STUDI PERLINDUNGAN HUKUM HAK CIPTA SENI BATIK DI KOTA SURAKARTA
Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : WAHYU AGUS KURNIAWATI AS E 0006288
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memberi pengaruh yang besar terhadap masalah Hak Kekayaan Intelektual. Seiring perjalanan waktu, ternyata pelanggaran-pelanggaran di bidang hak cipta semakin marak saja. Beberapa kebudayaan Bangsa Indonesia bahkan diklaim oleh negara lain misalnya Reog Ponorogo, Tari Pendet Bali dan lainnya. Hal ini memberikan suatu pukulan yang keras bagi Indonesia untuk lebih memberikan perlindungan terhadap Hak Kekayaan Intelektual, yang sebenarnya sejalan dengan Misi Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI) yaitu memberikan perlindungan hukum bagi karya-karya intelektual dan menggalakkan peningkatan karya kreatif dengan menyelenggarakan sistem Hak Kekayaan Intelektual. Penegakan hukum adalah faktor utama kesuksesan Hak Kekayaan Intelektual. Banyak sekali produk-produk hukum mengenai Hak Kekayaan Intelektual yang bermunculan seperti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2000 tentang Varietas Tanaman, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Undang-Undang tersebut merupakan salah satu upaya pemerintah guna
3
melindungi Hak Kekayaan Intelektual itu sendiri, yang masing-masing mempunyai spesifikasi perlindungan yang berbeda-beda. Masyarakat Indonesia belum terbiasa dengan konsep Hak Kekayaan Intelektual yang ada sekarang ini, dikarenakan masyarakat Indonesia justru lebih senang apabila kepemilikan Hak Kekayaan Intelektual mereka digunakan oleh orang lain. Menurut mereka, orang-orang yang menggunakan tersebut menyukai hasil karyanya sehingga ada suatu kepuasan tersendiri di dalam diri akan hal tersebut. Hal ini tanpa mempertimbangkan pembayaran sebuah royalti atas penggunaan barang tersebut. Apabila dibayangkan seseorang yang harus berjuang dengan daya upaya menciptakan suatu barang dan setelah jadi ternyata penciptanya tidak dapat menikmati hasil karyanya sebagai akibat adanya pembajakan maka tentu saja hal itu sangat merugikannya. Masyarakat kurang mengetahui konsep Hak Kekayaan Intelektual ini, seperti yang dinyatakan Muhamad Djumhana bahwa pada umumnya masyarakat kurang mengetahui benar mengenai Hak Kekayaan Intelektual. Bahkan, kalangan pencipta seperti seniman, desainer, dan juga penemu serta pemilik merek itu sendiri pun kurang mengetahui, apalagi mengenai kapan dan bagaimana harus menegakkan atau mempertahankan hak tersebut.
Bila pun masyarakat telah
sedikit memahaminya namun pemahamannya masih rancu (Muhamad Djumhana, 2003:1). Undang-undang mengenai hak cipta telah ada sejak tahun 1912, yaitu berlakunya Auteurswet 1912, Staatsblad Nomor 600 Tahun 1912 pada tanggal 23 September
1912.
Kemudian
pada
tahun
1913
pemerintah
Belanda
menandatangani Konvensi Bern (Perjanjian Internasional tentang Hak Cipta), sehingga Indonesia dapat turut serta memberlakukan ketentuan-ketentuan dari Konvensi Bern tersebut. Sumber hukum utama Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia dalam bidang hak cipta adalah berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987, kemudian disempurnakan lagi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 yang diundangkan tanggal 17 Mei 1997, dan akhirnya yang terbaru ialah Undang-
4
Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang mulai berlaku tanggal 27 Juli 2003. Hampir di seluruh daerah Indonesia memiliki kebudayaan batik yang beragam dan memiliki khas sendiri-sendiri. Beragam suku bangsa kaya akan hasil seni tradisional dengan nilai estetika yang tinggi seperti batik tradisional Pekalongan, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Jambi, dll. Batik tulis Kota Surakarta atau juga yang lebih dikenal dengan batik tulis Kota Solo merupakan karya seni
tradisional yang harus memperoleh perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual khususnya hak cipta. Batik merupakan hasil budaya bangsa Indonesia yang memiliki nilai budaya dan filosofi yang sangat tinggi sehingga jangan sampai karya seni tradisional ini juga menjadi sasaran empuk pembajakan yang secara
dapat menimbulkan suatu kerugian bagi penciptanya. Seiring dengan
meningkatnya kebutuhan perlindungan dan penghargaan terhadap hak cipta yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka Pasal 12 Ayat (1) huruf (i) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menetapkan bahwa dalam undang-undang ini ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang di dalamnya mencakup seni batik. Perkembangan bentuk dan fungsi batik tidak semata-mata untuk kepentingan busana saja, tetapi dapat juga dipergunakan untuk elemen interior, produk cinderamata, media ekspresi, bahkan merambah ke barang-barang mebel. ciptaan batik pada awalnya merupakan suatu ciptaan khas bangsa Indonesia yang dibuat secara konvensional. Batik mempunyai nilai seni, baik pada ciptaan motif maupun gambarnya yang menjadi alasan karya-karya seperti ini memperoleh perlindungan. Termasuk pula di dalamnya pengertian seni batik yaitu karya tradisional yang ada di berbagai daerah, misalnya saja seni songket, tenun ikat, dan lain-lain yang terus dikembangkan. Upaya melestarikan budaya batik ini sebenarnya oleh pemerintah telah digalakan melalui berbagai cara untuk menempuhnya, antara lain dengan mengharuskan pemakaian seragam bermotif batik bagi anak-anak sekolah maupun Pegawai Negeri pada hari-hari tertentu. Usaha yang dilakukan pemerintah
5
mengenai keharusan berseragam batik itu walaupun bertujuan baik, namun sebenarnya agak kurang mengena sebab batik yang dikenakan sebagai pakaian seragam tersebut hampir selalu merupakan produk pabrik. Selain itu, pemerintah juga mengupayakan pelestarian batik ini dengan memasukkan kurikulum batik di sekolah-sekolah khususnya sekolah di Kota Surakarta. Kota Solo sebagai salah satu barometer perbatikan di Indonesia, ternyata memiliki kewajiban moral terhadap pelestarian dan pengembangan batik sebagai seni sekaligus asset ekonomi bangsa apalagi setelah Organisasi Pendidikan, Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada tanggal 2 Oktober 2009 melegetimasikan batik sebagai warisan seni dan budaya bangsa Indonesia. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Wali Kota Surakarta ini mensosialisasikan penggalakan pelestarian dan pengembangan batik. Dari hal ini Dinas Pendidikan, Pemuda, Olahraga kota Solo akan memasukkan batik ke dalam Kurikulum Muatan Lokal Batik yang diajarkan mulai jenjang SD sampai SMA/SMK di kota Solo (Kuswilo, 2009: 39). Upaya untuk melestarikan seni batik tidak cukup hanya demikian. Hal yang paling mendasar adalah upaya memberikan penghargaan berupa perlindungan atas hasil karya intelektualnya melalui melalui hak cipta. Hal ini penting karena dalam proses menghasilkan suatu karya seni batik diperlukan sejumlah pengorbanan baik pikiran, tenaga, biaya, dan waktu (Afrillyanna Purba, 2005:7). Kota Surakarta yang dikenal dengan Solo Kota Budaya, salah satu kebudayaan yang paling berkembang adalah dalam industri batik. Di Kota Surakarta sendiri ada suatu daerah-daerah (kampung) yang sebagian besar masyarakatnya merupakan perajin industri batik sampai akhirnya daerah tersebut dijadikan sebagai kampung wisata batik yang sekarang dikenal dengan sebutan Kampoeng Wisata Batik Koeman dan Kampoeng Wisata Batik Laweyan. Selain kampung-kampung industri batik, Kota Surakarta juga mempunyai beberapa perusahaan terkemuka yang bergerak dibidang produksi batik yang sudah dikenal banyak kalangan. Banyaknya industri batik yang berkembang di Kota Surakarta, pastinya seimbang pula dengan berkembangnya ciptaan batik di Kota Surakarta. Apabila
6
tidak segera mendapatkan perlindungan, dalam hal ini perlindungan hak cipta terhadap ciptaan batik, ditakutkan ciptaan tersebut akan semakin musnah dan bisa saja diklaim oleh daerah lain atau orang-orang asing yang lebih mengerti tentang adanya perlindungan Hak Kekayaan Intelektual terhadap batik. Berdasar uraian di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dan menyusunnya menjadi sebuah skripsi dengan judul “STUDI PERLINDUNGAN HUKUM HAK CIPTA SENI BATIK DI KOTA SURAKARTA’’.
B. Rumusan Masalah Perumusan masalah dalam suatu penelitian merupakan suatu hal yang penting karena diperlukan untuk memberi kemudahan bagi penulis dalam membatasi permasalahan yang ditelitinya, sehingga dapat mencapai tujuan dan sasaran yang jelas serta memperoleh jawaban sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan uraian dan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta? 2. Apakah yang menjadi kendala dalam pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta?
C. Tujuan Penelitian Setiap penelitian harus memiliki tujuan yang jelas agar tepat mengenai sasaran yang dikehendaki dan dapat pula memberikan arah dalam pelaksanaan penelitian tersebut. Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis melalui penelitian ini adalah : 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta. b. Untuk mengetahui kendala-kendala dalam pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta.
7
2. Tujuan Subyektif a. Untuk memperoleh data dan informasi secara jelas dan lengkap sebagai bahan penyusunan skripsi sebagai prasyarat guna menyelesaikan studi dalam meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Unversitas Sebelas Maret Surakarta. b. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis dibidang Hukum Perdata terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual pada umumnya dan pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta pada khususnya. c. Memberikan manfaat bagi penulis dan masyarakat pada umumnya. D. Manfaat Penelitian Dalam suatu penelitian pasti ada manfaat yang diharapkan dapat tercapai. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis Penulis berharap dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dalam bidang Hukum Perdata pada masalah Hak Kekayaan Intelektual pada umumnya dan pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta pada khususnya. 2. Manfaat Praktis a. Memberikan masukan atau sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak terkait dengan masalah penelitian ini pada umumnya dan para pencipta seni batik agar semakin berkembang. b. Untuk memberikan pemikiran alternatif yang diharapkan dapat digunakan sebagai
bahan
informasi
dalam
kaitannya
dengan
pelaksanaan
perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta. c. Agar dapat meningkatkan pengetahuan tentang masalah-masalah dan lingkup yang dikaji dalam penelitian ini.
E. Metode Penelitian
8
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang sangat penting bagi pengembangan ilmu dan bagi pemecahan suatu masalah. Metodologi penelitian merupakan cara utama untuk memperoleh data secara lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sehingga tujuan dari penelitian dapat tercapai. Metodologi penelitian juga merupakan cara atau langkah sebagai pedoman untuk memperoleh pengetahuan yang mendalam tentang suatu gejala atau merupakan suatu cara untuk memahami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Istilah “metodologi” berasal dari kata “metode” yang berarti “jalan ke”; namun demikian, menurut kebiasaan metode dirumuskan, dengan kemungkinankemungkinan, sebagai berikut: 1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian. 2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan. 3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur (Soerjono Soekanto, 2007 : 5). Sesuai dengan tujuan penelitian sebagai suatu prasarat menyelesaikan studi dalam meraih gelar Sarjana Hukum, maka penelitiannya merupakan penelitian hukum. Penelitian hukum adalah suatu kegiatan, yang didasarklan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala tertentu, dengan jalan menganalisanya dengan mengadakan pemeriksaan secara mendalam terhadap fakta hukum untuk kemudian mengusahakan pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan. Dengan demikian dapat kita lihat bahwa metedologi penelitian memanglah penting. Beberapa hal yang menyangkut metode penelitian dalam penelitian ini diuraikan penulis sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Hukum Mengacu pada perumusan masalah, maka penelitian ini termasuk dalam jenis metode penelitian hukum empiris atau sosiologis. “Pada penelitian hukum empiris, maka yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder, kemudian dilanjutkan pada data primer di lapangan, atau terhadap masyarakat” (Soerjono Soekanto, 2007:52). Dalam hal ini, peneliti
9
memberikan gambaran dan menguraikan tentang studi perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta.
2. Sifat Penelitian Penelitian yang dilakukan oleh penulis bersifat deskriptif. Menurut Soerjono Soekanto, penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksud dari penelitian deskriptif adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu dalam memperkuat teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 2007 : 10).
3. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu pendekatan yang digunakan oleh peneliti dengan mendasarkan pada data-data yang dinyatakan oleh resonden secara tertulis atau lisan, dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh (Soerjono Soekanto, 2007 : 250).
4. Jenis dan Sumber Data Penelitian Data adalah hasil dari penelitian, baik berupa fakta-fakta atau angkaangka yang dapat dijadikan bahan untuk dijadikan suatu sumber informasi, sedangkan informasi adalah hasil pengolahan data yang dipakai untuk suatu keperluan. Jenis dan sumber data yang dipergunakan penulis dalam penelitian ini adalah : a. Data Primer. Data primer adalah data atau fakta atau keterangan yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama, atau melalui penelitian di lapangan, yaitu berupa wawancara (interview). Dalam penelitian ini diperoleh dengan melakukan wawancara dengan Kepala Bidang Perindustrian Dinas
10
Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta, Ketua Forum Pengembang Kampoeng Wisata Batik Kaoeman, Ketua Forum Pengembang Kampoeng Wisata Batik Laweyan, dan beberapa orang perwakilan pengusaha batik yang ada di Kampoeng Wisata Batik Kaoeman dan Kampoeng Wisata Batik Laweyan. Wawancara ini dilakukan oleh peneliti guna menunjang penyajian dan analisis data. b. Data Sekunder Data sekunder adalah data atau fakta atau keterangan yang digunakan oleh seseorang yang secara tidak langsung dari lapangan. Data ini diperoleh dari peraturan perundang-undangan, dokumen atau arsip, bahan pustaka, laporan, internet, jurnal, makalah dan sebagainya yang terkait dengan penelitian ini.
5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan teknik untuk mengumpulkan data dari salah satu atau beberapa sumber data yang ditentukan untuk memperoleh data-data primer dan sekunder yang lengkap dan relevan. Teknik pengumpulan data tersebut adalah meliputi hal berikut : a. Data Primer 1) Wawancara (interview) Penulis terjun langsung ke lokasi penelitian dengan tujuan memperoleh data yang valid dan lengkap dengan cara mengadakan wawancara. Wawancara adalah suatu teknik pengumpulan data untuk mendapatkan informasi yang digali dari sumber data langsung melalui percakapan atau tanya jawab. Untuk mempermudah perolehan informasi, penulis membuat panduan wawancara yang berisi pertanyaan-pertanyaan dan tersusun dalam bentuk interview guide. Adapun dalam penentuan responden, dapat diperoleh dengan cara pengambilan sampel dengan cara purposive sampling, dimana peneliti cenderung memilih informant yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui masalahnya
11
secara dalam (HB. Sutopo, 1988 : 22). Penelitian selanjutnya menggunakan snow ball sampling yaitu peneliti pertama-tama datang pada seseorang yang menururt pengetahuannya dapat dipakai sebagai “key informant”, tetapi setelah berbicara secara cukup, informant tersebut menunjukkan subyek lain yang dipandang mengetahui lebih banyak masalahnya sehingga peneliti menunjuknya sebagai informant baru, dan demikian pula seterusnya berganti informant berikutnya yang dianggap lebih dalam pula, sehingga data yang diperolehnya semakin banyak, lengkap, dan mendalam (HB. Sutopo, 1988 : 22). 2) Observasi Observasi merupakan pengamatan terhadap obyek yang diteliti. Observasi pada penelitian ini dilakukan dengan pengamatan langsung di lapangan. Jenis Observasi yang dipakai pada penelitian ini observasi non partisipan dimana peneliti tidak berpartisipasi terhadap segala kegiatan yang terdapat di tempat penelitian. b. Data Sekunder Teknik pengumpulan
data
sekunder
dengan menggunakan studi
kepustakaan, yaitu dengan mempelajari buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi, hasil penelitian terdahulu, dan bahan kepustakaan lain yang digunakan sebagai acuan penulis yang tentunya berkaitan dengan masalah yang diteliti.
6. Teknik Analisis Data dan Model Analisis Langkah yang dilakukan setelah memperoleh data adalah menganalisis data tersebut. Analisis data mempunyai kedudukan penting dalam penelitian guna mencapai tujuan penelitian. Data yang diperoleh tersebut akan diproses dan dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga didapat suatu kesimpulan yang merupakan hasil akhir dari penelitian. Adapun model analisis yang digunakan penulis adalah analisa kualitatif model interaktif (interactive model of analysis) yaitu dilakukan dengan cara interaksi, baik antara komponennya, maupun dengan proses
12
pengumpulan data, dalam proses yang berbentuk siklus. Dalam bentuk ini, peneliti tetap bergerak diantara tiga komponen analisis dengan proses pengumpulan data selama kegiatan pengumpulan data berlangsung. Sesudah pengumpulan data berakhir, peneliti bergerak diantara tiga komponen analisisnya dengan menggunakan waktu yang masih tersisa bagi penelitiannya (H. B. Soetopo, 2002 : 94-95) Untuk lebih jelasnya, tehnik analisa data kualitatif dengan model interaktif dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut:
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Sajian Data
Penarikan Kesimpulan
Bagan I : Interactive Model Of Analysis Keterangan : a. Reduksi Data Dalam reduksi data peneliti diharuskan memeriksa semua data yang diperoleh, apakah sudah lengkap, runtun atau masih diperlukan informasi tambahan sebagai pelengkap dalam penyususnan nantinya. Setelah semua data atau informsi sudah terkumpul lengkap, kemudian penulis melakukan proses pemilihan/seleksi, pemfokusan dan penyederhanaan dari data-data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir penelitian dapat dilakukan. b. Penyajian Data Dengan penyajian data, peneliti akan mudah memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan, lebih jauh menganalisa atau mengambil tindakan yang berdasarkan atas pemahaman yang didapat dari penyajian data tersebut dalam bentuk narasi yang memungkinkan
13
kesimpulan penelitian dapat dilakukan. Sajian data harus mengacu pada rumusan masalah sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang akan diteliti.
c. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi Dalam pengumpulan data peneliti harus sudah memahami arti berbagai hal yang ditemui, dengan melakukan pencatatan-pencatatan, peraturanperaturan, pola-pola, pertanyaan-pertanyaan, atau konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, arahan sebab akibat dan berbagai proposisi kesimpulan yang diverifikasi.
F. Sistematika Penulisan Hukum Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika Penulisan Hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam Penulisan Hukum, maka penulis menyiapkan suatu sistematika dalam Penulisan Hukum ini. Adapun sistematika Penulisan Hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab, yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika Penulisan Hukum tersebut adalah sebagai berikut: BAB I
: Pendahuluan Bab pertama ini, diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II
: Tinjauan Pustaka Dalam bab ini, dimulai dari kerangka teori yang akan menguraikan tentang teori-teori yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Kerangka teori terdiri atas tinjauan tentang hak kekayaan intelektual
yang meliputi uraian pengertian hak
kekayaan
intelektual, dasar teoritik pembenar atas perlindungan hak kekayaan intelektual, prinsip hak kekayaan intelektual, hak kekayaan
14
intelektual sebagai bagian dari hukum benda, pemanfaatan hak kekayaan intelektual, kemudian tinjauan tentang Hak Cipta yang meliputi ketentuan hak cipta dalam sejarah dan ruang lingkup hak cipta, yang terdiri dari : 1). istilah, hak-hak terkait, dan prinsipprinsip hak cipta, 2). obyek hak cipta, 3). sifat-sifat hak cipta, 4). pendaftaran dan pembatalan hak cipta, 5). pengalihan hak cipta, kemudian tinjauan tentang pengetahuan tradisional yang terdiri dari pengertian dan ruang lingkup pengetahuan tradisional, perlindungan hukum hak cipta atas folklore dan pengetahuan tradisional, pentingnya perlindungan pengetahuan tradisional di indonesia dan permasalahannya, tujuan perlindungan pengetahuan tradisional, tinjauan tentang penegakan hukum hak cipta yang meliputi penegakan hukum pada umumnya, dan penegakan hukum hak cipta, dan kemudian tinjauan tentang batik yang meliputi pengertian, perkembangan batik di Indonesia, macam batik dan proses singkat pembuatan batik, serta batik tradisional di Kota Surakarta. Setelah kerangka teori dilanjutkan dengan kerangka pemikiran. BAB III
: Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada bab ini, penulis menguraikan mengenai hasil penelitian yang diperoleh di lapangan dan pembahasannya yang dihubungkan dengan fakta dan data dari kepustakaan mengenai pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta dan kendala dalam pelaksanaan perlindungan terhadap seni batik di Kota Surakarta.
