Ringkasan Tugas Akhir
STUDI PERENCANAAN JARINGAN WIMAX DI WILAYAH KOTA BANDUNG DENGAN MEMANFAATKAN MENARA TELKOMFlexi Prasetiyono Hari Mukti – 13203012 Jalur Pilihan Teknik Telekomunikasi – Program Studi Teknik Elektro Sekolah Teknik Elektro dan Informatika – Institut Teknologi Bandung Jalan Ganesha 10, Bandung 40132 e-mail :
[email protected] Pembimbing : 1. Dr. Ir. M. Ridwan Effendi, M.Sc 2. Gunadi Dwi Hantoro, S.T., M.M. Kehadiran WiMAX sebagai salah satu alternatif teknologi akses dari Broadband Wireless Access (BWA) memberikan harapan solusi terhadap perkembangan teknologi dan layanan telekomunikasi saat ini. Dengan hadirnya WiMAX ini mendorong berbagai pihak untuk menyiapkan skenario implementasinya. Pada tugas akhir ini, dibahas mengenai perencanaan Jaringan WiMAX di Wilayah Kota Bandung dengan menggunakan Menara TELKOMFlexi. WiMAX yang akan diimplementasikan di wilayah ini menggunakan spektrum frekuensi 3,3 GHz dengan bandwith 3,5 MHz untuk layanan fixed access. Perencanaan ini diawali dengan identifikasi daerah layanan, baik kondisi wilayah maupun pelanggan untuk kemudian dilakukan dimensioning jaringan. Estimasi pelanggan potensial dilakukan dengan 2 (dua) pendekatan yaitu penghasilan per kapita dan usia, serta pelanggan yang telah ada. Dengan adanya estimasi pelanggan ini akan diketahui kebutuhan trafik yang harus dilayani. Sedangkan dimensioning dilakukan dengan pendekatan kapasitas trafik dan daya jangkau. Dari perhitungan terhadap parameter-parameter di atas, diperoleh kebutuhan kanal pada tahun pertama pembangunan adalah 27 kanal untuk daerah urban dan 5 kanal untuk daerah suburban. Kebutuhan ini diprediksi pula sampai 5 (lima) tahun ke depan dengan faktor perkembangan konstan. Tahap akhir dari perencanaan ini adalah visualisasi hasil dimensioning dan penentuan letak koordinat dari setiap BS. Dari visualisasi ini, diperoleh 3 (tiga) alternatif implementasi. Selain itu, dalam tugas akhir inipun dibahas mengenai hasil pengukuran lapangan pada beberapa titik di wilayah Kota Bandung dan sekitarnya. Kata Kunci : WiMAX, Modulasi Adaptif, SNR, dimensioning.
I.
PENDAHULUAN
Kebutuhan masyarakat akan layanan telekomunikasi yang tidak hanya pada layanan voice maupun data, tapi sudah mengarah pada kebutuhan layanan multimedia menjadikan para penyelenggaran layanan harus mengembangkan teknologi yang dimiliki. Kebutuhan tersebut menuntut tersedianya bandwidth dan bitrate yang besar. Selain itu, kebutuhan akses ”di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja” menjadikan teknologi wireless semakin menjadi perhatian. Sebagai solusi dari kedua kebutuhan tersebut, Teknologi WiMAX hadir sebagai alternatif teknologi akses dari Broadband Wireless Access (BWA). Implementasi dari teknologi ini oleh berbagai operator, mengakibatkan adanya permasalahan yaitu persebaran menara operator yangs semakin tidak terkendali Penelitian ini bertujuan untuk memberi alternatif implementasi dari Teknologi WiMAX tersebut dengan menggunakan Menara BTS CDMA2000 1x yang dimiki oleh TELKOMFlexi. Teknologi WiMAX yang dibahas pada tugas akhir ini menggunakan spektrum frekuensi 3,3 GHz dan bandwidth 3,5 MHz. Dengan tidak mempertimbangkan aspek interferensi dan keamanan sistem. Penelitian ini diawali dengan mempelajari teori-teori yang terkait dengan Teknologi WiMAX dan Seluler. Kemudian menentukan tahapan perencanaan dan pengumpulan data-data yang terkait dengan tahapan perencanaan tersebut. Berdasarkan data-data tersebut, dilakukan dimensioning sebagai dasar untuk menentukan alternatif implementasi yang dapat dilakukan.
II.
TEKNOLOGI WIMAX
Worldwide Interoperability for Microwave Access (WiMAX) adalah merk dagang dari Broadband Wireless Access (BWA)
Institut Teknologi Bandung
yang dikembangkan dengan standar IEEE 802.16 [10]. Metode akses yang dikembangkan dalam teknologi ini adalah fixed, nomadic, dan mobile dengan kemampuan jangkauan sampai 50 km dan kecapatan data sampai 75 Mbps untuk fixed access. Teknologi ini dapat diaplikasikan pada beberapa hal, yaitu [7] 1. 2. 3. 4.
Sebagai point-to-multipoint backhaul. Sebagai access point Aplikasi enterprises Fitur mobility.
Quality of Servicer (QoS) yang dapat dilayani oleh teknologi ini meliputi [7], 1. 2. 3. 4.
Unsolicited Grant Service (UGS) Real-Time Polling Service (rtPS) Non-Real-Time Polling Service (nrtPS) Best Effort (BE)
Beberapa keunggulan dari Teknologi WiMAX ini di antaranya adalah penggunaan OFDM dalam multiplexing sehingga dapat memberikan kapasitas yang besar dan modulasi adaptif yang dapat menjaga kualitas sinyal pada kondisi tertentu. Selain itu, terdapat pula kemampuan lain pada teknologi WiMAX ini, yaitu ketahanan sinyal pada baik kondisi LOS maupun NLOS [4].
III.
KONSEP TEKNOLOGI SELULER
Pada awal perkembangannya, media yang digunakan dalam komunikasi kabel. Namun, hal ini dirasa semakin tidak praktis karena seiring dengan berkembangnya pengguna telekomunikasi, maka semakin panjang kabel yang dibutuhkan. Sebagai sebuah solusi dari layanan ini maka muncul media nirkabel (wireless) sebagai media akses telekomunikasi.
1
Ringkasan Tugas Akhir
⎛h ⎞ X h = −10.8 log10 ⎜ r ⎟ untuk terrain tipe C ⎝2⎠
(6)
IV.
STUDI PERENCANAAN JARINGAN WIMAX
Dalam melakukan perencanaan jaringan telekomunikasi, tentu diperlukan adanya tahapan yang jelas dan sistematis agar perencanaan jaringan tersebut dapat berjalan dengan baik. Secara garis besar, perencanaan jaringan meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut, yaitu penentuan dan analisis kondisi daerah layanan, penentuan spesifikasi teknis jaringan, penentuan kebutuhan kapasitas sistem, penentuan cakupan layanan sistem, dan visualisasi hasil perencanaan.
LEM BAN G
Daerah pelayanan adalah Wilayah Kota Bandung yang terletak pada koordinat 1070 32’ 38,91” BT dan 60 55’ 19,94” LS dengan luas daerah 167,29 km2. 70,60% dari wilayah tersebut merupakan wilayah Urban dan sisanya adalah suburban. Sedangkan jumlah penduduk di Kota Bandung adalah 2.296.848 jiwa dengan 85,27% di antaranya tinggal di wilayah urban [1]. Term. Ledeng TB
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA BANDUNG TAHUN 2013 GAMBAR LEGENDA
Geger
Gerlong Kal ong Tengah
Juan da
Ir. H .
Ciumbel
Dr. Setiabudi
uit Sukahaji
KAB. BANDUNG
T TA
TB
Pemerintahan Pendidikan (Perguruan Tinggi) Industri dan Pergudangan (Berwawasan Lingkungan) Pertahanan Keamanan (Hankam) Ruang Terbuka Hijau (Taman, Lap. Olahraga, Pemakaman)
SKALA 1 : 20.000 0
2
4
6
8
0
0.5
1
1.5
2
Fasilitas Kesehatan (Rumah Sakit) Mesjid (Mesjid Utama)
PEMERINTAH KOTA BANDUNG
uleu
it
GEMA H RIPAH WIB AWA MU KTI
C iumb
Jur ang
Ir. H. Juanda
Enda h
Ruma h Sakit
Arcama nik
Cisara
Cipa dung
nten Kul on
Sukabumi
a
Gat ot
War
Ruma h Sakit
eng
KEC. CIBIRU
Subro to
NG EDA Jend.
