Seni Rupa dalam Perspektif Metodologi Penciptaan: Refleksi atas Intuitif dan MetodisStudi Kasus
Mujiono
SENI RUPA DALAM PERSPEKTIF METODOLOGI PENCIPTAAN: REFLEKSI ATAS INTUITIF DAN METODIS Mujiyono (Penulis adalah Dosen Jurusan Seni Rupa FBS UNNES, Magister Seni, Alamat: Desa Bango, Demak, Jateng, dan Email:
[email protected])
Abstrak Penciptaan karya seni rupa baik yang intuitif dan metodis pada hakikatnya merupakan sebuah kerja ilmiah. Keduanya telah melewati prosedur tahapan metodologis mulai dari penetapan subjek dan objek penciptaan, landasan teoretik atau empirik sampai mencakupi metode-metode penciptaan yang dibarengi dengan teknik dan cara-cara untuk mewujudkannya. Intuitif dan metodis adalah konsep yang muncul ketika dalam proses kreatif terdapat kecenderungan dua tipikal yang cara kerjanya kontras. Intuitif lebih spontan sedangkan proses kreatif metodis lebih prosedural dan terencana. Keduanya adalah dua tipe metode proses kreatif yang berada pada tataran hardware. Sebuah komponen alat yang memandu kegiatan penciptaan karya secara operasional. Di sisi lain, baik metode intuitif maupun metodis dipandu oleh perangkat atau alat metodologis yang lebih tinggi tingkat abstraknya, yakni paradigma, pendekatan, dan teori. Komponen alat tersebut sebagai software karena sifatnya menggerakkan alat yang bersifat hardware yang lebih operasional, yakni metode, teknik, dan cara berkarya. Kata Kunci: metodologis, paradigma, metode, dan intuitif.
Pendahuluan Pembicaraan seni rupa biasanya didominasi oleh aspek tipologi produk, bentuk, formal dan konteksnya. Tipologi membahas pengklasifikasian bentuk dan jenis seni rupa berdasarkan material, teknik, dan gaya. Pembahasan konteks membicarakan perkembangan seni rupa yang tidak bisa dilepaskan dari situasi waktu dan tempat karya itu dilahirkan. Kondisi yang terjadi dalam pembahasan intelektual dalam ilmu seni jarang menyentuh aspek epistemologis atau metodologisnya. Mungkin, karena bersifat praktis, wilayah ini tidak menjadi cakupan ilmu seni akan tetapi dipasrahkan pada pelakunya itu sendiri yaitu seniman. Pembahasan lebih sering diarahkan ke sisi ontologis dan aksiologisnya yaitu untuk membahas hakikat dan respon atas seni. Oleh karena itu bermuncullah ilmu estetika, sejarah seni, dan kritik seni. Membahas metodologi setidaknya memberi pencerahan sebuah proses lahirnya sebuah seni. Hal ini menjadi relevan, jika
selama ini banyak kecurigaan bahwa seni rupawan di Indonesia disinyalir mengadopsi bentuk seni rupa mancanegara. Mereka sangat terinspiratif perbentukan visual dari luar tanpa pemahaman metodologisnya. Apalagi seiring kemudahan informasi dan merebaknya paham yang membebaskan semua gaya saling campur dan comot dalam era seni sekarang. Sebaliknya, menurut Gustami (2006) terdapat banyak keengganan untuk mengeksplorasi, mengkaji, dan merumuskan ide dasar penciptaan dan metodologi proses kreatif seniman bersangkutan. Akibatnya, keunggulan karya seni rupa Indonesia terkadang masih sering diperdebatkan karena kurangnya dukungan data ilmiah. Kriterianya hanya sampai pada indikator craftmanship-nya sehingga secara langsung maupun tidak langsung dapat menurunkan bobot estetiknya juga. Metodologi penelitian pada seni telah memperoleh bentuk yang jelas. Salah satu di antaranya adalah, ketika seseorang akan
Vol. VI No. 1 Januari 2010
75
Mujiono
Seni Rupa dalam Perspektif Metodologi Penciptaan: Refleksi atas Intuitif dan Metodis
mengkaji sebuah seni maka dapat menggunakan paradigma atau landasan teoretik ikonografi, formalisme, kontekstual, biografi, semiotik, kontekstual, dan psikoanalisis (Adam 1996). Sebaliknya, metodologi penciptaan terkadang masih jauh untuk dapat dianggap sebagai ilmu, karena salah satu persoalannya adalah terjadinya polarisasi proses kreatif yang metodis dan intuitif. Seni metodis telah memperoleh apresiasi sebagai karya seni ilmiah karena sifatnya yang jelas dan prosedural. Namun sisi lain, seni intuitif terkadang kurang dianggap sebagai hasil karya ilmiah. Argumennya adalah tidak melewati proses metodis, serta merta, dan tidak terencana. Bahkan orang yang bukan seni pun terkadang dianggap dapat menghasilkan seni. Hal ini menjadi penting, karena seni intuitif juga telah “digdaya” selama ini. Tulisan ini mencoba membentangkan analisis bahwa seni intuitif juga sebuah karya ilmiah karena menggunakan alur metodologis yang jelas. Oleh sebab itu, penulis memfokuskan komparasi antara yang intuitif dan metodis dalam sisi metodologisnya. Pemahaman konseptual metodologi penciptaan seni rupa paling tidak mampu memberikan penawaran bekal teoretik dan aplikatif untuk eksplorasi penciptaan tidak hanya bagi praktisi (seniman), namun juga akademisi. Harapannya muncul seni yang mampu meningkatkan seni lebih kreatif dengan memainkan kemungkinankemungkinan material, paradigma baru, pendekatan baru, metode baru melalui alur-alur atau langkah yang ilmiah, logis, dan metodis sehingga dapat dinikmati secara visual dan konseptual. Akhirnya, bermunculah seni yang inovatif sehingga secara tidak langsung mampu mengangkat derajat keunggulan seni itu sendiri.
