SKRIPSI
EFEKTIVITAS PARTISIPASI MASYARAKAT MASYARAKAT DALAM PROSES PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH DI KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG (Studi Kasus Tahun 2009-2013) 2009
OLEH ARDYANSYAH JINTANG B111 10 312
BAGIAN HUKUM MASYARAKAT DAN PEMBANGUNAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014
HALAMAN JUDUL
EFEKTIVITAS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROSES PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH DI KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG (Studi Kasus Tahun 2009-2013) Disusun dan Diajukan Oleh : ARDYANSYAH JINTANG B111 10 312
SKRIPSI Diajukan Sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana Pada Bagian Hukum Masyarakat dan Pembangunan Program Studi Ilmu Hukum
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014
i
PENGESAHAN SKRIPSI
EFEKTIVITAS PARTISIPASI MASYARAKAT MAS RAKAT DALAM PROSES PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH DI KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG (Studi Kasus Tahun 2009-2013) Disusun dan diajukan oleh : ARDYANSYAH JINTANG B111 10 312
Telah dipertahankan di Hadapan Panitia Ujian Skripsi yang dibentuk dalam Rangka Penyelesaian Penyelesaian Program Studi Sarjana Bagian Hukum Masyarakat dan Pembangunan Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Pada Hari Selasa, Tanggal 10 Juni 2014 dan Dinyatakan Lulus Panitia Ujian
Ketua
Sekretaris
Prof. Dr. A. Pangerang M, S.H., M.H. NIP. 19610828 198703 1 003
Dr. A. Tenri Famauri, S.H., M.H. NIP. 19730508 200312 2 001
A.n. Dekan Wakil Dekan Bidang Akademik
Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H.,M.H. NIP. 19630419 198903 1 003
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Dengan ini menerangkan bahwa skripsi dari : Nama
:
Ardyansyah Jintang
No. Pokok
:
B111 10 312
Program Studi
:
Ilmu Hukum
Bagian
:
Hukum Masyarakat dan Pembangunan
Judul Skripsi
:
“EFEKTIVITAS
PARTISIPASI
MASYARAKAT
DALAM PROSES PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH
DI
KABUPATEN
SIDENRENG
RAPPANG” (Studi Kasus Tahun 2009-2013) Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam ujian skripsi. Makassar,
Mei 2014
Disetujui Oleh
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. A. Pangerang M, S.H., M.H. NIP. 19610828 198703 1 003
Dr. A. Tenri Famauri, S.H., M.H. NIP. 19730508 200312 2 001
iii
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI
Dengan ini menerangkan bahwa skripsi dari : Nama
:
Ardyansyah Jintang
No. Pokok
:
B111 10 312
Program Studi
:
Ilmu Hukum
Bagian
:
Hukum Masyarakat dan Pembangunan
Judul Skripsi
:
“EFEKTIVITAS
PARTISIPASI
MASYARAKAT
DALAM PROSES PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH
DI
KABUPATEN
SIDENRENG
RAPPANG” (Studi Kasus Tahun 2009-2013) Memenuhi syarat untuk diajukan dalam ujian skripsi sebagai ujian akhir Program Studi.
Makassar,
Mei 2014
a.n. Dekan Wakil Dekan Bidang Akademik,
Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H. NIP. 19630419 198903 1 003
iv
ABSTRAK
ARDYANSYAH JINTANG (B111 10 312), Efektivitas Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Penyusunan Peraturan Daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang (Studi Kasus Tahun 2009-2013). Di bawah bimbingan Andi Pangerang Moenta Selaku pembimbing I dan Andi Tenri Famauri selaku pembimbing II. Penelitian ini bertujuan unutuk mengetahui bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang dan untuk mengetahui efektivitas partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Sidenreng Rappang, dengan memilih tempat penelitian di Kantor DPRD Kabupaten Sidenreng Rappang, Kantor Bupati Kabupaten Sidenreng Rappang, dan Instansi/SKPD terkait dengan melakukan penelitian melalui teknik pengumpulan data berupa penelitian pustaka dan penelitian lapangan dengan melakukan wawancara langsung terhadap narasumber terkait. Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Hasil peneltian menunjukkan bahwa : (1) Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah di Kabupeten Sidenreng Rappang yaitu melalui bentuk audiensi / rapat dengar pendapat umum di DPRD, melalui seminar dan/diskusi, dan melalui bentuk lainnya. (2) Efektivitas partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang adalah tidak efektif dan masih jauh dari tingkat partisipatif, dari 76 peraturan daerah yang ditetapkan, ada sebanyak 52 peraturan darah yang tidak melibatkan masyarakat dalam proses penyusunannya, sedangkan yang melibatkan masyarakat dalam proses penyusunannya hanya ada 24 peraturan daerah, dengan dibagi derajat partisipasi degrees of tokenism sebanyak 21 peraturan daerah dan derajat partisipasi degrees citizen power yang hanya 3 peraturan daerah.
v
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Assalamu alaikum Wr. Wb. Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, dimana berkat limpahan rahmat,
karunia
serta
hidayah-Nyalah
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan skripsi ini yang dimaksudkan sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Penulis sangat bersyukur akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik, dan merupakan sebuah kelegaan karena segela sesuatunya akan dimulai dari sini. Penulis berterima kasih kepada para pihak yang telah memberikan semangat, membantu, menemani, menghibur, dan menguatkan hati penulis. Disisi lain, penulis amat menyadari bahwa penulisan karya ilmiah ini niscaya jauh dari kesempurnaan. Oleh karenanya, saran, kritik, dan masukan dari berbagai pihak tentunya akan memperkaya dan menjadi bagian penting dalam proses penyempurnaannya. Akhirnya, dengan segala kekurangan dan kerendahan hati dan rasa hormat yang sangat tinggi, penulis haturkan terima kasih yang sedalamdalamnya kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda Drs. Jintang, dan Ibunda Hj. Sumiati, terima kasih atas kesabaran yang tiada akhir, terima kasih untuk cinta, kasih sayang, dan kepercayaan yang selama ini telah diberikan, terima kasih karena telah banyak berkorban materi dan energi.
vi
Serta kepada saudara penulis Sujiarto Jintang, S.E., atas dukungan dan doanya untuk kesuksesan penulis dalam menggapai kehidupan yang lebih baik. Serta keluarga besar penulis yang selalu berdoa yang terbaik untuk penulis. Pada kesempatan kali ini dengan segala kerendahan hati penulis sampaikan hasil penelitian yang penulis upayakan secara maksimal dengan segenap keterbatasan dan kekurangan yang penulis miliki sebagai manusia biasa namun berbekal pengetahuan yang ada serta arahan dan bimbingan, juga petunjuk dari Prof. Dr. Andi Pangerang Moenta, S.H., M.H. selaku pembimbing I skripsi dan Dr. Andi Tenri Famauri, S.H., M.H. selaku pembimbing II skripsi yang selalu meluangkan waktu di tengah kesibukan beliau yang luar biasa untuk memberi bimbingan dengan sabar, saran, dan kritik yang membangun menebarkan keceriaan serta optimisme kepada penulis. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan baik berupa bimbingan, motivasi dan saran selama menjalani pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan selama proses penulisan skripsi ini, yaitu kepada : 1. Prof.
Dr.
Dwia
Ariestina
Palubuhu,
M.A.,
selaku
rektor
Universitas Hasanuddin. 2. Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.S., DFM., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
vii
3. Prof. Dr. Irwansyah, S.H., M.H., Dr. Hasbir Paserangi, S.H., M.H., dan Dr. Wiwie Heryani, S.H., M.H., selaku penguji yang telah meluangkan waktunya memberikan arahan dan masukan kepada penulis, sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan 4. Prof. Dr. Slamet Sampurno, S.H., M.H., selaku Penasehat Akademik penulis. 5. Para dosen/pengajar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. 6. Para staf akademik Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. 7. Pemerintah Daerah Kabupaten Sidenreng Rappang yang telah menerima penulis dengan senang hati untuk mengadakan proses penilitian. 8. Andi Muh. Faisal B. S.H., M.Si, Selaku Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Sidenreng Rappang yang telah banyak membantu dalam proses penelitian penulis. 9. H. Rusman Akil, S.H., selaku wakil ketua DPRD Kabupaten Sidenreng Rappang yang telah bersedia penulis wawancarai. 10. Kepala, Sekretaris, dan/atau Staf Instansi/SKPD terkait di Kabupaten Sidenreng Rappang yang berperan memberikan informasi
kepada
penulis
selama
berlangsungnya
proses
penelitian. 11. Masyarakat Kabupaten Sidenreng Rappang yang telah bersedia penulis wawancara.
viii
12. Anggota
Lingkar
Advokasi
Mahasiswa
(LAW)
Universitas
Hasanuddin. Social Justice For Humanity. 13. Pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Periode 2012-2013 atas kerjasama dan perjuangan kita untuk membangun lembaga kemahasiswaan yang lebih baik. 14. Rekan-rekan
angkatan
Legitimasi
2010
Fakultas
Hukum
Kecamatan
Mapilli,
Universitas Hasanuddin. 15. Teman-teman
KKN
Gelombang
85
Kabupaten Polman dan terkhususnya Posko Desa Buku atas segala kisah dan kebersamaan melewati hari-hari KKN yang begitu indah serta belajar banyak pengalaman dan menyimpan kenangan yang begitu indah. 16. Keluarga Besar Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia Sidenreng Rappang (IPMI SIDRAP), Resopa Temmangingi Namalomo Naletei Pammase Dewata. 17. Para Sahabat-sahabat dan teman-teman No Lowbat Crew atas kebersamaan dan keseruan yang penulis lalui bersama kalian. Serta seluruh pihak yang telah membuat perjalanan hidup penulis menjadi penuh warna dan penuh arti. Terima kasih karena selalu ada dalam susah dan senang, sedih dan bahagia, menangis dan tertawa, marah dan emosi. Sederhananya kisah ini telah menjadi kenangan terindah bagi penulis.
ix
Akhir Kata,
“Resopa Temmangingi Namalomo Naletei Pammase Dewata” Hanya Dengan Kerja Keras, Rahmat Allah SWT Akan Tercurah. Makassar,
Mei 2014 Penulis
x
DAFTAR ISI halaman HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i PENGESAHAN SKRIPSI ............................................................................ ii PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................. iii PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ......................................... iv ABSTRAK ................................................................................................... v KATA PENGANTAR ................................................................................... vi DAFTAR ISI ................................................................................................. xi DAFTAR HALAMAN GAMBAR DAN TABEL ............................................ xiii BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1 B. Rumusan Masalah ........................................................................ 5 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................................. 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 7 A. Pengertian Efektivitas. .................................................................. 7 B. Tinjauan Umum Tentang Pemerintahan Daerah dengan Otonomi Daerah... ......................................................................... 16 1. Otonomi Daerah ................................................................... 18 2. Tugas Pokok Pemerintahan Dearah. .................................... 26 3. Filosofi Undang-undang No. 32 tahun 2004............ ............. 29 C. Tinjauan Umum Tentang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.. ........................................................................................ 32 1. Pengertian dan Kedudukan DPRD. ...................................... 32 2. Fungsi, Tugas, Wewenang, dan Hak DPRD. ........................ 33 3. Keanggotaan dan Alat Kelengkapan Sekretariat DPRD. .................................................................................. 36 D. Tinjauan Umum Tentang Peraturan Daerah.. ............................... 37 1. Pengertian Peraturan Daerah... ............................................ 39 2. Landasan-Landasan
Pembentukan
Peraturan
Daerah .................................................................................. 40 3. Proses Pembentukan Peraturan Daerah... ........................... 44
xi
E. Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Produk Hukum Daerah... ........................................................................... 49 1. Partisipasi dan Masyarakat dalam Kerangka Teori............... 50 2. Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat... .............................. 57 3. Urgensi
Patisipasi
Masyarakat
Dalam
Pembentukan Peraturan Daerah... ....................................... 60 BAB III METODE PENELITIAN................................................................... 65 A. Lokasi Penelitian ........................................................................... 65 B. Populasi dan Sampel... ................................................................. 65 C. Jenis dan Sumber Data ................................................................. 66 D. Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 67 E. Metode Analisis Data .................................................................... 68 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................... 69 A. Profil Kabupaten Sidenreng Rappang ........................................... 69 1. Sejarah Sidenreng Rappang ................................................ 69 2. Politik Pemerintahan Kabupaten Sidenreng Rappang. ......... 73 3. Geografis
dan
Kependudukan
Kabupaten
Sidenreng Rappang............ .................................................. 75 B. Bentuk-bentuk Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Penyusunan Peraturan Daerah Di Kabupaten Sidenreng Rappang ....................................................................................... 77 C. Efektivitas
Partisipasi
Masyarakat
Dalam
Proses
Penyusunan Peraturan Daerah Di Kabupaten Sidenreng Rappang ....................................................................................... 96 BAB V PENUTUP ........................................................................................ 108 A. Kesimpulan ................................................................................... 108 B. Saran ............................................................................................ 109 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xii
DAFTAR HALAMAN GAMBAR DAN TABEL Gambar 1 Jumlah Peraturan Daerah Kabupaten Sidenreng Rappang Tahun 2009-2013 .............................................................................. 78 Gambar 2 Persentase Jumlah Peraturan Daerah Yang Diajukan Kepala Daerah/Bupati dan DPRD Tahun 2009-2013 ........................ 79 Gambar 3 Persentase Dari Setiap Bentuk Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Penyusunan Peraturan Daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang Tahun 2009-2013 ............................................. 96 Gambar 4 Persentase Derajat Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Peraturan Daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang Tahun 2009-2013............................................................... 105 Tabel 1 Klasifikasi Jumlah Peraturan Daerah Kabupaten Sidenreng Rappang yang Di Kelola Instansi/SKPD Terkait Tahun 2009-2013 ......................................................................................... 80 Tabel 2 Klasifikasi Instansi/SKPD Yang Melibatkan Masyarakat Dalam
Proses
Penyusunan
Peraturan
Daerah
Dan
Instansi/SKPD Yang Tidak Melibatkan Masyarakat Dalam Proses Penyusunan Peraturan Daerah Tahun 2009-2013 ................ 82
xiii
Tabel 3 Klasifikasi Jumlah Peraturan Daerah Tahun 2009-2013 Yang Melibatkan Masyarakat Dari Jumlah Peraturan Daerah Yang Dikelola Oleh Instansi/SKPD Yang Melibatkan Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah ........................ 84 Tabel 4 Klasifikasi Bentuk-bentuk Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Penyusunan Peraturan Daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang Tahun 2009-2013 ............................................. 91 Tabel 5 Klasifikasi Peraturan Daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang Menurut Tingkatan Partisipasi Masyarakat Dalam Setiap Derajat Partisipasi Masyarakat Tahun 2009-2013 ................. 103 Tabel 6 Problematika Partisipasi Masyarakat ................................................ 107
xiv
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
propinsi, dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.1 Sebagai konsekuensi dari pembagian daerah dan pemberian kewenangan berupa otonomi daerah, maka setiap pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi kepada daerah dan kewenangan dalam menetapkan peraturan daerah dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan
keleluasaan
kepada
daerah
sesuai
dengan
kondisi
lokalistiknya. Selain itu juga dimaksudkan untuk mendekatkan jarak antara pembuat peraturan daerah dengan rakyat di daerahnya sehingga terbangun suasana komunikaitif yang intensif dan harmonis diantara keduanya.
Artinya
keberadaan
rakyat
di
daerah
sebagai subjek
pendukung utama demokrasi mendapat tempat dan saluran untuk berpartisipasi
terhadap
berbagai
peraturan
daerah
yang
dikeluarkan/dihasilkan oleh pemerintahan daerah.
1
Lihat UUD 1945 Pasal 18 ayat (1).
1
Kualitas peraturan daerah menjadi indikator penting kinerja tata pemerintahan di daerah. Kewenangan daerah yang semakin besar setelah otonomi daerah membuat pemerintah daerah memberlakukan berbagai peraturan daerah yang dibuat untuk mengatur kegiatan ekonomi dan sosial di daerahnya. Persoalan muncul ketika kebanyakan peraturan itu kemudian dinilai oleh pemangku kepentingan di daerah atapun di pusat tidak sesuai dengan tujuan pemberian otonomi itu sendiri. Otonomi daerah dilaksanakan
karena
pemerintah
kemakmuran
masyarakat
di
ingin
daerah.
mempercepat
Namun,
perbaikan
sayangnya
karena
pertimbangan kepentingan sempit dan jangka pendek, justru peraturan yang dibuat oleh daerah kabupaten atau provinsi tidak mampu mendorong pembangunan yang berkelanjutan di daerah. Sesuai dengan prinsip demokrasi, dimana para wakil rakyat di daerah dan kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat di daerah, diharapkan mereka senantiasa menjalin komunikasi dengan rakyat terkait dengan pembuatan dan penentuan kebijakan daerah yang dituangkan dalam
peraturan
daerah.
Pemberian
saluran
dan
ruang
kepada
masyarakat di daerah untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan dan penentuan peraturan daerah merupakan amanat Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (yang selanjutnya disebut Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) Pasal 96 ayat (1). Pasal tersebut mengatur
2
sebagai berikut, “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan”.2 Hal ini juga ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (yang selanjutnya disebut Undangundang Pemerintahan Daerah) Pasal 139 ayat (1), yang mengatakan, “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan peraturan daerah”.3 Dari ketentuan dalam Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pemerintahan
Pasal
Daerah
Pasal
96 139
ayat ayat
(1)
dan
Undang-undang
(1)
tersebut
memberikan
penyadaran kepada semua pihak, bahwa rakyat di daerah memiliki hak untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan peraturan daerah. Hal ini juga menyadarkan kepada kedua lembaga pembentuk peraturan daerah tersebut untuk bersikap terbuka dengan memberikan saluran dan tempat untuk rakyat di daerah dalam proses pembentukan peraturan daerah tersebut. Tanpa komitmen yang nyata untuk melaksanakan (untuk bersikap terbuka) dari kedua lembaga pembentuk peraturan daerah tersebut substansi dari sebuah demokrasi patut dipertanyakan. Karena demokrasi perwakilan yang dipraktekkan sudah lama dirasakan tidak memadahi. Peraturan
daerah
sebagai
pedoman
dan
dasar
dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah di dalam menetapkannya 2
3
Lihat UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 96 ayat (1). Lihat UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 139 ayat (1).
3
senantiasa tidak bisa dilepaskan dengan rakyat di daerah. Penyerahan kewenangan pemerintahan kepada daerah pada hakekatnya adalah kepada rakyat di daerah. Konsep daerah (sering disebut dengan daerah otonom) di dalamnya mengandung konsep sosiologis, politis serta konsep kewilayahan. Konsep daerah ini dapat ditemukan dalam undang-undang pemerintahan daerah, dimana daerah diberi batasan sebagai kesatuan masyarakat
hukum
berwenang
mengatur
yang dan
mempunyai mengurus
batas-batas urusan
wilayah
pemerintahan
yang dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara kesatuan Republik Indonesia.4 Berdasarkan uraian tersebut, hakekat dari daerah otonom adalah masyarakat daerah yang bersangkutan, dan apabila berkaitan dengan masyarakat maka kunci atau intinya adalah keterlibatan masyarakat atau partisipasi masyarakat. Kabupaten
Sidenreng
Rappang
atau
lebih
dikenal
dengan
Kabupaten Sidrap merupakan daerah otonom yang memiliki kesatuan masyarakat
hukum
berwenang
mengatur
yang dan
mempunyai mengurus
batas-batas urusan
wilayah
pemerintahan
yang dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendirinya. Mengingat pentingnya untuk menciptakan keterbukaan dalam penyelenggaraan pemerintahan
4
pemerintahan
yang
demokratis
sebagai
prinsip
salah
satunya
dasar dengan
dalam cara
Lihat UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 angka 6.
