TELAAH FILOSOFIS PEMBAHARUAN SISTEM PENDIDIKAN ISLAM MENUJU MASYARAKAT MADANI Ahmad Ihwanul Muttaqin Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang, Indonesia E-mail:
[email protected] Abstrak Maju dan tidaknya suatu bangsa salah satunya ditentukan oleh kualitas masyarakatnya. Kualitas masyarakat suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Artinya, kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan yang mampu menciptakan masyarakat religius dan peka terhadap kondisi dan zamannya. Keadaan ini hanya mungkin terjadi jika lembaga pendidikan selalu melakukan kajian inovatif terhadap pembaharuan lembaga pendidikan. Pembaharuan dilakukan dalam berbagai aspek mulai dari pembaharuan tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan sampai pembaharuan aspek peserta didik dan pendidiknya. Pembaharuan harus dilakukan karena dalam kajian filosofis hanya perubahanlah yang abadi. Perubahan-perubahan yang dilakukan akan secara otomatis menghasilkan kualitas pendidikan yang mapan. Efek dari kualitas yang mapan akan menghasilkan komunitas masyarakat yang mapan pula. Dalam berbagai perspektif, masyarakat yang mapan itulah yang akan menciptakan peradaban. Masyarakat yang berperadaban dapat dikategorikan sebagai masyarakat madani atau dalam istilah lain disebut civil society. Masyarakat madani adalah komunitas masyarakat dimana di dalamnya tercipta keshalehan spiritual dan keshalehan sosial. Menggabungkan dua elemen keshalehan itu dapat memicu peradaban yang diharapkan mampu menjawab segala problematika dan permasalahan umat. Kata kunci: pembaharuan pendidikan Islam, masyarakat madani Pendahuluan Masyarakat adalah bagian penting dari proses apapun, terutama jika berbicara soal negara, karena masyarakat adalah elemen strategis untuk menggerakkan dan membuat peradaban. Karena peradaban yang mapan akan menghasilkan kehidupan yang nyaman. Apalagi setiap manusia pasti mendambakan kehidupan yang aman, sejahtera dan damai. Namun cita-cita suatu masyarakat mustahil dicapai tanpa mengoptimalkan kualitas sumber daya manusia. Hal ini akan dapat terlaksana apabila semua bidang pembangunan berjalan secara terpadu yang menjadikan manusia sebagai subjek. Di sisi lain, pengembangan masyarakat merupakan sebuah proses yang dapat merubah sikap, watak dan perilaku ke arah ideal yang dicita-citakan. Indikator dalam menentukan kemakmuran suatu bangsa
Ahmad Ihwanul Muttaqin
sangat tergantung pada keadaan serta kebutuhan masyarakatnya. Dari sinilah muncul konsep masyarakat madani. Masyarakat madani dianggap sebagai masyarakat yang berkembang sesuai dengan agama, potensi budaya dan adat istiadat. Demikian pula, bangsa Indonesia oleh para founding father selalu diarahkan untuk menuju masyarakat madani, agar kehidupan manusia Indonesia mengalami perubahan yang mendasar yang tentu akan berbeda dengan kehidupan masayakat pada era sebelumnya. Karena hal yang dicitacitakan dalam masyarakat madani adalah terwujudnya kemandirian masyarakat, nilainilai dalam kehidupan masyarakat, terutama keadilan, persamaan, kebebasan dan kemajemukan (pluralisme), taqwa, jujur, dan taat hukum.1 Konsep tentang masyarakat madani merupakan tuntutan baru yang memerlukan berbagai inovasi di dalam berpikir, penyusunan desain konsep, serta tindakan-tindakan lainnya. Dengan kata lain, dalam menghadapi perubahan, diperlukan suatu paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru pula, demikian kata filsuf Kuhn. Menurut Kuhn, apabila tantangan-tantangan baru dihadapi dengan menggunakan paradigma lama, maka segala usaha yang dijalankan akan menemui jalan terjal. Inovasi pemikiran tentang konsep dasar pembaharuan pendidikan Islam menuju masyarakat madani sangat dibutuhkan, karena pendidikan merupakan sarana terbaik yang didesain untuk menciptakan generasi baru yang tetap memegang tradisi mereka sendiri tapi di sisi lain juga tidak menjadi bodoh secara intelektual.2 Berdasarkan hal tersebut di atas, maka masalah yang perlu dicermati dalam pembahasan ini adalah bagaimanakah pembaharuan pendidikan Islam didesain menuju masyarakat madani. Konsep Masyarakat Madani Istilah masyarakat Madani sebenarnya telah lama dikenal, walaupun dalam kajian wacana akademik di Indonesia baru mulai tersosialisasi belakangan. Istilah masyarakat madani dalam bahasa Inggris lebih dikenal dengan istilah Civil Society. 1 2
Masykuri Abdillah, Islam dan Masyarakat Madani, (Kompas, 1999), 4. Conference Book (London, 1978), 16-17.
43 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam
Telaah Filosofi Pembaharuan Sistem Pendidikan Islam
Karena, masyarakat Madani, sebagai terjemahan kata civil society. Istilah civil society sendiri pertama kali dikemukakan oleh Cicero dalam filsafat politiknya dengan istilah societies civilis, namun istilah ini mengalami perkembangan pengertian. Jika Cicero memahaminya identik dengan negara, maka kini dipahami sebagai kemandirian aktivitas masyarakat madani sebagai wilayah tempat berbagai gerakan sosial. Istilah masyarakat madani selain mengacu pada konsep civil society, juga berlandaskan pada konsep negara-kota Madinah yang dibangun Nabi Muhammad SAW pada tahun 622 M. Masyarakat madani juga mengacu pada konsep tamaddun (masyarakat yang berperadaban) yang diperkenalkan oleh Ibn Khaldun, dan konsep al-Madinah al-Fadhilah (Madinah sebagai negara utama) yang diungkapkan oleh filsuf Al-Farabi pada abad pertengahan. 3 Secara ideal masyarakat madani ini tidak hanya sekedar terwujudnya kemandirian masyarakat berhadapan dengan negara, melainkan juga terwujudnya nilai-nilai tertentu dalam kehidupan masyarakat, terutama keadilan, persamaan, kebebasan dan kemajemukan (pluralisme). Maka, secara semantik artinya kira-kira adalah, sebuah agama (din) yang excellent (paramount) yang misinya ialah untuk membangun sebuah peradaban (madani).4 Seperti disebutkan sebelumnya, kata madani identik dengan kata Madinah, memang demikian karena kata Madani berasal dari dan terjalin erat secara etimologi dan terminologi dengan Madinah yang kemudian menjadi ibukota pertama pemerintahan muslim. Maka, kalangan pemikir muslim mengartikan civil society dengan cara memberi atribut keislaman madani. Oleh karena itu, civil society dipandang dengan masyarakat madani yang merupakan masyarakat ideal di kota Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam masyarakat tersebut Nabi berhasil memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan hukum, jaminan kesejahteraan bagi semua warga, serta perlindungan terhadap kelompok minoritas. Dengan begitu, kalangan pemikir Muslim menganggap masyarakat kota Madinah
3
Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), 9-11. Komaruddin Hidayat, Masyarakat Agama dan Agenda Penegakan Masyarakat Madani, dalam Makalah Seminar Nasional dan Temu Alumni, Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang (Malang: 1998), 267. 4
Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016 | 44
Ahmad Ihwanul Muttaqin
sebagai prototype masyarakat ideal produk Islam yang dapat disandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society.5 Apalagi dengan keberhasilan Nabi membuat piagam Madinah yang fenomenal. Menurut Dr. Ahmad Hatta, peneliti pada Lembaga Pengembangan Pesantren dan Studi Islam, Al Haramain, Piagam Madinah adalah dokumen penting yang membuktikan betapa sangat majunya masyarakat yang dibangun kala itu, di samping juga memberikan penegasan mengenai kejelasan hukum dan konstitusi sebuah masyarakat. Bahkan, dengan menyitir pendapat Hamidullah (First Written Constitutions in the World, Lahore, 1958), piagam Madinah ini adalah konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia. Konstitusi ini secara mencengangkan telah mengatur apa yang sekarang orang ributkan tentang hak-hak sipil (civil rights), atau lebih dikenal dengan hak asasi manusia (HAM), jauh sebelum Deklarasi Kemerdekaan Amerika (American Declaration of Independence, 1997), Revolusi Prancis tahun 1789, dan Deklarasi Universal PBB tentang HAM tahun 1948 dikumandangkan.6 Menurut Komaruddin Hidayat, bagi kalangan intelektual muslim kedua istilah masyarakat agama dan masyarakat madani memilki akar normatif dan kesejarahan yang sama, yaitu sebuah masyarakat yang dilandasi norma-norma keagamaan sebagaimana yang diwujudkan Muhammad SAW. di Madinah, yang berarti kota peradaban yang awalnya kota tersebut bernama Yatsrib. Perubahan menjadi Madinah dipahami oleh umat Islam sebagai sebuah manifesto konseptual mengenai upaya Rasulullah Muhammad untuk mewujudkan sebuah masyarakat Madani, yang dihadapkan dengan masyarakat Badawi dan Nomad. Untuk konteks Indonesia sekarang, kata Madani lebih dikenal dengan istilah masyarakat Modern. Dari uraian di atas, maka sangat perlu untuk mengetahui ciri masyarakat tersebut. Antonio Rosmini, dalam “The Philosophy of Right, Rights in Civil Society” yang dikutip Mufid, menyebutkan pada masyarakat madani terdapat sepuluh ciri yang
5
Thoha Hamim, Islam dan Masyarakat Madani: Ham, Pluralisme, dan Toleransi Beragama, (Surabaya: Koran Harian Jawa Pos, 1999), 4. 6 Azra, Menuju Masyarakat Madani, 9-11.
