Jurnal Tingkat Sarjana Bidang Seni Rupa
SUBJECT AS VISIBLE OBJECT Nama Mahasiswa
: Laura Valencia
Nama Pembimbing
: Oco Santoso, S.Sn, M.Sn
Program Studi Sarjana Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB Email:
[email protected]
Kata Kunci : ego, gaze, liyan, abjection
Abstrak Pada saat manusia menyadari keberadaan dirinya sendiri, di waktu yang sama dia juga menyadari adanya keberadaan liyan, atau „yang lain‟. Hal ini menimbulkan efek psikologis dimana subjek kehilangan sebagian otonominya setelah menyadari bahwa dia adalah objek terlihat. Subjek mulai merasakan gaze, tatapan dari lingkungan sekitarnya yang selalu memperhatikan, menilai, dan mengukur apapun yang dia lakukan. Manusia sebagai bagian dari masyarakat, mau tidak mau harus mengikuti berbagai sistem dan tradisi bila tidak ingin dicap „berbeda‟. Dan gaze seringkali menekan kebebasan serta hasrat seseorang yang ingin berlaku di luar kebiasaan. Pada karya tugas akhir ini, penulis ingin menyampaikan ketidaknyamanan yang dirasakan dalam kehidupan sehari-hari akibat gaze. Penulis merasa bahwa sistem yang berlaku di masyarakat, terutama di Indonesia, masih kaku dan tidak jarang terjadi upaya pemberantasan bagi mereka yang dianggap melanggar norma. Standar penilaian yang digunakan untuk memandang seseorang pun umumnya diterapkan secara universal, sesuatu yang seharusnya bersifat relatif menurut penulis. Melalui objek yang dilukis, penulis ingin menggambarkan kalau kelompok-kelompok acap kali menjadi korban gaze juga berhak untuk menatap semua orang dengan setara.
Abstract When human became aware of themselves, at the same time he also became aware of the existence of liyan or „the others‟. This caused psychological effect in which the subject lose a part of his autonomy after it realized that he is the perceive object. The subject being conscious of the gaze, thus become an object of it‟s surroundings that always observe, asses, and judge every action he takes. As a part of society, human inevitable must obey various systems and traditions if he does not want to be considered different. Gaze often suppresses freedom and desires of someone who wants to act outside the norm. For this final assignment, the author wishes to convey the anxiety that is felt in everyday life as a consequence of gaze. The author felt that the system that prevails in our society, especially in Indonesia, is not flexible enough. It is not uncommon for those who violate the norm to face severe punishments. The standards by which they were judged were considered universal, whereas the author felt that is should be relative. Through paintings, the author wishes to portray that every victim of gaze also have the rights to exercise their gaze on others equally.
1.
Pendahuluan
Saat manusia menyadari keberadaan dirinya sendiri, di waktu yang sama dia menyadari adanya keberadaan liyan, atau yang lain. Menurut Lacan, awal pengenalan identitas diri hadir ketika seseorang mengalami apa yang disebut dengan fase cermin. Fase cermin berlangsung dalam bentuk keterbelahan antara aku yang melihat dan aku yang dilihat. Lacan menarik konsep ini ke tahap gaze, sebuah istilah psikoanalisis untuk mendeskripsikan perasaan cemas yang datang dengan kesadaran bahwa seseorang dapat dilihat. Efek psikologis dimana subjek kehilangan sebagian otonominya setelah menyadari bahwa dia adalah objek terlihat (visible object).
