1
Restorasi Citra Dengan Menggunakan Metode Iteratif Lanczos – Hybrid Regularization Yudhi Purwananto1, Rully Soelaiman1, Alfa Masjita Rahmat1 1 Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Informasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya 60111, Indonesia e-mail:
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Restorasi citra merupakan sebuah proses untuk memperbaiki citra yang sebelumnya terdegradasi sehingga dapat menyerupai citra aslinya. Permasalahan utama yang sering muncul pada restorasi citra adalah proses rekonstruksi citra awal yang telah didigitasi dan terkontaminasi oleh blur serta additive noise. Dalam penelitian ini diimplementasikan sebuah metode restorasi citra dengan pendekatan yang berbeda, yaitu pendekatan iteratif. Permasalahan restorasi citra akan diselesaikan secara iteratif dengan menggunakan metode lanczos - hybrid regularization. Bentuk persamaan linear largescale ill-posed yang merupakan representasi permasalahan restorasi citra akan dapat dengan mudah diselesaikan dengan metode lanczos bidiagonalization dan regularisasi tikhonov beserta teknik weighted-GCV. Dari percobaan yang dilakukan, telah terbukti bahwa metode ini lebih baik dari teknik restorasi citra yang telah ada sebelumnya, dan juga dapat memberikan hasil perbaikan citra yang lebih optimal. Kata kunci: Restorasi Citra, Metode Iteratif, Permasalahan Ill-posed, Regularisasi, WGCV, Lanczos Bidiagonalization
S
I. PENDAHULUAN
aat ini citra digital menjadi hal yang sangat penting dan berguna dalam berbagai bidang kehidupan sehingga akses terhadap citra digital ini makin banyak. Seringkali dalam proses pengiriman citra digital baik itu melalui satelit maupun melalui kabel akan mengalami interferensi atau gangguan dari luar yaitu masuknya berbagai macam bentuk noise pada citra digital yang dikirim, baik berupa additive noise, blur maupun yang lainnya, sehingga menyebabkan kualitas citra yang diterima menjadi turun atau tidak sesuai dengan citra aslinya.estorasi citra adalah proses merekonstruksi atau mendapatkan kembali citra asli dari sebuah citra yang cacat/terdegradasi agar dapat menyerupai citra aslinya. Restorasi citra merupakan sebuah proses untuk memperbaiki atau merekonstruksi citra yang sebelumnya terdegradasi sehingga dapat menyerupai citra aslinya. Permasalahan utama yang sering muncul pada restorasi citra adalah proses rekonstruksi citra awal yang telah didigitasi dan terkontaminasi oleh blur serta additive noise.
tersebut yaitu berupa Metode Iteratif dengan Menggunakan Lanczos – Hybrid Regularization. II. PROSES DEGRADASI CITRA Yang dimaksud dari citra yang terdegradasi tersebut yaitu citra yang telah terkontaminasi oleh blur dan noise. Proses degradasi dari citra tersebut dapat direpresentasikan melalui model seperti berikut :
g (i, j ) = ( f * h )(i, j ) + v(i, j )
(1)
Dimana f merepresentasikan citra asli, h adalah PSF, v merupakan additive noise dan g merepresentasikan citra terdegradasi. Pasangan notasi (i, j) adalah koordinat pixel citra dan * merepresentasikan operator konvolusi.
Degradasi yang banyak dibahas adalah pengaburan (blurring). Citra yang kabur dapat disebabkan oleh berbagai sebab, misalnya pergerakan selama pengambilan gambar oleh alat optik seperti kamera, penggunaan alat optik yang tidak fokus, pengguanaan lensa dengan sudut yang lebar, gangguan atmosfir, pencahayaan yang singkat sehingga mengurangi jumlah foton yang ditangkap oleh alat optik, dan sebagainya.
Berdasarkan penjelasan dari permodelan diatas, faktor – faktor yang memperngaruhi proses degrdasi antara lain blur dan noise. Blur merupakan gangguan yang berupa efek kekaburan yang terjadi saat proses pengambilan gambar. Blur ini dapat terjadi akibat beberapa faktor, antara lain pergerakan kamera saat pengambilan gambar, penggunaan kamera yang tidak cocok sehingga menyebabkan berkurangnya fokus pada lensa (out of focus optic), atmospheric turbulence blur, maupun akibat pengaruh PSF (Point Spread Function) [2, 4]. Sedangkan noise yang digunakan adalah white additive Gaussian noise.
