SIMULASI GEOSPASIAL BERBASIS CELLULAR AUTOMATA PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN UNTUK PREDIKSI SEDIMENTASI
PAHARUDDIN
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2012
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan penggunaan lahan di suatu wilayah merupakan pencerminan upaya manusia memanfaatkan dan mengelola sumberdaya lahan. Tidak dapat dihindari bahwa penggunaan lahan akan berubah selama pembangunan berlangsung. Perubahan tersebut terjadi karena dua faktor, pertama karena keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin meningkat dan kedua berkaitan dengan tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Fakta ini sejalan dengan pemikiran Skole dan Tucker
(1993)
yang
mengemukakan
bahwa
dinamika
perubahan
penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh driving forces seperti pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan juga dipengaruhi oleh faktor fisik seperti topografi, jenis tanah dan iklim. Alih fungsi lahan sebagai tindakan mengubah penggunaan lahan yang seharusnya pertanian mejadi non pertanian disebabkan karena semakin meningkatnya kebutuhan lahan dan keinginan manusia. Peningkatan itu terus berkembang untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Proses alih fungsi lahan umumnya bersifat irreversible, maksudnya ketika suatu lahan telah berubah fungsi, kapanpun sulit untuk dapat berubah kembali ke fungsi awalnya. Lahan-lahan sawah yang dikonversikan ke berbagai aktifitas urban sangat kecil kemungkinannya untuk kemudian dikembalikan lagi menjadi sawah. Demikian halnya hutan-hutan yang mengalami degradasi memerlukan upaya besar untuk direvegetasi. Tindakan manusia dalam upaya mengeksploitasi sumber-sumber lahan dan mengalihfungsikan lahan seperti hutan ke lahan perkebunan sampai lahan sawah menjadi permukiman dan industri akan menimbulkan 1
gangguan terhadap keseimbangan lingkungan. Keadaan ini akan mengakibatkan terjadinya erosi tanah, sehingga lapisan tanah permukaan yang relatif subur akan hilang. Pada suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) proses yang berlangsung pada bagian hulu (on site) yang dominan adalah kehilangan tanah, sedangkan pada bagian hilir (off site) proses yang terjadi adalah sedimentasi. Menurut Arsyad (2010) yang dimaksud dengan erosi adalah kehilangan tanah karena pengikisan, atau bagian-bagian tanah yang terangkut dari suatu tempat oleh aliran air atau hembusan angin. Tanah dan bagianbagian tanah yang terangkut oleh aliran air dari suatu tempat yang mengalami erosi pada suatu DAS dan masuk ke dalam suatu badan air secara umum disebut sedimen. Sedangkan sedimentasi (pengendapan) adalah proses pengangkutan sedimen oleh suatu limpasan atau aliran air yang diendapkan pada suatu tempat apabila kecepatan aliran air melambat atau terhenti di dalam sungai, waduk, danau, reservoir, saluran irigasi atau di atas tanah pertanian. Proses erosi dan sedimentasi yang berlangsung terus menerus akan mengakibatkan kerusakan tanah yang selanjutnya akan menimbulkan dampak negatif berupa kerusakan sistem tata air, pendangkalan pada badan air yang dapat menimbulkan banjir dan produktifitas lahan menurun. Kerusakan ini dapat terjadi pada lapisan tanah permukaan yang relatif subur sehingga tidak mampu dikelola untuk usaha pertanian, dan pada akhimya lahan tersebut menjadi lahan terdegradasi. Di samping dampak negatif yang ditimbulkan, erosi dan sedimentasi juga memberikan keuntungan, karena menghasilkan pertambahan lahan untuk perluasan pertanian atau permukiman. Sedimen memberikan manfaat pada peningkatan kualitas bahan yang dibutuhkan untuk struktur bangunan. Akan tetapi, sedimen yang dihasilkan oleh erosi yang cepat pada tanah-tanah yang salah kelola lebih banyak menimbulkan kerugian. 2
Fenomena
perubahan
penggunaan
lahan
beserta
dampak
yang
ditimbulkannya merupakan respon alam terhadap perilaku manusia. Respon tersebut perlu dipahami guna menentukan tindakan cerdas dalam pengelolaan mendatang. Dalam kondisi demikian diperlukan upaya optimal dan didukung oleh ketersediaan informasi aktual tentang perubahan penggunaan lahan secara komprehensif. Dukungan teknologi sistem
informasi
dimanfaatkan
geografis
untuk
dan
menunjang
penginderaan proses
jarak
jauh
perencanaan
dapat
maupun
pemanfaatan dan pengendalian konflik penggunaan lahan. Apabila konfilk tersebut dapat dihindari, maka dapat dibangun kerjasama di antara komunitas yang berperan, sehingga laju sedimentasi dapat dikendalikan. Menurut Karsidi (2004) Sistem informasi geografis (SIG) merupakan suatu sistem berbasis spasial yang mampu mengolah dan menyajikan informasi secara spasial pula. Pemanfaatan SIG ini akan sangat berguna dalam kaitannya dengan dinamika penggunaan lahan, terlebih lagi dengan ketersediaan model-model aplikatif yang mampu menyajikan aspek dinamika keruangan. Sistem yang miskin informasi menunjukkan kondisi entropi besar yang sulit dikelola. Semakin tinggi entropi suatu sistem, semakin tidak teratur pula sistem tersebut karena sistem menjadi lebih rumit, kompleks, sukar diprediksi secara pasti. Istilah entropi pertama kali digunakan dalam teori informasi yang digagas pada tahun 1948 oleh Claude Shannon di laboratorium Bell. Kemudian teori ini diperjelas dengan baik dalam buku Elements of Information Theory karangan Thomas M Covers dan Joy A Thomas (1991). Teori informasi memanfaatkan terminologi entropi sebagai tolak ukur seberapa besar informasi yang dikodekan pada sebuah data. Shannon (1948) dalam makalahnya berjudul A Mathematical Theory of Communication
mengemukakan
bahwa
entitas
informasi
dapat 3
dikuantifikasi dengan jumlah ketidakpastian dari berbagai kemungkinan yang dapat terjadi, secara matematis dinyatakan dengan formula : m
H ( X ) pi log 2 pi i 1
Huruf H menunjukkan entitas entropi dan huruf pi menunjukkan probability (kebolehjadian). Dengan teori ini, suatu keadaan yang pasti terjadi (p=1) atau tidak mungkin terjadi (p=0), keduanya akan memiliki entropi rendah dan mendekati H=0. Karsidi selanjutnya mengemukakan bahwa prinsip permainan the Game of Life merupakan model yang bersifat keruangan berbasis sel di mana perubahannya tergantung pada sel sekitarnya atau parsel terdekat. Suatu sel atau parsel akan tetap hidup apabila 3 atau lebih dari sel sekelilingnya adalah sel hidup. Sebaliknya sel akan mati apabila 3 atau lebih dari sel terdekatnya mati. Prinsip ini kemudian mendasari prinsip model Cellular Automata (CA). Model CA adalah suatu metoda komputasi untuk memprediksi perubahan sistem
dinamik
yang
bergantung
pada
aturan
sederhana
dan
berkembang hanya menurut aturan tersebut dari waktu ke waktu. Metoda ini pertama kali diperkenalkan oleh Ulam dan von Neumann pada tahun 1948 untuk menyelidiki perilaku sistem kompleks secara luas dalam proses biologi seperti memperbanyak diri (von Neumann, 1966). Dalam pengembangannya, Wolfram menggambarkan koleksi sel yang diwarnai pada petak (grid) dengan bentuk khusus yang berkembang melalui sejumlah langkah waktu yang diskrit dengan sebuah himpunan aturan-aturan berdasarkan keadaan dari sel-sel tetangganya. Perubahan komponen sel inti yang berlangsung dipengaruhi oleh keadaan interaksi dengan sel tetangga di sekeliling sel inti (Weisstein, Eric W. 2002). 4
Interaksi ini pada awalnya berubah secara dinamis dalam dimensi keruangan dan kewaktuan, kemudian berkembang menjadi skala global. CA telah banyak diterapkan di berbagai bidang ilmu, baik di bidang ilmu sosial maupun ilmu eksakta. Bandini, S., et al. (2004) mengeksploitasi pemodelan baru dan alat simulasi dalam rangka untuk mempelajari sistem yang kompleks dan fenomena dalam konteks ekonomi dan sosial. Masalah khusus yang dikaji menyangkut dinamika kompleks yang terlibat dalam
model
harga
modal
dengan
agen
heterogen.
