Tembok Tebal, Pengusutan Pembunuhan Munir
Sebuah Analisis Kebijakan Tim Imparsial September 2006
BAB I ”TEST OF OUR HISTORY” ”..... sejauh pengadilan HAM tidak becus, maka itu merupakan kepanjangan tangan masa lalu” (Munir 1965-2004)
Proses pengungkapan kasus pembunuhan politik terhadap Munir berjalan kembali ke titik nol. Menjelang dua (2) tahun pasca pembunuhan politik terhadap Munir, 7 September 2004, belum terdapat titik terang yang menunjukkan motif dan para pelaku pembunuhan sebenarnya. Bahkan penyelidikan pasca berakhirnya masa kerja Tim Pencari Fakta (TPF) nyaris tidak memberikan perkembangan berarti bagi kasus tersebut. Pasca putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 20 Desember 2005 dengan nomor 1361/Pid/B/2005/PN.Jkt.Pst, yang memutuskan hukuman 14 tahun penjara bagi Pollycarpus Budihari Priyanto, pihak terdakwa mengajukan banding. Pada 27 Maret 2006, Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat memutuskan menerima banding yang diajukan Pollycarpus dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yakni tetap menghukum Pollycarpus dengan 14 tahun penjara. Penyelidikan kepolisian yang setengah hati dan terkesan menemui buntu, padahal banyak informasi yang dapat ditindak lanjuti, misalnya hubungan telpon antara Muchdi, BIN, dan Pollycarpus. Pergantian pimpinan penyelidik yang sudah dilakukan sebanyak tiga (3) kali, belum memberikan perkembangan. Malah semakin berjalan lamban bila dibandingkan dengan hasil temuan dari tim penyelidik kepolisian terdahulu. Semasa hidupnya, advokasi yang dilakukan oleh Munir memang tidak pernah lepas dari persinggungan dengan pihak militer. Sewaktu Munir menangani kasus pembunuhan terhadap Marsinah, ia tidak hanya diancam oleh aparat kodam setempat (Brawijaya) tapi juga diancam akan dihilangkan nyawanya lantaran melibatkan diri dalam urusan kematian buruh pabrik di Sidoarjo tersebut.1 Bahkan, di lain kesempatan, Munir berani menantang para pelaku pelanggar HAM –terutama dari pihak militer- secara terbuka, di mana dalam sebuah aksi bersama keluarga korban di
1
Forum Keadilan,” Mantan Pedagang Melawan Kekerasan”, No. 10 Tahun VII, 24 Agustus 1998.
1
Mahkamah Agung (19/08/2004), ia menyebut pelanggar HAM sebagai ”para pengecut yang bersembunyi di balik ketek (ketiak) kekuasaan2.” Persinggungan dengan pihak militer yang cukup lama ini ini, membuat Munir begitu mengenal kelebihan dan kekurangan mereka. Dengan begitu, berbagai aktivitas dan kemampuan Munir mendapat respon dari berbagai kalangan petinggi militer, baik respon positif maupun negatif. “………..Military officers felt concerned by Munir’s sharp and unrelenting criticism, precisely because they felt that he had unrivalled knowledge of their internal doctrine and procedures. Particularly in recent years, Munir had learned the military’s vocabulary and technical code language, making it easy for him to outplay senior officers in their own domain. Some military leaders admired him for his intellect, others didn’t”3 (........pihak militer sering merasa disudutkan oleh kritik Munir yang tajam dan gencar, terutama karena mereka merasa Munir memiliki pengetahuan yang tak tertandingi mengenai berbagai diskursus dan prosedur mereka. Terlebih lagi pada tahun-tahun terakhir ini, Munir telah menguasai kosakata dan bahasa kode teknis mereka sehingga membuatnya mudah mengalahkan perwira-perwira senior dalam bidang mereka sendiri. Sebagian petinggi militer mengaguminya karena intelektualitasnya, sebagian lain tidak.) Sebagai sebuah kasus pembunuhan politik, pembunuhan terhadap Munir tidak dapat dilihat sebagai sebuah pembunuhan yang dilakukan oleh aktor tunggal, melainkan banyak aktor yang terlibat, terutama dari lawan politik yang selama ini bersinggungan dengan apa yang Munir lakukan. Bahkan aktor negara juga dapat dianggap terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung, di mana dua institusinya –yakni perusahaan BUMN PT Garuda Indonesia dan Badan Intelijen Negara (BIN)- diduga terlibat dalam proses pembunuhan. Adanya temuan yang mengindikasikan keterlibatan aparat intelijen (BIN) dalam kasus pembunuhan Munir dengan ditemukannya hubungan telepon yang menghubungkan antara terdakwa dengan ruang Deputi V BIN seharusnya menjadi catatan untuk penelusuran lebih lanjut terkait keterlibatan aparat BIN dalam kasus tewasnya Munir. Terlebih lagi hasil keputusan Pengadilan mengatakan bahwa tewasnya Munir adalah bentuk kejahatan konspirasi, sehingga dalam kasus tersebut 2
Dokumentasi Imparsial, aksi keluarga korban Priok di Mahkamah Agung (19/08/2004). Marcus Mietzner, Munir (1965-2004), 2004. lihat http://www.serve.com/inside/edit81/p30_munobit.html. 3
2
terdakwa tidak sendirian tetapi masih ada pihak-pihak lainnya yang perlu diungkap keterlibatannya. Bahkan dalam keputusan tersebut hakim mengisyaratkan dan memandatkan polisi untuk menyelidiki mantan Deputi V BIN4. Keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di satu sisi telah memberi ruang dan langkah baru untuk proses penyelidikan terhadap pihak-pihak lain yang diduga terlibat dalam pembunuhan Munir. Namun di sisi lain hal itu tidak akan bisa diteruskan dan dilanjutkan secara efektif jika pemerintah SBY-Kalla hanya diam dan membiarkan buruknya kinerja tim kepolisian yang selama ini menangani kasus Munir. Potret Buruk Perlindungan Terhadap Pembela HAM Peristiwa pembunuhan politik terhadap Pembela HAM (Human Rights Defender) bukan merupakan kejadian yang pertama kali di Indonesia. Dalam Sejarah Indonesia pasca Orde Lama jatuh ke tangan Soeharto hingga saat ini, Pembunuhan terhadap seseorang atau kelompok tertentu yang berlawanan politik dengan pihak penguasa banyak terjadi di Indonesia. Seperti yang juga terjadi pada kasus pembunuhan Marsinah, Udin, Jafar Sidik dan lainnya. Berdasarkan monitoring Imparsial, tercatat 2 kali pembunuhan terhadap Pembela HAM pada 2003 dan 6 kali pada 2004.5 Kelompok kritis yang disebut sebagai Pembela HAM memang banyak mengkritisi aktifitas negara dan hubungannya dengan kaum industrialis yang juga ikut menentukan keberlangsungan berjalannya negara. Para pembela HAM tersebut dapat dikatakan sebagai kelompok kritis ini karena posisi mereka yang menjadi lawan politik bagi negara dan industrialis yang dikatakan sebagai kelompok establishment. Pada umumnya, pembunuhan politik menjadi sebuah modus untuk mempertahankan kekuasaan bagi kelompok establishment. Mereka dapat membungkam kelompok kritis yang menjadi lawan politik dengan berbagai cara dan biasanya dengan alasan stabilitas nasional. Tujuan dari pembunuhan politik ini adalah untuk menghentikan aktifitas yang dilakukan oleh kelompok kritis. Pembunuhan politik ini dapat dilakukan secara massive (suatu kelompok tertentu) atau perorangan 4
Putusan Perkara Pidana No: 1361/PID.B/2005/PN.JKT.PST atas nama terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto, 20 Desember 2005. 5 Imparsial, Perlindungan Terhadap Human Rights Defender (Hambatan dan Ancaman dalam Peraturan Perundang-undangan), November 2005.
3
yang dianggap sebagai icon dari kelompok kritis. Namun efek dari pembunuhan politik tersebut melahirkan ketakutan (culture of fear)6 bagi masyarakat luas. Bagi pelaku pelaksana (eksekutor), pembunuhan ini bertujuan untuk menghentikan aktifitas pembela HAM dalam mendorong supremasi sipil. Belum berjalannya tanggung jawab negara dalam mengungkap berbagai kasus pembunuhan terhadap Munir dan HRD lainnya menunjukkan ketidakmauan (unwillingness) dalam menegakkan hukum dan melindungi warga negaranya. Dalam kondisi ini, negara menjadi kepanjangan tangan dari kejahatan kemanusiaan itu sendiri. *** Tulisan ini mencoba meninjau lebih jauh dari sepak terjang advokasi Munir -terutama sejak Imparsial berdiri pada 2002-- semasa ia mulai masuk dalam perlawanan terhadap kemapanan di tingkat nasional, maupun internasional. Demikian juga dengan tanggapan dari kelompok yang berlawanan dengan Munir. Patut dipahami, pembunuhan politik seperti pada Munir bukanlah merupakan yang pertama di Indonesia. Dan tindakan pembunuhan ini juga tidak lepas dengan sepak terjang Munir selama hidupnya. Sedangkan dalam konteks motif dari pembunuhan Munir, buku berjudul Bunuh Munir! : Sebuah Buku Putih (KontraS, 2006), dapat dijadikan sebagai landasan bagi para pembaca. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa kasus ini merupakan test of our history.7 Adalah ujian berat bagi negara kita di mana pemerintahnya harus membuktikan tanggungjawabnya sebagai pelindung keamanan warganegaranya, atau malah sebaliknya? Figur Munir yang merupakan wakil Human Rights Defender Indonesia, bahkan sudah dikenal oleh internasional, dapat dengan mudah dan secara gamblang dibunuh oleh bangsanya sendiri, di dalam teritorinya sendiri, di dalam maskapai penerbangan nasional kebanggaan Indonesia. Selain memberikan teror terhadap HRD secara khusus dan masyarakat sipil secara umum, pembunuhan ini juga memberikan ancaman terhadap demokrasi di Indonesia, di mana 6
Sumber http://www.elsam.or.id/more.php?id=51_0_4_0_M. Di Chili, beberapa pekan setelah KKR mengumumkan hasil kerjanya, setidaknya terjadi tiga pembunuhan politik. Di antaranya terhadap seorang senator terkemuka. Pembunuhan politik tersebut melahirkan ketakutan masyarakat luas (culture of fear). Targetnya, masyarakat berhenti membicarakan proses dan hasil kerja KKR. Agaknya, dalam kadar yang berbeda, risiko ini terjadi di mana-mana, tak terkecuali di Indonesia. 7 Diucapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat bertemu dengan Tim Pencari Fakta pada tahun 2005. Hal ini diberitakan pada Warta Berita - Radio Nederland, 20 Desember 2005.
4
Negara dalam realitasnya tidak dapat melindungi ikon dan model kebebasan berpendapat. Untuk itulah, laporan tim Imparsial ini tidak saja melihat pada proses peradilan Pollycarpus, yang sejak awal diragukan keberhasilannya dalam mengungkap dalang pembunuhan Munir, namun melihat lebih jauh dari sikap dan kebijakan negara dalam perlindungan Pembela HAM secara khusus, dan pengakuan pada proses interaksi antara kelompok kritis dan mapan.
5
BAB II Aktifitas Munir dalam Mempengaruhi Kebijakan Negara
Munir adalah sosok yang menjadi salah satu icon dalam gerakan perjuangan Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi di Indonesia. Sebagian besar masa hidupnya didedikasikan untuk mendorog terwujudnya sebuah tatanan yang menghormati dan melindungi kemanusiaan serta mendorong tegaknya keadilan. Tidaklah heran jika Munir kerap bersuara kritis terhadap berbagai kebijakan negara yang dianggap menyimpang dan melakukan advokasi terhadap masyarakat yang menjadi korban kekerasan negara, serta menyuarakan berbagai issu demokrasi dan HAM lainnya. Kontribusi Munir terhadap kemajuan HAM dan demokrasi di Indonesia sangatlah besar. Hal itu terlihat dari rekam jejak Munir yang terus berupaya membongkar berbagai kasus pelanggaran HAM, serta mendorong pelaksanaan kebijakan yang menghormati HAM. Salah satu kontribusi besar yang akan selalu dicatat dan diingat dalam sejarah perjuangan HAM di Indonesia, adalah usaha Munir yang berhasil membongkar kasus penculikan aktivis pada 1998 yang dilakukan oleh Kopassus. Terbongkarnya kasus tersebut mengakibatkan sejumlah perwira TNI dipecat dan dicopot dari jabatannya. Selain kasus penculikan, masih banyak kontribusi lainnya yang diberikan 1
Munir bagi kemajuan demokratisasi dan HAM. Sejak mendirikan Imparsial bersama dengan aktivis NGO lainnya, Munir mulai fokus mengoreksi kebijakan Negara melalui media massa, maupun dalam forum dialog antar masyarakat sipil juga dengan aktor negara, termasuk dengan petinggi lembaga keamanan di Indonesia. Namun demikian, sangatlah sulit mengurai secara detail aktivitas Munir sepanjang masa hidupnya dalam catatan pendek pada bab ini. Sehingga catatan mengenai aktivitas Munir ini hanya akan membatasi pada uraian mengenai aktivitasnya dalam upaya mempengaruhi proses, dengan kerap mengkritik keras, pembuatan kebijakan negara yang strategis sepanjang 2002-2004. Catatan ini akan 1
Mengenai aktivitas yang dilakukan oleh Munir dalam upaya membongkar berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia, mulai dari kasus pelanggaran di Tanjung Priok (1984), Timor-Timor (1999), Talangsari (1989), penculikan aktivis (1998), Trisakti-Semanggi (1998), dan lain-lain, dapat dilihat pada buku, Membunuh Munir, Sebuah Buku Putih (bagian I tentang Reka Duga Pembunuhan Munir), yang diterbitkan oleh KONTRAS pada awal 2006.
6
memperlihatkan posisi dan sikap Munir sebagai seorang demokrat dan pembela HAM. A. Bantuan International Military Education and Training (IMET): Quo Vadis Profesionalitas TNI? Sinyal membaiknya hubungan militer Indonesia-AS bisa ditelusuri ketika pada Agustus 2002, saat Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Collin Powell berkunjung ke Indonesia dan menjanjikan bahwa Pemerintah Amerika Serikat (AS) akan memberikan paket bantuan kerja sama militer sebesar 50 juta dollar AS lebih kepada Indonesia. Kemudian, pada pertengahan Agustus 2002 gantian Komandan Armada AS di Kawasan Pasifik Laksamana Thomas B Fargo berkunjung ke Jakarta untuk mendiskusikan lebih lanjut paket bantuan tersebut. Salah satu paket bantuan kerjasama militer AS-Indonesia meliputi Internasional Military Education Training (IMET) yang telah direstui oleh Senat Amerika Serikat. Informasi ini diawali ketika Assisten Secretary of State for East Asia and Pasific, Matthew Daley menyampaikan kabar itu saat bertemu dengan Menkopolkam Susilo Bambang Yudhoyono, Februari 2003. Namun belum dijelaskan waktu target realisasi kerja samanya2. Selain soal war on terrorism , pemerintahan Bush juga percaya, engagement (penjalin-hubungan) penting untuk membantu usaha reformasi militer Indonesia. Reaksi yang cukup mengejutkan berasal dari Kongres Amerika Serikat (AS). Pada hari Rabu, 29 Oktober 2003, Kongres telah menyutujui dua amendemen Undang-undang yang dirancang Senator Russel Feingold dan Senator Wayne Allard, yang menyatakan dana program IMET tidak boleh dikeluarkan sebelum adanya investigasi kasus Timika dan pelaku penembakan dibawa ke pengadilan. Kedua amendemen tersebut berlaku hingga 30 September 2004.3 Namun, keesokan harinya, Matthew Daley, Wakil Asisten Sekretaris Negara AS Utusan Asia-Pasifik, kembali mengatakan pemerintahan Bush tetap mengharapkan pelanjutan kembali partisipasi Indonesia dalam program pelatihan militer di Amerika atau IMET. Menurutnya, IMET adalah proposal berjangka panjang dan merupakan kesempatan untuk meningkatkan posisi negosiasi pemerintah Bush dalam penyelesaian masalah yang berjangka pendek. Pernyataan tersebut disampaikan 2
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2003/02/18/brk,20030218-01,id.html, “Kerjasama Militer Indonesia-AS Kembali Dijalin”, 18 Pebruari 2003. 3 http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2003/10/29/brk,20031029-42,id.html, “Amerika Tidak Akan Berikan Bantuan Militer ke Indonesia”, 29 Oktober 2003.
7
Daley saat forum terbuka yang diadakan oleh US-Indonesia Society, sebuah LSM di Washington DC.4 Sebelumnya, pada Mei 2003, Kongres AS juga memutuskan untuk tidak mengeluarkan dana untuk program ini, sebesar US $ 400,000, sebelum selesainya investigasi kasus Timika. Hal yang sama juga dilakukan oleh Joel Hefley, anggota Kongres dari Partai Republik asal negara bagian Colorado, pada Juni 2003. Melalui amandemen yang diajukannya, DPR AS menyetujui pemblokan dana IMET untuk Indonesia dengan nilai lebih besar, US $ 600,000, yang dicantumkan di Foreign Operations Appropriations Bill (UU Apropriasi Operasi Luar Negeri) untuk anggaran belanja 2004. Sebulan kemudian, tepatnya 15 Juli 2003, anggota Kongres The US House of Representatives (DPR AS), menyetujui penahanan dana bantuan International Military Education Training (IMET) untuk Indonesia sebesar 400.000 dollar AS di State Authorization Bill (UU Otorisasi Departemen Luar Negeri) tahun anggaran 2004. Namun, penahanan itu hanya menyangkut bantuan IMET. Sedangkan bentuk bantuan dan kerja sama lain, yaitu dalam bentuk latihan counter-terrorism dan juga kunjungan perwira, masih diperbolehkan.5 Sementara di Indonesia sendiri, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto mengatakan bahwa Indonesia tidak akan keberatan jika bantuan militer Amerika kepada Indonesia dihentikan. Pernyataan itu ia tegaskan menjawab permintaan DPR AS kepada pemerintahnya untuk menghentikan bantuan jika Indonesia tidak mengungkapkan kasus Timika secara transparan. Endriartono mengatakan, justru selama ini Indonesia tidak menerima bantuan militer dari AS.6 Di lain pihak, rencana pemberikan bantuan dalam bentuk kerjasama militer tersebut menimbulkan keresahan di kalangan beberapa aktivis gerakan masyarakat sipil dan hak asasi manusia (HAM) di Tanah Air, khususnya Munir. Keresahan kalangan aktivis bukannya tanpa alasan. Pembekuan bantuan militer AS di Indonesia selama ini tidak ubahnya sebuah dukungan moral bagi para pejuang HAM di Tanah Air. Bantuan kerja sama militer itu bukan hanya 4
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2003/10/30/brk,20031030-25,id.html, “Pemerintah AS akan Memperjuangkan IMET untuk Indonesia, 30 Oktober 2003. 5 Amandemen yang disetujui anggota Kongres AS ini kembali diajukan oleh Joel Hefley. Lihat Bara Hasibuan, ”Lagi-lagi Soal IMET”, Kompas, 04 Agustus 2003. 6 http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2003/07/18/brk,20030718-22,id.html, “TNI Tak Keberatan Bantuan Militer AS Dihentikan”, 18 Juli 2003.
8
dikhawatirkan akan menyebabkan terulangnya bentuk-bentuk pelanggaran HAM oleh aparat militer dan kepolisian di masa lalu, tetapi sekaligus menjadi legitimasi bahwa pelanggaran HAM yang pernah terjadi tidak perlu dipersoalkan lagi. Pengalaman menunjukkan, sejak peristiwa Santa Cruz 1991, hubungan ASIndonesia melalui IMET mengalami pasang surut. Bahkan seluruh bantuan pendidikan militer ke Indonesia di bawah IMET dibekukan. Namun, pada 1995 sejumlah dana untuk pelatihan dicairkan kembali di bawah program Extended-IMET. Akan tetapi, seperti ditulis dalam laporan Lora Lompe pada organisasi nonpemerintah internasional East Timor Action Network (ETAN) pada 1998, selama 1990-an Pentagon mengabaikan ketentuan Kongres, memberikan pelatihan perang gerilya kota, pengamatan, keahlian penembak jitu (sniper), dan operasi psikologis melalui program pelatihan militer bersama, Joint Combined Exchange Training (JCET) kepada pasukan khusus Indonesia. Program ini kemudian dibekukan atas inisiatif anggota Kongres, Lane Evans.7 Peristiwa yang menjadi sorotan pihak Senat AS adalah kasus Timika, yakni peristiwa penembakan terhadap dua warga AS, 31 Agustus 2002, yang tewas ditembak sekelompok orang bersenjata. Dua rombongan mobil yang mereka tumpangi dalam sebuah perjalanan ke Tembagapura ditembaki, sehingga beberapa orang lainnya mengalami luka-luka. Yang membuat masalah menjadi lebih ruwet adalah sejak tak ada investigasi serius yang dilakukan pemerintah Indonesia. Karena hasil tim investigasi TNI/Polri ”terkesan” tidak memuaskan, maka Federal Bureau of Investigation (FBI) akhirnya menurunkan tim investigasi independen untuk menyelidiki kasus itu. Namun kedatangan tim FBI yang telah dua kali ke Indonesia untuk mengusut kasus tersebut tidak diberi akses terhadap buktibukti maupun saksi sehingga harus kembali ke Washington dengan tangan kosong. Bahkan janji pemerintah Indonesia untuk memberikan kerjasama penuh saat kedatangan mereka kali kedua, tidak juga ditepati. Tenggang waktu berbulan-bulan terlanjur membentuk persepsi di Washington, bahwa Indonesia tidak punya komitmen untuk membongkar kasus ini dan menyeret semua yang bertanggung jawab ke pengadilan sehingga menimbulkan kecurigaan, ada yang ditutup-tutupi pemerintah Indonesia. Penjelasan awal beberapa petinggi TNI bahwa pelaku pembunuhan adalah
7
Kompas, “Bantuan Militer AS: Untuk Apa?”, 15 Agustus 2002, hal. 8.
9
kelompok Organisasi Papua Merdeka menjadi tidak kredibel karena tidak didukung investigasi menyeluruh yang mendukung tuduhan itu.8 Faktor lain yang menambah kecurigaan adalah fakta bahwa dulu sudah pernah ada investigasi yang dilakukan Polda Papua (Kapolda I Made Pastika). Pasalnya, hasil awal investigasi sudah terlanjur diumumkan ke publik di mana disebutkan ada kemungkinan besar keterlibatan elemen TNI di balik peristiwa Timika itu. Ternyata kesimpulan awal Polda Papua itu konsisten dengan laporan intelijen mengenai kasus Timika yang diterima Kongres AS. Pelatihan dan kerja sama militer yang ditawarkan AS sering mendapatkan kritikan pedas, karena kekuatan militer asing yang dilatih justru digunakan oleh rezim di negara bersangkutan untuk melakukan represi terhadap gerakan-gerakan demokrasi yang mendukung perubahan secara damai. Keprihatinan terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan mitramiliter AS mendorong Kongres menambahkan satu tujuan dalam program IMET, yakni meningkatkan kesadaran dan pemahaman persoalan HAM. Akan tetapi, pelanggaran-pelanggaran HAM di negara-negara tersebut masih terus terjadi. Pendidikan, pelatihan, dan kerja sama militer dengan AS di satu pihak membantu peningkatan profesionalisme militer dan kepolisian di negara-negara lain, termasuk menyebarkan ide-ide demokrasi dan HAM di kalangan mereka. Kenyataan yang terjadi sering justru sebaliknya. Baik di Indonesia, Kolumbia, maupun negaranegara lain di Afrika dan Asia, kekuatan-kekuatan yang telah dilatih dan dipersenjatai untuk melawan aksi-aksi pemberontakan justru menyebabkan kematian dan penderitaan bagi masyarakat sipil. Menurut rilis Deplu AS tertanggal 2 Agustus 2002, Indonesia dan Jakarta khususnya, mengalami penderitaan akibat sejumlah teror bom. Karenanya, budget yang didistribusikan untuk beasiswa kontraterorisme regional sebesar empat juta dollar AS pada 2002-2003 dan untuk pelatihan dan pendidikan militer sebesar 400.000 dollar pada 2002. Dalam versi aparat kepolisian dan militer Indonesia, teror bom itu dilakukan oleh orang-orang Aceh yang terkait dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Menurut Munir, memang ada target politik domestik Pemerintah Indonesia untuk menyusupkan masalah Aceh dalam agenda perang melawan terorisme dan konflik
8
Bara Hasibuan, ”Lagi-lagi Soal IMET”, Kompas, 04 Agustus 2003, hal. 49.
10
Aceh coba diinternasionalisasi dengan menyebut GAM sebagai teroris. Melawan GAM berarti melawan terorisme, sehingga kontrol terhadap masalah HAM tidak penting lagi.9 Mengamati perubahan kebijakan luar negeri Pemerintah AS tersebut, Munir berpendapat bahwa bagi TNI dan Polri, bantuan ini akan memberikan legitimasi politik bahwa mereka telah diterima kembali, tidak terus-menerus diembargo, dan di kalangan luar reformasi TNI/Polri yang begitu lambat tidak dipersoalkan. Apalagi paska 11/9 bantuan ini juga diperuntukkan bagi polisi Indonesia. Namun di sisi lain Munir menyatakan keraguannya, sejauh mana pelatihanpelatihan dan bantuan kepada TNI/Polri untuk memerangi terorisme bisa dikontrol dan tidak ada jaminan akan pindah sasaran ke tempat lain. Apalagi dalam sistem anggaran militer di Indonesia, hanya 25 persen di antaranya yang dibiayai melalui anggaran negara sedangkan 75 persen lainnya dibiayai melalui bisnis legal maupun ilegal yang dilakukan militer. Peluang untuk dialihkan dan imbas ke tempat lain selalu bisa terjadi. Bantuan ini kurang mempertimbangkan kapasitas masyarakat sipil di Indonesia untuk mengontrol militer. Akibatnya, akan mempermudah otoritas militer menyelesaikan konflik dengan cara-cara yang membahayakan HAM.10 B. Korvet Belanda dan KAL-35 untuk Pemda: Ancaman bagi Kontrol Sipil terhadap Militer Sejak menakhodai Angkatan Laut pada April 2002, kebijakan KSAL Laksamana Bernard Kent Sondakh kerap menuai kontroversi. Ada dua hal yang cukup menonjol pada periode 2003 khususnya yang berkaitan dengan pengadaan kapal AL. Pertama, saat AL berencana membeli empat korvet Belanda pada Februari 2003 silam. Saat itu, rencana Kent Sondakh mendapat tanggapan yang cukup serius dari Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti yang menyarankan agar KSAL meninjau kembali rencana tersebut. Dengan lugas KSAL menukas, ”Kalau Menko Perekonomian minta itu ditinjau, ya, dia yang tinjau”11. Namun hingga akhir tahun 2003, pemerintah melalui Departemen Keuangan belum memastikan dana pembelian empat korvet dari Belanda tersebut. Padahal rencana penandatanganan kontrak pertama akan dimulai akhir Desember 2003.
9
Kompas, “Bantuan Militer AS: Untuk Apa?”, 15 Agustus 2002, hal. 8. Ibid. 11 Majalah Tempo, “Korvet Jalan Terus”, edisi 1 Februari 2004, hal. 19. 10
11
Program pembelian empat korvet produksi Belanda tersebut sangat mengundang perhatian publik, khususnya terkait dengan harga beli tiap-tiap unit kapal. Bila melihat kasus pembelian pesawat Sukhoi, masalah yang muncul menyangkut mekanisme pembeliannya yang ”tidak biasa” karena memakai pola imbal dagang. Pihak legislatif sampai membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk menyelidiki pembelian pesawat tempur asal Rusia tersebut. Dalam kasus korvet, sikap anggota Dewan sepertinya kurang berminat meminta keterangan pemerintah --baik menyangkut harga, mekanisme, maupun skema pembeliannya. Ditambah lagi dengan rencana pemerintah dan Mabes TNI, yang hendak menyinergikan pembelian kapal perang tersebut dengan program korvet nasional yang akan dimulai dengan memproduksi dua dari empat korvet Belanda di PT PAL Surabaya.12 Di Belanda sendiri, reaksi keras terhadap rencana pembelian korvet justru datang dari komunitas Parlemen Belanda. Paling tidak ada tiga hal yang menjadi sorotan mereka. Pertama, menyangkut harga kapal yang totalnya sempat disebutsebut mencapai 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 8,5 triliun (nilai ini akhirnya diklarifikasi KSAL dengan menyebut harga hasil negosiasi, yakni 167 juta dollar AS atau Rp 1,4 triliun per unit kapal). Kedua, menyangkut dugaan adanya praktek KKN dalam proses pembelian kapal yang membuat harga melambung. Ketiga, terkait dengan kekhawatiran beberapa anggota Parlemen Belanda terhadap pemanfaatan korvet-korvet ini jika kelak sudah menjadi milik TNI AL.13 Kontroversi kebijakan Laksamana Bernard Kent Sondakh lainnya yang cukup memicu perdebatan di Indonesia, lahir dari imbauan dan ide awal Kent Sondakh melalui keputusannya mengajak para gubernur se-Indonesia pada 1 Oktober 2002 untuk turut terlibat dalam pengadaan kapal-kapal patroli KAL-35 seraya mengutip Undang-undang Pemerintah Daerah No. 22/1999. Melalui ”surat sakti” tersebut 12
Saat HUT TNI 10 Oktober 2003, Edwin H. Suryohadiprojo, Dirut PT PAL Indonesia, mempresentasikan pembuatan kapal korvet nasional dimana badannya dibuat oleh PT PAL Indoanesia, elektroniknya dibuat oleh PT Lion, sedangkan persenjataannya dibuat oleh PT Pindad. Lihat http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2003/11/05/brk,20031105-56,id.html, ”TNI Pesan Enam Kapal Korvet”, 05 November 2003. Sementara Bank Syari’ah Mandiri (BSM) berniat mengucurkan pembiayaan kepada PT PAL Indonesia dengan menggunakan skema project financing. Lihat Kompas, ”BSM Membiayai Pembuatan Kapal Perang”, 26 Maret 2004. 13 Akhir November 2003, berbagai media massa di Belanda gencar memberitakan rencana pembelian korvet tersebut, dari soal harga korvet hingga penggunaannya di Indonesia dan Krista van Velzen, salah satu politisi yang mengkhawatirkan korvet Belanda itu akan digunakan untuk membombardir daerah konflik Aceh. Lihat Majalah Tempo, ”Saling Silang Kapal Perang”, edisi 14 Desember 2003. hal. 38.
