Stereotip, Prasangka, dan Dinamika Antaretnik Ilyas Lampe, Haslinda B. Anriani
STEREOTIPE, PRASANGKA DAN DINAMIKA ANTARETNIK STEREOTYPES, PREJUDICE AND DYNAMICS OF INTER-ETHNIC Ilyas Lampe Program Studi Ilmu Komunikasi, Fisip, Universitas Tadulako Kampus Bumi Tadulako, Jl. Soekarno Hatta Km. 9, Palu. Telp. (0451) 422611 Email:
[email protected] Haslinda B. Anriani Program Studi Sosiologi, Fisip, Universitas Tadulako) Jl. Soekarno Hatta Km. 9, mantikulore, Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia. Telp. (0451) 422355 diterima: 6 Mei 2016 | direvisi: 14 Juni 2016 | disetujui: 12 Juni 2016
ABSRACT Ethnic identity is a differentiator that is primordial that is often used to establish an association to a particular group, as ingroup or outgroup that in the local context the plural is called the "Kitorang" or "kamorang". Ethnic identity is a true socio-cultural construction, which can be changed, uncertain and impermanent. Ethnicity is an expression of past products, the rise of the same origin, social relations, and similarities in cultural values and traits such as language and religion. However, despite ethnic identity can change it may cause birth stereotypes and prejudices even turn into violent conflict. This research is to unravel the relationship between ethnic Kaili (native) and ethnic Bugis (entrants) in the city of Palu. This study used a qualitative method with informants selected from academia (anthropologist), students and community leaders Kaili and Bugis. The results showed that the various stereotypes that appear in both ethnically both positive and negative. Meanwhile there are also prejudices that accompany the relationship and communication between the two ethnic groups, although there has been a culturals and economic interconnections since hundreds of years ago. Even since the 1990s until recent year violent conflicts ethnic background, whose roots are suspected due to economic disparities between Kaili and Bugis ethnic population, such as the conflict in the Market Masomba and Inpres Market. Keywords: Prejudice, Stereotype, Ethnic Identity, Intercultural Communication.
ABSTRAK Identitas etnik merupakan pembeda yang bersifat primordial yang seringkali digunakan untuk menetapkan asosiasi pada kelompok tertentu, sebagai ingroup atau outgroup yang dalam konteks lokal jamak disebut dengan istilah “kitorang” atau “kamorang”. Identitas etnik sejatinya merupakan konstruksi sosial budaya, yang dapat berubah, tidak pasti dan tidak kekal. Etnisitas merupakan ekspresi dari produk masa lalu, kebangkitan asal-usul yang sama, hubungan sosial, dan kesamaan dalam nilai-nilai budaya dan ciri-ciri seperti bahasa dan agama. Namun identitas etnik kendati dapat berubah ia dapat menyebabkan lahirnya stereotipe dan prasangka bahkan berubah menjadi konflik kekerasan. Penelitian ini mengurai relasi antara etnik Kaili (pribumi) dan Etnik Bugis (pendatang) di Kota Palu. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan informan yang dipilih dari kalangan akademisi (antropolog), mahasiswa dan tokoh masyarakat Kaili dan Bugis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beragam sterotipe yang muncul pada kedua etnik baik yang positif maupun negatif. Sementara itu masih terdapat pula prasangka yang menyertai relasi dan komunikasi antar kedua etnik, kendati telah terjadi persinggungan budaya dan ekonomi sejak ratusan tahun yang lalu. Bahkan sejak tahun 1990 an hingga beberapa tahun terakhir terjadi konflik kekerasan berlatarbelakang etnik, yang akarnya ditengarai akibat ketimpangan ekonomi antara penduduk etnik Kaili dan Bugis, misalnya saja konflik di Pasar Masomba dan Pasar Inpres. Kata kunci: Prasangka, Stereotipe, Identitas Etnik, Komunikasi Antarbudaya
19
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 20 No.1 Juni 2017: 17-32
PENDAHULUAN
dimana
Identitas etnik, agama, relasi sosial dan
komunikasi lintasbudaya pada daerah multietnik
komunikasi hampir-hampir sulit dipisahkan. Hal ini
identifikasi identitas etnik menjadi kemestian dalam
juga berarti bahwa keberagaman seseorang lebih
aktifitas, peran maupun dalam kehidupan sosial
banyak dipengaruhi keturunan dan lingkungan,
secara umum. Keadaan ini sesuai dengan Fredrik
bukannya pilihan bebas. Tempat lahir, warna kulit,
Barth (Mulyana, 2006) yang menyebutnya sebagai
bahasa, dan agama merupakan realitas primordial
situational ethnicity.
I.
seseorang
berada.
Dalam
konteks
Banyak ahli menganggap bahwa identitas
yang diterima seseorang, bukan karena hasil usahanya sendiri. Begitu pun hubungan kekerabatan,
budaya
dan
signifikan
Etnisitas merupakan ekspresi dari produk masa lalu,
pengaruhnya. Misalnya saja, meski tidak selalu taat
kebangkitan asal-usul yang sama, hubungan sosial,
menjalankan ajaran agama, para imigran Turki di
dan kesamaan dalam nilai-nilai budaya dan ciri-ciri
Eropa jika ditanya agamanya pasti menjawab Islam.
seperti bahasa dan agama. Namun, dimensi sejarah
“I am Turk, therefore I am a Moslem”. Begitu pun
tentang identitas menunjukkan bahwa identitas itu
warga Melayu di Malaysia, kalau tidak beragama
tidak pasti, tidak konstan, dan kekal, tetapi kadang
Islam akan dianggap khianat terhadap identitas
berubah dan dapat dibentuk atau dikonstruksi, (King
etniknya.
pun
dan Wilder, 2003 dalam Maunati, 2007). Dalam
demikian. Mereka kurang nyaman dianggap sebagai
proses pembentukan identitas itu, kekuasaan sering
orang Filipina karena asosiasi Filipina adalah
berperan. Misalnya saja kekuasaan Barat berperan
Katolik, sedangkan Mindanao adalah Islam dan
penting dalam pembentuan identitas, baik melalui
adakalanya disebut bangsa Moro. Orang Thailand
peran ilmuwan sosial dan misionari. Selain itu,
merasa identik dengan Buddha, sedangkan penduduk
berbagai kelompok juga sering berperan dalam
Patani yang berada di selatan selalu berusaha
pembentukan identitas, misalnya kaum intelektual,
mempertahankan identitas keislamannya (Hidayat,
birokrat, kelompok elit dan penguasa. Identitas
2006; dalam Lampe, 2010).
budaya tertentu sering diposisikan dengan kelompok
faham
keagamaan
Penduduk
sangat
Mindanao
Selatan
merupakan
sebuah
konstruksi
sosial.
