TEORI DAN ANALISIS WACANA UNTUK GURU TINGKAT PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH
Anang Santoso Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: Materi “wacana” sudah lama menjadi topik yang diberikan kepada siswa atau peserta didik dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi. Pengajaran bahasa Indonesia—khususnya dalam Kurikulum 2004, 2006, dan 2013—menempatkan wacana sebagai komponen yang sangat penting. Pelbagai rumusan standar kompetensi dan kompetensi dasar lahir dari konsep terkait dengan wacana atau teks. Bahkan, dalam Kurikulum 2013 pembelajaran bahasa Indonesia identik dengan pembelajaran berbasis teks. Hanya saja, pelbagai teoridan rinci-rinci analisis wacana membuat guru sering mengalami kesulitan dalam memahami dan membelajarkan wacana. Kata-kata kunci: teori wacana, analisis wacana, pengajaran bahasa Indonesia
Predikat guru sebagai profesi telah menuntut guru untuk menguasai dunia keilmuan yang menjadi dasar dalam menjalankan profesinya. Ibarat seorang pendekar, seorang guru dituntut untuk menguasai seratus jurus yang hidup dalam rimba persilatan meskipun tidak semua jurus tersebut ditransfer ke siswa-siswanya. Ada dua kedudukan yang dijalani guru sekaligus: (1) sebagai guru dan (2) sebagai ilmuwan. Kedudukan yang pertama ini memberikan kewajiban bagi guru untuk memberikan, menstransfer, dan memfasilitasi pembelajaran. Dalam bentuk yang konkret, guru berkewajiban mengajarkan sejumlah materi kepada peserta didik. Kedudukan kedua ini memberikan kewajiban moral-akademis untuk selalu mengembangkan ilmu kebahasaan dan kesusasteraan. Dalam bentuk yang konkret, ibu dan bapak dituntut untuk selalu membaca, menulis, meneliti, mengobservasi, dan sebagainya pelbagai fenomena keilmuan dengan sikap kritis-radikal (sampai ke akar-akarnya) untuk menemukan “hakikat” fenomena keilmuan itu.
Terkait dengan posisi guru yang mendua itu, paparan ini juga mengambil posisi serupa. Ada bahan yang hanya cocok untuk dikuasai oleh guru dalam posisinya sebagai pengajar. Bahan-bahan seperti ini perlu disampaikan kepada peserta didik di dalam kelas. Materi-materi yang masih dalam perdebatan sebaiknya tidak dihadirkan di dalam kelas. Proses morfologis me+protes, misalnya, masih sering menimbulkan perdebatan antara “memprotes” dan “memrotes”. Guru harus mengambil sikap bahwa “me-“yang diikuti oleh kata dasar yang dimulai dengan kluster atau gugusan konsonan—seperti kr-, kl-, pr-, tr-, dan sebagainya—tidak mengalami peluluhan. Sebaliknya, ada bahan yang hanya cocok untuk dikuasai guru dalam posisinya sebagai ilmuwan yang memiliki tugas mengembangkan ilmu bahasa Indonesia. Bahan-bahan seperti ini hanya menjadi “tabungan-keilmuan” guru dan tidak perlu dikemukakan kepada siswa. Bahan-bahan ini akan dikembangkan guru dalam pelbagai kegiatan terkait dengan pengemba-
43
44, J-TEQIP, Tahun V, Nomor 1, Mei 2014
ngan ilmu. Guru harus belajar pelbagai ilmu linguistik dan sastra meskipun tidak semua bahan itu layak diajarkan kepada siswa. Karya sastra yang mengandung pornografi dan sesuatu yang sarkastis tidak boleh diberikan kepada siswa untuk level rendah atas alasan pendidikan anak. Analisis linguistik yang rumit tentu saja tidak cocok diberikan kepada siswa sekolah menengah ke bawah. Istilah Wacana Selayang Pandang Apakah wacana itu? Apakah teks itu? Bagaimanakah sebuah wacana dan teks dipahami? Itulah beberapa pertanyaan yang akan selalu dihadapi bagi siapa pun yang ingin memahami wacana dan teks. Jika kita mendengarkan ceramah dalam seminar, pelatihan, diskusi, debat televisi, atau pengajian agama, istilah wacana sering digunakan oleh para pembicara. Jika kita membaca pelbagai buku, istilah wacana juga sering kita jumpai. Jika kita membuka internet dan kita “klik” kata wacana atau discourse, jumlah penggunaan istilah itu juga sangat banyak, bahkan seperti tidak terbatas. Hal ini menunjukkan bahwa istilah itu sudah menjadi konsumsi pelbagai lapisan masyarakat. Istilah wacana sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat. Mereka menggunakannya dengan bermacam-macam arti. Ada yang menggunakannya dengan arti yang tepat dan sesuai dengan konsep keilmuan. Sebaliknya, ada juga yang menggunakannya secara tidak tepat, bahkan serampangan yang tidak memiliki kestabilan maknanya. Dalam linguistik, misalnya, teori wacana semakin dirasakan kehadirannya. Rasanya menjadi tidak lengkap apabila sebuah paparan tentang kebahasaan tidak menyertakan teori wacana itu. Bahkan, buku Tata Bahasa Indonesia Baku menempatkan bab tentang wacana secara mandiri sejajar dengan bidang tata bahasa lainnya, seperti kalimat, frase, dan kata,
