RESISTENSI SANG LIYAN: PERFORMA PEREMPUAN DALAM K-POP MV DI YOUTUBE
Tesis
Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 2 Kebijakan Media Magister Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro
RUTH MEI ULINA MALAU NIM : 14030111400007
MAGISTER ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2013
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Ruth Mei Ulina Malau
Nomor Induk Mahasiswa
: 14030111400007
Tempat/Tanggal Lahir
: Pematangsiantar/30 Mei 1988
Program Studi
: Magister Ilmu Komunikasi
Konsentrasi
: Kebijakan Media
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya susun dengan judul:
Resistensi Sang Liyan: Performa Perempuan dalam K-Pop MV di YouTube Adalah benar-benar hasil karya saya sendiri, dan bukan merupakan plagiat dan tesis atau karya ilmiah orang lain. Apabila di kemudian hari pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademis yang berlaku (dicabut predikat dan gelar magisternya). Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, untuk dapat dipergunakan bilamana diperlukan.
Semarang, 15 Juli 2013 Pembuat Pernyataan,
Ruth Mei Ulina Malau ii
HALAMAN PENGESAHAN TESIS
RESISTENSI SANG LIYAN: PERFORMA PEREMPUAN DALAM K-POP MV DI YOUTUBE
DISUSUN OLEH:
RUTH MEI ULINA MALAU NIM : 14030111400007
Telah disetujui di depan Tim Penguji
Semarang, Juli 2013 Pembimbing
Dr. Sunarto NIP. 19660727 199203 1 001
iii
HALAMAN PENGESAHAN TESIS
NAMA
: RUTH MEI ULINA MALAU
NIM
: 14030111400007
PROGRAM STUDI : KEBIJAKAN MEDIA JUDUL TESIS
: RESISTENSI SANG LIYAN: PERFORMA PEREMPUAN DALAM K-POP MV DI YOUTUBE
Pembimbing Tesis
Dr. Sunarto NIP. 19660727 199203 1 001
Ketua Program Studi
Dr. Sunarto NIP. 19660727 199203 1 001
iv
HALAMAN PENGESAHAN TESIS
NAMA
: RUTH MEI ULINA MALAU
NIM
: 14030111400007
PROGRAM STUDI : KEBIJAKAN MEDIA JUDUL TESIS
: RESISTENSI SANG LIYAN: PERFORMA PEREMPUAN DALAM K-POP MV DI YOUTUBE
Telah dipertahankan dalam sidang ujian tesis Program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro, pada: Hari
: Senin
Tanggal
: 15 Juli 2013
Pukul
: 13.00 WIB
Dan dinyatakan
: LULUS
PANITIA PENGUJI TESIS
Pembimbing
: Dr. Sunarto
(
)
Ketua Sidang
: Dr. Turnomo Rahardjo
(
)
Sekretaris Sidang
: Triyono Lukmantoro, S.Sos, M.Si
(
)
Reader
: Suzie Handajani, Phd
(
)
v
“When my soul was embittered, when I was pricked in heart, I was stupid and ignorant, I was like a beast toward thee. Nevertheless I am continually with thee; thou dost hold my right hand.” (Psalm 73:21-23, 1952 version)
●
●
●
to my family, and to all young people suffering from a sense of inferiority.
●
vi
●
●
RESISTENSI SANG LIYAN: PERFORMA PEREMPUAN DALAM K-POP MV DI YOUTUBE
Abstrak
Penelitian ini merupakan sebuah kajian performa, yang memperlihatkan persoalan ideologis berupa resistensi perempuan Timur yang disebut-sebut sebagai sang Liyan—sebuah istilah yang ditujukan untuk menandai inferioritas perempuan terhadap Barat. Persoalan ini muncul karena tingginya tingkat konsumsi terhadap video musik K-Pop melalui YouTube, dengan perempuan sebagai jualan utama dalam produk K-Pop. Penelitian ini kemudian mempertanyakan bagaimana performa perempuan dalam K-Pop MV di YouTube menghadirkan ideologi resistensi sang Liyan?. Penelitian ini merupakan manifestasi kajian budaya feminis yang mencoba mengkritisi relasi kesenjangan yang dialami oleh perempuan Timur. Dengan menggunakan teori komunikasi poststrukturalis mengenai performa sebagai pendekatan teoritis utama serta teknik analisis semiotika Roland Barthes, penelitian ini ditujukan untuk membongkar dan menguraikan ideologi resistensi sang Liyan dalam dua unit analisis yaitu: video musik Girls’ Generation versi “The Boys” dan Kara versi “Pandora”. Hasil penelitian memperlihatkan adanya kecenderungan resistensi perempuan melalui mimikri yang terpola dalam “passing”. Perempuan memanfaatkan tiga instrumen yaitu, relasi gender, mitologi, dan kecantikan, sebagai usaha untuk melakukan resistensi terhadap Barat. Akhirnya, penelitian ini berefleksi pada realitas kebudayaan di Indonesia dan mengharapkan adanya usaha untuk mempertimbangkan jaringan kebijakan untuk mengontrol dan menjaga keseimbangan antar produk kultural yang muncul di ruang publik.
Keywords: Resistensi, Sang Liyan, Performa, K-Pop MV, Mimikri
vii
RESISTANCE OF THE OTHER: WOMEN’S PERFORMANCE IN K-POP MV IN YOUTUBE
Abstract
This research is a performance studies, which marks ideological problems of the Eastern women in order to do resistance towards their identities as the Other—a term used to describe inferiority towards the West. This problem based on the high consumption of K-Pop MV through YouTube, where woman is being offered as the main comodity of the K-Pop product. A problematical question raised is: How the women’s performance in K-Pop MV in YouTube claim an ideological resistance of the Other? This research is a manifestation of feminist cultural studies that try to criticize the unequal relationship experienced by the Eastern women. Using the poststructuralist communication theories of performance as the main teoritical framework and Roland Barthes semiotics analysis, this research aims to disclose and explain the ideological resistance of the Other based on two analysis units: Girls’ Generation “The Boys” dan Kara “Pandora”. The result highlight the resistance of the Other established from the process of mimicry which constituted a figure named “passing”. There are three instruments used: gender relationship, mitology, and beauty. Finally, the research draws a reflections towards cultural realities in Indonesia, therefore considering a cultural policy as a strategy to control and maintain an equality between various cultural product in the public space.
Keywords: Resistance, The Other, Performance, K-Pop MV, Mimicry
viii
KATA PENGANTAR
Tesis berjudul “Resistensi Sang Liyan: Performa Perempuan dalam K-Pop MV di YouTube” ini merupakan penelitian yang mengkaji usaha perempuan non-Barat (baca: Timur) untuk menegosiasikan identitasnya sebagai ‘Sang Liyan’. Perempuan dinamai ‘sang Liyan’ untuk memperlihatkan adanya kompleksitas relasi inferior perempuan Timur terhadap Barat. Isu krusial yang muncul untuk mempertanyakan kembali relasi ini adalah hadirnya sebuah ruang performa yang memungkinkan sang Liyan untuk menolak inferioritasnya dan mengekspresikan Diri dalam permainan kultural yaitu mimikri. Penelitian ini didasari oleh perkembangan pesat industri kebudayaan Korea Selatan yang memenuhi ruang multikultural Indonesia, terutama melalui situs YouTube. Penelitian ini membongkar makna di balik makna, untuk menemukan sebuah persoalan ideologis yang memperlihatkan
bahwa
sesungguhnya
perempuan Timur tidak selamanya menjadi Liyan. Performa perempuan yang dibahas dalam penelitian ini merupakan sebuah wujud realitas multikultural yang menciptakan dikotomi di antara perempuan sendiri: Barat dan Timur. Penulis mengucap syukur pada Tuhan Yesus Kristus, atas anugrah yang membuat mengerti bahwa segala sesuatu indah pada waktu-Nya. Lord, You are always more than enough for me. Dengan segala kerendahan hati Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam proses penelitian ini:
ix
1.
Dr. Sunarto selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro, sekaligus sebagai dosen pembimbing tesis. Penulis mengucapkan terimakasih atas ilmu yang telah diberikan.
2.
Dr. Turnomo Rahardjo selaku Ketua Konsentrasi Kebijakan Media Magister Ilmu Komunikasi Undip, sekaligus sebagai ketua sidang tesis.
3.
Suzie Handajani, Phd. selaku reader tesis.
4.
Triyono Lukmantoro, S.Sos, M.Si selaku sekretaris sidang tesis.
5.
Papa dan mama, Drs. L. Malau, M.Pd. dan Dra. H. Tampubolon, M.Pd, yang merupakan esensi dari dunia kecil bernama keluarga, penulis berterima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk mencapai cita.
6.
Abang, kakak dan adik, Antoni Ronald M. Malau, ST. (alm); Natalia Artha Kristine Malau, M.Si, dan keluarga; Anne Rumondang Malau, M.Sc; Johan Saut M. Malau, SE; dan Bambang Parada Nugraha Malau. Penulis berterima kasih atas cinta dan ego yang membuat hidup lebih berwarna.
7.
Teman-teman Kebijakan Media dan Komunikasi Strategis angkatan IV, Magister Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro, Semarang.
8.
Sahabat, yang telah membuat hidup ini selalu layak untuk disyukuri. Penulis menyadari penyusunan tesis ini jauh dari kesempurnaan dan banyak
kekurangan, namun Penulis berharap agar tesis ini bermanfaat bagi pembaca.
Semarang, Juli 2013
Ruth Mei Ulina Malau x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...........................................................................................i SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ...............................................................ii HALAMAN PENGESAHAN TESIS .................................................................iii HALAMAN PERSEMBAHAN ..........................................................................iv ABSTRAK ..........................................................................................................vii ABSTRACT ........................................................................................................viii KATA PENGANTAR.........................................................................................ix DAFTAR ISI .......................................................................................................xi DAFTAR TABEL ...............................................................................................xvi DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xviii DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................xx BAB I PENDAHULUAN .................................................................................1 1.1
Latar Belakang ...........................................................................................1
1.2
Perumusan Masalah ...............................................................................18
1.3
Tujuan Penelitian ...................................................................................19
1.4 Signifikansi Penelitian ..............................................................................20 1.4.1 Signifikansi Teoritis ..............................................................................20 1.4.2 Signifikansi Praktis ...............................................................................20 1.4.3 Signifikansi Sosial .................................................................................21 1.5
Kerangka Pemikiran Teoritis .................................................................21
1.5.1 Paradigma Penelitian .............................................................................21 1.5.2 State of The Art .....................................................................................22 xi
1.5.3
Kajian Budaya Feminis .........................................................................26
1.5.4
The Poststructuralist Communication Theories of Performance.............28
1.5.4.1
Mimicry and Symbolic Reversals ......................................................30
1.5.4.2
Passing and Cross-Expressing .........................................................32
1.5.4.3
Mediation and Confrontation ...........................................................33
1.5.5
Postcolonial Theories ............................................................................35
1.5.6
Performa Perempuan dan Feminisme ....................................................40
1.5.7
YouTube dan Korean Popular Music (K-Pop) ......................................44
1.5.8
Asumsi Penelitian..................................................................................51
1.6
Operasionalisasi Konsep ............................................................................52
1.7
Metoda Penelitian ......................................................................................54
1.7.1
Desain Penelitian ...................................................................................54
1.7.2
Objek Penelitian ....................................................................................56
1.7.3
Jenis Data dan Sumber Data ..................................................................58
1.7.4
Teknik Pengumpulan Data ....................................................................58
1.7.5
Analisis dan Intepretasi Data .................................................................58
1.7.5.1
Analisis Sintagmatik ........................................................................59
1.7.5.1.1
Narasi (narrative) ........................................................................60
1.7.5.1.2
Kode Sinematik (Mise-én-scene) .................................................61
1.7.5.1.2.1
Setting .....................................................................................61
1.7.5.1.2.2
Costume ..................................................................................63
1.7.5.1.2.3
Performance and Movement ...................................................66
1.7.5.1.2.4
Camera Movement ..................................................................68 xii
1.7.5.1.2.5
Camera Editing .......................................................................68
1.7.5.1.2.6
Sound ......................................................................................68
1.7.5.2
Analisis Paradigmatik .......................................................................70
1.7.5.2.1
Kode Hermeneutika .....................................................................70
1.7.5.2.2
Kode Proarietik ............................................................................70
1.7.5.2.3
Kode Kultural ..............................................................................71
1.7.5.2.4
Kode Simbolik .............................................................................71
1.7.5.2.5
Kode Semik .................................................................................71
1.7.6
Goodness Criteria .................................................................................71
1.7.7
Keterbatasan Penelitian .........................................................................72
BAB II “MENARIKAN SANG LIYAN”: FEMINISME DALAM INDUSTRI MUSIK ...........................................................................................75 2.1
Eksploitasi Kapitalisme dalam Industri Musik Populer .............................76
2.1.1
Hollywood di Asia: Sebuah Pemahaman Industri Budaya....................79
2.1.2
Girlband Sebagai Cultural Capital .......................................................84
2.2
Performa Feminisme dalam Budaya Kontemporer ....................................90
2.2.1
Performa Perempuan dalam Teater .......................................................90
2.2.2
Performa Perempuan dalam Music Video .............................................92
2.3
Performa Feminisme dalam Industri Musik Indonesia ..............................95
BAB III PERFORMA PEREMPUAN (SEBUAH ANALISIS SINTAGMATIK) ..............................................................................................100 3.1 3.1.1
Unit Analisis 1: “Girls bring the boys out!” ..............................................101 Narasi “The Boys” ................................................................................101 xiii
3.1.2
Mise-én-scene “The Boys” ....................................................................107
3.1.2.1
Setting ...............................................................................................107
3.1.2.2
Costume ............................................................................................113
3.1.2.3
Performance and Movement .............................................................124
3.1.2.4
Camera Movement............................................................................128
3.1.2.5
Camera Editing ................................................................................130
3.1.2.6
Sound ................................................................................................132
3.2
Unit Analisis 2: Pandora ............................................................................133
3.2.1
Narasi “Pandora” ...................................................................................133
3.2.2
Mise-én-scene “Pandora” ......................................................................137
3.2.2.1
Setting ...............................................................................................137
3.2.2.2
Costume ............................................................................................146
3.2.2.3
Performance and Movement .............................................................150
3.2.2.4
Camera Movement............................................................................152
3.2.2.5
Camera Editing ................................................................................153
3.2.2.6
Sound ................................................................................................155
3.3
Catatan Sintagma: “The Boys” dan “Pandora” ...........................................156
BAB IV [MEMBUNUH] SANG LIYAN: MITOS RESISTENSI DALAM PERFORMA PEREMPUAN ...........................................................................159 4.1
Girls’ Generation: “[We] Bring The Boys Out!” .........................................163
4.1.1
Kode Hermeneutika (hermeneutic code) ...............................................163
4.1.2
Kode Proairetik (proarietic code)..........................................................168
4.1.3
Kode Kultural (cultural code) ...............................................................174 xiv
4.1.4
Kode Simbolik (symbolic code).......................................................
179
4.1.5
Kode Semik (codes of semes) ..........................................................
181
Pandora: “Up and up ah ah”.................................................................
185
4.2.1
Kode Hermeneutika (hermeneutic code) .........................................
185
4.2.2
Kode Proairetik (proarietic code) ....................................................
190
4.2.3
Kode Kultural (cultural code)..........................................................
194
4.2.4
Kode Simbolik (symbolic code).......................................................
197
4.2.5
Kode Semik (codes of semes) ..........................................................
201
4.3
Mosaik Performa: Sebuah Perbandingan Analisis ...............................
203
4.4
Figur Mimikri Sang Liyan ....................................................................
207
4.2
BAB V REFLEKSI TERHADAP PERFORMA PEREMPUAN: DARI SUNYI MENJADI BUNYI ...............................................................................218 5.1
Implikasi Teoritis..................................................................................
