang. “Luar biasa! Saya tak pernah berpikir sampai ke situ.” Ia bangkit berdiri. “Saya harus mencari Mrs. Rice dan Elsie dan memberitahu mereka.” “Mereka sudah tahu.” “Oh, bagus.” Harold duduk lagi. “Ceritakan apa...” Kata-katanya terputus. Dari arah danau datang dua sosok tubuh, terbungkus jubah yang berkibar-kibar. Wajahwajah mereka runcing bagaikan burung. Harold berseru, “Tadi Anda berkata mereka sudah dibawa polisi!” Hercule Poirot mengikuti arah pandangan Harold. “Oh, kedua wanita itu? Mereka tidak berbahaya; dua wanita Polandia dari keluarga baikbaik, seperti yang dikatakan pemilik hotel pada Anda. Mungkin penampilan mereka memang agak mengerikan, tapi di balik itu, mereka wanita baik-baik dan terhormat.” “Tapi saya tidak mengerti!” “Ya, Anda memang tidak mengerti! Kedua wanita yang lain itu yang dicari-cari polisi— Mrs. Rice yang berwatak kuat dan Mrs. Clayton yang lembut dan tak berdaya! Merekalah yang sudah terkenal sebagai sepasang burung pemangsa. Kedua wanita itu mencari nafkah dengan memeras, mon cher.” Harold merasa seakan dunia berputar cepat di sekelilingnya. Dengan suara lirih ia berkata, “Tapi pria itu... pria yang terbunuh itu?” “Tak ada yang terbunuh. Tak ada laki-laki dalam komplotan itu!” “Tapi saya melihat dia!” “Anda keliru. Mrs. Rice yang jangkung dan bersuara dalam sangat pandai menirukan suara laki-laki. Dialah yang memainkan peran suami—dengan melepas rambut palsunya yang berwarna abu-abu dan menggunakan riasan wajah yang sesuai.” Hercule Poirot mencondongkan badannya ke depan dan menepuk lutut lawan bicaranya. “Anda tidak boleh menghadapi dunia dengan pandangan naif dan konyol, kawan. Polisi suatu negara takkan mudah disuap... bahkan mungkin takkan mau disuap... terutama jika kasusnya menyangkut masalah pembunuhan! Kedua wanita itu memanfaatkan kenyataan bahwa umumnya pria Inggris meremehkan penguasaan bahasa asing. Karena bisa bicara bahasa Prancis dan Jerman, Mrs. Rice-lah yang selalu menanyai manajer hotel dan mengendalikan
kasus itu! Polisi datang dan masuk ke kamarnya, ya! Tapi apa yang sebenarnya terjadi? Anda tidak tahu. Mungkin dia bilang kehilangan bros... sesuatu yang seperti itulah. Pokoknya asal ada alasan untuk memanggil polisi dan Anda melihat mereka datang. Selanjutnya, apa yang sebenarnya terjadi? Anda minta dikirimi uang, banyak sekali, dan langsung Anda berikan pada Mrs. Rice yang bertugas melakukan negosiasi! Nah, itulah! Tetapi mereka terlalu rakus, burung-burung pemakan bangkai itu. Mereka tahu, Anda benar-benar ngeri karena keberadaan kedua wanita Polandia yang sesungguhnya tak bersalah itu. Kedua wanita Polandia itu mendekat dan berbincang-bincang tentang sesuatu yang sama sekali tak berbahaya dengan Mrs. Rice, dan wanita itu tak dapat menahan diri untuk tidak mengulang permainan itu. Dia tahu Anda takkan mungkin tahu apa yang mereka perbincangkan. “Jadi, Anda akan terpaksa minta kiriman uang lebih banyak lagi, dan Mrs. Rice akan menunjukkan daftar baru berisi nama-nama lain yang juga harus disuap.” Harold menghela napas panjang. Katanya, “Dan Elsie... Elsie?” Hercule Poirot menghindari tatapan pria itu. “Dia memainkan perannya dengan sempurna. Dia memang pandai bersandiwara. Aktris yang sangat berbakat. Dia kelihatan begitu murni... begitu tak berdaya... Dia tidak menampilkan daya tarik seksual, namun mampu mengusik keinginan pria untuk menjadi pahlawan baginya.” Hercule Poirot menambahkan sambil merenung, “Dan akal itu selalu berhasil bila diterapkan pada pria Inggris.” Sekali lagi Harold Waring menarik napas panjang. Ia berkata dengan penuh tekad, “Saya akan bekerja keras dan mempelajari semua bahasa yang ada di Eropa! Takkan saya biarkan orang mempermainkan saya lagi!”
7
BANTENG JANTAN DARI CRETA I HERCULE POIROT memandang tamunya dengan sungguh-sungguh. Ia melihat seraut wajah pucat dengan dagu yang mencerminkan watak yang penuh kesungguhan, mata yang lebih dekat ke abu-abu dan bukannya biru, rambut hitam kebirubiruan, warna asli yang sangat langka... yang ikal bergelombang seperti rambut dewadewa Yunani Kuno. Ia melihat rok wol yang bagus potongannya, tapi juga terlihat kusam karena seringnya dipakai... kain wol tenunan desa. Lalu sebuah tas tangan yang sudah usang, dan sikap angkuh yang boleh dikatakan masih wajar dan tanpa disadari tetap kuat terlihat di balik penampilan gadis yang jelas-jelas kebingungan. Hercule Poirot berkata pada diri sendiri, “Ah, ya, gadis ini bangsawan desa... tapi tak punya uang! Pasti ada sesuatu yang luar biasa yang membuatnya datang kemari.” Diana Maberly berkata, suaranya agak bergetar, “Saya... saya tak tahu apakah Anda akan bisa menolong saya atau tidak, M. Poirot. Ini... ini sesuatu yang luar biasa.” Poirot berkata, “Saya mengerti. Ceritakan saja.”
Diana Maberly berkata, “Saya datang menemui Anda sebab tak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya bahkan tak tahu, apakah masih ada yang bisa dilakukan!” “Izinkan saya yang menilainya.” Tiba-tiba wajah gadis itu memerah. Ia berkata cepat, dalam satu tarikan napas, “Saya datang kemari karena pria yang telah menjadi tunangan saya selama setahun lebih telah memutuskan pertunangan kami.” Ia berhenti bicara dan memandang Poirot dengan sikap menantang. “Anda pasti mengira,” katanya, “saya sudah gila.” Pelan-pelan, Hercule Poirot menggeleng. “Justru sebaliknya, Mademoiselle, sedikit pun saya tak ragu Anda sangat cerdas. Tentu saja bukan keahlian saya untuk mendamaikan pasangan-pasangan yang bertengkar, dan saya tahu benar Anda pun tahu akan hal ini. Karenanya, saya yakin, pasti ada sesuatu yang luar biasa dengan putusnya pertunangan Anda. Saya tidak keliru, bukan?” Gadis itu mengangguk. Ia berkata dengan suara jernih dan dengan singkat, “Hugh memutuskan pertunangan kami karena dia yakin akan jadi gila. Menurut dia, orang gila tidak selayaknya menikah.” Alis Hercule Poirot terangkat sedikit. “Dan Anda tidak sependapat dengannya?” “Entahlah... Lagi pula, apa artinya menjadi gila? Setiap orang punya sedikit kegilaan, bukan?” “Ya, kata orang memang begitu,” Poirot menyetujui dengan hati-hati. “Hanya bila Anda mulai berpikir Anda ini sebutir telur atau entah apa begitu, Anda harus dikurung.” “Dan tunangan Anda itu belum sampai ke tingkat separah itu?” Diana Maberly berkata, “Saya tak melihat ada yang aneh pada diri Hugh. Dia... oh, dia orang paling waras yang saya kenal. Berpendirian teguh... bisa diandalkan....” “Jadi, mengapa dia mengira dirinya akan jadi gila?” Poirot berhenti sejenak sebelum melanjutkan, “Apa mungkin ada bibit gila dalam keluarganya?” Dengan enggan Diana menganggukkan kepala, mengiyakan. Katanya, “Kakeknya memang gila, setahu saya... dan salah satu nenek buyutnya atau salah satu nenek moyangnya. Tapi menurut saya, dalam setiap keluarga, selalu ada satu-dua orang yang aneh. Entah dia sangat cerdas, atau sangat tolol, atau menderita sesuatu!” Matanya tampak memohon. Hercule Poirot menggeleng sedih. Katanya, “Saya ikut prihatin, Mademoiselle,” Dagu gadis itu langsung terangkat. Ia menjerit, “Saya tak ingin Anda prihatin atau kasihan pada saya! Saya ingin Anda melakukan sesuatu!” “Apa yang harus saya lakukan?” “Entahlah... tapi pasti ada sesuatu yang tidak beres.”
“Maukah Anda menceritakan, Mademoiselle, segala sesuatu tentang tunangan Anda?” Diana berkata dengan cepat, “Namanya Hugh Chandler, 24 tahun. Ayahnya adalah Admiral Chandler. Mereka tinggal di Lyde Manor. Cacat itu sudah ada pada keluarga Chandler, turun-temurun sejak zaman Elizabeth. Hugh satu-satunya anak laki-laki. Dia masuk dinas Angkatan Laut... semua pria Chandler menjadi pelaut... sudah tradisi... sejak Sir Gilbert Chandler berlayar bersama Sir Walter Raleigh di tahun lima belas sekian. Tentu saja Hugh juga harus masuk Angkatan Laut. Ayahnya takkan mengizinkan dia berpikiran lain. Namun, ayahnya sendiri yang justru menyuruhnya keluar dari dinas!” “Kapan itu?” “Hampir setahun yang lalu. Tiba-tiba saja.” “Apakah Hugh Chandler bahagia dengan profesinya itu?” “Benar-benar bahagia.” “Apakah ada skandal, atau sesuatu yang tak beres?” “Tentang Hugh? Sama sekali tidak. Dia bekerja dengan baik. Dia... dia tak bisa memahami ayahnya.” “Apa alasan yang diberikan Admiral Chandler?” Diana berkata pelan, “Dia tak pernah memberikan alasan yang jelas. Oh! Dia mengatakan penting bagi Hugh untuk belajar mengelola tanah warisan leluhurnya—tapi... tapi itu hanya alasan untuk menutup-nutupi yang sebenarnya. Bahkan George Frobisher pun tahu.” “Siapa George Frobisher?” “Kolonel Frobisher. Dia kawan Admiral Chandler yang paling akrab dan bapak baptis Hugh. Dia banyak menghabiskan waktu di Lyde Manor.” “Bagaimanakah pendapat Kolonel Frobisher mengenai keputusan Admiral Chandler untuk mengeluarkan putranya dari dinas di Angkatan Laut?” “Dia tak bisa mengerti alasan kawannya. Tak mengerti sama sekali. Tak ada orang yang bisa mengerti.” “Bahkan Hugh Chandler sendiri pun tidak?” Diana tidak langsung menjawab. Poirot menunggu satu menit lamanya, lalu melanjutkan, “Mungkin pada saat itu dia juga... kaget sekali. Tapi sekarang? Apakah dia tidak mengatakan sesuatu... sama sekali tidak?” Diana menggumam dengan ragu, “Dia berkata... kira-kira seminggu yang lalu... bahwa... bahwa ayahnya benar... bahwa itu satu-satunya jalan.” “Apakah Anda bertanya padanya mengapa?” “Tentu saja. Tapi dia tak mau mengatakannya pada saya.” Hercule Poirot merenung satu-dua menit. Kemudian ia berkata, “Apakah di kawasan tempat tinggal Anda telah terjadi hal-hal yang aneh? Yang mulainya, mungkin, kira-kira setahun yang lalu? Sesuatu yang membuat penduduk bergosip?” Diana menukas dengan tajam, “Saya tak mengerti apa yang Anda maksud!” Poirot berkata dengan tenang, tetapi dengan suara tegas, “Sebaiknya Anda katakan pada saya.”
“Tak ada apa-apa... apa pun seperti yang Anda maksud.” “Jadi... yang seperti apa?” “Menurut saya, Anda suka berpikiran jelek! Ada kejadian-kejadian aneh di tanah pertanian. Pembalasan dendam... atau seseorang yang sengaja berbuat konyol.” “Apa yang terjadi?” Gadis itu berkata ragu-ragu, “Orang ribut bicara tentang beberapa domba.... Leher mereka digorok. Oh! Mengerikan! Tapi domba-domba itu milik seorang petani, orangnya berwatak keras dan kaku. Polisi menduga itu perbuatan orang yang mendendam pada si petani.” “Tapi mereka tidak berhasil menangkap pelakunya?” “Tidak.” Diana menambahkan dengan sengit, “Tapi jika Anda berpikir...” Poirot mengangkat tangannya. Katanya, “Anda sedikit pun tidak tahu apa yang saya pikirkan. Apakah tunangan Anda telah berkonsultasi ke dokter?” “Belum. Saya yakin belum.” “Bukankah itu hal paling mudah yang dapat dilakukannya?” Diana berkata pelan, “Dia takkan mau. Dia... dia benci dokter.” “Dan ayahnya?” “Saya rasa Admiral Chandler juga tidak percaya pada dokter. Menurutnya, dokter hanyalah pedagang yang selalu cari untung di atas kesulitan orang lain.” “Bagaimana keadaan Admiral Chandler sendiri? Apakah dia sehat? Bahagia?” Diana berkata dengan suara lirih sekali, “Dia jauh bertambah tua dalam... dalam...” “Dalam setahun terakhir ini?” “Ya. Dia benar-benar telah hancur... tinggal sisa-sisa kegagahan masa lalunya saja.” Poirot mengangguk sambil merenung. Kemudian ia berkata, “Apakah dia menyetujui pertunangan putranya?” “Oh, tentu saja. Tanah keluarga saya berbatasan dengan milik keluarganya. Kami sudah tinggal di sana sejak beberapa generasi sebelum saya. Dia senang sekali karena Hugh dan saya akhirnya akan menyatukan tanah-tanah kami.” “Dan sekarang? Apa yang dikatakannya tentang pertunangan Anda yang telah putus?” Gadis itu menggeleng samar. Katanya, “Saya bertemu dengannya kemarin pagi. Dia kelihatan menyedihkan. Digenggamnya kedua tangan saya. Katanya, ’Berat sekali untukmu, anakku. Tapi Hugh telah melakukan yang terbaik... satu-satunya hal yang dapat dilakukannya.’” “Karena itu,” kata Hercule Poirot, “Anda datang menemui saya?” Gadis itu mengangguk. Ia bertanya, “Dapatkah Anda melakukan sesuatu?” Hercule Poirot menjawab, “Saya tidak tahu. Tetapi, setidak-tidaknya saya bisa pergi ke
sana dan melihat sendiri.” II Penampilan fisik Hugh yang luar biasa membuat Hercule Poirot amat terkesan. Jangkung, sangat sempurna, berdada bidang dan berbahu lebar, dengan rambut ikal kecokelatan. Dari dalam dirinya terpancar kekuatan fisik dan keteguhan hatinya. Begitu tiba di rumah Diana, gadis itu langsung menelepon Admiral Chandler, kemudian mereka pergi ke Lyde Manor dan diantarkan ke teras panjang tempat tuan rumah sudah menunggu serta teh dan kue-kue sudah dihidangkan. Ada tiga pria di sana. Admiral Chandler, rambutnya putih, tampak jauh tua dari usianya yang sebenarnya; bahunya melengkung, seakan-akan memikul beban yang terlampau berat; matanya gelap dan sedih. Kontras dengannya adalah penampilan sahabatnya, Kolonel Frobisher, pria bertubuh kecil, cekatan, dengan rambut kemerahan yang sudah kelabu di pelipisnya. Pria kecil yang lincah, agak galak, suka bicara blak-blakan, agak mirip anjing terrier, tapi mempunyai sepasang mata yang tajam menyelidik. Ia punya kebiasaan mengerutkan alisnya dan merendahkan kepalanya, seakan menjulurkannya ke depan, sementara sepasang matanya yang cerdik mengawasi dengan pandangan tajam menusuk. Pria ketiga adalah Hugh. “Contoh spesimen yang bagus, bukan?” kata Kolonel Frobisher. Suaranya rendah. Ia tahu, dengan pandang sekilas Poirot telah menilai pemuda itu. Hercule Poirot mengangguk. Ia dan Frobisher duduk berdekatan. Tiga orang lainnya duduk di kursi mereka yang terletak agak jauh di seberang meja. Mereka sedang bicara dengan penuh semangat, tetapi jelas itu hanya dibuat-buat saja. Poirot menggumam, “Ya, dia luar biasa... sungguh gagah dan jantan. Dia bagaikan Banteng Jantan... ya, Banteng Jantan dari Creta yang dikorbankan untuk Poseidon.... Contoh sempurna sosok makhluk muda yang sehat dan gagah.” “Dia tampak amat bugar, bukan?” Frobisher mendesah. Matanya yang tajam melirik Poirot sekilas. Kemudian ia berkata, “Saya tahu siapa Anda.” “Ah, itu bukan rahasia!” Poirot menggerakkan tangan, seakan apa yang dikatakan Kolonel Frobisher tidak penting. Ia datang bukan secara incognito, itu yang sepertinya dikatakan gerakan tangannya. Ia berada di situ sebagai Dirinya Sendiri. Satu-dua menit kemudian Frobisher bertanya, “Apakah gadis itu minta bantuan Anda... dalam kasus ini?” “Kasus ini...?” “Kasus Hugh.... Ya, saya lihat Anda tahu tentang semua ini. Tapi saya tidak mengerti mengapa dia pergi menemui Anda.... Saya kira hal-hal seperti ini di luar bidang Anda... maksud saya, ini lebih cocok untuk mereka yang ahli di bidang kedokteran.” “Segala macam hal bisa menarik minat saya.... Anda pasti tak menyangka.” “Maksud saya, saya tak bisa mengerti apa yang diharapkannya dari Anda.” “Miss Maberly,” kata Poirot, “adalah gadis yang tak mudah menyerah.” Kolonel Frobisher mengangguk, ia sependapat. “Ya, dia memang pejuang yang tidak mudah menyerah. Dia gadis yang baik. Dia takkan putus asa. Tapi, Anda pun tahu, ada hal-hal yang tidak dapat dipahami dan harus kita
terima begitu saja....” Tiba-tiba wajahnya tampak letih dan tua. Poirot merendahkan suaranya, semakin lirih. Ia berbisik dengan sikap penuh rahasia, “Saya dengar... ada keturunan gila dalam keluarga ini, benarkah?” Frobisher mengangguk. “Hanya muncul sesekali,” gumamnya. “Tidak pada setiap generasi, satu-dua generasi dilompati. Kakek Hugh yang terakhir.” Sekilas Poirot memandang ketiga orang itu. Diana memimpin percakapan dengan baik, ia tertawa-tawa dan menggoda Hugh. Orang yang melihat mereka sekilas akan mengira ketiga orang itu tak punya masalah di dunia ini. “Seperti apa bentuk kegilaan itu?” tanya Poirot lirih. “Waktu sudah tua, dia berubah jadi bengis dan kejam. Sampai umur tiga puluh tahun dia baik-baik saja—seperti orang normal lainnya. Kemudian mulai muncul kelakuan-kelakuan aneh. Baru beberapa waktu kemudian orang mulai menyadarinya. Lalu muncul desas-desus. Orang mulai bergosip. Banyak kejadian yang dicoba ditutup-tutupi. Tapi... yah,” dia mengangkat bahu, “dia mati sebagai orang gila! Kasihan! Pembunuhan! Harus dikeluarkan surat keterangan yang resmi.” Ia berhenti sejenak, kemudian melanjutkan. “Seingat saya, dia hidup sampai tua. Tentu saja, itulah yang ditakuti Hugh. Itu pula sebabnya dia tak mau pergi ke dokter. Dia takut hidup dikucilkan, apalagi selama bertahun-tahun, sampai mati. Saya tak menyalahkan dia. Kalau jadi dia, saya pun pasti begitu.” “Dan Admiral Chandler, bagaimana perasaannya?” “Hancur hatinya,” sahut Frobisher singkat. “Dia sangat menyayangi putranya?” “Sangat melindunginya. Waktu Hugh baru umur sepuluh tahun, istrinya meninggal dalam kecelakaan ketika mereka sedang berlayar. Sejak itu seluruh hidupnya dicurahkannya demi anak itu.” “Apakah dia amat menyayangi istrinya?” “Memujanya. Setiap orang memujanya. Dia... dia wanita paling menawan yang pernah saya kenal.” Ia berhenti selama beberapa saat, kemudian tiba-tiba berkata, “Mau melihat potretnya?” “Ya, saya amat ingin melihatnya.” Frobisher mendorong kursinya ke belakang lalu bangkit berdiri. Dengan suara keras ia berkata, “Charles, saya akan mengajak M. Poirot melihat-lihat. Rupanya dia punya darah seni.” Admiral mengangkat tangannya, samar-samar menyetujui. Frobisher menyusuri teras yang panjang itu, dan Poirot ikut di belakangnya. Sejenak wajah Diana terlepas dari topeng keriangannya. Ia melemparkan pandangan cemas dan penuh tanya. Hugh juga mengangkat kepala dan memandang pria kecil berkumis lebat itu dengan sungguh-sungguh. Poirot mengikuti Frobisher masuk ke rumah. Mula-mula ia tak bisa mengenali benda-benda di sekitarnya, ruangan di situ terlihat remang-remang, lebih-lebih karena mereka baru saja masuk dari tempat yang penuh cahaya matahari. Poirot hanya tahu rumah itu penuh
benda-benda kuno yang cantik. Kolonel Frobisher mendahului masuk ke Galeri Lukisan. Pada dinding-dinding yang berpanel tergantung lukisan-lukisan nenek moyang Chandler yang sudah tiada. Wajah-wajah yang kaku, wajah-wajah yang riang, pria-pria yang mengenakan busana resmi atau seragam angkatan laut, dan wanita-wanita yang mengenakan gaun satin dan aksesori dari mutiara. Akhirnya Frobisher berhenti di depan sebuah lukisan di ujung galeri itu. “Dilukis oleh Orpen,” katanya dengan suara serak. Mereka berdiri menatap lukisan seorang wanita jangkung, tangannya memegangi kalung leher seekor anjing greyhound. Wanita itu berambut pirang kemerahan dan menampilkan ekspresi yang memancarkan daya hidupnya. “Anak itu persis sekali dengan ibunya,” kata Frobisher. “Bagaimana menurut Anda?” “Dalam beberapa hal, ya.” “Dia tidak lembut seperti ibunya... tidak feminin, tentu saja. Dia bentuk maskulin dari kesempurnaan itu... tapi dalam hal-hal yang esensial...” Kata-katanya terputus. “Sayang sekali dia mewarisi dari Chandler, sesuatu yang kalau tidak ada justru akan membuatnya sempurna....” Mereka diam beberapa lama. Terasa ada kepedihan dalam ruangan itu... seakan-akan nenek moyang Chandler mendesah, menyesali noda hitam yang mengotori darah mereka, yang—tanpa bisa dihindari—mereka wariskan pada anak-cucu mereka.... Hercule Poirot berpaling, memandang George Frobisher. Pria itu masih menatap lukisan wanita cantik di depannya. Dan Poirot berkata dengan lembut, “Anda mengenalnya dengan baik....” Frobisher berkata, suaranya seperti orang cemas dan menyembunyikan sesuatu, “Kami melewatkan masa kanak-kanak kami bersama-sama. Waktu umurnya enam belas tahun, saya pergi ke India.... Ketika saya kembali, dia telah menikah dengan Charles Chandler.” “Anda juga mengenal Charles Chandler dengan baik?” “Charles salah seorang kawan saya yang paling akrab. Dia kawan saya yang terbaik... selalu, selama-lamanya.” “Apakah Anda sering bertemu mereka... sesudah mereka menikah?” “Saya sering menghabiskan cuti saya di sini. Rumah ini sudah seperti rumah saya sendiri. Charles dan Caroline selalu menyediakan satu kamar untuk saya... yang sewaktuwaktu bisa saya gunakan....” Ia menegakkan bahunya, lalu tiba-tiba menjulurkan kepalanya ke depan, dengan sikap yang amat khas. “Itulah sebabnya saya ada di sini sekarang... untuk mendampingi mereka, kalau-kalau bantuan saya dibutuhkan. Jika Charles membutuhkan saya... saya selalu siap.” Sekali lagi bayang-bayang tragedi menyelimuti mereka. “Dan, bagaimana pendapat Anda... tentang masalah ini?” tanya Poirot. Frobisher berdiri dengan sikap amat kaku. Alisnya berkerut dan seakan-akan turun menutupi matanya. “Menurut saya, makin sedikit orang tahu makin baik. Dan kalau saya boleh berterus terang, saya tak melihat ada sesuatu yang bisa Anda lakukan dalam kasus ini, M. Poirot. Saya tak bisa mengerti mengapa Diana menyeret-nyeret Anda kemari.” “Anda tahu pertunangan Diana dengan Hugh telah putus?” “Ya, saya tahu.”
“Dan Anda pun tahu apa penyebabnya?” Frobisher menjawab dengan kaku, “Tentang itu saya tak tahu apa-apa. Anak-anak muda lebih suka menyelesaikan masalah mereka sendiri. Saya bukan orang yang suka campur tangan.” Poirot berkata, “Hugh Chandler memberitahu Diana bahwa sebaiknya mereka tidak usah menikah, sebab dia akan menjadi gila.” Poirot melihat butir-butir keringat membasahi kening Frobisher. Kata kolonel itu, “Apakah kita harus membicarakan hal yang mengerikan itu? Menurut Anda, apa yang bisa Anda lakukan? Hugh telah melakukan yang terbaik, anak yang malang. Itu bukan salahnya, itu penyakit menurun—plasma yang tercemar—sel-sel otak yang.... Tapi sekali dia tahu, yah... apa yang bisa diperbuatnya kecuali memutuskan pertunangan mereka? Itu termasuk hal-hal yang harus dilakukan tanpa mempertanyakannya.” “Seandainya kata-kata Anda bisa membuat saya yakin....” “Anda harus percaya pada saya.” “Tapi Anda belum mengatakan semuanya.” “Sudah saya katakan, saya tak mau bicara tentang itu.” “Mengapa Admiral Chandler memaksa putranya keluar dari dinas Angkatan Laut?” “Sebab itu satu-satunya hal yang harus dilakukan.” “Mengapa?” Frobisher menggeleng, sikapnya keras kepala. Poirot menggumam lirih, “Apa hubungannya dengan sejumlah domba yang terbunuh?” Lawan bicaranya menyahut dengan marah, “Jadi Anda pun sudah mendengar tentang itu?” “Diana yang mengatakannya pada saya.” “Gadis itu seharusnya tutup mulut.” “Diana tidak menganggap yang itu termasuk dalam peraturan tersebut.” “Gadis itu tak tahu apa-apa.” “Apa yang dia tidak tahu?” Dengan enggan, ragu, dan marah, Frobisher berkata, “Oh, baiklah, kalau Anda memaksa. Malam itu Chandler mendengar suara-suara. Dia mengira ada orang masuk ke rumah. Dia keluar untuk menyelidiki. Dinyalakannya lampu kamar putranya. Chandler masuk. Hugh tidur di tempat tidurnya—tidur pulas—mengenakan pakaian lengkap. Ada noda-noda darah pada bajunya. Baskom cuci tangan yang tersedia juga penuh air campur darah. Ayahnya tak bisa membangunkannya. Esok paginya dia mendengar kabar bahwa sejumlah domba ditemukan mati dengan leher tergorok. Hugh ditanyai. Hugh tak tahu apa-apa tentang itu semua. Dia tak ingat telah berjalan ke luar... dan sepatunya, yang ditemukan dekat pintu, ternyata penuh lumpur yang sudah mengering. Dia tak bisa menjelaskan mengapa ada darah di baskom untuk cuci tangan. Tak bisa menerangkan apa-apa. Anak yang malang, dia tidak tahu. “Charles menemui saya dan kami bicara panjang-lebar tentang kasus itu. Langkah apa yang paling baik dan bisa kami laksanakan? Lalu kejadian itu terulang—tiga malam kemudian. Setelah itu—yah, Anda bisa melihatnya sendiri. Tentu saja anak itu harus keluar dari dinas Angkatan Laut. Ya, itu satu-satunya jalan yang masih bisa dilakukan.”
Poirot bertanya, “Dan sejak itu?” Frobisher berkata dengan sengit, “Saya tak mau lagi menjawab pertanyaan-pertanyaan Anda. Bukankah Hugh tahu benar apa yang paling baik baginya?” Hercule Poirot tidak menanggapi. Ia selalu tersinggung jika ada yang mengatakan seseorang tahu lebih baik dari Hercule Poirot. III Ketika sampai di selasar, mereka berpapasan dengan Admiral Chandler yang berjalan sedang masuk. Ia berdiri diam selama beberapa saat. Dari dalam rumah ia terlihat bagaikan siluet berlatar belakang ambang pintu dan cahaya terang di luar sana. Ia berkata dengan suara rendah dan parau, “Oh, Anda di sini rupanya. M. Poirot, saya ingin bicara sebentar dengan Anda. Marilah kita ke kamar kerja saya.” Frobisher pergi ke luar, lewat pintu yang terbuka, dan Poirot kini mengikuti Admiral Chandler. Ia merasa seperti kelasi yang dipanggil ke dek perwira untuk dimintai keterangan. Admiral Chandler mengisyaratkan agar Poirot duduk di salah satu kursi yang besar dan nyaman di ruangan itu, lalu ia sendiri pun duduk. Waktu bersama Frobisher tadi, Poirot sangat terkesan pada penampilan Frobisher yang gelisah, gugup, dan sinis—semua itu tanda-tanda keadaan mental yang tertekan. Bersama Admiral Chandler, ia merasakan adanya keputusasaan dan rasa tak berdaya yang amat mendalam. Setelah menarik napas panjang, Chandler berkata, “Saya kasihan pada Anda karena Diana telah menyeret-nyeret Anda kemari. Gadis yang malang, saya tahu betapa beratnya ini baginya. Tapi... yah, ini tragedi pribadi keluarga kami. Saya harap Anda bisa mengerti maksud saya, M. Poirot. Kami tidak membutuhkan bantuan orang luar.” “Tentu saja saya dapat mengerti perasaan Anda.” “Diana yang malang, tak mau percaya begitu saja. Mula-mula saya juga tidak bisa percaya. Mungkin saya takkan percaya sekarang kalau saya tidak tahu....” Ia berhenti. “Tahu apa?” “Itu ada dalam darah. Maksud saya, darah yang tercemar.” “Namun begitu Anda menyetujui pertunangan mereka.” Wajah Admiral Chandler memerah. “Maksud Anda, seharusnya saya mencegah mereka sejak awal? Tapi waktu itu saya tak punya dugaan sama sekali. Hugh amat mirip ibunya, tak sesuatu pun dalam dirinya yang menunjukkan ciri-ciri keluarga Chandler. Semoga dia amat mirip ibunya, dalam segala hal. Sejak masa kanak-kanaknya, hingga dewasa sekarang ini, tak pernah ada kejadiankejadian yang tak normal, sampai sekarang. Saya tak bisa mengerti... lagi pula, dalam keluarga-keluarga yang garis keturunannya sudah panjang, selalu saja ada kasus kegilaan atau abnormalitas!” Poirot berkata dengan lembut, “Anda belum berkonsultasi dengan dokter?” Chandler langsung marah sekali, “Tidak, saya takkan mengizinkannya! Anak itu cukup aman di sini, saya akan menjaga dan merawatnya. Mereka takkan saya biarkan mengurung Hugh di balik empat dinding kokoh, seperti banteng gila saja.”
“Anda mengatakan dia aman di sini. Tapi, apakah yang lain juga aman?” “Apa maksud Anda?” Poirot tidak menjawab. Ia memandang mata Admiral Chandler dengan pandangan tajam dan menyelidik. Mata itu gelap dan sedih. Admiral Chandler berkata dengan pahit, “Setiap orang punya masalahnya sendiri. Anda mencari penjahat! Anak saya bukan penjahat, M. Poirot.” “Belum.” “Apa maksud Anda mengucapkan ’belum’?” “Tragedi itu terus meningkat... domba-domba itu...” “Siapa yang memberitahu Anda tentang domba-domba itu?” “Diana Maberly. Dan juga kawan Anda, Kolonel Frobisher.” “Seharusnya George menutup mulutnya rapat-rapat.” “Dia salah satu kawan akrab Anda, bukan?” “Yang terbaik,” kata Admiral dengan suara parau. “Dan dia... juga kawan istri Anda. Benar begitu?” Chandler tersenyum. “Benar. Saya yakin George mencintai Caroline. Ketika Caroline masih amat muda. Dia tak pernah menikah. Saya yakin itulah alasannya. Nah, rasanya saya termasuk yang bernasib baik... atau, begitulah yang saya kira. Saya menikahinya hanya untuk kehilangan dia.” Ia mendesah, bahunya terkulai. Poirot berkata, “Kolonel Frobisher ada bersama Anda ketika istri Anda tenggelam?” Chandler mengangguk. “Ya, dia bersama kami di Cornwall ketika peristiwa itu terjadi. Saya dan istri saya berperahu berdua... hari itu dia tidak ikut ke laut. Saya tak pernah bisa mengerti, bagaimana perahu itu bisa terbalik... Pasti tiba-tiba bocor. Kami sudah jauh dari teluk, ada arus kuat. Saya memeganginya selama mungkin dan sekuat saya....” Suaranya tercekat. “Tubuhnya terdampar di pantai dua hari kemudian. Untunglah kami tidak mengajak Hugh bersama kami! Setidak-tidaknya itu yang terlintas dalam pikiran saya hari itu! Sekarang... yah... anak malang, barangkali akan lebih baik baginya kalau dia ada bersama kami waktu itu. Dan masalah ini takkan muncul, semua sudah selesai waktu itu.” Sekali lagi pria itu mendesah, dalam dan pedih. “Kami keturunan Chandler yang terakhir, M. Poirot. Takkan ada lagi anak keturunan Chandler di Lyde kalau kami sudah mati. Ketika Hugh bertunangan dengan Diana, saya berharap... ah, tak ada gunanya bicara soal itu. Untunglah mereka tidak jadi menikah. Hanya itu yang bisa saya sampaikan.” IV Hercule Poirot duduk di sebuah bangku di taman mawar. Di sebelahnya duduk Hugh Chandler. Diana Maberly baru saja meninggalkan mereka. Pemuda tampan itu memalingkan wajahnya—yang seperti orang terluka—ke arah Poirot.
Katanya, “Anda harus membuatnya mengerti, M. Poirot.” Ia berhenti semenit lamanya, lalu melanjutkan, “Anda tahu Diana sangat gigih. Dia takkan menyerah. Dia takkan menerima dan percaya begitu saja apa yang diharapkan orang atas dirinya. Dia... dia akan terus percaya bahwa saya... waras.” “Sementara Anda sendiri yakin bahwa Anda—maafkan saya—tidak waras?” Pemuda itu bergerak gelisah. Ia berkata, “Saya memang belum parah... tapi gejalanya semakin buruk. Untung Diana tidak tahu. Dia hanya melihat saya ketika saya... sedang waras.” “Dan ketika Anda sedang... kambuh, apa yang terjadi?” Hugh Chandler menarik napas panjang. Kemudian ia berkata, “Satu hal yang jelas... saya bermimpi. Dan ketika saya bermimpi, saya menjadi gila. Misalnya tadi malam, saya bukan lagi manusia. Saya berubah jadi banteng... banteng gila... lari ke sana kemari dalam siraman cahaya matahari yang terik... saya makan tanah dan mulut saya penuh darah... darah dan tanah. Kemudian saya berubah jadi anjing... anjing besar yang buas. Saya menderita hydrophobia—takut pada air—anak-anak lari ketakutan kalau saya mendekat... orang-orang dewasa mencoba menembak saya... seseorang meletakkan sebuah mangkuk besar penuh air untuk saya tapi saya tak dapat minum. Saya tak bisa minum....”
Ia berhenti. “Saya terbangun. Dan saya tahu, itu semua nyata. Saya pergi ke tempat cuci tangan. Mulut saya kering... kering sekali... dan perih. Saya haus. Tapi saya tak dapat minum, M. Poirot.... Saya tak bisa menelan.... Ya Tuhan, saya tak bisa minum....” Hercule Poirot menggumam halus. Hugh Chandler melanjutkan. Kedua tangannya terkepal di atas lututnya. Wajahnya terjulur ke depan, kedua matanya setengah terpejam, seakan-akan ia melihat sesuatu datang mendekatinya. “Dan ada kejadian-kejadian yang sama sekali bukan mimpi. Hal-hal yang saya lihat ketika sedang terjaga penuh. Makhluk-makhluk aneh dan mengerikan. Mereka mengancam saya. Kadang-kadang saya berhasil lari, meninggalkan tempat tidur saya, terbang ke angkasa, menunggangi sang angin... namun makhluk-makhluk jahat itu terus mengikuti saya!” “Tcha, tcha,” kata Hercule Poirot. Itu adalah gumaman yang lembut, penuh simpati. Hugh Chandler berpaling padanya. “Oh, Anda jangan menyangka yang bukan-bukan. Tak diragukan lagi. Benih itu ada dalam darah saya. Warisan keluarga saya. Saya tak dapat lari darinya. Untunglah saya mengetahuinya sebelum terlambat! Sebelum saya menikah dengan Diana. Seandainya kami punya anak dan menurunkan penyakit yang mengerikan ini padanya...” Diletakkannya tangannya di tangan Poirot. “Anda harus membuatnya mengerti. Anda harus meyakinkannya. Diana harus mengerti. Suatu hari dia akan menemukan pria lain. Ada Steve Graham—yang tergila-gila padanya... dan dia pemuda yang sangat baik. Diana pasti akan bahagia bersamanya—dan aman. Saya ingin dia bahagia. Tentu saja Graham akan mendapat kesulitan untuk menyesuaikan diri, begitu pula keluarga Diana, tapi jika saya sudah tiada, semua akan beres.” Suara Hercule Poirot menyelanya.
