Swara Bhumi. Volume 03 Nomor 03 Tahun 2015
EVALUASI KESESUAIAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN UNTUK KOMODITAS KOPI PADA SKPP I DI KABUPATEN JOMBANG Dwikki Rahadian Yudha Wijayanto Mahasiswa S1 Pendidikan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya,
[email protected]
Wiwik Sri Utami Dosen Pembimbing Mahasiswa Abstrak Satuan Kawasan Pengembangan Pertanian I (SKPP I) adalah sasaran pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Jombang. SKPP I memiliki 15 komoditas unggulan, salah satunya yaitu kopi. Kopi merupakan komoditas yang memiliki stabilitas harga pasar yang baik, sehingga para petani akan cenderung tetap bertahan menanam kopi dari tahun ke tahun karena tingkat kerugiannya lebih kecil. Di samping itu, kebijakan dan rencana pembangunan yang detil telah ditetapkan pemerintah setempat dalam rangka mengembangkan kawasan agropolitan untuk komoditas kopi. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kesesuaian lahan bagi tanaman kopi dan mengevaluasi kesesuaian wilayahnya dalam konsep pengembangan kawasan agropolitan. Jenis penelitian yang digunakan ialah penelitian survei. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini meliputi wawancara, observasi, pengukuran di lapangan, uji laboratorium, dan dokumentasi. Selanjutnya data yang terhimpun dianalisis dengan metode matching: (1) antara karakteristik lahan dengan syarat tumbuh tanaman kopi; (2) dan antara kebijakan atau strategi pengembangan kawasan agropolitan dengan kondisi eksisting di lapangan. Hasil penelitian mengenai evaluasi kesesuaian lahan menunjukkan bahwa terdapat lahan seluas 8.454,32 Ha di SKPP I yang memiliki potensi untuk budidaya kopi. Lahan tersebut terletak di tiga kecamatan yaitu Kecamatan Wonosalam (6.679,11 Ha), Kecamatan Bareng (1.232,85 Ha), dan Kecamatan Mojowarno (542,36 Ha). Dari total luas lahan yang berpotensi tersebut tergolong kelas kesesuaian lahan berupa S2 (cukup sesuai) dan S3 (sesuai marginal) dengan faktor pembatas pada variabel temperatur, bulan kering, tekstur tanah, drainase tanah, dan kemiringan lereng. Sedangkan hasil penelitian untuk evaluasi kesesuaian wilayah pengembangan kawasan agropolitan menunjukan bahwa: (1) belum ada realisasi pembangunan industri pembuatan pupuk untuk tanaman kopi; (2) hanya terdapat satu home industry pengolahan berbahan baku kopi yang bernama “Kopi Bagong”; (3) pola kemitraan pemasaran yang direncakan belum berjalan namun masih bergantung pada keberadaan tengkulak; (4) belum adanya realisasi kesinambungan keberadaan BPR dengan petani kopi yang membutuhkan bantuan modal. Kata Kunci: kesesuaian lahan, kesesuaian wilayah, agropolitan, komoditas kopi.
Abstract Satuan Kawasan Pengembangan Pertanian I (SKPP I) is subjected as agropolitan development area in Jombang City. SKPP I has 15 leading commodity, one of which is coffee. Coffee is a commodity that has a good market price stability, so that farmers will tend to persist to grow coffee for long time because the rate of loss is smaller. In addition, policies and detailed development plan has set local authorities in order to develop agropolitan for coffee. Therefore, this study aims to evaluate land suitability for coffee plantations and evaluate region suitability of agropolitan development concept. This type of research is a survey research. Data collection techniques in this study included interviews, observations, measurements in the field, laboratory testing, and documentation. Furthermore, the data collected was analyzed by the method of matching: (1) between the land characteristics with the requirements growth coffee plant; (2) and between the policy or strategy of agropolitan development with the existing condition in the field. Results of research on land suitability evaluation indicates there is an area of 8.454,32 Ha in SKPP I which have the potential for the cultivation of coffee. The land is located in three sub-districts of Wonosalam (6.679,11 Ha), Bareng (1.232,85 Ha), and Mojowarno (542,36 Ha). Of the total land area that potentially are still classified as land evaluation classes in the form of S2 (Cukup Sesuai) and S3 (Sesuai Marginal) with the limitation factors on the variable temperature, dry season, soil texture, soil drainage, and slope. While the results of study to evaluate region suitability of the agropolitan development area show that: (1) there is no realization of industrial manufacture of fertilizer for the coffee plants; (2) there is only one home industry of coffee processing named "Kopi Bagong"; (3) the pattern of planned marketing partnerships which have not been running but is still dependent on the existence of “tengkulak”; (4) the lack of realization of the continued existence of BPR with coffee farmers who need capital. Keywords: land suitability, region suitability, agropolitan, coffee commodities
278
Evaluasi Kesesuaian Pengembangan Kawasan Agropolitan Untuk Komoditas Kopi Pada SKPP I Di Kabupaten Jombang
ditentukan 15 komoditas unggulan yang dikembangkan, salah satunya ialah komoditas kopi. Kopi merupakan komoditas yang memiliki stabilitas harga pasar yang baik, sehingga para petani akan cenderung tetap bertahan menanam kopi dari tahun ke tahun karena tingkat kerugiannya lebih kecil. Selain itu, produk kopi juga memiliki kemampuan untuk disimpan dalam waktu yang lama, bahkan semakin lama usia kopi disimpan maka semakin mahal harga jualnya. Komoditas kopi menjadi salah satu andalan bagi Kabupaten Jombang, meskipun hanya terdapat dua kecamatan yang setiap tahunnya menghasilkan panen produk kopi, yaitu Kecamatan Wonosalam dan Bareng. Dengan luas lahan 1.252,5 Ha, dua kecamatan tersebut mampu memproduksi 474,79 Ton produk kopi dalam satu tahun (BPS Kab. Jombang, 2014). Di samping itu, komoditas kopi telah ditetapkan rencana pengembangannya melalui dokumen rencana induk pengembangan kawasan agropolitan oleh Bappeda Kab. Jombang. Rancangan tersebut meliputi: (1) pembangunan industri pupuk untuk tanaman kopi; (2) pembangunan industri pengolahan berbahan baku produk kopi seperti industri kopi bubuk, minuman rasa kopi, dan essense kopi; (3) pola kemitraan strategi pemasaran berbasis Koperasi Masyarakat Agribisnis Terintegrasi Vertikal (KOVATMA) dan Korporasi Masyarakat Agribisnis (KOMA); (4) penyediaan lembaga perkreditan (Bappeda Kab. Jombang, 2010:122-123). Namun demikian, penetapan komoditas kopi sebagai salah satu komoditas unggulan pada kawasan agropolitan di SKPP I tentu memerlukan kajian lebih lanjut. Hal ini untuk memastikan bahwa keberadaan pengembangan komoditas kopi di SKPP I sudah sesuai menurut teori dan pelaksanaan strateginya telah berjalan sesuai rencana. Maka dari itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan kesesuaian lahan bagi pengembangan komoditas kopi dan menentukan kesesuaian wilayahnya berdasarkan pelaksanaan strategi dan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan yang telah disusun. Dengan demikian akan dapat diketahui sebaran kelas kesesuaian lahan untuk tanaman kopi di SKPP I dan dapat diketahui sejauh mana implementasi rencana pengembangan kawasan agropolitan tersebut.