220
5.2
Implikasi Praktis ...................................................................................
223
5.3
Implikasi Sosial ....................................................................................
225
BAB VI PENUTUP .....................................................................................
228
6.1
Simpulan ...............................................................................................
228
6.2
Saran .....................................................................................................
230
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Statistik Ekspor Content Korea Selatan ..............................................11 Tabel 1.2 Figures of Mimicry .............................................................................32 Tabel 1.3 Figures of Mimicry .............................................................................33 Tabel 1.4 Model analisis semiotika Roland Barthes ...........................................59 Tabel 1.5 Kategori Repetisi ................................................................................60 Tabel 1.6 Four Basic Stage Spaces.....................................................................62 Tabel 1.7 Kategori pakaian perempuan ..............................................................64 Tabel 1.8 Kategori Gestur Tubuh .......................................................................67 Tabel 1.9 Kategori shot kamera ..........................................................................68 Tabel 1.10 Camera work and editing techniques ................................................68 Tabel 1.11 Genre Musik ......................................................................................69 Tabel 2.1 Daftar Girlband K-Pop ........................................................................77 Tabel 2.2 Daftar Girlband I-Pop..........................................................................78 Tabel 2.3 Best-selling Girl Groups (worldwide) .................................................87 Tabel 3.1 Setting dalam MV “The Boys” ............................................................108 Tabel 3.2 Performa Berdasarkan Visualisasi Dalam MV “The Boys”................125 Tabel 3.3 Camera Movement dalam MV “The Boys” ........................................129 Tabel 3.4 Camera Editing dalam “The Boys”.....................................................131 Tabel 3.5 Setting dalam MV “Pandora”..............................................................138 Tabel 3.6 Performa Berdasarkan Visualisasi Dalam MV “Pandora” ..................150 Tabel 3.7 Camera Movement dalam MV “Pandora” ..........................................152 xvi
Tabel 3.8 Camera Editing dalam “Pandora” .......................................................154 Tabel 4.1 Resistensi Perempuan Melalui Mimikri dengan Pola ‘Passing’..............210
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Girls’ Generation dalam MV “Gee” ...............................................7 Gambar 1.2. Peta Konsumsi K-Pop MV melalui YouTube ................................13 Gambar 1.3. Concepts of Poststructuralist Communication Theories of Performance ...................................................................................34 Gambar 1.4. Operasionalisasi Konsep.................................................................53 Gambar 2.1. Girls’ Generation dalam MV ‘Time Machine’................................89 Gambar 2.2 KARA dalam MV ‘Step’ ................................................................89 Gambar 2.3 “Untitled Feminist Show” ...............................................................91 Gambar 2.4 Madonna “The Queen of Pop” .......................................................94 Gambar 2.5 Ainul Rokhimah alias “Inul Daratista” ...........................................98 Gambar 3.1. Captured Image Unit Analisis “The Boys” .....................................101 Gambar 3.2. Struktur narasi lirik “The Boys”......................................................102 Gambar 3.3. Tampilan proscenium stage dalam stage 1 .....................................109 Gambar 3.4. Tampilan circle stage dalam stage 2 ..............................................109 Gambar 3.5. Tampilan proscenium stage dalam stage 3 .....................................110 Gambar 3.6. Tampilan glazier stage dalam stage 4 ............................................111 Gambar 3.7. Tampilan stage 5 ............................................................................112 Gambar 3.8. Kostum dalam MV “The Boys” .....................................................123 Gambar 3.9. Captured Image Unit Analisis “Pandora” ......................................133 Gambar 3.10 Struktur Narasi Lirik “Pandora” ...................................................133 Gambar 3.11 Tampilan mini proscenium dalam stage 1a ...................................139 xviii
Gambar 3.12 Tampilan mini proscenium dalam stage 1b ....................................140 Gambar 3.13 Tampilan tunnel stage dalam stage 2 .............................................140 Gambar 3.14 Tampilan path stage dalam stage 3 ................................................141 Gambar 3.15 Tampilan parking place dalam stage 4 ...........................................141 Gambar 3.16 Tampilan capsule dalam stage 5 ....................................................142 Gambar 3.17 Tampilan proscenium dalam stage 6 ..............................................143 Gambar 3.18 Tampilan proscenium dalam stage 7 ..............................................144 Gambar 3.19 Tiga model kostum dalam Pandora ................................................146 Gambar 3.19 Tipe kostum keempat dalam Pandora.............................................148 Gambar 4.1 Resistensi Perempuan: Figur Mimikri Sang Liyan ............................207
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Music Video “The Boys” Lampiran 2. Lirik “The Boys” Lampiran 3. Music Video “Pandora” Lampiran 4. Lirik “Pandora”
xx
BAB I PENDAHULUAN
“Korea is the most interesting of the Asian cultures” ~ The Koreas: Asia in Focus (2009) ~
1.1. Latar Belakang YouTube telah berhasil membuat panggung performa hadir secara virtual bagi semua orang, dan apapun yang ditangkap oleh video dan diunggah ke YouTube mungkin akan dilihat lebih dari jutaan kali tanpa alasan yang jelas. Untuk alasan ini, YouTube telah banyak digunakan untuk kepentingan kultural yang memunculkan banyak isu-isu kontroversial (Danesi, 2012:244). YouTube kini merupakan salah satu jenis media sosial yang menjelma menjadi ruang performa perempuani non-Barat di tengah-tengah euforia budaya populer. Perempuan non-Barat secara khusus disebutkan sebagai sang Liyanii untuk mendefinisikan inferioritas perempuan-perempuan dunia ketiga (third-world women) terhadap dunia pertama (baca: Barat)—yang ternyata menawarkan pemikiran ideologis bahwa laki-laki dianggap sebagai “the one and only [self]” (Kroløkke dan Sørensen, 2006:13-14). Dengan demikian, YouTube menjadi panggung kebudayaan yang mempertontonkan usaha perempuan
untuk
mengklaim identitas Diri (Self) melalui performa, yang membawa serta kepentingan ideologis yaitu resistensi terhadap Barat. Wacana resistensi ini pada akhirnya memposisikan Indonesia dalam persimpangan, munculnya peralihan
1
2
dominasi kultural yang sebelumnya, sejak masa kolonialisme, telah dikuasai oleh produk budaya Barat. Peralihan dominasi kultural ini merupakan perwujudan resistensi terhadap industri budaya Barat dengan cara menghadirkan industri budaya yang serupa, namun dalam versi yang berbeda, yaitu Hallyu. Hallyu (sebutan awal untuk gelombang budaya Korea) diawali oleh kesuksesan drama Korea (K-drama) di akhir tahun 1900-an, dan kemudian menghasilkan klasifikasi baru yaitu neoHallyu yang lebih mengunggulkan K-Pop sebagai jualan utamanya, “K-pop has taken a leading role in the new Korean wave ... have transcended the boundaries of the old Korean wave” (People and Culture Magazine, dikutip dari Nugroho, 2011). K-Pop menandai apa yang disebut the neo-Korean wave, dengan pemanfaatan media sosial secara masif dan keterlibatan fans sebagai salah satu cirinya (Iski, 2011:38). Histeria K-Pop ini merupakan produk manipulatif dari industri budaya, yang menurut
Max
dan
Horkheimer,
menghasilkan
kesadaran
palsu
karena
memanipulasi berbagai ideologi. YouTube merupakan salah satu kategori media sosial yang menjadi agen industri musik Barat dalam rangka merepresentasikan ideologi-ideologi kultural Barat, namun kini YouTube dimanfaatkan sebagai ruang performa bagi manusia postkolonial, yaitu perempuan Timur, yang sedang berusaha untuk menemukan kembali identitas Diri-nya. Implikasi yang dimunculkan adalah sebuah wacana pembalikan identitas sang Liyan, di mana perempuan yang selama ini dianggap sebagai the Other seolah berubah arah, demikian pula relasi antara Timur terhadap Barat. Idi Subandy Ibrahim, seorang
3
pengamat komunikasi di Indonesia, menyebut fenomena ini sebagai proses Asianisasi terhadap kebudayaan global (Kamil, Kompas, 15 Januari 2012). Wacana Asianisasi ini dipercayai mampu mendobrak dominasi Barat dengan memperkenalkan “Barat dalam versi Timur”, atau dengan kata lain, industri Hollywood versi Timur, “Over the past decade, South Korea, with a population of around 50 million, has become the Hollywood of the East, churning out entertainment that is coveted by millions of remaja stretching from Japan to Indonesia” (Lara Farrar, CNN World, dikutip dari Contemporary Korea No.1, 2011). Presiden AS Barack Obama bahkan menyebutnya sebagai sebuah keajaiban modern dari Korea Selatan. Obama menekankan pada
evolusi
demokrasi Korea Selatan yang semula merupakan negara yang seakan tertutup, hingga (dalam
kini
menjelma
begitu
populer
dengan
K-Popnya
http://www.kapanlagi.com/showbiz/asian-star/barack-obama-tidak-heran-
k-popbegitu-dikenal-dunia.html). Asianisasi dalam industri K-Pop dapat dikatakan sebagai sebuah wacana resistensi yang muncul akibat sejarah kolonialisasi Timur yang tidak pernah lepas dari kekuasaan Barat. Akan tetapi K-Pop bukan sekedar bentuk perlawanan Timur terhadap Barat, namun pada tataran mikro, K-Pop juga membawa serta wacana resistensi perempuan dengan memanfaatkan pola mimikri terhadap simbol-simbol budaya Barat yang kemudian dijadikan sebagai jualan utama dalam industri KPop. K-pop banyak diakses melalui internet, terutama melalui situs YouTube. YouTube dikatakan sebagai salah satu media yang paling sukses membuat K-pop menjadi sebuah fenomena global dan menjadi wadah bagi K-pop untuk
4
mempromosikan diri mereka, contohnya, sebuah album solo dari boyband Big Bang dirilis melalui YouTube berhasil menarik perhatian 390.000 users dari seluruh dunia hanya dalam 1 jam. Salah satu artis pemimpin hallyu lainnya, girlband Girls’ Generation, merilis teaser music video “Hoot” pada Oktober 2010 dan
tercatat
1
juta
views
dalam
2
hari
(Ja-young,
2011,
dalam http://www.Koreatimes.co.kr/www/news/biz/2011/02/123_81039.html). YouTube mengklaim bahwa hingga November 2011, telah lebih dari 5 juta music video K-Pop diupload ke situs tersebut. Lima video musik terbanyak adalah TVXQ (400.000), Kara (400.000), Girls’ Generation atau SNSD (340.000), Super Junior (270.000), dan Wonder Girls (260.000) (http://www.metrotvnews.com /read/news/2011/11/10/71242/YouTube-Bakal-Buat-Channel-Spesial-K-Pop/13). Data ini memperlihatkan bahwa tiga (3) dari lima (5) video musik yang paling banyak tersedia untuk dikonsumsi melalui YouTube adalah kelompok artis K-Pop berkelamin perempuan yaitu Kara, Girls’ Generation, dan Wonder Girls. Perempuan diasumsikan menjadi jualan utama K-Pop. Merujuk pada konteks historis bangsa yang memproduksinya, Korea Selatan, adalah bangsa yang lahir dari ideologi patriarkisme yang sepanjang sejarahnya dilintasi oleh beragam dinasti kerajaan yang menghasilkan peradaban yang berpihak kepada laki-laki. Dalam buku yang berjudul ‘Asias in Focus: The Koreas’ (2009:17), Marry E. Connor mengisahkan sebuah sejarah asal-usul bangsa Korea: “Korea is one of the oldest countries in the world. The standard account of the origins of Ancient Choson is contained in the legend of the first great ruler, Tan’gun, who was born of a union between the son of the divine creator and a female bear that had achieved human form. According to
5
ancient Chinese historians, Tan’gun made the walled city of P’yongyang the capital in 2333 BCE, called his country Choson (“Land of the Morning Calm”), and ruled for 1,000 years. No evidence supports this story, but over the centuries the legend has contributed to the Korean sense of identity as a distinct and proud race”. Sejarah di atas mengisahkan bagaimana manusia Korea Selatan dihasilkan oleh penyatuan antara anak laki-laki pencipta abadi (the son of the divine creator) dan seekor beruang betina (a female bear) yang akhirnya menghasilkan keturunan berbentuk manusia (human form). Mitos ini, meskipun tidak memiliki bukti sejarah, telah berhasil membentuk peradaban manusia Korea Selatan yang memiliki identitas sebagai ras yang berbeda dan angkuh. Mitos ini mengukuhkan dikotomi antara laki-laki dan perempuan di mana laki-laki dianggap mewakili sesuatu yang abadi sementara perempuan dianggap mewakili sifat kebinatangan. Imaji yang terdapat dalam mitos sejarah bangsa Korea Selatan, kini menjadi warisan ideologi yang melekat dalam K-Pop. Meski bukan sebagai binatang (apalagi beruang), perempuan dalam industri K-Pop adalah sosok yang dikemas sedemikian rupa untuk konsumsi massal dalam rangka perwujudan resistensi kultural terhadap budaya Barat. Mitos ini membenarkan pemahaman post-kolonial, yang mana perempuan dipandang mengalami ‘kolonialisasi ganda’ karena keberadaannya sebagai subjek yang dikuasai (colonial subject) dan diskriminasi umum yang dialami sebagai subjek perempuan dalam budaya patriarkal (Sutrisno dan Putranto, 2004:22). Dengan posisi yang seperti ini, sang Liyan perempuan harus menghadapi
6
dualisme struktur dominasi, yaitu Barat dan budaya patriarki yang tertanam dalam budaya Timur itu sendiri. Salah satu contoh bentuk representasi sang Liyan perempuan melalui performanya di MV K-Pop adalah ekspresi kecantikan yang bersumber dari kolonialisasi. Dikatakan demikian karena perempuan dalam K-Pop MV dijadikan sebagai objek kecantikan yang sesungguhnya tidak mewakili kecantikan perempuan Timur, melainkan dijadikan objek yang mengekspresikan kecantikan Barat dalam rupa Timur. Kecantikan memang sudah terstandarisasi sejak dulu, yaitu kecantikan yang putih. Perempuan berkulit putih dianggap memiliki kecantikan yang ideal atau diidealkan (ideal[ized] beauty) (Prabasmoro, Becoming White, 2003). Kecantikan yang dianggap ideal ini terepresentasikan dalam tubuh perempuan yang ditampilkan dalam K-Pop MV, salah satunya adalah SNSD atau Girl’s Generation. Girl’s Generation termasuk girlband K-Pop yang sejak dini telah dilatih secara profesional dalam hal menyanyi dan menari, bahkan berakting dan menjadi model. Girl’s Generation terdiri dari sembilan anggota perempuan, yang disebut-sebut sebagai counterpart dari boyband Super Junior yang juga merupakan salah satu kelompok musik K-Pop yang fenomenal. Salah satu contoh representasi perempuan Timur yang dihadirkan Girl’s Generation adalah MV berjudul “Gee”. MV ini mencoba menegosiasikan sang Liyan dalam performa sebagai mannequin. Dengan menjadi mannequin, perempuan membawa serta keinginan untuk melakukan resistensi melalui mimikri terhadap model kecantikan Barat. Kenapa demikian? Karena mannequin merupakan penggambaran ideal dari perempuan-perempuan yang memiliki bentuk
7
tubuh yang indah, yang layak untuk dipertontonkan di etalase kota metropolitan. Kecantikan yang ditawarkan oleh mannequin adalah kecantikan yang putih (pada umumnya mannequin berwarna putih), yang sejalan dengan model kecantikan yang diwariskan Barat selama kolonialisasi. Gambar 1.1 Girls’ Generation dalam MV “Gee”
Namun menjadi cantik seperti mannequin dalam hal ini tidak lagi sekedar kecantikan yang putih. K-Pop menawarkan kecantikan yang lebih sempurna, kecantikan artifisial yang dapat diperoleh dengan cara yang sederhana—operasi plastik. Wacana kecantikan yang semacam ini merupakan sebuah fenomena hiper yang disebutkan Yasraf Amir Piliang sebagai fenomena hypercare, gejala upaya perawatan dan penyempurnaan daya kerja serta penampilan tubuh secara berlebihan, lewat bantuan kemajuan teknologi kosmetik dan medis (Kasiyan, 2008:213). Dengan model kecantikan yang artifisial ini, industri K-Pop memperlihatkan adanya pergerakan perempuan (women’s movement) yang menghadirkan perempuan dengan label ‘cantik’ dan dijadikan sebagai subjek dalam setiap K-Pop MV yang diperankannya. Menjadi perempuan ala K-Pop bisa dikatakan merupakan sebuah diskursus keperempuanan di mana banyak perempuan kini terobsesi untuk menjadi cantik seperti perempuan K-Pop.