12
Laksama Kent ”mengimbau” para gubernur agar ikut berpartisipasi dalam mengamankan wilayah laut di daerah masing-masing. Caranya: mereka diminta ”arisan” untuk membelinya.14 Seolah gayung bersambut, sejak diresmikan Presiden Megawati, pada pertengahan 2003 beberapa Pemerintah Daerah di Indonesia berencana untuk memiliki Kapal Patroli KAL-35 yang nantinya akan dipergunakan untuk TNI AL. Hal ini diakui Panglima Komando Armada RI Kawasan Barat, Laksda Mualimin Santoso, yang menyatakan,”Memang Bapak KSAL menghimbau daerah untuk membeli kapal patroli, dan ide itu disambut baik daerah”15. Di beberapa daerah himbauan pembelian kapal tersebut juga dituangkan dalam bentuk surat keputusan, seperti di Banten, melalui SK No. B/468/X/2002 tertanggal 1 Oktober 2002, KSAL meminta agar propinsi yang mempunyai wilayah perairan diminta bekerjasama dengan TNI AL untuk menyediakan dana pembelian kapal.16 Tawaran KSAL terhadap Pemda, ternyata disambut baik oleh para pimpinan daerah setempat dan berlanjut pada terbentuknya beberapa kesepakatan antara Pemda dan TNI AL. Berawal dari Pemda Riau yang diwakili oleh Gubernur Riau, Saleh Djasit dan TNI AL yang diwakili Panglima Komando Armada RI Kawasan Barat, Laksda Mualimin Santoso, penandatanganan Memory of Understanding (MoU) untuk memiliki Kapal Patroli KAL 35 telah menjadi kesepakatan yang mengikat secara hukum. Keinginan Propinsi Riau dalam membeli Kapal tersebut didasarkan atas dua alasan. Pertama, adalah adanya potensi ancaman yang timbul di daerah wilayah laut daerah mereka masing-masing, sehingga dibutuhkan kapal patroli baru yang dapat mengawasi wilayah mereka untuk digunakan TNI AL. Kedua, adalah didasarkan atas adanya celah hukum di dalam UU No. 22/1999 yang menyatakan bahwa “kewenangan daerah di wilayah laut juga meliputi bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara (Pasal 10 ayat 2 jo Pasal 3 UU No. 22/1999). Dengan dua alasan tersebut, beberapa daerah lainnya, seperti Banten, Kutai Kertanegara, Bangka Belitung, Maluku dan Papua juga berniat akan membiayai pengadaaan kapal KAL 35 untuk digunakan TNI AL. Mereka memiliki argumentasi yang sama, bahwa demi menjaga keamanan laut di wilayah daerah masing-masing, pembelian perangkat 14
Majalah Tempo, “Kelak-kelok Si Tedung”, edisi 16 Mei 2004, hal. 68 Media Indonesia, “Kapal Itu Nantinya Jadi Milik AL”, 7 September 2003. 16 Kompas Selasa, “DPRD Banten Anggarkan Rp 13 Miliar untuk Pengadaan Kapal Patroli TNI AL, 17 Februari 2004, hal. 20. 15
13
keamanan, seperti kapal patroli, nampaknya menjadi hal yang patut diprioritaskan. Sehingga penggunaan anggaran daerah untuk membiayai pembelian kapal untuk TNI AL dianggap sebagai tindakan yang sudah selayaknya.
14
Motivasi Daerah Membeli Kapal Patroli KAL-3524 No
Daerah
Alasan Pembelian Kapal
Pejabat yang Menyatakan
1
Propinsi Riau
Asparaini Rasyad (Asisten Gubernur Bidang Pemerintahan)
Sudah membuat MoU
Kompas, 30 Agustus 2003
12 Milyar
2
Propinsi Bangka Belitung
Emron Pangkapi (Ketua DPRD Bangka Belitung)
Masih dalam tahap perencanaan
Suara Karya, Kamis, 19 Februari 2004. (www.suarak aryaonline.com/n ews.html?id= 64134)
12 Milyar
3
Propinsi Banten
Dharmono K. Lawi (Ketua DPRD Propinsi Banten)
Masih dalam tahap perencanaan -
Kompas, 17 Februari 2004
13 Milyar
4
Propinsi Papua
JP Solossa (Gubernur Propinsi Papua)
80 miliar
Propinsi Maluku
Karel Albert (Gubernur Maluku)
Masih dirapatkan dengan DPRD Masih dalam tahap perencanaan
Papuanews.c om/www.pap uanews.com
5
1. Mengamankan wilayah laut terkait untuk menjaga sumber daya alam (SDA) dari segala macam pencurian seperti nelayan asing yang banyak melakukan pencurian ikan. 1. Menjaga potensi sumber daya alam (SDA) yang dimiliki oleh propinsi Bangka. Selain itu 2. Turunnya surat himbauan dari Menteri pertahanann dan KSAL pada Februari 2002 yang diperkuat dengan langkah nyata AL yang membawa model kapal 35 kesungai Siak, kemudian memberikan buku lengkap dan merekomendasikan pembuatannya di antara tiga galangan pembuatan kapal, Tanjung Pinang, Surabaya dan Batam 1. Mengamankan wilayah atau kawasan pantai dan kepulauan, sebab keberadaan polisi laut yang kekuatannya cuma 1 peleton tidak cukup memadai untuk mengawasi kawasan pantai dan kepulauan. Apalagi terkait dengan pemenangan sengketa batas wilayah terkait upaya memasukan sebagian besar pulau seribu ke propinsi Banten 2. Secara geografis langsung berhadapan dengan perairan laut internasional yang dilewati oleh kapal-kapal asing, sehingga rawan yang butuh pengamanan. 1. Untuk mengamankan perairan Propinsi Papua yang rawan terjadinya penyelundupan kayu maupun pencurian ikan 1. Untuk mengatasi pencurian kekayaan alam Maluku oleh orangorang asing.
-
6
Kabupat en Kutai Kertaneg ara
Membantu lancarnya pertahanan dan terselenggaranya pemerintahan yang kuat, dapat menangkal semua hambatan dan rintangan dari luar, dll
Syaukani (Bupati Kutai kertanegara)
Masih dalam tahap perencanaan
Republika, 19 September 2003. (www.malra. org/posko/ma lra.php4?id= 21216897) Wl, 30 September 2003
24
Status
Tanggal/ Sumber
Imparsial, Analisa Kritis Kebijakan Pertahanan, Volume 1, Maret 2004, hal. 2.
15
Jumlah Anggaran
-
Rencana pembelian kapal oleh beberapa daerah sebelumnya juga telah didukung oleh Departemen Pertahanan. Untuk Propinsi Banten imbauan pembelian Kapal Patroli tersebut dituangkan melalui surat Menteri Pertahanan No. B/64/M/I/2003, tanggal 1 Januari 200325. Nampaknya imbauan pembelian kapal melalui surat tersebut tidak hanya digunakan untuk Propinsi Banten, tetapi juga untuk daerah lainnya yang memiliki perairan laut yang luas. Menjadi menarik kemudian ketika dukungan Departemen Pertahanan tersebut dibantah oleh Dirjen Strategi Pertahanan Dephan sendiri, yakni melalui pernyataan Mayjen Sudrajat, yang menyatakan bahwa pengadaan kapal perang seharga Rp 12,8 Milyar itu sebaiknya ditinjau ulang26. Mekanisme pembelian kapal oleh daerah yang bekerjasama dengan TNI AL telah menyalahi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan adanya dua sikap yang berbeda di dalam Departemen Pertahanan dalam persoalan pembelian Kapal, terkesan sikap Dephan terlihat mendua. Pada awalnya Dephan mendukung melalui Surat Menteri Pertahanan, tetapi kemudian dalam proses kelanjutannya Dephan malah menolak mekanisme pengadaan kapal oleh daerah tersebut. Namun demikian, sikap penolakan pembelian kapal tersebut mendapatkan tanggapan yang serius dari Laksamana Muda (Laksda) Mualimin Santoso, selaku pihak yang menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) pembelian kapal perang dengan Pemda Riau yang diwakili oleh Gubernur Riau, Saleh Djasit, 15 Juli 2003. Panglima Komando Armada RI Kawasan Barat (Armabar) ini menyatakan bahwa ia kecewa dengan pernyataan Dirjen Strahan, Mayjen Sudrajat yang meminta peninjauan ulang pembelian kapal. ”Harusnya dia ikut memikirkan kendala yang kami hadapi”, ujarnya27. Menurutnya kebijakan Pemerintah Propinsi Riau yang membantu pengadaan kapal perang jenis KAL 35 sangat tepat di tengah beratnya tugas TNI AL dan keterbatasan prasarana operasi. Sayangnya kemudian, di tengah kontroversi pengadaan kapal patroli tersebut, sikap otoritas sipil di pusat dalam hal ini Presiden dan DPR terkesan tidak peduli. Komentar dari anggota DPR ataupun Pemerintah dalam menanggapi dan bertindak dalam menyelesaikan kontroversi pengadaan kapal oleh Pemda tersebut sangat 25
Opcit. Kompas Sabtu, “ TNI AL Dukung Riau Beli Kapal Perang; Pemda Beli Alat Perang, Ide Berbahaya”, 30 Agustus 2003. 27 Ibid. 26
16
minim. Lebih disayangkan lagi sikap Dirjen Strahan yang meminta pengadaan Kapal oleh Pemda untuk ditinjau ulang berhenti di tengah jalan dan terkesan membiarkan. Perubahan sikap Mayjen Sudrajat ini terlihat ketika beberapa tanggapan dari perwira tinggi TNI AL, seperti KSAL dan Panglima Armada Barat, mengecam pernyataan Jenderal berbintang dua tersebut. Berkaitan dengan rencana pembelian KAL-35 tersebut, pada Maret 2004, Imparsial meluncurkan hasil risetnya berjudul ”Analisa Kritis kebijakan Pertahanan”. Hasil riset ini mendapat tanggapan yang cukup serius dari KSAL Laksamana Bernard Kent Sondakh. Menurut Kent Sondakh, kebijakan AL mengajak Gubernur se-Indonesia bekerjasama dalam membangun kapal patroli jenis KAL-35 tidak dilakukan dengan tindakan ngawur. Karena sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Pasal 2 ayat 1 menyatakan, provinsi terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut seluas 12 mil dan daerah memiliki lima kewenangan dalam wilayah laut (Pasal 3)28. Sementara Pasal 10 UU No. 22/1999 menyebutkan kewenangan daerah dalam pengelolaan laut di wilayahnya. Poin e pasal tersebut berbunyi, daerah ikut serta membantu keamanan dan penegakan kedaulatan. Menurutnya, bantuan keamanan dan kedaulatan dalam UU No. 22/1999 Pasal 10 (e) adalah bantuan pengamanan kedaulatan di wilayah laut yang diberikan kewenangan pengelolaan sumber daya itu29. Lanjutnya, di tengah anggaran negara yang minim dan jumlah kapal AL yang usianya bahkan melebihi 40 tahun dengan 17.500 pulau dengan luas perairan 5,8 juta kilometer sangat dibutuhkan kapal patroli yang bisa menjaga wilayah laut Indonesia. Pasal 10 (2) huruf e UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah memang menyatakan bahwa Pemerintah Daerah memiliki kewenangan di wilayah laut, yaitu dengan melakukan bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan. Namun, Pasal ini tidak jelas benar apa yang dimaksudkan dengan ”membantu” serta ”kepada siapa bantuan itu akan diberikan”. Sementara di sisi lain, beberapa Pemda menyediakan anggaran untuk pembelian kapal patroli KAL 35 serta biaya operasionalnya30. Berkaitan dengan itu, dalam sebuah wawancara di majalah Tempo, Bernard Kent Sondakh mengatakan, ”bahwa ia tidak mengerti. Ada aksi-aksi eksternal yang 28
Majalah Tempo, ‘“KSAL Bernard Kent Sondakh: “Ini Terobosan untuk Mengamankan Laut’”, edisi 16 Mei 2004. 29 Koran Tempo, ‘”Bernard Kent Sondakh, Kepala Staf TNI AL: “Saya Didukung oleh Menteri Pertahanan”’, 8 September 2003. 30 Imparsial, Op. Cit., hal. 5.
17
ingin melemahkan TNI Angkatan Laut. Lembaga-lembaga swadaya masyarakat atau para pemikir yang menyalahkan kita membeli kapal-kapal ini mungkin tidak tahu, tidak sadar, atau tidak sengaja31”. Pembelian tersebut justru menimbulkan problema, sebab pembelian peralatan militer serta membiayai pengoperasiannya oleh Pemerintah Daerah jelas bertentangan dengan sifat sistem pertahanan nasional, tunggal dan terpusat. UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara jelas mengatakan semua penganggaran maupun pengoperasian semua kekuatan TNI berada di tangan Presiden dengan persetujuan DPR. Dalam konteks ini menutup kemungkinan adanya interpretasi bahwa Pemda dapat mengambil inisiatif sendiri untuk melakukan langkah-langkah di bidang pertahanan. Dalam pandangan Munir, terobosan yang dilakukan TNI AL dalam pengadaan kapal oleh daerah yang bekerjasama dengan TNI AL tersebut tidak hanya menimbulkan terjadinya praktik penyimpangan pelaksanaan otonomi daerah, tapi juga telah menimbulkan delegitimasi otoritas politik sipil dalam mengontrol peran militer, yang salah satunya meliputi kontrol terhadap anggaran.32 Transaksi pengadaan kapal adalah model baru dalam kerumitan hubungan kontrol sipil atas militer. Dalam kerangka negara demokrasi, peletakan hubungan sipil-militer lebih didasarkan pada prinsip kewenangan otoritas yang lahir dari mandat politik rakyat untuk mengelola organisasi pertahanan. Munir percaya, bahwa kontrol tersebut hanya mampu dilakukan apabila sumber anggaran dan keputusan bagaimana militer digunakan berada dalam kewengangan tunggal, yakni kepala negara. Di sini memang menuntut pemisahan secara tegas militer dari wilayah politik. Kasus kapal patroli KAL-35 antara Pemerintah Daerah dan TNI AL menggambarkan beberapa problem pada perilaku organisasi militer. Apa yang kemudian dipertunjukan adalah militer sebagai pelaku ekonomi dan sekaligus sebagai pelaku politik. Sebagai pelaku ekonomi, TNI AL secara terbuka menawarkan pembelian kapal patroli kepada Pemerintah Daerah, dengan tawaran berbagai keuntungan yang mungkin akan diperoleh. Tawaran ini mengandung banyak keuntungan, yaitu keuntungan yang diperoleh dari transaksi kapal, keuntungan dari adanya relasi permanen perawatan dan operasional kapal dengan sistem anggaran Pemerintah 31
Majalah Tempo, ‘“KSAL Bernard Kent Sondakh: “Ini Terobosan untuk Mengamankan Laut’”, edisi 16 Mei 2004, hal. 74. 32 Indopos, “Dituding Tak Sekedar Pengamanan”, 22 April 2004.
18
Daerah, serta legitimasi penjualan publik domain keamanan kepada Pemerintah Daerah. Transaksi penjualan kapal patroli tersebut memang akan melahirkan relasi segi tiga pasar penjualan produk kapal tersebut, yaitu TNI AL, perusahaan produsen, serta Pemerintah Daerah sebagai konsumen. Dalam penjualan kapal patroli dan servis pengoperasiannya, TNI AL tidak saja sebagai kesatuan yang memang memiliki otoritas untuk mengoperasikan kapal tersebut, tetapi juga sebagai penjual jasa-jasa keamanan. Proses relasi ekonomi keamanan semacam ini memang akan meningkatkan posisi dana non budgeter yang mengalir pada TNI. Pertimbangan keuntungan adanya anggaran non budgeter tentu dengan mudah meningkatkan keutuhan organisasi militer yang mandiri. Sekecil apapun peluang dana non budger mengalir, terutama atas jasa penjualan kemananan, jelas meningkatkan tingkat otonomi militer dari kapasitas kontrol anggaran oleh otoritas politik. Pada gilirannya, tindakan-tindakan ekonomi itu juga masuk ke dalam wilayah politik praktis, yaitu wilayah pengambilan keputusan politik bagi pengelolaan sistem pertahanan. Kesadaran bahwa TNI AL secara otonom dapat bertindak sebagai pelaku politik ini diwujudkan dalam bentuk langkah membuat Memorandum of Understanding (MoU) dengan Pemerintah Daerah tentang bagaimana pengelolaan keamanan laut di wilayah propinsi. Dalam konteks ini TNI AL tidak saja bertindak sebagai pelaku politik, tetapi juga sebagai subyek hukum otonom untuk bertindak atas dirinya sendiri. Dalam rangka menyukseskan agenda pembelian kapal patroli KAL-35 oleh Pemda, Bernard Kent Sondakh mengirimkan timnya ke daerah-daerah untuk melakukan promosi kapal tersebut. Namun di sisi lain promosi ini disinyalir sebagai sebuah bentuk baru “bisnis” TNI melalui kapal-kapal patroli. Menanggapi hal ini, Laksamana Bernard Kent Sondakh menyatakan, “Ini tidak ada kaitannya dengan bisnis. Saya hanya mau bilang, ”Ini lo kapal AL. Kalian (daerah-daerah provinsi) bisa bikin kayak gini. Nanti AL yang mengoperasikan .... 33” Apa yang kemudian dicerminkan oleh tindakan sebagai pelaku ekonomi dan politik itu memang berakibat serius terhadap konsepsi pihak TNI AL sendiri terhadap hakikat dirinya. Sebab langkah-langkah di atas justru memberikan gambaran bahwa 33
Majalah Tempo, Op. Cit. , hal. 75.
19
TNI AL menganggap anggaran militer bukanlah instrumen negara, akan tetapi bagian dari
interest mereka sebagai kekuatan yang mewakili interest nasional, seperti
keamanan dan kedaulatan. Persepsi diri semacam ini memang akan melahirkan benturan kepentingan yang serius antar otoritas politik yang memiliki kewenangan mengambil keputusan pengelolaan sistem pertahanan dengan interpresi diri TNI AL atas masa depan perannya. Langkah TNI AL tersebut terkesan aneh, mengingat doktrin TNI AL, Eka Sasana Jaya, 2001, yang merupakan pedoman dasar bagi TNI-AL, menyatakan pelaksanaan pembinaan material dan pembinaan dukungan logistik harus mengikuti prinsip perbendaharaan material sebagai milik negara (prinsip milik negara) dan pembinaan logistik yang meliputi keseluruhan penyelenggaraan fungsi manajemen logistik tersebut berdasarkan metode terpusat, organik, bina tunggal (fungsi logistik). Tampak peluang-peluang di wilayah ekonomi dan politiklah yang berakibat terjadinya perubahan konsepsi diri yang kemudian melakukan koreksi yang begitu berbeda.
C. Pemilu 2004: Dari Capres Purnawirawan TNI hingga Pilihan Memihak Amien Rais Di tengah maraknya kemunculan calon presiden yang mantan militer dan aksiaksi masyarakat menolak pencalonon mereka, jalan dan komitmen politik yang ditempuh Munir dengan mendukung dan bahkan ikut mengiklankan kampanye untuk Amien Rais di layar televisi dan radio saat Pemilu 2004 digelar, memang cukup membuat banyak kalangan34 bertanya-tanya soal pilihannya itu: gebrakan (politik) apa yang tengah dibangun Munir? Apakah kerja-kerjanya selama ini di ranah civil society kurang memuaskan dirinya ataukah ada interest tertentu dalam diri Munir, termasuk mengejar jabatan tertentu di pemerintahan ataukan demi materi semata? Tidak mudah baginya untuk menjatuhkan pilihan mengampanyekan Amien Rais. Menurut Munir, ia harus menemui Amien Rais dan menawarkan semacam ”kontrak” dengan Amien menyangkut penegakan hukum, penyelesaian kasus HAM, dan perbaikan politik pertanahan. Ada yang disetujui dan ada pula yang tak sepenuhnya disetujui. Namun berdasarkan banyak pertimbangan, Munir pun mau
34
George Junus Aditjondro, adalah salah satu koleganya yang cukup tajam berdebat dengan Munir perihal pilihan politiknya kepada Amien Rais.