Dalam konteks Indonesia, misalnya orang
lainnya. Dayak misalnya, diposisikan dengan Islam,
Manado adalah Protestan, sedangkan orang Bali
artinya Dayak adalah non-Islam. Misalnya saja,
adalah Hindu. Orang Sunda kalau tidak memeluk
orang-orang yang semula Dayak menjadi masuk
Islam dianggap aneh. Tentu saja ini bukan kemestian
Melayu ketika mereka beralih ke agama Islam
teologis, melainkan lebih merupakan ikatan tradisi
(Maunati, 2007).
keluarga dan masyarakat yang sudah berakar kuat
Perbedaan identitas etnik inilah yang lalu
sehingga siapa pun yang terlahir dalam lingkungan
melahirkan stereotipe, prasangka bahkan menjadi
tersebut sulit untuk keluar dari identitas itu.
sumber konflik kekerasan antaretnik. Sesuatu yang jamak terjadi di Indonesia. Prasangka menurut
Identifikasi identitas etnik sebagaimana lazim multietnik
Allport (Liliweri, 2005) adalah sikap antipati yang
senantiasa diarahkan pada situasi dan konteks
berlandaskan pada cara menggeneralisasi yang salah
dilakukan
pada
masyarakat
yang
20
Stereotip, Prasangka, dan Dinamika Antaretnik Ilyas Lampe, Haslinda B. Anriani
dan tidak fleksibel. Prasangka merupakan sikap
Dinamika yang terjadi di Kabupaten Poso (220
negatif yang diarahkan kepada seseorang atas dasar
km dari Kota Palu) berbeda dengan apa yang terjadi
perbandingan dengan kelompok sendiri. Secara
di Kota Palu, tempat di mana riset ini dilaksanakan
umum, prasangka etnik merupakan sikap negatif
tetapi Kota Palu sebagai ibukota propinsi memiliki
yang diarahkan oleh kelompok etnik tertentu kepada
dinamika sosial dan konflik yang kompleks. Konflik
kelompok etnik lainnya dan difokuskan pada ciri-ciri
yang
negatif sehingga menghambat hubungan antaretnik.
berlatarbelakang konflik antar kelurahan, antar
terjadi
di
Kota
Palu
lebih
banyak
Sementara itu menurut Samovar & Porter
kampung dan juga ketegangan antaretnis dan tidak
(Mulyana, 2006) stereotip adalah persepsi atau
bernuansa agama sebagaimana yang terjadi di Poso.
kepercayaan yang dianut mengenai kelompok atau
Kota Palu adalah ibukota Propinsi Sulawesi
individu berdasarkan pendapat dan sikap yang lebih
Tengah, kota dengan tingkat keberagaman penduduk
dulu terbentuk. Sedangkan
menurut Matsumoto
tinggi. Di lihat dari ragam etnik, penduduk Kota Palu
(Liliweri, 2005) stereotip adalah generalisasi kesan
terdiri dari 16 etnik pemukim pertama (asli) dan 14
yang kita miliki mengenai seseorang terutama
etnik
karakter psikologis atau sifat kepribadian.
(pendatang), dengan ragam bahasa 14 bahasa
sebagai
penduduk
pemukim
susulan
Dinamika relasi sosial di kota-kota yang
penduduk asli dengan 70 ragam dialek (Aragon,
multietnik seringkali dihiasi oleh konflik sosial
2000). Mereka adalah bagian komunitas yang
bernuansa kekerasan sektarian yang dilatarbelakangi
merupakan representasi masyarakat yang berasal dari
oleh perbedaan identitas etnik atau menggunakan
12 kabupaten dan 1 (satu) kota.
identitas etnik sebagai upaya membangun solidaritas
Berdasarkan
hal
tersebut
menarik
untuk
untuk meningkatkan keserempakan dan dukungan
menelusuri aspek-aspek stereotipe dan prasangka
kekuatan dalam konflik yang terjadi. Sebagai misal,
antaretnik serta konflik yang terjadi antara dua etnis
dapat disebutkan bagaimana identitas pendatang
paling besar populasinya di Kota Palu. Pemilihan dua
Bugis di Poso menjadi identitas etnik yang di angkat
etnis tersebut mengingat kontestasi antardua etnis,
sebagai ciri pembeda bagi kelompok lain yang
Bugis dan Kaili sudah menjadi isu yang santer
dianggap berbeda. Bugis yang jumlahnya hanya
terdengar terutama terkait persaingan pada aspek
kurang 5 % dari populasi Kabupaten Poso saat itu
ekonomi, politik dan birokrasi serta sosial budaya.
dijadikan pembeda bagi komunitas lokal, Pamona
Bugis dengan identitas sebagai pendatang, (sebagian
yang mayoritas dan kebetulan berbeda secara agama
merupakan keturunan sudah bermukim di Kota Palu
yang mayoritas Kristen. Jadilah etnis Bugis sebagai
sejak ratusan tahun sebelumnya) dan Kaili sebagai
identitas yang menonjol sebagai salah satu pelaku
etnis
utama konflik Poso, padahal komunitas Muslim yang
karenanya masalah penelitian yang akan dielaborasi
bermukim di Poso dengan populasi lebih besar
lebih jauh adalah; 1). bagaimana stereoptipe antara
seperti Jawa, Gorontalo dan Tojo tidak begitu
etnik Bugis dan etnik Kaili dalam interaksi
menonjol (Nordholt, 2007).
antarbudaya di Kota Palu?. 2) Bagaimana prasangka
asli
(dengan
berbagai
subetnik).
Oleh
yang terjadi antara etnik Bugis dan Kaili dalam
21
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 20 No.1 Juni 2017: 17-32
interaksi antarbudaya di Kota Palu? 3). Sejauhmana
sederhana dan menyamaratakan. Keempat, stereotipe
konflik-konflik yang terjadi antarkedua etnik dalam
jarang
interaksi dan komunikasi di Kota Palu?.
berkembang sejak awal kehidupan dan terus berulang
Pengalaman
interaksi
lintasbudaya
yang
berubah,
karena
stereotipe
biasanya
dan diperkuat dalam suatu kelompok.
melibatkan begitu banyak warna kulit (ras), etnis,
Prasangka etnik adalah antipasti berdasarkan
bahasa ibu, agama dan tentu saja negara bangsa
generalisasi yang
selalu saja menjadi menarik jika dikaitkan dengan
Prasangka bisa dirasakan atau diekspresikan, bisa
identitas etnis atau etnosentrisme masing-masing.
diarahkan terhadap kelompok secara keseluruhan
Beragam identitas etnik tersebut menjadi sumber
atau terhadap seseorang karena ia merupakan
stereotipe yang muncul dalam relasi antaretnik
anggota kelompok dimaksud (Allport, 1954; dalam
dimasyarakat. Judd (dalam Wade & Tavris, 2007 :
Brown, 2005) . Sementara menurut Jones (dalam
312) mengatakan bahwa stereotip merefleksikan
Brown, 2005) prasangka etnik adalah penilaian yang
perbedaan
juga
sudah ada sebelumnya mengenai anggota ras, agama
mendistorsikan kenyataan dalam tiga cara. Pertama,
atau pemeran social signifikan lain yang dipegang
mereka melebih-lebihkan perbedaan antar kelompok,
dengan tidak mempedulikan fakta yang berlawanan
membuat kelompok yang distereotipkan terlihat
dengan itu.
antar
orang,
dan
mereka
aneh, asing, atau berbahaya tidak seperti “kami”.
