PRODUKSI ANTIBODI POLIKLONAL ANTIEKSKRETORI/SEKRETORI (E/S) Fasciola gigantica ISOLAT ASAL DOMBA DAN KERBAU PADA KELINCI
RETNO SETYANINGSIH
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Produksi Antibodi Poliklonal Anti Ekskretori/Sekretori (E/S) Fasciola gigantica Isolat Asal Domba dan Kerbau pada Kelinci adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalan teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juli 2011
Retno Setyaningsih B04070041
ABSTRACT RETNO SETYANINGSIH. Production of Polyclonal Antibody AntiExcretory/Secretory (E/S) of Fasciola gigantica Sheep and Buffalo Origins in Rabbit. Under direction FADJAR SATRIJA, SRI MURTINI.
The research was designed to study method of polyclonal antibody (Ig G) anti-Excretory/Secretory (E/S) Fasciola gigantica production in rabbit. Two antigens of E/S Fasciola gigantica (E/S Fasciola gigantica from buffalo and E/S Fasciola gigantica sheep) were immunized to rabbit, at dose level 150 µg/animal. Freund’s adjuvant added to antigen with the equal volume (1:1). The first immunization was done intravenous (i.v) without adjuvant. Second immunization were gave subcutaneous (s.c) with combination of antigen-Freund’s adjuvant complete. The third until sixth immunizations were done subcutaneous (s.c) with combination of antigen-Freund’s adjuvant incomplete. Blood samples were collecting every one week after the third immunization. To evaluated antibody anti Excretory/Secretory (E/S) Fasciola gigantica development, the sera tested using Agar Gel Precipitation Test (AGPT). The result showed that the rabbit immunized by E/S protein of Fasciola gigantica from sheep, able to develop antibody faster (4 weeks post infection) than the rabbit which immunized by E/S protein of Fasciola gigantica from buffalo (12 weeks post infection). In the same time, cross reactivity between antigens appear from the antibody that produced from each rabbit. Key words: polyclonal antibody, Excretory/Secretory antigen, Fasciola gigantica
RINGKASAN RETNO SETYANINGSIH. Produksi Antibodi Poliklonal Anti Ekskretori/Sekretori (E/S) Fasciola gigantica Isolat Asal Domba dan Kerbau pada Kelinci. Dibawah bimbingan FADJAR SATRIJA, SRI MURTINI. Penelitian telah dilakukan untuk mempelajari pembentukkan antibodi poliklonal (Ig G) anti E/S Fasciola gigantica hewan coba kelinci. Dua ekor kelinci masing-masing diimunisasi dengan 150 µg antigen Ekskretori/Sekretori (E/S) Fasciola gigantica yang diisolasi dari domba dan kerbau yang disembelih di Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Bekasi serta Tempat Pemotongan Hewan (TPH) Empang-Kota Bogor. Imunisasi pertama dilakukan dengan rute intravena (i.v) tanpa tambahan adjuvant. Imunisasi kedua dilakukan dengan rute subkutan (s.c) dengan kombinasi antigen- adjuvant lengkap Freund. Imunisasi ketiga hingga kelima dilakukan dengan rute subkutan (s.c) dengan kombinasi antigenadjuvant tak lengkap Freund. Sampel darah dikoleksi tiap seminggu sekali setelah penyuntikkan yang ketiga. Serum darah diuji menggunakan Agar Gel Pecipitation Test (AGPT) untuk mengevaluasi antibodi anti E/S Fasciola gigantica yang terbentuk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelinci yang diimunisasi dengan antigen E/S F. gigantica asal domba, mampu membentuk antibodi lebih cepat (4 minggu pasca infeksi) dibandingkan kelinci yang diimunisasi dengan antigen E/S F. gigantica asal kerbau (12 minggu pasca infeksi). Pada waktu yang sama, reaksi silang diantara antigen antigen E/S F. gigantica muncul dari antibodi yang dihasilkan oleh masing-masing kelinci. Kata kunci: antibodi poliklonal, antigen Ekskretori/Sekretori, Fasciola gigantica
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PRODUKSI ANTIBODI POLIKLONAL ANTI EKSKRETORI/SEKRETORI (ES) Fasciola gigantica PADA KELINCI
RETNO SETYANINGSIH
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2011 Judul Skripsi Nama NIM
:
Produksi Antibodi Poliklonal Anti-Ekskretori/Sekretori (E/S) Fasciola gigantica Isolat Asal Domba dan Kerbau pada Kelinci : Retno Setyaningsih : B04070041
Disetujui
drh. H. Fadjar Satrija, M.Sc, Ph. D Pembimbing I
Dr. drh. Hj. Sri Murtini, M. Si Pembimbing II
Diketahui
Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal Lulus
:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga skripsi dengan judul Produksi Antibodi Poliklonal Anti Ekskretori/Sekretori (E/S) Fasciola gigantica Isolat Asal Domba dan Kerbau pada Kelinci ini berhasil diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. drh. H. Fadjar Satrija, M.Sc, dan Ibu Dr. drh. Hj. Sri Murtini, M.Si, selaku dosen pembimbing yang telah memberi kesempatan, arahan, dan masukan, hingga selesainya skripsi ini. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Sulaeman dan Ibu Selin, selaku laboran yang telah banyak membantu penulis dalam melaksanakan penelitian. Tak lupa ucapan terimakasih penulis haturkan kepada Ibu Mayang, Joko, Risma, dan Mega selaku rekan sepenelitian serta kepada Amalia dan Hadi S. yang telah banyak membantu penulis dengan dorongan semangat, kasih sayang, serta doa. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Ayah, Mama, serta seluruh keluarga atas dukungan baik moril maupun materil. Rekan-rekan angkatan 44’ “Gianuzzi” atas seluruh kebersamaan dan semangat serta seluruh pihak baik secara langsung maupun tidak langsung telah membantu penulis hingga selesainya penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2011
Retno Setyaningsih
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL…………………………......................................................
iii
DAFTAR GAMBAR……………….................................................................
iv
1. PENDAHULUAN…………………………………………………………. 1.1 Latar Belakang………………………………………………………..... 1.2 Tujuan………………………………………………………………….. 1.3 Manfaat…………………………………………………………………
1 1 2 2
2. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………
3 3 3 5 6 7 9 9
2.1 Kelinci…………………………………………………………………. 2.2 Cacing Fasciola gigantica…………………………………………….. 2.3 Antigen Ekskretori/Sekretori………………………………………….. 2.4 Imunitas………………………………………………………………... 2.5 Antibodi Poliklonal……………………………………………………. 2.6 Adjuvant……………………………………………………………….. 2.7 Agar Gel Precipitation Test (AGPT)…………………………………... 3. BAHAN DAN METODE………………………………………………….. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian…………………………………………. 3.2 Metode Penelitian……………………………………………………… 3.2.1 Persiapan dan Pemeliharaan Kelinci sebagai Hewan Coba…………………………………………... 3.2.2 Persiapan Antigen E/S Fasciola gigantica................................ 3.2.3 Pengukuran Konsentrasi dengan Metode Bradford…………… 3.2.4 Teknik Imunisasi………………………………………………. 3.2.5 Teknik Pengambilan Darah……………………………………. 3.2.6 Teknik Pengumpulan Serum…………………………………... 3.2.7 Pembuatan Antigen Terlarut…………………………………… 3.2.8 Teknik Agar Gel Pecipitation Test (AGPT)…………………… 3.2.9 Pemurnian Immunoglobulin G (Ig G)………………………….
11 11 11 11 11 12 13 14 14 14 15 15
4. HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………….............
17
5. SIMPULAN DAN SARAN……………………………............................. 5.1 Simpulan……………………………………………………………….. 5.2 Saran………………………………………………...............................
24 24 24
DAFTAR PUSTAKA…………......................................................................... 25 Halaman
DAFTAR TABEL Halaman 1
Tata cara pengisian larutan BSA dan Aquabides………………....
12
2
Tata cara penyuntikkan antigen.......................................................
13
3
Data hasil AGPT..............................................................................
17
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Struktur Ig G pada mamalia………………………………………
2
Hasil AGPT anti E/S Fasciola gigantica asal domba (KP) pada minggu ke-4 dan ke-6…………………………………………….
3
18
Hasil AGPT anti E/S Fasciola gigantica asal kerbau (KH) pada minggu ke-12 dan ke-14……………………………….…………
4
8
18
Hasil AGPT antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal domba dengan antigen E/S Fasciola gigantica asal kerbau……………...
