SATYA WIDYA JURNAL PENDIDIKAN AGAMA HINDU VOLUME 1 NOMOR 2 DESEMBER 2016
PRODI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA HINDU PROGRAM PASCASARJANA SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU NEGERI TAMPUNG PENYANG
PALANGKA RAYA TAHUN 2016
SATYA WIDYA JURNAL PENDIDIKAN AGAMA HINDU VOLUME 1 NOMOR 2 DESEMBER 2016
Penanggung Jawab Pejabat Pembuat Komitmen STAHN-TP Palangka Raya
Redaktur Dr. I Nyoman Sidi Astawa, S.Ag., M.A.
Penyunting Pelaksana Dr. Mujiyono, S.Ag.,M.Ag Dr. I Nyoman Subrata, S.Ag., S.H.., M.Ag. Dr. I Wayan Sukabawa, S.Ag., M.Ag.
Penyunting Ahli/Mitra Bestari Prof. Drs. I Ketut Subagiasta, M.Si.,D.Phil. (STAHN-TP Palangka Raya) Prof.Dr. I Ketut Suda, M.Si. (UNHI Denpasar) Prof. Dr. Drs. I Nengah Duija, M.Si.(Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar) Prof. Dr. I Nyoman Sudyana, M.Sc. (Universitas Palangka Raya)
Desain Grafis Dr Ervantia Restulita L Sigai Sekretariat I Ketut Sumerta, S.Ag., M.Si. Kadek Ayu Lisna Dewi, S.Pd.AH. Alamat Redaksi Prodi Magister Pendidikan Agama Hindu Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung Penyang Palangka Raya Jalan G.Obos X Telp/Fax. (0536) 3327942, Palangka Raya, Kalimantan Tengah Kode Pos 73112
Percetakan Beringin Digital Offset & Printing Jalan Ks Tubun No 62 D Palangka Raya Telp.(0536) 32259
PEDOMAN PENULISAN JURNAL PENDIDIKAN AGAMA HINDU SATYA WIDYA Artikel atau naskah Jurnal Pendidikan Agama Hindu Satya Widya secara keseluruhan ditulis dengan mengunakan huruf Time New Roman dengan ukuran spasi 1,5, kecuali abstrak dan kutipan yang lebih dari empat baris. Ukuran font 14 pt untuk judul tulisan, 12 pt untuk nama dan nama lembaga, abstrak, pendahuluan, pokok pembahasan, simpulan dan daftar pustaka, 11 pt untuk alamat lembaga dan korespodensi penulis, keterangan gambar, judul dan isi tabel. Naskah /artikel ditulis pada kertas berukuran A4 (21 cm x 29,7 cm), batas tepi atas 2,5 cm, tepi bawah 2,5 cm, tepi kiri 2,5 cm, dan tepi kanan 2,5 cm. Panjang naskah termasuk abstrak maksimal 16 halaman. Jurnal Pendidikan Agama Hindu Satya Widya terdiri dari bagian-bagian yang harus dikuti oleh penulis yang berniat memasukan artikelnya ke jurnal Pendidikan Agama Hindu Satya Widya. Bagian-bagian jurnal itu ialah sebagai berikut. Judul Judul harus mencerminkan isi dari artikel. Judul dirumuskan secara singkat, padat, lugas, dan informatif Nama Penulis, Lembaga, dan Alamat Penulis Penulis wajib mencantumkan nama, lembaga/instansi, dan alamat penulis dalam artikel/naskah jurnal. Nama Penulis Nama penulis ditulis tanpa mencantumkan gelar akademik ataupun gelar kehormatan, kepangkatan, dan jabatan yang dimiliki. Nama ditulis tepat di bawah judul dengan mengunakan huruf Time New Roman font 12 pt. Nama penulis ditulis dengan huruf kecil kecuali huruf awal setiap kata unsur nama ditulis dengan huruf kapital. Nama ditulis dengan cetak tebal (bold). Nama lembaga Penulis wajib mencantumkan secara lengkap nama lembaga/instansi, alamat instansi, kode pos, dan negara pada bagian bawah dari nama penulis. Alamat lembaga/instansi, kode pos dan negara di tulis di bawah nama lembaga/instansi. Nama dan alamat lembaga ditulis dengan huruf Time New Roman dengan ukuran font 10 pt. Huruf awal setiap unsur kata mengunakan huruf kapital kecuali kata sambung tetap mengunakan huruf kecil. Alamat Korespondensi Penulis Penulis wajib mencantumkan alamat korespodensi secara lengkap terdiri atas nomor telpon, dan e-mail. Alamat korespondensi ditulis di bawah alamat lembaga dengan huruf Time New Roman ukuran font 12 pt Abstrak Abstrak wajib ditulis dengan dua bahasa yakni bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Artikel yang ditulis dengan bahasa Indonesia, abstrak bahasa Indonesia ditulis terlebih dahulu setelah itu diikuti abstrak bahasa Inggris dan sebaliknya jika artikel ditulis mengunakan bahasa Inggris, maka abstrak bahasa Inggris ditulis terlebih dahulu baru selanjutnya diikuti abstrak bahasa Indonesia. Abstrak ditulis dengan huruf Time New Roman ukuran font 12 pt. Jumlah kata dalam abstrak maksimal 250 kata. Pada bagian terakhir abstrak ditulis kata kunci dengan jumlah maksimal 5 (lima) kata kunci.