Subroto
Ibrahim Adjie (Kiara
Gatot
TB
Gedebage
Term. Cibiru
Su rya lay
a
SUM
Rumah Sakit
Ter.
ara
Con dong)
Martaneg
aj Pel
o)
Pa njang Leuwi
Antap ani
Pahlawa n
an hlaw Pa
Cikutra Cikutra Cikutra
Brig jen
Kat a
Burangrang
Karapita n Sadak
Karapi tan
d.
Loday
(Kop
k
KEC. LENGKONG
Gedebage
TA
SURA BAYA
Term. Gedebage
(Terminal Terpadu/Induk) Cimencrang
KEC. MARGACINTA
Ranca Cili
Ibr ahim
Ranca
Bolang
Adjie (Ter.
Suka Ati
Wangi
tu Ba
Mekar
KAB. BANDUNG
Kiara Condong)
uyut
KEC. REGOL
Pasir Luyu Selatan
Asy hari
Hasy im
Wareng
KEC. KIARA CONDONG
Jen
eling
BK R
ah Bu
Raya Cibad
KEC. UJUNG BERUNG
KEC. ARCMANIK
Gurame
am
u Bat
Term. Leuwi Panjang
an J akarta
Gato t Subr oto
ao
ng ‘45
Cikaw
gkur
dan
.R
Terus
KEC. CICADAS
Babakan Sari
St. Kiaracondong
ar P eju a
Moh
Jakarta
Condong)
Merdeka Rd. Dewi Sartika Moh. Toha
Pun
Moh. Toha
Otto Iskandar Dinata
Yani
Dal am
Ibrahim Adjie (Kiara
ipa ti
Uku r
Wirayuda Barat
Juand a Ir. H.
na
Cihampelas
Sederha
Cihampelas
(Pasir Kaliki) H.O.S. Cokroaminoto
Cicendo
Gardujati
Otto Iskandar
(Kopo) Asyhari Hasyim K.H.
ad
Jakarta
Sukab umi
h Bua
K.H.
kur
u Bat
po)
P ung
Ciateul
B KR
Toha
(Ko
. Ahm
a lengk Maja
KEC. BATUNUNGGAL
Subroto Jend.
Moh.
Asy hari
Pungkur
Ciat eul
TB
K.H . Has yim
Dinata
Jamika
Jamika
R. A. A. Wirana takusumah (Cipaganti)
Sukajadi Cipedes Selatan
Baladewa Arjuna
Garuda
Cije rah Raya
Suryani Holis
Pungkur
Peta
Arcam anik
an ratm Sup
a inat rtad Ma
Cije rah
n
E.
Raya
KEC. CIBEUNYING KIDUL
mso
Terusan
Yani
St. Cikuda Pateuh (Cicadas) Jend. Gat ot
Kecil
h Bua
s
r atma Sup
ad
ong
Lengkong
ng Besar
Holi
ang
. Ahm Jend
Lemb
Dalem Kaum
Kepatihan
gko
gin
KEC. CIBEUNYING KALER
Jend
KEC. SUMUR BANDUNG
Asia Af rika
Cibadak Karang Anyar
Pasir Koja
Pet a
KEC. BABAKAN CIPARAI
L.L .R.
Len
Pa sir Koja
KEC. BOJONGLOA KALER
KAB. BANDUNG
Martadinata
da Sun
KEC. ASTANA ANYAR
Koja
Pasir
ar in
ada
na
n Pasir Terusa
Koja
Moh.
SOR EAN G
Ciwas
TB Term. Buah Batu
GAN ALEN PANG
Pintu Tol Moh. Toha
Ter. Bu ah Batu
KEC. BANDUNG KIDUL
Toha
duyut Raya Ciba
Ciwastra
KEC. BOJONGLOA KIDUL
KAB. BANDUNG
PANGAL ENGAN
an Terus
KEC. BANDUNG WETAN
ca ken
Pagarsih
r
Diponegoro
L.L.R.E.
Jend. Sudirman
Cibadak
Pag
KEC. BANDUNG KULON
Ukur
Jend. Sudirman
h Barat
D
Wastu
Kebon Jati
Jend. Sudirman
Se
Cikutra Timur
Stasiun Bandung
Term. Ciroyom Kebon Jati
arsi
KAB. BANDUNG ng
M ekar
Cisadea
TB
Peta
, untuk d>d0 (1)
(2)
c hb
(3)
Terrain B 4.0 0.0065 17.1
Terrain C 3.6 0.005 20
3 Km
Kawasan Pusat Primer Gedebage
S
Haur
Pajajaran
Astana Anyar
+ s
12 Cm
Jalur Hijau, Sempadan Sungai
Stasiun Kereta Api Rencana Terminal A Rencana Terminal B
Tubagus Ism ail
KEC. COBLONG
Dipati
Rajawa li Timur
C
h
Tabel 1 Parameter Terrain [6]
Institut Teknologi Bandung
Perdagangan
KEC. RANCASARI
A ART YAK tra
YOG
Derwati
Pintu Tol Buah Batu Pintu Tol Gede Bage
hb adalah tinggi antenna BS dalam meter, a, b, c adalah konstanta perhitungan pangkat path loss yang tergantung jenis terrain.
Terrain A 4.6 0.0075 12.6
Pajajaran
L. U. Abdura hman Saleh
KEC. ANDIR
KOTA CIMAHI
Pintu Tol Kopo
⎛ 4πd 0 ⎞ A = 20 log10 ⎜ ⎟ ⎝ λ ⎠
Model Parameter a b (m-1) c (m)
Jasa
Sungai
Siliwangi
KEC. SUKAJADI
KEC. CICENDO
d adalah jarak antara antenna BS dan SS dalam meter, d0 : 100 meter, s adalah peubah acak yang terdistribusi secara lognormal sebagai representasi shadowing oleh pepohonan atau bangunan, dengan nilai berkisar 8.2 – 10.6 dB.
γ = a − bh b +
Perumahan Kepadatan Rendah
TPU
Inho ftan
Prof. Ter.
AR TA
A ART JAK
+ X
na
RTA
Pintu Tol Pasir Koja
f
Si ndang Sir
Dr. Sutami
Perumahan
Bandar Udara
JAK
Persamaan umum model empirik SUI :
KEC. CIDADAP
di
KOTA CIMAHI
JAKA
• Tipe A : path loss terbesar yaitu perbukitan dengan densitas pepohonan sedang sampai tinggi. • Tipe B : path loss pertengahan antara tipe A dan C. • Tipe C : path loss terkecil yaitu terrain rata dengan pepohonan jarang.
amid
Dr. Sutami
Pintu Tol Pasteur
⎞ ⎟⎟ + X ⎠
ul H
abu Seti
Prof.
Berdasarkan terrain, model SUI membagi 3 jenis, yaitu :
⎛ d PL = A + 10 γ log 10 ⎜⎜ ⎝ d0
Kapt. Abd
Hilir
TAHUN 2013
Kawasan Fungsional
Jalan Tol Rel Kereta Api Jaringan Listrik Tegangan Tinggi (Jaringan Transmisi) Garis Kontur 750 dpl
Ka lo ng G irang
Gege r Kalong
KEC. SUKASARI
RENCANA TATA GUNA LAHAN
Batas Kota Batas Kecamatan Jalan Arteri Primer Jalan Arteri Sekunder Jalan Kolektor Primer Jalan Kolektor Sekunder Jalan Lokal
Dr. Setiabud i
KAB. BANDUNG
Dr.
Akibat adanya efek multipath karena kondisi NLOS ini, berbagai upaya dilakukan untuk memberikan prediksi yang tepat mengenai propagasi sinyal. Berbagai model propagasi dikembangkan. Salah satunya adalah Model propagasi SUI yang dikembangkan oleh kelompok kerja 802.16 dari IEEE dan direkomendasikan oleh WiMAX Forum [2]-[6].
(5)
Cipedes
Transmisi gelombang radio menjadi permasalahan tersendiri dalam implementasi komunikasi wireless. Kondisi LOS semakin sulit dicapai karena adanya gedung, bukit, gunung, dan penghalang-penghalang lainnya. Hal ini menyebabkan terjadinya pantulan, difraksi, dan hamburan terhadap sinyal radio yang dipancarkan. Kondisi ini disebut dengan kondisi NLOS [9].
⎛h ⎞ X h = −10.8 log10 ⎜ r ⎟ untuk terrain tipe A & B ⎝2⎠
Sukaj adi
Seiring dengan bertambahnya kebutuhan akan layanan komunikasi, maka kebutuhan akan kapasitas sistem pun terus berkembang. Terdapat 2 (dua) metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan kapasitas sistem suatu sel yaitu dengan metode splitting (pemecahan) dan sectoring (sektorisasi sel) [8].