Lacan membahas tiga konsep; kebutuhan (need), permintaan (demand), dan hasrat (desire) yang nanti akan dihubungkan dengan tiga area dimana manusia berkembang, yaitu the Real, Imajiner, dan Simbolik. Seiring berjalannya waktu, manusia harus mengalami kehilangan penyatuan primal dan keamanan yang biasanya ia dapatkan, untuk menjadi manusia yang berbudaya. Inilah episode tragis dalam tahapan the Real. The Real bersifat maternal, area dimana darinya kita muncul- dan ironisnya, sifat dasar yang harus segera terpisah dari kita agar memiliki budaya. Proses ini membawa manusia mengenal bahasa. Bagi Lacan, bahasa bukan hanya medium ungkapan pikiran sadar dan hasrat, tetapi juga merupakan symbolic order atau tatanan simbolik antara signifier (penanda) dan signified (petanda). Penanda beroperasi secara negatif. Sebuah penanda tidak serta merta menunjuk petanda tertentu, melainkan penanda yang lain. Misalnya penanda „ibu‟ hadir karena adanya „ayah‟. Karenanya identitas hanyalah kesemuan dalam penanda. Lebih jauh lagi, bahasa membentuk segala sesuatu yang ada di sekitar kita. Ferdinand de Saussure melihat bahasa terdiri dari imaji akustik (kata dan bunyi) yang terkait dengan konsep (benda atau ide). Kaitan keduanya merupakan hasil kesepakatan yang bersifat sewenang-wenang (arbitrary) (Piliang : 2004). Konvensi sosial inilah yang mengatur rantai komunikasi antara semua subjek yang terlibat, termasuk misalnya alam dan Tuhan. Penulis merasa sistem yang ada di sekelilingnya terbentuk oleh penandaan ini. Semua batasan, kelas, golongan, tidak lebih dari sebuah label yang diberikan oleh komunitas. Kaya, miskin, terhormat, kaum marjinal, kelompok religius, ateis, nihilis, semuanya terbentuk oleh batasan dan parameter yang diciptakan. Terkadang semua sistem baik-buruk ini membuat manusia terbawa (kalau tidak tenggelam) dalam arus kehidupan modern. Mereka yang berjabatan tinggi, memiliki banyak harta, beriman kuat, acapkali dijadikan panutan sebagai golongan terhormat yang sukses dalam menjalani hidup. Sebaliknya, orang-orang yang melanggar „norma‟; kaum gay, ateis, pengemis, dan semacamnya dianggap menjalani kehidupan yang tabu. Bahasa tak lebih dari sebuah sistem mekanik dalam pemikiran semiotika struktural Saussurean, dimana subjek harus menggunakannya berdasarkan khazanah tandatanda yang telah tersedia dan dengan kode yang telah disepakati, kalau dia ingin menjadi anggota komunitas bahasa. Menurut Yasraf Amir Piliang dalam bukunya, Hipersemiotika, para pemikir poststrukturalis seperti Derrida dan Kristeva mengkritik ketergantungan bahasa pada struktur dan kode, sehingga setiap tanda pada akhirnya harus bermuara pada kebenaran makna tunggal, pada logos (kebenaran maha besar), termasuk pada Tuhan. Padahal sesungguhnya, bahasa yang kita terima pun sudah mengalami banyak distorsi dan penafsiran yang berbeda-beda. Salah satu kecenderungan tekstual yang berkembang dalam wacana postmodernisme adalah dekonstruksi, yang oleh Derrida dijelaskan sebagai sebuah bentuk pencairan, peleburan, atau pembongkaran terhadap berbagai konvensi sosial, kode kultural, atau kebenaran ilahiah yang disepakati bersama. Dengan dibongkarnya setiap batas- misalnya batas baik/buruk, benar/salah, moral/amoral- maka yang tercipta adalah sebuah dunia tanpa tabir pembatas. Tak ada lagi batas mengenai apa yang boleh/tak boleh, perlu/tak perlu ― inilah keterlanjangan. Dalam keterlanjangan, dunia kemudian berkembang ke arah oversignified (apapun kini dijadikan sebagai tanda), lalu ke arah overexposed (apapun dapat diekspos menjadi komoditi tanda), dan ke arah overnarrated (apapun boleh dikomunikasikan, dinarasikan, dipertontonkan). Artinya, kini apapun boleh diproduksi, dipamerkan, direkam, difoto, dan difilmkan, selama ia mampu menciptakan kesenangan, kegairahan, kepuasan, dan keuntungan, tanpa perlu lagi