STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN MENGGUNAKAN WOOD’S LAMP SCREENING TEST
TITUS ARDHI PRASETYA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI KARYA TULIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Kasus Mikosis Kutis pada Kucing dengan Wood’s Lamp Screening Test adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2013 Titus Ardhi Prasetya NIM B04080138
ABSTRAK TITUS ARDHI PRASETYA. Studi Kasus Mikosis Kutis pada Kucing dengan Menggunakan Wood’s Lamp Screening Test. Dibimbing oleh SETYO WIDODO. Mikosis kutis merupakan penyakit yang umum ditemukan pada praktek kedokteran hewan. Berbagai spesies jamur dapat tumbuh dengan mudah di wilayah tropis seperti Indonesia. Bogor adalah salah satu kota di provinsi Jawa Barat yang memiliki curah hujan tinggi, berpotensi menjadi reservoir sekaligus sumber penularan bagi wilayah di sekitarnya. Penelitian ini bertujuan memperoleh data jumlah kejadian mikosis kutis pada kucing berdasarkan data sekunder rekam medik pasien di Maximus Pet Care kota Bogor, mendapatkan data jumlah kucing yang terinfeksi mikosis kutis, yang diperiksa dengan metode Wood’s lamp screening test dan mambahas karakteristiknya secara klinis. Berdasarkan data sekunder, rata-rata kejadian kasus mikosis kutis pada kucing dalam satu tahun adalah 16 kasus per bulan. Jumlah pasien kucing terbanyak yang terinfeksi terdapat pada bulan Oktober yaitu pada saat musim penghujan. Sebanyak 111 sampel dari 176 sampel kucing selama pemeriksaan dengan Wood’s lamp menunjukkan hasil fluoresen positif. Lesio yang ditemukan pada pemeriksaan fisik adalah alopesia fokal atau multifokal, kerak, follicular cast, keropeng, papula, dan kolaret epidermis. Pengobatan mikosis kutis dapat dilakukan dengan obat-obatan antijamur topikal dan sistemik. Kata kunci: mikosis kutis, Wood’s lamp, screening test
ABSTRACT TITUS ARDHI PRASETYA. Case study of Cutaneous Mycoses in Cats Using Wood’s Lamp Screening Test. Supervised by SETYO WIDODO. Cutaneous mycoses is a disease that commonly found in the veterinary practice. Many kinds of fungi can grow easily in tropical countries such as Indonesia. Bogor is a city in West Java with high rainfall, thus potential for being reservoir and transmission source of this disease. The objectives of this study is to determine the number of cutaneous mycoses cases in cats based on secondary data in Maximus Pet Care Bogor, the number of infected cats were diagnosed by Wood’s lamp screening test and described the cutaneous mycoses characteristic as well. Secondary data summarized in one year showed that the average of cutaneous mycoses in cats were 16 cases per month. Most infected cats were recorded in October during raining season. Positive value was shown by 111 of 176 (63%) samples examined. Some lesions such as focus or multifocal alopecia, scale, follicular cast, crust, papule, and epidermal collarette were found during physical examination. Cutaneous mycoses can be treated using topical and systemic antifungal drugs. Keywords: cat, cutaneous mycoses, Wood’s lamp screening test
STUDI KASUS MIKOSIS KUTIS PADA KUCING DENGAN MENGGUNAKAN WOOD’S LAMP SCREENING TEST
TITUS ARDHI PRASETYA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Studi Kasus Mikosis Kutis pada Kucing dengan Menggunakan Wood’s Lamp Screening Test Nama : Titus Ardhi Prasetya NIM : B04080138
Disetujui oleh
drh Setyo Widodo, DR. MedVet Pembimbing
Diketahui oleh
drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia dan penyertaan-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah mikosis kutis. Penyakit kulit akibat jamur banyak bersumber dari hewan dan merupakan suatu hal yang menjadi masalah kesehatan dan masalah sosial di masyarakat. Dengan selesainya tulisan ini diharapkan masyarakat, dokter dan dokter hewan mampu bekerja sama untuk mengatasi penyebaran penyakit kulit khususnya akibat jamur pada manusia dan hewan. Terima kasih saya ucapkan kepada drh. Setyo Widodo, DR. MedVet selaku pembimbing skripsi, serta Dr. drh. Hera Maheshwari, MSc, AIF selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberi saran dan mendukung keberhasilan karya ilmiah ini. Saya juga menyampaikan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada keluarga besar Maximus Pet Care yang telah banyak membantu selama pengumpulan data dan ayah, ibu, serta seluruh keluarga yang telah memberi dukungan moral maupun materi selama pengerjaan karya tulis ini. Ungkapan terima kasih juga saya sampaikan kepada teman-teman, atas segala bantuan dan motivasi yang telah diberikan. Akhir kata, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan dan kesalahan yang saya buat dalam proses pengerjaan karya ilmiah yang jauh dari sempurna ini. Saya mengharapkan kritik dan saran bagi kemajuan karya-karya ilmiah selanjutnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, Januari 2013 Titus Ardhi Prasetya
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
1
TINJAUAN PUSTAKA
2
Mikosis pada Kucing dan Anjing
2
Wood’s lamp sebagai Instrumen Diagnostik Dermatologi
4
METODE
4
Lokasi dan waktu penelitian
5
Bahan
5
Alat
5
Desain Penelitian
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
5
Rekapitulasi Kasus Mikosis Kutis di Maximus Pet Care
5
Screening Test dengan Menggunakan Wood’s lamp
7
Ciri-ciri Dermatofitosis pada Kucing
10
Kultur pada Media sebagai Metode Diagnostik yang Spesifik untuk Dermatofitosis
11
Pengobatan pada Kucing Dermatofitosis dan Vaksin untuk Dermatofita
12
SIMPULAN DAN SARAN
15
Simpulan
15
Saran
15
DAFTAR PUSTAKA
16
LAMPIRAN
18
RIWAYAT HIDUP
23
DAFTAR TABEL 1 Care Data pasien berobat pertama dan didiagnosis terinfeksi mikosis kutis pada kurun waktu September 2011 sampai dengan Agustus 2012 berdasarkan rekapitulasi rekam medik pasien Maximus Pet Care (n=1740 ekor) 2 Pasien yang didiagnosis mengalami infeksi mikosis kutis pada periode September 2011 sampai Agustus 2012 3 Data suhu dan kelembaban udara rata-rata kota Bogor periode September 2011 sampai dengan Oktober 2012 (BMKG, 2012) 4 Hasil screening test pada sampel hewan dengan Wood’s lamp 5 Berbagai obat antijamur pada kucing dan dosisnya untuk dermatofitosis (Plumb, 2005)
5 6 7 7 13
