STRATEGI PENINGKATAN DAYASAING AGROINDUSTRI LIDAH BUAYA DI KOTA PONTIANAK
ALFATH DESITA JUMIAR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Peningkatan Dayasaing Agroindustri Lidah Buaya di Kota Pontianak adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2013 Alfath Desita Jumiar NIM H45110041
RINGKASAN ALFATH DESITA JUMIAR. Strategi Peningkatan Dayasaing Agroindustri Lidah Buaya di Kota Pontianak. Dibimbing oleh HENY KUSWANTI DARYANTO dan LUKMAN MOHAMMAD BAGA. Kota Pontianak merupakan salah satu sentra agroindustri lidah buaya di Indonesia yang banyak berkembang pada skala industri kecil dan rumah tangga. Namun agroindustri ini masih menghadapi berbagai permasalahan, seperti sulitnya memasarkan produk, rendahnya teknologi produksi, rendahnya teknik pengolahan dan kualitas produk, terbatasnya modal dan akses pasar, serta penjualan yang masih berdasarkan pesanan, sehingga akan mempengaruhi dayasaing dan menyebabkan agroindustri lidah buaya belum berkembang. Penelitian ini bertujuan (1) menganalisis kondisi dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak, (2) menganalisis faktor-faktor penentu dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak, (3) merumuskan prioritas strategi peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. Untuk menganalisis kondisi dayasaing agroindustri lidah buaya digunakan pendekatan teori Diamond Porter. Sedangkan untuk menganalisis faktor-faktor penentu dayasaing dan perumusan strategi peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya digunakan Analytical Hierarchy Process (AHP), dengan struktur hirarki pada AHP berdasarkan pada teori Diamond Porter. Data AHP diperoleh dari para pakar yang mengisi kuesioner dengan memberikan skala banding berpasangan, selanjutnya data diolah dengan Expert Choice 2000. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak belum memiliki dayasaing, karena hanya satu pasang komponen utama yang memiliki keterkaitan yang saling mendukung diantara enam pasang komponen utama pada sistem dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. Sedangkan faktor penentu dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak adalah kondisi permintaan domestik dengan sub faktor komposisi permintaan domestik, dan kondisi sumberdaya dengan sub faktor sumberdaya manusia. strategi yang diprioritaskan untuk peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak adalah (1) memproduksi produk dengan kualitas yang sesuai dengan permintaan pasar lokal dan ekspor, (2) menciptakan inovasi produk untuk semua segmen permintaan pasar. Kebijakan yang sebaiknya perlu dilakukan oleh pemerintah dalam upaya pengembangan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak adalah (1) menyusun program kebijakan mengenai penetapan standarisasi produk skala nasional, (2) melakukan penyuluhan dan pembinaan secara intensif terhadap penerapan standar operasional produksi (SOP), dan (3) pemerintah kerjasama dengan pelaku usaha dalam melakukan pelatihan atau seminar mengenai kewirausahaan agar wawasan pengusaha menjadi terbuka untuk menerima dan melakukan hal-hal baru serta mampu berinovasi menciptakant produk yang dibutuhkan pasar. Kata kunci: agroindustri, AHP, Diamond Porter, dayasaing, lidah buaya.
SUMMARY ALFATH DESITA JUMIAR. The Competitiveness Improvement Strategy Of Aloe Vera Agroindustry In Pontianak Municipality. Supervised by HENY KUSWANTI DARYANTO and LUKMAN MOHAMMAD BAGA. Pontianak is one of the central productions of aloe vera in Indonesia which is mostly grown on a small and home scale industries. However, these agroindustry still face various problems, such as the difficulty of marketing product, lack of production technology, low of product quality and limited production capital, thereby affecting competitiveness and lead to the agro-industry has not developed. The purpose of this study were to (1) analyze the competitiveness condition of aloe vera agroindustry in Pontianak, (2) identify the factors that affect competitiveness of aloe vera agro-industry in Pontianak, (3) formulate a strategy to improve the competitiveness of aloe vera agro-industry for development of aloe vera agro-industry in Pontianak. Competitiveness analysis of the aloe vera agroindustrial conditions use Porter's Diamond theory approach. While to analysis of competitiveness determinats and the strategies formulation for improving competitiveness of aloe vera agroindustry uses Analytical Hierarchy Process (AHP), the hierarchical structure of the AHP is based on Porter‟s Diamond theory. AHP data obtained from experts who fill out a questionnaire in the form of pairwise comparisons assessment, then the data is processed using Expert Choice 2000 The result descriptive analysis showed that agroindustry aloe vera in Pontianak does not have competitiveness, because only one pair of main components which has a mutually supportive relationship among the six pairs of the main components in the system competitiveness of aloe vera agroindustry in Pontianak. Whereas the determinants factor in the competitiveness of aloe vera agroindustry in Pontianak are domestic demand conditions with subfactor home demand composition, and condition of the resource with the subfactor of human resource. Strategy priorities to improve competitiveness of aloe vera agroindustry in Pontianak are (1) to produce high products in accordance with the local and export market demand, (2) to create innovative products for all segments of the market demand. Polices which can be conducted by government in developing aloe vera agroindustry in Pontianak are (1) to design policy program of product standardization in national scale, (2) to conduct intensive counseling and guidance on the implementation of the operational standards of production (SOP), and (3) government cooperation with businesses in conducting trainings or seminars on entrepreneurship, in order to be open to entrepreneurs insight receiving and doing new things and be able to innovate to create the required product market Key words: competitiveness, agro-industry, aloe vera, Diamond Porter, AHP
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STRATEGI PENINGKATAN DAYASAING AGROINDUSTRI LIDAH BUAYA DI KOTA PONTIANAK
ALFATH DESITA JUMIAR
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis
: Dr Ir Suharno, M.Adev
Penguji Program Studi
: Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Judul Tesis Nama NIM
: Strategi Peningkatan Dayasaing Agroindustri Lidah Buaya di Kota Pontianak : Alfath Desita Jumiar : H451100411
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Hen Kuswanti Ketua
anto MEc
If Lukman Mohammad Baga, MAEc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Agribisnis
Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Tanggal Ujian:
o1
AUG 2013
Tanggal Lulus:
a4
OCT 2013
Judul Tesis : Strategi Peningkatan Dayasaing Agroindustri LIdah Buaya di Kota Pontianak Nama : Alfath Desita Jumiar NIM : H451100411
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Heny Kuswanti Daryanto, MEc Ketua
Ir Lukman Mohammad Baga, MAEc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Agribisnis
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena rahmat dan hidayah-Nya, tesis yang berjudul “Strategi Peningkatan Dayasaing Agroindustri Lidah Buaya di Kota Pontianak” dapat diselesaikan. Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik atas dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada: 1. Dr Ir Heny Kuswanti Daryanto, MEc selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Ir Lukman Mohammad Baga, MAEc selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala bimbingan, arahan, motivasi dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis. 2. Dr Ir Netti Tinaprilla, MM selaku Dosen Evaluator pada pelaksanaan kolokium proposal penelitian yang telah memberikan banyak arahan dan masukan sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik. 3. Dr Ir Suharno, M.Adev selaku dosen penguji luar komisi dan Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku dosen penguji perwakilan program studi pada ujian tesis yang telah memberikan masukan dan arahan kepada penulis untuk penyempurnaan tesis. 4. Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Agribisnis dan Dr Ir Suharno, M.Adev selaku Sekretaris Program Studi Agribisnis, serta seluruh staf Program Studi Agribisnis atas bantuan dan kemudahan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan. 5. Dr Radian selaku Dosen Fakultas Pertanian Universitas Tanjung Pura, Ika Windriatmo, SP selaku Kasi P2HP, dan ibu Utari, SP serta rekanrekan di Aloe Vera Center atas bantuan, kesediaan dan kerjasamanya dalam memberikan data dan informasi yang diperlukan selama penelitian. 6. Bapak/Ibu pengusaha olahan lidah buaya di Kota Pontianak atas kesediaan dan kerjasamanya dalam memberikan informasi yang diperlukan selama penelitian. 7. Teman-teman seperjuangan pada Program Studi Agribisnis atas diskusi, masukan dan bantuan selama mengikuti pendidikan. 8. Penghormatan yang tinggi dan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta Bustami M. Noor dan Winarti, suami tercinta Erwin Polma Panggabean, SP, serta Kakak dan Adik tercinta, yang telah memberikan dukungan selama mengikuti pendidikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, September 2013
Alfath Desita Jumiar
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian dan Batasan Penelitian
1 4 7 7 8
2 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Peranan Agroindustri 8 Karakteristik dan Perkembangan Agroindustri Lidah Buaya di Indonesia 9 Faktor yang Mempengaruhi Dayasaing Agroindustri 10 3 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Konsep Agroindustri Konsep Dayasaing Kompetitif Konsep Diamond Porter Konsep Strategi Kerangka Pemikiran Operasional
14 14 14 16 20 22
4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengambilan Sampel Metode Pengolahan dan Analisis Data Pendekatan Teori Diamond Porter (Porter’s Diamond Theory) Analytical Hierarchy Process (AHP)
25 25 26 26 27 30
5 GAMBARAN UMUM WILAYAH KOTA PONTIANAK Kondisi Geografi Kota Pontianak Kondisi Demografi Kota Pontianak Kondisi Sosial Ekonomi Kota Pontianak
36 38 39
6 PROFIL AGROINDUSTRI LIDAH BUAYA DI KOTA PONTIANAK Sejarah dan Perkembangan Agroindustri Lidah Buaya di Kota Pontianak 41 Karakteristik Pengusaha Agroindustri Lidah Buaya di Kota Pontianak 42 Kendala Agroindustri Lidah Buaya di Kota Pontianak 47 7 DAYASAING AGROINDUSTRI LIDAH BUAYA DI KOTA PONTIANAK Kondisi Faktor Sumberdaya 49 Sumberdaya Alam atau Fisik 49 Sumberdaya Manusia 52 Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 53 Sumberdaya Modal 55 Sumberdaya Infrastruktur 55
Kondisi Permintaan Domestik Komposisi Permintaan Domestik Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan Internasionalisasi Permintaan Domestik Industri Terkait dan Industri Pendukung Industri Terkait Industri Pendukung Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan Peran Pemerintah Peran Kesempatan Keterkaitan Komponen Utama Penentu Dayasaing Agroindustri Lidah Buaya di Kota Pontianak Keterkaitan Antara Komponen Kondisi Faktor Sumberdaya dengan Kondisi Permintaan Domestik Keterkaitan Antara Komponen Kondisi Permintaan Domestik dengan Industri Terkait dan Pendukung Keterkaitan Antara Komponen Industri Terkait dan Pendukung dengan Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan Keterkaitan Antara Komponen Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan dengan Kondisi Faktor Sumberdaya Keterkaitan Antara Komponen Kondisi Faktor Sumberdaya dengan Industri Terkait dan Pendukung Keterkaitan Antara Komponen Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan dengan Kondisi Permintaan Domestik Keterkaitan Komponen Pendukung Penentu Dayasaing Agroindustri Lidah Buaya di Kota Pontianak Peran Pemerintah Terhadap Kondisi Faktor Sumberdaya Peran Pemerintah Terhadap Kondisi Permintaan Domestik Peran Pemerintah Terhadap Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan Peran Pemerintah Terhadap Industri Terkait dan Pendukung Peran Kesempatan Terhadap Komponen Utama 8 STRATEGI PENINGKATAN DAYASAING AGROINDUSTRI LIDAH BUAYA DI KOTA PONTIANAK Prioritas Faktor Penentu Dayasaing Agroindustri Lidah Buaya di Kota Pontianak Kondisi Permintaan Domestik dengan Sub Faktor Komposisi Permintaan Domestik Kondisi Faktor Sumberdaya dengan Sub Faktor Sumberdaya Manusia Prioritas Strategi Peningkatan Dayasaing Agroindustri Lidah Buaya di Kota Pontianak Kebijakan Peningkatan Dayasaing Agroindustri Lidah Buaya di Kota Pontianak 9 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
56 56 57 58 58 59 60 61 61 62 63 63 64 65 65 66 66 67 67 68 68 68 69
71 71 74 75 78 80 80
DAFTAR PUSTAKA
81
LAMPIRAN
85
RIWAYAT HIDUP
97
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Perusahaan pengolah lidah buaya di Indonesia Luas tanam dan produksi lidah buaya di Kota Pontianak Produk turunan lidah buaya di Kota Pontianak Responden pengusaha agroindustri lidah buaya Nilai skala banding berpasangan Matrik pendapat individu (MPI) Matrik pendapat gabungan (MPG)
3 3 4 26 32 33 33
Nilai indeks random (RI) Luas wilayah Kota Pontianak menurut kecamatan Jumlah penduduk Kota Pontianak menurut kecamatan Jumlah penduduk Kota Pontianak menurut umur Jumlah penduduk Kota Pontianak menurut lapangan kerja Jumlah petani menurut kecamatan di Kota Pontianak Kelompok umur pengusaha agroindustri lidah buaya Pengusaha agroindustri lidah buaya menurut umur Pengusaha agroindustri lidah buaya menurut jenis kelamin Pengusaha agroindustri lidah buaya menurut tingkat pendidikan Pengusaha agroindustri lidah buaya menurut lama usaha Pengusaha agroindustri lidah buaya menurut status pekerjaan Jumlah petani dengan luas lahan lidah buaya di Kota Pontianak Lembaga pengembangan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak
35 37 38 39 40 40 43 43 44 45 46 46 50 54
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kaitan agroindustri dan produksi primer dan pemasaran Pohon industri lidah buaya Faktor penghambat dayasaing industri Keterkaitan pelaku kegiatan agroindustri di Indonesia Sistem lengkap keunggulan kompetitif nasional Manfaat strategi Kerangka pemikiran operasional Abstraksi sistem keputusan Keterkaitan antar komponen penentu dayasaing pada sistem agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak
1 2 12 14 20 22 24 35 70
DAFTAR LAMPIRAN 1 Nilai pangsa pasar sektoral terhadap PDB Indonesia tahun 2004-2010 2 Nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja subsektor agroindustri 3 Struktur hirarki strategi peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak 4 Hasil analisis AHP pada strategi peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak 5 Struktur hirarki hasil analisis AHP pada strategi peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak
85 85 86 90 96
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Agroindustri merupakan salah satu bagian dari subsistem agribisnis yang berperan sebagai penggerak pembangunan sektor pertanian dalam menciptakan pasar bagi hasil-hasil pertanian melalui berbagai produk olahannya. Agroindustri berperan penting dalam kegiatan pembangunan daerah, baik dalam sasaran pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi, maupun stabilitas nasional (Soekartawi 2000). Agroindustri telah memberikan kontribusi yang cukup berarti dalam perekonomian nasional, diantaranya berperan dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Nilai pangsa pasar subsektor agroindustri selalu memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan subsektor non agroindustri yaitu sebesar 12.59 persen (Lampiran 1). Di samping itu, agroindustri juga berkontribusi dalam menciptakan nilai tambah bagi produk pertanian dan menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar (Lampiran 2). Agroindustri dianggap sebagai subsektor yang mampu menjadi penyangga ekonomi nasional. Namun, selama ini agroindustri belum dapat dijadikan sebagai penarik pembangunan sektor pertanian, dikarenakan masih menghadapi beberapa permasalahan yang dapat menghambat peningkatan dayasaing nasional seperti adanya hambatan dalam logistik dan infrastruktur, lambannya perkembangan teknologi, ekonomi biaya tinggi yang menyebabkan inefisiensi, hambatan pembiayaan (modal), dan hambatan regulasi (Kementerian Perindustrian 2011). Maka dari itu, penguatan subsektor agroindustri harus terus dilakukan, diantaranya dengan meningkatkan dan memperluas sarana dan prasarana fisik dan ekonomi, serta meningkatkan keterpaduan antara penyedia bahan baku, agroindustri dan lembaga pemasaran. Produksi primer oleh petani sebagai penyedia bahan baku
Agroindustri
Lembaga Pemasaran
Gambar 1 Kaitan agroindustri dengan produksi primer dan pemasaran Sumber: Soeharjo (1991) dalam Fajri (2000)
Agroindustri mengandalkan produk pertanian yang memiliki karakteristik mudah rusak (perishable), bulky/volumineous, tergantung kondisi alam, bersifat musiman, serta teknologi dan manajemennya akomodatif terhadap heterogenitas sumberdaya manusia (dari tingkat sederhana sampai teknologi maju). Keberlangsungan agroindustri bergantung pada produk pertanian yang terdapat di suatu daerah, salah satunya adalah agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. Lidah buaya merupakan salah satu tanaman obat (biofarmaka) yang banyak dimanfaatkan oleh industri farmasi dan kosmetik, bahkan telah meluas pada industri makanan dan minuman, serta industri pertanian. Nilai tambah produk (added value) yang dihasilkan dari lidah buaya memiliki nilai ekonomis tinggi. Adapun potensi lidah buaya dapat dilihat pada pohon industri lidah buaya yang ditunjukkan Gambar 2.
2 Makanan Gel (Pulp) Minuman
Kosmetik
Pupuk Organik
Farmasi
Kulit Teh Lidah Buaya
Spray Dried Powder
Agro Industri
Powder
Freeze Dried Powder
Kosmetik
Ekstrak Senyawa aktif
Juice
Minuman Kesehatan
Medical Purposes
Farmasi
Farmasi
Minuman Kesehatan
Kosmetik Konsentrat
Farmasi Industri Kimia
Gambar 2 Pohon industri lidah buaya Sumber: Aloe Vera Center (2004)
Secara umum, lidah buaya termasuk salah satu dari 10 jenis tanaman terlaris di dunia, pemanfaatannya telah banyak dikembangkan oleh negara-negara maju seperti Amerika, Australia, dan negara di benua Eropa sebagai bahan baku industri farmasi, kosmetik, dan pangan (Sulaeman 2004). Menurut data statistik penjualan dari Nutrition Business Journal (NBJ) bahwa produk lidah buaya mengalami peningkatan sebesar 17.13 persen, dan masuk dalam lima besar produk herbal terlaris di Amerika (Blumenthal 2012). World Health Organization (WHO) juga mencatat bahwa terdapat lebih dari 23 negara yang menggunakan lidah buaya sebagai bahan baku obat (Furnawanthi 2003). Secara komersil, lidah buaya telah dibudidayakan oleh Amerika Serikat, Meksiko, Karibia, Israel, Australia dan Thailand (Aloe Vera Center, 2004). Pasar untuk produk lidah buaya pun begitu menjanjikan, salah satunya adalah Jepang yang menjadi pengguna lidah buaya terbesar di dunia dengan kebutuhan lidah buaya segar mencapai 20 kontainer atau 300 ton per bulan yang dipasok dari Brazil dan Thailand (Hendrawati 2007). Permintaan lidah buaya segar pun datang dari negara Malaysia, Singapura, Hongkong, dan Taiwan (Aloe Vera Center 2004). Di Indonesia, pengembangan agribisnis lidah buaya telah diusahakan di daerah Purworejo (Jawa Tengah), Bogor dan Parung (Jawa Barat), meskipun skala usahanya masih relatif sempit dan lokasinya terpencar. Sedangkan untuk sentra produksi lidah buaya terdapat di Kota Pontianak yang berada pada suatu Kawasan Sentra Agribisnis Pontianak (KSAP) (Wijayanti et al. 2007). Secara umum, lidah buaya memiliki diversifikasi produk yang luas, misalnya dapat digunakan sebagai bahan baku obat, kosmetik, makanan, minuman, dan pakan nutrisi untuk ternak. Namun agroindustri lidah buaya yang ada di Indonesia hanya sebatas mengolah lidah buaya menjadi produk minuman. Pada Tabel 1 berikut memuat daftar perusahaan produk turunan lidah buaya di Indonesia.
3 Tabel 1 Perusahaan pengolah lidah buaya di Indonesia Perusahaan
Produk
Merk
PT. Libe Bumi Abadi PT. Niramas Utama
Minuman, tea, juice
Libe
Minuman
Inaco
PT. Aloe Vera Indonesia
Minuman
Aloemax
PT. Aloe Nusantara Utama Jakarta
Tepung
-
PT. Keong Nusantara Abadi PT. Kavera Biotech
Minuman Minuman
Wong coco Kavera
Sumber: Aloe Vera Center (2007); Suinaya (2008); Widonoto (2009)
Lidah buaya dari Kota Pontianak merupakan varietas unggul di Indonesia dengan ukuran panjang pelepah mencapai 60 sampai 70 cm, lebar pelepah mencapai 8 sampai 13 cm, berat pelepah mencapai 0.8 sampai 1.2 kg, dan ketebalan daging atau gel lidah buaya mencapai 2 sampai 3 cm (SK Menteri Pertanian 2003). Ukuran lidah buaya ini lebih besar bila dibandingkan dengan daerah lain atau di negara lain seperti Amerika dan Cina. Ukuran lidah buaya yang dibudidayakan di Amerika dan Cina, hanya memiliki panjang pelepah mencapai 50 cm dengan berat 0.5 sampai 0.6 kilogram per pelepah, dan dipanen hanya satu kali dalam setahun karena kendala musim dingin (Sulaeman 2004). Ukuran tersebut menjadikan lidah buaya Pontianak termasuk dalam kualitas ekspor yang sesuai dengan kualifikasi permintaan pasar luar negeri. Lidah buaya menjadi salah satu komoditas tanaman pertanian unggulan di Kota Pontianak selain jeruk siam, nenas, pepaya, pisang, dan durian (Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Pontianak, 2012). Produksi lidah buaya di Kota Pontianak mencapai 6 359 ton pada tahun 2012, dan diperkirakan akan meningkat di tahun berikutnya dikarenakan pemerintah daerah setempat sedang merencanakan program “One Village One Product” untuk mengembangkan potensi daerah. Tidak hanya pengembangan dari aspek budidaya, namun juga pada tahap pengolahannya, sehingga diperkirakan akan terjadi peningkatan luas tanam lidah buaya. Adapun luas tanam dan produksi lidah buaya di Kota Pontianak dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Luas tanam dan produksi lidah buaya di Kota Pontianak Tahun
Luas Tanam (Ha)
Luas Panen (Ha)
Produktivitas (Ton/Ha)
Produksi (ton)
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
161 121 100 70 67 44 37 46 79
137 121 65 20 45 43 37 46 46
122.88 122.88 122.88 122.90 122.89 122.88 122.86 122.87 138.24
16 835 14 868 7 987 2 458 5 530 5 284 4 546 5 652 6 359
Sumber: Aloe Vera Center Kota Pontianak (2012)
4 Di Indonesia, lidah buaya telah menjadi komoditi ekspor dengan negara tujuan yaitu Hongkong, Malaysia, Singapura, dan Taiwan. Lidah buaya yang diekspor berupa lidah buaya segar sebagai raw material. Selain sebagai pengekspor lidah buaya segar, Indonesia juga mengimpor tepung lidah buaya (aloe powder) dari Amerika dan Australia untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri farmasi dan kosmetik dalam negeri. Harga aloe powder yang di impor tersebut relatif mahal yakni mencapai US$ 100 sampai 150 per kilogram (Hendrawati 2007). Situasi ini sangat disayangkan mengingat besarnya potensi dan produksi lidah buaya yang ada di Indonesia khususnya yang terdapat di Kota Pontianak, belum diikuti dengan besarnya minat dalam upaya pengembangan agroindustri lidah buaya. Perumusan Masalah Di Kota Pontianak terdapat industri pengolahan lidah buaya yang telah ada sejak tahun 1990. Agroindustri ini berdiri pada skala usaha kecil dan rumah tangga, yang pada saat itu baru mengolah lidah buaya menjadi minuman siap saji. Kemudian pada tahun 1995 mengalami perkembangan menjadi minuman lidah buaya dalam kemasan. Hingga saat ini, agroindustri lidah buaya mengalami perkembangan dalam diversifikasi produknya, dan telah memproduksi berbagai produk lidah buaya dalam kemasan seperti teh, dodol, manisan, kerupuk, selai, stick, cokelat lidah buaya, kue lapis, kue kering, larutan penyegar panas dalam (instan), juice, bahkan telah ada pengusaha yang memproduksi sabun lidah buaya. Kegiatan pengolahan pada agroindustri lidah buaya masih menggunakan teknik pengolahan dan teknologi produksi yang sederhana. Adapun jenis produk turunan lidah buaya di Kota Pontianak dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Produk turunan lidah buaya di Kota Pontianak Makanan Dodol Kerupuk Jelly dan manisan Kue kering dan kue lapis Selai Coklat lidah buaya
Minuman Nata de aloe Teh Juice Larutan penyegar/Instan
Produk lainnya Sabun
Sumber: Aloe Vera Center (2012)
Dalam perkembangannya, agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak masih menghadapi berbagai permasalahan, diantaranya menurut Dimyati dan Sahari (2002) bahwa kandungan nutrisi seperti vitamin, mineral, enzim, dan asam amino pada produk olahan lidah buaya yang dihasilkan belum sesuai dengan standar International Aloe Science Council (IASC). Hal ini disebabkan masih rendahnya teknik pengolahan yang digunakan sehingga kandungan nutrisi pada produk olahan lidah buaya menjadi berkurang. Standar yang ditetapkan oleh IASC yaitu lidah buaya pada saat diolah menjadi suatu produk, harus memiliki kandungan nutrisi yang sama dengan lidah buaya dalam keadaan segar atau belum diolah. Disamping itu menurut Ellyta (2006)
5 bahwa kualitas produk yang dihasilkan belum sesuai dengan apa yang diinginkan pasar, padahal kualitas produk yang dihasilkan merupakan faktor utama penentu harga dan permintaan produk di pasar domestik maupun ekspor. Kemampuan untuk menjamin kualitas sesuai dengan permintaan konsumen merupakan kunci keunggulan kompetitif. Namun, untuk meningkatkan kualitas produk lidah buaya, pengusaha masih terkendala dengan modal produksi. Kualitas produk yang dimaksud terkait dengan tidak adanya informasi nilai gizi dan ingredient dalam kemasan, belum adanya izin resmi dari BP-POM. Izin yang dimiliki hanya sebatas izin dari Dinas Kesehatan berupa P-IRT, bahan kemasan yang masih sederhana dimana pengolah hanya menggunakan kotak mika, untuk minuman lidah buaya hanya dikemas dalam plastik yang dipress. Jikapun ada pengusaha yang menggunakan bahan kemasan yang berkualitas, pengusaha tersebut harus memesan atau membelinya dari luar Kota Pontianak seperti dari Bandung, Jakarta, hingga ke Kuching (Malaysia). Tidak adanya perusahaan atau agen yang menjual kemasan di Kota Pontianak, menjadikan pengusaha agroindustri lidah buaya harus mengeluarkan biaya ekstra untuk memperoleh kemasan yang baik bagi produknya. Belum tersedianya industri kemasan di wilayah Kota Pontianak, menyebabkan agroindustri lidah buaya mengalami kesulitan dalam memenuhi input untuk proses pengemasan. Di sisi lain, penggunaan air untuk pencucian, perendaman, dan konsumsi juga mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan, khususnya untuk memproduksi minuman lidah buaya. Hal ini karena kualitas air yang digunakan sangat mempengaruhi rasa dan masa simpan produk. Untuk mendapatkan air yang berkualitas, pengusaha harus memesannya melalui distributor air yang berada di luar Kota Pontianak, sehingga biaya produksi yang dikeluarkan menjadi bertambah. Tingginya biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi akan mempengaruhi harga jual produk yang relatif mahal, sehingga menjadikan agroindustri tidak berdayasaing. Menurut Salvatore (1997) bahwa dayasaing tercermin dari harga jual yang bersaing dan mutu yang baik, sehingga perusahaan atau industri memiliki keunggulan di pasar domestik atau internasional dibandingkan pesaingnya. Keberlanjutan proses produksi agroindustri lidah buaya ditentukan berdasarkan pesanan dari konsumen, karena sebagian besar pengolah belum memiliki pasar yang pasti atau tetap yang bersedia membeli produk lidah buaya yang dihasilkan. Pengusaha mendistribusikan produk lidah buayanya di pasar lokal Kota Pontianak, seperti di toko-toko swalayan, supermarket, toko souvenir dan makanan khas Kota Pontianak, bandara, dan tempat lainnya dengan sistem kongsinasi. Permintaan produk lidah buaya di pasar Kota Pontianak sendiri masih terbilang rendah, hal ini terlihat dari masih sedikitnya jumlah produk yang dipasarkan pengusaha dan lambatnya produk tersebut terjual di pasar. Pengusaha lebih banyak memasarkan produknya ke luar daerah seperti Jakarta, Semarang, Bali, Bandung, dan Batam, bahkan sudah ada pengusaha yang mengekspor produk lidah buayanya. Hal ini mengingat permintaan di luar daerah Kota Pontianak relatif lebih banyak dan pemasarannya lebih baik dibandingkan pasar lokal Kota Pontianak, meskipun belum semua pengusaha mengalami hal serupa. Jaringan pasar di luar Kota Pontianak dibangun pengusaha berdasarkan pada kerjasama dengan kerabat atau kolega yang tinggal di luar Kota Pontianak yang kemudian bersedia memasarkan atau mempromosikan produk lidah buaya di daerah tempat tinggalnya. Akan tetapi, mayoritas pengusaha belum memiliki akses pasar yang baik hingga luar Kota Pontianak, sehingga menyebabkan pasar tujuan produk lidah buaya menjadi sangat terbatas.
6 Dari teknologi pengolahan, agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak masih sederhana dan hampir semua pengusaha yang ada memproduksi lidah buaya menjadi produk yang hampir sama seperti dodol, manisan, dan minuman (nata de aloe). Belum adanya inovasi produk yang berbeda baik dari segi bentuk maupun manfaat, menyebabkan produk lidah buaya yang dihasilkan belum memiliki keunggulan yang dapat dimanfaatkan secara luas. Menurut Porter (1990), persoalan dayasaing industri senantiasa terkait dengan strategi bersaing yang berorientasi pada harga rendah dan pembedaan produk. Seperti diketahui lidah buaya memiliki diversifikasi produk yang luas, tidak hanya dapat diolah menjadi makanan dan minuman, namun dapat juga diolah menjadi tepung lidah buaya yang bermanfaat untuk industri farmasi, kosmetik, makanan, minuman, dan pakan. Dengan mengolah lidah buaya menjadi tepung, maka kandungan nutrisi lidah buaya dapat terjaga dengan baik sesuai dengan kandungan nutrisi pada tanaman segarnya. Pengolahan lidah buaya menjadi tepung akan memberikan nilai tambah yang besar bagi agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak, tidak hanya memiliki nilai ekonomi yang tinggi, namun pasar untuk tepung lidah buaya juga cukup menjanjikan khususnya untuk pasar dalam negeri, karena selama ini industri farmasi dan kosmetik di Indonesia masih mengimpor tepung lidah buaya dari Amerika dan Australia. Sedangkan industri tepung lidah buaya yang ada di Indonesia belum mampu mengsuplai kebutuhan pasar tersebut. Menurut Sulaeman (2004), hasil olahan yang terbatas hanya akan memberikan sedikit nilai tambah. Nilai tambah yang besar akan diperoleh jika lidah buaya dapat diolah menjadi produk yang dibutuhkan industri sebagai bahan baku industri lanjutan, seperti industri farmasi dan kosmetik. Di samping itu, dengan adanya inovasi produk yang berbeda dari yang lain, akan memberikan keunggulan tersendiri pada agroindustri lidah buaya tersebut, sehingga mampu bersaing di pasar domestik maupun internasional. Porter (1990) mengungkapkan bahwa dayasaing industri adalah kemampuan industri untuk memperoleh keunggulan kompetitif dengan berdasarkan pada empat komponen utama yaitu kondisi sumberdaya, kondisi permintaan, strategi perusahaan dan struktur persaingan, industri pendukung dan industri terkait, dan dua komponen pendukung yaitu peran pemerintah, dan peran kesempatan. Peranan masing-masing komponen tersebut sangat diperlukan bagi terbentuknya dayasaing industri di suatu wilayah atau daerah yang memiliki potensi sumberdaya pertanian unggulan. Semua komponen tersebut saling mempengaruhi dan memiliki keterkaitan antar satu dengan lainnya, serta akan membentuk sebuah sistem dayasaing industri yang saling terintegrasi di suatu wilayah atau daerah. Sistem dayasaing industri tersebut dikenal dengan model Diamond Porter. Menurut Wiyadi (2009) bahwa model Diamond Porter bersifat dinamis dan komprehensif, karena tidak hanya mencakup kondisi faktor tetapi juga dimensi penting lainnya secara simultan. Jika merujuk pada komponen model Diamond Porter, permasalahan yang dialami agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak sangat terkait dengan komponen Diamond Porter seperti tidak adanya industri kemasan yang berkaitan dengan komponen industri terkait dan pendukung, sulitnya mendapatkan air bersih yang berkaitan dengan komponen kondisi sumberdaya, belum terpenuhinya permintaan pasar akan tepung lidah buaya yang berkaitan dengan komponen kondisi permintaan, dan lain sebagainya. Kondisi ini menyebabkan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak belum mengalami perkembangan sebagaimana yang terjadi pada subsistem on farm lidah buaya. Oleh karena itu, menurut Idawati (2002) bahwa industri
7 pengolahan lidah buaya di Kota Pontianak perlu mendapat perhatian berupa pembinaan dan pengembangan industri yang mengarah pada upaya peningkatan dayasaing, hal ini dikarenakan industri pengolahan lidah buaya yang ada masih terbatas pada industri rumah tangga dengan peralatan teknologi yang sederhana, keterbatasan modal dan sumberdaya yang dimiliki. Dengan demikian, diperlukan kerjasama dari semua pihak, baik itu pelaku usaha maupun pemerintah untuk membangun agroindustri lidah buaya yang berdayasaing di Kota Pontianak, agar pengembangan agroindustri lidah buaya dapat terwujud. Salah satu caranya adalah dengan mengetahui kondisi dayasaing dan faktor-faktor yang menjadi penentu dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak dengan berdasarkan komponen yang terdapat pada Diamond Porter, serta merumuskan prioritas strategi yang dapat meningkatkan dayasaing agroindustri tersebut. Oleh karena itu, perumusan masalah dari penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana kondisi dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak ? 2. Faktor-faktor apa saja yang menentukan dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak ? 3. Bagaimana merumuskan prioritas strategi peningkatan dayasaing untuk pengembangan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak ? Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis kondisi dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. 2. Menganalisis faktor-faktor penentu dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. 3. Merumuskan prioritas strategi peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya untuk pengembangan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah daerah atau instansi terkait dalam membangun sektor pertanian khususnya komoditas lidah buaya di Kota Pontianak. 2. Sebagai referensi untuk menentukan kebijakan dan strategi dalam usaha pengembangan agroindustri lidah buaya yang berdayasaing. 3. Dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya yang tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang agribisnis lidah buaya. 4. Bagi penulis, penelitian ini merupakan sarana pengembangan wawasan dalam menganalisis dan memecahkan permasalahan yang terjadi pada agroindustri, khususnya komoditas lidah buaya.
8 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Adapun ruang lingkup dan batasan dalam penelitian ini antara lain : 1. Penelitian ini dilakukan di Kota Pontianak sebagai sentra produksi dan agroindustri lidah buaya yang ada di Kalimantan Barat. 2. Penelitian ini difokuskan pada agroindustri lidah buaya yang ada di Kota Pontianak, yang memproduksi produk makanan dan minuman lidah buaya dalam kemasan pada skala industri kecil dan rumah tangga. 3. Penelitian ini difokuskan pada faktor-faktor penentu dayasaing yang mempengaruhi keunggulan kompetitif agroindustri lidah buaya yang ada di Kota Pontianak. 4. Penelitian ini menitikberatkan pada prioritas strategi yang dilakukan dalam upaya peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya yang ada di Kota Pontianak.
