THE DETERMINATION OF CHRISTIAN HOLIDAYS IN INDONESIA BY USING MEEUS ASTRONOMICAL ALGORITHM A D M I R A L M U S A J U L I U S, R U K M A N N U G R A H A, I P U T U P U D J A*
ABSTRACT Astronomically, Easter falls on the first Sunday following the first full moon after the vernal equinox. In Indonesia, Christian holidays including Easter are regulated by the Ministry of Religious Affairs based on the recommendation of Indonesian Church Union (PGI) and Bishops Conference of Indonesia (KWI). This study objective is to formulate a simple time marker by using Meeus Astronomical Algorithm to determine Christian holidays in Indonesian Gregorian calendar. Another objective is to evaluate the Christian holidays on Indonesian calendar between 1960 and 2015. Finally, this study would also provide prediction for future Christian holidays. This study finds out that the Christian holidays on Indonesian calendar are proven as methodologically accurate. It indicates that Meeus Astronomical Algorithm can produce accurate calculation for determining Christian holidays in Indonesia in the future.
KEY WORDS: Meeus astronomical algorithm, christian holidays, Indonesian calendar
PENENTUAN HARI LIBUR NASIONAL UMAT KRISTEN DI INDONESIA MENGGUNAKAN ALGORITMA ASTRONOMI MEEUS A D M I R A L M U S A J U L I U S, R U K M A N N U G R A H A, I P U T U P U D J A
ABSTRAK Secara astronomis, perayaan Paskah jatuh pada hari Minggu pertama setelah bulan purnama pertama, setelah Matahari melalui Vernal Equinox. Di Indonesia tanggal libur keagamaan umat Kristen ditentukan oleh Kementerian Agama atas rekomendasi Persekutuan Gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI). Kajian ini bertujuan membuat program tanda waktu sederhana berdasarkan Algoritma Meeus untuk menentukan hari libur nasional umat Kristen di Indonesia pada kalender masehi, juga untuk evaluasi data hari libur umat Kristen dalam sejarah kalender Indonesia yang tercatat pada tahun 1960 hingga 2015 serta prakiraan hari libur umat Kristen di masa depan. Hasil menunjukkan bahwa tidak ditemui perbedaan pada Kalender Indonesia. Ini membuktikan bahwa hari libur umat Kristen di Indonesia tidak pernah menyimpang dari ketentuan. Dengan ini maka program Algoritma Meeus dapat direkomendasikan sebagai program tanda waktu hari libur nasional umat Kristen di Indonesia.
KATA KUNCI: Algoritma astronomi meeus, hari libur Kristen, kalender nasional
*Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jl. Angkasa 1 No.2, Kemayoran, Email:
[email protected] *Naskah diterima Agustus 2015, direvisi November 2016, disetujui untuk diterbitkan Desember 2016
Dialog
Jakarta
10720.
Vol. 39, No.2, Desember 2016
131
A. PENDAHULUAN Hari libur nasional dalam kalender Indonesia dibuat untuk memperingati peristiwa sejarah keagamaan, perjuangan kemerdekaan dan tahun baru. Hari libur nasional umat Kristen di Indonesia di antaranya: Natal untuk memperingati kelahiran Yesus Kristus, Jumat Agung untuk memperingati wafat Yesus Kristus, Minggu Paskah atau dua hari setelah Jumat Agung untuk memperingati kebangkitan Yesus Kristus, dan Asensi yang jatuh 39 hari setelah Minggu Paskah untuk memperingati kenaikan Yesus Kristus ke Surga. Adapun hari raya Pentakosta yang jatuh 49 hari setelah Minggu Paskah tidak dijadikan libur nasional dalam kalender Indonesia. Dalam penentuan Natal dan Paskah sebagai dua hari raya utama umat Kristen, terdapat perbedaan metode dalam penentuannya. Penentuan hari Natal mengacu pada sistem penanggalan matahari. Acuannya adalah waktu yang dibutuhkan bumi untuk mengelilingi matahari satu putaran penuh. Adapun Paskah ditentukan berdasar sistem penanggalan bulanmatahari, paduan sistem penanggalan matahari dan penanggalan bulan (Seidelmann, P. K., 1992). Secara sederhana, Perayaan Paskah jatuh pada hari Minggu pertama setelah bulan purnama pertama, setelah matahari melintasi Ekuinoks Vernal. Jika bulan purnama terjadi pada hari minggu, Paskah jatuh pada Minggu berikutnya. Akibatnya tanggal Hari Raya Paskah selalu terjadi antara 21 Maret sampai dengan 25 April. Hal ini berbeda dengan hari raya Natal, dirayakan setiap tanggal 25 Desember yang hanya mengacu pada sistem penanggalan matahari (Seidelmann, P. K., 1992). Di Indonesia sendiri tanggal libur keagamaan umat Kristen ditentukan oleh Kementerian Agama atas rekomendasi Persekutuan Gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) yang bersumber dari kalender Kristen Internasional. Penentuan hari raya Paskah oleh PGI ditentukan berdasarkan kalender Kristen Internasional, bukan berdasarkan perhitungan astronomis oleh PGI (Rachman, R., 2012). Berdasarkan fakta ini penulis merasa perlunya ada perhitungan astronomis mandiri penentuan hari raya umat Kristen asli Indonesia, dengan harapan mengurangi ketergantungan 132
Penentuan Hari Libur Nasional...
PGI dan KWI terhadap kalender Internasional. Melalui kajian ini penulis bertujuan membuat program tanda waktu sederhana penentuan hari libur umat Kristen di Indonesia pada kalender masehi dan evaluasi data hari libur umat Kristen dalam sejarah kalender Indonesia yang tercatat pada almanak Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan almanak PGI 50 tahun ke belakang dan prakiraan hari libur umat Kristen hingga 50 tahun ke depan.
B. KAJIAN LITERATUR Penulis menggunakan perhitungan algoritma Jean Meeus karena perhitungannya yang sederhana, literatur mudah didapat dan banyak dijadikan dasar bagi para astronom. Penanggalan matahari dan bulan yang dimuat pada The Astronomical Almanac oleh Meeus (1991) menjadi dasar penulisan metode two body integral yang dituliskan Milani dan Gronchi (2009) untuk menjelaskan mekanisme pengorbitan sistem tata surya dan Seidelmann (1992) untuk menjelaskan mekanisme kalender dunia. Julian Day Julian Day ( JD) didefinisikan sebagai banyaknya hari yang telah dilalui sejak hari Senin tanggal 1 Januari tahun 4713 SM (= - 4712) pada pertengahan hari atau pukul 12:00:00 UT (Universal Time) atau GMT. Julian Day digunakan untuk memudahkan perhitungan yang berkaitan dengan tanggal dan penentuan posisi benda langit (bulan dan matahari), kemiringan orbit rotasi bumi, menghitung waktu terjadinya ekuinoks dan solstice, dan sebagainya (Meeus, J., 1991). Algoritma Meeus Algoritma Astronomi merupakan panduan bagi astronom yang hendak melakukan perhitungan dengan prosedur matematis, bilangan rasional dan rumus yang membantu memberikan solusi masalah. Metode Algoritma Meeus penentuan Paskah sebelumnya pernah dimuat oleh Spencer Jones dalam buku karangannya General Astronomy halaman 73-74 edisi tahun 1924. Kemudian dipublikasikan lagi di Journal of the British Astronomical Association, Vol.88, halaman 91 (Desember 1977) yang diterapkan dalam Kalender Ekklesiastik Butcher. Tidak seperti rumus yang
diberikan Gauss, metode ini tidak ada pengecualian dan berlaku sepanjang tahun di kalender Gregorius (Meeus, J., 1991). Berikut ini prosedur penentuan tanggal paskah:
C. METODE PENELITIAN Pengumpulan data hari libur Jumat Agung, Minggu Paskah dan Asensi tahun 1960-2015 bersumber dari Almanak BMKG dan tahun 20022022 dari Buku Almanak Kristen Indonesia (BAKI) terbitan Persekutuan Gereja di Indonesia (PGI). Kementerian Agama tidak membuat katalog hari libur sejak kalender resmi pertama diterbitkan, sehingga penulis menggunakan Almanak BMKG sejak tahun 1960 karena mengacu pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara setiap tahunnya. Alur kutipan hari raya Kristen di Indonesia sebagai berikut:
Kajian diawali dengan membuat kurva data waktu terbit bulan purnama setelah vernal equinox (FM-EV) dengan Minggu Paskah setiap tahunnya, menerapkan Algoritma Meeus dalam perhitungan hari raya Paskah, kemudian pengumpulan data hari libur Jumat Agung, Minggu Paskah dan Asensi tahun 1960-2015 bersumber dari Almanak Tanda Waktu (BMKG, 2014) dan tahun 2002-2022 dari BAKI (Rachman, R., 2012) untuk dibandingkan dengan hasil perhitungan Algoritma Meeus. Dengan ditemukannya hari raya Paskah, Jumat Agung dapat ditentukan dengan mengurangi 2 hari sebelum Paskah sedangkan Asensi ditentukan dengan menambah 39 hari setelah Paskah (Rachman, R., 2012). Hasil perhitungan tersebut dibandingkan dengan data historis untuk evaluasi sejarah penanggalan dan prakiraan penanggalan tahun berikutnya. Berikut ini langkah penelitian yang disajikan dalam flowchart.
Gambar 2. Diagram Alir Pengolahan hingga Analisis Data
Pada dasarnya kajian ini dapat dilakukan juga dengan cara konvensional melalui perhitungan yang tidak atau belum banyak melakukan penyederhanaan. Untuk itu, kajian selanjutnya sangat direkomendasikan dilakukan studi komparatif antara perhitungan modern dan konvensional.
D. HASIL Gambar 1. Alur Birokrasi Penetapan Hari Libur Umat Kristen di Indonesia
Kurva waktu terbit bulan purnama setelah vernal equinox (FM-EV) dengan Minggu Paskah PGI (2002-2022).
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
133
Gambar 3. Kurva waktu terbit bulan purnama setelah vernal equinox (FM-EV) dengan Minggu Paskah
Sumber: Astronomical Society of South Australia (2013)
Kurva waktu terbit bulan purnama setelah vernal equinox (FM-EV) dengan Minggu Paskah menunjukkan bahwa Minggu Paskah selalu berada setelah bulan purnama vernal equinox sesuai dengan ketentuannya. Dengan memasukkan tahun pada Algoritma Meeus dapat ditentukan Hari Paskah tahun 19602060. Berikut ini merupakan kurva perbandingan antara hasil perhitungan Algoritma Meeus dengan Almanak Tanda Waktu (BMKG, 2014) dan BAKI (Rachman, R., 2012).
Gambar 5. Kurva Perbandingan ke Depan
Kurva Perbandingan menunjukkan bahwa tidak ditemui perbedaan penentuan hari raya pada Algoritma Meeus, BMKG dan PGI. Kesamaan ini menandakan bahwa metode penentuan hari raya oleh ketiganya adalah sama. Evaluasi ini penting dilakukan untuk membuktikan bahwa hari raya umat Kristen yang selama ini dirayakan tidak pernah mengalami kesalahan tanggal. Berikut ini merupakan kurva prakiraan tanggal hari libur umat Kristen di Indonesia hingga tahun 2060 menggunakan Algoritma Meeus:
1. Kurva Perbandingan ke Belakang (19602015)
Gambar 6. Kurva prakiraan tanggal hari libur umat Kristen di Indonesia tahun 2015-2060
Gambar 4. Kurva Perbandingan ke Belakang
2. Kurva Perbandingan ke Depan (20162022)
134
Penentuan Hari Libur Nasional...
Prakiraan hari raya umat Kristen di tahuntahun mendatang menggunakan Algoritma Meeus dapat dipercaya karena kesesuaian dengan data historis. Perhitungan ini dapat diajukan kepada PGI dan KWI sebagai perhitungan hari raya Kristen mandiri yang tidak bergantung pada acuan lain. Dengan ini maka program Algoritma Meeus dapat dijadikan program tanda waktu hari libur nasional umat Kristen di Indonesia.
E. PENUTUP Kesimpulan a. Hasil perhitungan hari raya Kristen menggunakan Algoritma Meeus sama dengan data Almanak BMKG dan BAKI PGI. b. Belum ditemukan kesalahan prakiraan penentuan hari raya Kristen di Indonesia. c. Perhitungan Algoritma Meeus untuk menentukan hari raya Kristen dapat dijadikan program tanda waktu hari libur nasional umat Kristen di Indonesia.
Saran Program hari raya hasil kajian ini sebaiknya dapat diujicoba untuk menjadi produk baru Kementerian Agama RI, BMKG, dan institusi lain yang berwenang.
D A F TA R P U S TA K A
Bidang Geofisika Potensial dan Tanda Waktu. Almanak 1960-2015. Jakarta: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, 1960-2015. Djamaluddin, T., Muhammad Husni, and Sunarjo. Hisab Rukyat di Indonesia serta Permasalahannya. Jakarta: BMKG, 2010. Meeus, Jean. Astronomical Algorithm. Virginia: Wilmann-Bell Inc, 1991. Rachman, Rasid, et al. Buku Almanak Kristen Indonesia 2013. Jakarta: PGI, 2012.
Rachman, Rasid. 2013 (Private Communication) Seidelmann, P. K. Explanatory Supplement to The Astronomical Almanac. Mill Valey: University Science Books, 1992. Tondering, C, Calendar. http://www.tondering.dk/ claus/calendar.ht (accessed July, 2013). Astronomical Society of South Australia. Easter Dating Method. http://www.assa.org.au/ edm.html (accessed August, 2013).
Rachman, Rasid. Hari Raya Liturgi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011.
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
135
Lampiran 1. Gambar tampilan perhitungan hari raya Nasrani dengan Ms.Excel berbasis Meeus Algorithm-Julian Day.
3. Tanggal Paskah dari berbagai Metode:
Keterangan: Paskah Yahudi dirayakan oleh agama Yudaisme, Paskah Gregorian dirayakan oleh agama Kristen Ritus Barat, Paskah Julian dirayakan oleh agama Kristen Ritus Timur. 2. Tabel Fase Bulan Purnama setelah Vernal Equinox tahun 2002-2022
Sumber : Astronomical Society of South Australia, 2014
136
Penentuan Hari Libur Nasional...
4. Gambar Keputusan Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama tahun 2014
Sumber : Kementerian Agama Republik Indonesia, 2013
5. Surat Pengajuan Hari Libur Nasional Umat Kristen dan Cuti Bersama oleh Dirjen Bimas Kristen tahun 2016
Sumber: Kementerian Agama Republik Indonesia, 2015
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
137
138
Penentuan Hari Libur Nasional...
THE RANKING PERFORMANCE ON SHARIA FINANCIAL INSTITUTIONS BASED ON MAQASHID AL-SHARI’AH H E R N I A L I HT and A L I R A M A*
ABSTRACT This study aims at developing the concept of maqashid al-shari’ah as the fundamental principles for sharia banks. It also sought to develop measurement methods through relevant performance ratio. Maqashid al-shari’ah principles are underlined by three major concepts, namely: (i) individual learning (tahdhib al-fard); justice enforcement (iqamah al-‘adl); and welfare improvement (jalb al-maslahah). These three concepts are then derived into measurable dimentions, elements, and indicators for public sharia banks in Indonesia. This study employed indexation and benchmarking to 2014 financial report and it found that there is no correlation between the sharia bank assets to their maqashid al-shari’ah performance. Bank Syariah Mandiri with the biggest asset, for instance, perfomed low in the principle of maqashid al-shari’ah. On the contrary, Bank Maybank Syariah and Panin Syariah with less assets performed better. This study suggests that sharia banks Indonesia should apply maqashid al-shari’ah principles for the organizational goals and evaluation method.
KEY WORDS: Maqashid al-shari’ah, financial performance, individual learning, justice, welfare, sharia banks
PERINGKAT KINERJA LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH BERDASARKAN MAQASHID SYARIAH H E R N I A L I HT dan A L I R A M A
ABSTRAK Penelitian ini bermaksud untuk mengembangkan konsep maqashid syariah (MS) sebagai basis penentuan tujuan utama yang harus dicapai oleh bank syariah yang selanjutnya dikembangkan metode pengukurannya melalui rasio-rasio kinerja yang relevan. Konsep MS didasarkan pada tiga tujuan utama yang ingin dicapai, yaitu (i) pendidikan individu (tahdhib al-fard); (ii) penegakan keadilan (iqamah al-‘adl); dan (iii) mendorong kesejahteraan (jalb al-maslahah). Ketiga konsep itu selanjutnya diturunkan menjadi dimensi, elemen dan indikator terukur pada masing-masing bank umum syariah di Indonesia. Dengan menggunakan metode indeksasi dan pembobotan dengan data laporan keuangan tahun 2014, penelitian ini menemukan bahwa tidak ada korelasi antara jumlah aset bank syariah dengan kinerja MS-nya. Hal ini terlihat bank Mandiri Syariah sebagai Bank Umum Syariah (BUS) terbesar asetnya di Indonesia justru memiliki kinerja MS yang rendah. Sebaliknya, bank Maybank Syariah dan Panin Syariah yang jumlah asetnya relatif jauh lebih kecil justru memiliki kinerja MS yang tinggi. Oleh karena itu, bank syariah di Indonesia harus menjadikan maqashid shariah sebagai tujuan organisasi dan mengembangkan metode evaluasinya.
KATA KUNCI: Maqashid syariah, kinerja keuangan, pendidikan individu, keadilan, kesejahteraan, bank syariah *Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Email:
[email protected]. Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Email:
[email protected] *Naskah diterima Oktober 2016, direvisi November 2016, disetujui untuk diterbitkan Desember 2016
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
139
A. PENDAHULUAN Sistem perbankan dalam perekonomian memainkan peran yang sangat strategis, yaitu sebagai lembaga intermediasi yang mempertemukan antara unit surplus (pihak kelebihan dana) dengan unit defisit (pihak kekurangan dana). Sistem perbankan menciptakan efisiensi ekonomi dalam distribusi permodalan bagi sektor-sektor yang membutuhkan untuk kegiatan produktif. 1 Kehadiran perbankan syariah berdampingan dengan sistem konvensional sejatinya memberikan peran dan fungsi yang sama bahkan lebih dibandingkan dengan sistem perbankan konvensional yang sudah ada dengan keunikan pada kepatuhan terhadap prinsip dan aturan syariah. 2 Perbankan syariah harus menciptakan efisiensi dalam distribusi modal dari unit surplus ke unit defisit. Kinerja intermediasi perbankan syariah semenjak didirikan di Indonesia pada tahun 1992 dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia sebagai bank Islam pertama menunjukkan kinerja yang cukup menjanjikan.3 Dengan berkembang pesatnya perbankan syariah di tanah air, terdapat pertanyaan yang cukup janggal di tengah kritik yang berseliwuran tentang perbankan syariah. Beberapa kalangan mengangggap bahwa bank syariah tidak jauh beda dengan bank konvensional, perbedaannya hanya terletak pada akad-akad saja, tapi secara substansi mereka menganggap sama saja. Sebagai respon atas kritik tersebut perlu dikaji kembali apa sebenarnya tujuan dari perbankan syariah? Berdasarkan penelusuran kajian pustaka tidak ditemukan sebuah usaha yang serius untuk menjawab pertanyaan tersebut. Kehadiran perbankan syariah, menurut Siddiqi, 4 hanya sebagai bentuk usaha untuk menghindari riba. Bahkan menurutnya, riba hanya didefinisikan sebagai bunga (interest). Oleh karena itu, menurut
1
Lihat Ali Rama.”Perbankan Syariah dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia”. Signifikan, 2 (2013): 33–56. 2 Ali Rama and Salina H Kassim. “Analyzing Determinants of Assets and Liabilities in Islamic Banks: Evidence from Indonesia”. Review of Islamic Economics, Finance, and Banking, 1 (2013): 34– 53. 3 Lihat Ali Ramai. “Analisis Deskriptif Perkembangan Perbankan Syariah Di Asia Tenggara”. Journal of Tauhidinomics, 1 (2015): 1–25. 4 M. Nejatullah Siddiqi. “Islamic Banks: Concept, Precept and Prospects”. Review of Islamic Economics, (2009): 21–35.
140
Mustafa dan Razak5perlu ada usaha yang serius untuk menjelaskan tujuan bank syariah berdasarkan pandangan sarjana Muslim (ekonomi Muslim) dan teori-teori yang ada. Ketiadaan studi komprehensif tentang tujuan pendirian bank syariah telah memberikan ruang bagi praktisi perbankan syariah untuk mengadopsi pendekatan-pendekatan yang selama ini digunakan oleh perbankan konvensional. Penghitungan kinerja perbankan syariah, misalnya, selama ini yang digunakan lebih menggunakan pendekatan bank konvensional. Indikator-indikator kesuksesan suatu bank syariah diukur melalui rasio keuangan yang umumnya lebih menekankan aspek maksimalisasi keuntungan. 6Pertanyaannya adalah apakah metode tersebut sudah tepat untuk merepresentasikan tujuan bank syariah itu sendiri? Berdasarkan pada hal tersebut, perlu dilakukan suatu pendekatan baru dalam mengukur kinerja perbankan syariah yang sesuai dengan tujuan dari bank syariah itu sendiri. Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud untuk mengkonstruksi tujuan bank syariah berdasarkan pada teori maqashid syariah (MS). Tujuan tersebut selanjutnya dikembangkan sebagai metode pengukuran kinerja bank syariah. Metode indeksasi dilakukan untuk merangking kinerja bank syariah di Indonesia dalam hal pencapaian tujuan bank syariah berdasarkan teori MS.
B. KAJIAN KONSEP MAQASHID SYARIAH Bagian ini akan melakukan studi pustaka tentang konsep maqashid syariah (MS) dan penggunaan konsep tersebut sebagai alat pengukur kinerja ekonomi. Konsep MS belakangan dikembangkan sebagai model pengukur kinerja sebagai alternatif atas modelmodel kinerja yang selama ini digunakan. 1. Konsep Maqashid Syariah Menurut Wahbah Al-Zuhaili maqashid syariah adalah: nilai-nilai dan sasaran syara’ yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-
5 Omar Mustafa and A. Dzuljastri Razak. “The Performance Measures of Islamic Banking Based on the Maqashid Framework”. In IIUM International Accounting Conference, 2008. 6 Ahmad Rodoni dan Herni HT Ali, Manajemen Keuangan Modern (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2014).
Peringkat Kinerja Lembaga Keuangan Syariah ...
hukum, nilai dan sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syariat yang ditetapkan oleh syari’ dalam setiap ketentuan hukum. Selanjutnya, Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan maqashid syariah sebagai suatu alat bantu untuk memahami redaksi Al-Qur’an dan Hadis, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung dalam Al-Qur’an dan Hadis. Jadi, maqashid syariah adalah tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Maksudnya adalah sesuatu yang menjadi sasaran (sesuatu yang hendak dicapai) atau alasan kenapa Allah dan Rasul-Nya merumuskan hukum-hukum Islam. 7 Sementara itu, tujuan Allah mensyari’atkan hukum-hukum-Nya adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia dan tujuan tersebut hendak dicapai melalui tuntutan (takhlif) yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum yang utama yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Jadi tujuan Allah dalam mensyari’atkan hukum-Nya adalah untuk kemaslahatan umat manusia sehingga dalam menjalani kehidupannya, khususnya umat Islam, tidak melenceng dari apa yang diperintah dan dilarang oleh Allah.8 Qardhawi9 mendefinisikan maqashid al-syariah sebagai tujuan yang menjadi target teks dan hukum-hukum partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia. Baik berupa perintah, larangan, dan mubah. Untuk individu, keluarga, jamaah, dan umat. Atau disebut dengan hikmahhikmah yang menjadi tujuan ditetapkannya hukum, baik yang diharuskan ataupun tidak. Karena setiap hukum yang disyariatkan kepada tiap hamba-Nya pasti ada kandungan hikmahnya, yaitu tujuan luhur di balik kandungan hukum tersebut. Imam Al-Ghazali dan Al-Shatibi merinci lima unsur pokok yang menjadi tujuan syariat yaitu pemeliharaan agama (din), nyawa (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl) dan harta (mal). Menurut Al-Ghazali, tujuan utama syariah adalah untuk melayani kepentingan manusia dan untuk menjaga mereka dari segala sesuatu yang
7
Faturrahman Djamil Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997). 8 Lihat SatriaEfendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005). 9 Lihat Yusuf Qardhawi, Fiqh Maqashid Syariah (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007)
mengancam eksistensinya.10 Segala sesuatu yang melindung lima unsur kepentingan publik tersebut maka dianjurkan dilakukan. Dan sebaliknya, segala sesuatu yang mengancamnya adalah harus dihilangkan. 11 Al-Ghazali selanjutnya membagi tingkatan kebutuhan manusia menjadi tiga tingkatan, yaitu dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat. Berdasarkan pada definisi, jenis dan tingkatan MS yang telah diuraikan sebelumnya menunjukkan bahwa ulama-ulama yang memiliki perhatian terhadap MS memiliki pandangan yang beranekaragam tentang hal tersebut. Meskipun terdapat perbedaan, namun pendapat ulama-ulama tersebut secara umum memiliki persamaan. Oleh karena itu, Zaharan12melakukan klasifikasi tujuan syariah (maqashid syariah) ke dalam tiga area utama, yaitu: (i) pendidikan indvidu (tahdhib al-fard), (ii) penegakan keadilan (iqamah al-‘adl), dan (iii) mendorong kesejahteraan (jalb al-maslahah). Tiga klasifikasi tersebut pada intinya merupakan gabungan atau penyederhanaan dari pandanganpandangan ulama terdahulu tentang maqashid shariah. Penelitian ini menggunakan klasifikasi Zaharan (1958) dalam menemukan tujuan utama dari syariat (agama Islam) yang selanjutnya dikembangkan menjadi indeks maqashid syariah sebagai alat pengukuran kinerja. 2. Pengukuran Kinerja Bank Syariah Pengukuran kinerja (performamce measuremen), menurut Lynch, 13 adalah suatu bentuk feedback yang diterima oleh suatu organisasi (perusahaan) dari aktivitas yang sudah dilakukannya. Kinerja dapat pula diartikan sebagai sebuah proses yang menentukan apakah sebuah organisasi telah mencapai tujuannya.14 Dengan demikian, pengukuran kinerja atau indikator memiliki hubungan atau keterkaitan dengan pencapain tujuan sebuah perusahaan. 10 Umar Chapra, The Islamic Vision of Development in the Light of Maqasid Al Shariah (IDB, 2008), 4. 11 Ali Rama dan Makhlani. “Pembangunan Ekonomi Dalam Tinjauan Maqashid Syariah”. Dialog, 1 (2013): 31–46. 12 Lihat M. Abu Zaharan, Ushulul Fiqh (Mesir: Dar el-Fikri al Arabi, 1958). 13
Lihat Richard Lynch, Corporate Strategy (London: Pitman Publishing, 1997). 14 P. Rouse and M Putterill. “An Integral Framework for Performamce Measurement”. Jurnal Management Decision, 41 (2003): 791–805.
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
141
Saat ini yang terjadi, perbankan syariah menggunakan alat-alat ukur kinerja perbankan pada umumnya untuk mengukur kinerja mereka terkait dalam pencapaian tujuannya. Hal demikian terjadi disebabkan belum adanya studi komprehensif tentang tujuan perbankan syariah yang selanjutnya diturunkan menjadi indikatorindikator terukur. Oleh karena itu, perlu ada upaya serius untuk mengembangkan sistem pengukuran kinerja perbankan syariah selain alatalat ukur bersifat keuangan seperti yang digunakan pada perbankan konvensional. Dusuki dan Irwani 15 berusaha mengukur kinerja CSR (corporate social responsibility) perbankan syariah menggunakan pendekatan maqashid syariah. Studi survei tersebut menemukan bahwa nasabah, depositor, komunitas setempat, manajer, karyawan, regulator dan dewan pengawas syariah memiliki pandangan positif tentang CSR. Hamed et al. (2005) mengembangkan suatu model untuk mengukur kinerja perbankan syariah dengan sebutan “Islamcity Disclosure Index”. Penelitian ini berusaha membandingkan kinerja antar dua bank syariah. Model indeks yang dibangun terdiri dari indikator utama, yaitu kepatuhan syariah (shariah compliance), tata kelola perusahaan (corporate governance), dan lingkungan sosial (social environment). Indikator-indikator tersebut selanjutnya direpresentasikan melalui tujuh kriteria utama, yaitu rasio bagi hasil, rasio kinerja zakat, rasio distribusi merata, rasio kesejahteraan pegawai, investasi syariah vs investasi non syariah, pendapatan halal vs pendapatan nonhalal dan indeks AAOIFI. Studi ini cukup menarik dikarenakan mengembangkan suatu pendekatan baru dalam menilai kinerja suatu bank syariah dengan tidak semata menggunakan alat ukur rasio keuangan yang digunakan di sistem konvensional. Namun, studi tersebut tidak secara spesifik mengembangkan modelnya dengan menggunakan kerangka maqashid syariah. Mustafa dan Razak16mengembangkan suatu model pengukuran kinerja bank syariah didasarkan pada kerangka MS dengan studi
kasus bank syariah di Malaysia, Indonesia, Sudan, Bahrain, Jordan dan Bangladesh. Model MS yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah klasifikasi. 17 Ketiga aspek dari tujuan syariah tersebut direpresentasikan dalam sejumlah rasio keuangan yang relevan dan selanjutnya dilakukan perbandingan kinerja antar satu bank syariah dengan bank syariah lainnya dalam rangka pencapaian tujuan syariah tersebut. Penelitian tersebut menemukan bahwa Bank Islamic International Arab di Jordan memiliki peringkat pencapaian tujuan syariah yang tertinggi dibandingkan dengan bank syariah di negara-negara lain. Hal yang menarik adalah Bank Mandiri Syariah yang ada di Indonesia dalam penelitian tersebut menempati posisi ke-2 tertinggi dalam pencapaian kinerja MS. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Afrinaldi18dalam mengukur kinerja bank syariah menggunakan pendekatan MS terhadap 5 bank umum syariah di Indonesia untuk periode keuangan 2009-2011. Penelitian ini sepenuhnya mengadopsi model indeks MS yang telah dikembangkan peneliti terdahulu terutama Mustafa and Razak (2008). Penelitian tersebut menemukan bahwa Bank Muamalat Indonesia menempati peringkat tertinggi dalam pencapaian tujuan MS yang selanjutnya diikuti oleh Bank Syariah Mandiri pada urutan kedua. Penelitian tersebut mengkonfirmasi bahwa ada korelasi antara pencapaian kinerja MS dengan jumlah aset bank yang dimiliki. Hal ini terlihat pada peringkat pertama dan kedua yang ditempati oleh Bank Muamalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri sebagai peringkat tertinggi perolehan skor nilai dan sebagaimana diketahui bahwa kedua bank tersebut merupakan bank umum syariah terbesar di Indonesia dari segi kepemilikan aset. Kekurangan penelitian tersebut adalah hanya memilih bank syariah beraset besar dengan mengesampingkan bank syariah beraset kecil.
15 Lihat Asyraf Wajdi Dusuki and Abdullah Nurdianawati Irwani. “Maslahah and Corporate Social Responsibility”. The American Journal of Islamic Social Science, 24 (2005): 25–42. 16 Omar Mustafa and A. Dzuljastri Razak. “The Performance Measures of Islamic Banking Based on the Maqashid Framework’. Iin IIUM International Accounting Conference, 2008.
17 M. Abu Zaharan, Ushulul Fiqh (Mesir: Dar el-Fikri al Arabi, 1958). 18 Afrinaldi. “Analisis Kinerja Perbankan Syariah Ditinjau Dari Maqashid Shariah: Pendekatan Syariah Maqashid Indekx (SMI) Dan Profitabilitas Bank Syariah”. Dalam Forum Riset Keuangan Dan Perbankan Syariah Di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013.
142
C. METODOLOGI PENELITIAN 1. Data Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis data
Peringkat Kinerja Lembaga Keuangan Syariah ...
kuantitatif yang bersumber dari data sekunder, yaitu data yang tersedia melalui laporan keuangan yang secara resmi dipublikasikan di media cetak ataupun diupload di masing-masing website bank syariah yang menjadi objek dari penelitian ini. Data-data sekunder tersebut dikumpulkan dan diolah sesuai dengan kepentingan dan tujuan dari penelitian ini. Tahun dasar yang digunakan adalah tahun 2014. Tahun ini dipilih didasarkan pada kelengkapan data untuk masing-masing objek penelitian ini. Objek penelitian adalah semua Bank Umum Syariah (BUS) yang jumlahnya mencapai 12 bank. Data-data sekunder untuk mencapai tujuan penelitian akan diambil dari masing-masing BUS tersebut. Adapun nama-nama BUS yang menjadi objek penelitian ini adalah sebagai berikut:Bank Syariah Mandiri, Bank Mega Syariah, Bank Muamalat Indonesia, Bank Victoria Syariah, BCA Syariah, Bank Maybank Syariah, Panin Bank Syariah, Bank Syariah Bukopin, Bank Tabungan Pensiun Nasional Syariah, BNI Syariah dan Bank Jawa Barat Syariah. Penelitian ini hanya mencakup 11 BUS minus BJB Syariah dikarenakan pertimbangan ketidaklengkapan data. 2. Metode Pengukuran Indeks Maqashid Syariah Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengukur kinerja perbankan syariah dengan menggunakan indeks MS melalui indikatorindikator terukur. Penelitian ini mengadopsi konsep MS yang dikembangkan oleh Mustafa & Razak(2008). Konsep MS diturunkan dari tiga tujuan utama yang harus diprioritaskan oleh bank syariah, yaitu (i) pendidikan indvidu (tahdhib al-fard); (ii) penegakan keadilan (iqamah al-‘adl); dan (iii) mendorong kesejahteraan (jalb al-maslahah). Operasionalisasi tiga tujuan utama tersebut ke dalam dimensi dan indikator-indikator terukur didasarkan pada metode yang dikembangkan oleh Sekaran (2000), yaitu sebuah model operasionalisasi konsep ke dalam bentuk beberapa dimensi yang selanjutnya diderivasikan ke dalam beberapa elemen yang terukur. Detailnya, konsep MS diturunkan menjadi tiga dimensi, yaitu (i) pendidikan indvidu (tahdhib al-fard); (ii) penegakan keadilan (iqamah al-‘adl); dan (iii) mendorong kesejahteraan (jalb almaslahah). Selanjutnya, masing-masing dimensi tersebut diderivasikan menjadi elemen-elemen terukur dan terkecil. Setelah dilakukan
operasionalisasi konsep, selanjutnya dilakukan pembobotan untuk menemukan nilai komposit indeks untuk masing-masing dimensi dan kategori. Operasionalisasi konsep MS ke dalam indikator-indikator terukur dalam konteks perbankan syariah dapat dilihat pada Tabel 1. Indikator-indikator tersebut dapat dijadikan sebagai alat ukur penilaian kenerja perbankan syariah dalam pencapaian tujuan berdasarkan pada konsep MS. Tabel 1: Operasional Indeks Maqashid Shariah Perbankan Syariah
Sumber: Adaptasi Mustafa dan Razak(2008)
a. Pendidikan individu (tahdhib al-fard) – (T1) Tujuan pertama dari syariah (maqashid syariah) yang dikembangkan menjadi konsep tujuan dalam penelitian ini adalah peningkatan pendidikan individu. Bank syariah memiliki misi untuk selalu meningkatkan pendidikan individu (pegawai) begitu pula dengan masyarakat secara umum. Adapun dimensi, elemen, serta indikator dari tujuan pertama (maqashid syariah) ini dalam konteks pengukuran kinerja perbankan syariah adalah: 1) Peningkatan pengetahuan (D1,1) Bank syariah sebagai lembaga keuangan yang menawarkan produk dan layanan sesuai prinsip syariah harus memiliki misi untuk mengembangkan pengetahuan bagi para pegawainya begitu pula dengan masyarakat secara umum. Misi ini dapat diukur melalui dua elemen, yaitu seberapa besar biaya pendidikan (E1,1,1) dan biaya riset (E1,1,2) yang dialokasikan oleh bank syariah. Indikator terukur dari elemen
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
143
ini adalah rasio biaya pendidikan terhadap total pengeluaran (I1,1,1) dan rasio biaya riset terhadap total pengeluaran (I 1,1,2). Dengan demikian, diasumsikan bahwa semakin tinggi rasio indikator maka bank syariah memiliki perhatian yang tinggi terhadap pengembangan pengetahuan. 2) Pengembangan skill baru dan perbaikan – (D1,2) Bank syariah memiliki kewajiban untuk menyediakan sejumlah alokasi anggaran demi mengupgrade kemampuan maupun skill para pegawainya. Hal ini dapat terlihat pada sejumlah dana yang dialokasikan untuk mengikutkan para pegawainya dalam kegiatan pelatihan dan training pegawai (E 1,2,1 ). Adapun indikator terukur dari elemen ini adalah rasio biaya pelatihan dan training terhadap total pengeluaran (I1,2,1). Dengan demikian diasumsikan bahwa semakin besar rasio indikator maka semakin besar perhatian bank syariah terhadap peningkatan skill para pegawainya. 3) Meningkatkan kesadaran terhadap perbankan syariah – (D1,3) Salah satu misi yang harus diemban oleh bank syariah adalah meningkatkan kesadaran dan keberpihakan masyarakat kepada lembaga keuangan yang menawarkan produk dan layanan syariah. Sehingga masyarakat dapat beralih dari praktek keuangan konvensional ke praktek keuangan syariah. Salah satu bukti keterlibatan bank syariah dalam melakukan sosialisasi dan publikasi tentang produk dan layanan perbankan syariah kepada masyarakat adalah alokasi biaya publikasi dan promisi (E1,3,1). Adapun indikator pengukurnya adalah rasio biaya publikasi dan promosi terhadap total biaya pengeluaran (I1,3,1). Dengan demikian diasumsikan bahwa semakin tinggi rasio indikator maka semakin besar perhatian bank syariah terhadap peningkatan kesadaran masyarakat terhadap produk dan layanan yang sesuai dengan syariah b. Penegakan keadilan (iqamah al-‘adl) – (T2) Tujuan kedua dari syariah (maqashid syariah) yang dikembangkan menjadi tujuan konsep dalam penelitian ini adalah menegakkan keadilan (iqamah al-‘adl). Bank syariah memiliki tujuan untuk menciptakan produk-produk keuangan yang terjangkau dan berbasiskan pada prinsip keadilan. Bank syariah tidak boleh memiliki produk yang didasarkan pada kontrak yang 144
dapat merugikan salah satu pihak yang terlibat dalam kontrak. Dengan demikian bank syariah harus mengembangkan jenis produk yang didasarkan pada kontrak berbasis keadilan kepada semua pihak yang terlibat. Adapun dimensi, elemen dan indikator dari tujuan kedua (maqashid syariah) dalam konteks pengukuran kinerja bank syariah adalah: 1) Keadilan dalam kontrak dan transaksi (D2,1) Bank syariah sudah seharusnya melakukan transaksi secara adil kepada nasabahnya. Oleh karena itu jenis kontrak yang dikembangkan untuk mendukung transaksi keuangannya harus berdasarkan pada prinsip keadilan, tidak boleh ada salah satu pihak yang diuntungkan sementara pihak lainnya dirugikan. Jenis kontrak yang dianggap lebih adil dibandingkan dengan kontrak yang berbasis utang-berbunga adalah kontrak bagi hasil. Jenis kontrak yang didasarkan pada prinsip bagi hasil adalah kontrak musyarakah dan mudharabah. Dengan demikian jumlah pembiayaan dalam bentuk kontrak musyarakah dan mudharabah menjadi indikasi atas keberpihakan bank syariah terhadap tingkat bagi hasil yang adil (E 2,1,1). Adapun indikator pengukurnya adalah rasio pembiayaan musyarakah dan mudharabah terhadap total dana syirkah (I 2,1,1 ). Semakin tinggi nilai rasio ini menunjukkan bahwa bank syariah menawarkan skema transaksi mudharabah dan musyarakah yang tinggi sehingga menunjukkan bahwa bank syariah meningkatkan fungsinya untuk mewujudkan keadilan ekonomi melalui transaksi bagi hasil. 2) Produk dan layanan yang terjangkau (D2,2) Bank syariah yang memiliki produk dan layanan yang sesuai dengan prinsip syariah tentunya dituntut untuk menawarkan produkproduk yang terjangkau oleh para nasabah. Olehnya, harga produk bank syariah harus terjangkau (E 2,2,1 ). Adapun indikator yang digunakan dalam penelitian ini adalah rasio pembiayaan musyarakah dan mudharabah terhadap total pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah. Apabilah rasio ini semakin meningkat, maka bank syariah memberikan pembiayaan yang tinggi kepada masyarakat dalam bentuk akad berbasis bagi hasil yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Semakin banyak pembiayaan yang diberikan kepada nasabah (masyarakat) maka menunjukkan bahwa produk bank syariah
Peringkat Kinerja Lembaga Keuangan Syariah ...
dapat dijangkau oleh masyarakat. 3) Penghilangan produk dan transaksi yang tidak adil (D2,3) Praktek riba atau umumnya dikenal sebagai suku bunga (interest rate) dalam transaksi keuangan di perbankan merupakan jenis transaksi yang tidak diperbolehkan pada bank syariah. Transaksi keuangan berbasis riba sudah menjadi praktek umum yang jamak dilakukan pada bank konvensional. Bank syariah tidak boleh menawarkan produk keuangan berdasarkan pada prinsip riba atau bunga. Hal ini dikarenakan riba atau transaksi keuangan yang ada unsur ribanya memiliki dampak negatif pada perekonomian dan menciptakan ketidakadilan dalam transaksi ekonomi. Sistem riba merupakan sistem yang memberikan peluang bagi para pemilik modal (orang kaya) untuk dapat mengeksploitasi orang miskin demi untuk mendapatkan untung yang besar atas kepemilikan dana yang besar. Oleh karena itu bank syariah diharuskan untuk menjalankan aktivitas perbankannya khususnya pada saat melakukan investasi dan pembiayaan tanpa ada unsur riba di dalamnya. Jika hal ini terwujud maka bank syariah berkontribusi dalam mengurangi tingkat kesenjangan pendapatan dalam masyarakat melalui transaksi perbankan bebas bunga. Elemen dari penghilangan produk dan transaksi yang tidak adil pada bank syariah adalah produk perbankan tanpa bunga (E2,3,1). Adapun indikator terukurnya adalah rasio pendapatan non-bunga terhadap total pendapatan bank syariah. Semakin tinggi nilai rasio menunjukkan bank syariah memiliki struktur pendapatan yang didominasi dari pendapatan non-bunga. Berarti bank syariah memiliki komposisi pendapatan yang didominasi dari pendapatan non-bunga. c. Mendorong kesejahteraan (jalb al-maslahah) – (T3) Tujuan ketiga dari syariah (maqashid syariah) yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah terciptanya kesejahteraan (jalb al-maslahah). Kehadiran bank syariah di tengah-tengah masyarakat dimaksudkan untuk dapat berkontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum. Banyak teori yang sudah membuktikan bahwa sektor perbankan berkontribusi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dengan fungsi intermediasi yang
dilakukannya, yaitu mobilisasi dana dari masyarakat (surplus unit) yang selanjutnya dialokasikan kepada sektor usaha yang membutuhkan (deficit unit) demi melakukan kegiatan produksi (Rama 2013). Bank syariah sebagai lembaga intermediasi tentunya harus menjalankan fungsinya demi mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi. Semakin banyak bank syariah yang beroperasi dalam perekonomian seharusnya semakin meningkat kesejahteraan masyarakat. Adapun dimensi, elemen dan indikator terukur dari tujuan ketiga maqashid syariah (T3) dalam konteks pengukuran kinerja bank syariah adalah 1) Keuntungan (D3,1) Keuntungan yang besar menjadi indikasi kesejahteraan yang semakin meningkat. Semakin tinggi keuntungan perusahaan berarti semakin banyak produksi yang dilakukan. Produksi yang banyak berarti masyarakat menikmati hasil produksi yang banyak dan beranekaragam. Di saat bersamaan, keuntungan yang tinggi akibat produksi yang meningkat akan meningkatkan pendapatan rumah tangga sebagai pemilik faktor produksi. Ilustrasi ini tidak jauh berbeda dengan aktivitas perbankan. Semakin tinggi keuntungan bank maka semakin banyak dana yang diakses oleh masyarakat dari perbankan begitupula dengan pendapatan para stakeholdernya. Dengan demikian bank syariah dituntut untuk meningkatkan keuntungannya demi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian rasio keuntungan (E 3,1,1 ) menjadi indikator tingkat keuntungan bank syariah. Adapun indikator terukur dari keuntungan bank syariah adalah rasio keuntungan bersih terhadap total aset (I 3,1,1). Semakin tinggi nilai rasio, semakin tinggi kesejahteraan para stakeholder bank syariah, seperti pemiliki, pegawai, nasabah, masyarakat, pemerintah dan pihak lainnya. 2) Distribusi pendapatan dan kekayaan (D3,2) Fungsi utama perbankan baik syariah maupun konvensional adalah intermediasi keuangan, yaitu mobilisasi dan alokasi dana. Fungsi ini berkontribusi dalam menciptakan distribusi dan penyebaran kekayaan kepada semua elemen masyarakat. Dengan demikian, bank syariah memiliki peran penting dalam menciptakan distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata kepada semua golongan. Hal ini
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
145
dapat terlihat pada alokasi dana zakat yang diberikan bank syariah kepada orang-orang yang membutuhkan. Dana zakat yang didistribusikan menjadi instrumen yang cukup efektif dalam menciptakan keseimbangan dan pemerataan ekonomi. Tingkat Pendapatan bersih perusahaan (E3,2,1) menjadi representasi dari dimensi. Adapun indikator terukur yang dapat dilakukan untuk melihat tingkat kontribsui bank syariah pada distribusi pendapatan dan kekayaan adalah melalui rasio jumlah zakat yang dikeluarkan terhadap pendapatan bersih bank syariah (I3,2,1). Semakin tinggi nilai rasio, semakin tinggi dana zakat yang dikeluarkan oleh bank syariah. Rasio yang tinggi tersebut menunjukkan bahwa bank syariah berkontribusi dalam meningkatkan pendapatan orang-orang yang lemah, seperti kaum fakir dan miskin. Sehingga kesejahteraan mereka juga mengalami peningkatan. 3) Investasi pada sektor strategis (D3,3) Salah satu bentuk distingsi bank syariah terhadap bank konvensional adalah keberpihakannya terhadap sektor riil dan strategis yang menyangkut kehidupan masyarakat banyak. Dalam artian bank syariah memiliki perhatian yang tinggi terhadap pembiayaan sektor riil dan strategis. Sektor ini menjadi perhatian utama dikarenakan sektor ini menjadi penggerak utama perekonomian masyarakat dan tentunya juga menjadi sektor yang terkait langsung dengan kebutuhan dasar masyarakat. Sektor-sektor yang dimaksud, misalnya, adalah sektor pertanian, air dan listrik, konstruksi, pertambangan dan usaha mikro. Untuk melihat seberapa besar partisipasi bank syariah terhadap investasi sektor riil digunakan rasio investasi sektor riil (E 3,3,1). Adapun indikatornya adalah rasio investasi sektor rill terhadap total dana syirkah (I3,3,1). Semakin tinggi nilai rasio ini menunjukkan bahwa bank syariah melakukan alokasi pembiayaan yang tinggi terhadap sektor riil dan strategis yang terkait langsung dengan kebutuhan masyarakat. Rasio yang semakin tinggi menunjukkan bahwa bank syariah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Setelah melakukan operasionalisasi konsep (maqashid syariah) ke dalam tujuan konsep, dimensi, elemen dan indikator terukur selanjutnya dilakukan pembobotan di masingmasing tingkatan, yaitu tingkat tujuan konsep, dimensi dan elemen. Adapun pembobotan pada 146
setiap kategori dilakukan pembobotan secara merata. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa masing-masing kategori memiliki nilai yang sama jika dibandingkan dengan kategori yang lain. Adapun detail nilai bobot untuk masing-masing kategori di tiap tingkatan disajikan pada Tabel 2. Tabel 2: Bobot Rata-Rata Tujuan dan Dimensi Maqashid Syariah
Pembentukan model matematis dilakukan setelah melakukan pembobotan untuk masingmasing aspek pada tiap level. Hasil dari persamaan tersebut menghasilkan indeks MS sebagai model pengukuran kinerja perbankan syariah. Indeks MS adalah merupakan hasil komposit indeks dari tujuan-tujuan konsep, yaitu tiga tujuan utama syariah (pendidikan, keadilan dan kesejahteraan). Adapun persamaan matematikanya adalah: Indeks maqashid syariah = (T1 x 1/3) + (T2 x 1/ 3) + (T3 x 1/3) ………………….. (1) Model persamaan ini dapat disederhanakan menjadi Indeks maqashid shariah = 1/3 (T1+T2+T3)................................. (2) Selanjutnya Tn yang merupakan simbol dari tujuan konsep berasal dari nila total komposit dari dimensi (D) dengan model persamaan sebagai berikut: Tujuan pertama (tahdhib al-fard) T1 = 1/3 (D1,1 + D1,2 + D1,3) …………………... (3) Tujuan kedua (iqamah al-‘adl) T2 = 1/3 (D2,1 + D2,2 + D2,3) ……………………... (4) Tujuan ketiga (jalb al-maslahah) T3 = 1/3 (D3,1 + D3,2 + D3,3) …………………… (5) Sementara Dn diturunkan dari nilai komposit indeks dari elemen-elemen (En) dengan model
Peringkat Kinerja Lembaga Keuangan Syariah ...
persamaan matematika sebagai berikut: D1,1 = 1/3 (E1,1,1 + E1,1,2 + E1,1,3) ……………... (6) D1,2 = 1/3 (E1,2,1 + E1,2,2 + E1,2,3) ………….….. (7) D1,3 = 1/3 (E1,3,1 + E1,3,2 + E1,3,3) ……………... (8) D2,1 = 1/3 (E2,1,1 + E2,1,2 + E2,1,3) ………………. (9) D2,2 = 1/3 (E2,2,1 + E2,2,2 + E2,2,3) ………….… (10) D2,3 = 1/3 (E2,3,1 + E2,3,2 + E2,3,3) ……………. (11) D3,1 = 1/3 (E3,1,1 + E3,1,2 + E3,1,3) ……………. (12) D3,2 = 1/3 (E3,2,1 + E3,2,2 + E3,2,3) ……………. (13) D3,3 = 1/3 (E3,3,1 + E3,3,2 + E3,3,3) ……………. (14) Adapun nilai E n adalah merupakan nilai indeks komposit dari indikator-indikator terukur (In) dengan model persamaan matematika sebagai berikut: E1,1 = 1/3 (I1,1,1 + I1,1,2 + I1,1,3) ………………. (15) E1,2 = 1/3 (I1,2,1 + I1,2,2 + I1,2,3) ………………. (16) E1,3 = 1/3 (I1,3,1 + I1,3,2 + I1,3,3) ………………. (17) E2,1 = 1/3 (I2,1,1 + I2,1,2 + I2,1,3) ………………. (18) E2,2 = 1/3 (I2,2,1 + I2,2,2 + I2,2,3) ………………. (19) E2,3 = 1/3 (I2,3,1 + I2,3,2 + I2,3,3) ………………. (20) E3,1 = 1/3 (I3,1,1 + I3,1,2 + I3,1,3) ………………. (21) E3,2 = 1/3 (I3,2,1 + I3,2,2 + I3,2,3) ………………. (22) E3,3 = 1/3 (I3,3,1 + I3,3,2 + I3,3,3) ………………. (23) Keterangan dari masing-masing simbol dari persamaan matematika di atas dapat merujuk pada Tabel 1 dan penjelasannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa indeks maqashid syariah yang dikembangkan dalam penelitian sebagai alat ukur kinerja perbankan syariah di Indonesia pada hakekatnya adalah hasil komposit dari indeks tujuan, dimensi dan elemen. Indeks ini diberikan bobot secara merata pada masing-masing kategori. 3. Metode Analisis Data Untuk menghitung indeks masing-masing kategori, penelitian ini menggunakan pendekatan nilai minimum dan maksimum untuk masingmasing rasio keuangan. Nilai untuk masingmasing rasio dieksperesikan dengan skala nilai 1-100 dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Indeks =
x 100
Berdasarkan pada formula tersebut ditemukan nilai indeks masing-masing bank syariah berdasarkan pada indikator-indikator (rasio keuangan) yang digunakan dalam penelitian ini. Setelah melakukan penghitungan
skor indeks masing-masing bank syariah selanjutnya dilakukan peringkat skor indeks. Berdasarkan pada hasil peringkat tersebut, selanjunya dilakukan analisis deskriptif atas nilai indeks masing-masing bank syariah. Analisis deskriptif dilakukan pada hasil indeks MS begitu pula dengan indeks masing-masing tujuan syariah. Dalam mengelola data sekunder, penelitian ini menggunakan alat bantuan Microsoft Excel tahun 2010 untuk menghitung nilai indeks maqashid shariah masing-masing bank syariah. Selain melakukan analisis deskriptif atas skor indeks, penelitian ini juga melakukan analisis korelasi, yaitu analisis korelasi antara nilai indeks maqashid shariah dengan tingkat profitabilitas dan jumlah aset bank syariah. Untuk melakukan analisis korelasi, penelitian ini menggunakan sofware eviews-6 sebagai alat bantu analisis. Model korelasi yang digunakan adalah koefisiensi korelasi pearson (pearson correlation coefficient).
D. HASIL
DAN
ANALISIS
1. Deskripsi Jumlah Aset Bank Umum Syariah Indonesia Pada akhir tahun 2014, jumlah aset seluruh bank umum syariah (BUS) tercatat sekitar Rp 198 triliun. Jumlah aset untuk masing-masing BUS di Indonesia memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Berdasarkan Grafik 1, Bank Mandiri Syariah (BSM) dan Bank Muamalat Indonesia (BMI) adalah merupakan bank syariah terbesar di Indonesia jika dilihat dari segi jumlah aset yang dimilikinya, yaitu masing-masing Rp 66.94 triliun dan Rp 62.41 triliun. Selain kedua BUS tersebut, BRI syariah dan BNI syariah juga memiliki jumlah aset yang cukup signifikan dengan jumlah masing-masing adalah Rp 20.34 triliun dan Rp 19.49 triliun. Sementara BUS lainnya, seperti Bank Mega Syariah, Bank Panin Syariah, Bank Bukopin Syariah, Maybank Syariah, BCA Syariah, Bank Victoria Syariah dan BTPN Syariah memiliki jumlah aset di bawah Rp 10 triliun. Bank Victoria Syariah dan Maybank Syariah adalah BUS yang memiliki jumlah aset terendah, yaitu Rp 1.44 triliun dan Rp 2.45 triliun. Grafik 1: Jumlah Aset Bank Umum Syariah Tahun 2014 (Dalam Miliar Rp)
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
147
Sumber: Data diolah 2. Deskripsi Tingkat Profitabilitas Bank Umum Syariah Indonesia Tingkat profitabilitas BUS di Indonesia pada tahun 2014 bervariasi. Tingkat profitabilitas yang dimaksud dalam penelitian ini direpresentasikan oleh rasio Return on Asset (ROA) dan Return on Equity (ROE). ROA merupakan rasio dari pendapatan bersih bank syariah terhadap total aset yang dimiliki. Sementara ROE merupakan rasio dari tingkat pendapatan bersih terhadap jumlah ekuitas (modal sendiri) yang dimiliki. Tingkat profitabilitas untuk masing-masing BUS di Indonesia disajikan pada Grafik 2 dan Grafik 3. Grafik 2: ROA Bank Umum Syariah 2014
yang dimiliki untuk menghasilkan pendapatan bersih. Sementara BNI Syariah dan Panin Syariah hanya meraih 1.27% dan 1.99% rasio ROA. Bank Umum Syariah lainnya, seperti BCA Syariah, BSM, BMI dan lainnya memiliki kinerja yang rendah jika dilihat dari segi tingkat rasio ROA. Masing-masing BUS tersebut memiliki tingkat ROA di bawah 1%. Bahkan Victoria Syariah pada tahun 2014 memiliki kinerja negatif, yaitu dengan tingkat rasio minus sebesar 1.87%. ini menunjukkan bahwa pada periode tersebut, Victoria Syariah mengalami kerugian, yaitu biaya yang dikeluarkan lebih besar dibandingkan dengan pendapatan yang diterima. Temuan ini secara keseluruhan menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi positif bahwa tingkat aset yang besar akan mendorong tingkat profitabilitas (ROA) yang tinggi. Justru sebaliknya, BUS yang asetnya relatif rendah justru memiliki kinerja ROA yang lebih tinggi. Hal ini dapat dilihat secara detail pada Grafik 1 dan Grafik 2. Grafik 3: ROE Bank Umum Syariah 2014
Sumber: Data diolah
Sumber: Data diolah Bank BTPN Syariah dan Maybank Syariah memiliki kinerja ROA tertinggi di antara BUS lainnya pada tahun 2014. Rasio ROA masingmasing adalah 4.23% dan 3.61%. Rasio ini menunjukkan bahwa bank BTPN Syariah dan Maybank Syariah mampu mengelola seluruh aset 148
Kinerja profitabilitas yang direpresentasikan oleh rasio ROE menunjukkan hasil yang cukup berbeda. BNI Syariah dan BTPN Syariah memiliki rasio ROE terbesar dibandingkan dengan BUS lainnya dengan nilai di atas 10%, yaitu masingmasing sebesar 13.98% dan 13.75%. Bank Bukopin Syariah juga memiliki rasio ROE yang cukup tinggi sebesar 9.65%, rasio ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rasio Bank Mandiri Syariah sebesar 4.82% dan Bank Muamalat Indonesia sebesar 2.13% sebagai BUS dengan
Peringkat Kinerja Lembaga Keuangan Syariah ...
tingkat aset terbesar di Indonesia (lihat Grafik 1). Sebaliknya, Bank Victoria Syariah merupakan BUS satu-satunya yang mengalami kerugian operasional pada tahun 2014 dengan tingkat rasio ROE sebesar -17.60%. Nilai negatif ini disebabkan bank mengalami laba negatif pada periode tersebut. 3. Kinerja Dimensi Maqashid Syariah Bank Umum Syariah Indonesia Rasio kinerja MS setiap Bank Umum Syariah (BUS) merupakan ukuran yang digunakan untuk melihat bagaimana suatu bank syariah melaksanakan tujuan-tujuan syariah (maqashid syariah) yang telah ditentukan. Tujuan-tujuan syariah yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tiga (3) aspek utama, yaitu (1) pendidikan individu (tahdhib al-fard); (2) menegakkan keadilan (iqamah al-‘adl); dan mendorong kesejahteraan (jalb al-maslahah). Ketiga aspek tersebut dalam konteks pengukuran kinerja suatu bank syariah direpresentasikan oleh rasio-rasio tertentu yang dikembangkan dalam penelitian ini. Adapun hasil kinerja MS untuk masingmasing BUS di Indonesia berdasarkan ketiga aspek utamanya diuraikan sebagai berikut: a. Tujuan Pertama: Pendidikan Individu (Tahdhib al-Fard) Aspek pendidikan individu mencakup 3 aspek yaitu peningkatan pengetuhuan, pengembangan skill baru dan perbaikan, dan penciptaan kesadaran terhadap perbankan syariah. Indeks pendidikan individu bank syariah merupakan peringkat yang menunjukkan kinerja masing-masing bank syariah di Indonesia dalam pencapaian tujuan tersebut. Adapun indeks pendidikan individu dapat dilihat pada Grafik 4. Berdasarkan Grafik 4 menunjukkan bahwa BTPN Syariah menjadi bank syariah di Indonesia yang memiliki peringkat tertinggi dalam pencapaian kinerja pendidikan individu dengan tingkat indeks mencapai 78 dari skala 1-100. Maybank Syariah, selanjutnya, menempati peringkat kedua dengan nilai indeks 75. Bank syariah lainnya yang memiliki hasil indeks di atas 50 adalah BNI Syariah sebesar 64 dan Panin Syariah sebesar 56. Hasil ini menunjukkan bahwa bank syariah tersebut memiliki rasio pengeluaran untuk pendidikan dan pelatihan, penelitian dan riset, dan publikasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan bank syariah lainnya.