76
Metodologis Secara keseluruhan proses penciptaan seni memiliki kemiripan dengan proses penelitian untuk memperoleh kebenaran. Penelitian terdiri tahapan merumuskan masalah, mencari hipotesis, mengumpulkan, menganalisis, memverifikasi data dan menyimpulkan. Semua tahapan tersebut dapat dilaksanakan dengan sistem metodologis. Proses penciptaan seni baik yang intuitif dan metodis sebenarnya juga melakukan kerja demikian. Sebuah produk seni rupa tidak serta merta lahir tetapi melewati berbagai proses pendahuluan. Ia merupakan hasil sebuah renungan berpikir sebagai hasil impuls dari kondisi di sekitar seniman itu sendiri. Kehadiran impuls-impuls tersebut bagi seniman dijadikan sebagai tantangan estetik, material atau solutif akan masalah. Konsekuensinya akan menuntut tipe metodologis yang berbeda pula. Pada proses penciptaan seni, kreator dapat bermula dari teori untuk mengembangkan atau menolaknya. Teori dalam hal ini, lebih bersifat sebagai puncak estetik atau standar estetik. Kreator lain dalam mencipta juga tidak harus demikian. Dia tidak peduli kehadiran teori tersebut. Kerja demikian juga sebenarnya telah berparadigma dan bermetodologis yang jelas. Pada aspek tersebut, kerangka pembicaraan diarahkan untuk lebih meyakinkan bahwa sebuah proses kerja intuitif yang selama ini dianggap tidak metodis sebenarnya juga merupakan kerja ilmiah. Sebagai bagian dari karya ilmiah, kehadirannya setara dengan ilmu pengetahuan. Berikut ini adalah paparan perangkat kerja metodologisnya untuk membuktikan kesejajarannya dengan proses kreatif yang metodis. Secara garis besar, proses kreatif intuitif itu berbeda dengan sebuah proses kerja metodis jika dan hanya jika dalam tahapan metode. Seorang seniman
Vol. VI No. 1 Januari 2010
Seni Rupa dalam Perspektif Metodologi Penciptaan: Refleksi atas Intuitif dan MetodisStudi Kasus
dihadapkan pada pilihan metode spontan (serta merta) atau terencana. Saat tersebut adalah tahapan pemilihan metode dalam rangka visualisasi ide. Kedua metode tersebut telah berada dalam wilayah operasional. Kedua tipe tersebut dapat bergerak atau dioperasionalkan karena menyesuaikan instruksi dari perangkat yang lebih abstrak yaitu paradigma, pendekatan, dan teori dalam keseluruhan proses penciptaan yang beralur logis. Secara etimologis, metodologi berasal dari kata methods dan logos, yaitu filsafat atau ilmu mengenai metode. Metodologi dengan demikian membahas prosedur intelektual dalam totalitas komunitas ilmiah (Ratna 2009:34). Prosedur yang dimaksud adalah keseluruhan proses penciptaan. Mulai dari pencarian subjek penciptaan, penetapan objek penciptaan, pencarian landasan teoretik atau pengalaman empirik sampai mencakupi metode penciptaan yang dibarengi eksplorasi teknik, bahan dan akhirnya ke produk seni rupa. Dalam setiap proses penciptaan yang ilmiah, faktor metodologis terdiri dari perangkat paradigma, pendekatan, termasuk teori, metode, dan teknik sebagai alat atau cara berkarya. Metodologis jelas mengimplikasikan metode, tetapi metodologi bukanlah kumpulan metode dan juga bukan deskripsi mengenai metode tersebut. Berbeda dengan metode, metodologis tidak berkaitan dengan teknikteknik penciptaan, melainkan dengan konsepkonsep dasar logika penciptaan secara keseluruhan. Ketika paradigma, pendekatan, dan teori telah ditetapkan akan menuntut suatu metode yang khas. Begitu juga ketika metode ditetapkan, akan menuntut teknik dan cara tertentu pula. Sebagai contoh, setiap produk seni rupa di berbagai daerah di Indonesia memiliki keberagaman jenis dan teknik karena filosofis atau paradigmanya juga berbeda. Begitu juga, era sekarang, setiap atau antar
