Rethinking Islam dan Sains
RETHINKING ISLAM DAN SAINS: Penelisikan terhadap Hakikat Ilmu dalam Tradisi Islam Mohd. Arifullah Fakultas Ushuluddin IAIN STS Jambi
Abstrak: Tradisi ilmiah dalam Islam dewasa ini dapat dikatakan mulai muncul kembali, dan semua itu tidak terlepas dari upaya yang telah dilakukan oleh beberapa cendikiawan, intelektual dan juga sarjanawan Islam yang menyerukan “rethinking” Islam yang kemudian berimbas pada pemahaman yang terbuka atas sains, hingga berdampak pada keterbukaan tradisi ilmiah di dunia Islam dewasa ini. Walaupun hasil yag diharapkan belum sepenuhnya terlihat karena masih adanya pandangan dualis terhadap sains namun besar harapan bahwa resurgensi Islam akan mewujud. Dalam kerangka inilah karya tulis ini dibuat, diawali dari kesadaran tentang adanya malapetaka metafisika yang melanda dunia Islam, hingga membutuhkan upaya “rethinking” Islam. Lebih jauh diutarakan pula pemetaan hubungan sains dan agama, yang kemudian menjadi alat ukur untuk melihat pertumbuhan sains dalam Islam yang fluktuatif. Akhirnya bahasan ditutup dengan uraian tentang redefinisi sain dalam tradisi empiris Islam. Kata Kunci: Memikirkan Ulang, Keterbukaan, Tauhid, Tradisi Ilmiah Pendahuluan “Islam” tidak lagi memadai ditempatkan dalam makna yang tunggal, mengingat komunitas Islam sendiri telah memiliki keragaman dalam memahami Islam. Beberapa kalangan memang telah membatasi makna Islam secara sempit hanya sebatas agama yang eksklusif dan final, namun kalangan lainnya menjunjung Islam dalam makna yang inklusif, mencakup seluruh tradisi profetik kenabian. Gradasi pemahaman ini memunculkan berbagai aliran dan gerakan pemikiran dalam Isam yang secara garis besar terpola dalam gerakan radikal, sekuler dan moderat. Pemahaman terhadap Islam ini juga pada gilirannya membawa keragaman penafsiran dan sikap terhadap ilmu dalam komunitas Islam. Ketika TAJDID Vol. XIV, No. 1, Januari-Juni 2015
17
Mohd. Arifullah
sebagian umat Islam hanya membatasi keilmuan Islam pada pengetahuan ideologis yang terkait dengan Islam an-sich, sebagian yang lain justeru memahami keilmuan Islam sebagai sesuatu yang terbuka dan universal tidak mengenal basis ideologi. Dalam pola pemahaman yang terbuka ini peradaban Islam klasik dikatakan oleh S. Irfan Habib, tumbuh dalam sifatnya yang terbuka terhadap pemikiran kritis dan berbagai konsequensinya, menerima berbagai masukan dari luar, termasuk teori pengetahuan yang bersifat empiris.1 Peradaban inilah yang kemudian membawa pengaruh yang tidak kecil terhadap perkembangan sains dalam Islam klasik hingga mencapai masa keemasaannya dalam sains. Namun dalam kenyataannya kini, sains dalam Islam terlihat tidak kentara. Hal inilah yang menggelitik keingintahuan penulis untuk menelisik berbagai peristiwa sainstifik yang terjadi dalam peradaban Islam, hingga menyebabkan terasingnya sains dalam komunitas Islam. Untuk itu penulis mengusung tema “rethinking” Islam dan sains, dengan asumsi bahwa pemahaman terhadap Islam kemungkinan berdampak pada perkembangan sains dalam Islam. Malapetaka Metafisika Realitas kehidupan umat Islam dewasa ini menunjukkan bahwa umat Islam kontemporer belum mampu menginterpretasi panggilan ijtiha>d sesuai dengan konteks global, teks-teks keislaman hanya dipahami secara lokalistik dan cenderung emosional hingga tidak memiliki keterhubungan dengan konteks lokalitas apalagi konteks global kehidupan keseharian masyarakat lokal dan dunia. Hal ini terjadi akibat dari pola penafsiran yang hanya dihubungkan dengan konteks romantisme masa lalu atau lebih mengesankan taqlid dari pada ijtiha>d untuk menemukan penafsiran baru sesuai dengan tantangan dan kodisi zaman. Pembekuan penafsiran ini menandakan penutupan pintu ijtiha>d yang diakibatkan oleh tiga hal utama, yang diistilahkan Sardar dengan “malapetaka metafisik” (metaphysical catastrophes), yang terdiri dari: “(pertama) the elevation of the Shari’ah to the level of the Divine, (kedua) with the consequent removal agency from believers, and (ketiga) the equation of Islam with the state.”2 1
S. Irfan Habib, “Modern Science and Islamic Essentialism”, dalam Economic and Political Weekly, Vol. 43, No. 36 (Sep. 6-12, 2008), 55-61, 55. 2 Ziauddin Sardar, edited by Sohail Inayatullah and Gail Boxwell, Islam, Postmodernism and Other Futures (London: Pluto Press, 2003), 28.