BAB IV
: Penutup Pada bab ini, penulis menguraikan mengenai simpulan dan saran terkait hasil penelitian yang telah dilakukan penulis.
15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori
1 Tinjauan tentang Hak Kekayaan Intelektual a. Pengertian Hak Kekayaan Intelektual Istilah Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan terjemahan dari Intellectual Property Right yang dideskripsikan sebagai hak atas kekayaan yang timbul karena kemampuan intelektual manusia. Istilah Hak Kekayaan Intelektual bukanlah satu-satunya terjemahan dari kata Intellectual Property Right. Beberapa terjemahan lainnya adalah Hak Atas Kepemilikan Intelektual (HAKI), Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). “Dalam literatur hukum Anglo Saxon, istilah hukum tersebut terbagi menjadi dua yakni: Hak Milik Intelektual dan Hak Kekayaan Intelektual. Kata tersebut memang dapat diartikan sebagai kekayaan, dapat juga sebagai milik” (Abulkadir Muhammad, 2001:1). Perbedaan-perbedaan istilah tersebut sebenarnya hanya berbeda dalam kata namun mempunyai makna yang sama, untuk memudahkan dalam pengambilan istilah, maka penulis mengambil istilah Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di mana pengambilan istilah ini sejalah dengan ketentuan yang berlaku dalam bidang Hak Kekayaan Intelektual. Pendapat Dicky R. Munaf dalam buku Budi Agus Riswandi menyatakan bahwa HKI merupakan hak yang berasal dari karya, karsa, cipta manusia karena lahir dari kemampuan intelektualitas manusia dan merupakan hasil kegiataan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia juga mempunyai nilai ekonomis (Budi Agus Riswandi, 2009: 3).
16
“Secara substansi, pengertian Hak Kekayaan Intelektual dapat dideskripsikan sebagai hak atas kekayaan intelektual yang timbul dan lahir karena kemampuan intelektual manusia” (Afrillyanna Purba, 2005:13). HKI tersebut dapat dikatakan sebagai hak eksklusif, yakni hak yang 14 semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya. Hak hukum di mana dengan hak hukum tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hasil kresi dan karya intelektual manusia dalam bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang mempunyai manfaat ekonomi.
b.
Dasar Teoritik Pembenaran atas Perlindungan Hak Kekayayaan Intelektual Perlindungan HKI itu sangat penting, hal ini juga dibenarkan oleh pendapat Soejono Dirjosisworo yang menyatakan penciptaan HKI membutuhkan banyak waktu di samping bakat, pekerjaan, dan juga uang untuk membiayainya. Di bidang kesusastraan, paten, merek dagang, juga dalam teknologi baru
seperti perangkat lunak untuk komputer,
bioteknologi, dan chips sudah jelas bahwa perlindungan tertentu sangat dibutuhkan. Apabila tidak ada perlindungan atas kreativitas intelektual yang berlaku di bidang seni, industri, dan pengetahuan ini, maka tiap orang dapat meniru dan membuat copy secara bebas serta memproduksi tanpa batas (Soejono Dirjosisworo, 2000:3). “Perlindungan HKI pada dasarnya didasarkan kepada beberapa alasan pembenar. Alasan pembenar ini didasarkan pada suatu pendekatan teoritik. Adapun beberapa alasan pembenar terhadap perlindungan Hak Kekayaan Intelektual adalah”: 1) Bahwa kepada pencipta di bidang ilmu pengetahuan seni dan sastra, atau pun penemu di bidang teknologi baru baik berupa rahasia dagang, hak cipta maupun paten, harus diberikan suatu penghargaan dan pengakuan serta perlindungan hukum atas keberhasilan upayanya dalam melahirkan karya baru itu.
17
2) Berbeda dalam rahasia dagang pada bidang HKI lain seperti halnya paten pada dasarnya bersifat terbuka, artinya penemuannya harus menguraikan atau membeberkan penemuannya dengan jelas dan terinci sebagai salah satu syarat pendaftaran paten. Keadaan ini potensial menimbulkan resiko karena orang lain dapat belajar atau melaksanakan penemuan tersebut secara tanpa hak, oleh karena itu sebagai imbalannya kepada penemu diberikan hak khusus (ekslusif) untuk dalam jangka waktu tertentu melakukan ekspoitasi atas penemuannya, sehingga setiap pelanggaran atas hal itu dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana. 3) Bahwa HKI yang merupakan hasil ciptaan atau penemuan bersifat permulaan yang belum didaftarakan sebagai paten misalnya, membuka kemungkinan kepada pihak lain untuk dapat mengetahui atau mengembangkan lebih lanjut penemuan yang dihasilkan oleh penemu tadi
secara
diam-diam.
Oleh
karenanya,
penemuan-penemuan
mendasar yang belum terdaftar atau dipublikasikan itu pun harus dilindungi, meskipun belum dapat memperoleh perlindungan di bawah hukum paten, hak cipta dan desain, tetapi dapat dikategorikan sebagai rahasia dagang (Budi Agus Riwandi, 2009: 4-5). Dasar pembenar seperti yang telah diuraikan di atas semakin mempertegas akan arti penting terhadap perlindungna HKI. Dengan adanya perlindungan terhadap HKI, maka ada jaminan kepada masyarakat untuk menghargai hak inisiatif dan reaksi serta memberikan perlindungan akan hasil karya ciptanya. Semakin tinggi penghargaan negara terhadap HKI, maka masa depan suatu bangsa juga akan lebih baik (Dewi Sulistyaningsih, 2008: 3-4).
c. Prinsip Hak Kekayaan Intelektual “Prinsip utama HKI, yaitu bahwa hasil kreasi dari pekerjaan dengan memakai kemampuan intelektualnya tersebut, maka pribadi yang
18
menghasilkannya mendapatkan kepemilikannya berupa hak alamiah (natural)” (Muhammad Djumhana, 2003: 24). Hal ini merupakan keeksklusifan dari pencipta. Pada tingkatan paling tinggi dari hubungan kepemilikan, hukum bertindak lebih jauh dan menjamin bagi setiap manusia penguasaan dan penikmatan eksklusif atas benda atau ciptaannya tersebut dengan bantuan negara, yakni melalui sistem HKI yang berdasarkan prinsip-prinsip antara lain sebagai berikut: 1) Prinsip Keadilan (the principle of natural justice) Wajar apabila para pencipta suatu karya cipta, atau orang yang dapat membuahkan hasil dari kemampuan intelektualnya dapat memperoleh imbalan. Imbalan disini dapat berupa imbalan materi maupun bukan materi. 2) Prinsip Ekonomi (the economic argument) Prinsip ini berkait erat dengan prinsip keadilan, setelah seseorang tadi mendapatkan imbalan sangatlah wajar apabila hal tersebut digunakan sebagai menunjang kehidupannya di dalam masyarakat sesuai dengan sifat ekonomis manusia. 3) Prinsip Kebudayaan (the culture argument) Karya manusia pada hakikatnya bertujuan untuk memungkinkan hidup, selanjutnya dari karya itu akan timbul pula suatu gerak hidup yang harus menghasilkan lebih banyak karya lagi. Dengan demikian pertumbuhan dan perkembangan karya manusia sangat besar artinya bagi peningkatan taraf kehidupan, peradapan, dan martabat manusia. 4) Prinsip Sosial (the social argument) Pemberian perlindungan hukum dari negara tidak boleh semata-mata digunakan untuk memenuhi kepentingan perseorangan, akan tetapi harus memenuhi kepentingan seluruh masyarakat (Afrillyanna Purba, 2005: 14).
d. Hak Kekayaan Intelektual Sebagai Bagian dari Hukum benda
19
Apabila HKI kita telusuri sebenarnya merupakan salah satu bagian dari benda, yaitu benda tidak berwujud (immateriil). Perlu kita ketahui benda dalam kerangka hukum perdata dapat diklasifikasikan benda berwujud yang telah ditentukan dalam Pasal 503 KUH Perdata dan benda tidak berwujud yang telah ditentukan dalam Pasal 499 KUH Perdata yang disebut hak. HKI ini merupakan suatu hak. Untuk itu perlu kita lihat batasan benda yang ditemukan oleh Pasal 499 KUH Perdata (Abdulkadir Muhammad, 2007; 3). “Apabila hak kebendaan tersebut dihubungkan dengan Pasal 56 dengan Pasal 73 UUHC 2002, tampak sekali kalau hak cipta itu bagian daripada hak kebendaan, yang merupakan hak mutlak serta bersifat mengikuti ciptaannya, walaupun tidak mendapatkan perlindungan hukum di negara lain” (Rahmadi Usman, 2003:81). Pembenaran penggolongan hak tersebut ke dalam hukum harta benda dapat dilihat dari hak kepemilikan hasil intelektual. Hak kepemilikan ini sangat abstrak dibandingkan dengan hak kepemilikan benda yang terlihat, tetapi hak-hak tersebut mendekati hak-hak benda, dan juga kedua hak tersebut bersifat hak mutlak. Selanjutnya dapat dianalogikan bahwa setelah benda yang tidak berwujud itu keluar dari pikiran manusia, maka menjelma dalam suatu ciptaan ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Hasil tersebut dapat dimanfaatkan dan di reproduksi yang nantinya menjadi sumber keuntungan. Pada dasarnya HKI dapat dikategorikan ke dalam dua bagian, yaitu: 1) Hak Cipta, yang terdiri dari hak cipta dan hak yang berkaitan dengan hak cipta. 2) Hak Kekayaan Perindustrian yang terdiri dari : (a) Paten (patent) (b) Merek Dagang (trade mark) (c) Desain Industri (Industrial Design). Bidang-bidang HKI yang telah diatur dalam hukum Indonesia meliputi: Hak Cipta, Merek, Paten, Rahasia Dagang, Desain Tata Letak Sirkuit
20
Terpadu, Desain Produk Industri, dan Perlindungan Varietas Tanaman (Alfriyanna Purba, 2005: 16). “According to the World Intellectual Property Organization (WIPO),intellectual property (IP) is a term that refers to“creations of the mind:inventions,literary and artistic works, and symbols, names, images, and
designs
used
in
commerce.
WIPO
divides
IP
into
two
categories:industrial property (patents, trademarks, and industrial designs) and copyright (literary,artistic,creative,and aesthetic works)” yang artinya menurut World Intellectual Property Organization (WIPO), HKI adalah istilah yang mengacu pada “Kreasi pikiran: penemuan, sastra dan karya artistik, dan simbol, nama, gambar, dan desain yang digunakan dalam perdagangan. WIPO membagi HKI menjadi dua kategori: kekayaan industri (paten, merek dagang, dan industri desain) dan hak cipta (Sastra, seni, kreatif, dan estetika bekerja)” (Matthew Dames. 2009: 18).
e. Pemanfaatan Hak Kekayaan Intelektual Pasal 570 KUH Perdata disebutkan Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaaan sesuatu benda dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan Undang-undang, atau peraturan umum yang ditetapkan oleh sesuatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya
itu dengan tidak
mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum
berdasarkan
atas
ketentuan
Undang-undang
dan
dengan
pembayaran ganti rugi. Ketentuan Pasal 570 KUH Perdata tersebut kita bisa menarik kesimpulan bahwa setiap hak milik mempunyai unsur: 1) Kemampuan untuk menikmati atas benda atau hak yang menjadi objek hak milik tersebut.
21
2) Kemampuan untuk mengawasinya atau menguasai benda yang menjadi objek hak milik itu, yaitu misalnya untuk mengalihkan hak milik itu kepada orang lain atau memusnahkannya. Walaupun demikian, pengaturan hukum di sini memberikan pembatasan kepada pemiliknya untuk menikmati maupun menguasai atas benda, atau hak yang merupakan miliknya tersebut. Setiap pengaturan Hak Kekayaan Intelektual selalu memuat pembatasan terhadap penguasaan atau penggunaan tersebut, baik secara: 1) Batas-batas yang diadakan oleh peraturan perundang-undangan Misalnya dalam perundang-undangan hak cipta; hak cipta hanya berlaku terhadap ciptaan-ciptaan yang telah ditentukan dalam Undangundang dan tidak berlaku terhadap ciptaan diluar tersebut; hak cipta dibatasi oleh masa berlakunya. 2) Batas-batas tata kesusilaan dan ketertiban umum Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa HKI tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum termasuk pula penggunaan tanda yang bertentangan dengan agama atau menyerupai nama Allah dan Rasul-nya. 3) Pencabutan hak milik untuk kepentingan masyarakat, asal saja pencabutan hak milik itu dilakukan berdasarkan Undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi yang layak. Perlindungan HKI yang kuat selain memberikan kepastian hukum, juga memberikan manfaat yang dapat dirasakan dari segi politis, ekonomi, sosial budaya, bahkan segi pertahanan keamanan pun bisa meraih manfaat dari adanya perlindungan HKI ini. Secara garis besarnya kita dapat melihat beberapa keuntungan dan manfaat yang dapat diharapkan dengan adanya perlindungan HKI secara ekonomi, yaitu antara lain: 1) Perlindungan HKI yang kuat dapat memberikan dorongan untuk meningkatkan landasan teknologi nasional guna memungkinkan pengembangan teknologi yang lebih cepat lagi.
22
2) Pemberian perlindungan hukum terhadap Hak Kekayaan Intelektual pada dasarnya dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan iklim yang lebih baik bagi tumbuh dan berkembangnya gairah mencipta atau menemukan sesuatu di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. 3) Pemberian perlindungan hukum terhadap HKI bukan saja merupakan pengakuan negara terhadap hasil karya dan karsa manusia, melainkan juga merupakan penciptaan suasana yang sehat untuk menarik penanaman
modal
asing,
serta
memperlancar
perdagangan
internasional.
2. Tinjauan tentang Perlindungan Hukum Hak Cipta a. Ketentuan Hak Cipta di Indonesia dalam Sejarah Indonesia pertama kali mengenal hak cipta pada tahun 1912, yaitu pada masa Hindia Belanda. Berdasarkan Pasal 131 dan 163 I.S., hukum yang berlaku di Negeri Belanda yang juga diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi. Undang-undang Hak Cipta saat itu adalah Auterswet 1912, yang pada saat itu istilah yang digunakan adalah hak pengarang/hak pencipta (author right) yang hanya menggambarkan hak untuk menggandakan atau memperbanyak suatu karya cipta (Afrillyanna Purba, 2005: 16). “Auterwet 1912 ini sangat ketinggalan zaman, sehingga di dalam praktik
akibatnya
mengalami
kejanggalan-kejanggalan,
dirasakan
merugikan kepentingan pihak-pihak yang hidupnya bergantung di bidang hak cipta. Boleh dikata Autesswet 1912 ini tidak sesuai dengan keadaan masyarakat kita. Sehingga dibutuhkan sekali untuk penggantian Undangundang hak cipta yang baru” (Rahmadi Usman, 2003: 57). Sejak Negeri Belanda menandatangani naskah Konvensi Bern pada tanggal 1 April 1913, maka sebagai negara jajahannya, Indonesia diikutsertakan dalam Konvensi tersebut sebagaimana disebutkan dalam Staatblad Tahun 1914 Nomor 797. Konvensi inilah yang kemudian berlaku di Negara Indonesia
23
sebagai jajahan Belanda dalam hubungannya dengan dunia internasional khususnya mengenai hak pengarang (hak cipta). Guna mempertegas perlindungan hak cipta dan menyempurnakan hukum yang berlaku, maka telah beberapa kali diajukan Rancangan Undang-undang baru tentang hak cipta yaitu pada tahun 1958, 1966, dan 1971, tetapi tidak berhasil menjadi Undang-undang Hak Cipta sendiri. Pada tahun 1982 dikeluarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut UUHC 1982). Undang-undang ini sekaligus mencabut Auterswet 1912 yang dimaksudkan untuk mendorong dan melindungi penciptaan, menyebarluaskan hasil kebudayaan di bidang ilmu, seni, dan sastra, serta mempercepat pertumbuhan pencerdasan bangsa. Undang-undang perlindungan atas pencipta ini dianggap kurang memadai dibandingkan dengan negara lain. Selanjutnya pada tahun 1987, UUHC 1882 yang disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982
tentang
Hak
Cipta
(selanjutnya
disebut
UUHC
1987).
Penyempurnaan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan iklim yang lebih baik bagi tumbuh dan berkembangnya gairah mencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Penyempurnaan berikutnya adalah pada tahun 1997 dengan berlakunya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut UUHC 1997). Penyempurnaan ini diperlukan sehubungan perkembangan kehidupan yang berlangsung cepat, terutama di bidang perekonomian tingkat nasional dan internasional yang menuntut pemberian perlindungan yang lebih efektif terhadap hak cipta. Selain itu juga karena penerimaan dan keikutsertaan Indonesia di dalam Persetujuan TRIPs yang merupakan bagian dari Agreement establishing the World Trade Organizatoin. Akhirnya pada tahun 2002, Undang-undang Hak Cipta yang baru telah diundangkan dengan mencabut dan menggantikan UUHC 1997.
24
Undang-undang ini memuat perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan TRIPs dan penyempurnaan beberapa hal yang perlu untuk memberi perlindungan bagi karya-karya intelektual di bidang hak cipta, termasuk upaya untuk memajukan perkembangan karya intelektual yang berasal dari keanekaragaman seni dan budaya tradisional Indonesia (Afrillyanna Purba, 2005: 18). Undang-undang ini berlaku sampai sekarang yakni Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang untuk selanjutnya Undang-undang ini dikenal dengan singkatan UUHC 2002. “Throughout its history, copyrightlaw and policy have been created by and have served commercial interests. But this should be neither surprising nor particularly controversial. Copyright began as a privilege for publishers to protect their works from being copied without proper authorization” yang artinya: Sepanjang sejarahnya, hukum hak cipta dan kebijakannya telah dibuat oleh dan telah melayani komersial kepentingan.
Tapi ini
harus
tidak
mengherankan atau
menjadi
kontroversial. Hak Cipta dimulai sebagai suatu kehormatan bagi penerbit untuk melindungi karya mereka dari penjiplakan tanpa otorisasi yang tepat (Matthew Dames. 2010: 18).
b.
Ruang Lingkup Hak Cipta 1) Istilah, Hak-Hak Terkait, dan Prinsip-Prinsip Hak Cipta Sumber utama untuk mengetahui tentang hak cipta itu merujuk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku (hukum positif hak cipta) yakni UUHC 2002 sebagaimana yang telah kita ketahui sebelumnya. Dalam Undang-undang ini ditemukan pengertian dari hak cipta itu sendiri, yakni dalam Pasal 1 ayat (1) “Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan ijin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku“.
25
Unsur-unsur hak cipta dari definisi tersebut adalah sebagai berikut:
a) Hak esklusif Hak
yang
semata-mata
diperuntukkan bagi pemegangnya
sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya. b) Pencipta, sebagai mana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUHC 2002 Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersamasama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. c) Pengumuman, sebagai mana diatur dalam Pasal 1 ayat (5) UUHC 2002: Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu ciptaan dengan menggunakan alat apa pun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apa pun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain. d) Perbanyakan, sebagai mana diatur dalam Pasal 1 ayat (6) UUHC 2002: Perbanyakan adalah penambahan jumlah sesuatu ciptaan, baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama,
termasuk mengalihwujudkan secara
permanen atau
temporer. Berdasarkan pengertian di atas, maka hak cipta dapat didefinisikan
sebagai
sebagai
suatu
hak
monopoli
untuk
26
memberbanyak atau mengumumkan ciptaan yang dimiliki oleh pencipta
atau
implementasinya
pemegang
hak
cipta
lainnya
memperhatikan
pada
peraturan
yang
dalam
perUndang-
undangan yang berlaku. Bila ditelusuri secara mendalam hak cipta ini dapat dibedakan menjadi dua jenis hak, yakni hak moral dan hak ekonomi. Hak moral adalah hak-hak yang melindungi kepentingan pribadi si pencipta. Konsep hak moral ini berasal dari sistem hukum kontinental, yaitu Prancis. Menurut konsep hukum kontinental; hak pengarang yang terbagi menjadi hak ekonomi untuk mendapatkan keuntungan yang bernilai ekonomi seperti uang, dan moral yang menyangkut perlindungan atas reputasi si pencipta (Budi Agus Riswandi, 2004:3). Hak ekonomi itu sendiri masih bersifat umum, sehingga hak ekonomi tersebut meliputi: a) Hak Reproduksi atau Penggandaan Hak pencipta untuk menggandakan ciptaannya, dilakukan secara tradisional maupun melalui peralatan modern. Hak reproduksi ini juga mencakup perubahan bentuk ciptaan suatu ke ciptaan lainnya, misalnya rekaman musik, pertunjukan drama, juga pembuatan duplikasi dalam rekaman suara dan film. UUHC menggunakan istilah hak perbanyakan. b) Hak Adaptasi Hak untuk mengadakan adaptasi, dapat berupa penerjemahan dari bahasa satu ke bahasa yang lainnya, aransemen musik, dramatisasi dari nondramatik, mengubah menjadi cerita fiksi dari karangan nonfiksi, atau sebaliknya. Hak ini diatur dalam Konvensi Berne maupun Konvensi Universal (Universal Copyright Convension) c) Hak Distribusi Hak distribusi adalah hak yang dimiliki pencipta untuk menyebarkan
kepada
masyarakat
setiap
hasil
ciptaanya.
