PENERAPAN TEKNIK PEROLEHAN DATA TUTUPAN KANOPI (CANOPY COVER) MENGGUNAKAN PENDEKATAN INDEKS VEGETASI DAN HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT EROSI TANAH Studi Kasus DAS Tinalah Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar kesarjanaan S1 pada Fakultas Geografi UGM
Oleh : Bramantiyo Marjuki No. Mhs. 04/175633/GE/5579
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS GEOGRAFI YOGYAKARTA 2008
KATA PENGANTAR
Pertama - tama penulis ingin memanjatkan puji dan syukur sedalam dalamnya kepada Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya maka penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Tulisan ini merupakan laporan dari penelitian yang penulis lakukan guna memenuhi sebagian syarat guna memperoleh gelar Sarjana Sains di bidang geografi pada Jurusan Geografi Lingkungan Fakultas Geografi UGM. Dalam pelaksanaannya, penulis mengalami berbagai kendala dan hambatan, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesar kepada nama-nama di bawah ini, karena berkat kebaikan, keiklhasan, dan pengorbanan mereka, penulis bisa mencapai kondisi sekarang dan dapat menyelesaikan penyusunan laporan ini. Mereka adalah: 1. Dr. Junun Sartohadi., M.Sc, selaku Ketua Jurusan Geografi Lingkungan dan Dosen Pembimbing Skripsi, atas begitu besarnya perhatian, gagasan, masukan, dan ilmu yang telah diberikan, serta akses terhadap Citra SPOT-5 yang digunakan dalam penelitian. 2. Dr. H. Hartono., DEA., DESS, selaku Dekan Fakultas Geografi UGM yang telah memberikan ijin penelitian. 3. Drs Tukidal Yunianto., M.Sc dan Barandi Sapta Widartono., S.Si., M.Si, selaku Dosen Penguji Skripsi, yang dengan segala keramahannya telah bersedia menguji, mengkritisi hasil penelitian dan memberikan saransaran perbaikan yang bermanfaat. 4. Bapak, Ibu, adik-adikku dan keluarga di rumah, atas dukungan moral dan material selama pelaksaan penelitian dan penulisan laporan skripsi, sungguh merupakan pengorbanan yang tak mungkin terbalas. 5. Djaka Marwasta., S.Si., M.Si., dan Drs Projo Danoedoro., M.Sc., Ph.D., dan., yang telah meluangkan waktu untuk berdiskusi baik secara lisan maupun melalui email tentang pemrosesan citra dan ekstraksi data biofisik
i
dari citra penginderaan jauh. 6. Orang-orang baik yang telah membantu dalam kerja lapangan dan meminjamkan Komputer, Printer, Laptop, GPS, dan Kamera digital, Aspian Noor, Duwi Jalestari, Putu Perdana Kusuma Wiguna, Samudera Ivan Supratikno, Romi Nugroho, Aris Widodo, Fara Dwi Sakti Kartika, Vidyana Arsanti, Wahyu Kuncoro GIL 04, Dini Anggriani SIGPW 04, Tommy Andryan GIL 03, Kun Hidayati Arifah dan Rahmi PWK FT UGM 03. 7. Senior asisten Geografi Lingkungan Rino Cahyadi Srijaya Giyanto S.Si (alm) dan Nugroho Christanto, S.Si yang telah membantu memperoleh Citra SPOT-5, Muhammad Anggri Setiawan S.Si., M.Sc untuk beberapa diskusi tentang erosi, dan Guruh Samodra GIL 04 untuk masukan dan koreksi abstrak. 8. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis yang tidak dapat disebutkan satu per satu, baik dalam pelaksanaan penelitian maupun penulisan skripsi. Penulis menyadari bahwa tulisan ini merupakan cerminan betapa masih dangkalnya kemampuan penulis dalam bidang Geografi, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan guna pengembangan kemampuan akademis penulis. Akhirnya, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat serta balasan atas segala kebaikan yang telah diberikan. Amin. Yogyakarta, Juli 2008. Penyusun
Bramantiyo Marjuki
ii
PENERAPAN TEKNIK PEROLEHAN DATA TUTUPAN KANOPI (CANOPY COVER) MENGGUNAKAN PENDEKATAN INDEKS VEGETASI DAN HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT EROSI TANAH Studi Kasus DAS Tinalah Kabupaten Kulonprogo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Oleh Bramantiyo Marjuki 04/175633/GE/5579 INTISARI Tujuan daru penelitian ini adalah memetakan kondisi tutupan kanopi vegetasi di DAS Tinalah Kabupaten Kulonprogo menggunakan indeks vegetasi (NDVI) dan mengkaji hubungan tutupan kanopi vegetasi dengan tingkat erosi. Pemetaan dilakukan dengan menggunakan analisis regresi antara nilai digital NDVI sebagai variabel bebas dan nilai persentase tutupan kanopi vegetasi sebagai variabel terikat. NDVI dalam penelitian ini diturunkan dari Citra SPOT-5 HRG dengan skala dasar pemetaan adalah 1:50.000. Pengumpulan data lapangan untuk menurunkan model dilakukan secara purposive sampling pada dua kelas penggunaan lahan. Analisis hubungan tutupan kanopi vegetasi dan tingkat erosi dilakukan menggunakan tabel silang. Derajat hubungan secara kuantitatif ditentukan menggunakan indeks kappa (κ). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan NDVI untuk memetakan tutupan kanopi DAS Tinalah belum memberikan hasil yang memuaskan. Hubungan terbaik diberikan oleh model regresi polinomial orde 2 untuk vegetasi pada penggunaan lahan kebun campur dengan nilai korelasi (r) sebesar 0,485 dan nilai determinasi (r2) sebesar 0,235. Untuk vegetasi pada penggunaan lahan tegalan hubungan terbaik diberikan model regresi eksponensial dengan nilai korelasi (r) sebesar 0,305 dan nilai determinasi (r2) sebesar 0,093. Analisis tabel silang antara hasil penilaian tingkat erosi dan tutupan kanopi vegetasi menunjukkan tidak ada hubungan antara dua variabel tersebut dengan nilai (κ) sebagai nilai korelasi sebesar 0,05. Kata kunci: tutupan kanopi, NDVI, tingkat erosi
iii
APPLICATION OF CANOPY COVER MAPPING BASED ON VEGETATION INDEX AND ITS RELATIONSHIP WITH EROSION RATE Case Study Tinalah Watershed Kulonprogo Regency, Yogyakarta Special Province by Bramantiyo Marjuki 04/175633/GE/5579 ABSTRACT The main objectives of this research are to apply canopy cover mapping based on vegetation index (NDVI) in Tinalah Watershed and to analyze its relationship with erosion rate. Mapping was done through regression analysis between NDVI value as independent variable and percentage fraction canopy cover as dependent variable. SPOT-5 HRG imagery was used to derive NDVI map at scale 1:50.000. Purposive sampling at two landuse class was chosen to obtain field data for model generation. Relationship analysis between vegetation canopy cover and erosion rate was done through cross tabulation analysis. Kappa index (κ) was used to determine its correlation quantitatively. The study result showed that utilization of NDVI for mapping canopy cover over entire study area was not satisfied. Second order polynomial regression model was the best model for estimating vegetation canopy cover in mixed garden land use (r = 0,485 and r2 = 0,235) while exponential regression model was the best model for field crop landuse (r = 0,305 and r2 = 0,093). Cross tabulation analysis between canopy cover derived from fieldwork and qualitative field assessment of soil erosion rate have shown that both of them was not correlated (k=0,05). Keywords= Canopy cover, NDVI, erosion rate
iv
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR..................................................................................... INTISARI......................................................................................................... ABSTRACT.................................................................................................... DAFTAR ISI.................................................................................................... DAFTAR TABEL................................................................................... ......... DAFTAR GAMBAR........................................................................................ DAFTAR LAMPIRAN........................................................................... ......... BAB I. 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 BAB II. 2.1
2.2
BAB III 3.1 3.2
3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8
i iii iv v vii viii x
PENDAHULUAN Latar Belakang............................................................................... Perumusan Masalah.............................................................. ......... Tujuan Penelitian.................................................................. ......... Manfaat Penelitian................................................................ ......... Tinjauan Pustaka........................................................................... 1.5.1 Tinjauan Teoritis................................................................ 1.5.2 Tinjauan Empiris............................................................... Kerangka Pemikiran....................................................................... Batasan Operasional.......................................................................
1 3 4 4 5 5 14 15 17
METODE PENELITIAN Pengumpulan Data........................................................................ 2.1.1 Macam Data...................................................................... 2.1.2 Sumber Data...................................................................... 2.1.3 Alat Penelitian................................................................... 2.1.4 Penentuan Lokasi Sampel................................................. 2.1.5 Metode Pengumpulan Data............................................... Pengolahan dan Analisis Data....................................................... 2.2.1 Analisis Regresi NDVI dan Persentase Tutupan Kanopi.. 2.2.2 Analisis Hubungan Tutupan Kanopi dan Tingkat Erosi.....
19 19 19 19 20 20 26 26 28
DESKRIPSI WILAYAH Letak, Luas dan Batas Daerah Penelitian....................................... Iklim............................................................................................... 3.2.1 Curah Hujan....................................................................... 3.2.2 Suhu................................................................................... 3.2.3 Tipe Iklim........................................................................... Geologi........................................................................................... Geomorfologi dan Bentuklahan..................................................... Hidrologi......................................................................................... Tanah.............................................................................................. Vegetasi dan Penggunaan Lahan................................................... Kependudukan dan Sosial Ekonomi...............................................
30 32 32 33 34 36 38 41 42 46 48
v
BAB IV 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 BAB V 5.1 5.2
HASIL DAN PEMBAHASAN Restorasi Citra................................................................................ 4.1.1 Koreksi Geometrik.............................................................. 4.1.2 Koreksi Radiometrik........................................................... Transformasi NDVI........................................................................ Penggabungan Citra dan Pemetaan Penggunaan Lahan................. 4.3.1 Penggabungan Citra............................................................ 4.3.2 Pemetaan Penggunaan Lahan.............................................. Pengukuran Tutupan Kanopi.......................................................... Pengamatan Bentukan Erosi dan Penilaian Tingkat Erosi Kualitatif......................................................................................... Analisis Regresi Nilai NDVI dan Persentase Tutupan Kanopi...... Tinjauan Terhadap Hasil Analisis Regresi................................... Analisis Hubungan Tingkat Erosi dan Tutupan Kanopi Vegetasi.. Tinjauan Terhadap Hasil Analisis Hubungan Tingkat Erosi dan Tutupan Kanopi Vegetasi...............................................................
49 49 51 53 56 56 59 66 69 76 80 85 88
KESIMPULAN Kesimpulan..................................................................................... 91 Saran................................................................................................ 92
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 94 LAMPIRAN
vi
DAFTAR TABEL No. 1.1 1.2 1.3 2.1 2.2 2.3 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8 3.9 4.1 4.2 4.3a 4.3b 4.4 4.5 4.6
Tabel Hal Dampak Erosi....................................................................................... 5 Karakteristik Satelit dan Sensor SPOT-5............................................. 11 Tingkat Pemrosesan Citra SPOT-5...................................................... 13 Indikator Tingkat Erosi......................................................................... 26 Model Regresi Yang Digunakan dan Bentuk Persamaannya............... 27 Klasifikasi Tutupan Kanopi.................................................................. 28 Desa Yang Termasuk Dalam DAS Tinalah.......................................... 30 Curah Hujan Rata-rata Tahunan DAS Tinalah Tahun 1997-2006........ 32 Suhu Rata-rata Bulanan DAS Tinalah................................................... 34 Tipe Iklim Berdasarkan Nilai Q............................................................ 35 Hasil Penentuan Tipe Iklim Daerah Penelitian..................................... 35 Distribusi dan Jenis Batuan DAS Tinalah............................................ 38 Distribusi Bentuklahan DAS Tinalah................................................... 41 Jenis dan Luas Penggunaan Lahan DAS Tinalah................................. 46 Karakteristik Demografi DAS Tinalah................................................. 48 Nilai Bias atmosfer Pada Setiap Saluran Citra SPOT-5....................... 52 Hasil Uji Akurasi Interpretasi Penggunaan Lahan................................ 62 Hasil Analisis Regresi Untuk Penggunaan Lahan Kebun Campur....... 77 Hasil Analisis Regresi Untuk Penggunaan Lahan Tegalan................... 77 Hasil Tabulasi Silang Antara Tingkat Erosi dan Kondisi Tutupan Kanopi Vegetasi.................................................................................... 86 Hasil Tabulasi Silang Antara Tingkat Erosi dan Kondisi Tutupan Tanah..................................................................................................... 87 Hasil Tabulasi Silang Antara Tingkat Erosi dan Kelas kemiringan Lereng..................................................................................................... 87
vii
DAFTAR GAMBAR No. 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 2.1 2.2 2.3 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 4.10 4.11 4.12 4.13 4.14 4.15 4.16 4.17 4.18 4.19 4.20
Gambar Hal Proses Erosi........................................................................................... 6 Canopy Cover dan Canopy Closure...................................................... 8 Kurva Pantulan Obyek Vegetasi, Tanah dan Air.................................. 9 Satelit SPOT-5 dan Konfigurasi Instrumen Pencitraannya.................. 12 Perekaman Nadir dan Off-Nadir Pada Instrumen HRG SPOT-5......... 13 Kerangka Pemikiran.............................................................................. 18 USDA FIA Canopy Cover Estimation Chart......................................... 24 Plot Sampel............................................................................................ 25 Diagram Alir Penelitian.......................................................................... 29 Peta Administrasi Desa Di Sekitar DAS Tinalah................................... 31 Grafik Curah Hujan Rata-rata Tahunan DAS Tinalah Tahun 1997-2006.............................................................................................. 33 Peta Geologi DAS Tinalah..................................................................... 37 Peta Bentuklahan DAS Tinalah.............................................................. 39 Peta Tanah DAS Tinalah........................................................................ 44 Peta Penggunaan Lahan DAS Tinalah................................................... 47 Perbandingan Citra SPOT-5 Sebelum dan Sesudah Koreksi Geometrik............................................................................................... 50 Citra Hasil Orthorektifikasi.................................................................... 51 Histogram NDVI Citra SPOT-5 DAS Tinalah....................................... 54 Citra NDVI SPOT-5 DAS Tinalah........................................................ 55 Perbandingan Citra Multispektral, Pankromatik dan Citra Gabungan... 57 Perbedaan Kenampakan Obyek Pada Citra Komposit 432 dan 321...... 58 Perbandingan Citra Pankromatik dan Komponen Intensitas Dari Komposit 432......................................................................................... 59 Citra Gabungan Komposit 432 Menggunakan Transformasi IHS......... 60 Foto Perbandingan Kenampakan Penggunaan Lahan Pada Citra dan Kenampakan Lapangan.......................................................................... 63 Foto Yang Menunjukkan Perbedaan Kondisi Penutup lahan Saat Citra Direkam dan Kondisi Saat Survei Lapangan.......................................... 65 Foto Contoh Hasil Estimasi Persentase Tutupan Kanopi...................... 67 Peta Lokasi Sampel................................................................................. 68 Foto Kenampakan Pedestal.................................................................... 70 Foto Armour Layer................................................................................ 70 Foto Singkapan Akar Pada Tanaman Jagung.......................................... 71 Foto Gundukan Tanah Di bawah Kanopi Tanaman (tree mound)......... 72 Foto Akumulasi Material Pada Sisi Sebelah Atas Batang Tanaman...... 72 Foto Endapan Material Hasil Limpasan Permukaan Di sepanjang Saluran Drainase..................................................................................... 73 Foto Kenampakan Erosi Alur................................................................. 74 Foto Erosi Parit...................................................................................... 75
viii
4.21 4.22 4.23 4.24a 4.24b 4.25 4.26 4.27a 4.27b 4.27c 4.28
Grafik Hasil Penilaian Tingkat Erosi Pada 42 Lokasi Sampel................76 Diagram Pencar Hubungan NDVI dan Persentase Tutupan Kanopi Vegetasi Pada Penggunaan Lahan Kebun Campur dan Tegalan ........... 78 Peta Kondisi Tutupan Kanopi Vegetasi Pada Penggunaan Lahan Kebun Campur dan Tegalan DAS Tinalah............................................ 79 Grafik Perbandingan Nilai Persentase Tutupan Kanopi Hasil Pengukuran dan Hasil Prediksi Untuk Vegetasi Pada Penggunaan Lahan Kebun Campur........................................................ 80 Grafik Perbandingan Nilai Persentase Tutupan Kanopi Hasil Pengukuran dan Hasil Prediksi Untuk Vegetasi Pada Penggunaan Lahan Tegalan.................................................................... 81 Bukti Pengaruh Kabut Terhadap Perbedaan Nilai Pantulan Vegetasi Saluran XS2 Pada Penutup Lahan Yang Sama dan Pengaruhnya Terhadap Nilai NDVI............................................................................. 82 Profil Spektral Antara Area A dan Area B Pada Gambar 4.25 ............. 83 Foto Area Dengan Tutupan Kanopi Jarang Namun Tutupan Tanahnya Rapat...................................................................................... 84 Lokasi Gambar 4.26a Pada Citra NDVI..................................................84 Lokasi Gambar 4.26a Pada Citra Komposit 432.................................... 84 Foto Lahan Tegalan Dengan Tutupan Tanah Rapat dan Jarang............. 88
ix
DAFTAR LAMPIRAN No. 1 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Lampiran Hasil Perhitungan Koreksi Radiometrik Kalibrasi Bayangan............... Rekapitulasi Data Lapangan………………………………………...... Hasil Analisis Regresi Nilai NDVI dan Persentase Tutupan Kanopi.... Skema Klasifikasi Penggunaan Lahan Menurut Bakosurtanal (dalam Rahardjo, 1990)...................................................................................... Hasil dan Perhitungan Analisis Tabulasi Silang.................................... Hasil Perhitungan Standar Kesalahan (Standard Error) antara Persentase Tutupan Kanopi Hasil Observasi dan Hasil Prediksi……... Metadata Citra SPOT-5 HRG XS dan PAN…………………………..
x
L-1 L-5 L-7 L-10 L-11 L-14 L-16
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Perkembangan studi erosi menggunakan pendekatan spatio-temporal
semakin banyak memperoleh perhatian. Hal ini dikarenakan antara lain adanya kebutuhan data dan penilaian secara cepat (rapid assessment) dalam konteks regional untuk mengidentifikasi area yang terjadi erosi intensif dan penyusunan perencanaan konservasi pada lahan – lahan kritis (De Jong, 1999; Vrieling, 2004). Studi erosi secara spasial dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan kuantitatif menggunakan model erosi dan pendekatan kualitatif dengan factorial scoring (Vrieling, 2004). Kedua pendekatan tersebut memerlukan data spasial faktor-faktor erosi yang meliputi faktor iklim, topografi, tanah dan penutup/penggunaan lahan (Baban dan Yusof, 2001). Tutupan kanopi merupakan salah satu atribut vegetasi yang mempunyai pengaruh besar terhadap erosi. Tutupan kanopi memberikan perlindungan terhadap tanah dari daya rusak air hujan terhadap agregat tanah (Morgan, 2001). Jika kondisi tutupan vegetasi di suatu daerah sangat rapat, maka tanah mendapat perlindungan yang baik dari air hujan, sehingga erosi dengan intensitas tinggi yang dicirikan dengan adanya kenampakan erosi alur dan parit kemungkinan besar tidak akan terjadi (De Jong, 1994; Morgan, 1995). Tutupan kanopi merupakan salah satu parameter utama dalam beberapa model erosi seperti WEPP, RMMF, RUSLE dan SEMMED (De Jong, 1999; Lanteri et al., 2004; Morgan, 2001). Tutupan kanopi mempunyai karakteristik distribusi spasial yang bervariasi dan heterogen. Distribusi ini seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam pemetaan tutupan kanopi untuk studi erosi agar dapat diperoleh hasil estimasi erosi yang akurat dan reliabel (Lanteri et al., 2004), akan tetapi metode untuk menentukan tutupan kanopi yang telah dikembangkan adalah dengan estimasi dan pengambilan sampel di lapangan. Metode sampel ini, selain memerlukan waktu dan biaya yang besar, hasilnya bersifat lokal dan tidak dapat digunakan sebagai
1
masukan untuk studi erosi secara spasial (Lanteri et al., 2004; Lee, tanpa tahun). Walaupun demikian, metode ini tetap digunakan oleh Yazidi (2003); Theklehaimanot (2003); Cartagena (2004) dan Setiawan (2006), untuk memperoleh data spasial tutupan kanopi dengan cara ekstrapolasi hasil pengambilan sampel ke unit pemetaan yang lebih luas dengan mendasarkan pada asumsi homogenitas karakteristik di dalam unit pemetaan yang sama. Asumsi homogenitas dalam unit pemetaan yang dalam kenyataannya heterogen dan bervariasi dapat menyebabkan ketidakpastian hasil analisis dan prediksi yang tidak tepat (De Jong, 1994). Sejak dua dasawarsa terakhir, teknologi penginderaan jauh telah menjadi sumber data spasial yang efektif untuk studi erosi (Jaroslav et al., 1996 dalam Yazidi, 2003). Data penginderaan jauh dapat memberikan informasi faktor pengontrol erosi secara sinoptik pada area yang luas (Lee, tanpa tahun). Kelebihaan ini memungkinkan data penginderaan jauh dapat digunakan untuk memetakan obyek di permukaan bumi secara kontinu dan memperbaiki kelemahan dari teknik sampel. Terlebih bila karakteristik obyek berkorelasi kuat dengan nilai spektral citra, maka pemetaan dapat dilakukan dengan analisis digital. NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) merupakan salah satu produk analisis digital citra penginderaan jauh yang mengandung berbagai macam informasi vegetasi. Atribut spektral NDVI telah diketahui berkorelasi dengan berbagai macam atribut vegetasi, termasuk di dalamnya tutupan kanopi (Larsson, 2002). DAS Tinalah merupakan salah satu sub DAS dari DAS Progo yang berlokasi di Kabupaten Kulonprogo bagian utara. DAS ini merupakan bagian dari kawasan perbukitan Menoreh utara yang terbentuk akibat proses vulkanik tua dan proses struktural pengangkatan (up-lifting) dilanjutkan proses denudasi, termasuk di dalamnya adalah erosi (Bemmelen, 1970). Sstudi yang dilakukan Hartono (1994) dan Restele (2004) menyimpulkan bahwa lahan – lahan di DAS Tinalah didominasi lahan dengan kelas kemampuan VI dan VII dengan faktor pembatas berupa erosi berat. Proses erosi di DAS ini sudah mencapai taraf berat yang dicirikan dengan ditemukannya berbagai kenampakan erosi, mulai dari erosi
2
lembar hingga erosi parit di seluruh DAS. Di sisi lain, penggunaan lahan di DAS Tinalah didominasi oleh kebun dan hutan dengan jenis tanaman berupa tanaman tahunan dengan kerapatan tutupan vegetasi yang baik. Kontradiksi antara kerapatan tutupan kanopi dan tingkat erosi yang terjadi di DAS Tinalah menjadikan topik ini cukup menarik untuk diteliti.
1.2
Perumusan Masalah Studi erosi secara spasial memerlukan integrasi berbagai macam data
spasial faktor erosi. Agar dapat diperoleh hasil yang reliabel dan akurat, data spasial yang digunakan untuk studi erosi haruslah seakurat mungkin, termasuk dalam hal ini pertimbangan variabilitas dan heterogenitas fenomena. Kendala utama dalam penurunan data spasial untuk studi erosi adalah beberapa jenis data masih diukur dengan metode sampel yang tidak mempunyai dimensi area. Data hasil pengambilan sampel ini hanya shahih di lokasi pengambilan sampel. Pemetaan yang dilakukan dengan menggunakan data hasil pengambilan sampel sering dilakukan dengan cara mengekstrapolasi data ke satuan pemetaan (dari dimensi titik ke dimensi area). Ekstrapolasi ini sebenarnya kurang dapat diterima karena dapat menyebabkan ketidakpastian dan kesalahan hasil pengukuran dan pemetaan mengingat heterogenitas dan variabilitas di dalam satuan pemetaan diabaikan. Salah satu atribut vegeasi sebagai faktor erosi yang menghadapi kendala di atas adalah tutupan kanopi. Citra penginderaan jauh dapat memberikan informasi permukaan bumi secara sinoptik pada area yang luas dalam waktu singkat. Termasuk dalam hal ini adalah informasi vegetasi dan penutup lahan. NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) merupakan salah satu teknik analisis digital data penginderaan jauh untuk memperoleh informasi distribusi spasial vegetasi dan atributnya. NDVI berkorelasi kuat dengan berbagai macam atribut vegetasi seperti biomassa, LAI (Leaf Area Index) dan tutupan kanopi. Tutupan kanopi vegetasi berpengaruh besar terhadap erosi melalui dua aspek. Pertama, kanopi tumbuhan dapat menahan air hujan dari kontak langsung dengan tanah. Dengan tertahannya butir – butir air hujan oleh kanopi vegetasi,
3
energi kinetiknya menjadi berkurang, sehingga ketika sampai di permukaan tanah, erosivitasnya kecil. Kedua, vegetasi dapat mengintersepsi air hujan sehingga ketika sampai di permukaan tanah volumenya sudah jauh berkurang. Semakin rapat tutupan semakin baik perlindungan sehingga erosi yang terjadi semakin kecil, akan tetapi di DAS Tinalah kondisinya justru berkebalikan. Bertolak pada masalah tersebut, maka dapat disusun perumusan masalah sebagai berikut: 1.
