ANALISIS KONSEP KAFA’AH DALAM PERNIKAHAN MENURUT PEMIKIRAN SYAFI’IYAH
SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Syatu Syarat Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam Program Studi Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah Jurusan Syariah Sekolah Tingggi Agama Islam Solok Nan Indah
Oleh: DIA YULIANA BP/NIMKO : 1001 305 001/S1.VI.13.10.870
PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH JURUSAN SYARI’AH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SOLOK NAN INDAH (STAI-SNI ) YAYASAN PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN SOLOK NAN INDAH 1435 H / 2014 M
1
ABSTRAK Skripsi ini berjudul “Analisis Konsep Kafa’ah Dalam Pernikahan Menurut Pemikiran Imam Syafi’i” yang di tulis oleh : DIA YULIANA, BP/NIMKO : 1001 305 001/S.VI.13.10.870. Pada program studi Al-Ahwal AlSyakhshiyyah Sekolah Tinggi Agama Islam Solok Nan Indah 2014. Adanya kafa’ah dalam pernikahan antara calon suami dan calon istri agar adanya keseimbangan dalam mengarungi bahtera rumah tangga kehidupan, persoalan kafa’ah sering difahami secara tidak proposional dalam arti seseorang diharuskan menikah dengan lawan jenis yang sama derajatnya, kekayaannya dan kecantikan dan sebagainya, padahal semuanya itu hanyalah bersifat lahiriyah semata. Pasangan yang serasi diperoleh untuk mewujudkan rumah tangga yang tenang (sakinah), cinta (mawaddah), kasih( warohmah), banyak cara yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, salah satunya adalah upaya mencari calon suami atau istri yang baik, upaya tersebut bukanlah suatu kunci namun keberadannya dalam rumah tangga akan menentukan mampu atau tidaknya seseorang dalam membangun bahtera rumah tangga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pemikiran imam Syafi’i tentang konsep kafa’ah dalam pernikahan, Maka Kafa’ah dalam pernikahan adalah kesesuaian antara calon suami dan istri dalam hal-hal tertentu, sehingga pihak-pihak yang berkepentingan tidak merasa keberatan terhadap berlangsungnya suatu pernikahan. Penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka (Library Research) yaitu suatu penelitian yang didalamnya memperoleh bahan pustaka, dan data yang dikumpulkan berasal dari rujukan data primer yaitu: Al-Uum dan kitab-kitab imam Syafi’i yang diperkuat dengan data sekunder yang membahas seputar konsep kafa’ah, untuk menganalisa data, digunakan pendekatan Al-Quran dan sunnah. dengan adanya kesetaraan dalam tingkat yang lain demi terciptanya keluarga bahagia. Dari hasil penulisan skripsi ini, setelah dianalisa maka penulis mengambil kesimpulan bahwa: kafa’ah merupakan keseimbangan antara calon suami maupun calon istri dalam kehidupan berumah tangga, menurut imam Syafi’i hak bagi wanita adalah walinya, maksudnya jika seseorang wanita menikah dengan lakilaki yang tidak sekufu, maka wali berhak membatalkan perkawinan tersebut. Konsep kafa’ah menurut imam Syafi’i sama dengan konsep kafa’ah imam-imam yang lain yaitu: kebangsaan, keagamaan, kemerdekaan, namun yang membedakannya dengan imam yang lain adalah kekayaan, imam Syafi’i memaknai kekayaan itu dengan mata pencarian atau pendapatan. Bukan dengan banyaknya harta kekayaan dalam kehidupan sehari-hari,dan menurut Imam Syafi’i kekayaan tidak dapat dijadikan sebagai ukuran kekufuan, karena kekayaan itu bersifat timbul dan tenggelam suatu saat akan musnah, imam Syafi’i tidak memasukkan harta kekayaan itu dalam konsep kafa’ah dalam pernikahan, berdasarkan Al-Quran dan hadist, Maka imam Syafi’i memaknainya dengan matapencarian.
2
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI Dengan ini saya yang menyatakan bahwa ini Skripsi yang saya tulis dengan judul : ”Analisis Konsep Kafa’ah Dalam Pernikahan Menurut Pemikiran Imam Syafi’i”. Adalah hasil karya saya sendiri dan bukan merupakan ciplakan dari hasil kerja orang lain, kecuali kutipan yang sumbernya dicantumkan, jika kemudian hasil pernyataan ini ternyata tidak benar, maka status kelulusan dan gelar yang saya peroleh menjadi batal dengan sendirinya.
Tanggal, 2 Mei 2014
Dia Yuliana Bp/Nimko : 1001 305 001/S1.VI.13.10.870
3
PERSEMBAHAN
Alhamdulillahhirobbi’alamin Tak henti-hentinya ku mengucap syukur kepadaMu ya Allah, Serta shalawat dan salam kepada idolaku Rasulullah SAW dan para sahabat yang mulia Sepercik keberhasilan telah engkau anugrahkan kepadaku Ya Allah, Semoga keberhasilan ini menjadi amal shaleh bagiku dan menjadi kebanggaan bagi keluargaku tercinta, namun itu bukan berarti akhir dari semuanya melainkan awal dari perjuanganku yang masih panjang Setulus hatimu mama (Septimis Sosialti), searif arahanmu papa (Alm. Hasbon s) Do’amu hadirkan keridhaan untukku, nasehatmu yang tak pernah putus-putusnya iringi jalan hidupku, do’amu telah merangkul diriku, menuju hari depan, hari yang cerah Mama ??? Aku ingat perjuanganmu Acungan jempolku kepadamu, meskipun papa sudah dipanggil Ilahi namun kau tetap tegar ditengah badai kehidupan yang begitu keras, kau tetap menghembuskan angin ketenagan demi kami, anak-anakmu, walaupun dihatimu menangis tersedu tapi kau tetap memancarkan senyum indahmu, sungguh muliya perjuanganmu mama ,,, kini aku telah menyelesaikan studi sarjana, Dengan kerendahan hati yang tulus, bersama keridhaan-Mu ya Allah, Kupersembahkan karya tulis ini untuk yang termulia, mama, papa … Mungkin tak dapat selalu terucap, namun hati ini selalu bicara, sungguh aku sayang padamu mama, papa, Sebagimana tanpa mama dan papa tiada arti semua ini Yang terkasih dan tercinta abangku Ahmad Mardiansyah dan adekku Handoko Saputra (jangan buat mama risau lagi, rajin rajin sekolah) ayuk tak bisa hidup tanpa kalian Teristimewa lagi buat teman-temanku yang di pesantren Leni, Wardatun Nabila, Rini Rahmayuli Fajri dan Pita. Yang telah memberikanku semangat dan motivasi., sepupu merangkap teman curhatku, mudah-mudahan tuhan menyatukan kita hingga nanti, amiin ... setetes keberhasilan ini semoga dapat mengobati beban kalian atas diriku, jasa-jasa kalian tak kan dapat ku lupakan hingga nanti, terima kasih atas cintanya. Untuk tulusnya persahabatan yang telah terjalin local ahs, spesial buat kak Lid, kak Irmi, Sri, Iris, Ayu, Bunda Tia beserta keluarga semoga sikecil sehat wal afiat, Mumud, Sukri,Refzi, Wandi, suka duka semua telah kita lewati bersama. Kalian memang teman yang paling baik sekarang dan selamanya.. Amiin... Dan semua yang tak bisa ku sebut satu persatu, yang pernah ada atau pun hanya singgah dalam hidup ini, yang pasti kalian bermakna dalam hidupku By : Dia Juliana
4
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi dengan judul ’’Analisis Konsep Kafa’ah Dalam Pernikahan Menurut Pemikiran Imam Syafi’i”, disusun oleh Dia Yuliana, BP/NIMKO 1001 305 001/S.VI.13.10.870. Program studi Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah telah memenuhi persyaratan ilmiah dan dapat disetujui untuk diajukan ke sidang munaqasyah/ujian akhir.
Solok, 16 April 2014 Pembimbing I
Pembimbing II
Abdul Hafiz, S.HI.,MA
Yusrial, S.HI.,MA
5
PENGESAHAN TIM PENGUJI Skripsi dengan judul ’’Analisis Konsep Kafa’ah Dalam Pernikahan Menurut Pemikiran Imam Syafi’i”, disusun oleh Dia yuliana, BP/NIMKO 1001 305 001/S1.VI.13.10.870. Telah diuji dalam sidang munaqasyah/ujian akhir sekolah tinggi agama Islam Solok Nan Indah pada hari sabtu 18 Oktober 2014, dan dinyatakan telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mencapai gelar sarjana program strata satu (S.1) pada program studi Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah. Solok,18 Oktober2014 Tim Penguji Ketua
Sekretaris
Yusrial, S.HI.,MA
Akuania, S.Pd.I Anggota
Yusrial, S.HI.,MA
Aulia Rahmat, S.HI,.MAHK
M. Hidayat Ediz, S.HI., MA
Mushthafa, S.HI., MA
Mengetahui:
6
Ketua STAI-SNI
Dalmius, S.Pd.I.,MA HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi dengan judul ’’Analisis Konsep Kafa’ah Dalam Pernikahan Menurut Pemikiran Imam Syafi’i”, disusun oleh Dia yuliana, BP/NIMKO 1001 305 001/S.VI.13.10.870. Program studi Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah telah memenuhi persyaratan ilmiah dan dapat disetujui untuk diajukan ke sidang munaqasyah/ujian akhir.
Solok, 16 April 2014 Pembimbing I
Pembimbing II
Abdul Hafiz, S.HI.,MA
Yusrial, S.HI.,MA
7
PENGESAHAN TIM PENGUJI Skripsi dengan judul ’’Analisis Konsep Kafa’ah Dalam Pernikahan Menurut Pemikiran Imam Syafi’i”, disusun oleh Dia yuliana, BP/NIMKO 1001 305 001/S.VI.13.10.870. Telah diuji dalam sidang munaqasyah/ujian akhir sekolah tinggi agama Islam Solok Nan Indah pada hari jumat 25 Mei 2014, dan dinyatakan telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mencapai gelar sarjana program strata satu (S.1) pada program studi Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah. Solok, 25 Mei 2014 Tim Penguji Ketua
Sekretaris
H. Hidayatullah,Lc., MA
Kori lili S.HUM Anggota
Abdul Hafiz, S.HI., MA
Yusrial, S.HI., MA
8
H. Hidayatullah,Lc., MA
M. Hidayat Ediz, S.HI., MA Mengetahui:
Ketua STAI-SNI
H. Hidayatullah,Lc., MA
KATA PENGANTAR Segala puji serta syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat dan karunianya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini dalam keadaan sehat wal’afiat. Salawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda nabi
Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan
seluruh pengikutnya. Penulis sadar sepenuhnya, bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa pertolongan Allah SWT. Dengan perantara makhluknya, oleh karena itu atas bantuan dan dorongan baik berupa moril dan materil kepada penulis, maka sebagai ucapan terima kasih yang sebanyak-banyaknya penulis aturkan kepada para pihak yang mana tanpa bantuan dan keterlibatan beliau, mustahil skripsi ini dapat terselesaikan dengan sempurna, yang terhormat beliau adalah : 1. Bapak Dalmius, S.Pd.I.,MA Selaku ketua STAI Solok Nan Indah 2. Bapak Drs. Zamrisman, M.Pd.,M.Si selaku Wakil Ketua STAI Solok Nan Indah, terimah kasih bapak telah mendo’akan dan memberikan semangat dalam penyelesaian skripsi ini. 3. Bapak Mushthafa, S.HI.,MA Selaku Ketua Prodi Al- ahwal As- Syakhiyyah 4. Bapak Abdul Hafiz, S.HI.,MA selaku pembimbing I yang sabar dan tekun memberikan pencerahan dalam kesulitan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini 5. Bapak Yusrial, S.HI.,MA selaku pembimbing II atas segala bimbingan, petunjuk dan pengarahan 6. Keluargaku : Papa (Alm. Hasbon S), mama (Septimis Sosialti) terima kasih berkat do’a, kasih sayang dan keiklasan beliau yang menjadi penyemangat 9
dalam setiap langkahku serta semangat dan dorongan dari kakakku Ahmad Mardiansyah dan adekku Handoko Saputra tersayang. Semoga Allah selalu melindungi, menyayangi dan menjadikan keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah. 7. Terima kasih kepada om Junaidi dan saudara-saudaraku yang di Jambi yang selalu mendoakan dapat kemudahan dalam penyelasaian skripsi ini 8. Buat teman-temanku yang di pesantren Leni, Wardatun Nabila, Rini Rahmayuli Fajri, Pita. Yang telah memberikanku semangat dan motivasi. 9. Semua teman-teman jurusan AHS angkatan 2010, terima kasih atas segala kebaikan dan minta ma’af atas segala kesalahan penulis selama bersama kalian, yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 10. Terima kasih buat tante dan omku yang ada di Solok yang selalu mendo’akanku Semoga segala apa yang telah diberikan kepada penyusun, merupakan amal kebaikan yang dapat memberikan manfa’at dan kemaslahatan baik di dunia dan akhirat.
Penyusun
Dia Yuliana Bp/NIMKO : 1001 305 001 S1.VI.13.10.870
10
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Islam memandang perkawinan sebagai suatu cita-cita yang baik yang tidak hanya mempersatukan seorang laki-laki dan seorang perempuan, tetapi ia merupakan suatu kontra sosial yang baik dalam rumah tangga. Perkawinan merupakan salah satu bagian terpenting dalam menciptakan keluarga yang sakinah mawadah warohmah yang diridhoi Allah SWT. Maka dalam memilih pasangan hidup Islam sangat menganjurkan segala sesuatunya berdasarkan norma-norma agama, agar pendamping hidup nantinya mempunyai akhlak yang terpuji. Hal ini dilakukan agar kedua calon tersebut kelak dalam mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga
dapat berjalan tentram dan
damai. Sehingga dapat tercapai keluarga yang harmonis. Banyak cara untuk mencapai tujuan tersebut, salah satunya adalah upaya mencari pasangan yang baik, upaya tersebut merupakan suatu kunci untuk mencari calon suami dan calon istri yang baik. 1
Berdasarkan hadist Nabi SAW. Riwayat Bukhori dan Abu Hurairah:
1
Abdul Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, ( Kencana Pranada Media Group, Jakarata : 2008 Cet. 3). h. 96.
11
: َو َﻋ ْﻦ أَﺑِﻲ ھُ َﺮﯾ َْﺮةَ رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﮫ َﻋ ِﻦ اﻟﻨﱠﺒِ ﱢﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻗَﺎ َل ْ َ ﻓ, َوﻟِ ِﺪﯾﻨِﮭَﺎ, َ َوﻟِ َﺠ َﻤﺎﻟِﮫ, َوﻟِ َﺤ َﺴﺒِﮭَﺎ, ﻟِ َﻤﺎﻟِﮭَﺎ: )ﺗُ ْﻨ َﻜ ُﺢ اَ ْﻟ َﻤﺮْ أَةُ ِﻷَرْ ﺑَ ٍﻊ ْﺎظﻔَﺮ ْ َﱢﯾﻦ ﺗ َِﺮﺑ ٌ َك( ُﻣﺘﱠﻔ ﻖ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َﻣ َﻊ ﺑَﻘِﯿﱠ ِﺔ اَﻟ ﱠﺴ ْﺒ َﻌ ِﺔ َ ﺖ ﯾَ َﺪا ِ ﺑِ َﺬا ِ ت اَﻟﺪ Artinya : Dari abi hurairah radiallahhuanhu nabi SAW. Berkata : Wanita itu dinikahi karena empat perkara:karna agamanya, kecantikannya, hartanya dan keturunannya. Maka carilah wanita yang paling baik agamanya, maka niscaya kamu akan beruntung. (H.R. Bukhori dan Abu Hurairoh).2
Hadist tersebut mengisyaratkan bahwa dalam memilih pasangan hidup kriterianya yang paling utama adalah agama dan akhlak, namun bila dihubungkan dengan tujuan perkawinan yakni tercapainya keluarga sakinah mawaddah warohmah, maka agama saja tidak cukup apalagi melihat realitas kenyataan bahwa tuntutan hidup umat manusia selalu berkembang. Dalam kehidupan bermasyarakat, antara satu dengan masyarakat lain saling membutuhkan, dan saling tolong menolong dan saling memberi jika seseorang kekurangan atau memerlukan bantuan. Sebagai umat Nabi Muhammad dianjurkan untuk membantunya. Bahwa tidak ada makhluk yang sempurna didunia ini, begitu juga dalam masalah rumah tangga sepasang suami istri pasti ada salah satu diantaranya kekurangan baik dari pihak suami
2
Al- Hafiz Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany, Buluqhlul maram min Adalatil Ahkam, (Mesir: Dar al-Akidah, 2003), h. 208.