Penyebaran tersebut dapat berupa bentuk penjualan, penyewaan, atau bentuk lain yang maksudnya agar ciptaan tersebut dikenal
27
oleh
masyarakat.
UUHC
menggunakan
istilah
hak
mengumumkan. d) Hak Penampilan atau Performance Right Hak untuk menyajikan kuliah, pidato, khotbah, baik melalui visual atau apresiasi suara, dan tampilan lain tersebut. Setiap orang atau badan yang menampilkan, atau mempertunjukan sesuatu karya cipta, harus meminta izin dari si pemilik hak permorfing tersebut. e) Hak Penyiaran atau Brodcasting Right Hak untuk menyiarkan bentuknya berupa mentransmisikan suatu ciptaan oleh peralatan kabel. Hak penyiaran ini contohnya penyiaran ulang. f) Hak Program Kabel Hak
ini
hampir
menstrasmisikan
sama
melalui
dengan kabel.
penyiaran Badan
hanya
penyiaran
saja
televisi
mempunyai suatu studio tertentu, dari sana disiarkan programprogram melalui kabel kepada pesawat pelanggan. g) Droit de Suite Droit de Suite adalah hak penciptaan, hak penciptaan ini bukanlah penciptaan bisa, namun penciptaan yang mempunyai sifat hak kebendaan. h) Hak Pinjam Masyarakat Hak ini dimiliki oleh pencipta yang karyanya tersimpan di perpustakaan, yaitu dia berhak atas suatu pembayaran dari pihak tertentu karena karya yang diciptakannya sering dipinjam oleh masyarakat dari perpustakaan milik pemerintah tersebut. (Budi Agus Riswandi, 2005: 5-7). Berdasar hal tersebut hak ekonomi dapat dimiliki oleh pencipta satu atau lebih dari hak ekonomi tersebut. Hak-hak tersebut juga dapat dimiliki oleh seseorang ataupun oleh badan hukum. Hal ini seperti yang telah dijelaskan dalam Pasal 6 UUHC 2002:
28
Jika suatu ciptaan terdiri atas beberapa bagian tersendiri yang diciptakan dua orang atau lebih, yang dianggap sebagai Pencipta ialah orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh ciptaan ini, atau dalam hal tidak ada orang tersebut, yang dianggap sebagai Pencipta adalah orang yang menghimpunnya dengan tidak mengurangi Hak Cipta masing-masing atas bagiaan ciptaannya itu. Tidak semua ciptaan mendapatkan hak cipta. Adapun ciptaan yang dapat dilindungi harus memperhatikan prinsip-prinsip dasar hak cipta, yakni: a) Hak cipta yang dilindungi adalah hak yang telah berwujud dan asli. Hal ini yang melahirkan dua sub, yaitu: (1) Suatu ciptaan harus memiliki keaslian (orisinil). (2) Suatu ciptaan, mempunyai hak cipta jika ciptaan yang bersangkutan diwujudkan dalam bentuk tertulis atau bentuk material yang lain. b) Hak cipta yang timbul dengan sendirinya (otomatis). c) Suatu ciptaan tidak perlu diumumkan untuk memperoleh hak cipta, karena baik ciptaan yang diumumkan atau tidak dapat memperoleh hak cipta. d) Hak cipta harus suatu ciptaan merupakan suatu hak yang diakui hukum yang harus dipisahkan dan harus dibedakan dari penguasaan fisik suatu ciptaan (Afrillyanna Purba. 2005: 22).
2) Obyek Hak Cipta Obyek dari Hak Cipta itu sendiri telah diatur dalam Pasal 12 ayat (1) UUHC 2002 yang berbunyi sebagai berikut: Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup: a. Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain; b. Ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu; c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
29
d. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks; e. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim; f. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan. g. Arsitektur; h. Peta i. Seni batik; j. Fotografi; k. Sinematografi l. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan. Ciptaan tersebut adalah penciptaan yang diketahui sedangkan hak cipta atas ciptaan yang penciptanya tidak diketahui diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UUHC 2002 yang menyatakan: (1) Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya. (2) Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milki bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi dan karya seni lainnya. UUHC
2002
selain
mengatur
apa
saja
yang
dapat
dikategorikan sebagai hak cipta, juga menentukan beberapa ciptaan yang tidak dapat dilindungi, yang termuat dalam Pasal 13, antara lain: a. b. c. d. e.
Hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara; Peraturan perUndang-undangan; Pidato kenegaraan atau pidato Pejabat Pemerintah; Putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau Keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya.
3) Sifat-sifat Hak Cipta ciptaan-ciptaan yang memiliki hak cipta tersebut, mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: a) Hak cipta adalah hak khusus Diartikan sebagai hak khusus karena hak cipta hanya diberikan kepada pencipta atau pemilik/pemegang hak dan orang lain
30
dilarang menggunakannya kecuali atas izin pencipta selaku pemiliki hak.
b) Hak cipta berkaitan dengan kepentingan umum Hak cipta mempunyai hak khusus namun demikian ada batasanbatasan yang harus memperhatikan kepentingan masyarakat yang juga turut memanfaatkan ciptaan seseorang. c) Hak cipta dapat beralih maupun dialihkan Hal ini seperti yang diatur dalam Pasal 3 ayat (2) UUHC 2002. Pada intinya hak hipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian karena: pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perUndang-undangan. d) Hak cipta dapat dibagi atau diperinci Berdasarkan praktik-praktik pelaksanaan hak cipta, maka hak cipta dibatasi: (1) Waktu, misalnya lama produksi suatu barang sekian tahun; (2) Jumlah, misalnya jumlah produksi barang sekian unit dalam satu tahun; (3) Geografis, contohnya sampul kaset yang bertuliskan “For Sale in Indonesia Only”. (Suyud Margono dan Amir Angkasa, 2002: 20-21). Ciptaan yang dapat dimasukkan dalam hak cipta, memiliki sifat-sifat seperti yang dijelaskan tersebut, sedangkan ciptaan yang tidak ada hak cipta nya tidak memiliki sifat-sifat tersebut.
4) Pendaftaran dan Pembatalan Hak Cipta Sistem deklaratif adalah sistem yang dianut oleh UUHC 2002. Artinya, pendaftaran itu tidak menerbitkan hak, tetapi hanya memberikan anggapan bahwa pihak yang ciptaannya terdaftar itu
31
adalah pihak yang berhak atas Ciptaaan tersebut dan sebagai pemiliki asli dari ciptaan terdaftar. Menurut sistem deklaratif, orang yang pertama kali mendaftarkan ciptaan dianggap sebagai Pencipta yang mempunyai hak cipta. Fungsi pendafttaran hanya untuk memudahkan pembuktian bahwa pihak yang mendaftarkan ciptaan dianggap sebagai pencipta sampai dapat dibuktikan bahwa yang mendaftarkan ciptaan itu bukan pencipta yang sebenarnya. Pendaftaran bukan suatu keharusan dan bukan jaminan kepastian hukum atas ciptaan Terdaftar karena masih dapat digugat oleh pihak yang berhak sebenarnya. Hal ini berbeda dengan karya intelektual lain yang mempersyaratkan dalam perolehan haknya melalui proses pendaftaran. Pendaftaran hak cipta akan memberikan manfaat bagi si pendaftar. Manfaatnya pendaftar tersebut dianggap sebagai pencipta, sampai ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya di pengadilan. Pendaftar menikmati perlindungan hukum sampai adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa pihak lain (bukan pendaftar) yang menjadi pencipta. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI), atau melalui Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) di Ibu Kota Propinsi. Adapun syarat-syarat yang perlu dilengkapi adalah sebagai berikut: a) Permohonan pendaftaran ciptaan diajukan dengan cara mengisi formulir yang disediakan untuk itu dalam bahasa Indonesia dan diketik rangkap 2. b) Pemohon wajib melampirkan: (1) Surat kuasa khusus, apabila permohonan diajukan melalui kuasa; (2) Contoh ciptaan dengan ketentuan yang telah ditentukan. c) Salinan resmi akta pendirian badan hukum atau fotocopinya yang dilegalisasi notaris, apabila pemohon badan hukum;
32
d) Fotocopy kartu tanda penduduk; dan e) Membayar biaya pendaftaran. Pembatalan terhadap ciptaan terdaftar diatur dalam UUHC 2002 yaitu dalam Pasal 42, menurut ketentuan Pasal tersebut, dalam hal ciptaan didaftar menurut Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 39, pihak lain menurut Pasal 2 berhak atas hak cipta dapat mengajukan
gugatan
pembatalan
melalui
Pengadilan
Niaga.
Ketentuan Pasal 42 ini berkenaan dengan hubungan hukum yang timbul karena Undang-undang, yaitu hubungan hukum antara Pendaftar dan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Pendaftar harus memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan UUHC 2002. Apabila pendaftar tidak mengetahui kewajibannya, pihak yang berhak dapat mengajukan gugatan pembatalan kepada Pengadilan Niaga yang berwenang terhadap hukum pendaftaran ciptaan itu. Tidak memenuhi kewajiban Undang-undang adalah sebab, sedangkan gugatan pembatalan adalah akibat.
5) Pengalihan Hak Cipta Hak cipta sebagai benda bergerak yang immateriil merupakan bagian dari kekayaan seseorang, maka hak cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya ataupun sebagian. Cara beralih atau mengalihkan hak cipta diatur dalam Pasal 3 UUHC 2002 ayat (2), hak cipta adalah kekayaan intelektual yang dianggap sebagai benda bergerak tidak berwujud. Sebagai benda kekayaan, secara hukum, adapun dalam Pasal tersebut menyebutkan; Hak cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian kepada pihak lain karena: a. Pewarisan b. Hibah c. Wasiat d. Perjanjian Tertulis e. Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perUndangundangan.
33
Hak cipta tidak dapat beralih atau dialihkan secara lisan, tetapi harus dilakukan secara tertulis, baik dengan maupun tanpa akta notaris. Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundangundangan, misalnya pengalihan yang disebabkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hakim tetap. Pengalihan hak cipta didasari oleh motif ekonomi, yaitu keinginan untuk memperoleh manfaat ekonomi atau keuntungan secara komersial. Pencipta mengalihkan hak cipta dengan tujuan mendapatkan royalti, sedangkan penerima selaku pemegang hak cipta bertujuan memperoleh keuntungan ekonomi dari penjualan ciptaan yang dihasilkan dari hak cipta tersebut. Pengalihan hak cipta, menurut ketentuan Pasal 26 ayat (1) UUHC 2002, hak cipta suatu ciptaan telah ada di tangan pencipta selama kepada pembeli ciptaan itu tidak diserahkan seluruh hak cipta dari pencipta itu. Ketentuan ini menegaskan berlakunya asas kemanunggalan hak cipta dengan penciptanya. Pengalihan hak apa pun dasarnya, apabila hak tersebut telah didaftarkan, maka pengalihan hak tersebut dicatatkan dalam daftar umum ciptaan. Pendaftaran dapat dimohonkan secara tertulis oleh kedua belah pihak atau dari penerima hak. Pencatatan pengalihan hak tersebut diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia (Muhamad Djumhana, 2003: 87).
3. Tinjauan tentang Pengetahuan Tradisional a. Pengertian dan Ruang Lingkup Pengetahuan Pengetahuan Tradisional Pengertian
yang
baku
mengenai
pengetahuan
(tradisional knowledge) sebenarnya tidak ada.
tradisional
Menurut WIPO,
pengetahuan tradisional merujuk pada berbagai pengetahuan yang sangat luas, dan tidak terbatas merujuk pada suatu bidang tertentu, Pemisahan pengetahuan tradisional dari pengetahuan yang lain dan membuatnya
34
sebagai “tradisional” adalah keterkaitannya dengan komunitas lokal tertentu. Pengetahuan tradisional diciptakan, dipertahankan, digunakan dan dilindungi dalam lingkaran tradisional. Istilah “tradisional” berarti “diturunkan dari generasi ke generasi” dan dalam hal pengetahuan tradisional biasanya merujuk pada pengetahuan yang diakumulasikan masyarakat dalam proses pengamalan yang panjang dalam suatu lokasi tertentu (Muhammad Ahkam Subroto dan Suprapedi, 2008: 35). Tidak banyak orang yang tahu dan tidak mudah untuk menjelaskan dalam sebuah kalimat apa yang dimaksud dengan pengetahuan tradisional. Perbedaan karakteristik dan bentuk-bentuk dari pengetahuan tradisional antara tempat yang satu dengan yang lain, antara kebudayaan yang satu dengan yang lain, tidak memungkinkan untuk dirangkum dalam sebuah kalimat yang dapat diterima baik secara hukum ataupun teknis oleh seluruh pihak. Hingga saat ini, terminologi pengetahuan tradisional yang digunakan secara luas di seluruh dunia, merupakan salah satu upaya untuk memudahkan dalam penyebutan mengenai suatu hal yang sama, yaitu segala sesuatu yang terkait dengan bentuk-bentuk tradisional baik itu suatu kegiatan ataupun hasil suatu karya yang biasanya didasarkan pada suatu kebudayaan tertentu (http://www.lkht.net/index.php?option=com_ content&view=article&id=62:pengetahuan-tradisional&catid=1:hkitelematika&Itemid=37> [17 Maret 2010 pukul 14.00]). Seringkali pengetahuan tradisional merupakan pengetahuan yang penting terhadap identitas dari suatu komunitas, jadi pengetahuan tradisional sesungguhnya dihasilkan dan dipelihara secara turun-temurun oleh penduduk asli atau suatu komunitas lokal di suatu negara. Kerajinan pahat, kerajinan ukir, ataupun motif batik, hanya merupakan sebagian kecil dari pengetahuan tradisional. Sebenarnya, banyak benda-benda atau apa yang kita lakukan sehari-hari termasuk ke dalam pengetahuan tradisional yang tidak kita sadari. Adapun ruang lingkup dari pengetahuan tradional ini sangatlah banyak sekali. Lingkup dan kategori-kategori pengetahuan tradisional mencakup pengetahuan,
pertanian,
pengetahuan
ilmiah,
pengetahuan
teknis,
pengetahuan ekologis, pengetahuan medis (termasuk obat-obatan dan tindakan medis yang terkait), pengetahuan yang terkait dengan keanekaragaman hayati, ekspresi cerita rakyat dalam bentuk musik, tarian,
35
nyanyian, kerajianan tangan, desain, cerita-cerita dan karya seni, unsurunsur bahasa seperti: nama-nama, indikasi geografis, dan simbol-simbol, serta benda-benda budaya yang dapat bergerak. Sedangkan yang tidak termasuk dalam lingkup pengetahuan tradisional adalah item-item yang tidak disebabkan oleh kegiatan intelektual dalam bidang-bidang industri, ilmiah/pengetahuan, kesusastraan atau bidang artistik seperti fosil manusia, bahasa secara umum, “warisan” dalam pengertian luas (Afrillyanna Purba, 2005: 37-38). b. Perlindungan Hukum Hak Cipta atas Folklore dan Pengetahuan Tradisional Perlindungan
hukum
yang
diberikan
untuk
folklore
dan
pengetahuan tradisional, dalam ketentuan UUHC 2002 secara tersirat telah diatur. Pengaturan tersebut dalam Pasal 10 UUHC 2002 yang berjudul “Hak cipta atas ciptaan yang penciptanya Tidak Diketahui”, menetapkan: (1). Negara memegang hak cipta atas karya peninggalan, prasejaarah, sejarah, dan benda nasional lainnya. (2). Negara memegang hak cipta atas Folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi miliki bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajianan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya. (3). Untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut. (4). Ketentuan lebih lanjut mengenai hak cipta yang dipegang oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 10 tersebut sebenarnya telah berupaya memberikan jalan keluar dengan mengatakan bahwa negara “yang mewakili” kepentingan rakyatnya (dalam hal ini; masyarakat tradisional di Indonesia) sebagai pemegang hak cipta. Apabila pihak asing memanfaatkan karya budaya/ pengetahuan tradisionalnya tanpa mengindahkan kepentingan Indonesia akan bermasalah dengan Negara Indonesia. Hal ini sebagai salah satu bahwa pengetahuan tradisional telah dilindungi di Negara Indonesia.
36
Jangka waktu perlindungan tersebut ditetapkan pula dalam UUHC 2002 pada Pasal 31 ayat 1a “Hak cipta atas Folklore dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, perlindungannya berlaku tanpa batas waktu”. Pasal-Pasal ini merupakan Pasal-Pasal yang terdapat dalam UUHC 2002 untuk melidungi folklore dan pengatahuan tradisional. Ketentuan tersebut hanya diatur sebatas siapa pemegang hak dan bagaimana bila orang asing akan memperbanyak atau mempergunakan ciptaan yang haknya dipegang negara. Ketentuan tersebut belum secara rinci mengatur tentang norma apabila ada pelanggaran yang dilakukan oleh orang asing. Termasuk kesulitan dalam menentukan hukum acara perdata dan pidana bagi orang asing di luar wilayah RI yang dianggap melanggar ketentuan tersebut (Arif Syamsudin. 2008: 18). c. Pentingnya Perlindungan Pengetahuan Tradisional di Indonesia dan Permasalahannya Topik pembahasan konsep pengetahuan tradisional (traditional knowledge), sumber daya genetika (genetic resources), serta ekspresi budaya lokal (expression of folklore). Negara-negara berkembang termasuk Indonesia sangat prihatin terhadap hal ini, bahkan badan internasional seperti WIPO (General Assemblies tahun 2000) telah membentuk team untuk mempelajari dan mengembangkan ketiga bidang di atas dalam kaitan dengan perlindungan karya intelektual. Beberapa kasus populer misalnya menyangkut masalah penggunaan kunyit (turmeric) sebagai obat (India) yang dipatenkan di AS, paten atas Brotowali di Jepang atau juga ayahuasca di daerah Amazon, yang juga dipatenkan di AS (A. Zen Umar Purba. 2002.: 1). Berdasarkan hal tersebut secara tersirat menggambarkan bahwa Pengetahuan tradisional itu menjadi sangat penting termasuk di Indonesia, setidak-tidaknya karena tiga alasan yaitu: (1) adanya potensi keuntungan ekonomis yang dihasilkan dari pemanfaatan pengetahuan tradidional, (2) keadilan dalam sistem perdagangan dunia, dan (3) perlunya perlindungan masyarakat lokal (Agus Sardjono, 2006: 2).
37
1). Alasan Pertama, Indonesia yang memiliki potensi sumber daya hayati dan pengetahuan tradisional terkait, ternyata belum menikmatai secara ekonomi atas hasil dari pemanfaatan sumber daya tersebut. Indonesia yang Notabene merupakan “lumbung” dari keanekaragaman hayati yang dapat dijadikan bahan baku pembuatan obat justru tidak menikmati keuntungan ekonomi dari kekayaan hayati tersebut. 2). Alasan kedua, dalam perdagangan internasional, khususnya yang berkenaan dengan aspek Hak Kekayaan intelektual (HKI), Indonesia berada di bawah tekanan
negara-negara
maju
karena
harus
melaksanakan TRIPs agreement sebagai salah satu kesepakatan di dalam rezim World Trade Organisasion (WTO). Di sisi lain negaranegara maju enggan untuk mempertimbangkan kekayaan intelektual masyarakat lokal dalam belum pengetahuan tradisional. 3). Alasan Ketiga, Pemerintah Indonesia perlu memberikan perlindungan bagi hak masyarakat lokal berkenaan dengan pengetahuan tradisional mereka mengingat masyarakat sendiri tidak menyadari bahwa pengetahuan tradisional, antara lain di bidang obat-obatan memiliki nilai ekonomis. Pengetahuan tradisional memang penting untuk mendapatkan suatu perlindungan hukum, namun dalam perkembangannya pengetahuan tradisional ini juga membawa suatu yang dapat dibagi ke dalam dua permasalahan
utama
yakni
perlindungan
yang
mempertahankan
pengetahuan tradisional atau ketentuan yang menjamin itu tidak akan sukses diperoleh oleh HKI melalui ketentuan pengetahuan tradisional yang konvensional dan perlindungan yang mempertahankan pengetahuan tradisional akan sukses dengan menggunakan mekanisme hukum tradisonal, dan HKI.
d. Tujuan Perlindungan Pengetahuan Tradisional Karya cipta yang termasuk dalam pengetahuan tradisional ini dipegang oleh negara. Apabila pengakuan terhadap suatu karya intelektual
38
maupun
perlindungan
terhadap
karya
tradisional
dianut
sistem
kepemilikan yang bersifat individu (private property) sebagaimana karakter dari perlindungan HKI maka tentunya akan ditemukan kesulitankesulitan. Jadi sudahlah tepat perlindungan bagi karya yang telah ada lama dan tidak diketahui penciptanya dijadikan sebagai kara pengetahuan tradisional yang dipegang oleh Negara. “Karya tersebut yang dimaksukan dalam pengetahuan tradisional dapat bertujuan utama sebagai upaya pencegahan konflik berkepanjangan dalam hal klaim hak kepemilikan yang dapat timbul di Indonesia yang plural”(http://www.lkht.net/index.php?option=com_content&view=article &id=72:perlindungan-hki-bagi-traditional-knowledge&catid=1:hkitelematika&Itemid=37>
[17
Maret
2010
pukul
14.30]).
