Dikutip dari buku “MEMECAH PEMBISUAN” Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan 2011
Sutarni Kerabat Sang Penguasa Pagi seperti hari-hari kemarin, matahari juga cerah. Di awal bulan September, hujan belum turun karena masih musim kemarau. Seperti biasa kesibukan mulai berdetak di rumah besar itu. Tarni, istri si empunya rumah, tentu saja mulai repot mengurusi keenam anaknya. Tiga anaknya yang besar harus siap-siap untuk berangkat ke sekolah. Svetlana sudah kelas 4 SD, sementara Wawang dan Timur, anaknya yang nomer dua dan tiga duduk di kelas 2 di SD. Cidurian, Cikini – Jakarta. Rumah yang terletak di Jalan Malang itu memang besar dengan halaman yang cukup luas di sekelilingnya. Dulunya rumah itu tempat belajar balet noni-noni Belanda. Guru baletnya yang orang Belanda memang tinggal di rumah itu. Tarni tidak tahu persisnya, bagaimana suaminya bisa mendapatkan rumah tersebut. Tapi seingatnya rumah itu sempat diminati oleh beberapa orang yang mempunyai kedudukan dan jabatan di pemerintahan. Saat itu, suaminya Nyoto, adalah anggota parlemen – buah dari pemilihan umum tahun 1955. Seperti biasa, Tarni ikut mengantar anak-anaknya sampai ke depan sekolah mereka. Ketiga anaknya yang masih kecil-kecil ditinggal di rumah diawasi oleh adik iparnya dan pembantu. Dengan mengendarai mobil Fiat, jarak tempuh dari Jalan Malang ke Jalan Cidurian tidaklah membutuhkan waktu lama. Saat itu lalu lintas Jakarta masih lengang dan nyaman untuk berkendaraan. Kemudian dengan diantar sopir, Tarni berbelanja sayuran di pasar Cikini dan sesudah itu langsung pulang ke rumah. Svetlana, anak pertama, pintar dan mandiri. Usianya 9 tahun. Kulitnya agak gelap tapi cantik seperti ibunya. Wawang, adiknya berselisih satu tahun persis, karena lahirnya sama-sama di bulan Februari. Dia inilah yang banyak membuat repot Tarni. Wawang pemalu sekaligus penakut, dia sering nangis di sekolah. Waktu di kelas satu, ibunya diharuskan menunggunya di luar kelas, kadang-kadang kalau sedang rewel Tarni malah harus menemaninya di dalam kelas dan duduk di bangku paling belakang. Baru berjalan setengah tahun, Wawang mogok sekolah. Dengan senang hati dia kembali ke bangku Taman Kanak-kanak (TK), untuk bisa bergabung dengan adiknya, Timur. Timur lahir bulan Agustus 1958, jadi berselisih satu setengah tahun dengan Wawang. Tapi dia kelihatan lebih berani dibandingkan kakaknya. Hanya saja Timur tidak doyan makan nasi. Kedua kakak beradik itu sekolah di TK yang berada di kantor sekretariat LEKRA di jalan Cidurian, Cikini, Jakarta. Itulah sebabnya kenapa Wawang bisa sekelas dengan adiknya sampai kelas dua SD. Cuma dua itulah anak lelaki Tarni. Svetlana dan tiga adiknya yang masih kecil-kecil, semua perempuan. Mereka; Risa, Irina, dan Atun masing-masing berusia lima, tiga dan satu tahun. Risa, anak nomer empat lahir di tahun kabisat, karena lahirnya tepat tanggal 29 Februari
1
1960. Jadi ada tiga orang yang lahirnya dibulan Februari - Svetlana, Wawang dan Risa. Anak kelima, Irina lahir pada tanggal 30 Juni 1962, sedangkan Atun tanggal 14 April 1964. Tidak mudah mengurusi 6 orang anak sendirian. Semua butuh perhatian. Untung ada adik ipar Tarni yang juga tinggal di rumah besar itu. Anak-anak memanggilnya Tante Win, suaminya Oom Yan berasal dari keluarga Tionghoa. Oom Yan atau nama lengkapnya Tan Yan Gie, bekerja di perusahaan rekaman Irama. Adik ipar Tarni itu ikut sibuk momong keponakan-keponakannya. Tarni juga mempunyai seorang pembantu perempuan, yang menyelesaikan macam-macam pekerjaan. Ya, setiap hari selalu sibuk. Sepulang sekolah, Svet, Wawang dan Timur, biasanya tidak langsung pulang ke rumah, tapi mereka mampir ke rumah tante Marto di jalan Surabaya. Budi, perempuan, anak tunggal tante Marto, adalah teman sekelas Svetlana. Tante Marto, demikian Svet dan adik-adiknya memanggil, adalah keluarga yang telah lama dikenal oleh keluarga Nyoto, bahkan mereka sudah seperti saudara saja layaknya. Dari Cidurian ke jalan Surabaya tidaklah jauh, bisa ditempuh dengan berjalan kaki, menyeberangi rel kereta api di Cikini. Tidak jarang, kalau ada waktu dan sedang agak senggang, Svet dan kedua adiknya diantar sekolah oleh bapaknya. Biasanya kesempatan itu digunakan oleh Nyoto untuk mampir ke kantor LEKRA, yang tidak jauh dari SD Cidurian. Kalau sepulang sekolah, kebetulan mobil ada di kantor LEKRA, dapat dipastikan Bung Nyoto – demikian orang memanggilnya – sedang ada di situ pula. Kalau sudah begitu, anak-anak akan menghampiri bapaknya dan Bung Nyoto akan mengajak anak-anaknya jajan di luar. Biasanya anak-anak ditraktir Es Shanghai atau beli roti ditoko Tjan Njan di jalan Cikini Raya. Svet dan adik-adiknya memanggil ayah mereka dengan sebutan “bapak”, sedangkan ibunya dipanggil “mamah”. Keluarga ini rukun dan bahagia. Bung Nyoto hampir tidak pernah marah kepada anak-anaknya, demikian juga Bu Tarni. Keduanya hangat dan sabar. Hanya sesekali mereka direpotkan dan dibuat jengkel oleh anak keduanya. Wawang mempunyai fisik yang kurang bagus. Dia menderita penyakit kulit, dan harus sering-sering dibawa dan disuntik oleh dokter. Ritual ke dokter inilah yang sering membuat masalah, karena Wawang lama kelamaan membenci jarum suntik dan juga obatnya. Waktu berjalan. Nyoto tetap sibuk dengan segala macam kegiatannya. Selain sebagai Menteri Negara, dia juga adalah Ketua II Comite Central Partai Komunis Indonesia, pemimpin redaksi koran Harian Rakyat dan juga pimpinan Lembaga Kebudayaan Rakyat plus sebagai kepala rumah tangga dengan enam orang anak. Semua harus berjalan seiring. Sementara di luaran, suhu politik meningkat tajam dan penuh friksi. Tarni, Sang Istri tercinta, juga selalu sibuk dengan urusan rumah tangganya. Sebagai ibu rumah tangga, dia tidaklah terlalu paham dengan segala macam gejolak politik. Tanggung jawabnya adalah memberi dukungan pada suami dan merawat keenam anaknya. Sampailah di penghujung bulan September. Nyoto selaku menteri Negara sedang tidak berada di rumah. Dia mengikuti rombongan Wakil Perdana Menteri I Soebandrio keliling Sumatera. Waktu menjelang subuh, memasuki tanggal 1 Oktober 1965, Sekelompok tentara Angkatan Darat bergerak melakukan aksi gerak cepat. Sejumlah jenderal dijemput paksa untuk dihadapkan kepada Panglima Revolusi Presiden Soekarno. Aksi tidak berjalan sesuai rencana, dan korban berjatuhan. Sungguh pagi jahanam.