2 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Peranan Agroindustri Sektor agroindustri dianggap sebagai bagian dari sektor manufaktur yang memproses bahan baku dan produk antara yang berasal dari pertanian, perikanan dan kehutanan. Dengan demikian, sektor agroindustri merupakan bagian dari konsep agribisnis yang luas yakni mencakup suppliers input pertanian, perikanan dan sektor kehutanan, serta distributor makanan dan non-makanan dari agroindustri (FAO 2009). Menurut Soekartawi (2000), agroindustri merupakan bagian dari enam subsistem agribisnis yaitu subsistem penyediaan sarana produksi dan peralatan, usahatani, pengolahan hasil (agroindustri), pemasaran, sarana dan pembinaan. Keenam subsistem tersebut saling terkait dan tergantung satu sama lain, hambatan dalam satu subsistem akan mengakibatkan hambatan pada subsistem yang lain. Kegiatan agroindustri tidak mungkin berkembang tanpa dukungan pengadaan bahan baku dari kegiatan produksi pertanian maupun dukungan sarana perdagangan dan pemasaran. Berdasarkan pengertian agroindustri diatas, maka agroindustri dapat diartikan dalam dua hal. Pertama, agroindustri adalah industri yang berbahan baku utama dari produk pertanian. Suatu industri yang menggunakan bahan baku dari pertanian dengan jumlah minimal 20 persen dari jumlah bahan baku yang digunakan disebut agroindustri (FAO 2011). Kedua, agroindustri adalah suatu tahapan pembangunan sebagai kelanjutan dari pembangunan pertanian, tetapi sebelum tahapan pertanian tersebut mencapai tahapan pembangunan industri (Soekartawi 2000). Kaitan agroindustri dalam pertanian ada yang berlangsung kebelakang (backward linkage) dan kedepan (forward linkage). Agroindustri yang melakukan kegiatan pengadaan dan penyaluran sarana produksi pertanian disebut agroindustri hulu (upstream), sedangkan agroindustri yang melakukan kegiatan penanganan dan pengolahan produk pertanian disebut agroindustri hilir (downstream). Dalam agroindustri hilir terdapat tiga komponen penting yang merupakan satu kesatuan, yaitu pengadaan bahan baku (procurement), pengolahan (processing), dan pemasaran (marketing). Agroindustri berperan penting dalam sistem agribisnis karena berpotensi mendorong pertumbuhan dengan pangsa pasar produk nasional yang relatif besar, memiliki pertumbuhan dan nilai tambah yang relatif tinggi, menumbuhkembangkan
9 sektor lain, dan adanya unsur keragaman dalam kegiatan, sehingga agroindustri dianggap sebagai suatu sektor yang memimpin (leading sector) dimasa yang akan datang (Saragih 2010). Selain menciptakan nilai tambah, agroindustri juga ikut berperan dalam membuka peluang kerja khususnya dapat menarik tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri hasil pertanian (agroindustri), meningkatkan penerimaan devisa melalui peningkatan ekspor hasil agroindustri, memperbaiki pembagian pendapatan, menarik pembangunan sektor pertanian, dan mendorong berkembangnya industri hulu dan hilir pertanian (Supriyati dan Suryani 2006). Karakteristik dan Perkembangan Agroindustri Lidah Buaya di Indonesia Supriyati dan Suryani (2006) mengatakan bahwa peluang pengembangan agroindustri berdasarkan pada karakteristik pelakunya, dimana sifat karakteristik sumberdaya manusia, manajemen, usaha produksi (usahatani), sebaran produksi, karakteristik produksi (produksi, kualitas dan kuantitas produk, pola musiman), kelembagaan pemasaran dan permodalan sektor pertanian, merupakan faktor-faktor yang menyebabkan usaha agribisnis dan agroindustri berbeda dengan sektor lainnya (industri, perdagangan dan jasa). Namun, karakteristik agroindustri yang menonjol adalah adanya ketergantungan antar elemen-elemen agroindustri, yaitu pengadaan bahan baku, pengolahan, dan pemasaran produk (Suprapto 2011). Berdasarkan skala usahanya, agroindustri dikategorikan menjadi skala kecil atau rumah tangga, skala menengah, dan skala besar. Umumnya, usaha skala menengah dan besar sudah terintegrasi dengan pengolahan hasil pertanian (agroindustri) dan pemasaran (ekspor), yang merupakan produsen sarana dan prasarana produksi, pedagang, industriawan, eksportir, serta penyedia jasa-jasa seperti konsultan, lembaga keuangan serta lembaga pendidikan dan pelatihan agribisnis. Sementara itu, usaha skala kecil atau rumah tangga adalah kelompok yang dari segi ekonomi sangat lemah, akses ke sumber permodalan terbatas, memperoleh margin yang paling rendah, dan menghadapi resiko usaha yang paling besar (Supriyati dan Suryani 2006). Industri pengolahan lidah buaya di Indonesia, khususnya di Kota Pontianak sebagai sentra produksi lidah buaya, merupakan industri rumah tangga dengan peralatan teknologi yang sederhana (manual dan semi manual). Sederhananya teknologi pengolahan lidah buaya yang digunakan oleh home industry tidak lepas dari kemampuan modal dan sumberdaya yang dimiliki (Idawati 2002). Hal senada diungkapkan oleh Jumiar (2005) bahwa kondisi agroindustri lidah buaya yang terdapat di Kota Pontianak banyak berkembang pada skala industri rumah tangga (home industry) yang pada umumnya memproduksi minuman lidah buaya, dimana proses produksi dan peralatan yang digunakan masih konvensional. Hal ini sangat bertolak belakang dengan agroindustri lidah buaya yang ada di Amerika, dimana lidah buaya telah banyak diolah dalam bentuk powder menjadi produk “Royal Body Care” yang digunakan oleh Food and Drug Administrastion untuk merawat pasien penderita kanker (Sumarno 2002). Secara teknologi pengolahan sebenarnya agroindustri lidah buaya di Indonesia dapat memproduksi tepung lidah buaya yang dibutuhkan oleh industri farmasi dan kosmetik dalam negeri. Menurut Hendrawati (2007) bahwa kualitas mutu tepung lidah buaya yang dihasilkan sesuai dengan standar International Aloe Sciences Council (IASC), industri yang dirancang layak dari aspek teknis dan pasar, kualitas tepung lidah buaya yang dirancang juga dapat digunakan untuk formulasi produk kosmetika,
10 farmasi, makanan dan minuman kesehatan, serta lokasi terbaik berada di kecamatan Pontianak Utara. Dilihat dari batas harga jual tepung lidah buaya tersebut lebih murah jika dibandingkan dengan impor tepung lidah buaya dari Amerika atau Australia yang mencapai harga US$ 100 sampai 150 per kilogram. Sedangkan jika dilihat dari perkembangan kelembagaan yang ada pada komoditi lidah buaya (aloe vera) di Kalimantan Barat, Tjitroresmi (2003) mengungkapkan bahwa berbagai faktor di off-farm perlu dibenahi mulai dari identifikasi potensi pasar domestik dan ekspor, sarana prasarana penunjang pemasaran ke luar daerah, seperti cold storage dan armada kapal, industri pengolah lidah buaya menjadi bahan setengah jadi bagi industri farmasi, kosmetika, dan lainnya, sumber daya manusia yang kreatif dan mampu mencari informasi dan potensi pasar sekaligus mengembangkan inovasi baru dan perlakukan pasca panen lainnya. Kelembagaan ditingkat petani dan kelembagaan yang menyangkut aspek penyediaan sarana produksi, penyuluhan, permodalan, penelitian dan pasar perlu dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan manajerial petani dan keberhasilan bisnis aloe vera, serta kurang efektif dan efisiennya kelembagaan sarana produksi pemerintah yakni Aloe Vera Center. Faktor yang Mempengaruhi Dayasaing Agroindustri Haryadi (1998) mengungkapkan bahwa ada lima aspek yang berkaitan erat dengan keberhasilan usaha, yaitu aspek pemasaran, produksi, ketenagakerjaan, kewirausahaan dan akses kepada pelayanan. Keberhasilan dan pengembangan usaha kecil atau rumah tangga juga ditentukan oleh sumberdaya manusia berupa pendidikan dan skill yang dimiliki, ketersediaan modal baik investasi maupun modal kerja, perbaikan teknologi dan mencoba teknologi yang baru melalui pendidikan dan pelatihan untuk pengembangan teknologi, pemasaran yakni dengan memberi kesempatan bagi masyarakat untuk memperoleh informasi pasar, baku mutu produk, mempelajari teknologi pengembangan produk untuk memenuhi permintaan pasar serta menambah pengetahuan mengenai akses informasi, pengelolahan manajemen, dengan meningkatkan pengetahuan tentang pelayanan yang dapat diperoleh untuk mengembangkan usaha serta memberi pengetahuan tentang penerapan azas ekonomi (Sumodiningrat 1998; Hubeis 1997; Sjaifudian et al. 1997). Disamping faktor tersebut Hubeis (1997) juga menambahkan bahwa ada beberapa faktor lain yang ikut mempengaruhi keberhasilan suatu usaha, yaitu: a) Kebijakan pemerintah, berkaitan dengan upaya pemerintah untuk mengatur semua dimensi kegiatan manusia dalam suatu wilayah. Kebijakan pemerintah terhadap suatu usaha atau aktor ekonomi lainnya seperti perkreditan, perpajakan, perijinan, kemitraan, perundang-undangan, kebijakan mengenai perkembangan teknologi serta kebijakan mengenai perdagangan. b) Akses ke lembaga keuangan, berkaitan dengan sumber modal dari perbankan dalam menyediakan fasilitas kredit. c) Sistem informasi, berkaitan dengan penyediaan sumber informasi yang aktual tentang pasar, pasokan, produksi, teknologi, dan tentang pasar produk yang ditawarkan. d) Lokasi usaha, berkaitan dengan tempat usaha yang strategis, misalnya dekat dengan jaringan transportasi karena biaya transportasi akan mempengaruhi biaya pemasaran.
11 e) Gender. Pria umumnya lebih berani dalam mengambil resiko yang merupakan faktor penting dalam pengelolaan usaha, namun dari segi sosial budaya, kesempatan berusaha bagi pria lebih besar. Sehingga mengembangkan usaha kecil menjadi sangat relevan dengan isu perempuan, mengingat usaha kecil merupakan sumber pendapatan dan peluang berusaha utama bagi kebanyakan perempuan dan masyarakat pada umumnya. f) Umur pengusaha. Usia produktif yaitu 15 sampai 55 tahun merupakan salah satu faktor penting dalam mengembangkan usaha menjadi lebih baik. Dari perspektif perluasan kesempatan kerja, adanya kelompok usia produktif di dalam struktur demografis pengusaha menggambarkan bahwa usaha kecil dan menengah dapat menjadi sektor alternatif untuk mengurangi jumlah pengangguran. Indikator penting untuk mencapai kesuksesan jangka panjang dalam usaha kecil dan menengah adalah jiwa kewirausahaan atau entrepreneurship dan keberuntungan atau luck (Jay Barney 1986 dalam Ong WJ 2010). Industri kecil dan menengah di Poerto Rico dapat meraih kesuksesan di pasar global karena adanya kemampuan finansial, kemampuan sumberdaya manusia, teknologi yang canggih dan lengkap, inovasi produksi, dan strategi (Rodríguez 2011). Faktor yang dapat menghambat dayasaing suatu industri yaitu disebabkan terbatasnya sumberdaya permodalan, hambatan teknologi dan rendahnya efektivitas kelembagaan yang mampu melaksanakan fungsi-fungsi strategis. Sehingga menyebabkan rendahnya produktivitas dan dayasaing agroindustri, keterbatasan kapasitas dan kemampuan pelaku agroindustri untuk menghimpun sumberdaya dalam meningkatkan posisi tawar, lemahnya keterkaitan struktural agroindustri, baik secara internal maupun dalam hubungannya dengan sektor lain, kebijaksanaan makro dan mikro ekonomi yang kurang berpihak pada agroindustri (Djamhari 2004). Terhambatnya pengembangan agroindustri khususnya yang ada di dalam negeri, disebabkam karena adanya faktor seperti kurangnya ketersediaan bahan baku yang cukup dan continue, kurangnya peran agroindustri di pedesaan karena masih berkonsentrasinya agroindustri di perkotaan, kurang konsistennya kebijakan pemerintah terhadap agroindustri, kurangnya fasilitas permodalan (perkreditan) dan kalaupun ada prosedurnya amat ketat, keterbatasan pasar, lemahnya infrastruktur, kurangnya perhatian terhadap penelitian dan pengembangan, lemahnya keterkaitan industri hulu dan hilir, kualitas produksi dan prosesing yang belum mampu bersaing, dan lemahnya entrepreneurship (Soekartawi 2000). Oleh karena itu, untuk menata pembangunan agroindustri yang ada maka diperlukan visi dan misi pembangunan agroindustri. Faktor penghambat dayasaing industri lainnya adalah rendahnya produktivitas, infrastruktur yang kurang mendukung, peningkatan biaya produksi dan keterbatasan inovasi (Lestari 2010).
12 Kebijakan pemerintah yang kurang mendukung
Harga BBM naik
UMR naik terus
Otonomi daerah
Tingkat kewirausahaan dan inovasi yang rendah
Dayasaing menurun
Kurang dukungan pemerintah
Kualitas SDM rendah
Biaya produksi meningkat Birokrasi
Infrastruktur terbatas
Pungutan bertambah terus Banyaknya perda
Produktivitas rendah
Kredit Bank terbatas
Bank nasional belum sepenuhnya pulih
Penguasaan teknologi rendah
Kapasitas produksi terbatas Investasi rendah
Kurang dukungan dari swasta/ universitas
Rasa ketidakpastian untuk melakukan bisnis di Indonesia masih besar
Gambar 3 Faktor penghambat dayasaing industri Sumber: Lestari (2007)
Tiap-tiap agroindustri memiliki karakteristik yang berbeda-beda tergantung dimana lokasi agroindustri tersebut berada, sehingga faktor yang mempengaruhi dayasaingnya juga tidak sama. Seperti yang diungkapkan oleh Adi Bronto (2011) dalam penelitiannya mengenai pengembangan agroindustri gambir di Kabupaten lima Puluh Kota di Sumatera Barat bahwa lemahnya sistem kelembagaan pada agroindustri gambir di daerah tersebut akan mempengaruhi dayasaing agroindustri gambir, sehingga perlu dilakukan langkah-langkah strategis seperti pendirian industri katekin dan tannin, melakukan perbaikan kelembagaan melalui pembentukan klaster agroindustri gambir untuk melaksanakan pengembangan pemasaran (domestik maupun ekspor), perbaikan teknologi, pengembangan produk, peningkatan kualitas sumberdaya manusia maupun penanganan masalah permodalan. Pada tahap selanjutnya, perlu dilakukan penelitian dan pengembangan berbagai produk akhir serta pendirian industri secara bertahap untuk mendapatkan produk-produk hilir bernilai tambah tinggi yang diharapkan akan meningkatkan manfaat ekonomi bagi masyarakat dan pada akhirnya mampu menjamin keberlanjutan agroindustri gambir Indonesia. Sedangkan menurut Setyawan dan Wijana (2011) dalam penelitiannya tentang analisa kompetitif agroindustri kelapa di Indonesia dengan pendekatan Diamond Porter menunjukkan bahwa faktor utama yang mendukung dayasaing agroindustri kelapa adalah tingkat pasokan bahan baku, namun perlu dilakukan pengembangan tingkat produk yang lebih tinggi untuk meningkatkan kemampuan bersaing dengan produk impor berbasis kelapa. Hal berbeda diuraikan oleh Manasis (2010) dalam penelitiannya tentang analisis kompetitif sektor minyak zaitun di Yunani bahwa posisi pasar sektor minyak zaitun Yunani lemah dibandingkan pesaingnya Italia dan Spanyol.
13 Lemahnya dayasaing tersebut disebabkan belum terbentuknya rantai distribusi yang efektif dan memadai, belum efektifnya penyediaan pengemasan dan pelabelan sehingga terjadi perang harga antar industri pesaing. Sehingga memerlukan efektifitas pemasaran dan strategi positioning, mencantumkan merk nasional, menerapkan metode inovasi dan menerapkan skema integrasi vertikal sebagai pembeda produk dan menambah nilai produk yang ditawarkan serta mendukung pertumbuhan seluruh sektor. Sedangkan Darmayanti (2007) mengungkapkan hasil penelitiannya tentang strategi peningkatan dayasaing minyak pala Indonesia bahwa faktor dan sub faktor yang berperan dalam peningkatan dayasaing minyak pala Indonesia terdiri dari (1) faktor sumberdaya dengan sub faktor ketersediaan lahan untuk pengembangan perkebunan pala, iklim dan kondisi geografis yang mendukung budidaya tanaman pala, ketersediaan bahan baku yang kontinyu, kualitas bahan baku yang seragam, ketersediaan dan kemudahan akses terhadap sumberdaya permodalan, dan ketersediaan kelembagaan atau asosiasi, (2) faktor permintaan dengan sub faktor adanya kecenderungan aromaterapi sebagai bagian dari gaya hidup, promosi ekspor, dan meningkatnya kesadaran konsumen untuk menggunakan senyawa alami dibanding sintesis, (3) faktor industri pendukung dan terkait dengan sub faktor dukungan lembaga penelitian, ketersediaan perusahaan atau perkebunan pala rakyat yang menerapkan teknik budidaya tanaman pala penanganan pasca panen yang baik, dan ketersediaan perusahaan pembuat alat penyulingan yang efisien, (4) strategi perusahaan dan persaingan dengan sub faktor kemauan dan kemampuan perusahaan/pelaku usaha bersaing secara global dan membangun sistem agribisnis minyak pala, (5) peran kesempatan dengan 2 sub faktor penemuan inovasi teknologi penyulingan minyak pala dan meningkatnya diversifikasi kegunaan minyak pala, dan (6) peran pemerintah dengan sub faktor kebijakan pemerintah dalam mendorong pengembangan industri hulu, antara dan hilir, kebijakan pemerintah dalam investasi, kebijakan pemerintah untuk menetapkan standar bahan baku pala dan produk antara, dan fasilitas pemerintah untuk pengadaan bibit tanaman pala, alat dan teknologi penyulingan. Kemudian dari faktor dan sub faktor yang mempengaruhi tersebut terpilih dua strategi prioritas untuk peningkatan dayasaing minyak pala yakni penciptaan iklim usaha yang kondusif dan pengembangan sarana dan prasarana pendukung usaha agroindustri minyak pala di Indonesia. Sedangkan faktor yang mempengaruhi pengembangan agroindustri minuman lidah buaya di Kabupaten Purworejo adalah kualitas produk minuman berupa rasa dan kemasan, permodalan, pasar, dan efisiensi produksi, sehingga menurut Wijayanti dkk (2007) perlu adanya peningkatan kualitas produk minuman, memperkuat modal, memperluas pasar melalui promosi, dan melakukan efisiensi produksi. Hal ini perlu dilakukan mengingat usaha agroindustri minuman lidah buaya di Purworejo secara finansial menguntungkan dan memberikan nilai tambah.
14
3 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Konsep Agroindustri Agroindustri merupakan pengolahan hasil pertanian dan karena itu agroindustri termasuk bagian dari enam subsistem agribisnis, yaitu subsistem penyediaan sarana produksi dan peralatan, usahatani, pengolahan hasil (agroindustri), pemasaran, sarana dan pembinaan (Soekartawi 2000). Keberadaan agroindustri harus tetap ada, mengingat besarnya peranan yang diciptakan subsektor tersebut bagi perkembangan perekonomian masyarakat. Untuk itu, Soekartawi mengkriteriakan agroindustri yang berkelanjutan antara lain yang pertama, produktivitas dan keuntungan dapat dipertahankan atau ditingkatkan dalam waktu relatif lama, sehingga memenuhi kebutuhan manusia pada masa sekarang atau masa mendatang. Kedua, sumberdaya alam khususnya sumberdaya pertanian yang menghasilkan bahan baku agroindustri dapat dipelihara dengan baik dan bahkan terus ditingkatkan, karena keberlanjutan agroindustri sangat tergantung dari tersedianya bahan baku. Ketiga, dampak negatif dari adanya pemanfaatan sumberdaya alam dan adanya agroindustri dapat diminimalkan. Pengembangan agroindustri tidak terlepas dari ketiga pelaku ekonomi yang ada di Indonesia yaitu Swasta, BUMN dan Koperasi. Pola pengembangan agroindustri dituntut perlu adanya kemitraan antara pelaku ekonomi dengan masyarakat yang terbentuk dalam pola pembinaan diantara mereka. Pola pembinaan tersebut perlu adanya peran Perguruan Tinggi yang dapat menjembatani dan juga merupakan pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Ismayana dkk. 1992). Keterkaitan pelaku ekonomi dalam usaha pengembangan agroindustri dapat dilihat pada Gambar 4. Petani/KUD
Agroindustri
Swasta
BUMN
Gambar 4 Keterkaitan pelaku kegiatan agroindustri di Indonesia Sumber: Ismayana dkk (1992)
Konsep Dayasaing Kompetitif Dayasaing merupakan kemampuan produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan mutu yang cukup baik dan biaya produksi yang cukup rendah dibandingkan produsen lain, sehingga produsen memperoleh laba yang mencukupi dan dapat mempertahankan kelanjutan biaya produksinya (Simanjuntak 1992). Salvatore (1997) menyatakan bahwa dayasaing komoditas tercermin dari harga jual yang
15 bersaing dan mutu yang baik. Dayasaing adalah keunggulan dari suatu perusahaan atau industri dalam menghadapi pesaingnya di pasar domestik atau internasional. Dayasaing diidentikkan dengan produktivitas, yaitu tingkat output yang dihasilkan untuk setiap input yang digunakan. Peningkatan produktivitas ini dapat disebabkan oleh peningkatan jumlah input fisik modal ataupun tenaga kerja, peningkatan kualitas input yang digunakan, dan peningkatan teknologi (Porter 1990). Menurut Porter dalam Cho dan Moon (2003) suatu industri akan berhasil dan berdayasaing jika mereka mempunyai visi atau pandangan yang jelas, dinamis dan sesuai dengan kondisi faktor, kondisi permintaan, strategi perusahaan dan struktur persaingan, serta industri pendukung dan industri terkait. Dayasaing (competitiveness) seringkali dinyatakan dalam bentuk keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif. Suatu komoditi dianggap menguntungkan untuk diproduksi atau diusahakan dan dapat bersaing di pasar internasional apabila komoditi tersebut mempunyai keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif. Keunggulan komparatif maupun kompetitif suatu aktivitas ekonomi dari suatu negara atau daerah menunjukkan keunggulan baik dalam potensi sumberdaya alam, penggunaan teknologi maupun kemampuan manajerial dalam aktivitas yang bersangkutan (Sudaryanto et al. 1993). Sudaryanto dan Simatupang (1993) dalam Feryanto (2010) menyebutkan secara operasional keunggulan kompetitif dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk memasok barang dan jasa pada waktu, tempat dan bentuk yang diinginkan konsumen baik di pasar domestik maupun di pasar internasional, pada harga yang sama atau lebih baik dari yang ditawarkan pesaing, seraya memperoleh laba paling tidak sebesar ongkos penggunaan (opportunity cost) sumberdaya. Menurut Dinas Koperasi dan UKM, Bappeda dan FGD dalam penelitian yang dilaksanakan oleh Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK (2005) bahwa suatu komoditas atau produk memiliki keunggulan apabila memiliki kriteria, antara lain menggunakan bahan baku lokal, sesuai dengan potensi dan kondisi daerah, memiliki pasar yang luas, mampu menyerap tenaga kerja relatif banyak, merupakan sumber pendapatan masyarakat, volume produksi relatif besar dan kontinyu, merupakan ciri khas daerah, memiliki dayasaing yang relatif tinggi, memiliki nilai tambah relatif tinggi, dan dapat memacu perkembangan komoditas lainnya. Konsep dayasaing kompetitif dikembangkan pertama kali oleh Porter pada tahun 1980 bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan perdagangan internasional yang ada. Dayasaing kompetitif menurut Porter merupakan alat untuk mengukur dayasaing suatu aktivitas berdasarkan pada kondisi perekonomian aktual. Porter menyatakan bahwa keunggulan perdagangan antar negara dengan negara lain di dalam perdagangan internasional secara spesifik untuk produk-produk tertentu sebenarnya tidak ada. Fakta yang ada adalah persaingan untuk kelompok-kelompok kecil industri yang ada dalam suatu negara. Oleh karena itu, keunggulan kompetitif dapat dicapai dan dipertahankan dalam suatu subsektor tertentu di suatu negara dengan meningkatkan produktivitas penggunaan sumberdaya-sumberdaya yang ada (Suryana 1995 dalam Gumilar 2007). Keunggulan kompetitif diciptakan dan dipertahankan melalui proses yang sangat terlokalisir. Perbedaan dalam hal nilai-nilai, kebudayaan, struktur perekonomian, lembaga dan sejarah nasional semuanya memberikan kontribusi terhadap keunggulan kompetitif (Porter 1990). Salah satu faktor penentu dayasaing diukur dari kemampuan berinovasi baik secara regional maupun global. Inovasi merupakan hal yang penting dalam „destroying‟ hubungan dalam pasar melalui penghancuran kekuatan monopoli di pasar dan memungkinkan kekuatan baru muncul atau yang lebih dikenal „creative
16 destruction‟ (Schumpeter 1934 dalam Grennes 2003). Inovasi yang terjadi secara bersamaan dan komunal akan membentuk interaksi lingkungan baru (Sange & Carstedt 2001), namun juga bisa terjadi sebaliknya, dimana tekanan lingkungan (persaingan misalnya) akan memberikan dorongan bagi perusahaan untuk melakukan inovasi. Intal (1996) dalam Munandar (2001) mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi dayasaing internasional dalam hubungannya dengan interdependensi makroekonomik yaitu nilai tukar, produktivitas industri dan produktivitas pertanian (bahan baku untuk agroindustri), sedangkan faktor utama yang mempengaruhi dayasaing komparatif yaitu sumberdaya (manusia dan fisik) dan tingkat perubahan teknologi. Konsep Diamond Porter Model diamond Porter telah banyak digunakan oleh para peneliti dalam menentukan dayasaing industri suatu negara dibanding dengan negara lainnya. Menurut Wiyadi (2009) bahwa model ini bersifat dinamis dan komprehensif, berkaitan dengan konsep dayasaing komparatif dan kompetitif, berdasarkan pada asumsi bahwa peranan pemerintah sangat kecil bahkan tidak diperhitungkan karena dalam era globalisasi setiap perusahaan harus mempunyai dayasaing kompetitif tanpa bergantung kepada pemerintah. Dalam teori ini Porter (1990) mengungkapkan bahwa terdapat empat komponen utama yang menjadi atribut dayasaing kompetitif nasional, yaitu kondisi faktor sumberdaya, kondisi permintaan, industri pendukung dan industri terkait, struktur, persaingan, dan strategi perusahaan. Kemudian, ditambah dengan dua komponen pendukung, yaitu peran pemerintah, dan peran kesempatan. Komponenkomponen tersebut terintegrasi menjadi sistem dayasaing industri dalam bentuk model “Diamond Porter”. Komponen utama dalam Diamond Porter terdiri dari empat faktor yang saling berinteraksi, antara lain: 1. Kondisi faktor sumberdaya Sumberdaya merupakan faktor utama dalam memproduksi suatu produk dan merupakan faktor produksi yang diperlukan untuk bersaing dalam industri tertentu. Faktor kondisi sumberdaya akan menentukan posisi industri yang terdapat di suatu daerah. Faktor ini digolongkan ke dalam lima kelompok. a) Sumberdaya alam atau fisik Sumberdaya alam atau sumberdaya fisik yang mempengaruhi dayasaing industri mencakup biaya aksesibilitas, kualitas/mutu, lokasi, ketersediaan air, mineral dan energi serta sumberdaya pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan (termasuk sumberdaya pertanian laut lainnya), peternakan, serta sumberdaya alam lainnya baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui. Begitu juga kondisi cuaca dan iklim, luas wilayah geografis, kondisi topografi dan lain-lain. b) Sumberdaya manusia Sumberdaya manusia yang mempengaruhi dayasaing industri terdiri dari jumlah tenaga kerja yang tersedia, kemampuan manajerial dan keterampilan yang dimiliki, biaya tenaga kerja yang berlaku (tingkat upah), dan etika kerja (termasuk moral). c) Sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi Sumberdaya IPTEK yang mempengaruhi dayasaing industri mencakup ketersediaan pengetahuan pasar, pengetahuan teknis, dan pengetahuan ilmiah yang menunjang dan diperlukan dalam memproduksi barang dan jasa, ketersediaan sumbersumber pengetahuan dan teknologi seperti Perguruan Tinggi, lembaga penelitian dan
17 pengembangan, lembaga statistik, literatur bisnis dan ilmiah, basis data, laporan penelitian, dan asosiasi pengusaha pengusaha. d) Sumber modal Sumberdaya modal yang mempengaruhi dayasaing terdiri dari jumlah dan biaya (suku bunga) yang tersedia, jenis pembiayaan (sumber modal), aksesibilitas terhadap pembiayaan, kondisi lembaga pembiayaan dan perbankan, peraturan keuangan, peraturan moneter dan fiskal, serta kondisi moneter dan kondisi fiskal untuk mengetahui tingkat tabungan masyarakat. e) Sumberdaya infrastruktur Sumberdaya infrastruktur yang mempengaruhi dayasaing terdiri dari ketersediaan jenis, mutu, dan biaya penggunaan infrastruktur yang mempengaruhi daya saing, seperti sistem transportasi, komunikasi, pos dan giro, sistem pembayaran dan transfer dana, air bersih, energi listrik dan lain-lain. 2. Faktor permintaan Kondisi permintaan dalam negeri merupakan faktor penentu dayasaing industri, terutama mutu permintaan domestik. Mutu permintaan domestik merupakan sasaran pembelajaran perusahaan dalam negeri untuk bersaing secara nasional. Persaingan yang ketat memberikan tanggapan terhadap persaingan yang ada. Terdapat tiga faktor kondisi permintaan yang mempengaruhi dayasaing nasional, yaitu: a) Komposisi permintaan domestik Karakteristik permintaan dometik sangat mempengaruhi dayasaing industri nasional yang terdiri dari: i) Struktur segmen permintaan domestik. Pada umumnya perusahaan-perusahaan akan lebih mudah memperoleh dayasaing pada struktur segmen permintaan yang lebih luas dibandingkan dengan struktur segmen sempit. ii) Pengalaman dan selera pembeli yang tinggi. Adanya tekanan kepada produsen untuk menghasilkan produk yang bermutu dan memenuhi standar yang tinggi, seperti mencakup standar mutu produk, product feature, dan pelayanan. iii)Antisipasi kebutuhan pembeli yang baik dari perusahaan dalam negeri merupakan suatu poin dalam memperoleh keunggulan bersaing. b) Jumlah permintaan dan pola pertumbuhan Jumlah atau besarnya permintaan domestik mempengaruhi tingkat persaingan dalam negeri, terutama disebabkan oleh jumlah pembeli bebas, tingkat pertumbuhan permintaan domestik, timbulnya permintaan baru dan kejenuhan permintaan lebih awal sebagai akibat perusahaan melakukan penetrasi lebih awal. Pasar domestik yang luas dapat diarahkan untuk mendapatkan keunggulan kompetitif dalam suatu industri. Hal ini dapat dilakukan jika industri dilakukan dalam skala ekonomis melalui adanya penanaman modal dengan membangun fasilitas skala besar, pengembangan teknologi dan peningkatan produktivitas. c) Internasionalisasi permintaan domestik Pembeli lokal yang merupakan pembeli dari luar negeri akan mendorong dayasaing industri nasional, karena dapat membawa produk tersebut ke luar negeri. Konsumen yang memiliki mobilitas internasional tinggi dan sering mengunjungi suatu negara juga dapat mendorong meningkatkan dayasaing produk negara yang dikunjungi tersebut. 3. Faktor industri terkait dan industri pendukung Keberadaan industri terkait dan industri pendukung yang telah memiliki dayasaing akan memberikan potensi keunggulan bagi industri di suatu wilayah.
18 Industri hulu yang memiliki dayasaing akan memasok input bagi industri utama dengan harga yang relatif murah, mutu lebih baik, pelayanan yang cepat, pengiriman tepat waktu dan jumlah sesuai dengan kebutuhan industri utama, sehingga industri tersebut bersaing secara global di suatu wilayah. Begitu juga industri hilir yang menggunakan produk industri utama sebagai bahan bakunya. Apabila industri hilir memiliki dayasaing global maka industri hilir tersebut dapat menarik industri hulunya untuk memperoleh dayasaing global. 4. Persaingan, struktur dan strategi perusahaan Struktur industri dan perusahaan juga menentukan dayasaing yang dimiliki persahaan-perusahaan yang tercakup dalam industri tersebut. Struktur industri yang monopolistik kurang memiliki daya dorong untuk melakukan perubahan-perubahan serta inovasi baru dibandingkan dengan struktur industri bersaing. Struktur persaingan yang berada pada suatu industri sangat berpengaruh terhadap bagaimana perusahaan tersebut dikelola dan dikembangkan dalam suasana tekanan persaingan, baik domestik maupun internasional. Dengan demikian secara tidak langsung akan meningkatkan dayasaing global industri yang bersangkutan. Faktor ini dipengaruhi oleh: a) Struktur pasar Struktur pasar digunakan untuk menunjukkan tipe pasar. Derajat persaingan struktur pasar dipakai untuk menentukan sejauh mana perusahaan-perusahaan individual mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi harga atau ketentuan-ketentuan lain dari produk yang dijual di pasar. Struktur pasar didefinisikan sebagai sifat-sifat organisasi pasar yang mempengaruhi perilaku dan keragaan perusahaan, jumlah penjual dan keragaan produk adalah dimensi-dimensi yang penting dari struktur pasar. Adapun dimensi lainnya adalah mudah atau sulitnya memasuki industri (hambatan masuk pasar), kemampuan perusahaan mempengaruhi permintaan melalui iklan, dan lain-lain. Beberapa struktur pasar yang ada antara lain pasar persaingan sempurna, pasar monopoli, pasar oligopoli, pasar monopsoni dan pasar oligopoli. Biasanya struktur pasar yang dihadapi industri seperti monopoli dan oligopoli lebih ditentukan oleh kekuatan perusahaan dalam menguasai pangsa pasar yang ada dibandingkan dengan jumlah perusahaan yang bergerak dalam suatu industri. b) Persaingan Tingkat persaingan dalam suatu industri merupakan salah satu faktor pendorong bagi perusahaan-perusahaan yang berkompetisi untuk terus melakukan inovasi. Keberadaan pesaing lokal yang handal dan kuat menjdai faktor penentu dan sebagai motor penggerak untuk memberikan tekanan pada perusahaan lain dalam meningkatkan dayasaingnya. Perusahaan-perusahaan yang telah teruji pada persaingan ketat dalam industri nasional akan lebih mudah memenangkan persaingan internasional dibandingkan perusahaan-perusahaan yang belum memiliki dayasaing yang tingkat persaingannya rendah. c) Strategi perusahaan Dalam menjalankan suatu usaha, bagi perusahaan berskala besar maupun berskala kecil, dengan berjalannya waktu, pemilik atau manajer dipastikan memiliki keinginan untuk mengembangkan usahanya dalam lingkup yang lebih besar. Untuk mengembangkan usaha, perlu strategi khusus yang terangkum dalam suatu strategi pengembangan usaha. Penyusunan suatu strategi diperlukan perencanaan yang matang dengan memperhatikan semua faktor yang berpengaruh terhadap organisasi atau perusahaan tersebut.
19 Sedangkan komponen pendukung dalam Diamond Porter terdiri atas dua komponen yang saling berkaitan dengan komponen utama, antara lain: 1. Peran pemerintah Peran pemerintah sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap upaya peningkatan dayasaing global, tetapi berpengaruh pada faktor-faktor penentu dayasaing global. Dayasaing global akan dipengaruhi secara langsung oleh perusahaan-perusahaan yang berada dalam industri tersebut. Peran pemerintah merupakan fasilitator bagi upaya untuk mendorong perusahaan-perusahaan dalam industri agar senantiasa melakukan perbaikan dan peningkatan dayasaingnya. Pemerintah dapat mempengaruhi aksesibilitas pelaku industri terhadap berbagai sumberdaya melalui kebijakan-kebijakannya, seperti sumberdaya alam, tenaga kerja, pembentukan modal, sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) serta informasi. Pemerintah juga dapat mendorong peningkatan dayasaing melalui penetapan standar mutu produk nasional, standar upah tenaga kerja minimum dan berbagai kebijakan terkait lainnya. Pemerintah dapat mempengaruhi kondisi permintaan domestik baik secara langsung melalui kebijakan moneter dan fiskal yang dikeluarkan, maupun secara langsung melalui perannya sebagai pembeli barang dan jasa. Kebijakan penetapan bea keluar dan bea masuk, tarif pajak, dan lain-lainnya yang juga menunjukkan peran tidak langsung dari pemerintah dalam meningkatkan dayasaing global. Selain itu, pemerintah juga dapat mempengaruhi tingkat dayasaing melalui kebijakan yang melemahkan faktor penentu dayasaing industri, tetapi pemerintah tidak dapat secara langsung menciptakan dayasaing global. Peran pemerintah adalah memfasilitasi lingkungan industri yang mampu memperbaiki kondisi faktor penentu dayasaing, sehingga perusahaan-perusahaan yang berada dalam industri mampu mendayagunakan faktor-faktor penentu tersebut secara efektif dan efisien. 2. Peran kesempatan Peran kesempatan merupakan faktor yang berada di luar kendali perusahaan dan pemerintah, tetapi dapat meningkatkan dayasaing global industri nasional. Beberapa kesempatan yang mampu meningkatkan naiknya dayasaing global industri nasional adalah penemuan baru murni, biaya perusahaan yang tidak berlanjut (misalnya terjadi perubahan harga minyak atau depresiasi mata uang), peningkatan permintaan produk industri yang bersangkutan lebih tinggi dari peningkatan pasokan, politik yang diambil oleh negara lain serta berbagai faktor kesempatan lainnya. Kombinasi dari empat komponen utama dan dua komponen pendukung dalam Diamond Porter akan membentuk suatu sistem yang disebut The National Diamond.