45 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam
Telaah Filosofi Pembaharuan Sistem Pendidikan Islam
menjadi karakteristik masyarakat tersebut,7 yaitu: universalitas, supermasi, keabadian, dan pemerataan kekuatan (prevalence of force). Hal tersebut adalah empat ciri yang pertama. Ciri kelima, ditandai dengan kebaikan dari dan untuk bersama. Ciri ini bisa terwujud jika setiap anggota masyarakat memiliki akses pemerataan dalam memanfaatkan kesempatan (the tendency to equalize the share of utility). Keenam, jika masyarakat madani ditujukan untuk meraih kebajikan umum (the common good), tujuan akhir memang kebajikan publik (the public good). Ketujuh, sebagai perimbangan kebijakan umum, masyarakat madani juga memperhatikan kebijakan perorangan dengan cara memberikan alokasi kesempatan kepada semua anggotanya meraih kebajikan itu. Kedelapan, masyarakat madani, memerlukan piranti eksternal untuk mewujudkan tujuannya. Piranti eksternal itu adalah masyarakat eksternal. Kesembilan, masyarakat madani bukanlah sebuah kekuatan yang berorientasi pada keuntungan (seigniorial or profit). Masyarakat madani lebih merupakan kekuatan yang justru memberi manfaat (a beneficial power). Kesepuluh, kendati masyarakat madani memberi kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya, tak berarti bahwa harus seragam, sama dan sebangun serta homogen.8 Lebih lanjut, menurut Mufid, bahwa masyarakat madani terdiri dari berbagai warga beraneka warna, bakat dan potensi. Karena itulah, masyarakat madani disebut sebagai masyarakat multi-kuota (a multi quota society). Maka, secara umum sepuluh ciri tersebut sangat ideal, sehingga mengesankan seolah tak ada masyarakat seideal itu. Kalau ada, yaitu masyarakat muslim yang langsung dipimpin oleh Nabi SAW yang relatif memenuhi syarat tersebut. Memang, masyarakat seideal masyarakat Madinah telah diisyaratkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya, "tak ada satupun masyarakat di dunia ini yang sebaik masyarakat atau sebaik-baik masa adalah masaku" (ahsanul qurun qarni). Terlepas dari status sahih dan tidaknya sabda ini, ataupun siapa
7
Mufid, Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani, dalam Makalah Seminar Nasional dan Temu Alumni, Programa Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang (Malang: 1998), 212. 8 Ibid., 213.
Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016 | 46
Ahmad Ihwanul Muttaqin
periwayatnya. Diakui bahwa masyarakat Madinah yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW merupakan prototype masyarakat ideal. Unsur Masyarakat Madani Masyarakat madani tidak muncul dengan sendirinya. Ia membutuhkan unsurunsur sosial yang menjadi prasayarat terwujudnya tatanan masyarakat madani. Beberapa unsur pokok yang dimiliki oleh masyarakat madani adalah: 1.
Adanya Wilayah Publik yang Luas Free Public Sphere adalah ruang publik yang bebas tanpa rasa takut dan
terancam oleh kekuatan-kekuatan di luarnya, sebagai sarana untuk mengemukakan pendapat warga masyarakat. 2. Demokrasi Demokrasi adalah prasayarat mutlak lainnya bagi keberadaan civil society yang murni (genuine). Tanpa demokrasi masyarakat sipil tidak mungkin terwujud. Demokrasi tidak akan berjalan stabil bila tidak mendapat dukungan riil dari masyarakat. Secara umum demokrasi adalah suatu tatanan sosial politik yang bersumber dan dilakukan oleh, dari, dan untuk warga negara. 3. Toleransi Toleransi adalah sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan pendapat. 4. Kemajemukan/Pluralisme Kemajemukan atau pluralisme merupakan prasayarat lain bagi civil society. Pluralisme tidak hanya dipahami sebatas sikap harus mengakui dan menerima kenyataan sosial yang beragam, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan perbedaan sebagai sesuatu yang alamiah dan rahmat Tuhan yang bernilai positif bagi kehidupan masyarakat. 5. Keadilan sosial Keadilan sosial adalah adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional atas hak dan kewajiban setiap warga Negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan: ekonomi, politik, pengetahuan dan kesempatan. Dengan
47 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam
Telaah Filosofi Pembaharuan Sistem Pendidikan Islam
pengertian lain, keadilan sosial adalah hilangnya monopoli dan pemusatan salah satu aspek kehidupan yang dilakukan oleh kelompok atau golongsn tertentu.9 Ciri-Ciri Masyarakat Madani Merujuk pada Bahmuller (1997), ada beberapa ciri-ciri masyarakat madani, antara lain: 1.
Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok eksklusif ke dalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2.
Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3.
Terjembataninya
kepentingan-kepentingan
individu
dan
negara
karena
keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukanmasukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah. 4.
Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak individualis.
5.
Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai perspektif.10
Sistem Pendidikan dan Komponen-Komponennya Secara etimologi sistem berasal dari kata system yang berarti cara atau susunan. Sedangkan secara terminologinya sistem berarti suatu kesatuan unsur-unsur atau komponen-komponen yang saling berinteraksi secara fungsional untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Hornby, sistem adalah kumpulan dari beberapa unsur atau bagian-bagian yang bekerjasama dalam hubungan yang teratur (group of things or parts working together in a reguler relation).11
9
Komaruddin Hidayat dan Azyumari Azra. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Hidayatullah Jakarta dan The Asia Foundation, 2006), 302-325. 10 Qodri Azizy, Melawan Golbalisasi Reinterpretasi Ajaran Islam: Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 126-128. 11 Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English (Hongkong: Oxford University Press, cet. XXV, 1987), 887.
Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016 | 48
Ahmad Ihwanul Muttaqin
Hal senada juga terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, di mana sistem berarti seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk satu totalitas, susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas dan sebagainya.12 Menurut M. Arifin, sistem adalah suatu keseluruhan yang terdiri dari komponen-komponen yang masing-masing bekerja sendiri dalam fungsinya yang berkaitan dengan fungsi dari komponen-komponen lainnya yang secara terpadu bergerak menuju ke arah satu tujuan yang telah ditetapkan.13 Bersamaan dengan itu, Muhaimin dkk. mendefenisikan sistem dengan gabungan dari komponen-komponen yang terorganisasi sebagai suatu kesatuan dengan maksud untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.14 Sistem juga merupakan jumlah keseluruhan dari bagian-bagiannya yang saling bekerja bersama untuk mencapai hasil yang diharapkan berdasarkan atas kebutuhan yang telah ditentukan.15 Dari berbagai defenisi sistem di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sistem merupakan suatu kesatuan dari beberapa unsur atau komponen yang bekerjasama secara teratur untuk mencapai suatu tujuan. Dengan demikian untuk menjadi sistem yang baik, masing-masing unsur atau komponennya tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Apabila salah satu komponen tidak ada, maka sistem tersebut tidak dapat dikatakan sempurna dan tujuan yang hendak dituju tidak akan tercapai dengan baik. Komponen-Komponen Sistem Pendidikan Seluruh komponen-komponen pasti diarahkan untuk menuju tercapainya tujuan, karena setiap sistem pasti mempunyai tujuan. Proses pendidikan adalah sebuah sistem, yang disebut sebagai sistem pendidikan. Jadi, pendidikan merupakan suatu sistem yang memiliki unsur-unsur atau komponen yang bekerjasama satu sama lainnya untuk mencapai tujuan dimaksud.
12
Tim Penyusun Kamus Pusat, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 849. M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), 76. 14 Muhaimin dkk., Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), 159. 15 Tadjab, Perbandingan Pendidikan; Studi Perbandingan tentang Beberapa Aspek Pendidikan Barat Modern, Islam dan Nasional (Surabaya: Karya Abditama, 1994), 33. 13
49 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam
Telaah Filosofi Pembaharuan Sistem Pendidikan Islam
Ada perbedaan pendapat dari para ahli pendidikan dalam memandang komponen-komponen atau unsur-unsur pendidikan, hal tersebut terjadi karena latar belakang dan point of view masing-masing dari mereka juga berbeda-beda. Sutari Imam Bernadib misalnya, berpendapat bahwa komponen-komponen atau faktorfaktor pendidikan itu terdiri dari tujuan pendidikan, pendidik, peserta didik, alat pendidikan dan lingkungan pendidikan (milieu). Menurut Sutari, yang dimaksud dengan alat-alat dalam pendidikan atau pengajaran adalah segala sesuatu yang secara langsung membantu terlaksananya tujuan pendidikan. Dan alat pendidikan tidak terbatas pada bendabenda konkrit saja tetapi dapat juga berupa nasehat, tuntutan, contoh-contoh, kurikulum, ancaman dan sebagainya. Secara garis besarnya alat pendidikan dapat digolongkan kepada isi atau materi pendidikan (kurikulum) dan metode pendidikan. Yang termasuk dalam arti isi atau materi (kurikulum) pendidikan adalah segala sesuatu oleh pendidik langsung diberikan kepada peserta didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Sedangkan metode pendidikan adalah peristiwa pendidikan yang ditandai dengan adanya interaksi edukatif.16 Hal senada juga diungkap oleh Fuad Ihsan, menurutnya faktor-faktor atau komponen-komponen pendidikan tersebut meliputi; tujuan pendidikan, pendidik, peserta didik, isi/materi pendidikan (kurikulum), metode pendidikan, dan situasi lingkungan.17 Sementara itu, Ahmad D. Marimba hampir sependapat dengan Sutari Imam Bernadib, tetapi ia tidak memasukkan komponen lingkungan (milieu) atau situasi pendidikan dalam sistem pendidikan. Sudjana berpendapat bahwa komponen-komponen pendidikan tersebut terdiri dari tujuan pendidikan, pendidik, peserta didik, materi pendidikan, metode pendidikan, evaluasi pendidikan, waktu penyelenggaraan, jenjang pendidikan, dan tempat pendidikan.18 Secara
lebih
mendetail,
Masthuhu
membagi
komponen-komponen
pendidikan itu kepada dua unsur, yaitu unsur organik dan unsur anorganik. Adapun
16
Sutari Imam Bernadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis (Yogyakarta: FIP/IKIP, cet. XV, 1995), 35-95. 17 Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan Komponen MKDK (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), 7-10. 18 S. F. Sudjana, Pendidikan Non Formal (Bandung: Yayasan PTDI Jawa Barat, 1974), 44.
Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016 | 50
Ahmad Ihwanul Muttaqin
unsur organik yaitu pelaku pendidikan yang terdiri dari pimpinan, pendidik, peserta didik, dan pengurus. Sedangkan unsur anorganik terdiri dari tujuan pendidikan, filsafat dan tata nilai, kurikulum dan sumber belajar, proses kegiatan belajar mengajar, penerimaan siswa dan tenaga pendidikan, teknologi pendidikan, dana, sarana, evaluasi, dan peraturan terkait lainnya di dalam mengelola pendidikan.19 Dari berbagai pendapat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa komponen-komponen sistem pendidikan tersebut setidaknya meliputi; tujuan pendidikan,
pendidik, peserta didik,
materi/kurikulum,
metode
pendidikan,
lingkungan pendidikan (milieu), dana pendidikan, sarana pendidikan, evaluasi pendidikan, dan manajemen pendidikan. Pendidikan Secara etimologis, pendidikan berasal dari kata didik yang mendapat awalan pen- dan akhiran–an yang berarti proses, perbuatan, cara mendidik, pelihara dan ajar.20 Istilah pendidikan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan education yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah ini sering diterjemahkan dengan tarbiyah yang berarti pendidikan.21 Dalam konteks Islam, istilah pendidikan kadang kala digunakan dengan kata tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib. Tarbiyah dengan kata dasarnya rabba yang berarti mendidik, membesarkan, mengasuh, berkembang dan meningkat (tumbuh).22 Kata tarbiyah khususnya dalam al-Qur’an menunjuk pada masa anak-anak dan berkaitan dengan usaha yang wajib dilakukan, dan merupakan beban orang-orang dewasa terutama orang tua terhadap anaknya.23 19
Masthuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994), 14. Tim Penyusun Kamus Pusat, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 204 21 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), 1; Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, cet. III, 1996), 25. 22 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, cet. III, 1990), 138; Munjid, (Beirut: Dar el-Machreq, 1986), 247; Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Islam; Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, Penerjemah Haidar Bagir (Bandung: Mizan, cet. VII, 1996), 72; Ali Khalil Abu al-Ainain, al-Falsafah at-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qur’an al-Karim (Mesir: Dar al-Fikr al’Arabiyyah, 1980), 51. 23 Maksum, Madrasah, Sejarah, dan Perkembangannya (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, cet. II, 1999), 16. 20