4
efektivitas/implementasi
dari
Pasal
96
ayat
(1)
Undang-undang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Pasal 139 ayat (1) Undang-undang
Pemerintahan
Daerah,
maka
penulis
bermaksud
melakukan penelitian tentang efektivitas partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang.
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka masalah
yang akan diteliti dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana
bentuk
partisipasi
masyarakat
dalam
proses
penyusunan peraturan daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang? 2. Bagaiamana efektivitas dari partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang?
C.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan penelitian dalam
rangka
memenuhi
syarat
penulisan
skripsI ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui bentuk partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang. 2. Untuk mengetahui efektivitas dari partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang.
5
Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan menambah wawasan dari sisi teoritis berkenaan dengan efektivias dari partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah yang telah dijamin oleh Undang-undang. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian diharapkan menjadi pembelajaran praktis bagi mahasiswa, masyarakat, dan pemerintah.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.
Pengertian Efektivitas Secara Etimimologi kata efektivitas berasal dari kata efektif yang
berarti ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesanya); manjur atau mujarab (tentang obat); dapat membawa hasil; berhasil guna (tentang usaha atau tindakan); hal mulai berlakunya (tentang undang-undang peraturan).5 Efektivitas adalah perbandingan positif antara hasil yang dicapai dengan masukan yang digunakan dalam menyelesaikan pekerjaan tepat waktunya untuk mencapai tujuan atau sasaran yang ditetapkan.6 Sedangkan Menurut Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa:7 “Suatu keadaan hukum tidak berhasil atau gagal mencapai tujuanya biasanya diatur pada pengaruh keberhasilanya untuk mengatur sikap tindak atau prilaku tertentu, sehingga yang mencapai tujuan disebutnya positif, sedangkan yang menjauhi tujuan dikatakan negatif” Adapun kriteria mengenai pencapaian tujuan secara efektif atau tidak antara lain:8 1. Kejelasan tujuan yang hendak dicapai 2. Kejelasan strategi pencapaian tujuan 3. Kejelasan analisa dan perumusan kebijaksanaan yang mantap
5 6 7
8
Tri Rama K, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Agung Media Mulia, hlm. 131. Sondang Siagi, Filsafat Administrasi, (Jakarta: Gunung Agung, 1991) hlm. 71. Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum dan Peranan Saksi, (Bandung: Remaja Karya, 1985) hlm. 7. Sondang Siagi, Op.cit., hlm. 77.
7
4. Perencanaan yang mantap 5. Penyusunan program yang mantap 6. Tersedianya sarana dan prasarana 7. Pelaksanaan yang secara efektif dan efisien 8. Sistem pengawasan dan pengendalian yang bersifat mendidik. Dalam kamus ilmiah populer, Istilah efektivitas diartikan sebagai ketepatgunaan, hasil guna, menunjang tujuan9 Ini berarti bahwa kata efektivitas digunakan untuk menentukan apakah sesuatu yang digunakan sudah tepat penggunanaanya dan dapat mencapai tujuan yang diinginkan atau yang diharapkan sebelumnya. Soerjono Soekanto pada intinya menggunakan tolak ukur efektivitas dalam penggunaan hukum pada lima hal : Yaitu, faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan.10 Berikut ini adalah beberapa ulasan mengenai teori efektivitas menurut para ahli :11 1) Teori Efektivitas Menurut Ravianto (1989:113) Efektivitas adalah seberapa baik pekerjaan yang dilakukan, sejauh mana
orang
menghasilkan
keluaran
sesuai
dengan
yang
diharapkan. Ini berarti bahwa apabila suatu pekerjaan dapat
9
10
11
Lihat Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994). Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005) hlm. 9. Dikutip dari http://socam.blogspot.com/2013/04/teori-efektivitas-menurut-para-ahli.html diakses pada 13/02/2014 (08:07).
8
diselesaikan dengan perencanaan, baik dalam waktu, biaya maupun mutunya, maka dapat dikatakan efektif. 2) Teori Efektivitas Menurut Ndraha (2005:163) Efektivitas adalah efisiensi digunakan untuk mengukur proses, efektivitas guna mengukur keberhasilan mencapai tujuan”. 3) Teori Efektivitas Menurut Barnard (dalam Prawirosoentono, 1997: 27) berpendapat “Accordingly, we shall say that an action is effective if it specific objective aim. It is efficient if it satisfies the motives of the aim, whatever it is effective or not.” Pendapat ini antara lain menunjukkan bahwa suatu kegiatan dikatakan efektif apabila telah mencapai tujuan yang ditentukan. 4) Teori Efektivitas Menurut Ensiklopedia administrasi, (The Liang Gie, 1967) Efektifitas adalah suatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki, kalau seseorang melakukan suatu perbuatan denngan maksud tertentu yang memang dikehendaki. Maka orang itu dikatakan efektif kalau menimbulkan atau mempunyai maksud sebagaimana yang dikehendaki. Dari teori efektivitas diatas dapat dijelaskan bahwa suatu hal dapat dikatakan efektif apabila hal tersebut sesuai dengan dengan yang dikehendaki.
Artinya,
pencapaian
hal
yang
dimaksud
merupakan
9
pencapaian tujuan dilakukannya tindak-tindakan untuk mencapai hal tersebut. Efektivitas dapat diartikan sebagai suatu proses pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Berdasarkan pada pendapat para ahli tentang efektivitas, penulis menganalisis bahwa efektivitas merupakan suatu konsep yang bersifat multidimensional, artinya dalam mendefinisikan efektivitas berbeda-beda sesuai dengan dasar ilmu yang dimiliki walaupun tujuan akhir dari efektivitas adalah selalu sama yaitu pencapaian tujuan. Menurut Soerjono Soekanto berpendapat mengenai efektivitas hukum, bahwa tentang pengaruh hukum “Salah satu fungsi hukum baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap tindak atau perilaku teratur adalah membimbing perilaku manusia. Masalah pengaruh hukum tidak hanya terbatas pada timbulnya ketaatan atau kepatuhan pada hukum tapi mencakup efek total dari hukum terhadap sikap tindak atau perilaku baik yang bersifat positif maupun negatif.12 Ketika ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum, maka kita pertama-tama harus dapat mengukur sejauh mana aturan hukum itu ditaati. Jika suatu aturan hukum ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi sasaran ketaatannya, kita dapat mengatakan bahwa aturan hukum yang bersangkutan adalah efektif. Namun demikian, sekalipun dapat dikatakan aturan yang ditaati itu efektif, tetapi kita masih dapat mempertanyakannya lebih jauh derajat efektivitasnya. Seseorang menaati 12
Dikutip dari http://www.negarahukum.com/hukum/efektifitas-hukum.html diakses pada 13/02/2014 (08:48).
10
atau tidak menaati suatu aturan hukum, tergantung pada kepentingannya. Seperti yang dikemukakan oleh H.C. Kelman, yaitu:13 1. Ketaatan yang bersifat Compliance, yaitu jika seseorang taat terhadap suatu aturan hanya karena takut terkena sanksi. 2. Ketaatan yang bersifat Identification, yaitu jika seseorang taat terhadap suatu aturan hanya karena takut hubungan baiknya dengan seseorang menjadi rusak. 3. Ketaatan yang bersifat Internalization, yaitu jika seseorang taat terhadap suatu aturan karena benar-benar ia merasa aturan itu sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya. Jika ketaatan sebagian besar masyarakat terhadap suatu aturan umum hanya karena kepentingan yang bersifat Compliance atau hanya takut
sanksi,
membutuhkan
maka
derajad
pengawasan
ketaatanya
yang
terus
sangat menerus.
rendah, Berbeda
karena kalau
ketaatannya yang besifat Internalization, yang ketaatanya karena aturan hukum tersebut benar-benar cocok dengan nilai intrinsik yang dianutnya, maka derajat ketaatannya yang tertinggi.14 Berbicara mengenai efektivitas dari suatu perundang-undangan atau aturan hukum, maka tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi
13
14
Achmad Ali, Menjelajahi kajian Empiris Terhadap Hukum, (Jakarta: PT. Yarsif Watampone, 1998) hlm. 193. Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan teori peradilan (judiclalprudence), (Jakarta: Kencana Pranada Media Grup, 2009) hlm. 375.
11
ketaatan terhadap hukum dan efektivitas hukum. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketaatan terhadap hukum secara umum yaitu antara lain:15 a. Relevansi aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum dari orang-orang yang menjadi target aturan hukum secara umum itu. Oleh karena itu, jika aturan hukum yang dimaksud berbentuk undang-undang, maka pembuat undang-undang dituntut untuk mampu memahami kebutuhan hukum dari target pemberlakuan undang-undang tersebut. b. Kejelasan rumusan dari substansi aturan hukum, sehingga mudah dipahami
oleh
target
diberlakukanya
aturan
hukum.
Jadi,
perumusan substansi aturan hukum itu harus dirancang dengan baik. Jika aturannya tertulis, maka harus ditulis dengan jelas dan mampu dipahami secara pasti. c. Sosialisasi yang optimal kepada seluruh target aturan hukum itu. Kita tidak boleh meyakini fiksi hukum yang menentukan bahwa semua penduduk yang ada di wilayah suatu negara, dengan mengetahui seluruh aturan hukum yang berlaku diwilayahnya. Tidak mungkin penduduk atau warga masyarakat secara umum, mampu mengetahui keberadaan suatu aturan hukum dan substansinya, jika aturan hukum tersebut tidak disosialisasikan secara optimal.
15
Achmad Ali, Menguak Teori... Ibid., hlm. 376-377.
12
d. Jika hukum yang dimaksud adalah perundang-undangan, maka seyogyanya
aturannya
bersifat
melarang
lebih
mudah
dilaksanakan ketimbang hukum yang bersifat mengharuskan. e. Sanksi yang diancam oleh aturan hukum itu harus dipadankan dengan sifat aturan hukum hukum yang dilanggar tersebut. Suatu sanksi yang dapat kita katakan tepat untuk suatu tujuan tertentu, belum tentu tepat untuk tujuan lain. f. Berat ringannya sanksi yang diancamkan dalam aturan hukum, harus proporsional dan memungkinkan untuk dilaksanakan. Sebagai contoh, sanksi denda yang diancamkan oleh Undangundang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berlaku di Indonesia saat ini, terlalu berat jika dibandingkan dengan penghasilan orang Indonesia. g. Kemungkinan bagi penegak hukum untuk memproses jika terjadi pelanggaran terhadap aturan hukum tersebut adalah memang memungkinkan, karena tindakan yang diatur dan diancam sanksi, memang tindakan yang konkret, dapat dilihat, diamati, oleh karenanya memungkinkan untuk diproses dalam setiap (Penyelidikan,
Penyidikan,
Penuntutan,
dan
tahap
penghukuman).
Membuat suatu aturan hukum yang mengancamkan sanksi terhadap tindakan-tindakan yang bersifat ghaib dan mistik adalah mustahil untuk efektif, karena mustahil untuk ditegakkan melalui proses hukum. Mengancamkan sanksi perbuatan yang sering
13
dikenal dengan sihir atau tenung adalah mustahil untuk efektif dan dibuktikan. h. Aturan hukum yang mengandung norma moral berwujud larangan, relatif akan jauh lebih efektif ketimbang aturan hukum yang bertentangan dengan moral yang dianut oleh orang-orang yang menjadi target diberlakukanya aturan tersebut. Aturan hukum yang
efektif
adalah
aturan
hukum
yang
melarang
dan
mengancamkan sanksi bagi tindakan yang juga dilarang diancam sanksi oleh norma lain, seperti norma moral, norma agama, norma adat istiadat atau kebiasaan, dan lainya. Aturan hukum yang tidak diatur dan dilarang oleh norma lain akan lebih tidak efektif. i. Efektif atau tidak efektifnya suatu aturan hukum secara umum, juga tergantung pada optimal dan profesionalnya para penegak hukum untuk menegakkan berlakunya aturan hukum tersebut, mulai dari tahap pembuatanya, sosialisasinya, proses penegakan hukumnya
yang
mencakupi
tahapan
penemuan
hukum
(penggunaan penalaran hukum, interpretasi, dan konstruksi) dan penerapanya terhadap suatu kasus konkret. j. Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga mensyaratkan adanya pada standar hidup sosio ekonomi yang minimal didalam masyarakat. Dan sebelumnya, ketertiban umum sedikit atau banyak, harus telah terjaga, karena tidak mungkin
14
efekfifitas hukum akan terwujud secara optimal jika masyarakat dalam keadaan chaos atau situasi perang dahsyat. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas dari suatu aturan hukum atau perundang-undangan adalah sebagai berikut:16 a. Pengetahuan tentang substansi (isi) perundang-undangan. b. Cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut. c. Institusi yang terkait dengan ruang lingkup perundang-undangan yang ada di masyarakat. d. Bagaimana proses lahirnya suatu perundang-undangan, yang tidak boleh dilahirkan secara tergesa-gesa untuk kepentingan instansi (sesaat), yang diistilahkan oleh Gunnar Myrdall sebagai sweep legislation (undang-undang sapu), yang memiliki kualitas buruk dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pada umumnya, faktor yang mempengaruhi efektivitas suatu perundang-undangan adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang dan fungsi dari penegak hukum, baik didalam menjalankan tugas yang dibebankan terhadap diri mereka atau dalam menegakkan peraturan perundang-undangan tersebut, yang jelas bahwa seseorang menaati ketentuan perundang-undangan adalah karena terpenuhinya suatu kepentingannya (Interest) oleh perundang-undangan tersebut. Bekerjanya undang-undang dapat ditinjau dari dua perspektif :17
16 17
Ibid., hlm. 378-379. Ibid., hlm. 379-380.
15
a. Perspektif Organisatoris Perspektif organisatoris yang memandang perundang-undangan sebagai institusi yang ditinjau dari ciri-cirinya. Pada perspektif organisatoris, tidak terlalu memperhatikan pribadi-pribadi, yang pergaulan hidupnya diatur oleh hukum atau perundang-undangan. b. Perspektif Individu Perspektif individu atau ketaatan, yang lebih banyak berfokus pada segi individu atau pribadi, dimana pergaulan hidupnya diatur oleh perundang-undangan. Perspektif individu ini lebih berfokus pada masyarakat sebagai kumpulan pribadi-pribadi. Faktor kepentingan yang menyebabkan seseorang menaati atau tidak menaati hukum. Dengan kata lain, pola-pola prilaku warga masyarakat yang banyak mempengaruhi efektivitas perundangundangan atau hukum.
B.
Tinjauan Umum Tentang Pemerintahan Daerah dengan Otonomi Daerah Apabila ditelaah dari sejarah pembentukan UUD 1945, dapat
dikatakan bahwa Muh. Yamin-lah orang pertama yang membahas masalah pemerintahan daerah dalam Sidang BPUPKI 29 Mei 1945, Muh. Yamin mengatakan sebagai berikut :18
18
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007) hlm. 279.
16
“Negeri, Desa, dan segala persekutuan hukum adat yang dibaharui dengan jalan rasionalisme dan pembaharuan zaman, dijadikan kaki susunan sebagai bagian bawah. Antara bagian atas dan bagian bawah dibentuk bagian tengah sebagai Pemerintahan Daerah untuk menjalankan Pemerintahan Urusan Dalam, Pangrehj Praja”. Pada kesempatan itu pula Muh. Yamin melampirkan rancangan sementara perumusan Undang-Undang Dasar yang memuat tentang pemerintahan daerah dan berbunyi : “Pembagian daerah Indonesia atas daerah yang besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa” Seperti halnya Yamin, Soepemo selaku Ketua Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar dalam Sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945 juga menyampaikan keterangan yang antara lain mengatakan sebagai berikut :19 “Tentang daerah, kita menyetujui bentuk persatuan, unie, oeh karena itu di bawah pemerintahan pusat, di bawah negara tidak ada negara lagi. Tidak ada onderstaat, akan tetapi hanya daerah. Bentuknya daerah itu dan bagaimana bentuk pemerintahan daerah, ditetapkan dalam undang-undang”. Kemudian, pada 18 Agustus 1945, di hadapan Sidang PPKI atas permintaan Soekamto (selaku Ketua PPKI), Soepomo memberikan penjelasan mengenai rancangan undang-undang dasar yang akan disahkan
sebagai
Undang-Undang
Dasar
1945
Negara
Republik
Indonesia. Dalam sidang PPKI itu, Soepomo memberi penjelasan tentang pemerintah daerah sebagai berikut :
19
Ibid., hlm. 281.
17
“Dibawah pemerintah pusat ada pemerintah daerah: tentang pemerintah daerah di sini hanya ada satu pasal, yang berbunyi: pemerintah daerah diatur dalam undang-undang hanya saja, dasardasar yang telah dipakai untuk negara itu juga harus dipakai untuk pemerintahan daerah, artinya pemerintahan daerah harus juga bersifat permusyawaratan, dengan lain perkataan harus ada Dewan Perwakilan Rakyat. Dan adanya daerah-daerah istimewa diindahkan dan dihormati, kooti-kooti, sultanat-sultanat tetap ada dan dihormati susunannya yang asli, akan tetapi itu keadaannya sebagai daerah, bukan negara, jangan sampai ada salah paham dalam menghormati adanya daerah...” Dengan demikian, permusyawaratan/perwakilan tidak hanya terdapat pada pemerintahan tingkat pusat, melainkan juga pada pemerintahan tingkat daerah. Dengan kata lain, Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 menetukan bahwa pemerintahan daerah dalam susunan daerah besar dan kecil harus dijalankan melalui permusyawaratan atau harus mempunyai badan perwakilan. Dalam susunan kata atau kalimat Pasal 18 tidak
terdapat
keterangan
atau
petunjuk
yang
memungkinkan
pengecualian dari prinsip atau dasar permusyawaratan perwakilan itu.20 1. Otonomi Daerah Sistem otonomi luas dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (yang selanjutnya disebut Undang-undang Pemerintahan Daerah) dan revisi dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 merupakan pilar utama bagi negara kesatuan, atau terpeliharanya integrasi nasional. Secara logis hal itu disebabkan bahwa daerah merupakan benteng negara yang paling kokoh. Oleh karenanya, penguatan nasional berbasis daerah yang tentunya ditujukan demi
20
Ibid., hlm. 284.
18
terwujudnya
kesejahteraan,
kemakmuran,
dan
kemandirian
harus
diperkuat melalui otonomi yang luas. Dengan otonomi daerah, maka akan tercipta mekanisme dimana daerah
dapat
mewujudkan
sejumlah
fungsi
politik
pemerintahan,
hubungan kekuasaan menjadi lebih adil, sehingga dengan demikian daerah akan memiliki tingkat kepercayaan dan akhirnya akan terintegrasi ke dalam pemerintahan nasional.21 Namun, demikian dalam rangka implementasi paket otonomi daerah tidaklah semudah yang dibayangkan. Paket otonomi daerah dapat berperan sebagai pengaturan integrasi nasional, sepanjang hal itu diupayakan dengan tepat dan benar. Untuk menemukan pengertian tentang otonomi daerah sebagai sarana membangun kualitas kemandirian (zelfstandingheid) yang integral, demikian diungkapkan Solly Lubis, yaitu :22 “Dengan memberikan otonomi daerah, akan tumbuh prakarsa dan kreativitas daerah, meningkatkan partisipasi dan demokrasi, meningkatkan efektivitas pembangunan dan semakin kuatnya integrasi nasional, dan pada akhirnya akan terhindar ketidakadilan selama ini dimana daerah-daerah terlalu tergantung pada putusan dan sistem subsidi dari pusat”. Otonomi dan pengawasan memiliki hubungan logis yang sulit dipisahkan. Antaranya keduanya memiliki konsekuensi yang dapat saling mengukuhkan
21
22
atau
sebaliknya,
apabila
dijalankan
dengan
tanpa
Bambang Indra Gunawan, Peranan Bawasda Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, (Medan: Fakultas Hukum USU, 2006), hlm. 2. M. Solly Lubis, Politik dan Hukum Di Era Reformasi, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2000), hlm. 46.
