SELIMUT API SEBAGAI SARANA PEMADAM KEBAKARAN PADA BANGUNAN RUMAH, GEDUNG DAN KENDARAAN Oleh : Achmad Hidajat Effendi Pusat Litbang Permukiman Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan – Kab. Bandung 40393 E-mail:
[email protected] Tanggal masuk naskah: 28 Mei 2007, Tanggal revisi terakhir : 19 Juni 2008
Abstrak
Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk memperoleh keandalan kinerja selimut api melalui eksperimen laboratorium. Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk menciptakan alat pemadam api sederhana, yang terbuat dari bahan kain katun jenis terpal, yang dikombinasikan dengan bahan tahan api berbasis air, yaitu dapas 15, suatu bahan kimia yang aman terhadap makhluk hidup dan lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selimut api memiliki keunggulan, yaitu mampu menahan temperatur minyak panas sekitar 320ºC dengan temperatur rata-rata permukaan selimut api sekitar 179,5ºC, dengan panjang perambatan api pada permukaan selimut api rata-rata 23,6 mm. Keunggulan lainnya adalah selimut api tidak memerlukan air dalam pemadaman kebakaran, bahkan selimut api tidak boleh dicuci atau kena air. Selimut api dapat digunakan berulang-ulang selama selimut api tersebut tidak sobek dan selimut api yang diteliti ini, memenuhi persyaratan standar AS/NZS 3504 : 1995 dan ASTM D3806-1979. Adanya selimut api akan melengkapi sarana proteksi kebakaran, khususnya untuk bangunan perumahan yang bisa digunakan baik untuk pemadaman maupun penyelamatan.
Kata Kunci : Selimut api, dapas 15, ketahanan terhadap temperatur panas, aman lingkungan.
Abstract
Research has carried-out with the purpose to investigate the reliability of fire blanket through laboratory experiment. Whereas the aim of this research is to create a simple fire extinguishers made of cotton similar as canvas which is combined with non combustible water based material (dapas 15), which is safe for human and environment. The results showed that fire blanket can resist against heat of 320ºC with the average temperature of its surface is 179.5ºC. The average rate of flame spread on its surface is 23.6 mm. Other advantages is that fire blanket did not require water during its use, however it does not have to be washed or watered. Fire blanket can be repeatedly used as long as it is not torn. This blanket also comply to AS/NZS 3504 : 1995 and ASTM D3806-1979. The existence of fire blanket will cleary beneficial to be used for extinguishing fire and fire rescue as wrll.
Keywords : Fire blanket, environment.
165
dapas 15,
resist against heat temperature,
safe for
Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran adalah suatu bencana yang waktu kejadiannya tidak dapat diduga (unpredictable), namun demikian bahaya kebakaran dapat dicegah atau dapat ditekan terhadap tingkat kerugiannya, antara lain dengan upaya pencegahan secara sistematis, efektif dan berkesinambungan. Salah satu faktor yang paling dominan yang mengacu pada permasalahan pencegahan dan penanggulangan kebakaran, adalah semakin tingginya laju pertumbuhan pembangunan di berbagai sektor, diantaranya sektor jasa konstruksi. Pada sektor ini peran arsitektur perkotaan dan bangunan yang memperkenalkan konsep-konsep baru seperti kawasan-kawasan pusat perdagangan, perkantoran, perhotelan dan pusat perbelanjaan yang sangat luas, bahkan sampai perencanaan undeground mall dan subway turut menjadi faktor pemacu keterbatasan lahan. Sebagai konsekwensi perkembangan perkotaan, menjadikan pembangunan gedung semakin tinggi, bahkan seolah-olah tanpa batas. Selain itu akibat perkembangan infrastruktur di perkotaan menarik minat masyarakat dari luar daerah untuk hijrah ke kota besar dengan berbagai macam alasan, sehingga makin memperparah lingkungan perkotaan dengan banyak bermunculan kawasan permukiman kumuh yang semakin memicu kerawanan terhadap bahaya kebakaran. Sejalan dengan diberlakukannya UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, melahirkan nuansa baru yaitu pergeseran kewenangan pemerintahan yang sentralistik birokratik ke pemerintahan yang desentralistik partisipatoris, hal ini menumbuhkan Selimut Api sebagai … (Achmad H.E.)
harapan bagi seluruh masyarakat di daerah dalam upaya meningkatkan pelayanan masyarakat, salah satu fungsi perlindungan yang perlu ditangani oleh pemerintah kabupaten / kota adalah perlindungan terhadap bahaya kebakaran. Hal ini sejalan dengan kenyataan, bahwa perkembangan kawasan perkotaan yang begitu cepat telah membawa pula timbulnya potensi bahaya kebakaran. Untuk mengantisipasi besarnya potensi bahaya kebakaran tersebut, Pemerintah Daerah perlu mengupayakan penyediaan sarana dan prasarana perkotaan yang dapat dimanfaatkan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran, seperti hidran kebakaran, sarana komunikasi massa, pos-pos kebakaran, sarana pemadam kebakaran sederhana berupa selimut api untuk pencegahan kebakaran pada tahap awal dan sebagainya. Seperti kita ketahui bahwa kecenderungan penyelenggaraan pemerintahan daerah selama ini, baik dalam pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya selalu mengutamakan kegiatan yang dapat memberikan kontribusi langsung terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), akibatnya terjadi ketimpangan dalam pelayanan, dimana sektor-sektor yang tidak dapat memberikan kontribusi secara langsung agak terabaikan. Hal ini sebenarnya cukup memprihatinkan karena pembelanjaan di sektor pencegahan dan penanggulangan kebakaran, memang tidak selalu dapat dilihat dari sudut pandang cost and benefit ratio. Investasi di sektor pemadam kebakaran seyogyanya tidak selalu dilihat dengan kacamata tersebut, karena sifatnya adalah fungsi perlindungan dan penyelamatan atas jiwa manusia maupun harta benda. 166
Disamping itu, cara pandang dalam penyelenggaraan fungsi perlindungan terhadap masyarakat, khususnya terhadap bahaya kebakaran, hingga saat ini mengesankan kurang tepat, karena sebagian besar menganggap bahwa tugas pencegahan dan penanggulangan kebakaran adalah memadamkan kebakaran. Hal ini tidak keliru, namun itu hanya sebagian kecil dari tugasnya. Tugas yang lebih penting adalah bagaimana mengupayakan agar tidak terjadi kebakaran. Seandainya terjadi, bagaimana dapat diatasi sedini mungkin sebelum terjadi kebakaran yang lebih besar dan membahayakan.
Permasalahan Sebagaimana telah disebutkan diatas, bahwa tingginya laju pertumbuhan pembangunan diberbagai sektor dan tingginya tingkat urbanisasi masyarakat dari luar daerah ke kota, mengakibatkan terjadinya keterbatasan lahan di perkotaan, dan tumbuhnya permukiman kumuh yang sering memacu terjadinya kebakaran. Berdasarkan pengamatan selama ini, sering terjadinya kebakaran, diakibatkan oleh hal-hal sebagai berikut: 1. Saat awal terjadinya kebakaran, umumnya tidak diketahui penyebabnya, sehingga api dengan cepat menjalar kebagian bangunan yang mudah terbakar; 2. Pada saat terjadi kebakaran, penghuni bangunan yang terbakar biasanya panik dan tidak tahu apa yang harus dilakukan; 3. Umumnya tidak seluruh penghuni bangunan mampu menyediakan alat pemadam api ringan (APAR), karena harganya yang relatif mahal; 4. Sulitnya memperoleh air di permukiman padat huni, terutama air untuk pemadaman kebakaran, disamping sulitnya untuk mendapatkan karung goni, bekas 167
kemasan beras yang biasa digunakan masyarakat sebagai sarana pemadam kebakaran tradisional. Bertitik tolak dari permasalahan diatas, maka sebagai solusi untuk pencegahan kebakaran awal, diperlukan penelitian dan pengembangan yang berkaitan dengan peralatan pemadam kebakaran, yaitu selimut api.
Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud dari penelitian ini, adalah untuk memperoleh keandalan kinerja dari selimut api melalui eksperimen laboratorium menggunakan standar pengujian AS/NZS 3504 : 1995 dan ASTM D3806-1979. Sedangkan tujuan dari penelitian ini, adalah untuk menciptakan alat pemadam api sederhana yang terbuat dari bahan kain, jenis katun dikombinasikan dengan bahan tahan api berbasis air, yaitu dapas 15 suatu bahan kimia penghambat api yang aman terhadap manusia, hewan dan lingkungan. Bahan tersebut murah, mudah didapat dan mudah dalam pengerjaan serta mampu memadamkan kebakaran pada tahap awal kebakaran.
Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini, ruang lingkup bahasan meliputi uji keandalan selimut api menggunakan standar pengujian AS/NZS 3504 : 1995, tentang metode uji bakar minyak goreng (cooking oil fire test) dan ASTM D3806-1979 tentang, uji perambatan api (spread of flame test).
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Selimut Api Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan selimut api adalah lembaran bahan yang mudah lentur digunakan untuk memadamkan kebakaran pada tahap awal. Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
Selimut Api (Fire Blanket) Bahan selimut api atau fire blanket yang beredar di pasaran terbuat dari fibre glass, namun harganya cukup mahal. Sebagai solusi agar harga selimut api dapat terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, dan diharapkan selimut api tersebut menjadi kebutuhan utama pada setiap rumah tangga, maka dilakukan penelitian dan pengembangan serta ujicoba laboratorium dengan memodifikasi selimut api atau fire blanket yang terdapat dipasaran, menggunakan bahan dari kain katun jenis terpal (gambar 1), direndam selama 1 x 24 jam dengan bahan kimia penghambat api jenis dapas 15 berbasis air, kemudian dikeringkan. Manfaat atau fungsi selimut api adalah untuk memadamkan kebakaran pada tahap awal terjadinya kebakaran, misalnya kebakaran akibat kompor minyak, kompor gas, hubungan arus pendek listrik, dan pemadaman pada kendaraan yang terbakar (gambar 2).
Desain dan Konstruksi Selimut Api Bahan selimut api tidak boleh terbuat dari asbes, kemudian penampilan dan warna kedua permukaan bahan selimut api harus sama. Ukuran selimut api adalah persegi panjang atau persegi, dengan panjang maksimum 1800 mm, lebar tidak kurang dari 900 mm. Ukuran selimut api secara umum yaitu 1200 mm x 1200 mm atau 900 mm x 900 mm. Selanjutnya berat selimut api tidak boleh lebih dari 1 kg, dan ujung-ujung dari selimut api tidak boleh sobek atau koyak. Selimut api harus dapat digulung kira-kira sepanjang 50 mm dengan bentuk silinder, tanpa terjadi kerusakkan yang permanen setelah digulung. Selimut api harus ditempatkan atau dibungkus dalam kantong (gambar 3), Selimut Api sebagai … (Achmad H.E.)
dan dapat diambil dari tempatnya, serta dapat dibentangkan (membuka lipatan), siap digunakan dalam waktu tidak lebih dari 4 detik.
Kemampuan Selimut Api Memadamkan Kebakaran Selimut api mampu memadamkan kebakaran pada kelas kebakaran : A (Bahan padat), seperti kayu, kain, kertas, plastik dan lain-lain; B (Bahan cair mudah terbakar), seperti bensin, tinner, terpentin dan lain-lain; F (Bahan padat dan cair), seperti minyak untuk menggoreng, lemak, dll. [1]
Gambar 1. Selimut Api
Gambar 2. Fungsi Selimut Api
Gambar 3. Kantong Selimut Api
168
Gambar 4. Kemampuan Selimut Api Memadamkan Kebakaran
169
Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
Prinsip Pengujian Selimut Api dengan Metode Uji Bakar Minyak Goreng (Cooking Oil Fire Test) Sebuah bejana berisi minyak goreng dipanaskan tetapi tidak sampai terjadi penyalaan. Api membakar minyak goreng dengan periode tertentu, kemudian api ditutup dengan selimut api. Jumlah selimut api adalah enam buah, diuji sesuai dengan ketentuan perlakuan uji selimut api dengan metode uji bakar minyak goreng (cooking oil fire test), yaitu tiga buah pada satu sisi dari selimut api dan tiga lagi pada sisi lainnya. Perlakuan pengujian dilaksanakan pada temperatur ruangan 25ºC ± 10ºC dengan kecepatan aliran udara tidak lebih dari 2 m/s.
Ketentuan Uji Selimut Api Pengujian masing-masing selimut api harus mampu memadamkan api pada minyak goreng dalam waktu 30 menit, dan tidak terjadi nyala pada selimut api, setelah beberapa saat pengujian berlangsung.
Peralatan Uji Selimut Api Peralatan yang digunakan adalah sebagai berikut : Bejana terbuat dari logam dengan ukuran sesuai dengan yang diperlihatkan pada gambar 5; Burner untuk memanaskan minyak goreng; Sumber panas mampu memanaskan minyak dengan temperatur kira-kira 320ºC dan tidak menimbulkan penyalaan pada minyak goreng; Paling sedikit 5 liter minyak goreng yang dibutuhkan setiap pengujian; Termokopel atau sejenisnya untuk memantau temperatur minyak goreng;
Selimut Api sebagai … (Achmad H.E.)
Silinder pengukur volume (gelas ukur); Meja bejana dengan tinggi ± 1000 mm; Nyala burner harus dikekang atau ditahan tetap berada dibawah alas bejana, dengan kata lain, nyala api tidak meluas ke sisi bejana, untuk mencegah nyala api masuk ke minyak goreng. [2]
Prosedur Pengujian Selimut Api dengan Metode Uji Bakar Minyak Goreng (Cooking Oil Fire Test)
Pengujian selimut api dengan metode uji bakar minyak goreng dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1. Letakkan bejana pada rangkanya diatas burner (pemanas), seperti yang diperlihatkan pada gambar 5, dan isi bejana dengan minyak goreng sejumlah 5 liter; 2. Panaskan minyak goreng dengan kecepatan pemanasan tetap, hingga tidak terjadi penyalaan (temperatur 320ºC); 3. Matikan pemanas dan biarkan minyak terbakar selama 2 menit; 4. Lakukan pemadaman api dengan menutupkan (menyelimutkan) selimut api pada bejana selama 30 menit; 5. Amati apakah terjadi gas yang menyala diatas selimut api, kemudian catat kondisi yang terjadi; 6. Lepaskan atau buka selimut api setelah 30 menit menutupi (menyelimuti) bejana; 7. Amati pakah terjadi nyala, dan ukur berapa liter minyak goreng yang tersisa.[3]
170
dengan ukuran yang telah ditetapkan dengan ruang pembakar (small tunnel) model CS-196 (gambar 9). [4]
Gambar 5. Sketsa Alat Uji Selimut Api dengan Metode Uji Bakar Minyak Goreng
Prosedur Pengujian Selimut Api dengan Uji Sifat Perambatan Api Pengujian sifat perambatan api bertujuan untuk menentukan perambatan api yang terjadi pada bagian permukaan selimut api dengan cara mengamati dan mengevaluasi perambatan yang terjadi, dilakukan pada sebuah pembakar (small tunnel) yang dilengkapi dengan kaca skala. Ukuran benda uji sebagai bahan selimut api adalah 6 mm x 100 mm x 605 mm, kelembaban tidak lebih dari 10 % berat, dan waktu pengujian selama 4 menit. Pada dasarnya metode ini bertujuan menguji tiga tingkatan pengembangan api, yaitu : 1. Penyalaan; 2. Perambatan atau kecepatan menjalarnya api; 3. Luasnya kebakaran. Kecepatan perambatan api didasarkan pada metode ASTM D3806-1979, dilengkapi dengan sistem perambatan api dengan ukuran skala kecil, sesuai 171
Kelengkapan alat uji sifat perambatan api adalah, sebagai berikut : 1. Ruang bakar (Flame tunnel); 2. Pembakar (Burner); 3. Transformator pembakar (Ignition transformator); 4. Dinding isolator tahan api (Insulating and fire resistance); 5. Termokopel; 6. Rekorder potensiometer (Recording potentiometer 0ºC – 300ºC); 7. Bel pencatat waktu (Audible timer).
BAHAN, PERALATAN METODE PENELITIAN
DAN
Bahan Dalam penelitian selimut api ini, bahan yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Bahan kain katun jenis terpal warna putih dengan anyaman benang halus dan padat; 2. Bahan kimia dapas 15 berbasis air; 3. Minyak kelapa sawit; 4. Gas LPG; 5. Almunium foil.
Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini, adalah : 1. Bejana sebagai alat uji bakar minyak goreng; 2. Alat uji sifat perambatan api; 3. Burner; 4. Tabung gas LPG; 5. Thermodac E-200;
6. Termokopel; 7. Stopwatch; 8. Roll meter;
9. Gelas ukur 1 liter, dll.
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini, adalah metode eksperimental. Data Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
hasil uji laboratorium terdiri dari hasil uji bakar minyak goreng (cooking oil fire test) dan hasil uji sifat perambatan api. Data hasil penelitian diolah dengan analisis statistik atau analisis kwantitatif, dengan cara analisis rata-rata hitung, dengan rumus : _ X =
_ X =
x1 + x2 + x3 ........+ xn
n Σfi xi
atau :
[5 ]
Σfi
SPESIFIKASI SELIMUT API Dalam spesifikasi diuraikan mengenai ukuran selimut api pada gambar 7, sebagai berikut :
Ukuran selimut api 1800 mm x 900 mm, 1200 mm x 1200 mm, dan 900 mm x 900 mm, lebar minimal selimut api adalah 900 mm; Keempat sisi selimut api dijahit dengan lebar 10 mm (4); Dilengkapi dengan pegangan kiri (2) dan pegangan kanan (3); Jarak pegangan kiri dan pegangan kanan ke samping kiri atau ke samping kanan jahitan 100 mm (5); Jarak pegangan kiri dan pegangan kanan ke ujung atas jahitan 30 mm (6); Tinggi pegangan kiri dan pegangan kanan 200 mm (7); Lebar pegangan kiri dan pegangan kanan 25 mm (8).
Keterangan: 1: Kain katun jenis terpal 2: Pegangan kiri 3: Pegangan kanan 4: Lebar jahitan 10 mm 5: Jarak pegangan ke samping kiri atau kanan jahitan 10 mm 6: Jarak pegangan kiri atau pegangan kanan ke ujung atas jahitan 30 mm 7: Tinggi pegangan 200 mm 8: Lebar pegangan 25 mm
Gambar 7. Spesifikasi Selimut Api Selimut Api sebagai … (Achmad H.E.)
172
PERCOBAAN LABORATORIUM Dalam percobaan, keandalan selimut api diuji berdasarkan metode uji bakar minyak goreng dan metode uji sifat perambatan api. Kedua gambar metode uji tersebut terdapat pada gambar 8 hingga 11, berikut data hasil uji terdapat pada tabel 1 dan tabel 2 berikut ini. Gambar 10. Hasil Uji Selimut Api dengan Metode Uji Bakar Minyak Goreng
Gambar 8. Metode Uji Bakar Minyak Goreng
Gambar 11. Hasil Uji Selimut Api dengan Metode Uji Sifat Perambatan Api
Gambar 9. Metode Uji Sifat Perambatan Api
Tabel 1. Data Hasil Uji Keandalan Selimut Api dengan Metode Uji Bakar Minyak Goreng (cooking oil fire test) No. x1i f1i f1ix1i X2i f2i f2ix2i x3i f3i f3ix3i 1. 330,5 3 991,5 169,5 2 339 30,8 3 92,4 2. 330,3 1 330,3 165,8 3 497,4 31,4 3 94,2 3. 330 3 990 166,5 1 166,5 67,7 1 67,7 4. 325,6 1 325,6 185,1 1 185,1 200,8 1 200,8 5. 325,9 1 325,9 258,1 2 516,2 240 1 240 6. 325,7 1 325,7 229,4 1 229,4 250,8 1 250,8 7. 325,8 1 325,8 277,7 4 1110,8 259,4 1 259,4 8. 320,5 1 320,5 278,6 1 278,6 258,6 2 517,2 9. 320,5 2 641 277,3 1 277,3 260,1 1 260,1 10. 320,8 3 962,4 274 1 274 250,6 1 250,6 11. 320,7 3 962,1 270,9 1 270,9 244,4 3 733,2 173
Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
No. x1i 12. 320,9 13. 318,5 14. 318,6 15. 318,4 16. 317,7 17. 315 18. 310 19. 300 20. 277,8 Jumlah
f1i 1 1 1 1 1 1 2 1 1 30
f1ix1i 320,9 318,5 318,6 318,4 317,7 315 620 300 277,8 9607,7
X2i 267,4 259,8 251,5 243,8 215,2 239,9 226,6 219,4 212,9 -
Sumber : Hasil Penelitian Pusat Litbang Permukiman 2006.
f2i 1 1 1 1 3 1 1 1 2 30
f2ix2i 267,4 259,8 251,5 243,8 645,6 239,9 226,6 219,4 425,8 6925
x3i 193,3 225,7 205 203 224,6 201,1 197,4 191,1 187,1 -
f3i 3 1 2 1 1 1 1 1 1 30
f3ix3i 579,9 225,7 410 203 224,6 201,1 197,4 191,1 187,1 5386,3
Tabel 2. Data Hasil Uji Keandalan Selimut Api dengan Uji Sifat Perambatan Api (spread of flame test)
No. x1i 1. 486,9 2. 491,7 3. 489,7 4. 484,3 5. 486,9 6. 487,5 7. 495,5 8. 470 9. 460 10. 450 Jumlah
f1i 2 2 1 3 1 1 3 1 1 1 16
f1ix1i 973,8 983,4 489,7 1452,9 486,9 487,5 1486,5 470 460 450 7740,7
X2i 85,6 81,6 86,7 87,7 89,2 97,5 85 83 82 80 -
F2i 2 2 1 2 1 3 2 1 1 1 16
f2ix2i 171,2 163,2 86,7 175,4 89,2 292,5 170 83 82 80 1393,2
x3i 24,5 24 25 29 23,5 22 20 24,2 20,4 23 -
f3i 1 3 2 1 2 2 1 2 1 1 16
f3ix3i 24,5 72 50 29 47 44 20 48,4 20,4 23 378,3
Sumber : Hasil Penelitian Pusat Litbang Permukiman 2006.
PEMBAHASAN Data hasil uji keandalan selimut api pada tabel 1 dan tabel 2, dihitung dengan analisis rata-rata hitung, sebagaimana terdapat pada tabel 3 dan tabel 4, berikut ini. Tabel 3. Temperatur Rata-Rata dengan Metode Uji Bakar Minyak Goreng (cooking oil fire test) Temperatur Minyak (ºC)
Temperatur Bejana (ºC)
Temperatur Permukaan Selimut Api (ºC)
320,2
230,8
179,5
Sumber:
Hasil Penelitian Permukiman 2006.
Pusat
Selimut Api sebagai … (Achmad H.E.)
Litbang
Tabel 4. Temperatur Rata-Rata dengan Metode Uji Sifat Perambatan Api (spread of flame test) Temperatur Burner (ºC)
Temperatur Permukaan Selimut Api (ºC)
Panjang Perambatan pada permukaan Selimut Api (mm)
483,8
87,1
23,6
Sumber
:
Hasil Penelitian Permukiman 2006.
Pusat
Litbang
Berdasarkan hasil analisis terhadap selimut api dengan metode uji bakar minyak goreng, diperoleh temperatur minyak rata-rata 320,2ºC, temperatur rata-rata bejana 230,8ºC, dan 174
temperatur permukaan selimut api ratarata 179,5ºC. Kemudian hasil analisis terhadap selimut api dengan metode uji sifat perambatan api, diperoleh temperatur burner rata-rata 483,8ºC, temperatur permukaan selimut api ratarata 87.1ºC, dan panjang perambatan api pada permukaan selimut api ratarata adalah 23,6 mm. Perbedaan yang cukup signifikan antara temperatur rata-rata permukaan selimut api pada metode uji bakar minyak goreng dengan temperatur rata-rata permukaan selimut api dengan metode uji sifat perambatan api, disebabkan oleh lamanya waktu pengujian, perbedaan tersebut sekitar 51,5 %.
TEMPERATUR (0C)
350
KURVA HASIL UJI SELIMUT API DENGAN METODE UJI BAKAR MINYAK GORENG (COOKING OIL FIRE TEST)
300
1
250 200 150
1 Temp. Minyak 2 Temp. Bejana 3 Temp. Selimut Api
2
100
3
50 0 1
4
7 10 13 16 19 22 25 28
WAKTU (TIME) : Menit
Gambar 12. Kurva Hasil Uji Selimut Api
KESIMPULAN 1. Selimut api tidak memerlukan air dalam pemadaman; 2. Selimut api tidak boleh dicuci atau kena air; 3. Bahan kimia yang digunakan tidak beracun;
175
4. Selimut api praktis dalam penggunaan; 5. Selimut api dapat disimpan atau dibawa dalam kendaraan; 6. Selimut api dapat digunakan berulang-ulang, selama selimut api tersebut tidak sobek; 7. Memenuhi ketentuan AS/NZS 3504 : 1995 dan ASTM D3806-1979.
DAFTAR PUSTAKA Standard, 1995, Portable Fire Extinguishers and Fire Blankets-Selection and Location,
Australian
Standar Australia AS 2444-1995, Homebush NSW 2140 New Soth Wales, Australia, page 22. Australian / New Zealand Standard, 1995, Fire Blankets, AS/NZS 3504 : 1995, Homebush NSW 2140 New South Wales, Australia – Wellington 6001, New Zealand, page 6. Australian/ New Zealand Standard, 1995, Fire Blankets, AS/NZS 3504 : 1995, Homebush NSW 2140 New South Wales, Australia – Wellington 6001, New Zealand, page 8. ASTM Fire Test Standard D3806-1979,
Standard Test Method of Small Scale Evaluation of Fire Retardant Paints (Spread of Flame Test / 2Foot Flame Tunnel Method), Third
Edition, 1916 Race St., Philadelphia, PA 19103, 1990, page 1. Sudjana. Prof., Dr., M.A., M.Sc., 1992, Metoda Statistika, Penerbit Transito Bandung, hlm. 67.
Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
PREDIKSI KINERJA STRUKTUR RUMAH RISHA TERHADAP BEBAN GEMPA INDONESIA DENGAN MENGGUNAKAN CAPACITY SPECTRA METHOD (CSM) Oleh : Cecep Bakheri Bachroni
Pusat Litbang Permukiman Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan – Kab. Bandung 40393 E-mail:
[email protected] Tanggal masuk naskah: 21 Desember 2007, Tanggal revisi terakhir : 21 Juli 2008
Abstrak
Terdapat beberapa keunikan pada struktur bangunan rumah yang tersusun dari panel risha, yaitu: 1) ukuran penampang melintang untuk balok pinggir sangat langsing dengan ukuran 10 cm x 30 cm (lebar balok 1/3 dari tinggi balok), 2) luas penampang melintang yang langsing ini terpotong oleh coakan sedemikian sehingga membentuk huruf C, 3) pada setiap komponen balok atau kolom terdapat sambungan ditengah (tengah bentang pada balok atau ditengah tinggi pada kolom). Ketiga hal yang unik tersebut berpengaruh pada kinerja struktur bangunan secara keseluruhan terhadap beban lateral dan vertikal yang harus dipikulnya. Tulisan ini menyajikan mengenai kinerja struktur bangunan rumah yang tersusun dari panel risha dengan menggunakan metode spektra kapasitas (Capacity Spectrum Method, CSM) dari ATC 40. Struktur dimodelkan sebagai bangunan tinggal satu lantai ( luas 36 m2), dua lantai (luas 72 m2) tanpa dan dengan dinding, dengan masing-masing dari model tersebut dirancang kerusakan terjadi pada penampang balok/kolom tepat pada penampang huruf C. Hasil prediksi menunjukkan: 1) mode keruntuhan komponen-komponen struktur balok dan kolom dari susunan panel risha adalah mode keruntuhan geser, 2) kemampuan deformasi maksimum pada struktur rangka rumah 2 lantai dengan kerusakan dalam katagori kerusakan ringan, sangat kecil yaitu 3,8 cm, 3) struktur rumah dua lantai, luas lantai total 72 m2, tanpa dinding, struktur ini aman bila dibangun di wilayah gempa 1 sampai dengan 5 pada kondisi tanah lkeras sampai lunak, dan aman dibangun di wilayah gempa 6 untuk kondisi tanah keras, 4) untuk struktur rumah dua lantai yang dipasang dinding dari pasangan bata merah dapat menambah kekakuan struktur bangunan sehingga dapat mengurangi simpangan perlu, ketika diuji dengan beban gempa wilayah 6 pada kondisi tanah lunak, struktur ini memiliki kinerja sangat baik, maka dapat dibangun diseluruh wilayah gempa Indonesia, 5) struktur rumah satu lantai tanpa dinding, luas lantai 36 m2, dibebani dengan beban gempa wilayah 6 pada kondisi tanah lunak. Pada simpangan perlu, tidak terjadi kerusakan berat di hampir seluruh komponen strukturnya, dengan demikian struktur ini dapat dibangun diseluruh wilayah gempa Indonesia dengan kondisi tanah keras, sedang dan lunak.
Kata kunci : Panel risha, struktur rumah, kinerja struktur, spektra kapasitas Abstract
Structure of house was made of panel Risha have three unique, there are: 1) cross section of the beam or the column was very slime, 2) The cross section area reduced such that forms capital C in shape, 3) at every beam or column has connection in the middle. Those of three unique will influence to the performance of the structure as a whole when it receive vertical or lateral load. This paper presents a prediction on the 229
Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
structure performance was composed of panel risha by using Capacity Spectra Method (CSM) of ATC 40 was used. Structure model of one story house with plan area of 36 m2 and 72 m2 (two story), without and with infill wall were used. The damage was designed to occur in the cross section of beam/column that have letter “ C “ in shape. The prediction results reveals that: 1) Failure mode of beam/column that assembled of risha panels is shear in mode, 2) Deformation capacity for open frame two story house is 3,8 cm, 3) The structure without wall has a good performance in the zone 1 to zone 5 with all of soil condition according to the Indonesia’s seismic map, while in zone 6 the structure has a good performance is only in hard soil area, 4) the structure can be constructed on the whole of Indonesia’s seismic zone and all of soil condition when in fill wall was set up in the frame, 5) as well as for one story structure without infill wall, can be constructed in all of Indonesia’s seismic zone with any soil condition.
Key words : Panel risha, Structure of house, structure performance PENDAHULUAN
komponen balok atau kolom terdapat sambungan ditengah (tengah bentang pada balok atau ditengah tinggi pada kolom). Sedangkan bagian tengah panel berupa pelat beton tebal 2 cm diberi tulangan susut Ф 6 mm – 20 cm kearah memanjang panel dan Ф 6 mm – 20 cm kearah lebar panel. Panel tipe 2, sama dengan panel tipe 1 tetapi lebarnya hanya 20 cm. Panel simpul, panel bentuk L 30 cm x 30 cm, tinggi 120 cm seperti terlihat pada gambar 1 berikut.