20 Peran Pemerintah
Persaingan, Struktur, Strategi Perusahaan
Kondisi Faktor Sumberdaya
Kondisi Permintaan Domestik
Industri Terkait dan Industri Pendukung
Peran Kesempatan
Keterangan: Garis ( ) menunjukkan keterkaitan antara komponen utama yang saling mendukung Garis ( ) menunjukkan keterkaitan antara komponen penunjang yang mendukung komponen utama
Gambar 5 Sistem lengkap keunggulan kompetitif nasional Sumber: Porter (1990)
Model Diamond Porter ini dapat digunakan untuk menganalisis pengaruh terhadap model yang lain seperti analisis SWOT, PEST atau ISM. Model ini juga dapat dikembangkan untuk analisis dayasaing yang rumit yang digunakan pada saat menyusun strategi, rencana dan keputusan membuat investasi tentang bisnis dan organisasi (Darmayanti 2007). Intal (1995) dalam Munandar (2001) menyusun formulasi strategi dayasaing Philipina untuk komoditas agroindustri didasarkan pada konsep “Dayasaing Berlian Porter”. “Berlian” terdiri dari dua bagian yaitu bagian dalam dan luar. Berlian bagian dalam terdiri atas produktivitas (alokasi sumberdaya yang efisien), efikasi (rendahnya biaya transaksi untuk melakukan usaha), inovasi dan nilai (akses teknologi dan etos kerja). Sedangkan berlian bagian luar terdiri atas faktor kondisi (misalnya kuantitas, kualitas, pertumbuhan), teknologi (tingkat alih teknologi, adaptasi, penyerapan teknologi), kebijakan (makroekonomi dan sektoral), dan lembaga atau industri pendukung (industri terkait dan infrastruktur). Konsep Strategi Strategi sebagai suatu kebijakan yang telah diatur dalam internal organisasi yang memerlukan praktek diluar perusahaan (eksternal) yakni market place untuk mencapai kesuksesan (Drucker 1985). Dirgantoro (2001) mendefinisikan strategi sebagai suatu cara menetapkan arah manajemen sumberdaya di dalam bisnis dan bagaimana mengidentifikasikan kondisi yang memberikan keuntungan terbaik untuk membantu memenangkan persaingan di dalam pasar. Dengan kata lain, definisi strategi mengandung dua komponen yaitu future intentions atau tujuan jangka panjang dan competitive advantage atau keunggulan bersaing. Secara umum, strategi dapat didefinisikan sebagai sekumpulan pilihan kritis, perencanaan dan penerapan serangkaian rencana tindakan dan alokasi sumberdaya yang penting dalam mencapai tujuan dasar dan sasaran. Dengan memperhatikan keunggulan kompetitif, komparatif, dan sinergis yang ideal berkelanjutan, sebagai arah, cakupan, dan perspektif jangka
21 panjang keseluruhan yang ideal dari individu atau organisasi. Sehingga dalam melakukan formulasi strategi ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan diantaranya adalah: 1) Harus dipahami benar visi, misi dan objective perusahaan sehingga diketahui ke arah mana perusahaan akan dibawa serta bagaimana caranya untuk menuju ke arah tersebut. 2) Hal kedua yang harus dipahami adalah tentang posisi perusahaan pada saat ini, misalnya pangsa pasar yang dikuasai, posisi laba/rugi perusahaan, kondisi internal seperti kompetensi orang-orang yang berada dalam perusahaan. 3) Kemampuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan (internal maupun eksternal) yang sedang dihadapi perusahaan saat ini. 4) Mencari alternatif solusi yang bisa dilakukan untuk mencapai tujuan organisasi secara lebih efisien dimasa yang akan datang. David (2009) mengatakan strategi adalah cara untuk mencapai tujuan jangka panjang, sehingga diperlukan manajemen strategi yaitu serangkaian keputusan dan tindakan manajerial yang dilakukan perusahaan dalam jangka panjang, baik itu merumuskan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi keputusan lintas fungsional, membuat organisasi mampu mancapai objektifnya. Manajemen strategi berupaya untuk memadukan manajemen, pemasaran, keuangan/akuntasi, produksi/operasi, penelitian dan pengembangan, serta sistem informasi komputer untuk mencapai keberhasilan organisasi. Lebih lanjut, David membagi strategi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan tingkatan dalam struktur organisasi yaitu: a) Strategi Perusahaan (Corporate Strategy) yang terdiri dari beberapa unit bisnis. Strategi ini menggambarkan arah menyeluruh bagi suatu perusahaan dalam perumbuhan dan pengelolaan berbagai bidang usaha untuk mecapai keseimbangan produk dan jasa yang dihasilkan. Strategi ini dibuat sebagai arahan dasar berbagai strategi pada unit usaha dan fungsional. b) Strategi bisnis (Bussiness Strategy) yang terdiri dari satu bisnis unit. Strategi ini menekankan pada usaha peningkatan daya saing perusahaan dalam satu industri atau segmen pasar. c) Strategi fungsional (Fungsional Strategy) yang terdiri dari unit-unit pendukung. Strategi ini berfungsi untuk menciptakan kerangka kerja untuk manajemen fungsional seperti produksi, pemasaran, keuangan dan sumberdaya. Pada bagian lain Porter (1993) menyatakan strategi adalah alat yang paling penting untuk mencapai keunggulan bersaing. Suatu perusahaan dapat mengembangkan strategi untuk mengatasi ancaman eksternal dan merebut peluang yang ada. Lebih lanjut, Porter (1993) mengungkapkan bahwa ada tiga landasan strategi yang dapat membantu organisasi memperoleh keunggulan bersaing, yaitu keunggulan biaya, diferensiasi, dan fokus, yang dinamakan dengan strategi umum. Keunggulan biaya menekankan pada pembuatan produk standar dengan biaya per unit sangat rendah untuk konsumen yang peka terhadap perubahan harga. Diferensiasi adalah strategi dengan tujuan membuat produk dan menyediakan jasa yang dianggap unik di seluruh industri dan ditujukan kepada konsumen yang relatif tidak terlalu peduli terhadap perubahan harga. Fokus berarti membuat produk dan menyediakan jasa yang memenuhi keperluan sejumlah kelompok kecil konsumen. Terdapat tiga bahan pokok yang sangat penting bagi keberhasilan suatu strategi yaitu pertama strategi harus konsisten dengan kondisi lingkungan persaingan. Tegasnya, strategi harus memanfaatkan peluang yang ada atau yang diperkirakan akan
22 ada dan meminimalkan dampak dari ancaman-ancaman besar. Kedua, strategi harus realistik dalam hal kemampuan intern perusahaan. Dengan kata lain, pemanfaatan peluang pasar haruslah berdasarkan pada kekuatan intern perusahaan. Akhirnya strategi harus dilaksanakan secara cermat (Pearce dan Robinson 1997). Melalui strategi, perusahaan memadukan organisasi dengan lingkungan. Manfaat strategi dapat dilihat pada Gambar 6. Kejelasan tujuan dan arah Uraian identitas dan gambar
Menetapkan persaingan
Manfaat Strategi Antisipasi peluang dan ancaman
Pemahaman bisnis
Standarisasi pertunjukan
Gambar 6 Manfaat strategi Sumber: Pearce dan Robinson (1997)
Kerangka Pemikiran Operasional Lidah buaya termasuk salah satu tanaman obat terlaris di pasar dunia dan memiliki prospek yang sangat baik apabila dikembangkan tidak hanya menjadi bahan utama dalam industri farmasi dan kosmetik, namun juga dapat diolah menjadi produk minuman dan makanan yang berkhasiat bagi kesehatan. Keberadaan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak umumnya masih berskala industri kecil dan rumah tangga dengan peralatan produksi dan teknik pengolahan yang masih sederhana. Rendahnya teknologi pengolahan, sulitnya mengakses bantuan permodalan, kualitas produk yang rendah, dan terbatasnya akses pemasaran mengakibatkan kemampuan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak sulit bersaing di pasar nasional, apalagi ingin melakukan ekspor. Untuk menciptakan keunggulan bersaing pada agroindustri lidah buaya di pasar domestik, diperlukan komponen-komponen yang saling mendukung dan terintegrasi dalam satu wilayah sentra produksi. Komponen-komponen tersebut adalah yang terdapat pada teori dayasaing Diamond Porter, antara lain (1) kondisi sumberdaya, (2) kondisi permintaan, (3) persaingan, struktur dan strategi, (4) industri terkait dan pendukung, di mana empat komponen tersebut merupakan komponen utama penentu dayasaing industri di suatu wilayah, dalam hal ini adalah Kota Pontianak. Selanjutnya peran pemerintah dan peran kesempatan yang merupakan komponen pendukung dayasaing industri. Agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak akan berdayasaing, apabila komponen Diamond Porter tersebut saling mendukung dan terintegrasi dengan membentuk model Diamond Porter. Oleh karena itu teori Diamond Porter ini
23 digunakan untuk menganalisis kondisi dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak Setelah menganalisis kondisi dayasaing agroindustri lidah buaya, selanjutnya dilakukan analisis terhadap prioritas faktor yang mempengaruhi dayasaing agroindustri lidah buaya, dan merumuskan strategi yang tepat untuk pengembangan agroindustri lidah buaya dalam jangka panjang, dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Perumusan strategi dimaksudkan untuk melakukan pengembangan terhadap lidah buaya dan produk olahannya yang menjadi komoditi unggulan Kota Pontianak, serta mendukung program pemerintah “One Village One Product”, agar industri lidah buaya yang menjadi icon Kota Pontianak mampu berdayasaing ditingkat nasional maupun internasional. Selanjutnya penentuan struktur hirarki AHP dibangun atas dasar pendekatan teori dayasaing Diamond Porter, yang tersusun atas enam tingkatan hirarki yaitu sasaran atau tujuan utama, faktor penentu dayasaing, sub faktor, kriteria sub faktor, strategi, dan aktor yang berperan dalam menciptakan dayasaing. Perumusan strategi dilakukan dan diperoleh setelah mengetahui prioritas faktor yang mempengaruhi dayasaing agroindustri lidah buaya, dengan melihat bobot paling tinggi berdasarkan hasil analisis AHP yang dibantu dengan software Expert Choice 2000. Prioritas faktor menjadi hal yang penting dalam merumuskan strategi apa saja yang tepat dilakukan untuk pengembangan agroindustri lidah buaya. Adapun perumusan strategi diperoleh berdasarkan dari hasil diskusi dengan para pakar yang menjadi responden untuk pengisian kuesioner AHP. Selanjutnya strategi-strategi yang telah dirumuskan, dipertanyakan kembali kepada pakar tentang seberapa penting strategi tersebut perlu dilakukan dengan memberikan bobot atau skala banding berpasangan yang sesuai pada metode AHP. Setelah pemberian bobot dilakukan, data diolah kembali dengan software. Prioritas strategi akan diperoleh dengan melihat bobot paling tinggi pada hasil analisis AHP. Dengan demikian, berdasarkan hasil tersebut dapat diperoleh suatu output mengenai kebijakan apa yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk mendukung agar prioritas strategi dapat dijalan dengan efektif dan efisien. Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 7.
24 Agroindustri lidah buaya (aloe vera) di Kota Pontianak
Kota Pontianak merupakan sentra produksi lidah buaya (aloe vera)
Permasalahan agroindustri lidah buaya (aloe vera) di Kota Pontianak: - Modal terbatas - Kualitas produk rendah - Teknologi pengolahan masih rendah - Pasar produk terbatas - Penjualan berdasarkan pesanan - Akses pasar sulit
Mempengaruhi kondisi dayasaing agroindustri lidah buaya di wilayah Kota Pontianak ke tingkat nasional
Komponen Utama: - Kondisi sumberdaya - Kondisi permintaan - Industri terkait dan pendukung - Persaingan, struktur, strategi perusahaan
Analisis Dayasaing dengan Pendekatan Porter’s Diamond Theory
Komponen Pendukung: - Peran pemerintah - Kesempatan
Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) Faktor yang mempengaruhi dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak
Prioritas strategi peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak
Implikasi Kebijakan Keterangan: Garis (
) menunjukkan keterkaitan antar variabel
Gambar 7 Kerangka pemikiran operasional
25
4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dikarenakan Kota Pontianak merupakan salah satu sentra budidaya lidah buaya di Indonesia, dan telah mengembangkan agroindustri lidah buaya berupa produk makanan dan minuman lidah buaya. Selain itu di lokasi tersebut juga terdapat Balai Pengkajian dan Pengembangan Lidah Buaya Nasional atau Aloe Vera Center, yang menjadi pusat kajian lidah buaya nasional di Indonesia. Waktu pengumpulan dan pengolahan data dilaksanakan pada bulan Februari sampai April 2013, dimana sebelumnya dilakukan survei pendahuluan yang dimulai pada bulan September 2012. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang belum tersedia di lapangan, sehingga untuk memperolehnya dilakukan dengan teknik-teknik, seperti observasi dan wawancara langsung dengan menggunakan daftar pertanyaan terstruktur (kuesioner). Data sekunder adalah data yang telah tersedia dan telah didokumentasikan, antara lain risetriset terdahulu yang terkait dengan penelitian dan data dari instansi-instansi yang terkait dengan penelitian dalam hal ini data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Pertanian, Aloe Vera Center, dan lain-lainnya. Data primer yang dibutuhkan dalam penelitian ini seperti jumlah produksi agroindustri lidah buaya, karakteristik pengusaha agroindustri lidah buaya, pemasaran produk agroindustri lidah buaya, kendala yang dihadapi pengusaha, sumber modal yang digunakan untuk usaha, pola produksi, sistem pemasaran, sistem pembayaran, penyediaan bahan baku, informasi tentang kondisi struktur pasar, persaingan, dan strategi yang pernah dilakukan, kriteria produk yang diinginkan pasar, dan lain sebagainya. Data-data tersebut diperoleh dari wawancara dengan menggunakan kuesioner yang ditanyakan kepada pengusaha olahan lidah buaya, dan para pakar yaitu pembina dan penyuluh pada agroindustri lidah buaya. Data sekunder yang dibutuhkan seperti kebijakan yang telah dibuat pemerintah daerah dalam usaha pengembangan agroindustri lidah buaya, jumlah permintaan produk agroindustri lidah buaya di pasar domestik dan internasional, agroindustri lidah buaya yang ada di Kota Pontianak, hasil penelitian yang terkait, dan dokumentasi lainnya yang terkait dengan penelitian. Data dan informasi tersebut secara keseluruhan akan digunakan untuk melengkapi pembahasan secara komprehensif yang kemudian akan dikaitkan dengan teori Diamond Porter.
26 Metode Pengambilan Sampel Pengambilan sampel pengusaha olahan lidah buaya dilakukan secara sengaja (purposive) yaitu dipilih pengusaha lidah buaya yang menghasilkan produk lidah buaya dalam kemasan. Dalam penelitian ini, jumlah pengusaha olahan lidah buaya yang terdapat di Kota Pontianak berjumlah berjumlah 14 orang yang memasarkan produk lidah buaya dalam kemasan dan digunakan sebagai sampel dalam penelitian, yang ditunjukkan pada Tabel 4. Pengambilan sampel para pakar (expert) juga dilakukan secara sengaja (purposive) yaitu dipilih para pakar yang merupakan orang yang aktif dalam melakukan penyuluhan, pembinaan, penelitian, dan mengetahui dengan baik tentang perkembangan industri lidah buaya di Kota Pontianak. Dalam penelitian ini, para pakar yang dijadikan responden berasal dari akademisi dan birokrasi yang masing berjumlah satu orang. Pakar dari akademisi yaitu Dr Radian yang merupakan dosen Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura, dan pakar dari birokrasi yaitu Ika Wiendriatmo, SP yang merupakan Kasi Pengolahan Produk Hasil Pertanian (P2HP) Dinas Pertanian Kota Pontianak. Tabel 4 Responden pengusaha agroindustri lidah buaya Pengusaha
Merk
Pengusaha
Merk
Ameng
Triple
Masyafah
Madinah
Anna Athung
Ming ming Robby
66 Hidayah
Djunaibah
Segar Rasa Mitra Sumber Aloe Vera Pelabour
Sarono
Mavera
Hengky
Kimken
Sunani
Isun vera
Juliana
Rotiku Hidup
Suryani
Marofa
Lasminten
Nusa Indah
Syahrial
-
,
Sumber: Aloe Vera Center (2013)
Metode Pengolahan dan Analisis Data Penelitian diawali dengan pengumpulan data yang dilakukan secara survei melalui wawancara dengan para pengusaha olahan lidah buaya, dan para pakar dari Dinas Pertanian Kota Pontianak dan akademisi dari Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura Kota Pontianak. Data juga diperoleh melalui pengisian kuesioner yang dilakukan oleh para pakar, dengan memberikan penilaian terhadap faktor-faktor penentu dayasaing. Responden dalam penelitian ini adalah para pengusaha atau pengolah lidah buaya dan para pakar (expert). Metode pengolahan data dilakukan secara deskriptif, yaitu dengan cara menguraikan atau memberikan keterangan-keterangan mengenai suatu data atau keadaan atau fenomena tentang suatu objek atau peristiwa yang sedang terjadi (Hasan 2003). Dalam penelitian ini, metode deskriptif digunakan untuk mengetahui gambaran umum wilayah penelitian, menjelaskan kondisi faktual tentang profil agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak, menganalisis kondisi dayasaing agroindustri lidah
27 buaya dan mengidentifikasi faktor-faktor penentu dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak, serta merumuskan strategi peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya dalam usaha pengembangan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. Sedangkan untuk menganalisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatf. Alat analisis yang digunakan untuk menganalisis dayasaing adalah Porter’s Diamond Theory, kemudian untuk merumuskan strategi peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya digunakan metode Analytic Hierarchy Process (AHP), dengan struktur hirarki AHP berdasarkan pada pendekatan teori dayasaing Diamond Porter. Selanjutnya, data diproses dengan menggunakan software Expert Choice 2000. Pendekatan Teori Diamond Porter (Porter’s Diamond Theory) Pendekatan Diamond Porter digunakan untuk menganalisa tiap-tiap komponen yang terdapat dalam Porter’s Diamond Theory. Komponen tersebut terdiri dari empat komponen utama terdiri dari faktor kondisi sumberdaya, kondisi permintaan, industri terkait dan pendukung, serta persaingan, struktur dan strategi perusahaan. Selain itu, terdapat dua komponen pendukung yang terdiri dari peran pemerintah dan peran kesempatan. Dalam penelitian ini, masing-masing komponen dijelaskan sebagai berikut: 1. Kondisi faktor sumberdaya Sumberdaya merupakan faktor utama dalam memproduksi suatu produk dan merupakan faktor produksi yang diperlukan untuk bersaing dalam industri tertentu. Kondisi faktor sumberdaya ini akan menentukan posisi industri yang terdapat di suatu daerah, dalam penelitian ini adalah agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. Komponen ini digolongkan ke dalam lima faktor, antara lain : a) Sumberdaya alam atau fisik yang mencakup ketersediaan lahan untuk membudidayakan lidah buaya, besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh bahan baku lidah buaya baik dari kualitas maupun kuantitas bahan baku lidah buaya serta input lainnya, kemudahan dalam mengakses input produksi, lokasi usaha maupun lokasi untuk memasarkan produk, ketersediaan air yang digunakan dalam proses produksi, mineral dan energi serta sumberdaya pertanian, peternakan, dan sumberdaya alam lainnya baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui, termasuk juga kondisi cuaca, iklim, luas wilayah geografis, dan kondisi topografi yang baik untuk mengembangkan industri lidah buaya. b) Sumberdaya manusia, indikatornya berupa kuantitas tenaga kerja yang tersedia di lokasi usaha, kualitas pelaku usaha dalam hal kemampuan memanajemen usaha dan keterampilan yang dimiliki, biaya atau gaji tenaga kerja yang berlaku, standar jam kerja yang ditetapkan, dan etika kerja (termasuk moral). Selain itu, motivasi pelaku usaha juga ikut mempengaruhi pengembangan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. c) Sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi, mencakup ketersediaan sumber pengetahuan yang diperoleh oleh pelaku usaha agroindustri lidah buaya seperti pengetahuan tentang pasar, pengetahuan teknis, dan pengetahuan ilmiah yang menunjang dan diperlukan dalam memproduksi produk lidah buaya yang inovatif dan bernilai jual tinggi. Ketersediaan jumlah ilmuwan dan teknokrat pada Perguruan Tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga statistik, ketersediaan literatur bisnis dan ilmiah, basis data, laporan penelitian, dan asosiasi pengusaha serta petani lidah buaya dalam membantu pembangunan dan pengembangan sistem agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak.
28 d) Sumber modal, indikatornya berupa jumlah dan besarnya investasi yang disediakan utuk mendukung produk unggulan lidah buaya di Kota Pontianak, besarnya suku bunga yang tersedia untuk pelaku usaha agroindustri lidah buaya skala kecil dan rumah tangga agrindustri, jenis pembiayaan (sumber modal), aksesibilitas yang dimiliki pengusaha terhadap pembiayaan, kondisi lembaga pembiayaan dan perbankan yang ada di Kota Pontianak, peraturan keuangan, peraturan moneter dan fiskal, serta kondisi moneter dan kondisi fiskal untuk mengetahui tingkat tabungan masyarakat. Sumber modal ini dimaksudkan untuk membantu pengusaha dalam meningkatkan produktivitas usaha pengolahan lidah buaya, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. e) Sumberdaya infrastruktur mencakup ketersediaan jenis, kualitas, dan biaya penggunaannya, termasuk sistem jaringan transportasi, telekomunikasi dan energi, pos dan giro, sistem pembayaran dan transfer dana, serta infrastruktur lainnya yang dibutuhkan dalam pengembangan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. 2. Kondisi Permintaan Domestik Kondisi permintaan dalam negeri merupakan faktor penentu dayasaing, terutama mutu permintaan domestik. Mutu permintaan domestik merupakan sasaran pembelajaran perusahaan dalam negeri untuk bersaing secara nasional. Persaingan yang ketat memberikan tanggapan terhadap persaingan yang ada. Oleh karena itu, karakteristik kondisi permintaan pasar adalah hal yang penting dalam menciptakan keunggulan dayasaing industri di suatu wilayah. Terdapat tiga faktor kondisi permintaan yang mempengaruhi dayasaing, yaitu : a) Komposisi permintaan domestik, yang mencakup kriteria yaitu: i) Struktur segmen permintaan domestik sangat mempengaruhi dayasaing nasional, dalam penelitian ini khususnya dayasaing agroindustri lidah buaya. Pada umumnya perusahaan-perusahaan lebih mudah memperoleh dayasaing pada struktur segmen permintaan yang lebih luas dibandingkan dengan struktur segmen sempit. ii) Pengalaman dan selera pembeli yang tinggi akan meningkatkan tekanan kepada produsen untuk menghasilkan produk yang bermutu dan memenuhi standar yang tinggi yakni mencakup standar mutu produk, product feature, dan pelayanan. iii)Antisipasi kebutuhan pembeli yang baik dari perusahaan dalam negeri merupakan suatu poin dalam memperoleh keunggulan bersaing. b) Jumlah permintaan dan pola pertumbuhan permintaan domestik, meliputi jumlah permintaan domestik terhadap produk turunan lidah buaya, jumlah pembeli bebas yang ada di pasar, laju pertumbuhan permintaan domestik terhadap produk turunan lidah buaya, timbulnya permintaan baru terhadap produk turunan lidah buaya, dan kejenuhan permintaan yang lebih awal sebagai akibat perusahaan melakukan penetrasi lebih awal. Pasar domestik untuk produk agroindustri lidah buaya yang luas dapat diarahkan untuk mendapatkan keunggulan kompetitif. Hal ini dapat dilakukan jika proses produksi dalam agroindustri lidah buaya dilakukan pada skala ekonomis melalui adanya penanaman modal dengan membangun fasilitas skala besar, pengembangan teknologi dan peningkatan produktivitas agroindustri lidah buaya yang terdapat di Kota Pontianak. c) Internasionalisasi permintaan domestik. Komposisi permintaan domestik merupakan akar keunggulan industri di suatu wilayah, sementara ukuran dan pola pertumbuhan permintaanya dapat memperkuat keunggulan dengan cara mempengaruhi perilaku investasi, waktu dan motivasi atau melalui mekanisme
29 internasionalisasi permintaan domestik dan mendorong pemasaran produk ke luar negeri (Daryanto dan Hafizrianda 2010). Pembeli lokal produk agroindustri lidah buaya yang merupakan pembeli dari luar negeri akan mendorong dayasaing agroindustri lidah buaya, karena dapat membawa produk tersebut ke luar negeri. Konsumen yang memiliki mobilitas internasional tinggi dan sering mengunjungi suatu negara juga dapat mendorong meningkatkan dayasaing produk agroindustri lidah buaya ke negara yang dikunjungi. 3. Faktor Industri Terkait dan Industri Pendukung Keberadaan industri terkait dan industri pendukung yang telah memiliki dayasaing global juga akan mempengaruhi dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. Industri terkait yang berperan dalam pengembangan agroindustri lidah buaya adalah petani sebagai pemasok bahan baku lidah buaya. Industri hulu agroindustri lidah buaya yang telah memiliki dayasaing global adalah ketersediaan bahan baku lidah buaya yang sudah berkualitas ekspor. Industri hulu tersebut akan memasok input bagi industri utama yakni agroindustri lidah buaya dengan harga yang relatif murah, mutu lebih baik, pelayanan yang cepat, pengiriman tepat waktu dan jumlah sesuai dengan kebutuhan agroindustri lidah buaya, sehingga agroindustri lidah buaya juga akan memiliki dayasaing yang tinggi, dan berdayasaing di tingkat nasional maupun internasional. Begitu juga industri hilir yang menggunakan produk industri utama sebagai bahan bakunya. Apabila industri hilir memiliki dayasaing global maka industri hilir tersebut dapat menarik industri hulunya untuk memperoleh dayasaing tidak hanya di tingkat nasional namun juga tingkat global. 4. Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan Struktur industri dan perusahaan akan menentukan dayasaing yang dimiliki perusahaan-perusahaan yang tercakup dalam industri tersebut. Struktur industri yang monopolistik kurang memiliki daya dorong untuk melakukan perubahan-perubahan serta inovasi baru dibandingkan dengan struktur industri bersaing. Struktur persaingan yang berada pada suatu industri sangat berpengaruh terhadap bagaimana perusahaan tersebut dikelola dan dikembangkan dalam suasana tekanan persaingan, baik domestik maupun internasional. Komponen ini sangat dipengaruhi oleh faktor antara lain: a) Struktur pasar Dalam penelitian ini, tipe pasar yang dimasuki pengusaha agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak cenderung oligopoli, hal ini ditandai dengan banyaknya pemain yang ikut berinvestasi dalam usaha pengolahan lidah buaya ini, baik pada skala nasional maupun skala internasional, mulai dari yang berkapasitas kecil hingga besar. Pemain skala nasional seperti PT. Niramas Utama, PT Keong Nusantara Abadi, PT Aloe Vera Indonesia, PT Kavera Biotech, dan PT. Libe Bumi Abadi mendapatkan pasokan bahan baku lidah buaya paling banyak dari Kota Pontianak (Suisnaya 2007; Fadhilah 2008). Sedangkan agroindustri lidah buaya yang ada di Kota Pontianak mayoritas masih berskala kecil dan rumah tangga, meskipun bahan baku lidah buaya begitu mudah diperoleh dan dijual dengan harga yang relatif murah. Oleh karena itu, struktur pasar akan mempengaruhi perilaku dan keragaan perusahaan, jumlah penjual dan keragaan produk, mudah atau sulitnya memasuki industri (hambatan masuk pasar), kemampuan perusahaan mempengaruhi permintaan melalui iklan, dan lain-lain. b) Persaingan Tingkat persaingan dalam suatu industri merupakan salah satu faktor pendorong bagi perusahaan-perusahaan yang berkompetisi untuk terus melakukan inovasi.
30 Keberadaan pesaing yang handal dan kuat menjadi faktor penentu dan sebagai motor penggerak untuk memberikan tekanan pada perusahaan lain dalam meningkatkan dayasaingnya. Perusahaan-perusahaan yang telah teruji pada persaingan ketat dalam industri nasional akan lebih mudah memenangkan persaingan internasional dibandingkan perusahaan-perusahaan yang belum memiliki dayasaing yang tingkat persaingannya rendah. Kesemua ini sangat terkait dengan tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan dan individu. c) Strategi Perusahaan Dalam menjalankan suatu usaha, bagi perusahaan berskala besar maupun perusahaan berskala kecil, dengan berjalannya waktu, pemilik atau manajer dipastikan memiliki keinginan untuk mengembangkan usahanya dalam lingkup yang lebih besar. Untuk mengembangkan agroindustri lidah buaya, perlu strategi khusus yang terangkum dalam suatu strategi pengembangan usaha. Penyusunan suatu strategi diperlukan perencanaan yang matang dengan memperhatikan semua faktor yang berpengaruh terhadap usaha agroindustri lidah buaya. 5. Peran Pemerintah Peran pemerintah sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap upaya peningkatan dayasaing. Pada dasarnya peranan pemerintah hanya sebatas mempengaruhi kondisi faktor sumberdaya, kondisi permintaan domestik melalui kebijakan moneter dan keuangan, dan mengatur perdagangan. Dalam hal ini pemerintah tidak dapat menciptakan keunggulan dayasaing. Pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator bagi upaya untuk mendorong perusahaan-perusahaan dalam agroindustri lidah buaya agar senantiasa melakukan perbaikan dan peningkatan dayasaingnya. Menurut Daryanto dan Hafizrianda (2010), pengaruh yang dapat diberikan pemerintah terhadap keempat komponen utama penentu dayasaing adalah sebagai berikut: a. Kondisi faktor sumberdaya dapat dipengaruhi melalui kebijakan-kebijakan publik seperti subsidi dan kebijakan pendidikan. b. Kondisi permintaan domestik dapat dipengaruhi melalui penentuan standar produk lokal. c. Industri terkait dan pendukung di dalam suatu wilayah dapat dipengaruhi dengan melakukan pengontrolan terhadap media periklanan maupun melakukan regulasi yang diperlukan. d. Persaingan, struktur dan strategi perusahaan dapat dipengaruhi melalui berbagai perangkat lunak seperti regulasi pasar modal, kebijakan pajak dan antitrust. 6). Peran Kesempatan Peran kesempatan merupakan faktor yang berada di luar kendali perusahaan dan pemerintah, tetapi dapat meningkatkan dayasaing industri nasional, khususnya agroindustri lidah buaya. Terciptanya kesempatan ini berada di luar kontrol manusia, baik itu kondisi yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Beberapa kesempatan yang mampu meningkatkan dayasaing baik secara nasional maupun global adalah tindakan penemuan (invention), perubahan besar dalam bioteknologi dan mikroelektronik, terjadinya perubahan besar dalam biaya input dan terjadinya perang serta bencana alam. Analytical Hierarchy Process (AHP) Analytical Hierarchy Process atau disingkat AHP adalah suatu metode yang dapat digunakan oleh pengambil keputusan agar dapat memahami kondisi suatu sistem
31 dan membantu dalam melakukan prediksi berdasarkan penilaian, pertimbangan yang logis dan sistematis (Saaty 1991). Metode ini dimaksudkan untuk membantu memecahkan masalah kualitatif yang kompleks dengan memakai perhitungan kuantitatif, melalui proses pengekspresian masalah dalam kerangka berpikir yang terorganisir, sehingga memungkinkan dilakukannya proses pengambilan keputusan secara efektif (Eriyatno dan Sofyar 2007). Pentingnya teknik ini diaplikasi karena mencakup penilaian secara sekaligus baik yang bersifat kualitatif kuantitatif, serta menyediakan prosedur untuk memeriksa kekonsistenan dalam penilaian oleh tim sehingga mengurangi bias dalam pengambilan keputusan. AHP digunakan pada kondisi di mana terdapat proses pengambilan keputusan secara kompleks yang melibatkan berbagai kriteria, seperti pilihan instrument promosi, prioritas diantara beberapa alternatif kebijakan dan sasaran. Untuk itu, prasyarat dapat digunakannya analisis ini adalah pihak yang akan memberikan penilaian terhadap tingat kepentingan faktor yang dianalisis harus benar-benar memahami situasi yang sedang ditelaah (Firdaus et al. 2011) Peralatan utama AHP adalah sebuah hirarki fungsional, dengan input utamanya persepsi manusia. Itu sebabnya metode AHP didasarkan pada penilaian orang yang ahli dibidang yang dipermasalahkan atau yang sedang dikaji untuk dicari pemecahannya. Sehingga, hal yang diutamakan dalam memperoleh informasi untuk menerapkan AHP adalah kualitas respondennya, bukan kuantitas. Metode AHP digunakan untuk memodelkan strategi peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak agar tercapai pengembangan agroindustri lidah buaya, dengan menggunakan penilaian komparasi berpasangan (pairwise comparisons) atau analisa pendapat terhadap semua pihak yang terlibat dengan permasalahan tersebut. Tolak ukur konsistensi pendapat yang diberikan oleh responden untuk semua pihak yang terlibat adalah menggunakan rasio konsistensi (CR). Untuk lebih rincinya langkahlangkah kerja utama AHP adalah sebagai berikut (Saaty 1991): 1. Mendefinisikan persoalan dan merinci pemecahan persoalan yang diinginkan. Pada langkah ini diperlukan penguasaan masalah secara mendalam, perhatian ditujukan pada pemilihan tujuan, kriteria, dan elemen-elemen yang menyusun struktur hierarki. Tidak dapat prosedur pasti dalam mendefinisikan komponen-komponen sistem (tujuan, kriteria, aktivitas) yang akan dilibatkan dalam sistem. Komponen sistem dapat diidentifikasikan berdasarkan kemampuan pada analisis untuk menentukan unsur-unsur yang dapat dilibatkan dalam suatu sistem. 2. Membuat struktur hirarki dari sudut pandang stakeholder secara menyeluruh. Struktur hirarki tersusun dari sasaran utama, sub-sub tujuan, faktor-faktor pendorong yang mempengaruhi sub-sub tujuan tersebut, pelaku-pelaku yang memberikan dorongan, tujuan-tujuan pelaku dan akhirnya ke alternatif strategi, pilihan, atau skenario. Pada tingkat puncak hirarki hanya terdiri atas satu elemen yang disebut sebagai fokus, yaitu sasaran keseluruhan yang bersifat luas. Tingkat di bawahnya dapat terdiri atas beberapa elemen yang dibagi dalam kelompok homogen, agar dapat dibandingkan dengan elemen-elemen yang berada pada tingkat sebelumnya. 3. Menyusun matriks banding berpasangan. Matriks banding berpasangan untuk kontribusi atau pengaruh setiap elemen yang relevan atas setiap kriteria yang berpengaruh dan berada setingkat diatasnya. Matriks banding berpasangan dimulai dari puncak hirarki untuk fokus G, yang merupakan dasar untuk melakukan perbandingan antar elemen yang terkait dan ada di bawahnya. Perbandingan
32 berpasangan pertama dilakukan pada elemen tingkat kedua (F1, F2, F3,…, Fn) terhadap fokus G yang ada di puncak hirarki. Menurut perjanjian, suatu elemen yang ada disebelah kiri diperiksa perihal dominasi atas suatu elemen di puncak matriks. 4. Mengumpulkan semua pertimbangan yang diperlukan untuk pengembangan perangkat matriks di langkah 3. Setelah matriks perbandingan berpasangan antar elemen dibuat, dilakukan perbandingan berpasangan antar setiap elemen pada kolom ke-i dengan setiap elemen baris ke-j. Perbandingan antar elemen dapat dilakukan dengan pertanyaan “seberapa kuat elemen baris ke-i didominasi atau dipengaruhi oleh fokus Goal, dibandingkan dengan elemen kolom ke-j”. Untuk mengisi matriks berpasangan, digunakan skala banding berpasangan yang tertera pada Tabel 5. Angka tersebut menunjukkan relatif pentingnya suatu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya sehubungan dengan sifat atau kriteria tertentu. Tabel 5 Nilai skala banding berpasangan Intensitas Pentingnya 1
Definisi
Penjelasan
Kedua elemen sama pentingnya
Dua elemen menyumbang sama besar. 3 Elemen yang satu sedikit lebih Pengalaman dan pertimbangan penting dari pada yang lainnya sedikit menyokong satu elemen atas lainnya 5 Elemen yang satu sangat penting Pengalaman dan pertimbangan dari pada elemen yang lainnya dengan kuat menyokong satu elemen atas elemen lainnya 7 Satu elemen jelas lebih penting Satu elemen yang kuat disokong dari pada elemen lainnya dan didominasi 9 Satu elemen mutlak lebih penting Bukti yang menyokong elemen dari pada elemen lainnya yang satu atas lainnya memiliki tingkat yang mungkin menguatkan 2,4,6,8 Nilai-nilai diantara dua Kompromi diperlukan diantara pertimbangan yang berdekatan dua pertimbangan Kebalikan Jika untuk aktifitas i mendapatkan satu angka bila dibandingkan dengan aktifikas j, maka j memiliki nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i. Sumber: Saaty (1991). 5. Memasukkan nilai-nilai kebalikannya beserta bilangan 1 sepanjang diagonal utama, penentuan prioritas dan pengujian konsistensi. Angka 1 sampai 9 digunakan bila Fi lebih mendominasi atau mempengaruhi sifat fokus puncak hirarki (G) dibandingkan Fj. Bila Fi kurang mendominasi atau kurang mempengaruhi sifat G dibandingkan Fj, maka digunakan angka kebalikannya. 6. Melaksanakan langkah 3, 4, dan 5 untuk semua elemen pada setiap tingkat keputusan yang terdapat pada hirarki, berdasarkan kriteria elemen di atas. Metode perbandingan dalam AHP dibedakan menjadi Matriks Pendapat Individu (MPI) dan
3 5 33 Matriks Pendapat Gabungan (MPG). MPI adalah matriks hasil perbandingan yang dilakukan individu. MPI mempunyai elemen yang disimbolkan dengan a ij yaitu elemen matriks pada baris ke-i dan kolom ke-j. Matriks Pendapat Individu dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Matriks pendapat individu (MPI) G
A1
A2
A3
….