Grafik 4: Indeks Kinerja Peningkatan Individu
Sumber: Data diolah Sementara bank syariah lainnya seperti Bukopin Syariah, BRI Syariah, BCA Syariah, Victoria Syariah, Muamalat, Mega Syariah dan Mandiri Syariah memiliki nilai indeks di bawah 50. Bahkan Bank Mandiri Syariah dan Bank Muamalat sebagai bank syariah pemilik aset terbesar di Indonesia hanya memiliki nilai indeks dengan masing-masing sebesar 19 poin dan 16 poin. Bank Muamalat menjadi bank syariah dengan kinerja terendah pada aspek ini. b. Tujuan Kedua: Mewujudkan Keadilan (Iqamah al-‘Adl) Tujuan kedua dari syariah yang digunakan dalam penelitian ini adalah mewujudkan keadilan. Pencapaian tujuan ini pada suatu bank syariah diukur dalam bentuk rasio tertentu. Mewujudkan keadilan sebagai alat ukur kinerja meliputi 3 (tiga) aspek utama, yaitu keadilan dalam transaksi/kontrak, produk dan layanan yang terjangkau, dan penghilangan ketidakadilan. Indeks kinerja atau peringkat masing-masing bank syariah di Indonesia dalam pencapaian tujuan tersebut diperlihatkan pada Grafik 5. Skala nilai indeks adalah 1-100. Grafik 5 menunjukkan bahwa Bank Panin Syariah merupakan bank syariah di Indonesia yang memiliki peringkat tertinggi dalam mencapai tujuan kedua dari syariah dengan nilai indeks sebesar 90 poin. Peringkat ini menunjukkan bahwa Panin Syariah memiliki rasio tertinggi dari segi tingkat bagi hasil yang adil, rasio produk
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
149
non bunga dan rasio harga yang terjangkau. Bank umum syariah lainnya yang memiliki poin di atas 50 adalah Bank Victoria Syariah sebesar 72 poin, BCA Syariah sebesar 55 poin, dan BRI Syariah sebesar 54 poin. Selanjutnya, BNI Syariah, Bukopin Syariah dan Maybank Syariah memiliki kinerja indeks dengan poin masingmasing sebesar 39 poin, 45 poin, dan 46 poin. Bank Mandiri Syariah sebagai pemilik aset terbesar di Indonesia konsisten dalam peringkat terendah sama seperti tujuan pertama di urutan ketiga terakhir dengan nilai indeks sebesar 15 poin. Dan Bank Mega Syariah menjadi bank syariah dengan nilai indeks kinerja terendah untuk tujuan kedua ini dengan hanya memiliki 5 poin saja. Grafik 5: Indeks Kinerja dalam Mewujudkan Keadilan
Sumber: Data diolah c. Tujuan Ketiga: Mendorong Kesejahteraan (Jalb al-Maslahah) Tujuan kedua syariah yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah mendorong kesejahteraan (jalb al-maslahah). Tujuan kedua dari syariah ini diturunkan ke dalam 3 (dimensi) utama, yaitu penciptaan keuntungan, distribusi pendapatan dan kekayaan dan investasi pada sektor strategis. Dalam konteks pengukuran kinerja perbankan syariah berbasis MS khususnya pada pencapaian tujuan ketiga ini maka digunakan rasio-rasio representatif seperti rasio ROA dan investasi sektor strategis terhadap total investasi. Kinerja pencapaian tujuan ketiga dari syariah dalam konteks perbankan syariah di Indonesia yang diukur dalam bentuk peringkat indeks dengan skala nilai antara 1 sampai 100 ditunjukkan dalam Grafik 6. 150
Grafik 6: Indeks Kinerja dalam Mendorong Kesejahteraan
Sumber: Data diolah Berdasarkan Grafik 6, Maybank Syariah dan Bank Panin Syariah tercatat sebagai bank syariah di Indonesia dengan peringkat tertinggi pencapaian skor indeks pada dimensi ini dengan nilai masing-masing sebesar 61 poin dan 60 poin. Skor indeks ini menunjukkan bahwa kedua bank tersebut memiliki rasio tertingi pada ROA dan investasi sektor riil terhadap total investasi. BNI Syariah, BTPN Syariah dan BRI Syariah memiliki capaian poin indeks di atas 40 poin dengan rincian adalah 43 poin untuk masing-masing BTPN Syariah dan BRI Syariah, dan 45 poin untuk BRI Syariah. Sementara bank syariah lainnya memiliki skor indeks di bawah 40 poin dimana Bank Mega Syariah menjadi bank syariah dengan nilai indeks terendah dengan hanya mendapat 12 poin. 4. Indeks Maqashis Syariah Bank Umum Syariah Indonesia Indeks maqashid syariah mengukur semua kinerja pencapaian ketiga tujuan syariah pada bank syariah berdasarkan pada pembagian bobot secara merata pada ketiga dimensi yang dikembangkan dalam penelitian ini. Indeks MS pada penelitian ini didapatkan dari penjumlahan dari ketiga dimensi tujuan syariah sebelumnya dengan nilai bobot masing-masing sebesar 1/3 atau 0.33%. Skala indeks antara 1 sampai 100. Artinya, bank syariah yang memiliki nilai indeks tertinggi berarti memiliki kinerja tertinggi dalam total pencapaian dimensi-dimensi MS. Grafik 7 menyajikan nilai poin dari kinerja MS masing-
Peringkat Kinerja Lembaga Keuangan Syariah ...
masing BUS yang ada di Indonesia. Grafik 7: Indeks Kinerja Maqashid Syariah Bank Umum Syariah
Sumber: Data diolah Berdasarkan Grafik 7 ditemukan bahwa Maybank Syariah memiliki nilai skor indeks terbesar dalam kinerja MS dibandingkan dengan bank umum syariah lainnya yang ada di Indonesia. Adapun nilai indeks sebanyak 61 poin. Nilai skor ini lebih tinggi 1 poin dari indeks Bank Panin Syariah dengan skor indeks sebesar 60 poin. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kedua bank tersebut, yaitu Maybank syariah dan Bank Panin Syariah menjadi peringkat pertama dan kedua dalam pencapaian tujuan bank syariah berdasarkan pendekatan maqashid syariah. Jika dibandingkan dengan nilai indeks bank syariah lainnya, terdapat selisih sebesar 15 poin dengan peringkat ketiga selanjutnya yang ditempati oleh BRI Syariah dengan nilai skor sebanyak 45 poin. Sementara peringkat selanjutnya adalah BNI Syariah dan BTPN Syariah dengan nilai skor indeks yang relatif sama, yaitu masing-masing sebesar 43 poin. Adapun nilai skor indeks MS untuk BCA Syariah, Bank Bukopin Syariah, Bank Victoria Syariah dan Bank Mumalat berada di nilai skor indeks antara 30-40 poin. Temuan penelitian yang cukup mengagetkan adalah nilai skor indeks Bank Mandiri Syariah sebagai bank syariah terbesar di Indonesia dari segi ukuran kepemilikan aset (lihat Grafik 1). Hasil kinerja indeks MS Bank Mandiri Syariah menempati peringkat terendah kedua dengan nilai 23 poin. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nilai aset yang besar yang dimiliki oleh
suatu bank syariah tidak menjadi jaminan kinerja maqashid syariah yang tinggi. Selanjutnya, Bank Mega Syariah menempati peringkat terendah dalam kinerja MS dengan nilai indeks hanya 12 poin. Hasil ini menunjukkan bahwa Bank Mega Syariah secara keseluruhan memeiliki nilai kinerja yang buruk dalam pencapaian ketiga dimensi dari tujuan syariah, yaitu pendidikan individu (tahdhib al-fard), mewujudkan keadilan (iqamah al-‘adl) dan mendorong kesejahteraan (jalb al-maslahah). 5. Kontribusi Dimensi Maqashid Syariah Setiap Bank Umum Syariah Grafik 8 menunjukkan hasil kinerja masingmasing dimensi dari tujuan syariah atau maqashid syariah yang dicapai oleh setiap bank syariah di Indonesia. Bank Maybank Syariah sebagai bank syariah peringkat pertama dalam kinerja MS pada penelitian ini memiliki rata-rata skor indeks yang merata di ketiga dimensi MS dimana dimensi pendidikan individu (tahdhib al-fard) dan kesejahteraan (jalb al-maslahah) sebagai kontributor terbesar dari indeks tersebut. Hal yang sama juga terlihat pada Bank Panin Syariah sebagai peringkat kedua tertinggi kinerja MS. Perbedaannya terlihat pada distribusi skor yang tidak terlalu merata. Indeks dimensi mewujudkan keadilan (iqamah al-‘adl) terlalu besar dibandingkan dengan indeks dimensi mendorong kesejahteraan (jalb al-maslahah). Sebaliknya, Bank Mega Syariah sebagai bank syariah dengan nilai kinerja MS terendah dibandingkan semua bank umum syariah di Indonesia dikarenakan skor indek yang sangat rendah secara merata untuk masing-masing dimensi tujuan syariah (maqashid syariah). Nilai terendah berada pada dimensi mewujudkan keadilan (iqamah al-‘adl) yang hanya mendapat nilai 5 poin dari skala 100. Hal yang sama pula terjadi pada bank Mandiri Syariah sebagai peringkat kedua terendah dalam pencapaian kinerja MS. Dimensi paling tertinggi hanya pada kesejahteraan (jalb al-maslhaha) dengan nilai indeks 34 poin. Sementara dimensi lainnya tidak lebih dari 20 poin. Hasil kinerja masing-masing indeks yang tidak terdistribusi secara merata terjadi pada BNI Syariah, Bank Victoria Syariah, BTPN Syariah dan Bank Muamalat. Masing-masing bank tersebut memiliki satu di antara tiga dimensi yang nilai skor indeksnya terlalu tinggi di sisi lain, tapi
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
151
sangat rendah pada dimensi lainnya. BRI syariah memiliki nilai indeks yang cukup merata untulk ketiga dimensi MS dimana kontribsui terbesar ada pada dimensi mewujudkan keadilan (iaqamah aladl) dengan nilai 54 poin dan terendahnya pada dimensi pendidikan individu (tahdhib al-fard) dengan nilai 34 poin. Grafik 8: Kinerja Dimensi Maqashid Syariah Bank Umum Syariah
kinerja MS. Sementara ROE dan jumlah aset hanya memiliki korelasi dengan nilai masingmasing sebesar 21% dan 12% terhadap indeks kinerja MS. Hasil korelasi ini menunjukkan bahwa jumlah aset dan tingkat profitabilitas yang dimiliki oleh bank syariah tidak memiliki kolerasi dengan kinerja indeks maqashid syariah-nya. Tentunya, hasil korelasi ini konsisten dengan grafik-grafik sebelumnya, yaitu bahwa bank yang memiliki jumlah aset yang besar seperti Bank Mandiri Syariah dan Bank Muamalat justru memiliki kinerja MS yang buruk. Sementara bank-bank yang relatif kecil ukuran asetnya, seperti Maybank Syariah dan Bank Panin Syariah justru memiliki kinerja MS yang sangat tinggi.
E. KESIMPULAN
Sumber: Data diolah 6. Korelasi Indeks Maqashid Shariah dengan Aset dan Tingkat Profitabilitas Tabel 3 menyajikan hasil korelasi antara indeks kinerja MS dari bank umum syariah di Indonesia dengan total aset dan tingkat profitabilitasnya. Profitabilitas bank syariah direpresentasikan oleh variabel rasio ROA dan ROE. Tabel 3: Korelasi Indeks Maqashid Syariah dengan Tingkat Profitabilitas
Sumber: data diolah Berdasarkan Tabel 3 ditemukan bahwa tidak terdapat korelasi yang signifikan antara indeks kinerja MS bank syariah dengan jumlah aset dan profitabilitas yang dimiliknya. Nilai korelasi dikatakan siginifikan jika nilai korelasinya mencapai 80%. Hanya rasio ROA yang memiliki korelasi cukup besar, yaitu 52% terhadap indeks 152
DAN
REKOMENDASI
Penelitian ini membangun sebuah model pengukuran kinerja perbankan syariah yang tidak hanya fokus pada rasio-rasio keuangan yang berorientasi pada penciptaan keuntungan bagi pemilik perusahaan (shareholders) tetapi suatu model yang diderivasikan dari konsep maqashid shariah, yaitu tujuan utama yang ingin dicapai oleh syariah. Adapun tujuan utama yang ingin dicapai oleh syariah sebagaimana dikembangkan dalam penelitian ini terdiri dari tiga aspek, yaitu (1) pendidikan individu (tahdhib al-fard), mewujudkan keadilan (iqamah al-‘adl), dan mendorong kesejahteraan (jalb al-maslahah). Berdasarkan pada ketiga aspek tersebut, selanjutnya dioperasionalisasi menjadi dimensi dan elemen. Masing-masing aspek tersebut selanjutnya direpresentasikan oleh indikatorindikator dalam bentuk rasio kinerja yang relevan dengan konsep MS. Model pengukuran kinerja tersebut selanjutnya digunakan untuk membandingkan kinerja Bank Umum Syariah di Indonesia dengan menggunakan metode indeksasi dan pembobotan. Dengan menggunakan basis data laporan keuangan masing-masing BUS pada tahun 2014 ditemukan bahwa Maybank Syariah dan Bank Panin Syariah menempati posisi skor kinerja indeks tertinggi dengan nilai masing-masing sebesar 61 dan 60 poin. Sementara Bank Mega Syariah dan Bank Mandiri Syariah berada di posisi terbawa dengan nilai indeks masingmasing sebesar 12 dan 23 poin. Temuan ini menunjukkan bahwa suatu bank syariah yang memiliki aset yang besar tidak menjadi jaminan
Peringkat Kinerja Lembaga Keuangan Syariah ...
akan memiliki nilai skor indeks dalam pencapaian tujuan syariah yang tinggi pula. Hal ini tercermin pada posisi ranking Bank Mandiri Syariah sebagai pemilik aset bank syariah terbesar di Indonesia dengan jumlah aset mencapai hampir Rp 67 triliun berada pada posisi kedua terbawah dalam hal peringkat kinerja pencapaian tujuan syariah. Sementara Maybank Syariah yang hanya memiliki jumlah aset Rp 2.4 triliun justru menempati ranking pertama. Dan secara keseluruhan, posisi-posisi teratas dalam skor indeks MS secara umum ditempati oleh bank umum syariah yang kepemilikan asetnya relatif lebih rendah. Hasil uji korelasi antara indeks kinerja MS dengan jumlah aset hubungan korelasi yang rendah. Ini berarti bahwa tidak terdapat korelasi yang kuat antara jumlah aset bank syariah dengan kinerja indeks MS-nya.
Selanjutnya, berdasarkan pada tiga aspek MS, terlihat bahwa setiap bank syariah di Indonesia tidak memiliki skor indeks yang relatif merata di masing-masing aspek tersebut. BNI Syariah, misalnya, pada aspek pendidikan individu (tahdhib al-fard) memiliki skor urutan ketiga teratas dengan nilai skor 64 poin. Sebaliknya, pada aspek mewujudkan keadilan (iqamah al’adl), justru BNI Syariah menempati posisi keempat terendah dengan nilai skor indeks sebesar 39 poin.[]
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
153
D A F TA R P U S TA K A
Afrinaldi.”Analisis Kinerja Perbankan Syariah Ditinjau Dari Maqashid Shariah: Pendekatan Syariah Maqashid Indekx (SMI) Dan Profitabilitas Bank Syariah”. Dalam Forum Riset Keuangan Dan Perbankan Syariah Di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013. Chapra, Umar. The Islamic Vision of Development in the Light of Maqasid Al Shariah. IDB, 2008. Djamil, Faturrahman. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Dusuki, Asyraf Wajdi, and Abdullah Nurdianawati Irwani. “Maslahah and Corporate Social Responsibility”. The American Journal of Islamic Social Science, 24 (2005): 25–42. Efendi, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2005. Lynch, Richard. Corporate Strategy. London: Pitman Publishing, 1997. Mustafa, Omar, and A. Dzuljastri Razak. “The Performance Measures of Islamic Banking Based on the Maqashid Framework”. In IIUM International Accounting Conference, 2008.
Determinants of Assets and Liabilities in Islamic Banks: Evidence from Indonesia”. Review of Islamic Economics, Finance, and Banking, 1 (2013): 34–53. Rama, Ali. Sistem Ekonomi Dan Keuangan Islam. Jakarta: Pusat Penelitian dan Penerbitan (Puslitpen) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015. Rodoni, Ahmad, and Herni HT Ali. Manajemen Keuangan Modern. Jakarta: Mitra Wacana Media, 2014. Rouse, P, and M Putterill. “An Integral Framework for Performamce Measurement”. Jurnal Management Decision, 41 (2003): 791–805. Sekaran, Uma. Research Methods for Business: A Skill Building Approach. New York: John Wiley&Sons, 2000. Siddiqi, Muhamad Nejatullah. “Islamic Banks: Concept, Precept and Prospects”. Review of Islamic Economics, (2009): 21–35. Zaharan, M. Abu. Ushulul Fiqh. Mesir: Dar el-Fikri al Arabi, 1958.
Qardhawi, Yusuf. Fiqh Maqashid Syariah. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007. Rama, Ali. “Analisis Deskriptif Perkembangan Perbankan Syariah Di Asia Tenggara”. Journal of Tauhidinomics, 1 (2015): 1–25. Rama, Ali. “Analisis Kerangka Regulasi Model Shariah Governance”. Journal of Islamic Economics Lariba, 1.1 (2015): 1–18. Rama, Ali. “Analisis Sistem Tata Kelola Syariah Bagi Perbankan Syariah Di Indonesia Dan Malaysia”. Jurnal Bimas Islam, 8.1 (2015): 87– 120. Rama, Ali. “Perbankan Syariah Dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia”. Signifikan, 2 (2013): 33–56. Rama, Ali, and Makhlani. “Pembangunan Ekonomi Dalam Tinjauan Maqashid Syariah”. Dialog, 1 (2013): 31–46. Rama, Ali, and Salina H Kassim. “Analyzing 154
Peringkat Kinerja Lembaga Keuangan Syariah ...
THE EFFECT OF TEACHER EDUCATION, TRAINING, AND WORK DISCIPLINE ON THE PERFORMANCE OF RELIGIOUS TEACHERS IN ISLAMIC ELEMENTARY SCHOOL IN SOUTH TANGERANG CITY N E N E N G L M*
ABSTRACT This study aims to determine the factors that affect the performance of religious teachers in Islamic Elementary School in South Tangerang City. The study employed causal survey method with the population of 85 religious teachers in Islamic Elementary School in South Tangerang City. Given that the sample is less than 100 participants, the respondents in this study is the total sample (the whole population). Data were collected using a questionnaire to measure the variables of teacher performance, education and training, and work discipline. The coefficient of reliability (alpha value) is consecutively 0.8074; 0.7126. The results indicate that, first, there is a direct and significant effect of education and training to the teacher performance, indicated by the value þ = 1.030 with a regression equation Y = 28.529 + 1,030X1, r1y correlation coefficient = 0.917, and the coefficient of determination R square = 0.841, or 84,1%. Second, there is a positive and significant impact of education and training on work discipline, shown by the p-value = 0.00 <0.05 with a regression equation X2 = 6.214 + 0,733X2, correlation coefficient (R2.1) = 0.928 and F count = 516.609, and the R Square = 0.862, or 86.2%. Third, there is a direct and significant effect of performance to work discipline, which is indicated by the value þ = 0.839, the regression equation Y = 32.015 + 0,839X2. Fourth, there is a direct influence of the training and work discipline on the teacher performance, the regression equation Y = 30.070 + 0,313X1 + 0,610X2, Ry.12 correlation coefficient = 0.952, and the R square = 0.907 or 90.7%. The findings imply that the religious teacher performance in Islamic Elementary School in South Tangerang City can be improved by participating education and training program and improving work discipline.
KEY WORDS: Training, work discipline, religious teacher performance, public elementary school
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
155
PENGARUH DIKLAT DAN DISIPLIN KERJA GURU TERHADAP KINERJA GURU AGAMA PADA MADRASAH IBTIDAIYAH DI KOTA TANGERANG SELATAN NENENG LM
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja guru agama pada Madrasah Ibtidaiyah di Kota Tangerang Selatan. Penelitian menggunakan metode survai kausal. Populasi penelitiannya adalah populasi guru agama pada Madrasah Ibtidaiyah di Kota Tangerang Selatan sejumlah 85 orang. Sehubungan sampelnya kurang dari 100 orang, maka responden dalam penelitian ini adalah sampel total (seluruh populasi). Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner untuk mengukur variabel kinerja guru agama, variabel diklat, dan variabel disiplin kerja. Secara berurutan koefisien reliabilitasnya (nilai alpha) adalah 0,8074; 0,7126; dan 0,7524. ( 1) = 0,8074; 2) = 0,7126; dan 3) = 0,7524). Hasil penelitian menunjukkan: pertama, terdapat pengaruh langsung dan sangat signifikan diklat terhadap kinerja guru agama, ditunjukkan oleh nilai þ= 1,030 dengan persamaan regresi v = 28,529 +1,030X1 , koefisien korelasi r1y = 0,917, dan koefisien determinasi R square = 0,841, atau 84,1 %. Kedua, terdapat pengaruh positif dan signifikan diklat terhadap disiplin kerja guru agama pada Madrasah Ibtidaiyah di Kota Tangerang Selatan, dibuktikan dengan diperolehnya nilai dengan p-value = 0,00 < 0,05 dengan persamaan regresi X2 = 6,214 + 0,733X2,koefosien korelasi (r2.1) =0,928 dan Fhitung = 516,609, dan koefisien determinasi R Square = 0,862, atau 86,2%. Ketiga, terdapat pengaruh langsung dan sangat signifikan disiplin terhadap kinerja guru agama, yang ditunjukkan oleh nilai þ = 0,839, dengan persamaan regresi v = 32,015 +0,839X2. Keempat, terdapat pengaruh langsung antara diklat dan disiplin kerja guru terhadap kinerja guru, dengan persamaan regresi Y = 30,070 + 0,313X1 + 0,610X2, koefisien korelasi Ry.12 = 0,952, dan koefisien determinasi R square = 0,907 atau 90,7%. Impilikasi dari hasil penelitian di atas adalah kinerja guru agama dapat ditingkatkan dengan cara mengikuti diklat dan meningkatkan disiplin kerja guru Madrasah Ibtidaiyah di Kota Tangerang Selatan.
KATA KUNCI: Diklat, disiplin kerja, kinerja guru agama, Madrasah Ibtidaiyah Negeri
*Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan, Jl. Ir. H. Juanda Nomor 37 Ciputat, Tangerang Selatan. Email:
[email protected] *Naskah diterima September 2015, direvisi November 2016, disetujui untuk diterbitkan Desember 2016
156
Pengaruh Pendidikan dan Pelatihan ...
A. PENDAHULUAN Latar belakang yang mendorong saya untuk melakukan penelitian ini adalah disiplin guru merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap kinerja guru. Guru yang disiplin memberikan kontribusi positif terhadap proses pembelajaran siswa di kelas. Sementara diklat memiliki peran penting dalam dunia kerja karena dapat meningkatkan disiplin kerja dan keterampilan yang lebih baik sehingga akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas kinerja pegawai dan lembaga. Sebagai pendidik, guru seharusnya menjadi salah satu unsur sumber daya yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan di madrasah, karena guru, khususnya guru madrasah ibtidaiyah sangat dekat dengan siswa baik secara akademik maupun psikologis. Pada saat ini dan masa yang akan datang guru dituntut memiliki kemampuan akademik, sikap yang baik, dan keterampilan keguruan yang mendukung profesinya. Setidaknya ada dua faktor penting yang mempengaruhi kinerja guru di madrasah, yaitu faktor kualifikasi standar guru dan relevansi antara bidang keahlian guru dengan tugas mengajar 1 . Untuk itu, guru dituntut memiliki kemampuan yang sesuai dengan kebutuhan siswa, dan guru juga perlu memikirkan cara-cara yang lebih efektif dan efesien dalam membantu siswa memahami dan menghargai cara belajar secara individu, potensi belajar, dan kemampuan menguasai pelajaran, guru harus profesional dengan segala kompetensinya. Selain itu, guru juga memberikan kesempatan kepada siswa mengalami suatu keberhasilan dengan memberikan tugas yang lebih mudah atau sesuai dengan kemampuan mereka. Hal ini penting guna membantu siswa mengembangkan percaya diri, sikap positif dan minat yang kuat. Jadi, semua upaya lembaga diklat dan guru tersebut bermuara kepada kinerja guru dalam kegiatan pembelajaran, terlebih untuk mata pelajaran-mata pelajaran agama pada Madrasah Ibtidaiyah yang lebih banyak memerlukan penjelasan, pemahaman, dan praktik ajaran itu sendiri, sehingga menuntut kompetensi guru yang memadai dalam rangka membantu keberhasilan siswa dalam kegiatan pembelajaran. 1 Abdul Hadis dan Nurhayati B., Manajemen Mutu Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2010), 9.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang “Pengaruh Pendidikan dan Pelatihan dan Disiplin Kerja Guru terhadap Kinerja Guru Agama Pada Madrasah Ibtidaiyah di Kota Tangerang Selatan” Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1) apakah terdapat pengaruh diklat terhadap kinerja guru agama pada Madrasah Ibtidaiyah di Kota Tangerang Selatan? 2) apakah terdapat pengaruh diklat terhadap disiplin kerja guru agama pada Madrasah Ibtidaiyah di Kota Tangerang Selatan? 3) apakah terdapat pengaruh disiplin terhadap kinerja guru agama pada Madrasah Ibtidaiyah di Kota Tangerang Selatan? 4) apakah terdapat pengaruh diklat dan disiplin guru secara bersama-sama terhadap kinerja guru pada Madrasah Ibtidaiyah di Kota Selatan? Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah pengaruh yang positif dan signifikan antara diklat dan disiplin terhadap kinerja guru agama pada Madrasah Ibtidaiyah di Kota Tangerang Selatan baik secara parsial maupun secara bersama-sama. Manfaat penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam dunia pendidikan dengan cara mencermati fenomena yang ada pada suatu wilayah penelitian agar peneliti lain dapat melakukan penelitian lanjutan, dan secara praktis penelitian ini diharapkan dapat: 1) menambah pengetahuan penulis tentang berbagai permasalahan yang mempengaruhi kinerja guru agama di lingkungan Madrasah Ibtidaiyah; 2)memberikan informasi positif bagi pihak lembaga diklat untuk meningkatkan penyelenggaraan diklat guru, yaitu informasi tentang jenis-jenis diklat yang relevan bagi peningkatan disiplin kompetensi dan profesionalitas guru; 3) hasil penelitian juga dapat menambah referensi untuk penelitian lebih lanjut bagi yang berminat mengembangkannya.
B. KAJIAN LITERATUR Penelitian Terdahulu yang Relevan Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini antara lain Syihabuddin, dalam penelitiannya tentang Pemantauan dan Evaluasi Dampak Diklat Pusat Penelitian dan Pelatihan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bahasa
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
157
(P4TK) Jakarta2, menyimpulkan bahwa evaluasi diklat berperan sebagai “budaya” dalam daur atau siklus pengembangan, yang dilakukan secara berkala untuk memperbaharui dan memutakhirkan data dan informasi dasar. Adapun penelitian yang berhubungan dengan disiplin kerja guru adalah sebagai berikut: Anita, yang meneliti tentang Pengaruh Motivasi Kerja dan Kedisiplinan Guru terhadap Kinerja Guru di SMA Muhammadiyah 2 Surakarta 3, menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan antara kedisiplinan guru terhadap kinerja guru. Kaliri, dalam penelitiannya tentang Pengaruh Disiplin dan Motivasi Kerja terhadap Kinerja Guru pada SMA Negeri di Kabupaten Pemalang4, menyimpulkan bahwa disiplin kerja guru berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja guru SMA Negeri di Kabupaten Pemalang. Selanjutnya penelitian yang berhubungan dengan kinerja guru adalah sebagai berikut: Turni Swastiati, yang meneliti tentang Hubungan antara Minat Siswa dan Kemampuan Mengajar Guru terhadap Prestasi Belajar Bahasa Inggris Siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 11 Depok, 5 menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara minat siswa dengan prestasi belajar Bahasa Inggris siswa dengan keeratan hubungan antara keduanya adalah 0,89, dan berdasarkan koefisien determinasi antara kedua variabel dapat dinyatakan bahwa minat siswa memberikan kontribusi sebesar 73 % terhadap prestasi belajar Bahasa Inggris. AM Wibowo, yang meneliti tentang Kinerja Guru Madrasah Aliyah Pasca Diklat Fungsional
2 Syihabuddin, 2012. Pemantauan dan Evaluasi Dampak Diklat Pusat Penelitian dan Pelatihan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bahasa (P4TK) Jakarta, Laporan Evaluasi Diklat.: PPPPK Bahasa Jakarta. hal. 15 3 Anita, 2010, Pengaruh Motivasi Kerja Dan Kedisiplinan Guru Terhadap Kinerja Guru di SMA Muhammadiyah 2 Surakarta, Skipsi: Universitas Muhammadiyah Surakarta. 4 Kaliri, 2008, Pengaruh Disiplin dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Guru pada SMA Negeri di Kabupaten Pemalang, Tesis; UNES, Semarang, hal. 125 5 Turni Swastiati. 2006. Hubungan Antara Minat Siswa dan Kemampuan Mengajar Guru terhadap Prestasi Belajar Bahasa Inggris Siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 11 Depok. Tesis : UHAMKA Jakarta. hal. 93
158
Pengaruh Pendidikan dan Pelatihan ...
di Provinsi Nusa Tenggara Barat,6 menyatakan bahwa (1) Kinerja guru agama Madrasah Aliyah pasca mengikuti diklat fungsional dilihat dari kompetensi pedagogis, kepribadian, sosial, profesional termasuk dalam kategori cukup. Namun dalam hal prestasi, guru agama Madrasah Aliyah kurang memiliki prestasi yang menonjol. (2) Kinerja guru agama Madrasah Aliyah setelah mengikuti diklat fungsional berdampak baik terhadap prestasi belajar siswa. (3) Iklim akademis sekolah berupa sarana pendukung, manajemen, program, regulasi dan komitmen kepala madrasah berdampak baik pada kinerja guru agama pasca diklat. Sedangkan fasilitas yang tersedia di madrasah tidak ikut mendukung dalam peningkatan kinerja guru agama. (4) Kinerja guru agama setelah mengikuti diklat berdampak positif terhadap kinerja guru yang lain. Dari penelitian yang berhubungan dengan kinerja tersebut di atas, disimpulkan bahwa diklat dan disiplin merupakan dua faktor diantara beberapa faktor yang menentukan kinerja guru agama. Semakin baik kualitas diklat dan disiplin kerja semakin baik pula kinerja guru agama. Beberapa penelitian tersebut di atas dianggap relevan dan mendukung penelitian ini.
C. KAJIAN TEORI a. Kinerja Guru Kinerja merupakan kegiatan yang dijalankan oleh tiap-tiap individu untuk mencapai tujuan yang sudah direncanakan. Berkaitan dengan hal tersebut terdapat beberapa definisi mengenai kinerja. Smith dalam Mulyasa, menyatakan bahwa kinerja adalah “…..output drive from processes, human otherwise”. Kinerja merupakan hasil atau keluaran dari suatu proses.7Pendapat lain mengatakan kinerja (performance) dibentuk oleh disiplin (discipline) dan kecakapan (ability). Rumusan tersebut mengisyaratkan bahwa tinggi rendahnya kinerja seseorang akan ditentukan oleh tinggi rendahnya disiplin dan kecakapan yang dimiliki untuk menjalankan tugasnya. Hal ini sesuai dengan pendapat yang mengatakan bahwa pembentukan kualitas kinerja individu 6 A M Wibowo, 2013. Kinerja Guru Madrasah Aliyah Fasca Diklat Fungsional di Provinsi Nusa Tenggara Barat,. Jurnal “Analisa”Volume 20 Nomor 02 Desember 2013, halaman 245256 7 Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), 136.
dan kepuasan dipengaruhi oleh disiplin.8Kusnadi mengartikan kinerja sebagai gerakan, perbuatan, pelaksanaan, kegiatan atau tindakan yang diarahkan untuk mencapai tujuan atau target tertentu.9 Dari beberapa pengertian tentang kinerja tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah prestasi kerja yang telah dicapai oleh seseorang. Kinerja yang dimaksudkan diharapkan memiliki atau menghasilkan mutu yang baik dan tetap melihat jumlah yang akan diraihnya dan sesuai dengan yang direncanakan. Kinerja guru mempunyai kriteria tertentu. Kinerja guru dapat dilihat dan diukur berdasarkan kriteria kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap guru. Berkaitan dengan kinerja guru,wujud perilaku yang dimaksud adalah kegiatan guru dalam proses pembelajaran. Kebermaknaan pembelajaran sangat ditentukan oleh pembelajar, dalam hal ini guru. Meskipun pembelajar bukan satu-satunya sumber belajar tetapi pembelajar merupakan variabel utama dalam menentukan kebermaknaan pembelajaran. Seorang guru dituntut untuk dapat mengembangkan program pembelajaran yang optimal sehingga terwujud proses belajar yang efektif dan efisien. Hal ini didasarkan pada konsepsi bahwa seorang guru merupakan salah satu komponen yang sangat berperan dalam proses pembelajaran dan secara langsung mempengaruhi peningkatan kualitas belajar siswa. Di sisi lain guru juga harus memahami dengan baik tentang mekanisme proses pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai pelaku belajar. Guru harus mengetahui bahwa dalam proses pembelajaran, guru tidak mengajari tetapi kehadiran guru menyebabkan siswa belajar. Kinerja guru juga berarti bahwa seorang guru harus memiliki kompetensi yaitu kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban secara bertanggung jawab dan layak.10 Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan yang dimaksud dengan kinerja guru adalah prestasi kerja yang telah dicapai oleh seorang guru dalam menyusun perencanaan pembelajaran, 8
Kusnadi, Masalah, kerja sama, konflik dan kinerja (Malang: Taroda, 2003), 27. 9 Kusnadi, Masalah, kerja sama, konflik dan kinerja (Malang: Taroda, 2003), 246. 10 M. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional (Bandung: Rosdakarya, 2003), 14.
melaksanakan proses pembelajaran, melaksanakan penilaian pembelajaran, dan melakukan tindak lanjut hasil penilaian. Adapun indikator kinerja guru dalam penelitian ini adalah: menyusun perencanaan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran, melaksanakan penilaian pembelajaran, dan melakukan tindak lanjut hasil penilaian. b. Diklat Secara garis besar, pendidikan dan pelatihan (Diklat) dapat diartikan sebagai akuisisi dari pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), dan sikap (attitudes) yang memampukan manusia untuk mencapai tujuan individual dan organisasi saat ini dan di masa depan.11 Menurut terminologi lain, diklat dipisahkan secara tegas, yakni pendidikan dan pelatihan. Pendidikan adalah segala usaha sadar untuk membina kepribadian, mengembangkan pengetahuan, dan kemampuan jasmaniah dan rohaniah agar mampu melaksanakan tugas. Admodiwirio menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk membina kepribadian dan mengembangkan kesempurnaan manusia Indonesia, jasmani dan rohani yang berlangsung seumur hidup, baik di dalam maupun di luar sekolah dalam rangka pembangunan persatuan Indonesia dan masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila.12 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan definisi pendidikan yaitu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara. Sedangkan pelatihan menurut Hasibuan adalah suatu proses pendidikan terorganisir, sehingga karyawan belajar pengetahuan, teknik pengajaran, dan keahlian untuk tujuan tertentu. 13 Raymond memberikan definisi pelatihan bahwa pelatihan adalah upaya yang direncanakan untuk mempermudah 11 Bambrough,J., Training Your Staff (Sterling Publishers, New Delhi, 1998), . 1. 12 Soebagio Admodiwirio, Manajemen Training (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), 3. 13 Malayu S.P Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 77.
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
159
pembelajaran para karyawan tentang pengetahuan, keterampilan dan prilaku yang berkaitan dengan pekerjaan.14 Dengan demikian pendidikan dan pelatihan (diklat) merupakan pembelajaran yang berkaitan dengan usaha peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam rangka pencapaian tujuan organisasi secara efektif. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui pendidikan dan pelatihan (diklat). Pada dunia pendidikan, istilah tersebut sekarang ini telah berkembang dengan berbagai pengistilahan yang pada dasarnya memiliki substansi yang sejenis dengan penataran, bimbingan teknis, advokasi, sosialisasi, ataupun workshop yang kesemuanya bertujuan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa diklat adalah salah satu praktik sumber daya manusia yang berfokus pada identifikasi, pengkajian dan melalui proses belajar yang terencana berupaya untuk membantu mengembangkan kemampuankemampuan kunci yang diperlukan agar individu dapat melaksanakan pekerjaannya saat itu maupun di masa depan. Indikator diklat dalam penelitian ini yaitu: materi yang diajarkan, metode yang digunakan, fasilitas pendukung, kemampuan narasumber, dan kemampuan peserta. c. Disiplin Kerja Guru Disiplin kerja merupakan salah satu faktor penting dalam setiap kegiatan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dengan adanya disiplin kerja, guru akan dapat mempertahankan kinerjanya. Ada beberapa pendapat dari para ahli mengenai disiplin kerja. Achmad Slamet menjelaskan bahwa disiplin berasal dari akar kata “disciple” yang berarti belajar. Selanjutnya Robbins, dalam Achmad Slamet menyatakan, disiplin adalah suatu sikap dan perilaku yang dilakukan secara sukarela dengan penuh kesadaran dan kesediaan mengikuti peraturanperaturan yang telah ditetapkan oleh organisasi atau atasan, baik tertulis maupun tidak tertulis.15Seiring dengan itu Semito menyatakan “disiplin adalah sikap, tingkah laku dan 14 Raymond A. Noe, Jhon R Hollenbeck, Barry Gerhart dan Patrick Wright, Manajemen Sumber Daya Manusia (Jakarta: Salemba Empat, terjemahan, 2010), 351. 15 Achmad Slamet, Manajemen Sumber Daya Manusia (Semarang: Unnes Press, 2007), 216.
160
Pengaruh Pendidikan dan Pelatihan ...
perbuatan yang sesuai dengan peraturan dari perusahaan baik tertulis maupun tidak tertulis”.16Ali Imron menegaskan bahwa disiplin itu sebagai suatu keadaan tertib dan teratur yang dimiliki oleh guru dalam bekerja di sekolah, tanpa ada pelanggaran-pelanggaran yang merugikan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap dirinya, teman sejawatnya dan terhadap sekolah secara keseluruhan. 17 Sedangkan Siswanto Sastrohadiwiryo mendefinisikan disiplin kerja sebagai suatu sikap menghormati, menghargai, patuh, dan taat terhadap peraturanperaturan yang berlaku, baik yang tertulis maupun tidak tertulis serta sanggup menjalankannya dan tidak mengelak untuk menerima sanksinya apabila ia melanggar tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya. 18 Selanjutnya Anoraga berpendapat “disiplin kerja adalah suatu sikap perbuatan untuk selalu menaati tata tertib”.19Ravianto mengemukakan bahwa, “disiplin adalah menaati atau taat pada ketentuan, peraturan, aturan main, kewajiban yang berkaitan dengan pekerjaan yang ditekuninya”.20 Berdasarkan uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa disiplin kerja adalah suatu keadaan setiap individu malaksanakan peraturan yang berlaku dengan semestinya serta tidak adanya pelanggaran terhadap peraturan tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung. Indikator disiplin kerja dalam penelitian ini adalah: tanggung jawab dalam pekerjaan dan tugas, ketaatan terhadap peraturan yang telah ditetapkan, dan penggunaan waktu secara efektif.
D. METODE PENELITIAN Secara umum rancangan penelitian diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Untuk mendapatkan data yang langsung valid dalam penelitian sering sulit dilakukan, oleh karena itu
16 Alex S. Nitisemito, Manajemen Personalia (Jakarta: Ghalia, Edisi Revisi, 1992), 184. 17 Ali Imron, Pembinaan Guru di Indonesia (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), 183. 18 B. Siswanto Sastrohadiwiryo, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia Pendekatan Administratif dan Operasional (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005), 291. 19 Panj Anoragai, Psikologi Kerja (Jakarta: Penerbit PT. Rineka Cipta,1992), 96. 20 J. Ravianto, Produktivitas dan Mc Indo (Jakarta: Lembaga Sarana Info Usaha dan Produktivitas, 1990), 134.
data yang telah terkumpul sebelum diketahui validitasnya, dapat di uji melalui pengujian reliabilitas dan obyeksitas. Rancangan penelitiannya meliputi proses memilih pengukuran variabel, prosedur dan teknik sampling, instrumen, pengumpulan data, analisis data yang terkumpul, dan pelaporan hasil penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian survei kausal, dengan teknik analisis regresi. Dalam hal ini, Singarimbun mengemukakan bahwa penelitian survei adalah: “Penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok”.21 Populasi atau universe, adalah jumlah keseluruhan dari unit analisa yang ciri-cirinya akan diduga. 22 . Populasi juga merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/ subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya23.Populasi dalam penelitian ini yaitu semua guru agama pada Madrasah Ibtidaiyah di Kota Tangerang Selatan. Jumlah populasi sebanyak 85 orang guru yang tersebar di Madrasah Ibtidaiyah (negeri dan swasta) di Kota Tangerang Selatan. Menurut Marzuki, sampling adalah “cara pengambilan sampel” 24 . Dalam penelitian ini sampling adalah teknik yang dipergunakan untuk mengambil, memilih atau menentukan sampel penelitian. Sugiyono menyatakan bahwa sample adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.25 Bila populasi besar dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Apa yang dipelajari dari sampel itu, kesimpulannya dapat diberlakukan untuk 21 Masri Singarimbun, Metode Penelitian Survai (Jakarta: LP3ES, 1995), 3. 22 Masri Singarimbun, Metode Penelitian Survai (Jakarta: LP3ES, 1995), 152. 23 Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi (Bandung: Alfabeta, 2005), 90. 24 Marzuki, Metode Riset (Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UII, 1986), 43. 25 Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi (Bandung: Alfabeta, 2005), 91.
populasi. Untuk itu sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul representatif (mewakili). Sedangkan menurut Arikunto, sampel adalah “sebagian individu atau wakil populasi yang diteliti”. 26 Lebih lanjut Arikunto menjelaskan bahwa: “Sebagai acuan apabila subyek yang diteliti kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi, sedangkan jika lebih dari 100, maka lebih baik diambil antara 10%, 15% ,atau 25% atau lebih”. Hal senada dikemukakan Sudman dalam Santosa jumlah sampel dalam penelitian korelasional minimum 30. Dalam penelitian eksperimen masing-masing kelompok minimum berjumlah 15 dan untuk penelitian survei sampelnya minimum 100.27 Atas dasar pemikiran tersebut di atas, dan realita populasi berjumlah kurang dari 100 orang, maka sampel yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah sampel total (seluruh populasi). Tempat atau lokasi penelitian ini adalah madrasah ibtidaiyah di Kota Tangerang Selatan. Pengambilan data dilaksanakan dari bulan Februari sampai dengan Juli 2016. Dalam penelitian ini, instrumen yang digunakan adalah berupa angket atau kuesioner yang berisi sejumlah pernyataan tertutup tentang operasionalisasi dari pernyataan mengacu pada skala likert untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi responden yang berupa pernyataan dengan klasifikasi tidak pernah dengan skor 1, jarang dengan skor 2, sering dengan skor 3, dan selalu dengan skor 4. Prosedur kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan tiga tahap, yaitu tahap orientasi, tahap eksplorasi, dan tahap member check. Data yang telah terkumpul diolah dengan prosedur: Editing, Coding, Worksheet, analisis statistik, yaitu dengan analisis deskriptif dan analisis inferensial. Adapun hipotesis yang hendak diuji kebenarannya dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) terdapat pengaruh diklat terhadap kinerja guru agama pada madrasah ibtidaiyah di Kota Tangerang Selatan; 2) terdapat pengaruh
26 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta : Rineka Cipta, 1998), 117. 27 Santosa Murwani, dkk., Pedoman Tesis dan Disertasi (Jakarta; Program Pasca Sarjana UHAMKA, 2008), 22.
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
161
diklat terhadap disiplin kerja guru agama pada madrasah ibtidaiyah di Kota Tangerang Selatan; 3) terdapat pengaruh disiplin kerja guru terhadap kinerja guru agama pada madrasah ibtidaiyah di Kota Tangerang Selatan; dan 4) terdapat pengaruh diklat dan disiplin secara bersama-sama terhadap kinerja guru agama pada madrasah ibtidaiyah di Kota Tangerang Selatan.
E. HASIL PENELITIAN
DAN
PEMBAHASAN
Hipotesis dalam penelitian ini, yang pertama, kedua dan ketiga diuji dengan teknik analisis regresi dan korelasi sederhana. Sedangkan hipotesis keempat diuji dengan menggunakan analisis regresi dan korelasi ganda, yang kemudian dilanjutkan dengan korelasi parsial. Masingmasing pengujian hipotesis tersebut adalah sebagai berikut ini: 1. Pengaruh diklat terhadap kinerja guru agama Hipotesis pertama yang diuji adalah untuk membuktikan bahwa terdapat pengaruh positif diklat terhadap kinerja guru agama pada madrasah ibtidaiyah. Dengan kata lain semakin baik hasil diklat, maka akan semakin baik pula kinerja guru agama pada madrasah ibtidaiyah dalam melaksanakan tugas mengajar. Secara statistik, hipotesis di atas dirumuskan sebagai berikut : = 0 H0 : H1 : ‘“ 0 a. Persamaan Regresi Berdasarkan hasil analisis regresi linear sederhana antara pasangan data diklat (X 1) dengan kinerja guru agama pada madrasah ibtidaiyah (Y), diketahui bahwa nilai koefisien regresi b yang diperoleh adalah sebesar 1,030,dan nilai konstanta a sebesar 28,529. Persamaan regresi dalam analisa ini adalah v = 28,529 + 1,030X1. b. Uji sigifikansi Korelasi X1 dan Y Uji signifikansi koefesien korelasi diperoleh dari Model Summary. Terlihat pada baris pertama koefosien korelasi (r1.y) = 0,917 dan Fhitung = 439,240 dengan p-value = 0,00 < 0,05. Hal ini berarti H0 ditolak atau H1 diterima. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah terdapat pengaruh diklat terhadap kinerja guru agama madrasah ibtidaiyah. Dengan demikian, koefisien korelasi variabel diklat (X1) dan koefisien korelasi variabel kinerja guru agama(Y) adalah berarti atau signifikan. Sedangkan koefisien determinasi, yaitu R Square 162
Pengaruh Pendidikan dan Pelatihan ...
= 0,841, yang mengandung makna bahwa 84,1% variabelitas variabel kinerja guru agama MI dapat dipengaruhi oleh variabel diklat. 2. Pengaruh diklat terhadap disiplin kerja Hipotesis kedua yang diajukan adalah akan membuktikan bahwa terdapat pengaruhpositif diklat terhadap disiplin kerja guru. Dengan kata lain semakin baikkualitas diklat, maka akan semakin baikdisiplin kerja guru dalam melaksanakan tugas. Secara statistik, hipotesis di atas dirumuskan sebagai berikut : H0 : = 0 H1 : ‘“ 0 a. Persamaan Regresi Berdasarkan hasil analisis regresi linear sederhana antara pasangan data diklat (X 1) dengan disiplin kerja guru (X2), diketahui bahwa nilai koefisien regresi b yang diperoleh adalah sebesar 0,733 dan nilai konstanta a sebesar 6,214 Persamaan regresi dalam analisa ini adalah X2 =6,214 + 0,733X2. b. Uji sigifikansi Korelasi X1 dan X2 Uji signifikansi koefesien korelasi diperoleh dari Model Summary. Terlihat pada baris pertama koefosien korelasi (r2.1) = 0,928 dan Fhitung = 516,609 dengan p-value = 0,00< 0,05. Hal ini berarti H0 ditolak atau H1 diterima.Kesimpulan yang dapat ditarik adalah terdapat pengaruh diklat terhadap disiplin kerja guru.Dengan demikian, koefisien variabel diklat (X1) dan koefisien korelasi variabel disiplin kerja guru (X 2) adalah berarti atau signifikan. Sedangkan koefisien determinasi yaitu R Square = 0,862 yang mengandung makna bahwa 86,2 % variabelitas variabel disiplin kerja guru dapat dipengaruhi oleh variabel diklat. 3. Pengaruh disiplin kerja terhadap kinerja guru agama Hipotesis ketiga yang diuji adalah terdapat pengaruh positif antara disiplin kerja dengan kinerja guru agama pada madrasah ibtidaiyah. Dengan kata lain semakin baik disiplin kerja seorang guru, maka semakin baik pula kinerja guru tersebut, sebaliknya semakin rendah disiplin kerja pada seorang guru, maka semakin rendah pula kinerja guru tersebut. Secara statistik, hipotesis di atas dapat dirumuskan sebagai berikut. H0 : ñy2= 0 H1 : ñy2 ‘“ 0
a. Persamaan Regresi Linear Berdasarkan hasil analisis regresi linear sederhana antara pasangan data disiplin kerja (X2) dengan kinerja guru agama (Y), diketahui bahwa nilai koefisien regresi b yang diperoleh adalah sebesar 0,839. Nilai konstanta a sebesar 32,015. Persamaan regresi dalam analisis ini adalah v = 32,015 + 0,839X2. b. Uji sigifikansi Korelasi Disiplin Kerja (X2) dan Kinerja Guru Agama (Y) Uji signifikansi koefesien korelasi diperoleh dari Model Summary. Terlihat pada kolom ke-2 koefisien korelasi (r2.y) = 0,946 dan Fhitung= 713,215 dengan p-value = 0,00 < 0,05. Hal ini berarti H0 ditolak atau H1 diterima. Kesimpulannya adalah terdapat pengaruh disiplin kerja guru terhadap kinerja guru agama pada madrasah ibtidaiyah. Dengan demikian, koefisien korelasi X2 dan Y adalah berarti atau signifikan. Sedangkan koefisien determinasi, yaitu R Square = 0,896, yang mengandung makna bahwa 89,6 % variabelitas variabel kinerja guru agama dapat dipengaruhi oleh variabel disiplin kerja guru. 4. Pengaruh diklat dan disiplin kerja secara bersama-sama terhadap kinerja guru agama Hipotesis keempat yang diajukan adalah terdapat pengaruh diklat dan disiplin kerja secara bersama-sama terhadap kinerja guru agama. Dengan kata lain makin baik kualitas diklat dan makin baik disiplin kerjanya, makin baik pula kinerja guru tersebut, sebaliknya makin kurang kualitas diklat dan makin rendah disiplin kerjaguru, makin rendah pula kinerja guru tersebut. Secara statistik, hipotesis di atas dapat dirumuskan sebagai berikut: H0 : ñy.12= 0 H1 : ñ-y.12 ‘“ 0 a. Persamaan Linear Ganda dan Uji Signifikansi Dari tabel koefisien pada lampiran 15, pada kolom b diperoleh konstanta b0= 30,070; koefisien regresi b 1 = 0,313, dan b 2 =0,610. Sehingga persamaan regresi linier ganda adalah Y = 30,070 + 0,313X1 + 0,610X2. Dari hasil analisis pada tabel Coefficients, menunjukkan harga statistik untuk koefisien variabel X1, yaitu thitung = 3,073 dan p-value = 0,003/ 2 = 0,0015 < 0,05 atau H0 ditolak, yang bermakna pendidikan dan pelatihan berpengaruh positif terhadap kinerja guru. Selanjutnya harga statistik untuk koefisien variabel X2, yaitu thitung = 7,577
dan p-value = 0,000/2 = 0,000 < 0,05 atau H0 ditolak yang bermakna bahwa disiplin berpengaruh positif terhadap kinerja guru. b. Uji Signifikansi Persamaan Regresi Ganda Uji signifikansi korelasi ganda (Variabel Diklat dan Disiplin terhadap Kinerja Guru) diperoleh dari tabel Model Summary pada lampiran 14. Terlihat pada baris kolom kedua bahwa koefesien korelasi ganda (Ry.12) = 0,952 dan Fhitung = 397,594, serta p-value = 0,000<0,05. Dengan demikian H0 ditolak atau H1 diterima. Dengan demikian, koefesien korelasi ganda antara diklat dan disiplin terhadap kinerja guru agama pada madrasah ibtidaiyah adalah berarti atau signifikan. Sedangkan koefisien determinasi ditunjukkan oleh R square = 0,907 yang mengandung makna bahwa 90,7 % variabelitas variabel kinerja guru (Y) dapat dijelaskan oleh Diklat (X1) dan disiplin kerja (X2), sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh diklat dan disiplin kerja secara bersama-sama terhadap kinerja guru sebesar 90,7 %. Berdasarkan deskripsi data penelitian diperoleh bahwa skor responden dari tiap variabel menunjukkan dominan responden di bawah ratarata. Untuk variabel pendidikan dan pelatihan yang di bawah harga rata-rata sebanyak 45 responden (52,94%), dan variabel kinerja guru yang di bawah rata-rata sebanyak 56 responden (57,14 %). Kecuali variabel disiplin kerja yang di bawah rata-rata sebanyak 25 responden (29,41 %). Gambaran di atas menunjukkan bahwa masih lemahnya peran diklat dalam peningkatan kompetensi guru agama madrasah ibtidaiyah di kota Tangerang Selatan, sehingga diklat yang diselenggarakan oleh Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan masih perlu peningkatan, baik dari segi kuantitas, muatan atau kurikulum, proses pembelajaran selama diklat maupun sarana pendukung kediklatan. Muatan kurikulum diklat hendaknya harus disesuaikan dengan perkembangan kurikulum di madrasah dan berorientasi ke perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kekinian, keterampilan dan sikap serta sesuai dengan kebutuhan guru di madrasah. Sedangkan variabel kinerja guru juga masih perlu pembinaan dan pengawasan oleh kepala madrasah, pengawas, maupun oleh Kepala Seksi
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
163
Pendidikan Madrasah Kantor Kementerian Agama Kota Tangerang Selatan. Komponen kinerja guru madrasah ibtidaiyah yang perlu ditingkatkan adalah perencanaan/administrasi guru, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar (KBM), penilaian proses dan hasil belajar, dan tindak lanjut setelah selesai proses pembelajaran. Sedangkan disiplin kerja guru tetap harus ditingkatkan dan dipantau secara kontinyu sehingga efektivitas dan efesien waktu selama pembelajaran dan pendidikan di madrasah dapat teraksana dengan baik. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, ternyata keempat hipotesis yang diajukan dapat diterima. Uraian masing-masing penerimaan hipotesis yang dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, Pengujian hipotesis pertama menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang positif dan signifikan diklat terhadap kinerja guru yang ditunjukkan dibawah memperlihatkan bahwa koefisien korelasi variabel diklat dan kinerja guru sebesar 0,917. Sedangkan korelasi determinasi sebesar 0,841 atau sebanyak 84,1%. Artinya, pengaruh diklat terhadap kinerja guru madrasah ibtidaiyah di Kota Tangerang Selatan sebanyak 84,1%. Meskipun secara statistik berhasil diuji dan mendapat kesimpulan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara kedua variable tersebut, peneliti menyadari bahwa faktor diklat bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan tinggi rendahnya kinerja guru. Masih ada faktor lain yang mungkin berperan terhadap kinerja seperti aktualisasi diri, promosi jabatan, pengetahuan guru, keterampilan kerja, supervisi atasan, lingkungan kerja dan faktor lainnya yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Kedua, Pengujian hipotesis kedua menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang positif dan signifikan diklat terhadap disiplin kerja guru ditunjukkan dengan koefisien korelasi antara diklat dan disiplin kerja guru sebanyak 0,928, dengan korelasi determinasi sebanyak 0,862. Artinya pengaruh disiplin terhadap kinerja guru sebanyak 86,2 %. Hasil analisis korelasi sederhana antara diklat dengan disiplin kerja guru memberikan pengertian bahwa keterkaitan antara diklat dan disiplin kerja guru kuat dan positif, artinya makin baik kualitas diklat maka akan makin baik pula kinerja guru tersebut. Demikan pula sebaliknya, makin rendah kualitas diklat, maka makin rendah pula disiplin kerja 164
Pengaruh Pendidikan dan Pelatihan ...
guru tersebut. Ketiga, Pengujian hipotesis ketiga menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh disiplin kerja terhadap kinerja guru yang signifikan dengan ditunjukkan oleh koefisien korelasi antara disiplin dan kinerja sebanyak 0,946, dengan korelasi determinasi sebanyak 0,896. Artinya pengaruh disiplin terhadap kinerja guru sebanyak 89,6%. Hasil analisis korelasi sederhana antara disiplin kerja dengan kinerja guru memberikan pengertian bahwa keterkaitan antara disiplin kerja dengan kinerja guru cukup dan positif, artinya makin tinggi disiplin kerja guru madarsah ibtidaiyah di Kota Tangerang Selatan maka akan makin tinggi pula kinerja guru tersebut. Demikan pula sebaliknya, makin rendah disiplin kerja pada seorang guru, maka makin rendah pula kinerja guru tersebut. Keempat, hasil analisis korelasi ganda antara diklat dan disiplin kerja dengan kinerja guru diperoleh nilai koefisien korelasi ganda sebesar Ry.12 sebesar 0,952. Hasil analisis data diperoleh juga koefisien determinasi sebesar 0,907 atau 90,7 %. Nilai ini menunjukkan bahwa keterkaitan antara pendidikan dan pelatihan dan disiplin kerja secara bersama-sama terhadap kinerja guru sangat positif dan signifikan. Dengan demikian berarti makin baik kualitas diklat dan disiplin kerja, maka makin baik pula kinerja guru tersebut. Sebaliknya semakin rendah kualitas diklat dan disiplin kerja maka akan rendah pula kinerja guru tersebut. Meskipun ada pengaruh yang positif, hasil analisis ini memperlihatkan bahwa banyak faktor lain di luar diklat dan disiplin kerja yang mempengaruhi kinerja seorang guru. Faktorfaktor tersebut tidak dibahas dalam penelitian ini.
F. PENUTUP Derdasarkan hasil analisis data terhadap variabel-variabel dan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Diklat berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja guru agama pada madrasah ibtidaiyah di Kota Tangerang Selatan. Hal itu dibuktikan dengan diperolehnya nilai dengan p-value= 0,00< 0,05 dengan persamaan regresi v = 28,529 +1,030X1, koefisien korelasi (r1.y) = 0,917, dan koefisien determinasi R Square = 0,841 atau 84,1 %. Hal ini menunjukkan bahwa diklat merupakan satu diantara beberapa faktor yang menentukan kinerja guru agama madrasah ibtidaiyah. Jadi,
semakin baik kualitas diklat semakin baik pula kinerja guru agama. 2. Diklat berpengaruh positif dan signifikan terhadap disiplin kerja guru agama pada madrasah ibtidaiyah di Kota Tangerang Selatan. Hal ini dibuktikan dengan diperolehnya nilai dengan p-value = 0,00< 0,05 dengan persamaan regresi X 2 = 6,214 + 0,733X 2,koefosien korelasi (r 2.1) =0,928 dan Fhitung = 516,609, dan koefisien determinasi R Square = 0,862, atau 86,2%. Hal ini menunjukkan bahwa diklat merupakan satu diantara beberapa faktor yang menentukan disiplin guru agama. Dengan demikian, semakin baik kualitas diklat semakin baik pula disiplin kerja guru agama. 3. Disiplin kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja guru agama pada madrasah ibtidaiyah di Kota Tangerang Selatan. Hal ini dibuktikan dengan diperolehnya nilai dengan p-value= 0,00< 0,05 dengan persamaan regresi v = 32,015 +0,839X2,koefosien korelasi (r2.y) = 0,946, Fhitung = 713,215, dan koefisien determinasi R Square = 0,896, atau 89,6 %. Hal ini menunjukkan bahwa disiplin merupakan satu diantara beberapa faktor yang menentukan kinerja guru agama. Sehingga, semakin baik disiplin kerja semakin baik pula kinerja guru agama. 4. Diklat dan Disiplin kerja secara bersama-sama berpengaruh positif dan signifikaan terhadap kinerja guru agama pada madrasah ibtidaiyah di Kota Tangerang Selatan. Hal ini dibuktikan dengan diperolehnya nilai dengan p-value = 0,003/2 = 0,0015< 0,05 dengan persamaan regresi ganda v = 30,070 + 0,313X1 + 0,610X2., koefisien korelasi ganda (Ry.12) =0,952 dan Fhitung = 397,594, dan koefisien determinasi R Square = 0,907, atau 90,7 %. Hal ini menunjukkan bahwa disiplin merupakan satu diantara beberapa faktor yang menentukan kinerja guru agama. Jadi, semakin baik kualitas diklat dan disiplin kerja semakin baik pula kinerja guru agama. Berdasarkan kesimpulan di atas, maka ada beberapa rekomendasi yang dapat saya sampaikan kepada: 1. Kepala Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan, dan Kepala Balai Diklat Keagamaan Jakarta, agar dapat mengakomodir berbagai jenis diklat yang
2.
3.
4.
5.
relevan sebagai upaya peningkatan disiplin dan kompetensi guru, terutama muatan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan guru agama pada madrasah ibtidaiyah. Dengan terciptanya guru yang disiplin dan kompeten, maka akan dapat meningkatkan kinerja guru yang memiliki kapabilitas tugas. Adapun jenis-jenis diklat yang dianggap relevan untuk diakomodir bagi guru agama pada madrasah adalah Diklat Implementasi dan Pengembangan Kurikulum, Diklat Substantif Guru Agama Islam, Diklat Penilaian Pembelajaran, Diklat Penyusunan Bahan Ajar, Diklat Pengelolaan Pembelajaran, Diklat PKG-PKB, Diklat Model-model Pembelajaran, Diklat Integritas dan Potensi Diri, Diklat Karakter dan Jati Diri Bangsa, Diklat Revolusi Mental, dan Diklat Bela Negara. Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Tangerang Selatan hendaknya mampu membina KKG-KKG agama pada Madrasah Ibtidaiyah Kota Tangerang Selatan secara maksimal agar tercipta guru-guru agama pada madrasah ibtidaiyah yang professional dan mengirimkan peserta diklat secara proporsional. Para Pengawas Pendidikan Agama Islam pada Madrasah Ibtidaiyah di Kota Tangerang Selatan agar terus aktif memberikan supervisi akademik kepada guru-guru Pendidikan Agama Islam pada Madrasah Ibtidaiyah secara rutin dan berkala, agar tugas dan fungsi guru dapat tercapai sebagaimana harapan. Kepala Madrasah Ibtidaiyah se-Kota Tangerang Selatan yang tergabung dalam KKM 1 dan KKM 2 maupun K3M agar terus secara intensif melakukan pembinaan guru terutama dalam mensupport kegiatan KKG Agama pada Madrasah Ibtidaiyah, sehingga tugas dan fungsi guru dapat terlaksana secara maksimal untuk mendapatkan hasil didik yang optimal. Kepada para guru agama pada madrasah ibtidaiyah dalam rangka menambah wawasan dan meningkatkan kompetensinya, selain mengikuti diklat reguler hendaklah dapat mengikuti Diklat Jarak Jauh (DJJ) yang diselenggarakan lembaga diklat.
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
165
UCAPAN
TERIMA KASIH
Pada akhir bahasan ini, perkenankan saya mengucapkan terima kasih yang tulus kepada yang terhormat: Prof. H. Abd. Rahman, Ph. D., Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama beserta jajarannya, Dr. Machdum Priyatno, M. A., Ketua STIA LAN RI, Dr. H. Rohmat Mulyana Sapdi, M. A., sekertaris Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Dr. H. Mahsusi, M. M., selaku Kepala Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Dr. H. Muhbib Abdul Wahab, M. A., Dr. Hj. Hindun Anwar, M.Pd., dan Drs. H. Ahmad Sodiqin, M. M., selaku pembimbing dan pembahas yang dengan sabar telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis hingga terselesaikannya kaya tulis ilmiah ini, Drs. H. Ibnu Hasyir, M. M., Dr. H. Susari, M. A dan Dra. Hj. Nani Sutiati, M. M. Kepala Bidang I, II, dan
166
Pengaruh Pendidikan dan Pelatihan ...
III Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Kepala madrasah, guruguru, dan pengawas Madrasah Ibtidaiyahse-Kota Tangerang Selatan yang telah membantu dalampenyelesaian karya tulis ilmiah ini, kepada suami, anak-anak, serta keluarga yang senantiasa mendukung, memotivasi, dan membantu, sampai terselesaikannya karya tulis ilmiah ini, rekanrekan widyaiswara dan seluruh fungsional umum, atas semua bantuannya, dan semua pihak yang tidak dapat disebut satu-persatu, yang telah membantu secara finansial dan spiritual, memberikan semangat serta dorongan kepada penulissehingga karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Demikian saya akhiri dengan ucapan alhamdulillah, kiranya bermanfaat dansemoga Allah SWT senantiasa meridhaikita semua. Amin.