PENDAHULUAN Secara geografis, Indonesia memiliki potensi yang baik untuk bidang pertanian. Hal ini ditinjau dari karakteristik geologi, klimatik dan edafik yang dimiliki (Andrianto, 2014:1). Sementara jika dilihat dari sudut pandang sosial, data menunjukkan bahwa dari jumlah tenaga kerja Indonesia sebanyak 112.761.072 jiwa, terdapat 34,7% yang bekerja di sektor agraris (BPS, 2014). Hal tersebut juga melatarbelakangi istilah “negara agraris” yang disematkan masyarakat dunia kepada negara Indonesia. Mengingat bidang pertanian merupakan mata pencaharian pokok bagi sebagian besar penduduknya (Andrianto, 2014:2). Hal ini mengindikasikan bahwa bidang pertanian di Indonesia merupakan potensi besar untuk dikembangkan, sehingga pembangunan bidang pertanian sebagai sektor basis wilayah pedesaan akan menjadi suatu hal yang vital (Muta’ali,2013:113). Seperti diketahui bahwa kesenjangan pembangunan di perkotaan dan pedesaan masih menjadi masalah bagi Indonesia, maka dari itu diperlukan konsep pembangunan pedesaan yang secara konkret bisa mengatasi masalah tersebut. Agropolitan merupakan salah satu konsep pembangunan yang dianggap masih menjadi solusi utama dalam meminimalkan kesenjangan antara perkotaan dan pedesaan (Rahmawati, 2008:18). Melalui konsep ini juga akan mendorong penduduk pedesaan untuk tetap tinggal di wilayahnya dan berinvestasi di kawasan pedesaan. Sebagaimana telah diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang bahwa konsep agropolitan diartikan sebagai kawasan pusat kegiatan di wilayah pedesaan yang berbasis pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang dilengkapi dengan adanya keterkaitan fungsional keruangan serta didasarkan pada sistem agribisnis yang di dalamnya mencakup kegiatan agroindustri (Rustiadi, dkk. 2011:329). Menindaklanjuti regulasi dari Pemerintah Pusat tersebut, maka Provinsi Jawa Timur juga telah memulai mengkampanyekan pembangunan wilayah pedesaan berbasis pendekatan agropolitan. Provinsi ini telah menetapkan 22 kabupaten sebagai sasaran pengembangan kawasan agropolitan, salah satunya adalah Kabupaten Jombang. Sejak tahun 2010, melalui Keputusan Bupati Jombang Nomor 188.4.45/189/145.10.10/2010 tentang Penetapan Lokasi dan Komoditas Unggulan Kawasan Agropolitan pada Satuan Kawasan Pengembangan Pertanian I (SKPP I) di Kabupaten Jombang, telah ditetapkan empat kecamatan yang menjadi sasaran pengembangan kawasan agropolitan. Empat kecamatan tersebut tergabung dalam SKPP I yang meliputi Kecamatan Mojowarno, Kecamatan Wonosalam, Kecamatan Bareng, dan Kecamatan Ngoro. Berdasarkan surat keputusan tersebut juga telah
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini ialah penelitian survei. Dengan pendekatan deskriptif evaluatif, yaitu bertujuan untuk membandingkan atau matching kondisi di lapangan dengan kriteria atau syarat tertentu. Lokasi penelitian ini berada di SKPP I yang penentuannya dilakukan secara purposive berdasarkan Surat Keputusan Bupati Jombang Nomor 188.4.45/189/145.10.10/2010 tentang Penetapan Lokasi dan Komoditas Unggulan Kawasan Agropolitan pada Satuan Kawasan Pengembangan Pertanian I (SKPP
279
Swara Bhumi. Volume 03 Nomor 03 Tahun 2015
I) di Kabupaten Jombang. Subjek penelitian ini adalah seluruh cakupan wilayah dari SKPP I di Kabupaten Jombang, yang secara administratif terbagi dalam empat kecamatan berikut: Kecamatan Mojowarno, Kecamatan Wonosalam, Kecamatan Bareng, dan Kecamatan Ngoro. Sementara itu, terdapat tiga objek penelitian yang meliputi: (1) objek penelitian untuk menentukan tingkat kesesuaian lahan untuk tanaman kopi yang didasarkan pada peta unit analisis lahan yang kemudian dipilih beberapa unit lahan secara purposive berdasarkan pertimbangan tertentu dengan pendekatan fisiografis; (2) Tabel 1. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Kopi Kualitas/Karakteristik Lahan
Simbol
Temperatur Rata-rata tahunan (°C)
(t)
Ketersediaan air Bulan Kering (<75mm) Curah hujan/tahun (mm)
(w)
Kelembapan (%) Media perakaran Drainase tanah
untuk evaluasi kesesuaian wilayah pengembangan kawasan agropolitan untuk komoditas kopi adalah para pengurus kelompok tani yang berada di Desa Carangwulung dan Desa Jarak. Di mana terdapat 13 kelompok tani yang akan menjadi responden. Penentuan asal lokasi kelompok tani ini dilakukan secara purposive dengan dasar pertimbangan bahwa kedua desa tersebut telah ditetapkan sebagai kawasan pemusatan produksi komoditas kopi; (3) Kepala Bagian Ekonomi Bappeda Kab. Jombang selaku penanggung jawab program agropolitan SKPP I.
S1 (Sangat Sesuai)
Tingkat Kesesuaian S2 S3 (Cukup Sesuai) (Sesuai Marginal)
N (Tidak Sesuai)
22-25
>25-28
>28-32 19-<22
>32 <19
2-3 1500-2500
>3-5 >2500-3000
45-<80
80-90 35-45
>5-6 >3000-4000 1250-<1500 >90 30-<35
>6 >4000 <1250 <30
Baik
Sedang
Agak terhambat, agak cepat
L, SCL, Sil, Si, CL, SiCL
SL, SC, SiC, C
LS, Str C
Terhambat, agak cepat, sangat terhambat, sangat cepat. Kerikil, pasir
-
-
Sangat keras, sangat teguh, sangat lekat
Berkerikil, berbatu
<8
8-15
>15-25
>25
(r)
Tekstur Penyiapan lahan Konsistensi
(p)
Tingkat Bahaya Erosi Kemiringan Lereng (%)
(e)
Sumber: Modifikasi dari Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007:310
Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah wawancara, observasi, pengukuran di lapangan, uji laboratorium, dan dokumentasi. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data mengenai variabel industri pembuatan pupuk untuk tanaman kopi, industri pengolahan berbahan baku produk kopi, strategi pemasaran, dan lembaga perkreditan. Di mana yang menjadi target dalam wawancara adalah kelompok tani dan Kepala Bagian Ekonomi Bappeda Kab. Jombang. Sementara untuk observasi dilakukan dalam rangka memperoleh data mengenai drainase tanah dan penggunaan lahan eksisting. Pengukuran di lapangan dilakukan untuk mendapatkan data koordinat letak industri pupuk untuk tanaman kopi, koordinat letak
industri pengolahan berbahan baku produk kopi, dan koordinat letak lembaga perkreditan, serta koordinat titik unit lahan sebagai objek penelitian. Uji laboratorium dilakukan untuk memperoleh data mengenai tekstur tanah dan konsistensi tanah. Kemudian dokumentasi dilakukan untuk memperoleh data-data sekunder yang meliputi peta penggunaan lahan, dan peta jenis tanah dari wilayah Kabupaten Jombang, data jumlah curah hujan menurut bulan pada tahun 2004 – 2013, data temperatur menurut bulan pada tahun 2011 – 2014, dan data kelembapan udara menurut bulan pada tahun 2011 – 2014, dan peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:25.000 dengan nomor lembar 1508-323 (Kandangan), 1508-324 (Pujon), 1508-
280
Evaluasi Kesesuaian Pengembangan Kawasan Agropolitan Untuk Komoditas Kopi Pada SKPP I Di Kabupaten Jombang