18 TAJDID Vol. XIV, No. 1, Januari-Juni 2015
Rethinking Islam dan Sains
Pensakralan shari>’ah sedang berlangsung di dunia Islam dewasa ini, ketika kebanyakan umat Islam memahami shari>’ah sebagai hal yang sakral, walaupun dalam kenyataannya tidak ada yang sakral selain al-Qur’an dan Hadith. Hal ini dapat dipahami dalam sekema historis bahwa shari>’ah merupakan produk manusia sebagai hasil penafsiran terhadap kehendak wahyu dalam suatu konteks yang khusus. Shari>’ah yang termanifestasi dalam fiqh pada dasarnya tidak lebih dari pandangan atau opini hukum para ulama fuqaha’ klasik. Selain itu, istilah fiqh sendiri belum begitu dikenal hingga Dinasti Abbasiyah memformulasikan dan menyusunnya secara sistematis, yang sayangnya kemudian terlembaga menjadi badan hukum yang meliputi tiga aspek vital kehdupan umat Islam periode Abbasiyah: pertama, fiqh sebagai dasar logika imperialisme Muslim; kedua, fiqh sebagai dasar aturan tentang kemurtadan yang memunculkan istilah da>r al-Isla>m dan da>r al-harb, dan; ketiga, fiqh sebagaimana dikenal dewasa ini, yang meliputi dasar-dasar hukum Islam yang cenderung dilihat sebagai hal yang sakral. Akibat dari semua itu adalah shari>’ah di dunia Muslim tidak mengalami pembaruan berarti dan tetap terpola pada logika dan konteks situasi serta kondisi abad pertengahan.3 Fenomena yang menunjukkan adanya proses pensakralan shari>’ah di atas secara tidak langsung mengindikasikan adanya malapetaka yang kedua, yaitu minimnya mujaddid sebagai agen perubahan di tengah masyarakat Islam. Hal inilah yang mengakibatkan shari>’ah gagal diperankan sebagai seperangkat aturan, kerangka nilai dan bimbingan yang fleksibel terhadap berbagai bentuk penyesuaian dan perubahan konteks. Dengan demikian shari>’ah hanya dipahami sebatas hukum, tidak sebagai sebagai metodologi pemecahan masalah (problem-solving methodology) sebagaimana yang dlakukan ulama fiqh terdahulu.4 Umat Islam mestinya menyadari hal ini bahwa Islam tidak menyediakan jawaban yang siap pakai terhadap berbagai problem kehidupan manusia, Islam hanya meyediakan perspektif moral yang dapat dijadikan acuan menemukan jawaban terhadap berbagai
3
Sardar, Islam, Postmodernism and Other Futures, 28-29. Tentang shari’ah sebagai metodologi pemecahan masalah dapat dirujuk lebih jauh dalam karya Ziauddin Sardar, Islamic Future: the Shape of Ideas to Come (London: Mannsell, 1985). 4
TAJDID Vol. XIV, No. 1, Januari-Juni 2015
19
Mohd. Arifullah
problem kemasyarakatan yang dihadapi, dalam konteks ini kecerdasan memahami ajaran agama mutlak dibutuhkan. Penempatan shari>’ah sebagai metodologi pemecahan masalah menjadi penting untuk dilekatkan dalam kesadaran umat Islam dewasa ini, guna mengindari pemahaman yang sempit bahwa hukum Islam adalah produk yang telah jadi dan sempurna. Pandangan ini berbahaya, karena dapat mereduksi universalitas Islam sekedar sebagai ideologi totalistik yang sempit. Ketika sebagian umat Islam membawa pemahaman Islam ideologis ini ke ranah politik dalam kehidupan negara-bangsa, dengan menempatkan shari>’ah sebagai pusat, maka malapetaka metafisika yang ketiga akan terjadi, yaitu penyamaan Islam dengan negara. Negara-negara Islam, mulai dari saudi Arabia hingga Pakistan pada dasarnya merupakan negara yang berazaskan Islam ideologi.5 Kenyataan ini mengkhawatirkan bagi Sardar, karena ketika Islam ideologi menjadi sebuah program aksi, ia akan kehilangan humanitasnya dan menjadi lapangan tempur, di mana moralitas, rasio dan keadilan siap dikorbankan di altar emosi yang akan semakin membuktikan betapa perjalanan sejarah Islam banyak diwarnai oleh tindakan umat Islam yang tidak Islami. Artinya transformasi Islam kepada negara berbasis politik ideologi sempit ini akan menjadi justifikasi bagi tindakan tidak Islami. Tiga matapetaka metafisik tersebut terjadi seiring dengan proses reduksi pemahaman Islam yang sebenarnya telah berlangsung lama dan terus bertahan hingga dewasa ini. Malapetaka menyebabkan umat Islam tidak lagi mengakui kekuatan diri sendiri dalam mencari pemecahan masalah zamannya dan lebih berpegang pada pandangan ulama klasik, yang telah sekian abad telah berlalu. Proses reduksi ini sebenarnya terkait erat dengan kesalahpahaman umat Islam terhadap tradisi ilmunya, terutama gagasan tentang ‘ali>m (ulama) yang juga reduktif sebatas ilmuan agama, padahal pada awalnya seorang ‘ali>m dilekatkan pada tiap orang yang berilmu atau berpengetahuan dalam pengertian yang luas. Karena itu setiap ilmuan seperti filosof, teolog, fuqaha’, dinamakan ‘ulama>’.6 Artinya sejak awal Islam memperlihatkan adanya pemahaman tentang kesatuan ilmu yang dapat dicapai dalam makna analisis logis ataupun 5 6
Sardar, Islam, Postmodernism and Other Futures, 30. Sardar, Islam, Postmodernism and Other Futures, 30
20 TAJDID Vol. XIV, No. 1, Januari-Juni 2015
Rethinking Islam dan Sains
