PENERAPAN KEDEWASAAN DENGAN KELUARNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA KUASA MENJUAL HAK ATAS TANAH DI SAMARINDA
TESIS
Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Derajat S2 Program Studi Magister Kenotariatan
Oleh : SUGIYEM B4B 008240
PEMBIMBING : Suradi, S.H. M.Hum.
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO SAMARINDA 2010
PENERAPAN KEDEWASAAN DENGAN KELUARNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA KUASA MENJUAL HAK ATAS TANAH DI SAMARINDA
Disusun Oleh :
Sugiyem B4B008240
Dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada Tanggal 04 Maret 2010
Tesis ini telah diterima Sebagai Persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan
Pembimbing,
Mengetahui, Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro
Suradi, S.H. M.Hum.
H. Kashadi, SH. MH.
NIP.19570911 198403 1 003
NIP 19540624 198203 1 001
KATA PENGANTAR Dengan segala kerendahan hati, puji syukur ke hadirat ALLAH SWT penulis panjatkan, karena hanya dengan ridhoNya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini, dengan judul “PENERAPAN KEDEWASAAN DENGAN KELUARNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA KUASA MENJUAL HAK ATAS TANAH DI SAMARINDA”. Tesis ini disusun guna melengkapi persyaratan mencapai gelar Magister Kenotariatan pada Program Magister Kenotariatan pada Universitas Diponegoro Samarinda. Tidaklah mudah untuk menyusun tesis yang sempurna, demikian pula yang penulis alami, hambatan-hambatan, kesulitan dan kejenuhan mewarnai penyusunan ini. Namun dengan segala usaha dan kemauan, penyusun berusaha untuk membuat semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan penyusun. Tetapi sebagaimana manusia yang mempunyai kekurangan dan kelemahan, penulispun demikian adanya. Banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan dari tesis ini, Oleh karena itu segala kritik dan saran sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini. Berkat rahmat ALLAH, SWT, doa dari orang tua, dukungan dari suami, anak, bantuan dari kakak, adik, temen-temen dan berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih setulus-tulusnya kepada : 1.
Bapak H. Kashadi, S.H.,M.H. selaku Ketua Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro.
2.
Bapak Suradi, S.H.,M.Hum. selaku Pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam penyusunan tesis ini.
3.
Tim Penguji, Bapak Dr. Budi Santoso, SH.MS. Bapak Suradi, S.H.,M.Hum., Bapak Ery Agus Priyono, S.H.,M.Si. dan Ibu Dewi Hendrawati, SH.M.H., yang telah memberikan banyak masukan serta saran untuk perbaikan dan kesempurnaan tesis ini.
4.
Bagian Bidang HAT&PT Badan Pertanahan Nasional Kantor Wilayah Kota Samarinda, Bapak Dapri, S.H.
5.
Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Samarinda Bapak I Made Mandia, SH.
6.
Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri Samarinda, Ibu Titik Winarti, S.H.
7.
Ibu Maria Astuti, S.H., Ibu Nancy Nirwana Somalinggi, S.H. para Notaris dan PPAT di Kota Samarinda.
8.
Mas Dedi suamiku tercinta dan Dimas anakku tersayang atas segenap cinta, sayang, kesabaran, semangat, serta doa-doanya yang selalu diberikan kepadaku setiap hari.
9.
Almarhum Ibu tercinta, Ibu Parti, “semoga di surga sana tersenyum melihat putrimu ini”.
10.
Bapak Tukino, Bapak tercinta yang atas segenap cinta, kerja keras dan pikiran, “semoga do’a dan cintamu selalu melimpahkan berkah untukku”.
11.
Kakak-kakakku dan adikku yang selalu membantu memberikan semangat, do’a serta motivasi.
12.
Sahabat baikku sekaligus teman seperjuanganku di Magister Kenotariatan Mbak Nungrum Puji Lestari, SH, M.Kn., Mbak Nurhayati, SH., Mbak Anggun Nurdiani, SH. yang juga selalu memberikan semangat, motivasi, untuk menyelesaikan tesis ini.
13.
Semua
Rekan-rekan
seperjuangan
Kelas
Reguler
A2,
Magister
Kenotariatan UNDIP angkatan 2008. Harapan penulis, semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada siapa saja yang membutuhkan. Dan semoga kepada mereka yang telah membantu penulisan tesis ini, ALLAH SWT akan membalas budi baiknya. Amien.
Semarang, 04 Maret 2010
Penulis, S u g i y e m.
ABSTRAK
Seseorang dalam melakukan perbuatan hukum terlebih dahulu harus sudah dinyatakan cakap untuk bertindak menurut hukum. Maksud cakap adalah menurut hukum sudah dinyatakan dewasa. Sedangkan kedewasaan seseorang dipengaruhi oleh umurnya. Menurut KUH Perdata orang telah dikatakan dewasa apabila telah mencapai umur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun tetapi sebelumnya telah menikah. Tetapi mengenai masalah batasan umur dewasa ini belum adanya keseragaman yang ditentukan oleh pemerintah sebagai pembuat produk hukum. Sedangkan menurut Pasal 39 (1) UUJN menyatakan bahwa seorang dianggap cakap apabila sudah berumur 18 tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum. Oleh karena itu muncul masalah yaitu : − Bagaimana penerapan dalam praktek mengenai batas usia dewasa dalam melakukan perbuatan hukum setelah berlakunya UU No. 30 Tahun 2004? − Bagaimana cara penyelesaiannya apabila muncul perbedaan persepsi mengenai batas usia bertindak yang menyangkut usia kedewasaan menurut UU No. 30 Tahun 2004? Dalam penelitian ini digunakan metode pendekatan yuridis empiris dengan teknik penarikan sample random sederhana. Adapun hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : − Penerapan dalam praktek belum adanya keseragaman dan kesepakatan batasan usia dewasa dalam melakukan perbuatan hukum. Sehingga dalam pelaksanaannya UUJN yang didalam Pasal 39 ayat (1) menentukan bahwa dewasa adalah 18 tahun, maka usia dewasa ini hanya bisa di terapkan pada akta-akta yang berkaitan dengan akta notaris saja yang bersifat umum. Sedangkan akta-akta yang berkaitan dengan perbuatan peralihan hak atas tanah dan pendaftaran tanah penentuan batasan dewasa tetap tunduk pada ketentuan Pasal 330 KUH Perdata.
Kata kunci : batasan usia dewasa, akta umum, akta PPAT
ABSTRACT
One in doing legal act has to be stated that she/he’s capable to act legally. The meaning of capable is mature-stated judicially. While, one’s maturity influenced by its age. According to Civil Code people is said mature if they has already in 21 years old or not yet in 21 years old but he/she has married. However, concerning the problem of mature limitation that is the inexistence of uniformity which determined by government as a legal product maker. Whereas, according to Section 39 (1) UUJN states that one is assumed capable if he/she has already in 18 years old or get married and capable to do legal act. Therefore, the problems appear as follows: - How the applications in practice concerning mature limitation in doing legal act after the prevailed of Code No. 30 Period 2004? - How does the settlement if perception divergence is appear concerning age limitation to act as to maturity age according to Code No. 30 Period 2004? This research used empirical juridical approach method by simple random sampling. As to the research result as follows: - The application within practice is inexistence of uniformity and agreement of mature limitation in doing legal act. So that, in the implementation of UUJN within Section 39 article (1) determines that mature/adult is 18 years old, then it is only can be applied on notary-related certificate has general. While, act related to land right transition and land enrollment the determination of mature limitation remains to obedient upon stipulation of section 330 Civil Code.
Keyword: mature limitation, general certificate, PPAT certificate
DAFTAR ISI Halaman Judul .................................................................................................... i Halaman Pengesahan .........................................................................................
ii
Kata Pengantar ................................................................................................... iii Abstrak ............................................................................................................... vi Abstract .............................................................................................................. vii Daftar Isi ........................................................................................................... viii BAB I
PENDAHULUAN ...................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah …..……………………................ 1 B. Perumusan Masalah ............................................................. 6 C. Tujuan Penelitian ................................................................ 6 D. Manfaat Penelitian ............................................................. 7 E. Kerangka Pemikiran …………………...…..……………… 7 F.
Metode Penelitian
……………………………………….. 9
G. Sistimatika Penulisan ………………………………......... 15 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 17 A. Tinjauan Umum Tentang Perbuatan Hukum …….......... 17 B. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Pemberian Kuasa… 21 1. Perjanjian Pada Umumnya ………………………….. 21 a. Pengertian Perjanjian …………………………... 22 b. Unsur Perjanjian ……………………………….. 26 c. Asas-asas Perjanjian ……………………………. 28 d. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian .………………..
32
e. Akibat Hukum Perjanjian Sah …………………… 38 2. Pengertian Kuasa
………………….......................... 41
3. Perjanjian Pemberian Kuasa …………………………. 43 4. Kuasa Berdasarkan Ketentuan Perundang-undangan…. 46 5. Bentuk-Bentuk Kuasa …………………………..…..... 47 6. Jenis Kuasa ………………………………………….. 48 7. Sifat Pemberian Kuasa .…….…………………........... 49 C. Kewenangan Hukum, Kecakapan Bertindak Dan Kewenangan Bertindak ..……………………………………………….. 51
BAB III
D. Kedewasaan Menurut Hukum …………………………..
52
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .......................
61
A. Peranan Umur Terhadap Kedewasaan Seseorang Menurut UUJN ……………………………………………………
61
B. Penerapan Dalam Praktek Mengenai Batas Usia Dewasa Dalam Melakukan Perbuatan Hukum Setelah Berlakunya UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 ……................................... 67 C. Cara Penyelesaian Apabila Muncul Perbedaan Persepsi Mengenai Masalah Batas Usia Bertindak Menyangkut Usia Dewasa Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004.. 88 BAB IV
PENUTUP ................................................................................ 94 A. Simpulan ............................................................................. 94 B. Saran .................................................................................. 95
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Manusia dalam melangsungkan hidupnya memerlukan keberadaan orang lain, sebab manusia adalah mahluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa orang lain untuk membantu memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Tidak dapat dipungkiri, bahwa tingkat kebutuhan manusia setiap hari semakin meningkat dalam rangka mencapai taraf hidup yang lebih baik. Oleh karenanya untuk memenuhi kebutuhan tersebut, manusia dalam kesehariannya dapat melakukan perbuatan hukum yang menimbulkan hubungan hukum, misalnya melakukan perjanjian untuk sewa-menyewa, perjanjian jual beli, dan bentuk hubungan hukum yang lain sesuai dengan kebutuhannya pada saat itu. Orang perorangan bisa melakukan hubungan hukum, sebab manusia adalah pendukung utama hak dan kewajiban dan orang menyimpulkan, bahwa kualitas yang demikian itu diberikan kepada manusia, berkaitan dengan kepribadian manusia. Berangkat dari anggapan, bahwa semua manusia mempunyai kepribadian, maka semua manusia adalah subyek hukum.1 Berkaitan dengan hal di atas, bahwa hubungan hukum yang dilakukan, maka manusia adalah para pihak yang setiap melakukan
1
J.Satrio, Hukum Pribadi Bagian I Person Alamiah.(Bandung, Citra Aditya bakti, 1999), Hal.15
hubungan hukum masing-masing memiliki hak dan kewajiban secara timbal balik, yaitu pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dan pihak lain wajib memenuhi tuntutan tersebut dan hak ini berlaku sebaliknya. Kewenangan untuk menjadi pendukung hak dan kewajiban, kita sebut sebagai kewenangan hukum. Hal ini harus dibedakan dengan kewenangan bertindak. Kewenangan hukum dimiliki oleh semua manusia sebagai subyek hukum, sedangkan kewenangan bertindak dari setiap subyek hukum dipengaruhi banyak faktor, misalnya saja faktor usia, statusnya (menikah atau belum), status sebagai ahli waris (dalam lapangan hukum waris) dan lain-lain. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam hal melakukan perbuatan hukum berupa suatu perjanjian pemberian kuasa dalam hal ini Kuasa Menjual Hak Atas Tanah, bahwa pihak-pihak yang hendak melakukan perjanjian harus memenuhi unsur perjanjian dan juga syaratsyarat sahnya perjanjian. Syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, ada empat syarat yaitu : 1. Sepakat Mereka yang mengikatkan dirinya ; 2. Kecakapan para pihak dalam membuat suatu perjanjian; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal; Cakap artinya orang-orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Seorang yang telah dewasa atau akil balik, sehat jasmani dan rohani dianggap cakap menurut hukum, sehingga dapat membuat suatu
perjanjian. Menurut Pasal 1330 KUHPerdata, Tak Cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah : 1. Orang yang belum dewasa; 2. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan; 3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang, dan pada umumnya semua oreang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Sehingga
agar
suatu
tindakan
dalam
perjanjian
dapat
menimbulkan akibat hukum yang sempurna, maka orang yang bertindak , pada saat tindakan dilakukan, harus mempunyai kematangan berfikir yang secara normal mampu menyadari sepenuhnya tindakannya dan akibat dari tindakannya. Orang yang secara normal mampu menyadari tindakan dan akibat dari tindakannya dalam hukum disebut dengan cakap bertindak. Oleh karena itu, maka agar orang setiap kali akan melakukan perjanjian tidak perlu menyelidiki terlebih dahulu apakah lawan janjinya tersebut cakap bertindak atau tidak, maka oleh undang-undang ditetapkan sekelompok orang-orang, yang dimaksukkan dalam kelompok mereka yang cakap, yaitu orang sudah dewasa dan sebaliknya sekelompok orang yang tidak cakap bertindak, yaitu mereka yang belum dewasa dan orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan.2 Mengenai batasan umur dewasa kebanyakan orang menyimpulkan hanya dari ketentuan Pasal 330 KUH Perdata yang menyatakan bahwa :
2
Ibid, hal. 55
Batasan dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah menikah. Akan tetapi dalam perkembangannya, hal tersebut di atas sedikit mengalami perubahan dengan adanya ketentuan Pasal 47 dan 50 UndangUndang Perkawinan yang selanjutnya disebut dengan UUP dan Pasal 39 ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang selanjutnya disebut UUJN, yang mensyaratkan seorang penghadap paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum. Perbedaan batasan usia dewasa dalam perbuatan hukum ini, memicu timbulnya perbedaan persepsi yang menjadi masalah hukum. Usia dewasa menurut UUJN adalah 18 tahun, sedangkan menurut KUH Perdata adalah 21 tahun. Perbedaan ini tentunya memiliki implikasi hukum di dalam kehidupan sehari-hari. Berikut adalah contoh kasus yang terjadi di Kota Samarinda yaitu adanya anak usia 18 tahun hendak melakukan pembuatan suatu kuasa menjual sebidang tanah di hadapan notaris, oleh karena UUJN menentukan usia 18 tahun dianggap telah dewasa menurut hukum untuk bisa melakukan perbuatan hukum, maka akta Kuasa Untuk Menjual tersebut dibuat oleh notaris. Untuk ini ia dikatakan sudah cakap bertiandak. Untuk ini ia dikatakan sudah cakap bertindak. Kemudian, waktu dilakukan Balik Nama dan Akta Jual Beli melalui PPAT, BPN tidak menerimanya. Alasannya, BPN tidak tunduk
pada UUJN yang menganggap usia 18 tahun belum cakap hukum. Untuk itu, si anak tersebut harus menunggu hingga dinilai telah cakap hukum. Kondisi ini tentu saja menyulitkan notaris, yang berujung merugikan para pihak. Berdasarkan contoh kasus tersebut jelas menunjukkan, bahwa munculnya perbedaan persepsi usia 18 tahun dalam melakukan perbuatan hukum, akhirnya menimbulkan masalah hukum. Dari munculnya kasus tersebut diatas penulis melihat perbedaan yang mendasar antara konsep batasan umur dewasa dalam melakukan perbuatan hukum yang dipakai KUH Perdata dan konsep UUJN. Penulis memilih judul yang berkaitan dengan kecakapan bertindak dalam melakukan perbuatan hukum setelah berlakunya UUJN, sebab sebelum UUJN dibuat dan diberlakukan, seseorang hanya dianggap telah dewasa dan cakap melakukan perbuatan hukum apabila telah berumur 21 tahun, apabila belum 21 tahun harus dibantu oleh orang tuanya atau wali apabila orang tuanya sudah tidak ada. Akan tetapi setelah UUJN diberlakukan mulai tahun 2004, seseorang dianggap telah dewasa dan juga cakap melakukan perbuatan hukum, tidak lagi harus berumur 21 tahun terlebih dahulu, tetapi cukup berumur 18 tahun. Sehingga UUJN menganggap umur 18 tahun sudah dewasa dan telah cakap untuk berbuat hukum tanpa dibantu oleh orang tua atau walinya. Dengan adanya perbedaan yang mendasar antara konsep KUH Perdata dan UUJN serta contoh kasus di atas, maka penulis ingin meneliti lebih lanjut mengenai permasalahan dan menyusunnya dalam tesis yang
berjudul : ‘PENERAPAN KEDEWASAAN DENGAN KELUARNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG UNDANGUNDANG JABATAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA KUASA MENJUAL HAK ATAS TANAH DI SAMARINDA’.