D A F TA R P U S TA K A
AA. Anwar Prabu Mangkunegara. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011. Abdul Hadis dan Nurhayati B. Manajemen Mutu Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2010. Achmad Slamet. Manajemen Sumber Daya Manusia, Semarang: Unnes Press, 2007. Admodiwirio, Soebagio. Manajemen Training. Jakarta: Balai Pustaka, 1993. Ali Imron. Pembinaan Guru di Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya, 1995. Alex S. Nitisemito. Manajemen Personalia. Edisi Revisi, Jakarta: Ghalia, 1992. A M Wibowo, 2013. Kinerja Guru Madrasah Aliyah Fasca Diklat Fungsional di Provinsi Nusa Tenggara Barat,. Jurnal “Analisa”Volume 20 Nomor 02 Desember 2013 Anita, 2010, Pengaruh Motivasi Kerja Dan Kedisiplinan Guru Terhadap Kinerja Guru di SMA Muhammadiyah 2 Surakarta, Skipsi: Universitas Muhammadiyah Surakarta. Alwi, Syafaruddin. Manajemen Sumber Daya Manusia Strategi Keunggulan Kompetitif. Yogyakarta: BPFE, 2001. Anne Anastasi dan S. Urbina. Psychoological Testing (7 th. Ed.). New Jersey; Prentice-Hall, Inc, 1997. Anoraga, Panji. Psikologi Kerja. Jakarta: Penerbit PT. Rineka Cipta, 1992. Bambang Tri Cahyono. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: IPWI, 1996. Bambrough,J. Training Your Staff, Sterling Publishers. New Delhi, 1998. Diana, Anastasia, dan Fandy, Tjiptono. Penerapan Sistem Kualitas Dalam Industri Jasa Berdasarkan Konsep Total Quality Service. Manajemen Usahawan-Lembaga Management FE UI.Jakarta, 1998. Dimyati dan Mudjiono. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000. Dirjen Dikdasmen. Pengelolaan Sekolah di Sekolah
Dasar. Jakarta: Depdikbud, 1996. Handoko, T. H. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Liberty, 1993. Hasibuan, Malayu S.P. Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara, 2011. Hendri Simamora. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: STIE YPKN, 1995. J. Ravianto, Produktivitas dan Mc Indo. Jakarta: Lembaga Sarana Info Usaha dan Produktivitas, 1990. Kaliri, 2008, Pengaruh Disiplin dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Guru pada SMA Negeri di Kabupaten Pemalang, Tesis; UNES, Semarang, Keputusan Kepala Badan Litbang dan Diklat tentang Kurikulum Diklat Teknis 2012, Bab II Struktur kurikulum, 2012. Kusnadi. Masalah, kerja sama, konflik dan kinerja. Malang: Taroda, 2003. Lampiran Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016, tentang standar proses pendidikan dasar dan menengah, 2016. Lampiran Keputusan Kongres xxi Persatuan Guru Republik Indonesia Nomor: VI/ Kongres/XXI/PGRI/2013 tentang Kode Etik Guru Indonesia, 2013. Lubis, H.R., dkk., eds. Hipertensi dan Ginjal: Dalam Rangka Purna Bakti Prof. Dr. Harun Rasyid Lubis, Sp.PD-KGH. Medan: USU Press, 2008. Marzuki. Metode Riset, Yogyakarta : Fakultas Ekonomi UII, 1986. Masri Singarimbun. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES, 1995. Menpan. Pendidikan Nasional dan Angka Kredit Bagi Jabatan Guru, Bandung: SK No. 20 tahun 1989. Moh. Uzer Usman. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2003. Muhibbin Syah. Dasar-dasar Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
167
Rosda Karya, 2003. Mulyasa. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005. M. Saleh Marzuki. Strategi dan Model Pelatihan, Suatu Pengetahuan Dasar Bagi Instruktur Dan Pengelola Lembaga Latihan, Kursus dan Penataran. IKIP Malang, 1992.
Sastrohadiwiryo, B. Siswanto. Manajemen Tenaga Kerja Indonesia PendekatanAdministratif dan Operasional. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005. Siagian, Sondang P. Teori Pengembangan Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara, 2007. Sugiyono. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta, 2005.
Nana Syaodih Sukmadinata. Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, Cetakan I, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997.
Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 1998.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 101 tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai negeri Sipil, 2000.
Sutrisno, Edy. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Prenada Media, 2014.
Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS, 2010. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Pendidikan Nasional dan Angka Kredit Bagi Jabatan Guru, Bandung : SK No. 20 tahun 1989. Pedoman Diklat Teknis Fungsional Peningkatan Kompetensi Guru Agama Muda Madrasah Ibtidaiyah Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Raymond A. Noe, Jhon R Hollenbeck, Barry Gerhart dan Patrick Wright. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Salemba Empat, terjemahan, 2010. RobbinsStephen P. Dan Coulter, Mary. Manajemen. Jakarta: Erlangga, Edisi ke-10, 2010. Ruwaidah. “Pengaruh Pelatihan Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan PT. Wira Mustika Indah (Pabrik Paku dan Kawat Indonesia)”. Jurnal Penelitian Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma, 2013. R. Ibrahim dan Nana Syaodih Sukmadinata. Materi Pokok Pengembangan Inovasi Dan Kurikulum. Jakarta: Depdikbud, 1993. Sardiman, AM. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001. Santosa Murwani. Pedoman Tesis dan Disertasi. Jakarta; Program Pasca Sarjana UHAMKA, 2008.
168
Pengaruh Pendidikan dan Pelatihan ...
Syihabuddin, 2012. Pemantauan dan Evaluasi Dampak Diklat Pusat Penelitian dan Pelatihan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bahasa (P4TK) Jakarta, Laporan Evaluasi Diklat.: PPPPK Bahasa Jakarta. Turni Swastiati. 2006. Hubungan Antara Minat Siswa dan Kemampuan Mengajar Guru terhadap Prestasi Belajar Bahasa Inggris Siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 11 Depok. Tesis : UHAMKA Jakarta. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, 2003. Veithzal Rivai. Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009. Veithzal Rivai. Performance Appraisal. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005. Wahjosumidjo. Kepemimpinan Motivasi. Jakarta: Ghalia, 1985. William B. Werther, Jr dan Keith Davis. Managing Personalia. United States of Amerika : Mc Graw Hill Book Co.1993. Wirawan. Profesi dan Standar Evaluasi. Jakarta: Yayasan Bangun Indonesia & UHAMKA Press. 2004.
WORK PRODUCTIVITY OF MADRASAH TEACHERS IN INDUSTRIAL AREA IN BEKASI RESIDENCE D E R M A W A T I*
ABSTRACT Pedagogic and professional competence should be acquired by teachers in order to gain maximum work productivity whose effect is on the quality of the graduates. Teacher work productivity is strongly influenced by the environment surrounding the madrasah/ schools, i.e. industrial area. This research aims at investigating teachers’ productivity from the aspects of pedagogic competence and professional competence in the industrial area of Bekasi regency. The study was conducted in ten Madrasah Tsanawiyah (Islamic primary schools) by collecting data from surveys and interviews. The data were then analyzed through content analysis. The study found out that 48% of teachers (29 teachers) obtained pedagogic competence below 60%, and 82% of them (49 teachers) obtained professional competence below 60%. It can be concluded that the industrial area is 100% uncorrelated and uninfluential to the teachers’ work discipline, instead it affects the work productivity. This study suggests the schools to conduct teachers’ performance assessment to identify teacher competence in the industrial area of Bekasi. It also suggests the schools to conduct more professional development programs to improve teachers’ competence focusing on pedagogic competence and professionalism competence.
KEY WORDS: Teachers’ work productivity, industrial area, madrasah tsanawiyah
PRODUKTIVITAS KERJA GURU MADRASAH DI KAWASAN INDUSTRI KABUPATEN BEKASI D E R M A W A T I*
ABSTRAK Kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional harus dimiliki guru untuk mencapai produktivitas kerjanya maksimal yang berdampak kepada kualitas lulusan peserta didiknya. Produktivitas kerja guru juga sangat didukung oleh lingkungan sekolah/madrasah seperti kawasan industri. Tujuan dari penelitian untuk melihat produktivitas kerja guru Madrasah Tsanawiyah dari kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional pada kawasan Industri Kabupaten Bekasi. Penelitian dilakukan pada 10 Madrasah Tsanawiyah di kawasan Industri Kabupaten Bekasi dengan sumber data penelitian adalah angket dan wawancara. Data dianalisis secara content analysis. Hasil penelitian pada 10 Madrasah Tsanawiyah, produktivitas kerja guru Madrasah Tsanawiyah untuk kompetensi pedagogik yang mendapat nilai di bawah 60% sebanyak 48% (29 orang) dan untuk kompetensi profesionalisme yang mendapat nilai di bawah 60% sebanyak 82% (49 orang) masih sangat rendah, serta kawasan industri 100% tidak berpengaruh pada disiplin kerja tapi berpengaruh pada produktivitas kerja guru. Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan hendaknya adanya evaluasi kinerja guru oleh pihak yang terkait untuk mengidentifikasi kompetensi guru di kawasan industri Kabupaten Bekasi, pihak pimpinan madrasah hendaknya memperbanyak kegiatan-kegiatan pengembangan diri untuk meningkatkan kompetensi guru dan lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan memperbanyak program tentang materi kompetensi pedagogik dan kompetensi profesionalisme guru.
KATA KUNCI: Produktivitas kerja guru, kawasan industri, madrasah tsanawiyah *Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan, Jalan Ir. H. Juanda No. 37 Ciputat, Tangsel. Email:
[email protected] *Naskah diterima Oktober 2016, direvisi November 2016, disetujui untuk diterbitkan Desember 2016
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
169
A. PENDAHULUAN Kemajuan dan keberhasilan pendidikan di Indonesia dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal. Secara implisit faktor internal menyangkut faktor fisiologis atau jasmani dan psikologis atau adanya motivasi, seperti adanya rasa ingin tahu, ingin memperbaiki kegagalan dan sebagainya. Sedangkan faktor eksternal diantaranya datang dari orang tua, sekolah, masyarakat, lingkungan dan instrumen. Faktor instrumen adalah faktor kurikulum, program, sarana dan fasilitas dan guru atau tenaga pengajar. Tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan melihat proses pembelajaran, dimana proses pembelajaran merupakan seperangkat kegiatan belajar yang dilakukan siswa (peserta didik).1 Kompetensi yang harus dimiliki seorang guru sebagai tenaga profesional meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan kompetensi profesional.2 Apabila seorang guru memiliki kualitas kompetensi pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian yang tinggi maka akan sangat mempengaruhi produktivitas kerjanya yaitu hubungan antara kualitas yang dihasilkan dengan jumlah kerja yang dilakukan untuk mencapai suatu hasil.3 Selain proses pembelajaran yang baik, tujuan pembelajaran dapat dicapai melalui kompetensi pedagogik yang dimiliki oleh guru yang meliputi: pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki.4 Disamping kompetensi pedagogik, kompetensi professional harus dimiliki oleh guru. Kompetensi profesionalisme guru tugas utamanya adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan 1 Mukhtar & Iskandar, Desain Pembelajaran Berbasis TIK (Jakarta: Referensi, 2012), 26. 2 Kemendiknas, Buku Pedoman Penilaian Kinerja Guru (PKG) (Jakarta: Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, 2010). 3 Edward M Glaser, Productivity Gains Through Worklife Improvement (New York: The Psycological Corporation, 1976), 26. 4 Asep Djihad Suyanto, Calon Guru dan Guru Profesiona (Yogyakarta: Multi Presindo, 2012), 49.
170
Produktivitas Kerja Guru ...
dasar, dan pendidikan menengah.5 Dalam proses pembelajaran di kelas sangatlah dipengaruhi oleh kompetensi yang dimiliki oleh guru. Kompetensi yang dimiliki oleh guru dalam hal ini antara lain kompetensi pedagogik dan kompetensi professional akan menghasilkan produktivitas kerja guru yang akan berdampak pada kualitas lulusan peserta didik. Produktivitas kerja guru selain dipengaruhi oleh kompetensi yang dimiliki juga sangat didukung oleh lingkungan sekolah/madrasah yang merupakan kesatuan dengan semua hal ruang atau kesatuan makhluk hidup termasuk manusia dan semua perilaku oleh-mata pencaharian dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lain di sekitarnya. Lingkungan yang berada di sekitar madrasah beraneka ragam bentuknya. Salah satu lingkungan yang ada di sekitar madrasah adalah kawasan industri. Kawasan industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki izin Usaha Kawasan Industri.6Kawasan industri Kabupaten Bekasi banyak perusahaanperusahaan yang berkembang pesat dan banyaknya masyarakat yang butuh pendidikan seperti Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP)/ Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) dan Perguruan Tinggi. Dengan berkembangnya kawasan industri dan masyarakat yang membutuhkan pendidikan serta perlunya kompetensi guru yang maksismal, mendorong peneliti untuk meneliti lebih jauh tentang keterkaitan produktivitas kerja dengan kompetensi guru Madrasah-madrasah Tsanawiyah yang berada di Kawasan Industri Kabupaten Bekasi. Apakah produktivitas kerja guru Madrasah Tsanawiyah di kawasan industri Kabupaten Bekasi ada kaitannya dengan kompetensi pedagogik dan kompetensi professional masing-masing guru tersebut.
5 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. 6 Keputusan Presiden (KEPPRES) Nomor 41 Tahun 1996 tentang Kawasan Industri.
B. KAJIAN LITERATUR 1. Produktivitas Kerja Antara motivasi dengan produktivitas guru terdapat hubungan yang signifikan. 7Dimana semakin tinggi tingkat motivasi semakin tinggi pula produktivitas guru di sekolah. Dalam penelitian yang dilakukan, terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara iklim kerja dengan produktivitas guru SMK Bidang Teknologi di Kota Manado. Penciptaan iklim kerja di sekolah sangatlah penting agar kepuasan guru senantiasa terjaga sehingga para guru dapat menjalankan tugasnya dengan kinerja yang tinggi. Dan juga terdapat hubungan yang kuat antara motivasi dan iklim kerja dengan produktivitas guru. Dari hasil perhitungan kompetensi motivasi, iklim kerja, memberikan sumbangan (kontribusi) terhadap produktivitas guru sebesar 44,5%. Guru sangat berperan dalam proses pembelajaran. Peran guru ini akan berpengaruh pada prestasi belajar siswa dan juga lingkungan sekolah. Prestasi belajar siswa ini adalah merupakan produktivitas kerja guru. Jadi lingkungan sekolah dan peran guru akan berpengaruh bersama-sama terhadap prestasi belajar siswa.8 2. Kompetensi Pedagogik Guru dalam perencanaan pembelajaran berpedoman pada kurikulum dan silabus.9 Dalam perencanaan pembelajaran tersebut memuat analisis materi pembelajaran yang di dalamnya memuat tentang standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator dan materi pokok. Kompetensi pedagogik guru dalam proses pembelajaran di SMPN 3 Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar dari sisi (a) penguasaan teori belajar dan prinsipprinsip pembelajaran yang mendidik dilakukan dengan cara mendalami masing-masing materi pembelajaran secara konseptual melalui bacaan 7 Rio. M. Abast. “Hubungan Motivasi dan Iklim Kerja dengan Produktivitas Guru SMK di Kota Manado. ED Vokasi”. Jurnal Pendidikan Teknologi dan Kejuruan Volume 2, Nomor 2 (2011): 71-82. 8 Galih Afrianta. “Pengaruh Lingkungan Sekolah dan Peran Guru terhadap Prestasi Belajar Siswa Kelas XI IPS-1 SMA Negeri 1 Pule Trenggalek. Skripsi. Inuversitas Nusantara PGRI Kediri. Simki.unpkediri.ac.id. (2014): 15 9 Putri Balqis, Nasir Usman, Sakdiah Ibrahim. “Kompetensi Pedagogik Guru dalam Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Pada SMPN 3 Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar ”. Jurnal Administrasi Pendidikan Pascasarjana Inuversitas Syiah Kuala, Volume 2 No. 1 (2014): 25-37.
buku-buku dan literatur tentang disiplin ilmu masing-masing, (b) pengembangan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran yang diampu dilakukan dengan memantapkan sejumlah materi pembelajaran kepada siswa secara baik dan benar dan sesuai alokasi waktu pembelajaran yang disediakan, (c) pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki dilakukan dengan memberikan sejumlah latihan dalam bentuk pekerjaan rumah yang berhubungan dengan materi pembelajaran yang sudah diajarkan, dan (d) memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran dilakukan dengan cara mengidentifikasi perkembangan peserta didik melalui kegiatan evaluasi pembelajaran dan menentukan beberapa tutor sebaya untuk pengembangan materi ajar. Kompetensi pedagogik guru dalam meningkatkan motivasi belajar siswa dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik dan melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran dilakukan dengan tes diagnostik untuk setiap mata pelajaran yang sudah diajarkan.10 3. Kompetensi Profesionalisme Menurut Dewi (2013)11, profesionalisme guru berpengaruh dan signifikan terhadap kinerja guru. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin profesional seorang guru dalam melakukan pekerjaannya maka kinerjanya akan semakin meningkat pula berdasarkan hasil analisis data menunjukkan secara parsial motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja guru ekonomi. Selanjutnya dinyatakan bahwa terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara motivasi kerja terhadap kinerja guru ekonomi. Makin tinggi profesionalisme guru dan motivasi kerja guru maka makin baik kinerja guru. Guru yang profesional ditandai 10
Putri Balqis, Nasir Usman, Sakdiah Ibrahim. “Kompetensi Pedagogik Guru dalam Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Pada SMPN 3 Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar ”. Jurnal Administrasi Pendidikan Pascasarjana Inuversitas Syiah Kuala, Volume 2 No. 1 (2014): 38. 11 Tara Anggia Dewi. “Pengaruh Profesionalisme Guru dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Guru Ekonomi SMA se-Kota Malang”. Jurnal Promosi Jurnal Pendidikan Ekonomi UM Metro, Volume 5 No. 1 (2013): 24-35.
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
171
dengan adanya penguasaan kemampuan/ kompetensi yang dimiliki guru yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Seorang guru yang dapat menguasai materi serta konsep-konsep mata pelajaran yang diampunya, akan dapat melakukan proses pembelajaran dengan efektif. 4. Kawasan Industri Menurut Teguh S. Pambudi, industri adalah sekelompok perusahaan yang bisa menghasilkan sebuah produk yang dapat saling menggantikan antara yang satu dengan yang lainnya. Menurut Hinsa Sahaan, industri adalah bagian dari sebuah proses yang mengolah barang mentah menjadi barang jadi sehingga menjadi sebuah barang baru yang memiliki nilai lebih bagi kebutuhan masyarakat. Selanjutnya dengan dijadikannya wilayah kabupaten Bekasi sebagai kawasan industri mengakibatkan terjadinya pergeseran sektor usaha/mata pencaharian penduduk dari sektor pertanian ke sektor industri, perdagangan dan jasa sehingga akan berpengaruh pada pendidikan secara umum.12
C. METODE PENELITIAN 1. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu mendeskripsikan dan menganalisis produktivitas kerja guru-guru Madrasah Tsanawiyah di Kawasan industri Kabupaten Bekasi. Pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan kualitatif, di mana data-data yang dikumpulkan dituangkan dalam bentuk uraian. 2. Sumber Data a. Sumber data primer Berupa instrumen angket produktivitas kerja guru yang diisi oleh guru responden. Guru-guru MTs yang dijadikan responden adalah guru yang berasal dari 10 MTs, masing-masing MTs akan diambil perwakilan masing-masing satu (1) orang guru IPA, IPS, Matematika, Bahasa (Inggris/Arab/Indonesia), PAI dan Seni dan
12
Jakaria M. Nur. Dampak Pembangunan Kawasan Industri di Kabupaten Bekasi terhadap Alih Fungsi Lahan dan Mata Pencaharian Penduduk. https://www.google.co.id/search?q=jurnal+ tentang+ kawasan+industri&oq=jurnal+tentang+kawasan+industri&gs_(diakses 9 Januari 2016).
172
Produktivitas Kerja Guru ...
Budaya untuk mengisi angket produktivitas kerja guru. Jadi jumlah responden yang mengisi angket adalah 60 orang. Selain data berupa hasil angket juga diambil data hasil wawancara yang diperoleh dari informan Kepala Madrasah, Wakil Kepala Bidang Kurikulum, 1 orang guru perwakilan dan Pengawas Madrasah KKM MTsN Serang, KKM MTsN Cikarang, dan KKM MTsN Setu. Wawancara pada masing-masing MTs disaat pengambilan hasil isian angket. b. Data sekunder Sumber data sekunder adalah semua sumber data yang berupa buku, jurnal dan data lainnya yang ada di perpustakaan.13 3. Tempat dan Waktu Penelitian diadakan Madrasah Tsanawiyah yang berada di kawasan Industri Kabupaten Bekasi yaitu 1)Madrasah Tsanawiyah pada KKM Madrasah Tsanawiyah Negeri Serang sejumlah 5 madrasah yaitu MTs Negeri Serang, MTs Swasta Al-Husna, MTs Swasta Al-Barkah, MTs Swasta Al Ishlah, MTs Swasta Riyadlul Jannah; 2)Madrasah Tsanawiyah pada KKM Madrasah Tsanawiyah Negeri Setu ada 2 madrasah yaitu MTs N Setu dan MTs Swasta Ar-Raudhah; dan 3) Madrasah Tsanawiyah pada KKM Madrasah Tsanawiyah Negeri Cikarang berjumlah 3 madrasah yaitu MTs Swasta Muthmainnah, dan MTs Swasta Al-Imaroh. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Januari 2016 sampai dengan bulan Juli 2016. 4. Teknik Pengumpulan Data Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa angket yang terdiri dari sejumlah pernyataan tertulis yang disediakan dengan alternatif jawaban. Bentuk angket yang digunakan adalah bentuk tertutup dengan 2 alternatif jawaban (ya/tidak), dimana responden tinggal memilih salah satu jawaban yang menurut responden jawaban tersebut sesuai dengan kondisi keadaan yang dihadapi atau dialami responden. Dan wawancara dilakukan kepada informan untuk menjaring informasi bagaimana produktivitas kerja berdasarkan kompetensi pedagogik dan kompetensi 13 Hal berkaitan dengan keberadaan penelitian yang lebih menekankan aspek grounded research. Untuk keterangan lebih lanjut ada pada Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial: Buku Sumber Untuk Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), 184.
profesional yang mereka miliki dilihat dari segi lingkungan sekolah yang terletak di kawasan industri. 5. Teknik Analisis Data Untuk memahami data primer dan sekunder tersebut dapat digunakan teknik tertentu, yaitu teknik yang paling umum digunakan adalah content analysis atau “kajian isi”yang dipahami dengan menggunakan pendekatan fenomenologi, dan langkah selanjutnya yang harus dilakukan peneliti adalah membuat laporan etnografi. Kompetensi pedagogik yang terdiri dari 7 kompetensi dengan jumlah 165 indikator dan kompetensi profesional yang terdiri dari 2 kompetensi berjumlah 47 indikator. Skor rata-rata masing-masing kompetensi dicantumkan dan dijumlahkan dalam tabel untuk selanjutnya dikonversikan ke skala nilai 0 – 100, dan masingmasingnya dikonversi menjadi persentase (%). Nilai hasil 91%-100% disebut amat baik, 76%-90% disebut baik, 61%-75% disebut cukup, 51%-60% disebut sedang, dan d”50% disebut kurang.
D. HASIL PENELITIAN
DAN
baik yaitu 125 (76%) dan guru Matematika dengan nilai sedang yaitu 86 (52%), sedang guru IPS, Bahasa, PAI dan Seni Budaya produktivitas kerja mereka dari segi kompetensi pedagogik mendapat nilai kurang yaitu d” 50%. Begitu juga dengan kompetensi profesionalisme semua guru nilai kurang yaitu d” 50%, paling tinggi guru IPA hanya mencapai nilai 15 (32%). 2. Madrasah Tsanawiyah Negeri Setu Diagram 2. Rekapitulasi Persentase Produktivitas Kerja Guru MTsN Setu
PEMBAHASAN
Deskripsi data hasil penelitian yang disajikan dalam bentuk tabel data berupa hasil isian angket. Adapun hasil pengumpulan data isian instrumen angket untuk masing-masing madrasah dibuat dalam bentuk tabel dan diagram. Penjelasan untuk hasil rekapitulasi dalam bentuk persentase dapat dijelaskan melalui digram di bawah ini. 1. Madrasah Tsanawiyah (MTs) Negeri Serang Diagram 1. Rekapitulasi Persentase Produktivitas Kerja Guru MTsN Serang
Dari diagram 2. dapat dianalisis bahwa ratarata kompetensi pedagogik guru-guru yang jadi responden pada MTsN Setu sudah baik yaitu guru IPA (81%), Guru IPS (89%), guru Matematika (81%) dan guru SBD (85%) dan guru Rumpun Mata Pelajaran Bahasa mendapat nilai amat baik yaitu 93 % kecuali guru mata pelajaran dari rumpun PAI yang mendapat nilai kurang (25%). Dari kompetensi profesionalisme ada 3 orang mendapat nilai sedang yaitu guru IPA, IPS dan rumpun Bahasa (51%) dan guru SBD (62%). Guru Matematika (19%) dan guru rumpun PAI (9%) mendapat nilai kurang. 3. Madrasah Tsanawiyah Swasta Al-Barkah Diagram 3. Rekapitulasi Persentase Produktivitas Kerja Guru MTsN Al-Barkah
Dari data yang terdapat diagram1, dapat dianalisis bahwa rata-rata kompetensi pedagogik guru-guru yang jadi responden masih sangat rendah. Hanya guru IPA yang mendapat nilai
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
173
Diagram 3. untuk MTs Swasta Al-Barkah dapat dianalisis bahwa produktivitas kerja dari segi kompetensi pedagogik ada 2 guru yang jadi responden mendapat nilai baik yaitu guru rumpun Bahasa, dan Seni Budaya mendapat nilai 76% dan 86%. 2 orang mendapat nilai cukup yaitu guru IPA (73%) dan Matematika (72%). Sedangkan guru mata pelajaran IPS (45%) dan Guru mata pelajaran rumpun PAI (48%) mendapat nilai kurang. Untuk kompetensi profesionalisme guru IPA mendapat nilai 36%, guru IPS mendapat nilai 38%, guru matematika mendapat nilai 40%, guru rumpun Bahasa mendapat nilai 45%, guru rumpun PAI mendapat nilai 30 % dan guru SBD mendapat nilai 40%. Jadi semua guru masih mendapat nilai kurang (d” 50%). 4. Madrasah Tsanawiyah Swasta Al-Ishlah Diagram 4. Rekapitulasi Persentase Produktivitas Kerja Guru MTs. Al-Ishlah
Pada diagram 2.4, merupakan hasil angket dari responden guru MTs Swasta Al-Ishlah produktivitas kerja guru yang jadi responden dari kompetensi pedagogik guru IPA (68%) dan guru IPS (61%) mendapat nilai cukup. Guru Matematika (50%) mendapat nilai kurang dan guru rumpun Bahasa (55%), guru rumpun PAI (53%), dan guru SBD (59%) mendapat nilai sedang. Untuk kompetensi profesionalisme guru IPA mendapat nilai 53%, guru IPS mendapat nilai 51%, guru matematika mendapat nilai 43%, guru rumpun Bahasa mendapat nilai 43%, guru rumpun PAI mendapat nilai 43 % dan guru SBD mendapat nilai 4%. Jadi Guru IPA dan guru IPS mendapat nilai sedang, sedang guru yang lain nilainya d” 50% mendapat nilai kurang. 5. Madrasah Tsanawiyah Swasta Al-Husna Diagram 5. Rekapitulasi Persentase Produktivitas Kerja Guru MTs. Al-Husna
174
Produktivitas Kerja Guru ...
Pada diagram 5 diatas dapat dijelaskan bahwa dari segi kompetensi pedagogik guru IPA mendapat nilai 38%, guru IPS mendapat nilai 47%, guru matematika mendapat nilai 81%, guru rumpun Bahasa mendapat nilai 34%, guru rumpun PAI mendapat nilai 46 % dan guru SBD mendapat nilai 43%. Semua gurunya nilainya masih sangat rendah. Nilai sedang didapatkan oleh guru matematika, Sedangkan guru lainnya mendapat nilai kurang (d”50%). Untuk produktivitas kerja yang dilihat dari segi kompetensi profesionalisme, guru IPA mendapat nilai 31%, guru IPS mendapat nilai 31%, guru matematika mendapat nilai 53%, guru rumpun Bahasa mendapat nilai 33%, guru rumpun PAI mendapat nilai 29 % dan guru SBD mendapat nilai 27%. Hanya guru Matematika juga mendapat nilai baik, sedangkan guru yang lain nilainya kurang yaitu berkisar antara 34%47%, yang kalau dilihat masih jauh dari kompetensi yang diinginkan. 6. Madrasah Tsanawiyah Swasta Riyadlul Jannah Diagram 6. Rekapitulasi Persentase Produktivitas Kerja Guru MTs. Riyadlul Jannah
Dari data yang terdapat diagram 6, dapat dianalisis bahwa 2 orang guru mendapat nilai sangat baik yaitu guru IPS (91%) dan guru rumpun bahasa (92%). Sedang guru IPA (87%), Matematika (87%), rumpun PAI (89%), dan SBD
(85) dikategorikan mendapat nilai baik. Sedangkan untuk kompetensi profesionalisme guru IPA mendapat nilai 47%, guru IPS mendapat nilai 26%, guru matematika mendapat nilai 32%, guru rumpun Bahasa mendapat nilai 30%, guru rumpun PAI mendapat nilai 28 % dan guru SBD mendapat nilai 34%. Jadi semua gurunya mendapat nilai yang kurang dari 50%. 7. Madrasah Tsanawiyah Swasta Miftahul Ulum Diagram 7. Rekapitulasi Persentase Produktivitas Kerja Guru MTs Miftahul Ulum
Pada diagram 7 dapat dilihat bahwa untuk kompetensi pedagogik guru IPA mendapat nilai 83%, guru IPS mendapat nilai 12%, guru matematika mendapat nilai 27%, guru rumpun Bahasa mendapat nilai 27%, guru rumpun PAI mendapat nilai 26 % dan guru SBD mendapat nilai 7%. Jadi yang mempunyai produktivitas kerja yang paling tinggi dari segi kompetensi pedagogik adalah guru IPA yang mendapat nilai 137 (83%) dengan kriteria nilai baik, sedangkan 5 orang guru lain yang menjadi responden semua mendapat nilai kurang. Sedangkan Kompetensi profesionalisme guru IPA mendapat nilai 21%, guru IPS mendapat nilai 21%, guru matematika mendapat nilai 21%, guru rumpun Bahasa mendapat nilai 48%, guru rumpun PAI mendapat nilai 21 % dan guru SBD mendapat nilai 21%, jadi semua guru juga mendapat kurang. 8. Madrasah Tsanawiyah Swasta AlMuthmainnah Diagram 8. Rekapitulasi Persentase Produktivitas Kerja Guru MTs. Al-Muthmainnah
Diagram 8, hasil analisis peneliti untuk kompetensi pedagogik, guru IPA mendapat nilai 83%, guru IPS mendapat nilai 89%, guru matematika mendapat nilai 88%, guru rumpun Bahasa mendapat nilai 69%, guru rumpun PAI mendapat nilai 84 % dan guru SBD mendapat nilai 87%. Jadi 5 orang guru sudah mendapat nilai baik kecuali guru rumpun Bahasa mendapat nilai cukup (69%). Untuk kompetensi profesionalisme guru IPA mendapat nilai 81%, guru IPS mendapat nilai 85%, guru matematika mendapat nilai 79%, guru rumpun Bahasa mendapat nilai 40%, guru rumpun PAI mendapat nilai 77 % dan guru SBD mendapat nilai 77%. Jadi 5 orang guru mendapat nilai baik kecuali guru rumpun Bahasa mendapat mendapat nilai kurang yaitu 40%. 9. Madrasah Tsanawiyah Swasta Ar-Raudhah Diagram 9. Rekapitulasi Persentase Produktivitas Kerja Guru MTs. Ar-Raudhah
Dilihat dari diagram 9, kompetensi pedagogik terlihat produktivitas kerja semua guru masih kurang yaitu nilai 45 (27%). Sedangkan untuk kompetensi profesionalisme juga semua gurunya mendapat nilai kurang yaitu guru IPA mendapat
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
175
nilai 17%, guru IPS mendapat nilai 21%, guru matematika mendapat nilai 19%, guru rumpun Bahasa mendapat nilai 19%, guru rumpun PAI mendapat nilai 19 % dan guru SBD mendapat nilai 19%. 10. Madrasah Tsanawiyah Swasta Al-Imaroh Diagram 10. Rekapitulasi Persentase Produktivitas Kerja Guru MTs. Swasta Al-Imaroh
Pada hasil data yang terdapat diagram 10 terlihat bahwa, produktivitas kerja guru MTs Swasta Al-Imaroh dari segi pedagogik guru dan profesionalisme sudah cukup baik. Untuk kompetensi pedagogik guru IPA mendapat nilai 90%, guru IPS mendapat nilai 82%, guru matematika mendapat nilai 90%, guru rumpun Bahasa mendapat nilai 98%, guru rumpun PAI mendapat nilai 88 % dan guru SBD mendapat nilai 85%. Hanya satu orang guru yang mempunyai nilai amat baik yaitu guru rumpun (98%), sedang 5 orang guru lainnya mendapat nilai baik (82%90%). Untuk kompetensi profesionalisme guru guru IPA mendapat nilai 51%, guru IPS mendapat nilai 70%, guru matematika mendapat nilai 64%, guru rumpun Bahasa mendapat nilai 94%, guru rumpun PAI mendapat nilai 74 % dan guru SBD mendapat nilai 70%. Guru rumpun Bahasa mendapat nilai amat baik (94%), 3 orang guru mendapat nilai baik yaitu guru IPS (70%), PAI (74%), dan SBD (70%) dan guru IPA (51%) mendapat nilai sedang. Berdasarkan hasil pengumpulan data isian instrumen ke-10 Madarasah Tsanawiyah di atas, maka dapat direkap dalam tabel 11 di bawah ini. Tabel 11. Rekapitulasi Hasil Produktivitas Kerja Guru Madarasah Tsanawiyah (MTs.) di Kawasan Industri Kabupaten Bekasi
176
Produktivitas Kerja Guru ...
Data yang terdapat pada tabel 11 di atas dapat dijelaskan bahwa untuk MTs Serang untuk kompetensi pedagogik 1 orang guru mendapat nilai baik, 1 orang guru mendapat nilai sedang dan 4 orang guru mendapat nilai kurang, sedang untuk kompetensi profesionalisme semua gurunya yaitu 6 orang mendapat nilai kurang. Pada MTs Setu untuk kompetensi pedagogik 1 orang guru mendapat nilai amat baik, 4 orang guru mendapat nilai baik dan 1 orang guru mendapat nilai kurang, sedang untuk kompetensi profesionalisme 3 orang guru mendapat nilai sedang dan 3 orang guru mendapat nilai kurang. MTs Al-Barkah untuk kompetensi pedagogik 2 orang guru mendapat nilai baik, 2 orang guru mendapat nilai cukup dan 2 orang guru mendapat nilai kurang, sedang untuk kompetensi profesionalisme semua 6 orang guru mendapat mendapat nilai kurang. Pada MTs Al-Ishlah untuk kompetensi pedagogik 2 orang guru mendapat nilai cukup, dan 3 orang guru mendapat nilai sedang sedangkan untuk kompetensi profesionalisme semua gurunya (6 orang) mendapat nilai kurang. Pada MTs Al-Husna untuk kompetensi pedagogik 1 orang guru mendapat nilai sedang, dan 5 orang guru mendapat nilai kurang, sedang untuk kompetensi profesionalisme 1 orang guru mendapat nilai baik dan 5 orang guru mendapat nilai kurang. Kompetensi pedagogik pada MTs Ryadlul Jannah 2 orang guru mendapat nilai amat baik, 4 orang guru mendapat nilai baik, sedang untuk kompetensi profesionalisme 6 orang guru mendapat nilai kurang. Untuk MTs Miftahul Ulum kompetensi pedagogik ada 1 orang guru mendapat nilai baik, 5 orang guru mendapat nilai kurang dan untuk kompetensi profesionalisme 6 guru mendapat nilai kurang. MTs Muthmainnah untuk kompetensi pedagogik 5 orang guru
mendapat nilai baik, 1 orang guru mendapat cukup dan untuk kompetensi profesionalisme 5 orang guru mendapat nilai baik dan 1 orang guru mendapat nilai kurang. MTs Ar- Raudhah untuk kompetensi pedagogik 6 orang guru mendapat nilai kurang dan kompetensi profesionalisme juga 6 orang guru mendapat nilai kurang. Untuk MTs Al-Imron kompetensi pedagogik 1 orang guru mendapat nilai amat baik, 5 orang guru mendapat nilai baik sedangkan untuk kompetensi profesionalisme 3 orang guru mendapat nilai amat baik, 3 orang guru mendapat nilai baik, 1 orang guru mendapat nilai cukup, dan 1 orang guru mendapat nilai kurang. Hasil keseluruhan dari data pada table 11 dapat disimpulkan bahwa pada 10 Madrasah Tsanawiyah, untuk kompetensi pedagogik yang mendapat nilai rata-rata baik ada 5 Madrasah yaitu MTs Setu, MTs Swasta Al-Barkah, MTs Swasta Riyadlul Jannah, MTs Swasta Muthmainnah, dan MTs Al-Imaroh. Dan untuk kompetensi profesionalisme yang mendapat rata-rata nilai baik ada 2 Madrasah Tsanawiyah yaitu MTs Swasta Muthmainnah dan MTs Swasta Al-Imaroh. Hasil analisis terhadap data dari 10 Madrasah diatas terlihat bahwa semua guru rata-rata masih kurang produktivitas kerja baik dari segi kompetensi pedagogik maupun kompetensi profesionalisme. Jumlah guru yang mempunyai nilai cukup, baik dan amat baik untuk kompetensi pedagogik berjumlah 31 orang (52%), jadi 29 orang (48%) guru masih mempunyai nilai di bawah 60%. Sedangkan untuk kompetensi profesionalisme jumlah guru yang mendapat nilai sedang dan kurang (di bawah 60%) berjumlah 49 orang (82%). Di lihat dari hasil ini disebabkan karena guru dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari hanya sekedar memenuhi tanggung jawab kehadiran, tidak diiringi dengan kriteria produktivitas kerja pegawai yang meliputi: Efesiensi, Efektif dan Sikap Mental.14 Madrasah yang berada di kawasan industri, sudah pasti terpengaruh dalam melaksanakan aktivitas kerja sehari-hari walaupun guru mencoba mengantisipasi kondisi tersebut. Hal ini dapat di lihat dari data angket yang di ambil dari 10 Madrasah Tsanawiyah bahwa hanya ada 5
Madrasah Tsanawiyah yang kompetensi pedagogiknya rata-rata baik dan untuk kompetensi profesionalisme dari 10 Madrasah Tsanawiyah hanya ada 2 Madarasah yang nilainya baik. Dari hasil wawancara, guru mengatakan bahwa lingkungan kawasan industri tidak bermasalah bagi mereka dalam melakukan kegiatan pembelajaran, karena mereka bisa mengantisipasi kondisi tersebut. Tetapi akibat dari usaha antisipasi kendala yang yang mereka lakukan, kondisi kawasan industri minimalnya menguras tenaga, pikiran, waktu dan mungkin pengeluaran ekonomi yang lebih tinggi. Hal ini tentu berdampak pada usaha untuk meningkatkan produktivitas kerja dari segi kompetensi pedagogik dan profesional, motivasi kerja dan kemampuan untuk kearah peningkatan kompetensi yang lebih berkualitas.
E. PENUTUP a.
b.
c.
a.
b. 14
Andi Rakhmah Hakim, Pengaruh Motivasi Dan Disiplin Kerja Terhadap Produktivitas Kerja Guru Di SMPN 2 Gresik Kabupaten Cirebon (Program Pascasarjana Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon, 2013)
1. Simpulan Produktivitas kerja guru Madrasah Tsanawiyah di kawasan Industri Kabupaten Bekasi dilihat dari kompetensi pedagogik mendapat nilai di bawah 60% sebanyak 48% (29 orang). Produktivitas kerja guru Madrasah Tsanawiyah di kawasan Industri Kabupaten Bekasi dilihat dari kompetensi profesional mendapat nilai di bawah 60% sebanyak 82% (49 orang). Kawasan industri 100% tidak berpengaruh pada disiplin kerja tetapi berpengaruh pada produktivitas kerja guru. 2. Rekomendasi Hendaknya ada evaluasi produktivitas kerja guru oleh Seksi Pendidikan Madrasah pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bekasi, Pengawas Madrasah pada lingkungan Kelompok Kerja Madrasah masing-masing; Kepala Madrasah Tsanawiyah Negeri dan Madrasah Tsanawiyah Swasta, Komite Madrasah, dan peran guru Madrasah untuk membina guru dalam kualifikasinya serta kompetensi guru di Kawasan Industri Kabupaten Bekasi. Pihak pimpinan madrasah hendaknya memperbanyak kegiatan-kegiatan Pengembangan Diri untuk meningkatkan kompetensi guru.
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
177
c. Lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan memperbanyak program tentang materi kompetensi pedagogik yang harus dipenuhi oleh guru, dan sangat khusus untuk kompetensi profesionalisme merupakan masalah yang harus cepat ditanggulangi.
UCAPAN
TERIMAKASIH
Dengan selesainya penelitian ini, perkenankan saya mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada Kepala Badan Litbang dan Diklat, Bapak Prof. Dr. Abdul Rahman Mas’ud., Sekretaris Badan Litbang dan Diklat, Bapak Dr. Rahmat Mulyana, dan Kepala Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan dan jajaran struktural di bawahnya yang telah memberikan petunjuk dan arahan penulisan laporan penelitian ini. Selanjutnya ucapan terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada ketiga tim pembimbing yaitu: Prof. Muhaimin, AG, Dr. Hj. Hindun Anwar, M.Pd., Drs. H. Ahmad Sodiqin, M.M. Ketiga beliau telah mencurahkan pikiran dan tenaganya dalam mengoreksi dan memperbaiki naskah laporan hasil penelitian ini dari awal hingga selesai.
178
Produktivitas Kerja Guru ...
Saya sampaikan terima kasih pula kepada Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Bekasi, Kepala Seksi Mapenda Kabupaten Bekasi, Kepala MTs Negeri maupun Swasta di Kawasan Industri Kabupaten Bekasi, Pengawas Madrasah, Wakil Kepala Madrasah dan Guru-guru MTs yang telah sangat membantu dalam penelitian ini. Para sahabat widyaiswara yang telah memberikan semangat untuk menulis dan berjuang dalam kancah widyaiswara. Terakhir kepada keluarga suami dan anak-anakku yang tercinta yang selalu memberi semangat untuk menyelesaikan naskah ilmiah ini.[]
D A F TA R P U S TA K A
Abast, Rio. M. “Hubungan Motivasi dan Iklim Kerja dengan Produktivitas Guru SMK di Kota Manado. ED Vokasi”. Jurnal Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, Volume 2 Nomor 2 (2011). Balqis, Putri, Nasir Usman, Sakdiah Ibrahim. “Kompetensi Pedagogik Guru dalam Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Pada SMPN 3 Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar ”. Jurnal Administrasi Pendidikan Pascasarjana Inuversitas S yiah Kuala, Volume 2 No. 1 (2014). Dewi, Tara Anggia. “Pengaruh Profesionalisme Guru dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Guru Ekonomi SMA se-Kota Malang”. Jurnal Promosi Jurnal Pendidikan Ekonomi UM Metro, Volume 5 No. 1 (2013). Glaser, Edward M. Productivity Gains Through Worklife Improvement. New York: The Psycological Corporation, 1976.
Keputusan Presiden (KEPPRES) Nomor 41 Tahun 1996 tentang Kawasan Industri. Mukhtar & Iskandar. Desain Pembelajaran Berbasis TIK. Jakarta: Referensi, 2012. Nur, Jakaria M. Dampak Pembangunan Kawasan Industri di Kabupaten Bekasi terhadap Alih Fungsi Lahan dan Mata Pencaharian Penduduk. ( h t t p s : / / w w w. g o o g l e . c o . i d / search?q=jurnal+tentang+ kawasan+industri&oq=jurnal+tentang+kawasan+industri&gs_ (diakses 9 Januari 2016). Salim, Agus. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial: Buku Sumber Untuk Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006. Suyanto, Asep Djihad. Calon Guru dan Guru Profesional. Yogyakarta: Multi Presindo, 2012. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Hakim, Andi Rakhmah. Pengaruh Motivasi Dan Disiplin Kerja Terhadap Produktivitas Kerja Guru Di SMPN 2 Gresik Kabupaten Cirebon. Program Pascasarjana Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon, 2013. Kemendiknas. Buku Pedoman Penilaian Kinerja Guru (PKG). Jakarta: Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, 2010.
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
179
180
Produktivitas Kerja Guru ...
SPECIAL HAJJ SERVICE BY PIHK AZIZI KENCANA WISATA MEDAN M. A G U S N O O R B A N I*
ABSTRACT Hajj service management is one of the main responsibilities of Ministry of Religious Affairs (MoRA). Besides MoRA, the Law No. 13 Year 2008 on the management of Hajj also mentions that public institutions can be involved in hajj management service ]which includes Special Hajj Service (PIHK). This research is a case study to investigate the management of Special Hajj Service by PIHK Azizi Kencana Wisata in Medan. This study found out that there were some repetitive violations on the Special Hajj service in Medan. These violations might be caused by the insufficient monitoring by the local office of Ministry of Religious Affairs that does not have authority to conduct monitoring and to give penalties to Hajj service providers who commit violations.
KEY WORDS: Special hajj, PIHK, public service, Medan
PELAYANAN HAJI KHUSUS PIHK AZIZI KENCANA WISATA KOTA MEDAN M. A G U S N O O R B A N I
ABSTRAK Penyelenggaraan ibadah haji menjadi salah satu tugas pokok Kementerian Agama. Selain Kementerian Agama, Undang-undang No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji mengamanatkan penyelenggaraan ibadah haji menyertakan peran serta masyarakat. Penyelenggaraan haji khusus oleh Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) adalah salah satu bentuk penyelenggaraan ibadah haji sebagai peran serta masyarakat. Kajian ini menggunakan rancangan studi kasus untuk menelaah manajemen penyelenggaraan haji khusus oleh PIHK Azizi Kencana Wisata di Kota Medan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi pelanggaran berulang pada proses penyelenggaraan ibadah haji khusus di Kota Medan. Hal ini terjadi karena lemahnya pengawasan oleh pihak Kementerian Agama akibat kantor wilayah tingkat provinsi tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terlebih hingga memberikan sanksi bagi penyelenggara haji yang melakukan pelanggaran.
KATA KUNCI: Haji khusus, PIHK, pelayanan publik, Kota Medan
*Peneliti Balai Litbang Agama Jakarta. Jl. Rawa Kuning No. 06 Cakung, Jakarta Timur.
[email protected] *Naskah diterima September 2016, direvisi November 2016, disetujui untuk diterbitkan Desember 2016
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
181
A. PENDAHULUAN Penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia menjadi hajatan nasional yang hampir selalu mengundang riuh-rendah dari tahun ke tahun. Meski pemerintah telah mengeluarkan undangundang khusus mengenai haji, yaitu UU Nomor 13 tahun 2008 yang dilengkapi dengan Perpu Nomor 2 tahun 2009 dan segenap peraturan pendukung yang berubah setiap tahunnya, tetap saja permasalahan terkait penyelenggaraan ibadah haji ini masih selalu muncul. Dan tidak jarang menjadi tajuk utama (headline) di media massa. Ketidakseimbangan antara kuota tahunan yang tersedia dengan jumlah jamaah yang hendak berhaji, menjadi salah satu permasalahan yang kerap memunculkan keluhan dari masyarakat. Meski hampir tiap tahun kuota jamaah haji Indonesia ditingkatkan, namun tetap saja pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, seakan kewalahan mengelola proses penyelenggaraan ibadah haji. Salah satu upaya mengatasi hal tersebut adalah membagi wewenang penyelenggaraan ibadah haji dengan pihak swasta. Pihak swasta yang dimaksud adalah lembaga-lembaga yang memiliki izin menyelenggarakan perjalanan ibadah haji. Penyelenggaraan perjalanan ibadah haji jenis ini dikenal dengan istilah ibadah haji khusus, yang dahulu terkenal dengan sebutan ONH Plus. Kajian ilmu administrasi dan kebijakan publik memandang bahwa pembagian wewenang pelayanan publik antara pemerintah dengan pihak swasta menjadi salah satu alternatif solusi atas buruknya pelayanan publik yang kerap terjadi. Gagasan pembagian wewenang pelayanan publik ini pertama kali dicetuskan David Osborne dan Ted Gaebler sebagai respon atas buruk dan carut marutnya pelayanan publik di Amerika Serikat. Salah satu poin penting dari gagasan Osborne dan Gaebler adalah prinsip pemerintahan yang kompetitif, yaitu menyuntikkan iklim persaingan ke dalam pemberian pelayanan publik. Dengan menerapkan prinsip ini, bersama dengan melakukan sembilan prinsip lainnya, Amerika Serikat secara perlahan berhasil membenahi sistem pelayanan publiknya di bidang kesehatan, pendidikan, hingga rumah tahanan.1 1
Ahmad Zaenal Fanani. “Optimalisasi Pelayanan Publik;
182
Pelayanan Haji Khusus di Kota Medan ...
Meski prinsip kompetisi seperti dikemukakan Osborne dan Gaebler diterapkan pada pelayanan ibadah haji khusus, namun sejumlah pelanggaran kerap terjadi terhadap jamaah haji khusus ini, yang telah membayar lebih mahal dibanding dengan jamaah haji regular. Propinsi Sumatera Utara menjadi daerah dengan kasus kejadian pelanggaran pelayanan terhadap jamaah haji khusus dengan frekuensi yang cukup tinggi. Tahun 2008 misalnya, sejumlah anggota jemaah haji ONH plus yang diberangkatkan sebuah biro perjalanan haji dan umrah, setiba di tanah air, mengeluhkan pelayanan selama ibadah haji di tanah suci yang sangat buruk dan mengecewakan. Menurut beberapa jamaah, pengalaman berhaji mereka tidak sesuai dengan yang dijanjikan perusahaan biro perjalanan itu. Mulai dari jam makan yang tidak teratur, penginapan yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan, dan penginapan yang berjarak kiloan meter dari Masjidil Haram, dari semula dijanjikan hanya ratusan meter. Pelayanan transportasi pun buruk sehingga pernah pada satu kesempatan ketika menuju perjalanan pulang dari Mina menuju Mekkah mereka harus berjalan sejauh empat kilometer karena mobil yang ditumpangi rusak. Seorang jamaah bahkan mengaku sempat jatuh pingsan tidak diberi makan selama 17 jam, disamping juga karena kecapaian melakukan ibadah serta minimnya layanan kesehatan.2 Tahun 2010, kejadian yang melibatkan biro perjalanan yang sama terjadi kembali. Kali ini sebanyak 120 jamaah mengalami penelantaraan saat hendak berangkat ke Tanah Suci, sementara ritual ibadah haji saat itu sudah mulai dilaksanakan. Padahal, menurut para jamaah, mereka sudah melunasi pembayaran sebesar Rp.70 juta rupiah sejak 2009 untuk keberangkatan tahun 2010. Selain telah melunasi biaya perjalanan ibadah haji, mereka juga dimintai tambahan sebesar Rp.3 juta hingga Rp.10 juta untuk memberangkatkan. Namun pihak biro perjalanan tetap tidak bertanggung jawab memberangkatkan ke-120 jamaah.3 Perspektif David Osborne dan Ted Gaebler”. Makalah tidak diterbitkan, 2008. 2 Pelayanan ONH Plus Medan Mengecewakan. http:// www.umrahhajiplus.com/baca.php?ArtID=1267 (diakses pada 6 Mei 2012). 3 Sulaiman Ahmad. 120 Jemaah ONH Plus Telantar di Medan. http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2010/11/12/7358/
Munculnya beberapa kasus pelanggaran pelayanan terhadap jamaah haji khusus di kota Medan ini, melatarbelakangi ketertarikan untuk mengkaji permasalahan ini lebih dalam. Penelitian ini bertujuan menelaah mengapa kejadian pelanggaran terhadap hak jamaah haji khusus berulang setiap tahunnya, bagaimana peran Kementerian Agama tingkat propinsi dalam menangani hal ini, serta pandangan masyarakat pengguna jasa biro perjalanan haji terhadap pelayanan ibadah haji khusus di Sumatera Utara. Meski kerap terjadi pelanggaran pelayanan ibadah haji khusus di Kota Medan, namun belum banyak kajian yang berusaha menelaah mengenai hal ini. Harahap misalnya, dalam kajiannya baru menelaah pandangan masyarakat terhadap peran kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH) dalam membina jamaah haji. Hasil kajiannya mendapati bahwa masyarakat masih memandang peran penting KBIH dalam membimbing mereka sebagai jamaah haji.4 Kajiannya yang hampir serupa juga dilakukan oleh Ilyas, yang menelaah kontribusi KBIH dan pelayanan petugas haji terhadap kelancaran ibadah haji masyarakat. Dalam kajiannya yang menggunakan rancangan kuantitatif, Ilyas mandapati bahwa KBIH dan pelayanan yang berkualitas berkontribusi positif terhadap pelaksanaan ibadah haji yang dilaksanakan oleh masyarakat. Semakin baik program dan semakin positif pelayanan yang diberikan maka semakin memberikan dampak positif bagi proses ibadah haji yang dijalani masyarakat.5 Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, beberapa permasalahan yang menjadi fokus penelitian ini adalah; 1. Apa peran Kanwil Kementerian Agama di tingkat propinsi dalam mengatasi permasalahan pelayanan ibadah haji khusus
120_jemaah_onh_plus_telantar_di_medan/ (diakses pada 6 Mei 2012). 4 Abdur Rahman Harahap, Pandangan Masyarakat terhadap Peran dan Fungsi Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) dalam Pembinaan Calon Jamaah Haji di Kota Medan (Medan: Porgram Pasca Sarjana IAIN Sumatera Utara, Tesis tidak Diterbitkan, 2010), 101. 5 Ilyas, Kontribusi Program Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) dan Kualitas Pelayanan Petugas Haji terhadap Kelancaran Pelaksanaan Ibadah Haji Pada Jamaah Haji Kabupaten Deli Serdang (Medan: Program Pasca Sarjana IAIN Sumatera Utara, Tesis tidak Diterbikan, 2007). 100.
yang dihadapi masyarakat? 2. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap pelayanan ibadah haji khusus di Kota Medan? Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah; 1. Mengetahui peran Kanwil Kementerian Agama di tingkat propinsi dalam mengatasi permasalahan pelayanan ibadah haji khusus. 2. Mengetahui pandangan masyarakat terhadap pelayanan ibadah haji khusus di Kota Medan.
B. KAJIAN LITERATUR Pelayanan secara bahasa 6 adalah cara melayani, jasa, atau kemudahan yang diberikan sehubungan dengan jual beli barang atau jasa. Secara istilah, seperti dijelaskan P. Kotler, 7 pelayanan dapat didefinisikan sebagai aktivitas atau manfaat yang ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak menghasilkan kepemilikan apa pun. Produk yang dihasilkan bisa terikat dalam bentuk fisik pun bisa bukan berupa fisik. Definisi lain menjelaskan bahwa pelayanan adalah proses penggunaan akal pikiran, panca indera, dan anggota badan dengan atau tanpa menggunakan alat bantu yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan baik dalam bentuk barang maupun jasa.8 Berdasarkan dua definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pelayanan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan yang sifat dasarnya tak teraba (intangible) dan tidak menghasilkan kepemilikan apa pun atau sesuatu. Pelayanan bisa berupa pelayanan fisik dan pelayanan administratif. Pelayanan fisik lebih bersifat pribadi sebagai manusia sementara pelayanan administratif adalah kegiatan yang diberikan orang lain selaku anggota organisasi (besar maupun kecil).9 6 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2008). 7 Giri Cahyono, Pengaruh Kualitas Pelayanan dan Harga Pelayanan terhadap Kepuasan Masyarakat; Studi pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Serpong (Program Pasca Sarjana Universitas Terbuka, Tesis tidak diterbitkan, 2008). 8 Giri Cahyono, Pengaruh Kualitas Pelayanan dan Harga Pelayanan terhadap Kepuasan Masyarakat; Studi pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Serpong (Program Pasca Sarjana Universitas Terbuka, Tesis tidak diterbitkan, 2008). 9 Giri Cahyono, Pengaruh Kualitas Pelayanan dan Harga Pelayanan terhadap Kepuasan Masyarakat; Studi pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Serpong (Program Pasca Sarjana Universitas Terbuka, Tesis tidak diterbitkan, 2008).
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
183
Mengacu pada sejarah administrasi publik, pelayanan publik secara sederhana diartikan sebagai pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Semua barang dan jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah kemudian disebut sebagai pelayanan publik (whatever government does is public service). Definisi yang terbatas ini wajar, sebab pada saat itu pemerintahan suatu negara hanya menyelenggarakan pelayanan yang menjadi barang publik atau pelayanan yang menurut kesepakatan politik dan pertimbangan moral dinilai penting bagi kehidupan warga negara.10 Seiring dengan perubahan peran negara atau pemerintah dan lembaga non-pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan yang menjadi hajat hidup orang banyak, maka definisi di atas ditinjau ulang. Gerakan New Public Management (NPM) di banyak negara maju menjadi salah satu jawaban atas kelemahan pelayanan publik yang selama ini terjadi. Keinginan mentransformasi nilai-nilai yang ada di dunia usaha ke dalam sistem pelayanan publik sektor pemerintah, mendorong makin cepatnya perubahan sistem pelayanan tersebut. Kebijakan publik selalu dimulai dari isu-isu yang dirasakan oleh masyarakat luas di mana perlu dilakukan tindakan kebijakan oleh pemerintah.11 Isu-isu ini biasanya dimulai dari adanya keluhan di masyarakat mengenai kualitas kebijakan yang diambil oleh negara yang tidak atau kurang memuaskan masyarakat. Atau bisa juga masukan yang diberikan oleh segolongan masyarakat untuk yang tujuannya adalah menciptakan tata pemerintahan atau sosial yang lebih baik. Tindakan kebijakan dimulai dari merumuskan kebijakan kemudian dilaksanakan dalam implementasi kebijakan. Implementasi kebijakan ini dievaluasi pelaksanaannya kemudian menjadi bahan masukan bagi pelaksanaan kebijakan berikutnya. Nugroho12 menjelaskannya dalam model kebijakan publik
10 Agus Dwiyanto, Manajemen Pelayanan Publik: Peduli, Inklusif, dan Kolaboratif (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010). 11 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif; Komunikasi, Ekonomi, dan Kebijakan Publik serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya (Jakarta: Kencana Prenada, cet. Ke-3, 2008). 12 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif; Komunikasi, Ekonomi, dan Kebijakan Publik serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya (Jakarta: Kencana Prenada, cet. Ke-3, 2008).
184
Pelayanan Haji Khusus di Kota Medan ...
berikut;
Gambar 1. Skema Kebijakan Publik
Kualitas pelayanan publik sendiri dapat dinilai dari sisi internal organisasi birokrasi sebagai pemberi layanan dan sisi eksternal organisasi yang berkenaan dengan kebermanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat penggunan pelayanan publik. Islamy 13 menjelaskan beberapa prinsip pokok yang dipahami aparat birokrasi publik mengenai aspek internal organisasi pelayanan publik; 1. Aksesibilitas, setiap jenis pelayanan harus dapat dijangkau secara mudah oleh setiap pengguna pelayanan. 2. Kontinuitas, pelayanan harus tersedia secara terus menerus bagi masyarakat pengguna serta memiliki kepastian dan kejelasan ketentuan atau hukum yang menjadi landasan bagi berjalannya proses pelayanan. 3. Teknikalitas, setiap jenis pelayanan dalam prosesnya harus ditangani oleh aparat yang benar-benar memahami secara teknis pelayanan tersebut berdasarkan kejelasan, ketepatan, kemantapan sistem, prosedur, dan instrumen pelayanan. 4. Profitabilitas, proses pelayanan pada akhirnya harus dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien dan memberikan keuntungan secara ekonomis dan terutama keuntungan sosial jika terkait dengan birokrasi pemerintahan.
13 M. Irfan Islamy. “Reformasi Pelayanan Publik”. Makalah Pelatihan Strategi Pembangunan Sumber Daya Manusia Aparatur Pemerintah Daerah dan Era Globalisasi di Kabupaten Dati II Trenggalek, 1999.