Mujiono
seniman dari berbagai kurun waktu sebenarnya memiliki karakteristik yang berbeda-beda dalam metodologisnya. Penyebabnya, dasar dan cara pemahaman, serta bagaimana prosedur pemahaman tersebut dibangun, jelas berbeda. Paradigma, Pendekatan, dan Teori Paradigma memiliki cakupan yang luas, baik dalam dunia ilmiah maupun non-ilmiah, maka pembicaraan ini hanya membatasi perkembangannya dalam dunia ilmiah. Paradigma adalah cara pandang berpikir terhadap sesuatu. Oleh Ritzer (dalam Salim 2006:63), seseorang yang memiliki paradigma berarti akan memiliki dasar-dasar pokok pemahaman akan sebuah objek penciptaan tertentu. Dalam kasus seni rupa, paradigma bisa berupa pengetahuan, konsep–konsep seni seperti modern, posmodern, positivisme maupun kritisisme, serta akumulasi pengetahuan dan pengalaman estetik dan artistik. Ketika paradigma ditentukan sejak awal, maka akan berpengaruh terhadap pendekatan yang akan digunakan. Paradigma dengan demikian mendahului, mengkondisikan seniman, ke arah mana pendekatan penciptaan diarahkan, dan bagaimana teori, metode, teknik dan proses selanjutnya. Pendekatan adalah sama dengan metode, yakni sebuah jalan atau cara dalam menggapai sesuatu. Pendekatan lebih bersifat abstrak daripada metode namun tingkatannya di bawah paradigma. Pada pendekatanlah sebuah metode-metode dapat dioperasionalkan. Ketika berkarya seni, maka seniman apapun gayanya sebenarnya telah menetapkan paradigma. Ketika seniman berkarya, maka sebenarnya ia telah berparadigma. Ia mampu berparadigma karena telah memiliki sejumlah wawasan, penguasaan teknik, dan
Vol. VI No. 1 Januari 2010
77
Mujiono
Seni Rupa dalam Perspektif Metodologi Penciptaan: Refleksi atas Intuitif dan Metodis
pengalaman-pengalaman artistik dan estetik. Secara psikologis, konsep-konsep yang mendukung lahirnya peradigma tertentu dalam diri subjek pada dasarnya telah ditanamkan sejak usia dini, yang kemudian memiliki pola-pola tertentu setelah subjek duduk di bangku sekolah. Dari paradigma tersebut maka dilahirkan pendekatan dalam proses penciptaan. Pendekatan ibaratnya adalah sebuah cara atau hampir sama dengan metode namun tingkatannya lebih abstrak. Keberadaannya ditentukan oleh jalinan yang tunggal atau ganda atas berbagai sudut pandang. Pendekatan dapat monodisiplin atau multidisiplin. Ketika dilakukan eksplorasi ide sebagai bentuk upaya untuk menentukan objek atau tema yang akan diangkat sebagai persoalan, sesungguhnya adalah proses yang berparadigma. Hal tersebut sangat tergantung muatan-muatan konsep yang telah membentuk kesadaran pada seniman. Objek penciptaan akan ditemukan dari subjek–subjek realitas tersebut. Subjek penciptaan adalah sebuah realitas eksternal maupun internal yang dijadikan inspirasi utama. Hasil momentum estetik dari subjek penciptaan utama tersebut kemudian disinkronkan dengan subjek-subjek lainnya atau realitas lainnya yang dapat meliputi kondisi internal, kondisi eksternal, acuan teoretik, dan acuan visual untuk melahirkan tema atau ide secara lebih matang. Tema yang dihasilkan tersebutlah yang merupakan objek penciptaan untuk dan akan divisualkan ke dalam karya. Sinkronisasi keempat subjek tersebut merupakan sebuah aktivitas yang saling berkait, menyatu, dan tidak terpisahkan. Menurut Sumardjo (2000:73-75) tahapan tersebut dapat dimaknai sebagai objektivikasi. Hasil sinkronisasi atau objektivikasi tersebut sebelum diekspresikan terlebih dahulu dijadikan objek, diatur, dikelola, dan diendapkan sehingga akhirnya dapat menjadi
78