19
mempertimbangkan realitas dan manfaatnya bagi penguatan ekonomi menyebabkan kebebasan yang tidak terarah. Sejalan dengan hal tersebut, Bagir Manan mengatakan bahwa sistem pengawasan juga menentukan kemandirian suatu otonomi. Untuk menghindari agar pengawasan tidak melemahkan otonomi, maka sistem pengawasan ditentukan secara spesifik, baik lingkup maupun tata cara pelaksanaannya.23
Tegasnya
lagi,
semakin
banyak
dan
semakin
intensifnya pengawasan, maka semakin sempit pula kemandirian daerah. Begitu juga sebaliknya, tidak boleh ada sistem otonomi yang menafikan pengawasan. Hal tersebut justru akan menyebabkan munculnya sistem berotonomi yang mengabaikan kepentingan nasional.24 Seiring dengan bergulirnya arus reformasi yang menginginkan adanya perbaikan di segala bidang kehidupan bangsa dan negara Indonesia, maka salah satu substansi dari tuntutan reformasi adalah kebutuhan dan desakan untuk melakukan perubahan atas sistem pemerintahan yang sentralistis kepada pemberian kewenangan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah. Alasan mengadakan pemerintah daerah semata-mata disebabkan karena banyaknya urusan-urusan pemerintah pusat mengurusi kepentingan daerah. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Boedi Soesetyo yaitu :25
23
24 25
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 39. Ibid. Boedi Soesetyo, dalam Liang Gie., Pertumbuhan Pemerintah Daerah Di Negara Republik Indonesia, Jidil III, (Jakarta: Gunung Agung, 1989), hlm. 38.
20
”Bahwa alasan mengadakan pemerintahan daerah adalah sematamata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Hal yang dianggap doelmatig untuk diurus oleh pemerintah setempat, pengurusannya diserhakan kepada daerah. Hal-hal yang lebih tepat diurus oleh pemerintah pusat tetap diurus oleh pemerintah pusat yang bersangkutan. Dengan demikian, maka persoalan desentralisasi adalah persoalan teknik belaka yaitu teknik pemerintahan yang ditujukan untuk mencapai hasil yang sebaikbaiknya.” TAP MPR Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, telah menggariskan bahwa kebijakan otonomi diarahkan
kepada
pencapaian sasaran-sasaran
sebagai berikut :26 1. Peningkatan pelayanan publik dan kreativitas masyarakat serta aparatur pemerintahan di daerah; 2. Kesatuan
hubungan
antara
pemerintah
pusat
dengan
pemerintah daerah dan antara pemerintah daerah dalam kewenangan dan keuangan; 3. Untuk menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi, dan kesejahteraan masyarakat di daerah; dan 4. Menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah. Keharusan pemberian kewenangan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dapat dilihat ketentuan dalam Pasal 18 dan Pasal 18 A amandemen keempat Undang-undang Dasar 1945. dalam ketentuan tersebut termaktub keharusan pemberian kewenangan kepada daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan. Artinya, terdapat keharusan 26
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Ketetapan-Ketetapan MPR Pada Sidang Tahunan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 23.
21
untuk menerapkan asas desentralisasi. Sebab, asas tersebut memberikan indikasi positif bagi penyelenggaraan pemerintahan antara pusat dan daerah. Sebagaimana disebutkan Amrah Muslimin, ”Desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan kepada badan-badan dan golongan-golongan dalam masyarakat dan daerah tertentu untuk mengurus rumah tangganya sendiri”.27
Sedangkan
menurut
Riant
Nugroho
D.
Mengartikan
desentralisasi sebagai prinsip pendelegasian, prinsip ini mengacu kepada fakta adanya span of control dari setiap organisasi sehingga organisasi perlu diselenggarakan secara bersama-sama.28 Pemerintah daerah merupakan sub sistem dari pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, segala tujuan dan cita-cita yang diamanatkan oleh pembukaan Undang-undang Dasar 1945 adalah juga merupakan cita-cita dan tujuan pemerintah daerah yang harus dicapai. Dengan dilaksanakannya asas desentralisasi, pemerintah daerah menjadi pemegang kendali bagi pelaksanaan pemerintah di daerah. Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah menurut Undang-Undang Pemerintahan Daerah adalah penekanan terhadap aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, dan partisipasi masyarakat serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai wujud dari penekanan berbagai prinsip di 27
28
Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, (Bandung: Alumni, 1982) hlm. 4. Riant Nugroho D, Otonomi Daerah, Desentralisasi Tanpa Revolusi Kajian dan Kritik Atas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, (Jakarta: PT. Alex Media Komputindo, 2002) hlm. 42.
22
atas, telah membuka peluang dan kesempatan yang sangat luas kepada daerah otonom untuk melaksanakan kewenangannya secara sendiri, luas, nyata, dan bertanggung jawab. Paradigma baru desentralisasi membuka tantangan besar bagi seluruh
bangsa
Indonesia,
namun
apabila
pemahaman
terhadap
wawasan kebangsaan keliru, akan menimbulkan tuntutan-tuntutan yang bersifat memperlemah kesatuan dan persatuan bangsa, seperti tuntutan atas pengalihan sumber-sumber pendapatan negara, bahkan tuntutan bentuk pemisahan diri daerah dari negara di luar sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penyelenggaraan pemerintahan pada hakekatnya tidak terlepas dari prinsip-prinsip manajemen modern, dimana fungsifungsi manajemen senantiasa berjalan secara simultan, proporsional dalam kerangka pencapaian tujuan organisasi. Desentralisasi merupakan penyerahan wewenang pemerintah pusat kepada daerah otonomi. Menurut Hans Kelsen desentralisasi lebih luas yaitu sebagai lingkungan tempat (juga lingkungan orang) suatu kaidah hukum yang berlaku sah. Oleh karena itu desentralisasi mengandung teretorial dan fungsional. Lebih spesifik Undang-undang Pemerintahan Daerah dalam pasal 1 ayat (7) dijelaskan desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat (2) dijelaskan bahwa pemerintahan
23
daerah adalah penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom oleh Pemeintah Daerah dan DPRD menurut azas desentralisasi, Pasal ini menunjukkan bahwa otonomi merupakan aplikasi dari azas desentralisasi tersebut. Menurut Bagir Manan,29 otonomi adalah hak untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan tertentu di bidang administrasi Negara yang merupakan urusan rumah tangga daerah. Hak untuk mengatur rumah tangganya sendiri menimbulkan adanya otonomi atau dikenal dengan daerah otonom. Sedangkan secara tegas Undang-undang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat (5) menyebutkan bahwa otonomi daerah adalah wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Seiring dengan pendapat-pendapat diatas, Mohammad Hatta menyebutkan :30 “Menurut dasar kedaulatan rakyat itu, hak rakyat untuk menentukan nasibnya tidak hanya ada pada pucuk pemerintahan negeri melainkan juga pada tiap tempat di kota, di desa, dan di daerah. Tiap-tiap golongan persekutuan itu mempunyai badan perwakilan sendiri, seperti gemeenterraad, provincial road, dan lain-lain, dengan keadaan demikian tiap-tiap bagian atau golongan mendapat otonom.” Berdasarkan pendapat di atas, maka dalam Negara kesatuan yang diikuti dengan prinsip demokrasi, penyerahan kewenangan pusat kepada daerah merupakan suatu kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar.
29 30
Bagir Manan, Op.cit., hlm. 40. Mohammad Hatta dalam Bagir Manan, Ibid., hlm. 42.
24
Dengan desentralisasi pemerintah akan dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya terhadap masyarakat yang mempunyai berbagai tuntutan yang berbeda antara satu dengan daerah lain. Tujuan utama pemberian otonomi luas kepada daerah adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan menumbuhkan kemandirian daerah untuk mengelola serta mengurus rumah tangganya sendiri. Sedangkan tujuan yang hendak dicapai dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah “Terwujudnya otonomi daerah yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab” yang berarti bahwa pemberi otonomi daerah didasarkan
pada
faktor-faktor
perhitungan
dan
tindakan
atau
kebijaksanaan yang benar-benar menjamin daerah yang bersangkutan untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Sehubungan dengan paparan di atas, maka ditetapkan Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang PokokPokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu perubahan yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah adalah disatukannya pengaturan mengenai pemerintahan daerah dengan pemerintahan desa. Apabila sebelumnya pemerintahan daerah dan pemerintahan desa diatur dalam dua paket undang-undang yang berbeda, maka dalam Undangundang Pemerintahan Daerah, selain mengatur tentang pemerintahan desa serta pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah.
25
2. Tugas Pokok Pemerintahan Daerah Di era otonomi daerah ini, terjadi perbedaan konsepsi tentang peranan pemerintah terhadap rakyatnya: pertama, ada yang berpendapat bahwa pemerintah harus membatasi keterlibatannya dalam mengatur masyarakat; pendapat kedua, ada yang berpendapat bahwa pemerintah harus dapat mengatur sebanyak mungkin
segi dari kehidupan
masyarakat, karena hanya dengan cara itu, keteraturan, ketertiban, keamanan, dan kemajuan, akan dapat dipelihara dan dicapai. Pembatasan terhadap keterlibatan pemerintah ini ialah merupakan tujuan
dari
otonomi
pemberdayaan
daerah
masyarakat
itu
di
sendiri.
daerahnya
Tujuannya guna
ialah
untuk
mengembangkan
kemampuan daerah dibidang ekonomi, sosial, dan budaya, sedangkan fungsi pemerintah hanya sebagai mediator dan fasilitator. Oleh sebab itu, dalam setiap proses kebijakan perencanaan pembangunan daerah, pihak swasta atau lembaga swadaya masyarakat, termasuk pula peran DPRD, amat diperlukan untuk memberikan kontribusi dalam proses perencanaan, pelaksanaan,
dan
pengawasan
terhadap
jalannya
pembangunan
daerah.31 Alasan yang paling esensial bahwa dibutuhkannya suatu pemerintahan adalah untuk menjamin terpeliharanya kepastian dan keadilan hukum, melalui proses penegakan hukum yang bersih dan berwibawa.
31
Siswanto Sunarso, Hubungan Kemitraan Badan Legislatif & Eksekutif Di Daerah, (Bandung: Mandar Maju, 2005) hlm. 11.
26
Menurut Ryaas Rasyid, tugas tugas pokok pemerintahan mencakup tujuh bidang pelayanan, yakni : 1) Menjamin keamanan negara dari segala serangan dari luar, dan menjaga agar tidak terjadi pemberontakan dari dalam yang dapat menggulingkan
pemerintah
yang
sah,
melalui
cara-cara
kekerasan; 2) Memelihara ketertiban dengan mencegah terjadinya gontokgontokan
di
antara
warga
masyarakat,
menjamin
agar
perubahan apapun yang terjadi di masyarakat dapat berlangsung secara damai; 3) Menjamin diterapakannya perilaku yang adil kepada setiap warga masyarakat, tanpa membedakan status apapun yang melatarbelakangi keberadaan mereka; 4) Melakukan pekerjaan umum dan memberi pelayanan dalam bidang-bidang yang tidak mungkin dikerjakan oleh lembaga nonpemerintah, atau yang akan lebih baik jika dikerjakan oleh pemerintah; 5) Melakukan
upaya
untuk
kepentingan
meningkatkan
kesejahteraan sosial; 6) Menerapkan
kebijakan
ekonomi
yang
menguntungkan
masyarakat luas; seperti mengendalikan laju inflasi, mendorong penciptaan lapangan kerja baru, memajukan perdagangan domestik dan antar bangsa, serta kebijakan lain yang secara
27
langsung menjamin peningkatan ketahanan ekonomi negara dan masyarakat; 7) Menerapkan kebijakan untuk pemeliharaan sumber daya alam, dan lingkunagn hidup. Pengelolaan ketujuh bidang yang amat kompleks tersebut maka diperlukan pemerintahan sebagai seni untuk memimpin dalam mengelola kekuasaan
dan
kewenangannya
untuk
kepentingan
masyarakat
seluruhnya. Oleh sebab itu, menurut Ryaas Rasyid ada tiga paradigma pemerintahan yaitu : 1) Pemerintahan sebagai a rulling process, artinya yang ditandai oleh ketergantungan pemerintahan dan masyarakat pada kapasitas kepemimpinan seseorang; 2) Pemerintah sebagai a governing process, yang ditandai oeh praktek pemerintahan yang berdasarkan pada konsensuskonsensus antara pemimpin dengan masyarakat; 3) Pemerintahan sebagai an administering process, yang ditandai terbangunnya suatu sistem hukum yang kuat dan komprehensif, melalui mana seluruh interaksi kekuasaan dikendalikan oleh suatu sistem administrasi yang bekerja secara tertib dan teratur.32
32
Siswanto Sunarso, Ibid., hlm. 13.
28
3. Filosofi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Pada dasarnya latar belakang perubahan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan feed back pada filosofi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dari aspek dasar hukum tata negara, karena Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (yang selanjutnya disebut UUD 1945) telah mengalami amandemen, khususnya pasal-pasal yang berkaitan langsung dengan sistem pemerintahan daerah, yaitu pasal 1, 5, 18 (a,b), 20, 21, 22 (d), 23 (e ayat 2), 24 (ayat 1), 31 (ayat 1), 33, dan 34, maka undang-undang pemerintahan daerah perlu disesuaikan. Di samping itu perubahan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, didasarkan pada pemikiran bahwa sesuai dengan amanat UUD 1945 (hasil amandemen), Pemerintah Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Undang-undang Pemerintahan daerah, prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan
kewenangan
mengurus
dan
mengatur
semua
urusan
29
pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini.33 Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah
suatu
prinsip
bahwa
menangani
urusan
pemerintahan
dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.34 Penyelenggaraan mensyaratkan
adanya
desentralisasi pembagian
menurut urusan
undang-undang pemerintahan
ini
antara
pemerintah dengan daerah otonom. Pembagian urusan pemerintahan didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya tetap menjadi kewenangan pemerintah. Urusan pemerintah tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara. Disamping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang
bersifat
concurrent,
artinya
urusan
pemerintahan
yang
penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sedangkan urusan yang menjadi kewenangan daerah meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. 33 34
J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007) hlm. 72. Ibid., hlm. 73.
30
Urusan wajib adalah urusan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pelayanan kesehatan, pendidikan dasar, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, dan prasarana lingkunagn dasar. Sedangkan urusan pilihan adalah urusan yang terkait dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah.35 Di dalam Undang-undang Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintah dan dengan pemerintah daerah lainnya. Hubungan tersebut meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainya dilaksanakan secara adil dan selaras. Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antarsusunan pemerintahan.36 Penegasan ini merupakan koreksi terhadap pengaturan sebelumnya di dalam Undang-undang Nomor 22 Tahunn 1999 tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 4, yang menegaskan bahwa daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan
35 36
Ibid., hlm. 74. “Hubungan administrasi” adalah hubungan yang terjadi sebagai konsekuensi kebijakan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang merupakan satu kesatuan dalam penyelenggaraan sistem administrasi negara. Yang dimaksud dengan “hubungan kewilayahan” adalah hubungan yang terjadi sebagai konsekuensi dibentuk dan disusunnya daerah otonom yang diselanggarakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Denganm demikian, wilayah daerah merupakan satu kesatuan wilayah negara yang utuh dan bulat., dalam Ni’matul Huda, Op. cit., hlm. 340.
31
hirearki satu sama lain. Akibat pengaturan yang demikian kepala daerah kabupaten/koyta
menganggap
gubernur
bukanlah
atasan
mereka
sehingga kalau akan berhubungan dengan pemerintah pusat, pemerintah kabupaten/kota tidak perlu berkoordinasi dengan gubernur, tetapi langsung saja kepusat. Akhirnya, kewenangan gubernur menjadi mandul.
C.
Tinjauan Umum Tentang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1. Pengertian dan kedudukan DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah bentuk lembaga
perwakilan
rakyat
Indonesia
yang
(parlemen) berkedudukan
daerah
(provinsi/kabupaten/kota)
sebagai
unsur
di
penyelenggaraan
pemerintahan daerah bersama dengan pemerintah daerah. DPRD diatur dengan undang-undang, terkahir melalui Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. DPRD berkedudukan di setiap wilayah administartif, yaitu : a. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRD Provinsi), berkedudukan di ibukota provinsi. b. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten (DPRD Kabupaten), berkedudukan di ibukota kabupaten. c. Dewan
Perwakilan
Rakyat
Daerah
Kota
(DPRD
Kota),
berkedudukan di kota.
32
DPRD
merupakan
mitra
kerja
dari
kepala
daerah
(gubernur/bupati/walikota). Sejak diberlakunya Undang-undnag No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah tidak lagi bertanggung jawab kepada DPRD, karena dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah. 2. Fungsi, Tugas, Wewenang, dan Hak DPRD Dalam menjalankan hakikat dari otonomi daerah, DPRD memiliki fungsi : 1. Legislasi, berkaitan dengan pembentukan peraturan daerah; 2. Anggaran, kewenangan dalam hal anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD); 3. Pengawasan, kewenangan mengontrol pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan lainnya serta kebijakan pemerintah daerah. Terkait tiga fungsi utama dari DPRD dalam menjalankan semangat otonomi daerah yang disebutkan diatas, maka jabaran mengenai tugas dan wewenang dari DPRD, yaitu : a. Membentuk peraturan daerah bersama kepala daerah; b. Membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai APBD yang diajukan kepala daerah; c. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan APBD. d. Mengusulkan :
33
1. Untuk DPRD Provinsi, pengangkatan dan pemberhentian gubernur/wakil gubernur kepada presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk mendapatkan pengesahan/pemberhentian. 2. Untuk DPRD Kabupaten, pengangkatan dan pemberhentian bupati/wakili bupati kepada gubernur melalui Menteri Dalam Negeri. 3. Untuk DPRD Kota, pengangkatan dan pemberhentian wali kota/wakil wali kota kepada gubernur melalui Menteri Dalam Negeri. e. Memilih wakil kepala daerah (wakil gubernur/wakil bupati/wakil wali kota) dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah; f. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah; g. Memberikan
persetujuan
terhadap
rencana
kerja
sama
internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah; h. Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; i. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan daerah
lain
atau
dengan
pihak
ketiga
yang
membebani
masyarakat dan daerah; j. Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
34
k. Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; Keistimewaan lain dari DPRD yang di jamin oleh undang-undang adalah diberikannya hak interplasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Di dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menjelaskan Hak interpelasi yaitu hak DPRD untuk meminta
keterangan
kepada
kepala
daerah
mengenai
kebijakan
pemerintah daerah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hak angket adalah hak DPRD untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah daerah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Hak menyatakan pendapat adalah hak DPRD untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah daerah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket. Anggota DPRD juga memiliki hak mengajukan rancangan peraturan daerah, mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, memilih dan dipilih, membela diri, imunitas, mengikuti orientasi dan pendalaman tugas, protokoler, serta keuangan dan administratif.
35
3. Keanggotaan dan Alat Kelengkapan Sekretariat DPRD Anggota DPRD merupakan anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum. Jumlah anggota DPRD adalah sebagai berikut: 1.
Untuk DPRD provinsi, berjumlah antara 35-100 orang.
2.
Untuk DPRD kabupaten/kota, berjumlah antara 20-50 orang.