(4)
Xh : factor koreksi tinggi antenna CPE pada berbagai kondisi terrain dengan hr dalam meter, yang dirumuskan dengan
Sukajadi
Efek interferensi dalam komunikasi seluler dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu co-channel interference disebabkan oleh adanya sel menggunakan frekuensi sama, dan adjacent interference disebabkan oleh frekuensi dari sel sebelah akibat tidak sempurnanya filter yang digunakan [8].
⎛ f ⎞ X f = 6 log10 ⎜ ⎟ ⎝ 2000 ⎠
Prof. Dr. G. Surya Sumant ri
Pengulangan frekuensi atau frequency reuse adalah sebuah metode penggunaan frekuensi yang sama untuk beberapa Base Station (BS) yang berbeda. Jarak antara BS yang menggunakan frekuensi yang sama tersebut harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak efek interferensi [8].
Xf : faktor koreksi untuk penggunaan frekuensi f ( dalam MHz) di atas 2 GHz, yang dirumuskan dengan
Cip edes Tengah
Media akses nirkabel ini kemudian digunakan dalam sistem komunikasi seluler. Pada awalnya, komunikasi seluler ini menggunakan daya yang besar untuk dapat menjangkau daerah yang lebih luas, namun tidak mendukung adanya mekanisme handoff dan kapasitas kecil. Maka berkembanglah sistem komunikasi seluler modern yang menggunakan daya pancar kecil, namun memililki kapasitas yang besar karena menggunakan pengulangan frekuensi [8].
Gambar 1 Peta Wilayah Kota Bandung Karakteristik pelanggan internet di wilayah kota Bandung dapat dikategorikan ke dalam 2 (dua) kelompok yaitu pelanggan perumahan yang biasanya membutuhkan kecepatan data lebih kecil dari 512 kbps, dan pelanggan korporat yang membutuhkan kecepatan data hingga 2 Mbps. Tahap berikutnya adalah menentukan spesifikasi perangkat yang akan diimplementasikan. Pada perencanaan ini, perangkat WiMAX yang digunakan adalah perangkat yang bekerja pada spektrum frekuensi 3,3 GHz dengan bandwidth 3,5 MHz untuk layanan fixed access. Data spesifikasi perangkat yang dijadikan referensi dalam perencanaan ini, data spesifikasi perangkat dari vendor SR Telecom . Gambaran dimensioning dari perencanaan ini, yaitu estimasi jumlah sel yang dibutuhkan untuk meng-cover wilayah Kota Bandung ini dilakukan dengan 2 (dua) jenis pendekatan yaitu, pendekatan trafik yang dihadapkan pada kapasitas sistem, dan pendekatan daerah cakupan yang dihadapkan pada daya jangkau. Pendekatan pertama yaitu pendekatan trafik diawali dengan menentukan jumlah pelanggan potensial yang akan dibidik oleh
2
Ringkasan Tugas Akhir teknologi ini. Estimasi pelanggan potensial ini diasumsikan berada pada kelompok tinggi pendapatan perkapita dan usia produktif pendnduk Kota Bandung. Dengan asumsi itu, diperoleh data bahwa jumlah kelompok tinggi pendapatan perkapita adalah 11,64% [15], sedangkan penduduk usia produktif adalah 64% [1]. Dan dengan asumsi addressable market sebesar 75%, maka diperoleh jumlah pelanggan potensial adalah 5,59%. Kemudian pelanggan potensial tersebut dihadapkan pada kondisi pelanggan existing internet yan dikeluarkan oleh APJII. Menurut data APJII tersebut jumlah pemakai internet Indonesia pada tahun 2006 adalah 20.000.000 pemakai dan 1.700.000 pelanggan dengan hanya 30% pelanggan-pemakai yang ada di luar wilayah Jakarta dan Sekitarnya [14]. Jawa Barat sebagai bagian dari Indonesia memiliki komposisi 17,8% dari penduduk Indonesia [15]. Dengan presentasi penduduk Kota Bandung sebesar 5,89%, maka diperoleh bahwa jumlah pemakai Internet di Kota Bandung adalah 0,31%. Pada kenyataannya, tidak semua pemakai Intenet berlangganan Internet. Dengan data-data di atas, maka dapat kita peroleh jumlah pelanggan Internet di Kota Bandung pada Tahun 2006 adalah 3515 pelanggan. Jika diasumsikan pertumbuhan pelanggan setiap tahun tetap yaitu 15%, maka jumlah pelanggan pada Tahun 2008 adalah 4648 pelanggan. Jumlah pelanggan ini diprediksi pula sampai dengan tahun ke-5 yaitu 2013, dengan data perkembangan sebagai berikut Tabel 1 Perkiraan Jumlah Pelanggan 2008-2013 Tahun Ke 0 1 2 3 4 5
Pelanggan SubUrban 685 788 906 1.042 1.198 1.378
Urban 3.963 4.558 5.241 6.028 6.932 7.971
Total 4.648 5.345 6.147 7.069 8.130 9.349
Tahap berikutnya dari metode ini adalah menentukan jenis layanan yang akan ditawarkan kepada pelanggan. Berdasarkan jenis layanan yang direkomendasikan oleh SR Telecom [13], diperoleh kebutuhan trafik, sebagai berikut Tabel 2 Kebutuhan Trafik Tahun ke-0 Parameter Service Quality Bit Rate (Mbps) Over Booking (OSR) % User Share User Throughput Demand Active Throughput (Mbps) Total Demand (Mbps)
Platinum VBR 1 10 5,00% 232 232,41
Gold VBR 0,5 10 10,00% 465 232,41
Silver BE 1 20 85,00% 3951 3950,89
23,24
23,24
197,54
244,03
Kebutuhan trafik ini akan terus bertambah seiring dengan pertumbuhaan jumlah pelanggan. Jika diasumsi memiliki faktor pertumbuhan yang sama, maka akan diperoleh kebutuhan trafik sampai tahun ke-5, adalah sebagai berikut Tabel 3 Perkiraan Trafik Selama 5 Tahun Tahun ke 0 1 2 3 4 5
Urban 208,07 239,28 275,17 316,45 363,91 418,50
Institut Teknologi Bandung
SubUrban 35,96 41,35 47,55 54,69 62,89 72,32
Total 244,03 280,63 322,72 371,13 426,80 490,82
Berikutnya adalah menentukan kapasitas sistem yang dapat melayani kebutuhan pelanggan tersebut. Karena WiMAX ini menggunakan modulasi adaptif, maka kapasitas sistem pun di dasarkan pada tipe modulasi yang digunakan. Terdapat 2 (cara) dalam menentukan kapasitas sistem ini, yaitu hanya pertimbangkan tipe modulasi yang digunakan di sisi luar sel atau mempertimbangkan seluruh tipe modulasi yang ada di dalam sel tersebut. Cara kedua ini dilakukan dengan menghitung kontribusi setiap tipe modulasi terhadap sistem dengan menggunakan proporsi jangkauan tipe modulasi yang diperoleh [12]. Jika diasumsikan sel terluar menggunakan modulasi QPSK(3/4) maka diperoleh kapasitas sistem untuk daerah Urban adalah 7,940 Mbps dan 7,964 untuk daerah suburban. Dari data kebutuhan trafik dan kapasitas sistem tersebut, diperoleh data sebagai berikut Tabel 4 Estimasi Sel Dengan Metode Trafik Parameter Kebutuhan Sel Jarak Jangkau (km)
Sel Omni Urban Suburban 27 5 1,3 1,78
Sel Sektoral 120° Urban Suburban 9 2 2,25 3,08
Pendekatan estimasi sel yang kedua dilakukan dengan metode daerah cakupan. Pada metode ini, perencanaan dihadapkan pada kemampuan jangkauan maksimal dari perangkat. Dengan menggunakan parameter link budget sebagai berikut, Tabel 5 Paramter Link Budget [16] Parameter Frekuensi Tx Power (dB) Tx Loss Rx Loss Gain Tx Gain Rx Shadow Fading
Dowlink 3300 MHz 31 dBm 1 dB 0 dB 17,5 dBi 15 dBi ,3 dB
Uplink 3300 MHz 22 dBm 0 dB 1 dB 15 dBi 17,5 dBi 8,3 dB
System Gain
154,5 dB
146,5 dB
Dan persamaan (1) sampai dengan (3) pada tinggi BS 30 m dan tinggi SS 2 m, diperoleh data sebagai berikut, Tabel 6 Estimasi Sel Dengan Metode Coverage Parameter Jarak jangkau Luas Sel Kebutuhan Sel
Urban 1,97 10,05 12
Suburban 2,63 17,91 3
Tahap akhir dari estimasi jumlah sel ini adalah menentukan jumlah sel yang akan dibangun. Jika kita perhatikan Tabel 4 dan Tabel 6, maka diperoleh kebutuhan sel untuk daerah urban sebanyak 27 sel dan 5 sel untuk daerah sub-urban jika menggunakan antena omnidirectional. Sedangkan jika menggunakan antena sektoral 120° diperoleh kebutuhan sel sebanyak 12 sel untuk daerah urban dan 3 untuk daerah suburban.