sebuah terobosan dalam penulisan tata bahasa yang selama ini belum pernah dilakukan. Buku-buku tata bahasa Indonesia yang disusun oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Fokker, Slametmuljana, C.A. Mees, Gorys Keraf, dan lain-lain tidak pernah menempatkan topik wacana dalam paparannya. Sebagai pisau analisis, teori wacana banyak digunakan dalam penelitian-penelitian sosial dan pendidikan. Dalam penelitian sosial, misalnya, desain “analisis wacana (kritis)” sudah banyak digunakan oleh para peneliti kesenjangan dan ketidakadilan dalam masyarakat. Dalam penelitian pendidikan, khususnya penelitian pengajaran bahasa, desain “analisis wacana” juga sudah banyak digunakan para peneliti untuk menjawab persoalan-persoalan pengajaran. Teori wacana dan analisis wacana sudah bukan lagi menjadi kapling bidang kebahasaan. Sebaliknya, teori wacana sudah jauh berkembang dan meluas dan menjadi milik bidang-bidang yang lain, seperti sosiologi, filsafat, ilmu komunikasi, sejarah, ilmu politik, bahkan ilmu bisnis dan manajemen. Istilah “wacana” dan pelbagai rinci-rincinya begitu penting dipahami oleh guru. Berbagai-bagai kompetensi dasar (KD) dan pokok bahasan tentang wacana dirumuskan dalam kurikulum bahasa Indonesia. Bagi guru, penguasaan terhadap topik wacana bukan saja penting bagi kepentingan praktis—misalnya bekal untuk mengajarkan materi-materi bahasa Indonesia, membelajarkan siswa-siswa menghadapi ujian nasional (UN)—tetapi juga sangat penting untuk memahami kehidupan sosial masyarakat sebagai wujud manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk budaya.
Santoso, Teori dan Analisis Wacana untuk Guru Sekolah Dasar dan Menengah, 45
Istilah Wacana yang Banyak Digunakan dalam Buku Teks/Pelajaran Berikut dikemukakan beberapa pengertian wacana dari bidang linguistik yang menjadi dasar penggunaan wacana dalam buku-buku teks atau buku pelajaran bahasa Indonesia untuk SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA. Pertama, wacana adalah “organisasi bahasa di atas kalimat atau klausa; dengan perkataan lain unit-unit linguistik yang lebih besar daripada kalimat atau klausa, seperti pertukaranpertukaran percakapan atau teks-teks tertulis” (Stubbs, 1983: 10). Pengertian pertama ini melihat wacana dari aspek strukturnya. Kedua, wacana adalah satuan bahasa terlengkap; dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedi, dan sebagainya), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat yang lengkap” (Kridalaksana, 1984:208). Pengertian kedua ini melihat wacana dari aspek kelengkapannya. Selama isi amanatnya lengkap maka konstruksi linguistik itu disebut dengan wacana. Ketiga, wacana adalah “suatu rangkaian sinambung bahasa (khususnya lisan) yang lebih luas daripada kalimat” (Crystal, 1985:96). Pengertian ketiga ini melihat wacana dari aspek strukturnya yang terletak di atas kalimat dan saling berkaitan. Keempat, wacana dipandang sebagai “sehimpunan ujaran yang merupakan peristiwa wicara yang dapat dikenali (tanpa merujuk pada penstrukturan kebahasaannya), seperti misalnya percakapan, lelucon, khotbah, wawancara” (Crystal, 1985:96). Pengertian keempat ini melihat wacana dari kacamata bahasa lisan. Kelima, wacana ialah “rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi” (Samsuri, 1988:1). Pengertian kelima melihat wacana sebagai fenomena
yang “pasif” dari sebuah peristiwa komunikasi. Keenam, wacana adalah “rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain itu membentuk kesatuan” (Alwi, et al. 1993:471). Pengertian keenam melihat wacana sebagai konstruksi kebahasaan yang saling berkaitan. Dari pelbagai definisi di atas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa sebuah wacana itu mengandung sembilan unsur sebagai berikut: (i) satuan bahasa, (ii) terlengkap/terbesar/tertinggi, (iii) di atas kalimat/klausa, (iv) teratur/tersusun rapi/rasa koherensi, (v) berkesinambungan/kontinuitas, (vi) rasa kepaduan/rasa kohesi, (vii) lisan/tulis, (viii) awal dan akhir yang nyata, serta (ix) berupa peristiwa komunikasi Pelbagai Pengertian Wacana Istilah wacana digunakan dengan berbagai-bagai macam pengertian sesuai dengan tujuan dan latar belakang pemakai istilah tersebut. Wacana yang sering digunakan oleh guru bahasa Indonesia (BI) berbeda pengertian dengan wacana yang digunakan oleh elite dan pengamat politik. Jika guru BI menggunakan kata “wacana” terkait dengan fakta kebahasaan, para elite dan pengamat politik menggunakan “wacana” terkait dengan perspektif, cara pandang, atau ideologi tertentu. Berikut ini disajikan pelbagai penggunaan kata “wacana” itu. Wacana versus Bahasa Istilah “wacana” dioposisikan atau disandingkan dengan istilah “bahasa”. Oposisi ini banyak digunakan dalam bidang hermeneutika, sebuah bidang filsafat atau ilmu yang berurusan dengan penafsiran teks. Oposisi ini sebanding dengan
46, J-TEQIP, Tahun V, Nomor 1, Mei 2014
oposisi Saussure yang terkenal dalam bahasa Prancis, yakni langue dan parole. Istilah langue merujuk pada „kaidah penggunaan bahasa yang ideal yang sifatnya abstrak‟. Sementara itu, parole merujuk pada „penggunaan bahasa dalam situasi nyata‟. Istilah “bahasa” senada dengan langue, sedangkan istilah “wacana” senada dengan parole. Dengan demikian, wacana dapat dimaknai penggunaan dalam konteks tertentu yang didalamnya mengandung unsur-unsur siapa, di mana, kepada siapa, variasi bahasa apa, kapan, untuk tujuan apa, dan dengan cara bagaimana.