tempat mulai dari 1.100 – 2.150 m dpal. Pola aliran sungai pada bentuk lahan ini menunjukkan pola membentang secara horisontal (dari timur ke barat) sesuai dengan bentuk lembah atau igir dari relief wilayah tersebut. Dilihat dari aspek jenis tanah, maka terdapat empat jenis tanah di SKPP I yang meliputi: (1) Asosiasi mediteran cokelat dan grumusol kelabu; (2) Komplek andosol cokelat, andosol cokelat kekuningan dan litosol; (3) Komplek regosol dan litosol; (4) Latosol cokelat kemerahan. Keempat jenis tanah tersebut menjadi salah satu informasi spasial yang juga digunakan untuk pembuatan peta unit analisis lahan. Meskipun jenis tanah secara langsung tidak terlalu berpengaruh terhadap keberadaan tumbuhan kopi, namun penggunaan aspek jenis tanah sebagai salah satu dasar peta unit analisis lahan dianggap memiliki peran penting. Hal ini dapat memberikan gambaran informasi detil mengenai jenis tanah di SKPP I, sehingga dalam proses analisis menjadi semakin rinci. Ditinjau dari aspek kemiringan lereng, terdapat empat kelas kemiringan lereng yang meliputi meliputi kelompok (<8%), (>8-15%), (>15-25%), dan (>25%). Kecamatan Mojowarno, Kecamatan Ngoro, dan Kecamatan Bareng memiliki karakteristik wilayah dengan kemiringan lereng di bawah 8%, artinya permukaan tanahnya tergolong datar. Sedangkan di Kecamatan Wonosalam tampak memiliki kelas kemiringan lereng yang lebih bervariasi, mengingat kecamatan ini memiliki wilayah yang topografinya berbukit-bukit. Namun sebagian kecil wilayah Kecamatan Wonosalam juga masih memiliki areal yang kemiringan lerengnya di bawah 8% dan termasuk relatif datar. Berdasarkan aspek penggunaan lahan di SKPP I menunjukkan bahwa sawah irigasi banyak terdapat di Kecamatan Mojowarno, Kecamatan Bareng, dan Kecamatan Ngoro. Hal tersebut sesuai dengan karakteristik topografi wilayahnya yang relatif datar. Sedangkan penggunaan lahan berupa hutan banyak tercakup dalam wilayah administratif Kecamatan Wonosalam, hal ini didasarkan pada kondisi topografinya yang merupakan kawasan pegunungan dan dalam areal hutan tersebut juga terdapat daerah hutan lindung yang bernama Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soeryo yang dikelola oleh Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan 37 unit lahan yang terdapat di SKPP I, kemudian dipilih beberapa unit lahan yang dianggap memiliki potensi untuk budidaya tanaman kopi. Proses pemilihan tersebut didasarkan pada pertimbangan pada setiap aspek dasar penyusun unit analisis lahan. Pada aspek bentuk lahan, berdasarkan tiga bentuk lahan yang dimiliki SKPP I maka terdapat dua bentuk lahan yang diasumsikan sesuai untuk tanaman kopi. Kedua bentuk lahan yang dimaksud ialah lereng bawah pegunungan dan
332 (Kunjang), 1508-341 (Ngoro), 1508-342 (Panglungan), dan 1508-343 (Mojoagung). Teknik analisis data yang digunakan untuk mengevaluasi kesesuaian lahan adalah matching atau membandingkan antara karakteristik lahan dengan syarat tumbuh tanaman kopi. Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman kopi seperti disajikan pada Tabel 1. Sedangkan untuk mengevaluasi kesesuaian wilayah digunakan teknik yang sama yaitu matching atau membandingkan antara kebijakan atau strategi pengembangan kawasan agropolitan dengan kondisi eksisting di lapangan. HASIL PENELITIAN Unit Analisis Lahan SKPP I Unit analisis lahan merupakan hal yang mendasari dalam teknik analisis data matching antara antara karakteristik lahan dengan syarat tumbuh tanaman kopi. Pada unit analisis lahan ini digunakan empat peta dasar yaitu peta bentuk lahan, peta jenis tanah, peta kemiringan lereng, dan peta penggunaan lahan. Keempat peta tersebut diolah melalui Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan aplikasi Arc View 3.3. Keempat peta dasar tersebut dioverlay (tumpang susun) dan menghasilkan peta unit analisis lahan. Setelah dilakukan tahap overlay, maka didapatkan 37 unit lahan di SKPP I. Ditinjau dari aspek bentuk lahan, seluruh unit lahan yang ada di SKPP I dapat dibagi menjadi dataran fluvial, lereng bawah pegunungan, dan lereng tengah pegunungan. Menurut Soetoto (2013:142), bentuk lahan dataran fluvial merupakan dataran yang terbentuk dari hasil sedimentasi sungai dan kegiatan erosi. Bentuk lahan ini mencakup sebagian wilayah dari Kecamatan Mojowarno, Bareng dan seluruh Kecamatan Ngoro. Pada bentuk lahan dataran fluvial ini tampak memiliki karakteristik pola aliran sungai membentang secara vertikal (dari utara ke selatan) dan relief permukaan yang datar. Bentuk lahan lereng bawah pegunungan dan lereng tengah pegunungan adalah tergolong dalam bentuk lahan vulkanik. Kedua bentuk lahan tersebut menunjukkan karakteristik lahan yang dipengaruhi oleh aktivitas vulkanik, baik di masa lampau atau saat ini (Soetoto, 2013:142). Untuk bentuk lahan lereng bawah pegunungan, wilayahnya mencakup sebagian dari Kecamatan Mojowarno, Bareng, dan Wonosalam. Bentuk lahan tersebut merupakan yang terluas. Bentuk lahan ini dicirikan oleh tingkat kerapatan garis kontur yang relatif cukup renggang dengan rentang ketinggian tempat mulai 50 – 1.100 m dpal. Wilayah dari bentuk lahan lereng tengah pegunungan hanya mencakup Kecamatan Wonosalam. Pada bentuk lahan tersebut dicirikan dengan tingkat kerapatan garis kontur yang tinggi dan memiliki rentang ketinggian
281
Swara Bhumi. Volume 03 Nomor 03 Tahun 2015
lereng tengah pegunungan. Hal ini didasarkan pada adanya pengaruh topografi dan temperatur yang lebih sesuai untuk tanaman kopi yaitu pada daerah pegunungan. Dilihat dari aspek jenis tanah, semua jenis tanah yang dimiliki oleh SKPP I tidak memiliki pengaruh terhadap keberadaan tanaman kopi, karena pada dasarnya tanaman kopi sesuai pada semua jenis tanah. Lalu pada aspek kemiringan lereng, berdasarkan kelas kemiringan lereng yang ada maka dikaitkan dengan dasar teori oleh Hardjowigeno dan Widiatmaka yang menyatakan bahwa daerah yang sesuai untuk tanaman kopi adalah yang memiliki kemiringan lereng sebesar 0-25%. Maka dari itu, terdapat tiga kelas kemiringan lereng yang dijadikan dasar pemilihan satuan lahan sebagai objek penelitian yaitu kelas (<8%), (>8-15%), dan (>15-25%). Aspek penggunaan lahan menunjukkan bahwa terdapat dua jenis penggunaan lahan yang diasumsikan memiliki potensi untuk dijadikan tempat budidaya tanaman kopi, yaitu penggunaan lahan berupa kebun dan Tabel 2. Unit Analisis Lahan Terpilih pada SKPP I No.
Unit Lahan
1
F2.L.I.K
2
F2.L.I.TL
3
F2.L.II.K
4
F2.L.II.TL
5
F2.L.III.K
6
F2.L.III.TL
tanah ladang. Penentuan tersebut disebabkan karena penggunaan lahan kebun pada dasarnya adalah sesuai untuk tanaman kopi, mengingat tanaman ini merupakan salah satu varietas tanaman perkebunan, lalu untuk penggunaan lahan berupa tanah ladang dianggap memiliki potensi untuk diubah menjadi penggunaan lahan kebun, khususnya kebun kopi. Sedangkan untuk kelima jenis penggunaaan lahan lainnya yaitu berupa hutan, sawah irigasi, sawah tadah hujan, semak belukar, dan permukiman diasumsikan tidak memiliki potensi untuk dijadikan tempat budidaya kopi dikarenakan perlunya upaya ekstra untuk mengubah penggunaan lahan tersebut menjadi kebun kopi. Dengan demikian diperoleh enam unit lahan terpilih untuk diteliti lebih lanjut dan memiliki potensi dijadikan lahan perkebunan kopi. Informasi mengenai ke-enam unit lahan yang dimaksud seperti ditampilkan pada Tabel 2. Di mana pada tabel tersebut telah diberikan informasi secara rinci termasuk titik pengambilan sampel tanah.
Bentuk Lahan
Jenis Tanah
Lereng Bawah Pegunungan Lereng Bawah Pegunungan Lereng Bawah Pegunungan Lereng Bawah Pegunungan Lereng Bawah Pegunungan Lereng Bawah Pegunungan
Lat. Co. Kem.
Kemiringan Lereng <8%
Lat. Co. Kem.
<8%
Lat. Co. Kem.
>8 - 15%
Lat. Co. Kem.
>8 - 15%
Lat. Co. Kem.
>15 – 25%
Lat. Co. Kem.
>15 – 25%
Penggunaan Lahan Kebun Tanah Ladang Kebun Tanah Ladang Kebun Tanah Ladang
Titik Pengambilan Sampel Koordi-nat Desa X: 650088 Y: 9149592 X: 653420 Y: 9150952 X: 653266 Y: 9147268 X: 649751 Y: 9142470 X: 652438 Y: 9144370 X: 652996 Y: 9143622
Pucangrejo Panglungan Carangwulung Galengdowo Jarak Jarak
Sumber: Analisis Data, 2015
Keterangan Tabel 2: Lat. Co. Kem.
: Latosol cokelat kemerahan unit lahan terpilih yaitu F2.L.I.K, F2.L.I.TL, F2.L.II.K, F2.L.II.TL, F2.L.III.K, dan F2.L.III.TL. Dalam penentuan kelas kesesuaian lahan yang dihasilkan juga akan memberikan informasi mengenai faktor pembatasnya berdasarkan aspek kualitas lahan yang diteliti. Hasil dari proses matching antara nilai karakteristik lahan pada masing-masing unit lahan terpilih dengan syarat tumbuh tanaman kopi dapat dilihat pada Tabel 3.
