POTENSI DESA GADINGSARI, SANDEN, BANTUL Sejarah Dcsa Gadingsari Gemericik air. di setiap trliran irigasi
Rimbun pohon n~embaltrf111nslnl~nrztiiseliap perkarangan Kesungyinn Oukan lagi kesendjrian,.
Sebelurn diadakan penggabungan desa-desa yang kecil pada tahun 1946, di Kecamatan Sanden terdapat 13 kelurahan. Pada tahun 1946 turun peraturan daerah yang isinya pemerintahan kelurahan diberikan otonomi sendiri sehingga diadakan penggabungan dan menjadi 4 buah kalurahan. Kelurahan tersebut berhak menjalankan pemerintahannnya sendiri. Ada tiga belas kelurahan yang ada s e b e l ~ m gabungan yaitu: Sidoharjo; Kartoponco; Srihardono; Mandemas; Ronggosari; Kalijurang; Srabahan; Pugeran; Gunungwingko; Sedayu; Nomporejo; Sokorejo; Rojoniten. Kelurahan-kelurahan setelah terjadi penggabungan adalah: Kelurahan Gadingsari, yang men~pakan gabungan dari Kelurahan Sedayu, Nomporejo, Rojoniten, dan Sokorejo. Kelurahan Murtigading, yang merupakan gabungan dari kelurahan Sidoharjo, Kartoponco, dan Srihandono. Kelurahan Gadingharjo, yang merupakan gabungan dari kelurahan Mandemas dan Ronggosari. Kelurahan Srigading, yang merupakan gabungan dari kelurahan Kalijurang, Srabahan, Pugeran, dan Gunungwingko. Desa Gadingsari yang merupakan gabungan dari 4 kelurahan mempunyai 18 dukuh (dusun). Dukuh yang ada dahulu tetap dipertahankan sampai sekarang dan tidak mengalami perubahan. Dukuh-dukuh yang ada di desa Gadingsari adalah: berasal dari dukuh yang berasal dari kelurahan yang tcrdahulu telah digabungkan dan tetap dipertahankan yaitu: Kelurahan Sedayu, yang terdiri dari 4 dukuh, yaitu Dukuh Kenteng, Dayu, Ketalo, dan Klatak. Kelurahan Sokorejo, yang terdiri dari
4 dukuh, yaitu Dukuh Soka, Sorobayan, Bongos I, dan Bongos 11. Kelurahan Nomporejo yang terdiri dari 7 dukuh, yaitu Dukuh Klagaran, Tegesan, Nampan, Nanggulan, Demakan, Wonorejo I, dan WonorejoII. Kelurahan Nomporejo merupakan wilayah yang terluas yang mengadakan gabungan menjadi Desa Gadingsari. Kelurahan Rojoniten, yang terdiri dari 3 dukuh, yaitu Dukuh Patihan, Wonoroto, dan Demangan.
Nama Gading mempunyai sejarah pada nxsa jalnan perang Pangeran Diponegoro, dimana terdapat tanah yang digaris dengan gading gajah. Garis yang ada tersebut membentang dari Barat - 'Timur. Desa-desa yang dilewati oleh garis yang dibuat dengan gading gajah tersebut akhimya menggunakan nama gading. Disebelah barat akhimya di jadikan Desa Gadingsari. Dan di sebelah Timur Desa Gadingsari terdapat Desa Murtigading. Sebelah Timur Desa Murtigading adalah Desa Gadingharjo, dan paling Timur Desa Srigading. Pembuatan garis tersebut terjadi pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII. Sebelah Utara garis milik Belanda, yang sering disebut dengan pelandan. Pelandan merupakan tanah otonomi Pemerintah Belanda yang dapat dengan bebas menerapkan kebijakan atas tanah tersebut. Tanah Peiandan dapat disewakan kepada pihak lain, dengan jangka waktu sampai 75 tahun. Pada masa Pernerintahan Belanda orang-orang Indonesia diwajibkan bekerja di tanah pelandan tanpa mendapatkan imbalan. Pihak yang menyewa tanah pelandan juga mengambil tenaga kerja dari rakyat Indonesia dengan imbalai yang sangat rendah. Rakyat Indonesia diwajibkan