8
Diskursus ini sesungguhnya berkaitan dengan persoalan sang Liyan yang selama ini melekat dalam tubuh perempuan Timur yang sejak dulu telah menjadi wilayah perebutan dan perjuangan identitas sebagai seorang Diri (the Self) yang ingin diakui keberadaannya di mata Barat. Sejarah memperlihatkan bahwa Korea Selatan sendiri sejak dahulu telah melegitimasi adanya relasi kekuasaan dominan laki-laki terhadap perempuan, dan bersamaan dengan sejarah kolonialisme yang panjang, Barat melegitimasikan diri sebagai sumber kekuasaan kultural. Sejarah Korea Selatan memperlihatkan adanya percampuran budaya sejak masa sebelum kolonialisme, yang berakibat pada berbagai aspek kehidupan masyarakat Korea Selatan, termasuk perempuan. Korea has a history that stretches back some 5,000 years, and in that time it has developed its own unique culture. Starting in the late 19th century, however, the nation was sucked into the vortex of a chaotic world history, suffering the ills of colonialism for many years ... After the Korean War, Korea had to start from scratch in almost everything. Culture was no exception to this... Ancient Koreans absorbed Buddhism, Confucian teachings and Chinese traditions. More recently, Korea began to absorb American lifestyles and education, European, philosophy, and Japanese modernity (Contemporary Korea No.1, 2011:17-18). Perpaduan dari nilai-nilai yang diadopsi dan diadaptasi oleh Korea Selatan memberinya legalitas untuk memproduksi produk-produk kultural yang hibrid yang dapat menyusup ke budaya mana pun di dunia. Legalitas ini diperkuat dengan keberadaan media sosial berwujud content community yaitu YouTube. Hingga saat ini, YouTube telah menyebarluaskan gelombang kebudayaan Korea sedemikian rupa hingga ke bumi belahan Barat, ke negara-negara dunia pertama.
9
Pergerakan ini menandai adanya transisi budaya yang menjembatani dua dunia yang sangat berbeda: Timur dan Barat; dunia ketiga dan dunia pertama. Pada 10-11 Juni 2011 yang lalu, 7.000 tempat duduk di Le Zénith de Paris, salah satu venue terbesar di kota Paris dipenuhi oleh fans-fans muda. Event ini merupakan official debut dari K-Pop di panggung Eropa ... Fans yang hadir tidak hanya orang Perancis, namun juga dari Inggris Raya, Jerman, Spanyol, Italia, Swiss, Polandia, Latvia, dan Serbia. Mereka merupakan sebuah bentuk representasi virtual dari benua Eropa yang sangat besar itu, yang dalam logat bahasa masing-masing melantunkan nama sang penyanyi Korea, ikut menari dan bernyanyi dalam bahasa Korea (Contemporary Korea No.1, 2011:9). Uraian di atas memperlihatkan perjuangan identitas Timur yang selama ini dianggap tiada hingga kini di-ada-kan untuk dinikmati bersama oleh beragam bangsa Barat. Dalam relasi ini, garis antara Barat dan Timur menjadi kabur, dan sejalan dengan itu, persoalan sang Liyan perempuan Timur tidak lagi sebatas relasi gender antara laki-laki dan perempuan, melainkan menyimpan adanya kompleksitas diskursus yang kerap kali tidak disadari kehadirannya. K-Pop dengan demikian akan menjadi sebuah hiper-komoditas (hypercommodity) yang menyediakan ruang bagi Timur untuk melakukan resistensi terhadap Barat dengan memanfaatkan perempuan sebagai komoditas utama yang ditawarkan dalam industri K-Pop. Ruang kultural K-Pop di YouTube tidak lagi sekedar menawarkan kesenangan budaya populer yang silih berganti, namun di balik teks yang ada di setiap MV yang diunggah ke YouTube, perempuan direpresentasikan sedemikian rupa untuk memperlihatkan adanya ideologi-ideologi yang bermain di dalamnya.
10
Sesungguhnya persoalan resistensi perempuan ini bukan yang pertama kali terjadi, dan industri budaya ideologis semacam K-Pop ini juga bukan merupakan hal yang baru. Indonesia sejak dulu memang merupakan wilayah perebutan dan perjuangan identitas kultural yang tidak pernah berakhir. Indonesia pernah mengalami proyek globalisasi kultural misalnya budaya Jepang, Bollywood, dan Hollywood. K-Pop dan gelombang kebudayaan serupa hanyalah salah satu dari banyak proyek kebudayaan yang pernah muncul sebagai ekspresi dari kelompok kultural yang merasa tak terepresentasikan dengan baik oleh media. Industri budaya
populer
Korea,
menurut presiden
KBS (Korean
Broadcasting System), Cho Dae-Hyun, merupakan salah satu pasar yang paling kompetitif di dunia. Dua produk unggulan industri ini, yaitu K-Pop dan K-Drama saling berkompetisi untuk melatih aktor dan penyanyi selama bertahun-tahun untuk menciptakan drama dan program musik yang berkualitas serta berkolaborasi dengan ahli-ahli yang telah mendunia. Dream High, adalah salah satu contoh drama musikal yang merupakan kolaborasi dari K-Pop dan K-Drama. Drama musikal yang diproduksi oleh raksasa media KBS di tahun 2011 lalu ini, berhasil masuk nominasi dalam youth category of Rose d’Or festival, satu-satunya program Asia yang dinominasikan di festival televisi global yang diadakan di Lucerne, Switzerland. Di negara asalnya, drama ini meraih rating sebesar 20% dan telah diekspor ke lebih dari 20 negara di Asia dan Eropa. Drama ini dianggap menjadi sukses karena merupakan kombinasi dari dua faktor kekuatan utama dalam
Hallyu
yaitu
drama
dan
K-Pop
(Chong-un,
2012,
dalam
11
http://www.thejakartapost.com/news/2012/02/29/kbs-drama-dream-high-nomina ted-european-award.html). Kolaborasi antara K-Pop dan K-Drama memperlihatkan bagaimana dua produk kultural Hallyu tersebut mampu menaklukkan pasar Eropa. Merujuk pada data KOCCA (Korea Creative Content Agency), sebuah agensi yang didirikan pada tahun 2009 di bawah bimbingan Departemen Kebudayaan Korea Selatan, memperlihatkan perkembangan industri hiburan Korea yang dilakukan dengan cara mengekspor berbagai produk budaya populernya ke berbagai negara di dunia. Tabel 1.1 Statistik Ekspor Content Korea Selatan
Sumber: http://www.kocca.kr/eng/industry/trend/index.html
Persentase kenaikan sebesar 4.1% pada tahun 2009, menurut KOCCA, berasal
dari
industri
musik,
games,
dan
broadcasting.
KOCCA
juga
memprediksikan ekspor content Korea di tahun 2011 akan mencapai US$ 3.8 billion dengan peningkatan 14% dari tahun sebelumnya (Korean IT News, dalam
http://english.etnews.com/news/detail.html?id=201102250008).
Industri
musik K- Pop menjadi faktor utama perintisan gelombang budaya di berbagai negara yang mengimpornya. Tingginya angka ekspor produk budaya populer ini pasti akan berimplikasi mengimpornya. Kegiatan
pada
pasar
domestik
negara
yang
12
mengimpor produk K-Pop akan menjadi beban ekonomi yang bernuansa politik kebudayaan, karena yang ditransaksikan dalam hal ini tidak sekedar ditujukan untuk kepentingan ekonomi melainkan juga untuk kepentingan politik yang berkaitan dengan penanaman nilai ideologis melalui ranah kebudayaan populer. Terlepas dari K-Drama, K-Pop pun telah menjadi sebuah industri budaya tersendiri yang dapat dengan mudah diakses di media digital, terutama melalui situs YouTube. Menurut hasil analisis tim YouTube, jumlah views pada video musik Korea di tahun 2010 mencapai 793.574.005 yang berasal dari 229 negara, bahkan termasuk dari negara-negara yang letaknya jauh dari Korea (Ja-young, 2011, http://www.Koreatimes.co.kr/www/ news/biz/2011/02/123_81039.html). Peta di bawah ini memperlihatkan visualisasi negara-negara yang ‘dilanda’ K-Pop. Indonesia termasuk negara dengan tingkat konsumsi K-Pop di YouTube cukup tinggi (warna merah menunjukkan jumlah konsumsi di atas 10.000.000). Tingkat konsumsi paling tinggi di tahun 2010 adalah Jepang (113.543.684) dan Amerika Serikat (94.876.024), sementara tingkat konsumsi paling rendah berada di sebagian besar negara-negara di kawasan Afrika. Di Indonesia sendiri, tingkat konsumsi terhadap produk K-pop sebagian besar ditandai dengan warna merah yang artinya tingkat konsumsi K-Pop di Indonesia cukup tinggi. Penyebaran konsumsi secara geografis paling tinggi di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan sekitarnya, sementara Papua memiliki tingkat konsumsi yang cukup rendah yaitu 10.000 hingga 100.000 views (berwarna hijau).
Gambar 1.2 Peta Konsumsi K-Pop MV melalui YouTube
13
Sumber: Contemporary Korea No. 1, 2011:22
14
Sejalan dengan data YouTube tersebut, KOFICE (Korean Foundation for International Culture Exchange), sebuah institusi pemerintah Korea Selatan yang ditujukan untuk mengawasi perubahan arus gelombang budaya Hallyu dengan lima fokus wilayah (Jepang, China, Asia Tenggara, Asia Tengah, Amerika Utara, serta Amerika Tengah dan Selatan), mengungkapkan bahwa Indonesia merupakan negara yang “influenced by Hallyu fever in Southeast Asia, Indonesia is showing increasing interest toward Korean Culture”. Meskipun data YouTube di atas memperlihatkan Indonesia bukan merupakan negara yang paling tinggi tingkat konsumsinya (dibandingkan dengan Jepang dan AS), di mata industri budaya Korea, Indonesia merupakan pasar potensial yang semakin lama semakin memperlihatkan minat yang tinggi terhadap produk budaya Korea. Fenomena Hallyu di Indonesia sebenarnya merupakan efek domino penyebarluasan Hallyu mulai dari China, Jepang, hingga ke seluruh Asia termasuk Indonesia. Meskipun hanya sebatas efek domino, sebagai salah satu pasar potensial. KOFICE sengaja mendirikan satu kantor korespondensi di Indonesia yang bertindak sebagai jendela pengamat perubahan arus kebudayaan secara global, serta mempelajari berbagai industri-industri budaya lokal di negara koresponden sehingga mereka dengan mudah mengontrol realisasi pengglobalan budaya populer Korea Selatan. Gelombang kebudayaan Korea sesungguhnya dilatarbelakangi oleh krisis finansial yang dialami negara-negara Asia sejak tahun 1997 yang membutuhkan bantuan bailout dari International Monetary Fund (IMF). Di tengah-tengah depresi akibat krisis, Korea memanfaatkan kepopuleran internet dan menciptakan
15
sebuah dunia kapitalisme yang baru dengan berbagai pergerakan modal, media, dan budaya yang berkumpul menjadi satu dalam gelombang Korea atau Hallyu (Cho, 2005:148). Korea Selatan mengusahakan sebuah transformasi dunia yang masuk akal. Lebih lanjut lagi, dalam tulisannya yang berjudul “Reading the ‘Korean Wave’ as a Sign of Global Shift” tersebut, Cho mengkaji bagaimana orang Korea mampu mengembangkan sebuah perspektif baru dalam struktur dunia yang diakibatkan oleh krisis IMF, dan kemudian mengembangkan cita rasa baru dalam hal globalisasi, industri budaya, dan wajah baru Asia dalam waktu yang singkat. Konsumsi massal K-Pop tersebut tidak mungkin terjadi tanpa bantuan evolusi teknologi broadband yang menciptakan media baru, yang kehadirannya menawarkan speed and space, di mana media baru membuka peluang bagi kehadiran informasi-informasi yang tidak dapat ditemukan dalam bentuk hard copy media konvensional serta menawarkan format multimedia yang lebih inovatif dan lebih menarik (Fenton, 2010:7). Di Korea Selatan sendiri, media berbasis internet dianggap sebagai sebuah simbol kemudaan dan resistensi (Yoon, 2001:253). Media baru menawarkan sebuah ruang pertukaran budaya—yang di dalamnya terjadi produksi, distribusi, dan konsumsi produk-produk kultural KPop dan juga produk kultural lainnya. Dalam ruang yang sama, performa perempuan direpresentasikan sebagai salah satu komoditas utama yang diperjualbelikan
di
antara
budaya
yang
berbeda.
Fungsi
representasi
mencerminkan efek yang dihasilkan media dalam mengkomunikasikan sesuatu. Dengan isu yang sama, media yang berbeda akan mengkomunikasikannya secara
16
berbeda dikarenakan pengaruh dari medium yang digunakan. Terlebih dalam media digital, fungsi representasi akan menjadi semakin arbitrer, tidak hanya bergantung pada aktor sosial yang mengkonstruksikan makna, namun juga karena tanda digital akan sangat berbeda dengan tanda yang ada dalam media konvensional. Dengan demikian, efek domino dari fenomena ini perlu dikhawatirkan karena ke-arbitrer-an tanda dalam media digital akan membuat semakin arbitrernya performa perempuan yang terepresentasikan di dalamnya. Media seharusnya merefleksikan struktur masyarakat, disesuaikan dengan bahasa, etnis atau identitas kultural, politik, agama atau kepercayaan (Van der Wurf, 2004,
dalam
McQuail,
2010:198). Undang-Undang
1945 (hasil
amandemen) yang merupakan dasar negara Indonesia juga mengatur negara untuk menjamin kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia (pasal 32), selain itu persoalan identitas kultural juga merupakan HAM yang dijamin oleh negara (pasal 28I ayat 3). Dengan demikian, media yang diakui sebagai pilar keempat dalam negara demokrasi, sudah selayaknya ditujukan untuk memajukan kebudayaaan nasional dan juga menjamin identitas kultural perempuan sebagai perempuan Timur. Media massa dituntut untuk mampu merepresentasikan identitas budaya nasional selaras dengan perkembangan budaya global, dengan demikian media pun tidak boleh sekedar menampilkan produk kultural Barat (atau yang ke-Barat-barat-an), namun harus mampu menjamin keseimbangan antara Barat dan Timur di dalam ruang media termasuk di media digital. Performa perempuan dalam K-Pop MV di YouTube mengandung wacana resistensi Timur terhadap Barat yang dikhawatirkan akan membawa persoalan ideologis yang
17
terjebak dalam sistem terkunci antara ras, kelas, dan gender. Hal ini sangat mungkin terjadi mengingat Indonesia, sama seperti Korea Selatan, adalah bangsa yang lahir dari proses kolonialisme. Implikasi sebagai bangsa post-kolonialisme jelas tidak akan sama di antara Korea Selatan dan Indonesia, mengingat persoalan multikulturalisme Indonesia akan membuat perempuan semakin terjebak di dalam sistem terkunci bernama ras, kelas, dan gender. Masuknya nilai-nilai kultural dalam K-Pop memang bukan wacana kultural yang dapat kita hindari, sama halnya dengan ketidak-mungkinan menolak warisan-warisan kolonialisme. Namun perlu dipahami bahwa meskipun Indonesia dan Korea Selatan merupakan sama-sama memiliki sejarah kolonialisme, Indonesia tidak seperti Korea Selatan yang masyarakatnya bersifat dan-il min guk ga, yang berarti satu ras (Rini, 2012, dalam http://edsus.tempo.co/kontenberita/musik/2012/12/02/445381/42/Korea-Selatan-Ternyata-Lebih-Kecil-dariPulau-Jawa). Dengan perbedaan ini, akan ditemukan persoalan kompleks terkait resistensi perempuan dalam representasi Diri-nya. Persoalan ini, jika diposisikan dalam wacana multikulturalisme Indonesia, persoalan Diri perempuan akan terjebak dalam resistensinya terhadap kekuasaan kultural Barat karena mereka terikat pada persoalan ras, kelas, dan gender. Dengan demikian, kolonialisme akan tetap menyisakan praktek penjajahan dalam rupa imperialisme media, dengan perempuan sebagai objek utamanya.