20
mengampanyekan Amien. Tapi di sisi lain, Munir akan tetap kritis pada Amien jika ia ternyata tak memenuhi janjinya.35 Mengapa Amien? ”Pilihannya siapa yang tingkat destruksinya terhadap demokrasi paling kecil,” ujarnya seraya mengatakan, aktivis LSM sebenarnya juga punya pilihan politik. ”Masalahnya mereka mau menyatakan secara terbuka atau tidak”. Pilihan Munir terhadap Amien Rais disertai logika politik dalam konteks menjaga bayi demokrasi Indonesia yang baru tumbuh karena, menurutnya36, bila membiarkan pertarungan politik Indonesia hari ini tanpa pengambilan sikap politik juga tidak ’fair’ sehingga kemudian membuat Munir mengambil keputusan dengan mendukung Amien Rais. Sikap politik yang diambil Munir karena ia tidak melihat kompetisi politik Indonesia saat ini sebagai kompetisi memilih yang terbaik, tapi ia masih melihat kompetisi politik Indonesia memilih orang yang paling tidak punya ancaman terhadap demokrasi. Munir berharap pada Amien Rais agar tidak ada tafsiran dari pihaknya bahwa pilihan politik Munir terhadapnya bukan karena ia tergiur dengan jabatan ataupun uang. Yang ia sampaikan kepada Amien Rais adalah komitmen politik demokrasi. Untuk dua hal ini, jelas ditolaknya. Ia memilih Amien dalam rangka melindungi demokrasi di Indonesia. Karena bila jabatan atau uang yang dikejar Munir, sebenarnya pada pemilu 199937 ia juga pernah mendapat tawaran jabatan yang cukup menggiurkan. Salah satu tawaran tersebut berasal dari partai pemenang Pemilu, namun ia tidak bersedia. Walau pada saat kampanye Amien-Siswono38 di Mataram sempat disebutkan namanya dan Todung Mulya Lubis yang dipersiapkan untuk jabatan Jaksa Agung, ia pun tidak bersedia. Munir memilih akan tetap bekerja di level civil society ketimbang bekerja di level negara. Tawaran jabatan, tidak terlalu mengejutkan bagi Munir. Baginya, tidak menarik untuk duduk di pemerintahan. Pilihan Munir untuk tidak duduk di dalam pemerintahan karena menurutnya karena masih ada proses politik di Indonesia yang lebih penting ketimbang sekedar
35
Kompas, ”Mimbar Demokrasi”, 16 Juni 2004. http://www.indonesiahouse.org/focus/civsociety/2004/09/090904Munir_dan_sikap_politiknya.htm, ”Munir dan Sikap Politiknya”, 09 September 2004. 37 Ibid. Pada pemilu 1999, Munir juga mendapat tawaran satu jabatan di DPR dari Partai KPI (pimpinan Edi Sudrajat). Saat zaman Gus Dur, Munir ditawari jabatan Jaksa Agung. Kemudian PDI lewat Sabam Sirati, juga menawarkan jabatan tersebut. 38 Lihat juga http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/nusatenggara/2004/06/19/brk,2004061904,id.html, “Todung dan Munir Masuk Bursa Jaksa Agung Amien-Siswono”. 36
21
melihat penguatan pada sisi pemerintah tanpa kontrol dari masyarakat. Baginya, bekerja di level kontrol masyarakat jauh lebih efektif kemungkinannya, punya impact terhadap perilaku negara ketimbang langsung tercerabut ke dalam lingkungan pejabat negara. Di dalam konteks politik Indonesia, Munir mengamini bahwa di level negara juga perlu ada perbaikan. Akan tetapi, proses penguatan sisi negara itu harus diimbangi dengan penguatan pada sisi masyarakat. Di satu sisi, kalau negara mengalami penguatan yang luar biasa (penguatan positif), dalam arti negara memiliki kewibawaan yang cukup untuk menegakkan hukum, melindungi masyarakat dan sebagainya, itu semua tidak cukup bila sisi masyarakat ditinggalkan. Dalam pengamatan Munir, sisi masyarakat tidak mengalami penguatan yang serius walau pada level ini cukup banyak yang bekerja dan cukup kuat untuk menopang kontrol terhadap kekuasaan yang akan tumbuh di kemudian hari. Problem yang ditemukannya di Indonesia adalah gerakan masyarakat sipil yang dari hari ke hari makin melemah, karena banyak aktivis yang terseret ke dalam birokrasi pemerintahan, atau pun lembaga-lembaga donor, misalnya. Sehingga tidak muncul kekuatan yang signifikan untuk mendorong proses di dalam masyarakat. Jadi pilihan politik Munir masih tetap di masyarakat, meskipun bukan berarti ia tidak bekerja dalam kerangka untuk juga mendorong agar fungsi pemerintahan bekerja dengan baik dalam proses politik Indonesia. D. Kritik terhadap Kerangka Kebijakan Penanggulangan Aksi Terorisme D.1. PERPPU tentangTindak Pidana Terorisme Pasca terjadinya peristiwa peledakkan bom di Bali pada 12 Oktober 2002, atas desakan berbagai pihak pemerintah akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 dan 2 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Di samping itu, pemerintah juga memberikan kewenangan yang amat luas pada Badan Intelijen Negara (BIN) untuk melakukan berbagai langkah mendukung operasi menyikat kelompok yang diidentifikasi sebagai pelaku terorisme. Lahirnya ketentuan yang dengan cepat disetujui DPR tersebut kemudian mengundang sejumlah kontroversi di masyarakat. Berbagai kalangan terutama dari elemen masyarakat sipil di sejumlah daerah menyatakan sikap penolakannya terhadap
22
rencana pemerintah membuat Perppu tersebut, sebagai payung hukum bagi aparat dalam upaya memerangi terorisme di Indonesia. Dalam bagian itu, Munir merupakan salah satu orang yang di antaranya turut menolak kehadiran Perppu Antiterorisme. Munir melihat bahwa ada dua persoalan krusial di dalam Perppu Antiterorisme sehingga menimbulkan kontroversi dan kelahirannya harus ditolak. Pertama, adanya politik kontrol melalui organisasi intelijen dan tentara; dan Kedua, adanya kekhawatiran terjadinya pemberangusan kebebasan masyarakat sipil yang akan menganulir proses demokratisasi di Indonesia39. Persoalan lainnya yang juga cukup mengkhawatirkan, menurut Munir, adalah munculnya gagasan pelibatan BIN dan TNI dalam proses penegakkan hukum. Dalam pandangan Munir, lingkup masuknya kedua organisasi tersebut akan menimbulkan problematika yang sangat besar, terutama dengan kembalinya peran intelijen non judicial dalam melakukan pengawasan terhadap kehidupan masyarakat. Kewenangan kelembagaan semacam ini, dalam penilaiannya, tak pelak akan melahirkan kekacauan pada kehidupan politik masyarakat. Terlebih mengingat gagasan ini menyandar pada keinginan meminta hak untuk melakukan tindakan preemtive (melakukan penindakan terhadap semua potensi ancaman). Karena itu, Munir memandang bahwa kehadiran Perppu Antiterorisme tidak lebih hanya akan menjadi mesin teror baru terhadap kehidupan masyarakat secara keseluruhan karena fungsi intelijen di Indonesia tidak berada dalam kerangka yang cukup untuk bisa dikontrol secara serius40. Kendati demikian, Munir sendiri tidak menutupi bahwa memerangi terorisme merupakan kewajiban bersama, tetapi menurutnya, ada peluang untuk mengubah beberapa pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)41 dan tidak mengacaukan sistem hukum nasional.42 Selain menawarkan soluasi hukum yang tidak mengacaukan sistem hukum nasional, Munir juga menegaskan bahwa sesungguhnya ada alternatif lainnya yang semestinya bisa dilakukan oleh negera, yakni kerja yang lebih serius dari negara 39
Munir, Menanti Kebijakan Anti-terorisme, ditulis dalam pengantar buku Terorisme: Definisi, Aksi dan Regulasi. Jakarta: Imparsial, 2003, Cet I, hal xiii. 40 Kompas, “Badan Musyawarah DPR Bahas Perpu Antiterorisme 31 Oktober”, 30 Oktober 2002. 41 Sikap Koalisi untuk Keselamatan Masyarakat dan dimana Munir juga terlibat di dalamnya mendesak agar Pemerintah dan DPR melakukan amandemen terhadap KUHP dan KUHAP untuk mengadopsi terorisme sebagai kejahatan yang dilarang dan dihukum di bahwah hukum pidana nasionla. Koalisi juga mendesak pemerintah dan DPR untuk meratifikasi 12 konvenasi dan protokol internasional yang dikeluarkan PBB mengenai terorisme. (Lihat: Komunike Pertama Koalisi untuk keselamatan Masyarakat Sipil dalam lampiran buku, Terorisme: Definisi, Aksi dan Regulasi. Jakarta: Imparsial, 2003, Cet I, hal xiii) 42 Kompas, “Badan Musyawarah DPR Bahas Perpu Antiterorisme 31 Oktober”, 30 Oktober 2002
23
melalui aparatnya untuk memerangi terorisme, melalui upaya kontrol terhadap peredaran bahan peledak, kontrol terhadap aparat negara pengguna bahan peledak, termasuk negara harus memperbaiki keluar masuknya barang ke Indonesia.43 Secara lebih jauh Munir juga menyoroti bahwa pelaksanaan Perppu Antiterorisme di lapangan dengan tidak mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) justru akan menimbulkan kebingungan. Munir mencontohkan kasus penanganan perkara bom yang terjadi di Bali, dimana ternyata aparat kepolisian di sana tidak sepenuhnya melaksanakan Perppu Antiterorisme. Hal ini menunjukkan bahwa Perppu Antiterorisme, dalam pandangan Munir, memang tidak bisa dilaksanakan.44 Dilihat dari sisi hierarki perundang-undangan, Munir mengatakan bahwa Perppu Antiterorisme bukan hanya tidak sejalan dengan Undang-Undang yang lebih tinggi tingkatannya, melainkan juga dengan Konstitusi. Pemberlakuan surut Perppu Nomor 1 Tahun 2002 dalam perkara peledakan bom di Bali dalam pandangannya tidak sejalan dengan bunyi Pasal 28i Perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang menyatakan dengan tegas mengenai hak untuk tidak dituntut dengan perundangundangan yang berlaku surut merupakan hak asasi. Kendati menurutnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) memberikan kemungkinan seseorang dituntut dengan perundang-undangan yang berlaku surut, tatapi hal itu hanya pada tersangka pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang bisa dituntut dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku surut. Padahal, lanjut Munir, hanya genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang di Indonesia bisa dikenai peraturan yang berlaku surut.45 D.2. Gagasan pembuatan Internal Security Act (ISA) Sementara pasca terjadinya peristiwa peledakan bom di hotel JW Marriot, Jakarta, pada Agustus 2003, atau 10 bulan setelah peristiwa bom Bali I, muncul gagasan dibuatnya Undang-Undang tentang Keamanan Dalam Negeri atau Internal Security Act (ISA). Pemerintah rupanya masih merasa belum cukup dengan telah diberlakukannya Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Gagasan 43
Ibid. Kompas, “Meskipun Akan Dicabut, Koalisi Minta Perpu Antiterorisme Diuji”, 23 Januari 2003 45 Ibid. 44
24
ini pertama kalinya muncul atas usulan Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil yang didukung sejumlah pejabat lainnya.46 Munculnya usulan dibuatnya Undang-Undang tentang Keamanan Dalam Negeri atau Internal Security Act (ISA) sebagai upaya untuk menanggulangi makin maraknya aksi terorisme di Indonesia, tentu saja mengundang banyak kritik dan mendapat penolakan khususnya dari elemen masyarakat sipil. Munir sendiri secara tegas menolak usulan tersebut. Menurutnya, ISA tidak akan mampu mengatasi dan melenyapkan aksi terorisme. Bahkan ISA bersifat draconian (kejam) karena menolak prinsip-prinsip fair trial, demokrasi, dan HAM. Penerapan Internal Security Act (ISA) di Singapura dan Malaysia, dalam pandangan Munir, tidak dapat dijadikan contoh karena kedua negara tersebut meskipun lebih maju dalam kesejahteraan ekonomi-bukanlah contoh dari negara demokrasi modern. Pengalaman kasus penerapan ISA di negara-negara tersebut justru digunakan untuk menghabisi kekuatan-kekuatan politik oposisi dan berfungsi untuk menopang sistem kekuasaan tunggal (totalitarian). Lebih jauh lagi, keberadaan ISA yang dimiliki oleh kedua negara tersebut senyatanya adalah produk hukum kolonialisme (Inggris) yang digunakan untuk menghadapi gerakan politik pribumi. ISA bersifat anakronistik, karena undangundang peninggalan kolonialisme yang bersifat sementara dan darurat itu masih dipertahankan di kedua negara yang telah lama memperoleh kemerdekaannya sebagai suatu bangsa.47 Karena itu, negara semestinya memperbaiki kinerja penyelenggara pemerintahan secara sungguh-sungguh dan komprehensif dengan perangkat hukum yang ada. Dalam pandangan Munir, tanpa adanya perbaikan kinerja, penambahan wewenang kepada pemerintah tidak akan efektif. Menurutnya, tidak fair menuntut kewenangan berlimpah tanpa ada kemampuan pemerintah untuk mengelolanya. Sebab, yang terjadi jika penambahan kewenangan tersebut diberikan, potensi penyalahgunaannya justru akan semakin besar.48
46
Sebenarnya tidak semua pejabat mendukung rencana dibuatnya ISA. Hal itu terlihat dari komentar yang dikemukan Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra yang menyatakan agar Indonesia tidak ikut-ikutan menggunakan ISA dan sebaiknya pemerintah menyempurnakan UU Antiterorisme yang sudah ada. Hal senada juga disampaikan Wapres Hamzah Haz, bila ada hal-hal yang dirasa kurang, ia meminta untuk merevisi UU No. 15/2003 tentang Penerapan Perppu No. 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Republika, “ISA Harus Ditolak”, 13 Agustus 2003. 47 Siaran Pers Imparsial Nomor 101/SK/VIII/Sek/03. 48 Kompas, ” Wapres Imbau Jangan Buru-Buru Bikin ISA”, 13 Agustus 2003
25
Secara lebih jauh, Munir justru mendesak pemerintah agar lebih memberdayakan Badan Intelijen Negara (BIN) sebagai antisipasi ancaman teror. Menurutnya hal itu lebih baik daripada membuat ISA. Selama ini, aparat intelijen dalam pandangannya tidak menjalankan fungsi-funsginya sebagai intelijen secara penuh. Hal ini mengakibatkan lembaga tersebut tidak dapat mengambil langkahlangkah preventif dalam upaya menghadapi aksi terorisme. Lembaga Intelijen Negara (BIN), menurut Munir, seharusnya lebih fokus pada pencarian, yakni mencari bukti-bukti di lapangan ketimbang mengumpulkan data-data yang harus disampaikan pada pemerintah. Padahal, kalau BIN mengumpulkan datadata itu, pemerintah dapat mengambil tindakan untuk mengantisipasi teror. Sebagai badan non-judicial, BIN seharusnya tidak lagi diberi tugas-tugas sampingan sebagai bagian penegakan hukum. Jadi, lebih baik polisi berkoordinasi dengan BIN ketimbang mengadopsi ISA.49 E. Kritik terhadap Kebijakan Penyelesaian konflik di Propinsi Aceh. E.1. Pemberlakuan status darurat militer Munir mengkritik tajam pola kebijakan yang diambil pemerintah Megawati dalam menangani dan menyelesaikan persoalan konflik di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Salah satu kebijakan yang dikritik oleh Munir adalah diterapkannya status keadaan darurat militer di Provinsi NAD pada 18 Mei 200350, setelah terjadinya kegagalan dalam dua kali perundingan yang dilakukan di Stockholm dan Tokyo, antara GAM dan pemerintah. Munir memandang bahwa penerapan status keadaan darurat militer di Propinsi NAD menunjukkan bahwa pemerintah Megawati tidak memiliki keinginan yang serius untuk menyelesaikan persoalan konflik Aceh secara damai. Selain itu, upaya penerapan status darurat militer di Aceh sesungguhnya memperlihatkan bahwa pola kebijakan pemerintah Megawati dalam proses penyelesaian konflik Aceh cenderung lebih banyak ditentukan oleh kalangan militer. Dalam kaitan itu, Munir melihat adanya faktor dari lemahnya otoritas politik sipil yang menyebabkan mereka cenderung lebih banyak tunduk kepada keinginan TNI dalam proses penyelesaian masalah konflik di Aceh. Sehingga yang nampak 49
http://www.habibiecenter.or.id/index.cfm?fuseaction=artikel.detail&detailid=17&bhs=ina Status darurat militer di Aceh diberlakukan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 28 Tahun 2003 tentang Pernyataan Keadaan Bahaya dengan Tingkatan Darurat Militer di Propinsi NAD yang ditandatangani pada 18 Mei 2003. 50
26
kalau otoritas politik sipil tidak memiliki keberanian dan ketegasan sikap ketika berhadapan dengan institusi TNI. Lebih lanjut, Munir mencontohkan kasus pengerahan pasukan dan peralatan perang TNI ke Aceh jauh sebelum ditandatanganinya keputusan penerapan darurat militer oleh pemerintah dapat menjadi cermin betapa TNI sangat menentukan dalam hal pola penyelesaian konflik di wilayah NAD51. Padahal Keputusan Presiden (Keppres) untuk menerapkan darurat militer dan operasi militer di sana belum keluar dan masih tergantung pada hasil rapat konsultasi antara Presiden dengan DPR.52 Kasus tersebut mencerminkan bahwa otoritas politik sipil tidak memiliki agenda yang utuh dan tidak berupaya menjaga hak-hak dan kewenangan politik yang dimilikinya. DPR seharusnya tidak membiarkan kewenangan politiknya diambil oleh pihak lain. Munir melihat bahwa DPR sebenarnya waktu itu bisa mempertahankan pendapatnya bahwa persetujuan harus didahulukan dibandingkan pengerahan pasukan ke Aceh53. Namun yang terjadi justru sebaliknya, DPR dan pemerintah malah membiarkan TNI melanjutkan pengiriman pasukannya ke Aceh. Sikap Munir sendiri menolak pemberlakuan status darurat militer di NAD. Pemberlakuan operasi militer di Aceh, menurutnya, tidak lebih hanya akan mengoyak rasa kesatu-bangsaan di antara rakyat Indonesia. Otoritas politik sipil tidak dapat menjamin bahwa penggunaan senjata dalam penyelesaian konflik di NAD tidak akan menghindarkan dari korban sipil. Adanya keputusan politik pemerintah sebagai payung hukum dari status Darurat Militer di Aceh, dalam penilaiannya, dapat menjadi selimut impunity (penggunaan kekerasan tanpa adanya penegakan hukum) bagi militer.54 Secara lebih lanjut, Munir juga mengkhawatirkan bahwa penggunaan pola kebijakan yang lebih bertumpu pada cara-cara militer tersebut akan melumpuhkan kemampuan nasional di masa depan untuk menyelesaikan masalah konflik Aceh secara lebih baik. Sebab, tidak menutup kemungkinan bahwa penggunaan cara-cara militer tersebut tidak lebih hanya akan memupuk amarah rakyat Aceh.
51
Sebelum Keppres darurat militer ditandatangani, Mabes TNI sudah mulai mengirimkan prajurit TNI untuk diberangkatkan ke Aceh, yang menurut Panglima TNI Jenderal Endriyartono Sutarto sebagai persiapan operasi militer jika watunya tiba. Hal itu terlihat pada 07 Mei 2003 dimana sekitar 6.350 prajurit dari tiga angkatan diberangkatkan munuju Aceh dengan kapal-kapal perang TNI AL di kawasan Armada RI Kawasan Timur. Kompas, Kamis, 08 Mei 2003 52 Tempo Interaktif, 15 Mei 2003 53 Idem 54 Idem
27
Dalam pandangan Munir, saat ini banyak orang lupa bahwa apa yang terjadi di Propinsi Aceh merupakan perang saudara, bukan memenangkan perang lawan bangsa lain. Menurutnya, berlanjutnya kekerasan di Aceh tersebut lebih disebabkan masingmasing pihak tidak mempunyai cara menyelesaikan persoalan kecuali dengan penggunaan senjata. Sehingga kedua belah pihak seakan punya justifikasi menggunakan persenjataan untuk menyelesaikan konflik. Munculnya kasus pelanggaran HAM dan banyaknya warga sipil serta pembela HAM menjadi korban sepanjang pemberlakuan darurat militer, juga tidak luput dari sorotan Munir. Misalnya kasus penyanderaan reporter dan kameramen RCTI yang berujung dengan tewasnya salah satu sandera55. Munir mengaku kalau dirinya tidak kaget melihat para sandera GAM akhirnya menjadi korban baku tembak antara GAMTNI. Soal sandera menjadi korban tembak atau mati, itu sebenarnya hanya masalah waktu”. Soal tempat, itu juga hanya masalah waktu”. GAM maupun TNI, menurutnya, tidak serius bernegosiasi dalam pembebasan para sandera. Keduanya justru lebih menjadikan para sandera tersebut sebagai alat tawar-menawar (bargaining) untuk kepentingan masing-masing. Sikap TNI sendiri yang tidak ingin terburu-buru membebaskan sandera yang disekap GAM bertujuan membangun opini bahwa GAM merupakan tukang culik dan main sandera warga sipil. Langkah tersebut jelas menguntungkan posisi TNI sekaligus memberi legimitasi keberadaan TNI di Aceh. Pemerintah seharusnya lebih bijaksana dalam upaya membebaskan para sandera, yakni dengan sedikit bersikap mau mengalah kepada pihak GAM, seperti halnya langkah yang dilakukan pemerintah saat membebaskan wartawan freelance AS William Nassen ketika berada di sarang GAM. Di mana saat itu pemerintah terlihat cukup akomodatif dan bahkan memberikan keleluasaan kepada atase pertahanan AS untuk terlibat langsung keluar masuk hutan Aceh dalam membebaskan sandera.56 Selain kasus tewasnya para sandera GAM dalam baku tembak, Munir juga menyoroti digelarnya persidangan terhadap tiga prajurit TNI karena melakukan
55
Dua wartawan RCTI, seorang reporter Sory Ersa Siregar dan seorang kameramen Ferry Santoro serta Rahmatsyah pengemudinya disandera GAM pada 29 Juni 2003. Namun Sory Ersa Siregar tewas saat terjadi kontak tembak antara GAM dan TNI pada 29 Desember 2003. Sementara itu Ferry Santoro dibebaskan baru dibebaskan pada pada 16 Mei 2004. 56 http://www.polarhome.com/pipermail/marinir/2003-December/000149.html
28
tindakan penganiayaan pada saat operasi militer berjalan57. Setiap pelanggaran dalam pandangan Munir memang harus ada penindakan secara hukum. Kalau sebuah tindakan pelanggaran tidak cepat dilakukan koreksi dan tidak cepat pula ada penghukuman, maka hal itu artinya dapat dikatakan bahwa operasi tersebut memilih cara itu dan sudah barang tentu pertanggungjawabannya sampai ke level atas. Kendati demikian, menurutnya, peradilan tersebut tentu saja tidak cukup. Ada hal-hal lain yang juga harus dikoreksi. Pertama bahwa peradilan itu boleh diteruskan, dan konsistensi terhadap bagian dari peradilan itu adalah membuka ruang bagi koreksi dan bagi masuknya aktivitas kelompok-kelompok masyarakat untuk melakukan monitoring. Sebab, kalau orang diadili tapi tidak ada yang melakukan monitoring, maka hal itu tidak ada gunanya. Kemampuan negara mengoreksi dirinya sangat tergantung pada adanya koreksi masyarakat. Lebih jauh, Munir menilai proses pengadilan tersebut mengandung kelemahan. Salah satunya bahwa sejak Tap (Ketetapan) MPR Nomor 6 dan Nomor 7 dulu diterbitkan, salah satu pasalnya menyebut bahwa kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh aparatus militer yang sifatnya tindak pidana umum mestinya diadili oleh peradilan umum. Namun sampai sekarang undang-undang-nya belum dirubah sehingga tetap diadili pada peradilan militer. Sedangkan kritik dalam peradilan militer kan banyak sekali, dimana ada struktur impunity (kejahatan tanpa proses hukum) dalam proses itu. E.2. Perpanjangan Status Darurat Militer Rencana pemerintah yang akan memperpanjang status darurat militer di Aceh untuk tahap enam bulan kedua58, di tengah banyak terjadinya pelanggaran HAM pada tahap enam bulan pertama dan adanya solusi alternatif yang lain, memunculkan gelombang penolakan berbagai kalangan. Munir menilai upaya perpanjangan status 57
Ketiga terdakwa prajurit Komando operasi TNI masing-masing divonis 4 bulan 20 hari penjara, karena terbukti melakukan penganiayaan terhadap warga sipil dan tidak taat terhadap pimpinan. Ketiganya terdakwa itu, yakni Pratu Saiful Bahri, Prada Toni Nariyanto, dan Prada Agus Hidayat, selaku anggota Kompi Mobil-1 Yonif 144 Jaya Yudha, terbukti melanggar pasal 351 ayat 1 jo pasal 53 ayat 1 ke-1 KUHP dan pasal 103 ayat 1 KUHPM Jo pasal 55 ayat ke-1 KUHP. http://www.gatra.com/2003-06-09/artikel.php?id=29079 58 Keputusan perpanjangan status darurat di Aceh diambil oleh Presiden dalam sidang terbatas yang dihadiri pula Wapres Hamzah Haz, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, Gubernur Aceh Abdullah Puteh, Pangdam Iskandar Muda/Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) Mayjen Endang Suwarya serta Kapolda Aceh Irjen Pol Bachrumsyah. Sebelumnya, PDMD, Panglima TNI dan Kepala BIN telah merekomendasikan kepada pemerintah untu memperpanjang status darurat militer tersebut. http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=5001
29
darurat militer di Aceh di tengah adanya sejumlah alternatif lain menunjukkan bahwa pemerintah malas bekerja lebih keras untuk menyelesaikan persoalan Aceh secara lebih baik. Pemerintah cenderung mengambil jalan pintas dengan menyerahkan masalah Aceh pada militer. Adanya perubahan taktik GAM menjadi gerilya dan atas permintaan masyarakat Aceh sendiri sebagai alasan perpanjangan status darurat militer, dinilai Munir sangat tidak masuk akal. Pemerintah sepertinya telah menganggap bodoh masyarakat. Secara lebih jauh, darurat militer menurutnya, tidak lebih hanya menciptakan ketergantungan masyarakat Aceh kepada TNI. Sebab, masyarakat Aceh dihadapkan langsung dengan GAM, yakni dengan cara pemberlakuan KTP merah putih dan pembentukan milisi untuk membantu TNI. Sehingga masyarakat Aceh takut bila darurat militer dihentikan, maka GAM akan menghantam masyarakat.59 Pemberlakuan status darurat militer, dalam pandangan Munir, tidak lebih hanya akan menghilangkan dimensi kemanusiaan dan HAM dalam keputusan politik. Terlebih lagi menurutnya, tidak ada direksi otoritas politik terhadap penguasa darurat militer untuk memperhatikan faktor-faktor manusia dalam pelaksanaan operasi. Status darurat militer di Aceh merupakan kebijakan yang mengabaikan manusia. Tidak ada rule of engagement yang menentukan batas-batas siapa lawan dan bagaimana lawan harus dihadapi, politik identitas diberlakukan dengan dalih memisahkan GAM dari masyarakat, partisipasi masyarakat dimanipulasi, kapasitas politik masyarakat sipil dihancurkan. Mandat yang diberikan merupakan blangko kosong, sehingga perpanjangan status darurat militer tidak lebih hanya merupakan hasil kompromi, tanpa evaluasi, kontrol, dan pertanggungjawaban.60 F. Kritik Upaya Perluasan Kelembagaan dan Kewenangan BIN F.1. Kewenangan menangkap oleh BIN dalam RUU Intelijen Dalam satu kesempatan Munir mengkritik pernyataan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono agar BIN bisa diberikan kewenangan untuk menangkap dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Intelijen. Dalam pandangannya, pemikiran AM Hendropriyono tersebut mengikuti konsep crime control model, yaitu upaya membongkar suatu kasus kejahatan yang tujuannya adalah 59
Tempo Interaktif, 04 November 2003 Kompas, “Komisi I DPR soal Darurat Militer Aceh, Perpanjangan Harus Dilengkapi Evaluasi”, 15 November 2003 60
30
melakukan konstruksi kejahatan. Model tersebut tidak mementingkan kontrol publik dan tidak mementingkan pembelaan. Berangkat dari contoh kasus di banyak negara, Munir berpandangan bahwa model seperti ini akan menimbulkan rekayasa terhadap sebuah kasus, karena orientasinya adalah bagaimana supaya kasus itu bisa ditemukan. Bukan bagaimana menanggulangi kejahatan. "Ini banyak digunakan di negara-negara yang mengandalkan kerja Secret Service seperti Jerman Timur dulu".61 Karena itu, Munir melihat jika RUU Intelijen yang dibuat oleh BIN berhasil menjadi undang-undang, maka lembaga intelijen benar-benar akan menjadi gurita sebagai sebuah lembaga yang tidak tersentuh. Selain karena adanya kewenangan menangkap dan memperpanjang seseorang tanpa keterlibatan hukum, BIN punya kekuatan membekukan dana di rekening, menyadap dan membuka hak-hak privasi warga sipil lainnya. Bahkan BIN juga meminta punya wewenang untuk mengakses langsung produsen senjata api baik di dalam maupun di luar negeri.62 F.2. Rekrutmen lurah sebagai agen BIN di daerah Munir juga mengkritik langkah BIN yang berupaya merekrut lurah-lurah untuk dijadikan kaki tangan BIN di daerah, seperti yang terjadi di Sulawesi Utara. Munir berpendapat, langkah yang dilakukan oleh BIN tersebut merupakan usaha yang hendak membangun otonomi dalam sistem negara. Kalau dulu intelijen di bawah sub militer, kini berdiri sendiri. Dengan kata lain, BIN hendak membangun kerajaan intelijen di atas pondasi negeri ini. Langkah ini dalam pandangan Munir sangat rentan konflik kepentingan. Munir mengkhawatirkan langkah tersebut berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan di kalangan birokrasi. Posisi intelijen nanti rentan digunakan sebagai alat petantang-petenteng oleh birokrat. Munir menerangkan, kerjasama antara dua perangkat ini tidak saja akan memperkuat jaringan intelijen di mana-mana tapi juga akan terjadi infiltrasi pada sistem pemerintahan hingga ke daerah. Jika sudah demikian, tujuan public service yang seharusnya diperankan oleh negara akan berganti fungsi menjadi alat represi bagi rakyatnya sendiri. Dengan struktur intelijen yang mengakar dalam birokrasi sampai ke daerah, menurut Munir, kelompok masyarakat yang rentan menjadi korban Intelijen adalah 61 62
Kompas, “Depkeh dan HAM Belum Terima RUU Intelijen”, 21 Februari 2003 http://swaramuslim.net/printerfriendly.php?id=1537_0_1_0_C
31
umat Islam. Sebab, saat ini umat Islam menjadi kekuatan otonom yang tumbuh di luar partai politik yang ada. Basis konflik sosial diyakini sudah tidak menimbulkan kerawanan keamanan, begitu juga perang antar kekuatan ideologi yang sudah berakhir sejak pasca Perang Dingin. Satu-satunya issu yang bisa dimanfaatkan adalah isu terorisme. Sehingga ujung-ujungnya, terorisme itu sudah punya stereotype tersendiri yang akan memakan umat Islam. BIN seharusnya hanya berada di Jakarta dan digunakan hanya untuk mengumpulkan data-data intelijen yang berkaitan dengan kepentingan policy nasional. Tidak menjadi organisasi yang eksesif yang kemudian memiliki struktur paralel dengan seluruh sistem birokrasi pemerintahan. Karena itu, upaya BIN merekrut lurah-lurah sampai ke tingkat daerah dikhawatirkan akan menempatkan Indonesia menjadi negara intelijen di mana seluruh watak sistem birokrasi menjadi bagian dari sistem fungsi-fungsi pengawasan kehidupan politik masyarakat.63 Kekuasaan BIN yang sudah meluas tanpa kontrol dapat menjadi ancaman bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Karena itu, BIN seharusnya tidak perlu memiliki perwakilan di daerah-daerah. Tugas pengamanan negara, menurut Munir, cukup untuk ditangani aparat intel kepolisian dan kejaksaan. Secara khusus, Munir menyoroti kekuasaan Kepala BIN AM Hendropriyono yang sangat besar, yakni sebagai koordinator semua unit intelijen nasional, operasi antiterorisme, pemberantasan uang palsu, pengamanan dokumen penting, bahkan tagihan kartu kredit. Dalam pandangannya, jika rencana baru ini diterbitkan, itu bisa mengancam kehidupan publik dan pribadi warga negara.64 G. Kritik RUU KMI dan RUU TNI G.1. Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebebasan Memperoleh Informasi Gagasan realisasi Undang-Undang kebebasan memperoleh informasi (Freedom of Information Act) telah dilakukan oleh beberapa Organisasi Non Pemerintah (Ornop). Melalui berbagai proses yang telah dilakukan, akhirnya terbentuklan koalisi untuk bebebasan informasi yang kemudian menggagas draf Rancangan Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi (RUU KMI). Terkait dengan kekebasan memperoleh informasi, Munir berpandangan bahwa sebagai pemilik kedaulatan tertinggi, maka masyarakatlah yang sesungguhnya lebih 63 64
http://www.mail-archive.com/
[email protected]/msg00126.html Majalah Tempo, “Lurah Berdwifungsi Intel”, 28 Desember 2003
32
berhak untuk menentukan baik hitam dan putihnya sebuah pemerintahan. Sehingga dengan mengikuti alur logika tersebut, menurut Munir, segala bentuk informasi yang menyangkut hidup orang banyak wajib diinformasikan. Dalam pandangannya, kebebasan memperoleh informasi merupakan bagian dari apa yang diakui dalam kovenan hak sipil dan hak politik. Kovenan tersebut menghendaki posisi negara pasif, dalam artian negara tidak boleh terlalu banyak membuat regulasi yang mengatur, sehingga membatasi penggunaan hak informasi masyarakat. Dalam pandangan Munir, pembatasan terhadap hak memperoleh informasi dipandangnya sebagai cermin dari sebuah rezim yang tertutup. Hak masyarakat untuk memperoleh informasi, menurut Munir, merupakan hal yang penting. Berbicara mengenai hak masyarakat atas informasi, maka kewajiban dari negara, yakni transparansi. Dalam pandangan Munir, UU ini seharusnya mengatur tentang serbakewajiban negara untuk membuka dan menyampaikan setiap informasi kepada publik, dan bukan sebaliknya, yang diatur serba kewajiban masyarakat.65 G.2. Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI Tahun 2003 muncul kontroversi seputar rencana pemerintah yang membuat draft Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI. Kontroversi bermula dari adanya sejumlah pasal dalam draft RUU TNI yang dianggap bermasalah. Salah satu pasal yang paling banyak disoroti, dikritik, dan ditentang adalah keberadaan Pasal 19 (versi draft Oktober 2002), yang dianggap oleh komponen masyarakat sipil sebagai pasal “kudeta”.66 Munir salah satu sosok yang menentang keras Pasal 19. Menurutnya, kalau Pasal 19 lolos seperti dalam bentuk yang sekarang (awal), hal itu akan menjadi kecelakaan politik yang serius. Pasalnya, menurut Munir, dalam keadaan yang biasabiasa saja, tanpa ada tekanan publik, mestinya para politisi yang lebih dari 90 persen sipil itu menolak munculnya Pasal 19. Oleh karena itu, jika sampai pasal itu lolos,
65
Majalah Gamma, “Undang-Undang Kebebasan Informasi Bisa Kontraproduktif”, 30 Mei s/d 05 Juni 2001 66 Bunyi RUU TNI Pasal 19 yang kontroversial adalah sebagai berikut, dalam keadaan mendesak di mana kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan segenap bangsa terancam, Panglima dapat menggunakan kekuatan TNI sebagai langkah awal guna mencegah kerugian negara yang lebih besar.