DAFTAR GAMBAR 1 Klasifikasi mikosis menurut Rao (2009) 2 Pendar fluoresen oleh dermatofita pada permukaan batang rambut yang patah (a) dan rambut normal (b) tanpa lesio pada kulit 3 Fluoresen positif palsu yang dihasilkan akibat penggunaan obat topikal 4 Alopesia multifokal dan hiperpigmentasi di wajah (a) dan ekstremitas (b) pada kucing berusia tiga bulan 5 Bagan siklus reproduksi dermatofita (Cummings, 2004) 6 Lesio kolaret epidermis pada permukaan kulit kucing yang terinfeksi dermatofita
3 8 9 9 10 10
DAFTAR LAMPIRAN 1 Foto-foto Dokumentasi Penelitian Hasil Fluoresen Positif Hasil Fluoresen Negatif
18 18 21
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Hewan merupakan inang dari berbagai spesies jamur patogen yang juga infektif terhadap manusia. Sumber penularan jamur kepada manusia salah satunya diperantarai oleh hewan peliharaan. Penularan jamur dari satu inang ke inang lainnya dapat melalui kontak langsung maupun lewat perantara. Beberapa spesies jamur juga mudah beradaptasi dengan lingkungannya, dan berkembang sangat baik pada iklim tropis karena perubahan suhu udaranya tidak terlalu ekstrim (Tsui et al., 2001). Indonesia merupakan negara yang secara geografis terletak di garis khatulistiwa yang memiliki kelembaban udara tinggi. Bogor adalah salah satu kota di Indonesia yang memiliki curah hujan tinggi. Kota Bogor pada bulan Oktober 2012 berada pada kisaran suhu 21°C sampai 32°C dengan kelembaban udara 52% sampai 93%. Cuaca rata-rata pada bulan tersebut adalah hujan ringan yang turun hampir setiap hari (BMKG, 2012). Kondisi demikian sangat sesuai dengan lingkungan hidup jamur. Selain jamur mudah tumbuh di tempat yang lembab, penyakit kulit karena jamur (mikosis kutis) mudah menyebar dari satu hewan ke hewan lain melalui kontak fisik. Mikosis kutis dianggap menggangu oleh kebanyakan pemilik hewan karena merusak estetika dan mempengaruhi perilaku hewan, selain sifatnya yang zoonotik (Jamestown, 2010). Saat ini banyak metode pemeriksaan mikosis kutis secara klinis, salah satunya dengan menggunakan Wood’s lamp. Diagnostik menggunakan Wood’s lamp adalah salah satu screening test yang cepat untuk memeriksa infeksi mikosis kutis. Meskipun pemeriksaan dengan Wood’s lamp relatif mudah dan murah untuk dilakukan, tidak semua hewan yang datang berobat dikeluhkan oleh pemiliknya mengalami infeksi mikosis kutis sehingga kebanyakan tidak diperiksa apakah terjadi infeksi atau tidak. Infeksi mikosis kutis lebih banyak dilaporkan pemilik setelah gejala klinis muncul dan dirasakan mengganggu. Terapi antifungal pada akhirnya diberikan ketika hewan telah terinfeksi pada stadium klinis sehingga manajemen pengobatan hewan yang terinfeksi mikosis kutis membutuhkan waktu yang lebih panjang dan biaya perawatan yang lebih besar. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data frekuensi kasus mikosis kutis pada kucing dalam kurun waktu satu tahun dengan mengambil contoh data sekunder pasien di suatu klinik hewan, mendapatkan data positif dan negatif mikosis kutis dengan pemeriksaan langsung menggunakan metode Wood’s lamp screening test, mengetahui jenis mikosis kutis yang muncul ketika pemeriksaan menggunakan Wood’s lamp, dan menguraikan karakteristik kasus yang ditemukan beserta pengobatannya. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mengetahui manfaat dan kelebihan pemeriksaan mikosis kutis dengan menggunakan Wood’s lamp, memaparkan
2
faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran mikosis kutis sehingga dapat memutus rantai infeksi dengan manajemen perawatan hewan kesayangan yang tepat, dan memberikan informasi mengenai cara pengobatan hewan yang terinfeksi mikosis kutis.
TINJAUAN PUSTAKA Mikosis pada Kucing dan Anjing Mikosis adalah penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan jamur (fungi) baik di dalam maupun permukaan tubuh. Diantara penyakit tersebut yang paling umum ditemukan adalah ringworm, sporotrichosis, dan aspergillosis (Boden 2005). Mikosis dapat digolongkan dalam beberapa kelompok: mikosis superfisial (superficial phaeohyphomycosis, tinea versicolor, black piedra, white piedra), mikosis kutis (dermatofitosis, dermatomikosis), mikosis subkutis (chromoblastomycosis, rhinosporidiasis, mycetoma, sporotrichosis, subcutaneous phaeohyphomycosis, lobomycosis), mikosis sistemik (deep) seperti blastomycosis, histoplasmosis, coccidiomycosis, paracoccidiomycosis; mikosis oportunis (candidiasis, cryptococcosis, aspergillosis), mikosis lain (otomycosis, occulomycosis), alergi terhadap fungi, mycetism dan mikotoksikosis (Rao, 2006). Bagan klasifikasi mikosis dapat dilihat pada Gambar 1. Interaksi kompleks antara faktor virulensi jamur dengan faktor pertahanan inangnya akan menentukan apakah infeksi jamur akan menimbulkan gejala klinis atau tidak. Infeksi bergantung pada ukuran inokulum dan sistem imunitas secara keseluruhan dari inang. Beberapa faktor virulensi (patogenitas) yang dimiliki oleh jamur adalah mampu menempel dengan sel inang melalui glikoprotein pada dinding sel, memproduksi kapsula yang mampu menahan fagositosis, memproduksi sitokin yang disebut Granulocyte Macrophage-Colony Stimulating Factor (GM-CSF), contohnya pada spesies Candida albicans yang menekan produksi komplemen, kemampuan menarik zat besi dari eritrosit (C. albicans), kemampuan mencederai inang dengan sekresi enzim keratinase, elastase dan kolagenase, pertahanan terhadap sel fagosit seperti pada jamur dimorfik, sekresi mikotoksin, memiliki kapasitas enzimatik yang unik, ketahanan terhadap perubahan suhu, kemampuan menahan pertahanan sistem sel mediator imun milik inang, dan permukaan yang hidrofobik (Kurtdede et al., 2007). Faktor pertahanan yang dimiliki oleh inang (Charmette et al., 2008) antara lain adalah pelindung fisik yaitu kulit dan membran mukus, asam lemak yang terkandung dalam kulit, pH dari kulit, permukaan mukus dan cairan tubuh, pergantian sel-sel epitel, flora normal, pelindung kimiawi diantaranya sekreta dan serum faktor, sebagian besar jamur adalah mesofil dan tidak dapat tumbuh pada 37°C, sel efektor natural (polimorf nuklear leukosit), dan sel-sel fagosit (monosit dan makrofag). Faktor predisposisi dari infeksi jamur diantaranya adalah terapi antibiotik yang panjang, penyakit yang mendahului (HIV, kanker, diabetes), usia, prosedur operasi, obat-obatan imunosupresif, terapi radiasi, kateterisasi yang tidak lege arts, obesitas, ketergantungan obat, transplantasi, aktivitas harian (DeBoer dan Moriello, 2006).