V.
SKENARIO IMPLEMENTASI
Adanya berbagai kemungkinan tipe modulasi yang diterima oleh pelanggan, klasifikasi layanan yang disediakan, ketinggian antena SS di sisi pelanggan, dan prioritas waktu pembangunan infrastruktur menjadi perencanaan ini tidak mudah diimplementasikan. Perlu diketahui terlebih dahulu pengaruh parameter-parameter di atas terhadap implementasi di lapangan. Skenario pertama yang digunakan dalam implementasi ini adalah skenario yang didasarkan pada jaminan tipe modulasi di pinggir sel. Tujuannya adalah mengetahui pengaruh tipe modulasi
3
Ringkasan Tugas Akhir terhadap kapasitas sel. Sebelum dipaparkan mengetahui hal tersebut, perlu kita ketahui dulu pengaruh daya pancar BS menurut tipe modulasi. Dengan menggunakan data-data pada dari Tabel 5, dengan tinggi antena BS 30 m, Antena SS 2 meter, dan sensitivitas SS [11], [16] seperti di bawah, maka diperoleh Tabel 7 Jarak Jangkau Menurut Tipe Modulasi (a) Untuk daerah Urban Tipe Modulasi
RSS
64QAM(3/4) 64QAM(2/3) 16QAM(3/4) 16QAM(1/2) QPSK(3/4)
-80 -82 -86 -89 -92
31 0,96 1,06 1,28 1,48 1,71
Jarak Jangkau (km) 30 29 28 0,91 0,87 0,83 1,01 0,96 0,91 1,22 1,16 1,11 1,41 1,34 1,28 1,63 1,55 1,48
27 0,79 0,87 1,06 1,22 1,41
(b) Untuk daerah SubUrban Tipe Modulasi
RSS
64QAM(3/4) 64QAM(2/3) 16QAM(3/4) 16QAM(1/2) QPSK(3/4)
-80 -82 -86 -89 -92
31 1,19 1,32 1,63 1,91 2,24
Jarak Jangkau (km) 30 29 28 1,13 1,07 1,02 1,26 1,19 1,13 1,55 1,47 1,40 1,82 1,72 1,63 2,13 2,02 1,91
27 0,97 1,07 1,32 1,55 1,82
Dengan jarak jangkau pada daya pancar 31 dBm untuk setiap tipe modulasi tersebut, maka diperoleh kapasitas sistem, sebagai berikut Tabel 8 Luas dan Kapasitas Sel Menurut Tipe Modulasi Tipe Modulasi 64QAM(3/4) 64QAM(2/3) 16QAM(3/4) 16QAM(1/2) QPSK(3/4)
Luas Sel (km2) Urban Suburban 2,38 3,68 2,89 4,54 4,24 6,92 5,65 9,48 7,54 13,00
Kapasitas (Mbps) Urban Suburban 12,000 12,000 11,767 11,747 10,565 10,959 9,256 9,435 7,940 7,964
Dengan menghadapkan hasil perhitungan dalam Tabel 8 terhadap Tabel 2, maka diperoleh kebutuhan Sel pada tahun ke-0 adalah sebagai berikut Tabel 9 Kebutuhan Sel Tahun ke-0 Menurut Modulasi Jaminan Modulasi 64QAM (3/4) 64QAM (2/3) 16QAM (3/4) 16QAM (1/2) QPSK (3/4)
Omnidirectional Urban Sub Urban 18 3 18 3 20 4 23 4 27 5
Sektoral 120° Urban Suburban 6 1 6 1 7 2 8 2 9 2
Dari tabel tersebut terlihat bahwa kebutuhan sel pada tahun ke-0 menurut trafik terus bertambah seiring dengan semakin rendahnya kualitas modulasi yang digunakan. Hal ini dapat dimaklumi karena seiring dengan menurunnya kualitas modulasi yang digunakan, kapasitas sistem menurun. Lain halnya dengan daya jangkau sistem yang terus meningkat seiring dengan menurunnya kualitas sinyal sehingga kebutuhan sel pun menurun pada daya pancar yang tetap.
luas dalam suatu sel yang mengakibatkan overload pada sistem. Solusi yang paling mungkin untuk mengatasi masalah ini adalah dengan memanfaatkan perubahan daya pancar sehingga daerah jangkau menjadi lebih kecil, akibatnya jumlah kanal per satuan luas menjadi meningkat. Dengan metode ini, kepadatan trafik per satuan luas dalam suatu sel menjadi terdistribusi kembali pada sistem atau sel baru, sehingga kebutuhan trafik dapat dilayani kembali oleh sistem. Kondisi ini dilakukan jika solusi berupa mengubah sel omnidirectional menjadi sel sektoral sudah sangat sulit dilakukan. Dengan solusi di atas, secara coverage dan layanan memang seolah sudah tidak ada masalah. Namun hal ini menimbulkan permasalahan di sisi lain, yaitu meningkatnya biaya pembangunan infrastruktur jaringan yang dibutuhkan. Oleh karena itu, terdapat alternatif lain dalam melakukan skenario implementasi yaitu menggunakan sistem sel dengan modulasi majemuk. Maksudnya adalah subscriber yang ada dalam sel tersebut menggunakan tipe modulasi yang bervariasi dengan jaminan modulasi terburuk tertentu. Implementasi dengan metode ini dilakukan dengan menggunakan daya pancar di bawah nilai maksimum. Agar ketika dibutuhkan kapasitas yang lebih besar pada luas daerah cakupan yang sama, dapat dicapai dengan meningkatkan daya pancar dari BS. Dengan adanya peningkatan kapasitas dengan tidak mengubah kondisi jaringan, maka metode ini dapat menghemat biaya pembangunan jaringan. Skenario kedua yang digunakan dalam implementasi ini adalah skenario yang didasarkan klasifikasi layanan yang akan ditawarkan kepada pelanggan. Alternatif pertama dari skenario ini telah dijelaskan sebelumnya dalam Tabel 2 dan Tabel 3. Sedangkan untuk alternatif lainnya, kebutuhan trafik dan pertumbuhannya sampai tahun ke-5, adalah sebagai berikut, Tabel 10 Traffic Demand Skenario 2b Tahun ke-0 Parameter Service Quality Bit Rate (Mbps) Over Booking % User Share User Throughput Demand Active Throughput (Mbps) Total Demand (Mbps)
SME Premium VBR 1 1 3,75% 174 174,30
SME Reguler VBR 0,5 1 11,25% 523 261,46
174,30
261,46
Residential BE 0,384 20 85,00% 3951 1517,14 75,86
511,62
Tabel 11 Perkembangan Traffic Demand Skenario 2b Tahun ke 0 1 2 3 4 5
Urban 436,23 501,67 576,92 663,46 762,97 877,42
SubUrban 75,38 86,69 99,70 114,65 131,85 151,63
Total 511,62 588,36 676,61 778,11 894,82 1029,05
Kondisi sistem sel dengan modulasi tunggal, 64QAM(3/4), seperti pada alternatif-a rawan terhadap terjadinya permasalahan dalam implementasi. Pada skenario ini, permasalahan akan muncul ketika terjadi peningkatan kepadatan trafik per satuan
Institut Teknologi Bandung
4
Ringkasan Tugas Akhir Tabel 12 Traffic Demand Skenario 2c Tahun ke-0 Parameter Service Quality Bit Rate (Mbps) Over Booking % User Share User Throughput Demand Active Throughput (Mbps) Total Demand
Kelas A VBR 2 5 5,00% 232 464,81 92,96
Kelas B VBR 1 10 10,00% 465 464,81 46,48 238,22
Kelas C BE 0,5 20 85,00% 3951 1975,45 98,77
asumsi bahwa tinggi Antena dan daya pancar dari BS dibuat tetap. Hal ini membuka peluang adanya variasi tinggi antena pada semua pelanggan. Tabel 15 menunjukkan pengaruh tinggi Antena SS di sisi pelanggan terhadap daya jangkau sistem pada daya pancar BS maksimum. Tabel 15 Pengaruh Tinggi SS Terhadap Daya Jangkau Tipe Modulasi 64QAM(3/4) 64QAM(2/3) 16QAM(3/4) 16QAM(1/2) QPSK(3/4)
2 0,96 1,06 1,28 1,48 1,71
Daya Jangkau (km) pada Tinggi SS (m) 5 10 15 20 25 30 1,18 1,38 1,51 1,61 1,69 1,76 1,30 1,52 1,66 1,77 1,86 1,94 1,57 1,84 2,01 2,15 2,26 2,35 1,82 2,12 2,33 2,48 2,61 2,72 2,10 2,45 2,69 2,87 3,01 3,14
Tabel 13 Perkembangan Traffic Demand Skenario 2c Tahun ke 0 1 2 3 4 5
Urban 203,12 233,58 268,62 308,91 355,25 408,54
SubUrban 35,10 40,37 46,42 53,38 61,39 70,60
Tahap akhir dalam perencanaan jaringan adalah melakukan visualisasi hasil perencanaan sehingga dapat diketahui letak masing-masing BS pada daerah perencanaan yang telah ditentukan.