membayar pajak kepada Sultan dengan wujud minyak goreng yang disebut dengan bonong. Sehingga tanah yang berada di sebelah Selatan garis disebut dengan Kebonongan. Di sebelah Selatan garis merupakan tanah milik rakyat Indonesia. Setiap padukuhan sebenarnya mempunyai sejarahnya sendiri, seperti Padukuhan Kenteng. Pada jaman Perang Diponegoro, bila melewati suatu daerah, biasanya Pangeran Diponegoro meninggalkan sebongkah tanah hitam. Tanah hitam tersebut disebut dengan kenteng. Salah satu wilayah Desa Gadingsari a& yang ditinggali tanah hitam ole11 Pangeran Diponegoro. Zusun yang ditinggali sebongkah tanah oleh Pangeraan Diponegoro tersebut, kemudian disebut dengan Padukuhan Kenteng. Penggunaan dari tanah bengkok seperlima untuk kas desa, seperlima untuk para perangkat desa yang diberhentikan. Sisanya tiga per lima bagian untuk menggaji perangkat desa yang baru. Lurah mendapat enam bagian dari tiga per lima bengkok desa, carik mendapat lima bagian dan sisanya empat bagian untuk lain-lain. Tanah bengkok masih dimanfaatkan secara konsisten oleh para pihak yang telah disebutkan di atas. Setelah gabungan, perangkat-perangkat desa diberhentikan dengan hormat dai~diberi sawah (bengkok), yang berdasarkan masa
jabatannya. Masa kerja kurang dari 2 tahun tidak memperoleh. Masa kerja dua sampai lima tahun memperoleh seperdelapan dari bengkok waktu menjabat. Masa kerja lima sampai sepuluh tahun memperoleh seperenam dari bengkok w a h menjabat. Masa keja lebih dari sepuluh tahun mendapat seperlima dari bengkok pada saat menjabat. Pada tanggal 16 Desember 1946 diadakan pemilihan pamong praja. Dan pada tanggal 18 Desember 1946 diadakan pemilihan Lurah Gadingsari. Lurah barn dipilih melalui pemilihan langsung. Cara yang digunakan dalam pemilihan langsung ini yaitu mengumpulkan penduduk di suatu tempat. Penduduk tersebut dibentuk ke dalam kelompok-kelompok, kemudian setiap kelompok ditanyakan pilihannya. Penggunaan hak suaranya dengan mengacungkan tangan. Pada pemilihan tersebut sepuluh kepala keluarga diwakili oleh satu orang. Perangkat Desa pada waktu dulu disebut Pat~rongPrda yang terdiri dari Lurah dibantu oleh Carik, Kaum, Kabayan , Kamitua, dan Jagabaya. Pembantu-pembantu lurah tersebut dibantu oleh rata-rata satu orang pembantu. Pada waktu gabungan, pamong-pamong yang menjabat adalah: Lurah Desa Gadingsari dijabat oleh Muhsunmad Muhajid, dari Padukuhan Wonorejo. Carik Desa Gadingsari dijabat oleh Sastrowiyono, dari Padukuhan Bongos 1. Carik desa dibantu oleh 2 orang pembantu yaitu Bapak Notosuwito dan Bapak Darmosuparto. Kaum Desa Gad'igsari dijabat oleh Bapak Muhammad Dahlan, dari Padukuhan Dayu. Kaum Desa dibantu oleh satu orang
yaitu Bapak Reksowijoyo. Kabayan Desa
Gadingsmi dijabat oleh Bapak Martowihardjo dari Padukuhan Demangan. Kabayan dibantu oleh dua orang yang mengurusi masalal~administrasi dan dan pembagian air. Masalah pembagian air diserahkan kepada Bapak Sosrowihardjo. Kamitua Desa Gadingsari dijabat ole11 Bapak R Darmowiharjo dari Padukuhan Bongos. Kamitua dibantu oleh satu orang yaitu Bapak Widyo. Jagabaya Desa Gadingsari dijabat oleh Bapak Hardjodinomo dari Padukuhan Wonorejo. Jagabaya dibantu oleh satu orang yaitu Bapak J&wa.