2
Dan mulailah prahara itu . . . . Tarni dan keenam anaknya sedang berada di rumah adiknya, di bilangan Mampang Prapatan. Rumah Tari, adik Tarni berada di dalam kawasan pabrik pipa, milik keluarga Bakri. Ketika itu sedang ada acara keluarga. Tak dinyana, kabar mengejutkan datang via telepon. Jakarta genting! Tarni dan anak-anaknya disuruh untuk segera pulang. Belum jelas, apa sebenarnya yang sedang terjadi. Tapi Bung Koen Li, supir keluarga Nyoto mengatakan bahwa ada beberapa orang jenderal diculik oleh sepasukan tentara. Bisa dibayangkan, betapa risaunya Tarni saat itu. Suaminya entah sedang berada di mana. Tidak tahu pula kapan pulangnya. Didengarnya berita radio dan juga televisi. Keadaan simpang siur, tak menentu. Menit demi menit terasa mencekam. Dia hanya berharap, agar kejadian paling buruk tidak menimpa keluarganya. Untunglah keesokan harinya, rombongan Waperdam Soebandrio tiba kembali di Jakarta dari lawatannya ke Sumatera. Nyoto sampai di rumah ketika hari sudah malam. Tanpa membuang waktu lagi dia ajak istrinya beserta keenam anaknya untuk segera meninggalkan rumah di Jalan Malang dan menuju rumah di Jalan Tirtayasa, Kebayoran Baru – Jakarta Selatan. Rumah itu terdiri dari dua lantai, besar dan luas. Biasanya kalau hari libur, Nyoto dan keluarganya menginap di rumah ini. Dulunya rumah ini kepunyaan keluarga Tionghoa yang ditinggal kembali ke negaranya. Rumah itu kemudian dibeli oleh partai. Seingat Tarni, mereka hanya beberapa hari saja sempat tinggal di sana. Bahkan di rumah itu pulalah Nyoto membaca, kalau rumah mereka di Jalan Malang diserbu oleh massa. Seluruh barang-barang beserta perabotan dikeluarkan dari dalam rumah dan dibakar di tengah jalan. Berita Koran juga menyebutkan bahwa dari dalam rumah Nyoto ditemukan beberapa stel seragam loreng tentara, lengkap dengan senapan, pistol dan granatnya. Padahal pakaian loreng itu adalah kepunyaan Wawang dan Timur. Pakaian itu dibeli Nyoto di Singapura, dan memang lengkap dengan topi baja, senapan laras panjang, pistol dan granat tangan. Tentu saja semuanya hanya mainan. Ada lagi berita yang ngawur. Disebutkan bahwa masa juga menemukan alat pencongkel mata dari rumah Nyoto di jalan Malang. Padahal apa yang disebut sebagai alat pencongkel mata itu adalah alat untuk menggaruk punggung, terbuat dari tulang dan banyak dijajakan sebagai souvenir di kota Solo maupun di Malioboro Jogjakarta. Tapi yang paling menyedihkan bagi seorang Nyoto adalah dibakarnya koleksi buku-bukunya yang terdiri dari ribuan judul. Buku-buku itu dikumpulkan dengan bersusah payah dari banyak tempat juga dari beberapa negara yang pernah dikunjunginya. Dan banyak juga dari pemberian orangorang yang dekat dengannya. Wawang, anak kedua Nyoto ingat betapa banyaknya koleksi buku-buku bapaknya tersebut. Bukunya tebal-tebal dan sebagian besar berbahasa asing. Ada yang berbahasa Belanda, Rusia, Inggris, Perancis dan Jerman. Di ruang kerjanya di rumah, buku-buku tersebut disusun dirak yang dibuat khusus hingga menyentuh langit-langit. Karena dulunya bekas rumah orang Belanda, maka langit-langit rumahnya tentu saja tinggi sekali, kira-kira hampir empat meter. Di antara ruang tamu dan ruang keluarga juga ada satu rak buku besar. Selain itu di
3
halaman belakang di bangunan yang terpisah dengan rumah induk, juga ada semacam gudang yang penuh dengan deretan rak-rak berisi buku yang tersusun rapi. Di sebelahnya adalah kamar supir dan pembantu. Suatu malam rumah di jalan Tirtayasa didatangi oleh sekelompok tentara. Kebetulan malam itu ada beberapa kawan Nyoto yang menginap di situ. Terjadi tanya jawab antara dua pihak. Nyoto menyatakan bahwa dia sebagai Menteri Negara, tugasnya adalah membantu kegiatan Wakil Perdana Menteri Soebandrio. Nyoto tidak diapa-apakan, dan hanya menyerahkan sepucuk pistol milik pribadinya, tetapi beberapa kawannya dibawa pergi oleh tentara. Sejak saat itulah menurut cerita Tarni, suaminya merasa bahwa kalau tetap tinggal di rumah itu, keselamatannya sekeluarga terancam. Mereka harus segera pergi meninggalkan rumah untuk mengungsi ke tempat lain yang dirasa lebih aman. Dimulailah episode pengungsian atau bisa dibilang episode pelarian. Tidak mudah dalam situasi seperti waktu itu, mendapatkan tempat untuk menginap. Semua orang mencari aman, dan tentu saja menerima keluarga dari pimpinan partai adalah tindakan ceroboh. Menampung seorang yang sedang mencari perlindungan masih bisa diterima, tapi menampung satu keluarga dengan enam orang anak tentulah lain perkara. Apalagi Soetarni mempunyai anak yang masih kecil-kecil. Harus ada makanan bayi dan tentu saja susu. Belum pakaiannya, belum rewelnya. Sungguh sangat merepotkan. Kali pertama pergi dari rumah, beruntung ada teman Nyoto yang mau menerima Tarni dan anak-anaknya. Nyoto sendiri pergi ke tempat lain. Hanya beberapa hari saja di daerah Kebayoran Baru, kemudian mereka harus berpindah lagi ke tempat lain. Ada satu saat, di mana Wawang dan Timur harus berpisah tempat dengan ibu dan keempat saudara perempuannya. Pada akhirnya setelah berpindah-pindah tempat ke sana ke mari di kota Jakarta, Tarni dan keenam anaknya berlabuh di asrama mahasiswa CGMI (Cons entrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) di daerah Gunung Sahari. Kapan tanggal atau bulannya yang tepat, Tarni tidak ingat lagi. Tapi yang jelas masih di tahun 1965. Yang dia ingat, dari rumah tetangga sering terdengar alunan lagu-lagu natal. Rumah yang dijadikan asrama mahasiswa itu adalah bangunan semi permanen. Dindingnya separuh dari tembok dan bagian atasnya dari bilik anyaman bambu. Bangunan rumah berada di tengah-tengah sebidang tanah. Ada halaman yang cukup luas di depan rumah itu. Di sisi kiri dan kanan rumah ada tersisa halaman sekitar dua meter. Rumah itu dikelilingi pagar bambu yang cukup tinggi tapi tidak rapat. Ada teras di sebelah depan, kemudian ada ruang tamu, ruang makan, tiga kamar tidur, dapur, kamar mandi, wc dan pompa air tangan. Ada dua jalan untuk keluar masuk, satu di depan dan satu lagi di belakang rumah. Letaknya di tengah-tengah perkampungan penduduk yang cukup rapat. Di kampung itu banyak penduduk dari etnis Tionghoa. Ada beberapa pemuda yang tinggal tetap di rumah itu. Anak-anak Tarni memanggil mereka Oom Gorma, Oom Robert, Oom Pardede, dan Oom Kaligis. Banyak teman-teman mereka yang datang dan pergi, beberapa pernah menginap. Biasanya mereka membahas situasi terakhir dan saling bertukar informasi. Gorma bermarga Hutajulu, dia aktivis mahasiswa. Orangnya keras dan tegas. Dialah yang dituakan di asrama itu. Walaupun demikian, dia sering juga pergi berbelanja ke pasar dan juga bisa memasak. Kalau Pardede kelihatannya
4