Total 238,22 273,95 315,04 362,30 416,64 479,14
Berdasarkan data geografis tersebut, maka koordinat BS pada perencanaan ini akan berada di dalam daerah tersebut. Dalam tugas akhir ini, dilakukan penempatan BS WiMAX dengan 2 (dua) alternatif, yaitu
Seluruh hasil alternatif skenario klasifikasi layanan ini, dengan dihadapkan pada asumsi bahwa pinggir sel dijamin mendapatkan modulasi QPSK(3/4) yang memiliki kapasitas 7,940 Mbps pada daerah urban dan 7,964 Mbps pada daerah suburban, maka diperoleh kebutuhan sel pada tahun ke-0 adalah Tabel 14 Estimasi Traffic Demand dan Kebutuhan Sel Paramter
Aternatif a Urban SubUrban
Traffic 208,07 Demand Sel Omni 27 Sektoral 9
Aternatif b Alternatif c Urban SubUrban Urban SubUrban
35,96
436,23
75,38
203,12
35,10
5 2
55 19
10 4
26 9
5 2
Tabel tersebut menunjukkan semakin besar kebutuhan trafik akibat klasifikasi layanan yang ditawarkan, maka pada kondisi puncak akan semakin besar pula jumlah sel yang dibutuhkan untuk memberikan layanan. Selain itu, dengan adanya peningkatan kebutuhan trafik sebagaimana telah dijelaskan pada tabel-tabel di atas, tentu saja akan terjadi peningkatan kebutuhan sel dari tahun-ke-tahun sebagai akibat peningkatan kebutuhan kanal untuk dapat memberikan pelayanan yang optimal. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemilihan kelas layanan yang akan ditawarkan kepada pelanggan agar sistem jaringan yang dimiliki masih dapat memberikan pelayanan yang optimal meskipun terjadi peningkatan kebutuhan trafik dari pelanggan pada masa mendatang. Skenario terakhir yang dapat digunakan sebagai alternatif implementasi adalah prioritas waktu pembangunan infrastruktur dan variasi ketinggian antena SS di sisi pelanggan. Prioritas waktu pembangunan ini dilakukan dengan mempertimbangkan kepadatan trafik di daerah tertentu dan wilayah yang memiliki potensial pelanggan tinggi. Hal ini dilakukan agar setelah infrastruktur jaringan dibangun, penyelenggara layanan dapat segera memperoleh revenue untuk pembangunan infrastruktur yang lain.
• Membangun menara baru sesuai dengan koordinat hasil penempatan. • Memanfaatkan menara existing BTS CDMA2000 1x TELKOMFlexi yang tersebar di Kota Bandung. Alternatif ini dilakukan dengan cara memilih letak-letak BTS CDMA TELKOMFlexi yang mampu memberikan jangkauan optimal di Wilayah Kota Bandung. Simulasi penempatan lokasi BTS ini dilakukan dengan menggunakan software MapInfo. Agar diperoleh visualisasi yang optimal, maka perlu ditentukan terlebih dahulu jumlah sel yang akan digunakan untuk melayani daerah layanan. Jumlah sel ini akan berkaitan dengan jumlah yang dibutuhkan akibat peningkatan kebutuhan trafik pada rentang waktu perencanaan. Tabel 16 menunjukkan peningkatan kebutuhan kanal sebagai akibat peningkatan trafik tersebut. Peningkatan ini berdampak pada meningkatnya pula sel yang dibutuhkan untuk menjangkau daerah layanan tersebut. Data dalam tabel tersebut merupakan hasil kombinasi kombinasi dengan menggunakan skenario jaminan tipe modulasi QSPK(3/4) dan kelas layanan yang direkomendasikan oleh vendor SR Telecom [13]. Tabel 16 Kebutuhan Kanal dan Sel Tahun
Kebutuhan Kanal
0 1 2 3 4 5
27 31 35 40 46 53
0 1 2 3 4 5
5 6 7 8 9 10
Kebutuhan Sel Sektoral 120° Omnidirectional Daerah Urban 27 9 31 11 35 12 40 14 46 16 53 18 Daerah SubUrban 5 2 6 2 7 3 8 3 9 3 10 4
Sedangkan variasi tinggi antena SS di sisi pelanggan ini dilakukan bergantung pada kondisi fisik di sisi pelanggan dengan
Institut Teknologi Bandung
5
Ringkasan Tugas Akhir Dalam kombinasi skenario tersebut, diperoleh bahwa kebutuhan sel untuk daerah urban sebanyak 27 sel dan 5 sel untuk daerah suburban dengan menggunakan antena omnidirectional. Sedangkan jika menggunakan antena sektoral 120° diperoleh kebutuhan sel sebanyak 9 sel untuk daerah urban dan 2 suburban. Secara ekonomi dan layanan, pembangunan 9 BS di daerah urban dan 2 BS di daerah suburban adalah kondisi yang optimal, akan tetapi kondisi ini tidak dapat diterapkan karena keterbatasan daya jangkau dari BS dan SS. Kecuali jika dilakukan perubahan tinggi antena SS di sisi pelanggan. Lihat Tabel 15. Agar dicapai kondisi yang lebih optimal, maka dilakukan perencanaan dengan pendekatan lain, yaitu pendekatan dengan metode daerah cakupan. Dengan metode ini diperoleh 3 skenario untuk visualisasi, yaitu • 16 sel urban dan 4 sel suburban dengan daya pancar BS 31dBm. • 21 sel urban dengan daya pancar 28dBm dan 4 sel suburban pada daya pancar 31dBm. • 21 sel urban dengan daya pancar 28dBm dan 5 sel suburban pada daya pancar 29dBm. Berdasarkan Tabel 8 dengan spesifikasi link bugdet seperti pada Tabel 5, diperoleh bahwa jumlah sel minimum berdasarkan daya jangkau adalah 16 sel untuk daerah urban dan 4 sel untuk daerah suburban. Berikut adalah visualisasi dari sel-sel tersebut,
Untuk mencapai kebutuhan tersebut, maka 6 sel yang ada di daerah urban harus diubah dari sel omni menjadi sel sektoral 120°, sehingga tersedia 28 kanal. Sedangkan untuk daerah suburban, dilakukan dengan membagi 1 sel omni menjadi sel sektoral 120°, sehingga diperoleh jumlah kanal yang tersedia sebanyak 6 kanal. Jika sektorisasi seperti ini dilakukan pada semua sel, maka di masa mendatang dapat tersedia 48 kanal untuk daerah urban dan 12 kanal untuk daerah suburban. Permasalahan dari sektorisasi ini adalah memilih sel yang akan dipecah. Salah satu parameter yang digunakan dalam pemilihan sel ini adalah berdasarkan karakteristik wilayah yang dicakup oleh sel tersebut. Karakteristik wilayah yang dimaksud di sini adalah daerah dengan potensi padat trafik. Daerah tersebut adalah daerah perdagangan, perkantoran, dan perumahan golongan menengah ke atas. Jika kita kembali mengacu pada Gambar 1, akan terlihat lokasi dari daerah-daerah tersebut. Visualisasi dengan daya pancar maksimum ini memiliki kelemahan lain yaitu jika sistem yang tersedia benar-benar sudah overload, maka satu-satunya cara adalah memecah lagi sel menjadi lebih kecil dengan menjadikan daya pancar lebih kecil. Hal ini menyebabkan akan dibutuhkan investasi baru untuk penyediaan infrasttruktur jaringan. Oleh karena itu, agar di masa mendatang kebutuhan untuk investasi baru infrastruktur terminimalisasi, maka pada awal implementasi digunakan daya pancar yang lebih kecil, yaitu alternatif visualisasi 2 dan 3, seperti pada Gambar 3 dan Gambar 4. Dengan kedua alternatif ini, ketika kapasitas sistem sudah tidak memenuhi lagi, maka dapat dilakukan peningkatan daya pancar BS, sehingga SNR di penerima menjadi lebih besar. Peningkatan SNR ini menjadikan kapasitas sistem menjadi lebih besar karena digunakan modulasi yang lebih baik. Jika di masa mendatang dilakukan pemecahan sel dengan metode sektorisasi 120°, maka untuk visulisasi alternatif 2, diperoleh jumlah kanal sebanyak 63 kanal untuk daerah urban dan 12 kanal untuk daerah suburban. Sedangkan untuk alternatif 3, diperoleh jumlah kanal sebanyak 63 kanal untuk daerah urban dan 15 kanal untuk daerah suburban. Kedua kondisi ini dapat memenuhi prediksi kebutuhan sampai pada tahun ke-5
Gambar 2 Visualisasi Perencanaan Alternatif 1 Dalam Gambar 2, terlihat bahwa sebagai daerah di wilayah utara dan barat Kota Bandung tidak ter-cover dengan baik. Hal ini dapat dimaklumi karena berdasarkan Gambar 1, Peta Rencana Tata Ruang Kota Bandung Tahun 2013, terlihat bahwa daerah kosong yang tidak terjangkau sinyal di daerah utara merupakan Kawasan Hijau Terbuka. Sehingga, dapat diasumsikan bahwa daerah tersebut memiliki potensi pelanggan yang rendah. Akan tetapi, daerah utara, di sebelah barat terdapat kawasan perumahan dengan kepadatan penduduk rendah. Pelanggan yang ada di kawasan tersebut masih dapat menangkap sinyal WiMAX dengan catatan menggunakan antena yang lebih tinggi. Visualisasi dengan jumlah sel tersebut belum mencukupi, karena jumlah kanal yang dibutuhkan untuk daerah urban adalah 27 kanal dan 5 kanal untuk daerah suburban. Jumlah sel omnidirectional sebanding dengan jumlah kanal. Namun, karena visualisasi ini dilakukan dengan daya pancar BS maksimum, Tabel 5, maka kita dapat memperkecil daya pancar BS sehingga diperoleh jumlah sel yang memadai. Cara ini disebut sebagai cell splitting. Selain itu, terdapat cara lain yang dapat dilakukan yaitu metode yang disebut dengan sectoring. Sectoring ini dilakukan dengan menggunakan antena sektoral 120°.