epistemologi.7 Kemungkinan ini secara lebih luas bahkan diakaui pula oleh Zia H. Shah, ketika mengungkapkan bahwa: “The Systematic study of the nature is called science and in atheistic paradigm it is the study of the ‘Work of God’. The scientific revolution of the last millenium has established that there is one ‘universal science’. It is as a shared heritage developed by Christian, atheist, Jewish, Muslim and other scientists. We need to enter this millennium with a more clear and rational thinking, about relationship of science and religion”.8 Namun dalam perkembangan selanjutnya, arti ilmu dalam mulai tereduksi sebatas pengetahuan agama dan term ‘ulama>’ hanya dikhususkan bagi ilmuan/ sarjana agama. Pereduksian ini juga terjadi pada berbagai term keagamaan yang mulanya universal menjadi partikular, seperti konsep ijma>’, ‘ummah, ataupun jiha>d.9 Untuk itu, kini diperlukan upaya untuk menjauhkan umat dari pandangan reduktif tentang Islam sebagai worldview yang diharapkan dapat menciptakan model pengetahuan holistik. Karena itu proyek “rethinking” Islam harus dilakukan. “Rethinking” Islam Beberapa cendikiawan Islam dewasa ini mulai mencoba mendefinisikan Islam secara terbuka. Penempatan makna Islam secara meluas ini sejak awal sudah menjadi kebutuhan bagi umat Islam dewasa ini yang dalam pandangan Mohammed Arkoun, cenderung mendekati dimensi universal Islam hanya secara parsial, sebagaimana yang tergambar dalam literatur keislaman yang miskin dan terkadang polemis.10 Menyikapi perkembangan inilah kemudian beberapa tokoh menyuarakan proyek “Rethinking Islam” sebagaimana yang digagas oleh Mohammed Arkoun melalaui karyanya al-‘Almanat wa al-Di>n al-Isla>m al-Masi>h}iyyat al7
Lihat Shahid Rahman dan John Symons, Logic, Epistemology, and the Unity of Science (Netherlands: Springer Science+ Business Media, 2009), 1. 8 Lihat Zia H. Shah MD., “Review on Islam and Science: Religious Orthodoxy and Battle for Rationality”, http://www.alislam.org/egezette/ articles/Islam-and-Science-Religious-orthodoxy. 9 Sardar, Islam, Postmodernism and Other Futures, 31. 10 Mohammed Arkoun, “Rethinking Islam”, dalam Charles Kurzman (ed.), Liberal Islam: A Sourcebook (New York-USA: Oxford University Press, Inc., 1998), 337. TAJDID Vol. XIV, No. 1, Januari-Juni 2015
21
Mohd. Arifullah
Gharb, 11 Seyyed Hossein Nasr sebagaimana terlihat dalam karyanya The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity, 12 ataupun oleh Ziauddin Sardar yang mengental dalam tulisannya yang berjudul Islam, Postmodernism and Other Futures. 13 Ehsan Masood tampaknya juga mencoba memahami Islam dalam makna yang universal, ia contohnya mengartikan Islam tidak hanya sebagai agama namun juga sistem budaya ataupun peradaban yang melampaui semuanya. Islam dikatakan Masood lebih merupakan cara mengetahui (a way of knowing), cara berpikir dan bertindak, serta jalan menuju pemanusiaan (a way being human).14 Masood tampaknya ingin memberikan pemaknaan yang meluas terhadap Islam hingga menyentuh aspek epistemologi ataupu paradigma (away of view) yang akan menentukan bagaimana umat Islam melihat dunianya dalam kacamata Islam yang universal, bukan melalui kacamata yang sempit dan buram. Upaya redefinisi Islam di atas bukan upaya yang dilakukan untuk memupus matra religiusitas Islam, namun upaya yang diarahkan untuk merespons kondisi umat Islam dewasa ini yang telah kehilangan daya dobrak intelektualnya. Umat Islam kini seakan mengalami kemandulan intelektual hingga tidak dapat melangkah maju seiring dengan perkembangan dunia modern dan global yang semakin pesat. Untuk itulah menurut Sardar dan juga Fazlur Rahman, proyek “rethinking” Islam dikemukakan guna menghidupkan kembali ijtiha>d di kalangan umat Islam yang telah sekian lama terjebak dalam pola interpretasi masa klasik (age-old interpretations).15 Hal ini juga dimaksudkan agar umat Islam dapat menunjukkan wajah Islam sejati sebagai kekuatan intelektual, pembebasan, penggerak perubahan sosial dan budaya yang berkeadilan. 11
Lihat Mohammed Arkoun, al-‘Almanat wa al-Di>n al-Isla>m alMasi>h}iyyat al-Gharb (Westbourne Grove-London: Dar al-Saqi, 1978). 12 Seyyed Hossein Nasr, the Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (United Kingdoom: HarperCollins, 2004), 58. 13 Sardar, Islam, Postmodernism and Other Futures. 14 Ehsan Masood, “Introduction: the Ambiguous Intellectual”, dalam Ziauddin Sardar, How Do You Know? Reading Ziauddin Sardar on Islam Science and Cultural Relations (London: Pluto Press, 2006), 2. 15 Sardar, Islam, Postmodernism and Other Futures, 27. Lihat pula Fazlur Rahman, Islam (New York: Chicago University, 1979), revised edition, 282-283
22 TAJDID Vol. XIV, No. 1, Januari-Juni 2015
Rethinking Islam dan Sains
Upaya rethinking Islam di atas dikatakan oleh Bassam Tibi sebagai aksi penuh resiko, karena dapat menggiring seseorang dalam daftar aktor yang murtad dan kafir yang berkonsequensi pada ancaman fisik.16 Namun resiko inilah yang harus ditanggung dalam upaya membangkitkan kembali tradisi keilmuan Islam yang dewasa ini berada dalam tahap “kemunduran”. Dalam konteks ini, maka redefinisi sains dalam perspektif Islam menjadi langkah lanjutan guna menggapai kembali kemajuan keilmuan Islam. Hubungan Sains dan Islam Membicarakan sains dalam tradisi Islam sama halnya dengan memperbincangkan sains dan agama yang biasanya dilihat dalam pola hubungan konflik. Dalam tradisi Barat kasus hubungan agama dan sains telah diwarnai denngan serangkaian konflik. Kasus Copernicus (1473-1543), Galileo Galilei (1564-1642), Johannes Kepler (15710-1630) dan Charles Darwin (1809-1882) merupakan contoh yang paling banyak diungkap dalam memperlihatkan konflik antara sains dan agama. Konflik ini tidak hanya terjadi pada level konten keilmuan namun juga pada level epistemologi, karena apa yang diketahui melalui sains belum tentu dapat diintegrasikan dengan norma agama.17 Namun dewasa ini hubungan sains dan agama dilihat oleh Ian G.Barbour dalam pola hubungan yang lebih komfleks meliputi conflict, independence, dialogue, dan integration.18 Konflik, merupakan pola hubungan “perang” sains dan agama, menghadapkan materialisme ilmiah (scientific materialism) dan literalisme biblikal (biblical literalism). Keduanya memiliki sistem epistemologi yang berbeda, materialisme ilmiah memahami metode ilmiah sebagai satu-satunya cara memperoleh pengetahuan 16