Struktur bangunan rumah risha adalah struktur yang komponen balok dan kolomnya tersusun dari panel-panel risha, struktur ini memiliki beberapa keunikan, yaitu: 1) ukuran penampang melintang untuk balok termasuk ukuran langsing yaitu 10 cm x 30 cm (lebar balok 1/3 dari tinggi balok), 2) luas penampang melintang yang langsing ini terpotong oleh coakan sedemikian sehingga membentuk huruf C, 3) pada
120 cm
120 cm
30 cm 20 cm
Panel tipe 1
Panel tipe 2
Panel simpul
Gambar 1. Tipe panel RISHA Prediksi Kinerja Struktur … ( Cecep Bakheri B. )
230
Bila panel – panel tersebut digabungkan kearah memanjang dan kearah lebar yang saling tegak lurus pada struktur bangunan, maka gabungan panel-panel tersebut dapat difungsikan sebagai balok
bila dipasang mendatar, dan berfungsi sebagai kolom bila dipasang vertikal, untuk sambungan digunakan sambungan baut, sebagai ilustrasi dapat dilihat pada gambar 2. Kolom tengah
sambungan Kolom pimggir
Balok 2 Balok 1
Kolom sudut
Gambar 2. Sistem Struktur Panel Risha
Bangunan rumah risha pada dasarnya dirancang untuk rumah knock-down, yang dapat dibangun dan dibongkar serta dapat dikembangkan dengan mudah baik pada komponen struktural maupun komponen non-strukturalnya, dalam pengembangannyapun tidak terlalu banyak membuang bahan yang sudah terpasang. Oleh karena itu, panelpanel risha dirancang dalam ukuran relatif kecil dan ringan sedemikian rupa sehingga dapat diangkat oleh satu orang pekerja. Pendiriannya cukup mudah dengan waktu yang relatif singkat. Penghematan dapat diperoleh dari kecepatan pendiriannya dan pengunaan bahan bangunan karena ukuran komponen dan ruang bangunan dirancang modular. Tapi disisi lain struktur ini memiliki kelemahan yang cukup signifikan dengan penampang melintang komponen balok dan kolom yang langsing serta banyaknya sambungan baik pada komponen strukturnya sendiri 231
maupun sambungan antar komponen struktur. Tulisan ini menyajikan mengenai prediksi melalui pengkajian kinerja struktur bangunan rumah risha terhadap gaya gempa Indonesia dengan menggunakan Capacity Spectrum
Method (CSM).
Sesuai dengan perencanaan dari panel Risha, pada penghitungan ini menggunakan mutu beton f’c=250 kg/cm2 (25 Mpa), mutu baja f’=2400 kg/cm2 (240 Mpa). Tulangan utama menggunakan baja tulangan Ǿ 8 mm dan sengkang Ǿ 6 mm, keduanya tulangan polos. Untuk struktur model digunakan model-model struktur rumah tinggal Risha yang telah banyak dibangun di lapangan seperti di Aceh, Medan, Sulawesi. Tipe-tipe rumah Risha yang telah dibangun tersebut pada umumnya tipe 36 luas lantai 36m 2. Tipe 72 luas lantai 72 m2 (tipe 36 dua lantai). Dalam perkembangannya saat ini rumah Risha tersebut telah dibangunan dengan menggunakan dinding dari conblock. Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menilai atau mengevaluasi hasil penelitian yang dilakukan dilaboratorium, tetapi untuk mengevaluasi perilaku struktur rumah Risha yang telah terbangun, dengan mengambil parameter mutu beton dan mutu baja serta dimensi tulangan dari disain panel Risha.
Permasalahan Bentuk penampang melintang komponen dan sambungan-sambungan pada struktur rumah risha menjadi pusat kelemahan pada kestabilan struktur dan akan mengurangi ketegaran bangunan pada saat memikul beban lateral, yang pada akhirnya berpengaruh pada kinerja struktur. Jenis sambungan apapun pada struktur bangunan rumah dan gedung harus lebih kuat dari komponen struktur yang disambungkan, sehingga apabila terjadi keruntuhan pada bangunan risha ini tidak terjadi kerusakan pada sambungannya, tetapi pada komponen struktur yang disambung. Untuk itu, perlu dilakukan pengkajian kinerja dan perilaku struktur secara keseluruhan terhadap beban-beban gempa Indonesia, bila kerusakan terjadi tepat pada penampang melintang panel Risha yang memiliki coakan (membentuk huruf “C”).
Metode Pengkajian Sasaran prediksi meliputi pengamatan pola runtuh pada komponen kolom dan balok, penelusuran kapasitas struktur dan pengamatan kinerja model struktur rumah risha terhadap gaya gempa di seluruh zona gempa Indonesia. Pengamatan pola runtuh untuk komponen balok dan kolom dilakukan dengan mengamati kurva momen kurvatur penampang melintang pada Prediksi Kinerja Struktur … ( Cecep Bakheri B. )
setiap jenis komponen struktur, yaitu hubungan kekuatan dengan kerusakan yang digambarkan dengan nilai curvature-nya. Analisis ini dilakukan menggunakan program komputer ETAB 8.5.3. Penulusuran kapasitas dan perilaku runtuh struktur rumah secara keseluruhan dilakukan melalui pengamatan grafik hubungan gaya geser dengan simpangan lateral yang dihitung dengan analisa non-linier (push over) menggunakan program komputer ETAB 8.5.3. Pengamatan kinerja struktur secara numeric dilakukan dengan menggunakan Capacity Spectrum Method (CSM), yaitu kurva kapasitas struktur (kurva hubungan beban dengan lendutan) dioverlay-kan pada kurva spektra gempa Indonesia setelah direduksi oleh rasio damping efektif dari struktur yang ditinjau. Beban gempa yang digunakan adalah sesuai dengan SNI 03-1726-2002, Tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk bangunan gedung. Kinerja struktur ditentukan oleh perpotongan kedua kurva tersebut. Agar kerusakan terjadi pada bagian penampang melintang yang membentuk huruf “C” dari komponen panel risha, maka dalam analisis numerik ini mengasumsikan bahwa semua sambungan baik pada balok dan kolom serta sambungan antara balok dan kolom adalah terjepit sempurna. Asumsi ini sesuai dengan pengamatan penulis dari hasil pengujian yang dilakukan di laboratorium struktur Pusat litbang permukiman melalui pengamatan kerusakan pada uji lentur komponen balokyang terbuat dari susunan panel risha. Hasil uji tersebut menunjukan 232
Sebagai beban lateral diasumsikan bangunan terletak disemua wilayah gempa Indonesia dengan kondisi tanah keras sedang dan lunak, kemudian dipilih di wilayah gempa mana dan pada kondisi tanah apa struktur bangunan ini dapat dibangun dengan aman.
Lingkup Kajian Pengkajian ini hanya memfokuskan pada bentuk penampang melintang panel risha terhadap kinerja struktur Rumah Risha secara keseluruhan.
KAJIAN PUSTAKA Metode spektra kapasitas adalah suatu metode untuk menentukan kinerja bangunan terhadap gaya gempa, apakah bangunan tersebut dapat menahan gaya gempa rencana tanpa runtuh atau tidak. Bila bangunan dapat menahan gaya gempa tanpa runtuh, maka harus diperiksa tingkat kerusakannya. Tipe kerusakan yang tidak dapat diterima adalah kerusakan berat yang ditandai dengan terjadinya spalling pada selimut beton, tulangan putus pada tulangan utama atau tulangan sengkang. Metode ini menggunakan analisa statik non-linier untuk mengestimasi kinerja kegempaan struktur. Seperti ditunjukkan pada gambar 3, kinerja struktur diestimasi sebagai respon maksimum gedung dalam satuan simpangan lateral oleh perpotongan spektrum kapasitas yang merupakan kinerja gedung secara keseluruhan dengan respon spektrum tereduksi (spektrum demand) dari gempa rencana.
233
Spektra percepatan, Sa
bahwa pada beban runtuh kerusakan tidak terjadi pada sambungan.
Spektra demand Inelastic Titik kinerja elastis
Tel Tinel
Kurva Transisi
Tmax
Spektra simpangan: Sd
Gambar 3. Kurva Kapasitas Vs Demand
Dua elemen kunci utama dari prosedur perencanaan berbasis kinerja, yaitu: demand (Perlu) dan kapasitas. Demand adalah representasi dari gerakan tanah gempa. Kapasitas representasi dari kemampuan struktur menahan gaya gempa demand. Kinerja struktur bangunan tergantung pada bagaimana kapasitas dapat memenuhi demand. Dengan kata lain struktur harus memiliki kapasitas menahan gempa demand sehingga kinerja struktur sesuai dengan tujuan dari yang direncanakan. Prosedur analisa non linier menggunakan metode pushover, seperti metode spektrum kapasitas terlebih dahulu harus menentukan tiga elemen utama: kapasitas, demand (simpangan), dan kinerja. Kapasitas: Kapasitas struktur tergantung pada kapasitas kekuatan dan deformasi masing-masing komponen struktur. Untuk menentukan kapasitas diluar batas elastis diperlukan analisa nonlinier seperti prosedur pushover. Prosedur ini menggunakan serangkaian analisa elastis sequential, disuperimposkan untuk memperkirakan diagram kapasitas gaya dan simpangan struktur. Model matematis struktur dimodifikasi untuk memperhitungkan ketahanan tereduksi dari komponen-komponen Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
Demand
(simpangan yang diperlukan): Gerakan tanah selama gempa menimbulkan pola simpangan horizontal yang kompleks di dalam struktur yang bervariasi dengan waktu. Metode analisa linier tradisional menggunakan gaya lateral untuk represent kondisi desain. Untuk metode non-linier lebih mudah dan lebih langsung menggunakan satu set simpangan lateral sebagai kondisi desain. Untuk struktur dan gerakan tanah yang ada, simpangan demand adalah estimasi dari respon gedung maksimum yang diharapkan pada saat dan selama gerakan tanah. Kinerja: Pengamatan kinerja struktur dilakukan pada saat menentukan kurva kapasitas dan kurva demand. Pengamatan kinerja meliputi pemeriksaan kerusakan komponen struktural dan non-struktural yang tidak rusak melebihi batas yang dapat diterima sesuai dangan tujuan kinerjanya terhadap gaya dan simpangan yang merupakan simpangan demand. Gambar 4 mengilustrasikan kurva hubungan beban dan deformasi yang dapat digunakan untuk komponen beton bertulang. Hubungan tersebut digambarkan oleh respon linier dari A (komponen tanpa beban) ke titik leleh efektif B, respon linier pada kekakuan tereduksi dari B ke C, penurunan ketahanan terhadap beban lateral secara tiba-tiba ke titik D, respon pada ketahanan tereduksi di titik E, dan selanjutnya hilang seluruh ketahananPrediksi Kinerja Struktur … ( Cecep Bakheri B. )
nya. Berikut titik-titik utama yang berkaitan dengan kurva hubungan beban dengan deformasi tersebut diatas:
Beban lateral
yang mengalami leleh. Distribusi gaya lateral diaplikasikan juga sampai dengan komponen-komponen yang mengalami leleh bertambah. Prosedur ini terus dilanjutkan sehingga struktur mencapai ketidakstabilannya dan batas-batas yang ditentukan sebelumnya dapat dicapai.
C B D
c A
Δy
E
Deformasi lateral
Gambar 4. Kurva Beban dan Deformasi untuk Komponen Beton Bertulang
Titik A sesuai dengan kondisi tanpa beban, beban gravitasi dapat menimbulkan gaya-gaya dan deformasi awal yang harus diperhitungkan pada model struktur. Jadi, beban lateral dapat berawal pada suatu titik yang bukan dari titik pusat kurva (titik 0). Landaian dari titik A ke titik B merupakan kekakuan awal komponen struktur yang diwakili oleh harga secant yang ditentukan oleh titik leleh efektif dari komponen struktur. Untuk komponen struktur yang didominasi lentur, kekakuan ini kira-kira sesuai dengan kekakuan retak penuh. Untuk komponen struktur yang didominasi keruntuhan geser, kekakuannya dapat diperkirakan sesuai dengan kekakuan sebelum retak. Harga kekakuan dapat ditentukan sebagai fungsi sifat bahan, dimensi komponen struktur, kuantitas tulangan, kondisi batas, dan tegangan serta level deformasi yang dicapai. Titik B memiliki resistansi sama dengan kekuatan leleh nominal. Tetapi biasanya nilai ini kurang dari kekuatan nominal.
234
Landaian dari titik B ke titik C, dengan mengabaikan efek beban gravitasi yang bekerja melalui simpangan lateral, harga ini biasanya diambil 5 % sampai dengan 10% (Park and Pauly) dari kekakuan awal. Strain hardening ini, yang diamati untuk seluruh komponen beton bertulang, bisa memiliki efek penting pada redistribusi gaya-gaya dalam diantara komponen struktur yang berdekatan. Ordinat pada titik C sesuai dengan kekuatan nominal yang ditentukan dari ordinat titik B dan landaian setelah pembebanan B, tetapi hasilnya harus diperiksa untuk menjamin bahwa level gaya final yang mengikuti strain hardening konsisten dengan ketahanan yang diharapkan untuk level deformasi. Strain hardening yang melewati kekuatan nominal harus dihindarkan. Absis titik C sesuai dengan deformasi pada mulai menurunnya kekuatan yang signifikan. Diluar deformasi ini, pada beban siklik bolak-balik, kestabilan komponen struktur tidak dapat dijamin lagi. Untuk komponen struktur yang getas, deformasi ini sama seperti deformasi pada kekuatan leleh yang dicapai. Untuk komponen lentur, deformasi ini lebih besar dari deformasi leleh. Berkurangnya ketahanan dari titik C ke titik D merupakan keruntuhan awal komponen struktur, keruntuhan tersebut bersamaan dengan terjadinya fenomena seperti putusnya tulangan longitudinal, spalling selimut beton, atau keruntuhan geser tiba-tiba setelah leleh pertama terjadi. Ketahanan terhadap beban lateral setelah Titik C biasanya tidak reliable tidak dapat diandalkan. Komponen-komponen utama sistem penahan gaya lateral tidak diizinkan berdeformasi melebihi titik ini. 235
Ketahanan tersisa dari titik D ke titik E bisa bernilai nol atau tidak bernilai nol, tidak ada informasi yang spesifik mengenai ini, maka ketahanan tersisa dapat diambil 20 % dari kekuatan nominal (ATC 40, bab 9, hal 9-28). Titik E adalah titik yang menentukan kapasitas deformasi maksimum. Deformasi yang melebihi titik ini tidak diijinkan karena beban gravitasi tidak dapat lagi ditahan. Keruntuhan awal pada titik C mengakibatkan hilangnya ketahanan terhadap beban gravitasi, dimana kasus E adalah titik yang memiliki deformasi sama dengan pada titik C dan ketahanannya nol. Untuk komponen struktur sederhana, seperti kantilever vertikal, hubungan antara daktilitas curvature dan daktilitas simpangan dapat diekspresikan dengan sederhana disepanjang tinggi struktur.
m y
Δm = simpangan maksimum Δy = simpangan leleh Simpangan leleh. Distribusi curvature aktual pada leleh akan nonlinier sebagai akibat dari pengkakuan tension lokal diantara retakan, Tetapi, mengacu kepada perkiraan linier, simpangan leleh dapat diestimasi oleh persamaan berikut: Δy = φy l / 3 2
φy = Curvatur leleh l = tinggi struktur Simpangan maksimum. Distribusi curvature pada simpangan maksimum Δm sesuai dengan curvature maksimum di dasar kantilever. Untuk perhitungan, panjang sendi plastis lp ditentukan oleh curvature plastis-nya φp = φ – φe diperhitungkan sama dengan curvature Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
plastis maksimum φ – φe. Panjang sendi plastis dipilih sedemikian sehingga simpangan plastis di top kantilever, sama seperti yang diambil dari distribusi curvature aktual. Rotasi plastis, θp, yang terjadi pada panjang sendi plastis ekivalen diberikan dalam bentuk persamaan berikut θp = φp . lp = (φm - φy ) lp dengan: φp = curvatur plastis φm = curvatur maksimum lp = panjang sendi plastis Rotasi ini merupakan indikator penting dari kapasitas penampang komponen struktur dalam mempertahankan deformasi inlastis komponen struktur agar tetap dalam kondisi stabil. Dengan asumsi pusat rotasi plastis berada di tengah panjang sendi plastis, simpangan plastis menjadi sebagai berikut: Δp = θp (l - 0,5 lp ) = (φm - φy ) lp (l 0,5 lp )
Estimasi panjang sendi plastis efektif dapat diperoleh dengan persamaan berikut: lp = 0,08 l + 0,022 db fy (cm) STRUKTUR MODEL Sesuai dengan yang telah dibangun dilapangan (di Aceh, Medan dan Sulawesi), rumah tinggal dengan komponen risha ini telah berkembang menjadi rumah dua lantai (sesuai dengan yang diperkenankan), maka dalam penghitungannya struktur rumah risha dimodelkan sebagai struktur dua lantai dengan denah bangunan berbentuk persegi empat berukuran 600 x 600 cm, luas lantai total 72 m 2. Model struktur yang dikaji adalah model struktur dua lantai tanpa dinding, model srtuktur dua lantai dengan dinding dan model struktur satu lantai tanpa dinding seperti ditunjukan pada gambar 5.
Balok tipe 1
Balok tipe 2 Balok tipe 1
Balok tipe 1
5a, Struktur dua lantai
5b, Struktur dua lantai dengan dinding
5c, Struktur satu lantai
Gambar 5. Model Struktur Rumah Risha yang Dikaji
HASIL DAN ANALISIS Perilaku dan Kapasitas Komponen Struktur Dengan memperhatikan ilustrasi struktur rumah risha pada gambar 2, berikut
Prediksi Kinerja Struktur … ( Cecep Bakheri B. )
diuraikan perilaku dan kapasitas masingmasing komponen struktur balok dan kolom rumah tinggal yang tersusun dari panel-panel risha tersebut.
236
Diameter : 8 mm Prosentasi tul : 3.25 % f’c = 25 MPa f’y = 24 MPa
C φp = 3,864x10-3 B
-4
φy = 2,821x10
6b 6a
Φm =4,872x10-3
D
A
E
Gambar 6. Penampang Balok Tipe 1 dan Kurva Momen Kurvatur
Balok 1 pada gambar 6b, merupakan balok yang disusun dari dua panel risha tipe 1 yang disambung ke arah longitudinal sehingga panjangnya menjadi 2,4 m. Dari penampang melintang, tulangan atas dan tulangan bawah dipasang tulangan 4Φ8 mm dengan luas tulangan 4.0192 cm2 atau sama dengan 3,25 % dari luas penampang melintang panel. Tulangan sengkang digunakan tulangan polos Φ6 mm jarak 20 cm. Dengan bentuk penampang dan susunan tulangan seperti ini, lalu dianalisis menggunakan program ETAB 8.5.3, diperoleh kurva momen dan Curvatur
Φp = 2,615 x 10-3
C B
D
pada gambar 6a. Dari kurva tersebut diperoleh: Curvature Leleh, φy = 2,821x10-4, curvature pada beban puncak, φp = 3,864x10-3, kurvatur maksimum Φm = 4,872x10-3. Setelah dihitung dengan menggunakan persamaan-persamaan pada pasal kepustakaan diatas, diperoleh: daktilitas curvature, µ Φ = Φm / Φy = 7,30; daktilitas simpangan µ▲= 2,15 cm; kapasitas putaran plastis θp= 0.0034 Radian. Dari grafik momen-curvature pada Gambar 6, sisa kekuatan menahan gaya lateral setelah runtuh adalah 6 % yang ditunjukan oleh titik D.
Diameter tul : 8 mm Prosentasi tul : 3,25 % f’c = 25 MPa f’y = 24 MPa
Φy = 2,308 x 10-4
7a Φm = 5,769 x 10-3
E
7b
A Gambar 7: Penampang Balok Tipe Dua dan Kurva Momen Kurvatur 237
Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
Balok 2 pada gambar 7b, merupakan gabungan empat panel risha tipe 1 yang digabung sedemikian rupa sehingga penampang melintang balok-2 membentuk huruf ” I ” dengan panjang 2,4 m. Jumlah tulangan pada penampang melintang 16Φ8 mm dengan luas tulangan 8.0384 cm2 atau sama dengan 3,25 % dari luas penampang melintang balok. Tulangan sengkang digunakan tulangan Φ 6 mm jarak 20 cm. Dengan penampang melintang dan susunan tulangan seperti ini dan dianalisis menggunakan analisis momen dan curvatur diperoleh kurva pada gambar 7a. Dari kurva tersebut diperoleh: Curvature Leleh Φy = 2,308 x 10-4, curvature pada beban puncak Φp = 2,615 x 10-3, kurvatur maksimum Φm = 5,769 x 10-3 , daktilitas curvature, µΦ = Φm / Φy = 8,8 dan daktilitas simpangan, µ▲ = 2,43 dengan kapsitas putaran plastis, θp = 0,0051 Radian. Dari grafik
diperoleh sisa kekuatan setelah runtuh 9 % (yang disyaratkan 20%) Kolom Sudut, kolom sudut pada gambar 8 merupakan gabungan panel tipe-1 dengan panel tipe-2, tulangan utama 16Φ8 mm dengan luas tulangan 8.0384 cm2 atau sama dengan 3,73 % dari luas penampang melintang kolom. Tulangan sengkang digunakan tulangan Φ6mm jarak 20 cm. Dengan penampang melintang dan susunan tulangan seperti ini dan dianalisis menggunakan momen dan Curvature diperoleh kurva pada gambar 8. Dari kurva tersebut diperoleh: Curvature Leleh, Φy = 1,923x10-4, Curvatur pada beban puncak Φp = 1,673x10-3, Curvature maksimum, Φm = 4,519x10-3, daktilitas curvature, µΦ = Φm / Φy = 11,5 dan daktilitas simpangan, µ▲ = 2,91 dengan kapsitas putaran plastis, θp = 0,0082 Radian. Dari grafik diperoleh sisa kekuatan setelah runtuh 17,85 % (yang disyaratkan minimum 20%). Diameter tul : 8 mm Prosentasi tul : 3.86 % f’c = 25 MPa f’y = 24 MPa
C Φp = 1,673x10-3 B Φy = 1,923x10-4
Φm = 4,519x10-3
8b
D
8a
E
A Gambar 8. Penampang Kolom Sudut dan Kurva Momen Curvature
Kolom pinggir, kolom pinggir pada gambar 9 merupakan gabungan dari 2 tipe panel, yaitu panel tipe-1 dengan panel tipe-2, tulangan utama 32Φ8 mm dengan luas tulangan 23.420 cm2 atau
Prediksi Kinerja Struktur … ( Cecep Bakheri B. )
sama dengan 4,02 % dari penampang melintang kolom.
luas
Tulangan sengkang digunakan tulangan Φ6mm jarak 20 cm. dan dianalisis menggunakan momen dan Curvatur diperoleh kurva pada gambar 9. Dari 238
kurva tersebut diperoleh: Curvature Leleh, Φy = 1,923x10-4, Curvatur pada beban puncak Φp=1,750x10-3, Curvature maksimum, Φm = 5,742x10-3. daktilitas curvature, µΦ = Φpc / Φy = 10,99. Daktilitas simpangan, µ▲ =2,81 dengan kapasitas putaran plastis, θp = 0,0078 Radian. Dari grafik diperoleh sisa kekuatan setelah runtuh 52 % (yang disyaratkan minimum 20%).
C Φp=1,750x10 B
Φy = 1,923x10-4
Kolom dalam (internal), merupakan gabungan dari 2 panel tipe-1 dengan 2 panel tipe-2, tulangan utama 64Φ8 mm dengan luas tulangan 46,84 atau sama dengan 4,02 % dari luas penampang melintang kolom. Tulangan sengkang digunakan tulangan Φ6mm jarak 20 cm. dan dianalisis menggunakan momen dan Curvature diperoleh kurva pada gambar 10.
Diameter tul : 8 mm Prosentasi tul : 4.02 % f’c = 25 MPa f’y = 24 MPa
-3
Φm = 5,742x10-3
D
E
9b
9a
A
Gambar 9. Penampang Kolom Pinggir dan Kurva Momen Curvature
-3 C Φp = 2,692x10
D Φm = 3,462x10-3 B Φy = 1,026x10-4 E
10 a
A Gambar 10. Penampang Kolom Tengah dan Kurva Momen Curvature
Dari kurva tersebut diperoleh: Curvature Leleh, Φy = 1,026x10-4 , Curvatur pada 239
beban puncak, Φp = 2,692x10-3, Curvature maksimum, Φm = 3,462x10Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
3
, daktilitas curvature, µΦ = Φm / Φy = 3,81. Daktilitas simpangan, µ▲ = 1,5, dengan kapsitas putaran plastis, θp = 0,0041 Radian. Dari grafik diperoleh sisa kekuatan setelah runtuh 66 % (yang disyaratkan minimum 20%).
Perilaku Non-linier Struktur (Push Over Curve)
Analisa dilakukan mulai dari beban gempa terberat, yaitu beban gempa di wilayah enam pada kondisi tanah lunak, tanah sedang dan tanah keras sampai dengan wilayah terkecil. Gambar 11 adalah kurva hubungan beban lateral dengan simpangan lateral untuk struktur yang dibebani dengan beban gempa di zona 6 dengan kondisi tanah lunak (kode uji Risha 2L6). Diperoleh catatan dari analisa bahwa : 1) balok-balok dilantai 2 tidak kuat, ditandai dengan nilai “Column P-M-M Interaction Ratio” yang melebihi 1%, yaitu untuk masingmasing balok pinggir, dan balok tengah sebesar 1,06 % dan 1,25%. 2) Sendi plastis di ujung-ujung balok dan kolom terbentuk oleh gaya geser yang memungkinkan untuk terjadi keruntuhan getas didaerah sendi plastis dari komponen balok dan kolom. Memperhatikan kurva pada Gambar 11, kurva tersebut berbentuk gigi gergaji, bentuk ini disebabkan oleh terjadinya proses perpindahan gaya-gaya “dalam” dari komponen struktur yang telah mengalami kerusakan kemunduran ke komponen struktur yang masih utuh. Kemunduran ini terjadi secara getas disebabkan oleh bentuk penampang balok dan kolom. Turunnya beban secara drastis yang pertama disebabkan oleh terjadinya kerusakan berat pada seluruh balok di lantai 1, balok-balok ini tidak lagi dapat menahan beban lateral kemudian beban tersebut disalurkan ke balok-balok dilantai 2, pada gambar Prediksi Kinerja Struktur … ( Cecep Bakheri B. )
terlihat beban naik kembali hingga mencapai kapasitas puncaknya pada balok di lantai 2 kemudian terjadi kemunduran beban secara drastis yang kedua, setelah seluruh balok di lantai dua tersebut rusak berat (tidak mampu menahan gaya lateral), pada saat ini beban dipikul oleh kolom-kolom di lantai 1 dan beban terlihat naik kembali sampai puncak yang ketiga setelah kolom di lantai satu mencapai beban puncak dan kemudian struktur bangunan secara keseluruhan tidak mampu lagi menahan gaya lateral sehingga beban turun drastis dan ketahanan struktur yang tersisa 33% dari beban puncak yang ketiga, pembebanan terhenti. Kurva tersebut terbentuk dari garis-garis linier, ini disebabkan oleh gaya geser yang mendominasi keruntuhan (keruntuhan yang dikendalikan oleh gaya geser). Urutan keruntuhan dimulai dari terjadinya leleh pertama pada ujungujung balok pinggir dan balok dalam dilantai 1, pada tahap pembebanan ke 9 dengan simpangan 1,9967 cm dan beban yang dicapai sebesar 13620,55 kg (13,6 Tf). Pada tahap pembebanan yang ke 11, ujung-ujung balok pinggir dilantai 2 telah mencapai kapasitas puncak dengan simpangan lateral yang dicapai sebesar 2,3802 cm dan beban sebesar 15145,16 kgf (15,15 Tf), pada tahap pembebanan ke 12 terjadi kerusakan berat pada kedua balok tersebut sehingga balok-balok tersebut tidak mampu lagi memikul gaya-gaya lateral dan gravitasi, pada saat inilah mulai terjadi pemindahan gaya-gaya “dalam” dari balok yang rusak ke balok yang masih utuh. Kerusakan berat pada kedua balok tersebut terjadi pada saat besaran gaya dan simpangan yang dicapai sama seperti pada tahap pembebanan yang ke 11 (tahap 240
241
pembebanan ke 59 atau tahap pembebanan terakhir. Pada kondisi struktur bangunan ini tidak mampu lagi menahan beban lateral, meskipun kerusakan berat yang terjadi hanya pada seluruh baloknya saja, pada kolom terjadi kerusakan berat hanya pada kolom tengah dilantai 1 (lantai dasar). Titik Kinerja struktur Leleh pertama Puncak pertama Puncak ke tiga Puncak ke dua
30000
25000
Beban Lateral (Kg)
pembebanan ke 11 dan ke 12 dalam gambar 9 terlihat berimpit). Penurunan kapasitas menahan gaya lateral secara drastis yang pertama kali terjadi pada tahap pembebanan ke 18, dimana ujung-ujung pada semua balok di lantai 2 mengalami kerusakan berat, besar beban dan simpangan yang tercatat pada tahap pembebanan ini adalah 2,5518 cm dan 12094,61 kgf masingmasing untuk simpangan dan beban. Setelah tahap pembebanan ke 18, beban mulai naik kembali, ini karena proses penyaluran gaya-gaya “dalam” dari balok rusak ke balok utuh, hingga mencapai tahap pembebanan ke 27. Pada tahap ini kapasitas maksimum telah dicapai oleh balok tengah di lantai 2, berlanjut dengan turunnya kapasitas beban yang sangat drastis di tahap pembebanan ke 28, dimana pada tahap ini kerusakan berat telah terjadi pada seluruh ujung-ujung setiap balok dilantai 2, dengan demikian sampai dengan tahapan beban ke 28 ini kondisi seluruh balok, baik dilantai satu dan 2 telah mengalami rusak berat (tidak mampu menahan gaya lateral dan gravitasi). Namun demikian, karena sampai dengan tahapan beban ini tidak ada satupun kerusakan terjadi pada kolom, maka beban pada balok-balok yang rusak disalurkan pada kolom-kolom, oleh karenanya beban setelah tahapan ini naik kembali hingga mencapai tahapan beban ke 58 yang merupakan beban maksimum dan simpangan maksimum. Simpangan maksium yang dicapai pada tahap beban ke 58 ini adalah 10,999 cm dan beban maksimum 27219,41 kgf, Keruntuhan total pada struktur secara keseluruhan di capai setelah terjadi kerusakan berat pada kolom tengah di lantai 1 dengan kemunduran beban hingga 9121,668 kgf (kurang lebih 33% dari beban maksimum), pada tahap
20000
15000
10000
5000
0
Kurva idealisasi Kurva asli
0,00E+00 2,00E+00 4,00E+00 6,00E+00 8,00E+00 1,00E+01 1,20E+01
Simpangan Lateral (cm)
Gambar 11. Kurva Push Over Struktur pada Gempa Zona 6 Kondisi Tanah Lunak (Kode Struktur Risha 2L6)
Kinerja Struktur
Gambar 12 adalah gambar kurva spektrum kapasitas struktur bangunan dan lokasi kerusakan pada komponen struktur. Kinerja struktur bangunan dinyatakan oleh titik potong antara kurva kapasitas dengan kurva demand, yaitu terdapat pada simpangan 5,5788 cm dan beban lateral 15121,06 kgf seperti terlihat pada gambar 12 a. Pada simpangan demand 5,5788 cm tersebut kerusakan berat terjadi pada seluruh balok baik dilantai satu maupun lantai dua serta rusak ringan pada satu kolom, yaitu kolom tengah. Komponenkomponen struktur yang mengalami rusak berat dan rusak ringan dapat Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
dilihat pada gambar 12b. Bila memperhatikan gambar 6 dan gambar 7 diatas kurva momen vs curvature balok pinggir dan balok tengah, kerusakan yang terjadi belum melampaui kriteria kerusakan yang dapat diterima, walaupun balok-balok tersebut dalam kondisi rusak berat tetapi masih mampu menahan gaya lateral dan vertikal (gravitasi). Ketentuan dari ATC 40 mengenai Seismic evaluation and retrofit of concrete building, disebutkan bahwa simpangan perlu tidak diizinkan melebihi simpangan yang menimbulkan kerusakan berat pada komponen struktur bangunannya. Bila ketentuan tersebut diterapkan pada sistem struktur ini, maka struktur rumah Risha 2 lantai tanpa dinding memiliki kinerja yang baik bila dibangun di zona 6 gempa indonesia dengan kondisi tanah lunak. Spektra demand, dengan damping rasio 5%.10%.15% dan 20% Spektra kapasitas struktur Kinerja struktur
12a
Prediksi Kinerja Struktur … ( Cecep Bakheri B. )
12b Rusak ringan Rusak berat
Gambar 12. Kurva Kapasitas vs Demand dalam Format ADRS pada Gempa Zona 6 Kondisi Tanah Lunak
Hasil uji laboratorium dengan menggunakan benda uji skala penuh, struktur ini mampu memikul beban gempa untuk seluruh wilayah gempa Indonesia. Ketidak selarasan ini terjadi disebabkan oleh perbedaan asumsi, dimana dalam perhitungan dalam model komputer seluruh sambungan dianggqap jepit sempurna, oleh karenanya kerusakan akan terjadi pada panel RISHA, sedangkan pada model struktur uji laboratorium diuji dengan kondisi struktur model apa adanya dan kerusakan yang terjadi tidak didominasi pada panel RISHA tapi pada sambungan baut antara komponen balok dan kolom, dimana beton disekitar baut pecah oleh desakan kepala baut seperti diperlihatkan gambar sketsa berikut (Sketsa ini diperoleh dari hasil pengamatan penulis saat mengikuti dua kali uji struktur risa skala penuh dan satu kali uji struktur risa dua dimensi dengan dinding pengisi bata merah di laboratorum struktur pusat litbang permukiman). 242
Panel penyambung
Panel Risha Sebagai Balok
Spektra demand, dengan damping rasio 5%.10%.15% dan 20%
Spektra kapasitas struktur Kinerja struktur Sambungan baut
Panel Risha Sebagai kolom
Lubang baut
Beton pecah oleh desakan kepala baut
Struktur model yang sama seperti diatas, tetapi dibebani dengan beban gempa yang lebih rendah, yaitu dengan beban gempa di zona 6 kondisi tanah sedang dan keras serta zona 5 kondisi tanah lunak dan sedang. Hasil perhitungan menunjukan, setelah beban gempa diturunkan hingga beban gempa di zona 5 kondisi tanah sedang, kinerja struktur masih tidak aman bila dibangun di wilayah-wilayah gempa tersebut. Tetapi memiliki keamanan yang baik bila dibangun di daerah zona gempa 5 dengan kondisi tanah keras, seperti diperlihatkan pada Gambar 13.
