ANALISIS TENTANG PROBLEMATIKA KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI RIAU NO KPTS.34/KPU.PROV.004/VII/2011 TENTANG PEMECATAN KETUA KOMISI PEMILIHAN UMUM KOTA PEKANBARU DENGAN KEPUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA PEKANBARU Oleh: Supriadi ¹), Zahirman ²), Sri Erlinda ²) ¹) Mahasiswa Program Studi PPKn Universitas Riau ²) Dosen Program Studi PPKn Universitas Riau Email:
[email protected] Hp. 081371462650 ABSTRACK Ecision is one important object of study in administrative law, because it is a decision that became the object of dispute absolute competence judicial administration according to Law No. 5 of 1986. Indonesia is a country based on the principle of legality of law. This principle determines that any act of agency / government officials must be based on law. But in practice still found the decision of the agency / state officials are not based on law. Formulation of the problem in this study is whether the legal basis for the dismissal of Pekanbaru City Election Commission chairman and how responses Election Commission Chairman Pekanbaru and how the State Administrative Tribunal Decisions Pekanbaru. The goal is to determine the legal basis for the dismissal of chairman of the Electoral Commission and the city of Pekanbaru Decisions Administrative Court Pekanbaru, as well as the Chairman of the Electoral Commission response Pekanbaru city on the Commission decision No. Pemiliahn General Riau Province. KPTS.34/KPU.PROV.004/VII/2011. This study uses normative descriptive using qualitative data analysis. The research was conducted on two locations namely: Election Commission office and the office of Riau Province Administrative Court Pekanbaru. The results showed Election Commission decision Riau province NO. KPTS.34/KPU.PROV.004/VII/2011 based upon the recommendation of the board of honor Riau Provincial Election Commission which is legally non-binding recommendations which shall be conducted by the Election Commission of Riau Province this case in accordance with Law No. 22 Year 2007 Article 111 verses 8 and 9. Article 8 reads "The recommendations referred to in subsection (7) is binding", later in article 9 reads "Election Commission shall implement the recommendations of the Board of Election Commission of honor". Problems that occur on the Election Commission's decision by action Riau Provincial Election Commission clarifying that no Yusri Munaf before forming honorary board Provincial Election Commission. Conception of wisdom Riau Provincial Election
1
Commission the discretion allowed by the action but did not pay attention to the general principles of the Indonesian government for fair and proper worth obeyed by the Election Commission in the Riau Province took the wisdom. Decision of the Administrative Court judge Pekanbaru conception of the election commission of the Riau Provincial Public policy actions undertaken contrary to the general principles Indonesian government is fair and proper, so that the Administrative Court ruled the decision Pekanbaru city of Riau Province Election Commission is not in accordance with the Commission's regulations No General Election. 38 of 2008 concerning the dismissal procedure a member of the Election Commission. Keywords: Problems, Decision of the Commission and the Administrative Court Pekanbaru PENDAHULUAN Negara indonesia adalah negara hukum. Penegasan indonesia sebagai negara hukum tercantum didalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Indonesia adalah negara hukum”. Konsekuensi dari negara hukum maka segala tindakan atau perbuatan penguasa harus mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada legalitasnya baik berdasarkan hukum tertulis maupun berdasarkan hukum tidak tertulis. F.J. Sthal dalam Abdullah (2002:9) mengatakan bahwa suatu negara hukum formal harus memenuhi 4 (empat) unsur penting, yaitu: a. Adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia. b. Adanya pemisahan/pembagian kekuasaan. c. Setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan pada peraturan perundangundangan yang berlaku. d. Adanya peradilan tata usaha negara. Dalam melaksanakan pembangunan yang multi kompleks sifatnya tidak dapat dipungkiri bahwa aparatur pemerintah memainkan peranan yang sangat besar. Konsekuensi negatif atas pemerintah tersebut adalah munculnya sejumlah penyimpangan-penyimpangan seperti korupsi, penyalahgunaan kewenangan, pelampauan batas kekuasaan, sewenang-wenang, pemborosan dan sebagainya. Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah itu tidak mungkin dibiarkan begitu saja. Disamping itu, juga diperlukan sarana hukum untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat. Perlindungan hukum terhadap rakyat atas tindakan pemerintah tidak dapat ditampung oleh peradilan umum. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu peradilan administrasi. Salah satu perlindungan hukum terhadap warga masyarakat atas perbuatan yang dilakukan oleh penguasa dapat dilakukan melalui Peradilan Tata Usaha Negara. Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan lembaga administrasi negara, yang memiliki tugas melaksanakan pemilihan umum. Kedudukan Komisi Pemilihan Umum diatur melalui undang-undang, yang didalamnya telah mengatur segala aspek yang berkaitan dengan Komisi Pemilihan Umum, sehingga untuk melakukan seuatu hal harus sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam menyelenggarakan Pemilihan Walikota Pekanbaru pada tanggal 18 Mei 2011, Komisi Pemilihan Umum Kota Pekanbaru melanggar peraturan
2