pengalaman universal. Perasaan sebelum diekspresikan adalah sebuah kualitas emosi individu yang telah berjarak dengan seniman atau diobjektivikasi untuk dapat dihayati penikmat. Berparadigma berarti mensinkronkan keempat subjek tersebut yang meliputi kondisi internal, kondisi eksternal, acuan teoretik, dan acuan visual. Pertama, kondisi internal merupakan aspek bekal yang utama dalam penentuan ide. Kondisi internal meliputi kondisi psikologis, kepribadian, dan karakter-karakter estetik personal. Seniman yang berparadigma dari muatan kondisi insternal ini biasanya menghasilkan seni otonom bukan untuk melayani kepentingan lain. Kedua, kondisi eksternal yang turut juga mempengaruhi paradigma penciptaan meliputi persoalan politik, sosial, dan budaya di luar diri seniman. Atas dasar itu, biasanya banyak seniman yang lebih bereaksi adaptif dengan memilih atau menetapkan karya yang berjenis simbolik dengan mengaitkan persoalan-persoalan tersebut. Ketiga, data lapangan. Sesuai apa yang dikatakan Gustami (2004:13-15) untuk mendapatkan ide yang matang perlu pengamatan lapangan. Data lapangan terkadang juga dapat menjadi sumber inspirasi karena kekhasannya dalam tampilan visual maupun emosi yang terekspresikan secara alami tersebut. Dengan meluluhkan empati, seniman akan masuk ke realitas tersebut sehingga terjadi proses penghayatan dan penyelaman yang lebih mendalam. Hasilnya adalah sebuah rasa-rasa khas yang menggetarkan. Pada dasarnya, proses ini tidak hanya dilakukan dalam sekejap namun telah menjadi endapan akibat rutinitas pengalaman sehari-hari seniman terhadap alam tersebut. Namun untuk meneguhkan dan meyakini kembali terkadang seseorang seniman harus mengamati secara langsung, agak lama, dan secara periodik.
Vol. VI No. 1 Januari 2010
Seni Rupa dalam Perspektif Metodologi Penciptaan: Refleksi atas Intuitif dan MetodisStudi Kasus
Keempat, data pustaka diperoleh dengan menggali buku-buku seni, internet dan majalahmajalah seni rupa. Penggalian data pustaka untuk komparasi, penguatan, sekaligus dapat juga sebagai penolakan atas keberadaan suatu teori. Harapannya, bentuk visualisasi yang berbeda dan otentik semakin besar peluangnya karena telah terpetakan. Kemudian penguatan, jika karya yang dicipta berusaha menggunakan teori tersebut sebagai landasan penciptaan. Karya ini lebih mengintensifkan keunggulan suatu kriteria estetik dari teori tersebut. Begitu juga, terdapat proses kreatif yang berusaha melakukan penolakan atas teori. Hal demikianlah yang melahirkan bentuk-bentuk seni avant garde. Teori merupakan kumpulan konsep yang sewaktu-waktu berubah sedangkan pandangan hidup seseorang relatif sangat sulit untuk berubah. Oleh karena itu, penggunaan teori sifatnya sementara sedangkan paradigma akan relatif lebih lama. Proses kreatif seni yang dilakukan intuitif dan metodis juga tetap berlandaskan pada teori. Namun penggunaannya sangat menyesuaikan dan mempertimbangkan aspek paradigma, lalu pendekatan terlebih dahulu. Penelusuran teori tersebut dilakukan secara integratif antara proses memahami, menafsirkan teori sambil merelasikan, mensinkronkan bahkan mengkomparasikan dengan paradigma awal. Keberadaan teori tersebut terkadang difungsikan sebagai tumpuan utama dan juga penolakan dalam proses karya. Dapat sebagai verifikasi atas langkah-langkah yang metodis dan dapat juga sebagai main frame atau koridor untuk meretas jalan atau langkah yang lebih baru dan kreatif. Bahkan juga hanya sebatas stimulus melahirkan tipologi langkah yang lebih individual. Tujuannya agar dapat terselip kesadaran akan gagasan gaya, bentuk, dan cara pengungkapkan subject matter secara unik dan otentik.
