RESPON AKTIVITAS TIKUS WISTAR JANTAN AKIBAT KONDISI DIET TINGGI SUKROSA DIUKUR MENGGUNAKAN PEREKAM AKTIVITAS
YANUAR RESTU WIJAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Respon Aktivitas Tikus Wistar Jantan Akibat Kondisi Diet Tinggi Sukrosa Diukur Menggunakan Perekam Aktivitas adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2014 Yanuar Restu Wijaya NIM B04100123
ABSTRAK YANUAR RESTU WIJAYA. Respon Aktivitas Tikus Wistar Jantan Akibat Kondisi Diet Tinggi Sukrosa Diukur Menggunakan Perekam Aktivitas. Dibimbing oleh KOEKOEH SANTOSO dan ISDONI. Konsumsi energi yang berlebihan secara terus menerus akan mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat ketidak mampuan hormon insulin mengimbangi tingginya kadar glukosa yang beredar dalam darah. Reseptor glukosa darah yang berhubungan langsung dengan aktivitas makan terdapat di hipothalamus yaitu VMH (Ventro Medial Hipothalamus) dan LH (Lateral Hipothalamus) juga berperan dalam pengaturan aktivitas makan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan pemberian diet tinggi sukrosa terhadap respon aktivitas pada tikus wistar jantan. Tikus wistar (Rattus norvegicus) digunakan sebagai hewan model. Sebanyak enam belas tikus dikelompokkan dalam 4 kelompok perlakuan. Kelompok pertama diberikan pakan tambahan sukrosa 20%, kelompok kedua 40%, kelompok ketiga 60%, dan kelompok terakhir sebagai kontrol. Pemberian pakan dilakukan terus menerus selama 70 hari. Pengamatan aktivitas dilakukan menggunakan Opto-varimex® auto-track system 4.31. Hasil menunjukkan adanya keterkaitan aktivitas berdasarkan dosis pemberian sukrosa. Kata kunci: sukrosa, ventromedial hipothalamus, tikus wistar, aktivitas.
ABSTRACT YANUAR RESTU WIJAYA. Activities Response Measurement on Male Wistar Rats With High Sucrose Diet Using Activity monitoring device Supervised by KOEKOEH SANTOSO and ISDONI. Excessive energi consumption play a role in increasing blood glucose levels (hyperglycemia), due to the inability of the hormone insulin to compensate the high blood glucose levels. Blood glucose receptor found in the hypothalamus of VMH (Ventro Medial Hypothalamus) and LH (the Lateral Hypothalamus) is able to detect and change the settings for the feeding activity. The aim of this study was to obtain the relationship between high sucrose feeding on male Wistar rats of behavior and activity. This method uses Wistar rats (Rattus norvegicus) as an animal model. Sixteen rats were grouped into 4 treatment groups. The first group was given additional feed 20% sucrose, the second group was given additional feed 40% sucrose, a third group was given additional feed 60% sucrose, and the last as a control group. This feed given continuously for 70 days. Observation of activities conducted using Opto-varimex® auto-track system ver. 4.31. The results showed an corellation between activity based doses of sucrose. Keywords: sucrose,ventromediall hypothalamus, wistar rats, activity
RESPON AKTIVITAS TIKUS WISTAR JANTAN AKIBAT KONDISI DIET TINGGI SUKROSA DIUKUR MENGGUNAKAN PEREKAM AKTIVITAS
YANUAR RESTU WIJAYA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul skripsi ini adalah Respon Aktivitas Tikus Wistar Jantan Akibat Kondisi Diet Tinggi Sukrosa Diukur Menggunakan Perekam Aktivitas. Terima kasih penulis ucapkan kepada ayah tercinta Sogiran, ibu tercinta Sri Tulasih, kakak tercinta Vivi Rosana Dewi serta segenap keluarga atas kasih sayang tanpa henti. Ucapan terima kasih juga diucapkan kepada Dr Drh Koekoeh Santoso dan Drh Isdoni, M.BioMed selaku pembimbing, serta Drh Atin Supiyani yang telah banyak memberi saran. Tidak lupa ucapan terima kasih kepada rekan satu penelitian yaitu Nurul Masyita Khusna, Pawitra Lintang Andayani, dan Maharja Mawali yang telah membantu dan memberikan dukungan selama penelitian. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2014
Yanuar Restu Wijaya
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
Hipotesis
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Metabolisme Energi
2
Tikus dan Kebutuhan Energi
