Pendahuluan Teori Kritis, sebagaimana namanya, mengekspresikan serangkaian kritik terhadap pemikiran dan tradisi-tradisi filasafat lain. Teori Kritis lahir dengan karakteristik dialektik berkembang melalui dialog. Menurut Martin Jay (dalam Mawazi, 2008), inti dari Teori Kritis adalah kebencian terhadap sistem filosofis yang tertutup. Maka Teori Kritis menolak memberhalakan pengetahuan sebagai sesuatu yang terpisah dan lebih penting dari pada tindakan. Tulisan ini bertujuan menjelaskan tentang pemikiran filsafat Teori Kritis dengan menerangkan juga soal Mazhab Frankfurt sebagai pengusung pemikiran ini. Pembahasan tentang Teori Kritis ini dilanjutkan dengan pemberian fokus perhatian pada Psikologi Kritis. Secara khusus, karena kelompok memilih program kekhususan di bidang Psikologi Pendidikan, maka kajian terhadap Psikologi Kritis ini diteruskan lebih lanjut pada Pedagogi Kritis yang diusulkan oleh Paulo Freire. Setelah melihat keselarasan pemikiran Paulo Freire dengan tokoh pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara, tulisan ini diakhiri dengan Kesimpulan.
Sejarah Teori Kritis dan Mazhab Frankfurt Istilah Teori Kritis secara eksplisit diangkat oleh Max Horkheimer pada tahun 1937 dalam esainya yang berjudul Traditional and Critical Theory yang bersumber pada filsafat kritis Kant (Wikipedia, Critical Theory, 2008 dan Crozier, 2005). Magnis Suseno (2005) menerangkan bahwa “Teori Kritis Masyarakat” yang sering disingkat ”Teori Kritis” – adalah nama suatu cara berpikir dan sebuah aliran filsafat yang berkembang di Institut für Sozialforschung (Lembaga Penelitian Sosial) di Frankfurt am Main, Jerman. Lembaga yang berdiri tahun 1924 yang secara resmi dibangun oleh kalangan Intelektual Kiri (Leftist Intellectuals), didanai swasta dan dilegalisasi oleh Menteri
Memberdayakan Yang Tertindas : dari Frankfurt sampai Yogyakarta
1
Pendidikan Jerman (Suhelmi, 2001; Crozier, 2005). Latar belakang dibangunnya lembaga pendidikan itu adalah karena terjadinya kemenangan Revolusi Bolhesvik (atau Revolusi Oktober) di kelompok pekerja melakukan kudeta di Rusia (Wikipedia, October Revolution, 2008). Yang juga menjadi latar belakang adalah kegagalan-kegagalan Revolusi di Eropa Tengah khususnya Jerman. Dalam Wikipedia (Socialism, 2008), dijelaskan bahwa Marx berpendapat bahwa kapitalisme menyebabkan kekuasaan dan kekayaan terkonsentrasi pada segelintir orang dan mengakibatkan terciptanya masyarakat yang tidak setara. Paham Sosialisme yang dikedepankan oleh Marx menyerukan pembentukan masyarakat yang egaliter, dimana kekayaan dan kekuasaan didistribusi secara lebih adil. Karl Marx berpendapat bahwa sosialisme bisa dicapai melalui revolusi. Akan tetapi revolusi sosialis di Eropa seperti di Wina, Itali dan Jerman sendiri justru gagal menyebarluaskan paham sosialisme di negaranegara Eropa yang kapitalis. Peristiwa-peristiwa itu membangkitkan intelektual kiri Jerman untuk melakukan kajian kembali secara serius terhadap teori-teori Marxis khususnya yang berkaitan dengan akal dan praktik dalam kondisi sosial yang baru untuk mencari bagaimana agar teori ini dapat terus relevan dan cocok untuk setiap perkembangan sosial. Lembaga ini banyak mengadakan penelitian-penelitian tentang masyarakat yang bernafaskan sosialisme dan Marxisme. Ketertarikan lembaga ini terhadap pemikiran Karl Marx disebabkan antara lain oleh ketidakpuasan mereka terhadap penggunaan teori-teori Marxisme oleh kebanyakan orang lain, yang mereka anggap merupakan pandangan sempit terhadap pandangan asli Karl Marx (Wikipedia, Mazhab Frankfurt, 2008). Menurut mereka, pandangan sempit ini tidak mampu memberikan 'jawaban' terhadap situasi mereka pada saat itu di Jerman. Setelah Perang Dunia Pertama dan meningkatnya kekuatan politik Nazi, Jerman yang ada pada saat itu sangatlah berbeda dengan Jerman yang dialami Karl Marx.
Memberdayakan Yang Tertindas : dari Frankfurt sampai Yogyakarta
2
Institut für Sozialforschung di Frankfurt
Bagi para pemikir dari lembaga ini, jelas bahwa Marxisme harus dimodifikasi untuk bisa menjawab tantangan jaman. Cara mereka melakukan itu adalah dengan bagian-bagian mana dari pemikiran-pemikiran Marx yang dapat menolong untuk memperjelas kondisi-kondisi yang Marx sendiri tidak pernah lihat (Wikipedia ‘Mazhab Frankfurt, 2008). Mereka juga meminjam dari mazhabmazhab pemikiran lain yang mengisi apa yang dianggap kurang dari Marx Tokoh-tokoh Institut für Sozialforschung kemudian mengembangkan suatu cara berpikir yang khas, yang menjadi salah satu aliran besar dalam filsafat abad ke20 ini. Mereka sering juga disebuh “Mazhab Frankfurt” atau Frankfurt School (Frankfurter Schule) (Magnis-Suseno, 2005). Mazhab Frankfurt ini sendiri, menurut Suhelmi (2001), merupakan suatu fenomena kompleks dan telah menjadi suatu jenis filsafat dan pemikiran sosial tersendiri. Perlu diingat bahwa para pemikir ini tidak pernah mendefinisikan diri mereka sendiri di dalam sebuah kelompok atau 'mazhab', dan bahwa penamaan ini diberikan secara retrospektif (Wikipedia ‘Mazhab Frankfurt, 2008). Carl Gruberg Pemimpin Institut für Sozialforschung
Lembaga ini pertama kali dipimpin oleh Carl Grünberg, seorang ahli ekonomi dan sejarawan sosial. Grunberg berhasil mengarahkan kajian-kajian teoretis dan di Memberdayakan Yang Tertindas : dari Frankfurt sampai Yogyakarta
3
bawah kepemimpinannya Mazhab Frankfurt lebih beroritentasi empiris dan menekankan pada pentingnya pendekatan ekonomi maupun sejarah dalam mengkaji fenomena sosial (Suhelmi, 2001). Tokoh-tokoh lembaga ini juga tertarik dengan kajian mengenai integrasi filsafat dan ilmu-ilmu seperti sosiologi, ekonomi, psikologi, ilmu politik dan lain-lain. Tokoh Mazhab Frankfurt lain yang ternama adalah Max Horheimer (1895-1973). Pada tahun 1930 ia menjadi direktur Institut für Sozialforschung tersebut. Tokoh yang juga kondang adalah Theodor Wesengrund Adorno (1903-1969). Tokoh lainnya yaitu Herbert Marcuse (1898-1979) adalah figur yang paling terkenal karena ide-idenya memberikan inspirasi dan arah kepada gerakan “Kiri Baru” pada tahun 1960-an. Tokoh-tokoh lain dari mazhab ini adalah Friedrich Pollock, Leo Löwenthal, Walter Benjamin, Franz Neumann, Otto Kirchheimer, dan Karl August Wittfogel. Crozier (2005) menyebut kelompok ini sebagai “generasi pertama”. Sedangkan “generasi kedua” terdiri dari Jürgen Habermas, Albrecht Wellmer, Oskar Negt, Claus Offe, Alfred Schmidt dan Klaus Eder.