Mujiono
Metode Metode berasal dari kata methodos dalam bahasa Latin, sedangkan methodos itu sendiri berasal dari akar kata meta dan hodos. Meta berarti menuju, melalui, sedangkan hodos berarti jalan, cara, atau arah. Dalam pengertian yang lebih luas, metode dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk memecahkan suatu masalah (Ratna 2009:34). Ketika ekspresi sebagai bentuk pengungkapan perasaan atau pernyataan terdalam ke dalam wujud yang bisa diamati maka proses pewujudannya membutuhkan metode dan teknik (Hospers 1982:192). Jika dalam penelitian teori berkaitan dengan data skunder, maka metode dan teknik lebih berurusan dengan material dan alat berkarya. Dalam konteks inilah, para intelektual seni sering menganggap ada metode yang bersifat metodis dan non-metodis (intuitif) dalam penciptaan seni rupa. Metodis adalah proses kreatif yang dilakukan melalui seperangkat alat dan cara-cara yang terukur. Seniman melakukannya mulai dari research lapangan, meramu data, dan akhirnya menyimpulkan, hingga ada anggapan bahwa metodis adalah yang lebih banyak menggunakan kekuatan pikir. Metodis seringkali dipadankan dengan kerja logika. Kerja logika biasanya hasilnya lebih matematis dan cenderung formalistik (Widagdo 2006 ). Sebagai avant-garde Seni Rupa modern tahun 1907-1912 Pablo Picasso telah merombak konsep lukisan dua dimensional dengan menghapuskan konsep perspektif, bidang menjadi saling bersilang dan bertumpuk dan titik pandang (viewpoints) lebih dari satu sudut (gbr.1). Konsep menginterpretasikan realitas baru ini sering dijajarkan dengan temuan-temuan Einstein tentang realitas ruang dan waktu (Widagdo 2006:188). Karya Piccaso
Vol. VI No. 1 Januari 2010
79
Mujiono
Seni Rupa dalam Perspektif Metodologi Penciptaan: Refleksi atas Intuitif dan Metodis
tersebut dapat digolongkan sebuah kerja yang metodis. Metodis karena secara keseluruhan telah menetapkan-menetapkan perancangan dari paradigma, pendekatan, dan teori. Hardware-nya adalah dengan menggunakan bentuk yang benar-benar telah dirancang. Sket-sket telah dibuat sebelumnya agar perbentukan sesuai yang direncanakan. Terjadinya error atau kesalahan hanyalah sedikit sekali. Karena secara operasional semua telah dikonsep atau direncanakan. Picasso lebih asyik bagaimana memecah figur menjadi faset-faset geometris. Semuanya dipertimbangkan secara masak agar mampu mewakili dan mengekspresikan gagasannya baik secara bentuk maupun konseptualnya. Proses nonmetodis adalah langkah penciptaan yang tanpa mempertimbangkan berbagai hal prosedural tetapi lebih berdasarkan pada intuisi semata-mata. Dalam proses eksternalisasi perasaan, penguasaan kualitas medium dan intuisi merupakan faktor penting. Menurut Croce (dalam Hospers 1982:195-198), intuisi yang lahir dari perasaan seseorang merupakan faktor pengendali bentuk artistik. Intuisi tidak datang sekejap tetapi merupakan akumulasi sejalan dengan tingkat pengalaman estetik seseorang. Pengerjaannya relatif lebih cepat, langsung tanpa melalui proses langkah yang harus sistematis. Bahkan, langkah tersebut kadang bercampur balik dan tidak bisa diduga. Atas beberapa pertimbangan tersebutlah, kegiatan intuitif oleh beberapa intelektual seni sering dikatakan sebagai non-metodis. Proses intuitif adalah langkah-langkah yang sifatnya sangat personal. Setiap seniman hampir memiliki sifat-sifat intuitif tersebut. Karena karakternya yang personal tersebut maka keberadaannya memiliki karakterkarakter yang unik pula. Jika hal tersebut telah menjadi rutinitas, maka langkah-langkah tersebut secara akumulatif dapat menjadi
80