3
Pemeriksaan secara klinis hewan yang diduga terinfeksi jamur dapat dilakukan dengan beberapa metode. Untuk mendapatkan hasil yang akurat perlu dilakukan sekurang-kurangnya dua metode pemeriksaan. Kecurigaan terhadap dermatofitosis dapat diperiksa dengan metode antara lain superficial skin scrape, trichogram, sitologi (tape preparation, impression smear, cotton bud swabs), pemeriksaan dengan Wood’s lamp, dan dermatophyte culture (Taylor, 2010). Superficial skin scrape dapat dilakukan pada anjing atau kucing yang mengalami pruritus (kegatalan) dan berkerak, dan diperkirakan ada infestasi dari Cheyletiella spp., Otodectes cynotis, Scabies scabiei, Notoedres cati, dan Demodex cati/canis. Trichogram digunakan pada hewan yang mengalami alopesia atau dicurigai terinfeksi dermatofitosis dengan gejala klinis disertai papula, pustula, atau keropeng (crust). Teknik ini dilakukan dengan mencabut beberapa helai rambut dan mengevaluasi fase rambut tersebut telogen atau anagen. Kedua fase tersebut dapat mengarah kepada suatu kausa penyebab alopesia (Mueller, 2000). Pemeriksaan sitologi sangat baik digunakan untuk melihat jenis sel yang muncul pada suatu lesio atau mikroorganisme yang hadir sebagai agen penyebab infeksi (Taylor, 2010).
superfisial
kutis
subkutis mikosis
sistemik (deep)
oportunistik
alergi
dermatofitosis dermatomikosis chromoblastomycosis rhinosporidiasis mycetoma sporotrichosis subcutaneous phaeohyphomycosis lobomycosis blastomikosis histoplasmosis coccidiomycosis paracoccidiomycosis candidiasis cryptococcosis aspergillosis
mycetism dan mikotoksikosis mikosis lain
otomycosis occulomycosis
Gambar 1 Klasifikasi mikosis menurut Rao (2009)
4
Wood’s lamp sebagai Instrumen Diagnostik Dermatologi Wood’s lamp dibuat pertama kali pada tahun 1903 oleh seorang fisikawan dari Baltimore yang bernama Robert W. Wood. Alat ini pertama kali digunakan untuk memeriksa jamur pada praktek dermatologi pada tahun 1925 oleh Margarot dan Deveze. Wood’s lamp mengeluarkan radiasi ultraviolet (UV) bergelombang panjang yang dihasilkan dari merkuri bertekanan tinggi yang disaring dengan senyawa barium silikat dengan 9% nikel oksida, disebut penyaring Wood’s. Penyaring ini tidak tembus oleh semua jenis cahaya kecuali yang memiliki berkas antara 320 – 400 nm dengan puncak 365 nm. Fluoresensi jaringan terjadi ketika cahaya UV diserap dan radiasi gelombang yang lebih panjang dipancarkan, yang biasanya merupakan cahaya tampak. Fluoresen pada permukaan kulit normal tampak sangat lemah atau tidak ada sama sekali, sebagian besar disebabkan oleh senyawa konstituen elastin, asam amino aromatik dan prekursor atau produk melanin (Gupta dan Singhi, 2004). Panjang gelombang cahaya UV yang digunakan Wood’s lamp adalah 253,7 nm. Wood’s lamp harus dinyalakan 5-10 menit terlebih dahulu sebelum digunakan karena panjang gelombang dipengaruhi oleh suhu. Metabolit spesifik pada dermatofit yang menimbulkan fluoresen di bawah Wood’s lamp belum teridentifikasi secara pasti namun diduga merupakan senyawa pteridin atau sebuah metabolit dari triptopan (Angus et al., 2004). Pendar fluoresen yang tampak dibawah Wood’s lamp dapat berbeda-beda. Umumnya kulit normal tidak menunjukkan pendar di bawah paparan cahaya UV. Warna kuning emas menunjukkan infeksi Tinea versicolor, hijau pucat menunjukkan infeksi Trichophyton schoenleini, kuning kehijauan terang (Microsporum audouini atau M. canis), aquagreen sampai biru (Pseudomonas aeruginosa), merah muda sampai oranye (Porphyria cutanea tarda), abu bercak berbentuk daun (Tuberous sclerosis), biru keputihan (leprosy), putih pucat (hipopigmentasi), ungu kecoklatan (hiperpigmentasi), putih terang atau biru keputihan (depigmentasi atau vitiligo), putih cerah atau albinism (DJJ, 2001). Keuntungan diagnosis dengan Wood’s lamp adalah waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil pemeriksaan singkat dan merupakan metode screening test yang murah untuk dermatofitosis. Namun tidak adanya pendar hijau di bawah Wood’s lamp tidak memastikan area kulit terbebas dari dermatofitosis. Pemeriksaan dengan menggunakan Wood’s lamp memiliki spesifisitas yang tinggi (dapat mencapai 100% pada pengguna yang terlatih) namun sensitivitasnya rendah, karena hanya sekitar 50% spesies dermatofita pada anjing dan kucing menghasilkan fluoresen. Bakteri seperti Pseudomonas aeruginosa dan Corynebacterium minutissimum, scale, crust, sabun dan beberapa jenis obat oles kulit juga dapat menghasilkan fluoresen namun tidak berwarna hijau lemon (Angus et al., 2004).
METODE Metode yang digunakan pada penelitian adalah studi kasus. Penelitian ini dibagi kedalam dua tahap. Tahap yang pertama, data sekunder dari rekam medik pasien Maximus Pet Care yang berobat pertama kali pada kurun waktu September
5
2011 sampai dengan Agustus 2012 direkapitulasi. Tahap kedua adalah pemeriksaan terhadap pasien kucing yang datang menggunakan metode Wood’s lamp screening test. Hasil pemeriksaan berupa warna fluoresen di bawah Wood’s lamp difoto menggunakan kamera digital. Karakteristik kasus berupa warna pendar di bawah Wood’s lamp, lesio yang tampak dan gejala klinis penyakit dianalisis dan dibahas beserta cara pengobatannya berdasarkan studi literatur. Lokasi dan Waktu Penelitian Pengumpulan data penelitian dilakukan di Maximus Pet Care kota Bogor. Rekapitulasi rekam medik pasien yang berobat pada rentang September 2011 sampai dengan Agustus 2012 dilakukan pada tanggal 6-12 Oktober 2012. Pemeriksaan intensif menggunakan Wood’s lamp screening test dimulai pada tanggal 13 Oktober sampai 6 November 2012. Bahan Bahan penelitian adalah kucing yang mandi perawatan, mandi pengobatan, dan pasien kucing rawat inap di Maximus Pet Care selama masa penelitian berlangsung. Alat Alat yang digunakan adalah Wood’s lamp, kamar gelap dan kamera digital SLR Canon EOS 500D.