Apakah NDVI dapat digunakan sebagai sumber data tutupan kanopi?
2.
Bagaimana hubungan tutupan kanopi dengan tingkat erosi tanah di DAS Tinalah?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan, penelitian ini bertujuan: 1. Menghitung nilai NDVI dari Citra SPOT-5 HRG multispektral. 2. Memetakan penggunaan lahan DAS Tinalah sebagai basis pemetaan tutupan kanopi pada skala 1:50.000 menggunakan Citra SPOT-5 multispektral dan pankromatik.] 3. Memetakan tutupan kanopi vegetasi pada setiap unit penggunaan lahan di DAS Tinalah pada skala 1: 50.000 menggunakan data NDVI yang diintegrasikan dengan pengukuran lapangan 4. Menilai tingkat erosi DAS Tinalah berdasarkan observasi kenampakan erosi. 5. Mengkaji hubungan tutupan kanopi vegetasi hasil pemetaan sebagai salah satu faktor erosi dengan tingkat erosi tanah di DAS Tinalah.
1.4
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain: 1. Dapat memberikan metode alternatif untuk pemetaan tutupan kanopi. 2. Dapat memberikan informasi hubungan tutupan kanopi dengan intensitas erosi secara empiris berdasarkan kenampakan erosi yang terjadi.
4
3. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh derajat Sarjana Geografi Lingkungan pada Fakultas Geografi UGM.
1.5
Tinjauan Pustaka
1.5.1
Tinjauan Teoritis
1.5.1.1 Erosi, Proses Erosi dan Faktor yang Mempengaruhi Erosi Erosi adalah hilang atau terkikisnya tanah atau bagian – bagian tanah dari suatu tempat yang terangkut oleh media alami (air dan angin) te tempat lain (Arsyad, 1989). Erosi menyebabkan berbagai kerusakan tanah dan lahan seperti hilangnya lapisan atas tanah yang subur, berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air, memicu banjir dan pendangkalan. Secara rinci dampak dari erosi disajikan dalam tabel berikut : Tabel 1.1 Dampak Erosi Bentuk Dampak Langsung
Tidak langsung
Dampak di tempat kejadian erosi Kehilangan lapisan tanah yang baik bagi berjangkarnya akar tanaman Kehilangan unsur hara dan kerusakan struktur tanah Peningkatan penggunaan energi untuk produksi Kerusakan banguan konservasi dan bangunan lainnya Pemiskinan petani dan pemilik/penggarap tanah Berkurangnya alternatif penggunaan lahan Timbulnya tekanan untuk membuka lahan baru
Dampak di luar tempat kejadian Pelumpuran dan pendangkalan waduk, sungai, saluran dan tubuh air lainnya Tertimbunnya lahan pertanian, jalan dan bangunan lainnya Menghilangnya mata air dan memburuknya kualitas air Kerusakan ekosistem perairan Meningkatnya frekuensi dan masa kekeringan Kerugian oleh memendeknya umur waduk Meningkatkan frekuensi dan besar banjir (Arsyad, 1989)
Proses erosi oleh air merupakan kombinasi dua sub proses yaitu (1) penghancuran struktur tanah menjadi butir – butir primer oleh energi tumbuk butir – butir hujan yang menimpa tanah (Dh) dan perendaman oleh air yang tergenang dan pemindahan butir – butir tanah oleh percikan hujan (Th) dan (2)
5
penghancuran struktur tanah (Di) diikuti pengangkutan butir – butir tanah tersebut (Ti) oleh air yang mengalir di permukaan tanah. Secara skematis proses tersebut dapat dijelaskan dengan Gambar 1.1.
(Arsyad, 1989) Gambar 1.1 Diagram yang Menunjukkan Proses terjadinya erosi Erosi merupakan hasil interaksi faktor – faktor yang mempengaruhi dan menyebabkan erosi yang bekerja terhadap tanah. Faktor – faktor tersebut meliputi iklim, topografi, tanah, vegetasi dan pengelolaan lahan (Arsyad, 1989). Faktor iklim yang mempengaruhi erosi adalah hujan. Karakteristik hujan yang mempengaruhi erosi antara lain besarnya curah hujan, intensitas dan distribusi. Kombinasi ketiga aspek hujan ini menentukan kekuatan dispersi hujan terhadap tanah dan kecepatan limpasan permukaan (Utomo, 1994). Faktor topografi yang berpengaruh terhadap erosi adalah panjang dan kemiringan lereng. Panjang lereng berpengaruh terhadap volume limpasan, volume limpasan semakin bertambah dengan bertambahnya panjang lereng.
6
Kemiringan lereng berpengaruh terhadap kecepatan limpasan. Pada lereng curam kecepatan limpasan lebih tinggi daripada lereng landai (Utomo, 1994). Sifat tanah yang berpengaruh terhadap erosi antara lain tekstur, struktur, bahan organik, permeabilitas, dan kedalaman tanah. Tanah bertekstur pasir mempunyai kapasitas infiltrasi yang tinggi, sehingga dapat mengurangi volume limpasan. Tanah bertekstur pasir halus juga mempunyai kapasitas infiltrasi yang tinggi, namun butir-butirnya mudah terangkut limpasan. Tanah bertekstur lempung mudah tersuspensi oleh hujan dan pori-porinya dapat tersumbat, sehingga dapat menyebabkan erosi berat. Struktur tanah juga berpengaruh terhadap kapasiltas infiltrasi. Struktur granuler mempunyai kapasitas infiltrasi yang lebih besar daripada struktur yang lebih mantap. Bahan organik menghambat aliran limpasan, sehingga limpasan lebih lambat sekaligus meningkatkan infiltrasi. Tanah yang dangkal dan permeabilitasnya cepat lebih peka erosi daripada tanah yang dalam dan permeabilitasnya cepat. Kedalaman tanah juga berpengaruh terhadap kapasitas infiltrasi (Utomo, 1994). Vegetasi berpengaruh terhadap erosi karena vegetasi dapat melindungi tanah dari kekuatan perusak hujan melalui penahanan dan intersepsi butir hujan oleh kanopi vegetasi. Tertahannya hujan oleh kanopi dapat mengurangi kecepatan jatuh butir hujan dan mengurangi energi hujan ketika mencapai permukaan tanah serta memberikan waktu lebih untuk infiltrasi, sehingga volume dan kecepatan limpasan berkurang. Vegetasi melalui perakaran juga mempengaruhi sifat tanah dalam wujud memperbesar ketahanan massa tanah dari daya rusak hujan dan limpasan serta memperbesar kapasitas infiltrasi melalui peningkatan porositas (Utomo, 1994). 1.5.1.2 Kanopi dan Tutupan Kanopi Kanopi merupakan lapisan paling atas dalam kumpulan vegetasi, yang dibentuk oleh mahkota (kumpulan daun) tanaman dan menutupi lapisan di bawahnya. Derajat kerapatan kanopi sering dinyatakan dengan tutupan kanopi (canopy cover) yang didefinisikan sebagai persentase area permukaan tanah yang tertutup kanopi proyeksi vertikal dari kanopi vegetasi (Lanteri et al., 2004).
7
Walaupun demikian, konsepsi tutupan kanopi masih belum sepenuhnya terbakukan. Terdapat dua konsep tentang tutupan kanopi berkaitan dengan teknik pengukuran yang digunakan, yaitu canopy cover dan canopy closure. (Jennings et al., 1999 dalam Korhonen et al., 2006). Definisi canopy cover telah disebutkan di atas, sedangkan definisi canopy closure adalah proporsi bidang langit (open sky) yang ditutupi tumbuhan jika dilihat dari suatu titik. Perbedaan antara canopy cover dan canopy closure dapat dilihat pada Gambar 1.2. Kerancuan lain berkaitan dengan konsepsi tutupan kanopi adalah pertimbangan celah diantara mahkota tanaman sebagai bagian dari kanopi atau tidak. Hal ini penting karena akan berpengaruh terhadap hasil akhir estimasi. Untuk itu Rauitiainen et al., (1995) dalam Korhonen et al, (2006) memperkenalkan konsep tutupan kanopi tradisional dan tutupan kanopi efektif. Perbedaan dari dua konsep tersebut adalah tutupan kanopi tradisional menganggap celah di antara mahkota tumbuhan sebagai bagian dari kanopi, sedangkan tutupan kanopi efektif tidak. Berdasarkan tinjauan di atas, maka konsep tutupan kanopi yang sesuai dengan pengaruh kanopi terhadap erosi dan ekstraksi data tutupan kanopi dari citra penginderaan jauh adalah tutupan kanopi efektif. Konsepsi tutupan kanopi efektif ini yang digunakan dalam penelitian ini.
(a)
(b)
Gambar 1.2 Canopy Cover (a) dan Canopy Closure (b), (Jennings et al., 1999 dalam Korhonen et al., 2006),
8
1.5.1.3 NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) Vegetasi, sebagaimana tanah dan air, mempunyai karakteristik spektral yang unik dalam merespon energi elektromagnetik matahari yang mengenainya. Vegetasi menyerap banyak energi pada spektrum tampak (terutama biru dan merah), namun banyak memantulkan energi pada spektrum inframerah dekat (Gambar 1.3). Vegetasi hijau menyerap banyak radiasi matahari pada spektrum merah untuk digunakan sebagai sumber energi dalam proses fotosintesis, sedangkan energi pada spektrum inframerah dekat tidak mencukupi untuk mensintesiskan molekul – molekul organik dalam tumbuhan. Penyerapan energi pada spektrum ini hanya akan menyebabkan pemanasan yang berlebihan pada tumbuhan dan berpotensi merusak metabolisme tumbuhan, oleh karena itu dipantulkan dengan kuat (Gates, 1980 dalam Lee, tanpa tahun).
(A = tanah kering, B = Tanah lembab, C = Vegetasi, D = air) Gambar 1.3. Kurva Pantulan Obyek Tanah, Vegetasi dan Air (Lillesand dan Kiefer, 2004) Implikasi hal di atas terhadap data penginderaan jauh adalah pada saluran merah citra penginderaan jauh multispektral, vegetasi hijau akan berona gelap dan mempunyai nilai pantulan yang rendah, sedangkan pada saluran inframerah dekat justru sebaliknya (Hoffer, 1978). Dengan transformasi indeks vegetasi, informasi respon vegetasi dari saluran merah dan inframerah dekat dapat dikombinasikan untuk memperoleh informasi vegetasi dengan hasil lebih baik daripada analisis dua saluran secara terpisah (Schreiber, 2007).
9
Indeks vegetasi adalah suatu formula transformasi matematis yang mengkombinasikan dua atau lebih saluran pada citra penginderaan jauh yang ditujukan untuk memperoleh informasi vegetasi dengan lebih baik. Berbagai macam indeks vegetasi telah dikembangkan, namun NDVI merupakan indeks yang paling banyak diaplikasikan (Lee, tanpa tahun). NDVI dapat dikalkulasi dengan menggunakan rumus berikut:
( NIR − RED) ( NIR + RED) NIR
(1)
= saluran infra merah dekat
RED = saluran merah
(Schreiber, 2007)
1.5.1.4 Hubungan NDVI Dengan Tutupan Kanopi
Nilai spektral NDVI berkaitan dengan banyak atribut dan karakteristik kanopi
seperti
biomasaa,
produktivitas
daun,
leaf
area
index,
PAR
(Photosynthecally Active Radiation) dan tutupan kanopi (Jensen, 1991; Larsson, 2002). Dilihat dari hubungannya dengan obyek vegetasi dan tutupan kanopi vegetasi, nilai -1 hingga 0 dari citra NDVI mengindikasikan obyek bukan vegetasi. Nilai positif rendah (nilai spektral saluran inframerah dekat dan saluran merah berselisih sedikit) mengindikasikan vegetasi dengan kerapatan rendah, sedangkan nilai positif tinggi (nilai spektral saluran inframerah dekat dan saluran merah berselisih banyak) mengindikasikan vegetasi dengan kerapatan/tutupan tinggi (Schreiber, 2007; Lee, tanpa tahun). 1.5.1.5 Sistem Penginderaan Jauh Satelit SPOT-5
Satelit SPOT-5 merupakan generasi kelima dari keluarga Satelit SPOT (Système pour d’Observation de la Terre). SPOT-5 diluncurkan pada tanggal 4 Mei 2002 dengan membawa tiga instrumen penginderaan jauh untuk berbagai misi pemetaan tematik sumberdaya. Instrumen-instrumen penginderaan jauh pada Satelit SPOT-5 merupakan perbaikan dari instrumen generasi satelit sebelumnya. Instrumen tersebut adalah Instrumen HRG (High Resolution Geometric) yang
10
merupakan instrumen penerus HRV (High Resolution Visible) pada satelit SPOT 1-4 dengan resolusi spasial dan spektral yang lebih baik, instrumen HRS (High Resolution Stereoscopic) yang merupakan instrumen pencitraan stereo untuk pemetaan topografi, dan terakhir adalah VEGETATION-2 untuk pemetaan dan monitoring vegetasi dalam skala global (SPOT Image, 2006). Karakteristik umum dari Satelit SPOT dari SPOT-1 hingga 5 dapat dilihat pada Tabel 1.2. Tabel 1.2 Karakteristik Satelit dan Instrumen Pencitraan SPOT-5 dan Satelit Sebelumnya Paramater
Satelit SPOT-5
Peluncuran
4 Mei 2002
SPOT-4 24 Maret 1998
SPOT-1,2,3 1. 22 Februari 1986 2. 22 Januari 1990 3. 20 September 1993
Masa Kerja
5 tahun
5 tahun
3 tahun
Orbit
Sinkron Matahari
Sinkron Matahari
Sinkron Matahari
Waktu melintasi ekuator
10.30
10.30
10.30
Ketinggian orbit (ekuator)
822 km
822 km
822 km
Periode Orbit
101,4 menit
101,4 menit
101,4 menit
Sudut inklinasi
98,7 derajat
98,7 derajat
98,7 derajat
Siklus Orbit
26 hari
26 hari
26 hari
Instrumen Resolusi tinggi
2 Sensor HRG
2 Sensor HRVIR
2 Sensor HRV
- Saluran spektral
- 2 pankromatik (5m) yang
- 1 Pankromatik (10m)
- 1 Pankromati (10m)
bisa dikombinasikan
- 3 VNIR (20m)
- 3 VNIR (20m)
menjadi 1 pankromatik (2,5
- 1 SWIR (20m)
(waktu lokal)
m) - 3 VNIR (10m) - 1 SWIR (20m) - Julat Spektral
- P : 0,48-0,71 μm
- M : 0,61-0,68 μm
- P : 0,48-0,71 μm
- B1 (Hijau) : 0,50-0,59 μm
- B1 (Hijau) : 0,50-0,59 μm
- B1 (Hijau) : 0,50-0,59 μm
- B2 (Merah) : 0,61-0,68 μm
- B2 (Merah) : 0,61-0,68 μm
- B2 (Merah) : 0,61-0,68 μm - B3 (NIR) : 0,78-0,89 μm
- B3 (NIR) : 0,78-0,89 μm
- B3 (NIR) : 0,78-0,89 μm
- B4 (SWIR) : 1,58-1,75 μm
- B4 (SWIR) : 1,58-1,75 μm
- Luas Liputan
- 60 x 60 km hingga 80 km
- 60 x 60 km hingga 80 km
- 60 x 60 km hingga 80 km
- Resolusi Radiometrik
- 8 bits
- 8 bits
- 8 bits
- Resolusi Temporal
- 2 hingga 3 hari
- 2 hingga 3 hari
- 2 hingga 3 hari
Sumber: SPOT Image (2006)
11
Gambar 1.4 Satelit SPOT5 dan Instrumen Pencitraannya (SPOT Image, 2006)
Instrumen HRG pada Satelit SPOT-5 merupakan instrumen yang menghasilkan citra dengan resolusi tinggi pada mode multispektral (10 meter) dan mode pankromatik (5 meter). Citra Pankromatik dari dua Instrumen HRG dengan resolusi 5 meter dapat diintegrasikan untuk menurunkan citra sintesis pankromatik dengan resolusi spasial 2,5 meter yang disebut Supermode (SPOT Image, 2006). Citra turunan ini dapat digabungkan dengan citra multispektral untuk memperoleh citra berwarna pada resolusi spasial 2,5 meter. Instrumen HRG merekam permukaan bumi melalui mekanisme pushbroom scanning baik melalui perekaman nadir atau off nadir viewing sebagaimana instrumen HRV. Mekanisme perekaman nadir dan off nadir Sensor HRG SPOT-5 dapat dilihat pada Gambar 1.4. Kapabilitas perekaman off nadir memungkinkan instrumen HRG dapat digunakan untuk memperoleh citra stereo untuk analisis tiga dimensi dan ekstraksi DEM. Perekaman data pada Instrumen HRG SPOT-5 menggunakan detektor berupa CCD linear array sebanyak 6000 detektor (Richards dan Jia, 2006). Citra yang diperoleh dari instrumen HRG dipasarkan dengan berbagai macam tingkat pemrosesan yang dapat dilihat pada Tabel 1.3.
12
Gambar 1.5 Perekaman Nadir dan Off-Nadir Pada Instrumen HRG Satelit SPOT-5 (SPOT Image, 2006) Tabel 1.3 Tingkat Pemrosesan Citra SPOT-5\HRG Level
Koreksi Radiometrik
1B
- Normalisasi respon CCD untuk memperbaiki variasi radiometrik yang dikarenakan perbedaan sensitivitas detektor - Pengaruh eksternal (atmosfer) belum dikoreksi. - Sama dengan 1A
2A
- Sama dengan 1A
1A
2B (Precision) - Sama dengan 1A
3 (Ortho)
- Sama dengan 1A
Sumber: SPOT Image (2006).
13
Koreksi Geometrik
Akurasi posisi < 50 meter
- Distorsi geometrik sistematik sudah terkoreksi (distorsi panoramik, efek rotasi bumi, variasi ketinggian orbit) - Pemrosesan level 1B - Transformasi koordinat ke UTM - Orthorektifikasi tanpa menggunakan GCP, hanya menggunakan informasi ephemeris sensor plus DEM dengan resolusi 1 km - Pemrosesan Level 2A - Penggunaan GCP untuk koreksi geometrik guna memperoleh ketelitian posisi yang lebih baik - Pemrosesan Level 2A - Orthorektifikasi menggunakan DEM berkualitas tinggi dan GCP untuk mengkoreksi distorsi geometrik akibat pengaruh medan
< 30 meter
- N/A
< 30 meter
Tergantung akurasi GCP < 10 meter, tergantung akurasi GCP dan DEM
Instrumen HRG dapat beroperasi pada mode multispektral dan pankromatik. Dibanding instrumen HRV dan HRVIR pada satelit sebelumnya, instrumen HRG mempunyai banyak perbaikan dari segi resolusi spasial dan spektral. Resolusi spasial instrumen HRG mempunyai resolusi spasial 10 meter untuk mode multispektral dan 5 meter untuk mode pankromatik. Resolusi spasial ini lebih baik dari instrumen HRV dan HRVIR yang resolusi spasialnya 20 meter untuk mode multispektral dan 10 meter untuk mode pankromatik. Terlebih dengan menggunakan supermode, dua instrumen HRG pada satelit SPOT-5 dapat menghasilkan citra pankromatik sintesis dengan resolusi 2,5 meter. Perbaikan dari segi resolusi spasial ini memungkinkan Citra SPOT-5 dapat digunakan untuk berbagai aplikasi yang memerlukan detil spasial tinggi dan pemetaan skala detil yang tidak dapat dilakukan oleh Citra SPOT dari satelit sebelumnya. Selain resolusi spasial, resolusi spektral instrumen HRG juga lebih baik dari instrumen HRV dengan adanya penambahan Saluran Inframerah Gelombang Pendek (SWIR) dengan julat spektral 1500-1750 nm. Penambahan saluran ini membuat instrumen HRG mempunyai lebih banyak pilihan komposit warna untuk interpretasi visual dan kapabilitas yang lebih baik dalam klasifikasi multispektral daripada instrumen HRV. Selain itu citra dari instrumen HRG ini juga dapat dieksploitasi untuk aplikasi-aplikasi yang memanfaatkan kelebihan spektral saluran SWIR seperti analisis spektral lahan perkotaan, analisis kelembaban tanah dan kandungan air pada vegetasi. Aplikasi –aplikasi semacam ini tidak dapat diterapkan dengan menggunakan Citra SPOT dari Instrumen HRV (SPOT Image, 2006). 1.5.2
Tinjauan Empiris
Studi yang mengkaji hubungan antara tutupan kanopi dan NDVI telah dilakukan oleh Gitelson (2004) yang melakukan studi penggunaan indeks vegetasi untuk ekstraksi karakteristik biofisik tumbuhan menggunakan citra NOAAAVHRR di Israel. Hasil yang diperoleh menunjukkan korelasi yang kuat antara tutupan kanopi dan NDVI pada berbagai jenis tumbuhan (R2 = 0,94-0,98). Kancheva, Borisova (2006) memperoleh nilai R2 sebesar 0,95 dan 0,97 dalam studi hubungan tutupan kanopi dan NDVI pada dua jenis tanah yang berbeda di
14
Bulgaria menggunakan LANDSAT TM. Hasil serupa juga diperoleh Nagler et al, (2003) dengan hasil nilai R2 antara NDVI dan tutupan kanopi sebesar 0,82. Studi dilakukan menggunakan foto udara multispektral di lembah Sungai Colorado Amerika. Carreiras et al., (2006) memperoleh nilai R2 sebesar 0,72 dalam studi estimasi tutupan kanopi di daerah Mediteran Portugal menggunakan LANDSAT TM. Studi ekstraksi data tutupan kanopi dari citra penginderaan jauh untuk studi erosi pernah dilakukan Lanteri et al., (2004) menggunakan citra MODIS di daerah semi arid California Amerika. Hasil studi menunjukkan NDVI dan tutupan kanopi mempunyai korelasi positif kuat (R= 0,88), sehingga persamaan regresi dapat diturunkan dan diaplikasikan untuk mengkalibrasi persentase tutupan kanopi ke seluruh area penelitian dengan tingkat kepercayaan yang tinggi. Data tutupan kanopi yang diperoleh kemudian digunakan sebagai masukan model erosi WEPP. Studi erosi di DAS Tinalah sendiri pernah dilakukan oleh beberapa peneliti antara lain Wiraswasti (2005); Ariyanto (2004); Setiawan (2005); Restele (2004); Kumalawati (2005), dengan fokus studi yang berbeda – beda, mulai dari evaluasi praktek konservasi hingga valuasi ekonomi erosi terhadap lahan pertanian. Dari beberapa studi erosi yang telah dilakukan, terutama oleh Hartono (1994) dan Restele (2004), keduanya menyimpulkan bahwa tingkat erosi di DAS Tinalah termasuk dalam kategori sedang hingga berat.
1.6.