B.
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan diangkat dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah penerapan dalam praktek mengenai batas usia dewasa dalam melakukan perbuatan hukum setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 ? 2. Bagaimanakah
cara
penyelesaiannya
apabila
muncul
perbedaan persepsi mengenai masalah batas usia bertindak yang menyangkut usia kedewasaan menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 ?
C.
Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui penerapan dalam praktek mengenai kecakapan bertindak dalam melakukan perbuatan hukum setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004. 2. Untuk mengetahui cara penyelesaian apabila muncul perbedan persepsi mengenai masalah kecakapan bertindak yang
menyangkut usia kedewasaan menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004.
D.
Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademis Kegunaan akademis (bagi pengembangan hukum) penelitian ini diharapkan mampu menambah dan mengembangkan ilmu pengetahuan
di
bidang
Hukum
khususnya
mengenai
kecakapan bertindak seseorang dalam melakukan perbuatan hukum menurut undang-undang jabatan notaris. 2. Manfaat Praktis Dari hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan yang bermanfaat bagi negara dalam hal ini pemerintah
untuk
memberikan
salah
satu
alternatif
penyelesaian dalam hal perbedaan persepsi usia dalam batasan cakap bertindak dalam melakukan perbuatan hukum di lapangan hukum.
E.
Kerangka Pemikiran. 1. Kerangka Konseptual. Salah satu syarat untuk sahnya perjanjian adalah dengan adanya kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum. Menurut KUHPerdata
orang dianggap cakap apabila sudah berumur genap 21 tahun atau belum berumur 21 tahun tapi sebelumnya sudah menikah. Sedangkan menurut UUJN orang dianggap cakap paling sedikit berusia 18 tahun atau sudah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum. Menurut asas hukum bahwa apabila ada peraturan baru yang mengatur hal yang sama, maka peraturan yang akan dipakai adalah peraturan yang baru dengan mengesampingkan peraturan yang lama. Demikian pula jika ada peraturan yang khusus maka yang dipakai peraturan yang khusus dengan mengesampingkan peraturan yang umum. Dengan adanya UUJN khusus akta-akta yang berhubungan dengan akta notaries yang bersifat umum yang diperlukan adalah kedewasaan berdasarkan UUJN sedangkan diluar itu yang diberlakukan ketentuan umum. 2. Kerangka Teoritik . Syarat
sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata adalah
sepakat, cakap , suatu hal tertentu dan adanya suatu sebab yang halal. Khusus untuk kecakapan diatur dalam Pasal 330 KUHPerdata yang isinya adalah kedewasaan seseorang itu telah berumur 21 tahun atau telah menikah, sekalipun belum mencapai umur 21 tahun. Sedangkan menurut UUJN Pasal 39 (1) sebagai penghadap untuk pembuatan akta adalah paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum.
Kedewasaan secara yuridis selalu mengandung pengertian tentang adanya kewenangan seseorang untuk melakukan perbuatan hukum sendiri tanpa bantuan pihak lain. Jadi seseorang dewasa apabila orang itu diakui oleh hukum untuk melakukan perbuatan hukum sendiri , dengan tanggung jawab sendiri atas apa yang ia lakukan jelas disini terdapatnya kewenangan seseorang untuk secara sendiri melakukan suatu berbuatan hukum. Dalam lapangan hukum perdata unsur usia memang memiliki peranan yang cukup penting sebab dikaitkan dengan masalah kecakapan bertindak seseorang
sebagai subyek hukum
dalam tindakan
hukumnya.
F. Metode Penelitian Adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian, adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia, maka metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsipprinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.3 1. Metode Pendekatan Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis
3
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hal. 6
empiris, yaitu suatu pendekatan yang dilakukan untuk menganalisis tentang sejauh manakah suatu peraturan/ perundang-undangan atau hukum yang sedang berlaku secara efektif,4 dalam hal ini metode pendekatan dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis tentang Penerapan Kedewasaan Dengan Keluarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 dalam praktek dan cara penyelesaian apabila muncul perbedaan persepsi mengenai masalah kecakapan bertindak yang menyangkut usia kedewasaan menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 dalam pembuatan akta kuasa menjual hak atas tanahdi Samarinda.
2. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu metode penelitian untuk memberi gambaran mengenai situasi atau kejadian dan menerangkan hubungan antara kejadian tersebut dengan masalah yang akan diteliti,5 karena hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai praktek batas usia dewasa dalam melakukan perbuatan hukum dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 dan cara penyelesaiannya apabila muncul perbedaan persepsi mengenai masalah kecakapan bertindak yang menyangkut usia kedewasaan. 4 5
Ibid, hal. 52 Mohammad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1993), hal. 64.
3.
Populasi Populasi, adalah seluruh obyek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti.6 Yang menjadi populasi dalam penelitian ini, adalah : Notaris Kota Samarinda yang berjumlah 27 (tdua puluh tujuh) orang, Badan Pertanahan Kota Samarinda, dan Pengadilan Negeri di Samarinda .
4. Teknik Penentuan Sampel Dalam penelitian ini, teknik penarikan sampel yang dipergunakan oleh penulis adalah : a.
Untuk notaris dilakukan dengan cara random sederhana dari 27 (dua puluh tujuh) orang notaris diundi 2 (dua) orang.
b. Untuk Badan Pertanahan Nasional Kota Samarinda Kepala Kantor. c. Untuk Pengadilan Negeri Samarinda Ketua Pengadilan.
5. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data, merupakan hal yang sangat erat hubungannya dengan sumber data, sebab melalui pengumpulan data ini akan diperoleh data yang diperlukan, untuk selanjutnya dianalisis sesuai dengan yang diharapkan. 6
Rony Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988), hal. 44
Berdasarkan hal tersebut penulis memperoleh data primer melalui konsultasi dan juga wawancara secara langsung dengan responden mengenai penerapan kedewasaan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 dalam pembuatan akta kuasa menjual hak atas tanah di Samarinda. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut : a. Data Primer Data Primer, adalah data yang diperoleh secara langsung di lapangan yang dalam hal ini diperoleh dengan : Wawancara, yaitu cara memperoleh informasi dengan mempertanyakan langsung pada responden. Hasil wawancara ditentukan oleh beberapa faktor yang berinteraksi dan mempengaruhi arus informasi. Faktor-faktor tersebut adalah pewawancara, yang diwawancarai, topik penelitian yang tertuang dalam daftar pertanyaan. 7 Sistem wawancara yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah wawancara bebas terpimpin, yang artinya terlebih dahulu mempersiapkan daftar pertanyaan sebagai pedoman, tetapi
dimungkinkan
adanya
variasi
pertanyaan
yang
disesuaikan dengan situasi pada saat wawancara dilakukan.8 b. Data Sekunder 7
Ibid, hal.57 Soetrisno Hadi, Metodologi Research jilid II, (Yogyakarta : Yayasan Penerbit Fakultas Hukum Psikologi UGM, 1985), hal. 26 8
Diperoleh melalui pengumpulan data berupa bahan-bahan hukum yang diperlukan. Adapun bahan-bahan hukum yang diperlukan adalah sebagai berikut : 1). Bahan hukum primer yang terdiri dari : a). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata b). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. c). Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. d). Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Paraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah; e). Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kuasa; 2). Bahan hukum sekunder Dalam penelitian ini yang termasuk bahan hukum sekunder, adalah kepustakaan dan literatur-literatur yang berhubungan
dengan
pemberian
kuasa,
perjanjian,
kecakapan bertindak, kewenangan hukum, kecakapan bertindak dan kewenangan bertindak, kedewasaan menurut hukum. 3) Bahan hukum tersiser Merupakan bahan hukum yang memberi kejelasan terhadap hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum
tersier yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamus hukum dan kamus lain yang mendukung penelitian.
6. Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini analisa data yang penulis gunakan adalah analisa kualitatif, yaitu dengan menginventarisasi data-data yang terkumpul dan kemudian diseleksi untuk menemukan hubungan antara data yang diperoleh dari penelitian dengan landasan teori, sehingga memberikan gambaran yang konstruktif mengenai permasalahan yang diteliti. Alasan penulis gunakan analisa data secara kualitatif, bukan kuantitatif, sebab dalam analisa data secara kuantitatif, hanya menyajikan analisa data yang dibuat secara statistik saja, sedangkan analisa data dalam penelitian ini tidak bisa dibuat secara statistik. Kemudian, dari semua perolehan data, baik dari studi lapangan maupun studi pustaka, pada dasarnya merupakan data tataran yang dianalisis secara deskriptif kualitatif, yaitu data yang terkumpul dituangkan dalam bentuk uraian logis dan sistematis, selanjutnya dianalisis
untuk
memperoleh
kejelasan
penyelesaian
masalah,
kemudian ditarik kesimpulan secara induktif, yaitu dari hal yang bersifat khusus menuju ke hal yang bersifat umum.
G. Sistematika Penulisan, Untuk menyusun tesis ini peneliti membahas, menguraikan masalah yang terbagi ke dalam empat bab. Maksud dari pembagian tesis ini ke dalam bab-bab adalah agar lebih mudah menjelaskan dan menguraikan setiap masalah dengan baik dan lebih jelas. BAB I
: PENDAHULUAN, Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, pemikiran/kerangka
teoritik,
metode
kerangka
penelitian
dan
sistematika penulisan . BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA, Bab ini berisikan tinjauan pustaka yang menyajikan landasan teori tentang tinjauan secara umum tentang perjanjian khususnya tentang perjanjian pemberian kuasa, kewenangan hukum, kecakapan bertindak dan kewenangan bertindak, kedewasaan menurut hukum.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, Yang akan menguraikan hasil penelitian yang relevan dengan permasalahan dan pembahasannya, yaitu penerapan dalam praktek mengenai
batas usia dewasa dalam melakukan
perbuatan hukum setelah berlakunya Undang-Undang nomor 30 Tahun 2004, serta bagaimana cara penyelesaiannya
apabila muncul perbedaan persepsi mengenai masalah batas usia bertindak menyangkut usia dewasa menurut UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentaang Peraturan Jabatan Notaris tersebut. BAB IV : PENUTUP . Dalam bab ini akan diuraikan kesimpulan dari masalahmasalah yang telah dirumuskan dalam penelitian setelah mengambil kesimpulan dari seluruh data yang diperoleh dari penelitian
dapat
pula
memberikan
saran-saran
yang
membangun demi kesempurnaan. Tesis ini juga akan dilampiri dengan abstrak, daftar pustaka serta lampiran-lampiran lainnya. DAFTAR PUSTAAKA. LAAMPIRAN.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Perbuatan Hukum Kata “perbuatan” meliputi perbuatan positif, yang dalam bahasa Belanda “daad” (Pasal 1365 KUHPerdata) dan perbuatan negative, yang dalam bahasa aslinya bahasa Belanda “nalatgheid” (kelalaian) atau onvoorzigtigheid” (kurang hati-hati) seperti ditentukan dalam Pasal 1366 KUHPerdata. Pelanggaran dua pasal ini mempunyai akibat hukum yang sama, yaitu mengganti kerugian.9 Hukum sebagai kumpulan peraturan bersifat abstrak dan bahwa tatanan yang diciptakan oleh hukum itu baru menjadi kenyataan apabila kepada subyek hukum diberi hak dan dibebani kewajiban. Hak dan kewajiban itu timbul karena hukum. Hukum hanya mempunyai arti yang pasif apabila tidak diterapkan terhadap peristiwa konkrit. Konkretisasi hukum menjadi hak dan kewajiban itu terjadi dengan peristiwa hukum.
Untuk terjadinya hak dan kewajiban
diperlukan
terjadinya suatu peristiwa yang oleh hukum dihubungkan sebagai akibat.. Peristiwa yang mempunyai akibat hukum adalah peristiwa hukum. Hukum itu sendiri tidak mungkin mempunyai akibat hukum karena sifatnya pasif, masih perlu terjadinya peristiwa hukum untuk adanya akibat
9
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 2000) hal. 253.
17
hukum.
Ketentuan
“barang
siapa
membunuh
dihukum”
tidaklah
mempunyai akibat hukum kalau tidak terjadi pembunuhan. Peristiwa konkrit yang mana yang mempunyai akibat hukum itu tergantung pada kaedah atau situasi konkrit. Pada dasarnya semua peristiwa dalam keadaan tertentu dapat menjadi peristiwa hukum. Peristiwa hukum pada hakekatnya adalah kejadian, keadaan atau perbuatan yang oleh hukum dihubungkan dengan akibat hukum. Termasuk kejadian adalah kelahiran atau kematian, sedangkan yang merupakan keadaan misalnya umur yang menyebabkan orang memperoleh kedewasaan. Kelahiran seorang anak akan menimbulkan akibat hukum bagi anak yang dilahirkan itu. Kelahiran tidak hanya menyebabkan seseorang memperoleh kedudukan sebagai subyek hukum, tetapi menimbulkan juga hubungan hukum antara orang tua dan anak. Kematian seseorang akan menyebabkan putusnya hubungan hukum dan menyebabkan ahli warisnya dapat mewaris harta kekayaannya. Peristiwa-peristiwa hukum tersebut diatas bukanlah terjadi karena perbuatan orang atau subyek hukum, melainkan merupakan kejadian alamiah. Di samping peristiwa hukum yang bukan perbuatan subyek hukum dikenal peristiwa hukum yang merupakan perbuatan subyek hukum Perbuatan subyek hukum ini dibagi lebih lanjut menjadi perbuatan hukum dan perbuatan (subyek hukum) lainnya yang bukan merupakan perbuatan hukum melainkan merupakan perbuatan nyata.
Perbuatan hukum adalah perbuatan subyek hukum yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum yang sengaja dikehendaki oleh subyek hukum. Pada asasnya akibat hukum ini ditentukan juga oleh hukum. Unsurunsur perbuatan hukum adalah kehendak dan pernyataan kehendak yang sengaja ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum10. Perbuatan hukum dapat bersifat aktif maupun pasif. Meskipun seseorang tidak berbuat, tetapi kalau dari sikapnya yang pasif itu dapat ditafsirkan mengandung pernyataan kehendak untuk menimbulkan akibat hukum, maka perbuatan yang pasif itupun merupakan perbuatan hukum. Perbuatan menjadi perbuatan hukum, karena dalam keadaan tertentu mempunyai arti. Contoh : kalau seseorang memasukkan sepedanya, tanpa mengucapkan sepatah katapun ke tempat penitipan sepeda ia dianggap akan menitipkan sepedanya. Perbuatan hukum dibagi menjadi perbuatan hukum sepihak dan ganda. Perbuatan hukum sepihak hanya memerlukan kehendak dan pernyataan kehendak untuk menimbulkan akibat hukum dari satu subyek hukum saja. Dalam perbuatan hukum sepihak yang murni tidak perlu ada pihak yang menerima kehendak dan pernyataan kehendak itu secara langsung seperti misalnya dalam hibah wasiat. Pada saat pernyataan kehendak itu timbul calon penerima hibah wasiat itu tidak tahu. Perbuatan hukum ganda memerlukan kehendak dan pernyataan 10
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 2003) hal. 51
kehendak dari sekurang-kurangnya dua subyek yang ditujukan kepada akibat hukum yang sama. Termasuk perbuatan hukum ganda adalah perjanjian dan perbuatan hukum ganda lainnya seperti pendirian perseroan terbatas. Disamping perbuatan hukum masih ada
perbuatan (subyek
hukum) lainnya yang oleh hukum dihubungkan dengan akibat hukum, tidak peduli apakah terjadinya akibat hukum itu dikehendaki atau tidak oleh yang bersangkutan. Bedanya dengan perbuatan hukum ialah bahwa perbuatan (subyek hukum) lainnya ini tidak ada kehendak dan pernyataan kehendak untuk menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum yang timbul sama sekali tidak tergantung pada kehendak si pelaku. Contoh seseorang menemukan sebuah benda cagar budaya yang berumur 50 tahun atau lebih yang berada di pekarangan rumahnya sendiri, wajib melapor kepada Pemerintah, kalau tidak dapat dikenai hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun dan /atau dengan setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,00 (Pasal 28 ayat c). Penemuan itu sendiri merupakan perbuatan yang tidak melawan hukum sah, tetapi ada akibat hukumnya yaitu memberitahukannya kepada Pemerintah,
kalau
tidak
diancam
dengan
hukuman.