v
Bagian Pendahuluan Pendahuluan ditulis dengan huruf Time New Roman dengan ukuran font 12 pt. Bagian pendahuluan berisi mengenai problematika dari masalah yang akan diangkat dalam tulisan Bagian Pokok Pembahasan Setelah bagian pendahuluan selanjutnya diuraikan satu persatu mengenai aspek yang akan dibahas dalam naskah. Heading dan subheading atau judul dan subjudul dalam setiap aspek yang akan dibahas dalam naskah ditulis dengan Time New Roman font 12 pt dan dicetak tebal setiap awal kata memakai huruf kapital kecuali kata penghubung dan awalan yang dipisah. Penulisan heading dan subheading tanpa diberikan penomoran. Bagian Simpulan Bagian simpulan ditulis dengan huruf Time New Roman ukuran font 12 pt. Penulisan isi simpulan dalam bentuk paragraf tanpa pemilahan dengan penomoran, Bagian Daftar Rujukan Daftar rujukkan atau pustaka mengacu pada sistem gaya penulisan APA (American Psycological Assosiassion). Daftar rujukkan disusun secara sistematis berdasarkan abjad. Penulisan rujukkan sesuai dengan jenis rujukan: Buku Diawali dengan nama penulis, diikuti tanda titik, tahun di dalam kurung, diikuti tanda titik, judul buku, diikuti tanda titik, kota tempat penerbitan buku, diikuti tanda titik dua, nama penerbit Contoh: Suja, I Wayan.(2010).MemahamiAgama Lewat Fenomena Sains.Surabaya: Paramita Artikel Jurnal Diawali dengan nama belakang penulis, diikuti tanda titik, tahun di dalam kurung, diikuti tanda titik, judul artikel, diikuti tanda titik, judul jurnal, diikuti tanda koma, nomor volume, diikuti dalam kurung nomor terbitan, diikuti tanda koma, halaman awal-halaman akhir diakhiri tanda titik Contoh: Iriaji.(2009).Fenomena estetisme Dalam Representasi Iklan Majalah Femina Sebagai Gejala Budaya Sensasi. Jurnal Seni Budaya Mudra, 24 (2),76-86. Artikel proseding Diawali nama belakang penulis, diikuti tanda titik, tahun di dalam kurung, diikuti tanda titik, judul artikel, diikuti tanda titik. Dilanjutkan dengan kata dalam yang diikuti inisial nama depan editor, diikuti lagi nama belakang editor, judul proseding diikuti halaman awal dan akhir di dalam kurung, tempat penerbitan, diikuti titik dua, selanjutnya nama penerbit diikuti tanda titik Contoh Mujiyono.(2016). The Harmonization of Religious Life Within The Multiculturalism in Indonesia. In I.N.S. Astawa, N.N. Tantri, and A. Adi. The International Seminar Religion in Cultural diversity: Harmonization of Religious Life (pp..73-79). Palangka Raya: STAHN-TP Palangka Raya
vi
Halaman WEB Dalam penulisan rujukan dari web ada beberapa cara penulisan rujukan Halaman web atau artikel dari web yang dikutip tanpa ada tanggal maka dalam tanggal ditulis n.d., apabila artikel atau halaman web yang diacu tanpa terdapat nama penulis maka dapat mengunakan nama organisasi yang menerbitkan artikel atau halaman web tersebut. Apabila penulis atau organisasi tidak tersedia atau tida ada penulisan rujukan langsung diawali dengan judul artikel. Nama belakang penulis, inisial nama depan penulis.(tahun atau n.d jika tanpa tangggal/tahun). Judul artikel. Alamat website Jika tidak ada nama penulis maka penulisan rujukannya: Judul artikel.(tahun atau n.d. jika tanpa tanggal/tahun). Alamat website Pengacuan dan Pengutipan Penulisan acuan atau rujukan sumber pustakan wajib mengunakan pola rujukkan yang ditulis langsung dalam teks dengan menulis nama belakang penulis/ nama keluarga, tahun pustaka yang dirujuk. Penulisan nama penulis pustaka yang dirujuk di awal kalimat, maka nama penulis ditempatkan di luar tanda kurung, sedangkan tahun ditempatkan di dalam tanda kurung, jika sumber rujukan ditulis pada belakang atau akhir kalimat, maka nama penulis, tahun, semuanya ditulis dalam tanda kurung. Pustaka yang dirujuk harus sumber primer jurnal atau buku. Pengutipan dalam naskah dapat mengunakan dua cara model pengutipan yakni kutipan langsung dan kutipan tidak langsung kutipan langsung ialah mengambil katakata, kalimat seperti yang ada dalam sumber aslinya termasuk tanda bacanya. Kutipan tidak langsung ialah mengambil gagasan dan alur berpikir orang lain dengan menuangkannya kembali dengan mengunakan kata-kata atau kalimat kita sendiri. Untuk keseragaman acuan dalam naskah maka diimbau para penulis mengunakan aplikasi medeley destop yang dapat diunduh secara gratis pada website penyedianya Tabel Judul dan isi tabel ditulis mengunakan huruf Time New Roman dengan ukuran 11 pt, judul tabel diletakan 1 spasi di atas tabel. Judul dan tabel diletakan pada posisi tengah dari batas sisi kiri dan sisi kanan. Judul pada masing-masing kolom berada di posisi tengah, judul kolom boleh disingkat apabila ruang kolom tidak memungkinkan dengan dibubuhi tanda bintang untuk diberikan penjelasan atau keterangan pada bagian bawah tabel. Gambar Penggunaan gambar dalam isi artikel diperbolehkan selama gambar tersebut memiliki fungsi memperjelas, menegaskan dan membuktikkan suatu pernyataan atau argumen dalam tulisan, jumlah gambar yang digunakan maksimal 6 gambar dengan ukuran 6 cm x 10 cm diletakan pada posisi tengah dari tepi kiri dan kanan. Pada bagian bawah gambar dengan jarak 1 spasi dari gambar diberi keterangan gambar dan sumber gambar. Keterangan dan sumber gambar ditulis dengan mengunakan huruf Time New Roman ukuran font 11 pt.
vii
PENGANTAR Jurnal Pendidikan Agama Hindu “Satya Widya” Volume 1 Nomor 2 Desember 2016 ini memuat sepuluh artikel ilmiah. Masing-masing artikel mengkaji persoalan tentang pendidikan agama Hindu dari berbagai perspektif. Persoalan dikaji secara ilmiah sehingga akan memberikan informasi yang jelas. Tulisan dalam jurnal ini membahas mengenai pendidikan agama Hindu, baik pendidikan agama Hindu di sekolah formal, non formal, dan informal juga menggali nilai-nilai pendidikan agama Hindu dari berbagai praktik keagamaan dan non keagamaan yang dilakukan oleh umat Hindu. Dengan demikian, jurnal ini akan mengembangkan keilmuan dan memberikan pengetahuan secara spesifik mengenai bidang ilmu pendidikan agama Hindu. Serlis Rusandi menulis artikel dengan judul Evaluasi Pelaksanaan Tes Formatif Pengajaran Agama Hindu Pada SMA/SMK Negeri Kota Palangka Raya Provinsi Kalimantan Tengah. Artikel tersebut merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 2016 di Kota Palangka Raya. Pelaksanaan tes formatif merupakan salah satu bentuk evaluasi untuk mengetahui pencapaian kompetensi siswa termasuk siswa Hindu dalam mata pelajaran pendidikan agama Hindu di sekolah formal termasuk di SMA dan SMK Negeri di Kota Palangka Raya. Evaluasi terhadap pelaksanaan tes formatif sangat penting dilakukan karena dalam pelaksanaan tes tersebut terdapat beberapa aspek dan tahapan persiapan dan pelaksanaan supaya tes yang dilaksanakan dapat mencapai tujuan yang optimal dan dapat dimanfaatkan oleh guru maupun pihak terkait