“Mengapa semua akan ‘beres’ bila Anda sudah tiada?” Hugh Chandler tersenyum. Senyum yang lembut dan penuh kasih. Katanya, “Ada uang peninggalan ibu saya. Ibu saya punya warisan yang cukup besar. Dan itu jatuh kepada saya. Saya sudah mewariskan semuanya pada Diana.” Hercule Poirot duduk bersandar. Katanya, “Ah!” Kemudian ia berkata, “Tapi Anda mungkin akan terus hidup sampai usia lanjut, Mr. Chandler.” Hugh Chandler menggeleng. Ia berkata dengan suara tajam, “Tidak, M. Poirot. Saya takkan hidup sampai tua.” Kemudian ia bersandar, tiba-tiba badannya bergetar. “Ya Tuhan! Lihat!” Matanya terbelalak memandang ke belakang bahu Poirot. “Itu... berdiri di samping Anda... kerangka manusia... tulang-tulangnya bergetar. Dia memanggil saya... menarik saya...” Mata Hugh terbelalak. Pupil matanya berputar-putar, terpana menatap matahari. Tiba-tiba tubuhnya terhuyung ke samping, seakan-akan hendak roboh. Kemudian, sambil berpaling pada Poirot, ia berkata dengan suara yang kekanak-kanakan, “Anda tidak melihat... sesuatu?” Pelan-pelan Hercule Poirot menggeleng. Hugh Chandler berkata dengan suara parau, “Saya tidak peduli pada ilusi-ilusi ini. Yang saya takutkan adalah darah. Darah di kamar saya... di pakaian saya... Kami punya seekor burung kakaktua. Suatu pagi burung itu ada di kamar saya... dengan leher tergorok... dan saya terbaring di tempat tidur dengan tangan memegang pisau penuh darah, darah yang masih basah!” Ia mencondongkan tubuhnya, makin dekat pada Poirot. “Bahkan baru-baru ini ada beberapa binatang mati terbunuh,” bisiknya. “Di mana-mana, di seluruh desa, di lembah-lembah. Domba-domba yang masih muda, seekor anjing collie. Setiap malam Ayah mengunci kamar saya dari luar, tapi kadang-kadang... kadang-kadang... di pagi hari pintu itu kedapatan sudah terbuka. Saya pasti punya kunci yang tersembunyi entah di mana, tapi saya tak tahu di mana kunci itu saya sembunyikan. Saya tak tahu. Bukan saya yang melakukan semua itu, tetapi sosok pribadi yang lain yang merasuk ke dalam raga saya... yang menguasai jiwa dan pikiran saya... yang mengubah saya menjadi monster yang mengerikan... monster yang haus darah dan tak bisa minum air...” Tiba-tiba ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Setelah diam satu-dua menit, Poirot bertanya, “Saya masih tetap tidak mengerti, mengapa Anda tidak pergi ke dokter?” Hugh Chandler menggeleng. Katanya, “Benarkah Anda tidak bisa mengerti? Secara fisik saya ini kuat. Saya kuat seperti banteng jantan. Saya mungkin bisa hidup bertahun-tahun lagi... lama sekali... dan dikurung di balik empat dinding! Itu yang tak dapat saya hadapi! Lebih baik saya langsung mati. Ada banyak jalan untuk itu. Anda pun pasti tahu. Kecelakaan, membersihkan senapan... yang semacam itulah. Diana akan mengerti. Saya lebih suka bunuh diri dengan cara yang saya pilih sendiri!” Ia memandang Poirot dengan pandangan menantang, tetapi Poirot tidak menanggapi tantangannya. Ia malah bertanya dengan lembut, “Apa yang Anda makan dan Anda minum?” Hugh Chandler melemparkan kepalanya ke belakang. Ia tertawa terbahak-bahak.
“Mimpi buruk setelah salah makan? Itukah pendapat Anda?” Poirot mengulangi pertanyaannya dengan halus, “Apa yang Anda makan dan Anda minum?” “Hanya yang dimakan dan diminum orang-orang lain.” “Tak ada obat khusus? Serbuk? Pil?” “Ya, Tuhan, tidak. Anda pikir pil biasa bisa menyembuhkan saya?” Ia menambahkan dengan sungguh-sungguh, “Dapatkah sakit otak disembuhkan?” Hercule Poirot berkata datar, “Saya akan berusaha. Apakah seseorang di rumah ini menderita suatu penyakit mata?” Hugh Chandler menatapnya tak mengerti. Katanya, “Mata Ayah tidak pernah baik. Dia selalu mendapat kesulitan dengan matanya. Dia harus pergi ke dokter mata secara teratur.” “Ah!” Poirot merenung beberapa saat. Kemudian ia berkata, “Kolonel Frobisher, kalau saya tidak salah, pernah tinggal lama di India?” “Ya, dia tergabung dalam Angkatan Darat India. Dia sangat cinta India... sering bicara tentang India... tradisi-tradisi penduduk asli... dan segala sesuatu tentang India.” Poirot menggumam lagi, “Ah!” Kemudian ia berkata, “Saya lihat dagu Anda tergores.” Hugh meraba dagunya. “Ya, luka yang cukup dalam. Ayah mengagetkan saya, hari itu, ketika saya sedang bercukur. Akhir-akhir ini saya agak gugup. Kecuali itu, dagu dan leher saya penuh bercak-bercak kemerahan, seperti biang keringat yang lebar. Itu menyulitkan kalau saya ingin bercukur.” Poirot berkata, “Anda harus memakai krim pelembut.” “Saya sudah memakai krim. Paman George memberi saya krim itu.” Tiba-tiba ia tertawa. “Kita bicara seperti dua wanita di salon kecantikan. Lotion, krim pelembut, pil, sakit mata. Apa artinya ini semua? Apa yang sedang Anda tuju, M. Poirot?” Poirot berkata dengan tenang. “Saya sedang berusaha melakukan yang terbaik, demi Diana Maberly.” Sikap Hugh langsung berubah. Wajahnya jadi murung. Diletakkannya tangannya di tangan Poirot. “Ya, lakukan yang dapat Anda lakukan demi dia. Katakan padanya, dia harus melupakan saya. Katakan, tak ada gunanya berharap. Katakan apa yang telah saya ceritakan pada Anda. Katakan padanya... oh, demi Tuhan, katakan lebih baik dia menjauhi saya! Itu satu-satunya yang dapat dia lakukan demi saya sekarang. Menjauh... dan mencoba melupakan!” V “Apakah Anda punya keberanian, Mademoiselle? Keberanian yang besar? Ya, kita membutuhkannya.” Diana berkata tajam, “Kalau begitu, memang benar. Benarkah? Dia memang gila?” Hercule Poirot berkata, “Saya bukan ahli jiwa, Mademoiselle. Saya tak berwenang
mengatakan ‘Orang ini gila. Orang ini waras.’” Diana mendekat ke arah Poirot. “Admiral Chandler menganggap Hugh gila. George Frobisher menganggap Hugh gila. Hugh sendiri menganggap dirinya gila.” Poirot memandang gadis itu dengan tajam. “Dan Anda, Mademoiselle?” “Saya? Saya yakin dia tidak gila! Itu sebabnya...” Kata-katanya terputus. “Itu sebabnya Anda datang menemui saya?” “Ya. Tak ada alasan lain bagi saya untuk datang menemui Anda, kan?” “Tepat!” kata Hercule Poirot. “Itu pula yang selalu mengusik hati saya, Mademoiselle.” “Saya tak mengerti maksud Anda.” “Siapakah Stephen Graham?” Diana terbelalak. “Stephen Graham? Ah, dia... dia hanya seorang...” Dipegangnya lengan Poirot. “Apa yang ada dalam pikiran Anda? Apa yang Anda pikirkan? Anda hanya berdiri di sini... dengan kumis Anda yang luar biasa ini... mengedip-ngedipkan mata karena silau, dan Anda tak mau berterus terang pada saya. Anda membuat saya ngeri... sangat ngeri. Mengapa Anda menakut-nakuti saya?” “Mungkin,” kata Poirot, “karena saya sendiri juga ngeri.” Mata abu-abu gelap itu terbelalak lebar, menatap Poirot. Suaranya terdengar seperti bisikan, “Apa yang Anda takutkan?” Hercule Poirot mendesah... desah yang dalam dan panjang. Katanya, “Lebih mudah menangkap seorang pembunuh daripada mencegah pembunuhan.” Diana menjerit, “Pembunuhan? Jangan gunakan kata itu!” “Tapi,” kata Hercule Poirot, “saya telah mengucapkannya.” Kemudian suaranya berubah. Kini ia berkata dengan cepat dan tegas. “Mademoiselle, malam ini Anda dan saya harus menginap di Lyde Manor. Tolong aturlah supaya itu bisa terlaksana. Dapatkah itu Anda lakukan?” “Saya... ya... saya kira bisa. Tapi mengapa...?” “Sebab tak ada waktu lagi. Anda sudah mengatakan punya keberanian besar. Sekarang buktikanlah! Lakukan saja apa yang saya katakan dan jangan bertanya-tanya mengapa.” Diana mengangguk, tanpa berkata-kata, lalu membalikkan badan. Beberapa saat kemudian Poirot mengikuti gadis itu masuk ke rumah. Ia mendengar suara gadis itu di dalam perpustakaan, dan suara tiga pria. Ia lewat di depan pintu perpustakaan lalu menaiki tangga yang lebar. Tak ada orang di lantai atas.
Dengan mudah ia menemukan kamar tidur Hugh Chandler. Di sudut kamar ada tempat cuci tangan dengan keran air panas dan air dingin. Di atasnya, dalam lemari kaca, tersimpan berbagai macam tube, tempat krim, dan botol-botol obat. Tangan Hercule Poirot bekerja dengan cepat dan cekatan. Apa yang harus dilakukannya tidak membutuhkan waktu lama. Ia sudah turun ke lantai bawah dan berada di lorong pintu masuk utama ketika Diana keluar dari perpustakaan. Wajah gadis itu terlihat merah dan kesal. “Beres,” katanya singkat. Admiral Chandler menggamit Poirot, mengajaknya masuk ke ruang perpustakaan dan menutup pintu. Katanya, “Dengar, M. Poirot. Saya tak suka ini.” “Apa yang Anda tidak suka, Admiral Chandler?” “Diana telah memaksa agar Anda dan dia saya izinkan menginap di sini nanti malam. Saya tak ingin dikatakan tidak tahu sopan santun...” “Ini bukan masalah sopan santun.” “Sudah saya katakan, saya tak ingin bersikap tidak sopan... tapi terus terang, saya tak suka, M. Poirot. Saya... saya tidak ingin itu terjadi. Dan saya tak melihat adanya alasan untuk itu. Apa gunanya Anda menginap di sini?” “Bolehkah saya katakan saya sedang melakukan suatu eksperimen?” “Eksperimen apa?” “Tentang itu, maafkan saya, itu urusan saya.” “Dengar, M. Poirot, bukan saya yang meminta Anda datang kemari...” Poirot menyela, “Percayalah, Admiral Chandler, saya sungguh mengerti dan menghargai jalan pikiran Anda. Saya berada di sini hanya demi seorang gadis yang keras kepala, yang mencintai putra Anda. Anda telah menceritakan beberapa hal kepada saya. Begitu pula Kolonel Frobisher. Juga Hugh sendiri. Sekarang, saya ingin melihatnya dengan mata kepala saya sendiri.” “Benar, tapi melihat apa? Percayalah, Anda takkan melihat apa-apa! Saya selalu mengunci Hugh di kamarnya setiap malam!” “Tapi... kadang-kadang, katanya pada saya, pintu itu ditemukan tidak terkunci di pagi hari.” “Apa maksud Anda?” “Tidakkah Anda pernah menemukan pintu itu tidak terkunci?” Dahi Chandler berkerut. “Saya selalu mengira George yang membukanya... apa maksud Anda?” “Di mana Anda tinggalkan kuncinya? Di lubang kunci?” “Tidak. Saya letakkan di atas lemari di luar kamar Hugh. Saya, atau George, atau Withers—pelayan kami—mengambilnya dari atas lemari setiap pagi. Pada Withers kami katakan itu dilakukan karena Hugh suka berjalan keluar selagi tidur. Saya yakin dia tahu lebih banyak, tapi dia sangat setia, sudah bertahun-tahun kerja di sini.”
“Apakah ada kunci lain?” “Setahu saya tidak.” “Bisa saja dibuat duplikatnya.” “Tapi siapa...” “Putra Anda mengira dia punya satu kunci, entah dia sembunyikan di mana, meskipun kalau sedang terjaga dan sadar, dia tak ingat akan kunci itu.” Dari ujung ruangan, Kolonel Frobisher berkata, “Aku tak suka ini, Charles... Gadis itu...” Admiral Chandler menukas cepat, “Persis seperti yang saya pikirkan. Gadis itu tak boleh kemari bersama Anda. Kalau mau, Anda bisa datang sendiri kemari, M. Poirot.” Poirot berkata, “Mengapa Anda tak ingin Miss Maberly ada di sini malam ini?” Frobisher berkata dengan suara rendah, “Risikonya terlalu besar. Dalam kasus-kasus seperti ini...” Kata-katanya terputus. Poirot berkata, “Hugh sangat mencintainya.” Chandler berseru, “Itulah sebabnya! Sialan. Segalanya jadi kacau dan terbalik-balik jika masalahnya menyangkut orang gila. Hugh pun sadar akan hal ini. Diana tak boleh kemari.” “Tentang itu,” kata Poirot, “biarkan Diana sendiri yang memutuskan.” Ia keluar dari ruang perpustakaan. Diana menunggunya di luar, di mobil. Ia berseru, “Kita ambil pakaian kita, dan kembali ke sini sebelum makan malam.” Ketika mereka menyusuri jalan ke rumah Diana, Poirot mengulangi percakapannya dengan Admiral Chandler dan Kolonel Frobisher. Diana tertawa jengkel. “Apa mereka mengira Hugh akan melukai saya?” Sebagai jawabannya, Poirot meminta agar mereka singgah sebentar di apotek di desa. Ia lupa membawa sikat gigi, katanya. Apotek terletak di sebuah jalan desa yang sepi dan tenang. Diana menunggu di mobil. Ia agak heran, karena ternyata Hercule Poirot membutuhkan waktu cukup lama untuk memilih sebatang sikat gigi. VI Di sebuah ruang tidur yang luas, dengan perabotan dari kayu ek dan dibuat dengan gaya Zaman Ratu Elizabeth I, Hercule Poirot duduk dan menunggu. Tak ada yang bisa dilakukannya kecuali menunggu. Semua persiapan yang perlu telah dilakukan. Menjelang pagi hari, terdengar pintu kamarnya diketuk. Mendengar suara-suara di luar, Poirot menarik selot dan membuka pintu. Ada dua pria di lorong di luar pintu... dua pria setengah baya yang kelihatan jauh lebih tua dari usia mereka sebenarnya. Wajah Admiral Chandler tampak murung dan kaku, wajah Kolonel Frobisher bergetar seperti orang kesakitan. Dengan singkat Chandler berkata, “Ikuti kami, M. Poirot.”
Ada sesosok tubuh tak berdaya teronggok di depan pintu kamar tidur Diana Maberly. Cahaya lampu jatuh menimpa sebuah kepala berambut pirang kecokelatan. Hugh Chandler terbaring di sana, napasnya terputus-putus. Ia mengenakan baju tidur dan sepasang sandal kamar. Tangan kanannya menggenggam sebuah pisau lengkung yang berkilat-kilat. Tidak seluruh batang baja pisau itu berkilat, di sana-sini terlihat bercak-bercak merah. Hercule Poirot berseru pelan, “Mon Dieu!” Frobisher berkata dengan tajam, “Diana selamat! Hugh belum menyentuhnya.” Ia menaikkan suaranya dan berseru, “Diana! Ini kami! Biarkan kami masuk!” Poirot mendengar Admiral Chandler menggumam lirih, “Anakku. Anakku yang malang.” Terdengar selot-selot dibuka. Pintu terbuka, Diana berdiri di sana. Wajahnya pucat pasi. Dengan terbata-bata ia berkata, “Apa yang terjadi? Ada orang... mencoba masuk... saya mendengarnya mengutak-atik kunci... pegangan pintu... menggaruk-garuk pintu... Oh! Mengerikan... seperti binatang....” Frobisher menyela dengan tajam, “Untunglah kau mengunci pintu!” “M. Poirot menyuruh saya mengunci pintu.” Poirot berkata, “Angkat dia dan kita bawa ke kamar.” Kedua orang itu membungkuk dan mengangkat anak muda yang tidak sadar itu. Ia menarik napas tertahan ketika Hugh digotong masuk ke kamarnya. “Hugh? Benarkah ini Hugh? Apa itu... yang di tangannya?” Tangan Hugh Chandler basah dan lengket oleh cairan merah kecokelatan. Diana bertanya dengan napas tertahan, “Itu darah?” Poirot memandang kedua pria itu dengan pandangan bertanya. Admiral Chandler mengangguk. Katanya, “Untungnya bukan darah manusia! Hanya kucing! Saya temukan di bawah, di lorong. Lehernya tergorok. Sesudah itu pasti dia naik kemari.” “Kemari?” Suara Diana rendah penuh kengerian. “Ke kamar saya?” Pemuda yang terpuruk di kursi itu bergerak... menggumamkan sesuatu. Mereka mengawasinya, terpana. Hugh Chandler kini duduk tegak. Ia mengedip-ngedipkan matanya. “Hai,” suaranya tidak jelas dan parau. “Apa yang terjadi? Mengapa aku...?” Kata-katanya terhenti. Matanya terbelalak menatap pisau yang masih tergenggam di tangannya. Ketika akhirnya ia bicara, suaranya terdengar rendah dan berat, “Apa yang telah kulakukan?” Matanya memandang mereka berganti-ganti. Akhirnya pandangannya berhenti pada Diana yang bersandar ke dinding. Gadis itu terlihat lemas. Hugh berkata pelan, “Apakah aku telah melukai Diana?” Ayahnya menggeleng. Hugh berkata. “Katakan, apa yang terjadi? Aku harus tahu!”
Mereka mengatakannya... dengan enggan... dengan terputus-putus. Ketenangan Hugh akhirnya membuat mereka mengatakan semuanya. Di luar jendela, matahari mulai naik. Hercule Poirot membuka tirai jendela. Matahari pagi menyinari ruangan itu. Wajah Hugh Chandler terlihat tenang, suaranya mantap. Katanya, “Saya mengerti.” Kemudian ia bangkit. Ia tersenyum lalu menggeliat. Suaranya terdengar wajar ketika ia berkata, “Pagi yang indah, ya? Aku akan pergi ke hutan, mencari kelinci.” Ia keluar, meninggalkan mereka yang terpana menatap punggungnya. Kemudian Admiral Chandler melangkah maju. Frobisher cepat-cepat menarik lengannya. “Jangan, Charles, jangan. Itu yang terbaik... baginya, anak yang malang. Yang terbaik baginya, kalau tidak untuk orang lain.” Diana menjatuhkan tubuhnya ke ranjang sambil menangis tersedu-sedu. Admiral Chandler berkata, suaranya terdengar tidak yakin, “Kau benar, George... aku tahu, kau benar. Anak itu punya keberanian....” Frobisher berkata, suaranya terdengar sedih, “Dia seorang pria sejati.” Hening beberapa saat, kemudian Chandler berkata, “Sialan, di mana orang asing terkutuk itu?” VII Di ruang penyimpanan senjata, Hugh Chandler telah mengambil senapannya dari rak penyimpan dan sedang mengisinya ketika tangan Hercule Poirot menyentuh bahunya. Hercule Poirot hanya mengatakan satu kata, dan ia mengatakannya dengan tegas. Katanya, “Jangan!” Hugh Chandler terpana menatapnya. Ia berkata dengan suara berat dan penuh amarah, “Lepaskan saya. Jangan ikut campur. Ini akan jadi suatu kecelakaan. Ini satu-satunya jalan keluar.” Sekali lagi Hercule Poirot mengulang kata itu, “Jangan!” “Tidakkah Anda sadar, kalau saja pintunya tidak terkunci, saya pasti sudah menggorok lehernya... leher Diana?! Dengan pisau itu!” “Saya tidak menyadari apa-apa. Anda takkan membunuh Miss Maberly.” “Saya telah membunuh kucing itu, kan?” “Tidak, Anda tidak membunuh kucing itu. Anda tidak membunuh burung kakaktua itu. Anda tidak membunuh domba-domba itu.” Hugh menatap Poirot tak percaya. Ia berkata, menuntut jawab, “Anda yang gila, atau saya?” Hercule Poirot menjawab, “Tak satu pun di antara kita yang gila.” Tepat ketika itu, Kolonel Frobisher dan Admiral Chandler masuk. Diana menyusul di belakang mereka. Hugh Chandler berkata dengan suara lemah dan kebingungan, “Orang ini mengatakan aku tidak gila.”
Hercule Poirot berkata, “Dengan penuh rasa syukur saya katakan pada Anda bahwa Anda benar-benar sehat dan waras.” Hugh tertawa. Tawanya seperti tawa orang gila. “Lucu sekali! Jadi, hanya orang waras, ya, yang menggorok leher domba-domba dan binatang-binatang lain? Saya waras, ya, ketika saya menggorok leher burung kakaktua itu? Dan kucing itu, malam ini?” “Sudah saya katakan Anda tidak menggorok leher domba-domba itu... atau burung kakaktua... atau kucing.” “Lalu siapa?” “Seseorang yang punya satu tujuan pasti, yaitu membuktikan Anda gila. Setiap kali Anda diberi cairan soporific dalam dosis cukup tinggi dan sebatang pisau berdarah diletakkan dalam genggaman Anda. Tangan orang lainlah yang penuh darah dan dicuci dalam tempat cuci tangan di kamar Anda.” “Tapi mengapa?” “Agar Anda melakukan apa yang hampir saja Anda lakukan, kalau saya tidak berhasil menghentikan Anda.” Hugh ternganga tak mengerti. Poirot berpaling pada Kolonel Frobisher, “Kolonel Frobisher, Anda tinggal cukup lama di India. Pernahkah Anda menemukan kasuskasus, ketika seseorang sengaja dibuat gila dengan ramuan-ramuan tertentu?” Wajah Kolonel Frobisher menjadi cerah. Katanya, “Saya belum pernah melihatnya secara langsung, tapi saya sering mendengarnya. Peracunan dengan datura. Membuat orang jadi gila.” “Tepat. Nah, cara kerja dan akibat yang ditimbulkan oleh datura sangat mirip, kalau tidak dikatakan tepat sama, dengan alkaloid atropine... yang bisa diperoleh dari sediaan belladonna atau krim malam yang amat beracun. Bahan pembuat belladonna sesungguhnya biasa saja dan atropine sulphate bisa diperoleh dengan mudah dengan resep obat mata. Dengan menyalin resepnya, dan membelinya di apotek yang berbeda-beda, sejumlah besar racun bisa diperoleh tanpa menimbulkan kecurigaan. Alkaloid-nya bisa disarikan darinya dan kemudian dicampurkan dengan... katakanlah, krim pelembut yang biasa dipakai waktu bercukur. Jika dioleskan ke kulit akan menimbulkan bercak-bercak lebar kemerahan, dan kemudian akan terjadi penyerapan ketika orang itu sedang bercukur, dan dengan demikian secara terus-menerus racun akan terserap ke dalam darahnya. Gejalagejala yang kemudian muncul adalah... mulut dan tenggorokan terasa kering, sulit menelan, halusinasi, pandangan kembar dan kabur... semua gejala, tepatnya, yang diderita Mr. Chandler.” Ia berpaling pada anak muda itu. “Dan untuk mengusir sisa keraguan Anda, saya katakan ini semua bukan dugaan melainkan kenyataan. Krim cukur Anda telah dicampur dengan atropine sulphate dalam dosis tinggi. Saya telah mengambil sedikit contohnya dan menyuruh orang melakukan pengetesan.” Dengan wajah pucat pasi dan tubuh bergetar, Hugh bertanya, “Siapa yang melakukannya? Mengapa?” Hercule Poirot berkata, “Itulah yang saya amati sejak pertama kali saya tiba di sini. Saya mencari motif pembunuhan. Diana Maberly akan mendapat warisan sangat besar kalau Anda meninggal, tapi saya tidak menganggap dia...” Hugh Chandler memotong cepat, “Tentu saja tidak!”
“Saya membayangkan motif lain. Segi tiga abadi: dua pria dan seorang wanita. Kolonel Frobisher sangat mencintai ibu Anda, dan Admiral Chandler menikahinya.” Admiral Chandler berseru, “George? George! Saya tak percaya.” Hugh berkata dengan suara sengit, “Maksud Anda, kebencian dan dendam itu dapat diarahkan pada... pada seorang anak?” Hercule Poirot berkata, “Dalam keadaan-keadaan tertentu, ya.” Frobisher menjerit, “Bohong! Jangan percaya padanya, Charles!” Chandler menjauhinya. Ia bergumam pada diri sendiri, “Datura... India... ya, saya mengerti kini... Dan kami sama sekali tidak mengira ada kasus peracunan... tidak, karena memang ada benih gila turunan dalam keluarga ini.” “Mais oui!” Suara Hercule Poirot terdengar meninggi. “Penyakit gila turunan. Seorang gila... penuh dendam... cerdik dan licin... dan seperti umumnya orang gila, menyembunyikan kegilaannya selama bertahun-tahun.” Ia berputar, menghadap Frobisher. “Mon Dieu, Anda pasti tahu, Anda pasti telah menduga, bahwa Hugh putra Anda. Mengapa Anda tak pernah mengatakannya padanya?” Frobisher tergagap-gagap, ia menelan ludah dengan sulit. “Saya tidak tahu. Saya tidak yakin... Caroline pernah datang menemui saya, sekali... dia takut akan sesuatu... dia dalam bahaya. Saya tak tahu, saya tak pernah tahu, apa yang dia takutkan. Dia... saya... kami kehilangan kendali. Sesudah itu saya langsung pergi jauh... itu satu-satunya penyelesaian yang dapat saya lakukan. Kami berdua tahu, kami harus memainkan peran kami masing-masing. Saya... ah, saya kadang-kadang bertanyatanya sendiri, tetapi saya tak bisa yakin. Caroline tidak pernah mengatakan apa-apa, yang membuat saya yakin Hugh anak saya. Dan ketika hal ini... tanda-tanda kegilaan itu mulai muncul... saya pikir masalahnya menjadi jelas.” Poirot berkata, “Ya, masalahnya menjadi jelas! Anda tidak melihat bagaimana cara Hugh Chandler menjulurkan kepalanya ke depan, bagaimana alisnya berkerut menutupi matanya... ciri-ciri yang diwarisinya dari Anda. Tapi Charles Chandler melihatnya. Dia sudah melihatnya bertahun-tahun yang lalu... dan mengorek kebenaran dari mulut istrinya. Saya rasa Caroline takut padanya... karena suaminya mulai menunjukkan tanda-tanda gila... itulah yang membuatnya pergi menemui Anda... Anda yang sejak semula dicintainya. Charles Chandler merencanakan pembalasan. Istrinya meninggal dalam kecelakaan ketika mereka berdua pergi berperahu. Dia dan Caroline pergi berperahu berdua, dan dia tahu persis bagaimana kecelakaan itu terjadi. Kemudian dia memupuk dendamnya dan merencanakan pembalasan pada anak laki-laki yang mewarisi namanya tapi tidak darahnya. Cerita-cerita Anda tentang India memberinya gagasan untuk melakukan peracunan dengan datura. Hugh harus dibuat gila secara perlahan-lahan. Sampai suatu saat, karena putus asa, Hugh akan membunuh dirinya sendiri. Kegilaan itu, kehausan akan darah itu, ada pada diri Admiral Chandler, bukan Hugh. Charles Chandler-lah yang menggorok leher domba-domba di padang gembalaan yang sepi. Tapi Hugh-lah yang harus membayar hukumannya! “Tahukah Anda kapan saya mulai curiga? Ketika Admiral Chandler menolak mentah-mentah gagasan untuk membawa putranya berobat ke dokter. Jika Hugh menolak, itu wajar. Tapi, ayahnya sendiri?! Barangkali ada obat dan perawatan yang bisa menyembuhkan putranya. Banyak alasan yang mengharuskan Admiral Chandler mendengarkan pendapat dokter ahli. Tapi tidak, dokter tidak boleh memeriksa Hugh Chandler... sebab ada kemungkinan dokter itu akan mengetahui Hugh ternyata waras!” Hugh berkata lirih, lirih sekali, “Waras... saya waras?” Ia melangkah mendekati Diana. Frobisher berkata dengan suara parau, “Kau memang waras. Darah keluarga kita tidak tercemar.”
Diana berkata, “Hugh...” Admiral Chandler mengambil senapan Hugh. Katanya, “Semua ini tidak masuk akal! Saya akan pergi mencari kelinci.” Frobisher melangkah maju, tapi tangan Hercule Poirot mencegahnya. Poirot berkata, “Anda sendiri mengatakan... baru saja... itu jalan yang terbaik.” Hugh dan Diana telah keluar ruangan. Kedua pria itu, si Inggris dan si Belgia, memandangi keturunan Chandler yang terakhir menyeberangi taman dan masuk ke hutan. Tak lama kemudian mereka mendengar bunyi tembakan....
8
KUDA-KUDA RAJA DIOMEDES I TELEPON berdering. “Halo, Poirot, kaukah itu?” Hercule Poirot mengenali suara itu, suara Dr. Stoddart yang masih muda. Ia menyukai Michael Stoddart, menyukai senyumnya yang ramah dan malu-malu. Hercule Poirot tertarik oleh keluguannya dan minatnya pada kriminalitas, serta menghormatinya sebagai orang yang pandai dan suka bekerja keras dalam profesi yang dipilihnya. “Aku tidak ingin mengganggumu....” Suara itu terdengar ragu-ragu. “Tapi sesuatu membuatmu terganggu?” sela Hercule Poirot. Ia menebak dengan jitu. “Tepat.” Suara Michael Stoddart terdengar lega. “Aku punya masalah!” “Eh bien, apa yang bisa kubantu, kawan?” Suara Stoddart terdengar berat. Ia agak tergagap waktu menjawab. “Kurasa tidak s-s-s-sopan jika aku memintamu datang kemari tengah malam begini... T-tt-tapi aku d-d-d-dalam kesulitan.” “Tentu saja aku akan datang. Ke rumahmu?” “Bukan... sebenarnya aku ada di Mews, di belakang. Conningby Mews. Nomor 17. Benarkah kau bisa kemari? Aku akan sangat berterima kasih.” “Aku akan segera ke sana,” sahut Hercule Poirot. II
Hercule Poirot menyusuri Jalan Mews yang gelap, sambil memperhatikan nomor-nomor rumah. Sudah pukul satu lewat tengah malam, dan seluruh penghuni jalan itu tampaknya sudah tidur, meskipun masih ada satu-dua jendela yang terang. Ketika ia sampai di depan nomor 17, pintu rumah itu membuka dan Dr. Stoddart menyambutnya. “Kawan yang baik!” katanya. “Masuklah.” Mereka menaiki tangga sempit ke lantai atas. Di lantai atas itu, di sebelah kanan, ada sebuah ruangan yang cukup luas, berisi sejumlah dipan, dengan karpet, bantal-bantal berbentuk segi tiga yang dibungkus kain warna keperakan, serta sejumlah besar botol dan gelas. Keadaan dalam ruangan itu kacau-balau. Puntung rokok bertebaran. Beberapa gelas pecah berserakan. “Ha!” kata Hercule Poirot. “Watson kawanku, aku berani taruhan, di sini baru saja ada pesta!” “Ya, memang ada pesta tadi,” kata Stoddart dengan muram. “Pesta gila-gilaan, tepatnya!” “Kau tidak hadir dalam pesta itu, kan?” “Tidak. Aku di sini sebagai dokter, lain tidak.” “Apa yang terjadi?” Stoddart berkata, “Tempat ini milik seorang wanita bernama Patience Grace—Mrs. Patience Grace.” “Kedengarannya,” kata Poirot, “nama yang kuno dan menarik.” “Tak ada yang kuno dan menarik pada diri Mrs. Grace. Dia cukup cantik, tapi kesannya keras. Dia sudah pernah menikah dua kali, bercerai, dan sekarang berkencan dengan seorang pemuda yang menurutnya hanya berniat memerasnya. Mereka mengadakan pesta ini, minum-minum... dan akhirnya menggunakan obat bius... tepatnya kokain. Kokain adalah sesuatu yang bisa membuat kita merasa bebas, bahagia, dan melihat dunia ini sebagai taman yang indah. Itu membuat kita bergairah dan merasa bisa melakukan dua kali lebih banyak dari yang sesungguhnya dapat kita lakukan. Kalau digunakan terlalu banyak, kita akan menderita kegairahan mental yang berlebihan, delusi, dan hilang kesadaran. Mrs. Grace bertengkar hebat dengan pacarnya, seorang pria yang tidak menyenangkan bernama Hawker. Hasilnya, pemuda itu pergi meninggalkannya, dan Mrs. Grace lari ke jendela lalu menembak pemuda itu dengan sebuah revolver yang masih baru, yang belum pernah dipakai. Entah siapa yang gila, yang telah memberinya senjata itu.” Alis Hercule Poirot terangkat. “Apakah tembakannya kena?” “Tidak! Pelurunya meleset beberapa meter. Tapi, peluru itu mengenai seorang gelandangan yang sedang mengais-ngais tong sampah, menembus tangannya. Tentu saja orang itu berteriak-teriak, dan orang-orang dengan cepat membawanya ke sini, membersihkan darahnya yang tercecer, dan segera memanggilku.” “Ya?” “Aku telah menjahit lukanya. Tidak parah. Kemudian satu-dua orang mengancamnya sampai akhirnya dia menyerah serta menerima uang sepuluh pound dan berjanji takkan mengungkitungkit kejadian itu. Kasihan dia, sebenarnya. Tapi, untung juga dia.” “Dan kau?”
“Aku dihadapkan pada beberapa masalah. Saat itu Mrs. Grace sudah histeris. Aku suntik dia dengan obat penenang dan kusuruh tiduran. Ada seorang gadis muda yang tak sadarkan diri—masih muda sekali. Aku merawatnya. Ketika aku selesai, ternyata diam-diam orangorang sudah pergi.” Ia berhenti. “Lalu,” kata Poirot, “kau punya waktu untuk merenungkan kejadian itu.” “Tepat,” kata Stoddart. “Ini kasus pesta gila-gilaan biasa, yah, akhir yang sudah bisa diduga. Tapi, kasus obat bius lain lagi ceritanya.” “Kau yakin akan fakta-faktanya?” “Yakin sekali. Tak mungkin keliru. Memang kokain. Aku menemukan sejumlah kokain di kotak minuman... mereka menghirupnya... kau tahu, langsung dengan hidung mereka. Pertanyaannya, dari mana mereka mendapatkan benda jahanam itu? Aku ingat kau pernah cerita tentang gelombang besar peredaran obat bius dan kasus-kasus kecanduan yang makin meningkat.” Hercule Poirot mengangguk. Katanya, “Polisi pasti tertarik untuk menangani kasus ini.” Michael Stoddart berkata dengan sedih, “Itulah...” Poirot memandang kawannya itu, tiba-tiba ia merasa tertarik. Katanya, “Tapi kau... kau tidak suka kalau polisi menangani kasus ini?” Michael Stoddart menggumam, “Orang yang tak bersalah telah terlibat... kasihan mereka.” “Apakah kau cemas memikirkan nasib Mrs. Patience Grace?” “Astaga, tidak! Dia perempuan yang keras kepala!” Poirot berkata dengan halus, “Apakah dia... gadis muda itu?” Dr. Stoddart berkata, “Tentu saja dia, dalam hal tertentu, juga keras kepala. Maksudku, dia menggambarkan dirinya sebagai gadis yang keras kepala. Tapi dia masih amat muda... agak liar... tapi sebetulnya itu merupakan kenakalan remaja biasa. Dia terlibat dalam hal-hal seperti ini karena dikiranya dia akan ketinggalan zaman dan dianggap tidak modern kalau tidak ikut arus.” Senyum samar tersungging di bibir Poirot. Ia berkata lembut, “Gadis ini, pernahkah kaukenal dia sebelum malam ini?” Michael Stoddart mengangguk. Ia kelihatan amat muda dan malu. “Pernah berkenalan dengannya di Mertonshire. Di pesta dansa Hunt. Ayahnya pensiunan jenderal... galak sekali... sepertinya suka main tembak... pukka Sahib... pendek kata amat berbau India. Anaknya empat, perempuan semua. Mereka agak liar... karena ayah yang terlampau keras, menurutku. Dan mereka tinggal di kawasan yang kurang baik... perdagangan senjata gelap dan banyak uang... bukan kawasan pedesaan yang kuno dan tenang... lingkungan orang-orang kaya dan kebanyakan seperti penjahat. Gadis-gadis itu terlibat pergaulan dengan orang-orang jahat.” Hercule Poirot memandang kawannya beberapa lama. Kemudian ia berkata, “Aku mengerti sekarang, mengapa kau membutuhkan aku. Kau ingin aku menangani kasus ini?” “Maukah kau? Aku merasa aku harus melakukan sesuatu... tapi terus terang, aku ingin agar Sheila Grant tidak dilibatkan.” “Kurasa itu bisa diatur. Sekarang aku ingin melihat gadis itu.”