dia yang paling muda, bisa dekat dengan anak-anak, tapi kalau ada yang malas mandi, anakanak disabetnya dengan lidi. Wawang bercerita, bahwa selama tinggal di Gunung Sahari dia dan adiknya Timur mempunyai banyak teman: anak-anak kampung di sekitar rumah. Dia paling suka main perang-perangan, main petak umpet, main pedang-pedangan dari bambu dan main layangan. Ketika itu Wawang sudah berumur 9 tahun, sedang Timur menjelang umur 8 tahun. Bersama teman-temannya mereka membuat pistol-pistolan dari kotak korek api, membuat layangan sendiri, dan diajari membuat benang gelasan sama anak yang lebih besar. Kadang-kadang kalau bosan bermain, mereka jalan-jalan keluar masuk perkampungan hingga ke jalan Gunung Sahari Raya. Svet dan Wawang juga senang membaca komik. Mereka tidak ingat dari mana asalnya komik-komik tersebut. Mungkin Oom-oom Batak itu yang memberinya. Ada cerita tentang Mahabarata dan Ramayana. Ada juga komik tokoh-tokoh pahlawan ciptaan pengarang Indonesia. Ketika itu Timur yang dulunya tidak doyan nasi, sudah mau makan nasi. Di rumah Gunung Sahari ada sebuah radio. Dari radio itulah didapat berita-berita terakhir tentang keadaan pada masa itu. Kalau tidak salah waktu itu sering diputar lagu-lagu dari penyanyi Titik Puspa, Lilis Suryani, Fety Effendi dan lain-lain. Lagu ‘Gang Kelinci’ waktu itu sangat popular dan paling sering diputar. Perut Sutarni makin hari makin membesar. Usia kehamilannya bertambah terus. Selama berada di Gunung Sahari, dia ingat suaminya masih sempat dua kali menjenguk Tarni dan anak-anaknya. Saat itu sudah di penghujung tahun 1965. Akhirnya, waktu melahirkanpun tiba. Tarni dibawa ke klinik bersalin masih di sekitar Gunung Sahari, yaitu di Jalan Kartini. Lahirlah seorang bayi perempuan yang diberi nama Esti Dayati. Oleh para pemuda Batak, dia dipanggil dengan nama Butet. Butet lahir pada tanggal 23 Juli 1966. Sekarang setiap tanggal itu, diperingati sebagai hari anak-anak nasional. Dialah satu-satunya anak yang tidak diberi nama oleh Nyoto, dan juga bungsu yang seumur hidupnya kelak tidak pernah bertemu sang ayah. Tidak berapa lama dari hari kelahiran Butet, rumah di Gunung Sahari digrebek oleh tentara. Masih pagi buta, semua penghuni rumah dibangunkan. Tarni duduk di pinggir tempat tidur dengan menggendong Si Kecil. Kapten Suroso, komandan para tentara itu duduk di sebelahnya. Dia bertanya kepada Tarni dalam bahasa Jawa tapi logatnya agak kaku. Mungkin itu cara dia agar tidak terlihat menakutkan. Personil tentara yang lain menggeledah seisi rumah, sampai naik ke atas atap. Mereka berhasil menemukan bukubuku yang sengaja ditanam oleh Gorma di bawah lubang pembuangan sampah. Penggeledahan itu berjalan cukup lama juga. Pada saat penggerebekan itu kebetulan Timur sedang diajak pergi oleh Hutajulu ke Jakarta Utara, dan mereka menginap di sana. Jadi mereka berdua selamat dari penangkapan tentara. Tarni dan keenam anaknya dibawa dengan menggunakan mobil. Sedangkan para pemuda sudah lebih dulu dibawa. Mereka dibawa keluar melalui pintu belakang. Warga sekitar menonton sepanjang gang menuju jalan besar, beberapa tetangga melihat dari balik jendela rumah. Wawang ingat, waktu mau berangkat dia disuruh membawa gulungan kasur. Mungkin terpikir juga oleh tentara-tentara itu, ada seorang bayi yang baru lahir. Kemudian
5
mereka semua dibawa dan ditahan di Kodim di Jalan Budi Kemuliaan. Sekarang tempat itu sudah menjadi bagian dari Bank Indonesia. Tarni dan keenam anaknya ditempatkan di sebuah ruangan kecil seukuran kamar biasa. Di ruangan itu sebenarnya sudah penuh dengan tahanan wanita. Bisa dibayangkan kalau harus ditambah dengan tujuh orang lagi, walau yang enam orang adalah anak-anak kecil. Bersebelahan dengan ruangan itu adalah kamar mandi dan wc, yang seringkali menebarkan aroma tidak sedap. Di seberang kamar kecil ada dua ruangan untuk pemeriksaan para tahanan. Yang di sebelah Barat, ruangan yang lebih besar adalah ruangan pemeriksaan utama. Jaraknya hanya sekitar 7 atau 8 meter dari ruangan tahanan wanita. Di situlah episode horor terjadi setiap hari. Suara teriakan, jeritan, lolongan diselingi dengan bentakan, suara pukulan, pecutan terdengar setiap waktu. Berbagai macam penyiksaan dilakukan oleh para tentara yang buas itu terhadap para tahanan. Tidak terkecuali terhadap tahanan perempuan, yang sudah bisa dipastikan mendapat tindakan pelecehan, terutama yang masih muda-muda. Mereka menempuh cara apapun untuk mendapatkan pengakuan yang diinginkan. Jeritan paling keras dan menakutkan terdengar apabila ada tahanan yang disetrum. Bahkan ada tahanan yang karena bertahan tidak mau mengaku atau dipaksa untuk mengakui, akhirnya dibawa ke pantai dan ditembak mati. Banyak tahanan yang disiksa dalam keadaan telanjang. Wawang bercerita pernah melihat seorang bapak hanya memakai celana kolor, terlempar dari dalam ruangan dalam keadaan penuh darah. Demikian keras hantaman yang dia terima, sehingga terhempas ke pintu hingga terbuka lebar. Dia diseret kembali ke dalam ruangan oleh dua orang tentara yang menyiksanya. Tapi kelihatannya orang itu sudah pingsan kesakitan. Biasanya kalau ada korban penyiksaan dikembalikan ke ruang tahanan, dia akan dirawat oleh tahanan lainnya dengan sebisa-bisanya. Entah dengan minyak goreng, bawang merah atau hanya diseka dengan air hangat saja. Para tahanan biasa memasak di dalam ruangan untuk menambah lauk atau makanan, di luar jatah rangsumnya yang hanya seadanya dan sekedarnya. Suatu hari, Gorma Hutajulu tertangkap. Seperti tahanan lainnya dia diperiksa dan disiksa. Dia terdengar meraung keras ketika disetrum oleh pemeriksanya. Tarni dan anak-anaknya mengenal betul suara Gorma, mereka tidak bisa berkata apa-apa. Hanya saja mereka berharap ada kabar tentang Timur. Tarni begitu cemas akan anak ketiganya tersebut, dia hanya bisa berharap Timur ada yang merawat dan melindunginya. Peristiwa lain yang membuat Tarni panik adalah ketika Butet secara tidak sengaja tersiram air panas dari termos. Untung dia diizinkan untuk membawanya ke klinik, tentu saja dengan pengawalan. Awal tahun 1967 sekitar pertengahan Januari, Operasi Kalong yang dipimpin Kapten Suroso mendapat sukses besar ketika dapat menangkap Brigjen Supardjo, sebagai salah satu pimpinan G30S. Atas keberhasilan itu Kapten Suroso dan anak buahnya mendapat kenaikan pangkat satu tingkat lebih tinggi. Kapten Suroso menjadi Mayor. Dalam pemeriksaan awal, Brigjen Supardjo dikelilingi begitu banyak orang. Tentu mereka ingin melihat dari dekat sosok seorang Supardjo, selain juga untuk memberi tekanan psikologis agar dia mau mengaku terus terang.
6
Tidak lama setelah penangkapan Brigjen Supardjo. Tarni dan anak-anaknya dilepaskan dari tahanan Kodim. Sutarwo, kakak kandung Tarni mau menjamin dan menanggung mereka. Pembebasan ini tidak terlepas dari usaha Sutarwo, yang berhasil menemui Ibu Tien Suharto di kediamannya agar diberi izin untuk membawa pulang Tarni beserta anak-anaknya ke Solo, Jawa Tengah. Antara ayah Tarni, Soemosutargiyo dan ayah Tien Suharto, Soemoharyomo masih ada pertalian keluarga. Mereka adalah saudara sepupu, dari trah keturunan Mangkunegara III. Untuk masyarakat Solo, ikatan kekeluargaan ini masih terbilang sangat dekat. Sayang, politik telah memisahkan ikatan ini, dan mereka harus menempuh jalan sejarah masing-masing. Tarwo, kakak Tarni tinggal di Baturetno, yaitu kota kecamatan yang terletak antara Kota Solo dan Pacitan. Tepatnya di sebelah selatan Wonogiri. Tarwo bekerja di Pabrik Gula Tasikmadu, di Karanganyar, Surakarta. Sebagai ‘Sinder Gamping’ dia menempati rumah dinas yang cukup besar dan luas. Tugasnya adalah menyuplai batu gamping dari pegunungan kapur di Selomarto, sebelah selatan Baturetno ke pabrik gula dengan menggunakan kereta api. Batu-batu gamping diangkut dari Selomarto dengan truk ke stasiun yang ada di