Kondisi Wilayal~dan Kependudukan Wilayah Desa Gadingsari (yang selanjutya clisebut Gadingsari saja) rnempunyai luas wilayah desa 81 1.7430 Hektar. Pembagian lahan diperuntukan pembangunan pemukirnan penduduk seluas 350 Hektar, untuk lahan pertanian seluas 296 hektar, untuk sarana jalan 16,4 hektar, empang atau perikanan adalah 2,l hektar, untuk sarana pemakaman umum seluas 3,2 hektar, dan sisanya
digunakan untuk yang lain-lainnya. Delapan belas padukuhan terintegrasi dalam suatu wilayah pedesaan di Desa Gadingsari, yaitu: Dayu, Kenteng, Ketalo, Klatak, Soko, Sorobayan, Bongos I, Bongos 11, Klagaran, Tegesan, Nampan, Nanggulan, Demakan, Wonorejo UI, Wonorejo 11, Patihan, Wonoroto, dan Dernangan. Dan padukuhan yang ada masing-masing dikepalai oleh seorang Dukuh, kecuali di Padukuhan Ketalo yang sudah tiga tahun yang lalu tidak mempunyai Kepala Dukuh, serta Padukuhan Klathak dan Wonorejo 2 yang semenjak pemilihan Kepala Desa yang baru, tahun 2004 tidak memiliki Kepala Padukuhan. Kondisi perkampungan di Gadingsari terbentuk berdasarkan kelornpok-kelompok padukuhan yang terpisahkan dengan batas pertanian sawah dan ladang atau juga bisa dipisahkan dengan jalan perkampungan yang sebagian terbesarnya adalah jalan tanah yang telah mengeras tanpa lapisan aspal atau batu kali. Pada kondisi musim kemarau atau "rnusim ketiga" kondisi jalan perkampungan akan mengering, sehingga mobilitas penduduk di atasnya membuat kondisi jalan menjadi mudah sekali menimbulkan debu kecoklatan yang terbawa oleh angin laut. Gadingsari mempunyai wilayah pantai yang iiiasih belum dikelola sebagai potensi wisata laut. Pengelolaan potensi wisata Iaut di wilayah pantai dapat membcrikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitarnya, yang dalam
ha1 ini, belum mendapatkan perhatinn pemerintah. Gadingsari secara administratif berada di bawah Pemerintahan Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul-DIY. Gadingsari dapat ditempuh dari Kota Yogyakarta selama setengah jam perjalanan dengan jarak tepuh kurang lebih 27 krn. Berdasarkan batas-batas wilyahnya, Gadingsari di bagian utara berbatasan dengan Desa Caturharjo, di sebelah selatan berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia atau yang sering disebut dengan Pantai Selatan. Di sebelah timur tlerbatasan dengan Desa Murtigading, dan di sebelah barat berbatasan langsung
dengan Desa Poncosari. Batas desa biasanya dibuat dari tembok-tembok atau gapura yang sudah terlihat menjadi tua. Gapura atau tembok-tembok perbatasan tidak membuat masyarakat Gadingsari untuk membuat jarak antara masyarakat di luar wilayah desanya. Penduduk Gadingsari mempunyai keseimbangan jumlah gender antara lakilaki dan perempuan yaitu 5.307 orang (jiwa) dan 5.965 orang (jiwa) dengan tingkat kepadatan penduduknya adalah 1.389 orangKm2 dari jumlah KK 2361 orang. Prosentase jumlah penduduk Gadingsari didominasi oleh usia produktif sebesar 55% dari jumlah penduduk yang ada, diikuti oleh usia non produktif sebesar 16%, selebihnya adalah termasuk dalam kelompok usia 10-19 tahun. Diantara kelompok usia produktif memiliki jenjang pendidikan yang bervariasi dimulai dari pra-pendidikan (Preschoole) pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.
Pendidikan masyarakat tidak hanya berhenti pada tingkat pendidikan
dasar, melainkan mereka sangat berharap menyelesaikan pendidikan tinggi. Seperti yang dapat disajikan dari tabcl tingkat kelulusan pendidikan masyarakat Gadingsari di bawah ini: Tingkat Kelulusan Pendidikan Masyarekat Desa Gadingsari Pada tahun 1995-2005 PERGURUAN SLTP SLTA SD TAHUN TINGGI 195 404 282 612 1996 142 373 200 1 984 43 8 388 1.023 2006 2.015 948 Tabel 4.
1
Sumber Monograft Desa Gad~ngsar~ 1996-2006
Kecenderungan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi adalah suatu
prioritas
bagi
masyarakat
Gadingsari.
Perjuangan
untuk
menyekolahkan anak-anaknya biasanya dilakukan dengan memberikan sebagian tanah yang dimilikinya untuk biaya melanjutkan sekolah. Bersekolah bagi masyarakat mempakan suatu pilihan pang menarik, mereka akan memilih menjadi orang sekolahan yang sederhana, dari pada tanpa pendidikan yang gemerlap. Tingkat pendidikan orang dapat meningkatkan status keluarga di masyarakat.