“Ayo.” Dr. Stoddart keluar ruangan. Sebuah suara tak sabar memanggil dari kamar seberang. “Dokter... tolong, Dokter, aku hampir gila.” Stoddart masuk ke kamar itu. Poirot mengikuti. Kamar tidur itu benar-benar kacau keadaannya—serbuk-serbuk bertebaran di lantai... tempat obat dan berbagai perlengkapan kosmetika, terguling di mana-mana, pakaian berserakan. Di tempat tidur terbaring sesosok gadis, rambutnya pirang—tidak wajar—dan wajahnya kosong namun berkesan liar. Gadis itu berseru, “Ada serangga merayap-rayap di sekujur badanku... sungguh. Aku berani sumpah. Aku hampir gila... Demi Tuhan, suntiklah aku.” Dr. Stoddart berdiri di samping tempat tidur, suaranya menghibur dan amat profesional. Diam-diam Hercule Poirot keluar dari kamar itu. Ada satu pintu lain di seberangnya. Ia membukanya. Ruangan itu kecil—kecil sekali—perabotannya amat sederhana. Di tempat tidur, terbaring seorang gadis kurus, tak bergerak-gerak. Hercule Poirot berjingkat-jingkat mendekati tempat tidur dan memandangi gadis itu. Rambut hitam, wajah yang panjang dan pucat... dan... ya, masih amat muda. Secercah warna putih tampak kemilau di antara pelupuk mata gadis itu. Matanya terbuka, kaget, dan ketakutan. Ia terpana, lalu duduk, dan menggerakkan kepalanya ke belakang, seakan hendak menyisihkan rambutnya yang hitam lebat kebiru-biruan. Ia bagaikan bocah yang ketakutan... badannya mengerut... menjauh... bagaikan binatang liar yang mengerut melihat ada orang asing menawarinya makanan. Ia berkata... suaranya amat muda, tak nyata, dan tergesa, “Siapa Anda?” “Jangan takut, Mademoiselle.” “Di mana Dr. Stoddart?” Tepat saat itu dokter muda itu masuk ke kamar. Gadis itu berkata dengan suara lega, “Oh, syukur kau datang. Siapa dia?” “Ini kawanku, Sheila. Bagaimana perasaanmu sekarang?” Gadis itu berkata, “Tidak keruan. Bingung... Mengapa aku ikut-ikutan mencoba serbuk yang menjijikkan itu?” Stoddart berkata datar, “Kalau aku jadi kau, aku takkan mengulanginya.” “Tidak... takkan pernah lagi.” Hercule Poirot berkata. “Siapa yang memberi Anda?” Mata gadis itu melebar, bibir atasnya bergetar sedikit. Katanya, “Ada di sini... di pesta ini. Kami semua mencobanya. Mula-mula... rasanya hebat sekali.” Hercule Poirot berkata lembut, “Tapi siapa yang membawanya kemari?” Gadis itu menggeleng. “Entahlah, saya tak tahu.... Mungkin Tony—Tony Hawker. Tapi saya tak tahu apa-apa.” Poirot berkata halus, “Apakah ini untuk pertama kalinya Anda menggunakan kokain,
Mademoiselle?” Gadis itu mengangguk. “Sebaiknya ini yang terakhir bagimu,” sela Stoddart cepat. “Ya, kurasa begitu... tapi, tadinya rasanya asyik sekali.” “Dengar, Sheila Grant,” kata Stoddart. “Aku ini dokter dan aku tahu benar apa yang kukatakan ini. Sekali kau terjebak dalam urusan obat bius ini, kau akan menjerumuskan dirimu sendiri, kau akan mengalami penderitaan yang tak terbayangkan. Aku telah melihat banyak kasus kecanduan obat bius. Aku tahu, obat bius menghancurkan seseorang, badannya maupun jiwanya. Minuman beralkohol tak ada artinya jika dibandingkan dengan obat bius. Sekarang juga harus kauhentikan. Percayalah, ini bukan lelucon! Apa yang akan dikatakan ayahmu kalau tahu kejadian malam ini?” “Ayah?” suara gadis itu meninggi. “Ayah?” Sheila Grant tertawa. “Kalau saja aku bisa melihat wajahnya sekarang! Dia tak boleh tahu. Dia akan mengamuk!” “Dan dalam hal ini dia berhak marah,” tukas Stoddart. “Dokter... dokter...!” jeritan Mrs. Grace terdengar dari kamar seberang. Stoddart menggerutu lalu keluar dari kamar itu. Sekali lagi Sheila Grant menatap Poirot. Ia kelihatan bingung. Katanya, “Siapa Anda sebenarnya? Anda tak ada di pesta tadi.” “Tidak, saya memang tak ada di pesta itu. Saya kawan Dokter Stoddart.” “Anda juga dokter? Anda tidak kelihatan seperti dokter.” “Nama saya,” kata Poirot, dengan sikap sok penting, agar pernyataan sederhana itu menimbulkan kesan bagaikan tirai pertunjukan babak pertama yang pelan-pelan terbuka, “nama saya adalah Hercule Poirot....” Kata-kata itu berhasil menimbulkan kesan tertentu. Kadang-kadang Poirot kecewa karena generasi yang jauh lebih muda darinya ternyata belum pernah mendengar namanya. Namun ternyata Sheila Grant pernah mendengar namanya. Gadis itu tertegun, kebingungan. Ia terbelalak menatap Poirot... beberapa lama.... III Orang bilang, dengan atau tanpa pembuktian yang kuat, setiap orang pasti mempunyai seorang bibi di Torquay. Orang juga bilang bahwa setiap orang punya sepupu jauh di Mertonshire, suatu kawasan yang tidak terlalu jauh dari London, tempat berburu, menembak, atau memancing ikan. Di Mertonshire ada desa-desa yang berpemandangan indah dan bersuasana tenang. Kawasan itu dilewati jaringan rel kereta api yang baik, dan sebuah jalan raya baru untuk kendaraan bermotor telah dibangun untuk menghubungkannya dengan kota metropolitan London. Para pelayan lebih menyukai kawasan itu, dibandingkan tempat-tempat lain di Kepulauan Inggris yang berkesan kampungan. Akibatnya, Anda tak mungkin tinggal di Mertonshire kecuali jika Anda punya penghasilan yang sedikitnya terdiri atas empat digit; serta dengan pajak pendapatan yang amat tinggi dan biaya hidup yang amat mahal, lima digit tentu saja lebih baik daripada empat. Hercule Poirot, sebagai orang asing, tidak punya sepupu jauh yang tinggal di Mertonshire, tetapi telah berhasil menjalin hubungan dengan sejumlah kawan dan tanpa kesulitan mendapat undangan untuk berkunjung ke kawasan itu. Lebih dari itu, ia telah sengaja memilih nyonya rumah yang akan menerimanya, seorang wanita yang punya kebiasaan
melatih lidahnya dengan membicarakan tetangga-tetangganya. Satu-satunya kerugiannya adalah ia, Poirot, terpaksa mendengarkan cerita panjang-lebar tentang orang-orang yang sebetulnya tidak menarik minatnya. “Keluarga Grant? Oh ya, ada empat anak gadis. Saya tak heran mengapa jenderal yang malang itu tak dapat mengendalikan mereka. Apa yang bisa dilakukan seorang ayah terhadap empat anak gadisnya?” Lady Charmichael mengangkat tangannya dengan sikap pasrah. Poirot berkata, “Ya, benar.” Wanita itu melanjutkan, “Jenderal itu sangat disiplin mengendalikan pasukannya, begitu katanya pada saya. Tapi gadis-gadis itu telah mengalahkannya. Tidak seperti di zaman ketika saya masih muda. Kolonel Sandys juga punya anak gadis yang... saya ingat, putriputrinya yang malang....” (Cerita yang bertele-tele tentang pengadilan putri-putri Kolonel Sandys dan kawan-kawan lain Lady Charmichael di waktu muda.) “Harap dicatat,” kata Lady Charmichael, kembali ke tema semula, “saya tidak mengatakan ada sesuatu yang salah pada gadis-gadis itu. Hanya terlalu bergairah... dan terlibat pergaulan dengan orang-orang yang tidak beres. Dulu tidak seperti itu keadaannya di sini. Orang-orang paling aneh datang dan tinggal di sini. Tak ada lagi suasana pedesaan di sini. Hanya uang, uang, uang yang penting di zaman sekarang. Dan Anda telah mendengar cerita yang paling aneh! Siapa kata Anda tadi? Anthony Hawker? Ya, saya tahu dia. Menurut saya, dia anak muda yang sangat tidak menyenangkan. Tapi kelihatannya hidup bergelimang uang. Dia datang kemari untuk berburu... mengadakan pesta-pesta... pesta mewah... dan agak aneh, itu kalau orang percaya desas-desus... bukan, bukan karena saya percaya pada gosip yang beredar, sebab saya berpendapat orang memang suka bicara yang tidak-tidak. Mereka selalu percaya pada kemungkinan yang paling buruk. Anda tahu, di sini sudah menjadi mode, di pesta-pesta orang minum-minum dan mengisap obat bius. Ada orang yang bilang pada saya, suatu hari, bahwa gadis-gadis muda itu pemabuk alamiah, dan menurut saya itu omongan yang tidak sopan. Lalu jika ada orang yang agak aneh, mereka akan bilang ‘obat bius’ dan menurut saya itu tidak adil. Mereka bilang begitu tentang Mrs. Larkin dan meskipun saya tak peduli pada wanita itu, menurut saya hal itu tak lain karena dia agak linglung. Dia kawan baik Anthony Hawker, dan itulah sebabnya, kalau Anda bertanya pada saya, dia amat membenci gadis-gadis Grant. Mrs. Larkin menganggap gadis-gadis itu pemburu lelaki! Menurut saya, mereka memang suka memburu laki-laki, tapi mengapa tidak? Tentu saja itu wajar, bukan? Lagi pula, mereka semua cantik dan menawan.” Poirot menyela, menanyakan sesuatu. “Mrs. Larkin? Tak ada gunanya Anda bertanya pada saya, siapa dia sebenarnya. Siapakah seseorang, seperti apakah dia? Di zaman ini, pertanyaan seperti itu sudah tak berguna. Mereka bilang dia pandai berkuda dan dia amat kaya. Suaminya pernah bekerja di kota. Suaminya sudah meninggal. Tidak... tidak bercerai. Mrs. Larkin belum lama pindah ke sini, segera sesudah keluarga Grant pindah. Saya selalu berpendapat bahwa dia...” Lady Charmichael berhenti bicara. Mulutnya ternganga, matanya melotot. Sambil membungkukkan badannya, ia memukul buku-buku tangan Poirot dengan pisau surat yang dipegangnya. Tanpa memedulikan keluh kesakitan tamunya, ia melanjutkan dengan penuh semangat, “Tentu saja! Jadi itu sebabnya Anda datang kemari! Makhluk nakal, tukang bohong, ayo, berterus teranglah pada saya.” “Tapi, apa yang harus saya katakan pada Anda?” Lady Charmichael menggerakkan pisau surat itu lagi, mengancam Poirot. Yang diancam segera menghindar. “Jangan seperti kerang, Hercule Poirot! Saya lihat kumis Anda bergetar. Pasti ada kasus kriminal yang membuat Anda kemari—dan tanpa malu Anda mengorek informasi dari saya!
Nah, biar saya tebak, tentang pembunuhan? Siapa yang baru saja mati? Hanya Louise Gilmore, dia sudah 85 dan sudah lama pikun. Pasti bukan dia korbannya. Sayang sekali! Akhir-akhir ini tak ada kasus perampokan perhiasan.... Mungkin Anda sedang membuntuti seorang penjahat.... Apakah dia Beryl Larkin? Apakah dia meracuni suaminya? Mungkin itu yang membuatnya seperti orang linglung.” “Madame, Madame,” sela Hercule Poirot dengan suara nyaring, “Anda terlalu cepat menarik kesimpulan.” “Nonsens. Anda sedang menyelidiki sesuatu, Hercule Poirot.” “Apakah Anda mengenal sastra Yunani Klasik, Madame?” “Apa hubungannya sastra Yunani Klasik dengan masalah itu?” “Dua-duanya amat mirip. Saya menirukan nenek moyang saya yang agung, Hercules. Salah satu Tugas Hercules adalah menjinakkan kuda-kuda liar milik Raja Diomedes. Kuda-kuda pemangsa manusia.” “Jangan katakan, Anda kemari untuk melatih kuda... umur Anda sudah... lagi pula Anda selalu mengenakan sepatu kulit asli yang lebih cocok dipakai dengan setelan jas! Menurut saya, seumur hidup Anda belum pernah naik kuda!” “Kuda-kuda itu, Madame, hanya merupakan simbol. Mereka adalah kuda-kuda liar yang mengunyah daging manusia.” “Sungguh mengerikan. Menurut saya, cerita-cerita Yunani dan Romawi Kuno sangat mengerikan. Saya heran, mengapa para pendeta suka mengutip cerita-cerita klasik—satu hal sudah jelas, orang sekarang takkan mengerti apa artinya kutipan mereka. Dan menurut saya, isi cerita klasik itu tidak cocok untuk para pendeta. Banyak kasus incest, patung-patung telanjang—bukan, saya sendiri tidak keberatan akan hal itu, tapi Anda pun tahu, seperti apa para pendeta itu... mereka akan gelisah jika melihat ada gadis datang ke gereja tanpa stocking.... Wah, sampai di mana saya tadi?” “Entahlah, saya pun bingung.” “Saya kira, Anda tidak mau mengatakan pada saya bahwa Mrs. Larkin telah membunuh suaminya. Atau, barangkali pembunuhnya Anthony Hawker?” Ia memandang Hercule Poirot dengan penuh harap, tetapi wajah pria itu tidak menampakkan ekspresi apa pun. “Mungkin kasus pemalsuan,” tebak Lady Charmichael. “Saya lihat Mrs. Larkin pergi ke bank hari itu dan dia baru saja menguangkan cek sebesar lima puluh pound... bagi saya, itu uang kontan yang sangat besar jumlahnya. Oh, salah, ini terbalik... Kalau dia pemalsunya, pasti dia akan menyerahkan cek itu. Ya kan? Hercule Poirot, jika Anda duduk termangu dan membisu seperti burung hantu begitu, saya akan melempar Anda dengan...” “Anda harus belajar sabar,” kata Hercule Poirot. IV Ashley Lodge, tempat tinggal Jenderal Grant, bukanlah rumah yang besar. Letaknya di punggung bukit, lengkap dengan kandang-kandang kuda yang bagus, namun kebunnya rupanya agak kurang terawat. Di dalam, rumah itu adalah apa yang akan digambarkan agen sewa-menyewa rumah sebagai “fully furnished”. Patung-patung Buddha yang duduk bersila dipajang di meja-meja rendah, ada nampan-nampan kuningan yang berkilat dari Benares, dan meja-meja yang membuat ruangan jadi terasa sempit. Gajah-gajah kecil berbaris di atas perapian dan lebih banyak lagi hiasan dari kuningan menempel di dinding.
Di tengah ruangan yang ditata dengan selera campuran Inggris-India itu, Jenderal Grant duduk di sebuah kursi empuk yang besar dan sudah kusam, dengan kaki—yang terbalut— dijulurkan ke sebuah kursi lain. “Encok,” jelasnya tanpa diminta. “Pernahkah Anda menderita encok, Mr.... eh... Poirot? Ini membuat saya marah-marah terus. Ini semua salah ayah saya. Suka mabuk-mabukan sepanjang hidupnya—begitu pula kakek saya. Akibatnya, sayalah yang menderita. Mau minum? Bunyikan bel itu, panggil pelayan saya.” Seorang pelayan yang mengenakan serban di kepalanya, muncul. Jenderal Grant memanggilnya dengan nama Abdul dan menyuruhnya menghidangkan wiski dan soda. Ketika minuman itu datang, dia langsung menuangkan porsi yang besar ke dalam gelas Poirot, yang kemudian memprotesnya. “Sayang, saya tak dapat menemani Anda minum, Mr. Poirot.” Mata Jenderal Grant memandang minuman itu dengan sedih. “Dokter saya bilang minuman itu racun bagi saya. Padahal dia tak tahu apa-apa. Dokter adalah makhluk paling tolol. Tidak suka berolahraga. Mereka suka memaksa dan mengharuskan orang menghindari makanan dan minuman kesukaannya. Mereka suka memasukkan orang ke karung plastik seperti ikan yang diasap. Ikan asap... bah!” Dalam kemarahannya, dengan sembrono Jenderal Grant menggerakkan kakinya yang sakit dan menyumpah-nyumpah karena sakit yang dideritanya. Ia minta maaf karena telah mengucapkan kata-kata kasar. “Seperti beruang sakit kepala, itulah saya. Anak-anak saya menertawakan saya jika saya mengamuk gara-gara penyakit ini. Entahlah, tapi ini memang bukan salah mereka. Saya dengar Anda telah ketemu salah satu dari mereka.” “Ya, benar. Anda punya beberapa putri, kalau saya tidak salah?” “Empat,” kata Jenderal Grant dengan wajah murung. “Tak ada anak laki-laki. Empat gadis yang nakal. Di zaman sekarang, itu bisa membuat laki-laki cepat tua.” “Saya dengar mereka semua amat menawan, ya?” “Tidak terlalu jelek... tidak terlalu jelek. Dengar, saya tak pernah tahu apa yang mereka inginkan. Di zaman sekarang, Anda takkan bisa mengendalikan anak gadis Anda sendiri. Zaman santai... terlalu banyak waktu luang. Apa yang bisa dilakukan seorang laki-laki? Saya tidak mungkin mengurung mereka, kan?” “Saya dengar mereka populer di lingkungan ini.” “Banyak wanita tua yang tak suka pada mereka,” kata Jenderal Grant. “Mereka yang berdandan aneh-aneh dan kelihatan kuno. Seorang pria harus bersikap hati-hati. Salah satu janda bermata biru hampir saja berhasil menjebak saya... sering datang ke sini dan mendengkur halus seperti kucing. ’Jenderal Grant yang malang... pasti Anda punya kehidupan yang menarik.’” Jenderal itu mengedipkan matanya dan menggaruk hidungnya dengan satu jari. “Terlalu berlebihan bagi selera saya, Mr. Poirot. Oh, baiklah, tempat ini bukan daerah yang terlalu buruk. Tapi mungkin terlalu modern dan ramai bagi selera saya. Saya lebih suka sebuah desa yang benar-benar bersuasana pedesaan—tanpa kebisingan kendaraan bermotor, musik jazz, dan radio yang disetel keras-keras. Saya tak mengizinkan mereka menyetel radio di sini, dan anak-anak saya mengerti. Seorang lakilaki berhak mendapat kedamaian di rumah sendiri.” Secara halus Poirot mengalihkan percakapan dan menyinggung Anthony Hawker. “Hawker? Hawker? Saya tak kenal dia. Ya, meskipun saya tahu sedikit tentang dia. Seorang anak muda berpenampilan licik, dengan sepasang mata yang letaknya terlalu berdekatan. Jangan pernah percaya pada seorang laki-laki yang tak berani menatap Anda secara langsung.”
“Bukankah dia kawan putri Anda, Sheila?” “Sheila? Saya tak tahu. Mereka tak pernah berterus terang pada saya.” Alis yang tebal itu berkerut ke bawah. Sepasang mata biru, dari wajah yang kemerahan, menatap mata Hercule Poirot dengan tajam. “Katakan saja, Mr. Poirot, apa sebenarnya maksud Anda? Untuk apa Anda datang mengunjungi saya?” Poirot berkata pelan, “Agak sulit menjelaskannya... barangkali saya pun tak tahu persis. Tapi satu hal bisa saya sampaikan: Putri Anda, Sheila... mungkin juga semua putri Anda... telah berkawan dengan orang-orang bejat.” “Terlibat dalam pergaulan yang tidak baik, ya? Saya sendiri amat cemas memikirkan kemungkinan itu. Saya dengar orang-orang menggunjingkan mereka.” Dengan putus asa ia memandang Poirot. “Tapi apa yang bisa saya lakukan, Mr. Poirot? Apa yang bisa saya lakukan?” Poirot menggeleng ragu. Jenderal Grant melanjutkan, “Apa yang salah pada kawan-kawan mereka itu?” Poirot membalas pertanyaan itu dengan pertanyaan lain. “Pernahkah Anda mengamati, Jenderal Grant, salah seorang putri Anda tampak murung, bergairah... kemudian seperti mengalami depresi... gugup... dan emosinya berubah-ubah dengan cepat?” “Sialan. Anda bicara seperti dokter saja. Tidak, saya tidak melihat gejala-gejala seperti itu.” “Anda beruntung,” kata Poirot dengan sungguh-sungguh. “Apa artinya ini semua?” “Obat bius!” “APA?!” Suaranya menggelegar. Poirot berkata, “Ada usaha untuk membuat putri Anda, Sheila, kecanduan obat bius. Kecanduan kokain bisa dibentuk dalam waktu singkat. Satu-dua minggu sudah cukup. Sekali kebiasaan mengisap kokain sudah terbentuk, seorang pencandu akan bersedia membayar berapa pun, atau melakukan apa saja, untuk memperoleh suplai obat bius yang diperlukannya. Anda tahu, berapa saja uang yang akan dikeruk pedagang obat bius itu.” Dengan tenang Poirot mendengarkan sumpah serapah yang terhambur dari mulut jenderal itu. Kemudian, ketika kemarahan tuan rumahnya sudah reda, sesudah menegaskan apa yang akan—dia, sang Jenderal—dilakukannya pada penjahat-penjahat itu bila ia bisa menangkap mereka, Hercule Poirot berkata, “Sebagai langkah awal, seperti kata Mrs. Beeton, kita harus menangkap kelincinya. Kalau kita berhasil menangkap pengecer obat bius itu, saya akan menyerahkannya pada Anda, dengan senang hati, Jenderal.” Ia bangkit berdiri, tersandung pada meja kecil yang penuh ukiran, menyeimbangkan tubuhnya kembali sambil berpegangan pada sang Jenderal, dan bergumam, “Maafkan saya, maafkan. Jenderal... saya harap Anda mengerti, saya mohon Anda tidak mengatakan apa pun... apa pun yang kita bicarakan tadi... pada putri-putri Anda.” “Apa? Saya akan mengorek kebenaran dari mereka, itu yang akan saya lakukan!” “Jangan sekali-kali itu Anda lakukan. Anda hanya akan memperoleh kebohongan.” “Tapi, Sir...” “Saya ingatkan Anda, Jenderal Grant, Anda harus menutup mulut rapat-rapat. Ini sangat
penting... mengerti? Sangat penting!” “Oh, baiklah, terserah Anda,” geram prajurit tua itu. Ia bisa dijinakkan tetapi tidak berhasil diyakinkan. Dengan hati-hati Hercule Poirot melangkah di antara berbagai benda seni dari kuningan yang didatangkan dari Benares. V Ruang tamu Mrs. Larkin penuh orang. Mrs. Larkin sendiri sedang mencampur koktail di sisi meja. Ia seorang wanita jangkung dengan rambut merah pirang yang warnanya agak pudar. Rambut itu disanggulnya di pangkal tengkuknya. Matanya hijau keabu-abuan, dan pupil matanya berwarna hitam. Ia bergerak dengan gaya ringan, dengan sejenis keanggunan yang menyiratkan kekejaman. Penampilannya seperti wanita berusia awal tiga puluhan. Hanya pengamatan yang saksama yang akan menunjukkan kerut-merut di sekitar matanya dan umurnya sepuluh tahun lebih tua dari penampilannya. Hercule Poirot diajak ke situ oleh salah seorang kawan Lady Charmichael, seorang wanita setengah baya yang cekatan. Ia ditawari segelas koktail dan dimintai tolong untuk menawarkan segelas lainnya kepada seorang gadis yang duduk di dekat jendela. Gadis itu mungil dan berkulit bersih—wajahnya bersemu merah jambu, agak pucat, dan cantik seperti bidadari. Sepasang matanya, Hercule Poirot langsung melihat, tampak waspada dan penuh curiga. Katanya, “Demi kesehatan Anda, Mademoiselle.” Gadis itu mengangguk dan meminum koktailnya. Kemudian tiba-tiba ia berkata, “Anda kenal adik saya.” “Adik Anda? Anda salah seorang Miss Grant?” “Saya Pam Grant.” “Dan di mana adik Anda sekarang?” “Dia pergi berburu. Tak lama lagi pasti datang.” “Saya bertemu adik Anda di London.” “Saya tahu.” “Dia bercerita pada Anda?” Pam Grant mengangguk. Ia berkata ringkas, “Apa Sheila dalam kesulitan?” “Jadi dia tidak menceritakan semuanya pada Anda?” Gadis itu menggeleng. Ia bertanya, “Apakah Tony Hawker ada di sana waktu itu?” Sebelum Poirot sempat menjawab, pintu terbuka. Anthony Hawker dan Sheila Grant melangkah masuk. Mereka mengenakan pakaian berburu. Pipi Sheila agak kotor kena lumpur yang mengering. “Halo, kawan-kawan. Kami haus, minta minum. Tempat minum Tony sudah kering.” Poirot menggumam, “Bicara mengenai para malaikat.”
Pam Grant menyela dengan kasar, “Setan, maksud Anda.” Poirot membalas dengan suara tajam, “Benarkah begitu?” Beryl Larkin datang mendekat. Katanya, “Kau muncul juga akhirnya, Tony. Ceritakan tentang buruanmu tadi. Apa kau naik Gelert’s Copse?” Dengan tangkas, tanpa kentara, ia menarik Tony ke arah sofa di depan perapian. Poirot melihat pemuda itu melirik Sheila sekilas sebelum pergi. Sheila melihat Poirot. Ia tampak ragu-ragu sebentar, kemudian mendekati kedua orang yang duduk dekat jendela itu. Ia berkata dengan ringkas, “Rupanya Anda yang datang ke rumah kemarin.” “Apakah ayah Anda mengatakannya pada Anda?” Gadis itu menggeleng. “Abdul yang cerita tentang Anda. Saya... menebaknya.” Pam berseru, “Anda pergi menemui Ayah?” Poirot berkata, “Ah, kami punya sejumlah kawan yang sama-sama kami kenal.” Pam berkata dengan suara tajam, “Saya tak percaya.” “Mengapa Anda tak percaya ayah Anda dan saya bisa punya kawan yang sama-sama kami kenal?” Wajah gadis itu memerah. “Jangan tolol. Maksud saya... itu bukan alasan Anda yang sebenarnya.” Ia berpaling pada adiknya. “Bagaimana pendapatmu, Sheila?” Sheila kaget. Katanya, “Ini... ini tak ada urusannya dengan Tony Hawker, bukan?” “Mengapa kalau memang ada?” Poirot balas bertanya. Wajah Sheila memerah. Ia melangkah menyeberangi ruangan dan bergabung dengan orangorang lain. Pam berkata, suaranya lirih dan penuh peringatan, “Saya tak suka Tony Hawker. Ada... ada sesuatu yang jahat pada dirinya... dan tentang dia... Mrs. Larkin, maksud saya. Lihat saja mereka.” Poirot mengikuti arah pandangan gadis itu. Kepala Hawker amat dekat dengan kepala nyonya rumahnya. Kelihatannya ia sedang membujuk dan menenangkan wanita itu. Suara Mrs. Larkin terdengar meninggi. “... aku tak bisa menunggu lagi. Aku membutuhkannya sekarang!” Poirot berkata sambil tersenyum samar, “Les femmes—apa pun yang mereka inginkan, mereka selalu menginginkannya sekarang. Ya, kan?” Tapi Pam Grant tidak menanggapi. Wajahnya tertunduk. Dengan gugup ia mempermainkan lipatan roknya yang terbuat dari wol. Poirot mencoba menghidupkan percakapan, “Anda amat berbeda dengan adik Anda,
Mademoiselle.” Gadis itu mendongakkan kepalanya, tidak sabar mendengar basa-basi itu. Katanya, “M. Poirot. Apa yang diberikan Tony pada Sheila akhir-akhir ini? Apa yang membuatnya... berbeda?” Poirot menatap gadis itu dengan tajam. Tanyanya, “Pernahkah Anda menghirup kokain, Miss Grant?” Gadis itu menggeleng. “Oh, tidak! Jadi itu, ya? Kokain? Tapi, bukankah itu amat berbahaya?” Sheila Grant datang mendekat, tangannya memegang segelas minuman. Katanya, “Apa yang berbahaya?” Poirot berkata, “Kami sedang membicarakan efek penggunaan obat bius. Kematian pikiran dan jiwa secara perlahan-lahan... perusakan segala yang baik dan benar pada diri seorang manusia.” Sheila berseru tertahan. Gelas yang dipegangnya bergoyang dan isinya tumpah ke lantai. Poirot melanjutkan. “Saya yakin Dr. Stoddart telah menjelaskan pada Anda, apa artinya mati selagi hidup. Dengan mudah dibuat... tetapi amat sulit meninggalkannya. Orang yang sengaja mencari untung dengan merusak dan membuat orang lain menderita sama dengan vampir yang mengisap darah dan memangsa daging.” Poirot membuang muka. Di belakangnya ia mendengar Pam Grant berbisik, “Sheila!” lalu terdengar bisikan yang amat lirih... suara Sheila Grant. Bisikan itu lirih sekali, hampir-hampir tak didengarnya. “Tempat minum itu...” Hercule Poirot berpamitan pada Mrs. Larkin lalu keluar ruangan, ke selasar. Di atas meja selasar ia melihat sebuah tempat minum dan sebuah topi berburu. Poirot mengambil tempat minum itu. Ada inisial A.H. tertera pada benda itu. Poirot bergumam pada dirinya sendiri, “Tempat minum Tony sudah kosong?” Pelan-pelan diguncang-guncangnya benda itu. Tak terdengar bunyi cairan. Dibukanya tutupnya. Tempat minum Tony Hawker tidak kosong, melainkan penuh dengan serbuk putih.... VI Hercule Poirot berdiri di teras rumah Lady Charmichael dan memohon pada seorang gadis. Katanya, “Anda masih sangat muda, Mademoiselle. Saya yakin Anda sebenarnya tidak mengerti, tidak benar-benar mengerti, apa yang Anda dan saudari-saudari Anda lakukan. Anda telah memangsa darah dan daging manusia, Anda seperti kuda-kuda liar milik Raja Diomedes.” Sheila bergidik dan menangis terisak-isak. Katanya, “Jika Anda katakan seperti itu, sepertinya ini amat mengerikan. Tapi ini memang benar! Saya tak pernah menyadarinya sampai malam itu, di London, ketika Dr. Stoddart menjelaskannya pada saya. Dia amat bersungguh-sungguh, dia amat tulus. Setelah itu, saya bisa melihat betapa jahatnya apa yang telah saya lakukan selama ini... Sebelumnya saya mengira.... Oh! Seperti minuman ringan sebelum tidur... sesuatu yang orang bersedia membayar mahal untuk memperolehnya, tapi bukan sesuatu yang sesungguhnya amat berbahaya!” Poirot berkata, “Dan sekarang?”
Sheila Grant berkata, “Akan saya lakukan apa pun yang Anda perintahkan. Saya akan bicara dengan yang lain.” Dia menambahkan, “Saya rasa Dr. Stoddart takkan sudi menemui saya lagi.” “Justru sebaliknya,” kata Poirot. “Dr. Stoddart dan saya siap membantu Anda dengan segala cara, untuk memulai kehidupan yang baru. Anda harus percaya pada kami. Tapi ada satu hal yang harus kita lakukan. Ada satu orang yang harus kita hancurkan... benarbenar kita hancurkan, dan hanya Anda dan saudari-saudari Anda yang bisa menghancurkan dia. Bukti-bukti dari Anda... dan hanya bukti-bukti dari Anda yang dapat menyeret pria itu ke meja hijau.” “Maksud Anda... ayah saya?” “Bukan ayah Anda, Mademoiselle. Bukankah saya pernah berkata bahwa Hercule Poirot tahu segala-galanya? Foto Anda dapat dikenali dengan mudah, dan pernah dimuat di selebaran polisi. Anda adalah Sheila Kelly—pencuri muda, shoplifter, yang dikirim ke panti rehabilitasi beberapa tahun yang lalu. Ketika Anda keluar dari panti rehabilitasi itu, Anda didekati seorang pria yang mengaku sebagai Jenderal Grant. Anda ditawari posisi ini... posisi sebagai seorang ‘anak perempuan’. Anda diberi janji akan mendapat banyak uang sambil bersenang-senang. Yang harus Anda lakukan adalah memperkenalkan ‘serbuk’ itu pada kawan-kawan Anda, dengan selalu berpura-pura bahwa Anda memperolehnya dari orang lain. ‘Saudari-saudari’ Anda mempunyai tugas yang sama.” Ia berhenti sejenak, kemudian melanjutkan, “Ayolah, Mademoiselle, kedok penjahat itu harus kita singkap dan dia harus dihukum. Setelah itu....” “Ya, setelah itu?” Poirot berdeham. Ia berkata sambil tersenyum, “Anda harus mengabdikan diri kepada Tuhan....” VII Michael Stoddart memandang Poirot dengan kagum. Katanya. “Jenderal Grant? Jenderal Grant?” “Tepat sekali, mon cher. Semua ini mise en scène, semua ini bisa kausebut sebagai ‘kekejian yang terselubung’. Patung-patung Buddha, kerajinan kuningan dari Benares, pelayan dari India! Bahkan penyakit encok! Sudah ketinggalan zaman, maksudku penyakit itu. Hanya orang yang sudah sangat tua yang bisa terkena penyakit itu... bukan ayah gadis-gadis muda yang berusia sekitar sembilan belas tahun. “Lebih dari itu, aku harus meyakinkan dugaanku. Ketika pamit, aku tersandung dan berpegangan pada kakinya yang sakit. Laki-laki itu begitu terpengaruh kata-kataku, hingga tak menyadari kakinya kupegang erat-erat. Oh ya, dia orang yang amat pandai bersandiwara, Jenderal Grant! Tout de même, itu gagasan yang amat cerdik. Seorang jenderal Inggris yang pernah bertugas di India dan telah pensiun, seorang tokoh berwatak keras dan pemarah. Dia pindah rumah... tidak tinggal di antara sesama pensiunan tentara Inggris-India... Oh, tidak, dia justru memilih tinggal di lingkungan yang terlalu mahal untuk kantong seorang pensiunan jenderal. Banyak orang kaya tinggal di sana, orang-orang yang bekerja di London, sebuah pasar yang sesuai untuk barang dagangannya. Dan siapakah yang akan mencurigai empat gadis cantik yang ramah dan pandai bergaul? Kalau sampai ketahuan, mereka akan dianggap sebagai korban belaka... itu sudah jelas!” “Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu ketika kau mengunjungi setan tua itu? Apakah kau ingin menjebaknya?” “Ya. Aku ingin tahu, apa yang akan terjadi. Aku tak perlu menunggu lama-lama. Gadisgadis itu langsung mendapat perintah. Anthony Hawker, yang sebenarnya salah satu korban mereka, harus dijadikan kambing hitam. Sheila harus mengatakan padaku tentang tempat minum yang tergeletak di meja itu. Hampir saja dia gagal melakukannya... tapi
‘kakaknya’ membisikinya dan mengancamnya, dan Sheila tak punya pilihan lain.” Michael Stoddart bangkit berdiri lalu berjalan mondar-mandir. Katanya, “Kau tahu aku tak ingin kehilangan gadis itu. Aku punya teori yang kuat tentang kecenderungan kriminal anak-anak muda. Kalau kauamati kehidupan mereka di rumah mereka, kau akan, hampir pasti, menemukan...” Poirot menyela. Katanya, “Mon cher, aku amat menghormati pengetahuan ilmiahmu. Aku yakin teorimu akan bisa kauterapkan dengan baik dalam urusan Miss Sheila Kelly ini.” “Yang lain-lain, juga.” “Yang lain-lain, mungkin. Mungkin saja. Hanya satu yang aku yakin akan berhasil, yaitu Sheila yang mungil. Kau akan berhasil menjinakkannya, aku yakin! Yang benar, dia sudah jatuh hati padamu....” Dengan wajah memerah, Michael Stoddart berkata, “Bicaramu ngawur, Poirot.”