Karya
pengetahuan traditional ini juga bertujuan untuk kesejahteraan bangsa Indonesia, yaitu kearah negara yang akan memberdayakan atau membangun masyarakatnya yang sebagian masih miskin, maupun menerapkan cara hidup yang tradisional dalam kondisi modernisasi, globalisasi yang sudah tak terbendung.
4. Tinjauan tentang Penegakan Hukum Hak Cipta a. Penegakan Hukum pada Umumnya “Manusia bermasyarakat.
tidak Dalam
mungkin
dapat
bermasyarakat
bertahan
diperlukan
hidup
keteraturan
tanpa dan
ketertiban sebagai syarat fundamental. Bahwa keteraturan dan ketertiban merupakan tujuan utama dari hukum, maka manusia dan hukum merupakan pengertian yang tidak dapat dipisahkan” (Hendarman Supandi, 2008:1). Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsaat), bukan merupakan negara yang berdasarkan kekuasaan (machstaat). Sejak awal kemerdekaan, Negara Indonesia ini dikelola berdasarkan hukum. Semua dalam kegiatan bermasyarakat, kegiatan berusaha, kegiatan berbangsa dan kegiatan bernegara serta seluruh perbuatan hukum lainnya di negara ini harus dilakukan dan tunduk kepada hukum positif yang berlaku dan setiap
39
pelanggaran terhadapnya haruslah dikenakan sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku pula. Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik. Namun proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa problemproblem hukum yang akan selalu menonjol adalah problema “law in action” bukan pada “law in the books” (Zudan Arif Fakrulloh. 2005:2223). Suatu penegakan hukum, sesuai kerangka Friedmann, hukum harus diartikan sebagai suatu isi hukum (content of law), tata laksana hukum (structure of law) dan budaya hukum (culture of law).
Sehingga,
penegakan hukum tidak saja dilakukan melalui perundang-undangan, namun juga bagaimana memberdayakan aparat dan fasilitas hukum dan juga yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana menciptakan budaya hukum
masyarakat
yang
kondusif
untuk
penegakan
hukum
(http://herususetyo.multiply.com/journal/item/9> [25 Maret 2010 pukul 19.15]). Penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi berfungsinya kaedah hukum dalam masyarakat yaitu: 1). Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada Undang-undang saja. 2). Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. 3). Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4). Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
40
5). Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan mengetengahkan contohcontoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia (Soerjono Soekanto, 1983: 6). Faktor kebudayaan terkait dengan faktor masyarakat, di mana faktor kebudayaan merupakan bagian atau sub sistem dari masyarakat. Menurut Lawrence M. Friedman Sebagai suatu sistem maka hukum mencakup struktur, subtansi, dan kebudayaan. Suatu sistem dalam kebudayaan hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mengenai apa yang dianggap baik sehingga dianuti dan apa yang dianggap buruk sehingga dihindari. Adapun nilai yang berperanan dalam hukum adalah nilai ketertiban dan nilai ketentraman. Nilai inilah yang nantinya berpengaruh lebih pada penegakan hukum (Soerjono Soekanto, 1983: 45).
b. Penegakan Hukum Hak Cipta Disadari atau tidak, di Indonesia marak sekali terjadinya pelanggaran-pelanggaran hak cipta mulai dari pembajakan buku, pembajakan kaset, pembajakan software, peniruan motif batik dan pelanggaran-pelanggaran hak cipta lainnya. Kemajuan teknologi yang kini terus berkembang dirasakan turut mempermudah terjadinya pelanggaranpelanggaran hak cipta. Meskipun Indonesia telah mempunyai perangkat hukum di bidang hak cipta yakni yang berlaku sampai saat ini UUHC 2002, akan tetapi rasanya penegakan hukum atas pelanggaran hak cipta ini masih dirasakan sulit dicapai dan sepertinya permasalahan ini di Indonesia akan tetap terjadi, serta sulit dituntaskan.
41
Penegakan
hukum
terletak
pada
beberapa
faktor
yang
mempengaruhinya. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi melalui UUHC 2002 yang mulai berlaku pada 29 Juli 2003 yang mengatur segala sesuatu mengenai hak cipta sampai dengan sanksi dari pelanggaran hak cipta. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum, penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat yang hendaknya mempunyai kemampuankemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat. “Penegak hukum di Indonesia terdiri dari Polisi, Jaksa, Hakim, dan advokat yang kebanyakan akhir-akhir ini menjadi sorotan kurang professional, tidak konsisten menjalankan etika profesi, dan gampang tergoda hal-hal yang bersifat materi” (Otto Hasibuan, 2008: 252). Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum dalam hukum hak cipta ini. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Faktor ini dirasakan masih kurang, salah satunya dibatasinya kantor yang melayani hak cipa pada Dirjen HKI di Jakarta dan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) wilayah propinsi merupakan suatu hambatan tersendiri dalam penegakan hukum, di mana para pencipta maupun pemegang hak cipta di kota yang jauh dari kantor tersebut khususnya enggan untuk mendaftarkan ciptaannya terkait dengan penambahan biaya transportasi pendaftaran. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Masyarakat di Indonesia cenderung lebih memilih barang-barang yang bajakan karena sesuatu hal, misalnya saja barang bajakan dilihat dari sisi ekonomi cenderung lebih murah bahkan terpaut jauh dengan harga barang yang asli atau original, dan barang bajakan atau misalnya kaset atau CD bajakan lebih mudah didapat karena hampir di setiap daerah selalu ada pedagang bajakan.
42
Pemahaman masyarakat Indonesia terhadap hak cipta khususnya dan HKI umumnya masih sangat rendah, terbukti bahwa kebanyakan orang tidak merasa bersalah menjual maupun membeli produk hasil bajakan. Penjualan buku bajakan, kaset atau CD bajakan mungkin banyak yang sadar perbuatan dilarang hukum. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan para pembeli. Langsung atau tidak langsung, banyaknya peminat barang bajakan itulah yang membuat maraknya produksi dan penjualan barang bajakan. Kalau saja masyarakat sadar nilai sebuah ciptaan sehingga merasa bersalah jika membeli barang bajakan, hal itu sangat efektif menekan bahkan mungkin menghentikan ekploitasi ciptaan orang lain oleh orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri (Otto Hasibuan, 2008: 255). Faktor kebudayaan di mana erat kaitannya masalah kultur (kebudayaan) adalah masalah paradigma (cara pandang) masyarakat terhadap kejahatan hak cipta itu sendiri. Realitas menunjukkan bahwa masyarakat kita umumnya tidak memandang kejahatan hak cipta sebagai kejahatan, berbeda dengan masyarakat memandang kejahatan pencurian. Cara pandang masyarakat mengenai penegakan hukum hak cipta itu dirasa sangat kurang, malahan seperti yang disebutkan diatas banyak orang yang membeli barang bajakan. Masyarakat memandang bahwa kejahatan hak cipta tidak terlalu buruk (Otto Hasibuan, 2008: 257-258). Kelima faktor tersebut saling berkaitan karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Apabila kita lihat dari kenyataan faktor-faktor tersebut penegakan hukum mengenai hak cipta ini masih rendah sekali, bahkan hal tersebut menghambat penegakan hukum hak cipta di Indonesia.
5. Tinjauan tentang Batik a. Pengertian Pengertian batik menurut Santoso Doellah adalah sehelai wastra, yakni sehelai kain yang dibuat secara tradisional dan terutama juga
43
digunakan dalam matra tradisional beragam hias pola batik tertentu yang pembuatannya menggunakan teknik celup rintang dengan malam “lilin batik” sebagai bahan perintang warna. Dengan demikian, suatu wastra dapat disebut batik bila mengandung dua unsur pokok: teknik celup rintang yang menggunakan lilin sebagai perintang warna dan pola yang beragam hias khas batik (Santosa Doellah, 2002: 10). Seni batik pada dasarnya merupakan seni lukis dengan bahan kain, canthing dan malam ‘sebangsa cairan lilin’. Canthing biasanya berbentuk seperti mangkuk kecil dengan tangki (pegangan) terbuat dari kayu atau bambu dan bermoncong satu atau lebih. Canthing yang bermoncong satu untuk membuat garis, titik atau cerek, sedangkan canthing yang bermoncong beberapa (dapat sampai tujuh) dipakai untuk membuat hiasan berupa kumpulan titik-titik. Kata batik berasal dari bahasa Jawa “ambatik” atau “a-mba-tik” atau mbatik. Kata “mbat” disebut juga ngembat artinya melontarkan/ melempar, sedangkan “tik” berarti kecil, sehingga batik dapat diartikan segala melontarkan titik berkali-kali pada sehelai kain. Keahlian tersebut merupakan pengungkapan atau ekspresi ide-ide dan pemikiran estetika serta penciptaan keindahan dalam menghias kain mori. “Pengertian batik yaitu gambaran atau hiasan pada kain yang pengerjaannya melalui proses penutupan dengan bahan lilin atau malam yang kemudian dicelup atau diberi warna” (Moch Najib Imanullah dkk. 2005:1234). Sementara menurut Hamzuri, batik diartikan sebagai lukisan atau gambar pada mori yang dibuat dengan menggunakan alat bernama canting (Afrillyanna Purba, 2005: 45). Pembuataannya batik dibutuhkan ketekunan, keuletan, kecermatan, dan keahlian untuk menghasilkan sebuah motif batik yang beraneka ragam. Motif yang dihasilkan tanpa corak khusus ragam hias batik yang sangat dipengaruhi dan erat hubungannya dengan faktor-faktor seperti letak geografis, alam sekitar, adat-istiadat, tradisis agama, kepercayaan, dan tata
44
penghidupan masyarakat daerah yang bersangkutan. Ekspresi dari pembuatan batik inilah yang menyebabkan batik menjadi suatu seni.
b. Perkembangan Batik di Indonesia Asal mula perkembangan batik di Indonesia banyak menimbulkan perdebatan. Ada sebagian pihak yang menyetujui bahwa batik memang berasal dari Indonesia, tetapi ada juga beberapa pihak yang tidak menyetujuinya. Pihak yang setuju mengatakan bahwa batik di Indonesia adalah suatu bentuk kesenian yang berdiri sendiri dan tidak ada hubungan dengan batik yang berkembang di negara lain. Cara pembuatan maupun corak-corak dan cara hiasan yang ada pada batik Indonesia tidak mempunyai kemiripan dengan cara pembuatan batik asing. Sementara pihak yang tidak setuju dengan pendapat bahwa batik berasal dari Indonesia mengemukakan bahwa batik dibawa sejak nenek moyang kita ketika melakukan perpindahan penduduk, atau mungkin juga diperkenalkan kepada nenek moyang kita oleh kaum pendatang. Itulah sebabnya cara pembuatan dan penghiasan batik tidak hanya dikenal di Indonesia, tetapi juga ada di Thailand, India, Jepang, Srilangka, dan Malaysia (Afrillyanna Purba, 2005: 46). Terlepas dari kedua pendapat tersebut, sesungguhnya batik memiliki latar belakang yang kuat dengan bangsa dan rakyat Indonesia dalam segala bidang dan bentuk kebudayaan serta kehidupan sehari-hari. Batik di Indoensia terus mengalami perubahan seiring dengan pengaruh dan perkembangan zaman. Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerjaan Solo dan Yogyakarta. Kesenian batik di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII.
45
Batik secara historis berasal dari zaman nenek moyang yang dikenal sejak abad XVII yang ditulis dan dilukis pada daun lontar. Saat itu motif atau pola batik masih didominasi dengan bentuk binatang dan tanaman. Namun dalam sejarah perkembangannya batik mengalami perkembangan, yaitu dari corak-corak lukisan binatang dan tanaman lambat laun beralih pada motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber dan sebagainya. Selanjutnya melalui penggabungan corak lukisan dengan seni dekorasi pakaian, muncul seni batik tulis seperti yang kita kenal sekarang ini (http://www. batikmarkets.com/batik.php> [20 Februari 2010 pukul 16.00]). Kesenian batik merupakan kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing. Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahkan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri. Batik Indonesia ternyata mampu mendorong semangat para seniman batik untuk berkarya cipta sekaligus mampu menguatkan rasa “ikut memiliki“ warisan budaya leluhur tersebut bagi berbagai suku bangsa di Indonesia karena ragam hias pakaian adat mereka juga ikut tampil dalam pola batik Indonesia. Pola-pola baru bermunculan, masing-masing dengan ciri, gaya, dan warna yang tiada duanya (Santosa Doellah, 2002: 212). Dinamika perkembangan batik mengalihkan perhatian konsumen batik, masyarakat beralih ke tekstil motif batik, sedang kaum borjuis Indonesia memakai kain batik halus (batik tulis) untuk keperluan acara resmi maupun pesta-pesta resmi. Dinamika tersebut akan membawa batik tulis (batik canting) ke singgasananya yang eksklusif (Dharsono. 2009:1).
46
c. Jenis Batik Seperti yang dikatakan diatas bahwa batik dibedakan menjadi batik tradisional dan batik modern, pembagian dari ke dua jenis tersebut adalah sebagai berikut:
1) Batik tulis Batik tulis adalah kain yang dihias dengan teksture dan corak batik menggunakan tangan. Pembuatan batik jenis ini memakan waktu kurang lebih 2-3 bulan. Pada batik tulis ini sukar sekali dijumpai pola ulang yang dikerjakan persis sama, pasti ada selintas yang berbeda. Hal ini bisa menjadi suatu kelebihan. 2) Batik Modern a) Batik cap adalah kain yang dihias dengan teksture dan corak batik yang dibentuk dengan cap (biasanya terbuat dari tembaga). Proses pembuatan batik jenis ini membutuhkan waktu yang singkat yakni kurang lebih 2-3 hari. Kelemahan dari batik cap ini adalah motif yang dibuat terbatas. b) Batik Kombinasi, merupakan kombinasi antara tulis dan cap dibuat dalam rangka mengurangi kelemahan-kelemahan yang terdapat pada produk cap. Proses pembuatannya memerlukan persiapan yang rumit terutama dalam penggabungan motif yang ditulis dan motif capnya. c) Tekstil Motif Batik, Kain batik jenis ini tumbuh dalam rangka memenuhi kebutuhan batik yang cukup besar dan tidak dapat dipenuhi secara industri batik biasa, sehingga diproduksi oleh industri tekstil dengan menggunakan motif batik sebagai desain tekstilnya. (Alfrillyanna Purba, 2005 : 50-51).
d. Proses Pembuatan Batik Tradisional
47
Pembuatan batik Tradisional tidaklah mudah. Pembuatan batik membutuhkan proses yang sangat panjang sekali. Proses membatik adalah rangkaian aktifitas yang dilakukan dalam membuat batik, mulai dari menyiapkan kain dasar (polos) sampai menjadi kain batik yang siap digunakan sesuai keperluan. Proses pembuatan batik tersebut adalah sebagai berikut: 1). Kemplong, kain dibasahi dan dipukuli dengan pemukul kayu supaya lunak sehingga malam dapat menempel kuat dan rata. Adapun bahan yang digunakan adalah primis, mori, promisima, sutera, atau bahan lain yang terbuat dari bahan alam agar malam bisa melekat kuat. 2). Mola, adalah membuat pola ragam hias di atas kain putih (mori) dengan pensil. Adapun caranya adalah ragam hias batik yang dibuat di atas kertas tembus pandang diletakkan di atas meja kaca yang di bawahnya diberi lampu. Kemudian, kain mori diletakkan di atas kertas yang telah terpola itu sehingga tinggal menggambar motif batik sesuai dengan pola batik di bawahnya dengan pensil. 3). Ngengreng, adalah membatik kontur menurut pola dasar ragam hiasnya. Ngengreng dilakukan dengan menggunakan canting dan mengikuti pola-pola yang digambarkan dengan pensil. Fungsinya adalah sebagai dasar peletakan isen-isen yang merupakan ciri khas ragam hias batik. 4). Nembok, adalah proses menutup bidang yang mempunyai ukuran besar atau bidang rata berupa blok-blok. Caranya dengan menutup bagian yang telah dicolet agar tidak terkena warna saat pencelupan. 5). Nyolet, adalah teknik menghasilkan warna-warna tanpa melalui proses pencelupan. Biasanya menghasilkan warna-warna mencolok seperti merah, kuning, hijau, biru, oranya, dan ungu untuk mengimbangi warna pencelupan yang cenderung berwarna pastel. Caranya dengan mewarnai kain batik dengan zat warna dan kuas. 6). Malam, berfungsi sebagai penutup bagian dari kain agar tidak tertimpa warna saat proses pewarnaan. Bahan terdiri dari campuran gondorukem, “mata kucing”, paraffin, lilin lebah, dan lemak.
48
7). Mendel, adalah pewarnaan dengan zat warna alam yang terbuat dari nila (indigo) yang biasanya dilakukan selama dua hari atau lebih untuk menghasilkan warna yang lebih matang. Caranya ialah pohon tom dipilah, diproses, dan diramu menjadi nila berupa cairan berwarna biru tua. Teknik pencelupan dengan sistem ini mayoritas telah ditinggalkan perajin dan beralih ke zat warna sintesis. 8). Ngerok, adalah mengelupas malam atau lilin yang menempel di kain setelah mendel yang dilakukan dengan logam tipis tetapi tajam. Tujuannya untuk pewarnaan selanjutnya pada bidang yang terkelupas bisa terkena warna cokelat, sedangkan bidang biru akan menjadi hitam karena percampuran warna cokelat dan biru. 9). Nyoga, adalah pewarnaan tradisional kedua setelah mendel dengan menggunakan bahan baku beberapa kulit kayu yang menghasilkan warna cokelat cemerlang. Kualitas warnanya dapat bertahan sampai ratusan tahun. Perusahaan batik yang memakai soga sudah langka saat ini. 10). Ngorod, adalah proses melepas malam yang telah digunakan untuk membatik atau menutup permukaan kain supaya tidak terkena warna dengan cara direbus. Tujuannya adalah selain kain cepat menjadi bersih, ngorod juga digunakan sebagai proses finishing untuk mematikan warna. Agar warna kain lebih matang dan tidak luntur, perebusan saat nglorod diberi soda abu. 11). Angin-angin/pengeringan, meniriskan sisa zat warna yang berada di dalam kain setelah dibilas dengan air dan kering tanpa terkena sinar matahari. Biasanya dilakukan setelah pencelupan warna pertama dan kedua untuk menghilangkan zat warna yang masih ada di dalam kain basah (Sultani. “Batik, Warisan Tradisional yang Mendunia”. Kompas, 20 Maret 2010).
e. Batik Tradisional di Kota Surakarta
49
Pewarisan budaya khususnya yang berkenaan dengan pewarisan budaya batik ini, apa yang diperoleh dari generasi terdahulu akan senantiasa mendapatkan sentuhan-sentuhan baru dari mana pun asal gagasannya. Ide dari luar komunitas (masyarakat) dapat berkenaan dengan desain, bahan maupun teknik, dan terhadap berbagai bentuk masukan dari luar itu dapat dilakukan adopsi sepenuhnya atau dengan adaptasi dan modifikasi
yang disesuaikan dengan
kebutuhan
setempat.