Bassam Tibi, the Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorde, (USA, Berkeley: University of California Press, 1998), 156. 17 Lihat Gary B. Ferngren (ed.), The History of Science and Religion in the Western Tradition: an Encyclopedia (New York & London: Garland Publishing, Inc., 2000), 2-3 dan 13. 18 Ian G. Barbour, When Science Meets Religion: Enemies, Strangers, or Partners?, E.R. Muhammad (terj.), Juru Bicara Tuhan: antara Sains dan Agama (Bandung: Mizan, 2002), cet. 1, 40-42. Lihat juga Mohd. Arifullah, Rekonstruksi Citra Islam di Tengah Ortodoksi Islam dan Perkembangan Sains Kontemporer (Jambi dan Jakarta: Sulthan Thaha Press dan UI Press, 2004), 109. TAJDID Vol. XIV, No. 1, Januari-Juni 2015
23
Mohd. Arifullah
dalam realitas empirik, sementara literalisme biblikal memberlakukan teks kitab suci sebagai sumber kebenaran dalam upaya menjaga nilai-nilai tradisional dari kemerosotan moral. Teks kitab suci juga dipandang berlaku secara abadi dan universal (inerrant thorough).19 Keduanya tidak mungkin dipautkan dalam satu logika; manusia tidak dapat berpikir rasional sekaligus mitis, “one cannot hold scientific theory and belief in religious views at the same time”.20 Sementara Independensi, memandang sains dan agama memiliki bidang dan kawasan masing-masing. Sains dan agama dapat dibedakan berdasarkan masalah yang ditelaah, domain yang dirujuk, dan metode yang digunakan, sehingga masing-masing entitas bersifat otonom. Jika terdapat persinggungan, masing-masing memiliki otoritas pandangan dalam skope yang berbeda, yang tidak saling mencampuri. Independensi pada akhirnya mengakui adanya perbedaan bahasa dan fungsi antara sains dan agama.21 Adapun dialog melihat sains dan agama dalam pandangan konstruktif, berdasarkan pertimbangan, praanggapan ilmiah; eksplorasi kesejajaran metodis sains dan agama, serta; analisa perbandingan konsep sains dan agama. Selangkah lebih maju dibandingkan independensi, dialog tidak mempermasalahkan perbedaan tapi lebih fokus pada kemiripan pra-anggapan, metode, dan konsep yang ada dalam sains dan agama. Dialog berarti untuk menyikapi berbagai pertentangan pemikiran yang dihasilkan dari tradisi konflik sains dan agama.22 pola hubungan dialogis ini banyak menginspirasi intelektual Islam dalam melihat hubungan antara sains dan Islam. 23 Akhirnya, integrasi, merupakan pola hubungan berdasarkan rumusan ulang gagasan teologi tradisional secara intesif dan 19
Lihat Zainal Abidin Bagir, “Pluralisme Pemaknaan dalam Sains dan Agama, Beberapa Catatan Perkembangan Mutakhir Wacana Sains dan Agama”, Relief, Journal of Religious Issues, ed. Perdana, 2003, 46. 20 Lihat Barbour, When Science Meets Religion, 54. 21 Stephen Jay Gould, Rock of Ages: Science and Religion in the Fullness of Life (New York: the Ballantine Publishing Group, 1999), 4. Lihat pula Arifullah, Rekonstruksi Citra Islam, 50. 22 Barbour, When Science Meets Religion, 74. 23 Hasan Hanafi & Muhammad ‘Abid al-Jabiri, “Hiwâr aal-Masyrîq wa al-Maghrib: Tahlîhi Silsilah al-Rudûd wa al-Munâqasât”, (Terj.) Umar Bukhory, Membunuh Setan Dunia: Melebur Timur dan Barat dalam Cakrawala Kritik dan Dialog, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), cet. 1, 37-39.
24 TAJDID Vol. XIV, No. 1, Januari-Juni 2015
Rethinking Islam dan Sains
sistematis dalam tiga versi: (1) Natural theology, bahwa eksistensi Tuhan dapat disimpulkan dan didukung berdasarkan bukti tentang desain alam, yang mengantar kesadaran tentang alam sekaligus Tuhan; (2) Theology of nature, menganggap sumber utama teologi ada di luar sains, namun teori-teori ilmiah memiliki dampak besar dalam perumusan ulang doktrin-doktrin tertentu, terutama doktrin penciptaan dan sifat manusia; (3) Sintesis sistematis, yang melihat sains dan agama berkontribusi bagi metafisika inklusif.24 Perjalanan sejarah hubungan sains dan agama di atas tentu berbeda dengan sejarah hubungan sains dan agama dalam tradisi Islam. Tradisi Islam secara normatif lebih menghargai pengembangan ilmu, karena sains yang dalam Islam dikenal dengan istilah ‘ilm memiliki skope yang berbeda dengan term sains dalam tradisi Barat, sebagaimana diungkapkan oleh Mulyadhi Kartanegara, bahwa ada perbedaan skope ilmu dalam tradisi Islam dan sains dalam tradisi Barat, walaupun keduanya memiliki pengertian yang tidak jauh berbeda.25 Abu Bakr al-Baqillani (w. 1013) misalnya menerjemahkan ilmu sebagai pengetahuan tentang benda sebagaimana adanya,26 dalam arti ilmu dalam Islam merupakan pengetahuan yang telah teruji kebenarannya, sama halnya dengan pengertian sains sebagai any organized knowledge.27 Hanya saja lingkup kedua istilah masing-masing berbeda, ketika ilmu melingkupi bidang pengetahuan fisik dan nonfisik, maka sains dibatasi pada bidang pengetahuan fisik atau indrawi semata.28 Jika kemunduran Barat diakibatkan oleh kungkungan dogmatis gereja, maka kemunduran Islam justeru diakibatkan oleh hilangnya spirit ilmiah Qur’ani. Ketika umat Islam memahami sains lepas dari prinsip keilmuan yang dimotivasi dalam al-Qur’an. Karena itu dibutuhkan upaya untuk mengembalikan pandangan keilmuan Islam pada prinsip al-Qur’an.