Baturetno, kemudian dipindahkan ke dalam gerbong-gerbong barang yang biasanya dipergunakan untuk mengangkut hewan ternak. Tapi jalur kereta api itu sekarang sudah lenyap termakan waduk Gajah Mungkur. Tentu saja kedatangan Tarni dan anak-anaknya di Baturetno, segera menarik perhatian masyarakat sekitar. Di kota sekecil itu, kedatangan warga baru sangat mudah untuk dikenali. Apalagi Tarni membawa anak yang masih kecil-kecil, dan mereka tidak berkomunikasi dalam bahasa Jawa. Tapi tentu saja kedudukan Tarwo sebagai Sinder Gamping membuat warga setempat segan untuk membahasnya. Sepertinya banyak juga tokoh masyarakat yang mafhum, siapa sebenarnya mereka itu. Yaitu keluarga yang terimbas dampak dari peristiwa 1 Oktober 1965. Pakde Tarwo, demikian anak-anak Tarni memanggilnya, mempunyai sembilan orang anak. Tiga laki-laki dan enam anak perempuan. Ditambah dengan saudara dan keponakan. Jadilah keluarga ini keluarga besar. Belum lagi dengan datangnya tujuh penghuni baru. Sungguh ramai dan meriah. Namun walaupun Tarwo boleh dibilang cukup mampu, waktu itu adalah masa-masa yang sulit. Ekonomi secara umum masih kacau balau. Di banyak tempat orang harus mengantri untuk mendapatkan beras dan minyak tanah. Bagaimanapun, semua orang kala itu harus bisa dan mau berhemat. Tidak terkecuali Tarwo dan keluarga besarnya. Svet, Wawang dan adik-adiknya juga diajarkan untuk hidup prihatin. Pagi hari mereka biasanya makan bubur beras atau bubur meniran. Menir yaitu pecahan butiran beras yang cukup halus, Harganya jauh lebih murah dibandingkan beras. Kadang untuk sarapan pagi, anak-anak cukup makan getuk dari singkong. Getuk dimakan pakai gula merah atau kecap. Siang hari menunya nasi jagung atau nasi tiwul, dimakan dengan sayur lombok yang pedas plus tempe kampung yang gurih. Karena Baturetno termasuk wilayah pedesaan, kalau hanya untuk sekedar lauk pauk, tidaklah terlalu menjadi masalah. Penduduk setempat masih dapat mengandalkan hasil kebunnya. Di halaman rumah Tarwo yang luas, terdapat berbagai macam tanaman. Ada pohon kelapa, pohon turi, petai cina, pepaya, pisang, singkong, cabe rawit, tomat dan lain-
7
lain. Di halaman belakang juga dipelihara kambing, ayam, bebek dan angsa. Ada juga kolam ikan mas. Selain itu sayur mayur juga dapat dibeli di pasar dengan harga yang murah. Di rumah Pakde Tarwo, Svet dan adik-adiknya beserta saudara sepupu-sepupunya, biasa bermain di halaman depan yang luas. Yang perempuan biasa bermain masak-masakan, pasar-pasaran, bola bekel dan congklak. Anak laki-laki suka bermain layangan, kelereng, kartu, gambaran dan bentik. Bersama-sama mereka juga suka main kasti, gobak-sodor dan main egrang. Mereka berkomunikasi dengan bahasa campuran, Jawa dan Indonesia. Kalau tidak saling mengerti, mereka tertawa bersama karena merasa lucu. Rumah Tarwo bersebelahan dengan Sekolah Dasar (SD). Svet dan Wawang disekolahkan di situ. Svet masuk kelas 5, Wawang kelas 3 dan Risa masuk kelas 1. Segera saja mereka menjadi perhatian bagi para guru dan juga murid-murid yang lain. Pelajaran bahasa Jawa berikut kesenian dan sastra Jawa merupakan hal baru bagi mereka. Belum lagi menulis huruf Jawa, alfabetnya berbunyi ho no co ro ko dan seterusnya. Cukup sulit. Bahasa Jawa mempunyai 7 tingkatan. Tetapi secara garis besar dikenal hanya 3 tingkat saja, yaitu ngoko (kasar, akrab), krama lugu (halus) dan krama inggil (halus sekali). Dalam bahasa Jawa, ada yang unik. Misalnya setiap bunga dari tanaman buah, ada namanya masing-masing. Begitu juga anak binatang, mempunyai sebutannya sendiri-sendiri. Anak kebo disebut gudhel, anak cecak itu sawiyah, anak ayam sebutannya kuthuk, anak anjing namanya kirik dan lain sebagainya. Dalam pelajaran kesenian, diajarkan juga tembang Jawa, tembang mocopat, yaitu tembang klasik warisan wali songo dan para raja jawa. Ada 12 macam tembang, seperti pucung, dandang gulo, pangkur, mijil, megatruh, kinanti dll. Walaupun Svet dan Wawang lahir di Jakarta, tapi mereka cukup mengenal kesenian Jawa. Alunan gamelan, wayang kulit, wayang orang, ludruk, ketoprak, bukanlah sesuatu yang asing. Tentulah peran Nyoto sebagai ayah dan penggiat LEKRA sangat nyata dalam mengenalkan seni dan budaya Nusantara kepada anak-anaknya. Dulu, Nyoto punya koleksi piringan hitam yang cukup banyak. Selain koleksi lagu-lagu nasional, klasik, simfoni, jazz dan populer, dia juga punya banyak lagu-lagu kroncong dan koleksi kesenian tradisional Jawa, seperti klenengan, wayang orang dan ludruk. Wawang bercerita, bahwa masa-masa sekolah di Baturetno sungguh sangat meninggalkan kenangan yang indah. Pelajaran prakarya misalnya, memberikan ketrampilan khas sekolah pedesaan. Dia diajari membuat berbagai kerajinan seperti keset, sapu ijuk, sapu lidi, kemoceng, membuat asbak dari batu kapur. Juga macam-macam kerajinan berbahan dasar kayu, tempurung kelapa, bambu, benalu, pelepah kelapa, akar pohon, bulu ayam dan lainlain. Hal yang paling diingat adalah menggambar dan membuat wayang kulit dari kertas karton, lengkap dengan cara memahat dan mewarnainya. Kegiatan lain khas pedesaan yang juga dialami adalah mencari rumput, mencari kayu bakar, angon bebek, angon kambing. Kadangkala ikut teman-temannya berjalan menyusuri rel kereta dan mandi di kali. Pertunjukan wayang kulit semalam suntuk juga tidak dilewatkan, nontonnya pakai sarung supaya tidak digigit nyamuk. Kalau pertunjukan ketoprak biasanya cuma bisa ngintip dari celah-celah dinding karena mereka tidak bisa beli karcisnya.
8
Setahun kemudian, 1968, Timur datang dari Jakarta. Tarni sangat lega. Anak ketiganya itu dapat berkumpul kembali dalam keadaan sehat. Tapi kemudian Timur tidak sekolah di Baturetno, melainkan ikut budenya di Solo. Sutarminah Djusen adalah kakak Tarni yang nomer tiga. Tarwo anak nomer tujuh, sedangkan Tarni sendiri nomer 8 dari 12 bersaudara. Timur sekolah di SD Tegalharjo yang tidak jauh letaknya dari rumah budenya. Rumah budenya besar sekali. Itu karena suaminya, Djusen, adalah seorang arsitek dan juga pemborong. Dia antara lain ikut membangun kampus Universitas Gajah Mada Yogyakarta, asrama Daksinapati Universitas Indonesia dan terakhir gedung kampus Institut Seni Tari Surakarta. Di tahun 1969, Svet dan Wawang akhirnya juga ikut Pakde Djusen di Solo. Svet sudah tamat SD, dia melanjutkan sekolah di SMP Negeri III Solo. Dia satu kelas dengan Rita, anak keempat Pakde Tarwo. Wawang masuk kelas 5 di sekolah yang sama dengan Timur, SD Tegalharjo. Sementara adik-adik perempuannya tetap tinggal di Baturetno. Masa-masa di Solo bagi Wawang dan Timur juga banyak mengukir kenangan. Seluruh sudut kota pernah mereka jelajahi. Taman Sriwedari, Stasiun Balapan, Balekambang, Tirtonadi, Taman Jurug, Jebres, Pasar Gede, Gladag, Kraton Solo, Pasar Klewer, Istana Mangkunegaran, Triwindu, Keprabon, Singosaren, Widuran, Lapangan Manahan, Laweyan, Banjarsari. Nama-nama tempat tersebut masih mereka ingat. Saat itu band Koes Plus sedang naik daun, kemudian diikuti oleh band-band lain seperti Mercy’s, Panbers dan Favourite Group. Sementara penyanyi dari Solo yang terkenal adalah Titik Sandhora dan tentu saja Waljinah. Seiring dengan itu, banyak bermunculan geng-geng remaja. Mereka sering bikin ulah. Tawuran, keroyokan, bolos sekolah, corat-coret, kebutkebutan, pergaulan