12
atau dari pihak istri, masalah ini tidak bisa dipungkiri lagi, dan kalau pun harus maka suami maupun istri harus saling mengerti atau menutupi kekurangan yang dimiliki dari salah satunya. Apabila diantara suami atau istri terdapat aib maka masing-masing pasangan harus saling menyimpan aib tersebut, hanya mereka saja yang mengetahui tidak boleh orang lain mengetahui aib tersebut, karena Al-Quran mengambarkan bahwa istri adalah pakaian suami dan suami adalah pakaian istri, sebagaimana yang terkandung dalam ayat Al- Quran surat Al-baqarah 187 sebagai berikut:
ﻟَﮭ ﱠُﻦ
ٌھ ﱠُﻦ ِﻟﺒَﺎسٌ ﻟَ ُﻜ ْﻢ َوأَ ْﻧﺘُ ْﻢ ﻟِ َﺒﺎس
Artinya: Mereka pakaian bagi kamu dan kamu pakaian bagi mereka
Ayat ini mengambarkan bahwa antara laki-laki dan perempuan harus ada kerja sama yang bulat untuk memikul tanggung jawab dalam rumah tangga, agar kehidupan keluarga yang sakinah mawadah dan warohmah akan mudah dicapai, apabila pernikahan dibangun atas dasar keserasian (kafa’ah) antara suami maupun istri, dalam Islam konsep kafa’ah merupakan suatu yang sangat menarik untuk direalisasikan sesuai dengan hadist Nabi SAW :
13
ﺻﻠﱠﻰ ﱠ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ إِ َذا َ ﷲ َ َﺎل ﻗ َ ََﻋ ْﻦ أَﺑِﻲ َﺣﺎﺗِ ٍﻢ ْاﻟ ُﻤ َﺰﻧِ ﱢﻲ ﻗ ِ ﺎل َرﺳُﻮ ُل ﱠ ﺿ ْﻮ َن ِدﯾﻨَﮫُ َو ُﺧﻠُﻘَﮫُ ﻓَﺄَ ْﻧ ِﻜﺤُﻮهُ إِ ﱠﻻ ﺗَ ْﻔ َﻌﻠُﻮا ﺗَ ُﻜ ْﻦ ﻓِ ْﺘﻨَﺔٌ ﻓِﻲ َ َْﺟﺎ َء ُﻛ ْﻢ َﻣ ْﻦ ﺗَﺮ ُﻮل ﱠ ﺎل إِ َذا َﺟﺎ َء ُﻛ ْﻢ َﻣ ْﻦ َ ﷲِ َوإِ ْن َﻛ َ َﺎن ﻓِﯿ ِﮫ ﻗ َ ض َوﻓَ َﺴﺎ ٌد ﻗَﺎﻟُﻮا ﯾَﺎ َرﺳ ِ ْْاﻷَر َ ﺿ ْﻮ َن ِدﯾﻨَﮫُ َو ُﺧﻠُﻘَﮫُ ﻓَﺄَ ْﻧ ِﻜﺤُﻮهُ ﺛَ َﻼ (ت )راوه اﻟﺘﺮﻣﯿﺬي وأﺣﻤﺪ ٍ ث َﻣ ﱠﺮا َ ْﺗَﺮ Artinya: “ Dan dari Abi Hasim Al-Muzni ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Apabila datang kepadamu seorang laki-laki (untuk meminang) orang yang kamu ridhoi agama dan budi pekertinya, maka kawinkanlah dia, apabila tidak kamu lakukan, maka akan menimbulkan fitnah dan kerusakan di muka bumi. Mereka bertanya, “ Apakah meskipun.....” Rasulullah SAW menjawab, “ Apabila datang kepadamu orang yang engkau ridhoi agama dan budi pekertinya, maka nikahkanlah dia.” (Beliau mengucapkannya sabdanya sampai tiga kali).(HR at-Tirmidzi dan Ahmad)3
Hadist ini menjelaskan bahwasanya memang sangat dianjurkan untuk memilih dan memilah dalam masalah mencari pasangan hidup, untuk mencapai tujuan dalam membina rumah tangga yang harmonis. Maka dari penjelasan hadist ini dianjurkan pilihlah
orang
yang agama dan budi
pengertinya yang baik, maka anjuran hadist di atas nikahkanlah orang yang telah diridhoi agama dan budi pekertinya, dan apabila tidak dinikahi maka akan menimbulkan fitnah dan
kerusakan di muka bumi, Rasullulah
mengucapkan sabdanya hingga berulang-ulang, jadi hadist ini menjelaskan tidak penting harta, kecantikan dan kedudukan, menurut hadist ini cukup
3
Ahmad bin Aly bin Hajar Al-Asqalaniy, Fath Al-Bary Juz 10 (Bairut: Dar Al-Fikr,
1996.
14
agama dan budi pekertinya saja, itu sudah termasuk sekufu dalam perkawinannya, kalau sama beragama dan budi pekertinya baik, maka menikahlah dan apabila tidak nikah yang telah ridhoi itu, maka akan menimbulkan kerusakan dan fitnah di muka bumi ini. Dengan terlaksananya hadist tersebut maka akan tercapai keluarga yang sakinah mawadah
warohmah. Namun kalau di lihat untuk zaman
sekarang ini, materi sangat lah penting dimasukkan dalam konsep kafa’ah tetapi tidak lah menjadikan syarat dalam pernikahan, karena dilihat dari realita yang terjadi dilapangan yang menjadi rumah tangga itu tidak kokoh banyak diakibatakan oleh factor ekonomi, jika dari segi ekonomi belum kokoh sedikit kemungkinan rumah tangga untuk bahagia. Kalau agama dan budi pekerti saja tidak cukup untuk landasan berumah tangga yang bahagia, dan semuanya itu butuh keserasian dari agama sampai kemateri. Kalau agama dan budi pekerti saja yang menjadi keserasian, maka tidak akan terciptanya keluarga yang harmonis. Persoalan sekufu adalah satu perkara yang agak penting karena kalau ia tidak sekufu ia akan menyebabkan perceraian, karena tujuan perkawinan itu ialah mendapatkan ketenangan, keamanan, belaian kasih sayang . Tetapi apabila suami maupun istri memilih pasangan yang dia benci sudah tentu
15
kehidupannya tidak selesai dan kemungkinan akan berlaku pergeseran serta perceraian, jadi hakikat sekufu ini mempunyai peranan yang sangat besar dalam hubungan suami maupun istri. Perkawinan merupakan ikatan perjanjian dua insan untuk bersama selamanya dalam menempuh kehidupan berumah tangga, yang mengharapkan kekal sepanjang hayat, dan oleh karena itu sebaiknya kedua-duanya pasangan suami atau pun istri harus setaraf dalam banyak hal, supaya rumah tangga yang di harungi lebih mudah dilayari. Apabila pasangan suami dan istri tidak memiliki keserasian dalam hidup berumah tangga, sehingga akan sulit untuk menemukan rumah tangga yang harmonis, maka dengan memilih wanita yang sekufu atau serasi akan bisa mewujudkan rumah tangga yang sakinah mawaddah warohmah. Dengan konsep kafa’ah akan bisa membina masyarakat dalam menempuh hidup berumahtangga yang harmonis. Sebagian jumhur ulama mengatakan sekufu adalah syarat untuk meneruskan perkawinan, bukan syarat sah perkawinan tetapi tidak dinafikan bahwa sekufu penting dalam perkawinan, memang didalam ayat Al-Quran begitu terang menjelaskan tentang sekufu ini tidak ada, namun yang ada ialah ayat hampir dalam masalah sekufu ini, yaitu dalam surat An-Nur ayat 26:
16
Artinya:Perempuan-perempuan yang keji, untuk laki-laki yang keji untuk perempuan yang keji( pula),sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik(pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (surga).QS.surat An-Nur: 264
Kafa’ah adalah salah satu konsep Islam sebagai penuntut untuk memilih calon pasangan hidup, dengan menggunakan konsep ini umat Islam dapat memilih calon pasangan hidupnya sesuai dengan keinginannya sampai akhir hayat. Dan perlu digaris bawahi dalam hal ini, kafa’ah bukanlah syarat sahnya sebuah pernikahan, akan tetapi kafa’ah menjadi pertimbangan bagi seseorang ketika dia hendak melangsungkan pernikahan karena yang menentukan sahnya pernikahan adalah terpenuhinya syarat rukun nikah. Kafa’ah dalam pernikahan berarti sama, sebanding atau sederajat. Sebagai unsur yang harus diperhitungkan, begitu juga dengan kafa’ah dalam pernikahan sangat selaras dengan tujuan pernikahan yang akan dijalaninya. Yaitu suatu kehidupan suami istri yang sakinah dan bahagia.
4
Departemen agama al-qurqn dan terjemahan,cv.diponegoro.bandung:2006.h.281
17
Kafa’ah adalah salah satu kunci terealisasinya sebuah keluarga yang bahagia, sehingga ketika sebuah langkah diawali dengan sebuah kecocokan maka segala badai rumah tangga akan dapat dihadapinya dengan penuh lapang dada. Telah diketahui bahwa tujuan suatu pernikahan adalah membentuk keluarga yang bahagia oleh karena itu pernikahan memerlukan terpenuhinya faktor
kejiwaan antara kedua belah pihak. Tidak hanya itu saja tetapi
menyatukan dua keluarga yang berbeda dan sebelumnya tidak saling mengenal. Maka harus diperhatikan pula faktor kekufuan antara kedua belah pihak supaya tidak terjadi fitnah dan kecemburuan sosial. Para ulama memandang penting adanya kafa’ah hanya pada laki-laki dan tidak pada wanita, selain itu para ulama juga berbeda pendapat mengenai faktor apa saja yang dijadikan standar kekufuan5 Salah satu imam yang menetapkan konsep kafa’ah adalah imam Syafi’i, imam Syafi’i dalam menetapkan standar kafa’ah membagi menjadi empat unsur : 1. Kebangsaan
5
Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab. Jakarta : 2013. h. 349.
18
Yang dimaksud dengan unsur kafa’ah tentang kebangsaan, contohnya : perempuan bangsa Arab, baik dari suku Quraisy atau dari suku bukan Quraisy, tidak sejodoh (sekufu) dengan laki-laki Indonesia, India, meskipun ibunya dari bangsa Arab. 2.
Keagamaan Yang dimaksud dengan keagamaan adalah : Sepatutnya perempuan sejodoh (sekufu) dengan laki-laki menjaga kehormatan dan kesuciannya, contohnya : perempuam yang baik sejodoh (sekufu) dengan laki-laki yang baik atau perempuan yang fasik sejodoh dengan laki-laki yang fasik.
3. Kemerdekaan Yang dimaksud disini adalah : Perempuan merdeka hanya sejodoh dengan laki-laki merdeka dan tiada sejodoh dengan laki-laki budak. 4. Pekerjaan. Yang dimaksud denga unsur kafa’ah dalam pekerjaan adalah : Laki-laki yang pekerjaannya hina, tiada sekufu dengan perempuan pekerjaannya atau pekerjaan
yang
bapaknya lebih mulia, laki-laki yang
mempunyai pekerjaan tiada sekufu dengan anak saudagar dan kalau pun
19
ada kekayaan, maka tiada termasuk dalam sekufu maka laki-laki miskin sekufu dengan perempuan kaya6.
Unsur kafa’ah ditetapkan karena untuk menjawab persoalan-persoalan dalam masyarakat dan menghendaki dan ditetapkan beberapa kriteria dalam menentukan pasangan hidup, demi terciptanya keutuhan dan kedamaian dalam kehidupan berkeluarga. Persoalan mengenai kafa’ah atau keseimbangan dalam perkawinan itu tidak diatur dalam Al-Quran maupun sunnah Rasul, namun demikian karena urusan kafa’ah ini sangat penting untuk mewujudkan suatu rumah tangga yang harmonis dan tentram, sesuai dengan tujuan perkawinan itu sendiri, maka para fuqoha banyak berijtihad dalam persoalan ini. Sehingga dapat dimaklumi kalau ada perbedaan pendapat diantara fuqoha. Dalam suatu perkawinan yang dalam pelaksanaannya wali mempelai perempuan tidak meminta izin dulu dari wanita yang bersangkutan, maka apabila ternyata menurut perasaan mempelai wanita, mempelai laki-laki tidak
6
Mahmud yunus, hukum perkawinan dalam , menurut ,hanafi, maliki dan hambali, PT. Hidakarya agung. Jakarta : 1956. Cet. 10.h. 75
20
kufu (seimbang) maka wanita tersebut dapat minta kepada hakim untuk dibatalkan nikahnya7 Alasan penulis memilih konsep kafa’ah dalam pernikahan menurut pemikiran imam Syafi’i ini, karena pendapat imam Syafi’i di Indonesia dalam menetapkan hukum banyak merujuk
pada pendapat imam Syafi’i,
berdasarkan paparan penulis diatas maka penulis tertarik untuk mengetahui dan menganalisa konsep kafa’ah imam Syafi’i dalam pernikahan, karena harta dan kelapangan hidup itu tidak termasuk bagian dari konsep kafa’ah, karena imam Syafi’i memaknai kekayaan itu dengan mata pencarian bukan banyaknya harta kekayaan tetapi imam Syafi’i memaknainya dengan mata pencarian atau pendapatan. Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ”Analisis Konsep Kafa’ah Dalam Pernikahan Menurut Pemikiran Imam Syafi’I”. B. Identifikasi Masalah
Dalam latar belakang masalah diatas penulis dapat mengidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut : 1. Harta tidak termasuk konsep kafa’ah dalam pernikahan menurut pendapat imam Syafi’i 7
Imam asy-, Al-umm ,PT victory agency.kuala lumpur: 1989. Cet. ke 3. hlm. 155
21
2.
Mayoritas ulama berpendapat
bahwa harta termasuk dalam konsep
kafa’ah. 3. Adanya kekhawatiran terhadap hubungan rumah tangga apabila tidak sekufu. C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah: Bagaimana analisis konsep kafa’ah dalam pernikahan menurut pemikiran imam syafi’i
D. Batasan Masalah Dari latar belakang masalah yang telah penulis paparkan diatas, maka penulis memberi batasan terhadap penelitian ini dengan hanya membahas : 1. Pendapat imam Syafi’i tentang kafa’ah 2. Analisis Konsep kafa’ah dalam pernikahan menurut imam Syafi’i
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan penelitian ini adalah:
22
1. Untuk mengetahui pendapat imam Syafi’i tentang konsep kafa’ah 2. Untuk menganalisis konsep kafa’ah dalam pernikahan menurut imam Syafi’i.
Adapun Manfaat Penelitian ini adalah : 1. Untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan mengenai permasalahan kafa’ah dalam sebuah pernikahan. 2. Untuk menjembatani permasalahan sosial yang terkait dengan kafa’ah ini dan dapat berbaur dengan masyarakat Indonesia yang berbeda-beda tetapi tetap berada dalam satu masyarakat yang Islam . 3. Untuk mengetahui dan menambah intelektual penulis terhadap pendapatpendapat imam Syafi’i tentang konsep kafa’ah.
F. Penjelasan Judul
Untuk menghindari kesalahan pemahaman judul dalam penelitian ini, maka perlu dijelaskan beberapa hal sebagai berikut :
23
Analisis
: Penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan dan untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya sebabmusabab, duduk perkaranya)8
Kafa’ah
: Seimbang, serasi atau sebanding, seimbang dimaksud disini adalah keserasian calon suami atau calon istri dalam suatu pernikahan.9
Pernikahan : Ikatan lahir batin antara seoarang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.10
G. Kajian Pustaka
Konsep kafa’ah dalam perkawinan sebenarnya telah menjadi wacana yang aktual untuk dikaji, Aktual karena masalah ini terus menjadi polemik para fuqaha. Kajian mengenai konsep kafa’ah dalam perkawinan sudah banyak dilakukan, baik itu berbentuk skripsi, buku maupun kajian dalam penelitian ilmiah lainnya. Sejauh pengetahuan penyusun, belum ada satu karya ilmiah pun yang secara khusus membahas tentang konsep kafa’ah dalam perkawinan 8
http://www.artikata.com/arti-318865-analisis.html Abdul Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, ( Kencana Pranada Media Group, Jakarata : 2008 Cet. 3). h. 96. 10 Ibid,, h. 96 9
24
menurut pemikiran imam Syafi’i. Tetapi, penyusun akan menyebutkan juga disini beberapa karya yang telah diteliti. Dalam bentuk skripsi karya dari Musafak (2010) dengan judul : konsep kafa’ah dalam pernikahan (studi pemikiran mazhab Hanafi) dalam skripsi ini, penyusun berusaha menganalisa pemikiran mazhab Hanafi dengan mengunakan pendekatan normatif dan dalam penelitian ini ditemukan bahwa pemicu utama dari penetapan konsep kafa’ah mazhab Hanafi adalah kompleksitas dan budaya masyarakat kufah ketika itu, yang diketahui dari sejarah penetapannya kemudian kriteria yang semula ada lima, setelah diteliti dengan menggunakan pendekatan urf dan kemaslahatan, maka yang masih relevan dalam masyarakat Indonesia ada dua kriteria yaitu : Agama dan kekayaan juga perlu adanya kesetaraan dalam tingkat yang lain, demi terciptanya keluarga yang sakinah dalam bingkai mawaddah dan rahmah11. . Kajian kafa’ah dengan judul : konsep kafa’ah dalam hukum Islam studi pemikiran As- Sayyid Sabiq, dalam kitab Lathifatun Ni’mah
Fiqih Sunnah. Oleh:
(2009) skripsi ini mengkaji mengenai pemikiran As-
sayyid sabiq dalam konsep kafa’ah hukum Islam yang dimaksud kafa’ah oleh As-Sayyid Sabiq disini adalah laki-laki yang sebanding dengan calon istrinya dalam tingkat social dan sederajat dalam akhlak serta ketaqwaannya kepada Allah SWT.12 Skripsi oleh : Sudarsono (2010) dengan judul: Konsep Kafa’ah
11 Musafak, konsep kafa’ah dalam pernikahan ( studi pemikiran mazhab hanafi), skripsi tidak diterbitkan, UIN sunan kalijaga ( 2010 ). 12 Lathifatun Ni’mah hu, konsep kafa’ah dalam kum ( studi pemikiran as-sayyid sabiq,dalam kitab fiqih sunah),skripsi tidak diterbitkan, UIN sunan kalijaga, ( 2009).