yang berbeda? Dari pelbagai pustaka rujukan, keduanya dapat merujuk kepada hal yang sama dan sebaliknya keduanya juga dapat merujuk kepada hal yang berbeda. Secara keilmuan, acapkali dipertukarkan secara bebas antara istilah “wacana” (discourse) dan “teks” (text). Ada yang memperlakukan secara sama, ada yang berbeda. Dalam bahasa Jerman, hanya dipakai istilah text untuk kedua istilah wacana dan teks itu. Ilmu yang membicarakannya disebut dengan Linguistika Teks (de Beaugrande & Dressler, 1986). Sebaliknya, dalam tradisi berbahasa Inggris yang lebih dikenal di Indonesia penggunaan keduanya dibedakan. Ada Wacana versus Teks Istilah “wacana” dioposisikan dan yang berpandangan bahwa teks lebih meruatau disandingkan dengan istilah “teks”. juk kepada bahasa tulis, sedangkan wacana Geoffrey Leech & Michael Short, misalnya, merujuk pada bahasa lisan. Ada yang menggunakan kedua istilah tersebut seba- berpandangan bahwa teks menyi-ratkan gai berikut. monolog noninteraktif, sedangkan wacana Discourse is linguistic communi- menyiratkan wacana interaktif. Ada yang cation seen as a transaction between berpandangan bahwa teks itu bisa panjang speaker and hearer, as an interper- dan bisa pendek, sementara itu wacana sonal activity whose form is ditermi- mengimplikasikan panjang tertentu. Ada ned by its social purpose. Text is yang berpandangan bahwa teks adalah linguistic communi-cation (either fenomena kebahasaan semata-mata, sespoken or written) seen simply as a dangkan wacana adalah fenomena pengmessage coded in its auditory or gunaan bahasa (teks) dan konteks. visual medium (Mills, 1997:4). Wacana versus Kalimat dan Klausa Mengikuti pandangan Leech & Istilah wacana dioposisikan dengan Short, wacana dilihat sebagai aktivitas kalimat atau klausa. Definisi ini hanyak antar-pribadi (antara dua orang atau lebih), digunakan dalam linguistik deskriptif, teryakni transaksi antara pembicara dan masuk di dalamnya linguistik Indonesia. pendengar, yang dipengaruhi maksud- Michael Stubbs (1983:10), misalnya maksud sosial. Sementara itu, teks dilihat mengemukakan sebagai berikut. sebagai komunikasi kebahasaan—baik Wacana adalah “organisasi bahasa di lisan maupun tulisan—yang berupa pesan atas kalimat atau klausa; dengan yang dikodekan dalam medium auditorial perka-taan lain unit-unit linguistik maupun visual. yang lebih besar daripada kalimat Dalam kenyataannya, dua istilah atau klausa, seperti pertukaranitu sering digunakan secara tumpang tindih. pertukaran perca-kapan atau teksPertanyaannya, apakah teks dan wacana itu teks tertulis” (Stubbs, 1983:10). merujuk kepada maujud (entity)yang sama? Hal yang senada juga ditemukan pada Apakah keduanya merujuk kepada sesuatu pandangan David Crystal sebagai berikut.
Santoso, Teori dan Analisis Wacana untuk Guru Sekolah Dasar dan Menengah, 47
Wacana adalah “suatu rangkaian sinambung bahasa (khususnya lisan) yang lebih luas daripada kalimat” (Crystal, 1985:96).