Prasangka
salah
atau tidak fleksibel.
menurut
tiga
hal
Brown
Kedua, mereka menghasilkan persepsi selektif,
merupakan
orang-orang cenderung untuk melihat bukti-bukti
diantaranya:
yang sesuai dengan stereotip dan menolak adanya
orientasi kearah seluruh kategori orang-orang dan
persepsi yang tidak sesuai dengan stereotip. Ketiga,
bukan kearah individu orang per orang. Bahkan bila
mereka mengabaikan perbedaaan masing-masing
targetnya secara konkrit adalah individu tunggal,
anggota dalam kelompok asing ini. Stereotip
karakteristik individual orang itu dianggap jauh
menciptakan kesan bahwa setiap anggota kelompok
kurang penting dibandingkan cap yang digunakan
tersebut pastilah sama.
untuk mengalokasikannya ke dalam kelompok
Pertama,
yang
saling
(2005:14)
prasangka
berkaitan merupakan
Menurut Samovar dan Porter (2014) ada empat
tertentu dan bukan kelompok lainnya, berdasarkan
alasan mengapa stereotipe menghambat komunikasi
aksen, nama, warna kulit dan lain-lainnya. Kedua,
antarbudaya. Pertama, stereotipe merupakan sejenis
mengapa prasangka diangggap sebagai sebuah
penyaring, menyediakan informasi yang konsisten
proses kelompok karena prasangka paling sering
dengan informasi yang dipercayai oleh seseorang.
berupa orientasi yang secara social sama. Artinya
Kedua, bukan pengelompokan yang mengganggu
sejumlah besar orang di segmen masyarakat tertentu
komunikasi tetapi asumsi yang bahwa semua
secara umum menyepakati setereotipe negative
informasi spesifik mengenai suatu budaya diterapkan
terhadap kelompok luar tertentu dan akan bertindak
pada semua orang dari kelompok tertentu. Ketiga,
dengan cara yang sama terhadap mereka. Ketiga,
steretipe menghalangi keberhasilan komunikasi
sejauh ini prasangka biasanya di arahkan pada
karena stereotipe biasanya berlebih-lebihan, terlalu
kelompok tertentu oleh kelompok lain.
22
Stereotip, Prasangka, dan Dinamika Antaretnik Ilyas Lampe, Haslinda B. Anriani
Merujuk pada definisi di atas, kita tidak perlu
ras. Seperti yang dinyatakan Isaacs (1993:42), term
heran jika menemukan bahwa hubungan antara
etnisitas mengakui kedudukan sejarah, bahasa, dan
kelompok-kelompok dalam masyarakat memainkan
kebudayaan dalam konstruksi subyektifitas dan
peran penting dalam determinannya. Hubungan-
identitas, seperti halnya fakta bahwa semua wacana
hubungan antarkelompok dalam bentuk konflik
selalu punya tempat, posisi, situasi dan semua
dapat saja muncul sejauh menyangkut sumberdaya
pengetahuan selalu kontekstual. Eriksen (1993:16)
yang terbatas, dominasi kekuasaan antara satu
memberikan batasan, etnisitas biasanya dibatasi oleh
kelompok kepada kelompok lainnya, disparitas
minority issues and race relations, yaitu kelompok
numerik dalam konteks status ekonomi yang
minoritas dan hubungan ras, dan keduanya saling
kesemuanya berimplikasi krusial terhadap arah,
berhubungan.
tingkat
Susiyanto, 2006) yang lebih menekankan kepada
dan
intensitas
prasangka
yang
akan
diperlihatkan.
Seperti
pendapat
Berry
(dalam
perbedaan berdasarkan hubungan dan karakteristik
Etnisitas adalah sebuah konsep kultural yang
kelompok yaitu;
berpusat pada pembagian norma-norma, nilai-nilai,
Pertama, sebagai suatu kelompok terdapat
kepercayaan, simbol, praktik-praktik kultural dan
sejumlah individu yang dapat dikenal, biasanya
konservatisme dalam organisasi hubungan sosial
secara sosial berinteraksi dan melestarikan diri dari
(Armstrong, 1986:104). Formasi kelompok etnik
waktu ke waktu. Terdapat sistem sosial dan norma-
menyandarkan dirinya pada pembagian entitas
norma yang mengatur perilaku para anggota
kultural yang dibangun di bawah konteks sejarah,
kelompok. Kedua, menjadi kelompok etnik karena
sosial, dan politik khusus yang mendorong perasaan
karakteristik yang dimiliki. Terdapat dua aspek yang
saling memiliki dan menciptakan mitos-mitos
muncul; yang pertama hal yang bersifat sanding
leluhur. Etnisitas mewujud dalam bagaimana cara
obyektif (objective facet), karena hubungan darah
kita berbicara tentang identitas kelompok, tanda-
yang selanjutnya menjadi keturunan darah dan
tanda
pakai
keturunan sempalan. Keturunan biologis biasanya
demikian
dapat dikaji menjadi kelompok etnokultural yang
konsep etnisitas bersifat relasional, berkaitan dengan
menunjukkan hal, seperti makanan, pakaian, bahasa
identifikasi diri dan asal-usul sosial. Apa yang kita
dan agama. Pada perkembangan selanjutnya bukan
pikirkan sebagai bukan kita; orang Bugis bukan
menunjukkan budaya asli yang persis sama, tetapi
orang Kaili, Sunda bukan Jawa dan sebagainya.
bersifat derivative bahwa versi budaya saling
Konsekuensinya, etnisitas dipahami lebih baik
dimodifikasi dari waktu kewaktu. Yang kedua, hal
sebagai proses penciptaan batas-batas formasi dan
yang bersifat subyektif, yang menunjukkan karakter
ditegakkan
tentang jatidiri atau kelekatan terhadap kelompok.
dan
simbol-simbol
mengidentifikasi
kelompok.
dalam
kondisi
yang
kita
Dengan
sosio-historis
yang
spesifik (Barth, 1988) Konsepsi kulturalis tentang etnik merupakan
II. METODE PENELITIAN (Style E1.
sebuah usaha yang berani untuk melepaskan diri dari
Bab)
implikasi rasis yang inheren dalam sejarah konsep
23
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 20 No.1 Juni 2017: 17-32
Penelitian
ini
menggunakan
pendekatan
Gorontalo 3,1% dan Lainnya 24,9% (Suryadinata,
kualitatif dengan paradigma fenomenologi dalam
2003). Presentasi etnik lainnya yang berjumlah
mengungkapkan makna sebagaimana informan
24,9%
pahami, rasakan dan alami. Pengumpulan data
ditengarai sebagai etnik Toraja, Mandar, Makassar,
dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi
Manado, Pamona, Kulawi, Mori, Bungku, Banggai,
dan studi dokumentasi yang terserak dari berbagai
Saluan, Balantak dan etnik lain yang jumlahnya
sumber seperti koran dan manuskrip penelitian.
relatif kecil.