untuk dapat memaksimalkan pencapaian kompetensi yang harus dicapai dalam mata pelajaran agama Hindu di sekolah tingkat SMA atau SMK Negeri. Agung Adi mengangkat Judul Wayang Lemah Dalam Upacara Atma Wedana (Kajian Pendidikan Agama Hindu). Wayang merupakan salah satu tradisi budaya Hindu di Bali dalam menyampaikan pesan-pesan moral terhadap masyarakat Hindu di Bali. Wayang juga sering dipentaskan dalam kegiatan-kegiatan sakral agama Hindu di Bali termasuk salah satunya dalam Upacara Atma Wedana. Pementasan wayang lemah dalam upacara atma wedana mengandung berbagai macam nilai termasuk nilai-nilai pendidikan di dalamnya. Nilai-nilai yang dituangkan sebagai suatu pesan yang nantinya diterima oleh masyarakat Hindu disuguhkan dalam bentuk cerita dan lakon tokoh-tokoh dalam wayang yang dipentaskan dalam wayang lemah. Selanjutnya Buhol menulis tentang Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Kurikulum Pendidikan Hindu. Pengembangan kurikulum termasung kurukulum untuk pendidikan agama Hindu sangat penting dilakukan. Pengembangan kurikulum dimaksudkan supaya pendidikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga pendidikan bermanfaat dan berguna bagi masyarakat. Dalam pengembangan kurikulum terdapat berbagai macam aspek dan langkah-langkah yang harus ditempuh oleh lembaga pendidikan Hindu. Dalam pengembangan kurikulum terdapat hal-hal yang mempengaruhi dalam pengembangannya. Ni Wayan Ramini Santika menulis artikel dengan judul Manajemen Pendidikan Agama Hindu yang Berkarakter. Pendidikan agama Hindu menekankan pada pengembangan karakter manusia. Karakter yang dikembangkan dalam pendidikan agama Hindu merupakan karakter yang baik dan mulia. Pendidikan Hindu sejak jaman dulu memiliki tujuan yang satu diantaranya adalah membuat peserta didik berkarakter baik. Pendidikan hindu dari awal telah dikelola dengan sedemikian rupa sehingga salah satu tujuan pendidikan dalam hindu tersebut dapat tercapai dengan baik. Komang Suarta membahas mengenai Sistem pendidikan Mangaji Pada masyarakat Hindu Kaharingan di Kalimantan Tengah. Mengaji merupakan salah satu sistem pendidikan yang dipratikan oleh masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak di Kalimantan Tengah. Sistem pendidikan Mangaji adalah pendidikan yang menjadikan etika sebagai dasar ix
kehidupan.Sistem pendidikan Mangaji adalah pendidikan dengan konsep “hidup sebagai proses belajar dengan banyak guru”, dengan rasa kekeluargaan yang tinggi, dan berlangsung sepanjang hayatnya yang bertujuan untuk menemukan dan memahami hakikat, martabat dan tanggung jawabnya sebagai manusia. Tiwi Etika menulis Artikel dengan judul Eksistensi Pendidikan dalam Ajaran Hindu (tinjauan sejarah, dan filsafat Hindu). Kitab suci agama Hindu yakni Veda memiliki pengertian Pengetahuan Suci. Dari makna tersebut terlihat bahwa sesungguhnya mengandung nilai-nilai pendidikan karena pengetahuan merupakan bagian inti dalam pendidikan yang merupakan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Tidak ada pendidikan yang tidak berkaitan atau berhubungan dengan pengetahuan. Ajaran Hindu memiliki banyak ajaran yang berkaitan dengan pendidikan bukan hanya mengajarkan manusia bagaimana hidup di dunia saja tetapi juga bagaimana harus berhubungan dengan tiga aspek yaitu Tuhan beserta manifestasinya, manusia lainnya dan alam yang didalamnya termasuk hewan dan tumbuhan. Ervantia Restulita L. Sigai menulis artikel dengan judul Multikulturalisme Praksis Pendidikan Dalam Keluarga Hindu. Agama Hindu mengajarkan dan menghargai keanekaragaman tradisi dan budayadalam kehidupan manusia. Setiap manusia berkembang dan mengunakan adat dan budaya yang sangat beragam dan berlainan antara satu wilayah dan wilayah lainnya. Keragaman budaya yang ada dalam setiap suku bangsa dalam kehidupan manusia bukanlah suatu permasalahan bagi agama Hindu. Hal tersebut sangat jelas terlihat dimana agama Hindu antara satu wilayah dengan yang lainnya memiliki budaya dan tradisi yang berbeda walupun sama-sama beragama Hindu. Adanya budaya yang beragam dalam masyarakat Hindu sudah tentu akan memiliki bentuk dan karakter pendidikan dalam keluarga Hindu akan sanagt beragam sesuai dengan adat dan budaya masing-masing masyarakat Hindu. I Nyoman Subagia menulis artikel dengan judul Konsep dalam Tutur Aji Saraswati (Perspektif Pendidikan Agama Hindu). Tutur Aji Saraswati merupakan salah satu lontar yang mengandung nilai-nilai atau ajaran mengenai pengetahuan menurut ajaran Hindu di Bali dan Hindu secara umum. Hal itu mengingat ajaran-ajaran Hindu di Bali juga mendapat Pengaruh dari Ajaran Hindu Secara Umum atau Veda. Sebagai salah satu lontar yang mengajarkan pengetahuan tentunya banyak mengandung nilai-nilai pendidikan di dalamnya yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Puspo Renan Joyo menulis artikel dengan judul Dialektika Moral dalam Teks Sarasamuscaya (Kajian pendidikan Agama Hindu). Sarasamuscaya merupakan salah satu kitab suci agama Hindu yang merupakan sari dari cerita mahabharata yang mengandung ajaran-ajaran dan pengetahuan moral yang sangat bermanfaat bagi umat manusia pada umumnya dan umat Hindu khususnya. Ajaran sarasamuscaya sangat sarat dengan nilai-nilai pendidikan terutama pendidikan moral bagi manusia dalam dunia ini. Luh Asli mengangkat judul artikel Nilai Pendidikan Hindu di Balik Patung Catur Muka. catur muka merupakan simbol dari dewa Brahma yakni dewa pencipta dalam agama Hindu. Dewa brahma yang disimbolkan dengan memiliki empat wajah atau muka dalam masyarakat Hindu di Bali banyak dituangkan dalam bentuk gambar atau lukisan dan juga dalam bentuk patung. Adanya simbol berupa dewa brahma dalam bentuk patung catur muka tidak berarti umat Hindu memuja Patung. Patung merupakan simbol atau wahana atau media dalam pemujaan supaya dapat fokus dan berkonsentrasi bukan patunya yang dipuja tetapi dewa brahmalah yang dipuja melalui media atau sarana Patung dewa brahma atau catur muka. Patung catur muka sebagi simbol gambaran dewa brahm,a memiliki banyak nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya yang hendak disampaikan kepada umat Hindu. Penyunting
x
DAFTAR ISI