Evaluasi Kesesuaian Lahan Evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman kopi di SKPP I Kabupaten Jombang akan ditentukan tingkat kesesuaian lahan berdasarkan nilai dari kualitas dan karakteristik lahan yang dibandingkan (matching) dengan syarat tumbuh tanaman kopi. Dengan demikian akan dapat diketahui kelas kesesuaian lahan dari lokasi yang menjadi objek penelitian, dalam hal ini terdapat 6 (enam)
282
Evaluasi Kesesuaian Pengembangan Kawasan Agropolitan Untuk Komoditas Kopi Pada SKPP I Di Kabupaten Jombang
Tabel 3. Hasil Matching Karakteristik Lahan dengan Syarat Tumbuh Tanaman Kopi pada Unit Lahan Terpilih di SKPP I Kabupaten Jombang Kualitas/Karakteristik Lahan Temperatur (t) Rata-rata tahunan (°C) Ketersediaan air (w) Bulan kering (<75mm) Curah hujan/tahun (mm) Kelembapan (%) Media perakaran (r) Drainase tanah
Tekstur
Penyiapan lahan (p) Konsistensi Tingkat bahaya erosi (e) Kemiringan lereng (%) Kelas Kesesuaian Lahan
F2.L.I.K Nilai Kls
F2.L.I.TL Nilai Kls
Kelas Kesesuaian Lahan F2.L.II.K F2.L.II.TL Nilai Kls Nilai Kls
F2.L.III.K Nilai Kls
F2.L.III.TL Nilai Kls
26,1
S2
26,1
S2
25,5
S2
25,2
S2
25,5
S2
25,2
S2
4,8
S2
5
S2
4,8
S2
4,8
S2
4,8
S2
4,8
S2
1738,91962,1
S1
1738,91962,1
S1
1738,91962,1
S1
1738,91962,1
S1
1738,91962,1
S1
1738,91962,1
S1
77,4
S1
77,4
S1
77,4
S1
77,4
S1
77,4
S1
77,4
S1
Baik
S1
Agak cepat
S3
Baik
S1
Agak terhambat
S3
Baik
S1
Baik
S1
SL
S2
C
S2
SCL
S1
SCL
S1
SL
S2
SL
S2
Teguh
S1
Teguh
S1
Teguh
S1
Teguh
S1
Teguh
S1
Gembur
S1
<8
S1
<8
S1
>8-15
S2
>8-15
S2
>15-25
S3
>15-25
S3
S2
S3
S2
S3
S3
S3
S2 t, S2 w, S2r-2
S3 r-1
S2 t, S2 w, S2 e
S3 r-1
S3 e
S3 e
Faktor Pembatas
Sumber: Analisis data, 2015
Keterangan: Kls : Kelas S1 : Sangat sesuai S2 : Cukup sesuai S3 : Sesuai marginal
S2 t : Faktor pembatas pada temperatur S2 r-2 : Faktor pembatas pada tekstur tanah S2 w : Faktor pembatas pada bulan kering S2 e / S3 e: Faktor pembatas pada kemiringan lereng S3 r-1 : Faktor pembatas pada drainase tanah
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa masingmasing unit lahan memiliki kelas kesesuaian lahan dan faktor pembatas yang cukup bervariasi. Bahkan tidak terdapat unit lahan yang memiliki kelas kesesuaian lahan berupa S1 (sangat sesuai). Akan tetapi dari keenam unit lahan yang diteliti juga tidak ada yang tergolong pada kelas kesesuaian lahan berupa N (tidak sesuai). Untuk memperjelas konteks spasial hasil evaluasi kesesuaian lahan ini juga dapat dilihat pada Peta 1. Unit lahan F2.L.I.K (Lereng bawah pegunungan; Latosol cokelat kemerahan; Lereng <8%; Kebun) tergolong kelas kesesuaian lahan S2 (cukup sesuai), dengan faktor pembatas dari tiga variabel yaitu variabel temperatur rata-rata tahunan, bulan kering, dan tekstur tanah. Unit lahan tersebut memiliki penggunaan lahan berupa kebun, yaitu untuk budidaya tanaman kopi yang dikelola dengan sistem tumpangsari, artinya juga terdapat beberapa jenis tanaman lain yang tumbuh di sekitar area kebun tersebut. Dengan temperatur rata-rata tahunan sebesar 26, 1 °C, kemudian memiliki rata-rata jumlah bulan kering tahunan sebesar 4,8 bulan, serta tekstur tanah yang berupa SL (Lempung berpasir), hal ini yang menyebabkan unit lahan F2.L.I.K memiliki kelas kesesuaian lahan S2 (cukup sesuai) dengan faktor pembatas dari ketiga variabel tersebut. Dengan demikian penggunaan lahan kopi pada unit lahan ini perlu diupayakan beberapa usaha perbaikan lahan agar dapat
SL C SCL
: Lempung berpasir : Liat : Lempung liat berpasir
memaksimalkan potensi lahan untuk tanaman kopi. Usaha perbaikan lahan yang dilakukan perlu disesuaikan dengan ketiga faktor pembatas yang ada. Unit lahan F2.L.I.TL (Lereng bawah pegunungan; Latosol cokelat kemerahan; Lereng <8%; Tanah ladang) tergolong kelas kesesuaian lahan S3 (sesuai marginal), dengan faktor pembatas berupa drainase tanah. Unit lahan tersebut memiliki penggunaan lahan berupa tegalan, dengan beberapa tanaman palawija yang tumbuh disekitarnya. Drainase tanah yang dimiliki unit lahan ini ialah tergolong Agak Cepat, hal tersebut yang menjadi penentu kelas kesesuaian lahan berupa S3 (sesuai marginal). Dengan demikian pada unit lahan F2.L.I.TL dapat dikatakan memiliki potensi untuk dijadikan sebagai lahan budidaya tanaman kopi, namun dengan catatan perlu adanya upaya perbaikan lahan khususnya untuk kondisi drainase tanah. Unit lahan F2.L.II.K (Lereng bawah pegunungan; Latosol cokelat kemerahan; Lereng >8-15%; Kebun) memiliki kelas kesesuaian lahan S2 (cukup sesuai), dengan faktor pembatas dari tiga variabel yaitu variabel temperatur rata-rata tahunan, bulan kering, dan kemiringan lereng. Unit lahan tersebut memiliki penggunaan lahan berupa kebun, yaitu untuk budidaya tanaman kopi yang dikelola dengan sistem tumpangsari, hal ini sama dengan penggunaan lahan pada unit lahan F2.L.I.K. Dengan temperatur rata-rata tahunan sebesar 25,
283
Swara Bhumi. Volume 03 Nomor 03 Tahun 2015
5 °C, kemudian memiliki rata-rata jumlah bulan kering tahunan sebesar 4,8 bulan, serta kemiringan lereng sebesar >8-15%, hal ini yang menyebabkan unit lahan F2.L.II.K memiliki kelas kesesuaian lahan S2 (cukup sesuai) dengan faktor pembatas dari ketiga variabel tersebut. Dengan
demikian penggunaan lahan kopi pada unit lahan ini perlu diupayakan beberapa usaha perbaikan lahan agar dapat memaksimalkan potensi lahan untuk tanaman kopi. Usaha perbaikan lahan yang dilakukan perlu disesuaikan dengan ketiga faktor pembatas yang ada.
