JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-5
1
Responsive Environment Sebagai Acuan Desain Terhadap Kebutuhan Anak Autis Fenty Ratna Indarti, dan Ir. Purwanita Setijanti, M.Sc, Ph.D. Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 E-mail:
[email protected]
Abstrak—Dalam menanggapi kebutuhan anak autis yang memiliki perbedaan dengan anak-anak pada umumnya, proses rancang arsitektur yang dilakukan sebaiknya mampu menanggapi kebutuhan tersebut. Hal ini ditujukan agar obyek rancang bukan hanya menjadi bangunan sebagai wadah aktivitas akan tetapi juga menjadi bagian dari aktivitas tersebut. Responsive environment merupakan salah satu metode untuk mengembangkan rancangan untuk anak-anak dengan berkebutuhan khusus agar mereka dapat beraktivitas secara maksimal dan mandiri. Dengan lingkungan yang disesuaikan dan merespon kebutuhan anak autis maka proses terapi dan edukasi pada obyek rancang Pusat Terapi dan Edukasi Penyandang Autis akan menjadi sebuah bagian dari proses terapi dan edukasi bagi anak-anak autis yang berada di dalamnya.
Gambar 2.1. Pergola yang mengarahkan mengarahkan jalan
Kata Kunci—Legibility, permeability, personalisation, responsive, richness, robustness, variety, visual appropriateness.
I. PENDAHULUAN Lingkungan di mana manusia berada tidak sepenuhnya sesuai dengan apa yang dibutuhkan atau diinginkan. Terkadang suatu lingkungan bisa menjadi mencekam bagi orang yang tidak suka keramaian tetapi orang tersebut berada di tengah pasar yang hiruk pikuk dan sebaliknya. Demikian halnya dengan anak autis yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap lingkungan yang ada di mana ia berada. Anak autis tidak memiliki (kurang) kepekaan sosialnya, akan tetapi terhadap lingkungan yang ada di sekitarnya anak autis mampu menyadari perbedaan-perbedaan kecil yang ada. Maka dari itu, lingkungan di mana anak autis dikondisikan untuk belajar mandiri harus disetting sedemikian rupa untuk memaksimalkan kenyamanan mereka dalam menerima pelajaran. Penyesuaian kondisi lingkungan untuk anak autis dapat dilakukan dengan metode responsive environment di mana metode ini merujuk pada beberapa poin yang akan dijelaskan pada bab selanjutnya yang akan menjadi acuan pada saat melakukan proses rancang untuk obyek rancang Pusat Terapi dan Edukasi Penyandang Autis ini. II. METODA PERANCANGAN Ian Bentley mengemukakan bahwa rancangan sebuah bangunan / ruangan dapat mempengaruhi opsi yang akan dipilih oleh penggunanya dari berbagai sudut pandang :
Gambar 2.2. Kode yang berupa bentuk geometri dasar dengan jumlah berurutan
Gambar 2.3. Ornamen berupa geometri dasar pada dinding lantai dan plafond sebagai penunjuk arah
Gambar 2.4. Diagram interaksi face to face
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-5 − Mempengaruhi ke mana orang bisa pergi dan ke mana mereka tidak bisa pergi yang kemudian disebut dengan permeability − Mempengaruhi kualitas luasan ruang yang tersedia untuk pengguna yang kemudian disebut sebagai variety − Mempengaruhi seberapa mudah pengguna memahami kesempatan yang tersedia yang kemudian disebut dengan legibility − Mempengaruhi bagaimana pengguna dapat menggunakan sebuah ruangan dengan tujuan yang berbeda yang kemudian disebut sebagai robustness − Mempengaruhi apakah tampilan detail arsitektural dapat membuat pengguna sadar akan pilihannya yang disebut dengan appropriateness − Mempengaruhi kekayaan sensory experiences yang kemudian disebut sebagai richness − Mempengaruhi sejauh apa pengguna mengembangkan sebuah ruangan yang kemudian disebut dengan personalitation. Melatih kemandirian anak autis dimulai dengan memberikan ruang agar mereka mampu menggunakan kemampuan mereka dalam menyelesaikan masalah. Sirkulasi yang tidak jelas memberikan input memori berlebih pada anak autis. Untuk itulah proses rancang arsitektur menggunakan prinsip permeability yang merujuk pada kemudahan akses dan sirkulasi. Permeability tidak bisa terlepas dari legibility yang merujuk pada adanya bentukan yang mudah diidentifikasi dan membantu kemudahan orientasi. Pola sirkulasi yang digunakan adalah pola sirkulasi linear dengan memberi penekanan dan batasan berupa pergola yang ditunjukkan pada Gambar 2.1. Pola sirkulasi