bebas, begadang dan mabuk-mabukan, menjadi ritual sehari-hari bagi mereka. Pada saat itulah muncul istilah-istilah seperti madesu (masa depan suram), lapendos (laki-laki penuh dosa), balola (barisan lontang-lantung) dan banyak lagi. Sebagai tandingannya muncul berbagai perguruan bela-diri dengan berbagai aliran. Ada perguruan karate, pencak silat, kungfu dll. Tapi di tahun itu pula Pakde Djusen meninggal dunia, karena sakit yang sudah lama dideritanya. Anak perempuan satu-satunya tidak sempat menyaksikan pada saat-saat terakhir hidupnya. Dia ikut suaminya yang bekerja di Pekanbaru, Riau. Banyak sekali orang yang melayat pada saat prosesi pemakamannya. Di kemudian hari, banyak timbul masalah terhadap perusahaan yang ditinggalkannya. Mengenai kepemilikan, kepemimpinan, pengelolaan, dan juga terhadap asset-aset perusahaan yang begitu banyak. Bude Djusen sendiri tidak mau terlibat dalam urusan itu, dia serahkan semua kepada saudara-saudara dari mendiang suaminya. Kemudian, masih ditahun 1969, datanglah peristiwa yang menyakitkan itu. Tarni ditangkap oleh tentara, karena ditengarai melakukan pertemuan gelap dengan sisa-sisa orang komunis. Padahal apa yang dituduhkan itu, adalah pada saat Tarni menghadiri pesta perkawinan keponakannya di Solo. Rupanya komandan Korem yang baru ingin mencari nama. Jadi dicari-carilah alasan agar dia bisa menciduk Tarni untuk diproses lebih lanjut. Tarni dibawa ke Solo, dengan membawa anak bungsunya, Butet. Dia tidak mau melepas dan meninggalkannya, karena Butet masih terlalu kecil. Hal ini juga disengaja oleh Tarni, karena
9
dengan demikian pihak tentara tidak akan dapat bertindak semena-mena kalau ada anak kecil dalam dekapannya. Tarni ditahan dan diperiksa di Balaikota Surakarta. Dia tidak mau mengakui dan tetap menyangkal bahwa pernah mengadakan pertemuan atau rapat gelap dengan orang-orang partai komunis. Pertanyaan-pertanyaan lain banyak dijawab dengan ‘tidak tahu’ atau lupa. Tapi itu memang sebenarnya. Tarni tidak pernah aktif di partai, di organisasi ataupun di Gerwani. Dia betul-betul seorang ibu rumah tangga yang sangat memperhatikan keluarganya. Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa Tarni mengenal banyak orang dan tokohtokoh partai. Itu karena mereka semua adalah kolega suaminya. Tidak lama kemudian, Tarni dipindah dari Balaikota Surakarta ke Rumah Tahanan Wanita di Bulu, Semarang. Butet juga tetap ikut ibunya. Di sana Butet kecil menjadi kesayangan semua orang. Baik tahanan wanita maupun sipirsipirnya. Dia menjadi pelipur lara dan sungguh dapat menghibur ibu-ibu di dalam penjara tersebut. Kalau ada keluarga yang datang menjenguk tahanan, Butet selalu diberi macammacam makanan. Baik berupa kue-kue, roti atau lauk pauk. Untung selama di dalam penjara, Butet tidak pernah rewel. Dia suka bertanya, kenapa banyak ibu-ibu di penjara. Dia juga ingat pada kakak-kakak perempuannya. Kakak-kakaknya tidak ada yang datang menjenguknya. Pak Di, adik bungsu ibunya beberapa kali datang menjenguk. Bude Djusen, dan Pakde Tarwo hanya sekali saja menjenguk ke Semarang. Di dalam tahanan, Tarni selalu ingat akan anak-anaknya yang lain. Dia sangat sedih karena dipaksa berpisah dengan mereka. Gonjang-ganjing politik dan militer telah mengubah jalan hidupnya dan juga keluarganya. Tapi dia berharap anak-anaknya semua aman dalam lindungan saudara-saudaranya. Pengorbanan saudara-saudaranya sungguh luar biasa, padahal mereka semua juga pernah diperiksa dan ditahan untuk beberapa saat. Tentu saja dalam kaitan hubungan persaudaraan dengan seorang Nyoto. Mereka tetap tulus ikhlas mendukung dan memberi bantuan. Sebisanya, semampunya. Memang begitulah seharusnya. Tidak seperti tahanan wanita yang lain. Selama di dalam penjara, Tarni selalu diperlakukan dengan baik. Para penjaga penjara juga menaruh hormat kepadanya. Tetapi ada juga diantara sipir-sipir itu yang punya sifat judes, bawel, ketus atau sok galak. Ya namanya juga manusia. Bisalah dimaklumi. Untuk mengusir rasa jenuh, para tahanan wanita diberi berbagai macam kegiatan. Ada senam kesehatan jasmani, badminton dan juga pingpong. Kemudian ada kegiatan jahit menjahit, menyulam, merenda dan merajut. Hasilnya adalah beraneka ragam kerajinan tangan ‘made in’ penjara Bulu. Tanpa terasa, tahun berganti. Awal tahun 1970. Tarni mendapat kabar bahwa ketiga anaknya yang di Baturetno, Risa, Irina dan Atun disatukan dengan ketiga anaknya yang di Solo. Tanpa kehadiran seorang ibu dan berpisah dengan kakak-kakaknya, tentu tidak baik bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa mereka. Svet dan adik-adiknya aman dalam asuhan budenya yang sekarang hidup sendiri. Keberadaan mereka menghangatkan rumah yang besar itu. Selain mereka ada ‘Wo Wiro’ seorang kerabat, seorang pembantu, Mbok Nem namanya dan sopir Bude Djusen, Kasimanto.
10
Sepeninggal Pakde Djusen, kesehatan Bude juga menurun. Perutnya membesar dan rasanya seperti ditusuk-tusuk benda tajam. Sudah ke dokter dan juga periksa ke rumah sakit, tapi sakitnya tak kunjung berkurang. Suatu ketika, atas saran seseorang yang masih keluarga, Bude Djusen berikhtiar dengan mendatangi orang pintar di Purwodadi. Dari hasil penerawangan orang pintar tersebut, ternyata Bude terkena teluh yang salah sasaran. Sebenarnya bukan dia yang dituju, tetapi karena kondisi kesehatan sedang tidak baik dan juga banyak pikiran, teluh itu masuk ke dalam tubuhnya. Sepulangnya dari Purwodadi, dimulailah ritual penyembuhan. Setiap pagi Wawang dan Timur disuruh membeli sebutir telur ayam kampung di pasar Gilingan dekat rumah. Telur itu dioleskan ke seluruh bagian tubuh Bude Djusen, setelah itu telur dipecahkan. Aneh bin ajaib! Di bagian tengah kuning telur, terdapat sebuah jarum jahit yang sudah berkarat. Hal itu dilakukan selama 40 hari berturut-turut. Sebanyak itu pula jarum yang ditemukan di dalam perut Bude Djusen. Setelah itu kesehatan Bude Djusen berangsur-angsur membaik, walaupun tidak pulih seperti semula. Kondisi kesehatan Bude Djusen dikhawatirkan oleh anak perempuannya, Isnaeni. Untuk dapat merawat ibunya itu, Isnaeni membawanya ke Pekanbaru. Suami Isnaeni bekerja di Caltex, sehingga fasilitas untuk pengobatan lebih baik dan lengkap. Selain itu Isnaeni punya dua anak lelaki masing-masing berumur 5 dan 4 tahun. Tentu mereka akan senang dekat dengan eyangnya. Bude Djusen menyerahkan pengawasan rumah dan anak-anak Tarni, kepada Tardi adik bungsunya. Tardi dan keluarganya tinggal di daerah Jebres, yaitu di sebelah timur dari kota Solo. Untuk memenuhi permintaan itu, keluarga Tardi pindah ke rumah kakaknya tersebut. Tardi juga mempunyai banyak anak, ketika itu sudah ada 6 orang. Anaknya yang besar lakilaki, namanya Heru, usianya 12 tahun sebaya dengan Timur. Begitulah. Rumah besar itu sekarang ramai dengan anak-anak. Mereka hidup bersama dengan rukun, walaupun kadangkala juga diselingi dengan sedikit pertengkaran dan perselisihan. Anak-anak memang begitu bukan? Secara umum, kondisi ekonomi ketika itu masih belum juga stabil. Rakyat masih harus hidup prihatin. Di kota Solo, membeli beraspun harus diantri. Demikian juga dengan minyak tanah. Beberapa kali ada pembagian bulgur dari Pemerintah setempat. Rasanya tidak enak. Banyak yang lebih suka makan nasi jagung. Kehidupan di kota lebih sulit dibandingkan dengan penduduk desa seperti di Baturetno, misalnya. Yang penduduknya bisa mengandalkan hasil bercocok tanam untuk ketahanan pangan mereka. Sudahpun demikian, keadaan ini diperparah dengan adanya undian berhadiah yang beredar secara nasional. Namanya Nasional Lotere, disingkat NALO. Entah siapa pula yang punya ide gila seperti itu! Rakyat disuruh hidup hanya dengan harapan tok! NALO benar-benar telah memporak-porandakan tatanan kehidupan masyarakat. Semua orang tergila-gila pada judi tersebut. Tidak terbatas pada bapak-bapak saja, ibu rumah tanggapun jadi pecandu setia. Dari pejabat hingga tukang becak, dari petani sampai mahasiswa, semua jadi penjudi. Banyak bermunculan peramal dadakan, gelarnya dukun atau paranormal. Banyak rumah tangga berantakan, harta benda melayang bersama impian. Banyak juga yang beralih jadi bandar judi kecil-kecilan, mereka menjajakan buntutan yaitu
