Sebuah Cerita Sedih, Gempa Waktu, dan Omong Kosong yang Harus Ada Cerpen Dea Anugrah
“H
ALO, di mana?” Kau menerima panggilan di ponselmu dan memulai percakapan dengan suara berat. Sangat berat. “Heh, kalau kuusir dari rumah, tanggung sendiri risikonya!” “Ya, di mana? Kamu sekarang di mana?” Barangkali telepon itu dari istri atau kekasihmu yang kau ajak tinggal serumah. Dan saat ini jelas sedang ada masalah. Tapi sepertinya bukan soal baru. Dari caramu bicara, terasa ada kejengahan yang nyaris meledak. “Kok nggak jawab?” Mungkin kau melarangnya keluar rumah malam ini. Tapi, ah, perempuan.... Dengan kemampuan tertentu, seekor harimau bisa dijadikan penurut seperti kucing peliharaan. Perempuan? Sejarah mencatat tentang terlalu banyaknya lelaki hebat yang tumpas karena gagal menjinakkan perempuan. John Dillinger dan Arthur Schopenhauer, contohnya.
“Kamu mau main-main sama aku ya?” “Oke, tanggung sendiri ya risikonya kalau kuusir!” Oh, adakah yang lebih mengenal tabiat Adam selain Eva? Bukankah dia, yang Tuhan lengkapi dengan perangkat bernama daya pikat sebagai ganti ketulusan, yang membujuk Adam untuk melakukan dosa pertama? Maka apakah yang bisa kau lakukan selepas pertengkaran ini, kecuali menerima permintaan maaf yang sebetulnya amat terlambat, mencium kening istri atau kekasihmu itu, memeluknya erat-erat sambil menahan diri agar tidak menangis, lalu berharap yang baru saja dilewati itu sebagai penderitaanmu yang terakhir. Tapi tak pernah ada penderitaan terakhir. Kau tahu itu. Pukul dua belas malam lewat sedikit. Kau berada di sebuah swalayan 24 jam untuk membeli minuman kaleng, rokok, dan air mineral. Aku tahu karena kau berdiri tepat di sebelahku sambil menenteng belanjaanmu. Soal rokok, tentu kudengar jelas ketika kau memesannya: Djarum Super sebungkus, Sampoerna Mild dua. Dan akulah alasan kau harus berlama-lama di swalayan itu. Aku jugalah yang membuatmu harus bertengkar dalam suara yang dipelankan. Tapi kau tak mungkin membenciku. Kita, lelaki, punya aturan-taktertulis untuk tidak saling mempedulikan satu sama lain, bukan? Omong-omong, apa yang paling menyebalkan dari swalayan 24 jam? Menurutku, yang paling menyebalkan dari swalayan 24 jam adalah sistem kerja mereka yang betul-betul 24 jam.
Di planet ini, keseluruhan waktu sehari-semalam adalah 24 jam pas. Tidak lebih, tidak kurang. Lalu bagaimana caranya sebuah swalayan yang menghabiskan semua cadangan waktu itu untuk berjualan sempat mengurusi rekap transaksi (serta macammacam urusan lain di luar jual-beli yang melibatkan komputer kasir dan printer nota) yang terjadi dalam rentang waktu tersebut? Mereka punya solusi brilian: semuanya akan dikerjakan selepas jam 12 malam. Maka bersabarlah, hai orang-orang yang mengunjungi swalayan 24 jam pada saat-saat tersebut. Jika kau lapar, ingin buang hajat, mengantuk, bertengkar dengan pasangan, terancam serangan Godzilla, atau apa pun urusannya, mohon tunggu sejenak. Yang membayar dengan uang mesti menunggu hitung-hitungan kalkulator, yang menggunakan kartu harus menunggu system error dibereskan, betapa pun lamanya sulit dikira-kira. Itulah yang terjadi. Malam itu aku menggunakan kartu ATM untuk membeli rokok, air mineral, telur ayam, dan mi instan karena di dompetku tidak ada uang sama sekali. Dan sementara aku menunggu system error hilang dengan sendirinya seperti penyakit pilek, kau diwajibkan mengantre. Kemudian ponselmu berdering. Kau bertengkar dengan seseorang di ujung sana dalam suara berat yang ditahan. Demikianlah ceritamu plus omong kosongku sebelum gempa waktu terjadi.
