THE EFFECT OF IN OVO FEEDING ON HATCHING WEIGHT AND SMALL INTESTINAL TISSUE DEVELOPMENT OF NATIVE CHICKEN Asmawati Herry Sonjaya(2), Asmuddin Natsir(3), Wempie Pakidding(4) and Herlina (5) Fachruddin 1and 5 Faculty of Agriculture, University of 45 Makassar 2 3 and 4 Faculty of Animal Husbandry, Hasanuddin University, Makassar
[email protected]
[email protected](2),
[email protected] (3),
[email protected](4) and
[email protected]'5'
ABSTRACT The aims of this experiment were to the determine the effects of amino acids injection (in ovo feeding) on the growth and development of the small intestine of native chicken aged 7 days. The eggs of native chicken were injected with amino acids either on day 7 or day 14 of incubation period. Seven days after hatching, the chicks were slaughtered for histology sample preparation.The material used in this research consisted of free-range poultry egg and pure crystaline amino acid (Ohta, 2001). The study was carried out in a factorial arrangement (4x2) according to completely randomized blok design, with 3 replication for each treatment combination. The first factor was different levels of amino acid injection consisted of A 0=kontrol, A1=lysine amino acid injection at a dose 3.78 mg lysine/0.5 ml of sterile distilled water, A2=amino acid methionine injection at a dose of 1,91 mg/0.5 ml of sterile distilled water, A3=injection at a dose of 3.78 mg lysine + methionine 1.91 mg /0.5 ml of sterile distilled water. The injection time consisted of two levels; T1= time of injection on day 7 of incubation and T2= time of injection on day 14 of incubation. Parameters measured were hatching weight, villous hight, villous width, crypt dept of smalll intestine of the chicks aged 7 days. The results showed that the injection of amino acid significantly affected (P<0.05) of hatching weight, crypth depth, villous height and villous width of intestine of native chicken aged 7 days, while injection time as well as interaction between amino acid types and injection time had no significant effects (P>0.05) on hatching weight.Hatching weight of those injected with a combination of 3.78 mg lysine + 1.98 mg methionine/0.5 ml aquadest were higher (P<0.05) than those of other treatments. Crypt depth, villous hight and villous width those of control. In conclusion, in ovo feeding can increase the hatching weight, vilous width, villous height and crypt depth of the intestine of native chicken. Key Word: in ovo feeding, amino acid, hatching weight, villous and native chicken
1. PENDAHULUAN Ayam buras merupakan plasma nutfah Indonesia mempunyai potensi untuk dikembangkan karena memiliki daya adaptasi tinggi dalam lingkungan pedesaan maupun perkotaan. Namun demikian produktivitas ayam buras masih rendah. Rendahnya produktivitas ayam buras diduga ketidakseimbangan kebutuhan asam amino esensial terutama asam amino lisin dan metionin. Asam amino lisin dan metionin merupakan asam amino esensil yang kritis. Mauldin (2002), defisiensi protein, asam amino atau ketidakseimbangan menyebabkan abnormalitas embrio dan mortalitas. Defisiensi lisin dan metionin produksi telur menurun ke tingkat lebih besar dari pada berat telur, penurunan ini terjadi bila defisiensi pakan. Kondisi ini mempengaruhi kelangsungan hidup embrio. Untuk perkembangan embrio yang normal perlu suplay zat-zat makanan sesuai dengan kebutuhannya pada telur, karena perkembangan embrio selama inkubasi sudah tidak ada hubungan dengan nutrisi yang dikonsumsi induk. Setelah penetasan, kebutuhan nutrisi ayam yang digunakan berasal dari yolk sac untuk daya tahan tubuh, perkembangan dan fungsi alat pencernaan. Secara anatomi beberapa hari setelah penetasan alat pencernaan belum berkembang dengan sempurna. Perubahan secara morfologi misalnya panjang usus meningkat, tinggi dan kepadatan villi dan perubahan secara fisiologi termasuk enzim pancreas dan enzim pencernaan, peningkatan pada area permukaan pencernaan dan absorbsi selama periode pasca penetasan (Yadav et.al. 2010). Perkembangan alat pencernaan pada minggu pertama setelah menetas memainkan peranan untuk perkembangan selanjutnya baik pada saat fase grower maupun pada fase layer. Penelitian tentang suplementasi lisin dan metionin dalam pakan telah banyak dilakukan seperti yang dilakukan Freiji dan Daghir (1982), pakan yang mengandung protein rendah 12 %, tetapi diimbangi dengan suplementasi asam amino lisin dan metionin, ternyata dapat memberikan produksi normal, tetapi bobot telur lebih kecil. Selanjutnya Zainuddin et al.,(2001),