oleh para ahli-ahli linguistik kritis. Linguistik kritis mengklaim sebagai penerus pandangan Halliday (1978) tentang “bahasa sebagai semiotika sosial”. Roger Fowler mengemukakan pengertian waKedua pandangan memiliki kesa- cana sebagai berikut. maan tentang stratifikasi wacana yang Discourse is speech or writting seen berada di atas kalimat atau klausa. Bedanya, from the point of view of the beliefs, jika Stubbs menjelaskan lingkup wacana values and categories which it dapat berupa lisan atau tulisan, Crystal embodies; these beliefs etc. Constilebih menekankan wacana berada pada tute a way of looking at the world, an ranah lisan. organization or representation of experience—“ideology” in the neutral non-pejorative sense. Different Wacana sebagai Satuan Lingual modes of discourse encode different Tertinggi Istilah wacana juga merujuk pada representations of experience; and satuan lingual tertinggi, lengkap, dan atau the source of these representations is utuh. Hal ini dapat diperhatikan pada panthe communicative contextm within dangan Kridalaksana berikut. which the discourse is embedded Wacana adalah “satuan bahasa ter(Mills, 1997:6). lengkap; dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal terting- Pandangan Fowler yang menekankan pada gi atau terbesar. Wacana ini direali- konsep “titik pandang” terhadap pelbagai sasikan dalam bentuk karangan yang hal tersirat juga dalam pandangan utuh (novel, buku, seri ensiklopedi, Jorgensen & Phillips berikut. dan sebagainya), paragraf, kalimat, Wacana adalah “cara tertentu untuk atau kata yang membawa amanat membicarakan dan memahami dunia yang lengkap” (Kridalaksana, (atau satu aspek dunia) ini 1984:208). (Jorgensen & Phillips, 2002:1). Hal senada juga ditemukan dalam pandangan Samsuri berikut. Jika kata wacana dimaknai sebagai „ideoWacana ialah “rekaman kebahasaan logi dengan makna yang netral/tidak yang utuh tentang peristiwa komuni- memihak, atau pandangan dunia (worldkasi” (Samsuri, 1988:1). view)‟, maka ideologi dapat juga dimaknai Kridalaksana menekankan pada syarat dengan wacana dengan makna yang tidak “kelengkapan”. Ukuran panjang dan pen- netral, memihak, dan bermakna peyoratif. dek tidaklah menjadi masalah. Yang penting bahwa satuan lingual itu memiliki Tujuh Standar Tekstualitas syarat kelengkapan. Sementara itu, Kajian wacana termasuk ke dalam Samsuri menekankan syarat “keutuhan”. kajian bahasa dalam penggunaannya Yang penting, satuan lingual itu adalah (Blakemore, 1988:229). Ini berarti bahwa peristiwa komunikasi. kajian wacana tidak hanya berkenaan dengan kajian kepemilikan representasi kebahasaan, tetapi juga dengan kajian terhadap Wacana versus Ideologi Istilah wacana juga dioposisikan faktor-faktor nonkebahasaan yang menendengan “ideologi”. Ini banyak dilakukan tukan apakah sebuah pesan tertentu disam-
48, J-TEQIP, Tahun V, Nomor 1, Mei 2014
paikan melalui penggunaan bentuk lingual dan apakah pesan yang dibawa itu dapat diterima atau tidak dalam kegiatan komunikatif. Pesan yang disampaikan tidak melalui penggunaan bentuk lingual bukan menjadi urusan kajian wacana. Demikian juga, pesan yang tidak dapat diterima dalam kelaziman kegiatan komunikatif juga bukan menjadi kapling kajian wacana. Sebuah teks atau wacana selalu menjalankan fungsinya dalam interaksi antarmanusia. Sebagai sebuah peristiwa komunikatif, sebuah wacana haruslah memenuhi tujuh standar tekstualitas (de Beaugrande & Dressler, 1986:3), yakni (i) kohesi, (ii) koherensi, (iii) intensionalitas, (iv) keberterimaan, (v) informativitas, (vi) situasionalitas, dan (vii) intertekstualitas. Jika ketujuh standar tidak dipenuhi, sebuah teks tidak akan menjadi komunikatif. Teks yang tidak komunikatif diperlakukan sebagai non-texts. Bahkan, secara tegas de Beaugrande & Dressler (1986:11) mengemukakan bahwa ketujuh standar tekstualitas tersebut sebagai constitutive principles, yakni prinsip-prinsip yang bersifat integratif yang bersifat wajib dalam komunikasi tekstual. Komunikasi tekstual dibedakan dari komunikasi interpersonal. Yang pertama terkait dengan fungsi tekstual bahasa, yakni fungsi bahasa sebagai alat untuk mengkonstruksikan atau menyusun sebuah teks—di mana teks dimaknai dengan contoh bahasa lisan dan tulisan. Yang kedua terkait dengan fungsi interpersonal bahasa, yakni fungsi bahasa untuk mengungkapkan sikap penutur dan pengaruhnya pada sikap dan perilaku mitra tutur (lihat Leech, 1983:86). Ketujuh standar dipaparkan berikut. Standar I: Kohesi Kohesi adalah keserasian hubungan antara unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana sehingga tercipta
pengertian yang koheren (Alwiet al., 1993:481). Kohesi berkenaan dengan pelbagai cara di mana komponen-komponen teks lahir (surface text)—misalnya katakata aktual yang kita dengar atau lihat— saling berhubungan dalam sebuah urutan (de Beaugrande & Dressler, 1986:3). Pelbagai komponen lahir itu saling bergantung menurut bentuk dan konvensi gramatikal. Kalimat (1a) tidak kohesif, sebaliknya kalimat (1b) kohesif. (1a) * Anang Santoso dan anaknya segera berangkat karena ia harus masuk kelas pukul 7.00 pagi. (1b) Anang Santoso dan anaknya segera berangkat karena mereka harus masuk kelas pukul 7.00 pagi. Kalimat (1a) tidak kohesif karena ia tidak jelas acuannya: Anang Santoso atau anaknya. Kalimat (1a) itu tidak kohesif karena tidak ada perpautan bentuk. Kalimat (1b) kohesif karena mereka jelas acuannya, yakni Anang Santoso dan anaknya. Kalimat itu kohesif karena ada perpautan bentuk. Karena ada kohesi semacam itu, maka kalimat (1b) disebut koheren. Dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia dikemukakan beberapa sarana atau peranti untuk menciptakan kohesi, yakni (1) hubungan antarklausa, (2) pengulangan frasa atau kata, (3) ana-forakatafora, dan (4) koreferensi. Enam hubungan antarklausa untuk menciptakan kekohesian dipaparkan berikut. Pertama, hubungan sebab-akibat yang dinyatakan dengan memakai konjungsi sebab, karena, sebab itu, dan karena itu. Kedua, hubungan pertentangan yang dinyatakan dengan memakai konjungsi tetapi, melainkan, dan namun. Ketiga, hubungan pengutamaan yang dinyatakan dengan memakai konjungsi malahan dan bahkan.