Dalam proses restorasi citra, sudah banyak teknik yang digunakan dan mampu menghasilkan hasil akhir yang cukup baik. Namun, dalam jurnal ini, metode restorasi citra yang digunakan merupakan sebuah pendekatan baru yang diharapkan dapat lebih baik dari teknik-teknik yang telah ada sebelumnya, dan juga dapat memberikan hasil yang lebih optimal dengan waktu yang lebih efektif dan efisien. Teknik
Pada penelitian ini, faktor yang diangkat sebagai penyebab pada citra lebih dispesifikasikan pada faktor PSF (Point Spread Function). PSF merupakan suatu fungsi matematis yang menggambarkan proses blurring pada citra, seperti pengaruh suatu titik pusat cahaya terhadap titik yang lain. Titik pusat cahaya ini dapat diasumsikan sebagai warna pixel pada citra.
2
Pada beberapa aplikasi, nilai PSF diasumsikan sebagai spatially invariant, dimana hasil citra blur-nya tidak bergantung dari posisi citra. Sehingga, blur yang dihasilkan terlihat sama tanpa memperhatikan letak posisi pada citranya. Model diskrit berdasarkan PSF yang bersifat spatially invariant dan noise yang bersifat additive, dapat direpresentasikan pada transformasi Fourier seperti berikut :
memberikan pengaruh error yang signifikan pada saat proses perhitungan aproksimasi dari x. Sistem linear pada persamaan (5) sering digunakan pada beberapa permodelan aplikasi, seperti rekonstruksi citra, restorasi citra dan sebagainya. Sehinggadibutuhkan penyelesaian secara iteratif pada permasalahan tersebut karena bersifat large scale dan illposed. IV. METODE LANCZOS – HYBRID REGULARIZATION
g = H. f + n
(2)
dimana f, g dan n merupakan vektor np x 1 hasil dari tumpukan elemen-elemen (stacking the column) matrix asalnya, yaitu : f : citra asli (n x p) g : citra terdegradasi (n x p) n : additive noise. H : blurring matrix (np x np) Matrix H merupakan blurring matrix yang merupakan hasil perhitungan melalui PSF. Struktur dari matrix H berbentuk seperti struktur matriks Toeplitz. Matrix H dibentuk dari perkalian Kronecker (Kronecker Product) dua blurring matrix dengan sifat separable PSF, seperti formula dibawah ini:
H = H 2 ⊗ H1
Dasar penggabungan kedua metode tersebut adalah agar dapat memproyeksikan permasalahan ill-posed berskala besar pada subruang dengan dimensi yang lebih kecil. Kemudian permasalahan ill-posed dari hasil proyeksi tersebut bisa diselesaikan dengan mudah melalui teknik regularisasi biasa karena skala permasalahannya menjadi lebih kecil.
(3)
III. PENDEKATAN ITERATIF PADA PERMASALAHAN RESTORASI CITRA Pada perhitungan matematis, metode iteratif akan menyelesaikan sistem persamaan linear dengan cara mencari nilai aproksimasi dari solusi secara berulang-ulang dan dimulai dari tebakan awal (initial guess). Sebagai contoh, berikut ini adalaha sistem persamaan linear :
b = Ax
(4)
Target yang akan dicapai persamaan diatas adalah mencari nilai x berdasarkan nilai A dan b yang telah diketahui. Diasumsikan matrix A berukuran sangat besar dan penyelesaian biasa (direct solver) tidak bisa menyelesaikan persamaan (4). Sehingga, dibutuhkan metode iterative untuk menyelesaikan persamaan diatas. Pada sistem linear yang muncul berdasarkan large-scale inverse problem, sering ditulis sebagai berikut :
b = Ax + n
(5) m x n
Metode Lanczos – hybrid regularization menjadi salah satu pilihan metode yang efektif dalam menyelesaikan permasalahan ill-posed dalam skala besar. Metode ini menggabungkan dua metode lain yang berperan penting dalam menyelesaikan permasalahan tersebut, antara lain metode iteratif lanczos bidiagonalization dan teknik regularisasi, tikhonov. Pada regularisasi tikhonov digunakan Weighted GCV sebagai teknik pemilihan regularisasi parameter.