18
1.2. Perumusan Masalah Dalam dunia ketiga yang selalu didominasi oleh dunia pertama, Barat biasanya selalu menemukan cara untuk melegitimasi kekuasaan kulturalnya. Keadaan semacam ini akan menghadirkan relasi kesenjangan yang terus-menerus diabadikan media dalam dikotomi Barat dan Timur, yang serta merta menempatkan perempuan Timur sebagai manusia postkolonial yang hadir dalam sosok sang Liyan. Kemunculan industri budaya populer Korea Selatan menjadi sebuah peluang untuk mempertanyakan kembali ruang publik yang kini semakin dipenuhi dengan diskursus budaya Barat dan Timur. Industri K-Pop yang memanfaatkan YouTube telah menjadi sebuah platform yang menyediakan kemungkinan resistensi dengan menempatkan perempuan sebagai pejuang resistensi terhadap dunia Barat melalui performa yang dilakukan perempuan dalam K-Pop MV. Performa perempuan dalam music video (MV) di YouTube mencoba untuk menegosiasikan identitas sang Liyan untuk mendapatkan pengakuan atas eksistensi Diri (the Self) perempuan yang dianggap mewakili perempuan postkolonial lainnya, termasuk perempuan Indonesia. Dengan demikian, ruang kebudayaan di Indonesia akan menghadapi persinggungan antara Barat dengan Timur, mengingat Indonesia merupakan salah satu negara yang cukup banyak mengkonsumsi K-Pop
melalui situs
YouTube
sehingga memungkinkan
munculkan efek domino dari persoalan ideologis yang melekat di dalamnya. Persoalan performa sang Liyan (perempuan) dalam K-Pop MV menjadi sebuah isu feminis yang penting untuk dikaji karena K-Pop MV yang ada di
19
YouTube tidak sekedar sumber kesenangan populer, namun menjadi persoalan resistensi kultural yang bisa mempengaruhi konstruksi the Self perempuan yang mengkonsumsinya. Atau, performa yang sama justru berbalik arah dan memunculkan pengukuhan dominasi Barat terhadap Timur. K-Pop MV ini berpotensi sebagai sumber penentangan terhadap dominasi kultural Barat, dan sebagai sebuah teks kultural, K-Pop MV di YouTube menjadi sebuah permainan tanda kultural yang sangat dinamis yang di dalamnya. Performa perempuan akan membawa wacana resistensi melalui permainan tanda yang dipengaruhi faktorfaktor seperti ras, kelas, seksualitas, dan gender. Dalam hal ini, K-Pop tidak lagi dipandang sebatas sebuah fenomena musik modern dari Korea Selatan, namun K-Pop menjadi sebuah permasalahan multikultural yang akan berimplikasi pada persoalan ideologis terkait ide resistensi yang melekat di dalamnya. Berangkat dari permasalahan di atas, lalu muncul pertanyaan mengenai bagaimana performa perempuan dalam K-Pop MV di YouTube menghadirkan ideologi resistensi sang Liyan?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Membongkar dan menguraikan ideologi resistensi sang Liyan yang dihadirkan melalui performa perempuan dalam K-Pop MV di YouTube.
20
1.4. Signifikansi Penelitian 1.4.1. Signifikansi Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi bagi pengembangan ilmu komunikasi khususnya bidang kajian budaya feminis di media. Teori-teori dalam penelitian ini diharapkan dapat menguraikan permasalahan ideologis yang muncul dalam K-Pop MV di YouTube, serta mengkonseptualisasikan ideologi yang dimunculkan terkait dengan persoalan resistensi perempuan [Timur]. Penelitian ini menitikberatkan content community YouTube sebagai media digital yang berperan penting bagi penyebarluasan nilai-nilai kultural. Eksplorasi terhadap persoalan perempuan di dalam media digital diharapkan menjadi usaha pengembangan kajian komunikasi feminis di tengah keberagaman pilihan media untuk dikonsumsi.
1.4.2. Signifikansi Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi terhadap pengembangan kebijakan dalam media massa khususnya media digital, mengingat media digital merupakan ranah representasi kultural yang sangat beragam yang dapat dengan mudah menanamkan ideologi melalui konten media yang ditampilnya. Media digital, dalam hal ini koorporasi Google yang diwakili oleh YouTube Indonesia, diharapkan mampu mempertimbangkan implikasi etis yang dihadirkan akibat banyaknya konten media mengenai performa perempuan sehingga dapat meminimalisir problematika kultural yang dihasilkan mengingat perempuan Indonesia terdiri dari identitas etnik yang berbeda-beda.
21
1.4.3. Signifikansi Sosial Penelitian ini diharapkan mampu mengajak khalayak media digital untuk berpikir kritis dan tidak menerima secara langsung konten yang disampaikan oleh media, terutama yang menampilkan budaya populer K-Pop. Khalayak diharapkan memiliki kesadaran kultural sehingga khalayak tidak sembarangan mengakses dan mengkonsumsi
konten
media,
namun
khalayak
diharapkan
memiliki
pertimbangan etis untuk mengakses konten media yang layak untuk dikonsumsi.
1.5. Kerangka Pemikiran Teoritis 1.5.1. Paradigma Penelitian Paradigma merupakan sistem kepercayaan dasar (basic belief system) atau cara pandang yang membimbing seorang peneliti untuk memilih metode serta menentukan cara-cara fundamental yang epistemologis dan ontologis. Sesuai dengan empat tipe paradigma yang dijelaskan oleh Guba dan Lincoln (1994:163255), paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kritis. Paradigma kritis (critical theories) mengacu pada alternative paradigm yang mengartikulasikan ontologi berdasarkan realisme historis (historical realism), epistemologi yang bersifat transaksional, dan metodologi yang dialogic dan dialectical (Denzin dan Lincoln, 2000:160). Menurut Bourdieu (1977), sebuah pendekatan kritis merupakan sebuah pemahaman di mana praktik sosial serta bahasa yang kita gunakan saling terikat dalam hubungan sebab akibat yang mungkin tidak kita sadari dalam kondisi yang normal (Fairclough, 1995:54). Dengan demikian, pendekatan kritis dalam
22
penelitian ini dimaksudkan untuk membongkar diskursus-diskursus yang tersembunyi di balik teks media. Pendekatan kritis digunakan sebagai acuan dalam berfikir kritis dalam membongkar problematika K-Pop yang kini dikonsumsi secara massal melalui YouTube, yang membawa serta narasi resistensi di balik performa perempuan. Pandangan kritis terlihat dalam pendekatan kajian budaya feminis di mana feminisme, seperti yang diungkapkan Van Zoonen (1994:4), digunakan untuk menteoritisikan multiplikasi dari relasi-relasi subordinasi perempuan dan menganalisis bagaimana relasi subordinasi tersebut dikaitkan dengan identitas kolektif, seperti gender ras, dan etnisitas. Paradigma kritis diasumsikan sebagai paradigma yang tepat dalam penelitian ini untuk menjelaskan adanya persoalan ideologis yang dihadirkan dalam performa perempuan yang ditampilkan dalam KPop MV di YouTube.
1.5.2. State of The Art Dalam penelitian ini, penulis mencoba mengambil sudut pandang yang berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya. Ada 4 (empat) penelitian yang dijadikan sebagai state of the art. Pertama, skripsi yang ditulis Aulia Dwi Nastiti (2010, program studi Komunikasi Massa, Universitas Indonesia), berjudul “Korean Wave di Indonesia: Antara Budaya Pop, Internet, dan Fanatisme pada Remaja (Studi Kasus terhadap Situs Asians Remaja Club di Indonesia dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya)”.
23
Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus untuk menjelaskan fenomena Korean wave atau Hallyu yang ditandai oleh kemunculkan kelompok penggemar di internet (fansclub atau fandom). Objek penelitian adalah situs Asian Remaja Club 2, yang merupakan salah satu kelompok penggemar Hallyu terbesar. Hasil penelitian dari studi kasus ini mendapati adanya fanatisme kelompok penggemar yang terbentuk dibagi dalam tiga tataran, yaitu tataran kognitif, afektif, dan perilaku. Efek fanatisme ini diawali dari meningkatnya pemahaman kultural terhadap budaya Korea yang ditawarkan dalam situs Asians Remaja Club 2, kemudian menimbulkan ketertarikan terhadap budaya Korea, dan beranjak pada pola perilaku komunikasi yang berujung pada upaya difusi dan preservasi budaya Korea
oleh
kelompok
penggemar
(dalam
http://www.scribd.com
/doc/67051422/Korean-Wave-di-Indonesia-Budaya-Pop-Internet-dan-FanatismeRemaja). Kedua, penelitian yang ditulis oleh Woongjae Ryoo (2008, Honam University, Gwangju, Republic of Korea). Judul penelitian ini adalah “The Political Economy of The Global Mediascape: The Case of The South Korean Film Industry”. Penelitian ini menggunakan pendekatan ekonomi politik kritis yang membongkar mengenai wacana globalisasi dalam fenomena Hallyu yang dilihat dari tiga konsekuensi, yaitu politik, ekonomi, dan budaya, dalam kaitannya dengan media sebagai alat produksi Hallyu. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis empiris yang mengkaji hubungan antara negara, sektor swasta, dan media dilihat dari sejarah perkembangan Hallyu (Media, Culture and Society, Vol. 30(6):873-889).
24
Ketiga, skripsi yang ditulis oleh Rizal Irvani (2010, program studi Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Malang) yang berjudul “Representasi Perempuan dalam Video Klip: Analisis Semiotik pada Video Klip Menghapus Jejakmu, Peterpan”. Penelitian ini merupakan penelitian intepretatif dengan pendekatan semiotika, yang mengkaji semua scene dalam videoklip “Menghapus Jejakmu” dari segi audio (lirik dan suara musik) dan visual (gambar). Teknik analisa yang digunakan adalah semiotika Peirce dan Riffaterre. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa perempuan tidak memiliki standar yang layak untuk menyamai peran laki-laki di ruang publik (dalam eprints.umm.ac.id). Keempat, penelitian yang ditulis oleh Sue Jin Lee (2011, Strategic Communications Major, Elon University), berjudul “The Korean Wave: The Seoul of Asia”. Penelitian ini mengungkapkan bahwa gelombang budaya Korea menghasilkan ripple effect yang memainkan faktor-faktor politik, kultural, ekonomi, dan historis, guna membentuk reputasi nasional. Penelitian ini merupakan kajian kritis dengan pendekatan comparative framing analysis untuk membandingkan efek gelombang budaya Korea mulai dari Amerika Serikat, Asia, dan Korea Selatan. Unit analisis yang diteliti adalah 84 artikel online surat kabar Korean Herald, Korean Herald (Singapore), Korean Herald (Thailand), Korean Herald (Tokyo). Dari perbandingan framing berita cross-national, terdapat 3 (tiga) frame yaitu: (1) “love/hate relationship: China, Japan, and Korea”, (2) “nation branding through culture”, dan (3) “cultural imperialism and blacklash”. Framing ini terbentuk akibat perbedaan cross-cultural yang menghasilkan intepretasi khalayak yang berbeda. Sue menyimpulkan bahwa gelombang budaya
25
Korea telah melampaui batasan geografis, budaya, politik, dan teoritis, dan saat ini sedang dalam proses mengkonstruksi jenis relasi antar batas (relations accross boundaries) yang baru yang masih terlalu dini untuk diprediksi (The Elon Journal of Undergraduate Research in Communication, 2011, Vol.2(1):85-93). State of the art pertama dan kedua merupakan penelitian mengenai fenomena gelombang kebudayaan Korea yang dikaji dalam bentuk studi kasus dan
ekonomi politik kritis. Sementara, penelitian ketiga menggunakan
pendekatan semiotika untuk memperlihatkan representasi perempuan dalam relasinya dengan laki-laki. Penelitian keempat menggunakan pendekatan comparative framing analysis yang menganggap gelombang budaya Korea sebagai sebuah usaha untuk mengkonstruksi relasi antar batas. Berdasarkan state of the art tersebut, tesis berjudul “Resistensi sang Liyan: Performa Perempuan dalam K-Pop MV di YouTube” ini mencoba menawarkan sudut pandang yang berbeda, yang memandang music video K-Pop sebagai sebuah ruang performa yang membawa wacana resistensi. Keberadaan perempuan sebagai sang Liyan merupakan persoalan ideologis yang perlu ditelaah untuk memperlihatkan perjuangan
pergerakan feminisme
dalam
mengusahakan
legitimasi Diri
perempuan Timur. Penelitian ini beranjak dari pendekatan feminist cultural studies, yang diasumsikan sebagai cara pandang yang tepat untuk mengkaji isu keperempuanan yang ditampilkan dalam K-Pop MV di YouTube. YouTube sendiri dianggap sebagai sebuah terobosan media baru yang disebut sebagai YouTube phenomenon, yang sulit untuk dikaji dalam pendekatan komunikasi klasik (Danesi, 2012:244).
26
Untuk itu, penelitian ini mengkonseptualisasikan secara berbeda diskursus perempuan melalui pemahaman komunikasi feminis yang dipengaruhi oleh cara pandang post-strukturalis, yaitu kajian performa yang akan dianalisis dengan pendekatan semiotika Roland Barthes. Kajian performa dianggap sebagai bagian dari
studi
komunikasi
mempertimbangkan
(Kroløkke
adanya
dan
perubahan
Sørensen, performa
2006:34),
(khususnya
dengan performa
perempuan) dalam media massa secara signifikan dari masa feminisme gelombang pertama hingga ketiga. Dengan demikian, kajian performa ini merupakan bagian dari perjuangan untuk membongkar isi media pada tataran mikro, yang diharapkan dapat memprediksi efek yang dihasilkan guna pertimbangan perubahan arah kebijakan media.
1.5.3. Kajian Budaya Feminis Kajian budaya (cultural studies atau disingkat CS) adalah sebuah kajian multidisipliner yang mengandung wacana yang berlipat ganda dan memuat sejarah yang berbeda karena pengaruh yang berbeda dari sejumlah disiplin seperti Marxisme, culturalism, strukturalisme, poststrukturalisme, psychoanalysis, dan feminisme (feminisme menjadi bagian dari politik perbedaan yang di dalamnya juga terkait dengan teori-teori mengenai ras, etnisitas dan postkolonialisme) (Barker, 2000:12). CS memiliki beberapa konsep kunci yaitu: budaya dan sistem penandaan (culture and signifying practices), representasi, materialisme dan
non-
reduktionisme, artikulasi, kekuasaan, budaya populer, serta subjektivitas dan
27
identitas.