21
5
Penebalan presipitasi reaksi silang antibodi pada AGPT..……….
22
6
Hasil AGPT Ig G hasil pemurnian serum kelinci...………………
23
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fasciolosis adalah penyakit yang disebabkan cacing dari genus Fasciola. Fasciolosis di Indonesia secara umum disebabkan oleh Fasciola gigantica. Berbagai studi memperlihatkan bahwa Fasciola gigantica merupakan parasit yang paling sering ditemukan pada ruminansia terutama ruminansia besar (sapi dan kerbau) di Indonesia. Kurang lebih 80 persen ternak ruminansia terutama kerbau di Indonesia terserang fasciolosis, sedangkan prevalensinya di Indonesia berkisar antara 60-90%. Prevalensi penyakit ini pada sapi di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Jawa Barat dapat mencapai 90%, sedangkan prevalensi penyakit ini pada domba belum diketahui (Estuningsih et al. 2004). Infeksi Fasciola gigantica berpotensi dalam menimbulkan masalah ekonomi dan kesehatan ternak. Hal tersebut dikarenakan infeksi Fasciola gigantica menyebabkan penurunan bobot hidup, penurunan performa, reproduksi, produksi susu, pengafkiran organ tubuh terutama hati sehingga hati terbuang percuma, bahkan dapat menyebabkan kematian (Copeman dan Copland 2008). Di Indonesia, secara ekonomi kerugiannya dapat mencapai 439-525 juta Australian Dollar (AUD) atau sekitar Rp. 3,512-4,200 triliun per tahun (1 AUD= Rp. 8000) (Copeman dan Copland 2008). Kerugian ekonomis akibat kecacingan dapat ditekan melalui program pengendalian kecacingan yang didasarkan pada diagnosa dini infeksi cacing sebelum menimbulkan perubahan patofisiologis dalam tubuh inang. Deteksi antigen cacing yang dikeluarkan bersama dengan tinja (koproantigen) merupakan salah satu metode deteksi dini infeksi cacing parasit. Beberapa penelitian terdahulu membuktikan bahwa deteksi koproantigen akibat infeksi parasit baik pada ternak maupun pada manusia bermanfaat untuk pengendalian dan pencegahan dini (Charlier et al. 2008, Seres dan Cozma 2008, Guezala et al. 2009). Metode diagnosa menggunakan koproantigen memiliki keunggulan dapat mendeteksi keberadaan antigen parasit Echinococcus pada masa prepaten yang berkorelasi dengan derajat infeksi parasit dalam tubuh inang (Seres dan Cozma 2008).
Keberadaan
koproantigen
dapat
dideteksi
dengan
antibodi
anti
koproantigen yang akan direaksikan dengan feses melalui uji serologis (Satrija 2009). Antibodi anti koproantigen dapat berupa monoklonal antibodi atau poliklonal antibodi yang diproduksi dengan memanfaatkan protein whole worm extract (WWE) cacing parasit (Guezala et al. 2009). Selain itu, antibodi anti koproantigen juga dapat diproduksi dengan memanfaatkan Ekskretori/Sekretori (E/S) dari produk metabolisme cacing parasit yang diimunisasikan kedalam tubuh hewan coba.
1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pembentukan antibodi poliklonal (Ig G) anti E/S Fasciola gigantica dari isolat asal domba dan kerbau pada hewan coba kelinci.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelinci Kelinci merupakan hewan yang umum digunakan untuk penelitian dan produksi bahan biologis. Penggunaan kelinci sebagai hewan coba pada penelitian immunodiagnostik terhadap Fasciola sp. pernah dilakukan oleh Sewell (1964), Schalch et al. (1979), Moazeni et al. (2005), dan Mahmoud et al. (2008). Klasifikasi kelinci menurut Orr (1976) sebagai berikut: Filum
: Cordata
Subfilum
: Craniata
Kelas
: Mamalia
Subkelas
: Theria
Ordo
: Lagomorpha
Famili
: Leporidae
Subfamili
: Leporinae
Genus
: Oryctolagus
Spesies
: Oryctolagus sp.
Penggunaan kelinci sebagai hewan coba sangat menguntungkan karena kelinci mudah dipelihara, relatif ekonomis, dan mudah diambil darahnya (Smith 1995). Secara anatomis, telinga kelinci yang panjang dan banyak mengandung pembuluh darah memudahkan dalam pengambilan sampel darah. Pemilihan kelinci sebagai hewan coba untuk produksi antibodi secara eksperimental di laboratorium karena ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan hewan coba laboratorium lain seperti tikus ataupun mencit, sehingga diperoleh darah lebih banyak (IACUC 2010).
2.2 Cacing Fasciola gigantica Fasciola gigantica merupakan salah satu spesies cacing dari genus Fasciola yang termasuk ke dalam trematoda digenea. Habitat cacing ini ada di dalam pembuluh empedu. Fasciola gigantica memiliki siklus hidup yang mirip dengan Fasciola hepatica yang membutuhkan inang antara dan inang definitif. Siput dari genus Lymnaea merupakan inang antara Fasciola gigantica yang berkembang dengan baik di daerah tropis. Inang definitif cacing Fasciola
gigantica yaitu domba, sapi, dan kerbau serta mamalia lain seperti babi, kuda, dan manusia. Fasciola gigantica secara morfologi memilki ukuran yang lebih besar dibandingkan Fasciola hepatica. Panjang tubuhnya dapat mencapai 7,5 cm dengan lebar 1,2 cm dan tidak memiliki “bahu” yang menonjol seperti Fasciola hepatica. Ukuran telurnya mencapai 200x105 mikron, telurnya berkulit tipis dan memiliki operkulum (Levine 1990). Menurut Levine (1990), trematoda ini diklasifikasikan sebagai berikut: Filum
: Platyhelminthes
Kelas
: Trematoda
Subkelas
: Digenea
Ordo
: Echinostomorida
Subordo
: Echinostomorina
Famili
: Fasciolidae
Genus
: Fasciola
Spesies
: Fasciola gigantica
Secara umum, morfologi klasik trematoda memiliki tubuh dorsoventral, dan tidak bersegmen seperti daun. Tubuh trematoda tidak memiliki rongga badan dan semua organ berada di jaringan parenkim (Levine 1990). Trematoda memiliki dua alat penghisap yang khas yaitu batil hisap mulut atau batil hisap anterior yang mengelilingi mulut dan batil hisap posterior atau asetabulum yang terletak di dekat pertengahan tubuh atau pada ujung posterior (Noble dan Noble 1989). Trematoda secara seluler memiliki lapisan luar (epikutikula) yang tidak berinti dan bersinsitial. Epikutikula dihubungkan oleh tabung-tabung sitoplasmik sempit dengan bagian tegumen yang berinti melalui
sitoplasma
membrana
basalis dan lapisan otot-otot tubuh. Terdapat mikrovili dan vesikula pinositik pada permukaan luar larva dan cacing dewasa. Struktur ini menimbulkan dugaan adanya fungsi ekskretori dan sekretori (Noble dan Noble 1989). Kutikula atau dinding luar (tegumen) trematoda kadang-kadang mengandung duri atau sisik (Levine 1990). Absorbsi glukosa berlangsung lewat tegumen yang membantu aktivasi nutrisi secara umum pada cacing. Tegumen juga berkaitan dengan fungsi respiratoris dan sensoris. Tegumen resisten terhadap aktifitas pepsin dan tripsin
karena asam-asam mukopolisakarida, polifenol, dan mucin (lendir). Resistensi yang dimiliki merupakan suatu faktor utama dalam melindungi cacing terhadap sistem pertahanan inang (Noble dan Noble 1989).