HASIL DAN PEMBAHASAN Rekapitulasi Kasus Mikosis Kutis di Maximus Pet Care Pemilik hewan datang ke Maximus Pet Care pada umumnya membawa hewannya untuk berobat, pemeriksaan kesehatan rutin, vaksinasi, rawat jalan, mandi sehat, atau mandi pengobatan (jamur atau ektoparasit). Data pasien yang datang untuk berobat pertama di Maximus Pet Care pada rentang September 2011 sampai dengan Agustus 2012 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Data pasien berobat pertama dan didiagnosis terinfeksi mikosis kutis pada kurun waktu September 2011 sampai dengan Agustus 2012 berdasarkan rekapitulasi rekam medik pasien Maximus Pet Care (n=1740 ekor) Pasien didiagnosis terinfeksi mikosis kutis n % n % Kucing 1227 70,5 192 15,6 Anjing 441 25,3 53 12 Lain-lain* 72 4,2 5 6,9 Total 1740 100 250 *) kelinci, primata, burung, ayam, kura-kura, kambing, domba, marmut n : jumlah individu Jenis hewan
Pasien berobat pertama
6
Pasien dengan jumlah terbanyak yang tercatat di rekam medik Maximus Pet Care dalam kurun waktu September 2011 sampai dengan Agustus 2012 adalah kucing, yaitu sebanyak 70,5% dari keseluruhan pasien. Sebanyak 192 ekor (15,6%) dari populasi 1227 ekor kucing didiagnosis terinfeksi mikosis kutis. Metode yang digunakan dalam mendiagnosis adalah dengan pemeriksaan fisik. Menurut Tewari (2002), jamur yang sering menginfeksi kulit dan rambut hewan kesayangan adalah Dermatofita (Microsporum, Trichophyton, Epidermophyton), Sporotrix, Cryptococcus, dan Malassezia. Data rekapitulasi merupakan data pasien yang sakit dan berobat pertama, bukan merupakan ulangan dari proses rawat jalan. Data tidak termasuk pasien yang datang untuk vaksinasi dan pemeriksaan kesehatan rutin. Berdasarkan hasil rekapitulasi data rekam medik, rata-rata kasus mikosis kutis yang terjadi pada kucing selama satu tahun adalah 16 ekor setiap bulannya. Menurut Medleau dan Hnilica (2006), kucing berambut panjang merupakan predisposisi terjadinya dermatofitosis. Jumlah pasien kucing yang terinfeksi mikosis kutis tertinggi selama satu tahun yaitu sebanyak 23 pasien dan infeksi terbanyak terjadi pada bulan Oktober 2011. Suhu rata-rata kota Bogor selama satu tahun adalah 25,8°C dengan tingkat kelembaban rata-rata 81% (Tabel 3). Tabel 2 Data suhu dan kelembaban udara rata-rata kota Bogor periode September 2011 sampai dengan Oktober 2012 (BMKG, 2012) September-11
Suhu (ºC) 25.1
Kelembaban Udara (%) 73
Oktober
26.3
75
November
25.3
80
Desember
26.1
84
Januari-12
25.1
86
Februari
25.6
87
Maret
26.0
80
April
26.0
86
Mei
26.1
85
Juni
26.2
81
Juli
25.8
79
Agustus
25.8
74
Rata-rata
25,8
81
Bulan
Faktor lain yang mempengaruhi jumlah infeksi mikosis kutis adalah mikroklimat yang meliputi manajemen pakan (kandungan nutrisi, jenis pakan yang diberikan), imunitas masing-masing individu, frekuensi kontak dengan antigen, dan metode perawatan seperti mandi dan grooming serta obat-obatan yang dipakai. Transmisi dapat terjadi melalui kalung, sikat atau mainan yang terkontaminasi (Horzinek, 2012). Perlu dilakukan pengamatan dengan kurun waktu sekurang-kurangnya lima tahun untuk menentukan pola epidemiologi penyakit mikosis kutis dan profil cuaca yang berkorelasi dengan jumlah kejadian infeksi mikosis kutis di suatu wilayah.
7
Screening Test dengan Menggunakan Wood’s lamp Pada tahap kedua, selama periode penelitian didapatkan 176 sampel kucing yang datang diantaranya untuk mandi sehat, mandi pengobatan, titip sehat dan rawat inap. Pemeriksaan menggunakan Wood’s lamp dilakukan menyeluruh pada semua sampel untuk mengetahui kasus mikosis kutis yang riil pada pasien kucing. Jumlah kasus mikosis kutis yang tercatat di rekam medik Maximus Pet Care pada periode September 2011 sampai Agustus 2012 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 3 Pasien yang didiagnosis mengalami infeksi mikosis kutis pada periode September 2011 sampai Agustus 2012 Jumlah pasien Kucing Anjing Lain-lain* September 22 7 0 Oktober 23 4 1 November 13 7 0 Desember 11 3 1 Januari 16 3 2 Februari 12 2 0 Maret 17 4 0 April 20 8 0 Mei 14 3 0 Juni 16 5 0 Juli 16 3 1 Agustus 12 4 0 Total 192 53 5 Rata-rata 16,00 4,42 0,42 *) kelinci, primata, burung, ayam, kura-kura, kambing, domba, marmut
Total 29 28 20 15 21 14 21 28 17 21 20 16 250 20,83
Menurut ESCCAP (2011), screening test merupakan metode yang cepat dan baik untuk menyeleksi dan mendiagnosis hewan yang keluar masuk penampungan atau penitipan hewan. Wood’s lamp sangat baik untuk mendiagnosis infeksi dermatofita dan akan menunjukkan fluoresen berwarna kuning kehijauan (hijau lemon). Fluoresen diakibatkan oleh senyawa metabolit triptofan yang dihasilkan beberapa spesies dermatofita termasuk M.canis (Horzinek, 2012). Hasil pengamatan selama pemeriksaan dengan Wood’s lamp screening test, semua pasien dengan nilai positif menunjukkan pendar berwarna hijau lemon di bawah Wood’s lamp. Warna ini merujuk pada infeksi dermatofita. Hasil screening test pada pasien kucing di Maximus Pet Care dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil Wood’s lamp screening test pada sampel kucing Hasil Pemeriksaan Fluoresen positif Fluoresen negatif Total n : jumlah individu
N 111 65 176
% 63 37 100
Dermatofitosis adalah infeksi jamur pada rambut dan stratum korneum yang disebabkan jamur yang bersifat keratinofilik. Kejadian dermatofitosis banyak ditemukan pada anjing dan kucing muda, hewan dengan kekebalan tubuh rendah
8
dan kucing berambut panjang. Kucing ras Persia menjadi salah satu predisposisi penyakit ini (Horzinek, 2012). Bagian kulit atau rambut yang terdapat lesio diutamakan untuk diperiksa di bawah Wood’s lamp. Pemeriksaan dilanjutkan ke area di sekitar lesio untuk menemukan penyebaran infeksi dermatofita. Apabila tidak terdapat lesio apapun, pemeriksaan dilakukan menyeluruh mulai dari kepala hingga ekor. Sebanyak 111 kucing (63%) menampakkan pendar fluoresen di bawah Wood’s lamp dan sisanya sebanyak 65 ekor tidak menampakkan fluoresen (Tabel 4). Fluoresen dapat berasal dari kulit yang terdapat lesio maupun yang tidak terdapat lesio (Gambar 2). Bagian batang rambut sering ditemukan berpendar hijau lemon pada area yang tidak menunjukkan lesio secara klinis. Pemeriksaan dengan meggunakan Wood’s lamp sangat bergantung pada kemampuan mengamati dan kejelian pemeriksa dalam membedakan warna pendar.