5. Akuntabilitas, proses, produk, dan mutu pelayanan yang telah diberikan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat karena aparat pemerintah pada hakikatnya memiliki tugas memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat. Kualitas pelayanan menurut Zeithaml dan Bitner14 dapat diukur dengan menimbang lima faktor; (1) Tangible atau sarana fisik; (2) Reliability atau keterandalan dalam menyediakan pelayanan; (3) Responsiveness yaitu kesanggupan memberikan pelayanan cepat dan tepat; (4) Assurance yaitu keramahan dan sopan santun yang meyakinkan kepercayaan pelanggan, dan; (5) Empathy sikap penuh perhatian terhadap konsumen. Pemerintah, melalui Keputusan Menpan No. 63 tahun 2004, juga telah menjelaskan kualitas pelayanan publik yang pada hakikatnya adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat. Pelayanan prima ini memiliki landasan; 1. Transparansi, terbuka 2. Akuntabilitas, dapat dipertanggungjawabkan 3. Kondisional, artinya sesuai dengan kondisi untuk memenuhi prinsip efektivitas dan efisiensi 4. Partsipatif, mendorong peran serta masyarakat 5. Kesamaan hak atau tidak diskriminatif, dan 6. Keseimbangan hak dan tanggung jawab antara pihak pemberi dan penerima layanan. Selain peraturan di atas, birokrasi pemerintahan yang bertugas memberikan pelayanan publik juga dibekali Keputusan Menteri PAN Nomor 81 tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum yang harus dipegang. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, maka prinsip-prinsip berikut harus dipegang; pertama, sederhana bahwa prosedur dan tata cara pelayanan harus ditetapkan dan dilaksanakan secara mudah, lancar, cepat, tepat, tidak berberlit-belit, dan mudah dipahami. Kedua, jelas dan pasti, bahwa prosedur dan tata cara pelayanan harus jelas dan
14 Giri Cahyono, Pengaruh Kualitas Pelayanan dan Harga Pelayanan terhadap Kepuasan Masyarakat; Studi pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Serpong (Program Pasca Sarjana Universitas Terbuka, Tesis tidak diterbitkan, 2008).
pasti. Persyaratan pelayanan, baik teknis maupun administratif, unit kerja dan pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan, rincian biaya atau tarif pelayanan dan tata cara pembayaran, dan jangka waktu penyelesaian pelayanan harus dijelaskan kepada publik sebagai penggunan pelayanan dan memiliki landasan hukum yang pasti. Ketiga, aman yang menunjukkan bahwa proses dan produk hasil pelayanan memberikan keamanan dan kenyamanan. Keempat, keterbukaan yang berarti bahwa prosedur dan tata cara pelayanan, persyaratan, unit kerja dan pejabat yang bertanggung jawab memberi layanan, waktu perlaksanaan, rincian biaya atau tarif, dan lain-lain hal yang berkenaan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta atau pun tidak diminta. Kelima, efisien yakni persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memerhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan. Keenam, ekonomis bahwa pengenaan biaya atau tarif pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan mempertimbangkan; nilai barang dan jasa pelayanan, ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dan kemampuan masyarakat untuk membayar. Ketujuh, adil dan merata yang menunjukkan jangkauan pelayanan diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat. Kedelapan, tepat waktu bahwa pelaksanaan pelayanan harus dapat diselesaikan tepat pada waktu yang telah ditentukan. UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik pada Pasal 1 menjelaskan pelayanan publik sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Definisi pelayanan publik pada pasal 1 UU no. 25 tahun 2009 tersebut kemudian dipertegas pada pasal 2, bahwa penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
185
pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.Berdasarkan definisi yang tertuang dalam pasal 1 dan 2 undang-undang nomor 25 tahun 2009 tersebut, maka penyelenggara pelayanan publik tidak hanya dilakukan pemerintah, namun juga dapat dilakukan pihak swasta selama pembentukan lembaganya semata untuk melayani kepentingan publik. David Osborne dan Ted Gaebler15 pernah mencetuskan gagasan Reinventing Government sebagai respon atas carut marutnya pelayanan publik di Amerika Serikat, yang meluluhlantakkan berbagai sendi-sendi kebutuhan penting masyarakat. Carut-marut pelayanan publik ini menyebabkan menurunnya kualitas pendidikan, sistem pemeliharaan kesehatan yang tak terkendali, hingga pengelolaan rumah tahanan yang membuat daya tampung menjadi berlebih sehingga menyebabkan para narapidana dapat melarikan diri. Kekacauan ini menyebabkan krisis keperayaan di masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Osborne & Gaebler16 mengajukan sepuluh prinsip Reinventing Government, yang tujuannya adalah mewirausahakan pelayanan publik dan birokrasi pemerintah. Kesepuluh prinsip tersebut adalah; 1. Pemerintah lebih berperan untuk mengarahkan ketimbang mengayuh sendiri sistem pelayanan publik. Pemerintahan yang menerapkan sistem kewirausahaan lebih berkonsentrasi dalam pembuatan kebijakankebijakan strategi dibanding sibuk dengan urusan teknis pelayanan. Peran pemerintahan yang demikian tentu membutuhkan sumber daya manusia yang mampu melihat keseluruhan visi dan mampu menyeimbangkan berbagai tuntutan produsen yang saling bersaing mendapatkan sumber daya. 2. Pemerintah lebih memberi wewenang ketimbang melayani. Pemerintah lebih mendorong masyarakat berpartisipasi aktif
15 Ahmad Zaenal Fanani. “Optimalisasi Pelayanan Publik; Perspektif David Osborne dan Ted Gaebler”. Makalah tidak diterbitkan, 2008. 16 Ahmad Zaenal Fanani. “Optimalisasi Pelayanan Publik; Perspektif David Osborne dan Ted Gaebler”. Makalah tidak diterbitkan, 2008.
186
Pelayanan Haji Khusus di Kota Medan ...
dan memiliki inisiatif atas kebutuhankebutuhan mereka. Peran pemerintah seperti ini akan mendorong masyarakat untuk mengontrol jalannya pemerintahan dan menumbuhkan kesadaran bahwa pemerintahan adalah milik rakyat. Di sini pemerintah berfungsi sebagai pengawas bahwa kebutuhan-kebutuhan masyarakat telah terpenuhi. 3. Pemerintahan yang kompetitif, menyuntikkan iklim persaingan dalam pemberian pelayanan. Dengan iklim kompetitif ini akan memaksa siapa pun yang ‘menjual’ pelayanan publik, merespon kebutuhan pelanggan, meningkatkan inovasi. 4. Mengubah organisasi pemerintahan yang selalu digerakkan oleh peraturan menjadi organisasi yang bergerak demi mencapai misi. 5. Pemerintahan yang berorientasi pada pencapaian kinerja. Pemerintahan yang membiayai hasil kinerja pegawainya berdasarkan kualitas hasil kerja bukan bergantung masa kerja dan tingkat otoritas akan meningkatkan kompetisi mencapai hasil kerja yang berkualitas baik. 6. Pemerintahan berorientasi pelanggan bukan birokrasi. Mendudukkan kepercayaan dan kepuasan rakyat yang menjadi pelanggan sebagai prioritas. 7. Pemerintahan wirausaha, memproduksi ketimbang membelanjakan. Mengelola pelayanan publik layaknya wirausaha harus mengatasi keterbatasan anggaran dengan inovasi. Menetapkan biaya bagi pelayanan publik dapat menjadi alternatif, yang keuntungannya dipergunakan bagi pengembangan inovasi-inovasi pelayanan publik lainnya. 8. Berlaku antisipatif, menyediakan perangkatperangkat atau tindakan pencegah dibanding membangun sistem penanganan. 9. Desentralisasi kinerja, menghilangkan hirarki menjadi kerja sama tim dan partisipatif. 10. Pemerintahan yang berorientasi melakukan perubahan melalui pasar. Penyelenggaraan ibadah haji khusus adalah salah satu bentuk dari pembagian wewenang pelayanan publik, yaitu penyelenggaraan ibadah haji, dari pemerintah kepada pihak swasta. Sebab, semua proses pelaksanaan penyelenggaraan
ibadah haji khusus dilaksanakan oleh biro penyelenggara ibadah haji, sementara pemerintah hanya berperan sebagai regulator dan pengawas penyelenggaraannya. Berbeda dengan penyelenggaraan haji regular di mana pemerintah berperan sangat besar dalam pelaksanaannya, mulai dari pendaftaran hingga pemulangan kembali jamaah ke tanah air. Pengertian mengenai ibadah haji khusus sendiri tertuang dalam Undang-undang nomor 13 tahun 2008 mengenai Penyelenggaraan Ibadah Haji. Pada Pasal 1 ayat 14 dijelaskan secara ringkas, bahwa Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus adalah Penyelenggaraan Ibadah Haji yang pengelolaan, pembiayaan, dan pelayanannya bersifat khusus. Sementara pada ayat 15 dijelaskan Penyelenggara Ibadah Haji Khusus adalah pihak yang menyelenggarakan ibadah haji yang pengelolaan, pembiayaan, dan pelayanannya bersifat khusus. Penjelasan lebih lanjut mengenai ibadah haji khusus ini dituangkan pada Pasal 38 ayat 1, yang menjelaskan bahwa penyeleggaraan ibadah haji khusus ini dilaksanakan bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanan khusus, yang karena kekhususannya ini maka pengelolaan dan pembiayaannya pun bersifat khusus. Meski pemerintah memberikan pelimpahan wewenang yang hampir menyeluruh kepada pihak swasta, namun tidak serta merta pemerintah lepas tangan. Pemerintah melalui Kementerian Agama memiliki wewenang untuk mengeluarkan regulasi mengenai haji khusus yang diselenggarakan oleh pihak swasta serta melakukan pengawasan terhadap seluruh penyelenggaraannya. Salah satu hal yang menjadi wewenang pemerintah adalah mengeluarkan regulasi mengenai kualitas pelayanan penyelenggaraan ibadah haji khusus. Mengacu pada pasal 38 ayat 1 UU nomor 13 tahun 2008 di atas, pemerintah melalui Kementerian Agama kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Agama nomor 22 tahun 2011 mengenai Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus. Dalam pasal 3 PMA tersebut, disebutkan bahwa layanan bagi jamaah haji khusus meliputi; pendaftaran, bimbingan ibadah jamaah haji khusus, transportasi jamaah haji khusus, akomodasi dan konsumsi di Arab Saudi, kesehatan jamaah haji khusus, perlindungan jamaah haji khusus dan
petugas haji khusus, administrasi dan dokumen haji. Item-item pelayanan bagi jamaah haji khusus di atas tak jauh berbeda dengan item-item pelayanan yang juga diterima jamaah haji regular. Yang membedakan adalah pelayanan yang diberikan memiliki kekhususan, berbeda dari yang diterima jamaah haji regular. Seperti sarana transportasi udara langsung atau paling banyak hanya melakukan satu kali transit, transportasi darat dengan menggunakan bus-bus syarikah dan berpendingin udara, akomodasi penginapan yang tak lebih dari 500 meter dari Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, konsumsi khusus, dan pelayanan kesehatan khusus.
C. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Kota Medan dengan menggunakan rancangan studi kasus. Karena bersifat kasus, maka sampel penelitian ini tidak mengandaikan sebagai gambaran kecil dari keseluruhan populasi penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK) yang ada di kota Medan. PIHK yang menjadi sampel penelitian ini adalah Azizi Kencana Wisata. Pemilihan PIHK Azizi Kencana Wisata sebagai sampel didasarkan pada pemberitaan media massa dan studi pendahuluan. Azizi Kencana merupakan salah satu PIHK yang tercantum dalam daftar PIHK resmi yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama untuk wilayah kota Medan. Pengumpulan data lapangan dilakukan selama 14 hari sejak 25 Juni hingga 8 Juli 2012 di Kota Medan, Sumatera Utara. Data penelitian dikumpulkan menggunakan teknik wawancara dan studi dokumentasi. 17 Sumber data yang dituju dengan menggunakan teknik studi dokumentasi ini adalah pihak penyelenggara ibadah haji khusus, Kanwil Kementerian Agama Propinsi, dan jamaah haji. Studi dokumentasi dilakukan terhadap hasil kajian-kajian yang pernah dilkukan oleh akademisi maupun peneliti setempat.Wawancara terstruktur dilakukan untuk memperdalam data hasil studi dokumentasi. Sumber data yang dituju dengan menggunakan teknik wawancara adalah pengelola PIHK Aziz Kencana Wisata, Kanwil Kementerian Agama Propinsi melalui Bidang Haji, Zakat, dan Wakaf, dan terutama adalah 17 Robert K. Yin, Studi Kasus; Desain dan Metode (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002).
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
187
jamaah haji pengguna jasa biro perjalanan haji dan umroh Azizi Kencana Wisata. Instrumen wawancara yang dipergunakan adalah daftar kisi-kisi pertanyaan wawancara dan recorder.
D. HASIL PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada biro perjalanan ibadah haji khusus PT Azizi Kencana Wisata (selanjutnya disebut sebagai PIHK Azizi) yang beralamat di Jl. Sutomo Ujung nomor 102-B Medan, Sumatera Utara. Selain PIHK Azizi, dalam daftar PIHK resmi yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Haji dan Umrah, di kota Medan terdapat satu lagi PIHK yang beroperasi, yaitu PT Erni Tours. Namun, PIHK ini memiliki jumlah jamaah yang masih sedikit dibanding dengan PIHK Azizi. PIHK Azizi berdiri sejak 1996 dan baru mendapat izin menyelenggarakan perjalanan ibadah haji khusus sejak 2002.Sebelum tahun 2002 itu, PIHK Azizi hanya melaksanakan perjalanan haji dan umrah biasa.Jamaah PIHK Azizi tidak saja berasal dari kota Medan atau Propinsi Sumatera Utara, namun juga berasal dari daerah lain, seperti Aceh, Riau, Kalimantan, dan lainnya. PIHK Azizi selain memiliki kantor pusat di Medan, juga memiliki kantor perwakilan di Jakarta. PIHK Azizi menjadi sorotan di media massa cetak lokal setidaknya sejak tahun 2008 karena keluhan yang disampaikan beberapa jamaah haji khusus usai melaksanakan ibadah haji. Sejak tahun 2008 hingga 2009, beberapa jamaah mengeluhkan pelayanan selama di tanah suci yang tidak sesuai dengan harga yang mereka bayarkan.Kasus yang paling mencuat adalah pembatalan pemberangkatan 120 jamaah haji khusus tahun 2010 yang kemudian berujung pada pelaporan para jamaah kepada Polda Sumatera Utara. Seorang jamaah menyatakan bahwa alasan pembatalan pemberangkatan sampai saat ini pun tidak diketahui. Informasi pemberangkatan yang disampaikan pihak PIHK kepada jamaah saat itu juga tidak jelas dan berubah-ubah. Di tengah ketidakpastian pemberangkatan tersebut, jamaah masih dikenai biaya tambahan yang oleh pihak PIHK dikatakan sebagai biaya mengeluarkan visa dari kedubes Arab Saudi. Pihak PIHK seperti mempermainkan perasaan jamaah, karena tidak mungkin jamaah yang sudah berada di embarkasi menolak, karena jika menolak dan 188
Pelayanan Haji Khusus di Kota Medan ...
tidak jadi berngkat merupakan aib bagi jamaah. Meski sudah membayar, jamaah tetap tidak jadi diberangkatkan tahun itu. Azizi Kencana Wisata menyatakan bahwa pelayanan yang mereka berikan selama ini sebenarnya sudah mengikuti aturan yang ada. Namun, banyak masyarakat yang menggunakan jasa calo untuk mendaftar keberangkatan haji dan umrah mereka. Tak jarang, pihak jamaah dan PIHK tak pernah sekalipun bertemu dan hanya bertemu pada saat hendak diberangkatkan. Banyak permasalahan yang dihadapi jamaah menggunakan jasa PIHK Azizi Kencana Wisata, menurut pihak Azizi, juga karena banyak permasalahan yang tak terduga saat di Arab Saudi. Seperti misalnya, hotel yang sudah dipesan belum rapi saat jamaah tiba karena pengelola hotel yang sulit mengatur jamaah dari negara lain. PIHK Azizi juga berkilah kadang perubahan nilai tukar dollar juga menjadi salah satu penyebab perubahan pelayanan yang dianggap jamaah sebagai ketidakjelasan pelayanan PIHK. Meski Azizi Kencana Wisata bukan bagian dari aparatur pemerintah yang memberikan pelayanan publik atau pihak swasta, namun kegiatan pelayanan yang dijalani adalah pelimpahan sebagian wewenang Kementerian Agama dalam memberikan pelayanan ibadah haji. Sehingga Azizi Kencana Wisata juga harus mengikuti tatalaksana yang ditetapkan oleh pemerintah dalam memberikan pelayanan publik. Hal ini seperti tertuang dalam Pasal 38 mengenai mandat penyelenggaraan haji khusus yang tertuang dalam Undang-undang No. 13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik pada Pasal 1 juga menjelaskan, bahwa pelayanan publik sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundangundangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Pasal 2 undang-undang yang sama menegaskan kemudian, bahwa penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk
semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik. Berdasarkan pasal 1 dan 2 Undang-undang nomor 25 tahun 2009 tersebut, maka penyelenggara pelayanan publik tidak hanya dilakukan pemerintah, namun juga dapat dilakukan pihak swasta selama pembentukan lembaganya semata untuk melayani kepentingan publik. Kanwil Kementerian Agama Propinsi Sumatera Utara pun tidak mampu berbuat apa pun untuk membela kepentingan jamaah. Pihak Kanwil Propinsi menyatakan bahwa kewenangan penyelenggaraan haji khusus (saat itu) berada langsung di bawah Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah.Mulai dari pendaftaran hingga pemulangan semua dilakukan oleh pihak PIHK di bawah koordinasi dengan Ditjen PHU. Sementara Kanwil Propinsi hanya berwenang memberi rekomendasi pada saat PIHK mengajukan izin perpanjangan izin penyelenggaraan haji khusus. Kasus pelayanan haji khusus di Sumatera Utara, khususnya kota Medan ini, menjadi anomali bagi konsep reinventing government yang dicetuskan Osborne dan Gaebler dan tentu saja mencederai semangat UU nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Konsep yang membagi kewenanangan pelayanan publik dengan pihak swasta agar terjadi kompetisi pelayanan yang dapat memunculkan kualitas pelayanan terbaik justru terjadi sebaliknya. Kasus pelayanan haji khusus di Medan ini juga tidak mengikuti standar palayanan publik minimal, baik yang dikeluarkan Kementerian PAN maupun Kementerian Agama mengenai standar pelayanan minimal ibadah haji khusus. Prinsip utama yang dilanggar, seperti tertuang dalam Keputusan Menpan No. 63 tahun 2004, adalah transparansi dan akuntabilitas. Ketidakjelasan waktu pemberangkatan serta penetapan biaya tambahan saat jamaah sudah berada di embarkasi keberangkatan adalah tindakan yang tidak transparan dan tidak bertanggung jawab. Pihak PIHK juga tidak memiliki tanggung jawab atas kegagalan pemberangkatan jamaah.Meski pada akhirnya hak jamaah, seperti pengembalian uang atau penundaan pemberangkatan hingga tahun berikutnya ditetapkan, namun ini semua setelah jamaah mengadukan pihak PIHK ke Polisi, bukan atas inisiatif dari PIHK sendiri.
Berulangnya pelanggaran oleh pihak PIHK yang sama terhadap jamaah haji khusus di kota Medan juga mengindikasikan ketiadaan pengawasan, baik di tingkat propinsi maupun pusat. Kelemahan di tingkat propinsi tentu saja masih dikeluarkannya rekomendasi penyelenggaraan haji khusus bagi PIHK kepada Kementerian di tingkat pusat. Penjelasan bahwa pelaksanaan haji khusus menjadi wewenang Kementerian tingkat pusat bukan pada kantor wilayah propinsi mengindikasikan adanya ketidakjelasan hirarki pelayanan di bidang haji khusus ini. Pada akhirnya, Kementerian Agama tingkat propinsi pun kesulitan untuk mengakses data maupun pemeriksaan kepada PIHK.Dan ini tentu saja tidak sejalan dengan prinsip yang dikemukakan Osborne dan Gaebler, bahwa untuk menciptakan pelayanan publik yang bersifat kewirausahaan harus melakukan desentralisasi hirarki kekuasaan. Berulangnya pelanggaran juga mengindikasikan tidak adanya sistem hukuman bagi PIHK yang tidak melakukan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan minimal. Ketiadaan hukuman terhadap pelanggaran yang telah berulang kali terjadi kemudian memunculkan efek ketidakpedulian PIHK terhadap pelayanan yang berkualitas terhadap jamaah haji khusus. Tidak adanya pembedaan antara PIHK yang memberikan pelayanan prima dengan yang memberikan pelayanan buruk menghambat pemberian informasi kepada masyarakat mengenai PIHK yang berkualitas dan yang tidak. Kementerian Agama selaku pihak yang berwenang mengkoordinasi dan mengeluarkan regulasi mengenai pelaksanaan ibadah haji yang mendapat stigma buruk. Masyarakat semakin menilai buruk terhadap pelayanan publik yang diberikan oleh Kementerian Agama, meski pelaksana penyelenggaraan ibadah haji khusus adalah PIHK.Masyarakat tidak pernah melihat apakah PIHK melayani penyelenggaraan ibadah haji dengan baik atau tidak. Sebab, selaku pemberi izin bagi PIHK untuk menyelenggarakan haji khusus, Kementerian Agama tidak memberi sanksi bagi PIHK yang melanggar. Karena itu, sudah sebaiknya dilakukan perbaikan sistem yang menyeluruh dalam proses penyelenggaraan haji, agar citra Kementerian Agama tidak memburuk semakin dalam.
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
189
E. PENUTUP Kesimpulan Terjadinya pelanggaran pelayanan jamaah haji khusus yang berulang sejak tahun 2008 oleh PIHK yang sama akibat tidak ada atau lemahnya pengawasan, baik dari pihak Kementerian Agama tingkat propinsi maupun pusat. Selain ketiadaan dan lemahnya pengawasan, ketiadaan hukuman bagi PIHK yang tidak memberikan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan minimal yang telah dikeluarkan oleh Kementerian PAN dan Kementerian Agama menjadi penyebab penting lainnya. Kementerian Agama tingkat propinsi tidak memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan terlebih memberikan sanksi bagi PIHK yang tidak memberikan pelayanan kepada jamaah haji. Selain itu, Kementerian Agama juga mengalami kesulitan untuk mengakses proses pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji khusus oleh PIHK sehingga rekomendasi yang diberikan untuk memperpanjang perizinan seperti memberi cek kosong. Masyarakat pengguna jasa biro perjalanan haji terhadap pelayanan ibadah haji khusus di Sumatera Utara memandang bahwa kesalahan tetap berada di pihak Kementerian Agama. Sebab Kementerian Agama yang memberikan izin dan memiliki wewenang untuk mengeluarkan regulasi demi perbaikan pelayanan penyelenggaraan ibadah haji. Meski juga memandang bahwa pihak PIHK salah, namun masyarakat tetap menggunakan jasa PIHK bermasalah karena tidak adanya informasi mengenai PIHK yang memberikan pelayanan
190
Pelayanan Haji Khusus di Kota Medan ...
yang baik maupun PIHK yang memberikan pelayanan berkualitas. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, beberapa rekomendasi yang dapat diberikan adalah; 1. Memberikan kewenangan bagi Kementerian Agama Propinsi untuk melakukan pengawasan terhadap PIHK yang beroperasi di wilayah kerja mereka. 2. Kementerian Agama melakukan revisi atas Peraturan Menteri Agama nomor 22 tahun 2011 tentang Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus dengan menambahkan pasal-pasal yang merinci mengenai hukuman yang diterima pihak PIHK jika tidak menyediakan pelayanan minimal. 3. Hukuman yang dapat diberikan dapat berupa pengurangan kuota bagi PIHK, pembatasan wilayah, hingga pencabutan izin penyelenggaraan ibadah haji dan umrah.
UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada segenap pihak yang membantu terlaksananya penelitian ini. Terutama kepada para jamaah yang bersedia menyempatkan waktu berdiskusi dengan penulis. Kepada pihak penyelenggara ibadah haji khusus yang menjadi objek penelitian. Dan terakhir kepada pihak Kanwil Kementerian Agama Propinsi Sumatera Utara yang telah menyediakan data awal untuk keperluan penelitian ini.[]
D A F TA R P U S TA K A
Ahmad, Sulaiman. 120 Jemaah ONH Plus Telantar di Medan. http:// www.medanbisnisdaily.com/news/read/ 2 0 1 0 / 1 1 / 1 2 / 7 3 5 8 / 120_jemaah_onh_plus_telantar_di_medan/ (diakses pada 6 Mei 2012). Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian Kuantitatif; Komunikasi, Ekonomi, dan Kebijakan Publik serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada, Cet. Ke-3, 2008. Fanani, Ahmad Zaenal.” Optimalisasi Pelayanan Publik; Perspektif David Osborne dan Ted Gaebler”. Makalah tidak diterbitkan, 2008. Cahyono, Giri. Pengaruh Kualitas Pelayanan dan Harga Pelayanan terhadap Kepuasan Masyarakat; Studi pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Serpong. Program Pasca Sarjana Universitas Terbuka, Tesis tidak diterbitkan, 2008. Dwiyanto, Agus. Manajemen Pelayanan Publik: Peduli, Inklusif, dan Kolaboratif. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010.
Ilyas. Kontribusi Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) dan Kualitas Pelayanan Petugas Haji terhadap Kelancaran Pelaksanaan Ibadah Haji pada Jamaah Haji Kabupaten Deli Serdang. Medan: Program Pascasarjana IAIN Sumatera Utara, Tesis tidak diterbitkan, 2007. Islamy, M. Irfan. “Reformasi Pelayanan Publik”. Makalah Pelatihan Strategi Pembangunan Sumber Daya Manusia Aparatur Pemerintah Daerah dan Era Globalisasi di Kabupaten Dati II Trenggalek, 1999. Pelayanan ONH Plus Medan Mengecewakan. http:// w w w. u m r a h h a j i p l u s . c o m / baca.php?ArtID=1267 (diakses pada 6 Mei 2012). Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Yin, Robert K. Studi Kasus; Desain dan Metode. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.
Harahap, Abdur Rahma. Pandangan Masyarakat terhadap Peran dan Fungsi Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) dalam Pembinaan Calon Jamaah Haji di Kota Medan. Medan: Porgram Pasca Sarjana IAIN Sumatera Utara, Tesis tidak diterbitkan, 2010.
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
191
192
Pelayanan Haji Khusus di Kota Medan ...
THE POWER RELATION AND REPRODUCTION OF RELIGIOUS MEANING IN ISLAMIC COMMERCIALS DURING RAMADHAN N U R U S S H A L I H I N*
ABSTRACT This paper discusses the phenomena of commericals which used Islamic symbols during Ramadhan. The focus of this paper is investigating how the meaning construction occurred in these commercials. The meaning construction mechanism in this study involves: (1) what symbols the commercials use to represent Islam, (2) the relation between Islamic symbols and the marketed products, (3) the situation or context in which the symbols were represented in the commercials, (4) what messages these commercials would like to deliver through Islamic symbols.
KEY WORDS: Power relation, meaning production, religiosity, Islamic commercials, consumerism
RELASI KUASA DAN REPRODUKSI MAKNA RELIGIUSITAS DALAM IKLAN-IKLAN ISLAMI RAMADHAN NURUS SHALIHIN
ABSTRAK Tulisan ini mengetengahkan fenomena berbagai iklan yang menggunakan simbol-simbol keislaman pada bulan Ramadhan. Fokus tulisan ini pada bagaimana mekanisme konstruksi makna yang berlangsung dalam pesan iklan yang memanfaatkan simbol-simbol keislaman. Penekanan dalam melihat konstruksi makna pada iklan tersebut, diarahkan pada beberapa hal, pertama, terkait dengan simbol-simbol apa saja yang dipakai iklan untuk merepresentasikan keislaman. Kedua, hubungan simbol-simbol tersebut dengan produk yang diiklankan. Ketiga, dalam suasana dan gaya hidup seperti apa simbol-simbol tersebut direpresentasikan dalam iklan. Keempat, pesan apa yang ingin disampaikan iklan yang menggunakan simbol keislaman.
KATA KUNCI: Relasi kuasa, produksi makna, religiusitas, iklan Islami
*Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Imam Bonjol Padang, Jln. Mahmud Yunus No 1 Lubuk Lintah Padang, Sumbar. Kode Pos 25153. Email:
[email protected] *Naskah diterima Oktober 2016, direvisi November 2016, disetujui untuk diterbitkan Desember 2016
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
193
A. PENDAHULUAN Apa pun penilaian orang, iklan sudah tidak bisa dihindarkan dari hidup kita. Iklan merupakan salah satu fungsi kapitalisme untuk menyampaikan barang komoditi agar menjadi object of desire (objek hasrat) (Baudrillard, 1981:63 & 90). Ini adalah gejala global yang muncul dari perkembangan industri media massa. Perkembangan ini ditopang dua hal: sistem ekonomi kapitalistik dan sistem politik demokratis. Kedua sistem ini berjalan di atas jalur yang sama, kebebasan: setiap orang/pihak memiliki kesempatan dan kebebasan yang relatif sama untuk berusaha berdasarkan pendapat masing-masing. Tantangan bagi umat Muslim Indonesia adalah apakah mereka mampu menyikapi gejala tersebut dengan baik? Jawabannya akan ditentukan oleh sikap yang tidak jatuh pada pilihan ekstrem, antara menampik semua kemajuan dengan risiko terisolasi dari pergaulan global atau menelan mentah-mentah apa yang ditawarkan sehingga kehilangan nilai dan identitas islami yang substansial. Dalam dunia periklanan mutakhir, bukan lagi keunggulan dan kelebihan produk, melainkan asosiasi suatu produk dengan hal-hal yang secara awam sangat jauh kaitannya atau bahkan berlawanan. Tujuan asosiasi ini adalah untuk melekatkan citra (image) pada produk selain citra kegunaan fungsionalnya. Perubahan cara beriklan ini terjadi akibat perubahan pola konsumsi masyarakat: konsumen tidak lagi bisa dipengaruhi pertama-tama karena keunggulan fungsional suatu produk, melainkan karena keberbedaan citranya dari produk lain. Menurut Baudrillard (1981) yang akan ditanamkan ke dalam ingatan calon konsumen bukan lagi kegunaan, melainkan citra produk. Produk dinilai konsumen tidak berdasarkan pertanyaan untuk apa, melainkan melambangkan apa. Sebagai contoh, iklan ricecooker merek Yong Ma sama sekali tidak memberitahukan keunggulan fungsional produk ini, melainkan hanya memperlihatkan seorang perempuan cantik bergaun malam berwarna merah. Gerak gemulai perempuan ini diselingi gambar ricecooker Yong Ma yang juga berwarna merah. Dari sekian banyak makna yang bisa ditarik dari iklan ini, satu hal yang jelas, bahwa iklan ini ingin membujuk penonton dengan mengedepankan nilai-nilai selain nilai 194
Relasi Kuasa dan Reproduksi Makna ...
fungsional, misalnya nilai keanggunan, keindahan dan sebagainya yang berasosiasi dengan keanggunan dan keindahan seorang perempuan bergaun malam. Dalam upaya pencarian asosiasi-asosiasi inilah terdapat kesempatan untuk mengeksploitasi simbolsimbol Islami. Beberapa tahun terakhir, terutama di bulan Ramadhan, hari raya Idul Fitri, Idul Adha dan hari-hari besar Islam lainnya, di antara iklan televisi menampilkan simbol-simbol (gambar, warna, suara/bunyi, tulisan) yang mengasosiasikan keislaman. Iklan minuman kesehatan Hemaviton Jreng, misalnya, mengasosiasikan diri dengan sarana menjaga daya tahan fisik dalam menjalankan ibadah puasa. Atau iklan Bank BNI Syariah yang secara eksplisit tidak membawa-bawa keislaman, melainkan hanya memperlihatkan adegan sebuah keluarga besar (mulai dari kakek dan nenek sampai cucu-cucu yang masih anak-anak) melakukan acara foto bersama. Mereka semua memakai pakaian muslim seperti yang sedang tren saat ini dan berfoto bersama di depan rumah panggung model lama. Adegan ini diiringi suara narator yang berkata “Ada yang tak lekang oleh jaman…Kebersamaan untuk berbagi…Bank BNI Syariah.” Dalam iklan ini, Islam diasosiasikan dengan kata “syariah” dan dengan pakaianpakaian musim yang diperlihatkan para model iklan. Hal yang menggelisahkan dari fenomena ini adalah pengaruh pemakaian simbol-simbol keislaman dalam iklan terhadap gaya hidup masyarakat muslim, terutama yang berada di pedesaan yang kehidupannya “baru” mengenal segala macam produk yang diiklankan. Gaya hidup suatu masyarakat paling kentara terlihat dalam cara mereka mempresentasikan-diri (selfpresentation), yakni bagaimana mereka ingin dilihat, dinilai dan diakui. Sebenarnya yang ingin dipresentasikan atau diperlihatkan di sini adalah identitas, dan cara paling mudah untuk mendapatkan identitas adalah dengan berusaha sama dengan orang lain. Inilah yang disebut dengan proses identifikasi. Melalui iklan masyarakat memperoleh informasi tentang hal-hal yang dapat mereka jadikan sebagai objek identifikasi dalam rangka pengukuhan identitas agar diakui oleh pihak lain. Sebagai contoh, identitas keislaman secara
mencolok dapat diperlihatkan lewat pakaian muslim: kerudung untuk perempuan dan kopiah bagi laki-laki. Lewat iklan, masyarakat muslim memperoleh model untuk dijadikan acuan alternatif dalam mengidentifikasi diri sebagai seorang muslim. Ini menjelaskan mengapa di pasar atau toko pakaian kita mengenal istilah “Kerudung Saskia Mecca” atau “Baju Koko Ustad Uje”. Dua jenis pakaian ini mengacu pada kerudung yang dipakai Saskia Mecca yang tampil dalam film Kiamat Sudah Dekat dan Baju Koko Ustad Jerfry Al-Bukhori dalam iklan produk minuman kesehatan Extra Joss. Gaya hidup juga dapat dilihat dari cara orang mengonsumsi suatu barang. Konsumsi di sini tidak lagi pertama-tama didasarkan pada motif kegunaan, melainkan identifikasi diri dengan nilai-nilai baru yang dipandang lebih dan seolaholah lekat pada barang itu. Dalam iklan televisi minuman cereal merek Energen yang ditampilkan di bulan puasa, adegan yang ditampilkan hanya tulisan “Biasakan sahur dengan….” lalu muncul gambar cangkir merah bertuliskan logo “Energen” dan di bagian bawahnya tertera tulisan “Bergizi 4 sehat 5 sempurna”. Adegan ini diiringi oleh nyanyian bernada membangunkan orang sahur namun dengan lirik “Sahur… sahur… sahur… Minuman Energen cereal bergizi, minuman keluarga bergizi.” Dalam budaya makan masyarakat muslim Indonesia secara umum, cereal relatif tidak dikenal karena dia adalah makanan untuk sarapan pagi orang Barat, namun karena anggapan umum masyarakat muslim menganggap budaya Barat “lebih maju” –termasuk budaya makannya– maka mereka bisa saja dengan naif ingin maju seperti Barat dengan meniru gaya makan budaya sana – mengonsumsi energen saat sahur seperti anjuran iklan Energen ini, misalnya. Sikap yang tepat dan wajar dalam menghadapi gejala di atas dapat diperoleh antara lain dengan mengetahui mekanisme eksploitasi simbol keislaman demi kepentingan kapitalistik di era kebebasan demokratis (Burton, 2002). Sebagai sebuah bentuk komunikasi, iklan mau tak mau melahirkan masalah-masalah seputar makna pesan. Makna ini jelas disengaja oleh pengirim (produsen iklan dan pemilik produk yang diiklankan) dan dengan tujuan yang definitif: mempengaruhi penerima pesan untuk membeli produk yang diiklankan. Persoalannya adalah
makna yang disengaja dan ditentukan oleh pengirim ini tidak hanya mencapai tujuan yang dimaksud semula, melainkan melahirkan dampak-dampak lain yang muncul dari kapasitas persepsi dan resepsi penerima dalam melakukan penafsiran.
B. MOTODE PENELITIAN Penelitian menggunakan pendekatan tekstual di mana teks iklan yang dijadikan sampel untuk dibaca secara semiotis. Teks dalam studi ini adalah rekaman audio-visual iklan yang telah tampil di televisi. Kriteria sampel yang dipakai adalah setiap simbol yang mengasosiasikan keislaman. Data tekstual berupa tanda-tanda semiotis dengan makna denotatif dan konotatif dilukiskan dan dianalisis melalui metode content analysis. Metode ini digunakan dalam studi ini karena memungkinkan pemaknaan atas segala jenis bahasa verbal dan non verbal yang ditayangkan dalam iklan yang menggunakan simbol-simbol keislaman pada bulan Ramadhan. A. Micheal Huberman & Mattew B. Milles (2009) menjelaskan bahwa content analaysis berhubungan dengan berbagai macam hal; bisa berhubungan dengan naratif (alur), lingkungan semantik langsung, majas-majas atau gaya bahasa. Content analaysis dalam konteks ini digunakan untuk memahami simbol-simbol verbal dan non verbal yang ada dalam iklan Islami pada bulan Ramadhan.
C. A SOSIASI S IMBOL I SLAM DAN K ONSUMERISME : P EMAKNAAN ATAS A SOSIASI -S IMBOLIK DALAM I KLAN RAMADHAN Diskusi pada bagian ini difokuskan pada bagaimana dan dalam konteks apa “simbol” dan “tanda-tanda” yang diproduksi dalam iklan-iklan Ramadhan dimaknai? Memaknai sebuah tanda atau simbol sesungguhnya tidak hanya terkait bagaimana tanda dikonstruksi dan diproduksi oleh mesin-mesin tanda, melainkan juga erat kaitannya bagaimana tanda-tanda itu dimaknai. Menurut Theo Van Leeuwen (2005) memaknai bagaimana tanda-tanda digunakan dalam sejarah, kultur, dan konteks institusional yang khusus, terkait bagaimana khalayak membicarakan tanda-tanda tersebut dalam konteks yang juga khusus—tujuan khalayak, tata moral, juga struktur kritik yang tersedia.
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
195
Dalam konteks ini, memahami iklan-iklan Islami Ramadhan di Indonesia, selain erat kaitannya dengan proses bagaimana tanda-tanda dalam iklan itu diberi makna, juga sangat berhubungan dengan bagaimana simbol-simbol Islam dan kapitalisme yang berbaur dalam iklan dimaknai. Setidaknya ada dua aksepsi terkait “tanda”/ ”sign”, pertama, sign-action, atau semiosis dan kedua, sign-object atau representamen/ecoding (Deledalle, 2000). Semiosis merupakan the action of the sign (simbol tindakan) dengan makna bahwa setiap tindakan sesungguhnya mengandung simbo-simbol (representamen/ encoding)). Dari tandatanda itulah makna sebuah tindakan dapat dipahami, dimengerti, ataupun diberi makna oleh penafsir. Sedangkan sign-object atau encoding/ ”representamen” merupakan sebuah objek yang merepresentasikan sesuatu terhadap pikiran (the mind). Ada tiga tindakan yang berbeda dalam proses merepresentasikan kognisi, pertama, tindakan yang merepresentasikan sebuah objek kepada pikiran. Kedua, representasi, atau representamen; dalam tahap ini ia bagaikan sebuah objek yang memperlihatkan, menjelaskan, kepada nalar, dan ketiga tindakan yang merepresentasikan objek secara cepat (Deledalle, 2000). Dalam konteks lainnya, Thomas A. Sebeok (1994) menjelaskan ada enam faktor utama yang tidak bisa dipisahkan dalam penelitian atas “tanda” atau “simbolsimbol”. Faktor tersebut adalah pesan (messages) dan kode (code), sumber (source) dan tujuan (destination), saluran (channel) dan konteks (context). Jika demikian, manakah dari faktor tersebut yang dominan dalam iklan islami ramadhan? Ada banyak pilihan domain dalam merepsentasikan sebuah tindakan atau makna lewat serangkaian simbol-simbol, namun variasi domain itu tergantung pada konteks, dan determinasi para penerima “simbol-simbol”. Dalam studi ini penerima itu adalah kaum Muslim pedesaan dan perkotaan di Indonesia. Mereka adalah sasaran dan objek iklan-iklan Islami Ramadhan. Segala yang melekat secara budaya, psikologis, dan spritual pada diri kaum Muslim, direduksi ke dalam simbol-simbol dan kemudian ditampilkan dalam iklan, setelah sebelumnya dimodifikasi sesuai dengan intensi, dan kepentingan pengiklan (baca; kapitalisme) sehingga memungkinkan “penerimaan” dengan 196
Relasi Kuasa dan Reproduksi Makna ...
cepat atas produk-produk yang diiklankan. Pada kondisi ini simbol-simbol Islam dan konsumerisme dalam iklan Islami Ramadhan tidak dapat diurai begitu saja karena keduanya melekat dengan kuat; sehingga untuk memaknai iklan tersebut diperlukan pemaknaan dua arah; terhadap simbol Islam satu sisi, dan simbol konsumerisme di sisi yang lain. Bagi pengiklan, simbol-simbol ini dimodifikasi untuk satu tujuan, yaitu pengiringan konsumen agar tercipta possibility atau kemungkinan untuk membelanjakan harta, dan uang mereka pada produk yang diiklankan. Pada dasarnya setiap pengiklan, berani mengambil resiko mengeluarkan biaya produksi yang tinggi—membayar jasa pengiklanan produk— dilatari oleh adanya keyakinan bahwa pada akhirnya dengan biaya iklan yang tinggi akan diperoleh total revenue yang lebih tinggi ketimbang tidak melakukan promosi lewat proses pengiklanan produk di televisi. Untuk memperoleh total revenue yang menjanjikan tentu saja diperlukan corak, strategi dan momentum untuk mengiklankan produk. Hanya iklan produk yang baikah yang akan menghasilkan total revenue yang juga baik. Dalam konteks inilah “simbol-simbol” diperlukan sebagai tanda makna dan menjadi wahana bagi konsumen untuk mengasosiakan diri dengan produk yang diiklankan. Setiap simbol dari sebuah tindakan, niscaya diasosiasikan dengan makna yang lainnya di luar tindakan tersebut. Dengan cara itulah setiap simbol mendapatkan maknanya. Ini bermakna bahwa ada sesuatu “yang lain” yang berbeda dari tindakan di mana simbol itu dilahirkan. Tidak berlebihan jika di kalangan pengkaji semiotika ada premis bahwa tidak akan ada sebuah makna (meaning) tanpa adanya perbedaan (Martin & Ringham, 2000). Jika premis ini digunakan dalam memahami iklan Ramadhan, maka bagaimana sebuah simbol diasosiasikan dengan “yang lain” dalam sebuah realitas? Tanda-tanda atau “signs” adalah sebuah unit yang memiliki otonomi dan terpisah dari sebuah tindakan. Walau demikian, simbol tatap saja mampu merepresentasikan tindakan dalam bentuk makna yang berada di balik sebuah simbol. Oleh karena simbol merupakan rumah, tempat berdiamnya makna, maka makna yang akan diproduksi dari “sign” sesungguhnya banyak membutuhkan tempat seperti teks, suara,
warna, simbol-simbol budaya, warna kulit, etnisitas, pakaian, dan segala yang melekat dengan gaya hidup. Ada banyak pola bagi “sign” merepresentasikan dan berhubungan dengan “the others”; menyerupai (icons); secara alami (indices); dan konvensi (symbols) ( Marrel, 1997) sebagaimana yang ditemukan dalam iklan-iklan Islami Ramadhan. Paling tidak ada dua sumber “signs” yang kerap dimainkan, dimodifikasi dan diproduksi dalam iklan-iklan Islami Ramadhan; keduanya adalah Islam dan Konsumerisme. Makna yang dituju oleh pengiklan relatif homogen jika dilihat dari pola asosiasi yang dipilih dan ditetapkan dalam iklan Islami Ramadhan seperti iklan Coca-Cola “menyebarkan kebahagiaan” dengan membagi-bagikan CocaCola. Iklan Coca-Cola ini diawali oleh tiga orang remaja laki-laki; satu berpakaian muslim dan duanya berpakaian trendy yang sedang trend di kalangan remaja dewasa ini. Menariknya iklan ini juga menyertai alat-alat musik seperti drum, dan perkusi yang terbuat dari botol Coca-Cola. Iklan Coca Cola ini juga melibatkan banyak anakanak remaja, baik laki-laki maupun perempuan. Terlihat jelas remaja-remaja itu adalah representasi kekinian dari gaya, dan style yang dianut oleh remaja di Indonesia belakangan ini. Simbolsimbol modernitas, sebagai representasi dari citra konsumerisme dalam iklan Coca-Cola ini disamarkan dengan kombinasi simbol-simbol Islam, meskipun terbatas seperti pakaian muslim, gapura mesjid, beduk, dan kembang api. Terakhir iklan ini ditutup dengan kalimat “Segarkan semangatmu.” Gambar 1. Iklan Coca-Cola Ramadhan Penuh Warna
Sumber: www.youtube.com Ditayangkan pada Ramadhan tahun 2011
Pada iklan ini ditemukan asosiasi yang unik, parsial dan tidak rasional. Asosiasi ini
mengingatkan pada asosiasi yang secara rutin dapat ditemukan dalam keseharian manusia seperti mengasosiasikan burung dengan gerakan tangan. Gambar 2. Asosiasi Burung dengan Gerakan Tangan
Sumber: Per Aage Brand, What is Semiotics?
Gerakan tangan seperti yang tampak pada gambar di atas adalah sebuah proses asosiasi dengan objek (burung). Asosiasi gerakan tangan dengan burung, seutuhnya bersifat simbolik. Gerakan tangan adalah simbol dari burung, dan ia sama sekali berbeda dengan burung, tetapi cukup merepresentasikan burung. Sehingga pembaca tanda mengerti bahwa makna yang dituju oleh pembuat “signs” adalah burung. Dalam konteks gambar di atas, bagi pembaca “tanda” atau “signs” tidak terlalu peduli dengan parsialitas gerakan tangan sang pembuat “tanda”, dan baginya “makna” lebih diutamakan ketimbang volume “representasi”. Berbeda halnya ketika asosiasi dalam iklan-iklan islami ramadhan melibatkan asosiasi parsial sehingga memicu salah pemahaman terhadap simbolsimbol Islam yang dimainkan, bahkan boleh jadi ditafsirkan sebagai sebuah eksploitasi simbolik di mata penafsir. Mengamati iklan-iklan yang menggunakan simbol-simbol Islam, asosiasi parsial sangat kentara terlihat dan dapat dipahami secara mudah. Jika sebelumnya, iklan Coca-Cola mengasosiakan “menebarkan kebahagian” dengan membagikan Coca-Cola; sebuah asosiasi yang mengandalkan nilai-nilai moral dan kegunaan produk, maka asosiasi yang sama dan dalam bentuk lain pun juga ditemukan pada iklan kartu AS. Pada Ramadhan tahun 2012, ada sisi lain yang ditayangkan dalam iklan. Jika pada
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
197
tahun-tahun sebelum, tidak ada iklan mengilustrasikan setan, namun pada tahun 2012, kartu AS menampilkan dengan paradoks imajinasi setan. Kendati demikian, sisi promosi untuk kepentingan konsumerisme lebih menonjol. Dalam iklan ini, kartu AS dimodifikasi sebagai media menghindari godaan setan menggantikan membaca Al-Qur’an dan ibadah lainnya. Iklan kartu AS diawali dengan keputusasaan keluarga setan, di mana bapak setan dikerokin oleh istrinya, dan dengan perasaan frustasi berkata kepada istrinya: “Beratnya hidup ini, bapak ngak sanggup lagi, ma!” Istri dari setan itu menjawab: “Sabarlah, pak!” Sambil menanggis meratapi kesulitan para setan untuk mengoda manusia, si Bapak setan mengeluhkan “Mengapa manusia semakin susah digoda?”. Gambar 3. Iklan Kartu AS Ramadhan: Sule & Setan
Sumber: www.youtube.com Ditayangkan pada Ramadhan Tahun 2012
Iklan ini dilanjutkan dengan aksi dari istri setan, yang berupaya mengoda manusia. Ia keluar dari freezer pendingin minuman, sambil menyodorkan dua kaleng minuman kepada seorang remaja yang asyik berjalan; menunduk memainkan handphone-nya. Ketika melihat aksi setan, spontan laki-laki remaja itu menutup lemari pendingin itu dengan kuat. Setan betina itu, meraung kesakitan dan diikuti oleh ratapan anaknya. Lalu muncul suara, atau audio iklan: “Tahan godaan dengan konten islami dan game seru di ponsel kamu”. Iklan ini diakhiri dengan munculnya iklan kartu AS di sebuah billboard reklame, dan para keluarga setan menyaksikan dengan ratapan yang menyedihkan. Maknanya Kartu AS dalam iklan ini dicitrakan sebagai salah satu fasilitas yang menyelamatkan manusia, pemakai kartu AS dari godaan setan. Ini lah bentuk modifikasi. 198
Relasi Kuasa dan Reproduksi Makna ...
Gambar 4. Iklan Kartu AS Ramadhan: Sule & Setan
Sumber: www.youtube.com Ditayangkan pada Ramadhan Tahun 2012
Dalam “menahan godaan setan di bulan Ramadhan” diasosiasikan dengan menggunakan fitur atau konten Islami yang ditawarkan oleh kartu AS. Sementara itu setan yang selalu menganggu manusia diasosiasikan dengan bentuk-bentuk yang menakutkan, bertanduk dan memiliki warna kulit aneh. Kondisi ini lebih tepat dikatakan sebagai “non-representational interaction; sebuah ketidakmiripan antara “ego” dan “the other (O’Neill, 2008). Di sini ada jarak antara objek (ego) dengan objek yang merepresentasikan “ego”. Jarak ini merupakan masalah tidak terpenuhinya volume representasi “ego”; atau terlalu jauh menyimpang ketika merepresentasikannya. Ketidaksinkronan dan deviasi objek menjadi faktor mengapa terjadi keterjarakan antara “ego” dan perepsentasiannya sebagaimana iklan kartu AS. Dalam iklan ini, asosiasi “tahan” godaan setan dengan fitur Islami kartu AS merupakan hubungan yang tidak sinkron, deviasi, bahkan tidak cukup representatif. Asosiasi lainnya adalah “sikap blak-blakan” Joni yang diasosiasikan dengan “nikmatnya ibadah secara blak-blakan” dalam iklan kartu AXIS. Dalam konteks promosi, beribadah secara “blak-blakan” hanya bisa dilakukan dengan kartu AXIS, meskipun istilah beribadah secara “blak-blakan” dalam tradisi Islam tidak pernah dikenal. Istilah “blak-blakan” pada produk kartu AXIS dengan segala fitur yang diasosiasikan dengan “beribadah blak-blakan” adalah suatu proses yang dipilih pengiklan AXIS untuk membedakan diri dengan produk-produk lain yang sejenis.
Gambar 5. Iklan AXIS Ramadhan: Joni Blak-Blakan
Sumber: www.youtube.com Ditayangkan pada Ramadhan Tahun 2011
Inilah bentuk “discourse” virtual dalam masyarakat kontemporer dewasa ini, di mana sesungguhnya iklan adalah perang simbol dan perang kata-kata antar sesama pesaing bisnis. Dalam konteks persaingan ini kemudian, pengiklan cenderung mengabaikan “makna” subtanstif dari sebuah kata atau kalimat yang ditampilkan. Menurut Guy Cook (dalam Najafian & Dabaghi, 2011) iklan merupakan tipe wacana utama dan dominan dalam kebudayaan virtual masyarakat kontemporer. Pengabaian makna kata atau kalimat menjadi ambigu telah menjadi bagian dari strategi yang dipilih dalam perang iklan. Marcel Danesi (2002) menekankan bahwa pesan-pesan iklan ada di mana-mana, dan telah menjadi salah satu bentuk tekstualitas yang ada di manapun. Hal itu dapat diperhatikan dari pesan-pesan iklan yang ditujukan untuk mendekati konsumen, baik dalam bentuk verbal” ataupun “non-verbal. Dalam konteks inilah, iklan-iklan Islami Ramadhan dapat diamati secara jelas pola asosiasi iklan dengan simbol lainnya. Jika iklan non-Islam (iklan komersil) tanpa menggunakan simbol-simbol Islam, pesan iklan biasa langsung, jelas, tidak klise, dan dengan karakter persuasif, maka pada iklan-iklan Islami Ramadhan; pesan iklan mayoritas disampaikan dengan mengasosiasikan simbol-simbol Islam. Hal ini dilakukan karena Ramadhan adalah bulan suci yang sangat penting bagi kehidupan keagamaan dan spritualitas umat Islam. Tidak hanya sekedar bulan ibadah, Ramadhan juga dipersepsi sebagai bulan penghormatan terhadap simbol-simbol keagamaan. Dalam konteks ini para pengiklan memanfaatkan momentum menyentuh sisi spritualitas umat Islam. Jika
demikian, lalu bagaimana hal ini ditafsirkan? Daniel Chadler (2002) telah menteorikan fenomena itu dengan “iconic mode”. Teori ini mengandung tiga makna yang ada kaitannya dengan semiotika; 1) menjadikan sesuatu bertipe “iconic”; seseorang (baca; pengiklan) harus paham dan mampu membaca budaya-budaya partikular atau subkultur direpresentasikan dalam sebuah ‘ikon’; 2) sebuah ikon betapapun kecilnya dalam sebuah layar memiliki fungsi yang berarti bagi pengguna (the user); 3) ikon religious merupakan proyek seni visual yang mempresentasikan figurfigur suci yang dimuliakan sebagai kesan yang suci oleh orang-orang yang mempercayainya. Ketiga makna di atas, tepat menjelaskan iklaniklan Islami Ramadhan bahwa proses mempresentasikan figur-figur suci atau Islami seringkali diikuti oleh pola asosiasi yang jelas seperti asosiasi dalam iklan Sirup ABC. Iklan ini mengasosiasikan berbuka puasa bersama keluarga, sahabat, dan kerabat sebagai kebahagiaan dan berbagi keceriaan bersama lintas usia dan generasi. Asosiasi non-verbal dan verbal tampak sekaligus antara pesan iklan dan “objek asosiasi—berbuka puasa—memiliki kesamaan, yakni sisi bahagia dan suka rianya sebagaimana iklan Matahari. Dalam iklan ini “kebahagian” berbelanja di Matahari diasosiasikan dengan kebahagian di hari raya Idul Fitri, terutama dengan memakai pakaian serba baru. Gambar 6. Iklan Sirup ABC dan Matahari
Sumber: www.youtube.com Ditayangkan pada Ramadhan Tahun 2011
Pada dasarnya iklan ditujukan memperkenalkan produk dan berfungsi membujuk konsumen untuk membelanjakan
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
199
uang mereka pada produk yang diiklankan. Dalam konteks ini, para pengiklan ingin iklan mereka ditampilkan dengan menarik, unik dan efektif. Keinginan ini kemudian diusahakan oleh pekerja kreatif iklan dengan menyusun konsep dan menyiapkan berbagai simbol-simbol yang paling mudah dipahami, dan memiliki daya persuasif yang kuat terhadap konsumen. Simbol atau tanda-tanda dalam berbagai realitas sosial termasuk iklan berfungsi menjadi cermin (Merrell, 1997), dalam arti simbol menjadi wahana untuk berbagai asosiasi yang dibangun dalam iklan. Dalam konteks iklan-iklan Islami Ramadhan, berbagai asosiasi satu tanda dengan tanda lainnya, antara simbol-simbol Islam dengan simbol-simbol konsumerisme, saling berbaur. Hadirnya asosiasi berbagai simbol tidak saja memudahkan konsumen untuk menangkap pesan iklan, tetapi sekaligus menjadi pendekatan persuasif yang efektif terhadap konsumen. Pembentukan asosiasi dalam iklan didasarkan atas tendensi baik tendensi terhadap budaya, maupun tendensi terhadap kepentingan ideologi. Selain iklan membentuk makna-makna promosi, iklan juga ditujukan untuk membentuk struktur “self-referential”, di mana literatur, visual, dan seni audiovisual, dan media yang tumbuh begitu massif menjadi pilar dari self-referential, selfreflexive, dan autotelik (Nöth, 2007). Dalam konteks ini, self-referential dapat diartikan sebagai teks yang diisi dan diasosiakan oleh berbagai “penanda” (signifier). Ini menegaskan bahwa teks, dalam hal ini adalah tanda-tanda dalam iklan bukanlah ‘refleksi-diri’ (self-reference). Sederhananya, setiap tanda yang dihasilkan dan diasosiasikan dalam iklan ditujukan kepada konsumen. Fakta yang dapat diajukan adalah bahwa ada banyak iklan layanan masyarakat yang ditayangkan pada bulan Ramadhan. Iklan-iklan ini jika dipahami secara mendalam akan memberikan pemahaman bahwa iklan layanan masyarakat; juga iklaniklan komersial lainnya, menampilkan konsep “self-referential” yang jelas seperti iklan pertamina yang ditayangkan pada ramadhan tahun 2011. Iklan yang mengambil setting Minangkabau dan budayanya ini menegaskan bahwa simbol dan berbagai penanda yang diciptakan dalam iklan tidak hanya sebatas relasi-relasi internal berbagai simbol, melainkan meliputi relasi-relasi eksternal antara simbol dalam iklan dan struktur sosial di luarnya. 200
Relasi Kuasa dan Reproduksi Makna ...
Gambar 7. Iklan Pertamina Ramadhan
Sumber: www.youtube.com Ditayangkan pada Ramadhan Tahun 2011
Iklan pertamina ini menyampaikan pesan bahwa kekuatan memaafkan yang ditradisikan pada bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri adalah pilar dari silaturahim yang kuat bagi umat Islam. Ada relasi simbolik antara kepentingan pengiklan (baca; kapitalisme) dengan budaya Minangkabau—merantau bagi anak laki-laki— dalam iklan ini. Dalam konteks Ramadhan, relasi boleh disebut dengan information linking, sebuah istilah untuk memahami asosiasi dalam iklan Islami Ramadhan. Theo van Leeuwen (2005) menjelaskan bahwa setiap informasi yang diajukan melalui tanda, atau simbol-simbol dalam iklan selalu berhubungan dengan konteksnya atau contextual information. Meskipun dengan tendensi konsumerisme, relasi-relasi makna yang dibangun lewat asosiasi simbol produk-produk yang diiklankan dengan simbol-simbol Islam, terutama segala asosoris yang berhubungan dengan Ramadhan, semakin menegaskan bahwa asosiasi tersebut selalu memperhatikan relasi kontekstual antara kepentingan konsumerisme dan primodialitas Islam. Tujuannya adalah untuk menyentuh atau menstimulan bahwa produk yang ditawarkan pada umat Islam mampu membantu mereka dalam menjalankan ibadah di bulan Ramadhan.
D. M ODALITAS & R ELASI K EKUASAAN : FUNGSI SIMBOL -S IMBOL ISLAM DALAM IKLAN ISLAMI-RAMADHAN Memahami makna simbol-simbol dalam iklan Islami Ramadhan, selain dapat diketahui melalui
pelacakan terjadap asosiasi yang dibangun, juga dapat dilihat melalui pemaknaan terhadap “signfunction” (baca; fungsi tanda) yang dibangun dalam iklan-iklan tersebut. Sebab setiap tanda atau simbol-simbol yang dipilih sesungguhnya difungsikan pada satu fungsi khusus. Jika demikian, dalam bentuk apa simbol-simbol Islam difungsikan, dan apa hubungannya dengan modalitas terutama hubungannya dengan iklan Islami Ramadhan? Merujuk Daniel Chandler (2002) tentang “reality has authors”, maka modalitas sejatinya mengacu pada status, otoritas, dan keterpecayaan sebuah pesan, status ontologinya atau nilainya sebagai kebenaran atau fakta. Dalam konteks ini, modalitas dalam iklan-iklan Islami Ramadhan mengacu pada nilai-nilai atau fakta-fakta dari tradisi umat Islam dalam beribadah; puasa, sholat tarawih dan tadarus al-Qur ’an pada bulan Ramadhan, dan merayakan hari raya Idul Fitri— tradisi maaf-maafan, kunjung-mengunjungi, dan merayakan Idul Fitri dengan penuh suka cita. Modalitas ini kemudian direpresentasikan melalui simbol-simbol Islam. Modalitas dalam iklan-iklan Islami Ramadhan adalah Islam dan segala asesoris yang melekat padanya. “Word”, “images”, “sounds”, “odours”, “flavours”, “acts”, “object” pada kenyataannya adalah “tanda” atau “sign” dengan berbagai bentuk yang merepresentasikan berbagai makna dan entitas realitas yang dikandung di dalamnya. Hal ini bisa dibaca dari iklan Matahari Dept. Store yang merepresentasikan kecenderungan gaya atau tradisi kaum muslim dalam merayakan Idul Fitri seperti busana muslim dan muslimah dengan berbagai mode dan gaya. Makna yang diproduksi Matahari Dept. Store adalah berbelanja untuk keperluan lebaran di Matahari Dept. Store. Kapitalisme iklan, termasuk iklan-iklan Islami Ramadhan secara intens memperhatikan sisi-sisi tradisi, ritual dan hampir segala yang berhubungan dengan primordialitas Islam. Sisisisi Islam itu diproduksi kembali dalam bentuk simbol-simbol iklan. Dalam konteks ini ada dua istilah yang kerapkali dijadikan dasar analisis terhadap film termasuk iklan-iklan yang berbentuk audio-visual terutama yang mengandalkan drama pendek sebagai “plot” iklan, yakni representasi dan prototipe (Johansen & Larsen, 2002). Representasi adalah proses memproduksi makna atau mengisi “sign” dengan
realitas, dan tanda-tanda yang diproduksi berfungsi merepresentasikan realitas. Dari proses inilah prototipe modalitas dapat dipahami seperti ritual umat Islam di bulan Ramadhan; ibadah puasa, tarawih, zakat, sedekah, dan memperbanyak amalan-amalam sunat lainnya. Makna atau pesan (meaning, message) dalam film, termasuk dalam iklan-iklan yang berbentuk drama pendek, dihasilkan oleh proses pengkodean prototipe. Sebuah kode didefinisikan sebagai sistem diferensiasi dan korespondensi (Johansen & Larsen, 2002). Pada dasarnya kodelah yang melahirkan pesan dalam sebuah narasi—iklan, ataupun film seperti iklan pertamina yang bergenre drama pendek. Diawali dengan seorang ibu (di Gorontalo) yang ditinggal merantau oleh anak perempuannya ke Kalimantan. Di pertengahan iklan, si ibu meluapkan kekecewaannya dengan kalimat “kenapa kamu lebih memilih kerja di Kalimantan, dan meninggalkan ibu di Gorontalo.” Sang Ibu bersedih hati ketika teleponnya tidak dijawab oleh sang anak, lalu si ibu spontan memeluk foto anaknya dengan hati yang luluh lantak. Gambar 8. Iklan Pertamina Ramadhan
Sumber: www.youtube.com Ditayangkan pada Ramadhan Tahun 2012
Iklan ini memuat banyak kode dan juga simbol-simbol Islam; mulai dari pakaian, ekspresi wajah, hingga bahasa-bahasa verbal yang menyampaikan bahwa bersikap sabar lebih baik. Hal ini dibuktikan dengan kutipan salah satu ayat Al-Qur ’an yang ditayangkan di akhir iklan bahwa sesungguhnya orang-orang yang sabar akan dicukupkan dengan pahala tanpa batas (QS. 39: 10). Meskipun iklan ini agak berbeda jika
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
201
dibanding dengan iklan-iklan Islami lainnya yang lebih menonjolkan produk ketimbang kode dan simbol Islam, namun tetap saja bahwa tujuan iklan ini relatif sama yakni “kehadiran”. Kehadiran adalah sebuah proses, di mana produk yang ditawarkan segera hadir dalam ingatan konsumen seperti halnya seseorang membutuhkan minuman segar yang halal, ia langsung ingat pada Coca-Cola. Ini menandakan bahwa produk Coca-Cola telah mampu mencapai tingkat “kehadiran” yang intensif diingatan konsumen. Pada dasarnya tujuan utama pengiklan adalah mendapatkan posisi yang kuat di memori konsumen. Inilah kemudian yang mendorong produsen memproduksi tanda dan mengisinya dengan berbagai modalitas bertendensi Islam, mulai dari simbol-simbol Islam hingga tradisi kaum Muslim dalam merayakan ramadhan, dan hari Raya Idul Fitri. Tujuannya adalah agar konsumen Muslim mampu disugesti untuk berbelanja produk yang diiklanakan. Mengapa para pengiklan berupaya memasukkan berbagai indentitas kaum Muslim dalam iklan dan memproduksi ulangnya dalam bentuk simbol? Modalitas selalu mengacu pada “nilai kebenaran” atau statemen yang memiliki kredibilitas tentang dunia. Dalam konteks ini, dunia yang dimaksud dalam iklan adalah fenomena yang melekat pada diri konsumen. Ini pula yang menjadi faktor penyebab mengapa simbol-simbol Islam diproduksi dalam iklan-iklan yang ditayangkan pada bulan ramadhan. “Iklaniklan mendadak Islam” adalah kalimat yang cocok untuk menggambarkan fenomena iklan di bulan Ramadhan. Iklan merepresentasikan entitas Islam lengkap dengan asesoris yang melekat padanya. Dengan pola ini kemudian para konsumen Muslim merasa nyaman kerena mengkonsumsi produk yang mengiklankan simbol-simbol Islam lebih mendatangkan kenyamanan dan perlindungan. Iklan sebagai media promosi adalah proses yang intens untuk mempengaruhi pikiran dan pilihan konsumen. Tujuan utama iklan adalah penjualan produk secara maksimal, dan memperkenalkan keunggulan produk pada konsumen, dan melalui iklan konsumen akan memutuskan pilihan untuk membeli produk tersebut. Inilah yang disebut oleh Robert Goldman (Najafian, 2011) sebagai commodity hegemony, dan commodity hegomony selalu 202
Relasi Kuasa dan Reproduksi Makna ...
berhubungan dengan relasi kekuasaan dalam iklan. Oleh karena kekuasaan adalah kekuatan sosial yang menggerakkan dan mengatur orang lain, maka iklan sebagai sebuah proses hegemoni adalah gerakan teratur, terencana, dan artistik untuk mempengaruhi konsumen agar membeli sebuah produk. Dalam konteks iklan, kekuasaan bukan bermakna dominatif, melainkan kekuasaan hegemonik.