3
Monitoring Aktivitas Tikus
4
METODE
4
Waktu dan Tempat Penelitian
4
Bahan dan Alat
4
Metode
5
Prosedur Analisis Data
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
7
Pengamatan Aktivitas
7
SIMPULAN DAN SARAN
11
Simpulan
11
Saran
11
DAFTAR PUSTAKA
12
RIWAYAT HIDUP
15
DAFTAR TABEL 1. Aktivitas tikus wistar jantan pada dosis sukrosa berbeda
7
DAFTAR GAMBAR 1. Molekul sukrosa (sumber: Rahman et al. 2004) 2. Sebaran kurva uji regresi antara distance traveled dengan dosis pemberian sukrosa 3. Sebaran kurva uji regresi antara resting time dengan dosis pemberian sukrosa 4. Sebaran kurva uji regresi antara ambulatory time dengan dosis pemberian sukrosa
2 8 9 10
PENDAHULUAN Latar Belakang Makan adalah kegiatan memasukkan makanan atau sesuatu ke dalam saluran pencernaan untuk menyediakan nutrisi bagi makhluk hidup. Berbagai nutrisi yang dibutuhkan tubuh akan dipenuhi melalui kegiatan ini, salah satu diantaranya adalah karbohidrat. Gula adalah senyawa karbohidrat sederhana yang menjadi sumber energi utama dan sering digunakan sebagai bahan tambahan dalam produk pangan. Dewasa ini semakin banyak beredar produk pangan yang diberi pemanis tambahan. Produk pangan ini melimpah dipasaran dan sangat diminati karena memililiki palatibilitas yang tinggi. Konsumsi makanan sumber energi yang terus menerus secara berlebihan akan mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia). Tubuh menerima glukosa melalui penyerapan usus yang kemudian akan beredar dalam pembuluh sebagai gula darah untuk kemudian disimpan dalam hati dan sel otot sebagai glikogen. Hiperglikemia disebabkan oleh terlalu tingginya kadar gula darah yang terus beredar dalam sistem peredaran akibat tidak bisa dikonversi menjadi glikogen. Keadaan tersebut terjadi akibat terbatasnya kemampuan sekresi insulin dalam mengimbangi konsentrasi glukosa di peredaran darah serta penurunan glucose carrier (pengangkut glukosa ke dalam sel) sehingga banyak glukosa yang tertimbun dalam darah (Sherwood. 2001). Perubahan pada kadar glukosa darah dirasakan dan direspon oleh sistem saraf pusat. Jean Mayer dengan hipotesis glucostatiknya mendalilkan bahwa reseptor glukosa berada di hipothalamus. Hipotesis ini menyatakan bahwa penurunan kadar glukosa darah akan meningkatkan nafsu makan, dan sebaliknya juga nafsu makan akan menurun saat kadar glukosa darah meningkat (Oomura et al. 1964). Hal ini diduga terkait, bahwa asupan pakan tinggi gula akan mempengaruhi pusat kenyang pada sensor ventromedial hipothalamus sehingga menurunkan tingkat konsumsi pakan (Tsalissravina et al. 2006) . Campfield dan Smith (1986) menunjukkan bahwa kadar glukosa darah berhubungan dengan keinginan makan. Selain itu, kadar glukosa didalam VMH (Ventro Medial Hipothalamus) dan LH (Lateral Hipothalamus) juga bervariasi dengan berbagai konsentrasi glukosa darah. Penelitian lain juga menyebutkan VMH dapat menanggapi kejadian hipoglikemia dengan meningkatkan keinginan makan (Dunn-Meynell et al. 2009). Meningkatnya keinginan makan akan membuat hewan menjadi lebih aktif dan agresif. Pernyataan tersebut didukung oleh Silver dan Erecinska (1994) bahwa reseptor kadar glukosa di otak mampu mengatur asupan makanan sehari-hari. Hasil ini menunjukkan adanya kaitan respon fisiologis dengan peningkatan atau penurunan asupan makanan serta aktivitas makan sendiri. Dengan demikian, tingginya kadar glukosa darah tidak hanya mempengaruhi sistem endokrin dan homeostatis, glukosa juga akan mempengaruhi aktivitas dalam mencari makan. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan hubungan pemberian pakan tinggi energi terhadap aktivitas individu tikus wistar jantan dengan menggunakan
2 Opto-varimex® auto-track system ver. 4.31 sebagai alat pemonitor aktivitas. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai efek konsumsi energi berlebih terhadap aktivitas tubuh. Hipotesis Penelitian ini dilakukan mengacu pada hipotesis bahwa peningkatan kadar glukosa darah akan memberikan rangsangan terhadap pusat kenyang pada VMH yang berpengaruh dalam aktivitas mencari makan.