Mata Pencaharian Masyarakat Dcsa Penduduk Gadingsari yang niempunyai tanah luas semakin mendominasi. Masyarakat Gadingsari hanya melnpunyai rata-mta luasan tanah antara 500-700 meter persegi. Walaupun, ada beberapa warga nlasyarakat yang mempunyai tanah lebih dari satu hektar. Untuk anggota masyarakat yang baru berkeluarga, akan mendapatkan tempat tinggal bersama keluarga laki-laki, atau menetap di rumah keluarga perempuan. Mereka biasanya belum mempunyai tanah garapan selain tanah yang digunakan untuk bertempat tinggal. Pada umumnya, orang tua memberikan warisan tanahnya kepada anak-anaknya, sehingga bagi anak yang sudah berkeluarga, mereka cenderung mengharapkan bagian dari tanah warisan orang tuanya. Bagi mereka yang sudah berkeluarga berkewajiban mencarikan n&ah bagi keluarganya. Berdasarkan kondisi alam dan struktur tanah yang subur masyarakat mempunyai mata pencaharian sebagian terbesamya adalah petani. Tabel 5. tentang jumlah penduduk menurut pekerjaan dan prosentasenya dari tahun 1996 sampai dengan 2006 dapat memperjelas jenis pekejaan masyarakat Gadingsari yang disajikan berdasarkan data dari monografi desa di tahun 19962006, dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 5. Jumlah Penduduk Menurut Pekcrjaan dan Prosentascnya Pada Tahun 1996-2006
Jurnlah penduduk yang bekerja sebagai petani28pada tahun 1996 sebesar 50 persen lebih, hingga tahun 2006 turc~nmenjadi 34,77 persen. Pemilikan lahan pertanian sebagai mata pencahariannya hanya m'aksimal pada luasan lahan 500-
700 meter persegi. Walaupun ada yang men~ilikitanah luas lebih dari 1 hektar. Dari jumlah prosentase tersebut yang utama dapat disebut sebagai buruh tani yang hanya menggarap sawah milik orang lain, baik yang dimiliki penduduk desa Gadingsari ataupun di luar desa, karena sebagian dari mereka tidak mampunyai lahan sendiri. Oleh karena itu, banyak jumlah petani yang berstatus sebagai buruh
tani karena mereka tidak memiliki tanah garapan sendiri. Biasanya mereka menggarap tanah milik orang tua mereka, atau para tetangga yang dilakukan secara bersama-sama atau maro. Di lapangan, jumlah masyarakat Gadingsari yang bekerja sebagai buruh tani secara keseluruhan harnpir mendominasi jumlah pekerjaan lainnya. Terutama, menurut masyarakat pekerjaan sebagian terbesar dari masyarakat Gadingsari adalah sebagai bunlh tani. Artinya, penduduk Gadingsari masih menggantungkan kehidupannya pada sektor pertanian. Walaupun, kalau kita melihat data pada tabel di atas prosentase petani dan buruh tani semakin berkurang. Artinya, ada peralihan pekerjaan dari sektor pertanian ke luar pertanian (offfarm). Mereka yang masih tergantung pada sektor pertanian, sebagai petani dapat mengerjakan tanah milik orang lain, dan mendapat imbalan dari hasil keja mereka tersebut. Disamping itu, ada juga penduduk yang menyewa
atau
m e m b e ~ tanah i ~ ~ dari kas desa. Harga sewa tanah kas desa ini lebih murah bila dibandingkan dengan menyewa dari orang lain atau pihak lain. Sistem sewa ini dilakukan oleh LKMD, yang diserahkan kepada Pokgiat LKMD (Kelompok Kegiatan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) di masing-masing Padukuhan. Pihak L W D sudah menentukan harga tanah kas desa tersebut kepada Pokgiat LKMD, kemudian ditawarkan kepada para petani yang hendak menyewa. Harga 28 Penulis mengintrr~retasikan bahwajumlah petani ndalah sebagai profesi yang digeluti sebagai pekerjaml kcsehariannya, akan telaoi stahlsnva sebaeai aemilik lahen (oetanil atau oekeria buruh tani (bumh tani) tidak daoat dioisahkan secara ielas. ~elanjuh;~adata, iumh &i knebut di atas'adalah adalk daia pekeja teni'yang t i d k memiligi tank sendiri, &an ;etapi mereka mempunyai profesi sebagai petani. Pada akhimya, jumlah petani yang berstatus sebagai bumh tani mempakan iumlah petani Y&K bukan sebagai ietani ~emiliklahan. Artinva data monografj desa tidakmenielaskan status sosial has)ar&at s c c - m i c p ~mau kcku&~n& tcrdapat inlcrprctm )3ng berbc~aolrllpamung dcra )ang mcmbcr!kan data ISIM monogrsfi dcsa yang sudah djfom~atcecsra scrapam 01th pcmcrlnlh p~lsa,\3ag r c c m Lhusur dapcgunakan unruk kepentingan pembangunan pcmerintali. Kebiasaan sewa-menycwa tanah kas desa dianggap membeli dalam kumn wahu tertentu yang telah disepakati bcrsama berdasarkanharga yang telah dibayarkan kepada pemerintah desa.