m
n
m
, b є R dan x є R . Vektor n є R dimana A є R merepresentasikan gangguan pada data (unknown perturbations) dan matrix A bersifat ill-conditioned. Salah satu contoh bentuk gangguan (perturbations) tersebut adalah noise. Persamaan (5) biasanya disebut sebagai ill-posed problem, dimana gangguan pada data (dalam hal ini, noise) dapat
A. Lanczos Bidiagonalization Lanczos Bidiagonalization merupakan sebuah metode iteratif yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan least square :
min Ax − b x
2
(6)
Metode lanczos bidiagonalization akan memproyeksikan permasalahan berskala besar pada Krylov Subspace. Krylov Subspace mempunyai properti span dan membentuk vektor – vektor orthonormal. Kemudian, metode ini juga akan menghitung sebuah urutan vektor Lanczos wk dan yk, serta bilangan α dan β dari sebuah matrix A dengan ukuran m x n. Pada iterasi ke-k pada lanczos bidiagonalization, akan terbentuk matrix lower bidiagonal Bk sebagai berikut: ⎞ ⎛ α1 ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ β2 α2 ⎟ Bk = ⎜ β3 O ⎟ ⎜ O αk ⎟ ⎜ ⎜ β k +1 ⎟⎠ ⎝
(7)
Kemudian, vektor Lanczos uk dan vk adalah orthonormal sehingga akan membentuk matriks berikut :
Wk +1 = (w1 , w2 ,..., wk +1 ) ∈ R m×(k +1) Yk = ( y1 , y 2 ,..., y k ) ∈ R n×k
(8) (9)
3 Konstruksi kolom dari matrix Wk+1 dan Yk akan mememuhi kondisi perulangan (recurrence) yaitu:
solusi akibat permasalahan ill-posed. Salah satu teknik regularisasi yang efektif adalah Tikhonov.
α j y j = AT w j − β j y j −1
(10)
β j +1 w j +1 = Ay j − α j w j
(11)
Pada regularisasi Tikhonov, permasalahan ill-posed (5) dan permasalahan least square (6) akan diganti menjadi least square problem berikut ini:
Persamaan (10) dapat ditulis sebagai bentuk matrix seperti dibawah ini :
AYk = Wk +1 B k
(12)
Bila vektor awal adalah b dan kolom pertama dari
Wk +1 =
b , maka : b
Wk +1 (β1e1 ) = b
(13)
Aproksimasi solusinya dapat dihitung berdasarkan proyeksi pada Krylov Subspace, dimana :
κ k ( AT A, AT b) = span(Yk )
(14)
(15)
dimana f adalah elemen Rk. Kemudian, persamaan least square pada persamaan (6) disubtitusi dengan persamaan (12) dan (10), sehingga menjadi :
min Ax − b x∈K k
2
= mink AYk f − b f ∈R
2
= mink Wk +1 (Bk f − β1e1 ) 2 f ∈R
(16)
Berdasarkan sifat orthogonalitas pada Wk+1 sehingga permasalahan least square (16) menjadi sebagai berikut :
mink Bk f − β 1e1 y∈R
2
(18) 2
dimana L adalah regularization operator, λ merupakan parameter regularisasi. Dengan menggunakan Singular Value Decomposition (SVD) dari A, maka penyelesaian persamaan minimasi diatas hanya sebagai metode filtering biasa Solusi dari persamaan (18) adalah : n
u iT b
i =1
σi
xλ = ∑ Φ i
vi
(19)
Dimana u dan v adalah vektor singular kiri dan kanan dari matrix A, σ merupakan nilai singular dari matrix A dan Φ i adalah filter factor. Nilai filter factornya adalah:
Sehingga solusi untuk nilai xk adalah :
x k = Yk f
⎡b⎤ ⎡ A ⎤ min ⎢ ⎥ − ⎢ ⎥ x x ⎣0 ⎦ ⎣λ L ⎦
(17)
Permasalahan projected least square diatas dapat diselesaikan dengan mudah, dibandingkan dengan permasalahan least square biasa. Hal ini disebabkan permasalahan large-scale akan diproyeksikan pada krylov subspace, dimana ukuran dimensinya lebih kecil dari semula. Sehingga, pada tiap iterasi metode lanczos bidiagonalization, permasalahan projected least square (17) harus diselesaikan.
B. Regularisasi Tikhonov Regularisasi sangat dibutuhkan pada metode lanczos – hybrid regularization dalam menstabilkan nilai aproksimasi dari
Φi =
σ i2 σ i2 + λ2
∈ [0,1]
(20)
Akan tetapi berdasarkan penjelasan pada lanczos bidiagonalization, matrix A terlalu besar sehingga tidak dapat dihitung nilai SVD-nya. Oleh karena itu pada lanczos bidiagonalization permasalahan large-scale tersebut diproyeksikan menjadi lebih kecil pada Krylov Subspace menjadi persamaan (19). Setelah diproyeksikan, tentunya matrix Bk akan bersifat illconditioned, seperti matrix A. Hal ini disebabkan nilai singular terbesar dan terkecil (extreme singular value) dari matrix A dapat diaproksimasi oleh matrix Bk untuk nilai k yang kecil. Kemudian, dimensi matrix Bk jauh lebih kecil dibandingkan dengan matrix A. Hal itu terlihat jelas karena pengaruh proyeksi pada krylov subspace di metode lanczos bidiagonalization. Oleh karena itu, nilai fλ bisa didapatkan dengan menggunakan metode filtering berbasis singular value decomposition (SVD) dari matrix Bk pada regularisasi tikhonov. Kemudian bila hasil SVD dari Bk diketahui, maka nilai fλ dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (19).