KPU No.31 tahun 2008 dan Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemilu. Berikut pelanggaran yang dilakukan oleh KPU Kota Pekanbaru : 1. Perusakan atribut pemilu ( kotak suara ) dan pemalsuan dokumen pemilu. 2. Pencetakan surat suara tidak berdasarkan pada jumlah pemilih tetap dan ditambah paling banyak 2,5% (Dua koma lima Perseratus) dari jumlah pemilih tersebut. 3. Surat pemberitahuan waktu dan tempat pemungutan suara (undangan Pemilih) yang tidak mencantunkan nomor induk kependudukan. 4. Kotak suara ditemukan dalam kondisi rusak dikantor KPU. 5. Daftar pemilih tetap ganda. Untuk menindak lanjuti laporan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Yusri Munaf sebagai ketua KPU Kota Pekanbaru, Maka KPU Provinsi Riau membentuk dewan kehormatan KPU Provinsi Riau untuk melakukan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Yusri Munaf. Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan, sehingga badan kehormatan KPU Provinsi Riau menetapkan rekomendasi pemecatan Yusri Munaf sebagai ketua sekaligus komisioner KPU Kota Pekanbaru. Dikabulkannya gugatan Yusri Munaf terhadap KPU Provinsi Riau oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru, dengan Pertimbangan yang digunakan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru, yaitu berdasarkan bukti dan saksi, KPU Provinsi Riau tidak pernah melakukan klarifikasi terhadap Yusri Munaf. Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka penulis masalah dalam penelitian ini yaitu: 1. Apakah dasar hukum pemecatan ketua KPU kota Pekanbaru? 2. Bagaimanakah tanggapan ketua KPU kota Pekanbaru terhadap keputusan KPU Provinsi Riau ? 3. Bagaimanakah keputusan pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru? Adapun tujuan penulis melaksanakan penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1. Dasar hukum pemecatan ketua KPU kota Pekanbaru 2. Tanggapan ketua KPU kota Pekanbaru terhadap keputusan KPU Provinsi Riau 3. Keputusan pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru METODE PENELITIAN Metode penelitian yang dilakukan bersifat penelitian hukum normatif merupakan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder. Data sekunder dibidang hukum (dipandang dari sudut mengikatnya) dapat dibedakan bahan-bahan hukum primer, bahan-bahan hukum sekunder dan bahan-bahan hukum tersier. Dengan menggunakan pendekatan normatif analisis, yaitu dengan mengindentifikasi sumber hukum yang menjadi dasar rumusan masalah, serta mengkaji secara komprehensip analisis bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, guna menjawab permasalahan yang dirumuskan, serta mendeskripsikan jawaban masalah secara sistematis, lengkap, jelas dan rinci.( Roni Hanijito Soemitro)
3
Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian ini dilakukan di kantor Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) Provinsi Riau Jl. Gajah Mada No. 200, Pekanbaru dan kantor Pengadilan Tata Usaha Negara ( PTUN ) Pekanbaru Jl. HR Subrantas KM 9, Pekanbaru dan waktu penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2013 sampai dengan April 2013. Subjek dan Objek Penelitian Yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah : Anggota Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) Provinsi Riau dan Pegawai Pengadilan Tata Usaha Negara ( PTUN ) Pekanbaru. Pemilihan anggota KPU Provinsi Riau sebagai subjek dikarenakan surat keputusan pemecatan ketua Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) Kota Pekanbaru di keluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) Privinsi Riau. Sedangkan Pengadilan Tata Usaha Negara ( PTUN ) Pekanbaru adalah lembaga yang mengabulkan gugatan ketua Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) Kota Pekanbaru atas surat keputusan Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) Provinsi Riau tentang pemecatan dirinya. Sekaligus mencabut dan membatalkan surat keputusan yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) Provinsi Riau tentang pemecatan ketua Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) Kota Pekanbaru. Sedangkan objek dalam penelitian ini adalah surat keputusan komisi pemilihan umum ( KPU ) provinsi Riau tentang pemecatan ketua Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) Kota Pekanbaru dan surat keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara ( PTUN ) Pekanbaru tentang keputusan mengabulkan gugatan ketua Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) Kota Pekanbaru. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer ( Yuda Indra dalam Ela Novita. 2012 : 63 ) dan data sekunder dan sumber data dalam penelitian ini adalah kantor Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) Provinsi Riau dan kantor Pengadilan Tata Usaha Negara ( PTUN ) Pekanbaru. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: dokumentasi, studi kepustakaan, dan wawancara. Teknik Analisis Data Penelitian ini bersifat deskriptif untuk menggambarkan kondisi yang ada dilapangan, maka data yang diperoleh akan dianalaisis dengan sistem deskriptif kualitatif, yaitu mendeskripsikan dan menganalisis data dalam bentuk kalimat. Data dideskripsikan dan dianalisis berdasarkan data sekunder dari bahanbahan hukum primer, bahan-bahan hukum sekunder, maupun bahan-bahan hukum tersier, “analisa data kualitatif artinya menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, logis tidak tumpang tindih, sistematis, dan efektif, sehingga memudahkan interprestasi data dan pamahaman hasil analisis. PEMBAHASAN 1. Analisis Dasar Hukum Pemecatan Ketua KPU Kota Pekanbaru Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah lembaga negara yang menyelenggarakan pemilihan umum di Indonesia, yakni meliputi Pemilihan
4