243
13a
13b Rusak ringan Gambar 13. Kurva Kapasitas vs Demand dalam Format ADRS pada Gempa Zona 5 Kondisi Tanah Keras
Titik kinerja berada pada 2,937 cm untuk simpangan dan untuk simpangan sebesar itu diperlukan beban sebesar 21,1 Tf seperti terbaca pada gambar 13a. Kondisi komponen struktur pada simpangan perlu sebesar 2,937 cm ini hanya menimbulkan kerusakan ringan Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
pada balok-balok di lantai-1 seperti terlihat pada gambar 13b, Dengan demikian struktur rumah Risha 2 lantai tanpa dinding (72 m2) akan aman bila dibangun sampai dengan di zona 5 gempa indonesia dengan kondisi tanah keras. Struktur model yang sama seperti diatas, kemudian dipasang dinding, untuk mengetahui pengaruh dinding pada perilaku runtuh struktur. Dinding dipasang pada setiap frame arah X (karena arah gaya yang digunakan hanya arah x), atau arah gaya searah dengan sumbu X seperti pada gambar 5. Bahan dinding yang digunakan adalah pasangan conblock dengan properties: 1) masa per satuan volume 120 kg/m 3, 2) berat persatuan volume 1200 kg/m 3, 3) dan modulus elastisitas 2,04x 108 kg/m2. Beban yang digunakan adalah beban gempa di wilayah 6 pada kondisi tanah lunak. Hasil perhitungan menunjukan bahwa dengan menambah dinding pasangan con-block pada frame kekakuan struktur bertambah, dan mereduksi simpangan yang dibutuhkan, dari Gambar 14 terbaca kinerja struktur yaitu simpangan demand 0,125 cm dan gaya lateral yang dibutuhkan untuk membuat simpangan sebesar 0,125 cm tersebut adalah 30,138 Tonf, lihat gambar 14a. Pada simpangan perlu 0,125 cm, dari gambar 14b tidak ada tanda kerusakan pada komponen struktur, ini berarti struktur risha dua lantai dengan dinding, sangat aman bila dibangun diseluruh wilayah gempa Indonesia.
Prediksi Kinerja Struktur … ( Cecep Bakheri B. )
Spektra demand, dengan damping rasio 5%.10%.15% dan 20%
Spektrum kapasitas struktur
Kinerja struktur
14a
14b
Gambar 14. Kurva Kapasitas VS Demand Struktur dengan Dinding, dalam Format ADRS pada Gempa Zona 6 Tanah Lunak
Struktur rumah dengan denah yang sama seperti diatas, tapi untuk satu lantai ( 36 m2) dengan kode struktur uji Risha 2L6. 1 Lt, diuji dalam kondisi tanpa dinding dengan beban gempa wilayah 6 kondisi tanah lunak. Hasil uji menunjukan bahwa struktur ini memiliki kinerja yang baik sehingga dapat
244
dibangun diseluruh wilayah gempa di Indonesia seperti dapat dilihat pada Spektra demand, dengan damping rasio 5%.10%.15% dan 20% Spektra kapasitas struktur Kinerja struktur
15a
15b Gambar 15. Kurva Kapasitas vs Demand Struktur BangunanLeleh Satu Lantai dalam Format ADRS pada Zona Gempa 6 Tanah Lunak
Gambar 15. Titik kInerja tercatat 0,425 cm dengan beban 6,8 Tf, kerusakan yang terjadi hanya berupa leleh pada balok tengah saja, sedang komponen yang lainnya masih utuh seperti terlihat pada Gambar 15b. Dengan demikian struktur rumah risha satu lantai tanpa dinding dapat digunakan diseluruh wilayah gempa Indonesia.
245
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Komponen-komponen struktur Rumah Risha memiliki mode keruntuhan geser, ditunjukan oleh parameter kapasitas simpangan setiap komponen struktur yang rendah, yaitu : kapasitas rotasi l, rasio daktilitas curvatur dan daktilitas simpangan serta dakltilitas simpangan. 2. Kemampuan deformasi maksimum pada struktur rangka dua lantai dengan luas bangunan 36 m2 atau luas lantai 72 m2 tanpa dinding dengan tidak menimbulkan kerusakan berat pada komponen struktur adalah 3,8 cm. Deformasi jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang diperkenankan untuk struktur ini, yaitu 30 cm (0,05 x 600 cm). 3. Struktur rangka tanpa dinding dua lantai, seperti tersebut pada butir 2, masih aman bila dibangun di wilayah gempa 1 sampai dengan wilayah gempa 5 pada kondisi tanah sedang sampai lunak dan wilayah 6 pada kondisi tanah keras saja. 4. Struktur rangka dua lantai dengan dinding dari pasangan conblock dapat menambah kekakuan struktur bangunan. Dengan bertambahnya kekakuan, maka simpangan perlu untuk mengantisipasi gaya gempa menjadi berkurang. Setelah dihitung dengan beban gempa di wilayah 6 pada kondisi tanah lunak simpangan perlu hanya 0,125 cm. Dengan simpangan sebesar ini tidak menimbulkan kerusakan pada semua komponen strukturnya, maka struktur rumah dua lantai dengan dinding pasangan bata merah memiliki kinerja sangat baik
Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
sehingga dapat dibangun diseluruh wilayah gempa Indonesia. 5. Struktur rumah satu lantai tanpa dinding, luas lantai 36 m2, dibebani dengan beban gempa wilayah 6 kondisi tanah lunak. Dari hasil uji menunjukan, pada simpangan perlu tidak terjadi kerusakan berat di hampir seluruh komponen strukturnya. Dengan demikian struktur rumah satu lantai dengan komponen dari panel Risha dapat dibangun diseluruh wilayah gempa Indonesia dengan kondisi tanah keras, sedang dan lunak. 6. Hasil perhitungan ini hanya berlaku untuk struktur model rumah Risha yang dihitung, dan belum memperhitungkan bukaan dinding serta ketidak simetrisan tata letak dinding. 7. Apabila mungkin terjadi perbedaan kinerja struktur yang dihitung dengan metoda CSM dengan dari hasil uji laboratorium skala penuh, itu disebabkan oleh perbedaan pengendali kerusakan yang terjadi pada komponen struktur setelah struktur model mencapai beban runtuh. Pada analisis dengan menggunakan methode CSM, kerusakan komponen struktur dikendalikan oleh penampang melintang panel yang berbentuk huruf “C” yang menyebabab kegagalan geser.
Saran 1. Perencanaan rumah risha harus mengikuti ketentuan pedoman teknis Bangunan tahan gempa, mengingat struktur ini rentan terhadap ketidakstabilan. 2. Bangunan rumah risha tidak digunakan untuk bangunan tiga lantai atau lebih, untuk bangunan sarana umum yang melebihi Prediksi Kinerja Struktur … ( Cecep Bakheri B. )
bentang modul 3 m disarankan untuk dihitung ulang. 3. Mengingat keberhasilan struktur ini tertumpu pada metoda pendirian dan pengencangan baut pada sambungan, maka pengawasan pada pekerjaan ini harus lebih mendapat perhatian khusus. 4. Perlu dilakukan ulang desain rangkaian penulangan untuk mendapatkan jumlah tulangan yang lebih sedikit dengan rangkaian yang lebih sederhana, tetapi tidak menurunkan kinerja yang ada. 5. Karena penampang panel RISHA cukup langsing ditambah dengan adanya pengurangan luas penanpang melintang panel, maka perlu dicari sistim sambungan antar panel sedemikian rupa sehingga kerusakan yang terjadi tidak pada panel RISHA tapi justru pada alat penyambung (baut) nya. Sambungan seperti ini yang telah dikenal dan diterapkan pada bangunan 20 lantai, yaitu jenis sambungan yang dikenal dengan nama sambungan HYBRID. Tapi pada sambungan jenis ini keutamaan terdapat pada kekuatan tekan beton.
DAFTAR PUSTAKA ATC 40, Seismic Evaluation and Retrofit of Concrete Building, 1996 Hiroshi KURAMOTO and Masanomi TESHIGAWARA, Conversion of Structural System of Building Into SDOF System, Lecture note IISEE,1996 Pusat Litbang Permukiman, Pengembangan Rumah Sederhana Sehat (RISHA), Laporan Akhir Kegiatan Penelitian 2004 Badan Standar Nasional, Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa 246
untuk Bangunan Gedung, 1726-2002.
247
SNI 03-
T.Paulay, M.J.N. Priestley, Seismic Design of Reinforced Concrete and Masonry Building
Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
PERAN KEMITRAAN DALAM PENATAAN RUANG TERHADAP PENGENDALIAN PERMUKIMAN Oleh : Lia Yulia Iriani Pusat Litbang Permukiman Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan – Kab. Bandung 40393 E-mail:
[email protected] Tanggal masuk naskah: 27 Agustus 2007, Tanggal revisi terakhir : 30 Mei 2008
Abstrak
Pengendalian Perumahan dan Permukiman merupakan salah satu muatan materi UU No.4/1992. Dalam aplikasinya berhubungan dengan ketentuan penataan ruang, yang memerlukan kebersamaan dan kemitraan dalam penyelenggaraannya dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, sebagaimana tercantum pada pasal 2 huruf f UU No.26/2007. Hal ini merupakan paradigma baru salah satu ketentuan penataan ruang yang tidak tercantum pada UU No.24/1992. Hubungan timbal balik antara penataan ruang kaitannya dengan pengendalian permukiman sebagaimana tercantum pada pasal 7 ayat 1 dan 2 UU No.4/1992, dimaksudkan untuk membentuk suatu sistem hukum yang memberi dasar jelas dan tegas serta menyeluruh bagi upaya pemanfaatan dan pengendalian permukiman di kawasan perkotaan maupun perdesaan namun peraturan tersebut perlu segera dirubah karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan saat ini. Salah satu hasil litbang berhubungan dengan hal tersebut menyatakan 71,43 % responden ketentuan UU No.4/1992 perlu disesuaikan dengan aturan baru dan karakteristik daerah, 28,57% aturan permukiman belum bisa mengendalikan timbulnya permukiman kumuh. Untuk itu diperlukan aturan yang lebih jelas dalam hal mengaplikasikan keterpaduan dalam penataan ruang di masyarakat.
Kata Kunci : Penataan ruang, kemitraan, pengendalian permukiman Abstract
Control of housing and settlements is the content of law number 4 year 1992. In its application, the law is about the rules of spatial planning, that need partnership in the implementation by involving all stakeholders as mentioned in paragraph 2 letter of law number 26 year 2007. This is a new paradigm of the rules of spatial planning that is not mentioned in law number 24 year 1992. The mutual relationship between the spatial planning and the control of settlements as mentioned in paragraph 7 verses 1 and 2 Law number 4 year 1992, is comended to form a legal system which sives a clear, firm and holistic basis in the effort to use and control settlements in urban areas and villages. Nevertheless, such a regulation has to be amended immediately as it is no longer compatible with the present condition. One of the research and development results is that 71,43 % of the respondents find that law number 4 year 1992 ought to comply with the new rules and regional characteristics. 28,57 % respondents think that the settlements regulation cannot control the development of slum areas. Therefore, a clearer regulation to apply an integrated approach for spatial planning should be formulated.
Key words : Spatial planning, partnership, settlements control
Peran Kemitraan dalam .... (Lia Yulia Iriani)
156
PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu misi penting sebagaimana tercantum pada UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang adalah tercapainya kebersamaan dan kemitraan dalam penyelenggaraan penataan ruang dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, sebagaimana tercantum pada pasal 2 huruf f UU No.26/2007. Hal ini merupakan suatu paradigma baru sebagai salah satu muatan ketentuan penataan ruang yang tidak tercantum pada UU No.24/1992, tentang penataan ruang sebelum diberlakukannya peraturan tersebut. Dalam pembahasan ini penulis bermaksud mengkaji hubungan timbal balik antara penataan ruang kaitannya dengan pengendalian permukiman sebagaimana tercantum pada pasal 7 ayat 1 dan 2 UU No.4/1992, dalam membentuk suatu sistem hukum untuk menjamin tercapainya tujuan penataan ruang yang memberi dasar jelas dan tegas serta menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pemanfaatan dan pengendalian permukiman di kawasan perkotaan maupun perdesaan. Berdasarkan hasil penelitian lapangan terhadap apilikasi ketentuan UU No.4 Tahun 1992, dalam pengendalian permukiman kumuh di perkotaan, terdapat beberapa ketentuan perlu penyesuaian dan penyempurnaan, diantaranya yang berkaitan dengan persyaratan teknis, ekologis, dan administratif dalam pembangunan rumah atau perumahan (penelitian dalam rangka penyusunan standar dan kriteria pembangunan permukiman di Jawa Barat. Balitbangda Prop. Jawa Barat dan P2LTH LPPM Unisba Bandung 2001). Mengenai hal ini erat kaitannya 157
dengan aspek penataan ruang, dimana dalam penyelenggaraannya diperlukan kebersamaan, kemitraan dan keterpaduan.
Permasalahan
Ada beberapa permasalahan dalam aplikasi dan penerapan undang-undang penataan ruang yang lebih operasional, terkait dengan pengendalian permukiman yaitu: Belum terkoordinasinya wewenang, tugas, dan kewajiban setiap instansi dalam penataan ruang baik secara struktural, substansional maupun fungsional. Target standar kualitas ruang yang didasarkan pada keserasian, keselarasan, keseimbangan fungsi budi daya dan fungsi lindung, dimensi waktu, teknologi, sosial budaya, serta fungsi hankam belum tercapai sesuai dengan kualitas dan fungsi peruntukan ruang. Wewenang pemerintah pusat yang bersifat pengaturan, pembinaan, pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional, kawasan strategis nasional, wilayah propinsi dan kabupaten / kota belum terlaksana dengan sinergis, sehingga terjadi peruntukan ruang yang tidak sesuai fungsi dengan salah satu akibatnya berupa dampak lingkungan, bencana alam, (banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan) yang dapat merugikan masyarakat.
Tujuan Tujuan penulisan adalah sejauh mana kebijakan dan pengaturan aplikasi kemitraan dan kebersamaan dalam penyelenggaraan penataan ruang dapat mengendalikan permukiman yang berwawasan lingkungan, ditinjau dari keterkaitan antara UU No.4/1992 dan UU No.26/2007. Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
METODOLOGI Metode Pendekatan Pembahasan materi penulisan menggunakan metode pendekatan yuridis-normatif dan yuridis sosiologis, analisis yang digunakan adalah kualitatif. Data primer diperoleh melalui deskwork kajian terhadap berbagai peraturan terkait dan hasil litbang bidang penataan ruang (naskah akademis,) tulisan hasil kajian para pakar hukum dan pakar perencanaan kota . Pola pikir pengkajian materi, berdasarkan beberapa aspek sbb: a. Peraturan perundangan terkait dengan penataan ruang, diantaranya kebijakan dasar yang termuat dalam UUD45 beserta perubahannya, UU No. 5/1960 tentang UUPA, UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 33 /2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, UU No.23/1997 tentang Lingkungan Hidup,beserta peraturan pelaksanaannya, sebagai landasan operasional. b. Peraturan terkait bidang permukiman diantaranya UU No.4/1992 tentang perumahan dan permukiman, UU No. 16/1986 tentang Rumah Susun, UU No.28/2002 tentang bangunan gedung, UU No.44/1999 tentang kehutanan, UU No.9/1990 tentang kepariwisataan, UU No. 5/1990 tentang konservasi Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, UU No. 3/2002 tentang pertahanan negara, UU No.18/1999 tentang jasa konstruksi UU No.7/2004 tentang sumber daya air. c. Pola hubungan kewenangan penataan ruang antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. d. Konsep pelibatan masyarakat dalam Peran Kemitraan dalam .... (Lia Yulia Iriani)
penataan ruang. e. Arah kebijakan nasional berdasarkan perkembangan tuntutan reformasi dan dinamika politik nasional maupun internasional, penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance), antisipasi isu-isu global. f. Model penataan ruang yang dihasilkan merupakan kebijakan operasional berdasarkan implementasi secara langsung dilapangan sehingga akibat yang ditimbulkan dari penataan ruang dapat dikendalikan sesuai dengan arah program kebijakan pelaksanaan pembangunan nasional. Beberapa aspek tersebut di atas berhubungan dengan pengendalian perumahan permukiman, yang menyangkut kelembagaan, perizinan, mekanisme, dan hak-hak masyarakat yang dapat berperan serta dalam penyelenggaraan tata ruang (PP No.69/1996).
KAJIAN PUSTAKA Definisi Kemitraan berdasarkan PP No.44/1997, pasal 1 ayat 1, adalah hubungan (kerjasama) antara dua pihak atau lebih, berdasarkan kesetaraan, keterbukaan dan saling menguntungkan (memberikan manfaat). Unsur kemitraan adalah: adanya hubungan (kerjasama) antara dua pihak atau lebih, kesetaraan antara pihak-pihak tersebut, keterbukaan atau kepercayaan (trust relationship), adanya hubungan timbal balik yang saling menguntungkan atau memberi manfaat. Konsep pengelolaan negara atas dasar penyelenggaraan pemerintah yang baik adalah adanya dukungan kemitraan (partnership), antara negara (state) dan masyarakat (society), (Dwight Waldo:1965, 158
hal:16). Berdasarkan konsep pemikiran tersebut Bintoro Tjokroamidjoyo(2000), mengemukakan bahwa sektor publik mencakup interaksi antara negara dan masyarakat, begitupun halnya dalam penyelenggaraan penataan ruang, untuk mencapai hasil yang optimal diperlukan adanya keterlibatan berbagai pihak terkait.
Teori Komponen Permukiman
Menurut pendapat Lego Niwhono dan Ahmad Hidayat (1986:17) menyatakan bahwa pembangunan perumahan dan permukiman berkaitan dengan ruang dan komponen-komponennya. Hal ini berarti dalam pembangunan perumahan permukiman baik pada tingkat perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian perlu memperhatikan pokokpokok pertimbangan komponen struktur tata ruang, meliputi aspek fisik, sosial, ekonomi dan budaya. Sejalan dengan hal tersebut, permukiman baik di perkotaan maupun di perdesaan memiliki faktor-faktor penunjang yang menurut Doxiadis digambarkan dengan nature, man, society dan network. Pada kehidupan masyarakat di Indonesia faktor-faktor yang dijabarkan oleh Doxiadis diterjemahkan atas faktor-faktor wisma, karya, marga, suka dan penyempurna. Wisma diartikan sebagai tempat tinggal, terdiri dari masyarakat dan lingkungan alamiah sekitarnya, sedangkan karya adalah tempat kerja baik disektor produksi usaha, sarana angkutan, pelayanan masyarakat, pelayanan ekonomi dan rekreasi. Marga merupakan sarana angkutan dan seluruh jaringan pergerakan. Suka merupakan komponen permukiman yang berorientasi pada aktivitas rekreasi. Komponen penyempurna terdiri dari aktivitas
159
pelayanan kesejahteraan dan utilitas umum.
Asas dan Ruang
Tujuan
Penataan
Penataan ruang sebagaimana tercantum pada Bab ll Pasal 2 UU No.26/2007, diselenggarakan berdasarkan asas: a. Keterpaduan b. Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan c. Keberlanjutan d. Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan e. Keterbukaan f. Kebersamaan dan kemitraan g. Perlindungan kepentingan umum h. Kepastian hukum dan keadilan i. Akuntabilitas Tujuannya (pasal 3) untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan, berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional dengan terwujudnya : a. Keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; b. Keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia; c. Perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Peraturan Terkait Penataan Ruang
dengan
Berbagai peraturan perundangan terkait dengan penataan ruang, diantaranya kebijakan dasar yang termuat dalam UUD 45 beserta perubahannya, UU No. 5/1960 tentang UUPA, UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No.33 /2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, UU No. 23/1997 tentang Lingkungan Hidup, Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
beserta peraturan pelaksanaannya, sebagai landasan operasional.
peruntukannya dapat mengakibatkan dampak negatif terhadap lingkungan.
Peraturan terkait dengan kegiatan pelaksanaan rencana dan program pembangunan fisik pemanfaatan ruang diantaranya UU No. 5/1984 tentang perindustrian, UU No. 11/1967 tentang pertambangan, UU No. 44/1999 tentang kehutanan, UU No. 9/1990 tentang kepariwisataan, UU No. 4/1992 tentang perumahan dan permukiman, UU No. 5/1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, UU No. 3/2002 tentang pertahanan negara, UU No.28/2002 tentang bangunan gedung, UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air.
Bentuk Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang
Salah satu peraturan terkait dengan penataan ruang yang dalam hal ini ada hubungannya dengan pengendalian perumahan dan permukiman adalah ketentuan pasal 7 (1) huruf a UU No. 4/1992, yang menyatakan bahwa setiap orang atau badan yang membangun rumah atau perumahan wajib mengikuti persyaratan teknis, ekologis, dan administratif, aplikasi dari peraturan tersebut masih terdapat pelanggaran, sehingga timbul permukiman di luar perencanaan tata ruang sebagaimana tercantum pada pasal 3 huruf c UU No.26 Tahun 2007, yang menyatakan penyelenggaraan penataan ruang apabila tidak sesuai dengan
Salah satu peran serta masyarakat dalam pemanfaatan dan pengendalian ruang adalah berperan serta dalam proses perencanaan, pemanfaatan dan mentaati rencana tata ruang, dengan menerapakan kaidah dan kriteria penataan ruang sesuai peraturan yang berlaku (ps 6 PP 69/1996). Ketentuan tersebut erat kaitannya dengan pengendalian permukiman, dimana pembangunan perumahan dan permukiman perlu mengikuti penataan ruang sesuai dengan peruntukannya.
PEMBAHASAN Keterkaitan Pengendalian Perumahan dan Permukiman dengan Aspek Penyelenggaraan Penataan Ruang Pengendalian Perumahandan Permukiman merupakan salah satu muatan materi UU No. 4/ 1992, dalam aplikasinya berhubungan dengan ketentuan penataan ruang, perlu disesuaikan sehubungan dengan telah diberlakukan-nya UU No 26/2007, secara lengkap tercantum pada tabel berikut :
Tabel 1. Penyesuaian Materi UU No.4/1992 dengan UU No.26/2007 Ketentuan yang perlu disesuaikan UU No.4/1992 dengan UU No.26/2007 Penataan dan pengelolaan perumahan dan permukiman,di daerah perkotaan dan perdesaan dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi (pasal 2(1) )
Penyelenggaraan pembangunan perumahan dan permukiman mewujudkan adanya ketertiban dan Peran Kemitraan dalam .... (Lia Yulia Iriani)
Penataan rumah dan perumahan yang berada diluar kawasan atau lingkungan permukiman, yang letaknya terpencar-pencar dan tidak membentuk suatu lingkungan permukiman, perlu pengendalian sesuai dengan wewenang pemerintah dalam penyelenggaraan penataan ruang .(pasal 8(5) UU No.26/2007 Keterkaitan peraturan sebagaimana tercantum UU No.4/1992 tersebut, perlu disesuaikan dengan 160
UU No.4/1992 kepastian hukum dalam pemanfaatan dan pengelolaannya, terkait dengan UU No.5/1960, UU No.5/1974,UU No.5/1979, UU No.4/1982. (ketentuan umum) Perumahan dan permukiman dilihat sebagai proses bermukim dalam menciptakan ruang kehidupan untuk memasyarakatkan dan menempatkan jati dirinya, (ketentuan umum). Pemantauan dan pengelolaan lingkungan merupakan salah satu syarat dalam mewujudkan rumah yang layak dalam lingkungan sehat, serasi, teratur (pasal 7(1) ) Kewajiban pemanfaatan rumah sesuai fungsinya yang utama, dengan tujuan untuk mencegah agar tidak menimbulkan gangguan bagi lingkungan dan tidak melanggar peraturan yang berlaku (pasal 8)
Kerjasama Penataan Ruang Tugas dan wewenang pemerintah pusat dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi pengaturan, pembinaan, dan pengawasan, peran kemitraan dalam hal ini meluputi kerjasama penataan ruang antar negara dan pemfasilitasan kerjasama penataan ruang antar provinsi, dan antar kabupaten kota. Tindak lanjut kerjasama penataan ruang antar negara dan antar propinsi diperlukan suatu aturan menteri (Ps 8 huruf d dan ps 10 huruf d UU No.26/2007). Kerjasama penataan ruang antar kabupaten kota, aplikasi secara terinci tercantum dalam peraturan daerah provinsi/kabupaten/kota. Ketentuan tersebut dihubungkan dengan pengendalian permukiman, terkait dalam hal kebijakan penataan kawasan permukiman yang memerlukan kerjasama antar wilayah/ propinsi /kabupaten/kota. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2007, meliputi penataan Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun (Kasiba/Lisiba) yang berdiri sendiri, penataan permukiman kumuh/nelayan, serta pembangunan kawasan strategis nasional. Keterkaitan 161
Ketentuan yang perlu disesuaikan dengan UU No.26/2007 peraturan baru, karena ketentuan tersebut sudah tidak berlaku, dengan adanya UU No. 32/2004,UU No.23/1997, dan UU No.33/2004), UU No.26/2007 Menciptakan ruang, harus sesuai dengan perencanaan tata ruang sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat 1 s/d 6 UU No.26/2007 Perlu diikuti dengan pemanfaatan ruang sesuai ketentuan pasal 32 ayat 1 s/d 6. UU No. 26/2007 Pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang (pasal 33).
Penataan Ruang dan Pengendalian Permukiman diperlukan pembinaan sesuai dengan kewenangannya masing masing baik antar pemerintah pusat maupun daerah kota/kabupaten, melalui koordinasi program instansi terkait dengan penataan ruang, sosialisasi paeraturan undang-undang terkait maupun standar, pedoman, manual bidang penataan ruang, serta pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi maupun pendidikan dan latihan serta hasil litbangnya, dengan pola pembinaan menurut kewenangan masing-masing pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota. Dengan adanya koordinasi dalam penataan ruang diharapkan tercapainya keselarasan aspirasi pembangunan propinsi/ kabupaten/ kota, sebagaimana tercantum pada pasal 13 huruf a dan pasal 22,25 huruf c (UU No.26/2007 jo ps 7 (1) UU No.4/1992). Pelaksanaan pemanfaatan ruang agar sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW), pemerintah daerah dapat memberikan insentif atau disinsentif pada pengembang berupa imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan sejalan dengan rencana tata ruang Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
berupa, keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan sewa ruang dan urun saham, pengadaan infrastruktur, kemudahan prosedur perijinan, serta adanya penghargaan kepada masyarakat atau pemerintah daerah, dengan adanya ketentuan tersebut pengembangan dan peruntukan permukiman sesuai dengan perencanaan tata ruang yang ada.
Penegakan Hukum Penataan Ruang
Dibidang
Salah satu hal penting berkaitan dengan wewenang yang diserahkan ke daerah, adalah berkenaan dengan upaya penegakan hukum administrasi yang terkait dengan perizinan, pengawasan dan sanksi. Wewenang menerapkan sanksi administrasi pada dasarnya merupakan “discretionary power” ,dimana pemerintah diberi wewenang
untuk mempertimbangkan dan atau menilai apakah wewnang tersebut dapat diterapkan atau tidak, dengan pertimbangan, misalnya karena alasan ekonomi, instrumen paksaan yang tidak memadai, tidak mampu untuk memaksa, keraguan pemerintah tentang suatu pelanggaran, dll. Mengenai penegakan hukum dalam penataan ruang ini sangat berkaitan dengan pengendalian permukiman, dimana ketegasan dalam pelaksanaan aturan yang berlaku dan keterpaduan instansi terkait sangat berpengaruh dalam upaya pengendalian perumahan permukiman, yang timbul secara sporadis, dan tidak berdasarkan Rencana Penataan Ruang. Hubungan tersebut secara lengkap tercantum pada tabel berikut:
Tabel 2. Keterpaduan dalam Penataan Ruang dan Pengendalian Permukiman Pelaksanaan hak Peran serta Penetapan sanksi Hasil litbang dan kewajiban masyarakat Hak menempati Diberlakukannya sanksi Peran masyarakat Terdapat hubungan rumah yang layak pidana bagi setiap bagi setiap orang timbal balik antara bagi setiap warga pelanggaran ketentuan dalam penataan ruang penataan ruang negara ( ps5) UU pasal 7(1),ps 12 (1),ps merupakan hak yang dengan pengendalian No.4/1992. 24, ps 26 (1). harus diikuti dengan permukiman di UU No.4/1992 ketentuan dan tata daerah. (naskah Hak mengetahui cara yang berlaku . akademik,RUU penataan dan Penetapan sanksi (ps 60 huruf a,b) UU perubahan UU No. penambahan nilai administratif dan No26/2007. 24/1992, Dep. PU ruang, bagi setiap pidana bagi yang 2005). orang (ps 60 UU melanggar Menyediakan No.26/2007) pemanfaatan ruang perumahan yang 71,43 % responden sesuai pasal 61 huruf layak huni sesuai menyatakan ketenKewajiban a.dan b UU ketentuan yang tuan UU No.4/1992 mengikuti No.26/2007 berlaku .Ps5(1),(2) perlu disesuaikan depersyaratan teknis, UU No.4/1992 ngan aturan baru, ekologis, disamping itu perlu administratif bagi penyesuaian standar setiap orang atau dan kriteria pembaBadan Hukum yang ngunan perkim nasimembangun rumah onal sesuai dengan (ps 7(1) UU karakteristik daerah. No.4/1992 28,57 % aturan perPeran Kemitraan dalam .... (Lia Yulia Iriani)
162
Pelaksanaan hak dan kewajiban
Penetapan sanksi
Peran serta masyarakat
Hasil litbang kim belum bisa mengendalikan timbulnya rumah kumuh. (Penyusunan standar kriteria pembangunan Perkim di Jabar Lap. Akhir Balitbangda Prop.-Jabar,P2LTH LPPM Unisba,2001 ).