11
angka terakhir dari Nalo, bisa 2, 3 atau 4 angka terakhir. Nalo diundi tiap seminggu sekali. Begitulah. Rakyat miskin dibuat tambah miskin. Menjelang akhir tahun 1970 Wawang sibuk belajar mempersiapkan ujian SD. Ada tiga mata pelajaran yang diuji secara nasional, yaitu Bahasa Indonesia, berhitung dan Ilmu Pengetahuan Umum. Dia belajar bersama kelompoknya, terdiri dari lima orang. Setiap hari mereka belajar bergiliran dari satu rumah ke rumah lainnya. Akhirnya waktu ujianpun tiba. Ujian diadakan di sekolah lain. Memang sistemnya mengharuskan begitu. Ternyata perjuangan Wawang tidak sia-sia, hasil ujiannya bagus. Masing-masing pelajaran mendapat nilai 10. Dia berharap hasil itu membuat Bude Djusen merasa senang. Bude yang telah merawat dan menyekolahkannya. Oleh Tarwo, Wawang dimasukkan ke SMP Negeri III Surakarta. Tarwo berteman baik dengan kepala sekolahnya, Maryadi. Semua anak Tarwo juga bersekolah di SMP tersebut. Entah kenapa banyak putra putri dari Kraton Surakarta yang juga sekolah di SMP Negeri III. Mereka adalah anak-anak dari Paku Buwana XII. Salah satunya adalah Tedjowulan, teman sekelas Svet, sekarang beliau bertahta sebagai Paku Buwana XIII, menggantikan ayahnya yang telah wafat. Sementara anak PB XII yang lain, Suryo dan Bandono menjadi teman seangkatan Wawang. Waktu terus berjalan. Beban keuangan Bude Djusen makin hari juga semakin berat. Rumahnya yang besar, ternyata juga membutuhkan dana tidak sedikit. Biaya listrik, air, pajak dan perawatan lumayan juga besarnya. Belum lagi untuk makan dan biaya sekolah semua keponakannya itu. Dia tidak punya penghasilan lain selain tabungan peninggalan mendiang suaminya. Untuk mengurangi beban yang berat itu, maka atas persetujuan anak kesayangannya, rumah di jalan Wolter Mongisidi itu diputuskan untuk dijual. Opsi pertama diberikan kepada dr. Kwik, tetangga sebelah rumah. Memang dr. Kwik pernah berpesan, kalau saja Bu Djusen berniat menjual rumah tersebut, maka dia akan membelinya. Rencananya rumah itu akan dijadikan rumah sakit. Dari hasil penjualan rumah itu, Bude Djusen membeli rumah sederhana di Jalan Madyotaman, tidak jauh dari Pabrik Batik Semar. Rumah itu mempunyai ruang tamu merangkap ruang keluarga, 5 kamar tidur, kamar mandi, wc, tempat cuci serta dapur. Wawang dan adik-adiknya pindah dan tinggal di rumah itu. Di Madyotaman, sebagai sesepuhnya adalah ‘Wo Wiro’, kerabat dari eyangnya. Selain itu ada Utiek, kakak sepupu Wawang dan Kasimanto, supir Bude Djusen yang ikut tinggal di sana. Tardi dan keluarganya kembali ke rumahnya di Jebres. Ketika itu Svet sudah lulus SMP, kemudian melanjutkan SMA-nya di Jakarta. Dia ikut tantenya, Tari, di Perumahan Pabrik Bakri Brothers, Mampang Prapatan. Di waktu senggang, Wawang dan Timur sering pergi ke persewaan buku. Wawang suka cerita silat berlatar sejarah dari SH. Mintardja judulnya Nagasasra Sabuk Inten dan serial Api di Bukit Menoreh. Sedangkan Timur senang meminjam komik-komik yang sedang populer, seperti Si Buta dari Goa Hantu, Laba-laba Merah dan sebagainya. Mereka berdua juga sering main badminton atau main bola. Ada yang punya lapangan badminton di dekat rumah.
12
Kalau malam mereka berdua suka nonton televisi di rumah tetangga. Film yang paling disenangi yaitu serial Mission Imposible. Episode Madyotaman inipun tidak berjalan lama. Hanya setahun lebih. Rumah itupun terpaksa harus dijual juga. Bude Djusen perlu uang untuk membantu anaknya membangun rumah di Pasar Minggu, Jakarta. Menantunya Bambang, keluar dari Caltex dan pindah ke Pertamina Pusat di Jakarta. Karena kondisi ekonomi yang sulit, tidak ada keluarga di Solo yang mampu menampung kelima anak Tarni sekaligus. Mereka akhirnya harus berpisah tempat. Situasi yang tidak mereka inginkan, tapi harus diterima. Wawang ikut bude Wignjo, sepupu dari Nyoto. Timur ikut mas Wahyudi saudara sepupu yang tinggal di komplek AURI Panasan. Sedangkan Risa, Irina dan Atun ikut pak Tarso, adik Tarni nomer sebelas di Kadipiro, Utara Solo. Baru beberapa bulan saja berjalan, Wawang dan Irina dibawa ke Jakarta, ke rumah Tari. Di sana telah menunggu Bude Tarko yang akan membawa mereka berdua ke Sumatera. Tarko adalah kakak Tarni nomer lima. Dia sudah lama bekerja dan tinggal di Sumatera. Tarko tinggal di Kayuagung, ibukota kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Letaknya di sebelah selatan Kota Palembang. Dia punya tiga orang anak, Pebsi, Oki dan yang kecil Novi. Mereka berkomunikasi dalam Bahasa Palembang. Banyak sekali kata-kata yang asing bagi Wawang dan Irina. Logatnyapun terdengar agak aneh. Untuk amannya, Wawang dan Irina menggunakan bahasa Indonesia saja. Di Sumatera, penggunaan bahasa Indonesia lebih umum, karena di sana pada dasarnya mereka terbiasa menggunakan bahasa Melayu. Tapi masih ada lagi yang menarik. Ternyata Kayuagung juga mempunyai bahasa sendiri. Itupun masih terbagi dalam dua versi. Antara Kayuagung kota dengan Kayuagung asli, yaitu kampung yang terletak di seberang sungai Komering, mempunyai bahasa yang berlainan. Demikian juga dengan daerah-daerah yang berdekatan, mereka mempunyai bahasa sendirisendiri. Sebagai bahasa persatuan, digunakanlah bahasa Palembang. Itulah salah satu kekayaan Indonesia yang tak ternilai harganya. Pakde Tarko, demikian Wawang menyebutnya, menempati rumah khas Sumatera, yaitu rumah panggung dari kayu. Ukurannya kira-kira 6 x 11 meter. Tiang-tiang penyangganya banyak, berdiri di atas umpakan batu. Tinggi lantai rumah dari tanah sekitar tiga meter. Rumah itu hanya mempunyai dua kamar tidur, satu ruang makan serta dapur di bagian belakang. Kamar mandi terletak di bawah dapur, sedangkan sumur dan wc terletak terpisah di belakang rumah. Di bawah rumah, di bagian depan ada meja pingpong. Di bagian tengah digunakan untuk kandang ayam dan menumpuk kayu bakar. Setiap hari di rumah pakdenya, Irina mempunyai tugas bersih-bersih rumah dan membantu mencuci pakaian dan memasak air. Wawang tugasnya banyak. Pagi-pagi sekali belanja ke pasar. Sepulang sekolah mengantar rantang makanan ke tempat kerja Pakde Tarko di SPBU. Kemudian mengurus ayam piaraan yang lumayan banyak, ada ayam leghorn, red brown dan juga australop. Sore hari menyetrika pakaian dengan setrika arang. Hari minggu adalah hari berkebun, yang ditanam singkong, ubi, pisang, nanas, pare, dan kacang kapri.