24
Barbour, When Science Meets Religion, 82. Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam (Bandung: Mizan, 2003), 1. 26 Lihat Oliver Leaman, an Introduction to Medieval Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1985). 27 Noeng Muhadjir, Filsafat ilmu: Positivisme, Postpositivisme, Postmodernisme (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2001). 28 Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, 1. 25
TAJDID Vol. XIV, No. 1, Januari-Juni 2015
25
Mohd. Arifullah
Kemunduran Sains dalam Tradisi Islam Dilihat dari perjalanan historis Islam, dapat diketahui bahwa perkembangan sains dalam Islam cukup fluktuatif. Sains dalam Islam pernah mencapai kemajuan yang luar biasa, namun setelahnya sains, seperti halnya filsafat dan tasauf terkadang dianggap sebagai barang haram yang melecehkan agama dan rentan pada kekafiran. Saat inilah tensi agama dan sains dalam Islam mulai terlihat. Usaha kontra-filsafat yang terpenting dan paling berpengaruh, dilakukan oleh al-Ghazali yang mengkounter dua puluh pandangan metafisika para filosof. Hasilnya tujuh belas ajaran metafisika dinilai sebagai bid’ah yang menyesatkan dan tiga isu lainnya dianggap sebagai biang kekafiran para filosof. Dalam Tah}a>fut al-Fala>sifah, al-Ghazali menjelaskan tiga isu tersebut: Isu pertama, tentang keabadian alam, yang berimplikasi pada eksistensi otomat alam tanpa pencipta. Konsequensinya, seluruh filosof yang memeluk pandangan ini (baik dalam jalur Aristotelianisme dan Plotinus, seperti Ibn Sina), sudah tentu tidak bertuhan. Isu kedua, filosof telah membatasi pengetahuan Tuhan karena Tuhan dibutakan sama-sekali dari peristiwa yang berlangsung di dunia. Selain itu, dengan menanggalkan sifat-sifat esensial Tuhan termasuk hayat, maka para filosof telah mereduksi Tuhan pada status “mati”. Isu ketiga, penyangkalan kebangkitan jasmani oleh para filosof tidak terbukti secara rasional, karenanya hanya ada satu pilihan bagi para filosof yaitu kembali pada ayat al-Qur’an,29 di antaranya QS. Ali ‘Imrân/ 3 ayat 169: “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; tapi mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki”.30
29
Disarikan oleh Majid Fakhri dari Tah}a>fut al-Fala>sifah-nya alGhazali. Lihat Majid Fakhry, A short Introduction to Islamic Philosophy, Theology and Mysticism (Oxford, England: Oneworld Publication, 2000), 81-82. 30 Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsir al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsir alQur’an, 1971), 105.
26 TAJDID Vol. XIV, No. 1, Januari-Juni 2015
Rethinking Islam dan Sains
Al-Ghazali menjadikan ayat ini sebagai argumen naqliyah untuk mengkaunter pandangan sebagian filosof yang tidak mengakui kebangkitan jasmani. Berdasarkan ayat tersebut pula alGhazali ingin menegaskan bahwa terdapat kebangkitan jasmani yang menjadi instrumen kesenangan dan penderitaan bagi manusia di akhirat kelak. Kontradiksi ini memiliki akar sejarah yang cukup panjang, hingga memunculkan ortodoksi dan heterodoksi Islam. Berawal dari kemunculan teologi dalam tradisi Islam ditengarai sebagai imbas dari pertentangan politik pada pemerintahan Ali bin Abi Thalib, dipicu oleh peristiwa arbitrase antara Ali dan Mu’awiyah.31 Persoalan politik ini memunculkan beberapa aliran teologi dalam Islam, yang secara ekstrem terbagi dalam dua arus utama pemikiran yang kontradiktif, yaitu corak pemikiran yang lebih banyak bersandar pada wahyu dan corak pemikiran yang lebih banyak bersandar pada rasio. Dua corak pemikiran tersebut diwakili oleh Qadariyah dan Mu’tazilah pada satu sisi serta Jabariyah dan al-Asy’ariyah di lain sisi. Keduanya berada pada kutub yang berlawanan.32 Teologi Mu’tazilah yang terpengaruh oleh filsafat dan pengetahuan Yunani mengedepankan rasio sebagai sandaran argumen akliyah daripada wahyu sebagai argumen naqliyah. Aliran ini pada puncak kejayaannya berhasil mengokohkan diri pada masa Khalifah Harun al-Rasyid (766-809 M.) dan dikokohkan sebagai mazhab resmi pada masa khalifah al-Ma’mun (813-833 M.).33 Dukungan politik terhadap Mu’tazilah melalui tragedi Mihnah, menjadi lahan subur bagi kalangan ortodoks untuk mengembangkan opini keagamaan tentang bahaya aliansi-kotor agama dan politik, yang semakin menguat karena identiknya corak pikir Mu’tazilah dengan filsafat Yunani yang telah bersentuhan dengan teologi Kristen. Akibatnya, protes keras terhadap Mu’tazilah muncul kepermukaan, terutama dari kalangan ortodoks 31
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI-Press, 1986), cet. ke-5, 5-7. 32 Lihat lebih jauh dalam Abu al-Fatih Muhammad Bin ‘Abdul Karim alShahrastani, al-Mila>l wa al-Nih}a>l (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyya, 2009). 33 Insiden yang terakhir ini telah membawa presedent dengan pemaksaan terhadap pengakuan bahwa al-qur’’an adalah makhluk. Nasution, Teologi Islam, 8. TAJDID Vol. XIV, No. 1, Januari-Juni 2015
27
Mohd. Arifullah
