Dharma Raflesia Unib Tahun XIV, Nomor 2 Desember 2016
121
TEKNOLOGI PUPUK DAN PESTISIDA ORGANIK BAGI KELOMPOK TANI TANAMAN SAYURAN KECAMATAN SELUPU REJANG KABUPATEN REJANG LEBONG FERTILIZER TECHNOLOGY AND ORGANIC PESTICIDES FOR FARMER GROUP OF VEGETABLES PLANT IN SELUPU REJANG REJANG LEBONG Oleh: Jafrizal dan Suryadi Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Bengkulu Email:
[email protected] ABSTRACT Vegetable farmers in Sub Selupu Rejang run farming business still using conventional systems, especially the use of inorganic fertilizers and pesticides that can cause many negative effects. Among them was decreased land productivity, environmental pollution especially in soil and water, the dependence of farmers will plant products and lethal local wisdom in the farm system. In trying to peasants, agricultural waste such as rice straw, rice husks, corn straw, vegetable waste, coffee waste bran, weeds there dilahan, has not been used as compost, but is thrown away or burned land. This is done by farmers because they considered agricultural waste is waste that if left in the land will become pests such as rats. So is the case with farm waste, livestock manure from beef cattle and beef, and chicken pieces until now there has been optimal in utilization. Along with the increasing livestock population of farmers, the current waste started to cause environmental problems for the community, while on the other hand they had difficulty in getting the fertilizer business continuity vegetable crops. Taking into account input from members of farmers it was agreed a solution by making use of agricultural and livestock waste into organic fertilizer. This solution is chosen with consideration have added value, cheaper and more environmentally friendly. In its application the waste is fermented into organic fertilizer compost. Besides composting, it is also agreed to draw on MOL as a liquid organic fertilizer and the manufacture of organic pesticides to control pests and plant diseases. Forms of activities that have been done are the form; education and counseling about environmentally friendly farming; training composting, Biourine, MOL, and organic pesticides, as well as the manufacturing plant experimental plots. Service activities that have been made capable of empowering the community vegetable farmers manage agricultural waste and livestock into organic fertilizers and pesticides, as well as be able to apply to the vegetable crops that become the main business. Keywords: compost, MOL, organic pesticides
PENDAHULUAN Kabupaten Rejang Lebong (Curup) selama ini sudah dikenal sebagai penghasil komoditas sayuran terbesar di Propinsi Bengkulu, dan produksinya tidak hanya dipasarkan
122
Dharma Raflesia Unib Tahun XIV, Nomor 2 Desember 2016
di dalam propinsi, bahkan juga telah mensuplai kota-kota di propinsi tetangga seperti Palembang, Lampung, Jambi dan Padang. Selama tahun 2014 produksi holtikultura yang utama diantaranya kubis 76.112 ton, terong 52.712 ton, labu siam 34.344 ton, tomat 31.443 ton, cabe besar 29.495 ton, petsai/sawi 28.277 ton, wortel 27.113 ton, buncis 26.299 ton (Dinas Pertanian Kabupaten Rejang Lebong, 2014) Kecamatan Selupu Rejang merupakan salah satu dari lima belas kecamatan yang ada di Kabupaten Rejang Lebong dengan luas daerah ± 9.268,5, terdiri dari 11 desa dan 3 kelurahan, berjarak ±13 km dari Kota Curup sebagai ibu kota kabupaten dan brjarak ± 100 km dari ibu kota Propinsi Bengkulu. Konturnya berbukit, suhu rata-rata 18 – 27 oC pada siang hari, rata-rata curah hujan 2.376,1 s/d 4.533,8 mm/tahun. Distribusi curah hujan merata sepanjang tahun, jumlah bulan basah 9 bulan dan intensitas matahari 7-10 jam/hari (BPP Air Duku, 2015). Kondisi alam yang berbukit dan sejuk ini menjadikan Kecamatan Selupu Rejang sebagai salah satu sentral pertanian dan peternakan yang terkemuka di Kabupaten