25
Dalam Perkawinan Menurut An-Nawawi dan Wahbah Az-Zuhaili, dan penyusun berusaha menganalisis dua pendapat ulama tersebut tentang konsep kafa’ah dengan studi komperatif konsep kafa’ah menurut An-Nawawi dan Az-Zuhaili tidak dijumpai perbedaan yang mendasar, keduanya sama-sama berasumsi bahwa kafa’ah tidak termasuk syarat syahnya perkawinan, sehingga perdebatan tentang unsur-unsur kafa’ah juga tidak mengalami perkembangan yang dinamis, karena keduanya sama-sama merujuk atau berpegang pada pendapat para ulama13. Skripsi dari: Putri Paramadina (2010) dengan judul : Kafa’ah Tradisi Perkawinan Masyarakat Arab Al-Habsyi, mengkaji kafa’ah ditradisi masyarakat Arab, menunjukkan bahwa kafa’ah yang terjadi pada masyarakat Arab Al-Habsyi adalah suatu prinsip yang sudah dipegang sejak leluhur mereka, tinjauan hukum Islam implikasi yang terjadi dilapangan bahwa apabila ada yang melanggar prinsip kafa’ah tersebut, maka tidak secara langsung mendapatkansaksi moral dari keluarga sendiri, masyarakat Arab maupun non Arab yang akan menuju jenjang perkawinan untuk lebih berhatihati dalam memilih calon pasangan hidup, agar dalam menghadapi suatu perbedaan dapat diatasi dengan baik.14 Dari uraian beberapa kajian pustaka diatas, kajian yang mengkhususkan pada pemikiran imam Syafi”i tentang kafa’ah belum penulis temukan, oleh karena itu penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini tidak 13
Sudarsono, konsep kafa’ah dalam perkawinan menurut an-nawawi dan wahbah azzuhaili, skripsi tidak diterbitkan, UIN sunan kalijaga, ( 2010). 14 Putri paramadina, kafa’ah tradisi perkawinan masyarakat arab al-habsyi, skripsi tidak diterbitkan, IAIN walisongo,(2010).
26
hanya mengkhususkan pada pemikiran imam Syafi’i
tentang kafa’ah akan
tetapi juga terdapat para imam dan ulama yang lain mengenai kafa’ah secara umum. H. Sistematika Penulisan Sebagai upaya menjaga keutuhan pembahasan dalam skripsi ini agar terarah, penyusun akan menggunakan sisitematika sebagai berikut: Bab Pertama, terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, penjelasan judul, telaah pustaka, sistematika penulisan. Bab Kedua, dalam penulisan skripsi ini berisikan tentang penulisan landasan teoritis yang membahas tentang teori teori yang mendukung penelitian ini. Landasan teoritis ini terdiri dari teori-teori tentang kafa’ah yang meliputi : Definisi kafa’ah, Landasan hukum kafa’ah, ukuran kafa’ah, Unsur
kafa’ah, Hak atas kafa’ah, setelah teori tentang kafa’ah
tersebut dilanjutkan dengan teori tentang pernikahan yang meliputi : Definisi pernikahan,
Hukum
pernikahan,
Tujuan
penikahan,
Prinsip
prinsip
pernikahan, Hikmah pernikahan. Bab Ketiga, berisi tentang metodologi penelitian yakni metode metode yang mendukung penulisan penelitian ini. Bab III ini terdiri dari jenis penelitian, waktu penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data , analisis data. Bab Empat, dalam pembahasan skripsi ini membahas tentang hasil penelitian. Dan dalam bab ini meliputi : biografis imam Syafi’i dan latar
27
belakang pendidikannya, konsep kafa’ah menurut imam Syafi’i,
analisis
konsep kafa’ah. Bab
Lima,
sebagai
bab
yang terakahir
ini,
yang akan
menyimpulkan dari seluruh pembahasan diatas, dan memberikan saran-saran yang bisa dibangun untuk perbaikan skripsi yang disusun.
28
BAB II LANDASAN TEORI A. Kafa’ah 1. Pengertian Kafa’ah Kafa’ah atau kufu menurut bahasa artinya setaraf, serasi, serupa, sederajat atau seimbang. Yang dimaksud dengan kafa’ah atau sekufu dalam perkawinan adalah keserasian pasangan suami atau istri. dan menurut istilah hukum Islam yaitu keseimbangan antara calon suami dan calon istri sehingga masing-masing
calon
tidak
merasa
keberatan
untuk
melangsungkan
perkawinan. Kafa’ah juga berarti kesepadanan antara calon suami dan calon istri setidak-tidaknya dalam tiga perkara yaitu : Agama sama-sama Islam, harta sama-sama berharta, dan kedudukan dalam masyarakat sama-sama merdeka.15 Sementara Amir Syarifuddin dalam bukunya hukum perkawinan Islam di Indonesia mendefinisikan : Kafa’ah berasal dari kata kufu atau kafa’ah yang didalam perkawinan mengandung arti seseorang perempuan harus sama atau setara dengan laki-laki. Sifat kafa’ah itu mengandung arti sifat yang terdapat pada perempuan yang ada dalam perkawinaan, sifat tersebut dipertimbangkan harus ada pada laki-laki yang mengawininya16. Sedangkan menurut Abdul Rahman Ghozali mendefinisikan kafa’ah atau sekufu secara bahasa mempunyai arti setara,seimbang atau keserasian atau kesesuaian, serupa, sederajat atau sebanding.
15
136.
Abu Zahrah Muhammad, al- Ahwal al-Syakhshiyyah. (Beirut dar Al-Fikr Al-Arabi.) h.
16
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia. (Jakarta: kencana pernada media group, 2006, cet. 1. h 140
29
Yang dimaksud kafa’ah dalam perkawinan ialah seimbang atau serasi antara calon istri atau suami, sehingga masing-masing calon tidak merasa berat melangsungkan perkawinan, atau laki-laki sebanding dengan calon istri, sama dalam hal kedudukan, sebanding tingkat sosial derajat dalam akhlak.17 Masalah kufu ini diperhatikan terutama supaya calon suami jangan lebih rendah dari calon istrinya. Ini berarti bila suami lebih kaya daripada istri itu lebih baik, sebab suami itulah yang memimpin rumah tangga mereka. Yang tidak disukai ialah jika suami lebih miskin dari istri hingga nafkah yang diberikan suaminya tidak mencukupinnya. Fiqih Islam menyimpulkan bahwa sang suami hendaklah sanggup memberikan makan dan minum pada istri seperti istrinya selama mendapatkannya dari orang tuanya. Kata lain apabila seorang ayah mau menikahkan putrinya maka seorang penghulu tidak perlu mempersoalkan kufunya terkecuali calon suami itu bukan Islam.
Selain itu kafa’ah juga merupakan faktor yang dapat mendorong
terciptanya kebahagiaan suami dan istri dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan dan kegoncangan rumah tangga. Kafa’ah dianjurkan dalam Islam tetapi kafa’ah tidak menentukan sah tidaknya perkawinan. Kafa’ah adalah hak bagi wanita dan walinya karena suatu perkawinan yang tidak seimbang akan menimbulkan problema berkelanjutan, dan besar kemungkinan menyebabkan terjadinya perceraian, oleh karena itu boleh dibatalkan.
17
Abdul Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, (Kencana Pranada Media Group, Jakarata : 2008 Cet. 3), h. 97.
30
Dari beberapa definisi diatas yang dikemukakan oleh ulama, penulis menyimpulkan bahwa kafa’ah itu ialah dua orang yang berlawan jenis sebelum melangsungkan
pernikahan
harus
melihat
adanya
keserasian
atau
kesebandingan diantara keduanya dapat dilihat dari berbagai unsur kesamaan dari akhlaknya, seperti akhlak dalam ber ibadah dan dilihat juga dari status sosialnya. Adapun definisi kafa’ah diatas memang diperlukan, namun menurut penulis adanya kafa’ah dalam perkawinan untuk menghindari terjadinya krisis dalam rumahtangga, dan dengan adanya kafa’ah atau keserasian dalam perkawinan
diharapkan
calon
mampu
mendapatkan
keserasian
dan
keharmonisan. Dan berdasarkan konsep kafa’ah seorang calon mempelai berhak menentukan pasangan hidupnya dengan mempertimbangankan segi agama, keturunan, harta, pekerjaan dan yang lainnya, supaya dalam kehidupan berumah tangga tidak didapatkan ketimpangan atau ketidak cocokan. Dalam buku psikologi adalah: apabila seseorang yang mendapatkan pasangan yang sesuai dengan keinginannya akan sangat membantu dalam proses sosialisasi menuju tercapainya keluarga yang bahagia, dan dalam mencari jodoh tidak bisa dilakukan asal-asalan, dan soal memilih jodoh itu merupakan setengah dari suksesnya perkawinan.
2. Landasan Hukum Kafa’ah Islam telah memberikan seperangkat pedoman yang membantu bagaimana perkawinan menjadi sakinah, mawaddah, dan warohmah, berbagai
31
daya tarik yang dapat mempengaruhi orang dalam menjatuhkan pilihan mereka, dan bahkan mungkin bisa membutakan mereka dari akibat-akibat pernikahan yang sebenarnya, tidak sulit untuk diantisipasi. Sebab seseorang yang tampaknya rupawan belum tentu menjadi pasangan yang cocok dan serasi bagi kita.berdasarkan firman Allah dalam surat An-Nur : 26.
Artinya:Perempuan-perempuan yang keji, untuk laki-laki yang keji untuk perempuan yang keji( pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik(pula). mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (surge). QS.Surat An-Nur: 2618 3. Unsur Kafa’ah Kafa’ah ditetapkan oleh mazhab Syafi’i disebabkan karena untuk menjawab persoalan dalam masyarakat dan menghendaki beberapa kriteria dalam menentukan pasangan hidup demi terciptanya keutuhan dan kedamaian dalam kehidupan berumahtangga.19 Namun yang menetapkan unsur kafa’ah bukan saja imam Syafi’i, imam - iman yang lain juga membagi beberapa unsur kafa’ah. 1) Imam Hanafi membagi unsur kafa’ah menjadi enam unsur : a) Kebangsaan
18 19
Departemen Agama, Al-Qurqn dan Terjemahan,Cv.Diponegoro.Bandung: 2006. h.281 Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, PT. Alma’rif. Bandung : 1981. Cet. 1. h. 50.
32
Yang dimaksud dengan kebangsaan menurut mazhab Hanafi adalah : contohnya : perempuan bangsa Arab, baik dari suku Quraisy atau dari suku bukan Quraisy, tidak sejodoh (sekufu) dengan laki-laki Indonesia, India, meskipun ibunya dari bangsa Arab, jadi imam Hanafi menetapkan unsur kafa’ah tentang kebangsaan, imam Hanafi menetapkannya hampir sama dengan imam Syafi’i. b) Keislaman Yang dimaksud dengan keislaman menurut imam Hanafi adalah : laki-laki muslim dan bapaknya kafir tidak sekufu dengan perempuan muslim dan bapaknya muslim, dan laki-laki budak yang sudah dimerdekakan tidak sekufu dengan perempuan yang merdeka sejak lahir, karena menurut imam Hanafi kemuliaan yang dilihat adalah kemulian kebangsaan dan kekayaan. c) Keagamaan Yang dimaksud dengan keagamaan menurut imam Hanafi adalah: perempuan yang shalehah dan bapaknya fasik, lalu dia menikah dengan laki-laki fasik maka pernikahanya itu sah dan bapaknya tidak berhak memfasakhkan pernikahan karena dia sama-sama fasik dengan laki-laki tersebut.
33
d) Pekerjaan Yang dimaksud dengan pekerjaan menurut imam Hanafi adalah : lakilaki yang tukang kebun tidak sekufu dengan anak saudagar, dan sebaliknya perempuan yang mempunyai perusahan tidak sekufu dengan laki-laki anak hakim. e) Kekayaan Yang dimaksud dengan kekayaan menurut imam Hanafi adalah lakilaki miskin tidak sekufu dengan perempuan kaya. f) Merdeka Yang dimaksud dengan kemerdekaan menurut imam Hanafi adalah : laki-laki yang merdeka tidak sekufu dengan perempuan budak. 2) Imam Maliki membagi unsur kafa’ah menjadi dua unsur yang diantaranya: a) Keagamaan Maksudnya adalah : perempuan yang shalehah tidak sekufu dengan laki laki fasik. b) Kejahteraan dari cacat Yang dimaksud adalah : perempuan yang sejahtera tidak sekufu dengan laki-laki cacat, adapun kekayaan, kebangsaan, pekerjaan dan
34
kemerdekaan, maka semuanya itu tidak diperhitungkan dalam persoalan 3) Imam Hambali membagi unsur kafa’ah menjadi empat unsur: a) Keagamaan Yang dimaksud dengan keagamaan adalah: sepatutnya perempuan sejodoh (sekufu) dengan laki-laki tentang menjaga kehormatan dan kesuciannya contohnya : Perempuam yang baik sejodoh (sekufu) dengan laki-laki yang baik atau perempuan yang fasik sejodoh dengan laki-laki yang fasik. b) Kemerdekaan Yang dimaksud disini adalah : perempuan merdeka hanya sejodoh dengan laki-laki merdeka dan tiada sejodoh dengan laki-laki budak. c) Dan perusahaan Yang dimaksud denga unsur kafa’ah dalam perusahaan adalah : lakilaki yang perusahaannya hina, tiada sejodoh dengan perempuan yang perusahaannya atau perusahaan bapaknya lebih mulia, laki-laki yang mempunyai perusahaan tiada sejodoh dengan anak saudagar dan
35
kalau pun ada kekayaan, maka tiada termasuk dalam perjodohan (sekufu) maka laki-laki miskin sejodoh dengan perempuan kaya. d) Kekayaan Yang dimaksud dengan kekeyaan dalam unsur kafa’ah Hambali adalah: menurut hambali laki-laki miskin tidak sekufu dengan perempuan yang kaya, mazhab Hambali menetapkan unsur kafa’ah sama dengan imam Syafi’i namun hanya satu perkara yang berbeda yaitu tentang kekayaan. 4) Imam Syafi’i membagi unsur kafa’ah menjadi empat unsur yaitu: a) Kebangsaan Yang dimaksud dengan unsur kafa’ah tentang kebangsaan, contohnya : perempuan bangsa arab, baik dari suku Quraisy atau dari suku bukan Quraisy, tidak sejodoh (sekufu) dengan laki-laki Indonesia, India, meskipun ibunya dari bangsa arab.
b) Keagamaan Yang dimaksud dengan keagamaan adalah: sepatutnya perempuan sejodoh (sekufu) dengan laki-laki tentang menjaga kehormatan dan
36
kesuciannya, contohnya : perempuan yang baik sejodoh (sekufu) dengan laki-laki yang baik
atau perempuan yang fasik sejodoh
dengan laki-laki yang fasik. c) Kemerdekaan Yang dimaksud disini adalah : perempuan merdeka hanya sejodoh dengan laki-laki merdeka dan tiada sejodoh dengan laki-laki budak. d) Dan perusahaan Yang dimaksud denga unsur kafa’ah dalam perusahaan adalah : lakilaki yang perusahaannya hina, tiada sejodoh dengan perempuan yang perusahaannya atau perusahaan bapaknya lebih mulia, laki-laki yang mempunyai perusahaan tiada sejodoh dengan anak saudagar dan kalaupun ada kekayaan, maka tiada termasuk dalam perjodohan (sekufu) maka laki-laki miskin sejodoh dengan perempuan kaya20 5) Imam Ja’fari memandang kafa’ah adalah : Mazhab Ja’fari tidak memandang keharusan adanya kafa’ah kecuali dalam hal agama, berdasar hadis Nabi Saw berikut ini :
20
Mahmud yunus, hukum perkawinan dalam islam, menurut mazhab syafi’I, hanafi, maliki dan hambali.PT,hidakarya agung, Jakarta: 1956, cet.10. h. 74
37
“Apabila datang kepadamu orang yang bisa kamu terima agama dan akhlaknya (untuk mengawini anak-anak perempuanmu), maka kawinkanlah dia. Sebab, kalau hal itu tidak kalian lakukan, niscaya akan menjadi fitnah di muka bumi dan menjadi kerusakan yang berat.”