metode yang jelas. Meminjam istilah linguistik, intuitif adalah bahasa parole dan metodis adalah langkah langue. Proses intuitif tersebut adalah sebuah langkah yang sudah memasuki wilayah tataran praktikal atau mikro. Namun dalam tataran makro, yaitu dalam posisi metodologis secara keseluruhan, yakni sebuah konsep dalam berproses yang telah memasuki wilayah operasional. Secara khusus, intuitif berada dalam tingkat metode. Dalam penelitian, metode adalah cara-cara memperoleh kebenaran yang dalam pelaksanaannya telah memasuki wilayah operasional. Hawkins (dalam Gustami 2004:13-15) menjelaskan bahwa metode penciptaan terdiri atas tahapan penciptaan berupa: (1) eksplorasi ide, (2) improvisasi/eksperimentasi, dan (3) pewujudan. Dalam konteks ini, intuitif sebenarnya telah berada dalam wilayah improvisasi/ eksperimentasi dan pewujudan. Kedua, dalam kerja intuitif meskipun mengandalkan pada kekuatan emosi untuk mencapainya diperlukan proses pengalaman estetik atau artistik yang cukup intens. Ia lebih menggunakan dimensi rasa. Seseorang yang telah melakukan proses eksplorasi akan lebih terasah intuitifnya. Kesemuanya memerlukan waktu kerja eksplorasi yang cukup. Untuk menentukan berhenti atau selesainya sebuah pewujudan karya semacam ini adalah sulit karena tidak ada kriteria objektif. Berbeda dengan karya metodis yang jelas ukurannya. Untuk menentukan selesai dan tidaknya sebuah karya metodis sudah ada kriteria formalitas yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan demikian, dalam setiap proses pekerjaannya sangat atau relatif dapat mendekati sesuai apa yang diharapkan. Ada pedoman atau acuan yang harus dipenuhi. Berbeda jika berkarya secara intuisi, pengalaman artistik saat berkarya dan pengalaman estetik dalam mengamati karyakarya sebelumnya adalah penentu selesai dan
Vol. VI No. 1 Januari 2010
Seni Rupa dalam Perspektif Metodologi Penciptaan: Refleksi atas Intuitif dan MetodisStudi Kasus
tidaknya sebuah karya tersebut. Oleh Hospers (1982:198), penentu tersebut adalah final artistic intuitions. Maka kemungkinan selesainya karya bisa terjadi secara tiba-tiba di awal, tengah atau akhir proses dari sesuatu yang diidealkan. Dengan demikian, parameter untuk menentukan mana pilihan yang terbaik, sekali lagi adalah melalui penajaman intusi dan kepekaan atau sensitivitas yang tinggi terhadap karya. Oleh karena itu, seniman kategori ini melakukannya secara empati maupun dengan cara menjaga distance terhadap karya agar objektivitas tetap terjaga. Ketiga, proses intuitif dalam penciptaannya juga tidak serta merta. Intuitif hanya pada tataran proses kerja atau hardware. Hardware adalah sebuah alat atau piranti keras karena langsung bersentuhan dengan material, bahan, dan alat secara fisik. Bagaimana pun, intuitif dilakukan setelah melalui proses metodologis yang lain. Secara sadar maupun tidak sadar, seniman telah menggunakan paradigma, pendekatan, teori dalam menetapkan subjek dan objek penciptaan. Alat tersebut adalah software karena merupakan piranti lunak yang bekerja dalam tataran abstrak. Berpedoman pada software tersebutlah, metode intuitif kemudian melakukan eksplorasi teknik dan material. Dengan demikian, kerja intuitif tetap menggunakan perangkat kerja yang bersifat teoretik dan praktis serta melalui langkah-langkah yang argumentatif dan logis. Pencarian data-data sekaligus penemuan-penemuan artsitik dilakukan secara berulang-ulang. Kemungkinan berhasil dan tidaknya terkadang silih berganti. Oleh karena itu, proses intuitif lebih mirip metode trial and error. Secara keseluruhan, metode intuitif benar-benar mengintegrasikan antara improvisasi dan pewujudan dalam satu kegiatan yang berjalan seiringan. Improvisasi sebagai bentuk perancangan benar-benar ditiadakan. Proses
Mujiono
pencarian atau eksplorasi bentuk potensial dan pewujudan menjadi satu kegiatan yang mengandalkan intuitif. Prinsip lainnya yang digunakan sebagai pedoman penciptaan adalah spontanitas dan nonformalistik. Dengan demikian, pemilihan karya yang sesuai dan tidak sesuai hanya dapat dilakukan setelah semua proses selesai secara total. Proses pewujudan merupakan penciptaan bentuk yang tidak berdasarkan pada rancangan atau sket-sket sebelumnya. Fungsi rancangan yang biasanya berfungsi patokan dasar komposisi, justru dapat menyebabkan gerak ekspresi intuitif menjadi terbatas. Tahap semacam ini menyangkut pencarian bentuk terbaik dengan menciptakan alternatif-alternatif pilihan visualisasi atas representasi ide yang telah terpilih sebelumnya. Oleh