2.3 Antigen Ekskretori/Sekretori (E/S) Antigen (antibody generations) adalah suatu senyawa atau substansi yang dapat menggertak sistem imunitas dapatan pada inang atau individu. Antigen dapat berupa polisakarida, protein, lemak, asam inti atau lipopolisakarida, maupun lipoprotein (Guyton dan Hall 2007). Ciri pokok antigenisitas suatu bahan atau senyawa ditentukan dari limitasi fisikokimiawi serta derajat keasingan (Tizard 2004). Limitasi fisikokimiawi suatu bahan atau senyawa agar dapat bersifat imunogenik yaitu ukuran molekul harus besar, kaku dan memiliki struktur kimia kompleks. Ciri pokok yang kedua yaitu derajat keasingan atau frekuensi paparan suatu bahan atau senyawa di dalam tubuh. Antigenisitas suatu bahan atau senyawa juga ditentukan oleh derajat suseptibilitas antigen di dalam tubuh (Kuby 2007). Protein merupakan antigen yang terbaik karena ukuran dan kerumitan strukturnya. Hampir semua protein yang berat molekulnya lebih besar dari 8000 dalton bersifat antigenik. Pembentukan sifat antigenik tergantung kepada pengulangan kelompok molekul secara regular, yang disebut epitop (antigenik determinan) pada permukaan molekul besar (Guyton dan Hall 2007). Hewan, tumbuhan, serta parasit dapat menghasilkan substansi antigenik. Substansi tersebut tidak hanya terkandung dalam jaringan tubuh, namun juga terdapat dalam hasil metabolisme berupa Ekskretori/Sekretori (E/S) baik berasal dari hewan, tanaman, maupun cacing parasit (Balqis 2006). Substansi antigenik yang dihasilkan pada umumnya merupakan senyawa enzim. E/S Fasciola hepatica telah diketahui mengandung enzim enolase, leucine aminopeptidase (LAP), dan phosphoenolpyruvate carboxykinase (PEPCK) sebagai antigen yang bersifat imunodominan. Selain Fasciola hepatica, PEPCK merupakan imunogen utama yang diperoleh dari E/S telur Schistosoma mansoni (Marcilla et al. 2008). Enzim cathepsin L1 merupakan imunogen dominan pada E/S Fasciola gigantica yang telah dimanfaatkan sebagai kit diagnostik untuk mendeteksi antibodi (Ig G) akibat fasciolosis pada manusia (Wongkham et al. 2005). Glutathione S-
Transferase (GSTs) merupakan enzim yang terkandung baik dalam E/S maupun ekstrak somatik Fasciola spp yang berperan dalam detoksifikasi anthelmentik (Alirahmi et al. 2010). Sifat antigenik atau imunogenik E/S dari cacing golongan nematoda dan trematoda telah diketahui berasal dari kutikula dan tegumen. E/S yang dihasilkan oleh cacing parasitik berperan sebagai antigen yang memicu kehadiran antibodi dalam tubuh inang (Lightowlers dan Rickard 1988).
2.4 Imunitas (Respon Kekebalan) Imunitas berasal dari bahasa latin immunis yang berarti bebas. Imunitas atau respon kekebalan merupakan kemampuan untuk mencegah terjadinya infeksi, meniadakan kerja toksin dan faktor virulen lainnya yang bersifat antigenik maupun imunogenik. Suatu bahan yang bersifat antigenik (antigen) artinya mampu merangsang pembentukan antibodi spesifik terhadap suatu senyawa. Selain mampu merangsang pembentukan antibodi spesifik yang bersifat protektif terhadap senyawa penginduksinya, antigen juga mampu meningkatkan respon kekebalan seluler (Wibawan et al. 2003). Secara umum respon kekebalan tubuh terbagi dua yaitu kekebalan nonspesifik dan kekebalan spesifik. Respon kekebalan non-spesifik berupa kekebalan fisik-mekanik, kimiawi, serta seluler. Kekebalan fisik mekanik dilakukan oleh kulit dan selaput lendir. Kekebalan kimiawi dilakukan oleh cairan tubuh yang berupa keringat, air mata, cairan limfe, maupun lendir. Kekebalan seluler nonspesifik dilakukan oleh makrofag dan mikrofag atau sel polimorf nuclear (PMN) (Black 2005). Respon kekebalan spesifik berkaitan dengan sel limfosit B dan sel limfosit T. Respon kekebalan spesifik terdiri atas respon imun berperantara antibodi (respon humoral) dan respon imun berperantara sel (Wibawan et al. 2003). Respon imun berperantara antibodi (respon humoral) melibatkan sel limfosit B. Sel limfosit B berdiferensiasi menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi untuk menetralkan antigen interseluler. Selain sel plasma, sel limfosit B juga berdiferensiasi menjadi sel memori. Respon imun berperantara sel melibatkan sel limfosit T yang terdiri dari sel limfosit T sitotoksik dan sel limfosit T helper. Sel limfosit T sitotoksik berperan dalam menghancurkan antigen
intraseluler sedangkan sel limfosit T helper berperan untuk membantu sel limfosit B (Black 2005). Penyingkiran cacing dalam sistem pencernaan memerlukan proses rumit yang melibatkan respon kekebalan humoral dan seluler (Patterson 1995).
2.5 Antibodi Poliklonal Antibodi hasil hiperimunisasi disebut antibodi poliklonal. Hiperimunisasi merupakan imunisasi yang dilakukan secara sengaja terhadap hewan dengan suatu imunogen spesifik. Antibodi poliklonal memiliki campuran kompleks antibodi dengan spesifitas, afinitas, dan isotipe yang berbeda. Antibodi poliklonal memiliki reaktivitas multipel yaitu bereaksi dengan sejumlah epitop (antigen determinan) yang berbeda pada antigen. Reaktivitas multipel ini dapat mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen antibodi yang besar dalam bentuk presipitasi. Selain itu, reaktivitas multipel antibodi poliklonal dapat menimbulkan reaksi silang. Reaksi silang yang terjadi umumnya akibat adanya antibodi terhadap antigen lain yang tidak berkaitan dan tidak relevan. Reaksi silang juga dapat terjadi karena kesamaan epitop dari antigen yang berbeda atau karena kemiripan struktur epitop antigen lain dengan epitop pembuat peka (priming epitop) yang dikenali oleh antibodi (Smith 1995). Antibodi terdiri dari unit dasar yang disebut imunoglobulin (Ig). Imunoglobulin merupakan grup penyusun antibodi yang secara umum memiliki dua karakteristik yaitu kimia dan biologi (Black 2005). Imunoglobulin secara kimia memiliki struktur berupa rantai polipeptida (dua rantai ringan dan dua rantai berat). Secara biologi, produksi imunoglobulin distimulasi oleh antigen dan memiliki reaksi yang spesifik (Barriga 1981). Imunoglobulin dapat dikelompokkan berdasarkan sifat-sifat dasarnya (Guyton dan Hall 2007). Sifat dasar tersebut berupa derajat kelarutan dalam larutan garam, muatan elektrostatik, berat molekul dan struktur antigeniknya (Tizard 2004). Terdapat lima golongan immunoglobulin yaitu Ig M, Ig G, Ig A, Ig E dan Ig D. Diantara lima golongan imunoglobulin tersebut, Ig G merupakan imunoglobulin yang umum digunakan dalam produksi bahan biologis untuk immunodiagnostik. Hal tersebut dikarenakan Ig G memiliki prosentase jumlah
paling banyak yaitu 70-75% di dalam serum normal dibandingkan Ig M (antibodi pertama yang muncul dalam respon primer), Ig A, Ig E dan Ig D. Ig G memiliki struktur monomer dengan berat molekul 146.000 dalton serta merupakan antibodi utama dari respon imun sekunder (De Buysscher dan Patterson 1995). Secara struktural, Ig G memiliki empat rantai polipeptida yang terbagi atas dua rantai berat identik serta dua rantai ringan (Gambar 1). Rantai berat dan rantai ringan polipeptida dihubungkan oleh ikatan disulfida yang terdapat pada bagian engsel (hinge region). Masing-masing rantai berat dan ringan dari Ig G memiliki bagian konstan atau tetap dan bagian yang dapat berubah atau variabel (Guyton dan Hall 2007). Variabel (v) atau bagian yang dapat berubah pada struktur Ig G memiliki fungsi khusus untuk melekat pada antigen, sedangkan bagian tetap atau konstan menentukan sifat biologis Ig G dan beberapa faktor seperti penyebaran Ig G dalam jaringan, pelekatan Ig G pada struktur spesifik jaringan, pelekatan pada kompleks komplemen, serta kemudahan Ig G dalam melewati membran dan beberapa sifat biologis Ig G yang lain (Guyton dan Hall 2007).