Kerangka Pemikiran Erosi tanah oleh air merupakan proses yang bervariasi, heterogen dan
dinamis secara spasial dan temporal. Variabilitas ini ditentukan oleh variabilitas topografi, iklim, tanah, vegetasi dan pengelolaan lahan yang merupakan faktor – faktor erosi oleh tenaga air. Pengaruh vegetasi terhadap erosi salah satunya berasal dari kondisi tutupan kanopi. Vegetasi dengan kondisi tutupan kanopi yang baik dapat melindungi tanah dari erosivitas hujan, sehingga ketika mencapai permukaan tanah, energi dan kemampuannya untuk melepas butir tanah dari agregat tanah sudah jauh berkurang. Selain itu vegetasi dengan kondisi tutupan
15
baik juga mempunyai kemampuan untuk mengintersepsi air hujan yang lebih besar sehingga dapat mengurangi volume hujan yang sampai ke permukaan tanah serta memberi waktu yang lebih banyak untuk proses infiltrasi. Kombinasi dari tiga aspek di atas menjadikan kemungkinan terjadinya erosi pada lahan dengan kondisi penutup vegetasi yang baik cukup rendah. Studi erosi dan pemodelan erosi secara spasial dan temporal memerlukan data masukan faktor-faktor yang terlibat dalam proses erosi diatas yang mengakomodasi variabilitas spasial dan temporal faktor-faktor tersebut. Pada kenyataannya, selain data topografi, data faktor – faktor erosi yang diperlukan untuk studi erosi dan pemodelan erosi sebagian besar berasal dari data sampel yang sejatinya bersifat data titik, dimana data ini hanya shahih dan akurat hanya pada lokasi pengambilan sampel. Untuk memenuhi kebutuhan data pada lingkup regional, data hasil pengambilan sampel sering diekstrapolasi ke unit area yang lebih luas dengan asumsi homogenitas karakteristik pada satu unit area. Ekstrapolasi ini sebenarnya kurang dapat diterima karena variabilitas dan heterogenitas fenomena menjadi tidak diperhatikan. Terlebih dalam kenyataannya, faktor-faktor erosi mempunyai variabilitas dan heterogenitas yang besar. Salah satu faktor erosi yang datanya secara konvensional dikumpulkan dengan teknik sampel adalah tutupan kanopi vegetasi. Penggunaan sampel dalam pemetaan tutupan kanopi lebih dipilih karena pemetaan secara menyeluruh memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Sejak tahun 1972, data penginderaan jauh satelit telah digunakan untuk memperoleh informasi permukaan bumi, pada cakupan area yang luas, dalam waktu yang singkat. Jenis data ini dapat memberikan informasi distribusi spasial dan temporal secara sinoptik, sehingga variabilitas dan heterogenitas fenomena dapat dipetakan dengan baik. Perolehan informasi vegetasi dan karakteristiknya saat ini telah menjadi salah satu fokus utama dalam bidang penginderaan jauh. Terlebih saat ini telah diketahui bahwa atribut spektral data penginderaan jauh berkorelasi dengan berbagai macam atribut vegetasi seperti leaf area index, biomassa, Photosyntecally active radiation dan tutupan kanopi. Dengan demikian, data penginderaan jauh mempunyai potensi sebagai sumber data spasial tutupan
16
kanopi vegetasi sebagai data masukan dalam studi dan pemodelan erosi, dengan beberapa kelebihan dibanding data hasil pengambilan sampel yang diekstrapolasi.
1.7
Batasan Operasional
Daerah aliran sungai adalah seluruh daerah yang dialiri sebuah sungai atau anak
sungai yang berhubungan sedemikia rupa sehingga semua aliran yang berasal dari daerah itu keluar sebagai keluaran tunggal (Sutikno, 1985). Erosi adalah proses pelepasan partikel – partikel tanah dari massa tanah oleh
tenaga erosi seperti air dan angin (Morgan, 1995) NDVI adalah indeks yang dihitung dari hasil pengukuran pantulan obyek pada
saluran merah dan inframerah citra satelit penginderaan jauh (Lanteri et al.,, 2006) Tingkat Erosi adalah besarnya erosi yang terjadi pada suatu permukaan tanah
(Arsyad, 1989) Tutupan Kanopi adalah proporsi dari area permukaan tanah yang tertutup oleh
proyeksi vertikal dari kanopi tumbuhan (Lanteri et al, 2004).
17
Erosi
Erosi potensial
Topografi Citra PJ
Tanah Iklim Faktor erosi
Erosi aktual Vegetasi
Nilai spektral
NDVI
Berkorelasi
18
Variasi spasial dan temporal
Tutupan kanopi
Pengambilan l
Terakomodasi
Pemetaan
ekstrapolasi Terabaikan
Pemetaan
Korelasi
Gambar 1.6 Kerangka Pemikiran Penelitian 18
Peta tutupan kanopi
BAB II METODE PENELITIAN Untuk mencapai tujuan - tujuan penelitian, penelitian dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut:
2.1
Pengunpulan Data
2.1.1
Macam Data
Untuk dapat memperoleh data tutupan kanopi yang diturunkan dari citra dan bagaimana hubungannya dengan erosi yang terjadi, diperlukan beberapa macam data yang dikategorikan menjadi data primer dan data sekunder. Adapun yang termasuk dalam data primer adalah: 1. Data hasil pengukuran tutupan kanopi di lapangan. 2. Data bentukan erosi dan karakterisiknya. Adapun yang termasuk dalam data sekunder adalah: 1. Data NDVI daerah penelitian. 2.1.2
Sumber Data
Data di atas, sebagian dapat diperoleh dari sumber data berikut: 1. Citra SPOT-5 HRG1 XS resolusi 10 meter dan PAN resolusi 2,5 meter tingkat pemrosesan 1A, rekaman Mei 2006. 2. Peta Rupabumi Indonesia Skala 1:25.000 Tahun 2001 Lembar Sendangagung. 2.1.3
Alat Penelitian
Alat penelitian yang diperlukan untuk memperoleh data adalah sebagai berikut: 1. Peralatan Lapangan untuk pengukuran persentase tutupan kanopi dan bentukan erosi yang meliputi pita ukur, meteran, dan abney level. 2. GPS Garmin 60 untuk memperoleh koordinat titik pengukuran. 3. Kamera digital untuk perekam kenampakan visual di lapangan.
19
4. Checklist untuk mencatat data lapangan. 5. Perangkat lunak untuk menjalankan model dan analisis data, yang meliputi: 1. ILWIS 3.4 Open Source Version untuk pemrosesan dan analisis data spasial serta penurunan model regresi tutupan kanopi. 2. ENVI 4.3 untuk orthorektifikasi Citra SPOT-5 dan pembuatan Citra NDVI. 3. ArcGIS ArcInfo 9.2 untuk pembuatan peta secara kartografis. 4. Microsoft Excell 2003 untuk analisis tabel silang. 2.1.4` Penentuan Lokasi Sampel
Penentuan lokasi observasi dan pengukuran persentase tutupan kanopi dilakukan dengan menggunakan plot kuadrat. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling dikarenakan hanya dua kelas penggunaan lahan yang menjadi fokus penelitian. Selain itu pada unit penggunaan lahan yang areanya cukup luas, sampel diambil beberapa kali agar dapat diperoleh data yang signifikan secara statistik untuk menurunkan model regresi. 2.1.5
Metode Pengumpulan Data
A. Orthorektifikasi dan Koreksi Radiometrik Citra Citra penginderaan jauh mengandung berbagai distorsi radiometrik dan geometrik. Agar dapat digunakan sebagai sumber data spasial yang akurat, distorsi ini harus dihilangkan. Penelitian ini menggunakan citra SPOT 5 HRG1 Level 1A. Berdasarkan SPOT technical guide (2006), citra level 1A merupakan citra yang sudah terkoreksi radiometrik sistem, namun belum terkoreksi geometrik. Karena baru terkoreksi radiometrik sistem, distorsi radiometrik yang disebabkan pengaruh hamburan atmosfer dan perawanan masih belum tereduksi. Oleh karena itu, distorsi radiometrik dan geometrik citra harus dikoreksi terlebih dulu sebelum digunakan sebagai sumber informasi tematik. Menurut Danoedoro (1996), terdapat tiga metode sederhana untuk mengkoreksi distorsi radiometrik citra penginderaan jauh, yaitu:
20
1. Penyesuaian histogram, 2. Penyesuaian regresi, 3. Kalibrasi bayangan, Metode penyesuaian histogram dan penyesuaian regresi tidak dapat diaplikasikan pada citra SPOT yang digunakan untuk penelitian. Hal ini dikarenakan kedua metode tersebut memerlukan informasi nilai spektral dari obyek air jernih dan dalam untuk menentukan nilai bias dan offset, sedangkan citra yang digunakan tidak meliput obyek air jernih dan dalam. Sebagai alternatifnya, metode kalibrasi bayangan yang digunakan. Selain itu, metode kalibrasi bayangan juga memiliki kelebihan dibanding metode penyesuaian histogram dan regresi karena dapat mengkompensasi hamburan atmosfer yang tidak homogen pada seluruh liputan citra, sehingga nilai offset yang diperoleh lebih mewakili. Metode kalibrasi bayangan menggunakan informasi nilai spektral dari obyek yang tertutup awan dan tidak tertutup awan (obyeknya sama). Dari pembandingan nilai spektral obyek yang tertutup awan dan tidak tertutup awan akan diketahui nilai bias akibat hamburan atmosfer dari setiap saluran. Mengingat gangguan atmosfer tidak homogen di semua tempat, maka pembacaan nilai spektral piksel dilakukan beberapa kali secara menyebar di seluruh liputan citra. Penentuan nilai bias rata-rata ditentukan dengan menggunakan analisis regresi antara nilai spektral obyek yang tertutup awan dan tidak tertutup awan. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
Eit λ = Aλ xEisλ + Dλ (1 − Aλ )
(2)
Eitλ = nilai piksel obyek tertutup awan Eisλ = nilai piksel obyek tidak tertutup awan Dλ = Nilai bias (Danoedoro, 1996) Nilai baru hasil koreksi ditentukan berdasarkan rumus berikut:
DNi = DNo − Dλ
(3)
DNi = nilai piksel sesudah dikoreksi DNo = nilai piksel sebelum dikoreksi (Danoedoro, 1996)
21
Koreksi
geometrik
citra
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan
transformasi dua dimensi maupun tiga dimensi (Petrie, 2006). Transformasi tiga dimensi disebut juga orthorektifikasi. Pemilihan teknik orthorektifikasi untuk mengkoreksi distorsi geometrik citra didasarkan pada pertimbangan akurasi yang lebih baik dan ketersediaan data pendukung. Transformasi dua dimensi persamaan polinomial tidak dipilih karena transformasi ini tidak dapat mengkompensasi variasi ketinggian medan yang dapat menyebabkan pergeseran bayangan atau relief displacement (Harintaka, 2003). Orthorektifikasi dilakukan menggunakan DEM sebagai sumber data elevasi dan informasi orientasi internal dan eksternal sensor dalam bentuk koefisien RPC (Rational Polynomial Coefficient). DEM diperoleh dari data kontur peta RBI yang diinterpolasi linier. Informasi koefisien RPC diperoleh dari header citra. B. Pembuatan Peta Unit Penggunaan Lahan Sebagai Satuan Pemetaan Jenis vegetasi yang berbeda mempunyai kondisi penutupan yang berbeda. Selain itu, vegetasi dengan kondisi tutupan yang sama namun jenisnya berbeda, pengaruhnya terhadap erosi juga berbeda. Oleh karena itu, analisis kondisi tutupan kanopi dengan menggunakan data NDVI harus dilakukan secara terpisah pada setiap jenis vegetasi. Hal ini dikarenakan NDVI tidak dapat membedakan jenis vegetasi karena NDVI berkaitan dengan karakteristik internal vegetasi, bukan pada jenis vegetasinya. Skala dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1:50.000. Skala tersebut terlalu kecil untuk pemetaan vegetasi hingga tingkat jenis. Oleh karena itu unit penggunaan lahan digunakan sebagai alternatif satuan pemetaan untuk membedakan jenis vegetasi. Asumsi yang digunakan adalah di dalam satu unit penggunaan lahan, jenis dan karakteristik vegetasinya relatif homogen. Pembuatan Peta penggunaan lahan skala 1:50.000 diturunkan dari citra SPOT-5. Teknik yang digunakan adalah interpretasi visual dengan mendasarkan pada kunci interpretasi citra. Klasifikasi penggunaan lahan yang digunakan mengikuti klasifikasi penggunaan lahan menurut BAKOSURTANAL dalam Rahardjo (1990). Skema klasifikasi dapat dilihat pada lampiran 4.
22
Citra SPOT-5 yang digunakan dalam penelitian terdiri dari dua citra, yaitu citra multispektral (XS) dengan resolusi spasial 10 meter dan citra Pankromatik (PAN) dengan resolusi spasial 2,5 meter. Citra multispektral dengan resolusi spasial 10 meter sering kali dianggap kurang detil untuk memperoleh informasi penggunaan lahan pada skala 1: 50.000 (Richards dan Jia, 2006), oleh karena itu informasi dari citra pankromatik perlu ditambahkan untuk mencapai standar kerincian
informasi
untuk
pemetaan
penggunaan
lahan
menurut
BAKOSURTANAL. Untuk itu, citra multispektral dan pankromatik digabungkan dengan menggunakan teknik pan-sharpening. Algoritma pan-sharpening yang dipilih digunakan adalah transformasi IHS (Intensity Hue Saturation). Pemilihan algoritma ini didasarkan pertimbangan algoritma IHS dapat memberikan hasil citra dengan kontras yang baik dan layak untuk interpretasi visual. C. Transformasi NDVI Citra NDVI diturunkan dari saluran XS2 (tampak merah) dan XS3 (inframerah dekat) dari citra SPOT-5. Penurunannya dilakukan menggunakan rumus transformasi berikut: SPOT NDVI =
( XS 3 − XS 2) ( XS 3 + XS 2)
XS2
= SPOT XS saluran 2 (merah)
XS3
= SPOT XS saluran 3 (inframerah dekat)
(5)
Nilai NDVI hasil kalkulasi berkisar antara -1 hingga +1. Nilai di sekitar 0 hingga -1 mengindikasikan obyek bukan vegetasi, sedangkan nilai positif rendah hingga +1 menunjukkan obyek vegetasi dengan berbagai variasi tutupan kanopi. D Estimasi Tutupan Kanopi di Lapangan Menurut Korhonen et al, (2006), penentuan tutupan kanopi di lapangan melalui pengukuran langsung dapat dilakukan menggunakan alat pengukur (Densiometer, Cajanus Tube), Fotografi (Hemisferikal dan standar) dan estimasi oskular. Teknik pengambilan sampelnya dapat secara plot (point sampling) maupun transek (line intercept sampling). Karena konsep tutupan kanopi yang
23
digunakan dalam penelitian ini adalah tutupan kanopi efektif, maka teknik yang dapat digunakan adalah fotografi standar dengan sudut pandang (angle of view) kamera kecil atau estimasi oskular. Dalam penelitian ini metode estimasi tutupan kanopi yang digunakan adalah estimasi oskular dengan menggunakan USDA FIA Canopy Cover Estimation Chart pada Gambar 2.1. .
Gambar 2.1. USDA FIA Canopy Cover Estimation Chart (Jennings et al., 1999 dalam Korhonen et al., 2006)
Pengukuran dilakukan mengikuti prosedur yang dilakukan Korhonen et al, (2006). Pengukuran dilakukan pada plot sampel berukuran 40 x 40 meter. Lima pengamatan diambil pada setiap plot, meliputi satu pengamatan di tengah plot dan empat yang lain di arah barat laut, tenggara, timur laut dan barat daya pusat plot dengan jarak kurang lebih 15 meter . Representasi plot dapat dilihat pada Gambar 2.2.
24
2
3
1
4
15
m
5
40 m
Gambar 2.2 Plot Pengukuran
E. Pengukuran Tingkat Erosi di Lapangan Menurut Linden (1980), penentuan tingkat erosi di lapangan dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Dalam penelitian ini, penentuan tingkat erosi dilakukan secara kualitatif berdasarkan kenampakan erosi di lapangan. Bentuk – bentuk erosi yang dapat dijadikan indikator tingkat erosi antara lain kenampakan erosi alur, parit, pedestal, singkapan akar tanaman, armour layer dan tree mound (Stocking, dan Murnaghan, 2001). Tingkat erosi secara kualitatif ditentukan menggunakan kriteria tingkat erosi menurut Morgan (1995) sebagai berikut:
25
Tabel 2.1 Indikator Tingkat Erosi di Lapangan Kelas
Indikator
Sangat ringan
Tidak terdapat akar pohon yang nampak di permukaan, tidak ada kenampakan pedestal, tidak terdapat permukaan yang keras
Ringan
Akar pohon terlihat di atas permukaan tanah, terdapat kenampakan pedestal dan gundukan tanah yang terlindungi vegetasi (tree mound) dengan kedalaman 1-10 mm, terdapat sedikit permukaan kasar (armour layer)
Sedang
Akar pohon yang kelihatan, pedestal dan gundukan tanah dengan ketinggian 1-5 cm, terdapat permukaan yang mengeras.
Berat
Akar pohon yang nampak, pedestal dan gundukan tanah berkedalaman 5-10 cm, kenampakan material kasar (armour layer) yang renggang, terdapat erosi alur dengan kedalaman kurang dari 8 cm.
Sangat Berat
Terdapat erosi parit, terdapat erosi alur dengan kedalaman lebih dari 8 cm
Sumber: Analisis, 2008 berdasarkan Morgan, 1995
2.2
Pengolahan dan Analisis Data
2.2.1
Pembuatan Model Regresi untuk Estimasi Tutupan Kanopi dari Citra NDVI
Untuk memperoleh data spasial tutupan kanopi daerah penelitian, analisis regresi digunakan untuk menurunkan hubungan antara persentase tutupan kanopi hasil pengukuran lapangan dengan nilai digital NDVI. Berdasarkan penelitianpenelitian yang telah dilakukan, nilai NDVI berkorelasi kuat dengan persentase tutupan kanopi, oleh karena itu dapat diasumsikan bahwa nilai digital NDVI sangat dipengaruhi oleh kerapatan tutupan kanopi. Dengan demikian penggunaan analisis regresi untuk memperoleh hubungan fungsional antara NDVI dan persentase tutupan kanopi dapat diterima. Walaupun demikian, linearitas hubungan antara persentase tutupan kanopi vegetasi dan nilai NDVI belum dapat
26
diketahui dengan baik. Hasil dari berbagai penelitian sebelumnya memperlihatkan adanya variabilitas hubungan antara nilai NDVI dan persentase tutupan kanopi pada lokasi geografis yang berbeda, mulai dari hubungan linier (Larsson, 2002) hingga polinomial orde dua (Purevdorj et al., 1998). Oleh karena itu analisis regresi dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan lima model regresi yang meliputi model regresi linear, polinomial orde dua, power, eksponensial dan logaritmik. Bentuk persamaan regresi pada setiap model ditunjukkan pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Model Regresi Yang Digunakan Beserta Bentuk Persamaannya Model
Linear Logaritmik Polinomial orde 2 Power Eksponensial
Persamaan
y = α + βx y = α + βLn(x) y = α + β1x + β2x2 y = αxβ y = αeβx
Sumber: ILWIS User guide
Tujuan penelitian adalah memprediksi nilai persentase tutupan kanopi dari nilai digital NDVI, maka formula diatas diterapkan pada NDVI dan persentase tutupan kanopi dengan NDVI sebagai variabel independen (X) dan persentase tutupan kanopi sebagai variabel (Y). NDVI sebagai variabel independen karena NDVI merupakan variabel yang sudah diketahui nilainya, dan persentase tutupan kanopi (% CC) merupakan variabel yang akan diprediksi. Persamaan pada Tabel 2.2 digunakan untuk mengkalibrasi citra NDVI menjadi peta persentase tutupan kanopi. Hasil dari pemetaan kemudian diklasifikasikan untuk analisis lebih lanjut dengan berpedoman pada klasifikasi tutupan kanopi menurut Keputusan Dirjen RRL Departemen Kehutanan No. 041/Kpts/V/1998 tentang
Petunjuk Teknis
Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis. Kriteria penentuan dapat dilihat pada Tabel 2.3.
27
Tabel 2.3 Klasifikasi Tutupan Kanopi
Tutupan kanopi Kelas > 80% Sangat baik 61 – 80% Baik 41- 60% Sedang 21 - 40% Buruk < 20% Sangat buruk Sumber: Departemen Kehutanan (2004) 2.2.2
Analisis Hubungan Kelas Tutupan Kanopi dengan Tingkat Erosi Tanah.
Analisis hubungan antara persentase tutupan kanopi dengan tingkat erosi tanah dilakukan menggunakan teknik tabulasi silang. Tabulasi silang lebih dipilih karena kedua variabel yang dihubungkan mempunyai sifat data ordinal. Indeks kappa (Campbell, 2002) digunakan untuk menilai derajat hubungan antara dua variabel hasil operasi tabulasi silang secara kuantitatif. Indeks kappa (κ) mempunyai nilai berkisar dari -1 hingga +1 yang mengindikasikan besar dan arah hubungan antara dua variabel. Nilai indeks ditentukan dari persamaan 6. Metode perhitungan untuk menentukan parameter observed value dan expected value dari tabel silang mengacu pada Campbell (2002). ‘
κ=
observed − exp ected 1 − exp ected
(6) (Campbell, 2002)
28
Keterangan:
Citra SPOT-5 XS dan PAN level 1A Peta Rupabumi Indonesia skala 1:25.000
Orthorektifikasi dan koreksi radiometrik
Proses
Citra terkoreksi
Output sementara
Data kontur PAN
Interpolasi linier DEM
Output akhir
XS
Transformasi IHS
29
Interpretasi visual
Input
Transformasi NDVI
Citra gabungan NDVI
Analisis korelasi dan regresi
Peta penggunaan lahan Peta persentase tutupan kanopi
Data hasil pengukuran persentase tutupan kanopi
Survei lapangan 1. Pengukuran persentase tutupan kanopi di lapangan
Tabulasi silang
2. Pengukuran tingkat erosi di lapangan
Informasi hubungan tingkat erosi dan tutupan kanopi
Data tingkat erosi tanah
Gambar 2.3 Diagram Alir Penelitian 29
BAB III DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN
3.1
Letak, Luas dan Batas Daerah Penelitian DAS Tinalah terletak di Pegunungan Progo Barat (West Progo Mountains)
bagian utara. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Kecamatan Samigaluh dan Kalibawang Kabupaten Kulonprogo. DAS Tinalah dibatasi: 1. Kabupaten Magelang di sebelah utara 2. Desa Kebonharjo Kecamatan Samigaluh dan Desa Purwosari Kecamatan Girimulyo di sebelah selatan. 3. Kecamatan Kalibawang di sebelah timur. 4. Kabupaten Purworejo di sebelah barat. Secara geografis daerah penelitian terletak antara 110o 08’ 15’’-110o 13’ 00’’ BT dan 07o 38’ 45’’-07o 43’ 15’’ LS. Peta administrasi DAS Tinalah disajikan dalam Gambar 3.1. Berdasarkan peta tersebut, DAS Tinalah terdiri dari beberapa desa di Kecamatan Samigaluh dan satu desa di Kecamatan Kalibawang. Nama desa dan luas wilayah disajikan pada tabel 3.1. Tabel 3.1 Desa yang Termasuk dalam Wilayah DAS Tinalah Desa
Banjararum Purwoharjo Banjarsari Pagerharjo Gerbosari Ngargosari Sidoharjo Luas Keseluruhan
Kecamatan
Kalibawang Samigaluh Samigaluh Samigaluh Samigaluh Samigaluh Samigaluh
Sumber : Analisis Peta administrasi Kabupaten Kulonprogo
30
Luas wilayah Luas wilayah (ha) (%) 163.42 3.73 943.98 21.55 775.84 17.71 159.26 3.64 1055.08 24.09 608.83 13.90 673.61 15.38 4380.02 100.00
31
31
III.2 Iklim Iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi erosi. Pengaruh iklim terutama adalah pada kecepatan pelapukan batuan, pembentukan bahan induk tanah, dan parameter erosivitas hujan yang meliputi curah hujan, energi dan intensitas hujan. Parameter iklim yang penting untuk diketahui dalam kaitannya dengan erosi antara adalah curah hujan, suhu dan tipe iklim. 3.2.1
Curah Hujan
Curah hujan di daerah penelitian ditentukan berdasarkan data hujan dari stasiun hujan terdekat. Stasiun tersebut meliputi stasiun Samigaluh yang berada di dalam lokasi penelitian dan tiga stasiun di sekitarnya yang meliputi stasiun Kaligesing, Kalibawang dan Kenteng. Hasil analisis curah hujan rata – rata bulanan selama 10 tahun (1997-2006) dari keempat stasiun disajikan dalam tabel 3.2 dan grafik 3.1. Tabel 3.2 Curah Hujan Rata-rata Bulanan Daerah Penelitian Tahun 1997-2006 (mm) Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Curah hujan tahunan
Kaligesing Kenteng Kalibawang Samigaluh 434,7 248,1 359,8 333,3 470,8 241,4 396,2 389,1 363,6 208,2 302,2 401,9 306,0 180,2 174,8 237,6 159,6 89,4 98,3 134,5 59,7 36,5 61,0 48,4 59,0 20,2 22,7 43,3 2,8 7,0 19,4 17,1 10,8 10,0 11,4 11,9 154,0 97,9 184,4 211,7 290,6 172,2 189,7 292,5 613,8 254,9 300,1 347,5 2925,3 1566,0 2119,9 2468,6
Sumber : Perhitungan data sekunder, 2008
32
Grafik Curah Hujan Rata-rata Bulanan Stasiun Hujan Daerah Penelitian (1997-2006) 700,0
Curah hujan (mm)
600,0 500,0 Stasiun Kaligesing 400,0
Stasiun Kenteng Stasiun kalibawang
300,0
Stasiun Samigaluh 200,0 100,0 0,0 Januari
Maret
Mei
Juli
September
November
Bulan
Sumber: Perhitungan data sekunder, 2008
Gambar 3.2
Dari tabel dan grafik diatas dapat diketahui bahwa bulan – bulan terbasah adalah sekitar november hingga april, dan bulan kering sekitar mei hingga september. Bulan dengan curah hujan tertinggi dari Desember hingga Februari dengan curah hujan terbesar 600 mm. Dalam kaitannya dengan laju erosi, bulan – bulan ini merupakan waktu dimana erosi intensif terjadi. 3.2.2
Suhu
Suhu merupakan salah satu komponen iklim yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap erosi. Gambaran fluktuasi curah hujan dan suhu di daerah penelitian dapat menjelaskan bagaimana iklim berpengaruh terhadap erosi. Pengaruh suhu terutama pada proses pelapukan batuan yang menjadi sumber bahan induk tanah. Fluktuasi suhu yang ekstrim dapat menyebabkan laju pelapukan batuan yang lebih intensif dan mempercepat pembentukan bahan induk tanah. Stasiun hujan di sekitar DAS Tinalah tidak menyediakan data suhu, oleh karena itu, data suhu rerata bulanan di daerah penelitian dihitung dengan menggunakan data dari ketinggian tempat dalam PSBA UGM (2004). Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: T max
=
32,11 – 0,00618*h
T min
=
23,09 – 0,00642*h
Keterangan : Tmax/min
: suhu udara maksimum/minimum
33
(6)
h
: ketinggian tempat (mdpl)
23,09 dan 0,00642
: tetapan untuk perhitungan suhu minimum
32,11 dan 0,00618
: tetapan untuk perhitungan suhu maksimum
Rumus di atas pernah digunakan PSBA UGM (2004) untuk menentukan suhu bulanan rata-rata di kabupaten Purworejo, mengingat daerah penelitian dengan Kabupaten Purworejo masih berada pada satu jalur pegunungan, dapat diasumsikan kondisi iklimnya tidak jauh berbeda, dengan demikian maka rumus () dapat digunakan untuk menghitung suhu bulanan rata – rata di DAS Tinalah. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 3.3. Tabel 3.3. Suhu rata-rata bulanan di DAS Tinalah Ketinggian 300 400 500 600 700 800
Suhu maksimum (oC) 30,26 29,64 29,02 28,4 27,78 27,17
Suhu minimum (oC) 21,16 20,52 19,88 19,24 18,6 17,95
Sumber: Hasil analisis, 2008
Daerah penelitian mempunyai ketinggian antara 300 hingga 800 meter. Berdasarkan nilai ketinggian rata-rata daerah penelitian tersebut, maka dapat diperkirakan suhu maksimum dan minimum daerah penelitian, yaitu berkisar 17 hingga 30 oC untuk suhu maksimum. Fluktuasi suhu sebesar 13 oC relatif cukup untuk dapat mempercepat proses pelapukan batuan dan pembentukan bahan induk tanah. Proses pembentukan bahan induk tanah yang relatif cepat ditambah curah hujan yang tinggi dan kemiringan lereng yang terjal menyebabkan laju kehilangan tanah yang tinggi di daerah penelitian. 3.2.3
Tipe Iklim
Tipe iklim daerah penelitian dapat ditentukan dengan menggunakan klasifikasi iklim sistem Schmidt-Ferguson. Klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson mendasarkan pada banyaknya bulan basah dan bulan kering untuk menentukan tipe iklim suatu daerah. Penentuan bulan basah dan bulan kering menggunakan klasifikasi Mohr sebagai berikut:
34
a.