Dalam
mengaplikasikan CA untuk masalah ini adalah termotivasi oleh kenyataan bahwa dinamika global pasar modal (misalnya kecenderungan yang berlaku global untuk membeli atau menjual) dapat dipelajari sebagai hasil dari interaksi lokal yang muncul dari entitas otonom yang terlibat dalam sistem pasar. Torres, A.S, et al (2010), memanfaatkan CA dan model numerik untuk perencanaan sistem aliran pipa air di perkotaan. Dalam kajian ini, ia memperkirakan pertumbuhan perkotaan dan perubahan penggunaan lahan untuk memperluas jaringan distribusi air ke sel-sel baru atau bagian perkotaan yang membutuhkan layanan air. Hegde N.P, et al, (2008), menggunakan Neural Network dan CA untuk memprediksi pertumbuhan pemukiman. Penelitiannya bertujuan untuk memprediksi perubahan penggunaan lahan guna mengatahui pertumbuhan pemukiman. Penggunaan CA untuk mensimulasikan perkolasi pestisida dalam tanah, juga telah dimanfaatkan oleh Stefania Bandini and Giulio Pavesi (2002). Dalam simulasi ini, hanya didistribusikan pestisida partikel seragam pada permukaan sel dengan anggapan bahwa distribusi yang berbeda, mencerminkan lebih rinci pestisida diserap oleh tanah. Selain itu, simulasi evakuasi dengan cara menyelidiki perilaku dinamika pejalan kaki agar dapat dievakuasi secara darurat dan secara khusus berkonsentrasi pada kasus-kasus yang melibatkan evakuasi paksa sejumlah besar orang 5
karena ancaman api yang berada di dalam gedung dengan jumlah tertentu yang keluar (Tissera,P.B et al., 2007). Dinamika perubahan penggunaan lahan setiap saat dan di lokasi manapun akan selalu berlangsung, hal ini dakibatkan oleh faktor driving forces sebagaimana telah disebutkan oleh Skole dan Tucker (1993). Namun untuk meminimalisasi faktor tersebut, diperlukan aturan dan juga skenario sehingga perubahanya akan mengurangi dampak kerusakan yang ditimbulkannya. Karena itu penelitian ini akan menggunakan model CA untuk melakukan simulasi perubahan penggunaan lahan yang merupakan salah satu faktor penentu sedimentasi.
B. Rumusan Masalah 1. Untuk memprediksi bentuk perubahan penggunaan lahan (land use) digunakan model CA yang membutuhkan sejumlah aturan. Masalah yang akan diselesaikan adalah mengkonstruksi aturan kecenderungan sejarah perubahan penggunaan lahan (konstruksi model perubahan). 2. Kondisi saat ini tidaklah semata-mata ditentukan oleh suatu sejarah masa lalu, demikian halnya masa depan tidak pula ditentukan oleh satu-satunya skenario, tapi mengikuti skneario tertentu. Skenario seperti apa yang dapat diterapkan pada dinamika perubahan penggunaaan lahan (trend setter).
C. Hipotesa 1) Pertumbuhan penduduk akan berimplikasi terhadap perkembangan ekonomi, dan apabila pola penggunaan lahan berlangsung tidak sesuai faktor fisik, maka akan berakibat pada perubahan existing land use yang mengarah kepada degradasi lahan dan menunjukkan APL (Aturan Penggunaan Lahan) yang tidak tepat. 6
2) Pertumbuhan penduduk akan berimplikasi terhadap perkembangan ekonomi, dan apabila pola penggunaan lahan berlangsung sesuai faktor fisik, maka dapat terjadi perubahan existing land use yang mengarah kepada sustainabilitas lahan dan menunjukkan APL yang tepat.
D. Skenario Faktor-faktor yang menentukan APL berdasarkan hipotesa di atas, dapat dijabarkan sebagai beruikut: a. Pertumbuhan penduduk terjadi bukan hanya karena faktor kelahiran, tetapi juga migrasi penduduk yang diikuti ketersediaan modal. b. Terjadi konversi lahan dari tanaman keras ke tanaman semusim tanpa melakukan upaya konservasi tanah dan air c.
Di bagian hilir terjadi transportasi sedimen dan kandungan NOx, POx dan unsur lainnya yang menunjukkan degradasi lahan tanaman semusim
d. Akibat lanjutannya adalah menipisnya lapisan hara di lahan tanaman semusim dan pencemaran di bagian hilir. Di antara hipotesa 1 dan hipotesa 2 secara berjenjang dapat ditempuh melalui: a. Seknario 1 : Mereduksi erosi 100% Hal ini mustahil dapat diterapkan b. Skenario 2 : Mereduksi erosi 80 % Pengolahan tanah, penanaman menurut kontur pada lahan kebun, ladang dan tegalan, penggunaan mulsa serta revegetasi pada lahan kosong (fallow) dan belukar yang berlereng > 40% c.
Skenario 3: Mereduksi erosi 60 % Pengolahan tanah, penanaman menurut kontur pada lahan kebun dan ladang, serta penggunaan mulsa, teras gulud dan rotasi tanaman pada lahan tegalan 7
d. Mereduksi erosi 40 % Pengolahan tanah, penanaman menurut kontur dan teras tradisional pada lahan tegalan
E. Tujuan Penelitian 1. Merumuskan
aturan-aturan
yang
dapat
mempengaruhi
sejarah
perubahan penggunaan lahan 2. Menghasilkan model cellular automata perubahan penggunaan lahan 3. Merumuskan skenario perubahan penggunaan lahan untuk prediksi sedimentasi
F. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian adalah: 1. Model cellular automata perubahan penggunaan lahan dapat dijadikan acuan dalam penataan ruang 2. Hasil penelitian dapat dijadikan acuan dalam menyusun skenario penggunaan lahan untuk meminimalisasi erosi dan sediemntasi.