E. BEYOND TEXT: PARADOKS & IRONI IKLANIKLAN ISLAM-RAMADHAN Mengapa dengan menampilkan paradoks dan ironi, iklan baru dapat menyampaikan pesan atau makna pada konsumen; dan mengapa pula dengan memperbanyak menggunakan metafora, iklan terlihat sangat artistik dan menarik perhatian konsumen? Setiap iklan mengandung tanda verbal dan tanda visual, di mana masingmasingnya memuat: a) signifier [penanda] dan signified [petanda], denotasi dan konotasi, b) ikon, indeks, dan simbol (Triandjojo: 2008). Dalam konteks ini, iklan-iklan Islami Ramadhan mengandung masing-masing elemen tersebut; tanda verbal dan visual. Masing-masing tanda ditayangkan dengan gaya yang khas, bahkan cenderung terdiferensiasi dengan tegas antara satu iklan dengan iklan lainnya. Dengan cara inilah satu iklan dapat mengungguli iklan yang lainnya, sebab pada dasarnya iklan adalah semacam perang slogan yang berupaya mengungguli lawan atau kompetitor dengan tanda-tanda verbal maupun visual. Tanda-tanda verbal yang sering ditemukan dalam iklan-iklan Islami Ramadhan adalah ajaran moral sekaligus judul iklan yang biasanya langsung mempromosikan produk-produk yang diiklankan sebagaimana iklan Kartu AS. Iklan ini dengan jelas menggunakan penanda verbal yang dikombinasikan dengan penanda audio, yakni kalimat yang ditayangkan dari layar sebuah ponsel yang mempromosikan konten-konten; 1) Tuasiyah, 2) NSP Ramadhan, 3) Artis Ramadhan, 4) Games. Bersamaan dengan itu tanda audio (non-verbal) juga diperdengarkan “Tahan Godaan dengan Konten Islami dan Games Seru di Ponsel Kamu”. Hal yang sama juga dilakukan iklan kartu seluler lainnya seperti Axis. Iklan Axis juga mengandalkan tanda verbal, tetapi lebih besar porsinya menggunakan tanda-tanda non-verbal; audio-visual. Jika Kartu AS mengedepankan
tanda verbal; mengajak menahan godaan dengan cara membeli kartu AS, maka kartu Axis menayangkan tanda audio-visual; mengajarkan untuk selalu mengejar atau menangkap segala kebaikan dengan ikon HAP. Kata-kata “HAP” adalah satu bentuk bunyi yang sering diperdengarkan di kalangan masyarakat Indonesia ketika menangkap sesuatu. Kendati berbeda, tetapi pesan yang ingin disampaikan kedua iklan ini tetaplah sama, yakni produk kartu seluler yang tepat untuk menemani kaum Muslimin dalam menjalani ibadah puasa. Kombinasi atau kolaborasi untuk kemudian disebut dengan asosiasi, seperti halnya dalam iklan Coca-Coca; Kartu AS; dan Kartu Axis ditujukan untuk memudahkan konsumen agar dapat memahami pesan. Di samping itu, pengiklan biasanya juga memperhatikan secara detail; mulai dari pilihan asosiasi, audio, hingga huruf verbal yang digunakan. Hal ini dilakukan karena menurut Tinarbuko (dalam Triandjojo, 2008:79) bahwa ukuran salah satu faktor yang mempengaruhi mudah atau tidaknya sebuah pesan verbal untuk dicermati adalah penggunaan teks dengan huruf besar (merupakan teks utama dan ditonjolkan), sedangkan teks berhuruf kecil menjadi pendukung atau penjelas. Memperhatikan detail iklan, terutama dalam memproduksi tanda, baik verbal dan non-verbal ditujukan untuk menarik perhatian, dan memudahkan konsumen untuk memahami pesan serta “meningkatkan attitude” mereka terhadap produk yang ditawarkan. Setiap kata, bahkan suara yang ditayangkan dalam sebuah iklan memiliki makna dan tujuan spesifik. Studi Indriani Triandjojo (2008) memperlihatkan bahwa kata dalam sebuah iklan mengandung arti yang khas. Frasa “Gaet Mobilnya Gaet Cash Back-nya” dalam sebuah iklan mobil memberi kelengkapan pada sebuah judul iklan sehingga jelas apa yang akan didapat oleh pembeli, yaitu bukan saja mendapatkan mobil tetapi juga mendapatkan cash back. Dalam iklan-iklan Islami Ramadhan, pemilihan kalimat atau frasa juga ditentukan secara detail. Kecenderungan yang terjadi adalah pemilihan frasa dipengaruhi oleh keinginan dan daya tarik tertentu untuk memasukkan ajaran-ajaran akhlak. Kecenderungan untuk memasukkan atau memproduksi ulang pesan-pesan akhlak dalam iklan kelihatan didorong oleh momentum
Ramadhan itu sendiri. Ramadhan bagi umat Islam adalah bulan yang paling penting bagi kehidupan spritual mereka. Bulan ini diekspresikan dengan berbagai cara, terutama hal-hal positif yang mengandung intensi ibadah dan taqarub kepada Allah. Tidak berlebihan jika pada bulan ini banyak fenomena yang disebut dengan “mendadak religius”. Dalam artian bahwa umat Islam berlomba-lomba untuk melakukan kebaikan dengan harapan mendapatkan kebaikan. Semua asesoris spritualitas dan ibadah sangat mudah ditemukan di bulan ini; mulai dari sholat berjama’ah hingga bersedekah. Fenomena inilah yang kemudian diproduksi ulang oleh pengiklan dalam iklaniklan yang mendadak Islami pada bulan Ramadhan yang erat kaitannya dengan asesoris dan primodialitas Islam yang kerapkali ditampilkan. Dalam konteks ini, pemilihan frasa, audio, dan plot iklan menjadi penting, karena pemilihan ini akan mengacu secara langsung pada efektifitas iklan dalam mempengaruhi konsumen yang mayoritas beragama Islam di Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan iklan-iklan Islami Ramadhan seperti iklan kartu seluler XL dengan frasa “GRATIS ONLINE” dengan huruf besar dan diiringi oleh gambar kotak kartu XL, kemudian diikuti dengan konten layanan “GRATIS ONLINE 10 MB”, “BANYAK GRATIS NELPON DAN SMS 24 JAM” dan “BONUS LANGSUNG KONTEN”. Huruf kapital yang digunakan adalah penekanan promosi, sementara penampilan bintang iklan seperti ustad adalah asosiasi yang memanfaatkan modalitas Islam. Dengan cara ini, iklan kartu XL mampu menarik animo konsumen Muslim untuk membeli kartu XL. Meskipun iklan-iklan Islami dengan kuat menjadikan modalitas Islam sebagai basis produksi simbol, namun konsumen Muslim memiliki otoritas individual dalam memaknai tanda-tanda. Adakalanya mereka terkesan dan tidak sedikit pula yang merasa “biasa-biasa saja” dan tidak terpengaruh. Hal ini didorong paradoks yang dibawa oleh setiap iklan dalam memproduksi tanda-tanda. Paradoks iklan-iklan Islami Ramadhan terletak pada representasi objek semiotika, di mana adanya tumpang tindih antara “signifier”, dan “signfied”. Menurut Triandjojo (2008) simbol diartikan sebagai tanda mengacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri, dan
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
203
hubungan antara simbol sebagai penanda dengan petanda (sesuatu yang ditandakan) bersifat konvensional seperti simbol profesor, dokter, pengacara, bankir dari kesuksesan hidup. Di dalam iklan-iklan Islami Ramadhan banyak ditemukan hubungan konvensional yang paradoks antara penanda dan petanda. Iklan Kartu Axis yang yang tayang pada ramadhan 2011 dengan simbol indahnya ibadah dengan “blak-blakan” seperti berkata apa adanya (mengatakan salah jika ia salah dan benar jika ia benar, dengan bonus “blak-blakan” yang ditawarkan oleh kartu Axis). Hal yang sama— genre yang serupa—kembali diproduksi oleh kartu seluler Axis yang ditayangkan pada Ramadhan 2012. Iklan ini dibintangi oleh Hap, demikian Ustad Uje menyebut laki-laki tambun ini. Iklan ini juga memperlihatkan hubungan konvensional antara menangkap segala kebaikan lewat kartu Axis.
paradoks, hubungan itu dibangun secara berlebihan; mengedepankan sisi idealnya ketimbang realitasnya. Iklan Djarum ini bertema “sabar ” yang dilakoni seorang pemuda pengemudi motor yang dizalimi oleh pengemudi mobil, baik ketika dalam perjalanan maupun ketika tengah salat di sebuah mushala. Mereka mencuri kurma, bekal berbuka puasa pemuda itu, namun sang pemuda hanya ikhlas dan berlapang dada. Gambar 10. Iklan Djarum Ramadhan Sabar
Gambar 9. Iklan Kartu AXIS Ramadhan HAP
Sumber: www.youtube.com Ditayangkan pada Ramadhan Tahun 2010
Sumber: www.youtube.com Ditayangkan pada Ramadhan Tahun 2012
Hubungan konvensional dalam iklan-iklan Islami Ramadhan juga dapat dilacak dari hubungan analogi yang parsial antara penanda dan yang ditandai; antara simbol dan objek semiotika. Hubungan konvensional tersebut terkadang terasa paradoks, di mana terdapat banyak hubungan parsial, dalam arti bahwa representasi Islam yang dihadirkan dalam iklan sangat parsial. Iklan Djarum yang tayang pada Ramadhan 2010, dapat dijadikan pembuktian ada hubungan konvensional yang paradoks antara tanda dan petanda dalam iklan. Dikatakan
204
Relasi Kuasa dan Reproduksi Makna ...
Sisi paradoksnya adalah menampilkan karakter zalim dan sabar secara berbarengan. Makna paradoks dalam iklan juga ditafsirkan sebagai sebuah pertentangan antara statemen verbal dengan realitas yang terjadi (Triandjojo, 2008) sebagaimana iklan XL ampuh pembasmi serangga misalnya. Iklan yang ditayangkan pada Ramadhan 2009 ini mengisahkan seeorang pengemis yang menggunakan kartu XL Ampuh. Tidak hanya dirinya, tetapi juga sahabat seprofesi dengannya, juga menggunakan kartu XL Ampuh. Sehingga ketika ia dilecehkan oleh seorang pemuda yang berprofesi sebagai pembasmi serangga, mereka membuktikan kalau pengemis juga “cangih”, “tidak kampungan”, atau “miskin” seperti dipersepsi oleh pemuda pembasmi serangga. Bahkan pengemis itu membuktikan bahwa mereka punya hati dan berjiwa penolong. Ketika mobil pemuda pembasmi serangga itu terperosok, para pengemis bergotong-royong membantunya.
Gambar 11. Iklan XL Ampuh
iklan-iklan Islami Ramadhan. Dan agaknya tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa setiap elemen, pola dan simbol yang diproduksi dalam iklaniklan Islami Ramadhan memiliki makna khas, dan khusus yang dikehendaki oleh pengiklan.
F. PENUTUP
Sumber: www.youtube.com Ditayangkan pada Ramadhan Tahun 2009
Paradoks iklan ini terletak pada tidak realitisnya, di mana para pengemis menggunakan kartu XL Ampuh secara total, dan menunjukkan identitas mereka sebagai pengemis yang modern dan tidak miskin seperti yang ditampilkan dalam iklan tersebut. Lalu apa sesungguhnya tujuan para pengiklan membangun hal paradoks, dan makna apa yang ingin disampaikan? Setiap setting, model dan pola serta elemen yang ada dalam iklan memiliki tujuan khas dan spesifik. Demikian juga halnya dengan kesengajaan menciptakan paradoks dalam iklan seperti halnya iklan Xenia dengan ucapan Selamat Idul Fitri; “Mohon Maaf Lahir Batin, Lebaran ini Anda sekeluarga belum dapat mudik dengan Xenia.” Menurut Triandjojo (2008) pengiklan menggunakan ucapan selamat dan permohonan maaf kepada pelanggan dikarenakan belum dapat pulang dengan Xenia. Maksudnya bukan karena Xenia belum diproduksi atau produksi menurun tetapi sebetulnya pengiklan ingin menyatakan bahwa penjualan Xenia sangat tinggi sehingga banyak pelanggan yang harus antri untuk mendapatkannya. Kenyataannya masyarakat Indonesia akan lebih tertantang membeli sebuah produk ketika produk itu terbatas untuk dimiliki, baik karena “limited edition”, atau karena “banyaknya minat”. Seperti halnya iklan XL Ampuh yang tidak hanya untuk orang berduit yang mampu membeli XL Ampuh, namun pengemis pun berminat untuk membelinya. Inilah paradoks yang sering ditemukan dalam
Iklan-iklan Islami Ramadhan bertepatan dengan momentum Ramadhan adalah hal yang disengaja dan direncanakan oleh pengiklan. Sebab setiap aktivitas yang berhubungan dengan bisnis dan kepentingan perusahaan; dalam hal ini adalah iklan ditujukan untuk “memaksimalkan penjualan”, dan pada akhirnya berujung pada akumulasi kapital. Jay W. Richards (2009) menegaskan bahwa kapitalisme dengan segala kepentingannya mempengaruhi konstruksi sosial-ekonomi di dunia dewasa ini. Termasuk dalam produksi iklan-iklan, baik di negara maju, maupun di negara berkembang yang mayoritas berpenduduk Muslim seperti Indonesia. Jika demikian kenyataannya, apa sesungguhnya yang dipengaruhi oleh kapitalisme, lebih khususnya dalam hal iklan di Indonesia? Max Weber (2006) mengutarakan bahwa kapitalisme telah mendominasi kehidupan perekonomian, mendidik dan memilih insaninsan ekonomi yang dibutuhkannya melalui suatu proses “survival of the fittest” dalam bidang ekonomi. Apa yang lahir dari rahim kapitalisme adalah cita-cita untuk memakmurkan diri sendiri (baca; self-interest); menumpuk keuntungan yang sebesar-besarnya melalui kegiatan ekonomi terutama perdagangan dan korporasi. Dalam hal ini, iklan dan segala fenomena yang terkait dengannya seperti internalisasi simbol-simbol Islam dalam iklan seutuhnya tidak terlepas dari cita-cita kapitalisme untuk mengakumulasi keuntungan lewat penciptaan secara massif budaya konsumerisme. Ini yang menjadi faktor penyebab mengapa iklan-iklan Islami Ramadhan dengan intensifnya memproduksi ulang berbagai simbol dan modalitas Islam dalam iklan. Tujuannya adalah untuk menciptakan budaya konsumerisme di kalangan umat Islam, dan dengan sendirinya produk-produk yang diiklankan mampu diserap pasar dengan cepat, sehingga produksi dan inovasi produk dengan drastis dapat ditingkatkan. Asosiasi, paradoks, hubungan konvensional “penanda” dan
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
205
“petanda”, representasional, bahkan ironi sengaja dibentuk dan direpresentasikan dalam iklan-iklan Islami Ramadhan. Semua elemen ini disatukan di bawah keinginan dan hasrat yang besar untuk mengakumulasi keuntungan. Konsumen dan pendapatan yang mereka miliki diposisikan sebagai object of desire; sebuah objek hasrat dan sekaligus dijadikan sebagai sumber-sumber kekayaan kaum kapitalisme— industri-industri yang berskala besar. Iklan-iklan, termasuk iklan-iklan Islami Ramadhan disampaikan pada ruang publik kemudian dikonsumsi oleh konsumen-Muslim di berbagai tempat, telah mendorong apa yang diistilahkan dengan “hasrat konsumsi”. Inilah yang diinginkan oleh industri-industri besar yang memesan iklan, dan menayangkannya di berbagai stasiun televisi swasta di Indonesia. Ini menurut Stiglizt (2006) adalah efek dari tidak ada gagasan yang lebih kuat ketimbang teori invisible hand-nya
206
Relasi Kuasa dan Reproduksi Makna ...
Adam Smith, di mana pasar bebas akan membuahkan hasil-hasil yang efisien. Seolaholah oleh suatu tangan tak telihat, dan bahwa dalam mengejar kepentingannya sendiri setiap orang akan memajukan kepentingan umum. Jika individu saja dalam masyarakat kapitalisme lanjut mengejar kepentingan dan kemakmurannya secara intensif, maka tidaklah aneh jika industriindustri besar juga disemangati oleh ajaran “maksimalisasi keuntungan dan utilitas”. Dan sepertinya, iklan-iklan Islami Ramadhan memang sengaja dirancang sebagai penopang atas hasrat maksimaliasi keuntungan dan utilitas[]
D A F TA R P U S TA K A
Buckland, Warren. Cognitive Semiotics of Film. New York: Cambridge University Press, 2004.
Forcefille, Charles. Pictorial Metaphors in Advertising. London: Taylor and Francis 2002.
Barthes, Roland. Element of Semiology. New York: Hill and Wang, 1981.
Goffman, Erving. The Presentation of Self in Everyday Life. Edinburg: University of Edinburg, 1956.
—————. Image, Music, Text. London: Fontana Press, 1977. Baudrillard, Jean. For A Critique of The Political Economy of The Sign. St. Louis, MO: Telos Press, 1981. Burton, Graeme. More Than Meets The Eye: An Introduction to Media Studies, Edisi Ketiga. New York: Oxford University Press, 2002. Berger, Arthur Asa. The Object of Affection: Semiotics and Consumer Culture. New York: Palgrave MacMillan, 2010.
Hall, Stuart et.al. Culture, Media, Language. London: Taylor-Francis e-Library, 2005. Kasali, Renald. Manejemn Periklanan: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: Grafiti, 1995. Leeuwen, Theo Van. Introducing Social Semiotics. New York: Routledge, 2005. Madjadikara, Agus S. Bagaimana Biro Iklan Memproduksi Iklan. Jakarta: Gramedia, 2004. Martin, Bronwen & Ringham, Felizitas. Dictionary of Semiotics. London and New York: Cassell, 2000.
—————. Sign in Contemporary Culture: An Introduction to Semiotics, Terj. M. Dwi Satrio. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2010.
Merrel, Floyd. Peirce, Signs, and Meaning. Toronto: University of Toronto Press, 1997.
Brang, Per Aage, What Is Semiotics?, Retrieved at http://www.hum.au.dk/semiotics/docs2/ pdf/brandt_paab/whatissemiotics.pdf
Nöth, Winfried & Bishara, Nina (eds). SelfReference in the Media. New York: Mouton de Gruyter, 2007.
Cobley, Paul (eds). Semiotics and Linguistics. New York: Routledge, 2001.
Najafian, Maryam. Advertising Social Semiotics Representation: A Critical Approach, “International Journal of Industrial Marketing, Vol. 1, No. 1-2011.
Chandler, Daniel., The Basic Semiotics. London & New York: Routledge, 2002. Dines Johansen, Jørgen & Erik Larsen, Svend., Signs in Use: An Introduction to Semiotics. New York: Routledge, 2002. Daniel Bell, The Cultural Contradictions of Capitalism. New York: Basic Books, Inc., publisher, 1958. Deledalle, Gérard. Charles S. Peirce’s Philosophy of Signs: Essays in Comparative Semiotics. Indianapolis: Indiana University Press, 2000. Danesi, Marcel. Understanding Media Semiotics. London: Arnold, 2002. E. Stiglitz, Joseph. The Roaring Nineties: A New History of the World’s Most Prosperous Decade, Terj. Aan Suhaeni. Tangerang: Marjin Kiri, 2006.
Najafian, Maryam & Dabaghi, Azzizollah., Hidden Language of Advertising: A Semiotic Approach, (Proceeding of The International Conference: Doing Research in Applied Linguistics). O’Neill, Shaleph. Interactive Media: The Semiotics of Embodied Interaction. London: Springer, 2008. Prihmantoro, Heru. “Iklan Kondom: Selain Jualan, Masih Ada Persoalan Etika.” Dalam Media Indonesia, 6 April 1999. Richards, Jay W. Money Greed and God: Why Capitalism is The Solution and Not Problem. Australia: Harper Collins, 2009. SE., Rita. “Multivitamin Mengapa Diiklankan Obat Kuat?”. Dalam Media Indonesia, 10 Desember 1998.
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
207
Sebeok, Thomas A. An Introduction to Semiotics. Kanada: University of Toronto Press, 1994. Thibault, Paul J. Social Semiotics as Praxis: Text, Social Meaning Making, and Nabokov’s Ada. Minneapolis: University of Minnesota Press, 1991. Triandjojo, Indriani. Semiotika Iklan Mobil di Media Cetak Indonesia, Thesis: PPS Universitas Diponegoro, 2008. Stam, Robert, Burgoyne, Robert & FlittermanLewis, Sandy. Vocabularies in Film Semiotics: Structuralism, Post-Structuralism and Beyond. London-New York: Routledge, 2005. Weber, Max., The Protestant Ethic Spirit of Capitalism, Terj. TW. Utomo & Yusuf Priya Sudiarja. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Williams, Ederyn (ed.). Television, Technology, and Culture Form. London: Schocken Books, 1975. Website: Iklan Matahari (Ramadhan tahun 2012). www.youtube.com (diakses pada 15 Agustus 2012, Pukul 23:21 Wib). Iklan
27 Agustus 2012, Pukul 11:51 wib). Iklan Kartu Axis. www.youtube.com (diakses pada 27 Agustus 2012, Pukul 12:02 wib). Iklan Kartu XL (2012). www.youtube.com (diakses pada 27 Agustus 2012, Pukul 16:15 wib). Iklan Kartu Axis (2011). www.youtube.com (diakses pada 27 Agustus 2012, pukul 20:28 wib). Iklan Kartu Axis (2012). www.youtube.com (diakses pada 27 Agustus 2012, pukul 20:28 wib). Iklan Djarum (2010). www.youtube.com (diakses pada 27 Agustus 2012, Pukul 20:51 wib). Iklan XL Ampuh, www.youtube.com (diakses pada 28 Agustus 2012, pukul 8: 28 wib). Iklan Mc. Donalds (Ramadhan tahun 2011). www.youtube.com (diakses pada 14/08/2012, Pukul. 17:28 wib). Iklan AXIS. www.youtube (diakses pada 1 Juli 2012, Pukul 12:29 wib). Iklan Coca-Cola (2012). www.youtube.com (diakses pada 31 Juli 2012, Pukul 11:47 wib).
Djarum. // http:www.youtube.comwatchv=hm3IUCK31vom (diakses 30 Juni 2012, Pukul 16: 05 wib).
Http://www.hum.au.dk/semiotics/docs2/pdf/ brandt_paab/whatissemiotics.pdf
Iklan Gudang Garam (2007). www.youtube.com (diakses pada 20 Juli 2012, pukul 11: 15 wib).
Iklan Kartu AS 2012. www.youtube.com (diakses pada 31 Juli 2012, Pukul 22:15 wib).
Iklan Axis. www.youtube.com Idi akses pada 20 Juli 2012, pukul 11:15 wib).
Iklan Ale-Ale. www.youtube.com (diakses 26 Juli 2012, Pukul 9:43 wib).
Iklan Bank Mandiri. www.youtube.com (diakses pada 21 Juli 2012, pukul 13:18 wib).
Iklan Kartu AS. www.youtube.com (diakses 27 Juli 2012, Pukul 17:20 wib).
Iklan Pertamina. www.youtube.com (diakses 22 Juli 2012, Pukul 11:14 wib).
Iklan Djarum 2012. www.youtube.com (diakses pada 28 Juli 2012, Pukul 10:30 wib).
Iklan
Iklan teh Sariwangi 2012. www.youtube.com (diakses pada 28 Juli 2012, pukul 10:54 wib).
Djarum. // http.www.youtube.comwatchv=hm3IUCK31vo (diakses pada 22 Juli 2012, Pukul 17:19 wib).
Iklan Coca-Cola. www.youtube.com (diakses pada 24 Juli 2012, Pukul 11:28 wib). Iklan Mc. Donalds. www.youtube.com (diakses pada 24 Juli 2012, Pukul 12:09 wib). Iklan XL Ampuh. www.youtube.com (diakses pada 24 Juli 2012, Pukul 12:00 wib). Iklan Kartu AS. www.youtube.com (diakses pada 208
Relasi Kuasa dan Reproduksi Makna ...
Iklan Indosat Ramadhan 2012. www.youtube.com (diakses 29 Juli 2012, Pukul 15:35 wib). Iklan Coca-Cola 2012. www.youtube.com (diakses pada 29 Juli 2012, Pukul 22:12 wib). Iklan XL sensasi 2012. www.youtube.com. (diakses pada 30 Juli 2012, Pukul 06:00 wib). Iklan kartu AXIS 2012. www.youtube.com (diakses pada 30 Juli 2012, Pukul 11:30 wib).
CHARACTER EDUCATION THROUGH RELIGIOUS EDUCATION IN SMAN 2 SEMARANG QOWAID*
ABSTRACT This study aims to investigate the implementation of character education through Religious Education in schools and to determine the supporting and inhibiting factors. This study was conducted in SMAN 2 Semarang between April and September 2014. Data was collected through observation, interviews, review of documents, and questionnaires. The results showed that the implementation of character education in this school was integrated in all subjects, including Religious Education. Character education is carried out through intra-curricular, extracurricular, and other forms of activities. Seven characters of educational values (e.g. religious attitude, honesty, tolerance, discipline, environment awareness, social care and responsibility) have been implemented in the school. There were some supporting factors which enabled the implementation of character education in SMAN 2 Semarang such as: school vision, mission and goals, the curriculum, and supporting school elements. However, there was also an inhibiting factor i.e. school external surrounding. It is recommended that character education through Religious Education in schools can be used as a development model of character education in other schools.
KEY WORDS: Character education, religious education.
PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PENDIDIKAN AGAMA DI SMAN 2 SEMARANG QOWAID
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi Pendidikan Karakater melalui Pendidikan Agama di sekolah serta untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambatnya. Lokasi penelitian ini adalah Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Semarang. Penelitian dilaksanakan pada bulan April dan September 2014. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara, telaah dokumen, dan angket. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyelenggaraan pendidikan karakter di Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Semarang terintegrasi dalam pembelajaran semua mata pelajaran, termasuk pendidikan agama. Pendidikan karakter dilaksanakan melalui kegiatan intrakurikuler, ekstrakurikuler, dan bentuk kegiatan lainnya. Tujuh nilai pendidikan karakater di sekolah (fokus penelitian ini) berupa sikap religius, jujur, toleransi, disiplin, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggug jawab telah diterapkan di sekolah. Faktor pendukungnya antara lain adanya visi, misi, tujuan sekolah, kurikulum dan seluruh unsur kependidikan yang ada mendukung terlaksananya pendidikan karakter. Faktor penghambat antara lain kondisi makro lingkungan di sekitar sekolah yang sebagiannya tidak sesuai dengan nilai-nilai karakter yang dikembangkan. Disarankan agar pendidikan karakter melalui Pendidikan Agama di sekolah ini dapat dijadikan model pengembangan pendidikan karakter di sekolah lain.
KATA KUNCI: Pendidikan karakter, pendidikan agama. *Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan. Jl. M.H. Thamrin 6. Jakarta Pusat. Email:
[email protected] *Naskah diterima Oktober 2016, direvisi November 2016, disetujui untuk diterbitkan Desember 2016
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
209
A. PENDAHULUAN Pembangunan karakter bangsa merupakan gagasan besar yang telah lama dicetuskan para pendiri bangsa. Sejak awal kemerdekaan sampai saat ini pendidikan karakter tersebut terus dilaksanakan dengan nama dan bentuk yang berbeda-beda. Hasil seminar dan lokakarya nasional “Bangsa Berkarakter Kunci Indonesia Bangkit” merumuskan bahwa penguatan karakter bangsa diyakini membawa Indonesia keluar dari berbagai persoalan dan melesat maju. Syaratnya, keteladanan agar menyebar luas ke semua lapisan masyarakat. Realitasnya, pembangunan karakter bangsa masih bermasalah antara keinginan dan kenyataan.1 Walaupun pembangunan karakter bangsa sudah diupayakan dengan berbagai bentuk, hingga saat ini masih belum dapat terlaksana dengan optimal. Hal itu antara lain tercermin adanya kesenjangan sosial-ekonomi-politik yang masih besar, kerusakan lingkungan yang terjadi di berbagai pelosok negeri, ketidakadilan hukum, kekerasan dan kerusuhan, korupsi yang merambah pada semua sektor kehidupan masyarakat, dan lain sebagainya. Di kalangan pelajar dan mahasiswa masih terdapat dekadensi moral yang memprihatinkan. Di antaranya adanya tawuran, aksi pornografi dan porno aksi, kebiasaan mencontek, meminum minuman keras, dan tindakan kriminal lainnya yang meresahkan masyarakat. Kondisi yang dikenal dengan krisis multidimensi, demoralisasi, degradasi kehidupan masyarakat dan istilah lain yang semisal terdengar sejak beberapa tahun yang lalu. Di samping karena adanya fenomenafenomena sosial, urgensi pendidikan karakter di sekolah juga dilandasi oleh sejumlah peraturan perundangan yang ada. Dalam Pasal 3 UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, 1
“Karakter Membawa Indonesia Maju”, dalam Kompas, 30 Mei 2011, h.1.
210
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Maka perlu dicari jalan terbaik untuk membangun dan mengembangkan manusia dan bangsa Indonesia dengan memiliki karakter yang baik, unggul, dan mulia. Memperhatikan situasi dan kondisi karakter bangsa yang memprihatinkan tersebut, pemerintah mengambil inisiatif untuk memprioritaskan pembangunan karakter bangsa. Salah satu ruang lingkup sasaran pembangunan karakter bangsa adalah lingkup satuan pendidikan. Lingkup lainnya adalah lingkup keluarga, pemerintahan, dan masyarakat lainnya seperti masyarakat politik, sipil, dunia usaha, media masa, dan lain sebagainya.2 Pendidikan memiliki peran penting dan sentral dalam pengembangan potensi manusia, termasuk potensi mental peserta didik. Pendidikan juga memegang peran strategis dan determinatif dalam pembangunan peradaban manusia. Melalui pendidikan diharapkan terjadi transformasi yang dapat menumbuhkembangkan karakter posisitif, serta mengubah watak dari yang tidak baik menjadi baik. Menurut Megawangi3, pendidikan karakter bukan saja dapat membuat seorang anak mempunyai akhlak yang mulia, tetapi juga dapat meningkatkan keberhasilan akademik. Disamping itu pendidikan karakter juga dapat meningkatkannya pro sosial dan dapat meningkatkan kesehatan fisiknya karena memiliki kematangan emosi dan spiritual yang tinggi. Karakter merupakan input penting dalam pembangunan SDM. Untuk mendukung keterlaksanaan pendidikan karakater di sekolah, telah disiapkan sejumlah Peraturan mulai dari Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, sampai Peraturan di bawahnya. Diantaranya telah dibuat Kebijakan Nasional Pembangunan Budaya Dan Karakter Bangsa, Desain Induk Pendidikan
2 Kebijakan Nasional Pembangunan Budaya dan Karakter Bangsa, http://gurupembaharu.com/home/ wp-content/uploads/ downloads/2011/11/Kebijakan-Nasional-Pendikar.pdf. Diakses 3 Maret 2014. h: 2 -7. 3 Megawangi, Ratna, Pendidikan Karakter, Solusi Yang Tepat Untuk Membangun Bangsa. (Depok: Indonesian Heritage Foundation, 2004.), 38.
Pendidikan Karakter Melalui Pendidikan Agama ...
Karakter Kementerian Pendidikan Nasional, Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter, dan beberapa Pedoman pelaksanaan pendidikan karakter di berbagai jenjang pendidikan. Berkenaan dengan itu, sekitar tahun 2010 yang lalu, mulai dicanangkan Pendidikan Karakater untuk dilaksanakan di sekolah secara bertahap, mulai dari Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan. Di tengah kegelisahan yang menghinggapi berbagai komponen bangsa, sesungguhnya terdapat beberapa lembaga pendidikan atau sekolah yang telah melaksanakan pendidikan karakter secara berhasil dengan model yang mereka kembangkan sendiri-sendiri. Mereka inilah yang menjadi best practices dalam pelaksanaan pendidikan karakter di Indonesia. Namun hal itu belum cukup karena diperlukan keterlibatan sekolah yang lebih banyak dan luas lagi dari yang telah ada. Sebagai tindak lanjutnya, berbagai upaya telah dan terus dilakukan agar tercapai peserta didik yang sesuai dengan fungsi pendidikan tersebut di atas. Pemerintah melalui Kemendikbud pada tahun ajaran 2016-2017 ini juga berrencana menunjuk 542 sekolah sebagai rujukan program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang tersebar di 34 provinsi.4 Oleh karena itu, penelitian terhadap penyelenggaraan pendidikan karakter, difokuskan kepada penyelenggaraan pendidikan karakter melalui pendidikan agama di salah satu jenjang sekolah, yakni Sekolah Menengah Atas Negeri, yakni SMAN 2 Semarang. Rumusan masalah penelitian ini adalah: 1. Seperti apakah implementasi penyelenggaraan pendidikan karakater melalui pendidikan agama di sekolah; 2. Seperti apakah faktor-faktor pendukung dan penghambat pendidikan karakter melalui pendidikan agama di sekolah.
B. KAJIAN LITERATUR Ada sejumlah penelitian tentang pendidikan karakter pada berbagai lembaga, jenis dan tingkatan pendidikan serta berbagai sumber
4 “542 Sekolah Dirujuk Jadi Sekolahg Pendidikan Karakter.” Koran Sindo, tanggal 10 Oktober 2016, h. 5.
lainnya. Berikut disajikan sebagiannya. Dengan judul “Penguatan Karakter Melalui Pendidikan Islam di TK Mawaddah Kota Banjarmasin”, Abd, Muin M menulis sejumlah hasil penelitiannya yang menggunakan metode kualitatif. Disimpulkan bahwa sejak berdiri, TK ini konsisten menginternalisasikan nilai-nilai pendidikan Islam kepada anak didik sebagai pondasi penguatan pendidikan karakter. Internalisasi nilai-nilai Islam melalui pengenalan, pembiasaan dan keteladanan yang didukung kemampuan orangtua mendidik anak melalui kegiatan parenting class.5 Sementara itu, Novita Siswayanti menulis tentang pendidikan karakter dalam Tafsir AlHuda dengan metode penelitian analisis isi dan pendekatan hermeunetika. Disimpulkan bahwa Tafsir Al-Huda mentransformasikan nilai-nilai budi pekerti Jawa yang merupakan akumulasi dari cipta-rasa-karsa yang diaktualisasikan ke dalam sikap, kata-kata, dan tingkah laku seseorang. Pendidikan karakter dalam tafsir ini dipandang sebagai aktualisasi iman yang merepresentasikan tabiat, watak, akhlak, dan moral sekaligus mencerminkan sikap batin yang melahirkan akhlak yang baik, rajin, jernih akal budinya, dan banyak berbuat kebajikan.6 Sementara itu, Lisa’diyah M juga pernah melakukan penelitian pendidikan karakter di salah satu sekolah menengah atas. Menurutnya, penanaman nilai-nilai karakter siswa dilakukan dengan menyisipkan beberapa mata pelajaran dalam bentuk hidden curriculum.7
C. KERANGKA TEORI Menurut Aunillah, 8 pendidikan karakter adalah sebuah sistem yang menanamkan nilainilai karakter pada peserta didik, yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad, serta adanya kemauan 5 Abd.Muin M. “Penguatan Karakter Melalui Pendidikan Islam Di TK Mawaddah Kota Banjarmasin”, dalam Edukasi, Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, 11, no 2, (MeiAgusutus 2013): 199. 6 Novita Siswayanti. “Pendidikan Karakter Dalam Tafsir AlHuda”. dalam Edukasi, Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan 11, no 2, (Mei-Agustus 2013): 218. 7 Lisa’diyah Ma’rifatain. “Model Penanaman Nilai-Nilai Karakter Siswa SMA Berbasis Pendidikan”. Edukasi, Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan. 13, no.1. (April 2015): 80. 8 Aunillah, Nurla Isna, Panduan Menerapkan Pendidikan Karakter Di Sekolah (Yogyakarta: Laksana, 2011): 18.
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
211
dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, maupun bangsa, sehingga akan terwujud insan kamil. Dalam konteks Indonesia, pendidikan karakter adalah pendidikan nilai, yakni penanaman nilai-nilai luhur yang digali dari budaya bangsa Indonesia. Karakter juga dapat diartikan sebagai tabiat atau kebiasaan yang secara konsisten melekat pada kepribadian yang ditampakkan dalam tingkah laku sehari-hari.9 Menurut Lickona, sebagaimana dikutip oleh Wibowo 10 , karakter merupakan sifat alami sesorang dalam merespons situasi secara bermoral. Sifat alami itu dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya. Istilah karakter dihubungkan dan dipertukarkan dengan istilah etika, akhlak, dan atau nilai yang berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi positif, bukan netral. Pendidikan karakter bisa juga disebut pembentukan karakter. Berdasarkan Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter yang dikembangkan Kemendiknas11, secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Dalam pendidikan, pembentukan karakter dilakukan melalui rekayasa lingkungan yang mencakup di antaranya lingkungan fisik dan budaya sekolah, manajemen sekolah, kurikulum, pendidik, dan metode mengajar. Pembentukan karakter melalui rekayasa faktor lingkungan dapat dilakukan melalui; keteladanan, intervensi, pembiasaan yang dilakukan secara konsisten, dan penguatan. Dengan demikian, praktik pendidikan
9 Nurhayati Djamas, Memfungsikan Pendidikan Agama Sebagai Pendidikan Karakter Pada Anak.(Jakarta:Badan Litbang dan Diklat, 2013): 4. 10 Agus Wibowo, 2012. Pendidikan Karakter (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012): 32 – 33. 11 Kementarian Pendidikan Nasional. 2011. Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter (Jakarta: Pusat Kuriklum Dan Perbukuan. Badan Penelitian Dan Pengembangan, 2011): 30.
212
karakter pada satuan pendidikan adalah tanggungjawab dan masuk dalam semua mata pelajaran, bukan hanya tanggungjawab materi Pendidikan Agama atau Pendidikan Kewarganegaraan. Tujuan pendidikan karakter adalah untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.12 Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter pada satuan pendidikan telah diidentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya dan tujuan pendidikan nasional, yaitu (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi (13) bershabat/ komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, (18) tanggung jawab.13 Dalam penelitian ini difokuskan pada tujuh nilai pendidikan karakter yakni religius, jujur, toleransi, disiplin, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggug jawab telah diterapkan di sekolah. Untuk mendukung keterlaksanaan pendidikan karakater di sekolah, pembelajarannya dilakukan melalui berbagai kegiatan di kelas, di satuan pendidikan formal dan nonformal, serta di luar satuan pendidikan. Pendidikan karakter juga diintegrasikan dalam semua materi pembelajaran, yang dilakukan dalam rangka mengembangkan kegiatan intervensi. Pendidikan karakter diintegrasikan dalam kegiatan kokurikuler, ekstrakurikuler. Pengembangan karakter dilakukan melalui kegiatan belajar-mengajar, kegiatan keseharian dalam satuan pendidikan, kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler, serta kegiatan keseharian di rumah dan masyarakat. Keterlaksanaan pendidikan karakter dan hasil-hasilnya merupakan tanggungjawab semua 12 Kementerian Pendidikan Nasional, Desain Induk Pendidikan Karakter (Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional, 2011): 5. 13 Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Pedoman Sekolah (Jakarta: Puskurbuk, 2009): 9 – 10.
Pendidikan Karakter Melalui Pendidikan Agama ...
mata pelajaran di sekolah. Lebih-lebih Pendidikan Agama di sekolah dan Pendidikan Kewarganegaraan. Inti dari Pendidikan Agama adalah pengembangan nilai iman, takwa dan akhlak mulia. Inti dari Pendidikan Kewarganegaraan adalah pengembangan akhlak berkewarganegaraan seperti tanggungjawab, dan partisipasi berwarganegara. Adapun Pendidikan Agama di Sekolah adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agama, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. 14 Pendidikan Agama di sekolah merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional yang telah dibuat sejumlah aturan mulai dari Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, sampai Peraturan di bawahnya. Penelitian ditekankan pada pendekatan kualitatif. Penelitian ini juga menggunakan data kuantitatif sebagai pendukung untuk mempertajam analisis. Sesuai dengan jenis penelitian tersebut, maka metode pengumpulan data utama adalah dengan wawancara, FGD, observasi dan telaah dokumen. Untuk mempertajam data yang diperlukan dilakukan pula pengisian angket siswa. Angket diberikan kepada siswa kepada siswa kelas XI, masingmasing sebanyak 25 siswa. Wawancara dilakukan dengan kepala sekolah, guru pendidikan agama, dan siswa. Pengamatan dilakukan terhadap perilaku siswa selama di sekolah yang difokuskan kepada nilainilai proses pembelajaran (intra dan ekstrakurikuler) karakter yang dipilih. Telaah dokumen dilakukan terhadap buku-buku yang relevan dengan pendidikan karakter, pedomanpedoman tentang pendidikan karakter, dan berbagai terbitan yang ada di sekolah serta relevan dengan topik. Analisis data kualitatif dimulai dengan mendeskripsikan, mengkategorikan, kemudian menginterpretasikan penyelenggaraan pendidikan karakter melalui pendidikan agama. Pendeskripsiannya berdasar atas fenomena yang ditemukan setelah dilakukan penelaahan seluruh 14 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Pasal 1 ayat 1.
data yang terkumpul dari berbagai sumber, yaitu wawancara, pengamatan, kuesioner, FGD dan catatan atau dokumentasi lainnya yang relevan dengan penyelenggraannya dan faktor-faktor yang turut berkontribusi terhadapnya.
D. P ROFIL S EKOLAH M ENENGAH A TAS NEGERI 2 SEMARANG Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Semarang terletak di Jalan Sendangguwo Baru 1 Semarang. Sekolah ini berdiri pada tahun 1978. Sebelumnya Sekolah ini termasuk RSBI. Namun sejalan dengan penghapusan RSBI sekolah ini menjadi sekolah biasa lagi, dengan tanpa mengurangi kualitas sekolah, bahkan selalu berusaha untuk meningkatkannya. Nilai Akreditasi Sekolah ini adalah 97,0. (Amat Baik). SMAN 2 Semarang dipimpin oleh seorang kepala sekolah, dibantu oleh 4 wakil kepala sekolah, yaitu wakil kepala sekolah bidang akademik, bidang kesiswaan, bidang saranaprasarana, dan bidang hubungan masyarakat Visi sekolah ini adalah “Unggul dalam Prestasi Berwawasan Iptek, Seni, dan Imtaq”. Misi sekolah ini adalah: 1. Melaksanakan pembelajaran dan bimbingan secara efektif, sehingga setiap siswa dapat berkembang secara optimal, sesuai potensi yang dimiliki. 2. Menumbuhkan semangat keunggulan secara intensif kepada seluruh warga sekolah. 3. Mendorong dan membantu siswa untuk mengenali potensi dirinya, sehingga dapat berkembang secara optimal. 4. Mendorong siswa untuk secara aktif berbahasa Inggris dalam rangka era globalisasi. 5. Menciptakan suasana belajar yang kondusif. 6. Menumbuhkan penghayatan terhadap ajaran agama yang dianut dan juga budaya bangsa sehingga tercipta iman dan taqwa dalam bertindak. 7. Merupakan menejemen partisipatif dengan melibatkan seluruh warga sekolah baik guru, karyawan, siswa dan komite sekolah. Guru sekolah ini berjumlah 81 orang, terdiri dari 77 (95 %) berstatus PNS, dan 4 berstatus GTT ( Guru Tidak Tetap). Dari 77 guru PNS, sebagian besar tamatan S1, yakni berjumlah 56 (69 %) orang. Sebanyak 21 guru lainnya sudah menyelesaikan pendidikan S2. Dari segi agama,
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
213
sebanyak 71 (87,65 %) guru beragama Islam, beragama Katolik 4 guru, dan masing-masing seorang guru yang beragama Kristen dan Hindu. Siswa sekolah saat ini berjumlah 1.334 orang. Pemeluk Agama Islam 1.239 orang (92,88%), pemeluk agama Kristen 59 orang (4,42 %), pemeluk agama Katolik 42 orang (3,14 %), pemeluk agama Hindu satu orang, dan pemeluk agama Budha 2 orang. Siswa kelas X berjumlah 454 orang, terdiri dari siswa beragama Islam sebanyak 426 orang, Kristen 19 orang, Katolik 8 orang, dan Hindu 1 orang. Siswa kelas XI berjumlah 463 orang, terdiri dari siswa beragama Islam sebanyak 425 orang, Kristen 23 orang, Katolik 12 orang, dan Budha 2 orang. Siswa kelas XII berjumlah 417 orang, terdiri dari siswa beragama Islam sebanyak 426 orang, Kristen 17 orang, dan Katolik 12 orang. Tenaga pendukung pembelajaran meliputi staf TU (tenaga keuangan, administrasi, satpam, pesuruh, dll.), laboran, pustakawan, teknisi (komputer, bahasa, multimedia) berjumlah 23 orang. Umumnya tamatan SLTA sebanyak 17 orang, tamatan D3 5 orang dan satu orang sarjana. Jumlah ruang kelas yang ada di SMAN 2 Semarang mencapai 42 ruang, yang terbagi atas masing-masing 14 ruang untuk Kelas X, XI, dan XII. Namun jumlah rombongan belajar (rombel) untuk masing-masing jurusan atau program studi tidak sama. Di kelas X terdapat 11 rombongan belajar untuk IPA dan 3 untuk IPS. Di kelas XI terdapat 11 rombongan belajar IPA dan 3 untuk IPS. Di kelas XII terdapat 10 rombongan belajar untuk IPA dan 4 untuk IPS. Di setiap ruang kelas dilengkapi dengan fasilitas pendukung pembelajaran: meja dan kursi siswa, meja dan kursi guru, pendingin udara, , LCD, pengeras suara, papan tulis putih atau white board, almari kelas, foto Presiden, Wakil Presiden, dan lambang negara, penghapus papan tulis. Sarana dan prasarana lainnya yang ada di sekolah cukup banyak. Antara lain ruang kelas, perpustakaan, Kepala Sekolah, Waka Sekolah, guru, TU, sumber belajar, OSIS, BP, UKS, kantin, lab bahasa, biologi, kimia, dan komputer. Kemudian ruang serbaguna, koperasi, KM/WC Guru dan murid, tempat parkir, gudang, pos keamanan, foto copi, ekstrakurikuler, dan dapur. SMA Negeri 2 memiliki banyak prestasi akademik dan non-akademik, baik di tingkat Kota 214
Semarang, Karesidenan Semarang, Provinsi Jateng-DIY, maupun nasional. Prestasi yang dicapai siswa dan guru SMAN 2 Semarang dalam periode Februari 2012 s.d 17 Februari 2014 cukup banyak. Pendidikan Karakter Melalui Pendidikan Agama Penanaman nilai-nilai karakter melalui Pendidikan Agama di SMAN 2 Semarang dilakukan melalui kegiatan pembelajaran intrakurikuler dan ekstrakurikuler, serta kegiatan lainnya yang menunjang terlaksananya pendidikan karakter. Pengembangannya dilakukan melalui dua proses pembelajaran yakni proses pembelajaran langsung dan proses pembelajaran tidak langsung. Baik pembelajaran langsung maupun tidak langsung terjadi secara terintegrasi dan tidak terpisah. Sebelum pembelajaran dilaksanakan, didahului dengan adanya Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Intrakurikuler Pelaksanaan pendidikan karakter di SMAN 2 Semarang antara lain dilaksanakan melalui kegiatan intrakurikuler. Kegiatan intrakurikuler adalah kegiatan yang dilakukan melalui KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) Pendidikan Agama di kelas. Dalam hal ini, di SMAN 2 Semarang yang akan disajikan adalah KBM Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Agama Kristen, dan Pendidikan Agama Katolik. Penyelenggaraannya dimulai adanya silabus. Termasuk di dalamnya adalah Silabus Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Agama Kristen, Pendidikan Agama Katolik, mulai dari Kelas X, Kelas XI, sampai Kelas XII. Implementasi Pendidikan Karakter diintegrasikan dalam Mata Pelajaran, termasuk Pendidikan Agama di sekolah/SMA. Menurut Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar Dan Menengah dinyatakan bahwa silabus merupakan acuan penyusunan kerangka pembelajaran untuk setiap bahan kajian mata pelajaran. Silabus tersebut dirinci dalam Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD). Kompetensi Inti dibagi dalam 4 ranah yakni KI 1 (sikap spiritual) KI 2 (sikap sosial), KI 3 (pengetahuan) dan KI 4 (perilaku). Mata pelajaran Pendidikan Agama, dalam hal
Pendidikan Karakter Melalui Pendidikan Agama ...
ini Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Agama Kristen, dan Pendidikan Agama Katolik, masingmasing telah dibuatkan silabus. Secara umum silabus tersebut mencakup Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar. Masingmasing kompetensi tersebut dirinci dalam beberapa nomor atau item. Sebagaimana disajikan di muka, nilai-nilai pendidikan karakter yang dikembangkan dan merupakan bagian dari kurkulum sebelumnya (KTSP), difokuskan dalam nilai-nilai religius, jujur, toleransi, disiplin, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab. Secara spesifik, dalam Kurikulum 2013 Pendidikan Agama Islam, nilai yang hampir sama dengan nilai-nilai pendidikan karakter yang dikembangkan sebelumnya (KTSP) dan tercantum dalam silabus Kurikulum 2013 adalah tercantum dalam Kompetensi Inti nomor 2, Kelas X, yakni “Mengembangkan perilaku (jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli, santun, ramah lingkungan, gotong royong, kerjasama, cinta damai, responsif dan pro-aktif) dan menunjukan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan bangsa dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia”. Berdasar Silabus yang telah ditentukan, masing-masing Guru Pendidikan Agama di SMAN 2 telah menyiapkan RPP. Dalam hal ini, RPP Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Agama Kristen, dan Pendidikan Agama Katolik. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah rencana pembelajaran yang dikembangkan secara rinci dari suatu materi pokok atau tema tertentu yang mengacu pada silabus. RPP mencakup data sekolah, matapelajaran, dan kelas/semester. Setelah itu dibuat/diisi materi pokok, alokasi waktu, tujuan pembelajaran, KD dan indikator pencapaian kompetensi, materi pembelajaran, metode pembelajaran, media, alat dan sumber belajar, langkah-langkah kegiatan pembelajaran, dan penilaian15. Sedangkan pelaksanaan pembelajaran mencakup kegiatan pendahuluan, kegiatan inti yang mencakup pilihan model, metode, media, sumber belajar. Kegiatan selanjutnya adalah penutup. Pada kegiatan ini bersisi refleksi dan 15 Salinan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nomor 81 A tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum, h. 37.
evaluasi. Ekstrakurikuler Pendidikan karakter, yang merupakan pengembangan potensi peserta didik sebagaimana tujuan pendidikan nasional, diimplementasikan pula dapat diwujudkan melalui kegiatan ekstrakurikuler yang merupakan salah satu kegiatan dalam program kurikuler. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum disebutkan bahwa kegiatan ekstrakurikuler adalah program kurikuler yang alokasi waktunya tidak ditetapkan dalam kurikulum. Tepatnya, ekstrakurikuler adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh peserta didik di luar jam belajar kurikulum standar sebagai perluasan dari kegiatan kurikulum dan dilakukan di bawah bimbingan sekolah dengan tujuan untuk mengembangkan kepribadian, bakat, minat, dan kemampuan peserta didik yang lebih luas atau di luar minat yang dikembangkan kurikulum. Kegiatan ekstrakurikuler pada satuan pendidikan mempunyai fungsi pengembangan, sosial, rekreatif, dan persiapan karir. Tujuan pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler pada satuan pendidikan adalah harus meningkatkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor perserta didik dan dapat mengembangkan bakat dan minat peserta didik dalam upaya pembinaan pribadi menuju pembinaan manusia seutuhnya.16 Implementasi pendidikan karakter pada ektrakurikuler terwujud dalam berbagai ragam kegiatan ekstrakurikuler, misalnya OSIS, Pramuka, Kerohanian Islam, Kerohanian Kristen, Kerohanian Katolik, dan lain-lain. Kegiatan ekstrakurikuler menjembatani kebutuhan perkembangan peserta didik yang berbeda. Pada SMA 2 Semarang, pendidikan karakter yang terwujud dalam kegiatan ekstrakurikuler dilaksanakan melalui berbagai kegiatan. Adapun rinciannya sebagai berikut. a. Kegiatan Kepemimpinan dan Demokrasi. Kegiatan ini berupa kegiatan penanaman budi pekerti yang berkaitan dengan nilai-nilai kepemimpinan, nasionalisme, demokrasi, kreatif, dan inovatif dilakukan antara lain 16 Lihat Lampiran III Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum, hal. 23 – 25.
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
215
melalui organisasi OSIS, MPK, dan Pramuka. b. Kegiatan Cinta Alam. Kegiatan yang berkaitan dengan penanaman nilai cinta alam dan pembiasaan hidup sehat dilaksanakan melalui wadah ekstrakurikuler Pecinta Alam “Sasma Dwipala” dan ekstrakuriler pengolahan limbah dan cinta lingkungan “Pelangi”. c. Kegiatan Kerohanian/Keagamaan. Kegiatan penanaman karakter dilaksanakan melalui berbagai organisasi kerohanian yaitu Kerohanian Islam, Kerohanian Kristen, dan Kerohanian Katolik. Nilai-nilai karakter untuk siswa SMAN 2 Semarang telah diberikan dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler pendidikan agama, khususnya melalui kegiatan kerohanian baik Islam, Kristen maupun Protestan. Berikut diuraikan terlebih dahulu kegiatan ekstrakurikuler Pendidikan Agama, khususnya melalui kegiatan kerohanian Islam, Kristen, maupun Katolik. Kerohanian Islam Kegiatan ekstrakurikuler melaui Kerohanian Islam (Rohis) dilakukan dengan berbagai cara. Diantaranya adalah peringatan hari besar keagamaan Islam, Sholat Jumat di masjid sekolah, Sholat tarawih bersama guru dan siswa, Pembagian zakat fitrah, Pembagian daging kurban, Pembacaan dan Penyimakan Pembacaan Al Quran, Festival Seni Islam. Peringatan hari besar keagamaan Islam dilaksanakan dalam memperingati Hari Raya Idul Adha, dan hari Raya Idul Fitri. Pada kegiatan yang terkait dengan Hari Raya Idhul Adha ini, dilakukan melalui salat Idul Adha dan penyembelihan hewan kurban serta pembagiannya. Pada kegiatan yang terkait dengan hari Raya Idul Fitri, lebih banyak berkaitan dengan kegiatan di Bulan Romadhon serta pembagian zakat fitah dan zakat mal. Pada hari Raya Idul Adha dilakukan berbagai kegiatan, di antaranya pengadaan hewan kurban, salat Iedul Adha, penyembelihan dan pembagian hewan kurban. Salat Idul Adha dilaksanakan di lapangan sekolah, diikuti oleh siswa muslim dan tenaga pendidik serta tenaga kependidikan sekolah ini. Kegiatan membaca Al-Qur’an dimulai dengan seleksi kemampuan membaca Al Qur’an bagi siswa yang baru masuk atau diterima di SMAN 216
2 Semarang. Hasil seleksi dibagi dalam dua katagori, yakni siwa yang sudah lancar membaca dan siswa yang belum lancar membaca. Siswa yang belum lancar membaca dilatih atau diajar membaca Al-Qur’an oleh Tutor yang berasal dari siswa yang sudah lanacar membacanya, baik dari Tutor yang dudk di kelas X maupun yang di atasnya. Para Tutor tersebut sebelumnya dilatih oleh guru Pendidikan Agama Islam tentang tata cara menjadi Tutor yang baik. Kegiatan membaca Al-Qur’an tersebut dilaksanakan setiap hari Jumat sebelum salat Jumat selama antara setengah sampai satu jam. Buku yang diapakai adalah buku Iqro’. Siswa yang menjadi Tutorpun tetap terkena tugas untyuk memperdalam Al-Qur ’an pada khususnya dan Islam pada umumnya. Mereka diberi tugas untuk melakukan pendalaman terhadap Al-Qur’an. Kegiatan ini dilaksanakan setiap hari Rabo, dimulai srekitar pukul 14.30 sampe 15.30. pendalamannya biasanya diisi dengan tafsir tematik, misalnya tema tentang aqidah, akhlak, kesehatan, lingkungan hidup dan laij sebagainya. Guru yang mengisis kegiatan ini tidak mesti GPAI, akan tetapi guru yang mengajar mata pelajaran lain sepeti Biologi, Fisika, Bimbingan dan Penyuluhan dan lain sebagainya. Perayaan Maulid Nabi juga diperingati oleh segenap siswa muslim melalui Rohis. Pada tahun 2013 yang lalu, dalam memperingatinya diadakan berbagai kegiatan yakni Lomba Cerdas Cermat Tarikh Nabi Muhammad, Lomba Kaligrafi, dan Pengajian. Secara keseluruhan, kegiatan tersebut berlangsung mulai tanggal 21 sampai 22 Januari 2013. Training Leadership for Islamic Students juga sering diadakan. Kegiatannya diikuti oleh Pengurus Rohis, Pengurus OSIS, dan kadangkadang mengundang Pengurus OSIS SMA lainnya dalam rangka menjalin hubungan antar Pengururs OSIS. Kegiatan ini biasanya berlangsung selama 3 hari. Pada tahun 2012 yang lalu, kegiatannya dilaksanakan di Kabupaten Kendal, dengan memakan biaya sebesar Rp. 10.050.400,- Biaya tersebut berasal dari Pengurus Rohis, Kontribusi Peserta, dan OSIS. Acaranya antara lain Orientasi medan, Dinamika kelompok, Materi Dakwah, Marketing dakwah, Qiyamul lail, Kerelawanan, Tafakur Alam, Membaca Al-Qur’an, Sambutan-sambutan, Ceramah Motivasi, dan Doa. Teamwork and
Pendidikan Karakter Melalui Pendidikan Agama ...