33
berarti keadaanya sudah abnormal. Kalau lolos, berarti partai-partai politik memberikan kompromi yang luar biasa kepada TNI. Dalam UUD 1945, wewenang untuk mengeluarkan keadaan darurat adalah Presiden. Jika, Presiden berhalangan maka UUD memberikan kewenangannya kepada Wakil Presiden (Wapres). Kalau Wapres juga berhalangan tetap, maka dalam politik Indonesia mengenal istilah kepemimpinan darurat yang dikenal dengan istilah triumvirat, kepemimpin yang terdiri dari Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan. Bahkan kalau triumvirat juga tidak ada, para Gubernur Tingkat I bisa menjadi pemimpin kolektif.67 Kuatnya penolakan dari publik terhadap Pasal 19, draft RUU TNI kontroversial tersebut tidak jadi diajukan ke Parlemen dan memilih diendapkan. Kendati demikian, setelah kurang lebih setahun isu mengenai Pasal 19 tenggelam. Di tengah proses pelaksanaan Pemilu 2004 pemerintah mengajukan draft RUU TNI yang berbeda ke Parlemen yang diserahkan oleh Menkopolkam atas dasar amanat Presiden Megawati No.13/PU/VI/2004. Waktu yang tersedia bagi DPR untuk merampungkan proses pembahasan sampai pengesahannya kurang lebih sekitar tiga bulan. Kendati draft RUU TNI yang diajukan pada akhir 2004 tersebut tidak memuat lagi Pasal 19 yang sangat kontroversial, namun tetap saja sejumlah substansinya juga bermasalah. Hal itulah yang tetap mengundang munculnya berbagai kritik dan penolakan dari komponen masyarakat sipil, termasuk Munir. Secara umum, Munir melihat ada tiga kelemahan mendasar dalam RUU TNI yang diajukan di masa Pemilu tersebut. Pertama, RUU itu tidak mencerminkan orientasi pengembangan sistem pertahanan nasional; kedua, tidak menunjukkan orentasi pengembangan sistem demokrasi, khususnya pengembangan hubungan sipilmiliter; ketiga, tidak mencerminkan adanya orientasi yang jelas terhadap kebijakan tentang keprajuritan TNI. Menyangkut pemberian peluang bagi TNI aktif untuk dikaryakan di pemerintahan daerah (Pemda) misalnya. Munir menilai sebagai langkah mundur yang semakin jauh dari upaya reformasi di tubuh TNI. Selain itu, Munir juga mempertanyakan soal bantuan kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan TNI dalam pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI (Pasal 64 ayat 1 RUU
67
Banjarmasin Post, “Kontras: DPR Bakal Tolak Pasal 19 RUU TNI”, 19 Maret 2003
34
TNI). Pasal ini dalam pandangan Munir menjadi justifikasi terhadap praktek hubungan kerja sama yang tidak jelas antara Pemda dengan TNI. Munir mengkhawatirkan pasal tersebut dapat memberi tafsir yang sangat luas pada TNI untuk dapat melakukan tindakan yang bersifat politik. Bisa saja hal itu ditafsirkan bahwa TNI dapat lakukan negosiasi politik dengan departemen, lembaga pemerintah, bahkan dengan swasta. Masuknya pasal tersebut, menurut Munir, mencerminkan adanya kegagalan untuk meletakkan fungsi dan relasi TNI dengan sistem ketatanegaraan. Seharusnya, lanjut Munir, kalaupun akan diatur dalam hubungan kelembagaan, maka harus ada pembatasannya. Semisal dengan siapa saja TNI boleh berhubungan dan dalam konteks apa.68 Secara lebih jauh, masih ada beberapa ketentuan lainnya di dalam draft RUU TNI 2004 yang dikritik, perlu dihapus atau diubah dalam pandangan Munir. Beberapa ketentuan tersebut antara lain menyangkut soal waktu pensiun bagi prajurit TNI. Dalam pandangan Munir, klausul mengenai pengaturan waktu pensiun tersebut harus dihilangkan dan dimasukkan dalam UU tentang Keprajuritan. Terkait dengan itu, Munir menilai bahwa masuknya pasal tersebut menunjukkan adanya tumpang tindih dalam RUU TNI, yang semestinya hanya mengatur aspek institusi TNI, semisal struktur, organisasi, fungsi, tugas dan peran TNI terkait dengan kebijakan sistem pertahanan negara. Sedangkan mengenai persoalan pensiun, Munir memandang hal itu semestinya masuk dalam aturan kepegawaian. Selain itu, pengaturan mengenai status prajurit, jenis keprajuritan, masa dinas dan pemberian tanda jasa juga harus diatur di UU Keprajuritan.69 Tentu masih banyak substansi RUU TNI lainnya yang disorot oleh Munir. Karena itu, dengan ketentuannya yang bermasalah, maka sangat wajar Munir merasa khawatir jika RUU TNI tersebut disahkan. Bahkan sebelum bertolak ke Belanda, awal September 2004, Munir sempat berpesan agar pengesahan RUU TNI diupayakan ditunda. Munir berpandangan bahwa RUU TNI tersebut dianggap belum disosialisasikan secara maksimal kepada masyarakat dan belum ada perubahan dalam pasal-pasalnya.70
68
Tempo Interaktif, “RUU TNI Juga Diduga Langgengkan Bantuan Pemda”, 29 Juli 2004 Tempo Interaktif, “Pasal Pensiun Diminta Dimasukkan ke UU Keprajuritan”, 11 Agustus 2004 70 Detic.com, “Pesan Terakhir Munir: Tunda Pengesahan RUU TNI”, 07 September 2004 69
35
BAB lll TPF (Tim Pencari Fakta) dan Pengungkapan Kasus Munir Setelah peristiwa meninggalnya Munir muncul banyak spekulasi-spekulasi, baik dikalangan komunitas para penggerak/pembela hak asasi manusia (gerakan masyarakat sipil) maupun masyarakat Indonesia secara luas, mengenai sebab-sebab, motif serta fakta seputar tewasnya Munir. Spekulasi-spekulasi tersebut semakin gencar setelah ditemukannya bukti bahwa Munir meninggal disebabkan kadar zat Arsenic yang tinggi di dalam darahnya seperti dinyatakan dalam hasil autopsi lembaga forensik Belanda Nederlands Forensisch Instituut (NFI).1 Hal tersebut akhirnya mendorong pihak keluarga serta rekan-rekan sesama aktifis pembela HAM bersepakat untuk mendesak pemerintahan SBY agar segera membentuk suatu tim khusus (tim investigasi pencari fakta), yang secara independen dengan melibatkan berbagai pihak yang kompeten (unsur masyarakat sipil, lembaga pemerintahan,dll), melakukan pengungkapan secara tuntas sebab-sebab serta fakta-fakta seputar peristiwa meninggalnya Munir di atas pesawat maskapai penerbangan Garuda tersebut. Gagasan pembentukan tim investigasi ini dinyatakan pertama kali secara terbuka kepada masyarakat umum melalui sebuah siaran pers bersama di kantor KontraS Jakarta, 12 November 2004.2 Gagasan pembentukan tim investigasi ini kemudian merebak tidak hanya di kalangan aktifis pembela HAM tetapi juga diserukan oleh berbagai pihak di masyarakat luas, seperti dari kalangan komunitas korban pelanggaran HAM, tokoh-tokoh nasional, anggota legislatif, serta banyak pihak lainnya nasional maupun internasional. Beberapa anggota DPR RI misalnya menyatakan akan membentuk tim khusus kematian Munir yang akan medorong serta mengawasi pemerintah dalam mengungkap kasus ini.3 Hal tersebut diperjelas saat pertemuan antara Komisi lll DPR RI dengan Suciwati (istri Munir), KontraS, Imparsial, PBHI, pengacara Todung Mulya Lubis, Adnan Buyung Nasution, serta seorang anggota Komnas HAM, MM Billah di Senayan, 22 November 2004. Ketua Komisi lll, Teras Narang menyatakan DPR akan mendesak terbentuknya tim 1
Lihat buku putih KontraS “Bunuh Munir!”, Januari 2006, hal. 41. Siaran Pers Bersama di kantor Kontras, 12 Novemebr 2004, atas nama Suciwati (istri Munir), Todung Mulya Lubis, Rachland Nashidik (Imparsial), dan Usman Hamid (KontraS). Salah satu isi siaran pers bersama tersebut menuntut kepada pemerintah untuk membentuk suatu tim investigasi menyeluruh dan terpercaya dengan melibatkan masyarakat sipil dan Komnas HAM. 3 Kompas, “DPR Bentuk Tim Khusus Kematian Munir”, 19 November 2004. 2
36
investigasi di bawah presiden langsung pada sidang paripurna. Selain itu Ketua Komisi lll juga menjanjikan DPR akan membentuk tim pencari fakta sendiri.4 Penegasan yang sama juga dinyatakan oleh beberapa anggota DPR lainnya, seperti dinyatakan oleh Lukman Hakim Saifuddin (PPP) yang mengancam akan melayangkan usulan hak interpelasi jika presiden tidak merespon desakan DPR dan kalangan masyarakat sipil soal pembentukan tim investigasi kasus Munir tersebut.5 Esok harinya, 23 November 2004, Rapat Paripurna DPR RI menghasilkan tiga kesepakatan; pertama, DPR membentuk tim pencari fakta sendiri gabungan Komisi l dan lll; kedua, DPR meminta presiden SBY membentuk tim investigasi independen yang langsung bertanggungjawab kepada presiden; dan ketiga, meminta pemerintah dan kepolisian untuk menyerahkan hasil lengkap autopsi kematian Munir kepada keluarga dan istri.6 Pernyataan penting lainnya dari seorang pejabat publik muncul dari Panglima TNI, Jendral Endriartono Sutarto seusai rapat koordinasi dengan Menko Politik, Hukum, dan Keamanan. Menurut Panglima TNI, ia siap membantu proses penyelidikan kasus Munir serta dengan tegas membantah keterlibatan anggotanya dalam kasus ini.7 Dukungan penuh dari kalangan tokoh masyarakat misalnya dinyatakan oleh Ketua PP Muhammadiyah, Syafii Maarif saat bertemu dengan keluarga Munir serta rekan-rekan seperjuangannya dari NGO pada 24 November 2004 di kantornya. Dia menyatakan bersedia bila namanya masuk dalam tim investigasi independen tersebut.8 Dukungan komunitas internasional terhadap pembentukan tim investigasi kasus Munir datang dari 59 aktifis HAM internasional pada 20 November 2004 yang disampaikan pada acara siaran pers bersama yang disampaikan Koordinator Human Rights Working Group (HRWG) Rafendi Jamin di Jakarta. Aktifis HAM Internasional dari 30 negara tersebut sebagian besar adalah penerima “The Rights Livelihood Award” (RLA) yang diberikan oleh sebuah yayasan yang berbasis di Swedia.9 Secara khusus mereka menyatakan rasa belasungkawa mendalam serta memperingatkan pemerintahan SBY bahwa komunitas Internasional akan mengawasi proses penuntasan kasus Munir.10 Munir sendiri merupakan salah satu penerima “ The
4
Kompas, “Kasus Munir ke Paripurna”, 23 November 2004. Koran Tempo, “DPR Desak Pembentukan Tim Investigasi Kasus Munir”, 23 November 2004. 6 “DPR bentuk TPF Kematian Munir”, Media Indonesia, 24 November 2004. 7 “SBY Dukung TPF Kematian Munir”, Media Indonesia, 25 November 2004. 8 “Syafii Siap Masuk Tim Kasus Munir”, Koran Tempo, 26 November 2004. 9 Http://www.rightlivelihood.org/news/munir-poisoned.htm 10 Http://www.rightlivelihood.org/news/munir-poisoned.htm 5
37
Rights Livelihood Award” pada tahun 200011. Pada 8 – 13 Juni 2005, para aktifis penerima penghargaan RLA tersebut kembali berkumpul pada sebuah pertemuan tahunan di Salzburg, Vienna. Mereka kembali mengangkat pentingnya pengungkapan kasus Munir. Dalam pertemuan tersebut juga turut hadir Suciwati, istri Munir, yang didampingi oleh aktivis Imparsial Poengky Indarti serta aktivis KontraS, Mouvty Makaari Al Akhlaq. Dalam waktu yang hampir bersamaan dengan digelarnya pertemuan tahunan tersebut, Suciwati beserta Mouvty juga menghadiri sebuah konferensi tahunan “Human Rights Defender Forum”, yang diadakan oleh The Carter Center, pada 6 – 8 Juni 2005 di Atlanta. Dalam kesempatan tersebut mantan presiden Amerika Serikat menyampaikan simpatinya sekaligus dukungan terhadap pengungkapan kasus Munir. Suciwati, dengan difasilitasi oleh organisasi Human Rights First (dulu Lawyers Commitee for Human Rights) yang berbasis di New York, USA kemudian juga bertemu dengan sejumlah pejabat penting di washinton DC, USA untuk kemudian membicarakan perkembangan kasus Munir. Melalui kerjasama dengan Human Rights First inilah yang juga memfasilitasi keikutsertaan Suciwati dalam sebuah pertemuan forum HAM yang diselenggarakan di Atlanta, USA. Dalam siaran pers bersama yang dilakukan Human Rights First dan The Carter Center mengkritik peran badan Intelijen negara. Salah satu butir pernyataan berbunyi: “In Indonesia, efforts to reform the state intelligence body, implicated in many human rights violations, are being resisted in the name of safeguarding security” ( “Di Indonesia, upaya-upaya untuk mereformasi Badan Intelijen Negara, yang terlibat dalam banyak kasus pelanggaran HAM, dihambat atas nama perlindungan keamanan). Dukungan dari masyarakat indonesia secara umum juga datang dari kalangan komunitas korban serta kaum marjinal yang tergabung dalam Solidaritas rakyat untuk Korban Pelanggaran HAM. Mereka berunjuk rasa pada 2 Desember 2004 dengan melakukan jalan kaki dari Bundaran Hotel Indonesia ke Istana Presiden untuk menunjukkan dukungannya terhadap pembentukan tim investigasi kasus Munir tersebut.12 Dukungan terhadap pembentukan tim investigasi kasus Munir juga datng dari seorang ikon pop penyanyi terkenal Indonesia, Iwan Fals, pada 8 Desember 2004, ketika diadakan sebuah acara peresmian patung Munir di kantor Yayasan lembaga 11
“Aktifis HAM Dunia Desak Pengusutan Kasus Kematian Munir”, Suara Pembaruan, 24 November 2004. 12 “Aktifis HAM Tuntut Presiden Realisasikan Tim Independen Penyelidikan Munir”’ Kompas, 3 Desember 2004.
38
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).13 Tidak ketinggalan tercatat pula dukungan para aktifis perempuan terhadap upaya pembentukan tim investigasi tersebut saat Hari Internasional untuk Menghapus Kekerasan terhadap perempuan, 25 November 2004, yang diselenggarakan di Komnas Perempuan, yang juga didedikasikan untuk mengenang figur Munir. Menurut Ketua Komnas Perempuan, Kemala Chandrakirana, Munir dapat dinilai sebagai aktifis yang memperjuangkan dan mengadvokasi hak-hak perempuan. Selama di KontraS Munir dikenal aktif mendorong para ibu untuk memperjuangkan nasib anak-anaknya yang hilang, mempersoalkan kasus kekerasan terhadap perempuan seperti di Aceh dan Timor-Timur. Dari pihak pemerintah sendiri, mulai dari Presiden hingga Kapolri sejak awal sebetulnya telah mengeluarkan berbagai pernyataan serta berjanji untuk menangani kasus meninggalnya Munir secara serius. Namun ternyata janji-janji tersebut tidak serta merta disertai dengan berbagai tindakan nyata yang menunjukkan komitmen pemerintah untuk mengungkapkan kasus Munir tersebut secara serius. Ini kemudian terbukti ketika tim investigasi gabungan yang dibentuk Kepolisian RI berangkat ke Belanda dan gagal untuk mendapatkan seluruh bukti otentik hasil autopsi karena ternyata tidak membawa syarat-syarat sesuai yang diminta prosedur administrasi antara Belanda dengan Indonesia. A. Dinamika Pembentukan Tim Independen Pencari Fakta Kasus Munir Pada 24 November 2004 di Istana Merdeka, Suciwati didampingi Todung Mulya Lubis, Rachland Nashidik (Imparsial) serta Mouvty Makaarim Al Akhlaq (KontraS) diterima oleh Presiden SBY. Pada pertemuan itu keluarga Munir meminta Presiden SBY membentuk tim investigasi independen atas dasar Keppres (Keputusan Presiden) dan melibatkan beberapa nama tokoh masyarakat seperti Amin Rais (Mantan Ketua MPR), Syafii Maarif (Ketua PP Muhammadiyah), dan Todung Mulya Lubis. Presiden SBY sendiri pada saat itu tidak secara eksplisit untuk segera memenuhi permintaan tersebut dan lebih bersikap diplomatis dengan meminta lebih dahulu konsep dasar usulan tim investigasi kasus Munir.14 Sebagai tindak lanjut atas pertemuan sebelumnya, pada 26 November 2004 Direktur Eksekutif Imparsial Rachland Nashidik menyerahkan rancangan tim kasus
13 14
“Pejuang HAM”, Kompas, 9 Desember 2004. “Presiden Minta Konsep Dasar Tim Investigasi Munir”, Kompas, 25 November 2004.
39
Munir beserta usulan nama-nama anggotanya kepada Andi Mallarangeng, juru bicara Kepresidenan di Halim Perdanakusumah.15 Pada 8 Desember 2004, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi menyatakan bahwa pemerintah memutuskan untuk menunggu perkembangan penyelidikan yang dilakukan oleh aparat Kepolisian RI. Ini merupakan bahasa politis untuk menyatakan “tidak” bagi tim investigasi independen kasus Munir. Pernyataan yang kurang lebih sama juga diungkapkan Juru Bicara Kepresidenan, Andi Mallarangeng seusai menghadiri pelantikan Direktur Badan Intelijen Negara (BIN) yang baru, Mayjen (Purn) Syamsir Siregar. Andi Malarangeng menjelaskan bahwa presiden menilai pembentukan tim independen belum tepat dan kesempatan harus diberikan dulu kepada Polri untuk menjalankan tugasnya.16 Ada dugaan keputusan penolakan atas usulan tim investigasi independen kasus Munir tersebut merupakan hasil keputusan rapat Presiden dengan anggota kabinet secara terbatas sehari sebelumnya (7 Desember 2004).17 Merasa kecewa dengan sikap penolakan Presiden atas usulan pembentukan tim independen, istri almarhum Munir, Suciwati, bersama KontraS, Imparsial serta Kelompok Solidaritas Pembela HAM Indonesia melakukan konferensi pers bersama di kantor Imparsial, 8 Desember 2004. Menanggapi kekecewaan keluarga Munir, Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng menjawab dengan bahasa diplomatis bahwa Presiden SBY tidakmenolak usulan pembentukan tim investigasi independen, tetapi Presiden SBY lebih memberikan kesempatan dulu kepada Kepolisian RI untuk menyelidiki kematian Munir.18 Perkembangan menarik terjadi satu hari sesudahnya, 9 Desember 2004, sikap Presiden SBY berubah cukup drastis dalam pernyataan yang disampaikan oleh Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi. Dinyatakan bahwa Presiden SBY kecewa adanya kesan bahwa dirinya menolak pembentukan tim investigasi independen kasus Munir. Saat itu bahkan Presiden SBY telah menginstruksikan Jaksa Agung serta Kapolri untuk berkoordinasi dengan pihak keluarga almarhum Munir untuk merancang tim investigasi independen tersebut agar tidak tumpang tindih dengan ketentuan perundang-undangan Indonesia.19. Ketidakjelasan dari sikap Presiden SBY tersebut 15
Surat Resmi Imparsial No.337/SK/SEK/Imparsial/XI/2004, ditujukan kepada Presiden SBY. Mallarangeng: Tim Independen Belum Tepat”, Indopos, 9 Desember 2004. 17 “SBY Reneges on Promise to Munir’s Widow”, Jakarta Post, 9 Desember 2004. 18 “Suciwati Kecewa terhadap SBY”, Media Indonesia, 9 Desember 2004. 19 Lihat buku putih KontraS “Bunuh Munir!”, hal.62, Januari 2006. 16
40
kemudian mengundang munculnya berbagai reaksi dari banyak kalangan seperti anggota DPR, tokoh masyarakat, akademisi, aktivis HAM, hingga organisasi HAM internasional. Berita akan perubahan sikap dari Presiden SBY ini menjadi berita utama berbagai media massa nasional.20 Bantahan dari Presiden SBY atas kesan adanya penolakan dirinya tehadap usulan pembentukan tim independen nampaknya lebih disebabkan kekacauan serta miskoordinasi di dalam tubuh tim juru bicara kepresidenan.21 Namun ternyata apa yang telah diinstruksikan Presiden SBY untuk merancang tim investigasi independen kasus Munir tersebut belum bisa terealisasikan secara langsung. Hingga waktu seminggu setelah adanya pernyataan Presiden SBY tersebut pihak keluarga serta kalangan NGO, dalam hal ini KontraS dan Imparsial, sama sekali belum dilibatkan dalam perumusan draft tim independen tersebut yang direncanakan disusun bersama dengan Jaksa Agung, Kapolri, dan Menko Polhukam. Padahal, sejak 24 November 2004 KontraS dan Imparsial telah menyerahkan draft pembentukan tim (beserta usulan nama anggotanya). Satu-satunya undangan yang dikirim pemerintah adalah pada 13 Desember 2004, itupun hanya untuk membahas langkah investigasi yang telah dilakukan pihak kepolisian dan sama sekali tidak menyinggung pembentukan tim investigasi independen.22 Pihak pemerintah (dalam hal ini perwakilan Polri, Kejaksaan Agung, dan Departemen Hukum dan HAM) baru melakukan rapat dengan pihak keluarga Munir serta tim pengacaranya pada 21 Desember 2004 dengan melakukan pembahasan tentang kewenangan tim independen yang akan dibentuk. Pihak keluarga dan kerabat Munir mendesak agar tim ini memiliki fungsi pro-justicia serta kewenangan yang menyerupai peran Polri. Usulan tersebut ditolak pihak pemerintah dan hanya menempatkan tim investigasi independen kasus Munir sebagai sebagai pembantu penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan polisi, serta memberikan rekomendasi
20
“Tim Independen Kasus Munir Bukan Ambil Tugas Polisi”, Suara Pembaruan 10 Desember 2004. “Presiden Bantah Tolak Tim Independen Kasus Munir”, Suara Pembaruan 9 Desember 2004. “SBY Bantah Tolak Tim Investigasi Munir”, Koran Tempo, 10 Desember 2004. “Presiden Bantah Tolak Pembentukan Tim Independen Munir”, Republika, 10 Desember 2004. “SBY Sedih Dianggap Menolak”, Indopos, 10 Desember 2004. 21 “Presiden bantah Tolak Pembentukan Tim Investigasi”, Kompas 10 Desember 2004. Miskoordinasi antara pernyataan Presiden SBY dengan juru bicaranya (Andi Mallarangeng) tercatat juga terjadi pada kasus kecelakaan di jalan tol akibat iringan kendaraan presiden. 22 “Komnas HAM Pertanyakan Penyelidikan Kasus Munir”, Kompas, 20 Desember 2004.
41
bila dianggap perlu.23 Hasil dari pertemuan tersebut ternyata ditanggapi secara cepat oleh Presiden SBY. Pada tanggal 23 desember 2004 dikeluarkanlah Keputusan Presiden (Keppres) bernomor 111 tentang Pembentukan Tim Pencari fakta Kasus Munir.24 Tim Pencari Fakta/TPF kasus Munir versi Keppres ternyata berbeda dengan yang disepakati pada rapat bersama di mabes Polri 21 Desember 2004, padahal Juru Bicara Presiden Andi Mallarangeng pernah menyatakan seharusnya apa yang ditetapkan Presiden SBY sama dengan draft akhir yang disepakati di rapat Mabes Polri tersebut.25 Berikut perbandingan tugas dan wewenang TPF versi Rapat Mabes Polri 21 Desember 2004 dengan versi Keppres No. 111/2004 23 Desember 200426:
23
“Draft Tim Pembentukan Tim Investigasi Kasus Munir disepakati”, Koran Tempo, 22 Desember 2004. “Tim Investigasi Diharapkan mampu Tembus Tembok”, Kompas, 22 Desember 2004. “Munir’s family, police agree on team”, Jakarta Post, 22 Desember 2004. Usulan nama anggota tim yang direkomendasikan oleh pihak keluarga dan kerabat Munir adalah: Tim Pengarah: Syafii Maarif, Todung Mulya Lubis, Shinta Nuriyah, Asmara Nababan. Tim Kerja: Hendardi, Rachland Nashidik, Usman Hamid, Munarman, wakil Kejaksaan Agung, wakil Polri, wakil Deplu. 24 “Susilo gives Christmas ‘gifts’ to papua, Munir’s family’, jakarta Post, 24 Desember 2004. 25 “Keppres Tim Investigasi Munir Ditandatangani”, Koran Tempo, 24 Desember 2004. 26 Tabel seperti dikutip dari buku putih KontraS “Bunuh Munir!”, hal.65, Januari 2006.
42
Tugas dan Wewenang TPF Versi Rapat Mabes Polri, 21/12/2004
Versi Keppres No.111/2004, 23/12/2004
Tugas: Tugas dan Wewenang: Secara aktif membantu Penyidik Polri • Membantu Polri melakukan dalam melaksanakan proses penyelidikan penyelidikan. • Melakukan hal-hal lain yang dan penyidikan pengungkapan kasus dianggap perlu. meninggalnya Munir. • Memperoleh bantuan dari instansi Pemerintah Pusat dan Daerah. Wewenang: a) memberikan pertimbangan dan atau pendapat kepada Penyidik Polri, dengan atau tanpa diminta oleh pihak Penyidik Polri; b) mengusulkan arah penyelidikan dan penyidikan oleh Penyidik Polri, memonitor dan mengevaluasi perkembangannya; c) meminta keterangan dari pihakpihak yang diperlukan serta berkonsultasi dengan ahli-ahli dalam dan luar negeri demi kepentingan jalannya proses penyelidikan dan penyidikan. Kewajiban: Membuat laporan kepada Presiden mengenai kegiatan yang dilaksanakan dan merekomendasikan kebijakan-kebijakan bagi Presiden. Komposisi anggota TPF Versi Keppres No.111/2004, 23 Desember 2004 pun ternyata mengalami perubahan dari kesepakatan pada rapat di Mabes Polri 21 Desember 2004. Nama-nama yang memiliki karakter politik yang kuat seperti Ahmad Syafii Maarif (Ketua PP Muhammadiyah) serta Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid (Nahdlatul Ulama) tidak disertakan di dalam susunan tim. Keterlibatan tokoh-tokoh tersebut padahal amat diperlukan mengingat nuansa politis kasus meninggalnya Munir amat tinggi dan sudah dipastikan akan banyak menemui kendala secara serius. Berikut perbandingan susunan anggota TPF versi Rapat Mabes Polri 21 Desember 2004 dengan versi Keppres No. 111/2004 23 Desember 200427: 27
Tabel seperti dikutip dari buku putih KontraS “Bunuh Munir!”, Januari 2006.
43
Komposisi/Susunan Keanggotaan TPF Versi Rapat Mabes Polri, 21/12/2004 Versi Keppres No.111/2004, 23/12/2004 1) K.H. Ahmad Syafii Maarief 1) Brigjen (Pol) Marsudhi Hanafi (Ketua PP Muhammadiyah) (Ketua) 2) Sinta Nuriyah Abdurrahman 2) Asmara Nababn (Wa. Ketua) wahid 3) Bambang Widjojanto 3) Asmara Nababan 4) Hendardi 4) Todung Mulya Lubis 5) Usman Hamid 5) Pejabat Pemerintah 6) Munarman 6) Bambang Widjojanto 7) Smita Notosusanto 7) Hendardi 8) I Putu Kusa 8) Usman Hamid 9) Kemala Chandra Kirana 9) Munarman 10) Nazaruddin Bunas 10) Smita Notosusanto 11) Retno LP Marsudi 11) Wakil Kepolisian, Brigjend Pol 12) Arif Navas Oegroseno Drs. Andi Hasanudin Mappalangi, 13) Rachland Nashidik Karo Analis Bareskrim Polri 14) Mun’im Idris 12) Seorang Wakil dari Kejaksaan Agung RI, Agung, I Putu Kusa, Dir Pratut Jampidum Kejagung RI 13) Ketua Komnas Perempuan kamala Chandrakirana 14) Wakil departemen Hukum dan HAM, Nazaruddin Bunas, Dir Daktiloskopi Ditjen HAM 15) Wakil Departemen Luar negeri, Des Alwi, Kasubdit Eropa Dit Eropa Barat, Ditjen Amero
Pihak Keluarga dan kalangan NGO pun mempertanyakan perbedaan konsep TPF sebagai masalah serius dan meminta Presiden memberi penjelasan resmi atas hal itu, lebih jauh, anggota tim yang diusulkan dari unsur non-pemerintah menyatakan sulit menjadi bagian dari tim yang dibentuk Presiden apabila tidak ada penjelasan dari kepresidenan. Komite Solidaritas untuk Munir (KASUM), koalisi organisasi nonpemerintah misalnya melakukan siaran pers yang menyatakan bahwa pemerintah/presiden telah mengubah hasil kesepakatan rapat di Mabes Polri, 21 Desember 2004.28 Para anggota TPF dari wakil organisasi non-pemerintah
28
“Presiden Dinilai Langgar Kesepakatan Pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Munir”, Kompas, 29 Desember 2004. “Keppres TPF Kematian Munir Mengecewakan”, Media Indonesia, 30 Desember 2004.
44
menyatakan bila dalam waktu sebulan masih terjadi ketidakjelasan, mereka siap mengundurkan diri dari TPF.29 Walau pada akhirnya tidak perubahan sama sekali terhadap konsep TPF bentukan Presiden tersebut, dengan segala keterbatasan yang ada TPF versi Keppres No.111/2004 yang terdiri dari unsur pemerintah dan non-pemerintah memutuskan untuk melanjutkan kerja TPF. Termasuk mereka yang berasal dari unsur non pemerintah yang menyatakan untuk sementara memutuskan ikut serta dalm TPF tersebut. Mereka mengambil sikap akan mengundurkan diri jika dalam pelaksanaan kerjanya terhambat oleh keterbatasan normatif dalam Keppres tersebut. Setelah TPF berjalan, dua anggotaTPF dari unsur non-pemerintah, Bambang Widjojanto dan Smita Notosusanto tetap mengambil sikap untuk tidak ikut aktif dalam TPF versi kepresidenan tersebut. B. TPF dan Pengungkapan Fakta Kasus Munir B.1. Dugaan Keterlibatan Awak Maskapai Garuda Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir yang dibentuk melalui Keppres No. 111/2004 dan beranggotakan perwakilan Polri, Deplu, Depkumdang, Kejaksaan Agung, tim ahli serta organisasi non pemerintah mulai bekerja secara efektif sejak Januari 2005. TPF melakukan pertemuan dengan Tim Penyidik Polri pada 13 Januari 2005. Pertemuan tersebut membahas soal perkembangan kemajuan serta merumuskan rencana kerja atas penyelidikan kasus Munir. Dari pertemuan tersebut TPF memperoleh informsi mengenai data-data awal penyelidikan kasus Munir, yaitu (1). Lima berkas dokumen; General Declaration (outward/inward) awak pesawat GA 974, Laporan Perjalanan (Trip Report) atas nama Capt. Matondang, Surat Keterangan Kematian dalam Penerbangan (Death on Board), Manifes Penumpang dan Bagasi (Passenger and Banggage Manifest), serta Denah pesawat 747-400, dan (2). Kronologis singkat sebelum dan sesudah kematian Munir. Dalam pertemuan tersebut TPF menyatakan menilai Tim Penyidik Polri lambat dalam menetapkan tersangka.30 Kabareskrim Polri menyatakan mengakui keterlambatan tersebut dan menyatakan bahwa penyidikan kasus Munir ini menghadapi beberapa kendala, berkaitan dengan belum adanya respon dari pemerintah Belanda berkaitan dengan permintaan sisa
29 30
“Pembunuhan Munir Harus Tuntas Dibongkar”, Kompas, 31 Desember 2004. “TPF-Polri Rapat Paparkan Kemajuan Kasus Kematian Munir”, www.detik.com, 13 Januari 2004.