Meskipun
perbuatannya itu tidak melawan hukum, namun akibat hukumnya tidak dikehendaki. Kalau seseorang melakukan perbuatan melawan hukum, seperti misalnya melempari mangga yang ada di pohon dengan batu yang mengakibatkan kaca jendela tetangga pecah atau dengan menaiki kendaraan tanpa disengaja menabrak seseorang sehingga mengakibatkan
kerugian pada korban, maka akan timbul akibat hukum yang tidak dikehendaki oleh si pelaku. Perbuatan melawan hukum dihubungkan oleh hukum dengan akibat hukum yang tidak dikehendaki oleh si pelaku, yaitu membayar ganti rugi (Pasal 1365 KUHPerdata). Hal yang harus diperhatikan dalam peristiwa yang dikatakan perbuatan hukum adalah akibat, oleh karena akibat itu dapat dianggap sebagai kehendak dari sipembuat (sipelaku). Jika akibatnya tidak dikehendaki sipelaku, maka perbuatan itu bukan perbuatan hukum. Jadi adanya kehendak agar dikatakan sebagai perbuatan hukum, perlu diperhatikan unsurnya yang esensil (werkelijk = sebenarnya) yang merupakan hakekat dari perbuatan hukum itu.11
B. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Pemberian Kuasa. 1.
Perjanjian Pada Umumnya. Perjanjian adalah merupakan salah satu sumber hukum perikatan sedangkan sumber yang lain adalah undang-undang Pasal 1233 KUHPerdata. Perikatan yang lahir dari undang-undang sebagai akibat dari perbuatan orang. Jadi bukan orang yang berbuat itu menetapkan adanya perikatan melainkan undang-undang yang menetapkan adanya perikatan. Perbuatan orang itu diklasifikasikan menjadi dua, yaitu perbuatan yang sesuai dengan hukum dan perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum.
11
H. Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, (Bandung: PT. Alumni,2005), hal.40-41
Perikatan yang timbul dari perbuatan yang sesuai dengan hukum ada 3 yaitu penyelenggaraan kepentingan (zaakwaarneming) diatur dalam Pasal 1354 s/d 1358 KUHPerdata,
pembayaran
tanpa hutang (overschuldigde betaling) diatur dalam Pasal 1359 s/d 1364 KUHPerdata dan perikatan bebas diatur dalam Pasal 1359 (2). Sedangkan perikatan yang timbul dari perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum adalah perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) diatur dalam Pasal 1365 s/d 1380 KUHPerdata. a. Pengertian Perjanjian. Menurut Van Apeldoorn perjanjian disebut faktor yang membantu pembentukan hokum,sedagkan menurut Lemaire perjanjian adalah determinan hukum.12 Perjanjian merupakan bentuk persetujuan dari dua pihak atau lebih, yang saling berjanji untuk mengikatkan diri untuk melakukan sesuatu. Oleh karenanya perjanjian ini sangat penting, sehingga dalam pelaksanaannya hendaknya selalu dibuat dalam bentuk tertulis agar memiliki kekuatan hukum dan kepastian hukum. Mengenai
pengertian
perjanjian
ini
R.
Subekti
mengemukakan pendapatnya sebagai berikut :
12
Sudikno Mertokusumo, Mengeanal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta : Liberty, 2003), hal 117
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa ini timbulah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian ini menimbulkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian ini berupa suatu rangkaian
perikatan
yang
mengandung
janji-janji
atau
kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.13 Menurut pendapat yang dikemukakan oleh J. Satrio, perjanjian yaitu : Peristiwa yang menimbulkan dan berisi ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban antara dua pihak. Atau dengan perkatan lain, bahwa perjanjian berisi perikatan.14 Sedangkan pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata sebagai berikut : Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya. Rumusan perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut di atas tampaknya kurang lengkap, karena ada beberapa kelemahan yang perlu dikoreksi, kelemehan-kelemahan tersebut adalah sebagai berikut : 13
R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : PT. Intermasa,1963), hal. 1. J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,1995), hal. 5 14
1). Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini dapat diketahui dari rumusan kata “mengikatkan diri”, sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara dua pihak. 2). Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus. Seharusnya dipakai istilah “ persetujuan”. 3). Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian mencakup juga perjanjian kawin yang diatur dalam bidang hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur mengenai harta kekayaan. Perjanjian yang diatur dalam buku III KUHPerdata sebenarnya hanya meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersifat kepribadian (personal).
4). Tanpa menyebut tujuan. Dalam rumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihakpihak mengikatkan diri itu untuk apa.
Berdasarkan
alasan-alasan
diatas
maka
perjanjian
dapat
dirumuskan sebagai berikut : “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana satu orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan”. Dalam definisi ini jelas terdapat konsensus antara pihak-pihak, untuk melaksanakan sesuatu hal, mengenai harta kekayaan, yang dapat dinilai dengan uang. Perjanjian melaksanakan perkawinan misalnya tidak dapat dinilai dengan uang, bukan hubungan antara debitur dan kreditur karena perkawinan itu bersifat kepribadian bukan kebendaan. Menurut Rutten, rumusan perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata tersebut mengandung beberapa kelemahan, karena hanya mengatur perjanjian sepihak dan juga sangat luas, karena istilah perbuatan yang dipakai akan mencakup juga perbuatan melawan hukum.15 Pendapat yang senada juga diungkapkan oleh para sarjana hukum perdata, bahwa pada umumnya menganggap definisi perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata itu tidak lengkap dan terlalu luas. Menurut R. Wirjono Prodjodikoro, mengartikan perjanjian sebagai suatu hubungan hukum mengenai
15
Rutten dalam Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Dan Dari Undang-Undang), (Bandung : Mandar Maju,1994), hal. 46
harta benda antara kedua belah pihak, dalam mana satu pihak berhak untuk menuntut pelaksanaan janji itu.16 Sedangkan
menurut
Abdul
Kadir
Muhammad,
merumuskan kembali definisi dari Pasal 1313 KUH Perdata sebagai berikut, bahwa yang disebut perjanjian adalah suatu persetujuan
dengan
mana
dua
orang
atau
lebih
saling
mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan.17 Perjanjian, adalah merupakan bagian dari perikatan, jadi perjanjian adalah merupakan sumber dari perikatan dan dari perikatan itu mempunyai cakupan yang lebih luas daripada perjanjian. Mengenai perikatan itu sendiri diatur dalam Buku III KUHPerdata, karena sebagaimana diketahui bahwa suatu perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang. Oleh karena itu, bahwa perjanjian adalah sama artinya dengan kontrak. b. Unsur Perjanjian. Dari beberapa rumusan pengertian perjanjian yang diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian mengandung beberapa unsur-unsur sebagai berikut : 18 1). Adanya pihak-pihak . Pihak yang dimaksudkan, yaitu paling sedikit harus ada dua orang, para pihak bertindak sebagai subyek perjanjian 16
R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Bandung : Sumur,1993), hal. 9 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 78 18 Loc.cit. 17
tersebut. Subyek bisa terdiri dari manusia atau badan hukum. Dalam hal para pihak terdiri dari manusia, maka orang tersebut harus telah dewasa dan cakap untuk melakukan hubungan hukum. 2). Adanya persetujuan para pihak Para pihak sebelum membuat perjanjian atau dalam membuat suatu perjanjian haruslah diberikan keduanya, hal ini bisa disebut dengan asas konsensualitas dalam suatu perjanjian. Konsensus harus ada tanpa disertai paksaan tipuan dan keraguan. 3). Adanya tujuan yang akan dicapai Suatu perjanjian harus mempunyai satu atau beberapa tujuan yang hendak dicapai, dan dengan perjanjian itulah tujuan tersebut ingin dicapai atau dengan sarana perjanjian tersebut suatu tujuan ingin mereka capai, baik yang dilakukan sendiri maupun oleh pihak lain, yang dalam hal ini mereka selaku subyek dalam perjanjian tersebut. 4). Adanya prestasi yang dilaksanakan Para pihak dalam perjanjian mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan yang lainnya saling berlawanan. Apabila pihak yang satu dengan yang lain hal tersebut adalah merupakan hak dan begitu pula sebaliknya. 5). Adanya syarat-syarat tertentu
Isi perjanjian harus ada syarat-syarat tertentu, karena dalam perjanjian menurut ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata mengatakan bahwa persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 6). Adanya bentuk tertentu Perjanjian menurut bentuknya dapat dibuat secara lisan maupun tertulis, dalam hal suatu perjanjian dibuat secara tertulis dan dibuat dalam akte otentik maupun di bawah tangan. c. Asas-Asas Perjanjian Hukum
perjanjian mengenai beberapa asas penting,
yang merupakan dasar kehendak pihak-pihak dalam mencapai tujuan. Beberapa asas-asas pokok dalam perjanjian terdiri dari : 1). Asas Kebebasan Berkontrak Maksud dari asas ini adalah, bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan suatu perjanjian yang berupa apa saja, baik yang sudah diatur atau belum diatur dalam undang-undang . Tetapi kebebasan tersebut dibatasi oleh tiga hal yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, tidak bertentangan dengan kesusilaan, baik itu bentuknya, isinya dan pada siapa perjanjian itu hendak ditujukan. Asas ini dapat disimpulkan dari isi Pasal 1338 ayat
(1) KUH Perdata yang berbunyi : ‘Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” . Jadi dari pasal tersebut dapat diambil kesimpulan, bahwa pada umumnya suatu perjanjian dapat dibuat secara bebas oleh masyarakat, baik itu dari segi bentuk perjanjiannya maupun isi dari perjanjian (tentang apa saja), dan perjanjian yang telah dibuat tersebut mengikat bagi mereka yang membuatnya, seperti halnya undang-undang. Kebebasan berkontrak dari para pihak untuk membuat perjanjian itu meliputi : a) Perjanjian yang telah diatur oleh undang-undang; b) Perjanjian-perjanjian baru atau campuran yang belum diatur dalam undang-undang. Asas kebebasan berkontrak, merupakan asas yang paling penting dalam perjanjian, karena dari asas inilah tampak adanya pernyataan dan ungkapan hak asasi manusia dalam mengadakan perjanjian, sekaligus memberikan peluang bagi perkembangan hukum perjanjian. Selain itu asas ini juga merupakan dasar dari hukum perjanjian. Asas kebebasan berkontrak tidak tertulis dengan kata-kata yang
banyak dalam undang-undang, tetapi seluruh hukum perdata kita didasarkan padanya.19 2). Asas Pelengkap Asas ini mengandung arti bahwa ketentuan undangundang boleh tidak diikuti apabila pihak-pihak menghendaki dan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari ketentuan undang-undang. Tetapi apabila dalam perjanjian yang mereka buat tidak ditentukan lain, maka berlakulah ketentuan undangundang. Asas ini hanya mengenai hak dan kewajiban pihak-pihak saja. 3). Asas Konsensual Asas ini mengandung arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat (konsensus) antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian . Sejak saat itu perjanjian mengikat dan mempunyai akibat hukum. Dari
asas
ini
dapat
disimpulkan
bahwa
perjanjian yang dibuat itu cukup secara lisan saja, artinya suatu perjanjian cukup dengan adanya kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian itu tanpa diikuti dengan
19
Patrik Purwahid, Asas Itikad Baik Dan Kepatutan Dalam Perjanjian, (Badan Penerbit UNDIP, 1986), hal. 4
perbuatan hukum lain, kecuali perjanjian yang bersifat formal.20 Tetapi ada perjanjian tertentu yang dibuat secara tertulis, misalnya perjanjian perdamaian, hibah, pertanggungan. Tujuannya ialah untuk bukti lengkap mengenai apa yang mereka perjanjikan. Perjanjian dengan formalitas tertentu ini disebut perjanjian formal. 4). Asas Obligator Asas ini mengandung arti bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum memindahkan hak milik. Hak milik baru berpindah apabila dilakukan dengan perjanjian
yang
bersifat
kebendaan
(zakelijke
overeenkomst), yaitu melalui penyerahan (levering). 5). Asas Itikad Baik Bahwa orang yang akan membuat perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Itikad baik dalam pengertian
yang
subyektif
dapat diartikan
sebagai
kejujuran seseorang, yaitu apa yang terletak dalam diri seseorang, pada waktu diadakan perbuatan hukum. Sedangkan itikad baik dalam pengertian obyektif, adalah bahwa 20
pelaksanaan
suatu
perjanjian
hukum
harus
A. Qiram Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangnnya,, (Yogyakarta : Liberty,1985), hal. 20
didasarkan pada norma kepatuhan atau apa-apa yang dirasa sesuai dengan yang patut dalam masyarakat.21 d.
Syarat-syarat Sahnya Perjanjian Perjanjian
yang sah dalam perjanjian yang
memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh undangundang. Perjanjian yang sah diakui dan diberi akibat hukum. Menurut ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata syaratsyarat sahnya suatu perjanjian harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut : 22 1). Ada persetujuan kehendak atau kesepakatan antara pihak-pihak yang mengikatkan dirinya (konsensus), Persetujuan kehendak adalah kesepakatan, seia sekata pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, apa yang dikehendaki
oleh pihak yang lainnya. Persetujuan
kehendak itu sifatnya bebas, artinya tidak ada paksaan, tekanan dari pihak manapun juga, betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak. Dalam pengertian persetujuan kehendak termasuk juga tidak ada kehilafan dan tidak ada penipuan. Dikatakan tidak ada paksaan apabila orang yang melakukan perbuatan itu tidak berada dibawah ancaman, baik dengan kekerasan jasmani 21 22
Loc.cit. Patrik Purwahid, Op.cit., hal. 3
maupun
dengan
upaya
menakut-nakuti,
misalnya akan membuka rahasia, sehingga dengan demikian orang itu terpaksa menyetujui perjanjian (Pasal 1324 KUHPerdata). Dikatakan tidak ada kehilafan atau kekliruan atau kesesatan apabila salah satu pihak tidak hilaf atau tidak keliru mengenai pokok perjanjian atau sifat-sifat penting objek perjanjian atau mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Menurut ketentuan Pasal 1322 ayat (1) dan (2), kekeliruan atau kehilafan tidak mengakibatkan batal suatu perjanjian, kecuali apabila kekeliruan atau kehilafan itu terjadi mengenai hakekat benda yang menjadi pokok perjanjian, atau mengenai sifat khusus/keahlian khusus diri orang dengan siapa diadakan perjanjian. Dikatakan tidak ada penipuan apabila tidak ada tindakan menipu menurut arti undang-undang (Pasal 378 KUHP). Penipuan menurut arti undang-undang ialah dengan sengaja melakukan tipu muslihat dengan memberikan keterangan palsu dan tidak benar untuk membujuk pihak lawannya supaya menyetujui. Menurut ketentuan Pasal 1328 KUHPerdata, apabila tipu muslihat itu dipakai oleh salah satu pihak sedemikian rupa, sehingga terang dan nyata membuat pihak lainnya
tertarik untuk membuat perjanjia. Sedangkan jika tidak dilakukan tipu muslihat itu, pihak lainnya itu tidak akan membuat perjanjian itu. Penipuan ini merupakan alasan untuk membatalkan perjanjian. Akibat hukum tidak ada persetujuan kehendak (karena paksaan, kehilafan, penipuan) ialah bahwa perjanjian itu dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim (vernietigbaar, voidable). Menurut ketentuan Pasal 1454 KUHPerdata, pembatalan dapat dimintakan dalam tenggang waktu lima tahun, dalam hal ada paksaan dihitung sejak hari paksaan itu berhenti, dalam hal ada kehilafan dan penipuan dihitung sejak hari diketahuinya kehilafan dan penipun itu. 2). Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat perikatan (capacity), Pada
umumnya
orang
dikatakan
cakap
melakukan perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah kawin walupun belum 21 tahun. Menurut ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata, dikatakan tidak cakap membuat perjanjian ialah orang yang belum dewasa, orang yang ditaruh di bawah pengampuan, dan wanita bersuami. Mereka ini apabila melakukan perbuatan
hukum harus diwakili oleh wali mereka, dan bagi istri ada izin suaminya. Menurut hukum nasional Indonesia sekarang, wanita bersuami sudah dinyatakan cakap melakukan perbuatan hukum, jadi tidak perlu lagi izin suami. Perbuatan hukum yang dilakukan istri sah menurut hukum dan tidak dapat dimintakan pembatalan kepada Hakim. Akibat
hukum
ketidakcakapan
membuat
perjanjian ialah bahwa perjanjian yang telah dibuat itu dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim. Jika pembatalan
tidak
dimintakan
oleh
pihak
yang
berkepentingan, sepanjang tidak dimungkiri oleh pihak yang berkepentingan, perjanjian itu tetap berlaku. 3). Ada suatu hal tertentu (objek), Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam perjanjian, adalah objek perjanjian, suatu pokok untuk mana diadakan suatu perjanjian. Ditinjau dari kreditur dan debitur, hal tertentu tidak lain merupakan isi daripada perikatan utama, yaitu prestasi pokok daripada perikatan utama, yang muncul dari perjanjian tersebut. Prestasi tersebut harus tertentu atau paling sedikit ditentukan jenisnya (Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata). Kalau objeknya tidak tertentu, maka bagaimana orang
dapat menuntut pemenuhan haknya dan melunasi kewajibannya.23 Jika pokok perjanjian, atau objek perjanjian, atau prestasi itu kabur, tidak jelas, sulit bahkan tidak mungkin dilaksanakan, maka perjanjian itu batal (nietig, void). 4). Ada suatu sebab yang halal (causa), Kata “causa” berasal dari bahasa latin artinya “sebab”. Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang mendorong orang membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud dengan causa yang halal dalam Pasal 1320 KUHPerdata itu bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak. Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian. Yang diperhatikan atau yang diawasi oleh undang-undang ialah “ isi perjanjian itu” yang menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh pihak-pihak, apakah dilarang oleh undang-undang atau tidak, apakah bertentangan 23
J. Satrio, Hukum Perjanjian(Perjanjian Pada Umumnya), (Bandung : Citra Aditya Bakti,1992), hal. 296
dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak (Pasal 1337 KUHPerdata). Akibat hukum perjanjian yang berisi causa yang tidak halal ialah “batal” (nietig, void). Dengan demikian tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian dimuka Hakim, karena sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian. Demikian juga apabila perjanjian yang dibuat itu tanpa causa (sebab), ia dianggap tidak pernah ada (Pasal 1335 KUHPerdata). Syarat
pertama
dan
kedua
Pasal
1320
KUHPerdata disebut syarat subjektif, karena melekat pada diri orang yang menjadi subjek perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian dapat dibatalkan. Tetapi jika tidak dimintakan pembatalan kepada Hakim, perjanjian itu tetap mengikat pihak-pihak, walupun diancam pembatalan sebelum lampau waktu lima tahun (Pasal 1454 KUHPerdata). Syarat
ketiga
dan
keempat Pasal
1320
KUHPerdata disebut syarat obyektif, karena mengenai sesuatu yang menjadi objek perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian batal. Kebatalan ini dapat diketahui apabila perjanjian tidak mencapai tujuan karena salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
Kemudian diperkarakan ke muka Hakim, dan Hakim menyatakan perjanjian batal, karena tidak memenuhi syarat objektif. e.. Akibat Hukum Perjanjian Sah Menurut ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Berlaku
sebagai
undang-undang
maksudnya
Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak artinya perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa serta memberi kepastian hukum kepada pihakpihak yang membuatnya. Pihak-Pihak harus mentaati perjanjian itu sama dengan mentaati undang-undang, Jika ada pihak yang melanggar perjanjian yang mereka buat, ia dianggap sama dengan melanggar undang-undang, sehingga diberi akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum. Jadi, siapa yang melanggar perjanjian, ia dapat dituntut dan diberi hukuman seperti yang telah ditetapkan dalam undangundang (perjanjian).
Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak, karena perjanjian itu adalah persetujuan kedua belah pihak, maka jika akan ditarik kembali atau dibatalkan adalah wajar jika disetujui oleh kedua belah pihak pula. Tetapi apabila ada alasan yang cukup menurut undang-undang perjanjian dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak. Alasan yang ditetapkan oleh undang-undang itu adalah sebagai berikut : a). Perjanjian yang bersifat terus-menerus, berlakunya dapat dihentikan secara sepihak. Misalnya Pasal 1571 KUHPerdata tentang sewa menyewa yang dibuat secara tidak tertulis dapat dihentikan dengan memberitahukan kepada penyewa. b). Perjanjian pemberian kuasa (lastgeving), Pasal 1814 KUHPerdata. Pemberi kuasa dapat menarik Kembali kuasanya apabila ia menghendakinya. c). Perjanjian pemberian kuasa (lastgeving) Pasal 1817 KUHPerdata, penerima kuasa dapat membebaskan diri dari kuasa yang diterimanya dengan memberitahukan kepada pemberi kuasa. Pelaksanaan
dengan
itikad
baik,
yang
dimaksud dengan itikad baik dalam Pasal 1338 KUHPerdata adalah ukuran objektif untuk menilai
pelaksanaan perjanjian, apakah pelaksanaan perjanjian itu
mengindahkan
norma-norma
kepatutan
dan
kesusilaan, apakah pelaksanaan perjanjian itu telah berjalan diatas rel yang benar. Apabila yag dimaksud dengan kepatutan dan kesusilaan
itu,
undang-undang
sendiri
tidak
memberikan rumusannya. Tetapi jika dilihat dari arti katanya, kepatutan artinya kepantasan, kelayakan, kesesuaian, kecocokan. Sedangkan kesusilaan artinya kesopanan, keadaban. Dari arti kata-kata ini dapat digambarkan kiranya kepatutan dan kesusilaan itu sebagai “nilai yang patut, pantas, layak, sesuai, cocok, sopan
dan
beradab”.
Sebagaimana
sama-sama
dikehendaki oleh masing-masing pihak yang berjanji. Jika pelaksanaan
terjadi dengan
selisih itikad
pendapat baik
tentang
(kepatutan dan
kesusilaan), Hakim diberi wewenang oleh undangundang untuk mengawasi dan menilai pelaksanaan, apakah
ada
pelanggaran
terhadap
norma-norma
kepatutan dan kesusilaan itu. Ini berarti bahwa Hakim berwenang untuk menyimpang dari isi perjanjian menurut kata-katanya, apabila pelaksanaan menurut
kata-kata itu akan bertentangan dengan itikad baik yaitu norma kepatutan dan kesusilaan.
2.
Pengertian Kuasa Dalam kehidupan sehari-hari karena kesibukan yang begitu padat
kadang-kadang
seseorang
mengalami
kesulitan
untuk
mengurus langsung urusan-urusan yang sangat penting, seperti pengurusan dokumen-dokumen (dokumen keluarga, jual beli atau perusahaan)
dan pembayaran-pembayaran (pembayaran listrik,
telepon dan air). Mereka yang tidak dapat mengurus secara langsung tersebut dapat memberikan kuasa kepada orang lain untuk mewakili dan melakukan pengurusan untuk dan atas namanya , baik secara lisan maupun tertulis. Mengenai pengertian “kuasa” adalah daya, kekuatan atau wenang. Dalam Bahasa Inggris disebut “power” dan dalam bahasa Belanda
diistilahkan
dengan
“gezag”
dan
“macht”
yang
menunjukkan arti kuasa itu secara sendiri.24 Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga yang dikeluarkan Balai Pustaka menyatakan definisi kuasa adalah “sebagai yang berisi tentang pemberian kuasa kepada seseorang untuk mengurus sesuatu”.
24
F.Satrio W, Panduan Membuat Surat-Surat Kuasa (Visimedia, Jakarta 2009), hal.1
Definisi kuasa dalam hukum diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata dari Pasal 1792 – 1819. Pasal 1792 sebagai awal pembuka ketentuan, hanya menyebutkan “ pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”. Dalam hukum yang berlaku di Indonesia, lembaga pelimpahan wewenang disebut dengan lembaga pemberian kuasa. Lembaga ini bertujuan mempermudah ketidakdapatan seseorang untuk melakukan perbuatan hukum secara langsung yang disebabkan ketidak dapat hadiran seseorang untuk memenuhi kepentingannya. Namun tidak semua hal dapat dikuasakan kepada pihak lain. Perbuatan seperti membuat tetstamen (surat wasiat), melangsungkan perkawinan (kecuali ada alasan kuat untuk itu), atau pengangkatan anak tidak dapat diwakilkan kepada pihak lain. Dalam Pasal 1798 KUHPerdata disebutkan orang-orang belum dewasa dapat ditunjuk menjadi kuasa, tetapi si pemberi kuasa tidaklah mempunyai suatu tuntutan hukum terhadap orang-orang belum dewasa selain menurut ketentuan-ketentuan umum mengenai perikatan-perikatan yang diperbuat oleh orang-orang belum dewasa, dan terhadap orang-orang perempuan yang bersuami yang menerima kuasa tanpa bantuan si suami, ia pun tidak mempunyai tuntutan
hukum selain, menurut aturan-aturan yang dituliskan dalam bab ke lima dan ke tujuh Buku ke satu dari Kitab Undang-Undang ini. Pemberian kuasa dapat dilakukan dengan atau tanpa pemberian upah kepada orang yang diberikan kuasa, disesuaikan dengan kesepakatan pihak pemberi dan penerima kuasa. Jika dalam pemberian kuasa tidak ditentukan besarnya upah untuk
pihak
penerima kuasa, Pasal 1794 KUHPerdata menentukan penerima kuasa tidak boleh meminta upah yang lebih besar daripada yang ditentukan dalam Pasal 411 KUHPerdata untuk wali, yaitu “semua wali, kecuali bapak, ibu dan wali peserta, boleh memperhitungkan upah sebesar tiga persen dari segala pendapatan, dua persen dari segala pengeluaran dan satu setengah persen dari modal yang mereka terima, kecuali jika mereka lebih suka menerima upah yang ditentukan dengan surat wasiat atau dengan akta otentik tersebut dalam Pasal 355 KUHPerdata,dalam hal yang demikian mereka tidak boleh memperhitungkan upah yang lebih besar.”
3.
Perjanjian Pemberian Kuasa Dalam perkembangan hukum di negeri asal KUHPerdata, yaitu
Belanda, melalui Nieuw Burgerlijk Wetboek, yang merupakan revisi atas Burgerlijk Wetboek, telah dibedakan antara kuasa dan lestgeving. Kuasa diartikan sebagai suatu kewenangan untuk mewakili seseorang, sedangkan lastgeving merupakan perjanjian pembebanan perintah yang
menimbulkan kewajiban bagi si penerima kuasa untuk melaksanakan kuasa.
Namun
para
sarjana
hukum
Indonesia
banyak
yang
menerjemahkan istilah lastgeving sama dengan pemberian kuasa. Praktek pemberian kuasa yang dimulai di Negara common law awalnya merupakan perbuatan hukum sepihak. Ciri dari pemberian kuasa adalah penyebutan nama pemberi kuasa oleh penerima kuasa pada saat melakukan tindakan hukum, inilah yang dinamakan perwakilan langsung. Sementara itu, jika penerima kuasa menyebutkan dirinya bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri, misalnya seorang makelar, hal ini disebut sebagai perwakilan tidak langsung. Kuasa pada umumnya diberikan untuk hal-hal yang bersifat pengurusan, termasuk dalam hal ini diberikan dari seorang atasan kepada seorang bawahan dalam hubungan kerja. Namun kuasa dapat juga diberikan sebagai bagian dari perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu. Jika pemberian kuasa diberikan sebagai bagian dari perjanjian, surat kuasa yang mengatur pemberian kuasa harus ditandatangani oleh pemberi dan penerima kuasa. Namun, jika pemberian hanya untuk pembelian suatu barang, baik barang bergerak maupun tidak bergerak, cukup dilakukan dengan menyebutkan bahwa pembelian barang tersebut, sehingga dalam surat bukti kepemilikan barang dicantumkan nama orang yang dibelikan. Sebagai contoh, Tuan A akan membelikan anaknya (B) sebuah rumah. Tuan A datang ke developer dan menandatangani surat-
surat pembelian rumah tersebut untuk dan atas nama si B sehingga sertipikat tanah atas bangunan rumah tersebut tertulis atas nama si B. Namun, Tuan A tidak dapat menjual rumah tersebut tanpa melibatkan si B, jika ternyata si B telah dewasa dan tidak berada dalam kekuasaan orang tuanya lagi. Dewasa di sini berarti juga jika si B telah melangsungkan perkawinan, sehingga berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, penjualan atas rumah tersebut juga harus mendapat persetujuan dari pasangan si B. Untuk itu jika seseorang hendak membelikan orang lain sebuah rumah, perlu dipertimbangkan juga kesulitan untuk membatalkan pembelian rumah tersebut, seandainya dia hendak mengubah rencananya tersebut. Surat kuasa yang diberikan dalam rangka hubungan kerja atau untuk melakukan jasa-jasa tertentu hanya perlu ditandatangani oleh pemberi kuasa, karena hal tersebut telah diatur dalam perjanjian untuk melakukan jasa-jasa. Misalnya, surat kuasa untuk mewakili dalam suatu persidangan yang diwakili oleh kuasa hukum yang ditunjuk, tentunya ada kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat oleh pemberi kuasa. Namun, untuk menghindari ketentuan-ketentuan formal tentang surat kuasa yang akan
diajukan
dalam
suatu
persidangan,
hendaknya
perlu
dipertimbangkan untuk melengkapi surat kuasa tersebut dengan pembubuhan tanda tangan pemberi dan penerima kuasa, mengingat ketentuan formalitas penerapannya tidak tegas untuk kepentingan persidangan. Dengan begitu, saat diperiksa kelengakapan formalitasnya,
hal ini menjadi lancar dan tidak menjadi hambatan dalam menjalani persidangan. Jadi, jika pemberian kuasa berbentuk perjanjian sepihak, penerima kuasa tidak perlu menandatangani surat kuasa. Namun, jika dibuat sebagai perjanjian
timbal
balik,
penerima
kuasa wajib
menandatangani surat kuasa, sebagaimana perjanjian pada umumnya. Dalam hal pencabutan surat kuasa, pemberian kuasa yang berbentuk perjanjian sepihak dapat dilakukan pencabutan kuasa secara sepihak. Tetapi jika pemberian kuasa tersebut bersifat timbal balik, surat kuasa yang telah dibuat tidak bisa ditarik secara sepihak, serta berlaku pembayaran ganti rugi dan bunga.
4.
Kuasa Berdasarkan Ketentuan Perundang-Undangan. Pemberian kuasa yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan merupakan pemberian kuasa yang secara otomatis melekat pada seseoarng yang mewakili orang lain.
Menurut undang-undang,
telah ditetapkan sesorang atau suatu badan yang dengan sendirinya berwenang untuk bertindak mewakili orang atau badan hukum itu sendiri tanpa memerlukan surat kuasa. Misalnya, berdasarkan Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orangtuanya, sehingga selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya, orang tua
mewakili anak tersebut dalam perbuatan hukum baik di dalam dan di luar Pengadilan. Untuk sebuah badan usaha, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas, diebutkan bahwa Direksi merupakan organ dari perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan, sesuai dengan ketentuan anggaran dasar perseroan.25
5.
Bentuk-Bentuk Kuasa. Menurut bentuknya, kuasa dibedakan menjadi dua, yaitu kuasa
lisan dan kuasa tertulis. Pemberian kuasa secara lisan atau secara tertulis dapat diketahui dari komparisi perikatan dalam suatu kontrak. a. Kuasa Lisan. Pemberian kuasa secara lisan dapat digunakan untuk perbuatan yang tidak
berkaitan
dengan
perbuatan-perbuatan
hukum
untuk
mengalihkan hak, seperti membeli sepeda motor atau membeli rumah, karena didalam kwitansi pembayaran atas barang-barang yang dibeli tersebut akan tertulis atas nama pemberi kuasa lisan. Selain itu kuasa lisan juga dapat digunakan perkara perdata di Pengadilan.
25
Ibid, hal 9
b. Kuasa Tertulis. Pemberian kuasa secara tertulis dilakukan untuk tindakan-tindakan tertentu dan mengikuti peraturan perundang-undangan. Sekarang ini sudah menjadi umum, pengurusan berkas di suatu instansi selalu dibutuhkan surat kuasa tertulis bagi yang diwakilinya. Misalnya, untuk mewakili seseorang mendaftarkan permohonan balik nama sertipikat tanah.
6.
Jenis Kuasa . Menurut jenisnya, pemberian kuasa dibedakan menjadi dua, yaitu
kuasa dibawah tangan dan kuasa notariil. Ciri yang membedakan surat kuasa dibawah tangan dengan akta kuasa yang dibuat oleh notaris dapat dilihat dari susunan dan redaksi surat kuasa tersebut. a. Kuasa Dibawah Tangan. Pemberian kuasa
dibawah tangan adalah suatu pemberian kuasa
dalam bentuk tertulis yang suratnya dibuat sendiri oleh pejabat notaris. Pembuatan surat kuasa secara dibawah tangan memiliki beberapa kelebihan, seperti lebih cepat pembuatannya, lebih praktis bahasanya, serta murah biayanya. Masyarakat terbiasa membuat surat kuasa dibawah tangan yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka seharihari. Misalnya Surat kuasa untuk kepentingan pengurusan proses balik nama sertipikat, surat kuasa untuk mengambil uang di bank dan lainlain.
b. Kuasa Notariil. Pemberian Kuasa Pemberian kuasa notariil merupakan pemberian kuasa dalam bentuk tertulis yang dibuat oleh pejabat notaris. Kuasa notariil atau yang lazim disebut dengan akta kuasa adalah draf kuasa yang dibuat oleh dan atas buah pikiran dari pejabat notaris itu sendiri atau dapat juga draf tersebut merupakan draf standar yang telah ada dan lazim digunakan oleh pejabat notaris. Kuasa yang dibuat secara notariil ini biasanya untuk hal-hal yang sifatnya penting, contohnya Kuasa Menjual Hak Atas Tanah, Kuasa Usaha dan lainlain.