426
secara kuantitas, nilai rataan bobot telur ayam kampung yang diberi suplementasi lisin atau metionin terjadi peningkatan bobot telur. Penelitian tentang injeksi asam amino pada telur bibit ayam broiler telah dilakukan di Jepang oleh Ohta (2001). Hasil penelitian tersebut dengan injeksi asam amino pada ova diperoleh, daya tetas 90,9% dibanding kontrol 84,4%, hal ini berarti dapat meningkatkan daya tetas 6,5%, berat DOC 53,9±3,1 g dan kontrol 52,0±4,2 g. Akan tetapi dampak injeksi asam amino terhadap perkembangan jaringan usus halus belum dilakukan. Berdasarkan hal tersebut maka telah dilakukan penelitian untuk mengetahui dampak injeksi asam amino yang telah diinjeksi dari telur tetas dengan waktu injeksi yang berbeda saat diinkubasi terhadap perkembangan jaringan usus halus ayam buras umur 7 hari setelah penetasan. Tujuan penelitian in ovo feeding adalah menstimulan peningkatan aktivitas metabolisme dengan peningkatan ketersediaan nutrien dalam hal ini asam amino lisin dan metionin dalam telur dan penggunaan nutrient di dalam yolk selama inkubasi, sebagai konsekuensinya dapat meningkatkan pertumbuhan embrio dan berat tetas serta perkembangan jaringan usus halus ayam buras setelah penetasan umur 7 hari.
2.
METODE PENELITIAN Penelitian ini telah dilaksanakan bulan Januari sampai dengan April 2013 di laboratorium Produksi Ternak
Unggas Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar. Penelitian ini dilakukan 2 tahap yaitu: tahap pertama telur diinkubasi sampai menetas dengan menggunakan telur bibit ayam buras sebanyak 900 butir yang dibagi kedalam 3 kelompok penetasan. Setiap kelompok penetasan terdiri dari 300 butir telur. Sebelum telur dimasukkan ke dalam mesin tetas terlebih dahulu dilakukan penimbangan telur untuk mengetahui berat telur. Pada hari ke-6 inkubasi dilakukan peneropongan (candling) untuk mengetahui telur yang fertil. Hari ke-7 atau hari ke-14 inkubasi dilakukan injeksi asam amino sesuai dosis perlakuan pada telur yang fertil, metode injeksi dimodifikasi (Ohta, 2001). Sebelum dilakukan injeksi asam amino, telur-telur terlebih dahulu dibor dengan menggunakan alat khusus. Setelah injeksi dilakukan telur-telur tersebut ditutup dengan parafin padat untuk mencegah masuknya bakteri ke dalam telur. Hari ke-21 dilakukan penimbangan bobot tetas. Perlakuan pada penelitian ini sebagai berikut: A0= Tanpa injeksi asam amino (kontrol) A1= Injeksi asam amino lisin dengan dosis 3,78 mg/0,5 ml aquades steril A2= Injeksi asam amino metionin dengan dosis 1,91 mg/0,5 ml aquades steril A 3= Injeksi asam amino lisin 3,78 mg + 1,91 mg/0,5 ml aquades steril T1= waktu injeksi asam amino hari ke-7 inkubasi T2=waktu injeksi asam amino hari ke-14 inkubasi Asam amino yang digunakan adalah asam amino kristal dengan tingkat kemurnian tinggi, dilarutkan dengan aquades steril. Tahap kedua yaitu: DOC dipelihara sampai umur 7 hari. Jumlah DOC yang digunakan pada tahap kedua yaitu 48 ekor yang diambil secara acak sebanyak 16 ekor setiap periode penetasan. Pada umur 7 hari dilakukan preparasi sampel usus. Analisis sampel usus dilakukan di laboratorium Balai Veteriner Maros. Parameter yang diukur adalah tinggi vili, lebar vili dan kedalaman kripta usus halus ayam buras umur 7 hari. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis ragam (ANOVA), menggunakan program SPSS versi 16, berdasarkan Rancangan Acak Kelompok pola faktorial (RAK), 4X2 dengan 3 ulangan (periode penetasan). Perlakuan yang berpengaruh nyata dilanjutkan dengan Uji BNT.