Meskipun demikian disadari bahwa penelitian ini memiliki
limitasi
yang
dapat
Penduduk kota Palu yang heterogen ini
diketengahkan
mayoritas menganut agama Islam yaitu 81,19%,
diantaranya soal waktu pengumpulan data dan
Protestan 12,71%, Katolik 2,67%, Hindu 1,03% dan
analisis data penelitian yang relatif singkat. Informan
Budha 2,35%. Umumnya penganut agama Islam
penelitian
yaitu;
adalah penduduk asli Kaili dialek Ledo, Tara, Rai
akademisi (antropolog), mahasiswa dari kedua etnis
dan para pendatang, baik etnik Bugis, Makassar,
dan tokoh masyarakat Kaili dan Bugis.
Mandar, Jawa, Sunda dan Gorontalo. Sedangkan
ditetapkan
patut
adalah jumlah yang signifikan
secara
purposif,
pemeluk agama Kristen dan Katolik berasal dari penduduk asli Kaili dialek Da’a, pendatang Mori,
III. HASIL DAN PEMBAHASAN (Style E1.
Pamona, Toraja, Kulawi serta Batak, agama Hindu
Bab)
dianut oleh etnik Bali yang urban dari daerah
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa
transmigrasi di sekitar Kota Palu sementara agama
Kota Palu adalah Kota dengan komposisi etnik yang
Budha dianut oleh pendatang etnik Tionghoa.
sangat beragam dengan 2 (dua) etnis mayoritas yaitu
Dari beberapa kelompok etnik tersebut di atas,
etnik Bugis dan Kaili. Meskipun jika ditelusuri kedua
mereka membangun pemukiman pada wilayah
etnik tersebut masih memiliki sub-sub etnik yang
tertentu dengan menggunakan nama kampung
berbeda. Misalnya etnik Bugis terdiri dari sub etnik
masing-masing seperti Bumi Bahari, Bumi Nyiur,
To Luwu dan Massanrempulu, meski di daerah asal
Kamonji. Lere, Ujuna, Lolu, Maesa, Talise, Besusu,
kedua sub etnik tersebut seringkali menolak
Tondo dan sebagainya. Nama-nama pemukiman
dikategorikan sebagai etnik Bugis, tetapi dalam
penduduk tersebut pada umumnya berasal dari nama
konteks Kota Palu keduanya dikategorikan sebagai
pohon
orang Bugis. Sementara itu etnik Kaili yang
atau
sumberdaya
alam
disekitarnya.
Pemukiman tersebut ada yang dihuni oleh beberapa
mendiami lembah Palu terdiri dari Sub Etnik Ledo,
kelompok etnik dan golongan agama dan ada pula
Unde, Rai dan Daa. Masing-masing subetnik
yang dihuni sekelompok etnik lokal (Kaili),
memiliki dialek bahasa Kaili yang berbeda dan
kelompok etnik pendatang atau golongan agama
bahkan tingkat kesamaan bahasanya kadang relatif
tertentu. Persebaran penduduk lokal dan penduduk
kecil.
pendatang
Komposisi penduduk berdasarkan etnik di Kota
pada
wilayah
tertentu
tersebut
menunjukkan bahwa terdapat persekutuan hidup
Palu berdasarkan sensus 2000 terdiri dari Kaili
kelompok etnik yang terkonsentrasi (koloni) pada
33,3%, Bugis 24,4%, Jawa 10,1%, Bali 1,2%, 24
Stereotip, Prasangka, dan Dinamika Antaretnik Ilyas Lampe, Haslinda B. Anriani
desa atau kelurahan tertentu seperti permukiman
provinsi Indonesia, seperti Sulawesi Tenggara,
orang Minahasa di kampung Maesa, permukiman
Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan Timur,
orang Bugis di kampung Ujuna, orang Toraja berada
dan Kalimantan Selatan. Bahkan menurut
sepanjang Jalan Kartini Palu dan etnik Jawa banyak
beberapa ahli demografi menyebutkan bahwa
berada di seputar jalan Raden Saleh. Demikian pula
jumlah orang Bugis di luar Sulawesi Selatan
kelompok etnik lokal (Kaili) ada yang mengelompok
lebih besar dibandingkan dengan orang Bugis
pada permukiman tertentu seperti di kampung Talise,
yang ada di kampung halaman mereka di jazirah
kampung Lere. kampung Lolu, kelurahan Poboya,
Sulawesi Selatan.
Kavatuna, Buluri, Kobonena dan sebagainya. Terbentuknya pemukiman penduduk menurut
Meskipun setiap orang yang beretnik Bugis
kelompok etnik (koloni) tersebut dapat ditelusuri dari
mengalami pengalaman berbeda dalam hal
proses terbentuknya pemukiman diwilayah tertentu.
identitas etnik mereka jika dikaitkan dengan
Sebagaimana lazimnya bahwa kelompok etnik
lingkup entitas Palu atau tanah Kaili secara
tertentu yang pertama kali menguasai suatu wilayah,
keseluruhan
maka
menyederhanakan ke dalam empat kategori
secara
alamiah
mereka
membangun
pemukiman di mana warganya masih memiliki
Bugis di Kota Palu . Pertama, orang Bugis yang
rumpun kelompok etnik tertentu sehingga terbentuk
nenek moyang mereka telah lahir di daratan
pemukiman yang bersifat homogen. Namun setelah
Sulawesi Tengah. Mereka yang dalam kategori
para migran datang dengan cara membeli tanah maka
secara
ingin
bermacam latarbelakang keberadaan orang
rumah tangga dengan lainnya atau berasal dari
lokal,
penulis
identitas utama. Hal tersebut terkait dengan
hubungan kekerabatan (gineologis) antara satu
penduduk
namun
ini adalah orang yang masih mengaku Bugis
perlahan-lahan
komposisi penduduk berubah menjadi heterogen.
tetapi
telah
mengalami
asimilasi
karena
Masyarakat pendatang mudah melakukan adaptasi
perkawinan nenek moyang atau orang tua
terhadap penduduk lokal melalui beberapa jalur
mereka dengan penduduk setempat, kendati
seperti bahasa, perkawinan, dan mata pencaharian.