Bulan basah apabila CH lebih dari 100 mm per bulan.
b.
Bulan lembab apabila CH antara 60-100 mm per bulan.
c.
Bulan kering apabila CH kurang dari 60 mm per bulan. Tipe iklim menurut sistem Schmidt-Ferguson ditentukan berdasarkan nilai
Q (quotient). Nilai Q ditentukan berdasarkan rumus berikut: Rata-rata jumlah bulan kering Q=
X 100%
(7)
Rata-rata jumlah bulan basah Tipe iklim ditentukan berdasarkan nilai Q dalam Tabel 3.3 sebagai berikut: Tabel 3.4 Tipe Iklim Berdasarkan Nilai Q Golongan
Nilai Q
Keterangan
A
0,000 ≤ Q ≤ 0,143
Sangat basah
B
0,143 ≤ Q ≤ 0,333
Basah
C
0,333 ≤ Q ≤ 0,600
Agak basah
D
0,600 ≤ Q ≤ 1,000
Sedang
E
1,000 ≤ Q ≤ 1,670
Agak kering
F
1,670 ≤ Q ≤ 3,000
Kering
G
3,000 ≤ Q ≤ 7,000
Sangat kering
H
7,000 ≤ Q
Luar biasa kering
Sumber: Wisnubroto dan Aminah (1986)
Hasil perhitungan dan penentuan tipe iklim dari empat stasiun hujan di sekitar daerah penelitian terlampir dalam Tabel 3.4. Tabel 3.5 Hasil Penentuan Tipe Iklim Daerah Penelitian Stasiun
Samigaluh Kalibawang Kenteng Kaligesing
Rata-rata bulan basah 8 7 6 8
Rata-rata bulan kering 4 3 4 4
Sumber: Pengolahan data sekunder, 2008
35
Q
Golongan
Keterangan
0,428 0,714 0,667 0,5
C D D C
Agak basah Sedang Sedang Agak basah
Berdasarkan hasil perhitungan, stasiun hujan di sekitar DAS Tinalah mempunyai rasio kurang lebih 7 bulan basah dan 3 bulan kering. Oleh karena itu daerah penelitian termasuk dalam iklim agak basah hingga sedang.
3.3
Geologi Secara geologis, DAS Tinalah termasuk dalam kawasan Perbukitan Progo
Barat yang membentang sepanjang jurus utara-selatan mulai dari bagian barat Kabupaten Kulonprogo hingga bagian timur Kabupaten Purworejo. Menurut Bemmelen (1970), Perbukitan Progo Barat mempunyai struktur kubah (dome) dengan proses evolusi geologis yang cukup kompleks. Proses geologi yang membentuk perbukitan ini dimulai pada Masa Eosen. Pada masa ini Alas Nanggulan terbentuk. Pada kurun waktu Oligosen hingga Miosen Awal, aktivitas geologi di daerah ini didominasi oleh aktivitas vulkanik tiga gunung api tua, yaitu Gunungapi Gajah, Ijo dan Menoreh yang merupakan gunung api termuda di bagian utara. Material dari tiga gunung api tersebut didominasi oleh breksi andesit. Seiring dengan berakhirnya aktivitas vulkanik Gunungapi Menoreh, daerah ini mengalami proses pengangkatan (uplifting) yang pertama. Pada kurun waktu Miosen Bawah-Tengah, bagian yang terangkat mengalami penenggelaman (subsidence) hingga di bawah permukaan laut. Pada waktu ini Formasi Jonggrangan yang terdiri dari batu gamping, lignit dan marl mulai terbentuk dan diendapkan, diikuti pembentukan Formasi Sentolo di sebelah selatan pada Miosen Tengah. Masih dalam kurun waktu yang sama, proses pengangkatan dimulai lagi di bagian selatan. Bagian utara tetap berupa dataran rendah dan peneplain dengan sisa Gunungapi Menoreh membentuk igir dengan ketinggian 700 meter. Pengangkatan terakhir baru terjadi pada masa Pleistosen Tengah yang membentuk perbukitan dengan struktur kubah dengan puncak yang datar.
36
37
37
Dengan latar belakang geologi di atas, maka di daerah penelitian setidaknya kini terdapat empat formasi batuan utama. Deskripsi karakteristik tiap formasi batuan disajikan dalam Tabel 3.6. Tabel 3.6 Distribusi dan Jenis Formasi Batuan di Daerah Penelitian No.
Formasi Batuan
Kode
1.
Andesit Tua
Tmoa
Litologi
Waktu pembentukan/pengendapan Oligosen Akhir – Miosen Awal
Breksi volkanik (lahar) dengan sisipan lava andesit dan batupasir tufan. 2. Jonggrangan Tmj Napal tufan, batupasir Miosen Awal– Tengah gampingan dengan sisipan lignit, dan ke arah atas berubah menjadi batugamping berlapis dan batugamping terumbu 3. Endapan Qc Material koluvial hasil rombakan Pleistosen-Holosen koluvial formasi andesit tua 4. Endapan Merapi Qa tuf, abu, breksi, aglomerat dan Pleistosen-Holosen (Kuarter) Muda leleran lava Sumber: Peta Geologi Yogyakarta Skala 1:100.000 Direktorat Geologi Indonesia (2004)
3.4
Geomorfologi dan Bentuk Lahan Berdasarkan Peta Bentuk lahan DAS Tinalah, secara umum, terdapat tiga
proses geomorfologi yang membentuk konfigurasi bentuk lahan di daerah penelitian, yaitu proses struktural, denudasional dan fluvial. Proses struktural berupa pengangkatan (uplifting) dan penenggelaman (subsidence) yang terjadi pada masa Miosen hingga Pleistosen yang kemudian menyebabkan terbentuknya jalur patahan di beberapa tempat. Pengangkatan Kubah Progo menyebabkan Plato Jonggrangan reliefnya naik yang kemudian terdenudasi dan tersolusi kuat, sehingga sebagian besar material gampingan kini menghilang dan digantikan material dibawahnya (material volkanik tua). Sisa – sisa dari Plato Jonggrangan di daerah penelitian masih dapat ditemui di daerah hilir berupa perbukitan struktural gamping dengan tingkat pengikisan yang bervariasi. Perbukitan ini merupakan sisa dari Plato Jonggrangan di daerah penelitian yang terdenudasi sehingga morfologinya berubah menjadi perbukitan.
38
39
39
Proses denudasional merupakan proses dominan dan yang paling berpengaruh terhadap pembentukan dan perkembangan kondisi bentuk lahan di daerah penelitian. Hal ini tidak lepas pula dari pengaruh iklim yang relatif basah dengan fluktuasi curah hujan dan temperatur yang tinggi, sehingga pelapukan, terutama pelapukan mekanis terjadi secara intensif. Material lapukan kemudian terdeposisi melalui mekanisme erosi dan longsoran ke daerah bawah. Proses erosi terjadi secara intensif yang dicirikan dengan kenampakan – kenampakan erosi berat seperti alur dan parit yang lebar dan dalam hingga mencapai batuan dasar. Dikarenakan bekerja pada satuan litologi yang relatif seragam (batuan andesit tua), hasil proses denudasi di daerah penelitian juga relatif seragam membentuk susunan
morfoaransemen perbukitan,
lereng, lembah,
walaupun
tingkat
pengikisannya bervariasi pada setiap satuan bentuk lahan. Satuan – satuan bentuk lahan ini diklasifikasikan sebagai perbukitan dan lereng denudasional dengan tingkat pengikisan bervariasi. Proses fluvial terjadi di daerah lembah antar perbukitan dimana disini terjadi akumulasi limpasan permukaan membentuk jaringan Sungai Tinalah. Proses fluvial yang terjadi berupa pengangkutan dan pengendapan material hasil proses denudasi di sepanjang aliran Sungai Tinalah dan membentuk dataran aluvial sungai di hilir. Di beberapa bagian DAS, material aluvium ini bercampur dengan material koluvium dari perbukitan diatasnya membentuk dataran fluviokoluvial. Secara lebih rinci, bentuk lahan yang terdapat di DAS Tinalah dapat dilihat pada Tabel 3.7 dan Gambar 3.4.
40
Tabel 3.7 Distribusi Bentuk Lahan di Daerah Penelitian Nama Bentuk Lahan Dataran Aluvial Endapan Vulkanik Merapi Muda Dataran Aluvial Sungai Tinalah Dataran Fluvio-Koluvial Kompleks Perbukitan Denudasional Breksi Andesit Napal Tuf Terkikis Sedang Kompleks Perbukitan Denudasional Breksi Andesit, Napal Tuf, Gamping Terkikis Kuat Kompleks Perbukitan Denudasional Formasi van Bemmelen Terkikis Sedang Lembah Antar Perbukitan Lembah Sungai Tinalah Lereng Atas Perbukitan Denudasional Andesit, Breksi Andesit Terkikis Kuat Lereng Bawah Pegunungan Denudasional Formasi van Bemmelen Terkikis Kuat Lereng Kaki Koluvial Lereng Kaki Koluvial Gamping Koral Lereng Kaki Koluvial Gamping Tersisip Lereng Landai Igir Denudasional Breksi Andesit Terkikis Lemah Lereng Landai Perbukitan Denudasional Breksi Andesit, Gamping Koral Terkikis Ringan Lereng Tengah Pegunungan Denudasional Formasi van Bemmelen Terkikis Kuat Lereng Terjal Igir Denudasional Breksi Andesit Terkikis Kuat Perbukitan Denudasional Breksi Andesit Terkikis Kuat Perbukitan Struktural Gamping Koral Terkikis Ringan Perbukitan Struktural Gamping Koral Terkikis Sedang Sumber: Peta Bentuk Lahan DAS Tinalah
3.5
Luas (Ha) 0,4 2,3 2,9 35,7 53,7 27 35,5 4,6 16,4 11,8 46,8 0,4 7,4 24 7 48,3 29,1 30,5 18,3 7,7
Hidrologi Kondisi iklim, geologi dan geomorfologi sangat menentukan kondisi
hidrologi suatu DAS, baik air permukaan maupun air tanah. Kondisi iklim daerah penelitian termasuk dalam kategori agak basah menurut klasifikasi SchmidtFerguson. Hujan yang tersedia relatif cukup untuk mengalirkan sungai sepanjang tahun. Oleh karena itu Sungai Tinalah termasuk dalam kategori sungai perenial. Jenis pola aliran sungai di DAS Tinalah termasuk dalam tipe dentritik dengan distribusi cabang sungai yang relatif rapat. Terbentuknya pola aliran sungai dentritik di daerah penelitian sangat dipengaruhi oleh struktur geologi dan litologi Pegunungan Progo Barat yang didominasi batuan breksi andesit. Pola aliran sungai yang rapat dengan beberapa anak sungai masih berupa parit alam yang
41
lebar dan dalam hingga mengikis batuan induk mengindikasikan bahwa proses erosi telah berlangsung intensif dalam jangka waktu yang lama. Litologi yang bersifat masif berupa andesit dan gamping merupakan penyebab langkanya air tanah di daerah penelitian, terutama di daerah perbukitan. Dua jenis batuan di atas tidak mampu menyimpan air dalam jumlah besar. Terlebih perbukitan yang ada mempunyai kemiringan lereng yang relatif terjal, sehingga sebagian besar material hasil rombakan dan pelapukan langsung tererosi dan terendapkan di lereng kaki dan dataran aluvial. Dua hal diatas yang menyebabkan aquifer tidak dapat berkembang dengan baik di daerah perbukitan. Walaupun demikian, pada area dengan solum tanah yang cukup tebal, aquifer lokal dan dangkal dapat terbentuk. Lapisan ini biasanya langsung mengalami kontak dengan batuan induk yang dicirikan dengan munculnya mata air dan rembesan. Aquifer di daerah penelitian terbentuk di daerah bentuk lahan lereng kaki koluvial dan dataran aluvial yang merupakan tempat akumulasi dan pengendapan material hasil proses fluvial dan denudasional.
3.6
Tanah Pembentukan tanah di DAS Tinalah dikontrol oleh faktor – faktor
pembentukan tanah, terutama oleh iklim, topografi, batuan dan waktu. Kombinasi ketiga faktor tersebut mempengaruhi jenis tanah yang terbentuk di daerah penelitian. Bahan induk tanah di DAS Tinalah berasal dari tiga formasi batuan, yaitu Andesit Tua, Jonggrangan dan Nanggulan. Pada setiap bahan induk yang berasal dari formasi berbeda, jenis tanah yang terbentuk juga berbeda. Kondisi iklim yang fluktuatif mempercepat proses pelapukan batuan, sehingga pembentukan bahan induk tanah berlangsung cepat. Namun demikian, curah hujan yang tinggi juga membawa konsekuensi tingkat erosi dan longsoran yang tinggi sehingga sebagian besar material biasanya langsung tererosi dan terakumulasi di lereng bawah. Oleh karena itu, tanah di daerah perbukitan dan lereng atas biasanya mempunyai ciri - ciri solum tanah yang tipis. Kondisi iklim di daerah penelitian kondisinya relatif sama (sedang hingga agak basah), sehingga praktis proses pembentukan tanah di daerah penelitian ditentukan oleh topografi
42
dan batuan sebagai sumber bahan induk tanah. Tanah yang terbentuk pada batuan yang sama namun kondisi reliefnya berbeda, tanah yang terbentuk dan perkembangannya juga berbeda. Berdasarkan Peta Tanah DAS Tinalah pada Gambar 3.4, ordo tanah yang berkembang di daerah penelitian adalah ordo Entisol, Inceptisol dan Alfisol. Berikut ini diuraikan karakteristik setiap ordo. 1. Entisol Ordo Entisol merupakan tanah yang paling mendominasi di daerah penelitian. Entisol merupakan ordo tanah belum berkembang. Ciri khas dari ordo ini yang juga ditemui pada tanah di daerah penelitian adalah horison-horisonnya belum terdiferensiasi secara jelas. Tanah Entisol di daerah penelitian berkembang terutama di bentuk lahan perbukitan dengan kemiringan lereng relatif terjal, oleh karena itu kepekaannya terhadap erosi juga relatif tinggi. Solum tanahnya pada umumnya tipis. Hal ini dikarenakan material hasil lapukan yang merupakan bahan induk tanah kebanyakan langsung tererosi sebelum mengalami pedogenesis. Karena belum menunjukkan kecenderungan perkembangan ke ordo lain, Tanah Entisol di daerah penelitian diklasifikasikan ke dalam subordo Orthents. Rejim kelembabannya termasuk dalam kategori tropis, sehingga termasuk dalam group Troporthents. Pada area yang solum tanahnya tipis akibat sering tererosi, Alfisol yang terbentuk diklasifikasikan lebih detil ke dalam subgroup Lithic.
43
44
44
2. Inceptisol Inceptisol merupakan ordo tanah yang baru berkembang yang dicirikan dengan diferensiasi antar horison yang mulai tampak. Subordo Inceptisol yang berkembang di daerah penelitian adalah eutropepts karena mempunyai karakteristik rejim tropis dengan kejenuhan basa yang tinggi. Ciri lainnya adalah kedalaman tanahnya tipis (di bawah 30 cm) sehingga termasuk dalam subgroup lithic dan sebagian lainnya mempunyai sifat yang khas sehingga termasuk dalam subgroup typic. Di lapangan, tanah ini berkembang di bentuk lahan lereng kaki perbukitan dengan kemiringan lereng 8 sampai 20%. Bahan induknya sebagian besar berasal dari material koluvium dari perbukitan di atasnya. Tingkat kesuburannya secara umum lebih baik daripada Entisol dengan kepekaan erosi yang lebih rendah. 3. Alfisol Alfisol merupakan tanah yang sedang berkembang. Salah satu penciri dari ordo ini adalah adanya horison argilik yang merupakan hasil proses iluviasi. Subordo Alfisol yang berkembang di daerah penelitian adalah udalfs karena memiliki rejim kelembaban udik. Ciri lain dari sifat Tanah Alfisol di DAS Tinalah adalah horison argilik yang ada perkembangannya belum maksimal yang dicirikan dengan tidak jelasnya perbedaan antara horison argilik dan non argilik, sehingga dimasukkan dalam group Hapludalfs. Pada umumnya, ciri khas group Hapludalfs hampir semua ditemui di Tanah Alfisol di daerah penelitian. Adanya sifat ini memungkinkan tanah Alfisol di daerah penelitian dapat diklasifikasi secara lebih rinci ke dalam subgroup Typic Hapludalfs. Tanah Alfisol di daerah penelitian berkembang di bentuk lahan lereng perbukitan dengan batuan dasar breksi andesit dan gamping. Tekstur tanahnya didominasi lempung dengan kedalaman tanah antara 50 hingga 100 cm. Sebagian dari Alfisol ini terdapat secara asosiasi dan kompleks baik dengan ordo Entisol maupun Inceptisol, terutama pada bentuk lahan dengan kemiringan lereng bervariasi.
45
3.7
Vegetasi dan Penggunaan Lahan Berdasarkan hasil intepretasi citra SPOT hasil operasi penggabungan citra
dan kerja lapangan, daerah penelitian didominasi penggunaan lahan kebun dan tegalan. Tanaman yang ada pada penggunaan lahan kebun antara lain jati, mahoni, akasia, sengon, cengkeh dan ketela. Sedangkan jenis tanaman yang terdapat di penggunaan lahan ladang berupa tanaman semusim seperti kacang tanah, kedelai, ketela, dan jagung. Proporsi dan jenis penggunaan lahan yang terdapat di DAS Tinalah dapat dilihat pada Tabel 3.8. Permukiman penduduk di DAS Tinalah mempunyai karakteristik distribusi yang menyebar. Konsentrasi permukiman terbesar di Desa Gerbosari dimana desa ini merupakan ibukota Kecamatan Samigaluh. Penggunaan lahan sawah tadah hujan berada pada bentuk lahan lereng kaki dan dataran aluvial. Tabel 3.8 Jenis dan Luas Penggunaan Lahan DAS Tinalah No 1 2 3 4 5 6
Penggunaan lahan Sawah irigasi Sawah tadah hujan Kebun Ladang Permukiman Semak Total
Luas (Ha)
48,1 463,0 3029,9 367,2 450,4 72,0 4430,5
Sumber: Hasil interpretasi Citra SPOT-5 Pan sharpened resolusi spasial 2,5 meter (2006).
Vegetasi pada setiap bentuk penggunaan lahan mempunyai karakteristik tutupan yang berbeda. Penggunaan lahan kebun didominasi vegetasi strata pohon dengan tutupan vertikal kanopi yang tebal dan ketinggiannya bisa mencapai lebih dari 5 meter. Penggunaan lahan ladang dan semak didominasi vegetasi strata pohon dan semak dengan ketinggian kanopi maksimal 5 meter. Ketebalan kanopi vegetasi di penggunaan lahan ladang pada umumnya lebih tipis dari vegetasi pada penggunaan lahan kebun. Penggunaan lahan sawah didominasi vegetasi strata herba dan rumput yang termasuk dalam kategori penutupan tanah (ground cover) dengan ketinggian di bawah 2 meter. Karakteristik vegetasi yang berbeda pada setiap bentuk penggunaan lahan menyebabkan erosi yang terjadi juga berbeda.
46
47
47
3.8
Kependudukan dan Sosial-Ekonomi Kondisi lingkungan fisik berupa perbukitan sangat mempengaruhi kondisi
kependudukan dan sosial ekonomi penduduk di sekitar DAS Tinalah. Berdasarkan data PODES 2005 Kabupaten Kulonprogo, jumlah penduduk di DAS Tinalah sekitar lima puluh ribu jiwa yang tersebar di beberapa desa. Desa Gerbosari yang berada di bagian tengah DAS merupakan desa dengan jumlah penduduk dan luas permukiman terbesar, sebagaimana terlihat pada Tabel 3.9. Hal ini dikarenakan Desa Gerbosari merupakan ibukota Kecamatan Samigaluh dimana segala aktivitas ekonomi terpusat di sini, sehingga penduduk banyak yang terkonsentrasi di desa ini. Permukiman di DAS Tinalah mempunyai karakteristik distribusi yang menyebar tidak teratur (random). Keberadaan permukiman biasanya di bawah lereng perbukitan dan dibangun dengan memotong lereng. Pemotongan lereng untuk pembangunan permukiman menyebabkan daerah penelitian memiliki tingkat kerawanan longsor yang tinggi. Mata pencaharian penduduk sebagian besar di sektor pertanian dan perkebunan. Ketergantungan yang tinggi pada sumber daya alam yang ada menyebabkan degradasi lahan, terutama erosi berdampak nyata terhadap kondisi perekonomian penduduk DAS. Keterbatasan kemampuan lahan daerah penelitian untuk mendukung berbagai penggunaan menyebabkan penduduk tidak dapat memanfaatkan lahan yang ada secara optimal. Oleh karena itu tidak heran apabila Kecamatan Samigaluh merupakan salah satu kecamatan termiskin di Kabupaten Kulonprogo. Tabel 3.9 Karakteristik Demografi DAS Tinalah Nama Desa
Banjarsari Purwoharjo Sidoharjo Gerbosari Ngargosari Jumlah
Laki-Laki Perempuan Jumlah (jiwa) (jiwa)
1951 1998 2601 2857 2018 24106
1969 2209 2501 2569 2001 24678
3920 4207 5102 5426 4019 48784
Sumber: Analisis data PODES 2005.