TINJAUAN PUSTAKA Metabolisme Energi Sukrosa merupakan pemanis yang banyak dipakai dalam industri pangan. Gula ini merupakan disakarida nonpereduksi, dikenal sebagai “gula tebu” yang berwarna putih, serta merupakan disakarida yang terbentuk dari satu molekul glukosa dan satu molekul fruktosa, dihubungkan oleh ikatan glikosida. Rumus empirik sukrosa adalah C12H22O11 (Rahman et al., 2004). .
Gambar 1 Molekul sukrosa (sumber: Rahman et al. 2004) Sukrosa merupakan golongan disakarida yang tersusun dari dua satuan monosakarida (glukosa dan fruktosa) yang dihubungkan oleh suatu hubungan glikosida dari karbon satu ke suatu OH satuan lain. Sukrosa dicerna oleh sistem pencernaan jauh lebih cepat dibandingkan polisakarida atau kompleks karbohidrat lain. Sukrosa dalam proses pencernaannya akan bertemu dengan enzim sukrase dalam usus halus yang akan memecah sukrosa menjadi satu molekul glukosa dan satu molekul glukosa. Hasil akhir pencernaan sukrosa ini bersifat larut dalam air dan akan diserap kedalam peredaran darah (Ferraris dan Diamond 1997). Segera setelah makan, gula yang telah diabsorbsi akan beredar dalam darah untuk keperluan metabolisme. Gula darah merupakan bahan bakar utama yang akan diubah menjadi energi (Mann et al, 2003). Bila tidak diperlukan, glukosa ini akan disimpan dalam sel hati dan otot dalam bentuk glikogen dan saat dibutuhkan kembali cadangan gula ini akan dirombak kembali menjadi glukosa dengan bantuan insulin (Murray dan Robert 2009).
3 Menurut Guyton (2007) glikogen berfungsi sebagai cadangan energi. Cadangan ini akan disimpan dalam bentuk glikogen, proses perubahan glukosa menjadi glikogen (glikogenesis) terjadi hampir dalam semua jaringan, tapi paling banyak tersimpan dalam hati dan dalam otot (Volek et al. 2002). Segera setelah sukrosa dicerna, kadar gula darah akan mengalami peningkatan, bila hal ini terjadi VMH akan merespon melalui sistem endokrin untuk menurunkan aktivitas makan. VMH berfungsi sebagai pusat pengaturan kelebihan energi yang akan diekspresikan dalam aktivitas terutama menekan agresivitas tubuh untuk melakukan gerakan (Westman 2002). Borg et al. (1997) menjelaskan bahwa pusat kenyang di hipothalamus akan merespon tingginya kadar glukosa darah dengan merangsang medula adrenal untuk memproduksi epinefrin yang akan meningkatkan metabolisme dan frekuensi jantung untuk memobilisasi glukosa dalam respon homeostatis untuk menjaga kadar glukosa darah tetap dalam kondisi normal. Tikus dan Kebutuhan Energi Hewan model adalah hewan sebagai objek imitasi (peniruan) manusia (atau spesies lain), yang digunakan untuk menyelidiki fenomena biologis atau patobiologis. Penggunaan tikus sebagai hewan coba karena sering digunakan secara luas untuk penelitian di laboratorium. Selain itu hewan ini mudah dipelihara, mudah diamati dan tidak memuntahkan kembali pakan yang diberikan (Hau dan Hoosier 2003). Tikus putih jantan galur wistar dapat memberikan hasil penelitian yang lebih stabil karena tidak dipengaruhi oleh adanya siklus ovulasi dan kehamilan seperti pada tikus putih betina. Tikus putih jantan juga mempunyai kecepatan metabolisme obat yang lebih tinggi serta memiliki kondisi fisik tubuh dan hormonal yang lebih stabil dibandingkan dengan tikus betina. Bentuk tubuh Tikus Wistar lebih besar dari famili tikus umumnya, bisa mencapai panjang 40 cm diukur dari hidung sampai ujung ekor (Sugiyanto 1995). Hernowati et al (2009) menyimpulkan bahwa kebutuhan pakan tikus wistar per hari adalah 15-30 g sedangkan kebutuhan energinya mencapai 50-68.6 kkal. Selama melakukan aktivitas, secara ideal energi tersebut harus dialirkan kepada sel-sel otot dengan laju yang sama dengan kebutuhannya, namun apabila laju penggunaan energi lebih besar daripada hasil metabolismenya, cadangan fosfokreatin dan glikogen secara spontan akan dirombak untuk menyeimbangkan neraca energi. Kondisi kekurangan glukosa darah akan merangsang pusat lapar yaitu area lateral hipothalamus. Area ini sangat berperan dalam peningkatan aktivitas mencari makan (Kandel et al, 2000). Peningkatan aktivitas fisik dalam mencari makan ini tidak hanya dipengaruhi oleh pusat rasa lapar di hipothalamus, namun juga disebabkan oleh meningkatnya sekresi epinefrin akibat kekurangan energi (Guyton dan Hall 2008) . Guyton dan Hall (2008) juga menjelaskan kondisi tingginya gula darah akan merangsang ventromedial hipothalamus sebagai pusat rasa kenyang, serta menyebabkan penurunan sekresi epinefrin oleh medula adrenal. Penurunan sekresi epinefrin ini akan menurunkan aktivitas fisik dalam mencari makan. Tingginya
