BAB I PENDAHULUAN 1. Geografis Suku Minahasa
Gambar 1. Peta Minahasa (Sumber:http://lerry-maramis.mywapblog.com/suku-minahasa.xhtml.)
Suku Minahasa terletak di Propinsi Sulawesi Utara yang beribukota Manado, mempunyai luas daerah kurang lebih 6.000 km2 terletak antara 0-5 derajat Lintang Utara, dan 120-128 derajat Bujur Timur, adapun perbatasannya antara lain: Sebelah barat
:Propinsi Gorontalo
Sebelah Utara
:Kepulauan Filipina
Sebelah Timur
:Propinsi Maluku
Sebelah Selatan :Propinsi Maluku Secara topografis sebagian besar Suku Minahasa merupakan daerah pegunungan sampai berbukit dan sebagian daerah dataran dan daerah pantai. (Sinta Debora dkk., 2013:2) Suku Minahasa berasal dari kata ‘Minaesa’ yang berarti persatuan. Orang Suku Minahasa memiliki kejuangan identitas sehingga masyarakat ini tidak merasa terjajah.Dalam artikelnya, Jefry Herry Tamboto (2010:3) menuliskan bahwa pakta tersebut ditandatangani pada perjanjian 10
1
Januari 1679, yang secara implisit Belanda mengakui eksistensi masyarakat Manahasa, dan mempunyai kedudukan sama tinggi dengan Belanda. Sehingga pada waktu penjajahan Belanda, Tanah Suku Minahasa dijuluki sebagai ‘De Twaalfde Provintie van Nederland’.
2. Asal Usul Nenek Moyang Suku Minahasa Daerah Suku Minahasa yang terletak di Provinsi Sulawesi Utara diperkirakan telah dihuni sejak ribuan tahun sebelum masehi. Berdasarkan asumsi peneliti suku bangsa Suku Minahasa berasal dari Formosa Taiwan, Keturunan bangsa-bangsa Austronesia dari Formosa Taiwan yang tengah dalam pejalanan panjang yang melalui Filipina dan terus ke Sulawesi. Banyak terdapat kesamaan dari segi bahasa dari Bahasa Suku Minahasa dengan bahasa-bahasa di Formosa Taiwan. Menurut Tendean (1998:76), seorang ahli bahasa dan huruf tionghoa Kuno, 1997 telah melakukan penelitian pada Watu Pinawetangan. Berdasarkan sebuah tulisan yang “Min Nan Tou” yang terdapat pada sebuah batu kuno, ia menafsirkan, “Tou” Suku Minahasa diperkirakan merupakan keturunan raja Ming yang berasal dari tanah Mongolia, yang datang bermigrasi ke Tanah Suku Minahasa. Makna kata dari “Min Nan Tou” adalah orang keturunan raja Ming, Suku Minahasa menurut etimologi maknanya. Sebutan “Suku Minahasa” sebenarnya berasal dari kata, “Mina” yang berarti telah diadakan/telah terjadi dan Asa/Esa yang berarti satu (Jefry Herry Tamboto, 2010:hal 5), jadi Suku Minahasa berarti telah diadakan persatuan atau mereka yang telah bersatu, jadi Suku Minahasa berarti telah diadakan persatuan atau mereka yan telah bersatu.
3. Kependudukan Suku Minahasa Sistem kependudukan yang dianut oleh suku Minahasa beragam, mulai dari sistem pemerintahannya, kemasyarakatan, hingga perkumpulan adat sudah ditentukan sejak dahulu oleh para tetua adat Suku Minahasa. Sistem kependudukan Suku Minahasa dapat dijelaskan sebagai berikut :
2
a. Sistem Pemerintahan Menurut Yoan Friska Angel Tulena (2014:78), pemimpin Minahasa zaman dahulu terdiri dari dua golongan, yakni Walian dan Tona’as. Walian berasal dari kata „wali‟ yang artinya mengantar jalan bersama dan memberi perlindungan. Golongan ini yang memimpin setiap upacara agama asli Minahasa, dan mereka disebut juga golongan Pendeta. Mereka memiliki keahlian luar biasa, seperti membaca tanda-tanda alam dan benda langit, menghitung posisi bulan dan matahari dengan patokan gunung, mengamati munculnya bintang-bintang. Mereka dianggap terpandang di tengah masyarakat karena keahlian dan perannya itu. Sejak zaman dahulu di Minahasa tidak dikenal kerajaan atau tidak mengangkat raja sebagai kepala pemerintahan. Dalam masyarakat Minahasa terdapat empat kategori tokoh masyarakat, yaitu: 1) Walian: pemimpin agama serta dukun 2) Tona’as: orang keras, ahli bidang pertanian, kewanuaan, mereka yang dipilih menjadi kepala walak 3) Teterusan: penglima perang, dan 4) Potuasan: penasehat (Yoan Friska Angel Tulena, 2014:79) Lebih lanjut Yoan menjelaskan bahwa kepala pemerintahan di Minahasa adalah kepala keluarga yang gelarnya adalah Paedon Pati’an yang sekarang kita kenal dengan sebutan Hukum Tua. Kata ini berasal dari Ukung Tua yang berarti orang tua yang melindungi.