Santoso, Teori dan Analisis Wacana untuk Guru Sekolah Dasar dan Menengah, 49
berwarna biru. Biru tua menjadi idam-idaman warna mobil pemuda sekarang. Modernisasi memang telah banyak mengubah keadaan dalam waktu singkat. Waktu ini manusia seakan-akan di persimpangan jalan. Jalan ke sorga atau ke neraka rupanya tidak dipedulikan lagi. Sorga dunia dituntutnya dengan itikad neraka yang penuh dengan kebobrokan. Standar II: Koherensi (dikutip dari Samsuri, 1988:46). Koherensi berkenaan dengan pelbagai cara di mana komponen-komponen Pada contoh (2) kumpulan tampak kekodunia tekstual (textual world)—misalnya hesian pada Mazda—mobil, warna bitu— susunan “konsep” dan “relasi” yang men- biru tua, sekarang—modernisasi, waktu dasari teks lahir—saling dapat diterima dan singkat—waktu ini, jalan—jalan, sorga— relevan (de Beaugrande &Dressler, sorga—neraka. Akan tetapi, apa yang kita 1986:4). Jika kohesi berkenaan dengan dapatkan adalah kekusutan pikiran semaperpautan bentuk, koherensi berkenaan ta-mata sehingga sukar menggambarkan dengan perpautan makna. Sebuah konsep contoh (2) menjadi sebuah wacana.Sedapat diuraikan ketika konfigurasi penge- baliknya, contoh (3) berikut tidak kohesif, tahuan yang diperoleh kurang lebih me- tetapi koheren. nyatu dan konsistensi dengan pikiran. Contoh (3): A :Dik, tolong itu teleponnya Relasi adalah hubungan antara konsep yang dijawab. muncul bersama-sama dalam dunia tekstual, B : Aduh, lagi tanggung, Mas. setiap hubungan akan melahirkan penandaan konsep yang berhubungan itu. Pada “awas, banyak anak kecil bermain”, “anak Jika ditinjau dari kata-katanya, tidak ada kecil” adalah konsep subjek, “bermain” perpautan antara A dan B. Akan tetapi, adalah konsep tindakan, “awas” adalah kedua kalimat itu adalah koheren karena konsep ancaman atau peringatan kepada maknanya berkaitan. Perkaitan itu disebaborang di luar anak kecil, untuk selanjutnya kan oleh adanya kata-kata yang tersembunyi yang tidak diucapkan. Kalimat B me-munculkan relasi “agentif”. Meskipun kohesi dan koherensi sebenarnya dapat berbunyi “Maaf Mas, umumnya berpautan, tidaklah berarti saya tidak dapat menjawab telepon itu bahwa kohesi harus ada agar wacana karena saya lagi tanggung, menggoreng menjadi koheren. Ada wacana yang tempe.” Keempat, hubungan perkecualian yang dinyatakan dengan memakai konjungsi kecuali. Kelima, hubungan konsesif yang dinyatakan dengan memakai konjungsi walaupun dan meskipun. Keenam, hubungan tujuan yang dinyatakan dengan memakai konjungsi agar dan supaya.
ditinjau dari segi teks lahirnya kohesi, tetapi tidak koheren. Demikian juga sebaliknya, ada wacana yang ditinjau dari segi teks lahirnya tidak kohesi, tetapi koheren. Contoh (2) berikut adalah kohesif, tetapi tidak koheren. Contoh (2): Dengan bantuan pemerintah pejabat itu membeli Mazda baru. Mobil itu
Standar III: Intensionalitas Intensionalitas (intentionality) atau kesengajaan berkenaan dengan sikap penghasil teks (text producer’s)dalam memandang bahwa teks yang dihasilkannya bersifat konstitutif (wajib) untuk mencapai teks yang kohesif dan koheren. Jika kohesi dan koherensi berpusat pada teks, intensi-
50, J-TEQIP, Tahun V, Nomor 1, Mei 2014
onalitas berpusat pada pengguna (user) (de Beaugrande & Dressler, 1986:7). Munculnya rumusan tesis atau tujuan secara eksplisit dalam karya ilmiah, misalnya, adalah wujud pemenuhan standar tekstualitas ketiga ini. Dengan demikian, ada kesengajaan penghasil teks dalam memenuhi tujuan itu. Misalnya, penghasil teks bertujuan untuk menyebarkan pengetahuan atau untuk mencapai tujuan tertentu sesuai dengan rencana. Standar IV: Keberterimaan Keberterimaan menurut de Beaugrande & Dressler (1986:7) berkenaan dengan sikap penikmat atau penerima teks (text receiver’s) dalam memandang bahwa teks yang dihasilkan oleh penghasil teks yang bersifat konstitutif yang semata-mata untuk mencapai teks yang kohesif dan koheren itu mempunyai kegunaan dan relevansi bagi penikmat. Standar keempat ini adalah kebalikan dari standar ketiga. Munculnya rumusan tesis atau tujuan secara eksplisit dalam karya ilmiah, misalnya, memudahkan penikmat atau penerima teks dalam menerima apa yang dihasilkan oleh penghasil teks. Dengan demikian, ada kemudahaan pada diri penerima untuk mengetahui tujuan yang ingin dicapai oleh penghasil teks. Standar V: Informativitas Menurut Beaugrande & Dressler (1986:8), informativitas berkenaan dengan tingkatan apakah peristiwa teks yang dihadirkan itu diharapkan atau tidak diharapkan, dikenal atau tidak dikenal. Contoh (4) berikut lebih dikenal daripada contoh (5). (4):Capres ABC, bersama kita bisa. (5):Capres DEF, jujur, adil, dan amanah.