51 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam
Telaah Filosofi Pembaharuan Sistem Pendidikan Islam
Selain kata tarbiyah, dalam konteks Islam, istilah pendidikan kadang kala digunakan kata ta’lim dengan kata dasarnya ‘allama yang berarti mengajar (transfer of knowledge). Herry Noer Ali mengutip pendapat Abdul Fattah Jalal, mengatakan bahwa ta’lim adalah proses pembelajaran secara terus-menerus yang terjadi sejak manusia itu lahir melalui pengembangan beberapa fungsi pendengaran, penglihatan dan hati. Dan pengembangan tersebut merupakan tanggung jawab orang dewasa ketika seseorang masih kecil, namun setelah mereka dewasa, hendaknya manusia belajar secara mandiri sampai ia tidak mampu lagi meneruskan belajarnya. 24 Kata mendidik (tarbiyah) dan mengajar (ta’lim) mempunyai pengertian yang berbeda. Menurut Mahmud Yunus, mendidik berarti menyiapkan anak dengan segala macam jalan supaya dapat mempergunakan tenaga dan bakatnya dengan sebaikbaiknya sehingga mencapai kehidupan yang sempurna dalam masyarakat tempat tinggalnya. Sedangkan mengajar berarti mentransfer ilmu pengetahuan kepada anak supaya ia pandai.25 Sehingga dapat dipahami bahwa mendidik mempunyai cakupan yang lebih luas dan mendalam dari mengajar. Sebagaimana yang diungkap oleh Mahmud Yunus bahwa mengajar adalah salah satu segi dari beberapa segi pendidikan. Dalam mengajar, pendidik memberikan ilmu, pendapat, dan pikiran kepada peserta didik menurut metode yang disukainya. Pendidik berbicara, peserta didik mendengar; pendidik aktif, peserta didik pasif. Sedangkan di dalam mendidik, pendidik memberi dan peserta didik harus membalas, menyelidiki, dan memikirkan soal-soal sulit, mencari jalan mengatasi kesulitan tersebut.26
24
Pendapat ini berdasarkan pada firman Allah; Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur (QS. An-Nahl: 78). 25 Mahmud Yunus, Pendidikan dan Pengajaran (Jakarta: Hidakarya Agung, cet. III, 1990), 19. 26 Ibid., 25; Senada dengan itu, Azra mengemukakan bahwa pendidikan lebih daripada sekedar mengajar. Pendidikan salah satu proses transformasi nilai dan pembentukan kepribadian dengan segala aspeknya. Pengajaran hanya sebagai suatu proses transfer ilmu belaka, lebih berorientasi pada pembentukan para spesialis yang terkurung dalam ruang spesialisasinya yang sempit. Lihat; Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi, 3.
Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016 | 52
Ahmad Ihwanul Muttaqin
Selain kata tarbiyah dan ta’lim, istilah pendidikan dalam konteks Islam juga digunakan kata ta’dib, berarti pendidikan yang berhubungan dengan perilaku atau akhlak dalam kehidupan yang lebih mengacu pada peningkatan martabat manusia.27 Dari istilah-istilah pendidikan tersebut jika dibandingkan dalam konteks Islam, maka tarbiyah mengandung makna lebih luas, terdapat di dalamnya pengertian ta’lim dan ta’dib. Istilah ta’dib mengesankan proses pembinaan terhadap sikap akhlaq dan etika dalam kehidupan yang lebih mengacu pada peningkatan martabat manusia. Sedangkan Istilah ta’lim lebih bersifat informatif, yaitu usaha pemberian ilmu pengetahuan sehingga seseorang menjadi berilmu. Ahli Filsafat Pendidikan, berpendapat bahwa dalam merumuskan pengertian pendidikan sangat tergantung kepada pandangan terhadap manusia; hakikat, sifat atau karakteristik dan tujuan manusia hidup. Perumusan pendidikan bergantung kepada cara pandangannya, apakah dilihat sebagai kesatuan jasmani; badan, jiwa dan roh, atau jasmani dan rohani saja? Apakah manusia pada prinsipnya dianggap memiliki potensi bawaan (innate) yang menentukan perkembangannya dalam lingkungannya, atau milieu yang menentukan dalam perkembangan dan pertumbuhan manusia? Bagaimanakah kedudukan individu dalam masyarakatnya? Bagaimanakah tujuan hidup manusia? Apakah manusia dianggap hanya hidup sekali di dunia, ataukah hidup lagi di kemudian hari? Demikian beberapa pertanyaan yang diajukan oleh para filosuf. Beberapa pertanyaan di atas, memerlukan jawaban yang dapat menentukan pandangan terhadap hakekat dan tujuan pendidikan, dan dari sini pula pangkal perbedaan rumusan pendidikan atau timbulnya aliran-aliran pendidikan seperti; pendidikan Islam, Kristen, liberal, progresif atau pragmatis, komunis, demokratis, dan lain-lain. Dengan demikian, terdapat keragaman pandangan tentang pendidikan. Tetapi, dalam keanekaragaman pandangan tentang pendidikan terdapat beberapa persamaan tentang pengertian pendidikan, yaitu pendidikan dilihat sebagai sebuah proses; karena dengan proses itu seseorang secara sengaja mengarahkan pertumbuhan atau perkembangan seseorang. Proses adalah kegiatan mengarahkan perkembangan seseorang sesuai dengan nilai-nilai yang merupakan jawaban atas 27
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Gaya Muda Pratama, 2005), 9.
53 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam
Telaah Filosofi Pembaharuan Sistem Pendidikan Islam
pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas. Maka, dengan pengertian atau definisi itu, kegiatan atau proses pendidikan hanya berlaku pada manusia tidak pada hewan.28 Dari uraian di atas pula, muncul pertanyaan apakah Pendidikan Islam itu? Pendidikan Islam adalah suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam,29 atau menurut Abdurrahman an-Nahlawi, pendidikan Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah.30 Menurut Yusuf al-Qardhawi, pendidikan Islam merupakan pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya.31 Sementara itu Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.32 Sejalan dengan itu, Muhammad Atiyah Al-Ibrasyi berpendapat bahwa pendidikan Islam itu adalah pendidikan yang berdasarkan pada etika Islam, pembentukan moral, dan latihan jiwa.33 Sehingga, tujuan akhir pendidikan Islam tersebut adalah membentuk manusia yang bertaqwa supaya selamat dalam kehidupannya. Pendidikan Islam dapat juga diartikan dengan pengembangan pikiran manusia dan penataan tingkah laku serta emosinya berdasarkan Agama Islam, dengan maksud 28
Anwar Jasin, Kerangka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam: Tinjauan Filosofis (Jakarta: 1985), 2. 29 Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, Crisis Muslim Education., Terj. Rahmani Astuti, Krisis Pendidikan Islam, Risalah (1986),2 30 Abdurrahman al-Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalibiha fi Baiti wal Madrasati wal Mujtama' (Beirut Libanon: Dar al-Fikr al-Mu'asyir, Cet. II, 1983), Terj., Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat (Gema Insani Press, 1995), 26. 31 Yusuf Al-Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna. Terj. Bustami A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), 157. 32 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma`arif, 1980), 94. 33 Muhammad Atiyah Al-Ibrasyi, Dasar-Dasar Pendidikan Islam. Terj. Tasirun Sulaiman (Ponorogo: PSIA, cet. II, 1991), 1.
Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016 | 54
Ahmad Ihwanul Muttaqin
merealisasikan tujuan Islam dalam kehidupan individu dan masyarakat yakni dalam seluruh lapangan kehidupan.34 Dari pandangan-pandangan tersebut, dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam tidak sekedar transfer of knowledge ataupun transper of training, tetapi lebih jauh merupakan suatu sistem yang bangun di atas pondasi keimanan dan keshalehan, yaitu sistem yang terkait secara langsung dengan Tuhan.35 Dengan demikian, dapat dikatakan pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam. Maka sosok pendidikan Islam dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang membawa manusia kearah kebahagian dunia dan akhirat melalui ilmu dan ibadah. Karena pendidikan Islam membawa manusia untuk kebahagian dunia dan akhirat, maka yang harus diperhatikan adalah nilai-nilai Islam tentang manusia; hakekat dan sifat-sifatnya, misi dan tujuan hidupnya di dunia ini dan akhirat nanti, hak dan kewajibannya sebagai individu dan anggota masyarakat. Semua ini dapat kita jumpai dalam al-Qur'an dan Hadits.36 Jadi, dapat dikatakan bahwa konsepsi pendidikan model Islam, tidak hanya melihat pendidikan itu sebagai upaya mencerdaskan semata, melainkan sejalan dengan konsep Islam tentang manusia dan hakekat eksistensinya. Maka, pendidikan Islam sebagai suatu pranata sosial, juga sangat terkait dengan pandangan Islam tentang hakekat keberadaan (eksistensi) manusia. Oleh karena itu, pendidikan Islam juga berupaya untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran bahwa manusia itu sama di depan Allah dan perbedaanya adalah terletak pada kadar ketaqwaan masingmasing manusia, sebagai bentuk perbedaan secara kualitatif.37
34
Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam. Terj. Herry Noer Ali (Bandung: CV. Diponegoro, 1989), 49. 35 Roihan Achwan, “Prinsip-prinsip Pendidikan Islam Versi Mursi”, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Vol. 1 (1991), 50. 36 Anwar Jasin, Kerangka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam : Tinjauan Filosofis (Jakarta: 1985), 4-5. 37 M.Rusli Karim, Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia, dalam Buku Pendidikan Islam di Indonesia antara Citra dan Fakta, Muslih Usa (Ed) (Yogyakarta: Tiara Wacana, Cet. I, 1991), 29-32.
55 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam
Telaah Filosofi Pembaharuan Sistem Pendidikan Islam
Pada prinsipnya pendidikan berupaya untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran terhadap manusia, maka sangat urgen untuk memperhatikan konsep atau pandangan Islam tentang manusia sebagai makhluk yang diproses kearah kebahagian duniawi dan ukhrowi, maka pandangan Islam tentang manusia antara lain: Pertama, konsep Islam tentang manusia, khususunya anak, sebagai subjek pendidikan. Sesuai dengan Hadits Rasulullah, bahwa anak manusia dilahirkan dalam fitrah atau dengan potensi tertentu.38 Dalam al-Qur'an, dikatakan tegakkan dirimu pada agama dengan tulus dan mantap, agama yang cocok dengan fitrah manusia yang digariskan oleh Allah. Tak ada perubahan pada ketetapan-Nya (QS. Ar-Rum: 30). Dengan demikian, manusia pada mulanya dilahirkan dengan membawa potensi yang perlu dikembangkan dalam dan oleh lingkungannya. Pandangan ini, berbeda dengan teori tabularasa yang menganggap anak menerima secara pasif pengaruh lingkungannya, sedangkan konsep fitrah mengandung potensi bawaan aktif yang telah di berikan kepada setiap manusia oleh Allah.39 Bahkan dalam al-Qur'an, sebenarnya sebelum manusia dilahirkan telah mengadakan transaksi atau perjanjian dengan Allah yaitu mengakui keesaan Tuhan, sebagaimana firman Allah dalam surat al-A'raf: 172, Ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan Adam dari sulbi mereka dan menyuruh agar mereka bersaksi atas diri sendiri; Bukankah Aku Tuhanmu? firman Allah. Mereka menjawab; ya kami bersaksi yang demikian agar kamu tidak berkata pada hari kiamat kelak, kami tidak mengetahui hal ini. Ayat tersebut memberikan gambaran bahwa setiap anak yang lahir telah membawa potensi keimanan terhadap Allah atau disebut dengan tauhid. Sedangkan potensi bawaan yang lain misalnya potensi fisik dan kecerdasan akal dengan segala kemungkinan dan keterbatasannya. Kedua, peranan pendidikan. Potensi manusia yang dibawa sejak dari lahir itu tidak hanya bisa dikembangkan dalam lingkungan tetapi juga bisa berkembang secara terarah bila mendapat bantuan orang lain atau pendidik. Dengan demikian, tugas pendidik adalah mengarahkan segala potensi subyek didik seoptimal mungkin agar dapat memikul amanah dan tanggung jawabnya baik sebagai individu maupun sebagai bagian masyarakat, sesuai dengan profil manusia Muslim yang baik. Ketiga, 38 39
Jasin, Kerangka Dasar, 2. Ibid., 3.
Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016 | 56
Ahmad Ihwanul Muttaqin
profil manusia Muslim. Profil dasar seorang Muslim yang baik adalah ketaqwaan kepada Allah. Dengan demikian, perkembangan anak haruslah secara sengaja diarahkan kepada pembentukan ketaqwaan. Keempat, metodologi pendidikan. Metodologi diartikan sebagai prinsip-prinsip yang mendasari kegiatan mengarahkan perkembangan seseorang, khususnya pada proses belajar-mengajar. Maka, pandangan bahwa seseorang dilahirkan dengan potensi bawaan tertentu dan dengan itu ia mampu berkembang secara aktif dalam lingkungannya, mempunyai implikasi bahwa proses belajar-mengajar harus didasarkan pada prinsip belajar siswa aktif (student active learning).40 Dari analisis di atas, pengertian pendidikan menurut al-Qur'an dan hadits sangat luas, meliputi pengembangan semua potensi bawaan manusia yang merupakan pemberian Allah. Potensi itu harus dikembangkan menjadi kenyataan berupa keimanan dan moral serta kemampuan beramal dengan menguasai ilmu dunia-akhirat serta keterampilan atau keahlian tertentu sehingga mampu memikul amanah dan tanggung jawab sebagai seorang khalifah di muka bumi. Tetapi pendidikan Islam pada realitasnya, sebagaimana yang lazim dikenal di Indonesia ini, memiliki pengertian yang agak sempit, yaitu program pendidikan Islam lebih banyak menyempit ke mata pelajaran fiqh ibadah terutama, dan selama ini tidak pernah dipersoalkan apakah isi program pendidikan pada lembaga-lembaga pendidikan telah sesuai benar dengan luasnya pengertian pendidikan menurut ajaran Islam. Pembaharuan Pendidikan Islam Pendidikan Islam terutama di Indonesia masih menghadapi berbagai masalah dalam berbagai aspek. Upaya perbaikan belum dilakukan secara mendasar, sehingga terkesan seadanya saja. Selama ini, upaya pembaharuan pendidikan Islam secara mendasar, selalu dihambat oleh berbagai masalah mulai dari tenaga ahli hingga persoalan dana. Hal ini menyebabkan orientasi yang semakin tidak jelas. Ada dua alasan inti mengapa konsep pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia untuk menuju masyarakat madani sangat urgen. Pertama, konsep dan praktik pendidikan
40
Ibid., 4-5.