427
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bobot Tetas Ayam Buras Bobot tetas diperoleh setelah telur ayam ditetaskan dengan menggunakan mesin tetas. Rataan bobot tetas dari telur yang diinjeksi 4 jenis asam amino dengan 2 waktu injeksi yaitu hari ke-7 inkubasi atau hari ke-14 inkubasi dengan 3 periode penetasan. Berat tetas tertinggi yang diperoleh pada injeksi asam amino lisin 3,78 mg/0,5 ml aquades steril masing-masing hari ke-7 inkubasi yaitu 30,90 ±1,04 g dan hari ke-14 inkubasi 33,20 ± 5,17 g. Rataan bobot tetas tersebut lebih tinggi dari pada hasil penelitian Darwati dan Martojo (2000). Analisis ragam menunjukkan bahwa injeksi asam amino berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap bobot tetas telur. Berdasarkan uji Beda Nyata Terkecil menunjukkan bahwa injeksi asam amino berbeda nyata dengan tanpa injeksi asam amino (kontrol). Injeksi asam amino lisin 3,78 mg/0,5 ml aquades+metionin 1,91 mg/0,5 ml aquades steril pada telur tetas menghasilkan bobot tetas tertinggi dibandingkan dengan injeksi asam amino lainnya. Hal ini disebabkan karena tercukupinya kebutuhan lisin dan metionin dalam perkembangan embrio sehingga menghasilkan berat tetas paling tinggi. Selain itu terjadinya perbedaan bobot tetas juga disebabkan perbedaan kandungan putih telur dan kandungan kuning telur yang digunakan sebagai nutrisi untuk perkembangan embrio (Hartmann et al.,2003). Hal lain yang mempengaruhi bobot tetas adalah laju metabolisme dan masuknya kuning telur dalam tubuh yang dapat digunakan untuk pertumbuhan sel embrio sehingga dapat mempengaruhi bobot tetas. Gambar 1. menunjukkan pengaruh faktor utama yaitu injeksi jenis asam amino dapat meningkatkan bobot tetas (DOC). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa injeksi asam amino yang paling tinggi adalah injeksi campuran lisin+metionin (A3). Hal ini kemungkinan disebabkan suplay lisin dan metionin melalui telur dapat memacu terjadinya hiperplasia dan hipertropi embrio, meningkatnya pertumbuhan embrio berdampak pada bobot tetas lebih tinggi. Bobot tetas yang diinjeksi asam amino lisin+metionin lebih tinggi 14,00% dibanding dengan tanpa injeksi asam amino (kontrol). Waktu injeksi asam amino tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap bobot tetas. Hal ini berarti bahwa waktu injeksi asam amino dapat dilakukan pada hari ke-7 maupun hari ke-14 inkubasi, sedangkan interaksi antara jenis asam amino dan waktu inkubasi tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap bobot tetas. Dengan demikian, jenis asam amino dan waktu injeksi tidak saling mempengaruhi dalam hal meningkatkan bobot tetas.