masih mempraktekkan sebagian kecil adat-
A. Orang Bugis di Kota Palu
istiadat dan hanya mengerti sedikit kosa kata
Bugis merupakan kelompok etnik yang
bahasa Bugis. Asal usul mereka tidak lagi
dikenal menjadi penduduk asli jazirah Sulawesi
mereka ketahui, misalnya daerah asal nenek
Selatan. Ciri utama kelompok etnik ini adalah
moyang mereka di tanah Bugis atau Sulawesi
bahasa dan adat-istiadatnya. Berdasarkan sensus
Selatan. Nenek moyang mereka bisa jadi datang
penduduk Indonesia tahun 2000 yang dianalisis
ratusan tahun sebelumnya, dan identifikasi
oleh Suryadinata, dkk (2003) populasi orang
sebagai orang Bugis hanya merujuk pada
Bugis sebanyak sekitar enam juta jiwa. Kini
beberapa ciri-ciri yang masih tersisa pada
orang-orang Bugis menyebar pula di berbagai
keluarga dan kerabat mereka, bisa jadi melalui 25
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 20 No.1 Juni 2017: 17-32
nama khas, adat-istiadat atau makanan khas.
secara umum dapat ditemukan dari para etnik
Kedua, Orang Bugis yang lahir di Kota Palu dari
pendatang yang bermukim di Kota Palu. Masih
kedua orang tua yang berasal dari daerah Bugis.
banyak orang Bugis yang mempersepsi orang Kaili sebagai etnik yang malas bekerja sehingga sulit
Pada kategori ini, ikatan emosional dengan tanah
berkembang secara ekonomi dan politik. Banyak
Bugis masih sangat kuat, bisa saja ditandai
ungkapan yang bisa menunjukkan stereotipe ini
dengan kunjungan rutin ke kampung halaman
mengemuka pada etnik Bugis, misalnya ketika
setiap ada hajatan besar, misalnya pesta perkawinan
kerabat
seorang anak muda yang bangun kesiangan dan tidak
syukuran
segera pergi ke tempat kerja sering disebut ”makkedo
menunaikan ibadah haji dan sekali-sekali ketika
to Kaili” (berlaku seperti orang Kaili, Bahasa Bugis
lebaran tiba. Mereka masih berbahasa Bugis
yang berarti berlaku seperti orang Kaili, untuk
dengan fasih meskipun telah mampu juga
menunjuk perilaku malas dan lamban dalam memulai
berbahasa
masih
pekerjaan. Banyak etnik lain yang menganggap
mempraktekkan adat-istiadat pada saat-saat
orang-orang pedesaan Kaili, suka berlama-lama
tertentu. Ketiga. Orang Bugis yang lahir di
duduk dibalai-balai di depan rumah mereka
Kaili,
dekat,
mengerti
dan
menikmati kopi hingga menjelang siang, lalu
Sulawesi Selatan yang lantas pindah ke Palu
memulai bekerja. Sementara orang Bugis dianggap
karena mengikuti orang tua bertugas sebagai
lebih rajin dengan bangun subuh, berangkat ke sawah
pegawai atau orang tua yang datang untuk
dan ladang lebih pagi dan pulang lebih sore). Hal ini
berdagang, mencari lahan garapan baru sebagai
juga berlaku pada perempuan Kaili, mereka sering
petani, nelayan dan tukang. Atau bahkan mereka
dianggap malas karena hanya membersihkan beras
yang datang pada saat telah remaja dan dewasa
ketika hendak di tanak, berbeda dengan orang Bugis
untuk bekerja, sekolah atau membuka usaha
yang sejak gabah sudah digiling menjadi beras
perdagangan. Keempat. Orang Bugis yang
langsung dibersihkan lalu disimpan dalam tempat
datang dan menetap ke Palu karena alasan
beras.
dengan
Anggapan bahwa etnik Kaili malas bukan
penduduk asli Palu, Kaili, orang Bugis yang
hanya datang dari etnik luar, tetapi juga dari mereka
pernikahan.
Baik
yang
menikah
sendiri (pandangan in group). Penulis seringkali
telah menetap di Palu atau etnik lainnya tetapi
mendengarkan
telah menetap di Palu (Lampe, 2012).
ceramah
atau
pidato
tokoh
masyarakat Kaili yang menekankan pentingnya kerja
B. Stereotip dan Prasangka Antar Etnik
keras jika ingin berkembang dan maju seperti etnik
Kaili dan Bugis
lain serta meninggalkan kebiasaan malas itu.
Malas vs Pekerja Keras
Otokritik dan motivasi itu sering didengungkan
Salah satu sifat yang sering disematkan pada
ketika menghadapi situasi persaingan dunia kerja dan
etnik Kaili oleh orang luar etnik tersebut adalah sifat
kompetisi ekonomi dengan etnik yang dianggap
pemalas. Stereotipe terhadap etnik Kaili tersebut,
pendatang terutama orang Bugis. Meski demikian
1.
26
Stereotip, Prasangka, dan Dinamika Antaretnik Ilyas Lampe, Haslinda B. Anriani
sejatinya pada sektor-sektor formal, bisa jadi
sebagai
sifat
malas.
Sesuatu
yang
sejatinya
stereotipe pemalas ini tidak relevan mengingat
memunculkan ketidakmampuan untuk bersaing
adanya ikatan kerja yang jelas terhadap sebuah
dengan etnik lain jika diperhadapkan pada situasi
pekerjaan. Berbeda pada sektor informal misalnya
kompetitif misalnya pada sektor dunia usaha yang
pada bidang perdagangan, pertanian, perkebunan dan
menuntut etos kerja yang tinggi.
nelayan yang memang menuntut etos kerja yang
Pada sisi berbeda, orang Bugis di Kota Palu
muncul dari watak dan budaya kerja suatu etnis.
umum dianggap sebagai etnik pekerja keras dan
Menarik pernyataan Bapak MM, salah seorang
pantang menyerah. Asumsi ini muncul karena
Antropolog Untad menyatakan bahwa:
keberanian orang Bugis meninggalkan kampung halaman
”Budaya kerja antara orang Bugis dan Kaili di Kota Palu memang berbeda. Orang Bugis adalah masyarakat yang berlatarbelakang kehidupan pertanian padi dan palawija di daerah asalnya di Sulawesi Selatan. Sektor yang menuntut bekerja sepanjang tahun mulai dari menanam, memelihara, memanen lalu kembali menggarap lahan. Sementara etnik Kaili di lembah Palu ini terbiasa dengan budidaya kelapa sebagai bahan baku kopra sejak jaman dahulu, makanya makanan pokok orang Kaili di jaman dulu adalah jagung dan singkong yang ditanam di sela-sela tanaman kelapa dengan pemeliharaan yang tidak seintensif tanaman padi. Tanaman kelapa sebagai tanaman utama di panen hanya dalam 1 bulan lalu menunggu hingga tiga bulan kemudian untuk memperoleh buah kelapa yang siap panen lagi. Dalam tiga bulan masa tunggu itulah, mereka terbiasa menghabiskan waktu di balai-balai rumah mereka dan sesekali ke kebun.”