9
IKAT PINGGANG HYPPOLITA I SATU HAL membawanya ke hal yang lain, begitu ungkapan yang sering diulang-ulang Hercule Poirot, meskipun itu bukan ungkapan yang orisinal. Ia menambahkan bahwa ungkapan itu terbukti benar pada kasus pencurian lukisan Rubens. Ia tak pernah tertarik pada karya-karya Rubens. Salah satu alasannya, Rubens bukanlah pelukis yang dikaguminya, dan alasan kedua, situasi terjadinya pencurian itu terlalu biasa. Ia bersedia menangani kasus itu hanya demi Alexander Simpson, kawannya, pada siapa ia berutang budi. Dan untuk alasannya sendiri, kawannya itu juga tak suka pada lukisan-lukisan klasik! Sesudah pencurian itu, Alexander Simpson memanggil Poirot dan mencurahkan keluhannya. Lukisan Rubens itu belum lama ditemukan, sebuah karya agung yang semula tidak diketahui ada, tetapi keasliannya tidak diragukan. Lukisan itu dipajang di Galeri Simpson dan dicuri di siang hari bolong. Waktu itu bersamaan dengan demonstrasi para pengangguran yang terjadi di seberang jalan. Para demonstran berbaring di pinggir jalan dan mencoba masuk ke Ritz. Beberapa demonstran masuk ke Galeri Simpson sambil membawa poster bertuliskan “Seni adalah Kemewahan. Beri Makan Mereka yang Kelaparan.” Polisi dipanggil, orang-orang berkerumun penuh ingin tahu, dan baru setelah para demonstran berhasil digiring keluar oleh para hamba hukum itu, ketahuan bahwa lukisan Rubens yang baru saja ditemukan telah dilepas dari bingkainya. Pencurian itu amat rapi! “Lukisan itu tidak besar,” jelas Mr. Simpson. “Seorang lelaki bisa menggulung dan mengempitnya lalu berjalan keluar dengan tenang sementara perhatian orang-orang masih terpusat pada para penganggur yang konyol itu.” Ternyata para penganggur itu, berdasarkan penyelidikan kemudian, telah dibayar untuk melakukan demonstrasi yang sesungguhnya merupakan bagian dari rencana perampokan. Mereka diminta berdemonstrasi di dalam Galeri Simpson. Tapi, bahwa alasannya adalah
untuk menyamarkan pencurian lukisan, baru kemudian mereka ketahui. Hercule Poirot berpendapat itu tipuan yang menggelikan tapi tidak melihat apa yang bisa dilakukannya sehubungan dengan kasus itu. Polisi, komentarnya, pasti bisa dipercaya menangani kasus perampokan seperti itu. Alexander Simpson berkata, “Dengar, Poirot. Aku tahu siapa pencurinya dan akan dikirim ke mana lukisan itu.” Menurut pemilik Galeri Simpson itu, lukisan tersebut dicuri komplotan pencuri internasional, atas permintaan seorang miliuner yang bersedia membayar berapa pun harga yang ditawarkan—dan tak pernah menanyakan asal-usul benda seni yang dibelinya! Lukisan Rubens itu, kata Simpson, akan diselundupkan ke Prancis dan selanjutnya akan dibawa ke tangan si miliuner. Polisi Inggris dan Prancis telah disiagakan, namun Simpson tetap berpendapat mereka mungkin gagal membekuk komplotan itu. “Dan sekali lukisan itu sampai ke tangan bedebah itu, akan semakin sulit masalahnya. Orang kaya harus diperlakukan dengan hormat. Itulah sebabnya aku membutuhkan bantuanmu. Kasus ini akan menjadi rumit. Kaulah orang yang tepat untuk menanganinya.” Akhirnya, tanpa semangat, Poirot berhasil dibujuk untuk menerima tugas itu. Ia setuju untuk segera berangkat ke Prancis. Ia tidak terlalu tertarik pada kasus pencurian lukisan itu, namun karenanya ia justru dihadapkan pada kasus Hilangnya Seorang Murid Sekolah, yang baginya justru lebih menarik. Ia mendengar tentang masalah itu dari Inspektur Japp, yang mampir ke tempat kediamannya dan menemukan Poirot sedang memuji kerapian pelayannya dalam mengepak kopernya. “Ha,” kata Japp. “Mau pergi ke Prancis, ya?” Poirot berkata, “Mon cher, rupanya Scotland Yard selalu mendapat informasi terbaru.” Japp tertawa. Katanya, “Kami punya mata-mata di mana-mana! Simpson menyeretmu dalam urusan Rubens ini. Sepertinya dia tak percaya pada kami! Yah, terserah padanya, tapi aku ingin kau melakukan sesuatu untuk kami, sesuatu yang sangat berbeda. Karena kau akan pergi ke Paris, kurasa ada baiknya jika sekali tepuk dua lalat kena. Detektif Inspektur Hearn ada di sana, bekerja sama dengan orang-orang Prancis... kaukenal Hearn? Polisi yang baik, tapi mungkin tak punya imajinasi. Aku ingin tahu pendapatmu tentang kasus ini.” “Kasus apa yang kaubicarakan ini?” “Anak hilang. Akan dimuat di koran nanti sore. Sepertinya gadis itu diculik. Putri seorang pendeta gereja dari Cranchester. King, namanya, Winnie King.” Ia melanjutkan dengan cerita selengkapnya. Winnie sedang dalam perjalanan ke Paris, untuk masuk ke sekolah khusus yang ternama, sekolah milik Miss Pope yang murid-muridnya adalah gadis-gadis kaya dari Amerika atau putri-putri ningrat dan kalangan atas dari Inggris. Winnie naik kereta api pagi dari Cranchester... terlihat berada di London oleh salah satu petugas dari Elder Sisters Ltd. yang biasa mengawal gadis-gadis muda dari satu stasiun ke stasiun lainnya. Di Stasiun Victoria gadis itu diserahkan pada Miss Burshaw, wakil Miss Pope, dan kemudian bersama delapan belas gadis lain meninggalkan stasiun itu dengan kapal milik perusahaan kereta api. Sembilan belas gadis muda menyeberangi Selat Inggris, melewati pemeriksaan imigrasi di Calais, naik kereta api ke Paris, dan makan siang di restorasi. Tapi ketika Miss Burshaw menghitung gadis-gadis itu, saat itu kereta sudah sampai di luar Paris, ternyata hanya ada delapan belas gadis! “Aha,” kata Poirot sambil mengangguk. “Apakah kereta itu berhenti di suatu tempat?” “Ya, di Amiens, tapi ketika itu semua anggota rombongan sedang berada di restorasi dan mereka bersaksi bahwa Winnie ada di antara mereka. Rupanya, singkatnya, mereka
kehilangan kawan mereka itu ketika mereka kembali ke kompartemen masing-masing. Artinya, Winnie tidak kembali ke kompartemennya bersama lima gadis lain yang duduk di sana. Mereka tak curiga kalau-kalau ada yang tidak beres. Mereka mengira Winnie pergi ke dua kompartemen lain yang telah dipesan untuk rombongan mereka.” Poirot mengangguk. “Jadi, tepatnya... kapan terakhir kalinya mereka melihatnya?” “Kira-kira sepuluh menit setelah kereta api meninggalkan Amiens.” Japp berdeham dengan sikap rendah hati. “Terakhir kalinya dia terlihat sedang... eh... masuk ke toilet.” Poirot bergumam, “Sangat wajar.” Ia melanjutkan, “Tak ada fakta lain?” “Ada satu hal,” wajah Japp kelihatan bersungguh-sungguh. “Topinya ditemukan dekat rel kereta api... kira-kira empat belas mil dari Amiens.” “Tapi orangnya tak ada.” “Tak ada.” Poirot bertanya, “Menurut kau sendiri, bagaimana?” “Sulit. Entahlah! Karena tubuhnya tak ditemukan, bisa jadi dia terjatuh dari kereta, entah di mana.” “Apakah kereta berhenti lagi setelah meninggalkan Amiens?” “Tidak. Namun pernah sekali melambat... karena ada tanda untuk melambat. Tapi tidak berhenti. Rasanya tak cukup pelan, hingga seseorang bisa meloncat turun tanpa terluka. Menurutmu, anak itu panik lalu berusaha lari? Ini semester pertama dia di sana, mungkin saja dia rindu rumah, itu mungkin saja. Tapi umurnya sudah lima belas lebih—sudah bisa berpikir jernih, dan sepanjang perjalanan dia tampak riang, mengobrol, dan bercanda dengan teman-temannya.” Poirot bertanya, “Apakah kereta telah diperiksa?” “Ya, mereka memeriksanya dengan teliti sebelum kereta masuk ke Gare du Nord. Satu hal sudah pasti, gadis itu tak ada lagi di kereta.” Japp menambahkan dengan kesal, “Gadis itu menghilang begitu saja! Lenyap bagai asap! Ini tidak masuk akal, M. Poirot. Ini gila!” “Seperti apa dia?” “Biasa-biasa saja, tidak istimewa.” “Maksudku, seperti apa tampangnya?” “Aku membawa fotonya. Dia tidak termasuk gadis cantik yang sedang mekar.” Diulurkannya foto itu dan Poirot mengamatinya selama beberapa saat. Foto itu foto seorang gadis kurus dengan rambut dikepang dua. Bukan foto yang sengaja dibuat, jelas sekali gadis itu tak tahu ia difoto. Ia sedang makan apel, bibirnya terbuka, giginya agak maju dan dikawat. Ia berkacamata. Japp berkata, “Gadis yang biasa—tapi di usia seperti itu, mereka memang masih tampak biasa! Aku kemarin ke dokter gigi langgananku. Kulihat foto Marcia Gaunt, Ratu Musim Semi, di Sketch. Aku pernah ingat datang ke kastil orangtuanya, waktu umurnya baru lima belas, untuk urusan perampokan. Wajah penuh bintik, canggung, gigi maju, rambut kusam, dan seterusnya. Dalam semalam... gadis-gadis itu berubah menjadi wanita dengan
kecantikan yang mencengangkan—aku heran, bagaimana mereka melakukannya! Seperti suatu keajaiban!” Poirot tersenyum. “Wanita,” katanya, “adalah makhluk yang mencengangkan! Bagaimana dengan keluarga gadis itu? Apa mereka memberikan keterangan yang mungkin bisa membantu?” Japp menggeleng. “Tak ada keterangan yang berarti. Ibunya lumpuh. Ayahnya, Pendeta King, benar-benar shock. Dia bersumpah bahwa putrinya itu sudah lama ingin pergi ke Paris. Winnie ingin belajar musik dan melukis—pokoknya belajar seni. Murid-murid Miss Pope terkenal karena pengetahuan mereka tentang Seni... Seni dengan S besar. Kau mungkin sudah tahu, sekolah Miss Pope sangat terpandang. Banyak gadis dari kalangan atas, kaya maupun ningrat, dikirim bersekolah di sana. Miss Pope sendiri orangnya keras—amat keras.... Sekolahnya amat mahal... dan tidak sembarang gadis akan diterimanya... hanya yang dipilihnya yang bisa masuk ke sekolahnya.” Poirot mendesah. “Aku tahu tipe seperti itu. Bagaimana dengan Miss Burshaw yang menjemput gadis-gadis itu dari Inggris?” “Mungkin tidak terlalu cerdas. Takut sekali kalau-kalau Miss Pope akan menyalahkannya.” Poirot berkata sambil merenung, “Tak ada pemuda dalam kasus ini?” Japp menggerakkan kepalanya ke arah foto itu. “Apa dia gadis yang menarik?” “Tidak, memang tidak. Tapi, meskipun penampilannya seperti itu, bisa saja dia punya angan-angan yang amat romantis. Lima belas tahun bukan usia yang terlalu muda.” “Well,” kata Japp. “Jika angan-angan romantis yang menyebabkannya kabur dari kereta itu, aku harus membaca novel karangan pengarang wanita.” Dengan penuh harap ia memandang Poirot. “Tak ada yang mengingatkanmu pada sesuatu, ya?” Pelan-pelan Poirot menggeleng. Katanya, “Apakah mereka juga menemukan sepatunya di dekat rel?” “Sepatu? Tidak. Mengapa sepatu?” Poirot menggumam, “Aku menduga...” II Hercule Poirot baru saja hendak keluar untuk naik taksi ketika telepon berdering. Diangkatnya telepon itu. “Ya?” Terdengar suara Japp. “Untung kau belum berangkat. Sudah selesai, kawan. Ada pesan di kantor waktu aku sampai. Gadis itu telah ditemukan. Di pinggir jalan besar, lima belas mil dari Amiens. Dia seperti orang linglung dan polisi tak bisa mengorek keterangan yang berarti darinya. Dokter mengatakan dia telah dibius. Tapi dia selamat. Tak kurang suatu apa.” Poirot berkata pelan, “Jadi kalau begitu, bantuanku tak dibutuhkan lagi?”
“Maaf, kurasa tak perlu! Sekali lagi, mmmaaaafff telah merrrreppotttkanmu.” Japp tertawa karena leluconnya sendiri lalu memutuskan hubungan. Hercule Poirot tidak tertawa. Pelan-pelan diletakkannya teleponnya. Wajahnya terlihat keruh. III Detektif Inspektur Hearn memandang Poirot dengan penuh minat. Katanya, “Saya tak menyangka, Anda akan tertarik pada kasus ini, Sir.” Poirot berkata, “Anda sudah mendengar pesan Inspektur Japp, bahwa saya mungkin akan berkonsultasi dengan Anda mengenai kasus ini?” Hearn mengangguk. “Beliau mengatakan Anda akan datang kemari untuk suatu urusan lain, dan Anda akan membantu kami memecahkan teka-teki ini. Tapi, karena kasusnya sudah selesai, saya tak mengira Anda masih tertarik menanganinya. Saya kira Anda cukup sibuk dengan kasus lain itu.” Hercule Poirot berkata, “Urusan saya itu bisa menunggu. Justru masalah ini yang menarik minat saya. Anda menyebutnya teka-teki, dan Anda mengatakan kasusnya sudah selesai. Tapi, sepertinya teka-tekinya belum berhasil dipecahkan.” “Ah, Sir, anak itu sudah ditemukan. Dan dia tak kurang suatu apa. Itu yang paling penting.” “Tapi itu tidak menjawab pertanyaan bagaimana Anda menemukan dia, bukan? Apa katanya tentang itu? Dokter sudah memeriksanya, bukan? Apa kata dokter itu?” “Katanya, gadis itu dibius. Dia masih belum sadar benar. Sepertinya, dia tak ingat apaapa setelah meninggalkan Cranchester. Semua kejadian sesudah itu tampaknya terhapus dari ingatannya. Menurut dokter, mungkin dia menderita gegar otak ringan. Di bagian belakang kepalanya ada benjolan. Kata dokter, itu mungkin penyebab hilangnya sebagian memory-nya.” Poirot berkata, “Yang amat menguntungkan bagi... seseorang!” Inspektur Hearn berkata dengan suara bimbang, “Maksud Anda, dia telah melakukan perbuatan yang memalukan?” “Bagaimana menurut Anda?” “Tidak, saya yakin dia tidak melakukan yang seperti itu. Dia anak baik—kelihatan lebih muda dari umurnya.” “Ya, dia takkan melakukan hal-hal yang memalukan.” Poirot menggeleng. “Tapi saya ingin tahu, bagaimana dia turun dari kereta api. Saya ingin tahu, siapa yang bertanggung jawab untuk itu... dan mengapa?” “Pertanyaan terakhir itu bisa dijawab dengan: usaha penculikan. Mungkin mereka bermaksud meminta uang tebusan.” “Tapi mereka tidak minta uang tebusan!” “Mungkin tak berani, karena gadis itu menangis keras-keras... lalu cepat-cepat mereka meninggalkannya di pinggir jalan.” Poirot bertanya dengan sinis, “Dan berapa besar uang tebusan yang dapat disediakan Pendeta Katedral Cranchester? Petinggi-petinggi gereja Inggris bukanlah kaum miliuner.”
Inspektur Hearn berkata dengan riang, “Hanya untuk menarik perhatian, mungkin. Itu pendapat saya.” “Ah, begitu, ya?” Hearn berkata, wajahnya agak memerah, “Bagaimana pendapat Anda sendiri, Sir?” “Saya ingin tahu, bagaimana dia bisa diselundupkan keluar dari kereta itu.” Wajah polisi itu seketika menjadi suram. “Itu benar-benar merupakan misteri. Sesaat dia ada di sana, duduk di restorasi, bercanda dan mengobrol dengan gadis-gadis lainnya. Lima menit kemudian dia menghilang— sim salabim—seperti permainan sulap.” “Tepat, seperti permainan sulap! Siapa saja yang ada dalam gerbong itu? Gerbong tempat kompartemen-kompartemen yang telah dipesan rombongan Miss Pope?” Inspektur Hearn mengangguk. “Itu pertanyaan yang bagus, Sir. Itu sangat penting. Itu sangat penting, lebih-lebih karena gerbong itu yang terakhir dalam rangkaian kereta. Segera setelah semua kembali dari restorasi, pintu penghubung antargerbong dikunci—benar-benar dikunci, untuk mencegah orang bergerombol di restorasi dan minta ini-itu sebelum bekas makan siang dibersihkan dan restorasi disiapkan untuk waktu minum teh di sore hari. Winnie kembali ke gerbongnya bersama yang lain-lain—ada tiga kompartemen yang telah dipesan sekolah itu.” “Dan di dalam kompartemen-kompartemen lain di gerbong itu?” Hearn mengeluarkan catatannya. “Miss Jordan dan Miss Butters—dua wanita tua yang tidak menikah, mereka pergi ke Swiss. Mereka beres, sangat terhormat, dan dikenal luas di Hampshire, daerah asal mereka. Dua pedagang Prancis yang sedang melakukan perjalanan, satu dari Lyons dan satu dari Paris. Dua-duanya pria setengah baya yang juga terhormat. Seorang pria muda, James Elliot, dan istrinya—yang penampilannya amat mencolok. Dia dicurigai polisi, diduga terlibat transaksi yang tidak beres—tapi tidak pernah melakukan penculikan. Singkatnya, kompartemennya digeledah, di antara barang-barangnya tak ditemukan sesuatu yang membuatnya bisa dicurigai terlibat dalam kasus ini. Saya tak bisa mengerti bagaimana dia bisa terlibat. Ada satu lagi penumpang lain, wanita Amerika, Mrs. Van Suyder, dalam perjalanan ke Paris. Tentang dia, kami tak tahu apa-apa. Kelihatannya beres. Itu semuanya.” Hercule Poirot berkata, “Dan sudah pasti kereta tidak berhenti setelah meninggalkan Amiens?” “Pasti. Pernah melambat, tapi tidak cukup pelan bagi seseorang untuk melompat turun— tanpa risiko luka parah atau bahkan mati.” Hercule Poirot menggumam, “Itu sebabnya kasus ini amat menarik. Gadis itu menghilang begitu saja, seperti asap, tepat di luar Amiens. Dia muncul kembali, entah dari mana, tepat di luar Amiens. Di mana saja dia di antara kedua saat itu?” Inspektur Hearn menggeleng. “Anda katakan seperti itu, kasus ini jadi benar-benar mengherankan. Gila! Oh, saya ingat, mereka mengatakan Anda bertanya tentang sepatu... sepatu gadis itu. Waktu ditemukan, gadis itu masih mengenakan sepatunya, tapi memang ada sepasang sepatu lain di pinggir rel, ditemukan penjaga sinyal kereta. Dibawanya pulang karena masih bagus. Sepatu yang cocok untuk berjalan kaki, kuat, dan hitam warnanya.”
“Ah,” kata Poirot. Ia kelihatan puas. Inspektur Hearn bertanya penuh ingin tahu, “Saya tak mengerti artinya sepasang sepatu itu, Sir? Apa artinya?” “Sepatu itu membuktikan suatu teori,” kata Hercule Poirot. “Teori tentang bagaimana pertunjukan sulap itu dimainkan.” IV Sekolah Miss Pope, seperti sekolah-sekolah mahal yang sejenis, terletak di Neuilly. Hercule Poirot, yang sedang berdiri mengagumi bagian depan gedung utamanya yang anggun, tiba-tiba seakan tenggelam di tengah arus gadis-gadis yang keluar dari gerbang gedung itu. Ia menghitung. Ada 25 semuanya, mengenakan pakaian seragam warna biru tua, dengan topi gaya Inggris yang kelihatannya tidak nyaman dipakai, dan pita warna ungu dan emas—warna pilihan Miss Pope—dililitkan di sekeliling topi itu. Umur mereka antara empat belas sampai delapan belas, ada yang gemuk ada yang kurus, ada yang berkulit putih ada yang berkulit gelap, ada yang tampak canggung ada pula yang tampak anggun. Di belakang rombongan itu, bersama gadis-gadis yang lebih muda, berjalan seorang wanita cerewet berambut abu-abu, yang menurut dugaan Poirot adalah Miss Burshaw. Selama satu menit, Poirot berdiri memandangi mereka, kemudian ia membunyikan bel dan minta bertemu dengan Miss Pope. Miss Lavinia Pope merupakan pribadi yang sangat berbeda dari wakilnya, Miss Burshaw. Miss Pope seorang wanita yang berkepribadian kuat. Punya kharisma. Bahkan kalaupun terpaksa mengalah dan mengabulkan permintaan orangtua seorang gadis, ia masih tetap mempertahankan kesan superioritasnya, suatu aset yang amat berguna bagi seorang kepala sekolah. Rambut abu-abunya ditata rapi, gaunnya agak kuno namun berkesan anggun. Ia amat kompeten dan menguasai keadaan. Ruangan tempatnya menerima Poirot mencerminkan pengetahuannya yang luas akan seni dan budaya. Perabotan yang anggun, bunga, dan foto-foto bekas muridnya—beberapa di antaranya dibingkai dan ditandatangani—yang kini telah menjadi orang-orang terkenal. Sebagian besar foto itu menampilkan gadis-gadis yang diwisuda, lengkap dengan jubah dan topi wisuda. Pada dinding tergantung sejumlah karya agung pelukis-pelukis ternama dan beberapa lukisan cat air yang bagus. Seluruh ruangan itu rapi, bersih, dan berkilat. Setitik debu pun takkan berani masuk dan menempel pada salah satu benda yang ada dalam ruangan itu. Miss Pope menerima Poirot dengan ketenangan seseorang yang penilaiannya jarang keliru. “M. Hercule Poirot, tentu saja saya sudah mengenal nama Anda. Saya rasa Anda kemari karena kasus Winnie King. Insiden yang menjengkelkan.” Miss Pope tidak kelihatan jengkel. Ia menghadapi bencana dengan ketenangan orang yang sudah amat berpengalaman, dan karenanya membuat bencana itu menjadi hampir tak ada artinya. “Yang seperti itu,” kata Miss Pope, “belum pernah terjadi.” “Dan takkan terjadi lagi!” Sikapnya menyatakan itulah yang ingin dikatakannya. Hercule Poirot berkata, “Ini semester pertama dia di sini, bukan?” “Ya, benar.”
“Anda sudah pernah mewawancarai Winnie sebelum menerimanya—juga orangtuanya?” “Bukan baru-baru ini. Dua tahun yang lalu, saya sedang ada urusan dan menginap dekat Cranchester—tepatnya, urusan dengan Uskup.” Sikap Miss Pope menyatakan, (“Harap diketahui, saya orang yang punya hubungan baik dengan Uskup!”) “Ketika di sana, saya berkenalan dengan Pendeta King dan Mrs. King. Kasihan, Mrs. King invalid. Waktu itu saya berkenalan dengan Winnie. Gadis yang dibesarkan dengan baik dan punya cita rasa seni yang tinggi. Saya katakan pada Mrs. King bahwa saya akan senang menerima Winnie di sekolah saya, satu-dua tahun lagi—jika sekolah umumnya sudah selesai. Di sini, M. Poirot, kami mengkhususkan diri pada seni dan musik. Gadis-gadis kami bawa ke opera, ke Comédie Française, mereka mendengarkan ceramah-ceramah di Louvre. Para seniman terbaik kami undang kemari untuk mengajarkan musik, menyanyi, dan melukis. Wawasan budaya yang luas, itulah tujuan kami.” Tiba-tiba Miss Pope ingat bahwa Poirot bukanlah ayah seorang gadis, cepat-cepat ia menambahkan, “Ada yang bisa saya lakukan untuk Anda, M. Poirot?” “Saya ingin tahu bagaimana posisi Winnie sekarang.” “Pendeta King datang ke Amiens, menjemput Winnie dan membawanya pulang. Hal paling bijaksana yang bisa dilakukannya setelah shock yang diderita anak itu.” Ia melanjutkan, “Kami tidak menerima gadis-gadis yang lemah di sekolah ini. Kami tidak punya fasilitas khusus untuk mereka. Saya katakan pada Pak Pendeta sebaiknya Winnie dibawa pulang.” Hercule Poirot bertanya dengan terus terang, “Apa sebenarnya yang terjadi? Bagaimana pendapat Anda, Miss Pope?” “Saya tak punya gagasan apa-apa, M. Poirot. Semua ini, seperti yang dilaporkan pada saya, sangat aneh. Menurut saya, staf saya—yang bertanggung jawab atas gadis-gadis itu— tak dapat disalahkan... kecuali bahwa seharusnya dia lebih awal tahu gadis itu menghilang.” Poirot berkata, “Anda mendapat kunjungan, mungkin, dari polisi?” Sekilas, wajah aristokrat Miss Pope tak bisa menyembunyikan perasaannya. Dengan dingin ia berkata, “Seseorang yang mengaku sebagai Monsieur Lefarge dari Préfecture menemui saya, ingin menanyakan, kalau-kalau saya bisa memberi keterangan sehubungan dengan situasi itu. Tentu saja saya tak punya keterangan apa pun. Kemudian ia memaksa memeriksa barang-barang bawaan Winnie, yang tentu saja sampai di sini bersama milik gadis-gadis lainnya. Saya katakan padanya bahwa barang-barang itu telah diperiksa polisi dari kesatuan yang lain. Menurut saya, tugas-tugas di kantor polisi saling tumpang-tindih. Tak lama kemudian, seseorang menelepon saya, menegaskan bahwa belum semua barang Winnie mereka periksa. Saya marah sekali karenanya. Mereka mengira karena punya kuasa lalu bisa memaksa saya.” Poirot menarik napas panjang. Katanya, “Anda punya keberanian alamiah. Saya mengagumi Anda, Mademoiselle. Saya kira barang-barang Winnie langsung dibuka begitu sampai. Benar?” Miss Pope tampak agak sedikit tersinggung. “Rutin,” katanya. “Kami selalu taat pada peraturan yang sudah digariskan. Barang-barang bawaan murid-murid langsung dibuka dan diatur di lemari-lemari yang tersedia, rapi, seperti seharusnya. Begitu pula milik Winnie. Kemudian, tentu saja, barang-barangnya dimasukkan kembali ke kopernya, hingga bawaan Winnie bisa diserahkan pada polisi dalam keadaan persis seperti ketika kami membukanya.”
Poirot berkata, “Persis?” Ia berjalan ke dinding. “Ini lukisan Jembatan Cranchester yang terkenal itu, dengan Katedral tampak di kejauhan.” “Anda benar, M. Poirot. Winnie pasti telah membuatnya dan membawanya kemari, sebagai hadiah kejutan untuk saya. Ada dalam kopernya, terbungkus, dan pada bungkusnya tertulis ’Untuk Miss Pope dari Winnie’. Gadis yang penuh perhatian.” “Ah!” kata Poirot. “Dan, bagaimana pendapat Anda mengenai lukisan ini?” Poirot sudah banyak melihat lukisan yang menggambarkan Jembatan Cranchester. Satu tema yang setiap tahun bisa ditemukan di Akademi Seni Lukis—kadang-kadang dalam bentuk lukisan cat minyak—kadang-kadang dengan cat air. Ada yang bagus, ada yang jelek, ada pula yang membosankan. Tapi, belum pernah ia melihat lukisan yang sejelek dan sekasar itu buatannya. Miss Pope tersenyum maklum. Katanya, “Kita tak boleh mematahkan semangat seorang gadis, M. Poirot. Tentu saja Winnie akan kami beri pengarahan agar bisa membuat lukisan yang lebih baik.” Poirot berkata sambil merenung, “Rasanya lebih wajar jika dia menggunakan cat air. Ya, kan?” “Ya. Saya tak mengira dia akan mencoba melukis dengan cat minyak.” “Ah,” kata Hercule Poirot. “Anda akan mengizinkan saya, Mademoiselle?” Ia melepaskan lukisan itu dari gantungannya dan membawanya ke dekat jendela. Ia memeriksanya, kemudian sambil mengangkat wajahnya ia berkata, “Saya akan memohon pada Anda, Mademoiselle, untuk memberikan lukisan ini kepada saya.” “Wah, M. Poirot...” “Anda tak perlu berpura-pura amat menyukai lukisan yang jelek ini.” “Oh, saya sependapat, memang tak ada nilai seninya. Tapi ini hasil karya murid saya....” “Saya katakan pada Anda, Mademoiselle, lukisan ini sama sekali tidak pantas dipajang di ruangan ini.” “Mengapa Anda berkata begitu, M. Poirot?” “Akan segera saya buktikan.” Ia mengeluarkan sebuah botol kecil, spons, dan beberapa potongan kain lembut dari sakunya. Katanya, “Pertama-tama, saya akan menyampaikan sebuah cerita pada Anda, Mademoiselle. Ceritanya mirip dengan kisah Itik yang Buruk Rupa yang berubah menjadi angsa.” Tangannya bekerja dengan cekatan sementara mulutnya terus bicara. Bau terpentin memenuhi ruangan. “Barangkali Anda jarang pergi ke teater?” “Memang jarang. Bagi saya, pertunjukan itu seperti palsu....” “Ya, palsu, tapi kadang-kadang sangat instruktif. Saya pernah melihat seorang aktris
yang mengubah kepribadiannya dengan cara yang luar biasa. Sesaat dia bintang kabaret, halus dan penuh glamor. Sepuluh menit kemudian, dia menjadi gadis muda yang tidak menarik, pucat, mengenakan pakaian senam—sepuluh menit berikutnya lagi, dia menjadi wanita gipsy yang duduk meramal di depan karavannya.” “Itu semua memang mungkin, saya tahu, tapi saya tidak melihat....” “Tapi saya sedang menunjukkan kepada Anda bagaimana permainan sulap itu dilakukan di atas kereta api. Winnie, murid sekolah, rambut berkepang dua, berkacamata, gigi yang dikawat—masuk ke toilet. Seperempat jam kemudian dia keluar sebagai—meminjam kata-kata yang dipakai Inspektur Hearn—‘wanita yang berpenampilan mencolok’. Stocking sutra yang lembut, sepatu bertumit tinggi—mantel bulu mink untuk menutupi seragam sekolah, topi beledu kecil bertengger di atas rambutnya yang ikal—dan seraut wajah... ya, seraut wajah. Pemerah pipi, bedak, lipstik, maskara! Seperti apa sebenarnya wajah asli aktris itu? Mungkin hanya Tuhan yang tahu! Tapi Anda sendiri, Mademoiselle, telah sering melihat bagaimana murid-murid Anda, gadis-gadis yang canggung, berubah menjadi wanita muda yang cantik, menawan, dan mengerti tata cara pergaulan... mereka berubah secara menakjubkan.” Miss Pope menahan napas. “Maksud Anda Winnie King menyamar sebagai...” “Bukan, bukan Winnie. Winnie diculik dalam perjalanan di dalam kota London. Aktris kita langsung menggantikan tempatnya. Miss Burshaw belum pernah bertemu dengan Winnie King— bagaimana dia akan tahu bahwa gadis kurus dengan rambut dikepang dua dan gigi berkawat itu Winnie? Sampai sejauh itu rencana mereka berjalan dengan baik. Tapi aktris yang menyamar itu tidak berani mengambil risiko untuk benar-benar datang kemari, karena Anda telah mengenal Winnie yang asli. Karenanya, sim-salabim, Winnie menghilang ke dalam toilet dan muncul sebagai istri seorang pria bernama Jim Elliot yang dalam paspornya juga tertera nama istrinya! Rambut kepang dua, kacamata, stocking murahan, kawat gigi— semuanya bisa disembunyikan dalam suatu tempat yang kecil. Tapi sepatu yang bersol tebal, yang cocok untuk berjalan jauh, dan topinya—topi gaya Inggris yang sama sekali tidak menarik—harus dibuang. Benda-benda itu dilemparkan keluar dari jendela. Kemudian, Winnie yang asli dibawa menyeberangi Selat Inggris—tak ada polisi yang mencari seorang anak yang kelihatan sakit, setengah dibius, yang dibawa dari Inggris ke Prancis—dan kemudian diturunkan dari mobil di tepi jalan raya. Bila memang dibius, selama itu, dengan scopolamine, dia takkan ingat akan apa yang telah terjadi.” Miss Pope menatap Poirot dengan heran. Ia bertanya, menuntut jawab, “Tapi mengapa? Apa alasan untuk penyamaran yang tidak masuk akal itu?” Poirot menjawab dengan sungguh-sungguh, “Koper Winnie! Orang-orang itu ingin menyelundupkan sesuatu dari Inggris ke Prancis—sesuatu yang dicari-cari petugas-petugas pabean di negara mana pun—tepatnya, barang-barang curian. Tapi, tempat apakah yang lebih aman dibandingkan dengan koper murid sekolah? Anda sangat terpandang, Miss Pope, begitu pula sekolah ini. Di Gare du Nord koper-koper gadis-gadis itu bisa melewati pemeriksaan tanpa kesulitan. Mereka murid-murid Miss Pope yang terpandang! Dan kemudian, setelah penculikan itu, tentunya merupakan alasan yang masuk akal mengirim seseorang untuk mengambil barang-barang gadis itu—apalagi kalau perintah itu datang dari kepolisian setempat.” Hercule Poirot tersenyum. “Untunglah ada peraturan bahwa koper-koper yang tiba langsung dibuka dan isinya dikeluarkan... dan ada sebuah hadiah untuk Anda dari Winnie—tapi itu bukan hadiah yang sama yang dibungkus Winnie di Cranchester.” Poirot melangkah mendekati wanita itu. “Anda telah menyerahkan lukisan ini kepada saya. Lihatlah, lukisan ini tak pantas dipajang di sekolah Anda yang amat terpandang ini!”
Ia memegang lukisan itu dan menunjukkannya pada Miss Pope. Seolah karena keajaiban, Jembatan Cranchester telah menghilang. Sebagai gantinya adalah lukisan klasik dalam warna-warna indah, lengkap dengan sapuan bayang-bayangnya yang amat halus. Poirot berkata dengan halus, “Ikat Pinggang Hyppolita. Hyppolita memberikan ikat pinggangnya pada Hercules—dilukis oleh Rubens. Karya seni yang agung—mais tout de même tidak pantas untuk ruangan ini.” Wajah Miss Pope memerah. Tangan Hyppolita memegang ikat pinggangnya—tak sehelai benang pun dikenakannya... Di salah satu bahu Hercules tersampir sehelai kulit singa. Lukisan Rubens yang menggambarkan wanita telanjang memang amat nyata... amat menggairahkan.... Miss Pope berkata, sikapnya kembali seperti biasa, “Karya seni yang bagus... Tapi, seperti kata Anda, kita harus mempertimbangkan perasaan dan pikiran para orangtua. Beberapa di antara mereka cenderung berpandangan sempit... kalau Anda mengerti maksud saya....” V Tepat ketika Poirot meninggalkan gedung itu, serbuan itu datang. Ia dikelilingi, didorong-dorong, tenggelam dalam kerumunan gadis-gadis—ada yang gemuk, ada yang kurus, ada yang berkulit putih, ada yang berkulit gelap. “Mon Dieu!” gumamnya. “Inilah serangan bangsa Amazon!” Seorang gadis jangkung berseru, “Ada desas-desus bahwa...” Mereka semakin rapat mengepungnya. Hercule Poirot terkurung. Ia tenggelam dalam gelombang femininitas yang muda dan penuh gairah. Dua puluh lima suara berebut bicara, nadanya berbeda-beda, tapi mereka mengucapkan kalimat yang sama. “M. Poirot, maukah Anda menandatangani buku saya...?”
10
GERYON DAN BINATANG-BINATANG GEMBALAANNYA I “SAYA benar-benar minta maaf telah mengganggu Anda seperti ini, M. Poirot.” Miss Carnaby memegangi tas tangannya erat-erat dan mencondongkan badannya ke depan. Ia menatap wajah Poirot dengan cemas. Seperti biasa, suaranya terengah-engah. Alis Hercule Poirot terangkat.
Miss Carnaby berkata dengan cemas, “Anda masih ingat saya, bukan?” Mata Hercule Poirot berkedip jenaka. Katanya, “Saya ingat Anda sebagai salah satu penjahat paling sukses yang pernah saya temui!” “Aduh, M. Poirot, haruskah Anda berkata begitu? Anda dulu amat baik pada saya. Emily dan saya sering membicarakan Anda, dan kalau kami membaca tentang Anda di koran, kami gunting berita itu dan kami tempelkan di sebuah buku khusus. Augustus kami ajari permainan baru. Kami akan bilang, ‘Matilah demi Sherlock Holmes, matilah demi Mr. Fortune, matilah demi Sir Henry Merrivale, dan kemudian matilah demi M. Hercule Poirot,’ dan mendengar itu dia akan langsung berbaring kaku seperti kayu—betul-betul tak bergerak sampai kami beri perintah lain!” “Saya merasa tersanjung,” kata Poirot. “Dan bagaimana kabar ce cher Auguste?” Miss Carnaby menautkan kedua telapak tangannya, dan dengan lancar memuji-muji anjing peking-nya. “Oh, M. Poirot, dia semakin pintar. Dia tahu apa saja. Tahukah Anda, suatu sore saya sedang mengagumi seorang bayi dalam kereta dorongnya, tiba-tiba ada tarikan kuat, ternyata Augustus mencoba menggigit-putus tali pengikatnya. Cerdik sekali, ya?” Mata Poirot berkedip jenaka. Katanya, “Menurut saya, rasanya Augustus punya bakat kriminal juga, seperti...” Miss Carnaby tidak tertawa. Wajahnya yang bulat dan ramah terlihat sedih dan cemas. Ia berkata dengan napas tersendat, “Oh, M. Poirot, saya cemas sekali.” Poirot berkata ramah, “Ada apa?” “Tahukah Anda, M. Poirot, saya takut... saya sungguh-sungguh takut... jangan-jangan saya ini sudah menjadi penjahat berpengalaman... kalau saya boleh memakai istilah itu. Banyak gagasan melintas di kepala saya!” “Gagasan macam apa?” “Gagasan-gagasan yang luar biasa! Misalnya, kemarin, saya mendapat gagasan yang amat praktis untuk merampok kantor pos. Saya bukannya sedang memikirkannya... gagasan itu muncul begitu saja! Ada lagi cara-cara cerdik untuk menghindari pajak.... Saya yakin... amat yakin... gagasan saya itu pasti tidak akan gagal.” “Barangkali memang demikian,” kata Poirot dengan suara tajam. “Itulah bahayanya gagasan-gagasan Anda.” “Tapi, itu membuat saya cemas, M. Poirot, sangat cemas. Dibesarkan dalam aturan dan ajaran agama yang ketat... saya amat terganggu oleh gagasan melawan hukum seperti itu... benar-benar jahat. Bagaimana gagasan itu bisa muncul di otak saya? Masalahnya, menurut saya, adalah karena sekarang saya punya waktu luang terlalu banyak. Saya sudah berhenti kerja dari Lady Hoggin dan kini bekerja pada seorang wanita tua, membacakan sesuatu untuknya dan menuliskan surat-suratnya, setiap hari. Waktu untuk menulis suratsurat itu tidak lama, dan begitu saya mulai membacakan sesuatu, wanita itu langsung tertidur, jadi saya terpaksa duduk menganggur... membolak-balik otak saya... dan Anda tahu bagaimana setan bisa memanfaatkan orang yang melamun tak punya kerjaan.” “Tcha, tcha,” kata Poirot. “Baru-baru ini saya membaca sebuah buku, sangat modern, diterjemahkan dari bahasa Jerman. Banyak penjelasan mengenai kecenderungan-kecenderungan kriminal. Orang harus, begitu yang saya mengerti, mengendalikan dan menghaluskan impuls-impulsnya sendiri! Itulah sebabnya saya datang menemui Anda.” “Ya?” kata Poirot.