Leadership, Plan of Actions Rohis. Dzikir dan Doa Imtihan biasanya dilaksanakan menjelang pelaksanaan Ujian Sekolah dan Ujian Nasional. Pada tahun ini, kegiatan tersebut dialkasakan pada tanggal 15 Februari 2014, mulai pukul 08.00 sampai 11.00 siang. Kegiatannya mencakup Salat Dhuha, Salat Hajat, Di bulan Ramadhan dilakukan berbagai kegiatan, diantaranya salat tarwih, ceramah singkat, membaca Al-Qur’an, mengumpulkan dan membagikan zakat dan lain sebagainya. Pada dasarnya setiap malam di bulan Ramadhan, kecuali malam Minggu dan malam Senin, dilakukan kegiatan tersebut. Namun kegiatan ini dilakukan secara bergiliran bagi siswa maupun guru, mengingat keterbatasan tempat dan pemberian variasi kegiatan siswa dan guru. Setiap malam diikuti oleh 9 rombongan belajar (rombel) siswa, sebanyak sekitar 300 siswa. Bertindak sebagai imam tarwih adalah kadang-kadang guru dan kadang-kadang siswa. Setelah itu diadakan ceramah singkat atau yang dikenal dengan kultum. Materi kultum diserahkan kepada penceramah masing-masing. Kemudian dilanjutkan dengan membaca AlQur ’an 30 juz. Caranya adalah dari 9 rombel dengan sekitar 300 siswa tersebut, dibagi dalam 30 kelompok. Sehinga setiap malam ditamatkan minimal 30 juz. Di bulan Ramadhan juga dilakukan pengumpulan zakat mal dan zakat fitrah serta pakaian pantas pakai. Hasilnya dikumpulkan, dicatat, dan nantinya dibagikan kepada yang berhak. Sebagian uang zakat tersebut dibelikan beras, sehingga pembagiannya dilakukan dalam bentuk beras. Di luar Ramadhan, dilakukan berbagai kegiatan lainnya, antara lain pengumpulan infak setiap hari Jumat. Hasilnya dikelola siswa yang digunakan untuk kebutuhan kegiatan Rohis. Di kalangan internal pengurus Rohis juga diadakan pengajian rutin setiap bulan. Rohis juag menerbitkan majalah dan jurnal. Rohis juga mengadakan kegiatan AMT (achievment Motivation Training). Pada tahun 2014 ini dilakukan pada tanggal 24 sampai 25 Mei 2014, yang dilakukan di sekolah. Pesertanya sebanyak 40 siswa, umumnya berasal dari siswa kelas X. Mereka menginap (mabit) semalam di sekolah. Pemberi materinya adalah para guru dan alumni
sekolah ini. Anggarannya berasal dari infak yang berasal dari peserta dan sebagian lainnya berasal dari dana infak yang ada pada Rohis. Siswa ditarik biaya sebesar Rp. 20.000,-. Kerohanian Kristen Kegiatan ekstrakurikuler untuk siswa beragama Kristen atau yang dikenal sebagai wadah persekutuan Kristen di SMAN 2 Semarang dikenal dengan BeST, singkatan dari Berdoa Untuk Sekolah Tercinta. Kegiatan BeST antara lain membaca do’a, renungan kasih, pendalaman kitab suci, kepemimpinan Kristen dan lain sebagainya. Secara berurutan beberapa kegiatan tersebut dapat disajikan berikut ini. Pada bulan Januari, biasanya pada tanggal 2 Januari, dilakukan doa awal tahun. Di samping berdoa juga dilakukan nasehat keagamaan tentang berbagai program sekolah dan kondisi aktual di masyarakat. Kegiatan ini dilaksanakan di kelas atau ruang audio visual atau ruang serba guna yang berjalan sekitar 30 menit. Pesertanya adalah semua siswa beragama Kristen. Kegiatan lainnya dilaksanakan pada bulan April. Kegiatan ini dilaksanakan dalam memperingati hari wafat dan kebangkitan Yesus. Dengan demikian dilakukan dua kali pada bulan tersebut. Disamping diadakan renungan, doa, dan ceramah singkat, para siswa juga dianjurkan berpuasa selama tiga hari di bulan tersebut, mulai hari Jumat sampai Minggu. Ceramah disamping dilakukan oleh guru, juga salah satu kegiatan tersebut dilakukan dengan mengundang penceramah dari luar. Penceramah luar didatangkan biasanya dari organisasi PIJAR, singkatan dari Pembinaan Iman Pelajar. Mereka terkadang Pendeta atau terkadang Evangelis (Pemberita Injil yang tidak punya jemaat). Pada tanggal 31 Maret 2014, Paskah yang dilaksanakan di Taman Bukit Doa Getsemani, Jalan Sindoro I no. 13, Bandarharjo, Kabupaten Semarang tersebut, diikuti oleh sebanyak 58 peserta. Biayanya mencapai Rp. 1.852.000,- yang berasal dari konstribusi peserta masing-masing sebanyak Rp. 25.000,- serta bantuan dari Kas BeSt dan sumbangan lainnya. Adapun tujuan acara ini adalah untuk mengubah kepribadian siswa ke arah yang lebih baik, meninggalkan kehidupan lama dan membuka lembaran baru yang lebih baik. 17
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
217
Acaranya adalah berdoa dan bernyanyi, ceramah dari Pendeta, Doa untuk kakak kelas yang akan ujian, dan games (permainan). Di bulan Desember ada kegiatan merayakan hari Natal. Karena menjelang dan pasca Natal di bulan Desember tersebut biasanya bersamaan dengan liburan sekolah, maka kegiatan perayaan Natal ini kadang-kadang dilakukan pada bulan Januari. Biasanya kegiatan yang diiikuti oleh semua siswa Kristen tersebut berlangsung di luar sekolah, tepatnya di tempat tertentu yang ada kaitannya dengan agama Kristen. Pada tahun 2013 yang lalu misalnya diadakan di Bukit Doa Taman Getsemani di Kota Ungaran. Di kompleks tersebut terdapat berbagai fasilitas seperti gereja, ruang pertemuan, tempat doa dan lain sebagainya. Di tempat tersebut di samping berdoa dan renungan, juga mengundang penceramah dari luar, khususnya Pendeta. Acaranya satu hari, pagi berangkat dari sekolah, sorenya kembali ke sekolah lagi. Kerohanian Katolik Kegiatan ekstrakurikuler kerohanian Katolik dikenal dengan PIK, singkatan dari Pendampingan Iman Katolik. PIK menjadi wadah bagi setiap siswa Katolik untuk berkumpul, sharing untuk mendalami iman dan merencanakan program kerja bagi perkembangan organisasi. Kegiatan ini dijadikan wahana penting untuk menanamkan nilai-nilai karakter, khususnya tujuh nilai karakter. Sebagai sebuah organisasi kerohanian, Pendalaman Iman Katolik (PIK) telah melakukan berbagai kegiatan. Kegiatan ini antara lain dilakukan melalui Misa, Gladi Rohani, Rekoleksi Bersama, Retreat, Ziarah, Kolekte setiap proses pembelajaran, latihan kepemimpinan dan lain sebagainya. Misa rutin di sekolah dilakukan setiap Jumat pertama tiap bulannya, yang dimulai dari pukul sekitar 12.00 sampai 13.00 siang, bersamaan dengan kegiatan salat Jumat bagi siswa muslim. Kegiatan yang biasanya dilakukan di ruang audio visual, atau ruang kelas, atau ruang serba guna ini, diikuti oleh semua siswa beragama Katolik, baik siswa kelas X, XI, maupun XII. Gladi Rohani diikuti oleh semua siswa 17 Best SMAN 2 Semarang. Laporan Pertanggungjawaban Kebaktian Padang (Semarang:Best, 2013): 118
218
sekolah ini. Kegiatannya dimulai dari awal tahun baru sampai pertengahan semester II. Waktunya dilaksanakan hari Jumat sekitar jam 12.00 sampai 13.00. Kalau kegiatannya bersamaan dengan misa maka gladi rohani dialaksanakan pada Jumat berikutnya. Acara yang dipimpin oleh guru agama Katolik ini berlangsung dengan membaca kitab suci serta renungan bersama. Rekoleksi bersama yang diikuti oleh semua siswa Katolik kadang-kadang dilakukan di sekolah dan kadang-kadang dilakukan di luar sekolah. Biasanya, kegiatan di luar sekolah dilaksanakan di tempat penziarahan umat Katolik seperti Gua Maria yang dekat dengan kota Semarang, yakni di Ambarawa atau Kopeng. Di lokasi tersebut dilakukan kegiatan ziarah, retreat, doa kerahiman dan doa rosario serta nasihat yang diberikan dan dipimpin oleh seorang Pastur Paroki. Setelah evaluasi dan koreksi diri acara ditutup dengan misa syukur. Semuanya berlangsung selama dua hari, yakni hari Sabtu dan Minggu. Satu tahun dilaksanakan satu kali. Pada acara seperti ini dihadirkan seorang Imam Katolik untuk memimpin peribadatan ekaristi sekaligus memberikan nasihat keagamaan. Retreat bertujuan untuk menumbuhkembangkan iman dan kepercayaan dalam siswa SMA 2. Kegiatan bersama retreat yang paling akhir dilaksanakan pada tanggal 1 sampai 2 Agustus 2013 yang lalu. Kegiatan ini dilaksanakan di Goa Maria Kerep Ambarawa, Kabupaten Semarang. Kegiatan ini diikuti oleh siswa-siswi beragama Katolik SMA 2, mulai dari Kelas X sampai Kelas XII. Seluruhnya berjumlah 32 orang. Disamping untuk meningkatkan keimanan peserta, kegiatan ini juga dijadikan wahana untuk melatih peserta dalam hal kepemimpinan. Oleh karena itu acara yang disajikan juga berkaitan dengan kepemimpinan dan peningkatan keimanan. Dalam kegiatan tersebut diadakan misa, Jalan Salib, Renungan Malam yang berkaitan langsung dengan peningkatan keimanan. Disamping itu disajikan ceramah dan diskusi berkaitan dengan siapa diri kita, tata cara menjadi pemimpin. Makna kerjasama, outbond, dan pemilihan Pengurus PIK. Retreat juga diadakan pada tingkat yang lebih luas lagi, bukan hanya diikuti oleh murid SMA 2 Semarang saja, akan tetapi juga diadakan retreat yang diikuti oleh beberapa SMA, termasuk
Pendidikan Karakter Melalui Pendidikan Agama ...
SMA 2 Semarang. Kegiatan yang diikuti oleh 60 murid beberapa SMAN Semarang tersebut, diadakan di Rumah Retreat Angela Patrick Bandungan Kabupaten Semarang. SMA 2 Semarang mengirim sebanyak 12 utusan. Tujuan kegiatan ini adalah agar siswa mengerti pentingnya dan aplikasi karakter yang baik, memiliki pengetahuan dan implementasi keimanan dan Nilai Kristiani, mempererat persaudaraan, kerjasama, serta persatuan sesama siswa keluarga Kristiani, serta semakin percaya diri dalam menghadapi Ujian sekolah dan Ujian Nasional secara jujur.18 Kegiatan ini menghabiskan biaya sebesar Rp. 11.200.000,. Biaya tersebut berasal dari Ditjen Bimas Katolik sebesar Rp. 10.000.000,- dan iuran siswa sebesar Rp. 1.200.000,-. Dalam kegiatan tersebut diisi berbagai acara antara lain eramah tentang Keimanan dan Motivasi, serta Doa dan Misa. Kegiatan lainnya adalah ziarah. Kegiatan paling akhir dilaksanakan pada tanggal 27 Mei 2014 yang lalu, yang dilaksanakan di Gua Maria Sendangsono, Kulon Progo. Pesertanya adalah seluruh siswa beragama Katolik SMA 2 Semarang, yang berjumlah 32 orang. Kegiatan utamanya adalah berdoa bersama di Gua Bunda Maria tersebut. Tujuannya adalah untuk menumbuhkembangkan iman dan kepercayaan dan mempererat tali persaudaraan di antara guru, siswa, dan tenaga kependidikan lainnya yang seiman. Kegaitan lainnya adalah kolekte, berupa mengumpulkan sebagian uang jajan dari siswa yang dilakukan secara suka rela. Biasanya uang tersebut berasal dari sebagian uang jajan mereka. Kegiatan ini dilaksanakan pada saat kegiatan keagamaan rutin mereka maupun secara insidental karena keperluan tertentu. Pada tahun 2013 yang lalu terkumpul uang sekitar Rp. 1.200.000,-. Sebagaimana disebutkan di muka, kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh peserta didik di luar jam belajar kurikulum standar sebagai perluasan dari kegiatan kurikulum dan dilakukan di bawah 18 MGMP Pendidikan Agama Katolik SMA/SMK Semarang. Laporan Pertanggungjawaban Kegiatan Retreat Siswa/Siswi SMA Negeri Kota Semarang Tahun (Semarang: MGMP Pendidikan Agama Katolik SMA/SMK Semarang, 2013): 2.
bimbingan sekolah dengan tujuan untuk mengembangkan kepribadian, bakat, minat, dan kemampuan peserta didik yang lebih luas atau di luar minat yang dikembangkan kurikulum. Kegiatan tersebut juga dilakukan melalui memberlakukan tata tertib sekolah, pemasangan berbagai pamflet atau semacamnya, dan keterlibatan seluruh warga sekolah. Nilai-Nilai Karakter Nilai-nilai karakter yang diuraikan dalam tulisan ini difokuskan pada 7 nilai yakni religius, jujur, toleransi, disiplin, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggungjawab. Nilai-nilai karakter telah ditanamkan melalui kegiatan intra dan ekstrakurikuler. Kegiatan intrakurikuler tersebut berupa proses belajar mengajar di kelas, berdasar silabus Pendidikan Agama dan dirinci pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan dilaksanakan melalui tahapan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Adapun nilai-nilai karakter yang dilaksanakan melalui kegiatan ekstrakurikuler diwujudkan melalui kegiatan kerohanian agama Islam, Kristen, dan Katolik. 1. Religius Religius adalah sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Pada bagian ini, nilai religius ditekankan pada aspek sikap dan perilaku yang patuh melaksanakan ajaran agamanya masingmasing. Untuk menanamkan nilai religius melalui kegiatan intrakurikuler dilakukandengan pembelajaran di kelas sesuai silabus dan dirinci dalam rencana pelaksanaan pembelajaran yang sudah disiapkan sebelumnya. Untuk menanamkan nilai religius melalui kegiatan ekstrakurikuler dilaksanakan melalui kegiatan kerohanian, baik Islam (Rohis), Kristen (BeST), maupun Kerohanian Katolik (PIK). Nilai religius yang ditanamakan melalui kerohanian Islam dilakukan dengan salat wajib seperti salat lohor secara berjamaah di masjid, salat sunat qobliyah dan bakdiyah, salat sunat Idul Adha, puasa Romadhan, membayar zakat, berkurban setelah hari kurban, dan lain sebagainya. Berbagai kegiatan tersebut secara rutin dilaksanakan oleh siswa dengan pembinaan guru dan Pimpinan sekolah.
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
219
Nilai religius yang dilakukan melalui kegiatan kerohanian Kristen (yang dilaksanakan oleh organisasi kerohanian BeST) antara lain melalui kegiatan berdoa bersama, renungan kasih, pendalaman kitab suci, kepemimpinan Kristen. Semuanya difokuskan untuk hidup dengan mengutamakan Tuhan dan selalu introspeksi diri. Berbagai kegiatan tersebut dilaksankan secara rutin Nilai religius melalui kerohanian Katolik dilaksanakan melalui PIK atau Pendampingan Iman Katolik antara lain dilakukan dengan Misa, Gladi Rohani, Rekoleksi Bersama, Retreat, Ziarah, Kolekte. 2. Jujur Jujur adalah perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Dalam rangka menanamkan nilai kejujuran melalui pendidikan agama, baik Islam, Kristen, maupun Katolik, antara lain dilakukan dengan keterbukaan atau transparansi terhadap berbagai kegiatan yang telah dilaksanakan, dan mengakui kesalahan yang telah diperbuat. Semuanya dimaksudkan agar siswa menjadi manusia yang dapat dipercaya. Pada kegiatan Rohis, di antaranya dilakukan dengan melaporkan semua pelaksanaan yang diberikan kepada siswa dengan segala bukti pengeluarannya. Semua itu dilaksanakan sebagai bagian dari membangun tingkat kepercayaan para siswa sehingga mereka dipercaya dan yakin bahwa segala kegiatannya memang dimanfaatkan sesuai kenyataan. Siswa melaporkan apa yang dilaksanakan apa adanya. Dengan demikian mereka dapat dipercaya oleh orang lain, khususnya pimpinan sekolah, guru, dan sesama siswa. Contoh laporan kegiatan pengurus Rohis adalah kegiatan Peringatan Maulid Nabi, Training Leadership for Islamic Student, Kegiatan Hari Raya Idul Adha, dan lain sebagainya. Contoh pertanggungjawaban yang telah dilakukan oleh siswa Kristen antara lain kegiatan pelaporan Kebaktian Paskah. Contoh pertanggungjawaban yang telah dilakukan oleh siswa Katolik antara lain kegiatan pelaporan kegiatan retreat, ziarah dan lain sebagainya. Kejujuran bukan hanya dipraktekkan melalui pelaporan kegiatan secara transparan dan apa adanya. Kejujuran juga dilakukan ketika siswa melanggar tata tertib sekolah. Setiap awal 220
tahun pelajaran SMAN 2 Semarang menetapkan Surat Keputusan tentang Tata Tertib Sekolah. Diantaranya adalah Surat Keputusan Kepala SMA 2 Semarang Nomor 421.3/1152.A/VII/2013 tentang Tata Tertib Didik SMA 2. Tata Tertib tersebut bukan sekedar kelengkapan sekolah, akan tetapi merupakan bagian dari kehidupan peserta didik dan merupakan kebutuhan peserta didik itu sendiri. Berkaitan dengan nilai kejujuran maka para siswa dilihat tingkat kejujurannya ketika ijin untuk tidak mengikuti kegiatan di sekolah atau ketika melanggar tata tertib sekolah. Siswa selalu meminta ijin ketika ada kegiatan di luar sekolah atau tidak masuk sekolah karena alasan lain secara apa adanya, seperti ketika sakit, ketika ada keperluan lain, bahkan ketika melanggar tata tertib. Dalam hal yang terakhir ini, siswa diminta untuk memberikan pengakuan secara tertulis atas segala kesalahan yang telah dibuat disertai materai dan berjanji tidak akan melakukan kembali. Pertanggungjawaban dan menjalani tata tertib tersebut berlaku untuk siswa Muslim, Kristen, dan Katolik. Kejujuran juga diterapkan ketika siswa, semua agama, mengerjakan soal atau tes, atau ujian. Dalam tata tertibnya siswa dilarang menyontek. Apabila ketahuan menyontek maka harus jujur dia mengakui dan menerima sangsi yang diberikan. Semuag guru agama dilibatkan secara aktif memantau sikapkejujuran para siswa. Pelibatan tersebut mulai dari persiapan, pelaksanaan maupun pelaporan. Para guru agama sangat cocok untuk ikut aktif menanamkan nilai ini. 3. Toleransi Toleransi adalah sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dengan dirinya. Dalam hal ini, toleransi beragama misalnya, di sekolah ini antara lain dilakukan dengan adanya penghargaan pemeluk agama satu dengan pemeluk agama lainnya, baik dalam hal memberikan kesempatan untuk menjalankan kegiatan keagamaan masing-masing maupun dalam hal bantuan terhadap kegiatan pemeluk agama lain. Ketika siswa yang beragama Islam sedang menjalankan ibadah salat Jumat misalnya, maka pemeluk agama lain juga melakukan kegiatan agama masing-masing dengan tempat yang
Pendidikan Karakter Melalui Pendidikan Agama ...
berbeda. Mereka menjaga keharuan dan kekhusyukan beribadah masing-masing agama. Kalau siswa muslim salat Jumat di masjid, maka pemeluk agama lain menjalankan ibadah di tempat lain, misalnya di kelas, atau ruang audio visual, atau ruang serba guna. Mereka tidak saling mengganggu. Toleransi beragama di kalangan siswa juga ditunjukkan melalui kerjasama sosial pemeluk agama yang berbeda dan dalam bentuk bantuan kelancaran pelaksanaan ibadah sosial keagamaan. Siswa nonmuslim dalam hal ini siswa yang beragama Katolik memberikan bantuan sosial kepada masyarakat tidak mampu yang berbeda agama. Ketika pelaksanaan penyembelihan dan pembagian hewan kurban di Idul Adha, dibantu oleh siswa nonmuslim dalam menjaga keamanan dan ketertiban di sekolah. Toleransi beragama juga ditunjukkan dengan saling mengingatkan pemeluk agama berbeda untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing-masing siswa, dan bahkan masingmasing guru. Terhadap guru yang berbeda agama pun para siswa juga menghormati sebagaimana mereka menghormati guru agama yang seagama dengan siswa. 4. Disiplin Disiplin adalah tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan ditanamkan melalui ketepatan waktu dalam menjalankan ibadah agama dan nasehat untuk menjalankan tata tertib sekolah dan perilaku yang mencerminkannya. Hal ini dilaksanakan dengan baik oleh siswa berbagai agama di sekolah ini. Di kalangan siswa muslim misalnya selalu dianjurkan dan dilaksanakan secara tepat waktu dan tertib menjalankan ibadah salat secara berjamaah di sekolah, puasa Romadhon, membayar zakat, berkurban di hari Raya Idul Qurban dan lain sebagainya. Di sekolah ini diadakan salat lohor secara berjamaah di masjid Al Hidayah. Masjid yang terletak di kompleks sekolah. Di bulan Romadhon para siswa menjalankan ibadah puasa sesuai ketentuan ajaran Islam dan membayar zakat fitrah serta sedekah. Ketika Hari Raya Idul Qurban para siswa juga menjalankan salat Id dan melakukan kegiatan yang terkait dengan hari Raya Qurban. Di kalangan siswa Kristen diperintahkan
untuk menjalankan ibadat tepat waktu. Misalnya ketika menjalankan misa atau peribadatan lainnya. Di kalangan siswa Katolik juga diperintahkan untuk menjalankan misa secara tepat waktu. Terkait dengan disiplin tersebut, baik melalui kegiatan intra maupun ekstrakurikuler pendidikan agama, para siswa diperintahkan untuk menaati disiplin berdasarkan tata tertib sekolah yang telah dibuat. Di antaranya disiplin kehadiran dan kepulangan, berpakaian, tidak masuk sekolah/kelas dan lain sebagainya. Disiplin tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ada 5. Peduli Lingkungan Peduli lingkungan adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam sekitarnya, mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. Peduli lingkungan di kalangan siswa dilakukan dengan berbagai cara. Di antaranya adalah dengan menunjukkan dan menerangkan ajaranajaran agama yang terkait dengan peduli lingkungan. Setelah itu dianjurkan untuk mempraktekkannya. Ajaran agama banyak yang memerintahkan penganutnya untuk peduli lingkungan. Peduli lingkungan di sekolah sering diterangkan contohnya dan diwujudkan melalui praktek nyata. Peduli lingkungan secara praktek dilakukan antara lain dengan penanaman pohon, pembuatan biosfori, menjaga kebersihan lingkungan sekolah, pelarangan merokok bagi siswa, penggunaan sepeda motor secara benar di kompleks sekolah dan lain sebagainya. Peduli lingkungan bukan saja dilakasanakan oleh siswa berbagai agama, tetapi juga dipraktekkan oleh segenap civitas academika sekolah ini. Jadi bukan hanya anjuran tetapi juga terdapat keteladanan dari para tenaga kependidikan. Lingkungan sekolah terlihat asri dan bersih. Pepohonan dan tanaman dipelihara secara baik. Di bawah pohon disapu dua kali sehari untuk menjaga agar kebersihan tetap terjaga. Di tempattempat tertentu juga dibuat biosfori utnuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Tata tertib di sekolah juga mencamtumkan bahwa merokok dilarang. Sepeda motor memang diperbolehkan diparkir di dalam sekolah. Namun dibuat sejumlah ketentuan. Antara lain parkirnya
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
221
harus di tempat yang telah ditentukan. Sepeda motor diparkir secara rapi. Sepeda motor yang dibawa siswa harus dalam keadaan sesuai standar perlengkapannya. Dalam menjaga kondisi lingkungan yang tetap asri dan menyehatkan tersebut maka bagi siswa yang melanggar akan dikenai sangsi. Sangsi tersebut diperlakukan tanpa pandang bulu. Para siswa diberitahu bahwa menjaga lingkungan hidup adalah tanggungjawab siswa, bukan hanya tanggungjawab Pimpinan sekolah dan guru saja. Para guru agama di Sekolah ini memberi motivasi bahwa ajaran agama sangat menganjurkan untuk menjaga lingkungan yang asri, dengan berbagai bentuk dan konsekuensinya. 6. Peduli sosial Peduli sosial adalah sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Peduli sosial siswa dilakukan antara lain dengan bantuan sosial terhadap masyarakat yang terkena bencana, bantuan sosial warga kurang mampu, dan lain sebagainya. Berbagai macam bantuan tersebut dilakukan oleh siswa berbagai agama. Bantuan sosial tersebut dikordinir oleh Pengurus Kerohanian masing-masing agama dan sebagiannya dikordinir oleh OSIS yang dibina oleh, diantaranya, guru Pendidikan Agama. Bantuan sosial terhadap warga yang terkena bencana antara lain diberikan terhadap warga yang terkena musibah letusan gunung Merapi di Kabupaten Magelang yang dilakukan oleh siswa muslim dari sekolah ini. Caranya adalah para siswa diminta sumbangan sukarela untuk keperluan tersebut dalam waktu beberapa hari. Setelah terkumpul, uang tersebut dibawa ke lokasi untuk disumbangkan. Sumbangan tidak diberikan sendiri oleh siswa sekolah ini, akan tetapi pendistribusiannya juga dilakukan dengan pihak lain, yakni bekerja sama dengan santri Pondok Pesantren Pabelan Magelang. Hal ini dimaksudkan agar terjalin hubungan dengan lembaga yang lebih luas. Di samping itu, dengan mengajak lembaga lain, maka segala kebutuhan yang terkait dengan bantuan dapat dibantu oleh lembaga yang diajak kerja sama tersebut. Peduli sosial juga dilaksanakan oleh siswa berbagai agama yang dilakukan dalam rangka hari besar agama. Pada siswa muslim bantuan 222
tersebut diberikan ketika hari raya Idul Adha dan Idul Fitri. Pada hari raya Idul Adha, para siswa muslim membagikan daging sapi kepada masyarakat kurang mampu di sekitar kompleks sekolah sebagai bagian dari kewajiban berkurban. Pada hari raya Idul Fitri mereka membagikan zakat fitrah, zakat mal, dan sedekah kepada umat muslim sekitarnya yang berhak menerima. Termasuk masyarakat yang mendapat berbagai macam bantuan tersebut adalah pondok pesantren dan santri yang terletak di dekat sekolah ini. Pada siswa nonmuslim bantuan tersebut diberikan ketika hari Raya Natal dan Paskah. Bantuan diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan seperti warga yang ada di Panti Asuhan dan Panti Jompo yang terletak tidak jauh dari sekolah ini. 7. Tanggungjawab Tanggungjawab adalah sikap dan perilaku sesorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. Sikap dan perilaku siswa untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya terhadap diri sendiri, masyarakat dan lingkungan, negara dan Tuhan Yang Maha Esa diwujudkan dalam banyak aspek. Di antaranya adalah dalam hal kewajiban keagamaan, kewajiban melaksanakan tata tertib sekolah, kewajiban menjaga lingkungannya, baik terhadap masyarakat maupun terhadap lingkungan fisiknya, kewajiban melaporkan tugas khusus yang dibebankan kepada siswa dan lain sebagainya. Berbagai kewajiban siswa yang ditunjukkan dalam sikap dan perilaku mereka tersebut saling berkaitan baik terhadap Tuhan yang Maha Esa, kepada diri sendiri, masyarakat maupun lingkungannya. Para guru agama dalam berbagai kesempatan, khususnya dalam pembelajaran pendidikan agama dan dalam kegiatan kerohanian keagamaan ikut menganjurkan dan melihat praktek siswa untuk bertanggungjawab terhadap segala sesuatu yang menjadi kewajibannya. Di samping itu, setiap kegiatan yang ditugaskan kepada siswa atau sekelompok siswa diharuskan membuat pertanggungjawaban setelah selesai melakukannya sesuai jadwal yang telah dibuat.
Pendidikan Karakter Melalui Pendidikan Agama ...
Di antara tanggung jawab tersebut adalah tata tertib berpakaian, masuk dan pulang sekolah, penggunaan sepeda motor, dan lain sebagainya. Dalam berpakaian telah ditetapkan warna dan bentuk atau potongannya. Hari Senin sampai Kamis memakai pakaian warna abu-abu. Hari Jumat memakai pakaian pramuka. Hari Sabtu memakai pakaian batik. Semuanya berlengan pendek. Perempuan memakai rok panjang. Sebagian besar siswa perempuan telah memakai jilbab. Masih ada sebagian kecil perempuan muslimah yang belum memakai jilbab. Namun ketika pelajaran Pendidikan Agama Islam semua wajib memakai pakaian muslim, termasuk memakai jilbab. Sekolah mulai masuk pukul 07.00 wib pagi. Pintu sekolah telah dibuka sebelum itu. Pada pukul 06.30, pintu utama dibuka. Saat itu sudah ada guru piket yang menyalami setiap siswa yang datang atau masuk ke kompleks sekolah. Sesekali sang guru juga bertanya keadaan dirinya atau keluarganya sebagai tanda perhatian dan kesantunan sesama keluarga besar sekolah. Ketika bersalaman, hampir semua siswa mencium tangan gurunya. Para siswa diperkenankan membawa sepeda motor ketika bersekolah. Namun kepada mereka juga dikenakan ketentuan khusus. Dalam hal penggunaan sepeda motor ini, sebelumnya dibuat ketentuan bahwa siswa tidak bolah membawa atau memarkir sepeda motor di dalam kompleks. Akan tetapi diperoleh keluhan warga adanya gangguan jalan di depan sekolah akibat banyaknya motor yang parkir di pinggir jalan tersebut. Akhirnya dibuat ketentuan baru, yang mewajibkan siswa pembawa sepeda motor untuk memarkir di dalam sekolah. Setiap siswa yang meninggalkan sekolah selama masih terdapat pelajaran juga wajib ijin yang dibuktikan dengan kertas ijin yang blangkonya telah disiapkan oleh sekolah. Siswa atau kelompok siswa yang mendapat tugas khusus atau tersendiri, sebagai bagian dari rasa tanggungjawab, juga membuat laporan kegiatan di akhir kegiatan. Misalnya saja kegiatan yang dilaksanakan oleh Kerohanian Keagamaan, Kerohanian Kristen, dan Kerohanian Katolik. Para guru agama terlibat aktif dalam menjaga agar segala tanggungjawab siswa dapat dilaksanakan sesuai ketentuan.
E. FAKTOR PENDUKUNG
DAN
PENGHAMBAT
1. Faktor Pendukung a. Kurikulum. Pada Kurikulum 2006 ditentukan bahwa pendidikan karakter hanya terdapat pada materi-materi khusus yang menjadi bagian dari pendidikan karakter. Sementara itu, Kurikulum 2013 mengamanatkan bahwa pendidikan karakter masuk dalam semua mata pelajaran dan pada setiap proses pembelajaran. Kondisi demikian, mendukung bahwa pendidikan karakter dapat diterapkan secara lebih baik. b. Visi, Misi, Tenaga Pendidik dan Kependidikan. Visi, Misi yang telah dicanangkan, dan para personil di sekolah ini mendukung pelaksanaan pendidikan karakter. Mulai dari Kepala Sekolah beserta para wakilnya, para guru, dan para tenaga kependidikan lainnya ikut aktif menciptakan suasana yang memungkinkan pelaksanaan pendidikan karakter dapat berjalan dengan baik. c. Lingkungan Fisik Sekolah. Pelaksanaan pendidikan karakter memerlukan prasarana dan sarana yang memadai. SMAN 2 Semarang telah mengupayakan tersedianya hal tersebut. Prasarana dan sarana antara lain berupa lokasi sekolah yang mendukung, kondisi kelas atau ruang belajar, kondisi lingkungan fifik dan nonfisik, pencahayaan dan ventilasi, tempat ibadah (masjid) dan ruang berdoa, ruang konseling, fasiltas olahraga dan kesenian, perpustakaan, ruang Unit Kesehatan Sekolah (UKS) dan lain sebagainya. 2. Faktor Penghambat Kondisi makro lingkungan. Kondisi makro di sekitar sekolah ada yang tidak sesuai dengan nilai-nilai karakter yang dikembangkan. Hal itu dapat mempengaruhi peserta didik dalam menjalankan pendidikan karakter sesuai yang diharapkan. Kadang-kadang siswa masih terpengaruh atau terganggu karena kondisi luar yang tidak mendukung. Kondisi luar tersebut dapat berupa orang tua, lingkungan tempat tinggal, lingkungan lebih luas, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi saat ini.
F. PENUTUP 1. Kesimpulan a. Pendidikan karakter di SMAN 2 Semarang terintegrasi melalui keseluruhan pembelajaran, baik yang intrakurikuler,
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
223
b.
c.
d.
e.
2. a.
b.
ekstrakurikuler, maupun bentuk-bentuk lain, termasuk diselenggarakan melalui Pendidikan Agama dan Budi Pekerti di sekolah. Pembelajaran intrakurikuler berlandaskan pada Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar yang difokuskan pada sikap spiritual dan sikap sosial Pendidikan Agama (Islam, Kristen, Katolik) dan Budi Pekerti. Pada kegiatan ekstrakurikuler diwujudkan melalui berbagai organisasi kerohanian yaitu Kerohanian Islam (Rohis), Kerohanian Kristen (BeST), dan Kerohanian Katolik (PIK). Diilakukan pula berbagai pembuatan tata tertib dan penciptaan lingkungan sekolah yang kondusif melalui berbagai pamflet dan suasana yang bersih, nyaman, dan hubungan yang baik antar tenaga yang ada. Nilai-nilai karakter religius, jujur toleran, disiplin, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggungjawab telah diterapkan di SMAN 2 Semarang dan telah merupakan bagian dari kebiasaan sehari-hari di sekolah. Faktor Pendukung pendidikan ini antara lain Kurikulum 2013 yang mengamanatkan bahwa pendidikan karakter masuk dalam semua mata pelajaran dan pada setiap proses pembelajaran. Tenaga Pendidik dan Kependidikan serta lingkungan fisik juga mendukung suasana yang memungkinkan pelaksanaan pendidikan karakter dapat berjalan dengan baik. Faktor penghambat antara lain kondisi makro lingkungan di sekitar sekolah yang tidak sesuai dengan nilai-nilai karakter yang dikembangkan dapat mempengaruhi peserta didik dalam menjalankan pendidikan karakter sesuai diharapkan Kurikulum 2013. Saran Model pendidikan karakter melalui Pendidikan Agama di Sekolah ini telah dilaksanakan. Oleh karena itu berbagai pola tersebut dapat disebarluaskan kepada berbagai sekolah lain yang memerlukan. Pendidikan karkater yang telah dilaksanakan tersebut tidak bisa lepas dari kekurangan, khususnya adanya faktor luar yang tidak sesuai dengan nilai-nilai karkater yang baik. Oleh karena itu, perlu diciptakan model dan mekanisme yang memungkinkan peserta didik memiliki ketahanan yang kuat terhadap berbagai godaan dari luar.
224
UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan atas pemberian kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas kritik, saran, dan masukan, yang dilakukan pada saat diseminarkan di hadapan akademisi, peneliti, guru pendidIkan agama, dan pejabat teknis bidang pendidikan agama.[]
Pendidikan Karakter Melalui Pendidikan Agama ...
D A F TA R P U S TA K A
Aunillah, Nurla Isna. Panduan Menerapkan Pendidikan Karakter Di Sekolah. Yogyakarta: Laksana, 2011. Best SMAN 2 Semarang. 2013. Djamas, Nurhayati. Memfungsikan Pendidikan Agama Sebagai Pendidikan Karakter Pada Anak. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, 2013. Kementerian Pendidikan Nasional. Desain Induk Pendidikan Karakter Kementerian Pendidikan Nasional. Jakarta: 2011. Kementarian Pendidikan Nasional. Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Pusat Kuriklum Dan Perbukuan. Jakarta: Badan Penelitian Dan Pengembangan, 2011. Kebijakan Nasional Pembangunan Budaya dan http:// Karakter Bangsa, gurupembaharu.com/ home/wp-content/ uploads/downloads/2011/11/ KebijakanNasional-Pendikar.pdf. (diakses 3 Maret 2014). Koran Sindo. 2016. “542 Sekolah Dirujuk Jadi Sekolah Pendidikan Karakter.” tanggal 10 Oktober 2016. Ma’rifatain Lisa’diyah. Model Penanaman NilaiNilai Karakter Siswa SMA Berbasis Pendidikan, dalam Edukasi. 13. No. (April 2015): 80 – 97.
MGMP Pendidikan Agama katolik SMA/SMK Semarang. Laporan Pertanggungjawaban Kegiatan Retreat Siswa/Siswi SMA Negeri Kota Semarang Tahun 2013. Muin, Abd. “Penguatan Karakter Melalui Pendidikan Islam Di TK Mawaddah Kota Banjarmasin”. Edukasi, Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, 11, no. 2, (Mei-Agusutus 2013): 199 – 217. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Pasal 1 ayat 1. Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Jakarta: Pedoman Sekolah. 2009. Salinan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nomor 81 A tentang Implementasi Kurikulum . Siswayanti Novita, “Pendidikan Karakter Dalam Tafsir Al-Huda”. Edukasi, Jurnal PenelitianPendidikan Agama dan Keagamaan 11, no. 2 ( Mei-Agustus 2013): 218 – 230. Wibowo, Agus. Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012.
Megawangi, Ratna. Pendidikan Karakter, Solusi Yang Tepat Untuk Membangun Bangsa. Depok: Indonesian Heritage Foundation. 2004.
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
225
226
Pendidikan Karakter Melalui Pendidikan Agama ...
THE INDEX OF WORK CULTURE OF THE MARRIAGE SERVICE IN BANYUMAS REGENCY ROSIDIN
ABSTRACT This study reports the work culture of marriage service personnel in Banyumas and analyses which aspects of service should be prioritized for improvement. This study employs a quantitative approach by using survey. The total sample of 140 was gained using purposive random sampling. The validity and reliability of instruments indicated that the 25 question items are valid and reliable. The study found out that (1) the index of work culture showed 75,77 which can be categorized as ‘good’, (2) all aspects of work culture (e.g. integrity, professionalism, innovation, responsibility, and exemplary) did not fall into ‘very good’ category which mean that the service is not satisfactory, (3) the lowest criteria of work culture was found in integrity aspect (63,85 = not good enough). Therefore, integrity is the aspect of work culture which needs to be prioritized for the improvement.
KEY WORDS: Integrity, professional, innovative, responsible, exemplary, work culture, marriage service
INDEKS BUDAYA KERJA DALAM PELAYANAN PERNIKAHAN DI KABUPATEN BANYUMAS ROSIDIN
ABSTRAK Penelitian ini berusaha mengungkapkan bagaimana budaya kerja petugas pelayanan pernikahan di Banyumas dan menganalisa aspek mana yang menjadi prioritas perbaikan dalam pelayanan pernikahan di Banyumas. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif. Pengujian validitas dan reliabilitas instrumen menunjukkan 25 item pertanyaan setelah uji seluruhnya valid dan reliabel. Jumlah sampel yang terlibat dalam penelitian adalah 140 yang didapatkan dengan metode kuota purposive random sampling. Hasil penelitian menyatakan: 1) indeks budaya kerja petugas pelayanan pernikahan di Banyumas sebesar 75,77 masuk kategori baik; 2) Semua aspek budaya kerja yang diteliti integritas, profesional, inovatif, tanggung jawab dan keteladanan belum ada yang berkategori sangat baik, artinya semua masih belum sesuai harapan masyarakat; 3) aspek budaya kerja terkecil adalah aspek integritas 63,83 (kurang baik) sehingga prioritas perbaikan pada aspek integritas, tanpa mengabaikan aspek lain.
KATA KUNCI: Integritas, profesional, inovatif, tanggung jawab, keteladanan, pelayanan pernikahan
*Peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang. Jl. Untung Suropati Kav. 70 Bambankerep, Ngaliyan, Semarang 50185.
[email protected] *Naskah diterima September 2016, direvisi November 2016, disetujui untuk diterbitkan Desember 2016
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
227
A. PENDAHULUAN Pelayanan publik merupakan representasi dan eksistensi dari birokrasi pemerintah yang memangku fungsi sebagai pemberi layanan terhadap masyarakat. Oleh karena itu, kualitas layanan yang diberikan merupakan cerminan dari kualitas birokrasi pemerintah1. Pelayanan adalah segala bentuk kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah, dan di lingkungan badan usaha milik negara/daerah dalam bentuk barang atau jasa dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan 2. Selain itu, juga disebutkan bahwa pelayanan adalah suatu proses bantuan kepada orang lain dengan caracara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal agar terciptanya kepuasan dan keberhasilan3. Salah satu jenis pelayanan negara kepada masyarakat adalah pelayanan perkawinan. Pelayanan perkawinan sangat terkait dengan tugas dan fungsi Kantor Urusan Agama (KUA), yang dalam hal Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan, tugas KUA adalah melaksanakan sebagian tugas Kantor Kementerian Agama Kabupaten dan Kota di bidang Urusan Agama Islam dalam wilayah Kecamatan4. Sehingga, KUA melaksanakan dua fungsi : menyelenggarakan statistik dan dokumentasi, menyelenggarakan surat menyurat, kearsipan, pengetikan, dan rumah tangga KUA Kecamatan; dan melaksanakan pencatatan nikah, rujuk, mengurus dan membina masjid, zakat, wakaf, baitul maal dan ibadah sosial, kependudukan dan pengembangan keluarga sakinah sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Dirjen Bimas Islam berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku 5. Intinya, keberhasilan dan
1 Eka Dewi. Nilai Budaya Layanan Publik. http://blog pelayanan publik.blogspot.co.id/2012/06/nilai-budaya-dalampelayanan-publik.html (diakses pada 10 Agustus 2016). 2 Dokumen Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. 3 Boediono, Pelayanan Prima (Jakarta: Kawula Indonesia, 1999), 60. 4 Dokumen KMA No. 517 Tahun 2001 tentang Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan. 5 Dokumen KMA No. 517 Tahun 2001 tentang Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan.
228
Indeks Budaya Kerja dalam Pelayanan ...
permasalahan pelayanan Kementerian Agama dalam pelayanan perkawinan ada di pundak para pegawai KUA sebagai ujung tombaknya. Salah satu kasus terkait pelayanan perkawinan pernah muncul adanya Kepala KUA di Kota Kediri yang dijebloskan ke penjara atas dugaan gratifikasi biaya perkawinan6. Selain itu, kasus perkawinan sejenis di Boyolali dan Wonosobo juga menjadi perhatian, meskipun pada akhirnya diketahui berawal dari masalah administrasi yang bukan kewenangan Kementerian Agama7. Kerja keras Kemenag untuk menegaskan KUA dengan citra barunya yang bersih melayani menjadi ruh terbitnya PP 48/2014 tentang perubahan atas PP 47/2004 tentang PNBP 8. PP ini diantaranya menjawab permasalahan biaya nikah di luar KUA dan di dalam KUA, yaitu Rp 0,- untuk nikah di kantor KUA pada jam kerja dan Rp 600.000,- apabila nikah di luar KUA atau di luar jam kerja. Sejak reformasi bergulir masyarakat semakin kuat daya tawarnya dalam hal pelayanan publik. Kementerian Agama sudah sepakat bahwa pelayanan publik merupakan tolak ukur kinerja pemerintah yang paling kasat mata. Misalnya, peningkatan layanan perkawinan pada KUA dan layanan haji9. Kementerian Agama salah satu penyelenggara pelayanan publik di bidang kehidupan keagamaan yang salah satunya terkait pelayanan perkawinan. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa10. Dalam upaya meningkatkan kinerja yang pada ujungnya meningkatkan pelayanan, kementerian menetapkan 5 Nilai Budaya kerja 6 Ahmad Rosidi (ed.), Kasus-kasus Aktual Pelayanan Keagamaan di Indonesia ( Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2015), ix. 7 Dahlan AR., Kasus Perkawinan Sejenis di Boyolali dan Wonosobo (Semarang: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang, 2015), 4. 8 Dodo Murtado. “Lima Nilai dan Reformasi Birokrasi: Pondasi Perubahan Kemenag”. Majalah Ikhlas Beramal, Edisi 96 November-Desember (2015): 7. 9 Dodo Murtado. “Lima Nilai dan Reformasi Birokrasi: Pondasi Perubahan Kemenag”. Majalah Ikhlas Beramal, Edisi 96 November-Desember (2015): 7. 10 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
yang terdiri dari Integritas, profesionalitas, Inovatif, tanggung jawab, dan keteladan. Dengan memedomani 5 nilai budaya kerja tersebut, setiap aparatur Kementerian Agama diharapkan dapat melaksanakan tugas dan fungsi dengan sebaikbaiknya, berkinerja tinggi, serta terhindar dari segala bentuk pelanggaran dan penyimpangan11. Pelayanan pernikahan merupakan satu sasaran dari penerapan budaya kerja. Secara umum, budaya kerja aparatur birokrasi (pegawai) diharapkan bermanfaat dalam mendukung aktifitas organisasi pemerintahan terutama dalam upaya membangun kembali citra positif aparat pemerintah.12 Tulisan ini mengungkapkan bagaimana indeks budaya kerja dalam pelayanan pernikahan dan bagaimana peran atribut budaya kerja dalam peningkatan pelayanan pernikahan di Banyumas?
B. KERANGKA KONSEPTUAL Budaya Kerja dalam Pelayanan Publik Pelayanan umum oleh Lembaga Administrasi Negara (1998) diartikan sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk barang atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan13. Dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 bahwa Pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara negara. Selanjutnya, pelayanan publik menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur 11 Lukman Hakim Saefuddin, Nilai-nilai Budaya Kerja Kementerian Agama (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2014), 3. 12 Abdul Rivai. “Budaya Kerja Birokrasi Pemerintah Dalam Pelayanan Publik”. Jurnal Academica Fisip UNTAD Vol. 05 , No. 01 Pebruari (2013): 949. 13 Wahyu Kuncoro, Studi Evaluasi Pelayanan Publik dan kualitas Pelayanan di Rumah Sakit Umum dr. Soetomo. (Semarang: Program Studi Magister Ilmu Politik Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang, 2006), 4.
Negara Nomor: KEP/25/M.PAN/2/2004 adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan, maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pengertian kualitas pelayanan menurut Wyckup14 adalah tingkat kesempurnaan yang diharapkan dan pengendalian atas kesempurnaan tersebut adalah untuk memenuhi keinginan atau harapan pelanggan. Kualitas pelayanan adalah penyampaian pelayanan secara excellence atau superior dibandingkan dengan harapan konsumen. Dapat disimpulkan bahwa kualitas pelayanan merupakan cara penyampaian pelayanan yang dilakukan perusahaan supaya dapat memenuhi harapan dari pelanggan. Pelayanan Perkawinan Perkawinan merupakan salah satu tonggak kehidupan yang sangat berpengaruh terhadap hidup seseorang, di mana seseorang telah dipandang dewasa untuk membangun komitmen bersama pasangannya guna melaksanakan tanggung jawab membentuk suatu keluarga15. Sedangkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Merujuk pada KEP/ 25/M.PAN/2/2014, pengertian pelayanan perkawinan adalah segala kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh Kantor Urusan Agama mulai pra nikah, pelaksanaan dan pasca nikah sebagai upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat. Keberhasilan pelayanan sangat di dukung oleh berbagai pihak salah satunya para petugas pelayanan itu sendiri. Sementara itu, budaya kerja petugas pelayanan akan sangat menentukan keberhasilan pelayanan termasuk pelayanan pernikahan. Budaya Kerja Budaya organisasi menurut Moelyono (2006)
14
Wyckup, Kualitas Pelayanan (Jakarta, 2002), 59. Joko T. Haryanto. “Fenomena Perkawinan di Bawah Umur Studi Kasus pada Masyarakat Cempaka Banjarbaru Kalimantan Selatan”. Jurnal Analisa Vol. 19, No. 01 Januari-Juni (2012): 2. 15
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
229
dapat dilihat dalam sikap dan perilaku organisasi yang diaktualisasikan oleh setiap anggota organisasi yang mencerminkan prinsip-prinsip: Integritas, yang artinya bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, selalu menjaga nama baik organisasi, memiliki komitmen yang tinggi dalam pelaksanaan tugas; Profesionalisme, artinya dalam melaksanakan tugas senantiasa didasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi, per-UU-an yang berlaku, inovatif, bertanggungjawab, transparan, bersifat netral tidak memihak pada kepentingan individu, golongan atau kelompok tertentu, serta senantiasa menjunjung nilai-nilai kepatutan yang bersifat universal, dalam melaksanakan tugas senantiasa berorientasi pada kepentingan pelanggan secara adil, proporsional tanpa ada pembedaan/diskriminasi; Keteladanan, artinya selalu menjunjung tinggi norma-norma etika yang tercermin dalam sikap perilakunya, selalu menghindari perbuatan yang tercela, selalu dapat menjadi contoh yang baik bagi llingkungannya; dan Prinsip Penghargaan pada SDM, artinya sesama anggota organisasi saling menghormati, dan organisasi menerapkan sistem reward dan punishment yang adil, adanya pengakuan terhadap prestasi anggota organisasi serta pemberlakuan sanksi bagi yang melakukan pelanggaran16. Budaya kerja dalam tulisan ini mengacu pada 5 Nilai Budaya Kerja Kementerian Agama yaitu Integrias, Profesional, Inovatif, Tanggung Jawab dan Keteladanan. Kerangka Pikir Pengukuran budaya kerja dalam pelayanan pernikahan dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1. Alur Pikir Nilai Budaya Kerja dalam Pelayanan Pernikahan
16 Eldison. Budaya Kerja dan Pola Pikir PNS. http:// b d k p a d a n g . k e m e n a g . g o . i d / index.php?option=com_content&view=article&id=667:edisonoktober&catid=41: top-headlines&itemid=158 (diakses pada 9 Agustus 2016).
230
Indeks Budaya Kerja dalam Pelayanan ...
C. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Penetapan sampel menggunakan metode kuota purposive random sampling, dengan kriteria yaitu: Kabupaten Banyumas dipilih dengan alasan masuk urutan tinggi pencatatan nikah dalam 1 tahun terakhir, penentuan wilayah berdasarkan KUA ibu kota kabupaten, KUA penyangga dan KUA kategori jauh dari ibu kota juga melakukan catatan pernikahan tertinggi dan sampel dipilih dengan cara random pada masingmasing KUA yang 6 bulan (Januari – Juni 2016) melakukan pencatatan penikahan. Berdasarkan kriteria di atas, maka diperoleh lokasi penelitian adalah KUA Teladan 2016 KUA Kecamatan Purwokerto Timur dengan 119 peristiwa Nikah, KUA Kecamatan Sokaraja sejumlah 195 peristiwa nikah dan KUA Kecamatan Cilongok dengan 343 peristiwa nikah dan terbesar di Banyumas.. Adapun data seluruh KUA di Banyumas berjumlah 4.750 peristiwa nikah17. Dengan rumus Slovin sampel minimal yang diambil sebesar 100 responden. Akan tetapi, sampel yang dikumpulkan pada penelitian ini sebanyak 140 artinya jumlah sampel sudah melebihi ketentuan minimal. Definisi Operasional dan Instrumen Pengumpulan Data Budaya kerja merupakan suatu falsafat yang didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuatan pendorong membudaya dalam kehidupan suatu organisasi/kelompok masyarakat kemudian tercermin dalam sikap menjadi perilaku, kepercayaan, cita-cita dan pendapat yang terwujud sebagai kerja atau bekerja. Budaya kerja kantor Kementerian Agama dalam hal ini KUA diukur melalui indikator Integritas, Profesionalitas, Inovatif, Tanggungjawab dan Keteladanan. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner dari variabel budaya kerja menurut pengguna layanan pernikahan. Adapun definisi operasional indikator budaya kerja dan kisi-kisi pertanyaan sebagai berikut:
17
2016.
Data SIMKAH, Dirjen Bimas Islam, Kemenag RI, Mei
Tabel 1 Indikator dan Kisi-kisi Pertanyaan
Kisi-kisi tersebut dituangkan dalam item-item pertanyaan penelitian untuk disebarkan kepada responden di lokasi penelitian. Uji Validitas dan Reliabilitas Validitas dalam penelitian dijelaskan sebagai salah satu derajat ketepatan pengukuran tentang isi dari pernyataan. Uji validitas digunakan untuk kuesioner dengan skala pengukuran nominal (aspek sikap kognitif) digunakan teknik korelasi point bisserial. Menurut Sugiyono syarat minimum untuk dianggap suatu butir instrument valid adalah nilai indeks validitasnya e” 0,3. Dengan demikian, 18 Lukman Hakim Saefuddin, Nilai-nilai Budaya Kerja Kementerian Agama (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2014), 7. 19 Ibid, 9. 20 Ibid, 11. 21 Ibid, 13. 22 Ibid, 15.
semua pernyataan yang memiliki tingkat korelasi di bawah 0,3 harus diperbaiki atau diulang karena dianggap tidak valid23 . Pengujian validitas dilakukan dengan metode korelasi product moment dari pearson, pengujian dilakukan dengan melihat angka koefisien korelasi (rxy) yang menyatakan hubungan antara skor pernyataan dengan skor total (item-total correlation). Hasilnya dapat dibandingkan dengan r tabel dimana df= n-2= 140-2= 138 dengan á = 5 % diperoleh r tabel 0.176. Jika r tabel < r hitung maka item pertanyaan tersebut valid. Hasil uji validitas menunjukkan semua item 25 pertanyaan sudah valid karena sudah > r tabel sehingga uji validitas tidak diteruskan. Pada uji reabilitas menunjukkan bahwa angket dapat digunakan dalam penelitian pada tingkat reliabilitas sebagai berikut :
Semua item pertanyaan sudah valid sehingga seluruh item pertanyaan sudah dapat digunakan dalam penelitian. Pada uji reliabilitas, Kaplan dan Saccuzo (1993) menyatakan bahwa instrumen dapat digunakan apabila nilai alpha cronbach’s sama dengan atau di atas 0,70024. Sedangkan hasil uji reliabilitas menunjukkan di atas 0,700 yaitu 0,963 sehingga sudah reliabel. Rekapitulasi Indeks Budaya Kerja Kuesioner yang telah terisi kemudian dikumpulkan dan diolah secara kuantitatif dengan menggunakan aplikasi Excel. Proses dan analisis data sesuai dengan petunjuk dalam Keputusan MENPAN Nomor KEP/25/M.PAN/2/ 2004. Penelitian ini menggunakan kuesioner dengan skala Likert 5, maka kategori budaya kerja disesuaikan dengan tabel Indeks KepMenpan tersebut menjadi sebagaimana tabel di bawah ini; 23 Sugiyono, Statistik untuk Penelitian (Bandung: CV. Alfabeta, 2005), 143. 24 Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Desain Opersional Survey Kerukunan Umat Beragama di Indonesia (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2015), 10.
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
231
Tabel 3 Konversi Kategori Indeks Budaya Kerja (IBK)
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa tingkat pendidikan responden terbanyak pada lain-lain (lulusan SD/sederajat) sebanyak 63 (45%) dan urutan kedua responden dengan tingkat pendidikan SLTA/sederajat sebesar 37 (27 %) dan SLTP/sederajat sebanyak 17,14%. Tabel 6 Jenis Pekerjaan Responden
D. HASIL PEMBAHASAN Responden yang terlibat merupakan masyarakat pengguna layanan pernikahan sejumlah 150 responden. Adapun kuesioner yang kembali sampai pengambilan data berakhir hanya 140 angket masing-masing berasal dari KUA Kecamatan Purwokerto Timur 43 angket, KUA Kecamatan Sokaraja sejumlah 49 angket, dan 48 angket dari KUA Kecamatan Cilongok. Jumlah inilah yang diharapkan dapat menggambarkan kondisi persepsi masyarakat terkait budaya kerja petugas KUA dalam pelayanan pernikahan. Deskripsi Profil Responden Tabel 4 Sebaran Usia Responden
Berdasarkan tabel tersebut di atas terlihat bahwa paling besar responden berusia 46 - 55 tahun sebanyak 28,8%, selanjutnya urutan ke dua responden dengan usia antara 36 – 45 tahun sebesar 20,7%, ketiga responden dengan rentang usia 56 – 65 tahun sebanyak 19,2%. Sementara itu, jenis kelamin responden laki-laki sebanyak 116 (82,8) % dan responden perempuan sebanyak 24 (17,2) %. Khusus responden perempuan, semuanya adalah orang tua kandung. Tabel 5 Jenis Pendidikan Responden
232
Indeks Budaya Kerja dalam Pelayanan ...
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa profil pekerjaan responden 52,9% di sektor lain-lain (sebagai buruh/petani), selanjutnya bekerja d sektor swasta sebanyak 27,8% dan wiraswasta sebanyak 13,6% Deskripsi Pengurusan Surat dan Prosesi Nikah Pengurusan pernikahan yang dilakukan sebanyak 95 (67,8%) responden mengaku dalam pengurusan pernikahan dilakukan oleh orang lain (pihak ke-3) dan hanya 19 responden (13,6%) yang melakukan pengurusan sendiri. Sedangkan 26 responden (18,6%) tidak mengisi jawaban. Responden yang melakukan prosesi pernikahan (ijab khabul) di kantor KUA hanya 28,6 % atau 40 sampel dan 100 responden atau 71,6% diluar kantor KUA, yang bisa jadi dilakukan di rumah tempat pernikahan. Hasil penelitian indeks budaya kerja dalam pelayanan pernikahan di Banyumas meliputi 3 KUA kecamatan sebagai cluster yang mewakili pengurusan pernikahan di KUA ibukota kabupaten (Purwokerto Timur), KUA penyangga (Sokaraja) dan KUA jauh dari ibukota (Cilongok) juga terbanyak peristiwa nikahnya sampai bulan Mei 2016. Adapun hasil rekapitulasi budaya kerja sebagai berikut; Tabel 7 Aspek Integritas Budaya Kerja
Sumber : data primer, diolah
Sumber : data primer, diolah
Berdasar tabel di atas, maka budaya kerja dari aspek Integritas dalam pelayanan pernikahan di Banyumas dengan 5 indikator secara umum dapat dijelaskan; a. Budaya kerja dalam pelayanan pernikahan pada aspek integritas termasuk kategori BAIK, dimana skor integritas menurut persepsi pengguna jasa (responden) pada rentang 3,89 sampai 4,13. b. Kinerja Integritas budaya kerja tertinggi bahwa petugas melayani masyarakat sesuai peraturan yang berlaku dengan skor 4,13 c. Skor terendah pada indikator petugas KUA menolak pemberian imbalan baik uang atau barang saat melayani masyarakat di kantor yaitu sebesar 3,89. Artinya integritas petugas KUA secara umum terkait imbalan masih belum sesuai harapan masyarakat d. Secara umum budaya kerja dari aspek integritas dalam pelayanan pernikahan harus ditingkatkan agar pelayanan yang di rasakan masayarakat melebihi harapannya. Skor terendah di atas menunjukkan pula masih ada petugas KUA yang menerima pemberian imbalan baik uang atau barang saat melayani masyarakat. Peningkatan integritas ini dibangun dari segi petugas sebagai pihak pelayan dengan dukungan penuh dari masyarakat sebagai pihak yang dilayani. Tabel 8 Aspek Profesionalitas Budaya Kerja
Berdasar tabel di atas, maka budaya kerja dalam pelayanan pernikahan di Banyumas dari aspek profesionalisme dengan 5 indikator dapat dijelaskan; a. Budaya kerja pelayanan pernikahan termasuk kategori BAIK, dimana skor yang dirasakan pengguna jasa (responden) pada rentang 3,06 sampai 4,14. b. Kinerja profesionalisme budaya kerja tertinggi terdapat pada indikator bekerja dengan penuh disiplin dan kesungguhan dalam pelayanan pernikahan dengan skor 4,14 c. Skor terendah pada indikator petugas KUA menetapkan biaya setiap melakukan/melayani masyarakat di luar standar yang ditetapkan sebesar 3,06. Artinya masyarakat masih merasakan ada biaya di luar informasi tarif yang diperoleh dalam pelayanan pernikahan. d. Secara umum budaya kerja dari aspek profesionalisme untuk pelayanan pernikahan harus ditingkatkan agar pelayanan yang dirasakan masyarakat melebihi harapannya. Pelayanan pernikahan melibatkan petugas lintas sektoral mulai dari proses pengurusan surat-surat kelengkapan persyaratan sampai pelaksanaan pernikahan itu sendiri. Pengurusan surat-surat melibatkan pihak RT/RW, kelurahan/ desa sampai kecamatan yang merupakan kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Kemudian setelah berkas masuk pendaftaran KUA barulah kewenangan Kementerian Agama. Selain itu, kebiasaan masyarakat menggunakan jasa pihak ketiga akan memunculkan biaya juga. Ketidaktahuan masyarakat terkait kewenangan masing-masing pihak dalam pengurusan ini juga akan memunculkan persepsi bahwa petugas masih menetapkan biaya dalam melayani masyarakat di luar standar yang ditetapkan.
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
233
Tabel 9 Aspek Inovatif Budaya Kerja
Sumber : Data primer, diolah
Berdasar tabel di atas, maka budaya kerja dari aspek inovatif dalam pelayanan pernikahan di Banyumas dengan 5 indikator dapat dijelaskan ; a. Aspek inovatif budaya kerja dalam pelayanan pernikahan termasuk kategori BAIK, dimana skor pelayanan yang dirasakan pengguna jasa (responden) pada rentang 3,46 sampai 3,99. b. Kualitas inovatif budaya kerja pelayanan tertinggi terdapat pada indikator ada kotak saran pengaduan bagi masyarakat dengan skor 3,99 c. Skor terendah pada indikator petugas KUA senantiasa melakukan hal-hal baru dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sebesar 3,46. Artinya petugas KUA secara umum monoton/kurang variasi dalam melayani masayarakat d. Secara umum dari aspek inovatif budaya kerja dalam pelayanan pernikahan harus diperbaiki agar pelayanan yang dirasakan masyarakat melebihi harapannya. Masyarakat masih menginginkan petugas KUA lebih menemukan hal-hal baru dalam memberikan pelayanan. Petugas dituntut kreatif menemukan inovasi baru demi peningkatan pelayanan sebagaimana harapan masyarakat.
Berdasar tabel di atas, Budaya Kerja pelayanan dari aspek tanggung jawab dalam pelayanan pernikahan di Banyumas dengan 5 indikator dapat dijelaskan ; a. Kinerja tanggung jawab dalam budaya kerja pelayanan termasuk kategori BAIK, dimana skor pelayanan yang dirasakan pengguna jasa (responden) pada rentang 3,89 sampai 4,18. b. Tanggung jawab budaya kerja pelayanan tertinggi terdapat pada indikator ramah dalam memberikan pelayanan dari petugas KUA dengan skor 4,18 c. Skor terendah pada indikator berani berkata jujur tentang kesulitan yang dihadapi dalam memberikan pelayanan dari petugas KUA sebesar 3,89. Artinya petugas KUA secara umum belum memberikan secara terbuka terkait alasan keterlambatan dan kesulitan dalam pelayanan masyarakat. d. Secara umum dari aspek tanggung jawab pelayanan pernikahan harus diperbaiki agar pelayanan yang dirasakan masyarakat melebihi harapannya. Meskipun bernilai baik, keberanian petugas KUA berkata jujur tentang kesulitan yang dihadapi dalam memberikan pelayanan masih di bawah harapan masyarakat. Ketidakterusterangan petugas ini mengakibatkan kelambanan pelayanan yang pada akhirnya berimbas pada masyarakat juga. Tabel 11 Aspek Keteladanan Budaya Kerja
Tabel 10 Aspek Tanggung Jawab Budaya Kerja Sumber : Data primer, diolah
Sumber : Data primer, diolah
234
Indeks Budaya Kerja dalam Pelayanan ...