Kedua wacana di atas memenuhi syarat kohesi dan koherensi. Akan tetapi, wacana pada (4) lebih mudah dikenal daripada (5), wacana pada (4) lebih mudah diingat daripada (5), wacana pada (4) lebih diharapkan daripada (5). Pada contoh (4) frasa “bersama kita bisa” lebih mudah dihafal, lebih mudah dikuasai tanpa proses berpikir yang berat. Sebaliknya, pada contoh (5) frasa “jujur, adil, dan amanah” relatif lebih sulit dihafal, lebih sulit dipahami karena memerlukan proses berpikir yang lebih berat. Dengan demikian, dengan menggunakan parameter standar kelima ini, wacana pada (4) lebih informatif daripada (5). Standar VI: Situasionalitas Situasionalitas berkenaan dengan faktor-faktor yang membuat sebuah teks itu relevan dengan situasi kejadian. Con-toh (6) berikut lebih sesuai dengan situasi daripada contoh (7). Contoh (6): Ngebut benjut. Contoh (7): Anda dilarang mengendarai kendaraan bermotor dengan kecepatan tinggi karena dapat membahayakan orang yang berjalan kaki atau anak kecil yang sedang bermain dan apabila Anda tetap ngebut, lalu menabrak orang atau anak kecil, warga sekitar akan marah dan akan memukuli Anda sampai babak belur alias benjut. Pada contoh (6), wacana yang dibangun dari dua kata yang sering dipasang di ganggang sempit itu harus menjadi per-hatian para pengendara kendaraan ber-motor. Para pengendara tentu paham bahwa dua kata itu adalah peringatan, atau bahkan ancaman. Dua kata itu bukan informasi biasa. Pada contoh (7) wacana yang dibangun tampak lebih banyak dan lebih lengkap daripada
Santoso, Teori dan Analisis Wacana untuk Guru Sekolah Dasar dan Menengah, 51
contoh (6). Wacana yang berupa peringatan atau ancaman itu terasa lebih jelas daripada contoh (6). Akan tetapi, terkait dengan penggunaan bahasa, contoh (6) lebih sesuai dengan situasi daripada (7) meskipun (7) itu lebih jelas dan rinci.
haruslah juga menguasai seperangkat norma percakapan. Pelanggaran etika dan norma komunikasi dapat mengakibatkan sesuatu yang tidak diinginkan. Kasus perseteruan antara Jaksa Agung RI dan sejumlah anggota DPR RI beberapa tahun yang lalu menurut saya adalah masalah pelang-garan etika dan norma konversasi Standar VII: Intertekstualitas Standar ini berkenaan dengan fak- itu. Masalah ini termasuk ke dalam bidang tor-faktor yang membuat pelaksanaan sa-tu pragmatik interpersonal. teks bergantung pada pengetahuan dari satu Banyak aturan yang harus dipatuhi atau lebih teks yang dijumpai sebelumnya. dalam percakapan, baik menyangkut as-pek Apa yang terdapat dalam artikel ini— kebahasaan sampai aspek sosial. Kita dapat misalnya mengutip pandangan pakar mengutip prinsip kerjasama dan prinsip sebelumnya—juga menjadi penanda inter- kesantunan. Kedua prinsip itu mengatur tekstualitas. Contoh (8) berikut dapat di- bagaimana orang berkomu-nikasi. lacak pada teks sebelumnya. Dalam ilmu pragmatik, prinsip kerContoh (8): jasama dari Grice (1975), misalnya, su-dah W: Bagaimana tanggapan Presiden Gus lama digunakan untuk menganalisis percaDur tentang menteri yang kinerjanya kapan. Meskipun sekarang sudah banyak tidak optimal? yang mempertanyakan keakuratan teori itu, GD: Gitu aja kok repot, saya sih dalam pandangan saya teori itu masih gampang aja.[...] relevan dalam konteks tertentu. Prinsip kerjasama Grice dapat diterje-mahkan Pada wacana (8) terdapat bahasa GD yang secara bebas sebagai berikut. amat terkenal, yakni “Gitu aja kok repot, “Berikan bantuanmu seperti dibutuhsaya sih gampang aja”. Gaya “menggamkan pada tingkat di mana hal itu pangkan suatu urusan” yang begitu poterjadi, sesuai dengan tujuan atau puler itu dapat dilacak pada wacana yang arah pertukaran pembicaraan tempat dihasilkan GD beberapa tahun sebe-lumnya, kamu terlibat di dalamnya.” yakni ketika GD menjadi Ketua Umum PB Dari prinsip kerjasama yang bersifat umum Nahdhatul Ulama. Perhatikan contoh (9) itu selanjutnya dijabarkan ke dalam subberikut. prinsip yang disebut maksim. Ada empat Contoh (9): maksim yang rumusannya se-cara lengkap W: Bagaimana tanggapan GD tentang dikemukakan berikut (Lihat Brown & hukum bunga bank. Halal atau haram? Yule, 1983:32). GD: Saya ikut yang halal saja. 1. Maksim kuantitas “Berikan bantuanmu seinformatif yang Pada contoh (9) gaya “menggampangkan dibutuhkan. Jangan memberikan bansuatu urusan” juga sudah mewarnai apa tuan lebih informatif daripada yang yang dikemukakan oleh GD. dibutuhkan”. 2. Maksim kualitas “Jangan mengatakan sesuatu apabila Prinsip Percakapan dan Kesantunan kamu yakin hal itu salah. Jangan berdalam Wacana Interpersonal Ada dimensi etika dan norma kata apabila kamu kekurangan bukti untuk bercakap-cakap. Pelaku percakapan yang cukup.”