An
A1 A2 A3 …. An
a11 a21 a31 …. an1
a12 a22 a32 …. an2
a13 a23 a33 …. an3
…. …. …. …. ….
a1n a2n a3n …. ann
Sumber: Saaty (1991)
MPG adalah susunan matriks baru yang elemen (gij) berasal dari rata-rata geometriks pendapat-pendapat individu yang rasio inkonsistensinya lebih kecil atau sama dengan 10 persen, dan setiap elemen pada baris dan kolom yang sama dari MPI yang satu dengan MPI yang lain tidak terjadi konflik. MPG dapat dilihat pada Tabel 7 sebagai berikut. Tabel 7 Matriks pendapat gabungan (MPG) G G1 G2 G3 …. Gn
G1 g11 g21 g31 …. gn1
G2 g12 g22 g32 …. gn2
G3 g13 g23 g33 …. gn3
…. …. …. …. …. ….
Gn g1n g2n g3n …. gnn
Sumber: Saaty (1991)
Rumus matematika yang digunakan untuk memperoleh rata-rata geometriks adalah: Gij =
m k=i
Dimana: Gij (aij) m Πk=I
aij k
= Elemen MPG baris ke-I, kolom ke-j = Elemen baris ke-I dan MPI ke-j = Jumlah MPI yang memenuhi persyaratan = Perkalian dari elemen k=1 sampai k = m m = Akar pangkat dari m 7. Mensintesis prioritas untuk melakukan pembobotan vektor-vektor prioritas dengan menggunakan komposisi secara hirarki. Pengolahan matriks pendapat terdiri atas dua tahap, yaitu: (1) pengolahan horizontal dan (2) pengolahan vertikal. Kedua jenis pengolahan tersebut dapat dilakukan untuk MPI dan MPG. Pengolahan vertikal dilakukan setelah MPI dan MPG diolah secara horizontal, dimana MPI dan MP harus memenuhi Rasio Inkonsistensi.
34 1) Pengolahan horizontal bertujuan untuk melihat prioritas suatu elemen terhadap tingkat yang berada satu tingkat diatas elemen tersebut, yang terdiri atas tiga bagian, yaitu penentuan vektor prioritas (Rasio Vektor Eigen), uji konsistensi dan revisi MPI dan MPG yang memiliki rasio inkonsistensi tinggi. Tahapan perhitungan yang dilakukan pada pengolahan horizontal ini adalah: - Perkalian baris (Z) atau Vektor Eigen (VE) dengan rumus: Zi =
n
n k=1 aij
(i, j=1, 2, …, n)
- Perhitungan Vektor Prioritas (VP) atau Rasio Vektor Eigen adalah: n
VPi =
n n i=1
n k=1 aij n k=1 aij
VPi adalah elemen vektor prioritas ke- 𝑖 VP = (VPi), untuk i = 1, 2, …, n - Perhitungan nilai Eigen Maks (λmaks) dengan rumus: 𝑉𝐴 = 𝑎𝑖𝑗 x 𝑉𝑃 dengan 𝑉𝐴 = (𝑉𝑎𝑖 ) 𝑉𝐵 = 𝑉𝐴/𝑉𝑃 dengan 𝑉𝐵 = (𝑉𝑏𝑖 ) 1 𝜆𝑚𝑎𝑘𝑠 = 𝑛 𝑛𝑖=1 𝑉𝑏𝑖 untuk 𝑖 = 1, 2, …, 𝑛 𝑉𝐴 = 𝑉𝐵 = vektor antara - Perhitungan Indeks Inkonsistensi (CI) dengan rumus: λmaks −n CI = 𝑛−1 Untuk mengetahui CI dengan besaran tertentu cukup baik atau tidak, perlu diketahui rasio yang dianggap baik, yaitu apabila CR ≈ 0,1. Rumus CR adalah : CI
𝐶𝐼 = konsistensi indeks 𝑅𝐼 = indeks random yang didapat dari tabel Oarkridge 𝑝 = nilai rata-rata consistency vector 𝑛 = banyaknya alternatif atau kriteria RI merupakan indeks acak (random indeks) yang dikeluarkan oleh Oak Ridge Laboratory (Saaty 1991) dari matriks berorde 1 sampai dengan 15 yang menggunakan sampel berukuran 100. Nilai rasio inkonsistensi (CR) yang lebih kecil atau sama dengan 10 persen merupakan nilai yang mempunyai tingkat konsistensi yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini dikarenakan CR merupakan tolak ukur bagi konsistensi atau tidaknya suatu hasil perbandingan berpasangan dalam suatu matriks pendapat. Nilai RIdapat dilihat pada Tabel 8. CR= RI
dengan :
35 Tabel 8 Nilai indeks random (RI) Ukuran Matriks (n) 1 2 3 4 5 6 7
Indeks Random (RI) 0.00 0.00 0.58 0.90 1.12 1.24 1.32
Ukuran Matriks (n) 8 9 10 11 12 13 14
Indeks Random (RI) 1.41 1.45 1.49 1.51 1.48 1.56 1.57
Sumber: Marimin dan Magfiroh (2010)
(2). Pengolahan vertikal, yaitu menyusun prioritas pengaruh setiap elemen pada tingkat hierarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama atau fokus. Apabila CVij didefinisikan sebagai nilai prioritas pengaruh elemen ke-j pada tingkat ke-i terhadap sasaran utama, maka: CVij = Σ CHij (t-1) x VW (i – 1) Untuk: i = 1,2,3,…, n j = 1,2,3,…, n t = 1,2,3,…, n Dengan: CHij (t, i – 1) = nilai prioritas pengaruh elemen ke-i terhadap elemen ke- t pada tingkat di atasnya (i – 1) yang diperoleh dari hasil pengolahan horizontal. VWt (i – 1) = nilai prioritas pengaruh elemen ke-i pada tingkat ke (i – 1) terhadap sasaran utama, yang diperoleh dari hasil perhitungan horizontal. P = jumlah tingkat hierarki keputusan r = jumlah elemen yang ada pada tingkat ke-i s = jumlah elemen yang ada pada tingkat ke (i – 1) 8. Mengevaluasi konsistensi untuk seluruh hirarki. Langkah ini dilakukan dengan mengalihkan setiap indeks konsistensi dengan prioritas kriteria yang bersangkutan dan menjumlahkan hasil kalinya. Hasil ini dibagi dengan pertanyaan sejenis yang menggunakan indeks acak, yang sesuai dengan dimensi masing-masing matriks. Dengan cara yang sama, setiap indeks acak dibobot berdasarkan prioritas kriteria yang bersangkutan dan hasilnya dijumlahkan. Rasio inkonsistensi ini harus bernilai 10 persen atau kurang. Jika tidak, mutu informasi harus ditinjau kembali dan diperbaiki, antara lain dengan memperbaiki cara menggunakan pertanyaan pada saat pengisian ulang kuesioner dan dengan lebih mengarahkan responden pada perbandingan berpasangan. Penentuan perangkat komponen sistem hirarki dalam bentuk AHP tidak memiliki prosedur yang pasti, sehingga sistem tidak harus terbentuk secara mutlak dari komponen-komponen sistem yang dipilih dan dipergunakan dalam membentuk sistem hirarki yang ada (Saaty 1991). Hal ini dimaksudkan agar penentuan unsur-unsur tersebut tergantung dari penguasaan para pakar terhadap persoalan atau masalah yang akan dipecahkan. Pada hirarki, tersusun beberapa tingkatan yaitu tingkat 1 yang merupakan fokus (G), tingkat 2 yaitu faktor penentu (Fn), tingkat 3 yaitu sub faktor
36 penentu (An), tingkat 4 yaitu kriteria sub faktor (C), tingkat 5 yaitu strategi atau solusi (S), dan tingkat 6 yaitu aktor (O). Adapun abstraksi struktur hirarki strategi peningkatan dayasaing untuk pengembangan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak dapat dilihat pada Gambar 8 yang diadopsi dari sistem keputusan Saaty (1991). G
Tingkat 1 Tingkat 2
F1
F2
…
…
Fn
Tingkat 3
A1
A2
…
…
An
C1 … … C2 Cn Tingkat 4 Kualita 1 s Tingkat 5 S1 Sn S2 … … produk rendah O2 … … O1 On Tingkat a) A6 ks es Gambar 8 Abstraksi sistem keputusan m o d 5al GAMBARAN UMUM WILAYAH KOTA PONTIANAK su lit Kondisi Geografi Kota Pontianak Kota Pontianak merupakan ibukota Provinsi Kalimantan Barat yang didirikan pada tanggal 23 Oktober 1771 dengan luas wilayah 107.82 km2 atau 0.07 persen dari luas Kalimantan Barat. Secara geografis, Kota Pontianak terletak pada lintasan Garis T Khatulistiwa, tepatnya pada posisi 0 o02‟24‟‟Lintang Utara sampai 0o05‟37‟‟Lintang e Selatan dan 109o16‟25‟‟Bujur Timur sampai 109o23‟01‟‟Bujur Timur. Untuk itu, Kota k Pontianak dijuluki dengan sebutan Kota Khatulistiwa. Ketinggian Kota Pontianak n berkisar antara 0.10 meter sampai 1.50 meter di atas permukaan laut (BPS 2012). Di ol wilayah Kota Pontianak banyak terdapat sungai dan parit yang keseluruhannya o berjumlah 55 sungai atau parit. Sungai atau parit tersebut dimanfaatkan oleh sebagian gi masyarakat untuk keperluan sehari-hari dan sebagai penunjang sarana transportasi. p Kondisi tanah di Kota Pontianak memiliki tekstur tanah organosol, gley, humus e dan aluvial yang masing-masing mempunyai karakteristik yang berbeda. Sedangkan n rata-rata temperatur udara di Kota Pontianak berkisar antara 26.8oC hingga 28.8oC g dengan rata-rata tekanan udaranya berkisar antara 1 009.9 milibar hingga 1 011.7 ol milibar (BPS 2012). Wilayah Kota Pontianak secara keseluruhan berbatasan dengan a wilayah Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya, yaitu: h - Bagian Utara berbatasan dengan Kecamatan Siantan Kabupaten Pontianak a - Bagian Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sungai Raya dan Kecamatan Sungai n Kakap Kabupaten Kubu Raya m - Bagian Barat berbatasan dengan Kecamatan Sungai Kakap Kabupaten Kubu Raya as ih re n d a h
37 - Bagian Utara berbatasan dengan Kecamatan Sungai Raya dan Kecamatan Sungai Ambawang Kabupaten Kubu Raya. Sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 11 Tahun 2006, secara administratif Kota Pontianak dibagi menjadi 6 (enam) kecamatan yaitu, Kecamatan Pontianak Utara, Kecamatan Pontianak Barat, Kecamatan Pontianak Kota, Kecamatan Pontianak Tenggara, Kecamatan Pontianak Selatan, dan Kecamatan Pontianak Timur. Adapun luas wilayah Kota Pontianak menurut kecamatan seperti pada Tabel 9. Tabel 9 Luas wilayah Kota Pontianak menurut kecamatan Kecamatan Pontianak Utara Pontianak Barat Pontianak Kota Pontianak Tenggara Pontianak Selatan Pontianak Timur Jumlah
Luas (Km2) 37.22 16.94 15.51 14.83 14.54 8.78 107.82
Persentase (%) 34.52 15.71 14.39 13.75 13.49 8.14 100
Sumber: BPS Kota Pontianak (2012).
Tabel 9 menunjukkan bahwa Kecamatan Pontianak Utara merupakan kecamatan yang terluas dengan luas 37.22 km2 atau 34.52 persen dari luas Kota Pontianak dan kecamatan yang terkecil adalah Kecamatan Pontianak Timur dengan luas 8.78 km 2 atau 8.14 persen dari luas Kota Pontianak. Dilihat dari luasnya wilayah Kecamatan Pontianak Utara, pemerintah Kota Pontianak membangun suatu kawasan sentra pertanian di daerah tersebut, yang dikenal dengan Kawasan Sentra Agribisnis (KSA). Tujuan kawasan tersebut dibangun adalah sebagai salah satu bentuk perencanaan ruang sektor strategis khususnya di bidang pertanian. Pengembangan Kawasan Sentra Agribisnis Kota Pontianak dipandang dapat mengakomodir sektor pertanian dengan pendekatan Produk Unggulan Daerah. Menurut Hasil Rekomendasi Pengembangan pada Penyusunan RDTR KSA Pontianak Tahun Anggaran 2002, rencana pengembangan KSA Pontianak dibagi menjadi tujuh bagian yang terdiri dari : 1. Kawasan tanaman lidah buaya, pepaya dan jagung seluas 674.70 hektar 2. Kawasan tanaman sayur-sayuran dan kacang-kacangan dataran rendah seluas 42 hektar 3. Kawasan peternakan yang terdiri dari peternakan sapi, kambing dan ayam ras seluas 60.2 hektar 4. Kawasan RPH dan Puslitbang Agribisnis Terpadu seluas 13.06 hektar 5. Kawasan agroindustri seluas 6 hektar 6. Kawasan Terminal Agribisnis (TA) seluas 6.82 hektar 7. Kawasan pendidikan dan kesehatan menempati areal seluas 1 hektar Kawasan Sentra Agribisnis Kota Pontianak terletak di Kecamatan Pontianak Utara yang meliputi Kelurahan Siantan Hulu, Siantan Tengah dan Siantan Hilir. Luas Kawasan Sentra Agribisnis adalah 800 hektar dan secara geografis wilayah kawasan tersebut terletak antara 109o19.621‟ Bujur Timur – 109o 21.648‟ Bujur Timur dan
38 0o00.211‟Lintang Utara – 0o02.178‟Lintang Utara. Batas administrasi KSA adalah sebagai berikut : 1. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Siantan Kabupaten Pontianak 2. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Sungai Ambawang Kabupaten Pontianak 3. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Sungai Raya dan Kecamatan Sungai Kakap Kabupaten Pontianak Sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Batulayang Kecamatan Pontianak Utara Berdasarkan data dari Stasiun Badan Meteorologi dan Geofisika Supadio Pontianak dalam BPS (2012), Kawasan Sentra Agribisnis Kota Pontianak termasuk beriklim tropis tipe A dengan curah hujan rata-rata tiap tahunnya mencapai 3 102 milimeter atau 258.5 milimeter per bulan dengan kisaran antara 225.3 sampai 325.7 milimeter per bulan. Suhu udara rata-rata per hari mencapai 26.6 oC dengan kisaran 26.3 sampai 26.9 oC. Kelembaban udara rata-rata tahunan adalah 86.2 persen dengan intensitas penyinaran matahari rata-rata tahunan adalah 59.2 persen dan tekanan udara rata-rata tahunan adalah 1 010.6 milibar. Secara agroklimat, Kota Pontianak memenuhi persyaratan sebagai daerah pengembangan lidah buaya karena Kota Pontianak terletak tepat pada garis Khatulistiwa (0 o) yang mendapat penyinaran penuh sepanjang hari. Sebagai salah satu kawasan yang diusahakan untuk pengembangan tanaman lidah buaya, maka keberadaan Kawasan Sentra Agribisnis (KSA) Kota Pontianak yang terletak di Kecamatan Pontianak Utara sangatlah tepat. Hal ini disebabkan karena sejak tahun 1980 tanaman lidah buaya sudah lama diusahakan oleh petani keturunan etnis Cina di Kelurahan Siantan Hilir dan Siantan Hulu. Hingga saat ini Kawasan Sentra Agribisnis (KSA) Kota Pontianak telah berkembang sebagai sentra industri lidah buaya, mulai dari budidaya, industri pengolahan hingga pemasarannya yang terpusat di Kawasan Sentra Agribisnis Kota Pontianak. Kondisi Demografi Kota Pontianak Penduduk merupakan aspek strategis dalam berbagai indikator pembangunan selain menempatkannya subjek sekaligus menjadi objek dalam pembangunan. Disamping itu, penduduk juga sebagai modal dasar dari pembangunan. Jumlah penduduk Kota Pontianak pada tahun 2011 berjumlah 565 856 jiwa yang tersebar di enam kecamatan. Untuk lebih jelasnya perkembangan penduduk Kota Pontianak dapat di lihat pada Tabel 10 sebagai berikut. Tabel 10 Jumlah penduduk Kota Pontianak menurut kecamatan Kecamatan Pontianak Barat Pontianak Utara Pontianak Kota Pontianak Timur Pontianak Selatan Pontianak Tenggara Jumlah
Tahun 2008 112 666 108 291 104 769 70 541 85 559 39 742 521 568
Sumber: BPS Kota Pontianak (2012).
Jumlah Penduduk Tahun 2009 Tahun 2010 117 798 123 029 108 124 112 577 105 435 10 111 74 541 82 370 78 388 81 821 42 814 44 856 527 100 554 764
Tahun 2011 125 488 114 828 112 313 84 018 83 456 45 753 565 856
39 Jika dilihat perkembangan jumlah penduduk Kota Pontianak (Tabel 9) bahwa terjadi peningkatan dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir yakni pada tahun 2008 sampai 2011, dimana Kecamatan Pontianak Barat adalah kecamatan dengan penduduk terbanyak yaitu sebesar 478 981 jiwa. Kemudian diikuti oleh Kecamatan Pontianak Utara sebanyak 443 820 jiwa, Kecamatan Pontianak Kota sebesar 432 628 jiwa, Kecamatan Pontianak Selatan sebesar 329 224 jiwa, dan Kecamatan Pontianak Timur sebesar 311 470 jiwa, sedangkan jumlah penduduk terkecil adalah Kecamatan Pontianak Tenggara dengan jumlah sebesar 173 165 jiwa. Berdasarkan data BPS Kota Pontianak (2012) bahwa penduduk Kota Pontianak tergolong pada umur produktif, tidak produktif, dan kurang produktif. Kelompok umur produktif merupakan jumlah yang paling banyak terdapat di Kota Pontianak, sedangkan kelompok umur yang kurang produktif jumlahnya sangat sedikit. Untuk lebih jelasnya jumlah penduduk Kota Pontianak menurut kelompok umur dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Jumlah penduduk Kota Pontianak menurut umur Kelompok Umur Tidak produktif (0-14) Produktif (15-54) Kurang produktif (≥ 55) Jumlah
Jumlah 159 146 352 723 53 987 565 856
Tahun 2011 Persentase (%) 28.13 62.33 9.54 100
Sumber: BPS Kota Pontianak (2012).
Berdasarkan Tabel 11 dijelaskan bahwa Kota Pontianak memiliki penduduk yang mayoritas berada pada umur produktif yakni pada usia 15 sampai 54 tahun dengan jumlah sebesar 352 723 jiwa atau 62.33 persen, kemudian diikuti oleh usia 0 sampai 14 tahun yaitu sebesar 159 146 jiwa atau 28.13 persen, dan usia diatas 55 tahun sebesar 53 987 jiwa atau 9.54 persen. Menurut Hubeis (1997), Sjaifudian et al. (1997), usia produktif merupakan salah satu faktor penting dalam mengembangkan usaha menjadi lebih baik. Dari perspektif perluasan kesempatan kerja, adanya kelompok usia produktif di dalam struktur demografis pengusaha menggambarkan bahwa usaha kecil dan menengah dapat menjadi sektor alternatif untuk mengurangi jumlah pengangguran. Banyaknya jumlah penduduk yang usia produktif tersebut maka merupakan potensi yang besar dalam upaya menggerakkan peran serta masyarakat untuk pengembangan perekonomian Kota Pontianak, khususnya pengembangan usaha kecil dan menengah yang berbasis pada sektor pertanian unggulan daerah. Kondisi Sosial Ekonomi Kota Pontianak Menurut BPS Kota Pontianak (2012), mata pencaharian utama penduduk Kota Pontianak adalah bekerja di instansi pemerintah Kota Pontianak, dan bekerja di sektor perdagangan, perhotelan, restoran dan rumah makan. Adapun kondisi mata pencaharian penduduk Kota Pontianak dapat dilihat pada Tabel 12 sebagai berikut.
40 Tabel 12 Jumlah penduduk Kota Pontianak menurut lapangan kerja Lapangan Kerja Instansi pemerintah Perdagangan, perhotelan, restoran dan rumah makan Jasa-jasa Industri Angkutan Kontruksi Pertanian Listrik, gas dan air minum Pertambangan dan penggalian Jumlah
Tahun 2011 Jumlah 7 299 6 813 3 573 1 343 487 312 209 34 17 20 087
Sumber: BPS Kota Pontianak (2012).
Berdasarkan Tabel 12 di atas dapat dilihat bahwa mayoritas penduduk Kota Pontianak bekerja sebagai pegawai di instansi pemerintahan Kota Pontianak yaitu sebanyak 7 299 orang, selanjutnya diikuti sebagian besar bekerja di sektor perdagangan, perhotelan, restoran dan rumah makan yaitu sebanyak 6 813 orang. Sedangkan yang bekerja di sektor pertanian hanya berjumlah 209 orang. Menurut data Dinas Pertanian Kota Pontianak (2012) bahwa jumlah petani di Kota Pontianak berjumlah 1 992 orang, dimana pekerjaan sebagai petani bukanlah mata pencaharian utama yang dilakukan oleh warga setempat tetapi hanya sebagai pekerjaan sampingan. Adapun jumlah petani di Kota Pontianak dapat di lihat pada Tabel 13 yang tersebar di enam kecamatan. Tabel 13 Jumlah petani menurut kecamatan di Kota Pontianak Kecamatan Pontianak Utara Pontianak Tenggara Pontianak Barat Pontianak Selatan Pontianak Timur Pontianak Kota Jumlah
Jumlah Petani 871 300 250 235 191 145 1 992
Persentase (%) 43.7 15 12.6 11.8 9.6 7.3 100
Sumber: Dinas Pertanian, Kehutanan dan Kelautan Kota Pontianak (2012).
Berdasarkan Tabel 13 dapat dijelaskan bahwa mayoritas petani banyak terdapat di Kecamatan Pontianak Utara yaitu sebanyak 871 petani. Hal ini dikarenakan luas lahan di Kecamatan Pontianak Utara terbilang masih luas untuk difungsikan sebagai lahan pertanian. Para petani tersebut menanam berbagai tanaman seperti sayur-sayuran, pepaya, nenas, singkong, lidah buaya, jagung, kunyit, jenis bunga potong. Disamping
41 itu, ada juga yang difungsikan untuk beternak ayam ras, sapi, kambing, dan babi. Dengan banyaknya jumlah petani dan masih luasnya lahan yang dapat difungsikan sebagai lahan pertanian, pemerintah setempat menjadikan Kecamatan Pontianak Utara sebagai kawasan sentra pertanian khususnya pertanian yang berbasiskan pada produk unggulan daerah yaitu lidah buaya.
6 PROFIL AGROINDUSTRI LIDAH BUAYA DI KOTA PONTIANAK Sejarah dan Perkembangan Agroindustri Lidah Buaya di Kota Pontianak Tanaman lidah buaya berasal dari Kepulauan Canary sebelah barat Afrika. Pada awal 333 SM, orang Yunani mengidentifikasi tanaman lidah buaya sebagai pohon pengobatan. Terdapat sekitar 350 jenis tanaman lidah buaya di dunia, dari yang beracun hingga yang memiliki kandungan lengkap, dan saat ini spesies tanaman lidah buaya yang dibudidayakan mencapai ± 100 jenis termasuk hibrida dan cultivar seperti jenis Aloe barbadensis Miller dan Aloe Vera L. Webb. Berdasarkan informasi dari Aloe Vera Center Kota Pontianak bahwa tanaman lidah buaya masuk ke Indonesia sekitar abad ke-17 yang awalnya merupakan tanaman hias dalam pot dan ditanam di pekarangan rumah. Namun belakangan ini, tanaman lidah buaya menjadi tanaman obat, bahan kosmetik, dan bahan pengan dengan nama spesifik Medicine Plant. Tanaman lidah buaya telah dimanfaatkan masyarakat sebagai obat yang berkhasiat untuk mengobati luka bakar atau mengurangi rasa panas pada kulit yang terkena api. Sedangkan untuk bahan kosmetik, lidah buaya digunakan sebagai shampoo, serta dapat pula dimanfaatkan sebagai bahan pangan yakni dapat diolah menjadi bahan minuman segar untuk kesehatan. Tanaman lidah buaya mulai banyak ditanam di Kota Pontianak sekitar tahun 1980-an, yang pemanfaatannya saat itu masih terbatas sebagai tanaman hias yang ditanam di halaman rumah dan hanya dimanfaatkan sebagai obat panas dalam. Namun, sejak khasiatnya sudah banyak diketahui oleh masyarakat tani, maka pada tahun 1988 beberapa petani mulai menanam lidah buaya dan umumnya banyak ditanam oleh petani keturunan Cina. Dikalangan petani keturunan tersebut, lidah buaya ini dikenal dengan nama Natau atau Nata yang artinya lapisan tipis yang bening. Maka sejak itu, tanaman lidah buaya mulai ditanam di kebun dengan pola tumpangsari dengan tanaman pepaya atau dengan tanaman sayuran atau tanaman kacang tanah. Pada tahun 1988, diantara petani mulai ada yang telah mengolah lidah buaya menjadi minuman segar, dan mulai diperdagangkan tetapi masih dalam jumlah yang relatif sedikit karena hanya petani keturunan cina saja yang menjualnya. Hal ini dikarenakan petani keturunan cina sudah mengetahui sejak lama bahwa tanaman lidah buaya dapat diolah dalam bentuk minuman untuk kesehatan dan mereka telah mengetahui cara pengolahannya. Setelah diperdagangkan dan diperkenalkan sebagai minuman kesehatan kepada masyarakat Kota Pontianak, barulah minuman lidah buaya menjadi populer dan dikenal oleh masyarakat setempat. Setelah melalui proses beberapa kali percobaan dalam membuat minuman segar lidah buaya, pada akhirnya minuman segar lidah buaya mulai disenangi konsumen lokal Pontianak. Pada tahun 1990 pemanfaatan lidah buaya yang diolah menjadi
42 minuman segar lidah buaya yang siap saji terus bertambah. Sejak saat itu, di daerah Kecamatan Pontianak Utara telah ada petani maupun non petani yang mendirikan saung-saung di pinggir jalan Budi Utomo untuk menjual minuman lidah buaya siap saji baik itu minuman dingin (dicampur es) maupun minuman panas, dan hasil pertanian lainnya seperti pepaya, nenas, jagung dan lainnya. Beberapa tahun kemudian berkembang menjadi pasar Minggu Jagung Bakar yang setiap warung menjual minuman segar lidah buaya, pelepah lidah buaya, jagung bakar, pepaya, dan berbagai makanan khas Kota Pontianak lainnya. Pada tahun 1994, Pemerintah Kotamadya Dati II Pontianak bekerja sama dengan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kota Pontianak membangun dan menata pasar Minggu Jagung Bakar agar saung-saung tersebut tertata rapi dan bersih. Selanjutnya tahun 1995 Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kota Pontianak mengirimkan sampel minuman lidah buaya dan pelepah lidah buaya ke Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi Departemen Kesehatan untuk dilakukan analisa gizinya dan kandungan bahan lain agar minuman tersebut tidak mengandung bahan-bahan yang dapat merugikan kesehatan. Dari hasil analisa gizi tersebut, diperoleh hasil bahwa pada gel lidah buaya mengandung berbagai zat seperti mineral, protein, lemak, karbihidrat, energi, enzim, vitamin, asam amino dan lainnya berkhasiat untuk mencegah berbagai macam penyakit. Selanjutnya hasil penelitian tersebut ditindaklanjuti oleh Tim Penggerak PKK, petani, dan instansi terkait untuk terus melakukan diversifikasi dan inovasi produk turunan lidah buaya melalui pameran dan demonstrasi produk. Hasilnya telah mempercepat diversifikasi produk lidah buaya menjadi bahan pangan lainnya seperti dodol, manisan, siomay, juice, sop, bakso, teh, kerupuk, dan tepung lidah buaya. Hasil informasi tentang khasiat dan pemanfaatan daun pelepah lidah buaya telah menarik perhatian masyarakat baik itu para petani maupun non petani untuk mengolah lidah buaya dan memanfaatkan peluang bisnis yang mempunyai prospek pasar yang cukup baik. Diantaranya saat ini sudah ada 26 orang pengolah minuman lidah buaya siap saji dengan mendirikan saung-saung di Jl. Budi Utomo, dan 14 pengolah berbagai produk lidah buaya dalam kemasan seperti minuman, dodol, manisan, kerupuk, teh, cokelat, dan selai. Perkembangan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak terbilang cukup lambat, meskipun inovasi produk lidah buaya cukup variatif. Lambatnya perkembangan industri ini terletak pada pemasarannya yang hanya sebatas lokal saja, walaupun ada juga pengusaha yang telah sukses mengekspansikan produknya sampai luar kota, namun kesuksesan tersebut belum diikuti oleh sebagian besar pengusaha lainnya. Mayoritas pengusaha masih mengalami kesulitan dalam memasarkan produknya karena tidak adanya jaringan atau kolega yang membantu dalam memasarkan produk tersebut, selain itu faktor modal juga menjadi kendala dalam mengembangkan produk yang dihasilkan. Karakteristik Pengusaha Agroindustri Lidah Buaya Karakteristik pengusaha agroindustri lidah buaya yang dimaksud adalah meliputi usia, gender, pendidikan terakhir, lama usaha, dan status pekerjaan yang dilakukan. Karakteristik pengusaha ini untuk melihat seberapa jauh kemampuan pengusaha dalam memanajemen usahanya dan berperan dalam pengambilan keputusan untuk keberlanjutan usaha yang telah dirintis selama ini. Disamping itu, keberhasilan
43 pengembangan suatu usaha yang telah dijalankan juga dapat dilihat dari karakteristik tersebut. 1. Umur pengusaha Menurut Hubeis (1997), Sjaifudian et al. (1997) bahwa umur produktif merupakan salah satu faktor penting dalam mengembangkan usaha menjadi lebih baik. Umur pengusaha akan mempengaruhi produktivitas dalam bekerja. Pengusaha yang memiliki umur lebih muda, diasumsikan produktivitas tenaga kerjanya lebih tinggi, lebih kreatif dan terbuka terhadap ide-ide baru dibandingkan pengusaha yang memiliki umur lebih tua, sehingga lebih mudah meningkatkan ketrampilan dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan produksi. Dalam penelitian ini, umur pengusaha agroindustri lidah buaya berada pada umur 30 sampai 65 tahun. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 14 dan Tabel 15 sebagai berikut. Tabel 14 Kelompok umur pengusaha agroindustri lidah buaya Kelompok Umur (Tahun) Tidak produktif (0-14) Produktif (15-54) Kurang produktif (≥ 55) Jumlah
Jumlah Pengusaha 0 10 4 14
Persentase (%) 0 71.4 28.6 100
Sumber: Data primer (2013).
Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa dari 14 orang pengusaha agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak bahwa mayoritas pengusaha berada pada kelompok umur produktif yaitu 15-54 dengan jumlah pengusaha sebanyak 10 orang atau sebesar 71.4 persen (%). Sedangkan untuk kelompok umur yang kurang produktif yaitu ≥ 55 tahun berjumlah 4 orang atau sebesar 28.6 persen. Banyaknya pengusaha yang berumur produktif akan menjadi keunggulan tersendiri bagi agroindustri lidah buaya untuk dapat terus meningkatkan dan mengembangkan usaha, terutama dari segi kreatifitas berinovasi mengingat pengusaha diumur tersebut masih dapat melakukan segala aktivitas baik yang menggunakan tenaga fisik maupun pikiran. Sehingga kedepannya agroindustri lidah buaya dapat berdayasaing di tingkat nasional dan internasional. Tabel 15 Pengusaha agroindustri lidah buaya menurut umur Umur Pengusaha 30 – 36 37 – 43 44 – 50 51 – 57 58 – 64 65 – 71 Jumlah Sumber: Data primer (2013).