Kewajiban setiap orang mentaati penataan ruang yang telah ditetapkan (ps61 UU No.26/2007)
Ketentuan UU No. 26 tahun 2007, memuat sesuatu yang baru yang tidak diatur dalam UU No. 24 Tahun 1992, dimana ketentuan ini dalam pelaksanaannya tidak terlepas dari Rencana Tata Ruang Kawasan Metropolitan/ Megapolitan ps 44 (1)
Alat koordinasi pelaksanaan pembangunan lintas wilayah ps 44 (1)
kebersamaan dan kemitraan, dan berhubungan dengan pengendalian permukiman, secara jelas tercantum pada gambar berikut: Arahan pemanfaatan ruang kawasan metropolitan/megapolitan, berisi indikasi program utama bersifat interdependen antar wilayah administratif. (ps 44 huruf e)
Kerjasama penataan ruang kawasan perdesaan, pasal 53 paragraf 5 Kerjasama antar daerah (ps 54). Keterpaduan sistem permukiman, prasarana, ruang terbuka hijau dan non hijau, pasal 54 (5)
Gambar 1 . Keterpaduan Sistem Penataan Ruang Metropolitan/Megapolitan
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Salah satu asas dan tujuan dalam penyelenggaraan penataan ruang adalah kebersamaan dan kemitraan serta keterpaduan, dengan melibatkan mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah dan lintas pemangku kepentingan antara pemerintah, pemerintah daerah, dan 163
masyarakat. Ketentuan yang tercantum pada pasal 2 beserta penjelasan UU No. 26 Tahun 2007 ini, berhubungan dalam hal pengendalian permukiman; 2. Pengelolaan negara atas dasar penyelenggaraan pemerintah yang baik adalah adanya dukungan kemitraan (partnership) antar negara (state) dan masyarakat (society), dalam pelaksanaan pem-
Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
bangunan termasuk penyelenggaraan dan pemanfaatan ruang. 3. Ketegasan alam pelaksanaan aturan yang berlaku dan keterpaduan instansi terkait sangat berpengaruh dalam upaya pengendalian perumahan permukiman,yang timbul secara sporadis, dan tidak berdasarkan Rencana Penataan Ruang.
Saran 1. Diperlukan suatu aturan yang jelas bagaimana mengaplikasikan kebersamaan dan kemitraan dalam penataan ruang, sehingga pemanfaatan ruang sesuai peruntukannya dapat dicapai secara lebih berdaya guna. 2. Aspek perijinan merupakan salah satu faktor dalam hal mengendalikan pemanfaatan ruang dan penyediaan permukiman yang tidak sesuai peruntukannya, sehingga untuk itu diperlukan prosedur tetap perijinan dalam penyelenggaraan penataan ruang maupun pendirian bangunan dalam satu atap secara lebih terkoordinasi.
DAFTAR PUSTAKA Dwight Waldo, 1995, Characteristics of
Organizational Environment and Perceived Uncertainly, Administrative Science Quarterly, Vol. 17
h, Newyork. Iriani Yulia, Substansi
Peraturan
yang
Kebutuhan Mendukung
Peran Kemitraan dalam .... (Lia Yulia Iriani)
2
Pemberdayaan Kelembagaan Perumahan dan Permukiman di Daerah, Jurnal Permukiman ISSN: 1907-4352, Vol 1 No. 2, September
2006. Lego Niwhono, 1986, Ahmad Hidayat,
Komponen Keterkaitan Pembangunan Perumahan dan Permukiman, di Indonesia, Amus Yogyakarta,. Naskah Akademik Rancangan Undangundang tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, Dep. PU 2005. Philips, Leonard, E, 1993, Urban Trees:
A Guide for Selection Maintenance and Master Planning, USA. Peter. F. Drucker, 1994, Organizational Structure, Manajement, Environment and Performance, Vol 6, London. Penelitian dalam Rangka Penyusunan Standard Kriteria Pembangunan Permukiman di Jawa Barat, Laporan Akhir, 2001, Kerjasama Balitbangda Prop.Jawa Barat dengan P2LTH LPPM Unisba, Bandung. Tjokroamijoyo Bintoro, 2000, Perilaku Organisasi, Edisi Refisi, Amus, Yogyakarta . Undang-undang No.4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang No.23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
164
Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 1 Mei 2008
PENGARUH PENGGUNAAN PREPACKED AGGREGATE CONCRETE TERHADAP PERBAIKAN JOIN BALOK KOLOM EKSTERIOR PRACETAK PASCA PEMBEBANAN SIKLIK STATIK Oleh: Siti Aisyah Nurjannah
Pusat Litbang Permukiman Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan – Kab. Bandung 40393 E-mail :
[email protected] Tanggal masuk naskah: 23 Agustus 2007, Tanggal revisi terakhir : 05 Mei 2008
Abstrak
Saat mengalami beban gempa, struktur rangka bangunan akan menyerap energi gempa secara terus menerus sehingga memasuki keadaan plastis dan mencapai batas kekuatannya, sehingga diharapkan terjadi sendi plastis pada komponen join, yaitu pada ujung balok di muka kolom. Tingkat kerusakan yang terjadi pada struktur bangunan yang menahan beban gempa adalah rusak ringan, rusak sedang, atau rusak berat. Struktur dengan jenis kerusakan ringan dan sedang masih bisa diperbaiki dan diperkuat. Sedangkan, struktur dengan kerusakan tingkat berat tidak dapat diperbaiki. Penelitian ini membahas kinerja join balok kolom eksterior pracetak yang mendapat beban siklik statik dalam dua tahap. Setelah mengalami kerusakan akibat pembebanan tahap ke-1, join diperbaiki. Setelah beton prepack cukup umur, join diuji dengan beban siklik statik tahap ke-2. Hasil uji beban yang dikaji adalah perbandingan kinerja join pada tahap ke-1 dan ke-2 yang meliputi: daktilitas, disipasi energi, momen-kelengkungan, dan pola retak.
Kata-kata kunci: Daktilitas, disipasi energi, pola retak. Abstract
When an earthquake occurs, the building frame structures will dissipated earthquake energy continually and achieve plastic condition and reach the ultimate strength, thus it is expected that the plastic hinges of joint components occurs in the beam edge, in front of the column. The damage stages of resisting-earthquake building structures are light damage, medium damage, and heavy damage. The light damage structures are still can be repaired and strengthened, while the heavy damage structures cannot be repaired. This research discusses performance of an exterior beam column joint which loaded in two stages of cyclic static loading. After the joint had damages in the 1st loading stage, it was repaired. And, after the prepacked concrete reached the adequate age, the joint was loaded in the 2nd loading stage. The determined loading result is the performance comparison between the 1st and the 2nd loading stage which covers: ductility, energy dissipation, moment-curvature, and crack pattern.
Keywords: Ductility, energy dissipation, crack pattern. PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan kawasan kepulauan yang sebagian besar berpotensi mengalami gempa bumi. Kawasan dengan potensi gempa cukup besar meliputi sepanjang bagian barat Pulau Sumatera, sepanjang bagian selatan Pulau Jawa, 217
bagian timur Pulau Sulawesi, Propinsi NTB, NTT, dan Papua. Dengan potensi kegempaan yang cukup besar, maka hubungan kekuatan struktur bangunan dengan gempa bumi merupakan hal yang harus diperhatikan. Apabila terjadi gempa, struktur bangunan bekerja menahan gempa sehingga mengalami kerusakan dari tingkat ringan, sedang, sampai berat. Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
Struktur dengan jenis kerusakan ringan dan sedang masih bisa diperbaiki dan diperkuat. Sedangkan, struktur dengan kerusakan tingkat berat tidak dapat diperbaiki.
ngembangkan metoda perbaikan struktur join balok kolom eksterior pracetak (JBKEPC) dan join balok-kolom interior pracetak pada umumnya yang telah mengalami kerusakan akibat beban gempa.
Rusak ringan struktur adalah kerusakan yang tidak memerlukan perbaikan pada komponen struktur dan nonstruktur. Rusak ringan berupa retak dan leleh pada tulangan. Rusak sedang struktur adalah kerusakan yang masih dapat diperbaiki. Contoh rusak sedang adalah terlepasnya selimut beton dan retak lebar pada daerah sendi platis. Rusak-berat struktur adalah kerusakan struktural yang tak dapat diperbaiki, tetapi struktur tidak sampai runtuh.
Tujuan
Struktur rangka kaku dari beton bertulang yang mengikuti konsep kolom kuat – balok lemah (KKBL) akan merespon beban gempa dengan menyerap energi gempa melalui terbentuknya sendi-sendi plastis di ujung balok yang berada di muka kolom. Struktur beton bertulang yang mengikuti konsep KKBL memiliki daktilitas yang besar, sehingga sanggup menyerap energi gempa melalui pembentukan sendi plastis pada ujung balok di muka kolom tanpa diikuti kerusakan kolom, sehingga struktur tidak runtuh total. Kerusakan sendi plastis pada ujung balok dapat diperbaiki sehingga bila memungkinkan, kekuatan dan kekakuan struktur kembali seperti semula. Hal ini dapat menghemat biaya infrastruktur suatu bangunan. Pada tahun 2002, penelitian tentang kinerja struktur join balok kolom pracetak yang diperbaiki dengan menggunakan prepacked aggregate concrete dilaksanakan di Laboratorium Struktur dan Bahan, Institut Teknologi Bandung.
Maksud Maksud penelitian tersebut adalah untuk mencari tingkat kinerja dan mePengaruh Penggunaan Prepacked.... (Siti A.N.)
Hasil penelitian tersebut diharapkan dapat membantu upaya perbaikan struktur gedung bertingkat (rumah, ruko, atau rusun) yang masih dapat diperbaiki (mengalami rusak ringan s.d. rusaksedang) dengan metoda yang mudah untuk diterapkan oleh masyarakat.
TINJAUAN PUSTAKA Join Balok-Kolom
Berdasarkan konsep desain kapasitas, diharapkan join akan berperilaku daktail di bawah beban gempa kuat. Perilaku yang diharapkan dari join balok kolom eksterior adalah daktail dengan memberikan respon inelastik pada saat mengalami beban gempa kuat.
Jenis Gempa
Jenis gempa dikategorikan berdasarkan peluang kejadian [8]: 1. Gempa kecil; perioda ulang 50 tahun. Peluang kejadian per tahun 0,02. 2. Gempa sedang. Peluang kejadian per tahun adalah 0,002. 3. Gempa kuat. Peluang kejadian per tahun adalah 0,0002.
Kriteria Desain dan Mekanisme Join Balok Kolom Kriteria desain yang disarankan dalam perencanaan join balok kolom adalah:
Kekuatan join minimal harus sama dengan bagian-bagian struktur pembentuk join, tetapi harus lebih kuat dari sendi plastis. Hal ini diperlukan untuk mengeliminasi daerah yang tidak dapat dimasuki pada saat perbaikan. Dengan demikian, disipasi energi pada daerah 218
join akan terjadi dengan baik dan kekakuan benda uji berkurang pada saat pembebanan siklik. Join harus mampu berdeformasi dan menyalurkan gaya geser rangka struktur Kekuatan kolom harus lebih tinggi daripada balok. Pada gempa kecil dan gempa sedang, join diharapkan masih berdeformasi elastis, yang berarti juga join tidak boleh memperbesar simpangan antar tingkat dan tidak terjadi kerusakan akibat geser. Kapasitas kekuatan kolom tidak boleh berkurang akibat degradasi kekuatan dari join Pengaturan tulangan join tidak boleh menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaan
Daktilitas Daktilitas adalah kemampuan struktur untuk menahan respon inelastik sambil mempertahankan sebagian besar dari kekuatan awalnya dalam memikul beban. Daktilitas merupakan perbandingan antara regangan /kelengkungan/ deformasi/ rotasi pada kondisi batas dengan regangan /kelengkungan/ deformasi /rotasi pada kondisi leleh pertama.
METODA PENELITIAN
kelengkungan balok, dan pola retak. Hasil uji tahap ke-1 dan tahap ke-2 dibandingkan untuk memperoleh tingkat kinerja join yang telah mendapat perbaikan.
Benda Uji Benda uji adalah join balok-kolom eksterior pracetak dengan dimensi dan penulangan join mengacu pada Tata Cara Perhitungan Beton Bertulang Indonesia SK SNI–T–15–1991–03. Join eksterior pracetak menggunakan sambungan mekanis mur kopel (Gambar 1 dan 2). Gaya tarik/tekan pada tulangan balok (1) melalui pelat kopel (2) disalurkan ke tulangan penyambung tetap (3). Gaya-gaya ini kemudian disalurkan ke tulangan penyambung bebas melalui mur kopel (4). Pelat kopel dan tulangan penyambungtetap (5) dipasang pada tulangan balok dengan menggunakan las sebelum proses pengecoran berlangsung. Pada proses ini, tulangan penyambung tetap harus terpasang presisi sehingga memungkinkan untuk disambung pada tulangan penyambung bebas dengan mur kopel. Pelat ujung (6) diperlukan khusus pada sambungan balok-kolom eksterior, yang bersama-sama mur (7) membentuk beam stub.
Penelitian secara Eksperimental di Laboratorium Setelah melakukan studi pustaka hasil penelitian tentang kinerja join balok-kolom monolit dan pracetak terhadap beban gempa, maka penelitian dilanjutkan dengan uji pembebanan siklik statik skala penuh terhadap join balok kolom eksterior pracetak (uji beban ke-1). Setelah diperbaiki, join diuji beban ulang dengan beban siklik statik tahap ke-2. Hasil uji tahap ke-1 dan tahap ke-2 berupa kurva hubungan beban dengan perpindahan di ujung balok, nilai disipasi energi, kurva hubungan momen dengan 219
(5)
(3)
(7)
(1)
(2)
(6)
(4)
Gambar 1. Sambungan JBKE-PC
Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
Riwayat pembebanan untuk pengujian benda uji sistem struktur dilakukan berdasarkan pada kontrol-beban pada dua siklus pertama. Pembebanan pada siklus selanjutnya dilakukan dengan kontrolperpindahan. Riwayat pembebanan pada pengujian ini mengacu pada NEHRP
55 5
55
Batang penyambung
7 8
f10 - 60
102
25
A
B
C D
15
4.3 2.7 3.6
5.35
8
100
11.6 1.8 2.3
2.65
3.6
2
2
8
3.6
5.7 6.4
Washington D.C.
6.35 Pot B-B
Pot A-A
Recommended Provision for The Development of Seismic Regulation for New Building, edisi 1994 yang dipublikasikan oleh Federal Emergency Management Agency 222A and 223A ,
13.8
6
2.3 6.35 Pot C-C
11
4
LAS
Pot D-D
Gambar 2. Penulangan JBKE-PC
Bahan Perbaikan Join Balok – Kolom Bahan yang dipakai untuk cor ulang bagian sendi plastis yang telah rusak adalah agregat lolos saringan berdiameter 19,5 mm dan tertahan pada saringan dengan diameter 12,5 mm serta semen Sika Grout 215 agar memiliki nilai kuat tekan yang lebih tinggi daripada beton lama.
Prosedur Pembebanan
Analisis numerik dilakukan untuk merencanakan riwayat pembebanan yang diberikan pada benda uji. Analisis numerik dengan pemodelan beban siklik statik dilakukan untuk memperkirakan beban horizontal yang menyebabkan tercapainya leleh (Py) pada benda uji. Dengan perkiraan beban leleh yang terjadi maka direncanakan jumlah siklus, step pembebanan, dan besaran beban puncak untuk tiap siklus pembebanan. Riwayat beban dilakukan dengan menambah perpindahan yang terukur secara teratur (kontrol-perpindahan) agar data yang diperoleh pada daerah plastis cukup akurat. Pengaruh Penggunaan Prepacked.... (Siti A.N.)
Daktilitas
100
2 0 -2
0
1
2
3
4
5
6
7
8
-4 -6
= 0,75
= 2,0
= 4,0
= 6,0
-8 Siklus
Gambar 3. Siklus Rencana Pembebanan Berdasarkan NEHRP 1994
Set up Pengujian
Benda uji join eksterior diletakkan pada loading frame baja. Bagian bawah kolom dijepitkan pada pelat baja di atas lantai, sedangkan sekeliling bagian bawah kolom dijepit oleh frame dan dua pelat baja. Di sekeliling bagian atas kolom dijepit oleh frame dan dua pelat baja serta mendapat gaya aksial tekan dari Load Cell yang merupakan pengganti beban mati dan beban hidup bangunan. Pembebanan siklik oleh aktuator diaplikasikan pada jarak 900 mm dari muka kolom.
220
HASIL UJI DAN PEMBAHASAN Mutu Beton dan Baja Kekuatan tekan beton untuk uji beban tahap ke-1 dan kekuatan tekan beton prepack untuk uji beban tahap ke-2 diperoleh dari uji kuat tekan beton silinder berdiameter 15 cm dan tinggi 30 cm. Tabel 1. Kuat Tekan Beton Tahap ke-1
Gaya Kuat RataTekan Tekan rata
Berat No. Sampel (kg) 1 2 3
Instrumen Pengujian Untuk mengukur regangan, defleksi, dan rotasi pada elemen baja dan beton diperlukan instrumen berikut: 1. Loading frame (rangka baja) yang menahan benda uji. 2. Load Cell untuk membaca besarnya gaya aksial yang bekerja pada kolom. 3. Aktuator sebagai alat pembebanan bolak-balik pada ujung balok. 4. Komputer dan software DARTEC untuk mengontrol besarnya pembebanan dan perpindahan pada ujung balok. 5. Data Logger Tipe UCAM 70 untuk mencatat data pengujian. 6. Linear Variable Displacement Transducer (LVDT) untuk mengukur perpindahan yang terjadi pada struktur. 7. Strain Gauge baja dan beton untuk mengukur regangan. 8. Inclinometer untuk mengukur besarnya rotasi pada kolom di daerah join dan ujung balok.
221
12,38 12,51 12,40
(MPa) (MPa)
860,00 729,10 835,00
48,67 41,26 47,25
45,73
Nilai kuat tekan beton prepack (tahap ke2) adalah 49,92 MPa. Nilai tegangan leleh baja diperoleh dari uji tarik baja berdiameter f10, D15, dan D16. Tabel 2. Nilai Tegangan Leleh Baja
Nomor Benda Uji
Jenis
Ukuran
1 2 3
Ulir Ulir Polos
D 16 D15 f10
fy (MPa) 338 325 355
Hasil Uji Beban Perbandingan Perilaku Hubungan antara Beban Aksial (P) dan Perpindahan (d) 80 60 40
Beban (kN)
Gambar 4. Sistem Hubungan Pembebanan Siklik
(kN)
20 0 -100 -75
-50
-25-20 0
25
50
75
100
-40 -60 -80 Perpindahan (mm)
Gambar 5. Kurva Histeresis Beban Perpindahan JBKE-PC ke-1
Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
80 60
Beban (kN)
40 20 -100 -75
-50
0 -25-20 0
25
50
75
100
-40 -60 -80 Perpindahan (mm)
Gambar 6. Kurva Histeresis Beban Perpindahan JBKE-PC ke-2 80
Beban (kN)
60 40
20 0 -10 -80 -60 -40 -20 -20 0 0 -40
20 40
60
80 100
-60 -80 Perpindahan (mm) JBKE-PC #1
JBKE-PC #2
Gambar 7. Perbandingan Kurva Envelope Beban Perpindahan Join Eksterior Pracetak ke-1 dan ke-2
Kurva histeretik beban – perpindahan join pracetak ke-1 dan ke-2 memperlihatkan terjadinya slip yang ditunjukkan oleh bentuk kurva yang langsing pada bagian tengah (pinching). Pinching effect menyebabkan penurunan kemampuan struktur untuk mendisipasi energi. Penyebab terjadinya pinching effect tersebut adalah kelemahan pada sambungan baut antara tulangan penyambung dengan pelat di dalam balok dan slip. Pada kurva beban – perpindahan join pracetak ke-2, terjadi perlemahan tambahan akibat sambungan telah mendapat beban siklik statik ke-1. Slip terjadi akibat beberapa hal sebagai berikut:
Lemahnya lekatan antara tulangan dengan beton. Kekuatan lekatan merupakan fungsi dari kuat tekan
Pengaruh Penggunaan Prepacked.... (Siti A.N.)
beton dan tekstur permukaan tulangan baja (polos atau ulir). Pada tulangan polos, mekanisme lekatan tersebut tergantung pada ikatan adhesi dan friksi antara beton dengan permukaan tulangan. Sedangkan, pada tulangan ulir, mekanisme lekatan beton dengan baja tergantung pada ikatan adhesi, friksi antara beton dengan permukaan tulangan, dan interlocking antara beton dengan ulir. Penggunaan baut menyebabkan adanya celah antara baut dengan selongsong. Adanya celah antara tulangan penyambung dengan selongsong Terjadinya buckling pada tulangan ketika mengalami tekan.
Cara mengatasi slip dengan cara: Meng-grout celah yang terletak di antara tulangan dengan selongsong dengan menggunakan epoxy. Lubang grouting pada kolom adalah ½ hc dan jarak l kira-kira adalah 1/3 dari panjang tulangan penyambung balokkolom. Polimer harus dipastikan memenuhi celah yang ada. Kemudian celah yang tersisa ditutup dengan lilin malam agar polimer tidak tumpah. Baut dikencangkan kembali, kemudian dilas ke pelat pada kolom.
Lubang grouting epoxy
l
Gambar 8. Grouting Celah Selongsong
Pada Gambar 5 dan 6, terlihat bahwa nilai perpindahan positif join pracetak tahap 222
ke-2 lebih kecil daripada join pracetak tahap ke-1. Sedangkan, nilai perpindahan negatif join pracetak tahap ke-2 lebih besar daripada join pracetak tahap ke-1. Hal ini disebabkan kelemahan pada bagian bawah balok, akibat proses prepack yang tidak sempurna. Pada bagian bawah balok terdapat honeycomb (keropos).
Penggunaan nonshrinkage mortar sebagai agregat halus yang mengisi celah antara beton dengan agregat kasar.
Honeycomb
tersebut terjadi karena beberapa hal sebagai berikut: Tidak terdapat agregat halus (diameter <0,075 mm) yang berfungsi sebagai pengisi celah antara beton dengan agregat kasar (diameter>4,75 mm). Terdapat agregat yang berbentuk pipih, sehingga terjadi rongga antara beton dengan agregat. Proses pemadatan tidak sempurna. Pada saat pengecoran, sudah terjadi setting time (Setting time Sika Grout 215: 25 menit).
Foto 1. Kondisi JBKE-PC ke-1 Pascapembebanan Pertama (Atas)
Honeycomb
mengakibatkan nilai kuat tekan beton menurun, sehingga serat balok bagian bawah tidak kuat menahan beban tekan. Pada saat mendapat beban tekan, perpindahan arah negatif menjadi besar. Sebaliknya, pada saat pembebanan tarik, serat balok bagian atas kuat menahan tekan, sehingga perpindahan positifnya kecil. Perilaku ini dijelaskan pada Gambar 10. Honeycomb ini juga mengakibatkan nilai momen inersia gross (Ig) menurun, sehingga nilai momen inersia efektif (Ieff) juga menurun (persamaan 1 s.d. 6). Akibatnya, terjadi perpindahan yang besar pada ujung balok JBKE-PC tahap ke-2 karena: Nilai Ec2 < Ec1 Nilai Ieff 2 < Ieff 1 Nilai EIeff 2 < EIeff 1 Cara mencegah terjadinya honeycomb adalah dengan melakukan beberapa hal berikut: Menggunakan bahan aditif retarder untuk memperlambat pengerasan beton. 223
Foto 2. Sambungan Balok dengan Kolom JBKEPC ke-2 pada Kondisi Akhir Pembebanan
Nilai perpindahan (d) merupakan fungsi dari modulus elastisitas beton (Ec) dan kuat tekan beton (fc’), seperti yang dinyatakan pada persamaan-persamaan berikut:
d2y dx
i
2
M dA Ec I eff
Pi L3 3E c I eff
3 3 M cr I g 1 M cr I cr I eff M cr _ aktual M cr _ aktual
M cr Wx f r 1 M cr bh 2 0,7 f c' 6 1 3 I g bh 12
(1)
(2)
(3) 4) (5) (6)
Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
Daktilitas Nilai daktilitas ditentukan dari perbandingan perpindahan ujung balok saat ultimate dibandingkan dengan saat leleh pertama. Nilai perpindahan saat leleh pertama diperoleh dari pendekatan persamaan linear yang dibentuk dari nilai (d, P) puncak pada siklus ke-2 dan ke-3. Tabel 3. Nilai Daktilitas JBKE Pracetak ke-1 No.
Perpindahan Leleh
Faktor Reduksi Daktilitas Beban () Gempa Ultimate (R ) Rata2 Perpindahan
(mm)
(mm)
Du/dy
1
24.35
89.79
3.69
5.90
2
-16.89
-81.5
4.82
7.71
4.26
6.81
Rata-rata
Nilai daktilitas join pasca uji beban kedua menurun menjadi 64,08 % dari nilai daktilitas join pasca uji beban pertama.
Disipasi Energi Nilai disipasi energi (DE) yang bisa dibandingkan hanya sampai siklus kelima, karena pada siklus ke-6, pembebanan sudah tidak dilakukan sebanyak satu siklus utuh akibat keterbatasan ruang gerak balok pada loading frame. Tabel 5. Disipasi Energi Benda Uji (BU) Join Pracetak ke-2 Daktili Siklus tas 1
0,75
1 2
(mm) (mm) 19.13 64.28 -32.81 -69.06 Rata-rata
Du/dy 3.36 2.10 2.73
5.38 3.36 4.37
Nilai daktilitas pada JBKE-PC ke-2 lebih kecil daripada nilai daktilitas pada JBKE-PC ke-1 karena kemampuan join dalam mendisipasi energi telah menurun akibat pembebanan siklik statik pertama. Berdasarkan SNI – 1726 – 2002, termasuk daktilitas parsial. Nilai faktor reduksi beban gempa diperoleh berdasarkan Tabel 2 (5). Nilai daktilitas pembebanan dorong lebih besar daripada pembebanan tarik karena pada bagian bawah balok prepack terdapat honeycomb yang menyebabkan perpindahan ujung balok lebih besar pada saat pembebanan dorong. Pengaruh Penggunaan Prepacked.... (Siti A.N.)
BU ke-1
BU ke-2
293.720
Rasio DE BU ke-2/ DE BU ke-1
462.994
1.576
2
307.780
338.726
1.101
3
1050.850
2085.521
1.985
4
637.340
1135.045
1.781
5
4089.910
2318.932
0.567
6
2004.890
1470.082*
0.733
7
4730.100
Total DE
13114.590
7811.300
59.6%
2
Tabel 4. Nilai Daktilitas JBKE Pracetak ke-2 Faktor Rata2 PerpinReduksi Perpin- Daktilitas No. dahan Beban dahan () Leleh Gempa Ultimate (R )
Energi Disipasi Join Pracetak (kN.mm)
4 6
* Siklus ke-6 hanya dilakukan setengahnya karena tidak mencapai nilai perpindahan dan nilai beban terbesar.
Tabel 6. Disipasi Energi per Siklus dan Daktilitas Energi Kumulatif Energi Kumulatif Daktilitas
0,75 2 4 6
Siklus
JBKE - PC ke-1
JBKE – PC ke-2
(kN-mm)
(kN-mm)
1
293,72
462,99
2 3 4 5 6 7
601,50 1652,35 2289,69 6379,60 8384,49 13114,59
801,72 2887,24 4022,29 6341,22 7811,30 -
224
Nilai Komulatif Disipasi Energi (kN.mm)
14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 0
1
2
3
4 5 6 7 Siklus JBKE - PC #1 JBKE - PC #2
8
Gambar 9. Perbandingan Nilai Kumulatif = Disipasi Energi JBKE-PC ke-1 dan JB KE-PC ke-2
Baut lepas (awal siklus ke-6)
Las penyambung rusak (siklus ke-5)
Gambar 10. Baut Tulangan Penyambung Balok ke Kolom
Pada join pracetak ke-2, nilai disipasi energi lebih besar daripada join pracetak ke-1 hanya pada siklus pertama sampai dengan siklus ke-4. Sejak siklus ke-5 nilai disipasi energi jauh menurun akibat las tulangan penyambung kanan atas yang rusak. Sedangkan pada awal siklus ke-6, baut tulangan penyambung kiri atas lepas, sehingga tulangan penyambung tersebut tidak berfungsi lagi. Akibatnya struktur tidak mampu mendisipasi energi dengan baik. Pada join pracetak ke-2, nilai disipasi energi pada suatu siklus lebih besar daripada join pracetak ke-1, disebabkan oleh nilai perpindahan maksimum akibat beban tarik dan perpindahan minimum akibat beban dorong pada benda uji ke-2 selalu lebih besar daripada benda uji ke-1. 225
Penyebab perilaku ini adalah sebagai berikut: 1. Tulangan baja yang telah leleh pada pengujian siklik pertama pada join ke1, menyebabkan regangan yang semakin besar di sepanjang tulangan baja. Sehingga, perpindahan yang terukur pada ujung balok semakin besar. Semakin banyak mengalami beban siklik, regangan maksimum akan semakin besar (7). 2. Balok ke-2 tidak bersifat homogen lagi karena daerah sendi plastis merupakan beton yang baru dicor. Lekatan antara beton lama dengan beton baru tidak sekuat beton lama, sehingga menimbulkan deformasi yang lebih besar. 3. Nilai momen inersia efektif balok prepack lebih rendah daripada beton lama, sehingga deformasi yang terjadi akan semakin besar. Perilaku ini dapat dinyatakan dari persamaan (1) sampai (6). Semakin kecil nilai EcIeff, maka deformasi yang terjadi akan semakin besar. Secara keseluruhan, nilai total disipasi energi JBKE-PC ke-2 adalah 59,60 % daripada nilai total disipasi energi JBKE-PC ke-1. Pada gambar 9, terlihat bahwa rasio nilai disipasi energi join pracetak ke-2: pracetak ke-1 lebih besar dari 1,0 pada siklus ke-1 sampai dengan siklus ke-4. Sedangkan, pada siklus ke-5, terjadi hal sebaliknya. Hal ini disebabkan oleh kerusakan las tulangan penyambung kanan atas join pracetak sehingga nilai disipasi energinya turun drastis.