seperti Ahmad Ibn Hanbal (w.855) yang menentang keras persepsi al-Qur’an sebagai makhluk. Dalam kedudukan yang tergugat, superioritas Mu’tazilah akhirnya memudar untuk selanjutnya dibatalkan sebagai mazhab resmi negara pada masa kekhalifahan al-Mutawakkil (844 M.), tepatnya pada tahun 856 M.34 Di tengah kekosongan mazhab tersebut, al-Asy’ariyah muncul. Oleh beberapa kalangan kemuculannya dilihat sebagai perpanjangan dari Mu’tazilah walaupun dalam corak pikir yang berbeda,35 mengingat al-Asy’ari tetap meneruskan diskursus teologis dengan pendekatan deduksi logik, yang berlawanan dengan Imam Malik ibn Anas (w. 795) dan Ahmad Ibn Hanbal yang menolak teologi sistematis.36 Kemunculan al-Asy’ariyah juga dilihat secara politis, sebagai usaha untuk mempersatukan umat Islam dalam satu mazhab besar, yang sayangnya secara perlahan namun pasti telah menggiring umat Islam pada gerbang pemudaran ilmu. Al-Asy’ariyah telah menjadi pemicu benturan hebat antara teologi ortodok dengan filsafat, yang akhirnya berhasil dimenangkan oleh al-Asy’ari, hingga dapat mengukuhkan dirinya sebagai ortodoksi Islam. Prosesi al-Asy’ari menjadi ortodoksi Islam ini dimuluskan oleh al-Ghazali (1058-111 M.) melalui kritiknya yang mendalam terhadap filsafat dan corak fikir rasional-filosofis secara umum baik Aristotelianisme maupun Neo-Platonisme.37 Walaupun tidak dapat dipastikan, pesona yang ditebarkan oleh al-Ghazali, alAsy’ariyah serta patronnya Hanbaliyah (atau juga 3 mazhab lainnya), pada beberapa sisi telah mendorong pelegitimasian ortodoksi Islam terhadap aliran teologi rasional dan juga filsafat yang dilihat sebagai heterodoksi Islam dalam benak masyarakat 34
Keadaan ini amat dimengerti mengingat Mutawakkil sendiri merupakan tokoh Sunni konservatif. Lihat Pervez Amirali Hoodbhoy, Islam and Science, Religious Orthodoxy and the Battle for Rasionality (London and New Jersey: Zed Book Limited, 1991). 35 Di antara tokoh yang mengindikasikan pandangan di atas adalah Fakhry, A Short Introduction to Islamic Philosophy. Pandangan ini ditolak oleh Harun Nasution yang melihat bahwa al-Asy’ariyah lahir sebagai perlawanan dari Mu’tazilah yang rasional. Nasution, Teologi Islam, 9. 36 Fakhri, A Short Introduction to Islamic Philosophy, 73. 37 W. Montgomery Watt, The Faith and Practice of al-Ghazali (London: G. Allen and Unwin LTD., 1953). Lihat pula Agus Purwadi, Teologi, Filsafat, dan Sains (Malang: UMM-Press, 2002), cet. ke-1, 26.
28 TAJDID Vol. XIV, No. 1, Januari-Juni 2015
Rethinking Islam dan Sains
awam. Akibatnya, sungguh menyulitkan, dunia Islam yang sempat menjadi kiblat ilmu pengetahuan berangsur-angsur pudar, khususnya dalam bidang kesenian, sains, dan teristimewa ilmu kealaman. Pada rentang waktu tertentu pandangan ortodoksi Islam telah pula menjadi titik balik tradisi keilmuan Islam. Kreativitas yang semula mewarnai tradisi keilmuan Islam semakin terkebiri dan tertutup oleh tradisi taqlid. Akibatnya, kristalisasi pemikiran menjadi keharusan yang tidak terhindarkan, dengan anggapan bahwa segala sesuatu yang harus dan pantas diketahui telah diketahui dan dipahami lebih baik oleh orang yang hidup di masa yang lebih dekat dengan saat-saat pewahyuan al-Qur’an.38 Tradisi umat Islam yang tidak kreatif dan fatalis terutama taqlid diakui Murad W. Hofmann, memiliki pengaruh yang tidak kecil terhadap paradigma keilmuan muslim. Taqliq secara signifikan telah mengubah corak penafsiran umat Islam terhadap al-Qur’an dan sunnah Nabi pada corak penafsiran yang kaku, sehingga prinsip-prinsip dasar Islam termasuk prinsip keterbukaan dan dorongan terhadap perkembangan sains dan teknologi menjadi kabur. Taqlid tentu saja tidak dapat dipahami sebagai faktor tunggal yang mendorong alienasi Islam terhadap sains, mengingat begitu banyak faktor yang turut mempengaruhi pemudaran minat keilmuan umat Islam, terutama faktor internal berupa kebijakan politik yang membuka lahan subur bagi tumbuh-kembangnya tradisi sufistik yang memang sedang bersemi ketika itu. Selain itu faktor eksternal juga memiliki andil besar dalam kemerosotan ilmu pengetahuan umat Islam, terutama penyerangan bangsa Mongol di dunia Islam. Walaupun demikian keadaan ini perlu diatasi guna mendorong kebangkitan kembali sains Islam, untuk itulah pendefinisian kembali sains menjadi kebutuhan. Redefinisi Sains dalam Tradisi Empiris Islam Normativitas Islam sangat kaya dengan motivasi pengembangan sains, dalam pandangan yang menyeimbangkan peranan akal dan wahyu atau pengetahuan dan nilai dalam melakukan penelaahan terhadap alam. Karena itu pengetahuan dalam Islam dihasilkan dari usaha-usaha manusia dan juga
38
Pandangan ini dapat dirujuk dalam Murad W. Hofman, Islam: The Alternative, (German: Armana Publications, 1997), 75. TAJDID Vol. XIV, No. 1, Januari-Juni 2015
29
Mohd. Arifullah