C. Weighted GCV WGCV merupakan hasil modifikasi dari metode GCV biasa. Kelebihan WGCV dibandingkan dengan GCV adalah pemilihan parameter regularisasi yang lebih optimal. Fungsi GCV telah dimodifikasi dan berubah menjadi seperti berikut ini:
4
G (ω , λ ) =
(
)
n I − AAλ b †
0 ≤ λ k ,opt ≤ σ min (B k )
2
(21)
[trace(I − ωAA )] †
2
λ
Persamaan diatas adalah fungsi WGCV, hasil modifikasi dari fungsi GCV biasa. Parameter ω merupakan faktor penting dari fungsi WGCV. Bila ω = 1, maka persamaan diatas akan sama dengan fungsi GCV biasa. Nilai ω yang dipilih harus berkisar antara 0 < ω < 1, karena agar dapat menghasilkan parameter regularisasi yang optimal. Akibat penambahan parameter ω pada bagian penyebut fungsi WGCV atau persamaan (21), perhitungan pada fungsi juga akan berubah. Berdasarkan regularisasi tikhonov dan dengan menggunakan SVD dari matrix A, kondisi trace pada penyebut fungsi W-GCV menjadi :
(
)
n
σ i2
i =1
σ i2 + λ2
trace I − ωAAF† = n − ω ∑ n
n
i =1
i =1
= ∑ (1 − φi ) + (1 − ω )∑ φi
(22)
Bentuk filter factor pada regularisasi tikhonov persamaan (mub iku) akan dipengaruhi oleh parameter ω. Semakin besar nilai ω maka nilai λ yang dihasilkan semakin besar, dan sebaliknya, semakin kecil nilai ω maka nilai λ yang dihasilkan lebih kecil pula. Dengan menggunakan nilai SVD dari matrix Bk, maka nilai λ didapatkan dengan menghitung fungsi WGCV seperti dibawah ini :
⎛ u T β .e .λ2 n∑ ⎜⎜ i 2 1 2 i =1 ⎝ σ i + λ k
G (ω , λ ) =
2
⎞ ⎟ + u iT .β .e1 ⎟ ⎠
(
⎡ k ⎛ λ2 σ i2 ⎜ + (1 − ω ) 2 ⎢∑ ⎜ 2 2 σ i + λ2 ⎢⎣ i =1 ⎝ σ i + λ
)
2
⎞ ⎤ ⎟ + 1⎥ ⎟ ⎠ ⎥⎦
2
(23)
Pemilihan nilai ω yang sesuai merupakan salah satu faktor keberhasilan dari metode lanczos – hybrid regularization dalam menyelesaikan permasalahan ill-posed. Nilai ω dapat dipilih secara otomatis dengan melakukan pendekatan tertentu sehingga dapat bersifat adaptive untuk menyelesaikan berbagai model permasalahan. Pada tiap iterasi metode lanczos – hybrid regularization, permasalahan projected least square (17) diselesaikan dengan menggunakan regularisasi tikhonov. Karena pada iterasi awal dari metode lanczos bidiagonalization tidak ada unsur illconditioning dari permasalahan projected least square (14), regularisasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut hanya sedikit bahkan tidak sama sekali. Parameter regularisasi yang optimal pada iterasi ke-k disimbolkan dengan λk,opt , maka nilai k yang kecil akan memenuhi kondisi dibawah ini:
(24)
dimana σmin (Bk) merupakan nilai singular dari matrix Bk. Akan tetapi, nilai λk,opt tidak diketahui, sehingga nilai lambda optimal tersebut diasumsikan sama dengan nilai singular terkecil, seperti kondisi berikut:
λ k ,opt = σ min (Bk )
(25)
Kemudian, nilai omega dicari dengan menggunakan derivasi dari fungsi GCV berdasarkan asumsi λk dari persamaan diatas. Berikut ini derivasi fungsi GCV berdasarkan lambda:
∂ [G (ω , λ )] ∂λ λ = λk ,opt
(26)
Pada iterasi – iterasi berikutnya, pencarian nilai ω berdasarkan pendekatan diatas (25) akan gagal, karena nilai σmin (Bk) akan mendekati 0 akibat kondisi ill-conditioning. Cara pendekatan yang lain untuk mencari omega adalah dengan menggunakan formula berikut ini :
ω k = mean{ω1 , ω 2 ,..., ω k }
(27)
Berdasarkan pendekatan diatas, bagian yang digunakan masih bersifat well-conditioned. Sehingga hal itu berguna untuk membantu menstabilkan efek dari nilai singular yg kecil. Namun, ada hal lain yang membatasi cara pencarian nilai ω dengan formula (27), yaitu solusinya akan bersifat undersmooth untuk nilai k yang semakin membesar. Cara untuk menanggulangi hal tersebut adalah dengan menentukan kriteria pemberhentian iterasi yang sesuai agar tidak undersmooth dan memunculkan perilaku semi-convergent.