b. Sistem Kemasyarakatan Sistem kemasyarakatan yang dianut oleh suku Minahasa terbagi menjadi dua, yaitu : 1) Awu dan Taranak Keluarga batih (rumah tangga) disebut Awu.
3
2) Bangsal Dari perkawinan terbentuklah keluarga besar yang meliputi beberapa bangsal. Kompleks bangsal penduduk yang berhubungan kekeluargaan dinamakan Taranak. Pimpinan Taranak dipegang oleh Aman dari keluarga cikal bakal yang disebut Tu’ur. Tugas utama Tu’ur melestarikan ketentuan adat.
c. Taranak Roong / Wanua Walak Perkawinan antar anggota Taranak membentuk hasil yang kompleks dan semakin luas. Akibatnya terciptalah bangsal dalam satu kesatuan yang disebut Ro’ong atau Wanua. Wilayah hukum Wanua meliputi bangsal itu sendiri dan wilayah pertanian dan perburuan sekitarnya. Pemimpin Ro’ong atau Wanua disebut Ukung. Ro’ong atau Wanua dibagi dalam beberapa bagian yang disebut Lukar (Jefry Herry Tamboto, 2010:60).
d. Paesa in Deken Menurut Jefry Herry Tamboto (2010:62), Paesa in Deken berarti tempat mempersatukan pendapat. Di Suku Minahasa tidak pernah ada pewarisan kedudukan, bila seseorang Tu’ur meninggal dunia, para anggota Taranak, baik wanita maupun pria yang sudah dewasa akan mengadakan musyawarah untuk memilih pemimpin baru. Dalam pemilihan, yang menjadi sorotan adalah kualitas. Kriteria kualitas itu ada tiga (Pa’eren Telu), yaitu: a) Nagasan:Mempunyai otak, dia mempunyai keahlian mengurus Taranak atau Ro’ong b) Niatean:Mempunyai hati, yaitu mempunyai keberanian, ketekunan, keuletan menghadapi segala persoalan, sanggup merasakan yang dirasakan anggota lain ( Yoan Friska, 2014:11).
4
BAB II WUJUD BUDAYA SUKU MINAHASA
1. Budaya Ide/ Konsep Budaya konsp atau ide akan menjelaskan tentang pemikiran-pemikiran rakyat Suku Minahasa mengenai sebuah hal dan pemikiran atau ide tersebut dijadikan sebagai patokan dalam kehidupan dan bisa saja dijadikian untuk tradisi serta sekaligus kepercayaan oleh masyarakat sukunya. Beberapa budaya ide/ konsep dari pemikiran Suku Minahasa sebagai berikut : 1.1 Sistem Religi Unsur-unsur kepercayaan pribumi merupakan peninggalan sistem religi sebelum berkembangnya agama Nasrani maupun Islam. Unsur ini mencakup konsep dunia gaib, makhluk dan kekuatan adikodrati Unsur religi terdapat dalam berbagai upacara adat yang berhubungan dengan peristiwa yang dialami di dalam kehidupan individu, seperti kelahiran, perkawinan, kematian, maupun pemberian kekuatan gaib. Unsur ini tampak dalam wujud kedukunan yang sampai sekarang masih dilestarikan. Usaha manusia untuk mengadakan hubungan dengan makhluk gaib dengan mengembangkan suatu kompleks sistem upacara pemujaan yang dahulu dikenal sebagai na’amkungan atau ma’ambo atau masambo. (Sinta Debora Dkk, :2013:19) Dalam mitologi orang Suku Minahasa dahulu mengenal banyak dewa. Masyarakat Suku Minahasa menyebut Dewa dengan nama empung atau opo, dan untuk dewa yang tertinggi disebut Opo Wailan Wangko. Dewa yang penting sesudah dewa tertinggi adalah Karena. Opo Wailan Wangko dianggap sebagai pencipta seluruh alam dengan isinya. Karena yang mewujudkan diri sebagai manusia adalah penunjuk jalan bagi Lumimu’ut (wanita sebagai manusia pertama) untuk mendapatkan keturunan seorang pria yang kemudian dinamakan To’ar, yang juga dianggap sebagai pembawa adat, khususnya cara-
5
cara pertanian, yaitu sebagai cultural hero (dewa pembawa adat). (Sinta Debora Dkk, 2013:23) Majalah Sinta Debora Dkk, (2013:26) menjelaskan lebih lanjut bahwa Roh leluhur juga disebut opo, atau sering disebut datu yang pada masa hidupnya adalah orang yang dianggap sakti (bisa kepala walak dan komunitas desa, tona’as). Dapat disimpulkan bahwa agama resmi orang Suku Minahasa adalah Protestan, Katholik, dan Islam. Komponen pribumi terpadu bersama komponen Kristen di luar upacara formal gerejani, seperti dalam upacara life circles dan dalam kehiduan sehari-hari.