Rejang Lebong. Usaha pertanian yang utama adalah usaha tani padi sawah, palawija dan tanaman holtikultura. Produk palawija yang menonjol diantaranya jagung, ubi jalar dan ubi kayu. Produk holtikultura adalah berbagai jenis sayur mayur diantaranya kentang, cabe, kol bunga, brokoli, bawang daun, tomat, wortel, seledri dan buncis. Luas tanam tanaman sayuran di Kecamatan Selupu Rejang pada tahun 2014 lalu diantaranya wortel 405,0 ha, cabe 379,0 ha, bawang daun 178,0 ha, kentang 97,0 ha, tomat 87,5 ha, buncis 79,0 ha, kol bunga 37,5 ha, seledri 21,0 ha, brokoli 15,0 ha (BPP Air Duku, 2015). Sektor peternakan di Kabupaten Rejang Lebong juga tumbuh dengan pesat, menurut data dari Dinas Peternakan dan Perikanan (2014) di Kabupaten Rejang Lebong tercatat ada 7.312 ekor sapi potong, 445 ekor sapi perah dan 602 ekor kerbau. Sementara populasi peternakan di Kecamatan Selupu Rejang khususnya pada tahun 2014 diantaranya sapi potong 1.189 ekor, sapi perah 187 ekor, kerbau 52 ekor, kambing 2.954 ekor, dan ayam 44.451 ekor (BPP Air Duku, 2015). Sebagaimana usaha tani umumnya, para petani tanaman sayuran di Kecamatan Selupu Rejang masih mengusahakan usaha taninya dengan cara-cara yang konvensional. Para petani masih menggantungkan usahanya pada pupuk buatan dan pestisida anorganik dalam mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT). Pemakaian pupuk dan pestisida anorganik dari berbagai hasil penelitian terbukti telah banyak menimbulkan dampak negatif. Produktifitas lahan menjadi menurun karena pupuk kimia menyebabkan tanah menjadi asam, padat, mengganggu kegiatan mikroorganisme yang ada di tanah, dan lain-lain. Dari aspek lingkungan pemakaian pupuk buatan dan pestisida juga telah terbukti mencemari perairan (air tanah ataupun air permukaan), tanah, dan juga mencemari produk pangan yang dihasilkan. Dari aspek ekonomi pemakaian pupuk buatan dan pestisida yang dulu dicanangkan dengan semboyan panca usaha tani juga terbukti telah menimbulkan ketergantungan petani akan produk pabrik dan mematikan beberapa kearifan lokal dalam usaha tani yang dulu pernah ada di
Dharma Raflesia Unib Tahun XIV, Nomor 2 Desember 2016
123
lingkungan masyarakat tani kita. Dengan tingkat harga pupuk ditingkat petani yang cendrung tinggi dan dengan tingkat ketersediaan yang sering mengalami kelangkaan maka hal ini menjadi permasalahan yang serius dialamai oleh petani sayuran yang ada di Selupu Rejang dan di Kabupaten Rejang Lebong umumnya. Sementara dalam mengusahakan usaha taninya, limbah pertanian seperti jerami padi, sekam, jerami jagung, limbah sayuran, limbah dedak kopi, gulma yang ada dilahan, belum dimanfaatkan sebagai bahan kompos, akan tetapi dibuang ke luar lahan atau di bakar. Hal ini dilakukan petani karena mereka menganggap limbah pertanian adalah sampah yang jika dibiarkan berada di lahan akan menjadi sarang hama seperti tikus. Kebiasaan membakar limbah pertanian jika dilihat dari aspek lingkungan adalah tindakan yang tidak ramah lingkungan karena disamping berkurangnya biomassa yang kembali ke lahan pertanian, asap yang dihasilkan juga berkontribusi dalam meningkatkankan gas COx di udara. Untuk setiap hektarnya limbah jerami padi yang dihasilkan bisa mencapai 7 ton/ha, sementara untuk limbah sayuran berdasarkan penelitian Definiati, dkk di Kebawetan Kepahiang Bengkulu (2013) bisa mencapai 10,61 ton/ha pada tanaman kubis. Sektor peternakan di Kabupaten Rejang Lebong terutama sapi potong dan perah, serta ayam potong saat ini menjadi salah satu produk unggulan daerah, dan mendapat sambutan positif dari masyarakat petani. Disamping telah menelorkan berbagai keberhasilan dan prestasi, usaha peternakan ini pada kenyataannya juga telah menimbulkan beberapa masalah. Salah satu masalah yang timbul dan dirasakan berat oleh masyarakat adalah limbah padat yang semakin lama semakin tinggi jumlahnya seiring dengan perkembangan