'I
sewa tanah tersebut lebih tinggi dari yang ditctapkan oleh LKMD. Kelebihan harga sewa tersebut digunakan untuk kekayaan Padukuhan. Uang yang terkumpul bisa digunakan untuk pengembangan dusun tersebut. Misalnya pembangunan pos ronda, pengerasan jalan, dan pembangunan jembatan. Masyarakat Desa Gadingsari men~pakanmasyarakat desa yang memberikan sumbangannya pada sektor ekonomi pertanian. Gemericik air yang mengalir sepanjang tahun mendukung sistem pertanian masyarakatnya yang juga mencerminkan eksistensi masyarakat petani. Sebelum ada irigasi yang dibangun pemerintah, pertanian di Gadingsari menghasilkan panen yang tidak menentu. Rada sistem yang lebih baik seperti sekarang, masyarakat Gadingsari dapat membuat perencanaan tanam selama tiga kali dengan pola padi-padi-palawija. Selain sebagai petani, masyarakatnya bekerja sebagai pegawai negeri atau swasta yang berada di luar wilayah desanya bahkan banyak di antara mereka juga bekeja hingga sampai di Yogyakarta. Hanya sebagian kecil dari mereka yang bekeja sebagai nelayan atau pekerjaan jasa seperti bengkel, salon, dl].
Mobilitas Masyarakat Desa Masyarakat Gadingsari walaupun secara geografis berada di ujung selatan Kota Bantul, namun mereka tidak ketinggalan dalam melakukan mobilitas ke luar daerah. Mobilitas masyarakat dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu mobilitas domestik dan mobilitas mancanegara. Masyarakat yang melakukan mobilitas domestik artinya mereka hanya lnelakukan perjalanan dan perpindahan di lingkungan dalam negeri saja. Seperti, misalnya mereka yang bekerja di Bantul, Yogyakarta, hingga ke Jakarta. Mobilitas masyarakat di dalam kota Bantul atau DIY dapat setiap kali pulang dan sering juga disebut nglaju. Sehingga, mereka
bahkan hampir dapat setiap hari bertemu anggota keluarganya, karena mereka cenderung untuk tidak menginap atau mondok di Yogyakarta. Hal ini juga dipengaruhi oleh meningkatnya jumlah kendaraan yang dimiliki oleh masyarakat Gadingsari yang selalu meningkat. Kalau pada tahun tujuh puluhan, masyarakat Gadingsari masih melakukan mobilitas menggunakan sepeda ontel hingga ke luar kota. Biasanya, mereka berdagang hingga sampai di Gombong, Tarnbak,
Sumpiuh, bahkan sampai di Cilacap. Bagi mereka para pedagang yang melakukan mobilitas ke luar kota karena barang yang dijajakan mendapat apresiasi harga yang lebih tiuggi, dan sekaligus mereka dapat mendapatkan barang dagangan dari luar kota untuk di bawa kembali ke Bantu1 dan Yogyakarta. Akan tetapi, dengan meningkatnya mobil angkutan dan sepeda motor3', kegiatan berdagang ke luar kota menggunakan sepeda ontel sudah tidak lagi dilakukan, karena pertimbangan biaya dan waktu. Pada kondisi belurn ada kendaraan bermotor tersebut, sebenarnya dengan menggunakan sepeda ontel keuntungan yang didapat lebih banyak karena mereka tidak lagi membeli bensin dan merawat mesin mobil. Mereka hanya cukup berbekal peralatan tembel ban dan pompanya, tempat minum dan tempat makan untuk persediaan makan dan minum di jalan. Biasanya, ketika berdagang ke luar kota mereka tidak sendiri, melainkan berjalan beriringan, dengan hiburan yang dilakukan di setiap perjalanan, sehingga perjalanan tidak melelahkan.
Pada kondisi yang demikian masyarakat pedagang keliling
merasakan keguyuban dan kerukunan masyarakat masih terjaga. Berbeda dengan kondisi sekarang yang dirasakan sangat jauh meninggalkan nilai-nilai masyarakat, misalnya dengan meningkatnya kendaraan bermotor masyarakat sudah tidak saling bersapa dengan tata krama masyarakat desa. Dapat dicontohkan seperti ketika masyarakat bertanya di tcpi jalan mereka hnnya duduk di atns kendaraan bermotor yang masih menyala mesinnya, sehingga seolah tidak memberikan penghargaan kepada masyarakat di tepi jalan yang ditanyai. Bagi masyarakat yang melakukan mobilitas mancanegara biasanya kembali dalarn waktu yang relatif lama, hingga dua sampai lima tahun, bahkan ada beberapa anggota masyarakat yang hingga sepuluh tahun belum memberikan kabar kepada keluarganya. Masyarakat yang melakukan mobilitas mancanegara biasanya mendapatkan banyak nilai rupiah setelah dikurskan karena nilai rupiah sedang menurun.