Pola Retak Pola retak akibat beban siklik statik pada JBKE-PC ke-1 dan JBKE-PC ke-2 adalah sebagai berikut:
Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
Keterangan: Warna biru Warna merah Warna hitam
Gambar 11. Pola Retak JBKE-PC ke-1
Retak pada JBKE-PC ke-1 bermula pada pertemuan antara balok dengan kolom dengan beban 6,5 kN (dorong) dan 5,7 kN (tarik). Saat beban mencapai 28 kN, terjadi retak pada balok. Retak terjadi secara intensif pada lokasi sejarak 250 mm sampai dengan 750 mm dari muka kolom. Retak yang dominan adalah jenis retak geser lentur. Terjadinya pergeseran lokasi retak ini karena kekuatan di daerah ujung balok sangat tinggi akibat adanya tambahan kekuatan dari tulangan penyambung dan prepack polimer serta karena adanya tegangan tekan awal akibat pengencangan mur-kopel (saat pembuatan JBKE-PC ke-1). Secara keseluruhan, pola keruntuhan tersebut menyebabkan sendi plastis yang menyerap energi gempa terjadi pada ujung balok di muka kolom.
Gambar 12. Pola Retak JBKE-PC ke-2
Pengaruh Penggunaan Prepacked.... (Siti A.N.)
: retak akibat beban tarik (+) : retak akibat beban dorong(-) : batas antara beton lama dan beton baru
Pada pengujian JBKE-PC ke-2, retak pertama akibat beban dorong terjadi saat beban mencapai 8 kN pada jarak 68 cm dari muka kolom. Retak ini terjadi tepat pada sambungan antara beton lama dengan beton baru (prepack). Sambungan tersebut mulai mengalami kerusakan akibat daya adhesi antara beton lama dengan beton baru tidak terlalu kuat. Sedangkan, retak pertama yang terjadi akibat beban tarik terjadi saat beban mencapai 17,4 kN pada jarak 75 cm dari muka kolom. Retak awal akibat uji siklik sebelumnya merambat sebagai retak lentur yang terjadi pada beban tarik sebesar 48 kN pada siklus ke-3 dan pada beban dorong sebesar 61,6 kN pada siklus ke-3. Retak yang telah terjadi pada ujung balok terus merambat ke ujung balok dan sebagian besar membentuk retak lentur. Sedangkan retak pada kolom relatif sedikit dan hanya merupakan retak rambut. Retak yang dominan terjadi pada JBKE-PC ke-2 adalah retak lentur dan retak geser lentur. Penyebabnya adalah beban momen yang lebih dominan daripada beban geser pada daerah sendi plastis. Tulangan longitudinal balok yang telah leleh akibat pembebanan siklik sebelumnya tidak dapat menahan beban siklik statik secara optimal. Sehingga, beban siklik statik lebih dominan ditahan oleh beton. Mekanisme ini menyebabkan terjadinya retak lentur pada sendi plastis. Pembebanan siklik yang semakin besar menyebabkan perambatan retak yang disebut retak geser lentur. Pola keruntuhan struktur tersebut menyebabkan sendi plastis yang menyerap energi gempa terjadi pada ujung balok di muka kolom. 226
Kinerja Join Eksterior Pracetak terhadap Beban Gempa Pada penelitian ini, join eksterior ke-1 (uji beban siklik statik ke-1) dan join eksterior ke-2 (uji beban siklik statik ke-2) mampu menahan beban gempa sampai dengan daktilitas parsial yang ditetapkan dalam Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung SNI – 1726 – 2002.
KESIMPULAN DAN SARAN Saran
Berdasarkan studi hasil uji beban siklik terhadap benda uji Join Balok Kolom Eksterior Pracetak ke-1 dan benda uji Join Balok-Kolom Eksterior Pracetak ke-2, dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu: 1. Daktilitas parsial JBKE-PC ke-1 adalah 3,69 (+) dan 4,82 (-), sedangkan daktilitas parsial JBKE-PC ke-2 adalah 3,36 (+) dan 2,10. 2. JBKE-PC ke-2 dapat mendisipasi energi sebesar 59,6 % dari JBKE-PC ke-1. Nilai disipasi energi BU Pracetak ke-2 sangat dipengaruhi oleh pinching effect yang disebabkan adanya slip antara tulangan penyambung dengan beton. 3. Pada JBKE-PC ke-2, nilai disipasi energi setiap siklus hampir selalu lebih besar daripada BU Pracetak ke-1 karena BU Pracetak ke-2 bersifat lebih daktail dan mampu menahan beban yang lebih besar. 4. Retak yang dominan terjadi pada BU Pracetak ke-2 adalah retak lentur dan retak geser lentur. 5. Pada JBKE-PC ke-2, perambatan retak awal akibat beban dorong (siklus ke1; daktilitas = 0,75) bermula dari bagian balok terlemah, yaitu pada sambungan beton lama dengan beton baru. Sedangkan, perambatan retak awal akibat beban tarik (siklus ke-1;
227
daktilitas = 0,75) berasal dari retak rambut akibat uji siklik sebelumnya.
Saran
Dari kesimpulan tersebut, dapat ditarik beberapa saran sebagai berikut: 1. Dengan meninjau nilai disipasi energi total pada JBKE-PC ke-2, sebaiknya tulangan penyambung balok ke kolom dan baut join pracetak diganti dengan yang baru agar mampu mendisipasi energi lebih optimal. 2. Untuk memperkuat sambungan antara beton lama dengan beton baru (prepack), sebaiknya dipergunakan bahan aditive dan plasticizer pada beton prepack sehingga dapat diperoleh komposisi campuran Sika Grout dengan kadar semen Sika yang lebih tinggi (W/C rendah). Komposisi campuran ini akan meningkatkan nilai kuat tekan beton, sehingga kekuatan lekatan antara beton lama dengan beton baru meningkat.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1995. Building Code Requirements for Reinforced Concrete and Commentary (ACI 318– 95). Detroit: American Concrete Institute. Anonim. 1994. NEHRP Recommended Provision for The Development of Seismic Regulation for New Building. Washington, DC: Federal Emergency Management Agency Anonim. 1991. Mechanical Connection of Reinforcing Bars (ACI 439.3R–91). Detroit: American Concrete Institute. Anonim. 2002. Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung SNI – 1726 – 2002. Anonim. 1991. Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan & Gedung (SK-SNI-1991-03). Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
Bayzoni.
2001.
Eksperimental Joint Pracetak, Tesis Magister Jurusan Teknik Sipil, Rek. Struktur. ITB. Das, B.M. 1993. Principles of Geotechnical Engineering, 3rd ed. Boston: PWS Publishing Company. Park, R. and Paulay, T. 1975. Reinforced Concrete Structures. New York: John Wiley & Sons. Paulay, T. and Priestly, M.J.N. 1992. Seismic Design of Reinforced Concrete and Masonry Buildings. New York: John Willey & Sons.
Exterior
Analisis
Beam
–
Column
Pengaruh Penggunaan Prepacked.... (Siti A.N.)
Nurjannah, S.A. 2002. Analisis Perbaikan dan Perilaku Join Eksterior Monolit dan Pracetak di Bawah Beban Siklis dengan Metoda Prepacked Aggregate Concrete. Tesis Pasca Sarjana Jurusan Teknik Sipil KBK Rekayasa Struktur. ITB. Nurjannah, S.A. dan Permadi, H. 1999. Analisis Penampang Beton Prategang Parsial Akibat Momen Siklis dan Tekan Aksial Konstan. Skripsi Sarjana Jurusan Teknik Sipil KBK Rekayasa Struktur ITB.
228
PENGARUH PENAMBAHAN FOAM AGENT TERHADAP KUALITAS BATA BETON Oleh : Andriati Amir Husin, Rudi Setiadji Pusat Litbang Permukiman Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan – Kab. Bandung 40393 E-mail:
[email protected] Tanggal masuk naskah: 30 Januari 2008, Tanggal revisi terakhir : 12 Juni 2008
Abstrak
Foam agent adalah suatu larutan pekat dari bahan surfaktan, dimana apabila hendak digunakan harus dilarutkan dengan air yang merupakan larutan koloid. Dengan menggunakan foam generator maka dapat dihasilkan pre foam awal yang stabil dalam kondisi basa, oleh karena itu cocok untuk digunakan pada produksi mortar yang mengandung busa. Dalam percobaan ini agregat yang digunakan berasal dari limbah industri yang berupa fly ash, bottom ash dan limbah katalis RCC. Komposisi campuran yang digunakan adalah 1 bagian semen : 2 bagian agregat. Dari hasil penelitian ternyata untuk komposisi campuran 1 bagian semen : 2 bagian agregat (75% fly ash, 25% pasir) dengan jumlah busa yang digunakan 0,8% dan 1,6% dapat memenuhi syarat untuk pemakaian di luar atau pada bagian luar bangunan, baik yang memikul beban maupun yang tidak memikul beban dimana kuat tekannya lebih besar dari 125 kg/cm2. Bila agregat yang digunakan adalah bottom ash (100%) dengan jumlah busa 0,8% dapat digunakan untuk pemakaian di dalam atau pada bagian dalam bangunan yang memikul beban dimana kuat tekan yang dicapai lebih besar dari 85 kg/cm 2 sedangkan apabila agregat yang digunakan adalah limbah katalis RCC (25% RCC,75% pasir) dengan jumlah busa 0,8% dapat digunakan untuk pemakaian di dalam atau pada bagian dalam bangunan yang tidak memikul beban dimana kuat tekan yang dicapai adalah 68 kg/cm2.
Kata kunci : Foam agent, bata beton Abstract
Foam agent is surfactant – based concentrated solution that requires for practical use to be diluted with water as colloid solution. With the aid of a foam generator, pre- foam which is stable under alkali condition can be generated and made use for formcontained mortar production. This research employs aggregate of industry waste products, namely fly ash, bottom ash and RCC-catalytic waste with the mix design in a ratio of 1 : 2 of cement to aggregate. The experimental result demonstrates that the composition consisting of 1 cement : 2 aggregate (75% fly ash,25% sand) and 0,8% and 1,6% foam satisfies the specified requirements for both internal and external building construction and both structurally and non-structurally with the observed compressive strength greater than 125 kg/cm2. Given that the aggregate used to mix is (bottom ash ( 100% ) with 0,8% foam, the resulting compressive strength exceeds 85 kg/cm2 which is suitable for internal building construction. It is also shown that RCC-based mixture (25% RCC,75% sand) and 0,8% foam can yield a strength of 68 kg/cm2 that fits for non-structural internal building construction purposes.
Key words : Foam agent, conblock Pengaruh Penambahan .... (Andriati, A.H., Rudi S.)
196
PENDAHULUAN Pembangunan nasional dewasa ini menganut paradigma baru selain bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat juga ditujukan untuk meningkatkan kualitas lingkungan. Pembangunan jangka panjang Indonesia di masa mendatang masih akan difokuskan pada sektor industri dan pertanian. Kegiatan pembangunan selain menghasilkan berbagai produk dan jasa, juga akan menghasilkan limbah yang diantaranya adalah limbah dari kegiatan industri, antara lain bottom ash, fly ash dan limbah katalis dari proses Residium Calalytic Cracking (RCC). Proses pemanfaatan limbah dapat dilakukan dengan cara perolehan kembali (recovery), pemanfaatan kembali (reuse) dan daur ulang (recycle). Pemanfaatan ini akan mengurangi limbah yang dihasilkan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas dan juga akan mengoptimalkan penggunaan sumber daya alam. Salah satu implementasi prinsip ekoefisiensi dalam pembangunan yang berkelanjutan adalah penggunaan bahan yang dapat di-recovery, di-reuse, dan direcycle. Pemanfaatan bottom ash, fly ash dan limbah katalis RCC sebagai bahan substitusi dan bahan pengisi (filler) beton ringan yang berupa beton gas merupakan salah satu wujud nyata implementasi dari ekoefisiensi tersebut. Kemungkinan penggantian energi PLTD dari BBM menjadi batubara akan berpotensi menghasilkan limbah berupa bottom ash dan fly ash. Beton gas adalah salah satu jenis beton ringan dimana dalam campuran ini tidak diketemukan adanya agregat kasar. Sebagai bahan pengisi biasanya debu halus (lolos ayakan 0,075 mm ). Tetapi 197
kadang-kadang bisa juga agregat halus <3/16 inchi. Pembentukan gas/udara biasanya dilakukan dengan cara chemical aerating yaitu ke dalam mortar dimasukkan bahan kimia, sehingga timbul reaksi kimia yang melepas gas tertentu. Cara lain adalah foaming mixture yaitu memberi busa dalam bubur semen. Pada penelitian ini yang akan dilakukan adalah cara foaming mixture. Pada saat ini pabrik tekstil telah menggunakan batubara sebagai bahan bakar, dimana menurut perkiraan untuk setiap harinya dapat menghasilkan limbah yang berupa bottom ash sebanyak ± 5–10 ton. Industri PLTU Suralaya per tahun dapat menghasilkan limbah fly ash sebanyak 288.000 ton dan bottom ash sebanyak 547.500 ton sedangkan PLTU Paiton dapat menghasilkan limbah yang berupa fly ash sekitar 72.157 ton dan bottom ash sekitar 18.039 ton per tahun. Sedangkan UP VI Pertamina Balongan Indramayu setiap harinya dapat menghasilkan limbah katalis RCC kira-kira 10 ton. Tujuan dari penelitian ini adalah :
Memanfatkan limbah industri (bottom ash dan fly ash, limbah katalis RCC) dalam pembuatan bata beton pejal ringan
Mendapatkan komposisi yang optimal ditinjau dari sifat fisik & mekanik berdasarkan standar yang ada.
HIPOTESA Limbah industri yang berupa fly ash, bottom ash, limbah katalis RCC berupa pasir halus, diperkirakan dapat digunakan sebagai filler dalam pemJurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
buatan beton, asbuton, beton gas, dan lain-lain. Dalam penelitian ini akan dicoba untuk membuat gas beton yang berupa bata beton pejal. Untuk membuktikannya maka pertama-tama dilakukan percobaan pembuatan mortar, berbentuk kubus dengan ukuran 5 cm x 5 cm x 5 cm dengan perlakuan asal/jenis limbah, komposisi campuran dari beberapa jenis limbah tersebut, komposisi agent foaming kemudian dilakukan pengujian kuat tekan. Dari percobaan tersebut di atas untuk kekuatan yang memenuhi syarat dan ekonomis, dibuat bata beton pejal. Bata beton pejal ini kemudian diuji kuat tekan dan penyerapan airnya sesuai dengan standar.
TINJAUAN PUSTAKA
Bahan Baku 1. Semen Semen adalah bahan yang mempunyai sifat adesif dan kohesif yang dapat mengadakan ikatanikatan antara pecahan-pecahan mineral menjadi satu kesatuan yang utuh. Semen portland adalah semen hidrolis yang dihasilkan dengan cara menggiling terak semen portland terutama terdiri atas kalsium silikat yang bersifat hidrolis dan digiling bersama-sama dengan bahan tambahan berupa satu atau lebih bentuk kristal senyawa kalsium sulfat dan boleh ditambah dengan bahan tambahan lain. 2. Agregat/filler Filler merupakan bahan yang mengandung silika. Agregat adalah bahan yang dipakai sebagai pengisi atau pengurus, dipakai bersama dengan bahan perekat, membentuk suatu massa yang keras, padat, bersatu, disebut beton. Tujuan Pengaruh Penambahan .... (Andriati, A.H., Rudi S.)
penggunaan agregat adalah menghemat penggunaan semen; memberi bentuk pada beton dan memberi kekerasan yang dapat menahan beban, goresan dan cuaca; mengurangi penyusutan pada waktu pengerasan beton; mencapai susunan padat beton dengan gradasi yang baik dari pada bahan buatan; mengontrol kemudahan pengerjaan adukan (workability) beton yang sifatnya plastis dan bergradasi baik. 3. Abu Terbang Abu terbang adalah hasil sampingan dari industri Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan batubara sebagai bahan bakarnya, berupa butiran halus, ringan, bundar, tidak porous dan bersifat pozolanik. Ukuran partikel rata-rata 10 µm tetapi dapat bervariasi dari < 1 µm sampai lebih dari 150 µm. Mutu abu batubara (fly ash, bottom ash) ditentukan oleh sifat kimia dan sifat fisiknya, sehingga karakteristik abu batubara tergantung pada tipe batubara, kadar abu dalam batubara, proses penggilingan, tipe tungku dan efisiensi proses pembakaran batubara. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan di Puslitbang Pemukiman ternyata abu terbang dapat digunakan sebagai bahan pengganti sebagian semen. Dalam pekerjaan beton abu terbang yang digunakan untuk mengganti sebagian semen optimum 20%. 4. Bottom Ash Bottom ash dapat dihasilkan apabila pembakaran batubara dan karbon tidak sempurna. (Amir, 2004). Bottom ash adalah butiran yang berwarna coklat kekuning-kuningan 198
atau keabu-abuan gelap sampai hitam, berpori (porous), kebanyakan berukuran sama dengan pasir atau partikel-partikel abu dasar yang jauh lebih kasar dari pada abu terbang dengan kisaran ukuran butir dari pasir halus sampai kerikil. Karakteristik bottom ash tergantung pada tipe tungku boiler yang digunakan untuk membakar batu bara, variasi batubara, sistem pengangkutan (kering atau basah), apakah bottom ash digiling sebelum pengangkutan dan penyimpanan (anonim, 2006). Pada pokoknya, komposisi kimia bottom ash sama dengan komposisi kimia fly ash, tetapi secara khas mengandung banyak karbon yang lebih besar. 5. RCC Limbah katalis Residium Catalytic Cracking (RCC) merupakan bahan yang dihasilkan dari proses perengkahan katalitik pada pemisahan minyak mentah seperti komponen bensin, produk samping LPG (Liquified Petrolium Gas) dan olefin rendah yang diolah secara proses konversi. Limbah katalis ini mengandung silika dan alumina yang tinggi serta mempunyai sifat pozolankc yang menguatkan bila dicampur semen atau bahan lain, sehingga dapat dimanfaatkan untuk bahan baku berbagai bahan bangunan dan campuran aspal. Politeknik Bandung telah melakukan pengujian limbah katalis RCC terhadap tikus ternyata limbah ini tidak membahayakan. Menurut Soemarwoto (2000) setiap hasil produksi suatu industri yang terbuang dapat dimanfaatkan kembali untuk menghasilkan bahan baku produk yang lain sehingga limbah yang dihasilkan dapat didaur 199
ulang (recycle), diguna ulang (reuse) dan direduksi (reduce). Dalam satu hari terdapat limbah katalis RCC sebanyak 10 ton. 6. Air Air yang dimaksud adalah air sebagai bahan pembantu dalam konstruksi bangunan meliputi kegunaanya dalam pembuatan dan perawatan beton, pemadaman kapur, adukan pasangan dan adukan plesteran. Air untuk keperluan pembuatan beton dan juga untuk membasahi beton saat waktu perawatan, tidak boleh mengandung bahan-bahan yang dapat menghalangi pengerasan semen portland atau dapat merusak beton itu sendiri, misalnya lumpur atau benda-benda halus lainnya, seperti bahan tanah liat; bahan-bahan golongan zat organik, seperti gula, asam humat, dan lain-lain; bahanbahan yang terlarut seperti garamgaram sulfat, khlorida, asam dan basa. 7. Foam Agent
Foam agent adalah suatu larutan
pekat dari bahan surfaktan, dimana apabila hendak digunakan harus dilarutkan dengan air. Surfaktan adalah zat yang cenderung terkonsentrasi pada antar muka dan mengaktipkan antar muka tersebut. Detergent ( CH3 (CH2)15 OSO3- Na+ ) mengandung zat “surface active” (surfactant). Dilihat dari struktur molekulnya, detergent mempunyai dua gugus yang penting yaitu gugus liofil (yang menarik pelarut), dan gugus liofob (yang menolak pelarut). Gugus liofil dapat berupa gugus khlorida atau gugus bromida, atau gugus lain yang umumnya merupakan gugus yang pendek. Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
Gugus liofob biasanya terdiri dari rantai alifatik atau aromatik yang umumnya terdiri dari paling sedikit sepuluh atom karbon. Dalam pelarut air, gugus liofil yang juga disebut gugus hidrofil akan menarik molekul air, sedangkan gugus liofob yang juga disebut hidrofob akan menghadap ke udara. Menurut Mc Brain dalam Tontowi, larutan detergent di dalam air merupakan larutan koloid dan pada konsentrasi yang tinggi maka partikel-partikel koloid tersebut akan menggumpal sebagai misel. Ada empat tipe surfatan yaitu anionik, kationik, nonionik dan amfolitik. Dalam penelitian disini surfaktan yang digunakan adalah foam cement admixture. Dengan menggunakan foam generator dapat dihasilkan pre foam awal yang stabil dalam kondisi basa, oleh karena itu cocok untuk digunakan pada produksi mortar yang mengandung busa. Dengan mengontrol banyaknya pre foam yang ditambahkan ke dalam premixed mortar maka berat jenis yang diinginkan dapat tercapai dengan mengadakan percobaan-percobaan. Biasanya jika berat jenis yang diinginkan turun sampai 1000 kg/m3 maka campuran yang digunakan adalah 2 bagian agregat : 1 bagian semen tetapi apabila diinginkan berat jenis dibawah 1000 kg/m3 maka campuran yang digunakan adalah 1 bagian agregat : 1 bagian semen. Jadi kita dapat merancang suatu campuran dengan tujuan untuk apa komponen tersebut dibuat. Foam cement admixture berupa cairan putih bersih dengan berat jenis 1,10 pada 20oC. Jika pasir yang digunakan mempunyai diameter lebih dari 2 mm akan sedikit mengurangi terhadap busa yang telah stabil dihasilkan, khususnya untuk berat jenis Pengaruh Penambahan .... (Andriati, A.H., Rudi S.)
yang lebih rendah. Untuk mengontrol pekerjaan rutin, biasanya berat jenis dilakukan pada keadaan basah. Berat jenis kering dari bahan yang telah mengandung busa lebih rendah 50-100 kg/m3 dari berat jenis basah.
Produk Beton gas adalah salah satu jenis beton ringan dimana dalam campuran ini tidak ditemukan adanya agregat kasar. Sebagai bahan pengisi biasanya debu halus (lolos ayakan 0,075 mm). Tetapi kadang-kadang bisa juga agregat halus < 3/16 in. Berat volume beton gas sangat tergantung dari beton itu sendiri dan jumlah bahan pembentuk gelembung yang ditambahkan. Biasanya berkisar antara 800 kg/m3 – 1.600 kg/m3. Cara foaming mixture yaitu cara dimana busa ditambahkan ke dalam bubur semen kemudian diaduk sampai rata. Cara ini dibuat dengan memasukkan udara secara mekanis dalam campuran dan diaduk dengan bahan pembuih (mix foam technique). Dapat pula dibuat dengan membuat buihnya lebih dahulu, baru ditambahkan pada campuran airsemen (preformed foam technique)
Batu Cetak Beton untuk Konstruksi Pasangan Batu cetak beton untuk konstruksi pasangan adalah batu cetak (berlubang atau pejal) yang dibuat dari campuran semen portland dan agregat halus yang sesuai serta diperuntukan bagi pembuatan konstruksi-konstruksi dinding bangunan, baik yang memikul beban maupun tidak memikul beban. Berdasarkan pemakaian, batu cetak beton dibagi dalam tiga kelas, yaitu : 1. Kelas A : untuk pemakaian di luar atau pada bagian luar bangunan, 200
baik yang memikul beban maupun tidak memikul beban. Kuat tekan minimum rata-rata 125 kg/cm2. 2. Kelas B : untuk pemakaian di dalam atau pada bagian dalam bangunan yang memikul beban. Kuat tekan minimum rata-rata 85 kg/cm2. 3. Kelas C : untuk pemakaian di dalam atau pada bagian dalam bangunan yang tidak memikul beban. Kuat tekan minimum rata-rata 35 kg/cm2.
METODE PENELITIAN Bahan dan Alat Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah fly ash, bottom ash, limbah katalis RCC, pasir, semen, foam agent, air, dll. Alat-alat yang diperlukan dalam penelitian ini adalah ayakan, timbangan, gelas ukur, mixer, foam generator, cetakan, alat uji untuk menguji mortar dan bata peton pejal ringan, dll.
Metode Penelitian
Data yang dikumpulkan merupakan data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari proses pencetakan kubus dan bata beton pejal ringan kemudian dilakukan pengujian sifat fisik dan mekaniknya. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental dengan membuat benda uji
201
yang berupa kubus (5 cm x 5 cm x 5 cm)dan bata beton pejal dengan ukuran 20 cm x 10 cm x 7,5 cm.
Rancangan Percobaan Komposisi campuran yang digunakan adalah 1 bagian semen : 2 bagian agregat. Agregat yang digunakan adalah : - pasir halus; - bottom ash (100% BA; 25% BA,75% psr; 50% BA,50% psr; 75% BA,25% psr); - fly ash (100% FA; 25% FA,75% psr; 50%FA,50% psi; 75% FA, 25% psr); - limbah katalis RCC (100% RCC; 25% RCC,75% psr; 50% RCC, 50% psr; 75% RCC,25% psr). Dosis foam agent : 5 taraf (0%; 0,8%; 1,6%; 3,2%, dan 4,8%)
Pengujian Pengujian bahan baku dari pasir, fly ash dan bottom ash dan limbah RCC Pengujian yang dilakukan untuk benda uji kubus adalah kuat tekan setelah benda uji di steam selama satu malam dan pada umur 28 hari dengan ulangan 3 buah. Pengujian yang dilakukan untuk benda uji bata beton pejal adalah kuat tekan dan penyerapan air sesuai dengan SNI Bata Beton untuk Pasangan Dinding pada umur 7 hari dan 28 hari dengan ulangan 4 buah.
Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
Cara Kerja Pasir Pemeliharaan
FA/BA/RCC
Diaduk
Air
Pengujian
Beton ringan
Foam agent
Aplikasi
Busa
Pencetakan
Air
Data hasil pengujian sifat fisik pasir, fly ash, bottom ash dan limbah katalis RCC dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
HASIL PENELITIAN Pengujian Bahan Baku
Tabel 1. Data Hasil Pengujian Sifat Fisik Bahan Baku No.
Parameter
1. 2.
Kadar air (%) Kadar bahan yang lolos saringan 0,075 mm (%) Zat organik Bobot isi (kg/L) : Gembur Padat Berat jenis (g/cc) Analisa ayak (%) tertahan kumulatif 4,80 mm 2,40 mm 1,20 mm 0,60 mm 0,30 mm 0,15 mm
0,03 14,18
0,43 85,62
1,23 26,83
Limbah katalis RCC 5,83 73,39
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
1,333 1,574 2,58
0,836 1,067 1,19
0,975 1,192 1,21
0,817 1,042 1,89
0 0 22,45 55,43 79,79 100
0 0,09 4,12 25,72 57,91 100
0 2,90 37,06 80,93 93,68 100
0 0 0 1,91 12,96 100
Angka kehalusan
2,5767
1,8784
3,1457
1,1487
3. 3. 4. 5.
6.
Pasir
Fly ash
Bottom ash
Dari tabel di atas dapat dikatakan bahwa kadar air untuk fly ash dan bottom ash masing-masing sebesar 0,43% dan 1,23% dapat memenuhi syarat bahan pozolan sebagai mineral admixture beton, menurut ASTM C618-03 kadar air
yang dipersyaratkan adalah 3%. Sedangkan kadar air limbah katalis RCC tidak memenuhi persyaratan, karena kadar air yang didapat dari hasil percobaan adalah 5,83%, jadi perlu dikeringkan sebelum digunakan.
Pengaruh Penambahan .... (Andriati, A.H., Rudi S.)
202
Kadar bahan yang lolos saringan 0,075 mm dari pasir, fly ash, bottom ash dan limbah katalis RCC masing-masing sebesar, 14,18%, 85,62%, 26,83% dan 73,39% tidak dapat memenuhi syarat SNI 03-1751-1990 dimana kadar bahan yang lolos saringan 0,075 mm yang dipersyaratkan adalah 5%. Jadi pasir, fly ash, bottom ash dan limbah katalis RCC tidak dapat digunakan sebagai agregat untuk pembuatan mortar dan beton. Tetapi harus diingat bahwa dalam pembuatan gas beton bahan baku utamanya adalah zat pengikat (bending agent) dan pengisi (filler) yaitu bahan yang mengandung silika. Pada percobaan-percobaan terdahulu ternyata kandungan oksida silika, besi dan aluminium dari fly ash, bottom ash dan limbah katalis RCC lebih besar dari 70%, jadi ketiga bahan tersebut dapat digunakan sebagai bahan pengikat (pozolan). Sebagai pengisi biasanya digunakan debu (halus (lolos ayakan 75 µm). Oleh karena itu fly ash, bottom ash dan limbah katalis RCC dapat berfungsi ganda yaitu dapat digunakan sebagai bahan pengikat dan dapat juga digunakan sebagai bahan pengisi. Dari hasil percobaan ternyata pasir, fly ash, bottom ash dan limbah katalis RCC tidak mengandung zat organik. Jadi pasir , fly ash, bottom ash dan limbah katalis RCC dapat memenuhi syarat sebagai bahan pencampur beton.
dan limbah katalis RCC masing-masing sebesar 0,836 kg/L, 0,975 kg/L dan 0,817 kg/L dapat memenuhi persyaratan. Menurut SNI 03-68212002, bobot isi gembur agregat ringan untuk batu cetak beton pasangan dinding maksimum 1,120 kg/L. Berat jenis fly ash, bottom ash dan limbah katalis RCC masing-masing sebesar 1,19 g/cc, 1,21 g/cc dan 1,89 g/cc, apabila dibandingkan dengan berat jenis semen sekitar 3,15 g/cc, maka fly ash, bottom ash dan limbah katalis RCC lebih ringan dari pada semen Portland. Karena itu, fly ash, bottom ash dan limbah katalis RCC dapat digunakan sebagai bahan bangunan ringan (lightweight aggregate) karena porositasnya tinggi. Angka kehalusan fly ash dan limbah katalis RCC masing-masing sebesar 1,1487 dan 1,8784 tidak dapat memenuhi syarat sebagai agregat halus untuk beton, sedangkan angka kehalusan pasir, bottom ash masingmasing sebesar 2,5767 dan 3,1457 dapat memenuhi syarat sebagai agregat halus untuk beton. Menurut ASTM C 3303 angka kehalusan agregat halus untuk beton antara 2,3 sampai 3,1.
Pengujian Mortar
Data hasil pengujian mortar dari fly ash, bottom ash dan RCC t dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Bobot isi gembur fly ash, bottom ash Tabel 2. Data Hasil Pengujian Mortar dari Fly Ash No. 1.
203
Campuran 1pc : 2 fly ash
Jumlah busa
W/C
0,8% 1,6% 3,2%
0,60 0,60 0,60 0,60
Setelah di steam 1 hari Kuat tekan Berat Kg/cm2 Jenis 367,44 63,39 59,06 7,48
1,93 1,52 1,29 1,16
Umur 28 hari Kuat Berat tekan jenis Kg/cm2 -
Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
No.