4 konsumsi energi juga akan menurunkan fungsi vegetatif tubuh yang akan menimbulkan perasaan tenang pada hewan. Monitoring Aktivitas Tikus Prosedur manipulasi pemberian energi dalam penelitian ini diduga berpengaruh terhadap aktivitas tikus. Secara alamiah, tikus akan bermain dan berlari untuk mengeluarkan energi yang berlebih pada tubuhnya. Respon alamiah ini terjadi saat tikus mendapat asupan pakan tinggi kalori atau karbohidrat. Aktivitas ini kadang disamarkan oleh keadaan stres baik oleh rasa takut ataupun kesakitan, pada kondisi ini tubuh bukan memanfaatkan energi dari pakan, namun menggunakan energi yang berasal dari metabolisme cadangan energi di hati, adiposa dan otot (Popkin et al. 2005). Terdapat banyak cara dalam monitoring aktivitas tikus, diantaranya observasi dan pengamatan langsung, atau menggunakan alat perekam aktivitas. Salah satu alat perekam aktivitas yang dapat digunakan adalah Opto-varimex® auto-track system ver. 4.31®. Alat ini telah didesain khusus untuk mengamati aktivitas hewan kecil, ikan dan serangga. Alat ini terdiri dari 24 sensor infra merah dan bisa dimodifikasi sesuai kebutuhan luas lapang dan ukuran hewan yang akan diamati. Sensor ini berfungsi untuk mendeteksi setiap gerakan melalui mekanisme pemutusan sinar. Terdapat tiga sumbu utama dalam alat ini yang akan memberikan kita informasi terhadap posisi hewan, gerakan hewan, dan jalur yang telah dilalui selama proses perekaman (Millenson dan Leslie 1979).
METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari sampai Mei 2014. Tahapan penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi, Fakultas Kedokteran Hewan dan Unit Pengelola Hewan Laboratorium (UPHL) milik Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus jantan dewasa strain Wistar (Rattus novegicus) berusia 12 minggu dengan bobot badan 200– 250 g sebanyak 16 ekor. Pakan berupa pelet, serta disediakan minum ad libitum. Sukrosa diberikan untuk meningkatkan asupan energi secara manipulatif, dihitung berdasarkan perbandingan dari total konsumsi energi dari pelet yang diberikan. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang plastik, sonde lambung, Opto-varimex® auto-track system ver. 4.31 dan seperangkat komputer.
5 Metode Pengelompokan Tikus dan Perawatan Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus jantan dewasa strain Wistar berusia 12 minggu dengan bobot badan 200 hingga 250 g sebanyak 16 ekor. Tikus dipelihara dalam kandang plastik berukuran 30 x 40 cm dengan tutup terbuat dari kawat ram dan dialasi dengan serbuk kayu. Lingkungan kandang dibuat agar tidak lembab dengan sirkulasi udara yang baik serta pencahayaan yang cukup. Setiap kandang individu dilengkapi dengan sebuah tempat makan berbahan plastik dan sebuah tempat air minum yang dipasang terbalik berupa botol kaca kapasitas 150 ml dengan penutup berbahan karet yang dilengkapi saluran air menggunakan pipa aluminium. Pakan yang diberikan berupa pelet standar. Tikus dikelompokkan secara acak menjadi dua kelompok perlakuan yaitu 4 ekor tikus kontrol (TK) dan 12 ekor tikus sukrosa (TS) yang dibagi menjadi 3 dosis pemberian sukrosa yaitu 20%, 40% dan 60% dari total energi pakan yang diberikan. Sukrosa diberikan menggunakan sonde lambung 1 kali sehari selama 70 hari, jumlah yang diberikan dalam sehari adalah masing-masing 1.4 ml, 2.8ml dan 4.2 ml, sedangkan minum disediakan ad libitum. Observasi awal pada periode pra penelitian menunjukkan konsumsi pakan tikus mencapai 15.6 g/hari. Sumber energi yang didapat dari pakan senilai 4 kkal/g, dengan demikian kebutuhan kalori tikus dalam sehari adalah 62.56 kkal/hari. Nilai ini akan menjadi acuan terhadap jumlah pemberian sukrosa terhadap masing-masing kelompok. Semua kelompok perlakuan tikus terus dipantau hingga pada hari akhir perlakuan atau hari ke 70 akan dilakukan pengukuran aktivitas. Pengukuran Aktivitas Semua tikus kontrol dan tikus perlakuan diamati perubahan tingkah laku dan aktivitasnya pada akhir perlakuan pemberian sukrosa. Aktivitas yang teramati dengan Opto-varimex® activity monitor adalah menyangkut kegiatan yang umum dilakukan tikus sehari-hari diantaranya: 1.