Umum Anggota DPR/DPD/DPRD, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Selanjutnya di dalam UU No. 22 tahun 2007 pasal 1 ayat 6 dinyatakan bahwa Komisi Pemilihan Umum, selanjutnya disebut KPU, adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Untuk melaksanakan pemilihan umum kepala daerah dilaksanakan oleh komisi pemilihan umum provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana tercantum didalam pasal 1 ayat 7 di jelaskan bahwa Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, selanjutnya disebut KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, adalah Penyelenggara Pemilu di provinsi dan kabupaten/kota. Komisi Pemilihan Umum Kota Pekanbaru merupakan lembaga yang bertugas menyelenggarakan pemilihan walikota Pekanbaru, maka semua tahapan pemilihan umum walikota Pekanbaru dilaksanakan oleh KPU Kota Pekanbaru. Ela Novita (2012:116 ) menyatakan berdasarkan hasil penelitian menyimpulkan bahwa KPU Kota Pekanbaru dalam menyelenggarakan pemilukada telah melakukan pelanggaran. Salah satu pelanggaran yang dilakukan oleh KPU Kota Pekanbaru antara lain: pelaksanaan pemilukada yang tidak mencerminkan pelaksanaan asas jujur yang merupakan salah satu asas dasar penyelenggaraan pemilukada. Pelanggaraan asas jujur yang terjadi dalam proses penyelenggaraan pemilukada walikota Pekanbaru yaitu ‘1. Pelaksanan kampanye diluar jadwal dan menggunakan fasilitas negara. 2. Perusakan atribut pemilu (kotak suara) dan pemalsuan dokumen pemilu. Pelanggaran ini bertentangan dengan. 3. Pencetakan surat suara tidak berdasarkan pada jumlah pemilih tetap dan ditambah paling banyak 2,5% dari jumlah pemilih tetap. 4. Surat pemberitahuan waktu dan tempat pemungutan suara yang tidak sah mencantumkan nomor induk kependudukan. 5. Daftar pemilih tetap ganda. Peraturan KPU No. 31 tahun 2008 Pasal 3 dinyatakan kode etik penyelenggaraan pemilu adalah prinsip-prinsip moral dan etika penyelenggara pemilu berpedoman kepada sumpah janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu dan asas penyelenggaraan pemilu yang diberlakukan, ditetapkan oleh KPU. Berdasarkan asas pedoman penyelenggaraan pemilu, penyelenggaraan pemilu walikota Pekanbaru telah melanggar asas jujur yang diatur didalam pasal 2 peraturan KPU No. 31 tahun 2008. Oleh karena itu, KPU Kota Pekanbaru telah melanggar peraturan KPU No. 31 tahun 2008 tentang kode etik penyelenggaraan pemilu. Selanjutaannya pada pasal 4 peraturan KPU No.31 tahun 2008 dinyatakan bahwa penyelenggara pemilu mempunyai landasan kode etik dengan berpedoman pada: a. Sumpah/janji jabatan sebagai penyelenggara pemilu b. Asas penyelenggara pemilu dan c. Peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan pemilu dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku. Ketua KPU Kota Pekanbaru didalam menyelenggarakan pemilu walikota Pekanbaru telah melanggar sumpah/janji jabatan sebagai seorang anggota KPU,
5
karena menjalankan tugasnya dengan tidak jujur. Menjalankan tugas dengan tidak menjujnjung tinggi nilai kejujuran telah melanggar sumpah/janji jabatan seorang anggota KPU yang bertentangan kode etik penyelenggaraan pemilu yang diatur dalam peraturan KPU No. 31 tahun 2008. Penyelenggaraan pemilukada walikota Pekanbaru yang melanggar peraturan dibuktikan adanya laporan masyarakat kepada Bawaslu kota Pekanbaru tentang terjadinya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh ketua KPU kota Pekanbaru berupa dugaan perusakan dan pemalsuan dokumen dengan cara memerintahkan dan membuka kotak suara yang telah disegel untuk mengganti data-data pemilih yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, undangan pemilih yang tidak mencantumkan NIK, kotak suara dalam kondisi rusak tidak disegel dan digembok di penyimpanan kotak suara dan bilik suara (gudang) penyimpanan KPU Kota Pekanbaru Jalan Duyung Pekanbaru. Menindak lanjuti laporan masyarakat, Badan Pengawas Pemilu Kota Pekanbaru tersebut melanjutkan laporan tersebut ke Badan Pengawas Pemilu Provinsi Riau. Untuk menindak laporan tersebut maka Badan Pengawas Pemilu Provinsi Riau mengirimkan rekomendasi kepada KPU Provinsi Riau secara tertulis yang disampaikan melalui surat resmi Badan Pengawas Pemilu Provinsi Riau dengan menyebutkan nama dan jabatan anggota KPU kab/kota yang direkomendasikan untuk diberhentikan. Surat rekomendasi ini disertai dengan alasan-alasan pemberhentian beserta bukti-bukti tertulis. Ketentuan Pengaduan dan/atau laporan yang disampaikan oleh badan pengawas pemilu terdapat pada peraturan KPU No. 38 tahun 2008 pasal 15 ayat 2 yaitu : “berdasarkan rekomendasi Badan Pengawas Pemilu, ditentukan : a. Melalui surat resmi badan pengawas pemilu kepada KPU provinsi. b. Menyebut nama dan jabatan anggota KPU kabupaten/kota yang direkomendasikan untuk diberhentikan. c. Menyebutkan alasan-alasan pemberhentian d. Menyerahkan alat-alat bukti. Selain menerima surat remokendasi dari badan pengawas pemilu provinsi riau, KPU Provinsi Riau juga menerima laporan pengaduan dari masyarakat yang dilaporkan secara tertulis dengan mencantumkan nama dan alamat secara jelas dengan melampirkan fotocopy KTP yang masih berlaku. Didalam pengaduan masyarakat tersebut juga menyebutkan nama dan jabatan anggota KPU kab/kota yang dilaporkan untuk diberhentikan, beserta alasan-alasan dan alat-alat bukti tertulis. Untuk menindak lanjuti laporan diatas, KPU Provinsi Riau melakukan langkah-langkah untuk menindak lanjuti sebuah laporan tentang pelanggaran kode etik penyelenggaraan pemilu berdasarkan peraturan KPU No.38 tahun 2008. Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh KPU Provinsi Riau adalah untuk membentuk Dewan Kehormatan KPU Provinsi, hal ini sesuai dengan amanah peraturan KPU No. 38 tahun 2008 pasal 10 ayat 1 yaitu “untuk memeriksan pengaduan dan/atau laporan adanya pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang dilakukan oleh anggota KPU Kabupaten/kota, dibentuk Dewan Kehormatan KPU Provinsi.