Campuran
Jumlah busa
W/C
Setelah di steam 1 hari Kuat tekan Berat Kg/cm2 Jenis
4,8%
0,50
15,04
1,14
Umur 28 hari Kuat Berat tekan jenis Kg/cm2 -
2.
1Pc : (25%FA75% psr)
0,8% 1,6% 3,2% 4,8%
0,52 0,50 0,50 0,50 0,40
173,45 159,45 114,98 3,64 1,50
2,08 1,955 1,75 1,18 1,17
371,65 251,28 155,385 5,28 2,94
2,01 1,955 1,725 1,21 1,07
3.
1Pc : (50%FA50% psr)
0,8% 1,6% 3,2% 4,8%
0,60 0,60 0,60 0,50 0,50
256,29 28,14 4,84 2,59 -
1,93 1,165 0,98 0,84 -
407,79 33,585 7,29 6,72 -
2,07 1,45 1,15 1,13 -
4
1PC : (75%FA25%psr)
0,8% 1,6% 3,2% 4,8%
0,60 0,65 0,60 0,50 0,50
201,34 172,55 147,89 134,85 11,19
1,97 1,925 1,79 1,685 1,25
333,03 315,85 286,85 190,03 16,95
1,93 1,88 1,78 1,635 1,25
Dari tabel di atas dapat dikatakan bahwa untuk perbandingan campuran 1 semen : 2 agregat dilihat dari kekuatannya maka dapat diurutkan sebagai berikut : tanpa busa : (50% FA, 50% psr); (25%FA,75% psr);(75 % FA, 25% psr) dengan busa 0,8%: (75% FA,25%psr);
(25%FA,75% psr); (50% FA,50% psr). dengan busa 1,6%:(75%FA,25% psr); (25% FA,75% psr) dengan busa 3,2% :(75%FA, 25% psr). Untuk percoban selanjutnya yaitu percobaan campuran yang terpilih adalah (75% FA, 25% psr) dengan o,8% dan 1,6 % busa.
Tabel 3. Data Hasil Pengujian Mortar dari Bottom Ash No.
Campuran
Jumlah busa
W/C
Kuat tekan Kg/cm2 Kuat Berat tekan jenis 2 Kg/cm 190,18 2,07 76,15 1,84 54,32 1,87 1,80 1,08 0,84 1,03
Umur 28 hari Kuat Berat tekan Jenis 2 Kg/cm 344,34 2,09 109,74 1,73 3,61 1,06 1,65 1,04
1.
1pc: 2 psr
0,8% 1,6% 3,2% 4,8%
0,5 0,45 0,40 0,40 0,40
2.
1pc : (100BA)
0,8% 1,6% 3,2% 4,8%
0,50 0,40 0,40 0,40 0,40
236,59 160,06 45,66 8,09 4,66
1,94 1,65 1,12 1,12 1,05
277,53 141,775 85,115 3,795 3,18
1,94 1,675 1,42 1,035 0,94
3.
1Pc : (25%BA,75% psr)
0,8% 1,6% 3,2%
0,60 0,50 0,50 0,50
164,08 74,47 33,79 3,53
1,98 1,68 1,47 1,26
290,20 120,05 59,18 8,29
1,99 1,635 1,49 1,18
Pengaruh Penambahan .... (Andriati, A.H., Rudi S.)
204
No.
Campuran
Jumlah busa
W/C
4,8%
0,40
Kuat tekan Kg/cm2 Kuat Berat tekan jenis Kg/cm2 0,79 1,12
Umur 28 hari Kuat Berat tekan Jenis Kg/cm2 1,815 1,02
4.
1Pc : (50%BA, 50% psr)
0,8% 1,6% 3,2% 4,8%
0,50 0,50 0,40 0,50 0,50
183,02 65,57 27,20 3,07 1,77
2,01 1,69 1,55 1,22 1,11
296,17 38,735 5,105 2,24
2,02 1,495 1,195 0,93
5.
1PC : (75%BA, 25%psr)
0,8% 1,6% 3,2% 4,8%
0,60 0,60 0,60 0,60 0,60
173,92 82,25 51,21 9,66 538
1,91 1,60 1,43 1,07 1,04
246,30 94,375 58,33 19,88 6,43
1,92 1,52 1,41 1,09 0,93
1,6%:100%BA;(25%BA,75%psr);(75%B A,25%psr); (50%BA,50%psr).
Dari tabel di atas dapat dikatakan bahwa jika dilihat dari kekuatannya maka dapat diurutkan sebagai berikut:
Untuk percobaan selanjutnya campuran yang terpilih adalah 100% BA dengan 0,8% busa.
Tanpa busa: (50% BA,50% psr); (100% BA); (75 % BA, 25% psr). Dengan busa 0,8%: (100% BA; 25% BA 75% psr); 75% BA, 25% psr) dengan busa
Tabel 4. Data Hasil Pengujian Mortar dari RCC No.
Campuran
Setelah di steam 1 hari
Jumlah busa
W/C
Umur 28 hari
1.
1pc : 2 RCC
0,8% 1,6% 3,2% 4,8%
1,12 1,16 1,16 1,16 1,16
58,97 21,50 15,46 4,26 1,52
1,60 1,34 1,26 1,05 0,94
Kuat tekan Kg/cm2 133,82 81,69 55,10 23,28 6,32
2.
1Pc : (25%RCC 75% psr)
0,8% 1,6% 3,2% 4,8%
0,65 0,66 0,66 0,66 0,66
135 46,22 9,45 2,565 0,80
1,94 1,705 1,36 1,19 0,93
193,54 123,20 66,405 6,86 2,80
1,88 1,66 1,46 1,07 0,89
3.
1Pc : (50%RCC50% psr)
0,8% 1,6% 3,2% 4,8%
0,73 0,80 0,80 0,80 0,80
114,55 25,695 20,23 3,76 0,75
1,72 1,335 1,32 1,15 0,91
187,32 25,26 19,78 9,845 0,76
1,73 1,33 1,26 1,13 0,83
4
1PC : (75%RCC25%psr)
0,8%
1,00 1,00
59,09 43,10
1,65 1,495
188,56 121,20
1,63 1,47
205
Kuat tekan Kg/cm2
Berat jenis
Berat jenis 1,58 1,23 1,21 1,00 0,90
Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
No.
Campuran
W/C
1,6% 3,2% 4,8%
1,00 1,00 1,00
Dari tabel di atas dapat dikatakan bahwa jika dilihat dari kekuatannya maka dapat diurutkan sebagai berikut Tanpa busa: (25% RCC, 75% psr); (50%RCC,50%psr);(75%RCC,25%ps);1 00% RCC. Dengan busa 0,8%: (25%RCC,75%psr);(75%RCC,25%psr; 100% RCC dan (50% RCC,50% psr) Untuk percoban selanjutnya campuran yang terpilih adalah (25% RCC, 75% psr) dengan penggunaan busa 0,8%.
Pengujian Bata Beton Pejal Data hasil pengujian kuat tekan dan absorpsi dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 5. Data Hasil Pengujian Kuat Tekan dan Absorpsi Bata Beton Pejal Umur Satu Bulan No.
Campuran
1.
75% FA, 25% psr 0,8% busa 75% FA, 25% psr 1,6 % busa 100% BA, 0,8% busa 25% RCC, 75% psr 0,8% busa
2. 3. 4.
Kuat tekan (kg/cm2) 231,47
Setelah di steam 1 hari
Jumlah busa
Absorpsi (%) 12,86
216,83
13,92
86,425
15,40
68,685
15,73
Dari tabel di atas dapat dikatakan bahwa untuk campuran 1 semen : 2 agregat ( 75% fly ash, 25% pasir) dengan pemakaian busa sebesar 0,8% dan 1,6%. Dapat memenuhi syarat bata cetak beton untuk konstruksi bangunan kelas A yaitu untuk pemakaian di luar atau pada bagian luar bangunan, baik yang memikul beban maupun yang tidak Pengaruh Penambahan .... (Andriati, A.H., Rudi S.)
Kuat tekan Kg/cm2
Berat jenis
29,23 1,92 1,51
1,36 0,99 0,99
Umur 28 hari Kuat tekan Kg/cm2 110,35 16,96 9,10
Berat jenis 1,32 0,97 1,03
memikul beban, dimana kekuatan yang dipersyaratkan untuk kelas A adalah 125 kg/cm2. Untuk campuran 1 semen : 2 agregat ( 100% bottom ash) dengan pemakaian busa sebesar 0,8% dapat memenuhi syarat bata cetak beton untuk konstruksi bangunan kelas B yaitu untuk pemakaian di dalam atau pada bagian dalam bangunan yang memikul beban, dimana kekuatan yang dipersyaratkan untuk kelas B adalah 85 kg/cm2. Untuk campuran 1 semen : 2 agregat ( 25% RCC, 75% pasir) dengan pemakaian busa sebesar 0,8% dapat memenuhi syarat bata cetak beton untuk konstruksi bangunan kelas C yaitu untuk pemakaian di dalam atau pada bagian dalam bangunan yang tidak memikul beban, dimana kekuatan yang dipersyaratkan untuk kelas C adalah 35 kg/cm2. Karena pada penelitian ini digunakan untuk bangunan non struktural maka cukup menggunakan kelas C yaitu dengan cara mengurangi kuat tekan atau perbandingan campuran ditinggikan.
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kadar air fly ash dan bottom ash dapat memenuhi persyaratan ASTM C618-03, dimana kadar airnya masing-masing sebesar 0,43% dan 1,23% 2. Fly ash, bottom ash dan limbah katalis RCC dapat berfungsi ganda yaitu dapat digunakan sebagai bahan pozolan gan juga digunakan sebagai bahan pengisi 3. Pasir, Fly ash, bottom ash dan 206
limbah katalis RCC tidak mengandung zat organik. 4. Untuk campuran 75% FA, 25% psr 0,8% busa dan 75% FA, 25% psr 1,6 % busa dapat memenuhi syarat kelas A; Untuk campuran 100% BA, 0,8% busa dapat memenuhi syarat kelas B dan untuk campuran 25% RCC, 75% psr 0,8% busa dapat memenuhi syarat kelas C 5. Karena akan digunakan untuk bangunan non struktural maka disarankan untuk menambah pemakaian foam agent atau perbandingan campuran ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA ---------, 1989, Spesifikasi Bahan Bangunan Bagian A (Bahan Bangunan Bukan Logam), SKBI4.4.55.1989, Departemen Pekerjaan Umum. -----------, 2004, ASTM, Standard
Specification for Concrete Aggregates, Volume 04.02. -------------, 2006, Pedoman Pengelolaan Abu Batubara, Kementerian Negara
207
Lingkungan Hidup. Abdullah, Beton Gas, Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan, Bandung. Dhahiyat, Y, 2002, Pemanfaatan Limbah
Katalis Pasca Perengkahan Minyak Residu untuk Menghasilkan Produk Semen Tersubtitusi dan Filler Aspal Beton yang Aman dan Akrab Lingkungan, Riset Unggulan Ter-
padu, UNPAD, Bandung. Masruri, N., 1984, Pemanfaatan Agregat
Lempung Bekah untuk Beton Ringan, Direktorat Penyelidikan
Masalah Bangunan. Bandung. Masruri, N., 1980, Pengetahuan Beton, Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan, Departemen Pekerjaan Umum, Bandung. Soemarwoto, 2001, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta. Subagja, A., 2000, Pemanfataan Limbah
Katalis RFCC sebagai Bahan Substitusi Semen Portland pada Mortar dan Beton, Kajian Laboratorium, Politeknik Negeri Bandung.
Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
PENGARUH PENAMBAHAN BAHAN DRILLING CUTTING SEBAGAI BAHAN BAKU DALAM PEMBUATAN BATA BETON BERLOBANG Oleh: Agus Taufik, Rudi Setiadji
Pusat Litbang Permukiman Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan – Kab. Bandung 40393 E-mail:
[email protected] Tanggal masuk naskah: 09 Mei 2008, Tanggal revisi terakhir : 07 Juni 2008
Abstrak
Potensi energi panas bumi (geotermal) sebagai salah satu sumber energi yang ada dan merupakan sumber energi terbesar di dunia. Salah satu limbah yang dihasilkan dalam jumlah yang besar dari pengeboran sumur geotermal adalah drilling cutting yang berupa lumpur berpasir yang mengandung bahan kimia tertentu yang dapat mencemari lingkungan bila tidak ditangani dengan baik. Telah dilakukan penelitian terhadap bata beton berlobang (hollowblock) yang diberi tambahan drilling cutting dalam komposisi agregat halusnya Komposisi campuran untuk bata beton berlobang ukuran (10 x 20 x 30) cm3 menggunakan komposisi optimal hasil uji tekan terbesar dari mortar kubus ukuran (5 x 5 x 5) cm3. Pengujian bata beton berlobang meliputi kuat tekan, penyerapan air, berat jenis, dan analisa TCLP. Perbandingan campuran bahan bata beton berlobang 1 portland cement : 8 agregat (60% drilling cutting dan 40% pasir). Hasil uji kuat tekan menunjukkan mutu kelas III dan dapat digunakan untuk konstruksi pasangan dinding di bagian dalam bangunan yang tidak memikul beban. Berat jenisnya sebesar 1,69 gr/cc termasuk bata beton berlobang ringan. Hasil analisa TCLP yang ada berada di bawah ambang batas yang berlaku.
Kata kunci : drilling cutting, bata beton berlobang, limbah, geotermal Abstract
Geothermal resources is one of the most potential energy resources in the world. Included in waste from geothermal well drilling is drilling cutting formed as sandy mud contained with certain chemical part that can pollute environment if it is not handle carefully. Has been conducted a research of concrete hollow block (hollowblock) with drilling cutting addition into it’s fine aggregate composition. Mix composition for (10 x 20 x 30) cm3 hollowblock based on the optimum composition of (5 x 5 x 5) cm 3 cube mortar which indicate highest value on it’s compression strength. Hollowblock tests cover the compression strength test, water absorption test, weight density test, and TCLP analysis. Hollowblock using mix composition of 1 pc : 8 fine aggregate with 60% drilling cutting : 40% sand. Compressive strength values show that it can be classified in grade III so can be used as masonry work inside building which is not being applied by loading. Weight density about 1,69 gr/cc made it to be classified as ligthweight hollowblock and TCLP analysis show satisfied results.
Abstract : drilling cutting, hollowblock, waste, geothermal
Pengaruh Penambahan Bahan ... (Agus T., Rudi S.)
208
PENDAHULUAN Kesejahteraan manusia pada saat ini sangat ditentukan oleh ketersediaan, jumlah, harga dan mutu energi yang dapat dimanfaatkannya. Energi juga merupakan unsur penunjang utama dalam pertumbuhan ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan sektor lainnya. Pembangunan ekonomi yang melibatkan kekayaan bumi harus memperhatikan pengelolaan sumber daya alam yang dapat memberikan manfaat untuk saat ini dan masa datang. Peran energi sangat penting dalam kehidupan manusia dan proses pembangunan, oleh karena itu pembangunan energi harus dilaksanakan secara berdaya guna. Produktivitas dan konsumsi energi nasional belakangan ini cenderung meningkat secara konsisten. Permintaan atau konsumsi energi nasional masih dibawah tingkat produksinya. Indonesia memiliki cadangan sumber energi yang cukup banyak dan beragam. Potensi energi panas bumi (geothermal) sebagai salah satu sumber energi yang ada dan merupakan sumber energi terbesar di dunia. Total mengandung kekuatan untuk menghasilkan tenaga listrik sebesar ekivalen dengan 27.140,5 MWe atau 27,14 GWe (Giga Watt equivalent) terdiri dari 14.080 MWe sumber daya. dan 13.060 MWe cadangan. Panas bumi berpeluang dikembangkan untuk menghemat pengeluaran dan pembelian bahan bakar minyak atau batubara dan lebih ramah lingkungan. Eksploitasi panas bumi saat ini sudah dilakukan dengan pengeboran sumursumur geothermal bersamaan dengan meningkatnya kebutuhan sumber energi, sehingga berpotensi menghasilkan limbah yang cukup banyak. 209
Pengeboran sumur-sumur geothermal menghasilkan berbagai macam limbah. Salah satu limbah yang dihasilkan dalam jumlah yang besar adalah drilling cutting berupa lumpur berpasir yang mengandung bahan kimia tertentu yang dapat mencemari lingkungan bila tidak ditangani dengan baik. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Balitbang Departemen Pekerjaan Umum melakukan serangkaian penelitian berbagai bahan limbah dengan hasil cukup memuaskan. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa berbagai limbah dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan komponen bahan bangunan seperti bata beton berlobang, bata beton pejal, paving block. Berdasarkan uraian di atas, maka dalam rangka penanganan permasalahan tersebut perlu dilakukan penelitian terhadap drilling cutting limbah pengeboran sumur geothermal untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam pembuatan komponen bangunan.
KAJIAN PUSTAKA
Bahan pembentuk bata beton meliputi sement portland, agregat halus, dan air.
Semen Portland
Semen sebagai bahan pengikat (bonding materials) dalam pembuatan beton, memegang peranan penting karena selain akan menentukan karakteristik beton yang dihasilkan juga dapat memberikan indikasi apakah beton cukup tahan terhadap lingkungan agresif, pengaruh cuaca, dan sebagainya. Untuk tujuan tersebut, maka semen Portland dibedakan atas 5 jenis dan juga terdapat produk semen lainnya seperti semen portland pozolan, mixed cement, Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
semen alumina, dan lainnya. Masingmasing jenis tersebut memiliki karakteristik dan sifat yang berbeda sehingga dalam penggunaannya perlu disesuaikan jenis konstruksi dan kondisi lingkungan dimana bangunan akan didirikan sehingga tidak terjadi kesalahan teknis yang dapat merugikan. Sebagai acuan dalam pengendalian mutu sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) dan standard lainnya yang berkaitan dengan semen portland seperti SNI 15-2049-2004 tentang Semen portland
Agregat
Agregat sebagai bahan pengisi dalam pembuatan beton mempunyai peranan penting diantaranya untuk menambah kekuatan, mengurangi penyusutan, dan mengurangi penggunaan semen. Mutu agregat sangat menentukan kualitas beton yang dihasilkan, oleh karena itu harus dilakukan pengendalian mutu. (quality control) sebelum digunakan sebagai bagian dari jaminan mutu (quality assurance) terhadap beton yang akan dihasilkan. Klasifikasi agregat dibedakan berdasarkan besar butirnya, berat jenis atau sumbernya. Berdasarkan besar butir, agregat dibagi atas 2 jenis yaitu agregat halus, dengan ukuran butir antara 0,075 s/d 4,8 mm dan agregat kasar dengan ukuran butir antara 4,8 s/d 40 mm. Berdasarkan sumbernya, agregat dibagi atas 3 jenis agregat alam (hasil desintegrasi batuan alam), agregat pecah (hasil pemecahan batuan alam), dan agregat buatan (hasil suatu proses pembakaran, dll). Sedangkan berdasarkan beratnya, agregat dibagi atas 3 jenis yaitu agregat ringan (berat jenis s/d 1,8), agregat normal (berat jenis 1,8 s/d 2,7), dan agregat berat (berat jenis diatas 2,7). Pengaruh Penambahan Bahan ... (Agus T., Rudi S.)
Agregat Halus/Pasir Agregat halus dapat berupa pasir alami atau pasir buatan dari proses pemecahan batu gunung dengan kehalusan butir lolos saringan 4,8 (5,0) mm. Pasir harus memenuhi syarat SNI 03-6861.1-2002 tentang Spesifikasi bahan bangunan bagian A (bahan bangunan bukan logam), bagian yang lolos saringan 0,3 mm tidak kurang dari 15% agar dapat berfungsi dengan baik terhadap sifat workabilitas dan kepadatan adukan. Agregat halus harus bersih dari kotoran organik, kandungan lumpur maksimum 5,0% dan mempunyai gradasi yang baik, keras, dan kekal.
Air
Air yang dimaksud disini adalah air sebagai bahan pembantu dalam konstruksi bangunan yang meliputi kegunaannya untuk pembuatan dan perawatan beton, pemadaman kapur, pembuatan adukan pasangan dan plesteran dan sebagainya. Air harus memenuhi persyaratan SNI 036861.1-2002 yang meliputi air harus bersih, dengan PH antara 6 – 8, tidak mengandung lumpur, minyak dan bahan terapung lainnya yang dapat dilihat secara visual, tidak mengandung bendabenda tersuspensi lebih dari 2 mg/L, tidak mengandung garam yang dapat merusak beton, seperti Cl maks. 500 ppm dan SO4 maks. 1.000 ppm. Semua jenis air yang meragukan harus diperiksa di laboratorium.
Bata Beton
Bata beton dibedakan menjadi bata beton pejal dan bata beton berlobang (hollowblock). Bata beton pejal adalah bata yang memiliki penampang pejal 75% atau lebih dari luas penampang seluruhnya dan memiliki volume pejal 210
lebih dari 75% volume bata seluruhnya. Bata beton Berlobang (hollowblock) memiliki luas penam-pang lobang lebih dari 25% luas penampang batanya dan volume lobang lebih dari 25% volume bata seluruhnya. Tabel 1. Syarat-Syarat Fisis Bata Beton Berlobang Syarat fisis Kuat tekan min. (kg/cm2) Penyerapan air maks. (%)
Tingkat mutu I 70
25
II 50
35
III 35
-
IV 20
-
Kuat tekan adalah beban tekan pada waktu benda coba pecah, dibagi dengan luas ukuran nominal dari hollowblock, termasuk luas lubang serta cekungan tepi.
METODOLOGI PENELITIAN Metoda penelitian yang digunakan adalah metoda eksperimental dengan melakukan pembuatan benda uji di laboratorium dari berbagai variasi campuran, kemudian dicetak sehingga menjadi bata beton berlobang.
Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan meliputi pasir dari Tasikmalaya, drilling cutting dari Kamojang, semen Portland, dan air. Sedangkan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan meliputi mesin aduk (mixer), alat cetak
211
bata
beton,
dan
Machine (UTM).
Universal
Testing
Pembuatan Benda Uji
Langkah awal penelitian dengan menentukan komposisi optimal berdasarkan hasil pengujian kuat tekan benda uji mortar bentuk kubus ukuran (5 x 5 x 5) cm3 pada umur 7 hari dan 28 hari. Kuat tekan optimal digunakan untuk membuat komponen bangunan bata beton berlobang. Komposisi campuran mortar terdapat dalam Tabel 2. Tabel 2. Komposisi Campuran Mortar Komposisi Campuran PC Agregat 1 2 1 4 1 6 1 8
Agregat halus yang digunakan terdiri dari pasir dan drilling cutting, komposisi dapat dilihat dalam Tabel 3. Tabel 3. Komposisi Agregat Mortar Komposisi Agregat DC (%) Pasir (%) 100 0 80 20 70 30 60 20 0 100
Tahapan produksi pembuatan bahan bangunan bata beton berlobang digambarkan dalam Gambar 1.
Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
Pasir/ Krikil
Periksa kadar air diayak 10 mm
Takaran/ berat
DC
Semen
Air
Periksa kadar air diayak 10 mm
Takaran/ berat
Takaran/ berat
Takaran/ berat
Pencampuran bahan
Manual / mixer
Pencetakan
Manual / semi Masinal
Pemeliharaan awal
Lepaskan dari papan alas
Diangin-anginkan di atas rak 1 x 24 jam
Disusun dan disiram air setiap hari selama 7 hari
Conblock siap digunakan
Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Bata Beton Berlobang
Benda uji bata beton berlobang mempunyai ukuran (30 x 20 x 10) cm3. Jenis pengujian yang dilakukan meliputi kuat tekan, kadar air, penyerapan air, berat jenis. Pengujian sampel pada umur 7 hari dan 28 hari. Pengujian agregat sesuai dengan SNI 03-1971-1990 Metode pengujian kadar air agregat, SNI 03-4142-1996 Metode pengujian jumlah bahan dalam agregat yang lolos saringan No. 200 (0,075μ), SNI 03-1969-1990 Metode pengujian berat jenis dan penyerapan air agregat kasar, SNI 03-1970-1990 Metode pengujian berat isi dan rongga udara dalam agregat, SNI 03-2816-1992 Metode pengujian kadar organik dalam Pengaruh Penambahan Bahan ... (Agus T., Rudi S.)
pasir untuk campuran mortar atau beton, SNI 03-1968-1990 Metode pengujian tentang analisis saringan agregat halus dan kasar. Pengujian bata beton berlobang sesuai dengan SNI 030349-1989 tentang Bata beton untuk pasangan dinding.
HASIL DAN PEMBAHASAN Agregat Halus Hasil pengujian pasir dan DC dapat dilihat pada Tabel 4. Pasir yang digunakan dalam percobaan ini memenuhi syarat SNI 03-6861.1-2002 karena kadar lumpur yang dicapai adalah 3,78% kurang dari 5%, begitu juga kadar zat organik untuk pasir 212
menunjukkan negatif. Jadi pasir tersebut dapat digunakan sebagai agregat untuk pembuatan mortar dan beton. Tabel 4. Hasil Pengujian Agregat Agregat Halus Jenis Pengujian Drilling Pasir
Cutting
Kadar air (%) Kadar lumpur (%) Penyerapan air (%) Berat jenis(kg/L) Bobot isi : - gembur (kg/L) - padat (kg/L) Kadar zat organik Modulus kehalusan Kekerasan Analisa avak 38,0 mm (%) 38,0 mm (%) 19,0 9,6 mm (%) 4,8 mm (%) 2,4 mm (%) 1,2 mm (%) 0,6 mm (%) 0,3 mm (%) 0,15 mm (%) < 0,15 mm (%)
8,23 3,78 4,71 2,51
29,61 26,37 6,25 2,30
1,385 1,802 negatif 3,00 -
1,154 1,381 positif 3,51 -
100 % 97,96 95,81 90,13 76,79 61,79 45,87 22,35 8,94 0
100 98,7 90,61 63,39 45,27 28,54 15,00 7,26 0
Drilling cutting tidak dapat digunakan
puran. Hal ini disebabkan karena bahan drilling cutting terlalu banyak mengandung bahan yang halus yang mempunyai sifat banyak menyerap air sehingga makin banyak bahan ini digunakan kuat tekannya akan berkurang pula. Hasil uji mortar ini akan digunakan sebagai indikasi sejauh mana bahan drilling cutting dapat digunakan sebagai bahan substitusi agregat halus dalam pekerjaan mortar atau beton. Komposisi campuran agregat halus yang optimal adalah 60% drilling cutting dan 40% pasir. Maka untuk selanjutnya komposisi agregat halus inilah yang akan digunakan untuk pembuatan komponen bangunan. Tabel 5. Data Hasil Pengujian Kuat Tekan Rata-Rata Mortar Campuran PC : Agr. 1:2
sebagai agregat untuk pembuatan mortar dan beton karena kadar lumpurnya sangat tinggi yaitu 26,37% dan mengandung zat organik. Jadi apabila drilling cutting digunakan sebagai agregat beton akan menimbulkan efek yang merugikan terhadap mutu mortar atau beton, karena akan menambah penyusutan saat beton mengeras.
1:4
Data hasil pengujian kuat tekan mortar dapat dilihat pada Tabel 5. Kuat tekan akan berkurang dengan bertambahnya pemakaian drilling cutting. Selain dari pada itu kuat tekan juga akan berkurang dengan bertambahnya komposisi cam-
1:8
213
1:6
DC : Pasir
Kuat tekan (kg/cm') 7
28
100 : 0
186,3
195,0
80 : 20
188,0
203,0
70 : 30
201,3
276,7
60 : 40 0 :100
229,7
300,0
332,7
425,0
100 : 0 100 80 : 20
102,8
152,7
113,3
164,3
70 : 30
120,7
170,7
60 : 40 0 :100
140,0
170,7
206,3
256,7
100 : 0 100 80 : 20
92,0
103,7
92,0
104,0
70 : 30
95,3
105,0
60 : 40 0 :100
98,7
113,7
103,0
120,0
100 : 0 100 80 : 20
62,0
73,3
65,7
73,7
70 : 30
65,7
85,0
60 : 40 0 :100
67,7
98,8
69.7
110,7
100
Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
Komponen Bangunan Campuran untuk bata beton berlobang menggunakan komposisi 1 pc: 8 agregat halus dimana agregat halus dengan komposisi 60% drilling cutting : 40% pasir. Hasil pengujian bata beton berlobang dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil Pengujian Bata Beton Berlobang Jenis pengujian
Hasil * 7 hr
28 hr
Syarat
Kuat tekan (kg/cm2)
21,0
44,94
masuk
Kadar air (%)
7,23
6,91
mutu III
19,55
16,92
1,63
1,69
Penyerapan air (%) Berat jenis (g/cc)
* Hasil rata-rata dari 5 buah benda uji
Dari Tabel 6 dapat dikatakan bahwa kuat tekan bertambah dengan bertambahnya umur pengujian. Kuat tekan rata-rata yang dicapai pada umur 28 adalah 44,94 kg/cm2 dimana hal ini dapat memenuhi syarat mutu III. Persyaratan kuat tekan bata beton berlobang mutu III adalah 35 kg/cm2.
Dilihat dari kuat tekan yang dicapai maka bata beton berlobang ini dapat digunakan untuk konstruksi pasangan di dalam atau pada bagian dalam bangunan yang tidak memikul beban. Syarat kuat tekan untuk konstruksi pasangan ini 25 kg/cm2. Untuk mutu III persyaratan penyerapan air tidak ada sedangkan untuk mutu I dan II masingmasing adalah 25% dan 35%. Berat jenis rata-rata pada umur 28 hari adalah 1,69 jadi dapat dikatakan bahwa bata beton berlobang ini adalah bata beton berlobang ringan.
Analisis TCLP
Hasil analisa sampel uji untuk bata beton berlobang warna abu tua, berbau, pH 10,94. Sedangkan hasil analisa kimia sampel untuk bata beton berlobang dapat dilihat pada Tabel 7, semua parameter ukur TCLP masih di bawah batas yang ditentukan dalam Keputusan No. Kep.04/Bapedal/09/1995, sehingga program minimisasi limbah dapat dipraktekkan pada daur guna (reuse) limbah drilling cutting pemboran menjadi bahan bangunan alternatif.
Tabel 7. Hasil Analisa Kimia Sampel untuk Bata Beton Berlobang Parameter
Satuan
Hasil uji ekstraksi TCLP
Hasil up pada sampel
Sianida
(CN)
mg/L
Fluorida Nitrat NO3) Nitrit
(F) (N-
mg/L
-
150
mg/L
0,71
1000
mg/L
<0,043
100
mg/L
0,64
-
(NNO2) Amonia (N. NI I ,) Absorbable Org-
<0,003
Batas TCLP Keputusan No. Kep.-04/Bapedal/ 09/1995
Chlorida Chemical Oxygen Demand pH
mg/L <0,010 , (AOX) mg /L 211,59 (COD) 10.94
Total Solids
mg/L
-
Pengaruh Penambahan Bahan ... (Agus T., Rudi S.)