2. 3.
Distance traveled (DT/jarak tempuh) adalah jarak yang ditempuh oleh tikus atau panjang lintasan perpindahan tikus dari satu tempat ketempat yang lain. Perpindahan tikus dapat berkaitan dengan agresivitas dalam mencari makanan dan minuman, ekspresi stres, mencari tempat perlindungan ataupun pengenalan lingkungan. Resting time (RT/waktu istirahat) adalah waktu yang dibutuhkan selama tikus diam tidak bergerak atau istirahat. Ambulatory time (AT/waktu ambulatori) adalah waktu yang diukur saat tikus melakukan gerakan ditempat diantaranya membersihkan diri atau grooming, makan, defekasi dan urinasi.
Seluruh kelompok tikus dalam kotak plastik dipindahkan menuju ruang analisa dan didiamkan selama 5 menit untuk beradaptasi dengan wilayah baru. Ruang analisa ini didesain khusus untuk pengamatan hewan dengan meminimalkan tingkat stres yang biasanya berasal dari getaran, suara, suhu dan
6 cahaya. Sesuai dengan kelompoknya kemudian tikus ditempatkan pada wadah pengukuran aktivitas dalam Opto-varimex® activity monitor selama 5 menit untuk mengurangi pengaruh stres lingkungan sebelum dimulai pengukuran. Alat mulai dioperasikan selama 10 menit dalam ruangan yang bebas gangguan baik suara maupun getaran guna meminimalkan pengaruh lingkungan selama proses pengukuran aktivitas. Setelah proses perekaman aktivitas dimulai, operator segera meninggalkan ruangan guna meminimalisir stres pada tikus. Prosedur Analisis Data Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dan masing-masing perlakuan terdiri atas 4 ekor tikus sebagai ulangan. Data kuantitatif dianalisa dengan analysis of variance (ANOVA), kemudian dilanjutkan dengan Uji Duncan dengan selang kepercayaan 95% (α=0.05) untuk melihat perbedaan antar perlakuan. Serta uji regresi menggunakan perangkat lunak SAS 9.1.3 (Mattjik dan Sumertajaya 2006) .
7
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan Aktivitas Secara umum metabolisme energi merupakan proses reaksi yang terjadi di dalam makhluk hidup mulai dari makhluk hidup bersel satu sampai yang paling kompleks (manusia) untuk mendapat, mengubah dan memakai senyawa kimia di sekitar untuk mempertahankan kelangsungan hidup (Berg dan Stryer 2002). Greeno dan Wing (1994) telah menguraikan model perbedaan individu, yang menunjukkan ada banyak cara di mana pola cerna dan metabolisme energi dari asupan makanan salah satunya dipengaruhi oleh tingkatan stres. Manipulasi pemberian energi yang dilakukan pada penelitian ini berupa sukrosa. Tabel 1 Aktivitas tikus wistar jantan pada dosis sukrosa berbeda Parameter Kontrol Sukrosa 20% Sukrosa 40% Sukrosa 60%
Keterangan:
a
DT (cm) 536.75±153.829c 624.00±79.414c 456.25±41.883b 299.25±25.316a
Aktivitas AT (detik) 50.75±21.884a 39.75±19.610a 80.50±13.520b 114.50±20.371c
RT (detik) 234.25±30.804c 186.00±106.351b 19.75±16.459a 85.75±117.817a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Anova) DT = Distance traveled, RT = Resting time, AT = Ambulatory time,
VMH (Ventromedial Hypothalamus) sebagai reseptor glukosa pada sistem saraf pusat memainkan peran penting dalam mendeteksi dan mengontrol kadar glukosa darah melalui persepsi rasa kenyang (Shin et al. 2010). VMH berfungsi dalam menekan tingkat stres akibat rasa lapar dan mengurangi aktivitas berlebih pada tikus akibat keinginan mencari makan. Ekspresi aktivitas akibat pemberian energi berlebih ini dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa aktivitas Distance traveled secara nyata menunjukkan penurunan (P>0.05). Aktivitas Ambulatory time terlihat meningkat seiring naiknya dosis pemberian sukrosa. Adanya peningkatan waktu ambulatori ini disebabkan oleh perasaan tenang yang didapatkan oleh tikus akibat rasa kenyang. Resting time terlihat mengalami penurunan dengan bertambahnya pemberian sukrosa. Naik atau turunnya waktu istirahat ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor internal seperti penurunan fungsi vegetatif tubuh ataupun eksternal seperti pengaruh cahaya dan obat-obatan (Greeno dan Wing 1994) .