Tempat Pelekatan Antigen
Bagian Variabel Rantai Ringan Rantai Berat
Bagian Konstan
Gambar 1 Struktur Ig G pada mamalia (Mader 1997)
2.6 Adjuvant Adjuvant merupakan senyawa yang berfungsi memperlambat pengeluaran antigen didalam tubuh. Adjuvant dapat memodifikasi imunogen atau berkerja pada tingkat sel dari respon kekebalan inang. Penambahan adjuvant dapat meningkatkan imunogenisitas melalui perubahan struktural atau elektrostatik antigen, meningkatkan agregasi molekul antigen, serta memodifikasi presentasi antigen. Adjuvant mempengaruhi sistem kekebalan inang dengan membentuk depot imunogen, menarik sel-sel mononuklear ke lokasi penyuntikan, meningkatkan sirkulasi limfosit, memodifikasi membran sel (agen aktifdipermukaan), merangsang aktivitas sel yang terlibat dalam respon kekebalan, dan menginduksi atau menghambat pembebasan molekul-molekul kecil yang mengatur fungsi sel dalam system kekebalan (Smith 1995). Emulsi air-dalam-minyak merupakan bentuk adjuvant paling awal. Terdapat dua tipe adjuvant emulsi air-dalam-minyak. Tipe pertama yaitu adjuvant tak lengkap Freund (Freund’s incomplete adjuvant) merupakan adjuvant tanpa campuran mikobakteri. Tipe kedua yaitu adjuvant lengkap Freund (Freund’s complete adjuvant) merupakan campuran minyak mineral dan pengemulsi dengan mikobakteri (Smith 1995). Adjuvant lengkap Freund merupakan adjuvant yang sangat kuat. Aktivitasnya diperkuat oleh bagian aktif mikobakteri yaitu muramil dipeptida (nacetyl-muramyl-L-alanyl-D-isoglutamin). Muramil dipeptida merangsang fungsi makrofag dan merangsang respon antibodi yang kuat dalam waktu lama. Rute penyuntikkan terbaik yaitu subkutan atau intradermal. Adjuvant bertindak khusus untuk merangsang fungsi sel T dan hanya meningkatkan reaksi antigen-tergantung timus. Adjuvant meningkatkan produksi Ig G melebihi Ig M (Tizard 2004).
2.7 Agar Gel Precipitation Test (AGPT) Uji presipitasi antigen-antibodi yang terlarut atau Agar gel precipitation test (AGPT) merupakan salah satu teknik imunodiagnostik yang termasuk kedalam jenis uji pengikatan sekunder yaitu mengukur hasil interaksi antigenantibodi (kompleks antigen-antibodi) secara in vitro (Tizard 2004). Uji presipitasi ini digunakan untuk mengukur titer antibodi dalam serum secara kualitatif dan
digunakan untuk mendiagnosa fasciolosis pada kelompok ternak sapi ataupun kerbau pada penelitian Linh et al. (2003). Jumlah antibodi minimal yang dapat dideteksi pada uji AGPT yaitu 30 µg/ml antibodi. AGPT dapat digunakan untuk mendeteksi antigen yang berbeda dengan satu jenis antibodi ataupun antibodi yang berbeda dengan satu jenis antigen yang terdapat pada sampel serum (Black 2005). Reaksi AGPT melibatkan keberadaan ion antigen divalent atau multivalent dan sangat tergantung pada proporsi antigen terhadap antibodi (Barriga 1981). Reaksi ini juga dipengaruhi oleh pH, temperatur, aviditas atau kestabilan kompleks antigen-antibodi dan afinitas atau kekuatan ikatan kompleks antibodiantigen (Tizard 2004). Pembentukan presipitasi diinisiasi oleh pembentukkan kompleks molekul antigen-antibodi yang saling bereaksi diikuti dengan proses agregasi serta sedimentasi kompleks tersebut (Barriga 1981). Presipitasi yang terbentuk mulai hitungan menit hingga jam terlihat sebagai suatu garis opaq dalam suatu media agar semisolid. Garis opaque yang terbentuk disebut sebagai garis presipitasi (Black 2005).
3. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian Penelitian
dilaksanakan
di
Laboratorium
Terpadu
Immunologi,
Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kandang Terpadu, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari hingga Juli 2010.
3.2 Metode Penelitian 3.3.1 Persiapan dan Pemeliharaan Kelinci sebagai Hewan Coba Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kelinci lokal jantan sebanyak dua ekor, berumur 6 bulan dengan bobot badan masing-masing 1 kg, yang berasal dari Balai Penelitian Peternakan (Balitnak) Ciawi, Bogor. Lima hari sebelum imunisasi aktif, kelinci dipastikan bebas dari koksidiosis dan scabies. Preparat sulfa dengan dosis 30-60 mg/kgBB diberikan secara peroral yang dilarutkan kedalam air minum disertai dengan pemeriksaan tinja selama maksimal tiga hari untuk pencegahan koksidiosis. Ivomex® dengan dosis 0.2 µg/kgBB diberikan melalui injeksi subkutan untuk mencegah infeksi agen parasit lain terutama sarcoptes scabieii. Kelinci dipelihara secara individual dalam kandang dan diberi pakan berupa pelet serta sayuran (wortel dan kangkung).
3.3.2 Persiapan Antigen E/S Fasciola gigantica Antigen yang digunakan untuk imunisasi dalam penelitian ini merupakan antigen E/S Fasciola gigantica asal domba dan kerbau dari hasil penelitian Satrija (2009). Fasciola gigantica dewasa dikoleksi dari hati kerbau di Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Bekasi serta hati domba dari Tempat Pemotongan Hewan (TPH) di Empang-Kota Bogor. Antigen berupa protein E/S F. gigantica diproduksi dan diisolasi dari cacing dewasa menurut metode Satrija et al. (2007) yang dimodifikasi. Cacing hati (F. gigantica) dewasa yang telah dikoleksi dicuci tiga kali dengan larutan NaCl fisiologis sebelum dicuci dengan larutan PBS steril. Untuk menyiapkan antigen dari ES F. gigantica yang telah dicuci NaCl fisiologis, dalam tabung sentrifus 50 ml berisi larutan RPMI 1640 yang mengandung antibiotik
penisilin 1000 IU dan streptomisin 100 µg permililiter dalam larutan RPMI 1640 pada suhu 37oC selama 4-6 jam. Setiap tabung diisi dengan 10 ml RPMI 1640 dan 10 ekor cacing dewasa. Setelah inkubasi, protein ES dipanen dengan melakukan sentrifugasi terhadap larutan RPMI dengan kecepatan 1500g pada suhu 4oC selama 10 menit. Selanjutnya supernatant yang mengandung protein ES dipisahkan dari endapanProtein E/S F. gigantica yang didapat selanjutnya disimpan dalam tabung-tabung mikro volume 1,5 ml pada suhu -20oC sampai saat digunakan sebagai antigen untuk imunisasi kelinci.
3.3.3 Pengukuran Konsentrasi Protein Antigen dengan Metode Bradford Konsentrasi protein sampel antigen E/S Fasciola gigantica diukur menggunakan metode Bradford (1976) sebelum digunakan untuk imunisasi. Metode Bradford digunakan secara luas untuk penentuan protein secara kuantitatif dengan menggunakan pereaksi Commasie Briliant Blue. Konsentrat Bradford terdiri dari 100 mg Commasie Briliant Blue yang dilarutkan dalam 50 ml etanol 95% dan ditambahkan sebanyak 100 ml asam fosfat 85% (w/v) serta diencerkan dengan aquabides hingga volume larutan mencapai 1 liter kemudian disaring menggunakan kertas saring. Konsentrat Bradford tersebut diencerkan dengan dua kali pengenceran menggunakan aquades dengan perbandingan 1:4 dan 1:9. Larutan protein Bovine Serum Albumin (BSA) standar dibuat dengan perbandingan 1:1 antara Bovine Serum Albumin (BSA) dengan aquabides (1 mg dalam 1 ml) kemudian dihomogenkan. Kemudian sebanyak 11 tabung reaksi yang telah disterilisasai disiapkan. Masing-masing tabung diisi dengan larutan BSA dan aquabides (Tabel 1). Masing-masing larutan dihomogenkan dan diambil sebanyak 100 µl dari setiap tabung kemudian dimasukkan ke dalam masing-masing tabung baru yang sebelumnya telah dimasukkan 5 ml larutan Bradford sesuai urutan tabung.