Peta 1. Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Kopi Pada SKPP I di Kabupaten Jombang Unit lahan F2.L.II.TL (Lereng bawah pegunungan; Latosol cokelat kemerahan; Lereng >8-15%; Tanah ladang) memiliki kelas kesesuaian lahan S3 (sesuai marginal), dengan faktor pembatas berupa drainase tanah, hal ini sama dengan unit lahan F2.L.I.TL. Unit lahan tersebut memiliki penggunaan lahan berupa tegalan, dengan beberapa tanaman sejenis ketela yang tumbuh disekitarnya. Drainase tanah yang dimiliki unit lahan ini ialah tergolong Agak Terhambat, hal tersebut yang menjadi penentu kelas kesesuaian lahan berupa S3 (sesuai marginal). Dengan demikian pada unit lahan F2.L.II.TL dapat dikatakan memiliki potensi untuk dijadikan sebagai lahan budidaya tanaman kopi, namun dengan catatan perlu adanya upaya perbaikan lahan khususnya untuk kondisi drainase tanah. Unit lahan F2.L.III.K (Lereng bawah pegunungan; Latosol cokelat kemerahan; Lereng >15-25%; Kebun) dan F2.L.III.TL (Lereng bawah pegunungan; Latosol cokelat kemerahan; Lereng >15-25%; Tanah ladang) tercatat memiliki kelas kesesuaian lahan yang sama yaitu berupa kelas S3 (sesuai marginal), dengan faktor pembatas berupa kemiringan lereng. Kedua unit lahan tersebut
memiliki tipe penggunaan lahan yang berbeda, untuk unit lahan F2.L.III.K memiliki penggunaan lahan berupa kebun, yaitu untuk budidaya tanaman kopi. Sedangkan pada unit lahan F2.L.III.TL memiliki penggunaan lahan berupa tegalan dan ditumbuhi beberapa jenis tanaman ketela. Dengan kemiringan lereng sebesar >15-25%, maka hal tersebut menyebabkan unit lahan F2.L.III.K dan F2.L.III.TL memiliki kelas kesesuaian lahan S3 (sesuai marginal). Dengan demikian penggunaan lahan kopi yang ada pada unit lahan F2.L.III.K perlu diupayakan beberapa usaha perbaikan lahan agar dapat memaksimalkan potensi lahan tersebut untuk tanaman kopi, sedangkan untuk unit lahan F2.L.III.TL dapat dikatakan memiliki potensi dijadikan sebagai lahan budidaya kopi, namun pada kedua unit lahan ini diperlukan usaha perbaikan lahan dalam variabel kemiringan lereng. Evaluasi Kesesuaian Wilayah Evaluasi kesesuaian wilayah pengembangan kawasan agropolitan untuk komoditas kopi dilakukan agar dapat diketahui kesinambungan antara kebijakan dan strategi pembangunan yang ditetapkan melalui dokumen rencana 284
Evaluasi Kesesuaian Pengembangan Kawasan Agropolitan Untuk Komoditas Kopi Pada SKPP I Di Kabupaten Jombang
induk dengan kondisi eksisting di lapangan, yaitu pada tabel berupa hasil matching antara kebijakan dan strategi SKPP I Kabupaten Jombang. Berikut ini disajikan melalui pembangunan dengan kondisi realita di lapangan: Tabel 4. Hasil Matching Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kawasan Agropolitan dengan Kondisi Eksisting pada SKPP I di Kabupaten Jombang No. 1
Subsistem Input
Variabel Industri pembuatan pupuk untuk tanaman kopi
2
Pasca panen
Industri pengolahan berbahan baku produk kopi
3
Pemasaran
Strategi pemasaran
4
Jasa dan Penunjang
Lembaga perkreditan
Kebijakan dan Strategi Menyediakan industri pembuatan pupuk untuk tanaman kopi (Bappeda Kab. Jombang, 2010:123) Menyediakan industri pengolahan berbahan baku produk kopi berupa kopi bubuk, minuman rasa kopi, dan essence kopi (Bappeda Kab. Jombang, 2010:122) Pola kemitraan dengan KOVATMA dan KOMA bersama Pemerintah Daerah setempat (Bappeda Kab. Jombang, 2010:123) Menyediakan BPR pada seluruh desa hinterland cluster perkebunan tanaman tahunan (Bappeda Kab. Jombang, 2010:123)
Kondisi Eksisting Belum Terealisasikan
Industri kopi bubuk dan biji polesan bernama “Kopi Bagong”
Belum Terealisasikan
BPR setingkat kecamatan dan belum terintegrasi dengan petani kopi
Sumber: Analisis data, 2015
polesan dan kopi bubuk dengan merek “Kopi Bagong”. Industri pengolahan kopi tersebut telah berjalan sejak tahun 2008 dan masih termasuk dalam skala home industry. Sedangkan lokasi industri “Kopi Bagong” ini berada di kediaman Bapak Suaman, yaitu di Dusun Segunung, Desa Carangwulung, Kecamatan Wonosalam dengan letak koordinat geografis pada 07° 42’ 36” LS dan 112° 24’ 00” BT. Strategi pemasaran komoditas kopi merupakan bagian dalam subsistem pemasaran pada sistem agribisnis dan agroindustri yang akan berperan untuk mendorong terciptanya kawasan agropolitan di SKPP I. Berdasarkan hasil wawancara, menunjukkan bahwa 92,3% responden melakukan strategi pemasaran dengan cara menjual hasil panen kopi ke tengkulak dalam kondisi ose (kering hasil proses penjemuran). Namun untuk petani kopi yang juga memiliki industri pengolahan berbahan baku kopi dengan merek “Kopi Bagong” yaitu Bapak Suaman, selama ini menggunakan strategi pemasaran dengan bantuan dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan yang menjualkan produk biji kopi polesan dan kopi bubuknya. Akan tetapi, strategi pemasaran dengan pola kemitraan Koperasi Masyarakat Agribisnis Terintegrasi Vertikal (KOVATMA) dan Korporasi Masyarakat Agribisnis (KOMA) dengan Pemerintah Daerah tingkat Kabupaten Jombang dan Provinsi Jawa Timur serta investor yang bersangkutan, yang menjadi sasaran dalam Rencana Induk selama ini tampak belum terealisasikan.
Berdasarkan Tabel 4, dapat diketahui sejauh mana implementasi perencanaan pengembangan kawasan agropolitan di SKPP I telah terlaksana dengan baik dan mencapai taraf sesuai. Berdasarkan kajian menurut subsistem agribisnis dan agroindustri, dapat diketahui karakteristik masing-masing variabel yang diteliti. Untuk tinjauan secara spasial juga ditampilkan melalui Peta 2 yang meggambarkan lokasi berbagai infrastruktur yang terkait dengan subsistem agribisnis dan agroindustri sebagai penopang keberadaan kawasan agropolitan. Menurut hasil wawancara kepada 13 petani kopi pada masing-masing kelompok tani yang berada di dua desa yaitu Desa Carangwulung dan Jarak, menunjukkan bahwa 100% responden tidak mengetahui tentang keberadaan industri pembuatan pupuk untuk tanaman kopi. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan industri pembuatan pupuk untuk tanaman kopi di SKPP I belum terealisasikan sesuai Rencana Induk Pengembangan Kawasan Agropolitan. Industri pengolahan berbahan baku kopi merupakan bagian dalam subsistem pasca panen pada sistem agribisnis dan agroindustri yang akan berperan untuk mendorong terciptanya kawasan agropolitan di SKPP I. Berdasarkan hasil wawancara, menunjukkan bahwa 92,3% responden tidak mengetahui dan tidak memiliki ikatan kerjasama dengan industri pengolahan berbahan baku kopi yang mengolah hasil panen kopi para petani. Namun terdapat 1 (satu) petani kopi bernama Suaman yang selama ini juga menjalankan industri pengolahan berbahan baku kopi yang menghasilkan produk biji kopi
285
Swara Bhumi. Volume 03 Nomor 03 Tahun 2015
Peta 2. Kesesuaian Wilayah Pengembangan Kawasan Agropolitan untuk Komoditas Kopi Pada SKPP I di Kabupaten Jombang Lembaga perkreditan merupakan bagian dalam subsistem jasa dan penunjang pada sistem agribisnis dan agroindustri yang akan berperan untuk mendorong terciptanya kawasan agropolitan di SKPP I. Berdasarkan hasil wawancara, menunjukkan bahwa 92,3% responden tidak pernah bekerjasama dengan lembaga perkreditan untuk membantu sistem permodalannya dalam budidaya tanaman kopi. Sedangkan bagi Bapak Suaman yaitu petani kopi sekaligus pemilik industri pengolahan berbahan baku kopi merek “Kopi Bagong” menyatakan pernah menjalin kerjasama dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI) Kecamatan Wonosalam untuk periode tahun 2008 – 2012. Hal tersebut tidak berlanjut dikarenakan terjadinya kredit macet. Di samping itu, berdasarkan pemaparan Kepala Bagian Ekonomi Bappeda Kab. Jombang selaku penanggung jawab program agropolitan SKPP I yaitu Ninik Pujirahayu, menyatakan bahwa terdapat setidaknya 4 (empat) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di masing-masing kecamatan pada SKPP I, namun kesinambungan BPR untuk menjalin kerjasama dengan para petani khususnya petani kopi tampak belum berjalan maksimal.