asumsi-asumsi moral di baliknya ― anything goes. Namun, dalam kehidupan sehari-harinya penulis merasa bahwa masih terlalu banyak sistem dan aturan yang mengekang. Manusia tidaklah sebebas itu dalam membuat sesuatu. Kemerdekaan hanya ilusi, kita mungkin hanya bebas memilih di antara pilihan yang tersedia oleh keadaan, tapi bukan apa yang sesungguhnya kita inginkan. Misalnya saja, seandainya kita berperilaku di luar norma demi kepuasan kita semata, pastilah kita dianggap aneh, bahkan tidak jarang disingkirkan dalam pergaulan. Sedikit mempertontonkan hal yang tabu pun bisa membawa ke penilaian (judgement) yang benar/salahnya didasarkan pada nilai-nilai dalam masyarakat. Kebebasan kita sebagai individu dibatasi oleh liyan, yang dipandang negatif oleh Sartre. Pengalaman basic anxiety nya seperti ditelantarkan dan ditolak intelektualitasnya membuat Sartre berpendapat bahwa liyan adalah figur yang tidak ramah bagi individu. “Neraka adalah orang lain,” demikian satu kalimat dalam sandiwara yang ia tulis, Huis Clos („Pintu-pintu Tertutup‟). Kita sebagai subjek, merupakan objek bagi orang lain yang sah untuk diperhatikan, diamati, dan dinilai. Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1| 2
Laura Valencia
Hal-hal di atas membuat penulis tertarik untuk membahas mengenai posisi subjek-objek yang relatif, karena sebenarnya penulis merasakan adanya keresahan mengenai posisinya di dunia ini. Penulis acapkali merasa tidak nyaman dengan pandangan orang-orang di lingkungan sekitar, yang pada akhirnya mempengaruhi penulis dalam menjalani hidup. Penulis merasa tidak bisa menunjukkan seperti apa dirinya yang sebenarnya, bertindak sesuai hatinya tanpa mempedulikan reaksi orang lain. Tanpa disadari, kebebasan individu yang dimiliki menjadi berkurang, bahkan identitas yang dimiliki pada akhirnya hanyalah kesemuan yang disebabkan adanya efek penandaan, karena ketika masuk ke dalam dunia bahasa, kita mau tidak mau harus tunduk pada aturan sistem penandaan di ruang bahasa. Keterjebakan dalam bahasa membuat manusia secara tidak sadar masuk dalam lingkaran penanda (circle of signifiers). Konsekuensi logisnya, hasrat tidak dapat menunggangi bahasa, dan bahasalah yang memanipulasi hasrat.
2. Proses Studi Kreatif Gaze seringkali menimbulkan perasaan tidak nyaman yang mengintimidasi bagi beberapa kelompok tertentu. Mereka yang dianggap „aneh‟ atau minoritas dalam sistem masyarakat kemudian menjadi korban. Penulis berangkat dari ketidaknyamanan terhadap gaze yang seolah selalu mengukur dan menilai satu sama lain, seolah ingin memagari sejauh apa batas antara yang normal dan tidak normal, yang sopan dan jorok, atau antara yang baik dan buruk. Tujuan penulis memilih tema “Subject as Visible Object” ini adalah untuk menggambarkan bahwa selain berperan sebagai subjek yang memegang kendali atas apa yang dilihatnya, manusia juga merupakan objek yang bebas untuk dilihat oleh siapa saja. Penulis menggunakan medium lukisan untuk menyampaikan keinginannya terhadap suatu kondisi dimana semua manusia setara tanpa ada penilaian berlebih berdasarkan aturan sekelompok orang tertentu. Menurut penulis, saat ini manusia terpaksa memakai banyak „topeng‟ dalam hidup bermasyarakat. Hampir semua orang merasa takut tertolak oleh komunitas bila dia membuka dirinya begitu saja. Mungkin, justru sifat naluriah manusia berbeda dengan sifat komunal yang terbentuk dalam sistem masyarakat, dan untuk meredamnya kita dituntut selalu mematuhi berbagai peraturan, sistem, adat istiadat, dan sebagainya. Hukum, norma, dan orang lain menjadi batasan kebebasan yang kita miliki. Itu bukanlah sesuatu yang buruk, memang diperlukan suatu batasan agar semua orang bisa hidup berdampingan dengan teratur. Namun, bukankah itu mematikan kehendak bebas bila manusia tenggelam dalam sistem secara keseluruhan? Manusia menjadi kehilangan