usaha ternak di daerah tersebut. Secara teoritis, satu ekor sapi dewasa akan menghasilkan limbah padat (feses) sebanyak 8-11 kg/hari, sementara ternak ayam (pedaging dan potong) menghasilkan limbah segar sebanyak 0,06 – 0,10 kg/ekor/hari. Dengan populasi sapi dan ayam yang terus meningkat dapat dibayangkan apa yang terjadi bila limbah tersebut tidak tertangani dengan baik. Selama ini baru limbah padat (kotoran) yang sudah terdekomposisi secara alami (matang) yang dimanfaatkan oleh petani sebagai pupuk organik untuk usahatani tanaman sayuran mereka. Walaupun sudah termanfaatkan, akan tetapi belum dapat memenuhi kebutuhannya akan pupuk organik karena secara alami kotoran ternak segar akan butuh waktu yang relatif lama menjadi pupuk matang yang siap diaplikasikan terhadap tanaman. Keberadaan kotoran ternak segar yang cukup lama disekitar kandang akan membutuhkan tempat yang cukup luas dalam penyimpanan dan proses pematangannya. Mengingat limbah pertanian dan peternakan sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal, dan malahan sudah mulai menimbulkan dampak negatif (limbah ternak dan pembakaran limbah pertanian), sementara disisi lainnya mereka justru kesulitan untuk mendapatkan pupuk yang sangat dibutuhkan bagi keberlanjutan usaha pokok mereka (tanaman sayuran), maka dirasa sangat tepat bila kedua limbah tersebut bisa diolah menjadi produk pupuk organik yang memiliki nilai tambah, murah, dan lebih ramah
124
Dharma Raflesia Unib Tahun XIV, Nomor 2 Desember 2016
terhadap lingkungan. Agar solusi yang telah disepakati lebih mudah diterima dan diserap oleh masyarakat petani maka teknologi yang dipilih haruslah sederhana, murah, berbasis pada potensi lokal, serta lebih ramah terhadap lingkungan. Kotoran ternak sapi dan ayam sebagai limbah organik, merupakan bahan yang sangat baik untuk pembuatan pupuk organik padat (kompos). Menurut Lingga(1991) kandungan zat hara yang terdapat dalam feses sapi adalah 0,40% N, 0,20% P, dan 0,10% K, sementara kotoran ayam (Malone, 1992 dalam Rachmawati, 2000) mengandung 2,94 % N, 3,22 P2O5, dan 2,03 K2O. Dalam prakteknya nanti, untuk merobah kotoran ternak dan limbah pertanian menjadi pupuk organik akan ditempuh melalui proses fermentasi. Menurut Rahman (1989), fermentasi merupakan aktivitas mikroorganisme baik aerob maupun anaerob yang mampu mengubah atau mentransformasi senyawa kimia ke substrat organik. Dengan proses fermentasi limbah ternak dan limbah pertanian dapat dimanfaatkan menjadi pupuk organik berupa kompos. Disamping dari limbah pertanian dan peternakan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuat kompos, sumber daya lokal lainnya juga ada yang bisa dimanfaatkan sebagai pupuk cair sumber hara khususnya N, P, dan K. Teknologi fermentasi anaerob saat ini telah banyak diaplikasikan dalam pembuatan pupuk cair yang lebih dikenal dengan Mikro Organisme Lokal (MOL). Selain untuk “pupuk cair” dengan cara diencerkan lalu disiramkan pada tanah di sekitar tanaman, MOL juga bisa dipakai sebagai “starter” dalam pembuatan kompos. MOL dibuat dengan memanfaatkan limbah dari rumah tangga atau tanaman di sekitar lingkungan misalnya sisa-sisa tanaman seperti bonggol pisang, buah nanas, jerami padi, sisa sayuran, nasi basi, dan lain-lain. Bahan utama dalam larutan MOL teridiri dari 3 jenis komponen, antara lain: karbohidrat (air cucian beras, nasi bekas, singkong, kentang dan gandum) ; glukosa (cairan gula merah, cairan gula pasir, air kelapa/nira) dan; sumber bakteri (keong mas, buah-buahan misalnya tomat, pepaya, dan kotoran hewan). Sementara untuk mengganti pestisida kimiawi pabrik dilakukan dengan meracik pestisida organik yang diolah secara sederhana, berbahankan dari bahan-bahan yang ada dan murah didapatkan oleh petani dari lingkungannya. Bahan-bahan tersebut seperti dari daun pepaya, daun sirsak dan berbagai jenis empon-emponan (fitobiotik).