EVALUASI PELAKSANAAN TES FORMATIF PENGAJARAN AGAMA HINDU PADA SMA/SMK DI KOTA PALANGKA RAYA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH Serlis Rusandi............................................................................................................................... 156 WAYANG LEMAH DALAM UPACARA ATMA WEDANA (KAJIAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU) Agung Adi .................................................................................................................................... 186 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN HINDU Buhol ............................................................................................................................................ 199 MANAJEMEN PENDIDIKAN AGAMA HINDU YANG BERKARAKTER Ni Wayan Ramini Santika............................................................................................................ 216 SISTEM PENDIDIKAN MANGAJI PADA MASYARAKAT HINDU KAHARINGAN DI KALIMANTAN TENGAH Komang Suarta............................................................................................................................. 227 EKSISTENSI PENDIDIKAN DALAM AJARAN AGAMA HINDU (TINJAUAN SEJARAH DAN FILSAFAT HINDU) Tiwi Etika..................................................................................................................................... 245 MULTIKULTURAL PRAKSIS PENDIDIKAN DALAM KELUARGA HINDU Ervantia Restulita L. Sigai ........................................................................................................... 258 KONSEP DALAM TEKS TUTUR AJI SARASWATI (PERSPEKTIF PENDIDIKAN AGAMA HINDU) I Nyoman Subagia ........................................................................................................................ 268 DIALEKTIKA MORAL DALAM TEKS SARASAMUSCAYA (KAJIAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU) Puspo Renan Joyo ........................................................................................................................ 283 NILAI PENDIDIKAN HINDU DALAM PATUNG CATUR MUKA DI DENPASAR Luh Asli .................................................................................................................... 301
xi
NILAI PENDIDIKAN HINDU DALAM PATUNG CATUR MUKA Luh Asli Dosen STKIP Agama Hindu Singaraja Jalan Pulau Timor No. 24 Singaraja, Bali, Kode Pos 81116 E-mail :
[email protected]
Abstrak Nilai pendidikan yang terkandung pada Patung Catur Muka Denpasar adalah: Nilai Pendidikan Religius dimana penempatan patung di tengah wilayah kota sama dengan natahnya kota yang identik dengan zona nol (titik seimbang). Zona inilah yang disebut sebagai natah kota Denpasar. Dari sini semua kegiatan dipusatkan dan dimulai. Nilai Pendidikan Estetika tercermin dari hasil cipta karsa berupa seni ini, menjadi penghias dan memperindah tata kota, dan keindahan menjadi sebuah apresiasi terhadap rasa indah, dan seni yang pada dasarnya berdampak memperhalus jiwa. Atribut dan abhisekanama patung Catur Muka (Brahma) sebagai kakek moyang kehidupan, sebagai guru alam semesta yang memegang rontal/Veda mengandung nilai Pendidikan karakter, sebab hanya yang memiliki ilmu pengetahuanlah yang bisa memberi pengetahuan, hanya gurulah yang mampu membimbing dari kebodohan menuju terang dan dari tugas guru dalam pendidikan akan menjadikan insan-insan yang berkarakter. Dengan demikian Patung Catur Muka sarat dengan nilai Pendidikan. Kata kunci: Patung Catur Muka, Nilai Pendidikan Agama Hindu.
HINDU EDUCATIONAL VALUE IN CATUR MUKA STATUE Abstract Educational value contained in Denpasar Catur Muka Statue were: the religious Educational Value where the placement of the statue in the midst of the city was equal as the natah of the city. It was identical with zero zone (point of balance). This was called as the natah of Denpasar city. This area was the center of all activities of the city. Aesthetic Educationa Value reflected in the results of this creative work in the form of art, it beautified the city spatial planning, and the beauty became an appreciation of exquisite sense, and art can essentially refine the soul. Attributes and abhisekanama statue of Catur Muka (Brahma) as the forefather of life, as a teacher of the universe who held rontal/Veda contained the value of character education. Because only those who has knowledge are capable of imparting knowledge, only teacher capable of guiding from ignorance to the light. From that role of teacher in education would make human being having a good character. Thus, the statue of Catur Muka was full of educational value. Key Word: the statue of Catur Muka, Hindus Educational.
301 Volume 1 Nomor 2 Desember 2016
Luh Asli Pendahuluan Bali sebagai salah satu tujuan wisata mancanegara hingga saat ini masih menjadi primadona. Banyak hal yang sangat menarik dari latar belakang kunjungan mereka ke pulau yang dijuluki pulau sorga ini. Mereka yang datang ada dari kalangan pengusaha, pejabat negara, kalangan akademik maupun masyarakat biasa. Diantara pendatang tersebut ada yang hanya untuk tujuan menghibur diri ingin lepas dari rutinitas sehari-hari (holiday), ada yang datang untuk mewakili kunjungan secara formal dari negaranya dan juga ada yang datang untuk keperluan research atau studi banding maupun penelitian secara akademik. Kebanyakan wisatawan mengatakan bahwa yang menarik dari Bali ini adalah karena: banyak pemandangan indah, aman, penduduknya yang ramah, polos apa adanya, kaya akan keseniannya dan banyak yang unik-unik. Kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan suatu komunitas/bangsa. Tingginya kebudayaan suatu bangsa menunjukkan kualitas identitas bangsa itu sendiri (Koentjaraningrat, 1990: 203). Salah satu seni yang sangat berkontribusi membuat Bali ini terkesan unik adalah karena seni patungnya. Berbagai patung menghiasi wajah kota, wajah kabupaten hingga di daerah pedesaan. Patung-patung ini didirikan di pusatpusat kota/jantung kota, di pinggiran kota maupun pedesaan disesuaikan dengan karakter yang sinergis dengan misi di balik pesan makna/nilai dibalik pendirian patung tersebut. Patung tidak hanya menghiasi wilayah pawongan dalam Tri Hita Karana konteks Bali, namun juga terpasang indah, pada areal yang disucikan seperti di berbagai areal Pura Umum/Kahyangan Jagat, Pura Kahyangan Tiga, Pura Swagina, dan juga Pura Klan/Pura Kawitan/Pura Keluarga. Patung-patung tersebut di atas ada yang bersifat sakral, ada pula profan atau hanya sebatas sebagai fungsi keindahan saja. Tetapi patung yang disakralkan biasanya disertai dengan rangkaian upacara sehingga patung tersebut secara spiritual menjadi memiliki taksunya/metaksu. Inilah salah satu seni yang memberi kontribusi menambah indahnya Pulau Bali. Salah satu patung yang berdiri megah di pusat kota Denpasar, tepatnya di jantung kota Badung adalah patung Catur Muka. Patung ini berdiri di tengah perempatan diantara jalan Surapati, Jalan Udayana, Jalan Veteran, dan Jalan Gajahmada. Patung ini lebih dikenal dengan sebutan umum Patung Catur Muka (4 kepala). Dalam beberapa sumber patung tersebut sesungguhnya melukiskan Dewa Brahma, manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta. Patung ini dipasang di jantung kota, bukan di pinggir areal perkotaan, dan tidak dipasang patung yang lainnya seperti misalnya patung Hanoman, patung Bima, patung Krisna, tetapi patung Catur Muka.