linear menghadirkan aksesbilitas yang mudah dan jelas sehingga mudah dihafal oleh anak autis. Untuk memberikan kejelasan arah digunakan kode-kode tertentu mengingat anak autis merupakan visual thinker. Kode berupa bentuk geometri dasar dengan jumlah yang semakin bertambah atau berkurang secara berurutan yang ditunjukkan pada Gambar 2.2. Selain itu, penggunaan ornamen seperti pada Gambar 2.3 menjadi informasi yang menunjukkan arah bagi anak autis. Ketidak mampuan anak autis beradaptasi dengan lingkungan baru secara cepat menjadi rujukan untuk memberikan variety (beberapa fungsi berbeda dalam satu bangunan atau satu kawasan) dalam merancang ruang yang akan digunakan sebagai tempat aktivitas anak autis. Dengan variety tersebut anak autis dapat melakukan segala aktivitas baik itu terapi maupun pendidikan formal dalam satu tempat di mana anak autis sudah merasa familiar. Dengan adanya variety pada sebuah ruang secara langsung robutsness (adanya ruang-ruang yang dapat difungsikan untuk berbagai aktivitas yang berbeda pada waktu yang berbeda) menjadi berhubungan satu sama lain sehingga pada waktu yang berbeda di tempat yang sama anak autis dapat melakukan aktivitas yang berbeda sehingga tingkat stress tidak naik. Kemampuan saraf anak autis perlu dikembangkan lagi mengingat kepekaan mereka yang kurang. Hal ini ditujukan
2
Gambar 2.5. Diagram interaksi kelompok kecil
Gambar 2.6. Diagram interaksi kelompok besar
Gambar 2.7. Area pandang mata anak autis
Gambar 2.8. Standard line of sight
Gambar 2.9. Ruang luar sebagai ruang sirkulasi penghubung antar ruang
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-5 agar anak autis dapat membedakan bahaya yang ada di lingkungan sekitar. Memberikan kekayaan rasa dan pengalaman melalui perbedaan material, susunan ruang, dan lain-lain (richness) dilakukan dengan memberikan ruangan yang memiliki skala yang disesuaikan dengan pengguna yang ada di dalamnya. Gambar 2.4, Gambar 2.5, dan Gambar 2.6 menunjukkan konsep penentuan skala ruang kelas berdasarkan jenis interaksi yang dilakukan. Gambar 2.4 menunjukkan konsep face to face, Gambar 2.5 menunjukkan interaksi utuk kelompok kecil, dan Gambar 2.6 menunjukkan interaksi kelompok yang lebih besar. Meskipun anak autis merupakan visual thinker akan tetapi perlu diingat bahwa anak autis memiliki kelemahan di mana otak sangat rentan terkena overload memory input. Hal ini terjadi apabila terlalu banyak input visual yang terjadi di otak sehingga menimbulkan distraksi dan stress. Untuk itu walaupun menggunakan kode akan tetapi perlu adanya visual appropriateness di mana bangunan dapat diidentifikasi dengan mudah. Pengidentifikasian ini dirancang sesederhana mungkin agar anak autis tidak mengalami overload memory input. Hal ini dilakukan dengan menggunakan area pandang mata anak autis sebagai acuan. Dengan membatasi area penglihatan anak autis dan memfokuskannya pada satu area dan menggunakan pembanding yang sama yaitu bentuk geometri dasar yang berulang akan membantu anak autis mengolah informasi lebih cepat sehingga anak autis dapat mengidentifikasi sebuah ruangan / bangunan. Gambar 2.7 menunjukkan konsep pembatasan area pandang mata anak autis. Meletakkan informasi penting pada area simbol recognition yang ditunjukkan pada Gambar 2.8 membantu fokus anak autis dalam mengolah input visual yang diterima otak. Keterlibatan lingkungan dalam partisipasi komunitas antar anak autis serta adanya interaksi antara anak autis dan lingkungan menyebabkan adanya personalisation di mana anak autis dapat mengekspresikan dirinya atau melepaskan bebannya dengan berhubungan langsung dengan alam. Selain itu, personalisation juga diperlukan untuk menyesuaikan kondisi lingkungan dengan kebutuhan anak autis serta anak autis berlatih untuk memahami di mana ia berada. Ruang sirkulasi digunakan sebagai bagian dari proses pembelajaran mandiri anak autis mengingat ruang sirkulasi menjadi penghubung antara ruang kelas dan ruang pertama yang diinjak oleh anak autis. Dengan memberikan ruang sirkulasi yang langsung berhubungan dengan lingkungan seperti pada Gambar 2.9 luar dapat mengurangi stress dan melatih kepekaan anak autis terhadap lingkungan yang ada di sekitarnya.