dirinya sendiri. Egonya, impian, hasrat dan kebebasannya acapkali harus mengalah dengan segala tuntutan di sekitarnya. Dan menurut penulis, gaze adalah salah satu hal yang menyebabkan ketidaknyamanan, saat ada seseorang atau sesuatu yang „berbeda‟. Hal ini lalu berhubungan dengan kegemaran manusia pada keteraturan definisi. Label baik, buruk, pintar, cantik, ganteng, jenius, terbelakang, sukses, kaya, miskin, menjadi ukuran yang dicoba dirasionalisasikan. Tanpa sadar, hampir semua orang berusaha mencapai standar „tinggi‟, meskipun batasannya masih relatif tergantung dimana kita berada. Proses pencapaian standar yang sama pun dapat menimbulkan rasa tenang, sehingga kebanyakan orang rela berbuat lebih untuk mendapatkannya, contohnya seperti McDonaldisasi, yang ditulis oleh George Ritzer dalam bukunya, “McDonaldization of Society : An Investigation into the Changing Character of Contemporary Social Life” (1993), sebuah sistem dengan parameter tertentu yang dengan sukses telah diterapkan restoran cepat saji. Buku ini membahas tentang pengaruh sistem kerja restoran cepat saji tersebut terhadap perubahan karakter dan kehidupan sosial masa kini, sebuah contoh pengaruh upaya rasionalisasi terhadap hidup manusia. Atau misalnya berbagai media seperti majalah Vogue dan People, yang seolah mencontohkan cara hidup yang patut ditiru. Bisa jadi manusia memang tidak pernah bebas, seperti pendapat Foucault yang menolak teori para filsuf Pencerahan bahwa manusia adalah subjek otonom, sebaliknya ia berkata bahwa manusia modern sebagai subjek ataupun objek sebenarnya tidak lebih dari individu yang lahir dan diciptakan oleh multiplisitas kekuasaan melalui disiplin, normalisasi dan regulasi, pengakuan dan penguasaan diri. Secara singkat, karya penulis mengapropriasi visual lukisan Titian menggunakan penggayaan baroque dengan teknik realis. Lukisan Titian dipilih berdasarkan narasi serta komposisi segitiga yang bagi penulis menggambarkan adanya hierarki posisi yang ingin dilenyapkan.
Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 3
Apropriasi dengan meminjam komposisi tiga objek dan cermin dimaksudkan untuk mendukung objek utama yang menjadi penting dan gaze yang dihasilkan oleh refleksinya. Penulis memakai idiom estetik camp, karena menghasilkan sesuatu dari unsur yang telah tersedia dapat membantu penulis dalam menyampaikan maksud serta narasi dalam karyanya. Penulis juga merasa camp cocok untuk menjadi perlambangan „menjatuhkan yang tinggi‟, dan duplikasi serta penggayaan camp menawarkan pilihan visual yang menarik. Baroque merupakan penggayaan yang penulis pilih berdasarkan efek visual dan sosio-historis seperti yang akan penulis jelaskan di bawah. Sedangkan teknik realis dipilih karena menurut penulis, teknik ini membuat penulis merasa bahwa karyanya benar-benar menggambarkan kesehariannya, sesuatu yang mempermudah penulis untuk menjadikan karya sebagai katarsis ketidaknyamanannya. Pada karya-karya pra-TA, penulis mengangkat persoalan tentang interaksi semu antara objek dalam kanvas dengan pengamat. Setelah membaca lebih banyak sumber, penulis semakin menyadari bahwa persoalan yang penulis ingin bahas lebih ditekankan kepada perasaan „terlihat‟ yang sebenarnya tidak nyata. Penulis berangkat dari kegelisahannya mengenai hal ini, dan karenanya penulis ingin membuat objek-objek dalam karya kali ini lebih „melihat‟ daripada terlihat. Cermin dan reflesi objek memberikan ilusi si objek yang tidak dapat ditatap langsung. Kita memang melihat dan „terlihat‟ oleh refleksinya, namun saat tatapan kita beranjak ke objek, yang kita lihat adalah si objek yang menatap cermin, yang kembali membawa pandangan kita ke refleksinya. Perbedaan antar karya ada pada tema kostum dan gestur para objek. Kaum hedonis, religius, gay, lesbian, konservatif, dan hippie menjadi contoh yang