Jurnal Pendidikan Agama Hindu SATYA WIDYA 302
Nilai Pendidikan Hindu.... Dalam berbagai sumber, memasang patung dewa yang merupakan salah satu artefak dalam Agama Hindu yang jelas-jelas disakralkan, tidaklah mudah ataupun bukanlah tanpa alasan. Jika didirikan di tempat tertentu, mungkin saja ada ide-ide tertentu di balik latar belakang pemasangannya. Mengapa patung Dewa yang merupakan salah satu manifestasi Tuhan dalam fungsinya sebagai pencipta ini didirikan di tengah-tengah antara empat jalan serta merupakan tempat umum bukan tempat suci? Apakah hanya menunjukkan seni ornamen, seni tata kota, ataukah ada nilai relegius di balik pendirian patung Catur Muka yang sangat jelas disebutkan dalam susastra Hindu merupakan wujud simbolik salah satu dewa yang dipuja dalam Agama Hindu. Pembahasan Patung Catur Muka Dalam KBBI, kata patung bermakna tiruan bentuk dari batu, kayu sejenis dengan kata arca (Tim Penyusun, 1989: 654). Titib dalam bukunya ‘Purana sumber ajaran Agama Hindu yang Komprehensif ‘ Catur Muka diartikan sebagai kepala Dewa Brahma berjumlah empat yang masing-masing menghadap ke empat penjuru mata angin (Titib, 2004: 197). Patung Catur Muka adalah bentuk arca yang terbuat dari batu yang diukir dengan muka/kepala empat menghadap ke empat arah mata angin yaitu menghadap ke Timur, Selatan, Barat, dan Utara. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas maka yang dimaksudkan dengan patung Catur Muka adalah sebuah bentuk bangun yang memanifestasikan ciri-ciri dari prabhawa Dewa Brahma dengan segala artefak yang menghiasi patung tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam berbagai sastra, patung Dewa Brahma ini memiliki julukan, predikat atau Abhisekanama termasuk di dalamnya Catur Muka. Hanya Dewa Brahma yang memiliki abhiseka Catur Muka, Dalam Teologi dan Simbol-Simbol Agama Hindu’ dinyatakan, bahwa patung Catur Muka merupakan seni arca dan seni lukis yang menggambarkan Dewa Brahma yang bersthana di atas kuncup bunga teratai, memiliki empat wajah (Catur Muka) menghadap ke empat penjuru arah mata angin, empat tangan/catur buja. Secara semiotik termuat di dalam sastra, sedangkan paparan sastra kemudian diaktualisasikan dalam wujud nyata sebagai patung Catur Muka. Budayawan I Wayan Geriya (2010) dalam bukunya “Kebudayaan Unggul: Inventori Unsur Unggulan Sebagai Basis Kota Denpasar Kreatif” menyatakan bahwa Patung Catur Muka sebagai salah satu larmark dan aset budaya unggul kota Denpasar harus didefinisikan, apa unsur-unsur budaya unggul tersebut harus dideskripsikan dan dua hal di atas harus dianalisis, secara naratif dan kritis serta refresentasi potensi peluang dan tantangan dalam pengembangan kota kreatif yang nantinya ditransformasi secara aplikatif. 303 Volume 1 Nomor 2 Desember 2016
Luh Asli Berbagai analisis dan deskripsi datang dari berbagai disiplin keilmuwan mengenai keberadaan patung Catur Muka tersebut yang tidak bisa dipisahkan dari kota Denpasar itu sendiri. Ketika ada orang yang mendengar nama kota Denpasar, maka di dalam pikiran (mindset) orang sudah terbayang patung Catur Muka, sebab patung Catur Muka adalah Lanmark kota Denpasar. Sejarah Berdirinya Patung Catur Muka Denpasar Secara umum sebuah patung yang berdiri megah, ditempatkan pada posisi yang strategis tentu didirikan bukan tanpa latar belakang. Patung yang besar dan strategis seperti patung Catur Muka yang berada tepat di jantung kota Denpasar tidak terlepas dari sejarah didirikan, sehingga akan menjadi bahan kelengkapan dokumen sebagai salah satu aset sejarah sebuah kota atau daerah. Patung Catur Muka yang berada di depan atau di sebelah Timur Kantor Wali Kota Denpasar didirikan pada tahun 1973 digarap oleh seniman Bali putra daerah Gianyar yang bernama I Gusti Nyoman Lempad. Beliau banyak menghasilkan karya-karya seni di berbagai tempat termasuk juga patung Catur Muka di kota Denpasar. Karya-karya besar beliau memancarkan nilai estetika yang tinggi membuat Bali menjadi terkenal di mata wisatawan mancanegara. Patung ini dibuat oleh undaginya dengan fostur yang besar dan tinggi berukuran sembilan meter persegi 9,5 m2 (Geriya, 2010: 78). Patung Catur Muka ini berdiri megah, berwibawa, terkesan magis seolah-olah bagaikan sesosok raja yang memeriksa dan mengawasi ke empat penjuru mata angin yaitu ke arah Barat, ke arah Timur, ke arah Utara, ke arah Selatan. Posisi patung ini tepat berada pada tengah/poros atau titik tengah perempatan agung kota Denpasar. Patung ini yang mempertemukan empat jalan yakni: dari arah Barat Jalan Gajah Mada, dari sebelah Timur Jalan Surapati, dari sebelah Selatan Jalan Udayana dan dari sebelah Utara Jalan Veteran. Pada mulanya ketika jaman penjajahan Belanda, sebelum patung Catur Muka ini didirikan, terlebih dahulu ditengah pertemuan ke empat jalan di atas dipasang sebuah jam besar, tinggi berisi lonceng yang didirikan dengan tujuan sebagai uger-uger waktu atau sebagai petanda yang diperuntukkan kepada masyarakat yang melewati lokasi perempatan ini. Ketika zaman itu jam sangat langka dan sangat berharga/mahal. Jam dipasang di perempatan agung kota Denpasar itu dimaksudkan agar masyarakat tahu bahwa ketika sampai di perempatan jalan tersebut, maka diketahui bahwa sekarang waktu sudah menunjukkan pukul sekian. Zaman dahulu sekitar tahun 1972-an jam sebagai pengukur waktu belum sebanyak sekarang dimiliki oleh masyarakat, sehingga mengetahui waktu atau dauh sangat berharga. Jurnal Pendidikan Agama Hindu SATYA WIDYA 304
Nilai Pendidikan Hindu.... Dipasangnya jam yang berisi lonceng di perempatan agung sebagai pusat arus lalu lintas yang ketika itu bisa dikatakan paling ramai, oleh karena itu, maka jam yang berisi lonceng tersebut sangatlah berarti bagi masyarakat Badung. Suatu saat jam lonceng ini mati, sehingga sebagai media pedoman waktu bagi masyarakat menjadi tidak berfungsi lagi. Sejak saat itu, maka ada ide untuk mengganti jam lonceng tersebut dengan mendirikan sebuah patung yang bisa melihat ke empat penjuru, layaknya seperti sikap mengawasi ke empat penjuru. Patung yang tepat untuk itu adalah patung Catur Muka. Maka didirikanlah patung Catur Muka dan sampai saat ini patung tersebut masih kokoh berdiri sebagai landmark kota Denpasar. Adapun lonceng di atas sekarang ditempatkan di sebelah Timur dari perempatan tersebut, sebagai bagian dari dokumen kronologis sejarah kota Denpasar. Bahan Pembentuk Struktur Patung Catur Muka Denpasar Patung secara umum ada yang terbuat dari batu, kayu, lapisan es, tanah liat ataupun bahan sintetis dll. Material sebagai bahan pembentuk struktur patung sangat menentukan daya tahan patung dan berpengaruh terhadap usia wujud patung, (paras, batu asli, kayu, campuran beberapa bahan spt palimanan, dll). Kualitas dan kuantitas materi suatu benda sangat berpengaruh terhadap ruang dan waktu (Suja, 2010: 49). Dalam arsitektur traditional Bali bangunan dipandang sebagai suatu sosok/bentuk yang sama dengan manusia sehingga setiap sosok patung dibuat memiliki: kepala/hulu/utama-angga (atap), badan/madya-angga (tiang/ruang/dinding) dan kaki/nista-angga (batur/bataran). Sosok bangun ini merujuk pada struktur material pembentuk patung. Demikian pula dalam arsitektur traditional Bali ada beberapa metode mengenai tatacara ber-ragam-hias dalam bangunan, sebagaimana yang telah dilakukan oleh undagi bekerjasama dengan para sangging sebagai berikut: pertama berdasarkan atas tata-nilai sakral dan profan. Ragam hias berupa ornamen dan dekorasi sakral, kedua berdasarkan atas jenis/tema ragam-hias flora, fauna, unsur-unsur alam, agama dan kepercayaan, ragam-hias lainnya seperti pepalihan, pepatran, kekupakan, reruitan, simbol-simbol atau lambang keagamaan, ketiga berdasarkan atas tata-letak vertikal dan horizontal. Ke arah vertikal dari yang berkarakter berat di bawah seperti karang gajah, karang batu; tengah yang berwujud kala/manusia seperti karang tapel, karang bentulu dan bagian atas yang berkarakter ringan: karang guak, karang asti, karang boma, karang singa, simbar. Ke arah horizontal: bercorak kasar di daerah teben/profan (dalam Gomuda, 1999: 117).