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Model Cellular Automata Cellular automata (CA) awalnya diperkenalkan oleh von Neumann dan Ulam pada tahun 1948 sebagai model sederhana untuk menyelidiki perilaku sitem kompleks secara luas dan mempelajari proses biologi seperti memperbanyak diri (von Neumann, 1966; Toffoli T and Margolus N. 1987). Pada tahun 1970, seorang matematikawan Inggris bernama John Horton Conway mengembangkan lebih lanjut sebuah cellular automaton yang diberi nama Game of Life (Gardner, M. 1970). Pada tahun 1983, Stephen Wolfram pertama kali menerbitkan serangkaian makalah sistematis untuk mengkaji CA satu dimensi paling sederhana, yang disebut elementary cellular automata (Wolfram 1983, 1994). Hasil kajian Stephen Wolfram secara sistematis menghasilkan jenis-jenis CA dasar yang bekerja berdasarkan sekumpulan aturan (rule). Kemudian diperkenalkan sebuah metode baru yang bergantung pada aturan secara umum dan dapat diwujudkan melalui program komputer sederhana (Wolfram, 2002). Selanjutnya Stephen Wolfram menyatakan bahwa dalam program yang sederhana tersebut terdapat keuniversalan yang dapat menguraikan semua fenomena yang ada di alam dengan model CA, misalnya mencari bentuk daun, bentuk kristal salju, pola kulit binatang, dan bentuk-bentuk artistik (Wolfram, 2002:52). Stephen Wolfram meyakini bahwa dengan mengembangkan metode ini maka dapat dibangun sebuah dasar dari semua teori fisika, dimana ruang, waktu, mekanika kuantum dan semua bentuk yang ada di dunia ini akan disatukan (Wolfram, 2002:4). Berbagai macam model cellular automata dibahas secara lebih mendalam oleh Stephen Wolfram dalam bukunya A New Kind Of Science. 9
CA telah banyak diterapkan di berbagai bidang ilmu, baik di bidang ilmu sosial maupun ilmu eksakta. Bandini, S., et al. (2004) mengeksploitasi pemodelan baru dan alat simulasi dalam rangka untuk mempelajari sistem yang kompleks dan fenomena dalam konteks ekonomi dan sosial. Masalah khusus yang dikaji menyangkut dinamika kompleks yang terlibat dalam
model
harga
modal
dengan
agen
heterogen.
Dalam
mengaplikasikan CA untuk masalah ini adalah termotivasi oleh kenyataan bahwa dinamika global pasar modal (misalnya kecenderungan yang berlaku global untuk membeli atau menjual) dapat dipelajari sebagai hasil dari interaksi lokal yang muncul dari entitas otonom yang terlibat dalam sistem pasar. Selanjutnya Torres, A.S, et al (2010), memanfaatkan CA dan model numerik untuk perencanaan sistem aliran pipa air di perkotaan. Dalam kajian ini, ia memperkirakan pertumbuhan perkotaan dan perubahan penggunaan lahan untuk memperluas jaringan distribusi air ke sel-sel baru atau bagian perkotaan yang membutuhkan layanan air. Hegde N.P, et al, (2008), menggunakan Neural Network dan CA untuk memprediksi pertumbuhan pemukiman. Penelitiannya bertujuan untuk memprediksi perubahan
penggunaan
lahan
guna
mengatahui
pertumbuhan
pemukiman. Penggunaan CA untuk mensimulasikan perkolasi pestisida dalam tanah, juga telah dimanfaatkan oleh Stefania Bandini and Giulio Pavesi (2002). Dalam simulasi ini, hanya didistribusikan pestisida partikel seragam pada permukaan sel dengan anggapan bahwa distribusi yang berbeda, mencerminkan lebih rinci pestisida diserap oleh tanah. Selain itu, simulasi evakuasi dengan cara menyelidiki perilaku dinamika pejalan kaki agar dapat dievakuasi secara darurat dan secara khusus berkonsentrasi pada kasus-kasus yang melibatkan evakuasi paksa sejumlah besar orang karena ancaman api yang berada di dalam gedung dengan jumlah 10
tertentu yang keluar (Tissera,P.B et al., 2007). CA merupakan model komputasi dari suatu distem dinamik yang bersifat diskrit dalam ruang dan waktu. Sedangkan cellular automaton merupakan pemrosesan dari CA. CA sebagai koleksi sel yang diwarnai pada grid dengan bentuk khusus yang berkembang melalui sejumlah langkah waktu yang diskrit dengan sebuah himpunan aturan-aturan berdasarkan keadaan dari sel-sel tetangga. Suatu CA tersusun dari sebuah larik (Array), dengan sel yang identik dan saling berinteraksi satu sama lain. Array tersebut dapat membentuk susunan sel 1 dimensi, 2 dimensi maupun 3 dimensi. Susunan sel-sel tersebut dapat membentuk grid segi empat sederhana maupun susunan lain seperti sarang lebah yang terdiri dari bagian-bagian berbentuk segi enam (heksagonal), sebagaimana digambarkan susunan sel-sel cellular automata berikut (Weisstein, Eric W. 2002).
Segi empat 1D Segi empat 2D
Segi enam 2D
Gambar 2.1 Susunan sel cellular automata Pada CA 2D, Allison dan Sales (1992) dalam Park Soohong (1996), memberikan simbol untuk nilai setiap sel dan tetangganya seperti digambarkan sebagai berikut:
11
Gambar 2.2 Simbol nilai sel tetangga CA 2D Secara umum terdapat empat pola cellular automata, yaitu repetition (misalnya pada elementary cellular automata aturan 250=111110102), nesting (elementary cellular automata aturan 90=010110102), randomness (elementary cellular automata aturan 30=000111102), dan localized structures (elementary cellular automata aturan 110=011011102).
12
Nesting
Repetition
Randomness
Localized structures
Gambar 2.3. Pola umum cellular automata Salah satu aturan yang sangat sederhana untuk perubahan waktu dari nilai-nilai suatu keadaan diformulasikan sebagai berikut (Wolfram, 1984).
ai( t ) F ai(t r1) , ai(t r1)1 ,..., ai( t 1) ,..., ai(t r1)
……. (2.1)
Di mana : F adalah fungsi arbitrary yang menentukan aturan CA, r menyatakan serangkaian aturan,
ai( t )
menunjukkan nilai dari keadaan ke i untuk CA satu dimensi pada
langkah waktu t. Nilai-nilai suatu keadaan, berubah setelah proses iterasi pada periode berikutnya sesuai aturan yang diberikan. Bentuk lain dari persamaan 2.1 dapat dinyatakan sebagai:
a
(t ) i
j r f j ai(t j1) j 1
…..