7.
Sifat Pemberian Kuasa . Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di dalam Bab
XVI tentang Pemberian Kuasa (Pasal 1792-1819 KUHPerdata) ada 2 sifat dari pemberian kuasa, yaitu kuasa umum dan kuasa khusus. a. Kuasa Umum. Kuasa Umum adalah kuasa untuk melakukan tindakantindakan yang bersifat umum, yaitu meliputi segala kepentingan pemberi kuasa yang dirumuskan secara umum dan hanya meliputi tindakan-tindakan yang menyangkut pengurusan. Kuasa umum diatur dalam Pasal 1795 KUHPerdata, yaitu bertujuan memberi kuasa kepada sesorang untuk mengurus kepentingan pemberi kuasa mengenai
pengurusan
untuk mengatur kepentingan pemberi kuasa. Dari segi
hukum, kuasa umum tidak dapat digunakan di depan pengadilan untuk mewakili pemberi kuasa. Pasalnya sesuai dengan ketentuan Pasal 123 HIR, untuk dapat tampil didepan pengadilan sebagai wakil pemberi kuasa, penerima kuasa harus mendapat kuasa khusus. b. Kuasa Khusus. Kuasa khusus merupakan suatu pemberian kuasa untuk melakukan perbuatan hukum tertentu yang disebutkan secara tegas, seperti untuk memindatangankan/mengalihkan barang, meletakkan hak tanggungan atas barang, untuk membuat suatu perdamaian atau melakukan tindakan lain yang hanya dapat dilakukan oleh pemilik. Dalam hal kuasa itu untuk memindahtangankan/mengalihkan/menjual tanah itu ada batas waktunya. Jika kuasa menjual/mengalihkan itu berdiri sendiri tanpa ada ikatan jual beli, maka akan dibatasi jangka waktunya mengingat kekuatiran apabila pemberi kuasa itu meninggal dunia, namun jika kuasa menjual itu dibarengi dengan perjanjian ikatan jual beli terlebih dahulu, maka tidak ada batasan jangka waktu, karena jika pihak dalam perjanjian tersebut meninggal dunia, maka akan diteruskan oleh ahli warisnya, kata-kata ini ada dalam perjanjian ikatan jual beli.26
26
fellyirawati,2009,Batas Pemberian Kuasa/Notaris Indonesia/http://groups.yahoo.com/group/message/2816
Pengaturan mengenai surat kuasa khusus diatur dalam Pasal 1975 BW, yaitu mengenai pemberian kuasa mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih.
C. Kewenangan Hukum, Kecakapan Bertindak dan Kewenangan Bertindak. Kewenangan hukum, adalah kewenangan untuk menjadi pendukung hak dan kewajiban di dalam hukum
27
. Jadi merupakan
kewenangan untuk menjadi subyek hukum. Sedangkan yang menjadi subyek hukum, adalah semua manusia dan bukan manusia, yaitu badan hukum yang juga pendukung hak dan kewajiban. Apabila semua manusia dan badan hukum bisa menjadi pendukung hak dan kewajiban, maka belum berarti bahwa semua subyek hukum bisa dengan leluasa secara mandiri melaksanakan hak-haknya melalui tindakan-tindakan hukum. Untuk itu harus ada kecakapan bertindak, yaitu kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum pada umumnya. Macam subyek hukum, ada subyek hukum yang oleh undangundang dinyatakan sama sekali tidak cakap untuk melakukan tindakan hukum (mereka yang ditaruh di bawah pengampuan karena sakit ingatan), ada yang tindakannya tidak bisa menimbulkan akibat hukum yang sempurna (anak-anak belum dewasa pada umumnya), ada yang 27
Paton, G.W.A. Texbook of Jurisprudence, terjemahan J. Satrio, edisi kedua, At the Clarendon Press, Oxford, 1951, hal.314.
mempunyai kewenangan yang terbatas, dalam arti harus didampingi atau mendapat persetujuan dari orang lain (membuat perjanjian kawin, untuk anak-anak yang telah mencapai usia menikah) dan ada yang mempunyai kewenangan penuh (mereka yang sudah dewasa). Jadi kalau kecakapan bertindak adalah mengenai kewenangan bertindak pada umumnya, subyek hukum pada umumnya dan untuk tindakan – tindakan hukum pada umumnya, maka kewenangan bertindak adalah mengenai kewenangan bertindak khusus, yang hanya tertuju pada orang-orang tertentu untuk tindakan-tindakan hukum tertentu saja.
D. Kedewasaaan Menurut Hukum. Istilah “kedewasaan” menunjuk kepada keadaan sesudah dewasa, yang memenuhi syarat hukum, sedangkan istilah “pendewasaan” menunjuk kepada keadaan belum dewasa yang oleh hukum dinyatakan sebagai dewasa. 28 Hukum membeda-bedakan hal ini karena hukum menganggap dalam
lintas
masyarakat
menghendaki
kematangan
berfikir
dan
keseimbangan psikis yang pada orang belum dewasa masih dalam taraf permulaan sedangkan sisi lain dari pada anggapan itu ialah bahwa seorang yang belum dewasa dalam perkembangan fisik dan psikisnya memerlukan bimbingan khusus. Karena tidakmampuannya maka seorang yang belum
28
Herman Ardiansyah, 2009,Usia Dewasa,/http :/group yahoo.com/group/I.N.I.
dewasa harus diwakili oleh orang yang telah dewasa sedangkan perkembangan orang kearah kedewasaan ia harus dibimbing. Kecakapan seseorang dalam melakukan perbuatan hukum, memerlukan kedewasaan, dan kedewasaan dipengaruhi oleh umur. Berikut konsep yang dipakai dalam KUH Perdata tentang ukuran kedewasaan seseorang, yang dinyatakan dalam ketentuan Pasal 330 KUH Perdata, orang dewasa adalah mereka-mereka yang : a. Telah mencapai umur 21 tahun atau lebih ; b. Mereka yang telah menikah, sekalipun belum mencapai umur 21 tahun. Berdasarkan ketentuan tersebut, dan dari maksud dikaitkannya kedewasaan
dengan
kecakapan
bertindak
dalam
hukum,
dapat
disimpulkan, bahwa menurut KUH Perdata, paling tidak menurut anggapan KUH Perdata, orang-orang yang disebutkan di atas yaitu orangorang yang telah berusia 21 tahun atau lebih dan mereka-mereka yang sudah menikah sebelum mencapai umur tersebut, adalah orang-orang yang sudah bisa menyadari akibat hukum dari perbuatannya dan karenanya cakap untuk bertindak dalam hukum. Menurut KUH Perdata ada faktor lain selain unsur usia untuk mengukur kedewasaan yaitu status telah menikah, termasuk kalau suamiisteri yang bersangkutan belum mencapai usia 21 tahun. Sekalipun Pasal 330 KUH Perdata mengkaitkan kedewasaan dengan umur tertentu dan di dalam KUH Perdata berlaku prinsip, bahwa yang cakap untuk melakukan tindakan hukum, adalah mereka-mereka
yang telah dewasa namun dalam hal ini tidak berarti, bahwa pembuat undang-undang
tidak
diperbolehkan
memberikan
perkecualian-
perkecualian dan sebenarnya kita memang melihat adanya perkecualian tersebut. Seperti yang dikatakan di atas, bahwa adanya perkecualian atas prinsip bahwa yang disebut cakap untuk melakukan tindakan hukum adalah bagi mereka yang sudah dewasa (menurut ukuran Pasal 330 KUH Perdata). Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan (UUP), maka yang dapat melangsungkan perkawinan secara sah adalah pria yang sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Atas dasar ketentuan Pasal 7 UUP tersebut di atas, maka menurut ukuran Pasal 330 KUH Perdata, bagi orang-orang yang melakukan perkawinan tersebut, dikategorikan orang yang belum dewasa. Jadi dari hal ini kita dapat melihat peristiwa hukum yang sangat unik; sebab orang belum dewasa diberikan perkecualian untuk melakukan tindakan hukum, yang seharusnya hanya bisa dilakukan oleh orang yang sudah dewasa, tetapi dengan perkecualian tersebut, malah sekarang akibatnya orang-orang tersebut untuk selanjutnya disebut dewasa. Dikatakan “untuk selanjutnya” karena berdasarkan ketentuan Pasal 330 ayat (2) KHU Perdata, apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum mulai umur dua puluh satu tahun, maka tidaklah mereka kembali lagi dalam istilah “belum dewasa”, sekalipun umur mereka mungkin
belum memenuhi syarat dewasa seperti yang disebutkan dalam Pasal 330 ayat (1) KUH Perdata.29 Pengecualian lain dari ketentuan Pasal 330 KUH Perdata tentang batasan dewasa, dapat kita lihat dari ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang selanjutnya disebut dengan UUJN, terutama Pasal 39 ayat (1) UUJN yang menyatakan bahwa seorang penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; dan b. cakap melakukan perbuatan hukum. Berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat (1) UUJN tersebut di atas, bahwa syarat seseorang bisa menjadi penghadap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum, adalah paling sedikit sudah berusia 18 tahun atau telah menikah sebelumnya. Sehingga apabila dikaitkan dengan ketentuan batasan usia dewasa menurut Pasal 330 KUH Perdata, maka belumlah dapat dikatakan dewasa. Istilah kedewasaan menunjuk kepada keadaan sesudah dewasa, yang memenuhi syarat hukum. Sedangkan istilah Pendewasaan menunjuk kepada keadaan belum dewasa yang oleh hukum dinyatakan sebagai dewasa. Hukum membeda-bedakan hal ini karena hukum menganggap dalam
lintas
masyarakat
menghendaki
kematangan
berfikir
dan
keseimbangan psikis yang pada orang belum dewasa masih dalam taraf
29
Ibid, hal. 70-71
permulaan sedangkan sisi lain dari pada anggapan itu ialah bahwa seorang yang belum dewasa dalam perkembangan fisik dan psikisnya memerlukan bimbingan khusus. Karena ketidaksempurnaannya maka seorang yang belum dewasa harus diwakili oleh orang yang telah dewasa sedangkan perkembangan orang kearah kedewasaan harus dibimbing. Menurut konsep hukum perdata, pendewasaan seseorang dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : 1.
Pendewasaan Penuh: Untuk meminta pendewasaan lengkap, anak dibawah umur yang bersangkutan harus telah mencapai umur 20 (dua puluh) tahun (Pasal 421 KUH Perdata). Yang memberi surat pendewasaan adalah
Presiden
(Menteri
Kehakiman)
setelah
dilakukan
perundingan dengan Mahkamah Agung (Pasal 420 KUH Perdata). Permohonan yang diajukan disertai dengan akta kelahiran yang didengar adalah kedua orang tuanya yang hidup terlama, wali Badan Harta Peninggalan (BHP) sebagai wali pengawas dan keluarga sedarah semenda (Pasal 422). 30 Dari pendewasaan penuh ini maka akibat hukumnya adalah status hukum yang bersangkutan sama dengan status hukum orang dewasa. Tetapi apabila ingin melangsungkan perkawinan tetap memerlukan ijin dari orang tua.
30
Tan Thong Kie, Buku I Studi Notariat Dan Serba Serbi Praktek Notaris, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000), hal.38.
2.
Pendewasaan untuk beberapa perbuatan hukum tertentu (terbatas) : Untuk diperbolehkan memohon pendewasaan terbatas seorang anak harus berusia genap 18 tahun. Instansi yang memberikannya adalah Pengadilan Negeri di tempat tinggalnya. Tetapi jika orang tua yang menjalankan kekuasaan orangtua atau perwalian tidak setuju, pendewasaan terbatas tidak akan diberikan (Pasal. 426 KUH Perdata). Pengadilan Negeri mendengar kedua orang tua (Pasal 427 KUHPerdata ayat (1) jika anak berada di bawah perwalian, maka pengadilan negeri juga mendengar wali, jika bukan
wali orang lain
orangtuanya, wali pengawas, keluarga sedarah atau
semenda. Jika hakim memandangnya perlu anak pun didengar (Pasal 427 KUHPerdata ayat (3). Akibat hukum pernyataan dewasa terbatas ialah status hukum yang bersangkutan sama dengan status hukum orang dewasa untuk perbuatan-perbuatan tertentu seperti diatas. Dari uraian tersebut dapat kita lihat bahwa seorang yang telah dewasa dianggap mampu berbuat karena memiliki data yuridis atas kehendaknya sehingga dapat pula menentukan keadaan hukum bagi dirinya sendiri. Undang-undang menyatakan bahwa orang yang telah dewasa telah dapat memperhitungkan luasnya akibat pernyataan kehendaknya dalam suatu perbuatan hukum, misalnya membuat perjanjian, membuat surat wasiat.
Terhadap pendewasaan ini, apabila hakim berpendapat bila seorang yang dinyatakan dewasa maka ia harus menentukan secara tegas wewenang apa saja yang diberikan itu. Setelah memperoleh pernyataan itu seorang yang belum dewasa, sehubungan dengan wewenang yang diberikan, dapat bertindak sebagai pihak dalam acara
perdata
dengan
domisilinya.
Bila
menyalahgunakan
wewenang yang diberikan maka atas permintaan orang tua atau wali, pernyataan dewasa itu dicabut oleh hakim. Sedangkan menurut beberapa konsep hukum, batasan usia dewasa antara undang-undang yang satu dengan yang lain berbeda dan belum ada keseragaman, hal ini dapat kita lihat dari beberapa konsep hukum tersebut yaitu : 1.
Konsep Hukum Adat. Hukum adat tidak mengenal batas umur belum dewasa dan dewasa. Dalam hukum adat tidak dikenal fiksi seperti dalam hukum perdata. Hukum adat mengenal secara insidental saja apakah seseorang itu, berhubung umur dan perkembangan jiwanya patut dianggap cakap atau tidak cakap, mampu atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum tertentu dalam hubungan hukum tertentu pula. Artinya apakah ia dapat memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri dalam perbuatan hukum yang dihadapinya
itu.
Belum
cakap
artinya,
belum
mampu
memeperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri. Cakap
artinya, mampu memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri. Apabila kedewasaan itu dihubungkan dengan perbuatan kawin, hukum adat mengakui kenyataan bahwa apabila seorang pria dan seorang wanita kawin dan dapat anak, mereka dinyatakan dewasa, walaupun umur mereka baru 15
tahun.
Sebaliknya
apabila
mereka dikawinkan tidak dapat menghasilkan anak karena belum mampu berseksual, mereka dikatakan belum dewasa.31 2.
Konsep Undang-Undang Republik Indonesia Berdasarkan UU RI yang berlaku hingga sekarang, pengertian belum dewasa dan dewasa belum ada pengertiannya., Yang ada baru
UU
Nomor 1
Tahun
1974 tentang perkawinan yang
mengatur tentang : a. izin orang tua bagi orang yang akan melangsungkan perkawinan apabila belum mencapai umur 21 tahun (Pasal 6 ayat (2); b. umur minimal untuk diizinkan melangsungkan perkawinan, yaitu pria 19 tahun dan wanita 16 tahun (Pasal 7 ayat(2); c. anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, berada didalam kekuasaan orang tua (Pasal 47 ayat (1);
31
Loc.cit
d. anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tuanya, berada di bawah kekuasaan wali (Pasal 50 ayat (1).