Masyarakat
mengalami
peningkatan
kekayaan
yang
kecenderungan dibelanjakan dalam bentuk kendaraan bermotor, renovasi rumah dan membeli tanah pekarangan.
lo Peningkatan jumlah kendaraan dalam kumn waktu lima belas tahun adalah 418 motor pada tahun 1996,ZOOl menjadi 573, 2006 meningkat hingga 1232 buah. Mobil secara betumt-tumt 24, 25, 70 buah mobil (Monografi Gadinsari 1996, 2001,2006).
Mobilitas domestik tidak hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pekerjaan, dapat juga
dimanfaatkan untuk
kepentingan
administrasi pemerintahan,
pendidikan, dan kesehatan. Masyarakat mengurus keperluan persyaratan pemerintahan dilakukan secara swadaya tanpa tergantung lagi dengan birokrat pemerintah desa. Untuk masyarakat yang melanjutkan sekolah di Yogyakarta juga tidak lagi hams indekos atau kontrak rumah karena dengan kendaraan motor yang dimilikinya, sewaktu-waktu dapat pulang ke rumah. Peningkatan kesehatan juga dirasakan oleh masyarakat, terutama bagi mereka yang menginginkan pelayanan kesehatan yang intensif dapat dilakukan di Yogyakarta dengan cepat, karena masyarakat biasanya cenderung langsung ke rumah sakit di Yogyakarta untuk penyakit yang membahayakan. Mobilitas untuk menjenguk tetangga yang mondok di rumah sakit pada saat sekarang sudah tidak Iagi kesulitan karena kepemilikian kendaraan bermotor membantu mereka, yang biasanya dilakukan dengan berkelompok menggunakan mobil dan motor.
Kepercayaan dan Upacara Adat Masyarakat Desa Seperti dijelaskan di atas bahbva batas desa tidak menghalangi mereka untuk berhubungan langsung secara akrab. Interaksi di antara masyarakat di wilayah perbatasan desa rnenjadi semakin intensif ketika kebutuhan atas bahan pangan atau kebutuhan sehari-hari terjadi melintasi batas desa. Seperti, munculnya warung mie goreng dan godog (rebus), atau warung nasi goreng di wilayah perbatasan Desa Gadingsari dan Poncosari. Warung malam tersebut rnenjadi ramai oleh pengunjung yang melintasi batas desa yang sengaja untuk datang walaupun hanya untuk sekedar mencari angin atas kepenatan di rumah. Interaksi di antara mereka (pembeli) seolah sudah terlalu lama akrab Vamilier).
Keterkaitanan keakraban yang terjalin adalah karena latar belakang yang unik dan kecenderungan mempunyai profesi yang sanxa. Profesi atau latar belakang yang me~~dorong mereka untuk lebih intens berinteraksi adalah berdasarkan pada mata pencaharian, bertani, berdagang keliling, berjudi, yang dulu pernah dilakukannya bersama, atau yang sekarang masih dilakukan, seperti seorang polisi yang dahulu pemah melakukan gopyok (menangkap) masyarakat yang sedang berjudi. Pun
para polisi tersebut masih menjalanka~ltugasnya untuk melakukan penangkapan, terkadang terlihat mendatangi warung malam. Kewajiban untuk saling bertegur sapa di antara mereka yang saling kenal dirasakan sangat kuat. Bagi mereka yang belum dikenalnya, pasti akan ditanyakan secara lengkap dengan memulai dengan pertanyaan keberadaan tempat tinggal, anak siapa, asalnya dari mana. Masyarakat selalu menannyakan dari mana asalnya, dimana tinggalnya, dll, tapi itu yang paling penting untuk mengawali pembicaraan dengan masyarakat Gadingsari. Keterbukaan menjadi suatu ciri khas masyarakat Gadingsari yang hampir tidak banyak berbeda dengan masyarakat Bantu1 pada umumnya. Pun, terlihat pada konstruksi bangunan dan pembangunan halaman yang tidak memliki pagar pembatas sebagai simbol bahwa hubungan yang mereka lakukan adalah berdasarkan kejujuran dan keterbukaan. Batas halaman di antara tetangga tanpa pagar penutup yang membatasi jarak pandang dan interaksi lintas pekarangan