57 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam
Telaah Filosofi Pembaharuan Sistem Pendidikan Islam
Islam dirasakan kurang luas, artinya terlalu menekankan pada kepentingan akhirat, sedangkan ajaran Islam menekankan pada keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat. Maka perlu pemikiran ulang tentang desain dan konsep pendidikan Islam yang didasarkan pada asumsi mendasar tentang manusia yang akan diproses menuju masyarakat madani. Kedua, Banyak lembaga pendidikan Islam yang belum atau bahkan kurang mampu memenuhi kebutuhan umat Islam dalam menghadapi problematika dunia modern dan tantangan masyarakat dan bangsa Indonesia disegala bidang. Karenanya, untuk menghadapi dan menuju masyarakat madani dibutuhkan konsep pendidikan Islam dalam peran sertanya secara mendasar untuk memberdayakan umat. Aspek-Aspek Pembaharuan Pendidikan Dalam proses pendidikan terjadi pembaharuan pendidikan dari berbagai aspek. Misalnya; pembaharuan dalam aspek tujuan pendidikan, pendidik, peserta didik, materi/kurikulum, metode pendidikan, lingkungan pendidikan (milieu), evaluasi pendidikan, dan manajemen pendidikan. Dalam hal ini akan diuraikan empat hal sebagai berikut: 1.
Pembaharuan dalam Aspek Tujuan Pendidikan Tujuan atau cita-cita sangat urgen di dalam aktivitas pendidikan, karena merupakan arah yang hendak dicapai. Maka tujuan harus ada sebelum melangkah untuk mengerjakan sesuatu. Bila pendidikan dipandang sebagai suatu proses, maka proses tersebut akan berakhir pada tercapainya tujuan akhir pendidikan.41 Oleh karena itu, usaha yang tidak mempunyai tujuan tidaklah bermakna. Berbicara tentang tujuan pendidikan maka erat kaitannya dengan tujuan hidup manusia, karena pendidikan hanyalah sebagai alat yang digunakan manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Oleh karena itu, tujuan pendidikan harus diarahkan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan yang sedang dihadapi.42
41 42
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1987), 119. Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan (Jakarta: Husna Zikra, 1995), 147.
Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016 | 58
Ahmad Ihwanul Muttaqin
Dengan istilah lain, pembaharuan tujuan pendidikan selalu dimaksudkan untuk mereformasi berbagai rencana dan kegiatan sehingga proses pendidikan tidak kehilangan relevansi dengan tuntutan kebutuhan masyarakat baik yang bersifat lokal, nasional, regional maupun internasional atau global. Di sini nampak bahwa tujuan pendidikan di zaman global setidaknya mencoba mengarahkan sesuatu yang hendak dituju dalam proses pendidikan. Konkritnya, tujuan pendidikan suatu masyarakat selalu dibangun di atas falsafah masyarakat yang bersangkutan. Sebagaimana diketahui bahwa suatu masyarakat selalu bersifat dinamis dan mengalami perkembangan dan perubahan dari zaman ke zaman sehingga pembaharuan tujuan pendidikan merupakan hal yang tak terelakkan.43 Jadi, yang dimaksud dengan pembaharuan dalam aspek tujuan pendidikan adalah suatu perubahan baru terhadap tujuan pendidikan yang sengaja dilakukan dalam rangka menjawab tuntutan masyarakat yang selalu berubah dan sesuai dengan kondisi dan keadaan. 2. Pembaharuan dalam Aspek Kurikulum Kurikulum dalam pendidikan Islam dikenal dengan kata manhaj yang berarti jalan terang yang dilalui manusia pada berbagai bidang kehidupan.44 Para ahli pendidikan banyak memberikan batasan arti kurikulum, baik dalam pengertian sempit maupun dalam pengertian luas. Dalam pengertian sempit kurikulum diartikan sebagai sejumlah mata pelajaran atau sejumlah pengetahuan yang harus dikuasai untuk mencapai suatu ijazah. Kurikulum dapat juga berarti keseluruhan pelajaran yang diberikan oleh suatu lembaga pendidikan.45 Sementara kurikulum dalam pengertian luas, yaitu kurikulum yang menyangkut
43
Heni Ani Nuraeni, "Pembaruan Pendidikan Pondok Pesantren Miftahul Huda Manonjaya– Tasikmalaya," Tesis S2 Konsentrasi Pendidikan Islam Sekolah Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (Jakarta: 2004), 41. 44 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, cet. II, 1998), 61. 45 Pengertian ini nampaknya mengacu pada sejumlah mata pelajaran yang diberikan di dalam kelas. Dengan demikian, kurikulum dalam pengertian ini hanya terbatas kepada apa yang diberikan oleh pendidik di dalam kelas. Jika kurikulum hanya dipahami secara sempit, maka dinamika proses belajar mengajar serta kreativitas pendidik dan peserta didik terhenti atau mandeg. Lihat: Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam. Terj. Hasan Langgulung (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 478.
59 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam
Telaah Filosofi Pembaharuan Sistem Pendidikan Islam
semua kegiatan yang dilakukan dan dialami peserta didik dalam perkembangan baik formal maupun informal guna mencapai tujuan pendidikan.46 Kurikulum menurut William B. Ragan yang dikutip oleh S. Nasution adalah seluruh program dan kehidupan dalam sekolah, yaitu segala pengalaman peserta didik di bawah tanggung jawab sekolah. Kurikulum tidak hanya meliputi bahan pelajaran tetapi juga meliputi seluruh kehidupan dalam kelas.47 Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan
bahan
pelajaran
serta
cara
yang
digunakan
sebagai
pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.48 Dari berbagai defenisi kurikulum tersebut di atas dapat dipahami bahwa kurikulum secara signifikan berperan sebagai pedoman dan landasan operasional bagi implementasi proses belajar mengajar di sekolah, lembaga pendidikan dan pelatihan. Hal tersebut diharapkan dapat menimbulkan perubahan tingkah laku, sekaligus alat dan sarana untuk mencapai tujuan pendidikan. Bicara masalah pembaharuan kurikulum, maka sangat berhubungan dengan kebutuhan manusia. Di mana kebutuhan manusia terus berubah, bertambah, dan dinamis sesuai dengan tuntutan masa. Kalau ingin kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masa, maka seyogyanya diadakan pembaharuan terus-menerus.49 Pembaharuan kurikulum dilakukan karena kurikulum adalah suatu yang bersifat dinamis dan mengikuti perubahan nila-nilai sosial budaya masyarakat sesuai arus perkembangan IPTEK. Artinya, kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan selalu menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang
46
Suryanto dan Djihad Hisyam, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III (Jakarta: Adicita, 2000), 59. 47 S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum (Jakarta: Bumi Aksara, cet. V 2003), 5; Bandingkan: Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), 103. 48 Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 49 Hendry Guntur Tarigan, Dasar-Dasar Kurikulum Bahasa (Bandung: Angkasa, 1993), 135.
Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016 | 60
Ahmad Ihwanul Muttaqin
selalu berubah. Kurikulum dibuat mesti bermanfaat bagi siswa dan membantu menyelesaikan masalah mereka dan masalah masyarakat.50 Subandijah membedakan
istilah
pembaharuan kurikulum dengan
perubahan kurikulum. Kalau pembaharuan kurikulum, menurutnya adalah perubahan atau inovasi kurikulum dalam mata pelajaran atau bidang studi. Atau disebut juga dengan perubahan kurikulum dalam skala terbatas (mikro/khusus). Sedangkan perubahan kurikulum adalah perubahan kurikulum dalam segala aspek dalam komponen kurikulum. Atau disebut juga dengan perubahan kurikulum secara sistem (makro/umum).51 Sejalan dengan ini, maka pembaharuan kurikulum dapat ditandai dengan adanya unsur mata pelajaran baru yang diperkenalkan. Atau dapat pula berupa perubahan jam dan mata pelajaran, baik dalam bentuk penambahan maupun pengurangan sesuai dengan kebutuhan. 3. Pembaharuan dalam Aspek Pendidik Pendidik merupakan komponen pendidikan yang harus diperhatikan. Karena pendidik bertanggung jawab dalam pembentukan pribadi peserta didiknya. Seorang pendidik tidak hanya berfungsi sebagai pengajar di kelas saja, melainkan harus mampu menciptakan suasana pergaulan yang edukatif di luar kelas. Pendidik juga memberi kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan berbagai kegiatan guna memecahkan masalah (how to think bukan what to think).52
50
Kurikulum harus terbuka, kemungkinan akan adanya peninjauan, fleksibel, dapat direvisi dan dievaluasi setiap saat sesuai dengan kebutuhan setempat. Sehingga, penerapan kurikulum tersebut dapat mengembangkan minat, kreativitas, produktivitas, dan merangsang perubahan psikologis peserta didik. Di samping itu, dapat pula mengembangkan aspek kognitif dan psikomotor peserta didik dalam rangka pengembangan dan pembentukan kepribadiannya. Lihat: Omar Mohammad Al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, 528-529; Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, h. 78. 51 Subandijah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, 84; Senada dengan itu, Hendyat Soetopo dan Wasty Soemanto juga berpendapat, kalau perubahan yang terjadi hanya pada komponen (unsur) tertentu saja dari kurikulum, maka hal itu disebut dengan pembaharuan (inovasi/perubahan sebagian-bagian). 52 S. Nasution, Asas-asas Kurikulum, h. 24-25.
61 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam
Telaah Filosofi Pembaharuan Sistem Pendidikan Islam
Menurut Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, melakukan bimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.53 Dengan tugas dan tanggung jawab yang kuat itulah, maka seorang pendidik dituntut memenuhi beberapa syarat. Menurut Direktorat Pendidikan Agama, syarat-syarat sebagai pendidik atau pengajar adalah; pertama, memiliki kepribadian Mukmin, Muslim dan Muhsin. Kedua, taat untuk menjalankan Agama, yaitu menjalankan syari’at Islam, dan dapat memberikan contoh teladan yang baik bagi peserta didiknya. Ketiga, memiliki jiwa pendidik dan kasih sayang kepada peserta didiknya serta berjiwa ikhlas. Keempat, mengetahui dasar-dasar pengetahuan tentang keguruan, terutama didaktik metodik. Kelima, menguasai ilmu pengetahuan Agama. Keenam, sehat rohani dan jasmaninya.54 Sedangkan menurut Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003, persyaratan (kualifikasi) seorang pendidik tersebut adalah; pertama, pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kedua, pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi.55 Secara lebih mendetail, UU Guru dan Dosen juga menjelaskan bahwa harus ada beberapa prinsip yang melekat pada diri seorang pendidik, yaitu; pertama, memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme. Kedua, memiliki
53
Senada dengan itu, dalam Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen juga dijelaskan bahwa pendidik/guru adalah tenaga profesional yang tugas utamanya mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Lihat: Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; Bandingkan: Lihat: Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal I ayat 1. 54 Zuhairini dkk., Metodik Khusus Pendidikan Agama (Surabaya: Usaha Nasional, 1983), 36. 55 Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 42.
Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016 | 62
Ahmad Ihwanul Muttaqin
komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia. Ketiga, memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas. Keempat, memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas. Kelima, memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan. Keenam, memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja. Ketujuh, memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat. Kedelapan, memiliki
jaminan
perlindungan
hukum
dalam
melaksanakan
tugas
keprofesionalan, dan kesembilan, memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.56 Ketentuan lebih lanjut tentang pendidik juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan terutama dalam Bab VI, Pasal 28; a. Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan nasional. b. Kualifikasi akademik sebagaimana yang dimaksud ayat (1) adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dimiliki oleh seorang pendidik yang harus dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikasi keahlian yang relevan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan usia dini. d. Seorang yang tidak memiliki ijazah/atau sertifikasi keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetapi memiliki keahlian khusus yang diakui dan diperlukan dapat diangkat menjadi pendidik setelah melalui uji kelayakan dan kesetaraan.57
56 57
Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 7 ayat 1. Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
63 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam
Telaah Filosofi Pembaharuan Sistem Pendidikan Islam
Berdasarkan pijakan ini, dapat dipahami bahwa karakteristik seorang guru yang bermutu harus memiliki kualifikasi akademik,58 kompetensi59 dan sertifikasi.60 Pembaharuan pendidik berorientasi pada peningkatan mutu pendidik yang dapat ditandai dengan adanya usaha dalam pencapaian kompetensi yang melekat pada diri seorang pendidik. Jadi, yang dimaksud dengan pembaharuan dalam aspek pendidik di sini adalah adanya suatu perubahan dalam rangka pencapaian kompetensi guru-guru. 4. Pembaharuan dalam Aspek Peserta Didik Dalam pendidikan Islam, istilah lain untuk peserta didik antara lain adalah al-shabiy (anak-anak), murid (orang yang menginginkan atau membutuhkan), almuta’alim (pelajar), thalib al-ilmi (penuntut ilmu pengetahuan), tilmidz (muridmurid), dan thifl (orang yang berhajat).61 Yang dimaksud dengan peserta didik adalah orang atau sekelompok orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan, dan pengarahan. Karena peserta didik dilahirkan dalam keadaan suci, bersih dari segala dosa, maka dia akan menjadi baik atau buruk tergantung kepada pendidik dan lingkungannya.62 Menurut Abuddin Nata, seorang yang tengah mencari ilmu memerlukan kesiapan fisik yang prima, akal yang sehat, pikiran yang jernih, dan jiwa yang
58
Kualifikasi akademik untuk guru diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma IV. Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 9. 59 Sedangkan kompetensi yang harus dipenuhi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 10. 60 Sertifikasi pendidik diperoleh guru setelah mengikuti program sertifikasi yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah. Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 11. 61 Lihat: Yunus, Kamus Arab – Indonesia, 79 dan 238; Abuddin Nata dan Fauzan (ed). Pendidikan dalam Perspektif Hadits, 249; Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, 131; Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan (Jakarta: Ciputat Press, 2002), 74. 62 Sementara ada juga yang menambahkan bahwa baik atau buruknya seorang peserta didik bukan karena tabiatnya yang asli melainkan pengaruh dari pendidikan dan lingkungannya.
Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016 | 64
Ahmad Ihwanul Muttaqin
tenang, maka perlu adanya upaya memelihara dan merawat yang sungguhsungguh terhadap potensi dan alat indra, fisik, dan mental yang diperlukan untuk mencari ilmu.63 Peserta didik berfungsi sebagai objek yang sekaligus sebagai subjek pendidikan. Sebagai objek karena peserta didik tersebut menerima perlakuanperlakuan tertentu, tetapi dalam pandangan pendidikan modern peserta didik lebih dekat dikatakan sebagai subjek atau pelaku pendidikan.64 Usaha pembaharuan pendidikan ditujukan untuk kepentingan siswa atau peserta didik, yang sering disebut Student Centered Approach.65 Usaha pembaharuan pendidikan hanya dapat terarah apabila didasarkan pada konsep dasar filsafat dan teori pendidikan. Filsafat pendidikan yang mantap hanya mungkin dikembangkan di atas dasar asumsi-asumsi dasar yang kokoh dan jelas tentang hakikat manusia, potensi bawaannya, tujuan hidupnya serta misinya di dunia ini baik sebagai makhluq individu maupun sebagai bagian dari anggota masyarakat, hubungan dengan lingkungan dan alam semesta dan akhiratnya hubungan dengan Tuhan. Teori pendidikan yang bagus hanya dapat dikembangkan atas dasar pertemuan antara penerapan atau pendekatan filsafat dan pendekatan empiris. Sehubungan dengan hal tersebut, konsep dasar dalam pembaharuan pendidikan Islam adalah merumuskan konsep filsafat dan teori pendidikan yang sandarkan pada asumsi-asumsi dasar tentang hakikat manusia menurut ajaran Islam. Konteks sistem masyarakat madani di mana pendidikan itu akan diterapkan harus mengacu pada konsep dasar filsafat dan teoritis pendidikan Islam. Apabila terlepas dari konteksnya, maka pendidikan tidak akan menemukan relevansinya terutama yang berhubungan dengan kebutuhan umat Islam. Jadi, kebutuhan masyarakat yang amat mendesak dewasa ini adalah untuk mewujudkan dan meningkatan kualitas insan muslim menuju masyarakat madani. Oleh karena itu, umat Islam di Indonesia harus dipersiapkan dan dibebaskan dari ketidaktahuannya akan 63
Nata, Filsafat Pendidikan Islam, 134. Hal ini antara lain dilakukan dengan cara melibatkan mereka dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar. Nata, Filsafat Pendidikan Islam, 131; Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis (Jakarta: Ciputat Pers, 2002) 47. 65 Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), 202. 64
65 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam
Telaah Filosofi Pembaharuan Sistem Pendidikan Islam
peran dan kedudukannya dalam kehidupan masyarakat madani dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan Islam haruslah mampu meningkatkan kualitas umatnya dalam rangka menuju masyarakat madani. Karena jika tidak umat Islam akan tertinggal dalam kehidupan masyarakat madani yaitu masyarakat ideal yang dicita-citakan seluruh elemen bangsa ini. Maka tantangan utama yang dihadapi umat Islam sekarang adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam memposisikan diri dan memainkan fungsinya dalam komunitas masyarakat madani dengan tetap menguasai ilmu dan teknologi yang berkembang. Kesimpulan Kesimpulan dari paparan di atas adalah bahwa masyarakat madani merupakan suatu wujud masyarakat yang memiliki kemandirian aktivitas dengan ciri: pertama, universalitas, supremasi, keabadian, pemerataan kekuatan, kebaikan dari dan untuk bersama, meraih kebajikan umum, perangkat eksternal, bukan berinteraksi pada keuntungan, dan kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya. Ciri masyarakat ini merupakan masyarakat yang ideal dalam kehidupan. Pemerintah dalam hal ini harus mengarahkan seluruh potensi bangsa berupa pendidikan, politik, ekonomi, soial budaya ke arah masyarakat madani yang diimpikan. Kedua, konsep dasar pembaharuan pendidikan harus didasarkan pada asumsi dasar tentang manusia menurut ajaran Islam, filsafat dan teori pendidikan Islam yang dikembangkan berdasarkan asumsi-asumsi tentang manusia dan lingkungannya. Atau dengan kata lain pembaharuan pendidikan Islam adalah filsafat dan teori pendidikan Islam yang sesuai dengan ajaran Islam, sosial - kultural yang dalam hal ini adalah masyarakat madani. Ketiga, konsep dasar pendidikan Islam harus diupayakan relevan dengan kepentingan umat Islam dan relevan pula dengan desain masyarakat madani. Referensi Abdillah, Masykuri. Islam dan Masyarakat Madani. Kompas, 1999. Achwan, Roihan. Prinsip-prinsip Pendidikan Islam Versi Mursi, dalam Jurnal Ilmu Pendidikan Islam. Vol. 1. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1991. Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan. Jakarta: Ciputat Press, 2002. Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016 | 66
Ahmad Ihwanul Muttaqin
Arifin, M. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1987. Arifin, M. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 1995. Azizy, Qodri. Melawan Globalisasi Reinterpretasi Ajaran Islam: Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Azra, Azyumardi. Menuju Masyarakat Madani. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004. Bernadib, Sutari Imam. Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis. Yogyakarta: FIP/IKIP, cet. XV, 1995. Conference Book, London, 1978. Daradjat, Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, cet. III, 1996. Hamim, Thoha., Islam dan Masyarakat Madani (1) Ham, Pluralisme, dan Toleransi Beragama. Koran Harian Jawa Pos, Tanggal, 11 Maret, 1999. Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005. Hidayat, Komaruddin. Masyarakat Agama dan Agenda Penegakan Masyarakat Madani, Makalah Seminar Nasional dan Temu Alumni, Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang, 1998. Hidayat, Komaruddin; dan Azra, Azyumari. Demokrasi, Hak Asasi Manusai dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Hidayatullah Jakarta dan The Asia Foundation, 2006. Hornby. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. Hongkong: Oxford University Press, cet. XXV, 1987. Husain, Syed Sajjad; dan Ashraf, Syed Ali. Crisis Muslim Education., Terj. Rahmani Astuti, Krisis Pendidikan Islam, Risalah. 1986. Ibrasyi (al), Muhammad Atiyah, Dasar-Dasar Pendidikan Islam. Terj. Tasirun Munjid. Beirut: Dar el-Machreq, 1986. Ihsan, Fuad. Dasar-Dasar Kependidikan Komponen MKDK. Jakarta: Rineka Cipta, 1997. Jasin, Anwar. Kerangka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam: Tinjauan Filosofis. Jakarta, 1985. Karim, M. Rusli. “Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia” dalam Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia antara Citra dan Fakta. Yogyakarta: Tiara Wacana, Cet. I, 1991. Langgulung, Hasan. Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam. Bandung: AlMa`arif, 1980. Langgulung, Hasan. Manusia dan Pendidikan. Jakarta: Husna Zikra, 1995. Maksum, Madrasah, Sejarah, dan Perkembangannya, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, cet. II, 1999. Masthuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS, 1994. 67 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam
Telaah Filosofi Pembaharuan Sistem Pendidikan Islam
Mufid. Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani, Makalah Seminar Nasional dan Temu Alumni, Programa Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang, 1998. Muhaimin, dkk., Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001. Nahlawi (an), Abdurrahman. Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam. Terj. Herry Noer Ali. Bandung: CV. Diponegoro, 1989. Nasution, S. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara, cet. V, 2003. Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Muda Pratama, 2005. Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta: Ciputat Pers, 2002. Nuraeni, Heni Ani. Pembaruan Pendidikan Pondok Pesantren Miftahul Huda Manonjaya – Tasikmalaya. Tesis S2 Konsentrasi Pendidikan Islam Sekolah Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004. Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Qardhawi (al), Yusuf. Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna. Terj. Bustami A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad. Jakarta: Bulan Bintang, 1980. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 1994. Sudjana, S. F. Pendidikan Non Formal, Bandung: Yayasan PTDI Jawa Barat, 1974. Sukmadinata, Nana Syaodih. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999. Suryanto; dan Hisyam, Djihad. Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III. Jakarta: Adicita, 2000. Syaibany (al), Omar Muhammad al-Toumy, Filsafat Pendidikan Islam. Penerjemah Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Tadjab, Perbandingan Pendidikan; Studi Perbandingan tentang Beberapa Aspek Pendidikan Barat Modern, Islam dan Nasional. Surabaya: Karya Abditama, 1994. Tarigan, Hendry Guntur. Dasar-dasar Kurikulum Bahasa. Bandung: Angkasa, 1993. Tim Penyusun Kamus Pusat, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, cet. III, 1990. Yunus, Mahmud. Pendidikan dan Pengajaran, Jakarta: Hidakarya Agung, cet. III, 1990. Zuhairini dkk., Metodik Khusus Pendidikan Agama. Surabaya: Usaha Nasional, 1983.
Volume 9, Nomor 1, Pebruari 2016 | 68