Keanggotaan DPRD provinsi diresmikan dengan keputusan menteri dalam negeri sedangkan untuk DPRD kabupaten/kota diresmikan dengan keputusan gubernur. Masa jabatan anggota DPRD adalah 5 Tahun dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPRD yang baru mengucapkan sumpah/janji. Alat kelengkapan DPRD terdiri atas pimpinan, badan musyawarah, komisi, badan legislasi daerah, badan anggaran, badan kehormatan, dan alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna. Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas DPRD, dibentuk sekretariat DPRD yang personelnya terdiri atas pegawai negeri sipil. Sekretariat DPRD adalah penyelenggara administrasi kesekretariatan, administrasi keuangan, pendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD, dan bertugas menyediakan serta mengoordinasikan tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRD sesuai dengan kemampuan keuangan daerah. Sekretariat DPRD dipimpin seorang sekretaris DPRD yang diangkat oleh kepala daerah atas usul pimpinan DPRD. Sekretaris DPRD secara teknis operasional berada di bawah dan bertanggung jawab kepada pimpinan
36
DPRD dan secara administratif bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah. Fungsi sekretariat DPRD adalah sebagai berikut: a. Penyelenggaraan administrasi kesekretariatan DPRD. b. Penyelenggaraan administrasi keuangan DPRD. c. Penyelenggaraan rapat-rapat DPRD. d. Penyediaan dan pengoordinasian tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRD. Untuk meningkatkan kinerja lembaga dan membantu pelaksanaan fungsi dan tugas DPRD secara profesional, dapat diangkat sejumlah pakar/ahli sesuai dengan kebutuhan. Para pakar/ahli tersebut berada di bawah koordinasi sekretariat DPRD.37
D.
Tinjauan Umum Tentang Peraturan Daerah Menurut Van Der Tak dalam Aziz Syamsudin, peraturan perundang-
undangan merupakan hukum tertulis yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, berisi aturan-aturan tingkah laku yang bersifat abstrak dan mengikat umum.38 Istilah
perundang-undangan
(legislation
atau
gesetzgebung)
mempunyai dua pengertian yang berbeda, yaitu:
37
38
Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Van Der Tak dalam Aziz Syamsudin, Proses dan Teknik Perundang-Undangan, (Jakarta: Sinar Garfika, 2011) hlm. 13.
37
1. Perundang-undangan sebagai sebuah proses pembentukan atau proses membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah; 2. Perundang-undangan sebagai segala peraturan negara, yang merupakan hasil proses pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat maupun ditingkat daerah. Sedangkan
ihwal
definisi
dari
perundang-undangan
menurut
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(yang
selanjutnya
disebut
Undang-undang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) yakni : “peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang
melalui
prosedur
yang
ditetapkan
dalam
Peraturan
Perundang-undangan”. Dalam
Undang-undang
Pembentukan
Peraturan
Perundang-
undangan, Pasal 7 menyebutkan bahwa jenis dan hirarkhi Peraturan Perundang-undangan di Indonesia terdiri atas: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Ketepatan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah; 5. Peraturan Presiden; 6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
38
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dalam
tataran
pemerintahan
local,
aspek
hukum
dalam
penyelenggaraan Pemerintah Daerah di era otonomi merupakan salah satu
aspek
yang
sangat
terkait
dengan
keseluruhan
aktifitas
penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah, dengan hubungan kemitraan antara DPRD selaku Badan Legislatif Daerah dengan Kepala Daerah beserta jajarannya selaku Lembaga Eksekutif Daerah, tercermin dari produk hukum yang dihasilkan, yakni berupa Peraturan Daerah baik pada tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. 1. Pengertian Peraturan Daerah Undang-undang Pemerintahan Daerah memberikan penjelasan tentang peraturan daerah, yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk bersama antara DPRD dengan Kepala Daerah baik di Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Sedang di dalam Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang terdapat dua pengertian tentang peraturan daerah, yakni peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota. Peraturan daerah provinsi adalah peraturan perundangundangan yang dibentuk oleh DPRD Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur. Sedang peraturan daerah Kabupaten/Kota adalah peraturan
perundang-undangan
yang
dibentuk
oleh
DPRD
Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. Dalam Undang-undang Pemerintahan Daerah, peraturan daerah dibentuk
dalam
rangka
penyelenggaraan
otonomi
daerah
39
Provinsi/Kabupaten/Kota
dan
tugas
pembantuan
serta
merupakan
penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan daerah dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan
perundang-undangan.
Masyarakat
berhak
memberikan
masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan peraturan daerah. Persiapan pembentukan, pembahasan, dan pengesahan rancangan peraturan daerah berpedoman kepada peraturan perundang-undangan.39 Peraturan daerah sebagai salah satu bentuk peraturan perundangundangan merupakan bagian dari pembangunan sistem hukum nasional. Peraturan daerah yang baik dapat terwujud apabila didukung oleh metode dan standar yang tepat sehingga memenuhi teknis pembentukan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam Undangundang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 2. Landasan-Landasan Pembentukan Peraturan Daerah Sebagai
salah
satu
jenis
peraturan
perundang-undangan
di
Indosesia, peraturan daerah dalam pembentukannya tunduk pada asas maupun teknik dalam penyusunan perundang-undangan yang telah ditentukan. Hal yang sangat penting dalam pembentukan peraturan 39
Dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_daerah_di_Indonesia diakses pada 13/02/2014 (17:33).
40
perundang-undangan
diantaranya
adalah
menyangkut
tentang
landasannya. Landasan yang dimaksud disini aadalah pijakan, alasan atau latar belakang mengapa perundangan-undangan itu harus dibuat. Menurut Bagir Manan ada 4 Landasan yang digunakan dalam menyusun perundang-undangan agar menghasilkan perundang-undnagan yang tangguh dan berkualitas, yaitu :40 1. Landasan yuridis Yakni ketentuan hukum yang menjadi dasar kewenangan (bevoegheid,competentie) pembuat peraturan perundang-undangan. Apakah kewenangan pejabat atau badan mempunyai dasar hukum yang ditentukan dalam perundang-undnagan atau tidak. Hal ini sangat penting untuk disebutkan dalam perundang-undangan karena seorang pejabat/suatu badan tidak berwenang (onbevogheid) mengeluarkan aturan. Landasan ini dibagi menjadi dua: a) Dari segi formil landasan ini memberikan kewenangan bagi instansi tertentu untuk membuat peraturan tertentu b) Dari segi materiil sebagai dasar hukum untuk mengatur hal-hal tertentu Landasan yuridis dari penyusunan peraturan perundang-undangan meliputi 3 hal: a) Kewenangan dari pembuat perundang-undangan 40
Bagir Manan dalam W. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Harsono, Legislatif Drafting Teori dan Teknik Pembuatan Peraturan Daerah, (Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2009).
41
b) Kesesuaian bentuk dan jenis perauran perundang-undangan dengan materi yang diatur c) Keharusan mengikuti tata cara tertentu pembuatan perundangundangan Dalam suatu perundang-undangan landasan yuridis ini ditempatkan pada bagian konsideran “mengingat” 2. Landasan Sosiologis Yakni satu peraturan perundang-undangan yang dibuat harus dapat dipahami oleh masyarakat sesuai dengan kenyataan hidup. Ini berarti bahwa hukum yang dibentuk harus sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat. Dalam kondisi demikian inilah maka perundang-undangan tidak mungkin lepas dari gejala-gejala sosial yang ada di masyarakat. Dengan melihat kondisi sosial yang terjadi dalamasyarakat dalam rangka penyususnan suatu perundang-undnagnan maka tidak begitu banyak lagi pengarahan institusi kekuasaan dalam melaksanakannya. 3. Landasan Filosofis Yaitu dasar filsafat atau pandangan atau ide yang menjadi dasar sewaktu menuangkan hasrat dan kebijakan (pemerintah) ke dalam suatu rencana atau draft peraturan negara. Suatu rumusan perundang-undnagan
harus
mendapat
pembenaran
(recthvaardiging) yang dapat diterima dan dikaji secara filosofis. Pembenaran itu harus sesuai dengan cita-cita dan pandangan hidup
42
maysarakat yaitu cita-cita kebenaran (idée der waarheid), cita-cita keadilan (idée der grerecthsigheid) dan cita-cita kesusilaan (idée der eedelijkheid).41 Dengan demikian perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan filosofis (filosofis grondflag) apabila rumusannya mendapat pembenaran yang dikaji secara filosofis. Dalam konteks negara Indonesia yang menjadi induk dari landasan filosofis ini adalah pancasila sebagai suatu sistem nilai nasional bagi sistem kehidupan bernegara. 4. Landasan Politis Yakni garis kebijakan politik yang menjadi dasar selanjutnya bagi kebijakan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan negara, hal ini dapat diungkapkan pada garis politik seperti pada saat ini tertuang pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) maupun Program Legislasi Daerah (Prolegda), dan juga kebijakan Program Pembangunan
Nasioal
(Propenas)
sebagai
arah
kebijakan
pemerintah yang akan di laksanakan selama pemerintahannya ke depan. Ini berarti memberi pengarahan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan yang akan dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang. Selain landasan tersebut diatas masih ada beberapa landasan yang dapat digunakan diantaranya, landasan ekonomis, ekologis, 41
Budiman NPD, Ilmu Pengantar Perundang-Undangan (Yogyakarta: UII press, 2005) hlm. 33.
43
cultural, religi, administratif dan teknis perencanaan yang tidak boleh diabaikan dalam upaya membuat peraturan perundang-undngan yang baik di semua tingkatan pemerintah. 3. Proses Pembentukan Peraturan Daerah Dalam membuat suatu peraturan daerah ada batasan-batasan yang diberikan undang-undang terhadap Pemerintah Daerah, batasan pertama adalah soal kewenangan dan yang kedua adalah keberadaan Perda dalam hierarki perundang-undangan di Indonesia. Batasan kewenangan mencakup dua hal, pertama adalah batasan kewenangan yang dimiliki oleh DPRD dan Pemerintah Daerah sedangkan yang kedua batasan kewenangan yang dimiliki oleh daerah yaitu Kabuten/ Propinsi. Untuk yang pertama pengaturannya mengacu kepada Pasal 42 Undang-undang Pemerintahan Daerah yang memberikan kewenangan kepada DPRD dan Pemerintah daerah untuk menjalankan kewenangan sebagai berikut: a. membentuk peraturan daerah yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama; b. membahas dan menyetujui rancangan peraturan daerah tentang APBD bersama dengan kepala daerah; c.
melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam
44
melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah; d. mengusulkan
pengangkatan
dan
pemberhentian
kepala
daerah/wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD provinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten/kota; e. memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah; f.
memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;
g. memberikan
persetujuan
terhadap
rencana
kerja
sama
internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah; h. meminta
laporan
keterangan
pertanggungjawaban
kepala
daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; i.
membentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah;
j.
melakukan pengawasan dan meminta laporan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah;
k.
memberikan
persetujuan
antardaerah
dan
dengan
terhadap pihak
rencana
ketiga
yang
kerja
sama
membebani
masyarakat dan daerah.
45
Sedangkan batasan tentang kewenangan pemerintahan kabupaten dan atau kota sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undangundang Pemerintahan Daerah sebagai berikut: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c.
penyelenggaraan
ketertiban
umum
dan
ketenteraman
masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f.
penyelenggaraan pendidikan;
g. penanggulangan masalah sosial; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan; i.
fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j.
pengendalian lingkungan hidup;
k.
pelayanan pertanahan;
l.
pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan p. urusan
wajib
lainnya
yang
diamanatkan
oleh
peraturan
perundang-undangan. Dengan adanya kedua batasan kewenangan setiap peraturan daerah yang dilahirkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota haruslah
46
dikeluarkan oleh DPRD bersama-sama dengan Pemerintah Daerah. Jika ada peraturan daerah yang lahir dengan tidak melibatkan salah satunya maka peraturan daerah tersebut dianggap batal demi hukum. Demikian pula soal kewenangan pemerintahan, peraturan daerah yang dihasilkan tidak boleh melanggar kewenangan Pasal 14 ayat (2). Batasan kewenangan ini juga mengacu kepada jenis kewenangan yang diberikan, apakah
dengan
kewenangan
wetgevingsbevogheid)
atau
wetgevingsbevoigdheid). peraturan
delegasi
kewenangan
Atribusi
perundang-undangan
atribusi
kewenangan ialah
(delegatie (attributie
van van
dalam
pembentukan
pemberian
kewenangan
membentukan peraturan yang diberikan oleh Grondwet (Undang-undang Dasar) atau Wet (Undang-undang) kepada suatu lembaga negara atau pemerintahan.42 Sedangkan delegasi kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan peraturan
adalah
pelimpahan
perundang-undangan
yang
kewenangan dilakukan
oleh
membentuk peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundangundangan yang lebih rendah, baik dinyatakan secara tegas atau tidak.43 Berbicara mengenai proses penyusunan peraturan daerah dalam suatu wilayah daerah, perlu melalui beberapa tahap. Penyusunan peraturan daerah dimulai dengan perumusan masalah yang akan diatur
42
43
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, cet.5 (Jakarta: Kanisius, 2002), hlm. 35. Ibid.
47
dalam peraturan daerah tersebut. Masalah yang dimaksud adalah masalah-masalah sosial atau publik. Pada umumnya masalah sosial dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu sebagai berikut :44 a. Masalah sosial yang terjadi karena adanya perilaku dalam masyarakat yang bermasalah. Misalnya: maraknya perjudian atau beredarnya minuman keras dalam masyarakat sehingga membuat kehidupan masyarakat terganggu. b. Masalah sosial yang disebabkan karena aturan hukum yang tidak lagi proporsional dengan keadaan masyarakat. Misalnya, peraturan daerah tentang retribusi pemeriksaan kesehatan yang sangat memberatkan masyarakat kecil sehingga peraturan daerah tersebut harus diganti. Pembuatan suatu peraturan, baik peraturan pusat maupun peraturan daerah, pada dasarnya hampir sama mulai dari asas-asasnya, materi muatannya dan sebagainya. Pembentukan peraturan daerah dimulai dari tahap dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Rancangan peraturan daerah yang sudah disetujui DPRD kemudian ditandatangani oleh kepala daerah sehingga terbentuk peraturan daerah. Sebelum melakukan tahap pengesahan/penetapan dari suatu rancangan peraturan daerah, DPRD pada sebelum pembahasan maupun saat pembahasan 44
rancangan
peraturan
daerah
melakukan
langkah
Dikutip dari http://handikap60.blogspot.com/2013/01/contoh-pengertian-dan-prosespenyusunan_31.html di akses pada 13/022014 (20.05).
48
penyelenggaraan
konsultasi
publik.
Interaksi
dengan
masyarakat
merupakan upaya yang lentur, dan harus diintegrasikan ke dalam proses penulisan rancangan peraturan daerah. Proses konsultasi dan penulisan bersifat interaktif, saling mengisi dan mempengaruhi. Dalam proses penyusunan peraturan daerah baik di lingkungan pemerintah daerah maupun di DPRD masyarakat tetap dapat berperan
serta
secara
aktif
untuk
memberikan
masukan
dalam
penyempurnaan peraturan daerah, demikian juga pada saat dilakukan pembahasan bersama antara DPRD dan pemerintah daerah, DPRD dapat menyelenggarakan rapat dengar pendapat umum untuk mendapatkan lagi masukan dari masyarakat. Peran serta masyarakat dalam proses penyusunan Peraturan Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip akses informasi dan partisipasi.
E.
Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Produk Hukum Daerah Hukum dalam pembangunan semakin berperan sebagai alat/sarana
menyusun
tata
kehidupan.
Hasim
purba
mengatakan
bahwa
pembangunan hukum di Indonesia diharapkan memantapkan dan mengamankan pelaksanaan pembangunan, menciptakan kondisi yang membuat anggota masyarakat dapat menikmati iklim kepastian dan dan ketertiban hukum. Dalam hal ini pelibatan peran serta masyarakat secara aktif masuk dalam poin kedua karena hal ini termaktub dalam UUD 1945,
49
sehingga pemerintah berkawajiban untuk melibatkan masyarakat dalam pembuatan peraturan daerah secara lisan atau tulisan.45 Alexander Abdullah mengatakan partisipasi publik harus diberikan tidak saja dalam arti prosedural, tetapi juga harus dilembagakan sebagai hak-hak rakyat yang dijamin secara normatif.46 Marida Farida Indrati mengatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan dalam peraturan daerah untuk setiap provinsi, kabupaten dan kota secara berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan sumber daya yang tidak dapat disamakan dalam hal pengelolaannya, terutama berkaitan dengan materi.47 1. Partisipasi dan Masyarakat Dalam Kerangka Teori Banyak definisi yang dikemukakan para ahli dalam mengartikan masyarakat. Menurut Ralp Linton (1936): “Masyarakat adalah sekelompok manusia yang telah cukup lama dan bekerja sama, sehingga mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya sebagai salah satu kesatuan sosial dengan batas tertentu”. Sedangkan menurut John Lewis Gillin dan John Gillin (Gillin & Gillin) 1945: “Masyarakat itu adalah kelompok manusia yang terbesar yang mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan
yang
sama.
Masyarakat
itu
meliputi
pengelompokkan-
pengelompokan yang lebih kecil”. Berbeda dengan Karl Marx yang dikenal
45
46
47
Maria Farida Indrati, “Proses Pembentukan Perundang-undangan Pasca Amandemen UUD 1945” (Jakarta: Majalah Hukum Nasional, 2005) hlm. 98. Alexander Abdullah, “Desentralisasi dan Undang-undang Otonomi Daerah di Era Reformasi” (Yogyakarta: Jurnal Hukum UII Yogyakarta, 2010) hlm. 25. Marida Farida Indrati, Op.cit., hlm. 99.
50
dengan ajaran Marxisnya, Marx mendefinisikan masyarakat sebagai suatu struktur yang menderita ketegangan organisasi ataupun perkembangan karena adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang terpecahpecah secara ekonomis. Dengan melihat kondisi sosial dalam konteks kekinian penulis mendefinisikan masyarakat sebagai sejumlah manusia yang merupakan satu kesatuan golongan, yang berhubungan tetap dan mempunyai kepentingan yang sama. Berbicara
mengenai
pengertian
partisipasi.
Secara
harfiah,
partisipasi berarti “turut berperan serta dalam suatu kegiatan”, “peran serta aktif atau proaktif dalam suatu kegiatan”.48 Partisipasi dapat didefinisikan secara luas sebagai “bentuk keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat secara aktif dan sukarela, baik karena alasan-alasan dari dalam dirinya (intrinsik) maupun dari luar dirinya (ekstrinsik) dalam keseluruhan proses kegiatan yang bersangkutan”. Jadi, pada dasarnya pembangunan suatu daerah merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Dalam hal ini
masyarakat
Keterlibatan
menjadi
dan
sasaran
partisipasi
sekaligus
masyarakat
pelaku pada
pembangunan. setiap
tahapan
pembangunan daerah serta penentuan produk hukum daerah merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan. Kegagalan berbagai program pembangunan di masa lalu adalah disebabkan antara lain karena 48
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008).
51
penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi program-program pembangunan tidak melibatkan masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundangundangan seperti peraturan daerah dapat diartikan sebagai partisipasi politik. Dalam analisis politik modern partisipasi politik merupakan suatu masalah yang penting, dan akhir-akhir ini banyak dipelajari terutama dalam hubungannya dengan negara-negara berkembang.49 Seperti dalam definisi partisipasi yang sudah dijelaskan sebelumnya, partisipasi politik dapat juga dikatakan suatu kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara dan, secara langsung atau tidak langsung, memengaruhi kebijakan pemerintah (public policy) termasuk dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan (Peraturan Daerah). Dalam hubungan dengan negara-negara baru Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam No Easy Choice: Political Participation in Developing
Countries
memberi
tafsiran
yang
lebih
luas
dengan
memasukkan secara eksplisit tindakan ilegal dan kekerasan.50 “Partisipasi poltik merupakan kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk memengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif.”