Institut Teknologi Bandung
Gambar 3 Visualisasi Perencanaan Alternatif 2 Namun, kedua alternatif visualisasi inipun menimbulkan masalah lain, yaitu kebutuhan investasi yang sangat besar pada awal pembangunan jaringan. Tentu saja hal ini sangat menyulitkan penyelenggara jaringan. Terdapat 2 (dua) alternatif yang dapat digunakan sebagai solusi untuk mengatasi masalah ini, yaitu • Memilih lokasi yang akan dibangun lebih awal. Dengan alternatif ini, maka perlu dipilih daerah-daerah yang menjadi prioritas pertama dalam pembangunan jaringan. Dasar pertimbangan dalam memilih daerah-daerah tersebut dapat menggunakan pertimbangan seperti yang telah disebutkan di atas.
6
Ringkasan Tugas Akhir Tabel 19 SNR dan Tipe Modulasi Pengukuran Lokasi 1 2 3 4 5 6
SNR (UL) 16 11 21 22 11 N/A
Modulasi (DL) 64QAM(3/4) 64QAM(2/3) 64QAM(3/4) 64QAM(3/4) 64QAM(2/3) N/A
Modulasi (UL) 16QAM(1/2 QPSK(3/4) 16QAM(3/4) 64QAM(2/3) QPSK(1/2) N/A
Secara umum, kondisi link yang terjadi pada proses pengukuran adalah seperti pada gambar di bawah ini Gambar 4 Visualisasi Perencanaan Alternatif 3 • Menggunakan menara yang ada, sebagai alternatif reduksi biaya pembangunan jaringan sehingga dapat menghemat investasi di awal. Pada tugas akhir ini, dilakukan pula analisis terhadap penggunaan menara TELKOMFlexi sebagai alternatif untuk mereduksi biaya tersebut. Pada Gambar 2, Gambar 3, dan Gambar 4 terlihat bahwa tidak semua menara TELKOMFlexi (yang berwarna biru) berada di sekitar titik pusat sel yang akan dibangun. Hanya beberapa menara yang dapat digunakan.
Gambar 5 Kondisi Umum Path Hasil Pengukuran
VI.
HASIL PENGUKURAN DAN ANALISIS
Selain aspek perencanaan yang telah dilakukan di atas, terdapat hal lain yang juga berpengaruh, yaitu pengukuran di lapangan. Pengukuran ini dilakukan agar terjadi kesesuaian antara perencanaan dan implementasi di lapangan. Pada tugas akhir ini, dilakukan pengukuran pada beberapa titik di wilayah Kota Bandung dan sekitarnya, yaitu Tabel 17 Titik Lokasi Pengukuran No 1 2 3 4 5 6
Lokasi Pasteur Cileunyi Rancaekek Setiabudi Regency a Setiabudi Regency b Villa Istana Bunga
Koordinat 06º54’0,48”LS 107º36’3,12”BT 06º56’33,12”LS 107º45’12,25”BT 06º59’54,72” LS 107º51’19,26”BT 06º50’49,38” LS 107º35’8,22” BT 06º50’48,66” LS 107º35’7,23” BT 06º47’56,16” LS 107º34’51,54”BT
Garis merah yang ditunjukkan pada gambar di atas menandakan bahwa kondisi path pada link tersebut sangat buruk. Ada beberapa kemungkinan yang dapat muncul yaitu received power yang sangat kecil atau kondisi kontur yang dilalui oleh link gelombang radio yang dibangun. Sedangkan warna hijau, baik. Setelah didapatkan data seperti pada Tabel 18 dan Tabel 19, langkah berikutnya adalah melakukan evaluasi link pada setiap lokasi. Persamaan-persamaan pendukung yang akan digunakan dalam evaluasi kondisi kanal ini adalah
PR = Pt − Lt + Gt − PL − Lr + G
(7)
PL = 32,45 + 20. log10 f (MHz) + 20. log10 d (km)
(8)
Kondisi link ke daerah Pasteur digambarkan seperti pada gambar di bawah ini.
Dan BS diletakkan di Kantor Divisi RDC Telkom dengan koordinat 06º 52’ 22,38” LS dan 107º 35’ 18,48” BT. Pada pengukuran ini dilakukan monitoring terhadap RSSI, tipe modulasi, dan SNR di setiap lokasi, baik pada sisi downlink maupun uplink. Data hasil pengukuran di setiap lokasi adalah sebagai berikut, Tabel 18 Hasil Pengukuran Lapangan Hasil pada lokasi 1 2 3 4 5 Jarak (km) 3,3 20 32,8 2,9 2,9 Bearing 335 292 295 173 173 RSSI DL (dBm) -74,9 -80,9 -70,4 -69,2 -82,9 RSSI UL (dBm) -85,9 -90,3 -79,6 -78,8 -90,6 Paramater
6 N/A N/A N/A N/A
Tipe modulasi yang digunakan pada kedua sisi transmisi di masing-masing titik tersebut adalah
Gambar 6 Kondisi Link Telkom RDC dan Pasteur Sepintas lalu, link tersebut berada pada kondisi LOS. Namun, sbenarnya tidak demikian karena di SS terdapat bangunan yang menghalangi koneksi BS-SS, sehingga kondisi nyata yang terjadi adalah kondisi LOS. Jika diasumsikan bahwa daerah tersebut merupakan daerah urban dan dengan spesifikasi konfigurasi perangkat sesuai Tabel 5,
Institut Teknologi Bandung
7
Ringkasan Tugas Akhir maka melalui perhitungan matematis dengan menggunakan persamaan (1)-(7), didapat bahwa daya yang diterima oleh SS adalah sebesar -96,84 dBm. Hasil perhitungan tersebut berbeda dengan hasil pengukuran sebesar -74,9 dBm, yaitu sebesar 21,94 dBm. Dari kedua hasil tersebut, terlihat bahwa hasil pengukuran memberikan nilai lebih baik daripada hasil perhitungan. Sebenarnya, masih ada parameter redaman lain yang belum dimasukkan karena sulit untuk diidentifikasi, seperti pointing loss. Namun, jika kita masukkan hal tersebut akan menyebabkan nilai hasil pengukuran menjadi lebih kecil. Sehingga, hal ini paling mungkin disebabkan oleh ketidaktepatan model yang digunakan untuk melakukan perhitungan. SNR uplink yang diberikan dari hasil monitoring adalah sebesar 16 dB. 16 dB tersebut berada pada 9 ≤ SNR ≤ 16 yang merupakan daerah dengan modulasi QPSK atau 16 ≤ SNR ≤ 22 yang merupakan daerah dengan modulasi 16QAM. . Lokasi berikutnya yang dievaluasi adalah Cileunyi. Pada titik awal pengukuran, SS tidak dapat menerima sinyal komunikasi dengan baik. Hal ini disebabkan oleh besarnya redaman akibat penghalang di depannya yang berupa bukit dengan tumbuhtumbuhan rapat. Lihat Gambar 7. Oleh karena itu, pengukuran kemudian pindah ke arah Barat untuk memperoleh hasil yang lebih baik.