48
Luas permukiman (ha)
42.8 38.5 61.8 63.8 38.7
Kepadatan penduduk pada permukiman (jiwa/ha) 91.6 109.3 82.6 85.0 103.9
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tujuan utama dari studi ini adalah memprediksi dan memetakan tutupan kanopi vegetasi dengan menggunakan atribut spektral citra penginderaan jauh dan mengkaji hubungan tutupan kanopi vegetasi dengan tingkat erosi kualitatif yang dinilai dari bentukan erosi yang terjadi. Untuk mencapai tujuan tersebut penelitian dilaksanakan sesuai dengan tahapan yang telah ditentukan, mulai dari pemrosesan citra dan pembuatan peta dasar, kerja lapangan pengamatan erosi dan pengukuran persentase tutupan kanopi vegetasi. Bagian ini akan menguraikan tentang jalannya penelitian yang telah dilakukan dan hasil - hasil yang diperoleh, mulai dari pemrosesan citra hingga analisis tabulasi silang untuk melihat hubungan antara tingkat erosi dan tutupan kanopi vegetasi.
4.1
Restorasi Citra Citra penginderaan jauh mengalami berbagai macam kesalahan baik
radiometrik maupun geometrik. Agar dapat digunakan sebagai sumber informasi tematik sumber daya, kesalahan – kesalahan ini harus dikoreksi terlebih dulu. Citra SPOT 5 HRG yang digunakan dalam penelitian mempunyai tingkat pemrosesan 1A yang berarti sudah terkoreksi radiometrik sistem, namun belum terkoreksi geometrik. 4.1.1
Koreksi Geometrik
Citra SPOT 5 tingkat pemrosesan 1A yang digunakan dalam penelitian masih bersifat data mentah (raw image), artinya kesalahan geometrik sistematik dan non sistematik yang diakibatkan mekanisme perekaman sebagai aspek internal sensor dan sifat-sifat bumi sebagai aspek eksternal masih belum diperbaiki, sehingga citra perlu dikoreksi geometrik. Koreksi geometrik untuk memperbaiki kesalahan geometrik dilakukan dengan menggunakan transformasi tiga dimensi atau orthorektifikasi. Orthorektifikasi citra dalam penelitian ini dilakukan menggunakan RPC dan informasi elevasi dari DEM ataupun titik
49
kontrol tanah. Jika citra yang digunakan tidak mempunyai informasi RPC, informasi RPC dapat diperoleh dengan menerapkan model persamaan RPC dengan menggunakan minimal tujuh titik kontrol tanah (untuk transformasi orde 1) hingga 39 (untuk transformasi orde3) (Harintaka dkk, 2006). Dikarenakan citra SPOT yang digunakan telah mengandung informasi RPC dalam header citranya, maka orthorektifikasi dalam penelitian ini dilakukan tanpa menggunakan titik kontrol tanah. Informasi ketinggian pada setiap piksel citra diperoleh dari DEM (digital elevation model) yang diturunkan dari data kontur Peta Rupabumi. Perbandingan citra sebelum dan sesudah koreksi geometrik dapat dilihat pada Gambar 4.1.
(a)
(b)
Gambar 4.1. Citra SPOT-5 sebelum koreksi geometrik (a) dan sesudah koreksi geometrik (b)
Ketelitian posisi citra hasil koreksi dapat dinilai secara kualitatif maupun kuantitatif dengan menggunakan RMSE (root mean square error). Dalam penelitian ini, ketelitian posisi dinilai secara kualitatif dengan menggunakan data vektor dari Peta Rupabumi Indonesia Bakosurtanal Skala 1:25.000 (Harintaka,
50
2003). Pembandingan dilakukan dengan mentumpangsusunkan antara citra hasil koreksi dengan obyek sungai yang diturunkan dari Peta RBI. Hasil orthorektifikasi dapat dilihat pada Gambar 4.2. Dari Gambar tersebut, obyek sungai dari peta RBI ternyata dapat tepat berimpit dengan kenampakan sungai dari peta. Hasil ini menunjukkan bahwa orthorektifikasi menghasilkan ketelitian posisi yang tinggi.
Gambar 4.2 Citra hasil orthorektifikasi 4.1.2
Koreksi Radiometrik
Citra SPOT-5 yang digunakan dalam penelitian ini sudah terkoreksi radiometrik sistematik. Terkoreksi radiometrik sistematik dapat diartikan bahwa kesalahan – kesalahan radiometrik yang berkaitan dengan mekanisme internal sensor sudah dikoreksi oleh stasiun penerima, namun demikian faktor eksternal sensor seperti pengaruh hamburan atmosfer belum tentu sudah terkoreksi (Danoedoro,
komunikasi
pribadi).
Pengaruh
hamburan
atmosfer
dapat
diidentifikasi jika terdapat obyek air yang mempunyai nilai piksel lebih dari 0 pada saluran inframerah gelombang pendek (saluran 4 pada sensor SPOT-5).
51
Secara teori, obyek air yang jernih, tenang dan dalam seharusnya mempunyai nilai piksel tidak jauh dari 0. Hal ini dikarenakan obyek air banyak menyerap sinyal elektromagenik matahari pada saluran inframerah gelombang pendek, sehingga respon spektral air pada saluran ini biasanya sangat lemah. Namun jika nilainya bukan 0, maka bisa dipastikan telah terjadi penambahan informasi spektral yang mencapai sensor yang tidak berasal dari obyek air di permukaan bumi, melainkan dari hamburan atmosfer (Danoedoro, 1996). Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada seluruh area liputan citra, kenampakan air yang jernih dan dalam (Waduk Sermo) ternyata tidak menunjukkan nilai 0 pada saluran 4 (saluran inframerah gelombang pendek), sehingga bisa dipastikan bahwa ada pengaruh hamburan atmosfer yang menyebabkan peningkatan respon spektral. Koreksi radiometrik citra dilakukan dengan menggunakan metode kalibrasi bayangan. Tahapan dalam koreksi diawali dengan pengambilan pasangan sampel nilai piksel yang merepresentasikan obyek penutup lahan yang sama, yang berada di daerah yang tertutup bayangan awan (Eis) dan daerah yang tidak tertutup bayangan awan (Eit). Dari pembacaan yang dilakukan, diperoleh 10 titik sampel pengamatan yang tersebar merata di seluruh area liputan citra. Informasi nilai piksel pada setiap titik sampel dapat dilihat pada lampiran 1. Penentuan nilai bias atmosfer (Dλ) dilakukan dengan menggunakan analisis regresi antara Eit dan Eis. Persamaan regresi linier yang diperoleh kemudian disubstitusikan ke persamaan 2 untuk memperoleh nilai Dλ. dan nilai bias (Dλ) yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 4.2. Hasil analisis regresi dan persamaan yang diperoleh serta perhitungan lengkap dapat dilihat pada lampiran 1. Tabel 4.1 Nilai Bias Atmosfer Setiap Saluran Citra SPOT-5 Nama Saluran
Nilai bias (Dλ)
Saluran 1 (Hijau)
36
Saluran 2 (Merah)
21
Saluran 3 (Inframerah dekat/NIR)
33
Saluran 4 (Inframerah gelombang pendek/SWIR)
21
Sumber: Hasil analisis kalibrasi bayangan, 2008
52
Hasil koreksi radiometrik pada tabel menunjukkan saluran XS1 SPOT merupakan saluran yang paling terpengaruh oleh kondisi atmosfer berupa hamburan yang menyebabkan penambahan pantulan spektral, sehingga respon spektral yang direkam sensor tidak mencerminkan hasil interaksi obyek dengan tenaga matahari yang sebenarnya. Berdasarkan hasil analisis, nilai biasnya cukup tinggi yaitu berkisar 20 hingga 36. Semakin bertambah panjang gelombang, pengaruh hamburan seakin berkurang yang ditandai dengan penurunan nilai bias. Hasil analisis menunjukkan saluran 2, 3 dan 4 mempunyai nilai bias yang lebih rendah dari saluran 1. Hasil yang diperoleh dari operasi restorasi citra adalah citra yang minim kesalahan baik secara radiometrik maupun geometrik untuk digunakan dalam tahapan analisis berikutnya, yaitu pembuatan citra NDVI dan ekstraksi data tutupan kanopi.
4.2
Transformasi NDVI NDVI dirancang untuk dapat memilahkan obyek vegetasi dan bukan
vegetasi secara cepat dengan menggunakan informasi karakteristik pantulan vegetasi pada saluran merah dan inframerah dekat. Pantulan vegetasi yang tinggi pada saluran inframerah dekat dan sebaliknya pada saluran merah menyebabkan obyek vegetasi mengumpul di kisaran nilai positif tinggi pada citra NDVI, sedangkan obyek tanah air yang pantulannya lebih tinggi pada saluran merah mengumpul pada nilai positif rendah hingga nol untuk obyek air, dan negatif rendah untuk obyek tanah dan lahan terbangun. Dengan karakteristik tersebut, maka obyek vegetasi, tanah dan air dapat dibedakan dengan mudah menggunakan teknik density slicing. Berdasarkan hasil analisis, NDVI yang diperoleh mempunyai karakteristik julat nilai digital antara -0,5 hingga 0,89. Dari histogram citra pada Gambar 4.3 dapat diketahui bahwa frekuensi nilai digital kebanyakan mengumpul di julat 0,4 hingga 0,8. Hasil ini menunjukkan bahwa daerah penelitian didominasi penutup lahan vegetasi. Hasil inspeksi pada seluruh bagian citra menunjukkan nilai ambang batas (treshold) untuk membedakan obyek vegetasi dan bukan vegetasi
53
adalah 0,4. Dengan demikian maka nilai di bawah 0,4 dari citra NDVI tidak digunakan dalam analisis regresi untuk menurunkan model tutupan kanopi. Nilai yang digunakan adalah julat 0,4 hingga 1 yang mencerminkan obyek vegetasi dengan kondisi tutupan yang bervariasi.
Histogram NDVI Citra SPOT-5 DAS Tinalah 40000 35000
25000 20000 15000 10000 5000
Nilai NDVI
Gambar 4.3 Histogram NDVI Citra SPOT-5 DAS Tinalah
54
0,89
0,83
0,77
0,71
0,65
0,59
0,53
0,47
0,41
0,35
0,29
0,23
0,17
0,11
0,05
0,00
-0,10
-0,10
-0,20
0 -0,50
Frekuensi
30000
55
55
4.3
Penggabungan Citra dan Pemetaan Penggunaan Lahan
4.3.1
Penggabungan Citra
Pemetaan penggunaan lahan pada skala 1:50.000 memerlukan citra penginderaan jauh dengan resolusi spasial sama atau lebih tinggi dari 10 meter (Richards dan Jia, 2006). Persyaratan ini menyebabkan citra SPOT-5 multispektral tidak selalu dapat digunakan untuk menurunkan informasi penggunaan lahan pada skala yang menjadi tujuan penelitian. Hambatan ini dapat diatasi dengan menggunakan citra pakromatik yang direkam pada waktu yang sama dengan citra multispektral, namun mempunyai resolusi dan detil spasial yang lebih baik (2,5 meter). Namun demikian, citra ini hanya dapat divisualisasikan secara monokromatik karena direkam pada saluran tunggal. Oleh karena itu, pembedaan obyek dari segi spektral hanya bisa dilakukan dari identifikasi perbedaan rona pada citra. Hal ini membawa kesulitan tersendiri karena saluran pankromatik SPOT hanya peka pada saluran hijau – merah (0,510,73µm), sehingga obyek tertentu seperti vegetasi berdaun jarum kerapatan jarang dan tanah terbuka menunjukkan respon spektral yang hampir seragam sehingga sukar dibedakan dari ronanya. Permasalahan di atas yang mendasari dilakukannya penggabungan citra (image fusion) antara citra multispektral dan pankromatik. Dengan digabungkannya kedua citra, kelebihan –kelebihan dari citra multispektral dan pankromatik dapat diintegrasikan menjadi citra baru yang memiliki kerincian informasi spektral citra multispektral sekaligus kedetilan spasial citra pakromatik. Hasil operasi penggabungan citra dengan susunan komposit warna 432 dan perbandingannya dengan citra asal dapat dilihat pada Gambar 4.5
56
(a)
(b) (c) Gambar 4.5 Citra multispektral (a), Citra Pankromatik (b) dan Citra gabungan (c) Penggunaan komposit warna 432 dan algoritma transformasi IHS (Intensity Hue Saturation) untuk menggabungkan citra multispektral dan pankromatik memberikan beberapa kelebihan dilihat dari aspek kegunaannya untuk interpretasi penggunaan lahan. Pelibatan saluran 4 (SWIR) yang peka terhadap kandungan air dalam penyusunan komposit warna memberikan keuntungan berupa kemudahan dalam membedakan obyek tanah terbuka lembab (berasosiasi dengan penggunaan lahan sawah) dan lahan terbangun. Sebaliknya, pada susunan komposit warna semu standar 321 SPOT yang biasa diterapkan pada Citra SPOT 1-3, lahan terbuka lembab dan lahan terbangun tidak dapat dibedakan dengan mudah. Hal ini disebabkan pada saluran 1 dan 2, kedua obyek tersebut mempunyai karakteristik spektral yang mirip. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.6.
57
321
432
Lahan terbangun Tanah terbuka lembab
Gambar 4.6 Perbedaan Kenampakan Obyek Pada Komposit 321 dan 432
Penggunaan transformasi IHS untuk penggabungan citra memberikan kelebihan berupa hasil citra yang dapat mensimulasikan komposit warna alami (natural color composite). Efek warna alami ini dapat terjadi karena adanya perbedaan karakteristik spektral citra pankromatik yang diinjeksikan sebagai komponen intensitas dan komponen intensitas citra multispektral. Citra pankromatik kepekaan sensornya hanya mencapai spektrum merah sehingga pantulan obyek vegetasi relatif rendah namun relatif tinggi untuk obyek air, sedangkan komponen intensitas citra multispektral komposit 432 justru menunjukkan karakteristik yang sebaliknya sebagai akibat penggunaan saluran 3 dan 4. Akibat dari adanya perbedaan karakteristik spektral ini adalah ketika transformasi balik (inverse transformation) ke sistem RGB dilakukan, obyek vegetasi mengalami pengurangan intensitas menghasilkan warna yang lebih gelap dan mendekati warna alami obyek, sedangkan obyek air ditingkatkan intensitasnya menghasilkan warna biru yang lebih cerah. Citra hasil transformasi dapat dilihat pada Gambar 4.8.
58
(a)
(b)
Gambar 4.7 Citra SPOT Pankromatik (a) dan Komponen Intensitas dari Citra SPOT Multispektral Komposit 432 (b) 4.3.2
Pemetaan Penggunaan Lahan
Kondisi tutupan kanopi vegetasi memberikan perlindungan terhadap tanah dari proses erosi. Jenis vegetasi berbeda mempunyai efektivitas perlindungan terhadap erosi yang berbeda. Pemetaan penutup/penggunaan lahan sering dilakukan untuk menilai peran dan pengaruh vegetasi terhadap erosi (Vierling, 2006). Dalam studi ini, pemetaan penggunaan lahan dilakukan untuk melihat perbedaan pengaruh jenis dan kondisi tutupan kanopi vegetasi terhadap tingkat erosi. Asumsi yang digunakan adalah pada penggunaan lahan berbeda, jenis dan tutupan kanopi vegetasinya juga berbeda, sehingga pengaruhnya terhadap erosi juga berbeda. Dengan mendasarkan pada asumsi ini, kelas penggunaan lahan berfungsi sebagai strata dalam penentuan lokasi sampel pengukuran tutupan kanopi vegetasi dan lokasi pengamatan bentuk erosi untuk menilai tingkat erosi.
59
60
60
Peta penggunaan lahan dalam studi ini diturunkan dari interpretasi visual Citra SPOT-5 hasil penggabungan saluran multispektral dan pankromatik. Operasi penggabungan citra multispektral komposit 432 dan pankromatik menggunakan transformasi IHS memberikan hasil citra gabungan yang mendekati komposit warna alami. Efek warna alami dan kontras citra pankromatik yang dapat dipertahankan pada citra gabungan membuat proses interpretasi dan deduksi penggunaan lahan dapat dilakukan dengan mudah dibanding penggunaan citra multispektral dan pankromatik secara terpisah. Integrasi kerincian spektral citra multispektral dan kerincian spasial citra pankromatik memungkinkan pembedaan bentuk – bentuk penggunaan lahan yang sebelumnya sulit dibedakan pada citra multispektral menjadi lebih mudah. Penggunaan lahan tertentu seperti sawah dapat diidentifikasi dan dideliniasi dengan mudah dari bentuk penggunaan lahan lain seperti kebun dan permukiman. Berdasarkan pemetaan yang telah dilakukan, sebanyak enam kelas penggunaan lahan utama dapat diperoleh sesuai dengan skema klasifikasi yang digunakan. Penggunaan lahan kebun dengan jenis vegetasi campuran merupakan penggunaan lahan dominan di DAS Tinalah (Tabel 3.7). Ketelitian hasil interpretasi secara keseluruhan (overall accuracy) adalah sebesar 95% sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4.2. Uji akurasi dilakukan menggunakan matriks kesalahan atau error matrix (Campbell, 2002). Pengujian dilakukan dengan membandingkan data hasil interpretasi sebagai data klasifikasi dan data pengamatan penggunaan lahan di lapangan sebagai data referensi. Distribusi lokasi sampel pengamatan dapat dilihat pada Gambar 4.12. Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui bahwa kesalahan interpretasi terbesar adalah pada penggunaan lahan tegalan yang salah terklasifikasikan sebagai kebun (User Accuracy sebesar 90%). Demikian pula sebaliknya. Kesalahan ini disebabkan karena kedua jenis penggunaan lahan ini tidak dapat dibedakan dengan mudah menggunakan kunci interpretasi citra seperti pola dan tekstur, walaupun resolusi spasial citra yang digunakan sudah cukup detil (2,5 meter). Kesamaan karakteristik dan jenis vegetasi pada kedua penggunaan lahan tersebut merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi. Penggunaan lahan kebun didominasi oleh tanaman berkayu dan keras seperti jati, mahoni, dan kelapa.
61
Tanaman – tanaman ini juga ditemui pada penggunaan lahan tegalan, walaupun frekuensinya tidak sebanyak pada penggunaan lahan kebun. Kesamaan jenis vegetasi ini yang menyebabkan batas antara penggunaan lahan kebun dan tegalan susah diidentifikasi. Karakteristik setiap kelas penggunaan lahan pada citra dan bukti kenampakan sesungguhnya di lapangan dapat dilihat pada Gambar 4.9. Tabel 4.2 Hasil Uji Akurasi Interpretasi Penggunaan Lahan Data Hasil Klasifikasi Permukiman
Kebun campur
Semak belukar
Tegalan
12
0
0
0
Kebun campur
0
28
0
Semak belukar
0
0
2
Tegalan
0
3
0
Data Referensi
Permukiman
Sawah Irigasi
Sawah Tadah hujan
Total
Producer's Accuracy (%)
0
0
12
100
0
0
0
28
100
0
0
0
2
100
7
0
0
10
100
Sawah irigasi
0
0
0
0
2
0
2
100
Sawah tadah hujan
0
0
0
0
0
13
13
100
12
31
2
7
2
13
64
100
90
100
100
100
100
Total User Accuracy (%)
Sumber : Hasil analisis (2008)
62
96
Gambar 4.9 Foto Kenampakan Penggunaan Lahan Pada Citra dan Kenampakan Sesungguhnya di Lapangan untuk Sawah (a), Tegalan (b), Kebun (c) dan Lahan terbangun (d)
63
Dinamika temporal vegetasi dan penutup lahan di daerah penelitian juga merupakan salah satu faktor penyebab sulitnya pembedaan penggunaan lahan kebun dan tegalan. Dinamika ini nampak jelas terutama pada penggunaan lahan sawah dan tegalan dimana perubahannya bisa mencapai skala harian. Dengan selisih waktu yang cukup signifikan antara tanggal perekaman citra (Mei 2006) dan survei lapangan (April 2008), tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi penutup dan penggunaan lahan di daerah penelitian telah banyak berubah. Pada saat citra direkam, sebagian besar penggunaan lahan sawah berada pada kondisi pasca panen dengan penutup lahan berupa tanah terbuka lembab yang dicirikan dengan warna biru cerah pada citra, namun pada waktu survei lapangan dilakukan, kondisi penutup lahan pada penggunaan lahan sawah berada pada tahap pertumbuhan maksimum. Bukti dari uraian di atas dapat dilihat pada Gambar 4.10a dan 4.10b. Ketidaksesuaian ini menjadikan penggunaan indeks vegetasi untuk menentukan persentase tutupan kanopi pada penggunaan lahan sawah tidak dapat diaplikasikan karena nilai digital NDVI tidak mencerminkan kondisi tutupan di lapangan. Dengan adanya ketidak sesuaian ini, untuk selanjutnya analisis hubungan tutupan kanopi vegetasi dan tingkat erosi pada penggunaan lahan sawah tidak dilakukan karena bisa dipastikan hasilnya tidak akan shahih dan memuaskan.
64
(a) (b) Gambar 4.10 Foto Kondisi penutupan lahan pada penggunaan lahan sawah pada saat citra direkam (a) dan kondisi penutupan lahan pada saat survei lapangan dilakukan (b) Faktor terakhir yang menjadi kendala dalam pemetaan penggunaan lahan daerah penelitian adalah kualitas citra. Citra SPOT-5 Pankromatik resolusi 2,5 meter yang digunakan dalam operasi penggabungan citra sebenarnya bukan merupakan citra yang direkam pada resolusi 2,5 meter murni, melainkan merupakan citra sintesis hasil penggabungan dua citra pankromatik indentik resolusi 5 meter dari sensor HRG1 dan HRG2 satelit SPOT-5 (SPOT IMAGE, 2006). Karena merupakan citra sintesis hasil proses resampling, maka kualitas dan detil spasial citra kurang begitu tajam dan citra tampak sedikit kabur (blur). Kurang tajamnya detil spasial citra berimplikasi pada sulitnya identifikasi jenis vegetasi dan pembedaan penggunaan lahan kebun dan tegalan di daerah penelitian.
65
4.4
Kerja Lapangan Pengukuran Persentase Tutupan Kanopi Pengukuran persentase tutupan kanopi di lapangan dilakukan untuk
memperoleh data referensi guna menurunkan model regresi. Pengukuran dilakukan secara purposive sampling pada kelas penggunaan lahan kebun campur dan tegalan. Pengukuran dan observasi lapangan dilakukan selama kurang lebih tiga minggu, yaitu pada minggu pertama hingga ketiga bulan April 2008. Selain pengukuran tutupan kanopi, pengamatan bentuk erosi dan pengumpulan data referensi untuk menilai akurasi hasil interpretasi penggunaan lahan dari citra juga dilakukan pada waktu yang sama. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan teknik estimasi oskular sebagaimana telah diuraikan pada butir 2.1.5. Berdasarkan hasil survei lapangan yang telah dilakukan, sebanyak 42 sampel dapat dikumpulkan, meliputi 29 sampel pada penggunaan lahan kebun campur, 12 sampel pada penggunaan lahan tegalan dan 1 sampel pada penggunaan lahan semak. Pengamatan pada penggunaan lahan sawah tidak dilakukan dikarenakan alasan sebagaimana telah dijelaskan pada butir 4.3.2. Sedangkan pengamatan pada penggunaan lahan permukiman tidak dilakukan karena diasumsikan pada penggunaan lahan ini tutupan kanopi vegetasinya adalah 0%. Distribusi spasial dari sampel yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 4.12. Dari pemetaan penggunaan lahan yang telah dilakukan, diketahui bahwa pengunaan lahan di daerah penelitian didominasi oleh penggunaan lahan kebun, oleh karena itu proporsi sampel pada penggunaan lahan ini lebih banyak untuk mengakomodasi variabilitas parameter pada lokasi yang berbeda. Sesuai dengan teknik pengambilan sampel yang digunakan, pengamatan dilakukan sebanyak lima kali pada setiap plot sampel. Hasil dari pengamatan di setiap plot kemudian dirata-ratakan untuk memperoleh nilai persentase tutupan kanopi pada plot yang bersangkutan. Contoh hasil estimasi pada lahan kebun dengan tutupan kanopi berbeda dapat dilihat pada Gambar 4.11
66
Gambar 4.11 Foto Contoh Hasil Estimasi Tutupan Kanopi
67
68
68
4.5
Pengamatan Bentuk Erosi dan Penilaian Tingkat Erosi Kualitatif Pengamatan bentuk erosi di lapangan bertujuan untuk menilai secara
kualitatif tingkat erosi di lapangan. Bentukan erosi yang terjadi pada suatu lahan merupakan indikator intensitas laju kehilangan tanah pada area pengamatan. Dari pengamatan yang telah dilakukan selama satu bulan (April 2008), terdapat setidaknya tujuh macam bentukan yang ditemui pada lahan – lahan di DAS Tinalah. Bentukan erosi tersebut antara lain pedestal, material kasar di permukaan tanah (armour layer), gundukan tanah di bawah pohon (tree mound), singkapan akar tanaman (root exposure), endapan tanah pada saluran drainase (sedimen in drains), akumulasi endapan tanah di sisi sebelah atas tanaman pada lereng yang miring (build up against tree trunk/plant stem), alur (rill) dan parit (gully). Pedestal merupakan bentukan yang paling sering ditemui pada sebagian besar area pengamatan di daerah penelitian. Pedestal adalah suatu kolom tanah yang menyerupai tiang, yang diatasnya ditutupi oleh material resisten (akar, batu), yang berfungsi sebagai material pelindung (capping material). Pedestal disebabkan proses pemecahan partikel tanah (soil detachment) pada lahan dengan kekasaran permukaan yang bervariasi. Ketika terjadi hujan, partikel tanah di sekitar pedestal terpecah dari agregat tanah akibat tumbukan dengan butir-butir hujan dan kemudian terangkut oleh limpasan permukaan. Partikel-partikel tanah dalam pedestal sendiri tidak terpengaruh percikan hujan karena adanya material pelindung yang menyerap kekuatan perusak dari butir – butir hujan. Di daerah penelitian, pedestal ditemui pada penggunaan lahan kebun dan tegalan dengan berbagai variasi tutupan kanopi vegetasi, kemiringan lereng, penutupan tanah, sifata tanah dan praktek konservasi tanah. Perbedaan ketinggian pedestal mencerminkan perbedaan intensitas erosi yang terjadi pada suatu area pengamatan.