45
organ Munir, belum diperiksanya saksi penumpang yang duduk di samping Munir karena yang bersangkutan berada di Belanda serta pemeriksaan atas pengakuan Pollycarpus yang menyatakan bertugas sebagai mekanik di Bandara Changi.31 Dalam perjalanan penyelidikan selanjutnya terungkap bahwa Polly sempat dikabarkan memiliki sebuah pistol yang dia peoleh dari Badan Intelijen Negara (BIN). Pistol tersebut berjenis P-2 Double Action (P2DA) buatan Pindad. Ijin penggunaan pistol dikeluarkan oleh BIN sejak 10 Februari 2004 sampai 31 Desember 2004. Pistol tersebut dikeluarkan berdasarkan daftar administrasi BIN bernomor 210, dengan nomor register AC. 000018xxxx. Pistol tersebut menurut situs resmi PT. Pindad memiliki kaliber 9x19 mm dengan sejumlah keunggulan, seperti performa tinggi, ketahanan tinggi, andal, cocok untuk militer dan polisi. Informasi ini dibocorkan ke media dari seorang sumber di kepolisian yang enggan disebut namanya.32 Pada waktu bersamaan, beredar pesan melalui layanan pesan singkat (SMS) yang mengabarkan seputar keterlibatan Pollycarpus di Badan Intelijen Nasional (BIN).33 Ketua TPF Brigjen Marsudi Hanafi kala itu menyampaikan dua buah permintaan penting kepada Tim Penyidik Polri. Pertama, meminta penyidik Polri agar memeriksa dua orang operator Closed Circuit Television (CCTV) Bandara SoekarnoHatta yang bertugas pada 6 September 2004. Kedua, TPF juga meminta penyidik Polri untuk mengadakan rekonstruksi kronologis kasus kematian Munir.34 Permintaan TPF tersebut sangatlah penting mengingat PT. Angkasapura masih menggunakan pengawasan di bandara dengan sistem keamanan yang sangat minimal. Yakni hanya terdapat dua monitor kamera untuk memantau 600 titik di bandara. Itu pun menggunakan kamera kuno dengan menggunakan kamera kaset, yang tidak secara otomatis merekam setiap kejadian di sekitar areal badara. Sistim pengamanan dengan kamera CCTV menggunakan sistem random (acak), ada yang direkam, ada juga yang tidak. Karena alasan itulah pihak Angkasapura ll menjelaskan kepada TPF Munir bahwa keberadaan Munir menjelang keberangkatannya pada 6 September 2004 di bandara tidak terekam oleh kamera CCTV.35 Temuan tersebut sebenarnya menarik dan krusial. Sulit untuk diyakini ditengah ramainya kampanye pemerintah dalam 31
“Polri Akui Penyidikan Kasus Munir Terkesan Lambat”, www.detik.com, 18 Januari 2005. “Beredar SMS Pollycarpus Direkrut BIN Sebagai Agen Utama Intelijen”, www.detik.com, 1 Februari 2005. 33 “Beredar SMS Pollycarpus Direkrut BIN Sebagai Agen Utama Intelijen”, www.detik.com, 1 Februari 2005. 34 Lihat buku putih KontraS “Bunuh Munir!”, hal.74, Januari 2006. 35 “TPF Munir minta Polri Periksa 2 Operator CCTV Bandara”, www.detik.com, 15 Februari 2005. 32
46
penangan kejahatan terorrisme sistim pengamanan bandara masih seperti itu. Permintaan kedua TPF kepada Penyidik Polri juga amat diperlukan untuk memperjelas sekaligus menguatkan keyakinan penyidik atas bukti-bukti yang telah diperoleh. Khususnya berkenaan dengan masuknya racun ke dalam tubuh Munir, kapan dan di mana racun itu masuk ke dalam makanan atau minuman yang kemudian dikonsumsi Munir. Lebih dari itu, juga untuk mendeteksi siapa saksi yan kemungkinan melihat tindakan memasukan racun ke dalam makanan atau minuman Munir. Atas permintaan-permintaan TPF tersebut Polri memberikan respon yang tidak jelas. Bahkan pra rekonstruksi tang semula akan digelar penyidik sesuai dengan permintaan TPF justru dibatalkan.36 Pra rekonstruksi yang sedianya
akan
dilaksanankan pada 23 februari 2005 dibatalkan secara tiba-tiba. Direktur l Keamanan Transnasional Brigjen Pranowo memberikan alasan bahwa pihak Garuda belum siap menghadirkan semua kru pesawat yang terlibat dalam penerbangan pada hari kematian Munir serta belum tersedianya pesawat. Penundaan pra rekonstruksi sangat mencurigakan, padahal, rencana prarekonstruksi sendiri telah dipersiapkan cukup lama. TPF memberikan waktu tiga pekan bagi Garuda untuk mempersiapkan pesawat dan kru yang ikut dalam penerbangan bersama Munir.37 Seharusnya pihak garuda membebaskan kru yang dibutuhkan untuk proses prarekonstruksi dari tugas-tugas rutin. Padahal jelas, prarekonstruksi penting untuk memperkuat bukti-bukti permulaan yang sudah diperoleh penyidik, sehingga acara pemeriksaan akan dibuktikan secara riil di lapangan, misalnya komunikasi kru Garuda dengan Munir. Pembatalan mendadak prarekonstruksi ini akhirnya menimbulkan tanda tanya besar bagi publik serta kalangan aktifis organisasi non pemerintah, apalagi kemudian janji penundaan hingga bulan Maret 2005 ternyata tidak dipenuhi. Malah, penyidik menggelar rekonstruksi secara diam-diam pada 23 Juni 2005, menjelang hari terakhir masa kerja TPF. Rekonstruksi diadakan tanpa sepengetahuan TPF dan tanpa diketahui publik. Padahal sebelumnya, TPF dijanjikan untuk diberitahukan bahwa diikutsertakan sebagai pemantau dalam pelaksanaan rekonstruksi. Di sini, kepemimpinan penyidikan oleh Brigjen Pol. Pranowo Dahlan menjadi dipertanyakan.38 36 37 38
“Prarekonstruksi Kasus Munir Ditunda Hingga Maret”, www.tempointeraktif.com, 23 Februari 2005. Lihat buku putih KontraS “Bunuh Munir!”, hal.76, Januari 2006.
47
Akibat dari kurang tanggapnya Polri terhadap usulan-usulan penyidikan dari TPF di atas, penyidik Polri akhirnya hanya bisa menduga-duga kapan racun arsen masuk ke tubuh Munir. Misalnya penyidik membuat tiga dugaan tentang masalah tersebut, 1) saat penerbangan Jakarta-Singapura; 2) Saat transit di Changi; atau 3) sesaat setelah pesawat take off dari Singapura menuju Amsterdam. Dugaan ini tentu sangat umum. Seandainya didukung proses rekonstruksi tentu akan lebih kuat. Dugaan lainnya dikemukakan oleh Komjen Suyitno Landung yang mengatakan, ada saksi mengatakan Munir tidak mengkonsumsi apa-apa selama dalam perjalanan dari Singapura menuju Amsterdam. Munir hanya mengkonsumsi seperti mie, orange juice serta buah-buahan saat pesawat berada dalam perjalanan Jakarta-Singapura. Penyidik Polri masih belum menemukan jawaban atas proses pada masa transit di singapura dan sesaat setelah take off. Yang bisa diperkirakan, menurut Komjen Suyitno landung, Munir diketahui meninggal dunia 2 jam sebelum mendarat di Amstrerdam. Dalam hal perjalanan pesawat dari jakarta ke Amsterdam memakan waktu sekitar 13 jam 10 menit. Jika dikurangi 2 jam sebelum mendarat, maka rentang waktu meninggalnya Munir menjadi 11 jam 10 menit. Rentang waktu itulah yang didalami Polri untuk memeriksa saksi kunci.39 Pada awal Maret 2005, dari hasil pertemuan TPF dengan pihak Manajemen Garuda (dipimpin langsung Direktur Utama Garuda, Indra Setiawan), di kantor Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, telah ditemukan fakta bahwa Manajemen PT. Garuda Indonesia tidak melakukan investigasi internal terkait dengan terbunuhnya Munir. Menurut Ketua TPF, Brigadir Jenderal (Pol) Marsudi Hanafi, investigasi internal tersebut semestinya dilakukan pihak Maskapai Penerbangan, seperti tertuang dalam UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Bahkan, pihak Garuda, tidak memiliki komitmen untuk membantu proses pengungkapan kasus secara tepat. TPF kasus Munir menyimpulkan terdapat sejumlah bukti materil yang menunjukkan bahwa sejumlah pejabat serta karyawan Garuda bersekongkol atau setidaknya terlibat dalam peristiwa tewasnya aktivis HAM Munir. Untuk itu, setidaknya tiga nama direkomendasikan dijadikan terdakwa. Ketiganya adalah Aviation Security Garuda Pollycarpus, Vice President Corporation Security Ramelgia Anwar dan Dirut Garuda Indra Setiawan.40 Dari dua kali pertemuan antara TPF dan 39
“Polri Meyakini Munir Diracun oleh Orang di Pesawat”, www.detik.com, 15 Februari 2005. Indikasi keterlibatan indra, terutama pada pemeriksaan kepolisian atau saat BAP Indra mengaku sama sekali tidak mengenal Pollycarpus. Setelah dimintai keterangan secara bertubi-tubi dalam 40
48
manajemen Garuda ditemukan sejumlah bukti kuat bahwa meninggalnya kasus Munir adalah hasil dari suatu kejahatan konspiratif. Terdapat indikasi kuat terlibatnya oknum PT. Garuda serta pejabat direksi garuda baik langsung atau tidak dalam peristiwa meninggalnya Munir. Dari hasil investigasi, TPF mendapatkan bukti materil yang menunjukkan pejabat tersebut bersekongkol dengan cara mengeluarkan surat-suarat khusus untuk menutupi kejanggalan-kejanggalan yang ditemukan TPF sebelumnya.41 Surat-surat tersebut dikeluarkan secara resmi oleh garuda. Ketiga surat tersebut sarat dengan kejanggalan. Satu surat ditandatangani sendiri oleh Indra Setiawan, yang kedua oleh Ramelgia Anwar, dan satu lagi sebuah nota yang ditandatangani Sekretaris Kepala Pilot Airbus 330. Rohainil Aini. Semuanya berhubungan dengan satu orang, yakni pilot Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot pesawat Airbus 330, yang sudah 19 tahun berkarier di garuda, Tiga salinan surat yang dimilki TPF, jelas sekali menyebut (ditujukan) untuk pilot Pollycarpus. Surat pertama yang ditandatangani Indra Setiawan adalah surat penugasan bertanggal 11 Agustus 2004. Bukanlah suatu kelaziman penunjukkan seorang pilot untuk menjadi tenaga bantuan di unit keamanan perusahaan Garuda ditandatangani langsung oleh seorang Direktur Utama. Surat kedua yang dikeluarkan oleh Ramelgia Anwar juga sangat mencurigakan TPF. Surat itu mencantumkan tanggal 4 September 2004, dua hari sebelum penerbangan pesawat yang ditumpangi Munir. Tanggal itu jatuh pada hari Sabtu, saat kantior Garuda tutup dan tak mungkin mengeluarkan surat sejenis itu dalam prosedur resmi. Setelah melalui proses interogasi polisi, belakangan terungkap ternyata surat itu sebenarnya dibuat pada 15 September 2004; dan baru ditandatangani Ramelgia pada 17 september 2004. Artinya, sepekan lebih setelah Munir meninggal. Berdasarkan kondisi tersebut, ada dua kemungkinan, yaitu administrasi Garuda yang tidak profesional atau ada upaya untuk menutupi fakta tertentu yang terkait dengan pembunuhan Munir.42 Selembar surat lainnya, sebuah nota bertanggal 6 september 2004 ditandatangani oleh Rohainil Aini. Sebagai sekretaris staf administrasi jelas dia bukan
pertemuan pihak Garuda dengan TPF Indra barulah mengakui perkenalannya dengan Pollycarpus. Bahkan, dalam pertemuan terakhir dengan TPF Indra hampir menangis karena tidak bias memberikan jawaban perihal kebohongannya mengenai perkenalan dirinya dengan Pollycarpus. Indikasi kuat perkenalan itu dibuktikan dengan adanya surat tugas Pollycarpus kepada Garuda yang ditandatangani oleh Indra (Semula hal ini disangkalnya); Lihat buku putih KontraS “Bunuh Munir!”, hal.77, Januari 2006. 41 “TPF: Tiga Pejabat Garuda Sekongkol Racuni Munir”, www.detik.com, 3 Maret 2005. 42 Lihat buku putih KontraS “Bunuh Munir!”, hal.78, Januari 2006.
49
orang yang memiliki wewenang untuk menandatangani surat berisi perubahan jadwal terbang bagi Pollycarpus. Otoritas tersebut ada pada Kepala Pilot Airbus 330, Kapten Karmel S, yang ketika itu tengah bertugas di luar negeri. Dari pemeriksaan yang ada, terungkap bahwa Pollycarpus datang ke kantor pusat Garuda di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta, menemui Rohainil (6 September 2004) pukul 16.30 WIB. Menjelang tutup kantor, Polly mendesak agar dibuat surat “pengubahan jadwal” terbang, agar dia bisa ikut naik pesawat GA-974 menuju Singapura dan kembali ke Jakarta dengan penerbangan paling pagi. Dalam pertemuan antara TPF dengan Presiden 3 maret 2005, Ketua TPF Munir, Brigjen Pol Marsudi hanafi –dalam laporan sementaranya- menyatakan bahwa TPF menyimpulkan terdapat cukup bukti kuat peristiwa meninggalnya Munir merupakan hasil satu kejahatan konspiratif yang tidak mungkin dilakukan perseorangan dengan motif pribadi. Indikasinya ada persekongkolan antara pimpinan Garuda dalam menutup-nutupi, berdasarkan sejumlah kejanggalan yang berhubungan pada tanggal 6 September 2004 dengan pihak-pihak di dalam Garuda. Selain itu ditemukan sejumlah fakta yang saling berhubungan yang memperlihatkan kaitan antara BIN dengan meninggalnya Munir. Namun pihaknya masih merahasiakan sejumlah fakta yang mengaitkan BIN dengan meninggalnya Munir. TPF memfokuskan diri pada pihak di balik pelaku di lapangan. TPF sendiri sebelum bertemu dengan SBY sudah menjadwalkan pertemuan dengan BIN, namun belum ada tanggal pastinya.43 TPF merekomendasikan adanya pemeriksaan terhadap para 4 orang direksi Garuda serta 2 orang petugas operator rekam untuk pemeriksaan lebih lanjut. Sementara itu, 3 Maret 2005, Presiden SBY melalui Menteri Sekertaris Negara (Mensesneg) Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa pengungkapan kasus Munir akan menjadi indikator perubahan bangsa ini. Ia menghargai kerja keras dari TPF untuk membantu penyidikan Polri dan mempersilakan TPF kasus Munir meminta keterangan dari semua institusi dan badan negara, termasuk BIN bila diperlukan. Pemerintah tidak akan mencampuri, tetapui memberikan kebebasan dan mendukung sepenuhnya.44 Pada sore harinya, TPF melakukan pertemuan dengan Tim Penyidik Mabes Polri. TPF juga meyakini bahwa Tim Penyidik Polri akan menetapkan tersangka. Tim 43 44
“SBY Persilakan TPF Munir Minta Keterangan ke BIN”, www.detik.com, 3 Maret 2005. “TPF: Ada Indikasi Konspirasi Dalam Kematian Munir”, Kompas, 3 Maret 2005.
50
penyidik telah menemukan kejanggalan-kejanggalan dari dokumentasi dan penugasan kru Garuda di pesawat GA 974 yang sesuai dengan temuan TPF. Namun penyidik belum juga menetapkan tersangka karena masih mengumpulkan bukti-bukti yang kuat sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia.45 Kapolri Jendral Polisi Da’i Bachtiar menegaskan, akan melakukan evaluasi secara mendalam terhadap informasi yang diberikan TPF yang menyatakan adanya keterlibatan pejabat Garuda dengan kematian Munir. Da’i juga menegaskan, sejauh ini pihak penyidik tidak akan menetapkan status tersangka terhadap siapapun sebelum penyidik berhasil mengambil keterangan seluruh saksi, yakni semua penumpang yang berada di pesawat dengan rute Jakarta-Singapura-Amsterdam pada 6 September 2004, lalu. Langkah ini dilakukan agar pihak kepolisian memiliki seluruh data informasi yang lengkap sebelum diputuskannya status tersangka. Da’i mengaku orang yang patut diduga itu belum diketahui apa perannya dalam kematian Munir, tapi setidaknya ada dugaan, ada sesuatu yang disembunyikan atau perlu dipertanyakan hingga patut diduga yang bersangkutan terkait dengan meninggalnya Munir. Namun laporan TPF tersebut merupakan hasil keterangan lebih lanjut dari keterangan jajaran direksi Garuda yang perlu dikaji lagi atau perlu didalami lebih lanjut berkaitan dengan proses penegakan hukum.46 Sementara itu, DPR melalui Tim Gabungan Kasus Munir DPR memanggil direksi Garuda beserta seluruh kru yang bertugas saat Munir meninggal dalam pesawat, guna meminta keterangan pihak Garuda berkaitan dengan meninggalnya Munir. Pertemuan itu dilakukan secara tertutup. Dalam keterangan kepada pers, Dirut Garuda Indra Setiawan membantah soal tudingan dirinya serta jajarannya terlibat dalam kasus tewasnya Munir seperti yang diungkapkan TPF. Namun Indra membenarkan soal surat penugasan Pollycarpus sebagai Aviation Security Garuda yang dikeluarkannya. Adanya nomor ganda dalam surat penugasan Pollycarpus berkaitan dengan masalah administrasi.47 Tim Gabungan Kasus Munir juga kemudian memanggil Pollycarpus dalam sebuah pertemuan tertutup, sebagai tindak lanjut dari pertemuan dengan Dirut Garuda. Slamet Effendy Yusuf menyatakan DPR tidak puas dengan jawaban Pollycarpus yang dianggap berbelit-belt. DPR mempertanyakan tugas Polly pergi ke Singapura pada 45
“TPF Yakin Tim Penyidik Kasus Munir Segera Tetapkan Tersangka”, www.detik.com, 4 Maret 2005. 46 “Kapolri Akan Evaluasi kaitan Garuda dalam Kasus Munir”, www.detik.com, 4 Maret 2005. 47 “Dirut Garuda Bantah terlibat Kasus Tewasnya Munir”, www.detik.com, 4 Maret 2005.
51
malam itu, secara umum apa tugas Polly sejak 11 Agustus 2004, apa yang dilakukan Polly dalam pergaulannya dengan beberapa orang di Jakarta, serta tentang kejadiankejadian yang menimpa Polly seperti masalah tabrak lari yang pernah diderita oleh Polly. DPR juga menyatakan keraguannya terhadap ketrangan Polly yang menyatakan bahwa tugasnya ke Singapura sebagai Aviation Security itu dijalankan hanya dengan melakukan pertemuan saja dengan teknisi Garuda yang ada di Singapura, tapi tidak melakukan pengecekan terhadap pesawat yang bersangkutan.48 Pada 10 Maret 2005 sedianya pihak penyidik Polri akan melakukan pemeriksaan intensif terhadap Pollycarpus, namun pemeriksaan tersebuat urung terjadi karena Polly mengalami sakit dilengkapi dengan surat keterangan istirahat dari dokter, berkop Garuda Sentra Medika dan logo Garuda. Namun keterangan itu diraguakn penyidik Polri karena tidak menjelaskan sakit yang diderita Polly. Untuk itu Polri mengancam akan mengirimkan tim khusus (termasuk dokter kepolisian), serta menyiapkan lie detector (alat uji kebohongan) jika Polly tidak kooperatif.49 Akhirnya pada 14 Maret 2005, Polly mulai diperiksa di Mabes Polri, setelah sebelumnya dibawa oleh Polri ke rumah Sakit Polri 12 Maret 2005, karena penyempitan pembuluh darah setelah mengalami kecelakaan di Jl. Raya Pondok Cabe tiga minggu sebelumnya.50 Setelah pemeriksaan secara marathon lima hari berturut-turut –melalui pemeriksaan kesehatan, psikis, maupun aktivitasnya-, pada Jum’at 18 Maret 2005 malam tim penyidik Mabes Polri menetapkan Pollycarpus Budihari Priyanto, Pilot Garuda, sebagai tersangka dan menahan Pollycarpus di rumah tahanan Mabes Polri. Kapolri Jendral (Pol) da’I bachtiar menyatakan ada indikasi Pollycarpus memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, ada sesuatu yang disembunyikan, dan hal inilah yang menjadi indikator bagi penyidik bahwa diperlukan pendalaman lagi untuk penyelidikan. Sejauh itu, atas dasar ‘ada sesuatu yang disembunyikan’ polisi meyakini bahwa Pollycarpus terlibat dengan kematian Munir. Dia berperan membantu serta menyediakan fasilitas, namun dia tidak menyebutkan siapa eksekutor. Akan tetapi, Direktur Kriminal Umum dan Transnasional Kepolisian Negara RI (Polri) Brigadir Jendral (Pol) Pranowo Dahlan dan Penyidik Utama Unit lll Bareskrim Mabes Polri Kombes Pol. Anton Charlian 48
“Polly dianggap Berbelit-belit, DPR Tidak Puas”, www.detik.com, 8 Maret 2005. “Mabes Polri Periksa Polycarpus Pukul 10.00, Polri Kirim Tim untuk Pastikan Sakitnya Pollycarpus”, www.detik.com, 8 Maret 2005. 50 “Diam diam Pollycarpus sudah berada di Mabes Polri”, www.detik.com, 14 Maret 2005. 49
52
menegaskan, polisi memiliki bukti kuat untuk menetapkan Pollycarpus sebagai tersangka. Tersangka dianggap melakukan pelanggaran pasal 340 Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) tentang pembunuhan berencana, junto pasal 55 dan pasal 56 KUHP, plus sangkaan subsider berupa pelanggaran pasal 263 KUHP, tentang pemalsuan dokumen. Dasar-dasar penetapan yang bersangkutan, antara lain adanya laporan polisi, keterangan saksi, visum dan bukti material.51 Mabes Polri kembali memeriksa Sekretaris Chief Pilot Airbus 3330 PT. Garuda Indonesia, Rohainil Aini, sebagai saksi kunci terkait dugaan pemalsuan dalam surat penugasan Pollycarpus Budihari Priyanto. Mabes Polri menduga semua surat tugas Pollycarpus dalam penerbangan Garuda, 6 September 2005 ke Belanda semua palsu. TPF kasus Munir mengindikasikan Rohainil Aini terkait langsung dengan meninggalnya Munir. Rohainil merupakan orang yang menandatangani surat penugasan Pollycarpus untuk menjadi Aviation Security di pesawat Garuda 974 rute Jakarta-Singapura-Amsterdam, 6 September 2004. Padahal prosedur penerbangan mengatur seorang pilot diperbolehkan terbang atau tidak jika mendapatkan surat penugasan dari kepala pilot. Jika tidak disertai surat penugasan itu penerbangan disebut illegal atau pelanggaran.52 Masih berdasarkan rekomendasi TPF, Polri kemudian juga memeriksa Vice President Human resource Department, Daan Ahmad, terkait dengan pembuatan surat tugas Pollycarpus. Ia melaksanakan tugas yang diberika oleh Ramelgia Anwar (VP Corporate Security), yang menandatangani surat tugas Pollycarpus. Padahal semestinya surat tugas Pollycarpus ditandatangani oleh Direktur Operasional Garuda, Rudi A Hardono.53 Bahkan menurut TPF
surat
Ramelgia Anwar ternyata dibuat mundur (backdated/antidatum). Setelah Pilot Garuda Pollycarpus ditetapkan sebagai tersangka, penyidik Mabes Polri menetapkan status yang sama terhadap dua awak garuda lainnya, Oedi Irianto selaku petugas pantry serta Yeti Susmiarti selaku pramugari pada penerbangan Garuda GA 974. Keduanya ditetapkan tersangka karena mereka bertugas mempersiapkan segala sesuatu/makanan dan minuman untuk penumpang, termasuk untuk almarhum Munir. Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri Komjen Pol. Suyitno Landung menjelaskan racun Arsen masuk ke tubuh Munir diduga pada penerbangan Jakarta-Singapura sesuai dengan hasil toksiologi dari pakar 51
“Pollycarpus Masih Sembunyikan Eksekutor Pembunuhan Munir”, www.detik.com, 21 Maret 2005. “Pembuat Surat Tugas Pollycarpus kembali Diperiksa”, www.detik.com, 21 maret 2005. 53 “TPF Munir Minta Polri Periksa Vice President HRD Garuda”, www.detik.com, 23 Maret 2005. 52
53
Belanda dan Indonesia.54 Sedangkan TPF Kasus Munir meminta Kepolisian RI mempertimbangkan penetapan Brahmanie Astawati-pramugari senior (purser) yang juga bertugas pada penerbangan GA 974 sebagai tersangka. Alasan dari TPF, Brahmani-lah yang mengijinkan penukaran tempat duduk bagi Munir saat perjalanan Jakarta-Singapura. Brahmanie sendiri menegaskan, ia tidak pernah dimintai ijin oleh Pollycarpus untuk memindahkan tempat duduk Munir dari nomor 40 G (klas ekonomi) ke 3K (klas Bisnis). Menurutnya, Pollycarpus hanya memberitahu tentang pemindahan tempat duduk tersebut. Brahmanie mengaku ia tidak kuasa menolak pemindahan seat oleh Pollycarpus, meskipun Pollycarpus tidak berwenang. Sebab, ketika itu Munir sudah duduk di seat bisnis. Selain itu, ada satu alasan yang bisa dirsakan para awak kabin seperti dia, yakni bahwa pilot ibarat ‘warga kelas satu’ di maskapai penerbangan. Ia menolak keras jika dinilai terlibat dalam konspirasi pembunuhan Munir. Selain itu, ia hanya bertugas sebagai flight service manager dari Jakarta sampai Singapura, sementara yang bertugas menggantikannya untuk penerbangan Singapura-Jakarta adalah najib Nasution. Brahmanie menyatakan lagi, sehari sebelum keberangkatan, awak kabin menerima pesanan moslem meal (makanan muslim) untuk kursi 40G kelas ekonomi, yang merupakan kursi ‘asli’ Munir, namun ia mengaku tidak tahu siapa yang memesan makanan tersebut.55 Lebih jauh, Ketua TPF Munir, Brigjen Marsudhi Hanafi mengusulkan Indra Setiawan serta Ramelgia Anwar untuk dijadikan tersangka, karena jelas terlibat dalam pembuatan surat palsu.56 Untuk itu, tim penyidik Mabes Polri memeriksa semua awak garuda, termasuk Indra setiawan, Ramelgia Anwar, Rohainil Anwar, Hermawan dan Edi Susanto pada 8 April 2005.57 berkaitan dangan hal tersebut, Ketua TPF Marsudhi menyatakan mempercayakan penyelidikan kepada pihak kepolisian, karena tugas TPF hanyalah merekomendasikan beberapa nama yang kemudian akan ditindaklanjuti oleh polisi.58
54
“Polisi Tetapkan Dua Tersangka Baru Kasus Munir”, www.kompascyber.com, 5 April 2005. Lihat juga, “Lagi, Dua Kru Garuda akan Diperiksa Diduga terlibat Terlibat Kasus Munir”, Media Indonesia, 5 April 2005. 55 “Polri Perlu Pertimbangkan Status Brahmani”, Kompas, 7 April 2005. 56
“TPF Usulkan Indra dan Ramelgia Jadi Tersangka Kasus Munir”, www.detik.com, 7 April 2005. “Mantan Dirut Garuda Diperiksa Tim Penyidik Kasus Munir”, www.kompascyber.com, 8 April 2005. “Semua Awak Garuda Diperiksa Polisi”, Tempo Interaktif, 8 April 2005. 58 “TPF Percayakan Penyelidikan kepada Kepolisian”, www.tempointeraktif, 8 April 2005. 57
54
B.2. Dugaan Keterlibatan Anggota Badan Intelijen Negara pada Kasus Tewasnya Munir Pertengahan Maret 2005, TPF kasus Munir mendapatkan sejumlah informasi dari sumber-sumber yang dirahasiakan, mengenai dugaan keterlibatan (setidaknya mengetahui), dari sejumlah aparat intelijen dalam kasus pembunuhan Munir. TPF menganggap bahwa informasi itu terlalu penting untuk diabaikan, namun terlalu berbahaya untuk dipercayai begitu saja. Penting, karena informasi itu memperkuat salah satu dari kemungkinan motif pembunuhan Munir. Berbahaya, karena informasi peka tersebut disampaikan oleh pihak-pihak yang merahasiakan identitasnya untuk tujua-tujuan yang tidak diketahui.59
Karenanya, untuk memastikan informasi itu
adalah sebuah petunjuk bagi investigasi kasu pembunuhan Munir atau informsi yang justru menyesatkan, TPF menilai perlu untuk mengecek kebenaran dari informasi tersebut. Termasuk pula di dalamnya mengecek informasi mengenai keterlibatan lembaga intelijen dalam kasus pembunuhan Munir, di mana BIN adalah salah satu lembaga yang perlu diperiksa.TPF mengharapkan, semua pihak yang mengetahui ataupun memiliki informasi satupun bukti-bukti tambahan yang tersembunyi berkaitan dengan kasus Munir agar menyerahkannya kepada TPF. Selama kasus ini tetap menjadi misteri dan tidak mampu diungkap, selama itu pula banyak pihak, termasuk di dalamnya TNI dan sejumlah perwira tinggi lainnya, baik yang masih aktif ataupun telah purnawirawan, akan mendapatkan sorotan yang sama sekali tidak menguntungkan.60 Kapolri Jend Pol. Da’i Bachtiar saat itu menegaskan, Polri tidak ada masalah dalam pemeriksaan Intelijen yang diduga terkait dalam pembunuhan Munir. Ia tetap mempelajari rekomendasi TPF dan akan melakukan penyelidikan lebih lanjut jika rekomendasi TPF cukup akurat.61 Kepala BIN Syamsir Siregar kemudian menyatakan bahwa BIN siap diperiksa serta tidak ada kesulitan dari pihak manapun untuk bertemu dengan pejabat BIN.62 Berkaitan dengan dugaan keterlibatan BIN dalam peristiwa terbunuhnya Munir ia meminta pihak-pihak yang terkait tidak menduga-duga melainkan memberikan bukti keterlibatan BIN.63
59
“TPF Munir Diminta mengecek Info keterlibatan Anggota BIN’, www.detik.com, 17 Maret 2005. Lihat buku putih KontraS “Bunuh Munir!”, hal.86, Januari 2006. 61 “Kapolri: Tidak Ada Masalah Periksa Intelijen Soal Munir”, www.detik.com, 24 Maret 2005. 62 “Polisi Tak Akan Ragu Periksa BIN”, www.kompascyber.com, 24 Maret 2005. 63 “BIN Segera Ketemu TPF Munir”, www.tempointeraktif.com, 28 Maret 2005. 60
55
Pertemuan antara TPF dengan BIN di lapangan tertunda beberapa kali. Menurut anggota TPF Rachland Nashidik, surat undangan kepada Kepala BIN tidak terlalu digubris, sehingga pertemuan itu tertunda. TPF menyesalkan sikap Syamsir, karena seringkali alasan pembatalan itu tidak dijelaskan secara jelas oleh pihak BIN. TPF sebenarnya hanya ingin meminta komitmen BIN agar mau melakukan kerjasama yang penuh dengan TPF dan memberika hal-hal yang dibutuhkan TPF, serta untuk mengusulkan mekanisme kerjasama antara TPF dan BIN dalam proses penyelidikan kasus Munir.64 Selain itu, Usman Hamid menyatakan bahwa pertemuan ini untuk mendorong BIN melakukan penyelidikan internal terlebih dahulu terhadap anggotanya yang diduga terlibat.65 Pertemuan antara TPF dengan BIN akhirnya terjadi pada 6 April 2005. Kepala BIN Syamsir Siregar menyatakan komitmennya untuk medukung kerja TPF dalam menuntaskan kasus meninggalnya Munir. Dukungan tersebut akan segera dituangkan dalam nota kesepahaman bersama untuk kerja sama berikutnya. Sekretaris TPF Usman Hamid mengatakan, pertemuan dengan Kepala BIN yang berlangsung sekitar 1,5 jam dan hasilnya cukup positif. Bahkan Kepala BIN sudah menyatakan komitmennya guna mendukung kerja sama dengan TPF. Dukungan itu akan dituangkan dalam pembuatan protokol atau kesepahaman bersama untuk kerjasama berikutnya. BIN juga menempatkan tiga deputinya bergabung dalam tim khusus bersama dengan empat orang anggota TPF, yang akan menyusun protokol (semacam prosedur) untuk penyelidikan kasus kematian Munir.66 Menyikapi perkembangan tersebut, Presiden SBY menyetujui pembentukan tim gabungan antara BIN dan TPF untuk mengungkap kematian Munir. Mengenai pembentukan tim gabungan untuk kasus Munir, Kepala BIN Syamsir Siregar menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan komitmen dari pihak BIN untuk membantu penyelidikan atas kasus pembunuhan Munir. Ia menyerahkan kepada TPF dalam menetapkan mekanisme dan pola kerja antara wakil dari BIN dan TPF.67 Namun ia membantah kabar adanya Surat Keputusan (SK) tentang pengangkatan Pollycarpus sebagai agen BIN karena tidak ada bukti otentik.68
64
“TPF Munir Layangkan Surat Undangan Kedua untuk Kepala BIN”, www.detik.com, 31 Maret 2005. 65 “TPF Munir Kembali Jadwalkan Pertemuan dengan Kepala BIN”, Media Indonesia, 2 April 2005. 66 “BIN Dukung TPF Munir”, www.kompascyber.com, 6 April 2005. 67 “Presiden SBY Persilakan Tim Gabungan Kasus Munir Dibentuk”, www.detik.com, 11 April 2005. 68 “BIN Bantah Pollycarpus jadi Agen Intelijen”, www.tempointeraktif.com, 11 April 2005.