diambil penulis untuk menunjukkan perbedaan. Mereka yang umumnya menjadi korban gaze, justru ingin dijadikan penulis sebagai subjek yang berkuasa untuk menatap para pengamat. Seperti kata Nietzsche, keinginan dasar manusia adalah kehendak untuk kekuasaaan (die Wilde zur Macht), dan menurut penulis, tidak adil kalau hanya beberapa pihak tertentu saja yang merasa lebih berhak untuk berkuasa di atas yang lainnya. Adanya kesenjangan antara berbagai kelompok masyarakat baik itu dalam hal kekayaan, cara hidup, agama, ras, gender, dan lain sebagainya membuat ketidaknyamanan akibat gaze semakin menjadi-jadi bagi mereka yang dianggap lebih rendah dalam sistem masyarakat. Secara pencahayaan, penulis memilih terang-gelap ala chiaroscuro. Pencahayaan ini identik dengan zaman Baroque yang berkembang di Itali pada abad-17. Penemuan dalam bidang ilmiah, seperti Galileo yang menemukan planet dan Copernicus yang menyatakan bahwa bumi bukanlah pusat alam semesta, mempengaruhi seni dengan ide baru tentang tempat-tempat dan orang-orang aneh yang mungkin ada di luar sana. Perubahan politik di Italia dan munculnya reformasi Protestan pun turut membawa paradigma baru tentang kesenian pada waktu itu. Baroque adalah jawaban gereja Katolik terhadap reformasi Kristen Protestan. Segala hal yang ditolak oleh Protestan ―sakramen-sakramen, pemujaan santo-santa, dekorasi gereja yang mewah, upacara megah―, dirayakan oleh gereja Katolik dalam gaya baru spektakuler dalam seni dan arsitektur. Tujuan dari baroque adalah membawa kejayaan dari surga turun ke dunia. Untuk mencapainya, interior gereja menjadi teatrikal lebih dari sebelumnya, dengan patungpatung malaikat dan santo yang tak terhitung, menuntun tatapan jemaat ke altar yang tinggi. Orang-orang pada zaman ini juga berusaha menambahkan kesan mewah dalam memperluas batas realita hidup dengan khayalan-khayalan yang fantastis. Sesuatu yang berlebihan atau ketidakwajaran di zaman baroque terlihat dalam cara orang memakai rambut palsu, etiket sopan santun yang kaku, serta dunia yang dipandang sebagai dunia sandiwara dengan adanya pameran, sutradara dan musik. Pada mulanya, penulis tertarik pada penggayaan baroque ini karena penulis merasa bahwa kekontrasaan pencahayaan dan warna-warna gelap sesuai untuk melukiskan aura mengintimidasi yang ingin penulis gambarkan. Perubahan latar belakang menjadi gelap pun dimaksudkan untuk memperkuat kesan mencekam dan menakutkan. Penulis ingin menggambarkan objeknya berbalik menjadi pihak yang menekan dan mengintimidasi, menatap semua di depannya seolah ingin menantang, „memang kenapa kalau aku seperti ini? Apa kamu pikir kamu yang paling benar dan aku salah?‟ Setelah penulis mempelajari latar belakang dan sejarah baroque, barulah penulis juga merasa tertarik dengan sisi sosial dan sejarahnya, karena menurut penulis latar belakang gaya ini menunjukkan adanya usaha meredam perlawanan terhadap sistem yang ada. Gereja Katolik yang merasa terganggu oleh kelompok minoritas yang baru muncul Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1| 4
Laura Valencia
menggunakan sarana visual untuk mempengaruhi pengamat dan membentuk paradigma universal. Penulis menggunakan gaya ini bukan untuk meninggikan yang sudah luhur, namun justru untuk menggambarkan sesuatu yang ditolak oleh sistem masyarakat. Selain itu, baroque juga dipengaruhi oleh munculnya ide bahwa ada yang „lain‟ di luar sana. Menurut penulis, bahkan di kehidupan sehari-hari pun banyak kelompok yang dianggap „lain‟, kelompok yang berada di luar batas „normal‟ yang diterapkan oleh mayoritas masyarakat. Yang penulis amati, kaum mayoritas acap kali memaksa yang „lain‟ ini untuk mengikuti aturan atau tradisi mereka, dan penulis merasa miris betapa hak pribadi dan idealisme seseorang sering diinjak-injak melalui berbagai ancaman atau perlakuan yang berbeda.