1.2 Sistem Kekerabatan Neoloka Adat kekeraban Neoloka merupakan sistem kekerabatan yang dianut oleh Suku Minahasa sejak dahulu. Adat menetap setelah menikah pada masyarakat Suku Minahasa adalah neoloka (biasa disebut tumampas). Neoloka berarti pasangan yang baru menikah tinggal di kediaman yang baru (tidak mengelompok di kediaman kerabat si suami ataupu si istri). Pada kenyataannya, adat menetap neoloka ini bukan merupakan kewajiban. Setiap pasangan yang baru menikah dapat tinggal di tempat kerabat laki-laki hingga mereka memperoleh rumah sendiri (Woro Aryandini, 2011:76). Secara umum, setiap orang di Suku Minahasa diperbolehkan menetapkan jodohnya tanpa ada paksaan dari orang tua. Pada zaman dahulu, dalam hal pembatasan jodoh, ada adat eksogami yang mewajibkan orang untuk menikah diluar famili. Artinya, kelompok kekerabatan yang mencakup semua anggota keluarga batih dari saudara-saudara sekandung ibu dan ayah, baik laki-laki maupun perempuan, beserta semua keluarga batih dari anak-anak mereka (Woro Aryandini, 2011:83).
6
2. Budaya Tindakan/ Tradisi 2.1 Upacara Adat Menurut Woro Aryandini (2011:40). Budaya tindakan/ tradisi yang dilakukan oleh Suku Minahasa adalah bentuk aplikasi dari sebuah konsep pemikiran, dan dalam pembahasan budaya tindakan/ tradisi ini ada beberapa upacara adat yang dilakukan oleh Suku Minahasa antara lain: a. Monondeaga
Gambar 2. Upacara Monondeaga (Sumber : https://indoculture.wordpress.com/ 2011/11/22/sekilas-perkawinan-minang/.)
Monondeaga adalah upacara adat dari daerah Bolaang Mongondow yang dilaksanakan pada waktu anak gadis memasuki masa akil baliq yang ditandai dengan datangnya hari pertama. Daun Tmupuk im beneelinga dilobangi dan dipasangi anting kemudian gigi diratakan sebagai pelengkap kecantikan dan tanda telah dewasa.
b. Mupuk Im Bene Mupuk Im Bene adalah upacara adat berupa pengucapan syukur pallen pactio
dimana
masyarakat
membawa
segantang/sekarung padi bersama hasil
atau
mempersembahkan
ladang lainnya disuatu tempat
(lapangan atau dirumah gereja) untuk didoakan. (Woro Aryandini, 2011:49). Dan setiap rumah/ keluarga menyiapkan beragam makanan dan makan bersama dengan para tamu dengan sukaria
7
c. Metipu Metipu merupakan upacara adat dari berupa penyembahan kepada Sang Pencipta alam semesta yang disebut “benggona langi duatan saluran”, dengan membakar daun-daun dan akar-akar yang mewangi dan menimbulkan asap membumbung kehadirat-Nya (Woro Aryandini, 2011:53). Upacara ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur kepada sang pencipta dan berkah yang selalu didapat setiap saat
d. Watu Pinawetengan
Gambar 3. Watu Pinawetengan (Sumber : http://www.kompasiana.com/losnito/watu-pinawetenganbatu-tempat-pembagian-suku minahasa_55129650a33311ce5cba7db5.)