305 Volume 1 Nomor 2 Desember 2016
Luh Asli Mitologi Catur Muka Dalam Beberapa Purana Dewa Brahma dengan kepala empat dikenal dengan nama Catur Muka. Beberapa purana menyatakan dengan beberapa versi. Dalam Devi Bhagavata Purana skanda 1 diceritakan bahwa Brahma lahir dari pusar Sang Hyang Wisnu: “Pada awalnya Mahavisnu terlentang di atas selembar daun Beringin dalam wujud bayi dan mulai berfikir ‘Siapakah Aku?’ Siapakah yang menciptakan aku, Untuk apa? Apakah pekerjaanku dll. Pada saat itu muncullah suara gaib dari angkasa. ‘Segala sesuatu adalah AKU, kecuali AKU, tidak ada yang lain’. Mahavisnu menjadi kaget dengan suara gaib tersebut. Ia tidak mengetahui siapakah yang bersabda itu? Saat masih dalam keadaan samadhi merenungkan kata-kata tadi, kemudian muncul mahadewi dengan tangan empat dan masing-masing tangannya memegang senjata seperti: Sankha (terompet kerang), Cakra (Cakram), Gada (tongkat pemukul), Padma (lotus) dan seorang dayang-dayang memberikan kemakmuran, busana kemenangan dan ornament, diikuti oleh sakti/fower dengan nama: Rati, Bhuti, Budhi, Mati, Kirti, Dhrti, Smrti, Sradha, Medha, Swadha, Swaha, Ksudha, Nidra, Daya, Gati, Tusti, Pusti, Ksama, Lajja, Jmbha dan Tandra yang muncul di hadapan Mahavisnu yang sangat terkejut kagum. Mahadewa bersabda: ‘Oh Sanghyang Visnu, apakah yang menjadikan anda tercengang? Setiap waktu alam semesta ini menjadi sasaran penciptaan, pemeliharaan dan peleburan kembali. Anda lahir karena kekuatan power anda yang merupakan kekuatan spirit tertinggi. Hamba kira anda melupakan ini? Ketahuilah bahwa kekuatan di luar sifatnya dan sifat dasar anda adalah: Sattwa (atwika), dari pusar anda Brahma akan lahir, sifatnya adalah (guna) rajas, aktif, nafsu dan bergerak. Dari tengah-tengah kening Brahma akan lahirlah Rudra, yang sifatnya Tamas (kegelapan). Brahma dengan kekuatan samadhi (tapanya) akan memperoleh tanggung jawab untuk penciptaan dan dari sifat rajasnya itu akan menciptakan alam semesta dalam warna darah. Anda akan memelihara jagat raya. Alam semesta yang sama akan dihancurkan kembali oleh Rudra, pada akhir kalpa (umur alam semesta)” Menurutnya dari pusar Dewa Visnu muncul tumbuh dan berkembanglah sekuntum bunga Padma (Lotus) dan di atas kembang Padma itulah Brahma mengambil wujud. Dewa Brahma juga melakukan samadhi di hadapan Dewa Visnu dan Jagadamba yang sangat puas dengan pertapaan itu dan menganugrahkan segala keinginan. Setelah itu Brahma mulai menciptakan alam semesta. Dari pikirannya terciptalah Sapta Rsi, kemudian Prajapati, Dewata asal alam semesta (dalam Titib, 2004: 192-193). Dari paparan skanda 1 Bhagavata Purana di atas nampak jelas bahwa, Dewa Brahma terlahir dari pusar Dewa Visnu, bersthana di atas bunga Lotus, memiliki tugas sebagai pencipta, dan merupakan leluhur atau Dewata alam semesta. Nilai Pendidikan Religius Patung Catur Muka yang berdiri megah di tengah-tengah pusat pemerintahan kota Denpasar, keberadaannya sangat strategis. Jalan protokol yang mempertemukan empat jalan yakni: dari arah Barat Jalan Gajah Mada, dari sebelah Timur Jalan Surapati, dari sebelah Selatan Jalan Udayana dan dari sebelah Utara Jalan Veteran. Sebuah patung besar yang sangat berkaitan dengan persfektif agama, didirikan di tempat yang strategis, maka sudah tentu Jurnal Pendidikan Agama Hindu SATYA WIDYA 306
Nilai Pendidikan Hindu.... mengandung fungsi-fungsi tertentu. Dalam kaitan penelitian ini, patung Catur Muka yang berdiri megah secara relegius berfungsi sebagai natahnya kota Denpasar. Natah dalam perspektif tata ruang arsitektur budaya Bali yang rohnya bersumber dari ajaran Agama Hindu merupakan pusat halaman pusat/central. Natah sebagai zona tengah/madya memiliki fungsi serba guna, sebagai space orientasi/pengikat bale, tempat upacara, lintasan kegiatan, dan lainlain. Pada setiap pekarangan memiliki tiga jenis natah yaitu: Natah Pawon/Lebuh (service) terletak di depan dapur dengan nilai nista/profan. Natah Bale sebagai pusat centrality (Gomudha, 1999: 93). Centrality adalah menunjukkan gagasan tentang ke dalam dan pusat/jantung, tempat makna/arti terkonsentrasi dan “gaya berat”, titik-titik di mana tindakan/langkah berasal dari dalam dan tujuan dimana akhirnya tindakan/langkah itu tiba dari
manapun
datangnya.