69
(a) (b) Gambar 4.13 Foto Kenampakan Pedestal dengan Material Pelindung Batu (a) dan Akar Tanaman (b) Armour layer juga merupakan bentukan yang sering ditemui pada berbagai area pengamatan. Armour layer adalah konsentrasi partikel – partikel kasar di permukaan tanah yang umumnya tersebar secara acak pada tanah atas (top soil). Bentukan ini terjadi karena limpasan permukaan hanya mampu mengangkut partikel tanah yang berukuran halus, sedangkan partikel yang lebih kasar tertinggal di permukaan tanah. Di daerah penelitian, bentukan ini kebanyakan terbentuk pada penggunaan lahan tegalan dengan tutupan kanopi (canopy cover) vegetasi dan penutupan tanah (ground cover) yang jarang. Tutupan kanopi dan tutupan tanah yang jarang menyebabkan proses pemecahan partikel tanah (soil detachment) dan pengangkutan partikel tanah oleh limpasan permukaan berlangsung tanpa adanya penghalang.
Gambar 4.14 Foto Armour Layer Pada Penggunaan Lahan Tegalan dengan Tutupan Kanopi dan Tutupan Tanah Jarang
70
Bentukan erosi lain seperti singkapan akar, tree mound, dan sediment in drains ditemui hanya pada beberapa lokasi pengamatan. Singkapan akar disebabkan partikel tanah di sekitar batang tanaman mengalami pemecahan dan pemindahan oleh aliran batang (stemflow). Pemecahan dan pemindahan material di sekitar batang tanaman menyebabkan penurunan permukaan tanah dan selanjutnya menyebabkan akar tanaman menjadi tersingkap. Kedalaman singkapan akar menunjukkan intensitas erosi yang terjadi.
Gambar 4.15 Foto Singkapan Akar (root exposure) Pada Tanaman Jagung
Tree mound merupakan bentukan erosi berupa permukaan tanah di bawah kanopi pohon yang lebih tinggi dari permukaan di sekitarnya yang tidak tertutup kanopi. Bentukan ini terjadi karena area yang tidak terlindungi kanopi tererosi lebih intensif daripada area yang terlindungi kanopi. Ketinggian permukaan tanah pada tree mound menunjukkan permukaan tanah semula sebelum tererosi. Bentukan ini ditemui terutama pada penggunaan lahan kebun dengan vegetasi dominan berupa pohon.
71
Gambar 4.16 Foto Gundukan Tanah di bawah Kanopi Tanaman (tree mound)
Bentukan akumulasi tanah di sisi sebelah atas tanaman (build up against tree trunk/plant stem) merupakan bentukan erosi berupa akumulasi material hasil erosi pada sisi sebelah atas tanaman. Bentukan ini terjadi karena material hasil pemecahan partikel tanah yang terbawa oleh limpasan permukaan terhalang oleh batang tanaman, sehingga kemudian terendapkan di sisi sebelah atas dari batang tanaman. Bentukan ini terjadi pada penggunaan lahan kebun dengan kemiringan lereng lebih dari 15%. Ketebalan material mengindikasikan intensitas proses erosi yang terjadi.
Gambar 4.17 Foto Akumulasi Material Pada Sisi Sebelah Atas Batang Tanaman Pada Lereng Lebih Dari 15%
Bentukan akumulasi sedimen pada saluran drainase (sediment in drains) terjadi pada penggunaan lahan kebun yang dibuat teras, dan tegalan. Ciri khas bentukan ini berupa adanya endapan material berukuran halus di sepanjang saluran drainase. Material yang terendapkan ini berasal dari lahan di atas saluran
72
drainase. Terkonsentrasinya limpasan permukaan yang membawa material hasil pemecahan butir hujan pada saluran drainase merupakan penyebab terjadinya bentukan ini. Material yang terangkut ini kemudian terendapkan di sepanjang saluran akibat berkurangnya kecepatan dan kemampuan limpasan untuk mengangkut material. Kedalaman material sedimen mengindikasikan seberapa besar tingkat erosi yang terjadi.
Gambar 4.18 Foto Endapan Material Hasil Limpasan Permukaan di sepanjang Saluran Drainase Pada Penggunaan Lahan Tegalan.
Bentukan yang mengindikasikan erosi berat hingga sangat berat seperti alur (rill) dan parit (gully) jarang ditemui selama observasi lapangan dilakukan. Dari 42 lokasi pengamatan, hanya ditemui tiga lokasi yang terdapat erosi alur, dan tiga lokasi yang terdapat erosi parit. Penyebab jarangnya ditemukan kenampakan erosi alur di daerah penelitian disebabkan sebagian besar lahan di daerah penelitian sudah terkonservasi dalam bentuk teras. Praktek konservasi tanah berupa teras pada lereng landai hingga curam menyebabkan konsentrasi limpasan permukaan yang dapat berkembang menjadi erosi alur tidak terjadi. Selain itu, berdasarkan pengamatan oskular, sebagian besar lahan di daerah penelitian mempunyai tutupan kanopi vegetasi dan atau tutupan tanah yang rapat. Tutupan kanopi yang rapat memberikan perlindungan terhadap tanah dari daya rusak butir hujan dalam bentuk penahanan butir hujan oleh kanopi, sehingga ketika butir hujan mencapai permukaan tanah, erosivitasnya sudah berkurang dan mengurangi jumlah partikel tanah yang terlepas. Adanya penutupan tanah (ground cover) yang
73
rapat mencegah terjadinya limpasan permukaan, sehingga pelepasan dan pengangkutan material oleh limpasan permukaan tidak terjadi. Di daerah penelitian, erosi alur terbentuk pada penggunaan lahan tegalan yang baru mengalami pembajakan tanah (tillage), sehingga belum terdapat vegetasi yang tumbuh di atasnya. Sebagai akibatnya, proses pemecahan partikel tanah dan pengangkutan material hasil pemecahan oleh limpasan permukaan terjadi secara hebat karena tanah berada dalam kondisi terbuka dan tanpa perlindungan. Erosi alur yang terbentuk di lokasi penelitian mempunyai kedalaman rata-rata 4 cm. Dengan kedalaman tersebut, maka tingkat erosi pada daerah pengamatan termasuk dalam kategori berat. Selain pada tegalan yang baru dibajak, erosi alur juga terjadi pada area-area yang baru mengalami longsor lahan. Material hasil longsoran besar yang umurnya relatif baru pada umumnya memiliki karakteristik material yang bersifat lepas, penutupan tanah yang jarang, lereng yang panjang (lebih dari 5 meter) dan kemiringan lereng lebih dari 8%. Kombinasi faktor-faktor di atas menyebabkan limpasan permukaan terkonsentrasi pada area tertentu dan membentuk depresi memanjang atau alur (rill). Proses pemecahan dan pengangkutan material terjadi sepanjang alur ini.
(a)
(b)
Gambar 4.19 Foto Erosi Alur Pada Daerah Bekas Longsoran (a) dan Tegalan yang Baru Dibajak (b)
Erosi parit merupakan bentuk perkembangan dari erosi alur. Erosi alur yang tidak segera dikontrol dalam jangka waktu lama akan semakin lebar dan dalam. Jika kedalaman alur mencapai lebih dari 30 cm, maka alur ini dapat dikategorikan sebagai parit. Perkembangan parit akan semakin intensif jika lereng
74
di daerah terbentuknya parit cukup panjang dan tanah berada dalam kondisi terbuka tanpa tutupan vegetasi dalam jangka waktu lama. Di daerah penelitian, erosi parit lebih sering ditemukan daripada erosi alur. Kedalaman rata-rata erosi parit di daerah penelitian sekitar 0,5 hingga 1 meter dengan lebar hingga mencapai 4 meter. Erosi parit yang ditemui di daerah penelitian merupakan bentukan permanen, kompleks dan terbentuk dalam jangka waktu lama. Kompleksitas pembentukan dan perkembangan erosi parit di daerah penelitian tidak dapat dijelaskan hanya dengan mendasarkan pada hasil analisis dan pengamatan faktorfaktor pengaruh erosi pada satu waktu saja. Oleh karena itu, dalam studi ini analisis hubungan tingkat erosi kualitatif berdasarkan kenampakan erosi yang terjadi dengan kondisi tutupan kanopi vegetasi hanya dibatas sampai pada erosi alur.
Gambar 4.20 Foto Erosi Parit Pada Penggunaan Lahan Tegalan
Bentuk – bentuk erosi di atas merupakan bukti proses erosi yang terjadi di area pengamatan dan dapat dijadikan alat untuk menilai tingkat erosi area pengamatan secara kualitatif (Linden, 1980). Penilaian dilakukan dengan mendasarkan pada kriteria tingkat erosi kualitatif menurut Morgan (1995) yang
75
disesuaikan menjadi 5 kelas. Acuan klasifikasi mengikuti tabel 2.1. Penilaian dilakukan pada 42 lokasi pengamatan. Hasil penilaian dapat dilihat pada grafik 4.2.
Hasil Penilaian Tingkat Erosi Berdasarkan Observasi Kenampakan Erosi Di Lapangan 16 14 Frekuensi
12 10 8 6 4 2 0 Sangat Ringan
Ringan
Sedang
Berat
Sangat berat
Tingkat Erosi
Gambar 4.21 Grafik Hasil Penilaian Tingkat Erosi Pada 42 Lokasi Pengamatan
Hasil tabulasi pada Gambar 4.21 menunjukkan bahwa sebagian besar area pengamatan mempunyai tingkat erosi sangat ringan. Tingkat erosi sangat ringan diindikasikan
dengan
tidak
ditemukannya
bentukan–bentukan
yang
memperlihatkan adanya erosi pada lokasi pengamatan, sedangkan erosi sangat berat diindikasikan dengan ditemukannya erosi alur yang dalam dan erosi parit.
4.6
Analisis Regresi Untuk Pemetaan Persentase Tutupan Kanopi Berdasarkan survei lapangan yang telah dilakukan, diperoleh 42 sampel
persentase tutupan kanopi pada penggunaan lahan kebun campur dan tegalan. Data persentase tutupan kanopi ini kemudian diregresikan dengan data nilai digital NDVI untuk memprediksi secara deterministik persentase tutupan kanopi vegetasi seluruh DAS untuk penggunaan lahan kebun campur dan tegalan. Analisis regresi dilakukan dengan menggunakan lima model regresi yang meliputi
76
satu model regresi linear dan empat model regresi non linear. Hasil analisis regresi beserta koefisien korelasi (r), koefisien determinasi (r2) dan model yang dihasilkan untuk setiap kelas penggunaan lahan dapat dilihat pada tabel 4.3.a dan 4.3.b sebagai berikut. Tabel 4.3.a. Hasil Analisis Regresi Untuk Penggunaan Lahan Kebun Campur Model Linear Logaritmik Polinomial orde 2 Power Eksponensial
R 0,481 0,478 0,485 0,473 0,475
r2 0,232 0,223 0,235 0,224 0,226
Persamaan y = 109,39x - 5,3485 y = 73,964Ln(x) + 97,884 y = 207,64x2 - 175,17x + 91,354 y = 105,53x1,1494 y = 21,278e1,6958x
Sumber: Hasil analisis (2008)
Tabel 4.3.b. Hasil Analisis Regresi Untuk Penggunaan Lahan Tegalan Model
Linear Logaritmik Polinomial orde 2 Power Eksponensial
r 0,207 0,205 0,211 0,299 0,305
r2 0,043 0,042 0,045 0,089 0,093
Persamaan y = 106,1x - 25,463 y = 64,895Ln(x) + 71,601 y = 460,76x2 - 465,87x + 150,6 y = 143,69x3,4591 y = 0,7813e5,7209x
Sumber: Hasil analisis (2008)
Hasil analisis regresi pada tabel 4.3.a dan 4.3.b menunjukkan bahwa model regresi non linear polinomial orde 2 merupakan model terbaik untuk memprediksi persentase tutupan kanopi vegetasi pada penggunaan lahan kebun yang diindikasikan dengan koefisien korelasi dan koefisien determinasi yang lebih baik dari model yang lain. Hasil ini sesuai dengan studi yang dilakukan Purevdorj et al., (1998), yang menyimpulkan bahwa persamaan regresi polinomial orde 2 merupakan model terbaik untuk memprediksi tutupan kanopi vegetasi dari nilai indeks vegetasi. Untuk penggunaan lahan tegalan, model terbaik adalah regresi eksponensial. Diagram pencar yang menunjukkan hubungan antara nilai digital NDVI (x) dan persentase tutupan kanopi (y) pada setiap kelas penggunaan lahan
77
dapat dilihat pada Gambar 4.22. Model regresi terbaik untuk setiap kelas penggunaan lahan kemudian diaplikasikan pada citra NDVI untuk menghasilkan peta persentase tutupan kanopi vegetasi di DAS Tinalah. Hasil pemetaan kemudian diklasifikasikan menjadi 5 kelas tutupan berdasarkan skema klasifikasi Departemen Kehutanan pada Tabel 2.2. Peta kelas tutupan kanopi vegetasi yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 4.23.
(a)
(b)
Gambar 4.22 Diagram Pencar Hubungan NDVI dan Persentase Tutupan Kanopi Vegetasi Untuk Vegetasi Pada Penggunaan Lahan Kebun Campur (a) dan Tegalan (b)
78
79
79
4.7
Tinjauan Terhadap Hasil Analisis Regresi dan Pemetaan Tutupan Kanopi Hasil analisis regresi antara nilai digital NDVI SPOT dan persentase
tutupan kanopi hasil pengukuran lapangan menunjukkan nilai koefisien korelasi terbaik adalah 0,485 dengan koefisien determinasi sebesar 0,235 untuk vegetasi pada penggunaan lahan kebun campur dan koefisien korelasi sebesar 0,305 dengan koefisien determinasi sebesar 0,093 untuk vegetasi pada penggunaan lahan tegalan. Jika dibandingkan dengan berbagai penelitian sebelumnya yang telah dilakukan, hasil ini menunjukkan bahwa hubungan antara nilai digital NDVI dari citra multispektral SPOT-5 dan nilai persentase tutupan kanopi hasil pengukuran lapangan tidak begitu kuat. Dengan nilai korelasi dan determinasi yang rendah, maka prediksi nilai suatu variabel menggunakan analisis regresi akan memberikan hasil yang tingkat kepercayaannya rendah. Jika hasil prediksi persentase tutupan kanopi dalam bentuk peta pada Gambar 4.23 dibandingkan dengan data persentase tutupan kanopi hasil pengukuran lapangan sebagai data referensi (grafik 4.4a dan 4.4b) dapat dilihat bahwa persamaan regresi yang dihasilkan tidak dapat memprediksi persentase tutupan kanopi vegetasi di daerah penelitian dengan tepat. Standar kesalahannya bahkan mencapai 13,5% untuk vegetasi pada penggunaan lahan kebun dan 33,5% untuk vegetasi pada penggunaan lahan tegalan. Perbandingan Nilai Persentase Tutupan Kanopi Hasil Prediksi dan Nilai Hasil Pengukuran Untuk Penggunaan Lahan Kebun Campur
Persentase Tutupan Kanopi (%)
120
100
80
Nilai referensi Nilai prediksi
60
40
20
0 2
3
5
8 10 13 14 17 19 20 21 22 23 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
Nomor sampel
Gambar 4.24a
80
Perbandingan Nilai Persentase Tutupan kanopi Hasil Prediksi dan Nilai Hasil Pengukuran Untuk Penggunaan Lahan Tegalan 100
Persentase Tutupan Kanopi (%)
90 80 70 60
Nilai referensi
50
Nilai prediksi 40 30 20 10 0 1
4
6
7
9
11
12
15
16
18
24
25
26
Nomor sampel
Gambar 4.24b
Dari hasil di atas dapat dilihat bahwa penggunaan data NDVI dari Citra SPOT-5 untuk memprediksi dan memetakan tutupan kanopi vegetasi di DAS Tinalah menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Hasil yang kurang memuaskan ini besar kemungkinan disebabkan kurang idealnya beberapa faktor dan kondisi yang sangat berpengaruh terhadap baik buruknya hasil prediksi. Faktor tersebut antara lain kualitas radiometrik citra, perbedaan temporal antara citra yang digunakan dan waktu penelitian yang cukup signifikan, serta kondisi medan yang kurang ideal. Penggunaan nilai spektral citra penginderaan jauh untuk mengekstraksi atribut – atribut biofisik memerlukan citra dengan kualitas radiometrik yang baik. Yang dimaksud dengan kualitas radiometrik yang baik disini antara lain adalah pengaruh gangguan atmosfer dalam bentuk hamburan dan serapan yang minimal. Adanya hamburan dan serapan akibat pengaruh atmosfer dapat menyebabkan penambahan atau pengurangan intensitas radiansi yang diterima sensor, sehingga radiansi yang terekam tidak mewakili interaksi antara obyek dengan tenaga iradiansi matahari. Radiansi yang tidak mencerminkan interaksi tenaga-obyek dapat menyebabkan kesalahan dalam penggunaan nilai radiansi ini untuk mengekstrak atribut obyek. Berdasarkan inspeksi menyeluruh pada seluruh area liputan Citra SPOT-5 yang digunakan dalam penelitian ini, dapat diketahui bahwa
81
citra yang digunakan masih belum terbebas dari pengaruh atmosfer berupa adanya kabut tipis (haze), walaupun citra sudah dikoreksi radiometrik. Kabut ini nampak terutama di bagaian hilir daerah penelitian. Adanya kabut tipis menyebabkan peningkatan pantulan spektral vegetasi secara seragam pada saluran XS1 (hijau) dan XS2 (merah), sehingga nilai NDVI yang diturunkan dari salah satu dari dua saluran tersebut tidak mewakili interaksi iradiansi matahari dan respon spektral vegetasi pada area yang tertutup kabut. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis profil spektral (spectral profile) area yang dilingkari merah pada Gambar 4.25. Profil Spektral dapat dilihat pada Gambar 4.26. Dari Gambar 4.26 dapat dilihat bahwa nilai spektral pada saluran XS1 hingga XS3 untuk area A mempunyai nilai yang lebih tinggi dari yang seharusnya (area B). Nilai yang lebih tinggi ini terjadi karena ada penambahan tenaga akibat pengaruh kabut dan hamburan atmosfer yang disebut path radiance (Richards dan Jia, 2006). Implikasi dari hal di atas terhadap tujuan penelitian ini adalah nilai NDVI Citra SPOT-5 yang digunakan dalam penelitian ini menjadi tidak berkorelasi dengan persentase tutupan kanopi vegetasi.
(a)
(b)
Gambar 4.25 Bukti Pengaruh Kabut Terhadap Perbedaan Nilai Pantulan Vegetasi Saluran XS2 Pada Penutup Lahan Yang Sama (a) dan Pengaruhnya Terhadap Nilai NDVI (b).
82
120
Nilai Spektral
100 80
Area A
60
Area B 40
20 0 XS 1
XS 3
XS 2
XS 4
Saluran Citra SPOT-5
Gambar 4.26 Profil Spektral Antara Area A dan Area B Pada Gambar 4.25 (Area A dan B Penutup Lahannya Sama)
Faktor kedua adalah perbedaan temporal ntara waktu perekaman citra dan pelaksanaan penelitian yang cukup signifikan. Sebagaimana telah diuraikan pada butir 4.3.2, waktu perekaman citra dan waktu validasi berselisih hampir dua tahun. Dalam kurun waktu dua tahun, tentunya telah terjadi perubahan besar terhadap karakteristik dan komposisi vegetasi daerah penelitian. Walaupun perubahan ini tidak terlalu nampak untuk vegetasi pada penggunaan lahan kebun campur yang didominasi tanaman keras berumur panjang, namun pada penggunaan lahan tegalan perubahan ini nampak jelas terlihat. Pengamatan pada beberapa lokasi sampel memperlihatkan adanya perbedaan komposisi vegetasi pada citra dan kondisi terkini (Gambar 4.7b pada butir 4.3.2). Bukti ini merupakan salah satu jawaban atas rendahnya korelasi antara nilai NDVI dan persentase tutupan kanopi vegetasi pada penggunaan lahan tegalan. Faktor terakhir adalah adanya pengaruh tutupan tanah (ground cover) berupa rumput yang rapat pada area dengan tutupan kanopi jarang. Kondisi ditemui pada penggunaan lahan kebun campur dengan tutupan kanopi vegetasi yang kurang rapat (open mixed garden) dan tegalan. Adanya penutupan tanah berupa rumput pada area dengan tutupan kanopi jarang menyebabkan respon spektral dari area tersebut dipengaruhi oleh gabungan interaksi penutup tanah (ground cover) dan tutupan kanopi (canopy cover), sehingga hasil akhirnya adalah
83
nilai NDVI di area tersebut tetap tinggi walaupun tutupan kanopinya jarang. Kondisi di atas ditunjukkan pada Gambar 4.27. Gambar 4.27a menunjukkan penggunaan lahan kebun campur dengan tutupan kanopi jarang namun tutupan tanahnya rapat. Pengaruh tutupan tanah terhadap nilai NDVI ditunjukkan pada Gambar 4.27b yang menunjukkan lokasi pada Gambar 4.27a. Nilai NDVI ratarata pada lokasi tersebut adalah 0,73. Nilai ini cukup tinggi untuk area dengan tutupan kanopi jarang, sehingga dari sini bisa dipastikan adanya pengaruh respon spektral dari tutupan tanah.
(a)
(b)
(c)
Gambar 4.27 Foto Area Dengan Tutupan Kanopi Jarang Namun Tutupan Tanahnya Rapat (a), Lokasi Gambar a Pada Citra NDVI (b) dan Lokasi Gambar a Pada Citra Komposit 432 (c)
Berdasarkan uraian di atas, nampak jelas bahwa penggunaan atribut spektral citra penginderaan jauh untuk memprediksi dan memetakan kondisi tutupan kanopi masih belum optimal. Tidak idealnya beberapa faktor mulai dari kualitas citra, hingga kondisi medan yang kompleks sangat mempengaruhi akurasi hasil estimasi. Walaupun demikian, jika melihat kembali hasil pemetaan pada Gambar4.23, nampak jelas adanya kelebihan pendekatan ini dalam pemetaan tutupan kanopi vegetasi, yaitu terakomodasinya variabilitas tutupan di dalam satuan pemetaan (mapping unit). Sebagaimana nampak pada peta, variabilitas tutupan pada penggunaan lahan kebun campur yang mendominasi daerah penelitian dapat terpetakan dengan baik. Informasi variabilitas tutupan ini sangat berharga sebagai masukan dalam model erosi berbasis SIG raster untuk memprediksi laju kehilangan tanah tahunan (annual soil loss) suatu daerah aliran sungai, sebagaimana telah diuraikan oleh De Jong (1994).