Jumlah Pengusaha 2 5 2 2 2 1 14
Persentase (%) 14.3 35.7 14.3 14.3 14.2 7.1 100
44 Berdasarkan Tabel 15 bahwa mayoritas pengusaha agroindustri lidah buaya berada pada umur 37 sampai 43 tahun yaitu berjumlah 5 orang atau sebesar 35.7 persen, dan rata-rata berumur 40 tahun. Sedangkan pengusaha yang telah berumur antara 65 sampai 71 tahun hanya berjumlah 1 orang. Jika dilihat dari rata-rata umur, pengusaha agroindustri lidah buaya masih berada dikelompok umur produktif. Dengan asumsi bahwa pengusaha tersebut masih produktif dalam mengembangkan diri dan usaha agroindustri lidah buaya di masa yang akan datang, sehingga dapat memajukan produk yang menjadi ciri khas daerah Kota Pontianak dan mendorong pengusahapengusaha baru yang ingin berusaha disubsektor agroindustri khususnya lidah buaya. 2. Jenis Kelamin (Gender) Menurut Hubeis (1997), Sjaifudian et al. (1997) bahwa jenis kelamin atau gender juga menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan dan keberhasilan suatu usaha yang akan dijalankan. Pada umumnya pria lebih berani dalam mengambil resiko yang merupakan faktor penting dalam pengelolaan usaha. Akan tetapi, dari segi sosial budaya, kesempatan berusaha bagi pria lebih besar dibanding perempuan. Oleh karena itu, mengembangkan usaha kecil menjadi sangat relevan dengan isu perempuan, mengingat usaha kecil merupakan sumber pendapatan dan peluang berusaha utama bagi kebanyakan perempuan dan masyarakat pada umumnya. Tabel 16 Pengusaha agroindustri lidah buaya menurut jenis kelamin Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah
Jumlah Pengusaha 7 7 14
Persentase (%) 50 50 100
Sumber: Data primer (2013)
Dilihat dari Tabel 16 bahwa jumlah pengusaha perempuan sama jumlahnya dengan pengusaha laki-laki yaitu sebanyak 7 orang atau 50 persen. Dari status gender tersebut terdapat kesempatan yang sama dalam berusaha antara laki-laki dan perempuan, kecuali dalam hal proses berwirausaha, jaringan sosial, dan akses terhadap sumberdaya yang akan memberikan perbedaan. Selain itu, agroindustri lidah buaya juga membuka peluang bagi seluruh masyarakat, khususnya laki-laki yang tidak atau belum memiliki kesempatan kerja di sektor formal untuk berwirausaha. Pada agroindustri lidah buaya, pengusaha perempuan lebih memiliki kreatifitas yang tinggi dalam berinovasi dibanding pengusaha laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari beragamnya produk yang diproduksi dan dijual oleh pengusaha perempuan. Tidak hanya memproduksi minuman, pengusaha perempuan juga memproduksi dodol, manisan, cokelat, kerupuk, stick, dan selai, bahkan produk terbaru berupa kue nastar lidah buaya. Sehingga agroindustri lidah buaya yang dijalankan oleh pengusaha perempuan lebih berkembang dari segi diversifikasi produk. 3. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan formal secara relatif juga berhubungan dengan kemampuan dalam adopsi inovasi ataupun mengakses dan mengadopsi kemajuan teknologi dan informasi, mudah bernegosiasi, membangun networking, dan lain sebagainya yang dapat menunjang keberlanjutan usaha. Selain itu, pendidikan juga akan mempengaruhi
45 kemampuan pengusaha dalam mengelola kinerja usaha. Dengan pendidikan tinggi, seseorang akan memiliki perencanaan dan pemikiran yang matang untuk mengambil keputusan dengan memperhitungkan segala resiko yang mungkin terjadi, sehingga dapat meminimalisir terjadinya kerugian. Pada penelitian ini, tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh pengusaha agroindustri lidah buaya bervariasi mulai dari yang hanya menamatkan pendidikan ditingkat Sekolah Dasar sampai ada yang menamatkan pendidikan ditingkat Perguruan Tinggi. Untuk lebih jelasnya jumlah pengusaha yang menamatkan pendidikan dapat dilihat pada Tabel 17 sebagai berikut. Tabel 17 Pengusaha agroindustri lidah buaya menurut tingkat pendidikan Tingkat Pendidikan Sekolah Dasar Sekolah Menengah Pertama Sekolah Menengah Atas Perguruan Tinggi Jumlah
Jumlah Pengusaha 4 2 7 1 14
Persentase (%) 28.6 14.3 50 7.1 100 1
Sumber: Data primer (2013)
Berdasarkan Tabel 17 bahwa mayoritas pengusaha menyelesaikan pendidikan di tingkat Sekolah Menengah Atas yaitu berjumlah 7 orang atau sebesar 50 persen. Terdapat juga pengusaha yang hanya menyelesaikan pendidikan ditingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, yang berturut-turut berjumlah 4 orang atau sebesar 28.6 persen dan 2 orang atau sebesar 14.3 persen. Namun, terdapat pula 1 orang pengusaha yang menyelesaikan pendidikan hingga Perguruan Tinggi. Banyaknya pengusaha yang menamatkan pendidikan di tingkat Sekolah Menengah Atas merupakan hal yang cukup baik, karena pengusaha telah menempuh pendidikan lebih dari 9 tahun sesuai yang dianjurkan oleh pemerintah Indonesia. Setidaknya pada tingkat pendidikan tersebut, pengusaha akan lebih mudah mencari dan menyerap ilmu pengetahuan dan teknologi yang tersedia dan berguna untuk pengembangan usaha. Namun, ada juga pengusaha yang hanya menamatkan pendidikan ditingkat Sekolah Dasar. Ini menandakan bahwa dalam usaha pengolahan lidah buaya ini tidak membutuhkan keterampilan khusus yang mengharuskan seorang pengusaha harus menamatkan pendidikan setinggi-tingginya. Akan tetapi, faktor pertama yang dibutuhkan adalah kemauan yang kuat dalam berusaha. Meskipun demikian, pendidikan akan menjadi faktor yang sangat penting dalam membentuk kinerja seseorang dalam mengembangkan usaha, apalagi ditambah dengan ketrampilan atau skill yang baik maka akan menjadi kekuatan dalam mengembangkan usaha. 4. Pengalaman Usaha Lamanya pengalaman usaha yang dijalankan akan mempengaruhi kesuksesan usaha yang diraih. Pada umumnya, waktu yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan dalam usaha tidaklah singkat, orang-orang yang sukses berwirausaha memerlukan waktu yang panjang, dimana dalam kurun waktu tersebut akan terjadi berbagai hambatan dan masalah dalam menjalankan usahanya. Pengusaha yang telah lama menjalankan usaha akan lebih banyak pengalamannya terutama dari sisi proses produksi dan pengenalan mutu produk, pemasaran, dan masalah yang dihadapi,
46 sehingga akan lebih banyak mengetahui bagaimana mengatasi dan menyelesaikan masalah. Pada penelitian ini, lamanya usaha yang dijalankan oleh pengusaha agroindustri lidah buaya berkisar antara 4 sampai 23 tahun, dengan rata-rata pengalaman selama 12 tahun. Untuk lebih jelasnya, lamanya usaha yang dijalankan pengusaha agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Pengusaha agroindustri lidah buaya menurut lama usaha Lama Usaha (Tahun) 4–7 8 – 11 12 – 15 16 – 19 20 – 23 Jumlah
Jumlah Pengusaha 2 3 7 2 14
Persentase (%) 14.3 21.4 50 14.3 100 1
Sumber: Data primer (2013)
Berdasarkan Tabel 18 bahwa mayoritas pengusaha telah lama menjalankan usaha dibidang pengolahan lidah buaya yang rata-rata lebih dari 10 tahun yaitu dalam waktu antara 12 hingga 15 tahun sebanyak 7 orang atau sebesar 50 persen. Bahkan ada pengusaha yang telah berusaha selama 20 hingga 23 tahun yaitu sebanyak 2 orang atau 14.3 persen. Pada dasarnya, usaha pengolahan lidah buaya ini memang telah lama dilakukan oleh sebagian kecil petani lidah buaya keturunan Cina yaitu sejak tahun 1988, akan tetapi mulai berkembang pada tahun 1990. Sehingga tidak heran pengusaha olahan lidah buaya ini mayoritas dilakukan oleh warga keturunan Cina yang lebih dulu mempopulerkan dan mengusahakan produk olahan lidah buaya. Oleh karena itu, pengusaha agroindustri lidah buaya yang keturunan Cina lebih berpengalaman dalam agroindustri lidah buaya ini, dan usaha yang dijalankan lebih berkembang terutama jika dilihat dari jumlah produksi, area pemasaran, dan merk yang telah dikenal oleh masyarakat pecinta aloe vera. 5. Status Pekerjaan Status pekerjaan dianalisis untuk melihat seberapa banyak pengusaha yang mencurahkan waktunya dalam mengusahakan industri pengolahan lidah buaya, dikarenakan pekerjaan yang ditekuni pengusaha bermacam-macam yaitu mulai dari pengolah lidah buaya, petani lidah buaya, buruh, dan pegawai. Oleh karena itu, status pekerjaan ini untuk melihat apakah industri pengolahan lidah buaya tersebut merupakan pekerjaan pokok atau hanya sebagai pekerjaan sampingan. Untuk itu, Tabel 19 menunjukkan karakteristik pengusaha menurut status pekerjaan. Tabel 19 Pengusaha agroindustri lidah buaya menurut status pekerjaan Status Pekerjaan Pekerjaan Pokok Pekerjaan Sampingan Jumlah Sumber: Data primer (2013)
Jumlah Pengusaha 12 2 14
Persentase (%) 85.7 14.3 100
47 Pada Tabel 19 dapat dilihat bahwa agroindustri lidah buaya merupakan pekerjaan pokok yang dilakukan oleh mayoritas pengusaha yang berjumlah 11 orang atau sebesar 85.7 persen. Agroindustri lidah buaya ini dijadikan pengusaha sebagai pekerjaan pokok dikarenakan tingkat pendidikan pengusaha yang memang sulit bersaing dipekerjaan formal, sehingga membuat pengusaha termotivasi untuk menekuni usaha ini. Selain itu, agroindustri ini banyak dilakukan oleh warga keturunan Cina yang pada umumnya lebih senang berwirausaha dibanding bekerja disektor formal, dan juga usaha ini memberikan keuntungan dan penghasilan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Dari pengamatan di lapang terlihat bahwa pengusaha yang menjadikan agroindustri lidah buaya sebagai pekerjaan pokok lebih fokus dalam mengembangkan usaha dibandingkan pengusaha yang menjadikan pekerjaan sampingan. Hal ini terlihat dari kontinyuitas produk yang terjaga untuk memenuhi permintaan pasar di uar kota Pontianak, bervariasinya produk yang dihasilkan karena waktu lebih fokus untuk berinovasi dan berkreatifitas guna mengembangkan usaha, selalu menjaga hubungan baik dengan petani lidah buaya bahkan menjalin kemitraan dengan petani dalam bentuk kelompok tani agar ketersediaan bahan baku terjaga dengan baik. Sedangkan untuk pengusaha yang menjadikan sebagai pekerjaan sampingan hanya memproduksi satu jenis produk saja dan area pemasarannya pun hanya disekitar Kota Pontianak saja. Kendala Agroindustri Lidah Buaya di Kota Pontianak Kota Pontianak merupakan kota yang strategis umtuk membudidayakan tanaman lidah buaya karena ditunjang dengan kondisi agroiklimat yang baik yang sesuai dengan tanaman lidah buaya, sehingga Kota Pontianak dapat dikatakan sebagai sentra lidah buaya yang memiliki kualitas ekspor. Tanaman lidah buaya dapat mendorong terciptanya usaha baru yaitu usaha pengolahan lidah buaya atau agroindustri lidah buaya yang memberikan nilai tambah bagi petani maupun bagi masyarakat, serta membantu petani mempermudah dalam pemasaran lidah buaya mentah. Pada umumnya, agroindustri lidah buaya yang ada di Kota Pontianak telah lama diusahakan oleh warga setempat. Pengusaha agroindustri lidah buaya telah banyak menciptakan diferensiasi produk dari tanaman lidah buaya, tidak hanya membuat minuman yang pada umumnya telah dikenal luas oleh masyarakat di Indonesia, namun juga membuat produk-produk seperti teh, dodol, manisan, selai, kerupuk, dan makanan lainnya. Pengembangan lidah buaya sebagai produk unggulan daerah Kota Pontianak mendapat perhatian dari pemerintah daerah, sehingga pemerintah membangun pusat penelitian dan pengkajian teknologi lidah buaya nasional yaitu Aloe Vera Center, yang lokasinya dekat dengan sentra produksi lidah buaya milik petani dan pengusaha kecil agroindustri lidah buaya. Akan tetapi dalam perkembangannya, agroindustri lidah buaya ini banyak menghadapi kendala, salah satunya yaitu masih kurangnya ketersediaan bahan baku lidah buaya, terutama pada saat hari besar nasional. Keterbatasan bahan baku ini terjadi dikarenakan pada tahun 2004 hingga 2010 banyak petani yang mengalihfungsikan lahan lidah buaya untuk menanam tanaman lain seperti nanas, pepaya dan sayur-sayuran yang pasarnya lebih jelas dibandingkan dengan lidah buaya. Peristiwa ini juga didorong dengan melimpahnya produksi lidah buaya, namun sedikit sekali lidah buaya yang dapat diserap pasar yaitu baru sekitar 6.85 persen dari total potensi produksi, sedangkan sisanya ditunda panen (Musyafak 2003). Belum berkembangnya usaha pengolahan lidah buaya pada saat itu, membuat petani tidak ada
48 alternatif lain selain menjual ke pabrik dan pedagang pengumpul dengan harga yang relatif murah yaitu hanya mencapai Rp 800 hingga Rp 1 000 per kilogram. Hingga tahun 2012 jumlah petani yang membudidayakan lidah buaya pun semakin menurun, yang semula berjumlah 115 petani di tahun 2004 menjadi 49 petani di tahun 2012 (Aloe Vera Center 2012). Disamping keterbatasan bahan baku, kendala lain yang umumnya dihadapi pengusaha agroindustri lidah buaya adalah terbatasnya modal untuk membeli peralatan produksi dan akses pemasaran produk lidah buaya. Pengusaha agroindustri lidah buaya tidak banyak yang mendapatkan bantuan dari pemerintah dalam hal penyediaan alat produksi. Pada umumnya, pengusaha menggunakan modal sendiri dalam mengembangkan usahanya begitu juga dalam memasarkan produk. Peran pemerintah untuk pengembangan industri lidah buaya ini tidak begitu jelas, rencana program pengembangan yang ada belum sepenuhnya dilakukan. Aloe Vera Center yang seharusnya menjadi tempat untuk membantu pengembangan inovasi-inovasi baru dalam pendiversifikasian produk turunan lidah buaya, memasarkan produk, dan lain sebagainya belum memberikan hasil yang memuaskan bagi pelaku industri lidah buaya. Selama ini, pengusaha agroindustri lidah buaya berjuang sendiri dalam mengembangkan usahanya, baik itu dari aspek permodalan maupun dari aspek pemasaran. Sedikitnya perhatian dari pemerintah daerah menyebabkan agroindustri ini mengalami keterlambatan dalam pengembangannya terutama dalam hal teknologi pengolahan. Meskipun usaha ini sudah terbilang cukup lama digeluti oleh pengusaha, namun teknologi pengolahannya masih sangat sederhana dan tradisional, di mana hampir disetiap tahapan proses produksi banyak menggunakan tenaga manusia (manual). Disamping itu, banyaknya produk-produk makanan dan minuman olahan selain lidah buaya di Kota Pontianak, menjadikan agroindustri lidah buaya ini memiliki banyak pesaing, ditambah lagi masuknya minuman lidah buaya yang diproduksi oleh perusahaan besar seperti PT. Niramas Utama dengan merk yang sudah dikenal masyarakat luas yaitu Nata de Coco. Harga yang tawarkan pun begitu kompetitif, sehingga pengusaha yang umumnya masih berskala kecil dan rumah tangga mengalami kesulitan dalam memasarkan produknya di pasar lokal maupun luar kota. Oleh sebab itu, peran pemerintah sangat penting dalam mempromosikan produk lidah buaya dari Kota Pontianak ke luar kota hingga mancanegara, dalam upaya membuka akses pasar bagi pengusaha yang memang kesulitan memasarkan produknya. Kendala lain yang juga dihadapi pengusaha adalah kebutuhan air bersih. Agroindustri lidah buaya membutuhkan banyak air dalam proses produksinya, terutama dalam memproduksi minuman lidah buaya, yang membutuhkan pencucian, pembilasan berkali-kali dan perendaman, sehingga air bersih menjadi kebutuhan yang sangat vital bagi agroindustri ini. Buruknya infrastruktur air bersih di Kota Pontianak, mengharuskan pengusaha membeli air bersih dari daerah luar kota Pontianak yang harganya dirasa cukup mahal oleh pengusaha yaitu mencapai Rp 200 000 hingga Rp 300 000 per tangki berukuran 6000 liter. Kondisi ini menyebabkan pengusaha harus mengeluarkan biaya yang cukup besar dalam hal penyediaan dan penyimpanan air bersih jika terjadi musim kemarau. Dibagian lain, tidak adanya industri kemasan juga menjadi kendala yang umumnya dirasakan pengusaha untuk menghasilkan produk lidah buaya yang berkualitas dari segi kemasan. Untuk memproses produk lidah buaya hingga ketahap pengemasan, memerlukan biaya produksi yang tidak sedikit terutama pada tahap
49 pengemasan. Pengusaha harus mengeluarkan biaya ekstra untuk memesan kemasan yang berkualitas (jenis bahan kemasan, design kemasan dan keawetan kemasan) ke luar Kota Pontianak seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, bahkan ada yang memesan hingga ke Kuching (Malaysia). Kondisi ini tentunya akan sangat mempengaruhi harga akhir dari produk lidah buaya yang dihasilkan.
7 DAYASAING AGROINDUSTRI LIDAH BUAYA DI KOTA PONTIANAK Pada bab ini akan menganalisa mengenai kondisi dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak dengan berdasarkan pada pendekatan teori Diamond Porter. Teori ini membahas tentang dayasaing dengan sistem komponen yang kompleks beserta sub-sub faktor yang saling terkait didalamnya yang menjadi pembentuk dayasaing industri ditingkat nasional maupun internasional. Komponen-komponen tersebut terdiri dari kondisi faktor sumberdaya, kondisi permintaan, industri terkait dan pendukung, serta kondisi struktur, strategi dan persaingan yang dihadapi dalam mengembangkan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. Selain itu ditinjau pula sejauh apa peranan pemerintah dan peran kesempatan dalam mengembangkan dan meningkatkan posisi dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. Kondisi Faktor Sumberdaya Sumberdaya Alam atau Fisik a) Syarat, kondisi dan luas lahan Pada umumnya, lidah buaya termasuk jenis tanaman yang mudah tumbuh baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah, dan tidak memerlukan perawatan khusus dalam pemeliharaannya. Namun, lidah buaya akan tumbuh dengan sangat baik jika ditanam di dataran rendah dengan penyinaran matahari yang penuh, seperti di Kota Pontianak yang merupakan salah satu sentra lidah buaya di Indonesia. Budidaya lidah buaya dilakukan pada areal lahan gambut (organosol), mengingat jenis tanah di Kota Pontianak didominasi oleh jenis tanah gambut (organosol) yang mencapai luas 5 592 hektar (Ha) dari luas Kota Pontianak yakni 10 782 hektar (Ha). Budidaya lidah buaya di lahan gambut dilakukan secara khusus, mengingat tanah gambut (organosol) merupakan salah satu jenis tanah yang sangat miskin unsur hara makro, masam dan bersifat racun dari humus asam, sehingga tanah gambut dikatakan juga sebagai tanah bermasalah atau tanah marginal. Oleh karena itu, lahan gambut yang akan digunakan sebagai lahan pertanian khususnya budidaya lidah buaya harus dikondisikan terlebih dahulu sehingga sesuai dengan syarat tumbuh tanaman lidah buaya. Budidaya lidah buaya di lahan gambut memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, terutama pada saat pembukaan lahan pertanian untuk pertama kalinya. Lahan gambut yang akan dijadikan lokasi budidaya lidah buaya harus diberikan perlakuanperlakuan, seperti penurunan permukaan air tanah dengan cara membuat drainase mengingat pada lahan gambut daerahnya selalu jenuh dengan air, sehingga dibuat drainase untuk membuang air yang berlebihan agar terjadi oksidasi dan mineralisasi. Perlakuan lainnya seperti pemberian abu dan bahan organik (pupuk kandang) sebagai
50 penambahan unsur hara pada tanah gambut, mengingat tanah ini sangat miskin akan unsur hara makro. Berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) budidaya lidah buaya di Kota Pontianak, kondisi lahan yang baik untuk budidaya lidah buaya adalah pada ketinggian 0 - 10 meter di atas permukaan laut (m dpl), dengan curah hujan tahunan berkisar antara 2 500 hingga 4 000 mm/tahun, suhu udara yakni 24 hingga 36 0C dan pH tanah 3.5 hingga 5.5. Sedangkan jenis tanah yang baik untuk budidaya lidah buaya adalah jenis tanah podsolik dan organosol yang memiliki drainase yang baik, akan tumbuh dengan baik pada dataran rendah dengan penyinaran matahari yang penuh, serta dengan struktur tanah yang subur, gembur dan banyak mengandung bahan organik. Dengan demikian berdasarkan standar operasional prosedur (SOP) tersebut daerah Kota Pontianak memang sangat sesuai untuk pembudidayaan lidah buaya, mengingat kondisi geografis kota tersebut yang tak jauh berbeda dengan ketentuan yang telah disyaratkan oleh Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Pontianak. Disamping itu, posisi Kota Pontianak yang berada tepat digaris khatulistiwa memungkinan tanaman lidah buaya mendapatkan intensitas penyinaran matahari yang penuh, dimana pada kondisi tersebut tanaman lidah buaya akan tumbuh dengan baik. Berikut ini adalah Tabel 20 yang menunjukkan jumlah petani dan luas lahan budidaya di Kota Pontianak. Tabel 20 Jumlah petani dan luas lahan lidah buaya di Kota Pontianak Nama Kelompok
Jumlah Petani
Bentasan Bunga Indah Maju Jaya I Maju Jaya II Maju Jaya III
21 17 11 8 5
Lahan Lidah Buaya (Ha) Luas Panen Belum Panen 4.7 2.8 1.9 6.8 4.0 2.8 6.4 0.8 5.7 6.3 3.5 2.9 4.9 0.1 4.8
Potensi Pengembangan (Ha) 15.0 12.0 4.0 7.8 4.5
Maju Jaya IV Pangeran I Pangeran II Harapan S Isun Vera Flora Subur
5 15 2 23 5 6
3 6.8 0.8 44.5 8 4.3
1.1 6.0 0.8 41.8 7.0 4.3
1.9 0.8 0 2.7 1.0 0
2.6 13.5 2.0 6.0 4.0 2.5
Jumlah
118
96.5
72
24.5
73.9
Sumber: Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kota Pontianak (2013)
Berdasarkan Tabel 20 dapat dilihat bahwa sumberdaya bahan baku lidah buaya masih dapat dikembangkan, dimana potensi lahan pengembangan lidah buaya milik kelompok petani yang masih cukup luas yaitu 73.9 hektar (Ha), yang akan menjadi keunggulan di subsektor agroindustri dalam penyediaan bahan baku lidah buaya. Disamping itu, pemerintah Kota Pontianak juga telah mengalokasikan tanah seluas 800 hektar (Ha) di Kecamatan Pontianak Utara untuk mempercepat peningkatan luas
51 tanam lidah buaya guna memenuhi kebutuhan bahan baku lidah buaya bagi agroindustri lidah buaya yang dirasa masih kurang. Melihat kesesuaian karakteristik alam Kota Pontianak serta didukung dengan lahan pertanian yang masih luas, menjadi modal utama dalam membudidayakan lidah buaya yang berkualitas ekspor, serta menjadi keunggulan bagi agroindustri lidah buaya untuk menciptakan agroindustri yang berkelanjutan dan berdayasaing baik di pasar nasional maupun internasional. Faktor kondisi sumberdaya alam berupa bahan baku lidah buaya dan masih luasnya lahan untuk budidaya lidah buaya, merupakan faktor utama yang menjadi keunggulan dalam mengembangkan agroindustri lidah buaya. Mengingat agroindustri lidah buaya merupakan agroindustri hilir (downstream) yang sangat tergantung pada ketersediaan bahan baku lidah buaya dalam proses produksinya. Sumberdaya lidah buaya akan sangat mempengaruhi keberlangsungan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak, baik itu dari ketersediaan maupun kualitas lidah buaya yang dimiliki. b) Aksesibilitas terhadap input Aksesibilitas pengusaha agroindustri lidah buaya terhadap input mencerminkan tingkat kemudahan dalam memperoleh input produksi yang dibutuhkan secara kontinyu, tepat waktu, tepat jumlah serta tepat jenis. Kemudahan yang dimaksud umumnya menyangkut ketersediaan input bahan baku lidah buaya di petani, dan bahan penunjang di pasar, kondisi harga ideal yang dapat dijangkau oleh pengusaha, serta distribusi input dari pemasok kepada produsen dalam hal ini adalah pengusaha agroindustri lidah buaya. Aksesibilitas pengusaha agroindustri lidah buaya terhadap input tersebut sangat mempengaruhi kinerja serta pencapaian hasil bagi keberlanjutan usaha agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. Pada umumnya pengusaha agroindustri lidah buaya memperoleh lidah buaya dari petani langsung. Namun, ada juga pengusaha yang memperoleh lidah buaya dari kebun milik sendiri. Akses pengusaha dalam mendapatkan bahan baku lidah buaya tidak begitu mengalami kesulitan, dikarenakan tiap-tiap pengusaha sudah menjalin kerjasama dengan petani lidah buaya dan membentuk kelompok tani sendiri. Harga yang disepakati juga disesuaikan oleh kedua belah pihak dengan melihat harga pasaran lidah buaya yang terjadi di Kota Pontianak, yaitu berkisar antara Rp 1 200 hingga Rp 1 500 per kilogram yang disesuaikan dengan grade lidah buaya. Meskipun demikian, tidak semuanya pengusaha memiliki kelompok tani lidah buaya. Pengusaha tersebut kadang kala mengalami kesulitan dalam ketersediaan bahan baku. Hal ini biasanya terjadi pada saat hari-hari besar nasional seperti bulan ramadhan, idul fitri, natal dan imlek, yang memang pada hari tersebut permintaan lidah buaya segar cukup tinggi, sehingga beberapa petani menjual lidah buayanya langsung ke pasar dalam bentuk yang sudah dikupas. Input lain sebagai penunjang dalam agroindustri ini adalah air bersih. Untuk memperoleh input ini sebenarnya tidak ada masalah bagi pengusaha khususnya yang memproduksi minuman. Akan tetapi biaya yang dikeluarkan memang besar terutama untuk tempat penyimpanan air dan harga air itu sendiri yang mencapai Rp 200 000 hingga Rp 300 000 dengan tangki air berukuran 6000 liter. Oleh karena itu, pengusaha yang memproduksi minuman lidah buaya membutuhkan modal ekstra untuk memproduksi minuman lidah buaya yang berkualitas, dikarenakan air merupakan faktor penting dalam menjaga kesegaran dan rasa minuman lidah buaya. Input penunjang lainnya yang juga penting adalah gula. Gula digunakan pengusaha sebagai bahan pengawet murni untuk produk minuman dan manisan lidah buaya. Pasokan gula di Kota Pontianak didatangkan dari luar pulau, hal ini
52 dikarenakan Kota Pontianak bukanlah daerah yang memproduksi gula untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal. Menurut pengusaha agroindustri lidah buaya, kebutuhan akan gula selalu tersedia di pasar, namun kualitas gula yang dijual kurang begitu bagus jika digunakan untuk memproduksi minuman lidah buaya, ditambah lagi harganya yang mahal yaitu Rp 10 000 hingga Rp 11 000 per kilogram. Kebanyakan gula yang dijual di Kota Pontianak berwarna kuning, sehingga warna ini akan mempengaruhi kualitas minuman lidah buaya terlihat tidak bersih. Pengusaha biasanya membeli gula yang berasal dari Malaysia dengan harga yang murah dibanding harga gula dalam negeri. Gula tersebut didistribusikan melalui pedagang di perbatasan Indonesia-Malaysia, akan tetapi perdagangan gula ini dapat dikatakan ilegal karena tidak melalui prosedur yang telah ditetapkan. Hingga saat ini, perihal perdagangan gula tersebut tetap saja terjadi, dan menjadi kesempatan bagi pengusaha agroindustri lidah buaya untuk memperoleh gula yang bagus dengan harga yang murah. Di satu sisi, kondisi ini memberikan keuntungan bagi pengusaha agroindustri lidah buaya, namun di sisi lain juga menjadi ancaman bagi agroindustri lidah buaya dan industri gula nasional. Situasi ini harusnya menjadi perhatian dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, agar agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak dapat tumbuh dan berkelanjutan. Ketersediaan bahan baku lidah buaya dan bahan penunjang lainnya sebenarnya dapat selalu tersedia dengan baik, jika adanya peran pemerintah seperti dalam memperbaiki infrastruktur air bersih, dan mengefektifkan kinerja instansi terkait seperti Aloe Vera Center, yang tidak hanya berfungsi sebagai pusat pengkajian dan pengembangan lidah buaya, namun juga dapat berfungsi sebagai koperasi penyedia input bagi agroindustri lidah buaya. Dilihat dari lokasi Aloe Vera Center yang sangat dekat dengan keberadaan agroindustri lidah buaya, menjadikan posisi Aloe Vera Center sangat strategis untuk membantu pengembangan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. Sumberdaya Manusia Keberhasilan dari suatu pengembangan kegiatan ekonomi sangat tergantung dari sumberdaya manusia yang tersedia baik dari kuantitas maupun kualitas. Namun, kualitas sumberdaya ekonomi tidak dapat dikelola secara maksimal jika tidak terjalin sinergi dengan sumberdaya manusia yang berkualitas. Sumberdaya manusia menjadi salah satu faktor yang dapat mewujudkan dayasaing yang handal baik ditingkat nasional maupun internasional, dan merupakan bekal dalam menghadapi persaingan dan tantangan secara universal. Dengan sumberdaya manusia yang berkualitas maka akan tercipta dayasaing produk agroindustri lidah buaya yang handal, dan dapat diserap oleh pasar secara maksimal baik ditingkat nasional maupun internasional. Sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas merupakan salah satu faktor kunci untuk membangun keunggulan kompetitif yang berkesinambungan. Indikator kualitas SDM biasanya diukur berdasarkan wawasan yang terakumulasi dari pendidikan formal, pelatihan dan pengalaman, bersikap profesional, memiliki jiwa kewirausahaan dan bermoral (Thoyib 2008). Sumberdaya manusia pada agroindustri lidah buaya khususnya pengusaha, ratarata memiliki pendidikan ditingkat SMA yaitu sebanyak 7 orang. Tingkat pendidikan pengusaha ini sudah dikatakan cukup baik karena telah menyelesaikan pendidikan selama 12 tahun yang sesuai dengan anjuran pemerintah Indonesia. Disamping itu, ada juga pengusaha yang hanya menyelesaikan pendidikan ditingkat SD dan SMP, yang
53 terbilang masih rendah. Meskipun rata-rata pengusaha tersebut tamatan SMA, tetapi belum dapat dikatakan berkualitas sehingga perlu adanya pelatihan dan pembinaan terkait kewirausahaan. Tujuannya agar pengusaha agroindustri lidah buaya dapat memanajemen usahanya dengan baik, salah satunya memanajemen keuangan usaha yang selama ini tidak dimiliki oleh pengusaha, menjaga kedisiplinan dalam hal kebersihan lingkungan usaha, dan memberi deskripsi tentang kualitas produk yang diinginkan pasar. Jika dilihat dari sumberdaya tenaga kerja yang digunakan, pada umumnya tenaga kerja di agroindustri lidah buaya ini adalah masyarakat yang tinggal tidak jauh dari tempat usaha. Kebanyakan tenaga kerja ini dilakukan oleh perempuan-perempuan yang berstatus sebagai ibu rumah tangga, remaja yang putus sekolah, dan remaja yang masih sekolah namun bekerja paruh waktu. Tenaga kerja di agroindustri ini bekerja sesuai instruksi yang telah diarahkan oleh pengusaha, bahkan ada tenaga kerja yang diberi tanggung jawab khusus oleh pengusaha dalam mengatur jalannya produksi. Dari segi kuantitas, tenaga kerja yang dapat diajak untuk bekerja di usaha ini mudah diperoleh, namun dari segi kualitas sulit untuk mendapatkan tenaga kerja yang terampil, cekatan, disiplin, beretika dan beretos tinggi dalam bekerja. Sehingga tidak jarang banyak pengusaha yang sering memberhentikan tenaga kerjanya jika dirasa kurang memuaskan. Sumberdaya aparatur pemerintah juga turut membantu dalam hal penyuluhan dan pembinaan di subsektor agroindustri lidah buaya. Aparatur pemerintah ini adalah dari Dinas Pertanian bidang Pengolahan Produk Hasil Pertanian (P2HP), dan Aloe Vera Center, yang memang kedua instansi ini ditugaskan khusus oleh pemerintah setempat untuk melakukan penyuluhan dan pembinaan terhadap petani lidah buaya dan agroindustri lidah buaya. Rata-rata tingkat pendidikan petugas penyuluh dan pembina ini adalah lulusan sarjana pertanian jurusan agronomi dan sosial ekonomi pertanian. Meskipun menyandang kesarjanaan, namun kualitas petugas penyuluh dan pembina juga harus ditingkatkan misalnya dalam menganalisa peluang pasar untuk produk lidah buaya, memberikan arahan dan melakukan pendekatan dengan petani dan pengusaha secara intensif tentang agribisnis dan dunia kewirausahaan agar pola pikir pelaku usaha tersebut lebih terbuka. Meskipun pendidikan pengusaha agroindustri lidah buaya lebih rendah dibandingkan aparatur pemerintah, tetapi pengusaha lebih memiliki kreatifitas dan inovasi yang cukup tinggi dalam pendiversifikasian produk olahan lidah buaya, terutama pengusaha yang bergender perempuan lebih inovatif dibanding pengusaha yang bergender laki-laki. Diversifikasi produk yang ada diciptakan sendiri oleh pengusaha dengan kreatifitas yang dimiliki. Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Ilmu dan teknologi merupakan perangkat instrumental hasil karya manusia untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi karyanya, termasuk karya dalam mengembangkan agribisnis di pedesaan. Peningkatan produktivitas dan efisiensi dalam rangkaian sistem agribisnis akan menghasilkan perbaikan dalam perolehan nilai tambah bagi setiap pelaku dalam rangkaian sistem tersebut. Sebagai hasil karya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan sumberdaya yang sangat menentukan kemajuan suatu industri. Pengembangan, penyebaran, penerapan dan alih teknologi perlu kearifan pertimbangan yang selektif dan tepat guna serta sesuai dengan nilai budaya bangsa. Penerapan iptek tersebut sebaiknya dilakukan sesuai keragaman dan karakteristik wilayah baik dari segi lahan, agroklimat maupun sosial ekonomi,
54 sosial budaya serta tingkat kemampuan masyarakat. IPTEK juga berarti kemampuan rekayasa dan rancang bangun sebagai hasil daya cipta dan daya kreatif manusia (Gumilar, 2007). Disamping itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perlu mendapat dukungan dari peran lembaga pendidikan, pelatihan, penelitian dan literatur bacaan. Pendidikan akan mencetak sumberdaya manusia yang berkualitas dan mampu bersaing secara global, pelatihan sebagai unsur pelengkap untuk meningkatkan skill masyarakat yang mudah diaplikasikan sehingga memberi perubahan yang lebih baik, penelitian dan literatur bacaan sebagai media informasi yang menyebarkan inovasi-inovasi baru sebagai wadah pemecahan masalah yang diterjemahkan secara sistematis yang dapat dipertanggungjawabkan dan bermanfaat bagi masyarakat, khususnya pelaku usaha. Tabel 21 menyajikan lembaga pendukung dalam pengembangan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. Tabel 21 Lembaga pengembangan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak Lembaga Keterangan Fak.Pertanian Univ.Tanjungpura Pengkajian dan Penelitian Dinas Pertanian Penyuluhan dan Pembinaan Aloe Vera Center Pusat Penelitian dan Pengembangan teknologi lidah buaya, Penyedia bibit lidah buaya, Pemasaran produk lidah buaya Dinas Perindustrian Promosi dan Pemasaran Perpustakaan Daerah Referensi informasi dan ilmu pengetahuan Sumber: Data primer (2013
Berdasarkan Tabel 21 yang menunjukkan lembaga-lembaga pendukung pengembangan agroindustri lidah buaya, Aloe Vera Center merupakan lembaga pemerintah yang diberi tugas khusus dalam upaya pengembangan agribisnis lidah buaya di Kota Pontianak, mulai dari budidaya hingga pemasaran, serta sebagai tempat penelitian dan magang bagi mahasiswa yang tertarik meneliti tentang lidah buaya. Akan tetapi sejauh ini, Aloe Vera Center belum begitu produktif dalam membantu peningkatan dan pengembangan teknologi lidah buaya, terutama dari teknologi pengolahan lidah buaya. Ilmu pengetahuan dan teknologi untuk pengembangan lidah buaya belum begitu banyak dilakukan baik secara tehnik pengolahan maupun agribisnisnya. Sehingga relatif sulit bagi pengusaha untuk mendapatkan informasi seputar lidah buaya. Secara tehnik pengolahan, banyak minuman dan kosmetik dari bahan baku lidah buaya yang diproses, namum pemrosesan tersebut dapat mengurangi atau bahkan merusak enzim, mineral, vitamin, dan asam animo yang terdapat pada lidah buaya segar. Oleh karena itu, agroindustri lidah buaya memerlukan tehnik pengolahan yang tepat yang dapat menjamin terpeliharanya kemurnian dan kualitas kandungan nutrisi yang sesuai dengan standar International Aloe Science Council (IASC), sehingga mampu berdayasaing di pasar internasional. Di sisi lain, pengusaha juga kurang mengakses informasi-informasi yang dapat memajukan usaha dan mendorong kretifitas, baik itu dari dunia maya maupun dari referensi buku bacaan. Selain itu, umumnya pengusaha
55 memiliki keterbatasan dalam skill penggunaan internet sebagai sumber informasi yang mudah diakses di Kota Pontianak, sehingga hal ini juga menjadi kendala tersendiri bagi pengusaha meningkatkan dayasaing produk agroindustri lidah buaya. Sumberdaya Modal Modal merupakan kunci yang memegang peranan penting dalam berdayasaing, dan merupakan kunci kekuatan sebuah usaha dalam menjalankan fungsinya. Permodalan bagi pelaku usaha agroindustri lidah buaya tetaplah menjadi sebuah alasan riil, dengan adanya modal proses produksi dalam suatu usaha dapat berjalan sebagaimana mestinya. Namun, sebagai usaha yang berskala kecil dan rumah tangga, modal dan sumber modal menjadi masalah yang dihadapi oleh pengusaha agroindustri lidah buaya, terutama dalam upaya untuk menambah kapasitas produksi. Pada agroindustri lidah buaya, modal usaha yang digunakan berasal dari modal sendiri. Menurut pengusaha bahwa sejak awal mereka mengusahakan usaha pengolahan lidah buaya hingga sekarang, sedikit sekali mendapat bantuan modal baik berupa uang maupun peralatan. Meskipun ada bantuan modal dari pihak pemerintah yakni dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan berupa peralatan produksi, seperti wajan besar dan kompor, namun bantuan tersebut tidak merata. Menurut informasi dari pengusaha bahwa mereka sudah beberapa kali mengajukan proposal perihal pengajuan bantuan modal berupa mesin cup siller, mesin pengering, mesin pemotong, dan mesin pengaduk, namun proposal tersebut tidak pernah mendapat tanggapan yang serius dari pemerintah setempat. Para pengusaha olahan lidah buaya akan mendapatkan bantuan dari pemerintah jika secara kolektif membentuk kelompok atau asosiasi pengusaha olahan lidah buaya. Akan tetapi, sangat disayangkan pembentukan kelompok tersebut hanya bersifat sementara dan sekedar formalitas saja. Akses terhadap perbankan di Kota Pontianak mudah dijangkau, dan beberapa bank seperti BRI, BNI, dan Bank Kalbar menyediakan layanan Kredit untuk Usaha Kecil dan Menengah. Akan tetapi, layanan tersebut tidak pernah di akses oleh pengusaha, dikarenakan bunga pinjaman yang relatif tinggi bagi pengusaha yaitu mencapai 14 persen (%) per tahun. Selain itu, pengusaha juga harus melampirkan agunan, surat izin usaha, dan laporan penjualan sebagai syarat pengajuan kredit. Birokrasi perbankan inilah yang dinilai pengusaha terlalu berbelit-belit, sehingga pengusaha tidak pernah menggunakan sumber modal dari perbankan. Sumberdaya Infrastruktur Sumberdaya infrastruktur adalah salah satu faktor pendukung yang dapat meningkatkan dayasaing di subsektor agroindustri, khususnya agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. Secara umum, kondisi infrastruktur seperti jalan, transportasi, pelabuhan, airport, komunikasi, dan lain sebagainya memiliki perbedaan di setiap daerah, hal ini dipengaruhi oleh dukungan dari pemerintah daerah setempat dalam meningkatkan infrastruktur wilayahnya. Sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Barat, Kota Pontianak memiliki akses jalur transportasi darat, air, dan udara yang mudah dijangkau oleh masyarakat, baik dengan kendaraan pribadi maupun dengan kendaraan umum. Selain itu, Kota Pontianak juga memiliki akses yang baik pada jaringan telekomunikasi dan listrik, yang kesemuanya tersebut dapat mendukung keberadaan dan pengembangan agroindustri lidah buaya mulai dari produksi, pemasaran, hingga pembentukan jaringan (networking) dari luar daerah bahkan antar negara. Posisi Kota Pontianak yang berbatasan dengan negara Malaysia dan Brunai Darussalam, menjadi