Max Horkheimer (depan kiri), Theodor Adorno (depan kanan), dan Jürgen Habermas di belakang, kanan, pada 1965 di Heidelberg
Magnis-Suseno (2005) menjelaskan bahwa Institut für Sozialforschung ini hanya bisa bekerja dengan tenang di Frankfurt sampai tahun 1933. Pada tahun ini, Adoft Hiltler, pemimpin partai Nasionalsosialis (Nazi) yang mempromosikan antisemitisme bersikap keras serta memusuhi sosialisme dan komunisme, mengambil alih pemerintahan di Jerman. Pemerintah Hiltler mulai menangkapi orang-orang komunis dan anggota Partai Sosial Demokrat. Di sana-sini mulai
Memberdayakan Yang Tertindas : dari Frankfurt sampai Yogyakarta
4
terjadi tindakan pembunuhan dan kekerasan terhadap orang-orang Yahudi. Padahal Institut für Sozialforschung secara terbuka berkecenderungan sosialis, lagipula semua tokoh lembaga itu adalah keturunan Yahudi. Bagi Horkheimer, Adorno dan rekan-rekannya, jelas bahwa mereka tidak akan dapat bertahan. Jelas mereka akan langsung menjadi korban Nazi. Wikipedia (2008) menyebutkan bahwa isi perpustakaan Walter Benjamin, salah satu pemikir di lembaga ini, disita oleh tentara Nazi. Walter Benjamin sendiri kemudian meninggal dunia, diduga ia bunuh diri karena penyitaan buku-bukunya itu. Maka, terpaksa mereka Adorno, Horkheimer, Marcuse, Lowenthal, Neumann dan lain-lain meninggalkan Jerman menuju Amerika Serikat. Horkheimer dan Adorno kemudian membuka cabang Institut für Sozialforschung pada tahun 1934 di New York dengan bernaung pada Columbia University, kemudian juga di Los Angeles, California. Cendikiawan, dengan pemikiran kirinya harus menerima keterasingan, bahkan diasingkan jauh dari negaranya (Mawazi, 2008). Namun ditengah pengasingan, para cendikiawan Institut itu tetap melakukan proses penelitiannya hingga mereka bersatu kembali pada 1950, setelah beberapa tahun pindah ke Amerika. Suhelmi (2001) menerangkan bahwa di masa pengungsian ini, gagasan teori kritis Neo-Hegelian mulai dijadikan dasar pemikiran berbagai kegiatan penelitian lembaga Frankfurt. Horkheimer menjadi direktur pada fase ini. Teoretisi inilah yang kemudian melakukan reorientasi teoretis dan pendekatan yang kemudian menjadikan kajian teoretis lembaga yang dipimpinnya berbeda dengan pendahulunya. Perumusan teori kritis, terutama yang disusun oleh Adorno dan Horkheimer banyak dipengaruhi oleh dislokasi geografis, pengalaman tentang Nazisme dan budaya Amerika Serikat (Crozier, 2005). Sesudah Perang Dunia II, Institut für Sozialforschung dibuka kembali di Universitas Frankfurt dengan Horkheimer kembali sebagai pemimpinannya. Crozier (2005) menyebut bahwa saat Max Horkheimer menjabat direktur pada tahun 1931, teori kritis Mazhab Frankfurt mulai menampakkan ciri khas dan arah yang baru dan penting. Pemikiran Mazhab Frankfurt kemudian banyak Memberdayakan Yang Tertindas : dari Frankfurt sampai Yogyakarta
5
didiskusikan oleh para mahasiswa kiri pada periode 1960-an (Magnis-Suseno, 2005). Adapun dua teks utama yang banyak menjadi perhatian pada tahun 1960-an dan 1970-an adalah One Dimensional Man (1964) karya Marcuse dan Dialectic of Enlightment (1973) karya Adorno dan Horkhaimer. Pemikiranpemikiran mereka tak pelas dari pusaran sejarah karena terdapat pertalian teoretis yang erat dengan momen historis (Crozier, 2005).
Max Horheimer Pemimpin Institut für Sozialforschung
Mawazi (2008) berpendapat bahwa sampai sekarang Mazhab Frankfurt masih relevan. Salah satu alasan utamanya adalah sangat kaya dan bervariasinya karya yang dibuat bedasarkan pengaruh tokohnya, semisal Max Horkheimer, Eric Fromm, Theodor W Adorno dan lainnya yang sangat terkenal akan kebrilianan pemikirannya, termasuk generasi penerus pemikiran mereka, semisal Jurgen Habermas, Alfred Schmitt, dan Albrecht Wellmer. Bahkan, menurut Martin Jay sebagaimana dikutip oleh Mawazi (2008), pemikir postmodernisme kondang asal Perancis Michel Foucaolt sendiri pernah mengatakan; "Jika saja aku mengenal Mazhab Frankfurt sewaktu muda, besar kemungkinan aku tidak akan tergoda untuk melakukan apapun dalam hidupku kecuali mengomentari mereka.” Apa sebenarnya intisari pemikiran dari Teori Kritis? Hal-hal tersebut akan dipaparkan secara terperinci pada bagian berikut.