49
50
Miriam Budiardjo, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010) hlm. 367. Ibid., hlm. 368.
52
Masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik atau dalam hal ini pembuatan peraturan daerah, terdorong oleh keyakinan bahwa melalui kegiatan bersama itu kepentingan mereka akan tersalur atau sekurangkurangnya diperhatikan, dan bahwa mereka sedikit banyak dapat memengaruhi tindakan dari mereka yang berwenang untuk membuat keputusan yang mengikat. Dengan kata lain mereka percaya bahwa kegiatan mereka mempunyai efek politik (political efficacy).51 Dari penjelasan tersebut, jelaslah bahwa partisipasi politik erat sekali kaitannya dengan kesadaran politik, karena semakin sadar bahwa dirinya diperintah dan terkena langsung dari setiap kebijakan yang telah dibuat oleh penguasa, orang kemudian menuntut diberikan hak baik itu dalam penyelenggaraan pemerintah. Perasaan kesadaran seperti ini dimulai dari orang yang berpendidikan, yang kehidupannya lebih baik, dan orangorang terkemuka. Di negara-negara demokrasi umumnya dianggap bahwa lebih banyak partispasi masyarakat, lebih baik. Dalam alam pikiran ini tingginya tingkat partisipasi menunjukkan bahwa warga mengikuti dan memahami masalah dan ingin melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan itu.52 Menyusun model yang dapat membantu untuk menilai tingkat partisipasi dalam proses pembentukan peraturan daerah, perlu dijabarkan derajat
partisipasi
masyarakat.
Pertama,
tidak
partisipatif
(non
participation); kedua, derajat semu (degrees of tokenism); dan Ketiga, 51 52
Ibid. Ibid.,hlm. 369.
53
kekuatan masyarakat (degrees of citizen power). Dasar penentuan derajat, bukan pada seberapa jauh masyarakat telah terlibat dalam proses pembentukan kebijakan atau program yang dilaksanakan oleh negara tetapi seberapa jauh masyarakat dapat menentukan hasil akhir atau dampak dari kebijakan atau program tersebut. Berikut derajat partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah, yang berturut-turut semakin dekat kepada bentuk yang ideal dimulai dari derajat tidak partisipatif (non participation), derajat semu (degrees of tokenism), dan kekuatan masyarakat (degrees of citizen power) : 1. Derajat
partisipasi
masyarakat
Tidak
Partisipatif
(non
participation) Derajat Ini memiliki tingkat partisipasi yang paling lemah dengan tingkat partisipasi yang pasif/manipulatif. Karakteristiknya adalah hanya bertujuan untuk menata masyarakat dan mengobati luka yang timbul akibat dari kegagalan sistem dan mekanisme pemerintahan. Tidak ada niatan sedikitpun untuk melibatkan masyarakat dan masyarakat hanya menerima pemberitahuan apa yang sedang dan telah terjadi. Pengumuman sepihak oleh pemerintah daerah tentang peraturan daerah tidak memperhatikan tanggapan masyarakat sebagai sasaran program. 2. Derajat partisipasi masyarakat Derajat Semu (degrees of tokenism)
54
Derajat semu terdiri dari tiga tingkat partisipasi, yaitu : a.
Partisipasi Informative Di sini masyarakat sudah mendapat pemberitahuan dan
hanya menjawab pertanyaan pertanyaan terkait peraturan daerah,
namun
tidak
berkesempatan
untuk
terlibat
dan
mempengaruhi proses keputusan. Akurasi hasil studi, tidak dibahas bersama masyarakat. b.
Partisipasi Konsultatif Masyarakat
berpartisipasi
dengan
cara
berkonsultasi,
sedangkan orang yang ditempati berkonsultasi mendengarkan, serta menganalisis masalah dan pemecahannya. Dalam pola ini belum ada peluang untuk pembuatan keputusan bersama. Pemerintah Daerah maupun DPRD tidak berkewajiban untuk mengajukan pandangan masyarakat (sebagai masukan) untuk ditindaklanjuti. c.
Partisipasi Placation Karakterisitik
tingakatan
partisipasi
placation
atau
peredaman adalah masyarakat membentuk kelompok terkait peraturan daerah yang telah disusun setelah ada keputusankeputusan utama yang disepakati. Pada tahap awal, masyarakat sudah memberikan masukan secara lebih signifikan dalam penentuan suatu peraturan daerah, tetapi secara bertahap
55
kemudian pengambilan keputusan masih dipegang penuh oleh pemegang kekuasaan. 3. Derajat partisipasi masyarakat Kekuatan Masyarakat (degrees of citizen power) Derajat kekuatan masyarakat terdiri dari tiga tingkat partisipasi, yaitu : a.
Partisipasi Partnerships Dalam tahap ini, partisipasi masyarakat sudah masuk dalam
penetuan proses, hasil, dan dampak dari suatu peraturan daerah. Masyarakat sudah bisa bernegoisiasi dengan penguasa dalam posisi politik yang sejajar. b.
Partisipasi Delegated Power (interaktif) Dalam tingkat delegated power atau delegasi kekuasaan,
masyarakat sudah berperan dalam proses analisis untuk perencanaan dan pembentukan atau penguatan peraturan daerah. Pola ini cenderung melibatkan metode interdisipliner secara interaktif yang mencari keragaman perspektif dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematis. Masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas pelaksanaan keputusankeputusan mereka, sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan.
56
c.
Partisipasi Citizen Control Dan pada tingkatan partisipasi teratas yaitu citizen control
atau kendali masyarakat. Masyarakat mengambil inisiatif sendiri secara
bebas
(mandiri)
untuk
mengendalikan
proses,
pembentukan, dan pelaksanaan dari peraturan daerah. Mereka mengembangkan kontak dengan lembaga-lembaga lain untuk mendapatkan bantuan dan dukungan teknis serta sumberdaya yang diperlukan. Yang terpenting, masyarakat memegang kandali atas seluruh peraturan daerah yang dibuat. 2. Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat Dalam hal ini, Participation citizen a legislative terdapat empat bentuk partisipasi masyarakat yang dapat dilakukan masyarakat dalam proses
pembentukan
peraturan
daerah.
Jadi,
bentuk
partisipasi
masyarakat dalam proses pembentukan peraturan daerah di sesuaikan dengan bentuk-bentuk yang tengah dilakukannya. Adapun keempat bentuk partisipasi masyarakat tersebut adalah: 1. Partisipasi masyarakat dalam bentuk audensi/RDPU di DPRD Partisipasi masyarakat dalam bentuk audensi/RDPU di DPRD ini dapat dilakukan masyarakat baik atas permintaan langsung dari DPRD maupun atas keinginan masyarakat sendiri (audensi). Apabila partisipasi masyarakat ini atas dasar permintaan dari DPRD, maka partisipasi
masyarakat
disampaikan
kepada
yang
meminta
dilakukannya rapat dengar pendapat umum (RDPU). Akan tetapi 57
untuk partisipasi masyarakat dalam bentuk audensi atas keinginan langsung dari masyarakat, maka masyarakat dapat memilih alat kelengkapan DPRD yang diharapkan dapat menyalurkan aspirasi masyarakat, misalnya Panitia Verja, Komisi, Panitia Khusus, dsb. Audensi/RDPU ini dapat dilakukan oleh masyarakat baik secara lisan, tertulis maupun gabungan antara lisan dan tertulis. 2. Partisipasi masyarakat dalam bentuk Mengajukan Peraturan Daerah sendiri Partisipasi masyarakat dalam bentuk penyampaian peraturan daerah sendiri ini dapat dilakukan oleh masyarakat dengan membuat peraturan daerah alternatif sendiri kemudian diserahkan ke DPRD untuk dibahas, tentunya dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam pembahasan peraturan daerah serta ikut dalam pengambilan keputusan bersama DPRD dan Pemerintah Daerah untuk disetujui. Penyusunan peraturan daerah dilakukan dengan mengikuti format sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Lembaga legislatif disini hanya sebagai fasilitator untuk mendukung dan menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan masyarakat dalam membuat suatu peraturan daerah. Partisipasi masyarakat dalam bentuk peraturan daerah sendiri ini mengambil inisiatif sendiri secara bebas (tidak dipengaruhi pihak luar) untuk merubah dari rancangan
58
peraturan daerah. Yang terpenting, masyarakat juga memegang kandali atas seluruh rancangan peraturan daerah yang dibuat. 3. Partisipasi masyarakat dalam bentuk unjuk rasa Partisipasi masyarakat dalam bentuk unjuk rasa ini dapat dilakukan masyarakat dalam rangka mendukung, menolak maupun menekan materi yang tengah dibahas dalam proses pembentukan peraturan daerah. Unjuk rasa ini dapat dilakukan baik secara individual maupun kelompok masyarakat dengan jumlah yang besar. Akan tetapi, pengaruh dari unjuk rasa ini akan lebih berhasil dalam mempengaruhi lembaga legislatif jika dilakukan oleh masyarakat yang langsung berkepentingan, dengan jumlah yang besar dan dilakukan secara berkelanjutan. Unjuk rasa ini merupakan ungkapan kebebasan individu warga negara atas kepentingannya yang akan diatur dalam suatu Undang-undang. Jadi, unjuk rasa ini tidak dapat hanya dianggap sebagai angin lalu dalam proses pembentukan peraturan daerah. 4. Partisipasi masyarakat dalam bentuk diskusi, lokakarya dan seminar Partisipasi masyarakat dalam bentuk diskusi, lokakarya dan seminar ini dapat dilakukan masyarakat dalam rangka memperoleh kejelasan persoalan terhadap materi yang tengah dibahas dalam lembaga legislatif. Karena diskusi, lokakarya dan seminar ini dilakukan ketika proses pembentukan peraturan daerah tengah 59
memasuki pembahasan dalam tahap legislatif, maka narasumber yang dihadirkan tidak hanya dari kalangan para ahli, akademisi, pakar maupun pengamat, tetapi sebaiknya mendatangkan juga politisi yang berkecimpung langsung dalam pembahasan suatu peraturan daerah. Dengan demikian, diskusi, lokakarya dan seminar, akan mendapatkan gambaran yang utuh terhadap persoalan yang tengah dibahas dalam lembaga legislatif. Sesuai
dengan
tahapan
pembentukan
peraturan
perundang-
undangan daerah, yang dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Maka sesungguhnya sejak tahap perencanaan pembentukan program
peraturan
legislasi
perundang-undangan
daerah
(prolegda)
atau
untuk
penyusunan perencanaan
pembentukan peraturan daerah, masyarakat telah diberi ruang untuk berpartisipasi. 3. Urgensi Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah Titik tolak dari penyusunan peraturan daerah adalah efektivitas dan efisiensi pada masyarakat. Tujuan dasar dari peran serta masyarakat adalah untuk menghasilkan masukan dan persepsi yang berguna dari warga negara dan masyarakat yang berkepentingan (publik inters) dalam rangka meningkatkan kualitas pengambilan keputusan, karena dengan
60
melibatkan masyarakat yang terkena dampak akibat kebijakan dan kelompok kepentingan (interest grups), para pengambil keputusan dapat menangkap pandangan, kebutuhan dan penghargaan dari masyarakat dan kelompok tersebut, untuk kemudian menuangkannya ke dalam satu konsep.53 Terkait partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 96 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundangundangan. Selanjutnya dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan peraturan daerah. Partisipasi dimaksudkan sebagai keikutsertaan pihak-pihak luar DPRD dan pemerintah daerah dalam menyusun dan membentuk peraturan daerah. Ada dua sumber partisipasi; pertama dari unsur pemerintahan diluar DPRD dan pemerintah daerah, seperti polisi, kejaksaan, pengadilan, perguruan tinggi dan lain-lain. Kedua dari masyarakat,
baik
individual
seperti
ahli-ahli
atau
yang
memiliki
pengalaman atau dari kelompok seperti LSM. 53
Mahendra Putra Kurnia, dkk, Pedoman Naskah Akademik Perda Partisipatif, (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2007) hlm.72.
61
Mengikutsertakan pihak-pihak luar DPRD dan pemerintah daerah sangat penting untuk : a. menjaring pengetahuan, keahlian atau pengalaman masyarakat sehingga
peraturan
daerah
benar-benar
memenuhi
syarat
peraturan perundang-undangan yang baik. b. menjamin peraturan daerah sesuai dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. c. menumbuhkan
rasa
memiliki
(sense
of
belonging),
rasa
bertanggung jawab atas peraturan daerah tersebut. Hakekat pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembentukan Peraturan Daerah adalah dapat : a. Memberikan landasan yang lebih baik untuk pembuatan kebijakan publik dalam menciptakan suatu good governance. b. Memastikan adanya implementasi yang lebih efektif karena warga mengetahui dan terlibat dalam pembuatan kebijakan publik. c. Meningkatkan kepercayaan warga kepada eksekutif dan legislatif. d. Efisiensi sumber daya, sebab dengan keterlibatan masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik dan mengetahui kebijakan publik, maka sumber daya yang digunakan dalam sosialisasi kebijakan publik dapat dihemat. Dari berbagai uraian di atas untuk membentuk peraturan daerah yang dapat memenuhi aspirasi yang diinginkan masyarakat tentunya harus diimbangi dengan keterlibatan masyarakat, meliputi;
62
1) Keterlibatan dalam penyusunan peraturan daerah. Pada tahap ini masyarakat dapat terlibat dalam proses penyusunan dalam tim/kelompok kerja, terlibat dalam penyiapan naskah akademik, maupun penyampaian masukan yang disampaikan secara lisan, tulisan, ataupun melalui media massa ditujukan kepada penggagas peraturan daerah/tim. Adapun yang menjadi kendala adalah sejauh mana transparansi serta komitmen stakeholder terkait, sehingga masyarakat mengetahui dan dapat memberi masukan tentang agenda yang sedang dan akan dibahas. 2) Keterlibatan dalam proses pembahasan peraturan daerah. Proses ini sebagian besar berada pada posisi pembahasan antara DPRD dan Pemerintah Daerah. Dalam tahap ini seharusnya sebelum dibahas terlebih dahulu diumumkan di media massa untuk memberi kesempatan
kepada
masyarakat
Selanjutnya
dalam
proses
menyampaikan
pembahasan
aspirasinya.
masyarakat
bisa
memberikan masukan secara lisan, tertulis ataupun pada saat rapat-rapat pembahasan peraturan daerah. Terhadap kehadiran dalam rapat memang menjadi dilema, karena hal tersebut tergantung keinginan DPRD maupun pemerintah daerah apakah akan
mengundang
masyarakat
atau
membiarkan
proses
pembahasan berjalan tanpa keterlibatan masyarakat. 3) Keterlibatan pada pelaksanaan peraturan daerah. Keterlibatan masyarakat pada tahap ini bisa terlihat bagaimana masyarakat
63
patuh terhadap materi peraturan daerah karena merasa sudah sesuai aspirasi, atau justru kebalikannya masyarakat merasa dirugikan
atau
tidak
merasa
tersalurkan
aspirasi.
Apabila
masyarakat merasa dirugikan dapat menempuh jalur memberikan masukan kepada lembaga pembentuk peraturan perundangundangan, dan bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan perubahan ataupun mencabut peraturan tersebut. Selanjutnya juga bisa diambil langkah melalui judicial review. Termasuk salah satu kendala dalam mewujudkan peraturan daerah yang partisipatif adalah dari sisi peraturan perundang-undangan memang tidak diatur secara tegas bahwa proses pembentukan peraturan peraturan daerah harus ada partisipasi masyarakat. Dalam Pasal 96 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundangundangan. Selanjutnya dalam Pasal 139 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan peraturan daerah.
64
BAB III METODE PENELITIAN A.
Lokasi Penelitian Berdasarkan pilihan judul skripsi ini, lokasi penelitian dilakukan di
Kabupaten Sidenreng Rappang, yaitu di kantor DPRD Kabupaten Sidenreng Rappang, kantor Bupati Kabupaten Sidenreng Rappang, dan kantor Instansi/SKPD Kabupaten Sidenreng Rappang terkait. Alasan peneliti (penulis) memilih Kabupaten Sidenreng Rappang sebagai lokasi penelitian adalah kurang tersosialisasikannya atau kurang pahamnya akan setiap peraturan daerah yang telah dibuat oleh pembuat peraturan daerah (Pemerintah Daerah dan DPRD) kepada sebagian masyarakat Kabupaten Sidenreng Rappang.
B.
Populasi dan Sampel Dalam penelitian ini, peneliti (penulis) akan mengumpulkan data
secara aktual dan lengkap dari objek penelitian ini, seperti anggota DPRD Kabupaten Sidenreng Rappang, Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah
Kabupaten
Sidenreng
Rappang,
Pegawai
Negeri
Sipil
Instansi/SKPD Kabupaten Sidenreng Rappang terkait, dan Tokoh Masyarakat Kabupaten Sidenreng Rappang, dan pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang menjadi materi pembahasan.
65
C.
Jenis dan Sumber Data Pengumpulan data erat kaitannya dengan sumber data, maka
metode pengumpulan data yang digunakan untuk mendukung penelitian ini dapat dilakukan melalui pengumpulan : 1. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan (field research). Data ini diperoleh melalui wawancara (interview), yaitu metode pengumpulan data dengan jalan mengadakan tanya jawab yang dilakukan secara sistematis dan berlandaskan pada tujuan penelitian. Wawancara dalam penelitian ini dilakukan secara langsung dan bebas terpimpin terhadap responden yang dijadikan sampel sebagaimana disebutkan
di
atas,
dengan
maksud,
unsur
kebebasan
masih
dipertahankan, sehingga kewajaran masih dapat dicapai secara maksimal, sehingga memudahkan diperoleh data secara mendalam. 2. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan mempelajari literatur dan peraturan perundang-undangan serta dokumen, laporan dan dokumen lain yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam proses legislasi dan permasalahan yang akan diteliti. Data
sekunder
ini
diperlukan
untuk
saling
menunjang
dan
melengkapi dengan data primer yang diperoleh dan digunakan sebagai landasan teori dalam menganalisis data serta permasalahannya.
66
D.
Teknik Pengumpulan Data Guna mengumpulkan data-data yang digunakan dalam rangka
penulisan skripsi ini, maka pendekatan metode pengumpulan datanya adalah sebagai berikut : 1. Penelitian kepustakaan Dalam penelitian kepustakaan, penulis akan melakukan pengkajian dan mengolah data-data yang tersebut dalam peraturan perundangundangan, jurnal dan kajian-kajian ilmiah serta buku-buku yang berkaitan dengaan latar belakang permasalahan, termasuk dapat mengumpulkan data melalui media elektronik dan media-media informasi lainnya. Datadata yang telah ditelusuri akan dipilih dan dipilah sesuai tingkat kepentingan (urgensi) dari penulisan skripsi ini. 2. Penelitian lapangan (Field Research) Penelitian akan dilakukan dengan terjun langsung ke lapangan melakukan observasi dan interview, dengan pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang menjadi materi pembahasan. 1) Observasi, yaitu melakukan pengamatan secara langsung yang berkaitan dengan topik permasalahan. 2) Interview, yaitu mengadakan wawancara langsung dengan anggota
DPRD
Kabupaten
Sidenreng
Rappang,
pegawai
Instansi/SKPD terkait, dan masyarakat di Kabupaten Sidenreng
67
Rappang yang mengetahui tentang permasalahan yang akan diteiliti.
E.
Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis deskriptif, yaitu menganalisa data dari studi lapangan dan kepustakaan dengan cara menjelaskan dan memaparkan hasil atau kenyataan objek yang akan disusun secara logis. Selanjutnya dari pengumpulan data dan hasil penelitian yang telah dianalisis dan dibahas akan disusun dalam suatu laporan hasil penelitian mengenai efektivitas partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang.
68
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.