Suku Minahasa. Pada penanggalan Masehi itu digelarlah upacara adat Watu Pinawetengan, sebuah upacara penuh makna bagi persatuan masyarakat setempat. Watu Pinawetengan sebagai warisan leluhur Suku Minahasa dan merupakan bukti bahwa demokrasi dan persatuan sudah ada sejak dahulu. Berdasarkan cerita rakyat, terdapat sebuah batu besar yang disebut Tumotowa yakni batu yang menjadi altar ritual sekaligus menandai berdirinya permukiman suatu komunitas. Johann Albert Traugoti Schwarz, (2000:25) seorang misionaris Belanda keturunan Jerman, pada tahun 1888 berinisiatif melakukan penggalian di bukit Tonderukan yang sekarang masuk wilayah kecamatan Tompaso, Suku Minahasa, Sulawesi Utara (Sulut). Ternyata penggalian berhasil menemukan batu besar yang membujur dari timur ke barat. Batu tersebut merupakan tempat bagi para pemimpin upacara adat memberikan
8
keputusan (dalam bentuk garis dan gambar yang dipahat pada batu) dalam hal membagi pokok pembicaraan, siapa yang harus bicara, serta cara beribadat dan sudah mengenal asaas demokrasi.
e. Upacara Pemakaman Mula-mula Suku Minahasa Awal mula Suku Minahasa mengubur orang meninggal sebelum ditanam terlebih dulu dibungkus dengan daun woka (sejenis janur). Lambat laun, terjadi perubahan dalam kebiasaan menggunakan daun woka. Kebiasaan dibungkus daun ini berubah dengan mengganti wadah rongga pohon kayu atau nibung kemudian orang meninggal dimasukkan ke dalam rongga pohon lalu ditanam dalam tanah. Baru sekitar abad IX Suku Minahasa mulai menggunakan waruga. Orang yang telah meninggal diletakkan pada posisi menghadap ke utara dan didudukkan dengan tumit kaki menempel pada pantat dan kepala mencium lulut. Tujuan dihadapkan ke bagian Utara yang menandakan bahwa nenek moyang Suku Minahasa berasal dari bagian Utara. Sekitar tahun 1860 mulai ada larangan dari Pemerintah Belanda menguburkan Orang meninggal dalam waruga. Kemudian di tahun 1870, Suku Minahasa mulai membuat peti mati sebagai pengganti waruga, karena waktu itu mulai berjangkit berbagai penyakit, di antaranya penyakit tipus dan kolera.
f. Upacara Perkawinan
Gambar 4. Upacara Perkawinan (Sumber : http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1053/pakaian-adat-sulawesi-utara./)
9
Upacara Perkawinan adat Suku Minahasa dapat dilakukan di salah satu rumah pengantin pria ataupun wanita. Di Lawongan – Totemboan, upacara dilakukan dirumah pihak pengantin pria, atau di TomohonTombulu di rumah pihak pengantin wanita. Ada perkawinan yang dilaksanakan secara Mapalus dimana kedua pengantin dibantu oleh mapalus warga desa, seperti di desa Tombuluan. Orang Suku Minahasa penganut agama Kristen tertentu yang mempunyai kecenderungan mengganti acara pesta malam hari dengan acara kebaktian dan makan malam. Orang Suku Minahasa di kotakota besar seperti kota Manado, mempunyai kebiasaan yang sama dengan orang Suku Minahasa di luar Suku Minahasa yang disebut Kawanua. Pola hidup masyarakat di kota-kota besar ikut membentuk pelaksanaan upacara adat perkawinan Suku Minahasa, menyatukan seluruh proses upacara adat perkawinan yang dilaksanakan hanya dalam satu hari (Toki Pintu, Buka/Putus Suara, Antar harta, Prosesi Upacara Adat di Pelaminan). (Sinta Debora Dkk, , 2013:10)
2.2 Pembuatan Rumah Tombulu Setiap etnik di Suku Minahasa dari dahulu memiliki adat-istiadat dan bahasanya sendiri. Adat-istiadat mereka tampaknya tidak berlaku lagi, tetapi hasil penelitian akhir-akhir ini di desa Tonsea, misalnya upacara kematian dan upacara perkawinan dan pendirian rumah (Lumempouw F, 1996:15) menunjukkan bahwa adat istiadat itu masih ada dan tumbuh dengan subur walaupun sudah berbaur dengan hal-hal yang baru. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka tidak menutup kemungkinan bahwa adat-istiadat seperti perkawinan, kematian dan pendirian rumah masih berlaku di daerah Tombulu. Arsitektur
Pembuatan
Rumah
konstruksi
bangunan
rumah
memperlihatkan dua aspek, yaitu : (a) yang bersifat prosesual (b) yang merupakan hasil akhir dari aspek prosesual.