Tabel 1 Tata cara pengisian larutan BSA dan Aquabides Tabung
Larutan BSA
Aquabides
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
0 µl 100 µl 200 µl 300 µl 400 µl 500 µl 600 µl 700 µl 800 µl 900 µl 1000 µl
1000 µl 900 µl 800 µl 700 µl 600 µl 500 µl 400 µl 300 µl 200 µl 100 µl 0 µl
Larutan protein Bovine Serum Albumin (BSA) digunakan untuk membuat grafik konsentrasi protein standar pada spektrofotometer yang diukur dengan panjang gelombang (λ) 595 nm sebelum mengukur protein sampel antigen. Setelah itu sampel berupa ES cacing yang akan diperiksa dibuat duplo. Masingmasing sampel diambil sebanyak 100 µl yang dimasukkan ke dalam masingmasing tabung yang kemudian ditambahkan dengan larutan Bradford sebanyak 5 ml. Larutan Bradford dan sampel dilarutkan hingga homogen kemudian dilakukan pembacaan
konsentrasi
menggunakan
spektrofotometer
dengan
panjang
gelombang (λ) 595 nm.
3.3.4 Teknik Imunisasi Dua ekor kelinci diimunisasi dengan antigen E/S Fasciola gigantica. Dosis antigen yang diberikan adalah 150 µg/ekor. Antigen pada imunisasi pertama diberikan tanpa adjuvant. Rute penyuntikkan dilakukan secara intravena (i.v). Imunisasi kedua diberikan seminggu kemudian dengan rute subkutan (s.c). Antigen pada imunisasi kedua ditambah adjuvant Freund lengkap (Freund’s complete adjuvant) dengan perbandingan 1:1. Imunisasi ketiga hingga imunisasi kelima masing-masing diberikan dengan selang dua minggu. Antigen pada imunisasi ketiga hingga kelima ditambah adjuvant Freund tak lengkap (Freund’s incomplete adjuvant) dengan perbandingan 1:1. Imunisasi diberikan dengan rute subkutan (s.c). Tata cara penyuntikkan antigen dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 2 Tata cara penyuntikkan antigen Kelinci 1 (KP) 2 (KH) Keterangan:
Antigen E/S F. gigantica asal Domba E/S F. gigantica asal Kerbau
Penyuntikkan (Minggu ke-) 1 3 5
7
Tanpa Adjuvant
FAC
FAI
FAI
FAI
Tanpa Adjuvant
FAC
FAI
FAI
FAI
0
Tanpa Adjuvant (Rute i.v) FAC = Freund’s Adjuvant Complete (Rute s.c) FAI = Freund’s Adjuvant Incomplete (Rute s.c) KP = Kelinci yang diimunisasi E/S F. gigantica asal domba KH = Kelinci yang diimunisasi E/S F. gigantica asal kerbau
3.3.5 Teknik Pengambilan Darah Darah kelinci diambil sebanyak 1,5-2 ml melalui vena auricularis dengan menggunakan disposable syringe 3 ml (IACUC 2010). Pengambilan darah pertama dilakukan sebelum kelinci diimunisasi. Pengambilan darah kedua dilakukan seminggu setelah pengambilan darah pertama dan pengambilan darah ketiga dilakukan empat minggu setelah pengambilan darah kedua. Pengambilan darah berikutnya dilakukan setiap seminggu sekali hingga minggu ke-14. Sampel darah dimasukkan dalam tabung reaksi untuk diambil serumnya.
3.3.6 Teknik Pengumpulan Serum Darah yang diambil dari kedua kelinci, dikumpulkan dalam tabung terpisah yang dimasukkan ke dalam inkubator dengan suhu 37oC dengan posisi miring selama 30 menit. Kemudian disimpan dalam refrigerator semalam pada suhu 4oC. Serum yang didapat dikumpulkan menggunakan pipet mikro. Bila perlu, darah disentrifus dengan kecepatan 2000g selama 15 menit. Serum yang didapat dipisahkan kemudian dimasukkan ke dalam tabung mikro dan diberi tanggal pengambilan darah serta kode kelinci.
3.3.7 Pembuatan Antigen Terlarut Antigen dan antibodi harus dapat berdifusi dengan baik dalam uji presipitasi menggunakan media agar. Antibodi dalam serum memiliki ukuran molekul protein yang kecil sehingga mudah berdifusi sedangkan antigen E/S
memiliki molekul protein yang besar sehingga harus dipecah salah satunya dengan menggunakan teknik sonikasi. Teknik sonikasi digunakan dalam penelitian ini untuk membuat antigen E/S Fasciola gigantica menjadi terlarut (solubel) dalam agar (Parimala dan Ishaq 2005). Antigen E/S Fasciola gigantica dimasukkan dalam tabung sonikasi. Tabung sonikasi dimasukkan dalam sonikator yang berisi air bersuhu 4oC. Hal ini bertujuan untuk mendinginkan tabung dan mencegah kerusakan antigen karena panas yang ditimbulkan selama proses berlangsung. Proses sonikasi dilakukan kurang lebih selama tiga menit dengan frekuensi 50.000 Hz.
3.3.8 Teknik Agar Gel Precipitation Test (AGPT) Agar Gel Precipitation Test (AGPT) merupakan uji presipitasi antigen yang terlarut. Teknik uji presipitasi dalam penelitian ini menggunakan metode Ouchterlony (1953). Bahan untuk AGPT terdiri atas Phosphate Buffer Saline (PBS) dengan pH 7,4, aquabides, agarose 1%, dan Na acide 0,001%. Campuran tersebut dipanaskan dalam microwave atau dengan penangas air sampai agar larut dan mendidih. Sebanyak 4 ml larutan agar dituang diatas gelas objek hingga seluruh permukaan gelas objek tertutup dengan agar dan dibiarkan hingga mengeras. Agar yang telah mengeras, dilubangi menggunakan puncher agar. Lubang pada bagian tengah diisi dengan antigen yang telah disonikasi dan enam lubang disekelilingnya diisi dengan serum antibodi yang akan diuji (Boulanger 1967). Agar disimpan di dalam wadah tertutup yang telah dialasi dengan kertas atau tissue basah untuk menjaga kelembaban dan didiamkan selama 24 hingga 48 jam pada suhu ruang. Pengamatan dapat dilakukan dengan melihat garis presipitasi yang terbentuk.
`
3.3.9 Pemurnian Immunoglobulin G (Ig G) Serum kelinci positif mengandung antibodi dimurnikan menggunakan
metode pemurnian dari Montage® Antibody Purification Kit and Spin Columns with PROSEP®-A Media. Media PROSEP®-A yang digunakan dipre-ekuilibrasi menggunakan 10 ml Binding Buffer A dengan mensentrifus spin column dengan kecepatan 500g selama 30 menit pada suhu 4oC. Sampel berupa serum kelinci anti
Fasciola gigantica kerbau dan domba disaring menggunakan 0,2 µm Steriflip-GP filter. Serum yang telah difiltrasi ditambahkan dengan Binding Buffer A dengan volume yang sama banyak (perbandingan 1:1 v/v) kemudian disentrifus dengan kecepatan 500g selama 30 menit pada suhu 4oC. Supernatan didasar tabung dibuang kemudian spin column dibilas menggunakan 20 ml Binding Buffer A dan disentrifus dengan kecepatan 500g selama 30 menit pada suhu 4oC untuk menghilangkan kontaminan yang tidak terikat. Sepuluh ml Elution Buffer B2 ditambahkan langsung kedalam spin column dalam tabung steril baru yang telah diisi 1,3 ml Neutralization Buffer C kemudian disentrifus dengan kecepatan 4500g selama 40 menit pada suhu 4oC. Supernatan didasar tabung yang mengandung Ig G diambil, kemudian difiltrasi menggunakan Amicon 30.000 dan disentrifus dengan kecepatan 4500g selama 25 menit pada suhu 4oC. Konsentrasi Ig G dihitung menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm dengan metode Bradford (1976). Supernatan berupa Ig G yang tertinggal didalam filter disimpan dalam tabung-tabung mikro volume 1,5 ml, disimpan dalam suhu -20oC. Ig G yang telah dipurifikasi diuji kembali dengan AGPT menggunakan antigen E/S Fasciola gigantica.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pemeriksaan konsentrasi antigen E/S Fasciola gigantica asal domba dan kerbau masing-masing sebesar 6755 µg /ml dan 6420 µg/ml. Dosis protein antigen untuk dapat menginduksi antibodi pada kelinci adalah 50–1000 µg antigen (IACUC 2010). Dengan demikian, dosis yang digunakan dalam penelitian ini (5x 150 µg/ekor) merupakan dosis yang cukup untuk menginduksi antibodi. Berdasarkan pemeriksaan AGPT, kelinci yang diimunisasi dengan antigen E/S Fasciola gigantica asal domba sudah menunjukkan adanya pembentukkan antibodi terhadap E/S Fasciola gigantica asal domba pada minggu ke-4. Berbeda dengan kelinci yang disuntik antigen E/S Fasciola gigantica asal kerbau, antibodi yang terbentuk terhadap E/S Fasciola gigantica asal kerbau, baru dapat dideteksi pada minggu ke-12 (Tabel 3). Tabel 3 Data hasil AGPT dilihat dari penebalan presipitasi Antigen E/S FG Domba E/S FG Kerbau Keterangan:
+ ++ +++
0 1
4
5
6
-
+ -
++ -
+++ -
-
Hasil AGPT (Minggu ke-) 7 8 9 10 11 +++ -
+++ -
+++ -
+++ -
+++ -
12
13
14
+++ +
+++ ++
+++ +++
= Presipitasi tipis = Presipitasi sedang = Presipitasi tebal = Tidak terbentuk presipitasi
Garis presipitasi yang tebal mulai tampak dari serum yang mengandung antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal domba pada minggu ke-6. Perbandingan antara garis presipitasi awal yang terbentuk dan penebalan presipitasi antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal domba,dapat dilihat pada Gambar 2. Serum yang mengandung antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal kerbau nampak tebal pada minggu ke-14. Perbandingan antara garis presipitasi awal yang terbentuk dan penebalan presipitasi antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal kerbau, dapat dilihat pada Gambar 3. Namun, deteksi garis presipitasi antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal kerbau yang terbentuk tidak setebal presipitasi antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal domba.