Gambar 1. Bobot Tetas (g) yang Diinjeksi Asam Amino Pengukuran jaringan Ilium Usus Halus Anak Ayam Buras umur 7 hari
Tinggi Vili. Tinggi vili diperoleh dari hasil pemotongan ayam pada umur 7 hari, dengan pengambilan sampel pada bagian ilium usus halus. Pertimbangan pengambilan sampel usus halus bagian ilium, karena ilium merupakan tempat absorbsi paling optimal pada usus halus ayam buras. Rataan ukuran tinggi vili ilium usus
428
halus ayam buras pada umur 7 hari berasal dari telur tetas diinjeksi asam amino dengan waktu yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 1, dan hasil analisis laboratorium ukuran morfologi tinggi vili pada Gambar 2a. Tabel 1. Rataan Tinggi Vili, Lebar Vili dan Kedalaman Kripta ilium Usus Halus Ayam Buras pada Umur 7 hari dari Telur Tetas Diinjekasi Asam Amino dengan Waktu yang Berbeda (|im)
Perlakuan
Tinggi Vili (Mm)
Lebar Vili (Mm)
Kedalaman Kripta (Mm)
A0T1 A0T2 A1T1 A1T2 A2T1 A2T2 A3T1 A3T2
74,95 ± 40,18a 64,30 ± 28,00a 142,08 ± 53,32b 148,38 ± 68,72b 181,49 ± 74,44b 188,18 ± 41,91b 118,91 ± 76,63ab 125,31 ± 73,97b
56,09±19,36a 69,94±12,22a 96,88±25,39b 81,41±16,88b 80,76±38,60b 126,52±44,08b 75,02±19,10ab 93,14±24,13b
28,16 ±17,57a 37,47 ±20,25a 58,89 ±13,50b 62,72 ±34,04b 76,17 ±21,32c 106,56 ±28,48c 65,42 ±26,53bc 66,06 ±31,23bc
Keterangan: angka-angka yang diikuti superskrip yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata (P<0,05)
Berdasarkan analisis ragam menunjukkan bahwa injeksi asam amino berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap tinggi vili, sedangkan waktu injeksi dan interaksi antara asam amino dengan waktu injeksi tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi vili. Hasil Uji BNT menunjukkan bahwa A0 vs A1 dan A2 berbeda nyata, A0 vs A3 tidak berbeda nyata, A1 vs A2 dan A3 tidak berbeda nyata, A2 vs A3 tidak berbeda nyata. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tinggi vili ilium usus halus ayam buras diinjeksi asam amino lebih tinggi dibanding dengan tanpa diinjeksi asam amino (kontrol). Injeksi asam amino lisin, metionin, campuran antara lisin dan metionin tidak berbeda nyata( P>0.05) antara satu dengan yang lainnya. Hal ini kemungkinan disebabkan bahwa suplay asam amino metionin dengan dosis 1,91 mg/0,5 ml aquades,lisin 3,78 mg/0.5 ml aquades ke dalam telur tetas mampu menambah ukuran tinggi vili ilium usus halus. Disamping itu pertumbuhan usus, terutama peningkatan ukuran vili setelah penetasan dipengaruhi oleh lingkungan, fisiologi dan kondisi ternak itu sendiri.Dengan demikian semakin besar ukuran tinggi vili semakin baik, hal ini menunjukkan tempat penyerapan zat-zat makanan bagi ternak lebih banyak, pada akhirnya berdampak pada pertumbuhan ternak semakin besar. Seperti yang dijelaskan oleh Caspray (1992), bahwa meningkatnya tinggi vili pada permukaan usus banyak menyerap zat nutrisi dan tinggi vili dan sel lebih banyak dalam usus merupakan indikator bahwa fungsi vili pada usus aktif (Langhout et al., 1999).
429
Gambar 2. Ukuran (a) Tinggi vili ilium, (b) Lebar Vili dan (c) Kedalaman Kripta Usus Halus Ayam Buras Umur 7 hari yang berasal dari telur tetas diinjeksi asam amino dengan waktu yang berbeda (|im) Lebar Vili. Ukuran lebar vili usus halus ayam buras pada umur 7 hari, berdasarkan hasil analisis laboratorium dapat dilihat pada gambar 2b. Rataan ukuran lebar vili ilium usus halus ayam buras umur 7 hari yang berasal dari telur tetas diinjeksi asam amino dengan waktu yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa injeksi asam amino ke dalam telur tetas berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap lebar vili ilium usus halus ayam buras. Uji BNT menunjukkan A0 vs A1 dan A2 berbeda nyata dan A0 vs A3 serta A1 vs A2 dan A3 tidak berbeda nyata. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa injeksi asam amino lebih tinggi dibanding tanpa injeksi asam amino (kontrol) terhadap ukuran lebar vili ilium usus halus ayam buras pada umur 7 hari. Tingginya ukuran vili tersebut disebabkan karena salah satu fungsi metionin adalah membantu terjadinya proliferasi sel. Peningkatan ukuran vili telah dikaitkan dengan aktivasi proliferasi sel (Lauronen et al., 1998). Vili merupakan tempat penyerapan zat-zat gizi, semakin lebar vili maka semakin besar peluang tempat penyerapan zat-zat makanan, semakin banyak zat-zat makanan yang diserap pada akhirnya dapat berdampak pada pertumbuhan organ-organ tubuh, karkas, dll. semakin tinggi. Waktu injeksi tidak berpengaruh nyata terhadap lebar vili usus halus, begitu juga interaksi antara injeksi jenis asam amino dengan waktu injeksi tidak perpengaruh nyata terhadap lebar vili.Hal ini berarti bahwa waktu injeksi asam amino pada hari ke-7 inkubasi maupun hari ke-14 inkubasi belum mampu menambah ukuran lebar vili. Begitu juga interaksi antara waktu injeksi dan injeksi jenis asam amino belum mampu secara bersama-sama menambah ukuran lebar vili. Kedalamana Kripta. Hasil analisis laboratorium ukuran morfologi kedalaman kripta usus halus ayam buras umur 7 hari yang berasal dari telur tetas diinjeksi asam amino dengan waktu yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 2c dan rataan ukuran kedalam kripta usus halus ayam buras pada umur 7 hari dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan analisis ragam menunjukkan bahwa injeksi asam amino berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap kedalaman kripta. Waktu injeksi dan interaksi antara injeksi jenis asam amino dengan waktu injeksi tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kedalaman kripta. Hasil uji BNT menunjukkan A0 vs A1 dan A3 berbeda nyata (P<0,05), A0 vs A2, berbeda sangat nyata (P<0,01), A1 vs A2 berbeda nyata, sedangkan A1 vs A3 dan A2 vs A3 tidak berbeda nyata (P>0,05). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedalaman kripta yang diperoleh yang mendapat perlakuan injeksi metionin dengan dosis 1,91 mg/0,5 ml aquades steril. Hal ini disebabkan karena adanya aktifitas enzim protease sehingga dapat menambah ukuran kedalaman kripta. Hal lain kemungkinan peran metionin dalam perkembangan kripta secara fisiologi dapat terjadi hiperplasia dan hipertropi pada usus halus ayam buras umur 7 hari. Menurut Uni et al., (2000) dan Geyra et al.,(2001), terjadi peningkatan kripta dimulai 2 sampai 3 hari setelah penetasan. Peningkatan tersebut berhubungan dengan peningkatan jumlah dan ukuran sel dan . Hal yang sama dilaporkan Uni et al., (1999) dan Sklan, (2001), perubahan secara morfologi kemampuan jaringan usus untuk mencerna dan mengabsorbsi nutrien meningkat selama minggu pertama penetasan. Hasil penelitian ini secara umum ukuran vili dan kedalaman kripta yang tertinggi diinjeksi asam amino metionin dengan dosis 1,91 mg/0,5 ml aquades. Dengan
430
demikian, terjadi kontradiksi dengan bobot tetas yang diperoleh tertinggi yang diinjeksi asam amino lisin 3,78 mg +metionin 1,91 mg/0,5 ml aquades. Hal ini kemungkinan disebabkan karena suplay asam asam amino lisin + metionin pada saat inkubasi mampu menstimulasi pertumbuhan sel-sel otot yang tinggi dan ukuran organ yang lain lebih rendah, sehingga berat tetas yang diperoleh tinggi atau dengan kata lain pertumbuhan sel-sel secara proporsional pada otot lebih tinggi dibanding dangan organ pencernaan, sedangkan setelah penetasan terutama minggu pertama mengalami pertumbuhan pesat pada bagian organ pencernaan dibandingkan dengan organ lain. Hal lain kemungkinan kandungan metionin dalam pakan setelah dipelihara umur 7 hari cukup untuk membantu perkembangan sel-sel organ pencernaan, sel-sel pencernaan mengalami perkembangan cepat dibandingkan sel-sel tubuh yang lain. Selama periode pasca penetasan berat usus halus meningkat lebih cepat dibanding berat tubuh (Katanbaf et.al. 1988, Sell at.al. 1991, Sklan,2001) disebabkan kecepatan proliferasi enterocyte dan differensiasi. Apabila terjadi kegagalan pertumbuhan tersebut maka akan mempengaruhi pada masa yang akan datang termasuk dalam hal ini pada fase grower dan layer. Faktor lain kemungkinan mempengaruhi ukuran vili dan kedalaman kripta usus halus pada ayam buras meningkat pada umur 7 hari setelah penetasan adalah: pakan, breed, jenis kelamin, kondisi ternak itu sendiri, dll.
4. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.
Injeksi asam amino campuran antara lisin 3,78 mg+metionin 1,91 mg/ml aquades pada telur tetas (in ovo feeding) dapat meningkatkan bobot tetas 14% dibanding dengan kontrol.
2.