Memberdayakan Yang Tertindas : dari Frankfurt sampai Yogyakarta
6
Pemikiran Teori Kritis dan Perbedaannya dengan Teori Konvensional Bagian berikut akan memberikan fokus perhatian pada gagasan Teori Kritis. Salah satu keyakinan inti Horkheimer dan Adorno adalah bahwa teori sebagai teori memainkan peranan sosial. Teori bukan hanya refleksi terhadap realitas, melainkan dalam melakukan refleksi dia menjadi bagian dari realitas sendiri. Jadi teori dalam arti tertentu menjadi kekuatan sosial justru sebagai teori. Bagian ini bertumpu pada pemaparan dari Magnis-Suseno (2005). Hal tersebut akan dilakukan dengan mengupas pemikiran Max Horkheimer dalam tulisannya yang ditulis tahun 1937 dengan judul Teori Tradisional dan Teori Kritis dimana ia memaklumatkan cita-cita teorinya. Di dalam tulisan ini, Horkheimer membedakan dua macam teori: teori-teori tradisional yang bersifat kontemplatif dan teori-teori kritis. Memahami gagasan dasar Teori Kritis dan memahami cara khas berpikir Mazhab Frakfurt adalah dengan memahami pertentangan antara dua macam teori tersebut. Sebelum memahami pertentangan tersebut, yang harus dijawab adalah apa tujuan seseorang merumuskan sebuah teori? Ada berbagai tujuan, tetapi pada dasarnya selalu ada satu yaitu memberikan pengertian, atau dalam istilah Jerman Aufklärung (pencerahan). Sebuah teori bermaksud memberikan cahaya terang kebenaran. Dengan demikian, teori sekaligus bersifat membebaskan. Pembebasan ini akan membuat manusia lebih otonom. Memberi pengertian berari membuat manusia lebih sanggup mengambil keputusan tentang kehidupannya sendiri. Jadi hakikat setiap teori adalah ingi mencerahkan dan membebasakan manusia. Dalam penertian ini, filsafat Yunani – mulai dari Herakleitos dan Parmenides, kaum Sophis, Plato dan Aristoteles, kaum Stoa, para pengikut Epikuros sampai ke Plotinos
–
dapat
dipahami
sebagai
usaha
untuk
mencerahkan
dan
membebaskan. Pada zaman modern, istilah Aufklärung menjadi nama bagi suatu
Memberdayakan Yang Tertindas : dari Frankfurt sampai Yogyakarta
7
periode pemikiran yang sangat dramatis dimana para pemikir di Abad “Pencerahan” ini memahami dirinya sebagai pemberi cahaya kebenaran dan pebebasan. Berikut beberapa tokoh penting zaman modern tersebut. Francis Bacon menuntut agar ilmu alam dan ilmu pengetahuan pada umumnya mendasarkan diri pada pengamatan dan eksperimen. René Decartes menuntut agar segala penelitian dimulai dengan kesangsian metodis. David Hume terkenal dengan empirismenya yang radikal. Immanuel Kant meneliti dengan seksama batas-batas kemungkinan pengetahuan. Georg Wilhelm Friedrich Hegel berusaha menemukan kebebasan mutlak dalam pengetahuan mutlak. Pemikir-pemikir yang semakin mempengaruhi cara manusia berpikir dewasa ini antara lain August Comte, Bapak Positivisme yang menafsirkan sejarah pemikiran manusia sebagai sejarah kemajuan dari mitos, melalui filsafat menuju pengetahuan. Karl Marx dan Sigmund Freud dengan caranya asing-masing menunjukkan bahwa pengetahuan manusia ternyata dipersyaratkan oleh bermacam-macam faktor irasional. Kedua tokoh ini sangat mempengaruhi para pemikir Mazhab Frankfurt. Aliran Positivisme Logis dari tahun 1920-an mau membebaskan pengetahuan manusia dari percampuran hal-hal yang tidak ilmiah dan tidak objektif. Karl Popper mengembangkan kriterium falsifikasi untuk membedakan antara teori-teori yang bermakna dan yang tidak bermakna. Mereka semua dalam arti tertentu ingin mencerahkan dan membebaskan. Itu semua dilakukan dengan mengusahakan agar pengetahuan berada sedekat mungkin dengan realitas atau kebenaran. Akan tetapi, Menurut Max Horkheimer dan teman-temannya, teori-teori itu tidak berhasil dalam tujuan mereka itu, yaitu dalam mencerahkan serta membebaskan manusia. Teori-teori itu hanya mengubah pengertian kita tentang realitas, tetapi tidak mengubah realitas itu sendiri. Realitas tetap saja, meskipun pengertian kita tentangnya berubah. Sebabnya adalah karena teori tradisional membatasi diri pada kontemplasi. Artinya, teori tradisional hanya memandang, tetapi tidak menjadi praktis dan Memberdayakan Yang Tertindas : dari Frankfurt sampai Yogyakarta
8
mencoba untuk mengubah apa yang dipandang itu. Tetapi dengan pendekatanpendekatan kontemplatif itu, teori tradisional sekaligus menjadi afirmatif. Artinya dengan memberikan pengertian yang lebih memuaskan tentang realitas, kita justru menjadi puas dengan realitas itu. Jadi realitas itu diafirmasi atau dibenarkan. Dengan demikian, teori tradisional menjadi pendukung keadaan yang ada. Ia menjadi konservatif bahkan reaksioner. Pendekatan Horkheimer dan teman-temannya merupakan pendekatan yang baru. Pada umumnya, para filsuf dan pemikir memang berpendapat bahwa tugas mereka justru memberikan penjelasan teoretis bukan untuk mengubah realitas. Menarik kesimpulan praktis dari teori-teori itu adalah tugas masyarakat, bukan tugas mereka. Melawan teori tradisional yang afirmatif tersebut, Horkheimer dan temantemannya menempatkan paham teori kritis yang bersifat negatif. Paham itu secara mendalam dipengaruhi oleh Hegel dan Marx. Dari Hegel, Teori Kritis mengambil dialektika atau paham kritik. Dari Marx, mereka mengambil paham teori kritik itu sendiri. Teks yang paling mereka pentingkan adalah tesis ke-11 Marx: “Para filsuf hanya memberikan interpretasi yang berbeda-beda kepada dunia; yang menentukan adalah mengubah dunia!” Karl Marxlah yang menuntut agar teori menjadi praktis sebagai kritik. Kritik Marx terhadap filsafat Hegel adalah model sebuah teori kritis. Bagaimana teori menjadi kritis? Dengan menjelaskan realitas sedemikian rupa sehingga kepalsuan dan kebohongannya tersingkap; jadi secara negatif. Lebih tepat lagi dikatakan teori kritis meneliti realitas sedemikian rupa sehingga realitas itu sendiri berbicara dan menunjukkan bahwa ia ditentukan oleh penindasan dan penghisapan. Teori Kritis tidak mengkritik dari luar, melainkan, menggunakan istilah Adorno, “membuat hubungan-hubungan menari-nari menurut irama mereka sendiri” sampai mereka memperlihatkan diri sebagai hubungan penindasan. Jadi, teori
Memberdayakan Yang Tertindas : dari Frankfurt sampai Yogyakarta
9
kritis selalu mengikuti realitas secara ketat dan menunjukkan dimana realitas itu menumpas kebenaran dan menindas manusia. Habermas melanjutkan paham teori kritis dengan menunjuk pada filsafat pekerjaan Marx. Menurut Marx, dunia dimana kita menemukan diri apabila kita mencapai kesadaran, meskipun kelihatannya mantap dan mendahului kita dalam realitas, sebenarnya merupakan ciptaan manusia, yaitu manusia selama sejarah sebelum kita. Melalui pekerjaan, manusia mewujudkan dimana realitas yang mengelilingi kita, bukan hanya realitas fisik, tetapi juga realitas sosial. Misalnya sistem masyarakat feodal atau sistem kerja upahan bukanlah hubungan antarmanusia yang berdasarkan kodrat manusia melainkan merupakan hasil konstelasi sejarah tertentu. Dengan memahami hal itu, keadaan itu dapat kita ubah. Jadi Teori Kritis memahami bahwa realitas yang diselidiknya pada hakikatnya ditentukan oleh penindasan dan penghisapan. Maka realitas yang demikian adalah realitas yang buruk sekaligus palsu karena menutup-nutupi penindasan dan penghisapan tersebut. Teori Kritis membuka kesadaran bahwa keadaan buruk dan palsu itu dapat diubah, dengan demikian hubungan-hubungan penindasan itu kehilangan kuasa mutlak mereka atas manusia. Hubunganhubungan tersebut hanya mempertahankan diri selama tidak disadari atau diterima sebagai sesuatu yang tidak bisa diubah. Begitu kita mengerti bahwa kita sendirilah yang menciptakan, dorongan untuk mengusahakan emansipasi (pembebasan) pun dapat menyatakan diri. Dalam hal ini, Habermas (dan juga tentu Horkheimer dan Adorno) menerapkan metode
psikoanalisis
yang
dikembangkan
oleh
Sigmund
Freud
untuk
menyembuhkan orang dari neurosis (gangguan emosional). Dalam psikoanalisis, pasien penderita neurosis diantar ke masa lalu karena gangguan yang ia alami adalah akibat konflik kejiwaan di masa muda yang tidak ditanggapi secara wajar melainkan didesak ke lapisan tak sadar. Begitu pasien berhasil mengingat kembali, ia dapat mengambil sikap yang wajar terhadap konflik tersebut dan membebaskan diri dari gangguan-gangguan itu.