“Anda tahu, M. Poirot. Menurut saya, bukan sesuatu yang jahat kalau kita menginginkan sesuatu yang mendebarkan! Sayang sekali, kehidupan saya selama ini sangat membosankan. Kasus... eh... kasus anjing peking itu; kadang-kadang saya merasa, ketika itulah saya merasa benar-benar hidup. Memang itu tidak baik, tetapi, seperti tertulis dalam buku itu, orang tidak boleh mengingkari sesuatu yang benar-benar terjadi. Saya datang menemui Anda, Mr. Poirot, karena berharap ada kemungkinan—untuk mengendalikan keinginan saya akan sesuatu yang mendebarkan, yaitu dengan mengarahkannya—kalau saya boleh mengatakannya demikian—ke hal-hal yang berguna.” “Aha,” kata Poirot. “Jadi Anda datang kemari sebagai mitra kerja?” Wajah Miss Carnaby memerah. “Saya memang tidak tahu diri, saya tahu. Tapi Anda sangat baik.” Ia berhenti bicara. Matanya, mata yang berwarna biru pucat, memohon... menatap Poirot dengan pandangan memohon, seperti anjing yang ingin sekali diajak jalan-jalan, namun tahu keinginannya itu tak mungkin dikabulkan. “Gagasan yang baik,” kata Hercule Poirot pelan. “Tentu saja saya tidak pintar,” Miss Carnaby menjelaskan. “Tapi amat pandai membawakan diri. Memang seharusnya begitu... kalau tidak, saya pasti langsung dipecat dari pekerjaan saya sebagai ‘teman’. Dan saya selalu yakin bahwa menampilkan diri sebagai orang yang lebih tolol dari yang sesungguhnya, kadang-kadang justru memberi hasil yang lebih baik.” Hercule Poirot tertawa. Katanya. “Anda membuat saya tertarik, Mademoiselle.” “Oh, M. Poirot, Anda sangat baik hati. Jadi, menurut Anda, saya masih punya harapan. Terus terang, kami baru saja menerima warisan... tidak besar jumlahnya, tetapi memungkinkan saya dan kakak saya mencukupi kebutuhan kami sehari-hari secara amat sederhana, jadi saya boleh dikatakan tidak terlalu tergantung pada upah pekerjaan saya.” “Saya harus memikirkan,” kata Poirot, “di mana bakat Anda bisa dimanfaatkan sebaikbaiknya. Mungkin Anda sendiri sudah punya gagasan?” “Anda pasti bisa membaca pikiran orang, M. Poirot. Akhir-akhir ini saya cemas memikirkan seorang kawan saya. Saya ingin minta saran Anda. Tentu saja mungkin Anda akan menganggap ini khayalan perawan tua—hanya imajinasi. Orang cenderung melebihlebihkan, dan menganggap sesuatu sudah dirancang padahal sebenarnya hanya suatu kebetulan.” “Saya tidak menganggap Anda suka melebih-lebihkan sesuatu, Miss Carnaby. Katakan, apa gagasan Anda.” “Yah, saya punya seorang kawan baik, sangat baik, meskipun sudah lama saya tak bertemu dengannya. Namanya Emmeline Clegg. Dia menikah dengan seorang pria di Inggris Utara, tinggal di sana, dan beberapa tahun yang lalu suaminya meninggal, memberinya warisan yang amat besar. Dia sedih dan kesepian setelah kematian suaminya. Yang saya cemaskan, dia orangnya agak tolol dan kurang hati-hati. Agama, M. Poirot, dapat menawarkan bantuan dan penghiburan—tapi, yang saya maksudkan adalah agama yang ortodoks.” “Maksud Anda Gereja Yunani Ortodoks?” tanya Poirot. Miss Carnaby tampak kaget sekali. “Tentu saja bukan. Gereja Inggris. Dan, meskipun saya tidak setuju dengan agama Katolik Roma, setidak-tidaknya agama itu sudah diakui. Lalu ada aliran-aliran yang juga terkenal dan dihormati. Yang saya maksudkan adalah sekte yang aneh-aneh. Mereka
bermunculan di mana-mana. Mereka dengan ahli mengaduk-aduk perasaan kita, namun saya meragukan apakah benar-benar ada kebenaran sejati di balik itu semua.” “Anda beranggapan kawan Anda telah menjadi korban salah satu sekte seperti itu?” “Benar. Oh! Benar sekali. Mereka menyebut diri mereka, Domba-domba sang Gembala. Pusatnya di Devonshire... sebuah bangunan dan taman yang amat indah di tepi laut. Para pengikutnya berdatangan ke sana untuk suatu acara yang mereka sebut Retreat. Lamanya dua minggu, dengan persembahan misa dan segala ritualnya. Ada tiga peristiwa besar— Festival—yang diperingati setiap tahun, Padang yang Bersemi, Padang yang Sudah Penuh, dan Padang yang Siap Dipanen.” “Yang terakhir itu tolol,” komentar Poirot. “Tak ada orang yang akan memanen padang rumput.” “Semuanya memang tolol,” kata Miss Carnaby dengan penuh perasaan. “Seluruh kegiatan sekte itu berpusat pada sang pemimpin yang mereka sebut sang Gembala Agung. Nama aslinya Dr. Andersen. Pria yang sangat tampan dan penuh kharisma.” “Yang tentu saja amat menarik bagi kaum wanita. Bukankah demikian?” “Itulah yang saya takutkan,” desah Miss Carnaby. “Ayah saya sangat tampan. Kadangkadang membuat para wanita jadi canggung. Persaingan dalam menentukan siapa yang ditugaskan menyulam jubah pendeta... pembagian tugas-tugas gereja...” Miss Carnaby menggeleng, mengusir kenangan itu. “Apakah sebagian besar anggota sekte itu kaum wanita?” “Sekurang-kurangnya tiga perempatnya. Laki-laki yang masuk ke sana umumnya gila! Keberhasilan sekte itu tergantung pada anggotanya yang wanita... dan pada dana yang mereka sumbangkan.” “Ah,” kata Poirot. “Kini kita sampai ke pokok persoalannya. Jadi, Anda menganggap sekte itu hanya kedok untuk mencari uang?” “Ya, saya yakin. Ada hal lain yang membuat saya cemas. Saya kebetulan tahu kawan saya itu amat terpengaruh pada ajaran sekte itu, dan baru-baru ini dia membuat surat wasiat yang mewariskan semua hartanya untuk sekte tersebut.” Poirot berkata dengan suara tajam, “Apakah hal itu dianjurkan padanya?” “Dengan segala kejujuran saya, tidak. Itu benar-benar kemauannya sendiri. Sang Gembala Agung telah menunjukkan sebuah kehidupan baru baginya—jadi segala miliknya, bila dia mati, harus diserahkan untuk kemanusiaan. Yang membuat saya amat khawatir adalah...” “Ya... lanjutkan.” “Sejumlah wanita kaya menjadi anggota sekte itu. Tahun lalu, tiga di antaranya meninggal.” “Mewariskan seluruh kekayaan mereka untuk sekte itu?” “Ya.” “Keluarga mereka tidak memprotes? Menurut saya, seharusnya ada pengaduan ke pengadilan atau sekurang-kurangnya protes.” “M. Poirot, biasanya wanita-wanita kesepian yang menjadi anggota perkumpulan seperti itu. Wanita-wanita yang tak punya kerabat dekat atau kawan baik.” Poirot mengangguk sambil merenung.
Miss Carnaby cepat-cepat melanjutkan, “Tentu saja saya tidak punya hak untuk menuduh mereka. Sejauh yang bisa saya ketahui, dari penyelidikan saya, kematian mereka tidak mencurigakan. Saya yakin yang satu karena pneumonia, satunya influenza, dan yang satu lagi gostric ulcer. Benar-benar tidak ada situasi yang mencurigakan, jika Anda mengerti maksud saya, dan kematian itu tidak terjadi di Green Hills Sanctuary, tempat mereka berkumpul, tetapi di rumah mereka masing-masing. Saya tak ragu bahwa itu semua wajar, tapi tetap saja saya... eh... saya tak ingin sesuatu terjadi atas Emmie.” Tangannya terkatup, matanya memandang Poirot penuh permohonan. Beberapa menit lamanya Poirot diam. Ketika ia bicara, suaranya berubah; bernada dalam dan sungguh-sungguh. Katanya, “Bersediakah Anda mencarikan informasi untuk saya, tentang nama-nama dan alamat mereka yang belum lama ini meninggal?” “Tentu saja, M. Poirot.” Poirot berkata pelan, “Mademoiselle, saya rasa Anda seorang wanita yang sangat berani dan penuh keyakinan. Anda punya kemampuan histrionic yang bagus. Bersediakah Anda melakukan suatu pekerjaan yang mungkin amat berbahaya?” “Justru itu yang saya inginkan,” kata Miss Carnaby yang menyukai petualangan. Poirot berkata mengingatkan, “Kalau memang ada risikonya, itu pasti sangat berbahaya. Anda mengerti, kalau ini bukan khayalan kosong, pasti sesuatu yang amat serius. Untuk menemukan jawabannya, Anda harus menyamar menjadi anggota sekte itu, menjadi salah satu dari Domba-domba sang Gembala. Saya usulkan Anda untuk melebih-lebihkan jumlah warisan yang Anda terima. Sekarang Anda menjadi seorang wanita kaya yang tak punya tujuan tertentu dalam hidupnya. Anda berdebat dengan kawan Anda Emmeline tentang aliran agama yang dianutnya ini—dan meyakinkan dia bahwa itu semua tidak masuk akal. Dia pasti ingin mempengaruhi Anda dan menarik Anda masuk ke sana. Anda biarkan diri Anda terpikat dan Anda setuju untuk pergi ke Green Hills Sanctuary. Di sana, Anda tak berdaya dalam pengaruh Dr. Andersen yang amat pandai mempengaruhi dan punya kharisma besar. Saya rasa Anda dapat menjalankan peran Anda dengan baik sampai titik itu.” Miss Carnaby tersenyum dengan sikap rendah hati. Ia menggumam, “Saya rasa saya dapat melakukannya!” II “Nah, kawan, apa yang kaubawa untukku?” Inspektur Japp memandang pria kecil yang melemparkan pertanyaan itu sambil berpikirpikir. Ia berkata dengan kasar, “Aku amat benci pada kasus-kasus seperti ini. Aku benci laki-laki rambut panjang, dengan gagasan-gagasan keagamaan yang sebenarnya racun belaka. Orang-orang seperti mereka mengisi otak para wanita dengan hal-hal yang tidaktidak. Tapi yang satu ini amat hati-hati. Tidak pernah ada bukti kuat yang bisa digunakan untuk menangkapnya. Semuanya kelihatan agak aneh, tapi tidak berbahaya.” “Apa kau tahu sesuatu tentang Dr. Andersen ini?” “Aku telah memeriksa riwayat masa lalunya. Dia ahli kimia yang amat berbakat, tapi dikeluarkan dari sebuah universitas di Jerman. Mungkin ibunya Yahudi. Dia senang mempelajari mitologi Timur dan agama-agama. Waktu luangnya dihabiskan untuk itu dan ia telah menulis sejumlah artikel mengenainya. Menurutku, beberapa tulisannya gila.” “Jadi ada kemungkinan dia orang yang amat fanatik?” “Rasanya aku bisa mengatakan: ya!”
“Bagaimana dengan nama-nama dan alamat yang kuserahkan padamu?” “Tak ada apa-apanya. Miss Everitt meninggal karena ulcerative colitis—radang usus. Dokter yakin tak ada sesuatu yang mencurigakan. Mrs. Llyod meninggal karena bronchopneumonia. Lady Western karena tuberculosis. Sudah mengidap penyakit itu bertahun-tahun yang lalu... bahkan sebelum tahu tentang sekte itu. Miss Lee meninggal karena tifus— diduga karena salad yang dimakannya di suatu tempat di Inggris Utara. Tiga di antara mereka sakit dan meninggal di rumah masing-masing. Mrs. Lloyd meninggal di sebuah hotel di Prancis Selatan. Sejauh ini, tak ada yang bisa mengaitkan kematian mereka dengan sekte itu atau dengan Andersen dan markas perkumpulannya di Devonshire. Pasti hanya kebetulan belaka. Semua beres dan sudah diperiksa yang berwenang.” Hercule Poirot mendesah. Katanya, “Tapi, mon cher, aku punya perasaan bahwa inilah Tugas Kesepuluh Hercules dan Dr. Andersen tak lain adalah si Monster Geryon, gembala mengerikan yang harus kuhancurkan sesuai dengan tugasku.” Japp memandang kawannya dengan prihatin. “He, Poirot, kau tidak sedang membaca buku-buku aneh, kan?” Poirot menjawab dengan penuh keangkuhan, “Komentarku, seperti biasanya, selalu tepat, dengan bukti kuat, dan tidak berbelit-belit.” “Kalau begitu, kau bisa mulai membangun sektemu sendiri,” kata Japp bergurau, “dengan kredo: ‘Tak ada orang yang kepandaiannya menyamai Hercule Poirot. Amin. Ulangi ad lib.!’” III “Kedamaian di sini membuatku tenang,” kata Miss Carnaby, napasnya terengah-engah dan ia tampak penuh semangat. “Aku kan sudah bilang, Amy,” kata Emmeline Clegg. Kedua sahabat itu duduk di rerumputan, di sebuah bukit yang melandai ke arah laut biru yang indah. Rumputnya hijau kemilau, tanah dan karang tampak merah berkilat. Tempat itu, yang kini lebih dikenal sebagai Green Hills Sanctuary, adalah sebuah daratan yang menjorok ke laut seluas beberapa ribu meter persegi. Hanya selajur tanah amat sempit yang menghubungkannya dengan daratan utama, jadi seakan-akan tempat itu merupakan sebuah pulau. Mrs. Clegg menggumam penuh perasaan, “Tanah yang merah—tanah yang penuh cahaya dan janji—tempat tiga macam kejadian akan digenapi.” Miss Carnaby menarik napas dalam-dalam dan berkata, “Kurasa Guru menjelaskannya dengan indah sekali tadi malam.” “Lihat saja,” kata kawannya, “festival yang akan diadakan nanti malam. Padang yang Sudah Penuh!” “Aku tak sabar lagi,” kata Miss Carnaby. “Kau akan memperoleh pengalaman spiritual yang menakjubkan,” kawannya menjanjikan. Miss Carnaby tiba di Green Hills Sanctuary satu minggu sebelumnya. Sikapnya waktu tiba adalah, “Kegilaan macam apa ini? Aduh, Emmie, manusia yang berotak jernih seperti engkau... dan seterusnya, dan seterusnya.” Dalam wawancara pertama dengan Dr. Andersen, Miss Carnaby dengan terus terang menjelaskan keadaannya. “Saya tak ingin merasa saya kemari dengan maksud lain, Dr. Andersen. Ayah saya pendeta
Gereja Inggris dan iman saya takkan tergoyahkan. Saya tidak bisa menerima doktrin yang aneh-aneh.” Pria berperawakan besar dengan rambut keemasan itu tersenyum padanya—senyum yang ramah dan penuh pengertian. Ia memandang wanita gemuk yang duduk di sebuah kursi di depannya itu dengan penuh perhatian. “Miss Carnaby,” katanya, “Anda kawan Miss Clegg, dan kami amat senang menerima Anda di sini. Dan, percayalah, doktrin kami tidak aneh-aneh. Di sini, semua kepercayaan diterima dan semua dihormati dengan penghormatan yang sama.” “Kalau begitu seharusnya tidak perlu ada berbagai macam kepercayaan,” kata putri mendiang Pendeta Thomas Carnaby dengan keras kepala. Sambil menyandarkan badannya ke kursi, sang Guru menggumam dengan suaranya yang dalam dan menawan, “Dalam rumah Bapaku ada banyak kamar... Anda ingat itu, Miss Carnaby?” Ketika mereka meninggalkan ruangan itu, Miss Carnaby berbisik pada kawannya, “Dia amat tampan.” “Ya,” sahut Emmeline Clegg. “Dan amat spiritual.” Miss Carnaby sependapat. Benar... ia bisa merasakannya... aura ketidakduniawian... spiritualitas.... Dikuatkannya dirinya. Ia berada di sini tidak untuk menjadi korban ajaran-ajaran spiritual yang mengagumkan... atau ajaran apa pun yang diberikan sang Gembala Agung. Dibayangkannya Hercule Poirot. Pria itu seakan begitu jauh dan tidak nyata.... “Amy,” kata Miss Carnaby pada dirinya sendiri. “Kuatkan hatimu. Ingat apa sesungguhnya tujuanmu kemari.” Hari demi hari berlalu. Miss Carnaby merasa dirinya semakin terpengaruh pesona Green Hills Sanctuary. Kedamaian, kesederhanaan, hidangan yang lezat meskipun sederhana, indahnya upacara agama diiringi lagu-lagu tentang cinta dan pengabdian, kata-kata sang Guru yang sederhana namun amat menggugah jiwa, memohon kepada semua yang paling baik dan paling tinggi di antara para manusia... di sini, semua sisi jelek kehidupan telah disingkirkan. Di sini hanya ada cinta dan damai.... Dan malam ini ada Festival Musim Panas yang dirayakan besar-besaran—Pesta Padang yang Sudah Penuh. Dan malam ini, ia, Amy Carnaby akan menjalani upacara agar bisa resmi menjadi anggota... menjadi salah satu domba yang digembalakan sang Gembala Agung. Perayaan itu dilangsungkan di bangunan bercat putih bersih, yang oleh para calon anggota disebut Gedung Suci. Di sana, para anggota perkumpulan berkumpul tepat sebelum matahari tenggelam. Mereka mengenakan jubah dari kulit domba dan kaki mereka mengenakan sandal. Lengan mereka terbuka. Di tengah ruangan, ada semacam panggung rendah. Dr. Andersen berdiri di sana. Seorang pria berperawakan gagah, dengan rambut keemasan dan sepasang mata biru. Dilengkapi cambang dan jenggot serta wajah yang tampan, nyata benar betapa besar pengaruhnya pada umatnya. Ia mengenakan jubah warna hijau dan membawa tongkat gembala terbuat dari emas. Ia mengangkat tongkatnya dan seketika itu juga ruangan itu menjadi sunyi. “Di mana domba-dombaku?” Orang-orang menjawab, “Kami di sini, oh, sang Gembala.” “Arahkan hati kalian dengan penuh sukacita dan syukur. Mari kita rayakan Pesta Sukacita.”
“Pesta Sukacita dan kami semua bersukacita.” “Takkan ada lagi kesedihan bagi kalian, tak ada lagi penderitaan. Yang ada hanya sukacita!” “Hanya ada sukacita...” “Ada berapa kepala sang Gembala?” “Tiga kepala, kepala dari emas, kepala dari perak, kepala dari kuningan.” “Ada berapa tubuh sang Domba?” “Tiga tubuh, tubuh dari daging, tubuh yang penuh dosa, dan tubuh dari cahaya.” “Bagaimana kalian akan diangkat menjadi domba-dombaku?” “Dengan Sakramen Darah.” “Siapkah kalian untuk menerima Sakramen?” “Ya, kami siap.” “Tutuplah mata kalian dan ulurkan tangan kanan kalian.” Dengan patuh semua menutup mata mereka dengan scarf hijau yang memang disediakan untuk keperluan itu. Miss Carnaby, seperti yang lain-lain, mengulurkan tangan kanannya. Sang Gembala Agung berjalan di antara barisan dombanya. Terdengar jeritan lirih, desahan, entah karena sakit atau karena ecstasy. Dengan tegas Miss Carnaby berkata pada dirinya sendiri, “Ini menghujat Tuhan! Gila! Kegilaan yang berkedok agama seperti ini harus dihancurkan. Aku harus tetap tenang dan mengamati bagaimana reaksi orang-orang. Aku takkan terhanyut... aku takkan...” Sang Gembala Agung sampai di depannya. Miss Carnaby merasa lengannya dipegang, lalu terasa sebuah tusukan jarum yang tajam. Suara sang Gembala Agung terdengar lirih, “Sakramen Darah yang membawa sukacita....” Ia melanjutkan langkahnya. Akhirnya terdengar perintah. “Bukalah mata kalian dan nikmatilah kemurnian jiwa!” Matahari baru saja tenggelam. Miss Carnaby memandang sekelilingnya. Bersama dengan lainnya, ia bergerak pelan keluar dari Gedung Suci. Tiba-tiba ia merasa ringan, bahagia. Kemudian ia duduk di rerumputan yang lembut. Oh, pernahkah ia punya pikiran bahwa dirinya seorang wanita setengah baya yang kesepian dan tak punya teman atau saudara? Hidup ini indah... dan ia merasa dirinya luar biasa! Ia bisa menguasai pikirannya... dan membuatnya memimpikan... Tak ada yang tak dapat dicapainya! Terasa ada arus kuat yang membuatnya merasa riang dan ringan. Ia mengamati orang-orang di sekitarnya—mereka tampak bagaikan patung-patung. “Seperti pohon-pohon yang berjalan...,” kata Miss Carnaby pada dirinya, penuh perenungan. Ia mengangkat tangannya. Gerakan dengan tujuan tertentu—dengan tangannya, Miss Carnaby merasa bisa menguasai dunia. Caesar, Napoleon, Hitler... orang-orang miskin yang malang! Mereka tak tahu apa yang dia, Amy Carnaby, dapat lakukan! Besok pagi dia akan
menciptakan perdamaian dunia, demi persaudaraan umat sedunia. Takkan ada lagi perang... takkan ada lagi kemiskinan... takkan ada lagi penyakit. Ia, Amy Carnaby, akan menciptakan dunia baru. Tetapi tak boleh tergesa-gesa. Waktu adalah tak terbatas.... Menit demi menit berlalu, jam demi jam berlalu! Tungkai Miss Carnaby terasa berat, tetapi pikirannya serasa jernih dan bebas sekali. Dengan kemauannya, pikirannya menjelajahi alam semesta. Ia tidur... bahkan dalam tidurnya ia bermimpi... Ruangan-ruangan mahaluas, seakan tak bertepi... bangunan-bangunan yang megah... dunia baru yang menakjubkan.... Berangsur-angsur dunianya mengerut, Miss Carnaby menguap. Digerakkannya tungkainya yang kaku. Apa yang telah terjadi sejak kemarin? Semalam ia bermimpi... Ada bulan di langit. Dengan cahayanya, Miss Carnaby melihat jarum jam tangannya. Ia kaget sekali ketika melihat jarum jam menunjukkan angka sepuluh kurang seperempat. Matahari, seperti diketahuinya, tenggelam pukul delapan lebih sepuluh. Hanya 1 jam 35 menit yang lalu? Tak mungkin. Namun... “Sangat menakjubkan,” gumam Miss Carnaby pada dirinya sendiri. IV Hercule Poirot berkata, “Anda harus menaati perintah-perintah saya dengan sangat hatihati. Anda mengerti?” “Oh ya, Mr. Poirot. Anda bisa mengandalkan saya.” “Anda telah menyampaikan niat Anda untuk menyumbangkan warisan itu kepada perkumpulan itu?” “Ya, Mr. Poirot. Saya sudah bicara pada sang Guru—maaf, pada Dr. Andersen. Dengan penuh perasaan saya sampaikan padanya, bahwa saya telah mengalami pencerahan yang amat menakjubkan... dan sekarang saya benar-benar bisa percaya. Saya... oh, sungguh, semuanya kelihatan amat wajar. Dr. Andersen mempunyai daya tarik pribadi yang amat kuat.” “Ya, saya mengerti,” kata Hercule Poirot datar. “Sikapnya amat meyakinkan. Orang akan merasa dia sama sekali tak peduli akan uang dan harta. ‘Berikan apa yang bisa kalian berikan,’ katanya sambil tersenyum—senyumnya yang khas dan amat menawan, ‘kalau kalian tak bisa memberi apa pun, tak apa-apa. Kalian tetap menjadi salah satu dombaku.’ ‘Oh, Dr. Andersen,’ kata saya, ‘saya tidak semiskin itu. Saya baru saja menerima warisan yang cukup besar dari salah seorang saudara jauh; dan meskipun uang itu tidak akan menjadi milik saya sebelum urusan hukumnya diselesaikan, ada satu hal yang ingin segera saya lakukan.’ Kemudian saya jelaskan bahwa saya sudah membuat surat wasiat dan semuanya saya wariskan demi persaudaraan umat manusia. Saya jelaskan bahwa saya tak punya kerabat dekat.” “Dan dia menerimanya dengan sikap anggun?” “Dia seakan tak peduli. Dia mengatakan saya akan hidup lama, sampai tua. Dia mengatakan saya tercipta untuk menikmati kehidupan yang panjang, penuh sukacita, dan penuh kepuasan jiwa. Cara bicaranya benar-benar mampu menggerakkan hati saya.” “Kelihatannya memang demikian.” Nada suara Poirot terdengar kaku. Ia melanjutkan, “Anda singgung-singgung masalah kesehatan Anda?” “Ya, Mr. Poirot. Saya katakan saya punya penyakit paru-paru, kadang-kadang kambuh, tetapi pernah dirawat secara sungguh-sungguh beberapa tahun yang lalu di sebuah sanatorium. Saya harap perawatan yang terakhir itu benar-benar menyembuhkan saya.”
“Bagus sekali!” “Ya, tapi saya tidak mengerti mengapa penting bagi saya untuk mengatakannya padahal paru-paru saya amat sehat.” “Yakinlah itu benar-benar penting. Anda menyebut—menyebut kawan Anda?” “Ya. Saya katakan padanya—dan saya katakan itu amat rahasia—bahwa Emmeline, kecuali warisan yang diterimanya dari suaminya, akan menerima warisan yang lebih besar lagi, dari bibinya yang amat menyayanginya.” “Eh bien, itu membuat Mrs. Clegg aman untuk sementara waktu!” “Oh, Mr. Poirot, Anda benar-benar yakin ada yang salah?” “Itu yang akan saya selidiki. Sudahkah Anda bertemu dengan Mr. Cole di Sanctuary?” “Ada seseorang bernama Mr. Cole, ketika terakhir kalinya saya ke sana. Seorang pria yang sangat aneh. Dia suka mengenakan celana pendek warna hijau rumput dan tak mau makan yang lain kecuali kubis. Dia pengikut yang fanatik.” “Eh bien, semua berjalan baik... Anda telah melakukan tugas Anda dengan memuaskan... sekarang kita siap menyambut Perayaan Musim Gugur.” V “Miss Carnaby... tunggu.” Mr. Cole menggamit lengan Miss Carnaby, matanya cerah sekali, seperti orang demam. “Saya mendapat penampakan... penampakan yang sangat menakjubkan. Saya harus menceritakannya pada Anda.” Miss Carnaby mendesah. Ia agak takut pada Mr. Cole dengan penampakan-penampakannya. Ada saat-saat ketika ia yakin Mr. Cole benar-benar gila. Penampakan Mr. Cole kadang-kadang membuatnya jengah. Itu mengingatkannya pada barisbaris kalimat yang ditulis secara terus terang dalam buku itu... yang diterjemahkan dari bahasa Jerman, yaitu tentang pikiran bawah sadar. Buku itu telah dibacanya sebelum ia berangkat ke Devon. Mr. Cole, dengan mata berbinar-binar dan bibir bergetar, mulai bicara dengan penuh semangat. “Saya sedang bermeditasi... merenungkan Pemenuhan Kehidupan, tentang Sukacita Paling Besar dalam Kesatuan... dan kemudian mata saya terbuka dan saya melihat....” Miss Carnaby menguatkan hatinya dan berharap apa yang dilihat Mr. Cole bukanlah seperti apa yang dilihatnya waktu itu... yang kelihatannya adalah Upacara Perkawinan di tanah Sumeria Kuno, antara seorang dewa dan seorang dewi. “Saya melihat”—Mr. Cole mencondongkan badannya ke dekat wanita itu, napasnya terengahengah, matanya tampak (ya, memang benar) agak gila—“Nabi Elia turun dari surga naik kereta perang.” Miss Carnaby mendesah lega. Nabi Elia lebih bisa diterima. Ya, ia bisa menerimanya. “Di bawah,” lanjut Mr. Cole, “ada altar Dewa Baal—jumlahnya ratusan. Ada suara berseru pada saya, ‘Lihat, tulis dan berilah kesaksian akan apa yang akan kaulihat....’” Kata-katanya terhenti, dan Miss Carnaby menggumam sopan, “Ya?”
“Di atas altar-altar itu para kurban dibaringkan, terikat, tak berdaya, menunggu pisau penyembelih. Para perawan, gadis-gadis muda—ratusan jumlahnya—muda dan jelita, telanjang....” Mr. Cole membasahi bibirnya, wajah Miss Carnaby memerah. “Kemudian turunlah burung-burung pemakan bangkai, burung-burung peliharaan Odin, mereka terbang dari Utara. Mereka bertemu dengan burung-burung milik Elia—bersama-sama mereka terbang berputar-putar di langit—mereka menukik, mematuk lepas mata para kurban— terdengar jerit tangis dan kertak gigi—dan suara itu berseru, ‘Tahanlah derita ini— karena hari ini Jehova dan Odin akan menandatangani perjanjian persaudaraan dengan darah!’ Kemudian para pendeta mendekati para kurban, mereka mengangkat pisau penyembelih—mereka menyiksa para kurban itu....” Dengan susah payah Miss Carnaby pergi menjauhi pria aneh itu, yang saat itu menjilatjilat bibirnya sambil tersenyum kejam. “Maafkan saya...” Dengan bergegas ia berjalan ke arah Lipscomb, lelaki yang tinggal di Lodge—pondok gerbang—dan menjaga gerbang masuk ke Green Hills. Untunglah Lipscomb lewat di dekat mereka tadi. “Oh,” kata Miss Carnaby, “apakah—maaf—kebetulan Anda menemukan bros saya? Saya pasti telah menjatuhkannya tanpa sengaja... di sekitar sini.” Lipscomb, yang kebal terhadap segala keindahan dan kedamaian suasana di Green Hills, hanya menggeram, mengatakan tak menemukan sebuah bros. Bukan tugasnya mencari-cari barang hilang. Ia mencoba menyingkirkan Miss Carnaby, tetapi wanita itu terus mengikutinya sambil mengomel karena brosnya hilang. Barulah setelah mereka cukup jauh dari Mr. Cole, Amy Carnaby berani menjauh dari Lipscomb. Tepat saat itu, sang Guru keluar dari Gedung Suci dan, merasa tenang melihat senyum Sang Guru, Miss Carnaby mendekat dan mengungkapkan apa yang dipikirkannya pada pria itu. Apakah sang Guru menganggap Mr. Cole agak... agak...? Sang Guru meletakkan tangannya ke bahu wanita itu. “Kau harus buang rasa takutmu,” katanya. “Cinta sejati mengalahkan rasa takut.” “Tapi menurut saya Mr. Cole memang gila. Penampakan-penampakan yang dilihatnya...” “Memang,” kata sang Guru. “Yang dilihatnya adalah ketidaksempurnaan... tersaput nafsu duniawinya. Tapi akan datang saatnya dia melihat dengan rohnya—muka dengan muka.” Miss Carnaby terperangah. Tentu saja, jika begitu cara memandangnya... Ia mencoba melancarkan protes. “Tapi,” katanya, “apakah Lipscomb harus bersikap kasar dan tidak sopan seperti itu?” Sekali lagi sang Guru tersenyum penuh pengertian. “Lipscomb,” katanya, “adalah anjing penjaga yang setia. Dia kasar—jiwanya primitif—tapi setia, sangat setia.” Sang Guru melanjutkan langkahnya. Miss Carnaby melihat sang Guru mendekati Mr. Cole, berhenti, dan meletakkan tangannya di bahu Mr. Cole. Miss Carnaby berharap, semoga pengaruh sang Guru dapat mengubah penampakan-penampakan yang akan dilihat Mr. Cole. Hanya tinggal satu minggu sebelum Perayaan Musim Gugur.
VI Siang hari sebelum Perayaan Musim Gugur, Miss Carnaby menemui Hercule Poirot di sebuah warung teh, di sebuah kota kecil yang sepi, Newton Woodbury. Wajah Miss Carnaby memerah dan napasnya semakin terengah-engah. Ia duduk sambil menghirup tehnya sedikit-sedikit, sementara jari-jarinya meremas-remas sebuah biskuit. Poirot mengajukan beberapa pertanyaan, semuanya dijawab wanita itu dengan satu kata. Akhirnya Poirot berkata, “Berapa yang akan hadir dalam Perayaan Musim Gugur?” “Sekitar 120. Tentu saja Emmeline akan hadir, dan Mr. Cole—sungguh dia semakin aneh akhir-akhir ini. Dia semakin sering mendapat penampakan. Beberapa di antaranya diceritakannya pada saya. Saya harap, oh, saya sungguh berharap dia tidak gila. Akan ada banyak anggota baru... hampir dua puluh orang.” “Bagus. Anda tahu apa yang harus Anda lakukan?” Sejenak suasana hening mencekam, kemudian Miss Carnaby berkata dengan suara terdengar aneh, “Saya mengerti apa yang Anda katakan, M. Poirot.” “Tres bien!” Kemudian Amy Carnaby berkata dengan suara jernih dan jelas, “Tapi saya takkan melakukannya.” Hercule Poirot terpana menatapnya. Miss Carnaby bangkit berdiri. Wanita itu berkata dengan cepat. Suaranya terdengar histeris. “Anda mengirim saya ke sini untuk memata-matai Dr. Andersen. Anda mencurigainya. Tapi dia pria yang amat mengagumkan... guru yang agung. Saya percaya padanya, hati dan pikiran! Dan saya tak sudi melakukan pekerjaan mata-mata lagi, M. Poirot! Saya sudah menjadi satu domba milik sang Gembala. Sang Guru menyampaikan pesan baru bagi dunia ini dan sejak saat ini saya menjadi miliknya—jiwa dan raga saya. Dan saya akan membayar sendiri teh yang saya minum.” Dengan akhir yang merupakan antiklimaks itu, Miss Carnaby melemparkan beberapa keping uang logam ke atas meja, lalu melangkah cepat keluar. “Nom d’un nom d’un nom,” gumam Hercule Poirot. Pelayan harus mengatakan padanya dua kali sebelum Hercule Poirot menyadari bahwa gadis itu menyodorkan bon. Pandangannya bertatapan dengan seorang pria di seberang meja, yang sejak tadi mengawasinya. Wajah Hercule Poirot memerah. Ia membayar, lalu berdiri dan cepat-cepat keluar. Ia berpikir keras. VII Sekali lagi domba-domba dikumpulkan di Gedung Suci. Ritus tanya-jawab dinyanyikan. “Kalian siap menerima Sakramen?” “Ya, kami siap.” “Tutup mata kalian dan ulurkan lengan kanan kalian.” Sang Gembala Agung, tampak luar biasa dalam jubah hijaunya, berjalan di antara barisan dombanya yang sudah menanti. Pria yang suka makan kubis dan selalu mendapat penampakan itu berdiri di samping Miss Carnaby. Ketika lengannya disuntik, ia menjerit kesakitan namun penuh nikmat.