penggalian terhadap normativitas al-Qur’an.39 Di mana tanda-tanda Ilahi dijadikan arah bagi manusia dalam mempelajari alam. Prinsip inilah yang kini mulai dimunculkan kembali melalui upaya pengintegrasian sains ke dalam Islam. Perlu pula diketahui bahwa pengembangan sains dalam Islam tidak melulu bersifat teoritis, malah merupakan jawaban terhadap masalah keseharian umat Islam, pengembangan astronomi misalnya didorong oleh kebutuhan kaum Muslim terhadap pengetahuan tentang waktu shalat dan arah kiblat.40 Tidak hanya realistik, sains dalam Islam adalah sains yang utuh, tidak mengenal dikotomi. Ilmuan Muslim klasik tidak mengenal batas disiplin ilmu, antara ilmu pasti dan humaniora, umum dan agama, mereka merupakan ilmuan yang menguasai berbagai bidang ilmu (polymaths) ibarat filsuf Yunani Kuno yang memperoleh isyarat ilmiah dalam al-Qur’an.41 Artinya sains Islam, bukan sebuah bidang keilmuan yang terbatas hanya pada pengetahuan empiris seperti sains Barat modern, bukan pula pengetahuan yang dikungkung oleh normativitas hingga hanya terbatas pada ilmu agama. Sains Islam merupakan keseluruhan pengetahuan yang tidak mengenal batas, diinspirasi oleh akal dan wahyu. Pernyataan ini sesuai dengan pandangan Kartanegara yang menilai bahwa ilmu dalam tradisi Islam meliputi seluruh bidang ilmu baik fisik, matematika ataupun metafisika.42 Penjelasan di atas sebenarnya masih berada dalam dataran normatif yang memahami ilmu sebagai suatu yang padu, satu dan holistik, karena itu agama Islam dapat dipahami tidak terpisahkan dari perkembangan sains, filsafat dan tradisi keilmuan Islam lainnya. Pemahaman sainstifik inilah yang harusnya 39
Sardar, How Do You Know, 108. Tentang hal di atas, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa al-Qur’an menjadi isyarat bagi penelaahan berbagai fenomena alam, mulai dari reproduksi manusia (QS. al-Qiyamah/ 75: 36-39), Kejadian alam semesta (QS. al-Anbiya’/21: 30), pemisahan dua laut (QS. al-Fuqan/ 25: 53), awan (QS. al-Hijr/ 15: 22), gunung (QS. alNaml/ 27: 88), dan lain-lain. Lihat M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an: ditinjau dari Aspek kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Ghaib (Bandung: Mizan, 1997), 165-189. 40 Hal ini diakui juga oleh Donals Hill, Islamic Science and Engineering (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1993). 41 Sardar, How Do You Know?, 108. 42 Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam , 7.
30 TAJDID Vol. XIV, No. 1, Januari-Juni 2015
Rethinking Islam dan Sains
dikenakan ketika memandang sains. Hal ini perlu disematkan kembali pada benak kaum Muslim untuk menggairahkan kembali kegiatan sains dalam dunia Islam. Selanjutnya berkenaan dengan anggapan yang melihat alGhazali sebagai penyebab kemunduran tradisi ilmiah ataupun sains dalam Islam, tampaknya perlu di luruhkan. Bagi Nurcholish Madjid, kritik al-Ghazali pada prinsipnya tidak ditujukan pada sains, walaupun berimbas pada pemudaran sains. Al-Ghazali secara pribadi justeru seorang “ilmuan” dengan ambiguitas berpikir yang menolak metafisika Aristoteles pada satu sisi dan menjadi pendukung logika formal Aristoteles pada sisi lain. Kenyataan tersebut cukup menjadi landasan hipotesis bahwa, penentangan terhadap sains di dunia Islam adalah imbas yang tidak diharapkan dari pemikiran kritis al-Ghazali.43 Dalam pemahaman ini, tokoh empirisme Islam Ibn Taimiyyah (w.1328 M.) mencoba meluruskan kerancuan tersebut dengan mengkritisi semua dimensi Aristotelianisme, meliputi metafisika dan juga logika formil Aristoteteles yang dipandang sebagai unsur Hellenisme yang paling merusak sistem pemikiran Islam, bahwa model logika tersebut tidak akan mengantar pada kebenaran karena universalitas klaim yang dikandung. Kebenaran dalam perspektif manusia selalu bersifat partikulir atau individual, sehingga kebenaran yang dicapai melalui intelektualitas yang sesuai dengan kenyataan.44 Pandangan Ibn Taimiyyah tersebut amat dihargai oleh Muhammad Iqbal (1873 M.) sebagai rintisan dini ke arah metode empiris dalam pengembangan ilmu, jauh sebelum kemunculan empirisme Francis Bacon, Roger More, David Hume dan John Stuart Mill. Iqbal secara gamblang menyatakan bahwa empirisme Islam telah diarahkan oleh Abu Bakr al-Razi melalui kritikannya terhadap logika Aristoteles.45 Sayangnya, pandangan empirisme di dunia Islam tidak mampu menyepora seperti sufirme dan teologi fatalis. Karena itu tidak mengherankan bila sampai saat ini pesona empirisme Islam secara luas tetap meredup. Upaya terobosan bagi 43
Dipahami dari Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan (Jakarta: Paramadina, 1992), cet. ke-1, 137. 44 Lihat Madjid, Islam, Doktrin 137-138. Tentang biografi dan produk pikir para tokoh dapat dirujuk dalam Ali Rahnema (Ed.) Pioneers of Islamic Revival”, (Cambridge: Cambridge University Press, 2002). 45 Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban, 139. TAJDID Vol. XIV, No. 1, Januari-Juni 2015
31
Mohd. Arifullah
resurgensi Islam baru menyeruak kembali ketika beberapa cendikiawan Islam menyadari betapa dalam umat Islam telah terjerumus dan menyimpang dari esensi ajaran Islam. Kesadaran ini diperkuat oleh persentuhan Islam dengan Barat yang banyak memberi kesadaran tentang ketertinggalan umat Islam yang begitu jauh dari dunia Barat. Dalam kesadaran tersebut tokoh-tokoh modernis mulai muncul sebagai penggerak revolusi tradisi Islam, seperti Muhammad bin Abd Wahhab, (1703-1787 M.) berusaha membuka kembali pintu ijtihad dan memurnikan ajaran Islam dari khurafat, bid’ah dan tahayul; Jamaluddin al-Afghâni (w.1879 M.) dengan pan-Islamismenya; Muhammad Abduh (1849-1905 M.) dengan berbagai proyek pemurnian Islamnya; hingga ke Muhammad Iqbal (1873 M.) dengan proyek rekonstruksi pemikiran Islamnya. Mengutif Grunebaum Islam and Hellenism, Nurcholish Madjid mencatat, bahwa fungsi Hellenisme dalam Islam adalah melengkapi kaum Muslim dengan rasionalisasi dan sistematisasi yang membimbing ke arah prosedur dan metode