METODE PENGABDIAN Kegiatan pengabdian telah dilaksanakan dari bulan Februari sampai dengan Oktober 2016 dengan khalayak sasaran para petani sayuran yang terhimpun pada kelompok tani Karya Mandiri Desa Suban Ayam dan kelompok tani Sepakat Desa Air Putih Kali Bandung Kecamatan Selupu Rejang Kabupaten Rejang Lebong. Adapun bentuk kegiatan yang dilakukan meliputi:
Dharma Raflesia Unib Tahun XIV, Nomor 2 Desember 2016
125
Pendidikan dan Penyuluhan Untuk menambah wawasan anggota kelompok tani dilakukan melalui pendidikan dan penyuluhan tentang pertanian ramah lingkungan, dan pengetahuan tentang pembuatan bermacam-macam pupuk organik padat (kompos) dan cair (MOL), serta pestisida alami yang berbasiskan potensi lokal dan ramah lingkungan. Pelatihan Berdasarkan permasalahan dan solusi yang telah disepakati dengan ketua kelompok tani, maka beberapa orang perwakilan dari kedua anggota kelompok tani sasaran akan dilatih dalam proses pembuatan pupuk organik (kompos), pembuatan MOL, dan pestisida organic Pembuatan MOL Nasi Basi Kepal-kepal nasi basi sebesar bola pingpong, lalu diletakkan di dalam kardus dan tutup dengan dedaunan (misalnya daun pisang yang membusuk). Dalam jangka waktu 3 hari, akan tumbuh jamur-jamur berwarna kuning, jingga dan merah yang siap digunakan sebagai starter pembuatan kompos. Pembuatan MOL Sisa Buah-buahan 10 kg sisa buah-buahan ditumbuk, lalu masukkan ke dalam toples plastik, campur dengan 10 liter air kelapa, masukkan 1 kg gula merah yang sudah dicairkan, tutup dan beri selang plastik sebagai lubang udara dan biarkan selama 15 hari. Pembuatan MOL Sisa Sayuran 10 kg limbah sayur dipotong kecil-kecil sampai halus, remas dengan 0,5 kg garam dapur bahan yang sudah dicacah sampai rata, masukkan ke dalam derigen plastik, tuangkan air cucian beras hingga mencapai 20 liter, aduk sampai merata kemudian tutup sampai rapat dan diberi selang plastik sebagai lubang udara, setelah 3-4 minggu MOL sudah jadi. Tambah gula merah cair 3 liter, saring dan kemas pada botol atau jerigen, masa efektif maksimal 3 bulan dari penyaringan. Pembuatan Kompos Diawali dengan menyiapkan 10 karung sisa tanaman (limbah dedak kopi dan limbah sayuran, dll), 5 karung kotoran ternak, 3 karung sekam padi, 2 kaleng dedak halus, 20 liter air , 500 gr gula merah dan starter (EM4 atau MOL). Starter MOL dibuat dengan mencampur MOL nasi basi yang telah jadi dan air dengan komposisi 4 : 20 liter, kemudian tambahkan 500 gr gula merah yang sudah dihaluskan. Sisa tanaman dicampur dengan kotoran ternak dan sekam padi, dedak halus, dan kapur. Selanjutnya bahan diaduk sampai rata sambil dipercikan air sampai keadaan lembab. Bahan yang sudah tercampur rata diratakan diatas tanah setinggi kurang lebih 20 cm, selanjutnya dipercikan starter mol lalu
126
Dharma Raflesia Unib Tahun XIV, Nomor 2 Desember 2016