D. Penentuan Stopping Criteria pada Lanczos – Hybrid Regularization Salah satu bagian penting lainnya pada metode lanczos – hybrid regularization ini adalah penentuan kriteria pemberhentian iterasi (stopping criteria). Penentuan kriteria ini mempunya peran yang cukup besar, karena dampak yang ditimbulkan cukup besar pula. Kriteria ini sangat dibutuhkan pada metode lanczos – hybrid regularization membutuhkan untuk membatasi iterasi atau nilai k yang membesar. Bila nilai k semakin bertambah, bentuk perilaku semi-convergent dari solusi yang ingin dicapai, akan sangat mungkin terjadi. Pada setiap iterasi metode lanczos – hybrid regularization, dipilih parameter regularisasi λk, yang memenuhi kondisi dibawah ini:
λ k = arg min G (ω , λ ) λ
(28)
5 Perilaku metode lanczos – hybrid regularization yang convergence saat kondisi ideal juga akan berakibat pada perilaku convergence dari fungsi G(ω, λk) di suatu nilai tertentu. Sehingga, iterasi dapat dihentikan ketika selisih nilai fungsi GCV-nya sangat kecil, seperti formula berikut ini:
G ( j , λ k +1 ) − G ( j , λ k ) < tol G ( j , λ1 )
(29)
Namun, kondisi pada persamaan diatas (29) sangat jarang ditemui pada sebagian besar contoh permasalahan yang ada. Hal itu disebabkan sebagian besar akan mengalami perilaku semi-convergent dari iterasi metode lanczos – hybrid regularization. Perilaku tersebut tentunya juga berdampak pada nilai fungsi GCV yang ikut naik atau menjadi tidak convergence lagi. Oleh karena itu, kriteria lain untuk pemberhentian iterasi dan fungsi GCV yang digunakan yaitu :
k 0 = arg min G ( j , λ k )
(30)
k
E. Implementasi Secara umum, implementasi metode ini dilakukan melalui langkah-langkah berikut ini: 1. Masukkan citra blur yang akan direstorasi 2. Serta blurring matrix hasil perhitungan dengan PSF 3. Penyelesaian secara iteratif dan proyeksi Krylov Subpsace dengan menggunakan Lanczos – Bidiagonalization. 4. Pencarian nilai ω untuk menghitung fungsi WGCV 5. Pencarian parameter regularisasi λ dengan menghitung fungsi WGCV pada regularisasi Tikhonov 6. Menyelesaikan permasalahan proyeksi hasil dari Lanczos Bidiagonalization dengan regularisasi Tikhonov. 7. Menghitung aproksimasi dari x 8. Penghentian iterasi sistem dengan stopping kriteria
citra awal dan jumlah iterasi. Semakin kecil error relatifnya, maka citra yang dihasilkan akan semakin optimal. Sebagai perbandingan efektifitas dari sistem, akan digunakan filter atau teknik restorasi citra yang telah tersedia pada toolbox Matlab [3], yaitu : filter wiener (denconvwnr), constrained least square filter (deconvreg), dan metode lucy richardson (deconvlucy).