8 Distance traveled (DT) Di alam liar, wilayah yang dijelajahi tikus telah diukur antara 10 – 8000 m2. Pergerakan tikus yang sedemikian luas dapat berkaitan dengan agresifitas dalam mencari makanan dan minuman, mencari tempat bersarang, kawin ataupun pengenalan lingkungan. Kegiatan ini dilakukan secara alamiah oleh tikus dan diperlukan kemampuan dalam bergerak baik lari ataupun berjalan (Jackson 1982). Distance traveled dalam data ini merupakan jarak yang ditempuh oleh tikus selama 10 menit atau perpindahan tikus dari tempat yang satu ketempat yang lain.
Jarak tempuh (cm)
Distance traveled
Dosis sukrosa
Gambar 2
Sebaran kurva uji regresi distance traveled dengan pemberian sukrosa
antara dosis
Hasil pengukuran DT (gambar 2) menunjukkan bahwa jarak tempuh yang dilalui tikus mengalami penurunan secara nyata seiring bertambahnya dosis sukrosa yang diberikan. Secara umum, energi dalam aktivitas ini diperoleh dari hasil penyerapan maupun metabolis dari cadangan energi yang akan dikeluarkan melalui kegiatan fisik seperti berlari ataupun bermain (Hill 2012). Pada kondisi diet energi berlebih, pusat kenyang akan diaktifasi dan menurunkan sekresi epinefrin sehingga aktivitas tubuh dalam mencari makan akan menurun. Uji lanjutan berupa uji regresi (r) menunjukkan nilai 0.690 yang berarti bahwa aktivitas distance traveled memiliki hubungan yang lemah dengan dosis pemberian sukrosa. Terlihat pada kurva y = 699 – 88 x menunjukkan hubungan yang lemah antara dosis pemberian sukrosa dengan distance traveled, dalam perlakuan ini tubuh memiliki kelebihan energi yang berasal dari makanan. Nilai determinasi (R2) sebesar 0.476 menunjukkan kaitan sebesar 47% dari penambahan konsentrasi sukrosa yang berpengaruh terhadap jarak tempuh yang dilalui tikus. Hal ini dikarenakan tikus yang diberikan pakan tinggi kalori akan mengalami peningkatan rasa tenang akibat berkurangnya stres akibat rasa lapar (Corbett et al. 1986).