56
Namun ternyata kesepakatan antara TPF dengan BIN tersebut tidaklah berjalan dengan baik. Berbagai upaya TPF untuk memeriksa pejabat dan anggota BIN terganjal berbagai kendala. TPF telah melakukan 3 kali pemanggilan pemeriksaan sebagai saksi terhadap mantan Sekretaris Utama BIN yang kini menjadi Duta Besar Indonesia untuk Republik Federasi Nigeria, Nurhadi Djazuli. Nurhadi menolak untuk memenuhi panggilan TPF karena ia menilai TPF tidak berwenang melakukan penyelidikan yang merupakan wewenang Kepolisian Negara RI.69 Ketua TPF Marsudhi Hanafi menilai penolakan Nurhadi menunjukkan sikap yang tidak kooperatif serta menghina Presiden karena TPF bekerja berdasarkan Keppres.70 Karena itu, anggota TPF Asmara Nababan mengusulkan adanya pertemuan antara Presiden, TPF, BIN dan Kapolri untuk mencari solusi agar kinerja TPF dapat berjalan efektif. Pertemuan ini juga diharapkan dapat memperlancar kerjasama dengan BIN sehingga dapat mempercepat proses pencarian fakta.71 Hal tersebut didukung Kapolri Jendral Da’i Bachtiar, walaupun ia mempertanyakan apakah pertemuan tersebut bisa mendukung penyidikan yang berlangsung. Sejauh ini tim penyidik mengalami kesulitan dalam proses kesaksian.72 Pada 2 Mei 2005 protokol kerjasama antara TPF dan BIN akhirnya ditandatangani. Protokol ini pula dimaksudkan menjadi alat pengikat bagi Nurhadi Djazuli untuk tidak menghindar dari panggilan TPF, karena diindikasikan keterlibatan mantan sekretaris BIN tersebut dalam kasus pembunuhan Munir.73 Nurhadi Djazuli akhirnya hadir dalam pemeriksaan dengan TPF pada 8 Mei 2005 di kantor TPF, Komnas perempuan, Jakarta. Dari hasil pemeriksaan tertutup tersebut TPF menyatakan bahwa TPF semakin yakin tentang adanya keterlibatan aparat BIN atau mantan BIN dalam kasus pembunuhan Munir. Hal ini dapat menjadi pintu masuk untuk menelusuri fakta-fakta tentang dugaan-dugaan yang telah dimiliki TPF berkenaan dengan indikasi keterlibatan tersebut. 74 Sementara itu, Kepolisian RI juga memeriksa Nurhadi Djazuli guna membandingkan temuan tim penyidik dengan
69
“Mantan Sekretaris Utama BIN Tolak Diperikasa TPF Munir”, Kompas, 28 April 2005. “Tolak Dipanggil TPF Munir, Mantan Sekretaris Utama BIN Hina SBY”, www.detik.com, 29 April 2005. 71 “Diusulkan Pertemuan Segi Empat SBY, TPF, BIN dan Kapolri”, www.detik.com, 19 April 2005. 72 “Kapolri Dukung Pertemuan Segi Empat Kasus Munir”, www.detik.com, 20 April 2005. 73 “TPF, BIN teken Kerja Sama Ungkap Kasus Munir”, Media Indonesia, 3 Mei 2005. 74 “TPF Munir Kian Yakin BIN Terlibat Pembunuhan”, www.detik.com, 9 Mei 2005. 70
57
TPF, termasuk mencari keterkaitan Pollycarpus, tersangka kasus Munir dengan BIN. Setelah dikonfrontir, baik Nurhadi maupun Pollycarpus mengaku tidak saling kenal.75 Berkaitan dengan perkembangan-perkembangan paska pemanggilan Nurhadi Djazuli, TPF kasus Munir kemudian melaporkan hasil penyelidikannya kepada Presiden SBY pada 11 Mei 2005. TPF juga melaporkan rencana pemeriksaan anggota BIN lainnya, tetapi belum mendapat kepastian waktu.76 Terhambatnya berbagai pertemuan TPF dengan BIN akhirnya mendorong Presiden untuk memimpin langsung pertemuan antara TPF, BIN dan mabes Polri. Sebagai persiapan pertemuan segi empat tersebut, SBY menggelar rapat koordinasi mendadak dengan dengan Kapolri Jendral Pol Dai Bachtiar, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, serta Menkum dan HAM Hamid Awaluddin. Rapat itu juga dilakukan untuk mengambil langkah sebagai tindak lanjut usulan dari DPR mengenai pengungkapan kasus Munir, serta menginstruksikan kepada seluruh dan instansi terkait untuk mendukung segala upaya TPF untuk mengumpulkan keterangan mengenai kematian aktifis HAM Munir. SBY merasa belum puas dengan kemajuan yang dicapai TPF sejauh ini belum juga menunjukan hasil yang signifikan.77 Sebagai tindak lanjut pemeriksaan terhadap anggota BIN, TPF mendatangi Kantor BIN pada 12 Mei 2005. TPF mengatakan akan memeriksa sejumlah dokumen terkait dengan prosedur dan aturan di BIN serta menindaklanjuti hasil pertemuan tim dengan Nurhadi.78 TPF juga melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap Nurhadi, untuk memperdalam hasil temuan awal, dan akan menindaklanjutinya dalam 3 tahapan. Yaitu mendalami keterangan-keterangan Nurhadi, meng-crosscheck- seluruh keterangan Nurhadi, baik pada pemeriksaan pertama dan kedua, dengan saksi lain, informasi dan petunjuk lain yang dimiliki TPF Munir. Termasuk dibandingkan dengan keterangan Nurhadi ketika diperiksa di Kepolisian.79 Pada pertemuan segiempat yang digelar antara Preseiden, TPF kasus Munir, Polri dan BIN pada 19 Mei 2005,
TPF melaporkan temuannya berupa suatu
kesimpulan tentang adanya keterangan-keterangan pejabat BIN yang bertentangan dengan fakta-fakta yang ada.80 Selepas pertemuan tersebut, Wakil Ketua TPF Asmara Nababan mengatakan bahwa TPF kasus Munir telah mempertimbangkan untuk 75
“Polisi Periksa Mantan Pejabat BIN”, www.tempointeraktif.com, 11 Mei 2005. “TPF Munir laporkan Hasil Penyelidikan ke SBY”, www,detik.com, 11 Mei 2005. 77 “SBY Turun Tangan Pertemukan TPF Munir, BIN dan Polri”, www.detik.com, 11 Mei 2005. 78 “Tim Munir Datangi Markas BIN”, www.tempointeraktif.com, 12 Mei 2005. 79 “TPF Munir Kesulitan Peroleh Info riil dari Nurhadi”, www.detik.com, 18 Mei 2005. 80 “Temuan TPF Munir, BIN Bohong”, www.tempointeraktif.com, 18 Mei 2005. 76
58
memeriksa mantan Kepala BIN Hendropriyono serta mantan Deputi V BIN Muchdi PR. TPF menyatakan telah menemukan fakta adanya sambungan telepon dari nomor telepon milik Pollycarpus dengan Kantor BIN di masa kepemimpinan Hendropriyono, yaitu adanya sambungan telepon antara Polly dengan kantor Deputy V BIN yang waktu itu dijabat oleh Muchdi PR. TPF kasus Munir menemukan fakta adanya sambungan telepon antara Pollycarpus dengan Muchdi berlangsung sebelum dan sesudah Munir tewas pada 7 September 2004. terlacak terjadi puluhan kali kontak sambungan telepon antara Pollycarpus dangan Muchdi tersebut. Meski belum diketahui pola hubungan antara keduanya, setidaknya fakta tersebut telah menggugurkan semua bantahan BIN yang menyatakan tidak memiliki kaitan apapun dengan Pollycarpus.81 Dalam pertemuan TPF kasus Munir dengan Tim Munir DPR pada 19 Mei 2005, TPF juga menyatakan bahwa BIN tidak kooperatif dalam usaha pengungkapan terbunuhnya Munir. Dalam menjalankan tugasnya TPF menyatakan mendapat perlakuan yang meyulitkan dari BIN, di antaranya dalam mendapatkan dokumen serah terima jabatan mantan Sekretaris Utama BIN Nurhadi Djazuli kepada Sekretaris Utama BIN Suparto. TPF dalam kesempatan tersebut mengharapkan perhatian DPR untuk mendorong agar apa yang telah disepakati pimpinan BIN dengan TPF juga dapat diimplementasikan stafnya. Belajar dari kasus ini, seorang anggota TPF juga mengusulkan kepada DPR agar merestrukturisasi lembaga intelijen, termasuk soal pertanggungjawaban yang ketat atas sebuah operasi intelijen Pada 18 Mei 2005, setelah sebelumnya dijadwalkan dilakukan pada 16 Mei 2005, Tim Penyidik Polri memeriksa Muchdi PR. Namun anehnya, pada 3 Juni 2005 Muchdi PR tidak hadir memenuhi panggilan TPF tanpa alasan yang jelas. Sedianya TPF akan melakukan konfirmasi mengenai hasil penelusuran telepon antara Muchdi dengan Polly. Seperti telah disebutkan, ditemukan adanya saling kontak antara Pollycarpus dengan Muchdi PR sebanyak 35 kali, baik sebelum maupun sesudah Munir tewas pada 7 September 2004. Dengan berbagai berbagai kendala dari sikap BIN yang cenderung tidak kooperatif, misalnya keengganan BIN untuk membuka akses penyelidikan TPF ke dalam BIN, proses pembuatan protokol bersama BIN – TPF yang cukup menyita waktu lama, hingga resistensi beberapa (mantan) anggota BIN untuk dimintai keterangan, penyelidikan TPF terus berlanjut sampai ke arah Hendropriyono, mantan 81
“TPF Pertimbangkan Periksa Eks Kepala BIN Hendropriyono”, www.detik.com, 18 Mei 2005.
59
Kepala BIN yang saat Munir meninggal menjabat posisi tersebut. Pemeriksaan Hendropriyono memang diperlukan untuk memastikan sejauh mana keterlibatan BIN dalam kasus pembunuhan Munir. Sebelumnya pejabat/mantan pejabat BIN yang masuk daftar TPF untuk dimintai keterangan adalah Nurhadi Djazuli (mantan Sekretaris Utama BIN), Kolonel (Mar) Sumarno (Kepala Biro Umum BIN), dan Mayjen (Purn) Muchdi PR (Deputi V BIN). Pemeriksaan terhadap Hendropriyono penting dilakukan, apalagi mengingat Hendropriyono (dan Muchdi PR) memiliki pengalaman sejarah yang kurang baik dengan Munir berkaitan dengan investigasi kasus-kasus pelanggaran HAM seperti kasus Talangsari Lampung serta kasus penculikan aktivis pada 1998. Secara politik almarhum Munir dan Hendropriyono memiliki ketegangan hubungan berkaitan dengan beberapa kasus, dimulai dari advokasi yang pernah dilakukan Munir pada kasus Talangsari, Lampung, hingga kasus peran BIN berkaitan dengan tidak diperpanjangnya izin tinggal dan kerja Sidney Jones, Direktur International Crisis Group (ICG), sebuah lembaga berbasis di Belgia yang pernah mengeluarkan laporan terkait dengan peran intelijen dalam sejumlah masalah sensitif. Hendropriyono mengeluarkan pernyataan bahwa mereka yang membela Sidney Jones merupakan pengkhianat bangsa. Hendropriyono kemudian menyatakan akan ada tindakan yang diambil terhadap mereka (yang membela Sidney Jones).82 Isu yang terakhir ini juga bersamaan dengan bersitegangnya Munir dengan Kepala BIN Hendropriyono, seputar pernyataan serta laporan BIN tentang 20 LSM yang dituduh menjual Indonesia ke pihak asing.83 Keterkaitan Hendropriyono sebagai mantan Kepala BIN dalam kasus pembunuhan Munir amat menarik mengingat hingga menjelang keberangkatan studi ke Belanda Munir sendiri masih percaya bahwa karena sikap kritisnya itulah ia dicekal oleh BIN.84 Sebelumnya almarhum Munir memang terlibat aktif dalam mengkritisi upaya penguatan kewenangan BIN secara luar biasa melalui rancangan undang-undang, mulai dari keinginan BIN agar diberi wewenang menangkap dan menahan orang yang dicurigai, sumber pendanaan non APBN, wewenang pemberian izin penggunaan senjata api, hingga perluasan struktur BIN hingga ke tingkat desa.85
82
“BIN Minta Tanggung Jawab WNI yang Bela Sidney Jones”, Koran Tempo, 8 Juni 2004. “Penyataan Kepala BIN Dinilai Hidupkan Kembali Mesin Represi”, Kompas, 31 Mei 2004. 84 “Aboeprijadi Santoso, Pengantar: Gugur di Musi Gugur”, dalam Jaleswari Pramodhawardani dan Andi Widjojanto (de), “Munir; Sebuah Kitab melawan Lupa”, Mizan Media Utama, 2004. 85 Lihat buku putih KontraS “Bunuh Munir!”, hal.95, Januari 2006. 83
60
Menjelang hari terakhir masa kerja TPF, Polri secara diam-diam akhirnya menggelar sebuah rekonstruksi –hal yang telah lama diminta TPF- di Hanggar ll Garuda Maintenance Facility (GMF) Bandara Soekarno Hatta, 23 Juni 2006. Rekonstruksi tersebut dihadiri oleh para tersangka yaitu Pollycarpus, Oedi Irianto dan Yeti Susmiati, dengan menggunakan pesawat Garuda Boeing 737.86 Direktur l Bareskrim Mabes Polri, Brigjen Pol Pranowo Dahlan, bahwa rekonstruksi sengaja dilakukan secara tertutup demi kepentingan kelancaran jalannya proses rekonstruksi.87 Setelah sebelumnya sempat diperpanjang pada 23 April 2005, masa kerja TPF kasus Munir berakhir 23 Juni 2005. TPF kemudian melaporkan hasil kerjanya kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika penyampaian laporan TPF, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi mengeluarkan pernyataan bahwa institusi TNI, mulai dari Mabes hingga regu-regu di kesatuan, tidak telibat dalam kasus Munir. Selanjutnya Sudi Silalahi menyatakan, pemerintah akan mengolah dan menindaklanjuti rekomendasi TPF dalam waktu singkat untuk mengambil langkah-langkah kongkret berkaitan dengan kasus kematian Munir.88Sudi Silalahi kemudian menjelaskan, Presiden juga mendistribusikan laporan TPF ke para Menteri dan pejabat setingkat menteri terkait, yaitu Kapolda BIN Syamsir Siregar, Menkum dan HAM Hamid Awaluddin dan panglima TNI Jendral Endriartono Sutarto.89
86
“Rekonstruksi Kasus Munir Digelar di Bandara Soekarno Hatta”, www.detik.com, 23 Juni 2005. “Rekonstruksi Kasus Munir Dilakukan Tertutup”, www.detik.com, 23 Juni 2005. 88 “TPF Munir Rekomendasikan Anggota BIN sebagai Tersangka”, www.detik.com, 24 Juni 2005. 89 “Laporan TPF Munir Juga Dikirim ke BIN dan Panglima TNI”, www.detik.com, 27 Juni 2005. 87
61
BAB IV PROSES PERADILAN DAN USAHA PENUNTASAN KASUS PEMBUNUHAN MUNIR Pada awal Susilo B. Yudhono (SBY) terpilih sebagai Presiden, beliau menyatakan bahwa kasus Munir merupakan tes bagi sejarah negara ini. Namun pada kenyataannya, sejak tugas dari Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Pembunuhan Munir selesai hingga saat ini, Presiden belum juga mengumumkan hasilnya. Tindak lanjut yang ada hanyalah hasil TPF diserahkan ke Kejaksaan dan Polri. Pergantian Kabareskrim Polri dari Komjen Suyitno Landung kepada Komjen Makbul Padmanegara pada 3 juni 2006 tidak juga menunjukan kemajuan yang berarti dalam pengusutannya. Padahal tugas utama untuk Makbul adalah penanganan kasus Munir selain Bom Tentena dan korupsi dalam pengadaan jaringan dan alat komunikasi Polri1. Pengangkatan Kapolri baru Jenderal Sutanto menggantikan Jenderal Da’i Bahtiar pada 8 Juli 2005, rupanya masih juga tidak menghasilkan perkembangan baru dalam pengusutan. Empat skenario pembunuhan Munir yang diungkap oleh Brigjend (Pol) Marsudhi Hanafi dalam kapasitasnya sebagai ketua TPF2 tidak mendapatkan tindak lanjut oleh Kepolisian agar menjadi fakta hukum. Perjuangan Suciwati dalam penuntasan kasus pembunuhan Munir dengan berbagai upaya mendapatkan berbagai dukungan dari luar negeri. Majalah Time yang berbasis di Hongkong menganugerahkan Asian Heroes 20053, untuk kegigihan dalam perjuangan menemukan dalang pembunuh suaminya. Berbagai upaya telah ditempuh oleh Suciwati, melakukan lobi ke DPR, mendatangi Kepolisian, mendatangi Kejaksanaan Agung, melakukan kampanye ke beberapa negara dan beberapa daerah di dalam negeri sendiri juga dilakukan. Walaupun sudah meninggal, Munir masih mendapatkan pengakuan atas dedikasi dan keberanian dia dalam memperjuangkan penegakan HAM di Indonesia. Pada 11 Oktober 2005 Suciwati mendapat undangan untuk menghadiri penerimaan Civil Courage Award di New York. Penghargaan ini diberikan oleh the Trustees of the Northcote Parkinson Fund dengan anggotanya yang
1
“Makbul Resmi Kabareskim, Munir dan Tentena PR Utama”, http://www.detik.com/indexberita/indexfr.-php, 3 Juni 2005. 2 “Empat Skenario Pembunuhan Munir”, Kompas, 15 Juni 2005. 3 “Suciwati Munir; Taking Up the Struggle Justice” http://www.time.com/time/asia/2005/heroes /suciwati_munir.html, 3 Oktober 2005.
62
berasal dari mantan Senator di AS, Mantan Dutabesar dari berbagai negara dan lainlain4. Segala upaya yang telah ditempuh tidak menunjukan bahwa Suciwati sendirian dalam berjuang. Respon dari luar negeri pun juga berdatangan diantaranya, pernyataan oleh Anggota Parlemen dari Uni Eropa ketika berkunjung di Indonesia, yang meminta agar adanya kesungguhan Pemerintah RI dalam pengungkapan pembunuhan Munir5. Selain dari Parlemen Eropa, sebanyak 68 orang anggota Konggres Amerika Serikat menandatangani surat yang ditujukan kepada Presiden SBY untuk mempercepat penyelesaian kasusnya6. TPF yang mengalami perpanjangan masa kerjanya hingga 23 Juni 2005 mengeluarkan beberapa rekomendasi. Berdasarkan laporan yang disampaikan kepada Presiden SBY, TPF membuat 3 poin rekomendasi untuk ditindaklanjuti oleh Pemerintah. Pertama, Pembunuhan Munir tidak melibatkan satu dua orang sehingga pihak-pihak tertentu di lingkungan Garuda dan Badan Intelijen Negara yang terlibat konspirasi pembunuhan terhadap Munir harus diperiksa secara intensif. Kedua, proses pengusutan kasus Munir terhambat oleh faktor internal di tubuh Polri sehingga diperlukan langkah konkrit berupa audit kinerja Polri dalam penanganan kasus Munir. Ketiga, perlu dibentuk suatu kelembagaan baru yang berada di bawah Presiden untuk meneruskan langkah-langkah yang ditempuh TPF sekaligus sebagai bentuk kelanjutan komitmen Presiden mengungkap kasus pembunuhan terhadap Munir7. Berakhirnya tugas TPF ternyata tidak menunjukan adanya tindak lanjut yang serius dari Polri. Pimpinan Polri yang baru, Jenderal Sutanto, malah menarik Brigjen Marsudi Hanafi yang menjadi tim penyidik Polri untuk kasus Munir setelah TPF berakhir, menjadi Staf ahli Kapolri. Bahkan Kapolri sendiri yang berencana akan menghentikan penyelidikan kasus pembunuhan ini8. Bahkan berulang kali pergantian ketua tim penyelidik kasus ini diduga merupakan usaha untuk melemahkan pengungkapan kasus pembunuhan Munir. Pergantian demi pergantian tersebut tidak sejalan dengan perkembangan dari proses pengungkapan kasus, melainkan semakin menjauh dari hasil yang diharapkan. Penyelidik tidak dapat menemukan pelaku lain yang terlibat dalam kasus 4
Info lebih lanjut dapat dibuka di http://www.civilcourageprize.org/honoree-2005.htm ”Uni Eropa Tanya Kasus Munir; Ada Kecenderungan Didiamkan”, Kompas, 27 Juli 2005. 6 ”68 Anggota Konggres AS Desak Pengungkapan Kasus Munir”, Suara Pembaruan, 9 Nopember 2005. 7 “Bunuh Munir! Sebuah Buku Putih”, KontraS. 2006, hal 99. 8 ”Penyelidikan Kasus Munir Kembali ke Titik Nol,” Kompas, 20 Desember 2005. 5
63
pembunuhan Munir. Bahkan ketua tim penyelidik saat ini, Brigjen Suryadharma (Direktorat I Keamanan dan Transnasional Bareskrim), sedang menjalankan tugas
penyelidikan lainnya, sedangkan Kapolri sendiri juga bersikap menunggu keterbukaan Pollycarpus untuk mengungkap siapa dalangnya9. Hal ini ironis sekali dimana penyelidik yang seharusnya proaktif menggali berbagai informasi yang dimiliki oleh Pollycarpus, tetapi malah bersikap menunggu informasi yang kecil kemungkinan diberikan oleh Polly. Sementara itu, Pollycarpus yang sejak awal diduga terkait dengan pembunuhan ditetapkan menjadi tersangka sejak 18 maret 2005 ditahan Mabes Polri. Berkas hasil penyidikan diserahkan ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Dalam berkas yang diserahkan pada 13 juni 2005 ini, Polly dijerat dengan pasal 340 (tentang pembunuhan berencana) jo pasal 55 dan atau 56 dan subsider 26310. Selain Pollycarpus, Polisi juga menetapkan dua awak Garuda yaitu Yeti Susmiarti dan Oedi Irianto menjadi tersangka11, yang sampai dengan sekarang tidak jelas proses hukum selanjutnya. A. Pengadilan Aktor Tunggal Fase perkembangan kasus Munir selanjutnya adalah pengadilan dengan terdakwa Pollycarpus (dilihat perkembangan dalam penyerahan BAP dari Kejati tetapi disidangkan di PN Jakpus) Persidangan dalam menguak pembunuhan Munir hanya menyidangkan dengan terdakwa tunggal yaitu Polycarpus saja. Persidangan ini dimulai sejak Agustus 2005. Pelaksanaan persidangan sebanyak 26 kali tersebut berkahir hingga pembacaan putusan pada tanggal 20 Desember 2006. Dalam persidangan ini Jaksa Penuntut Umum yang dipimpin Domu Sihite –mantan anggota TPF- mendakwa Pollycarpus dengan pasal 263 KUHP yaitu melakukan pembunuhan berencana, pasal 263 ayat 2 KUHP yaitu pemalsuan surat/dokumen. Dakwaan JPU lebih menunjukkan bahwa pembunuhan berencana terhadap Munir sebagai pembunuhan yang bersifat tunggal (individual crimes). Hal ini berbeda dengan temuan TPF yang menyimpulkan sebagai sebuah konspirasi kejahatan, yang melibatkan orang-orang dari lingkungan Garuda Indonesia dan Badan
9
“Terowongan Panjang Pengungkapan Pembunuhan Munir”, Bulletin HURIDOCS Imparsial, Vol. 3, Edisi Januari - April 2006. 10 “Mabes Polri Serahkan Berkas Pollycarpus ke Kejati”, Koran Pelita, 14 Juni 2005. 11 “Lagi, Dua Kru Garuda akan Diperiksa diduga Terlibat Kasus Munir”, Media Indonesia, 5 April 2005
64
Intelijen Negara (BIN). Memang, seseorang bisa membuat perencanaan sekaligus pelaksana rencana untuk membunuh orang lain. Tetapi modus, pilihan lokasi, waktu dan cara yang digunakan untuk membunuh Munir memerlukan sebuah perencanaan yang luar biasa, dengan pengetahuan, akses informasi sekaligus kemampuan untuk mengeksekusi dalam penerbangan internasional12. Saksi-saksi yang dihadirkan untuk memberikan keterangan antara lain, Suciwati-isteri Munir, Indra Setiawan-bekas Direktur Utama Garuda, Ramelgia Anwar-bekas Vice President Corporate Security Garuda, Muchdi PR-mantan Direktur V BIN dan masih banyak lagi saksi hingga berkisar 30 orang lebih berasal dari rekanrekan Munir, saksi ahli, serta PT Garuda Indonesia. Dalam putusannya, Hakim menvonis Pollycarpus bersalah dalam melakukan perbuatan pidana “turut melakukan pembunuhan berencana” dan “turut melakukan pemalsuan surat”. Hukuman yang dijatuhkan hakim adalah 14 tahun penjara dikurangi masa tahanan13. Sejak awal persidangan dengan terdakwa Pollycarpus, sudah muncul sikap pesimistis terhadap persidangan dalam mengungkap dalang dan juga orang-orang yang ikut terlibat pembunuhan, karena dakwaan JPU cenderung pembunuhan Munir sebagai pembunuhan tunggal (individual crime). Rekomendasi-rekomendasi yang dikeluarkan oleh TPF sepertinya tidak mendapatkan tidak lanjut yang serius oleh Kejaksaan, demikian juga dengan saksi-saksi yang dihadirkan, terkesan Hakim tidak mau mendalami dalam persidangan. Seperti pada keterangan yang diberikan oleh Muchdi PR tentang sambungan dari telepon genggam dengan nomor 08111900978 yang merupakan miliknya ke nomor telepon genggam milik Pollycarpus sebanyak 27 kali, namun oleh Muchdi PR disangkal bahwa bukan dia yang melakukan sambungan telepon14. Namun dalam keputusan Hakim, dalam pertimbangan disebutkan bahwa : Bahwa keterangan saksi Muchdi Purwopranjono sepanjang menyangkut handphone miliknya dengan nomor 0811900978 yang dapat dan boleh dipergunakan oleh orang lain atau siapa saja yang ingin menggunakan tanpa dapat menyebutkan siapa orangya, adalah sangat tidak masuk diakal, karena bagi saksi yang mempunyai jabatan strategis di lembaga tersebut tentunya menyadari betapa membahayakan dan dapat merugikan dirinya apabila saksi tetap membiarkan handphonenya menjadi alat 12
op cit, hal. 101. Putusan Perkara Pidana No. : 1361/PID.B/2005/PN.JKT.PST atas nama terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 14 Ibid, hal. 73 13
65
komunikasi bagi siapa saja yang mau memakai, sementara itu saksi pasti menyadari meskipun bukan saksi yang membayar namun tagihan untuk nomor tersebut harus tetap dibayar dan dilunasi tepat waktu; Bahwa demikian pula keterangan Terdakwa yang tidak pernah disumpah menerangkan tidak kenal dengan pemilik telepon genggam nomor 0811900978 tanpa alasan yang masuk akal, menurut hemat Pengadilan, Terdakwa telah melakukan sangkalan yang tidak mendasar, sehingga harus dikesampingkan;15 Secara umum dalam pertimbangannya Hakim menilai ada hubungan yang sangat erat dalam rangka menghilangkan jiwa Munir, antara Pollycarpus dengan orang yang menelponnya dari telepon genggam bernomor 081190978 milik Muchdi dan sepatutnya Muchdi mengetahui orang yang mempergunakan telepon genggamnya tersebut. Dan ditambahkan oleh Hakim bahwa siapa saja yang menelepon menggunakan nomor 0811900978 mempunyai hubungan sangat erat dan telah dikenal baik oleh Muchdi PR yang tetap bungkam menyatakan tidak tahu siapa yang menggunakan telepon genggamnya16. Dalam putusannya Hakim menyebutkan bahwa Munir meninggal karena memakan mie goreng bukan karena minuman jus jeruk seperti yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Perbedaan dalam memutuskan penyebab kematian ini ini masih dimungkinkan karena hakim masih memiliki kewenangan untuk memeriksa dan mengadili berdasarkan BAP17. Berangkat dari Putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, seharusnya Polisi menindaklajuti dengan melakukan pemeriksaan lanjutan kepada Ramelgia Anwar, Yeti Susmiarti, Oedi Irianto dan Muchdi. Hal ini menjadi penting untuk menguak lebih lanjut dari pengungkapan kasus pembunuhan Munir. Adanya pernyataan yang tercantum dalam Putusan bahwa Pollycarpus terbukti turut dalam melakukan pembunuhan berencana dan turut melakukan pemalsuan surat, menunjukan bahwa Pollycarpus bukan pelaku satu-satunya dari kedua hal yang 15
Ibid, hal. 73 Ibid, hal 74. Bahwa keterangan saksi Mantan Deputi V BIN sepanjang menyangkut hand phone miliknya dengan nomor 0811900978 yang dapat dan boleh dipergunakan orang lain atau siapa saja yang ingin menggunakan tanpa dapat menyebut satupun siapa orangnya, adalah tidak masuk diakal, karena bagi saksi yang mempunyai jabatan strategis di lembaga tersebut tentunya harus menyadari betapa membahayakan dan dapat merugikan dirinya apabila saksi tetap membiarkan hand phone-nya menjadi alat komunikasi bagi siapa saja yang mau memakai, sementara saksi pasti menyadari meskipun bukan saksi yang membayar, namun tagihan untuk nomor tersebut tetap dibayar dan dilunasi tepat waktu. Lihat juga hasil Putusan Majelis Eksaminasi Terhadap Putusan Perkara Pidana PN Jakarta Pusat No. 1361/PID.B/2005/PN.JKT.PST Dan PT DKI Jakarta No. 16/PID/2006/PT.DKI Dengan Terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto. Putusan ini dibuat dalam kegiatan eksaminasi publik yang diselenggarakan oleh KASUM pada tanggal 21 Mei 2006. 17 Ibid, hal 77 16
66
didakwakan. Pemeriksaan intensif terhadap saksi-saksi, jelas diperlukan untuk menindaklanjuti penyidikan kasus pembunuhan Munir. Pada waktu Hakim memutuskan Pollycarpus bersalah dan dijatuhi hukuman 14 tahun, Jaksa segera mengajukan banding. Karena tuntutan hukuman seumur hidup atas berbagai dakwaan, Putusan tersebut dinilai terlalu ringan18. Tuntutan yang diajukan oleh JPU dianggap wajar mengingat dampak yang ditimbulkan akibat perbuatan terdakwa yang sangat luas, tidak saja merugikan kepentingan korban dan keluarganya, tapi juga kepentingan universal karena korban adalah pejuang HAM yang sudah dikenal luas di kalangan masyarakat internasional, maka seharusnya Pollycarpus Budihari Priyanto dituntut hukuman maksimal. Namun
dalam
Putusan
Pengadilan
Tinggi
DKI
Jakarta
No.