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Peranan Umur Terhadap Kedewasaan Seseorang Menurut UUJN. Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris peranan umur terhadap kedewasaan seorang penghadap itu sangatlah penting bagi seorang notaris, ini berkaitan dengan pembuatan aktanya, karena akta yang dibuat dihadapan atau oleh notaris berkedudukan sebagai akta otentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Disamping itu akta notaris sebagai alat bukti agar mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, jika seluruh ketentuan prosedur atau tata cara pembuatan akta dipenuhi. Menurut KUH Perdata, yang dinyatakan tegas dalam Pasal 330 ayat (1) dan ayat (2) bahwa seseorang telah dapat dikatakan telah dewasa serta cakap dalam melakukan setiap perbuatan hukumnya adalah apabila sudah mencapai umur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun tetapi telah menikah lebih dahulu. Apabila pada akhirnya dalam pernikahannya tersebut dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 tahun, maka mereka tidak kembali pada kedudukan umur belum dewasa. Dengan kedewasaan seseorang menurut hukum. Dalam KUH Perdata tersebut dengan jelas menentukan bahwa hanya orang yang sudah berumur 21 tahunlah yang dapat dikatakan dewasa serta
61
cakap dalam melakukan setiap perbuatan hukumnya sendiri, tanpa bantuan dan perantara orang tua maupun orang lain sebagai wali untuk mewakilinya. Sehingga dari hal tersebut bahwa dalam hukum, umur memegang peranan yang penting untuk menentukan apakah sudah dewasa atau belum. Banyak peraturan-peraturan hukum, yang tersebar dalam berbagai bidang, mengandung unsur umur atau kalau tidak unsur kedewasaan sebagai syarat untuk berlakunya ketentuan atau sekelompok ketentuan tertentu. Maksudnya dalam berbagai ketentuan tersebut, unsur umur atau kedewasaan itu disebutkan secara khusus. Sedangkan di dalam hukum itu sendiri masalah kedewasaan dikaitkan dengan unsur umur. Berikut adalah beberapa contoh peraturan perundang-undangan di luar KUH Perdata, yang mensyaratkan ketentuan batasan umur untuk melakukan perbuatan hukum dilapangan hukum yaitu : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dari beberapa Pasalnya juga mensyaratkan tentang umur, yaitu : a. Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya, dan orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukumnya di dalam dan diluar pengadilan; b. Pasal 50 ayat (1) menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tuanya, maka berada di bawah kekuasaan wali. 2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, yang dalam Pasal 39 ayat (1) nya menyatakan bahwa : syarat untuk menjadi penghadap dalam pembuatan akta adalah paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum. 3. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dalam Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. 5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dari beberapa Pasalnya menyatakan bahwa : a. Pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa anak yang setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, anak tersebut harus memilih kewarganegaraannya; b. Pasal
9
huruf
(a)
yang
menyatakan
bahwa
permohonan
pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika telah memenuhi syarat yang salah satunya yaitu telah berusia 18 tahun atau sudah kawin;
c. Pasal 18 ayat (1) yang menyatakan bahwa anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di Wilayah Negara Republik Indonesia, dari ayah atau ibu yang memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan sendirinya berkewarganegaraan Republik Indonesia. Dari kelima contoh undang-undang tersebut di atas mensyaratkan batasan umur tertentu, yang menentukan dan memberikan kepada seseorang akan hak, kewenangan dan bahkan telah dapat dikatakan cakap untuk melakukan perbuatan hukumnya sendiri. Masih banyak peraturan-peraturan hukum yang tersebar dalam berbagai bidang, mengandung unsur umur atau kalau tidak unsur kedewasaan sebagai syarat untuk berlakunya ketentuan atau sekelompok ketentuan tertentu, dan sejatinya memang batas usia dewasa terhitung dalam masalah yang pelik. Oleh karena itu, bisa dimaklumi apabila di sejumlah undang-undang, batas usia dewasa ternyata tidaklah sama. Dalam lapangan hukum perdata unsur usia memang memiliki peranan yang cukup penting, sebab dikaitkan dengan masalah kecakapan bertindak seseorang sebagai subyek hukum dalam tindakan hukumnya. Sebagian besar munculnya hak-hak (subyekyif) dan dengan kewajibankewajiban hukum dikaitkan dengan atau terjadi melalui tindakan hukum. Padahal kecakapan untuk melakukan tindakan hukum dikaitkan dengan faktor kedewasaan, yang didasarkan, antara lain atas dasar umur. Sedangkan yang dimaksud
dengan
tindakan
hukum
adalah
tindakan-tindakan
yang
menimbulkan akibat hukum dan akibat hukum itu dikehendaki atau dapat dianggap dikehendaki. Dengan demikian umur memegang peranan yang penting untuk lahirnya hak-hak tertentu. Dengan perkataan lain, untuk berlakunya ketentuan-ketentuan hukum tertentu, ada kalanya harus dipenuhi unsur kedewasaan atau kebelum dewasaaan, yang kesemuanya pada akhirnya antara lain bergantung dari unsur umur. Prinsip yang ada dalam hukum perdata, bahwa untuk pemenuhan dan pelaksanaan kepentingannya, kepada persoon atau orang diberikan kebebasan untuk bertindak menurut kehendak mereka. Khususnya atas harta kekayaannya. Pada asasnya mereka diberikan kebebasan untuk mengambil tindakan pemilikan atasnya. Terhadap kebebasan tersebut, pembuat undang-undang memberikan pembatasan-pembatasan antara lain yang berkaitan dengan faktor umur yang mengadung unsur perlindungan. Kesemuanya itu berkaitan dengan masalah kecakapan bertindak dalam hukum. Sebenarnya tidak ada ketentuan dalam undang-undang yang khusus secara umum mengatur tentang kecakapan bertindak, sehingga kita juga tidak mengetahui dengan pasti unsur-unsur dan syarat-syarat daripadanya. Mengenai hubungan antara kecakapan bertindak dan kedewasaan, sekalipun harus diakui mengenai hal ini juga tidak ada ketentuan yang mengatakan secara tegas, bahwa kecakapan untuk melakukan tindakan hukum dalam hukum perdata, dikaitkan dengan unsur kedewasaan dan dengan itu secara
tidak langsung dengan unsur umur tetapi dari ketentuan – ketentuan yang ada dalam KUHPerdata antara lain dari Pasal 307 jo Pasal 308, Pasal 383 KUHPerdata, Pasal 47, Pasal 50 UUP, Pasal 1330 dan Pasal 1446 KUHPerdata, orang bisa menyimpulkan, bahwa pada asasnya, yang dapat melakukan tindakan hukum secara sah, dengan akibat hukum yang sempurna adalah mereka yang telah dewasa.32 Diatas telah dikatakan bahwa kecakapan bertindak antara lain bergantung dari kedewasaan yang dibatasi dengan unsur umur tetapi ada faktor lain seperti status menikah yang bisa mempengaruhi kecakapan bertindak seseorang. Oleh karena kecakapan bertindak dikaitkan dengan faktor umur, dan faktor umur ini didasarkan atas anggapan, bahwa orang dibawah umur tertentu, belum dapat menyadari sepenuhnya akibat dari perbuatannya, maka dapat disimpulkan, bahwa masalah ketidakcakapan bertindak di dalam hukum,
tidak
harus
sesuai
kenyataannya
atau
dengan
kata
lain,
ketidakcakapan di sini adalah ketidakcakapan yuridis atau ketidakcakapan yang dipersangkakan (jurisische onbekwaamheid atau veronderstelde onbekwaamheid), bukan ketidakcakapan yang senyatanya (sesuai dengan kenyataan yang ada).33
32
J. Satrio, Op.cit, hal. 49-50. Pitlo, A Het Systeem van het Nederlandse Privaatrecht, terjemahan J. Satrio, cetakan keempat, H.D. Tjeenk Wilink, Groningen, 1971, hal.89. 33
B. Penerapan Dalam Praktek Mengenai Batas Usia Dewasa Dalam Melakukan Perbuatan Hukum Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 . Sebelum penulis membahas tentang praktek di lapangan mengenai batasan usia dewasa dalam melakukan perbuatan hukum, terlebih dahulu penulis memaparkan mengenai kewenangan Notaris dan PPAT, yang dalam hal ini kaitannya dengan pejabat yang membuat akta-akta otentik dalam setiap perbuatan hukum seseorang. Menurut UUJN Pasal 1 ayat (1), Notaris adalah: “Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini” Di dalam prakteknya, Notaris juga sebagai PPAT, kedua jabatan ini memang disandang oleh satu orang, yang sama-sama memiliki kapasitas untuk membuat akta otentik tetapi fungsi, kewajiban serta kewenangan masing-masing jabatan tersebut berbeda, dan keduanya juga sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berbeda pula. Khusus untuk mengatur Jabatan Notaris, pemerintah di tahun 2004 kemudian mengeluarkan Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang kemudian disingkat dengan UUJN. Dalam UUJN telah diatur mengenai hal-hal apa saja yang menjadi kewenangan Notaris, yang dinyatakan dalam Pasal 15, yang menyatakan bahwa: 1. Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-
undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grose, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. 2. Notaris berwenang pula : a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. Membuat kopi dari salinan asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang membuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. Membuat akta risalah lelang. 3. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), notaris mempunyai kewengangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dari uraian kewenangan notaris tersebut di atas, maka akta-akta yang boleh dibuat oleh Notaris adalah akta-akta yang bersifat umum yaitu
selain akta-akta pertanahan atau akta yang dibuat oleh PPAT, yang diantaranya sebagai berikut : a. Perseroan Terbatas (PT), perubahan juga Risalah Rapat Umum Pemegang Saham. b. Pendirian Yayasan c. Pendirian Badan Usaha , Badan Usaha lainnya d. Perjanjian Sewa Menyewa, Perjanjian Jual Beli e. Keterangan Hak Waris f. Wasiat g. Pendirian CV termasuk perubahannya h. Pengakuan Hutang, Perjanjian Kredit i. Perjanjian Kerjasama, Kontrak Kerja j. Segala bentuk perjanjian yang tidak dikecualikan kepada pejabat lain. Dalam kaitannya dengan batas usia dewasa dalam melakukan perbuatan hukum, dan syarat sebagai penghadap atau pihak dalam sebuah akta, UUJN telah memperjelas dengan Pasal 39 ayat (1), yang menyatakan bahwa syarat untuk menjadi pihak atau penghadap adalah paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum. Sehingga dari ketentuan Pasal tersebut bahwa umur 18 tahun sudah dinyatakan cakap dan dewasa untuk melakukan perbuatan hukumnya tanpa bantuan orang tua. Setelah kita mengetahui kewenangan notaris, berikut penulis paparkan juga mengenai kewenangan PPAT serta peraturan yang
mengaturnya. Menurut Pasal 1 PP No. 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, jo Peraturan Kepala BPN No. 1 tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, menyatakan PPAT adalah : “Pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”. PPAT dalam menjalankan jabatannya memiliki tugas pokok yaitu melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum (Pasal 2 ayat (1) PP No. 37 tahun 1998). Yang dimaksud dengan perbuatan hukum di atas adalah perbuatan hukum yang menyangkut akta PPAT. Akta-akta yang dibuat dalam kewenangan PPAT adalah sebagai berikut: c. Jual Beli; d. Tukar Menukar; e. Hibah; f. Pemberian Hak Tanggungan; g. Pembagian Hak Bersama; h. Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.
Tugas pokok dari PPAT, adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah, sehingga PPAT dalam melakukan tugas pokoknya tersebut selalu berhubungan dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan menurut penulis bahwa PPAT adalah panjangan tangan dari BPN, sebab PPAT dalam melaksanakan tugas pokok dan kewenangannya membuat akta-akta pertanahan juga tunduk pada sebagian ketentuan-ketentuan yang diatur dan berlaku di BPN. Mengenai batas usia dewasa bertindak dalam hukum (secara umum) sampai dengan saat ini belum ada dalam hukum positif Indonesia hal tersebut masih menjadi masalah karena undang-undang yang ada (hukum positif) tidak menyebutkan dengan tegas batas umur dewasa tersebut. Sehingga untuk maksud dan tujuan tertentu hampir setiap peraturan perundang-undangan yang ada akan memberikan batas tersendiri batas umur mulai dewasa tersebut. Salah satu hal yang berkaitan dengan pembahasan tesis ini adalah mengenai batasan usia dewasa yang menentukan seseorang cakap dalam melakukan perbuatan hukumnya sendiri tanpa bantuan dari orang tuanya atau walinya. Batasan usia dewasa tersebut yaitu sudah berumur 21 tahun atau sebelumnya telah menikah terlebih dahulu. Ketentuan ini merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh seseorang apabila menjadi pihak atau subyek dalam pembuatan akta tanah yang dibuat dalam kewenangn PPAT. Dalam
praktek
Notaris
ataupun
Pejabat
Pembuat
Akta
Tanah/PPAT melihat batas umur seseorang dikatakan dewasa didasarkan
kepada Pasal 330 KUHPerdata, sebagai contoh jika yang menhadap (kepada Notaris/PPAT) untuk melakukan perbuatan hukum tertentu untuk/atas nama dirinya sendiri atau untuk pihak/orang lain, maka kepada yang bersangkutan akan diterapkan batas dewasa 21 tahun. Dapat dipahami, kenapa diantara para notaris/PPAT ada yang bersikap seperti itu. Setidaknya ada satu alasan kenapa hal seperti itu dilakukan. Yaitu sebagai salah satu bentuk “kehati-hatian” ketika notaris/PPAT dalam menjalankan jabatannya. Karena ketentuan dewasa sampai saat ini tidak jelas dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sehingga daripada menimbulkan akibat hukum di kemudian hari, maka para notaris/PPAT, mengambil keputusan batasan umur dewasa yaitu 21 tahun. Dan sudah tentu batas dewasa 21 tahun, ini merujuk kepada Pasal 330 KUHPerdata tersebut diatas. Padahal kalau dikaji lebih jauh lagi batasan usia dewasa 21 tahun tersebut berasal dari Pasal 330 KUHPerdata, sebenarnya Pasal tersebut tidak mengatur batas usia dewasa, tapi mengatur kebelum dewasaan, disebutkan belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Dalam hal ini KUHPerdata telah mengatur segala akibat hukum dari keadaan belum dewasa tersebut. Sebenarnya jika mau konsisten, penentuan batas umur dewasa tersebut, harus didasarkan kepada golongan penduduk Indonesia dan hukum apa yang berlaku bagi mereka, sehingga dengan demikian (jika kita mau konsisten lagi) jika yang datang menghadap kepada Notaris/PPAT adalah
mereka yang tunduk pada Hukum Adat maka pergunakanlah batas umur dewasa menurut Hukum Adat, begitu juga jika mereka yang datang menghadap adalah mereka yang tunduk kepada KUHPerdata, maka pergunakanlah batas umur dewasa menurut KUHPerdata. Tapi apakah tepat menurut hukum, jika Notaris/PPAT bertindak diskriminasi seperti itu . Adanya pluralitas batas umur dewasa tersebut sampai sekarang masih saja ada, padahal sebenarnya hal tersebut sudah harus diakhiri atau diselesaikan. Sudah tentu caranya tidak harus selalu dengan bentuk peraturan perundang-undangan, tapi juga dapat dilakukan oleh para (seluruh) Notaris/PPAT dilakukan secara konsisten (ajeg), bahwa mereka yang (mulai) berusia tertentu, Misalnya 18 tahun dapat bertindak (cakap/berwenang) dalam Hukum secara penuh. Jika para Notaris/PPAT konsisten melakukannya dalam penentuan umur dewasa tersebut, sudah tentu ke-“konsisten”-an
merupakan
bentuk penemuan hukum34 oleh para Notaris/PPAT dan disisi yang lain merupakan kontribusi Notaris/PPAT dalam pembentukan hukum secara umum dan menghilangkan diskriminasi dalam penerapan hukum. Berdasarkan Peraturan perundang-undangan yang Sering dijadikan rujukan untuk menentukan batasan dewasa (secara hukum), yaitu UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ditemukan tiga criteria usia sebagaimana biasanya ditemukan dalam bidang Hukum Keluarga. Ketiga macam usia itu adalah : 34
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum (Suatu Pengantar),(Yogyakarta: Liberty, 1988) Hal.136-159.
a. Usia Syarat kawin, yaitu pria 19 tahun dan wanita 16 tahun (Pasal 7 (1). b. Usia izin kawin, mereka yang akan menikah di bawah usia 21 tahun, harus ada izin kawin Pasal 6 (2). c. Usia dewasa, yaitu 18 tahun atau telah kawin (Pasal 47 (1), (2) dan Pasal 50 (1), (2).
Adanya tiga kreteria usia ini sama juga halnya dalam ketentuan Hukum Keluarga KUHPerdata. Di dalam Buku I Bab Tentang Hukum Keluarga KUH Perdata, dapat ditemukan tiga criteria usia: a. Usia syarat kawin, yaitu bagi pria 18 tahun dan bagi wanita 15 tahun Pasal 29 KUHPerdata. b. Usia izin kawin, bagi mereka yang akan menikah yang belum berusia 30 tahun diperlukan izin kawin Pasal 42 (1) KUHPerdata. c.Usia dewasa, yaitu 21 tahun atau telah kawin Pasal 330 KUHPerdata.