9
Resting time (RT) Resting time adalah waktu yang dibutuhkan untuk tikus beristirahat selama 10 menit waktu pengamatan. Istirahat bagi hewan sangat penting untuk menghemat energi dan mencerna sekaligus memetabolisme makanan yang telah dimakan. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kelompok perlakuan sukrosa secara nyata mengalami penurunan waktu istirahat seiring meningkatnya dosis pemberian sukrosa. Hasil uji regresi antara resting time dengan dosis pemberian sukrosa berupa persamaan y = 284 - 61 x. Hal ini menunjukkan hubungan negatif antara dosis pemberian sukrosa dengan resting time. Adapun nilai regresi (r) adalah 0.776. Nilai determinasi (R2) sebesar 0.603 menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi sukrosa mempengaruhi 60.3% waktu istirahat tikus. Resting
Waktu istirahat (detik)
time
Dosis sukrosa
Gambar 3 Sebaran kurva uji regresi antara resting time dengan dosis pemberian sukrosa Menurut Corbett et al. (1986) tikus yang mengalami pertambahan bobot badan dan kenaikkan asupan kalori cenderung akan mengalami penurunan aktivitas berlebih. Data ini juga ditentukan oleh faktor individu diantaranya kecepatan metabolisme, kondisi sistem endokrin, serta tingkat kecernaan pakan. Borg et al. (1997) menjelaskan bahwa dalam kondisi istirahat, hewan tidak sama sekali atau pada tingkat minimal stres, namun Heller dan Ruby (2004) menjabarkan lebih lanjut bahwa kondisi istirahat hanya bisa dicapai saat pusat kesadaran dalam sistem saraf pusat mendapat rangsangan langsung, diantaranya oleh pengaruh hormon serotonin dan pengaruh obat-obatan. Ambulatory Time (AT) Ambulatory Time adalah waktu yang diukur saat tikus akan melakukan gerakan berjalan, grooming, makan, defekasi ataupun urinasi. Meskipun memiliki wilayah jelajah yang luas, tikus tetap merupakan spesies sosial yang hidup
10 berkelompok. Seperti pada hewan primata, tikus juga mampu melakukan kegiatan membersihkan diri, mengupas biji-bijian dan bermain (Ebensperger 2001). Hasil pengukuran AT (Gambar 4) menunjukkan bahwa kelompok perlakuan sukrosa mengalami peningkatan aktivitas ambulatori secara nyata seiring naiknya pemberian dosis sukrosa. Aktivitas ambulatori ini mengalami peningkatan disebabkan oleh naiknya frekuensi napas akibat proses oksidasi gula selama proses metabolisme. VMH merespon tingginya kadar gula darah sebagai persepsi kenyang yang menurunkan aktivitas berlebihan pada tikus. Perasaan kenyang ini mampu menekan keinginan tikus untuk mencari makan. Kejadian ini akan mengakibatkan tikus menjadi lebih tenang dan menekan stres (Kobayashi et al. 2001) .
Waktu (detik)
ambulatori
Ambulatory time
Dosis sukrosa
Gambar 4 Sebaran kurva uji regresi antara ambulatory time dengan dosis pemberian sukrosa Hasil uji regresi antara ambulatory time dengan dosis pemberian sukrosa berupa y = 13 + 23 x. Hal ini menunjukkan hubungan yang lemah antara dosis pemberian sukrosa dengan ambulatory time. Adapun nilai yang didapat dari uji regresi (r) adalah 0.625 yang berarti bahwa aktivitas ambulatory time dikatakan berhubungan kecil dengan dosis pemberian sukrosa. Nilai determinasi (R2) sebesar 0.391 tetap menunjukkan 39.1% pengaruh keterkaitan penambahan konsentrasi sukrosa terhadap ambulatory time. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa karbohidrat cair kurang mengenyangkan dan mengurangi energi kompensasi saat makan berikutnya, yang menyebabkan peningkatan asupan energi namun menurunkan tingkat penyerapannya (Libuda dan Kersting 2009).
11
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pemberian diet sukrosa berlebih dapat memberikan pengaruh terhadap respon aktivitas tikus wistar jantan. Tikus dengan asupan tinggi sukrosa menunjukkan penurunan jarak tempuh dan penurunan waktu istirahat dan peningkatan waktu ambulatori.
Saran Perlu dilakukan penelitian mengenai efek kekurangan asupan energi terhadap aktivitas, serta penelitian lebih lanjut mengenai level glukosa darah serta aktivitas otak pada hewan model.
12