13
Masakan Sumatera kebanyakan menggunakan santan, kunyit dan cabai. Lauk sehari-hari biasanya ikan sungai. Ikannya berganti-ganti karena banyak sekali macamnya. Ada ikan baung, betok, belida, lele, sepat, layur dan lain lain. Di Kayuagung penganan yang banyak dijajakan adalah empek-empek, kerupuk kemplang, goreng pisang dan es kacang merah. Tiap daerah memang punya kesenangan yang berbeda. Di Solo yang terkenal nasi liwet dan pecel, Jogja dengan gudeg dan bakpia, Bandung sudah pasti siomay dan peuyeumnya, di Jakarta apalagi kalau bukan nasi uduk dan bakso. Di Kayuagung Wawang tinggal sampai tahun 1976, yaitu sampai tamat dari SMEA Negeri jurusan Tata Buku. Setelah itu dia kembali ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Sedangkan Irina lebih lama lagi. Setelah tamat SD dan SMP kemudian dia menyelesaikan pendidikan terakhirnya di Sekolah Pendidikan Guru. Tamatan SPG nantinya mengajar di sekolah dasar. Banyak sekali pengalaman Wawang dan Irina selama tinggal di Sumatera, paling tidak itulah bekal untuk melanjutkan kehidupannya kelak. Kembali ke Solo. Setamat dari SMP tahun 1974, Timur dan adiknya Atun diambil oleh tantenya yang di Medan. Tante Henny demikian Timur memanggilnya, adalah adik bungsu Nyoto. Dia menikah dengan seorang dokter gigi bermarga Sitorus. Henny dan Hakim, demikian nama suaminya, dulunya bertemu di Surabaya. Hakim adalah alumni Universitas Airlangga, teman sekamar Dokter Gigi Fadli – yang pemain film itu. Henny mempunyai empat orang anak, dua laki-laki dan dua perempuan. Keempat anak Henny waktu itu masih kecil-kecil, mereka jadi momongan Timur dan Atun. Sebagai dokter gigi, keluarga Hakim boleh dibilang hidup berkecukupan. Pasien dan pelanggannya banyak. Rumahnya juga besar. Tapi di kemudian hari karirnya agak nyleneh. Dia menjabat sebagai Ketua Badan Koordinasi Keluarga Berencana di Tebing Tinggi, Sumatera Utara. Dilanjutkan dengan jabatan politik sebagai Ketua DPRD Tebing Tinggi. Entah apa hubungannya antara dokter gigi dengan keluarga berencana. Tapi ya inilah Indonesia, apa saja mungkin terjadi. Coba kalau ada yang tahu kalau dia iparnya Nyoto! Timur melanjutkan sekolahnya di STM jurusan otomotif. Padahal waktu SD dan SMP bakat seninya lebih dominan. Dia pintar menggambar dan melukis. Tulisannya bagus. Di SMP Negeri III Solo, dia membuat lukisan dekoratif di gentong-gentong dan payung kertas sebagai hiasan sekolah. Dia juga membuat peta timbul dari kertas koran, dan melukis wajahwajah para pahlawan. Di rumah Oom Hakim, begitu dia memanggil pamannya, dia membantu di klinik gigi mendaftar pasien. Timur juga diajari cara membuat atau mencetak gigi palsu. Sayangnya Timur ini irit bicara. Sulit sekali mengorek kisah perjalanan hidupnya. Sepertinya ada sepenggalan sejarah yang ingin dilewatkannya. Timur temannya banyak. Dia cerdas dan pintar, maka tak heran teman-temannya menyukainya. Ketawanya mirip sekali dengan bapaknya. Selera musiknya bagus, tapi tidak seperti bapaknya, dia tidak bisa memainkan alat musik apapun. Koleksinya musik klasik, jazz, pop progresif, fusion dan lain lain. Dia tidak suka politik, tapi pecandu bola seperti juga Nyoto. Beruntung, waktu Timur masuk STM, otomotif adalah jurusan yang masih baru. Tamatannya banyak diminati perusahaan-perusahaan. Timur tamat pada tahun 1977, dan segera saja dia
14
diterima di perusahaan alat-alat berat Trakindo, di Medan. Berulangkali dia dikirim untuk ikut pelatihan di Trakindo pusat di Jakarta. Kesempatan baik dan juga berkah bagi dia. Timur bisa bertemu dengan saudaranya, Svet, Wawang dan Risa di Jakarta. Dari Medan, Timur dipindah ke Lhokseumawe, Aceh Utara. Banyak perusahaan besar di sana yang membutuhkan alat-alat berat. Atun, anak Tarni yang nomer enam, jaraknya terpaut enam tahun dengan Timur. Setelah tamat SMP dia melanjutkan sekolahnya di sekolah perawat jurusan pembantu rawat gigi. Diharapkan, setelah selesai sekolahnya dia bisa membantu Oomnya yang dokter gigi. Seharihari, dia membantu tantenya menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dan juga momong adik-adik sepupunya. Timur dan Atun, seperti juga keluarga Oomnya, berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan logat Medan yang kental. Tapi mereka tidak bisa bahasa Batak, hanya tahu satu dua kata saja. Hanya Timur dan Atunlah anak Tarni yang dirawat oleh keluarga dari Nyoto. Yang lainnya semua ikut keluarga dari Tarni sendiri. Hal tersebut karena Nyoto cuma tiga bersaudara, lain dengan Tarni yang dari keluarga besar. Bagaimanapun Tarni merasa tenang, tidak satupun anak-anaknya yang terlantar. Mereka semua dirawat dengan baik, disekolahkan dengan baik, oleh saudara-saudaranya sendiri. Bukan oleh orang lain. Tidak seperti dirinya yang dirawat oleh Negara, atau Nyoto yang dibina-(sakan) oleh tentara! Risa, anak Tarni nomer empat, sejak berpisah dengan Irina dan Atun kemudian ikut keluarga Isnaeni, anak tunggal Bude Djusen di Jakarta. Tidak seperti saudaranya yang lain, sekolahnya terputus di tengah jalan. Sepertinya berpisah dengan ibu dan saudara-saudaranya yang lain, menjadi beban psikologis bagi dia. Walaupun terbilang bertubuh mungil, Risa cekatan dalam hal pekerjaan-pekerjaan perempuan. Dia mewarisi kepandaian ibunya, pintar memasak, membuat kue, menjahit, merias serta menata rambut. Dari Isnaeni, Risa belajar menata rumah, mendekorasi ruangan dan merangkai bunga. Hanya saja Risa mempunyai kekurangan dalam hal kesehatan. Dia menderita maag akut dan juga sering pusing-pusing. Begitulah, kepandaian tidak hanya bisa diperoleh di bangku sekolah saja, belajar melalui media yang lain juga bisa sangat berguna dalam mengarungi kehidupan. Banyak bertanya, belajar, membaca, melihat, mendengar, mengingat, mencoba, dan mempraktikkan segala hal, sungguh suatu usaha yang patut untuk diikuti. Hampir dua tahun di rumah tahanan Bulu Semarang, tahun 1971 Tarni dipindah ke rumah tahanan Bukit Duri, Jakarta. Butet, anak bungsu Tarni, tidak selamanya boleh menemani ibunya di dalam penjara. Dia harus diserahkan kepada orang yang mau mengasuhnya, usianya sudah 5 tahun. Itulah batasan usia bagi seorang anak boleh berada dalam asuhan ibunya di penjara. Tentu saja Tarni sedih sekali. Kini dia benar-benar terpisah dengan ketujuh anaknya. Ibu mana yang tidak sedih, yang tidak merana, memikirkan semua anaknya harus kehilangan kasih sayang kedua orang tuanya. Butet diambil oleh Tari, adik Tarni yang tinggal di Jakarta, sebelum akhirnya diadopsi oleh adik Tarni yang lain, Tarti. Tarti adalah adik Tarni persis, dia adik nomer sembilan, Tari nomer sepuluh. Suami Tarti, Heryono, adalah kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika tinggal di Ronodigdayan Yogjakarta. Butet dimasukkan ke sekolah Taman Kanak-
15
kanak. Sejak saat itu dia dipanggil dengan nama Tetty, diambil dari namanya Esti Dayati. Heryono mempunyai dua orang anak, satu perempuan dan satu laki-laki. Esti sangat disayangi oleh seluruh keluarga. Hingga mencapai usia dewasa Tetty tetap tinggal di Yogjakarta. Dari TK sampai perguruan tinggi dihabiskannya di Kota Gudeg itu. Tarti, ibu angkat Tetty meninggal dunia tahun 1983 ketika dia masih duduk di bangku SMA, sementara ayah angkatnya meninggal tahun 1988 waktu Tetty sudah menginjak masa akhir perkuliahannya. Dia meraih gelar sarjana ekonomi jurusan Studi Ekonomi Pembangunan dari Universitas Gajah Mada. Tetty satu-satunya anak Nyoto yang bisa mencapai strata S1. Di Bukit Duri Tarni kerapkali dijenguk oleh Tari, adiknya. Biasanya Tari membawakan makanan, lauk kering dan kecap. Kemudian ketika Svet pindah ke Jakarta, dia juga bisa menjenguk ibunya. Untuk dapat menjenguk tahanan politik ketika itu, tidaklah mudah. Harus ada surat pengantar dari kelurahan, dan ijin khusus dari CPM Guntur Jakarta. Itupun kadang harus berulangkali datang, baru izin diberikan. Berturut-turut Risa dan Wawang juga berkesempatan menjenguk ibunya di dalam tahanan. Cukup lama juga Tarni ditahan di Bukit Duri. Sampai akhirnya pada tahun 1977, dia lupa bulan apa ketika itu, dipindah lagi ke Jawa Tengah tepatnya ke Plantungan, Sukorejo. Sebanyak tiga bis tahanan wanita dibawa dari Jakarta untuk diasingkan di Plantungan. Entah atas pertimbangan apa, ibu-ibu itu harus dipindahkan ke sana. Apakah mereka sangat membahayakan Negara, atau hanya dianggap sebagai sampah masyarakat saja, sehingga setelah belasan tahun sejak peristiwa ’65 mereka tetap harus dihukum dalam penjara, tanpa proses hukum, tanpa putusan pengadilan. Plantungan adalah bekas rumah sakit kusta di zaman penjajahan Belanda. Letaknya di dasar lembah, di pinggir aliran sungai dengan batu besar-besar. Waktu Tarni masuk ke sana, keadaannya bisa dibilang sudah baik dan teratur. Berbeda dengan mereka yang datang ke sana pertamakali dulu, kondisinya sangat buruk, seperti hutan, penuh semak belukar dan menyeramkan. Rumah-rumah tahanan sangat lembab, kotor dan bau. Banyak sarang ular di sana. Ibu-ibu kloter (kelompok terpidana) pertama harus berjuang ekstra keras untuk dapat mendiami tempat tersebut hingga aman dan manusiawi. Kepindahan Tarni sangat mendadak dan tanpa pemberitahuan apapun. Keluarga kehilangan jejak. Setelah tanya sana-sini, hanya didapat nama lokasinya saja, Plantungan. Entah di mana pula letaknya, tidak ada yang tahu. Wawang diutus oleh Tari untuk bisa menemukan tempat ibunya dibuang tentara. Tidak mudah perjalanan untuk bisa sampai ke Plantungan. Dari Jakarta, Wawang ke Solo dulu untuk mengajak saudaranya melacak tempat yang bernama Plantungan itu. Dari Solo mereka berangkat ke Semarang. Dari Kota Semarang, kemudian dilanjutkan lagi menuju Kendal. Perjalanan belum berakhir. Dari sana mereka harus pindah kendaraan lagi menuju Sukorejo lewat Weleri. Harus menunggu lama sampai ada mobil omprengan yang menuju ke sana. Di Sukorejo masalah timbul karena waktu itu tidak ada kendaraan umum yang menuju Plantungan. Hari sudah menjelang sore, Wawang akhirnya mencarter mobil omprengan agar dapat sampai ke Plantungan. Jauh sekali. Capai sekali. Ongkosnya banyak sekali.