(massompe,
Bahasa
Bugis,
berarti
Merantau. Suatu konsep budaya yang sarat nilai, terutama pada anak laki-laki, Sompe adalah suatu bentuk pembuktian keberanian, keperkasaan dan tanggungjawab) untuk mencari kehidupan yang layak diberbagai wilayah di Indonesia hingga mencanegara. Di mana kebiasaan merantau tersebut atas inisiatif sendiri bukan melalui transmigrasi dan umumnya mereka yang meninggalkan kampung halaman tidak lagi kembali tetapi menetap di daerah rantauan. Orang Bugis memiliki filosofi hidup “siri” (Siri’ berarti malu dalam Bahasa Bugis, merupakan ungkapan filosofi hidup yang menekankan rasa malu jika mengalami kegagalan, melanggar norma adat, dan terutama jika kehormatan dilanggar oleh pihak lain. Dalam konteks perantauan, malu terkait dengan kegagalan di tanah rantau sehingga Orang Bugis diperantauan
harus
bisa
memiliki
harta
dan
kekuasaan) yaitu rasa malu kembali ke kampung jika tidak berhasil di kampung rantauan. Dalam konteks Kota Palu, dan selama berdirinya, etnik Bugis
Wawancara 8 April 2015, di kampus Universitas Tadulako, Palu
menguasai
sektor
perdagangan
dan
ekonomi
sehingga anggapan sebagai pekerja keras cukup Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat
beralasan.
dipahami bahwa bisa jadi memang budaya kerja yang
2.
Berwatak Keras
dibentuk oleh alam sejak jaman dahulu telah menyebabkan
adanya
kebiasaan
hidup
Watak keras yang dimaksudkan ini adalah sikap
pada
keras
masyarakat Kaili, yang oleh etnik lain dipersepsi 27
kepala,
pantang
menyerah
dan
berani
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 20 No.1 Juni 2017: 17-32
”Tampaknya kita Orang Kaili ini memang lebih bersifat komunal dan kami agak sulit untuk keluar dari komunitas karena kurang mampu untuk berkompetisi di luar daerah. Saya tidak menyederhanakan demikian, hanya melihat kenyataan, tetapi memang dalam sejarah budaya kami tidak mengenal istilah merantau sebagaimana orang Bugis menyebut “massompe”.
mengambil resiko. Watak ini umumnya disematkan kepada orang Bugis bahkan mungkin berlaku pada semua etnik di Indonesia bukan hanya oleh orang Kaili. Tetapi dalam konteks Kota Palu, selain makna bernuansa positif dari watak keras ini yang dimaksudkan sebagian orang Kaili adalah seringnya orang Bugis terlibat perkelahian baik sesama maupun dengan etnik Kaili. Etnik Bugis sering dianggap
Wawancara 8 April 2015, di kampus Universitas Tadulako, Palu
sebagai suku yang menjadi penyebab terjadinya konflik kekerasan. Watak keras ini juga sering disepadankan dengan kebiasaan orang Bugis yang bicara dengan
Massompe
(bahasa
Bugis)
yang
berarti
suara yang keras dan langsung pada tujuan (to the
merantau. Suatu kebiasaan bagi kebanyakan lelaki
point). Meski dalam konteks komunikasi antaretnik
Bugis untuk bepergian mencari penghidupan dan
seringkali suara keras Orang Bugis tidak jauh
berpetualang. Berdasarkan hasil wawancara tersebut
berbeda dengan suara orang Kaili. Perbedaannya
dapat dipahami, mengapa kemudian orang Kaili
memang terletak pada persepsi bahwa Bugis berani
tidak terbiasa merantau ke luar daerah mereka.
mengambil
Budaya Kaili sejak awal memang tampaknya tidak
resiko
terutama
dalam
hal
mempertahankan kehormatan diri dan keluarga.
mengenal istilah rantau sehingga tidak menjadi
3.
Tidak Suka Merantau
kebiasaan yang diturunkan kepada generasi muda
Sangat sulit menemukan orang Kaili yang
hingga saat ini. Pada posisi ini, banyak etnis Bugis
bermigrasi ke daerah lain di luar Sulawesi Tengah
lalu menganggap etnik Kaili kurang berani, tidak
atas dasar tuntutan mencari kehidupan yang lebih
terbiasa berkompetisi dan terikat pada komunitasnya.
layak, terkecuali mereka yang karena pekerjaan
4.
Bahasa Daerah dan Logat Sebagai
sebagai PNS, Polisi, Tentara dan profesi lain yang
Indentitas
menuntut perpindahan tempat kerja. Kekecualian
Identitas etnik ditandai dengan simbol-simbol
juga berlaku bagi mereka yang berpindah karena
budaya, bahasa, organisasi serta ideologi mereka.
alasan pernikahan dengan etnik lain atau alasan
Setiap etnik memiliki identitas yang harus dipatuhi
menuntut ilmu, di luar itu kelihatannya memang
oleh masyarakat itu guna berinteraksi satu sama
sangat jarang orang Kaili meninggalkan daerah
lainnya (Eriksen: 1993). Kekhasan etnik secara
asalnya di Sulawesi Tengah.
kultural
membuat
manusia
unik
dalam
Etnik Kaili lebih senang untuk berdiam
berkomunikasi sekaligus menjadi kajian tersendiri
dalam komunitas sendiri, mereka agak sulit terpisah
dari para ahli antropologi maupun ahli komunikasi.
dengan kelompoknya. Penjelasan mengapa orang
Salah satu hal yang menonjol dalam interaksi sosial
Kaili
seseorang, terutama dalam konteks komunikasi yang
jarang
yang
merantau
tergambar
dari
wawancara dengan Ed (39 thn) berikut ini;
melibatkan orang-orang yang berbeda etnik adalah 28
Stereotip, Prasangka, dan Dinamika Antaretnik Ilyas Lampe, Haslinda B. Anriani
bahasa.
Bahasa
tranformator
selain
pertukaran
fungsinya makna
pesan,
sebagai
yang menewaskan ribuan orang akibat dominasi
fungsi
bahasa Tamil dalam pemerintahan padahal mayoritas
pewarisan nilai-nilai sosial pun begitu menonjol.
penduduk bertutur dalam bahasa Sinhala, demikian
Manurut Josua (Harris dan Reilly, 2000) bahasa
juga ketegangan antara penutur bahasa Belanda dan
adalah isu pusat dalam politik etnik. Untungnya itu
bahasa Prancis di Belgia yang menjadi penanda
isu yang mudah untuk dihadapi dibanding dengan isu
antara wilayah miskin dan wilayah yang lebih maju,
etnik lainnya sebab bahasa membolehkan multi-
sementara
identitas. Pengetahuan bahasa bukan merupakan
Perancis dan Bahasa Inggeris di Canada bahkan
pemberian etnik secara eksklusif atau tetap hampir
mendorong refendum kemerdekaan pada wilayah
mirip dengan agama atau ras. Manusia bisa berbicara
yang menuturkan bahasa Prancis, karenanya naskah
dalam beberapa bahasa dan berberapa bahasa
konstitusi ditulis secara dua sisi dengan dua bahasa.
tersebut hidup berdampingan.
pertarungan
antara
penutur
bahasa
Perbedaan bahasa dan logat sejatinya tidak
Salah satu ciri yang menjadi atribut yang
akan menjadi masalah jikalau tidak menjadi penanda
dapat menegaskan Identitas seseorang dalam konteks
bagi identitas pembeda yang disematkan pada
ruang publik di Kota Palu adalah bahasa daerah dan
kelompok tertentu untuk menunjukkan “kami” dan
logat seseorang. Bahasa daerah yang digunakan pada
“mereka”, “kitorang” dan “kamorang” atau yang
komunitas-komunitas etnik yang berdiam di Kota
pribumi dan pendatang (ingroup dan outgroup).