karena itu, pewujudan dengan tingkat kuantitas yang banyak adalah syarat mutlak untuk mendapatkan karya yang terbaik. Willem de Kooning (1904-1997) adalah pelukis kelahiran Belanda yang pindah ke Amerika Serikat. Sebelumnya dia bukan tokoh pertama dalam gerakan Abstrak Ekpresionisme. Namun demikian, secara intensif dia terus melakukan eksplorasi karya sehingga menjadi tokoh sentral dalam gerakan Abstrak Ekpresionisme (Arnason 1988:391). William de Konning memiliki paradigma untuk menolak kemampuan realistiknya. Oleh karena itu, ia mencoba untuk selalu mevisualisasikan paradigma tersebut. Ia mencoba pendekatan yang non- realistik dan bentuk yang acak dan tidak rapi (gbr. 2). Ia menolak teori-teori keindahan estetik yang realistik. Eksperimen yang dilakukannya sebagai bekal dalam inovasi teknik melukis dan selanjutnya agar dapat menghasilkan bentukbentuk yang baru dan unik. Setelah melewati proses tersebut, maka ia menggunakan metode yang benar-benar baru dalam berkaryanya. Dalam perjalanan estetiknya
Vol. VI No. 1 Januari 2010
81
Mujiono
Seni Rupa dalam Perspektif Metodologi Penciptaan: Refleksi atas Intuitif dan Metodis
untuk menemukan karakter yang sesuai, dia menggambar dengan mata tertutup atau menggunakan tangan kirinya untuk menolak kemampuan teknik yang dimilikinya dan menghindari peniruan akan citra sesuatu. Two figures in a Landscape adalah salah satu karya yang dibuat dengan menggunakan metode tersebut dalam proses kreatifnya. Dalam prosesnya, de Kooning kadang juga menciptakan tanda–tanda huruf yang enigmatik. Keberadaannya lebih sekadar sebagai stimulus untuk direspon ke bentukbentuk asosiatif selanjutnya. Teknik Dalam penciptaan seni rupa baik yang intuitif maupun yang metodis, akan dituntut teknik. Teknik berasal dari kata tekhnikos, bahasa Yunani yang berarti seni menggunakan alat. Sebagai perangkat, teknik lebih bersifat konkret karena secara fisikal langsung dapat diamati. Seseorang yang mengukir untuk memperoleh bentuk yang diinginkan akan menggunakan tatah yang bervariasi disertai teknik yang berbeda. Begitu pula, seseorang seniman dalam memegang kuas untuk membuat sunggingan pada wayang yang benar-benar bagus, maka dibutuhkan keterampilan teknis yang tinggi pula. Dengan demikian, teknik langsung berhubungan dengan material atau bahan, dan alat yang akan diolah. Secara ideal, teknik dalam kerja metodis berbeda dengan teknik dalam kerja intuitif. Praktiknya terkadang, dapat saling dipertukarkan untuk saling mendukung. Dalam metode yang metodis semua dilakukan perencanaan. Oleh karena itu, biasanya teknik yang dipakai mudah untuk dikendalikan, terukur, dan terkontrol. Dengan demikian, jika ada kesalahan dalam sebagian perjalanan kreatifnya dapat dilakukan pengubahan. Dalam kerja intuitif, terkadang sebuah gaya lukisan, misalnya abstrak ekspresionistik
82
di samping sebagai gaya identitas karya juga dapat digunakan sebagai teknik pewujudan untuk menerjemahkan ide menjadi sebuah karya (Hospers 1982:135-138). Dalam posisi inilah perbedaan metode dan teknik akan jelas perbedaannya. Abstrak ekspresionistik sebenarnya lebih tepat sebagai metode karena sifatnya yang lebih abstrak. Di sana mengimplikasikan teknik yang spontan. Dalam penciptaan ini, teknik yang digunakan lebih bertumpu pada spontanitas. Spontanitas merupakan aspek yang melingkupi seluruh proses pewujudan karya, mulai awal sampai akhir. Spontanitas adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan spontan. Oleh karena itu, proses ini dilakukan secara cepat, kehendak yang bebas, serta merta, tanpa dipikirkan atau direncanakan. Dengan demikian, pengambilan langkah-langkah eksekusi, seperti sabetan, goresan, dan sapuan kuas, hanya dipercayakan pada spontanitas dengan diiringi intuisi atau sensitivitas rasa. Berikut ini adalah karya Franz Kline yang memiliki sejarah dalam proses kreatifnya. Franz Kline dalam berkarya seni banyak menciptakan eksplorasi bentuk yang sangat bervariasi dan kadang tidak puas. Oleh sebab itu, kemudian secara tidak sengaja pada suatu hari, melakukan metode dengan memperbesar sket-sket hitam putihnya di kertas dengan menggunakan proyektor. Dia melihat implikasinya yaitu sebuah sket dengan ukuran yang besar, menjadi sebuah karya abstrak bebas yang menarik. Dalam menciptakan karya periode selanjutnya Franz Kline menggunakan metode tersebut, seperti tampak pada karya Untitled yang dibuat 1957 (Gbr.3) Dalam proses kreasinya lebih lanjut, Arnason (1988:391) mengatakan bahwa teknik yang digunakan adalah sesuai pernyataannya yaitu “Using cheap, commercial paints and housepainter brushes, Kline attacked large pieces of canvas