3. Hasil Studi dan Pembahasan Medium yang penulis gunakan yaitu oil on canvas. Medium ini dipilih karena cat minyak adalah salah satu media seni lukis, dan lukisan umumnya dikerjakan di atas kanvas. Penulis juga memilih untuk menggunakan cat minyak dibanding akrilik karena cat minyak membutuhkan waktu lebih lama untuk mengering, sehingga memudahkan untuk membuat gradasi dalam bidang besar. Detil-detil dan kekontrasan warna yang ingin penulis capai juga lebih bisa didapat menggunakan medium ini. Teknik yang digunakan merupakan teknik melukis dengan pendekatan realistik berdasarkan pada foto. Menurut penulis, aliran fotorealis menunjukkan kenyataan yang lebih real dibanding aliran-aliran yang mengabstraksi bentuk. Adanya foto sebagai dasar lukisan membuatnya mudah untuk dipercaya bahwa dia benar-benar nyata dan sedang membicarakan sesuatu yang sungguh-sungguh ada di sekeliling kita, yang berarti itu berhubungan langsung dengan kita. Fotografi juga membantu untuk mengambil gambar yang lebih objektif. Bila penulis melukis langsung dari objek, akan terjadi banyak distorsi, karena manusia melihat apa yang ingin dia lihat seperti halnya dia hanya mendengar yang ingin dia dengar. Sedangkan disini penulis ingin membahas manusia seobjektif mungkin, melalui teori-teori tentang psikologis dan seterusnya yang mungkin tidak sepenuhnya benar, tetapi telah divalidasi oleh banyak orang. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa fotografi pun membawa subjektivitas tersendiri. Seperti yang pernah dikatakan oleh Roland Barthes, “proses memotret itu sendiri sebetulnya merupakan proses penghancuran subyek yang dipandang, sebelum akhirnya dihadirkan kembali analoginya di kertas foto dua dimensi. Seolah-olah terjadi reduksi realitas, tetapi sebenarnya berlangsung penafsiran kembali. Seorang pemandang menatap subyek yang dipotret melalui mata seorang fotografer, dan tidak bisa lain.” Artinya dengan melukis image fotografi yang penulis ambil sendiri, otomatis penulis ingin membawa viewer untuk melihat melalui sudut pandang yang penulis lihat. Untuk membahas tentang gaze dan liyan, penulis memilih untuk mengapropiasi karya Titian, Venus with a Mirror (1555), yang menggambarkan Venus beserta dua cupid. Seorang cupid memegang cermin, merefleksikan bayangan venus yang melihat ke arah viewer. Banyak versi lain dari lukisan Venus seperti karya Rubens dan Velazquez, namun penulis tertarik pada komposisi segitiga antara venus dan dua cupid. Posisi ini juga mendukung untuk menjadikan Venus sebagai tokoh utama dalam pencahayaan yang penulis pakai. Karya ini menggambarkan tentang Cupid, anak dari Mars (Dewa Perang) dan Venus (Dewi Cinta), yang berupaya untuk membantu ibunya untuk menjadi wanita paling cantik. Suatu ketika, ada seorang putri raja bernama Psyche yang cantik jelita dan dikagumi oleh banyak orang, bahkan dia disebut sebagai Venus kedua. Banyaknya orang yang akhirnya memuja Psyche dan kemudian mengabaikan pemujaan kepada Venus membuat sang dewi cemburu. Cermin dipilih sebagai simbol cara yang digunakan Cupid untuk memancarkan kecantikan Venus, seolah Venus ingin seluruh dunia melihat bayangan kecantikannya. Menurut penulis, kisah ini menceritakan hal yang paradoks. Seorang dewi, yang dianggap suci dan bersifat ilahiah, terlihat justru sangat manusiawi dengan rasa terancamnya dan penuh hasrat ingin diakui. Dia juga ingin mengontrol Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 5