ditaburi dedak halus. Langkah yang sama diulang sampai tumpukan mencapai lebih dari 0,5 meter, lalu ditutup dengan plastik/terpal. Setelah satu minggu dilakukan pembalikan/pengadukan. Minggu ke-dua diaduk lagi. Bila dipandang perlu pengadukan pertama dan kedua bisa ditambah starter. Minggu ke-tiga diaduk lagi tidak perlu ditutup ditaruh di tempat yang teduh (tidak kena hujan) selama satu minggu, dan kompos sudah siap aplikasi. Pembuatan Pestisida Organik Siapkan bahan pestisida organik seperti daun pepaya, daun sirsak dan berbagai jenis empon-emponan (jahe, kunyit, jahe, temu lawak). Tumbuk 1 kg daun pepaya atau daun sirsak, bersama 0,5 kg empon-emponan, lalu direndam dengan 15 liter air, tambahkan 3 sendok makan minyak tanah dan 50 gr detergen. Hasil campuran didiamkan semalam dan selanjutnya disaring dengan kain halus dan siap untuk diaplikasikan pada tanaman. Demplot Percobaan Dari hasil kedua tahapan di atas, petani yang sudah dilatih membuat MOL, kompos dan pestisida organic didampingi dalam mengaplikasikannya pada usaha tani sayur-mayur. Pupuk kompos diberikan dengan dosis 3 ton/ha, pupuk cair (MOL) yang sudah diencerkan dengan 15 bagian air disiramkan ke tanah di sekitar tanaman. Sementara pestisida organik disemprotkan saat tanaman berumur 2-3 minggu dan pada fase primordial dimana tanaman sudah mulai ada yang mengeluarkan bunga. Berhubung karakteristik pupuk organik yang lebih lambat dampaknya terhadap hasil tanaman, maka untuk tahap awal pemakaian pupuk anorganik tetap dengan dosis biasa dan berangsur-angsur dikurangi pada setiap musim tanam.
HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan Pada tahap persiapan dilakukan pengurusan perizinan dan koordinasi dengan kedua kelompok tani mitra kegiatan. Perizinan dimulai dengan mengurus surat pengantar dari LPPM Universitas Muhammadiyah Bengkulu yang ditujukan ke Kepala Desa Air Putih Kali Bandung dan Kepala Desa Suban Ayam Kecamatan Selupu Rejang Kabupaten Rejang Lebong. Koordinasi dilakukan dengan kedua Ketua Kelompok Tani Sepakat (Bapak Tunut) dan Karya Mandiri (Bapak Ahmadi). Dalam koordinasi disepakati antara lain waktu pelaksanaan, tempat pembuatan MOL, kompos, biourine, dan pestisida organik, lokasi demplot percobaan, dan bahan dan alat yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kegiatan pengabdian. Dalam diskusi juga diminta masukan dari kedua kelompok tentang tahapan dan metode pelaksanaan kegiatan. Dari beberapa kali koordinasi yang telah dilakukan, didapat kesepakatan diantaranya kegiatan pendidikan dan penyuluhan dipusatkan di lokasi
Dharma Raflesia Unib Tahun XIV, Nomor 2 Desember 2016
127
Kelompok Tani Sepakat, sementara untuk kegiatan pelatihan pembuatan bokashi dan biourine, demplot percobaan dilakukan pada kedua lokasi kelompok tani. Pertemuan juga menyepakati bahwa semua kegiatan hanya diikuti oleh perwakilan kedua kelompok yang masing-masing 4 orang per kelompok kecuali pada kegiatan penyuluhan yang boleh diikuti oleh seluruh anggota kelompok mitra. Pada saat koordinasi dengan tim juga diinformasikan bahwa kegiatan pengabdian ini tidak hanya dihadiri oleh tim inti pelaksana kegiatan yaitu dua orang dosen, akan tetapi direncanakan juga akan melibatkan mahasiswa Prodi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Bengkulu. Hal ini dilakukan disamping untuk menambah