(a) (b) Gambar 2 Pendar fluoresen oleh dermatofita pada permukaan batang rambut yang patah (a) dan rambut normal (b) tanpa lesio pada kulit Pada saat pemeriksaan, ditemukan pula lesio klinis seperti kolaret epidermis dan alopesia di beberapa bagian tubuh yang tidak menampakkan warna hijau lemon di bawah Wood’s lamp. Menurut Jamestown (2010), rambut yang terinfeksi dermatofita T. mentagrophytes, M. persicolor, M. gypseum tidak akan berpendar. Wood’s lamp baik digunakan untuk memeriksa dermatofitosis yang diakibatkan oleh spesies M. canis. Sekitar 30-50% strain M.canis memperlihatkan efek fluoresen positif di bawah Wood’s lamp (Budgin, 2011). Perlakuan mandi atau membersihkan daerah lesio dengan zat-zat antiseptik akan menghilangkan metabolit triptofan pada kulit atau rambut yang terinfeksi dan menghasilkan negatif palsu pada saat pemeriksaan dengan Wood’s lamp. Beberapa jenis obatobatan topikal berbahan dasar etakridinlaktat (Rivanol®) juga dapat mengacaukan fluoresen (Gambar 3). Kelemahan dari metode pemeriksaan dengan Wood’s lamp adalah hasil negatif pada pemeriksaan ini tidak menyingkirkan kemungkinan adanya infeksi dermatofitosis (DJJ, 2011). Diagnosa banding untuk penyakit ini diantaranya adalah dermatitis secara umum, furunculosis, demodecosis, dan psoriasis (Angus et al. 2004).
9
Gambar 3
Fluoresen positif palsu yang dihasilkan akibat penggunaan etakridinlaktat (Rivanol®)
Fluoresen positif juga ditemukan pada kucing berusia muda. Sebanyak lima ekor dari keseluruhan sampel merupakan kucing berusia sekitar tiga bulan. Semuanya terinfeksi dermatofitosis yang lebih parah dari sampel lainnya. Ditemukan alopesia multifokal yang hampir menyeluruh, kerak di seluruh bagian yang mengalami kerontokan rambut dan hiperpigmentasi (Gambar 4). Kucing muda memiliki risiko jauh lebih tinggi dibandingkan kucing dewasa. Hal ini disebabkan antara lain karena sistem imunitas kucing muda masih berkembang sehingga belum mampu menghasilkan antibodi yang spesifik terhadap antigen yang masuk ke dalam tubuhnya.
(a) (b) Gambar 4 Alopesia multifokal dan hiperpigmentasi di wajah (a) dan ekstremitas (b) pada kucing berusia tiga bulan Dermatofita mengalami dua fase selama siklus hidupnya, yaitu anamorf dan teleomorf. Anamorf adalah fase dimana reproduksi aseksual (somatis) terjadi dan dapat dibedakan secara morfologis. Pada fase ini, dermatofita mensporulasikan mikrokonidia dan makrokonidia yang dihasilkan oleh sel-sel konidia. Teleomorf adalah fase reproduksi yang terjadi secara seksual, fase ini melalui tahap peleburan dua plasma membran (plasmogami) kemudian dilanjutkan dengan dua inti (karyogami) menghasilkan inti diploid (Simpanya, 2000). Kedua fase berlangsung pada tubuh inangnya (Gambar 5).
10
Gambar 5 Bagan siklus reproduksi dermatofita (Cummings, 2008) Ciri-ciri Dermatofitosis pada Kucing Inspeksi dan palpasi dilakukan untuk menemukan perubahan-perubahan yang terjadi pada permukaan kulit sebelum dilihat secara keseluruhan menggunakan Wood’s lamp. Pemeriksaan permukaan kulit harus dilakukan lebih teliti pada kucing berambut panjang dengan cara menyisir menggunakan telapak tangan ke arah berlawanan dengan arah tumbuhnya rambut. Lesio yang ditemukan pada sampel sangat beragam berdasarkan letaknya di permukaan tubuh. Berdasarkan pengamatan, bagian tubuh yang ditemukan sering terserang dermatofita adalah wajah, daun telinga, bagian dorsal tubuh, ekor, dan ekstremitas. Bentuk lesio yang ditemukan antara lain adalah alopesia fokal atau multifokal, kerak, follicular cast, keropeng, papula, dan kolaret epidermis (Gambar 5).
Gambar 6 Lesio kolaret epidermis pada permukaan kulit kucing yang terinfeksi dermatofita Bentuk infeksi dermatofita pada tubuh inangnya dapat berupa lokal, multifokal dan menyeluruh. Lesio dapat berbentuk circular, irregular atau diffuse.
11
Gejala yang tampak pada kucing dermatofitosis antara lain erithema, papula, crust, seborrhea dan paronychia atau onychodystrofi (Medleau dan Hnilica, 2006). Pada hewan sakit, batang rambut menjadi mudah patah dan fragmen rambut yang mengandung arthrospora sangat efisien dalam menyebarkan infeksi. Menurut DeBoer dan Moriello (2006), lebih dari 90% kasus dermatofitosis pada kucing di seluruh dunia disebabkan oleh M. canis. T. mentagrophytes dan M. gypseum memiliki potensi penyebaran yang rendah dari hewan ke hewan dan tidak dinyatakan sebagai agen zoonotik yang berpotensi tinggi (Robertson, 2009). Semua jenis Microsporum, kecuali M. gypseum menghasilkan enzim proteolitik dan keratolitik yang membuat organisme ini mampu menggunakan keratin sebagai sumber nutrisi, dan mengkeratinisasi bagian dari jaringan epidermal. Jaringan keratin yang digunakan antara lain berasal dari stratum korneum dan rambut, terkadang kuku (Horzinek, 2012). Faktor-faktor yang menjadi predisposisi antara lain adalah umur (sampai dengan dua tahun), kondisi imunosupresi atau terapi imunosupresan, penyakit lain, defisiensi nutrisi (khususnya protein dan vitamin A), suhu dan kelembaban yang tinggi (DeBoer dan Moriello, 2006). Trauma kulit yang disebabkan oleh meningkatnya kelembaban, luka gigitan ektoparasit atau aktivitas menggaruk juga merupakan pintu gerbang terjadinya infeksi. Secara umum, higiene yang buruk merupakan faktor predisposisi. Pada kelompok hewan yang terlalu padat, tingkat stres juga merupakan faktor predisposisi (Horzinek, 2012). Masa inkubasi dermatofita adalah satu sampai tiga minggu. Hifa tumbuh di sepanjang permukaan rambut melalui stratum korneum menuju folikel selama periode ini, yang akan membentuk spora dan membentuk lapisan tebal disekitar batang rambut (Moriello, 2004). Dermatofitosis jarang terjadi berulang pada satu individu karena dapat menggertak imunitas yang efektif dan bersifat jangka panjang. Studi eksperimental membuktikan bahwa hewan menunjukkan peningkatan resistensi pada paparan yang diulang dengan spesies jamur yang homolog. Infeksi ulang dapat terjadi, namun membutuhkan lebih banyak spora dan infeksi ulang tersebut biasanya sembuh lebih cepat (DeBoer dan Moriello, 2006). Kultur Dermatofita pada Media sebagai Metode Diagnostik yang Spesifik untuk Dermatofitosis Menurut Robertson (2009), kultur