PEMBAHASAN Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Kopi pada SKPP I di Kabupaten Jombang Evaluasi kesesuaian lahan merupakan upaya untuk membandingkan (matching) karakteristik lahan dengan syarat penggunaan lahan tertentu (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007:20). Dalam konteks penelitian ini, evaluasi kesesuaian lahan yang dilakukan adalah bertujuan untuk membandingkan (matching) karakteristik lahan pada SKPP I dengan syarat tumbuh tanaman kopi. Hal ini juga dikaitkan dengan keberadaan penetapan SKPP I sebagai kawasan agropolitan yang memiliki salah satu komoditas unggulan yaitu komoditas kopi. Berdasarkan unit analisis lahan yang telah dipilih sebagai objek penelitian dengan menggunakan pendekatan fisiografis, maka telah diperoleh sebanyak enam unit lahan. Setelah dilakukan penelitian pada enam unit lahan tersebut maka dapat diketahui kelas kesesuaian lahan aktual untuk tanaman kopi pada SKPP I. Kelas kesesuaian yang dimiliki wilayah ini adalah S2 (cukup sesuai) dan S3 (sesuai marginal) dengan masing-masing faktor pembatas yang dimiliki. Hasil dari evaluasi kesesuaian lahan ini telah dipetakan seperti yang ada pada Peta 1. Peta 1 menunjukkan bahwa Kecamatan Wonosalam, Kecamatan Bareng, dan Kecamatan Mojowarno memiliki kelas kesesuaian lahan yang cukup bervariasi untuk 286
Evaluasi Kesesuaian Pengembangan Kawasan Agropolitan Untuk Komoditas Kopi Pada SKPP I Di Kabupaten Jombang
tanaman kopi. Secara administratif, hal ini cukup secara teori dapat dibuktikan bahwa Kecamatan bertentangan dengan data statistik yang menunjukkan Mojowarno juga memiliki beberapa areal lahan yang bahwa produksi kopi pada SKPP I selama ini hanya potensial untuk dijadikan lokasi budidaya kopi (seperti terdapat pada kecamatan Bareng dan Wonosalam, karena disajikan pada Tabel 5). Tabel 5 Luas Lahan Potensial untuk Tanaman Kopi menurut Desa dan Kelas Kesesuaian Lahan di Kecamatan Mojowarno (data dalam satuan Ha) Kelas Kesesuaian Lahan: Faktor Pembatas No.
1 2 3 4
Desa
Grobogan Japanan Mojoduwur Penggaron Jumlah
S2 (Cukup Sesuai): temperatur, bulan kering, tekstur tanah 53,25 239,72 19,2 4,78 316,96
S2 (Cukup Sesuai): temperatur, bulan kering, kemiringan lereng 22,21 22,21
S3 (Sesuai Marginal): drainase tanah
93,45 92,95 16,78 203,19
Jumlah
146,70 354,89 35,98 4,78 542,36
Sumber: Analisis data, 2015
Selama ini pada Kecamatan Mojowarno belum didapati areal lahan untuk budidaya komoditas kopi, namun setelah dilakukan penelitian maka dapat diketahui bahwa terdapat areal lahan seluas 542,36 Ha di Kecamatan Mojowarno bagian timur yang memiliki potensi untuk dijadikan lokasi budidaya tanaman kopi. Seperti disajikan pada Tabel 5, dari total areal lahan potensial untuk kopi tersebut dapat dibagi lagi menjadi beberapa areal lahan berdasarkan kelas kesesuaian lahan yang dimiliki beserta faktor pembatasnya. Persebaran areal lahan yang dimaksud berada di 4 (empat) desa yang meliputi Desa Grobogan, Japanan, Mojoduwur, dan Penggaron. Desa Japanan merupakan desa yang memiliki areal lahan potensial untuk kopi terluas di Kecamatan Mojowarno, yaitu seluas 354,89 Ha. Akan tetapi, lahan potensial pada desa tersebut tidak digunakan sebagai lahan perkebunan kopi (disajikan pada Gambar 3).
Japanan masih digunakan sebagai lahan perkebunan tebu. Hal ini bisa disebabkan oleh budaya penduduk atau pemilik lahan tersebut yang cenderung lebih tertarik untuk membudidayakan tanaman tebu. Pasalnya, di wilayah sekitar lahan tersebut tidak ditemukan sama sekali lahan perkebunan kopi, meskipun secara teoritis telah teruji bahwa areal lahan tersebut memiliki potensi untuk tanaman kopi. Berdasarkan angka produktivitas kopi Kecamatan Bareng sebesar 13,7 ton/tahun pada areal perkebunan kopi seluas 34 Ha, hal tersebut menempatkan kecamatan ini sebagai kontributor produk kopi terbesar kedua di Kabupaten Jombang, termasuk di wilayah SKPP I. Dari data tersebut juga dapat diasumsikan bahwa 1 Ha kebun kopi di kecamatan ini akan menghasilkan 2,4 ton produk kopi per tahunnya. Apabila hal ini dihubungkan dengan luas lahan potensial untuk tanaman kopi di Kecamatan Bareng yang mencapai 1.232,85 Ha (seperti disajikan pada Tabel 6), maka dapat diprediksi bahwa produktivitas kopi setempat akan meningkat secara signifikan, yaitu mencapai angka 2.958,84 ton/tahun. Tentunya angka produksi tersebut dapat tercapai jika seluruh areal lahan yang memiliki potensi untuk tanaman kopi telah digunakan petani untuk berbudidaya komoditas kopi. Persebaran areal lahan potensial untuk tanaman kopi pada Kecamatan Bareng terletak di 9 (sembilan) desa yang meliputi Desa Banjaragung, Bareng, Jetisgelaran, Karangan, Ngampungan, Nglebak, Ngrimbi, Pakel, dan Pulosari. Desa Pulosari merupakan desa yang memiliki areal lahan potensial untuk kopi terluas di Kecamatan Bareng, yaitu seluas 343,12 Ha. Hal tersebut bisa disebabkan karena faktor geografis wilayah Desa Pulosari yang terletak di bagian timur Kecamatan Bareng, di mana
Gambar 3 Kondisi Eksisting pada Lahan Potensial untuk Tanaman Kopi di Desa Japanan, Kecamatan Mojowarno (Dokumentasi penulis, 2015) Dilihat pada Gambar 3, menunjukkan bahwa kondisi eksisting pada lahan potensial untuk tanaman kopi di Desa
287
Swara Bhumi. Volume 03 Nomor 03 Tahun 2015
pada wilayah tersebut merupakan kaki pegunungan Wonosalam yang memiliki topografi sebagai daerah Arjuna dan berbatasan langsung dengan Kecamatan perbukitan dan pegunungan. Tabel 6 Luas Lahan Potensial untuk Tanaman Kopi Menurut Desa dan Kelas Kesesuaian Lahan di Kecamatan Bareng (data dalam satuan Ha) Kelas Kesesuaian Lahan: Faktor Pembatas No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Desa
S2 (Cukup Sesuai): temperatur, bulan kering, tekstur tanah
Banjaragung Bareng Jetisgelaran Karangan Ngampungan Nglebak Ngrimbi Pakel Pulosari Jumlah
1,23 18,36 49,12 190,65 132,56 70,90 462,84
S2 (Cukup Sesuai): temperatur, bulan kering, kemiringan lereng 0,93 1,13 226,94 229,01
S3 (Sesuai Marginal): drainase tanah
188,07 192,82 34,50 34,65 45,71 45,28 541,05
Jumlah
1,23 18,36 238,12 193,95 34,50 190,65 167,21 45,71 343,12 1.232,85
Sumber: Analisis data, 2015
Luas lahan 343,12 Ha yang potensial untuk tanaman yang bertujuan untuk memaksimalkan produktivitas kopi kopi di Desa Pulosari tersebut, terdapat seluas 226,94 Ha setempat. Penggunaan lahan pada areal lahan ini ialah lahan yang memiliki kelas kesesuaian S2 (cukup sesuai) perkebunan kopi yang dibudidayakan dengan sistem dengan faktor pembatas berupa temperatur, bulan kering, tumpangsari, artinya juga terdapat beberapa jenis tanaman dan kemiringan lereng. Perlu dilakukan upaya perbaikan lain yang tumbuh di sekitar tanaman kopi. karakteristik lahan pada ketiga faktor pembatas tersebut Tabel 7 Luas Lahan Potensial untuk Tanaman Kopi Menurut Desa dan Kelas Kesesuaian Lahan di Kecamatan Wonosalam (data dalam satuan Ha) Kelas Kesesuaian Lahan: Faktor Pembatas No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Desa
Carangwulung Gelengdowo Jarak Panglungan Sambirejo Sumberjo Wonokerto Wonomerto Wonosalam Jumlah
S2 (Cukup Sesuai): temperatur, bulan kering, tekstur tanah 38,45 47,72 20,28 2,58 289,07 3,84 49,01 503,69 954,64
S2 (Cukup Sesuai): temperatur, bulan kering, kemiringan lereng 455,6 39,66 105,75 274,49 26,68 34,45 47,28 243,77 316,45 1.544,13
S3 (Sesuai Marginal): drainase tanah 175,51 166,72 76,46 433,89 410,55 343,89 10,54 30,4 294,27 1.942,23
S3 (Sesuai Marginal): kemiringan lereng
Jumlah
Produksi Kopi Tahun 2013 (Ton)
128,42 66,79 197,04 40,48 433,85 589,39 483,42 129,62 159,05 2.228,06
797,99 320,90 379,26 779,10 873,68 1.256,82 545,09 452,79 1.273,48 6.679,11
83,45 68,35 83,77 67,54 78,90 70,95 23,56 49,21 82,79 540,17
Sumber: Analisis data, 2015
Kecamatan Wonosalam tercatat sebagai kecamatan penghasil kopi terbesar di Kabupaten Jombang, termasuk dalam SKPP I. Jika dilihat dari Tabel 7, maka dapat diketahui bahwa terdapat lahan seluas 6.679,11 Ha yang memiliki potensi untuk tanaman kopi. Hal tersebut menempatkan kecamatan ini sebagai daerah yang memiliki lahan potensial untuk kopi terluas di SKPP I.