wawasan mahasiswa dalam praktek usaha pertanian, juga ditujukan sebagai ajang promosi bagi Universitas Muhammadiyah Bengkulu. Pendidikan dan Penyuluhan Pelatihan diisi dengan materi pertanian ramah lingkungan, pupuk dan pestisida. Acara penyuluhan diawali dengan presentasi dari tim pelaksana dan dilanjutkan dengan diskusi/tanya jawab. Acara dikondisikan akrab dan penuh kekeluargaan. Alat bantu yang digunakan disamping fotocopian makalah juga didukung dengan tampilan powerpoint menggunakan LCD projektor. Tim pelaksana, petani mitra, dan mahasiswa terlibat dalam diskusi yang menarik. Dalam diskusi juga dibahas potensi bahan organik apa saja yang ada disekitaran petani yang bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Pelatihan Pembuatan MOL, Biourine, dan Pestisida Organik Sebelum kegiatan pelatihan dilaksanakan, sudah disepakati para petani akan mengumpulkan urine sapi/kambing, air bekas cucian beras, air kelapa, daun kates, daun sirsak, dan empon-emponan. Urine sapi dikumpulkan dengan metode ditampung langsung dengan ember saat ternak sapi kencing. Dengan langsung ditampung maka tingkat kemurnian urine diharapkan tetap dapat terjaga dengan baik. Pembuatan biourine diawali dengan memasukkan urine kedalam toples besar yang sudah dipasang selang dan air dalam botol bekas minuman, lalu ditambahkan air bekas cucian beras dan air kelapa. Ditempat terpisah gula aren diencerkan dengan 10 liter air untuk membuat larutan EM 4, yang selanjutnya diaduk bersama urine di dalam toples lebih kurang 10-15 menit. Toples lalu ditutup dan dilapisi dengan lakban agar kedap dari pengaruh udara luar. Dan diharapkan jadi pupuk cair dalam waktu satu sampai dua minggu.
128
Dharma Raflesia Unib Tahun XIV, Nomor 2 Desember 2016
Gambar 1. Pembuatan MOL, Biourine dan Pestisida Organik Mengingat keterbatasan waktu pembuatan MOL disepakati hanya dilakukan terhadap MOL nasi basi dan MOL sisa sayuran. Pemilihan MOL nasi basi dan MOL sisa sayuran ini dipilih karena lebih praktis untuk dilakukan petani serta bahan bakunya berlimpah terutama sisa sayuran. Sementara untuk pembuatan MOL rebung dan limbah buah-buahan akan dicoba sendiri oleh petani dengan berpedoman pada pembuatan MOL nasi basi dan MOL sisa sayuran yang sudah dipraktekkan. Pelatihan Pembuatan Kompos Kegiatan pelatihan pembuatan kompos diawali dengan penjelasan dan diskusi tentang alat, bahan dan metoda yang akan dilakukan. Dalam diskusi juga dibicarakan beberapa metode yang bisa diterapkan dalam pembuatan kompos. Masing-masing metode dibahas kelebihan dan kekurangannya. Petani dibebaskan untuk memilih metode pembuatan yang paling mudah/gampang versi mereka, dengan tetap memperhatikan kaedah ilmu dan teknologi pembuatan pupuk organik. Masukan petani ini penting agar petani merasa dihargai, punya kontribusi, dan yang lebih adalah terciptanya keberlanjutan dari program pengabdian pasca kegiatan resmi. Dari diskusi diperoleh informasi bahan pembuatan kompos yang banyak tersedia di petani antara lain limbah kulit kopi, limbah sayuran dan kotoran ternak (feses sapi dan feses kambing).