Representasi
menjadi
sebuah
pertanyaan
utama
yang
sering
dipertanyakan dalam CS, karena melalui representasi dunia dikonstruksikan dan direpresentasikan untuk dan oleh kita. Representasi dimaknai sebagai penggunaan bahasa untuk mengungkapkan sesuatu yang bermakna mengenai bahasa tersebut, atau untuk merepresentasikan dunia yang penuh makna ke orang lain. Representasi merupakan bagian penting dari proses di mana makna diproduksi dan dipertukarkan di antara anggota kelompok sebuah kebudayaan. Dalam hal ini, kajian budaya menjadi sebuah praktek penandaan dari representasi yang menghasilkan
pemaknaan
tekstual
yang
mana
representasi
melibatkan
penggunaan bahasa, tanda, gambar yang digunakan untuk merepresentasikan sesuatu (Barker, 2000:8-12; Hall, 1997a:15). Lebih jauh lagi, Van Zoonen mengungkapkan bahwa CS merupakan kajian yang memperhatikan manifestasi dari budaya populer, isu-isu representasi, dan identitas kolektif seperti identitas nasional, etnisitas, dan gender. CS menerima kontribusi besar dari feminisme untuk membongkar dan mencari tahu bagaimana identitas kolektif terkonstitusikan dan menghasilkan relasi subordinasi (Van Zoonen, 1994: 4-5). Dengan demikian, CS dan feminisme dapat dikatakan memiliki kepedulian terhadap isu-isu serupa, bahkan Stuart Hall menyebut feminisme sebagai ‘pencuri’: “feminism as ‘A thief in night, it broke in; interrupted, made an unseemly noise, seized the time, crapped on the table of cultural studies’” (Barker, 2000:224-225). Anggapan feminisme sebagai pencuri ini memberi makna bahwa feminisme banyak ‘menginterupsi’ kajian budaya.
28
Dalam istilah lain, Stuart Hall menyebutkan bahwa bagi CS, intervensi feminisme bersifat spesifik dan menentukan. Intervensi tersebut bersifat memecah. Intervensi tersebut menata ulang CS dengan cara-cara yang amat konkret (Thornham,
2010:1).
CS
dan
feminisme
banyak
menerima
pengaruh
poststrukturalisme dan postmodernisme dan menghasilkan kajian media feminis yang berfokus pada “politics of pleasure” yang mana politik kesenangan ini diasumsikan muncul dalam feminisme gelombang ketiga melalui negosiasi posisi perempuan melalui identitas yang terepresentasikan dalam politik performa (Van Zoonen, 1994:3; Kroløkke dan Sørensen, 2006:21).
1.5.4. The Poststructuralist Communication Theories of Performance Performance merupakan pertunjukan formal dari sebuah lakon/sandiwara, program musikal, dan sejenisnya, yang dianggap sebagai representasi teks yang di-display di hadapan khalayak (Danesi, 2009:228). Teater menjadi hal yang penting bagi kajian performa karena dulunya, kajian performa lahir dari kajian teater di Inggris yang kemudian berfokus pada isu-isu tertentu yang mengikat di dalam teater (Bhattacharyya, 2005:313-314). Performance dianggap sebagai sebuah aktivitas yang terpisah dari praktek seni abad ke-20 yang menyebar melalui bentuk-bentuk seni lain baik dalam memotivasi maupun menentang akademisasi
seni dan bentuk
hierarki.
Performance merupakan hasil dorongan performik yang hadir dalam modernisme Eropa sebagai sebuah penolakan untuk menyesuaikan dengan teknik pengaturan musik klasik yang formal dalam narasi, citra, pola, komposisi, dan menegaskan
29
validitas dari bentuk-bentuk dongeng rakyat seperti balai musik, sirkus dan kabaret (Gamble, 2010: 382). Secara fundamental, teori performance mengakar pada pemikiran poststrukturalisme yang menandai adanya interplay antara subjek, bahasa, dan masyarakat serta menekankan agensi, kompleksitas, dan kontingensi dalam pelaksanaan kekuasaan. Postrukturalisme ini menandai adanya pergantian performa, yaitu sebuah peralihan di mana performa berubah menjadi sebuah praktek komunikasi yang melekat (Kroløkke dan Sørensen, 2006:34). Dalam buku Gender Communication Theories and Analysis (2006), dijelaskan bahwa performance merupakan sebuah kajian komunikasi feminis yang muncul dalam pemahaman feminis poststrukturalis, yang menandai kemunculan feminisme gelombang-ketiga. Melalui performance, identitas gender akan diekspresikan dalam wujud akumulasi dari beragam bentuk representasi dalam budaya kontemporer (Storey, 2003:91). Kajian klasik dari feminis poststrukturalis ini adalah performance and positioning theory, yang merupakan sebuah diskursus yang dibahas Judith Butler sebagai kritiknya terhadap feminisme gelombang kedua. Ada 4 (empat) premis dasar dari teori ini (Kroløkke dan Sørensen, 2006:45), yaitu: (1) Gender tidak lagi diposisikan sebagai sumber identitas dan bahasa, namun merupakan konsekuensi atau sebuah akibat/efek dari praktik semiotika; (2) Gender merupakan sebuah “gestur yang performatif” dengan efek querring, yang melaluinya kita dapat mengadaptasi dan menegosiasikan posisi subjek yang diskursif; (3) Kita berpartisipasi dalam performa gender melalui peniruan dan subversi yang retoris; dan (4) Istilah “gendering” saling bersilangan dengan persoalan ras, kelas, seksualitas, etnisitas, dan nasionalitas.
30
Dengan kata lain teori performa dan positioning ini memaknai kekuasaan sebagai sebuah konsep yang cair serta kompleks karena dibentuk dan dipengaruhi oleh praktek-praktek performa yang dikaitkan dengan berbagai faktor. Teori feminis poststrukturalis klasik ini selanjutnya termanifestasikan dalam kerangka pemikiran yang lebih fokus, salah satunya yaitu teori mengenai performativity yang dipelopori Kristin M. Langellier. Langellier beranjak dari pemikiran Butler dan kemudian mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan adanya ruang bagi konsep performance dalam kajian komunikasi feminis. Langellier mengelaborasi perbedaan antara performance dengan performativity: “whereas performance designates a type of imperfection that implies a transgresive desire for agency and action, performativity articulates a display of differences that challenges the forces of discourses and institutionalized networks of power”. Bagi Judith Butler sendiri (dalam Salih, 2003:45,63), performance dan performativity dibedakan dari posisi subjek di mana performance menghadirkan keberadaan subjek sementara performativity meragukan atau bahkan meniadakan posisi subjek. Karya feminis poststrukturalis yang dihasilkan oleh Butler dan Langellier selanjutnya menandai perkembangan agenda-agenda feminis poststrukturalis khususnya dalam kajian komunikasi yang dianggap relevan (Kroløkke dan Sørensen, 2006:129-136, 155-163), yaitu: 1.5.4.1. Mimicry and Symbolic Reversals Filsuf feminis Perancis Luce Irigaray menyatakan bahwa peniruan (mimicry) merupakan sebuah cara bagi perempuan untuk memperoleh kembali suaranya
31
dalam proses komunikasi. Teknik mimikri secara tidak langsung menyatakan bahwa perempuan memainkan peran femininnya: “to play with mimesis is thus, for a woman, to try to recover the place of her exploitation through discourse, without allowing herself to be simply reduced to it. It means to resubmit herself—in as much as she is on the side of the ‘perceptible’, of ‘matter’ to ‘ideas’, in particular to ideas about herself, that are elaborated in/by masculine logic, but so as to make ‘visible’, by an effect of playful repetition, what was supposed to remain invisible; the cover-up of a possible operation of the feminine in language. It also means to ‘unveil’ the fact that, if women are such good mimics, it is because they are not simply resorbed in this function” Kutipan di atas mengisahkan bagaimana sebuah mimesis (proses peniruan) merupakan sebuah permainan bagi seorang perempuan yang mencoba untuk memperlihatkan dirinya dalam/oleh logika maskulin. Dengan cara yang seperti ini, perempuan yang seharusnya ‘tak terlihat’ (invisible) akan menjadi ‘terlihat’ (visible) karena perempuan memainkan repetisi peran femininnya, sehingga secara performa, perempuan menjadi bisa memperlihatkan identitasnya, bukan sebagai Liyan melainkan sebagai Diri. Dalam hal ini, perempuan diasumsikan selalu memainkan diskursus mimikri sebagai usaha pencarian atas identitasnya. Perempuan mungkin saja menggunakan mimikri dari diskursus patriarkis, atau dalam konteks yang berbeda perempuan juga bisa memainkan diskursus Barat sebagai mimikrinya. Mimikri ini terusmenerus direpitisi. Bagi Bultler, mimikri dipreferensikan sebagai sebuah pertunjukan paksaan (drag show) yang mewujudkan retorik mimikri yang ambigu. Apa yang dipertunjukkan perempuan adalah tubuh yang palsu, yang membedakan
32
tubuh yang alami dengan tubuh yang imitasi. Semua ini terjadi karena kegilaan perempuan untuk menjadi subjek sehingga ia terjebak dalam ilusi identitas. Figur yang dipaksakan merupakan sebuah petanda bahwa setiap perempuan harus bisa melampaui (pass) identitas gender dan seksual yang diterima dalam komunitas dan budaya tertentu. Lebih jauh lagi, persoalan mimikri ini dicontohkan dalam “passing” dan “cross-expressing” dalam kaitannya dengan isu-isu mengenai gender, seksualitas, dan ras/etnisitas.
1.5.4.2. Passing and Cross-Expressing Bagi Mary Bucholtz, “passing” mengacu pada kemampuan untuk diakui sebagai anggota kategori sosial tertentu di luar kategori sosialnya yang nyata. “Passing”, dalam teori poststrukturalis Butler, merupakan sebuah performa komunikasi, dan bahasa, yang kemudian menjadi sumber daya krusial yang berpindah dari satu kategori ke kategori lainnya. “Passing” dan “cross-expressing” merupakan sebuah model yang mengilustrasikan strategi komunikasi yang memperhitungkan kajian silang antara gender, seksualitas, dan ras/etnisitas dari perspektif performa. Tabel 1.2 Figures of Mimicry
Passing Pretending to be (desiring to be recognized as) something which she/he “is” not Pastiche Difference as identity
Cross-Expressing Demonstrating that she/he is not what she/he pretends to be (recognized as) Parody Identity as difference
Sumber: Kroløkke dan Sørensen, 2006:134
Menurut Bucholtz sendiri, passing berkaitan erat dengan teknik crossexpressing (contoh: cross-dressing), yang mana keduanya merupakan upaya
33
pengelakan terhadap rasisme agar perempuan diakui sebagai individu yang diinginkan (desirable). Dalam perspektif performance, passing merupakan sebuah fantasi identitas dan cross-expressing adalah manifestasi dari fantasi yang biasanya dianggap sebagai parodi identitas. Identitas dalam hal ini menjadi persoalan perbedaan (difference) antara satu perempuan dengan perempuan lain, yang menghasilkan interplay antara ras, kelas, etnisitas, dan seksualitas.
1.5.4.3. Mediation and Confrontation Ambiguitas dalam point (b), digunakan secara kritis dan ditransformasikan ke dalam strategi mediasi dan konfrontasi. Dalam tataran ini, Mary Bucholtz mereformulasi konsep passing. Bucholtz berpendapat bahwa konsep passing terkait dengan persoalan individu yang memiliki latar belakang etnis yang ambigu atau yang tercampur aduk sehingga perlu dipertanyakan legitimasi keaslian dari klaim etnisitasnya, passing is the active construction of how the self is perceived when one’s ethnicity is ambiguous to others. Tabel 1.3 Figures of Mimicry Passing Pretending to be what one is not or demonstrating that one is not what one pretends to be Pastiche or parody Difference as identity or identity as difference
Contact Surfing between possible points of identification and selfrepresentation “contact” Identity as a complex and contingent process
Cross-Expressing Representing oneself as a mix of identifications or confronting different expectations and categorizations Mixture or irony Identity as mediated or conflicting
Sumber: Kroløkke dan Sørensen, 2006:134
34
Melalui performance, manusia secara individual maupun kolektif dapat melakukan resistensi yang seringkali terkait dengan identitas kultural, seperti yang diungkapkan Shane T. Moreman dalam analisis tekstualnya terhadap 3 (tiga) memoir individu yang adalah hasil pencampuran Latin dan ras kulit putih. Dalam essai hasil disertasinya tersebut, Moreman menyebutkan bahwa performa merupakan jebakan-jebakan (trappings) yang memperlihatkan adanya hierarki bahasa, pertunjukan ke-putih-an, serta bahasa yang memproduksi subjek (Moreman, dalam Text and Performance Quarterly Vol 29, 2009: 346-366). Bahasa merupakan sumber krusial dalam performa komunikasi, sejalan dengan itu, ras/etnisitas, kelas, dan gender menjadi sistem terkunci yang melekat dalam performa perempuan dan dijadikan sebagai sebuah strategi untuk melakukan mediasi atau justru konfrontasi (Kroløkke dan Sørensen, 2006:135-136). Secara keseluruhan, konsep-konsep dalam performance theories, dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 1.3. Concepts of Poststructuralis Communication Theories of Performance (Judith Butler, Kristin M. Langellier, Luce Irigaray, dan Mary Bucholtz)
Passing Pastiche
Mediation Mixture
Mimicry Cross-expressing
Parody
Confrontation Irony
Sumber: data yang diolah dari buku Kroløkke dan Sørensen, 2006
35
Dari gambar di atas, dapat dilihat bahwa mimikri merupakan strategi performa perempuan untuk menandai Diri-nya yang selama ini tidak diakui keberadaannya. Dalam mimikri, ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, perempuan ingin menjadi sama dan bahkan melebihi/melampaui apa yang ditirunya (passing). Pola Passing akan memungkinkan perempuan untuk mendapatkan posisi yang diakui dalam kategori sosial masyarakat. Kedua, perempuan ingin meniru dan melakukan parodi terhadap apa yang ditirunya. Apa pun pola yang dipilih perempuan dari antara keduanya, menggambarkan usaha perempuan untuk menemukan identitas Diri-nya melalui proses mimikri (mimesis). Lebih lanjut lagi, persoalan mimikri juga akan dibahas dalam sub bab berikut, dikaitkan dengan pengalaman kolonialisme yang pada akhirnya membuat perempuan ingin keluar dari identitasnya sebagai sang Liyan.