Bagaimanapun juga, keharusan adanya kafa’ah dalam perkawinan tentulah juga
tidak sesuai dengan nash Al-Qur’an yang berbunyi.
“Sesungguhnya yang paling mulia di antaramu di sisi Allah adalah yang paling takwa.” (QS. Al-Hujuraat : 13) dan dengan prinsip Islam yang berbunyi, “Tidak ada kelebihan sedikitpun bagi orang Arab atas orang Ajam (non Arab) kecuali dalam hal takwa.” Juga tidak sejalan dengan sunnah Rasul SAW. ketika beliau memerintahkan Fathimah binti Qais untuk menikah dengan Zaid bin Usamah, dan menyuruh Bani Bayadhah untuk mengawinkan Abu Hind dengan salah seorang anak gadis mereka, padahal Abu Hind adalah seorang pembuat tali kekang kuda. Setelah melihat berbagai pandangan dari para ulama mazhab fiqih tersebut di atas, jika kita akan mengikuti salah satu mazhab fiqih, apakah itu mazhab Syafi’i, Hanafi, Hambali, atau Maliki, di sini masalah kafa’ah diperlukan dalam proses pernikahan. Tentunya di sini masalah kafa’ah dalam perkara apa saja, tergantung dari ketentuan yang telah digariskan oleh salah satu mazhab fiqih tersebut. Kemudian kalau kita mengikuti mazhab Ja'fari, di sini masalah kafa'ah tidak dipersyaratkan. Mazhab Ja’fari tidak memandang keharusan adanya kafa’ah kecuali dalam hal agama. 4. Hak Atas Kafa’ah
38
Kebanyakan ahli fiqih berpendapat bahwa kafa’ah adalah hak bagi perempuan dan walinya, jadi seorang wali tidak boleh mengawinkan perempuan dengan laki-laki yang tidak sekufu dengannya kecuali dengan redhonya dan redho segenap walinya. Sebab mengawinkan perempuan dengan laki-laki yang tidak kufu berarti memberikan aib kepada keluarganya, karena itulah hukumnya tidak boleh kecuali para wali redho, jika para wali dan perempuannya redho maka ia boleh dikawinkan, sebab para wali berhak menghalangi kawinya perempuan dengan laki-laki yang tidak sekufu, jadi kalau mereka semua sudah setuju maka hilanglah halangannya. Golongan Syafi’i berkata wali bagi perempuan adalah orang yang dapat menjadi walinya dalam urusan harta.21 5. Waktu Mengatur Kafa’ah Kafa’ah diukur ketika berlangsungnya aqad nikah. Jika selesai akad nikah terjadi kekurangan-kekurangan, maka hal itu tidaklah menggangu dan tidak dapat pula membatalkan apa yang sudah terjadiitu sedikitpun, serta tidak mempengaruhi hukum aqad nikahnya. Karena syarat-syarat perkawinan hanya diukur ketika berlakunya aqad nikah. Jika pada waktu berlakunya aqad nikah, suami pekerjaannya mulia dan mampu member nafkah istrinya atau orang yang sholeh,
kemudian
dibelakaang
hari
terjadi
perubahan,
umpamanya
pekerjaannya kasar atau tidak mampu lagi memberi nafkah atau setelah kawin berbuat durhaka kepada Allah, maka aqad nikahnya tetap sah seperti sebelumnya. 21
Ibid, h. 51.
39
6. Ukuran Kafa’ah Segolongan ulama berpendapat bahwa soal kufa’ah perlu diperhatikan, tetapi yang menjadi ukuran kufu ialah sikap hidup yang lurus dan sopan, bukan dengan ukuran keturunan pekerjaan, kekayaan dan lain sebagainya. Jadi seorang laki-laki yang sholeh walaupun keturunannya rendah berhak untuk kawin dengan wanita yang berderajat tinggi. Laki-laki yang mempunyai kebesaran apapun berhak kawin dengan wanita yang mempunyai kebesaran dan kemasyuran. Laki-laki fakir berhak kawin dengan wanita yang kaya-raya, dengan syarat bahwa pihak laki-lakinya adalah seorang muslim yang menjauhkan dirinya dari minta-minta dan tak seorangpun walinya yang menghalangi atau yang menuntut pembatalan. Jika laki-laki yang tak sama derajatnya itu dapat kawin dengan perempuan tadi dan walinya yang mengakadkan serta pihak perempuannya rela, tetapi kalau lelakinya bukan dari golongan orang yang berbudi luhur dan jujur dalam hidupnya dia tidak kufu’ bagi perempuan yang sholeh. Bagi perempuan yang sholeh jika dikawinkan oleh bapaknya dengan laki-laki yang fasik, kalau perempuannya masih gadis dan dipaksa oleh orang tuanya, maka ia berhak untuk menuntut pembatalan.22 7. Hikmah Kafa’ah23 Berikut hikmah kafa’ah dalam pernikahan yang di antaranya
adalah
sebagai berikut :
22 23
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, Op.cit., h, 37. Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, 2007. Fiqh Madzhab Syafi’i, Pustaka Setia: Bandung.
h. 58
40
a. Kafa’ah merupakan wujud keadilan dan konsep kesetaraan yang ditawarkan Islam dalam pernikahan. Islam telah memberikan hak thalaq kepada pihak laki-laki secara mutlak. Namun oleh sebagian laki-laki yang kurang bertanggung jawab, hak thalaq yang dimilikinya dieksploitir dan disalahgunakan sedemikian rupa untuk berbuat seenaknya terhadap perempuan. Sebagai solusi untuk mengantisipasi hal tersebut, jauh sebelum proses pernikahan berjalan, Islam telah memberikan hak kafa’ah terhadap perempuan. Hal ini dimaksudkan agar pihak perempuan bisa berusaha seselektif mungkin dalam memilih calon suaminya Target paling minimal adalah, perempuan bisa memilih calon suami yang benarbenar paham akan konsep thalaq, dan bertanggungjawab atas kepemilikan hak thalaq yang ada di tangannya.
b. Dalam Islam, suami memiliki fungsi sebagai imam dalam rumah tangga dan perempuan sebagai makmumnya. Konsekuensi dari relasi imam dan makmum ini sangat menuntut kesadaran keta’atan dan kepatuhan dari pihak perempuan terhadap suaminya. Hal ini hanya akan berjalan normal dan wajar apabila sang suami berada satu level di atas istrinya, atau sekurang-kurangnya sejajar. Seorang istri bisa saja tidak kehilangan totalitas ketaatan kepada suaminya, meski (secara pendidikan dan kekayaan misalnya) dia lebih tinggi dari suaminya. 41
c. Naik atau turunnya derajat seorang istri, sangat ditentukan oleh derajat suaminya. Misalnya, Seorang perempuan ‘biasa’, akan terangkat derajatnya ketika dinikahi oleh seorang laki-laki yang memiliki status sosial yang tinggi, pendidikan yang mapan, dan derajat keagamaan yang lebih. Sebaliknya, citra negatif suami akan menjadi kredit kurang bagi nama, status sosial, dan kehidupan keagamaan seorang istri. 8. Hal-hal Yang Dianggap Jadi Ukuran Kufa’ah Sebagai Berikut : A. Keturunan Orang Arab adalah kufu antara satu dengan lainnya, begitu pula halnya dengan orang Quraisy sesama Quraisy lainnya. Karena itu orang yang bukan Arab tidak sekufu’ dengan perempuan Arab. Orang Arab tetapi bukan dari golongan Quraisy, tidak sekufu’ dengan perempuan Quraisy, alasannya adalah sebagai berikut :
1) Riwayat Hakim dari Ibnu Umar bahwa Rasullullah Saw. Bersabda
ﱠ ﻌﻀ ِﮭﻢ ِ َ ًاَﻟ َﻌﺮبُ اﻛﻔﱠﺎءﺑ-ان رﺳﻮ ل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ َﻋﻠَﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠﻢ ﻗَﺎل ﻌﺾ ﻗﺒﯿﻠ ٍﺔ ﻟِﻘَﺒﯿ ٍﻞ وﺣﯿﱟﻰ ﻟﺤ ﱟﻲ َو َر ُﺟ ٍﻞ ﻟﺮ ُﺟ ٍﻞ اﻻﱠﺣﺎَءﻛﺎًاَوﺣﺠّﺎ ًﻣﺎ ِ َﻟِﺒ Artinya : Para orang arab satu dengan lainnya sekufu’.Kabilah satu kufu’ dengan lainnya, kelompok yang satu kufu dengan lainnya, laki laki yang satu sekufu dengan lainnya, kecuali tukang bekam.24 24
Al- Hafiz Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany, Buluqhlul Maram Min Adalatil Ahkam, (Mesir: Dar Al- Akidah, 2003), h. 215.
42
Menurut penulis faktor suatu keturunan juga akan bisa menjadikan seseorang naik derajatnya dihadapan manusia, dan juga akan menambah nilai derajat bagi calon keluarga pasangannya, sehingga menjadi pertimbangan dalam mengukur kafa’ah seseorang. 2) Riwayat Bazar dari Mu’az bin Jabal bahwa Rasullullah Saw. Bersabda :
ﺑﻌﺾ اﻛﻔﺎ ُءوﻟﻤﻮاﻟﻰ ُﺻﻠﱠﻰ ﷲُ ﻋﻠﯿ ِﮫ وﺳﻠّﻢ ﻗﺎل اﻟﻌﺮب َ ﺒﻲ اَ ﱠن اﻟﻨﱠ ﱢ ٍ ﺑﻌﺾ ﺑﻌﻀُﮭﻢ اﻛﻔﺎ َ ُء ٍ Artinya : Orang-orang arab satu dengan yang lainnya adalah sekufu’ bekas budak dan yang lainnya sekufu pula. Diriwayatkan oleh Syafi’i dan kebanyakan muridnya bahwa kufu sesama bangsa bangsa bukan Arab, diukur dengan bagaimana keturunan keturunan mereka dengan diqiaskan antara suku suku bangsa Arab yang satu dengan yang lainnya. Karena mereka juga menganggap tercela apabila seorang perempuan dari satu suku kawin dengan laki-laki dari lain suku yang lebih rendah nasabnya. Jadi hukumnya sama dengan hukum yang berlaku dikalangan bangsa Arab karena sebabnya adalah sama.
B. Merdeka
43
Jadi budak laki laki tidak kufu’ dengan perempuan yang merdeka. Budak laki laki yang sudah merdeka tidak kufu dengan perempuan yang merdeka. Laki laki yang salah seorang neneknya pernah menjadi budak tidak kufu dengan perempuan yang neneknya tidak pernah menjadi budak. Sebab perempuan merdeka bila dikawinkan dengan laki-laki budak dianggap tercela, begitu pula bila dikawinkan oleh laki laki yang salah seorang neneknya pernah menjadi budak.
C. Beragama Islam Dengan Islam maka orang kufu dengan yang lain ini berlaku bagi orang-orang bukan Arab. Adapun dikalangan bangsa Arab tidak berlaku sebab mereka ini merasa kufu dengan ketinggian nasab dan mereka merasa tidak akan berharga dengan Islam. Adapun di luar bangsa Arab yaitu para bekas budak dan bangsa bangsa lain, mereka merasa dirinya terangkat dengan menjadi orang Islam. Karena itu jika perempuan muslimah yang ayah dan neneknya beragama Islam, tidak kufu’ dengan laki-laki muslim yang ayah dan neneknya tidak beragama Islam. Dan perempuan yang ayahnya dan neneknya beragama Islam kufu dengan laki laki yang ayah dan neneknya beragama Islam. Abu Yusuf berpendapat : seorang laki-laki yang ayahnya sudah Islam kufu dengan perempuan yang ayah dan neneknya Islam, karena untuk mengenal laki laki cukup hanya dikenal ayahnya saja. Adapun Abu Hanifah dan
44
Muhammad berpendapat bahwa untuk mengenal laki-laki tidaklah cukup mengenal ayahnya saja tapi juga dengan datuknya.
D. Pekerjaan Seorang perempuan dan suatu keluarga yang pekerjaannya terhormat tidak kufu dengan laki-laki yang pekerjaannya kasar tetapi kalau pekerjaanya itu hampir bersamaan tingkatnya antara satu dengan yang lain maka tidaklah dianggap ada perbedaan. Untuk mengetahui pekerjaan yang terhormat atau kasar, dapat diukur dengan kebiasaan masyarakat setempat mereka yang menganggap ukuran kufu berdasarkan pekerjaan adalah berdasarkan suatu hadist orang arab satu dengan yang lain saling kufu kecuali tukang bekam E. Kekayaan Golongan Syafi’i berpendapat dalam hal ini. Sebagian ada yang menjadikannya ukuran kufu, jadi orang kafir menurut mereka tidak kufu dengan perempuan kaya. Dan Mereka berkata pula bahwa kemampuan laki-laki fakir dalam membelanjai istrinya adalalah dibawah ukuran laki-laki kaya. Sebagian lain berpendapat bahwa kekayaan itu tidak dapat jadi ukuran kufu karena kekayaan itu bersifat timbul tenggelam, dan bagi perempuan yang bebudi luhur tidaklah mementingkan kekayaan. F. Tidak Cacat
45
Murid-murid Syafi’i dan riwayat Ibnu Nashr dari Malik bahwa salah satu syarat kufu ialah selamat dari cacat. Bagi laki-laki
yang
mempunyai cacat jasmani yang menyolok, ia tidak kufu dengan perempuan yang sehat dan normal. Jika cacatnya tidak begitu menonjol tapi kurang disenangi secara pandangan lahiriah seperti buta
tangan
buntung maka dalam hal ini ada dua pendapat rauyani berpendapat bahwa lelaki yang seperti ini tidaklah kufu dengan perempuan yang sehat. Tetapi golongan Hanafi dan Hambali tidak menerima pendapat ini, dalam kitab Mughni dikatakan : Sehat dari cacat tidak termasuk dalam syarat kufu’ karena tidak seorangpun yang menyalahi pendapat ini, yaitu bahwa kawinnya orang yang cacat itu tidak batal.
B. Tinjau Tentang Pernikahan 1. Pengertian Pernikahan Perkawinan digunakan dalam bahasa Arab menggunakan perkataan nikah yang secara bahasa bermakna menyatu dan memasuki, tubuhan dan akad, ada yang menyatakan kalimat ini digunakan untuk menunjukkan akad sebagai kiasan sebab akibat, ada yang menyatakan kalimat ini dua kebiasaanya digunakan untuk menunjukkan makan akad25 Menurut istilah adalah akad atau perjanjian yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan untuk memenuhi hajat biologisnya sehingga antara keduanya (suami istri) mempunyai hak dan kewajiban. 25
Syiekh abu Abdullah bin abd al-salam laliusyh, ibanah al- ahkam syarah. Bulugh almaram (jilid ketiga),kuala lumpur : al-hidayah publication,2010), h. 329
46
Pada hakikatnya pernikahan merupakan suatu bentuk perjanjian yang harus dipertanggung jawabkan baik terhadap sesama manusia maupun terhadap Allah Swt. Perjanjian itu muncul dari lubuk hati yang tulus dan ikhlas, yakni membentuk keluarga yang sakinah mawadah dan warohmah dibawah naungan Allah Swt. Definisi yang dikemukakan diatas lebih menitik beratkan istri sebagai objek akad dan hanya meninjau dari hak suami terhadap istri. Menurut penulis definisi yang dikemukakan diatas, kurang lengkap karna karena medefinisikan nikah sebagai kehalalan bersetubuh, namun bisa di garis bawahi pernikahan itu bukan saja untuk menghalalkan persetubuhan, namun dia adalah sebuah perikatan, tetapi tidak saja sekedar perikatan melainkan dia memiliki ikatan lahir dan batin antara suami maupun istri agar tujuan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan warohmah tercapai dengan baik. 2. Hukum Pernikahan Meski pada dasarnya Islam menganjurkan nikah, apabila ditinjau dari keadaan yang melaksanakannya, pernikahan dapat dikenai hukum wajib, sunah, haram, makruh dan mubah. a. Pernikahan yang wajib26 Pernikahan hukumnya wajib bagi orang yang telah mempunyai keinginan kuat untuk nikah dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul beban kewajiban dalam hidup penikahan dan 26
Basyir ahmad azhar, hukum perkawinan islam, Yogyakarta : (UII press Yogyakarta, 2000, cet. 9).h.14
47
serta kekahwatiran apabila tidak nikah ia akan mudah tergelincir untuk berbuat zina. Alasan ketentuan tersebut daalah sebagai berikut. Menjaga diri dari perbuatan zina dalah wajib. Apabila bagi seseorang tertentu penjagaan diri itu hanya akan terjamin dengan jalan nikah, bagi orang tersebut melakukan pernikahan itu hukunnya wajib, sesuai dengan kaidah fiqhiyah :
اﻟﻮ اﺟﺐُ اﻻﱠ ِﺑ ِﮫ ﻓَﮭُ َﻮ َوا ﺟﺐﱢ َ ﻣﺎَﻻ ﯾﺘ ﱡﻢ Artinya : Sesuatu yang wajib tidak sempurna kecuali dengannya maka sesuatu itu hukumnya wajib juga.27 Kaidah yang lain juga mengatakan :
ﺻ ِﺪ ِ ﻟﻠﻮ َﺳﺎإِ ِل ﺣُﻜ ُﻢ اﻟﻤﻘَﺎ Artinya : Sarana itu hukumnya sama dengan hukum yang dituju 28
Hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut merupakan hukum sarana sama dengan hukum pokok yakni menjaga diri dari perbuatan maksiat.
b. Pernikahan yang sunah Pernikahan sunah bagi orang yang telah berkeinginan kuat untuk nikah dan telah memepunyai kemampuan untuk melaksanakan
27
. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006 Cet.3), h.95. 28 Ibid., h.15
48
dan memikul kewajiban-kewajiban dalam pernikahan, tetapi apabila tidak nikah juga tidak ada kekhwatiran akan berbuat zina. Alasan hukum sunah ini diperoleh dari ayat-ayat Al-Quran hadist-hadist nabi, dan bahwa dasar pernikahan dalah sunah.