G
EMPA waktu adalah penjelasan paling masuk akal mengenai deja vu. Menurut Ramyun McClub, fisikawan kurang terkenal yang menjelaskan fenomena gempa waktu jauh sebelum Kilgore Trout menulis Sepuluh Tahun Saya di Bawah Kendali Otomatis, gempa waktu adalah kerusakan mendadak dalam kontinuum ruang-waktu yang mengakibatkan segala sesuatu di dunia ini bertindak persis seperti yang sebelumnya terjadi dalam jangka waktu tertentu, untuk kedua kalinya, tanpa keterlibatan kehendak bebas sama sekali.
Malam itu, dua detik selepas aku meninggalkan pintu swalayan, gempa waktu menggulung alam semesta ke tiga hari sebelumnya. Maka segala sesuatu di dunia ini pun mengulang semuanya, sampai ketiga hari tersebut terlewati dan kita kembali ke titik di mana ia terjadi. Penanda selesainya gempa waktu adalah deja vu. Sebuah perasaan aneh yang membuat kita ingin berkata: saya pernah mengalami ini sebelumnya. Tentu saja ada pertanyaan semacam “Saya mengalami deja vu, tapi kok orang di sebelah saya tidak?” Ramyun McClub sudah menjelaskan hal ini di dalam bukunya, Goncangan-goncangan Ruang-Waktu dan Penjelasan Tentangnya yang Sukar Dimengerti, yang sudah berhenti dicetak-ulang: gempa waktu memang melibatkan semua orang pada saat bersamaan, tetapi deja vu tidak. Deja vu hanya akan dialami apabila otak seseorang mendeteksi adanya sepersekian-milidetik jeda antara kendali otomatis dengan kehendak bebas. “Paling banyak hanya 3,5% manusia saja dari keseluruhan populasi yang mengalami deja vu pada saat bersamaan,” tulis McClub di halaman 56. Setelah gempa waktu tersebut, secara kebetulan otakku merespons jeda antara kendali otomatis dan kehendak bebas. Maka kutunggu kau keluar dari pintu swalayan. Kemudian: “Maaf, apa barusan Anda mengalami deja vu?”
T
ENTU saja reaksi pertamamu adalah memandangku dengan tatapan aneh. Atau tepatnya, tatapan untuk diarahkan kepada orang aneh. Di luar fiksi tak masuk akal karangan Kilgore Trout dan penulis ngawur lainnya, tak seorang pun mau diajak bicara oleh orang asing berjenis kelamin sama, pada tengah malam, lebih-lebih bila juntrungannya mencurigakan, hanya karena rasa penasarannya semata. Kecuali jika nalarnya sedang tidak beres. Dan malam itu pikiranmu memang kurang beres. Kelewat penuh. Kubayangkan gerak lambat barang-barang kenangan yang dibanting, jerit-menjerit, penyesalan karena mencintai orang yang
keliru, warna-warna aneh saling serobot, cangkir kopi yang dilemparkan ke arahmu tapi meleset, wajah buram seseorang, semu merah muda di pipi cinta pertamamu yang malu-malu, serta macam-macam citraan lainnya saling mendesak dan berebut tempat. Kau bilang tidak terjadi apa-apa barusan Tapi sebagaimana kita semua, kau pernah mengalami deja vu. Empat atau lima kali. Terutama saat kanak-kanak. Lalu aku mengajakmu (dengan sedikit paksaan) duduk di teras swalayan, memberondong pikiran kalutmu dengan penjelasan paling sederhana tentang deja vu dan gempa waktu sebagaimana kupelajari dari buku McClub. Kau mengangguk-angguk. “Pantas saja, kadang kurasa aku menjalani ulang beberapa hal tanpa kesadaran. Dan waktu kesadaranku pulih, aku tiba-tiba sudah berada dalam situasi lain,” timpalmu. Kau mengucapkan itu sambil mendongak, menatap langit-langit di atas teras swalayan. Aku berani bertaruh, ada berkilo-kilo kotoran tikus di balik selembar asbes itu. Kau menawarkan minuman kaleng dan rokok yang baru saja kau beli. Aku memilih minuman cincau, lalu menyalakan rokokku sendiri. “Aku tidak suka Djarum Super,” kataku. “Baunya seperti cucian kotor.” Kau tergelak. “Kalau tidak ada uang buat beli rokok, mungkin aku bisa membkar pakaian ibuku,” balasmu serius. Dan aku mulai menghitung mundur. 4, 3, 2, 1. “Kau pasti dengar pembicaraanku di telepon tadi. Kau berdiri di sebelahku, kan?”