pada media agar adalah satu-satunya metode diagnostik terhadap dermatofita yang dapat dipercaya. Media yang biasa digunakan adalah Dermatophyte Test Media (DTM). Agar akan berubah warna dari oranye menjadi merah sebagai reaksi terhadap perubahan pH. Semua jamur patogen akan mengubah warna DTM menjadi merah, tetapi perubahan warna menjadi merah tidak selalu mengindikasi suatu spesies patogen (Newbury, 2009). Media lain yang sering digunakan adalah agar dekstrosa Saboraud atau Rapid Sporulating Media. Kelompok jamur dermatofita juga akan mengubah warna kedua media menjadi merah. Koloni M. canis dapat diamati setelah enam sampai sepuluh hari kultur. Koloni yang tampak datar, menyebar, berwarna putih sampai krem, memiliki tekstur seperti katun yang padat, permukaannya bergranul kasar seperti helai-helai rambut dan memiliki alur melingkar. Koloni biasanya memiliki pigmen kuning emas sampai kecoklatan atau tidak berpigmen. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan untuk mengidentifikasi spesies dermatofita setelah kultur
12
dilakukan. M. canis menghasilkan hifa bersepta, makrokonidia dan mikrokonidia yang jumlahnya lebih sedikit atau jarang (CMPT, 2007). Pengobatan pada Kucing Dermatofitosis dan Vaksin untuk Dermatofita Pengobatan untuk dermatofitosis adalah kombinasi antara topikal dan sistemik (Westhoff et al., 2010). Hewan yang terinfeksi dermatofita harus dikarantina atau dipisahkan dari hewan lainnya karena penyakit ini menular. Semua hewan yang terinfeksi dan yang tidak menimbulkan gejala klinis (asimptomatis) dalam satu lingkungan harus diberikan terapi topikal, termasuk pemberian salep, sampo atau dipping dengan obat-obatan antifungal. Obat-obatan yang bekerja sebagai antijamur sebagian besar bekerja menghambat pembentukan senyawa sterol yang terdapat pada dinding sel jamur. Pengobatan topikal dilakukan sampai didapatkan hasil negatif pada media kultur (Jamestown, 2010). Rambut kucing dengan jumlah lesio yang sedikit harus dicukur dari batas lesio sampai ke area sekitarnya. Pencukuran bertujuan untuk mencegah penyebaran infeksi. Prosedur terapi topikal yang paling efektif adalah pengobatan dengan larutan enilconazole 0,2% di seluruh tubuh sebanyak dua kali seminggu (DeBoer dan Moriello, 2006). Terapi yang efektif lainnya adalah mandi dengan miconazole 2% ditambah atau tanpa chlorhexidine 2% dua kali seminggu. Larutan kalsium polisulfida (lime sulphur) menjadi pilihan terapi yang baik dan sering digunakan di Amerika (Vlaminck dan Engelen, 2004). Hewan yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan topikal selama dua sampai empat minggu dapat diberikan tambahan obat-obatan oral untuk memutus rantai infeksi dengan lebih cepat. Obat-obatan sistemik oral yang umum digunakan adalah griseofulvin, namun beberapa spesies telah resisten. Disamping itu, beberapa hewan khususnya kucing tidak dapat mentoleransi griseofulvin dan dapat menimbulkan efek samping yang serius bahkan fatal karena sumsum tulang yang terbebani (bone marrow suppression). Menurut Taylor (2010), gejala pada bone marrow suppression antara lain penurunan jumlah eritrosit, leukosit dan platelet. Perlu dilakukan pemeriksaan darah rutin (CBC) untuk mengantisipasi efek samping ini. Kucing dalam kondisi imunodefisiensi merupakan kontraindikasi dari pemakaian griseofulvin. Itraconazole dan ketoconazole adalah alternatif yang efektif untuk pengobatan dermatofitosis (Jamestown, 2010). Dinding sel jamur merupakan organela yang unik yang memenuhi kriteria toksikan yang selektif. Dinding sel jamur sangat berbeda dengan dinding sel bakteri dan tidak terpengaruh oleh zat-zat antibakteri penghambat dinding sel seperti golongan β-laktam atau vancomycin. Susunan komponen biomolekuler yang terdapat dalam dinding sel pada setiap individu membedakan antara spesies jamur satu dengan yang lain. Meskipun memiliki susunan biomolekuler yang berbeda, secara umum struktur dinding sel jamur adalah mirip (Westhoff et al., 2010). Ada tiga mekanisme kerja yang dimiliki oleh obat-obatan antijamur: merusak membran sel, menghambat pembelahan sel dan menghambat pembentukan dinding sel. Antijamur golongan polyene bekerja dengan cara merusak membran sel jamur. Obat-obatan azole adalah kelas terbesar dalam kelompok antimikotik polyene sintesis. Ketokonazole merupakan kelas imidazole yang pertama kali ditemukan efektif bekerja pada rute pemberian per oral. Itraconazole termasuk dalam kelas triazole yang merupakan perkembangan dari
13
kelas imidazole. Itraconazole lebih poten, lebih tidak toksik dan secara oral terbukti lebih efektif terhadap berbagai jenis jamur (DeBoer dan Moriello, 2006). Mekanisme kerja keduanya adalah dengan menghambat sitokrom P450 (CYP P450) 14 α-demethylase pada jamur. Enzim ini berperan dalam mengubah lanosterol menjadi ergosterol. Nitrogen dalam struktur azole membentuk ikatan kuat dengan Fe pada jamur sehingga mencegah jamur berikatan dengan substrat dan oksigen. Penghambatan C14 α-demethylase akan mengubah struktur membran dan mengubah permeabilitas serta susunan protein di dalamnnya (Myers, 2006). Efek dari obat golongan ini adalah fungistatik, namun dapat menjadi fungisida dalam konsentrasi yang lebih tinggi (MIMS, 2012). Beberapa jenis obat antijamur yang biasa digunakan pada hewan kecil dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Berbagai obat antijamur pada kucing dan dosisnya untuk dermatofitosis (MIMS, 2012; Plumb, 2005) Obat antijamur
Golongan obat
Rute pemberian
Itraconazole
Triazole
PO
Dosis (mg/kg BB) untuk kucing 10
Ketoconazole
Imidazole
PO
10
Miconazole
Imidazole
Griseofulvin
Polyene
Topikal, supositorial PO
10-15
Terbinafine
Allylamine
PO
30-40
Lufenuron
Benzoylphenylurea
PO
50-100
KMnO4
Topikal
Diencerkan 1:100 dengan air
Asam salisilat
Topikal
Efek samping Anoreksia, hepatotoksik, Anoreksia, diare, hepatotoksik, trombositopenia Warna kehitaman pada kulit, iritasi Anoreksia, diare, anemia, neutropenia, depresi, ataksia, dermatitis fotosensitivitas Relatif aman dan dapat ditoleransi oleh tubuh Depresi, pruritus/urticaria, diare, dyspnea, anoreksia, skin rash. Iritasi, kemerahan pada kulit, penebalan lapisan luar kulit, rasa nyeri Iritasi, sensitivitas, kulit menjadi kering