(2.2)
Di mana αj adalah konstanta bulat, dan fungsi f adalah suatu pernyataan tunggal. Aturan yang ditetapkan menurut (2.1) dapat direproduksi secara langsung dengan mengambil
j k r1. 13
Bentuk fungsi F dalam aturan perubahan waktu (2.1) dapat ditentukan oleh sejumlah aturan, sementara fungsi f pada persamaan (2.2) dapat ditentukan dari persamaan berikut:
cf
( 2 r 1)( k 1) n
k n 0
f [n ]
…..
(2.3)
Sipper, M and Tomassini, M (1999) memberikan bentuk formal Cellular Automaton A, terdiri dari empat komponen yang dirumuskan sebagai berikut: A = (S,G,d,f)
.…. (2.4)
Huruf S adalah kumpulan keadaan berhingga yaitu banyaknya sel yang tersusun secara array (Torrens, Paul M., 2009). Setiap sel mempunyai nilai tertentu yang dapat berupa biner, hexa, ataupun karakter yang selanjutnya disimbolkan dengan C, G adalah kumpulan sel tetangga disimbolkan dengan n, d adalah dimensi dari A, dan f adalah aturan interaksi lokal juga disebut sebagai aturan transisi disimbolkan dengan R. Karakteristik CA dicirikan dengan 5 sifat (Karafyllidis, I and Thanailakis, A. 1997), yaitu: 1. Banyaknya dimensi keruangan (n); 2. Lebar masing-masing sisi dari array (w), wj adalah lebar dari sisi ke-j dari array, dimana j = 1, 2, 3, ... n 3. Lebar dari tetangga terdekat suatu sel (d). dj adalah jarak tetangga terdekat di sisi ke-j dari array. 4. Keadaan dari sel-sel CA 5. Aturan lokal CA, sebagai fungsi arbitrari F Keadaan dari sebuah sel pada langkah waktu (t +1) dihitung menurut F. F adalah fungsi dari keadaan sel ini dan keadaan sel disekitarnya pada waktu t. Kasus CA dua-dimensi (n = 2), dengan lebar jarak tetangga 14
terdekat d1=3 dan d2 = 3, ditunjukkan pada gambar. 2.6, dengan sel bagian kanan menyatkan keadaan sel pada langkah waktu (t+1). Dalam hal ini tetangga terdekat dari sel X(i,j) terbentuk dari sel X(i,j) itu sendiri dan delapan sel di sekitarnya. Demikian seterusnya untuk mendapatkan sel berikutnya. Aturan satu sel ke sel yang lain dapat ditafsirkan seperti perubahan dari belum berkembang ke berkembang atau sebaliknya. Perubahan ini adalah suatu fungsi dari sesuatu yang sedang berlangsung di radius sel. Tetangga pada umumnya digambarkan sebagai sel yang bersebelahan, atau beberapa sel yang saling berdekatan.
X(i-1,j-1)
X(i-1,j)
X(i1,j+1)
X(i1,j+2)
X(i,j-1)
X(i,j)
X(i,j+1)
X(i,j+2)
X(i+1,j+1 )
X(i+2,j+2)
X(i+1,j1)
X(i+1,j)
Gamabr 2.6. Iterasi Cellular automata 2D
Aturan Simulasi Perubahan Penggunaan Lahan Berikut gambaran aturan CA yang digunakan pada simulasi perubahan penggunaan lahan: 1. Jika sel yang diuji adalah sel air (warna biru) maka tidak ada perubahan penggunaan lahan (PPL) pada sel tersebut (Gambar 2.7).
Gambar 2.7 Aturan 1 Simulasi PPL 15
2. Jika sel yang diuji adalah sel jalan (warna hitam) maka tidak ada PPL pada sel tersebut (Gambar 2.8).
Gambar 2.8 Aturan 2 Simulasi PPL
3. Jika sel yang diuji adalah sel hutan (warna hijau) maka tidak ada PPL pada sel tersebut (Gambar 2.9).
Gambar 2.9 Aturan 3 Simulasi PPL Demikian seterusnya untuk mendapatkan aturan berikutnya. Khusus untuk penggunaan lahan yang tidak dapat diubah seperti uraian di atas, maka digolongkan sebagai aturan tunggal, sementara yang dapat berubah, digolongkan sebagai aturan jamak. Salah satu bentuk aturan jamak dapat digambarkan sebagai berikut: 4. Jika sel yang dites adalah salah satu dari ketiga sel (hutan (warna hijau) atau daerah kosong (warna olive) atau sawah (warna kuning)) dan dikelilingi 4 sel tetangga berupa pemukiman (warna maron), dan telah mempertimbangkan
kesesuaian
aturan penggunaan
lahan
permukiman, maka sel yang dites menjadi permukiman (lihat Gambar 2.9). 16
atau
atau
Gambar 2.10 Aturan 4 Simulasi PPL
B. Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Penginderaan jauh menurut Lillesand dan Kiefer (1994) adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau fenomena dengan cara menganalisa data yang diperoleh dengan alat tertentu tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji. Penginderaan jauh dapat menghasilkan data berupa citra. Ini dimungkinkan karena semua benda yang mempunyai temperatur di atas 0o absolut (0o K) memancarkan atau memantulkan secara alami berkas-berkas energi
dengan
panjang
gelombang
yang
bervariasi
berdasarkan
temperatur dan karakteristik molekul benda tersebut. Gelombang energi yang dipancarkan atau dipantulkan oleh benda diterima oleh sensor, selanjutnya bila diproses akan menghasilkan data penginderaan jauh yang dikenal dengan sebutan citra. Citra yang dihasilkan berupa citra digital terdiri atas sekumpulan sel-sel penyusun gambar yang disebut pixel (picture elemen). Tiap pixel mewakili satu luasan tertentu pada permukaan yang terindera dan juga memiliki nilai pantulan (spektral) tertentu. Dengan demikian satu pixel merupakan 17
data yang memberikan aspek spasial yakni ukuran luas yang terwakili dan aspek spektral yaitu nilai pantulan yang tercatat. Dalam koordinat 3 dimensi dinyatakan sebagai (x, y , z). Koordinat x,y menunjukkan lokasi dan z menunjukkan nilai intensitas pantul dari tiap pixel dalam tiap selang panjang gelombang yang dipakai. Nilai intensitas pantul dibagi menjadi 256 tingkat berkisar antara 0 – 255 dimana 0 merupakan intensitas terrendah (hitam/gelap) dan 255 menyatakan intensitas tertinggi (putih/terang). Dengan data citra asli (raw data) tidak lain adalah kumpulan dari sejumlah pixel yang bernilai antara 0 -255. Ukuran pixel berbeda tergantung pada sistim yang dipakai, hal ini menunjukkan ketajaman atau ketelitian dari data penginderaan jauh, atau yang dikenal dengan resolusi spasial. Makin besar nilai resolusi spasial suatu data makin kurang detail data tersebut dihasilkan, sebaliknya makin kecil nilai resolusi spasial makin detail data tersebut dihasilkan. Selain resolusi spasial data penginderaan jauh mengenal istilah resolusi berikut: a) Resolusi temporal yaitu kemampuan sensor untuk merekam ulang objek yang sama. Semakin cepat suatu sensor merekam ulang objek yang sama, semakin baik resolusi temporalnya. b) Resolusi spektral merupakan ukuran kemampuan sensor dalam memisahkan objek pada beberapa kisaran panjang gelombang. Data penginderaan jauh yang menggunakan satu band pada sensornya hanya akan memberikan satu data intensitas pantul pada tiap pixel. Apabila sensor menggunakan 5 band maka data pada tiap pixel akan menghasilkan 5 nilai intensitas yang berbeda. Dengan menggunakan banyak band (multiband) maka pemisahan suatu obyek dapat dilakukan lebih akurat berdasarkan nilai intensitas yang khas dari masing-masing band yang dipakai. c) Resolusi raiometrik yaitu ukuran kemampuan sensor dalam merekam 18