1.5.5. Postcolonial Theories Teori post-kolonial tidak mengacu pada teori tunggal, melainkan mengacu pada teor-teori yang diistilahkan dengan ‘postcolonial theories’. Istilah post- di sini mengacu pada beyond (melampaui), yang mengandaikan adanya pengakuan atas sekaligus upaya mengatasi continuing effects dari kolonialisme (Budiawan, 2010:vii). Postkolonialisme menandai masa di mana dominasi terhadap masyarakat postkolonial (postcolonial societies) masih berlangsung meskipun masa kolonialisme telah selesai. Keberlangsungan kolonialisme ini bersifat lintas waktu dan seringkali dideskripsikan sebagai sebuah neo-kolonialisme, atau dengan kata lain, sebuah keberlanjutan dari imperialisme yang terjadi akibat
36
sebagian besar kaum kolonial masih tetap menjadi ‘orang yang sama’ yang menjajah dalam wajah dan tampilan yang berbeda (Ramutsindela, 2004:1; Sutrisno dan Putranto, 2004:123). Wujud neokolonialisme seringkali ditemukan dalam rupa imperialisme kultural yang konon dimaknai sebagai suatu wujud dominasi satu budaya atas budaya yang lain. Biasanya dipahami dalam pengertian keunggulan suatu bangsa dan/atau kapitalisme konsumen global (Barker, 2005:515). Imperialisme kultural ini akan sangat tepat jika diasosiasikan dengan westernisasi, seperti yang dikatakan oleh Robin (1991): “for all that it has projected itself as transhistorical and transnational, as the transcendent and universalizing force of modernization and modernity, global capitalism has in reality been about westernization—the export of western commodities, values, priorities, ways of life” (dikutip dari Barker, 2000:115). Imperialisme kultural mencakup bagian integral dan produk dari proses imperialisme yang lebih umum, di mana bangsa yang memiliki dominansi ekonomi secara sistematis akan berkembang dan memperluas kontrol ekonomi, politik dan kebudayaan ke wilayah negara lain (O’Sullivan dkk, 1994:73). Dengan kata lain, imperialisme kultural akan memunculkan relasi dominansi, subordinasi dan dependensi terhadap kekayaan dan kekuasaan yang dimiliki oleh bangsa kapitalis. Imperialisme kultural mengacu pada beberapa aspek dari proses-proses ini, misalnya, transmisi produk-produk tertentu berupa fashion dan gaya yang berasal dari bangsa yang dominan untuk sedemikian rupa menciptakan pola permintaan dan konsumsi tertentu di mana hal tersebut digarisbawahi oleh sebuah
37
wacana pengabsahan nilai-nilai kultural, idealisme dan praktik budaya dominan. Dalam hal ini, budaya lokal akan didominasi dan pada level tertentu akan mengalami kepunahan, pergantian, dan mengalami tantangan dari budaya asing. Proses ini diperankan oleh korporasi trans-nasional yang bertujuan untuk memfasilitasi persebaran output kebudayaan melalui ekonomi global, yang pada akhirnya melibatkan penyebarluasan ideologi-ideologi yang sesuai dengan sistem kapitalis. Korporasi trans-nasional dalam hal ini menjadi agen yang terus-menerus mensingkronisasi imperialisme budaya, sehingga secara konsekuen, imperialisme budaya merupakan hasil dari serangkaian proses ekonomi dan budaya yang berimplikasi pada reproduksi kapitalisme global (Barker, 2000:115). Media massa dalam hal ini merupakan salah satu institusi yang paling berpengaruh di mana proses tersebut diorganisasikan dan dicapai, dan peran media massa ini seringkali diistilahkan sebagai sebuah imperialisme media. Mengutip dari buku yang sama, Boyd-Barrett mengistilahkan adanya ‘the unidirectional nature of international media flow’ di mana aliran media ini membawa sebuah proses ekspor satu arah dari produk-produk media seperti film, program televisi, dokumen, berita, dan iklan, dalam sebuah sistem media yang mengembangbiakkan konteks budaya negara tertentu (O’Sullivan, dkk, 1994:74). Bagi masyarakat postkolonial, bebas dari diskursus kolonial akan mengarahkan mereka pada jebakan krusial dalam wujud representasi nilai-nilai kultural yang melekat dalam sistem media. Ini merupakan strategi sang kolonial untuk menghadirkan imaji dimana tanah jajahan yang dianggap sebagai perempuan yang harus diselamatkan dari mental disorder (Shohat, 2012:95).
38
Persoalan ini menandai adanya ekspansi Barat dalam relasinya dengan representasi perempuan, “The intersection of colonial and gender discourses involves a shifting, contradictory subject positioning, whereby Western woman can simutaneosly constitute “center” and “periphery”, identity and alterity.” (Shohat, 2012:95) Dalam relasi ini, perempuan postkolonial akan menjadi instrumen representasi yang akan terus-menerus ada dalam relasi dominasi yang dikuasai oleh Barat. Representasi dari perempuan Dunia Ketiga sebagai yang bodoh, miskin, tidak terdidik, terikat tradisi, terdomestikasi, orientasi keluarga tradisional, dan korban. Sedangkan representasi perempuan Barat sebagai yang pintar, mapan, terdidik, punya pilihan bebas, dan modern (Arivia, 2006:41). Feminis
postkolonial
memunculkan
pertanyaan
mengenai
whether
subordinates can speak or are forever silenced by the virtue of representation within elite thought (Spivak, 1988, dalam Olesen, 2011:130). Kaum feminis ini berargumen bahwa subjektivitas dan identitas dikonstruksikan dalam beragam cara dengan dikaitkan dengan beragam momen historis. Dengan
adanya
konstruksi yang berasal dari sejarah kolonial, kaum feminis postkolonial berharap adanya usaha untuk mendekolonisasikan Diri (Self) dan Liyan (Other). Feminisme
dan
postkolonial
berusaha
melihat
keterkaitan
antara
jender/budaya/etnisitas dengan cara menolak oposisi biner yang menjadi dasar dari otoritas patriarkal dan kolonial. Bagi Gayatri Spivak, Liyan di sini disebut sebagai subaltern, yang mengacu pada kelompok yang lemah, yang tak berdaya. Spivak menyebutkan bahwa ketidakberdayaan dari subaltern ini berasal dari penindasan yang mereka alami sehingga akhirnya mereka terkonstruksikan
39
menjadi kelompok minoritas yang miskin, berkulit hitam, perempuan, ras pinggiran, dan warga negara kelas dua (Arivia, 2006: 38,40). Dalam esai “Can the Subaltern Speak?”, Spivak beranggapan bahwa bahasa merupakan satu-satunya wujud ekspresi, resistensi, dan perjuangan. Namun kelompok subaltern tidak dapat berbicara karena bahasa bukan merupakan milik subaltern, sebaliknya, bahasalah yang menciptakan subaltern (Khair, 2009:108). Teori Spivak tentang Subaltern yang menyebutkan: “Antara patriarki dan imperialisme, konstitusi subjek dan formasi objek, sosok perempuan menghilang bukan dalam ketiadaan namun pada perwujudan sosok perempuan Dunia Ketiga”, terjerat antara tradisi dan modernisasi (Spivak, dalam Arivia, 2006:46). Perempuan, merupakan kelompok masyarakat postkolonial yang terjebak dalam identitasnya sebagai perempuan Dunia Ketiga. Bagi Spivak, bahasa merupakan satu-satunya strategi resistensi yang mungkin dilakukan oleh perempuan. Namun pendekatan postkolonial membuka kemungkinan strategi resistensi lain, yaitu mimikri. Mimikri merupakan sebuah pendekatan postkolonialis Homi K. Bhabha yang membuka ruang bagi kelompok terjajah untuk melakukan resistensi terhadap yang menjajah (Huddart, 2006:39). Logika yang sama juga berlaku bagi perempuan Dunia Ketiga dengan identitas sebagai sang Liyan/the Other/subaltern yang dikondisikan sebagai identitas warisan dari kolonialisme. Sejalan dengan teori performa
(Kroløkke
dan
Sørensen, 2006), Bhabha mencoba mengkonseptualisasikan perjuangan ideologis resistensi melalui mimikri.
40
Bagi Bhabha, mimikri bukanlah sekedar imitasi dan kelompok subordinat yang melakukan mimikri tidak serta merta terassimilasikan dalam budaya yang dominan maupun superior. Bhabha memahami mimikri sebagai an exaggerated copying of language, culture, manners, and idea. Kata exaggerate (dilebihlebihkan) memberi makna bahwa mimikri merupakan repetisi yang muncul karena perbedaan (Huddart, 2006:39). [C]olonial mimicry is the desire for a reformed, recognizable Other as a subject of difference that is almost the same, but not quite. Which is to say, that the discourse of mimicry is constructed around an ambivalence; in order to be effective, mimicry must continually produce its slippage, its excess, its difference (Huddart, 2006:40). Mimikri dikonstruksikan sejalan dengan ambivalensi diskursus postkolonial. Mimikri pun menyisakan hasil paradoks tentang apa yang terjadi pada Liyan yang ingin menjadi Liyan yang dikenal (recognizable Other). Namun, menurut Bhabha, mimikri akan selalu menjadi pilihan strategi resistensi yang memungkinkan Liyan dapat dikenali dengan menjadi mimik (peniru) (Huddart, 2006:41).
1.5.6. Performa Perempuan dan Feminisme Identitas perempuan sebagai Liyan, mengkonstruksikan bahwa ‘seseorang tidak terlahir, tetapi lebih menjadi perempuan’. Ini merupakan catatan Simone de Beauvoir yang mendefinisikan bahwa menjadi perempuan sama dengan menjadi Liyan. Kategori Liyan sangat fundamental dalam pembentukan subjek, sebab pengertian tentang Diri bisa diciptakan dalam oposisi terhadap sesuatu yang
41
bukan Diri. Perempuan dianggap harus menjadi Liyan selamanya karena laki-laki telah mengklaim kategori Diri atau subjek (Thornham, 2004:41). Konstruksi perempuan sebagai Liyan dapat diubah ketika perempuan bisa memahami ‘posisinya sebagai subjek’ (Thornham, 2004:42). Usaha pembalikan relasi inilah yang menjadi persoalan penting bagi kebanyakan kaum feminis, salah satunya dengan pendekatan postfeminisme. Istilah ini, sama halnya dengan postmodernisme, dianggap sebagai sesuatu yang tidak memiliki bentuk tetap. Postfeminisme secara khusus dikisahkan sebagai the Backlash (serangan balasan), tergantung pada seberapa besar kemampuan perempuan untuk mendefinisikan dirinya (Gamble, 2004:53,56). Dalam postfeminisme, kata Diri bagi perempuan dapat menjadi sangat bermakna karena perempuan diberi kesempatan untuk mendefinisikan Dirinya, salah satunya dengan performa (lihat sub bab 1.5.4). Namun persoalan keliyanan perempuan, dan usahanya untuk merebut posisi Diri dari tangan laki-laki terbentur pada perdebatan multikultural. Bagi kaum feminisme multikultural, perempuan dipandang sebagai Diri yang terpecah. Keterpecahan ini lebih bersifat budaya, rasial, dan etnik daripada seksual, psikologis, dan sastrawi (Tong, 2008:309). Diri perempuan disituasikan dan diartikulasikan dalam konteks gender, ras, kelas, dan agama (Christian, 2011:71). Dua tokoh feminis multikultural yaitu Audre Lorde dan Angela Y. Davis,
sama-sama
mengaitkan
Diri
perempuan
dengan
kompleksitas
multikulturalisme yang selalu menghadirkan subordinasi di kalangan perempuanperempuan non-Barat.
42
Sister Outsider (1984) karya Audre Lorde merupakan karya yang berada pada persimpangan sejumlah posisi subjek periferal (pinggiran) yaitu perempuan, kulit hitam, lesbian dan penderita kanker. Lorde mengkritisi universalisasi terhadap pengalaman perempuan dan membuat asumsi-asumsi eurosentris berlaku untuk keseluruhan. Sementara itu, Angela Y. Davis dalam karyanya yang berjudul Women, Race, and Class (1981), berpandangan bahwa seksisme dan rasisme hanya dapat dihapuskan melalui perusakan sistem ekonomi yang memproduksi keduanya yaitu kapitalisme (Gamble, 2010: 274-275, 344). Bagi kaum perempuan di negara berkembang, feminisme cenderung ditujukan untuk merepresentasikan sebuah diskursus yang memiliki sensitivitas yang relevan dengan kulit putih yaitu dunia pertama serta bias neokolonial (Van Zoonen 1994:3). Diskursus ini menjadikan feminisme multikultural sebagai salah satu persoalan yang erat terkait dengan wacana kolonialisme di masa lampau. Perempuan di negara berkembang atau disebut pula perempuan non-Barat, dikategorikan sebagai perempuan dunia ketiga (third-world women)
yang
diartikan sebagai kelompok homogen yang ‘tidak memiliki kekuasaan’ yang biasanya dianggap sebagai korban implisit dari sistem budaya dan sosio-ekonomis tertentu (Mohanty, 1994:200). Dalam hal ini, ‘Timur’ dan ‘Perempuan’ didefinisikan sebagai Liyan, sementara laki-laki [dan] Barat didefinisikan sebagai pusat humanisme. Dengan kata lain, it is only in so far as ‘Woman/Women’ and ‘the East’ are defined as Others, or as peripheral that (western) Man/Humanism can represent him/itself as the centre (Mohanty, 1994:215).
43
Liyan atau ‘the Other’ adalah salah satu persoalan difference (perbedaan) yang sering hadir dalam fungsi representasi media, yang sering diperdebatkan dalam masyarakat kontemporer (Hall, 1997b:225). Perbedaan merupakan persoalan yang menghadirkan pesona otherness (keliyanan), yang merupakan konsep yang penting sekaligus berbahaya. Konsep ini salah satunya mengakar pada pendekatan linguistik Saussure di mana bahasa digunakan sebagai sebuah model yang menjelaskan bagaimana kebudayaan bekerja. Asumsi utamanya adalah ‘difference’ matter because it is essential to meaning; without it, meaning could not exist. Bagi Saussure, hitam hanya akan dimaknai hitam jika hitam dikontraskan dengan putih. Dalam hal ini, perbedaan yang ada di antara hitam dan putih akan menandakan dan membawakan makna. Konsep perbedaan yang terkandung dalam sistem penandaan akan memungkinkan munculnya oposisi biner antara hitam/putih, laki-laki/perempuan, maskulin/feminim, kelas atas/kelas bawah, dan sebagainya yang mana oposisi ini memperlihatkan adanya dimensi kekuasaan yang berbeda di antara keduanya (Hall, 1997b: 234-235). Perempuan non-Barat dianggap berbeda dengan perempuan Barat. Salah satu perbedaannya didasarkan pada asumsi bahwa perempuan Barat lebih bersifat sekuler, memiliki kebebasan dan kontrol atas hidup mereka (Mohanty, 1994:215). Perbedaan lain yang menindas perempuan non-Barat adalah mitos tentang kecantikan. Naomi Wolf (2004) dalam bukunya yang berjudul Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan, mengisahkan bagaimana perempuan secara sadar berjuang untuk diakui sebagai perempuan yang cantik: “Para perempuan, baik yang berkulit putih, berkulit hitam, maupun sawo matang ... menyatakan mereka tahu, sejak awal mereka dapat berpikir
44
secara sadar, bahwa sosok yang ideal adalah sosok yang kurus, tinggi, putih, dan berambut pirang, dengan wajah yang mulus tanpa noda, simetri, dan tanpa cacat sedikit pun. Sosok perempuan yang sepenuhnya “sempurna” dan bagi perempuan itu, mereka rasa, dalam satu atau lain cara, bukanlah Diri mereka” (Wolf, 2004:3-4). Kecantikan dalam hal ini merupakan sebuah bentuk penonmanusiawian (dehumanization) perempuan, karena tanpa label cantik mereka sering kali tidak dianggap dan tidak menganggap dirinya sebagai manusia yang layak. Ketidakcantikan ‘Timur’, akan membuat mereka terjajah oleh inferioritas, sementara di sisi lain, kecantikan ‘Barat’ akan membuat mereka merasa bahwa mereka bukanlah diri mereka sendiri. Perbedaan lain antara Barat versus nonBarat lahir dari perilaku paternalistik terhadap perempuan-perempuan non-Barat. Semua perbedaan antara Barat dan non-Barat secara umum mendeskripsikan perempuan non-Barat sebagai perempuan yang, religius (baca: tidak berkembang), family-oriented (baca:tradisional), lemah hukum (baca: tidak sadar akan haknya), illiterate (baca: ignorant), domestik (baca: berjalan mundur), dan kadang revolutionary (baca: dalam keadaan perang) (Mohanty, 1994:214). Demikianlah relasi perbedaan di antara perempuan dalam wacana feminisme multikultural.