Berdasar tabel di atas, maka budaya kerja pelayanan dari aspek Keteladanan dalam pelayanan pernikahan di Banyumas dengan 5 indikator dapat dijelaskan; a. Budaya kerja pelayanan termasuk kategori
BAIK, dimana skor pelayanan yang dirasakan pengguna jasa (responden) pada rentang 3,72 sampai 4,21 b. Keteladanan budaya kerja tertinggi terdapat pada indikator kepercayaan pengguna layanan bahwa petugas KUA mempunyai akhlak yang baik dan patut dicontoh dengan skor 4,21 c. Skor terendah pada indikator bahwa petugas KUA tidak menerima pemberian uang ataupun benda dari masyarakat sebesar 3,72. Artinya menurut responden petugas KUA secara umum masih menerima pemberian uang ataupun benda dari masayarakat d. Secara umum dari aspek keteladanan budaya kerja dalam pelayanan pernikahan harus diperbaiki agar pelayanan yang di rasakan masayarakat melebihi harapannya. Masyarakat masih belum sepenuhnya yakin bahwa petugas tidak menerima pemberian uang ataupun benda dalam memberikan pelayanan. Komitmen kedua belah pihak baik petugas KUA maupun masyarakat itu sendiri akan meningkatkan pelayanan lebih meningkat sesuai harapan bersama. Indeks Budaya Kerja Pelayanan Pernikahan Indeks nilai budaya kerja dalam pelayanan pernikahan di Kabupaten Banyumas seperti pada tabel di bawah ini :
di atas adalah: 1) indeks budaya kerja dalam pelayanan pernikahan di Banyumas sebesar 75,77 point, masuk dalam kriteria budaya kerja BAIK; 2) aspek integritas budaya kerja pelayanan pernikahan mempunyai skor paling rendah (63,83) sehingga menjadi prioritas peningkatan tanpa mengabaikan aspek lainnya; dan 3) tingginya responden yang mengurus pernikahan melalui pihak ketiga (orang lain) berkontribusi pada indeks budaya kerja pelayanan. Rekomendasi Adapun rekomendasi dalam membantu meningkatkan budaya kerja dalam pelayanan KUA kepada masyarakat, antara lain: 1) perlu upaya pelatihan terkait budaya kerja pelayanan bagi pegawai KUA selaku penyelenggara pelayanan dalam melaksanakan kewajibannya sebagai penyedia layanan yang berkualitas; 2) pengambil kebijakan pada berbagai level pada Kementerian Agama hendaknya merespon dan memenuhi serta memperbaiki aspek-aspek budaya kerja yang masih rendah dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan pernikahan secara terprogram dan berkelanjutan; dan 3) perlu koordinasi lintas instansi terkait pelayanan pernikahan agar budaya kerja meningkat demi peningkatan kualitas pelayanan pernikahan.[]
Tabel 12 Indeks Nilai Budaya Kerja dalam Pelayanan Pernikahan
Sumber : data primer (diolah)
Berdasarkan kriteria yang telah ditentukan di atas, maka indeks budaya kerja petugas pelayanan pernikahan di Banyumas sebesar 75,77 point pada rentang 68,10-84,00 termasuk dalam kategori BAIK.
E. PENUTUP Kesimpulan hasil penelitian berdasarkan data
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
235
D A F TA R P U S TA K A AR, Dahlan. Kasus Perkawinan Sejenis di Boyolali dan Wonosobo. Semarang: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang, 2015. Boediono. Pelayanan Prima. Jakarta: Kawula Indonesia, 1999. Dewi, Eka. Nilai Budaya Layanan Publik. http:// blogpelayananpublik.blogspot.co.id/2012/ 06/nilai-budaya-dalam-pelayananpublik.html (diakses pada 10 Agustus 2016). Dirjen BIMAS ISLAM, Kementerian Agama RI, SIMKAH, Mei 2016. Dokumen Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor 63/ KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Dokumen Kep. Men. Pan No. KEP/25/M.PAN/2/ 2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah. Dokumen KMA No. 517 Tahun 2001 tentang Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan. Eldison. Budaya Kerja dan Pola Pikir PNS. http:// bdkpadang.kemenag.go.id/ index.php?option=com_content&view=article&id=667:e disonoktober&catid=41: topheadlines&itemid=158 (diakses pada 9 Agustus 2016). Hakim, Lukman Saefuddin. Nilai-nilai Budaya Kerja Kementerian Agama. Jakarta: Kementerian Agama RI, 2014. Haryanto, Joko T., “Fenomena Perkawinan di Bawah Umur Studi Kasus pada Masyarakat Cempaka Banjarbaru Kalimantan Selatan”. Jurnal Analisa Vol. 19, No. 01 Januari-Juni (2012): 2. Kuncoro, Wahyu. Studi Evaluasi Pelayanan Publik dan kualitas Pelayanan di Rumah Sakit umum dr. Soetomo. Semarang: Program Studi Magister Ilmu Politik Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang, Tesis, 2006. Murtado, Dodo. “Lima Nilai dan Reformasi 236
Indeks Budaya Kerja dalam Pelayanan ...
Birokrasi: Pondasi Perubahan Kemenag”. Majalah Ikhlas Beramal, Edisi 96 NovemberDesember (2015): 7. Rivai, Abdul. “Budaya Kerja Birokrasi Pemerintah Dalam Pelayanan Publik”. Jurnal Academica Fisip UNTAD Vol. 05 , No. 01 Pebruari Tahun (2013): 949. Rosidi, Ahmad (ed.). Kasus-kasus Aktual Pelayanan Keagamaan di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2015, ix. Sugiyono. Statistik untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta, 2005. Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Desain Opersional Survey Kerukunan Umat Beragama di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2015. Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
PERSONAL TRANSFORMATION: FROM CRIMINALITY TO PIETY G A Z I S A L O O M*
ABSTRACT This study investigates how and why the personal transformation occurred in former convicts in Indonesia. This study employs a qualitative approach with in-depth interviews and review of documents including social media as data collection instruments. Two former convicts serve as the research subjects, while five people among ex convicts’ family and friends serve as the research informants. To provide the study credibility, triangulation of data and resources was conducted, namely by examining data obtained from social media like YouTube that displays personal experiences some ex criminals who have transformed. Data were analyzed by using thematic analysis technique. The results showed that the process of personal transformation occurred throughout a long stage and did not occur shortly. It was also found that the personal factor (e.g. the understanding of personal experiences and social factors, especially intensive and prolonged interaction with religious leaders) was the main drive for personal change. The theoretical implications of these results were also discussed.
KEY WORDS: Personal, transformation, experiences, contact
TRANSFORMASI PERSONAL: DARI KEJAHATAN MENUJU KESALEHAN GAZI SALOOM
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana dan mengapa transformasi personal terjadi pada mantan penjahat di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara mendalam dan telaah dokumen termasuk media sosial sebagai instrumen pengumpulan data. 2 orang mantan penjahat dijadikan sebagai subyek penelitian, sedangkan 5 orang lainnya dari kalangan keluarga dan sahabat subyek dijadikan sebagai narasumber penelitian. Untuk memperkuat hasil penelitian dilakukan triangulasi data dan sumber yaitu dengan menelaah data yang diperoleh dari media sosial seperti youtube yang menampilkan pengalaman personal beberapa mantan penjahat dan preman yang telah mengalami perubahan diri. Data penelitian dianalisis dengan teknik analisis tematik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses transformasi personal terjadi melalui tahapan yang panjang dan tidak terjadi secara mendadak. Ditemukan juga dalam penelitian ini bahwa faktor personal terutama penghayatan terhadap pengalaman personal dan faktor sosial terutama relasi dengan orang lain yang menjadi tokoh agama secara intensif dalam waktu lama merupakan pendorong utama perubahan personal. Implikasi teoritis dari hasil penelitian ini didiskusikan.
KATA KUNCI: Transformasi, personal, pengalaman, relasi *Fakultas Psikologi UIN Jakarta.
[email protected] *Naskah diterima Agustus 2016, direvisi November 2016, disetujui untuk diterbitkan Desember 2016
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
237
A. PENDAHULUAN Mungkinkah seorang penjahat bertobat? Tentu jawabannya sangat mungkin, karena penjahat juga manusia yang memiliki hati dan perasaan. Terdapat banyak bukti dan fakta empirik tentang pertobatan penjahat dan menjadi orang baik bahkan orang alim dan terpandang di masyarakat. Contohnya, Anton Medan yang sekarang ini dikenal sebagai ustad dan kyai pesantren. Pengalaman Anton Medan di dunia kriminalitas sangat luar biasa sehingga ia dipenjara di Nusakambangan. Jamak diketahui bahwa komplek penjara Nusakambangan adalah tempat khusus bagi para penjahat kambuhan dan pelaku kriminalitas lainnya yang telah mencapai level kambuhan dan susah untuk diubah. Namun, Anton Medan kini bukanlah penjahat yang ditakuti karena kejahatannya tetapi ia telah mengalami transformasi menjadi individu yang disegani karena status dan keilmuannya di bidang Islam. Ia mendirikan Pondok Pesantren khusus mantan narapidana yang diberi nama Pondok Pesantren At-Taibin di Cibinong Bogor. Di pesantren inilah ia menghabiskan waktu untuk membina dan mendidik mantan narapidana agar menjadi orang yang baik, bisa kembali dan diterima oleh masyarakat. Kisah tentang orang yang bertobat dan kemudian menjadi tokoh terkenal telah banyak tertulis dalam berbagai literatur klasik. Salah satunya adalah Umar bin Khattab, khalifah pengganti Rasulullah yang kedua. Dalam sejarahnya, beliau dikenal sebagai orang yang sangat kejam sebelum masuk Islam. Semua orang takut kepada beliau karena tidak segan-segan membunuh siapapun yang menentangnya. Bahkan, disebutkan beliau pernah membunuh anaknya yang perempuan semasa masih dalam jahiliyah sehingga membuatnya selalu menangis dan menyesali hal itu setiap kali mengingatnya. Sebelum masuk Islam, beliau dikenal sebagai figur yang sangat galak dan kasar terhadap semua orang, setelah menjadi Muslim beliau mengalami transformasi personal yang luar biasa. Beliau berubah menjadi pribadi yang mencintai kebenaran dan membela orang lain yang benar dengan segenap jiwa dan raga. Banyak ahli mengaitkan perubahan personal dengan perubahan sosial yang lebih luas. Mungkinkah? Sangat mungkin. Isu tentang 238
Transformasi Personal ...
perubahan sosial adalah isu penting yang tidak pernah padam. Perubahan sosial sangat erat kaitannya dengan perubahan personal atau perubahan pada tingkat individu. Perubahan personal berperan penting dalam perubahan sosial. Ha itu karena perubahan yang besar harus dimulai dari perubahan yang kecil, kemudian berlanjut menuju perubahan yang lebih besar. Hal ini sangat disadari oleh kaum agamawan dan para ahli di bidang kajian agama. Quraish Shihab, seorang ahli tafsir terkemuka Indonesia menafsirkan ayat 11 dari Surat Ar-Raad bahwa perubahan dalam suatu bangsa tidak akan terjadi manakala perubahan personal tidak diupayakan dengan baik 1. Para psikolog seperti psikolog terkemuka Indonesia Sarlito Wirawan Sarwono juga sepakat bahwa perubahan individual adalah tahap awal menuju perubahan yang lebih besar di tingkat negara dan bangsa karena inti psikologi sebagai ilmu perilaku adalah perubahan perilaku yang disebut dengan konsep belajar2. Belajar pada hakekatanya adalah perubahan perilaku dari buruk menjadi baik atau dari baik menjadi lebih baik. Tentu saja perubahan perilaku yang dimaksudkan para psikolog adalah perubahan perilaku pada tingkat individu. Oleh karena itu, perubahan individu atau transformasi personal adalah bagian penting yang harus diperhatikan semua kalangan yang berkepentingan dengan kemajuan bangsa ini. Dengan demikian, pentingnya mengkaji transformasi personal tidak perlu diragukan lagi. Apa yang dimaksudkan dengan transformasi personal? Disebutkan oleh Garfinkel (2009) bahwa transformasi personal adalah perubahan individual dari suatu kondisi pada satu sisi ekstrim menuju sisi ekstrim yang lain dan berlawanan dengan yang pertama. Misalnya, ia mencontohkan salah satu bentuk transformasi personal adalah perubahan seorang ulama yang radikal atau pendeta yang radikal dan penuh prasangka terhadap kelompok lain menjadi pribadi yang moderat dan menerima keragaman.3
1 Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran (Jakarta: Lentera Hati, 2003), 39. 2 Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi sosial: individu dan teoriteori psikologi sosial, Cetakan III. (Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 2002), 1-5. 3 Renee Garfinkel, Personal transformations: moving from violence to peace (Washington DC: United States Institute of Peace, 2007), 1-5.
Pentingnya penelitian ini juga diilhami oleh suatu kenyataan bahwa banyak individu yang semula berkutat di dunia hitam dan kejahatan, kini beralih menjadi orang baik bahkan menjadi pengajar kebaikan, misalnya menjadi ustad atau pendeta. Kendati demikian, tidak banyak penelitian yang secara khusus melihat fenomena transformasi personal pada mantan penjahat yang kini menjadi guru umat. Padahal pengetahuan tentang proses transformasi dan apa yang dilakukan setelah perubahan bisa menjadi dasar untuk berbagai kebijakan dan intervensi sosial. Menurut penulis, di sinilah letak pentingnya penelitian ini yaitu mengisi kekosongan penelitian tentang perubahan personal pada penjahat menjadi orang baik yang mengajarkan kebaikan dengan ditinjau dari perspektif teori-teori psikologi. Apa yang Baru dari Studi Ini? Keseluruhan penelitian di atas menekankan proses transformasi personal pada individuindividu dengan tindak kejahatan yang dipandang extra ordinary crime, dan belum banyak —untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali—penelitian yang menelaah dan mengkaji proses transformasi personal pada bidang perilaku dengan kejahatan biasa, seperti pada mantan perampok. Hemat penulis, hal inilah yang tidak disentuh oleh para peneliti lain sehingga dirasakan perlu mengkajinya dari sudut pandang psikologi. Perlu juga dikemukakan bahwa penelitian transformasi personal tidak banyak – untuk mengatakan tidak ada—yang dilakukan di Indonesia sehingga penelitian dengan perspektif psikologi sosial dan psikologi budaya berbasis indigineous atau lokal diharapkan akan bisa mengisi kekosongan penelitian yang bertemakan transformasi personal. Dalam perspektif psikologi pada umumnya, transformasi personal adalah suatu keniscayaan karena manusia adalah makhluk pembelajar. Orang yang mengalami transformasi personal adalah individu yang berhasil menghadapi tantangan dan hambatan dalam perjalanan hidupnya yang panjang. Jika transformasi personal dialami oleh seseorang dari ranah yang negatif menuju ranah yang positif maka besar kemungkinan orang itu akan meraih keberhasilan-keberhasilan lainnya dalam hidup.
Hal itu diperkuat oleh hasil penelitian dalam bidang psikologi positif, misalnya penelitian Saligmen yang menyimpulkan bahwa keberhasilan seseorang dalam bidang tertentu akan diikuti oleh keberhasilan lain dalam bidang yang berbeda. Itu terjadi karena keberhasilan awal yang diraih seseorang dalam hidupnya akan melahirkan semangat dan optimisme yang optimal di satu sisi dan di sisi lain bisa meningkatkan harga diri. Kombinasi antara semangat dan optimisme yang optimal di satu sisi dan peningkatan harga diri di sisi lain akan melahirkan cara berpikir atau mindset yang positif sehingga dengan kekuatan itu semua harapan dan impian akan terwujud. Setelah diberikan penjelasan tentang pentingnya transformasi personal dalam konteks transformasi sosial dan bagaimana psikologi menempatkan transformasi personal sebagai suatu konsep penting dalam kehidupan individu dan sosial maka rasa ingin tahu berlanjut ke tahap berikutnya, yaitu menyangkut pertanyaan faktor apa saja yang mempengaruhi transformasi personal dalam perspektif penelitian terdahulu? Horgan (2009) menjelaskan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan transformsi personal yaitu faktor fisik dan faktor psikis. Faktor fisik menyangkut perubahan peran dan identitas, sedangkan faktor psikis menyangkut kekecewaan individu terhadap pihak-pihak yang terkait Penelitian ini terlalu dengannya 4 . menyederhanakan dan mereduksi persoalan tranformasi personal ke faktor-faktor yang terbatas dan tidak menyangkut misalnya faktor eksternal seperti pengaruh lingkungan sosial. Padahal hampir semua ahli sepakat, misalnya Moghaddam (2009) bahwa faktor sosial tidak bisa dinafikan sebagai faktor penting yang mengubah perilaku seseorang5. Untuk menjawab hal itu, Bjorgo (2009) mengemukakan penjelasan lain yang lebih komprehensif dengan menyebutkan bahwa transformasi personal terjadi karena ada faktor penarik dan faktor pendorong. Faktor penarik adalah hal-hal yang menarik seseorang dari luar 4 John Horgan, Walking away from terrorism: Accounts of disengagement from radical and extrimist movements (Oxon: Routledge, 2009), 1-15. 5 Fathali M. Moghaddam, From the terrorists’ point of view: what they experience and why they come to destroy (London: Praeger Security International, 2006), 1-20 .
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
239
dirinya dan lingkungannya sedangkan faktor pendorong adalah hal-hal yang mendorong seseorang dari dalam dirinya dan lingkungan. Faktor penarik umumnya bersifat positif dan faktor pendorong umumnya bersifat negatif dan tidak mengenakkan6. Hemat peneliti, model dari Bjorgo (2009) mengabaikan faktor yang ada di dalam diri seseorang terutama menyangkut ideologi atau gagasan yang ada di dalam pikiran atau kognisi seseorang. Padahal jamak diketahui bahwa perubahan personal tidak mungkin akan terjadi tanpa dasar pikiran dari seseorang, sehingga bisa dikatakan bahwa model ini belum lengkap menjelaskan elemen-elemen penting yang mengubah perilaku manusia7. Oleh karena itu, diperlukan penelitian yang lebih komprehensif dengan menggabungkan faktor personal, faktor lingkungan sosial, dan faktor kognitif untuk menjelaskan transformasi personal pada manusia termasuk pada kalangan penjahat yang berubah menjadi orang baik. Penelitian ini akan mengambil posisi dan peran itu, yaitu menggabungkan berbagai pendekatan sehingga semua faktor yang mungkin menjelaskan transformasi personal pada mantan penjahat akan digunakan sebagai penjelasa Rumusan masalah utama yang hendak dijawab dalam penelitian ini adalah dalam bentuk pertanyaan yang berbunyi: Mengapa para mantan penjahat berubah menjadi orang baik? Masalah utama penelitian tersebut akan dirinci ke dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana transformasi personal terjadi pada mantan preman dan penjahat? 2. Bagaimana faktor psikologis dan faktor lainnya mempengaruhi transformasi personal pada mantan preman dan penjahat? 3. Bagaimana para partisipan penelitian menghadapi hambatan psikologis, sosial, dan budaya dalam proses transformasi personal? Transformasi Personal Transformasi personal secara kebahasaan bermakna perubahan individu. Dalam perspektif 6 Tore Bjorgo, “Processes of disengagement from violent groups of the extreme right”. In Leaving Terrorism Behind, by Tore Bjorgo and John Horgan (Oxon: Routledge, 2009), 30-48. 7 Beberapa literatur yang ditulis Horgan cenderung mengabaikan hal-hal yang bersifat psikologis padahal hampir sebagian besar pilihan perilaku dipengaruhi oleh hal-hal yang personal.
240
Transformasi Personal ...
psikologi, transformasi personal kerapkali dikaitkan dengan konsep belajar. Dalam pengertian yang paling dasar, belajar bermakna perubahan perilaku dari satu kutub menuju kutub yang lain. Misalnya, perubahan dari tidak bisa menjadi bisa atau perubahan dari tidak menjadi tahu dan lain sebagaimanya. Pengertian tentang belajar yang difahami sebagian besar orang saat ini hanyalah bagian kecil dari pengertian belajar yang memiliki cakupan yang sangat luas8. Bagi kaum agamawan dan filosof, perubahan adalah konsep penting yang selalu menjadi tema pembicaraan dalam kehidupan relijius dan spiritual sehari-hari. Sebagai agama yang progresif dan berbasis visi masa depan, Islam sangat menekankan arti perubahan. Bahkan, ayat suci yang termaktub di dalam Al-Qur’an secara khusus menegaskan bahwa Allah tidak akan memberikan kesempatan berubah kepada suatu kaum jika mereka tidak melakukan perubahan apa yang ada di dalam dirinya. Ulama tafsir terkemuka Indonesia saat ini, Prof. Dr. Quraish Shihab memberikan penafsiran yang penuh dengan dimensi psikologis yang kuat. Menurutnya, di dalam ayat itu Allah menegaskan bahwa kondisi suatu bangsa tidak akan pernah berubah manakala apa yang ada di dalam diri mereka tidak berubah menjadi lebih baik dan berkualitas. Apa yang ada di dalam diri manusia mengandung tiga aspek yaitu aspek pikiran, perasaan, dan tindakan. Dalam kajian keislaman, transformasi personal bisa dijelaskan juga dengan konsep tobat. Secara kebahasaan, tobat berasal dari kata bahasa Arab, taaba-yatuubu-taubatan yang berarti kembali. Orang-orang yang bertobat adalah orang-orang yang kembali ke jalan kebenaran atau ke jalan Allah setelah sebelumnya menempuh perjalanan panjang di jalan kesesatan atau jalan setan. Dalam Islam, bertobat bisa dilakukan dengan memohon ampunan secara lisan, menyesali kesalahan yang dilakukan di masa lalu dengan hati yang penuh ikhlas dan secara perbuatan, tidak melakukan lagi kesalahan dan kekhilafan di masa lalu dan melakukan perbuatan baik yang berlawanan dengan perbuatan buruk yang telah dilakukan di masa 8 Rupert Brown and Sam Gaertner, Handbook of Psychology: Intergroup Processes (Malden MA: Blackwell Publishing, 2003), 15-20.
lalu. Penelitian tentang transformasi personal telah dilakukan oleh banyak ahli, misalnya Garfinkel (2009) yang meneliti tentang perubahan sejumlah tokoh radikal keagamaan dari jalan kekerasan menuju perdamaian. Penelitian ini dilakukan di benua Afrika dengan partisipan penelitian adalah para tokoh agama dari kalangan Muslim dan Kristen. Penelitian ini menyimpulkan bahwa konversi keagamaan, interaksi dengan orang di luar kelompok, dan berpindah tempat tinggal berpengaruh terhadap transformasi personal9. Penelitian Garfinkel (2009) ini memberikan pesan penting bahwa manusia pasti mengalami perubahan termasuk kaum radikal sekalipun10. Hal ini juga diperkuat oleh kisah Ed Husein, seorang anak muda Muslim keturunan Pakistan kelahiran Inggris. Sebagai anak muda ia dibesarkan dalam dua tradisi sekaligus yaitu tradisi Islam Pakistan yang ia peroleh dari lingkungan keluarga dan tradisi Inggris atau Eropa yang ia peroleh dari lingkungan pergaulan dan lingkungan sekolah. Dalam dua situasi seperti itu, satu kelompok gerakan Islam mengajaknya untuk bergabung sebagai komunitas yang memperjuangkan sistem kehidupan yang berbasis khilafah. Tawaran HTI ini bertolak belakang dengan tradisi kehidupan keluarganya yang moderat atau kehidupan Inggris yang agak liberal. Ia akhirnya terlibat dan aktif dalam berbagai aktivitas HTI selama beberapa tahun sampai akhirnya ia kembali menjadi Muslim moderat sebagaimana pilihan keluarganya11. Berkaitan dengan penelitian ini, bisakah substansi dan hasil dari penelitian Garfinkel ini digunakan untuk menganalisis transformasi personal pada pelaku kejahatan biasa seperti perampok? Hemat peneliti, selama masih dalam konteks perubahan personal maka apapun bisa dianalisis dengan alat analisis yang digunakan oleh Garfinkel (2009). Sebab, substansi dari penelitian ini sama dengan substansi penelitian yang dilakukan Garfinkel, yaitu sama-sama 9 Renee Garfinkel, Personal transformations: moving from violence to peace (Washington DC: United States Institute of Peace, 2007), 1-5. 10 Renee Garfinkel, Personal transformations: moving from violence to peace (Washington DC: United States Institute of Peace, 2007), 1-5. 11 Ed Husein, The Islamist (London: Penguin Books,2007), 1-25.
meneliti tentang perubahan personal. Pada penelitian Garfinkel, subjek atau informan penelitian adalah orang-orang yang memilih jalan keras dan kemudian beralih memilih jalan damai, sedangkan penelitian menetapkan subyek atau informannya adalah orang-orang yang pernah terjerumus dalam dunia hitam kejahatan dan kemudian memilih jalan kehidupan spiritual dan keagamaan. Kedua-duanya berupaya menggambarkan proses perjalanan hidup manusia dari titik ekstrim yang buruk dan kotor menuju titik esktrim yang baik dan bersih. Dengan kata lain, kedua penelitian ini menekankan pada sisi proses perjalanan hidup manusia dan hasil dari proses itu. Penelitian lain yang juga fokus menelaah proses perubahan personal adalah penelitian yang dilakukan oleh John Horgan, seorang peneliti yang mengkhususkan diri menelaah dan meneliti di bidang psikologi terorisme, terutama yang berkaitan dengan deradikalisasi dan disengagement. Penelitian Horgan (2009) dengan pendekatan kualitatif pada sejumlah mantan ekstrimis radikal keagamaan di Timur Tengah. Penelitian ini menyimpulkan bahwa perubahan dari cara pandang radikal menuju cara pandang keagamaan moderat dipengaruhi oleh sejumlah hal yang dikelompokkan ke dalam dua faktor penting, yaitu faktor personal seperti disilusi ideologi, stress dan bornout, serta faktor fisik seperti pemenjaraan dan perubahan peran dan posisi dalam kelompok. Agaknya penelitian Horgan kurang memberikan perhatian pada aspek lingkungan sosial seperti tercermin dari buku-buku dan literatur yang ia tulis. Beberapa buku dan literatur yang pernah ditulis Horgan tidak banyak membahas tentang pengaruh lingkungan sosial terhadap pertimbangan dan pilihan berubah secara personal. Dalam perspektif Horgan, faktor utama yang mendorong seseorang berubahan terutama dalam kasus pelaku teror adalah faktor personal, yaitu faktor yang menggambarkan hal-hal yang bersifat psikolgis pada manusia, walaupun ia hanya membatasi pada konsep disilusi atau rasa kecewa. Horgan tidak banyak mengeksplorasi konsep-konsep psikologi lainnya yang juga sangat penting bahkan lebih penting dari sekadar konsep disilusi. Misalnya, disonansi, kecemasan dan lain-lain sehingga dalam pandangan penulis, buku laporan penelitian Horgan tentang
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
241
disengagement sangat kering dan tidak banyak menggambarkan dirinya sebagai ilmuwan di bidang psikologi. Penelitian lain yang juga penting dan relevan adalah penelitan Bjorgo (2009) yang dilakukan terhadap kelompok sayap kanan Eropa dan geng jalanan. Penelitian Bjorgo menemukan model transformasi personal yang berbasis pada faktor pendorong dan faktor penarik. Faktor pendorong adalah semua hal yang membuat seseorang merasa tidak nyaman dalam komunitas dan lingkungan pergaulannya, sedangkan faktor penarik adalah semua hal yang membuat seseorang tertarik untuk keluar dari keanggotaan kelompok lama. Penelitian Reiner (2011) juga meneliti tentang transformasi personal pada anggota kelompok pemberontak ETA di Portugal. Penelitian ini menyebutkan bahwa transformasi personal dari jiwa pemberontak dan ekstrimis kanan menjadi toleran dan menerima perbedaan dan keragaman terjadi karena tiga faktor yaitu faktor struktural yang berkaitan dengan perubahan sosial-politik, faktor organisasi yang berkaitan dengan hilangnya soliditas kelompok dan faktor personal yang berkaitan dengan masalah psikologis dan hubungan interpersonal12. Satu hal yang tidak disinggung oleh Reinares adalah bagaimana faktor pergaulan sosial berpengaruh terhadap transformasi personal. Apakah hal ini memberikan kontribusi juga terhadap transformasi personal? Secara logika sederhana berdasarkan telaah teoritis dan hasil penelitian sebelumnya, faktor pergaulan sosial juga turut memberikan sumbangan terhadap transformasi personal yang dialami siapapun termasuk tentu saja orang-orang yang dipandang sebagai penjahat tetapi kemudian bertobat. Pertanyaan penting yang perlu diajukan dalam hal ini, bisakah model transformasi personal yang diterapkan pada kaum pemberontak dan pejuang kemerdekaan ini bisa diterapkan pada kasus lain seperti penjahat atau preman? Menurut penulis bisa saja karena semua konsep seh arusnya bisa digunakan pada semua konteks dan situasi tentu dengan melakukan
12 Fernando Reinares, “Exit from terrorism: A Qualitative empirical study on disengagement and deradicalization among members of ETA”. Jurnal Terrorism and Political Violence 23, (2011) DOI: 10.1080/09546553.2011.613307, 780-803.
242
Transformasi Personal ...
adaptasi dan penyesuaian konteks. Bila merujuk kepada model yang dikembangkan Reinares maka situasi makro seperti kondisi sosial, ekonomi dan politik memberikan sumbangan besar terhadap perubahan personal seseorang, misalnya dalam hal ini kejahatan. Jamak diketahui bahwa meningkatnya angka kejahatan di antaranya disebabkan oleh ketidakpastian ekonomi dan politik yang terjadi dalam suatu negara. Contoh, jika harga meroket sementara daya beli masyarakat menurun karena nilai rupiah yang terus-terusan melemah di hadapan nilai mata uang lainnya seperti dolar atau uero maka besar kemungkinan angka kejahatan semakin meningkat. Sebaliknya, jika sosial, ekonomi dan politik stabil maka kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari juga cukup maka angka kejahatan juga menurun. Dengan demikian, pada tingkat individu terjadi perubahan perilaku dari domain baik menuju domain buruk atau sebaliknya. Kemudian, bagaimana dengan pengaruh dinamika kelompok terhadap perubahan personal di kalangan penjahat? Hal itu bisa dijelaskan secara gamblang. Secara umum, kejahatan atau premanisme adalah perilaku manusia yang bersifat kolektif dan terorganisir dengan suatu perencanaan, baik sederhana maupun kompleks. Memang dalam situasi tertentu, bisa saja kejahatan terjadi secara individual tetapi biasanya kejahatan seperti itu tidak banyak mengalami sukses besar. Sebelum menikmati hasil kejahatan, polisi telah menangkapnya dengan cepat. Dalam kasus kejahatan dengan kelompok yang tertata baik, hubungan interpersonal di dalam kelompok atau biasa disebut dengan istilah dinamika kelompok memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap perilaku individu anggota kelompok. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa perilaku kelompok memberikan warna yang kuat pada perilaku individu. Semakin kompak atau kohesif suatu kelompok maka semakin kuat pengaruhnya terhadap perilaku individu. Sebaliknya, melemah kohesivitas kelompok maka semakin melemah kekuatan pengaruhnya terhadap perilaku individu. Penelitian Reinares (2011) juga memperlihatkan bahwa pengalaman personal yang dirasakan seseorang berpengaruh juga
terhadap keputusan. Pengalaman yang bersifat personal dipersepsi atau ditafsirkan oleh seseorang, lalu persepsi dan penafsiran itu direnungkan. Hasil persepsi dan penafsiran yang direnungkan itu kemudian menjadi penggerak utama perubahan tingkah laku. Pengalaman personal yang menggerakkan seseorang untuk berubah bisa saja berkaitan dengan dirinya saja atau berkaitan juga dengan orang lain. Pengalaman itu menciptakan kesan, baik positif maupun negatif. Kesan positif akan mengarahkan seseorang menuju tempat yang baik sedangkan kesan negatif mengarahkannya menuju tempat yang buruk. Penelitian Kruglanski dkk (2014) menyebutkan bahwa transformasi personal dipengaruhi oleh faktor motivasi yaitu dorongan psikologis untuk mencari kebermaknaan, faktor ideologi yaitu daya tarik ideologis yang tidak lagi memukau dan faktor sosial yaitu dinamika dan proses sosial yang dialami individu dengan orang lain dalam kehidupan sosial. Pencarian makna terjadi karena seseorang telah mengalami kehilangan makna dalam hidupnya, oleh karena itu, ia berupaya mencari cara atau penyaluran agar makna yang hilang dalam hidupnya bisa kembali kepadanya13. Jika seorang telah menemukan makna apakah yang kemudian dia lakukan? Bertahan di dalam posisi dan situasi saat ini atau beralih ke posisi dan situasi yang berbeda sama sekali dengan yang sekarang? Pertanyaan ini menjadi penting untuk dikemukakan karena model yang dikembangkan Kruglanski dkk lebih menitikberatkan pada situasi “menjadi” bukan pada situasi telah menjadi. Hal itu karena penelitian tentang proses menjadi atau radikalisasi telah dilakukan sementara penelitian tentang proses telah menjadi atau meninggalkan proses belum selesai dilakukan.
B. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara mendalam dan telaah dokumen termasuk media sosial sebagai 13 , Arie W Kruglanski, Michele J. Gelfand, Jocelyn J. Belanger, Anna Shaveland, Malkanthi Hetiarachchi, and Rohan Gunaratna. “The psychology of radicalization and deradicalization: How significance quest impacts violent extrimism.” Advance in Political Psychology Vol 35 (2014), Supp 1. doi: 10.1111/pops.12163 69-93 .
instrumen pengumpulan data. 2 orang mantan narapidana kriminal umum di Mataram dan Tangerang Selatan dijadikan sebagai subyek penelitian, sedangkan 5 orang lainnya dari kalangan keluarga dan sahabat subyek dijadikan sebagai narasumber penelitian. Untuk memperkuat hasil penelitian dilakukan triangulasi data dan sumber yaitu data yang diperoleh media sosial seperti youtube yang menampilkan pengalaman personal beberapa mantan penjahat dan preman yang telah mengalami perubahan diri Analisa data dilakukan dengan tehnik analisis tematik yaitu pengkodean data sesuai dengan tema-tema yang telah ditentukan berdasarkan teori perubahan personal dari Kruglanski dkk (2014). Data verbatim yang diperoleh dari hasil wawancara dikode berdasarkan tahapan pengkodean yang digunakan dalam penelitian kualitatif dengan tehnik analisis tematik, yaitu open coding, axial coding dan selective coding.
C. TEMUAN PENELITIAN Temuan penelitian dalam artikel ini disusun berdasarkan tema-tema tertentu sebagaimana dijelaskan di bawan ini: Pengalaman Hidup Dalam perspektif ilmu psikologi, pengalaman bisa menjadi sumber belajar karena ia merupakan dasar utama dalam learning by doing atau experential learning. Pengalaman bukan hanya menyangkut apa yang kita lakukan tetapi juga menyangkut apa yang kita pikirkan dan kita rasakan. Maka, para ahli psikologi sepakat bahwa dimensi dari pengalaman itu meliputi pengalaman mengerjakan, pengalaman memikirkan, dan pengalaman merasakan. Semua itu akan menjadi sumber pembelajaran jika individu bisa menyerap inti dari pengalaman itu. Dalam bahasa agama, pengalaman belajar bukan hanya berkaitan dengan penyampaian pesan agama secara verbal tetapi juga bagaimana pengiman atau penganut agama mengalami halhal yang bersifat non verbal melalui pengalaman menghayati dan mengamalkan secara konsisten dan konsekuen semua pengalaman hidup keberagamaan. Disebutkan oleh Prof. Dr. Zakiah Darajat, bahwa pengalaman mengerjakan ritualritual keagamaan di masa kecil dan masa remaja
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
243
akan berpengaruh kuat terhadap relijiusitas dalam arti yang khusus bagi individu. Pengalaman semacam itu ternyata bukan hanya bepengaruh kuat terhadap hal-hal yang bersifat relijiusitas tetapi juga berpengaruh terhadap cara pandang dalam melihat hidup dan bagaimana bersimpati atau berempati terhadap orang lain. Demikian pula yang dialami oleh seorang mantan penjahat di masa lalu. Sturbuck yang pernah menulis buku psikologi agama di penghujung abad ke-19 juga pernah menyinggung bagaimana pengalaman keagamaan di masa lalu yang dialami seseorang akan berpengaruh terhadap perjalanan hidupnya dan bagaimana ia meraih masa depan dan bagaimana ia berinteraksi dengan orang lain. Begitu juga William James, bapak Psikologi Agama, menyatakan bahwa pengalaman keagamaan yang dialami seseorang di masa lalu dapat menjadi dasar bagi perubahan perilaku seseorang di masa depan. Pernyataan yang lebih mutakhir berasal dari Garfinkel, seorang psikolog klinis yang memperdalam psikologi agama, juga menyebutkan bahwa pengalaman keberagamaan yang secara khusus ia sebutkan sebagai konversi keagamaan merupakan pengalaman personal yang berkaitan dengan transformasi personal. Pengalaman hidup di penjara yang penuh dinamika memberikan pelajaran berharga bagi subyek. Interaksi dengan banyak orang dengan ragam karakter dan pengalaman membuka pikirannya bahwa hidup harus terus berubah dan berkembang ke arah yang lebih baik. Dari sekian banyak manusia yang ditemukan di dalam penjara, subyek menyimpulkan bahwa orang yang paling bahagia dan bermakna adalah yang bisa mengajarkan agama dan ketuhanan kepada dirinya. Dalam persepsi AS, orang yang mengajarkan agama dan ketuhanan adalah orang yang paling beruntung dan paling baik karena berupaya menyelamatkan manusia dari alam kesesatan menuju alam kelurusan atau dari alam kegelapan menuju alam terang-benderang atau alam kebodohan eksistensial menuju alam kecerdasan eksistensial. Agaknya, pengalaman dan ilmu agama di masa kecil yang pernah diperoleh AS sedikit banyak menjadi faktor penting yang mendorong perubahan personal pada dirinya. Apakah hal itu bisa terjadi dan bagaimana bisa terjadi? Jika merujuk kepada pandangan kaum Neo-Freudian 244
Transformasi Personal ...
seperti Jung dan kawan-kawan maka diperoleh informasi bahwa sesungguhnya manusia menyimpan arketif atau pengetahuan tentang kebenaran di dalam alam bawah sadarnya. Pengetahuan tentang kebenaran itu akan muncul manakala ada situasi pemicu yang memicu kemunculan hal itu. Berkaitan dengan penjelasan di atas, uraian tentang hati nurani dari Prof. Dr. Nurcholis Majid sangat relevan dalam hal ini. Menurut Nurcholis Majid, sesungguhnya di dalam diri tiap orang ada dhomir atau hati nurani yang selalu jujur dan mengajak setiap orang kepada kebenaran. Nurcholis Majid mengutip hadis tentang hati nurani yang mana Rasulullah selalu mengingatkan para sahabat agar kembali kepada hati nurani jika tidak menemukan jawaban atas berbagai persoalan hidup di dalam Al-Qur’an maupun hadis atau pendapat para sahabat. Rasulullah bersabda, “Tanyakan dhomirmu (hati nurani).” Dengan demikian, pengalaman hidup bila mengikutsertakan hati nurani maka dapat mengantarkan seseorang menuju perubahan personal ke arah yang lebih baik. Penjara telah mengajarkan kepada diri subyek bahwa kebermaknaan diri akan muncul jika seseorang bisa memberikan manfaat bagi orang lain. Hal itu misalnya ia temukan pada individu-individu tokoh agama yang selalu datang secara rutin ke penjara untuk memberikan pencerahan kepada umat masing-masing. Subyek melihat bagaimana seorang pendeta dan timnya dengan penuh ketulusan memberikan pelayanan kepada umatnya dalam bentuk pelayanan keagamaan dan pengajaran tentang tuhan dan kitab suci. Hal yang sama dilakukan oleh sejumlah ustad yang rutin memberikan ceramah dan kajian agama kepada para warga binaan penjara di masjid. Menurut cerita subyek, ada perbedaan yang mencolok antara tim pendeta atau pastur dan para ustadz dalam memberikan pelayanan keagamaan dan spiritual kepada umat masing-masing. Tim pastur dan pendeta disokong oleh dana yang kuat sementara tim ustadz didukung oleh dana yang kecil. Hal itu terlihat misalnya bagaimana para pastur dan pendeta bisa memberikan konsumsi dan pemberian yang berkualitas kepada warga binaan penjara yang beragama Kristen atau Katolik pada hari natal. Bahkan konsumsi dan pemberian atau hadiah bukan
hanya diberikan kepada warga binaan yang Kristen atau Katolik tetapi juga diberikan kepada warga binaan yang Muslim. Sebaliknya, saat perayaan hari-hari besar Islam seperti Idul Fitri, tim ustadz tidak bisa memberikan banyak hal kepada warga binaan yang Muslim. Perayaan hari besar Islam berlangsung ala kadar tanpa ada sesuatu yang bisa diharapkan oleh warga binaan Muslim padahal itu yang diharapkan mereka di dalam penjara. “Terus terang, mereka hebat. Saat natal, mereka bisa membahagiakan umatnya bahkan semua penghuni penjara lainnya karena dananya kuat. Mungkin. Tapi kita yang orang Islam, para ustad itu kasihan, mereka bergerak dengan dana terbatas. Itu kata mereka lho.” Sebagai seorang Muslim, subyek merasa hal itu amat memilukan dan membuatnya cukup bersedih. Walaupun perilaku atau perbuatannya bertentangan dengan ajaran Islam tetapi dalam situasi seperti itu identifikasi dirinya sebagai Muslim menjadi semakin kuat. Kondisi psikologis seperti ini sama dengan yang saya temukan saat melakukan penelitian di Bogor tentang psikologi hubungan antarkelompok Muslim versus Kristen. Dalam penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, ditemukan bahwa seseorang yang semula merasa tidak memiliki komitmen dan identifikasi keagamaan yang kuat dengan agama, seperti Islam, secara mendadak memperlihatkan komitmen dan identifikasi yang kuat ketika Islam dipersepsikan dalam situasi terancam oleh penganut agama lain. Hal yang sama agaknya terjadi juga pada subyek penelitian ini. “Saya memang penjahat dan perbuatan saya selama ini bertentangan dengan ajaran Islam yang saya anut, tetapi di dalam diri saya yang paling dalam saya masih merasa jiwa saya Muslim. Itu yang saya rasakan, apalagi saya dibesarkan dalam lingkungan Islam yang taat. Saya hanya salah memilih pergaulan.” Pernyataan AS di atas menggambarkan bahwa identifikasi seseorang terhadap identitas tertentu akan menguat manakala identitasnya terancam. Kondisi ini yang disebut sebagai persepsi akan keterancaman identitas yaitu pikiran dan perasaan yang muncul ketika keanggotaan seseorang dalam suatu kelompok terganggu karena mendapatkan ancaman dari kelompok lain. Rentetan pengalaman dan perjalanan hidup semasa di penjara memberikannya suatu pelajaran berharga bahwa beragama atau
mendekatkan diri dengan Tuhan adalah kebutuhan individual dalam situasi yang penuh tekanan psikis dan tekanan sosial apalagi seperti situasi penjara. Sebagai warga binaan dengan kasus perampokan, AS hanya dijenguk oleh anak dan isterinya sementara keluarga besar dari pihak dirinya maupun pihak isterinya belum pernah menjenguknya. Mungkin menurut AS karena jarak yang cukup jauh, selain kesibukan mereka. Kendati demikian, AS merasa yakin bahwa keluarganya pasti akan menerima dirinya ketika habis masa tahanannya dan mengikuti program reintegrasi sosial. Bagaimana AS memperlakukan pengalaman personal mengingatkan peneliti tentang model transformasi personal dari Reinares (2011) yang menempatkan persepsi subyektif sebagai konstruk atau konsep penting yang menjelaskan pilihan individu untuk berubah. Reinares (2011) apapun peristiwa hidup yang dialami individu akan berpengaruh terhadap perubahan perilaku tetapi melalui perantara konsep persepsi subyektif karena setiap individu bersandar pada persepsinya terhadap suatu kondisi atau peristiwa dalam mempertimbangkan apakah akan berubah atau tidak berubah. Selain pengalaman pergaulan di dalam penjara, pengalaman berinteraksi dengan orangorang tertentu di luar penjara setelah AS menghirup udara bebas ternyata juga memberikan kontribusi penting terhadap perubahan personal yang ia alami. Di antara orang yang turut mengubah perjalanan hidupnya adalah seorang ustadz yang sekaligus menjadi guru ngaji dan pembimbing spiritualnya. Ustadz AR, seorang tuan guru kelas kampung dan mantan penjudi yang bertobat telah mengilhami dirinya untuk berubah menjadi orang baik. AR bukan hanya mengubah AS tetapi mengubah banyak orang yang memiliki pengalaman yang sama sebagai pelaku pelanggaran hukum di masa lalu. AS merasa diterima dalam komunitas pengajian yang dibina AR karena mereka memiliki pengalaman, perasaan, dan pikiran yang sama sebagai orang yang kembali kepada Tuhan. “Saya bahagia bisa diterima sebagai bagian dari pengajian Ustadz AR. Sebab, di dalam pengajian itu saya bertemu dengan orang-orang yang bernasib sama dengan saya. Orang-orang yang memiliki pengalaman
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
245
kelam di masa lalu dan ingin kembali kepada Tuhan.” Di dalam psikologi, perasaan diterima oleh orang lain adalah kebutuhan dasar yang sangat penting karena dapat meningkatkan self-esteem seseorang dalam kehidupan sosial. Bahkan Prof. Dr. Zakiah Darajat menganggapnya sebagai syarat inti sehat mental pada seseorang. Dengan kata lain, jika seseorang telah merasa diterima di dalam kehidupan sosial yang nyata maka harga dirinya akan meningkat dan ia akan benar-benar merasa ada atau eksis sebagai individu dan bagian dari kehidupan sosial. Lebih jauh disebutkan bahwa perasaan diterima dan menerima orang lain adalah fondasi dasar terciptanya suasana yang saling mencintai dan menyayangi karena tanpa merasa diterima atau merasa menerima orang lain maka kehidupan sosial tidak akan bisa meningkat menuju tingkatan yang lebih tinggi. Beda AS beda HA. Subyek kedua tidak pernah memiliki pengalaman di penjara karena HA tidak pernah melakukan pelanggaran hukum yang berimbas ke pasal hukum. HA hanya memberikan pelayanan keamanan kepada para pedagang dari incaran tukang palak. HA mendapatkan upah atau honor dari pengelola pasar karena membantu mereka dalam pengamanan pasar. Selain menjadi preman, sebenarnya HA juga berbisnis atau berdagang tepatnya sebagai pedagang sapi kadang menjadi jagal sapi atau orang yang menyediakan daging para pedagang di pasar untuk dijual kepada para pembeli. Menemukan Kebermaknaan Diri Motivasi terpenting transformasi personal menurut Kruglanski dkk (2014) adalah penemuan kebermaknaan diri. Hal itu pula yang dialami HA dalam penelitian ini. HA merasa menemukan makna hidup ketika terlibat aktif dalam kegiatankegiatan pengajian dan keagamaan yang dilakukan di kampungnya. “Saya merasa bahagia dengan mengikuti berbagai kegiatan keagamaan dan pengajian di sini. Saya seperti hidup kembali setelah lama mati sebagai manusia sampah yang tidak berguna. Allah Maha Pengampun.” HA ketika masih kecil dibesarkan dalam tradisi keagamaan yang kental walaupun orang tuanya bukan ahli agama. Bagi anak kampung 246
Transformasi Personal ...
seperti HA kehidupan keagamaan tidak jauh dari pesantren (mushalla). Sebab, di kampungnya santren adalah pusat kegiatan anak-anak kecil dan remaja sepulang dari sekolah formal atau pekerjaan. Pergaulan dalam pesantren yang penuh dengan nilai-nilai agama masih membekas dalam diri HA walaupun dalam beberapa tahun yang panjang nilai-nilai itu seolah-olah hilang tidak berbekas. Hal itu menurut pengakuan HA akibat dari salah pergaulan di tanah rantau saat hendak mencari pengalaman hidup di usia menjelang dewasa awal. Kebermaknaan diri bagi sebagian ahli seperti Prof. Dr. Zakiah Darajat paralel dengan sehat mental. Menurut Zakiah Darajat, sehat mental meliputi empat faktor, yaitu dimensi fisik, dimensi psikis, dimensi sosial dan dimensi agama. Dimensi fisik adalah hal-hal yang berkaitan dengan fisikbiologis manusia. Individu dikatakan sehat mental manakala ia terbebas dari segala penyakit berat yang membuatnya tidak mampu menjalankan fungsi sebagai individu dan bagian dari masyarakat. Sedangkan dimensi psikis adalah hal-hal yang berkaitan dengan kejiwaan manusia. Individu dikatakan sehat mental secara psikis manakala ia bebas dari gejala gangguan neurosis dan penyakit psikosis sehingga membuatnya tidak normal dibandingkan rerata orang. Dimensi sosial adalah dimensi yang berkaitan dengan fungsi sosial manusia yaitu bagaimana individu bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Penyesuaian diri seseorang tergantung konteks atau target penyesuaian diri, yaitu penyesuaian diri dengan diri sendiri, penyesuaian diri dengan orang lain dan penyesuaian diri dengan lingkungan fisik. Dan dimensi sehat mental terakhir adalah dimensi agama. Individu dikatakan sehat mental manakala perilakunya sesuai dengan aturan agama yang dia yakini. Dalam bahasa Islam, ketaatan terhadap perintah agama adalah tanda sehat mental sedangkan kemaksiatan dan pelanggaran terhadap ajaran agama adalah tanda tidak sehat mental. Semakin taat seseorang terhadap agama maka semakin terpenuhi tandatanda sehat mental pada dirinya. Keinginan Bermakna bagi Umat dan Bangsa Keinginan bermakna adalah dambaan setiap orang. Sebagai makhluk sosial, manusia akan
merasa eksis jika ia bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi orang lain di lingkungan sekitar. Hal itu dirasakan pula oleh HA selaku anggota masyarakat. HA menyadari bahwa dia adalah mantan pelaku kejahatan yang merugikan orang lain di masa lalu. Bahkan, dalam pandangan agama HA adalah pelaku lalim yang berbuat zalim terhadap orang lain dan masyarakat. Dari pengajian yang kerapkali ia ikuti bersama Tuan Guru AR ia tahu bahwa dosa yang berkaitan dengan sesama manusia lebih susah diampuni Allah dibandingkan dosa yang berkaitan dengan Allah. Sebab Islam mengajarkan dengan tegas dan jelas bahwa hak Allah diselesaikan dengan Allah dan hak manusia harus diselesaikan dengan manusia sebelum diselesaikan dengan Allah. Dilema antara keinginan bermakna bagi orang lain dan pengalaman masa lalu yang kelam membuat HA susah untuk mengambil keputusan bagaimana ia hendak mewujudkan diri sebagai manusia bermakna bagi orang banyak. Adakah orang percaya bahwa mantan seorang penjahat akan berbuat baik kepada orang lain? Pertanyaan seperti itu kerapkali mengganggu pikiran dan perasaannya sehingga ia menjadi orang yang tidak berani berbuat apaapa. Di satu sisi ia menyadari bahwa pengalaman masa lalu dalam dunia hitam membuat banyak orang tidak mudah percaya kepada dirinya tetapi di sisi lain ia merasa harus berbuat sesuatu yang bermakna bagi orang banyak sebagai bayaran atau kompensasi atas kejahatannya di masa lalu. “Saya ingin dikenang sebagai orang yang bertobat dan kembali menjadi orang baik walaupun masa lalu penuh kelam dan kejahatan. Saya ingin menghadap Tuhan saya dengan kebajikan yang bisa saya lakukan. Sekecil apapun kebajikan itu...” Mencari Cara untuk Menjadi Lebih Bermakna Sejak lama HA berupaya mencari cara bagaimana menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain karena itulah cara yang tepat untuk menjadi lebih bermakna. Dalam setiap pengajian yang HA hadiri atau acara taklim di televisi ia sering mendengar para pendakwah dan ustadz menjelaskan bahwa orang yang paling baik di mata Allah adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain atau bagi banyak orang. Pelajaran dan taklim yang diperoleh melalui pengajian langsung atau melalui pengajian yang disiarkan
di televisi menginspirasi HA untuk mencari tahu cara menjadi lebih bermakna bagi dirinya sesuai kapasitasnya. Tidak mudah memang menemukan hal itu. Bagi orang seperti dirinya, mantan penjahat dan tidak memiliki ilmu agama yang luas dan memadai, mendapatkan kepercayaan dari masyarakat untuk mengajar ngaji termasuk mengajar ngaji anak-anak bukanlah perkara mudah. HA bercerita bahwa suatu saat ia sedang mengajar ngaji anak-anak, tiba-tiba ada orang tua yang mendatangi kediaman tempat di mana ia mengajar ngaji anak-anak dan memaksa pulang anaknya. HA tidak bereaksi negatif atas tindakan orang tua itu karena ia menyadari posisinya sebagai mantan kriminal yang tidak mudah dipercaya jika melakukan suatu kebaikan. HA bahkan membantu membujuk agar si anak mau pulang bersama orang tua. “Saya mencoba mengajar ngaji anak-anak di kampung, tetapi ada saja tantangan dan hambatan yang harus dihadapi. Yang paling sulit dari semua itu, penolakan orang tua anaknya diajar oleh mantan penjahat. Itu yang paling berat buat saya.” Cara untuk meraih kebermaknaan bermacam-macam, tergantung masing-masing orang dan situasi yang melingkupinya. Kebermaknaan tidak hadir di ruang hampa. Kebermaknaan bukan hanya menyangkut individu dengan dirinya sendiri tetapi juga menyangkut orang lain yang ada dalam kehidupannya, dan melalui proses yang panjang. Seorang yang potensial menjadi radikal umumnya adalah berasal dari orang-orang yang punya masalah pribadi secara psikologis maupun secara ekonomi, kemudian masalah itu bertemu pada titik tertentu dengan masalah kelompok sehingga yang terjadi kemudian adalah proses penyatuan dalam menyelesaikan masalah pribadi dan masalah kelompok. Kerapkali individu berharap masalahnya akan bisa diselesaikan dengan baik ketika bergabung dengan kelompok karena salah satu fungsi kelompok di satu sisi adalah bagaimana membantu individu atau anggota kelompok menyelesaikan masalah yang tidak bisa diselesaikan secara individual. Di sisi lain, individu berharap kelompok akan dapat membantunya menyelesaikan masalah yang tidak bisa dihadapi. Pada titik ini terjadi proses timbalbalik manfaat antara pribadi dan kelompok atau
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
247
antara pribadi dengan anggota kelompok lainnya. Hal semacam itu terjadi pada kelompokkelompok rentan dan unik seperti teroris dan kelompoknya atau penjahat dan gangnya. Individu dan kelompok saling menguntungkan satu sama lain. Pada kasus terorisme, bergabungnya seseorang dalam suatu kelompok rahasia atau kelompok gerakan bawah tanah didorong oleh suatu harapan, misalnya terangkatnya identitas personal ke posisi yang lebih baik manakala identitas kelompok memiliki prestise dan marwah yang tinggi di hadapan kelompok-kelompok yang ada atau di hadapan publik. Apa yang terjadi pada HA mencerminkan pertemuan kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. HA sebagai pribadi mendapatkan manfaat banyak dari bergabung ke dalam kelompok, begitu juga sebaliknya kelompok mendapatkan keuntungan yang besar karena bergabungnya seseorang ke dalam kelompok. Sebab dengan bergabungnya seseorang dalam suatu kelompok maka berarti kelompok mendapatkan tambahan sumber daya manusia yang akan mempercepat tercapainya tujuan kelompok. Dakwah dan Taklim atau Menjadi Anggota Masyarakat yang Baik Melalui perenungan yang mendalam dan sholat istikharah akhirnya HA memutuskan untuk tetap berada di jalan dakwah dan taklim. Dalam pandangan HA, dakwah dan taklim adalah cara paling tepat untuk melayani masyarakat dan cara paling relevan untuk menebus segala kesalahan dan dosa yang pernah ia lakukan di masa lalu. HA sangat terkesan dengan hadis Nabi yang berbunyi, “Sampaikanlah ajaranku walaupun hanya satu ayat.” Hadis itu dalam pemahaman HA mengandung pesan khusus kepada dirinya untuk menjadi muballigh dan penganjur kebaikan. Dilema yang HA hadapi antara berdakwah di lingkungan keluarga dan berdakwah di masyarakat memaksanya harus berkonsultas dengan banyak pihak terutama para ustadz senior atau tuan guru terkenal di daerahnya. Maka, HA akhirnya menemui sejumlah tuan guru yang terkenal dan umumnya memiliki pesantren besar untuk meminta nasehat dan tausiyah seputar dilema yang ia hadapi. HA mendapatkan jawaban 248
Transformasi Personal ...
yang memuaskan hatinya dari banyak ustadz dan tuan guru. Hampir sebagian besar ustadz dan tuan guru menasehatinya agar terus melaksanakan dakwah di manapun sesuai kemampuan dan keahliannya. Sebab dakwah sebagaimana penjelasan para ustadz dan tuan guru yang HA temui adalah aktivitas keagamaan yang harus terus dilakukan oleh siapapun, dalam waktu dan tempat yang tidak terbatas. Aktualisasi diri mantan penjahat di dunia dakwah dan taklim bukan hanya dilakoni oleh HA, tetapi juga oleh tokoh terkenal di Indonesia seperti Anton Medan yang kini menjadi ustad dan menjadi kyai di sebuah pondok pesantren yang menampung mantan para penjahat dan narapidana. Anton Medan bukan sekadar mengalami transformasi personal biasa tetapi ia mengalami konversi keagamaan dari seorang non Muslim menjadi seorang muallaf yang tumbuh dan berkembang seiring waktu menjadi tokoh agama yang disegani di kalangan muallaf dan non muallaf terutama di kalangan Muslim Tionghoa. Hal itu tidak lepas dari kiprah sosialnya menampung kaum pinggiran dan orang-orang terbuang yang tidak lagi diterima masyarakat. Dengan penuh kesabaran, Anton Medan mendidik dan menggembleng mereka menjadi pribadi yang tangguh dan memiliki keahlian hidup sehingga tidak menjadi beban keluarga dan masyarakat. Keberhasilan Anton Medan ini menjadi inspirasi bagi HA untuk mengabdi untuk umat dan bangsa walaupun kerapkali ia mengatakan bahwa perjalanan hidup seseorang tentu saja tidak sama dengan perjalanan hidup orang lain. Ini soal takdir Allah kepada setiap manusia. Jika Allah berkenan maka menjadi apapun seseorang pasti bisa.
D. KESIMPULAN Artikel ini menyimpulkan bahwa peristiwa keseharian dan pengalaman di dalam penjara maupun di luar penjara menjadi pemicu penting yang menggerakkan subyek untuk berubah. Perubahan personal secara umum berkaitan dengan perubahan orientasi dan tujuan hidup serta tidak sama sekali berkaitan dengan perubahan karakter dan kepribadian. Semua peristiwa dan pengalaman personal bergantung pada persepsi subyektif individu. Jika persepsi subyektif mempersepsi peristiwa dan
pengalaman hidup sebagai sesuatu yang positif dan menggerakkan perubahan maka subyek akan bergerak untuk meraih perubahan. Sebaliknya jika peristiwa dan pengalaman personal dipersepsi negatif dan tidak bisa menggerakkan individu untuk berubah maka tidak akan pernah ada perubahan. Perubahan personal yang dialami subyek mengikuti tahapan dan proses tertentu yang diawali dari penemuan pengalaman unik atau insight khusus dan diakhiri dengan penemuan kebermaknaan. Rekomendasi Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang diuraikan pada bagian terdahulu maka perlu dilakukan penelitian kuantitatif tentang transformasi personal sebab penelitian kualitatif ini perlu dikonfirmasi dengan penelitian yang melibatkan banyak subyek. Transformasi personal bukan hanya dialami oleh kalangan terbatas seperti teroris atau penjahat tetapi juga dialami oleh orang biasa. Oleh karena itu, ke
depan perlu dilakukan penelitian tentang transformasi personal pada orang-orang biasa seperti mahasiswa, dosen, dokter, perawat, dan lain sebagainya. Itu adalah rekomendasi teoritis. Sedangkan rekomendasi praktis, perlu dilakukan pembinaan intensif terhadap para narapidana kriminal dengan kurikulum dan metode yang terstruktur sehingga meningkatkan motivasi mereka untuk berubah dan menjadi orang yang bermanfaat di masyarakat.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih ditujukan kepada Puslitpen Lembaga Penelitian, Publikasi dan Pengabdian Masyarakat UIN Jakarta yang telah memberikan dana hibah untuk pelaksanaan penelitian ini melalui DIPA Tahun Anggaran 2015.[]
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
249
D A F TA R P U S TA K A
Bjorgo, Tore. “How gangs fall apart: process of transformation and disintegration of gangs”. Paper presented at the 51st Annual Meeting of the American Society of Criminology, 17-20 November 1999. Didowload Januari 2012. Toronto Canada: American Society of Criminology. Bjorgo, Tore. “Processes of disengagement from violent groups of the extreme right.” In Leaving Terrorism Behind, by Tore Bjorgo and John Horgan, Oxon: Routledge, 30-48, 2009. Bjorgo, Tore, and John Horgan. Leaving terrorism behind: individual and collective disengagement. New York: Routledge, 2009. Bjorgo, Tore, Jaap Van Danselaar, and Sara Grunenberg. “Exit from right-wing extrimist groups: lessons from disengagement program in Norway, Sweden and Germany.” In Leaving Terrorism Behind: Individual and Collective Disengagement, by Tore Bjorgo and John Horgan, Oxon : Routledge, 135-151, 2009. Brown, Rupert, and Sam Gaertner. Handbook of Psychology: Intergroup Processes. Malden MA: Blackwell Publishing, 2003. Creswell, John W. Qualitative Inquiry & Research Design: Choosing Among Five Approaches. Thousands Oaks California: Sage Publication, 2007. Demant, Froukje, Willem Wagenaar, and Willem Wagenaar. Racism and Extrimism Monitor: Deradicalisation in practice, 2009. Dovidio, John F., Samuel L. Gaertner, and Kerry Kawakami. “Intergroup contact: the past, present, and the future.” Group Process & Intergroup Relations, 5-20, 2003. Garfinkel, Renee. Personal transformations: moving from violence to peace. Washington DC: United States Institute of Peace, 2007. Gazi. Psikologi Agama: Memahami Perilaku Keagamaan. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011 Haslam, S.Alexander, Stephen D. Reicher, and 250
Transformasi Personal ...