Proses
pembuatannya yang rumit dan terkadang disertai dengan serangkaian ritual khusus, juga mengandung filosofi tinggi yang terungkap dari motifnya. Batik di Kota Surakarta memiliki nilai filosofi, nilai inilah yang menjadi pembeda dengan batik-batik di kota lain. Para pencipta ragam hias batik pada zaman dahulu tidak hanya menciptakan sesuatu yang hanya indah dipandang mata saja, tetapi mereka juga memberi makna atau arti, yang erat hubungannya dengan falsafah hidup yang mereka hayati. Mereka menciptakan sesuatu ragam hias dengan pesan dan harapan yang tulus dan luhur semoga akan membawa kebaikan serta kebahagiaan bagi si pemakai. Ini semua dilukiskan secara simbolis Hal ini merupakan cirri khas ragam hias batik dari daerah Solo (Nian S. Djoemana, 1986: 10). Ragam hias di Kota Surakarta bersifat simbolis yang erat hubungannya dengan falsafah hindu Jawa antara lain: 1) Sawat atau Lar, yang melambangkan mahkota atau penguasa tinggi 2) Meru melambangkan gunung atau tanah (bumi) 3) Naga melambangkan air, yang juga disebut tula atau banyu. 4) Burung melambangkan angin atau dunia atas. Ragam hias ini nantinya akan tertuang pada motif-motif batik, yang juga memiliki lambang atau makna didalamnya. Perkembangan masa kini sebenarnya juga membawa suatu perkembangan batik di Kota Surakarta. Perkembangan-perkembangan tersebut dapat dilihat dari sisi cara pembuatan ataupun motifnya. Perkembangan tersebut tidaklah mudah untuk membuat suatu motif baru, perkembangan disini biasanya hanya suatu kreasi-kreasi dari batik yang
50
telah ada sebelumnya. Berdasarkan sejarahnya yang tidak dapat dipisahkan dari budaya dan kehidupan sehari-sehari masyarakat, maka batik memiliki kandungan makna filosofis tersendiri dalam setiap motifnya. Motif batik di Kota Surakarta mengandung makna filosofis sebagai berikut :
1). Kedudukan sosial si pemakai Motif batik yang ada hubungannya dengan kedudukan sosial seseorang umpamanya, antara lain adalah batik dengan motif batik Parang Rusak Barong, Sawat, dan Kawung. Batik dengan motif ini hanya boleh dipakai oleh raja-raja beserta keluarga dekatnya. Motif ini merupakan ragam hias larangan, karena hanya orang tertentu yang boleh memakainya, namun dewasa ini motif larangan telah menjadi milik masyarakat umum. 2). Pada kesempatan atau peristiwa mana kain batik ini dipakai atau dipergunakan tergantung diri makna atau arti dan harapan yang terkandung pada ragam hias tersebut. a) Motif Sido Mukti, yang dipakai pengantin wanita dan pria pada upacara perkawinan dinamakan Sawitan (pasangan). Sido berarti terus-menerus, dan mukti berarti hidup dalam berkecukupan dan kebahagiaan. Dapat disimpulkan bahwa motif ini melambangkan harapan dan masa depan yang baik, penuh kebahagiaan yang kekal untuk kedua mempelai dan juga sebagai lambing cinta yang bersemi. Selain motif ini ada juga motif Sido Asih, Sido Mulyo, dan Sido Luhur. Ada juga Motif Ratu Ratih dan Semen Rama, yang melambangakan kesetiaan istri pada suami b) Motif Truntum, yang dipakai oleh orang tua pengantin yang berarti menuntun. Memiliki makna sebagai orang tua yang berniat akan menuntun kedua mempelai memasuki hidup baru. Untuk motif ini dikenal juga motif Sido Wirasat.
51
c) Motif Satria Manah, yang dipakai oleh wali pengantin pria ketika meminang, yang memiliki filosofi satria memanah sudah tentu selalu mengenai sasarannya, dengan harapan agar keluarga sang wanita dapat menerimanya. d) Motif Semen Rante, yang bisa dipakai pihak keluarga wanita yang akan menyambut lamaran. Filosofi dari motif ini adalah lambing ikatan yang kokoh dan kuat. e) Motif Madu Bronto, motif batik yang diberikan pada saat seserahan yang dapat diartikan asmara yang manis bagaikan madu. f) Motif Parang Kusuma, motif batik yang digunakan wanita pada saat pertunangan yang berarti bunga yang telah mekar, bisa juga menggunakan parang cantle. g) Motif Pamiluto, yang digunakan ibu pada saat anak perempuannya bertunangan. Makna dari motif ini adalah harapan Ibu agar pasangan dara dan pria tersebut tidak terpisahkan. Bisa juga menggunakan motif Sekar Jagad. h) Serta motif-motif lain. (Nian S. Djoemana, 1986: 11-15). Batik akan selalu menandai setiap peristiwa penting dalam kehidupan
manusia
Jawa
sejak
lahir
hingga
ajal
tiba.
(http://www.javabatik.org/artikel_3.html> [21 Februari 2010 pukul 09.30]).
B. Kerangka Pemikiran
Pokok masalah ini adalah mengenai perlindungan hukum hak cipta terhadap karya seni batik. Diawali dari adanya Obyek yang dilindungi oleh hak cipta banyak sekali menurut Pasal 12 Undang-Undang nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC 2002), salah satunya adalah Seni Batik. Obyek Hak cipta itu sendiri tentunya ada suatu tujuan dari perlindungan hak cipta itu sendiri. Adapun perlindungan hukum hak cipta itu memiliki tujuan yaitu untuk
52
mendapatkan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya dan juga untuk memudahkan pembuktian bila terjadi sengketa. Melihat dari studi yang peneliti lakukan, perlu adanya suatu perlindungan terhadap pencipta seni batik. Untuk mengetahui pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta terhadap karya seni batik tersebut dapat dilihat dari implementasi di Kota Surakarta itu sendiri yang dapat dilihat dari dua sudut, yakni : 1. Bahwa pengusaha batik telah mengetahui bahwa batik telah dilindungi melalui pengetahuan tradisional dan atau telah mendaftarkan karya cipta pribadinya. 2. Bahwa pengusaha batik belum mengetahui bahwa batik telah dilindungi melalui pengetahuan tradisional dan belum mendaftarkan karya cipta pribadinya. Pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta di Kota Surakarta tersebut belum tentu dapat berjalan lancar seperti yang diharapkan. Pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta terhadap karya seni batik di Kota Surakarta pastinya menemukan suatu kendala-kendala. Dari kendala itu, nantinya dapat ditemukan suatu solusi sebagai masukan untuk mewujudkan tujuan dari hak cipta itu sendiri. Adapun untuk bagan kerangka pemikiran adalah sebagai berikut:
Perlindungan Hukum Hak Cipta Karya Seni Batik (Pasal 12 UUHC 2002)
Telah Mengetahui bahwa batik telah dilindungi melalui pengetahuan tradisional Telah mendaftarkan karya cipta pribadinya.
Implementasi di Kota Surakarta Belum Mengetahui bahwa batik telah dilindungi melalui pengetahuan tradisional Belum mendaftarkan karya cipta pribadinya.
Tujuan Mendapatkan hak eksklusif atau Pemegang hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya. Untuk memudahkan pembuktian bila terjadi sengketa.
53
Bagan II. Kerangka Pemikiran BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Perkembangan Batik Di Surakarta
1. Gambaran Umum Kota Surakarta Surakarta sebuah kota di Jawa tengah yang masih lekat sekali dengan budaya Jawa dengan slogan “Solo the Spirit of Java” yang diharapkan bisa membangun citra Kota Solo sebagai pusat kebudayaan Jawa. Tidak hanya slogan tersebut yang bertebaran di Kota Surakarta, tapi juga julukan “Solo Kutho Budoyo” bahkan “Solo Kota Batik”. Kota Surakarta memiliki luas wilayah 44,04 Km2 terbagi menjadi 5 (lima) kecamatan. Kecamatan yang mempunyai luas wilayah paling besar yaitu Kecamatan Banjarsari (14,81 km2) sedangkan kecamatan yang mempunyai luas paling kecil yaitu Kecamatan Serengan. Wilayah kecamatan dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Pasar Kliwon (915.418 jiwa/km2) dan terendah terdapat pada Kecamatan Laweyan (10.127 jiwa/km2). Kecamatan-kecamatan ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Sukoharjo di sebelah selatan, Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar di sebelah barat dan timur. Posisi Kota Surakarta berada pada jalur strategis lalu lintas ekonomi perdagangan maupun kepariwisataan di antara Jogyakarta-Solo-Semarang (Joglo Semar)– SurabayaBali (http://regionalinvestment.com/sipid/id/displayprofil. php?ia=3372#> [20 Maret 2010 pukul 10.30]).
54
Kondisi ekonomi di Kota Surakarta pada sektor pertanian tidak bisa berbicara banyak. Kebutuhan sektor ini harus bergantung pada daerah lain di sekitarnya. Selanjutnya yang memberikan sumbangan terbesar adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran, ketiga adalah sektor bangunan, pada tahun 2008 ini masing-masing memberikan sumbangan sebersar 25,12%, dan 14,44%. Sektor pertambangan/penggalian dan pertanian merupakan sektor yang memberikan sumbangan terkecil yakni hanya sebesar 0,04 % dan 0, 66 %. 52 Tabel 1. Struktur Ekonomi Surakarta Tahun 2003-2008 Atas Dasar Harga Berlaku (persen). Tahun No Sektor 2003 2004 2005 2006 2007 2008 1.
Pertanian
0,07
0,07
0,06
0,06
0,06
0,06
2.
Pertambangan
0,05
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04
3.
Industri
28,63
28,10
26,42
25,11
24,34
23,27
4.
Listrik, Gas & Air
2,63
2,70
2,59
2,69
2,69
2,57
5.
Bangunan
12,80
12,68
12,89
13,07
13,38
14,44
6.
Perdagangan,
22,67
22,96
23,82
24,35
24,78
25,12
Hotel & Restoran 7.
Komunikasi
10,79
10,83
11,52
11,78
11,61
11,20
8.
Keuangan
10,73
11,14
11,43
11,26
11,06
10,93
9.
Jasa-Jasa
11,62
11,48
11,23
11,64
12,04
12,38
100,00
100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
TOTAL
Sumber : Produk Domestik Regional Bruto Kota Surakarta Tahun 2008 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Surakarta Perkembangan pendapatan perkapita di Kota Surakarta atas dasar harga berlaku, menunjukkan adanya peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun
2000
pendapatan
per-kapita
masih
mencapai
angka
sebesar
5.336.870,05 rupiah, tahun 2008 pendapatan per-kapita ini mengalami kenaikan yakni sudah menjadi 13.220.433, 14 rupiah atau naik sebesaar 12,63 persen dari tahun 2007. Permasalahan yang berkaitan dengan sosial yang
55
dihadapi Kota Surakarta adalah masalah mengenai perumahan, agama, kriminal, bencana alam, dan sebagainya. Kota Surakarta sebagai kota tua bekas ibukota Kerajaan Surakarta Hadiningrat. adiluhung
Kota
Surakarta
kaya
akan
peninggalan
budaya
yang
baik yang berujud artefak seperti bangunan cagar budaya,
Sosiofak seperti tradisi Sekaten dan Kirab Pusaka Kraton setiap satu Syura maupun Metafak seperti laku spiritual berjaga malam (“lek-lekan”) dan tradisi upacara daur hidup. Bahkan untuk beberapa unsur budaya tertentu
seperti Bahasa
Jawa
telah
memperkaya
khasanah
bahasa
Indonesia, dan seni tari serta seni ngadisalira juga telah diapresiasi oleh masyarakat Indonesia secara luas sehingga telah memberi andil besar dalam pembentukan jati diri bangsa. Kota Surakarta yang dulunya sebagai ibukota Kerajaan pastinya pernah mengenal pembagian kalangan. Kalangan orang Jawa di Surakarta, pembagian klasik seperti wong cilik (orang kecil) dan priyayi, masyarakat Kota Surakarta tidak lagi menerapkan konsep ini dalam kehidupan masyarakat sekarang. Orang Jawa di Kota Surakarta masih mengakui adanya lapisan sosial keturunan ningrat di masa lampau, namun masyarakat tidak lagi menempatkan kaum ningrat ini pada posisi sosial atas seperti sosial masa lampau.
2. Perkembangan Industri Batik di Kota Surakarta Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Mangkunegaran menjadikan Kota Surakarta sebagai poros sejarah, seni, budaya, yang memiliki nilai jual. Nilai jual ini termanifestasi melalui bangunan kuno, tradisi kerajaan yang terpelihara, dan karya seni yang menakjubkan, tatanan penduduk setempat yang tidak lepas dari sentuhan-sentuhan kultural dan spiritual keraton yang semakin menambah daya tarik. Kota Surakarta dikenal sebagai salah satu inti Kebudayaan Jawa karena secara tradisional merupakan salah satu pusat politik dan pengembangan Tradisi Jawa. Kemakmuran wilayah ini sejak abad ke-19 mendorong berkembangnya berbagai literatur Berbahasa
56
Jawa, tarian, seni boga, busana, arsitektur, dan bermacam-macam ekspresi budaya lainnya (http://id.wikipedia.org/wiki/Batik> [20 Februari 2010 pukul 16.00]). Salah satu tradisi yang berlangsung turun temurun dan semakin mengangkat nama daerah ini adalah membatik. Seni dan pembatikan di Kota Surakarta menjadikan daerah ini menjadi salah satu pusat batik di Indonesia. Kota Surakarta bertekad terus menjaga dan melestarikan budaya jawa. Kota Surakarta memang merupakan salah satu tempat wisata batik terkenal di Indonesia. Batik itu sendiri adalah salah satu produk kota dan telah menjadi Icon kota. Batik Kota Surakarta terkenal dengan corak dan pola tradisionalnya batik dalam proses cap maupun dalam batik tulisnya. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk pewarnaan masih tetap banyak memakai bahan-bahan dalam negeri seperti soga Jawa yang sudah terkenal sejak dari dahulu. Polanya tetap antara lain terkenal dengan Sidomukti dan Sidoluhur. Tradisi membatik yang menjadi ciri khas Kota Surakarta sampai hari ini masih diteruskan dari generasi ke generasi. Tidak heran kemasyuran Kota Surakarta sebagai salah satu kota produsen batik sudah terkenal hingga ke mancanegara hingga Australia, Canada, China, Colombia, Prancis, German, Greece, Jepang, Korea, New Zeland, Singapore, Spanyol, Amerika Serikat. Tabel 2. Ekspor Komoditi Batik Kota Surakarta Tahun 2009 NO
NAMA NEGARA
1 2 3 4 5 6 7
AUSTRALIA CANADA CHINA COLOMBIA FRANCE GERMANY GREECE
8
JAPAN
9 10 11
KOREA NEW ZEALAND SINGAPORE
VOLUME ( KG )
NILAI FOB ( US $ )
1,590.43 6,658.33 2,666.00 265.00 2,493.00 317.00 226.00
30,827.97 87,989.80 18,602.40 5,128.75 35,041.77 3,573.35 1,022.91
8.00
1,508.96
204.00 444.40 9,456.46
2,254.98 7,464.95 204,549.50
57
12 13 14
SPAIN U. K
193.86 1,046.00
4,361.06 11,887.48
U. S. A
274,965.77 5,073,020.11 JUMLAH 300,534.25 5,487,233.99 Sumber : Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta Sejarah batik di Kota Surakarta sangatlah panjang dan mempunyai suatu perkembangan yang pesat. Perkembanghan industri batik di Surakarta pada awalnya para pengrajin maupun pengusaha batik kebanyakan berasal dari daerah Laweyan dan Kauman yang dikenal sebagai kampoeng wisata batik. Mereka menjajakan dagangannya disekitar rumah-rumah mereka. Namun lama-kelamaan tempat penjualannya berkembang menjadi sebuah komunitas pengrajin dan tempat perdagangan. Industri Batik merupakan salah satu komoditi unggulan di Kota Surakarta. Batik telah lama menyatu pada keseharian hidup masyarakat Kota Surakarta sejak jaman dahulu hingga sekarang. Sebagai Kota Budaya di mana terdapat dua pusat kebudayaan yakni Kraton Kasunanan dan Kraton Mangkunegaran yang mengawal keberlangsungan kebudayaan jawa, Kota Surakarta tetap menjadi pusat industri batik di Jawa Tengah. Beberapa sentra batik di Kecamatan Laweyan dan Kecamatan Pasar Kliwon menjadi bukti bahwa industri ini semakin hari semakin eksis. Sentra-sentra industri batik ini yang menjadi salah satu pendukung keberadaan Pasar Klewer sebagai pusat perdagangan pakaian di Jawa Tengah bagian Selatan. (http://www.umkmSurakartaraya.com /node/993> [20 Maret 2010 pukul 10.30]). Industri batik di Kota Surakarta yang kian pesat tersebut batik menjadi satu di antara sumber pemasukan daerah. Bahkan, di saat krisis ekonomi ataupun saat Kota Surakarta tercabik-cabik kerusuhan Mei 1998, industri batik menjadi pilar penyelamat ekonomi. Sejauh ini, uang yang didulang dari produk batik mencapai Rp 8 miliar per bulan yang didapat dari 160 industri batik di Surakarta dengan 70 persen pasar domestik dan 30 persen ekspor. Sebelum krisis ekonomi, sekitar 40 persen industri batik masih memfokuskan diri
memproduksi
batik
tulis
(http://www.batiklaksmi.com/artikel%20
batik%2032.htm> [20 Maret 2010 pukul 10.30]).
58
Begitu perkembangan batik di Kota Surakarta tersebut tidak terlepas juga dengan pasang surut, yang dapat kita lihat dari masa ke masa, adalah sebagai berikut: a. Setelah Proklamasi, perkembangan batik di sini sebenarnya menurun dikarenakan
fungsi
keraton
berkurang
yang
berpengaruh
pada
perkembangan batik juga. b. Tahun 1970-an, Batik mulai berkembang kembali namun batik yang berkembang disini sebagai batik printing. c. Tahun 1980-an, Batik makin berkembang dan pada saat itu batik yang kebanyakan muncul adalah batik sutra. d. Tahun 1990-an, Batik-batik dengan harga terjangkau dan murah meningkatkan perkembangan batik yang cukup pesat. e. Tahun 2000-an, Batik berkembang sangat pesat dimana tidak terlepas dari rasa Nasionalisme masyarakat Indonesia setelah beberapa waktu banyak sekali masalah pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual Indonesia yang diakui oleh Negara Lain. (Hasil Wawancara dengan Gunawan Setiawan, Ketua Forum Pengembang Kampoeng Wisata Batik Kaoeman, 4 Maret 2010 10.00). Pesatnya perkembangan batik di Kota Surakarta saat ini sangat menggembirakan. Banyak sekali upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam perkembangan batik di Kota Surakarta ini, dan banyak segala pihak yang merespon positif. Menurut dinas perindustrian dan perdagangan indutri batik menjadi salah satu industri inti di Kota Surakarta dan industri batik ini menjadi produk yang paling menonjol bagi Kota Surakarta. Kota Surakarta memiliki banyak kawasan industri batik yang sebenarnya tersebar di Kota Surakarta, namun yang terkenal dan terbanyak adalah Kampung Laweyan dan Kauman, sehingga akhirnya ke dua daerah ini dijadikan sebagai Kampoeng Wisata Batik. Laweyan adalah salah satu sentral batik di Kota Surakarta. Laweyan terletak di Kecamatan Laweyan yang terletak di daerah Jalan Dr. Radjiman. Tentunya ada banyak sekali sejarah yang tertinggal di kampung ini hingga
59
menjadikannya sebagai icon batik Kota Surakarta. Batik merupakan hasil karya seni tradisional yang banyak ditekuni masyarakat Laweyan. Sampai saat ini ada 57 pengusaha batik yang berkembang di wilayah ini. Batik di Laweyan telah berkembang sejak abad ke-19 dan waktu itu kampung ini sudah dikenal sebagai kampung batik. Itulah sebabnya kampung Laweyan pernah dikenal sebagai kampung juragan batik yang mencapai kejayaannya di era tahun 70-an. Di sinilah tempat berdirinya Syarekat Dagang Islam, asosiasi dagang pertama yang didirikan oleh para produsen dan pedagang batik pribumi, pada tahun 1912. Di kawasan ini pula, mereka memang menunjukkan kejayaannya dengan berlomba membangun rumah besar yang mewah dengan arsitektur cantik dan unik yang menjadi daya tariknya. Menelusuri lorong-lorong sempit di antara tembok tinggi rumahrumah kuno ini sangat mengasyikkan,seolah berjalan di antara monumen sejarah kejayaan pedagang batik tempo dulu, tapi sayangnya satu per satu bangunan kuno yang berarsitektur cantik, hancur digempur zaman, digantikan ruko atau bangunan komersial baru yang arsitekturnya sama sekali tidak jelas (http://solobatik.athost.net/sejarah.php> [20 Maret 2010 pukul 10.30]). Selain Laweyan, Kauman juga merupakan sentra industri batik di Kota Surakarta. Kampoeng Wisata Batik Kaoeman ini bersebelahan dengan Masjid Agung tidak jauh dari Pasar Klewer tepatnya di Kelurahan Kauman, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta. Kelurahan ini berdiri di atas areal tanah seluas 20.10 hektar. Untuk menjangkaunya harus melewati jalan-jalan sempit yang diapit bangunan-bangunan Jawa kuno bergaya Eropa. Hingga saat ini pengusaha di kampung ini berkembang menjadi 54 pengusaha batik. Kampung Kauman berdiri setelah Pemerintahan Keraton Kartosuro pindah ke Desa Solo yang kemudian berubah nama menjadi Kasunanan. Sesuai namanya, Kauman merupakan tempat para kaum ulama tinggal. Pada awalnya, motif batik yang dihasilkan para pengrajin berasal dari motif khas keraton. Batik yang diproduksi masyarakat Kauman pada awalnya merupakan batik-batik pesanan para abdi dalem kasunanan. Seiring berjalannya waktu, motif batik pun berkembang. Batik yang dahulunya hanya didominasi warna
60
cokelat, merah, kuning dan hitam, kini mulai hadir beraneka warna, akhirnya batik di Kampoeng Wisata Batik Kaoeman ini akhirnya diperdagangkan secara umum. Kawasan ini sebenarnya tidak berdeda jauh dengan kawasan Laweyan, namun sedikit perbedaannya bahwa di Kampoeng Wisata Batik Kaoeman ini cenderung lebih modern dibandingkan dengan Kampoeng Wisata Batik Laweyan. Hal ini dapat pula dipengaruhi karena kawasan Kampoeng Wisata Batik Koeman lebih dekat dengan pusat kota, dengan kata lain bahwa letaknya lebih strategis karena lebih dekat dengan keramaian kota (http://solobatik.athost.net/batik_kauman.php> [20 Maret 2010 pukul 10.30]). Dua kawasan tersebut telah dijadikan sebagai Kampoeng Wisata Batik, dan masing-masing terus dikembangakan salah satunya oleh Forum Pengembang Kampoengnya masing-masing khususnya dan pada umumnya dibina dan dikembangkan seperti kawasan lain yakni oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta Sub Dinas Perindustrian. Banyaknya batik di wilayah Kota Surakarta ini sudah selayaknya apabila mendapatkan upayaupaya perlidungan hukum.