atau mengindera perbedaan terkecil suatu objek dengan objek yang lain (ukuran kepekaan sensor). resolusi radiometrik berkaitan dengan kekuatan sinyal, kondisi atmosfir (hamburan, serapan dan tutupan awan), dan saluran spektral yang digunakan. Pemrosesan
data
secara
digital dilakukan
dengan menggunakan
perangkat lunak (software) yang khusus diciptakan untuk keperluan analisis, klasifikasi, dan interprestasi . Berbagai algoritma telah tersedia di dalam perangkat lunak tersebut yang memungkinkan data penginderaan jauh diproses secara otomatik. Beberapa software yang terkenal untuk keperluan ini antara lain ERMapper, ILWIS, IDRISI, ERDAS, PCI, dan ENVI. Di antara software tersebut yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah ILWIS (Integrated Land and Water Information System) karena selain Open Source (Steinigera S and Hay G.J, 2009),
juga dapat
digunakan untuk mengolah data GIS baik dalam bentuk vektor atau raster. Di samping itu ILWIS juga telah dilengkapi suatu modul SMCE (Spatial Multi Criteria Evaluation), yang merupakan penggabungan antara konsep Overlay pada lingkup Sistem Informasi Geografis dan konsep Analytical Hierarchy Process (AHP) pada lingkup Decision Support System. Uji ketelitian dari hasil interpretasi citra menurut Sutanto (1994), sangat penting dilaksanakan oleh para peneliti penginderaan jauh maupun peneliti lain yang menggunakan penginderaan jauh sebagai sarananya. Ketelitian
data
hasil
interpretasi
sangat
mempengaruhi
besarnya
kepercayaan yang dapat diberikan terhadap data tersebut. Daels dan Antrop (1981) dalam Totok Gunawan (1991) mengemukakan bahwa untuk menguji atau meyakinkan kebenaran hasil interpretasi citra dapat didasarkan pada kunci interpretasi yang diusulkan dan dapat juga digunakan dengan cara mengevaluasi hasil akhir interpretasi dengan menggunakan analisis statistik. Uji ketelitian yang dilakukan dengan cara 19
analisis statistik adalah dengan menghitung % benar (% correct) dan % kesalahan (% commision error). Hasil interpretasi akhir dinyatakan baik atau diterima apabila memenuhi persyaratan, yaitu jika % benar lebih besar 80 %, dan % kesalahan kurang dari 20 %. Teknik pengujian ketelitian dilakukan dengan menggunakan tabel kontingensi (contingencytable). Aspek penting dari penginderaan jauh adalah penanganan dan pengolahan atau analisis data penginderaan jauh. Dalam hal analisis data telah tersedia suatu sistem berbasis komputer yang dikenal dengan nama Sistem Informasi Geografis (SIG). Aronof (1989) mendefinisikan GIS sebagai suatu sistem berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi yang bereferensi geografis. Sedangkan Barrough (1986) memberikan pengertian SIG yaitu suatu alat yang dimanfaatkan untuk pengumpulan, penyimpanan, pengambilan kembali data yang diinginkan dan penayangan data keruangan yang berasal dari dunia nyata. SIG adalah suatu sistem yang mengorganisir perangkat keras, perangkat lunak dan data untuk mendayagunakan sistem penyimpanan, pendinian, manipulasi, analisis dan penyajian hasil seluruh bentuk informasi yang berkaitan dengan aspek keruangan (Karsidi, 1995). Menurut Amien, A.M., (1989), SIG terdiri dari tahapan kegiatan yang panjang,
dimulai
dari
pengumpulan,
registrasi,
penafsiran,
dan
penyimpanan data, diikuti dengan analisis data dan penayangan hasil analisis. Untuk mendukung pelaksanaan tugas SIG tersebut, maka SIG yang ideal minimal harus dilengkapi dengan empat kemampuan seperti berikut: 1. Akisisi data, yaitu meliputi kemampuan untuk menginput dan engkode data secara statistik dan grafik. Sistem harus mampu menangani berbagai struktur data, baik berupa titik, garis, atau bidang, dan engkodenya, untuk selanjutnya disimpan dalam format grid, raster, dan atau vektor. 20
2. Manajemen data, meliputi data grafik (spasial) maupun data atribut, serta memiliki fasilitas untuk menjaga keamanan dan keterpaduan data, kemampuan untuk membuat laporan termasuk beberapa fungsi-fungsi pelaporan statistik. 3. Manipulasi dan analisis data, yang dapat digunakan untuk basis data grafik dan statistik yang berhubungan dengan suatu luasan geografis. Operasi yang dimaksud disini antara lain berupa projeksi, transformasi, kombinasi dari beberapa data yang berbeda, overlay polygon, analisis statistik, dan lainnya. 4. Tayangan data, berhubungan dengan kemampuan menghasilkan luaran berupa peta, grafik, dan atau tabel pada beberapa jenis media output.
Salah satu teknik analisis yang paling sering dilakukan dalam lingkup SIG adalah teknik overlay, yaitu melakukan analisis keruangan dengan cara menumpangsusunkan peta-peta tematik untuk mendapatkan suatu informasi tertentu. Kini dengan adanya komputer, pekerjaan seperti ini dapat dilakukan dengan mudah dan tidak banyak menyita waktu. Menurut Anonim (1993), SIG tidak sekedar merupakan komputerisasi perpetaan, tetapi menawarkan berbagai keunggulan dalam manajemen informasi spasial, yang selama ini ditayangkan dalam bentuk peta, serta mengaitkannya dengan atribut data non-spasial lainnya. Keunggulan yang ditawarkan SIG dibandingkan dengan sistem penyimpanan informasi spasial konvensional (peta), antara lain yaitu (The training unit, 1991 dalam Anonim, 1993) : a) Sangat efisien dalam penyimpanan berbagai peta dan atribut lainnya. b) Memiliki kemampuan untuk peremajaan dan pencarian kembali data spasial dan data atribut secara cepat. c) Ongkos pemeliharaan yang relatif rendah per unit data. d) Basis data spasial dan basis data atribut dapat dikaitkan satu sama lain untuk selanjutnya dianalisis secara terpadu. e) Dapat menerima input dan menghasilkan output dengan skala yang 21
bervariasi. f)
Proses analisis data dapat dilakukan relatif lebih cepat dan lebih mudah.