Palu
sebagaimana
Dalam konteks Kota Palu, bahasa atau logat masih
keragaman etnik di kota ini. Sebagai contoh, ketika
menjadi bagian pembeda untuk menunjukkan
kita memasuki pasar-pasar tradisional di Kota Palu
identitas komunitas. Kendati menggunakan bahasa
seperti di Pasar Masomba, Inpres, Kawatuna, akan
Indonesia sebagai bahasa nasional, orang Bugis,
jamak kita temukan orang-orang bercakap dengan
Makassar, Jawa, Manado dan etnik lainnya yang
bahasa Bugis. Hal ini karena di pasar-pasar tersebut
bermukim di Kota Palu, akan sangat mudah
kebanyakan para pedagang berasal dari etnik Bugis.
mengenal mereka melalui logatnya. Dan karenanya
Demikian juga ketika kita memasuki wilayah Jalan
mereka akan diidentifikasi sebagai pendatang.
memang
cukup
beragam
Pattimura di Maesa akan mudah menemukan
Bahasa dan logat lalu menjadi pembeda
masyarakat yang bercakap dengan bahasa Indonesia
dalam banyak kepentingan seseorang. Pada konteks
dengan logat Minahasa (Manado). Tetapi ketika kita
ekonomi bahasa menjadi penanda bahwa pendatang
memasuki kawasan Lorong Nike Ardila, di Palu
hendaknya
Selatan kita akan terbiasa dengan nyanyian tembang
masyarakat lokal. Pada konteks politik, bahasa atau
Jawa atau orang-orang bercakap dengan bahasa
logat
Jawa.
sejauhmana hak-hak seorang pendatang dalam peran
tidak
menjadi
terlalu
eksploitatif
identitas
yang
terhadap
menandakan
Bahasa menjadi bagian penting sebagai
politik, meski secara konstitusi mengatur bahwa
penanda identitas seseorang. Celakanya bahasa juga
setiap warga Negara memiliki hak yang sama dalam
bisa menjadi arena pertarungan dalam perebutan
politik
kekuasaan. Lihatlah bagaimana konflik Srilanka
sejauhmana peran seseorang dalam politik. Pun
29
tetapi
bahasa
bisa
menjadi
penanda
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 20 No.1 Juni 2017: 17-32
demikian dalam konteks birokrasi, ketika anda
oleh
elit-elit
lokal
untuk
menjaga
dan
berlogat Bugis, Jawa atau Manado mungkin saja
mengembangkan kekuasaan. Tindakan akomodatif
anda begitu sulit menjadi kepala dinas, kendati
dan kompromi oleh elit-elit politik lokal (yang
kompetensi anda lebih unggul dari warga lokal.
dianggap orang asli) nampaknya dijadikan sebagai
Selain itu bahasa dan logat juga bisa menjadi
salah satu cara untuk memperluas dan menjangkau
penanda “prestise” seseorang dengan mengasosiasi
elit-elit politik dan sosial masyarakat pendatang. Bisa
diri dengan etnik yang dianggap lebih unggul. Ketika
jadi, alasan kuatnya posisi sosial dan ekonomi
seseorang berbicara dalam konteks politik nasional,
sebagian etnik pendatang dianggap sebagai ancaman
maka identitas Bugis memiliki “prestise” lebih tinggi
serius bagi penduduk lokal dalam usaha melestarikan
dibanding penduduk lokal karena reputasi etnik
kekuasaan dan pengaruh politik.
Bugis dalam politik nasional begitu mencolok. Etnik
Pada sisi ekonomi, pendatang Bugis yang
Bugis dengan populasi diperkirakan hanya kurang
dominan dalam sektor ekonomi telah menyebabkan
dari 5% populasi penduduk Indonesia tetapi mampu
munculnya beragam stigma baik yang positif dan
menduduki banyak jabatan penting dalam politik dan
negatif. Penguasaan sektor ekonomi di Kota Palu
birokrasi di negeri ini, tentu dengan mengetengahkan
oleh etnik Bugis telah melahirkan ungkapan yang
bahwa BJ Habibie yang berdarah Bugis pernah
cukup menghenyak ketika mereka dianggap sebagai
menjadi presiden, demikian juga Jusuf Kalla yang
“penjajah”.
telah 2 kali menduduki jabatan wakil presiden.
berlebihan, namun nyatanya ungkapan itu kadang
5.
terdengar bahkan dari orang yang berpendidikan
Pendatang dan Orang Asli
Kata
“penjajah”
tersebut
sangat
sekalipun. Kata yang bermakna sentimen yang dalam
Dua kategori identitas tersebut adalah sesuatu
dan menunjukkan kecemburuan sosial yang luar
yang ajeg, sehingga menjadi bentuk pembeda dalam
biasa, kendati memang ungkapan ini seringkali
komunikasi. Isu putra daerah berkorelasi dengan
bersifat politis.
konsepsi pemberdayaan masyarakat lokal yang lalu
Sementara pada sisi yang positif, etnik
dipertegas dan dipertajam dengan adanya fanatisme
pendatang Bugis sering dianggap sebagai etnik yang
daerah sehingga simbolisasi etnik lokal semakin
pekerja keras dan mudah bergaul sehingga wajar jika
berkembang di berbagai bidang. Simbolisasi kultural
mampu menguasai sektor ekonomi. Etnik ini juga
berevolusi menjadi simbolisasi politik lokal yang
dianggap sebagai wiraswastawan yang sangat
telah menjadi konsumsi politik bagi kelompok-
tangguh bahkan bisa bersaing dengan etnik Cina dan
kelompok elite lokal untuk mendapatkan simpatisan
Arab di Palu.