6
Namun sebelum membentuk Dewan Kehormatan KPU Provinsi sesuai dengan peraturan diatas, KPU Provinsi Riau harus melakukan langkah tindakan verifikasi dan klarifikasi terhadap laporan pelanggaran kode etik yang diterima oleh KPU Provinsi Riau. Tindakan verifikasi dan klarifikasi diatur didalam peraturan KPU No. 38 tahun 2008 pasal 10 ayat 3 yang berbunyi “berdasarkan pengaduan dan/atau laporan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2), KPU Provinsi mengadakan verifikasi dan atau klarifikasi”. Sedangkan ketentuan pengaduan dan/atau laporan yang bisa diverifikasi dan klarifikasi oleh KPU Provinsi adalah pengaduan dan/atau laporan yang sesuai dengan ketentuan peraturan KPU No. 38 tahun 2008 pasal 10 ayat 2 yaitu “Pengaduan dan/atau laporan adanya pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang dilakukan anggota KPU kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan ketentuan: a. Dilaporkan secara tertulis kepada KPU Provinsi, dengan menyebutkan nama dan alamat secara jelas, dan dibuktikan dengan fotocopy kartu tanda penduduk. b. Menyebutkan secara jelas kode etik penyelenggara pemilu yang dilanggar. c. Hari dan tanggal pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. d. Nama dan jabatan yang diduga melanggar kode etik penyelenggara pemilu. e. Bukti-bukti tertulis lainnya yang mendukung tentang terjadinya pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Berdasarkan ketentuan diatas KPU Provinsi Riau menilai bahwasanya pengaduan dan/atau laporan kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh ketua KPU Kota Pekanbaru yang diterimanya telah memenuhi ketentuan diatas sehingga KPU Provinsi Riau melakukan langkah selanjutnya yaitu melakukan verifikasi dan klarifikasi terhadap pengaduan dan laporan atas kasus pelanggaran kode etik penyelenggaraan pemilu tersebut. Hasil tindakan verifikasi dan klarifikasi dilakukan sebagai dasar oleh KPU Provinsi Riau untuk membentuk Dewan Kehormatan KPU provinsi, yang telah diatur didalam peraturan KPU No. 38 tahun 2008 pasal 10 ayat 4 yaitu ‘Hasil verifikasi dan/atau klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), digunakan oleh KPU Provinsi sebagai dasar untuk membentuk Dewan Kehormatan KPU Provinsi, yang bersifat ad hoc”. Didalam kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh ketua KPU Kota Pekanbaru, KPU Provinsi Riau melakukan verifikasi dan klarifikasi terhadap T. Rafizal, AR, S.Sos, M.Si, Budy Mustika, Asman yang merupakan anggota KPU Kota Pekanbaru. Berdasarkan verifikasi dan klarifikasi terhadap anggota KPU Kota Pekanbaru tersebut menurut KPU Provinsi Riau sudah cukup sebagai dasar untuk membentuk Dewan Kehormatan KPU Provinsi Riau. Sehingga KPU Provinsi Riau melakukan rapat pleno untuk membentuk Dewan Kehormatan KPU Provinsi Riau dengan tujuan untuk melakukan penyelidikan dan verifikasi atas rekomendasi Badan Pengawas Pemilu atau pengaduan masyarakat terhadap anggota KPU Kota Pekanbaru. Tindakan verifikasi dan/atau klarifikasi pada peraturan KPU No.38 tahun 2008 pasal 10 ayat 3 yang dilakukan oleh KPU Provinsi Riau tidak dijelaskan
7
lebih lanjut tentang pelaksanaan tindakan verifikasi dan klarifikasi tersebut, sehingga memberikan ruang kepada KPU Provinsi Riau untuk melakukan tindakan verifikasi dan klarifikasi tersebut sesuai dengan konsepsinya, dengan tidak melakukan verifikasi dan klarifikasi terhadap ketua KPU Kota Pekanbaru. J.H Van Kreveld dalam S.F. Marbun (2003) mengatakan salah satu ciri utama peraturan kebijaksanaan adalah pembentukannya bersumber dari kewenangan bebas yang diberikan kepada pejabat tata usaha Negara, atau karena peraturan perundang-undangan sangat bersifat umum dan memberikan ruang kebijaksanaan kepada pejabat tata usaha Negara untuk mengambil inisiatif sendiri, mengambil tindakan hokum public yang bersifat mengatur maupun penetapan. Berdasarkan pendapat ahli diatas penulis menilai tindakan kebijaksanaan KPU Provinsi Riau yang di implementasikan berdasarkan konsepsinya terhadap tindakan klarifikasi tidak bertentangan dengan peraturan KPU No. 38 tahun 2008 pasal 10 ayat 3 tersebut, karena KPU Provinsi Riau sebagai lembaga negara diberi ruang kebijaksanaan kepada pejabat tata usaha negara untuk mengambil inisiatif sendiri, hal inilah yang telah dilakukan oleh KPU provinsi Riau didalam mengambil konsepsi atas tindakan klarifikasi tersebut. Konsepsi KPU Provinsi Riau terhadap tindakan klarifikasi pada peraturan KPU No.38 tahun 2008 pasal 10 ayat 3 dengan implementasinya tidak melakukan klarifikasi terhadap ketua KPU Kota Pekanbaru karena KPU Provinsi Riau memiliki konsepsi bahwasanya klarifikasi tidak perlu dilakukan dengan pertimbangan hubungan kedekatan emosional sebagaian besar staf sekretariat KPU Kota Pekanbaru dengan Ketua KPU Kota Pekanbaru tersebut dan sebagian dokumen disimpan oleh Ketua KPU Kota Pekanbaru sehingga dapat diduga akan melakukan pemusnahan dan menghilangkan alat bukti. Setelah Dewan Kehormatan terbentuk, selanjutnya menjalankan Tugasnya untuk melakukan penyelidikan dan verifikasi. tugas Dewan Kehormatan KPU Provinsi diatur didalam peraturan KPU. No. 38 tahun 2008 pasal 15 ayat 6 yaitu: “ tugas Dewan Kehormatan KPU adalah untuk melakukan penyelidikan dan verifikasi atas rekomendasi badan pengawas pemilu dan pengaduan masyarakat terhadap anggota KPU kab/kota, karena: 1. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota KPU kab/kota dan/atau 2. Melanggar sumpah/janji jabatan dan atau kode etik penyelenggara pemilu dan/atau 3. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan secara berturutturut selama 3 bulan atau berhalangan tetap sebagai anggota KPU kab/kota dan/atau 4. Tidak menghadiri rapat pleno yang menjadi tugas dan kewajibannya selama 3 kali berturut-turut tanpa alasan yang jelas dan/atau 5. Melakukan perbuatan yang terbukti menghambat KPU, KPU provinsi dan KPU kab/kota dalam mengambil keputusan dan penetapan sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan. Didalam peraturan KPU Nomor : 38 tahun 2008 pasal 26 menjelaskan: setelah Dewan Kehormatan KPU melakukan pemeriksaan administrasi, pemeriksaan persidangan dan/atau pemeriksaan lapangan, DK KPU menetapkan:
8
a. Pengaduan/laporan tidak dapat ditindak lanjuti, dengan alasan buktibukti tidak cukup, atau b. Pangaduan/laporan ditindaklanjuti/diproses serta menjatuhkan sanksi, c. Sanksi sebagaimana yang dimaksud pada huruf b dapat berupa: 1. Teguran tertulis, atau 2. Pemberhentian dari jabatan ketua KPU atau ketua KPU provinsi atau ketua KPU kab/kota, atau 3. Pemberhentian sebagai anggota KPU atau anggota KPU Provinsi atau anggota KPU kab/kota. Dari hasil pemeriksaan Dewan Kehormatan KPU menetapkan suatu keputusan yang disampaikan kepada KPU Provinsi dalam bentuk rekomendasi untuk ditindak lanjuti. Hal ini diatur didalam UU No. 22 tahun 2007 pada pasal 112 ayat 7, ayat 8, dan ayat 9 yaitu “(7) Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dewan Kehormatan KPU Provinsi menetapkan rekomendasi. (8)Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) bersifat mengikat. (9) KPU Provinsi wajib melaksanakan rekomendasi Dewan Kehormatan KPU Provinsi. Dalam tahap pemeriksaan yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan KPU Provinsi Riau, Dewan Kehormatan melakukan pemeriksaan terhadap anggota komisioner KPU Kota Pekanbaru dan memberi kesempatan kepada Yusri Munaf untuk membela diri atas dugaan pelanggaran kode etik di hadapan sidang Dewan Kehormatan KPU Provinsi Riau. Hasil pemeriksaan terhadap komisioner dan Yusri Munaf, Dewan Kehormatan KPU Provinsi Riau menetapkan rekomendasi No. 13/DK.KPU-R/VII/2011. Didalam rekomendasi Dewan Kehormatan KPU Provinsi Riau pada angka 6 menjelaskan bahwa saudara H. Yusri Munaf, terindikasi kuat melanggar azas penyelenggara pemilu, prinsip-prinsip dasar kode etik penyelenggara pemilu, bertindak tidak profesional dan melaksanakan pemilukada dengan administrasi yang tidak akurat, dan telah melibatkan diri dalam komplik kepentingan sehingga tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota KPU Kota Pekanbaru, dengan melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau kode etik penyelenggara pemilu yang dalam mengambil keputusan dan penetapan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggara pemilu. Sehingga dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh DK KPU, terbukti bahwa Yusri Munaf telah melakukan pelanggaran terhadap azas-azas penyelenggara pemilu dan juga kode etik adalah termasuk kualifikasi pelanggaran berat. Pemecatan ketua KPU Kota Pekanbaru merupakan sanksi yang diberikan oleh Dewan Kehormatan sesuai dengan UU No. 22 tahun 2007 pasal 29 ayat 2 huruf b “(2) Diberhentikan sebagaimana dimaksud pada (1) huruf c. apabila: a. tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota; b. melanggar sumpah/janji jabatan dan/ atau kode etik; c. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan secara berturut-turut selama 3 (tiga) bulan atau berhalangan tetap”. Rekomendasi pemecatan ketua KPU Kota Pekanbaru yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan berdasarkan poin b yaitu melanggar sumpah/janji jabatan dan pelanggaran kode etik.
9