52, J-TEQIP, Tahun V, Nomor 1, Mei 2014
3. Maksim hubungan “Berbicaralah yang relevan.” 4. Maksim cara “Sajikanlah dengan jelas” “Hindarilah ketidakjelasan pernyataan” “Hindarilah kedwiartian” “Singkatlah” “Teraturlah” Kepatuhan peserta percakapan terhadap prinsip dan maksim akan berujung pada terciptanya komunikasi yang efektif. Sebaliknya, pelanggaran terhadap prinsip dan maksim mengakibatkan terciptanya kesalahpahaman komunikasi, yang berarti tidak tercipta komunikasi yang efektif. Pertanyaannya adalah “apakah dalam komunikasi semata-mata hanya mengejar keefektifan dan efisiensi komunikasi?” Jawabnya adalah tidak. Terdapat tujuan lain yang juga menjadi bagian integral percakapan, yakni sopan santun percakapan. Dalam konteks ini, kita dapat memanfaatkan prinsip kesantunan dari Leech(1983:119). Terdapat enam mak-sim yang rumusannya dikemukakan berikut. 1. Maksim kebijaksanaan “Kurangi kerugian orang lain. Tambahi keuntungan orang lain.” 2. Maksim kedermawanan “Kurangi keuntungan diri sendiri. Tambahi pengorbanan diri sendiri.” 3. Maksim penghargaan “Kurangi cacian pada orang lain. Tambahi pujian pada orang lain.” 4. Maksim kesederhanaan “Kurangi pujian pada diri sendiri. Tambahi cacian pada diri sendiri.” 5. Maksim permufakatan “Kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain. Tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain” 6. Maksim simpati “Kurangi simpati antara diri sendiri dengan orang lain. Perbesar sim-
pati antara diri sendiri dengan orang lain.” Kepatuhan pelaku percakapan terhadap maksim kesantunan berujung pada hasil komunikasi yang santun, komunikasi yang dapat “meminyaki” relasi sosial, komunikasi yang membuat mitra kita terhormat dan tidak sakit hati, komu-nikasi yang dapat “menyelamatkan muka”. Sebaliknya, pelanggaran terhadap maksim kesantunan mengakibatkan terciptanya komunikasi yang tidak santun, komu-nikasi yang dapat meretakkan relasi sosial, komunikasi yang membuat mitra kita terhina dan sakit hati, komunikasi yang dapat “mengancam muka”. Bagaimana kita dapat memahami prinsip kerjasama dan kesantunan di atas? Jika wacana atau teks yang dianalisis mementingkan keefektifan komunikasi, prinsip kerjasama dapat digunakan sebagai pisau analisis. Teks karya ilmiah, misalnya, dapat dianalisis dengan menggunakan prinsip kerjasama. Misalnya, dalam karya ilmiah harus menggunakan prinsip kehematan (maksim kuantitas), prinsip kejujuran (maksim kualitas), prinsip relevansi (maksim hubungan), prinsip kejelasan, kelogisan penalaran, tunggal makna, dan sistematis (maksim cara). Sebaliknya, jika yang dianalisis mementingkan relasi sosial, prinsip kesan-tunan lebih tepat digunakan. Dialog dalam bertamu, misalnya, seharusnya dianalisis dengan prinsip kesantunan. Misalnya, dialog dengan tetangga sebaik-nya memaksimalkan pujian kepada orang lain (maksim kebijaksanaan), celalah diri sendiri (maksim kesederhanaan), dan sebagainya. Prinsip dan Maksim dalam Wacana Tekstual Jika bagian sebelumnya terkait dengan pragmatik interpersonal—yakni kaidah penggunaan bahasa terkait dengan hubungan antarpribadi—bagaimanakah
Santoso, Teori dan Analisis Wacana untuk Guru Sekolah Dasar dan Menengah, 53
prinsip dan maksim untuk pragmatik tekstual? Apa saja yang perlu dipertimbangkan ketika kita membuat karya ilmiah, misalnya, makalah, artikel, atau laporan penelitian? Ada baiknya kita manfaatkan paparan Leech (1983) seba-gai berikut, tentunya sesuai dengan penafsiran penulis. Pertama, prinsip prosesibilitas. Prinsip ini secara imperatif dapat dirumuskan “usahakan agar teks dapat diproses dalam batas waktu kemampuan manusia”. Tentu saja, kesempurnaan sebuah teks yang dibuat manusia adalah kesempurnaan dalam tanda petik. Prinsip prosebilitas dijabarkan ke dalam tiga maksim: (a) maksim fokus-akhir, (b) maksim bobotakhir, serta (c) maksim lingkup akhir. Maksim fokus-akhir memberikan arahan kepada kita agar menonjolkan bagian yang penting sesuai dengan fungsinya, yang memudahkan orang mendekode pesan menjadi satuan-satuan”. Maksim bobotakhir memberikan arahan kepada kita agar menempatkan mana yang superordinat dan mana yang subordinat, yang memudahkan orang menentukan peranan tiap-tiap satuan itu”. Maksim lingkup-akhir memberikan arahan kepada kita agar mengatur bagian mana yang lebih dahulu dan bagian mana yang kemudian, yang memudahkan orang mengurutkan satuan-satuan pesan itu”. Kedua, prinsip kejelasan. Prinsip ini secara imperatif dapat dirumuskan “usahakan agar teks itu jelas”. Prinsip ini dijabarkan menjadi dua maksim, yakni (a) maksim kejernihan, dan (b) maksum ketaksaan. Maksim kejernihan memerintah kita agar“mengusahakan suatu hubungan yang langsung dan jelas/jernih antara struktur fonologis dengan struktur semantik (antara pesan dan teks)”. Sementara itu, maksim ketaksaan mengarahkan kita agar menghindari ungkapan atau tuturan yang taksa atau mendua arti. Ketiga, prinsip ekonomi. Prinsip ketiga ini secara imperatif dapat diru-