Profil Kabupaten Sidenreng Rappang 1. Sejarah Sidenreng Rappang Sebelum
ditetapkan
menjadi
sebuah
Kabupaten,
Sidenreng
Rappang atau yang lebih akrab disingkat SIDRAP, memiliki sejarah panjang sebagai kerajaan Bugis yang cukup disegani di Sulawesi Selatan sejak abad XIV, disamping kerajaan Luwu, Bone, Gowa, Soppeng, dan Wajo. Berbagai literatur yang ada menyebutkan, eksitensi kerajaan ini turut memberi warna dalam percaturan ekonomi dan politik kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan. Sidenreng merupakan salah satu dari sedikit kerajaan yang tercatat dalam Kitab La Galigo yang amat melegenda. Sementara masa La Galigo, menurut Christian Pelras yang menulis buku Manusia Bugis, berlangsung pada periode abad ke 11 dan 13 Masehi. Ini berarti Sidenreng merupakan salah satu Kerajaan Kuno atau pertama di Sulawesi Selatan.54 Dalam literatur lain, Rappang disebutkan sebagai kerajaan yang menguasai daerah hilir Sungai Saddang di abad 15 M. Bersama dengan Sidenreng, Sawitto, Alitta, Suppa, dan Bacukiki, mereka membentuk persekutuan Aja’Tappareng (wilayah barat danau) untuk
54
Bappeda Kabupaten Sidrap, Selayang Pandang Sidenreng Rappang, (Sidrap: Bappeda Kabupaten Sidrap Kerjasama Yayasan Lentera 2006) hlm. 2.
69
membendung dominasi Luwu. Persekutuan itu kemudian diikatkan dalam perkawinan antar keluarga raja-raja mereka.55 Sidenreng dan Rappang merupakan dua kerajaan yang berbeda, kedua kerajaan ini memiliki perbedaan yang sangat mendasar dalam sistem pemerintahan. Kerajaan Sidenreng menerapkan sistem yang top down yang dalam bahasa Bugis disebut massorong pao, sedangkan Kerajaan Rappang justru sudah lebih maju dalam menerapkan demokrasi dengan menganut sistem mangelle pasang (bottom up). Perbedaan dalam sistem pemerintahan tak memisahkan hubungan keduanya, sejarah perjalanan dari kedua kerajaan ini menggambarkan pertautan antara Sidenreng dan Rappang sudah ada sejak awal. Itu sebabnya, kedua kerajaan memiliki hubungan yang sangat erat. Terbukti dengan sumpah kedua kerajaan yang dipegang teguh hingga Addatuang Sidenreng terakhir, yakni: “Mate Elei Sidenreng, Mate Arewengngi Rappang”. Artinya, jika Sidenreng mati di pagi hari, sorenya Rappang akan menyusul. Sebuah ikrar solidaritas sehidup semati yang dipegang teguh setiap raja atau arung yang memerintah di kedua kerajaan. Malah, pada 1889, Kerajaan Sidenreng dan Kerajaan Rappang justru diperintah oleh seorang raja bernama Lapanguriseng. Ia menjadi Addatuang Sidenreng X sekaligus Arung Rappang XIX. Hal yang sama juga diteruskan oleh puteranya, Lasaddapotto, Addatuang Sidenreng XII yang
55
Ibid., hlm. 4.
70
naik tahta menggantikan saudaranya, Sumangerukka, yang tidak memiliki keturunan.56 Dalam perjalanannya kerajaan Sidenreng dan Rappang mengalami pasang surut pemerintahan, hingga pada Tahun 1906 kedua kerajaan yang ketika itu diperintah La Sadapotto, Addatuang Sidenreng XII sekaligus Arung Rappang XX, akhirnya dipaksa tunduk kepada kolonial Belanda setelah melalui perlawanan yang sengit. Wilayah kedua Kerajaan ini kemudian berstatus distrik dalam wilayah onderafdeling Parepare. Selanjutnya pada Tahun 1917 kedua wilayah tersebut digabung menjadi satu, sebagai bagian dari wilayah pemerintahan Afdeling Parepare yang meliputi : 1. Onderafdeling Sidenreng Rappang 2. Onderafdeling Pinrang 3. Onderafdeling Parepare 4. Onderafdeling Enrekang; dan 5. Onderafdeling Barru. Onderafdeling
Sidenreng
Rappang
di
bawah
Pemerintahan
Controleur yang berkedudukan di Rappang, dengan membawahi wilayah administrasi daerah adat yang disebut Regen. Keadaan ini berlangsung hingga masa pendudukan Pemerintahan Jepang yang pada masa itu berada dibawah pengawasan Bunken Kanrikan.
56
Ibid., hlm. 5.
71
Seiring Fajar Kemerdekaan yang menyingsing pada 17 Agustus 1945, gelora semangat persatuan Indonesia tak terbendung lagi. Maka dengan dukungan penuh seluruh masyarakat, Sidenreng Rappang menyatakan diri sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketika Parepare menjadi Daerah Swatantra Tingkat II berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1952, Sidenreng Rappang menjadi kewedanan yang di dalamnya terdapat Swapraja Sidenreng dan Swapraja Rappang yang berotonomi sebagai lembaga pemerintahan adat berdasarkan Staatblat 1938 Nomor 529. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Sulawesi, Kewedanan Sidenreng Rappang yang meliputi Swapraja Sidenreng dan Swapraja Rappang dibentuk menjadi Daerah Tingkat II Sidenreng Rappang dengan pusat pemerintahannya berkedudukan di Pangkajene Sidenreng yang meliputi 7 (tujuh) wilayah kecamatan masing-masing : 1. Kecamatan Dua Pitue; 2. Kecamatan Maritengngae; 3. Kecamatan Panca Lautang; 4. Kecamatan Tellu Limpoe; 5. Kecamatan Watang Pulu; 6. Kecamatan Panca Rijang; 7. Kecamatan Baranti.
72
Seiring dengan itu pula, terbit pula Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor U.P.7/73-374 tanggal 28 Januari 1960 yang menetapkan Andi Sapada Mappangile sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Sidenreng Rappang yang Pertama. Pada 18 Peberuari 1960, Andi Sapada Mappangile kemudian dilantik sebagai Bupati oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan. Atas dasar pelantikan Bupati tersebut, maka ditetapkan tanggal 18 Pebruari 1960 sebagai hari jadi daerah Kabupaten Sidenreng Rappang yang diperingati setiap Tahunnya. Sejak itu berakhir sudah pemerintahan feodal para bangsawan To Manurung yang telah berlangsung berabad-abad. Namun, yang jauh lebih penting adalah tumbuhnya rasa kebangsaan sebagai warga negara Indonesia yang memiliki persamaan hak dan derajat.57 2. Politik Pemerintahan Kabupaten Sidenreng Rappang Sidrap juga dikenal dengan Bumi Nene’ Mallomo. Nama ini diambil dari seorang cendekiawan yang diyakini pernah hidup di kerajaan Sidenreng di masa pemerintahan La Patiroi Addatuang VII. Nenek Mallomo adalah penasehat utama Addatuang dalam hukum dan pemerintahan, merumuskan
ia
dikenang
hukum
karena
ketatanegaraan
kecendekiawaannya
dalam
dan
dalam
kejujurannya
menegakkan keadilan.
57
Ibid., hlm. 7.
73
Kabupaten Sidrap dipimpin oleh seorang Bupati sebagai kepala daerah, Sejak terbentuknya hingga kini, Kabupaten Sidenreng Rappang telah dipimpin oleh : 1. H. Andi Sapada Mappangile
(1960-1966)
2. H. Arifin Nu’mang
(1966-1978)
3. H. Opu Sidik
(1978-1988)
4. H. M. Yunus Bandu
(1988-1993)
5. Drs. A. Salipolo Palalloi
(1993-1998)
6. HS. Parawansa, S.H.
(1998-2003)
7. H. Andi Ranggong
(2003-2008)
8. H. Rusdi Masse
(2008-2013 dan 2013-sekarang)
Di Legislatif juga mengalami masa pergantian sesuai mandat dari rakyat melalui pemilu. Secara berurut, DPRD Kabupaten Sidrap telah dipimpin oleh : 1. H. Lapaddong Dg. Bangung
(1961-1964)
2. Asape
(1964-1966)
3. M. Asap Dalle
(1966-1971)
4. Drs. Andi Sinrang Tjago
(1971-1977)
5. H. Andi Mappejeppu
(1972-1982 dan 1982-1987)
6. Drs. H. Sairing Djafar
(1987-1992 dan 1992-1997)
7. H. Syamsuddin Massa
(1997-1999)
8. H. Andi Ranggong
(1999-2003)
9. Andi Bagenda Ali
(2003-2009)
74
10. A. Sukri Baharman A. Md, Kom.(2009-sekarang) Sesuai dengan tuntutan perubahan dengan pertimbangan efektivitas pelaksanaan pemerintahan, di era kepemimpinan HS Parawansa, S.H. ketujuh kecamatan dimekarkan menjadi sebelas kecamatan sesuai Peraturan Daerah Kabupaten Sidenreng Rappang Nomor 10 Tahun 2000 tentang
Pembentukan
dan
Susunan
Organisasi
Kecamatan
dan
Kelurahan. Masing-masing :58 1. Kecamatan Dua Pitue; 2. Kecamatan Pitu Riase; 3. Kecamatan Pitu Riawa; 4. Kecamatan Maritengngae; 5. Kecamatan Watang Sidenreng; 6. Kecamatan Panca Rijang; 7. Kecamatan Kulo; 8. Kecamatan Baranti; 9. Kecamatan Watang Pulu; 10. Kecamatan Tellu Limpoe; 11. Kecamatan Panca Lautang. 3. Geografis dan Kependudukan Kabupaten Sidenreng Rappang Kabupaten Sidrap merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, berjarak sekitar 183 km kearah utara dari Makassar
58
Ibid., hlm. 9.
75
ibukota Provinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten Sidrap dengan ibukota Pangkajene secara geografis terletak diantara titik koordinat 3o43-4o09 Lintang
Selatan
dan
119o41-120o10
Bujur
Timur,
masing-masing
berbatasan dengan :59 Sebelah Utara
: Kabupaten Pinrang dan Kabupaten Enrekang
Sebelah Timur
: Kabupaten Luwu dan Kabupaten Wajo
Sebelah Selatan
: Kabupaten Barru dan Kabupaten Soppeng
Sebelah Barat
: Kabupaten Pinrang dan Kota Pare-pare
Wilayah
administrasi
Kabupaten
Sidrap
terbagi
dalam
11
Kecamatan, 68 Desa, dan 38 Kelurahan dengan luas 1.883,25 Km2. Adapun kecamatan terluas yaitu Kecamatan Pitu Riase dengan luas 844,77 Km2 dan kecamatan luas terendah yaitu Kecamatan Panca Rijang 34,02 Km2. Peruntukan lahan di Kabupaten Sidrap terdiri dari Sawah 23,86 %, Perkampungan/Perumahan 2,09 %, Kebun Campur 10,87 %, Ladang/Tegalan 0,74 %, Padang Rumput 9,16 %, Kolam/Tambak/Rawa 0,39 %, Danau 0,83 %, Perkebunan 9,37 %, Hutan Lebat 30,34 %, Hutan Sejenis 0,83 %, dan Belukan/Lainnya 11,52 %.60 Jumlah penduduk Kabupaten Sidrap pada Tahun 2012 sebanyak 277.451 jiwa yang terdiri dari 134.966 jiwa penduduk laki-laki dan 142.485 jiwa penduduk perempuan, dengan jumlah penduduk terbanyak berada di Kecamatan Maritengngae yaitu 47.203 jiwa.61
59
60 61
BPS Kabupaten Sidrap, Sidenreng Rappang Dalam Angka 2013, (Sidrap, BPS Kabupaten Sidrap, 2013) hlm. 2. Ibid., hlm. 4. Ibd., hlm. 29.
76
Kebanyakan keluarga bergantung pada sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian mereka. Kondisi ekonomi makro yang positif mampu
menutupi
rendahnya
kondisi
ekonomi
sebagian
besar
masyarakatnya. Masyarakat Kabupaten Sidrap sangat rajin dan pekerja keras, serta berpegang teguh pada prinsip lokal “Resopa Temmangingngi Namalomo Naletei Pammase Dewata”. Artinya, Hanya Dengan Kerja Keras Yang Tak Kenal Lelah Rahmat Tuhan Akan Tercurah. Hal ini terlihat Kabupaten Sidrap dikenal sebagai daerah lumbung pangan nasional yaitu produsen utama komoditas pertanian dan juga merupakan sentra peternakan ayam petelur dikawasan timur Indonesia.
B.
Bentuk–bentuk Penyusunan
Partisipasi
Peraturan
Masyarakat
Daerah
di
Dalam
Kabupaten
Proses Sidenreng
Rappang Sebelum kita melihat bentuk-bentuk pertisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang, perlu kita ketahui terlebih dahulu jumlah peraturan daerah yang ditetapkan dari Tahun 2009 sampai dengan Tahun 2013, dan jumlah peraturan daerah yang dikelola oleh instansi/SKPD terkait di Kabupaten Sidenreng Rappang
dari
Tahun
2009
sampai
dengan
Tahun
2013,
serta
instansi/SKPD mana yang melibatkan masyarakat dalam pembentukan peraturan daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang.
77
Berdasarkan data yang diperoleh peneliti/penulis di Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Sidenreng Rappang serta Bagian Hukum dan Informasi Sekretariat DPRD Kabupaten Sidenreng Rappang terkait Peraturan Daerah yang telah ditetapkan dari Tahun 2009 sampai dengan Tahun 2013, terlihat bahwa sebanyak 76 Peraturan Daerah yang telah ditetapkan. Berikut data jumlah Peraturan Daerah Kabupaten Sidenreng Rappang dari Tahun 2009 sampai dengan Tahun 2013 : Gambar 1 : Jumlah Peraturan Daerah Kabupaten Sidenreng Rappang Tahun 2009-2013
Jumlah Peraturan Daerah
30 25 20 15 10 5 0 2009
2010
2011
2012
2013
Tahun
Data Diolah Tahun 2014 Dari data Gambar 1 menunjukkan pada Tahun 2009 ada sebanyak 10 Peraturan Daerah yang ditetapkan, selanjutnya Tahun 2010 sebanyak 27 Peraturan Daerah, Tahun 2011 sebanyak 15 Peraturan Daerah, Tahun 2012 sebanyak 14 Peraturan Daerah, dan Tahun 2013 sebanyak 10
78
Peraturan Daerah. Daerah. Jadi, jumlah peraturan daerah yang ditetapkan sepanjang Tahun 2009 sampai dengan Tahun 2013 sebanyak 76 Peraturan Daerah. Dari 76 Peraturan Daerah yang telah ditapkan dari Tahun 2009 sampai dengan Tahun 2013, pengajuan peraturan daerah berasal dari Kepala Daerah/Bupati dan DPRD. Berikut persentase jumlah peraturan daerah yang diajukan diajuk Kepala Daerah/Bupati dan DPRD : Gambar 2 : Persentase Jumlah Peraturan Daerah Yang Diajukan Kepala Daerah/Bupati dan DPRD Tahun 2009-2013 2009
5% DPRD Kepala Daerah/Bupati
95%
Data Diolah iolah Tahun 2014 Dari data Gambar 2 menunjukkan pengajuan peraturan daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang secara umum berasal dari Kepala Daerah/Bupati. Dimana persentasenya 95% atau sebanyak 72 Peraturan Daerah yang diajukan oleh Kepala Daerah/Bupati, dan 5% atau hanya 4 Peraturan Daerah yang diajukan oleh DPRD. Adapun Daftar Peraturan Daerah Kabupaten Sidenreng Sidenr Rappang mulai dari Tahun 2009 sampai
79
dengan Tahun 2013 yang diperoleh dari Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Sidenreng Rappang terlampir. Dari jumlah peraturan daerah yang ditetapkan dari Tahun 2009 sampai dengan Tahun 2013, pengajuan peraturan daerah dari Kepala Daerah/Bupati melibatkan instansi/SKPD terkait untuk mengelolanya sesuai dengan tugas pokok dan fungsi serta substansi dari peraturan daerah yang ditetapkan. Berikut
klasifikasi
Jumlah
Peraturan
Daerah
yang
dikelola
Instansi/SKPD terkait mulai dari Tahun 2009 sampai dengan Tahun 2013 : Tabel 1 : Klasifikasi Jumlah Peraturan Daerah Kabupaten Sidenreng Rappang yang Di Kelola Instansi/SKPD Terkait Tahun 20092013 TAHUN No. PENGELOLA PERDA JUMLAH PERDA 2009 2010 2011 2012 2013 1 DPRD 4 4 2 Bagian Hukum Setda 4 4 3 9 20 3 Bagian Adm. Kemasyarakatan Setda 1 1 4 Bagian Organisasi Setda 3 3 5 Bagian Ekonomi Setda 1 1 1 2 6 Dinas Pendapatan Daerah 7 2 9 7 Dinas Kesehatan 2 2 8 Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil 1 1 2 9 Dinas Pora dan Budaya 1 1 2 10 Dinas Pendidikan 1 1 11 Dinas Peternakan dan Perikanan 2 1 3 12 Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang 1 1 13 Dinas Perindustrian dan Perdagangan 1 1 14 Dinas Perhubungan 6 6 15 BPMPD 1 1 16 Badan Lingkungan Hidup 1 1 17 BAPPEDA 1 1 2 18 BPKD 3 3 5 2 1 14 19 Kantor Satpol PP 1 JUMLAH PERDA 10 27 15 14 10 76 Data Diolah Tahun 2014
80
Dari data Tabel 1 menunjukkan dari Tahun 2009 sampai dengan Tahun 2013, ada 19 Instansi/SKPD terkait yang mengelola setiap peraturan daerah yang telah ditetapkan. Terlihat Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Sidenreng Rappang yang paling banyak mengelola peraturan daerah, yaitu sebanyak 20 peraturan daerah. Setelah kita mengetahui jumlah instansi/SKPD yang mengelola setiap peraturan daerah dari Tahun 2009 sampai dengan Tahun 2013, perlu kita ketahui juga instansi/SKPD mana yang melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah dan instansi/SKPD mana yang tidak melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah sebelum diserahkan ke DPRD untuk dibahas bersama anggota DPRD, Kepala Daerah/Bupati, dan juga SKPD terkait. Karena, hasil penelitian yang diperoleh penulis/peneliti dilapangan mendapatkan dari 19 instansi/SKPD terkait yang mengelola peraturan daerah dari Tahun 2009 sampai dengan Tahun 2013, tidak semuanya instansi/SKPD melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah, ada juga instansi/SKPD
yang
tidak
melibatkan
masyarakat
dalam
proses
pembentukan peraturan daerah. Berikut klasifikasi instansi/SKPD yang melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah dan instansi/SKPD yang tidak melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah dari Tahun 2009 sampai dengan Tahun 2013:
81
Tabel 2 : Klasifikasi Instansi/SKPD Yang Melibatkan Masyarakat Dalam Proses Penyusunan Peraturan Daerah Dan Instansi/SKPD Yang Tidak Melibatkan Masyarakat Dalam Proses Penyusunan Peraturan Daerah Tahun 2009-2013 INSTANSI/SKPD YANG MELIBATKAN MASYARAKAT Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bagian Hukum Sekretariat Daerah Bagian Ekonomi Sekretariat Daerah Dinas Pendapatan Daerah (DIPENDA) Dinas Pendidikan Dinas Peternakan dan Perikanan BPMPD
INSTANSI/SKPD YANG TIDAK MELIBATKAN MASYARAKAT Bagian Adm. Kemasyarakatan Setda Bagian Organisasi Setda Dinas Kesehatan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Dinas Pora dan Budaya Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Badan Perencanaan Pembangunan Dinas Perhubungan Daerah (BAPPEDA) Badan Pengelolaan Keuangan Daerah Badan Lingkungan Hidup (BPKD) Kantor Satpol PP 9 INSTANSI/SKPD 10 INSTANSI/SKPD Data Diolah Tahun 2014 Dari data Tabel 2 menunjukkan ada 9 instansi/SKPD yang melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang yaitu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Bagian Hukum Sekretariat Daerah, Bagian Ekonomi Sekretariat Daerah, Dinas Pendapatan Daerah (DIPENDA), Dinas Pendidikan, Dinas Peternakan dan Perikanan, BPMPD, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD). Sedangkan, instansi/SKPD yang tidak melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang
82
ada 10 instansi/SKPD yaitu, Bagian Administrasi Kemasyarakatan Sekeretariat Daerah, Bagian Organisasi Sekretariat Daerah, Dinas Kesehatan, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Dinas Pora dan Budaya, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Perhubungan, Badan Lingkungan Hidup, dan Kantor Satpol PP. Dalam
penelitian
yang
diperoleh
dilapangan,
peneliti/penulis
mendapatkan dari ke 9 instansi/SKPD terkait yang melibatkan masyarakat dalam pembentukan peraturan daerah, tidak semua peraturan daerah yang dikelolanya selalu melibatkan masyarakat. Berikut data klasifikasi jumlah peraturan daerah dari Tahun 2009 sampai dengan Tahun 2013 yang melibatkan masyarakat dari jumlah peraturan daerah yang dikelola oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Bagian Hukum Sekretariat Daerah, Bagian Ekonomi Sekretariat Daerah, Dinas Pendapatan Daerah (DIPENDA), Dinas Pendidikan, Dinas Peternakan dan Perikanan, BPMPD, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), dan Badan Pengelolaan Daerah (BPKD) :
83
Tabel 3 :
Klasifikasi Jumlah Peraturan Daerah Tahun 2009-2013 Yang Melibatkan Masyarakat Dari Jumlah Peraturan Daerah Yang Dikelola Oleh Instansi/SKPD Yang Melibatkan Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah
JUMLAH PERDA NO. INSTANSI/SKPD YANG MELIBATKAN MASYARAKAT 1. D P R D 4 2. Bagian Hukum 4 3. Bagian Ekonomi 1 4. DIPENDA 1 Dinas 5. 1 Pendidikan Dinas 6. Peternakan dan 3 Perikanan 7. B P M P D 1 8. BAPPEDA 2 9. B P K D 7 JUMLAH PERDA 24 YANG DIKELOLA Data Diolah Tahun 2014
JUMLAH PERDA YANG TIDAK MELIBATKAN MASYARAKAT
JUMLAH PERDA YANG DIKELOLA
0 16 1 8
4 20 2 9
0
1
0
3
0 0 7
1 2 14
32
56
Dari data Tabel 3 menunjukkan dari 20 peraturan daerah yang dikelola Bagian Hukum Sekretariat Daerah hanya 4 peraturan daerah yang melibatkan masyarakat, begitupun juga dengan Bagian Ekonomi Sekretariat Daerah dari 2 peraturan daerah yang dikelola ada 1 peraturan daerah yang melibatkan masyarakat, DIPENDA dari 9 peraturan daerah yang dikelola hanya 1 peraturan daerah yang melibatkan masyarakat, dan BPKD dari 14 peraturan daerah yang dikelola hanya 7 peraturan daerah yang melibatkan masyarakat.