10
Dalam proses pembuatan rumah menurut adat Tombulu di Suku Minahasa sangat syarat akan makna dengan bahasa-bahasa yang digunakan. Bahasa yang digunakan pada peristiwa budaya dalam proses pembuatan rumah menurut adat Tombulu di Suku Minahasa merupakan symbol yang digunakan untuk mengungkap peta kognitif masyarakat yang bersangkutan. Hal ini dapat dilihat bahwa pandangan masyarakat Tombulu tentang pembangunan rumah memang membutuhkan suatu persiapan yang sangat matang. Masyarakat Tombulu senang dengan kehidupan keluarga dan dekat dengan keluarga. Oleh karena itu maka rajin, tekun, ulet dan suka bekerja keras (Femmy Lumempouw:1996:118).
2.3 Tradisi Tarian Maengket
Gambar 5. Tradisi Tarian Maengket (Sumber : http://www.budayaindonesia.net/2014/02/ tari-maengket-tari-tradisional-minahasa.html.)
Maengket dari kata dasar engket yang artinya mengangkat tumit turun naik Fungsinya sebagai rangkaian upacara petik padi. Penarinya membentuk lingkaran dengan langkah-langkah yang lambat, disebut Maengket Katuanan (Woro Aryandini:2011:54). Ada tiga macam Tari Maengket yaitu: a) Tari Maowey Kamberu, bagaimana masyarakat berdoa atas hasil panen b) Marambak adalah pengucapan syukur atas selesainya ramah baru c) Lalayaan mengekspresikan kegembiraan masyarakat Pemimpin tari adalah wanita sebagai ‘Walian in uma’, pemimpin upacara kesuburan pertanian dan kesuburan keturunan, dibantu oleh ‘Walian im penguma’an’, lelaki dewasa. Pemimpin golongan Walian atau golongan agama asli (agama suku) disebut ‘Walian Mangorai’, seorang wanita tua yang
11
hanya berfungsi sebagai pengawas dan penasehat dalam pelaksanaan upacaraupacara kesuburan. Untuk memulai tarian maka si pemimpin tarian Maengket menari
melambai-lambaikan
saputangan
mengundang
Dewi
Bumi
(Lumimu’ut) dan setelah kesurupan Dewi Bumi, Ada tiga orang leluhur Suku Minahasa yang bergelar Muntu-untu dan isterinya bernama Lingkanwene. Yang pertama kemungkinan hidup pada abad ke-9, yang kedua abad ke-12, yang ketiga abad ke-15-16. (Woro Aryandini, 2011:59)
3. Budaya Artefak Banyak peninggalan ataupun hasil kebuayaan yang dihasilkan dari Suku Minahasa. Diantaranya berupa baju adat, rumah adat, senjata tradisional dan lainnya. Dalam pembahasan budaya artefak ini akan diulas bebrapa buadaya artefak dari Suku Minahasa sebahgai berikut : 3.1 Kain Bentnan
Gambar 6. Kain Bentnan (Sumber: https://tintonabadhy07.wordpress.com/.)