Memberdayakan Yang Tertindas : dari Frankfurt sampai Yogyakarta
10
Teori Kritis merupakan teori yang reflektif. Artinya, teori itu tidak langsung saja mengenai salah satu masalah, melainkan dalam menangani sebuah masalah, ia menyadari dirinya sendiri, ia merefleksikan perannya sendiri sebagai teori. Masalah yang dibahas oleh teori tidak terpisah dari teori itu sendiri. Oleh karena itu Teori Kritis membedakan antara teori kontemplatif dan teori kritis. Teori kritis menjadi praktis, artinya: mempunyai dampak pada perubahan realitas. Maka Teori Kritis meyakini bahwa ilmu pengetahuan tidak pernah menghasilkan “pengetahuan objektif”. Hasil sebuah penelitian sejak semula sudah diarahkan pada metode yang dipakai di dalamnya. Penetapan metode penelitian dengan sendirinya selalu berdasarkan suatu penilaian atau kepentingan. Menurut Habermas, sangatlah penting bagi kita untuk memperhatikan kaitan antara hasil penelitian dan kepentingan kita. Jadi tidak ada satu ilmu pengetahuan pun yang bebas nilai. Menurut Hardiman (2003), dalam merintis sebuah Teori Kritis, Mazhab Frankfurt bermaksud untuk meneruskan tradisi ilmiah yang sudah dicapai modernitas tanpa terjerumus dalam determinisme ala ilmu-ilmu alam. Artinya, mereka tetap bergerak dalam tradisi borjuasi yang menjunjung otonomi pribadi dan rasionalitas, namun sudah dimuati dengan kesadaran sosial. Mereka ingin mencapai sebuah cita-cita “otonomi kolektif”, suatu bentuk kebebasan yang disertai rasa tanggung jawab moral universal. Sejarah intelektual Barat dalam arti tertentu merupakan diskusi, dialog, kontroversi metode releksi-diri sekaligus klaim-klaim kebenaran yang dihasilkan dalam
metode-metode
tersebut.
Karena
klaim-klaim
kebenaran
turut
mengarahkan praksis sosial, yaitu arah perkembangan masyarakat dalam proyek modernisasi, kontroversi yang terjadi juga bersifat ideologis di samping kritis. Ada yang mempertahankan kebenaran dan praksisnya, ada yang membuka tabir kebenaran itu sebagai kesadaran palsu dan praktek itu sebagai alienasi dan manipulasi. Upaya Mazhab Frankfurt adalah merintis sebuah metode refleksi-diri yang terus segar sebagai penyingkap kesadaran palsu. Dalam arti ini Teori Kritis adalah kritik-ideologi. Memberdayakan Yang Tertindas : dari Frankfurt sampai Yogyakarta
11
Teori Kritis sendiri kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Jürgen Habermas. Ia kemudian meredefinisikan Teori Kritis ini di akhir periode 1960an sehingga lepas dari keterikatannya dengan Marxisme maupun karya-karya Mazhab Frankfurt (Wikipedia, Critical Theory, 2008). Dalam kacamata Habermas, Teori Kritis adalah teori yang memungkinkan manusia untuk mengemansipasi dirinya dari bentukbentuk dominasi. Caranya adalah melalui refleksi-diri (self-reflection). Jürgen Habermas Pemimpin Institut für Sozialforschung
Pandangan ini kemudian memperluas cakupan Teori Kritis ke ranah-ranah lain seperti teori feminis juga psikologi kritis. Psikologi Kritis akan dibahas secara lebih mendalam pada bagian berikut ini.
Sejarah dan Tokoh Psikologi Kritis Para ahli sejarah kritis beranggapan bahwa catatan sejarah tidak bersifat netral (Fox & Prilleltensky, 2005). Para ahli sejarah menyeleksi kejadian mana yang ingin dilaporkan kembali dan mereka memlilih penafsiran analitis yang saling bertentangan. Para ahli sejarah dapat membuat pilihan subjektif tentang apa yang penting dan apa yang tidak penting.
Salah satu contohnya adalah
eksperimen yang dilakukan oleh salah seorang ahli behaviorisme, John Watson1.
1
John B Watson (1878-1958), setelah memperoleh gelar master dalam bidang bahasa (Latin dan Yunani), matematika, dan filsafat di tahun 1900, ia menempuh pendidikan di University of Chicago. Minat awalnya adalah pada filsafat, sebelum beralih ke psikologi. Akhirnya ia memutuskan menulis disertasi dalam bidang psikologi eksperimen dan melakukan studi-studi dengan tikus percobaan. Pada tahun 1912 ia menulis karya utamanya yang dikenal sebagai ‘behaviorist’s manifesto’, yaitu “Psychology as the Behaviorists Views it”. (Panggabean, 2008). Watson melakukan salah satu
Memberdayakan Yang Tertindas : dari Frankfurt sampai Yogyakarta
12
Menurut Fox dan Prilleltensky (2005), beberapa buku teks menyajikan bahwa Watson dapat dengan mudah menciptakan fobia terhadap tikus pada Little Albert, yang kemudian digeneralisasi menjadi ketakutan terhadap kelinci dan hewan berbulu lainnya, juga benda berwarna putih sepanjang hidupnya. Nyatanya, ketakutan Albert sulit untuk ditimbulkan, dapat berubah dan tidak berhubungan dengan warna atau tekstur suatu objek. Selain itu mereka juga beranggapan bahwa bukan hanya eksperimen Watson yang dinilai sebagai sebuah kekeliruan tetapi juga laporan yang mereka sajikan tentang eksperimen tersebut. Fox & Prilleltensky (2005) menjelaskan bahwa penelitian yang dilakukan oleh Watson dan Rayner yang dilakukan pada Little Albert dinilai hanya sebagai fungsi untuk mitos asal-usul yang dirangkaikan oleh kaum behavioris. Menurutnya, kaum behavioris ingin agar kemampuannya memiliki masa lalu yang panjang dan meyakinkan. Namun, beberapa kaum ortodok menjelaskan dan neo-behavioris menggambarkan cerita Albert dengan rincian yang berbeda. Namun, Watson telah membuka jalan bagi kekuatan behaviorisme sebagai sebuah teori dan teknologi. Psikologi kritis sendiri berawal pada 1970 di Freie Universität, Berlin (Wikipedia, Critical Psychology, 2008). Di Jerman sendiri, cabang psikologi ini tumbuh dan berkembang tanpa dapat melepaskan diri dari disiplin ilmu lainnya. Meskipun demikian hingga tahun 2007 ini, masih sedikit sekali hasil pemikiran psikologi kritis yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Psikologi kritis di Jerman lahir dari pergerakan revolusi pelajar2 pada akhir tahun 1960. Sementara itu, Berlin sebagai kota yang bebas dari paham sosialis jerman eksperimen psikologi yang paling kontroversial, yaitu eksperimen terhadap Little Albert. Tujuan dari eksperimen ini adalah untuk menunjukkan prinsip classical conditioning. Tikus putih ditunjukkan kepada Albert, seorang bayi laki-laki berusia 11 bulan. Ketakutan Albert terhadap tikus putih kemudian digeneralisasi menjadi ketakutan pada benda-benda berbulu, dan benda-benda berwarna putih. Eksperimen ini menjadi kontroversial karena dilakukan pada bayi. (Wikipedia, John B Watson, 2008) 2
Pergerakan mahasiswa Jerman ini berawal pada tahun 1968, sebagai bentuk perlawanan atas pemerintahan yang otoriter serta kondisi social ekonomi yang terus memburuk. (Wikipedia, German student movement, 2008)
Memberdayakan Yang Tertindas : dari Frankfurt sampai Yogyakarta
13
menjadi tempat yang sangat kondusif bagi pertumbuhan paham dan ideologi yang bertentangan dengan paham yang ada saat itu. Dasar sosiologis dari psikologi kritis adalah marxist dan pada saat itu belum mempertimbangkan psikologi kritis. Salah satu tokoh pendirinya adalah Klaus Holzkamp. Klaus Holzkamp Salah satu bukunya yang terkenal adalah Grundlegung der psychologie (Foundations of Psychology). Klaus Holzkamp adalah salah satu pendiri psikologi kritis (Wikipedia, Critical Psychology, 2008). Sebelum menulis buku tersebut pada 1983, Holzkamp telah menulis dua buku lainnya yang mengemukakan pandangan-pandangannya
tentang
paradigma
penelitian
psikologi.
