Week 11
Sejarah Perfilman Indonesia
Film pertama kali diperkenalkan di Indonesia (Hindia Belanda) pada tanggal 5 Deseber 1900 di Batavia (Jakarta), lima tahun setelah film dan bioskop pertama lahir di Perancis. Film disebut sebagai “Gambar Idoep". Hal ini termaktub dalam iklan SK Bintang Betawi (4 Desember 1900): "Besok hari Rebo 5 Desember Pertoenjoekan Besar Yang Pertama di dalam satoe roemah di Tanah Abang, Kebondjae (menage) moelai poekoel Toedjoe malem. Harga tempat klas satoe f2, klas doewa f1, klas tiga f0,50."
Sejarah Perfilman Indonesia
Film ini adalah film dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu Olanda dan Raja Hertog Hendrik di kota Den Haag. Pertunjukan pertama ini kurang sukses karena harga karcisnya dianggap terlalu mahal. 1 Januari 1901, harga karcis dikurangi hingga 75% untuk merangsang minat penonton. Selain itu juga diadakan pertunjukan khusus seminggu sekali untuk anak-anak yang harus diantar oleh orangtuanya.
Sejarah Perfilman Indonesia Selain promosi di surat kabar dengan kalimat-kalimat bombastis, pihak bioskop juga menjual karcis promosi. Kursi penonton ada 4 kelas. Kelas I, II, Kelas III (kemudian disebut kelas "kambing" yang identik dengan pribumi) dan Loge (VIP). Dalam 5 tahun pertama, bioskop-bioskop di masa itu sudah sanggup memutar dua film setiap malamnya.
Sejarah Perfilman Indonesia
Film yang sebenarnya dibuat di Indonesia adalah Loetoeng Kasaroeng yang dirilis pada tahun 1926 oleh NV Java Film Company. Disutradarai oleh dua orang Belanda, G. Kruger dan L. Heuveldorp Dibintangi oleh aktor-aktris pribumi, dengan dukungan Wiranatakusumah V (Bupati Bandung pada masa itu. Pemutaran perdananya di kota Bandung berlangsung dari tanggal 31 Desember 1926 sampai 6 Januari 1927 di dua bioskop terkenal Elite dan Oriental Bioscoop (Majestic).
Sejarah Perfilman Indonesia Gedung bisokop dibangun di kawasan Jalan Braga, Bandung. Bioskop ini, didirikan untuk keperluan memuaskan hasrat para Meneer akan sarana hiburan di samping sarana perbelanjaan. Didirikan pada awal dekade tahun ’20an dan selesai tahun 1925 dengan arsitek Prof. Ir. Wolf Schoemaker.
Sejarah Perfilman Indonesia
Pemutaran film biasanya didahului oleh promosi yang menggunakan kereta kuda sewaan. Kereta itu berkeliling kota membawa poster film dan membagikan selebaran. Pemutaran filmnya sendiri baru dimulai pukul 19.30 dan 21.00. Sebelum film diputar, di pelataran bioskop Majestic, sebuah orkes musik mini yang disewa pihak pengelola memainkan lagu-lagu gembira untuk menarik perhatian. Menjelang film akan mulai diputar, orkes mini pindah ke dalam bioskop untuk berfungsi sebagai musik latar dari film yang dimainkan karena pada pertengahan tahun 1920-an film masih merupakan film bisu. Sopan santun dan etiket menonton sangat dijaga. Di bioskop majestic tempat duduk penonton terbagi dua, antara penonton laki-laki dan perempuan, deret kanan dan kiri.
ERA 1930 - 1941 1931-an, perfilman Indonesia mulai bersuara. Film dari Hollywood yang masuk sudah menggunakan teks melayu. Pelopor film bersuara dalam negeri adalah Atma de Vischer yang diproduksi oleh Tan’s Film Company bekerja sama dengan Kruegers Film Bedrif di Bandung. Film lainnya: Eulis Atjih.
ERA 1930 - 1941
Setelah kedua film ini diproduksi, mulai bermunculan perusahaan-perusahaan film lainnya seperti: Halimun Film Bandung yang membuat Lily van Java Central Java Film (Semarang) yang memproduksi: – Setangan Berloemoer Darah, – Resia Boroboedoer, – Nyai Dasima (film bicara pertama, tahun 1932), – Rampok Preanger, – Si Tjomat, – Njai Siti, – Karnadi Anemer Bengkok, – Lari Ka Arab, – Melati van Agam, – Nyai Dasima II dan III, – Si Ronda dan Ata De Vischer,
– – – – – – –
Bung Roos van Tjikembang, Indonesia Malasie, Sam Pek Eng Tay, Si Pitoeng, Sinjo Tjo Main Di Film, Karina`s Zeffopoffering, Terpaksa Menika (film berbicara-musik) – Zuster Theresia.
ERA 1930 - 1941
Selama 1926 - 1931 sebanyak 21 judul film (bisu dan bersuara) diproduksi. Jumlah bioskop ikut meningkat dengan pesat. Majalah film pada masa itu, Filmrueve , hingga tahun 1936 mencatat adanya 227 bioskop. Daftar itu ternyata menunjukkan bahwa bioskopbioskop bukan hanya berada di kota-kota besar tapi juga di kota-kota kecil seperti: Ambarawa, Balige, Subang dan Tegal. Pada periode 1933-1936, perfilman Hindia Belanda diwarnai kisah-kisah legenda Tiongkok, di antaranya: Delapan Djago Pedang, Doea Siloeman Oelar, Ang Hai Djie, Poet Sie Giok Pa Loei Tjai, Lima Siloeman Tikoes, dan Pembakaran Bio.
ERA 1930 - 1941
Di tahun 1937, Film musikal "Terang Boelan" (het Eilan Der Droomen) menjadi film terpopuler di eranya dan mencuatkan nama Roekiah serta Raden Mochtar sebagai pasangan aktror dan aktris yang paling digemari. Film ini adalah produksi Krugers dan Wong Bersaudara. Hingga periode 1937-1942, film yang beredar di Hindia Belanda umumnya diproduksi oleh pengusaha keturunan China. Pada periode ini, produksi film Indonesia mengalami panen pertama kali dan mencapai puncaknya pada tahun 1941. Di tahun ini tercatat sebanyak 41 judul film yang diproduksi, terdiri dari 30 film cerita dan 11 film bersifat dokumenter. Film-film yang diproduksi pada masa ini kebanyakan bertema romantisme yang diselingi lagu, tarian, lawakan dan sedikit laga.
ERA 1930 - 1941
Tahun 1934 para pelaku industri film mulai membentuk organisasi Gabungan Bioskop Hindia (Nederlandsch Indiche Bioscoopbond), menyusul adanya organisasi Gabungan Importir Film (Bond van Film Importeurs). Pada awalnya, pengurus dan anggotanya adalah orang-orang nonpribumi. Ketika dalam organisasi tersebut mulai masuk orang-orang pribumi yang memunculkan wacana ‘nasionalisme’, pemerintah Hindia Belandapun mulai mencurigai badan tersebut sebagai wadah yang mengusung ideologi gerakan untuk merdeka. Pemerintahan Hindia Belanda mulai melakukan pengawasan ketat kepada perkembangan perfilman dengan membentuk Film Commissie (cikal bakal lahirnya Badan Sensor Film atau LSF di masa kini) Dasar hukumnya yang menjadi landasan dibetuknya Film Commisie adalah Film Ordonantie buatan Pemerintah Belanda (cikal bakal lahirnya BP2N dan Undang-Undang Perfilman Indonesia di masa kini).