84
Instansi/SKPD yang melibatkan masyarakat dalam setiap peraturan daerah yang dikelolanya yaitu Dinas Pendidikan dan BPMPD yang mengelola masing-masing 1 peraturan daerah. Instansi/SKPD yang mengelola lebih dari 1 peraturan daerah seperti, DPRD yang mengelola 4 peraturan daerah, Dinas Perternakan dan Perikanan yang mengelola 3 peraturan daerah, dan BAPPEDA yang mengelola 2 peraturan daerah juga selalu melibatkan masyarakat dalam setiap proses pembentukan peraturan daerah. Jadi, dari 56 peraturan daerah yang dikelola oleh instansi/SKPD yang melibatkan masyarakat dalam pembentukan peraturan daerah, hanya 24 peraturan daerah yang melibatkan masyarakat dalam proses penyusunannya, sedangkan ada 32 peraturan daerah yang tidak melibatkan masyarakat dalam proses penyusunannya. Berdasarkan dari data dan penelitian mendalam terhadap partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang di instansi/SKPD terkait, terlihat bahwa ada beberapa bentuk-bentuk
partisipasi
masyarakat
dalam
proses
penyusunan
peraturan daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang. Bentuk partisipasi masyarakat sangat beragam dalam pembentukan peraturan daerah. Partisipasi masyarakat tersebut pada dasarnya datang dari masyarakat yang terkait atau terkena langsung dari kebijakan dari peraturan daerah yang akan dibuat. Mulai dari partisipasi yang bersifat pasif sampai pada
85
partisipasi yang bersifat interaktif di tunjukkan masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang. Dalam hal bentuk-bentuk partisipasi masyarakat yang dilakukan masyarakat
dalam
proses
penyusunan
peraturan
daerah,
sudah
dikemukakan pada Bab II bahwa, bentuk partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan peraturan daerah ada empat. Adapun keempat bentuk partisipasi masyarakat tersebut adalah: 1. Partisipasi masyarakat dalam bentuk audensi/RDPU di DPRD Partisipasi masyarakat dalam bentuk audensi/RDPU di DPRD ini dapat dilakukan masyarakat baik atas permintaan langsung dari DPRD maupun atas keinginan masyarakat sendiri (audensi). Apabila partisipasi masyarakat ini atas dasar permintaan dari DPRD, maka partisipasi
masyarakat
disampaikan
kepada
yang
meminta
dilakukannya rapat dengar pendapat umum (RDPU). Akan tetapi untuk partisipasi masyarakat dalam bentuk audensi atas keinginan langsung dari masyarakat, maka masyarakat dapat memilih alat kelengkapan DPRD yang diharapkan dapat menyalurkan aspirasi masyarakat, misalnya Panitia Verja, Komisi, Panitia Khusus, dsb. Audensi/RDPU ini dapat dilakukan oleh masyarakat baik secara lisan, tertulis maupun gabungan antara lisan dan tertulis.
86
2. Partisipasi masyarakat dalam bentuk mengajukan peraturan daerah sendiri Partisipasi masyarakat dalam bentuk penyampaian peraturan daerah sendiri ini dapat dilakukan oleh masyarakat dengan membuat peraturan daerah alternatif sendiri kemudian diserahkan ke DPRD untuk dibahas, tentunya dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam pembahasan peraturan daerah serta ikut dalam pengambilan keputusan bersama DPRD dan Pemerintah Daerah untuk disetujui. Penyusunan peraturan daerah dilakukan dengan mengikuti format sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Lembaga legislatif disini hanya sebagai fasilitator untuk mendukung dan menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan masyarakat dalam membuat suatu peraturan daerah. Partisipasi masyarakat dalam bentuk peraturan daerah sendiri ini mengambil inisiatif sendiri secara bebas (tidak dipengaruhi pihak luar) untuk merubah dari peraturan daerah. Yang terpenting, masyarakat juga memegang kandali atas seluruh peraturan daerah yang dibuat. 3. Partisipasi masyarakat dalam bentuk unjuk rasa Partisipasi masyarakat dalam bentuk unjuk rasa ini dapat dilakukan masyarakat dalam rangka mendukung, menolak maupun menekan materi yang tengah dibahas dalam proses pembentukan peraturan daerah. Unjuk rasa ini dapat dilakukan baik secara
87
individual maupun kelompok masyarakat dengan jumlah yang besar. Akan tetapi, pengaruh dari unjuk rasa ini akan lebih berhasil dalam mempengaruhi lembaga legislatif jika dilakukan oleh masyarakat yang langsung berkepentingan, dengan jumlah yang besar dan dilakukan secara berkelanjutan. Unjuk rasa ini merupakan ungkapan kebebasan individu warga negara atas kepentingannya yang akan diatur dalam suatu Undang-undang. Jadi, unjuk rasa ini tidak dapat hanya dianggap sebagai angin lalu dalam proses pembentukan peraturan daerah. 4. Partisipasi masyarakat dalam bentuk diskusi, lokakarya dan seminar Partisipasi masyarakat dalam bentuk diskusi, lokakarya dan seminar ini dapat dilakukan masyarakat dalam rangka memperoleh kejelasan persoalan terhadap materi peraturan daerah yang sedang disusun atau yang tengah dibahas dalam lembaga legislatif. Karena diskusi,
lokakarya
dan
seminar ini dilakukan
ketika
proses
pembentukan peraturan daerah, maka narasumber yang dihadirkan tidak hanya dari kalangan para ahli, akademisi, pakar maupun pengamat, tetapi sebaiknya mendatangkan juga politisi ataupun pemerintah
daerah
yang
pembahasan/penyusunan
berkecimpung
suatu
peraturan
langsung daerah.
dalam Dengan
demikian, diskusi, lokakarya dan seminar, akan mendapatkan gambaran yang utuh terhadap persoalan yang tengah dibahas.
88
Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat yang telah dijelaskan diatas merupakan sebuah acuan atau referensi teori untuk mengukur bentuk partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang. Dalam penelitian yang diperoleh peneliti/penulis dilapangan, peneliti/penulis melihat juga bentuk lain dari partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan peraturan daerah selain dari empat bentuk partisipasi masyarakat yang telah dijelaskan, seperti masyarakat memberikan masukan-masukan kepada pemerintah terkait permasalahan yang membutuhkan sebuah aturan yang jelas dan masukan-masukan dari masyarakat kepada anggota DPRD yang membutuhkan sebuah aturan untuk meningkatkan kualitas pendidikan keagamaan. Dalam sebuah wawancara dengan H. Rusman Akil, selaku Wakil Ketua DPRD Kabupaten Sidenreng Rappang memberikan komentar terkait bentuk lain dari partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan daerah, yang mengatakan62 : “Tidak semua peraturan daerah insiatif dari DPRD dari Tahun 2009 sampai dengan Tahun 2013 yang ditetapkan itu melalui audiensi / rapat dengar pendapat umum, mengajukan peraturan daerah alternatif, unjuk rasa, ataupun melalui seminar, lokakarya/diskusi, terkadang dalam tahap reses kami dari para anggota DPRD menerima masukan-masukan dari masyarakat yang ingin dibuatkan sebuah aturan atau peraturan daerah” Hal senada juga dikatakan Wahida, selaku Sekretaris Dinas Peternakan
62
dan
Perikanan
Kabupaten
Sidenreng
Rappang
yang
Wawancara dengan H. Rusman Akil, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Sidenreng Rappang, Minggu, 20 April 2014
89
memberikan komentar terkait bentuk lain dari partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan daerah, yang mengatakan63 : “Kami dari Dinas Peternakan dan Perikanan membuat/mengelola sebuah peraturan daerah itu mendengarkan dari masukan-masukan yang kami terima dari masyarakat terkait permasalahan dalam pengelolaan sumber daya perikanan yang membutuhkan sebuah aturan hukum/peraturan daerah yang jelas dalam pengelolaan sumber daya perikanan” Berangkat dari dua komentar diatas terkait bentuk lain dari partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan peraturan daerah, peneliti/penulis menambahkan
satu
bentuk
partsipasi
masyarakat
dalam
proses
penyusunan peraturan daerah, yaitu bentuk Lainnya. Berdasarkan penelitian dilapangan yang didapatkan peneliti/penulis, berikut data klasifikasi bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang dari Tahun 2009 sampai dengan Tahun 2013 :
63
Wawancara dengan Wahida, Sekretaris Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Sidenreng Rappang, Kamis, 17 April 2014
90
Tabel 4 : Klasifikasi Bentuk-bentuk Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Penyusunan Peraturan Daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang Tahun 2009-2013 NO.
1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
9.
PENGELOLA PERDA
PERDA
Perda No. 9 Tahun 2012 Perda No. 10 Tahun 2012 D P R D Perda No. 11 Tahun 2012 Perda No. 12 Tahun 2012 Perda No. 16 Tahun 2010 Perda No. 17 Tahun 2010 Bagian Hukum Setda Perda No. 4 Tahun 2011 Perda No. 2 Tahun 2013 Bagian Ekonomi Setda Perda No. 8 Tahun 2009 DIPENDA Perda No. 13 Tahun 2011 Dinas Pendidikan Perda No. 3 Tahun 2009 Perda No. 4 Tahun 2010 Dinas Peternakan dan Perikanan Perda No. 27 Tahun 2010 Perda No. 14 Tahun 2012 BPMPD Perda No. 7 Tahun 2012 Perda No. 1 Tahun 2009 BAPPEDA Perda No. 5 Tahun 2012 Perda No. 9 Tahun 2009 Perda No. 10 Tahun 2009 Perda No. 7 Tahun 2010 B P K D Perda No. 14 Tahun 2010 Perda No. 8 Tahun 2011 Perda No. 15 Tahun 2011 Perda No. 15 Tahun 2012
Audiensi/RDPU di DPRD − − − √ − − − √ − − √ − − − − − − − − − − − − −
BENTUK PARTISIPASI MASYARAKAT Mengajukan Peraturan Daerah Sendiri Seminar/Diskusi − − − − − − − − − √ − √ − √ − − − − − √ − − − − − − − − − √ − √ − √ − √ − √ − √ − √ − √ − √ − √
Unjuk Rasa Lainnya − √ − √ − √ − − − − − − − − − − − √ − − − − − √ − √ − √ − − − − − − − − − − − − − − − − − − − −
Data Diolah Tahun 2014
91
Data Tabel 4 menunjukkan dari 24 peraturan daerah dari Tahun 2009 sampai dengan Tahun 2013 yang melibatkan masyarakat dalam pembentukannya, tidak semuanya peraturan daerah melalui empat bentuk partsipasi masyarakat dalam proses pembentukan peraturan daerah seperti audiensi / rapat dengar pendapat umum, mengajukan peraturan daerah sendiri, unjuk rasa, ataupun melalui seminar/diskusi. Terlihat, bentuk partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah seperti mengajukan peraturan daerah sendiri dan unjuk rasa tidak pernah dilakukan masyarakat dalam proses pembentukan peraturan daerah pada Tahun 2009 sampai dengan Tahun 2013. Pada bentuk partisipasi masyarakat yang lain seperti megadakan seminar/diskusi terlihat lebih menonjol dilakukan masyarakat dalam pembentukan peraturan daerah. Bentuk partisipasi masyarakat seperti audiensi/RDPU juga ada yang dilakukan masyarakat, begitupun juga dengan bentuk partisipasi masyarakat dalam bentuk lainnya juga ada yang dilakukan masyarakat. Adapun nama/jenis peraturan daerah dari Tahun 2009 sampai dengan Tahun 2013 yang melalui bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah, yaitu : 1. Peraturan daerah yang melalui partisipasi masyarakat dalam bentuk Audiensi/RDPU di DPRD : a. Peraturan
Daerah
Nomor
3
Tahun
2009
tentang
Penyelenggaraan Pendidikan Gratis
92
b. Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pelestarian dan Pengembangan Bahasa, Sastra, dan Aksara Bugis di Kabupaten Sidenreng Rappang c. Peraturan
Daerah
Nomor
2
Tahun
2013
tentang
Penanggulangan HIV dan AIDS 2. Peraturan daerah yang melalui partisipasi masyarakat dalam bentuk Seminar/Diskusi : a. Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM-D) Periode 2009-2013 b. Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2009 tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2009 c. Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2009 tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah T.A. 2010 d. Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2010 tentang Perubahan APBD Tahun 2010 e. Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2010 tentang APBD Tahun 2011 f. Peraturan
Daerah
Nomor
16
Tahun
2010
tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Publik Pemerintah Kabupaten Sidenreng Rappang g. Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Daerah
93
h. Peraturan
Daerah
Nomor
4
Tahun
2011
tentang
Pengarustamaan Gender Dalam Pembangunaan Daerah i.
Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan T.A. 2011
j.
Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Pasar
k. Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2012 l.
Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sidenreng Rappang Tahun 2012-2032
m. Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2012 tentang Pedoman Perencanaan Pembangunan Desa n. Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2012 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan Tahun Anggaran 2012 3. Peraturan daerah yang melalui partisipasi masyarakat dalam bentuk Lainnya : a. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2009 tentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2007 tentang Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Sidenreng Rappang
94
b. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Pada Perairan Umum Dalam Wilayah Kabupaten Sidenreng Rappang c. Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2010 tentang Ketentuan Pemeliharaan Ternak Besar dan Kecil d. Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Zakat e. Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pendidikan dan Baca Tulis Alqur’an f. Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2012 tentang Penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Daerah g. Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan Berdasarkan nama/jenis peraturan daerah yang melalui bentuk partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang, terlihat ada 3 peraturan daerah yang yang melalui bentuk audiensi/RDPU, 14 peraturan daerah yang yang melalui bentuk seminar/diskusi, dan 7 peraturan daerah yang yang melalui bentuk lainnya. Berikut persentase dari setiap bentuk partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang Tahun 2009 sampai dengan Tahun 2013:
95
Gambar 3 : Persentase Dari Setiap Bentuk Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Penyusunan Peraturan Daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang Tahun 2009-2013 2009 Audiensi/RDPU di DPRD 13%
Lainnya 29%
Seminar/Diskusi 58%
Data Diolah Tahun 2014 Dari data Gambar Gam 3 menunjukkan persentase dari setiap bentuk partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang adalah melalui bentuk audiensi/RDPU di DPRD sebanyak 13%, melalui bentuk seminar/diskusi 58%, dan melalui bentuk lainnya sebanyak 29%.
C.
Efektivitas Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Penyusunan Peraturan Daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang Sistem demokrasi yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan rakyat yang rendah dari segi ekonomi, politik, dan sosial. Konsep partisipasi masyarakat mengalami pemaknaan yang berbeda-beda berbeda beda sehingga perlu diperjelas tentang proses yang mana disebut partisipasi dan yang bukan, sehingga terjadi cara
96
pandang dalam menilai sebuah proses partisipasi masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Sebelum kita membahas efektivitas partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang, maka pertama-tama kita terlebih dahulu mengukur sejauh mana masyarakat berpartisipasi dalam setiap peraturan daerah yang ditetapkan dari Tahun 2009 sampai dengan Tahun 2013. Jika setiap peraturan daerah
sebagian
besar
masyarakat
terlibat
dalam
proses
pembentukannya, kita dapat mengatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah yang bersangkutan adalah efektif. Sebelumnya, telah dikemukakan pada Bab II bahwa, efektivitas adalah perbandingan positif antara hasil yang dicapai dengan masukan yang digunakan dalam menyelesaikan pekerjaan tepat waktunya untuk mencapai
tujuan
atau
sasaran
yang
ditetapkan.