Sang Gembala Agung berdiri dekat Miss Carnaby. Tangannya menyentuh lengan wanita itu. “Jangan, jangan lakukan. Jangan....” Kata-kata yang tak terduga... tak disangka. Sumpah serapah, teriakan penuh amarah. Kain-kain hijau dilepaskan dari mata... berpuluh pasang mata melihat pemandangan yang amat mengejutkan mereka... sang Gembala Agung berkutat, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Mr. Cole dan salah seorang pengikut lainnya. Dengan cepat dan dengan nada profesional, Mr. Cole sedang berkata, “...dan saya membawa surat perintah penangkapan Anda. Saya peringatkan Anda bahwa apa pun yang Anda katakan dapat digunakan sebagai bukti di pengadilan.” Kemudian muncul beberapa sosok pria di pintu Gedung Suci... sosok-sosok berpakaian seragam biru. Seseorang berteriak, “Polisi! Mereka menangkap sang Guru. Mereka menangkap sang Guru....” Semua kaget, terpana... ngeri.... Bagi mereka, sang Gembala Agung adalah martir; harus menderita, seperti halnya semua guru harus menderita karena didakwa, dihina, dan dihukum oleh manusia tolol yang tidak mengenal... Sementara itu Inspektur Cole dengan cermat menyimpan jarum suntik yang terjatuh dari tangan sang Gembala Agung. VIII “Mitraku yang pemberani!” Poirot menyalami tangan Miss Carnaby dengan hangat dan memperkenalkannya pada Inspektur Japp. “Pekerjaan yang amat bagus, Miss Carnaby,” puji Inspektur Japp. “Kami takkan berhasil tanpa Anda, sungguh.” “Oh, oh!” Miss Carnaby merasa tersanjung. “Anda sungguh baik, memuji saya seperti itu. Dan, maafkan saya, saya amat menikmati semua ini. Kehausan akan petualangan, dan saya senang memainkan peran saya. Kadang-kadang saya terpengaruh juga. Saya benar-benar merasa sebagai salah satu di antara wanita-wanita tolol itu.” “Itu sebabnya Anda berhasil dengan gemilang,” kata Japp. “Anda murid sejati. Tak ada yang dapat menyeret dia kecuali salah seorang muridnya sendiri! Penipu yang amat pandai.” Miss Carnaby berpaling pada Poirot. “Waktu di kedai teh itu... oh, saya amat ngeri. Saya tak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya harus melakukannya saat itu juga, tanpa berpikir-pikir.” “Anda luar biasa,” puji Poirot dengan hangat. “Sejenak saya mengira, entah Anda atau saya yang telah kehilangan akal sehat. Semenit lamanya saya mengira maksud Anda memang begitu.” “Saya kaget sekali,” sahut Miss Carnaby. “Tepat ketika kita membicarakan rencana rahasia kita, saya melihat bayangan Lipscomb—penjaga Gerbang Sanctuary—di gelas saya, dia duduk di belakang saya. Sampai saat ini saya tak tahu, apakah itu suatu kebetulan ataukah dia memang membuntuti saya. Seperti yang saya katakan tadi, saya harus melakukan yang terbaik saat itu juga, tanpa berpikir panjang, dan berharap semoga Anda mengerti.”
Poirot tersenyum. “Saya mengerti. Hanya ada satu orang yang duduk di dekat kita, cukup dekat dan mungkin dapat mendengar apa yang kita bicarakan. Begitu saya keluar, saya segera mengatur agar dia dibuntuti. Ketika dia langsung kembali ke Sanctuary, saya jadi yakin dapat mengandalkan Anda dan Anda takkan mengkhianati saya... tapi saya pun jadi cemas, karena bahayanya bagi Anda semakin besar.” “Benar... benarkah memang ada bahaya? Apa yang ditemukan dalam jarum suntik itu?” Japp berkata, “Kau atau aku yang menjelaskannya?” Poirot berkata dengan sungguh-sungguh, “Mademoiselle, Dr. Andersen telah membuat rancangan yang sempurna untuk melakukan eksploitasi dan pembunuhan—pembunuhan ilmiah. Sebagian besar hidupnya dihabiskannya di laboratorium penyelidikan bakteri. Dengan nama lain, dia memiliki sebuah laboratorium di Sheffield. Di sana dia membiakkan bermacammacam bakteri. Ketika perayaan berlangsung, dia menyuntikkan—dalam dosis kecil namun cukup berbahaya—Cannabis Indica, atau yang lebih dikenal sebagai hashish. Itu akan membuat para pengikutnya mengalami delusi, merasa hebat, dan penuh sukacita. Suntikan maut itulah yang membuat para pengikutnya tergantung padanya. Itulah Sukacita Spiritual yang dijanjikannya.” “Luar biasa,” kata Miss Carnaby. “Sungguh, itu sensasi yang luar biasa.” Hercule Poirot mengangguk. “Modalnya sudah ada—kepribadian yang penuh kharisma, kemampuan menciptakan histeria massa dan reaksi yang ditimbulkan obat bius itu. Tapi dia masih punya rencana yang lebih jauh. “Wanita-wanita yang kesepian, yang bersyukur karena telah ditolongnya, akan membuat surat wasiat dan mewariskan harta mereka bagi perkumpulan itu. Satu per satu mereka meninggal. Mereka meninggal di rumah mereka sendiri dan kelihatannya karena sebab-sebab alamiah. Saya akan berusaha menjelaskannya pada Anda, secara sederhana. Membiakkan bakteri tertentu dan membuatnya menjadi berbahaya memang dimungkinkan. Misalnya bacillus Coli Communis, penyebab ulcerative colitis. Baksil tifus pun bisa disuntikkan ke dalam darah, begitu pula Pneumococcus. Lalu masih ada apa yang disebut Old Tuberculin, yang tidak berbahaya bagi orang yang sehat tapi yang dapat mengaktifkan kembali baksil TBC yang sudah lemah. Anda mengakui kecerdikannya sekarang? Kematian akan terjadi di tempat yang berbeda-beda, dengan dokter yang berbeda-beda sebagai saksi, dan tanpa risiko akan menimbulkan kecurigaan. Dia juga telah berhasil menemukan bahan yang mampu menunda tetapi sekaligus meningkatkan kekuatan baksil yang telah dipilih.” “Dia benar-benar setan jahat!” kata Inspektur Japp. Poirot melanjutkan, “Mematuhi perintah saya, Anda mengatakan padanya bahwa Anda pernah menderita TBC. Ada bibit Old Tuberculin dalam jarum suntiknya ketika Cole meringkusnya. Karena Anda sebenarnya sehat, itu takkan berbahaya bagi Anda, dan itu sebabnya saya tekankan agar Anda jelas-jelas mengatakan pernah menderita TBC. Sampai saat ini saya masih ngeri, kalau-kalau dia memilih kuman lain. Tapi saya menghormati keberanian Anda dan saya terpaksa membiarkan Anda menghadapi risiko itu.” “Oh, itu tak apa-apa,” kata Miss Carnaby dengan riang. “Saya tak takut mengambil risiko. Tapi kalau menghadapi sapi mengamuk di padang rumput—atau yang semacam itu—saya bisa takut. Tapi, apakah cukup bukti yang terkumpul untuk menyeret makhluk jahat itu?” Japp menyeringai. “Banyak sekali,” katanya. “Kami telah menyegel laboratoriumnya, menyita kuman-kuman yang dibiakkannya, dan seluruh rencananya sudah ketahuan.”
Poirot berkata, “Mungkin saja, saya pikir, dia telah banyak sekali melakukan pembunuhan. Mungkin bukan karena ibunya Yahudi dia dipecat dari sebuah universitas di Jerman. Keterangan itu digunakannya untuk menjelaskan alasannya pindah ke sini dan untuk menarik simpati. Sebenarnya, dia murni berdarah Arya.” Miss Carnaby mendesah. “Qu’est ce qu’il y a?” tanya Poirot. “Saya sedang mengingat-ingat,” kata Miss Carnaby, “mimpi indah yang saya alami pada Perayaan Pertama—hashish, saya kira. Saya mengatur dunia ini sebaik-baiknya, seindahindahnya! Tak ada perang, tak ada kemiskinan, tak ada penyakit, tak ada yang jelek....” “Mimpi yang sangat indah,” kata Japp dengan iri. Miss Carnaby terlompat berdiri. Katanya, “Saya harus pulang. Emily pasti sangat cemas. Dan Augustus, saya dengar dia amat merindukan saya.” Hercule Poirot berkata sambil tersenyum, “Barangkali dia khawatir, mungkin—karena seperti dirinya—Anda akan bersedia ‘mati demi Hercule Poirot’!”
11
APEL-APEL HESPERIDES I SAMBIL merenung Hercule Poirot memandangi wajah pria yang duduk di belakang meja besar yang terbuat dari kayu mahoni. Ia mencatat kesannya dalam hati: alis tebal, mulut kejam, garis dagu yang kasar, dan mata yang tajam menusuk. Dengan memandang pria itu, Hercule Poirot bisa memahami mengapa Emery Power telah menjadi seorang tokoh bisnis terkemuka. Matanya berpindah memandangi sepasang telapak tangan yang halus, jari-jari panjang yang bagus bentuknya, yang terletak di meja. Hercule Poirot memahami, mengapa Emery Power terkenal sebagai kolektor seni yang disegani. Di kedua sisi Lautan Atlantik namanya sebagai pencinta seni amat termasyhur. Cintanya pada karya seni berjalan seiring dengan kegemarannya akan sejarah. Baginya, belumlah cukup jika sesuatu benda disebut indah... baginya, benda seni yang indah juga harus mempunyai sejarah yang menarik. Emery Power sedang bicara. Suaranya tenang... tidak keras namun jelas; suara yang amat efektif dan menunjukkan besarnya pengaruh pemiliknya. “Setahu saya, Anda tak banyak lagi menangani kasus-kasus kejahatan akhir-akhir ini. Tapi saya rasa Anda akan tertarik pada yang satu ini.” “Apakah ada hubungannya dengan suatu kejadian di masa lalu, kejadian yang luar biasa?” Emery Power berkata, “Bagi saya, ya.” Poirot tetap menunjukkan sikap bertanya, kepalanya agak ditelengkan ke samping. Ia mirip burung murai yang sedang bermeditasi.
Yang satunya melanjutkan, “Masalahnya tentang penemuan sebuah karya seni. Tepatnya, sebuah goblet—piala untuk minum anggur—berlapis emas, dari Zaman Renaissance. Menurut catatan, piala itu digunakan Paus Alexander VI—Roderigo Borgia. Kadang-kadang dia menyajikan anggur dengan piala itu, untuk tamu-tamunya yang terpilih. Dan, M. Poirot, tamu yang minum dari piala itu biasanya lalu mati.” “Sejarah yang menarik,” gumam Poirot. “Sepanjang sejarahnya, piala itu memang selalu dikaitkan dengan kekerasan. Lebih dari sekali dicuri. Orang tak segan membunuh untuk memperolehnya. Jejak yang penuh darah terus bertambah panjang, dari abad ke abad.” “Demi nilai seninya atau demi alasan lain?” “Tentu dibuat seekor dibuat
saja oleh ular dari
nilainya sebagai benda seni luar biasa. Ukirannya halus sekali—kata orang Benvenuto Cellini. Desain piala itu menggambarkan sebatang pohon, dililit dengan tubuh bertatahkan permata, dan apel-apel yang bergantungan di pohon batu zamrud yang sangat indah.”
Poirot bergumam, suaranya jelas sekali menunjukkan kini ia amat tertarik, “Apel-apel?” “Zamrud-zamrud itu amat indah, sangat langka, begitu pula permata ruby yang menghiasi tubuh si ular. Tetapi, tentu saja yang paling penting adalah nilai historisnya. Pada tahun 1929, piala itu dilelang oleh Marchese di San Veratrino. Para kolektor berlombalomba menaikkan harga tawaran mereka, dan akhirnya saya berhasil memperolehnya dengan harga—sesuai dengan nilai tukar di masa itu—30.000 poundsterling.” Alis Poirot terangkat. Ia bergumam, “Luar biasa! Angka yang luar biasa! Marchese di San Veratrino sungguh sangat beruntung.” Emery Power berkata, “Jika benar-benar menginginkan sesuatu, saya bersedia membayarnya, M. Poirot.” Hercule Poirot berkata dengan halus, “Anda pasti sudah pernah mendengar pepatah Spanyol, ’Ambil yang kauinginkan—dan bayarlah, kata Tuhan.’” Dahi Emery Power berkerut sebentar—sekilas matanya memancarkan kemarahan. Ia berkata dengan suara dingin, “Rupanya Anda filsuf amatir, M. Poirot.” “Usia saya, Monsieur, membuat saya banyak mawas diri.” “Saya sependapat. Tetapi bukan renungan atau mawas diri yang akan mengembalikan piala saya itu pada saya.” “Mengapa tidak?” “Menurut saya, untuk ini dibutuhkan usaha dan tindakan nyata.” Hercule Poirot mengangguk dengan tenang. “Banyak orang melakukan kesalahan yang sama. Tapi maafkan saya, Mr. Power, kita telah menyimpang dari pokok pembicaraan semula. Anda mengatakan telah membeli piala itu dari Marchese di San Veratrino?” “Tepat sekali. Nah, piala itu dicuri sebelum benar-benar sampai ke tangan saya.” “Bagaimana terjadinya?” “Istana Marchese dirampok pada malam setelah pelelangan itu, delapan atau sepuluh benda seni yang amat mahal dicuri, termasuk piala itu.” “Langkah apa yang sudah dilakukan sejak itu?”
Power mengangkat bahu. “Tentu saja urusannya ditangani polisi. Perampokan itu dilakukan komplotan pencuri internasional yang sudah terkenal. Dua di antara mereka, lelaki Prancis bernama Dublay dan lelaki Italia bernama Riccovetti, berhasil ditangkap dan diadili—beberapa dari barang curian itu ditemukan ada pada mereka.” “Tapi piala Borgia itu tak ada?” “Tapi piala Borgia itu tak ada. Sejauh penyelidikan polisi, ada tiga lelaki yang terlibat dalam perampokan itu—dua yang sudah saya sebutkan tadi, dan seorang lelaki Irlandia bernama Patrick Casey. Yang terakhir ini pencuri ulung. Menurut kabar burung, dialah yang sesungguhnya telah mencuri barang-barang itu. Dublay-lah otak komplotan mereka yang merencanakan pencurian itu; Riccovetti mengemudikan mobil dan menunggu di balik dinding pagar untuk menerima barang-barang yang dicuri.” “Dan ke mana barang-barang itu disembunyikan? Apakah kemudian dibagi menjadi tiga?” “Mungkin. Di lain pihak, barang-barang yang ditemukan kembali adalah yang nilainya tidak seberapa. Kemungkinan besar, barang-barang yang amat berharga segera diselundupkan ke luar negeri.” “Bagaimana dengan si orang ketiga, Casey? Apakah dia tidak pernah dihadapkan ke pengadilan?” “Tidak dalam pengertian yang Anda maksud. Dia tidak muda lagi. Otot-ototnya sudah lebih kaku dari sebelumnya. Dua minggu setelah peristiwa itu, dia jatuh dari lantai lima sebuah bangunan dan mati seketika.” “Di mana terjadinya?” “Di Paris. Dia berusaha merampok rumah seorang bankir kaya, Duvauglier.” “Dan sejak itu piala Borgia belum pernah muncul lagi?” “Ya, belum pernah.” “Tak pernah dilelang atau dijual?” “Saya yakin tidak pernah. Bukan hanya polisi, tetapi juga detektif-detektif swasta sudah dikerahkan untuk mencarinya.” “Bagaimana dengan uang yang sudah Anda bayarkan?” “Marchese di San Veratrino seorang bangsawan yang amat jujur. Ia berniat mengembalikan uang saya, karena piala itu dicuri dari rumahnya.” “Tapi Anda menolaknya?” “Ya.” “Mengapa?” “Sebab saya memilih menangani masalah ini dengan cara saya sendiri.” “Maksud Anda, kalau Anda menerima kembali uang Anda, piala itu—jika ditemukan—akan menjadi miliknya? Dan, dalam kondisinya yang sekarang, secara hukum itu milik Anda, benar?” “Tepat sekali.”
Poirot bertanya, “Apa sebenarnya yang mendasari sikap Anda itu?” Emery Power berkata sambil tersenyum, “Saya lihat Anda bisa mengerti. Nah, M. Poirot, masalahnya amat sederhana. Saya rasa saya tahu siapa yang menyimpan piala itu sekarang.” “Sangat menarik. Dan... siapakah dia?” “Sir Reuben Rosenthal. Dia bukan saja kolektor yang sejajar dengan saya, namun juga musuh pribadi. Kami selalu bersaing dalam berbagai urusan bisnis kami—dan singkatnya, saya selalu keluar sebagai pemenang. Persaingan kami berlanjut dengan memperebutkan piala Borgia. Kami sama-sama berkeras memilikinya. Kehormatan dan harga diri kami taruhannya. Wakil-wakil kami bersaing ketat dalam menawar harga tertinggi di pelelangan itu.” “Dan tawaran terakhir wakil Anda berhasil memenangkan lelang itu?” “Tidak persis demikian. Saya telah melakukan langkah pengamanan dengan menyewa seorang agen lain—yang hadir di situ sebagai pedagang benda seni dari Paris. Tak seorang pun dari kami akan mengalah pada yang lain, tetapi dengan membiarkan pihak ketiga membeli piala itu... dengan kemungkinan kemudian bisa melakukan transaksi dengannya secara diam-diam—itu masalah lain.” “Tepatnya, une petite déception—langkah yang amat cerdik.” “Tepat sekali.” “Dan berhasil dengan sempurna—dan segera sesudah itu Sir Reuben mengetahui bagaimana dia ditipu?” Power tersenyum. Senyum yang membenarkan dugaan Poirot. Poirot berkata, “Kini saya mengerti posisinya. Anda yakin Sir Reuben, yang tidak sudi dikalahkan, dengan sengaja telah mengatur pencurian itu?” Emery Power mengangkat tangannya. “Oh, tidak, tidak! Tidak akan sekasar itu. Penyelesaiannya begini—tak lama setelah peristiwa itu, Sir Reuben akan membeli sebuah piala anggur dari Zaman Renaissance, provenance dan sesuatu yang tidak khusus.” “Yang keterangan mengenainya kemudian akan diedarkan polisi?” “Piala itu sendiri takkan dipamerkan secara terbuka.” “Menurut Anda, apakah cukup bagi Sir Reuben untuk yakin bahwa dia memilikinya?” “Ya. Lebih dari itu, jika saya terima tawaran Marchese di San Veratrino—Sir Reuben akan bisa melakukan transaksi jual-beli secara rahasia dengannya, dan dengan demikian secara hukum piala itu akan sah menjadi miliknya.” Ia berhenti semenit, kemudian berkata, “Dengan mempertahankan kepemilikan yang sah secara hukum, masih terbuka kesempatan bagi saya untuk memperoleh piala anggur milik saya itu.” “Maksud Anda,” tanya Poirot terus terang, “Anda bisa mengatur agar benda itu dicuri dari Sir Reuben.” “Bukan dicuri, M Poirot. Saya hanya mengambil kembali apa yang sebenarnya sah menjadi milik saya.”
“Tapi selama ini Anda tidak berhasil?” “Karena alasan-alasan yang amat bagus, Rosenthal tak pernah menyimpan piala anggur itu!” “Bagaimana Anda tahu?” “Baru-baru ini kami bergabung dalam usaha pengilangan minyak. Kepentingan Rosenthal dan kepentingan saya dapat digabungkan. Kini kami mitra bisnis, bukan musuh lagi. Dengan terus terang saya katakan padanya kecurigaan saya, dan dia menjawab benda itu tak pernah jatuh ke tangannya.” “Dan Anda mempercayainya?” “Ya.” Poirot berkata sambil merenung, “Dan selama hampir sepuluh tahun, seperti kata pepatah negeri ini, Anda telah menggonggongi pohon yang salah?” Usahawan itu berkata pahit, “Ya, memang itulah yang saya lakukan selama ini!” “Lalu sekarang... Anda harus mulai lagi dari awal?” Yang ditanya mengangguk. “Dalam hal inikah tenaga saya dibutuhkan? Sayalah anjing yang Anda suruh mengendus jejak yang sudah dingin... dingin sekali.” Emery Power berkata datar, “Kalau masalahnya tidak serumit ini, saya tak perlu minta bantuan Anda. Tapi, jika Anda menganggap hal ini tidak mungkin...” Ia telah memilih kata yang tepat. Hercule Poirot langsung menegakkan badan. Ia berkata dengan suara dingin, “Saya tak mengenal kata tidak mungkin, Monsieur! Saya hanya bertanya pada diri saya sendiri—apakah kasus ini cukup menarik minat saya?” Emery Power tersenyum lagi. Katanya, “Ada satu hal yang pasti membuat Anda tertarik— Anda boleh menentukan upah yang Anda inginkan.” Pria kecil itu memandang si lelaki besar dengan pandangan tajam. Ia berkata dengan halus, “Kalau begitu, Anda sungguh-sungguh menginginkan karya seni itu? Saya rasa tidak!” Emery Power menanggapi, “Sebaiknya saya katakan begini... seperti Anda, saya tak suka dikalahkan.” Hercule Poirot menundukkan kepala. Katanya, “Ya... jika seperti itu Anda mengatakannya... saya bisa mengerti....” II Inspektur Wagstaffe tertarik. “Piala anggur Veratrino? Ya, saya ingat peristiwa itu. Saya bertugas menangani kasus itu, di sini. Saya bisa bicara sedikit bahasa Italia, dan saya dikirim ke sana, bicarabicara dengan Macaroni—orang-orang Italia. Sejak itu benda itu tak pernah muncul lagi. Aneh sekali.” “Bagaimana penjelasannya menurut Anda? Transaksi pribadi?” Wagstaffe menggeleng.
“Saya tak yakin. Tentu saja itu mungkin... kemungkinan yang amat kecil.... Tidak, penjelasan saya jauh lebih sederhana. Benda itu disimpan di sesuatu tempat, dan satusatunya orang yang tahu di mana barang itu disembunyikan telah mati.” “Maksud Anda... Casey?” “Ya. Mungkin dia menyimpannya di sesuatu tempat di Italia, atau mungkin dia berhasil menyelundupkannya ke luar negeri. Tapi dia telah menyembunyikannya, dan benda itu masih tersimpan di sana.” Hercule Poirot mendesah. “Teori yang amat romantis. Mutiara yang disembunyikan dalam gips—teori apa itu—Patung Dada Napoleon, bukan? Tapi dalam kasus ini bukan permata—melainkan sebuah benda yang cukup besar, piala anggur yang terbuat dari emas. Tak mudah disembunyikan. Ya kan?” Wagstaffe berkata samar, “Oh, entahlah. Saya rasa bisa saja. Di bawah lantai papan— sesuatu yang seperti itu.” “Apakah Casey punya rumah?” “Ya... di Liverpool.” Ia tersenyum. “Tak ada di sana. Kami sudah memeriksanya dengan teliti.” “Bagaimana dengan keluarganya?” “Istrinya wanita baik-baik... sakit TBC. Sangat khawatir karena kehidupan suaminya. Dia sangat saleh... seorang Katolik sejati... tak berniat meninggalkan suaminya. Dia meninggal dua tahun yang lalu. Anak perempuan mereka—yang juga amat saleh seperti ibunya—menjadi biarawati. Anak laki-lakinya lain sama sekali—lebih mirip ayahnya. Terakhir kalinya saya dengar dia ada di Amerika.” Hercule Poirot mencatat di notes kecilnya. Amerika. Katanya, “Apakah ada kemungkinan anak laki-laki Casey tahu tempat persembunyian itu?” “Rasanya tidak. Kalau ya, dia pasti sudah terkurung di balik terali besi.” “Mungkin piala itu telah dilebur.” “Mungkin saja. Saya harus mengatakan itu mungkin. Tapi entahlah, nilainya amat tinggi bagi para kolektor... dan ada banyak bisnis yang aneh-aneh yang dijalankan para kolektor... Anda akan terheran-heran kalau tahu! Kadang-kadang,” kata Wagstaffe dengan kesal, “saya rasa para kolektor itu sama sekali tak bermoral!” “Ah! Apakah Anda akan kaget bila mendengar Sir Reuben Rosenthal, misalnya, ternyata terlibat dalam apa yang Anda sebut ‘bisnis yang aneh-aneh’?” Wagstaffe menyeringai. “Saya tetap akan mencurigainya. Tidak biasanya dia bersikap hati-hati jika masalahnya menyangkut karya-karya seni.” “Bagaimana dengan anggota komplotan yang lain?” “Riccovetti dan Dublay mendapat hukuman yang berat. Mungkin sekarang mereka sudah bisa keluar.” “Dublay orang Prancis. Ya, kan?” “Ya, dia otak komplotan itu.” “Apakah masih ada anggota yang lain?”
“Ada seorang perempuan—Red Kate julukannya. Bekerja sebagai pelayan keluarga-keluarga kaya—menyelidiki di mana barang-barang berharga disimpan. Setelah komplotan itu bubar, setahu saya dia pergi ke Australia.” “Yang lain?” “Anak muda bernama Yougouian. Diduga dia terlibat sebagai penadah. Kantor pusatnya di Istambul, tapi dia punya toko di Paris. Tak ada bukti yang bisa menyeretnya ke pengadilan. Tapi dia memang licin.” Poirot mendesah. Ia melihat catatannya. Di situ tertulis: Amerika, Australia, Italia, Prancis, Turki.... Ia bergumam, “Aku harus melingkarkan ikat pinggang ke sekeliling bumi ini....” “Maaf?” tanya Inspektur Wagstaffe. “Saya sedang mengamati,” kata Hercule Poirot, “rasanya saya harus berkeliling dunia.” III Hercule Poirot mempunyai kebiasaan mendiskusikan kasus-kasus yang ditanganinya dengan pelayannya yang setia, George. Artinya, Hercule Poirot akan memulai percakapan dengan menyinggung-nyinggung sebuah kasus, sebuah pengamatan, dan George akan menanggapinya dengan bijaksana—kebijakan yang diperolehnya karena pengalaman menjadi pelayan seorang gentleman selama bertahun-tahun. “Jika kau dihadapkan pada... George,” kata Poirot, “pentingnya melakukan penyelidikan di lima bagian bumi yang berbeda-beda, bagaimana kau akan melakukannya?” “Begini, Tuan, lewat udara sangat cepat, walaupun ada yang bilang itu membuat perut sakit. Saya sendiri tidak tahu.” “Ada orang yang akan bertanya,” kata Hercule Poirot, “apa, ya, yang akan dilakukan Hercules?” “Maksud Anda si tukang sepeda, Tuan?” “Atau,” lanjut Hercule Poirot, “lebih tepatnya bertanya, apa yang telah dilakukannya? Dan jawabannya, George, dia kalang-kabut pergi ke sana kemari. Tapi akhirnya dia terpaksa mencari informasi—seperti kata cerita—dari Prometheus—dan yang lainnya dari Nereus.” “Oh ya, Tuan?” kata George. “Saya belum pernah mendengar nama-nama seperti itu. Apakah mereka pemilik biro perjalanan, Tuan?” Hercule Poirot yang rupanya senang mendengar suaranya sendiri, melanjutkan, “Klienku, Emery Power, hanya mengerti satu hal—tindakan! Tapi tidak ada gunanya mengeluarkan energi dengan tindakan-tindakan yang tidak perlu. Ada hukum bagus dalam kehidupan ini, George, jangan pernah lakukan yang orang lain bisa melakukannya untukmu.” “Lebih-lebih,” tambah Hercule Poirot, sambil bangkit berdiri dan melangkah ke rak buku, “jika uang tak jadi masalah!” Dari rak buku ia mengambil file berlabel huruf D dan membuka entri “Detektif Swasta— Terpercaya”. “Prometheus modern,” gumamnya. “Tolonglah, George, salin ini dengan rapi—nama-nama dan alamat-alamat ini. Messrs. Hankerton, New York. Messrs. Laden and Bosher, Sydney. Signor Giovanni Mezzi, Roma. M. Nahum, Istambul. Messrs. Roget et Franconard, Paris.”
Ia berhenti ketika George selesai menulis itu semua. Kemudian Hercule Poirot berkata, “Sekarang, tolong lihatkan jadwal kereta api ke Liverpool.” “Ya, Tuan. Apakah Anda akan pergi ke Liverpool, Tuan?” “Rasanya aku harus ke sana. Mungkin juga, George, aku akan terpaksa pergi lebih jauh lagi. Tapi itu belum pasti.” IV Tiga bulan kemudian Hercule Poirot berdiri di ujung karang yang menjorok ke Lautan Atlantik. Burung-burung camar beterbangan, sesekali menukik menyambar ikan. Jeritan mereka terdengar melankolis. Udara terasa lembut dan lembap. Hercule Poirot dilingkupi perasaan, yang tidak aneh bagi orang yang baru pertama kali datang di Inishgowlen, bahwa ia telah sampai ke ujung dunia. Sepanjang hidupnya, sekali pun belum pernah dibayangkannya ada tempat seterpencil itu, sesunyi itu, dan seperti tak berpenghuni. Ada sesuatu yang indah di sana, sesuatu yang melankolis, kecantikan yang dinodai bayang-bayang hitam masa lalu... masa lalu yang sudah amat lama lewat. Di sini, di Irlandia Barat, orang-orang Romawi belum pernah menginjakkan kakinya. Mereka belum pernah berbaris di sini: prok, prok, prok; mereka juga belum pernah membangun benteng; belum pernah membangun jaringan jalan yang teratur dan sangat praktis. Di sini adalah sebuah tempat yang amat terpencil, tempat akal sehat dan cara hidup yang teratur tak dikenal. Hercule Poirot memandang ujung sepatu kulitnya yang mahal lalu mendesah. Ia merasa sedih dan sepi sendiri. Standar hidup yang biasa dijalaninya tak ada artinya di sini. Matanya memandangi garis pantai yang kosong, lalu beralih ke laut lepas. Entah di mana, di tengah laut, ada sebuah pulau yang disebut Isles of the Blest, Tanah Mereka yang Muda.... Ia bergumam pada dirinya sendiri, “Pohon Apel, Nyanyian dan Emas...” Tiba-tiba Hercule Poirot tersadar, ia kembali pada dirinya sendiri. Pesona itu telah hilang, sekali lagi ia merasa selaras dengan sepasang sepatu dan setelan jas abu-abu yang dikenakannya. Ia mendengar lonceng berbunyi, tak jauh dari situ. Ia mengerti arti bunyi lonceng itu. Bunyi yang amat dikenalnya sejak ia masih kanak-kanak. Ia melangkah cepat menyusuri karang. Sepuluh menit kemudian ia melihat sebuah bangunan yang tegak di atas karang. Dinding yang tinggi mengelilinginya dan sebuah pintu besar terbuat dari kayu, dengan paku-paku, seakan ditempelkan pada dinding itu. Hercule Poirot mendekati pintu itu lalu mengetuknya. Pengetuk pintu terbuat dari besi tuang yang berat. Kemudian, dengan hati-hati ia menarik rantai yang sudah agak karatan, dan terdengar kelining lonceng kecil dari balik pintu. Sebuah panel kecil pada daun pintu itu ditarik ke samping, muncul seraut wajah di situ, terbingkai kerudung putih yang dikanji kaku. Tampak ada kumis tipis di atas bibir itu, namun suaranya jelas milik wanita. Suara itu persis suara yang oleh Hercule Poirot disebut femme formidable. Wajah itu menanyakan apa keperluannya. “Apakah ini Biara St. Mary dan Para Malaikat?” Wanita perkasa itu menjawab dengan ringkas dan sinis, “Lalu apa kalau bukan?” Hercule Poirot tidak berusaha menjawab pertanyaan itu. Ia berkata kepada “naga” itu, “Saya ingin bertemu dengan Ibu Kepala Biara.”
Naga itu tidak bersedia membukakan pintu, tetapi akhirnya menyerah juga. Selot-selot ditarik membuka, pintu terbuka, dan Hercule Poirot dipersilakan masuk ke sebuah ruangan kecil yang kosong, tempat menerima tamu-tamu biara. Tak lama kemudian datang seorang biarawati, rosarionya tergantung di pinggangnya. Hercule Poirot terlahir sebagai orang Katolik. Ia mengerti benar suasana tempat ia berada saat itu. “Saya mohon maaf telah merepotkan, ma mère,” katanya. “Apakah di sini ada seorang biarawati bernama, di dunia, Kate Casey?” Ibu Kepala Biara mengangguk. Katanya, “Benar. Suster Mary Ursula, itu namanya di biara.” Hercule Poirot berkata, “Ada kesalahan tertentu yang harus diperbaiki. Saya yakin Suster Mary Ursula bisa membantu saya. Dia mempunyai informasi yang mungkin sangat berharga.” Ibu Kepala Biara menggeleng. Wajahnya tetap tenang, suaranya sabar dan seakan jauh. Katanya, “Suster Mary Ursula tak dapat membantu Anda.” “Tapi, sungguh....” Kata-kata Poirot terputus. Ibu Kepala Biara berkata, “Suster Mary Ursula meninggal dua bulan yang lalu.” V Di bar Jimmy Donovan’s Hotel, Hercule Poirot duduk dengan tidak nyaman di dekat dinding. Menurutnya, hotel itu sama sekali tidak memenuhi persyaratan sebuah hotel. Tempat tidurnya rusak, begitu pula dua bingkai jendela di kamarnya, dan dengan demikian membiarkan angin malam yang dingin—yang amat dibencinya—masuk dengan leluasa. Air panas yang tersedia tidak bisa disebut panas, dan makanan yang dihidangkan membuat perutnya mual. Ada lima lelaki di bar itu, semuanya membicarakan politik. Hercule Poirot tidak dapat mengerti sebagian besar isi percakapan mereka. Ia tidak peduli. Tiba-tiba salah satu lelaki itu bangkit dan duduk menjejerinya. Lelaki yang ini agak berbeda kelasnya dengan yang lain. Ada kesan “orang kota” pada dirinya. Ia berkata dengan penuh harga diri, “Dengar, Tuan. Saya berani taruhan—Pegeen’s Pride takkan punya kesempatan, sama sekali tidak... dia pasti gagal... ya, langsung kalah. Dengar nasihat saya... semua orang harus memperhatikan ramalan saya. Anda tahu siapa saya, Tuan, tahu? Atlas, itulah saya—Atlas dari Dublin Sun... sepanjang musim ini saya sudah banyak membuat ramalan yang tepat.... Bukankah saya yang menjagokan Larry’s Girl? Dua lima lawan satu—dua lima lawan satu. Turuti nasihat Atlas dan Anda takkan keliru.” Hercule Poirot memandang orang itu dengan pandangan asing bercampur takjub. Ia berkata, suaranya bergetar, “Mon Dieu, ini suatu kutukan!” VI Kejadiannya beberapa jam kemudian. Bulan hilang-timbul, sesekali mengintip dari balik awan tebal. Poirot dan kawan barunya telah berjalan beberapa mil. Detektif itu berjalan terpincang-pincang. Baru saja ia menyadari ada jenis sepatu lain—bukan sepatu kulit yang cocok untuk setelan resmi—yang lebih sesuai untuk berjalan kaki di pedesaan. Sebenarnya, George dengan segala hormat telah mengusulkan itu padanya. “Sepasang sepatu kanvas yang nyaman,” kata George waktu itu.
Hercule Poirot tak memedulikan usul itu. Ia ingin kedua kakinya selalu kelihatan rapi, terpelihara, dan terbungkus sepasang sepatu mahal. Tapi sekarang, terpincang-pincang menapaki jalan yang berbatu-batu, ia mengakui memang ada jenis sepatu lain yang lebih sesuai.... Tiba-tiba kawannya berkata, “Apakah cara ini yang diinginkan Pastor dan saya? Saya takkan merasa diri penuh dosa lagi.” Hercule Poirot menanggapi, “Kau hanya mengambil kembali untuk Caesar barang yang memang menjadi milik Caesar.” Mereka sampai ke tembok pagar biara. Atlas bersiap-siap melakukan tugasnya. Ia menggeram pelan, menyumpah-nyumpah, dan mengatakan saat itu tamatlah riwayatnya! Hercule Poirot berkata dengan tegas, “Diam! Kau tidak sedang menyangga bumi! Yang kaulakukan hanyalah menyangga berat tubuh Hercule Poirot!” VII Atlas membolak-balik dua lembar uang lima pound yang masih baru. Ia berkata penuh harap, “Besok pagi mungkin saya sudah lupa bagaimana caranya saya mendapat uang ini. Yang saya cemaskan adalah, jangan-jangan Pastor O’Reilly akan menghukum saya.” “Lupakan semuanya, kawan. Besok pagi dunia akan menjadi milikmu.” Atlas menggumam, “Dan apa yang dapat saya lakukan? Ada si Working Lad, kuda yang luar biasa! Sungguh hebat dia! Lalu ada Sheila Boyne. Tujuh banding satu—saya akan bertaruh untuknya.” Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Apakah saya salah dengar, atau tidak? Benarkah Anda tadi menyebut-nyebut nama dewa Yunani? Hercules, kata Anda tadi? Puji Tuhan, si Hercules besok ikut pacuan pukul setengah empat.” “Kawan,” kata Hercule Poirot, “pertaruhkan uangmu pada kuda itu. Dengar kata saya. Hercules tidak mungkin gagal.” Dan memang benar, keesokan harinya kuda Mr. Rosslyn, si Hercules, secara tak disangkasangka memenangkan taruhan Boynan Stakes dengan angka enam puluh lawan satu. VIII Dengan cekatan Hercule Poirot membuka paket yang terbungkus rapi itu. Mula-mula kertas cokelat, kemudian lapisan peredam guncangan, dan akhirnya kertas-kertas tisu. Di atas meja, di depan Emery Power, ia meletakkan sebuah piala emas yang berkilauan, dengan ukiran yang menggambarkan sebatang pohon apel, dengan buah-buah bergelantungan yang terbuat dari batu zamrud. Orang kaya itu menghela napas panjang. Katanya, “Saya ucapkan selamat pada Anda, M. Poirot.” Hercule Poirot membungkuk. Emery Power mengulurkan tangannya. Disentuhnya bibir piala itu, dan dengan jarinya dielusnya pinggirannya. Ia berkata dengan suara yang dalam, “Milik saya!” Hercule Poirot mengiyakan, “Milik Anda!” Emery Power mendesah. Ia menyandarkan badannya ke kursi. Kemudian ia berkata dengan nada lugas, “Di mana Anda menemukannya?”