Sebagaimana di jelaskan dalam Al-Qur an surah An-Nur ayat 32.
Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.29 c. Pernikahan yang haram Pernikahan
hukumny
haram
bagi
orang
yang
belum
berkeinginan serta tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul kewajiban-kewajiban hidup pernikahan sehingga apabila nikah juga akan berakibat menyusahkan istrinya. Berdasarkan kepada Alqur an surat Al-Baqarah ayat 195.
29
Departemen Agama, Op.Cit.., h. 549.
49
Artinya : Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.30
d. Pernikahan yang makruh Pernikahan hukumnya makruh bagi seorang yang mampu dari segi materil, cukup mempunyai daya tahan mental dan agama sehingga tidak khwatir akan terseret dalam perbuatan zina, tetapi mempunyai kekhwatiran tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajiban terhadap istrinya, meskipun tidak akan berakibat menyusahkan istrinya, contonya: calon istri tergolong orang kaya atau calon suami belum mempunyai keinginan untuk nikah.
e. Pernikahan yang mubah Pernikahan hukumnya mubah bagi orang yang mempunya harta, tetapi apabila tidak nikah tidak merasa khwatir akan berbuat zina dan andaikata nikah pun tidak akan merasa khawatir akan menyia-yiakan kewajiban terhadap istri. perkawinan orang tersebut hanya untuk memenuhi kesenangan saja bukan dengan tujuan menjaga kehormatan 30
Departemen Agama. Op.cit., h..47
50
agamanya dan membina keluarga sejahtera, maka hukumnya disini adalah mubah. Hukum mubah ini juga ditujukan bagi orang yang bimbang atau antara penghambat dan pendorongnya untuk menikah itu sama, sehingga menimbulkan keraguan baginya untuk menikah, misalnya : sudah mempunyai keinginan tapi belum mempunyai kemampuan, mempunyai kemampuan tapi belum mempunyai kemauan.
3. Syarat-Syarat Pernikahan31 1. Adanya calon suami istri yang jelas Dalam akan nikah harus disebutkan dengan jelas siapa yang menikah dan siapa yang dinikahi agar tidak terjadi kekeliruan atau penipuan. 2. Wanita yang dinikahi adalah wanita yang dihalalkan oleh syari’at Wanita yangakan dinikahi (calon istri) harus wanita yang dihalalkan oleh syari’at, dengan kata lain tidak ada halangan untuk wanita tersebut, baik bersifat selamanya atau hanya sementara saja. 3. Lafal yang digunakan dalam ijab qabul Ijab menurut ulama adalah lafal yang di ucapkan oleh wali atau orang yang menggantikan kedudukannya, ulama sepakat bahwa lafal yang digunakan dalam ijab qabul adalah lafal pernikahan. 4. Wali 31
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, jil 2, PT. Alma’rif. Bandung : 1981. Cet. 1. h. 48.
51
Menurut jumhur ulama pernikahan tidak dianggap sah tanpa adanya wali 5. Saksi Mayoritas ulama berpendapa bahwa pernikahan tidak dianggap sah tanpa adanya saksi bahwa perjodohan itu tidak terjalin atau terikat kecuali dengan adanya saksi. 6. Mahar Ulama sepakat bahwa mahar termasuk salah satu syarat sahnya pernikahan. 4. Tujuan Pernikahan32 Tujuan pernikahan ialah menurut perintah Allah Swt. untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur. Selain itu ada pula pendapat yang mengatakan
bahwa tujuan
perkawinan dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, dan juga sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya didunia ini, dan juga mencegah perzinahan, agar tercipta ketenangan dan ketentram jiwa bagi yang bersangkutan, ketenteraman keluarga dan masyarakat. Islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis dan bahagia. Harmonis dalam mengunakan kewajiban dan haknya sebagai
32
Mohd. Idris ramulyo, hukum perkawinan islam suatu analisis dari undang-undang no. 1 tahun 1974 dan kompilasi hukum islam, Jakarta: Bumi aksara, 1999. Cet. 2,h.26
52
suami dan istri, sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin, sehingga timbullah kebahagiaan yakni kasih sayang antar anggota keluarga. Diterangkan dalam Al-Qur an yakni surah Ali- Imran ayat 14.
Artinya : Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apaapa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).
Disini jelaslah bahwa manusia mempunyai kecendrungan terhadap cinta wanita, cinta anak keturunan dan cinta harta kekayaan. Dari pada itu dalam pernikahan juga tidak kala pentingnya untuk memenuhi petunjuk agama, manusia mempunyai fitrah mengenal kepada tuhannya. Sebagaimana tersebutkan dalam surah Ar-Ruum ayat 30.
Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia
53
tidak mengetahui.33
Fitrah Allah maksudnya adalah ciptaan Allah Swt , manusia diciptakan punya naluri beragama yaitu agama tauhid, kalau ada manusia yang tidak beragama tauhid maka hal itu tidak lah wajar34.Yang dimaksud disini adalah fitrah manusia dialam fana ini, bahwa dalam menjalani kehidupannya manusia tidak bisa hidup sendirian, setiap manusia pasti membutuhkan manusia yang lain. Sebagai pasangan hidup atau teman untuk berkomunikasi sebagai tempat untuk berbagi perasaan suka dan duka atau teman untuk bertukar pikiran. Untuk memenuhi itu semua setiap manusia perlu membentuk sesuatu yang menurut pengertian umum disebut keluarga. 5. Prinsip-Prinsip Pernikahan35 a. Memenuhi dan Melaksanakan Perintah Agama Bahwa
prinsip
perkawianan
adalah
sunnah
nabi
dan
melaksanakan perkawinan itu hakikatnya merupakan pelaksanaan dari ajaran agama. b. Kerelaan Dan Persetujuan Iktiar merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang akan melangsungkan pernikahan, maksud dari iktiar ini adalah tidak ada paksaan antara keduanya, pihak yang akan melangsungkan pernikahan hendaknya ada kerelaan antara calon suami 33 34
1. h. 405
Departemen agama, op.cit, h. 77 Kementerian agama, terjemahan tafsir perkata, cv. Insane kamil, jawa barat: 2011 cet.
35
Abdul rahman ghazali, fiqih munakahat, kencana prenada media group, Jakarta : 2008 cet. 3. h. 36
54
maupun istri atau persetujuan antara keduanya. c. Perkawinan Untuk Selamanya Tujuan perkawianan antara lain untuk mendapatkan keturunan dan ketenangan, ketentraman dan cinta serta kasih sayang. semua ini dapat dicapai hanya dengan prinsip bahwa perkawinan untuk selamanya bukan hanya dalam waktu tertentu saja. d. Mawaddah wa rahmah Prinsip ini didasrkan pada firman Allah QS. Ar- rum: 21.
Artinya:Dan di antara tanda-tanda kebesaran allah ialah dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dia menjadikan diantaramu kasih dan sayang. Sungguh pada demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran allah bagi kaum yang berfikir. Mawaddah wa rahmah adalah karakter manusia tidak dimilki oleh makhluk lainnya. Jika binatang melakukan hubungan seks itu sendiri juga dimaksudkan untuk berkembang biak, sedangkan perkawinan manusia bertujuan untuk mencapai ridho allah disamping tujuan yang bersifat biologis e. Saling Melengkapi Dan Melindungi Pernikahan itu merupakan ketetapan Ilahi dan dalam sunnah Rasulpun
55
telah ditegaskan bahwa Nikah adalah Sunnahnya. Menikah ada untuk menyambut kebutuhan fitrah kita sebagai manusia, dengan menikah maka makin sempurnalah kefitrahan kita. Prinsip ini didasarkan pada firman Allah Swt. yang terdapat dalam surat Al-Baqarah 187:
Artinya: Mereka pakaian bagi kamu dan kamu pakaian bagi mereka. Sebagaimana firman Allah diatas yang menjelaskan istri-istri adalah pakaian sebagaimana layaknya dengan laki-laki dan perempuan dimaksudkan untuk saling membantu dan melengkapi, karena setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan.36
6. Hikmah Pernikahan Menurut Ali Ahmad Al- Jurjawi hikmah perkawinan itu banyak antara lain : 1) Dengan pernikahan maka banyaklah keturunan. Ketika keturunan itu banyak, maka proses memakmurkan bumi berjalan dengan mudah, karena suatu perbuatan yang harus dikerjakan bersama sama akan sulit apabila
dilakukan
secara
individu.
Dengan
demikian
maka
berlangsunglah keturunan dan jumlahnya harus terus dilestarikan sampai benar benar makmur. 2) Keadaan hidup manusia tidak akan tentram kecuali keadaan rumah tangganya teratur. Kehidupannya tidak akan tenang kecuali dengan 36
Amiur nuruddin, hukum perdata islam di Indonesia. Jakarta: kencana, 2004. h. 52.
56
adanya ketertiban rumah tangga, ketertiban tersebut tidak mungkin terwujud kecuali harus ada perempuan yang mengatur rumah tangga itu. Dengan alasan itulah maka nikah disyari’atkan, sehingga keadaan kaum laki laki menjadi tentram dan dunia makmur 3) Laki laki dan perempuan adalah dua sekutu yang berfungsi memakmurkan dunia dengan ciri khasnya dengan berbagai macam pekerjaan dalam kaitan ini Rasullullah bersabda :
ﻟﯿﺘﱠ ِﺨ َﺬ اﺣﺪ ُﻛﻢ ﻗﻠﺒًﺎ َﺷﺎﻛﺮًا وﻟ َﺴﺎﻧًﺎ َذاﻛﺮًا وزﺟﺔَ ﻣﺆ ﻣﻨﺔ ﺻﺎﻟﺤﺔً ﺗ ِﻌﻨﯿ ِﮫ ﻋﻠﻰ اﺧﺮ ﺗ ِﮫ Artinya : Hendalah diantara kamu sekalian menjadikan hati yang bersyukur, lidah yang slalu mengingat Allah, dan istri mu’minah shalehah yang akan menyelamatkannya di akhirat.37 4) Sesuai dengan tabi’atnya, manusia itu cendrung mengasihi orang yang yang dikasihi. Adanya istri akan bisa menghilangkan kesedihan dan ketakutan. Istri berfungsi sebagai teman dalam suka dan penolong dalam mengatur kehidupan. Istri berfungsi untuk mengatur rumah tangga yang merupakan sendi penting bagi kesejahteraannya. Sebagaimana Allah berfirman dalam surah Al-’raf 189.
37
Ibid, h, 66.
57
Artinya :. Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar Dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya,isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah Dia merasa ringan (Beberapa waktu). Kemudian tatkala Dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah,Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi Kami anak yang saleh, tentulah Kami terraasuk orang-orang yang bersyukur".38 5) Manusia diciptakan dengan memiliki rasa ghirah (kecemburuan) untuk menjaga kehormatan dan kemulyaannya. Pernikahan akan menjaga pandangan yang penuh syahwat terhadap apa yang tidak dihalalkan untuknya. Apabila keutamaan dilanggar maka akan datang bahaya dari dua sisi : yaitu melakukan kehinaan dan timbulnya permusuhan dikalangan pelakunya dengan melakukan perzinaan dan kefasikan, adanya tindakan seperti itu tanpa diragukan lagi akan merusak peraturan alam.39 Rasullullah Saw. Bersabda :
ﻓﻠﯿﺘﻖ ﷲ ﻓﻲ اﻟﺸﻄﺮ اﻻ ﺧﺮ ،َﻣﻦ ﺗﺰ ّو ج ﻓﻘﺪ اﺣﺮ َز ﺷﻄﺮ دﯾﻨﮫ ِ Artinya : Barang siapa menikah berarti telah menjaga separoh agamanya maka hendaknya dia takut kepada allah akan sebagian yang lain. Diantara keutamaan menikah adalah untuk menyempurnakan separuh agama dan kita tinggal menjaga diri dari separuhnya, Para ulama jelaskan bahwa yang umumnya merusak agama seseorang adalah 38
Departemen Agama, Op.cit.,h. 253
58
kemaluan dan perutnya. Kemaluan yang mengantarkan pada zina, sedangkan perut bersifat serakah. Nikah berarti membentegi diri dari salah satunya, yaitu zina dengan kemaluan. Sebab itu berarti dengan menikah separuh agama seorang pemuda telah terjaga. Sabda Rasullullah Saw.
ﻋ َْﻦ َﻋ ْﺒ ِﺪ َ ﱠ ﺎل ﻟَﻨَﺎ َرﺳُﻮ ُل َ ﱠ ﷲِ ﺻﻠﻰ َ َﷲِ ْﺑ ِﻦ َﻣ ْﺴﻌُﻮ ٍد رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﮫ ﻗ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ )ﯾَﺎ َﻣ ْﻌ َﺸ َﺮ اَﻟ ﱠ َع ِﻣ ْﻨ ُﻜ ُﻢ اَ ْﻟﺒَﺎ َءة َ ب ! َﻣ ِﻦ ا ْﺳﺘَﻄَﺎ ِ ﺸﺒَﺎ ْ َ ْ َوأَﺣ,ﺼ ِﺮ َو َﻣ ْﻦ ﻟَ ْﻢ ﯾَ ْﺴﺘَ ِﻄ ْﻊ,ج َ َ ﻓَﺈِﻧﱠﮫُ أَ َﻏﺾﱡ ﻟِ ْﻠﺒ, ْﻓَ ْﻠﯿَﺘَ َﺰ ﱠوج ِ ْﺼ ُﻦ ﻟِﻠﻔَﺮ ٌ َﺼﻮْ ِم ; ﻓَﺈِﻧﱠﮫُ ﻟَﮫُ ِو َﺟﺎ ٌء( ُﻣﺘﱠﻔ ﻓَ َﻌﻠَ ْﯿ ِﮫ ِﺑﺎﻟ ﱠ ﻖ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ Artinya : Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: "Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu." Muttafaq Alaihi. .40
Hadist diatas memberikan motivasi kepada para pemuda dan pemudi untuk segera melaksanakan pernikahan jika sudah mampu secara lahir dan batinnya, dalam hadis diatas, menunujukan bahwa pernikahan dikaitkan dengan kemampuan, bagi yang belum mampu dan belum memiliki kesiapan untuk melaksanakan pernikahan maka, tidak termasuk golongan orang yang dianjurkan untuk menikah . Menikah dalam teks hadits ini dikaitkan dengan kemampuan seseorang. Bagi orang yang tidak memiliki kemampuan, atau kesiapan
40
Al- Hafiz Imam Ibnu Hajar al- Asqolany, Op.cit., h. 208
59
untuk menikah, dia tidak dikenai anjuran untuk menikah.