Pusat-pusat
(the
centrals)
juga
didefinisikan
menurut
embeddedness-nya, insideness-nya, atau ke-jauh-annya dari luar pada setiap arah. Jika di luar ada bahaya, maka dalam marginalnya ada tindakan pencegahan, dan pada pusat/central adalah titik zona keamanan. Natah (centrality) ditinjau dari frekuensi penggunaannya secara religius bersifat oposisi-biner, pada saat dilangsungkan aktivitas pada natah akan tampak kehadirannya, sedang fungsi kekosongan kehadirannya ditunda. Walaupun tampak kejadian ini silih berganti, namun yang selalu hadir adalah kegiatan abstrak yaitu pertemuan antara ‘Purusa’ (bersifat laki-laki) dan ‘Pradana’ (bersifat perempuan), pertemuan antara Akasa/Langit dan Pertiwi/Tanah. Dalam filsafat Hindu bahwa Purusa merupakan benih unsur-unsur kejiwaan (acetana/paramaatma/atma) dan Pradana merupakan unsur-unsur kebendaan (cetana/panca maha bhuta). Pada natah inilah terjadi pertemuan antara jiwa (atma) dan raga (angga), sehingga mewujudkan kehidupan di alam ini. Dengan demikian makna natah yang paling utama adalah memberi peluang suatu kehidupan, yakni kehidupan berumah tangga selama jiwa bertemu dengan raga atau sepanjang ayat dikandung badan. Dalam tata ruang wilayah kota Denpasar posisi centrality dari totality wilayah kota Denpasar berada pada zona pertemuan empat jalan. Jadi zona wilayah inilah yang berfungsi sebagai pusat/central/jantung kota/natahnya kota Denpasar. Sebagai fungsi pusat/natah, maka berbagai aktivitas dilakukan di tempat ini seperti: pawai seni pada perayaan pesta kesenian Bali (PKB), ngilehang wadah/Bade ketika ada warga yang menyelenggarakan upacara Pitra Yadnya/Ngaben, sebagai tempat menyelenggarakan upacara Bhuta Yadnya atau Upacara Tawur Kesanga pada saat Penyepian. Dahulu ketika zaman penjajahan Belanda, zona ini juga menjadi pusat pasar wilayah Denpasar yang kini menjadi lapangan Puputan Badung. Karena
307 Volume 1 Nomor 2 Desember 2016
Luh Asli pertimbangan estetika tata ruang kota, maka pasar akhirnya dipindahkan ke pasar Badung sekarang. Sebagai fungsi pusat berbagai aktivitas, zona wilayah perempatan tersebut merupakan zona titik nol (0). Dari pusat zona nol ini, ke arah Timur, ke arah Selatan, ke arah Barat dan ke arah Utara rata-rata sama jaraknya. Lebih-lebih ketika dilaksanakannya upacara Tawur Kesanga yang diselenggarakan pada zona patung Catur Muka dalam nilainya sebagai Pendidikan Agama/relegius, berfungsi secara vertikal dan horisontal, baik sekala maupun niskala semua alam semesta baik bhuwana agung maupun bhuwana alit mereposisi atmosfer menjadi seimbang atau normal kembali. Oleh karena itulah sangat tepat jika pelaksanaan upacara penyeimbang ini diselenggarakan di pusat perempatan jalan tersebut. Maka dari itu perempatan ini juga disebut sebagai pempatan agung. Selain itu unsur pembentuk dasar yang ada pada bangun patung tersebut secara kosmologis unsurnya berasal dari sang Pencipta mengingat partikel terkecil sebuah benda berupa atom menyadarkan akan kemahakuasaan Tuhan yang meresapi segalanya, meskipun sekecil-kecilnya. Nilai Pendidikan Estetika Setiap kota yang ada di dunia tentu memiliki keunggulan-keunggulan yang bisa dibanggakan apakah berupa hasil sains, kearifan lokal asli, seni berupa karya manusia maupun karya Tuhan seperti wilayah alam yang indah/elok yang memang dianugrahkan oleh Tuhan pada wilayah tersebut sehingga suatu wilayah atau kota menjadi sangat sulit untuk dilupakan karena sesuatu yang khas dan spesial dari wilayah atau kota tersebut. Bagian wilayah yang memiliki keunikan, keistimewaan serta menjadi ciri khas sebuah tempat biasanya secara langsung dijadikan sebagai penghias tata kota. Penataan tata kota dengan segala keunikannya menjadi identitas daerah. Selain itu tata kota juga di tata sedemikian rupa sebagai cerminan dari sosialisasi misi dan visi kota tersebut. Bali sebagai kota pariwisata memiliki banyak wilayah yang elok anugrah Tuhan. Suatu karya dikatakan estetis oleh penilainya dengan berbagai ungkapan dan ekpresi. Penilaian ini sesuai dengan kemampuan seseorang untuk menafsirkannya, sehingga estetis itu adalah simetris, ritme dan harmoni. Simetris adalah kesetakupan atau ciri suatu kesatuan dalam bentuk, keselarasan antara bagian-bagian komponen yang tersusun dalam kesatuan dan ritme adalah cara kehadiran sesuatu yang berulang ulang dan teratur (Linggih, 2010: 114). Tampilan patung Catur Muka menyiratkan nilai pendidikan bagi masyarakat melalui penghargaan terhadap nilai seni, yang terkandung pada patung tersebut, memberi apresiasi Jurnal Pendidikan Agama Hindu SATYA WIDYA 308
Nilai Pendidikan Hindu.... dari pengabdian seorang pelaku seni. Karya indah dan monumental dari seorang seniman Bali putra daerah Gianyar yang bernama I Gusti Nyoman Lempad ini telah mewariskan sebagian nilai seni beliau dalam bentuk patung Catur Muka bagi wilayah kota Denpasar. Karya seni tidak hanya cukup berharga secara material, namun lebih dari itu yang jauh lebih berharga adalah makna seni sebagai pesan pendidikan yang memberi pengaruh terhadap ranah mental yakni rasa kagum, rasa indah, rasa puas merupakan salah satu dari hirarkhi kebutuhan jiwa manusia (Maslow, 1994) . Sebagaimana paparan Wiana (2012) bahwa seni itu sesungguhnya memperhalus jiwa manusia sehingga terjadi harmoni di dalam jiwa. Nilai Pendidikan Karakter Narasi bentuk patung Catur Muka Denpasar yang memiliki tinggi 9,5 meter dan berdiri di atas landasan yang berbentuk daun teratai serta tujuh lapisan yang melambangkan tujuh alam/loka ini, merupakan karya seni yang menggambarkan Dewa Brahma sebagai manifestasi Tuhan dalam tugasnya sebagai pencipta. Kata Brahma itu berarti: tumbuh, berkembang, berevolusi, yang bertambah besar, meluap-luap dari dirinya (Sir Monier Williams dalam Titib, 2001: 212). Atribut-atribut dan abhisekanama Brahma yang dipaparkan dalam buku Amarakosa mencerminkan ciri khas patung Catur Muka seperti Pitamaha: sebagai kakek moyang dari seluruh arwah, Brahma adalah Dhata: yang memegang atau menampilkan sesuatu (memegang kitab, memegang tongkat/Danda, sendok besar untuk Agnihotra, kendi tempat amrta), simbolisasi dari Bhatara Guru yang berkepala empat dan bertubuh satu, Vedha: ia yang memegang Catur Veda dan