20
539
214
Parameter
Satuan
Hasil uji ekstraksi TCLP
Hasil up pada sampel
Batas TCLP Keputusan No. Kep.-04/Bapedal/ 09/1995
Total Phenol
mg/L
<0,0016
Sulfida Arsen
mg/L
<0,006
mg/L
<0,002
4,320
5,0
mg/L
0,04
87,272
100,0
mg/L
<0.05
-
500,0
mg/L
-
<0.006
1.0
mg/L
<0,015
1,545
5,0
mg/L
-
8,382
-
Barium ) Boron a) Kadmium ) Krom d) Kobalt ) Tembaga o) Merkuri u) Timah hitam g) Tin Pb) Nikel n) Selenium Ni) Perak Se) Seng g)
(As (B (B (C (Cr (C (C (H ( (S ( ( (A (Z
-
mg/L
0,0089
7,851
10,0
mg/L
0,00031
0,17129
0,2
mg/L
0,083
4,22
5,0
mg/L
-
<0.471
mg/L
-
mg/L
-
<0,00267
mg/L
-
0,00479
5,0
mg/L
0,083
38,9297
50,0
n)
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Komposisi campuran optimal untuk pembuatan mortar adalah 60% drilling cutting dan 40% pasir. 2. Bata beton berlobang dengan komposisi campuran 1 bagian semen dan 8 bagian agregat (60% drilling cutting, 40% pasir) memenuhi syarat mutu III berdasar SNI 03-0349-1989 dan dapat digunakan untuk konstruksi pasangan dinding di dalam atau pada bagian dalam bangunan yang tidak memikul beban. 3. Bata beton berlobang ini dapat dikatakan bata beton berlobang ringan karena berat jenisnya adalah 1,69 g/cc. 4. Seluruh parameter ukur TCLP pada sampel masih di bawah ambang batas yang ditentukan. 215
-
1,751
1,0
Saran
Perlu dilakukan sosialisasi teknologi pembuatan komponen bangunan dan penggunaannya, karena komponen bangunan yang menggunakan drilling cutting merupakan komponen baru dikenal.
DAFTAR PUSTAKA -------, 1989, Bata beton untuk pasangan dinding, SNI 03-0349-1989, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. -------, 1990, Mutu dan cara uji agregat beton, SNI 03-1750-1990, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. -------, 1990, Metode pengujian tentang analisis saringan agregat halus dan kasar, SNI 03-1968-1990, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. -------, 1990, Metode pengujian berat jenis dan penyerapan air agregat halus SNI 03-1970-1990, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
-------, 1990, Metode pengujian kadar air agregat, SNI 03-19711990,BadanStandardisasiNasional, Jakarta. -------, 1992, Metode pengujian kadar organik dalam pasir untuk campuran mortar atau beton, SNI 03-2816-1992,Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. -------, 1996, Metode pengujian jumlah bahan dalam agregat yang lolos saringan No. 200 (0,075 µ), SNI03-
4142-1996, Badan Stan-dardisasi Nasional, Jakarta. -------, 1996, Metode pengujian berat isi dan rongga udara dalam agregat, SNI 03-4804-1996, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. -------, 2002, Spesifikasi bahan bangunan bagian A (bahan bangunan bukan logam), SNI 036861.1-2002, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta.
Pengaruh Penambahan Bahan ... (Agus T., Rudi S.)
216
PENGARUH CAMPURAN FLY ASH DAN PASIR KUARSA SEBAGAI MEDIA SARINGAN LEACHATE SAMPAH TERHADAP WAKTU PERESAPAN, WARNA, Fe, Zn DAN Cu Oleh : Tibin R. Prayudi Pusat Litbang Permukiman Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan – Kab. Bandung 40393 E-mail :
[email protected] Tanggal masuk naskah: 19 Februari 2008, Tanggal revisi terakhir : 09 Juni 2008
Abstrak
Air leachate sampah dan fly ash keduanya merupakan limbah yang dapat mencemari sumber air tanah sehingga perlu ditangani dengan baik agar tidak menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan. Beberapa peneliti telah melakukan penelitian dengan memanfaatkan fly ash sebagai bahan campuran pada beton, cat dan lain lain. Untuk lebih memperkaya penggunaan fly ash maka dilakukan penelitian penggunaan fly ash yang dicampur dengan pasir kuarsa pada komposisi tertentu sebagai media untuk menyaring air leachate sampah rumah tangga. Penelitian eksperimental di laboratorium dilakukan melalui 3 saringan dari flexiglas, berdiameter 5 cm, dan media saringan berupa campuran fly ash dan pasir kuarsa pada komposisi 60 % fly ash : 40 % pasir kuarsa, 50 % fly ash : 50 % pasir kuarsa dan 40 % fly ash : 60 % pasir kuarsa dengan ketebalan media 90 cm. Debit leachate divariasikan pada 0,0001 liter/detik, 0,0003 liter/detik dan 0,0005 liter/detik. Ukuran butir pasir kuarsa mengikuti persyaratan media saringan, yaitu butiran yang lolos saringan diameter 1,5 mm dan tertahan saringan diameter 0.5 mm. Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan dan pemeriksaan kualitas air pada setiap volume 100 ml air saringan. Analisis data dilakukan melalui perbandingan besaran nilai warna, Fe, Zn, dan Cu, pada air baku leachate dengan air hasil saringan dan persentase campuran yang optimum dihitung berdasarkan persentase penurunan kadar warna, Fe, Zn, dan Cu yang terbesar. Dari analisis data atau pembahasan ternyata waktu tercepat peresapan air dicapai pada debit penyaringan 0,0005 liter/detik, yaitu 7 menit dan komposisi campuran 60 % fly ash dengan 40 % pasir kuarsa merupakan campuran yang optimal menurunkan warna, Fe, Zn, dan Cu. Komposisi media campuran 60 % fly ash dengan 40 % pasir kuarsa dengan debit penyaringan 0,0001 liter/detik akan lebih baik dalam menurunkan warna sebesar 97,67 %; Fe sebesar 97,65 %; Zn sebesar 86,66 % dan Cu sebesar 71,43 %. Dari hasil tersebut di atas disimpulkan bahwa campuran fly ash dengan pasir kuarsa sebagai media saringan mencapai waktu peresapan tercepat dengan waktu 7 menit dan dapat menurunkan kadar warna, Fe, Zn dan Cu.
Kata Kunci : Fly ash, leachate, pasir kuarsa, saringan. Abstract
Pollution of ground water by fly ash and leachate is serious environmental concern. Several investigations explored fly ash as raw material for concrete mixed, paints etc, how ever it is predicted that the natural characteristics of fly ash also can be use as filter media on leachate treatment. Laboratory column test were conducted in variation of filtration rates and compositions for: infiltration time, removing colour, the present Fe, Zn and Cu. There were three sampling filter media with 90 cm long and 5 cm inner diameter Plexiglas columns in series.Each column contained 40 % fly ash and 60 % silica sand 20Pengaruh Campuran Fly Ash ... (Tibin R.P.)
184
30 mesh, 50 % fly ash and 50 % silica sand, 60 % fly ash and 40 % silica sand. The flow rates are 0.0001 litres/second, 0.0003 litres/second and 0.0005 litres/second. Samples were collected from each column using glass syringes and analyzed its. Value of colour, Fe, Zn and Cu in filtrate were compared to colour, Fe, Zn and Cu. The decrease of colour, Fe, Zn and Cu will calculate in percentages unit. The fastest of infiltration time was seven minutes with rate of filtration 0.0005 litres/second and filter media is 40 % fly ash and 60 % silica sand. Colour, Fe, Zn and Cu are significances decrease on filter media is 60 % fly ash and 40 % silica sand and rate of filtration on 0.0001 litres/second, value of colour reduction on 93.67 %, 97.65 % Fe reduction, 86.66 % Zn reduction and 71.43 % Cu reduction. Its indicate that fly ash and silica sand composition as filter media could reduction colour, Fe, Zn and Cu.
Key Words: Fly ash, leachate, silica sand, filter. PENDAHULUAN Latar Belakang
Pemanfaatan batubara sebagai bahan baku untuk menghasilkan energi merupakan alternatif pengganti minyak yang banyak digunakan dalam industri, karena disamping harganya yang lebih murah juga sumbernya melimpah. Proses pembakaran batu bara untuk menghasilkan energi menghasilkan sisa proses yang berupa fly ash. Jumlah fly ash yang dihasilkan cukup banyak dan belum banyak dimanfaatkan untuk bahan produksi lainnya. Kementrian Lingkungan Hidup menetapkan bahwa limbah dari hasil pembakaran batu bara diklasifikasikan sebagai limbah B3, sehingga sisa pembakaran batu bara perlu ditangani secara benar oleh pihak industri agar tidak mencemari lingkungan, seperti sumber air dan udara. Menurut hasil penelitian Blowes dan kawan-kawan zero-valent iron, fly ash, batu kapur, posfat, garam ferroes dan senyawa lainnya seperti MgOH2, MgCO3 merupakan bahan pereaksi yang bisa menaikan pH menjadi alkali dan membuat logam berat pada kondisi stabil.
185
Jumlah sampah yang dihasilkan setiap hari semakin meningkat sehingga memerlukan penanganan yang terpadu antara produsen, konsumen dan masyarakat yang lahannya dipakai untuk lokasi pengolahan sampah. Akibat penanganan sampah yang belum optimal, sering masyarakat yang lahannya akan dimanfaatkan untuk pengolahan sampah menolak. Longsornya timbunan sampah dan tercemarnya sumber air bersih oleh leachate merupakan dasar penolakan masyarakat. Kualitas air leachate yang kadarnya besar antara lain seperti parameter warna, pH dan logam berat seperti Fe, Zn, Mn, Ni, Cd, Co, Al dan Cu, terkandung dalam konsentrasi yang tinggi pada kondisi asam. Bila kandungan parameter ini mencemari sumber air dan dikonsumsi oleh masyarakat akan menimbulkan penurunan kondisi kesehatan masyarakat. Menurut hasil pengujian ukuran butiran fly ash sangat halus sehingga dalam pengunaannya sebagai media saringan perlu dicampur dengan butiran pasir yang lebih kasar agar supaya media lebih porus. Karena keterbatasan biaya maka dalam penelitian ini tidak semua parameter air leachate diperiksa, yang Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
diperiksa adalah warna dan logam berat Fe, Zn dan Cu.
Rumusan Masalah Apakah campuran fly ash dengan pasir kuarsa pada komposisi tertentu, yang digunakan sebagai media saringan akan mempengaruhi waktu peresapan air di media saringan dan menurunkan kadar warna, Fe, Zn, dan Cu, yang terkandung pada air leachate sampah ? Apakah pengaliran debit yang berbeda pada saringan tersebut akan mempengaruhi waktu peresapan air di media saringan dan kadar warna, Fe,Zn dan Cu ?
Tujuan nelitian
dan
Sasaran
Pe-
Tujuan Mendapatkan informasi : - komposisi campuran optimal fly ash dengan pasir kuarsa waktu peresapan air di media saringan - penurunan warna, Fe, Zn dan Cu pada proses penyaringan air leachate.
Sasaran Dimanfaatkannya fly ash sebagai media penyaring air leachate sehingga mengurangi pencemaran lingkungan.
KAJIAN PUSTAKA Pemanfaatan Batubara Pemanfaatan batubara sebagai sumber energi, telah mengubah dan mengarahkan pola hidup manusia, mendatangkan keuntungan, serta mampu menimbulkan kegiatan industri-industri baru yang bermanfaat untuk masyarakat. Menurut data Direktorat Pengusahaan Mineral dan Batubara, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral pada tahun 2004, yang dikutip Pengaruh Campuran Fly Ash ... (Tibin R.P.)
dari Laporan Studi Pengelolaan Limbah Fly Ash dan Bottom Ash Sisa Pembakaran Batubara, bahwa kebutuhan batubara dalam negeri yang berasal dari tambang batubara besar dan kontrak karya resmi adalah sebesar 36,1 juta metrik ton dan apabila dari total kebutuhan tersebut menghasilkan limbah abu terbang (fly ash) sebesar 1% - 5%, maka akan ada sekitar 360.000 – 1.800.000 metrik ton fly ash yang harus dikelola dan masih berpotensi untuk dimanfaatkan dan angka itu belum ditambah dengan limbah abu dasar (bottom ash) yang juga dihasilkan pada saat pembakaran batubara yaitu berkisar antara 5% - 10% sehingga total volume fly ash dan bottom ash menjadi sekitar 720.000-3.600.000 metrik ton. Data tersebut diatas diprediksi akan terus meningkat terutama karena adanya dorongan pengalihan teknologi pembangkit listrik dari menggunakan minyak bumi ke penggunaan batubara dan pengalihan penggunaan minyak tanah ke penggunaan briket batubara. Akibat dari pengalihan penggunaan batubara tersebut, maka selain jumlah abu batubara yang meningkat juga penyebarannya akan tersebar dimanamana sehingga perlu adanya penanganan yang serius. Kecenderungan jumlah limbah batu bara yang semakin besar tersebut, sehingga memerlukan pengelolaan agar tidak menimbulkan masalah lingkungan, seperti pencemaran udara, perairan dan penurunan kualitas ekosistem. Apabila mengacu pada pengelolaan fly ash dan bottom ash di negara lain, maka Indonesia telah cukup tertinggal dari mereka, seperti Amerika Serikat atau Inggris. Negara-negara di Eropa, Afrika Selatan dan di Amerika telah menyadari manfaat dari penggunaan Coal Com186
bustion Products (CCPs). Penggunaan CCPs tersebut antara lain untuk: - Jalan Raya (road base/sub base, embankment fill, grout) - Reklamasi (abandonee mine re-
clamation, subsidence remediation and control) Pertanian (soil amendment, new soil blends, treatment of bio-solids) Bahan Baku Pabrik (paints, roofing granules dan fillers). Pembuatan Beton (concrete)
Pembuatan bahan bangunan alternatif (conblock, bata beton pejal, pavingblock, genteng, panel beton)
Permasalahan yang muncul dalam hal pemanfaatan abu batubara (fly ash dan bottom ash) adalah tidak seragamnya kualitas yang dihasilkan. Sebagai contoh, fly ash yang dihasilkan oleh boiler (alat pembakar batubara) dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTUBatubara) akan jauh lebih diminati daripada fly ash yang dihasilkan oleh boiler dari industri tekstil. Hal ini karena PLTU-Batubara menggunakan batubara yang lebih tinggi kualitasnya (kadar abu dan sulfur yang rendah) dan memakai boiler yang lebih efisien (karena dapat menghasilkan panas yang sangat tinggi) dan pembakaran yang lebih sempurna. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh berbagai instansi, salah satu penanganan lingkungan yang dapat diterapkan adalah memanfaatkan limbah tersebut untuk keperluan bahan bangunan seperti batako dan paving blok serta pembenah lahan pertanian. Namun, hasil pemanfaatan tersebut belum dapat dimasyarakatkan, karena berdasarkan PP No. 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang 187
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, abu terbang dan abu dasar dikategorikan sebagai limbah B3 karena terdapat kandungan oksida logam berat yang akan mengalami pelindian secara alami dan mencemari lingkungan sebagai akibat pembakaran batubara. Abu terbang yang dihasilkan PLTU di seluruh dunia pada tahun 2005, tercatat lebih dari 150 juta ton tiap tahun. Setengah dari jumlah tersebut, belum dimanfaatkan dan menimbulkan polusi lingkungan (Sukandarrumidi, 2006). Di Indonesia, sebagai contoh PLTU Suryalaya di Serang, Banten mampu menghasilkan abu terbang (fly ash) sebanyak 1200 ton/hari. Abu terbang dimanfaatkan dalam industri konstruksi, produksi semen dan pembuatan keramik, selain itu dimanfaatkan untuk reklamasi dan stabilisasi daerah berlumpur. Namun sebagian besar dari abu terbang tersebut hanya dimanfaatkan sebagai tanah penimbun, sehingga menimbulkan masalah lingkungan antara lain pelepasan unsur-unsur beracun ke dalam air tanah, penurunan aktivitas mikroba dan peningkatan pH tanah.
Klasifikasi Batubara Berdasarkan cara penggunaannya sebagai penghasil energi, batubara dibedakan : a. Penghasil energi panas primer, yaitu langsung dipergunakan untuk industri, misalnya sebagai bahan pembakar dalam industri semen, pembangkit listrik tenaga uap, bahan bakar pembuatan kapur tohor, bahan bakar pembuatan genting, bahan bakar lokomotf, pereduksi proses metalurgi, kokas konvensional, bahan bakar tidak berasap.
Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
b. Penghasil energi sekunder, yaitu tidak langsung dipergunakan untuk industri, misalnya sebagai bahan bakar padat (briket), bahan bakar cair, bahan bakar gas. Secara umum batubara digolongkan menjadi 5 tingkatan (dari tingkatan paling tinggi kadar C terhadap H2O yang terdapat dalam batubara), yaitu : anthracite, bituminous coal, sub bituminous coal, lignite dan peat. Sifat-sifat batubara untuk masingmasing jenis adalah sebagai berikut : a. Anthracite Warna hitam, sangat mengkilat, kompak, kandungan karbon sangat tinggi, nilai kalor sangat tinggi, kandungan air sangat sedikit, kandungan abu sangat sedikit, kandungan sulfur sangat sedikit. b. Bituminous coal, sub bituminous coal Warna hitam mengkilat, kurang kompak, kandungan karbon relatif tinggi, nilai kalor tinggi, kandungan air sedikit, kandungan abu sedikit, kandungan sulfur sedikit. c. Lignite Warna hitam, sangat rapuh, kandungan karbon sedikit, nilai kalor rendah, kandungan air tinggi, kandungan abu banyak, kandungan sulfur banyak. Tiap jenis batubara mempunyai perbedaan baik pada sifat fisik (struktur) maupun pada sifat kimiawinya, sehingga menjadi salah satu penyebab mengapa suatu jenis batubara dipandang sesuai untuk pemanfaatan tertentu dan tidak sesuai untuk pemanfaatan lainnya. Sebagai contoh batubara jenis bituminous dapat dibakar langsung pada tungku untuk keperluan industri dan pembangkit tenaga listrik. Jenis anthracite biasanya dipakai sebagai Pengaruh Campuran Fly Ash ... (Tibin R.P.)
reduktor, sedang lignite dgunakan untuk bahan bakar pembangkit tenaga listrik di mulut tambang, dibuat briket, dan diproses sebagai minyak sintetis.
Proses Terjadinya Abu Terbang (Fly Ash) Secara umum apabila batubara dibakar sebagai energi panas pada PLTU, akan menimbulkan 2 macam emisi yaitu abu bawah (bottom ash) yang terkumpul di bagian bawah boiler sebanyak 10 – 20 % dan abu terbang (fly ash) yang tertinggal di penampungan (hopper) dan di penangkap partikulat seperti electrostatic presipitator sebanyak 80 – 90 %.
Electrostatic presipitator merupakan alat
penangkap abu terbang, apabila alat penangkap debu ini tidak berfungsi sebagai mana mestinya, paling tidak abu terbang (80 %) akan terlepas ke atmosfir. Akibatnya udara terkontaminasi, sehingga mengakibatkan ISPA, dengan adanya kandungan SO2 akan bereaksi dengan uap air di atmosfir yang membentuk asam sulfat, yang dapat menimbulkan hujan asam.
Sifat-sifat Fisik, Kimia dan Mineral Abu Terbang (Fly Ash) Komposisi batubara bersifat heterogen, terdiri dari unsur organik dan senyawa anorganik yang bercampur selama proses transportasi, sedimentasi dan proses pembatubaraan. Apabila batu bara dibakar, senyawa anorganik yang ada diubah menjadi senyawa oksida yang berukuran butir halus dalam bentuk abu. Sifat-sifat fisika, kimia dan mineralogi abu terbang tergantung pada komposisi batubara awal, kondisi pembakaran, kinerja dan efisiensi alat pengontrol emisi, penanganan dan penyimpanan serta iklim. Abu terbang 188
terdiri dari partikel-partikel seperti gelas dengan ukuran antara 0,01 – 100 um, berat jenis bervariasi antara 2,1-2,6 g/cm3 dan luas permukaan antara 0,17 – 1,00 m2/kg. Warna abu terbang (fly ash) abu-abu hingga hitam tergantung pada jumlah karbon yang tidak terbakar dalam abunya. Semakin cerah warnanya semakin rendah kandungan karbonnya. Sebagian besar partikel penyusun abu terbang (fly ash) berbentuk bola, sebagian berongga dan lainnya terisi oleh partikel amorf dan kristal-kristal yang lebih kecil. Komposisi kimia unsur utama abu terbang (fly ash) secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : - Oksida logam seperti SiO2, Al2O3, TiO2 - Oksida logam basa seperti Fe2O3,CaO, MgO, K2O, Na2O - Oksida unsur lainnya seperti P2O5, SO3. Sisa karbon dan lain-lain Secara kimia, unsur utama penyusun abu terbang adalah Si, Al, Fe serta Ca, K, Na dan Ti dalam prosentase yang cukup berarti. Selain komponen utama tersebut, abu terbang (fly ash) juga mengandung unsur lain dalam jumlah sedikit, yaitu As, Be, Se.
Leachate Sampah Salah satu metode pengolahan sampah rumah tangga yang paling umum digunakan yaitu dengan penimbunan sampah menggunakan tanah, sehingga dapat menimbulkan potensi terjadinya rembesan air leachate sampah terhadap lapisan tanah atau air tanah. Tingginya kontaminasi leachate bergantung pada komposisi dan dekomposisi sampah serta faktor hidrologi seperti curah hujan ,penguapan, penyerapan dan kelembaban, juga ketinggian lapisan tanah penutup sampah. Untuk mengurangi pencemaran leachate, maka pelapisan 189
dengan tanah pada sistem penimbunan ini harus sesuai dengan persyaratan teknis yang berlaku. Disamping itu leachate yang terbentuk harus dilakukan pengolahan agar aman terhadap air tanah.
Karakteristik Leachate Leachate banyak mengandung beban polutan dibandingkan dengan air kotor rumah tangga atau buangan cair dari industri. Variasi kualitas leachate dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tipe dan ketinggian sampah, umur pengolahan, kecepatan pengaliran air, desain dan operasi pengolahan, dan keterkaitan leachate dengan lingkungannya. Komposisi leachate dengan umur penimbunan sampah satu, lima dan 16 tahun tercantum pada tabel 1. Tabel 1. Komposisi Leachate Parameter BOD COD pH TDS TSS Alkalinity (CaCO3) Total P NH4-N Nitrate Calcium Chloride Sodium Potassium Sulfate Mangan Magnesium Besi Seng Tembaga Cadmium Timah
Umur Landfill 1 5 tahun tahun 7,5004,000 28,000 8,000 10,0006,3 40,000 6,794 5,2-6,4 10,0005,810 14,000 100-700 12 800-4,000 0.5 25-35 308 5-482 1,330 0.2-0.8 810 900-1,700 610 600-800 2 450-500 0.06 295-310 450 400-650 6.3 75-125 0.4 160-250 <0.5 210-325 <0.05 10-30 0.5
16 tahun 80 400 1,200 2,250 8 1.6 109 70 34 39 2 0.06 90 0.6 0.1 <0.5 <0.05 1.0
Sumber : Syed R Qasim, Walter Chiang, Sanitary Landfill Leachate, hal 140 Catatan : satuan dalam mg/l, kecuali pH
Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
METODOLOGI PENELITIAN
mulai saat air disaring sampai air keluar dari saringan dan setiap interval waktu untuk menampung 100 ml air hasil penyaringan.
Metode Pengumpulan Data Penelitian eksperimental di laboratorium dilakukan melalui penyaringan air leachate sampah. Media saringan dibuat dari campuran fly ash dan pasir kuarsa dengan komposisi 60 % fly ash : 40 % pasir kuarsa, 50 % fly ash : 50 % pasir kuarsa dan 40 % fly ash : 60 % pasir kuarsa. Ukuran butir pasir kuarsa mengikuti persyaratan media saringan, yaitu butiran yang lolos saringan diameter 1,5 mm dan tertahan saringan diameter 0.5 mm.
Volume Air Hasil Saringan Air hasil saringan ditampung pada volume 100 ml, Pengumpulan volume 100 ml air dan dilakukan sebanyak 4 kali.
Metode Analisis Besaran nilai warna, Fe, Zn, dan Cu, dibandingkan antara kadar di air baku leachate dengan kadar air hasil saringan. Persentase campuran yang optimum dihitung berdasarkan persentase penurunan kadar warna, Fe, Zn, dan Cu yang terbesar.
Saringan terbuat dari pipa paraglass berdiameter 5 cm dengan ketinggian media saringan 90 cm. Air dialirkan dari atas saringan, debit air yang masuk mendekati kecepatan penyaringan Saringan Pasir Lambat, dengan variasi debit 0,0001 liter/detik, 0,0003 liter/detik dan 0,0005 liter/detik. Pengamatan dan pemeriksaan kualitas air hasil saringan dilakukan pada setiap volume 100 ml air saringan.
DATA HASIL PEMERIKSAAN Pemeriksaan Kualitas Air Hasil Penyaringan Parameter kualitas air hasil penyaringan yang diperiksa meliputi warna, dan kadar Fe, Zn, Cu, Data hasil pengamatan waktu peresapan dan pemeriksaan kualitas air,tercantum seperti pada tabel 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8.
Data yang Dikumpulkan Meliputi Data Waktu Peresapan Waktu peresapan diamati dan dicatat,
Tabel 2. Pengamatan Hasil Penyaringan Air Leachate terhadap Waktu Peresapan pada Debit 0,0001 Liter/Detik Sumber/ Saringan
Debit (l/det)
Volume (ml)
Peresapan awal (menit)
Penampungan Pertama (menit)
Waktu Penampungan Kedua (menit)
Penampungan Ketiga (menit)
Penampungan Keempat (menit)
Saringan A (40 % fly ash : 60 % psr)
0,0001
100
15
45
75
105
133
Saringan B (50 % fly ash : 50 % psr)
0,0001
100
31
71
107
141
176
Saringan C (60 % fly ash : 40 % psr)
0,0001
100
50
87
148
208
267
Sumber : Hasil pengamatan di laboratorium Balai LP bulan November 2007
Pengaruh Campuran Fly Ash ... (Tibin R.P.)
190
Tabel 3. Pemeriksaan Hasil Penyaringan Air Leachate terhadap Warna, Fe, Zn, dan Cu, pada Debit 0,0001 Liter/Detik Sumber/ Saringan Air Baku Leachate Saringan A (40 % fly ash : 60 % psr) Saringan B (50 % fly ash : 50 % psr) Saringan C (60 % fly ash : 40 % psr)
Debit (l/det)
Volume (ml)
-
-
0,0001
100
0,0001
100
0,0001
100
Parameter Fe Zn (mg/l) (mg/l) 4,25 0,30 0,62 0,11 (85,41) (63,33) 0,42 0,14 (90,12) (53,33) 0,1 0,04 (97,65) (86,66)
Warna (PtCo) 5885 2265 (61,51) 1027 (82,55) 137 (97,67)
Cu (mg/l) 0,28 0,18 (35,71) 0,20 (28,57) 0,08 (71,43)
Sumber : Hasil pemeriksaan di laboratorium Balai LP bulan November2007 Catatan : ( ) nilai penurunan dalam satuan %
Tabel 4. Pengamatan Hasil Penyaringan Air Leachate terhadap Waktu Peresapan pada Debit 0,0003 Liter/Detik Saringan Saringan A (40 % fly ash : 60 % psr) Saringan B (50 % fly ash : 50 % psr) Saringan C (60 % fly ash : 40 % psr)
Waktu Penampungan Kedua (menit)
Debit (l/det)
Volume (ml)
Peresapan awal (menit)
Penampungan Pertama (menit)
Penampungan Ketiga (menit)
Penampungan Keempat (menit)
0,0003
100
7
12
18
23
0.0003
100
9
14
20
26
32
0.0003
100
12
18
23
9
36
28
Sumber : Hasil pengamatan di laboratorium Balai LP bulan November 2007
Tabel 5. Pemeriksaan Hasil Penyaringan Air Leachate terhadap Warna, Fe, Zn, dan Cu, pada Debit 0,0003 Liter/Detik Sumber/ Saringan
Debit (l/det)
Volume (ml)
Warna (PtCo) 5885
Parameter Fe Zn (mg/l) (mg/l) 4,25 0,30
Air Baku Leachate Saringan A (40 % fly ash : 60 % psr) Saringan B (50 % fly ash : 50 % psr) Saringan C (60 % fly ash : 40 % psr)
-
-
0,0003
100
1603 (72,76)
0,65 (84,71)
0,27 (10,00)
0,0003
100
867 (85,27)
0,44 (89,65)
0,18 (40,00)
0,12 (57,14)
0,0003
100
223 (96,21)
0,25 (94,12)
0,13 (56,67)
0,13 (53,57)
Cu (mg/l) 0,28 0,16 (42,86)
Sumber : Hasil pemeriksaan di laboratorium Balai LP bulan November 2007 Catatan : ( ) nilai penurunan dalam satuan %
191
Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
Tabel 6. Pengamatan Hasil Penyaringan Air Leachate terhadap Waktu Peresapan pada Debit 0,0005 Liter/Detik Saringan Saringan A (40 % fly ash : 60 % psr) Saringan B (50 % fly ash : 50 % psr) Saringan C (60 % fly ash : 40 % psr)
Waktu Penampungan Kedua (menit)
Penampungan Ketiga (menit)
Penampungan Keempat (menit) 26
Debit (l/det)
Volume (ml)
Peresapan awal (menit)
Penampungan Pertama (menit)
0,0005
100
7
11
15
19
0,0005
100
9
13
18
22
0,0005
100
10
14
19
26
30
34
Sumber : Hasil pengamatan di laboratorium Balai LP bulan November 2007
Tabel 7. Pemeriksaan Hasil Penyaringan Air Leachate terhadap Warna, Fe, Zn, dan Cu, pada Debit 0,0005 Liter/Detik Warna (PtCo) 5885
Parameter Fe Zn (mg/l) (mg/l) 4,25 0,30
Cu (mg/l) 0,28
100
2200 (62,62)
0,56 (86,82)
0,18 (40,00)
0,12 (57,14
0,0005
100
1735 (70,52)
0,26 (93,88)
0,14 (53,33)
0,09 (67,86)
0,0005
100
864 (85,32)
0,25 (94,11)
0,04 (86,66)
Sumber/ Saringan
Debit (l/det)
Volume (ml)
Air Baku Leachate Saringan A (40 % fly ash : 60 % psr) Saringan B (50 % fly ash : 50 % psr)
-
-
0,0005
Saringan C (60 % fly ash : 40 % )
0,05 (82,14)
Sumber : Hasil pemeriksaan di laboratorium Balai LP bulan November 2007 Catatan : ( ) nilai penurunan dalam satuan %
Tabel 8. Persentase Penurunan Warna, Fe, Zn, dan Cu, Hasil Penyaringan dengan Saringan C pada Debit 0,0001 Liter/Detik, 0,0003 Liter/Detik dan 0,0005 Liter/Detik Debit/ Saringan Q = 0,0001 liter/detik Saringan C (60 % fly ash : 40 % psr) Q = 0,0003 liter/detik Saringan C (60 % fly ash : 40 % psr) Q = 0,0005 liter/detik Saringan C (60 % fly ash : 40 % psr)
%-se penurunan Warna
Parameter %-se %-se penurunan penurunan Fe Zn
97,67
97,65
86,66
96,71
94,12
56,67
85,32
94,11
86,66
%-se penurunan Cu 71,43
53,57 82,14
Sumber : Hasil Perhitungan Penulis
Pengaruh Campuran Fly Ash ... (Tibin R.P.)