1.5.7. YouTube dan Korean Popular Music (K-Pop) K-Pop merupakan bentuk globalisasi budaya, sama halnya dengan budaya Amerika (budaya Barat), yang dianggap sebagai sebuah pendekatan untuk menaklukkan/melemahkan identitas nasional atau identitas budaya (Shim, 2006:26). Menurut Won K. Paik, seorang profesor ilmu politik di Michigan
45
University menyebutkan bahwa “after all, it’s not the Korean but the Koreanhybrid or westernised form of the wave” (Ashayagachat, 2011). Produk kultural K-Pop merupakan format dari budaya Korea yang di-westernisasi-kan dalam kemasan budaya Timur, sehingga baik Barat maupun Timur dapat menerima produk kultural ini. Ia merupakan sebuah penciptaan kembali budaya-budaya asing dalam gaya Korea, sehingga budaya yang dihasilkan tidak sekedar budaya Korea melainkan sebuah byproduct yang berasal dari benturan dan interaksi dari beberapa produk budaya yang berbeda (Contemporary Korea No.1, 2011:15). Dalam pemikiran Theodore Adorno dan Max Horkheimer, fenomena penciptaan-kembali (recreation) budaya Korea di atas dianalogikan sebagai wujud penipuan massal yang dilakukan oleh industri budaya, “...the false identity of universal and particular. All mass culture under monopoly is identical...” (Adorno dan Horkheimer, 2006:41; 1999:32). K-Pop merupakan fenomena penciptaan kembali berbagai unsur-unsur American lifestyles and education, European, philosophy, and Japanese modernity yang diadopsi dan diadaptasi ke dalam budaya tradisional Korea Selatan. Produk budaya yang dihasilkannya berada di bawah pengaruh monopoli pasar budaya yang dicanangkan oleh Korea Selatan melalui industri kreatifnya. Dilihat dari sisi historisnya, fenomena ini sebenarnya merupakan sebuah kebijakan soft power Departemen Pariwisata Korea Selatan. Soft power merupakan sebuah konsep diplomasi kultural yang berusaha untuk mencari pengaruh melalui budaya. Dengan kata lain, soft power merupakan kemampuan sebuah negara untuk membentuk preferensi bangsa lain dengan memanfaatkan
46
produk budaya, khususnya budaya populer (Huat, 2012:120). Hallyu merupakan bagian dari strategi ekonomi kreatif yang dikembangkan dalam usaha untuk keluar dari krisis moneter 1998. “The miraculous turnaround of the 1990s was initiated by a complex number of developments—changes in trade laws that led to a loosening of censorship, the movement toward a democratic form of government, rapid industrialization and the growth of the middle-class, a shift in finance laws that altered the funding process, and the legacy of the 1980s Korean New Wave.” (Gateward, 2007:5) Produk kultural yang dihasilkan oleh industri musik K-Pop tidak berupa budaya tradisional, melainkan budaya populer. Menurut Stuart Hall, budaya populer ... merupakan tempat di mana hegemoni muncul, dan wilayah di mana hegemoni berlangsung (Storey, 2010:3). Stuart Hall menjelaskan bahwa media merupakan
alat
hegemoni
kekuasaan
yang
diposisikan
untuk
tetap
mempertahankan dominansi dari kelompok-kelompok yang memiliki kekuasaan tersebut (Griffin, 2009:335). Media di sini dipandang sebagai wilayah tempat produksi budaya populer, yang juga sebagai wilayah produksi ideologi-ideologi yang dijadikan sebagai alat hegemoni kekuasaan. Hegemoni merupakan sebuah konsep yang sangat penting dalam budaya populer, yang diteoritisikan oleh Anthonio Gramsci. Bagi Gramsci, budaya populer memproduksi relasi kekuasaan. Di sisi lain, budaya populer juga memampukan
kelompok-kelompok
yang tersubordinasi
untuk
melakukan
perjuangan ideologis (Guins & Cruz, 2005:7). Karya Gramsci mengenai hegemoni ini, banyak mempengaruhi perkembangan kajian budaya populer yang membantu
47
mengkonseptualisasikan resistensi sebagai bentuk perjuangan ideologis terhadap hegemoni kekuasaan. Pemahaman budaya populer sebagai wilayah yang hegemonik inilah yang disebut Horkheimer dan Adorno sebagai “the culture industry”, di mana keseluruhan budaya saat ini saling berkaitan dengan kepentingan ekonomi politik dan produksi budaya dilakoni oleh korporasi kapitalis (Barker, 2000:44). Dalam lingkaran industri budaya yang disebutkan oleh Horkheimer dan Adorno tersebut, terdapat standarisasi dan manipulasi, thus ‘Culture impresses the same stamp on everthing. Films, radio and magazines make up a system which is uniform as a whole in every part’ (dalam Barker, 2000:47). Keseluruhan media membentuk sistem industri budaya yang semua produksinya telah terstandarisasi terlebih dahulu sesuai dengan kepentingan industri. Pengembangbiakan konteks budaya Korea Selatan, yaitu neo-Hallyu dengan produk kultural utama K-Pop, diperankan oleh YouTube. Istilah “platform” merupakan salah satu metafora yang banyak digunakan untuk menekankan pada kepentingan sosial, ekonomi dan teknologi yang terdapat dalam situs YouTube (Snickars dan Vonderau, 2009:13). Hal ini mengacu pada YouTube sebagai sebuah media sosial dalam bentuk content community yang di dalamnya berisi konten yang bisa diunggah oleh siapapun, terlepas dari batasan kultural setiap individu. “...when plunging into YouTube discourse, one indeed begins to wonder about the transparent resemblances YouTube bears to a number of established cultural institutions...” YouTube Methapors, dalam “The YouTube Reader” (Snickars dan Vonderau, 2009:13)
48
Kehadiran YouTube dan media sosial lainnya telah memperluas pengaruh budaya populer yang dulu hanya dapat diakses melalui media konvensional. Media sosial YouTube, secara khusus memberi penekanan pada ‘You’ dalam ‘YouTube’ untuk mencerminkan adanya kebebasan bagi setiap individu dan kolektif untuk menyediakan sebuah frame kultural yang bergantung pada konten yang diunggah ke situs ini. YouTube disebutkan sebagai situs yang sangat penting bagi penyatuan kultural (Uricchio, 2009:24), karena posisinya sebagai media transparan yang mencampuradukkan berbagai institusi budaya dengan segala macam produk kulturalnya, salah satunya K-Pop. Sebagai sebuah platform yang memiliki kepentingan sosial, ekonomi, dan teknologi, YouTube akan sangat mempengaruhi perkembangbiakan industri KPop di berbagai negara di dunia. Sebagai sebuah media yang transparan, YouTube menghadirkan dinamika ideologi yang saling tarik-menarik antara industri budaya yang mencoba untuk memperoleh posisi dominan. YouTube dengan demikian merupakan platform yang hegemonik, terstandarisasi oleh industri budaya yang memiliki kepentingan untuk memproduksi dan mendistribusikan produk-produk kulturalnya. Standarisasi yang dilakukan oleh industri budaya membawa persoalan globalisasi kultural, yang menurut Arjun Appadurai, wacana globalisasi ini sering kali
diasosiasikan
dengan
Amerikanisasi,
adalah
sama
halnya
dengan
Indonesianisasi bagi orang Papua, Indianisasi bagi orang Srilanka, Vietnamisasi bagi orang Kamboja, dan sebagainya (Appadurai, 1999:221; 2006:588). Dalam konteks K-Pop, globalisasi yang dikatakan oleh Appadurai merupakan wujud
49
Koreanisasi bagi orang Indonesia dan bangsa mana saja yang mengalaminya. Hal ini tentu saja akan membentuk pola imperialisme yang memperkuat sejarah kolonialisme Barat terhadap Timur yang mana jauh sebelumnya, kolonialisme menandai proses historis di mana “Barat” berusaha secara sistematis untuk menghancurkan atau menafikan perbedaan dan nilai-nilai kultural dari bangsa “non-Barat” (Gandhi, 1998:16; 2007:21). Pengalaman historis bangsa “non-Barat” tersimpan dengan rapi dalam kemasan music video/MV (video klip). MV merupakan sebuah bentuk produk kultural baru yang muncul sejak tahun 1980-an. MV dideskripsikan sebagai bentuk kultural yang hibrid yaitu produk industrial dan komersial yang mengkombinasikan visual, musik dan beragam jenis produksi yang berbeda dari teks audio-visual biasa. Kemunculan MV memberikan spekulasi bentuk baru dari komersialisasi dan komodifikasi budaya, seperti yang dijelaskan oleh Fiske (1987) dan Kaplan (1987) yang mana MV
memiliki
kesamaan
dengan
iklan
komersial
karena
telah
mengkomersialisasikan musik populer (Casey, dkk, 2008:173). MV merupakan sebuah film pendek, ‘a short film showcasing a particular song or artist’ (Danesi, 2009:205; Strasser, 2010:97). Dilihat dari genrenya, maka MV termasuk dalam genre film musikal (mengacu pada historical taxonomy dalam Nelmes, 2003:156), MV memberikan spekulasi mengenai pengalaman historis perempuan di balik tampilan performa yang mereka hadirkan dalam KPop. MV tidak sekedar pencontohan tren baru yang tumbuh dalam masyarakat kontemporer, namun MV merupakan the ultimate example: of commodification, of the incorporation of authenticity and resistance, of textual and psychological
50
schizophrenia, of the ‘postmodern’ diappearance of reality, and of new forms of resistance (Frith, dkk, 2005:185). MV merupakan sebuah bentuk baru dari resistensi dengan kemasan performa yang menarik perhatian. Kajian mengenai MV merupakan sebuah ranah konvergensi dan berada di tengah beragam batasan ilmu, dengan demikian ia melibatkan berbagai teori-teori film dan kajian televisi. Dalam momen perkembangannya, MV diklaim sebagai sebuah ekspresi dari rock journalism dengan alasan: (1) MV memiliki ‘gambar’ yang lebih penting dari pengalaman musik itu sendiri yang memiliki efek yang perlu ditakuti, dan (2) MV mengurangi kebebasan individual dalam mendengarkan musik, karena efek visual dan intepretasi naratif lirik lagu yang dihasilkan (Frith, 2005:2). Bagi Fiske dan Kaplan, MV dikarakteristikkan sebagai teks postmodern. MV combine the codes and conventions of the spectacle of live performance (atmospheric lighting and location, dry ice, coloured smoke, explosions, strobe lighting) with special effects, multi-media technology and post-production technical wizardry (exemplified in the extensive use of rapid editing techniques, extreme camera angles, slow-motion and freeze-frame devices). Kode dan konvensi ini menciptakan fragmentasi jenis MV yang sangat beragam yang kemudian mengaburkan batas antara masa lalu dan masa kini karena semua terlihat kontemporer sehingga akan sulit membedakan antara high culture dan popular culture. MV meminjam apapun sumber kultural yang ada seperti film, iklan, newsreels, seni avant-garde dan seni modernis, fashion, animasi, pornografi, dan
sebagainya.
Hal ini menghasilkan
intertektualitas
dan
mencampuradukkan teks dalam pastiche, bricolage, dan parodi. Hasilnya, MV
51
tidak menampilkan narasi yang linear melainkan menciptakan non linear pastiche of image dan sebuah pengalaman schizophrenic di mana tidak akan ditemukan satu sudut pandang tunggal (Casey, dkk, 2008:173-174). Dalam bahasa Vernallis (dalam Strasser, 2010:97), MV termasuk dalam kategori non-naratif yang berisi lagu yang cyclical dan episodik. Cerita dalam MV hanya muncul dalam relasi dinamis antara lagu dan gambar, yang bisa menghilang kapan saja. Dilihat dari struktur plotnya, MV termasuk dalam kategori episodic structure. Berbeda dengan struktur yang klimatik, struktur episodik ini terdiri dari banyak scene pendek yang terfragmentasi, tidak linear, dan mengalami juxtaposition (kontras/berlawanan) satu dengan yang lainnya (Wilson, 1985:161).
1.5.8. Asumsi Penelitian K-Pop MV di YouTube merepresentasikan gagasan resistensi perempuan Timur terhadap dominansi kultural Barat, yang dilakukan melalui pola mimikri (peniruan) terhadap standar performa Barat. Resistensi ini merupakan performa perempuan Timur yang selama ini dianggap sebagai sang Liyan, yang mana perempuan Timur berusaha keluar dari narasi postkolonial yang sepanjang sejarah selalu memarginalkan perempuan-perempuan non-Barat. K-Pop MV di YouTube menjadi sebuah ranah digital yang menyediakan panggung performa bagi perempuan
yang
pada
akhirnya
akan
menggiring
perempuan
untuk
menegosiasikan Diri-nya dalam sistem terkunci (interlocking system) antara ras, kelas, dan gender.
52
Identitas sebagai sang Liyan merupakan warisan dari wacana postkolonial yang menjadikan perempuan sebagai salah satu kelompok manusia postkolonial. Identitas ini bernegosiasi dengan faktor multikultural yang mana pengalaman kolonialisme akan menghasilkan metafora postkolonialisme yang berbeda sesuai dengan faktor-faktor multikultural yang berlaku di suatu bangsa tertentu. Dengan demikian, sebagai bangsa yang lahir dari rahim postkolonialisme, Indonesia dan Korea Selatan dianggap memiliki persamaan dan juga perbedaan yang nantinya akan terjebak dalam persoalan multikultural. Performa perempuan di dalam K-Pop MV di YouTube merupakan representasi manusia postkolonial. Performa ini diawali dengan proses mimikri, yang mana perempuan [Timur] melakukan mimikri terhadap standar performa Barat, namun mimikri ini tidak direpresentasikan benar-benar sama melainkan akan ternegosiasikan dalam proses passing dan cross-expressing. Dalam proses ini, mimikri yang dilakukan oleh perempuan [Timur] akan meminjam identitas budaya asing atau sekedar menyilangkannya dengan identitas multikultural mereka, yaitu ras, kelas, dan gender. Hasil dari persilangan tersebut akan memperlihatkan apakah performa perempuan [Timur] mampu melakukan mediasi (atau justru konfrontasi) terhadap kebudayaan Barat.
1.6. Operasionalisasi Konsep Konsep-konsep utama dalam penelitian ini dioperasionalisasikan seperti yang terlihat dalam bagan berikut:
53
perempuan sebagai salah satu postcolonial people
POSTCOLONIAL DISCOURSE yang dianggap sebagai Liyan yang mengalami kolonialisme ganda
neo-colonialism
Gambar 1.4. Operasionalisasi Konsep “Performa Perempuan dalam K-Pop MV di YouTube” (Sumber: Data yang diolah)
postcolonial people
kolonialisme berwajah baru yang memanfaatkan media massa sebagai alat imperialisme
perempuan sebagai salah satu postcolonial people yang dianggap sebagai Liyan yang mengalami kolonialisme ganda
class YOUTUBE YouTube merupakan media imperialis yang dimanfaatkan sebagai panggung performa bagi kaum Liyan untuk merepresentasikan Diri
Mimicry
Passing / Cross Expressing
Mediation / Confrontation
(Pastiche / Parody)
(Mixture / Irony)
resistensi WOMEN‘S PERFORMANCE in K-POP MV
gender
race
interlocking system perbedaan kultural antar Barat dan Timur dipengaruhi oleh konteks historis dari pengalaman kolonial, dan dengan demikian menjadi faktor-faktor yang ikut berkontribusi terhadap performa perempuan.