Ag. E/S FG Domba
Ag. E/S FG Domba
KH1
KP1
KH2
KP2
KH4
KP4
KH3
KP3
KH4
KP4
KH4
KP4
(a)
(b)
Gambar 2 Hasil AGPT; (a) presipitasi antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal domba (KP) pada minggu ke-4 (dengan antigen E/S Fasciola gigantica asal domba ditengah sumur); (b) presipitasi antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal domba (KP) pada minggu ke-6 (dengan antigen E/S Fasciola gigantica asal domba ditengah sumur). Ag E/S FG Kerbau KH5
KH5
KH6 KH5
KH5
KH5
KH5 (a)
Ag E/S FG Kerbau
KH6 KH6
KH6 KH6
KH6 (b)
Gambar 3 Hasil AGPT; (a) presipitasi antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal kerbau (KH) pada minggu ke-12 (dengan antigen E/S Fasciola gigantica asal kerbau ditengah sumur) terbentuk samar; (b) presipitasi antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal kerbau (KH) pada minggu ke-14 (dengan antigen E/S Fasciola gigantica asal kerbau ditengah sumur). Pemeriksaan terhadap adanya antibodi anti E/S Fasciola gigantica pada masing-masing kelinci setelah dua kali penyuntikkan yaitu penyuntikkan pertama (minggu ke-0) maupun kedua (minggu ke-1) belum menunjukkan adanya presipitasi. Hal tersebut dapat disebabkan oleh rendahnya antibodi yang terbentuk atau antibodi belum dibentuk pada saat itu. Pengujian keberadaan antibodi dengan uji AGPT memerlukan konsentrasi yang cukup tinggi. Antibodi minimal dalam serum yang dapat dideteksi oleh uji AGPT yaitu 30 µg/ml (Tizzard 2004).
Penelitian lain menunjukkan respon pembentukkan antibodi pada kelinci yang diinfeksi 20 metaserkaria Fasciola gigantica muncul setelah 2 minggu pasca infeksi. Peningkatan level antibodi terjadi setelah 8-10 minggu pasca infeksi dan menurun hingga mencapai level yang stabil setelah 12-14 minggu pasca infeksi (Mahmoud et al. 2008). Antibodi
yang
berperan
dalam
presipitasi
antigen
merupakan
imunoglobulin G (Ig G). Ig G merupakan imunoglobulin yang memiliki fungsi untuk netralisasi toksin, antigen virus, serta presipitasi antigen terlarut (Allan 1980). Mekanisme produksi Ig G diinisiasi oleh limfokin yang disekresikan oleh sel T helper. Limfokin akan menggertak proliferasi sel plasma dari limfosit B untuk memproduksi Ig G ketika terdapat paparan antigen untuk pertama kalinya. Sel plasma akan membentuk imunoglobulin M (Ig M) sebelum membentuk Ig G. Ig M merupakan antibodi yang pertama kali dibentuk oleh sel plasma pada respon primer setelah paparan antigen pertama. Produksi Ig M akan menurun dan produksi Ig G meningkat (Black 2005). Paparan antigen baru yang sama untuk kedua kalinya (booster), akan mengaktivasi sel memori dan menimbulkan respon antibodi kedua kali yang jauh lebih cepat dan kuat dalam respon sekunder (Guyton dan Hall 2007). Hal ini disebabkan sel memori berproliferasi dengan cepat membentuk sel plasma yang menghasilkan antibodi dalam jumlah besar. Pada respon sekunder, Ig M diproduksi dalam jumlah kecil dan dengan waktu yang singkat untuk kemudian Ig G diproduksi dalam jumlah besar (Black 2005). Ig G merupakan antibodi dominan yang jumlahnya mencapai 75% dari total serum darah normal (Guyton dan Hall 2007). Ig G mencapai konsentrasi yang signifikan pada vaskular dan ruang ekstravaskular, dan memiliki masa hidup yang cukup panjang yaitu 23 hari (Jackson 1978). Ig G juga berkontribusi dalam aktivitas antibodi di jaringan tubuh. Pemaparan berulang antigen dilakukan untuk mempertahankan keberadaan antibodi spesifik berupa Ig G dalam darah (Barriga 1981). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal domba terbentuk lebih cepat dibandingkan antibodi terhadap E/S Fasciola gigantica asal kerbau. Perbedaan waktu untuk menimbulkan respon pembentukkan antibodi pada inang (hewan yang diinjeksi imunogen) dapat
bervariasi dan tergantung pada imunogenisitas, bentuk dan stabilitas stimulant, spesies hewan, rute injeksi, serta sensitivitas uji yang digunakan untuk mendeteksi antibodi pertama yang terbentuk (Herscowitz 1978). Respon inang terhadap imunogen yang diberikan tidak hanya ditentukan oleh sifat fisikokimia imunogen, namun juga ditentukan oleh beberapa faktor terkait inang, termasuk kedalamnya yaitu genetik, umur, status nutrisi, dan efek sekunder yang diturunkan dari suatu proses penyakit (Jackson 1978). Kelinci yang digunakan pada penelitian ini memiliki rataan umur, bobot badan, jenis kelamin, dosis injeksi, nutrisi, serta rute injeksi yang sama, sehingga perbedaan waktu pembentukkan antibodi antara kedua kelinci dapat disebabkan karena adanya perbedaan karakter antigen protein E/S Fasciola gigantica. Perbedaan antara karakter E/S Fasciola gigantica dapat memengaruhi respon pembentukkan antibodi. Kedua jenis antigen tersebut merupakan protein yang berasal dari spesies cacing yang sama, namun E/S Fasciola gigantica yang dihasilkan dapat memiliki karakter protein yang berbeda. Morfologi inang asal Fasciola yang berbeda akan memengaruhi profil protein E/S yang dihasilkan. Perbedaan morfologi Fasciola tergantung pada inang definitifnya (Ashour et al. 1999). Berdasarkan elektroforesis menggunakan SDS-PAGE, antigen E/S Fasciola gigantica dari isolat asal kerbau memiliki sembilan pita protein dengan berat molekul berkisar antara 14-80 kDa (14, 25, 40, 43, 47, 56, 69, 73, dan 80 kDa) pada penelitian Satrija (2009), sedangkan E/S Fasciola gigantica dari isolat asal sapi memiliki 6 pita protein dengan berat molekul berkisar antara 15-42 kDa (15, 16, 20, 24, 33, dan 42 kDa) pada penelitian Meshgi et al. (2008b). Profil protein whole worm dan produk E/S Fasciola yang dihasilkan akan berbeda antara isolat Fasciola yang berasal dari domba dan isolat Fasciola yang berasal dari sapi (Meshgi et al. 2008a). Antigen somatik Fasciola gigantica dan E/S Fasciola hepatica dari isolat asal sapi memiliki jumlah pita protein yang berbeda. Antigen somatik Fasciola hepatica memiliki delapan pita protein dengan berat molekul berkisar antara 1862 kDa (18, 22, 24, 33, 36, 42, 46, dan 62 kDa), sedangkan antigen somatik F. gigantica memiliki 11 pita protein dengan berat molekul berkisar antara 18-68 kDa (18, 22, 24, 33, 36, 42, 46, 57, 60, 62, dan 68 kDa) (Meshgi et al. 2008b).