generalisasi, abstraksi, dan klarifikasi secara logis. Umat Islam sebenarnya telah menyadari kemundurannya, namun efektivitas usaha pembaruan yang dilakukan hanya terbatas pada kalangan tertentu, belum mampu mengubah tradisi umat Islam secara signifikan, dan dapat mensejajarkan diri dengan Barat dalam politik, sosial dan ekonomi. Karena sebagian besar komunitas Islam masih terbebani oleh dampak psikologis dan teologis dari konflik yang terjadi di masa lampau, sehingga umat Islam masih belum mampu membebaskan diri dari subordinasi dan apatisme terhadap sains, terlebih ketika umat Islam tersudut dalam emperialisme Barat secara fisik, teknologi, ekonomi dan politik. Penutup Dapat dikatakan bahwa proyek “rethinking” Islam harus dilakukan untuk memberikan pemahaman yang terbuka terhadap Islam yang universal. Pemahaman ini diharapkan akan berdampak pada pemahaman umat Islam terhadap sains yang selama ini cenderung diabaikan. Dewasa ini memang telah ada upaya untuk memunculkan gairah umat Islam terhadap sains, namun sayangnya umat Islam belum mampu menghasilkan pandangan yang tauhidik terhadap sains, mereka masih terliputi dalam dikotomi antara sains dan agama, dengan berbagai tingkat penghubungan dan batasan. Kenyataan ini bahkan masih dapat dirasakan dalam pemikiran para tokoh modern dan post-modern Islam dalam berbagai alur pikir
32 TAJDID Vol. XIV, No. 1, Januari-Juni 2015
Rethinking Islam dan Sains
seperti Isma’il Raji al-Faruqi, Hassan Hanafi, Muhammad Abid alJabiri, Syed Hossein Nasr, ataupun tokoh-tokoh Islam Modern lainnya. Ke depan diharapkan umat Islam benar-benar dapat mengembalikan pemahaman saintifiknya sebagaimana para ilmuan polymath Islam klasik yang demikian terbuka. Daftar Pustaka Arifullah, Mohd. Rekonstruksi Citra Islam di Tengah Ortodoksi Islam dan Perkembangan Sains Kontemporer. Jambi dan Jakarta: Sulthan Thaha Press dan UI Press, 2004. Arkoun, Mohammed. al-‘Almanat wa al-Di>n al-Isla>m alMasi>h}iyyat al-Gharb. Westbourne Grove-London: Dar alSaqi, 1978. Bagir, Zainal Abidin. “Pluralisme Pemaknaan dalam Sains dan Agama, Beberapa Catatan Perkembangan Mutakhir Wacana Sains dan Agama”, dalam Relief: Journal of Religious Issues, ed. Perdana, 2003. Barbour, Ian G. When Science Meets Religion: Enemies, Strangers, or Partners?. Diterjemah oleh E.R. Muhammad. Juru Bicara Tuhan: antara Sains dan Agama. Bandung: Mizan, 2002. Fakhry, Majid. A short Introduction to Islamic Philosophy, Theology and Mysticism. Oxford, England: Oneworld Publication, 2000. Ferngren, Gary B. (ed.). The History of Science and Religion in the Western Tradition: an Encyclopedia. New York & London: Garland Publishing, Inc., 2000. Gould, Stephen Jay. Rock of Ages: Science and Religion in the Fullness of Life. New York: the Ballantine Publishing Group, 1999. Habib, S. Irfan. “Modern Science and Islamic Essentialism”, dalam Economic and Political Weekly, Vol. 43, No. 36. Sep. 6-12, 2008, 55-61. Hanafi, Hasan & Muhammad ‘Abid al-Jabiri. “Hiwâr aal-Masyrîq wa al-Maghrib: Tahlîhi Silsilah al-Rudûd wa al-Munâqasât”. Diterjemah Umar Bukhory. Membunuh Setan Dunia: Melebur Timur dan Barat dalam Cakrawala Kritik dan Dialog. Yogyakarta: IRCiSoD, 2003. Hill, Donals. Islamic Science and Engineering. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1993. Hofman, Murad W. Islam: The Alternative. German: Armana Publications, 1997. TAJDID Vol. XIV, No. 1, Januari-Juni 2015
33
Mohd. Arifullah
Hoodbhoy, Pervez Amirali. Islam and Science, Religious Orthodoxy and the Battle for Rasionality. London and New Jersey: Zed Book Limited, 1991. Kartanegara, Mulyadhi. Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam. Bandung: Mizan, 2003. Kurzman, Charles (ed.). Liberal Islam: A Sourcebook. New YorkUSA: Oxford University Press, Inc., 1998. Leaman, Oliver. An Introduction to Medieval Islamic Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press, 1985. Madjid, Nurcholish. Islam, Doktrin, dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan. Jakarta: Paramadina, 1992. Nasr, Seyyed Hossein. The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. United Kingdoom: HarperCollins, 2004. Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press, 1986. Rahman, Fazlur. Islam. New York: Chicago University, 1979. Rahman, Shahid dan John Symons. Logic, Epistemology, and the Unity of Science. Netherlands: Springer Science+ Business Media, 2009. Rahnema, Ali (ed.). Pioneers of Islamic Revival”. Cambridge: Cambridge University Press, 2002. Sardar, Ziauddin. Edited by Sohail Inayatullah and Gail Boxwell, Islam, Postmodernism and Other Futures. London: Pluto Press, 2003. ------, How Do You Know? Reading Ziauddin Sardar on Islam Science and Cultural Relations. London: Pluto Press, 2006. ------, Islamic Future: the Shape of Ideas to Come. London: Mannsell, 1985. Shihab, M. Quraish. Mukjizat al-Qur’an: ditinjau dari Aspek kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Ghaib. Bandung: Mizan, 1997. Tibi, Bassam. The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorde. USA, Berkeley: University of California Press, 1998. Watt, W. Montgomery. The Faith and Practice of al-Ghazali. London: G. Allen and Unwin LTD., 1953.
34 TAJDID Vol. XIV, No. 1, Januari-Juni 2015