B. Pelaksanaan Perlindungan Hukum Hak Cipta Seni Batik di Kota Surakarta
1. Hasil Penelitian Berdasar observasi penulis dalam penelitian yang dilakukan di Kota Surakarta mengenai perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta, maka penulis mendapatkan informasi mengenai perkembangan batik di Kota Surakarta dan wilayah-wilayah yang menjadi pusat batik di Kota Surakarta. Setelah mendapatkan wilayah-wilayah tersebut, maka penulis membatasi lokasi penelitian di wilayah pusat batik di Kota Surakarta dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta yang memiliki kewenangan mengembangkan industri di Kota Surakarta. Hal
tersebut
61
dilakukan untuk mengetahui perkembangan batik di Kota Surakarta dan mengetahui perlindungan hukum hak cipta di lokasi penelitian. Kota Surakarta dikenal sebagai kota budaya, banyak sekali budayabudaya tradisional yang masih berkembang di Kota Surakarta, salah satunya adalah batik. Di mana hasil dari observasi yang dilakukan penulis, maka dapat diketahui bahwa di Kota Surakarta memiliki dua kampung yang menjadi pusat batik di Kota Surakarta yang dijadikan sebagai Kampoeng wisata batik. Pemerintah Kota Surakarta melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan terus melakukan meningkatan-peningkatan industri batik di Kota Surakarta. Untuk melengkapi data di dalam penulisan hukum ini, maka penulis mengadakan penelitian dengan jalan melakukan wawancara dengan Kepala Bidang Perindustrian Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta sebagai wakil pemerintah Kota Surakarta, terkait industri batik di Kota Surakarta yang telah menjadi kewenangan dinas ini. Selain wawancara tersebut, penulis juga melakukan wawancara dengan beberapa pengusaha batik. Banyaknya pengusaha batik di Kota Surakarta, terbatasnya waktu, biaya, dan tenaga, maka penulis hanya mengambil responden yang dianggap dapat mewakilinya yakni beberapa pengusaha batik dan Ketua Forum Pengembang Kampoeng Batik baik Laweyan maupun Kauman. Pengusaha batik yang tersebar di Kota Surakarta dapat dikatakan banyak sekali karena menurut data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta menyatakan bahwa Pengusaha Batik di Surakarta lebih banyak dari pada pengusaha yang bergerak di bidang industri yang lain, bahkan industri batik dijadikan sebagai salah satu industri inti di Surakarta. Begitu pula menurut hasil penelitian bahwa batik di Surakarta banyak sekali itupun masih ada yang belum terdaftar dalam dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta. Dari banyaknya batik di Surakarta itu ternyata tidak semua memproduksi batik sendiri sebagai karya pribadi, namun hanya ada beberapa saja. Pengusaha batik yang memproduksi batik sendiri dan
62
mempunyai karya cipta pribadi tidak mendaftarkan motif batiknya ke dalam perlindungan hukum hak cipta. Jumlah pengusaha batik di dua Kampoeng Wisata Batik tersebut menunjukkan telah mencapai ratusan pengusaha batik yang masih bertahan hingga saat ini. Di Kampoeng Wisata Batik Laweyan sendiri menurut data terakhir dari Dinas perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta ada 57 pengusaha batik, sedangkan di Kampoeng Wisata Batik Kaoeman terdapat 54 pengusaha batik. Batik disini tergolong sebagai home industri. Perusahaan batik yang ada di Kota Surakarta kebanyakan tergolong perusahaan menengah ke
bawah,
meskipun demikian
tetap
harus
mendapatkan perhatian dan perlindungan dari pemerintah karena batik di Kota Surakarta telah menjadi salah satu asset perekonomian di Kota Surakarta sendiri. Batik mempunyai asset perekonomian yang tinggi dan sangat potensial sekali serta memiliki prospek yang cerah ke depannya. Hal ini dikarenakan bahwa produk batik di Kota Surakarta telah menjangkau pemasaran ke berbagai negara di antaranya Australia, Canada, China, Colombia, Prancis, German, Greece, Jepang, Korea, New Zeland, Singapore, Spanyol, dan Amerika Serikat sehingga batik secara tidak langsung mempunyai sumbangsih kepada pemerintah melalui sumbangan devisa ataupun melalui pajak. Perkembangan batik yang pesat ini akhirnya memunculkan suatu campur tangan pemerintah dalam industri batik. Campur tangan tersebut bukan dengan memberikan modal, namun membina kemampuan indutri agar semakin meningkat dan dapat bersaing dengan industri batik yang lain. Dalam rangka peningkatan batik di Kota Surakarta ini “langkah-langkah yang diambil oleh dinas perindustrian dan perdagangan khususnya pada sub bagian perindustrian
adalah
dengan
cara
mengadakan
beberapa
pelatihan,
memberikan peralatan dan promosi. Pelatihan disini misalnya dengan adanya pelatihan manajemen, maupun pelatihan kewirausahaan. Dilakukannya beberapa pameran batik baik di Kota Surakarta sampai dengan luar kota salah satunya adalah pameran yang ditempatkan pada pusat batik nusantara di
63
Jakarta Thamrin City sebagai ajang promosi, juga memberikan peralatanperalatan kepada pengusaha batik. Selain hal tersebut yang paling penting adalah memberikan perlindungan hukum” (Hasil wawancara dengan Sri Wahyuni,
Kepala
Bidang
Perindustrian,
Dinas
Perindustrian
dan
Perdagangan Kota Surakarta, Senin 29 Maret 10.30). Upaya pemerintah Kota Surakarta dalam perlindungan hukum secara umum dan perlindungan hukum hak cipta pada khususnya terhadap seni batik di Surakarta ini dilaksanakan dengan cara mendaftarkan motif-motif batik Kota Surakarta ke Ditjen Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI). Motif tersebut diambil dari beberapa pengusaha batik di Kota Surakarta. Kewenangan pendaftaran hak cipta sebenarnya melalui Ditjen HKI atau melalui perwakilan di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) tingkat propinsi, Dinas Perindustrian dan Perdagangan di sini hanya memberikan fasilitas pendaftaran hak cipta seni batik untuk diteruskan kepada Ditjen HKI, adapun pengajuan pendaftaran ini pun atas nama Kota Surakarta. Upaya ini telah terlaksana beberapa waktu yang lalu, pemerintah Kota Surakarta melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan melakukan pendaftaran secara kolektif agar seni batik di Surakarta dapat didaftarakan hak cipta ke Ditjen HKI. Dari pendafttaran tersebut pada tahap pertama yakni pada tahun 2004 ada 214 motif batik dan tahap kedua pada tahun 2006 ada 200 motif batik. Motif tersebut didaftarkan pemerintah Kota Surakarta. Dari hasil pendaftaran tersebut sebagian ditolak dengan alasan bahwa batik yang didaftarkan tidak diketahui penciptanya atau dengan kata lain batik tersebut merupakan batik sebagai hasil kebudayaan rakyat. Walaupun demikian masih ada yang mendapatkan sertifikat Hak Cipta sebanyak 10 karya seni batik. Hasil tersebut atas nama Kota Surakarta bukan sebagai kepemilikan pribadi (Hasil wawancara dengan Sri Wahyuni, Kepala Bidang Perindustrian, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta, Senin 29 Maret 10.30). Walaupun demikian patut dibanggakan peran dari Pemerintah Kota Surakarta dalam hal memberikan perlindungan hukum hak cipta terhadap seni batik di
64
Kota Surakarta dan ini semua juga tidak terlepas dari respon positif dari semua pihak yang terkait dalam hal perbatikan di Surakarta serta masyarakat sendiri. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada pengusaha batik mengenai
perlindungan
hukum
hak
cipta.
Para
pengusaha
batik
membutuhkan suatu perlindungan, bahkan dari semua responden yang diwawancarai penulis menyatakan bahwa batik perlu sekali untuk dilindungi melalui hak cipta, bahkan menurut salah satu responden yakni Gunawan Setiawan, sebagai Ketua Forum Pengembang Kampoeng Wisata Batik Kaoeman pada 4 Maret 2010 pukul 10.00 mengungkapan: “Batik harus dilindungi menurut hukum dan penting sekali perlindungan hukum tersebut karena batik merupakan karya cipta”. Namun sayangnya masih banyak yang belum memaknai hak cipta itu sendiri, sekalipun mereka membutuhkan suatu perlindungan tapi mereka senang apabila motif batik mereka ditiru oranglain, yang mereka jadikan patokan pastinya orang lain dapat menilai membedakan keaslinya dengan kualitas yang ada bukan karena ciptaannya. Sekalipun mereka mengatakan tidak apa-apa dijiplak oleh oranglain, mereka tidak mau dijiplak oleh negara lain. Menurut wawancara dengan Ibu Siti Aminah dari Batik Farel pada 4 Februari 2010 pukul 11.30, mengungkapkan: “Batik itu perlu diberikan suatu perlindungan hukum agar tidak diakui oleh negara lain”. Hal ini dikarenakan masyarakat Indonesia yang cenderung sosial. Hasil karya cipta manusia berupa batik tradisional ini cenderung merupakan hasil karya suatu komunitas masyarakat tertentu dan jarang sekali hasil karya individu (perorangan). Ini juga dikarenakan mereka cenderung memegang teguh tatanan tradisional, yaitu bahwa seseorang yang ingin sukses dalam hidupnya, ia harus dapat mencapai satu kesatuan hidup atau rasa manunggal. Berdasarkan hasil wawancara pun, semua pengusaha batik mengaku tidak pernah ada sengketa mengenai motif-motif batik. “Sadar sendiri-sendiri”, tutur Ibu Siti Aminah dari Batik Farel pada 4 Februari 2010 pukul 11.30. Ada juga yang menyatakan bahwa: “belum pernah ada sengketa mengenai motif batik, karena semua punya pemasaran sendiri-sendiri, dan
65
juga menurut pilihan konsumen saja”, tutur Bapak Adi dari Batik Yunani. Responden mengetahui sekali bahwa batik merupakan karya seni turuntemurun yang dilindungi pemerintah melalui pengetahuan tradisional. Beberapa pengusaha batik ada yang memiliki motif yang dibuatnya sendiri, namun karena beberapa pertimbangan-pertimbangan terkait dengan pendaftaran, mereka tidak mau mendaftarkan ciptaanya yang disebabkan oleh beberapa hal. Anehnya walaupun mereka enggan mendaftarkan tapi mereka juga merasa kecewa apabila motifnya tersebut ditiru atau dijiplak oleh pihak lain. Pengaturan perlindungan hak cipta pada umumnya dan khususnya batik memang tidak ada suatu kewajiban untuk mendaftarkan ciptaannya, tapi alangkah lebih baik apabila didaftarkan untuk mempermudah proses pembuktian apabila ada suatu permasalahan atau sengketa di kemudian hari. Dalam kenyataannya di tempat penelitian yakni di Kota Surakarta, belum ada yang mendaftarkan karya seni batiknya melalui karya cipta pribadi. Masyarakat menyadari bahwa batik yang bukan merupakan hasil motif pribadinya atau dengan kata lain motif batik sebagai pengetahuan tradisional telah dilindungi oleh Pemerintah, bahkan batik di Indonesia telah diakui sebagai pusaka dunia oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization atau Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO). Pengakuan ini secara tidak langsung juga berdampak positif dalam perkembangan batik di Kota Surakarta.
2.
Pembahasan Salah satu agenda penting dari WTO adalah Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade in Counterfeit Goods. Kesepakatan ini akhirnya melahirkan TRIPs (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights) yang bertujuan untuk meningkatkan perlindungan di bidang HKI dari pembajakan atas suatu karya kreatif dan inovatif seseorang/kelompok orang, baik di bidang sastra, seni, teknologi dan karya ilmiah. Perlindungan mengandung arti pada bentuk perlindungan hukum yang tertuang di dalam hukum hak cipta. Perlindungan
66
hukum terhadap hak cipta merupakan suatu sistem hukum yang terdiri dari unsur-unsur sistem, dan menurut penelitian
kelima unsur tersebut telah
terpenuhi, yakni sebagai berikut: a. Pertama, subyek perlindungan. Subyek yang dimaksud adalah pihak pemilik atau pemegang hak cipta, aparat penegak hukum, pejabat pendaftaran dan pelanggar hukum, berdasarkan penelitian adalah sebagai berikut: pemilik atau pemegang hak cipta yakni pengusaha batik itu sendiri, adanya aparat penegak hukum dari pihak kepolisian sebagai tempat pengaduan, adanya pejabat pendaftar yakni Ditjen HKI yang dapat melalui Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
wilayah
propinsi
bahkan
di
lokasi
penelitian
untuk
mempermudah pendaftaran pemerintah Kota Surakarta melakukan pendaftaran secara kolektif b. Kedua, obyek perlindungan. Obyek yang dimaksud adalah semua jenis hak cipta yang diatur dalam undang-undang yakni dalam Pasal 12 ayat (1) UUHC 2002. Dalam kajian yang diteliti penulis adalah seni batik, seni batik merupakan salah satu obyek yang mendapatkan perlindungan hukum melalui hak cipta. c. Ketiga, pendaftaran perlindungan. Hak cipta yang dilindungi hanya yang sudah terdaftar dan dibuktikan pula dengan adanya sertifikat pendaftaran, kecuali apabila undang-undang mengatur lain. Berdasarkan penelitian ada motif-motif seni batik dapat didaftarkan hak cipta nya. d. Keempat, jangka waktu. Jangka waktu adalah adanya hak cipta dilindungi oleh undang-undang hak cipta, yakni selama hidup ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Dalam hal ini termasuk jangka waktu untuk obyek seni batik. Di sisi lain seni batik yang masuk dalam pengetahuan tradisional juga dilindungi dalam jangka waktu yang tidak ditentukan. e. Kelima, tindakan hukum perlindungan.
67
Apabila terbukti terjadi pelanggaran hak cipta, maka pelanggar harus dihukum, baik secara perdata maupun pidana. Dalam hal kasus penjiplakan motif-motif sebenarnya ada, namun oleh pengusaha batik dianggap sebagai hal yang wajar padahal seharusnya mendapatkan perlindungan. Berdasarkan pemenuhan unsur-unsur dari perlindungan hukum tersebut sudah selayaknya apabila seni batik di Kota Surakarta ini mendapatkan perlindungan hukum khususnya melalui hak cipta. Obyek Hak Cipta yang dituangkan dalam UUHC 2002 dalam Pasal 12 ayat (1) UUHC 2002 yang berbunyi sebagai berikut: alam Undang-Undang ini obyek dari hak cipta adalah ciptaan. Ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup: m. Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain; n. Ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu; o. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; p. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks; q. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim; r. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan. s. Arsitektur; t. Peta u. Seni batik; v. Fotografi; w. Sinematografi; x. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan. Berdasarkan UUHC 2002 seni batik merupakan salah satu obyek yang bisa mendapatkan perlindungan hukum hak cipta. Perlindungan hukum tersebut sebenarnya telah dimulai dalam UUHC 1987 hingga UUHC 2002. Sekalipun seni batik di Indonesia telah mendapat perlindungan sejak UUHC 1987, namun hal ini tidak berarti bahwa para pencipta seni batik telah memanfaatkan UUHC 2002 dalam upaya mendapatkan perlindungan bagi hasil karya cipta batiknya. Di Kota Surakarta ini masih banyak pencipta seni
68
batik yang tidak mengetahui UUHC 2002, atau hanya pernah mendengar saja yang nantinya mereka memberi definisi yang sangat sempit sekali. Hal ini terjadi khususnya pada pengusaha batik di tingkat menengah ke bawah di Kota Surakarta. Para Pengusaha Batik di Kota Surakarta ini kebanyakan belum memahami betapa pentingnya hak cipta batik bagi mereka. “Pengaturan perlindungan terhadap seni batik tradisional baru terdapat pada UUHC 2002. Di dalam ketentuan yang baru ini, meskipun tidak disebutkan secara tegas, namun perlindungan diberikan terhadap seni batik yang dibuat secara tradisional. Tidak ada ketentuan bahwa seni batik itu harus tradisional dan bukan tradisional” (Afrillyana Purba, 2005: 85-86). Unsur yang ditekankan dalam UUHC 2002 adalah pembuatan seni batik secara tradisional sehingga batik di sini dapat sebagai karya cipta pribadi maupun batik sebagai pengetahuan tradisional. Batik harus memperoleh perlindungan HKI dan khususnya melalui Hak Cipta, karena batik merupakan hasil budaya bangsa Indonesia yang memiliki nilai budaya dan filosofi yang sangat tinggi penemuan baru pencipta bukan pekerjaan dalam waktu singkat, ia membutuhkan waktu lama dan biaya besar sehingga wajar jika hasil cipta tersebut harus dilindungi jangan sampai karya seni tradisional ini juga menjadi sasaran empuk pembajakan, yang dapat menimbulkan suatu kerugian bagi Penciptanya, begitu pula seni batik di Kota Surakarta. Hasil ciptaan batik merupakan hasil setiap karya pencipta dalam bentuk khas yang menguntungkan dari segi materil, moril dan reputasi seseorang atau kelompok orang yang menghasilkan ciptaan berdasarkan kerja keras melalui pengamatan, kajian dan penelitian secara terus menerus. Sudah sewajarnya, hasil ciptaan batik harus dapat dilindungi hukum dari setiap bentuk pelanggaran hak cipta. la sebenarnya merupakan suatu perbuatan tidak terpuji dan tercela bahkan tidak bermoral oleh orang-orang tidak bertanggungjawab yang melakukannya. Prinsip perlindungan hak cipta sesuai dengan Pasal 2 UUHC 2002 yaitu menganut sistem deklaratif. Artinya, pendaftaran itu tidak menerbitkan
69
hak, tetapi hanya memberikan anggapan bahwa pihak yang Ciptaannya terdaftar itu adalah pihak yang berhak atas Ciptaaan tersebut dan sebagai pemilik asli dari Ciptaan terdaftar. Menurut sistem deklaratif, orang yang pertama kali mendaftarkan ciptaan dianggap sebagai Pencipta yang mempunyai Hak Cipta sehingga di sini perlindungan berlaku tidak didasarkan pada prinsip pendaftaran dan persyaratan resmi yang diajukan oleh suatu negara. Ciptaan yang diumumkan oleh penciptaanya secara otomatis mendapatkan perlindungan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang HKI melalui Hak Cipta itu sendiri, tetapi akan lebih baik apabila ciptaan tersebut didaftrakan karena ciptaan yang didaftarkan dapat menjadikan alat bukti secara autentik sehingga perlindungan hukum juga dapat dirasakan secara nyata. Di Kota Surakarta hampir semua responden dari pengusaha batik tidak mendafttarkan karya cipta seni batiknya, kecuali yang mengikuti pendaftaran kolektif yang telah diupayakan pemerintah Kota Surakarta. Berdasarkan hal tersebut maka tidak salah apabila para pengusaha batik di Kota Surakarta tidak mendaftarkan karya pribadinya ke dalam daftar ciptaan di Ditjen HKI. Hal ini juga tidak mengurangi perlindungan hukum yang seharusnya pengusaha batik di Kota Surakarta dapatkan karena memang dalam pengaturan hak cipta di Indonesia tidak mengharuskan adanya suatu pendaftaran. Perlindungan hak cipta seni batik terhadap karya pribadi mungkin belum begitu terasa, karena di Kota Surakarta sendiri belum pernah ada suatu perselisihan atau permasalahan yang menyangkut hak cipta batik itu sendiri. Bentuk perlindungan hukum sebuah karya cipta seni batik yang diperoleh akibat dari pendaftaran hak cipta, antara lain sebagai berikut: a. Pencipta maupun pemegang hak cipta seni batik akan mendapatkan kepastian hukum mengenai hak cipta seni batik dalam arti mendapatkan pengakuan hak atau ciptaannya bagi pencipta atau pemegang hak cipta seni batik tersebut, kepastian hukum terhadap karya seni batik yang
70
didaftarakan bukan hanya menyangkut kepastian hukum terhadap karya seni batik yang didaftarkan. b. Memberikan kedudukan lebih kuat apabila terjadi sengketa daripada pencipta atau pemegang hak yang tidak mendaftarakan hak ciptanya guna mempermudah proses pembuktian apabila ada suatu permasalahan atau sengketa. Hasil dari pendaftaran tersebut berupa sertifikat dari Ditjen HKI. Sertifikat inilah yang nantinya dapat menyakinkan dan membantah pihak lawan. Apabila hak cipta tersebut didaftarkan oleh orang lain yang mendapatkan pengalihan hak dari pencipta aslinya maka orang tersebut hanya memperoleh hak ekonominya saja, sedangkan hak moral untuk diakui sebagai pencipta asli tetap dipegang oleh pencipta aslinya walaupun tanpa adanya pendaftaran hak cipta ke Ditjen HKI. Ketentuan UUHC 2002 juga mengatur mengenai Hak Cipta atas ciptaan yang penciptanya tidak diketahui, hal tersebut tercantum dalam Pasal 10 ayat 2. Penjelasan Pasal 10 ayat 2 UUHC 2002 ini menyatakan bahwa dalam rangka melindungi folklore dan hasil kebudayaan rakyat lain, Pemerintah dapat mencegah adanya monopoli atau komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersial tanpa seizin negara Republik Indonesia sebagai pemegang hak cipta. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari
tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai
kebudayaan tersebut. Batik sebagai pengetahuan tradisional secara tidak langsung semakin diakui seiring dengan pengakuan batik sebagai pusaka dunia oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization atau Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB atau yang lebih kita kenal dengan UNESCO pada tanggal 2 Oktober 2009 kemarin. Pengakuan UNESCO itu diberikan terutama karena penilaian terhadap keragaman motif batik yang penuh makna filosofi mendalam. Di samping itu pemerintah dan rakyat Indonesia juga dinilai telah melakukan berbagai langkah nyata untuk lindungi dan melestarikan warisan budaya itu secara turun menurun
71
(http://www.detiknews.com/read/2009/09/07/181258/1198580/10/unescoakui-batik-milik-indonesia> [25 Maret 2010 pukul 19.30]). Secara tidak langsung hal ini hampir sama dengan bahwa batik sebagai pengetahuan tradisional telah diakui dunia, pengakuan UNESCO ini dapat dijadikan bukti apabila nantinya ada pengklaiman batik oleh negara lain. Pertimbangan dalam memberikan kebebasan menggunakan hak ciptanya kepada pencipta atau pemegang hak cipta, undang-undang menentukan pula adanya pembatasan terhadap penggunaan hak cipta itu. Pembatasan ini dimaksudkan agar para pencipta dalam kegiatan kreatif dan inovatifnya tidak melanggar norma-norrna atau asas kepatutan yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan dapat mewujudkan keadilan dalam bermasyarakat. Untuk memperoleh keuntungan ekonomis bagi para pencipta atau pemegang hak cipta guna dapat dinikmati oleh masyarakat luas itu merupakan suatu kebebasan sehingga dibutuhkan suatu pembatasan penggunaan hak cipta dapat dibagi dalam tiga hal yakni tidak boleh melanggar kesusilaan dan ketertiban umum, tidak boleh melanggar fungsi sosial hak cipta, dan pembatasan dalam hal pemberian lisensi yang wajib. Hakikatnya hak cipta batik ini sebenarnya memberikan perlindungan bagi si pencipta untuk menikmati secara materiil jernih payahnya dari karya cipta tersebut. Benda hasil karya cipta dianggap sebagai benda bergerak yang dapat diperjualbelikan, diwariskan, dan dihibahkan. Batik yang termasuk sebagai pengetahuan tradisional mendapatkan perlindungan agar karya cipta seni batik milik Indonesia yang menjadi warisan budaya bangsa ini tidak dimiliki/ditiru oleh negara lain. Seandainya negara lain ada yang ingin meniru maka harus membayar royalti kepada pemerintah Negara Indonesia yang nantinya dapat menjadi salah satu sumber devisa negara. Perlindungan hukum hak cipta batik sebagai pengetahuan tradisional para pengusaha batik di Kota Surakarta sudah mengetahuinya. Bentuk perlindungan hukum melalui UUHC 2002 ini sendiri terdiri dari dua bentuk, yakni perlindungan hukum preventif dan refresif.