dari etnik sendiri. Isu putra daerah menjadi komoditi
C. Konflik dan Kekerasan Antara Bugis
politik lokal ini sering mencuat ketika menjelang
dan Kaili di Kota Palu
suksesi kepemimpinan daerah dan pada saat pemilu. Identitas pendatang yang disematkan kepada
Sejarah menunjukkan bahwa konflik kekerasan
siapa saja yang tidak memiliki hubungan kekerabatan
beberapa kali pernah terjadi yang pemicunya
atau genealogis dengan etnik lokal di Palu
bernuansa konflik etnik. Konflik kekerasan pernah
merupakan bentuk proteksi politik yang dilakukan
terjadi di tahun 2001 di Pasar Manonda yang 30
Stereotip, Prasangka, dan Dinamika Antaretnik Ilyas Lampe, Haslinda B. Anriani
melibatkan etnik Kaili Da’a dengan etnik Bugis
sangat lama. Jika ditelusuri lebih jauh, etnis Bugis
karena alasan ketersinggungan, yang berujung pada
masuk ke Palu (dahulu masuk wilayah Donggala)
pembakaran pasar. Namun nuansa yang sebetulnya
telah berlangsung sejak abad ke 17 hingga migrasi
terjadi adalah karena adanya ketidakseimbangan
orang Bugis belakangan ini. Akibatnya salah satu
penguasaan ekonomi (ruang pasar) yang lebih
etnis yang paling berpengaruh dalam kehidupan
banyak dikuasai etnik Bugis yang merupakan
sosial budaya etnis Kaili adalah etnis Bugis. Hal ini
penduduk pendatang.
dapat dilihat dari banyaknya kesamaan adat istiadat,
Beberapa tahun sebelumnya, tepatnya pada
adanya kesamaan beberapa kosakata dalam bahasa
tanggal 4 April 1998 di pasar Manonda juga terjadi
Kaili bahkan sebagian orang Kaili juga mengakui
sebuah peristiwa konflik kekerasan yang cukup
masih merupakan keturunan Bugis dan Makassar.
penting dengan muatan konflik bernuansa agama.
Namun dibalik relasi sosial budaya yang sudah
Ketika itu di Pasar Manonda seorang pedagang asal
terjalin
etnik Bugis berjualan bahan-bahan bacaan Islam,
komunikasi antarbudaya masih terdapat banyak
seorang polisi asal etnik Toraja beragama Kristen
stereotipe negatif, prasangka yang masing-masing
yang bertugas di pasar memberikan teguran kepada
disematkan pada kedua etnis acapkali menyebabkan
pedagang dimaksud agar dapat memindahkan
ketegangan antaretnik.
sebagian
karena
terjadi konflik kekerasan yang melibatkan kedua
menurutnya menghalangi para pejalan di pasar yang
etnis dengan beragam latarbelakang. Akar konflik
berujung
terjadi
sebagian besar berlatar kecemburuan sosial ekonomi
kekerasan terhadap simbol-simbol Toraja dan
dan politik yang kemudian merembet menjadi
Kristen secara umum di Kota Palu.
kekerasan yang dipicu seringkali oleh persoalan
buku-buku
pada
dagangannya
perkelahian.
Besoknya
Konflik antara Bugis dan Kaili juga pernah
sepele
terjadi tahun 2011, melibatkan remaja di Jalan Anoa
sejak
lama
seperti
tersebut,
dalam
konteks
Belakangan bahkan telah
ketersinggungan
perorangan,
kenakalan remaja dan masalah kriminal biasa.
dan Jl. Babussalam, di Palu Selatan. Perkelahian
DAFTAR PUSTAKA
berlangsung selama 3 hari yang dipicu oleh persoalan saling ejek di facebook, yang kemudian berdampak
Amstrong, M. J. (1986). Ethnicity and Ethnic Relations in Malaysia. NIU: Center for Southeast Asian Studies.
saling serang dengan isu etnik. Awal tahun 2016, kejadian serupa kembali terulang dan melibatkan kelompok yang sama. Beruntung konflik tidak
pemerintah daerah dan tokoh adat setempat.
Aragon, L.V. (2000). The Colonial Introduction of Religion and Language as Ethnicity in Sulawesi, Indonesia. Honolulu: University of Hawai Press.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Barth, F. (1988). Kelompok Etnik dan Batasannya. Terjemahan Nining I Susilo. Jakarta: UIP.
membesar dan dapat segera diselesaikan oleh
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa relasi antara etnik Bugis dan etnis Kaili di Kota Palu sudah berlangsung
Brown, 31
R.
(2005).
Prejudice;
Menangani
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 20 No.1 Juni 2017: 17-32
“Prasangka” dari Perspektif Psikologi Sosial. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.
Posner, D. N. (2005). Institution and Ethnic Politics in Africa. New York: Cambridge University Press.
Eriksen, T., H. (1993). Ethnicity and Nationalism (anthropological perspective) London: Pluto Press.
Samovar, L. A., Porter, R. E. dan McDaniel, E. R., (2014). Komunikasi Lintas Budaya (Terjemahan). Jakarta: Salemba Humanika.
Harris, P., & Reilly, B. ed. (2000) Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan untuk Negosiator. (diterjemahkan oleh LP4M). Cetakan pertama, 2000. AMEEPRO.
Suryadinata, L. A., Nurvida, E., & Ananta, A. (2003). Penduduk Indonesia; Etnisitas dan Agama dalam Era Perubahan Politik. Jakarta: LP3ES
Isaacs, H. R. (1993). Pemujaan terhadap Kelompok Etnis (Identitas Kelompok dan Perubahan Politik). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Susiyanto. (2006). Integrasi dan Perubahan Identitas Kelompok Etnik Jawa, Minangkabau, Melayu, Lembak, Rejang dan Serawai dalam Kerangka Etnisitas (Studi di Kota Bengkulu). Pascasarjana Ilmu Sosial Universitas Padjajaran. Disertasi, Universitas Padjajaran
Lampe, I. (2010). Identitas Etnik Dalam Komunikasi Politik. Jurnal Ilmu Komunikasi UPN Veteran. 8 (3). Lampe, I (2012). Konstruksi Identitas Politisi Beretnis Bugis dalam Komunikasi Politik di Kota Palu. Dalam buku Komunikasi Budaya dan Jurnalisme Warga. Riau: ALAF.
Wade, C. & Tavris, C. (2010) Psychology (10th Edition). Pearson.
Liliweri, A, (2005). Prasangka dan Konflik. Jogjakarta: LkiS. Liliweri, A. (2007). Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Jogjakarta: LkiS. Maunati, Y. (2007). Identitas Dayak (Komodifikasi dan Politik Kebudayaan). Yogyakarta: LkiS. Mulyana, D. (2006). Metode Penelitian Kualitatif; Paradigma baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nordholt, H. S. ed. (2005). Outward Appearances: Trend, Identitas dan Kepentingan. (diterjemahkan M. Imam Azis). Yogyakarta: LKiS – KITLV. Nordholt, H. S., VanKlinken, G., & KarangHoogenboom, I. ed. (2007) Politik Lokal Indonesia. Jakarta: KITLV – YOI.
32