Keterkaitan antara Penginderaan Jauh (inderaja) dan SIG menurut Anonim (1993), yaitu: kedua teknologi tersebut merupakan teknologi yang diarahkan untuk menganalisis fenomena-fenomena yang bermatra ruang. SIG secara ideal merupakan teknologi untuk menganalisis fenomena spasial, sedangkan inderaja merupakan sumber data utama yang memasok SIG dengan data spasial secara kontinu.
C. Erosi dan Sedimentasi Erosi adalah suatu proses di mana tanah dihancurkan (detached) dan kemudian dipindahkan ke tempat lain oleh kekuatan air, angin dan gravitasi. Di Indonesia erosi yang terpenting adalah yang disebabkan oleh air (Hardjowigeno S, 2007). Menurut Arsyad (2010), erosi adalah akibat interaksi kerja antara faktor-faktor iklim, topografi, tumbuhan (vegetasi) dan manusia terhadap tanah yang dinyatakan dalam persamaan deskriptif berikut: E = f(I,r,v,t,m)
….
(2.5)
Di mana E adalah besarnya erosi, i = iklim, r = topografi, v = tumbuhan, t = tanah dan m = manusia. Faktor-faktor tersebut dimanfaatkan sebagai dasar untuk membangun model prediksi erosi tanah melalui persamaan umum yang lebih dikenal dengan sebutan USLE (Universal Soil Loss Equation) (Wischmeier dan Smith, 1962, 1965, 1978), dan telah dikembangkan manjadi RUSLE (Revised Universal Soil Loss Equation) yang secara rinci model ini dipaparkan oleh Renard et al (1997) dalam Mekonnen M and Melesse 22
A.M. (2011). Setelah terjadi peristiwa erosi maka akan mengakibatkan pengendapan (sedimentasi) dari hasil erosi (sedimen). Sedimen menurut Asdak (2010) adalah hasil proses erosi, baik berupa erosi permukaan, parit, atau jenis erosi tanah lainnya. Sedimentasi adalah proses lanjutan dari pengikisan tanah oleh air. Laju sedimentasi dapat dinyatakan dengan persamaan (Onyando, J.O. et al, 2005, Wang X et al, 2010). SY SDR Ag
….. (2.6)
dimana SY adalah jumlah sediment yang dihasilkan, SDR sediment delivery rasio, Ag laju erosi yang dihasilkan. SDR ditentukan dari persamaan yang dikemukakan oleh (Roehl, 1962) SDR A
…..
(2.7)
Di mana A menyatakan luas DAS, α dan β adalah konstanta empirik. Laju erosi dapat dimodelkan mengikuti persamaan ULSE (Wischmeier dan Smith, 1962, 1965, 1978) sebagai berikut : A = R*K*LS*C*P
…..
(2.8)
Dimana A = total erosi (ton/ha-tahun), R = erosivitas hujan (KJ/ha), K = eridibilitas tanah, LS = faktor panjang-slop-kelandaian, C = manajement pertanaman, P = faktor konservasi. Penentuan masing-masing variabel diatas adalah sebagai berikut: Erosivitas hujan, Faktor R : Dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:
23
j
R
EI
30 i
i 1
N
….. (2.9)
EI30 dihitung menggunakan persamaan (Bols,1978 dalam Asdak, 2010) EI 30 6.12RAIN 1.21DAYS 0.47 MAXP 0.53
Di mana
….. (2.10)
EI30 = erosivitas hujan rata-rata tahunan, RAIN = curah hujan
rata-rata tahunan (cm), DAYS = jumlah hari hujan rata-rata per tahun (hari), MAXP = curah hujan maksimum rata-rata dalam 24 jam per bulan untuk ukuran waktu satu tahun (cm). Erodibilitas tanah, faktor K: Erodibilitas tanah akan ditentukan dengan menggunakan metoda yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1965). Faktor panjang dan kecuraman lereng, faktor LS: Faktor ini dikembangkan dengan menggunakan metoda yang dijelaskan pada persamaan (Morgan,R.P.C, 2005) n
x 2 LS 0.065 0.045S 0.0065S 22.13
….. (2.11)
Di mana L = panjang lereng (m), S = kemiringan lereng (m/m), x = panjang lereng, n memiliki nilai yang bergantung pada tingkat kemiringan. L ditentukan dengan persamaan :, L
0.5 A , dimana LCH panjang saluran LCH
dalam DAS (m) , dan A luas basin (m2). Nilai L dan S dapat diturunkan dari model elevasi digital (Digital Elevation Model, DEM), sebagaimana prosedur yang telah dipakai oleh El-Awar, (2001) dalam Munir, A. et al. (2000).
24
Fakto C: Nilai C bervariasi dari 0 to 1. Faktor C yang ditentukan adalah pada pertanaman semusim, tampa pengolahan, dan tanaman sayuran dan hortikultura. Faktor konservasi P : Faktor P akan ditentukan dengan menggunakan rumus yang dijelaskan pada persamaan berikut (Williams and Bemdt ,1972 dalam Munir A and Abdullah, N. , 2003). P = 1.0 x SR + 0.30 SRWW + PT x T
…..
(2.12)
Di mana P = Faktor konservasi, SR = porsi DAS dengan pertanaman melintang kontur, SRWW = porsi DAS dengan pertanaman rumput dan saluran berumput, PT
=
porsi DAS dengan terrasering (termasuk luas
areal), dan T porsi DAS yang diteras.
25
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian berlokasi di DAS Jeneberang hulu yang mencakup dua wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Parangloe dan Kecamatan Tinggimoncong (Gambar 3.1). Daerah Aliran Sungai (DAS) Jeneberang didominasi pertanian lahan kering seluas 29.334 hektar (47,52 persen). Lahan semak belukar lebih luas dari hutan, yakni 12.530 hektar (20,3 persen). Ketimpangan ini menyebabkan laju erosi menuju Bendungan Bilibili membengkak tiap tahun (Arsyad, U,. 2010).