Itraconazole adalah atau obat pilihan terhadap infeksi dermatofita. Kontraindikasinya adalah hewan yang sedang bunting. Penggunaan obat ini pada kucing berusia enam minggu dapat dilakukan (DeBoer dan Moriello, 2006). Dermatolog menggunakan itraconazole sebagai pulse terapi (intravena), dengan dosis 5 mg/kg/hari selama satu minggu kemudian diulang setelah dua minggu. Pulse terapi dilakukan selama enam minggu. Penelitian lain menunjukkan kadar
14
itraconazole atau metabolit hydroxitraconazole dalam plasma dan rambut hewan yang telah diberikan selama tiga kali ulangan selama satu minggu dengan dosis 5 mg/kg dan satu minggu tanpa pemberian berada pada level yang sama terhadap ringworm. Pengurangan konsentrasi sebanyak 25-30% ditemukan setelah satu minggu tanpa terapi, tetapi konsentrasi obat masih cukup tinggi bahkan dua minggu setelah pemberian terakhir (Vlaminck dan Engelen, 2004). Terbinafine merupakan antijamur kelompok allylamine. Obat-obatan kelompok ini memiliki aktivitas terhadap spektrum yang lebih terbatas daripada kelompok azole dan efektif terhadap dermatofita. Kelompok allylamine banyak digunakan untuk mengobati infeksi pada kulit dan kuku. Mekanisme kerjanya adalah dengan mengubah squalene menjadi squalene-2,3-epoxide menggunakan squalene epoxidase. Perubahan ini menyebabkan ketidaksetimbangan pH dan hilangnya fungsi membran dalam mengikat protein. Secara umum kerja dari terbinafine adalah mengacaukan proses biosintesis ergosterol di dinding sel (Myers, 2006). Menurut Bombeli (2012), asam salisilat juga telah dibuktikan memiliki aktivitas antijamur, yaitu bersifat fungistatik. Bahan ini sering digunakan sebagai penguat obat-obatan antijamur lainnya karena efek antijamurnya sendiri termasuk lemah. Asam salisilat juga sering digunakan dalam obat luar karena merupakan agen yang bersifat keratolitik dan antipruritik. Zat ini bekerja sebagai keratolitik dengan mengangkat sel-sel kulit yang berada di lapisan teratas, yaitu stratum korneum. Mekanisme utama yang digunakan kalium permanganat (KMnO4) dalam membunuh patogen adalah oksidasi langsung terhadap sel atau penghancuran enzim-enzim spesifik. Namun dalam menggunakan KMnO4 perlu berhati-hati, karena zat ini merupakan oksidatif kuat dan bersifat toksik sehingga dapat menyebabkan iritasi pada kulit dan membran mukosa (MIMS, 2012). Vaksin terhadap jamur telah diproduksi sejak 1996 di republik Ceko. Dinding sel M.canis yang telah dimatikan menginduksi imunitas humoral dan sel perantara membentuk antibodi. Vaksinasi sebagai tindakan profilaksis terhadap dermatofitosis telah dikembangkan pada ternak, kuda, anjing, dan kucing. Pembuktian terhadap efikasi vaksin jamur masih menjadi kontroversi. Menurut Westhoff et al. (2010), tidak satupun vaksin yang diteliti menunjukkan perlindungan yang cukup terhadap paparan antigen. Kurtdede et al. (2007) menyatakan bahwa vaksinasi merupakan metode yang baik untuk membentuk antibodi spesifik terhadap infeksi jamur. Studi eksperimental dilakukan pada kucing sehat berusia tiga sampai delapan bulan, jentan dan betina, diinjeksi 1 ml vaksin subkutan (n=9) dan intramuskular (n=4). Keseluruhannya divaksin ulang pada hari ke-14. Lima minggu setelah vaksinasi ulang, semua kucing yang telah divaksin dan delapan kucing yang tidak divaksin dipapar dengan virulen strain M. canis. Semua kucing diamati secara klinis terhadap perubahan patologis kulitnya dan dievaluasi secara mikroskopis hasil kultur jaringannya. Pada akhir eksperimen, semua kucing yang telah divaksinasi menunjukkan hasil negatif terhadap infeksi M. canis.
15
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Rata-rata kejadian kasus mikosis kutis setiap bulannya selama satu tahun berdasarkan data sekunder rekam medik pasien kucing di Maximus Pet Care adalah sebanyak 16 kasus. Prosentase kejadian kasus mikosis kutis di kucing pada kurun waktu September 2011 sampai dengan Agustus 2012 adalah 15,6% atau 192 kasus dari seluruh kasus pada kucing yang tercatat. Pada pemeriksaan dengan menggunakan metode Wood’s lamp screening test, hasil yang didapatkan adalah sebanyak 63% dari sampel kucing positif menunjukkan fluoresen. Diagnosis dermatofitosis didapatkan dari pendar hijau lemon yang tampak pada sampel kucing yang teruji dengan hasil positif di bawah Wood’s lamp. Batang rambut adalah bagian yang paling sering ditemukan berpendar di bawah pemeriksaan Wood’s lamp. Lesio yang ditemukan pada kucing yang menderita dermatofitosis antara lain alopesia fokal atau multifokal, kerak, follicular cast, keropeng, papula, hiperpigmentasi, dan kolaret epidermis. Prediksi area tubuh yang sering ditumbuhi dermatofita adalah wajah, daun telinga, bagian dorsal tubuh, ekor dan ekstremitas. Obat pilihan untuk dermatofitosis adalah itraconazole dengan efek samping yang minimal. Saran Wood’s lamp adalah instrumen diagnostik praktis yang baik untuk mendeteksi dermatofitosis, sangat disarankan untuk digunakan pada pasien kucing di kota Bogor. Screening test juga perlu dilakukan pada hewan-hewan yang hendak masuk tempat penitipan atau penampungan. Setelah screening test dilakukan, perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan berupa kultur pada medium untuk menentukan spesies spesifik yang menyebabkan infeksi. Studi lebih lanjut perlu dilakukan untuk menentukan profil iklim dan waktu dimana tingkat kejadian dermatofitosis tinggi di kota Bogor. Dermatofitosis perlu dicegah dengan cara menjaga kebersihan lingkungan dan alat-alat yang sering kontak langsung dengan hewan yang dicurigai dermatofitosis. Sikat, sisir, alas kandang, dan obyek-obyek lain yang dapat menjadi perantara terjadinya infeksi perlu diperhatikan kebersihannya dan dicuci dengan disinfektan. Hewan yang terinfeksi mikosis kutis sebaiknya dikarantina sehingga tidak menjadi sumber penularan pada hewan dan manusia lainnya. Vaksinasi terhadap dermatofita tetap disarankan untuk dilakukan meskipun efektivitasnya masih merupakan hal yang kontroversial.
DAFTAR PUSTAKA [BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2012. Prakiraan Cuaca Propinsi Jawa Barat. Jakarta: Deputi Bidang Meteorologi.