Ia
memandang psikologi sebagai sebuah pre-paradigma bagi sebuah disiplin ilmu.
Klaus Holzkamp Penulis buku Grundlegung der psychologie
Holzkamp mendasarkan pemikiran-pemikirannya juga dari dari pemikiranpemikiran Aleksey Leontyev. Leontyev memandang perilaku manusia sebagai hasil dari proses biologis, seperti halnya pendapat Darwin tentang evolusi manusia. Selanjutnya, Holzkam menggaris bawahi pandangan marx tentang konsep pembentukan budaya materialis dengan menekankan pada proses kognitif individu yang selalu menjadi bagian dari sebuah perilaku sosial. Holzkamp juga mendasari pemikirannya dari konsep psikoanalisa dari Freud. Salah satu publikasinya yang terakhir sebelum meninggal pada 1995 adalah tentang "learning". Publikasinya tersebut muncul pada 1993 dan mengandung
Memberdayakan Yang Tertindas : dari Frankfurt sampai Yogyakarta
14
teori fenomenologi tentang "belajar" dari sudut pandang subjek. Salah satu konsep yang penting adalah pembentukan "reinterpretation", yaitu teori yang dibangun dari psikologi konvensional. Hal ini berarti bahwa untuk membentuk konsep tersebut dari sudut pandang paradigma psikologi kritis yaitu dengan mengintegrasikan insight dari psikologi konvensional kedalam psikologi kritis dimana pada saat yang sama mengidentifikasikan sekaligus mengkritisi keterbatasan-keterbatasan dalam psikologi konvensional. Salah satu konsep belajar yang dikemukakan oleh Holzkamp yaitu mengenai classroom learning, atau belajar dalam kelas. Pandangannya ini juga bersumber dari Jean lave3 tentang situated learning dan Edwin Hutchins tentang distributed cognition4. Disalah satu bagian bukunya tersebut, Holzkamp mengemukakan tentang bentuk institusi modern dari belajar dalam kelas sebagai hasil dari sejarah dan budaya yang membentuk belajar dengan modern dan sosialisasi. Dalam analisis ini Holzkamp juga dipengaruhi oleh pandangan Foucault tentang disiplin dan punishment. Menurut Holzkamp, belajar dalam kelas tidak membantu siswa untuk dapat mengembangkan potensi dirinya secara maksimal, melainkan membatasi siswa-siswanya tersebut dalam mengembangkan potensi dengan strategi mengajar yang diciptakan. Holzkamp mengemukakan alternatif lain sebagai bentuk pengajaran yang akan dapat membantu para siswa untuk dapat mengembangkan potensi dirinya 3
Situated learning pertama kali dikemukakan oleh Jean Lave and Etienne Wenger sebagai bentuk dari praktek pembelajaran dalam komunitas. Situated learning merupakan belajar yang mengambil tempat yang sama dengan konteks yang sebenarnya. Lave and Wenger (1991) berpendapat bahwa belajar seharusnya tidak hanya dipandang sebagai sebuah transfer pengetahuan antar individu yang bersifat abstrak dan terlebih tidak sesuai dengan konteks dalam pengetahuan tersebut. Belajar merupakan sebuah proses social dimana pengetahuan dikonstruksi ulang. Mereka menyarankan bahwa belajar dalam konteks yang khusus dan terkait dengan konteks social maupun lingkungan fisik disekitarnya. (Wikipedia, Situated learning 2008) 4
Distributed cognition merupakan salah satu teori psikologi yang dibangun oleh Edwin Hutchins pada pertengahan tahun 1980. Dengan menggunakan insight dari sosiologi, kognitif dan pandanganpandangan Vygotsky tentang activity theory, dan menguatkan aspek social dari kognisi. Distributed cognition merupakan sebuah kerangka kerja dan bukan metode, yang melibatkan koordinasi antara individu dan artifacts. Distributed cognition memiliki dua aspek, yaitu representasi dari informasi yang hadir dan ditarnsformasi, serta proses yang melibatkan representasi tersebut untuk turut mengkoordinasikan satu sama lain. (Wikipedia, Distributed cognition, 2008)
Memberdayakan Yang Tertindas : dari Frankfurt sampai Yogyakarta
15
dengan lebih berguna. Holzkamp menciptakan konsep baru yang disebutnya dengan istilah 'expansive learning’, yaitu sebuah konsep pengajaran yang bertujuan untuk mengurangi keterbatasan dalam belajar di kelas. Salah satu caranya adalah dengan program magang (apprenticeship), belajar dengan konteks daripada sistem konvensional yaitu belajar dalam kelas. Perkembangan psikologi kritis sendiri terbagi kedalam beberapa era berikut ini (Wikipedia, Critical Psychology, 2008): a. Era 1960-1970 Di era 1960 hingga 1970, istilah radical psychology digunakan oleh para psikolog untuk menamakan cabang-cabang ilmu psikologi yang menolak pandangan-pandangan psikologi konvensional. Psikologi konvensional dinilai lebih terfokus pada individu sebagai inti dari analisis dan juga psikopatologi. Sementara itu, radical psychology beranggapan bahwa fungsi sosial dapat menyebabkan dan menjadi sumber permasalahan. Radical psychology juga beranggapan bahwa perubahan sosial sebagai sebuah bentuk alternatif terapi untuk mengatasi masalah-masalah gangguan kejiwaan serta sebagai salah satu cara untuk mencegah terjadinya psikopatologi. Istilah Psikologi kritis merupakan istilah yang umum digunakan untuk merujuk pada disiplin ilmu psikologi yang menemukan alternatif cara bagaimana psikologi dapat turut menurunkan tingkatan pengalaman individu serta mengabaikan kemungkinan terjadinya perubahan sosial yang radikal. b. Era 1990 Pada awal 1990-an, lahirlah sebuah buku yang menggunakan istilah psikologi kritis yang ditulis oleh Dennis Fox dan Isaac Prilleltensky. Buku ini kemudian menjadi wacana yang banyak dibicarakan di Inggris. Namun, Memberdayakan Yang Tertindas : dari Frankfurt sampai Yogyakarta
16
sama halnya
dengan psikologi mainstream
yang dinilai
banyak
mengabaikan pengalaman manusia dalam hal individual mind, maka psikologi kritis juga dinilai banyak mengabaikan pengalaman manusia dalam konteks bahasa yang membahayakan secara politik.