DAFTAR PUSTAKA Berg J, Stryer L. 2002. Biokimia. Jakarta(ID): Erlangga. Borg MA, Sherwin RS, Borg WP, Tamborlane WV, Shulman GI. 1997. Local ventromedial hypothalamus glucose perfusion blocks counterregulation during systemic hypoglycemia in awake rats. J Clin Invest. 99: 361-365. Campfield LA, Smith FJ. 1986. Functional coupling between transient declines in blood glucose and feeding behavior: temporal relationships. Brain Res Bull. 17: 427-549. Corbett SW, Stern JS, Keesey RE. 1986. Energi expenditure in rats with dietinduced obesity. Am J Clin Nutr. 44: 173-180. Dunn-Meynell AA, Sanders NM, Compton D, Becker TC, Eiki JI, Zhang BB, Levin BE. 2009. Relationship among brain and blood glucose levels and spontaneous and glucoprivic feeding. J Neurosci. 29: 7015-7022. Ebensperger LA. 2001. A review of the evolutionary causes of rodent groupliving. Acta Theriologica. 46: 115–144. Ferraris RP, Diamond J . 1997. Regulation of Intestinal Sugar Transport. Physiol Rev 77:257. Greeno CG, Wing RR. 1994. Stres-induced eating. Psychol Bull. 115:444-464. Guyton AC, Hall JE. 2007. Textbook of medical physiologi, 11 th ed. Jakarta(ID): EGC Pr. Hau J, Hoosier GL. 2003. Handbook of Laboratory Animal Science 2nd Edition. Boca Raton: CRC Pr. Heller HC, Ruby NF. 2004. Sleep and Circardian Rhytm in Mammalian. Annu Rev Physiol. 66:275 Hernowati ET, Therik JW, Hendra. 2009. Efek nutrisional tepung daun kelor (moringa oleifera) varietas ntt 17 terhadap status gizi tikus wistar kep. [Tesis]. Malang (ID): Universitas Brawijaya Pr. Hill JO, Wyatt HR, Peters JC. 2012. Energi Balance and Obesity. [Internet]. Anschutz Health and Wellness Center, Box C263, University of Colorado Anschutz Medical Campus, 12348 E. Montview Blvd., Aurora, CO 80045. [diunduh 2014 Sep 4]. Tersedia pada: http://www.circ.ahajournals.org/content/ 126/1/126.long. Jackson WB. 1982. Norway rat and allies. In: Wild Mammals of North America (Chapman JA, FeldhamerGA, eds). Baltimore: The Johns Hopkins University Pr. Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM. 2000. Principles of Neural Science 4th Edition. New York: MyGraw-Hill Pr. Kobayashi A, Osaka T, Inoue S, Kimura S. 2001. Thermogenesis induced by intravenous infusion of hypertonic solutions in the rat. J Phys. 535(2): 601– 610. Libuda L, Kersting M. 2009. Soft drinks and body weight development in childhood: Is there a relationship?. Curr Opin Clin Nutr Metab Care. 12:596– 600. Mann GE, Yudilevich DL, Sobrevia L. 2003. Regulation of Amino Acid and Glucose Transporter in Endothelial and Smooth Muscle Cells. Physio Rev 83:183.
13 Millenson, Leslie JC. 1979. Priciples of Behavioral Analisys. 2nd Ed. The New University of Ultser, Northern Ireland. Murray, Robert K. 2009. Harpers Ilustrated biochesmistry, 27 th ed. Jakarta:EGC. Oomura Y, Kimura K, Ooyama H, Maeo T, Iki M, Kuniyoshi N. 1964. Reciprocal activities of the ventromedial and lateral hypothalamic area of cats. J Science. 143: 484-485. Popkin BM, Duffey K, Gordon-Larsen P. 2005. Environmental influences on food choice, physical activity and energi balance. J Physiol Behav. 86:603-13. Rahman, M., Palash K.S, Fida M.H, Sarnad M.A.M, dan Habibur M.R. 2004. Purification and Characterization of Invertase Enzyme from Sugarcane. Pakist Jour Bio Sci. 7: 340-345. Sherwood. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi Kedua. Diterjemahkan oleh Brahm Upendit. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 663-676. Shin AC, Pistell PJ, Phifer CB, Berthoud HR. 2010. Reversible suppression of food reward behavior by chronic mu-opioid receptor antagonism in the nucleus accumbens. J Neuroscience. 170: 580-588. Silver IA, Erecinska M. 1994. Extracellular glucose concentration in mammalian brain: continuous monitoring of changes during increased neuronal activity and upon limitation in oxygen supply in normo-, hypo-, and hyperglycemic animals. J Neurosci. 14: 5068-5076. Sugiyanto. 1995. Petunjuk Farmasi. Edisi IV. Yogyakarta(ID): UGM Pr. p: 11-12. Volek JS, Sharman MJ, Love DM. 2002. Body composition and hormonal responses to a carbohydrate-restricted diet. J Metabolism. 51:864-870. Westman EC. 2002. Is dietary carbohydrate essential for human nutrition?. Am J Clin Nutr. 75:951-954.
14
15
RIWAYAT HIDUP YANUAR RESTU WIJAYA, dilahirkan di Pacitan Jawa Timur, pada 7 Januari 1993, putra bungsu dari dua bersaudara, pasangan Sogiran dan Sri Tulasih. Pada tahun 2005 penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar Negeri 1 Sekar, Pacitan, kemudian melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Wonogiri, dan tamat pada tahun 2008. Penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMAN 1 Wonogiri, dalam program akselerasi sampai tahun ajaran 2010. Pada tahun yang sama penulis diterima di program studi Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif tergabung dalam Divisi Internal Himpunan minat dan Profesi (HIMPRO) Ruminansia sejak 2011. Penulis juga tergabung dalam organisasi mahasiswa daerah (OMDA) Media Silaturahmi Mahasiswa Wonogiri (MAHAGIRI) .