Mengingat rekomendasi Dewan Kehormatan KPU mengikat KPU provinsi Riau, maka rekomendasi pemecatan tersebut melatar belakangi lahirnya surat keputusan KPU provinsi Riau NO. KPTS.34/KPU.PROV.004/VII/2011 tentang pemecatan ketua KPU Kota Pekanbaru sekaligus anggota komisioner KPU Kota Pekanbaru. Jadi lahirnya keputusan KPU provinsi Riau NO. KPTS.34/KPU.PROV.004/VII/2011 merupakan suatu prosedur yang telah diatur didalam UU No. 22 tahun 2007 yang mengharuskan KPU Provinsi Riau untuk menjalankan rekomendasi Dewan Kehormatan KPU Provinsi Riau, sedangkan dasar hukum rekomendasi yang dikeluarkan oleh Dewan Kehormatan KPU Provinsi Riau yaitu peraturan KPU No. 31 tahun 2008 yang menyimpulkan bahwa ketua KPU Kota Pekanbaru terbukti melanggar kode etik dan sumpah janji jabatan. 2. Analisis Tentang Tanggapan Ketua KPU Kota Pekanbaru Terhadap Keputusan KPU Provinsi Riau Ketua KPU Kota Pekanbaru merasa sangat dirugikan oleh keputusan KPU Provinsi Riau NO. KPTS.34/KPU.PROV.004/VII/2011 yang melakukan pemecatan terhadap dirinya sebagai ketua sekaligus sebagai anggota komisioner KPU Kota Pekanbaru secara sepihak. Pemecatan sepihak ini dirasakan karena ketua KPU Kota Pekanbaru tidak diklarifikasi oleh KPU provinsi Riau sebelum pembentukan Dewan Kehormatan yang pada akhirnya mengeluarkan rekomendasi pemecatan dirinya. Menurut konsepsi Ketua KPU Kota Pekanbaru terhadap tindakan klarifikasi harus dilakukan terhadap dirinya. Problematika yang terjadi antara KPU Provinsi Riau dengan ketua KPU Kota Pekanbaru yaitu perbedaan konsepsi dalam mengartikan peraturan KPU No.38 tahun 2008 pasal 10 ayat 3 yang berbunyi:” Berdasarkan pengaduan dan/atau laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) KPU Provinsi mengadakan verifikasi dan atau klarifikasi”. Berdasarkan konsepsi KPU Provinsi Riau tindakan verifikasi dan atau klarifikasi yang tercantum didalam ayat 3 tersebut dalam kasus dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh ketua KPU Kota Pekanbaru tidak dilakukan terhadap Yusri Munaf sebagai pihak terduga karena pertimbanganpertimbangan tertentu. Namun tindakan untuk tidak melakukan verifikasi dan atau klarifikasi terhadap ketua KPU Kota Pekanbaru menurut KPU Provinsi Riau tidak bertentangan dengan pasal 3 tersebut, karena tindakan klarifikasi masih dilakukan terhadap orang-orang terdekat ketua KPU Kota Pekanbaru, sehingga nilai-nilai verifikasi dan atau klarifikasi yang diharapkan pada ayat 3 tersebut masih dijalankan. Walaupun konsepsi KPU Provinsi Riau telah sesuai dengan kewenangannya, namun KPU provinsi Riau hendaknya memperhatikan azas kecermatan. Sebagai mana pendapat Dr. S.F. Marbun (2003) bahwa azas kecermatan mengkehendaki agar badan/Pejabat Tata Usaha Negara senantiasa bertindak secara hati-hati agar tidak menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat. Timbulnya kerugian yang dialami oleh masyarakat terjadi akibat badan/pejabat tata usaha negara bertindak tidak cermat. Sehingga asas kecermatan merupakan asas yang melindungi warga negara indonsia dan menekankan agar
10
badan/pejabat tata usaha negara mengutamakan kecermatan didalam menjalankan tugas negara agar tidak ada warga negara yang dirugikan. Sementara itu konsepsi Ketua KPU Kota Pekanbaru terhadap peraturan KPU No. 38 tahun 2008 pasal 10 ayat 3, dalam konsepsi Ketua KPU Kota Pekanbaru implementasinya KPU Provinsi Riau harus melakukan klarifikasi terhadap dirinya. Tindakan klarifikasi tersebut telah diatur ayat 3 tersebut. sehingga ketua KPU Kota Pekanbaru menilai tindakan KPU Provinsi Riau yang tidak melakukan klarifikasi terhadap dirinya tidak menjalankan tindakan klarifikasi yang dimaksud pada ayat 3 tersebut yang sudah jelas merupakan langkah-langkah yang harus ditempuh oleh KPU Provinsi Riau sebelum membentuk Dewan Kehormatan. Langkah hukum yang dilakukan oleh Yusri Munaf telah sesuai dengan peraturan yang berlaku sesuai dengan UU No. 5 tahun 1986 pasal 53 ayat 1 dan 2 yang berbunyi “(1) Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan gati rugi dan/atau rehabilitasi. (2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah : a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut; c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut. 3. Analisis Tentang Keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru Keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru mengabulkan gugatan Yusri Munaf, merupakan bentuk perbedaan konsepsi antara KPU Provinsi Riau dengan Pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru dalam mengartikan tindakan klarifikasi yang diatur didalam peraturan KPU No.38 tahun 2008 pasal 10 ayat 3, dimana apakah klarifikasi perlu dilakukan terhadap Yusri Munaf sebelum dibentuknya DK KPU. KPU Provinsi Riau memiliki konsepsi bahwa tidak perlu melakukan tindakan klarifikasi terhadap Yusri Munaf. Konsepsi KPU Provinsi Riau tersebut atas dasar pertimbangan hubungan kedekatan emosional sebagaian besar staf sekretariat KPU Kota Pekanbaru dengan Ketua KPU Kota Pekanbaru tersebut dan sebagian dokumen disimpan oleh Ketua KPU Kota Pekanbaru sehingga dapat diduga akan melakukan pemusnahan dan menghilangkan alat bukti. Adanya peraturan perundang-undangan mempunyai cakupan ruang lingkup yang terlalu umum atau sangat luas. Sehingga oleh karena itu perlu dilakukan penghalusan hukum agar dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu. Dalam penghalusan hukum dibentuklah pengecualian-pengecualian atau penyimpangan-penyimpangan baru peraturan yang sifatnya umum.