Buku Critical Psychology Menjadi cikal bakal lahirnya istilah Psikologi Kritis
Pada 1999, Ian Parker menerbitkan online journal untuk psikologi radikal dan review tahunan untuk psikologi kritis. Dalam review tersebut, Ian mengemukakan bahwa psikologi kritis seharusnya mencakup empat komponen berikut: 1. Pengukuran sistematis tentang bagaimana variasi dalam aksi dan pengalaman secara psikologi menjadi keistimewaan bagi satu sama lain, Serta bagaimana dominasi dalam istilah "psikologi" berlaku secara secara ideologis dalam bentuk pelayanan kekuasaan. 2. Studi tentang bagaimana cabang aliran dalam psikologi terbentuk secara sejarah serta bagaimana cabang aliran dalam psikologi tersebut menjadi alternatif serta mempertanyakan kembali atau justru mempertahankan asumsi-asumsi ideologis dalam psikologi mainstream. 3. Studi yang dilakukan dalam bentuk observasi dan regulasi diri dalam kehidupan sehari-hari serta bagaimana psikologi secara budaya menjadi ikatan yang menghubungkan antara lingkungan akademis dengan praktik secara professional.
Memberdayakan Yang Tertindas : dari Frankfurt sampai Yogyakarta
17
4. Eksplorasi terhadap "ordinary psychology" atau psikologi yang umumnya berlaku dalam struktur akademis dan tingkatan pekerja profesional dalam psikologi serta bagaimana aktivitas sehari-hari dapat menjadi sumber bagi resistensi pada praktek-praktek disiplin keilmuan yang kontemporer. Dapat dilihat bahwa Psikologi Kritis mengadopsi sebagian dari pemikiran Teori Kritis ke dalamnya. Secara lebih khusus lagi, kajian ini akan dilanjutkan ke Pedagogi Kritis, sesuai dengan bidang kekhususan yang diambil oleh kelompok yaitu Psikologi Pendidikan. Adapun pandangan yang dijadikan acuan dalam membahas soal Pedagogi Kritis adalah pemikiran dari Paulo Freire berikut ini, yang bertumpu pada Wikipedia (2008 tentang Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, Anti Oppressive Pedagogy) juga dari Peter Lownd.
Riwayat Hidup Paulo Freire Paulo Regulus Neves Freire lahir di sebuah keluarga kelas menengah di kota Recife, Pernambuco, Brazil pada tanggal 19 September tahun 1921. Ayahnya, seorang perwira polisi militer di Pernambuco, adalah pribadi yang baik, cerdas dan penuh kasih sayang sedangkan ibunya berhati lembut, baik serta adil (Wikipedia, Paulo Freire, 2008).
Paulo Freire Penulis Pedagogy of the Oppressed
Sepanjang Masa Depresi tahun 1929 yang dampaknya dirasakan di seluruh dunia, keluarga Freire hidup dalam kemiskinan dan kelaparan dan terpaksa pindah ke kota Recife dekat Jaboato. Di sinilah Freire melewatkan masa kecil dan masa remajanya bersama teman-teman yang kebanyakan hidup dalam
Memberdayakan Yang Tertindas : dari Frankfurt sampai Yogyakarta
18
kemiskinan yang luar biasa (extreme poverty) sampai kadang-kadang mereka bahkan tak bisa makan. Di tempat inilah, Freire kecil mulai berpikir bahwa di dunia ini, ada banyak hal yang tidak semestinya terjadi. Pengalaman ini kelak membentuk kepeduliannya pada kaum papa dan pandangannya pada dunia pendidikan. Freire kembali ke kota Recife untuk melanjutkan pendidikan ke sebuah sekolah swasta karena ibunya berhasil meyakinkan kepala sekolah tersebut untuk memberikan beasiswa kepada Freire muda. Kelak ia kembali ke sekolah ini sebagai guru bahasa Portugis. Pada tahun 1934 ketika Freire berusia 13 tahun, ayah Freire meninggal dunia. Kehilangan sang ayah menambah kesulitan Freire, seorang remaja cerdas tetapi canggung, dalam beradapatasi dengan lingkungan sekolah kelas atas yang tradisional. Sekalipun demikian, ia belajar dengan serius. Freire meneruskan studinya ke bidang hukum di Universitas Recife tahun 1943, dimana ia juga belajar filsafat khususnya fenomenologi dan psikologi bahasa. Meskipun ia menyandang gelar praktisi hukum, ia tak pernah bekerja di bidang tersebut dan justru memilih menjadi guru bahasa Portugis. Tahun 1944 ia menikah dengan rekan sesama guru, Elza Maia Costa de Oliveira. Mereka memiliki lima orang anak dan saling bekerja sama sepanjang hayat hidup mereka. Freire mengaku bahwa sejak ia menikah, dirinya mulai tertarik dengan masalah-masalah pendidikan secara sistematis. Sepanjang tahun 1940 sampai 1950, ia melewatkan waktu luangnya dengan banyak membaca dalam bahasa Spanyol, Perancis dan Inggris dengan total 572 buku. Tahun 1946 ia menjabat sebagai Direktur Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pernambuco, institusi pemerintah yang bekerja menggunakan dana dari para pemilik pabrik guna menciptakan perbaikan standar hidup para buruh pabrik. Dalam pekerjaannya, Freire banyak bergelut dengan kelompok orang dewasa yang buta huruf. Padahal di Brazil, orang haruslah melek huruf untuk bisa mencoblos dalam pemilihan presiden. Memberdayakan Yang Tertindas : dari Frankfurt sampai Yogyakarta
19
Sepuluh tahun berkuat di institusi ini memberikan Freire pengalaman yang ia jadikan dasar disertasi doktoralnya (1959) juga buku pertamanya Education as the Practice of Freedom. Salah satu pemikirannya adalah bahwa sebagai tugas seorang pendidikan yang progresif adalah menggunakan masa lalu untuk mempengaruhi masa kini. Sebagai konteks, warisan kolonialisme masa lalu Brazil membuat masyarakat negara tersebut terbelah menjadi kaum kaya yang otoriter dan elitis dan kaum papa yang mereka ditindas. Menanggapi konteks tersebut, Freire berpendapat bahwa pendidikan seharusnya berbasis pada kesadaran akan situasi dari hari ke hari yang dijalani oleh orang tersebut, pendidikan harus diarahkan menuju demokrasi. Tahun 1961 ia ditunjuk sebagai direktur Departemen Pengembangan Budaya dari Universitas Recife. Setahun berikutnya, ia mendapatkan kesempatan untuk menerapkan pemikirannya lewat kampanye “Mereka yang telanjang kaki juga bisa belajar membaca” dengan mengajarkan 300 pekerja perkebunan