Perbedaan karakter protein Fasciola disebabkan oleh spesies cacing yang sama dari inang yang berbeda, spesies cacing yang berbeda dari inang yang sama, ataupun karena variasi geografis (Ashour et al. 1999; Karimi 2008; Meshgi et al. 2008a). Pembentukan antibodi kelinci dipengaruhi oleh antigenisitas protein E/S Fasciola gigantica yang disuntikkan. Ciri pokok antigenisitas suatu bahan atau senyawa ditentukan dari limitasi fisikokimiawi serta derajat keasingan (Tizard 2004). Limitasi fisikokimiawi suatu bahan atau senyawa yaitu ukuran molekul antigen harus besar, kaku dan memiliki struktur kimia kompleks (Kuby 2007). Struktur kimia protein E/S Fasciola gigantica yang besar dan kompleks, akan menghasilkan antibodi yang semakin cepat. Sifat antigenik atau imunogenik E/S dari cacing golongan nematoda dan trematoda berasal dari kutikula dan tegumen (Lightowlers dan Rickard 1988). Hasil AGPT menunjukkan bahwa antibodi yang terbentuk juga dapat mendeteksi antigen lain dari jenis cacing yang sama namun berasal dari hewan yang berbeda. Antibodi terhadap E/S Fasciola gigantica asal domba dapat membentuk presipitasi terhadap antigen E/S Fasciola gigantica asal kerbau. Demikian juga dengan antibodi terhadap E/S Fasciola gigantica asal kerbau yang membentuk presipitasi terhadap antigen E/S Fasciola gigantica asal domba. Presipitasi hasil reaksi antibodi terhadap E/S Fasciola gigantica asal domba dengan antigen E/S Fasciola gigantica asal kerbau terbentuk pada minggu ke-4 (Gambar 4a). Presipitasi hasil reaksi antibodi terhadap E/S Fasciola gigantica kerbau dengan antigen E/S Fasciola gigantica asal domba terbentuk secara samar-samar pada minggu ke-12 (Gambar 4b). Masing-masing presipitasi mengalami penebalan pada minggu ke-6 dan minggu ke-14 (Gambar 5a & b).
Ag E/S FG Kerbau
Ag E/S FG Domba KH5
KP1
KH5
KH1
KP2
KH2
KH5
KH5
KH3
KP3
KH5
KH5 (a)
(b)
Gambar 4 Hasil AGPT; (a) serum kelinci yang dinjeksi E/S Fasciola gigantica asal domba membentuk presipitasi terhadap antigen E/S Fasciola gigantica asal kerbau; (b) presipitasi terbentuk terhadap antigen E/S Fasciola gigantica asal domba terhadap serum kelinci yang diinjeksi E/S Fasciola gigantica asal kerbau . Ag E/S FG Kerbau
KH4
KP4
KH4
KP4
KH4
KP4
(a)
Ag E/S FG Domba
KH6
KH6
KH6
KH6
KH6
KH6
(b)
Gambar 5 Hasil AGPT; (a) Serum kelinci yang dinjeksi E/S Fasciola gigantica asal domba membentuk penebalan presipitasi terhadap antigen E/S Fasciola gigantica asal kerbau pada minggu ke-6; (b) Presipitasi mengalami penebalan terhadap antigen E/S Fasciola gigantica asal domba terhadap serum kelinci yang diinjeksi E/S Fasciola gigantica asal kerbau pada minggu ke-14. Antibodi poliklonal yang terdapat dalam serum kelinci menyebabkan reaksi silang dengan pembentukan presipitasi terhadap antigen yang berbeda. Antibodi poliklonal merupakan antibodi yang memiliki campuran kompleks antibodi dengan spesifitas, afinitas, dan isotipe yang berbeda (Smith 1995). Antibodi
poliklonal memiliki fungsi untuk mengikat berbagai epitop pada
permukaan molekul antigen penginduksi (Frank 2002). Antibodi poliklonal bereaksi dengan sejumlah epitop (antigen determinan) berbeda pada antigen sehingga menimbulkan multireaktivitas yang menyebabkan reaksi silang. Reaksi silang dapat terjadi karena epitop yang sama dimiliki oleh
antigen berbeda atau epitop yang secara struktur mirip atau memiliki keserupaan dengan epitop pembuat peka (priming epitop), dikenali oleh antibodi (Smith 1995; Kuby 2007). Prinsip tersebut juga dapat digunakan untuk menentukan derajat hubungan diantara molekul antigen (Tizzard 2004). Antigen somatik F. gigantica asal kerbau, sapi dan domba memiliki karakter protein dengan berat molekul yang sama yaitu 34 dan 28 kDa (Yocananth et al. 2005). Tiga pita protein dengan berat molekul yang sama juga ditemukan pada E/S dan antigen somatik dari F. hepatica and F. gigantica yaitu 24, 33, dan 42 kDa (Meshgi et al. 2008b). Hal tersebut dapat menjelaskan respon pembentukkan antibodi silang terhadap antigen yang berbeda. Reaksi silang juga terjadi diantara protein whole worm F. gigantica, Toxocara vitulorum dan Moneizia expansa. Reaksi silang yang terjadi disebabkan polipeptida yang berasal dari protein whole worm F. gigantica, Toxocara vitulorum dan Moneizia expansa memiliki kesamaan struktur (Eman dan Kadria 2000). Antibodi poliklonal (Ig G) anti Fasciola gigantica hasil pemurnian dengan filtrasi kolom diuji kembali dengan AGPT menggunakan antigen E/S Fasciola gigantica. Presipitasi pada hasil AGPT menunjukkan bahwa Ig G yang dihasilkan mampu mengikat antigen E/S Fasciola gigantica (Gambar 6). Presipitasi yang terbentuk ada uji AGPT menunjukkan bahwa Ig G yang dihasilkan dari serum kelinci pada penelitian ini, dapat menjadi sumber bahan diagnostik untuk menguji antigen E/S Fasciola gigantica baik pada kerbau maupun domba. Ag E/S FG Kerbau
Ag E/S FG Domba
Ig G
Ig G
Ig G
Ig G
Ig G
Ig G Ig G
Ig G
Ig G Ig G
Ig G Ig G
(b) E/S Fasciola Gambar 6 (a)Hasil AGPT; (a) Presipitasi Ig G dengan antigen gigantica asal kerbau (antigen E/S terletak ditengah sumur); (b) Presipitasi Ig G dengan antigen E/S Fasciola gigantica asal domba (antigen E/S terletak ditengah sumur).
5. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Simpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini antara lain: 1. Penyuntikkan antigen E/S Fasciola gigantica pada kelinci, dengan dosis 150 µg/ekor mampu menginduksi produksi antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal domba setelah tiga kali penyuntikkan, sedangkan antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal kerbau terbentuk setelah lima kali penyuntikkan. 2. Karakteristik antigen E/S Fasciola gigantica yang disuntikkan pada kelinci
pada
penelitian
ini,
mempengaruhi
perbedaaan
waktu
pembentukkan antibodi anti E/S Fasciola gigantica.
5.2 Saran Penelitian yang lebih dalam dapat dilakukan untuk mengetahui spesifisitas dan sensitivitas Ig G antibodi poliklonal terhadap Fasciola gigantica dalam mendeteksi antigen yang berasal dari cacing lain dari golongan trematoda.