192
ANALISIS DAN PEMBAHASAN Waktu Peresapan pada Debit 0,0001 Liter/Detik Dari tabel 2, waktu peresapan air disepanjang 90 cm media saringan A lebih cepat dibandingkan di saringan C, yaitu dari 15 menit menjadi 50 menit di saringan C. Dilihat dari kenaikan persentase fly ash sebanyak 20 %, yaitu dari 40 % menjadi 60 % dan penurunan persentase pasir kuarsa sebanyak 20 %, yaitu dari 60 % menjadi 40 %, waktu peresapan menjadi lebih lama 35 menit.
Waktu Peresapan pada Debit 0,0003 Liter/Detik Dari tabel 4, waktu peresapan air disepanjang 90 cm media saringan A lebih cepat dibandingkan di saringan C, yaitu dari 7 menit menjadi 12 menit di saringan C. Dilihat dari kenaikan persentase fly ash sebanyak 20 %, yaitu dari 40 % menjadi 60 % dan penurunan persentase pasir kuarsa sebanyak 20 %, yaitu dari 60 % menjadi 40 %, waktu peresapan menjadi lebih lama 5 menit.
Waktu Peresapan pada debit 0,0005 liter/detik Dari tabel 6, waktu peresapan air disepanjang 90 cm media saringan A lebih cepat dibandingkan di saringan C, yaitu dari 7 menit menjadi 10 menit di saringan C. Dilihat dari kenaikan persentase fly ash sebanyak 20 %, yaitu dari 40 % menjadi 60 % dan penurunan persentase pasir kuarsa sebanyak 20 %, yaitu dari 60 % menjadi 40 %, waktu peresapan menjadi lebih lama 3 menit. Pada komposisi campuran media saringan yang sama, dari ketiga debit pengaliran, pengaliran pada debit 0,0005 liter/detik memiliki waktu peresapan yang paling cepat. Hal ini memperlihatkan bahwa makin besar campuran pasir kuarsa akan makin 193
mempercepat waktu peresapan karena volume porositas antar butiran media akan semakin besar sehingga aliran diantara butiran media akan semakin cepat. Semakin lama penyaringan, kecepatan peresapan semakin menurun akibat volume porositas antar butiran media terhambat oleh kotoran yang terkandung pada air baku.
Hasil Parameter Warna, Fe, Zn dan Cu pada Debit 0,0001 Liter/Detik Dari tabel 3, saringan A dapat menurunkan warna = 61,51 %, Fe = 85,41 %, Zn = 63,33 % dan Cu = 35,71 %. Saringan B dapat menurunkan warna = 82,55 %, Fe = 90,12 %, Zn = 53,33 % dan Cu = 28,57 %. Saringan C dapat menurunkan warna 97,67 %, Fe = 97,65 %, Zn = 86,66 % dan Cu = 71,43 %. Dari penyaringan dengan debit 0,0001 liter/detik maka saringan C secara persentase lebih besar dapat menurunkan warna, Fe, Zn, dan Cu dibanding saringan A dan B.
Hasil Parameter Warna, Fe, Zn dan Cu pada Debit 0,0003 Liter/Detik Dari tabel 5, saringan A dapat menurunkan warna = 72,76 %, Fe = 84,71 %, Zn = 10,00 % dan Cu = 42,86 %. Saringan B dapat menurunkan warna = 85,27 %, Fe = 89,65 %, Zn = 40,00 % dan Cu = 57,14 %. Saringan C dapat menurunkan warna 96,21 %, Fe = 94,12 %, Zn = 56,67 % dan Cu = 53,57 %. Dari penyaringan dengan debit 0,0003 liter/detik maka saringan C secara Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
persentase lebih besar dapat menurunkan warna, Fe, Zn, dan Cu dibanding saringan A dan B.
Hasil Parameter Warna, Fe, Zn dan Cu pada Debit 0,0005 Liter/Detik Dari tabel 7, saringan A dapat menurunkan warna = 62,62 %, Fe = 86,82 %, Zn = 40,00 % dan Cu = 57,14 %. Saringan B dapat menurunkan warna = 70,52 %, Fe = 93,88 %, Zn = 53,33 % dan Cu = 67,86 %. Saringan C dapat menurunkan warna 85,32 %, Fe = 94,11 %, Zn = 86,66 % dan Cu = 82,14 %. Dari penyaringan dengan debit 0,0005 liter/detik maka saringan C secara persentase lebih besar dapat menurunkan warna, Fe, Zn, dan Cu dibanding saringan A dan B. Dari penyaringan dengan debit 0,0001 liter/detik, 0,0003 liter/detik dan 0,0005 liter/detik, persentase penurunan terbesar untuk warna, Fe, Zn dan Cu pada saringan C yang komposisi campurannya 60 % fly ash dan 40 % pasir kuarsa. Untuk melihat kinerja saringan C yang optimal maka perlu dibandingkan antar saringan C pada pengaliran dengan debit 0,0001 liter/detik, 0,0003 liter/detik dan 0,0005 liter/detik. Tabel 8, menyajikan persentase penurunan warna, Fe, Zn, dan Cu dari hasil penyaringan dengan saringan C pada debit 0,0001 liter/detik, 0,0003 liter/detik dan 0,0005 liter/detik. Dari tabel 8, berdasarkan persentase penurunan terbesar antar saringan C maka saringan C dengan pengaliran pada debit 0,0001 liter/detik merupakan saringan yang paling besar dalam Pengaruh Campuran Fly Ash ... (Tibin R.P.)
menurunkan kadar warna sekitar 97,67 %, Fe sekitar 97,65 % dan Zn sekitar 86,66 %. Sedangkan untuk persentase penurunan terbesar Cu, dilakukan oleh saringan C pada debit 0,0005 liter/detik. Persentase terbesar penurunan warna terjadi pada debit terkecil dan komposisi 60 % fly ash, hal ini menunjukan bahwa semakin kecil debit pengaliran dan semakin besar volume fly ash yang ukuran butirannya halus akan menyerap/adsorpsi warna lebih besar, demikian juga dalam penurunan Fe dan Zn, semakin debit kecil dan semakin halus butiran akan menyerap/absorpsi Fe lebih besar. Berbeda dalam penurunan Cu, Cu akan diserap/absorsi pada debit yang lebih besar dengan komposisi 60 % fly ash.
KESIMPULAN Campuran Fly ash dengan pasir kuarsa yang digunakan sebagai media saringan dapat menurunkan warna, Fe, Zn dan Cu yang terkandung dalam air leachate. Pengaliran debit yang berbeda pada penyaringan berpengaruh pada waktu peresapan. Waktu tercepat peresapan air dicapai pada debit penyaringan 0,0005 liter/detik, yaitu 7 menit. Komposisi campuran 60 % fly ash dengan 40 % pasir kuarsa merupakan campuran yang optimal menurunkan warna, Fe, Zn, dan Cu. Pada debit 0,0001 liter/detik dengan komposisi media campuran 60 % fly ash dengan 40 % pasir kuarsa akan lebih baik dalam menurunkan warna sebesar 97,67 %, Fe sebesar 97,65 %, Zn sebesar 86,66 % dan Cu sebesar 71,43 %.
DAFTAR PUSTAKA Blowes D.W, Ptacek C.J, Benner S.G, Mc Rae C.W.T and Puls R.W. 2000., 194
Treatment of Dissolved Metal and Nutrients Using Permeable Reactive Barriers. Journal of Contaminant
Hydrology.45,123-137. R Qasim, Syed. Walter Chiang.
1994.
Sanitary Landfill Leachate, Generation, Control and Treatment. Technomic Publishing ompany, Inc.Switzerland.
195
Sukandarrumidi, 2006. Batubara dan Pemanfaatannya, Gajah Mada University Press.Yogyakarta. ----, 2007. Laporan Studi Pengelolaan Limbah Fly Ash dan Bottom Ash Sisa Pembakaran Batubara, Direktorat Pengusahaan Mineral dan Batubara, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.
Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
KETAHANAN PELAT BETON KOMPOSIT ALDECK TERHADAP API DAN KINERJA PELAT BAJA GELOMBANG SEBAGAI PENGGANTI TULANGAN POSITIF Oleh: Lasino, Dany Cahyadi, M. Nur Fajri
Pusat Litbang Permukiman Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan – Kab. Bandung 40393 E-mail:
[email protected] Tanggal masuk naskah: 29 Februari 2008, Tanggal revisi terakhir : 29 Mei 2008
Abstrak
Telah dilakukan penelitian mengenai pelat beton komposit aldeck. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketahanan pelat beton komposit aldeck terhadap api dan kinerja pelat baja gelombang sebagai pengganti tulangan positif yang dapat digunakan sebagai dasar dalam analisis teknis dan ekonomis dalam pengembangannya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental dengan melakukan pembuatan benda uji berupa panel beton komposit Aldeck, berukuran 356 cm x 300 cm x 12 cm dari bahan beton mutu yang disyaratkan f’c 27,5 N/mm2 dan lapisan dasar baja gelombang. Dari hasil pengujian berupa uji bakar dapat disimpulkan bahwa pelat baja gelombang Aldeck dapat berfungsi sebagai pengganti tulangan positif sekaligus sebagai dasar (floor decking) dalam pembuatan komponen panel beton.
Kata kunci : Aldeck, Pelat Baja, Pelat Beton Komposit. Abstract
A research of aldeck composite concrete slab has been conducted. This research aims at knowing the endurance of aldeck composite concrete slab to fire resistance and the performance of corrugated steel plate as the substitute of positive momen which can serve as a fundamentalprinciple in technical analysis and economic. Research method applied is experimental method by making a specimen of composite aldeck concrete slab. The size of the specimen is 356 cm x 300 cm x 12 cm with the required concrete material f'c 27,5 N/mm2 and corugated steel bed plate. From the result of burning test, it can be concluded that Aldeck corrugated steel plate can be used as positive momen also as the base (floor decking) in making of concrete panel component.
Keywords : Aldeck, Steel Plate, Composite Concrete Slab. PENDAHULUAN Latar Belakang Adanya produk lembaran baja gelombang yang dapat digunakan sebagai dasar dalam pembuatan pelat beton komposit dan telah banyak beredar di pasaran, maka perlu dilakukan penelitian terhadap ketahanan api yang merupakan salah satu persyaratan penting dari komponen bangunan. Sesuai dengan persyaratan teknis yang Ketahanan Pelat Beton …. (Lasino, Dany C., M. Nur Fajri)
tertuang dalam Undang-Undang No. 28 Th. 2002 tentang Bangunan Gedung khususnya pada pasal 17 sampai dengan pasal 20 maka komponen bangunan harus mempunyai ketahanan terhadap api (TKA) tertentu sesuai dengan kelas atau fungsi bangunan. Penelitian ini juga untuk mengetahui kinerja pelat tersebut, karena selain berfungsi sebagai dasar pelat beton juga berfungsi pula sebagai pengganti tulangan momen positip pada komponen tersebut. Berdasarkan spe176
sifikasi produk dari bahan tersebut disebutkan bahwa penggunaan bahan ini dapat berfungsi pula sebagai pengganti tulangan positip, sehingga tidak memerlukan penambahan tulangan, yang berarti dapat mengurangi biaya konstruksi. Beberapa keunggulan dari bahan ini di antaranya adalah bentuknya yang sederhana sehingga dalam penggunaan tidak memerlukan tenaga ahli khusus, dibentuk sedemikian rupa sehingga memiliki ikatan secara mekanik terhadap beton diatasnya. Pelat gelombang sisi atas dapat berfungsi sebagai pengganti tulangan positip, diberi lapisan tahan karat sehingga mempunyai umur pakai (life time) yang cukup panjang, dan untuk kondisi tertentu dapat berfungsi sekaligus sebagai penutup langit-langit. Terlepas dari beberapa keunggulan tersebut, karena bahan ini merupakan bahan logam yang memang rentan terhadap temperatur tinggi, maka diperkirakan masih memiliki kelemahan dari aspek ketahanan terhadap api, terutama pada temperatur tinggi dengan tenggang waktu yang cukup lama. Untuk mengetahui sejauhmana ketahanan komponen aldeck ini terhadap api, maka perlu dilakukan penelitian uji bakar skala penuh dengan variabel luas tulangan dan pemberian beban uji pada komponen pelat tersebut.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketahanan pelat beton komposit aldeck terhadap api dan kinerja pelat baja gelombang sebagai pengganti tulangan positif yang dapat digunakan sebagai dasar dalam analisis teknis dan ekonomis dalam pengembangannya.
177
TINJAUAN PUSTAKA Perilaku Baja terhadap Temperatur Tinggi Pada temperatur diatas 93ºC kurva tegangan regangan pada baja mulai tidak linier dan secara bertahap titik leleh akan menghilang. Modulus elastisitas, kuat leleh dan kuat tarik putus akan menurun seiring dengan meningkatnya temperatur pada baja. Pada temperatur 430ºC sampai dengan 530ºC terjadi laju penurunan yang sangat drastis, karena pada temperatur ini baja mulai mencapai titik leleh. Walaupun perilaku baja terhadap temperatur tinggi selalu berbeda namun secara umum akan mempunyai perilaku yang sama, hal ini disebabkan oleh sifat kimia dan mikrostrukturnya yang berbeda. Baja dengan persentase karbon yang tinggi seperti A36 dan A40 menunjukkan pelapukan regangan (strain aging) pada temperatur 150ºC sampai dengan 370ºC, ini terlihat dari kenaikkan relatif titik leleh dan kekuatan tarik pada daerah temperatur tersebut dari nilai rata-ratanya. Tetapi pada temperatur bakar mencapai 260ºC sampai dengan 320ºC, kekuatan tarik ultimate akan naik sebesar 10% dari kondisi normal, sedangkan kekuatan lelehnya tidak memberikan per-bedaan yang signifikan. Pelapukan regangan akan menyebabkan turunnya kekuatan dan kekakuan, sehingga sangat merugikan terhadap struktur baja. Sedangkan penurunan nilai modulus elastisitas pada temperatur dibawah 540ºC belum terlalu signifikan tetapi pada temperatur diatas 540ºC akan turun secara drastis. Suatu catatan penting bahwa pada suhu antara 260ºC sampai dengan 320ºC deformasi pada baja akan meningkat sebanding dengan lamanya waktu pemJurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
bebanan. Fenomena ini mirip dengan peristiwa rangkak (creep) pada baja akibat pembebanan tetap. Pengaruh temperatur tinggi terhadap sifat lainnya adalah dapat memperbaiki daya tahan kejut takik sampai kira-kira 65ºC sampai dengan 95ºC, tetapi dapat meningkatkan sifat getasnya akibat perubahan metalurgis, seperti pengendapan se-nyawa karbon yang mulai terjadi pada temperatur 510ºC. Baja umumnya di-gunakan pada keadaan temperatur dibawah 540ºC dan beberapa baja yang diberi perlakuan panas harus dijaga agar temperaturnya dibawah 430ºC.
tarik pada sistem struktur tersebut. Persyaratan lendutan menurut Australian Standard (AS) 1530.4-1990 pasal 4.7.2, adalah sebagai berikut : Lendutan maksimum (δmaks) mm jika bentang pelat (L) sepanjang 2,5 meter, adalah :
maks maks
Perilaku Beton terhadap Temperatur Tinggi Sifat beton pada saat terbakar sangat tergantung pada agregat atau campuran bahan yang digunakan. Batu andesit, batu apung (clinker) dan bahan bersifat pozolan seperti fly ash, bubuk bata merah dan sejenisnya mempunyai sifat lebih tahan terhadap temperatur tinggi. Sedangkan agregat dari batu kapur (kalsit), obsidian dan sejenisnya akan cepat berubah sifat dan bentuknya apabila terkena panas sehingga akan mengembang dan akhirnya akan meledak. Kekuatan beton akan menurun secara signifikan mulai pada temperatur 200ºC dan akan dibarengi dengan ke-rusakan secara fisis pada temperatur diatas 450ºC yang diiringi dengan perubahan sifat fisis seperti terjadi retak, terkelupas (spalling), lendutan dan perubahan bentuk lainnya.
Persyaratan Lendutan Akibat temperatur tinggi yang terkena langsung pada komponen pelat beton, akan mengakibatkan perubahan bentuk yaitu melendut terutama dalam kondisi terbebani. Hal ini karena melelehnya baja tulangan sebagai elemen penahan Ketahanan Pelat Beton …. (Lasino, Dany C., M. Nur Fajri)
L 2500 (mm) (mm) 20 20 125 mm Laju lendutan maksimum (δ maks) mm/menit Untuk ketebalan pelat lantai 12 cm, adalah:
maks
L2 9000
x
d
(mm / menit )
25002 9000
x
120
(mm / menit )
maks 5,79 mm / menit Untuk ketebalan pelat lantai 10 cm, adalah : maks maks
L2 9000
x
d
(mm / menit )
2500 ( mm / menit ) 9000 x 100 2
maks 6,49 mm / menit
Laju lendutan tersebut diterapkan setelah lendutan L/30 dilampaui, atau 2500/30 = 83,3 mm.
Berdasarkan panduan pengujian ketahanan api komponen struktur bangunan untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan rumah dan gedung SNI 03-17411989. Persyaratan lendutan untuk komponen lantai yang memiliki ketahanan api selama 1 jam, adalah: 2502 (cm) L2 (cm) 10000 10000
6,25 cm
Maka lendutan lantai untuk ketahanan api 1 jam, adalah ≤ 6,25 cm (62,5 mm). 178
Persyaratan lendutan untuk komponen lantai yang memiliki ketahanan api selama 2 jam, adalah: 2502 (cm) L2 (cm) 6000 6000 10,42 cm Maka lendutan lantai untuk ketahanan api 2 jam, adalah ≤ 10,42 cm (104,2 mm). Persyaratan lendutan untuk komponen lantai yang memiliki ketahanan api selama 3 jam, adalah lendutan maksimum menurut persyaratan yang ditetapkan dalam Australian Standard (AS) 1530.41990 pasal 4.7.2, yaitu :
L 2500 (mm) (mm) 20 20 125 mm
maks
dimana : L = jarak bentang bersih; d = tebal pelat.
Kriteria Ketahanan Api Pengamatan yang dilakukan pada penelitian pembakaran lantai komposit Aldeck meliputi kelaikan secara struktur, yaitu stabilitas, integritas dan insulasi sebagai berikut : Kelaikan struktur (Stabilitas) 1. Lendutan yang terjadi pada saat percobaan, untuk ketahanan api (fire rating) 1 jam tidak boleh lebih dari 62,5 mm; 2. Lendutan yang terjadi pada saat percobaan, untuk ketahanan api (fire rating) 2 jam tidak boleh lebih dari 104,2 mm; 3. Lendutan yang terjadi pada saat percobaan, untuk ketahanan api (fire rating) 3 jam tidak boleh lebih dari 125 mm; Integritas Tidak terjadi retak-retak tembus, sehingga menurunkan fungsi 179
struktur serta menyebarkan api atau asap; Insulasi Temperatur permukaan lantai bagian atas (bagian belakang benda uji) tidak lebih dari 260ºC.
METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental dengan me-lakukan pembuatan benda uji berupa panel beton komposit Aldeck, berukuran 356 cm x 300 cm x 12 cm dari bahan beton mutu yang disyaratkan f’c 27,5 N/mm2 dan lapisan dasar baja gelombang. Pengujian bakar dilaksanakan dengan menggunakan tungku bakar skala penuh berdasarkan standar JIS A 1304-1975 selama 3 jam. Dalam uji bakar pelat beton diberi beban uji merata sebesar 400 kg/m2 untuk pelat dengan penambahan tulangan, dan 250 kg/m2 untuk pelat tanpa penambahan tulangan dengan menggunakan pasir dan dilakukan pengamatan terhadap temperatur belakang benda uji serta lendutan yang terjadi sejalan dengan perkembangan temperatur waktu. Secara umum langkah-langkah pelaksanaan penelitian dapat diuraikan sebagai berikut :
Bahan dan Alat Bahan almunium floor deck (Aldeck) mempunyai ukuran nominal lebar 60 cm, tebal 0,75 mm dan panjang 300 cm (tetapi dapat dipotong disesuaikan dengan kebutuhan) digunakan sebagai floor decking yang sekaligus sebagai pengganti tulangan tarik. Karena floor deck ini merupakan pelat gelombang maka ukuran panel beton adalah 356 cm x 300 cm x 12 cm (7 cm). Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
Mutu beton yang disyaratkan f’c 27,5 MPa, mutu baja tulangan positif : BJTD 40 (10 – 30 cm) dan mutu baja tulangan negatif : BRC 40 ( 6 – 15 cm). Peralatan Uji Peralatan uji yang digunakan adalah tungku multi-guna, (multi-use furnace) thermocouple, thermoduck, portable data logger, rekorder dan lain-lain. Standar Uji Standar uji yang diacu adalah JIS A 1304-1975, ISO 834, ASTM E 1191988 dan SNI 1741-1989-F. Penempatan Benda Uji Benda uji diletakkan diatas tungku dengan empat sisi menumpu pada bagian sisi tungku. Pembebanan Beban uji yang digunakan berupa beban tetap merata ditempatkan diatas panel berupa pasir sebesar 400 kg/m2 sesuai dengan persyaratan pembebanan untuk bangunan perkantoran, dan umum 250 kg/m2 untuk bangunan hunian/tempat tinggal. Pembakaran Pembakaran dilakukan setelah benda uji diletakkan diatas tungku, pemberian beban dan penempatan thermocouple untuk mengukur temperatur dan dial gauge untuk mengukur lendutan selesai. Pembakaran dilakukan dengan mengikuti kurva temperatur standar sebagai berikut :
Temperatur (oC)
KURVA TEMPERATUR-WAKTU
1200 1000 800 600 400 200 0
Temperatur Standar
0
30
60
90 120 150 180
Waktu (Menit)
Ketahanan Pelat Beton …. (Lasino, Dany C., M. Nur Fajri)
Tabel 1. Kurva temperatur-waktu standar No.
Interval Waktu (menit)
Temperatur Standar ( ºC )
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180
30 705 795 840 880 905 935 945 965 980 990 1000 1010 1015 1025 1030 1040 1045 1050
Pengamatan Temperatur
Temperatur tungku, diamati melalui thermoduct untuk mengontrol temperatur tungku sesuai temperatur standar. Temperatur benda uji terdiri dari 6 (enam) titik yaitu, permukaan dasar (gelombang bawah pelat combideck); permukaan atas (gelombang atas) pelat combideck; tulangan positip (bawah); tulangan negatip (atas); inti pelat beton; permukaan atas pelat beton dan ruangan selama pembakaran.
Pengamatan Kerusakan
Pengamatan kerusakkan secara visual diamati selama proses pembakaran yang meliputi perubahan bentuk, terjadinya retakretak, lendutan, perubahan warna pada permukaan beton dan kerusakkan lainnya sesuai dengan perkembangan kenaikkan temperatur, terutama pada kondisi krisis 180
HASIL PENELITIAN BAHASAN
&
Tabel 2. Hasil Pengujian Silinder Beton Hasil Uji rata-rata dari 6 contoh uji: Umur (Hari)
Luas Bid. Tekan (cm2) 176,62 176,62 176,62
3 7 28
Luas Bid. Tarik Ratarata (mm2)
Berat Ratarata (gr)
72,5 25,3
382,9 100,3
PEM-
HASIL PENELITIAN Pengujian Beton
Benda uji berbentuk silinder beton ukuran nominal tinggi 30 cm dan diameter 15 cm. Diuji pada umur 3 hari, 7 hari dan 28 hari terdapat pada tabel 2.
Lendutan yang terjadi diamati sejak pemberian beban secara bertahap, dan ditunjukkan setelah pembakaran benda uji sampai pembakaran selesai. Hasil pengamatan terdapat pada gambar lendutan panel 1 dan 2.
181
Kuat Tekan (N/mm2)
12,58 12,43 12,31
32.20 41.92 60.60
18,23 23,73 34,31
Beban Rata-rata (kg)
Kuat Tarik Rata-rata (kg/mm2)
Leleh
Putus
Leleh
Putus
3.1 1,1
4.0 1,4
42,4 44.7
54,7 56.9
1500 Temperatur Tungku
1000
Beban Merata
500
Lendutan Maksimum
0 0
40
80
120 160
Waktu (Menit)
LENDUTAN PANEL 2 1200 1000
Temperatur (oC)
Pengamatan Visual
Beban (kg)
LENDUTAN PANEL 1
Kuat Tarik Besi Tulangan Besi beton yang diuji terdiri dari 2 jenis, yaitu BJTD 10 yang digunakan sebagai tulangan positip dan BJTD 6 yang digunakan sebagai tulangan negatip. Hasil uji terdapat pada tabel 3.
Berat (kg)
Tabel 3. Hasil Pengujian Besi Beton
Temperatur (oC)
dimana temperatur diperkirakan telah mem-pengaruhi terhadap karakteristik beton. Terjadinya lendutan pada titik tertentu akan terlihat dari pe-ngukuran dengan alat transduccer yang dicatat langsung oleh data loger, sedangkan indikasi adanya retak akan ditunjukkan dengan keluarnya asap bahkan bila retak cukup besar akan terlihat jilatan api dari dalam tungku. Berikutnya pengamatan dilanjutkan setelah benda uji dipindahkan dari atas tungku, baik selama pengangkutan dan setelah diletakkan di lantai dasar.
800
Tem p. Tungku
600 400 200
Beban Merata Lendutan Maksim um
0 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 W aktu (Menit)
Ketahanan terhadap Api Uji ketahanan terhadap api dilakukan dengan pengamatan temperatur di belakang benda uji (temperatur bagian atas pelat beton) selama pembakaran. Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
Hasil uji ketahanan terhadap terdapat pada gambar berikut ini.
api,
KURVA HASIL UJI KETAHANAN API PANEL1
Temperatur (oC)
1200 1000
TT
800 1
600
6
3
2
400
4
200
5
0 0
20
40
60
80 100 120 140 160 180
Waktu (Menit)
KURVA HASIL UJI KETAHANAN API PANEL2
Temperatur (oC)
1500 1000 500
TT
7 1
12 8
0 -500 0
40
80
9
10 120 160
Waktu (Menit)
Keterangan : TT : Temperatur Tungku; 1-7 2 3-8 4-9 5-10 6-11
: Temp. pelat combideck Gelombang (bawah); : Temp. tulangan positip (bawah); : Temp. inti beton (titik tengah pelat); : Temp. tulangan negatip (atas); : Temp. permukaan beton atas (temp.belakang benda uji); : Temp. pelat combideck gelombang (atas).
PEMBAHASAN
Hasil pengujian kuat tekan silinder beton pada umur 3 hari, 7 hari sampai dengan 28 hari terjadi kenaikkan yang cukup signifikan, sesuai perkembangan kekuatan beton normal pada umumnya, dari hasil tersebut terlihat bahwa beton me-menuhi mutu yang disyaratkan yaitu f’c 27,5 N/mm2 dan memenuhi syarat sebagai bahan beton struktural.
Ketahanan Pelat Beton …. (Lasino, Dany C., M. Nur Fajri)
Kuat tarik besi beton yang digunakan cukup baik dengan kuat tarik leleh rata-rata 423,6 N/mm2 dan kuat tarik putus rata-rata 547,1 N/mm2 dan memenuhi syarat sebagai baja tulangan mutu BJTD 40. Hasil pengujian terhadap kedua jenis panel beton Aldeck yaitu tipe 1 dengan tulangan positip dan tipe 2 tanpa tulangan positip, menunjukkan bahwa kedua tipe lantai tersebut tidak mengalami retak-retak tembus dan tidak terjadi radiasi panas yang ditandai dengan rendahnya tem-peratur pada pada permukaan bagian atas benda uji (belakang benda uji). Lendutan yang terjadi pada selang waktu pembakaran 60 menit dicapai 47,14 mm dengan temperatur belakang benda uji 83,60ºC, kemudian selama 120 menit lendutan yang terjadi sebesar 71,62 mm, temperatur belakang benda uji 105,50ºC, selanjutnya lendutan selama 180 menit tercapai 92,66 mm dengan temperatur belakang benda uji 208,70ºC. Dimana per-syaratan lendutan untuk 60 menit = 62,50 mm, lendutan 120 menit = 104.20 mm dan lendutan maksimum 180 menit = 125 mm dengan temperatur belakang benda uji tidak lebih dari 260ºC, JIS A 1304 – 1975 dan SNI 03 – 1741 – 1989 – F). Dengan demikian pelat beton Aldeck yang diteliti dapat memenuhi persyaratan sebagai elemen panel tahan api selama 3 jam. Hasil pengamatan terhadap integritas bahan / komponen memberikan indikasi bahwa pada pembakaran selama 3 jam dengan temperatur sampai dengan 1099,12 ºC, tidak terjadi retak pada 182
permukaan pelat beton yang menimbulkan keluarnya asap atau jilatan api, hal ini menunjukkan bahwa komponen tersebut cukup tahan terhadap suhu tinggi. Retak terjadi pada bagian sudut tumpuan yang tidak meng-akibatkan radiasi panas kebagian atas pelat. Pengamatan terhadap stabilitas komponen memberikan hasil bahwa pelat beton komposit aldeck mengalami perubahan bentuk pada suhu 1097,50 ºC, yang diakibatkan oleh lendutan sehingga pada bagian ujung pelat terangkat. Namun demikian terjadinya perubahan bentuk tersebut setelah pembakaran berlangsung selama 3 jam, sehingga masih dikategorikan dapat memenuhi persyaratan sebagai elemen panel tahan api selama 3 jam.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan visual dari kedua jenis contoh panel beton Aldeck dapat disimpulkan sebagai berikut ; Lantai komposit Aldeck dengan tulangan positif diuji dengan beban merata 400 kg/m2 mempunyai ketahanan terhadap api ( fire rating) selama 3 jam, dengan lendutan maksimum 92,66 mm dan temperatur belakang benda uji sebesar 208,70ºC. Lantai komposit Aldeck tanpa tulangan positif diuji dengan beban merata 250 kg/m2 mempunyai ketahanan terhadap api ( fire rating) selama 3 jam, dengan lendutan maksimum 73,50 mm dan temperatur belakang benda uji sebesar 223,8ºC. Dengan pengurangan tulangan positip pada contoh panel-2 masih mempunyai kekuatan yang cukup 183
baik sehingga dapat digunakan sebagai komponen struktur lantai bangunan hunian. Berdasarkan hasil uji bakar tersebut dapat disimpulkan bahwa pelat baja gelombang Aldeck dapat berfungsi sebagai pengganti tulangan positip sekaligus sebagai dasar (floor decking) dalam pembuatan komponen panel beton.
DAFTAR PUSTAKA 1997, Concrete and Aggregates, Annual Book of ASTM
Anonymous,
Standard 1997, Volume 04-02. ---------------, 1990, Fire Resistance Test of Elements of Building Construction, Australian Standard (AS) 1530-41990, part 4. ---------------, 1996, Mineral Admixture, American Concrete Institute (ACI), Compilation. ---------------, 1982, Bondeck Structural Steel Floor Decking, Technical Design Manual, Lysaght Brownbuilt Industries, BD 14-7, Desember. ---------------, 1975, Method of Fire
Resistance Test for Structural Parts of Buildings, Japan Industrial
Standard (JIS) A 1304-1975. Jelle Witteveen, 1976, Design Method for Fire Exposed Structures, delfNetherlands. Patterson, James, 1993, Simplified Design for Building Fire safety, John Willey & Sons, Inc, page 3-11. Departemen Pekerjaan Umum , 1990,
Kepmen PU No. 441/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Bangunan Gedung.
Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum, 2000, Kepmeneg PU No.
10/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan.
Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008
1
Jurnal Permukiman Vol. 3 No. 3 September 2008