muskan “usahakan agar teks itu singkat dan mudah dipahami”. Yang ditampilkan yang penting-penting saja dan tidak ber-tele-tele. Prinsip ini dijabarkan menjadi maksim reduksi yang mengarahkan ke-pada kita agar teks yang ditulis sebaiknya dipersingkat. Keempat, prinsip ekspresivitas. Prinsip ini secara imperatif dapat dirumuskan “usahakan agar teks itu ekspresif”. Secara lebih operasional prinsip ini dijabarkan menjadi maksim ikonisitas. Maksim ikonisitas mengajarkan kepada kita dengan rumusan sebagai berikut: “Bila perlu tirulah aspek-aspek pesan yang ekspresif dan estetis untuk memberi kejutan, membuat mitra tutur terkesan, atau membangkitkan minat mitra tutur”. Kepatuhan penyusun atau penghasil teks terhadap prinsip-prinsip dalam pragmatik tekstual membuat teks yang dihasilkannya akan mudah dipahami, tidak berbelit-belit, tidak mendua arti, membuat orang lain tertarik, dan tidak bertele-tele. Sebaliknya, pelanggaran ter-hadap prinsip dan maksim akan menghasilkan teks yang sulit dipahami, berbelit-belit, tidak langsung, mendua arti, tidak sistematis, tidak menarik perhatian penerima, tidak membuat mitra tutur terkesan, tidak membangkitkan minat mitra tutur. Pemanfaatkan kalimat-kalimat yang variatif, misalnya, adalah bagian dari strategi penulis untuk memberikan efek kejutan kepada pembacanya. Penutup Paparan di atas hanyalah sebagian kecil materi yang harus dipahami oleh guru bahasa Indonesia. Dengan memahami pelbagai pengertian dan konsep wacana di atas, seorang guru akan semakin kokoh dalam memberikan pema-haman kepada siswa-siswanya. Meskipun banyak materi terkait wacana yang tampak remeh-temeh, seorang guru sudah seharusnya memahami pelbagai konsep tentang wacana. Teks-teks
54, J-TEQIP, Tahun V, Nomor 1, Mei 2014
pengumuman, surat undangan, surat lamaran pekerjaan, dan teks buku harian yang tampak remeh-temeh sebanarnya menuntut DAFTAR RUJUKAN Alwi, H., Dardjowidjojo, D., Lapoliwa, H., & Moeliono, A.M. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi kedua. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Blakemore, Diane. 1988. The Organization of Discourse. Dalam Newmeyer, F.J. (Ed.), Linguistics The Cambridge Survey IV: Language The Sociocultural Context (hlm. 229—250). Melbourne: Cambridge University Press. Brown, Gillian & Yule, George. 1983. Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge University Press. Coulthard, Malcolm. 1977. An Introduction to Discourse Analysis. Harlow-Essex: Longman Group Limited. Crystal, David. 1991. A Dictionary of Linguistics and Phonetics. Third edition. Oxford: Basil Blackwell Ltd. de Beaugrande, R.A. & Dressler, W.U. 1986. Introduction to Text Linguistics. Third Edition. HarlowEssex: Longman Group Limited. Jorgensen, M. & Phillips, L. 2002. Discourse Analysis as Theory and Method. London: SAGE Publications. Kartomihardjo, Soeseno. 1993. Analisis Wacana dengan Penerapannya pada Beberapa Wacana. Dalam Kaswanti Purwo, Bambang (Ed.), PELLBA 6: Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atma Jaya Keenam (hlm. 21—58). Yogyakarta: PENERBIT KANISIUS. Kridalaksana, H. 1984. Kamus Linguistik. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
guru untuk memberikan penjelasan atas dasar pemahaman teori dan analisis wacana yang kokoh.
Mills, Sara. 1997. Discourse. London & New York: ROUTLEDGE. Samsuri. 1987/1988. Analisis Wacana. Malang: Penyelenggaraan Pendidikan Pascasarjana, Proyek Peningkatan/Pengembangan Perguruan Tinggi, IKIP Malang. Stubbs, Michael. 1983. Discourse Analysis: The Sociolinguistic Analysis of Natural Language. Chicago: The University of Chicago Press. Tarigan, H.G. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung: Penerbit ANGKASA. Wahab, A. & Lestari, L.A. 1999. Menulis Karya Ilmiah. Surabaya: Airlangga University Press.