Kain tenun Suku Minahasa telah dari Suku Minahasa Sulawesi Utara sekitar hampir 200 tahun lalu, ialah kain yang ditenun dengan menggunakan benang kapas dan diberi bahan pewarna alam.Umumnya kain tenun Suku Minahasa pada saat itu, ditenun dalam bentuk Pasolongan (bundar, seperti kain sarung namun tanpa sambungan/jahitan).Pembuatan kain tenun Bentenan ini sangat sulit (teknik menenun yang tinggi), sehingga memakan waktu berbulan-bulan.Itu sebabnya, kain ini mempunyai nilai tinggi. Tapi bukan saja karena teknik pembuatannya yang mengakibatkan nilainya sangat tinggi,
12
namun juga pada saat menenun, didendangkan lagu-lagu ritual dan dengan doa yang dipanjatkan sebelum penenunan dimulai. Oleh karenanya, pada waktu itu kain ini dipakai sebagai emas kawin. (Raturandang, 2007:41) Karena cara pembuatannya yang cukup sulit sehingga, kain tenun Bentenan, saat itu hanya digunakan oleh orang-orang tertentu pada acaraacara tertentu pula, seperti oleh para pemimpin adat (Tonaas) dan pemimpin agama/sukt (Walian) dalam upacara adat dan upacara agama. Kain tenun bentenan berperan utama dalam lingkaran kehidupan manusia, seperti lahir, menikah dan meninggal. Bayi lahir dibungkus dengan kain tenun bentenan. Pada upacara perkawinan juga menggunakan kain tenun bentenan. Bahkan upacara pemakaman pun kain tenun Bentenan digunakan untuk membus jenazah. Para pemimpin masyarakat menggunakan kain tenun Bentenan di kursi tamu dan dinding ruang tamu sebagai simbol status sosial Menurut Fong dalam Samovar (2010:184), Kain tenun Bentenan yang paling tinggi nilainya digunakan untuk upacara adat ialah Tinonton Mata symbol leluhur pertama orang Suku Minahasa yaitu Toar-Lumimuut. Sedangkan kain tenun Bentenan yang bernilai tinggi sebagai alat tukar menukar adalah motif ragam hias kain Patola India, seperti motif Kaiwu Patola. Motif Kaiwu Patola, Tinonton Mata, Tinompak Kuda yang sudah bisa diproduksi kembali (Raturandang, 2007:54) Keberadaan kain Bentenan yang sudah diterima masyarakat secara luas, harus diupayakan agar keberadaan kain ini semakin diketahui masyarakat, seperti asal-usulnya,cara pembuatannya, dan arti dari setiap motif atau gambar yang ada pada gambar di kain Bentenan sehingga masyarakat lebih paham dan menghayati kain Bentnan. (Hera Lotulung:2012:350)
13
3.2 Pakaian Adat Wuyang
Gambar 7. Pakaian Adat Wuyang (Sumber : http://kebudayaanindonesia.net/ kebudayaan/1053/pakaian-adat-sulawesi-utara.)
Pada jaman dahulu busana sehari-hari wanita Suku Minahasa terdiri dari baju sejenis kebaya, disebut wuyang (pakaian kulit kayu), memakai gaun yang disebut pasalongan rinegetan yang bahannya terbuat dari tenunan bentenan. Kaum pria memakai baju karai, baju tanpa lengan dan bentuknya lurus, berwarna hitam terbuat dari ijuk. (Sinta Debora Dkk, magazine:2013 :14). Sinta Debora Dkk, menjelaskan lebih lanjut bhawa Busana Tona’as Wangko merupakan baju kemeja lengan panjang berkerah tinggi, potongan baju lurus, berkancing tanpa saku. Sebagai kelengkapan baju dipakai topi berwana merah dihiasi dengan motif bunga padi warna kuning keemasan pula. Busana Walian Wangko pria merupakan modifikasi bentuk dari baju Tona’as Wangko. Warna putih dengan hiasan corak bunga padi, dilengkapi topi porong nimiles, terbuat dari lilitan dua kain berwana merah hitam dan kuning emas, melambangkan penyatuan langit dan bumi, alam dunia dan alam baka. Busana Walian Wangko panjang tanpa kerah dan kancing, berwarna putih dan ungu dengan hiasan bunga terompet, kain sarong batik warna gelap dan topi mahkota (kronci), selempang warna kuning dan merah, selop, kalung leher dan sanggul (Sinta Debora Dkk, magazine:2013 :14)
14
3.3 Rumah Walewangko
Gambar 8. Rumah Walewangko (Sumber : http://kebudayaan1.blogspot.co.id/2013/11/mengenal-Walewangko-rumah-adatsulawesi.html. )
Rumah adat khas Suku Minahasa disebut dengan Walewangko. Rumah adat ini berdiri di atas tiang dan balok-balok yang mendukung lantai, dua di antaranya tidak boleh disambung. Kolong Rumah Pewaris digunakan untuk menyimpan hasil bumi (godong). Pintu rumah terletak di depan, tetapi tangga naik terdapat di kiri dan kanan serta bagian tengah belakang rumah. Ruang paling depan, disebut lesar, tak berdinding, tempat kepala suku atau kepala adat memberikan maklumat kepada rakyat. Ruang tengah, disebut pores, tempat untuk menerima tamu yang masih ada ikatan keluarga serta tempat menerima tamu wanita. Di ruang tengah ini terdapat kamar-kamar tidur. Ruang makan keluarga serta tempat kegiatan sehari hari wanita berada di bagian belakang, bersambung dengan dapur. Rumah Pewaris memiliki dua buah tangga. letaknya di sisi kiri dan kanan bagian depan rumah. Dua buah tangga tersebut dimaksudkan untuk mengusir roh jahat. Jika roh jahat yang naik dari salah satu tangga, maka ia akan kembali turun di tangga sebelahnya. Kelebihan dari rumah panggung Suku Minahasa adalah sudah terbukti tahan gempa dan gampang sekali untuk bongkar pasangnya sehingga kalau dipindahpindah sangat praktis. Ciri khas dari rumah adat Suku Minahasa juga adalah warna kayunya dibiarkan secara alami dan tidak dicat disentuh cat baik luar maupun dalam, jadi secara ekologi sangat ramah lingkungan (Sinta Debora Dkk, :2013:21)
15
3.4 Temuan Bebatuan Kuno a. Waruga
Gambar 9. Waruga (Sumber :http://www.wikiwand.com/id/Waruga.)