6) Perkawinan akan memelihara keturunan serta menjaganya. Didalamnya terdapat faedah yang banyak antara lain memelihara hak dalam warisan. Seorang laki yang tidak mempunyai istri tidak mungkin mendapatkan anak, tidak pula mengetahui pokok-pokok serta cabangnya diantara sesama manusia. Hal semacam itu tidak dikehendaki oleh agama dan manusia. 7) Berbuat baik yang banyak lebih baik dari pada berbuat baik sedikit. Pernikahan pada umumnya akan menghasilkan keturunan yang banyak. Dalam kaitan ini Nabi Saw. Bersabda:
ﺗﻨﺎ ﻛﺤﻮا ﺗﻨﺎﺳﻠﻮا ﺗﻜﺘﺘﺮُوا ﻓﺎﻧ ﱢﻰ ﻣﺒﺎه ﺑﻜﻢ اﻻ ﻣﻢ ﯾَﻮم ﻟﻠﻘﯿﺎﻣ ِﺔ Artinya :Menikahlah, niscaya kamu sekalian akan beranak pinak dan berbanyak banyaklah kamu sekalian, maka sesungguhnya aku membanggakan dengan kalian akan adanya umat yang banyak pada hari kiamat.41
Hadits keturunan,
ini
yang
ini
menunjukkan termasuk
dianjurkannya tujuan
utama
memperbanyak pernikahan,
dan
dianjurkannya menikahi perempuan yang subur untuk tujuan tersebut. Cukuplah hadits ini sebagai keutamaan bagi orang yang memperbanyak keturunannya dengan cara yang halal, karena dengan itu berarti dia berusaha untuk mewujudkan sesuatu yang diinginkan dan dibanggakan
41
Ibid, h, 68.
60
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
8) Manusia itu jika telah mati maka terputuslah seluruh amal perbuatannya yang mendatangkan rahmat dan pahala kepadanya. Namun apabila meninggalkan anak dan istri, mereka akan mendo’akannya dengan kebaikan hingga amalnya tidak terputus dan pahalanya pun tidak ditolak. Anak yang solehah merupakan amalnya yang tetap dan masih tertinggal meskipun dia telah mati. Sabda Nabi Saw :
ُ ا َذا ﻣﺎت أوﻋﻠﻢ ﺻﺪﻗﺔ ﺟﺎرﯾ ٍﮫ: ث ٍ اﺑﻦ ادم أِﻧﻘﻄﻊ ﻋﻤﻠﮫُ اﻻ ِﻣﻦ ﺛﻼ ٍ ﯾﻨﺘﻔ ُﻊ ﺑﮫ أو وﻟﺪ (ﺻﺎﻟﺢ ﯾﺪﻋﻮﻟﮫُ )رواه ﻣﺴﻠﻢ ﻋﻦ اﺑﻰ ھﺮ ﯾﺮة ِ Artinya : Apabila manusia telah meninggal dunia, putuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara, sedekah jariyah atau ilmu yang dimanfaatkan, atau anak yang soleh yang mendo’akannya.42
Jika manusia itu mati, amalannya akan terputus. Dari sini menunjukkan bahwa seorang muslim hendaklah memperbanyak amalan sholeh sebelum ia meninggal dunia. Allah menganjurkan hamba memperbanyak amalnya semasa hidup didunia agar setelah meninggal dunia sekalipun dia masih bisa mendapat pahala, inilah karunia Allah. Amalan yang terus mengalir pahalanya walaupun setelah meninggal dunia, di antaranya:
42
Al- Hafiz Imam Ibnu Hajar al- Asqolany, Op.cit., h. 197.
61
a) Sedekah jariyah, seperti membangun masjid, menggali sumur, mencetak buku yang bermanfaat serta berbagai macam wakaf yang dimanfaatkan dalam ibadah. b) Ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu syar’i (ilmu agama) yang ia ajarkan pada orang lain dan mereka terus amalkan, atau ia menulis buku agama yang bermanfaat dan terus dimanfaatkan setelah ia meninggal dunia. c) Anak yang sholeh, karena anak sholeh itu hasil dari kerja keras orang tuanya. Oleh karena itu, Islam amat mendorong seseorang untuk memperhatikan pendidikan anak-anak mereka dalam hal agama, sehingga nantinya anak tersebut tumbuh menjadi anak sholeh.sehingga orang tuanya terus mendapatkan pahala meskipun orang tuanya sudah meninggal dunia.
Di antara kebaikan lainnya yang bermanfaat untuk mayit muslim adalah setelah ia meninggal dunia dia akan mendapatkan do’a dari orang yang masih hidup yaitu do’a kebaikan yang tulus kepada si mayit tersebut. Do’a tersebut mencakup do’a rahmat, ampunan, meraih surga, selamat dari siksa neraka dan berbagai do’a kebaikan lainnya. Sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “atau anak sholeh yang mendo’akannya”, tidaklah dipahami bahwa do’a yang manfaat hanya dari anak saja. Bahkan do’a kebaikan orang lain untuk si mayit tersebut tetap bermanfaat insya Allah. Oleh karena itu, kaum muslimin
62
disyari’atkan melakukan shalat jenazah terhadap mayit lalu mendo’akan mayit tersebut walaupun mayit itu bukan ayahnya. Dalam hadits terdapat isyarat adanya keutamaan menikah, juga terdapat dorongan untuk menikah dan memperbanyak keturunan supaya mendapatkan keturunan sholeh (sehingga bermanfaat nantinya ketika kita telah meninggal dunia).
C. Biografi Imam Syafi’i Dan Latar Belakang Pendidikannya43 Imam Syafi’i dilahirkan di Gazah pada bulan Rajab tahun 150 H (767M). Menurut suatu riwayat, pada tahun itu juga wafat Abu Hanifah. Imam Syafi’i wafat di Mesir pada tahun 204 H (819 M). Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Abu Abdillah Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn Syafi’i ibn saib ibn’ ubaid ibn Yazid ibn Hasyim ibn Abd Al-Muththalib Ibn Abd Al- Manaf Ibn Quraisyiy. Ketika ayah dan ibu imam Syafi’i pergi ke Syam dalam suatu urusan, lahirlah Syafi’i di Gazah, ketika ayahnya meninggal ia masih kecil ketika baru barusia dua tahun, Syafi’i kecil dibawa ibunya ke Mekkah. Ia dibesarkan ibunya dalam keadaan fakir. Pada
usia yang ke-20 tahun, beliau meninggalkan Mekkah
mempelajari ilmu Fiqih dari imam Malik. Merasa masih harus memperdalam pengetahuannya, beliau kemudian pergi ke Iraq, sekali lagi mempelajari Fiqih, dari murid imam abu Hanifah yang Masih ada. Dalam perantauannya tersebut, beliau juga sempat mengunjungi Persia, dan beberapa tempat lain. Setelah 43
Roibin, Sosiologi Hukum Islam , Telaah Pemikiran Imam Syafi, Malang : 2008, cet. 1.
h.63
63
wafat imam Malik (179 H), beliau kemudian pergi ke Yaman, menetap dan mengajarkan ilmu di sana, bersama Harun Al-Rasyid, yang telah mendengar tentang kehebatan beliau, kemudian meminta beliau untuk datang ke Bagdad. Imam Syafi’i memenuhi undangan tersebut. Sejak saat itu beliau dikenal secara luas, dan banyak orang belajar kepadanya. Pada waktu itulah mazhab beliau dikenal. Tak lama setelah itu, imam Syafi’i kembali ke Mekkah dan mengajar rombongan jamaah haji yang datang dari berbagai penjuru. Melalui mereka inilah, mazhab Syafi’i menjadi tersebar luas ke penjuru dunia. Pada tahun 198 H, beliau pergi ke negeri Mesir beliau mengajar di Mesjid Amru Bin Ash Beliau juga menulis kitab Al-Umm, Amali Kubra, Kitab Risalah, Ushul AlFiqih, dan memperkenalkan, qaul Jadid sebagai mazhab baru. Adapun dalam hal menyusun kitab Ushul Fiqh, imam Syafi’i dikenal sebagai orang pertama yang mempelopori penulisan dalam bidang tersebut. Konon beliau sebelum wafat menderita penyakit wasir yang parah, jika terkadang naik kuda darahnya mengalir mengenai celananya bahkan mengenai kaos kakinya, beliau rela menanggung sakit demi ijtihadnya yang baru di Mesir, selain itu beliau terus mengajar serta mengkaji siang maupun malam. Dimesir inilah akhirnya imam Syafi’i wafat, setelah menyebarkan ilmu dan manfaat kepada banyak orang. Kitab-kitab beliau hingga kini masih dibaca orang, sedang murid-murid beliau yang terkenal diantaranya adalah :
64
Muhammad bin Abdullah bin Al-Hakam, Abu Ibrahim bin Ismail bin Yahya Al-Muzani44.
1. Guru-guru Imam Syafi’i : Imam Syafi’i merupakan ulama sintesis yang beraliran antara Ra’yu dan Al-hadist (Kufah dan Madinah), di Kufah imam Syafi’i menimba ilmu kepada Muhammad ibn Al-Hasan Al-Syaibani yang merupakan murid sekaligus sahabat dari imam Hanafi, sedangkan di Madinah beliau belajar kepada imam Malik beliau dikenal dengan sebutan Al-Hadist, selain itu beliau juga berguru kepada ulama di Yaman, Mekah dan Madinah. a) Ulama Yaman Yang Menjadi Guru Imam Syafi’i yaitu: 1) Mutharaf Ibn Muazim 2) Hisyam Ibn Abi Salamah 3) Umar Ibn Abi Salamah 4) Yahya Ibn Hasan
b) Adapun Ulama Yang Di Mekkah: 1) Sufyan Ibn Uyainah 2) Muslim Ibn Khalid Al-Zauji 3) Said Ibn Salim Al-Kaddah 4) Daud Ibn Abdurrahman Al-Aththar 5) Abdul Hamid Abdul Aziz Ibn Muhammad Ad Dahrawardi
44
Muhammad jawad mugniyah, Fiqih Lima Mazhab .jakarta:2013. h. 1
65
2. Karya-Karya Imam Syafi’i Yaitu: a) Al-Umm b) Amali Kubro c) Kitab Risalah d) Ushul Fiqih
66
BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi merupakan cara utama yang dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu cara-cara yang dipergunakan untuk menganalisa atau menguraikan bentuk teoritis untuk diimplementasikan dalam bentuk
applikatif.
Metodologi berkenaan dengan cara kerja dalam
menghubung-hubungkan unsur informasi tentang suatu fokus melalui serangkaian kegiatan untuk menjawab pertanyaan penelitian.45 Untuk mencapai apa yang menjadi tujuan penelitian, penulis menguraikan metodelogi yang digunakan adalah sebagai berikut. A. Jenis dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (Library), yakni dapat diartikan sebagai penelitian untuk memperoleh semua informasi dari penelitian terdahulu yang harus dikerjakan, tanpa memperdulikan apakah sebuah penelitian menggunakan data primer atau data sekunder, apakah penelitian itu penelitian lapangan atau laboratorium. Jadi jenis penelitian kepustakaan adalah segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang diteliti.46
45 Cik Hasan Bisri, “Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial”(Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,2004)., h. 259 46 “Penelitian Kepustakaan” diakses dari http://www.s-ipoel.blogspot.com Home skrips umum pada tanggal 15 Desember 2013
67
Penelitian ini bersifat yuridis normatif yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah dalam hukum positif.47 Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, yaitu strategi dan teknik penelitian yang digunakan untuk memahami masalah.48 Metode kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang mengandung makna dengan mengutamakan penguraian atau gambaran secara tertulis tanpa menggunakan angka-angka atau statistik. Dengan pendekatan Case Approach (pendekatan kasus) yang bertujuan untuk menilai norma-norma atau kaidah hukum yang dijadikan sumber hukum oleh persoalan tertentu, maka dipakai pula metode deskriptif normatif yakni yang bertujuan untuk menggambarkan norma (aturan-aturan). Fokus penelitian adalah bagaimana analisis konsep kafa’ah dalam pernikahann menurut pemikiran imam Syafi’i.
B. Sumber Data Data adalah hasil pencatatan penelitian,. Sedangkan informasi adalah hasil pengolahan data yang dipakai untuk suatu keperluan. Adapun sumber data adalah subjek dimana data dapat diperoleh.49 Sumber data yang digunakan dalam skripsi ini adalah terdiri dari:50
47 Johny Ibrahim, “Teori dan Metodologi Penelitian Normatif” (Malang:Bayu Media Publissing,2006)., h.321 48 . Suharsimi Arikunto, “Prosedur Penelitian”(Jakarta:Rineka Cipta,2006).,h. 11 49 Ibid,h.118 50 Rosady Ruslan, Metode Penelitian: Public Relations & Komunikasi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), Ed. 1, Cet. 2, h. 29.
68
1. Sumber Data Primer Sumber data primer adalah sumber data yang langsung berkaitan dengan obyek penelitian. Sumber data primer dari penelitian ini yakni a. kitab al-umm karangan imam Syafi’i yang membahas tentang konsep kafa’ah dan Kitab fiqih yang berjudul mazhab arba’ah karangannya abdulrahman al-jaziri dan kitab. 2. Sumber Data Sekunder Sedangkan yang dimaksud sumber sekunder adalah berbagai data yang mendukung dan berkaitan dengan judul skripsi, sedangkan sumber sekunder yang dipakai dalam skripsi ini dapat berasal sumber tidak langsung yang biasanya berupa data arsip resmi, dan data-data lain yang terkait dengan masalah yang diteliti.
C. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Studi Pustaka (Library Research),yaitu data yang berasal dari sumber-sumber literatur atau data kepustakaan, penelitian melakukan penelaahan terhadap buku-buku yang berkaitan dengan pokok permasahan yang dibahas, yaitu dengan cara membaca, memahami dan menyimpulkan dari berbagai buku dan karya ilmiah yang berkaitan dengan penelitian ini.51
51
Soerjono Soekanto, “Pengantar Penelitian Hukum”(Jakarta:UI-PRESS,1984).,h.66
69
Studi pustaka yang dilakukan peneliti juga akan membantu peneliti untuk menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan tentang pendapat para ahli dalam masalah ini.