Gambar 2. Pembuatan Kompos Demplot Percobaan Setelah petani menguasai dan memahami teknologi pembuatan MOL, kompos, biourine, dan pestisida organik, mereka selanjutnya dibiasakan dalam memanfaatkan
Dharma Raflesia Unib Tahun XIV, Nomor 2 Desember 2016
129
pupuk dan pestisida organik dimaksud. Agar petani lebih mudah menerima dan mengadopsi pupuk organik ini, maka aplikasi terhadap tanaman sayuran dilakukan secara bertahap. Pada tahap awal pupuk organik hanya dipakai sebagai pupuk pelengkap dan mereka masih ditoleransi kalau masih mau tetap menggunakan pupuk dan pestisida anorganik. Secara perlahan mereka digiring untuk lebih banyak menggunakan pupuk organik.
Gambar 3. Demplot Percobaan Sesuai dengan permintaan petani pupuk organik yang telah diproduksi diaplikasikan pada tanaman bawang terong, buncis, cabe rawit, brokoli dan cabe keriting. Jenis tanaman anaman sayuran ini dipilih sesuai dengan jenis tanaman yang ada dan yang diinginkan oleh petani pemilik lahan serta untuk mengurangi resiko gagal panen jika jenis tanaman ditentukan oleh tim pelaksana kegiatan pengabdian. Pupuk organik kompos diberikan dengan dosis 3 ton/ha, sementara MOL dan biourine yang sudah diencerkan dengan air, disiramkan serta disemprotkan langsung ke permukaan daun tanaman dengan interval 2 minggu sekali. Begitu juga dengan pestisida organik, disemprotkan ke tanaman sebagai tindakan prefentif dengan interval waktu penyemprotan 2 minggu sekali. Evalusi Kegiatan Kegiatan yang sudah berjalan dievaluasi terutama proses pembuatan MOL, kompos, biourine, dan pestisida organik yang sudah dipraktekan. Bila ditemukan kekurangan dan kelemahan pada tahapan sebelumnya (sudah berjalan) akan diperbaiki dalam proses produksi selanjutnya. Pendampingan Pendampingan dilakukan agar petani merasa terbimbing dan percaya diri dalam menerapkan pertanian yang lebih ramah lingkungan (pupuk dan pestisida organik) dalam memproduksi tanaman sayuran. Pendampingan langsung di lapangan dilaksanakan sampai berakhirnya kegiatan pengabdian (akhir Oktober), sementara setelah berakhir program pendampingan masih akan tetap dilakukan melalui media komunikasi (lisan).
130
Dharma Raflesia Unib Tahun XIV, Nomor 2 Desember 2016
KESIMPULAN Dari pelaksanaan program pengabdian kepada masyarakat yang telah dilaksanakan dapat diambil kesimpulan bahwa kegiatan pengabdian yang telah dilaksanakan dapat memberdayakan masyarakat petani sayuran dalam mengelola limbah pertanian dan peternakan menjadi pupuk dan pestisida organik, serta mampu mengaplikasikannya pada tanaman sayuran yang menjadi usaha pokoknya.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2014, Laporan Dinas Pertanian Kabupaten Rejang Lebong Tahun 2014. Anonim, 2014, Laporan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Rejang Lebong Tahun 2014. Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Air Duku, 2015, Program Penyuluhan Pertanian Tahun 2015, Kecamatan Selupu Rejang Kabupaten Rejang Lebong. Definiati, N., Jafrizal, Suliasih, 2013, Inventarisasi Ketersediaan Hijauan Pakan pada Lahan Petani Sayuran di Kecamatan Kabawetan Kabupaten Kapahiang, Laporan Penelitian Hibah Bersaing (Laporan Tahun I), Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Bengkulu. Lingga, 1991, Petunjuk Penggunaan Pupuk, Penebar Swadaya, Jakarta. Prabakusuma, A.S, Sulistiyorini, H.D., 2009, Pemanfaatan Limbah Urine Sapi Terfermentasi sebagai Pupuk Organik Cair dan Biopestisida, Lokakarya Grassroot Innovation, LIPI. Rachmawati, S., 2000, Upaya Pengelolaan Lingkungan Usaha Peternakan Ayam, Jurnal WARTAZOA, Vol. 9 No. 2 Tahun 2000. Rahman, A., 1989, Pengantar Teknologi Fermentasi, PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.