Salah satu sisa megalit yang begitu terkenal di Suku Minahasa adalah Waruga (peti kubur batu). Dalam bahasa Suku Minahasa Kuna kata Waruga berasal dari dua kata:wale dan maruga. Wale artinya rumah; dan maruga artinya badan yang hancur lebur menjadi debu. Peti kubur batu ini terdiri atas dua bagian:badan dan tutup. Tiap bagian terbuat dari sebuah batu utuh (monolith). Waruga adalah kuburan atau makam tua yang berlokasi di Suku Minahasa. Makam ini yang terbuat dari batu yang dipahat dan dibentuk seperti rumah telah ada sejak tahun 1600-an. Pada jaman itu masing-masing keluarga memiliki makam sendiri yang terbuat dari batu. Jumlah Waruga yang ada di lokasi pemakaman hingga kini sebanyak 104 dotu atau marga. Beberapa dotu yang masih bisa diketahui adalah Wenas, Karamoy, Kalalo, Tangkudung, Rorimpandey, Mantiri, dan Kojongiang ( Hera Lotulung:2011:66)
16
a. Watu Tumotowa
Gambar 10. Watu Tumotowa (Sumber : http://onewebid.blogspot.co.id/2014/03/10-batu-zaman-megalitikum-yang-paling.html.)
Dalam bahasa setempat menhir disebut sebagai watu Tumotowa , yaitu batu tegak berbentuk tugu untuk menandai pembangunan sebuah desa. Kabanyakan menhir di daerah ini bentuknya sederhana sesuai dengan aslinya (alamiah) dan tidak berhiasan. Watu Tumotowa yang diketemukan di Suku Minahasa kebanyakan berukuran kecil, tingginya 20-50- cm, diameter 15-30 cm. Namun ada pula menhir yang cukup besar yang diketemuka di Desa Lelema di Kecamatan Tumpaan, yang berukuran tinggi sekitar 200 cm dan lebar antara 20-40 cm. Watu Tumotowa ini ada 61 buah ( Hera Lotulung:2011:68) b. Lesung Batu Tonsawang
Gambar 11. Tonsawang (Sumber : https://indoculture.wordpress.com/2009/04/12/lesung-batu-Tonsawang/)
Lesung batu ini kebanyakan ditemukan di Suku Minahasa bagian Selatan, berupa batu tunggal (monolith), bentuknya bermacam-macam. Salah satu lesung batu yang menarik adalah menyerupai dandang (wadah
17
untuk menanak nasi), Ada yang menyerupai tifa (gendang dari Indonesia bagian Timur), ada yang berbentuk bundar seperti bola dengan lubang di bagian atasnya. Lesung yang berbentuk seperti itu biasanya berukuran lebih kecil dari pada lesung yang berbentuk dandang atau tifa, ada yang berbentuk silinder yang berukuran seperti lesung yang berbentuk dandang. Semuanya ada 32 buah (Sinta Debora Dkk, :2013:27)
c. Arca Menhir
Gambar 12. Arca Menhir (Sumber : http://onewebid.blogspot.co.id/2014/03/10-batu-zaman-megalitikum-yang-paling.html)
Altar batu ialah batu yang berbentuk segi empat atau bulat bahkan sering tidak beraturan, yang memiliki bagian datar, terutama pada bagian permukaan (bagian atasnya) sehingga berbentuk seperti meja. Jenis megalit ini dipakai sebagai sarana untuk melakukan peribadatan oleh masyarakat yang memiliki kepercayaan pada roh-roh leluhur. Sampai saat ini ada sembilan altar batu yang telah ditemukan di Suku Minahasa. Batu dakon juga merupakan alat upacara untuk memohon pertolongan kepada roh nenek moyang agar memperoleh hasil panen yang baik serta mengharapkan kesuburan tanah. Batu dakon ini terbuat dari bongkahan batu yang diberi lubang–lubang seperti halnya pada alat permainan dakon. Di Suku Minahasa batu dakon hanya diketemukan sebanyak enam buah saja ( Hera Lotulung:2011:75)
18
DAFTAR PUSTAKA
Buku: Adam, L. 1979. Adat Istiadat Suku Bangsa Minahasa. Jakarta:Bhratara. Jessy Wenas. 2007. Sejarah & Kebudayaan Minahasa. Jakarta:Penerbit Institut Seni Budaya Sulawesi Utara. Haun Hadiwijono. 1985. Religi Suku Murba di Indonesia. Jakarta Pusat:BPK Gunung Mulia. Internet: R.01. 2009. Supit:Minahasa teladan demokrasi Indonesia. http://www.suaramanado.com/berita/minahasa/sosialbudaya/2012/12/5757/supit-minahasateladan-demokrasi-indonesia. Diakses 25 September 2015 pukul 19.47. Yoan Friska Angel Tulena. 2014. Journal Perkembangan Jumlah Penduduk Dan Luas Lahan Pertanian Di Kabupaten Minahasa Selatan. Manado:Universitas Sam Ratulangi Fakultas Pertanian http://www.djpk.kemenkeu.go.id/attachments/article/257/18.%20sulawesi%20utara.p df. Diakses 25 September 2015 pukul 16.38. http://eprints.ung.ac.id/6577/4/2013-1-88209-341408039-bab1-18072013015709.pdf. Diakses 25 September 2015 pukul 16.53.