bahwa dia ingin semua orang melihat refleksinya dan menjadi „korban‟ tatapannya, sebagaimana dia pun menjadi objek tatapan orang lain. Meskipun perbuatannya mungkin tidak sesuai dengan norma seharusnya, namun Venus merasa dia berhak untuk melakukan apa yang diinginkannya. Penulis pun ingin menggambarkan subjek-subjek dalam karyanya dalam keadaan seperti itu. Mereka yang biasanya menjadi korban gaze, di posisi ini berhak pula merasa sebagai subjek pelaku. Mengapa manusia tidak bisa menjadi dirinya sendiri tanpa mempedulikan tatapan orang lain? Mengapa aku harus memiliki banyak topeng untuk dapat diterima? Seperti kata Albert Camus, “nobody realizes that some people expend tremendous energy merely to be normal.”
Gambar 1. Titian. Venus with a Mirror. 1555. 105.5 x 124.5 cm (sumber: http://www.wikipaintings.org/en/titian/venus-in-front-of-the-mirror-1554)
Dalam proses pengerjaannya, penulis memilih objek dan scene berdasarkan ketertarikan sekaligus ketidaknyamanannya. Penulis berangkat dari karya praTA mengenai interaksi semu antara subjek-objek dalam karya. Seiring berjalannya waktu, penulis menyadari bahwa interaksi semu yang diharapkannya adalah keinginan untuk menggambarkan bahwa sebenarnya manusia selalu menjadi objek, siapapun dia. Bahkan di saat kita merasa memegang kendali. Penulis menggunakan kanvas berbagai ukuran dengan perbandingan yang sama untuk melihat sejauh apa dampak ukuran besar terhadap pengamat. Cahaya yang digunakan bersumber dari lampu halogen di ruangan gelap untuk memperoleh hasil gelap-terang yang diinginkan, yaitu pencahayaan chiaroscuro yang sudah penulis jelaskan di bab sebelumnya. Model yang digunakan tidak penting identitasnya, karena bukan siapa dia yang ingin ditonjolkan, melainkan apa posisinya. Semua foto diambil sendiri oleh penulis, dari scene yang juga diatur oleh penulis. Hal ini dilakukan karena penulis ingin mendapatkan kedekatan dengan objek, sekaligus ingin menunjukkan sudut pandang yang diinginkannya.
Gambar 2 Sesi Pemotretan #1 Sumber : Dokumentasi Pribadi
Gambar 3 Sesi Pemotretan #2 Sumber : Dokumentasi Pribadi
Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1| 6
Laura Valencia
Berikut ini adalah dokumentasi sebagian karya tugas akhir penulis :
Gambar 4 The Gaze from a Lesbian 2012 Oil on Canvas 120x80 cm
Gambar 6 The Gaze from a Hippie 2012 Oil on Canvas 120x80 cm
Gambar 5 The Gaze from a Gay 2012 Oil on Canvas 120x80 cm
Gambar 7 The Gaze from an Altar Girl 2011 Oil on Canvas 170x120 cm Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 7
4. Penutup / Kesimpulan Sampai saat ini tidak dapat dipungkiri bahwa sistem penilaian yang berlaku dalam masyarakat merupakan aturan yang ditetapkan oleh sekelompok golongan tertentu, dan diterapkan secara universal dengan mengabaikan berbagai unsur yang tidak dapat dinilai secara mutlak. Misalnya saja, kemerdekaan bagi sebagian orang cukup hanya dengan merdeka dari penjajah dan pemerintahan yang diktator. Tetapi, bagi sebagian lagi mungkin yang penting bagi mereka adalah kebebasan untuk mengungkapkan siapa diri mereka sebenarnya, tanpa merasa takut atau tertekan akibat arketip komunitas, tanpa merasa dikendalikan oleh gaze mayoritas