tebu membaca dan menulis hanya dalam 45 hari. Pemerintah Brazil kemudian menyambut baik keberhasilan Freire dan menyetujui pembentukan lingkar-lingkar budaya di penjuru Brazil. Akan tetapi para pemilik tanah menjadi terancam karena para petani dan buruh bisa baca tulis, berorganisasi dan mempengaruhi komposisi suara dalam pemilihan umum. Pada tanggal 31 Maret 1964, terjadi kudeta di Brazil yang menggulingkan pemerintahaan Goulart. Sampai lebih dari 20 tahun mendatang, Brazil berada di bawah kekuasaan penguasa militer. Freire dijebloskan ke penjara di Olinda dan Recife selama 70 hari karena dianggap pengkhianat. Ia kemudian mendapatkan suaka politik ke Bolivia lalu ke Cili dan bekerja untuk PBB pada Food and Agriculture Organization (FAO). Freire menerbitkan bukunya Education as the Practice of Freedom (1967) diikuti dengan Pedagogy of the Oppressed (1968). Tulisannya begitu berpengaruh sehingga Freire mendapatkan kesempatan menjadi profesor tamu selama 10 bulan di Universitas Harvard tahun 1969. Buku Pedagogy of the Oppressed sendiri diterjemahkan ke bahasa Spanyol dan Inggris dan dibaca luas, tetapi tidak diterbitkan di negaranya Brazil karena perbedaan pandangan politik Freire dengan penguasa saat itu. Baru pada tahun 1974, buku Memberdayakan Yang Tertindas : dari Frankfurt sampai Yogyakarta
20
tersebut bisa beredar di Brazil ketika Jenderal Ernesto Geisel mengambil alih kekuasaan dan memulai proses liberalisasi budaya di negara tersebut. Freire sendiri terus berpindah-pindah ke berbagai negara yaitu ke Jenewa, Swiss untuk bekerja sebagai penasihat pendidikan khusus, juga ke Guinea Bissau dan Mozambik sebagai penasihat reformasi pendidikan. Tahun 1979, ia kembali ke Brazil setelah meninggalkan negara tersebut selama 16 tahun. Ia menjadi profesor di Universitas Katolik Sao Paulo dan Universitas Negeri Campinas. Ia juga bergabung dengan Partai Pekerja dan menjadi penyelia untuk program melek huruf untuk orang dewasa sampai tahun 1986. Dalam kurun waktu tersebut, ia menerapkan model pendidikan baru ke berbagai sekolah kumuh dan memberi manfaat pada jutaan anak. Ia juga menerapkan program melek huruf untuk dewasa yang metodologinya banyak digunakan oleh organisasi akar rumput dan lembaga swadaya masyarakat. Pada tahun 1986, ia mendapatkan penghargaan dari UNESCO untuk kategori Pendidikan Perdamaian. Di tahun itu, istrinya Elza meninggal. Freire kemudian menikah lagi dengan Maria Araujo yang juga bergerak di bidang pendidikan. Freire meninggal karena gagal jantung tanggal 2 Mei 1997.
Pemikiran Paulo Freire Paulo Freire menjadi tokoh penting dalam dunia pendidikan yang mendasari pemikirannya pada teori kritis seperti Marxisme dan anti-kolonalisme. Buku Freire yang terkenal berjudul Pedagogy of the Oppressed (1970) menggunakan pemikiran Marxisme tentang kelas sosial dan pengalaman Freire sendiri dalam membantu kelompok orang dewasa di Brazil belajar membaca dan menulis. Buku ini sendiri yang ia dedikasikan “untuk kaum tertindas, dan mereka yang menderita dan berjuang bersama-sama kaum tertindas” menjadi landasan pandangan pendidikan anti penindasan (anti-oppressive education) yang meyakini bahwa yang dilakukan oleh institusi sekolah adalah “menindas” murid.
Memberdayakan Yang Tertindas : dari Frankfurt sampai Yogyakarta
21
Pemikiran-pemikiran Paulo Freire pada bagian ini diambil dari buku yang terkemuka tersebut, yang penulisannya bertumpu pada Wikipedia (2008, Pedagogy of the Oppressed dan Concientization). Perlu diperhatikan bahwa pedagogi di sini tidak berarti pendidikan yang ditujukan untuk anak. Pedagogi dalam hal ini adalah keseluruhan konteks yang mencakup instruksi, pembelajaran dan operasionalisasi dari teori pendidikan (Wikipedia, Pedagogy, 2008). Bab pertama dari buku tersebut mengupas bagaimana penindasan terjadi dan bagaimana agar penindasan bisa dihapuskan melalui proses bersama antara si “penindas” dengan si “tertindas”. Freire melihat bahwa keseimbangan kekuasaan (balance of power) antara kedua pihak tersebut bertahan secara relatif stabil. Hal ini yang, menurut Freire, mengakibatkan bahwa kaum lemah yang ada dalam masyarakat justru merasa takut akan kebebasan. Pendapat Freire adalah “Kebebasan dicapai melalui pergulatan (conquest) dan bukan hadiah. Kebebasan harus terus menerus diupayakan secara bertanggung jawab. Kebebasan bukanlah sebuah kondisi ideal yang ada di luar manusia; kebebasan juga bukan gagasan yang menjadi mitos. Kebebasan justru merupakan kondisi yang tak bisa terpisahkan dalam pencarian keutuhan manusia (the quest for human completion).” Jelas bahwa menurut Freire, kebebasan merupakan buah dari praksis, dimana seseorang mencapai keseimbangan antara teori dan praktik. Pada bab berikutnya, Freire dipandang menyerang pendekatan “banking” dalam pendidikan dimana murid dipandang sebagai rekening bank kosong (an empty account, serupa dengan konsep tabula rasa dari John Locke) yang terbuka untuk diisi oleh guru. Freire menyebut pendekatan “banking” sebagai pendekatan yang menghilangkan kemanusiaan (dehumanization) guru dan murid. Menurut Freire, pendekatan ini justru mendorong sikap dan praktik penindasan di masyarakat. Freire menyerukan pendekatan dimana guru dan murid berjalan bersama-sama dengan tujuan membangun jembatan antara kedua dunia tersebut, yang memandang manusia sebagai sosok yang belum utuh (incomplete). Pendekatan seperti ini menurutnya memungkinkan manusia menyadari ketidakutuhannya Memberdayakan Yang Tertindas : dari Frankfurt sampai Yogyakarta
22
dan berjuang agar menjadi manusia yang lebih utuh. Freire menyebutkan upaya ini sebagai concientization, istilah yang diajukan ia ajukan untuk pertama kali, dimana pendidikan adalah alat untuk secara sengaja membentuk manusia dan masyarakat.