Jurnal : Jefry Herry Tamboto. 2010. Journal Interlingua Vol 4 – Kajian Etnolinguistik Tentang Konstruk Nilai Budaya Lokal Menghadapi Persaingan Global. Manado:Universitas Sam Ratulangi Femmy Lumempouw. 2009. Proses Pembuatan Rumah Menurut Adat di Daerah Tombulu. Jultje Aneke Rattu. 2009. Kearifan Lokal pada Minahasa sebagai Identitas Minahasa. Manado:Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sam Ratulangi Richar Petrus Mantiri. 2009. Perkawinan Adat Suku Tonsea Minahasa. Surabaya:ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga Woro Aryandini. 2011. E-Book – Bahan Ajar Budaya Nusantara II. E-Magazine Manjo’ KaLailem - EdisiKKN PPM UGM SLU 05 – 2015
19
WAWASAN BUDAYA NUSANTARA MENGANALISIS SUKU MINAHASA Disusun Untuk Memenuhi Tugas Wawasan Budaya Nusantara Dosen Pengampu:Ranang Agung S., S.Pd., M.Sn Program Studi Televisi Dan Film Jurusan Seni Media Rekam
Disusun oleh : HELVANA DEWI Y
14148143
FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA 2015
20
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1 1. Geografis Suku Minahasa ......................................................................................... 1 2. Asal Usul Nenek Moyang Suku Minahasa ............................................................... 2 3. Kependudukan Suku Minahasa ................................................................................ 2 a. Sistem Pemerintahan ............................................................................................ 3 b. Sistem Kemasyarakatan ....................................................................................... 3 c. Taranak Roong / Wanua Walak ........................................................................... 4 d. Paesa in Deken ..................................................................................................... 4 BAB II WUJUD BUDAYA SUKU MINAHASA ....................................................... 5 1. Budaya Ide/ Konsep.................................................................................................. 5 1.1 Sistem Religi....................................................................................................... 5 1.2 Sistem Kekerabatan Neoloka.............................................................................. 6 2. Budaya Tindakan/ Tradisi ........................................................................................ 7 2.1 Upacara Adat ...................................................................................................... 7 2.2 Pembuatan Rumah Tombulu ............................................................................ 10 2.3 Tradisi Tarian Maengket .................................................................................. 11 3. Budaya Artefak ....................................................................................................... 12 3.1 Kain Bentnan .................................................................................................... 12 3.2 Pakaian Adat Wuyang ....................................................................................... 14 3.3 Rumah Walewangko ......................................................................................... 15 3.4 Temuan Bebatuan Kuno ................................................................................... 16
21