84
4.8
Analisis Hubungan Tutupan Kanopi dan Tingkat Erosi Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah melihat bagaimana erosi terjadi
pada lahan dengan kondisi tutupan vegetasi berbeda. Untuk menjawab tujuan ini, maka hasil dari observasi bentukan erosi di lapangan kemudian dikorelasikan dengan hasil prediksi kondisi tutupan kanopi vegetasi dari data NDVI SPOT-5 menggunakan teknik tabulasi silang (cross tabulation). Penggunaan citra penginderaan jauh
untuk memprediksi persentase tutupan kanopi vegetasi
memungkinkan area - area dengan tutupan kanopi berbeda dapat diidentifikasi untuk kemudian diobservasi bagaimana respon erosi yang terjadi pada area tersebut. Walaupun demikian, hasil analisis regresi memperlihatkan bahwa korelasi NDVI sebagai prediktor untuk memprediksi persentase tutupan kanopi vegetasi dengan data sampel hasil pengukuran persentase tutupan kanopi vegetasi di lapangan sebagai data referensi kurang memuaskan. Korelasi yang kurang signifikan menyebabkan hasil prediksi mempunyai bias yang besar, sehingga validitasnya akan meragukan jika data hasil prediksi ini dihubungkan dengan hasil analisis tingkat erosi. Sebagai alternatifnya, data hasil pengukuran persentase tutupan kanopi di lapangan digunakan untuk menilai hubungan antara tingkat erosi dan kondisi tutupan kanopi vegetasi. Derajat korelasi ditentukan dengan menggunakan indeks kappa (κ). Hasil analisis ditunjukkan pada tabel 4.4
Tabel 4.4
85
Hasil Tabulasi Silang Antara Tingkat Erosi dan Kondisi Tutupan Kanopi Vegetasi
Tutupan kanopi
sangat berat
Tingkat erosi sedang ringan
berat
sangat ringan
total
sangat buruk
0
1
1
1
1
4
buruk
1
1
0
0
1
3
sedang
2
3
2
1
2
10
baik
3
5
2
3
4
17
sangat baik
0
0
2
2
4
8
6 total Sumber: Hasil analisis (2008)
10
7
7
12
10
Hasil penentuan indeks kappa (κ) dari Tabel 4.4 di atas menunjukkan tidak ada korelasi yang signifikan antara kondisi tutupan kanopi vegetasi dan tingkat erosi di lapangan. Nilai korelasi yang diperoleh sebesar 0,05. Tidak adanya korelasi antara tutupan kanopi dan tingkat erosi mengindikasikan bahwa tutupan kanopi kurang berpengaruh terhadap tingkat erosi di daerah penelitian. Untuk mengidentifikasi faktor yang lebih berpengaruh terhadap tingkat erosi di daerah penelitian, tingkat erosi dicoba dihubungkan dengan dua faktor yang juga mempengaruhi erosi, yaitu faktor topografi berupa kemiringan lereng dan faktor penutupan tanah (ground cover). Kedua jenis data tersebut dikumpulkan bersamaan dengan pengumpulan data lain pada waktu kerja lapangan dilakukan. Penutupan
tanah
diestimasi
secara
visual
(oscular
estimation)
dengan
menggunakan acuan yang sama dengan acuan untuk menentukan persentase tutupan kanopi (Gambar 2.1). Hasil estimasi kemudian diklasifikasikan menjadi 5 kelas dengan mengacu pada pedoman yang sama dengan klasifikasi tutupan kanopi vegetasi (Tabel 2.2). Kemiringan lereng area pengamatan ditentukan dengan menggunakan peta lereng yang diturunkan dari DEM SRTM yang digunakan dalam orthorektifikasi citra. Kelas kemiringan lereng yang diacu adalah kelas kemiringan lereng dalam Jamulya (1987). Hasil tabulasi silang dari kedua faktor tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.5 dan 4.6. Tabel 4.5
86
Hasil Tabulasi Silang Antara Tingkat Erosi dan Kondisi Tutupan Tanah
Tutupan tanah
sangat berat
Tingkat erosi berat Sedang ringan
total
sangat ringan
sangat buruk
1
3
1
3
1
9
buruk
1
4
2
0
0
7
sedang
0
0
4
1
0
5
baik
1
0
0
4
5
10
sangat baik 0 3 total Sumber: Hasil analisis (2008)
0 7
2 9
2 10
7 13
11 20
kelas lereng
Tabel 4.6 Hasil Tabulasi Silang Antara Tingkat Erosi dan Kelas kemiringan Lereng
sangat ringan datar 0 landai 1 miring 4 curam 9 sangat curam 0 14 total Sumber: Hasil analisis (2008)
Tingkat erosi ringan sedang berat 0 0 1 1 1 1 0 3 1 3 0 2 5 3 3 9 7 8
total
sangat berat 0 0 1 1 2 4
1 4 9 15 13 8
Hasil pada Tabel 4.4, 4.5 dan 4.6 memperlihatkan bahwa tingkat erosi di daerah penelitian lebih berkorelasi dengan penutup tanah dari pada kemiringan lereng dan tutupan kanopi vegetasi. Indeks kappa untuk hubungan tingkat erosi dan tutupan tanah adalah sebesar 0,34, sedangkan untuk hubungan tingkat erosi dan kemiringan lereng hanya 0,03.
87
4.9
Tinjauan Terhadap Hasil Analisis Hubungan Tutupan Kanopi Vegetasi dan Tingkat Erosi Hasil tabulasi silang antara tingkat erosi tanah dan tutupan kanopi vegetasi
menunjukkan korelasi yang lemah antara dua variabel tersebut. Korelasi yang lebih baik ditunjukkan oleh hubungan tingkat erosi dan tutupan tanah. Dengan demikian dapat diketahui bahwa tingkat erosi di daerah penelitian lebih dipengaruhi dan berhubungan dengan penutup tanah daripada tutupan kanopi vegetasi. Berdasarkan hasil observasi lapangan, pada dasarnya kenampakan yang mengindikasikan adanya erosi seperti pedestal, armour layer dan singkapan akar memang lebih banyak ditemui pada lahan dengan tutupan tanah jarang daripada tutupan tanah rapat, walaupun kondisi tutupan kanopi pada kedua area pengamatan tersebut sangat rapat. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.27 yang menunjukkan dua area pengamatan dengan tutupan kanopi yang termasuk dalam kategori jarang namun kondisi tutupan tanahnya berbeda.
(a) (b) Gambar 4.28 Foto Lahan Tegalan Dengan Tutupan Tanah Rapat (a) dan Jarang (b) Gambar 4.28a menunjukkan lahan dengan kondisi penutup tanah yang rapat. Adanya tutupan tanah yang rapat menyebabkan butir hujan yang mencapai permukaan tanah ditahan oleh penutup tanah berupa rumput ataupun serasah. Penahanan butir hujan oleh penutup tanah menyebabkan proses pemecahan tanah jauh lebih kecil intensitasnya daripada ketika tanah berada dalam kondisi terbuka.
88
Penutupan tanah yang rapat juga mampu mencegah terjadinya limpasan permukaan dengan intensitas tinggi ketika terjadi hujan lebat. Pengurangan intensitas limpasan permukaan menyebabkan pengangkutan partikel tanah oleh limpasan permukaan jauh berkurang dan tanah menjadi lebih stabil. Kondisi berbeda terjadi pada Gambar 4.28b yang menunjukkan lahan tegalan yang berada dalam kondisi terbuka tanpa penutup tanah. Tanah yang berada dalam kondisi terbuka menyebabkan proses pemecahan butir tanah dari agregat tanah dan pengangkutan partikel tanah hasil pemecahan oleh limpasan permukaan terjadi secara hebat dan merata pada seluruh area pengamatan. Bukti ini dapat dilihat pada Gambar 4.28b yang memperlihatkan adanya kenampakan gundukan tanah sisa permukaan awal. Kedua area pengamatan pada Gambar 4.28 berada pada lahan dengan kondisi tutupan kanopi vegetasi yang jarang. Untuk area dengan kondisi tutupan kanopi sangat rapat, selama tutupan tanahnya kurang rapat maka erosi ringan hingga sedang masih dapat terjadi yang diindikasikan dengan ditemukannya kenampakan yang mengindikasikan erosi ringan seperti pedestal, singkapan akar dan armour layer. Hal ini terjadi karena kanopi vegetasi tidak berlaku sebagai pelindung tanah yang efektif sebagaimana halnya tutupan tanah. Ketika terjadi hujan, kanopi vegetasi dapat menahan butir hujan agar tidak langsung jatuh ke tanah, namun butir - butir hujan ini akan berkumpul di ujung daun dan akhirnya jatuh ke tanah sebagai aliran daun (leafdrop) yang ukurannya bisa jadi lebih besar dari ukuran normal. Sebagai akibatnya, jika tanah dalam kondisi tanpa tutupan atau tutupannya kurang rapat, maka butir - butir hujan berukuran besar tersebut mampu memecahkan partikel tanah dalam jumlah yang signifikan. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis di atas, dapat diketahui bahwa hubungan erosi dan faktor yang mempengaruhinya bersifat kompleks dan saling terkait satu sama lain. Kompleksitas ini menyebabkan bentuk hubungan antar faktor dan tingkat erosi yang terjadi tidak terlihat nyata. Kondisi tutupan kanopi vegetasi yang seharusnya dapat mencerminkan perlindungan terhadap tanah dari butir hujan ternyata tidak berkorelasi dengan tingkat erosi. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh tutupan tanah yang juga berperan dalam mencegah
89
pemecahan partikel tanah dari agregat tanah dan mencegah terjadinya limpasan permukaan dalam debit yang besar.
90
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1
Kesimpulan Berdasarkan tahapan penelitian yang telah dilakukan, hasil yang diperoleh
dan analisis yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan beberapa hal berkaitan dengan tujuan penelitian yang telah tercapai sebagai berikut: 1.
Penggunaan indeks vegetasi NDVI yang diintegrasikan dengan data lapangan untuk memprediksi persentase tutupan kanopi vegetasi di daerah penelitian belum memberikan hasil yang memuaskan. Hubungan terbaik diberikan oleh model regresi polinomial orde 2 untuk vegetasi pada penggunaan lahan kebun campur dengan nilai korelasi yang diperoleh sebesar 0,485. Untuk vegetasi pada penggunaan lahan tegalan, model regresi eksponensial merupakan model terbaik dengan nilai korelasi yang diperoleh sebesar 0,305.
2.
Penggunaan indeks vegetasi untuk mengestimasi persentase tutupan kanopi vegetasi dapat memberikan informasi distribusi dan variabilitas spasial kondisi tutupan kanopi. Informasi ini sangat berharga sebagai masukan dalam pemodelan erosi berbasis SIG raster.
3.
Berdasarkan hasil observasi kenampakan erosi dan penilaian tingkat erosi secara kualitatif di lapangan, Sebagian besar lahan di DAS Tinalah mempunyai tingkat erosi yang termasuk dalam kategori sangat ringan..
4.
Analisis hubungan tingkat erosi dan kondisi tutupan kanopi vegetasi berdasarkan hasil pengukuran lapangan menggunakan tabulasi silang belum menunjukkan hubungan yang signifikan. Nilai korelasi yang diperoleh sangat rendah, yaitu sebesar 0,05. Hubungan yang lebih kuat ditunjukkan oleh hubungan tingkat erosi dan tutupan tanah dengan nilai korelasi sebesar 0,34.
91
5.2
Saran Mendasarkan pada jalannya penelitian yang telah dilakukan, kendala yang
dihadapi serta hasil yang diperoleh, maka dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut: 1.
Perlu adanya penelitian lanjutan dengan menggunakan citra yang mempunyai kualitas radiometrik yang lebih baik (minim perawanan dan pengaruh kabut) dari citra yang digunakan dalam penelitian ini. Berdasarkan analisis iklim (subbab 3.2), Bulan Juni-Agustus merupakan bulan yang cukup kering dan perawanan dalam kondisi minimal, serta kondisi atmosfer biasanya cukup cerah. Citra yang direkam dalam bulanbulan ini akan dapat memberikan informasi yang optimal untuk studi vegetasi di daerah penelitian. Citra dengan kualitas radiometrik yang baik akan dapat memberikan hubungan antara nilai digital NDVI dan persentase tutupan kanopi yang lebih nyata. Perbedaan tanggal perekaman citra dan validasi lapangan juga disarankan tidak berbeda terlalu jauh (kurang dari dua bulan), mengingat vegetasi mempunyai sifat dinamis dan kondisi fenologisnya dapat berubah dalamskala harian hingga tahunan.
2.
Perlu adanya penelitian pemodelan erosi berbasis SIG raster dengan menggunakan data persentase tutupan kanopi yang diturunkan dari citra penginderaan jauh. Saran ini didasarkan pada hasil penelitian yang menunjukkan citra penginderaan jauh dapat memberikan informasi variabilitas distribusi spasial tutupan kanopi, sebagaimana variabilitas kondisi topografi yang dapat dimodelkan dengan menggunakan DEM. Kajian dan evaluasi terhadap reabilitas keluaran model berupa prediksi laju kehilangan tanah juga perlu dilakukan.
3.
Memperhatikan rendahnya akurasi hasil pemetaan tutupan kanopi dengan menggunakan Citra SPOT-5 pada skala 1: 50.000, maka pemetaan tutupan kanopi menggunakan indeks vegetasi dari citra SPOT-5 disarankan dilakukan pada skala yang tidak lebih detil dari 1: 100.000.
4.
Perlu adanya perhatian yang lebih baik pada kondisi penutupan tanah dalam setiap studi erosi di daerah penelitian. Hal ini dikarenakan dari hasil
92
penelitian telah diketahui bahwa penutupan tanah lebih berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat erosi daripada faktor erosi yang lain seperti kemiringan lereng dan tutupan kanopi vegetasi.
93
DAFTAR PUSTAKA Anonim. (2005). ILWIS 3.3 Academic User Guide. Enschede: ITC. Ariyanto, K.N. (2004). Evaluasi Konservasi Tanah Cara Teras Bangku di DAS Tinalah Kabupaten Kulonprogo. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM Arsyad, S. (1989). Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB. Baban, M.J.S., dan Yusof, K.W. (2001). Modelling Soil Erosion in Tropical Environments using Remote Sensing and Geographical Information Systems. Hydrological Sciences Journal 46, 191-198. Bemmelen, R.W.V. (1949). The Geology of Indonesia, Vol 2. Goverment Printing Office. The Haque Campbell, J.B. (2002). Introduction to Remote Sensing (Third edition). New York: Guilford Press. Carreiras, M.J.B., Pereira, J.M.C., dan Pereira, J.S. (2006). Estimation of Tree Canopy Cover in Evergreen Oak Woodlands using Remote Sensing. Forest Ecology And Management 223, 45-53. Cartagena, D.F. (2005). Remotely Sensed Land Cover Parameter Extraction for Watershed Erosion Modelling. M.Sc Thesis. ITC. Enschede. Danoedoro, P. (1989). Hubungan antara Nilai Digital Citra Multispektral SPOT dengan Konsentrasi Klorofil di Lereng Gunung Merapi Bagian Selatan. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM. Danoedoro, P. (1996). Pengolahan Citra Digital, Teori dan Aplikasinya dalam Penginderaan Jauh. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM. De Jong, S. M. (1994). Application of Reflective Remote Sensing to Land Degradation Studies in Mediteranian Environment. Utrecht: Netherlands Geographical Studies. De Jong, S. M., Parrachini, M. L., Bertolo, F., Folving, S., Megier, J., dan De Roo, A. P. J. (1999). Regional Assessment of Soil Erosion using the Distributed Model SEMMED and Remotely Sensed Data. Catena 37, 291308.
94
Departemen Kehutanan. (2004). Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis.http:www.dephut.go.id/INFORMASI/RRL/RLPS/skdirjenRLPS/isi 1670.htm tanggal akses 19 Januari 2008 Pukul 12.45 Gitelson, A.A. (2004). Wide Dynamic Range Vegetation Index for Remote Quantification of Biophysical Characteristics of Vegetation. Journal Of Plant Physiology 161, 165-173. Harintaka. (2003). Penggunaan Persamaan Kolinier Untuk Rektifikasi Citra Satelit SPOT Secara Parsial. Yogyakarta: Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik UGM. Harintaka., Heliani, L.S., dan Nugroho, P.D. (2006). Evaluasi Ketelitian RPC untuk Orthorektifikasi Citra Satelit IKONOS. Yogyakarta: Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik UGM Hartono, B. (1994). Perencanaan Konservasi Lahan dengan Pendekatan Tingkat Bahaya Erosi dan Kemampuan Lahan di DAS Tinalah Kulonprogo. Skripsi S1. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM Hoffer, R. M. (1978). Biological and Physical Considerations in Applying Computer-aided Analysis Techniques to Remote Sensor Data. Dalam Swain, P. H. and Davis, S. M. (1978). Remote Sensing: The Quantitative Approach, Bab 5, 227-289. New York: Mc Graw Hill. Jamulya. (1987). Lingkungan Non Biotik. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM. Jensen, J. R. (1991). The Measurement of Mangrove Characteristics in SouthWest Florida using SPOT Multispectral Data. Geocarto International, 13–21. Kancheva, R., dan Borisova, D. (2006). Spectral Unmixing for Information Extraction. ISPRS Commission VII Mid-term Symposium "Remote Sensing: From Pixels to Processes", Enschede, the Netherlands. http://www.itc.nl/isprsc7/symposium/proceedings/PS01_4.pdf. Tanggal akses 14 Desember 2007 pukul 6.45. Kumalawati, R. (2005). Valuasi Ekonomi Resiko Bencana Alam Gerak Massa Batuan dan Erosi Terhadap Lahan Pertanian di DAS Tinalah Kulonprogo. Thesis S2. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM. Korhonen, L., Korhonen, K.T., Rautiainen, M. dan Stenberg, P. (2006). Estimation of forest canopy cover:a comparison of field measurement techniques. Silva Fennica 40(4), 577–588.
95
Lanteri, D.G., Huete, A., Kim, H. K., dan Didan, K. (2004). Estimation of the Fraction Canopy Cover from Multispectral Data to be used in a Water Soil Erosion Prediction Model. Gayana 68, 239-245. Di akses dari situs http://www.scielo.cl/scielo.php?pid=S071765382004000200043danscript =sci_arttext. Tanggal akses 14 Desember 2007 pukul 6.15. Larsson, H. (2002). Acacia Canopy Cover Changes in Rawashda Forest Reserve, Kassala Province, Eastern Sudan, Using Linear Regression NDVI Models. International Journal of Remote Sensing 23, 335-339. Lee, K.S. (t,t). Remote Sensing Methodology to Monitor Vegetation Cover in Northeast Asia http://www.klter.org/EVENTS/Conference00/html/leegusung.htm, tanggal akses 21 Desember 2007 pukul 06:45
Lillesand, T.M., Kiefer, R.F., dan Chipman, J. (2004). Remote Sensing and Image Interpretation (5 ed). New York: John Wiley and Son. Linden, V.P. (1980). Introduction to Principles of Erosion and the Application of Some Soil Conservation Measures (Unpublished Lecture Notes). Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM. Morgan, R. P. C. (1995). Soil Erosion and Conservation (Second edition ed.). Harlow: Longman. _________. (2001). A Simple Approach to Soil Loss Prediction: a Revised Morgan-Morgan-Finney Model. Catena 44, 305-322. Nagler, P. L., Glenn, E. P., Thompson, T. L., dan Huete, A. (2003). Leaf Area Index and Normalized Difference Vegetation Index as Predictors of Canopy Characteristics and Light Interception by Riparian Species on the Lower Colorado River. Agricultural and Forest Meteorology 125, 1–17. Petrie, G. (2006). Rectification and Georeferencing of Optical Imagery. Dalam Aronoff, S. (2006). Remote Sensing for GIS Managers. California: ESRI Press. Rahardjo, N. (1990). Penggunaan Citra SPOT untuk Pemetaan Bahaya Erosi di DAS Alang Wonogiri Jawa Tengah. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM. Restele, L.O. (2004). Tingkat Bahaya Erosi DAS Tinalah Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta. Thesis S2. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM Richards, J. A., dan Jia, X.P. (2006). Remote Sensing Digital Image Analysis, An Introduction (4th edition). Berlin: Springer-Verlag.
96
Schreiber, K.V. (2007). An Approach to Monitoring and Assessment of Desertification using Integrated Geospatial Technologies. Di akses dari situs http://ams.confex.com/ams/pdfpapers/111209.pdf. Tanggal akses 14 Desember 2007 pukul 6.32. Setiawan, C. (2005). Arahan Penggunaan Lahan Daerah Rawan Gerak Massa di DAS Tinalah Kulonprogo. Thesis S2. Yogyakarta : Fakultas Geografi UGM. Setiawan, M.A. (2006). Soil Erosion Risk Assesment: Financial Loss Approach (Case Study Sub Catchment of Progo Watershed, Central Java, Indonesia). M.Sc Thesis. Yogyakarta : Fakultas Geografi UGM SPOT
Image. (2006). SPOT-5 Technical Guide. Diakses dari situs: http://www.spotimage.fr/automne_modules_files/standard/public/p229_14 f50983b6319ae4d5ec6becb005a0c5SPOT_IMAGE_QUALITY_PERFOR M_20070415.pdf . Tanggal akses 6 Januari 2008 pukul 12.43.
Stocking, M. dan Murnaghan, N. (2001). Handbook for Field Assessment of Land Degradation. London: Earthscan. Sugiyono. (2003). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Sutikno. 1985. Geomorfologi, Konsep dan Terapannya. Yogyakarta : Fakultas Geografi UGM. Teklehaimanot, G. (2003). Use of Simple Field Tests and Revised MMF Model for Assessing Soil Erosion: (Case study Lom Kao Area, Thailand). M.Sc Thesis. ITC. Enschede. Tim KKL III Geografi Lingkungan. (2007). Evaluasi Sumberdaya Wilayah DAS Tinalah dan DAS Kayangan Kulonprogo. Laporan Akhir KKL III. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM Tim PSBA UGM. (2004). Penyusunan Strategi Penanganan Daerah Rawan Bencana di Kabupaten Purworejo. Laporan Akhir. Purworejo: BAPPEDA Kabupaten Purworejo Jawa Tengah. Utomo, W. H.. (1994). Erosi dan Konservasi Tanah. Malang: IKIP. Vrieling, A. (2004). Satellite Remote Sensing for Water Erosion Assessment: A Review. Catena 65, 2-18. Wiraswasti, Y. (2005). Hubungan Tingkat Torehan Pada Setiap Bentuk Lahan Terhadap Perkembangan Tanah di DAS Tinalah Kulonprogo DIY.skripsi S1. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.
97
Wisnubroto, S., Nitisapto, M., dan Aminah, S. L. (1986). Asas - asas Meteorologi Pertanian. Jakarta: Ghalia. Yazidhi, B. (2003). A Comparative Study of Soil Erosion Modeling in Lom Kao Phetchabun, Thailand. M.Sc Thesis. ITC, Enschede..