D
AN ini adalah ceritamu plus omong kosongku setelah gempa waktu terjadi. Blind Blonde, penyanyi folk yang mengklaim bahwa lagu-lagunya lebih populer daripada kitab suci semua agama, pernah berkata: “Keluasan dunia bagi seseorang ditentukan oleh seberapa luas keterlibatannya dengan orang lain.” Kau mulai dari kutipan itu. “Maka duniaku teramat sempit. Di dalamnya hanya ada aku dan ibuku,” simpulmu kemudian. Ibumu perempuan baik. Sangat baik. Setidaknya begitu yang kupahami dari penuturanmu. Setidaknya hingga lima tahun lalu,
sebelum seseorang yang kau beri nama panggilan yang-bahkanmembuat-para-pelaut-bergidik itu mengubah segalanya. Tapi soal itu nanti saja. Sekarang aku akan mengulang ceritamu tentang kau dan ibumu. Secara singkat, tentunya. Sewaktu kecil, ada dua hal yang paling tidak kausukai. Pertama, iklan layanan masyarakat tentang keluarga idaman. Kedua, pelajaran PPKN. Alasannya: kedua hal tersebut sama-sama menganggap keluarga yang terdiri dari seorang ibu dan seorang anak sebagai sesuatu yang tidak genap. Keluarga yang genap, normal, ideal, atau apa pun sebutannya di negeri ini, adalah keluarga yang terdiri dari seorang ayah, seorang ibu, serta dua orang anak. Tapi kau dan ibumu mempersetankan apa yang dianggap ideal itu. Dia membesarkanmu sendirian, sebaik-baiknya, sehormathormatnya. Sesuai lambang shio-nya, naga, ibumu begitu tangguh. Dia tak hanya berperan sebagai ibu, tapi juga mengisi kosongnya peran ayah dan saudara kandung bagimu. Memastikan kalian berdua tidak akan kelaparan, melindungimu dari segala rasa takut (bahkan yang datang dari mipi kanak-kanak terliar sekalipun), mengajakmu bermain petak umpet, membantumu mengerjakan tugas-tugas sekolah. Masa kecilmu adalah masa kecil yang tidak dipunyai kebanyakan anak-anak dari keluarga ideal. Tapi itu cerita dulu. Lima tahun silam, ibumu jatuh cinta kepada seorang iblis. Pada mulanya, hubungan mereka hanya urusan dagang. Ibumu penjahit dan pria itu penyuplai kain. Lalu keduanya semakin sering bertemu, meski masih sebatas urusan dagang. Pria itu menginginkan ibumu sebagai partner bisnisnya. Mereka mendirikan perusahaan dengan nama baru, dengan kapasitas produksi serta distribusi yang lebih luas. Kemudian.... Pada dasarnya kau adalah seorang pencuriga. Kau mulai menyadari sesuatu ketika bunga lili dan surat beraroma manis secara rutin dikirimkan ke kediaman kalian. Dari ibumu, kau tahu bahwa pria itulah pengirimnya. Tapi dia tak merasa terganggu. Ibumu malah terlihat bahagia. Bibir dan pipinya hampir selalu bersemu merah. Maka apalah arti kecurigaan itu dibandingkan
kebahagiaan ibumu. Dan kau pikir, mungkin memang sudah saatnya ibumu ditemani seseorang. Toh ia sudah lumayan tua dan kau sudah bisa mengurus kebutuhan-kebutuhanmu sendiri. Tapi sayang kau keliru. Mestinya kau selalu percaya pada kecurigaanmu, pada naluri yang tak pernah berkhianat. Suatu hari laki-laki itu datang ke rumahmu saat kau sedang ada urusan di luar. Ia merayu ibumu habis-habisan. Akibat rayuan itu, dan karena tingkat hubungan mereka memang sudah mencukupi, ibumu menerima ajakannya untuk pindah ke kamar tidur. Atau, tepatnya, ke atas ranjang ibumu yang senantiasa dingin. Setelahnya, hanya ada kiamat yang tak berujung.