Namun, jika kita perhatikan kondisi fisik yang nyata didapat bahwa daerah di depan SS ini terdapat gedung-gedung tinggi yang bisa jadi masuk dalam daerah Freshnel I. Sehingga kondisi yang terjadi menjadi NLOS. Jika diasumsikan bahwa daerah tersebut merupakan daerah urban dan dengan spesifikasi konfigurasi perangkat sesuai tabel 4.10, maka melalui perhitungan matematis dengan menggunakan persamaan, (1)-(7) untuk daerah terrain Tipe A, maka didapat bahwa daya yang diterima oleh SS adalah -140,24 dBm. Hasil perhitungan tersebut berbeda dengan hasil pengukuran sebesar -80,9 dBm, yaitu sebesar 59,34 dBm. Dari kedua hasil tersebut, terlihat bahwa hasil pengukuran memberikan nilai lebih baik daripada hasil perhitungan. Sebenarnya, masih ada parameter redaman lain yang belum dimasukkan karena sulit untuk diidentifikasi, seperti pointing loss. Namun, jika kita masukkan hal tersebut akan menyebabkan nilai hasil pengukuran menjadi lebih kecil. Sehingga, hal ini paling mungkin disebabkan oleh ketidaktepatan model yang digunakan untuk melakukan perhitungan. SNR uplink yang diberikan dari hasil monitoring adalah sebesar 11 dB. 11 dB tersebut berada pada 9 ≤ SNR ≤ 16 yang merupakan daerah dengan modulasi QPSK. Lain halnya dengan pengukuran di Rancaekek yang memberikan hasil sangat baik karena SS mampu menerima kuat sinyal sebesar -70,4 dBm pada sensitivitas SS sebesar -86 dBm dan skema modulasi uplink 16QAM(3/4) dan 64QAM(3/4) untuk modulasi downlink.
Gambar 7 Kondisi Link Telkom RDC dan Cileunyi (a) Pengukuran pada titik kedua tersebut, diperoleh hasil yang lebih baik. Karena jika kita perhatikan Gambar 8 terlihat bahwa daerah Freshnel I bebas penghalang, sehingga dapat dianggap berada pada kondisi LOS. Pada kondisi ini, dengan menggunakan persamaan (7) dan (8), didapat bahwa daya yang diterima oleh SS adalah sebesar -66,34 dBm.
Gambar 9 Kondisi Link Telkom RDC dan Rancaekek Jika kita perhatikan Gambar 9, dapat kita simpulkan bahwa kondisi link tersebut sangat baik karena berada pada kondisi Line-of-sight (LOS) dan menggunakan skema modulasi 64QAM(3/4) pada sisi downlink yang merupakan skema modulasi terbaik. Selain itu, dengan skema modulasi tersebut memberikan dapat kapasitas sistem yang sangat besar. Namun, di sisi uplink, SNR di lokasi ini adalah sebesar 21 dB. Angka tersebut berada pada 16 ≤ SNR ≤ 22 yaitu rentang SNR untuk mendapatkan 16QAM.
Gambar 8 Kondisi Link Telkom RDC dan Cileunyi (b) Hasil perhitungan tersebut berbeda dengan hasil pengukuran sebesar 80,9 dBm, yaitu sebesar 14,56 dBm. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh adanya redaman tumbuhan yang berada di sekitar Jalan Tol Cileunyi maupun kondisi atmosfer saat melakukan pengukuran. Selain itu, perbedaan tersebut bisa juga disebabkan oleh ketidaktepatan arah pointing dari kedua antena.
Institut Teknologi Bandung
Dari Perhitungan link budget dapat kita peroleh bahwa pathloss atau redaman lintasan dari link tersebut adalah sebesar PL = 31dBm − ( −70,4dBm ) + 17,5 + 15 − 1 = 132,9 dB. Berdasarkan persamaan (8), redaman lintasan sebesar 132,9 dB tersebut diperoleh pada frekuensi kerja 3,3 GHz dan jarak 32,8 km. Perbedaan antara sensitivitas antena penerima dengan daya yang diterima oleh SS biasa dinamakan Margin fading. Margin fading ini digunakan untuk mengantisipasi adanya perubahan kondisi link yang drastis. Sehingga jika kita anggap bahwa margin fading yang diberikan nol, maka akan diperoleh jarak jangkau maksimum dari antena BS tersebut dengan kondisi link yang serupa.
8
Ringkasan Tugas Akhir Dengan menggunakan kembali persamaan (7) dan (8) dengan fading margin yang disediakan diubah dengan asumsi sebesar 5 dB, maka didapat jarak jangkau berubah menjadi 121,3 km pada sensitivitas receiver yang sama. Ini membuktikan bahwa jarak jangkau dari WiMAX dengan menggunakan feature yang maksimal dapat mencapai puluhan kilometer. Namun, dalam implementasi di lapangan, jarak jangkau maksimum tersebut tidak dapat dicapai karena keterbatasan daya pancar dari SS. Dengan kondisi link yang serupa dengan perhitungan di atas, dan anggap sensitivitas antena BS adalah sama dengan sensitivitas antena SS pada sisi lain, yaitu -87 dBm, maka dengan persamaan (7) dan (8) akan didapat jarak maksimum dari SS ke BS.
PL = 22 dBm − (−87dBm) + 17,5 + 15 − 1 − 5 = 135,5
PL = 32,45 + 20. log10 f ( MHz ) + 20. log10 d (km) 135,5 = 32,45 + 20. log10 3300 + 20. log10 d (km) d = 43,05 km
Hasil perhitungan tersebut berbeda dengan hasil pengukuran sebesar 69,2 dBm, yaitu sebesar 30,83 dBm. Dari kedua hasil tersebut, terlihat bahwa hasil pengukuran memberikan nilai lebih baik daripada hasil perhitungan. Sebenarnya, masih ada parameter redaman lain yang belum dimasukkan karena sulit untuk diidentifikasi, seperti pointing loss. Namun, jika kita masukkan hal tersebut akan menyebabkan nilai hasil pengukuran menjadi lebih kecil. Sehingga, hal ini paling mungkin disebabkan oleh ketidaktepatan model yang digunakan untuk melakukan perhitungan. SNR uplink yang diberikan dari hasil monitoring adalah sebesar 22 dB. 11 dB tersebut berada pada 16 ≤ SNR ≤ 22 yang merupakan daerah dengan modulasi 16QAM atau SNR ≥ 22 yang merupakan daerah dengan modulasi 64QAM. Selain itu, di lokasi ini pun dilakukan pengukuran tambahan di titik (b). Gambar 11 merupakan profil dari kontur tanah titik (b). Walaupun dari gambar tersebut terlihat bahwa terjadi kondisi LOS, namun dalam kenyataan adalah NLOS. Hal ini disebabkan oleh koneksi BS-SS terhalang oleh tumbuh-tumbuhan, bukit, dan perumahan masyarakat.
Walaupun secara hitungan matematis, diperoleh jarak jangkau maksimum antara BS-SS yang sangat jauh, dalam implementasinya hal itu tidak dapat dicapai karena ada pengaruh SNR yang akan menentukan tipe modulasi dalam transmisi sehingga membatasi daya jangkau BS maupun SS. Lokasi berikutnya yang akan dievaluasi adalah Setiabudi Regency yang terletak di daerah utara Kota Bandung. Jika kita perhatikan Gambar 10, yang merupakan representasi kontur tanah dari link sinyal dan kondisi fisik wilayah (a) terlihat bahwa daerah tersebut bersifat LOS. Hal inipun ditunjang dengan terlihatnya antena BS dari lokasi SS. Dengan menggunakan persamaan (7) dan (8), maka diperoleh daya terima di sisi SS sebesar -49,57 dBm.