98
LAMPIRAN 1 HASIL KOREKSI RADIOMETRIK CITRA SPOT-5 HRG XS DENGAN MENGGUNAKAN METODE KALIBRASI BAYANGAN 1. SALURAN 1 (HIJAU) 1.1 Hasil pengambilan sampel Eis 42 38 47 39 48 48 45 49 45 41
Grafik Regresi Eit lawan Eis Saluran 1 Citra SPOT-5 y = 0,42x + 20,892 60 Eis (nilai digital piksel daerah tertutup awan)
Eit 49 51 61 51 61 58 64 52 53 55
50
40
30
20
10
0 0
10
20
30
40
50
60
70
Eit (nilai digital piksel daerah tidak tertutup awan)
1.2 Perhitungan nilai bias (Dλ)
Persamaan yang diperoleh Sehingga,
: y = 0,42x + 20,892 ≈ Eis = Aλ(Eit) + Dλ (1 – Aλ)
Aλ = 0,42 20,892 = Dλ (1 – Aλ)
Dengan demikian,
20,892 = Dλ (1 – 0,42) 20,892 = Dλ (0,58) Dλ
= 20,892 / 0,58 = 36 (nilai pembulatan)
L-1
2. SALURAN 2 (MERAH) 2.1 Hasil pengambilan sampel Eis 27 26 36 25 41 36 30 37 32 28
Grafik Regresi Eit lawan Eis Saluran 2 Citra SPOT-5 y = 0,4621x + 11,283 45 Eis (nilai digital piksel daerah tertutup awan)
Eit 34 37 47 36 58 54 55 45 37 41
40 35 30 25 20 15 10 5 0 0
10
20
30
40
50
60
70
Eit (nilai digital piksel daerah tidak tertutup awan)
2.2 Perhitungan nilai bias (Dλ)
Persamaan yang diperoleh : y = 0,4621x + 11,283 ≈ Eis = Aλ(Eit) + Dλ(1–Aλ) Sehingga,
Aλ = 0,4621 11,283 = Dλ (1 – Aλ)
Dengan demikian,
11,283 = Dλ (1 – 0,4621) 11,283 = Dλ (0,5379) Dλ
= 11,283 / 0,5379 = 21 (nilai pembulatan)
L-2
3. SALURAN 3 (INFRAMERAH DEKAT) 3.1 Hasil pengambilan sampel Eis 50 58 59 58 46 39 25 49 57 64
Grafik Regresi Eit lawan Eis Saluran 3 Citra SPOT-5 y = 0,213x + 26,027 70 Eis (nilai digital piksel daerah tertutup awan)
Eit 116 163 148 154 72 69 32 68 160 167
60 50 40 30 20 10 0 0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
Eit (nilai digital piksel daerah tidak tertutup awan)
3.2 Perhitungan nilai bias (Dλ)
Persamaan yang diperoleh : y = 0,213x + 26,027 ≈ Eis = Aλ(Eit) + Dλ(1–Aλ) Sehingga,
Aλ = 0,213 26,027 = Dλ (1 – Aλ)
Dengan demikian,
26,027 = Dλ (1 – 0,213) 26,027 = Dλ (0,787) Dλ
= 26,027 / 0,787 = 33 (nilai pembulatan)
L-3
4. SALURAN 4 (INFRAMERAH GELOMBANG PENDEK) 4.1 Hasil pengambilan sampel Eis 37 43 49 46 62 39 23 50 54 53
Grafik Regresi Eit lawan Eis Saluran 4 Citra SPOT-5 y = 0,3x + 14,519 70 Eis (nilai digital piksel daerah tertutup awan)
Eit 86 96 121 108 130 127 28 103 113 124
60 50 40 30 20 10 0 0
20
40
60
80
100
120
Eit (nilai digital piksel daerah tidak tertutup awan)
4.2 Perhitungan nilai bias (Dλ)
Persamaan yang diperoleh : y = 0,3x + 14,519 ≈ Eis = Aλ(Eit) + Dλ(1–Aλ) Sehingga,
Aλ = 0,3 14,519 = Dλ (1 – Aλ)
Dengan demikian,
14,519 = Dλ (1 – 0,3) 14,519 = Dλ (0,7) Dλ
= 14,519 / 0,7 = 21 (nilai pembulatan)
L-4
140
LAMPIRAN 2 REKAPITULASI DATA PENGUKURAN LAPANGAN TITIK
X
Y
TOPONIMI
TINGKAT EROSI
INDIKATOR EROSI
PENGGUNAAN LAHAN
JENIS VEGETASI DOMINAN
KELAS KEMIRINGAN LERENG
TUTUPAN TANAH
KELAS TUTUPAN TANAH
TUTUPAN KANOPI
KELAS TUTUPAN KANOPI
1
412895
9147186
duwet
Sedang
pedestal 5cm, akar pohon tersingkap
semak,
jati, sengon, rumput
sangat curam
95%
Sangat rapat
93%
Sangat baik
2
412579
9147470
duwet
Sedang
gundukan 2 cm, pedestal 4cm
kebun campur
bambu, jati
sangat curam
50%
Sedang
45%
Sedang
3
411632
9147662
junut
Berat
pedestal 7cm
kebun campur
jati, kelapa, bambu
curam
30%
Jarang
60%
Sedang
4
411750
9147933
junut
Sangat berat
parit,alur 13 cm
Tegalan
kacang tanah, ketela
sangat curam
70%
Rapat
55%
Sedang
5
411529
9148301
Besole
Berat
akar pohon nampak, pedestal kebun campur 7 cm
bambu, jati, kelapa
sangat curam
20%
Jarang
70%
Baik
6
410859
9148816
Besole
Sangat ringan
-
Tegalan
ketela
curam
45%
Sedang
80%
Baik
7
410603
9148792
Taman
Sedang
pedestal 5cm
Tegalan
ketela
miring
30%
Jarang
76%
Baik
8
410373
9148352
Dlingseng
Sangat ringan
-
Kebun campur
jati, Kelapa
miring
15%
Sangat jarang
85%
Sangat baik
ketela
landai
3%
Sangat jarang
3%
Sangat buruk
9
410209
9148726
Dlingseng
Sedang
pedestal, gundukan tanah 5,5 Tegalan cm, armour layer
10
410637
9149657
Sendangmulyo
Sangat ringan
-
Kebun campur
Jati, mahoni
landai
80%
Rapat
70%
Baik
tegalan
ketela, jati, mahoni
sangat curam
10%
Sangat jarang
20%
Buruk
11
409822
9146851
Ngumpil
Berat
alur kedalaman 3cm, pedestal 5-6 cm, armour layer renggang, gundukan tanah di sekitar tanaman 5 cm
12
409491
9149618
Sendangmulyo
Sangat ringan
-
tegalan
ketela, kelapa
curam
95%
Sangat rapat
10%
Sangat buruk
13
411524
9149271
Tukharjo
Sangat ringan
-
Kebun campur
jati bambu,
miring
85%
Sangat rapat
85%
Sangat baik
14
409755
9150155
Pengos A
Sangat ringan
-
Kebun campur
jati bambu, mahoni, sengon curam
80%
Rapat
75%
Baik
15
409005
9150684
PengosB
Sangat berat
parit kedalaman 48 cm, pedestal 7,5 cm
Tegalan
kelapa, pisang, ketela
sangat curam
80%
Rapat
30%
Buruk
16
407325
9151547
Ngroto
Berat
alur kedalaman 1 cm, pedestal 7 cm
tegalan
ketela, kelapa
sangat curam
20%
Jarang
45%
Sedang
17
410993
9149623
Taman
Ringan
armour layer sedikit, treemound dangkal 1cm, akar Kebun campur pohon tersingkap
Jati, kelapa, mahoni
sangat curam
10%
Sangat jarang
70%
Baik
18
410678
9150251
Tukmudal
Ringan
armour layer sedikit, treemound dangkal 1cm, akar Tegalan pohon tersingkap
ketela, kelapa
sangat curam
80%
Rapat
45%
Sedang
19
410657
9150774
Gebang
Ringan
pedestal 1cm, armour layer, singkapan akar 1,5cm, tree mound 30mm
bambu, kelapa, melinjo, jati, mahoni,
curam
70%
Rapat
85%
Sangat baik
20
410873
9150936
Sumoroto
Sedang
pedestal 4 cm, armour layer, Kebun campur treemound 3 cm
pisang, jati, mahoni, kelapa sangat curam
20%
Jarang
55%
Sedang
21
411614
9151397
Sumoroto
Sangat berat
pedestal 10 cm, alur lebih dari 8 cm,
jati, kelapa, mahoni
30%
Jarang
60%
Sedang
Kebun campur
Kebun campur
curam
22
409312
9151860
Bleder
Sangat ringan
-
Kebun campur
Jati, melinjo, kelapa
miring
80%
Rapat
70%
Baik
23
409278
9150874
Pengos B
Sangat ringan
-
hutan
jati, kelapa
curam
95%
Sangat rapat
85%
Sangat baik
tegalan,
ketela
miring
15%
Sangat jarang
5%
Sangat buruk
Tegalan,
ketela
sangat curam
5%
Sangat jarang
15%
Sangat buruk
pedestal 8 cm, treemound 7 cm, armour layer renggang, sedimen in drain
24
410091
9150742
Gebang
Berat
25
408562
9147958
Balong II
Ringan
26
408241
9148437
Balong I
Sangat ringan
-
Tegalan,
pisang, ketela, mahoni, kelapa
curam
85%
Sangat rapat
45%
Sedang
27
407594
9148715
Klendrekan
Sedang
pedestal 4cm, armour layer renggang
Kebun campur
bambu, mahoni, jati
miring
60%
Sedang
90%
Sangat baik
28
406683
9148943
Klendrekan
Sangat ringan
-
Kebun campur
kelapa, mahoni
curam
80%
Rapat
50%
Sedang
29
408481
9151805
Clumprit
Berat
pedestal 10 cm
Kebun campur
pisang, jati, kelapa, bambu landai
45%
Sedang
55%
Sedang
30
407111
9153130
Ngalian gunung
Sangat ringan
-
Kebun campur
pisang, jati, kelapa
curam
95%
Sangat rapat
35%
Buruk
jati, kelapa, bambu, cengkeh
curam
65%
Rapat
63%
Baik
31
406490
9153043
Ngaliyan
Ringan
pedestal 1cm, build up tree 6 Kebun campur cm
32
406023
9152413
Pucung
Sedang
pedestal 4cm, armour layer
Kebun campur
jati, pisang, bambu
miring
60%
Sedang
75%
Baik
33
405511
9151966
Sreguyu
Sangat ringan
-
Kebun campur
jati, bambu,kelapa, pisang, curam mahoni
80%
Rapat
90%
Sangat baik
34
407415
9153022
ngaliyan gunung B
Sangat berat
parit, pedestal 13 cm
Kebun campur
jati
miring
3%
Sangat jarang
67%
Baik
35
408221
9152669
Jati
Berat
pedestal dan treemound 10 cm, singkapan akar 12 cm
Kebun campur
jati, kelapa, ketela
curam
10%
Sangat jarang
80%
Baik
36
408622
9152816
Manggermalang
Ringan
pedestal 1cm,
Kebun campur
jati, bambu,
landai
85%
Sangat rapat
83%
Sangat baik
37
410008
9152968
Manggermalang
Ringan
pedestal 1cm
Kebun campur
jati, kelapa , mahoni
curam
85%
Sangat rapat
98%
Sangat baik
38
406387
9149223
Bendo
Sangat ringan
-
Kebun campur
jati, kelapa, mahoni, cengkeh
curam
95%
Sangat rapat
70%
Baik
39
407176
9149527
Jomblangan 12
Berat
alur 3 cm
Kebun campur
jati, melinjo, cengkeh, mahoni, bambu, kelapa
datar
25%
Jarang
78%
Baik
40
405198
9149163
Plempungan
Sangat ringan
-
Kebun campur
cengkeh
miring
95%
Sangat rapat
3%
Sangat buruk
41
405451
9150482
Kalinongko
Ringan
singkapan akar
Kebun campur
bambu, jati
sangat curam
80%
Rapat
70%
Baik
42
405607
9151444
Suren
Ringan
singkapan akar, tree mound 1cm
Kebun campur
jati, kelapa, bambu
sangat curam
60%
Sedang
70%
Baik
LAMPIRAN 3 Hasil Analisis Regresi Untuk Vegetasi Pada Penggunaan lahan Kebun Campur Model Description Model Name Dependent Variable Equation
1 1 2 3 4 5
Independent Variable Constant Variable Whose Values Label Observations in Plots
MOD_1 Persentase tutupan kanopi vegetasi (%) Linear Logarithmic Quadratic Powera Exponentiala Nilai NDVI Included Unspecified
Tolerance for Entering Terms in Equations
,0001
a. The model requires all non-missing values to be positive.
Case Processing Summary N Total Cases 29 Excluded Casesa 0 Forecasted Cases 0 Newly Created Cases 0 a. Cases with a missing value in any variable are excluded from the analysis.
Variable Processing Summary Variables Dependent Independent Persentase tutupan kanopi vegetasi (%) Nilai NDVI Number of Positive Values
29
29
Number of Zeros Number of Negative Values
0
0
0
0
Number of Missing Values
0 0
0 0
User-Missing System-Missing
Model Summary and Parameter Estimates Dependent Variable: Persentase tutupan kanopi vegetasi (%)
Equation R Square F Linear ,232 8,152 Logarithmic ,229 8,008 Quadratic ,235 3,994 Power ,224 7,780 Exponential ,226 7,868 The independent variable is Nilai NDVI.
Model Summary df1 1 1 2 1 1
df2 27 27 26 27 27
Sig. ,008 ,009 ,031 ,010 ,009
Page 1
Model Summary and Parameter Estimates Dependent Variable: Persentase tutupan kanopi vegetasi (%) Parameter Estimates Equation Constant b1 b2 Linear -5,349 109,394 Logarithmic 97,884 73,964 Quadratic 91,354 -175,166 207,636 Power 105,531 1,149 Exponential 21,278 1,696 The independent variable is Nilai NDVI.
Hasil analisis Regresi Untuk Vegetasi Pada Penggunaan Lahan Tegalan Model Description Model Name Dependent Variable Equation
1 1 2 3 4 5
Independent Variable Constant Variable Whose Values Label Observations in Plots
MOD_2 Persentase tutupan kanopi vegetasi (%) Linear Logarithmic Quadratic Powera Exponentiala Nilai NDVI Included Unspecified
Tolerance for Entering Terms in Equations
,0001
a. The model requires all non-missing values to be positive.
Case Processing Summary N Total Cases 29 Excluded Casesa 16 Forecasted Cases 0 Newly Created Cases 0 a. Cases with a missing value in any variable are excluded from the analysis.
Variable Processing Summary Variables Dependent Independent Persentase tutupan kanopi vegetasi (%) Nilai NDVI Number of Positive Values Number of Zeros Number of Negative Values Number of Missing Values
User-Missing System-Missing
13
13
0
0
0
0
0 16
0 16
Page 2
Model Summary and Parameter Estimates Dependent Variable: Persentase tutupan kanopi vegetasi (%)
Equation R Square F Linear ,043 ,492 Logarithmic ,042 ,482 Quadratic ,045 ,234 Power ,089 1,081 Exponential ,093 1,131 The independent variable is Nilai NDVI.
Model Summary df1 1 1 2 1 1
df2 11 11 10 11 11
Sig. ,498 ,502 ,795 ,321 ,310
Model Summary and Parameter Estimates Dependent Variable: Persentase tutupan kanopi vegetasi (%) Parameter Estimates Equation Constant b1 b2 Linear -25,463 106,098 Logarithmic 71,601 64,895 Quadratic 150,605 -465,869 460,765 Power 143,690 3,459 Exponential ,781 5,721 The independent variable is Nilai NDVI.
Page 3
LAMPIRAN 4 SKEMA KLASIFIKASI PENGGUNAAN LAHAN BAKOSURTANAL (dalam Rahardjo, 1990) Tingkat I DAERAH BERVEGETASI
Tingkat II DAERAH PERTANIAN
Tingkat III
Tingkat IV
Sawah irigasi Sawah tadah hujan Sawah lebak Sawah pasang surut Ladang/Tegalan Perkebunan
Cengkeh Coklat Karet Kelapa Kelapa sawit Kopi Panili Tebu Teh Tembakau
Perkebunan campuran Tanaman campuran DAERAH BUKAN PERTANIAN
Hutan Lahan kering
Hutan bambu Hutan campuran Hutan jati Hutan pinus Hutan lain-lain
Hutan lahan basah
Hutan bakau Hutan campuran Hutan nipah Hutan sagu
Belukar Semak Padang rumput Savana Padang alang-alang rumput rawa DAERAH TAK BERVEGETASI
LAHAN TERBUKA LAHAR DAN LAVA BETING PANTAI GOSONG SUNGAI GUMUK PASIR
PERMUKIMAN DAN LAHAN BUKAN PERTANIAN YANG BERKAITAN
PERMUKIMAN BANGUNAN INDUSTRI JARINGAN JALAN JARINGAN JALAN KERETA API JARINGAN LISTRIK TEGANGAN TINGGI PELABUHAN UDARA PELABUHAN LAUT
PERAIRAN
DANAU WADUK TAMBAK IKAN TAMBAK GARAM RAWA SUNGAI ANJIR PELAYARAN SALURAN IRIGASI TERUMBU KARANG GOSONG PANTAI/DANGKALAN
Pertambangan terbuka
LAMPIRAN 5 HASIL ANALISIS TABULASI SILANG
1.
Tingkat erosi dan Tutupan Kanopi 1.A Hasil Tabulasi Silang
Tutupan kanopi
Tingkat erosi sangat buruk buruk sedang baik sangat baik total
total
sangat berat
berat
sedang
ringan
sangat ringan
0 1 2 3 0
1 1 3 5 0
1 0 2 2 2
1 0 1 3 2
1 1 2 4 4
4 3 10 17 8
6
10
7
7
12
10
1.B Rekapitulasi Hasil Tabulasi Silang grand total
42
total correct
10
observed correct
0,24
1.C Analisis batas (Marginal analysis) 24
40
28
28
48
18
30
21
21
36
60
100
70
70
120
102
170
119
119
204
48
80
56
56
96
1.D Rekapitulasi Hasil Analisis Batas grand total
1764
diagonal entries expected agreement by change
339 0,19
Indeks kappa
0,06
L-11
2.
Tingkat erosi dan Tutupan Tanah 2.A Hasil Tabulasi Silang
ground cover
Tingkat erosi berat 3 4 0 0 0
sedang 1 2 4 0 2
ringan 3 0 1 4 2
sangat ringan 1 0 0 5 7
total
sangat buruk buruk sedang baik sangat baik
sangat berat 1 1 0 1 0
total
3
7
9
10
13
20
2.B Rekapitulasi Hasil Tabulasi Silang grand total
42
total correct
20
observed correct
0,48
2.C Hasil Analisis Batas (Marginal analysis) 27
63
81
90
117
21
49
63
70
91
15
35
45
50
65
30
70
90
100
130
33
77
99
110
143
2.D Rekapitulasi Hasil Analisis Batas grand total
1764
diagonal entries expected agreement by change
364 0,206
Indeks kappa
0,34
L-12
9 7 5 10 11
3.
Tingkat erosi dan Kemiringan lereng 3.A Hasil Tabulasi Silang Tingkat erosi
kelas lereng
sangat ringan datar landai miring curam sangat curam total
0 1 4 9 0 14
ringan 0 1 0 3 5 9
sedang 0 1 3 0 3 7
berat 1 1 1 2 3 8
3.B Rekapitulasi Hasil Tabulasi Silang grand total
42
total correct
8
observed correct
0,190
3.C Hasil Analisis Batas (Marginal analysis) 14
9
7
8
4
56
36
28
32
16
126
81
63
72
36
210
135
105
120
60
182
117
91
104
52
3.D Rekapitulasi Hasil Analisis Batas grand total
1764
diagonal entries expected agreement by change
285 0,161
Indeks kappa
0,03
L-13
total
sangat berat 0 0 1 1 2 4
1 4 9 15 28 18
LAMPIRAN 6 HASIL PERHITUNGAN STANDAR KESALAHAN (STANDARD ERROR) ANTARA PERSENTASE TUTUPAN KANOPI HASIL OBSERVASI DAN HASIL PREDIKSI 1,
Penggunaan Lahan Kebun Campur No. 2
Hasil Observasi (%) 45
Hasil Prediksi (%) 59
Selisih -14
Selisih kuadrat 196
3
60
66
-6
36
5
70
65
5
25
8
85
65
20
400
10
70
62
8
64
13
85
63
22
484
14
75
67
8
64
17
70
62
8
64
19
73
64
9
81
20 21
55 60
67 61
-12 -1
144 1
22
70
70
0
0
23
85
81
4
16
27
90
79
11
121
28
50
77
-27
729
29
55
74
-19
361
30
35
59
-24
576
31
63
77
-14
196
32
75
75
0
0
33
90
83
7
49
34
67
70
-3
9
35
80
75
5
25
36
83
72
11
121
37
98
68
30
900
38
70
74
-4
16
39
78
71
7
49
40
70
68
2
4
41 42 Total
70 70
77 83
-7 -13
49 169 4949
Variansi
183,30
Standar kesalahan
13,5
L-14
2.
Penggunaan Lahan tegalan No.
Hasil Observasi (%)
Hasil Prediksi (%)
Selisih
Selisih kuadrat
1
93
36
57
3249
4
55
19
36
1296
6
80
24
56
3136
7
76
20
56
3136
9
3
16
-13
169
11
20
34
-14
196
12
10
28
-18
324
15
30
30
0
0
16
45
43
2
4
18
45
40
5
25
24
5
32
-27
729
25
15
16
-1
1
26
45
38
7
49
Total
12314
Variansi
1119,45
Standar kesalahan
3.
33,46
Rumus Standar kesalahan (Purevdorj et al, 1998) n
∑(X SE =
Dimana :
i =1
i
− X )2
n−2 n
= jumlah pengamatan
X X
= Persentase Tutupan kanopi hasil observasi = Persentase Tutupan kanopi hasil estimasi
L-15
LAMPIRAN 7 METADATA CITRA SPOT5\HRG XS DAN PAN 1.
Citra SPOT5\HRG XS (Multispektral)
Type
Spot SYSTEM SCENE level 1A
Layer
SCENE 5 292-365/7 06/05/16 03:02:11 1 J
Format
DIMAP
Raster
GEOTIFF
General Information Map Name
SCENE 5 292-365/7 06/05/16 03:02:11 1 J
Geometric Processing Level
RAW
Radiometric Processing Level
SYSTEM
Image dimensions Number of columns
6000
Number of rows
6000
Number of spectral bands
4
Pixel size
10 meter
Dataset framing Vertice #1 #2 #3 #4
Longitude (DEG) 110.157267 110.687844 110.568688 110.037362
Latitude (DEG) -7.540804 -7.658809 -8.189485 -8.071444
Dataset sources ID K_J SAT DATE TIME INSTRUMENT SENSOR INCIDENCE_ANGLE
52923650605160302111J 292365 7 2006-05-16 03:02:17 (GMT) HRG1 J 3.402875 (degree)
L-16
Row 1 1 6000 6000
Col 1 6000 6000 1
VIEWING_ANGLE SUN_AZIMUTH SUN_ELEVATION
BAND DESCRIPTION
2.994461 (degree) 40.146684 (degree) 54.829878 (degree) BAND 1 Type : XS1 Unit : equivalent radiance (W.m-2.Sr-1.um-1) Gain : 1.327033 Bias : 0.000000 BAND 2 Type : XS2 Unit : equivalent radiance (W.m-2.Sr-1.um-1) Gain : 1.597198 Bias : 0.000000 BAND 3 Type : XS3 Unit : equivalent radiance (W.m-2.Sr-1.um-1) Gain : 1.748925 Bias : 0.000000 BAND 4 Type : SWIR Unit : equivalent radiance (W.m-2.Sr-1.um-1) Gain : 10.741221 Bias : 0.000000
Coordinate Reference System Geocoding tables identification
EPSG(5.2)
Horizontal Coordinate System type
GEOGRAPHIC
Horizontal coordinate system identification name
WGS 84
Production Production Date
2006-05-30T00:20:27.000000
Job identification
S_CSA_000000000008940_1
Product type identification
SPOT_SCENE
Dataset Producer Identification
MACRES
Producer link
http://www.macres.gov.my
2.
Citra SPOT5\HRG PAN (Pankromatik)
Type
Spot SYSTEM SCENE level 1A
Layer
SCENE 5 292-365/7 06/05/16 03:02:09 1 T
Format
DIMAP
Raster
GEOTIFF
L-17
General Information Map Name
SCENE 5 292-365/7 06/05/16 03:02:09 1 T
Geometric Processing Level
RAW
Radiometric Processing Level
SYSTEM
Image dimensions Number of columns
24000
Number of rows
24000
Number of spectral bands
1
Pixel size
2.5 meter
Dataset framing Vertice #1 #2 #3 #4
Longitude (DEG) 110.157633 110.688114 110.568938 110.037706
Latitude (DEG) Row -7.540439 1 -7.659162 1 -8.189931 24000 -8.071169 24000
Col 1 24000 24000 1
Dataset sources ID K_J SAT DATE TIME INSTRUMENT SENSOR INCIDENCE_ANGLE VIEWING_ANGLE SUN_AZIMUTH SUN_ELEVATION
52923650605160302091A 292365 7 2006-05-16 03:02:15 HRG1 A 3.393865 () 2.994461 () 40.156607 () 54.825037 () BAND 1 Type : PAN Unit : equivalent radiance (W.m-2.Sr1.um-1) Gain : 1.425000 Bias : 0.704517 52923650605160302091B 292365 7
BAND DESCRIPTION
ID K_J SAT
L-18
DATE TIME INSTRUMENT SENSOR INCIDENCE_ANGLE VIEWING_ANGLE SUN_AZIMUTH SUN_ELEVATION
2006-05-16 03:02:15 HRG1 B 3.394281 () 2.994461 () 40.156370 () 54.824757 () BAND 1 Type : PAN Unit : equivalent radiance (W.m-2.Sr1.um-1) Gain : 1.425000 Bias : 0.704517
BAND DESCRIPTION
Coordinate Reference System Geocoding tables identification
EPSG(5.2)
Horizontal Coordinate System type
GEOGRAPHIC
Horizontal coordinate system identification name
WGS 84
Production Production Date
2006-05-30T01:30:05.000000
Job identification
S_CSA_000000000008942_1
Product type identification
SPOT_SCENE
Dataset Producer Identification
MACRES
Producer link
http://www.macres.gov.my
L-19