11
Sebagai konsekuensi dari tindakan tersebut, hakim terpaksa mengeluarkan perkara yang bersangkutan dari lingkungan peraturan yang umum dan selanjutnya menyelesaikan menurut suatu peraturan yang ditemukannya sendiri. Sehingga tindakan Pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru yang menilai bahwasanya KPU Provinsi Riau harus melakukan klarifikasi terhadap Yusri Munaf sebelum membentuk Dewan Kehormatan KPU Provinsi Riau. Sehingga Keputusan KPU Provinsi Riau untuk tidak melakukan klarifikasi terhadap Yusri Munaf merupakan tindakan penghalusan hukum. Sehingga konsekuensinya hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru tersebut menyelesaikannya dengan peraturan yang ditemukannya. Sehingga Pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru tidak menerima pertimbangan KPU Provinsi Riau untuk tidak melakukan klarifikasi terhadap Yusri Munaf dan memutuskan mengabulkan gugatan Yusri Munaf. Apabila suatu gugatan dikabulkan berarti hakim peradilan tata usaha negara menetapkan: 1. Mencabut keputusan badan/pejabat tata usaha negara yang disengketakan dan menetapkan agar tergugat melaksnakan kewajibannya. 2. Mencabut keputusan badan/pejabat tata usaha negara yang disengketakan dan menerbitkan keputusan tata usaha negara yang baru. 3. Menerbitkan keputusan tata usaha negara dalam hal gugatan. 4. Membayar ganti rugi 5. Melakukan rehalibitasi dalam sengketa kepegawaian. Maka oleh karena Setelah gugatan Yusri Munaf di kabulkan selanjutnya majelis hakim meminta KPU Provinsi Riau mencabut surat pemberhentian Yusri Munaf dan memulihkan nama baik Yusri Munaf sejak surat putusan dibacakan. KPU Provinsi Riau menilai kebijaksanaannya untuk tidak melakukan klarifikasi terhadap Yusri Munaf merupakan kebijakan yang tepat, oleh karena itu KPU Provinsi Riau memutuskan untuk banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Medan. Keputusan Pengadilan Tata Usaha Pekanbaru yang menolak tindakan KPU Provinsi Riau yang tidak melakukan klarifikasi terhadap Yusri Munaf, dimana Pengadilan Tata Usaha Pekanbaru memiliki persepsi bahwa klarifikasi harus dilakukan. Persepsi Pengadilan Tata Usaha Pekanbaru yang menilai klarifikasi harus dilakukan ditolak oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Medan, Pengadilan Tata Usaha Medan menilai bahwasanya kebijakan KPU Provinsi Riau untuk tidak melakukan klarifikasi terhadap Yusri Munaf sebelum membentuk Dewan Kehormatan KPU sudah tepat. Karena Pengadilan Tinggi Tata Usaha Medan memiliki pendapat bahwa klarifikasi dan atau verifikasi yang dilakukan oleh KPU Provinsi Riau kepada: T Rafizal, AR, S.Sos, M.Si, Budy Mustika dan Asman yang kesemuanya merupakan anggota KPU Kota Pekanbaru cukup untuk menduga bahwa telah terjadi dugaan kecurangan yang dilakukan oleh Ketua KPU Kota Pekanbaru, sehingga dapat dilakukan tahap selanjutnya yaitu pembentukan Dewan Kehormatan.
12
Sehingga secara hukum Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan menilai keputusan KPU Provinsi Riau NO. KPTS.34/KPU.PROV.004/VII/2011 adalah telah memenuhi persyaratan baik yang bersifat prosedural maupun substansinya, oleh karena itu putusan Pengadilan tata usaha negara Pekanbaru tersebut tidak dapat dipertahankan dan harus dinyatakan batal. Problematika antara keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru dengan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan terletak pada tindakan klarifikasi. Permasalahan ini berawal dari keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru yang menilai bahwa tindakan klarifikasi seharusnya dilakukan oleh KPU Provinsi Riau kepada Yusri Munaf sebelum membentuk Dewan Kehormatan, namun sebaliknya Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan menilai bahwa tindakan KPU Provinsi Riau untuk tidak melakukan klarifikasi terhadap Yusri Munaf sudah memenuhi persyaratan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan analisis dan pemaparan pada bab-bab sebelumnya, maka dalam penelitian ini dapat penulis simpulkan sebagai berikut: 1. Keputusan KPU Provinsi Riau NO. KPTS.34/KPU.PROV.004/VII/2011 didasarkan atas rekomendasi dewan kehormatan KPU yang secara hukum rekomendasi tersebut bersifat mengikat yaitu wajib dilakukan oleh KPU Provinsi Riau hal ini sesuai dengan UU No.22 Tahun 2007 pasal 111 ayat 8 dan 9 . pasal 8 berbunyi “Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) bersifat mengikat”, selanjutnya dalam pasal 9 berbunyi “ KPU wajib melaksanakan rekomendasi Dewan kehormatan KPU”. Selanjutnya lahirnya rekomendasi pemecatan Ketua KPU Kota Pekanbaru didasarkan atas pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Ketua KPU Kota Pekanbaru yang bertentangan dengan peraturan KPU No. 31 Tahun 2008. Peraturan KPU No.31 tahun 2008 tersebut merupakan dasar dewan kehormatan KPU Provinsi Riau mengeluarkan rekomendasi pemecatan Ketua KPU Kota Pekanbaru. Sebelum membentuk dewan kehormatan KPU Provinsi Riau, KPU Provinsi Riau semestinya melakukan klarifikasi terhadap ketua KPU Kota Pekanbaru sesuai dengan peraturan KPU No. 38 tahun 2008. Didalam pasal 10 ayat 3. kebijaksanaan KPU Provinsi Riau untuk tidak melakukan klarifikasi terhadap Yusri Munaf berdasarkan azas kebijaksanaan yang dikemukakan oleh SF Marbun sebagai salah satu azas pemerintahan indonesia yang adil dan patut. Walaupun tindakan kebijaksanaan KPU Provinsi Riau memiliki dasar hukum salah satu azas pemerintahan indonesia yang adil dan patut, namun KPU Provinsi Riau kurang memperhatikan azas-azas pemerintahan indonesia yang adil dan patut yang lainnya. Hal ini terjadi dikarenakan keputusan yang lahir dari tindakan kebijaksanaan tersebut menimbulkan kerugian bagi warga negara. Sementara itu didalam salah satu azas pemerintahan indonesia yang adil dan patut terdapat azas kecermatan, dimana diharapkan kepada setiap badan/pejabat tata usaha negara senantiasa bertindak secara hati-hati agar tidak menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat. Timbulnya kerugian yang dialami oleh masyarakat terjadi akibat badan/pejabat tata usaha negara bertindak tidak cermat. Sehingga asas kecermatan merupakan asas yang melindungi warga negara indonsia dan menekankan agar