K
AU menemukan ibumu dalam keadaan yang lebih menyedihkan daripada seekor binatang buruan: setengah sadar, tersedu-sedan, telanjang bulat, dan kedua tangan serta kakinya terikat. Dan yang paling menghancurkan hatimu: di atas kulit perutnya yang putih, sekitar lima senti di bawah payudaranya, ada seonggok besar kotoran manusia. Warnanya cokelat kehitam-hitaman dan berbau amat busuk. Kau nyaris semaput. Hanya kecintaan pada ibumulah yang membuatmu sanggup menahan semua itu. Tapi ibu yang kau cintai sudah mati. Setelah peristiwa terkutuk itu, dia bukan lagi orang yang sama. Tubuhnya selalu gemetar. Barangkali karena ide-ide sinting yang disusupkan tinja cokelat busuk itu dalam tempurung kepalanya. Saban hari dia tak akan mandi jika tidak kau mandikan. Tidak m enyisir rambut jika tidak kau sisir. Dan yang paling buruk, jauh lebih buruk daripada maki-makian yang sejak itu lancar mengalir dari mulutnya, dia akan lenyap jika sedikit saja kau luput mengawasi. Maka kau tidak pernah punya kekasih atau sahabat. Waktumu habis untuk bekerja agar kalian berdua tidak mati kelaparan dan untuk mengawasi ibumu. Berkali-kali kau harus membetulkan pintu, gembok, dan gerendel yang dijebol olehnya.
Mulanya kau begitu tegar menahan segalanya. Dua tahun pertama selepas kejadian, ibumu selalu bisa kau temukan di toko minuman keras atau menggeletak di sekitar rumah karena mabuk. Tahun ketiga dan keempat dia mulai gila berjudi. Dan sejak itu tak lagi ada tempat aman di rumah untuk menyimpan uang. Dia bahkan pernah mendongkel ubin, mencari tahu apakah kau menyembunyikan uang di baliknya. Dan tahun ini ibumu melakukan yang terburuk. Setelah dengan susah-payah kau menebus sertifikat rumah yang digadaikannya ke bandar judi, beberapa bulan belakangan ini akhirnya ia melakukan hal yang paling kau takutkan. Ya! Ibumu akhirnya melacurkan diri. Melonte, dalam arti yang sebenarbenarnya. Ya, kau bilang, sejak itu sudah tak terhitung seringnya kau berencana bunuh diri bersama ibumu. Menyalakan gas setelah menutup semua jalur udara, membubuhkan arsenik ke dalam masakanmu, membeli pistol, dan sebagainya, dan sebagainya. Tapi di akhir cerita, yang kau lakukan hanyalah menemukan ibumu di tempat biasa, membawanya pulang ke rumah, mengecup keningnya, memeluknya erat-erat sambil menahan diri agar tidak menangis, menggendongnya ke tempat tidur, menyelimutinya. Dan berharap yang baru saja kau lewati adalah penderitaan terakhir. Tapi tak pernah ada penderitaan terakhir. Kau tahu itu. Dan karena itulah aku bermaksud meninggalkan tempat ini. Mengentikan pembicaraan ini. Sekarang juga. Lalu aku akan menemukan ibuku di tempat biasa, membawanya pulang ke rumah, mengecup keningnya, memeluknya erat-erat sambil menahan diri agar tidak menangis, menggendongnya ke tempat tidur, menyelimutinya. Dan berharap yang baru saja kulewati adalah penderitaan terakhir. Tetapi tak pernah ada penderitaan terakhir. Bukankah aku tahu itu?(*) (2012)
Dea Anugrah tinggal di Jakarta.
(Dimuat di Koran Tempo, 4 Mei 2014.) (Gambar oleh Munzir Fadly.)