72
a. Perlindungan hukum preventif adalah upaya-upaya pencegahan secara hukum agar tidak terjadi pelanggaran hukum hak cipta atas batik, sedangkan perlindungan hukum diartikan suatu tindakan hukum yang dapat dilakukan untuk melindungi hak cipta atas batik yang sedang dan atau telah dilanggar. Dalam hal perlindungan hukum preventif hak cipta atas karya batik sebenarnya ada dua cara yang dapat dilakukan, yakni: 1). Melalui pendaftaran karya batik ke Direktorat Jenderal HKI di Jakarta. Pendaftaran hak cipta disini yang akan diakhiri dengan pemberian sertifikat hak cipta merupakan suatu alat pembuktian bila ada sengketa hak cipta dikemudian hari. Di sinilah fungsi pendaftaran hak cipta sebagai upaya perlindungan hukum preventif. 2). Lisensi merupakan instrumen kedua dalam memberikan perlindungan hukum preventif hak cipta atas karya batik. Lisensi sendiri mengandung arti izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta atau pemegang hak terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkait lainnya dengan persyaratan tertentu. Dengan memberikan lisensi ini maka sangat jelas pemegang hak cipta tidak dirugikan. b. Perlindungan hukum refresif hak cipta atas batik menurut UUHC 2002 ada dua cara, yakni dengan gugatan atau tuntutan hukum. Gugatan disini adalah gugatan dalam proses Perdata termasuk didalamnya Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase, sedangkan gugatan merupakan tuntutan hukum dalam proses Pidana. 1). Dimuatnya hak-hak pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengajukan gugatan perdata ke pengadilan niaga dan apa yang dapat dimintakan dalam gugatan (petitum) merupakan wujud perlindungan hukum bagi pencipta atau pemegang hak cipta pada umumnya dan khususnya terhadap hak cipta atas batik dari pelanggaran-pelanggaran yang bersifat perdata terhadap hak cipta. Meskipun tanpa pengaturan secara khusus, gugatan semacam itu dapat diajukan ke pengadilan negeri dengan menggunakan Pasal 1365 KUHPer. Namun karena kini
73
telah ditentukan secara khusus maka sengketa perdata mengenai hak cipta berdasarkan hukum hak cipta menjadi kewenangan pengadilan niaga semata. 2). Dalam UUHC 2002 dimuat pula hukum pidana, baik hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil. Ada dua Pasal hukum pidana materiil dan satu Pasal hukum pidana formil. Tindak Pidana hak cipta ditempatkan dalam Pasal 72 yang terdiri atas sembilan rumusan yang dimuat pada masing-masing ayat. Sementara itu, Pasal 73 memuat tentang sistem penjatuhan pidana khususnya perampasan barang. Tindak Pidana hak cipta dibentuk untuk melindungi kepentingan hukum pencipta atas inspirasinya yang melahirkan hak cipta dari perbuatan-perbuatan orang lain yang menyerang kepentingan hukum yang timbul dari hak cipta. Khususnya melindungi kepentingan hukum dalam hal kepemilikan dan menggunakan hak cipta oleh pencipta atau pemegang hak cipta. Sementara hukum pidana formil hanya ada satu Pasal, yakni Pasal 71 tentang Penyidikan. Pada UUHC yang lama, suatu pelanggran hak cipta dikategorikan sebagai “delik biasa” yang berarti bahwa penanganan terhadap pelanggaran hak cipta dapat dilakukan oleh penyidik atau aparat penegak hukum tanpa harus menunggu adanya pengaduan dari masyarakat atau pencipta/ pemegang hak cipta. Berdasarkan sistem “delik biasa”, suatu kasus pelanggaran hak cipta dapat segera ditangani oleh penyidik/aparat penegak hukum sehingga kerugian yang timbul dapat dicegah seminimal mungkin. Namun demikian dalam perkembangan selanjutnya, kategori delik pada UUHC yang baru mengalami perubahan sehingga berdasarkan ketentuan UUHC 2002, pelanggaran suatu hak cipta dikategorikan sebagai “delik aduan” (Afrillayanna Purba, 2005: 88). Delik aduan artinya, penyelidikan dan penyidikan oleh pihak kepolisian bersama instansi terkait atau tuntutan sanksi pidana dapat dilakukan oleh penuntut umum atas dasar pengaduan dari plhak-pihak yang dirugikan, baik para pencipta, pemegang izin, warga masyarakat sebagai konsumen ataupun negara sebagai penenima pajak. Delik aduan ini adalah dalam bentuk delik aduan mutlak, yakni peristiwa pidana yang hanya dapat dituntut bila ada pengaduan. Perubahan ini sebagai upaya pemerintah
74
mengajak masyarakat untuk menghargai dan menghormati HKI mengingat masalah pelanggaran hak cipta telah menjadi bisnis ilegal yang merugikan para pencipta dan pemasukan pajak/devisa negara di samping masyarakat internasional menuding Indonesia sebagai “surga” bagi para pembajak. Dalam UUHC 2002 pelaku pelanggaran hak cipta dapat dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Sebenarnya ketentuan pidana yang ditetapkan dalam UUHC 2002 cukup sesuai apabila diterapkan pada para pelaku pelanggaran hak cipta, khususnya pada karya seni batik. Adapun yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak cipta snei batik adalah tindakan peniruan atau penjiplakan motif. Apabila terjadi kasus pelanggaran hak cipta seni batik, maka gugatan dapat diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga (afrillyanna Purba, 2005: 98). Permasalahan atau sengketa Hak Cipta mengenai seni batik ini jarang sekali terjadi kasus pelanggaran hak cipta pada seni batik tradisional, bahkan di lokasi penelitian tidak ada sengketa mengenai batik pelanggaran hak cipta itu sendiri. Hal tersebut sebenarnya dikarenakan pemahaman hak cipta yang masih rendah sehingga tindakan peniruan atau penjiplakan motif tidak dianggap sebagai suatu tindak pidana melainkan dianggap sebagai suatu hal yang biasa dan bukan merupakan pelanggaran. Mereka hanya berfikir bahwa masyarakat dapat menilai melalui kualitas yang dicipta. Perlindungan hal ini tentunya merupakan perlindungan hukum yang diberikan terhadap batik sebagai karya cipta pribadi sedangkan perlindungan hukum terhadap batik sebagai pengetahuan tradisional adalah agar warisan budaya kita tidak dapat diklaim oleh negara lain, selain itu juga untuk mendokumentasikan
warisan
budaya
tersebut
agar
memudahkan
pengidentifikasian komunitas mana yang berhak mengakuinya untuk menghindari sengketa penguasaan atau pemilikan yang mungkin timbul di antara individu atau kelompok masyarakat tertentu. Lebih jauh, bahwa perlindungan hak cipta pada umumnya dan batik pada khususnya tersebut tujuannya tidak lain adalah untuk kepentingan ekonomis yaitu kesejahteraan
75
masyarakat secara pribadi maupun kesejahteraan ekonomi Bangsa Indonesia itu sendiri. Jangka waktu yang diberikan oleh UUHC 2002 antara obyek yang satu dengan yang lain memiliki jangka waktu perlindungan yang berbeda. Perlindungan hak cipta batik ini diatur dalam Pasal 29 ayat 2 UUHC 2002 mengenai
batasan-batasan
jangka
waktu
perlindungannya.
Adapun
perlindungan tersebut selama hidup pencipta ditambah dengan 50 (lima puluh) tahun setelah penciptanya meninggal dunia. Jangka waktu yang cukup panjang ini dapat dikatakan telah memadai. Dianggap bahwa dalam jangka waktu selama itu para pencipta/pembatik atau yang memegang hak ciptaan tersebut telah dapat menikmati karya ciptaannya yakni dengan menikmati manfaatnya secara ekonomi terhadap karya ciptaanya. Jangka waktu perlindungan tersebut diberikan bagi seni batik yang merupakan sebagai karya cipta pribadi sedangkan bagi seni batik sebagai pengetahuan tradisional, misalnya motif-motif tradisional seperti Sido Mukti, Truntum dan motif tradisional yang lain tidak memiliki jangka waktu
perlindungan. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa batik-batik tradisional seperti itu diciptakan dan dihasilkan secara turun temurun oleh masyarakat Indonesia sehingga diperkirakan perhitungan jangka waktu perlindungan atau dapat dikatakan jangka waktu perlindungan untuk batik tersebut adalah tanpa batas. Hal ini berarti bahwa negara menjadi wakil bagi seluruh masyarakat Indonesia dalam menguasai kekayaan tradisional yang ada sehingga setiap masyarakat Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk menciptakan ataupun memanfaatkan secara bebas motif batik sebagai pengetahuan tradisional tersebut. Selama jangka waktu yang diberikan tersebut, para pencipta atau pun yang memegang hak cipta atas seni batik ini dapat menikmati hak eksklusif. Hak eksklusif tersebut menurut penjelasan UUHC 2002 adalah hak sematamata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya. Tentunya penggunaan hak eksklusif tersebut digunakan secara wajar.
76
Perlindungan Hukum Hak Cipta terhadap batik di Kota Surakarta ini dapat dikatakan belum maksimal. Hal ini dapat terlihat dari beberapa hal: yang pertama, dimana para pengusaha batik sebenarnya telah mengetahui bahwa batik telah dilindungi melalui pengetahuan tradisional, walaupun para responden belum memahami konsep pengetahuan tradisional ini mereka paling tidak mengerti bahwa batik ini merupakan warisan dari generasi ke generasi yang harusnya di lindungi. Kedua, para pengusaha batik belum mendaftarkan karya cipta pribadinya. Berdasarkan pendaftaran kolektif yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta sendiri pun dapat dikatakan masih belum maksimal. Dikatakan belum maksimal karena dari sekitar 415 motif yang didatarkan secara kolektif dalam 2 tahap tersebut sebagaian besar motif dari satu perusahaan batik, sehingga pendaftaran yang dilakukan kolektif tersebut belum dapat dikatakan mewakili pendaftaran dari beberapa pengusaha batik di Kota Surakarta. Selama ini menunjukkan bahwa pada umumnya pengusaha batik kurang mengetahui benar tentang HKI. Budaya timur berbeda dengan budaya barat yang lebih individualis, yang sangat membutuhkan suatu perlindungan terhadap karya seninya. Harusnya masyarakat Indonesia juga sadar betapa pentingnya perlindungan karya seni yang diciptakannya mengingat segala penciptaannya juga tidak mudah.
C. Kendala-kendala dalam Pelaksanaan Perlindungan Hukum Hak Cipta Seni Batik di Kota Surakarta
1. Hasil Penelitian Berdasar observasi penulis dalam penelitian yang dilakukan di Kota Surakarta mengenai perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta dapat diketahui kendala-kendala yang timbul dalam penegakan perlindungan hukum hak cipta terhadap seni batik di Kota Surakarta. Hasil wawancara dengan beberapa pengusaha batik yang merupakan salah satu
77
subyek dalam hak cipta yang seharusnya mendapatkan perlindungan terhadap hak cipta batik ini sebagian besar masih belum memahami pentingnya hak cipta bagi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan oleh beberapa hal yang menjadi alasan bagi mereka. Masalah prosedur yang mereka rasakan apabila para pengusaha batik ini melakukan pendaftaran hak cipta terhadap seni batik yang mereka miliki sendiri, padahal menurut Pemerintah Kota Surakarta melalui Dinas
Perindustrian
dan
Perdagangan
“tidak
kurang-kurang
untuk
memberikan sosialisasi mengenai pendaftaran hak cipta seni batik ini ” (Hasil wawancara dengan Sri Wahyuni, Kepala Bidang Perindustrian, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta, Senin 9 Maret 01.00). Beberapa kendala yang terjadi di Kota Surakarta ini sebenarnya juga karena Pengaturan UUHC 2002 itu sendiri yakni menyangkut prinsip deklaratifnya, yang tidak mewajibkan pendaftaran hak cipta. Hak cipta dilindungi secara otomatis setelah pengumuman dilakukan pertama kali. Hal ini juga memungkinkan munculnya perasaan yang enggan bagi pencipta ataupun pemegang hak cipta untuk mendaftarkan karya ciptanya terutama karya cipta seni batik di Kota Surakarta ini. Kendala yang timbul dalam pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta terhadap seni batik di Kota Surakarta tersebut merupakan kendala dalam hal batik sebagai karya cipta pribadi terutama mengenai masalah pendaftarannya, yang seharusnya menjadi hak para pengusaha batik namun justru tidak dimanfaatkan secara maksimal. Berdasarkan hasil wawancara dari pengusaha batik yang memiliki motif batik pribadi menurutnya: “Saya belum mendaftarkan motif batik saya melalui hak cipta, karena pendaftaran hak cipta tersebut memakan waktu yang lama dan biaya yang mahal, menurut manajemen keuangan mendingan uangnya untuk menambah modal daripada mendaftarkan hak cipta yang nantinya juga belum tentu mendapatkan sertifikasi” (Hasil Wawancara dengan Gunawan Setiawan, Ketua Forum Pengembang Kampoeng Wisata Batik Kaoeman, 4 Maret 2010 10.00). Hal ini juga disebutkan oleh Adi, dari Batik Yunani pada 4 Februari 2010 pada pukul 10.00: “Belum mendaftarkan, karena
78
belum konsen ke pendaftaran hak cipta, karena saya masih mengandalkan sisi provit terlebih dahulu dan pendaftaran hak cipta biayanya mahal”. Beberapa hal tersebut merupakan kendala dalam pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta seni batik di Kota Surakarta. Kendala tersebut dapat diidentifikasi sebagai faktor internal dan eksternal. Faktor eksternalnya adalah pemahaman pengusaha batik yang lemah terhadap subtansi UUHC 2002 misalnya mengenai tarif pendaftaran,
sehingga mereka
tidak
mendaftarkan karya cipta seni batik nya dan juga ditemukannya sikap masa bodoh para pengusaha batik apabila ada suatu penjiplakan, Sedangkan faktor internalnya adalah dari pengaturan UUHC 2002 itu sendiri. Perlindungan hukum batik sebagai penegetahuan tradisional tidak ada kendala, apalagi dapat kita ketahui bahwa batik kini telah ada pengakuan batik, bahwa batik sebagai pusaka dunia.
2. Pembahasan Pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta terhadap seni batik memiliki manfaat yang besar bagi penciptanya. Walaupun memang tidak ada suatu kewajiban untuk mendaftarkan ciptaannya namun alangkah baiknya jika dilakukan suatu pendaftaran hak cipta atas seni batik agar memperoleh perlindungan hukum yang pasti. Seperti kita contohkan jika terjadi suatu sengketa, apabila telah didaftarkan maka pembuktian akan lebih mudah karena pencipta dapat memberikan bukti otentik berupa tanda hak cipta itu sendiri. Pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta terhadap seni batik di Kota Surakarta khususnya, tidaklah mudah apalagi dalam bidang pendaftaran batik sebagai karya cipta pribadi. Banyak sekali kendala-kendala yang dihadapi dalam penegakan ini. Kendala-kendala tersebut dapat diidentifikasi dan atau dilihat dari faktor internal maupun eksternal. Adapun faktor tersebut dapat penulis jelaskan sebagai berikut: a. Faktor Internal
79
Faktor internal adalah kendala-kendala yang muncul dari pihak pengusaha batik di Kota Surakarta sendiri, adapun kendala-kendala tersebut adalah sebagai berikut: 1) Pemahaman yang lemah pengusaha batik di Kota Surakarta terhadap substansi UUHC 2002 2) Adanya sikap masa bodoh atau membiarkan atas penjiplakan/peniruan motif yang dimiliki para pengusaha batik itu sendiri dan sikap sosial kebudayaan masyarakat di Kota Surakarta Di antara pengusaha batik di Kota Surakarta mempermasalahkan
pendaftaran
hak cipta
ataupun
itu tidak
upaya
untuk
melakukan tindakan sehubungan dengan penjiplakan dan peniruan motif batik di antara mereka. Kasus peniruan atau penjiplakan motif yang terjadi di kalangan pembatik dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan tidak perlu dibesar-besarkan. Dapat kita lihat dalam penjualan-penjualan batik dalam waktu tertentu motif yang dikeluarkan biasanya hampir mirip karena merupakan trend pada saat itu. Hal ini terjadi karena masyarakat yang kurang memahami hak cipta khususnya dan HKI umumnya. Pandangan masyarakat pada umumnya dan masyarakat Kota Surakarta pada khususnya yang senang apabila adanya suatu penjiplakan motif batiknya, karena adanya pemikiran bahwa motif saya diminati banyak orang itu yang pertama. Selanjutnya pemikiran pendek masyarakat yakni yang penting mereka mendapatkan keuntungan/laba dari penjualan ciptaannya tanpa memikirkan sisi yang lain, karena memang pembuatan atau produksi dalam masa sekarang ini di Kota Surakarta saat ini digunakan sebagai perdagangan untuk menyokong pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari pengusaha batik di Kota Surakarta ini dengan kata lain sebagai mata pencahariannya. Adanya kebiasaan yang berlaku umum di kalangan pembatik (khususnya di kalangan pembatik pada tingkat menengah ke bawah) untuk saling meniru atau menjiplak motif di antara sesama pengusaha batik karena mereka selalu mengutaman motif-motif yang lagi trend di pasaran.