Gambar 11 Kondisi Link Telkom RDC dan Setiabudi Regency (b)
Jika diasumsikan bahwa daerah tersebut merupakan daerah urban dan dengan spesifikasi konfigurasi perangkat sesuai Tabel 5, maka melalui perhitungan matematis dengan menggunakan persamaan (1)-(7) untuk terrain Tipe A, maka diperoleh daya terima SS sebesar -100,03 dBm.
Gambar 10 Kondisi Link Telkom RDC dan Setiabudi Regency (a)
Hasil perhitungan pada kondisi ini memberikan perbedaan sebesar 19,63 dB terhadap hasil pengukuran sebesar -69,2 dBm. Dengan kondisi hasil perhitungan lebih baik daripada hasil pengukuran. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh adanya redaman belum dimasukkan karena sulit untuk diidentifikasi, seperti pointing loss.walaupun menara BS terlihat, namun daerah tersebut bersifat NLOS karena terhalang oleh gedung-gedung tinggi dan rumah ke arah BS. Hal ini tentu saja menjadikan sinyal tidak diterima baik oleh SS. Namun, kondisi nyata di lokasi tersebut, koneksi antara BS-SS terhalang oleh perumahan dan menara masjid UPI. Kondisi ini dapat diasumsikan menjadi NLOS. Jika diasumsikan bahwa daerah tersebut merupakan daerah urban dan dengan spesifikasi konfigurasi perangkat sesuai Tabel 5, maka melalui perhitungan matematis dengan menggunakan persamaan (1)-(7), maka diperoleh daya terima SS sebesar -100,03 dBm.
Institut Teknologi Bandung
Hasil perhitungan tersebut berbeda dengan hasil pengukuran sebesar -82,6 dBm, yaitu sebesar 17,43 dBm. Dari kedua hasil tersebut, terlihat bahwa hasil pengukuran memberikan nilai lebih baik daripada hasil perhitungan. Sebenarnya, masih ada parameter redaman lain yang belum dimasukkan karena sulit untuk diidentifikasi, seperti pointing loss. Namun, jika kita masukkan hal tersebut akan menyebabkan nilai hasil pengukuran menjadi lebih kecil. Sehingga, hal ini paling mungkin disebabkan oleh ketidaktepatan model yang digunakan untuk melakukan perhitungan. SNR uplink yang diberikan dari hasil monitoring adalah sebesar 11 dB. 11 dB tersebut berada pada 9 ≤ SNR ≤ 16 yang merupakan daerah dengan modulasi QPSK. Terakhir adalah lokasi di Villa Istana Bunga, yang juga di daerah utara Kota Bandung. Pengukuran di lokasi ini tidak memberikan hasil sama sekali, baik pada RSSI, skema modulasi, maupun SNR. Hal ini terjadi karena SS tidak dapat menerima sinyal yang dipancarkan oleh BS yang terletak di RDC Telkom. Jika kita perhatikan Gambar 12 berikut, terlihat bahwa di depan SS terdapat sebuah bukit yang menghalangi path sinyal antara BS dan SS sehingga Bidang Freshnel I pada link tersebut terganggu.
9
Ringkasan Tugas Akhir 4. 5.
Gambar 12 Kondisi Kontur Telkom RDC dan Villa Istana Bunga
Untuk menjamin kualitas sinyal yang baik, disyaratakan bahwa Bidang Freshnel I atau minimal 60% dari Bidang Freshnel I harus bebas penghalang. Sebagai solusi dari kondisi ini, perbaikan kondisi link radio dapat dilakukan dengan menambah tinggi antena, baik di sisi BS ataupun di sisi SS. Gambar 13 berikut menunjukkan kondisi link setelah dilakukan perubahan tinggi antena pada sisi BS dan SS. Tinggi Antena BS diubah menjadi 65 m, sedangkan tinggi antena SS diubah menjadi 75 km. Namun, perubahan tinggi antena menjadi 65 m dan 75 m bukanlah hal yang mudah karena diperlukan konstruksi yang sangat memadai sehingga memerlukan biaya yang tidak sedikit. Jika dalam perencanaan tidak dapat ditemukan lokasi yang lebih baik (dalam hal tinggi site dan lintasan pandang kedua site), maka perlu dilakukan modifikasi link radio dengan cara memasang repeater di titik yang memungkin.
Hasil pengukuran memberikan hasil yang lebih baik daripada hasil perhitungan. Hal ini disebabkan oleh tingkat akurasi dari referensi model propagasi yang digunakan. Komunikasi antara BS dan SS yang dibuat pada kondisi LOS akan memberikan kualitas yang lebih baik sehingga memiliki jarak jangkau yang lebih jauh.
Selain itu, sebagai kelanjutan dari penelitian ini, penulis pun mengusulkan beberapa riset lanjutan yaitu 1. Perencanaan Jaringan WiMAX Mobile Access 2. Perencanaan dengan menggunakan model propagasi lain sesuai dengan yang direkomendasikan oleh WiMAX Forum. 3. Perencanaan Jaringan WiMAX dengan mempertimbangkan variasi tinggi Antena SS terhadap kapasitas sistem. 4. Perencanaan Jaringan WiMAX dengan mempertimbangkan distribusi kepadatan trafik per km2. 5. Evaluasi kondisi komunikasi backhaul antar BS untuk memberikan topologi yang optimal.
REFERENSI [1] Bandung Dalam Angka Tahun 2005. Dinas Penduduk Kota Bandung (http://www.kotabandung.go.id) [2] Wimax Forum, "WiMAX Deployment Considerations for Fixed Wireless Access in the 2.5 GHz and 3.5 GHz Licensed Bands," Juni 2005 [3] WiMAX Forum, “Mobile WiMAX – part 1: A Technical Overview and Performance Evaluation,” Agustus 2006. [4] WiMAX Forum, “WiMAX’s Technology for LOS and NLOS Evirontments,” Agustus 2004. [5] V.S. Abhayawardhana, I.J. Wasell, D. Crosby, M.P. Sellars. M.G. Brown. “Comparison of Empirical Propagation Path Loss Model for Fixed Wireless Access Systems”. 61st IEEE Vehicular Technology Conference, Stockholm, Sweden, May 2005.comparison [6] V. Erceg, K. V. S. Hari, et al., “Channel models for fixed wireless applications,” tech. rep., IEEE 802.16 Broadband Wireless Access Working Group, January 2001. [7]
Gambar 13 Kondisi Link Villa Istana Bunga Setelah Perubahan Tinggi Antena
[8] Gunawan Wibisono, Gunadi Dwi Hantoro, Uke. Konsep Teknologi Seluler. Penerbit Informatika. Bandung. 2008 [9] Rappaport, Theodore S. “Wireless Communication, Principles and Practices”. IEEE Press. New York. PrenticeHall, Inc. 1996 [10] Sarmonikas, George. “WiMAX Deployment Workshop”. Telefocal Asia. Singapore. 26-27 March 2006
VII. PENUTUP Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai perencanaan Jaringan di Wilayah Kota Bandung ini, yaitu 1. Kebutuhan jumlah kanal untuk memberikan pelayanan optimal di Kota Bandung pada tahun pertama adalah 27 kanal untuk daerah urban dan 5 kanal untuk daerah suburban. Sedangkan prediksi kebutuhan sampai dengan tahun ke-5 adalah 53 kanal untuk daerah urban dan 10 kanal untuk daerah suburban. 2. Terdapat beberapa alternatif visualisasi yang dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan kanal tersebut sampai tahun ke-5, di antaranya biaya awal pembangunan jaringan dan distribusi kepadatan trafik per km2. 3. Jumlah sel optimal yang dapat dibangun memberikan pelayanan tersebut adalah 21 sel untuk daerah urban dan 5 sel untuk daerah suburban.
Institut Teknologi Bandung
Gunawan Wibisono, Gunadi Dwi Hantoro. WiMAX : Teknologi BWA kini dan masa depan. Penerbit Informatika. Bandung. 2007
[11] ABS4000 Techinal Spesification 033-100732-001, Issue 1. SR Telecom [12] ______________, WiMAX Capacity and Coverage,Features and Factors Affecting Real World NLOS Performance, 033100705-001, Issue 1. SYMMETRY Product. SR Telecom [13] ______________, WiMAX Capacity, WHITE PAPER 033100743-001,ISSUE 1. SR Telecom [14] ______________, Draft Road Map Infrastruktur TIK Indonesis, Ditjen Postel [15] Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Tahun 2006. BPS Provinsi Jawa Barat [16] Brosur SSU5200 dan CBS5000 (http://www.srtelecom.com)
10