Teori
menurut
Ensiklopedia administrasi, dalam The Liang Gie, 1967 mengemukakan efektivitas adalah suatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki, kalau seseorang melakukan suatu perbuatan dengan maksud tertentu yang memang dikehendaki. Maka orang itu dikatakan efektif kalau menimbulkan atau mempunyai maksud sebagaimana yang dikehendaki. Namun demikian, sekalipun dapat dikatakan efektif dan partisipastif, tetapi
kita
masih
dapat
mempertanyakannya
lebih
jauh
derajat
97
partisipasinya. Seperti yang dikemukakan pada Bab II, untuk menilai tingkat partisipasi dalam proses pembentukan peraturan daerah, perlu dijabarkan derajat partisipasi masyarakat. Pertama, tidak partisipatif (non participation); kedua, derajat semu (degrees of tokenism); dan Ketiga, kekuatan masyarakat (degrees of citizen power). Dasar penentuan derajat, bukan pada seberapa jauh masyarakat telah terlibat dalam proses pembentukan kebijakan atau program yang dilaksanakan oleh negara tetapi seberapa jauh masyarakat dapat menentukan hasil akhir atau dampak dari kebijakan atau program tersebut. Lebih lanjut pada Bab II dikemukakan derajat partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah, yang berturut-turut semakin dekat kepada bentuk yang ideal dimulai dari derajat tidak partisipatif (non participation), derajat semu (degrees of tokenism), dan kekuatan masyarakat (degrees of citizen power) : 1. Derajat
partisipasi
masyarakat
Tidak
Partisipatif
(non
participation) Derajat Ini memiliki tingkat partisipasi yang paling lemah dengan tingkat partisipasi yang pasif/manipulatif. Karakteristiknya adalah hanya bertujuan untuk menata masyarakat dan mengobati luka yang timbul akibat dari kegagalan sistem dan mekanisme pemerintahan. Tidak ada niatan sedikitpun untuk melibatkan masyarakat dan masyarakat hanya menerima pemberitahuan apa yang sedang dan telah terjadi. Pengumuman sepihak oleh pemerintah daerah tentang
98
peraturan daerah tidak memperhatikan tanggapan masyarakat sebagai sasaran program. 2. Derajat partisipasi masyarakat Derajat Semu (degrees of tokenism) Derajat semu terdiri dari tiga tingkat partisipasi, yaitu : a.
Partisipasi Informative Di sini masyarakat sudah mendapat pemberitahuan dan
hanya menjawab pertanyaan pertanyaan terkait peraturan daerah,
namun
tidak
berkesempatan
untuk
terlibat
dan
mempengaruhi proses keputusan. Akurasi hasil studi, tidak dibahas
bersama
masyarakat.
Contoh
tingkat
partisipasi
informative dalam bentuk partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah ini melalui bentuk lainnya. b.
Partisipasi Konsultatif Masyarakat
berpartisipasi
dengan
cara
berkonsultasi,
sedangkan orang yang ditempati berkonsultasi mendengarkan, serta menganalisis masalah dan pemecahannya. Dalam pola ini belum ada peluang untuk pembuatan keputusan bersama. Pemerintah Daerah maupun DPRD tidak berkewajiban untuk mengajukan pandangan masyarakat (sebagai masukan) untuk ditindaklanjuti. Contoh tingkat partisipasi konsultatif dalam bentuk partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan rancangan peraturan daerah ini melalui bentuk unjuk rasa.
99
c.
Partisipasi Placation Karakterisitik
tingakatan
partisipasi
placation
atau
peredaman adalah masyarakat membentuk kelompok terkait peraturan daerah yang telah disusun setelah ada keputusankeputusan utama yang disepakati. Pada tahap awal, masyarakat sudah memberikan masukan secara lebih signifikan dalam penentuan suatu peraturan daerah, tetapi secara bertahap kemudian pengambilan keputusan masih dipegang penuh oleh pemegang kekuasaan. Contoh tingkat partisipasi placation dalam bentuk
partisipasi
masyarakat
dalam
proses
penyusunan
peraturan daerah ini melalui bentuk seminar/diskusi. 3. Derajat partisipasi masyarakat Kekuatan Masyarakat (degrees of citizen power) Derajat kekuatan masyarakat terdiri dari tiga tingkat partisipasi, yaitu : a.
Partisipasi Partnerships Dalam tahap ini, partisipasi masyarakat sudah masuk dalam
penetuan proses, hasil, dan dampak dari suatu peraturan daerah. Masyarakat sudah bisa bernegoisiasi dengan penguasa dalam posisi politik yang sejajar. Contoh tingkat partisipasi partnerships dalam bentuk partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah ini melalui bentuk audiensi/RDPU di DPRD.
100
b.
Partisipasi Delegated Power (interaktif) Dalam tingkat delegated power atau delegasi kekuasaan,
masyarakat sudah berperan dalam proses analisis untuk perencanaan dan pembentukan atau penguatan peraturan daerah. Pola ini cenderung melibatkan metode interdisipliner secara interaktif yang mencari keragaman perspektif dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematis. Masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas pelaksanaan keputusankeputusan mereka, sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan. Contoh tingkat partisipasi delegated power dalam bentuk partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah ini melalui bentuk audiensi/RDPU di DPRD. c.
Partisipasi Citizen Control Dan pada tingkatan partisipasi teratas yaitu citizen control
atau kendali masyarakat. Masyarakat mengambil inisiatif sendiri secara
bebas
(mandiri)
untuk
mengendalikan
proses,
pembentukan, dan pelaksanaan dari peraturan daerah. Mereka mengembangkan kontak dengan lembaga-lembaga lain untuk mendapatkan bantuan dan dukungan teknis serta sumberdaya yang diperlukan. Yang terpenting, masyarakat memegang kandali atas seluruh peraturan daerah yang dibuat. Contoh tingkat partisipasi citizen control dalam bentuk partisipasi
101
masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah ini melalui bentuk mengajukan peraturan daerah sendiri. Berikut data klasifikasi peraturan daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang menurut derajat partisipasi masyarakat yang dibagi atas tingkatan
partisipasi
masyarakat
dalam
setiap
derajat
partisipasi
masyarakat dari Tahun 2009 sampai dengan Tahun 2013 :
102
Tabel 5 : Klasifikasi Peraturan Daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang Menurut Tingkatan Partisipasi Masyarakat Dalam Setiap Derajat Partisipasi Masyarakat Tahun 2009-2013 NO.
DERAJAT PARTISIPASI
TINGKATAN PARTISIPASI
1.
Non Participation
Pasif/Manipulatif
JUMLAH Informative 2.
Degrees Of Tokenism
Konsultatif Placation
JUMLAH 3.
Degrees Of Citizen Power
Partnerships Delegated Power Citizen Control
JUMLAH
Data Diolah Tahun 2014
DAFTAR PERDA TAHUN 2009-2013 2010 2011 2012 Perda No. 1 Tahun 2010 Perda No. 1 Tahun 2011 Perda No. 1 Tahun 2012 Perda No. 2 Tahun 2010 Perda No. 2 Tahun 2011 Perda No. 2 Tahun 2012 Perda No. 3 Tahun 2010 Perda No. 3 Tahun 2011 Perda No. 3 Tahun 2012 Perda No. 5 Tahun 2010 Perda No. 5 Tahun 2011 Perda No. 4 Tahun 2012 Perda No. 6 Tahun 2010 Perda No. 6 Tahun 2011 Perda No. 6 Tahun 2012 Perda No. 8 Tahun 2010 Perda No. 7 Tahun 2011 Perda No. 8 Tahun 2012 Perda No. 9 Tahun 2010 Perda No. 9 Tahun 2011 Perda No. 10 Tahun 2010 Perda No. 10 Tahun 2011 Perda No. 11 Tahun 2010 Perda No. 11 Tahun 2011 Perda No. 12 Tahun 2010 Perda No. 12 Tahun 2011 Perda No. 13 Tahun 2010 Perda No. 14 Tahun 2011 Perda No. 15 Tahun 2010 Perda No. 18 Tahun 2010 Perda No. 19 Tahun 2010 Perda No. 20 Tahun 2010 Perda No. 21 Tahun 2010 Perda No. 22 Tahun 2010 Perda No. 23 Tahun 2010 Perda No. 24 Tahun 2010 Perda No. 25 Tahun 2010 Perda No. 26 Tahun 2010 5 21 11 6 Perda No. 8 Tahun 2009 Perda No. 4 Tahun 2010 Perda No. 9 Tahun 2012 Perda No. 27 Tahun 2010 Perda No. 10 Tahun 2012 Perda No. 11 Tahun 2012 Perda No. 14 Tahun 2012 − − − − Perda No. 1 Tahun 2009 Perda No. 7 Tahun 2010 Perda No. 4 Tahun 2011 Perda No. 5 Tahun 2012 Perda No. 9 Tahun 2009 Perda No. 14 Tahun 2010 Perda No. 8 Tahun 2011 Perda No. 7 Tahun 2012 Perda No. 10 Tahun 2009 Perda No. 16 Tahun 2010 Perda No. 13 Tahun 2011 Perda No. 15 Tahun 2012 Perda No. 17 Tahun 2010 Perda No. 15 Tahun 2011 4 6 4 7 Perda No. 3 Tahun 2009 − − − Perda No.12 Tahun 2012 − − − − − − − 1 0 0 1 2009 Perda No. 2 Tahun 2009 Perda No. 4 Tahun 2009 Perda No. 5 Tahun 2009 Perda No. 6 Tahun 2009 Perda No. 7 Tahun 2009
2013 Perda No. 1 Tahun 2013 Perda No. 3 Tahun 2013 Perda No. 4 Tahun 2013 Perda No. 5 Tahun 2013 Perda No. 6 Tahun 2013 Perda No. 7 Tahun 2013 Perda No. 8 Tahun 2013 Perda No. 9 Tahun 2013 Perda No. 10 Tahun 2013
9
JUMLAH
52
− −
0 Perda No. 2 Tahun 2013 − − 1
21
3 76
103
Data Tabel 5 menunjukkan dari setiap peraturan daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang yang ditetapkan dari Tahun 2009 sampai dengan Tahun 2013, semua peraturan daerah sudah dikomposisikan dalam setiap derajat partisipasi masyarakat, seperti derajat partisipasi terendah non participation, derajat partisipasi menengah atau derajat semu degrees of tokenism, dan derajat partisipasi teratas degrees of citizen power. Dari 76 peraturan daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang, terdapat sebanyak 52 peraturan daerah yang menempati derajat partisipasi non participation, sedangkan derajat partisipasi degrees of tokenism ada sebanyak 21 peraturan daerah didalamnya, dan derajat partisipasi teratas degrees of citizen power hanya terdapat 3 peraturan daerah didalamnya. Berikut persentase derajat partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang dari Tahun 2009 sampai dengan Tahun 2013 :
104
Gambar 4 : Persentase Derajat Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Penyusunan nyusunan Peraturan Daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang Tahun 2009-2013 Degrees Citizen Power 4% Degress Of Tokenism 28%
Non Participation 68%
Data Diolah Tahun 2014 Jika kita melihat data Gambar 4 tentang persentase derajat partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang dari Tahun 2009 sampai dengan Tahun 2013 terlihat derajat partisipasi non participation sebanyak 68%, degrees of tokenism 28%, dan degrees citizen power hanya 4%. Ini menunjukkan unjukkan efektivitas partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang dari Tahun 2009 sampai dengan Tahun 2013 tidak efektif dan masih jauh dari tingkat partisipatif, dari 76 peraturan daerah yang ditetapkan, ada a sebanyak 52 peraturan darah yang tidak melibatkan masyarakat dalam proses penyusunannya, dan hanya ada 24 peraturan daerah yang melibatkan masyarakat dalam proses penyusunannya dengan dibagi 105
derajat partisipasi degrees of tokenism sebanyak 21 peraturan daerah dan derajat partisipasi degrees citizen power hanya 3 peraturan daerah. Jika partisipasi masyarakat itu adalah salah satu hal penting dari keberhasilan suatu pembangunan. Maka, dalam hal pembentukan suatu peraturan daerah, partisipasi masyarakat menjadi hal yang penting juga untuk melihat kualitas dan efektivitas pelaksanaan dari peraturan daerah yang telah dibuat. Dalam sebuah wawancara dengan H. Rusman Akil, selaku Wakil Ketua DPRD Kabupaten Sidenreng Rappang memberikan komentarnya mengenai arti penting partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah : “Partisipasi masyarakat dalam penyusunan maupun pada pembahasan peraturan daerah itu sangat penting, karena apabila pembentukan peraturan daerah itu masyarakat terlibat langsung, pelaksanaan dari suatu peraturan daerah akan jadi lebih efektif karena sasaran peraturan daerah yang dibuat itu adalah masyarakat sendiri. Dan begitulah memang seharusnya atau model idealnya suatu pembentukan peraturan daerah”.64 Dapat penulis jelaskan seperti ini, salah satu problem pokok yang dihadapi oleh suatu daerah otonom, termasuk daerah Kabupaten Sidenreng Rappang sendiri yaitu pelaksanaan dari peraturan daerah yang tidak efektif atau bahkan tidak berjalan. Salah satu faktornya adalah pelibatan masyarakat dalam penentuan produk hukum daerah itu kurang atau bahkan tidak sama sekali.
64
Wawancara dengan H. Rusman Akil, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Sidenreng Rappang, Minggu, 20 April 2014
106
Ada beberapa problematika yang terjadi berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah. setidaknya ada tiga faktor yang melatarbelakangi munculnya problematika partisipasi, yaitu : faktor masyarakat, yuridis, dan birokrasi. Dari ketiga faktor tersebut ditemukan beberapa permasalahan yang dapat diuraikan sebagai berikut : Tabel 6 : Problematika Partisipasi Masyarakat
FAKTOR
PROBLEMATIKA
1. Sikap apatis masyarakat 2. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat 3. Budaya peternalistis yang masih kuat mengakar 4. Tidak ada reward (berupa tindak lanjut) partisipasi masyarakat Masyarakat 5. Responsibilitas masyarakat yang kurang 6. masyarakat tidak mengetahui mekanisme penyaluran aspirasi 7. Keterbatasan akses masyarakat informasi 8. kurangnya dukungan elemen yang seharusnya membantu memberdayakan. 1. Banyak peraturan yang belum berpihak pada kepentingan masyarakat 2. belum ada peraturan yang dapat memaksa pemerintah untuk melibatkan masyarakat 3. Belum ada peraturan yang menjamin masyarakat mendapatkan informasi Yuridis 4. Mudahnya melakukan korupsi kebijakan dibawah payung legalitas 5. Adanya ketentuan partisipasi yang tidak mengikat 6. Banyak peraturan yang menyangkut kewajiban masyarakat 7. Tidak adanya sosialisasi peraturan atau kebijakan 1. Sistem birokrasi yang belum memberikan ruang bagi publik 2. Birokrasi yang diposisikan sebagai mesin yang hanya bekerja sesuai jalur 3. Tidak ada keterlibatan masyarakat dalam pengambilan kebijakan dengan dalih high cost 4. Kurang pahamnya birokrat akan makna partisipasi secara mendasar Birokrasi 5. Image birokrasi yang kental dengan uang 6. Saluran aspirasi yang kurang baik 7. Kerap terjadi mobilitas massa untuk kepentingan politik 8. Partai tidak mampu berperan untuk kepentingan rakyat
107
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan penulis pada bab-bab
sebelumnya, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang dari Tahun 2009 sampai dengan Tahun 2013 adalah melalui bentuk audiensi dan/atau rapat dengar pendapat umum di DPRD, melalui bentuk seminar dan/atau diskusi, dan melalui bentuk lainnya. 2. Efektivitas partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang adalah tidak efektif dan masih jauh dari tingkat partisipatif. Dari 76 peraturan daerah yang ditetapkan, ada sebanyak 52 peraturan darah yang tidak melibatkan masyarakat dalam proses penyusunannya. sedangkan
yang
melibatkan
masyarakat
dalam
proses
penyusunannya hanya ada 24 peraturan daerah, dengan dibagi derajat partisipasi degrees of tokenism sebanyak 21 peraturan daerah dan derajat partisipasi degrees citizen power yang hanya 3 peraturan daerah.
108
B.
Saran Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah
dikemukakan, maka saran penulis adalah : 1. Pemerintah Daerah harus lebih giat membangun komunikasi dengan masyarakat terkait kebijakan yang akan dilkeluarkan dan membuka akses informasi seluas-luasnya kepada masyarakat. 2. Pemerintah Daerah maupun DPRD dapat menyediakan ruang partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan pembentukan peraturan daerah. 3. Diperlukan sebuah aturan yang mengatur secara khusus partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah. 4. Organisasi masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat harus lebih meningkatkan pemberdayaan kepada masyarakat terkhusus dengan memberikan pendidikan hukum, politik, sosial, dan budaya. 5. Penguasa baik dari eksekutif maupun legislatif dapat lebih menghargai hak-hak masyarakat dan menghapus segala bentuk diskriminasi dan ketidakadilan, serta merefleksi diri dari nilai kode etik jabatan pemerintahan dan prinsip-prinsip good governance.
109
6. Pemerintah Daerah dapat mempertimbangkan kategori/agenda ROCCIPI (Rule, Opportunity, Communiation, Capacity, Interest, Process, dan Ideology) dalam pembentukan peraturan daerah.
110
DAFTAR PUSTAKA Achmad Ali, Menjelajahi kajian Empiris Terhadap Hukum. Jakarta : PT. Yarsif Watampone, 1998. _________, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan teori peradilan (judiclalprudence). Jakarta : Kencana Pranada Media Grup, 2009. Alexander Abdullah, Desentralisasi dan Undang-undang Otonomi Daerah di Era Reformasi. Yogyakarta : Jurnal Hukum UII Yogyakarta 2010. Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah. Bandung : Alumni, 1982. Aziz Syamsudin, Proses dan Teknik Perundang-Undangan. Jakarta : Sinar Garfika, 2011. Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002. Bambang Indra Gunawan, Peranan Bawasda Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Medan : Fakultas Hukum USU, 2006. Bappeda Kabupaten Sidrap, Selayang Pandang Sidenreng Rappang. Sidrap : Bappeda Kabupaten Sidrap Kerjasama Yayasan Lentera, 2006. BPS Kabupaten Sidrap, Sidenreng Rappang Dalam Angka 2013. Sidrap : BPS Kabupaten Sidrap, 2013. Budiman NPD, Ilmu Pengantar Perundang-Undangan. Yogyakarta : UII press, 2005. Kaloh J., Mencari Bentuk Otonomi Daerah. Jakarta : Rineka Cipta, 2007. Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintah Daerah Di Negara Republik Indonesia, Jidil III, Jakarta : Gunung Agung, 1989. Mahendra Putra Kurnia, Pedoman Naskah Akademik Perda Partisipatif, Yogyakarta : Kreasi Total Media, 2007. Majelis Permusyawaratan Rakyat, Ketetapan-Ketetapan MPR Pada Sidang Tahunan. Jakarta : Sinar Grafika, 2000. Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan : Dasar-dasar dan Pembentukannya. Jakarta : Kanisius, 2002. 111
Maria Farida Indrati, Proses Pembentukan Perundang-undangan Pasca Amandemen UUD 1945. Jakarta : Majalah Hukum Nasional, 2005. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2010. Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007. Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola, 1994. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, 2008. Riant Nugroho D. Otonomi Daerah, Desentralisasi Tanpa Revolusi Kajian dan Kritik Atas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia. Jakarta : PT. Alex Media Komputindo, 2002. Riawan Tjandra W. dan Kresno Budi Harsono, Legislatif Drafting Teori dan Teknik Pembuatan Peraturan Daerah. Yogyakarta : Universitas Atmajaya, 2009. Siswanto Sunarso, Hubungan Kemitraan Badan Legislatif & Eksekutif Di Daerah. Bandung : Mandar Maju, 2005. Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum dan Peranan Saksi. Bandung: Remaja Karya, 1985. ________________, Faktor-faktor yang mempengaruhi hukum. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005.
penegakan
Solly Lubis M., Politik dan Hukum Di Era Reformasi. Bandung : CV. Mandar Maju, 2000. Sondang Siagi, Filsafat Administrasi. Jakarta : Gunung Agung, 1991.
Peraturan perundang-undangan Undang Undang Dasar 1945 Amandemen. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
112
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Peraturan DPRD Kabupaten Sidenreng Rappang Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sidenreng Rappang
Website http://handikap60.blogspot.com/2013/01/contoh-pengertian-dan-prosespenyusunan_31.html http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_daerah_di_Indonesia http://www.negarahukum.com/hukum/efektifitas-hukum.html http://socam.blogspot.com/2013/04/teori-efektivitas-menurut-para-ahli.html
113