80
Sistem kebudayaan pun turut mendukung belum dimanfaatkannya UUHC 2002, dimana ciri khas sikap masyarakat Indonesia sikap toleransi dan kebiasaan gotong-royong yang terdapat pada masyarakat, sehingga apabila suatu motif yang telah dibuat kemudian ditiruan dijiplak oleh pihak lain, maka pencipta motif tersebut justru akan merasa senang karena dapat membantu orang lain. Budaya ini sangat terkait dengan salah satu faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yakni “masalah paradigma (cara pandang) masyarakat terhadap kejahatan hak cipta itu sendiri” (Otto Hasibuan, 2008: 257). Hal ini memang menjadi alasan tersendiri di Indonesia, karena di negara Indonesia khususnya Kota Surakarta yang masih memegang tatanan budaya ini masih senang hidup secara bersama-sama ataupun budaya gotong royong yang masih kental sekali. Hal ini berbeda dengan kebudayaan negara lain Negara Barat terutama, yang lebih individualis sehingga eksistensi hak cipta di negara sana memang benar-benar dibutuhkan bagi pencipta. Walaupun seperti itu tidak dapat menyimpulkan bahwa hak cipta itu tidak penting disini, karena ada juga batik-batik di Kota Surakarta ini yang didaftarkan melalui Hak Cipta. Adanya pengakuan beberapa masyarakat yang menganggap mahalnya pendaftaran hak cipta, menurut penulis sebenarnya ini tidak tepat. Menurut tarif pendaftaran hak cipta yang telah ditetapkan, tidaklah mahal
apabila
dibandingkan
dengan
bentuk
perlindungan
yang
pencipta/pemegang hak cipta dapatkan. Menurut analisa penulis kemahalan pendaftaran tersebut bukan terletak pada tarif pendaftaran namun karena transportasi dan akomodasi yang mahal karena pendaftaran dilakukan di Ditjen HKI Jakarta atau di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia propinsi yang dirasa jauh dari Kota Surakarta sehingga menambah beban dari pendaftaran. b. Faktor Eksternal Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang menjadi kendala berasal dari luar pengusaha batik di Kota Surakarta itu sendiri. Adapun faktor
81
eksternal yang paling nampak adalah mengenai pengaturan UUHC 2002 ini sendiri yakni mengenai sifat deklaratif yang digunakan, dan juga mengenai prosedur-prosedur menganai pendaftaran hak cipta. Apabila kita lihat dari sisi UUHC 2002 sendiri, dengan sistem pendaftaran yang bersifat deklaratif juga menjadi faktor pendukung para pencipta seni batik tidak mendaftarkan hasil karya cipta batiknya. Hak cipta timbul secara otomatis setelah ide pencipta dituangkan dalam suatu karya cipta yang berwujud. Ini berarti bahwa suatu ciptaan, baik yang terdaftar maupun tidak terdaftar, akan tetap dilindungi oleh UUHC 2002. Pendaftaran tidak merupakan bukti pemilikan suatu Hak Cipta. Pendaftaran Hak Cipta akan bermanfaat untuk membuktikan kebenaran pihak yang dianggap sebagai pencipta yang sebenarnya apabila terjadi sengketa kasus di pengadilan. Padahal dalam hal ini belum tentu ada suatu sengketa. Di samping itu, belum tersedia secara memadai sarana dan pra sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum hak cipta terhadap seni batik di wilayah Kota Surakarta ini sendiri. Mengingat pengusaha batik yang ada di Kota Surakarta ini sebagian besar pengusaha kecil, sedangkan pendaftaran dilakukan di Ditjen HKI di Jakarta atau di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia wilayah Propinsi Jawa Tengah (Semarang) maka keadaan ini menjadi kendala juga bagi pengusaha batik yang secara ekonomi berakibat menambah beban biaya dalam pendaftarannya. Semuanya berkaitan erat dengan manajemen dari perusahaan batik tersebut, karena batik di Kota Surakarta sekarang tidak hanya digunakan untuk kepentingan tertentu melainkan untuk mencari keuntungan dari perdagangan batik itu sendiri. Singkatnya
dapat
dikatakan bahwa sarana dan fasilitas pendaftaran hak cipta yang ada masih kurang. Atas dasar kondisi pelaksanaan hukum hak cipta di Kota Surakarta yang memiliki kendala yang cukup kompleks baik menurut faktor secara internal maupun eksternal, harusnya ada suatu langkah untuk memperkuat
82
budaya hukum pengusaha batik di Kota Surakarta agar UUHC 2002 dapat dilaksanakan pelaksanaan hukum yang lebih efektif. Baik langkah untuk menghadapi faktor internal maupun eksternal tersebut. Adapun langkahlangkah yang dapat dicapai menurut pemikiran penulis untuk mengatasi hambatan tersebut secara umum adalah sebagai berikut: a. Untuk mengatasi hambatan dalam faktor internal, dapat: 1). Memberikan sosialisasi kepada para pengusaha Batik di Kota Surakarta untuk meningkatkan kesadaran hukum dan arti pentingnya hak cipta yang menjadi hak mereka yang selama ini tidak mereka rasakan, yakni dengan cara menjabarkan yang lebih tegas dan luas mengenai HKI pada umumnya dan hak cipta pada khususnya sehingga dapat memacu tekad pengusaha batik di Kota Surakarta untuk mempercayai perangkat hukum di Indonesia sehingga para kalangan pengusaha batik berkeinginan untuk mendaftarkan karya cipta seni batiknya melalui hak cipta. 2). Memberdayakan
pengusaha
batik
untuk
menunjang/mendukung
kebeberadaan dalam pelaksanaan UUHC 2002, kondisi ini dapat dipacu dengan adanya bentuk penyadaran-penyadaran mengenai arti penting pendaftaran hak cipta terhadap karya seni batiknya, dalam arti mengenai perlindungan hukum yang didapatkannya serta keuntungan atas pendaftaran hak ciptanya dan memberikan pengertian-pengertian apabila tidak didaftarkannya karya cipta seni batiknya. Apabila para pengusaha batik menyadari hal ini, maka dapat memacu pengusaha batik untuk mendukung keberadaan dari UUHC 2002 ini sendiri. Memberdayagunakan pengusaha batik ini dapat melibatkan Pemerintah Kota dan Perguruan Tinggi yang ada agar lebih maksimal. b. Untuk mengatasi hambatan dalam faktor eksternal, dapat: Melakukan pembenahan-pembenahan di dalam pengaturan UUHC itu sendiri, baik mengenai sifatnya maupun prosedur-prosedurnya, yang dapat dilakukan dengan cara penyederhanaan birokrasi pendaftaran dengan membuka kantor perwakilan di setiap kota dan instutisi peradilan niaga di
83
setiap pemerintah kota. Melalui hal ini, kemungkinan besar para pengusaha batik dapat memperhitungkan kembali sisi keuntungan dan kerugian antara biaya pendaftaran dan perlindungan yang mereka dapatkan, yang nantinya dapat menjadi pemicu para pengusaha batik di Kota Surakarta mendaftarkan karya cipta batiknya. Apabila tercapai langkah-langkah ini, dimungkinkan kendala yang terjadi baik kendala berupa faktor eksternal maupun kendala internal dapat diminimkan dan nantinya dapat memaksimalkan pelaksanaan perlindungan hukum di Kota Surakarta khususnya di bidang perlindungan hukum hak cipta.
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis paparkan pada bab sebelumnya yang mengacu pada rumusan masalah, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut: 1. Pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta terhadap seni batik di Kota Surakarta belum maksimal. Hal ini dikaitkan dengan beberapa pandangan para pelaku usaha di bidang batik bahwa seni batik sebagai pengetahuan tradisional mendapatkan perlindungan hak cipta yang dipegang oleh pemerintah, namun di sisi lain ternyata batik sebagai karya cipta pribadi di Kota Surakarta ini belum ada yang didaftarkan karena beberapa faktor. Pemerintah Kota Surakarta melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan beserta segala pihak yang terkait sebenarnya telah mengupayakan pendaftaran Hak Cipta Seni Batik secara kolektif agar mendapatkan suatu perlindungan yang autentik atas karya seni batik tersebut, dan itupun hanya mendapatkan 10 sertifikasi atas nama Pemerintah Kota Surakarta. Sebenarnya perlindungan hukum hak cipta
84
seni batik ini didapatkan langsung pada saat diumumkan pertama kali, namun demikian pendaftaran ini penting yang nantinya dijadikan sebagai pembuktian autentik atas karya seni batik tersebut. 2. Kendala dalam pelaksanaan perlindungan hukum hak cipta terhadap seni batik di Surakarta adalah: pertama, faktor Internal adalah faktor-faktor yang muncul dari pihak pengusaha batik di Kota Surakarta sendiri, adapun faktor-faktor tersebut adalah pemahaman yang lemah pengusaha batik di Kota Surakarta terhadap substansi UUHC 2002 dan adanya sikap masa bodoh atau membiarkan atas penjiplakan/peniruan motif yang dimiliki para pengusaha batik itu sendiri dan sikap sosial kebudayaan masyarakat di Kota Surakarta. Kemudian faktor kedua, faktor eksternal adalah faktor-faktor yang menjadi kendala berasal dari luar pengusaha batik di Kota Surakarta itu sendiri. Adapun faktor eksternal yang paling nampak adalah mengenai pengaturan UUHC 2002 ini sendiri yakni mengenai sifat deklaratif yang digunakan, dan juga mengenai prosedur-prosedur menganai pendaftaran hak cipta.
B. Saran
Pada bagian terakhir ini, beberapa saran dengan harapan saran ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pihak yang terkait. Adapun saran tersebut antara lain : 1. Dirjen HKI perlu lebih mendayagunakan tugas dan wewenangnya dengan cara membuka kantor pelayanan di setiap perwakilan kota, untuk memudahkan pendaftaran karena pendaftaran di Ibu Kota ataupun Ibu Kota Propinsi dirasa masih terlalu jauh dan membutuhkan biaya yang lebih besar. Apabila tidak dilakukan pembukaan kantor perwakilan maka para pengusaha batik masih tetap enggan untuk mendaftarkan karya cipta batiknya, dikarenakan tempat pendaftaran yang jauh sehingga membutuhkan biaya akomodasi yang relatif tinggi dan hal tersebut menyebabkan beban pendaftaran yang semakin tinggi pula.
85
2. Pemerintah Kota Surakarta perlu melakukan upaya dalam pengembangan batik di Kota Surakarta ini melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta agar batik di Kota Surakarta semakin berkembang. Hal ini terkait dengan pengakuan batik sebagai pusaka dunia oleh UNESCO. Apabila tidak dilakukan upaya tersebut, maka batik di Indonesia pada umumnya dan batik di Kota Surakarta pada khususnya ini dikhawatirkan akan semakin mengalami kemunduran, dan bisa saja pengakuan tersebut dapat dicabut. Selain itu, dapat pula melakukan sosialisasi mengenai pentingnya HKI pada umumnya dan hak cipta pada khususnya, menjelaskan mengenai keuntungan pendaftaran, dari hal ini dapat memacu para pengusaha batik untuk mendaftarkan ciptaannya ke dalam perlindungan hukum hak cipta dan juga melakukan upaya pendaftaran Hak Cipta secara kolektif seperti beberapa waktu yang lalu secara rutin, agar batik terus berkembang dan perlindungan hukum hak cipta semakin dapat dirasakan oleh segala pihak yang berhubungan dengan perbatikan. 3. Pengrajin Batik perlu mengubah pola pemikiran yang kurang tepat mengenai hak cipta itu sendiri, sehingga para pengusaha batik merasakan betapa pentingnya perlindungan hukum hak cipta terhadap karya cipta yang telah diciptakannya dan akhirnya mendaftarkan karya cipta batiknya melalui hak cipta. Pengusaha batik juga dapat merasakan arti pentingnya perlindungan hukum hak cipta yang mereka dapatkan dengan cara mendaftarkan ciptaannya sebagai upaya pencegahan adanya pelanggaran-pelanggaran hukum mengenai hak cipta batik khususnya, karena dengan pendaftaran tersebut dapat dijadikan sebagai bukti autentik bila nantinya terjadi suatu permasalahan. Jika pola pemikiran para pengusaha batik tetap seperti ini maka tidak akan ada kemajuan yang berarti dalam perlindungan hukum yang seharusnya mereka terima. 4. Masyarakat perlu melestarikan karya cipta batik, terutama batik sebagai pengetahuan tradisional yang dimiliki warga negara Indonesia agar tidak diakui oleh negara lain dan masyarakat sebagai konsumen hendaknya membeli/menggunakan karya cipta batik yang asli agar dapat mengurangi kejahatan
berupa
penjiplakkan
atau
peniruan
motif
batik,
adanya
86
pemberdayaan masyarakat di bidang Hak Kekayaan intelektual yang melibatkan Pemerintah Kota Surakarta dan Perguruan Tinggi agar masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Kota Surakarta pada khususnya dapat menghargai karya cipta orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad. 2007. Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual. Bandung: PT. Citra Aditya. Afrillyanna Purba. 2005. TRIPs-WTO & Hukum HKI Indonesia Kajian Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Agus Sardjono. 2006. Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional. Bandung: Alumni. Anonim. 2006. Kitab Undang-Undang HKI (Hak Kekayaan Intelektul). Bandung: Fokus Media. ______.
Batik Tulis Surakarta Terancam Punah. http://www.batik laksmi.com/artikel%20batik%2032.htm>. [20 Februari 2010 pukul 16.00].
______. Kampung Batik kauman. http://solobatik.athost.net/batik_kauman.php> [20 Maret 2010 pukul 10.30]. ______. Kampung Batik Laweyan. http://solobatik.athost.net/sejarah.php> [20 Maret 2010 pukul 10.30]. ______. Sejarah Batik Indonesia. http://www.batikmarkets.com/batik.php> [3 Oktober 2009 pukul 17.00]. ______. Produk Unggulan Kota Surakarta. http://www.umkmSurakartaraya. com/node/993> [20 Februari 2010 pukul 16.00].
87
______. http://regionalinvestment.com/sipid/id/displayprofil.php?ia=3372#> [20 Maret 2010 pukul 10.30]. ______. http://id.wikipedia.org/wiki/Batik> [20 Februari 2010 pukul 16.00]. Arif Syamsudin. 2008. “Antara Pelestarian dan Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional/Pengetahuan Tradisional dan Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual”. Media HKI, Vol. V No. 4. A. Zen Umar Purba. 2002. “Peta Mutakhir Hak Kekayaan Intelektual Indonesia”. Makalah Disampaikan pada acara Orientasi Kepailitan bagi para Hakim Agung, diselenggarakan oleh Pusdiklat Mahkamah Agung RI, Jakarta 29 Januari 2002. Budi Agus Riswandi. 2009. Hak Cipta Di Internet Aspek Hukum Dan Permasalahannya Di Indonesia. Yogyakarta: FH UII Press. 85 Dharsono. 2009. “Batik Karya agung Bangsa Indonesia”. Makalah. Disampaikan pada Seminar Nasional Solo Membatik Dunia, pada tanggal 31 Oktober 2009 di Solo. Dewi Sulistianingsih. 2008. “Arti Penting HKI Bagi Kehidupan Manusia”. Pancadecta, Vol 2 No. 1. HB. Sutopo. 1988. Pengantar Penelitian Kualitatif Dasar-dasar Teoritis dan Praktis. Surakarta: Sebelas Maret University Press. ______. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif : Dalam Teori Terapannya dalam Penelitian. Surakarta : Sebelas Maret University Press. Hendarman Supandji. “Penegakkan Hukum dan Upaya Membangun Kepercayaan Masyarakat pada sistem Hukum Nasional”. Makalah disampaikan pada Seminar dan Temu Hukum Nasional IX dengan tema Membangun Hukum Nasional yang Demokrasi dalam Tatanan Masyarakat yang Berbudaya dan Cerdas Hukum, pada tanggal 20-22 November 2008 di Hotel Haytt Regensi Yogyakarta. Heru
Susetyo. Penegakan Hukum yang Menciptakan Keadilan. http://herususetyo.multiply.com/journal/item/9> [25 Maret 2010 pukul 19.15].
Luhur Hertanto. UNESCO Akui Batik Milik Indonesia.(http://www.detiknews. com/read/2009/09/07/181258/1198580/10/unesco-akui-batik-milikindonesia> [25 Maret 2010 pukul 19.30]). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
88
Kuswilono. 2009. Kurikulum Muatan Lokal Batik, Mengapa Tidak?. Pesta Buku Solo 2009 Buku Untuk Semua, semua Butuh Buku. Surakarta: Ikatan Penerbit Indonesia Jawa Tengah. Matthew Dames. “Intellectual Property Why Copyright Isn’t Property”. Information Today. February 2009. ______. .”Intellectual Property Citizens Now Are Copyright Stakeholders”. Information Today. February 2010. Moch Najib Imanullah dkk. 2005. “Problematika Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pada Kerajinan Batik Kayu”. Majalah Hukum Yustisia. Nomor 68. Surakarta: Fakultas Hukum Unversitas Sebelas Maret. Muhammad Ahkam Subroto dan Suprapedi. 2008. Pengenalan HKI (Hak Kekayaan Intelektual) Konsep Dasar Kekayaan Intelektual untuk Pertumbuhan Inovasi. Jakarta: Indeks. Muhammad Djumhana. 2003. Hal Milik Intelektual Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya. Nian S. Djoemena. 1986. Ungkapan Sehelai Batik (Its Mystery and Meaning). Jakarta: Djambatan. Otto Hasibuan. 2008. Hak Cipta Di Indonesia Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu, Neighbouring Rights, dan Collecting Society. Bandung: Alumni. ______.2008. “Perlindungan hak Cipta Di Era Digitalisasi Ditinjau Dari sudut Legalitas Fokus Pembahasan Hak Cipta lagu. Media HKI, Vol. V No. 2. Rahmadi Usman. 2003. Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia. Bandung: Alumni. Ranggalawe Suryasaladin. Masalah Perlindungan Haki Bagi Traditional Knowledge. http://www.lkht.net/index.php?option=com_content&view= article&id=72:perlindungan-hki-bagi-traditionalknowledge&catid=1: hki-telematika&Itemid=37> [17 Maret 2010 pukul 14.00]. Santoso Doellah. 2002. Batik Pengaruh Zaman dan Lingkungan. Solo: Danar Hadi. Seojono Dirjosisworo. 2000. Hukum Perusahaan Mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual (Hak Cipta, Hak Paten, Hak Merek). Bandung: Mandar Maju.
89
Soerjono Soekanto. 1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Raja grafindo Persada. ______. 2007. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia. Sthefanny Avonina. Apa yang dimaksud dengan Pengetahuan Tradisional?. http://www.lkht.net/index.php?option=com_content&view=article&id=6 2:pengetahuan-tradisional&catid=1:hki-telematika&Itemid=37> [17 Maret 2010 pukul 14.30]. Sultani. “Batik, Warisan Tradisional yang Mendunia”. Kompas, 20 Maret 2010. Suryo
S Negoro. Meneropong "Makna Spiritual Batik Jawa". http://www.javabatik.org/artikel_3.html> [18 Maret 2010 pukul 17.15].
Suyud Margono dan Amir Angkasa. 2002. Komersialisasi Aset intelektual Aspek Hukum Bisnis. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Zudan Arif Fakrulloh. 2005. “Penegakan Hukum sebagai Peluang Menciptakan Keadilan”. Jurisprudence, Vol. 2, No. 1.