D. Teknik Analisa Data Setelah data terkumpul melalui teknik pengumpulan data, langkah selanjutnya adalah menganalisis data tersebut dengan memberikan penafsiran data yang diperoleh dengan menggunakan metode penelitian Analisis Isi yaitu metode yang dapat digunakan untuk melakukan penelitian terhadap sejumlah teks (ayat Al-Qur`an, hadist dan pemikiran para ulama), sehingga disebut juga sebagai Analisis Yurisprudensi.52
52
Cik Hasan Bisri, Op Cit.,h. 287-289
70
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Konsep Kafa’ah Menurut Imam Syafi’i 1. Pengertian Kafa’ah
ﻗﺎل اﻟﺸﺎﻓﻌﻰ رﺣﻤﮫ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ :ﻻ أﻋﻠﻢ ﻓﻰ ْ أن ﻟﻠﻮﻻة أﻣﺮاً ﻣﻊ اﻟﻤﺮأة ﻓﻰ ﻧ ْﻔﺴﮭﺎ ﺷﯿﺄ ً ُﺟ ِﻌﻞ ﻟﮭﻢ أ ْﺑﯿَﻦ ﻣﻦ أﻻ ﺗﺰ ﱠوج إﻻ ﻛﻔﻮءا. ﻓﺈن ﻗﯿﻞ :ﻗﺪ ) (٦ﯾﺤﺘﻤﻞ أن ﯾﻜﻮن )(٧ﻟ ﻼ ﯾﺰوج إﻻ ﻧﻜﺎﺣﺎ ً ﺻﺤﯿﺤﺎ ً ﻗﯿﻞ)(٨ :ﻗﺪ ﯾﺤﺘﻤﻞ ذﻟﻚ أﺿﺎ،وﻟﻜﻨﮫ ﻟﻤﺎ ﻛﺎﻧﺎ اﻟﻮ ﻻة ﻟﻮ زوﺟﻮھﺎﻏﯿﺮ ﻧﻜﺎح ﺻﺤﯿﺢ ﻟﻤﯿﺠﺰ ،ﻛﺎن ھﺬا ﺿﻌﯿﻔﺎ ً ﻻ ﯾﺸﺒﮫ أن ﯾﻜﻮن ﻟﮫ ﺟﻌﻞ ﻟﻠﻮ ﻻة ﻣﻌﮭﺎ أﻣﺮ ،ﻓﺄﻣﺎ اﻟﺼﺪاق ﻓﮭﻰ أوﻟﻰ ﺑﮫ ﻣﻦ ) (٩اﻟﻮﻻة ،ﻟﻮ وھﺒﺘﮫ ﺟﺎز ،وﻻ ﻣﻌﻨﻰ ﻟﮫ أوﻟﻰ ﺑﮫ ﻣﻦ ) (١.اﻻ ﺗُ ُﺰ ﱠو َج إﻻ ﻛﻔﺎءاً ،ﺑﻞ ﻻ أﺣﺴﺒﮫ ﯾﺤﺘﻤﻞ أن ﯾﻜﻮن ﺟﻌﻞ ﻟﮭﻢ أﻣﺮ ﻣﻊ ) (١١اﻟﻤﺮأة ﻓﻰ ﻧﻔﺴﮭﺎ إﻻ ﻟ ﻼ ﺗﻨﻜﺢ إﻻ ﻛﻔﻮءا . اﺟﺘﻤﻊ اﻟﻮﻻة ﻓﻜﺎ ﻧﻮا ﺷﺮ ﻋﺎ ً ) (١ﻓﺈﯾﮭﻢ ﺻﻠﺢ أن ﯾﻜﻮن ﻗﺎل اﻟﺸﺎﻓﻌﻰ :إذا ِ وﻟﯿﺎ ً ﺑﺤﻞ ﻓﮭﻮﻛﺄﻓﻀﻠﮭﻢ ،وﺳﻮاء اﻟﻤﺴﻦ ﻣﻨﮭﻢ ،واﻟﻜﮭﻞ ،واﻟﺸﺎب ،واﻟﻔﺎﺿﻞ، واﻟﺬى دوﻧﮫ إذا ﺻﻠﺢ أن ﯾﻜﻮن وﻟﯿﺎ ً ،ﻓﺄﯾﮭﻢ ز ﱠو َج ) (٢ﺑﺈذﻧﮭﺎ /ﻛﻔﻮاً ﺟﺎز وإن ﺳﺨﻂ ذﻟﻚ ﻣﻦ ﺑﻘﻰ ﻣﻦ اﻟﻮﻻة ،وأﯾﮭﻢ زوج ﺑﺈذﻧﮭﺎ ﻏﯿﺮ ﻛﻒء ﻓﻼ ﯾﺜﺒﺖ اﻟﻜﺎح إﻻ ﺑﺎﺟﺘﻤﺎ ﻋﮭﻢ ﻋﻠﯿﮫ .وﻛﺬﻟﻚ ﻟﻮ اﺟْ ﺘﻤﻌﺖ ﺟﻤﺎ ﻋﺘﮭﻢ ﻋﻠﻰ ﺗﺰوﯾﺞ ﻏﯿﺮ ﻛﻒء ،واﻧﻔﺮد أﺣﺪ ھﻢ ﻛﺎن اﻟﻨﻜﺎح ﻣﺮدوداً ﺑﻜﻞ ﺣﻞ ﺣﺘﻰ ﺑﺠﺘﻤﻊ اﻟﻮﻻة ﻣﻌﺎ ً ﻋﻠﻰ إﻧﻜﺎﺣﮫ ﻗﺒﻞ إﻧﻜﺎﺣﮫ ﻓﯿﻜﻮن ﺣﻘّﺎ ﻟﮭﻢ ﺗﺮﻛﻮه .وإن ﻛﺎن اﻟﻮﻟﻰ أﻗﺮب ﻣﻤﻦ دوﻧﮫ ﻓﺰوج ﻏﯿﺮ ﻛﻒء ﻧﺈذﻧﮭﺎ ،ﻓﻠﺲ ﻟﻤﻦ ﺑﻘﻰ ﻣﻦ اﻻ وﻟﯿﺎء اﻟﺬى ھﻮ أو ﻟﻰ ﻣﻨﮭﻢ رده ؛ اﻷﻧﮫ ) (٣ﻻ وﻻﯾﮫ ﻟﮭﻢ ﻣﻌﮫ
ﻗﺎل :وﻟﯿﺲ ﻧﻜﺎح ﻏﯿﺮ اﻟﻜﻒء ُﻣﺤ ﱠﺮ ﱠﻣﺎ ﻓﺎٔرده ﺑﻜﻞ ﺣﺎل ،إﻧﻤﺎ ھﻮ ﻧﻘﺺ ﻋﻠﻰ اﻟ ُﻤﺰ ﱠو َﺟ ِﺔ واﻟﻮ ﻻة ،ﻓﺈذارﺿﯿﺖ اﻟﻤﺰوﺟﺔ وﻣﻦ ﻟﮫ اﻷﻣﺮ 53 ﻣﻌﮭﺎ ﺑﺎﻟﻨﻔﺺ ﻟﻢ أرده
Imam Syafi’i, Al-Uum (Kitab Induk), h.39-40
71
53
Terjemahan : Berkata Syafi’i : Syafi’i tidak mengetahui bahwa bagi wali itu ada urusan mengenai diri wanita yang menjadikan lebih jelas bagi wali, bahwa wanita itu tidak dikawinkan selain yang sekufu’ Maka sesungguhnya dikatakan bahwa wali tidak mengawinkan selain perkawinan yang sah, dan dikatakan yang demikian, manakala wali itu mengawinkan wanita dengan perkawinan yang tidak sah, maka demikian itu tidak boleh atau lemah, yang tidak menyerupai bahwa bagi wali-wali akan selalu urusan bersama wanita itu. Adapun mas kawin, maka wanita itu yang lebih utama dengan mas kawin tersebut dari pada wali. Dan kalau wanita menghibahkan mas kawin maka boleh, tiada makna bagi wali yang lebih utama, bahwa wali mengawinkan wanita tersebut kecuali yang sekufu, bahkan Syafi’i tidak mengiranya bahwa dijadikan bagi wali itu suatu urusan bersama diri wanita tersebut, bahwa wanita itu tidak dikawinkan selain yang sekufu dan berkata Syafi’i “ Apabila telah berkumpul wali-wali syara’ lalu siapapun diri mereka itu yang patut menjadi wali dengan hal apapun, maka dia lebih utama dari mereka karena yang berumur dari mereka lebih tua, yang muda dan mempunyai kelebihan yang kurang dari mereka dan apabila patut menjadi wali maka manapun yang mengawinkan wanita itu dengan izinnya yang sepadan maka boleh dan siapapun wanita itu yang mengawinkan dengan izin wanita itu dengan yang tidak sekufu maka perkawinan tidak ada selain dengan kesepakatan wali yang diatas. Dan kalau sepakat wali untuk mengawinkan yang tidak sepadan, dan salah seorang dari mereka atau wali maka perkawinan itu tertolak dengan setiap keadaan. Sehingga sepakatlah wali bersama atas perkawinannya, maka adalah pengawinan itu hak bagi mereka untuk membiarkanya.Dan kalau wali yang lebih dekat dari orang yang dibawahnya lalu ia mengawinkan dengan yang tidak sekufu dengan izin wanita maka tidak ada hak bagi wali-wali yang lain karena yang mengawinkan adala lebih utama dari mereka karena kewalian itu bagi mereka bersama yang mengawinkanya. Perkawinan yang tidak sekufu itu tidaklah diharamkan, dengan setiap keadaan dan sesungguhnya kekurangan kepada wanita yang dikawinkan dan kepada wali-wali, maka apabila disetujui bersama wanita itu dengan kekurangan maka Syafi’i tidaklah menolaknya, apabila dikawinkan oleh seorang wali dengan yang sekufu dan ia mengurus urusan wanita tersebut.54
54
Al- imam Asy Syafi’i, Terjemahan Al-Umm(Kitab Induk), PT. Victory Agency, Kuala Lumpur : 1989. Cet, 1 h. 155
72
imam Syafi’i berkata apabila telah bersepakat wali-wali untuk menjadi wali syara’ bagi wanita tersebut, dan wali itu yang lebih utama atau lebih tua dan apabila dia patut untuk menjadi wali atas wanita tersebut, maka apabila disetujui oleh wali yang tidak terdekat untuk mengawinkan dengan laki-laki yang tidak sekufu. Namun perkawinannya ialah dengan izin wanita dan wali syara’, apabila walinya tidak setuju maka perkawinannya batal. Dan upaya untuk mencari persamaan antara calon suami maupun istri yang baik dalam kesempurnaan hidup maupun keadaan.55 Kafa’ah merupakan masalah penting yang harus diperhatikan sebelum perkawinan dan keberadaan kafa’ah diyakini faktor yang dapat menghilangkan dan menghindarkan munculnya aib dalam keluarga. Jadi kafa’ah bisa diartikan sebagai kesebandingan atau kesamaan unsur-unsur dasar antara calon suami dengan calon istri. Sebenarnya kafa’ah tidak termasuk syarat sah pernikahan tetapi merupakan hak bagi seorang calon perempuan dan walinya, tetapi dalam kondisi tertentu kafa’ah juga bisa dikatakan sebagai syarat sah pernikahan tetapi hanya sebagai penyempurna, walaupun hanya sebagai penyempurna dalam pernikahan, tetapi pernikaan yang terjadi tanpa mengindahkan unsur-unsur kafa’ah akan mengakibatkan berbagai macam problematika dalam rumah tangga bahkan bisa mengarahkan ke perceraian. 2. Landasan Hukumnya. Berdasarkan firman Allah SWT. Dalam surat Al-Baqarah : 221.
55
Al- Jairi Al-Figh ‘Ala Al-Mazahib Al-Arba’ah, (Beirut : dar al-fikr, 1969) h. 57
73
Artinya: Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik. Walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mu’min sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang-orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak keneraka, sedang Alloh mengajak kesurga dan ampunan dengan izinNya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya) kepada mereka supaya mereka mengambil pelajaran”. (QS: AlBaqarah: 221)56 Maksud ayat diatas adalah bahwa orang Islam dilarang menikah dengan orang musyrik, terkecuali wanita musyrik itu mau masuk ke agama Islam. Allah mengatakan dalam firmannya wanita budak tetapi mukmin itu lebih baik dari pda wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Ayat ini juga melarang keras menikahkan orang mukmin dengan orang musyrik, tetapi jika orang musyrik itu masuk ke dalam agama Islam maka dia baru boleh melakukan akad nikah. Karena jika orang muslim menikah dengan orang musyrik, maka disini sama dengan orang musyrik mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke Syurga.
56
Al-baqarah (221)
74
Allah telah mengatur segala sesuatu dalam urusan duniawi manusia, yaitu diantaranya keserasian antara
umat dalam melangsungkan
pernikahan, keserasian dalam pernikahan itu sangatlah penting, apalagi dengan urusan agama dan jika seorang dinikahkan dengan orang musyrik, maka Allah sangatlah melarang karena dari segi agama itu tidak diperkokohkan dalam surat Al-Baqarah ayat
221, telah diterangkan
terkecuali orang musyrik itu mau masuk ke dalam agama Islam. wanita budak yang baik maka akan sekufu dengan laki-laki budak yang sekufu pula dan begitu juga sebaliknya wanita musyrik yang
akan
sekufu dengan laki-laki yang musyrik pula, walaupun mereka menarik hati, Allah tidak akan memberi pasangan yang tidak sekufu dengannya, karena semuanya itu sudah diatur oleh Allah, maka dengan melalui kafa’ah ini lah kita dapat mengetahui calon pasangan kita sekufu atau tidak dengannya, dan bagi wanita apabila tidak sekufu maka walinya berhak untuk meminta pembatalan nikah, dan begitu juga dengan wanita apabila tidak suka dengan calonnya maka wanita boleh minta kepada walinya pernikahannya dibatalkan.
B. Pendapat Imam Syafi’i Tentang Kafa’ah Konsep kafa’ah imam Syafi’i berbeda dengan konsep kafa’ah imamimam yang lainnya seperti imam Hanafi, Hambali dan Maliki dan imam yang lainnya, kalau imam Syafi’i konsep kafa’ahnya meliput : kebangsaan, keagamaan, kemerdekaan dan mata pencarian. Namun yang membedakan
75
konsep kafa’ah imam Syafi’i dan imam yang lainnya ialah dari segi kekayaan, imam Syafi’i memaknai kekayaan itu dengan mata pencarian bukan dengan banyaknya harta kekayaan dalam kehidupan sehari-hari, tapi imam Syafi’i memaknainya dengan mata pencarian atau pendapatan. Namun imam-imam yang lain memaknai kekayaan dalam konsep kafa’ah itu memaknainya dengan kesanggupan membayar mahar dan yang dimaksud dalam kesanggupan membayar mahar ialah sejumlah uang yang dapat dibayarkan dengan tunai mahar yang diminta, dan apabila tidak memiliki harta untuk membayar mahar dan nafkah atau salah satunya, maka dianggap tidak sekufu. Tapi menurut imam Syafi’i memaknai kekayaan itu dengan mata pencariannya sendiri yaitu pendapatannya dalam bekerja seharihari bukan dengan banyaknya harta dalam kehidupan. Menurut imam Syafi’i bahwa kekayaan itu tidak dapat dijadikan ukuran kufu, karena kekayaan itu bersifat timbul tenggelam dan suatu saat akan musnah57. Dan imam Syafi’i memaknainya dengan mata pencarian yaitu dengan pendapatannya, dan menurut imam Syafi’i orang yang banyak harta belum tentu memiliki pendapatan
dari hasilnya sendiri, boleh jadi
kekayaannya dia dapatkan dari keturunannya memang kaya. Jadi banyaknya harta tidak bisa jaminan atau ukuran untuk kekufuan seseorang, maka dari itu imam Syafi’i memaknainya dengan mata pencarian atau pendapatannya dalam bekerja bukan dalam banyaknya harta kekayaan.
57
Sayyid Sabig, Fiqih Sunnah (Jilid 7),Bandung: 1981, Cet 1.h.37
76
Konsep kafa’ah dalam pernikahan yang diterapkan oleh imam Syafi’i adalah menyamakan kedudukan calon mempelai laki-laki dan calon perempuan . Artinya kafa’ah imam Syafi’i ini adalah menjaga keseimbangan antara kedudukan status calon suami dan istri, kedudukan status suami tidaklah melebihkan kedudukan status istri, karena jika wanita lebih tinggi kedudukannya dari suami, maka dikhwatirkan akan menimbulkan aib bagi kehidupan rumah tangganya kelak. Namun jika kedudukan suami lebih tinggi maka ulama Syafi’iyah tidak mempersoalkannya, karena tidak akan menimbulkan mudharat bahkan jarang sekali timbul masalah yang serius yang berkaitan dengan status, tapi apabila wanita dan walinya redhoi dengan laki-laki atau calon suaminya yang ebih rendah kedudukannya dari kedudukan wanita itu maka tidak ada masalah apabila wali ridho, namun harus seizin walinya terlebih dahulu untuk melangsungkan pernikahan. Fitrah
manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik secara
lahiriyah maupun bathiniyah, maka hal ini mendorong manusia untuk senantiasa berupaya memperoleh segala sesuatu yang menjadi kebutuhannya, pemenuhan kebutuhan lahiriyah identik dengan terpenuhinya kebutuhan dasar berupa sandang, pangan dan papan, tapi manusia tidak berhenti sampai disana, bahkan cenderung terus berkembang kebutuhan-kebutuhan lain yang ingin dipenuhi. Segala kebutuhan itu seolah-olaah bisa diselesaikan dengan dikumpulkannya harta.
77
Yang dimaksud harta ialah : harta atau Al-Mal dalam Al-Quran dan sunnah tidak dibatasi dalam ruang lingkup makna tertentu, kriteria harta menurut para ahli Fiqih terdiri dua bagian yaitu : pertama memiliki unsur nilai ekonomis dan yang kedua adalah unsur manfaat atau jasa yang diperoleh, nilai ekonomis dan manfaat yang menjadi kriteria harta ditentukan berdasarkan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian tempat bergantung status Al-Mal terletak pada nilai ekonomis, besar atau kecilnya dalam harta tergantung besar dan kecilnya manfa’at. Faktor manfaat menjadi patokan dalam menetapkan nilai ekonomis , maka manfaat suatu barang menjadi tujuan dari semua jenis harta. Mata pencarian adalah: pekerjaan, pekerjaan merupakan hal yang sangat penting bagi manusia , karena tanpa pekerjaan kita akan mengalami kesulitan
dalam kehidupan, dan kita memiliki kebijaksanaan dengan
kebijaksaan kita dapat mengembangkan kemampuan atau memperbaiki sesuatu atau memilih pekerjaan yang diinginkan. Konsep kafa’ah imam Syafi’i memisahkan antara harta kekayaan dengan mata pencarian , menurut imam Syafi’i harta kekayaan itu tidak bisa dijadikan ukuran kufu dalam konsep kafa’ah, karena harta kekayaan itu bersifat timbul dan tenggelam, maka dari itu imam Syafi’i memisahkan harta kekayaan itu dalam konsep kafa’ah untuk melangsungkan pernikahan. Imam Syafi’i memisahkan harta kekayaan itu dengan mata pencarian yang dimaknainya, karena dengan pendapat atau pekerjaan itu bisa dijadikan ukuran kufu dalam konsep kafa’ah, karena wanita yang luhur atau yang
78
sholehah dia tidak akan mementingkan harta kekayaan untuk melangsungkan pernikahan, dan itu semuanya dengan seizin walinya apabila bersedia dengan calon yang tidak kaya atau tidak sekufu maka harus minta izin kepada wali wanita, apabila telah setuju maka boleh dilangsungkan pernikahan. Persoalan sekufu adalah suatu perkara yang agak penting karena kalau ia tidak sekufu ia akan menyebabkan perceraian, karena tujuan perkawinan itu ialah mendapatkan ketenangan, keamanan, kasih sayang dan belah kasihan. Tetapi apabila suami maupun istri memilih pasangan yang dia benci, sudah tentu kehidupannya tidak tentram dan kemungkinan akan berlaku pergeseran serta perceraian, jadi hakikat sekufu ini mempunyai peranan yang sangat besar dalam hubungan suami maupun istri.58 Apalagi perkawinan merupakan ikatan perjanjian dua orang insan untuk bersama selamanya dalam menempuh kehidupan berumah tangga, yang mengharapkan kekal sepanjang hayat. Dan oleh karena itu sebaiknya kedua pasangan suami istri harus setaraf dalam banyak hal, supaya rumah tangga yang di harungi lebih mudah dilayari. Ada beberapa landasan Al-Quran dan hadist sehingga imam Syafi’i tidak menjadikan harta sebagai kriteria dalam menetapkan hukum kafa’ah. 1. Al-Qur an surat Al-Baqarah ayat 221
58
Ny. Soemiati . Hukum Perkahwinan Islam dan Undang-undang Perkahwinan; Undang-undang no.1 Tahun 1974, Tentang Perkahwinan. Penerbit Liberty. Jogjakarta,1982.cet 1 h. 85.