Gaussian PSF PSF-2 PSF-1 Gambar 1. Jenis PSF yang digunakan
A. Pengujian dengan Variasi Nilai Parameter Blur (σ) pada Gaussian PSF Pengujian sistem restorasi citra secara umum dilakukan dengan memberikan sebuah citra uji dengan suatu jenis PSF tertentu pada sistem untuk diproses sehingga menghasilkan citra hasil restorasi. Pada pengujian ini digunakan citra uji coba, lena.png dan terdegradasi oleh tingkat PSNR sebesar 40 dB serta faktor blurring Gaussian PSF. Parameter blur pada Gaussian noise adalah sigma (σ), yang mengatur banyaknya smoothness pada citra blur. Semakin besar nilai σ, maka citra akan menjadi semakin kabur. Uji coba ini menggunakan citra lena dengan tingkat PSNR sebesar 40 dB. Kemudian, perhitungan eror relatif hasil restorasi citra tersebut dan jumlah iterasi yang digunakan dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini : Tabel 1. Hasil perbandingan error relatif terhadap perubahan nilai σ Sigma(σ) Iterasi Error Relatif 2
6
0.0061
V. UJI COBA
3
6
0.0103
Pada bagian ini dijelaskan mengenai skenario uji coba yang telah dilakukan. Ada 3 tipe citra PSF yang digunakan pada uji coba ini, seperti pada gambar 1. PSF-1 dan PSF-2 merupakan faktor blur pada pengiriman citra dan pencahayaan yang kurang baik. Gaussian PSF merupakan faktor atmospheric turbulence blur. Kemudian, terdapat lima skenario, pertama adalah uji coba sistem dengan menggunakan perubahan parameter blur oleh Gaussian PSF sebagai faktor blurring pada citra awal, kedua adalah menggunakan variasi prosentase noise pada citra terdegradasi, ketiga adalah menggunakan perubahan dimensi atau ukuran citra terdegradasi, keempat adalah uji coba dengan metode lain dan yang kelima adalah dengan menggunakan preconditioner pada proses restorasi citra terdegradasi. Masing-masing skenario akan diterapkan pada data uji coba. Data keluaran program yaitu citra hasil restorasi, nilai error relatif antara citra hasil restorasi dengan
4
6
0.0147
5
7
0.0184
Dari hasil percobaan dengan perubahan nilai sigma pada citra, metode lanczos – hybrid regularization dapat merestorasi tiaptiap citra uji lena. Akan tetapi, hasil restorasi tersebut berbeda dari tiap-tiap citra uji. Hal ini disebabkan pengaruh nilai sigma. Semakin besar nilai sigmanya, citra akan menjadi semakin kabur dan tampak jauh berbeda dari citra asalnya. Hal tersebut dibuktikan dengan nilai eror relatif pada citra terdegradasi dengan sigma 3 lebih baik daripada nilai eror relatif pada citra terdegradasi dengan sigma 5. Pada citra uji yang keempat, jumlah iterasinya adalah 7. Sedangkan lainnya berjumlah 6, sehingga bisa dikatakan jumlah iterasinya relatif sama. Hal itu ternyata dipengaruhi oleh pemilihan stopping
6 criteria oleh grafik GCV. Berdasarkan tabel 1, jumlah iterasi pada semua citra uji tersebut relatif sama. Sehingga perubahan nilai sigma pada faktor blur Gaussian PSF tidak mempengaruhi jumlah iterasi. B. Pengujian dengan Variasi nilai PSNR pada Citra Terdegradasi Pada pengujian ini digunakan tiga jenis PSF, yaitu Gaussian PSF, PSF-1 dan PSF-2, seperti pada gambar (1). Kemudian akan dilakukan restorasi citra dengan berbagai variasi nilai PSNR. Citra uji yang digunakan pada pengujian ini yaitu sebanyak tiga citra sesuai dengan jenis PSF-nya.
citra lena. Variasi ukuran atau dimensi yang akan digunakan adalah 256 x 256, 192 x 192 dan 128 x 128. Hasil perhitungan error relatif hasil restorasi citra tersebut dan jumlah iterasi yang digunakan dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini : Tabel 3. Hasil perbandingan error relatif terhadap perubahan dimensi citra uji Error Kriteria Citra Dimensi Iterasi Relatif Stop Leni
Uji coba pertama menggunakan PSF-1 sebagai faktor blurring pada citra nature dengan variasi PSNR sebesar 50 dan 60 dB. Kemudian, uji coba kedua menggunakan PSF-2 sebagai faktor blurring pada citra grain dengan variasi PSNR sebesar 50 dan 60 dB. Sedangkan uji coba ketiga menggunakan Gaussian PSF dengan nilai σ = 2.5 dengan variasi PSNR sebesar 30 dan 40 dB pada citra pep. Perhitungan eror relatif hasil restorasi citra tersebut dan jumlah iterasi yang digunakan dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini : Tabel 2. Hasil perbandingan error relatif terhadap perubahan nilai PSNR Citra Nature Grain Pep
PSNR (dB)
Iterasi
Error Relatif
60
45
0.0528
50
15
0.0631
60
68
0.1662
50
12
0.2197
40
6
0.0096
30
3
0.0128
Grain
Lena
256 x 256
48
0.0422
Semi-Konv
192 x 192
20
0.0668
Semi-Konv
128 x 128
153
0.0393
Flatness
256 x 256
67
0.1684
Semi-Konv
192 x 192
15
0.197
Semi-Konv
128 x 128
12
0.196
Semi-Konv
256 x 256
6
0.0103
Semi-Konv
192 x 192
4
0.0099
Semi-Konv
128 x 128
3
0.012
Semi-Konv
Kriteria stop pada tabel 3 merupakan penanda pemberhentian iterasi. Seringkali pada permasalahan nyata, tidak mengalami bentuk konvergensi. Pada percobaan ini, citra uji leni dengan dimensi 128 x 128 berhasil direstorasi dengan criteria pemberhentian flatness, artinya selisih nilai fungsi GCVnya telah mendekati 0. Ada pengaruh dimensi terhadap citra terdegradasi, yaitu noise yang muncul sangat terlihat jelas, meskipun nilai PSNRnya tetap. Kemudian, pada citra grain dan lena, terlihat bahwa semakin kecil dimensi citranya, maka semakin sedikit iterasi yang dibutuhkan, bila kategori stopping kriteria pada tiap-tiap variasi dimensi sama.