Gambar 3.1. Lokasi Penelitian
B. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Global Positioning System (GPS) 2. Citra daerah DAS Jeneberang multi temporal (Tahun 2000 – 2010) 26
3. Data dan peta-peta penunjang: Data Curah Hujan Data Sosial Ekonomi Peta Rupa Bumi Peta jenis tanah 4. Software: Arcinfo dan Arcview 3.3 beserta ekstensi yang dibutuhkan Mathematica Wolfram versi 8 for student ILWIS Open Source untuk pengolahan citra
C. Prosedur Penelitian Tahapan-tahapan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Pembuatan peta curah hujan, prosesnya sebagai berikut: Data curah hujan dimasukkan dalam pengolah data spasial, selanjutnya diinterpolasi grid untuk membuat DEM (digital elevation model). Interpolasi data hujan di masing-masing stasiun untuk mendaptkan grid kontinyu data hujan yang selanjutnya dapat dibuat peta isohyet. Proses di atas akan menghasilkan peta penyebaran pos penakar hujan yang berbentuk titik (feature point). Peta penyebaran pos penakar hujan berisikan data tabular tentang nama pos penakar curah hujan, titik koordinat pos penakar curah hujan, curah hujan bulanan, rata-rata curah hujan tahunan. Membuat garis kontur isohyet curah hujan, dengan memanfaatkan ekstensi Spasial Analysist dari Arcview (menu surface dan sub menu Create Contours). Hasil dari proses ini akan dihasilkan peta garis isohyet curah hujan bulanan hingga tahunan. 2. Peta penggunaan lahan hasil interpretasi, dibuat dalam bentuk grid. Hal ini untuk memudahkan simulasi CA. Untuk keperluan ini, dibutuhkan extension ArcView yaitu : ArcInfo Plus, Edit Tools dan Xtools 3. Membuat simulasi perubahan penggunaan lahan dengan metode CA berdasarkan aturan perubahan penggunaan lahan 27
4. Membuat peta unit lahan dengan cara tumpang susun (overlay) peta lereng, curah hujan, tanah dan penggunaan lahan hasil simulasi. 5. Menentukan laju Erosi yang prosesnya digambarkan pada bagan berikut:
Gambar 3.2. Skema penentuan Laju Erosi 6. Menerapkan skenario perubahan penggunaan lahan untuk mereduksi erosi dan menentukan hasil sedimentasi. Perumusan dilakukan dengan menerapkan aturan yang dimasukkan dalam model CA. 7. Uji validasi dilakukan dengan membandingkan hasil-hasil penelitian pada lokasi yang sama untuk waktu sebelum 2011. Untuk tahun setelah 2011 dilakukan cek lapang. Skema pelaksanaan penelitian ditunjukkan pada gambar 3.3.
28
Data Spasial (Grid)
Konversi ke data atribut (State) Tetapkan jumlah iterasi; Terapkan aturan
Program Simulasi CA
Ubah data spasial
Sesuai data Pembanding
T
Lakukan iterasi
Y Simulasi Sedimentasi
Evaluasi Laju Sediment
T
Laju sediment sesuai yang diharapkan ?
Y Selesai
Gambar 3.3. Skema penelitian
29
DAFTAR PUSTAKA Amien,A.M., 1989. SIESDAL-Sistem Informasi dan Evaluasi Sumberdaya lahan, Versi 1.0, Pusat Studi Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang. Arai K, Basuki A, 2010. Simulation Of Hot Mudflow Disaster With Cell Automaton And Verification With Satellite Imagery Data. International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Science, Volume XXXVIII, Part 8, Kyoto Japan Aronoff, S. 1989. Geographic Information Systems: A Management Perspective. WDL Publications, Ottawa, Canada. Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor. IPB Press. Arsyad, U. 2010. Analisis Erosi pada berbagai Tipe Penggunaan Lahan dan Kemiringan Lereng di DAS Jeneberang Hulu. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Asdak, C. 2010. Hidrologi dan pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Bandini S and Pavesi G. 2002. Simulation of Pesticide Percolation in the Soil Based on Cellular Automata. Proceedings of the 1st Biennial Meeting of the iEMSs Vol. 3. pp. 342 Bandini, S, Manzoni, S, Naimzada A, and Pavesi, G.2004. A CA Approach to Study Complex Dynamics in Asset Markets. Proceedings 6th International Conference on Cellular Automata for Research and Industry, ACRI 2004, Amsterdam, The Netherlands, October 25-27, 2004. pp. 608 Barredo J.I, Kasanko M, McCormick N, and Lavalle C. 2003. Modelling dynamic spatial processes: simulation of urban future scenarios through cellular automata. ELSEVIER. Landscape and Urban Palnning 64, pp. 145-160 Benenson Itzhak and Torrens Paul M, 2003. Geographic Automata Systems: A New Paradigm for Integrating GIS and Geographic Simulation, Paper. http://www.geosimulation.org/papers. Diakses Tahun 2009 Berjak S.G., and Hearne,J.W., 2002, An improved cellular automaton model for simulating fire in a spatially heterogeneous Savanna system. 30
ELSEVIER, Ecological Modelling 148. pp.133–151 Burrough, P.A. (1986) Principles of Geographical Information Systems for Land Resources Assessment. Clarendon Press, Oxford University Press, New York. Cover Thomas M. and Thomas Joy A. 1991. Elements of Information Theory. John Wiley & Sons, Inc. Newyork Cruz Rex Victor O, 1999. Integrated Land Use Planning And Sustainable Watershed Management, Journal of Philipine Development. Number 47,Voluame XXVI, No. 1. pp. 27-49 Daels L and Antrop, M., 1977. The extraction of soil information from remote sensing documents, pedologie, 27, 2, pp. 123-190 Fares Ali, 2010. Watershed Management for Sustainability in Tropical Watershed: An Integrated Hydrologic Modeling Approach. In: Sustainability Sceince for Watershed Landscapes. ISEAS Publishing. Singapore. Freiwald U and Weimer J.R., 2002. The Java based cellular automata simulation system-JCASim. ELSEVIER. Future Generation Computer Systems 18. pp. 995-1004 Fu Guobin, Chen Shulin and McCool Donald K. 2006. Modeling the impacts of no-till practice on soil erosion and sediment yield with RUSLE, SEDD, and ArcView GIS. ELSEVIER. Soil and Tillage Research 85. pp. 38-49 Gardner, M. 1970. Mathematical games: The fantastic combinations of John Conway's new solitaire game life. Scientific American 223. pp. 120 – 123 Gunawan T., 1991. Penerapan Teknik Penginderaan Jauh untuk Menduga Debit Puncak Menggunakan Karakteristik Fisik DAS. Disertasi, Fakultas Pascasarjana, IPB, Bogor. Hardjowigeno S, 2007. Ilmu Tanah. Penerbit Akademika Pressindo: Jakarta Hegde N.P, Muralikrishna I.V., Chalapatirao K.V., 2008. Settlement Growth Prediction Using Neural Network And Cellular Automata. Journal of Theoretical and Applied Information Technology (JATIT), Vol. 4. No.5 . pp. 419-428 Hoaward, John.A., 1991. Remote Sensing of Forest Resources, Theory and Aplication, Terjemahan oleh: Hartono, Dulbahri, Suharyadi, Projo 31