16/PID/2006/PT.DKI, menguatkan putusan PN Jakarta Pusat. Walau dalam putusan ini Pengadilan Tinggi melalui Hakim Memori Banding memberikan pertimbangan tentang penyebab kematian Munir : Bahwa dari fakta-fakta yang diperoleh di persidangan telah terbukti racun arsen telah masuk ke dalam Munir, SH. Yang karena racun arsen tersebut dalam jumlah yang mematikan, telah menyebabkan kematian Munir. Bahwa dari keadaan yang demikian itu, tidaklah perlu untuk dipersoalkan lagi, apakah racun arsen itu masuk ke dalam lambung Munir, SH, melalui minuman orange juice sebagai yang disebutkan Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaannya ataukah melalui mie goreng sebagai yang disebutkan oleh Majelis Hakim Tingkat Pertama dalam putusannya.19 Pada putusan Pengadilan Tinggi (PT), dua Hakim Memori Banding memberikan dissenting opinion. Hakim tersebut adalah H. Basoeki SH. yang menjadi Ketua Majelis Hakim dan Sri Handoyo anggota Majelis Hakim. Kedua Hakim tersebut menerima banding dari JPU dan Pengacara Pollycarpus tetapi membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam dissenting opinion tersebut mereka menyatakan bahwa Pollycarpus tidak terbukti untuk dakwaan turut melakukan pembunuhan berencana tetapi terbukti dalam dalam dakwaan kedua yaitu mempergunakan surat palsu. Namun kedua hakim itu menjatuhkan hukuman yang berbeda terhadap Pollycarpus. Basoeki SH menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara 18
“JPU Kasus Munir Ajukan Banding”, http://jkt1.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2005/bulan/12/tgl/21/time/180917/idnews/503594/idkanal/10, 21 Desember 2005. 19 Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 16/PID/2006/PT.DKI
67
dipotong masa tahanan, sementara Hakim Sri Handoyo menjatuhkan hukuman 3 tahun enam bulan dipotong masa tahanan20. Saat ini, kasasi perkara kasus pembunuhan Munir dengan terdakwa Pollycarpus sudah berada di Mahkamah Agung. Pollycarpus sendiri juga terancam menjadi pelaku tunggal bila penyelidikan tidak berjalan dengan serius. Hal ini memberikan ancaman akan berhentinya pengungkapan kebenaran kasus tersebut. Selain itu juga memberikan ancaman bagi demokrasi, dimana civil liberties tidak diakui oleh negara serta teror bagi penegak keadilan di Indonesia. B. Usaha Penuntasan Kasus Pembunuhan Munir. Upaya untuk menuntaskan kasus pembunuhan Munir secara tuntas tidak pernah usai, pengadilan yang hanya menyidangkan terdakwa Pollycarpus saja tidak akan cukup untuk menguak orang-orang yang berada dibalik pembunuhan. Beberapa kali Suciwati mendatangi lembaga-lembaga negara yang terkait dengan penanganan kasusnya. No.
Kegiatan
Tanggal
Hasil
Realisasi
Suciwati bertemu dengan Penyidik Polri tentang adanya tersangka baru, yaitu Wakil Direktur Garuda berinisial RA
13-01-2006
BAP dikatakan oleh Penyidik sudah 90 % namum belum ditahan
Suciwati mendatangi Jaksa Agung mempertanyakan pengusutan namanama pelaku yang disebut dalam putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Dan meminta agar Jaksa Agung bisa koordinasi dengan Kapolri yang secara spesifik menyangkut pembicaraan antara Polly dengan Muchdi (mantan Deputi BIN Muchdi PR). Karena dalam UU telekomunikasi No. 36/99, Kejaksaan dan kepolisian berwenang untuk 3. Suciwati dan KASUM menemui Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar di Gedung DPR Jakarta untuk mendesak DPR agar proaktif lagi mendorong pengungkapan 20 ibid, kasus hal 21Munir dan memggunakan hak interpelasi dalam kasus Munir
26-01-2006
Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengatakan, pengusutan kasus pembunuhan Munir merupakan beban tanggung jawab yang harus diselesaikan oleh penegak hukum.
Tersangka tersebut adalah untuk pemalsuan surat bukan dalam kapasitas terlibat dalam pembunuhan. Sampai sekarang belum ada penindakan lebih lanjut sampai di pengadilan Belum ada realisasi
3-2-2006
Muhaimin berjanji akan menindaklanjuti desakan tersebut. Ia akan mengirim surat kepada pimpinan kasus Munir DPR dan pimpinan komisi agar mengefektifkan pengawasan dan mendorong pemerintah membuat TPF baru.
1.
2.
Sampai sekarang tim kasus Munir DPR belum dibubarkan namun tidak efektif dalam pengawasan terhadap kinerja pemerintah dalam 68 menyelesaikan kasus Munir.
lagi mendorong pengungkapan kasus Munir dan memggunakan hak interpelasi dalam kasus Munir
kepada pimpinan kasus Munir DPR dan pimpinan komisi agar mengefektifkan pengawasan dan mendorong pemerintah membuat TPF baru. Mereka ditemui Oleh Ketua DPR, Agung Laksono dan Ketua Tim Munir DPR, Taufikurahman. Agung Laksono mengatakan setuju dan mendukung upaya penuntasan kasus pembunuhan Munir ditindaklanjuti. Selain itu, Agung Laksono juga berjanji akan meneruskan aspirasi Kasum dalam rapat pimpinan untuk diambil keputusan, apakah ditanyakan kepada presiden secara tertulis atau melalui konsultasi reguler -
namun tidak efektif dalam pengawasan terhadap kinerja pemerintah dalam menyelesaikan kasus Munir.
7-4-2006
Suciwati diterima bertemu dengan Kabareskrim Mabes Polri Komjend Pol Makbul Padmanegara.
-
19-5-2006
Mabes Polri berjanji tidak akan memetieskan kasus itu. Ditemui oleh Bagir Manan dan menyatakan akan mendiskusikan dengan jajaran pimpinan MA untuk melihat peluangpeluang itu Parlemen Belanda akan datang ke Indonesia pada September 2006 guna menagih pemerintah menuntaskan kasus itu
-
4.
Suciwati bersama Kasum mendatangi pimpinan DPR RI guna mendesak DPR untuk lebih proaktif dan mendukung secara resmi agar Presiden SBY menindaklanjuti putusan pengadilan.
20-2-2006
5.
Suciwati kembali mendatangangi Jaksa Agung Abdurahman Saleh untuk meminta secepatnya bekerja sama dengan polisi untuk menindaklanjuti perkara pembunuhan Munir. Aliansi Solidaritas untuk Munir dan Demokrasi (Asumsi) demo di Mabes Polri untuk mempercepat penyelesaian kasus. Selain itu dalam aksi, Massa mendesak agar mantan Deputi V BIN Muchdi PR ditangkap dan diadili. BIN dan Garuda pun harus bertanggung jawab atas kasus Munir. Suciwati dan Kabareskrim Komjen Pol Makbul Padmanegara bertemu membahas evaluasi kasus Munir.
7-4-2006
Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM) bersama Adnan Buyun Nasution dan Suciwati meminta kepada Mahkamah Agung menggunakan wewenang untuk memeriksa kembali perkara (judex factie) pembunuhan Munir. Karena saat ini kasus sedang Kasasi di MA Suciwati saya ke Belanda bertemu dengan beberapa anggota parlemen Belanda dan mencari informasi ttg warga negara Belanda, Mr Lie yang duduk sebelah Munir di kelas bisnis.
26-6-2006
6.
7.
8.
9.
30-6-2006
Sampai sekarang masih belum ada kejelasan realisasinya dan kerja dari Tim Munir DPR tidak jelas.
-
-
-
69
Belanda dan mencari informasi ttg warga negara Belanda, Mr Lie yang duduk sebelah Munir di kelas bisnis. 10.
11.
Aktivis Kasum Romo Sandyawan Sumadji menemui Wakabareskrim Irjen Pol Gorries Mere untuk mempertanyakan perkembangan penyidikan. Suciwati bersama dengan Angkhana, istri Somchai Neelaphaijit -seorang pengacara muslim terkemuka di Thailand dan menghilang sejak tahun 2004 sampai sekarang- mendatangi DPR
7-7-2006
25-7-2006
Indonesia pada September 2006 guna menagih pemerintah menuntaskan kasus itu Wakabareskrim justru mengakui belum adanya perkembangan tersebut Ditemui oleh Ketua DPR, Agung Laksono. Membicarakan tentang penguatan kerjasama antar parlemen ASEAN untuk mendorong demokratisasi dan penghargaan terhadap HAM
-
-
Diolah dari berbagai sumber
Lambatnya penanganan kasus untuk mencari pelaku selain Polycarpus pasca putusan PT DKI Jakarta, rupanya juga diiringi adanya upaya yang dilakukan oleh Yosephine Hera Iswandari (Hera), istri Pollycarpus yang berkeyakinan bahwa suaminya tidak bersalah. Dalam suatu kesempatan Kapolri Jendral Sutanto masih saja mengeluarkan pernyataan yang meminta Pollycarpus untuk berterus terang agar mempermudah dalam penyidikan dan penuntasan kasus ini. Pernyataan demikian langsung saja mendapatkan respon dari Hera, bahwa suaminya sudah jujur. Hera juga pernah mengatakan bahwa ketiga anak mereka mengirimkan surat yang ditujukan kepada Presiden SBY dan telah diterima serta dibaca oleh Presiden. Masih menurut pengakuan Hera, Kapolri juga telah memberikan nomor kontaknya kepada Hera dan berpesan kalau ada apa-apa, ia boleh menghubungi21. Hal tersebut nampaknya sulit dipahami seandainya Kapolri Sutanto benarbenar mengatakan seperti pernyataan terakhir Hera. Karena selama ini yang jelas-jelas pernah mendapatkan teror adalah Suciwati dan juga beberapa orang yang membantu penuntasan kasus Munir. Sikap Kapolri Jenderal Pol Sutanto yang melakukan pendekatan secara personal kepada istri Hera, patut dipertanyakan. Rachland Nashidik, mantan anggota TPF, dalam siaran pers yang dikeluarkan oleh Imparsial menilai langkah yang diambil Sutanto ini mencerminkan
21
“SBY Terima Surat Anak Polly, Kapolri Janjikan Perlindungan”, http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/01/tgl/09/time/131251/idnews/515338/idkanal/10, 9 Januari 2006.
70
ketidakpercayaan terhadap institusinya sendiri. Tugas yang yang harus dijalankan Kapolri Sutanto adalah mengaudit tim penyelidik yang lama, di dalam kebutuhan untuk membentuk penyelidik yang baru. Hal ini agar penyelidik yang baru memiliki integritas yang cukup. Untuk melakukan penyelidikan terhadap nama-nama yang diajukan tim pencari Fakta (TPF) Munir dulu22. Hera juga mendatangi DPR yang sedang melakukan Rapat Paripurna dan sempat ditemui oleh Effendi Simbolon, anggota DPR dari FPDI. Hera hanya mengatakan, kedatangannya ke DPR hanya ingin kenal lebih dekat dengan Effendi Simbolon. Dirinya merasa tertarik dengan Simbolon karena dianggap tegas dan berani dalam menyampaikan pendapat. Saat ditanyai ditanyai oleh wartawan mengenai tujuannya, Hera masih tidak mau mengakui dirinya meminta dukungan23. Besar kemungkinan kedatangan Hera adalah menggunakan ajang rapat dengar pendapat (RDP) untuk bertemu dengan Kapolri Jenderal Polisi Sutanto di Komisi I DPR.Sekitar pukul 23.30 WIB, saat tengah RDP berlangsung, Sutanto hendak pergi ke toilet di luar ruang Komisi I. Kesempatan inilah yang digunakan Hera untuk bertemu Sutanto. Dia pun kemudian membacakan sebuah surat yang isinya meminta suaminya dibebaskan karena tidak bersalah. Hera juga menyebutkan, kalau benarbenar pembunuhan Munir belum terbukti, harus secara jiwa besar dan ksatria dikatakan pembunuhnya belum ditemukan24. Orang lain yang juga terus mencoba membuktikan bahwa dirinya tidak terlibat dalam kasus pembunuhan Munir adalah Muchdi PR, Mantan pejabat Badan Intelijen Negara (BIN) ini akhirnya meminta bantuan hukum kepada tim pembela muslim (TPM) karena merasa terpojok atas kasus pembunuhan Munir. Lima pengacara TPM yang menjadi pembela Muchdi PR adalah A Wirawan Adnan, Mahendradatta, Made Rahman Marasabesi, M Luthfi Hakim, dan Ahmad Cholid25. Namun hal itu ditanggap oleh Usman Hamid, Koordinator KontraS adalah hal yang wajar karena merupakan 22
“Sikap Kapolri Terhadap Istri Pollycarpus Dipertanyakan”, http://jkt1.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/01/tgl/11/time/232050/idnews/516791/idkanal/10, 11 Februari 2006. 23 “Ngaku Tak Cari Dukungan, Istri Pollycarpus Ikut Sidang DPR”; http://jkt.detikinet.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/02/tgl/07/time/170223/idnews/534336/idkanal/10, 7 Februari 2006. 24 “Tuntut Bebas, Istri Polly Temui Kapolri saat ke Toilet”, http://jkt1.detikinet.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/02/tgl/09/time/000148/idnews/535389/idkanal/10, 8 Februari 2006. 25 “Dikejar-kejar Kasus Munir, Muchdi Minta TPM Jadi Kuasa Hukum”, http://jkt1.detikinet.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/02/tgl/02/time/144254/idnews/531084/idkanal/10, 2 Februari 2006.
71
hak setiap orang yang memiliki suatu masalah hukum untuk menunjuk pengacara. Alasan ditunjukannya TPM dimungkinkan karena Muchdi tidak didampingi Babinkum mengingat dia bukan anggota TNI aktif lagi, atau sebagai mantan Danjen Kopassus dalam kasus pembunuhan Munir ini26. Mahendradatta yang didampingi A Wirawan Adnan, Mohammad Ali, M Luthfie Hakim menemui ketua majelis hakim kasus Munir, Cicut Sutiarso. Ia minta penjelasan putusan pengadilan yang disebut-sebut memerintahkan penyelidikan terhadap Muchdi dan aparat BIN terkait kasus pembunuhan Munir. Cicut menyatakan, dalam putusan 14 tahun terhadap Pollycarpus Budihari Prijanto, hakim tidak pernah menyebutkan ada perintah untuk melakukan penyelidikan kepada siapa pun. Dengan berbekal bantahan pengadilan, pengacara Muchdi semakin mantap untuk mengambil langkah hukum terhadap pihak-pihak yang memojokkan kliennya. Pernyataan sejumlah tokoh yang menyatakan Muchdi terlibat pembunuhan Munir dinilai telah memelintir putusan pengadilan. Tim Pembela Mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi PR berencana akan segera menggugat pihak-pihak yang menyatakan kliennya terlibat kasus pembunuhan Munir27. Namun belum jelas siapa saja yang akan dituntut, namun terdapat dugaan tuntutan tersebut akan ditujukan kepada Rachlan Nashidik, Usman Hamid, Hendardi dan Rafendi Djamin, karena mereka selama ini tergabung dalam Kasum dan dikenal vokal dalam mengadvokasi kasus pembunuhan Munir28. Namun sampai dengan sekarang belum ada laporan ke Polisi ataupun tuntutan yang diajukan oleh pihak Muchdi PR. Hal tersebut sangat dimungkinkan sebagai upaya untuk menekan ataupun melemahkan orang-orang ataupun kelompok yang selama ini kritis dalam mendorong pengungkapan kasus pembunuhan Munir hingga semua pihak yang terkait sampai dengan dalangnya dapat di ajukan ke meja hijau.
26
“Minta Bantuan TPM, Langkah Muchdi PR Dinilai Tepat”, http://jkt.detikinet.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/02/tgl/03/time/174805/idnews/532084/idkanal/10, 3 Februari 2006 27 “4 Orang Sebut Muchdi Terlibat Kasus Munir Akan Digugat”, http://jkt3.detiknews.com /index.php /detik.read/tahun/2006/bulan/02/tgl/21/time/150633/idnews/543993/idkanal/10, 21 Februari 2006 28 ibid.
72
BAB V Kebijakan Negara Dalam Penyelesaian Kasus Pembunuhan Munir Pengungkapan pembunuhan Munir setelah hampir 2 tahun telah menjadi lembaran dalam sejarah negeri ini. Belum pernah memang ada preseden dalam proses pengungkapan kasus pembunuhan yang pernah terjadi di negeri, dilakukan oleh sebuah tim yang bentuk oleh Presiden, seperti Tim Pencari Fakta Munir (TPF). Tujuan awal dari pembentukan tim ini bukan untuk sebagai bentuk ketidakpercayaan masyarakat sipil terhada kinerja investigasi aparat keamanan negeri ini, khususnya pihak kepolisian, tetapi justtru dibentuk untuk memberikan otoritas tambahan bagi tim investigasi untuk dapat menembus batas-batas yang ada dalam koridor kekuasaan di negara ini. Sejak awal memang ada indikasi mengenai keterlibatan sekelompok orang yang memiliki akses terhadap kekuasaan keamanan dalam operasi pembunuhan ini, khususnya dari pihak intelijen negara. Kontroversi yang sempat mencuat adalah ketika TPF ingin memanggil mantan petinggi BIN, Letjen (Purn) Hendropriyono dalam proses investigasi1. Sikap Pemerintah dalam dalam kontroversi ini tidak pernah jelas. Sikap serupa juga terjadi ketika TPF berhasil menyelesaikan laporan mengenai temuannya kepada presiden. Laporan investigasi yang hingga sekarang seperti tersimpan rapat dalam laci presiden. Presiden dalam pernyataannya mempercayakan pengungkapan kasus pembunuhan ini ditangan aparat penegak hukum. Sepertinya yang terlupakan disini adalah
setelah proses peradilan terhadap Pollycarpus menguak kemungkinan
keterlibatan petinggi intelijen negara (BIN). Namun hingga kini sepertinya berbagai temuan itu dibiarkan tidak mendapatkan tanggapan. Sekarang kasus munir masuk didalam twilight zone untuk selanjutnya diendapkan dalam kotak pandora. Melihat siklus perkembangan kasus pengungkapan ini dimana respons dari negara yang cenderung bergerak menuju titik nol . Tim Imparsial melihat mencoba membaca secara teliti perkembangan ini dari sisi analisis historis kecendrungan penguasa dalam era transisi demokrasi belum dapat melepaskan diri dari siklus kekerasan politik negara. Usaha pengungkapan tabir pembunuhan ini memang memberikan dampak yang besar bagi lingkaran 1
Hendropriyono menolak untuk bertemu dengan TPF Munir . Dan Hendropriyono mensomasi anggota TPF, Usman Hamid dan Rachland Nashidik, karena dianggap telah memberikan pernyataan bahwa Hendropriyono tinggal di Amerika Serikat. Kompas, Selasa, 31 Mei 2005
73
establishment politik dan keamanan nasional. Reaksi yang berasal dari lingkaran establishment akhirnya menjadi arus yang mendorong siapapun pimpinan eksekutif dalam negara dapat dibuat seperti tak berdaya. A. Warisan politik kekerasan negara Kewajiban negara untuk menjaga dan memenuhi kewajibannya dalam menjaga hak hidup seseorang masih jauh dari kondisi ideal seperti yang termaktub dalam konstitusi (pasal 28i). Dalam masa transisi demokrasi ini, negara masih belum dapat juga menjalankan kewajibannya secara maksimal. Di periode Orde Baru Soeharto, gagalnya negara memenuhi kewajiban untuk menjaga hak hidup seseorang adalah konsekwensi logis dari pendekatan keamanan yang represif. Obsesi pemerintahan ORBA adalah menjaga stabilitas politik demi kelancaran pembangunan ekonomi. Untuk mencapai hal tersebut stabilisasi politik menjadi prioritas utama. Untuk mencapai yang dinamakan “stabilitas politik” cara yang ditempuh adalah memberlakukan pendekatan keamanan pada semua aspek dalam kehidupan masyarakat. Dalam masa ini urusan sepele pun bisa dianggap sebagai urusan keamanan negara. Penguasa rejim tidak memberikan toleransi apapun terhadap suatu yang dapat menimbulkan gangguan keamanan. Pertama, adalah menerapakan kebijakan memberikan labelisasi negatif terhadap kelompok masyarakat tertentu, seperti dalam akronim tertertentu “ ET”, atau “ekstrim kiri “, atau “PKI”, dan “ekstrim kanan” atau radikal”. Kedua adalah memberi reaksi keras terhadap siapa pun yang memiliki sikap kritis atau semangat beroposisi terhadap rejim berkuasa. Dalam menghadapi sebuah aksi protes, reaksinya adalah menggelar kekuatan gabungan bersenjata (militer dan juga polisi). Kekuatan gabungan yang termobilsasi secara penuh itu ini biasanya mendapatkan kewenangan untuk menggunakan sarana kekerasaan yang dimiliki. Contohnya dalam menangani kasus perburuhan. Kekuatan dari aparat keamanan (militer, polisi dan juga intelijen) dengan sengaja digelar secara besar-besaran untuk menghadapi aksi buruh seperti dihadapkan pada bahaya untuk dihilangkan atau dibunuh. Kasus pembunuhan aktifis buruh Marsinah menggambarkan betapa kerasnya reaksi negara terhadap sikap kritis masyarakat. Hal ini dilakukan untuk menciptakan kondisi psikologis bagi siapa pun untuk berpikir ulang jika hendak berunjuk rasa sekaligus memanamkan persepsi bahwa mereka akan menghadapi suatu kekuatan keamanan yang besar dan tidak segan untuk 74
bersikap keras. Apabila pamer kekuatan sudah tidak dianggap tidak dapat menanggulangi masalah keamanan maka rejim mengambil langkah lanjut yang “tegas” sebagai “shock therapy”. Hal ini yang diakui sendiri oleh Soeharto tahun, dalam buku otobiografinya, dengan bangga ia mengakui bahwa dirinya yang menjadi pencetus adanya operasi “penembakan misterius” pada 1980-an sebagai solusi untuk menurunkan tingkat kejahatan. Sejak itu “Penembakan misterius” atau Petrus ini diadopsi sebagai istilah lokal untuk pembunuhan politik (political assasination). Pada perkembangannya setelah dimulainya kebijakan “Petrus” ada dua varian yang berkembang. Pertama adalah varian tertutup yang termasuk dalam sebuah covert action atau klendestin. Varian kedua adalah varian terbuka; ini lebih mirip jika untuk dikatakan adalah operasi state sponsors vigilanities2. Maksudnya adalah aparat keamanan secara sengaja membiarkan kelompok vigilanties untuk mengambil tindakan menghakimi seseorang yang diduga sebagai preman. Perbedaan diantara keduanya adalah siapa yang menjadi pelaksana operasi tersebut. Varian yang tertutup dilaksanakan oleh pihak intelijen (militer). Sasaran operasi, atau target operasi adalah individu yang memiliki muatan politik. Contoh kasus adalah penghilangan aktifis 1998, memberikan indikasi keterlibatan satuan intelijen militer. Sedangkan varian yang terbuka, atau operasi state vigilanties, biasanya yang dijadikan sasaran operasi adalah individu yang memiliki latarbelakang catatan hukum (para residivis). Dalam istilah yang di pakai oleh LB Moerdani, mereka adalah anggota “gang kejahatan” atau preman. Pelaksana operasi biasanya dilakukan oleh pihak aparat penegak hukum. Kebijakan assasination yang dirintis Soeharto pada perkembangan selanjutnya secara formil memang tidak pernah diakui sebagai kebijakan resmi dari negara3. Pengunaan metode sempat dibahas oleh beberapa politisi di luar inner circle rejim Soeharto secara terbuka. Tetapi hal ini adalah bagian dari cara Soeharto sendiri untuk mengukur reaksi dari masyarakat, sekaligus usaha untuk mencari dukungan moril. 2
Vigilante : sekelompok orang yang melakukan tidakan penegakan hukum berdasarkan nilai /norma hukum yang mereka anut. Tindakan penegakan hukum yang dilakukan kelompok semacam ini dalam bahasa sehari harinya biasa disebut tindakan main hakim sendiri. 3 Israel adalah negara satu satunya yang secara terbuka memiliki pedoman legal dalam praktek assasination atas dasar untuk menjaga keamanan negara. Praktek assasination yang dilakukan oleh dinas intelijennya (miliyrtharus mendapatkan otorisasi dari perdana mentri.( diambil dari artikel Steven David : Fatal choices ; Israel ‘s Policy of targeted killing THE BEGIN-SADAT CENTER FOR STRATEGIC BAR-ILAN UNIVERSITY Mideast Security and Policy Studies No. 51)
75
Walau ada suara yang kontra seperti dari YLBHI dan beberapa tokoh masyarakat lainnya, tetapi arus yang menyetujui kebijakan ini lebih besar. Hal ini terlihat dari beberapa komentar anggota parlemen, terutama dari komisi I yang secara langsung memberikan dukungan terhadap kebijakan teresebut seperti dukungan dari Wakil Ketua Komisi I DPR, Marzuki Darusman, “Nampaknya penembakan terhadap para pelaku kejahatan seperti akhir akhir ini merupakan pilihan terakhir karena pilihan diluar itu tidak bisa mengatasi persoalan Masalahnya harus pula dikaitkan dengan keseimbangan hak asasi masyarakat yang membutuhkan ketentraman dan keamaman. Dalam hal ini penembakan terhadap pelaku kejahatan tentunya tidak bertentangan dengan hak azasi masyarakat, seseorang dan hukum. Mestinya hal itu bisa dijadikan peringatan bagi siapapun yang mencoba melanggar hukum4” Pembenaran kebijakan petrus sebagai pembenaran untuk melakukan melawan kejahatan ini berhasil mengalihkan perhatian masyarakat mengenai apa yang sebenarnya terjadi ketika itu. Yang tidak pernah disinggung adalah kebijakan assasination ini sebenarnya dikembangkan dalam kerangka kerja untuk melenyapkan lawan politiknya secara sistematis dan terpadu. Hal ini memang Soeharto lakukan mengingat saingan politiknya adalah sekutu terdekatnya juga. Ketika itu yang diduga adalah saingan politik dari Soeharto adalah jendral Ali Moertopo5. Hingga pemilihan umum 1982, dalam proses pemenangan Golkar erat hubungannya dengan pengerahan kelompok para militer (ormas yang dibawah naungan dari partai) dan para preman dalam meraup jumlah suara. Kendali terhadap kelompok paramiliter dan preman ini sebagian besar berada pada Jendral Ali Moertopo6. Kemenangan pemilu tahun 1982 oleh Golkar lagi sebenarnya menambah posisi tawar atau memperkuat ambisi Ali Moertopo untuk dapat meraih posisi yang lebih tinggi dalam politik.