rumah. Kalaupun ada, pagar pembatas yang sangat rendah dan terbuat dari pepohonan. Dilihat dri kepercayaan yang dianutnya, masyarakat Gadingsari sebagian terbesar adalah beragama Islam yang jumlahnya mencapai 99% dari seluruh penduduk desa. Pada nilai-nilai religius yang diyakininya, masyarakat masih kuat menggunakan nilai budaya kejawen yang sangat mempengaruhi. Seperti, kepercayaan kepada wesi aji (benda-benda pusaka). Wesi r;j'; dapat berupa keris pusaka, tombak. Barang-barang tersebut dianggap rnemiliki pengaruh kekuatan dan kewibawaan bagi para pemiliknya. Pengaruh kekuatan yang dimaksud adalah memberikan suatu dorongan semangat bagi pemiliknya untuk menjalani kehidupan, ataupun kekuatan yang dianggap dapat merusak kehidupan pemiliknya yang dikarenakan ketidakcocokan dengan wesi aji yang dimilikinya tersebut. Oleh karena itu, biasanya seseorang yang mempercayai wesi aji akan sangat memperhatikan kecocokan dengan barang yang akan dan telah dimilikinya. Kepercayaan-kepercayaan inilah yang dianggap sebagai kekuatan dan nilai-nilai budaya yang tidak bisa diperdagangkan. Kehendak untuk dimiliki adalah pada wesi aji sehingga ini tidak dapat clitukarkan dengan nilai uang. Mereka tidak
sependapat dengan yang terjadi oleh banyak orang memperjual belikan barangbarang kepercayaan tersebut kepada orang luar hingga di manca-negara. Bagi
masyarakat yang mempercayainya, perdagangan wesi aji tidak menghargai nilai yang terkandung dalam kekuatan tersebut, terutama nilai kulural yang hams dijaga bersama. Budaya Jawa masih sangat tuempengaruhi kehidupan masyarakat Desa Gadingsari. Misalnya dengan adanya selamatan bagi orang meninggal. Mulai dari
3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, dua tahun, dan seribu hari. Selamatan dilaksanakan dengan mengadakan kenduri, dan mengundang anggota masyarakat lainnya di sekitar lingkungan rumah atau komunitas untuk ikut mendoakan orang yang sudah meninggal tersebut. Ada beberapa upacara-upacara adat yang pernah ada, sekarang disederhanakan pelaksanaannya. Misalnya upacara perti desa (Majemuk). Upacara bersih desa dilakukan setelah panen padi dilakukan. Upacara perti desa merupakan usatu ungkapan rasa syukur penduduk desa kepada Tuhan (yang berkuasa atas alam dan manusia) untuk hasil panen yang melimpah. Masyarakat membuatkan sebuah anzbengnn yang dikurnpulkan di suatu tempat
untuk dibacakan doa oleh Sesepuh desa. Ambengan adalah paket makanan berisi nasi, sayur-mayur dan lauk-pauk. Ambengan yang telah dibacakan doa oleh Sesepuh kampung akan dimakan bersama-sama dan kemudian dibagikan kepada masyarakat yang tidak datang ke acara bersih desa tersebut. Pada upacara perti desa, tiap keluarga memasdc dan memberikannya kepada para tetangga dan orang-orang dekat mereka (misalnya keluarga di tempat lain). Setiap keluarga biasanya membuat makanan bagian dari ambengan sampai lima puluh atau enam puluh paket makanan. Paket tersebut berisi nasi dengan lauk pauk dan sayur. Upacara perti desa (majemuk) biasa dilaksanakan pada bulan Mei-Juni. Namun upacara tersebut mulai disederhanakan pelaksanaanya. Tiap keluarga tidak lagi memasak dan memberikannya kepada para tetangga atau orang-orang dekat mereka. Tiap-tiap kelompok hanya mengumpulkan uang, kemudian membuat satu paket masakan untuk kendur:. Orang-orang yang datang kenduri cukup makan disitu dan tidak membawa bagian bagi orang-orang yang ada di rumah. Hampir tidak berbeda dengan upacara perti desa, terdapat upacara kenduri yang biasa dilaksanakan pada upacara tirakatan, orang berkumpul dalam satu tempat tertentu dengan membawa paket makanan dari rumah. Upacara dilakukan setelah semua orang berkurnpul untuk mengadakan upacara doa-doa bersama.