Katherine J. Reynolds. “Identity, influence, and change: Rediscovering John Turner’s vision for social psychology.” British Journal of Social Psychology 51 (2012): 201-218. Hogg, Michael A. “A social identity theory of leadership.” Personality and Social Psychology Review , Vol. 5, No. 3 (2001): 184–200. Hogg, Michael A. “Social Categorization, Depersonalization, and Group Behavior.” In Blackwell Handbook of Social Psychology: Group Processes, by Michael A. Hogg and R. Scott Tindale, 56-85. Malden, Massachusetts: Blackwell Publishers Inc., 2001 Hogg, Michael A. “Uncertainty, social identity, and ideology.” In Social Identification in Groups Advances in Group Processes, Volume 22, by Shane R. Thye and Edward J. Lawler, 2003229. Oxford: Elsemier, 2005. Hogg, Michael A., and Dominic Abrams. Social Identifications: A Social Psychology of Intergroup Relations and Group Processes. London: Routledge, 1998. Hogg, Michael A., and Graham M. Vaughan. Essentials of social psychology. Eddinburg: Pearson Education Limited, 2010. Hogg, Michael A., Dominic Abrams, Sabine Otten, and Steve Hankle. “The social identity perspective: Intergroup relations, selfconception, and small groups.” Small Group Research Vol. 35 No. 3 June (2004): 246-276. Hogg, Michael A., Dominic Abrams, Sabine Otten, and Steve Hinkle. “The sosial identity Perspective: Intergroup relation, selfconception, and small groups.” Small Group Research Vol. 35 No. 3 June (2004): 246-276. Homans, Krstin J., and Chris J. Boyatzis. “Religiosity, Sense of Meaning, and Health Behavior in Older Adults.” The International Journal for the Psychology of Religion, 20 (2010): 173–18. DOI: 10.1080/10508619.2010.481225. Horgan, John. “Understanding terrorist motivation: a socio-psychological perspective.” In Mapping Terrorism Research:
State of The Art and Future Direction, by Magnus Ranstorp, 106-126. Abingdon OX: Routledge, 2007. —. Walking away from terrorism: Accounts of disengagement from radical and extrimist movements. Oxon: Routledge, 2009. Husein, Ed. The Islamist. London: Penguin Books, 2007. Kruglanski, Arie W., Michele J. Gelfand, Jocelyn J. Belanger, Anna Shaveland, Malkanthi Hetiarachchi, and Rohan Gunaratna. “The psychology of radicalization and deradicalization: How significance quest impacts violent extrimism.” Advance in Political Psychology Vol 35 (2014), Supp 1. doi: 10.1111/pops.12163 69-93 .
Publication, 2014. Moghaddam, Fathali M. From the terrorists’ point of view: what they experience and why they come to destroy. London: Praeger Security International, 2006. Reinares, Fernando. “Exit from terrorism: A Qualitative empirical study on disengagement and deradicalization among members of ETA.” Terrorism and Political Violence 23 (2011): 780-803 DOI: 10.1080/ 09546553.2011.613307. Santrock, John W. Psychology: Essentials. New York: McGraw-Hill Company, 2003 Sarwono, Sarlito Wirawan. Psikologi sosial: individu dan teori-teori psikologi sosial, Cetakan III. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 2002.
Miles, Matthew B., A. Michael Huberman, and Johnny Saldana. Qualitative Data Analysis: A Methods Sourcebook. Los Angeles: Sage
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
251
252
Transformasi Personal ...
BOOK REVIEW NEGERI PARA ULAMA
A H M A D M U J I B*)
Judul Buku: Rihlah Peradaban: Samarkand Negeri Ulama Seribu Bidadari Penulis: Laode M Kamaluddin dan A.Mujib El Shirazy Penerbit: Penerbit Gunadarma Tahun: 2015 Tebal: 198 halaman
Rihlah Peradaban, demikian judul buku yang ditulis Laode M Kamaluddin dan Ahmad Mujib El Shirazy ini mengingatkan kita pada sebuah karya fenomenal seorang petualang muslim bernama Ibnu Bathutah. Petualang yang hidup pada abad ke -14 ini menjadi legenda, lantaran jejak perjalanannya yang sedemikian panjang mengelilingi dunia. Konon jarak yang ditempuhnya mencapai 120.000 kilometer, tiga kali lebih panjang dari jarak yang telah ditempuh oleh Marcopolo. Jejak petualangan Ibnu Bathuthah ini dibadikannya dalam sebuah karya berjudul “Tuhfat al-Nuzzar fi Ghara’ib al-Amsar wa-’Aja’ib al-Asfar” atau lebih dikenal dengan “Rihlah Ibnu Bathuthah”.
*
Dosen Peradaban Islam, Universitas Sultan Agung
Entah karena kebetulan, atau memang disengaja oleh penulisnya untuk menyandarkan pada karya masterpiece Ibnu Bathuthah yang terkenal itu. Namun yang jelas, antara buku Rihlah Ibnu Bathuthah dan Rihlah Peradaban karya Laode M Kamaluddin dan A. Mujib El Shirazy keduanya sama-sama berbicara tentang sebuah kisah petualangan di negeri kaum muslimin. Hanya saja jangkauan perjalanan tak sejauh apa yang ditempuh oleh Ibnu Bathuthah yang menelisik hampir seluruh wilayah-wilayah muslim. Buku Rihlah Peradaban hanya sebatas perjalanan kecil penulis di Negara Uzbekistan. Itu pun hanya sebatas empat kota saja, yaitu Khiva, Bukhara, Samarkand dan Tashkent. Membaca secara jeli pada profil salah satu penulisnya, A. Mujib El Shirazy yang ditulis di lembaran akhir buku ini, kita mendapatkan informasi bahwa buku Rihlah Peradaban: Samarkand Negeri Ulama seribu Bidadari, rupanya bukan satu satunya buku yang dikarang penulis berkenaan dengan petualangan. Sebelumnya penulis pernah mengarang sebua buku yang
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
253
berjudul Rihlah Peradaban: Maroko Bumi Kaum Sufi, terbit tahun 2010. Apa sebenarnya yang menjadi tujuan dari penulisan buku ini? Dan mengapa kita perlu membacanya? Jawaban atas pertanyaan ini bisa kita temukan di catatan pengantar yang ditulis oleh Bapak Irman Gusman. “Seperti halnya judul yang diberikan, penulis buku ini, seperti memberikan nasihat, setiap perjalanan yang dilakukan seorang muslim semestinya tidak semata berwisata, tapi perjalanan dalam rangka menggali khasanah keilmuan orang-orang dahulu untuk menjadi inspirasi hari ini. Lebih lanjut Irman mengatakan, “Perjalanan semacam ini memang dianjurkan oleh al-Qur’an. Berkali-kali al-Qur’an mendorong kita untuk mengarungi dunia yang luas berkaca dari pengalaman orang-orang Islam. Al-Qur ’an sendiri secara langsung mencontohkan dengan menghadirkan kisah-kisah masa silam yang sarat dengan pelajaran hidup. Kisah Nabi Sulaiman, menjadi pelajaran yang baik bagi seorang raja untuk menggunakan kekuasaan yang ia miliki menebar risalah tauhid. Kisah Yusuf menjadi pelajaran manajemen untuk mengatasi krisis moneter. Kisah Nabi Ayub yang sangat sabar menghadapi cobaan hidup yang luar biasa kisah Nabi Musa bersama Khidir yang menjadi pelajaran bagi ilmuan manapun bahwa di atas langit ada langit.” Irman menegaskan, bahwa di dalam buku Rihlah Peradaban yang ditulis Prof. Laode M. Kamaluddin dan A. Mujib El-Shirazy, terkandung pelajaran yang berharga yang dipetik dari kisah hidup ulama besar masa silam. Dalam buku yang hanya setebal 198 halaman ini, penulis buku ini tengah berupaya menggugah pembaca untuk kembali mengakrabi khasanah peradaban Islam di puncak kejayaan dengan mengambil setting kota-kota di Daerah Uzbeikistan, di Asia Tengah. Sebuah negeri yang tidak menonjol hari ini sebagai representasi pusat peradaban dunia Islam. Lebih-lebih negeri yang beberapa waktu silam berada dalam jajahan komunis hampir dipastikan tidak terasa nafas Islamnya disana. Tentu akan sangat berbeda dibandingkan dengan nama-nama kota semacam Baghdad, Mesir, Mekah. Damaskus, yang sangat kental dengan rasa Islam. 254
Rihlah Peradaban ...
Maka tak berlebihan jika sebagai pembaca, terbit pula pertanyaan dalam diri kita mengapa kota Usbezkistan yang dipilih untuk menjadi titik masuk pembicaraan jejak peradaban Islam. Penulis buku ini menjelaskan bahwa dipilihnya kota Samarkand, sebagai judul besar dalam buku rihlah ini, lantaran banyaknya ulama, ahli ilmu, raja-raja besar yang mengisi sejarah peradaban Islam rupanya berasal dari negeri Uzbekistan. Penulis menjelaskan, “Di negeri ini kami berencana melakukan Rihlah Peradaban: Menyusuri kota-kota tua yang sangat masyhur dalam literatur Sejarah Peradaban Islam. Kota yang menjadi saksi bagaimana cahaya tauhid menyala terang dan ilmu pengetahuan tumbuh subur”. Kota pertama yang akan kami kunjungi adalah Tashkent, Ibu Kota Negara Uzbekistan yang menyimpan mushaf Al-Qur’an pertama yang dibuat pada masa Khalifah Utsman. Kota berikutnya adalah Samarkand, kota metropolis dunia di masa kekuasaan Amir Timur. Di kota ini berdiri tegak observatorium dan madrasah termegah di Asia Tengah peninggalan raja ilmuan Ulugh Bek. Kota ini juga menjadi tempat persemayaman tokoh-tokoh besar, seperti Imam Bukhari. Amir Timur. Abu Laits As Samarkandi dan Abu Mansur al Mathuridi. Kota berikutnya adalah Bukhara. Kota kelahiran Imam Bukhari yang pernah menjadi ibu kota pada masa pemerintahan Dinasti Samaniah. Kota ini menjadi saksi bagaimana ilmu pengetahuan tumbuh dengan suburnya. Kota yang menjadi tempat ilmuan-ilmuan besar, seperti Ibnu Sina, al Biruni, Abu Zakaria Ar Razi, melahirkan karya-karya mereka. Dan terakhir adalah Khiva atau Khawarizmi. Kota ini merupakan tempat kelahiran ilmuan Muslim al-Khawarizmi. Dari kota ini pula Imam Zamakhsari, pakar tafsir berasal dan Pahlavon Mahmud, seorang sufi pegulat yang menjadi legenda kearifan yang menjadi sumber nilai-nilai etika masyarakat Uzbekistan hingga hari ini. (lihat hal: 10) Buku yang ditulis dalam urutan perjalanan ini, dibagi dalam 14 bab. Dimana masing-masing judul bab justru bukan merujuk pada namanama kota atau tempat-tempat menarik di negara yang mereka kunjungi tersebut, melainkan pada jejak peradaban yang tersimpan dalam kota-kota itu. Beberapa judul dalam buku ini antara lain:
Cahaya Tauhid di Asia, The Code of Timur, Memory of The World: Mushaf Utsmani, Shaki Zindah The Underground King, Soekarno Penyelamat Makam Imam Bukhari, Yahudi dan Kutukan Abu Mansur alMathuridi, Ulugh Bek: Raja Pelindung Ilmu Pengetahuan, Kebun Ruhani Kaum Sufi. Membaca judul judul ini terlihat sekali bagaimana penulis hendak membawa pembaca berkelana pada kebesaran Islam di masa silam. Menelusuri lembar demi lembar buku Rihlah Peradaban kita seperti diajak memasuki lorong waktu melakukan penjelajahan panjang sejarah Islam, mengunjungi kehidupan ulama-ulama besar asal Uzbeikistan ini. Dengan piawainya sang penulis menghadirkan tokoh-tokoh itu di sela-sela kunjungannya menelusuri kota-kota di Uzbeikistan. Demi memikat pembaca, sang penulis sengaja menghadirkan sisi lain dari potret para tokoh-tokoh besar itu. Pada bab pertama, Cahaya Tauhid di Asia Tengah, penulis menyuguhkan sisi lain dari seorang Abu Zakaria ar-Razi. Sosok intelektual muslim yang dikenal sebagai pakar kedokteran ternyata pernah menolak mengobati sakit Amir Mansur. Hanya karena untuk menuju istana Amir Mansur, Ar-Razi harus terlebih dahulu menyeberang sungai Oxus yang besar dengan perahu. Alasannya ia tidak mau tidak memiliki pengetahuan yang meyakinkan bahwa ketika ia naik perahu, ia akan berhasil menyeberang dengan selamat. Sebagai seorang intelektual, pantang baginya melakukan sebuah tindakan tanpa ilmu pengetahuan. Karena itu merupakan tindakan yang konyol. Tentu saja penolakan Ar-Razi, membuat Amir Mansur geram. Maka diperintahkanlah prajurit untuk membawa paksa Ar-Razi ke Istana. Prajurit pun akhirnya mengikat tangan Ar-Razi dan menaikkan ke dalam perahu. Dan lagi-lagi Ar-Razi menunjukkan respon di luar dugaan. Bila sebelumnya Ar-Razi jelas-jelas menolak. Kini saat prajurit mengikatnya justru ar-Razi tidaklah melawan. Ia malah menunjukkan wajah gembira. Tentu saja, prilaku ganjil Ar-Razi ini membuat prajurit Al-Mansur heran. Dan terjadilah dialog antara Ar-Razi dan prajurit “Tuan. Tadi waktu kami membawa anda dengan paksa menyeberangi sungai. Terus terang kami khawatir kalau-kalau tuan memusuhi kami, tapi tampaknya anda tidak demikian, kami tidak
pula melihat anda sakit hati. Sebaliknya kami melihat tuan tampak gembira. Apa sebenarnya terjadi pada tuan” Sembari tersenyum Ar-Razi menjawab, “Aku tahu bahwa setiap tahun ribuan orang menyeberangi sungai Oxus tanpa pernah tenggelam, dan boleh jadi aku juga tidak akan tenggelam, tapi mungkin saja aku celaka, dan jika ini terjadi, sampai Hari Kiamat pun akan ada orang yang mengatakan, Muhammad bin Zakaria adalah orang tolol lantaran, atas kemauannya sendiri, dia naik perahu dan kemudian tenggelam. Itulah alasan kenapa dari kemarin aku tidak bersedia ke Bukhara. Lalu kalian mengikatku, maka aku hanya menurut saja. Karena jika sesuatu terjadi padaku, aku tidak akan dibodoh-bodohkan orang-orang. Sebaliknya, orang-orang akan mengasihaniku, mereka akan berkata, “Sungguh malang Ar-Razi. Ia diikat dan dibawa naik perahu, lalu tenggelam” (Lihat hal : 19 ) Dalam bab ke-9, yang berjudul Yahudi dan Kutukan al-Mathuridhi, penulis menghadirkan rekam jejak ulama besar kalam pembela teologi ahlu sunah wal jamaah Imam Mathuridhi. Lagilagi secara tak terduga, sang penulis memotret realitas lain dari kehidupan Imam Mathuridhi yang rupanya sangat ditakuti oleh orang-orang Yahudi karena kutukannya. Semasa hidup Abu Mansur memiliki kebiasaan. Setiap beliau bertemu dengan orang Yahudi, beliau senantiasa mengajak orang yahudi untuk masuk Islam. Beliau senantiasa berkata, “Kamu mau masuk Islam atau mau cepet mati” Anehnya, setiap orang Yahudi yang diajak al-Mathuridi masuk Islam dan ia menolak ajakan al-Mathuridi. Biasanya tidak lama dari itu, orang tersebut akan mati, seperti apa yang dikatakan al Mathuridi. Ada yang mati tertimpa pohon, ada yang kesambar petir ada pula yang mati lantaran jatuh dari kuda. Maka terkenalah Abu Mansur al-Mathuridi dengan kutukannya. Orang-orang yahudi sangat takut sekaligus benci pada al-Mathuridi. Jika dari kejauhan, ia melihat al-Mathuridi, biasanya mereka memilih menghindar. Bahkan ada yang lari. Mereka takut dikutuk. Cerita tentang kutukan al-Mathuridi rupanya terpelihara di kalangan Yahudi dari satu generasi ke generasi bahkan setelah al-Mathuridi meninggal. Ketika pemerintah komunis
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
255
memerintahkan orang-orang Yahudi membuat pemukiman di area makam. Mereka tidak berani mengotak-atik nisan al-Mathuridi. Diantara pemukiman Yahudi. Makam imam al-Mathurdi seorang dijaga sedemikian rupa oleh satu keluarga Yahudi. Maka paska kemerdekaan, pemerintah meminta orang-orang Yahudi pindah dan mengembalikan area perkuburan para wali ini. Barulah diketahui bahwa makam al-Mathuridi masih utuh. Begitulah, makam al-Mathuridi selamat karena kutukannya” (Lihat hal: 126) Kisah tentang Imam Bukhari juga tak luput dari amatan penulis. Kisah ulama besar di bidang hadits yang berasal dari Bukhara ini ditulis dalam satu bab khusus berjudul Soekarno penyelamat Imam Bukhari. Dan seperti menjadi khas buku ini. Lagi-lagi sang penulis mengeksplore dari sudut yang lain, yaitu cobaaan-cobaaan yang mendera ulama besar ini. Dalam buku ini dikisahkan bagaimana Imam Bukhari di ujung usianya justru menjadi orang yang terusir dari kota kelahirannya Bukhara. Dikisahkan setelah berlangsungnya ujian atas Imam Bukhari yang dilakukan oleh ulama ulama Baghdad, nama Imam Bukhari mashur di seluruh wilayah muslim. Maka tatkala beliau pulang ke kampung halamanya, semua orang menyambut dengan gegap gempita. Orang-orang berduyun-duyun ingin mendengarkan pengajian Imam Bukhari. Saat itulah, Khalid bin Ahmad al-Dzuhli yang menjadi penguasa Bukhara berkeinginan untuk mendapatkan kitab al jami’al-Shahih dan al-Tarikh. Ia mengundang Imam Bukhari untuk tinggal di istananya dan mengajarkan ilmunya untuk kalangan istana, namun tawaran itu ditolak oleh Imam al-Bukhari. Beliau berpikir kalau sebagai ulama ia hanya mengajar di lingkup istana, maka itu artinya ia menutup rapat-rapat para pelajar yang dari kaum jelata untuk berguru kepadanya. Padahal ilmu hanyalah titipan dari Allah untuk diteruskan ke semua manusia. selain itu, kedatangannya ke istana sama saja merendahkan ilmu yang datangnya dari Allah dan ia tidak mau. Kepada utusan Khalid al-Bukhari Imam Bukhari mengatakan, “Aku tidak akan merendahkan ilmu pengetahuan dengan membawanya ke Istana. jika hal ini tidak berkenan di hati tuan, tuan adalah penguasa/ 256
Rihlah Peradaban ...
sultan, oleh karena itu keluarkan larangan agar saya tidak mengadakan majlis ta’lim. Dengan begitu, saya punya alasan di sisi Allah Swt., kelak di hari kiamat, bahwa sesungguhnya saya tidak menyembunyikan ilmu”. Jawaban yang diberikan Imam Bukhari membuat penguasa Bukhara, Khalid bin Ahmad marah besar. Ia kemudian membuat rencana yang dapat mengusir al-Bukhari dengan sah dan alasan yang cukup. Rencana tersebut berhasil dan Imam al-Bukhari diusir dari negerinya sendiri dengan tuduhan keresahan di masyarakat. Imam al-Bukhari pun akhirnya keluar dari negeri Bukhara. Saat itulah penduduk Samarkhand yang empatik dengan Imam alBukhari, merasa terpanggil untuk mengundang al-Bukhari tinggal dan menetap di sana dengan damai. Pada mulanya, permintaan masyarakat Samarkhand ditolak secara halus oleh Imam alBukhari, namun setelah beberapa kali diyakinkan dengan kesungguhan hati, al-Bukhari akhirnya menyetuji permintaan mereka. Sayang, Allah berkehendak lain. Keinganan memenuhi undangan masyarakat Samarkhand tersebut tidak pernah terealisasi, dalam perjalanan menuju kesana, al-Bukhari terkena penyakit di Desa Khartand, sebuah desa kecil di luar Samarkhand, lalu tepat pada malam Idul Fitri tahun 256 H. (31 Agustus 870 M), hari Sabtu, dalam usia 62 tahun kurang 13 hari al-Bukhari meninggal dunia. (lihat hal : 113) Selain kisah-kisah unik yang menjadi bumbubumbu cerita di sela-sela potret perjalanan sang penulis saat menyusuri kota-kota di Uzbekistan ini. Buku ini juga menghadirkan pandangan baru tentang beberapa tokoh yang justru bertolak belakang dari data-data yang mashur. Tentang kisah Timur Lenk yang selama ini dilukiskan sangat negatif. Seorang raja besar sangat kejam yang tak segan-segan membunuh musuh-musuhnya. Bahkan beberapa buku menghadirkan kisah-kisah miris bagaimana Timur Lenk membangun piramida dari tengkorak kepala manusia. Maka dalam buku ini penulis berusaha meluruskan fakta sesungguhnya dari sosok Timur Lenk yang dilukiskan sebagai raja bijaksana dan salah satu raja besar yang berhasil menghadirkan kemajuan peradaban Islam di Asia Tengah. Dalam salah satu bab yang berjudul The Code of Timur, penulis menunjukkan bukti sebaliknya,
dimana Timur Lenk merupakan pemimpin yang memiliki kepedulian lebih pada nasib rakyatnya. Bukti kuat tentang hal ini adalah beberapa aturan Amir Timur yang tersimpan di Museum Timur, antara lain: “Di setiap kota besar, kota kecil, dan pedesaan aku mendirikan masjid, madrasah dan penginapan. Baitul mal untuk orang-orang miskin dan rumah sakit untuk orang-orang kaya dengan dokter-dokter untuk merawat mereka. Di setiap kota aku mendirikan istana pemerintah dan pengadilan untuk menjaga keadilan dengan baik”. “Aku telah memutuskan bahwa “pedagangpedagang yang dirampas haknya harus diberi emas dari kas bendaharaku untuk mengembalikan modal mereka ke jumlah semula.” “Aku melindungi musafir-musafir dari tiaptiap negara dan provinsi dan mereka menyampaikan padaku pesan dari tuan-tuannya. Dan aku mengutus pedagang-pedagang dan rombongan kereta kuda untuk menjelajahi tiap kerajaaan dan negara termasuk Cina, Khottan, India, Rum, Algeria, Perancis dan Mesir, tempat dimana mereka membawa sutra-sutra dan hadiah” (lihat hal: 56) Informasi yang jarang juga didapat dalam buku-buku literatur sejarah Islam yang beredar di Indonesia adalah sosok bernama Ulugh Beg. Satu satunya-barangkali- intelektual muslim di sepanjang sejarah yang juga merangkap sebagai seorang raja. Sebuah kisah yang tentu saja sangat inspiratif. Bagaimana tidak sebagai seorang raja, Ulugh Beg, adalah seorang penghafal Al-Qur ’an Qira’ah Sab’ah. Seorang pakar matematika dan astronomi, yang karyanya menjadi rujukan di dunia Islam dan juga Eropa selama berabad-abad. Raja Ulugh Bek memprakarsai berdirinya observatorium untuk melakukan penelitian. Tepatnya pada tahun 1420 M. bersama dua ahli perbintang terkenal, Jamsyid al-Kasyi dan Muinnuddin Al-Kasyi, Mirzo Ulugh Bek membangun observatorium raksasa. Menurut Kevin Krisciunas, seorang ahli astronomi Barat, observatorium Ulugh Bek merupakan observatorium termegah yang pernah dibangun oleh ilmuwan muslim. (Lihat hal: 145) Hal baru yang juga kita dapat dalam buku ini adalah jejak sejarah mushaf pertama dalam islam yang rupanya tersimpan rapi di kota
Tashkent. Tentang hal ini, penulis membahas secara khusus dalam bab yang berjudul Memory of The World: Mushaf Utsmani. Dengan berlatar kunjungan kota Tashent, penulis menguak sebuah fakta sejarah perihal Mushaf Utsmani yang diterbitkan pada masa khalifah Utsman yang rupanya masih tersimpan dengan baik di Kota Tashkent. Dikisahkan bahwa Mushaf yang tersimpan di kota Tashkent adalah satu diantara enam eksemplar yang utuh berbentuk buku. Dulu di masa khalifah Utsman, mushaf ini dibuat sejumlah enam buah. Lalu disebarkanlah mushafmushaf itu ke daerah-daerah Islam, bersamaan disebarkannya mushaf tersebut diutus pula ahli Qira’ah untuk mengajarkan kepada penduduk asli tentang cara membaca Al-Qur’an. Mushaf yang tersimpan di Tashkent adalah mushaf yang dikirimkan ke kota Basrah. Saat Amir Timur memerintah, mushaf ini dibawanya dari kota Basrah ke Uzbekistan. Dan untuk kesekian lama mushaf ini tersimpan di Madrasah Diwan Begi. Lalu, ketika penaklukkan Rusia ke Asia Tengah, Jenderal Kaufmen membawa mushaf ini ke St. Patesburg. Pada tahun 1905 dibuat copy oleh Rusia sebanyak lima puluh edisi. Kemudian, pada tahun 1917 oleh Lenin Mushaf ini dibawa ke Rusia dan diberikan kepada muslim Rusia di Uva. Pada tahun 1924 majelis ulama Uzbekistan meminta beberapa kali kepada Lenin. Dan akhirnya Lenin mengeluarkan perintah khusus untuk mengembalikan kitab ini dari Uva ke Tashkent. Mushaf ini kemudian di simpan di Museum Sejarah Uzbekistan. Pada tahun 1989 Presiden Islam Karimove memindahkan kitab ini dari museum sejarah ke majelis ulama Uzbekistan. Pada tahun 1997, UNESCO memasukkan AlQur’an mushaf Utsmani sebagai “The Memory of The World” (lihat hal: 81) Secara umum buku ini mengetengahkan kisah-kisah tokoh-tokoh besar masa silam yang berasal dari Negara Uzbeikistan. Adapun Rihlah perjalanan menyusuri kota-kota Uzbekistan menjadi model pengemasan narasi penceritaan. Dengan pola penyajian semacam ini, sang penulis telah berhasil menghadirkan kisah-kisah sejarah dalam kisah-kisah atraktif, dimana lekak-lekuk kota, tradisi, dan adat istiadat orang-orang Uzbekistan menjadi bumbu bumbu penyedap agar pembaca terhindar dari rasa bosan.
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
257
Ditambah foto-foto yang bertaburan dalam buku tersebut, membuat buku ini terasa sebagai buku non formal dan jauh dari kesan berat. Seperti yang ditulis Prof. Margianti dalam catatan endorsment, “Buku yang dikemas secara unik, mengajak kita berfantasi memasuki kehidupan para ulama-ulama masa silam sekaligus mengambil keteladanan dari mereka. Buku yang dihadirkan dalam bahasa tutur yang ringan. Membacanya, saya seperti didongengi oleh pendongeng ulung”. Begitu minimnya referensi tentang potret sejarah Islam di daerah Asia Tengah, menjadikan buku ini sangat berharga untuk membantu para sejarawan mendapatkan gambaran awal jejak sejarah Islam di Asia Tengah. Namun demikian, sebagai buku yang menghadirkan fakta sejarah, penyajian data sejarah hanya berupa fragmen-fragmen pendek yang berkelebatan. Buku ini terasa masih sangat dangkal untuk bisa memotret secara utuh tentang fakta-fakta sejarah Islam di Asia Tengah. Pengambilan sumber data dari cerita-cerita beredar di masyarakat tanpa penjelasan metodologi, membuat buku ini susah untuk
258
Rihlah Peradaban ...
dipertanggungjawabkan secara intelektual. Meskipun pada data-data tertentu kerapkali penulis juga menyandarkan pada rujukan bukubuku tertentu. Karenanya, pembaca semestinya menjadikan buku ini bukan sebagai rujukan kunci dalam sejarah Islam, tapi semata menjadikan titik awal untuk masuk pada penelitian yang lebih mendalam tentang fenomena kebesaran Uzbekistan. Dengan kemasan yang ringan, buku ini yang hakikatnya bercerita tentang sejarah, cocok dibaca tidak hanya para praktisi sejarah, tapi masyarakat yang lebih luas. Bahkan direkomendasikan untuk dibaca anak-anak muda, agar memiliki pijakan teladan hidup dari orang-orang mulia yang hidup di masa silam. Selamat membaca !!!
KUMPULAN ABSTRAK
THE DETERMINATION OF CHRISTIAN HOLIDAYS IN INDONESIA BY USING MEEUS ASTRONOMICAL ALGORITHM ADMIRAL MUSA JULIUS, RUKMAN NUGRAHA, I PUTU PUDJA
A BSTRACT Astronomically, Easter falls on the first Sunday following the first full moon after the vernal equinox. In Indonesia, Christian holidays including Easter are regulated by the Ministry of Religious Affairs based on the recommendation of Indonesian Church Union (PGI) and Bishops Conference of Indonesia (KWI). This study objective is to formulate a simple time marker by using Meeus Astronomical Algorithm to determine Christian holidays in Indonesian Gregorian calendar. Another objective is to evaluate the Christian holidays on Indonesian calendar between 1960 and 2015. Finally, this study would also provide prediction for future Christian holidays. This study finds out that the Christian holidays on Indonesian calendar are proven as methodologically accurate. It indicates that Meeus Astronomical Algorithm can produce accurate calculation for determining Christian holidays in Indonesia in the future. KEY WORDS: Meeus Astronomical Algorithm, Christian holidays, Indonesian calendar
PENENTUAN HARI LIBUR NASIONAL UMAT KRISTEN DI INDONESIA MENGGUNAKAN ALGORITMA ASTRONOMI MEEUS ADMIRAL MUSA JULIUS, RUKMAN NUGRAHA, I PUTU PUDJA
A BSTRAK : Secara astronomis, perayaan Paskah jatuh pada hari Minggu pertama setelah bulan purnama pertama, setelah Matahari melalui Vernal Equinox. Di Indonesia tanggal libur
keagamaan umat Kristen ditentukan oleh Kementerian Agama atas rekomendasi Persekutuan Gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) yang bersumber dari kalender Kristen Internasional. Penulis bertujuan membuat program tanda waktu sederhana berdasarkan Algoritma Meeus untuk menentukan hari libur nasional umat Kristen di Indonesia pada kalender masehi, juga untuk evaluasi data hari libur umat Kristen dalam sejarah kalender Indonesia yang tercatat pada almanak BMKG dan almanak PGI 50 tahun ke belakang serta prediksi hari libur umat Kristen hingga 50 tahun ke depan. Hasil menunjukkan bahwa tidak ditemui perbedaan pada Kalender Indonesia. Ini membuktikan bahwa hari libur umat Kristen di Indonesia tidak pernah menyimpang dari ketentuan. Dengan ini maka program Algoritma Meeus dapat direkomendasikan sebagai program tanda waktu hari libur nasional umat Kristen di Indonesia. KATA K UNCI : Kalender, Algoritma Meeus, Hari Libur Kristen
THE PERFORMANCE RANKING ON SHARIA FINANCIAL INSTITUTIONS BASED ON MAQASHID Al-SHARI’AH HERNI ALI HT DAN ALI RAMA
ABSTRAK This study aims at developing the concept of maqashid al-shari’ah as the fundamental principles for sharia banks. It also sought to develop measurement methods through relevant performance ratio. Maqashid al-shari’ah principles are underlined by three major concepts, namely: (i) individual learning (tahdhib alfard); justice enforcement (iqamah al-‘adl); and welfare improvement (jalb al-maslahah). These three concepts are then derived into measurable dimentions, elements,
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
259
and indicators for public sharia banks in Indonesia. This study employed indexation and benchmarking to 2014 financial report and it found that there is no correlation between the sharia bank assets to their maqashid alshari’ah performance. Bank Syariah Mandiri with the biggest asset, for instance, perfomed low in the principle of maqashid al-shari’ah. On the contrary, Bank Maybank Syariah and Panin Syariah with less assets performed better. This study suggests that sharia banks Indonesia should apply maqashid al-shari’ah principles for the organizational goals and evaluation method. K EY W ORDS : Maqashid al-shari’ah, financial performance, individual learning, justice, welfare, sharia banks
PERINGKAT KINERJA LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH BERDASARKAN MAQASHID SYARIAH HERNI ALI HT DAN ALI RAMA
A BSTRAK Penelitian ini bermaksud untuk mengembangkan konsep maqashid syariah sebagai basis penentuan tujuan utama yang harus dicapai oleh bank syariah yang selanjutnya dikembangkan metode pengukurannya melalui rasio-rasio kinerja yang relevan. Konsep MS didasarkan pada tiga tujuan utama yang ingin dicapai, yaitu (i) pendidikan individu (tahdhib alfard); (ii) penegakan keadilan (iqamah al-‘adl); dan (iii) mendorong kesejahteraan (jalb al-maslahah). Ketiga konsep itu selanjutnya diturunkan menjadi dimensi, elemen dan indikator terukur pada masing-masing bank umum syariah di Indonesia. Dengan menggunakan metode indeksasi dan pembobotan dengan data laporan keuangan tahun 2014, penelitian ini menemukan bahwa tidak ada korelasi antara jumlah aset bank syariah dengan kinerja MS-nya. Hal ini terlihat bank Mandiri Syariah sebagai BUS terbesar asetnya di Indonesia justru memiliki kinerja MS yang rendah. Sebaliknya, bank Maybank Syariah dan Panin Syariah yang jumlah asetnya relatif jauh lebih kecil justru memiliki kinerja MS yang tinggi. Oleh karena itu, bank syariah di Indonesia harus menjadikan maqashid shariah sebagai tujuan 260
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
organisasi dan mengembangkan metode evaluasinya. K ATA K UNCI : Maqashid syariah, kinerja keuangan, pendidikan individu, keadilan, kesejahteraan, bank syariah
THE EFFECT OF TEACHER EDUCATION, TRAINING, AND WORK DISCIPLINE ON THE PERFORMANCE OF RELIGIOUS TEACHERS IN ISLAMIC ELEMENTARY SCHOOL IN SOUTH TANGERANG CITY NENENG LM
A BSTRACT This study aims to determine the factors that affect the performance of religious teachers in Islamic Elementary School in South Tangerang City. The study employed causal survey method with the population of 85 religious teachers in Islamic Elementary School in South Tangerang City. Given that the sample is less than 100 participants, the respondents in this study is the total sample (the whole population). Data were collected using a questionnaire to measure the variables of teacher performance, education and training, and work discipline. The coefficient of reliability (alpha value) is consecutively 0.8074; 0.7126. The results indicate that, first, there is a direct and significant effect of education and training to the teacher performance, indicated by the value þ = 1.030 with a regression equation Y = 28.529 + 1,030X1, r1y correlation coefficient = 0.917, and the coefficient of determination R square = 0.841, or 84,1%. Second, there is a positive and significant impact of education and training on work discipline, shown by the p-value = 0.00 <0.05 with a regression equation X2 = 6.214 + 0,733X2, correlation coefficient (R2.1) = 0.928 and F count = 516.609, and the R Square = 0.862, or 86.2%. Third, there is a direct and significant effect of performance to work discipline, which is indicated by the value þ = 0.839, the regression equation Y = 32.015 + 0,839X2. Fourth, there is a direct influence of the training and work discipline on the teacher performance, the regression equation Y = 30.070 + 0,313X1 + 0,610X2, Ry.12 correlation coefficient = 0.952, and the R square = 0.907 or 90.7%. The findings imply that the religious teacher performance in Islamic Elementary School in
South Tangerang City can be improved by participating education and training program and improving work discipline. KEY W ORDS: Education and Training - Work Discipline - Religious Teacher Performance
PENGARUH PENDIDIKAN DAN PELATIHAN DAN DISIPLIN KERJA GURU TERHADAP KINERJA GURU AGAMA PADA MADRASAH IBTIDAIYAH DI KOTA TANGERANG SELATAN
terhadap kinerja guru agama, yang ditunjukkan oleh nilai þ = 0,839, dengan persamaan regresi v = 32,015 +0,839X2. Keempat, terdapat pengaruh langsung antara diklat dan disiplin kerja guru terhadap kinerja guru, dengan persamaan regresi Y = 30,070 + 0,313X1 + 0,610X2, koefisien korelasi Ry.12 = 0,952, dan koefisien determinasi R square = 0,907 atau 90,7%. Impilikasi dari hasil penelitian di atas adalah kinerja guru agama dapat ditingkatkan dengan cara mengikuti diklat dan meningkatkan disiplin kerja guru Madrasah Ibtidaiyah di Kota Tangerang Selatan. KATA KUNCI: Diklat, Disiplin Kerja, Kinerja Guru Agama, Madrasah Ibtidaiyah Negeri
NENENG LM
A BSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja guru agama pada Madrasah Ibtidaiyah di Kota Tangerang Selatan. Penelitian menggunakan metode survai kausal. Populasi penelitiannya adalah populasi guru agama pada Madrasah Ibtidaiyah di Kota Tangerang Selatan sejumlah 85 orang. Sehubungan sampelnya kurang dari 100 orang, maka responden dalam penelitian ini adalah sampel total (seluruh populasi). Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner untuk mengukur variabel kinerja guru agama, variabel diklat, dan variabel disiplin kerja. Secara berurutan koefisien reliabilitasnya (nilai alpha) adalah 0,8074; 0,7126; dan 0,7524. ( 1) = 0,8074; 2) = 0,7126; dan 3) = 0,7524). Hasil penelitian menunjukkan: Pertama, terdapat pengaruh langsung dan sangat signifikan diklat terhadap kinerja guru agama, ditunjukkan oleh nilai þ= 1,030 dengan persamaan regresi v = 28,529 +1,030X1 , koefisien korelasi r1y = 0,917, dan koefisien determinasi R square = 0,841, atau 84,1 %. Kedua, terdapat pengaruh positif dan signifikan diklat terhadap disiplin kerja guru agama pada Madrasah Ibtidaiyah di Kota Tangerang Selatan, dibuktikan dengan diperolehnya nilai dengan p-value = 0,00 < 0,05 dengan persamaan regresi X2 = 6,214 + 0,733X2,koefisien korelasi (r2.1) =0,928 dan Fhitung = 516,609, dan koefisien determinasi R Square = 0,862, atau 86,2%. Ketiga, terdapat pengaruh langsung dan sangat signifikan disiplin
WORK PRODUCTIVITY OF MADRASAH TEACHERS IN INDUSTRIAL AREA IN BEKASI RESIDENCE DERMAWATI
A BSTRACT Pedagogic and professional competence should be acquired by teachers in order to gain maximum work productivity whose effect is on the quality of the graduates. Teacher work productivity is strongly influenced by the environment surrounding the madrasah/ schools, i.e. industrial area. This research aims at investigating teachers’ productivity from the aspects of pedagogic competence and professional competence in the industrial area of Bekasi regency. The study was conducted in ten Madrasah Tsanawiyah (Islamic primary schools) by collecting data from surveys and interviews. The data were then analyzed through content analysis. The study found out that 48% of teachers (29 teachers) obtained pedagogic competence below 60%, and 82% of them (49 teachers) obtained professional competence below 60%. It can be concluded that the industrial area is 100% uncorrelated and uninfluential to the teachers’ work discipline, instead it affects the work productivity. This study suggests the schools to conduct teachers’ performance assessment to identify teacher competence in the industrial area of Bekasi. It also suggests the schools to conduct more professional development programs to improve teachers’ competence focusing on
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
261
pedagogic competence and professionalism competence. KEY WORDS: Teachers’ work productivity, industrial area, Madrasah Tsanawiyah
PRODUKTIVITAS KERJA GURU MADRASAH DI KAWASAN INDUSTRI KABUPATEN BEKASI DERMAWATI
A BSTRAK Kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional harus dimiliki guru untuk mencapai produktivitas kerjanya maksimal yang berdampak kepada kualitas lulusan peserta didiknya. Produktivitas kerja guru juga sangat didukung oleh lingkungan sekolah/madrasah seperti kawasan industri. Tujuan dari penelitian untuk melihat produktivitas kerja guru Madrasah Tsanawiyah dari kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional pada kawasan Industri Kabupaten Bekasi. Penelitian dilakukan pada 10 Madrasah Tsanawiyah di kawasan Industri Kabupaten Bekasi dengan sumber data penelitian adalah angket dan wawancara. Data dianalisis secara content analysis. Hasil penelitian pada 10 Madrasah Tsanawiyah, produktivitas kerja guru Madrasah Tsanawiyah untuk kompetensi pedagogik yang mendapat nilai di bawah 60% sebanyak 48% (29 orang) dan untuk kompetensi profesionalisme yang mendapat nilai di bawah 60% sebanyak 82% (49 orang) masih sangat rendah, serta kawasan industri 100% tidak berpengaruh pada disiplin kerja tapi berpengaruh pada produktivitas kerja guru. Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan hendaknya adanya evaluasi kinerja guru oleh pihak yang terkait untuk mengidentifikasi kompetensi guru di kawasan industri Kabupaten Bekasi, pihak pimpinan madrasah hendaknya memperbanyak kegiatan-kegiatan pengembangan diri untuk meningkatkan kompetensi guru dan lembagalembaga pendidikan dan pelatihan memperbanyak program tentang materi kompetensi pedagogik dan kompetensi profesionalisme guru. K ATA K UNCI : Produktivitas kerja guru, kawasan industri, Madrasah Tsanawiyah 262
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
SPECIAL HAJJ SERVICE BY PIHK AZIZI KENCANA WISATA MEDAN M. AGUS NOORBANI
A BSTRACT Hajj service management is one of the main responsibilities of Ministry of Religious Affairs (MoRA). Besides MoRA, the Law No. 13 Year 2008 on the management of Hajj also mentions that public institutions can be involved in hajj management service ]which includes Special Hajj Service (PIHK). This research is a case study to investigate the management of Special Hajj Service by PIHK Azizi Kencana Wisata in Medan. This study found out that there were some repetitive violations on the Special Hajj service in Medan. These violations might be caused by the insufficient monitoring by the local office of Ministry of Religious Affairs that does not have authority to conduct monitoring and to give penalties to Hajj service providers who commit violations. KEY WORDS: Special Hajj, PIHK Azizi Kencana, public service, Medan
PELAYANAN HAJI KHUSUS PIHK AZIZI KENCANA WISATA KOTA MEDAN M. AGUS NOORBANI
A BSTRAK Penyelenggaraan ibadah haji menjadi salah satu tugas pokok Kementerian Agama. Selain Kementerian Agama, Undang-undang No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji mengamanatkan penyelenggaraan ibadah haji menyertakan peran serta masyarakat. Penyelenggaraan haji khusus oleh Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) adalah salah satu bentuk penyelenggaraan ibadah haji sebagai peran serta masyarakat. Kajian ini menggunakan rancangan studi kasus untuk menelaah manajemen penyelenggaraan haji khusus oleh PIHK Azizi Kencana Wisata di Kota Medan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi pelanggaran berulang pada proses penyelenggaraan ibadah haji khusus di Kota Medan. Hal ini terjadi karena lemahnya
pengawasan oleh pihak Kementerian Agama akibat kantor wilayah tingkat propinsi tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terlebih hingga memberikan sanksi bagi penyelenggara haji yang melakukan pelanggaran. K ATA K UNCI : Haji khusus, PIHK Azizi Kencana, pelayanan publik, Kota Medan
THE POWER RELATION AND REPRODUCTION OF RELIGIOUS MEANING IN ISLAMIC COMMERCIALS DURING RAMADHAN
ini pada bagaimana mekanisme konstruksi makna yang berlangsung dalam pesan iklan yang memanfaatkan simbol-simbol keislaman. Penekanan dalam melihat konstruksi makna pada iklan tersebut, diarahkan pada beberapa hal, 1) terkait dengan simbol-simbol apa saja yang dipakai iklan untuk merepresentasikan keislaman, 2) hubungan simbol-simbol tersebut dengan produk yang diiklankan, 3) dalam suasana dan gaya hidup seperti apa simbolsimbol tersebut direpresentasikan dalam iklan. 4) pesan apa yang ingin disampaikan iklan yang menggunakan simbol keislaman. KATA KUNCI: Relasi Kuasa, Produksi Makna, Religiusitas, Iklan Islami
NURUS SHALIHIN
A BSTRACT This paper discusses the phenomena of commericals which used Islamic symbols during Ramadhan. The focus of this paper is investigating how the meaning construction occurred in these commercials. The meaning construction mechanism in this study involves: (1) what symbols the commercials use to represent Islam, (2) the relation between Islamic symbols and the marketed products, (3) the situation or context in which the symbols were represented in the commercials, (4) what messages these commercials would like to deliver through Islamic symbols. KEY WORDS: Power relation, meaning production, religiosity, Islamic commercials, consumerism
RELASI KUASA DAN REPRODUKSI MAKNA RELIGIUSITAS DALAM IKLAN-IKLAN ISLAMI RAMADHAN NURUS SHALIHIN
A BSTRACT Tulisan ini mengetengahkan fenomena berbagai iklan yang menggunakan simbol-simbol keislaman pada bulan Ramadhan. Fokus tulisan
CHARACTER EDUCATION THROUGH RELIGIOUS EDUCATION IN SMAN 2 SEMARANG QOWAID
A BSTRACT This study aims to investigate the implementation of character education through Religious Education in schools and to determine the supporting and inhibiting factors. This study was conducted in SMAN 2 Semarang between April and September 2014. Data was collected through observation, interviews, review of documents, and questionnaires. The results showed that the implementation of character education in this school was integrated in all subjects, including Religious Education. Character education is carried out through intracurricular, extracurricular, and other forms of activities. Seven characters of educational values (e.g. religious attitude, honesty, tolerance, discipline, environment awareness, social care and responsibility) have been implemented in the school. There were some supporting factors which enabled the implementation of character education in SMAN 2 Semarang such as: school vision, mission and goals, the curriculum, and supporting school elements. However, there was also an inhibiting factor i.e. school external surrounding. It is recommended that character education through Religious Education in schools can be used as a development model of character
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
263
education in other schools. The Directorate of Islamic Education in collaboration with the Centre for Research and Development of Religious Education and Religion can develop character education model design implementation through systematic religious education and assessment instruments. K EY W ORDS : Character education, religious education
PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PENDIDIKAN AGAMA DI SMAN 2 SEMARANG QOWAID
A BSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi pendidikan karakter melalui Pendidikan Agama di sekolah serta untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambatnya. Lokasi penelitian ini adalah Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Semarang. Penelitian dilaksanakan pada bulan April dan September 2014. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara, telaah dokumen, dan angket. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyelenggaraan pendidikan karakter di Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Semarang terintegrasi dalam pembelajaran semua mata pelajaran, termasuk pendidikan agama. Pendidikan karakter dilaksanakan melalui kegiatan intrakurikuler, ekstrakurikuler, dan bentuk kegiatan lainnya. Tujuh nilai pendidikan karakter di sekolah (fokus penelitian ini) berupa sikap religius, jujur, toleransi, disiplin, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggug jawab telah diterapkan di sekolah. Faktor pendukungnya antara lain adanya visi, misi, tujuan sekolah, kurikulum dan seluruh unsur kependidikan yang ada mendukung terlaksananya pendidikan karakter. Faktor penghambat antara lain kondisi makro lingkungan di sekitar sekolah yang sebagiannya tidak sesuai dengan nilai-nilai karakter yang dikembangkan. Disarankan agar pendidikan karakter melalui Pendidikan Agama di sekolah ini dapat dijadikan model pengembangan pendidikan karakter di sekolah lain. Direktorat Pendidikan Agama Islam bekerja sama dengan 264
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Agama dan Keagamaan dapat menyusun desain model penyelenggaraan pendidikan karakter melalui pendidikan agama yang sistematik beserta instrumen pengukuran keberhasilannya. K ATA K UNCI : pendidikan agama.
pendidikan
karakter,
THE WORK CULTURAL INDEX IN THE SERVICE OF MARRIAGE IN BANYUMAS DISTRICT ROSIDIN
A BSTRACT This study reports the work culture of marriage service personnel in Banyumas and analyses which aspects of service should be prioritized for improvement. This study employs a quantitative approach by using survey. The total sample of 140 was gained using purposive random sampling. The validity and reliability of instruments indicated that the 25 question items are valid and reliable. The study found out that (1) the index of work culture showed 75,77 which can be categorized as ‘good’, (2) all aspects of work culture (e.g. integrity, professionalism, innovation, responsibility, and exemplary) did not fall into ‘very good’ category which mean that the service is not satisfactory, (3) the lowest criteria of work culture was found in integrity aspect (63,85 = not good enough). Therefore, integrity is the aspect of work culture which needs to be prioritized for the improvement. KEY WORDS: integrity, professional, innovative, responsible, exemplary, work culture, marriage service
INDEKS BUDAYA KERJA DALAM PELAYANAN PERNIKAHAN DI KABUPATEN BANYUMAS ROSIDIN
A BSTRAK Penelitian ini berusaha mengungkapkan bagaimana budaya kerja petugas pelayanan
pernikahan di Banyumas dan menganalisa aspek mana yang menjadi prioritas perbaikan dalam pelayanan pernikahan di Banyumas. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif. Pengujian validitas dan reliabilitas instrumen menunjukkan 25 item pertanyaan setelah uji seluruhnya valid dan reliabel. Jumlah sampel yang terlibat dalam penelitian adalah 140 yang didapatkan dengan metode kuota purposive random sampling. Hasil penelitian menyatakan: 1) indeks Budaya Kerja petugas pelayanan pernikahan di Banyumas sebesar 75,77 masuk kategori baik, 2) semua aspek budaya kerja yang diteliti integritas, profesional, inovatif, Tanggung jawab dan keteladanan belum ada yang berkategori sangat baik, artinya semua masih belum sesuai harapan masyarakat, 3) aspek budaya kerja terkecil adalah aspek integritas 63,83 (kurang baik) sehingga prioritas perbaikan pada aspek itegritas, tanpa mengabaikan aspek lain KATA KUNCI: integritas, profesional, inovatif, tanggung jawab, keteladanan, budaya kerja, pelayanan pernikahan
PERSONAL TRANSFORMATION: FROM CRIMINALITY TO PIETY GAZI SALOOM
A BSTRACT This study investigates how and why the personal transformation occurred in former convicts in Indonesia. This study employs a qualitative approach with in-depth interviews and review of documents including social media as data collection instruments. Two former convicts serve as the research subjects, while five people among ex convicts’ family and friends serve as the research informants. To provide the study credibility, triangulation of data and resources was conducted, namely by examining data obtained from social media like YouTube that displays personal experiences some ex criminals who have transformed. Data were analyzed by using thematic analysis technique. The results showed that the process of personal transformation occurred throughout a long stage and did not occur shortly. It was also found that the personal factor (e.g. the understanding of personal experiences and social factors, especially
intensive and prolonged interaction with religious leaders) was the main drive for personal change. The theoretical implications of these results were also discussed K EY W ORDS : transformation, personal, experience, relation
TRANSFORMASI PERSONAL: DARI KEJAHATAN MENUJU KESALEHAN GAZI SALOOM
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana dan mengapa transformasi personal terjadi pada mantan penjahat di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara mendalam dan telaah dokumen termasuk media sosial sebagai instrumen pengumpulan data. 2 orang mantan penjahat dijadikan sebagai subyek penelitian, sedangkan 5 orang lainnya dari kalangan keluarga dan sahabat subyek dijadikan sebagai narasumber penelitian. Untuk memperkuat hasil penelitian dilakukan triangulasi data dan sumber yaitu dengan menelaah data yang diperoleh dari media sosial seperti youtube yang menampilkan pengalaman personal beberapa mantan penjahat dan preman yang telah mengalami perubahan diri. Data penelitian dianalisis dengan teknik analisis tematik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses transformasi personal terjadi melalui tahapan yang panjang dan tidak terjadi secara mendadak. Ditemukan juga dalam penelitian ini bahwa faktor personal terutama penghayatan terhadap pengalaman personal dan faktor sosial terutama relasi dengan orang lain yang menjadi tokoh agama secara intensif dalam waktu lama merupakan pendorong utama perubahan personal. Implikasi teoritis dari hasil penelitian ini didiskusikan. K ATA K UNCI : Transformasi, personal, pengalaman, relasi
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
265
266
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
INDEKS PENULIS
A Admiral Musa Julius, Rukman Nugraha, I Putu Pudja Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jl. Angkasa 1 No. 2, Kemayoran, Jakarta 10720
[email protected] “PENENTUAN HARI LIBUR NASIONAL UMAT KRISTEN DI INDONESIA MENGGUNAKAN ALGORITMA ASTRONOMI MEEUS” Jurnal Dialog Vol. 39, No.2, Desember 2016. hal: 131-138
Ahmad Mujib Program Sejarah Peradaban Islam, Universitas Sultan Agung Semarang,
[email protected] “NEGERI PARA ULAMA” Jurnal Dialog Vol. 39, No.2, Desember 2016. hal: 253-258
D Dermawati Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan Dan Keagamaan, Jalan Ir. H. Juanda No. 37 Ciputat, Tangerang Selatan. Email:
[email protected] “PRODUKTIVITAS KERJA GURU MADRASAH DI KAWASAN INDUSTRI KABUPATEN BEKASI” Jurnal Dialog Vol. 39, No.2, Desember 2016. hal: 169-180
G Gazi Saloom Fakustas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta Indonesia;
[email protected] “TRANSFORMASI PERSONAL: DARI KEJAHATAN MENUJU KESALEHAN” Jurnal Dialog Vol. 39, No.2, Desember 2016. hal: 237-252
H Herni Ali HT dan Ali Rama Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Email:
[email protected]; dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Email:
[email protected] “PERINGKAT KINERJA LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH BERDASARKAN MAQASHID SYARIAH” Jurnal Dialog Vol. 39, No.2, Desember 2016. hal: 139-154
M M. Agus Noorbani Reseacher of Balai Litbang Agama Jakarta Jl. Rawa Kuning No. 06 Cakung, Jakarta Timur
[email protected] “PELAYANAN HAJI KHUSUS DI KOTA MEDAN” Jurnal Dialog Vol. 39, No.2, Desember 2016. hal: 181-192
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
267
N Neneng LM Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan Jl. Ir. H. Juanda Nomor 37 Ciputat, Tangerang Selatan. Email:
[email protected] “PENGARUH PENDIDIKAN DAN PELATIHAN DAN DISIPLIN KERJA GURU TERHADAP KINERJA GURU AGAMA PADA MADRASAH IBTIDAIYAH DI KOTA TANGERANG SELATAN” Jurnal Dialog Vol. 39, No.2, Desember 2016. hal: 155-168
Nurus Shalihin Lecturer of Faculty of Syari’ah IAIN Imam Bonjol Padang, Jln. Mahmud Yunus No 1 Lubuk Lintah Padang, Sumbar. Kode Pos 25153. Email:
[email protected] “RELASI KUASA DAN REPRODUKSI MAKNA RELIGIUSITAS DALAM IKLAN-IKLAN ISLAMI RAMADHAN” Jurnal Dialog Vol. 39, No.2, Desember 2016. hal: 193-208
Q Qowaid Peneliti pada Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Jl. MH. Thamrin Jakarta Pusat. 5 Email:
[email protected] “PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PENDIDIKAN AGAMA DI SMAN 2 SEMARANG” Jurnal Dialog Vol. 39, No.2, Desember 2016. hal: 209-226
R Rosidin Peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang, Jl. Untung Suropati Kav. 70 Bambankerep, Ngaliyan, Semarang 50185.
[email protected] “INDEKS BUDAYA KERJA DALAM PELAYANAN PERNIKAHAN DI KABUPATEN BANYUMAS” Jurnal Dialog Vol. 39, No.2, Desember 2016. hal: 227-236
268
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
KETENTUAN PENULISAN 1. Naskah yang dimuat dalam jurnal ini merupakan hasil penelitian dengan topik masalah sosial dan keagamaan. 2. Naskah belum pernah dimuat atau diterbitkan di media lain. 3. Naskah ditulis dengan kaidah tata Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris yang baku dan benar. 4. Penulis membuat surat pernyataan bahwa naskah yang dikirim adalah asli dan memenuhi persyaratan klirens etik dan etika publikasi ilmiah (bebas dari plagiarisme, fabrikasi, dan falsifikasi) berdasarkan Peraturan Kepala LIPI No. 8 Tahun 2013 dan No.5 Tahun 2014. 5. Apabila naskah ditulis dari hasil penelitian kelompok dan akan diterbitkan sendiri, diharuskan menyertakan surat pernyataan persetujuan tertulis dari anggota kelompok yang lain. 6. Naskah tulisan berisi sekitar 15-20 halaman dengan 1,5 (satu setengah) spasi, kertas kuarto (A 4). 7. Judul ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris maksimal 15 kata menggambarkan isi naskah secara keseluruhan. 8. Judul Bahasa Indonesia ditulis dengan huruf kapital, bold, center, sedangkan judul Bahasa Inggris ditulis dengan huruf kapital pada awal kata, italic, bold dan center. 9. Nama penulis tanpa gelar akademik diletakkan di tengah (center). Nama instansi, alamat instansi, dan email penulis diletakkan dalam satu baris dan di tengah (center). 10. Abstrak dan kata kunci dibuat dalam dwi bahasa (Inggris dan Indonesia). Abstrak ditulis dalam satu paragraf, diketik dengan 1 spasi, jenis huruf Palatino Linotype ukuran 11, jumlah kata 150-200 kata. Abstrak Bahasa Inggris diketik dengan menggunakan format italic. 11. Abstrak, berisi gambaran singkat keseluruhan naskah mengenai permasalahan, tujuan, metode, hasil, dan rekomendasi kebijakan. 12. Jenis huruf latin untuk penulisan teks adalah Palatino Linotype ukuran 12 dan ukuran 10 untuk catatan kaki. 13. Jenis huruf Arab untuk penulisan teks adalah Arabic Transparent atau Traditional Arabic ukuran 16 untuk teks dan ukuran 12 untuk catatan kaki. 14. Penulisan kutipan (footnote) dan bibliografi berpedoman pada Model Chicago Contoh: Buku Footnote Satu Penulis Amanda Collingwood, Metaphysics and the Public (Detroit: Zane Press, 1993), 235-38. Dua Penulis John B. Christianse and Irene W. Leigh, Cochlear Implants in Children: Ethics and Choices (Washington, D.C.: Gallaudet UP, 2002), 45-46. Artikel pada Jurnal Footnote Tom Buchanan. “Between Marx and Coca-Cola: Youth Cultures in Changing European Societies, 1960-1980”. Journal of Contemporary History 44, no. 2 (2009): 371-373. Bibliografi Buku Satu Penulis Collingwood, Amanda. Metaphysics and the Public. Detroit: Zane Press, 1993.
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
269
Dua Penulis Christianse, John B., and Irene W. Leigh. Cochlear Implants in Children: Washington, D.C.: Gallaudet UP, 2002.
Ethics and Choices.
Tiga Penulis Venolia, Jean P., Georgio Cordini, and Joseph Hitchock. What Makes a Literary Masterpiece. Chicago: Hudson, 1995. Banyak Penulis Bailyn, Bernard, et al. The Great Republic. Lexington, MA: D.C. Heath, 1977. Penulis Anonim Beowulf: A New Prose Translation. Trans. E. Talbot Donaldson. New York: W.W. Norton, 1966. Multi-Volume Dorival, Bernard. Twentieth Century Painters. Vol 2. New York: Universe Books, 1958. Hasil Produksi Editor Guernsey, Otis L., Jr., and Jeffrey Sweet, eds. The Burns Mantle Theatre Yearbook of 1989-90. New York: Applause, 1990. Artikel pada Jurnal Buchanan, Tom. “Between Marx and Coca-Cola: Youth Cultures in Changing European Societies, 1960-1980”. Journal of Contemporary History 44, no. 2 (2009): 371-373. Artikel pada Prosiding/Conference Paper Tidak diterbitkan Boy, Justin A. “Rainwater Harvesting.” Paper presented at the 16th Annual Agricultur Conference, Pietersburg University, South Africa, April 8-11, 2003. Diterbitkan dan diedit Boy, Justin A. “Rainwater Harvesting.” In Proceedings of the 16th Annual Agricultural Conference, April 8-11, 2003, Pietersburg University, South Africa. Edited by Jan Van Riebeek. Pietersburg, South Africa: Pietersburg University Press, 2004. Diterbitkan tanpa pengeditan Boy, Justin A. “Rainwater Harvesting.” In Agricultural in the North: Are We Making a Difference? Conference Proceeding, April 8-11, 2003. Pietersburg, South Africa: Pietersburg University Press, 2004. Sumber Online Website Tice-Deering, Beverly. English as a Second Language. http://www.seattlecentral.org/faculty/bticed (accessed July, 2005). University of Chicago Dept. of Romance Languages and Literatures. Romance Languages and Literature. http://humanities.uchicago.edu/romance (accessed July 27, 2009). E-Book Thornton, Chris. Truth from Trash: How Learning Makes Sense. Cambridge, MA: MIT Press, 2000. http://emedia.netlbrary.com.
270
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
E-Journal Warr, Mark, and Christophers G. Ellison. “Rethinking Social Reaction to Crime: Personal and Altruistic Fear in Family Households.” American Journal of Sociology 106, no. 3 (2000): 551-78. http://www.journals.uchicago.edu/AJS/journal/issues/v106n3/050125/050126.html. (accessed June 28, 2003), 15. Transliterasi berpedoman pada Pedoman Transliterasi Arab-Latin Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K Nomor: 158 Tahun 1987 –Nomor: 0543 b/u/1987. 16. Artikel hasil penelitian memuat judul, nama penulis, alamat instansi, email, abstrak, kata kunci, dan isi. Isi artikel mempunyai struktur dan sistematika serta persentase jumlah halaman sebagai berikut: a. Pendahuluan, menguraikan latar belakang, perumusan masalah, dan tujuan penelitian (10%) b. Kajian literatur, menguraikan teori dan hasil penelitian terdahulu yang relevan (15%) c. Metode penelitian, berisi rancangan/model, sampel dan data, tempat dan waktu, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data (10%) d. Hasil penelitian dan pembahasan (50%) e. Penutup yang berisi simpulan dan saran (15%) f. Ucapan terima kasih g. Daftar Pustaka. Jumlah sumber acuan dalam satu naskah paling sedikit 10 dan 80% di antaranya merupakan sumber acuan primer dan diterbitkan dalam lima tahun terakhir. Sumber acuan primer adalah sumber acuan yang langsung merujuk pada bidang ilmiah tertentu, sesuai topik penelitian dapat berupa tulisan dalam makalah ilmiah dalam jurnal internasional maupun nasional terakreditasi, hasil penelitian di dalam disertasi, tesis maupun skripsi 17. Pemuatan atau penolakan naskah akan diberitahukan secara tertulis/email. Naskah yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis. Contact Person: Abas, M.Si HP: 0856 8512504 Naskah diemail ke:
[email protected]
Dialog
Vol. 39, No.2, Desember 2016
271