4
Lihat Edwin Partogi dan Usman Hamid, “ Mereformasi Negara Intel Orde Baru : Kasus Penembak Misterius era 1980an “ di dalam “ Negara , Intel dan Ketakutan “ , Pacivis 2006. p 195 5 Nordholt , Schulte G Nico, “ kekerasan dan anarki negara Indonesia Modern “ dalam “ Orde zonder Order : kekerasan dan dendam di Indonesia 1965-1998 “ LKiS , 2002. Petrus menjadi perhatian masyarakat terhadap apa yang sebenarnya terjadi ketika itu, padahal maraknya kejahatan ketika itu adalah salah satunya juga karena ada resesi ekonomi, tidak adanya lapangan pekerjaan dan juga pembiaran .negara. Soeharto melihat masyarakat sudah cukup teralihkan perhatiannya pada soal upaya memberantas kejahatan, dan tidak ada perhatian sama sekali mengenai kemungkinan bahwa apa yang sebenarnya dikembangkan Soeharto dalam soal “penembakan misterius” adalah kerangka kerja untuk melenyapkan lawan politiknya. 6 Ali Moertopo adalah pemimpin dari Opsus, operasi khusus., yang telah berjasa mensukseskan proyek politiknya Soeharto , termasuk pemenangan pemilihan umum 1982.
76
Peristiwa lapangan banteng 1982 dimana organisasi pemuda (AMPI/Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia) yang berada dibawah naungan Partai Golkar berselisih dengan kelompok jagoan, preman. Dari cara kerja yang terkoordinasi dengan rapih dari para preman ini menimbulkan tafsir bahwa yang berada dibelakang para preman itu adalah aparat keamanan negara. Tujuan yang hendak dicapai dari operasi ini adalah untuk memberikan pesan kepada Soeharto siapa sebenarnya yang telah berjasa di balik pemenangan pemilu 1982. Pihak yang berjasa dalam pemilu ini adalah pihak yang punya kendali terhadap para preman. Pesan ini memang ditafsir oleh Soeharto sebagai ancaman langsung terhadap kepemimpinannya yang sedang dikonsolidasi. Seperti menunggu pucuk ulam tiba, ketika kelompok preman ini menuntut konsesi, atas jasanya yang untuk pemenangan pemilu dan sempat memicu konflik dengan aparat keamanan.7 Hal tersebut dijadikan pretext Soeharto memulai operasi pembersihan dari para preman sekaligus untuk memperlemah basis kekuatan lawan politiknya. Berakhirnya kekuasaan Soeharto, tidak serta merta berakhirnya juga kebijakan informal asssasination. Pikiran dan tindakan ala Soeharto masih melekat pada mind set petinggi negara, pembuat kebijakan keamanan negeri ini. Metode informal asssasination ini masih dianggap sebagai pilihan “ideal” dari pelaksanan kebijakan keamanan, khususnya dalam menghadapi situasi keamanan yang masih belum stabil di beberapa daerah. Penyelesaian menghadapi gangguan keamanan dengan cara mengeliminir sumber dari masalah keamanan tersebut. Sumber dari masalah adalah seseorang yang diduga menggerakan gangguan keamanan. Disini oleh para pelaksana kebijakan keamanan melihat bahwa metode assasination dipercaya sebagai bagian dari metode penyelesaian masalah yang efektif. Tidak terlalu mengherankan bila di berbagai daerah konflik, mulai dari Aceh, Papua, Poso, Ambon dan lainnya, fenomena penembak misterius juga ikut merebak. Di daerah yang terjadi konflik pihak otoritas biasa menggelar operasi intelijen (untuk koleksi informasi mengenai konflik) atau operasi intelijen (investigasi). Tetapi dibeberapa kasus gelar operasi intelijen, tidak hanya menjalankan misi dengan tujuan untuk pengumpulan informasi saja, tetapi juga menjalankan covert action 7
Peritiwa di Jawa timur pada September 1982, pembunuhan terhadap keluarga petinggi militer setempat. Pada malam harinya pihak berwenang militer menangkap tertuduh dan mengeksekusinya .Lihat Nordholt , Schulte G Nico, “ kekerasan dan anarki negara Indonesia Modern “ dalam “ Orde zonder Order : kekerasan dan dendam di Indonesia 1965-1998 “ LKiS , 2002. p 88
77
(operasi rahasia).pertama Masalahnya adalah gelar operasi rahasia ini tidak pernah jelas adalah siapa yang memberikan otorisasi dan apa tujuannya. Hal ini justru hanya makin memperkeruh keadaaan keamanan. Yang kedua, pengelaran operasi rahasia itu memiliki sifat self tasking8dan illegitimate operation dimana penggunakan kekerasan secara langung sekaligus dilakukan kegiatan propaganda untuk membenarkan kekerasan9. Pembunuhan Theys Eluay adalah kasus, yang dapat memberikan contoh bagaimana sebuah operasi penggalangan bekerja. Theys Eluay, tokoh masyarakat Papua yang pro-otonomi, sudah sejak lama dijadikan sasaran operasi intelijen. Ini terlihat dari dokumen dari Dirjen Kesbang dan Linmas Departemen Dalam Negeri, dalam nota Dinas 578/ND/Kesbang/ D/IV/VI/200010 atau sering disebut sebagai dokumen “Ermaya”
11
. Walaupun
keberadaan dokumen ini tidak pernah secara resmi diakui keberadaannya, namun kenyataannya dokumen ini dijadikan panduan untuk menggelar operasi untuk menyikapi arah politik di Papua. Pihak keamanan khususnya intelijen militer12 mendapat pembenaranan untuk menggelar operasi rahasia. Tujuan dari operasi rahasia ini adalah untuk melakukan “penggalangan13” terhadap Theys 14. Penggalangan ini dimaksudkan untuk membujuk Theys membatalkan proklamasi kemerdekaan Papua pada tanggal 1 Desember 200115. yang berujung dengan pembunuhan dari Theys Eluay. Proses investigasi hingga pengadilan dari para tersangka pembunuhan, masih menyisakan banyak pertanyaaan seperti siapa yang menjadi dalang dari operasi tersebut dan motif sesungguhnya dibalik pembunuhan tersebut. Berkaitan dengan kasus pembunuhan Munir, kuasa eksekutif seperti terkondisi tidak memiliki inisiatif, bahkan cenderung diam. Hal ini dapat ditafsirkan sebagai
8
Sifat Self tasking disini berbagai menggabarkan kerja intelijen seperti, koleksi informasi, analisis dan operasi, dilakukan didalam suatu unit kesatuan yang sama. 9 Andi Widjajanto ed, “Menguak tabir intelijen Hitam “Indonesia , Pacivis UI, 2006 10 Benny Giay, “pembunuhan Theys : Kematian HAM di Tanah papua “, Galang Press , 2006 p38-39 11 “ Ermaya akui adanya dokumen Papua,” Kompas , 27 November, 2001. 12 Satgas Cendrawasih : adalah bagian satuan intelijen militer,yang biasanya dikomandani oleh perwira dari Kopassus. Para tersangka pembunuhan tersebut adalah perwira menengah kopassus , seperti Letkol (inf)Hartomo, Mayor (inf) Donny Hutabarat, kapten (inf) Rionardo, mereka menjadi terdakwa dalam siding kasus pembunuhan Theys (Komando Pasukan Khusus) TNI AD di Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) III di Surabaya .(sumber Bali Post, 4 Januari 2003) 13 Penggalangan adalah sebuah terminology dalam intelijen: yang artinya adalah sebuah tindakan untuk meraih dan membina dukungan. Apa bila yang seseorang tidak dapat di”bina “ maka kemungkinan besar orang tersebut dapat dibina –sa kan. 14 Pengakuan Letkol (inf) Hartomo; bahwa dia memerintahkan kepada bawahannya Mayor Donny Hutabarat untuk melakukan penggalanang terhadap Theys, menurutnya caranya terserah, jangan sampai berlebihan .(Bali Post, 4 Januari 2003) 15 Ibid.
78
ketidakmampuan kuasa eksekutif dalam mengendalikan birokrasi keamanan. Estimasi yang berasal dari paradigma keamanan, mempengaruhi keputusan eksekutif untuk melakukan pembiaran terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Membongkar tuntas kasus Munir dapat dinterpretasikan sebagai ancaman secara langsung terhadap eksistensi kekuasaan yang ada dalam labirin birokrasi keamanan. Kuasa dalam labirin birokrasi keamanan ini pula yang memberikan tekanan secara tidak langsung kepada eksektutif untuk tidak menempuh cara ekstraordinari.Usaha mengungkap kasus Munir yang jelas akan menggaggu privilege, terutama kekuasaaan mereka untuk menggunakan pilihan terhadap kekerasan16. Periode transisi demokrasi belum dapat menyentuh labirin birokrasi yang erat hubungannya dengan sektor keamanan. Sampai saat ini reformasi telah berhasil menggulirkan produk perundang-undangan yang mengatur bagaimana sektor pertahanan keamanan agar lebih accountable terhadap publik. Pembaharuan dalam perundang undangan ini bisa tidak berarti sama sekali jika tidak dikuti dengan perubahaan mendasar dari cara pandang aparat keamanan negara. Political will untuk mendukung perubahan reformasi dalam sektor keamanan masih belum terlihat. Kondisi seperti ini Itu mungkin jadi sebab mengapa cara pendekatan keamanan represif tetap dijadikan kerangka acuan kerja yang menyangkut hubungan antara masyarakat dan negara. Pelanggaran seperti hak hidup seseorang masih sering kali terjadi hanya karena individu tersebut diduga memiliki pandangan yang berbeda. Pandangan ini yang kemudian secara simplistis ditafsirkan sebagai bentuk ancaman terhadap kepentingan negara. Upaya penyelesaian kasus Munir bisa menjadi acuan untuk melihat seberapa jauh komitmen pemerintah untuk perubahan (paradigma) sektor keamanan. Agenda reformasi sektor keaman pemerintah dalam waktu yang dekat ini adalah pembahasan rencana perundang undangan intelijen. Intelijen, adalah sektor dari keamanan negara yang masih luput dari pengaruh reformasi. Sektor intelijen baik sipil maupun militer 16
Ketika penyebab kematian Munir diumumkan kepada publik, racun arsenikum diwacanakan sebagai alat pembunuh baru, yang selama ini nyaris tidak terdeteksi. Kematian yang misterius sesorang tokoh atau elit politik hanya menjadi gosip politik atau rahasia umum. Sekarang gosip politik ini sudah menjadi menjadi ancaman yang nyata. Ancaman arsenik ini langsung menjadi komoditas politik di lingkungan elit politik, lihat kasus dugaan ditemuan arsenik di makanan Wapres. Kasus kematian ini telah diberikan kesadaran baru bagi elit politik mengenai ancaman yang dapat menimpa mereka. Hal ini pula yang sempat menyatukan politik untuk bersama-sama untuk mencari dalang dari pembunuhan tersebut. Tapi ketika mulai terkuak adanya keterlibatan dari institusi intelijen negara, nyaris secara serempak semua juga menjadi diam. Tidak ada lagi suara dari pihak politik yang mengingatkan kita untuk meneruskan upaya investigasi kasus ini. Lihat juga Kompas, “Temuan arsenik di makanan Wapres, “16 Desember 2004.
79
masih menjadi peninggalan terakhir dari pengaruh pendekatan keamanan ala rejim Soeharto. Membiarkan hal ini, berarti pemerintahan ditahun ke depan harus dapat menanggung hancurnya kredibilitas dari intelijen. “Test of our history ” seperti yang dikatakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bakal menjadi tidak bermakna sama sekali, apa bila sang empu-nya kuasa eksekutif tidak memiliki keberanian ekstra untuk memutus warisan masa lampau ini dan melakukan terobosan yang dapat membuat manusia Indonesia bisa merasa aman di negerinya sendiri. B. Keraguan Tuan Presiden Terulurnya rencana pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir hingga tidak diumumkan hasil temuannya, sebenarnya sangat tergantung pada polical will Presiden dalam menuntaskan kasus pembunuhan politik tersebut. Political will sang Presiden pun tak terlepas dari “orang-orang dekat” Presiden yang bisa saja memilahmilah atau bahkan menyortir hasil temuan TPF sebelum hasil temuan tersebut sampai di meja Presiden. Hingga saat ini, hasil temuan tersebut masih menjadi “rahasia” dan belum memberikan jawaban memuaskan kepada publik berkaitan dengan master mind di balik pembunuhan tersebut. Walaupun dalam suatu kesempatan Andi Malaranggeng, sebagai juru Bicara Presiden, telah menganggap publik mengetahui hasil TPF dan tidak perlu diumumkan kembali oleh Presiden.17 Seperti secara luas diketahui, sejak berakhirnya masa tugas TPF, kasus pembunuhan yang dialami Munir diserahkan ke pihak kepolisian sebagai penyidik untuk ditindaklanjuti. Namun hingga saat ini pun belum jelas terlihat kemajuan berarti yang dilakukan oleh pihak Kepolisian Indonesia. Padahal di sisi lain, sejak vonis pengadilan terhadap Pollycarpus Budihari Priyanto dibacakan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 20 Desember 2005, Presiden SBY telah menggunakan otoritasnya dengan memerintahkan Kapolri untuk pro-aktif menuntaskan kasus pembunuhan tersebut. Menarik disimak, bila kelambanan usaha penanganan kasus ini di pihak kepolisian merupakan bagian yang tak terpisahkan dari konflik yang menyertai sebagian elit 17
Bali Post , “ Presiden Komitmen Bongkar Kasus Munir; Kepala BIN Diperintahkan Kooperatif”, 30 Desember 2005.
80
politik negeri ini, tak terkecuali sang Presiden dan mantan “Komandan” Badan Intelijen Negara (BIN). Hal yang sama berkaitan dengan dugaan motif tertentu yang menyelimuti pembunuhan politik (baca: tak lazim) ini. Tidak diumumkannya ke publik laporan TPF hingga saat ini masih menjadi pertanyaan besar dalam membuka tabir pembunuhan tersebut. Apakah pelaku pembunuhan merupakan bagian dari lingkaran elit politik yang berkuasa di masa lalu, yang notabene di sisi lain menjadi rival politik penguasa saat ini? Ataukah merupakan bagian dari lingkaran penguasa politik saat ini? Tak ada jawaban pasti, mengenai siapa dan apa latar belakang pelaku yang terlibat dalam pembunuhan atau “otak” di balik pembunuhan Munir. Namun di sisi lain, bisa dipastikan, pelakunya merupakan aktor yang tak jauh dari lingkaran establishment dan terlibat “operasi tersembunyi dan rapi” dalam memonitor segala aktifitas yang dilakukan Munir. Meninggalnya Munir tanpa kegaduhan desingan peluru, memperlihatkan dengan jelas cara dan pola pembunuhan yang dilakukan.18 Adanya gambaran tentang keengganan Presiden SBY mengungkap kasus Munir terlihat ketika munculnya perdebatan mengenai ketidakhadiran para mantan petinggi BIN (AM Hendropriyono dan Muchdi PR) dalam forum TPF. Kedua petinggi tersebut menolak mentah-mentah panggilan yang diajukan oleh TPF. Penolakan tersebut merupakan pembangkangan terhadap Keppres 111/2004 tentang Pembentukan TPF. Pada kesempatan lain, Hendropriyono juga memosisikan Presiden SBY sebagai prajurit bawahannya secara struktural. Dimana pada saat masih aktif sebagai anggota TNI, SBY merupakan staf Hendropriyono yang menjabat sebagai Pangdam Jaya kala itu19. Bahkan yang
cukup mencengangkan, dua orang anggota TPF,
Rachland
Nashidik dan Usman Hamid, dijadikan tersangka karena dianggap melakukan
18
Munir dibunuh didalam pesawat Garuda dalam perjalanan dari Jakarta menuju Belanda. Ditemukannya kandungan racun arsenik yang sangat tinggi dalam tubuh Munir, 460 mg/l di lambung, 4,8 mg/l di urine dan 3,1 mg/l di darah mengarahkan kepada kesimpulan bahwa si pembunuh mempunyai niat membunuhnya dengan kejam, namun tanpa bekas di tubuh bagian luar. Berdasarkan salah satu rekomendasi Tim Pencari Fakta (TPF), yang menduga ada indikasi keterlibatan salah satu perusahan milik negara, PT Garuda Indonesia, sebagai fasilitator pembunuhan Munir, menunjukkan adanya keterlibatan pihak-pihak lain yang memiliki akses luas kepada kekuasaan dan sumber keuangan, sehingga dapat menggunakan sebuah perusahaan tersebut untuk merugikan keselamatan penumpangnya. 19 Lihat http://www.tempo.co.id/hg/nasional/2005/06/21/brk,20050621-62774,id.html, “ Hendropriyono Tak Percaya Presiden Kecewa Padanya”.
81
pencemaran nama baik Hendropriyono20. Pertanyaan pun kemudian layak diajukan, ada apa di balik langkah yang dilakukan Hendropriyono? Hubungannya dengan konflik, lima tahun yang lalu, tepatnya sejak akhir 2001, pertentangan antara AM Hendropriyono dengan Susilo Bambang Yudoyono makin tampak di muka publik. Saat itu SBY masih menjabat sebagai Menkopolkam di kabinet Megawati Soekarnoputi21. Kedua tokoh nasional ini terlibat saling sanggah dalam mengomentari kerusuhan yang terjadi di salah satu kabupaten di Sulawesi Tengah, Poso. Konflik ini bermula dari pernyataan Hendropriyono sebagai Kepala BIN mengenai kerusuhan di Poso. Hendropriyono menyatakan bahwa ada keterlibatan AlQaidah yang dipimpin Usamah bin Ladin dalam konflik antar agama di Poso22. Tak dinyana, pernyataan inilah yang dibantah oleh Susilo Bambang Yudhoyono saat itu. Konflik tersebut makin meningkat tensinya menjelang Pemilihan Umum 2004. Dimana SBY mengundurkan diri dari struktur kabinet Megawati dan kemudian menjadi rival politik Megawati dalam Pemilihan Presiden, September 2004. Sedangkan di sisi lain, Hendropriyono menjadi “mesin” kampanye dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pimpinan Megawati Soekarnoputri23. Perbedaan pilihan politik itulah yang semakin menunjukkan tajamnya nuansa persaingan antara kedua tokoh tersebut, dimana Hendropriyono diduga menggunakan jaringan intelijen untuk kepentingan partai, sementara SBY diduga menggunakan program TNI Manunggal Masuk Desa (TMMD) dari setiap Komando Teritorial (KOTER) untuk meraup dukungan suara.24 Memang, hingga saat ini belum ada bukti dokumen yang menunjukkan adanya pemanfaatan program TMMD (TNI Manunggal Masuk Desa) dijadikan sebagai alat kampanye SBY-Kalla dalam usaha meraup dukungan pada Pemilu 2004. Seolah 20
Kompas, “Hendropriyono Adukan Rachland dan Usman Hamid ke Polisi”, 30 Mei 2005. Warta Berita-Radio Nederland , “ Topik Gema Warta: Pertentangan Hendropriyono dan Susilo Bambang Yodhoyono Makin Nampak”, 13 Desember 2001. 22 Ibid. 23 Suara Merdeka, “Sutjipto: Hendro Tetap Jurkam”, 6 Maret 2004. 24 Lihat http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2004/09/15/brk,20040915-41,id.html. Dalam bidang nonfisik TMMD memiliki program penyuluhan kesadaran bela Negara. Penyuluhan dan pembentukan kelompok bela negara ini yang dicurigai kampanye terselubung dari pihak SBY-Kalla oleh kubu kampanye Megawati. Baca juga bantahan Pangdam Brawijaya terhadap tuduhan koalisi kebangsaan di http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2004/09/15-/brk,2004091531,id.html. Bela negara ini juga berkaitan dengan munculnya beberapa organisasi pemuda pendukung SBY-Kalla, seperti KOMAR (Konco Marhaen) di Jawa Tengah. Lihat Suara Merdeka, Deklarasi ''Komar'' untuk Dongkrak SBY-Kalla, 15 September 2004. 21
82
gayung bersambut, pihak Tim Sukses SBY-Kalla dan Mega-Hasyim membantah informasi tersebut, termasuk juga Panglima Daerah Militer V/Brawijaya, Mayor Jenderal TNI Ahmad Djunaidi Sikki ikut membantah. Namun yang menarik adalah pernyataan Syamsir Siregar, mantan KaBIA (Kepala Badan Intelijen Angkatan), tentang posisi Hendro yang dualistik tersebut. “Ini menjadikan kita kembali ke era tahun 1964-1965, ketika dulu Angkatan Darat berlawanan dengan Badan Pusat Intelijen (BPI) yang dipegang Soebandrio,” ujar Syamsir25. Bila posisi Hendropriyono dianalogikan sebagai ketua BPI masa sekarang, siapakah lawannya yang memegang tentara aktif, yang diandaikan sebagai Angkatan Darat oleh Syamsir? Posisi bersitegang antara kedua tokoh mantan militer tersebut terus berlanjut hingga hasil penyelidikan TPF menyentuh kelompok yang merupakan rival politik dari kekuatan SBY. Tak heran bila dalam perjalanannya muncul hambatan dalam proses pengungkapan kasus pembunuhan Munir. Kuat dugaan, bila pengungkapan terus berlanjut dan menyentuh “pelaku utama” pembunuhnya dianggap dapat mengancam posisi Presiden saat ini, termasuk juga banyak elit lainnya yang memiliki posisi politik di negara ini.
25
Ibid. Syamsir Siregar mengingatkan, intelijen adalah untuk kepentingan negara semata-mata, sehingga tidak boleh bersentuhan dengan kepentingan satu kelompok. Dengan tampilnya Hendro sebagai anggota Majelis Pertimbangan Partai (MPP), maka yang bersangkutan dipastikan tidak netral lagi.
83
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Pembunuhan terhadap Munir, sudah memasuki dua (2) tahun, sejak kematiannya 7 September 2006. Namun demikian, komitmen Negara untuk pengungkapan kasus ini, seperti yang diungkapkan presiden SBY, belum berhasil. Terlepas dari belenggu dan hambatan politik, hukum, dan pertarungan antara kubu kelompok kritis dan mapan, Indonesia seharusnya sudah bisa melangkah lebih jauh dan memulai transisi ke negara yang demokratis. Kita tahu, berbagai kesulitan terjadi di Indonesia sebelum, bahkan setelah Munir terbunuh. Bencana alam, bencana ekonomi, kemiskinan, juga pelanggaran HAM masih terjadi baik dalam ranah sipil politik, maupun di ranah ekonomi sosial dan budaya. Namun demikian, tidak ada alasan yang cukup untuk menunda pengungkapan kasus munir dan membawanya pada posisi keadilan. Ikhtiar ini memang tidak mudah, melihat betapa kuat dan mengakarnya kultur kekerasan dan penindasan dari penguasa pada masa lampau, yang juga masih bercokol dalam kepala manusia Indonesia termasuk pemimpinnya. Imparsial telah mengajukan hasil laporan analisis kebijakan, dengan mengungkapkan perjalanan Munir dalam mngoreksi kebijakan negara, setidaknya pada kurun waktu 2002 hingga wafatnya, 7 September 2004. Dari pembacaan terhadap relasi negara terhadap masyarakatnya, berdasarkan refleksi kasus Munir, Imparsial menyimpulkan : 1. Masih kuatnya usaha pengerasan kekuasaan yang otoriter dalam kerangka reformasi kebijakan, terutama menyangkut reformasi badan negara yang bergerak dalam sektor keamanan, pertahanan, dan intelijen. 2. Selain sektor keamanan, pertahanan, dan intelijen, masih belum tegasnya kebijakan negara dalam penegakan hukum dan HAM, termasuk memberikan keadilan pada kasus pelanggaran HAM masa lalu. Alih-alih membawa keadilan, lembaga hukum dan peradilan malah memperluas ruang impunity dengan cara kompromi dan manipulasi ‘atas dasar hukum’. 3. Dalam konteks persaingan kelompok kritis melawan kelompok mapan, dapat disimpulkan bahwa kekuatan mapan dan pola respon terhadap dinamika yang berkembang di masayarakat, masih menggunakan pola lama, yakni menggusur
84
kekuatan kritis termasuk melalui cara-cara kekerasan melalui kekuatan lembaga negara. 4. Di sisi lain, dukungan masyarakat dan sebagian aparat hukum sebenarnya masih ada. Paling tidak dirasakan dalam sepak terjang TPF kasus Munir yang dibentuk oleh Presiden SBY. Namun demikian, kendala hubungan antara instansi membuat penengakan pro-justisia tidak maksimal dan efektif membawa kasus ini menjadi terbuka. Bedasarkan kesimpulan di atas, ada beberapa rekomendasi yang mendesak untuk dilakukan, antara lain : 1. Dalam konteks penuntasan kasus pembunuhan politik terhadap Munir, Pemerintah Indonesia perlu membentuk komisi independen dengan kewenangan yang lebih luas untuk melakukan penyelidikan lanjutan. Keputusan hakim Pengadilan Negeri yang menyimpulkan adanya sebuah kejahatan konspirasi dalam kasus pembunuhan ini, memberikan legitimasi untuk menyelidiki lebih lanjut pelaku lainnya. 2. Pejabat negara harus lebih partisipatif dalam melakukan penyelidikan, terutama untuk kasus pembunuhan politik, dengan memanfaatkan komisikomisi yang ada, sepeti komisi kepolisian, kejaksaan, HAM dan hukum untuk melakukan audit terhadap proses pengungkapan kasus. 3. Perlu adanya audit terhadap lembaga kepolisian yang terlibat dalam penyelidikan kasus pembunuhan ini. Perubahan ketua penyelidik kasus pembunuhan Munir di Mabes Polri diduga kuat adanya usaha melemahkan pengungkapan kasus pembunuhan Munir. Tanpa adanya audit terhadap kinerja aparat yang selama ini terlibat dalam pengungkapan kasus Munir, penyelesaian kasus Munir tetap akan berada di titik nol dan upaya untuk mencari dalang pembunuhan Munir tetap tidak akan terjangkau. 4. Satu catatan tersisa dalam temuan pengadilan adalah, pentingnya peran KPK dalam menyelidiki akuntabilitas pejabat publik, seperti fakta yang terungkap pada nomor telpon genggam Muchdi yang dibiayai PT Barito. Walaupun dari segi nilai kecil, namun pola hubungan antara birokrat dan korporasi tidak dibenarkan. Pasalnya, pejabat negara harusnya mendapat fasilitas dari negara saja.
85
5. Perlu adanya kebijakan perlindungan terhadap pembela HAM, mengingat pada kasus Munir, jelas sekali arus kritis yang diusung Munir dianggap sebagai ancaman terhadap kekuasaan. Karen itu, negara perlu menyikapinya dengan pembuatan mekanisme perlindungan, baik melalui mekanisme komisi nasional maupun melalui sebuah UU khusus tentang perlindungan terhadap HRD. Dari sekian rekomendasi di atas, dalam jangka pendek seharusnya komitmen Presiden dalam pengungkapan kasus Munir segera diimplementasikan dengan mengaudit kinerja aparat kepolisian yang menangani kasus Munir. Jika tidak, maka sepantasnya SBY segera membentuk tim independen yang baru dengan mandat yang lebih kuat dari TPF. Sedangkan dalam waktu dekat ini, adalah kewajiban bagi SBY untuk segera mempublikasikan hasil temuan TPF dan segera menindaklanjutinya.
86