56 keunggulan tersendiri dalam menjangkau area pasar untuk produk agroindustri lidah buaya. Namun, infrastruktur jalan yang masih kurang baik di beberapa titik kota seperti jalan menuju kebun petani lidah buaya, jalan ke arah perbatasan antar negara, dan jalan dalam kota sendiri masih terlihat berlubang dan rusak, menyebabkan arus transportasi sedikit tersendat. Kondisi ini menjadi tidak efisien dalam mengangkut bahan baku lidah buaya, dan pemasaran produk lidah buaya, sehingga mengakibatkan besarnya cost yang dikeluarkan terutama jika dilihat dari waktu. Kurang mendukungnya infrastruktur jalan di Kota Pontianak sangat mengganggu kelancaran proses produksi karena menjadi salah satu faktor terlambatnya penyediaan bahan baku. Disamping belum mulusnya sebagian jalan dalam Kota Pontianak, infrastruktur penyediaan air bersih juga menjadi kendala yang besar pada agroindustri untuk mencapai produk yang berdayasaing, terutama dari sisi harga. Kebutuhan air untuk industri diperoleh dari air hujan yang digunakan untuk mencuci dan merendam potongan lidah buaya. Menurut informasi dari sub bidang Pengolahan Produk Hasil Pertanian (P2HP) dan pengusaha olahan lidah buaya, bahwa air yang berasal dari PDAM tidak layak digunakan untuk mencuci dan merendam lidah buaya, karena warna air PDAM yang keruh dan sedikit kekuning-kuningan akan mempengaruhi warna daging lidah buaya, rasa dan masa simpan. Sehingga industri ini harus menyediakan tempat penampungan air hujan untuk menjaga ketersediaan air apabila musim kemarau tiba. Selain menggunakan air hujan, industri ini menggunakan air pegunungan atau perbukitan yang dibeli dari jasa penyediaan air bersih yang berada di luar Kota Pontianak. Air ini digunakan untuk membilas potongan lidah buaya yang telah direndam dan untuk memasak. Buruknya infrastruktur penyediaan air bersih yang layak untuk industri, menyebabkan membengkaknya biaya yang harus dikeluarkan oleh pengusaha, dan ini berdampak pada harga produk yang dihasilkan menjadi kurang berdayasaing dibandingkan produk sejenisnya yang berasal dari luar Kota Pontianak. Kondisi Permintaan Domestik Kondisi permintaan merupakan faktor yang patut diperhitungkan dalam upaya peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. Era globalisasi ekonomi yang semakin terlihat di sektor-sektor pengolahan produk hasil pertanian, memunculkan persaingan yang semakin ketat. Jika ingin terus tetap berada di sektor tersebut, mau tidak mau pengusaha (pengolah) harus mengikuti pola kecenderungan yang diinginkan pasar. Sehingga produk yang dihasilkan merupakan produk yang berorientasi pada permintaan pasar. Komposisi Permintaan Domestik Seperti yang telah dikenal oleh masyarakat luas bahwa lidah buaya termasuk salah satu tanaman yang berkhasiat obat. Pemanfaatan lidah buaya sebagai obat telah dimanfaatkan dalam bidang kedokteran di 23 negara dan telah tercantum dalam daftar tanaman obat prioritas WHO. Bahkan di Amerika, produk lidah buaya digunakan oleh Food and Drug Administration untuk merawat pasien penderita kanker, dan menurut ahli patologi dari Dallas-Forth Worth Medical Centre bahwa pemanfaatan lidah buaya
57 sebagai suplemen akan menjadi maju dan sangat penting dalam pengobatan berbagai penyakit (Sumarno 2002). Di negara maju seperti Amerika dan Australia, pengolahan lidah buaya telah dilakukan secara modern, dimana lidah buaya diolah menjadi tepung atau aloe powder yang banyak diminta oleh industri farmasi dan kosmetik di seluruh dunia, termasuk industri farmasi dan kosmetik yang ada di Indonesia seperti Mustika Ratu. Tepung lidah buaya (aloe powder) merupakan salah satu produk lidah buaya yang banyak di impor oleh industri farmasi dan kosmetik dalam negeri. Permintaan dalam bentuk tepung lidah buaya, belum dapat dipenuhi oleh industri dalam negeri, seperti PT. Aloe Nusantara Utama sebagai perusahaan satu-satunya yang memproduksi tepung lidah buaya yang berkualitas sedang (Widotono 2009). Lebih lanjut menurut Widonoto (2009) bahwa permintaan tepung lidah buaya di Indonesia 67 persen (%) masih tergantung pada impor, dikarenakan perusahaan tepung lidah buaya dalam negeri belum mampu melayani permintaan secara rutin dan belum memenuhi kriteria mutu tepung lidah buaya yang diinginkan terutama tepung lidah buaya bermutu tinggi. Jika ditinjau dari harga, tepung lidah buaya impor yang berkualitas tinggi dapat mencapai harga Rp 7 000 000 per kilogram, sedangkan harga tepung lidah buaya lokal berkualitas sedang mencapai Rp 2 500 000 hingga Rp 3 500 000 per kilogram. Melihat peluang dalam industri tepung lidah buaya, seharusnya kondisi ini dapat dimanfaatkan oleh pemerintah Kota Pontianak untuk mendukung pengembangan agroindustri lidah buaya dari subsistem hulu, subsistem hilir, hingga subsistem pendukung. Hal ini karena Kota Pontianak merupakan sentra lidah buaya nasional, yang memasok bahan baku lidah buaya ke perusahaan pengolah tepung lidah buaya yang ada di Indonesia. Dewasa ini, pemanfaatan lidah buaya terus berkembang seiring dengan gaya hidup masyarakat yang telah kembali menggunakan bahan-bahan alami atau herbal. Lidah buaya tidak hanya dimanfaatkan sebagai obat dan bahan kosmetik, tapi juga telah dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Misalnya di Meksiko, Hongkong, Taiwan, Amerika, dan beberapa negara eropa lainnya, telah memanfaatkan lidah buaya untuk bahan minuman kesehatan. Bahkan di Indonesia khususnya di Kota Pontianak, lidah buaya telah diolah sebagai bahan pangan seperti bakso, kue nastar, kue lapis, dodol, kerupuk, selai, manisan, minuman, dan lain sebagainya. Akan tetapi, produk makanan tersebut belum begitu populer di tingkat nasional, kecuali minuman lidah buaya yang relatif banyak disukai. Sehingga permintaan untuk produk pangan berbahan lidah buaya di pasar domestik belum begitu tumbuh dan berkembang. Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan Peningkatan permintaan merupakan manifestasi yang penting dalam menganalisa masa depan agroindustri lidah buaya di Indonesia, khususnya di Kota Pontianak dari sudut pandang konsumsi. Lidah buaya bukanlah produk pertanian pokok atau produk pertanian yang berskala makro yang dikonsumsi oleh semua orang dan dibutuhkan semua industri. Lidah buaya bersifat spesifik, terasa pahit apabila dimakan mentah, dan tidak memiliki rasa khusus apabila dimasak, sehingga hanya orang-orang tertentu yang akan mengkonsumsinya. Di Kota Pontianak, permintaan produk lidah buaya berupa makanan relatif kurang disukai dibandingkan minuman. Meskipun minuman lidah buaya relatif disukai konsumen lokal, namun konsumen lokal lebih memilih untuk membuat minuman sendiri atau membelinya langsung di pasar Jagung Bakar yang menyediakan minuman
58 lidah buaya siap saji. Sehingga jumlah permintaan produk lidah buaya di Kota Pontianak relatif kecil. Pengusaha lebih banyak memasarkan produk lidah buaya ke luar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Bali dan Batam. Meskipun tidak ada nilai yang pasti dari setiap pengusaha berapa banyak produk yang mereka pasarkan, karena pemasaran ini dilakukan berdasarkan orderan, namun pengusaha memperkirakan dalam sekali order dapat mencapai 100 hingga 300 dus atau kotak minuman lidah buaya, 10 hingga 100 kilogram dodol dan manisan lidah buaya, 100 hingga 150 kotak teh lidah buaya. Semua produk yang dipasarkan tersebut berdasarkan orderan dari luar Kota Pontianak. Menurut PT. Aloe Nusantara Utama (2001) dalam Widonoto (2009), bahwa permintaan tepung lidah buaya dari luar negeri cukup besar, yaitu sebesar 10.8 ton per tahun dari Jepang, dan sebesar 100 ton per tahun dari China, Korea Selatan dan Singapura, sedangkan permintaan dalam negeri terus meningkat sebesar 18.8 ton per tahun. Sedangkan permintaan luar negeri untuk tepung kulit lidah buaya mencapai 114 ton per tahun. Melihat besarnya jumlah permintaan dan meningkat pertumbuhan akan pasar tepung lidah buaya, menjadikan peluang yang cukup besar bagi agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak untuk melakukan pengembangan produk yang sesuai dengan permintaan pasar baik dalam negeri maupun luar negeri. Internasionalisasi Permintaan Domestik Seperti yang diketahui bahwa lidah buaya telah menjadi produk unggulan Kota Pontianak, dan telah menjadi ciri khas dari Kota Pontianak. Bahkan lidah buaya Pontianak termasuk lidah buaya yang telah memenuhi standar pasar tujuan ekspor, sehingga tidak heran jika lidah buaya ini telah di ekspor ke beberapa negara seperti Malaysia, Hongkong, Taiwan, Jepang, dan Singapura. Akan tetapi, kondisi ini bertolakbelakang jika dibandingkan dengan produk yang dihasilkan oleh agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak saat ini. Rendahnya standar produk yang dihasilkan pengusaha, menyebabkan produk agroindustri ini belum layak untuk dipasarkan ditingkat internasional. Karena itu, agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak belum mampu berdayasaing di tingkat pasar luar negeri atau ekspor. Tingginya standarisasi yang tetap oleh International Aloe Science Council (IASC), mengharuskan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak harus lebih banyak berbenah dalam memperbaiki tehnik pengolahan lidah buaya agar kandungan gizi yang terdapat didalamnya tidak hilang ataupun rusak. Selain itu, peran pemerintah setempat juga diharapkan untuk membantu menemukan metode baru dalam mengolah lidah buaya yang baik dan benar, serta dapat membina pengusaha secara intensif dalam berwiraswasta. Industri Terkait dan Pendukung Keberadaan industri terkait dan industri pendukung yang memiliki dayasaing global juga akan mempengaruhi dayasaing industri utamanya. Industri hulu yang memiliki dayasaing global akan memasok input bagi industri utama dengan harga yang lebih murah, dan mutu yang lebih baik, begitu pula dengan industri hilir. Dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak akan terwujud apabila industri disekitarnya merupakan industri yang memiliki kompetensi tinggi, sehingga dapat mengangkat dayasaing industri utama yaitu pengolahan lidah buaya. Selain itu,
59 dayasaing akan terjadi apabila terjalin interaksi dan kerjasama yang saling mendukung antara indutri utama dengan industri terkait dan pendukung. Industri terkait merupakan industri terdekat yang secara langsung berhubungan dengan industri utama. Industri yang secara langsung berkaitan dengan agroindustri lidah buaya adalah industri hulu yang berperan sebagai pemasok input dan bahan baku lidah buaya, industri kemasan, dan industri jasa dan tataniaga. Sementara industri pendukung adalah lembaga-lembaga yang secara tak langsung turut menyokong kelangsungan kegiatan usaha industri utama, seperti lembaga keuangan, lembaga penelitian, asosiasi petani dan pengolah lidah buaya, lembaga pemerintah dan sebagainya. Industri Terkait 1) Industri pemasok lidah buaya Dalam industri pemasok ini, petani lidah buaya merupakan pemasok utama dalam menyediakan bahan baku lidah buaya pada agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. Agar mendapatkan bahan baku lidah buaya yang berkualitas untuk agroindustri lidah buaya, tentunya tak terlepas dari ketersediaan bibit yang baik (tidak berpenyakit, ukuran seragam) dan ketersediaan pupuk. Pemeliharaan yang dilakukan oleh petani juga akan mempengaruhi kualitas lidah buaya, seperti pembersihan lahan dan perlakuan pada saat panen maupun pasca panen lidah buaya. Lidah buaya merupakan tanaman yang berkembangbiak dengan cara bertunas dan biji. Menurut Sudarto (1997) dalam Radian (2010) bahwa tanaman lidah buaya mulai mengeluarkan anakan dari batangnya yang terpendam dalam tanah pada umur 5 sampai 6 bulan, dengan jumlah anakan rata-rata 3 sampai 5 tunas dalam setiap indukan. Bibit lidah buaya yang diperoleh petani berasal dari tanaman lidah buaya itu sendiri, dengan cara memisahkan anakan dari tanaman induk. Oleh karenanya, petani tidak merasa kesulitan dalam hal penyediaan bibit untuk penanaman selanjutnya, bahkan petani juga menjual bibit lidah buaya ke pasar Minggu Jagung Bakar yang berlokasi di Jl. Budi Utomo. Sedangkan untuk penyediaan pupuk, petani tidak merasa kesulitan karena petani bersama kelompok taninya membuat sendiri pupuk yang akan digunakan untuk tanaman lidah buaya. Menurut petani sendiri, budidaya lidah buaya yang mereka lakukan tidak membutuhkan pupuk kimia seperti KCL atau NPK ataupun Urea dalam jumlah banyak yakni hanya 10 gram per pohon, namun yang diperbanyak adalah pupuk kandang dan abu tanaman yakni masing-masing sebanyak 500 gram per tanaman. Selama ini bagi beberapa pengusaha, pasokan bahan baku lidah buaya yang diperolehnya dari petani dirasa telah cukup memenuhi kebutuhan produksi produk lidah buaya. Hal ini karena sebagian besar pengusaha telah menjalin kerjasama dengan petani lidah buaya dalam bentuk kelompok tani. Harga yang ditetapkan pun berdasarkan persetujuan bersama, meskipun tidak ada perjanjian yang mengikat, kerjasama tersebut terjalin dengan baik karena antar pengusaha dan petani hanya mengandalkan rasa kepercayaan dan saling mendukung antar kedua belah pihak. Namun dilain pihak, pasokan bahan baku ini masih dirasa kurang mencukupi bagi pengusaha yang tidak atau belum menjalin kerjasama dalam bentuk kelompok tani. Pengusaha tersebut kadang kala mengalami kekurangan produksi, bahkan terlambat memproduksi produk lidah buaya akibat tidak tersedianya bahan baku lidah buaya.
60 2) Industri kemasan Industri kemasan merupakan industri yang sangat penting bagi pengusaha dalam penyediaan kualitas dan kuantitas pengemasan bagi produk lidah buaya. Kualitas kemasan akan memberikan perspektif yang baik di mata konsumen mengenai produk lidah buaya yang dipasarkan, dan bahkan dapat menjadi dayasaing bagi produk tersebut dalam menarik perhatian konsumen. Hal ini karena, dalam kemasan tersebut tentunya akan tercantum merk produk yang diperdagangkan dengan design yang menarik, disamping itu produk akan lebih mudah dikenal dan diingat oleh konsumen. Pada agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak, penyediaan kemasan dilakukan dengan memesan langsung dengan industri kemasan yang terdapat di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan bahkan ada pengusaha yang memesan langsung dari Malaysia. Diakui oleh pengusaha bahwa di Kota Pontianak tidak terdapat pedagang kemasan dalam partai besar, baik yang berbahan plastik maupun yang berbahan karton, disamping itu harganya yang mahal dengan kualitas yang kurang baik menyebabkan pengusaha lebih baik memesan langsung dari luar Kota Pontianak. Tidak terdapatnya industri kemasan di Kota Pontianak, menyebabkan sebagian pengusaha yang kurang memiliki modal hanya menggunakan bahan kemasan apa adanya yang tersedia di pasar Kota Pontianak. Namun, untuk pengusaha yang memiliki modal lebih akan memesan kemasan dari luar Kota Pontianak, karena untuk menjaga kualitas dan merk produk yang dipasarkan. Menurut pengusaha bahwa mereka pernah mengalami masalah dalam keterlambatan pengiriman barang kemasan, namun hal ini tidak menggangu proses pengemasan. Meskipun berada pada lokasi yang jauh antara pengusaha dengan pemilik industri kemasan, namun komunikasi dan kerjasama yang baik dapat berlangsung dengan dasar kepercayaan. 3) Industri jasa tataniaga Sektor jasa pemasaran atau jasa tataniaga merupakan bagian penting yang tak terpisahkan dari agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. Sektor ini menjadi agen dalam mendistribusikan produk dari pengolah ke konsumen akhir, bahkan dapat memberikan nilai tambah bagi produk lidah buaya. Pihak-pihak yang ikut andil dalam pemasaran produk lidah buaya seperti agen-agen dari luar Kota Pontianak, dan pedagang pengecer di Kota Pontianak. Pada umumnya, industri jasa tataniaga yang melakukan pemasaran produk lidah buaya membeli langsung produk tersebut ke pengusaha. Seperti agen-agen yang terdapat di luar Kota Pontianak, mereka membeli langsung produk tersebut dengan cara menelpon dan membayar lunas. Sedangkan untuk pedagang pengecer yang ada di Kota Pontianak, membeli langsung ke tempat pengolahan, tapi pada umumnya pengusaha sendiri yang menitipkan produknya ke toko-toko atau kios-kios tempat penjualan ole-ole khas Pontianak, dan pasar-pasar swalayan yang ada di Kota Pontianak dengan sistem kongsinasi. Industri Pendukung Kemajuan dan perkembangan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak hingga saat ini, tidak terlepas dari peranan lembaga-lembaga pendukung seperti perguruan tinggi, kelompok tani, dan lembaga pemerintah dalam hal ini Aloe Vera Center dan Dinas Pertanian. Lembaga-lembaga tersebut turut mendukung dalam pengembangan dan membantu memperlancar kegiatan proses produksi, diantaranya kelompok tani mempermudah pengusaha dalam penyediaan bahan baku, Aloe Vera Center dan Dinas Pertanian turut membantu dalam pembinaan dan pelatihan untuk pengusaha, memberikan informasi, dan membantu memasarkan produk pada saat ada pameran
61 produk unggulan di luar Kota Pontianak. Sedangkan perguruan tinggi turut membantu dalam penyebaran ilmu pengetahuan kepada pengusaha, dan memberikan informasi penelitian terkait dengan pengembangan usaha lidah buaya.Meskipun, peran yang dijalankan oleh perguruan tinggi dan lembaga pemerintah tersebut belum begitu dirasakan oleh pengusaha, namun kondisi ini tidak mengganggu pengusaha untuk terus memperbaiki produknya, dan mengembangkan usahanya. Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan Struktur industri yang dihadapi oleh pengusaha agroindustri lidah buaya saat ini adalah oligopoli, dimana terdapat lebih dari satu penjual produk olahan lidah buaya dan pembelinya yang berasal dari semua kalangan, baik itu di pasar lokal Kota Pontianak maupun di pasar nasional. Perusahaan-perusahaan besar yang bermain ditingkat nasional seperti PT Niramas Utama dan PT Keong Nusantara Abadi menjual jenis produk yang sama dengan industri kecil dan rumah tangga di Kota Pontianak yaitu minuman lidah buaya, dan mampu menjual produk lidah buaya hingga ke pasar Kota Pontianak. Pengusaha olahan lidah buaya menghadapi persaingan, baik di pasar lokal maupun pasar nasional. Di pasar lokal pengusaha tidak hanya bersaing dengan produk lidah buaya yang diproduksi oleh sesama pengusaha di Kota Pontianak, namun juga harus bersaing dengan produk lidah buaya perusahaan besar seperti PT Niramas Utama dan PT Keong Nusantara Abadi. Persaingan ini mengakibatkan produk yang diproduksi pengusaha hanya di pasarkan di kios-kios tertentu saja seperti di kios makanan khas, di bandara, dan pasar swalayan, namun pemasaran produk tersebut berdasarkan sistem kongsinasi. Disamping itu, harga produk lidah buaya yang ditawarkan oleh perusahaan tersebut sangat kompetitif dengan merk yang sudah dikenal oleh masyarakat. Kondisi ini sangat melemahkan produk olahan lidah buaya yang diproduksi oleh pengusaha agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak, khususnya minuman lidah buaya. Situasi tersebut harus segera direspon oleh pengusaha untuk merancang strategi pemasaran, mengingat semakin banyak produkproduk olahan lidah buaya yang berasal dari luar Kota Pontianak juga ikut bermain di pasar Kota Pontianak. Namun demikian, meskipun persaingan itu masih berlanjut hingga saat ini, pengusaha agroindustri lidah buaya memiliki strategi tersendiri dalam memasarkan produknya. Diantaranya adalah dengan terus melakukan inovasi produk olahan lidah buaya, seperti memproduksi dodol, teh, kerupuk, dan sebagainya yang produknya lebih bervariatif. Disamping itu, strategi pemasaran yang dilakukan pengusaha adalah membentuk networking dan menjalin kerjasama dengan teman atau kolega yang berada di luar Kota Pontianak, seperti di Surabaya, Jakarta, Bandung, Batam, dan Bali. Sehingga beberapa pengusaha olahan lidah buaya yang lebih banyak memasarkan produknya di luar Kota Pontianak. Peran Pemerintah Pemerintah merupakan aktor yang sangat penting dalam menentukan kebijakan ataupun wewenang yang dapat mendorong terciptanya dayasaing industri. Pemerintah memiliki tugas khusus dalam membuat regulasi, mengatur, memfasilitasi, melindungi
62 bahkan membatasi aktivitas masyarakatnya termasuk stakeholder yang terlibat dalam kegiatan suatu usaha, dalam penelitian ini adalah agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. Peran pemerintah Kota Pontianak dalam mengembangkan agroindustri lidah buaya sangat diharapkan oleh pengusaha agroindustri lidah buaya, seperti yang dicetuskan oleh pemerintah setempat dalam bentuk moto yaitu One Village One Product. Di mana pemerintah Kota Pontianak menjadikan lidah buaya sebagai produk unggulan daerah yang patut dikembangkan dan ditingkatkan dayasaingnya, mulai dari subsistem usahatani hingga pengolahan. Bentuk perhatian pemerintah sebagai fasilitator dan pembina bagi pengusaha olahan lidah buaya adalah dengan membantu pengusaha dalam pengadaan legalitas produk secara gratis melalui dinas kesehatan dan BPPOM, dan menetapkan standar operasional produksi (SOP) agroindustri seperti menjaga kebersihan di lingkungan usaha dan proses produksi. Hal tersebut memang belum dilakukan secara intensif, meskipun telah ada SOP yang ditetapkan bagi agroindustri, namun intensitas penyuluhan maupun pembinaannya tidak terprogram dengan efektif dan efisien. Kurangnya peranan atau campur tangan pemerintah dalam menetapkan standar mutu produk menyebabkan pengusaha tidak memiliki standar yang cukup baik untuk bersaing di tingkat nasional dan ekspor, terutama dari legalitas kemasan. Hal ini menjadi hambatan tersendiri bagi pengusaha dalam menciptakan produk yang berdayasaing. Oleh karena itu, peran pemerintah melalui Dinas Pertanian dan Aloe Vera Center, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, serta Dinas Koperasi dan UKM, sangat diperlukan kontribusinya dalam memberi penyuluhan dan pembinaan kepada petani dan pengusaha olahan lidah buaya, memfasilitasi kerjasama antara petani dengan pengusaha olahan lidah buaya, memotivator petani dan pengusaha olahan lidah buaya dalam mengembangkan dan meningkatkan dayasaing produknya dengan cara memberi pelatihan kewirausahaan, mengevaluasi kinerja pengusaha terkait dengan standar operasional yang telah dilakukan, mensubsidi permodalan dalam bentuk penyediaan alat produksi, dan member kemudahan dalam mengakses kredit usaha. Di sisi lain, pembinaan memang perlu dilakukan salah satunya dalam membentuk kelompok diskusi antar pengusaha dan petani dengan penyuluh agar terjalin komunikasi dan kerjasama yang baik, disamping itu dapat juga terjalin komunikasi antar sesama pengusaha, dan pengusaha dengan petani, sehingga jika terdapat kesulitan diantara pelaku usaha tersebut mereka dapat saling membantu untuk tujuan bersama yaitu mengembangkan industri lidah buaya demi keberhasilan bersama. Peran Kesempatan Faktor kesempatan merupakan suatu faktor yang berada di luar jangkauan stakeholder agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. Keberadaan faktor ini tidak dapat berulang-ulang terjadi, namun keberadaannya dapat menjadi peluang untuk bisa mengangkat posisi dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. Salah satu kesempatan yang dapat dimanfaatkan misalnya terjadi kekeringan dan bencana penyakit yang melanda perkebunan lidah buaya di negara-negara produsen seperti Amerika, Australia, Brazil, dan Thailand. Selain itu, terjadinya bencana kebakaran dan kebangkrutan perusahaan besar nasional yang ada di Indonesia. Hal tersebut dapat dimanfaatkan sebagai suatu kesempatan bagi agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak untuk memproduksi produk olahan lidah buaya yang dibutuhkan pasar.
63 Kondisi tersebut semakin didukung oleh mutu dan standar bahan baku lidah buaya yang baik, dan beberapa pengusaha yang ada juga kian membaik dalam memproduksi produk lidah buaya dalam kemasan dengan berbagai produk yang berbeda. Pada kondisi jangka panjang, kesempatan yang dapat dipertimbangkan adalah meningkatnya kepedulian masyarakat lokal dan dunia terhadap kesehatan. Hal tersebut sedikit demi sedikit akan mengubah pola hidup masyarakat, termasuk dalam memilih makanan dan minuman untuk dikonsumsi. Lidah buaya merupakan tanaman multifungsi dengan berbagai khasiat yang baik bagi tubuh manusia karena kandungan 72 nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Maraknya isu kesehatan tersebut merupakan sebuah kesempatan yang sangat baik bagi produk lidah buaya. Hal tersebut tentunya harus didukung oleh seluruh stakeholder agribisnis di Indonesia termasuk pemerintah agar dapat melihat dan memanfaatkan kesempatan ini. Keterkaitan Komponen Utama Penentu Dayasaing Agroindustri Lidah Buaya di Kota Pontianak Berdasarkan analisis dayasaing pada setiap komponen pada model teori Diamond Porter, maka dapat diketahui bagaimana keterkaitan antar komponen dalam agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. Berikut ini adalah analisis keterkaitan antar komponen utama dalam agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. Keterkaitan Antara Komponen Kondisi Faktor Sumberdaya dengan Kondisi Permintaan Domestik Kondisi faktor sumberdaya dan kondisi permintaan belum memiliki keterkaitan yang saling mendukung. Permintaan konsumen domestik terhadap produk lidah buaya seperti minuman lidah buaya pada umumnya, dan tepung lidah buaya pada khususnya untuk industri farmasi dan kosmetik, belum mampu dipenuhi oleh pengusaha agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak yang merupakan sentra produksi produk lidah buaya di Indonesia. Meskipun kondisi sumberdaya alam yang dimiliki Kota Pontianak sangat baik untuk pertumbuhan lidah buaya, namun tanpa dukungan dari sumberdaya manusia, modal, IPTEK, dan infrastruktur yang berkualitas, maka sumberdaya alam yang dimiliki tidak akan terkelola dengan baik. Di samping itu, pengusaha sendiri masih mengalami kekurangan bahan baku lidah buaya terutama pada saat hari besar nasional, seperti Idul fitri, Natal dan Imlek. Bahkan terdapat beberapa pengusaha olahan lidah buaya yang tidak atau belum menjalin kerjasama dengan petani lidah buaya masih mengalami kekurangan pasokan bahan baku. Selain itu, rendahnya konsumsi masyarakat Kota Pontianak akan produk lidah buaya, mendorong sumberdaya manusia dalam industri lidah buaya (peneliti dan pengusaha) belum menciptakan teknologi dan berinovasi untuk meningkatkan minat konsumen dan jumlah konsumsi baik dalam kota maupun luar kota Pontianak. Teknologi tersebut diantaranya adalah teknologi peningkatan nilai tambah yang diharapkan mampu meningkatkan pilihan produk lidah buaya di mata konsumen. Teknologi peningkatan nilai tambah ini juga merupakan strategi yang digunakan untuk meningkatkan komposisi produk kemasan yang diekspor, sehingga mampu meningkatkan nilai ekspor produk lidah buaya. Akan tetapi, inovasi produk yang diciptakan belum sesuai dengan jenis produk yang dibutuhkan pasar, di mana pasar di Indonesia khususnya industri kosmetik dan farmasi lebih membutuhkan lidah buaya dalam bentuk tepung, begitu juga dengan pasar luar negeri. Di sisi lain, produk
64 turunan lidah buaya yang dihasilkan juga belum sesuai dengan standar yang diinginkan pasar, baik dari segi manfaat maupun kualitas. Keterkaitan Antara Komponen Kondisi Permintaan Domestik dengan Industri Terkait dan Pendukung Komponen kondisi permintaan domestik dengan komponen industri terkait dan pendukung belum memiliki keterkaitan yang saling mendukung. Seperti yang telah dikemukakan pada sub bab sebelumnya, diketahui bahwa permintaan lidah buaya di Indonesia masih tergolong rendah. Pada tahun 2003, pasar poduk lidah buaya yang mampu diserap pasar hanya sebesar 6.85 persen (Musyafak 2003), sangat jauh apabila dibandingkan dengan negara Jepang yang merupakan konsumen terbesar pengguna lidah buaya, meskipun bukan merupakan negara produsen lidah buaya. Jepang mengimpor lidah buaya segar setiap bulannya sebesar 20 kontainer atau 300 ton per bulan dari Brazil dan Thailand (Hendrawati 2007). Selain rendahnya volume konsumsi lidah buaya di dalam negeri, industri lidah buaya khususnya industri pengolahan lidah buaya di Indonesia belum didukung oleh ketersediaan teknologi produksi produk turunan lidah buaya dengan kualitas terbaik. Meskipun kualitas lidah buaya di Indonesia, khususnya di Kota Pontianak merupakan kualitas ekspor, namun untuk produk olahan lidah buaya masih belum berstandar ekspor. Dalam penelitiannya, Dimyati dan Sahari (2002) menemukan bahwa kandungan nutrisi seperti vitamin, mineral, enzim, dan asam amino pada produk olahan lidah buaya yang dihasilkan belum sesuai dengan standar International Aloe Science Council (IASC), dikarenakan masih rendahnya teknik pengolahan menyebabkan kandungan nutrisi pada produk olahan lidah buaya menjadi berkurang. Standar yang ditetapkan oleh IASC yaitu lidah buaya pada saat diolah menjadi suatu produk, harus memiliki kandungan nutrisi yang sama dengan lidah buaya dalam keadaan segar atau belum diolah. Oleh karena itu, lidah buaya akan lebih baik diolah dalam bentuk tepung agar kandungan nutrisinya dapat terjaga. Perkembangan budidaya lidah buaya di Kota Pontianak, tidak terlepas dari peranan penelitian yang banyak dilakukan dari sisi agronomi, baik itu yang dilakukan oleh peneliti Litbang maupun para akademisi Universitas Tanjungpura (UNTAN). Hasil penelitian tersebut pun sudah dapat dirasakan oleh petani lidah buaya, yang terlihat dari semakin baiknya kualitas lidah buaya yang ditanam petani terutama dari segi ukuran dan berat yang mencapai 1.5 kilogram per pelepah, dan telah berstandar ekspor. Akan tetapi, penelitian dari sisi sosial ekonomi masih dirasa kurang dilakukan, terutama dari subsektor agribisnis lidah buaya secara terpadu. Oleh sebab itu, penelitian secara aspek agribisnis lidah buaya sangat diperlukan untuk pengembangan agribisnis lidah buaya di Kota Pontianak, terutama dari kualitas penelitian yang akan dilakukan. Di sisi lain, bahan baku lidah buaya yang dibutuhkan pengusaha kadang kala mengalami keterbatasan pasokan, akibatnya proses produksi produk lidah buaya menjadi terhambat dan pendistribusian produk pesanan konsumen menjadi terlambat. Namun saat ini, petani mulai membudidayakan lagi tanaman lidah buaya meskipun lahannya tidak begitu luas, mengingat masih ada rasa trauma dari petani dalam menginvestasikan kembali seluruh lahannya untuk menanam lidah buaya, sehingga hanya sebagian lahan saja yang ditanami lidah buaya. Peristiwa ini mengakibatkan pasokan lidah buaya masih sangat kurang terutama pada saat hari besar nasional. Selain itu, belum adanya industri kemasan di Kota Pontianak, mengakibatkan
65 agroindustri ini harus memesan kemasan dari luar daerah Kota Pontianak, agar produk lidah buaya yang dihasilkan dapat menarik minat konsumen terutama dari segi kemasannya, sehingga harga produk lidah buaya yang dihasilkan relatif mahal dibandingkan dengan kompetitor lainnya yang sudah memiliki brand nasional. Keterkaitan Antara Komponen Industri Terkait dan Pendukung dengan Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan Komponen industri terkait dan pendukung dengan komponen persaingan, struktur dan strategi secara umum belum menghasilkan suatu keterkaitan yang saling mendukung. Keterkaitan yang belum mendukung ini tampak pada kondisi persaingan yang dihadapi di pasar domestik. Dalam persaingannya di pasar domestik, produk lidah buaya berupa makanan dan minuman lidah buaya, dihadapkan oleh persaingan dengan industri makanan dan minuman substitusi lainnya. Jika dibandingkan dengan mengkonsumsi minuman atau makanan lidah buaya, konsumen rumah tangga lebih memilih mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk memenuhi kebutuhannya terhadap minuman dan makanan non-lidah buaya. Hal tersebut karena masyarakat terlebih dahulu mengenal lidah buaya sebagai tanaman penyubur rambut, bukan sebagai tanaman yang berkhasiat untuk kesehatan tubuh. Lidah buaya yang tidak memiliki aroma khusus atau rasa pada saat dikonsumsi, menyebabkan konsumen belum terbiasa untuk mengkonsumsi produk makanan dan minuman yang berbahan baku lidah buaya. Di samping itu juga disebabkan oleh kurangnya promosi yang dilakukan para pengusaha, terutama mengenai khasiat lidah buaya bagi kesehatan tubuh, apabila dibandingkan dengan kegiatan promosi makanan dan minuman subtitusi lainnya. Selain itu, para pengusaha olahan lidah buaya masih belum berada pada suatu kondisi persaingan yang kompetitif. Struktur pasar yang mengarah pada pasar oligopoli, membatasi pergerakan harga akibat rendahnya tingkat persaingan yang didominasi oleh beberapa perusahaan besar seperti PT Niramas Utama dengan produk Inaco, PT Keong Nusantara Abadi dengan produk Wong Coco, dan perusahaan nasional lainnya. Sementara harga yang terbentuk dijadikan acuan bagi harga di tingkat nasional. Selain itu, tindakan-tindakan atau strategi perusahaan dinilai kurang responsif terhadap perubahan iklim persaingan, seperti belum adanya inovasi produk lidah buaya yang memiliki manfaat luas dari segi kegunaan, serta inovasi kemasan yang menarik. Keterkaitan Antara Komponen Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan dengan Kondisi Faktor Sumberdaya Kondisi persaingan, struktur dan strategi perusahaan belum memiliki keterkaitan yang saling mendukung dengan kondisi faktor sumberdaya. Hal ini dikarenakan belum meratanya penyebaran sumberdaya bahan baku lidah buaya, manusia, IPTEK, modal dan infrastruktur di tingkat produsen yakni pengusaha olahan lidah buaya. Sumberdaya alam berupa lahan pertanian di Kota Pontianak merupakan lahan gambut yang miskin akan unsur hara bagi tanaman. Meskipun pada kenyataannya lahan tersebut sangat sesuai untuk pertumbuhan tanaman lidah buaya, namun memerlukan teknik pengolahan lahan yang tepat dan biaya yang relatif besar agar lahan gambut tersebut menjadi layak untuk usahatani lidah buaya. Produktivitas tanaman lidah buaya di Kota Pontianak relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman lidah buaya di daerah lain. Hal ini menunjukkan adanya
66 kerjasama yang baik antara petani dengan instansi pemerintah yang sering melakukan penyuluhan dan penelitian terkait dengan budidaya lidah buaya. Akan tetapi, teknik budidaya yang dilakukan belum sepenuhnya meningkatkan kandungan nutrisi tanaman lidah buaya. Hal ini dikarenakan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan lidah buaya seperti iklim (radiasi surya, suhu, curah hujan dan lain-lainnya) dan status haranya masih belum diketahui batasannya. Sehingga perlu dicari kombinasi takaran pemupukan yang cukup dan tepat nutrisinya untuk memperoleh pertumbuhan tanaman yang sehat dan berkualitas (Dimyati dan Sahari 2002). Kondisi ini yang menyebabkan persaingan produk olahan lidah buaya seperti tepung dan minuman lidah buaya belum kompetitif untuk tujuan ekspor, karena kandungan nutrisi belum sesuai standar IASC. Keterkaitan Antara Komponen Kondisi Faktor Sumberdaya dengan Industri Terkait dan Pendukung Komponen kondisi faktor sumberdaya dengan komponen industri terkait dan pendukung memiliki hubungan keterkaitan yang saling mendukung. Sejauh ini faktorfaktor sumberdaya yang dibutuhkan dalam agroindustri lidah buaya telah mampu dipenuhi oleh keberadaan faktor sumberdaya alam di Kota Pontianak. Kondisi tanah, cuaca dan iklim di Kota Pontianak sangat menunjang usahatani lidah buaya dan kelangsungan usaha pembibitan tanaman lidah buaya (industri terkait). Selain itu, perkembangan industri yang menuntut adanya dukungan kemajuan teknologi juga didukung dengan sumberdaya IPTEK sebagai sumber referensi dalam melakukan research pengembangan dan peningkatan kualitas tanaman lidah buaya, serta agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. Kemajuan IPTEK yang mendukung pengembangan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak ini didukung oleh Aloe Vera Center (AVC) sebagai Pusat Penelitian dan Pengkajian lidah buaya di Indonesia, khususnya di Kota Pontianak. Selain keberadaan AVC, ketersediaan IPTEK juga didukung oleh lembaga-lembaga pendukung lain seperti Universitas Tanjungpura (Untan), kelompok tani lidah buaya, P2HP Dinas Pertanian, serta para pengusaha agroindustri lidah buaya yang giat melakukan diversifikasi produk-produk makanan dan minuman berbahan baku lidah buaya, meskipun organisasi atau kelompok pengusaha olahan lidah buaya yang ada belum berjalan secara aktif dan intensif. Keterkaitan Antara Komponen Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan dengan Kondisi Permintaan Domestik Kedua komponen ini dinilai belum saling mendukung. Hal ini dikarenakan strategi yang dilakukan perusahaan nyatanya belum mampu meningkatkan volume konsumsi domestik. Selain itu, tingkat konsumsi masyarakat yang masih rendah dan kurang terbuka terhadap makanan dan minuman olahan lidah buaya menyebabkan konsumen tidak melakukan tuntutan perbaikan mutu terhadap industri pengolahan lidah buaya yang ada di Kota Pontianak. Di sisi lain, para pengusaha belum melakukan strategi yang tepat dalam mempromosikan dan menyebarkan produk mereka kepada masyarakat (Wahyudi 2009). Akibatnya tingkat persaingan di pasar lokal sangatlah rendah apabila dibandingkan dengan pasar nasional dan ekspor. Produk lidah buaya yang banyak beredar di pasar adalah minuman lidah buaya. Minuman lidah buaya yang beredar tersebut didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar nasional seperti PT. Niramas Utama dan PT. Keong Nusantara Abadi, PT Aloe Vera Indonesia, PT Libe Bumi Abadi, dan PT Kavera Biotech. Namun, dari
67 perusahaan nasional tersebut, produk minuman lidah buaya yang paling banyak menguasai pasar nasional adalah PT Niramas Utama dengan merk Inaco dan PT Keong Nusantara Abadi dengan merk Wong Coco. Hal tersebut menyebabkan produk minuman lidah buaya yang berasal dari Kota Pontianak belum dapat bersaing dengan produk-produk yang diproduksi oleh perusahaan nasional, akibatnya konsumen cenderung lebih memilih untuk mengkonsumsi minuman lidah buaya yang telah memiliki brand dengan harga yang relatif sama. Keterkaitan Komponen Pendukung Penentu Dayasaing Agroindustri Lidah Buaya di Kota Pontianak Berikut ini adalah analisis mengenai keterkaitan komponen pendukung dayasaing agroindustri lidah buaya yaitu peran pemerintah dan peran kesempatan, dengan komponen utama dayasaing agroindustri lidah buaya yaitu kondisi faktor sumberdaya, kondisi permintaan, persaingan, struktur dan strategi, serta industri terkait dan pendukung. Peran Pemerintah terhadap Kondisi Faktor Sumberdaya Peranan pemerintah terhadap perkembangan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak tercermin dalam Peraturan Walikota No. 710 tahun 2013 yang menetapkan lidah buaya dan produk olahannya sebagai salah satu komoditas unggulan daerah Kota Pontianak. Adanya peraturan tersebut dinilai telah mendukung upaya pengembangan agribisnis lidah buaya di Kota Pontianak, baik dengan upaya peningkatan perluasan area tanam, peningkatan produksi, peningkatan nilai tambah produk, peningkatan produktivitas tenaga kerja, serta beberapa aspek lainnya. Peran pemerintah juga tercermin dari beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan seperti bantuan permodalan dengan bunga 6 persen per tahun yang tersedia di Bank Kalbar, pembangunan Pusat Informasi dan Teknologi Aloe Vera Center dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, kemudahan perizinan usaha dalam bentuk pelayanan perizinan terpadu, perbaikan infrastruktur dan keamanan usaha, serta wadah kegiatan promosi dan pemasaran berupa Terminal Agribisnis (Dinas Urusan Pangan Kota Pontianak 2002). Kebijakan tersebut dinilai telah mendukung komponen utama dayasaing agroindustri lidah buaya, khususnya komponen kondisi faktor sumberdaya. Meskipun kebijakan yang ada masih perlu mendapat perbaikan dalam hal peningkatan kualitas pelayanan ataupun akses kemudahan. Peningkatan kualitas penerapan kebijakan harus diperhatikan, misalnya dalam bentuk kemudahan mengakses persyaratan peminjaman kredit bagi pelaku usaha (petani dan pengolah lidah buaya), biaya perizinan usaha yang terjangkau bagi pelaku usaha meskipun perizinan yang sudah ada yakni dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan berupa P-IRT tidak dikenai biaya, namun perizinan dari BPPOM belum dapat diakses oleh pelaku usaha, sehingga produk yang tercantum dalam kemasan hanya berstandar izin dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Kualitas penginformasian IPTEK kepada pelaku usaha juga harus digiatkan secara intensif oleh instansi terkait, sehingga program kebijakan yang ada dapat diketahui dengan cepat mengingat para pengusaha kurang dapat mengakses IPTEK dengan baik, serta peningkatan kualitas infrastruktur ketersediaan air bersih juga harus terus dilakukan.