Ketentuan seperti tersebut diatas dapat dikaitkan dan melihat perkembangan terakhir (trend secara global) mengenai batas umur dewasa. Untuk bertindak dihadapan Notaris (untuk penghadap dan saksi akta), Pasal 39 dan 40 UUJN telah memberikan batasan umur, yaitu 18 tahun. Batasan usia menghadap Notaris atau bertindak dihadapan Notaris tersebut mempunyai implikasi hukum yang rumit, karena tiap instansi menerapkan batasan usia tersendiri, sebagai contoh, jika seseorang telah memiliki hak atas tanah yang diperoleh dari warisan, ketika usianya mencapai 18 tahun yang bersangkutan datang menghadap Notaris dengan maksud untuk menjual bidang tanah tersebut, karena sesuatu dan lain hal disepakati untuk terlebih dahulu dibuat akta Pengikatan Jual Beli Dan
Kuasa Untuk Menjual. Sesuai aturan hukum untuk menghadap Notaris yang bersangkutan telah memenuhi syarat untuk bertindak dihadapan Notaris. Kemudian si pembeli menindak lanjutinya dengan Akta Jual Beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) berdasarkan akta yang dibuat tersebut. Permasalahannya, ketika akan dilakukan peralihan hak, Kantor Pertanahan akan menggunakan batasan usia dewasa, yaitu 21 tahun. Alhsil peralihan hak tersebut akan ditolak oleh Kantor Pertanahan tersebut. Hal ini membuktikan di Indonesia belum ada keseragaman mengenai batas usia dewasa untuk bertindak secara umum di dalam hukum. Bahwa Kedewasaan secara yuridis selalu mengandung pengertian tentang
adanya kewenangan seseorang untuk melakukan perbuatan
hukum sendiri tanpa bantuan pihak lain, apakah ia, orang tua si anak atau wali si anak. Jadi seseorang adalah dewasa apabila orang itu diakui oleh hukum untuk melakukan perbuatan hokum sendiri, dengan tanggung jawab sendiri
atas apa yang ia lakukan
jelas disini terdapatnya
kewenangan seseorang untuk secara sendiri melakukan suatu perbuatan hukum.35 Sehingga dari uraian tersebut di atas, maka jabatan Notaris dan PPAT memiliki fungsi dan kewenangan yang berbeda-beda, walaupun kedua jabatan tersebut dijabat oleh satu orang. Dapat penulis katakan bahwa notaris dalam kewenangannya tersebut hanya berwenang membuat 35
Djuhaendah Hasan, Masalah Kedewasaan Dalam Hukum Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, Hal. 7.
akta-akta yang bersifat umum diantaranya seperti yang penulis paparkan di atas, sedangkan akta-akta yang menyangkut pertanahan, peralihan hak atas tanah, hanya dapat dibuat dalam kewenangan seorang PPAT. Dalam praktek pelaksanaan batasan umur dewasa dan dianggap cakap melakukan perbuatan hukum di beberapa Notaris dan PPAT di Kota Samarinda, Badan Pertanahan Kota Samarinda dan Pengadilan Negeri Samarinda . Pada beberapa Notaris/PPAT dan Badan Pertanahan Kota Samarinda, bahwa dalam praktek mengenai kecakapan bertindak dalam melakukan perbuatan hukum sedikit ada perbedaan antara Notaris dan PPAT dengan instansi Kantor Badan Pertanahan Kota Samarinda. Menurut Dapri batasan usia dewasa dalam melakukan perbuatan hukum adalah orang telah berumur 21 tahun atau sebelumnya telah menikah terlebih dahulu. Dasar hukum yang dipakai adalah Pasal 330 KUH Perdata yang menyatakan bahwa : “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu menikah”. Oleh karena hal tersebut diatas, maka di dalam praktek sehari-hari hendaknya dalam pembuatan akta, baik itu akta notaris maupun akta PPAT, tetap berpegang pada anggapan bahwa seorang penghadap telah dikatakan dewasa dalam melakukan perbuatan hukum, apabila sudah berusia 21 tahun.. Apabila terjadi, adanya seorang penghadap yang masih berumur 18 tahun, hendak melakukan perbuatan hukum, maka selaku Notaris dan PPAT
hendaknya menyarankan agar perbuatan hukum tersebut, dilakukan dengan bantuan orang tuanya sebagai kuasa dan mewakili dalam melakukan perbuatan hukum anak tersebut. Batasan usia dewasa tersebut tetap dipegang dan dijadikan salah satu syarat terhadap pembuatan akta-akta tertentu, baik terhadap akta notaris maupun akta PPAT. Terutama akta-akta yang menyangkut peralihan hak atas tanah, sebab akta-akta tanah tersebut masih ditindak lanjuti ke instansi lain yaitu wajib dilakukan pendaftaran di Kantor Badan Pertanahan Nasional, sedangkan Badan Pertanahan Nasional adalah sebagai instansi pemerintah yang masih memakai ketentuan KUH Perdata, dimana batasan usia dewasa dan cakap melakukan perbuatan hukum adalah usia 21 tahun.36 Dari pendapat Dapri tersebut di atas, menganggap bahwa usia dewasa adalah harus sudah 21 tahun. Sedangkan apabila subyeknya masih berumur 18 tahun, Notaris dan PPAT tersebut memakai ketentuan kekuasaan orang tua terhadap harta kekayaan anak, yaitu setiap pemangku kekuasaan orang tua terhadap seorang anak yang belum dewasa, harus mengurus harta kekayaan anak itu, dan memakai perwalian. Jadi orang tua atas dasar kekuasaannya dan perwalian dari orang lain yang kemudian mewakili anak yang belum dewasa tersebut dalam melakukan perbuatan hukumnya. Dari hal tersebut di atas, maka batasan umur dewasa yang diakui oleh UUJN dalam praktek pada instansi Kantor Badan Pertanahan Kota Samarinda tidak dipakai dan dengan demikian para Notaris dan PPAT dalam 36
Dapri Seksi Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kota Samarinda, Wawancara, tanggal 10 Agustus 2009
pembuatan akta-akta tertentu masih berpegang pada batasan umur dewasa yang 21 tahun, sebab sebagai Notaris dan juga PPAT, tidak mau mengambil resiko dari akibat tidak adanya kesepakatan, ketetapan dan keseragaman tentang batasan usia minimal dalam batas usia dewasa untuk bertindak dalam melakukan perbuatan hukum. Sehingga Notaris dan PPAT tersebut, menganggap dewasa adalah sudah 21 tahun, seperti yang ditentukan dalam Pasal 330 KUH Perdata. Oleh sebab itu, di dalam setiap perbuatan hukum dan pembuatan akta-akta, baik itu akta notaris maupun akta PPAT, maka harus dibedakan satu dengan yang lain, sebab jabatan Notaris dan PPAT berbeda dan sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berbeda pula. Apabila setiap perbuatan hukum selalu didasarkan pada peraturan yang ada, maka perbuatan yang hendak dilakukannyapun akan diakui keberadaannya, keabsahannya dan juga dijamin kepastian hukumnya. Dalam praktek pembuatan akta sehari-hari, disesuaikan dengan keperluannya, yaitu apabila terdapat penghadap yang datang pada Notaris, dan ingin melakukan perbuatan hukum yang berkaitan dengan perbuatan peralihan hak atas tanah, maka dalam hal ini notaris dalam kedudukanya sebagai PPAT, sehingga harus dibedakan tugas pokok dan kewenangannya masing-masing. Sebab perbuatan hukum yang berkaitan dengan tanah, peralihan hak atas tanah dan pendaftaran tanah, adalah akta-akta pertanahan, yang hanya boleh dibuat oleh notaris dalam kedudukannya selaku PPAT. Maka selaku PPAT, harus memakai pedoman umur dewasa dan cakap
melakukan perbuatan hukum adalah 21 tahun seperti yang ditentukan KUH Perdata. Sedangkan terhadap akta-akta yang hanya berkaitan dengan jabatannya selaku Notaris, maka memakai pedoman usia dewasa adalah 18 tahun, yaitu terhadap akta-akta umum yang dapat diberlakukan dan berhubungan langsung dengan pihak ketiga dan sama sekali tidak berhubungan dengan BPN. Dari contoh kasus yang penulis paparkan dalam Bab I Pendahuluan, dimana seseorang Notaris dan PPAT , yang dalam hal ini dalam jabatannya sebagai Notaris, membuat Akta Kuasa Untuk Menjual Hak Atas Tanah dengan pihaknya 18 tahun, yang menurut UUJN telah dinyatakan dewasa, yang kemudian membawa akibat pada saat dibuat Akta Jual Belinya oleh Notaris dalam kedudukannya selaku PPAT, dan akan didaftarkan ke BPN, BPN menolak dengan alasan BPN tidak tunduk kepada UUJN, dan hanya menganggap dewasa adalah sudah 21 tahun. Menurut Dapri seharusnya untuk lebih aman dan tidak merugikan kepada para pihak, akta Kuasa Untuk Menjual Hak Atas Tanah tersebut harus dibuat Notaris dengan bisa dengan menunggu umur anak tersebut hingga 21 tahun atau bisa juga dengan persetujuan dari orang tuanya. Sebab Kuasa Untuk Menjual Hak Atas Tanah tersebut pada akhirnya akan bermuara kepada sebuah instansi yang bernama BPN, yang memiliki peraturan perundangan tersendiri dalam mengatur usia dewasa. Sedangkan terhadap pembuatan akta-akta PPAT, yang berkaitan dengan pertanahan, maka batasan usia dewasa yang harus diterapkan adalah 21 tahun, sesuai dengan ketentuan Pasal 330 KUHPerdata.
Sebab batasan usia dewasa ini yang dipakai oleh BPN dalam mendaftar aktaakta tanah. Jadi jabatan Notaris dan PPAT sebenarnya tidaklah sama, walaupun dijabat oleh satu orang, sehingga dalam menuangkan perbuatanperbuatan hukum ke dalam akta otentik, harus dibedakan, apakah perbuatan hukum tersebut termasuk dalam perbuatan hukum umum yang hanya dapat dibuat oleh Notaris, atau perbuatan hukum yang menyangkut pertanahan yang hanya dapat dibuat dalam kewenangan PPAT. 37 Dari paparan tersebut di atas, maka notaris dalam menjalankan jabatannya sebagai PPAT, harus memakai ketentuan yang berlaku dan dipakai oleh BPN yaitu memakai ketentuan dewasa, adalah 21 tahun. Sebab PPAT merupakan kepanjangan tangan dari BPN dan memiliki tugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta, yang berfungsi sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah yang dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum tersebut. Dari uraian tersebut di atas, berarti ada dua pandangan yang berbeda, yaitu : 1. untuk semua pembuatan akta-akta otentik, baik akta dalam kewenangan notaris maupun akta dalam kewenangan PPAT, penerapan batas usia dewasa dalam melakukan perbuatan hukum adalah 21 tahun, apabila belum 21 tahun berarti belum dianggap dewasa dan dianggap tidak cakap
37 Dapri Bagian Seksi Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kota Samarinda, tanggal 10 Agustus 2009.
Wawancara,
dalam melakukan perbuatan hukumnya, sehingga diperlukan bantuan dari orang tuanya atau dengan perwalian, 2. pembuatan untuk akta dalam kewenangan notaris, batasan umur dewasa adalah umur 18 tahun seperti yang di amanatkan Pasal 39 ayat (1) UUJN, sedangkan untuk perbuatan hukum pembuatan akta dalam kewenangan PPAT, maka harus memakai batasan umur dewasa adalah 21 tahun. Dari kedua pandangan tersebut di atas menurut penulis, bahwa UUJN diberlakukan memang khusus untuk mengatur jabatan notaris saja, sehingga apabila UUJN menentukan batas usia dewasa adalah 18 tahun, maka dapat diterapkan. Sebab akta-akta notaris sifatnya lebih umum, berkaitan langsung dengan pihak dan sangat berperan dalam dunia usaha, misalnya akta-akta pendirian CV, PT, UD dan lainnya, sehingga umur 18 tahun sudah dianggap mampu melakukan perbuatan hukum dalam dunia usaha. Sedangkan akta yang berkaitan dengan pertanahan, yang dalam hal ini merupakan akta PPAT, maka batasan umur dewasa adalah harus 21 tahun seperti yang diberlakukan di BPN. Jadi penerapan umur dewasa harus ada pembedaan antara akta notaris dan akta PPAT. Lebih Lanjut Dapri menyatakan bahwa seseorang dianggap telah cakap melakukan perbuatan hukum, sehingga dikatakan telah dewasa adalah sudah berumur 21 tahun. Dasar hukum yang dipakai Kantor Pertanahan adalah Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo Peraturan Menteri Negara Agraria No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Sedangkan
PP dan Peraturan Menteri Agraria tersebut merupakan amanah dari Undangundang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria yang kemudian disingkat UUPA, tepatnya pada Pasal 19 ayat (1)
yang
menyatakan bahwa : “untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Yang dimaksud PP dalam
Pasal tersebut adalah PP No. 24 tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagai pengganti dari PP No. 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Sedangkan UUPA merupakan pelaksanaan dari KUH Perdata, dalam KUH Perdata ini mengatur berbagai aspek, salah satunya pengaturan tentang batasan usia dewasa dalam melakukan perbuatan hukum, yang dinyatakan dalam Pasal 330 KUH Perdata yaitu : “ Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak lagi kembali dalam kedudukan belum dewasa”. Dasar hukum di atas sudah ditetapkan oleh Pihak Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang berkedudukan di Jakarta, sehingga ketentuan batasan usia dewasa dalam melakukan perbuatan hukum
yang sudah ditentukan BPN RI tersebut harus dipakai, dan dilaksanakan oleh seluruh Kantor Pertanahan di semua Kabupaten dan Kota se Indonesia. Sehingga apabila ada perbuatan hukum mengenai peralihan hak atas tanah dan pendaftaran tanah, yang datang dari pihak atau subyek yang masih berumur 18 tahun, yang menurut UUJN sudah disebut dewasa serta cakap berbuat hukum, maka jalan keluar yang diberikan pihak Kantor Pertanahan adalah, sebelum akta dibuat, maka harus mempergunakan Pengampuan dengan kekuasaan dari kedua orang tua kandungnya, untuk bertindak mewakili, perbuatan hukum anaknya tersebut dan apabila orang tuanya sudah tidak ada, maka dengan Perwalian, dan tidak harus menunggu sampai anak tersebut dewasa yaitu berumur 21 tahun.38 Orang tua memiliki kekuasaan terhadap pengurusan harta anak . Pengurusan harta ini mengakibatkan bahwa orang tua itu mewakili anak yang berkenaan dalam semua tindakan hukum belum dewasanya anak tersebut. Seperti halnya yang dinyatakan Pasal 307 KUH Perdata yang menyatakan bahwa : setiap pemangku kekuasaan orang tua terhadap seorang anak belum dewasa, harus mengurus harta kekayaan anak tersebut. Sedangkan
jika
orang
tua
kandungnya
sudah
tidak
ada,
maka
mempergunakan Perwalian. Perwalian bisa terjadi karena undang-undang, perwalian menurut wasiat, Perwalian Badan Hukum, maupun Perwalian karena yang karena Penetapan dari Pengadilan.
38
Dapri Bagian Seksi Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kota Samarinda, Wawancara, tanggal 10 Agustus 2009.