Danoedoro, Retnadi Heru Jatmiko, Penyunting: Sutanto, Cetakan pertama, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hrissanthou Vlassios, 2005. Estimate of sediment yield in a basin without sediment data. ELSEVIER. Catena 64. pp. 333-347 Karafyllids, I and Thanailakis A. 1997. A model for predicting forest fire spreading using cellular automata, Ecological Modelling 99. pp. 87-97. Karsidi, A., 2004. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Dinamis dengan Sistem Informasi Geografis Berbasis Markov Cellular Automata. Dalam Buku: Menata Ruang Laut Terpadu, Cetakan Pertama, Pradnya Paramita, Jakarta. Karsidi, A., 1995. Pembangunan Basis data dalam Konteks Operasionalisasi Sistem Informasi Geografis, Makalah, Seminar Nasional Operasionalisasi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Penanganan Data Dasar Pembangunan dalam Pembangunan Jangka Panjang II, BEM Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada berkerja sama dengan PUSPICS UGMBAKOSURTANAL, Yogyakarta. Lias, S.A. 2002. Model Pengembangan Tata Guna Lahan Untuk Mempertahankan Kapasitas Waduk Bili-Bili Di Sub DAS Jeneberang Sulawesi Selatan. Tesis Program Pasca Sajnan Unhas, Makassar. Lillesand, T.M and R.W. Kiefer., 1994. Remote Sensing and Image Interpretation, Third Edition, John Wiley and Sons Inc., New York. Manson, S.M., 2005. Agent-based modeling and genetic programming for modeling land change in the Southren Yucatan Peninsular Region Mexico. ELSEVIER. Agriculture Ecosystem and Environment 111. pp. 47-62 Matthews, R., 2005. 25 Big Ideas: The Science that's Changing Our World. Oneworld Publication, Oxford Mekonnen M and Melesse A.M. 2011. Soil Erosion Mapping and Hotspot Area Identification Using GIS and Remote Sensing in Northwest Ethiopian Highlands, Near Lake Tana. Nile River Basin Hydrology, Climate and Water Use. Springer Dordrecht Heidelberg London New York Morgan, R. P. C, 2005. Soil erosion and Conservation., Blackwell Publishing Ltd. 3rd ed. USA Munir, A., N. Abdullah.,. 2003. Development of an interactive embeddable 32
Geographic Information System (E-GIS) for soil erosion, IAHS Publ. no. 279, pp. 171-198. Munir, A., N. Abdullah., and T. Martuni. 2000. Application of Geographic Information System (GIS) for assessment of land use risk on sediment yield. Journal of Agriculture, Kyushu Univ. Japan, ed no. 44 (3-4) 2000, pp. 463-471. Mutual, B.M. and Klik, A., 2006, Estimating Spatial Sediment Delivery Ratio on a Large Rural Catchment. Journal of Spatial Hydrology Vol.6, pp. 64-80 Onyando, J.O., Kisoyan, P., Chemelil, M.C., 2005. Estimation of Potential Soil Erosion for River Perkerra Catchment in Kenya, Water Resources Management Vol. 19, No. 2. Pp. 133–143 O’Sullivan David and Torrens Paul M. 2000, Cellular Models of Urban Systems. Centre for Advanced Spatial Analysis University College. London. http://www.casa.ucl.ac.uk. Diakses 2009 Park Soohong, 1996. Integration of Cellular Automata and Geographic Information System for Modeling Spatial Dynamics. Degree of Doctor of Pylosophy. Departement of Geography, University of South Carolina. Roehl J. E. (1962) Sediment source areas, and delivery ratios influencing morphological factors. Int. Assoc. Hydro. Sci. Publ. 59, 202-213. Schowengerdt R.A., 2007 . Remote Sensing: Models and Methods for Image Processing. Third Edition. Academic Press is an imprint of Elsevier. USA Shannon C.E., 1948. A Mathematical Theory of Communication, University of Illinois Press. Sietchiping Remy, 2004. A Geographic Information Systems and Cellular Automata-Based Model of Informal Settlement Growth. Degree of Doctor of Philosophy School of Anthropology, Geography and Environmental Studies The University of Melbourne Sipper M., 1998. Computing with cellular automata: Three cases for nonuniformity. Physical Review E, Volume 57, No. 3. pp. 3589-3592 Sipper M and Tomassini M, 1999. Computation in artificially evolved, nonuniform cellular automata. ELSEVIER, Theoritical Computer Scence 217, p.81-98 Sirakoulis G.Ch., I, Karafyllidis A, Thanailakis, 2000. A Cellular Automata 33
Model for the Effects of Population Movement and Vaccination on Epidemic Propagation, Ecological Modelling. Skole, D and Tucker, C. 1993. Tropical deforestation and Habitat Fragmentation in the Amazon: Sattelite Data from 1978 to 1998. Science. Vol. 260. pp. 1905-1910 Steinigera S and Hay G.J, 2009. Free and Open Source Geographic Information Tools for Landscape Ecology. Ecological Informatics. Version 4th July 2009. Sutanto., 1994. Penginderaan Jauh, Jilid I, Cetakan ketiga, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Tissera, P.B., Printista, M., and Errecalde, M.L. 2007. Evacuation Simulation using Cellular Automata. Journal of Computer Science & Technology (JCS&T), Vol. 7, No. 1. pp. 14-20 Toffoli T., Margolus N. 1987., Cellular Automata Machines: A New Environment for Modeling, The MIT Press, Cambridge, Massachussetts Torres, A.S, Vojinovic Z, Price, R. 2010. Planning Urban Water Systems: Modeling Using Cellular Automata And Numerical Models. 9th International Conference on Hydroinformatics. Tianjin China. Torrens, Paul M. (2009). Cellular automata, in: Kitchin, Rob and Thrift, Nigel (Eds.), International Encyclopedia of Human Geography, London: Elsevier, pp. 1-4. Torrens Paul M. and Benenson Itzhak, 2005. Geographic Automata Systems. International Journal of Geographical Information Science, Vol. 19, No. 4, 385-412. April . von Neumann, J., 1966, Theory of Self-Reproducing Automata, edited by A. W. Burks (University of Illinois, Urbana). Wang X, Shang S, Yang W, Clary C.V and Yang D. 2010. Simulation of land use-soil interactive effects on water and sediment yields at watershed scale. ELSEVIER. Ecological Engineering 36. pp. 328-344 Weisstein, Eric W. 2002. CRC Concise Encyclopedia of Mathematics. Chapman & Hall/CRC, 2nd edition. Wischmeier, W.H. and Smith, D.D., 1962. Soil loss estimation as a tool in soil and water management planning. International Association of Scientific Hydrology. Pub. No. 59, pp. 148-159 34
Wischmeier, W.H. and Smith, D.D., 1965. Predicting Rainfall Erosion Losses from Cropland East of the Rocky Mountains – Guide for Selection of Practices for Soil and Water Conservation. Agriculture Handbook No. 282, US Department of Agriculture, Washington, DC. Wischmeier, W.H. and Smith, D.D., 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses – Guide to Conservation Planning. Agriculture Handbook No. 537, US Department of Agriculture, Washington, DC. Wolfram, S. 2002. A New Kind of Science. Champaign, Illinois: Wolfram Media, Inc. Wolfram, S. 1994. Cellular automata and complexity: collected papers. Reading, MA:Addison-Wesley. Wolfram, S. 1986. Theory and Applications of Cellular Automata. Singapore: World Scientific. Wolfram, S. 1984. Cellular automata as models of complexity. Nature, 311, pp. 419-424. Wolfram, S. 1983. Statistical mechanics of cellular automata. Reviews of Modern Physics 55. pp.601–644.
35