Vol. VI No. 1 Januari 2010
Seni Rupa dalam Perspektif Metodologi Penciptaan: Refleksi atas Intuitif dan MetodisStudi Kasus
attached to the walls of his studio”. Akhirnya, dengan teknik penciptaan tersebut, karyanya memiliki goresan yang tegas, kuat dan spontan memberikan efek dramatik, dinamik, dan ekspresif. Dari kenyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses kreatif yang bersifat intuisi adalah juga metodis. Setiap langkah penciptaannya mengikuti kerangka berfikir ilmiah yang bermula dari paradigma, pendekatan, metode, teknik, dan cara mengolah material. Terdapat metodologis yang jelas dan logis antara perumusan ide sampai pewujudannya. Kerja metodis dalam hal ini, tidak seketat apa yang ada dunia ilmu pengetahuan. Jika ilmu pengetahuan menganggap metodis adalah replicable dengan hasil yang benar-benar sama akurat ketika diulang, maka seni dalam praktiknya baik yang metodis maupun intuitif akan jelas sulit replicable seperti dalam ilmu pengetahuan karena adanya unsur ruh dan jiwa yang tidak akan bisa tetap. Penutup Berdasarkan hal-hal tersebut setidaknya, dapat disimpulkan mengenai persamaan antara proses kreatif intuitif dan metodis. Pertama, proses penciptaan yang menggunakan metode intuitif dan bekerja secara metodis termasuk kegiatan yang ilmiah karena dapat diuraikan setiap langkah yang telah dilakukan. Dapat diamati secara fisikal baik proses awal, tengah, maupun akhir, hingga dapat dilihat hasilnya. Kedua, tipikal metode tersebut pada dasarnya melewati prosedur tahapan ilmiah dari pencarian subjek dan objek penciptaan, pencarian landasan teoretik atau landasan dari pengalaman empirik berkarya, penggunaan metode yang diikuti teknik, dan cara mengolah material. Kesemuanya dilakukan dengan software yang meliputi
Mujiono
paradigma, pendekatan, dan teori dan kemudian diaplikasikan oleh hardware yang berupa metode, teknik, dan cara itu sendiri. Atas beberapa pernyataan tersebut, maka penciptaan yang bermetodologis sebenarnya akan turut pula membantu dalam peningkatan bobot estetiknya. Metode intuitif dan metodis dapat digunakan saling menjalin dan justru bukan untuk saling meminorkan karena keduanya memiliki kapasitas dan “kedigdayaan” yang sama pula. Daftar Pustaka Adams, LS. 1996. The Methodologies of Art an Introduction. New York: Harper Collins Publishers. Arnason, H.H. 1988. A History of Modern Art: Painting, Sculpture, Architecture, Phothography. Edisi Ketiga. London: Thames and Hudson. Gustami, Sp. 2004. Proses Penciptaan Seni Kriya: Untaian Metodologis. Yogyakarta: Program Pascasarjana S2 Penciptaan dan Pengkajian Seni ISI Yogyakarta. Gustami, Sp. 2006. Butir-Butir Mutiara Estetika Timur: Ide Dasar Penciptaan Seni Kriya Indonesia. Yogyakarta: Prasista. Hospers, J. 1982. Understanding the Arts. New Jersey: Englewood Cliffs PrenticeHall,Inc. Ratna, W.K. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Salim, A. 2006. Teori dan Paradigma dalam Penelitian Sosial. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana. Sumardjo, J. 2000. Filsafat Seni. Bandung: ITB Bandung. Widagdo, 2006. “Penelitian Bidang Seni Rupa” dalam Jaringan Makna Tradisi Hingga Kontemporer. Yogyakarta: BP ISI.
Vol. VI No. 1 Januari 2010
83
Mujiono
84
Seni Rupa dalam Perspektif Metodologi Penciptaan: Refleksi atas Intuitif dan Metodis
Vol. VI No. 1 Januari 2010
Seni Rupa dalam Perspektif Metodologi Penciptaan: Refleksi atas Intuitif dan MetodisStudi Kasus
Vol. VI No. 1 Januari 2010
Mujiono
85