68 Peran Pemerintah terhadap Kondisi Permintaan Domestik Konsumsi produk olahan lidah buaya di Kota Pontianak terbilang masih rendah, meskipun tidak ada data yang dapat dikonfirmasi dari perihal ini, namun hal ini dapat diketahui dari keterangan para pengusaha bahwa produk-produk lidah buaya yang diproduksinya lebih banyak dipasarkan ke luar kota. Para pengusaha mengatakan bahwa pemasaran produk di dalam Kota Pontianak sendiri kurang mendapat apresiasi dari konsumen, sehingga pemasaran produknya menjadi lamban. Konsumen lebih memilih membeli pelepah lidah buaya segar untuk diolah sendiri menjadi minuman. Namun disisi lain, produk lidah buaya yang dipasarkan dalam kota, dapat menjadi oleole bagi pendatang sebagai salah satu ciri khas Kota Pontianak. Peran pemerintah telah berhasil dalam mengenalkan lidah buaya dan produk olahannya sebagai salah satu icon Kota Pontianak. Pemerintah juga telah berhasil dalam mendukung pengembangan budidaya lidah buaya agar dapat menjadi komoditi ekspor dengan meningkatkan kualitas tanaman lidah buaya menjadi ukuran yang sesuai dengan standar ekspor, dan mendorong pemasaran ekspor. Akan tetapi, peran pemerintah belum mendukung permintaan akan produk olahan lidah buaya pada umumnya di Indonesia, walaupun produk olahan lidah buaya ini telah banyak mengalami differensiasi, namun produk olahan lidah buaya yang ada belum sesuai dengan permintaan konsumen di Indonesia, khususnya konsumen pada industri kosmetik dan farmasi. Selain itu, tingginya ekspektasi konsumen luar Kota Pontianak akan produk lidah buaya dalam hal kualitas, menyebabkan agroindustri ini belum mampu melayani apa yang menjadi keinginan pasar. Belum adanya kebijakan atau program khusus dari pemerintah dalam mengorganisir para pelaku usaha untuk melakukan inovasi produk yang memiliki diversifikasi luas, menyebabkan industri pengolahan ini perlu memiliki dayasaing ditingkat nasional. Peran Pemerintah terhadap Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan Pemerintah sebagai fasilitator dalam meningkatkan maupun melemahkan dayasaing, belum merumuskan kebijakan yang mempengaruhi iklim persaingan. Persaingan antar industri dinilai masih rendah karena pemerintah belum mengeluarkan kebijakan standar mutu produk yang berkualitas. Struktur pasar yang dihadapi para pengusaha berada pada pasar oligopoli, dimana terdapat banyak perusahaan yang menjadi kompetitor bagi produk lidah buaya, sehingga harga produk di pasar sangat dipengaruhi oleh harga produk dari perusahaan besar (leader) yang memproduksi produk sejenis ataupun produk substitusi. Pemerintah belum sepenuhnya berperan dalam mempengaruhi iklim persaingan, terutama dalam hal merumuskan peraturan tentang standar mutu produk, serta belum optimalnya pelaksanaan standar operasional pengolahan produk yang diprogramkan pemerintah. Di sisi lain, rendahnya ekspektasi konsumen Kota Pontianak terhadap produk lidah buaya, menyebabkan industri yang ada tidak berusaha memperbaiki kualitas produk. Terkait hal tersebut, pemerintah seharusnya dapat memberikan tindakan yang nyata, baik itu dalam bentuk pelatihan entrepreneur dan terus menggiatkan inovasi produk yang mampu menciptakan dayasaing khususnya di tingkat nasional dan internasional. Peran Pemerintah terhadap Industri Terkait dan Pendukung Program kegiatan yang susun oleh pemerintah daerah untuk membangun industri lidah buaya terpadu sudah terlaksana, diantaranya membangun Aloe Vera Center
69 sebagai wadah IPTEK untuk Penelitian dan Pengkajian lidah buaya, membangun Terminal Agrribisnis sebagai wadah pemasaran, menggiatkan kelompok tani lidah buaya melalui penyuluhan, mengapresiasi industri pengolahan dengan memberi pelatihan kepada pelaku usaha dan tenaga kerja, dan telah mengklasterisasi Pontianak Utara sebagai kawasan industi lidah buaya. Pemerintah telah mendukung keberadaan industri terkait dan pendukung, meskipun masih terdapat kekurangan, seperti mendorong investasi bagi berdirinya pabrik kemasan atau lainnya yang sangat dibutuhkan oleh pelaku usaha agroindustri lidah buaya, dimana hal tersebut tidak terdapat di Kota Pontianak. Peran Kesempatan terhadap Komponen Utama Lidah buaya sebagai salah satu tanaman obat prioritas WHO sangat bermanfaat bagi penderita kanker, dan terdaftar dalam Food and Drug Administration di Amerika (Dimyati dan Sahari 2002), merupakan kesempatan yang baik bagi stakeholder dalam melakukan perbaikan-perbaikan disemua komponen dayasaing. Peran kesempatan seperti meningkatnya permintaan lidah buaya, terutama dalam bentuk tepung lidah buaya (aloe powder) menjadi kesempatan yang sangat baik bagi stakeholder dalam meningkatkan nilai tambah dan menciptakan dayasaing. Terbatasnya produksi lidah buaya dari pesaing seperti Amerika dan China karena terkendalanya musim, mengakibatnya ekspor lidah buaya negara pesaing menjadi terhambat, sedangkan permintaan lidah buaya semakin meningkat, baik dalam bentuk pelepah maupun tepung lidah buaya. Hal ini merupakan kesempatan yang sangat baik, dan produksi lidah buaya dinilai akan meningkatkan kinerja sumberdaya manusia khususnya petani dan pengusaha demi memanfaatkan kondisi harga. Selain itu, akan timbul persaingan antar produsen untuk terus memperbaiki kualitas lidah buaya guna memperoleh kesempatan menjual produk dengan harga tinggi. Hal tersebut menunjukan bahwa kesempatan ini memberikan dukungan kepada kondisi faktor sumberdaya dan struktur, persaingan dan strategi. Selain itu, maraknya tuntutan konsumen global akan produk yang berbasis kesehatan juga akan mempengaruhi pola pikir konsumen dalam negeri. Sehingga kepedulian akan kesehatan tersebut akan tertular kepada konsumen domestik dan berimbas kepada peningkatan konsumsi dalam negeri. Dengan semakin maraknya isu kesehatan tersebut, maka konsumen akan mulai menuntut industri domestik untuk menyediakan produkproduk yang multifungsi dan baik bagi kesehatan. Karena itu, faktor kesempatan ini juga mendukung perkembangan industri terkait dan industri pendukung agribisnis nasional.
70
Peran Pemerintah
Persaingan, Struktur dan Strategi: Perusahaan nasional Differensiasi produk Agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak
Kondisi Sumberdaya: Sumberdaya alam Sumberdaya manusia Sumberdaya IPTEK Sumberdaya modal Infrastruktur
Kondisi Permintaan Domestik: Komposisi permintaan produk lidah buaya Jumlah permintaan produk lidah buaya Pola Pertumbuhan produk lidah buaya Ekspor produk lidah buaya
Industri Terkait dan Pendukung: Industri pemasok lidah buaya Industri kemasan Industri jasa tataniaga Kelompok tani lidah buaya Asosiasi pengusaha lidah buaya Keterangan:
Peran Kesempatan
Menunjukkan keterkaitan yang saling mendukung antar komponen utama Menunjukkan keterkaitan yang saling mendukung antar komponen pendukung dengan komponen utama Menunjukkan keterkaitan yang belum saling mendukung antar komponen utama Menunjukkan keterkaitan yang belum saling mendukung antar komponen pendukung dengan komponen utama
Gambar 9 Keterkaitan antar komponen penentu dayasaing pada sistem agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak Berdasarkan analisis keterkaitan antar komponen, maka dapat disimpulkan bahwa keterkaitan antar komponen-komponen utama belum berdayasaing, karena hanya ada satu dari enam pasang komponen yang saling mendukung. Sementara pada komponen peran pemerintah, kebijakan dan sikap yang diberikan pemerintah terhadap agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak, dinilai baru mampu mendukung komponen faktor sumberdaya dan industri terkait dan pendukung, meskipun ada beberapa hal yang harus ditingkatkan maupun diperbaiki. Sedangkan komponen kesempatan telah memberikan dukungan bagi terwujudnya dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak, hal ini dapat terwujud apabila seluruh stakeholder mengupayakan diri untuk dapat memanfaatkan sebesar-besarnya dari kesempatankesempatan yang ada tersebut.
71
8 STRATEGI PENINGKATAN DAYASAING AGROINDUSTRI LIDAH BUAYA DI KOTA PONTIANAK Prioritas Faktor Penentu Dayasaing Agroindustri Lidah Buaya di Kota Pontianak Skenario pengembangan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak dimulai dengan perancangan strategi yang tepat dalam meningkatkan dayasaing produk turunan lidah buaya. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan faktor apa saja yang berperan dalam peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. Dengan mengetahui prioritas faktor dayasaing, keputusan penentuan strategi yang tepat dapat membantu stakeholder dalam penyelesaian masalah-masalah yang selama ini menghambat pengembangan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. Perancangan strategi peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak dianalisis dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Penyusunan tingkatan hirarki AHP menggunakan pendekatan teori dayasaing Diamond Porter. Pada penelitian ini, hirarki penetapan terdiri atas enam level atau tingkatan yaitu sasaran utama, faktor penentu dayasaing, sub faktor, kriteria sub faktor, strategi, dan aktor (Lampiran 3). Hasil keseluruhan pembobotan dari masing-masing level dan elemen berasal dari dua orang pakar yaitu Kasi Pengolahan Produk Hasil Pertanian (P2HP) sebagai pihak birokrasi, dan Dosen Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura (UNTAN) sebagai pihak akademisi. Setelah data diolah, diperoleh nilai bobot prioritas untuk masing-masing elemen tingkatan dalam hirarki (Lampiran 4). Hasil analisis AHP dengan software Expert Choice menunjukkan secara horizontal bahwa faktor yang berpengaruh dalam menentukan dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak adalah faktor kondisi permintaan (0.420) dan kondisi sumberdaya sumberdaya (0.300), yang memiliki bobot tertinggi dibandingkan faktor lainnya. Sedangkan secara vertikal terhadap faktor utama tersebut, sub faktor yang mempengaruhi kondisi permintaan yaitu komposisi permintaan domestik (0.588) dengan kriteria sub faktor berupa struktur segmen permintaan domestik (0.523). Sedangkan untuk sub faktor yang mempengaruhi kondisi sumberdaya yaitu sumberdaya manusia (0.412) dengan kriteria sub faktor berupa kualitas sumberdaya manusia (0.416). Kondisi Permintaan Domestik dengan Sub Faktor Komposisi Permintaan Domestik Menurut Porter (1990) bahwa kondisi permintaan akan menciptakan skala ekonomi, efisiensi, dan yang lebih penting adalah menciptakan kondisi industri yang dinamis. Hal ini dapat tercapai apabila suatu industri dapat memperbaiki dan meningkatkan inovasi produknya. Di sisi lain, kualitas permintaan juga akan mempengaruhi kondisi permintaan yang ada di pasar. Kondisi permintaan akan menciptakan dayasaing apabila pembeli atau konsumen memiliki kualitas permintaan yang baik terhadap produk olahan lidah buaya yang diinginkan dibandingkan dengan kuantitas permintaan terhadap produk tersebut. Hal ini dikarenakan bahwa pada kondisi tersebut, perusahaan atau industri akan termotivasi untuk menciptakan dan memperbaiki produk sesuai dengan apa yang dibutuhkan konsumen, sehingga perusahaan atau industri akan terus berkembang dengan terus melakukan inovasi. Oleh
72 karena itu, jika agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak ingin maju dan berkembang, mau tidak mau pengusaha agroindustri lidah buaya harus memperbaiki produknya dan terus berinovasi sesuai dengan kualitas permintaan pembeli. Produk yang berorientasi pada permintaan pasar, akan menghasilkan produk yang tepat sasaran sesuai dengan keinginan konsumen. Dari hasil analisis AHP diperoleh bahwa sub faktor yang mempengaruhi kondisi permintaan produk lidah buaya adalah komposisi permintaan domestik. Komposisi permintaan sangat erat kaitannya dengan kualitas permintaan konsumen terhadap produk lidah buaya dibandingkan dengan kuantitas. Pada kondisi ini, pengusaha agroindustri lidah buaya harus mampu menafsirkan dan merespon lebih awal produk apa yang diinginkan konsumen dari lidah buaya daripada memandang apa yang dimiliki pesaing saat ini. Industri akan lebih mudah memperoleh dayasaing pada struktur segmen permintaan yang lebih luas dibandingkan dengan struktur segmen sempit (Porter 1990). Kondisi ini sangat erat kaitannya dengan pendistribusian suatu produk tertentu di pasar. Produk lidah buaya yang diproduksi oleh pengusaha sebaiknya memiliki segmen pasar yang sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pasar tersebut. Dengan kata lain bahwa pengusaha memproduksi produk tertentu untuk pasar di daerah tertentu, sehingga pasar yang dimasuki pengusaha memiliki cangkupan yang lebih luas karena menyesuaikan dengan apa yang diinginkan konsumen. Pada umumnya lidah buaya dapat diolah menjadi produk turunan yang dimanfaatkan oleh industri farmasi dan kosmetik, industri pertanian (pakan ternak), serta industri makanan dan minuman. Hal ini karena lidah buaya memiliki khasiat diantaranya menghambat infeksi HIV, nutrisi tambahan bagi pengidap HIV, menurunkan kadar gula darah penderita diabetes, mencegah pembengkakan sendi, menghambat sel kanker, membantu penyembuhan luka, menyembuhkan ambeien dan radang tenggorokan, mengatasi gangguan pencernaan, dan membantu penyembuhan luka bekas operasi (Furnawanthi 2006). Besarnya potensi lidah buaya ini seharusnya dapat dimanfaatkan oleh pengusaha dengan menciptakan produk yang berorientasi pada permintaan pasar dalam berbagai segmen. Akan tetapi sejauh ini, agroindustri ini belum mampu memaksimalkan apa yang menjadi kebutuhan pasar atau konsumen di Indonesia. Selama ini agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak hanya mengolah lidah buaya menjadi makanan dan minuman, dengan teknologi pengolahan yang masih sederhana, dan kualitas kemasan yang masih dirasa kurang menarik konsumen. Menurut para pakar bahwa kualitas produk yang diproduksi pengusaha masih belum sesuai dengan standar ekspor yang ditetapkan oleh International Aloe Science Council (IASC), baik itu mengenai kualitas kandungan nutrisi (vitamin, mineral, enzim, dan asam amino) maupun kualitas kemasan yang terkait dengan pelabelan produk seperti komposisi kandungan bahan makanan ataupun minuman, kandungan nilai gizi, masa simpan, dan kualitas air pada minuman. Sehingga pasar produk lidah buaya yang dihasilkan hanya terbatas untuk segmen permintaan di industri makanan dan minuman dalam negeri, belum mampu berdayasaing di pasar internasional (ekspor). Padahal bahan baku lidah buaya yang dihasilkan telah memiliki standar ekspor. Di sisi lain, karakter gel lidah buaya pada saat diolah tidak memiliki rasa atau aroma spesifik seperti olahan produk pertanian lainnya. Hanya konsumen tertentu yang mau membeli produk makanan dan minuman lidah buaya, mengingat produk olahan lidah buaya bukanlah kebutuhan mandasar yang harus dikonsumsi oleh masyarakat. Selain itu, lidah buaya yang merupakan tanaman obat telah dikenal
73 terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai bahan penyubur rambut, bukan sebagai makanan atau minuman yang berkhasiat bagi tubuh. Menurut Wahyudi (2009) bahwa konsumen yang mengkonsumsi produk lidah buaya khususnya minuman lidah buaya adalah mereka yang mengetahui khasiat lidah buaya dan mengerti arti kesehatan, berusia 26-40 tahun, dan berpenghasilan antara Rp1 000 000 sampai Rp2 500 000. Dengan kondisi demikian, segmen permintaan terhadap produk makanan dan minuman lidah buaya menjadi sangat terbatas atau sempit. Permintaan pasar yang cukup menjanjikan datang dari produk turunan lidah buaya berupa tepung lidah buaya (aloe powder). Menurut Widonoto (2009) bahwa permintaan tepung lidah buaya (aloe powder) dalam negeri sebesar 18.8 ton per tahun, tetapi sekitar 67 persen masih tergantung impor. Padahal berdasarkan percobaan rancang bangun industri tepung lidah buaya (aloe powder) di Kota Pontianak, bahwa tepung lidah buaya (aloe powder) dapat diproduksi sesuai dengan kualitas mutu tepung yang distandarkan oleh IASC, dan dapat digunakan oleh industri farmasi dan kosmetik, serta industri makanan dan minuman (Hendrawati 2007). Permintaan yang cukup tinggi terhadap tepung lidah buaya ini, belum mampu dipenuhi oleh pengusaha agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak, karena keterbatasan modal, teknologi, SDM yang berkualitas. Meskipun pada kenyataannya, telah ada pengusaha yang mampu membuat tepung lidah buaya dengan teknik pengolahan yang sangat sederhana, namun tepung yang diproduksi hanya digunakan untuk konsumsi sendiri dalam membuat kue berbahan lidah buaya. Seperti yang telah dikenal oleh masyarakat luas bahwa lidah buaya termasuk salah satu tanaman yang berkhasiat obat. Pemanfaatan lidah buaya sebagai obat telah dimanfaatkan dalam bidang kedokteran di 23 negara dan telah tercantum dalam daftar tanaman obat prioritas WHO. Bahkan di Amerika, produk lidah buaya digunakan oleh Food and Drug Administration guna merawat pasien penderita kanker, dan menurut ahli patologi dari Dallas-Forth Worth Medical Centre bahwa pemanfaatan lidah buaya sebagai suplemen akan menjadi maju dan sangat penting dalam pengobatan berbagai penyakit (Sumarno 2002). Di negara maju seperti Amerika dan Australia, pengolahan lidah buaya telah dilakukan secara modern, dimana lidah buaya diolah menjadi tepung atau aloe powder yang banyak diminta oleh industri farmasi dan kosmetik di seluruh dunia, termasuk industri farmasi dan kosmetik yang ada di Indonesia seperti Mustika Ratu. Tepung lidah buaya (aloe powder) merupakan salah satu produk lidah buaya yang banyak di impor oleh industri farmasi dan kosmetik dalam negeri. Permintaan dalam bentuk tepung lidah buaya, belum mampu dipenuhi oleh industri dalam negeri, seperti PT. Aloe Nusantara Utama sebagai perusahaan satu-satunya yang memproduksi tepung lidah buaya yang berkualitas sedang di Indonesia (Widotono 2009). Jika ditinjau dari harga, tepung lidah buaya impor yang berkualitas tinggi dapat mencapai harga Rp 7 000 000 per kilogram, sedangkan harga tepung lidah buaya lokal berkualitas sedang mencapai Rp 2 500 000 per kilogram hingga Rp 3 500 000 per kilogram. Melihat peluang dalam industri tepung lidah buaya, seharusnya kondisi ini dapat dimanfaatkan oleh pemerintah Kota Pontianak untuk mendukung secara serius pengembangan agroindustri lidah buaya. Hal ini karena Kota Pontianak merupakan sentra lidah buaya di Indonesia, yang memasok bahan baku lidah buaya ke perusahaan pengolah tepung lidah buaya yang ada di Indonesia, dan bahkan perusahaan pengolah yang ada di luar negeri. Besarnya sumberdaya lidah buaya yang dimiliki Kota Pontianak, seharusnya mampu dimanfaatkan dengan baik oleh pengolah lidah buaya
74 dan pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan pasar, dan mendistribusikan produk sesuai dengan segmen permintaan yang ada di pasar. Kondisi Faktor Sumberdaya dengan Sub Faktor Sumberdaya Manusia Hasil analisis AHP diperoleh bahwa kondisi sumberdaya sangat dipengaruhi oleh sumberdaya manusia dalam hal kualitas yang dimiliki. Secara garis besar bahwa kualitas sumberdaya merupakan faktor utama dalam pemberdayaan ekonomi daerah, karena potensi sumberdaya ekonomi tidak dapat dikelola secara maksimal jika tidak terjalin sinergi dengan sumberdaya manusia yang berkualitas. Letak keberhasilan suatu pengembangan kegiatan ekonomi sangat tergantung dari sumberdaya manusia, tidak hanya dari segi kuantitasnya namun juga kualitas yang dimiliki. Pada umumnya, indikator kualitas SDM biasanya dilihat dari pendidikan formal dan skill yang dimiliki seseorang. Namun menurut Thoyib (2008) bahwa indikator kualitas SDM diukur berdasarkan wawasan yang terakumulasi dari pendidikan formal, pelatihan dan pengalaman, bersikap profesional, memiliki jiwa kewirausahaan, dan bermoral. Pengusaha olahan lidah buaya di Kota Pontianak memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda-beda, ada yang hanya menempuh pendidikan di tingkat SD hingga ada yang menyelesaikan pendidikan di tingkat Perguruan Tinggi. Namun mayoritas pengusaha telah menamatkan pendidikan di tingkat SMA, meskipun ratarata pengusaha telah menempuh standar pendidikan minimal yang ditetapkan pemerintah, namun hal ini belum dapat menjadi ukuran yang baik. Kondisi ini terlihat dari kurangnya kemampuan pengusaha dalam mencari informasi pasar terkait produk lidah buaya yang dibutuhkan dan diinginkan konsumen pasar domestik dan ekspor. Pada umumnya, pengusaha tidak memiliki ketrampilan (skill) khusus dalam memanfaatkan teknologi informasi seperti internet. Pengusaha tidak mengetahui produk apa yang paling banyak dibutuhkan oleh konsumen baik di pasar domestik maupun ekspor. Selama ini pengusaha belajar sendiri (otodidak) dalam membuat berbagai olahan makanan dan minuman lidah buaya, dan belajar memanajemen usahanya sendiri seperti melakukan pencatatan, mengorganisasi karyawan, jumlah produksi, dan lain sebagainya. Semuanya itu diperoleh pengusaha dari pengalaman selama menjalankan usaha pengolahan lidah buaya, dengan rata-rata pengalaman pengusaha selama lebih dari 10 tahun. Oleh karenanya, pengusaha juga perlu mendapat pembinaan yang intensif dan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas diri. Berdasarkan pengalaman usahanya tersebut, pengusaha telah mengetahui kualitas lidah buaya yang baik untuk produk yang akan dibuatnya. Para pengusaha juga memiliki kreatifitas yang cukup baik dalam melakukan differensiasi produk makanan ataupun minuman lidah buaya. Hal ini terbukti dengan beragamnya produk makanan dan minuman lidah buaya yang dihasilkan, dan tidak adanya limbah dalam proses pengolahan lidah buaya. Namun kreatifitas ini, lebih banyak dimiliki oleh pengusaha perempuan dibandingkan pengusaha laki-laki, dikarenakan usaha yang digeluti oleh pengusaha perempuan ini merupakan bagian dari hobi mereka dalam membuat makanan olahan atau kue. Sehingga produk lidah buaya yang diproduksi oleh pengusaha perempuan lebih beraneka ragam, tidak hanya minuman saja tapi juga berbagai makanan ringan berbahan lidah buaya. Jika dilihat dari sumberdaya tenaga kerja yang digunakan, umumnya tenaga kerja yang bekerja di agroindustri lidah buaya ini adalah masyarakat yang tinggal tidak jauh dari tempat usaha. Kebanyakan tenaga kerja ini dilakukan oleh perempuan yang
75 berstatus sebagai ibu rumah tangga, remaja yang putus sekolah, dan remaja yang masih sekolah namun bekerja paruh waktu. Dari segi kuantitas, tenaga kerja yang dapat diajak untuk bekerja di usaha ini mudah diperoleh, namun dari segi kualitas sulit untuk mendapatkan tenaga kerja yang terampil, cekatan, disiplin, beretika dan beretos tinggi dalam bekerja. Sehingga tidak jarang banyak pengusaha yang sering memberhentikan karyawannya karena dirasa kurang disiplin dan kurang bertanggungjawab terhadap pekerjaan. Aparatur pemerintah seperti dari Dinas Pertanian bidang Pengolahan Produk Hasil Pertanian (P2HP), Aloe Vera Center, dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Pontianak, juga berperan membantu dalam pembinaan, penyuluhan, dan pemasaran (promosi) agroindustri lidah buaya. Namun kegiatan tersebut tidak dilakukan secara intensif, tidak efektif dan efisien. Tidak intensif karena petugas hanya memberikan penyuluhan kepada pengusaha jika ada program dari pemerintah seperti bantuan kredit atau modal untuk UKM, pembaharuan data, dan penelitian. Hal ini karena masih kurangnya tenaga penyuluh dan pembina yang menangani bidang agribisnis khususnya kewirausahaan. Tidak efektif dan efisien karena petugas harus mendatangi satu persatu pengusaha, sehingga waktu dan biaya yang dikeluarkan cukup besar. Tidak adanya pembentukan manajemen organisasi yang baik oleh petugas, menyebabkan pembinaan dan penyuluhan yang dilakukan menjadi kurang berkualitas, sebab antar pengusaha, dan pengusaha dengan petani lidah buaya tidak terjadi pertukaran informasi terkait pengembangan usaha, permasalahan yang dihadapi, dan solusi apa yang harus dilakukan dalam menyelesaikan masalah tersebut. Meskipun aparatur pemerintah tersebut menyandang gelar kesarjanaan, namun kualitas petugas dalam memberikan penyuluhan dan pembinaan juga harus ditingkatkan, misalnya petugas juga harus mengetahui informasi pasar yang terkait dengan lidah buaya, mampu berkomunikasi secara baik dengan pengusaha dan petani lidah buaya di dalam memberikan arahan dan pengetahuan tentang agribisnis dan dunia kewirausahaan. Tujuannya agar pola pikir pelaku usaha agroindustri lidah buaya menjadi lebih terbuka dalam menerima ide-ide baru, sehingga memunculkan kreatifitas dan menciptakan inovasi produk yang berdayasaing. Prioritas Strategi Peningkatan Dayasaing Agoindustri Lidah Buaya di Kota Pontianak Menurut para pakar bahwa terdapat beberapa strategi yang dapat diterapkan untuk peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak berdasarkan faktor penentu dayasaing. Dalam hal ini yang lebih diprioritaskan terlebih dahulu adalah faktor kondisi permintaan domestik karena memiliki bobot yang paling tinggi dibandingkan kondisi faktor sumberdaya dan faktor lainnya. Adapun beberapa strategi yang dapat dilakukan antara lain: 1) Meningkatkan diversifikasi produk lidah buaya yang dibutuhkan industri sebagai bahan baku industri lanjut. 2) Memproduksi produk dengan kualitas yang sesuai permintaan pasar domestik dan ekspor. 3) Menjalin kerjasama antar pelaku usaha dalam melakukan pemasaran produk lidah buaya. 4) Menumbuhkan dan mengembangkan jaringan agribisnis.
76 5) Meningkatkan kualitas kelembagaan atau asosiasi antar pelaku usaha dalam agribisnis lidah buaya. 6) Memperluas informasi, kemitraan, dan promosi produk lidah buaya baik di dalam negeri maupun luar negeri. 7) Melakukan inovasi produk untuk semua segmen permintaan. Berdasarkan hasil pengolahan dengan metode AHP, diperoleh dua prioritas strategi yang dapat diterapkan untuk peningkatan dayasaing agar pengembangan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak dapat terwujud. Kedua prioritas strategi tersebut memiliki bobot paling tinggi, secara berturut turut yaitu memproduksi produk dengan kualitas yang sesuai permintaan pasar domestik dan ekspor (0.196), dan melakukan inovasi produk untuk semua segmen permintaan (0.190). Adapun hasil analisis hirarki prioritas strategi peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak ditunjukkan pada Tabel 22. Tabel 22 Hasil analisis prioritas strategi Strategi Peningkatan Dayasaing
Bobot
Prioritas
1. Meningkatkan diversifikasi produk yang dibutuhkan industri sebagai bahan baku industri lanjut 2. Memproduksi produk dengan kualitas yang sesuai dengan permintaan domestik dan ekspor 3. Menjalin kerjasama antar pelaku usaha dalam melakukan pemasaran produk lidah buaya 4. Menumbuhkan dan mengembangkan jaringan agribisnis
0.136
3
0.196
1
0.122
5
0.120
6
5. Meningkatkan kualitas kelembagaan atau asosiasi antar pelaku usaha dalam agribisnis lidah buaya 6. Memperluas informasi, kemitraan, dan promosi produk lidah buaya baik di dalam negeri maupun luar negeri 7. Menciptakan inovasi produk untuk semua segmen permintaan
0.130
4
0.117
7
0.190
2
Sumber: Hasil olahan data primer (2013).