16
http://www.bmkg.go.id/bmkg_pusat/meteorologi/cuacapropinsi.bmkg?prop =13. [30 September 2012]. [CMPT] Clinical Microbiology Proficiency Testing. 2007. Microsporum canis. CMPT Mycology Plus. 0709-2. Vancouver (Canada): Department of Pathology and Laboratory Medicine, University of British Columbia. [DJJ] Department of Juvenile Justice. 2001. Wood’s lamp Examination General Information. Attachment G. [11]:30. Georgia: Department of Juvenile Justice. [ESCCAP] European Scientific Counsel Companion Animal Parasites. 2011. Superficial Mycoses in Dogs and Cats. ESCCAP Guidelines 02. 2nd edition Hlm.5. Worcestershire: European Scientific Counsel Companion Animal Parasites. [MIMS] Monthly Index of Medical Specialities. 2012. Potassium permanganate. MIMS Indonesia [internet]. [diunduh 2013 Jan 25]. Tersedia pada: http://www.mims.com/Indonesia/drug/info/potassium%20permanganate/?q =potassium%20permanganate&type=full#Actions. Angus JC, Bevier DE, Bloom P, Boord M, Bruner SR, Campbell KL, Credille KM, Crow DW, Davenport GM, Lorimer LP, Dunstan RW, Fan TM, Frank LA, Friberg CA. 2004. Small Animal Dermatology Secret. Hlm:24. USA: Elsevier. Boden E. 2005. Black’s Veterinary Dictionary 21st Edition. Hlm:476. London: Publisher.Hoad. J. 2006. Bombeli T. 2012. Salicylic acid: A multifunctional cosmetic ingridient. MakingCosmetics.com [internet]. [diunduh 2013 Jan 25]. Tersedia pada: http:// www.makingcosmetics.com/articles/24-salicylic-acid-use-incosmetics.pdf. Budgin JB. 2011. Feline dermatophytosis: An update on diagnosis and treatment. Full Circle Forum, volume 1, issue 7. New York, USA: Animal Specialty Center. Charmette R, Ferreiro L, Guillot J. 2008. Dermatophytoses in Animals. Mycopathologia. 166, 5-6, 385-405. USA: Elsevier. Cummings PB. 2008. Fungal Life Cycle. Biology Fungi. USA: Pearson Education, Inc. [internet]. [diunduh 2013 Feb 9]. Tersedia pada: http://www. nvcc.edu/home/tgillevet/NAS%20161/PDF%20EXACM%203/Ch12%20% 20FUNGILICYC.pdf. DeBoer DJ, Moriello KA. 2006. Cutaneous fungal infections. Infectious Diseases of the Dog and Cat. St Louis, Missouri, 555-569: Elsevier Saunders. Gupta LK, Singhi MK. 2004. Wood’s lamp. Indian J. Dermatol Venereol Leprol 2004;70:131-5. Jodhpur: Department of Dermatology, Venereology & Leprology, Dr. S. N. Medical College. Horzinek MC. 2012. Dermatophytosis (Ringworm) 2012 Edition. European Advisory Board on Cat Disease. Prancis: ABCD. Jamestown E. 2010. Dermatophytosis, Microsporum canis, Trichophyton mentagrophytes, Microsporum gypseum. Ringworm, fungal infection. USA: Greenville Veterinary Clinic. Kurtdede A, Ural K, Gazyagci S, Cingi CC. 2007. Usage of Inactivated Microsporum Canis Vaccine in Cats Naturally Infected with M. canis.
17
Mikologia Lekarska. 14[1]:19-21. Turki: Department of Internal Medicine, Faculty of Veterinary Medicine, Ankara University. Medleau L, Hnilica KA. 2006. Small Animal Dermatology. Hlm:71. USA: Elsevier. Moore D, John CA. 2012. Ecology of Fungi. Encyclopedia Britannica. USA: Encyclopedia Britannica, Inc. Moriello KA. 2004. Treatment of Dermatophytosis in Dogs and Cats: Review of Published Studies. Veterinary Dermatology. Vol:15:99-107. USA: Department of Medical Sciences, School of Veterinary Medicine, University of Wisconsin-Madison, WI 53706. Mueller RS. 2000. Dermatology for the Small Animal Practitioner. Hlm:19. USA: Teton New Media. Myers RS. 2006. Immunizing and Antimicrobial Agents. MEDCH 401[6]:1-9. USA: Department of Medicinal Chemistry, University of Washington. Newbury S. 2009. Lunch with Fungus: Step-by-Step Ringworm Recognition. National Shelter Medicine Extension Veterinarian, Koret Shelter Medicine Program. Davis (USA): Center for Companion Animal Health, UC Davis School of Veterinary Medicine. Plumb DC. 2005. Veterinary Drug Handbook. 5th edition. Hlm:376-377;431433;445-446;469;735-737. Minnesota: Pharma Vet Publishing. Rao SPN. 2006. Introduction of Mycology. JJMMC. Davangere: Dept. of Microbiology. Robertson JV. 2009. Ringworm. Shelter Medicine Program. Davis (USA): University of California, Center for Companion Animal Health. Simpanya MF. 2000. Dermatophytes: Their Taxonomy, Ecology and Pathogenicity. Revista iberoamericana de Micologia. Botswana: Department of Biological Sciences, University of Botswana, Gaborone. Taylor C. 2010. Pre Conference 1st Indonesia Small Animal Practitioners International Conference: Dermatology. Hongkong: Cutaneous Ltd. Tewari JP. 2002. Veterinary Mycology. Veterinary Science. USA: Encyclopedia of Life Support Systems (EOLSS). Tsui KM, Fryar SC, Hodgkiss IJ, Hyde KD, Poonyth AD, Taylor JE. 2001. The Effect of Human Disturbance on Fungal Diversity in the Tropics. Fungal Diversity. [1]:19-26. Hongkong: Fungal Diversity Research Project, Department of Ecology and Biodiversity. Vlaminck KMJA, Engelen MACM. 2004. Itraconazole: A Treatment with Pharmacokinetic Foundations. Veterinary Dermatology. Vol:15[8]:4. USA: Wiley Blackwell. Westhoff DK, Kloes MC, Orveillon FX, Farnow D, Elbers K, Muellers RS. 2010. Treatment of Feline Dermatophytosis with an Inactivated Fungal Vaccine. The Open Mycology Journal, vol 4, hlm 10-17. Jerman: Boehringer Ingelheim Vetmedica. Yu AA. 2011. The Prevention, Diagnosis, Control and Treatment of Ringworm in the Shelter Context. USA: Ontario Society for the Prevention of Cruelty to Animals (OSPCA).
18
LAMPIRAN Foto Dokumentasi Penelitian
Hasil Fluoresen Positif
19
20
21
Hasil Fluoresen Negatif
22
23
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Yogyakarta, pada tanggal 19 Desember 1990 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak ILB Budhi Hartono dan Ibu MA Ari Martiyanti. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Nusa Indah Pontianak, pada tahun 2002. Penulis melanjutkan pendidikan formalnya di SMP Gembala Baik Pontianak dan lulus tahun 2005. Pada tahun 2008 penulis lulus dari SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan, dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam beberapa organisasi yaitu Himpunan Minat dan Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik (HKSA), Uni Konservasi Fauna (UKF), dan Keluarga Mahasiswa Katolik (KEMAKI). Penulis juga aktif sebagai asisten praktikum pada mata kuliah Diagnostik Klinik (2011) dan Ilmu Bedah Khusus Veteriner (2012).