menciptakan Catur Varna,
Prajapati: raja dari semua makhluk, Hamsavahana: mengendarai angsa sebagai tunggangannya. Dari abhisekanama yang dimiliki Brahma terkandung nilai-nilai karakter berikut. Profesi guru, sudah sepantasnya memperoleh penghormatan. Sejak lahir manusia hingga menjadi dewasa, dan mandiri, berkarakter, pemuda harapan dan penerus generasi bangsa, dididik, oleh guru. Guru merupakan sosok profesi yang sangat berat. Dikatakan berat, karena dalam berbagai naskah dan data aktual secara kontekstual, peran gurulah yang membukakan wawasan/mengembangkan intelek para siswa’ (Rgv VIII. 42. 3), penghapus kebodohan (Rgv I. 6. 3), pembimbing siswa ke jalan yang mulia’ (Rgv V. 51.5). Brahma dalam abhiskanama sebagai Veda merupakan sumber ilmu pengetahuan. Pengetahuan yang dimiliki dan bimbingan dari guru kepada murid dan hal ini tidak bisa dilakukan oleh mesin/teknologi. Dalam kaitan inilah, seorang guru dikatakan sebagai mesin hidup oleh Skinner. Menurutnya, mesin tidak bisa membimbing manusia dan tidak dapat bertindak sebagai teladan dalam 309 Volume 1 Nomor 2 Desember 2016
Luh Asli menumbuhkembangkan karakter. Mesin hanya dibutuhkan dalam skala tertentu dan tetap dapat digunakan sebatas sebagai pelengkap dalam pendidikan (Palmer, 2006: 113). Simpulan Patung Catur Muka merupakan salah satu artefak Agama Hindu yang biasanya secara sakral berada di areal tempat suci/pura. Namun demikian, patung tersebut didirikan di areal/zona tengah-tengah natahnya wilayah kota Denpasar. Selain secara sakral, patung yang dijadikan media pemujaan bagi umat Hindu ini, juga didirikan untuk tujuan profan. Dalam konteks ini patung Catur Muka yang berdiri di tengah zona wilayah kota Denpasar juga menjadi Larnmark kota Denpasar. Patung Catur Muka tidak semata-mata didirikan sembarang begitu saja, namun dibalik pendirian tersebut terkandung nilai-nilai pendidikan sebagai pesan kepada masyarakat Denpasar, Bali khususnya dan kepada masyarakat Hindu secara umum, bahwa ada beberapa nilai pendidikan yang tersirat seperti: nilai pendidikan relegius yang mendekatkan umat terhadap nilai-nilai kearifan dalam ajaran agamanya sebagai sesuluh dalam hidupnya sehingga umat akan selalu berpegang pada rambu-rambu kebenaran ajaran agamanya. Nilai Estetika pada Patung Catur Muka mengingatkan bahwa seni itu menjadi bagian yang integral dalam pengembangan nilai rasa indah, rasa kagum, rasa puas pada diri manusia yang merupakan makanan/kebutuhan di ranah mental dan jiwa manusia. Nilai karakter dalam patung Catur Muka karena sebagai cikal bakal pencipta alam semesta, sebagai kakek moyang umat manusia, sebagai guru alam semesta akan memberi ilmu pengetahuan, mencerdaskan intelek, selaku guru membimbing menjadi karakter yang baik dan mulia. Pendidikan akan mandul tanpa pembentukan karakter sebagai intinya. Daftar Pustaka Aswin Dwijendra Ngakan Ketut. (2008). Arsitektur Bangunan Suci Hindu Berdasarkan Asta Kosala Kosali. Denpasar: Udayana University Pres bekerjasana dengan CV Bali Media Adhikarsa. Basrowi & Sukidi, (2002). Metode Penelitian Kuantitatif Perspektif Mikro. Surabaya: Insan Cendikia. Batan, Jro Mangku Wayan Nilon. (TT). Lebih Jauh Tentang Agnihotra. Denpasar: Pasraman Liang Galang. Bungin, Burhan. (2003). Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Connoly, Peter. (2002). Aneka Pendekatan Study Agama. Yogyakarta: LKIS. Donder, I Ketut. (2007). Kosmologi Hindu. Surabaya: Paramita.
Jurnal Pendidikan Agama Hindu SATYA WIDYA 310
Nilai Pendidikan Hindu.... Geriya, I Wayan. (2010). Kebudayaan Unggul, Inventori Unsur Unggulan Sebagai Basis Kota Denpasar Kreatif. Denpasar: BAPPEDA. Gomuda, I Wayan. (1999). Tesis Reformasi Nilai-Nilai Arsitektur Traditional Bali Pada Arsitektur Kontenporer di Bali Studi Kasus Bangunan Fasilitas Umum. Denpasar: Universitas Udayana. Maslow, Abbraham, H. (1994). Motivasi dan Kepribadian (Teori Motivasi Dengan Pendekatan Hierarki Kebutuhan Manusia). Bandung: PT Pustaka Binaman Pressindo. Rahoela IB, S. Sos, M. Si. (2011). Data Mini Selayang Pandang Kota Denpasar. Denpasar: Humas Dan Protokol Setda Kota. Palmer A Joy (Ed.). (2006). “FIFTY MODERN THINKERS on EDUCATION, 50 Pemikir Paling Berpengaruh Terhadap Dunia Pendidikan Modern”. Yogyakarta: IRCiSoD. Piliang Yasraf Amir. (2006). Dunia Yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra. Tim Penyusun. (1997). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Titib, I Made. (1996). Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita.
311 Volume 1 Nomor 2 Desember 2016
INDEKS PENGARANG VOLUME 1
Nomor 1 Juni 2016 I Ketut Subagiasta hal 1 Mujiyono hal 36 Pranata hal 49 I Nyoman Subrata hal 67 I Nyoman Sidi Astawa hal 81 Kadek Sukiada hal 93 Yuni Permata hal 113 Ni Nyoman Ayu Wilantari hal 126 I Gede Dharman Gunawan hal 137
Handoko hal 146 Nomor 2 Desember 2016 Serlis Rusandi hal 156 Agung Adi hal 186 Buhol hal 199 Ni Wayan Ramini Santika hal 216 Komang Suarta hal 227 Tiwi Etika hal 245 Ervantia Restulita L. Sigai hal 258 I Nyoman Subagia hal 268 Puspo Renan Joyo hal 283 Luh Asli hal 301