masyarakat. Penulis sendiri terkadang merasakan ketidaknyamanan akibat gaze ini. Baik dari keyakinan penulis yang minoritas, maupun bila penulis sedang berada dalam kelompok yang „terpinggirkan‟ semisal pengamen atau anak-anak jalanan. Beberapa teman penulis yang termasuk kategori aneh menurut masyarakat pun tak jarang menceritakan betapa mereka merasa tertekan dan harus berpura-pura „normal‟ setiap hari agar dapat diterima dalam lingkungannya. Dalam karya tugas akhir ini penulis ingin membuat kelompok-kelompok yang „aneh‟ tersebut menjadi subjek yang penting yang memiliki kuasa untuk menatap siapapun di depannya bagaimanapun kondisi mereka. Penulis merasa cukup puas dengan hasil yang diperoleh, dan selama proses pengerjaan penulis juga mengalami momen-momen katarsis, dimana penulis merasa lega setelah menuangkan visual yang diinginkan. Dalam proses karya pertama sampai terakhir, pemikiran penulis terus berkembang, semakin lama penulis semakin sadar apa yang ingin disampaikan baik dari segi tulisan maupun kekaryaan. Meskipun demikian, penulis juga sadar masih banyak kekurangan yang butuh diperbaiki. Penulis masih harus banyak belajar, mengalami, dan memahami. Karya tugas akhir ini bukanlah hasil final, melainkan titik tolak penulis untuk berkarya ke depannya.
Ucapan Terima Kasih Artikel ini didasarkan kepada catatan proses berkarya/perancangan dalam MK Tugas Akhir Program Studi Sarjana Seni Rupa FSRD ITB. Proses pelaksanaan Tugas Akhir ini disupervisi oleh pembimbing Oco Santoso, S.Sn, M.Sn.
Daftar Pustaka Berger, John. 1973. Ways of Seeing. London: British Broadcasting Corporation and Penguin Books. Craughwell, Thomas J. 2008. The Book of Art. New York : Black Dog & Leventhal Publisher, Inc. Foster, Hal. The Return of The Real. 1996. Bembo : Graphic Compotition, Inc Lacan, Jacques. 1964. The Four Fondamental Concepts of Psycho-analysis. London: Hogarth Press. Lacan, Jacques. 1988. Seminar One: Freud's Papers On Technique Piliang, Yasraf Amir. 2004. Hypersemiotika : Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Bandung : Jalasutra Ritzer, George. 1993. McDonaldization of Society : An Investigation into the Changing Character of Contemporary Social Life. Thousand Oaks: Pine Forge Press Sontag, Susan. 1964. Notes on Camp. Unknown Publisher.
Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1| 8
Laura Valencia
SURAT PERSETUJUAN PEMBIMBING TA Bersama surat ini saya sebagai pembimbing menyatakan telah memeriksa dan menyetujui Artikel yang ditulis oleh mahasiswa di bawah ini untuk diserahkan dan dipublikasikan sebagai syarat wisuda mahasiswa yang bersangkutan. diisi oleh mahasiswa
Nama Mahasiswa
Laura Valencia
NIM
17007029
Judul Artikel
SUBJECT AS VISIBLE OBJECT
diisi oleh pembimbing
Nama Pembimbing 1. Dikirim ke Jurnal Internal FSRD Rekomendasi
2. Dikirim ke Jurnal Nasional Terakreditasi
Lingkari salah satu
3. Dikirim ke Jurnal Nasional Tidak Terakreditasi 4. Dikirim ke Seminar Nasional 5. Dikirim ke Jurnal Internasional Terindex Scopus 6. Dikirim ke Jurnal Internasional Tidak Terindex Scopus 7. Dikirim ke Seminar Internasional 8. Disimpan dalam bentuk Repositori
Bandung, ......./......./ 2012
Tanda Tangan Pembimbing
: _______________________
Nama Jelas Pembimbing : _______________________
Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 9