Pendidikan Pembebasan
untuk Paulo
Memberdayakan Freire dan
yang
Tertindas:
Pemerdekaan Ki
Hajar
Dewantara Bagian ini secara khusus mencoba melihat bahwa gagasan Paulo Freire diadopsi juga sebagian oleh Ki Hadjar Dewantara, bapak Pendidikan Indonesia menurut Widiastono (2008). Widiastono (2008) memandang bahwa Paulo Freire selalu menggaungkan upaya penyadaran dan pemerdekaan melalui pendidikan. Hal serupa diyakini pula oleh Ki Hadjar Dewantara yang mendirikan Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1922, tepatnya 86 tahun yang lalui. Lewat lembaganya, Ki Hadjar Dewantara ingin menumbuhkan kesadaran bahwa bangsa ini, yang tertindas oleh penjajah, memiliki martabat dan harapan. Meskipun tertindas, bangsa Indonesia ingin menjadi manusia merdeka, dan dari keinginan yang mengemansipasi dan memberdayakan inilah, kesadaran sebagai bangsa yang bermartabat dan berkeinginan untuk merdeka pun tumbuh. Ki Hadjar Dewantara Taman SIswa
Hal ini diperkuat oleh pemikiran Supriyanto (2008) yang melihat latar belakang berdirinya Taman Siswa di Yogyakarta tersebut adalah karena Pemerintah Hindia Memberdayakan Yang Tertindas : dari Frankfurt sampai Yogyakarta
23
Belanda, sebagai penguasa, sama sekali tidak memerhatikan kepentingan rakyat, khususnya di bidang pendidikan. di bawah dominasi penjajah terhadap penduduk pribumi. Ki Hadjar Dewantara melawan penindasan lewat pendidikan. Salah satu asas Taman Siswa adalah sistem among. Kata among merupakan istilah Jawa yang berasal dari kata mong atau ngemong yang artinya mengasuh anak. Para guru atau dosen disebut sebagai pamong. Sistem among dalam dunia pendidikan merupakan ide asli dari Ki Hadjar Dewantara. Selanjutnya, sistem among ini dijabarkan dalam dalil sebagai berikut. Tut wuri handayani. Ing madya mangun karsa. Ing ngarsa sung tuladha. Dalil inilah yang lebih dikenal dalam masyarakat daripada konsep among sebagai sebuah sistem pendidikan. Dalam sistem among, fungsi pamong bukan sekadar menyajikan ilmu, melainkan secara kreatif pamong mengupayakan supaya anak didik mampu mencari sendiri ilmu yang diperlukan. Dalam sistem among, sejak awal siswa atau mahasiswa memperoleh pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), dan nilai (values) secara otentik. Serupa dengan Freire, pandangan Ki Hadjar Dewantara ini mendapatkan reaksi negatif dari pihak penindas, yaitu Pemerintah Hindia Belanda. Supriyanto (2008) menerangkan bahwa pada tanggal 1 Oktober 1932, Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan "Ordonansi Sekolah Liar" yang merugikan sekolah- sekolah swasta, termasuk sekolah yang dikelola oleh Taman Siswa. Seperti dijelaskan oleh Supriyanto (2008), Ki Hadjar Dewantara mengirim protes keras kepada Gubernur Jenderal pada hari tepat diberlakukannya Ordonansi tersebut. Tiga hari kemudian, Ki Hadjar mengirim maklumat kepada seluruh pimpinan pergerakan nasional. Sikap Ki Hadjar Dewantara mendapat dukungan luas. Pada tanggal 23 Februari 1933, 75 tahun lalu, Pemerintah Hindia Belanda mencabut Ordonansi tersebut. Pemerintah Hindia Belanda sangat khawatir dengan perlawanan umum tanpa kekerasan yang dilancarkan oleh Ki Hadjar Dewantara.
Memberdayakan Yang Tertindas : dari Frankfurt sampai Yogyakarta
24
Murid-murid Taman SIswa
Ajaran Ki Hadjar Dewantara memang telah digerus zaman, baik itu masa kolonialisme maupun kemerdekaan, yang dalam alam kemerdekaan, Indonesia menghadapi masa liberalisme dan neoliberalisme. Padahal nilai-nilai yang diajarkan oleh Ki Hadjar Dewantara, seperti kekeluargaan, kerakyatan, dan kebangsaan tetap relevan untuk dikaji ulang guna memajukan pendidikan bangsa, khususnya dalam menghadapi pengaruh neoliberalisme yang semakin menggurita di negeri kita. Dari Frankfurt sampai Yogyakarta dalam Ruang dan Waktu
Yogyakarta, Indonesia
Recife, Brazil Frankfurt, Jerman
Tahun
Peristiwa
1922
Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman Siswa.
1924
Institut für Sozialforschung berdiri di Frankfurt
1929
Dunia dilanda masa depresi.
1930
Institut für Sozialforschung dipimpin oleh Max Horkheimer.
1932
Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar. Ki Hadjar Dewantara melawan.
1933
Pemerintah Hindia Belanda mencabut Ordonansi Sekolah Liar. Hitler mengambil alih pemerintahan Jerman.
Memberdayakan Yang Tertindas : dari Frankfurt sampai Yogyakarta
25
Horkheimer dan Adorno meninggalkan dari Jerman ke Amerika Serikat. 1939
Perang Dunia II Pecah.
1937
Dalam pengasingan, Horkheimer menerbitkan esai berjudul Traditional dan Critical Theory.
1945
Perang Dunia II berakhir. Indonesia merdeka.
1946
Freire menjabat Direktur Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Recife.
1949
Adorno dan Horkheimer kembali ke Jerman dari pengasingan.
1959
Freire menyelesaikan desertasinya Education as the Practice of Freedom
1961
Freire melancarkan kampanye melek baca tulis di Recife.
1964
Kudeta militer di Brazil. Freire dipenjara. Setelah bebas Freire meninggalkan Brazil ke Bolivia dan Cili.
1968
Freire menerbitkan Pedagogy of the Oppressed.
1979
Freire kembali ke Brazil dari pengasingan.
1999
Buku Critical Psychology terbit.
Kesimpulan Kelompok menyimpulkan bahwa terdapat benang merah pemikiran yang menyatukan Teori Kritis dari Mazhab Frankfurt, Psikologi Kritis dari Dennis Fox, Pedagogi Kritis dari Paulo Freire juga pemikiran Ki Hadjar Dewantara dan Taman Siswa, yaitu bahwa di dalam realita, terdapat kelompok ‘penindas’ dan kelompok ‘yang ditindas.’ Relasi ini tidak statis, ia bisa diubah oleh manusia begitu dirinya menyadari hal tersebut dan memunculkan kekuatan emansipatoris. Kelompok menduga bahwa pada tahun 1920-an ada semacam zeitgeist (semangat zaman) melawan penindasan yang getarannya terasa dari Frankfurt sampai ke Yogyakarta. Taman Siswa yang berdiri tahun 1922 dan Institut für Sozialforschung yang berdiri di Frankfurt tahun 1924, keduanya menyiratkan semangat yang sama yaitu semangat menentang penindasan.
Memberdayakan Yang Tertindas : dari Frankfurt sampai Yogyakarta
26