DAFTAR PUSTAKA Alirahmi H, Farahnak A, Golmohamadi T, Esharghian MR. 2010. Comparative assay of glutathione s-transferase (GSTs) activity of excretory/secretory materials and somatic extract of Fasciola spp parasites. Acta Med Iran 48 (6):367-370. Allan D. 1980. Outlines Of Animal Immunobiology. London: Balliere Tindall. Ashour AA, Zakiya E, Abeer AK, Elham AN. 1999. Studies on the liver fluke Fasciola in Egypt: I- morphological and morphometrical studies. J Egypt Soc Parasitol 29 (3):979-996. Balqis U. 2006. Karakterisasi Protease dari Ekskretori/Sekretori Stadium L3 Ascaridia galli [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Barriga OO. 1981. The Immunology of Parasitic Infections. Baltimore: University Park Press. hlm 1-16. Black JG. 2005. Microbiology: Principles and Explorations 6th Ed. Virginia: John Wiley & Sons, Inc. hlm 470-492. Boulanger P, Bannister GL, Gray DP, Ruckerbauer GM, Willis NG. 1967. The use of the agar double-diffusion precipitation test for the detection of the virus in swine tissue. Can J Comp Med Vet Sci 30. Bradford MM. 1976. A Rapid and Sensitive Method for The Quantitation of Microgram Quantities of Protein Utilizing The Principle of Protein Dye Binding. Anal Biochem 72: 248-254. Charlier J, De Meulemeester L, Claerebout E, Williams D, Vercruysse J. 2008. Qualitative and quantitative evaluation of coprological and serological techniques for the diagnosis of fasciolosis in cattle. Vet Parasitol 153:44– 51. Copeman DB, Copland RS. 2008. Importance and Potential Impact of Liver Fluke in Cattle and Buffalo. Di dalam: Gray GD, Copland RS, Copeman DB, editor. Overcoming Liver Fluke as a Constraint to Ruminant Production in South-East Asia. Canberra: Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR). De Buysscher EV, Patterson RM. 1995. Respon Imun (Tanggap Kebal): Suatu Revisi Singkat. Di dalam: Artama WT, penerjemah; Burgess GW, editor. Teknologi ELISA dalam Diagnosis dan Penelitian. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: ELISA Technology in Diagnosis and Research.
Eman HA, Kadria NA. 2000. Molecular identity of major cross-reactive adult antigens in Fasciola gigantica, Toxocara vitulorum, and Monieizia expansa. J Egypt Soc Parasitol 30 (2):561–571. Estuningsih SE, Adiwinata G, Widjajanti S, Piedrafita D. 2004. Pengaruh infestasi cacing hati Fasciola gigantica terhadap gambaran Darah Sel Leukosit Eosinofil pada Domba. J ITV 9 (3):191-196. Frank SA. 2002. Immunology and Evolution of Infectious Disease. Princeton (NJ): Princeton University Press.
Guezala MC, Rodriguez S, Zamora H, Garcia HH, Gonzalez AE, Tembo A, Allan JC, Craig PS. 2009. Development of a species-specific coproantigen ELISA for human Taenia solium taeniasis. Am J Trop Med Hyg 81(3):33– 437. Guyton AC, Hall JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi ke-11. Irawati et al., penerjemah; Rachman LY, editor. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physology 11th Edition. Herscowitz HB. 1978. Immunophysiology: Cell Function and Cellular Interactions. Di dalam: Bellanti, Joseph A, editor. Immunology II. Philadelphia: W.B. Saunders Company. hlm 151-199. [IACUC] Institutional Animal Care and Use Committee. 2010. Guidelines for Polyclonal Antibody Production in Laboratory Animal. http://www.iacuc.ucsf.edu/Proc/awRabColl.asp [ 25 Juni 2011]. Jackson AL. 1978. Antigens and Immunogenicity. Di dalam Bellanti, Joseph A, Editor. Immunology II. Philadelphia: W.B. Saunders Company. hlm 101150. Karimi A. 2008. Genetic diagnosis of Fasciola species based on 18s ribosomal DNA sequences. J Biol Sci 8 (7):1166-1173. Kuby J. 2007. Immunology 6th Ed. New York: W.H Freeman Company. Levine ND. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Ashadi G, penerjemah; Wardiato, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Textbook of Veterinary Parasitology. Lightowlers MW, Rickard MD. 1988. Excretory/secretory products of helminth parasites: effects on host immune responses [abstrak]. J Parasitol 96; Suppl:S123-66. Linh BK, Thuy DT, My LN, Sasaki O, Yoshihara S. 2003. Application of agar gel diffusion test to the diagnosis of fasciolosis in cattle and buffaloes in the Red River Delta of Vietnam. Jap Agri Res Quarter 37(3): 201-205
Mader SS. 1997. Struktur Ig G [gambar]. [Di dalam]: Inquiry Into Life 8th Ed. [terhubung berkala]. http://www.mhhe.com/biosci/ap [20 Mei 2011]. Mahmoud MS, Abou-El-Dobal S, Soliman K. 2008. Immune response in Fasciola gigantica experimentally infected rabbits treated with either carnosine or Mirazid®. J Parasitol 3:40-49. Marcilla A, De la Rubia JE, Sotillo J, Bernal D, Carmona C, Villavicencio Z, Acosta D, Tort J, Bornay FJ, Esteban JG, Toledo R. 2008. Leucine aminopeptidase is an
immunodominant antigen of Fasciola hepatica excretory and secretory products in human infections. J Clin Vacc Immunol 15 (1):95-100. Meshgi B, Eslami A, Hemmatzadeh F. 2008a. Determination of somatic and excretory/secretory antigens of Fasciola hepatica and Fasciola gigantica using SDS-PAGE. Iran J Vet Res 9 (1):22. Meshgi B, Karimi A, Shayan P. 2008b. Genetic variation of Fasciola Hepatica from sheep, cattle, and buffalo. J Parasitol 3 (2):71-78. Moazeni M, Gaur SN, Shahangian A. 2005. Cross reactivity between E/S and somatic antigens of Fasciola spp of enzyme linked immunosorbant assay [Short Paper]. Iran J Vet Res 6 (2):12. Nobel RE, Nobel GA. 1989. Biologi Parasit Hewan. Edisi ke-5. Wardiato, penerjemah; Soeripto N, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: The Biology of Animal Parasites. Orr RT. 1976. Vertebrate Biology. Philadelphia: W.B. Saunders Company. Ouchterlony O. 1953. Antigen-antibody reactions in gels IV: types of reactions in co-ordinated systems of diffusion. Acta Path Microbiol Scand 32:231. Parimala N, Ishaq M. 2005. Efficacy of sonicated and acid-extractable antigens in the serodiagnosis of H. Pylori infection in peptic ulcer patients. Indi J Med Microbiol 23 (2):117-119. Patterson RM. 1995. Respon Imun Terhadap Parasit Cacing. Di dalam: Artama WT, penerjemah; Burgess GW, editor. Teknologi ELISA dalam Diagnosis dan Penelitian. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: ELISA Technology in Diagnosis and Research. Satrija F. 2009. Laporan Pelaksanaan Hibah Kompetisi: Pengembangan Kit Diagnostika Koproantigen untuk Mendeteksi Infeksi Cacing Hati pada Ternak Ruminansia. Institut Pertanian Bogor.
Satrija F, Murtini S, Retnani EB, Ridwan Y. 2007. Pengembangan Uji ELISA untuk Mendeteksi Koproantigen sebagai Metode Diagnosa Infeksi Cacing Pita pada Ayam. Makalah Seminar Hasil Penelitian LPPM IPB. Schalch W, Wright JK, Rodkey LS, Braun DG. 1979. Distinct functions of monoclonal IgG antibody depend on antigen-site specificities. J Exp Med 149:923-937. Seres S, Cozma V. 2008. Detection of Echinococcus coproantigens by ezymelinked immunosorbent assay in foxes from the North – West of Romania. Luc Stii Med Vet (XLI):Timisoara 388. Sewell MMH. 1964. The immunology of fascioliasis (qualitative studies on the precipitin reaction). J Immunol 7:671. Smith JR. 1995. Produksi Serum Hiperimun. Di dalam: Artama WT, penerjemah; Burgess GW, editor. Teknologi ELISA dalam Diagnosis dan Penelitian. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: ELISA Technology in Diagnosis and Research. Tizard IR. 2004. an Introduction to Veterinary Immunology 7th Ed. Elsevier: Philadelphia. Wibawan IWT, Retno DS, Damayanti CS, Tauffani TB. 2003. Imunologi. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Wongkham C, Tantrawatpan C, Intapan PM, Maleewong W, Wongkham S, Nakashima K. 2005. Evaluation of immunoglobulin G subclass antibodies against recombinant Fasciola gigantica Cathepsin L1 in an enzyme-linked immunosorbent assay for serodiagnosis of human fasciolosis. J Clin Vacc Immunol 12 (10):1152-1156. Yocananth S, Gosh S, Gupta SC, Sures MG, Saravanan D. 2005. Characterization of spesific and cross-reacting antigens of Fasciola gigantica by immunoblotting. J Parasitol Res 97:41-48