Injeksi asam amino metionin dapat meningkatkan ukuran tinggi vili, lebar vili, kedalaman kripta usus halus ayam buras umur 7 hari.
3.
Waktu injeksi asam amino dapat dilakukan pada hari ke-7 maupun hari ke-8 inkubasi.
Saran 1.
Untuk memacu pertumbuhan sel embrio dan berat tetas serta perkembangan jaringan usus halus ayam buras disarankan dapat dilakukan injeksi asam amino lisin dengan dosis 3,78 mg+metionin 1,91 mg/0,5 ml aquades.
2.
Perlu penelitian lebih lanjut mengenai produksi telur ayam buras dari telur tetas yang diinjeksi asam amino dan persilangan dari turunan pertama.
5. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, atas perkenaannya untuk melakukan penelitian. Ucapan yang sama kepada DIKTI atas bantuan biaya penelitian.
DAFTAR PUSTAKA Caspray, W.F. (1992). Physiology and pathology of intestinal absorption. Am.J.Clin.Nutr.55 (Suppl. 1):299s-308s. Darwati dan Martojo (2000). Pertumbuhan persilangan pelung x kampung pada pemeliharaan intensif. Med Pet. ( 24), 2. Freiji, T.S. and Daghir,N.J. (1982). Low protein, amino acid suplemented diet for laying hens. Poult.Sci.(61),1468. Geyra,A., Uni,Z. And D.Sklan.2001. Enterocyte dynamics and mucosal development in the posthatch chick. Poult.Sci.80, 776-782. Hartmann,C., Johansson, K., Strandberg E. And Rydmer L. (2003). Genetic correlation between the material genetic effect on chick weight and the direct genetic effect on egg composition traits in a white leghorn line. Poult.Sci. 82,1-8. Katanbaf,M.N., Dunnington,E.A., Siegel,P.B. (1988). Allomorphic relathionships from hatching to 56 days in parental lines and F1 crosses of chickens selected over 27 generations for high or low body weight, Growth Dev.Aging.52,11-22. Langhout, D.J., Schutte, J.B., Leewen, P.V., Wiebenga J. and Tamminga S. (1999). Effect of dietary high and low methyllated citrus pectin on the activity of the ileal microflora and
431
morphology of the small intestinal wall of broiler chickens. Br. Poult.Sci., 40, 340-347. Lourens A., Brend H.V.D., Majerhot R, and Kempt,B. (2005). Effect of egg shell temperature during incubation on Embryo Development, Hatchsbility, and Posthartch Development. Poult. Sci.84, 914-920. Lauronen,J., Pakarinen, M.P., Kuusanmakai, P., Savilahti, .E., Vento, P., Paavonen, T., and Haltunen. J. (1998). Intestinal adaptation after massive proximal small-bowel resection in the modulation of immunity in pig. Scand .J.Gastroenterol.33:152-158. Mauldin, J.M. (2002). Factor Affecting Hatchability. Commercial chicken meat and egg production. Fifth Edition. Department of Poultry Science Pennsylvania State University. University Park, Pennsylvania. Kluwer Academic .Publishers. Ohta, Y., Kidd, M.T., and Ishibashi. T. (2001): Embryo growth and amino acid concentration profiles of broiler breeder eggs, embryos, and chicken after in ovo administration of amino acids. Poult.Sci. 80,1430-1436. Sell,J.L. Angel,C.R. Piguer,F.J. Mallarino, E.G.and Al-Batshan, H.A. (1991). Develop0mental patterns of selected characteristics of the gastro intestinal tract of young turkeys. Poult.Sc.70,1200-1205. Sklan, D. (2001). Development of the digestive tract of poultry. Worlds Poult. J. 57, 415-428. Uni,Z. Noy,Y., and Sklan,D. (1999). Posthatch development of small intestinal function in the poult. Poult.Sci. 78, 215-222. Uni,Z., Geyra A.,Ben-Hur, H., and Sklan D. (2000). Small intestinal development in the young chick; crypt formation and enterocyte proliferation and migration. Br.Poult.Sci. 41,5444551. Zainuddin D., dan Jannah, I.R. (2002). Suplementasi asam amino lisin dalam ransum basal untuk ayam kampung petelur twerhadap bobot telur, indeks telur, daya tunas dan daya tetas serta korelasinya. Lokakarya Nasional Teknologi Pengembangan Ayam Lokal.
432