Perubahan tingkat noise pada citra uji ternyata berpengaruh pada perhitungan eror relatif dari hasil restorasi citranya. Berdasarkan tabel diatas, terjadi perbedaan yang cukup besar pada nilai eror relatifnya. Kemudian, terjadi penurunan jumlah iterasi pada citra uji percobaan ini. . Hal ini dapat mengindikasikan bahwa terdapat pengaruh noise pada penyelesaian restorasi citra. Bila nilai PSNR yang digunakan semakin kecil, maka sistem akan segera mendeteksi bentuk perilaku semi konvergen sehingga iterasi menjadi berkurang.
D. Pengujian dengan Metode Pembanding Lain Pada pengujian ini akan dilakukan restorasi citra dengan berbagai metode yang ada pada Matlab seperti yang disebutkan sebelumnya, yaitu wiener filter, lucy richardson dan regularized filter. Jenis PSF yang digunakan sama seperti yang digunakan pada percobaan sebelumnya atau dapat dilihat di gambar (1).
C. Pengujian dengan Variasi Dimensi Citra Terdegradasi Pada pengujian ini dilakukan restorasi citra dengan berbagai variasi dimensi atau ukuran citra terdegradasi. Jenis PSF yang digunakan sama seperti yang digunakan pada pengujian sebelumnya.
Uji coba pertama menggunakan PSF-1 pada citra leni dengan nilai PSNR sebesar 60 dB. Kemudian, uji coba kedua menggunakan PSF-2 pada citra tire dengan nilai PSNR sebesar 40 dB. Sedangkan uji coba ketiga menggunakan Gaussian PSF dengan nilai σ = 5 dan nilai PSNR 55 dB pada citra lena. Hasil perhitungan eror relatif hasil restorasi citra tersebut dan jumlah iterasi yang digunakan dapat dilihat pada tabel 4 dibawah ini :
Uji coba pertama menggunakan PSF-1 pada citra leni dengan nilai PSNR sebesar 60 dB. Kemudian, uji coba kedua menggunakan PSF-2 pada citra grain dengan nilai PSNR sebesar 60 dB. Sedangkan uji coba ketiga menggunakan Gaussian PSF dengan nilai σ = 3 dan nilai PSNR 40 dB pada
7 Tabel 4. Hasil perbandingan error relatif terhadap metode pembanding lain Citra
Leni
Lanczos Hybrid
Lucy R.
Wiener Filter
Reg. Filter
Tabel 5. Hasil perbandingan error relatif terhadap pengaruh preconditioner pada lanczos-hybrid regularization Hybrid Lanczos Citra
Tanpa Preconditioner
Preconditioner
Iter
Error Rel.
Error Rel.
Error Rel.
Error Rel.
48
0.0421
0.1419
3.8933
3.8722
Leni
48
0.0421
Semi-K
Grain
27
0.2065
Semi-K
Cameraman
10
0.0194
Semi-K
17
Tire
14
0.0526
0.1137
0.7262
0.624
Lena
21
0.0149
0.0234
0.2663
0.2655
Restorasi citra dengan menggunakan metode lanczos – hybrid regularization menghasilkan nilai error relatif yang lebih kecil dibandingkan dengan ketiga metode lainnya. Sehingga metode lanczos – hybrid menghasilkan hasil yang lebih baik daripada metode wiener filter, lucy richardson, dan regularized filter. Secara visual uji coba pertama dapat dilihat pada tabel gambar 2, dimana citra 1 adalah citra terdegradasi, citra 2 adalah hasil restorasi dengan lanczos-hybrid regularization, citra 3,4 dan 5 berturut-turut adalah hasil dari metode lucy Richardson, wiener dan regularized filter.