Terhadap contoh kasus yang penulis paparkan pada Bab I Pendahuluan, menurut Dapri, dengan berlakunya UUJN seharusnya bisa dilihat dan dibedakan bahwa UUJN hanya mengatur fungsi tentang jabatan notaris saja, bukan untuk mengatur PPAT, sebab PPAT sudah diatur dalam PP tersendiri. Dapri juga menyatakan bahwa jabatan Notaris, adalah sebenarnya syarat untuk menjadi PPAT, sedangkan PPAT merupakan pejabat yang melakukan sebagian tugas-tugas dari BPN, sehingga sebagian tugas PPAT tentunya harus mengikuti peraturan yang berlaku dan dipakai oleh BPN.39 Setelah kita mengetahui paparan di atas, maka dapat penulis katakan juga bahwa akta Notaris memiliki sifat yang lebih umum dan tidak ada kaitannya dengan BPN sama sekali. Sehingga apabila penerapan batasan usia dewasa adalah 18 tahun, maka dalam prakteknya bisa diterapkan dan tidak menjadi permasalahan. Lain halnya dengan kedudukan Notaris sebagai PPAT, yang melayani perbuatan hukum khusus berkaitan dengan hak atas tanah dan pendaftaran tanah, dimana perbuatan hukum tersebut berkaitan langsung dengan BPN, yang sudah memiliki ketentuan hukum sendiri mengenai batasan usia dewasa. Jadi, jabatan Notaris dan PPAT harus tetap dibedakan, walaupun dalam kenyataannya Notaris juga berkedudukan selaku PPAT. Terhadap diberlakukannya UUJN, hanya bisa untuk mengatur jabatan Notaris saja, tidak bisa dicampur adukkan untuk mengatur PPAT. Sehingga dalam 39
Dapri, Bagian Seksi Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kota Samarinda, Wawancara, tanggal 10 Agustus 2009
pembuatan akta notaris, ketentuan dewasa menurut UUJN, bisa diterapkan, sedangkan pembuatan akta PPAT, maka ketentuan dewasa adalah yang dinyatakan dalam Pasal 330 KUH Perdata. Menurut Djoko Soetatmo, SH., bahwa praktek di Pengadilan Negeri Samarinda, mengenai batasan usia dewasa sangat bersifat kasuistis, yaitu tergantung dari sifat kasusnya yang muncul di pengadilan, apakah kasus tersebut masuk dalam hukum perdata, maupun kasus pidana. Oleh karena bersifat kasuistis, maka para hakim berpegang pada Yurisprudensi dan mempergunakan asas Lex specialis derogat lege generali, yaitu Peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang bersifat lebih umum.40 Alasan pemakaian asas tersebut di atas, karena diketahui bahwa dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku, penentuan batasan usia dewasa sangat berbeda antara undang-undang satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut dapat kita lihat dari beberapa undang-undang yang berlaku, sampai sekarang yaitu : 1. KUH Perdata, tepatnya Pasal 330 yang menentukan batasan dewasa adalah sudah mencapai umur 21 tahun atau belum 21 tahun tetapi sudah menikah sebelumnya. 2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), Pada Pasal 47 dan Pasal 50 menyatakan bahwa anak yang belum merumur 18 tahun dan belum menikah,maka berada di bawah
40
Djoko Soetatmo, Hakim Pengadilan Negeri Samarinda, Wawancara, Tanggal 12 Agustus 2009.
kekuasaan orang tuanya atau walinya. Jadi batasan usia dewasa adalah apabila sudah mencapai umur 18 tahun . 3. KUH Pidana, dalam Pasal 45 menyatakan bahwa orang yang belum dewasa adalah sebelum umur enam belas tahun. Jadi batasan umur dewasa menurut KUH Pidana adalah 16 tahun ke atas. 4. Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa yang dikatakan anak-anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun atau belum pernah kawin. Jadi batasan umur dewasa menurut undang-undang ini adalah 21 tahun. 5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 ayat (1), menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 belas tahun dan termasuk juga anak yang masih dalam kandungan. Dalam undang-undang ini menganggap batasan umur dewasa adalah apabila sudah mencapai umur 18 tahun. 6. Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak, Pasal 1 ayat (1) menyatakan, anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. Dari ketentuan Pasal tersebut berarti batasan dewasa adalah sudah berumur 18 tahun. Sehingga terhadap adanya perbedaan batasan usia dewasa dari beberapa undang-undang yang di paparkan tersebut di atas maka, para
hakim di Pengadilan Negeri Samarinda, dalam menentukan batasan usia dewasa seseorang, di lihat terlebih dahulu dari setiap kasusnya, jika kasus yang muncul tersebut adalah termasuk hukum perdata maka tentunya penentuan usia dewasanya adalah memakai ketentuan dari Pasal 330 KUH Perdata. Begitu juga kasus yang muncul dalam hukum pidana, maka batasan dewasa mengacu kepada KUH Pidana, dan lain sebagainya disesuaikan kasus yang muncul. Sedangkan terhadap terjadinya perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan oleh orang yang belum dewasa, maka pengaturanya juga berbeda. Misalnya saja apabila terjadi kasus dalam hukum pidana, pelakunya adalah anak di bawah umur, maka hakim akan menggunakan undang-udang yang mengatur tentang Peradilan Anak. Begitu juga sebaliknya, apabila misalnya korban tindak pidana ternyata masih di bawah umur, maka hakim menggunakan undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban.41 Menurut Djoko Soetatmo, SH. dalam hal seseorang itu akan melakukan perbuatan hukum yang berhubungan dengan satu perjanjian maka ketentuan hukum dalam Pasal 1320 KUHPerdata itu mutlak harus di penuhi syarat-syarat yang ada dalam Pasal 1320 KUHPerdata tersebut . Dalam Pasal 1320 KUHPerdata untuk sahnya suatu perjanjian yang dibuat, para pihak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; 41
Djoko Soetatmo, Hakim Pengadilan Negeri Samarinda,Wawancara, Tanggal 12 Agustus 2009.
c. Suatu hal tertentu; d. Suatu sebab yang halal. Dari semua hasil penelitian penulis di lapangan mengenai praktek mengenai batas usia dewasa dalam melakukan perbuatan hukum setelah Undang-undang Jabatan Notaris, menurut penulis masih belum adanya keseragaman dan kesepakatan yang berasal dari pihak pemerintah sebagai pembuat produk hukum untuk menyeragamkan batasan usia dewasa dalam melakukan perbuatan hukum. Sehingga dalam pelaksanaannya Undangundang Jabatan Notaris yang di dalam Pasal 39 ayat (1) menentukan bahwa dewasa adalah 18 tahun, maka usia dewasa ini hanya bisa diterapkan pada akta-akta yang berkaitan dengan akta notaris saja, yang sifatnya umum dan tidak berkaitan dengan BPN. Sedangkan terhadap akta-akta PPAT, harus tunduk pada ketentuan dewasa yang diberlakukan di BPN, yaitu yang dinyatakan dalam Pasal 330 KUH Perdata, sebab PPAT dalam menjalankan tugas pokoknya yang melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah, selalu berhubungan dengan BPN, dimana BPN itu sendiri berpegang pada Pasal 330 KUH Perdata yang menyatakan batasan usia dewasa adalah sudah 21 tahun.
C. Cara Penyelesaiannya Apabila Muncul Perbedaan Persepsi Mengenai Masalah Batas Usia Bertindak Menyangkut Usia Dewasa Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004.
Dari semua paparan penulis dalam pembahasan di atas, maka menurut penulis tidak terjadi perbedaan persepsi mengenai masalah usia dewasa. Sebab dalam prakteknya adanya pembedaan batasan usia dewasa sudah diterapkan sesuai peraturan yang mengaturnya, yaitu
perbuatan
hukum yang ada dalam kewenangan notaris hanya diatur dengan Undangundang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris sedangkan perbuatan hukum yang masuk dalam kewenangan PPAT hanya diatur dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan juga KUH Perdata, sehingga dalam prakteknya tidak terjadi permasalahan perbedaan persepsi batasan usia dewasa yang mendasar dan tidak dicampur adukkan antara satu dengan yang lain. Seperti yang terjadi pada kasus yang penulis contohkan pada Bab I Pendahuluan. Yang dimana, seorang Notaris juga selaku PPAT, pada saat membuat Akta Kuasa Untuk Menjual Hak Atas Tanah yang dalam hal ini dalam kedudukannya selaku Notaris, membuat akta tersebut dengan pihaknya atau penghadapnya sudah berumur 18 tahun, yang menurut UUJN sudah dianggap dewasa dan cakap melakukan perbuatan hukumnya. Kemudian berdasarkan akta Kuasa Untuk Menjual tersebut dibuatlah Akta Jual Beli juga dibuat oleh Notaris tersebut akan tetapi dalam jabatannya selaku PPAT, tetapi pada saat akan dilakukan pendaftaran ke BPN, pihak BPN menolak dengan alasan tidak tunduk kepada UUJN, tetapi pada KUH Perdata yang menganggap batasan dewasa apabila sudah berumur 21 tahun
atau belum 21 tahun tetapi sudah pernah menikah. Dari kasus tersebut terjadi perbedaan persepsi tentang umur dewasa antara Notaris dengan BPN. Menurut penulis Undang-Undang Jabatan Notaris hanya dapat diterapkan untuk mengatur jabatan notaris saja, bukan untuk mengatur jabatan PPAT juga, sebab PPAT dalam menjalankan tugas dan kewenangannya berkaitan langsung dengan pihak BPN, dimana sudah diatur dengan peraturan perundangan tersendiri, dan tidak dapat dicampur adukkan. Jika terjadi perbedaan persepsi mengenai masalah batas umur yang demikian maka berdasarkan dari hasil penelitian yang telah penulis lakukan di beberapa instansi yang berkaitan dengan masalah kedewasaan seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum ini sebagaimana yang telah penulis uraikan diatas, ada beberapa cara untuk menyelesaikan masalah tersebut diantaranya adalah : 1. Menurut Djoko Soetatmo, SH. Hakim Pengadilan Negeri Samarinda dalam pembuatan akta Kuasa Untuk Menjual Hak Atas Tanah yang dibuat oleh anak yang berumur 18 tahun maka kuasa itu bisa dibuat dengan melampirkan Penetapan Pengadilan Negeri setempat yang isinya ijin untuk menjual; 2. Menurut Dapri dan I Made Mandia dalam pembuatan akta Kuasa Untuk Menjual Hak Atas Tanah yang dibuat oleh anak yang berumur 18 tahun maka harus ada atau dilampiri dengan
Penetapan Pengadilan Negeri setempat atau bisa langsung didampingi oleh orang tua atau walinya. Sedangkan
mengenai
akibat hukum adalah, terjadinya
ketiadaksesuaian perbuatan hukum yang dilakukan dengan peraturan hukum yang mengaturnya. Dari hasil penelitian penulis dilapangan tersebut di atas, maka terjadi ketidaksesuaian antara perbuatan hukum dengan peraturan hukum yang mengaturnya, sehingga akibat hukum yang timbul atas akta Kuasa Untuk Menjual Hak Atas Tanah yang dibuat oleh anak yang berusia 18 tahun tersebut pada instansi lain menjadi tidak mempunyai kekuatan hukum, Sebab pelaksanaan akta Kuasa Untuk Menjual tersebut berkaitan dengan instansi lain yang tunduk pada peraturannya sendiri. Walaupun sebenarnya Notaris dan PPAT sudah melakukan tugas dan kewenangannya masing-masing, sesuai dengan kapasitas jabatannya masing-masing, yaitu dalam perbuatan hukum yang berkaitan dengan akta-akta notaris, yang dibuat dalam kewenangan sebagai notaris, penerapan ketentuan batasan dewasa 18 tahun menurut Undang-undang Jabatan Notaris bisa diterapkan dan tidak bertentangan dengan aturan hukum lain sebab UUJN memang di buat khusus untuk mengatur kewenangan jabatan Notaris. Sedangkan terhadap akta-akta yang menyangkut peralihan hak atas tanah dan pendaftaran tanah, dalam prakteknya hanya dibuat dalam kewenangan PPAT, dengan memakai patokan usia dewasa adalah 21 tahun seperti yang dianut dan diberlakukan di Kantor Badan Pertanahan Nasional.
Notaris sebagai Pejabat publik yang mempunyai wewenang tertentu sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 UUJN. Dengan kewenangan yang ada pada notaris, maka akta notaris mengikat para pihak atau penghadap yang tersebut didalamnya atau siapa saja yang berkepentingan dengan akta tersebut. Jika dalam pembuatan akta Notaris tersebut : a. Berwenang untuk membuat akta sesuai dengan keinginan para pihak; b. Secara lahiriah, formal dan materil telah sesuai dengan aturan hukum tentang pembuatan akta Notaris; maka akta notaris tersebut harus dianggap sah. Akta Notaris sebagai produk dari Pejabat Publik, maka penilaian terhadap akta Notaris harus dilakukan dengan Asas Praduga Sah (Vermoeden Van Rechtmatigheid) atau Presumptio Iustae Causa.42 Asas ini dapat dipergunakan untuk menilai akta Notaris, yaitu akta Notaris harus dianggap sah sampai ada pihak yang menyatakan akta tersebut tidak sah. Untuk menyatakan atau menilai akta tersebut tidak sah harus dengan gugatan ke pengadilan umum. Selama dan sepanjang gugatan berjalan sampai dengan ada keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, maka akta notaris tetap sah dan mengikat para pihak atau siapa saja yang berkepentingan dengan akta tersebut.
42
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU Nmor 30 Tahun 2004), PT.Rafika Aditama, 2008, hal. 140.
Dalam gugatan untuk menyatakan akta notaris tersebut tidak sah, maka harus dibuktikan ketidakabsahan dari aspek lahiriah, formal dan materil akta notaris tersebut. Jika tidak dapat dibuktikan maka akta yang bersangkutan tetap sah dan mengikat para pihak atau siapa saja yang berkepentingan dengan akta tersebut. Asas ini telah diakui dalam UUJN yang tersebut dalam Penjelasan Bagian Umum ditegaskan bahwa : Akta Notaris sebagai alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh, apa yang dinyatakan dalam Akta Notaris harus diterima, kecuali pihak yang berkepentingan dapat membuktikan hal sebaliknya secara memuaskan dihadapan Persidangan Pengadilan.
BAB IV PENUTUP A.
Kesimpulan 1.
Belum adanya keseragaman dan kesepakatan batasan usia dewasa dalam melakukan perbuatan hukum. Sehingga dalam pelaksanaannya UUJN yang di dalam Pasal 39 ayat (1) menentukan bahwa dewasa adalah 18 tahun, maka usia dewasa ini hanya bisa diterapkan pada akta-akta yang berkaitan dengan akta notaris yang saja, yaitu akta-akta yang bersifat umum, berkaitan langsung dengan pihak ketiga dan berkaitan dalam dunia usaha. Misalnya yaitu akta : Pendirian Perseroan Terbatas (PT), Pendirian CV, Pendirian Yayasan, Perjanjian Sewa Menyewa, Perjanjian Kerjasama, Perjanjian Kontrak Kerja. Sedangkan terhadap akta-akta yang berkaitan dengan perbuatan peralihan hak atas tanah dan pendaftaran tanah, hanya dapat dibuat dalam kewenangan PPAT, sehingga penentuan batasan dewasa harus tunduk pada ketentuan Pasal 330 KUH Perdata, yang telah dianut dan diakui oleh BPN. Sebab PPAT dalam menjalankan tugas pokoknya yang melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah, selalu berhubungan langsung dengan BPN.
2.
Dalam praktek tidak terjadi perbedaan persepsi mengenai masalah usia dewasa. Sebab dalam prakteknya adanya pembedaan batasan usia dewasa antara perbuatan hukum yang ada dalam kewenangan notaris yang diatur dengan Undang-undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan 94
Notaris dan perbuatan hukum yang masuk dalam kewenangan PPAT yang diatur dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan juga KUH Perdata.
B.
Saran 1. Dalam melakukan perbuatan hukum memerlukan kecakapan bertindak, dan kecakapan bertindak dipengaruhi oleh kedewasaan dan kedewasaan sendiri dipengaruhi oleh umur. Dalam pelaksanaanya belum adanya keseragaman mengenai umur dewasa dari pemerintah, jadi sebaiknya ada satu undang-undang yang menentukan batasan usia dewasa, sehingga ada kejelasan patokan umur dewasa dan dianggap cakap dalam melakukan perbuatan hukum. 2. Kedewasaan seseorang dalam berbuat hukum menetukan keabsahan perbuatan hukumnya tersebut, sehingga kedewasaan orang sangatlah penting oleh sebab itu, maka perlu diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan yang khusus pula. 3. Batasan usia dewasa tersebut hendaknya harus merupakan pengaturan bagi perbuatan hukum secara umum, bukan untuk perbuatan tertentu saja.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung. A Qiram Syamsudin Meliala, 1985, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta Bambang Sunggono S.H., M.S.,2001, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Djuhaendah Hasan, Masalah Kedewasaan Dalam Hukum Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, Hal 7. Frans Satriyo Wicaksono, SH. 2009, Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kuasa, Transmedia Pustaka, Jakarta. Habib Adjie, SH., M.Hum., 2008, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, PT.Refika Aditama, Bandung. H. Hilman Hadikusuma, 2005, Bahasa Hukum Indonesia, PT. Alumni, Bandung. J Satrio, 1992, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. -----------------------------, 1993, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. ---------, 1995,Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. ----------,1999, Hukum Pribadi Bagian I Persoon Alamiah, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Mohammad Nazir, 1993, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta. Pitlo, 1971, A Het Systeem van het Nederlandse Privaatrecht, terjemahan J. Satrio, cetakan keempat, H.D. Tjeenk Wilink, Groningen.
Purwahid Patrik, 1986, Asas-Asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, Badan Penerbit UNDIP, Semarang. --------------------,. 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian dan dari Undang-Undang), Mandar Maju, Bandung. Rony Hanitijo Soemitro, 1998, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta. R. Setiawan,. 1994, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung. R. Subekti, 1992, Aneka Perjanjian, Intermasa, Jakarta. R. Wiryono Prodjodikoro, 1993, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung. Soetrisno Hadi, 1985, Metodologi Reseacrh Jilid II, Yayasan Penerbit Fakultas Hukum Psikologi UGM, Yogyakarta. Soerjono Soekanto, 1996, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta. Tan Thong Kie, 2000, Buku I Studi Notariat Dan Serba Serbi Praktek Notaris, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta Majalah Ismiati Dwi Rahayu, Ketua INI Depok, 2006, Beda Persepsi Usia 18 Dalam Melakukan Perbuatan Hukum Yang Menjadi Masalah Hukum, Majalah Renvoi Edisi November No. 5/42. Website Fellyirawati,copyright@2009/BatasKuasa/http://groups.yahoo.com/group/Notaris Indonesia/message/2816 HermanArdiansyah, copyright@2009/UsiaDewasa /http://group.yahoo.com/I.N.I.
Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang No.5 Tahun 1960Tentang Peraturan Dasar Pokok–Pokok Agraria Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.