16
Saat di Sukorejo, Wawang dan saudaranya, Mas Wardi, sempat berkenalan dengan seorang petugas perempuan yang kebetulan ingin kembali ke Plantungan tempat di mana dia bertugas. Mbak petugas itu bertanya, “Ke Plantungan ingin ketemu sama siapa?” Wawang menjawab bahwa dia ingin menjenguk ibunya namanya Tarni. Kebetulan mbak itu tahu dan kenal siapa bu Tarni yang dimaksud. Atas jasanyalah Wawang akhirnya diantar dan dapat bertemu dengan ibunya. Pertemuan itu singkat sekali, hanya sekitar setengah jam saja. Tidak sepadan dibandingkan perjalanan setengah hari lebih dari Solo sampai ke Plantungan. Tapi Wawang lega, ibunya kelihatan sehat dan wajahnya bercahaya. Kepada ibunya disampaikan kabar tentang keadaan keluarga baik yang di Jakarta maupun di Solo. Tarni terharu, anaknya jauh-jauh datang untuk mencari tahu keberadaan dan keadaan ibunya. Walaupun sebentar, tapi cukup mengobati kerinduan atas semua keluarga besarnya. Sepertinya rombongan Tarni adalah kelompok terakhir yang dibawa ke Plantungan. Kelompok pertama, dibawa ke sana pada tahun 1971, justru ketika Tarni dipindah dari Bulu Semarang ke Bukit Duri Jakarta. Sebaliknya ketika Tarni tiba di Plantungan, sebagian penghuninya malah sudah dipindah kembali ke Tahanan Bulu Semarang. Dalam bahasa sekarang, itulah yang disebut dengan memaksimalkan dana operasional. Tentara dari waktu kewaktu perilakunya tetap sama saja, tidak pernah berubah! Ternyata Plantungan merupakan persinggahan terakhir. Plantungan menambah panjang dan melengkapi daftar riwayat hidup para tahanan politik perempuan. Tempat terindah yang dihadiahkan oleh rezim Soeharto kepada mereka yang telah memberi jalan untuk lahirnya orde baru. Mereka yang dapat menjadi kambing hitam dan pembenaran atas segala kiprah politiknya. Pertengahan tahun 1978, tahanan perempuan pertama eks Plantungan dibebaskan. Kemudian berturut-turut kelompok lainnya menyusul. Tarni dibebaskan pada akhir tahun 1978, di Salemba Jakarta. Tarni dijemput oleh Tari dan iparnya Sambodo. Keluarga bersyukur. Untuk sementara waktu, Tarni tinggal di rumah adiknya tersebut di Mampang Prapatan. Hanya tiga orang dari tujuh anaknya yang ada di Jakarta. Timur dan Atun masih di Medan. Irina sekolah di Sumatera Selatan dan si bungsu Tetty ikut orang tua angkatnya di Jogja. Perlu adaptasi cukup lama bagi Tarni agar dapat menyesuaikan antara kehidupan dalam tahanan dan kembali hidup normal di tengah-tengah masyarakat. Juga ada halangan psikologis untuk dapat berkomunikasi secara akrab bahkan dengan anak-anaknya sendiri. Dengan bantuan banyak pihak, Tarni mengontrak sebuah rumah kecil di daerah Rawamangun, Jakarta Timur. Dia mengisi hari-harinya dengan menjahit, dibantu oleh Risa yang cekatan. Makin hari makin banyak orang yang menjadi pelanggannya. Hanya saja Tarni cukup terganggu dengan pengapuran pada jari tangan dan lututnya. Dia harus rajin menjalani fisioterapi di rumah sakit dan juga tusuk jarum pada seorang temannya sesama eks tapol. Di rumah itu Tarni berkumpul dengan Svet, Wawang dan Risa. Di kemudian hari setelah tamat sekolah, Irina juga dapat berkumpul kembali dengan ibunya. Dia menjadi guru SD dan mengajar di sekolah dekat rumah.
17
Ada yang agak janggal mengenai penerimaan masyarakat terhadap para eks tahanan politik. Kelompok masyarakat dari umat kristiani dan katolik, dapat menerima mereka dengan tangan terbuka. Sementara umat mayoritas dari agama islam terkesan menjauh dan menjaga jarak. Entah dengan alasan apa. Mungkin ini juga terkait sejarah masa lalu, di mana kelompok ini terlibat langsung dalam gerakan penumpasan G30S. Bukannya merangkul, berdakwah dan memberi pencerahan, melainkan penolakan yang nyata. Hanya ada satu orang islam saja yang mau berkomunikasi serta meminta maaf pada para korban, dia adalah Abdurahman Wahid, Sang Kyai. Politik Soeharto dikemudian hari toh juga masih berlanjut. Isu bahaya laten komunis, sangat manjur untuk menghantam musuh-musuh politiknya. Tapi tanpa malu-malu rezim Soeharto malah meminta kepada para eks tapol untuk memilih Golkar dalam pemilu tahun 1982 agar Soeharto tetap berkuasa. Tarni sebagai eks tapol, pernah pada suatu saat dikumpulkan di kelurahan bersama para pendatang yang tukang becak dan lain-lain. Mereka didaftar dan diberi pengarahan langsung untuk pemenangan pemilu partai kuning. Hebat! Soeharto dan Golkarnya berkolaborasi dengan mereka yang dicap komunis! Opo tumon? Kebahagiaan menyelinap dalam kehidupan Tarni. Svet, anak sulungnya menikah dengan pemuda asal Yogja. Berselang waktu kemudian, Timur menikah dengan seorang gadis yang dikenalnya di Aceh. Keluarga istrinya tidak tahu asal-usul Timur. Lain dengan Wawang, bapak mertuanya seorang militer. Seorang anggota intel di PUSPOM ABRI. Dia tahu persis siapa Nyoto. Tapi toh dia merelakan anak gadisnya menikah dengan anak gembong PKI! Risalina, anak keempat, dapat jodoh seorang pelukis yang juga eks Tapol asal Kroya, Jawa Tengah. Sedangkan Atun menikah dengan teman kerjanya sesama anak Jawa kelahiran Jakarta. Si Bungsu Tetty tentu saja dapat pemuda Yogja, yang anak seorang dokter gigi. Sosok ibu Tarni sekarang adalah wajah seorang nenek dengan segala kerentaannya. Kecantikannya dulu terhapus oleh keriputnya. Jalannya sungguh payah, karena pengapuran puluhan tahun di lututnya. Ingatannya sekarang sudah jauh berkurang. Tapi pengalamannya dalam tahanan, tidak juga dapat dilupakan. Cucunya ada duabelas orang. Svet, Wawang dan Timur masing-masing memberinya dua orang cucu laki-laki. Dari Risa satu cucu laki-laki, Atun memberi dua orang cucu perempuan. Sedangkan Tetty menyumbang tiga orang cucu, satu laki-laki dan dua perempuan. Mereka semua tidak pernah kenal sang kakek, Nyoto. Bahkan sekedar pusaranya! Apa yang dialami Tarni dan keluarganya, tidaklah sedramatis korban-korban lainnya. Yang paling menyakitkan tentu saja hilangnya Nyoto, sang kepala keluarga. Hilangnya sosok ayah yang begitu mencintai keluarganya. Sosok yang sengaja dihilangkan untuk mengaburkan dan mengubur sejarah. Dihilangkan oleh kerabatnya, Sang Penguasa. Agar lahir sejarah baru , agar lahir pahlawan baru. Tapi sejarah tentu saja tidak bisa direkayasa, dia akan memperbaiki dirinya sendiri, dan mengubur para perancangnya. Maha Besar Allah, dengan segenap kasih dan sayangnya.
Pewawancara dan penulis transkrip: Ilham Dayawan Penulis feature: Ilham Dayawan
18