Strategi-strategi tersebut dapat menjadi input yang baik bagi pengembangan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak di masa depan, apabila dilakukan oleh pengusaha dan petani lidah buaya serta mendapat perhatian dari pemerintah daerah Kota Pontianak, mengingat lidah buaya merupakan tanaman unggulan dan menjadi ciri khas daerah Kota Pontianak. Melihat kondisi persaingan di tingkat nasional yang sangat kompetitif dengan bermunculnya berbagai produk olahan hasil pertanian dan berkembangnya trend hidup sehat, menjadikan produk lidah buaya terutama minuman lidah buaya memiliki banyak pesaing, tidak hanya dari perusahaan yang memproduksi produk sejenis namun juga dari perusahaan yang memproduksi produk substitusi. Untuk itu, diperlukan peningkatan kualitas produk, mulai dari pengolahan hingga pengemasannya. Peningkatan kualitas produk dapat dilakukan dengan cara memperbaiki teknik pengolahan yang tidak mengurangi kandungan nutrisi pada gel lidah buaya, seperti yang distandarkan oleh International Aloe Science Council (IASC). Selama ini
77 memang belum ditemukan metode pengolahan yang tepat untuk membuat produk olahan lidah buaya yang berkualitas, namun cara ini dapat diantisipasi dengan tidak memasak gel lidah buaya dalam waktu lama, mengingat kandungan nutrisi pada gel lidah buaya yang cepat dan mudah rusak. Oleh karena itu, negara-negara pengekspor seperti Amerika dan Australia lebih memilih memproduksi lidah buaya dalam bentuk tepung, karena kandungan nutrisi pada gel lidah buaya dapat terjaga dengan baik, dan tepung lidah buaya (aloe powder) memiliki diversifikasi yang luas, tidak hanya dibutuhkan oleh industri farmasi dan kosmetik, namun juga untuk industri makanan dan minuman, serta industri pakan ternak sebagai tambahan nutrisi dalam pakan. Di samping proses memasaknya yang harus diperbaiki, air yang digunakan juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas produk. Air merupakan salah satu faktor utama yang sangat diperlukan dalam proses pengolahan minuman lidah buaya, karena kualitas air akan mempengaruhi kualitas minuman lidah buaya dalam hal rasa dan masa simpan. Permasalahan air di Kota Pontianak menjadi masalah yang umum dirasakan oleh semua masyarakat, tidak hanya industri lidah buaya skala kecil dan rumah tangga, namun juga pabrik pengolahan lidah buaya skala besar yang ada di Kota Pontianak merasakan hal yang serupa. Oleh sebab itu, pabrik pengolahan lidah buaya yang ada di Kota Pontianak tidak melakukan proses produksi 100 persen ditempat, namun hanya memproses lidah buaya pada tahap pengupasan dan pemotongan saja, selanjutnya lidah buaya dikirim ke pabrik yang berada di pulau Jawa dan diproses hingga tahap pemasaran. Kualitas air yang kurang bagus untuk proses produksi, akan mempengaruhi iklim investasi di Kota Pontianak yang kurang nyaman. Maka dari itu, perlu perhatian yang serius dari pemerintah daerah untuk memerhatikan kondisi ini, dengan memperbaiki infrastruktur air secara merata dan terjaga kualitasnya. Kebersihan di lingkungan lokasi produksi juga perlu mendapat prioritas, tidak hanya dari wadah yang digunakan namun juga proses pengolahan harus terjaga dengan baik kebersihannya. Seperti ketahui bahwa agroindustri lidah buaya ini, masih menggunakan peralatan produksi yang sangat sederhana serta proses pengolahannya yang juga masih tradisional. Pekerjaan dalam proses pengolahannya masih banyak menggunakan tenaga manusia dibanding mesin, makanya kualitas kebersihan individu tenaga kerja juga harus mendapat perhatian dari pemilik usaha. Penerapan standar kebersihan perlu digerakkan oleh setiap pengusaha, misalnya menggunakan sarung tangan, penutup kepala, dan masker. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan kualitas produk yang baik dan terjaga higienitasnya, sehingga jika ada kunjungan dari konsumen atau wisatawan yang ingin melihat proses pengolahan produk lidah buaya, mereka tidak merasa khawatir untuk mengkonsumsi produk tersebut, dan ini akan mendatangkan citra yang positif terhadap produk dan industri lidah buaya di Kota Pontianak. Oleh karena itu, pemerintah daerah dalam hal ini dinas terkait seperti Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, serta Dinas Koperasi dan UKM, sudah selayaknya saling berkoordinasi dengan baik untuk memberikan pembinaan terkait standarisasi kebersihan lingkungan usaha kepada pelaku usaha kecil dan rumah tangga agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. Penerapan strategi-strategi tersebut, tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri baik oleh pihak pemerintah maupun pengusaha, perlu adanya kerjasama yang bersinergi antar semua pihak. Dalam menerapkan strategi-strategi tersebut, pengusaha perlu mendapat pelatihan, pembinaan dan penyuluhan terlebih dahulu dari instansi terkait, serta perlu adanya kebijakan terkait standarisasi produk. Dengan begitu, pengusaha
78 mengetahui standar operasional produksi (SOP) yang harus dilakukan, hingga produk yang dihasilkan sesuai dengan kualitas permintaan pasar dan dapat menjangkau pasar yang lebih luas, tidak hanya untuk pasar domestik tapi juga berkualitas ekspor. Dalam hal ini, pemerintah memang tidak berperan secara langsung dalam menjalankan prioritas strategi yang ada, pemerintah hanya sebagai fasilitator yang mendukung iklim usaha agar lebih baik dan berdayasaing dengan menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan agroindustri. Petani dan pengusahalah yang sangat berperan penting dalam menjalankan prioritas strategi tersebut, dikarenakan mereka yang berperan langsung dalam mempengaruhi dayasaing, di mana petani sebagai aktor yang menyediakan bahan baku lidah buaya bagi pengusaha, dan pengusaha sebagai aktor yang memproses lidah buaya menjadi suatu produk yang dibutuhkan oleh konsumen. Kebijakan Peningkatan Dayasaing Agroindustri Lidah Buaya di Kota Pontianak Perumusan suatu kebijakan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak, dengan cara meningkatkan dayasaing agroindustri tersebut. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya (Bab 7) bahwa keterkaitan antar komponen-komponen utama pada sistem dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak belum berdayasaing. Oleh karena itu, suatu kebijakan diperlukan untuk mendukung strategi yang akan dilakukan dalam upaya meningkatkan dayasaing. Melalui suatu kebijakan yang tepat diharapkan strategi peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya dapat berjalan dengan sebaikbaiknya, mulai dari peningkatan skala usaha hingga perluasan pasar ke tingkat nasional dan internasional. Perumusan kebijakan dapat mengacu pada faktor yang dapat mempengaruhi dayasaing maupun pada permasalahan yang dihadapi agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. Perumusan kebijakan ini dilakukan dalam upaya mendorong dan mendukung terciptanya peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak dalam jangka panjang, dan terwujudnya pengembangan agroindustri lidah buaya di masa depan. Kedua prioritas strategi yang ada, yaitu memproduksi produk dengan kualitas yang sesuai permintaan domestik dan ekspor, dan melakukan inovasi produk untuk semua segmen permintaan, akan dapat dilakukan dengan baik dan menghasilkan efek positif terhadap peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak, apabila pemerintah ikut berperan aktif dalam merumuskan kebijakankebijakan yang mendukung dayasaing agroindustri lidah buaya. Dengan demikian, kebijakan yang dapat direkomendasikan adalah sebagai berikut: 1) Kebijakan dalam penetapan standarisasi produk dan produksi. Tujuan rekomendasi kebijakan ini adalah untuk meningkatkan kualitas produk agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. Adapun cara yang dapat dilakukan adalah dengan: Pemerintah memberi insentif kepada petani lidah buaya agar kualitas pelepah lidah buaya dapat terjaga dengan baik, serta petani tetap fokus membudidayakan lidah buaya dan tidak mengalihfungsikan lahannya untuk tanaman lain. Pemerintah ikut serta dalam memberi pelatihan dan pembinaan terkait standar operasional produksi (SOP), terutama terkait dengan kebersihan lingkungan usaha.
79 Pemerintah perlu memperbaiki dan meningkatkan pelayanan infrastruktur air bersih, bantuan peralatan produksi, melakukan penyuluhan dan pembinaan secara intensif, serta pelayanan lainnya yang mendukung peningkatan dayasaing industri kecil dan menengah agroindustri lidah buaya. Memberi pelatihan dan seminar tentang kewirausahaan kepada petani, pengolah lidah buaya, hingga tenaga kerja. 2) Kebijakan dalam penciptaan iklim usaha yang kondusif bagi pelaku usaha. Tujuan rekomendasi kebijakan ini adalah untuk menumbuhkan UMKM baru yang berbasis lidah buaya, dan membuka lapangan kerja bagi masyarakat. Adapun cara yang dapat dilakukan antara lain: Pemerintah memberi kemudahan dalam perijinan usaha, permodalan, pemberian insentif pajak dan peraturan lainnya untuk pengembangan agroindustri lidah buaya skala industri kecil dan rumah tangga. Memberi kemudahan kepada investor berupa kemudahan perijinan investasi, seperti pendirian pabrik tepung lidah buaya dan pabrik kemasan. Meningkatkan sarana dan prasarana pendukung investasi atau usaha bagi masyarakat yang ingin berwiraswasta. 3) Kebijakan dalam pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Tujuan rekomendasi kebijakan ini adalah untuk mempermudah pelaku usaha dalam mendapatkan dan mengakses informasi yang berkaitan dengan pengembangan usaha. Adapun cara yang dapat dilakukan adalah dengan: Meningkatkan kualitas penelitian terkait dengan pengembangan produk lidah buaya. Mengapresiasi adanya penemuan-penemuan baru yang berkaitan dengan pengembangan produk lidah buaya, dalam bentuk kemudahan memberikan hak paten. Berperan aktif dalam mensosialisasikan IPTEK kepada pelaku usaha, khususnya usaha skala industri kecil dan rumah tangga, serta petani. Membentuk kelompok diskusi terbuka antar pihak pemerintah dengan petani dan pengusaha olahan lidah buaya, dan membuat program pertemuan terkait hal tersebut. Berperan aktif dalam menggerakkan kelompok tani dan kelompok pengolah lidah buaya, dalam bentuk menjalin kemitraan antar kelompok tersebut. Namun dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan di atas tersebut, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, seperti nilai tambah yang dihasilkan dari kegiatan usaha dapat didistribusikan kepada pihak-pihak yang terlibat secara proporsional, volume produksi disesuaikan dengan perkembangan pasar dan produktivitas lahan yang tersedia, penerapan inovasi dan teknologi yang tepat guna dan tepat sasaran dapat menghasilkan kuantitas dan kualitas produk, serta keberadaan usaha pengolahan lidah buaya dapat memberikan lapangan dan kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar, sekaligus mendorong perkembangan usaha ekonomi lainnya untuk mensinergikan dayasaing.
80
9
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat diambil simpulan sebagai berikut: 1. Agroindustri lidah buaya yang terdapat di Kota Pontianak belum berdayasaing, karena hanya terdapat satu pasang komponen utama yang memiliki keterkaitan yang saling mendukung diantara enam pasang komponen utama pada sistem dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. 2. Faktor penentu dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak adalah kondisi permintaan domestik dengan sub faktor komposisi permintaan domestik, dan kondisi faktor sumberdaya dengan sub faktor kualitas sumberdaya manusia. Hasil analisis AHP menunjukkan kedua faktor tersebut memiliki bobot tertinggi diantara faktor penentu dayasaing lainnya, dan menjadi prioritas dalam usaha pengembangan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. 3. Strategi yang diprioritaskan untuk meningkatkan dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak secara berturut-turut berdasarkan bobot tertinggi adalah (1) memproduksi produk dengan kualitas yang sesuai dengan permintaan pasar lokal dan ekspor, dan (2) menciptakan inovasi produk untuk semua segmen permintaan pasar. Penentuan strategi ini berdasarkan pada prioritas faktor kondisi permintaan domestik yang memiliki bobot paling tinggi dibandingkan kondisi faktor sumberdaya. Saran 1. Untuk meningkatkan kualitas produk agar berdayasaing, diperlukan standarisasi produk yang jelas dengan menyusun program atau kebijakan mengenai penetapan standar produk skala nasional, serta melakukan penyuluhan dan pembinaan secara intensif terkait dengan standar operasional produksi (SOP) yang dilakukan oleh agoindustri lidah buaya skala kecil dan rumah tangga di Kota Pontianak. 2. Untuk meningkatkan dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak, pemerintah perlu melakukan kerjasama dengan para pengusaha dalam bentuk melakukan pelatihan atau seminar mengenai kewirausahaan, agar wawasan pengusaha menjadi terbuka untuk menerima dan melakukan hal-hal baru serta mampu berinovasi membuat produk yang dibutuhkan pasar. 3. Untuk penelitian lebih lanjut disarankan penelitian yang terkait dengan preferensi konsumen terhadap produk lidah buaya, dan melakukan kajian yang terkait dengan membangun industri lidah buaya terpadu dalam membentuk sistem agribisnis yang berkelanjutan.
81
DAFTAR PUSTAKA Adi Bronto. 2011. Pengembangan agroindustri gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Aloe Vera Center. 2004. Profil Agribisnis Lidah Buaya di Kota Pontianak. Pusat Pengkajian dan Pengembangan Lidah Buaya Nasional. Pontianak. ______________. 2012. Data Perkembangan Ekspor Lidah Buaya (Aloe vera) Kota Pontianak (ton per tahun). Pontianak. Badan Pusat Statistik Kota Pontianak. 2012. Kota Pontianak dalam Angka. Pontianak Blumenthal M et al. 2012. Herbs market report: herbal dietary supplement retail sales up 4.5% in 2011. The Journal of American Botanical Council [Internet]. [diunduh 2012 November 8] http://cms.herbalgram.org/press/2012/2011_Herb_Market_Report.html. Darmayanti D. 2007. Strategi peningkatan dayasaing minyak pala Indonesia [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. David FR. 2009. Manajemen Strategi Konsep. Buku satu, edisi ke-duabelas. Edward T, penerjemah; Palupi W, editor. Jakarta: Salemba Empat. Terjemahan dari: Strategic Management, 12th ed. Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK. 2005. Pengkajian peningkatan daya saing usaha kecil menengah yang berbasis pengembangan ekonomi lokal. Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM Nomor 2 Tahun I: 26 – 40. Dimyati dan Sahari. 2002. Potensi Lidah Buaya dan Isu-Isu Penelitian Masa Depan. Pontianak: Dinas Urusan Pangan Kota Pontianak. Dinas Pertanian Perikanan dan Kehutanan Kota Pontianak. 2012. Data Luas Tanaman dan Produksi Tanaman Lidah Buaya di Kota Pontianak. Pontianak. Dinas Pertanian Provinsi Kalimantan Barat. 2011. Tanaman Unggulan Pertanian Kalimantan Barat. Provinsi Kalimantan Barat. Djamhari C. 2004. Orientasi pengembangan agroindustri skala kecil dan menengah: rangkuman pemikiran. Infokop Nomor 25 Tahun XX: 121-132. Ellyta. 2007. Analisis jaringan komunikasi petani dalam pemasaran lidah buaya [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Eriyatno dan Sofyar F. 2007. Riset Kebijakan: Metode Penelitian untuk Pascasarjana. Bogor: Penerbit IPB Press. Fadhilah RS. 2008. Analisis sikap konsumen terhadap minuman lidah buaya (aloe vera) Kavera (kasus Depok, Jawa Barat) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Fajri E. 2000. Analisis keragaan agroindustri pisang sale (CV Kiniko Enterprise. Tanah Datar, Sumatera Barat) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. FAO. 2009. Agro-Industries for Development. Published by The Food and Agriculture of Organization the United Nations and CAB International. [diunduh 2011 November 8] Tersedia pada: www.fao.org
82 Firdaus, Harmini, MA Farid. 2011. Aplikasi Metode Kuantitatif untuk Manajemen dan Bisnis. Bogor: Penerbit IPB Press. Furnawanthi. 2003. Khasiat dan Manfaat Lidah Buaya Si Tanaman Ajaib. Jakarta: PT. Agromedia Pustaka. Grennes T. 2003. Creative destruction and globalization. Cato Journal [Internet]. [diunduh 2013 September 22]; 22 (3): 543-558. Tersedia pada: http://www.cato.org/sites/cato.org/files/serials/files/cato journal/2003/1/cj22n310.pdf Haryadi D. 1998. Tahap Perkembangan Usaha Kecil: Dinamika dan Peta Potensi Pertumbuhan. Bandung: PT Akatiga. Hasan IM. 2003. Pokok-pokok Materi Statistik I (Statistik Deskriptif). Edisi Ke-2. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara Hendrawati Y. 2007. Rancang bangun industri tepung lidah buaya (aloe vera) terpadu. Jurnal Teknik Industri Pertanian 17 (1): 12-22. Hubeis M. 1997. Menuju Industri Kecil Profesional di Era Globalisasi Melalui Pemberdayaan Manajemen Industri. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Idawati. 2002. Strategi pengembangan agribisnis lidah buaya (Aloe vera) di Kota Pontianak [tesis]. Bogor: Magister Bisnis, Institut Pertanian Bogor. Ismayana dkk. 1992. Prosiding Seminar Nasional Sehari Operasionalisasi Pengembangan Agroindustri. Bogor: Senat Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor dan Perhimpunan Mahasiswa Agroindustri Indonesia Cabang Bogor. Jumiar. 2005. Studi komparatif keuntungan berbagai produk olahan lidah buaya di Kota Pontianak [skripsi]. Yogyakarta: Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. 2011. Outlook Industri 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri [Internet]. [diunduh 2012 November 7]. Tersedia pada: www.kemenperin.go.id. Lestari P. 2010. Penguatan ekonomi industri kecil dan menengah melalui platform klaster industri. Jurnal Organisasi dan Manajemen. Universitas Terbuka [Internet]. [diunduh 2012 November 7] 6 (2): 146-157. Tersedia pada: http://lppm.ut.ac.id. Marimin dan Maghfiroh N. 2010. Aplikasi Teknik Pengambilan Keputusan Dalam Manajemen Rantai Pasok. Bogor: IPB Press. Manasis G. 2010. Analysis of competitiveness of Greek‟s olive oil sector using Porter‟s Diamond Model. Journal of Internatıonal Studıes [Internet]. [diunduh 2012 November 23]; 16 (1): 33-46. Tersedia pada: http://www.fearp.usp.br/egna/arquivo/10.pdf. Mulyono S. 1991. Operations Research. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Munandar JM. 2001. Key Determinant of Exporrt Competitiveness of the Indonesia Palm Oil and Tea Agroindustries. The Faculty of Graduate School. Philipina: University of the Philippines at Los Bańos. http://www.uplb.edu.ph
83 Musyafak A. 2003. Agribisnis lidah buaya di Kalimantan Barat: Berprospek, Tapi Belum Tergarap. Pontianak: Badan Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Barat. Noer Arifin B. 2010. Belajar Mudah Riset Operasi. Yogyakarta: CV Andi Offset Ong WJ, Ismail, Goh Gan. 2010. The competitive advantage of small and medium enterprises (SME‟s): the role of entrepreneurship and luck. Journal of Business and Entrepreneurship [Internet]. [diunduh 2012 September 12]; 23 (3): 373-391. Tersedia pada: http://perpustakaan.ipb.ac.id/index.php/en/online-journal. Pearce D dan Robinson. 1997. Manajemen Strategik (Formulasi, Implementasi, dan Pengendalian). Jilid satu. Haryandini, penerjemah; Sarwiji B, editor. Jakarta: Bina Aksara. Terjemahan dari: Pearson Eduction –Prentice Hall. Porter ME. 1990. The Competitive Advantage of Nations. New York: Free Press Pusat Pengkajian dan Pengembangan Lidah Buaya Nasional Aloe Vera Center. 2004. Profil Agribisnis Aloe Vera di Kota Pontianak. Provinsi Kalimantan Barat. Putra Dharma H. 2008. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan agroindustri di Kota Medan [tesis]. Medan: Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara. Rahmana, Iriani, Oktarina. 2012. Strategi pengembangan usaha kecil menengah sektor industri pengolahan. Jurnal Teknik Industri [Internet]. [diunduh 2012 November 2012]; 13 (1): 14-21. Tersedia pada: http://ejournal.umm.ac.id/index.php/industri/article/viewFile/635/658_umm_scie ntific_ journal.pdf. Rodriguez SE. 2011. The competitiveness of Puerto Rican small and mediun sized enterprises. Competition Forum [Internet]. [diunduh: 2012 September 12]; 9 (1): 19-25. Tersedia pada: http://perpustakaan.ipb.ac.id/index.php/en/online-journal. Saaty Thomas L. 1991. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo. Salvatore D. 1997. Ekonomi Internasional. Terjemahan. Edisi Kelima Prentice Hall. Jakarta: Penerbit Erlangga. Santosa dan Darusman. 2002. Kajian Potensi dan Pengembangan Produk Lidah Buaya. Pontianak: Dinas Urusan Pangan Kota Pontianak. Saragih B. 2010. Suara Agribisnis: Kumpulan Pemikiran Bungaran Saragih. Jakarta: PT Permata Wacana Lestari. Senge, P & G. Carstedt. 2001. Innovating Our Way to The Next Industrial Revolution. Sloan Management Review 42 (2): 24-38. Setyawan dan Wijana. 2011. The Porter’s Diamond Approach to the competitiveness of coconut agroindustri in Indonesia. Journal of Applied Sciences Research [Internet]. [diunduh 2012 November 23]; 7(8): 1351-1355. Tersedia pada: http://www.aensiweb.com/jasr/jasr/2011/1351-1355.pdf. Sinaga MB. 2011. Metode Pengumpulan Data. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sjaifudian H, Haryadi D, Maspiyati. 1997. Strategi Dan Agenda Pengembangan Usaha Kecil. Bandung: Yayasan Akatiga.
84 Soekartawi. 2000. Agroindustri Dalam Perspektif Sosial Ekonomi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Suisyana NI. 2008. Kajian prospek dan strategi pengembangan usaha pengolahan aloe vera pada PT. Libe Bumi Abadi [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sulaeman S. 2004. Model pengembangan agribisnis komoditi lidah buaya (aloe vera). Jurnal Agribisnis [Internet]. [diunduh 2012 November 7]; 1-17. Tersedia pada: http://www.smecda.com. Sumarno. 2002. Program Pengembangan Lidah Buaya di Indonesia. Pontianak: Dinas Urusan Pangan Kota Pontianak. Sumarwan U, dkk. 2011. Riset Pemasaran dan Konsumen. Bogor: Penerbit IPB Press. Sumodiningrat G. 1998. Membangun Perekonomian Rakyat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suprapto. 2011. Karakteristik, penerapan, dan pengembangan agroindustri hasil pertanian di Indonesia. Fakultas Manajemen Agribisnis Mercu Buana [Internet]. [diunduh 2012 November 9]. Tersedia pada: http://research.mercubuana.ac.id/proceeding/Penerapan_dan_Pengembangan_Ag roindustrial.pdf. Supriyati dan Suryani E. 2006. Peranan, peluang dan kendala pengembangan agroindustri di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi 24 (2): 92-106. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 532/Kpts/PD.210/10/2003. 2003. Pelepasan Lidah Buaya Pontianak Sebagai Varietas Unggul. Jakarta. Tjiptono F. 2008. Strategi Pemasaran. Yogyakarta: Penerbit ANDI. Tjitroresmi E. 2003. Kelembagaan dalam sektor pertanian: kasus komoditi aloe vera (lidah buaya) di Kalimantan Barat. Karya Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Wahjono E dan Koesnandar. 2002. Mengebunkan Lidah Buaya Secara Intensif. Jakarta: PT. Agromedia Pustaka. Wahyudi T. 2009. Perancangan strategi pemasaran produk olahan aloe vera dengan mempertimbangkan preferensi konsumen (studi kasus: minuman olahan aloe vera di Kota Pontianak) [tesis]. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Widotono H. 2009. Prospek pengembangan tepung lidah buaya [Internet]. [diunduh 2013 Mei 13]. Tersedia pada: http://hendri-wd.blogspot.com/2009/03/prospektepung-lidah-buaya.html Wijayanti, Ethika dan Widyarini. 2007. Prospek pengembangan agroindustri minuman lidah buaya di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Program Studi Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto: Jawa Tengah. Wiyadi. 2009. Pengukuran indeks daya saing industri kecil menengah (IKM) di Jawa Tengah. Jurnal Siasat Bisnis [Internet]. [diunduh 2012 Oktober 3]; 13 (1): 77-92. Tersedia pada: http://journal.uii.ac.id/index.php/JSB/article/view/2015/1769 Thoyib M. 2007. Karakteristik SDM Di Masa Mendatang: Peluang dan Hambatan [Internet]. [diunduh: 2013 Juni 30]. Tersedia pada: http://www.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=463
85 Lampiran 1 Nilai pangsa pasar sektoral terhadap PDB Indonesia tahun 2004-2010 (milyaran rupiah) Tahun
Pertanian
Agroindustri
Non Agroindustri
Industri Migas
Sektor Lainnya
PDB
2004
247 163.60 (14.92)
216 372.60 (13.06)
201 995.90 (12.19)
51 583.90 (3.11)
939 400.80 (56.71)
1 656 516.80 (100)
2005
253 881.70 (14.50)
224 771.40 (12.84)
218 131.20 (12.46)
48 658.80 (2.78)
1 005 372.10 (57.42)
1 750 815.20 (100)
2006
262 402.80 (14.21)
236 547.80 (12.81)
229 701.30 (12.44)
47 851.20 (2.59)
1 070 623.60 (57.96)
1 847 126.60 (100)
2007
271 509.30 (13.82)
247 711.00 (12.61)
242 550.60 (12.35)
47 823.00 (2.43)
1 154 733.40 (58.79)
1 964 327.30 (100)
2008
284 620.70 (13.67)
254 124.50 (12.20)
255 977.20 (12.29)
47 662.70 (2.29)
1 239 930.80 (59.55)
2 082 315.90 (100)
2009*
296 369.30 (13.61)
272 255.10 (12.51)
250 684.50 (11.52)
46 611.20 (2.14)
1.311.055,40 (60,22)
2 176 975.50 (100)
2010**
304 406.20 (13.17)
279 524.50 (12.10)
270 248.80 (11.70)
45.539,80 (1,97)
1 410 970.50 (61.06)
2 310 689.80 (100)
13.99
12.59
12.13
2.47
58.82
100.00
Ratarata
Sumber: Badan Pusat Statistik (2011) dalam Kementerian Perindustrian (2011) Keterangan: Angka dalam tanda ( ) menunjukkan pangsa atau kontribusi (%) terhadap PDB *) Angka sementara; **) Angka sangat sementara
Lampiran 2 Nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja subsektor agroindustri Nilai Tambah Tahun 2005 2006 2007 2008 2009* 2010** Rata-rata
Tenaga Kerja
Nilai (Rp Juta)
Pertumbuhan (%)
Jumlah Orang
Pertumbuhan (%)
396 437 988 514 342 729 598 399 645 264 842 230 323 619 699 162 496 793 376 689 847
29.74 16.34 -55.74 22.19 -49.79 -7.45
1 636 745 1 869 663 1 838 835 1 750 206 2 017 856 1 693 694 1 801 167
14.23 -1.65 -4.82 15.29 -16.06 1.40
Sumber: Kementerian Perindustrian 2011 Keterangan: *) Angka sementara, **) Angka sangat sementara
86 Lampiran 3 Struktur hirarki strategi peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak Tingkat 1
Strategi peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya untuk pengembangan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak
Tingkat 2
Tingkat 3
Tingkat 4
B
A
A1
A2
A4
A3
A5
C
B2
B1
D1
C2
E
D2
E1
D3
E2
E3
D31
E11
E21
E31
E41
D22
D32
E12
E22
E32
E42
D23
D33
E13
E23
E33
E43
A54
D24
D34
E14
A55
D25
D35
A21
A31
A41
A51
B11
B21
A12
A22
A32
A42
A52
B12
B22
A13
A23
A34
A43
A53
B12
B23
A14
A24
A35
A44
A36
A45
B31
B32
C11
C21
C12
C22
C13
C23
D11
D12
E34
E15
A46
Tingkat 5
Tingkat 6
Strategi 1
Strategi 2
E4
D21
A11
A15
C1
B3
D
Strategi 3
Pemerintah Daerah
Strategi 4
Strategi 5
Strategi 6
Pihak Swasta/Pengusaha
Strategi 7
E44
87 Keterangan Lampiran 3 Tingkat 1 : Sasaran atau tujuan utama Tingkat 2 : Faktor penentu dayasaing teori Diamond Porter, terdiri atas: A. Kondisi sumberdaya B. Kondisi permintaan dalam negeri C. Industri terkait dan industri pendukung D. Persaingan, struktur dan strategi perusahan E. Peran pemerintah
Tingkat 3 : Sub faktor penentu dayasaing teori Diamond Porter, terdiri atas: A1. Sumberdaya alam atau fisik A2. Sumberdaya manusia A3. Modal A4. Ilmu pengetahuan dan teknologi A5. Infrastruktur B1. Komposisi permintaan domestik B2. Jumlah permintaan dan pola pertumbuhan B3. Internasionalisasi permintaan C1. Industri hulu C2. Industri hilir D1. Persaingan industri D2. Struktur industri D3. Strategi perusahaan E1. Kebijakan akses sumberdaya E2.Kebijakan penetapan standar mutu produk E3. Kebijakan perbaikan kondisi faktor utama penentu dayasaing E4. Kebijakan penetapan bea ekspor impor, tariff pajak dan bea legalitas usaha
Tingkat 4 : Kriteria sub faktor penentu dayasaing, terdiri atas: A11. Biaya aksesibilitas A12. Kualitas sumberdaya air A13. Kondisi cuaca A14. Kualitas lidah buaya A15. Kondisi lahan A21. Jumlah tenaga kerja A22. Kualitas sumberdaya manusia A23. Upah tenaga kerja A24. Etika dan etos kerja
88 Keterangan Lampiran 3 (lanjutan) A31. Besar modal A32. Kondisi lembaga pembiayaan dan perbankan A33. Jumlah suku bunga yang tersedia A34.Katersediaan sumber modal atau pembiayaan A41. Ketersediaan informasi pasar A42. Pengetahuan teknis produksi A43. Ketersediaan pengetahuan tinggi dan litbang A44. Ketersediaan literatur bisnis dan ilmiah A45. Ketersediaan informasi data dan laporan penelitian A46. Asosiasi pengusaha A51. Ketersediaan dan kondisi transportasi A52. Kondisi jalan raya A53. Sistem pembayaran/transfer dana A54. Kondisi jalan raya A55. Kondisi pos dan giro B11. Struktur segmen permintaan domestik B12. Pengalaman dan selera pembeli B13. Antisipasi kebutuhan pembeli B21. Penanaman modal skala besar B22. Pengembangan teknologi B23. Peningkatan produktivitas B31. Pembeli lokal yang merupakan pembeli luar negeri B32. Konsumen dengan mobilitas internasional tinggi dan sering mengunjungi suatu negara C11. Pemasok bahan baku C12. Pabrik kemasan C13. Pabrik pengolahan C21. Lembaga pemasaran C22. Lembaga penelitian C23. Lembaga pendidikan (Perguruan Tinggi) D11. Persaingan produk D12. Persaingan harga D21. Pasar persaingan sempurna D22. Pasar monopoli D23. Pasar oligopoli D24. Pasar monopsoni D25. Pasar monopolistik D31. Perencanaan D32. Manajemen organisasi usaha D33. Manajemen organisasi D34. Peningkatan kualitas produk dan inovasi D35. Strategi pemasaran E11. Akses terhadap sumberdaya alam atau fisik E12. Akses terhadap sumberdaya manusia E13. Akses terhadap modal
89 Keterangan Lampiran 3 (lanjutan) E14. Akses terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi E14. Infrastruktur E21. Legalitas kemasan E22. Kualitas kemasan dan design kemasan E23. Masa simpan produk E31. Perbaikan terhadap kondisi sumberdaya E32. Perbaikan terhadap permintaan E33. Perbaikan terhadap industri terkait dan industri pendukung E34. Perbaikan terhadap persaingan, struktur, dan strategi perusahaan E41. Bea ekspor E42. Bea impor E43. Pajak usaha E44. Bea legalitas usaha
Tingkat 5 : Strategi peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak, antara lain: Strategi 1 : Meningkatkan diversifikasi produk lidah buaya yang dibutuhkan industri sebagai bahan baku industri lanjut Strategi 2 : Memproduksi produk dengan kualitas yang sesuai dengan permintaan pasar domestik dan ekspor Strategi 3 : Menjalin kerjasama antar pelaku usaha dalam melakukan pemasaran produk lidah buaya Strategi 4 : Menumbuhkan dan mengembangkan jaringan agribisnis lidah buaya Strategi 5 : Meningkatkan kualitas kelembagaan atau asosiasi antar pelaku usaha dalam agribisnis lidah buaya Strategi 6 : Memperluas informasi, kemitraan, dan promosi produk lidah buaya baik di dalam maupun luar negeri Strategi 7 : Menciptakan inovasi produk untuk semua segmen permintaan
Tingkat 6 : Aktor utama yang berperan dalam meningkatkan dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak, antara lain: Pemerintah daerah
Pihak swasta
: Instansi pemerintah seperti Aloe Vera Center, Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Koperasi dan UKM, Litbang, Perguruan Tinggi : Pengusaha, petani, dan investor
90 Lampiran 4 Hasil analisis AHP pada strategi peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak a. Prioritas faktor penentu dayasaing
b. Sub faktor dayasaing komponen kondisi sumberdaya
c. Sub faktor dayasaing komponen kondisi permintaan
d. Sub faktor dayasaing komponen industri terkait dan pendukung
91 Lampiran 4 Hasil analisis AHP pada strategi peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak (lanjutan) e. Sub faktor dayasaing komponen persaingan, struktur dan strategi
f. Sub faktor dayasaing komponen peran pemerintah
g. Sub sub faktor dayasaing komponen sumberdaya alam atau fisik
h. Sub sub faktor dayasaing komponen sumberdaya manusia
92 Lampiran 4 Hasil analisis AHP pada strategi peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak (lanjutan) i. Sub sub faktor dayasaing komponen sumberdaya IPTEK
j. Sub sub faktor dayasaing komponen sumberdaya modal
k. Sub sub faktor dayasaing komponen sumberdaya infrastruktu
l. Sub sub faktor dayasaing komponen komposisi permintaan domestik
93 Lampiran 4 Hasil analisis AHP pada strategi peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak (lanjutan) m. Sub sub faktor dayasaing komponen jumlah permintaan dan pola pertumbuhan
n. Sub sub faktor dayasaing komponen internasionalisasi permintaan domestik
o. Sub sub faktor dayasaing komponen industri terkait
p. Sub sub faktor dayasaing komponen industri pendukung
q. Sub sub faktor dayasaing komponen persaingan industri
94 Lampiran 4 Hasil analisis AHP pada strategi peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak (lanjutan) r. Sub sub faktor dayasaing komponen struktur industri
s. Sub sub faktor dayasaing komponen strategi industri
t. Sub sub faktor dayasaing komponen kebijakan akses sumberdaya
u. Sub sub faktor dayasaing komponen kebijakan standar mutu produk
95 Lampiran 4 Hasil analisis AHP pada strategi peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak (lanjutan) v. Sub sub faktor dayasaing komponen kebijakan perbaikan faktor penentu dayasaing
w. Sub sub faktor dayasaing komponen kebijakan penetapan bea ekspor impor, tarif pajak, bea legalitas usaha
x. Prioritas strategi berdasarkan kondisi permintaan
y. Prioritas aktor
96 Lampiran 5 Struktur hirarki hasil analisis AHP pada strategi peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya du Kota Pontianak Strategi peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya untuk pengembangan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak
A
B
C
D
E
0.300
0.412
0.094
0.120
0.065
A1
A2
A3
A4
A5
B1
B2
B3
C1
C2
D1
D2
D3
E1
E2
E3
E4
0.230
0.412
0.105
0.105
0.148
0.588
0.299
0.130
0.500
0.500
0.702
0.164
0.133
0.287
0.454
0.195
0.064
A11
A21
A31
A41
A51
B11
B21
B31
C11
C21
D11
D21
D31
E11
E21
E31
E41
0.150
0.152
0.399
0.407
0.227
0.523
0.102
0.795
0.303
0.183
0.500
0.421
0.183
0.379
0.430
0.556
0.244
A32
A42
A52
B12
C12
C22
D22
D32
E12
E22
E32
0.230
0.302
0.059
0.272
0.249
A22
A12 0.280
0.416
0.133
A13
A23
A33
A43
0.209
0.202
0.175
0.094
A24
A14
0.230
0.189
A34
0.272
A44
B22
0.294
0.430
0.053
0.409
A53
B13
B23
B32
0.219
0.174
0.468
0.205
C13 0.403
E43
0.140
0.366
E14
E34
E44
0.087
0.100
0.356
D12
D23
D33
E13
E23
0.409
0.500
0.237
0.088
0.179
0.322
D24
D34 0.365
0.156
0.058
0.158
A15
A35
A45
A55
D25
D35
E15
0.173
0.156
0.167
0.200
0.305
0.085
0.060
0.088
A46 0.109
Strategi 1
Strategi 2
Strategi 3
0.136
0.196
0.122
Strategi 4
Strategi 5
Strategi 6
Strategi 7
0.120
0.130
0.117
0.190
Pemerintah Daerah
Pihak Swasta
0.366
0.634
0.064
E33
C23
A54
0.204
E42
97
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pontianak, Kalimantan Barat pada tanggal 17 Desember 1983 dari Bapak Bustami M. Noor dan Ibu Winarti. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan formal penulis diawali di TK Mujahidin Pontianak dari tahun 19881990. Kemudian penulis melanjutkan studi di SD Negeri 24 Pontianak, dan lulus tahun 1995. Pada tahun 1999 penulis lulus dari SLTP 06 Pekalongan dan pada tahun 2001 penulis lulus dari SMU 05 Pontianak. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, melalui Tes Ujian Masuk, dan diterima pada Fakultas Pertanian, Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian. Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pada tahun 2006 dengan mendapat gelar Sarjana Pertanian. Pada tahun 2007-2008 penulis bekerja di Konsultan Sumber Daya Manusia Unimedia Yogyakarta sebagai surveyor. Pada tahun 2008-2009 penulis bekerja di Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) Borneo di Kota Pontianak sebagai staf marketing pembiayaan. Selanjutnya tahun 2009 penulis menikah dengan Erwin Polma Panggabean, SIP. Pada tahun 2010, penulis behenti bekerja dan melanjutkan pendidikan kejenjang S2 di Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Magister Sains Agribisnis, Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Pada tanggal 01 Agustus 2013 penulis dinyatakan lulus pada Sidang Ujian Tesis dengan judul tesis “Strategi Peningkatan Dayasaing Agroindustri Lidah Buaya di Kota Pontianak”.