3
Gambar 3.3. Perspektif dinding informasi
Gambar 3.4. Detail dinding informasi A
Gambar 3.5. Detail dinding informasi B
Gambar 3.6. Detail dinding informasi C
Gambar 3.7. Penentuan letak dinding informasi pada sirkulasi
III. HASIL DAN EKSPLORASI Responsive environment pada rancangan menghadirkan beberapa fitur khusus pada obyek rancangan dalam usaha menanggapi kebutuhan anak autis. Kejelasan sirkulasi dan akses dihadirkan dengan penggunaan pola linear yang ditunjukkan pada Gambar 3.1. Masa bangunan yang terpisah dimaksudkan agar ruang antar bangunan digunakan sebagai
Gambar 3.8. Skala dinding informasi terhadap anak autis dan orang dewasa
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-5 ruang sirkulasi yang berhubungan langsung dengan ruang luar. Dalam usaha menanggapi anak autis yang kesulitan dalam menginput visual memori dalam jumlah banyak dan tingginya tingkat stress anak autis dihadirkan dinding informasi untuk membantu anak autis menemukan lokasi kelas secara mandiri seperti pada Gambar 3.2 dan Gambar 3.3. Dinding informasi ini memuat informasi berupa kode kelas yang dibutuhkan anak autis yang ditunjukkan pada Gambar 3.4, Gambar 3.5, dan Gambar 3.6. Dinding informasi ini berada di area simbol recognition (Gambar 3.7) dan menggunakan skala anak autis berusia 4-12 tahun (pengguna obyek rancang) seperti pada Gambar 3.8. Tidak seperti sekolah anak autis pada umumnya obyek rancang menggunakan ruang kelas sebagai pusat kegiatan anak autis sehingga dapat meminimalisir tingkat stress karena tidak membutuhkan perpindahan yang terlalu banyak. Dalam ruang kelas tersedia area circle time yang bisa digunakan untuk semua kegiatan yang dilakukan secara bersamaan dan membutuhkan keintiman. Selain itu, terdapat area di mana anak autis memfokuskan diri pada terapis. Hal ini terlihat pada Gambar 3.9, Gambar 3.10, dan Gambar 3.11. Ruang kelas juga disesuaikan dengan skala interaksi yang dibutuhkan. Gambar 3.9 merupakan konfigurasi yang menunjukkan penggunaan skala interaksi face to face, Gambar 3.10 menunjukkan konfigurasi interaksi kelompok kecil, sedangkan Gambar 3.11 merupakan konfigurasi yang menunjukkan penggunaan skala interaksi untuk kelompok yang lebih besar. Ruang luar juga digunakan sebagai bagian dari proses terapi dengan menghadirkan taman-taman terapi yang disesuaikan dengan kebutuhan anak autis. Penghadiran taman terapi bertujuan untuk meningkatkan kemampuan interaksi anak autis terhadap lingkungan. Autisme terbagi menjadi 3 tingkatan utama yaitu : level 1 “requiring support” di mana anak autis membutuhkan kemampuan untuk mengambil keputusan, level 2 “requiring substantial support” di mana anak autis membutuhkan kemampuan untuk mengenali posisinya di lingkungan, dan level 3 “requiring very substantial support” di mana anak autis membutuhkan peningkatan pada kemampuan saraf dasar. Dengan pertimbangan 3 level autisme tersebut maka taman terapi pada obyek rancang dihadirkan dengan fitur-fitur yang disesuaikan dengan kondisi anak autis pad masing-masing level tersebut. Penjelasan tentang masingmasing taman terapi terdapat pada Gambar 3.12, Gambar 3.13, dan Gambar 3.14.
4
Gambar 3.9. Denah ruang kelas level 3
Gambar 3.10. Denah ruang kelas level 2
Gambar 3.11. Denah ruang kelas level 1
IV. KESIMPULAN Kebutuhan anak autis yang berbeda-beda (baik kekurangan maupun kelebihan) ditanggapi dengan melakukan proses rancang yang merespon kebutuhan tersebut untuk menghasilkan sebuah obyek rancang yang tidak hanya Gambar 3.12. Taman terapi untuk kelas level 3
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-5
5
memfasilitasi kegiatan terapi dan pembelajaran akan tetapi juga menjadi bagian dari kedua proses tersebut. Responsive environment mampu menghadirkan penyelesaian-penyelesaian khusus untuk mengakomodasi kebutuhan anak autis dalam proes pembelajaran mandiri. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua yang telah memberikan dukungan dan doa serta teman-teman Arsitektur 2010 yang senantiasa menjadi penyemangat di saat penulis kehilangan motivasi dalam penyusunan jurnal ini. DAFTAR PUSTAKA [1] [2]
[3]
Gambar 3.13. Taman terapi untuk kelas level 2
A. Alcock, I. Bently, P. Murram, Responsive Environment. London : Elsevier (2005). American Psychiatric Association, Diagnostik and Statistical Manual of Mental Disorders. Washington DC: American Psychiatric Association Publisher. C. Threvarthen, Children With Autism. Philadelphia: Jessica Kingsley Publisher (1999).
Gambar 3.14. Taman terapi untuk kelas level 1