Hercule Poirot menjawab, “Pada sebuah altar.” Emery Power terbelalak. Poirot melanjutkan, “Anak perempuan Casey seorang biarawati. Dia sedang akan mengucapkan janji akhirnya ketika ayahnya meninggal. Dia bukan gadis yang pandai, tetapi sangat taat beragama. Piala ini tersimpan di rumah ayahnya di Liverpool. Dia menyerahkan piala ini ke kapel biara, menurut dugaan saya, dengan maksud agar dosa-dosa ayahnya diampuni. Dia menyerahkan piala ini untuk digunakan dalam misa suci, untuk memuliakan Tuhan. Saya rasa, para biarawati di sana pun tak ada yang mengerti nilai piala ini yang sesungguhnya. Mungkin mereka mengira ini piala warisan keluarga secara turun-temurun. Di mata mereka, ini piala anggur suci, dan begitulah mereka menggunakannya.” Emery Power berkata, “Cerita yang luar biasa!” Lalu, tambahnya, “Apa yang membuat Anda pergi ke sana?” Poirot mengangkat bahu. “Barangkali... proses eliminasi. Dan ada satu kenyataan yang luar biasa, yaitu bahwa tak seorang pun pernah mencoba melebur piala ini. Itu sebabnya saya menduga piala ini tersimpan di suatu tempat di mana nilai material biasa tak ada artinya. Saya ingat bahwa anak perempuan Patrick Casey seorang biarawati.” Power berkata dengan ramah. “Nah, seperti kata saya tadi, saya ucapkan selamat untuk Anda. Sebutkan upah Anda dan akan saya tanda tangani sebuah cek untuk Anda.” Hercule Poirot menggeleng. “Saya tidak minta upah.” Lawan bicaranya menatapnya tak percaya. “Apa maksud Anda?” “Pernahkah Anda membaca dongeng-dongeng ketika Anda masih kecil dulu? Sang raja—dalam dongeng-dongeng—selalu berkata, ‘Mintalah padaku apa yang kauinginkan!’” “Jadi, Anda meminta sesuatu?” “Ya, tetapi bukan uang. Hanya sebuah permintaan sederhana.” “Hmm, apakah itu? Anda membutuhkan keahlian saya di pasar modal?” “Itu artinya sama dengan uang—hanya dalam bentuk yang berbeda. Permintaan saya jauh lebih sederhana dari itu.” “Apakah itu?” Hercule Poirot memegang piala itu. “Kirimkan piala ini kembali ke biara itu.” Hening beberapa saat. Kemudian Emery Power berkata, “Anda sudah gila?” Hercule Poirot menggeleng. “Tidak, saya tidak gila. Lihatlah, akan saya tunjukkan sesuatu.” Diangkatnya piala itu. Dengan kuku jarinya, kuat-kuat ditekannya bagian dalam mulut ular yang terbuka—ular yang melilitkan badannya pada pohon apel itu. Di bagian dalam piala, sebagian amat kecil lempengan emasnya menyingkap ke samping, menampakkan sebuah lubang yang bersambung dengan pegangan piala yang berongga bagian dalamnya. Poirot berkata, “Anda lihat ini? Ini adalah piala yang dipakai minum oleh Paus Borgia. Lewat lubang kecil ini, racun masuk ke dalam minuman. Anda sendiri berkata, riwayat piala ini adalah sebuah jejak penuh kejahatan. Kekerasan dan darah, nafsu-nafsu jahat, semuanya selalu dikaitkan dengan usaha-usaha untuk memilikinya. Dan... barangkali Anda
akan mendapat giliran sejak sekarang.” “Takhayul!” “Mungkin memang takhayul! Tetapi, mengapa Anda ingin sekali memilikinya? Bukan karena keindahannya. Bukan karena nilai materialnya. Anda sudah punya ratusan—mungkin ribuan— benda-benda seni yang indah dan langka. Anda menginginkan piala ini untuk memuaskan keangkuhan Anda. Anda tak sudi dikalahkan. Eh bien, dan Anda memang tak terkalahkan. Anda menang! Piala ini berada dalam tangan Anda. Tapi, sekarang, mengapa Anda tidak melakukan sesuatu yang lebih mulia lagi? Kembalikan benda ini ke tempatnya... tempatnya berada dalam kedamaian selama hampir sepuluh tahun. Biarlah jejak-jejaknya yang penuh kejahatan dihapuskan dan disucikan di sana. Piala ini pernah menjadi milik Gereja—dan biarlah kini kembali ke Gereja. Biarlah sekali lagi ini diletakkan di atas altar, disucikan, dan dibasuh noda-nodanya—seperti halnya manusia disucikan dan dihapuskan dosa-dosanya.” Hercule Poirot mencondongkan badannya ke depan. “Izinkan saya menggambarkan tempat saya menemukannya... Kebun Kedamaian, menghadap ke Laut Barat, ke arah surga... surga untuk kemudaan dan keindahan abadi.” Dia terus bicara. Dengan kata-kata sederhana dilukiskannya keindahan Inishgowlen. Emery Power duduk bersandar, satu tangannya menutupi matanya. Akhirnya ia berkata, “Saya dilahirkan di pantai barat Irlandia. Sebagai kanak-kanak, saya tinggalkan tanah kelahiran saya untuk mengadu nasib di Amerika.” Poirot berkata dengan lembut, “Saya tahu.” Usahawan kaya raya itu duduk tegak. Sepasang matanya kembali menyorot tajam. Ia berkata, sementara bibirnya tersenyum tipis, “Anda manusia yang aneh, M. Poirot. Anda boleh memilih cara Anda sendiri. Kembalikan piala ini ke biara itu, sebagai hadiah atas nama saya. Hadiah yang sangat mahal. Tiga puluh ribu pound—dan sebagai imbalannya, apa yang akan saya peroleh?” Poirot berkata dengan tegas, “Para biarawati akan mendoakan jiwa Anda.” Senyum pria kaya raya itu melebar—senyum penuh pemahaman. Katanya, “Jadi, bagaimanapun juga, ini merupakan sebuah investasi! Barangkali investasi yang terbaik yang pernah saya tanam....” IX Di ruang tamu kecil di biara itu, Hercule Poirot mengisahkan cerita itu dan menyerahkan piala itu kepada Ibu Kepala Biara. Biarawati itu menggumam, “Katakan padanya, kami mengucapkan terima kasih dan akan mendoakan keselamatan jiwanya.” Hercule Poirot berkata dengan sopan, “Dia amat membutuhkan doa-doa Anda.” “Apakah dia tidak bahagia?” Poirot berkata, “Dia begitu tidak bahagia hingga tidak bisa mengerti arti kebahagiaan itu sendiri. Dia begitu tidak bahagia hingga tidak bisa mengerti bahwa dia tidak bahagia.” Biarawati itu berkata lirih, “Ah, seorang pria yang kaya raya....” Hercule Poirot tidak menanggapi... sebab tahu tak ada lagi yang perlu dikatakan....
12
PENANGKAPAN CERBERUS I HERCULE POIROT, sambil berdiri terhuyung-huyung dalam kereta bawah tanah yang padat, sesekali menabrak orang di sebelah kirinya, kadang-kadang menyenggol orang di sebelah kanannya, menganggap terlalu banyak manusia tinggal di bumi ini! Tentu saja ada banyak sekali orang di kawasan bawah tanah kota London, saat itu, pada pukul 18.30. Panas, suara bising, kerumunan orang, desakan-desakan—tangan yang mendorong-dorong menjengkelkan, tubuh yang menempel rapat, bahu yang saling beradu! Terjepit dan terkurung di antara orang-orang yang tak dikenalnya—yang baginya (pikir Poirot dengan jijik) adalah orang-orang asing semua! Kemanusiaan, dilihat secara en masse seperti itu sama sekali tidak menarik. Jarang sekali orang bisa menemukan seraut wajah yang bersinar cerdas, atau seorang femme bien mise! Apa yang membuat wanita di sudut itu bisa merajut dengan tenang dalam kondisi yang paling kacau seperti itu? Seorang wanita yang sedang asyik merajut bukanlah pemandangan yang sedap dipandang mata: pikiran dan perhatian yang terpusat pada rajutannya, mata yang seakan berkilau, dan jari-jari yang terus-menerus bergerak cekatan tak henti-henti! Dibutuhkan kecekatan seekor kucing liar dan kekuatan kemauan seorang Napoleon untuk bisa merajut dalam sebuah kereta bawah tanah yang penuh sesak, tapi... ada saja wanita yang bisa melakukannya! Jika mereka bisa memperoleh tempat duduk, mereka akan langsung mengeluarkan gulungan benang rajut dan... klik-keletik... klik-keletik... Jarum-jarum rajutan mereka akan terus beradu! Tak ada keanggunan, pikir Poirot, tak ada keanggunan wanita sejati! Jiwanya yang sudah tua memberontak karena tekanan dan kesibukan dunia modern tempatnya berada saat itu. Semua wanita muda yang mengelilinginya ini—mereka begitu mirip satu sama lain, tak punya daya tarik, tak menampilkan kesan feminin sama sekali! Yang dibutuhkan Poirot adalah daya tarik feminin yang lebih flamboyan! Ah! Kalau saja dia bisa menemukan seorang wanita istimewa, femme du monde, yang chic, simpatik, dan spirituelle—seorang wanita dengan garis-garis tubuh yang luwes, yang terbungkus gaun mahal nan penuh gaya! Dulu pernah ada wanita-wanita seperti itu. Tapi sekarang... sekarang... Kereta berhenti di sebuah stasiun; orang-orang berdesakan turun, mendesak Poirot ke ujung jarum-jarum rajut; orang-orang berdesakan naik, menjepit Poirot bagai ikan dalam kaleng sarden. Dengan sebuah entakan, kereta bergerak lagi. Poirot, yang terdorong menimpa tubuh seorang wanita tinggi besar—dengan bungkusan-bungkusan yang tak keruan bentuknya—menggumamkan, “Pardon!”—dan terlempar lagi, kali ini mengenai seorang pria kurus yang ujung tasnya menyodok punggung detektif itu. Sekali lagi ia menggumam, “Pardon!” Dia merasa kumisnya lemas dan layu. Quel enfer! Untunglah stasiun berikutnya adalah tujuannya! Tampaknya, itu juga stasiun tujuan dari kurang-lebih 150 penumpang lainnya, karena stasiun itu Piccadilly Circus. Bagaikan alunan ombak besar, orang-orang itu menghambur ke peron. Sekali lagi Poirot terjepit dalam eskalator yang membawanya ke atas, ke permukaan tanah. Ke atas, pikir Poirot, dari dasar neraka.... Betapa sakitnya betisnya karena tertusuk ujung sebuah koper keras, koper yang dibawa orang yang naik eskalator di belakangnya! Tepat ketika itu, sebuah suara menyerukan namanya. Dengan kaget Poirot mencari arah asal suara itu. Di seberangnya, pada eskalator yang bergerak turun, matanya yang seakan tak percaya melihat sebuah pemandangan dari masa lalu. Seorang wanita yang penuh gaya;
rambutnya yang lebat dicat kemerah-merahan, dihiasi sebuah topi jerami dengan model aneh, lengkap dengan hiasan burung-burung mungil dengan warna-warna cerah. Sebuah mantel bulu yang eksotis terjuntai dari bahunya. Bibirnya yang dicat merah tua terbuka lebar dan suaranya yang dalam beraksen asing terdengar nyaring. Wanita itu pasti memiliki paru-paru yang bagus. “Ya, benar!” teriak wanita itu. “Tak salah lagi! Mon cher Hercule Poirot! Kita harus bertemu lagi! Harus!” Tapi Nasib tidak merestui kedua makhluk yang berdiri pada eskalator yang bergerak berlawanan arah itu. Dengan gerakan pasti, Hercule Poirot terbawa ke atas oleh eskalator yang dinaikinya, dan Countess Vera Rossakoff terus bergerak ke bawah. Dengan susah payah Poirot berhasil melongokkan badannya ke bawah, lewat pinggiran eskalator. Ia berseru setengah putus asa, “Chère Madame—di mana saya bisa menemui Anda?” Jawaban wanita itu terdengar samar-samar, dari bawah sana. Jawaban yang tak terduga, namun anehnya seakan sesuai dengan suasana ketika itu. “Di Neraka...” Hercule Poirot mengedipkan matanya. Ia berkedip sekali lagi. Tiba-tiba kakinya bergetar. Tanpa disadarinya, ia sudah sampai di puncak eskalator—dan tidak melompat dengan benar. Orang-orang membuyar, meninggalkan eskalator itu. Agak di sebelah kirinya, kerumunan orang memadat, hendak turun lewat eskalator lain. Apakah sebaiknya ia juga ikut turun? Itukah yang dimaksudkan Countess tadi? Tak diragukan lagi, naik kereta bawah tanah pada saat jam-jam sibuk seperti itu sama saja artinya dengan berada di neraka. Jika itu yang dimaksudkan Countess, Poirot sepenuhnya sependapat dengannya.... Dengan penuh keyakinan Poirot menyelipkan dirinya di antara kepadatan orang-orang yang bergerak turun. Di ujung eskalator itu, di bawah sana, tak ditemukannya Countess Vera Rossakoff. Poirot menemukan dirinya terpana di depan lampu-lampu yang menyala biru, kuning, dan lain-lain warna—salah satu harus dipilihnya. Apakah Countess tadi masuk ke jalur Bakerloo atau Piccadilly? Poirot memeriksa kedua peron itu berganti-ganti. Sekali lagi dia terseret pusaran arus orang-orang yang naik atau turun dari kereta api, tapi tak ditemukannya jejak wanita Rusia yang istimewa itu, Countess Vera Rossakoff. Letih, jengkel, dan jelas-jelas merasa terhina, Hercule Poirot memilih eskalator yang membawanya naik ke permukaan tanah dan membuatnya berada di tengah kebisingan Piccadilly Circus. Ia sampai di rumah dengan suasana hati yang agak bergairah. Nasib buruklah yang membuat seorang pria bertubuh kecil, yang menyukai ketepatan dalam segala hal, memburu seorang wanita Rusia berpenampilan flamboyan dan bertubuh besar. Poirot tak pernah bisa membebaskan diri dari pesona yang dipancarkan Countess Vera Rossakoff. Sudah dua puluh tahun lebih ia tak bertemu dengan wanita itu, tetapi daya tariknya masih tetap memikat Poirot. Walaupun menyadari rias wajah yang dikenakan wanita itu pastilah berlebihan—untuk menutupi umurnya yang beranjak senja—di baliknya Poirot masih menemukan daya tarik seorang wanita yang selalu bisa membuatnya terpana. Pria borjuis itu masih tetap bergairah bila menghadapi seorang wanita aristokrat. Ingatan akan gaya wanita Rusia itu ketika mencuri permata, masih saja membuatnya terkagum-kagum. Poirot terkenang akan gaya anggun wanita Rusia itu ketika mengakui perbuatannya. Seorang wanita satu di antara seribu—satu di antara sejuta! Dan tadi ia bertemu dengannya lagi—dan kini telah pula kehilangan dia! “Di Neraka,” katanya tadi. Apakah telinganya yang tidak beres? Benarkah wanita itu berkata begitu?
Tapi, apa maksudnya? Apakah maksudnya jalur-jalur kereta api bawah tanah di London? Ataukah kata-katanya harus diartikan secara religius? Bahkan bila kehidupan wanita itu sendiri akan membuatnya terpuruk ke dalam neraka—satu-satunya tujuan akhir yang pantas baginya—sopan santunnya sebagai wanita ningrat Rusia pasti akan menghalanginya untuk mengatakan sudah selayaknya jika Hercule Poirot kelak juga akan masuk neraka. Bukan itu! Pasti sesuatu yang lain yang dimaksudkannya. Maksudnya pasti... Hercule Poirot kaget oleh jalan pikirannya sendiri. Wanita yang penuh teka-teki dan tak dapat ditebak! Seorang wanita dari “kelas” yang lebih rendah pasti akan menyerukan “The Ritz” atau “Claridge’s”. Tapi Vera Rossakoff dengan penuh keyakinan dan dengan jelas berseru, “Neraka!” Poirot mendesah. Tapi ia belum menyerah kalah. Keesokan paginya ia mengambil langkah yang paling sederhana dan paling langsung, ia bertanya pada sekretarisnya, Miss Lemon. Miss Lemon bukanlah wanita yang bisa dikatakan menarik namun seorang sekretaris yang sangat efisien. Baginya, Poirot bukanlah pria istimewa—baginya, pria itu hanyalah majikannya. Miss Lemon bekerja sebaik-baiknya. Seluruh pikiran dan impiannya terpusat pada penemuan sistem penyimpanan data terbaru, yang secara pelan namun pasti selalu disempurnakannya. “Miss Lemon, saya ingin menanyakan sesuatu.” “Silakan, M. Poirot.” Miss Lemon mengangkat jari-jarinya dari mesin tik, lalu menunggu dengan penuh perhatian. “Jika seorang kawan meminta Anda untuk menemuinya di... neraka, apa yang akan Anda lakukan?” Miss Lemon, seperti biasa, langsung menjawab. Seperti kata pepatah—ia tahu semua jawabannya. “Menurut saya, lebih baik kita langsung memesan meja,” katanya. Hercule Poirot menatapnya dengan terheran-heran. Ia berkata terbata-bata, “Anda... akan... memesan... meja?” Miss Lemon mengangguk dan menarik pesawat telepon agar lebih dekat. “Malam ini?” tanyanya, dan menganggap diam sebagai tanda setuju—karena Poirot kehilangan kata-kata—ia langsung memutar deretan nomor. “Temple Bar 14578? Di situ Neraka? Tolong sediakan sebuah meja untuk dua orang. M. Hercule Poirot. Pukul sebelas.” Ia meletakkan telepon dan jari-jarinya siap menari-nari pada mesin tik. Sekilas—hanya sepintas—tampak kesan tidak sabar di wajahnya. Ia telah melakukan tugasnya—raut wajahnya seakan mengatakan itu—jadi, sebaiknya majikannya segera meninggalkannya agar ia dapat melanjutkan apa yang tadi sedang dilakukannya. Tapi Hercule Poirot menuntut penjelasan. “Jadi, apa artinya Neraka ini?” tuntutnya. Miss Lemon tampak agak kaget. “Oh, apakah Anda tidak tahu, M. Poirot? Itu sebuah kelab malam—masih baru tapi sangat ramai dikunjungi orang—dikelola seorang wanita Rusia. Malam ini juga, jika Anda mau, dengan mudah saya bisa mendaftarkan Anda menjadi member.” Selesai mengucapkan itu, dan dengan jelas-jelas menyiratkan bahwa waktunya sudah banyak terbuang, Miss Lemon langsung memainkan jari-jarinya di mesin tik dengan cekatan dan
dengan sikap tak peduli. Tepat pukul sebelas malam itu Hercule Poirot memasuki pintu utama yang bagian atasnya dihiasi neon warna-warni yang masing-masing melambangkan satu huruf. Seorang pelayan berseragam jas merah menyambutnya dan menyimpankan mantelnya. Dengan gerakan sopan ia mempersilakan Poirot menuruni tangga lebar yang tidak curam, ke ruang bawah tanah. Pada setiap anak tangga tertulis sebuah kalimat. Yang pertama bunyinya: “Maksudku baik....” Yang kedua: “Hapuskan segala kenangan dan mulailah hidup yang baru....” Yang ketiga: “Aku bisa menghentikan ini semua kapan saja aku mau....” “Niat baik yang menghiasi jalan ke Neraka,” gumam Hercule Poirot penuh pujian. “C’est bien imaginé, ça!” Ia menuruni tangga itu. Di dasar tangga terdapat sebuah kolam kecil dengan bunga-bunga lili berwarna merah tua. Melengkung di atas kolam itu, terdapat sebuah jembatan yang bentuknya menyerupai perahu. Poirot menyeberang lewat jembatan itu. Di arah kirinya, pada semacam ceruk dari marmer, duduk seekor anjing; yang paling besar, paling jelek, dan paling hitam yang pernah dilihat Poirot. Anjing itu duduk tegak, menyeramkan, dan tidak bergerak-gerak. Mungkin binatang itu—pikir Poirot (dan dia berharap)—binatang itu tidak nyata. Tepat saat itu si anjing memalingkan kepalanya yang jelek dan menyeramkan serta menggeram. Suaranya amat mengerikan. Kemudian Poirot melihat sebuah keranjang kecil yang dihias cantik berisi biskuit anjing. Pada keranjang itu tertera tulisan, “Kue untuk Cerberus!” Mata anjing itu menatap keranjang tersebut. Sekali lagi terdengar geram yang menyeramkan itu. Cepat-cepat Poirot mengambil satu biskuit dan melemparkannya pada si anjing. Mulut si anjing membuka lebar-lebar; lalu klak! kedua rahang yang kukuh itu mengatup kembali. Cerberus menyantap kuenya! Poirot melanjutkan langkahnya, masuk lewat pintu yang terbuka. Ruangan di balik pintu itu tidak luas. Di tengah ruangan ada tempat terbuka untuk berdansa, dikelilingi meja-meja kecil. Lampu-lampu merah kecil menerangi ruangan itu, dan sepanjang dinding-dindingnya tergantung lukisan fresco. Sebuah pemanggang daging yang besar terletak di ujung ruangan, sedang dilayani para koki yang mengenakan busana seperti setan, lengkap dengan ekor dan sepasang tanduk. Semua itu dicerna Poirot sebelum Countess Vera Rossakoff—dengan gaya Rusia-nya yang khas dan impulsif, dalam gaun malam mewah berwarna ungu tua—tiba-tiba muncul menyambutnya dengan tangan terulur. “Ah, datang juga kau! My dear—my very dear friend! Senang sekali bisa melihatmu lagi! Setelah bertahun-tahun... banyak tahun... tidak, kita takkan bilang sudah berapa lama! Bagiku rasanya seperti baru kemarin. Kau tidak berubah... sama sekali tidak berubah!” “Tidak pula Anda, chère amie,” seru Poirot, sambil membungkuk mencium tangan wanita itu. Bagaimanapun ia sadar benar saat itu bahwa dua puluh tahun adalah dua puluh tahun.
Countess Rossakoff mungkin belum bisa disebut—secara tidak sopan—“barang rongsokan”. Namun, kalaupun begitu orang menggambarkan wanita itu, ia adalah rongsokan yang luar biasa. Semangatnya untuk menikmati hidup masih sama, dan di atas semua itu, ia tahu benar bagaimana caranya menaklukkan lawan jenisnya. Ia mengajak Poirot ke sebuah meja. Dua orang lain telah duduk di meja itu. “Kawanku, kawanku yang sangat terkenal, M. Hercule Poirot,” katanya memperkenalkan. “Ia yang membuat para penjahat ngeri! Dulu, satu kali, aku pun pernah takut padanya, tapi sekarang aku menjalani kehidupan yang baik dan amat membosankan. Ya, kan?” Pria jangkung kurus dan sudah setengah baya yang diajaknya bicara berkata, “Jangan pernah berkata ‘membosankan’, Countess.” “Profesor Liskeard,” Countess memperkenalkan. “Tahu segala sesuatu tentang masa lampau dan telah memberikan nasihatnya yang berharga untuk dekorasi tempat ini.” Arkeolog itu bergidik sedikit. “Seandainya sebelumnya aku tahu apa yang akan Anda lakukan!” gumamnya. “Hasilnya sungguh menakjubkan!” Poirot mengamati fresco itu dengan lebih saksama. Pada dinding di seberang tempat duduknya, Orpheus memainkan jazz bersama band-nya, sementara Eurydice dengan penuh harap memandang ke arah pemanggang daging. Tepat di seberang dinding tersebut, Osiris dan Isis seakan sedang menjamu para arwah bangsa Mesir dalam sebuah pesta yang diadakan di atas perahu. Pada dinding ketiga, sejumlah muda-mudi sedang mandi bersama—dalam busana seperti ketika mereka dilahirkan. “Negeri Para Muda-Mudi,” kata Countess menjelaskan, dan segera menambahkan, menyelesaikan acara perkenalan, “Dan ini Alice-ku yang mungil.” Poirot membungkuk ke arah orang kedua di meja itu, seorang gadis mungil bertampang serius dan mengenakan rok serta jas bermotif kotak-kotak. Gadis itu mengenakan kacamata berbingkai tanduk. “Dia amat sangat pintar,” kata Countess Rossakoff. “Dia sarjana psikologi! Dia tahu persis kenapa orang gila menjadi gila! Sebabnya bukanlah, seperti yang mungkin kausangka, karena mereka gila! Tidak, ada banyak sebab mengapa orang menjadi gila! Menurutku, pendapat itu amat ganjil.” Gadis yang disebut Alice tersenyum penuh pengertian tapi juga agak meremehkan. Dengan suara tegas ia bertanya pada Profesor Liskeard, kalau-kalau pria itu mau diajak berdansa. Pria itu tampak tersanjung, namun juga ragu-ragu. “Nona muda, sayang saya hanya mengenal irama waltz.” “Ini irama waltz,” kata Alice dengan sabar. Mereka bangkit berdiri, lalu berdansa. Mereka bukan pasangan dansa yang baik. Countess Rossakoff mendesah. Seakan melanjutkan apa yang sedang dipikirkannya, ia bergumam, “Tapi dia tidak terlalu jelek....” “Rupanya dia tidak memedulikan penampilannya,” kata Poirot menilai. “Terus terang,” kata Countess dengan suara agak nyaring, “aku tak bisa mengerti anakanak muda zaman sekarang. Mereka tidak berminat membuat dirinya tampak menyenangkan— selalu, di masa mudaku, aku selalu berusaha—warna-warna yang cocok untukku—lapisan pada bagian dalam gaun—korset ketat mengikat pinggang—rambut dicat dengan warna yang mungkin lebih menarik....”
Dengan penuh gaya disingkirkannya rambutnya yang lebat dari keningnya, berwarna titian (warna merah)—tak perlu disangkal lagi, jelas Countess masih terus berusaha dan berusaha keras! “Merasa puas dengan apa yang sudah dianugerahkan alam kepada kita, itu... itu artinya tolol! Sama saja dengan bersikap angkuh! Alice yang mungil itu telah menulis berlembarlembar kalimat panjang tentang SEX, tapi—coba taruhan—sudah adakah pria yang mengajaknya berakhir minggu ke Brighton? Apa yang ditulisnya hanyalah kalimat-kalimat panjang, tentang kerja, kesejahteraan para buruh, dan masa depan dunia. Memang itu amat berguna, tapi... apakah itu menarik? Dan, lihat saja, bagaimana anak-anak muda itu mengatur dunia! Hanya ada peraturan-peraturan dan larangan-larangan! Waktu aku muda dulu, tidak begitu.” “Itu mengingatkan saya, mana putra Anda, Madame?” Untunglah ia segera ingat bahwa dua puluh tahun telah lewat, dan ia sempat memilih kata yang tepat. Wajah Countess bersinar-sinar, seperti layaknya ibu yang bangga akan putranya. “Putra kesayanganku! Gagah, berdada bidang, dan amat tampan! Dia di Amerika. Di sana dia membangun jembatan, bank, hotel, toko-toko, jalan kereta api—apa saja yang dibutuhkan orang Amerika!” Poirot agak bingung. “Jadi dia insinyur? Atau... arsitek?” “Apa bedanya?” tukas Countess. “Dia sangat baik! Sehari-hari hidupnya terkungkung mesin-mesin dan sesuatu yang disebut stress. Pendeknya, benda-benda yang tak sedikit pun kumengerti. Tapi kami saling menyayangi—kami selalu saling menyayangi! Karenanya, demi dia, aku menyayangi Alice. Ya, mereka telah bertunangan. Mereka bertemu di pesawat terbang atau kapal atau kereta api, dan mereka saling jatuh cinta, semua itu terjadi ketika keduanya asyik membicarakan kesejahteraan para buruh. Dan waktu berkunjung ke London, Alice menemuiku dan aku langsung menyayanginya.” Countess mengatupkan kedua tangannya di depan dadanya yang membusung. “Dan aku berkata, ‘Kau dan Niki saling mencintai, jadi aku pun mencintaimu—tapi kalau kau mencintainya, mengapa kautinggalkan dia di Amerika?’ Lalu Alice bercerita tentang ‘pekerjaannya’ dan buku yang sedang ditulisnya, dan kariernya. Terus terang aku tidak mengerti, tapi aku selalu bilang, ‘Orang harus punya toleransi.’” Lalu segera menambahkan, hampir tanpa menarik napas lebih dulu. “Dan bagaimana pendapatmu, cher ami, tentang semua imajinasiku di sini?” “Imajinasi yang luar biasa,” kata Poirot, sambil memandang berkeliling dengan mata memuji. “Ini benar-benar chic!” Ruangan itu penuh dan terasa benar tempat itu dikelola dengan baik, sukses; dan yang terakhir ini tidak mungkin dipalsukan. Ada pasangan-pasangan terkenal dengan setelan dan gaun anggun nan mahal, orang-orang Bohemia dengan celana corduroy, dan pria-pria berpenampilan gagah dengan setelan resmi yang praktis. Para pemain band yang berdandan seperti setan sedang memainkan musik keras. Tak diragukan lagi, tempat ini benar-benar seperti neraka. “Segala macam manusia berbaur di sini,” kata Countess. “Memang seharusnya demikian. Ya, kan? Gerbang-gerbang Neraka terbuka bagi siapa saja.” “Kecuali, mungkin, untuk kaum miskin?” Poirot menanggapi. Countess tertawa. “Bukankah pada kita diajari bahwa sulit bagi orang kaya untuk masuk ke Kerajaan Surga? Karenanya, wajar bila mereka mendapat tempat istimewa di Neraka.” Profesor Liskeard dan Alice kembali ke meja. Countess bangkit berdiri. “Saya harus bicara dengan Aristide.”
Ia bertukar kata dengan kepala pelayan, seorang pria berpenampilan seperti Mephistopheles, kemudian berjalan dari meja ke meja menyapa tamu-tamunya. Profesor Liskeard berkata sambil mengelap dahinya dan mencicipi segelas anggur, “Dia wanita yang berkepribadian. Orang bisa merasakan kuatnya kepribadiannya.” Ia minta maaf lalu pergi ke meja lain untuk bicara dengan seseorang. Poirot, yang ditinggalkan berduaan dengan Alice, merasa canggung ditatap sepasang mata biru yang bersinar dingin. Ia kini menyadari bahwa Alice ternyata cukup menawan, namun menurutnya agak mengerikan. “Saya belum mengenal nama keluarga Anda,” gumamnya. “Cunningham. DR. Alice Cunningham. Saya dengar Anda sudah kenal Vera, sudah lama sekali.” “Kira-kira dua puluh tahun.” “Saya menganggapnya sebagai objek studi yang menarik,” kata DR. Alice Cunningham. “Tentu saja saya juga tertarik padanya karena dia ibu pria yang akan saya nikahi, tetapi saya juga tertarik padanya secara profesional—sesuai profesi saya.” “Oh ya?” “Ya. Saya sedang menyiapkan buku tentang psikologi kriminal. Menurut saya, kehidupan malam di sini amat menggairahkan. Ada sejumlah tipe kriminalis tertentu yang secara teratur berkunjung kemari. Saya telah mendiskusikan kehidupan masa lalu mereka, dengan beberapa orang di antara mereka. Tentu saja Anda tahu tentang kecenderungankecenderungan kriminal dalam diri Vera... maksud saya, apakah dia suka mencuri?” “Mengapa? Ya... saya tahu itu,” kata Poirot, agak kaget. “Saya sendiri menyebut hal seperti itu Magpie complex. Dia selalu, seperti Anda ketahui, mengambil benda-benda yang berkilau. Tak pernah uang. Selalu permata. Saya telah menelitinya, dan ternyata ketika masih kanak-kanak dia selalu dimanja, dituruti kemauannya, dan sangat dilindungi. Hidup baginya amat membosankan—aman dan membosankan. Karakter seperti dia membutuhkan sesuatu yang dramatis—dia mendambakan semacam hukuman. Itulah akar ketidakpeduliannya sebagai pencuri. Dia mendambakan dirinya menjadi penting, penting dalam arti buruk karena dihukum!” Poirot tidak sependapat, “Hidupnya dulu pasti tidak aman dan membosankan, karena dia lahir dalam keluarga yang termasuk ancien régime di Rusia, golongan yang digulingkan pada masa Revolusi.” Sekilas kesan geli terpancar dari mata Miss Cunningham yang biru pucat. “Ah,” katanya. “Anggota ancien régime? Apakah dia mengatakannya pada Anda?” “Jelas sekali dia wanita ningrat,” kata Poirot bersikeras, sementara dalam hati ia berusaha keras menyingkirkan kenangan-kenangan masa lalu tentang beragam pengalaman liar Countess di masa mudanya, yang diceritakan sendiri oleh wanita itu. “Orang mempercayai apa yang ingin dipercayainya,” Miss Cunningham berkomentar sambil memandang pria itu dengan lagak psikolog berpengalaman. Poirot ngeri. Tak lama lagi, ia menebak-nebak, pasti dirinya akan diberitahu tentang complex yang dideritanya. Ia memutuskan melanjutkan “peperangan” itu. Ia menikmati lingkungan sosial Countess Rossakoff, sebagian karena provenance-nya yang aristokratik, dan dia tak ingin kenikmatannya itu dirusak oleh seorang gadis berkacamata tebal, dengan sepasang mata yang melotot dan punya selembar ijazah psikologi! “Tahukah Anda apa yang menurut saya luar biasa?” tanyanya.
Alice Cunningham tak sudi mengaku tidak tahu. Ia mengambil sikap seperti orang yang bosan dan tak peduli. Poirot melanjutkan, “Saya amat heran karena Anda—yang masih muda dan dapat kelihatan manis dan menarik kalau Anda mau bersusah-susah sedikit—yah, saya amat heran mengapa Anda tidak mau bersusah-susah! Anda mengenakan mantel berat dan rok dengan saku besarbesar, seakan-akan Anda hendak main golf. Tapi bukan hubungannya dengan permainan golf itu sendiri yang penting. Di sini, dalam ruang bawah tanah yang cukup panas, hidung Anda berkilat karena keringat, tapi Anda tidak menghapus keringat itu dan membedaki hidung Anda, lalu lipstik Anda itu—jelas dioleskan dengan sembarangan, tanpa memperhatikan lekuk bibir Anda! Anda seorang wanita, tapi Anda tidak berusaha menarik perhatian dan menyatakan bahwa Anda wanita. Saya bertanya, ’Mengapa?’ Sayang sekali....” Selama beberapa saat Poirot puas melihat reaksi Alice Cunningham yang benar-benar manusiawi. Ia bahkan melihat mata gadis itu bersinar marah. Kemudian... tak lama kemudian... Alice kembali menunjukkan sikapnya yang murah senyum, senyum penuh maaf dan pengertian. “M. Poirot yang baik,” katanya, “saya rasa Anda tidak kenal ideologi modern. Yang penting adalah segala sesuatu yang fundamental—bukan hal-hal di luar itu.” Gadis itu mendongakkan kepalanya ketika seorang pria tampan berkulit gelap datang mendekat. “Ini dia, tipe makhluk yang amat menarik,” katanya dengan penuh perasaan. “Paul Varesco! Hidup dari para wanita dan mempunyai selera-selera yang aneh! Saya ingin dia bercerita lebih banyak tentang pengasuhnya ketika dia baru berumur tiga tahun.” Sesaat kemudian ia sudah berdansa dengan pria muda itu. Si pemuda berdansa dengan anggun. Ketika mereka melewati meja Poirot, pria itu mendengar Alice Cunningham berkata, “Dan sesudah liburan musim panas di Bognor dia memberimu mainan burung bangau? Burung bangau... ya, itu sangat sugestif.” Selama beberapa saat Poirot membiarkan dirinya tenggelam dalam spekulasi-spekulasi Miss Cunningham. Ia berpendapat minat Miss Cunningham yang luar biasa dalam menyelidiki berbagai tipe kriminalis, suatu hari kelak, akan membuat tubuhnya yang sudah dirusak ditemukan orang di sebuah hutan yang sunyi. Poirot tidak menyukai Alice Cunningham, tapi ia cukup jujur untuk mengakui alasan ketidaksenangannya itu karena sedikit pun gadis itu tidak terkesan akan Hercule Poirot! Harga diri Poirot terluka! Kemudian ia melihat sesuatu yang sejenak membuatnya lupa akan Alice Cunningham. Pada meja di seberang ruangan duduk seorang anak muda berambut pirang. Ia mengenakan setelan jas yang mewah dan keseluruhan penampilannya mengesankan hidupnya selalu santai dan penuh kesenangan. Di seberang anak muda itu, pada meja yang sama, duduk seorang gadis kaya. Pemuda itu memandangi si gadis dengan pandangan seperti orang tolol. Siapa pun yang melihat mereka mungkin akan bergumam, “Orang kaya yang malas!” Tetapi Poirot tahu benar bahwa pemuda itu bukan pemalas dan bukan orang kaya. Sesungguhnya ia adalah Inspektur Detektif Charles Stevens, dan menurut Poirot, detektif itu pasti berada di situ dalam urusan dinas.... II Keesokan harinya Poirot mengunjungi Scotland Yard, menemui kawan lamanya, Inspektur Japp. Reaksi Japp akan pertanyaannya yang hanya serba menduga-duga sama sekali tak disangkasangka. “Dasar rubah tua!” kata Japp dengan hangat. “Bagaimana caranya kau selalu bisa
mengetahui semua urusan kami?” “Tapi, sungguh, aku tak tahu apa-apa kali ini—sama sekali tidak! Aku hanya ingin tahu.” Japp berkata bahwa dalam hal itu Poirot pasti berbohong! “Kau ingin tahu tentang tempat itu, Neraka itu? Yah, di permukaannya, tempat itu hanyalah salah satu dari yang biasa-biasa saja. Salah satu dari tempat-tempat semacam itu. Memang agak unik! Mereka pasti berhasil mengeruk uang banyak, meskipun ongkos yang dikeluarkan juga tidak sedikit. Wanita Rusia yang mengelola tempat itu menyebut dirinya sebagai Countess Anu...” “Aku kenal dengan Countess Rossakoff,” tukas Poirot dengan suara dingin. “Kami teman lama.” “Tapi dia hanya boneka,” lanjut Japp. “Bukan dia yang punya modalnya. Bisa jadi pemiliknya justru si kepala pelayan, Aristide Papopolous—dia memang punya saham—tapi menurut kami permainan ini juga bukan kelasnya. Singkatnya, kami sebenarnya tak tahu, permainan siapa ini!” “Dan Inspektur Stevens pergi ke sana untuk menyelidiki?” “Ah, rupanya kau melihat Stevens, ya? Untung benar dia, punya tugas seperti ini dan dibayar dengan uang dari para pembayar pajak! Sejauh ini dia sudah menemukan bahwa dugaan kami terbukti benar.” “Menurutmu, apa yang bisa kita temukan di sana?” “Obat bius! Perdagangan obat bius dalam skala raksasa. Dan obat bius itu tidak dibayar dengan uang, melainkan dengan permata.” “Aha?” “Begitulah cara kerjanya. Lady Blank—alias Countess dari Negeri Antah-berantah—sulit memperoleh uang tunai, dan dalam keadaan apa pun tidak berniat mengambil uang dalam jumlah besar dari bank. Tapi dia punya permata—warisan keluarga! Permata-permata itu diselundupkan ke suatu tempat untuk “dibersihkan” atau “ditata ulang”—di tempat itu, permata-permata dicopoti dari bingkai emasnya, dan diganti dengan yang palsu. Kemudian permata-permata tanpa bingkai atau kerangka itu dijual di sini atau di Eropa Daratan. Semua lancar—tak ada perampokan, tak ada ribut-ribut. Di lain pihak, cepat atau lambat akan ada yang mengeluh bahwa tiara atau kalung milik mereka ternyata permatanya palsu. Lady Blank akan bersikap polos, seperti orang tak bersalah yang ikut sedih mendengar keluhan semacam itu—tak bisa membayangkan bagaimana dan kapan penukaran itu dilakukan— sebab perhiasan-perhiasan itu tak pernah lolos dari tangannya. Akibatnya, para polisi dikerahkan untuk melacak jejak yang salah dan menyesatkan, menanyai pelayan-pelayan yang sudah dipecat majikannya, kepala-kepala pelayan yang meragukan, atau para pembersih jendela yang mencurigakan. “Tapi kami tidak setolol yang mereka kira! Ada sejumlah kasus yang muncul berturutan— dan kami menemukan faktor yang sama—semua wanitanya ternyata kecanduan obat bius—entah karena gampang gugup atau gampang marah—bibir berkerut, pupil mata tak terkonsentrasi, dan seterusnya. Pertanyaannya adalah: Dari mana mereka memperoleh obat bius itu dan siapa pengedarnya?” “Dan jawabannya, menurutmu, adalah tempat itu... Neraka?” “Kami yakin tempat itu kantor pusatnya. Kami telah menemukan tempat permata-permata itu ditukar—sebuah kantor yang disebut Golconda Ltd.—di permukaan cukup terhormat—sangat terkenal dalam pembuatan permata tiruan yang bermutu tinggi. Lalu ada seorang pria yang mencurigakan, namanya Paul Varesco—ah, rupanya kau sudah tahu dia, ya?” “Aku pernah melihatnya di Neraka!”