79
Artinya: Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik. Walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mu’min sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang-orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak keneraka, sedang Allah mengajak kesurga dan ampunan dengan izinNya. Dan Allah menerangkan ayatayatNya (perintah-perintahNya) kepada mereka supaya mereka mengambil pelajaran”. (QS: Al-Baqarah: 221) Surat Al-Baqarah di atas dijelaskan bahwa dilarang menikahi wanita-wanita musyrik, sehingga mereka beriman, dalam ayat ini juga diterangkan bahwa dilarang menikahkan orang musyrik dengan orang mukmin. Jadi jelaslah bahwa agama lebih diutamakan dari pada harta. 2. Al-Qur an surat An-Nur : 26
Artinya : Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji 80
(pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanitawanita yang baik (pula). mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga).(QS. An-Nur : 26) Ayat ini diturunkan untuk menunjukkan kesucian ‘Aisyah r.a. dan Shafwan bin Al-Mu’attal r.a. dari segala tuduhan yang ditujukan kepada mereka. Pernah suatu ketika dalam suatu perjalanan kembali dari ekspedisi penaklukan Bani Musthaliq, ‘Aisyah terpisah tanpa sengaja dari rombongan karena mencari kalungnya yang hilang dan kemudian diantarkan pulang oleh Shafwan yang juga tertinggal dari rombongan karena ada suatu keperluan.Kemudian ‘Aisyah naik ke untanya dan dikawal oleh Shafwan menyusul rombongan Rasullullah SAW. dan para sahabat, akan tetapi rombongan tidak tersusul dan akhirnya mereka sampai di Madinah. Peristiwa ini akhirnya menjadi fitnah dikalangan umat muslim kala itu karena terhasut oleh isu dari golongan Yahudi dan munafik; jika telah terjadi apa-apa antara ‘Aisyah dan Shafwan. Masalah menjadi sangat pelik karena sempat terjadi perpecahan diantara kaum muslimin yang pro dan kontra atas isu tersebut. Sikap Nabi juga berubah terhadap ‘Aisyah, beliau menyuruh ‘Aisyah untuk segera bertaubat. Sementara ‘Aisyah tidak mau bertaubat karena tidak pernah melakukan dosa yang dituduhkan kepadanya, ia hanya menangis dan berdoa kepada Allah agar menunjukkan yang sebenarnya terjadi. Kemudian Allah menurunkan
81
ayat yang menunjukkan kepada kaum muslimin bahwa Rasulullah adalah orang yang paling baik maka pastilah wanita yang baik pula yang menjadi istri beliau, yaitu ‘Aisyah r.a. Jika kita hubungkan dengan kehidupan kita saat ini, ayat ini menunjukkan bahwa sebenarnya setiap orang pasti ada pasangannya (jodohnya) masing-masing, yaitu yang sesuai dengan tingkatannya (kufu’nya). Sesuai dengan tingkatan yang setara jumlah kebaikannya, jumlah kekurangannya, setara ilmunya (kealimannya), setara dosadosanya baik yang telah dilakukan maupun yang akan dilakukan (Allah Maha Tahu apa yang akan terjadi). Jadi, seorang laki-laki ahli maksiyat sebaiknya tidak perlu memimpikan seorang santri putri yang suci, atau seorang wanita nakal tidak perlu memimpikan seorang ustad yang baik. Kenyataannya tidak selalu demikian dalam pandangan kita, wallahu a‘lam. Allah lebih tahu apa yang sebaiknya terjadi, apa yang baik buat hamba-Nya. Meski kadang-kadang kita tidak bisa menalarnya, karena yang kita ketahui cuma sedikit. 3. Hadis nabi
ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﮭﻢ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َ ﺿﻲ اﻟﻠﱠﮭﻢ َﻋ ْﻨﮭﻢ َﻋ ِﻦ اﻟﻨﱠﺒِ ﱢﻲ ِ َﻋ ْﻦ أَﺑِﻲ ھُ َﺮ ْﯾ َﺮةَ َر ْ َﻗَﺎ َل ﺗُ ْﻨ َﻜ ُﺢ ْاﻟ َﻤﺮْ أَةُ ِﻷَرْ ﺑَ ٍﻊ ﻟِ َﻤﺎﻟِﮭَﺎ َوﻟِ َﺤ َﺴﺒِﮭَﺎ َو َﺟ َﻤﺎﻟِﮭَﺎ َوﻟِ ِﺪﯾﻨِﮭَﺎ ﻓ ت ِ ﺎظﻔَﺮْ ِﺑ َﺬا ْ َاﻟﺪﱢﯾ ِﻦ ﺗ َِﺮﺑ (ك )ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﯿﮫ َ ﺖ ﯾَﺪَا Artinya:
Dari Abu Hurairah r.a. dari Rasulullah SAW bersabda:“Perempuan dikawini karena empat hal, yaitu karena hartanya, karean kedudukannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya, hendaklah
82
engkau memilih yang beragama. Pastilah engkau bahagia”.(HR. Bukhari Muslim)59 Hadist
di atas
menjelaskan
bahwa perempuan itu
dinikahkan karena empat hal : Harta, kedudukan, kecantikan dan agamanya, tetapi lebih di titik beratkan kepada agama, harta tidak menjadi pandangan utama dalam konsep kafa’ah. Walaupun harta yang dimaksud dalam hadist diatas adalah bukan banyaknya harta tetapi yang dimaknai dengan harta dalam hadist ini ialah mata pencarian bukan banyaknya harta kekayaan dalam kehidupan, dan mata pencarian yang dimaksud ialah pendapatan atau pekerjaannya disanalah yang menjadi ukuran dalam konsep kafa’ah menurut imam Syafi’i Konsep kafa’ah ini memberikan hak pilih bagi perempuan untuk menentukan pasangan, apakah setuju atau tidak dengan calon suami. Konsep ini menunjukan bahwa Islam sangat menghormati dan menjunjung kedudukan wanita yang jauh dari kezaliman dan kebatilan. Mengingat mayoritas masyarakat di Indonesia memakai mazhab Syafi’i dan imam Syafi’i menetapkan konsep kafa’ah itu kepada wali dan wanita itu saja, karena menurut Syafi’i harta itu tidak termasuk dalam konsep kafa’ah dan kalaupun ada yang berhak menjaga harta tersebut adalah walinya, karena harta itu bersifat 59
Al- Hafiz Imam Ibnu Hajar al- Asqolany, Buluqhlul maram min Adalatil Ahkam, (Mesir: Dar al- Akidah, 2003), h. 208.
83
timbul dan tenggelam, jadi tidak bisa di jadikan faktor dalam konsep kafa’ah, imam Syafi’i memaknai hartanya itu dengan mata pencariannya. C. Analisis Konsep Kafa’ah Konsep kafa’ah adalah keserasian antara calon suami dengan calon istri, namun dalam konsep kafa’ah ini imam mazhab berbeda pendapat tentang masalah kafa’ah, menurut imam syafi’i kafa’ah itu meliputi: kebangsaan, Keagamanan, kemerdekaan dan pekerjaan. Maksud kebangsaan menurut imam syafi’i adalah orang quraisy sekufu dengan orang quraisy juga, dan sekufu dalam keagaman adalah orang Islam sekufu dengan orang Islam pula dan kalau konsep kafa’ah menurut imam Syafi’i tentang kemerdekaan adalah seorang budak merdeka sekufu dengan budak yang merdeka pula, dan dalam konsepa kafa’ah pekerjaan adalah anak seorang hakim sekufu dengan anak seorang tukang sapu. Mengingat mayoritas masyarakat di Indonesia memakai mazhab Syafi’i, maka dari itu saya tertarik untuk menganalisis konsep kafa’ah imam Syafi’i karena imam Syafi’i tidak memasukkan harta dalam konsep kafa’ah, menurut imam Syafi’i harta itu tidak bisa menjadi ukuran kekufuan, karena harta itu bersifat timbul dan tengelam suatu saat akan musnah maksud timbul dan tengelam disini adalah bahwa harta itu tidak bisa di jadikan pokok dalam konsep kafa’ah, karena harta itu suatu saat akan hilang tidak abadi maka dari itu imam Syafi ‘i tidak memasukkan harta dalam konsep kafa’ah dan imam
84
Syafi’i memaknai harta itu dengan pekerjaannya sehari-hari atau dengan pendapatanya. Konsep kafa’ah imam Syafi’i adalah menyamakan kedudukan calon suami dengan calon wanita artinya konsep kafa’ah imam Syafi’i ini menjaga keseimbangan antara calon mempelai laki-laki dan mempelai wanita, maka imam Syafi’i tidak memasukkan harta dari sana lah keseimbangan dalam pernikahan, apabila wanita menikah dengan laki-laki yang banyak harta menurut imam Syafi’i tidak ada masalah apabila walinya menyetujui. Tapi apabila setelah menikah suami yang dinikahkan itu susah tidak berharta lagi atau masalah dalam rumah tangga, maka aqad dalam kekufuan tidak berubah, pernikahan nya tetap sah seperti sebelumnya karena pernikahan itu bukanlah suatu peristiwa yang sifatnya dibatasi oleh jangka waktu tertentu dan diharapkan bahwa pernikahan itu membawa kearah yang harmonis antara pasangan suami maupun istri tanpa harus adanya pergeseran kepada perceraian di tengah jalannya, disebabkan karena tidak mendapatkan kebahagian atau keharmonisan dalam rumah tangga.
85
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Dari berbagai data yang sudah terkumpul, penyusun menyimpulkan konsep kafa’ah imam Syafi’i sebagai berikut: 1.
Kafa’ah merupakan keseimbangan antara calon suami dan calon istri dalam kehidupan berumah tangga, dan menurut imam Syafi’i hak bagi wanita adalah walinya, maksudnya adalah jika seseorang wanita menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu, maka wali berhak membatalkan pernikahan tersebut. Dan konsep kafa’ah menurut imam Syafi’i sama dengan konsep kafa’ah imam-imam yang lain yaitu kebangsaan, keagamaan, kemerdekaan, dan mata pencarian.
2. Konsep kafa’ah imam Syafi’i yang membedakannya dengan imam-imam yang lain adalah dalam hal kekayaan, imam Syafi’i memaknai kekayaan itu dengan mata pencarian atau pendapatan. Bukan dengan banyaknya harta kekayaan dalam kehidupan, dan menurut imam Syafi’i kekayaan tidak dapat dijadikan sebagai ukuran kekufuan, karena kekayaan itu bersifat timbul dan tenggelam dan suatu saat akan musnah. dan imam Syafi’i tidak memasukkan harta kekayaan itu dalam konsep kafa’ah dalam pernikahan berdasarkan Al-Quran dan hadist.
86
B. SARAN-SARAN 1. Skripsi ini sebatas meneliti dan menganalisa
konsep kafa’ah dalam
pernikahan menurut imam Syafi’i, dan tampaknya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang keberadaan konsep kafa’ah dalam pernikahan menurut imam Syafi’i yang ada di Indonesia maupun di negara lainnya. 2. Pernikahan itu bukanlah suatu peristiwa yang sifatnya dibatasi oleh jangka waktu tertentu, dan diharapkan bahwa pernikahan itu membawa kearah yang harmonis antara pasangan suami maupun istri tanpa harus adanya pergeseran kepada perceraian di tengah jalanya, disebabkan karena tidak mendapatkan kebahagian atau keharmonisan dalam rumah tangga.
87
DAFTAR PUSTAKA Ghazali Rahman Abdul, Fiqih Munakahat, Kencana Pranada Media Group, Jakarata : 2008 Al-maraghi Mushthafa Ahmad, Terjemahan Tafsir Al-Maraghi, Semarang: Toha Putra, 1974. Muhammad Zahrah Abu, Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah. Beirut Dar Al-Fikr AlArabi. Asy Syafi’i Al Imam Ra. Al-Uum (Kitab Induk ). Pt. Victory Agency. Kuala Lumpur : 1989 Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan Islam, Pt. Kencana Penada Media Group. Jakarta : 2006 Departemen Agama Al-Qur an dan Terjemahannya , Cv. Diponegoro. Bandung : 2006. Ghayati Ath-Thahir Muhammad Fathi, Beginilah Seharusnya Suamui Istri Saling Mencintai. Bandung : 1426 Djazali, Kaidah-Kaidah Fiqih, Jakarta: Kencana Prenada Media Group : 2006. As ‘ad Aliy H, Fathul Mu’in, Menara Kudus. Jogjakarta : 1979. Bakri Hasbullah, Pedoman Islam di Indonesia, Universitas Indonesia. Jakarta : 1990 Al-Asqalany Hajar Ibnu. Tth, Syar Bulughul Maram Min Jami’ Adillatil Ahkam. Bandung Diponegoro. J Lexy. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosada Karya, Bandung. 2000 Yunus Mahmud, Hukum Perkawinan Dalam Menurut Mazhab Syafi’i, Hanafi, Hambali dan Maliki. Pt. Hidakarya Agung. Jakarta : 1983. Rifa’i Moh, Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang : 1978. Ph Nazir Moh.. D, Metode Penelitian. Gahlia Indonesia :1983 Mugniyah Jawad Muhammad, Fiqih Lima Mazhab. Jakarta : 2013. Sabiq Sayid, Fiqih Sunnah, Pt. Alma’rif. Bandung : 1981
88
Soekanto Soejono, Pengantar Penelitian Hukum, Pt. Universitas Indonesia. Jakarta : 1986 Bin Abd Al-Salam Laliusyh Abdullah Abu Syiekh , Ibanah Al- Ahkam Syarah. Bulugh Al-Maram (jilid ketiga), Kuala Lumpur : Al-Hidayah Publication, 2010. Azhar Ahmad Basyir,Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta : UII Press Yogyakarta, 2000 Ramulyo Idris Mohd., Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Dari UndangUndang No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1999 Arikunto Suharsimi, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta : Rineka Cipta, 2006. Nasution,Metode Research Penelitian Ilmiah,(Jakarta: Bumi Aksara, 2006 Ny. Soemiati. Hukum Perkahwinan Islam dan Undang-undang Perkahwinan; Undang-undang no.1 Tahun 1974, Tentang Perkahwinan. Penerbit Liberty. Jogjakarta, 1982 Roibin, Sosiologi Hukum Islam, Telaah Pemikiran Imam Syafi’I, Malang : 2008 Yaggo Tahido Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta : 1997 Al-Jairi Al-Figh ‘ala Al-Mazahib Al-Arba’ah, ( Beirut : Dar Al-Fikr, 1969). Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, 2007. Fiqh Madzhab Syafi’i, Pustaka Setia: Bandung. Kementerian Agama, Terjemahan Tafsir Perkata, CV. Insane Kamil, Jawa Barat: 2011
89
RIWAYAT HIDUP Nama
: Dia Yuliana
Bp/Nimko : 1001 305 001/S1.VI.13.10.870 Tgl. Lahir : 14 Juli 1993 Memulai pendidikan pada tahun 1998 disekolah Dasar Cinta Damai Jambi sampai tamat 2004, kemudian melanjutkan ke Ponpes Thawalib Putri Padang Panjang setingkatan Sekolah Menengah Pertama dan tamat tahun 2007, selanjutnya meneruskan ke Kuliyatul Ulum El Islamiyah Thwalib Putri Padang Panjang tamat tahun 2010, setelah menamatkan di Ponpes Thawalib Putri Padang Panjang , kemudian melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Solok Nan Indah sampai selesai pada tahun 2014 penulis mendapatkan gelar keserjanaan di STAI Solok Nan Indah. Nama ayah
: (Alm) Hasbon S
Nama ibu
: Septimis Sosialti
Alamat
: Rt 03 Rw 02, Tanjung Pinang Kec. Jambi Timur Kota Jambi. Provinsi Jambi.
Penulis
Dia Yuliana Bp/NIMKO :1001 305 001/S1.VI.13.10.870
90