13
badan/pejabat tata usaha negara mengutamakan kecermatan didalam menjalankan tugas negara agar tidak ada warga negara yang dirugikan. 2. Keputusan Ketua KPU Kota Pekanbaru yang menggugat Keputusan KPU Provinsi Riau merupakan bentuk tanggapan Ketua KPU Kota Pekanbaru yang tidak menerima keputusan KPU Provinsi Riau yang memutuskan pemecatan dirinya. Dasar hukum gugatan Ketua KPU Kota Pekanbaru yaitu peraturan KPU No. 38 tahun 2008. Didalam pasal 10 telah diatur bagaimana prosedur pemecatan seorang anggota KPU Kab/Kota. Pasal 3 menjelaskan bahwa untuk menindak lanjuti pengaduan masyarakat KPU Provinsi Melakukan Verifikasi dan Klarifikasi. Ketua KPU Kota Pekanbaru menilai bahwa kebijaksanaan KPU Provinsi Riau untuk tidak melakukan klarifikasi terhadap dirinya sebelum membentuk dewan kehormatan, merupakan tindakan yang bertentangan dengan peraturan KPU No. 38 tahun 2008. 3. Keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara Kota Pekanbaru yang mengabulkan gugatan Yusri Minaf didasarkan atas peraturan KPU No.38 tahun 2008. karena majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru memiliki persepsi yang sama dengan Ketua KPU Kota Pekanbaru dimana menurut majelis haikm Pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru, kebijaksanaan KPU Provinsi yang tidak melakukan klarifikasi terhadap Yusri Munaf sebelum membentuk dewan kehormatan tidak berdasarkan peraturan KPU No.38 tahun 2008. Sementara KPU Provinsi Riau semestinya menjalankan peraturan KPU tersebut karena merupakan dasar hukum pembentukan dewan kehormatan KPU Provinsi. 4. Timbulnya problematika anatara dua keputusan tersebut, di karenakan adanya perbedaan konsepsi antara KPU Provinsi Riau dan Pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru terhadap peraturan KPU No.38 tahun 2008 pasal 10 ayat 3 yang berbunyi “Berdasarkan pengaduan dan/atau laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) KPU Provinsi mengadakan verifikasi dan atau klarifikasi”. Terjadinya perbedaan konsepsi ini dikarenakan tidak adanya penjelasan lebih lanjut dari peraturan tersebut. Sehingga KPU Provinsi Riau mengimplementasikan konsepsi terhadap tindakan klarifikasi yang dimaksud dalam peraturan tersebut dengan tidak melakukan klarifikasi terhadap Ketua KPU Kota Pekanbaru. Konsepsi yang berbeda timbul dari pengadilan tata usaha Negara pekanbaru, berdasarkan konsepsi Pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru dalam implementasinya, KPU Provinsi Riau harus melakukan klarifikasi terhadap ketua KPU Kota Pekanbaru. Saran dari kesimpulan diatas, dalam penelitian ini penulis memberikan saran dan rekomendasi terhadap lembaga yang terkait dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. KPU Provinsi Riau sebagai lembaga Negara harus menjalankan asas-asas umum pemerintahan Indonesia yang adil dan patut. Hal ini saya sarankan agar setiap keputusan yang dilahirkan tidak merugikan warga Negara Indonesia. 2. Dewan Perwakilan rakyat sebagai lembaga yang bertugas membuat undangundang, agar mengamandemen undang-undang tentang pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia terutama pasal-pasal yang masih memiliki multi tafsir. Karena dengan adanya peluang untuk menafsirkan berdasarkan konsepsi menjadikan factor terjadinya sengketa hokum tata usaha Negara.
14
3. KPU Republik Indonesia sebagai lembaga yang diberi wewenang untuk mengatur peraturan KPU terhadap pasal-pasal yang bersifat umum yang diatur oleh undang-undang penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Dengan kata lain tidak memberikan kesempatan kepada setiap warga negar atau lembaga yang berwenang untuk melakukan penafsiran dengan membuat konsepsi masingmasing. Maka KPU Republik Indonesia harus memberikan penjelasan terhadap pelaksanaan tindakan klarifikasi yang dimaksud didalam peraturan KPU No.38 tahun 2008 pasal 10 ayat 3 tersebut. Penjelasan pelaksanaan yang penulis maksud yaitu tindakan klarifikasi implementasikan terhadap pihak-pihak mana saja terkait dalam kasus pelaksanaan pemecatan seorang anggota komisioner KPU. DAFTAR PUSTAKA Kansil, C.S.T. Drs. SH, Pengantar ilmu hukum dan tata hukum indonesia, jakarta: Balai Pustaka,1989 Abdullah, Rozali, S.H, Hukum acara peradilan tata usaha negara, jakarta: Rajawali Pers, 2002 Rasjidi, Lili, Prof.Dr.S.H.S.Sos. LL.M, Dkk, Dasar-dasar filsafat dan teori hukum, Bandung: Citra aditya bakti, 2004 Tutik, titik triwulan. SH.MH, Pengantar hukum tata usaha negara indonesia, jakarta: prestasi pustaka, 2010 Soekanto, soerjono. Prof.Dr.S.H.M.A, Dkk, penelitian hukum normatif, jakarta:Raja Grafindo Persada, 2004 Chatim, Noermi. Hj. S.H, Bahan ajar hukum tata usaha negara, pekanbaru, 2012 MPR RI, sekretariat jenderal, Undang-undang dasar negara republik indonrsia tahun 1945, jakarta, 2006 Novita, Ela. S.Pd, Skripsi Judul penerapan asas jujur dalam pelaksanaan pemilihan umum walikota pekanbaru ditinjau dari undang-undang nomor 32 tahun 2004, pekanbaru, 2012 Marbun, S.F. Dr, peradilan administrasi dan upaya administrasi di indonesia, Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2003 Ali, Achmad, Prof, Dr, SH, MH, menguak teori hukum dan teori peradilan, Jakarta: kencana prenada media group, 2012 Waluyo,Bambang, penelitian hukum dalam praktek, Jakarta: sinar grafika, 2002 Soersono, S, Pengantar ilmu hokum, Jakarta: sinar grafika, 2007
15