“Justru di sanalah kami ingin menemukannya—tempat yang benar-benar sesuai! Dia seorang pria bejat—tetapi para wanita, bahkan mereka yang terhormat, semua bertekuk lutut padanya! Dia punya hubungan tertentu dengan Golconda Ltd. dan aku yakin, dialah sesungguhnya orang yang berdiri di balik Neraka. Tempat itu sangat ideal untuk bisnisnya, semua orang pergi ke sana, wanita-wanita kalangan atas, penjahat-penjahat profesional—sebuah tempat pertemuan yang sempurna.” “Menurutmu, pertukaran itu—permata dengan obat bius—dilakukan di sana?” “Ya. Kami sudah tahu peranan Golconda—sisi permatanya. Kami ingin tahu sisi lainnya— sisi obat biusnya. Kami ingin tahu siapa yang mensuplai obat bius itu dan dari mana barangnya diperoleh.” “Dan kau sama sekali tak punya gagasan, siapa dan bagaimana?” “Kuduga si wanita Rusia—tapi kami tak punya bukti. Beberapa minggu yang lalu kami mengira telah mendapat jejak. Varesco pergi ke Golconda mengambil sejumlah permata, dari sana ia langsung pergi ke Neraka. Stevens selalu mengamatinya, tapi dia tak pernah memergokinya sedang mengedarkan barang itu. Ketika Varesco pergi, kami menangkapnya— permata-permata itu tak ada padanya. Kami menggeledah tempat itu, menggeledah setiap orang yang ada di sana! Hasilnya, tak ada obat bius, tak ada permata!” “Suatu fiasco, ya, kan?” Japp tersenyum pahit. “Jangan menggurui! Bisa saja kami mendapat malu besar, untunglah waktu itu kami berhasil menangkap Peverel di sana. Kau tahu, si Pembunuh dari Battersea. Benar-benar nasib baik, seharusnya dia sudah melarikan diri ke Skotlandia. Salah satu sersan yang jeli mengenalinya karena pernah melihat fotonya. Jadi semua berakhir baik—kami cukup berhasil—dan kelab malam itu menjadi semakin terkenal. Sejak itu, pengunjungnya semakin berlimpah!” Poirot berkata, “Tapi itu bukan kemajuan yang berarti dalam kasus penyelidikan obat bius ini. Barangkali di sana ada tempat rahasia untuk menyembunyikannya?” “Pasti. Tapi kami tak bisa menemukannya. Kami sudah menyisirnya dengan teliti. Dan ini hanya antara kita saja, kami juga sudah melakukan penggeledahan tak resmi....” Japp mengedipkan matanya. “Ada sejumlah kasus pencurian dan perampokan. Gagal juga. Orang kami hampir mati dicabik-cabik anjing besar yang galak itu! Anjing itu tidur di sana.” “Aha, Cerberus?” “Ya. Nama yang konyol untuk anjing—seperti nama merek sebungkus garam.” “Cerberus,” gumam Poirot dengan penuh pemikiran. “Cobalah mengulurkan bantuan pada kami, Poirot,” usul Japp. “Kasus ini cukup rumit dan pantas mendapat perhatianmu. Aku benci perdagangan obat bius, merusak jiwa-raga manusia. Tempat itu memang neraka, menurutku!” Poirot bergumam setengah melamun, “Ini akan melengkapi apa yang telah kulakukan... ya. Tahukah kau apa Tugas Kedua Belas Hercules?” “Entah.” “Penangkapan Cerberus. Cocok sekali, kan?” “Aku tak mengerti maksudmu, kawan, tapi ingat, ’Anjing Makan Manusia’ bisa jadi berita.” Dan Japp pun duduk bersandar sambil tertawa terbahak-bahak. III
“Saya ingin bicara dengan Anda, dengan serius,” kata Poirot. Hari masih sore, kelab malam itu masih kosong. Countess dan Poirot duduk di sebuah meja kecil dekat pintu. “Apanya yang serius?!” protes wanita itu. “La petite Alice, dia selalu serius dan, entre nous, menurutku itu membosankan. Kasihan Niki anakku, hidupnya pasti akan membosankan.” “Saya menyukai Anda lebih dari sekadar kawan biasa,” lanjut Poirot dengan tegas. “Dan saya tak ingin melihat Anda terlibat dalam kasus ini.” “Omonganmu sangat tidak masuk akal! Aku ada di puncak dunia, dan uang mengalir begitu saja!” “Anda memiliki tempat ini?” Sekilas mata Countess tampak tersinggung. “Tentu saja,” jawabnya.
“Tapi Anda punya mitra bisnis?” “Siapa yang mengatakannya padamu?” tanya Countess dengan suara tajam. “Apakah partner Anda Paul Varesco?” “Oh! Paul Varesco! Tak masuk akal!” “Dia punya catatan kriminal yang panjang. Sadarkah Anda bahwa banyak penjahat yang berkunjung kemari?” Countess tertawa keras. “Dasar bon bourgeois! Tentu saja aku tahu. Tidakkah kau tahu kehadiran mereka justru menambah daya tarik tempat ini? Anak-anak muda dari kawasan Mayfair—mereka sudah bosan melihat pemuda-pemuda seperti mereka dari kawasan West End. Mereka datang kemari, mereka melihat para penjahat: pencuri, pemeras, penipu—mungkin, bahkan pembunuh—orang yang minggu depan mungkin muncul di koran Minggu! Itu amat menggairahkan—dan mereka mengira telah melihat gambaran kehidupan yang sesungguhnya! Begitu pula pria-pria mapan yang sepanjang minggu melihat knickers, stocking, dan korset! Ini suatu selingan yang menyenangkan, terbebas dari kawan-kawan dan lingkungan mereka yang terhormat! Dan kemudian, ada hal lain yang lebih menarik perhatian—itu di sana, yang sedang mengeluselus kumisnya—dia inspektur dari Scotland Yard—polisi yang mengenakan setelan jas mahal!” “Jadi Anda telah tahu?” tanya Poirot halus. Mata wanita itu bertatapan dengan mata Poirot, dan ia tersenyum. “Mon cher ami, aku tidak setolol yang kaukira!” “Apakah Anda juga mengedarkan obat bius di sini?” “Ah, ça, tidak!” tukas Countess dengan suara tajam. “Itu namanya kejahatan!” Poirot memandang wanita itu beberapa saat lamanya, kemudian mendesah.
“Saya percaya,” katanya. “Tapi, dalam hal ini, semakin penting jika Anda mau mengatakan, siapa partner Anda yang juga menjadi pemilik tempat ini.” “Akulah pemiliknya,” sahut wanita itu dengan ketus. “Di atas kertas, ya. Tapi ada seseorang di balik Anda.” “Tahukah kau, mon ami, menurutku kau ini terlalu sangat ingin tahu. Benarkah dia terlalu ingin tahu, Dou dou?” Suara wanita itu merendah, seperti suara orang membujuk binatang, ketika ia mengucapkan kata yang terakhir itu. Ia melemparkan tulang bebek dari piringnya ke mulut anjing yang menganga mengerikan itu. “Anda tadi memanggilnya apa?” tanya Poirot yang perhatiannya sudah teralihkan. “C’est mon petit Dou dou!” “Konyol sekali, nama anjing seperti itu!” “Tapi dia sangat menyenangkan! Dia anjing polisi! Dia bisa melakukan apa saja... apa saja... tunggu!” Wanita itu bangkit berdiri, memandang sekelilingnya, lalu tiba-tiba menarik sebuah piring berisi steak yang kelihatan lezat, yang baru saja diletakkan di meja di dekat situ. Ia menyeberangi jembatan marmer lalu meletakkan sepiring steak itu di depan si anjing, dan pada saat yang sama menggumamkan kata-kata dalam bahasa Rusia. Cerberus menatap lurus ke depan. Ia sama sekali tak peduli pada steak itu. “Lihat! Dan ini tidak hanya selama beberapa menit! Tidak, dia bisa tahan duduk seperti itu, kalau perlu berjam-jam!” Kemudian wanita itu menggumamkan sejumlah kata, dan secepat kilat Cerberus melengkungkan lehernya yang panjang dan—seakan seperti permainan sulap—steak di piring tadi langsung lenyap. Vera Rossakoff memeluk anjing itu dan merengkuhnya dengan penuh sayang. Ia harus berjinjit untuk melakukannya. “Lihat, dia ramah dan baik, kan?” serunya. “Padaku, pada Alice, pada kawan-kawannya— mereka semua bisa menyuruhnya melakukan apa saja! Tinggal mengucapkan sepatah kata... dan... terjadilah keajaiban itu! Kuperingatkan, kalau diperintah, dia bisa saja mencabik-cabik seorang... hmm, inspektur polisi, misalnya, menjadi serpih-serpih kecil! Ya, serpih-serpih kecil!” Wanita itu tertawa keras. “Aku hanya tinggal mengucapkan satu kata....” Cepat-cepat Poirot menyela. Ia tidak bisa menangkap nada bergurau dalam suara Countess. Nyawa Inspektur Stevens mungkin dalam bahaya. “Profesor Liskeard ingin bicara dengan Anda.” Profesor Liskeard berdiri tak sabar di samping wanita itu. “Anda mengambil steak saya,” keluhnya. “Mengapa Anda mengambil steak saya? Itu steak yang enak.” IV
“Kamis malam, kawan,” kata Japp. “Itu saat yang tepat. Tentunya ini sasaran si Andrew— Pasukan Anti-Narkotika—tapi dia pasti senang jika tahu kau ikut menangani kasus ini. Tidak, terima kasih, aku tak sudi minum siropmu yang aneh-aneh rasanya. Aku harus menjaga perutku. Itu wiski, ya, yang di sana itu? Itu lebih cocok bagiku.” Sambil mencopot kacamatanya, ia melanjutkan, “Rasanya kita telah berhasil memecahkan masalah ini. Memang ada jalan keluar lain di kelab malam itu—dan kami telah menemukannya!” “Di mana?” “Di balik panggangan. Sebagian dindingnya bisa diputar.” “Tapi kau pasti akan melihat...” “Tidak, kawan. Ketika serangan dilakukan, lampu-lampu dipadamkan—dari pusatnya—dan untuk menyalakannya kembali, kami butuh waktu satu-dua menit. Tak ada yang lolos dari pintu depan, karena pintu itu diawasi dengan ketat. Tetapi jelas orang bisa menyelinap keluar dan membawa barang itu lewat pintu rahasia itu. Kami sudah memeriksa rumah di belakang kelab malam ini—itu sebabnya kami secara tak sengaja menemukan pintu rahasia itu.” “Dan menurutmu, apa yang akan kita lakukan?” Japp mengedipkan matanya. “Biarkan semua berjalan sesuai rencana—polisi masuk, lampu-lampu padam—dan seseorang sudah menunggu di balik pintu rahasia itu, untuk melihat siapa dan apa yang akan muncul di sana. Kali ini kami pasti berhasil!” “Mengapa harus Kamis?” Sekali lagi Japp mengedipkan matanya. “Kami berhasil menyadap Golconda dengan baik sekarang. Ada barang yang akan diedarkan di sana pada hari Kamis. Batu-batu zamrud milik Lady Carrington.” “Apakah akan kauizinkan jika aku,” kata Poirot, “juga melakukan beberapa persiapan?” V Sambil duduk di meja langganannya di dekat pintu, hari Kamis malam itu Poirot memandang sekelilingnya dengan mata awas. Seperti biasa, Neraka penuh sesak dengan para pengunjung. Dandanan Countess lebih istimewa, lebih dari biasanya. Gayanya malam ini sangat berbau Rusia; berkali-kali bertepuk tangan dan tertawa keras-keras. Paul Varesco telah datang. Kadang-kadang ia mengenakan setelan jas malam yang mahal, kadang-kadang, seperti malam ini, ia memilih mengenakan pakaian seperti koboi, yaitu jaket ketat dan scarf melilit leher. Ia kelihatan berbahaya sekaligus penuh daya tarik. Setelah membebaskan diri dari pelukan seorang wanita setengah baya yang mengenakan berbagai perhiasan berlian secara mencolok, ia membungkuk ke arah Alice Cunningham yang sedang sibuk menulis sesuatu di buku catatannya. Ia mengajak gadis itu berdansa. Wanita tadi itu memandang Alice dengan sengit, lalu memandang Varesco dengan pandangan memuja. Tak ada kesan kagum dari mata Miss Cunningham. Mata itu bersinar-sinar, namun itu hanya menunjukkan minatnya yang murni bersifat ilmiah. Poirot mendengar percakapan mereka— sepatah-sepatah—bila mereka melewati mejanya. Alice Cunningham telah selesai menyelidiki guru pengasuh Varesco, dan kini sedang menyelidiki pengasuhnya waktu Paul masuk ke taman kanak-kanak. Ketika musik berhenti, gadis itu duduk dekat Poirot. Ia tampak gembira dan penuh
semangat. “Sangat menarik,” kata Alice Cunningham. “Varesco akan menjadi salah satu kasus yang paling penting dalam buku saya. Simbolismenya jelas sekali. Ada masalah dengan rompinya —sebab rompi itu mengacu kepada kemeja rambut dan segala asosiasinya—dan dengan begitu seluruh masalahnya menjadi jelas. Anda mungkin mengatakan dia tipe kriminalis sejati, tetapi usaha penyembuhan bisa kita lakukan....” “Bahwa dirinya bisa membuat keajaiban,” tukas Poirot, “itu selalu menjadi ilusi kaum wanita!” Alice Cunningham memandangnya dengan pandangan dingin. “Tak ada yang bersifat pribadi dalam hal ini, M. Poirot.” “Tak pernah ada,” kata Poirot. “Selalu merupakan altruisme murni—tapi objeknya biasanya lawan jenis yang menarik. Apakah Anda tertarik, misalnya, pada di mana saya dulu bersekolah, atau bagaimanakah sikap pengasuh saya pada saya?” “Anda bukan tipe kriminalis,” kata Miss Cunningham. “Apakah Anda langsung tahu tipe-tipe kriminalis bila melihat mereka?” “Tentu saja.” Profesor Liskeard datang bergabung. Ia duduk dekat Poirot. “Anda sedang membicarakan tipe-tipe kriminalis? Anda harus mempelajari hukum kriminal kepunyaan Hammurabi, M. Poirot. Tahun 1800 Sebelum Masehi. Sangat menarik. Seseorang yang tertangkap sedang mencuri ketika ada kebakaran harus dilemparkan ke dalam api.” Dengan pandangan puas ia menatap ke arah panggangan di ujung ruangan. “Lalu masih ada hukum-hukum Sumeria yang lebih kuno. Jika seorang istri membenci suaminya dan berkata padanya, ‘Kau bukan suamiku,’ wanita itu harus dilemparkan ke dalam sungai. Lebih murah dan lebih mudah daripada ongkos perceraian secara hukum. Tapi jika seorang suami mengatakan hal yang sama kepada istrinya, ia cukup membayar istrinya dengan sejumlah perak. Sebagai lelaki ia takkan dilemparkan ke dalam sungai.” “Cerita yang itu-itu saja,” komentar Alice Cunningham. “Ada satu hukum untuk kaum lelaki, dan satu lagi untuk kaum wanita.” “Para wanita, tentu saja, jauh lebih bisa menghargai nilai uang,” kata Profesor Liskeard penuh pemikiran. “Anda tahu,” tambahnya, “saya menyukai tempat ini. Hampir tiap malam saya kemari. Saya tak perlu membayar. Countess yang mengaturnya begitu—dia sangat baik pada saya. Katanya, itu karena saya telah berjasa membantu menyumbangkan gagasan untuk dekorasi tempat ini. Padahal sesungguhnya tak ada hubungannya secara langsung dengan diri saya—saya tak tahu untuk apa dia bertanya-tanya pada saya—dan tentu saja dia dan pelukisnya telah keliru menafsirkan keterangan saya. Saya harap tak ada yang mengira saya punya sedikit—amat sedikit—andil dalam pembangunan tempat ini. Saya takkan tahan kalau ada yang tahu. Tapi dia wanita yang luar biasa... seperti wanita Babylonia, menurut saya. Wanita-wanita Babylonia banyak yang sukses sebagai pengusaha....” Suara Profesor Liskeard tenggelam dalam “koor” yang tiba-tiba dengan keras menyuarakan satu kata, “Polisi.” Wanita-wanita bangkit berdiri dengan ribut. Lampu-lampu padam, begitu pula panggangan listrik itu. Seakan tidak peduli akan sekitarnya, suara Profesor Liskeard tetap terdengar—bernada rendah—menyuarakan kutipan-kutipan hukum Hammurabi. Ketika lampu menyala lagi, Hercule Poirot sudah berada di tengah-tengah tangga yang
menuju ke atas. Polisi-polisi yang bertugas menjaga pintu memberinya hormat, dan Poirot melewati mereka, turun ke jalan, lalu membelok di ujung jalan. Tepat di balik tikungan, merapat ke dinding, ada seorang laki-laki berhidung merah dan berpenampilan kumal serta bau. Lelaki itu bicara, suaranya terdengar cemas dan serak berbisik. “Saya di sini, guv’nor. Sudah waktunya saya melakukan tugas saya?” “Ya. Cepat.” “Banyak sekali polisi di sekitar sini!” “Tak apa-apa. Mereka sudah tahu tentang kau.” “Saya harap mereka tidak akan mengganggu.” “Mereka takkan mengganggu. Kau yakin akan bisa mengerjakan tugas-tugas itu? Binatang itu sangat besar dan galak.” “Dia takkan galak pada saya,” kata lelaki kecil itu dengan penuh keyakinan. “Tidak, karena sesuatu yang saya bawa ini! Anjing apa pun akan mengikuti saya masuk ke neraka karena benda ini!” “Dalam hal ini,” gumam Hercule Poirot, “dia harus mengikutimu keluar dari neraka!” VI Pagi-pagi buta, telepon berdering. Poirot mengangkat gagangnya. Terdengar suara Inspektur Japp. “Kau tadi menyuruhku menelepon.” “Ya, memang. Eh bien?” “Tak ada obat bius—kami berhasil memperoleh batu-batu zamrud itu.” “Di mana?” “Di saku Profesor Liskeard.” “Profesor Liskeard?” “Kau juga kaget, kan? Terus terang, pikiranku buntu! Dia pun kelihatan kaget sekali, seperti bayi yang tak bersalah. Dia hanya menatap permata-permata itu, dan mengatakan tak tahu bagaimana caranya sampai barang-barang itu ada di sakunya. Sialnya, aku percaya apa yang dikatakannya itu benar! Dengan mudah Varesco bisa menyelipkannya ke dalam sakunya, waktu lampu padam. Aku tak bisa melihat alasan mengapa orang tua seperti Liskeard bisa terlibat dalam kasus seperti ini. Dia anggota masyarakat yang sangat terhormat, juga punya hubungan baik dengan British Museum! Dia hanya membelanjakan uangnya untuk membeli buku, buku-buku loakan yang sudah jamuran. Tidak, dia bukan tokoh yang cocok. Aku mulai berpikir-pikir, jangan-jangan kita ini keliru—mungkin memang tak pernah ada obat bius yang diedarkan di sana.” “Oh ya, ada, kawan... ada di sana tadi malam. Apakah ada orang yang keluar lewat pintu rahasia?” “Ya, Prince Henry of Scandenberg dan pengawalnya—dia baru tiba di Inggris kemarin. Vitamian Evans, Menteri Kabinet. Jabatan yang panas—menjadi menteri dari Partai Buruh— harus sangat hati-hati! Orang takkan keberatan jika ada pejabat dari Partai Tory menghambur-hamburkan uang, karena para pembayar pajak menganggap itu uang mereka sendiri! Begitulah kata orang. Lady Beatrice Viner yang paling belakang—lusa dia akan menikah dengan Duke of Leominster. Kurasa orang-orang seperti mereka takkan terlibat
dalam kasus ini.” “Kau benar. Namun, obat bius itu tadinya memang ada di sana, dan seseorang telah membawanya keluar dari sana.” “Siapa?” “Aku, mon ami,” jawab Poirot dengan halus. Diletakkannya gagang telepon, menghentikan umpatan-umpatan Japp, ketika ia mendengar bel pintu berbunyi. Poirot membukakan pintu dan Countess Rossakoff masuk dengan penuh gaya. “Seandainya kita belum terlalu tua, sayang sekali, pasti semua akan lebih mengesankan!” wanita itu berseru. “Aku datang seperti yang kauperintahkan dalam surat singkat itu. Kurasa, ada polisi yang membuntutiku, tapi biar saja dia berdiri di jalanan. Dan sekarang, kawan, ada apa?” Dengan sikap sopan seorang gentleman sejati, Poirot membukakan mantel bulu wanita itu. “Mengapa Anda masukkan permata-permata itu ke saku Profesor Liskeard?” desaknya. “Ce n’est pas gentille, ce que vous aves fait la!” Mata Countess terbelalak. “Oh, tadinya kukira telah kumasukkan ke sakumu!” “Oh, ke saku saya?” “Tentu saja. Cepat-cepat aku berjalan ke arah meja yang biasa kaududuki—tapi lampulampu padam dan secara tak sengaja barang itu kumasukkan ke saku Profesor Liskeard.” “Dan mengapa Anda ingin menyembunyikan permata curian di dalam saku saya?” “Tampaknya—aku harus berpikir cepat, aku harus mencari jalan terbaik!” “Really, Vera, Anda sudah tak dapat diperbaiki!” “Tapi, kawan, coba pikir! Polisi datang, lampu-lampu padam (kita sudah sepakat, kan, dalam hal ini—supaya para tamu tidak kehilangan muka?) dan sebuah tangan mencoba merampas tasku dari atas meja. Aku berhasil merebutnya kembali, tapi di balik beludru aku merasa ada sesuatu yang keras di dalam tasku. Kurogoh, dan sekali sentuh aku langsung tahu itu permata dan aku pun langsung tahu, siapa yang meletakkannya ke dalam tasku!” “Oh ya?” “Tentu saja aku tahu! Si salaud! Si kadal, si monster, si muka dua, si lidah bercabang, ular beludak yang licik, Paul Varesco!” “Pria yang menjadi partner Anda di Neraka?” “Ya, ya, dialah pemilik sesungguhnya, dia yang punya modalnya. Sampai saat ini aku tidak pernah mengkhianatinya—aku bisa setia dan dipercaya! Tapi, setelah dia berusaha mencelakakan aku, setelah menjebakku dan berusaha menjebloskan aku ke tangan polisi... ah! Huh! Saat ini juga akan kuludahkan namanya... ya, kuludahkan namanya!” “Tenang... tenang,” kata Poirot, “ikut saya ke ruang sebelah.” Poirot membuka pintu. Ruangan di baliknya saat itu seakan-akan penuh dengan ANJING. Di ruangan yang luas di Neraka Cerberus sudah tampak seperti anjing raksasa, apalagi di situ. Dalam ruang makan kecil di apartemen Poirot, seakan tak ada benda atau makhluk
lain di dalamnya kecuali Cerberus. Namun, ternyata lelaki kecil bertampang lusuh itu ada pula di sana. “Kami berada di sini sesuai perintah Anda, guv’nor,” kata laki-laki kecil itu dengan suara parau. “Dou dou!” jerit Countess. “Sayangku, Dou dou!” Cerberus memukul-mukul lantai dengan ekornya... tapi ia sendiri tak bergerak. “Mari saya perkenalkan, Mr. William Higgs,” seru Poirot, mengatasi entakan ekor Cerberus yang menggelegar. “Seorang ahli dalam bidangnya. Ketika terjadi brouhaha semalam,” lanjut Poirot, “Mr. Higgs membujuk Cerberus untuk mengikutinya keluar dari Neraka.” “Anda berhasil membujuknya?” Countess terbelalak menatap lelaki kumal bertampang seperti tikus itu. “Tapi... bagaimana caranya? Bagaimana?” Mr. Higgs menundukkan matanya dengan malu-malu. “Rasanya tak pantas mengatakannya di depan wanita. Tapi ada satu hal yang setiap anjing takkan mungkin tahan. Anjing apa pun akan mengikuti perintah saya, kalau saya inginkan. Tentu saja Anda tahu, kalau anjingnya betina—akal itu takkan berhasil... tidak, karena mereka berbeda.” Countess Rossakoff berpaling pada Poirot. “Tapi mengapa? Mengapa?” Poirot berkata lambat-lambat, “Seekor anjing yang terlatih untuk menaati perintahperintah tertentu akan mengatupkan mulutnya, mengulum sesuatu benda, sampai dia diperintahkan untuk membuang benda itu. Kalau perlu, dia akan terus mengatupkan mulutnya selama berjam-jam. Sekarang, perintahkan anjing Anda untuk membuka mulutnya.” Vera Rossakoff terbelalak, berbalik badan, lalu menggumamkan dua patah kata. Rahang Cerberus yang perkasa membuka. Kemudian, sungguh mengejutkan, lidah Cerberus seakan-akan jatuh keluar dari mulutnya.... Poirot melangkah maju. Ia mengambil sebuah bungkusan kecil, yang dikuatkan dengan kantong dari karet halus berwarna merah jambu. Ia membukanya. Di dalamnya ada serbuk putih. “Apa itu?” tanya Countess dengan suara tajam. Poirot berkata dengan halus, “Kokain. Jumlahnya tidak terlalu banyak, kelihatannya... tapi harganya bisa ribuan pound... bagi mereka yang bersedia membayar untuk memperolehnya.... Cukup banyak untuk merusak dan menghancurkan hidup beberapa ratus orang....” Countess Rossakoff berseru tertahan. Ia menjerit, “Dan kaupikir aku yang... tapi itu tidak benar! Aku berani sumpah, bukan aku yang melakukannya! Dulu memang aku suka menyenang-nyenangkan diriku dengan mencuri permata, bibelots, hanya karena ingin tahu— membuat hidup jadi bergairah, kau pasti mengerti. Dan apa yang kurasakan adalah, mengapa tidak? Mengapa ada orang yang punya lebih dari yang lain?” “Persis perasaan saya terhadap anjing,” sela Mr. Higgs. “Anda tak bisa membedakan mana yang salah dan mana yang benar,” kata Poirot pada Countess Rossakoff dengan sedih. Wanita itu melanjutkan, “Tapi obat bius... tidak! Karena itu mengakibatkan orang
menderita, kehilangan kendali atas dirinya, merendahkan martabat! Entah dengan cara bagaimana—aku tak tahu... sama sekali tidak tahu... bahwa restoranku yang menyenangkan, yang tak bersalah, yang menarik, Neraka, ternyata digunakan untuk hal-hal semacam itu!” “Saya sependapat dengan Anda tentang obat bius ini,” kata Mr. Higgs. “Membius anjing greyhound... itu praktek yang kotor! Saya takkan pernah berbuat seperti itu, takkan pernah!” “Tapi, katakan kau percaya padaku, kawan,” bujuk Countess. “Tentu saja saya percaya pada Anda! Bukankah saya sudah bersusah payah mencari cara untuk menjebak pengedar obat bius yang sesungguhnya? Bukankah saya sudah menyelesaikan Tugas Kedua Belas Hercules dengan mengeluarkan Cerberus dari neraka untuk memberi bukti? Sebabnya, saya tak ingin kawan saya dijebak... ya, dijebak... sebab Anda yang akan dijadikan kambing hitam jika sesuatu terjadi dan rencana mereka gagal! Dalam tas tangan Anda-lah polisi akan menemukan batu-batu zamrud itu, dan jika ada orang yang cukup pandai, seperti saya, yang akan mencurigai mulut seekor anjing galak sebagai tempat menyembunyikan sesuatu... eh bien, dia anjing Anda, ya, kan? Bahkan kalaupun Cerberus telah menerima la petite Alice dengan baik dan bersedia mematuhi perintahnya! “Ya, sebaiknya Anda membuka mata lebar-lebar! Sejak semula saya membenci gadis itu, dengan istilah-istilah ilmiahnya, dengan mantel dan rok yang penuh saku-saku besar. Ya, saku-saku besar! Rasanya tidak alamiah jika ada gadis yang mau berpenampilan seperti itu! Dan... apa yang dikatakannya pada saya? Yang penting fungsinya! Aha! Yang penting adalah fungsi saku-saku itu. Saku-saku yang bisa digunakannya untuk menyembunyikan obat bius dan permata—tukar-menukar barang dapat dilakukan dengan mudah, sementara dia berdansa dengan komplotannya, yang pura-pura dianggapnya sebagai objek studinya. Ah, penyamaran yang luar biasa! “Orang takkan mencurigai seorang psikolog muda yang penuh semangat, dengan gelar akademis dan kacamata tebal. Dia bisa menyelundupkan obat bius, dan mempengaruhi pasien-pasiennya yang kaya sehingga mereka kecanduan. Uang hasil perdagangan gelap itu ditanamkan dalam usaha kelab malam, dan dengan sengaja diatur agar tempat ini dikelola seorang wanita yang punya... kalau saya boleh mengatakannya... masa lalu yang kurang bersih! “Sayangnya dia meremehkan Hercule Poirot. Dia mengira dapat membuat Hercule Poirot terkesan dengan omongannya tentang para pengasuh dan rompi! Eh bien, saya siap menghadapinya. Lampu-lampu padam. Dengan cepat saya berdiri dan melangkah ke dekat Cerberus. Dalam kegelapan saya mendengar dia mendekat. Gadis itu membuka mulut Cerberus dan memasukkan paket kecil ini, dan saya... dengan hati-hati, tanpa diketahuinya, menggunting sesobek kecil dari lengan bajunya, dengan sebuah gunting kecil.” Dengan gaya dramatis dikeluarkannya sobekan kain itu. “Lihat sendiri... rok wol kotak-kotak yang persis sama... dan akan saya berikan pada Japp untuk dicocokkan dengan sisanya—dan dia akan menangkap gadis itu... dan sekali lagi berkomentar bahwa Scotland Yard sungguh cerdik.” Countess Rossakoff memandang kawannya dengan terkagum-kagum. Tiba-tiba ia menjerit keras, suaranya seperti lengkingan sangkakala. “Tapi Niki... Niki putraku. Ini pukulan berat baginya...” Ia berhenti sejenak. “Atau, menurutmu tidak apa-apa?” “Ada banyak gadis lain di Amerika,” kata Hercule Poirot. “Tapi, ibunya akan masuk penjara, karena kau—masuk penjara—dengan rambut digunduli... duduk dalam sel sempit... dan menghirup bau obat pembersih lantai! Ah, tapi kau memang luar biasa... sangat mengagumkan!” Ia mendesak ke depan dan langsung memeluk Poirot erat-erat, dengan gairah wanita
Slavonia. Mr. Higgs memandang mereka berdua dengan pandangan menyetujui. Cerberus mengentak-entakkan ekornya ke lantai. Di tengah-tengah suasana seperti itu, terdengar bel pintu berdering. “Japp!” seru Poirot sambil melepaskan diri dari pelukan Countess Rossakoff. Wanita itu menyelinap ke balik pintu penghubung. Poirot melangkah ke pintu yang membuka ke lorong. “Guv’nor,” desis Mr. Higgs dengan cemas, “lihat diri Anda di kaca dulu!” Poirot melakukannya dan terkejut. Lipstik dan maskara menghiasi wajahnya, membentuk lukisan yang aneh. “Kalau dia Mr. Japp dari Scotland Yard, dia akan menduga yang tidak-tidak... pasti,” kata Mr. Higgs. Ia menambahkan, ketika sekali lagi bel pintu berdering dan Poirot dengan tergesa-gesa berusaha menghapus setitik warna ungu tua dari ujung kumisnya, “Apa yang harus saya lakukan? Bagaimana dengan anjing Neraka ini?” “Kalau aku tak salah ingat,” kata Hercule Poirot, “Cerberus kembali ke Neraka.” “Terserah Anda,” kata Mr. Higgs. “Terus terang, saya amat tertarik padanya... tapi, dia bukan tipe anjing favorit saya... tidak untuk memilikinya secara permanen... terlalu mencolok mata—kalau Anda tahu maksud saya. Lagi pula, makanannya pasti menghabiskan banyak uang, daging sapi dan daging kuda! Mungkin jatah makannya sebanyak seekor singa muda.” “Mulai Singa dari Nemea sampai ke Penangkapan Cerberus,” gumam Poirot. “Tugas saya sudah selesai.” VII Seminggu kemudian Miss Lemon menyerahkan surat tagihan kepada majikannya. “Maafkan saya, M. Poirot. Apakah saya harus membayar tagihan ini? Leonora, Florist. Mawar Merah. Sebelas pound, delapan shilling dan enam pence. Dikirimkan kepada Countess Vera Rossakoff, Neraka, 13 End St., W.C.I.” Seperti warna mawar merah, begitulah saat itu pipi Hercule Poirot. Wajahnya memerah, makin memerah, bahkan matanya pun tampak memerah. “Memang benar, Miss Lemon. Hadiah kecil... eh, suatu penghargaan... karena sesuatu hal. Putra Countess baru saja bertunangan di Amerika... dengan putri majikannya, raja baja. Mawar merah... seingat saya... adalah bunga kesayangan Countess Rossakoff.” “Oh, begitu,” gumam Miss Lemon. “Pada musim seperti sekarang, mawar merah amat mahal.” Hercule Poirot langsung bersikap tegas. “Ada saat-saat,” katanya, “ketika kita tidak harus menghemat.” Sambil menggumamkan nada sebuah lagu, Hercule Poirot pergi ke luar. Langkah-langkahnya ringan, seakan-akan melompat-lompat. Miss Lemon terbelalak, menatapnya dari belakang. Ia sama sekali lupa akan sistem file-nya. Seluruh insting kewanitaannya tergelitik. “Ya Tuhan,” gumamnya. “Heran aku... sungguh... padahal umurnya sudah tua! Apa iya....”
Scan & DJVU: k80
Scan, Konversi, Edit, Spell & Grammar Check: clickers http://facebook.com/DuniaAbuKeisel http://facebook.com/epub.lover http://epublover.wordpress.com