1
2 3 4 5 Gambar 2. Hasil perbandingan citra dengan metode pembanding lain. E. Pengujian dengan Pengaruh Preconditioner Proses restorasi citra pada pengujian ini akan melibatkan preconditioner. Preconditioner berfungsi untuk mempercepat perilaku konvergensi pada solusi sehingga iterasi yang dibutuhkan oleh metode lanczos – hybrid regularization akan berkurang. Untuk mengetahui pengaruh preconditioner atau tanpa preconditioner pada metode lanczos – hybrid regularization, maka dilakukan perbandingan jumlah iterasi pada tiap permasalahan uji coba yang telah dilakukan sebelumnya. Uji coba pertama menggunakan PSF-1 pada citra leni dengan nilai PSNR sebesar 60 dB. Kemudian, uji coba kedua menggunakan PSF-2 pada citra tire dengan nilai PSNR sebesar 40 dB. Sedangkan uji coba ketiga menggunakan Gaussian PSF dengan nilai σ = 5 dan nilai PSNR 55 dB pada citra lena. Hasil perhitungan iterasi dan eror relatif baik dengan menggunakan preconditioner maupun tanpa preconditioner pada metode lanczos – hybrid regularization dijelaskan pada tabel 5.
Iter
Norm
Krit. Stop
Norm
Krit. Stop
8
0.0181
Flat
14
0.0529
Flat
0.0196
Semi-K
Iter
Hasil yang berbeda ditunjukkan pada tabel 5. Pada citra cameraman, jumlah iterasi pada metode lanczos-hybrid regularization tanpa preconditioner lebih sedikit daripada menggunakan preconditioner. Sedangkan pada citra leni terjadi pengurangan iterasi yang cukup banyak, dari 48 menjadi 8 iterasi saja. Jumlah iterasi yang berkurang akibat pengaruh preconditioner juga terjadi pada permasalahan citra grain. Nilai eror relatif akibat pengaruh preconditioner juga cenderung berubah dimana restorasi citra leni dengan preconditioner lebih kecil daripada tanpa preconditioner. Hal itu semakin terlihat pada percobaan citra grain, dimana nilai eror relatif berubah dari 0.2065 menjadi 0.0529. Kemudian, pada citra cameraman, nilai eror relatif citra output dengan pemakaian preconditioner lebih besar daripada tanpa preconditioner. Namun, selesih tersebut sangat kecil, sehingga masih bisa diterima.
VI. SIMPULAN Berdasarkan aplikasi yang telah dibuat beserta ujicoba yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Permasalahan restorasi citra dengan permodelan largescale ill-posed dapat diselesaikan melalui pendekatan iteratif dengan melibatkan teknik regularisasi. 2. Perubahan parameter σ pada Gaussian PSF juga memberikan hasil restorasi citra yang berbeda pula. 3. Jumlah iterasi yang dihasilkan oleh lanczos – hybrid regularization bergantung pada grafik fungsi GCV yang dipengaruhi oleh perubahan tingkat PSNR dan pengaruh ukuran dimensi pada beberapa permasalahan. 4. Peran preconditioner pada metode lanczos – hybrid regularization sebagian besar dapat mengurangi jumlah iterasi dan mempercepat perilaku konvergensi. 5. Restorasi citra menggunakan metode iteratif lanczos – hybrid regularization terbukti dapat menjadi salah satu metode alternatif dalam menyelesaikan permasalahan restorasi citra yang terdegradasi oleh blur dan noise secara lebih baik dbandingkan dengan metode pembanding lain yang sudah pernah ada.
8 VII.
DAFTAR PUSTAKA
[1] J. Chung, J.G. Nagy and D.P. O’leary. A Weighted GCV Method for Lanczos Hybrid Regularization. Electronic Transactions on Numerical Analysis Vol. 28. 2008 [2] R.C. Gonzalez and R.E. Woods. Digital Image Processing. Upper Saddle River, NJ.: Prentice Hall, 2002. [3] Image Processing Toolbox, The Mathworks Inc. [4] A.K. Jain, Fundamentals of Digital Image Processing, Prentice-Hall, Engelwood Cliffs, NJ, 1989. [5] R.M. Larsen, Lanczos Bidiagonalization with Partial Reorthogonalization, Department of Computer Science, University of Aarhus, 1998 Alfa Masjita Rahmat, lahir di Surabaya pada tanggal 1 Agustus 1988, merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis telah menempuh pendidikan mulai SDN Dr. Soetomo VIII-330 Surabaya (1994-2000), SLTPN 1 Surabaya (2000-2003), SMAN 6 Surabaya (2003-2006) dan terakhir sebagai mahasiswa Teknik Informatika ITS Surabaya (2006-2010). Semasa kuliah, penulis aktif dalam bidang organisasi kampus maupun bidang akademis. Penulis pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Himpunan Mahasiswa Teknik Computer - Informatika (HMTC) periode 2008-2009. Kemudian, penulis juga pernah menjadi Koordinator Umum SCHEMATICS 2008, salah satu rangkaian kegiatan akbar HMTC. Selain itu, penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Basis Data.
[email protected]