Berbeda dengan pelaksanaan kenduri sekarang. Sekarang kegiatan tersebut sudah disederhanakan pelaksanaannya. Scperti halnya dengan perti desa, pada umumnya kelompok masyarakat mengumpulkan uang untuk membuat makanan dan minuman bersama-sama. Setelah upacara doa sclesai, orang-orang yang datang berdoa tersebut makan. Orang-orang di rumah tidak mendapat bagian dari upacara tersebut. Upacara Kenduri dilakukan satu kali setiap tahun dipimpin oleh Kaum ~ o i s . Disamping ~' dua upacara tersebut, ada lagi upacara yang sudah mulai ditinggalkan, yaitu upacara pada hari besar agama Islam. Dahulu orang-orang saling berdatangan dan silaturahmi. Orang-orang datang saling memberi dan meminta maaf. Orang-orang muda datang kepada orang yang lebih tua atau orang yang dituakan. Orang-orang yang tua atau yang dituakan tidak dapat pergi kemana-mana karena mereka selalu didatangi oleh banyak orang muda. Berbeda dengan sekarang. Sudah jarang orang yang tua atau yang dituakan tetap tinggal di rumah, dan yang lebih muda datang untuk silahturahmi dan saling memaafkan. Tiap orang dapat pergi dan datang ke mana mereka suka. Orang yang tua atau yang dituakan dapat pergi untuk bersilaturahmi dengan orang lain. Mereka tidak hanya menerima kedatangan orang lain saja. Di beberapa tempat cukup kumpul di masjid setelah Sholat Idhul Fitri, kemudian saling bersalaman dan meminta maaf. Upacara-upacara lain yang pemah diramaikan banyak warga masyarakat adalah upacara ruwahan, selamatan, muludan. Upacara-upacara yang ada tersebut sudah jarang dilaksanakan. Pelaksanaan yang ndn, tiamun sudah tidak lagi seperti yang pemah dilakukan masyarakat terdahulu. Upacara yang dilakukan sudah banyak mengalami penyederhanaan. Misalnya masyarakat yang biasa menerima dan memberi makanan sampai lima puluhan paket bahkan enam puluhan paket, sekarang hanya membuat sedikit makanan paket. Penyederhanaan upacara tersebut untuk menghemat biaya. Untuk mengadakan upacara yang seperti dulu membutuhkan banyak biaya, karena ~nerekaharus membuat paket makanan dalarn jumlah yang sangat besar. Disamping itu akan sangat disayangkan makanan tersebut sudah banyak yang enggan mengkonsumsinya dikonsumsi anggota
" Kaum Rois mempakan orang-orang yang dituakan dan dianggap mampu memberikan doa-doa yang mujarab yang dilakukan pada saat kendurian, selamatan, dan acara doa-doa bersama lainnya. Kaum Rois berasal dari warga masyarakat sehingga dslam mcnjslankan tugasnya yang dilakukan dengan ikhlas, tidak mendapat gaji dari tanah kas desa alau Ian& lungguh. Berbeda dengan Kaum Beselit, walaupun fungsioya sama dengan Kaum Rois, namun bekerja dm jabaian strukhlral di Pemerintah Desa Gadingsaxi sehingga dalam menjalankan tugasnya mendapatkan gaji dari tanah lungguh desa.
masyarakat karena terlalu berlebih. Selain itu masih ada beberapa upacara yang sampai sekarang masih dilakukan, walaupun tcknis pelaksanaanya sudah mulai disederhanakan. Upacara-upacara tersebut antara lain mitoni, selapanan dan
selikuran. Mitoni adalah upacara tujuh bulanan bagi orang yang hamil, sedangkan selapanan adalah upacara selarnetan untuk bayi yang baru lahir. Pada hari ke -21 pada bulan puasa umat agama Islam diadakan kenduri. Kenduri yang dikenal dengan nama selikuran tersebut, dilaksanakan oleh masyarakat dengan membawa paket makanan dari rumah. Seperti kenduri pada saat majemuk dan tirakatan di atas, paket-paket makanan tersebut dikumpulkan di suatu tempat untuk mengadakan doa bersama. Mereka membawa kembali paket makanan yang telah didoakan bersama kembali ke rumah masing-masing. Namun pelaksanaan
selikuran sekarang sudah berbeda, umat Islam membuat satu paket makanan dan berdoa bersama di masjid. Makanan dan minuman yang ada merupakan masakan bersama, tidak dibawa dari tiap keluarga. Ada juga kelompok -kelompok adat yang masih percaya pada dewa. Mereka percaya bahwa segala sesuatu pasti ada yang menguasai (makhluk ghoib). Dalam melakukan upacara, mereka menggunakan sesaji sebagai bentuk persembahan terhadap dewa
Kelompok-kelompok adat tersebut anrara lain kelompok
wilujengan untuk melakukan selamatan bagi orang sudah mati, untuk pernikahan, panen dan lain-lain. Kelompok-kelompok ini sering dinamakan kepercayaan animisme. Dalam perkembangac jamannya
sekarang masyarakat mulai
meninggalkan kebiasaan kepercayaan tersebut, walaupun masih ada yang meluangkan waktu untuk melakukan ritual kepercayaan pemujaan tersebut, namun nilai religiusitasnya sudah berkurang. Atau dalam lain perkataan, walaupun ada masyarakat yang masih mengikuti ritual upacara kepercayaan animisme, akan tetapi mereka hanya sekedar mengikuti tak lebih menghayati, dan hanya digunakan sebagai simbol perayaan dan pergaulan dengan budaya masyarakat mengharapkan eksistensinya terjaga.