Namun demikian, tidak semua bagian pada lahan tersebut telah digunakan untuk budidaya komoditas kopi. Seperti diketahui bahwa baru terdapat lahan seluas 1.218,5 Ha yang digunakan untuk kawasan perkebunan kopi. Apabila dikaitkan dengan penetapan pemusatan kawasan produksi kopi yang terletak di Desa Carangwulung dan Jarak, maka berdasarkan Tabel 7 288
Evaluasi Kesesuaian Pengembangan Kawasan Agropolitan Untuk Komoditas Kopi Pada SKPP I Di Kabupaten Jombang
menunjukkan bahwa penetapan tersebut perlu dikaji ulang. Hal ini dikarenakan luas lahan potensial untuk tanaman kopi yang dimiliki kedua desa tersebut masih jauh di bawah luas lahan potensial dari Desa Wonosalam dan Sumberjo, di mana dua desa ini mempunyai lahan potensial untuk kopi terluas di Kecamatan Wonosalam. Pada Desa Carangwulung dan Jarak hanya terdapat lahan potensial untuk kopi seluas 1.177,25 Ha. Sedangkan pada Desa Wonosalam dan Sumberjo tercatat memiliki lahan potensial untuk kopi seluas 2.530,29 Ha. Data ini menjadi temuan penting bahwa penetapan pemusatan kawasan produksi kopi sebaiknya perlu mempertimbangkan aspek potensial dan kesesuaian lahan pada masing-masing wilayah administrasi, bukan berpatokan pada kontribusi panen kopi di setiap tahunnya saja. Berdasarkan angka produktivitas kopi Kecamatan Wonosalam sebesar 540,17 ton/tahun pada areal perkebunan kopi seluas 1.218,5 Ha, maka dari data tersebut juga dapat diasumsikan bahwa 1 Ha kebun kopi di kecamatan ini akan menghasilkan 2,2 ton produk kopi per tahunnya. Apabila hal ini dihubungkan dengan luas lahan potensial untuk tanaman kopi di Kecamatan Wonosalam yang mencapai 6.679,11 Ha (seperti disajikan pada Tabel 7), maka dapat diprediksi bahwa produktivitas kopi setempat akan meningkat secara signifikan, yaitu mencapai angka 14.649,04 ton/tahun. Tentunya angka produksi tersebut dapat tercapai jika seluruh areal lahan yang memiliki potensi untuk tanaman kopi telah digunakan petani untuk berbudidaya komoditas kopi. Berdasarkan data-data di atas, maka dapat diketahui bahwa Kecamatan Mojowarno juga memiliki lahan yang potensial untuk tanaman kopi. Hal ini membuka peluang untuk upaya ekstensifikasi guna meningkatkan produksi kopi di SKPP I dalam rangka menunjang program pengembangan kawasan agropolitan. Sementara Kecamatan Wonosalam yang tercatat memiliki lahan potensial terluas dan produksi kopi terbesar di SKPP I, tercatat belum memiliki lahan dengan kelas kesesuaian maksimal yaitu S1 (sangat sesuai). Hal ini dikarenakan lahan tersebut masih memiliki berbagai faktor pembatas, seperti temperatur, bulan kering, tekstur tanah, kemiringan lereng, dan drainase tanah. Oleh sebab itu perlu dilakukan upaya perbaikan karakteristik lahan pada faktor pembatas tersebut, agar optimalisasi produksi kopi setempat dapat tercapai.
sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan dari kesatuan sistem permukiman dan sistem agribisnis yang didalamnya mencakup kegiatan agroindustri (Rustiadi, dkk., 2011:329). Dalam konteks penelitian ini dibahas mengenai pengembangan kawasan agropolitan untuk komoditas kopi di SKPP I Kabupaten Jombang. Dengan demikian perlu dikaji keberadaan sistem agribisnis dan agroindustri sebagai penopang terciptanya kawasan agropolitan di SKPP I. Berdasarkan Peta 2 dapat dilihat persebaran infrastruktur yang berkaitan dengan pengembangan kawasan agropolitan. Infrastruktur yang secara fisik dapat dilihat pada peta meliputi keberadaan lokasi home industry “Kopi Bagong” yang terletak di Desa Carangwulung, kemudian empat BPR (Bank Perkreditan Rakyat) yang terletak di masing-masing pusat kecamatan di SKPP I. Sementara infratruktur lain yang terkait dengan sistem agribisnis dan agroindustri sebagai penopang kawasan agropolitan tampak belum memadai. Hal tersebut mengindikasikan bahwa keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan dari kesatuan sistem agribisnis yang didalamnya mencakup kegiatan agroindustri di SKPP I belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Pada dasarnya, agropolitan merupakan kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena eksistensi subsistem dalam agribisnis dan agroindustri yang mampu melayani, mendorong, menarik, dan menghela kegiatan pertanian setempat (Muta’ali, 2013:173-174). Maka dari itu, agropolitan dipandang sebagai cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan yang identik dengan sektor pertanian. Hal ini tentu mengindikasikan bahwa peningkatan kesejahteraan petani juga menjadi parameter utama dalam menentukan keberhasilan pengembangan kawasan agropolitan. Namun pada kasus yang dibahas dalam penelitian ini, menunjukkan bahwa upaya peningkatan kesejahteraan petani tampak belum maksimal. Khususnya pada bagian subsistem pemasaran. Dalam subsistem pemasaran yang sesuai dengan konsep agropolitan ialah strategi pemasaran yang tidak lagi bergantung pada pihak ketiga atau tengkulak. Hal ini disebabkan karena pihak ketiga atau tengkulak lebih cenderung menjadi pemain yang menentukan harga pasaran, sehingga petani bergantung sepenuhnya pada sentimen harga pasar yang ditentukan oleh para tengkulak tersebut. Hal tersebut tentu berkebalikan dengan maksud dan tujuan pengembangan kawasan agropolitan yang menitikberatkan pada peningkatan kesejahteraan petani dengan salah satu caranya yaitu optimalisasi strategi pemasaran. Demikian pula yang terjadi di kawasan agropolitan SKPP I Kabupaten Jombang, di mana strategi pemasaran
Evaluasi Kesesuaian Wilayah Pengembangan Kawasan Agropolitan untuk Komoditas Kopi pada SKPP I di Kabupaten Jombang Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menjelaskan bahwa kawasan agropolitan merupakan kawasan yang terdiri dari satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah pedesaan sebagai
289
Swara Bhumi. Volume 03 Nomor 03 Tahun 2015
para petani kopi setempat masih sangat bergantung pada keberadaan tengkulak. Hal ini menjadi catatan penting bahwa keberadaan strategi pemasaran yang telah ditetapkan dalam dokumen Rencana Induk Pengembangan Kawasan Agropolitan SKPP I Kabupaten Jombang perlu segera direalisasikan agar kebergantungan petani kopi pada tengkulak dapat mulai berkurang. Sebagaimana diketahui bahwa telah ditetapkan pola kemitraan pengembangan sosial kapital, yaitu pola Koperasi Masyarakat Agribisnis Terintegrasi Vertikal (KOVATMA) dan Korporasi Masyarakat Agribisnis (KOMA) yang kegiatannya direncanakan untuk bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Jombang – Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Investor yang bertanggung jawab terhadap pola pemasaran sektor perkebunan tanaman tahunan, termasuk komoditas kopi. Dengan berkurangnya kebergantungan petani kopi terhadap tengkulak, maka strategi pemasaran produk kopi di SKPP I diharapkan dapat mencapai standar dalam konsep kawasan agropolitan, yaitu menitikberatkan pada peningkatan kesejahteraan petani. Suatu kawasan agropolitan juga perlu didukung dengan keberadaan integrasi subsistem agribisnis dan agroindustri yang baik mulai dari hulu (subsistem input) hingga hilir (subsistem pemasaran). Pelayanan yang berkaitan dengan penyediaan sarana produksi (saprodi) merupakan salah satu hal vital yang tidak bisa dilepaskan dari konsep pengembangan kawasan agropolitan (Rustiadi, dkk., 2011:329). Seperti telah disusun oleh Bappeda Kab. Jombang, bahwa untuk mendukung pengembangan kawasan agropolitan di SKPP I untuk komoditas kopi, maka diperlukan ketersediaan industri pembuatan pupuk yang menjadi bagian dari saprodi. Namun berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan industri pembuatan pupuk tersebut belum diketahui oleh para petani kopi. Hal ini mengindikasikan bahwa rencana tersebut belum terealisasikan. Sementara seluruh petani kopi selama ini masih bergantung terhadap penggunaan pupuk kandang dan sebagian petani juga mengkombinasikan antara pupuk kandang dan kimia. Mercado (dalam Muta’ali, 2013:160) memaparkan bahwa kawasan agropolitan akan berfungsi sebagai urbanrural industrial. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan agroindustri menjadi bagian penting dalam pengembangan kawasan agropolitan. Sebagaimana dijelaskan bahwa agroindustri merupakan segala kegiatan industri yang berkaitan dengan kegiatan pertanian (Andrianto, 2014:255). Namun kondisi eksisting di SKPP I belum menunjukkan berjalannya fungsi agropolitan sebagai urban-rural industrial. Merujuk pada Peta 4.11, gambaran persebaran dan ketersediaan industri yang berkaitan dengan kegiatan pertanian khususnya untuk komoditas
kopi terbilang sangat minimum. Hanya saja telah terdapat home industry pengolahan produk kopi yang bernama “Kopi Bagong”. Namun jika dikaitkan dengan kebijakan Pemerintah Kabupaten Jombang mengenai perencanaan pengembangan kawasan agropolitan, kondisi eksisting yang ada di SKPP I saat ini belum mencerminkan suatu kawasan agropolitan secara utuh dan masih jauh dari rencana pembangunan yang ditetapkan. Seperti diketahui bahwa pada subsistem pasca panen, Pemerintah Kabupaten Jombang bertekad untuk mengembangkan industri pengolahan berbahan baku produk kopi seperti industri minuman rasa kopi, industri essence kopi, dan industri kopi bubuk (Bappeda Kab. Jombang, 2010:122). Akan tetapi dari ketiga bentuk agroindustri tersebut baru terealisasikan satu jenis yaitu industri kopi bubuk. Hal ini menunjukkan tahap ketercapaian kebijakan yang belum maksimal. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai “Evaluasi Kesesuaian Pengembangan Kawasan Agropolitan untuk Komoditas Kopi pada SKPP I di Kabupaten Jombang”, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Berdasarkan evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman kopi pada SKPP I di Kabupaten Jombang, maka dapat diketahui bahwa terdapat lahan seluas 8.454,32 Ha yang memiliki potensi untuk digunakan sebagai lahan budidaya komoditas kopi. Lahan tersebut terletak di tiga kecamatan yaitu Kecamatan Wonosalam (6.679,11 Ha), Kecamatan Bareng (1.232,85 Ha), dan Kecamatan Mojowarno (542,36 Ha). Dari total luas lahan yang berpotensi tersebut tidak terdapat lahan yang memiliki kelas kesesuaian optimal yaitu S1 (sangat sesuai), namun masih tergolong kelas kesesuaian lahan berupa S2 (cukup sesuai) dan S3 (sesuai marginal) dengan faktor pembatas pada variabel temperatur, bulan kering, tekstur tanah, drainase tanah, dan kemiringan lereng. Dengan demikian perlu upaya perbaikan karakteristik lahan berdasarkan faktor pembatas tersebut. 2. Berdasarkan evaluasi kesesuaian wilayah pengembangan kawasan agropolitan untuk komoditas kopi pada SKPP I di Kabupaten Jombang, maka dapat diketahui keberadaan dan karakteristik empat variabel dari empat subsistem agribisnis dan agroindustri yang diteliti. (1) Pada variabel industri pembuatan pupuk untuk tanaman kopi, diketahui dari 100% responden tidak mengetahui keberadaan industri pembuatan pupuk seperti yang dimaksudkan dalam rencana induk pengembangan kawasan agropolitan; (2) pada variabel industri pengolahan berbahan baku kopi, diketahui bahwa terdapat satu home industry bernama “Kopi 290
Evaluasi Kesesuaian Pengembangan Kawasan Agropolitan Untuk Komoditas Kopi Pada SKPP I Di Kabupaten Jombang
Bagong” yang telah berdiri sejak tahun 2008 dan industri ini menjual produk kopi bubuk dan biji kopi polesan; (3) untuk variabel strategi pemasaran, diketahui bahwa 92,3% responden melakukan strategi pemasaran produk kopinya dengan cara menjualnya secara langsung kepada tengkulak dengan kondisi kopi berupa ose kering, dan belum terdapat realisasi pola kemitraan dalam strategi pemasaran produk kopi sebagaimana dimaksud pada rencana induk pengembangan kawasan agropolitan; (4) pada variabel lembaga perkreditan, diketahui bahwa 92,3% responden tidak pernah menjalin kerjasama dengan lembaga perkreditan manapun, sedangkan apabila dikaitkan dengan rencana induk pengembangan kawasan agropolitan setempat, maka sudah terdapat empat BPR setingkat kecamatan yang ada di wilayah SKPP I namun belum terjalin kesinambungan dengan para petani kopi yang pada dasarnya membutuhkan bantuan modal.
I) dalam Rangka Mewujudkan Pembangunan Pertanian Terpadu Berbasis Rencana Tata Ruang. Jombang: Bappeda Kab. Jombang. BPS. 2014. Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Tahun 2013. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Hardjowigeno dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan & Perencanaan Tataguna Lahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Muta’ali, Lutfi. 2013. Pengembangan Wilayah Perdesaan (Perspektif Keruangan). Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Geografi UGM. Rahmawati, Nur Fajri. 2008. Pengaruh Pelaksanaan Agropolitan Terhadap Perkembangan Ekonomi Di Tujuh Kawasan Agropolitan Kabupaten Magelang. Skripsi tidak diterbitkan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Rustiadi, Sunsun dan Dyah, Ernan. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Soetoto. 2013. Geologi Dasar. Yogyakarta: Ombak.
SARAN Berdasarkan kesimpulan penelitian di atas maka dapat diberikan beberapa saran kepada pihak-pihak yang terkait dengan pengembangan kawasan agropolitan untuk komoditas kopi pada SKPP I di Kabupaten Jombang, yaitu sebagai berikut: 1. Bagi para petani di SKPP I agar mulai membudidayakan komoditas kopi pada areal lahan yang termasuk memiliki potensi untuk tanaman tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menggunakan sistem tumpangsari, sehingga tidak perlu melakukan perubahan pola jenis komoditas yang telah dikembangkan sebelumnya di lahan yang belum ditanami kopi. Dengan demikian upaya ekstensifikasi dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas kopi setempat berdasarkan potensi lahannya. 2. Bagi Pemerintah Kabupaten Jombang agar mengalokasikan anggaran dana untuk pembangunan industri pupuk tanaman kopi dan industri pengolahan produk kopi sesuai kebijakan yang telah ditetapkan dalam rencana induk pengembangan kawasan agropolitan di SKPP I. Hal ini untuk menciptakan integrasi subsistem agribisnis dan agroindustri yang baik dalam menopang kawasan agropolitan setempat.
DAFTAR PUSTAKA Andrianto, Tuhana T. 2014. Pengantar Ilmu Pertanian: Agraris, Agribisnis, Agroindustri, dan Agroteknologi. Yogyakarta: Global Pustaka Utama. Bappeda Kab. Jombang. 2010. Implementasi Rencana Induk Pengembangan Kawasan Agropolitan pada Satuan Kawasan Pengembangan Pertanian I (SKPP
291