M U L T I C U L TU R A L FEMINISM
54
1.7. Metoda Penelitian 1.7.1. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan analisis semiotika. Semiotika memperlakukan teks media sebagai komponen utama dalam melakukan analisis. Dalam hal ini, semiotika digunakan untuk mengkaji bagaimana permainan tanda yang terdapat dalam K-Pop MV di YouTube mengkonstruksi makna kultural tertentu. Tanda menjadi sebuah unsur yang sangat penting, karena sebuah tanda menjadikan realitas di luar dirinya sebagai rujukan atau citra cerminnya (mirror image). Hal ini disebut Jean Baudrillard sebagai sebuah hipersemiotika, di mana tanda merefleksikan realitas (reflection of a basic reality), namun selalu ada unsur dusta dalam tanda itu. Tanda mereduksi realitas sehingga tanda seakan-akan asli padahal palsu. Tanda menyembunyikan realitas yang sesungguhnya di balik topeng-topeng realitas. Tanda yang sesungguhnya mengandung kebenaran parsial tentang realitas, digunakan untuk melukiskan realitas yang seakan-akan total (Piliang, 2003:5556). Dunia dalam hal ini dianggap sebagai sebuah “teks” raksasa yang terusmenerus diproduksi melalui intertekstualitas, seperti yang diistilahkan oleh Derrida. Dalam intertekstualitas yang semacam itu, tanda akan menghasilkan makna dari pembeda yang berasal dari tanda lain dalam sistem penandaan secara keseluruhan (Kroloke dan Sorensen, 2006:35). Representasi merupakan produksi makna konsep-konsep yang ada dalam pikiran kita melalui bahasa. Representasi menghubungkan konsep dan bahasa yang memampukan kita untuk mengacukannya kepada benda, orang, dan kejadian
55
dalam dunia nyata maupun imajiner. Hall menjelaskan ada dua proses atau sistem representasi. Pertama, ‘sistem’ di mana semua jenis benda, orang, dan kejadian dikorelasikan dengan seperangkat konsep atau representasi mental yang ada dalam pikiran kita. Sistem representasi ini memampukan kita untuk memaknai dunia dengan cara mengkonstruksikan seperangkat korespondensi atau ikatan ekuivalensi antara benda-benda (dapat berupa orang, benda, peristiwa, ide abstrak, dan sebagainya) dengan sistem konsep atau peta konseptual kita. Sistem representasi yang pertama ini dikenal sebagai pendekatan semiotika yang berfokus pada bagaimana representasi, dan bagaimana bahasa memproduksi makna, yang disebut ‘poetics’ of exhibiting (Hall, 1997a: 17; Webb, 2009:45; Lidchi, 1997:153). Sistem representasi yang kedua adalah bahasa, di mana sistem ini melibatkan keseluruhan proses konstruksi makna. Semua peta konseptual yang dibagikan harus diterjemahkan dalam bahasa yang umum, sehingga dapat mengkorelasikan konsep dan ide dengan kata-kata yang dituliskan, suara yang diucapkan, atau gambar yang divisualisasikan, atau dengan kata lain diistilahkan dengan tanda (signs). Sistem ini bergantung pada konstruksi dari seperangkat korespondensi antara peta konseptual kita dengan seperangkat tanda, yang diatur ke dalam bahasa yang beragam yang difungsikan untuk merepresentasikan konsep-konsep tersebut. Relasi antara ‘benda’, konsep, dan tanda terletak pada proses produksi makna melalui bahasa, yang mana proses yang menghubungkan ketiga elemen tersebut adalah proses yang disebut sebagai proses representasi. Sistem ini dikenal juga sebagai pendekatan diskursif yang berfokus pada efek dan
56
konsekuensi representasi, yaitu ‘politik’ representasi (Hall, 1997a: 17-19; Webb, 2009:45; Lidchi, 1997:153). Dalam proses representasi ini, fungsi simbolis (symbolic function) bersifat relasional, yang mana makna relasional ini dianggap bersifat arbitrer. Keliyanan perempuan merupakan objek representasi dalam setiap K-Pop MV yang akan diteliti. Sebagai sebuah objek representasi, keliyanan akan dapat dimaknai melalui representasi yang diulang-ulang dalam konteks yang berbedabeda. Pengulangan representasi keliyanan dalam konteks yang berbeda akan memproses produksi dan reproduksi makna hingga pada akhirnya akan menciptakan berbagai konstruksi makna dalam wujud mitos yang mengarah pada resistensi perempuan yang sebelumnya dianggap sebagai Liyan. Dengan menggunakan desain semacam ini, penelitian ini diharapkan dapat membongkar gagasan resistensi yang muncul pada tataran mitos, yang mana sesuai dengan pemikiran Roland Barthes, mitos merupakan problematika ideologi di mana ideologi dominan dinaturalisasikan melalui bahasa (Sunardi, 2002:18).
1.7.2. Objek Penelitian Objek penelitian yang akan diteliti adalah potongan gambar (scene) yang terdapat dalam K-Pop music video (MV) yang diunggah di YouTube. YouTube dipilih karena merupakan salah satu bentuk media sosial yang memiliki pengaruh yang kuat
terhadap
individu,
korporat,
maupun
negara.
Statistik
YouTube
memperlihatkan akumulasi MV terbanyak di situs YouTube untuk kategori girlband mengacu pada 3 (tiga) kelompok, yaitu Girls’ Generation, Kara, dan
57
Wonder Girls. Dari ketiga kelompok ini, objek penelitian yang dipilih adalah Girls’ Generation dan Kara, dengan alasan, kelompok Wonder Girls telah vakum (in hiatus) saat penelitian ini dilakukan. Girls’ Generation dan Kara termasuk dalam the most popular idol groups yang telah berhasil mendobrak pasar musik global dan mensukseskan invasi neo-Korean Wave ke negara-negara di luar Korea Selatan (Contemporary Korea No.1, 2011: 35-43). Dari kedua girlband K-Pop tersebut, dipilih 2 (dua) MV (atau video klip) untuk dijadikan sebagai unit analisis, yaitu Girls Generation versi ‘The Boys’ dan Kara versi “Pandora”. Pandora merupakan album mini ke-5 yang dirilis oleh DSP Kara 22 Agustus 2012 sebagai tanda comeback–Kara setelah 1 tahun sebelumnya vakum.
Showcase
dari
MV
ini
disiarkan
secara
live
via
YouTube
(www.sompi.com), dan disebut-sebut sebagai all–kill, karena 3 jam setelah dirilis, Pandora menguasai music chart, namun MV ini juga mendapatkan kecaman berupa sensor dari KBS music bank karena dianggap terlalu vulgar. Sensualitas yang ditampilkan oleh MV ini dianggap sebagai sebuah wujud resistensi terhadap nilai-nilai konservatif. Sedangkan MV “The Boys” yang dirilis oleh Girls’ Generation dianggap sebagai salah satu MV yang unpredictable berbeda dari MV Girls’ Generation lainnya, karena menampilkan perempuan dalam tampilan yang lebih dewasa. Alasan pemilihan lainnya juga mempertimbangkan asumsi peneliti mengenai yang mana yang dianggap paling memiliki kualifikasi terkait tema penelitian.
58
1.7.3. Jenis Data dan Sumber Data Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan adalah : 1. Data Primer Data primer diperoleh dari teks media berupa K-Pop MV di YouTube. 2. Data Sekunder Data pendukung yang diperoleh dari sumber tambahan yang berasal dari sumber-sumber tertulis seperti buku-buku, artikel, ataupun bahan bacaan dari internet.
1.7.4. Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi. Dokumentasi dilakukan dengan mengumpulkan official music video K-Pop (K-Pop MV) yang terdapat dalam situs YouTube yang menampilkan performa perempuan.
1.7.5. Analisis dan Interpretasi Data Menurut Roland Barthes, ada dua sistem pemaknaan, sistem pemaknaan tataran pertama yaitu denotasi dan sistem pemaknaan tataran kedua yaitu konotasi. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai keinginan) (Piliang, 2003:261). Sistem pemaknaan tataran kedua merupakan Mitos, di mana apa yang merupakan tanda dalam sistem pertama, menjadi sekedar penanda dalam sistem kedua (Barthes, 1991:114; 2007:324). Tataran pemaknaan ini akan mengarahkan
59
tanda dengan relasinya terhadap pemaknaan alternatif di luar tanda seperti ideologi, relasi kekuasaan, dan nilai-nilai kultural (Fairclough, 1995:24; Barker, 2000:69). Tabel 1.4 Model analisis semiotika Roland Barthes
1. Penanda
2.Petanda
Bahasa 3. Tanda
Mitos
I PENANDA
II PETANDA
III TANDA
Sumber: (Barthes, 1991:113; 2007: 303)
1.7.5.1. Analisis Sintagmatik Sistem pemaknaan tataran pertama (analisis sintagmatik) akan dianalisis dengan menggunakan lexia (leksia). Leksia (lexist) didefinisikan sebagai satuan-satuan bacaan (unit of meaning) dengan panjang pendek yang bervariasi yang membangun dan mengorganisasikan suatu cerita atau narasi. Leksia bersifat fleksibel, artinya tidak ada aturan yang pasti tentang panjang pendeknya. Leksia dipilih dan ditentukan berdasarkan pada kebutuhan pemaknaan yang akan dilakukan. Leksia dalam narasi bahasa didasarkan pada: kata, frasa, klausa, ataupun kalimat, sementara leksia dalam gambar didasarkan pada satuan tanda (gambar) yang dianggap penting dalam pemaknaan (Kurniawan, 2009:128-129). Leksia dalam MV ini termasuk dalam kategori leksia gambar karena MV
60
merupakan jenis film pendek bergenre musikal yang bersifat non-narasi (Danesi, 2009:205; Nelmes, 2003:371; Strasser, 2010:97). Analisis sintagmatik penelitian ini akan mengkaji leksia melalui 2 (dua) elemen yaitu narasi dan kode sinematik.
1.7.5.1.1. Narasi (narrative) Dalam film, narasi biasanya dapat dilihat dari elemen struktur dan plot (yang dioperasionalisasikan oleh kode sinematik mise-en-scéne). MV dalam penelitian ini mengarah pada film pendek non-narasi, di mana dalam MV tidak terdapat narasi mainstream berbentuk story-telling seperti yang terlihat dalam film-film biasa. Struktur dalam MV lebih mengarah pada narasi alternatif dengan struktur episodik (multi-scene structure) yang memperlihatkan banyak sekali short scenes yang saling berpotongan, tumpang-tindih, kontras satu sama lainnya sehingga menciptakan juxtaposition. Dalam mengkaji MV, narasi akan dilihat dari narrative-lyrics yang terdapat dalam lagu (Nelmes, 2003:78-89; Wilson, 1985:157; Bennett, 2006:17-18). Struktur narasi dalam lirik lagu akan membentuk pola yang berisi verse atau phrase (bait), reff (riffs), dan bridge. Struktur dalam MV akan dilihat dari kategori repetisi, yaitu: Tabel 1.5 Kategori Repetisi Jenis Repetisi
Keterangan
Repetisi musematik (Musematic Repetition)
Pengulangan unit-unit yang pendek (repetition of short units). Contoh: Riffs
Repetisi Diskursif (Discursive Repetition)
Pengulangan unit yang lebih panjang repetition of longer units), yaitu the phrase Sumber: Bennett, 2006:16-17
(the
61
1.7.5.1.2. Kode sinematik (mise-en-scéne) Untuk menganalis leksia yang terdapat dalam potongan gambar MV, digunakan acuan kode-kode sinematik film yang disebut sebagai mise-en-scéne (istilah Perancis yang menjelaskan aspek-aspek visual yang muncul dalam sebuah single shot) yang dipilih sesuai dengan kepentingan penelitian (Nelmes, 2003:62-78), yaitu: setting, costume, performance and movement, camera movement, camera editing, dan sound.
1.7.5.1.2.1. Setting Setting mengacu pada penanda keaslian (signifier of authenticity), yaitu lokasi yang dikonstruksikan sebagai tempat kejadian berlangsung. Aspek setting memperlihatkan semua yang ada di depan kamera sesungguhnya telah diatur dan dipilih terlebih dahulu. Setting merupakan screen yang terbuka layaknya jendela, yang sifatnya transparan dan mencerminkan impresi realitas yang berpadu dengan ideologi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap setting selalu akan menyembunyikan ilusi ideologi tertentu. Setiap setting panggung memberi ruang berproses bagi: subjek, “gaya”, bentuk, makna, narasi, dan wacana ideologis yang menggarisbawahi semua hal yang ada di dalamnya (Stam, 1992:191). Dalam mengidentifikasi setting, maka perlu diperhatikan dua elemen yaitu stage dan scenery. Keduanya akan saling melengkapi dalam menciptakan lingkungan dan pengalaman performa bagi orang yang menonton performa tersebut. Stage atau panggung terdiri dari empat kategori dasar (lihat tabel 1.6), sementara scenery terbagi atas dua: realistic dan non-realistic. Realistic scenery akan menciptakan suasana yang hampir sama (sangat menyerupai) lingkungan
62
kehidupan sehari-hari, sementara non-realistic scenery akan menciptakan imajinasi melalui penggunaan simbol-simbol tertentu dalam desain panggung (Wilson 1985:278, 309-311). Tabel 1.6 Four Basic Stage Spaces
Stage
Keterangan
The proscenium/ picture frame stage
Prosecenium artinya “in front of the scenery”. Model memfokuskan performa pada satu arah, yang menyerupai konsep frame gambar raksasa. Model ini diadaptasi dari teater Romawi kuno, dan menjadi model dominan yang digunakan di Broadway (AS). Proscenium digunakan untuk menciptakan atmosfir yang seolah-olah nyata melalui efek visual yang spektakuler yang terlihat pada frame-nya (setting yang dihasilkan menciptakan pemandangan realistik, seperti ruangan, kantor, dapur, dll).
The arena/ Circle stage
The Thrust stage with three-quarters seating
Created and found stage space
Tipe panggung yang muncul setelah PD II. Dalam panggung ini, performa menciptakan kedekatan dan terlihat lebih nyata dengan kehidupan sehari-hari. Aturan dalam panggung ini menyerupai arena olahraga semacam tinju, yang mana performa dapat dilihat dari segala sisi yang mengelilingi panggung.
Tipe panggung yang dikelilingi tiga arena khalayak (atau berbentuk semi-lingkaran). Tipe panggung ini menciptakan kedekatan dan orang menonton dapat berfokus pada satu arena performa dengan background tunggal. Tipe panggung ini sangat cocok untuk kisah tragedi dan komedi. Tipe panggung kontemporer yang mencoba mendobrak konsep panggung yang tradisional, biasanya performa berusaha menciptakan panggung sendiri di lingkungan apa pun yang memungkinkan. - Outdoor setting - Non theater buildings (gereja, istana, dll yang memiliki elemen arsitektural yang kuat) - Street setting (jalanan) - Multifocus environment (lebih dari satu arena performa, kombinasi acting, film, tarian, musik, dan pencahayaan) Sumber: Wilson, 1985:277-301
63
1.7.5.1.2.2. Costume Identifikasi kostum yang digunakan dapat dijadikan penanda bagi karakter individu
yang
mengenakannya.
Menganalisis
kostum
dalam
hal
ini
mentransformasikan kostum yang dikenakan ke dalam bahasa tertulis. Barthes mengistilahkannya sebagai written clothes yang ditranformasikan dari imageclothing. Hal ini akan membantu peneliti untuk mendeskripsikan penanda pakaian yang sebenarnya (real clothing) berdasarkan apa yang bisa diamati melalui gambar (Barthes, 1990: 3-5). Kode sinematik kostum, pertama-tama dikaji dengan melihat pakaian yang dikenakan. Pakaian akan menghasilkan representasi yang melaluinya orang dapat mengukur relasi perempuan dengan aestetik naturalnya (Young, 2005:64). Di abad ke-19, cara berpakaian perempuan mencitrakan kelakuan perempuan sebagai patung (statuesque), tidak bergerak, cenderung menyembunyikan bagian kaki. Sebaliknya, di abad ke-20, citra berpakaian perempuan mengalami pergerakan, mulai memperlihatkan kaki, rok, dan celana yang mempermudah perempuan untuk bergerak tanpa rasa malu (Young, 2005:64). Deskripsi tentang pakaian perempuan, sejauh ini masih berpatokan pada Barat. Seorang perempuan kulit putih dalam versi yang glamour merupakan acuan model yang dipelajari oleh perempuan–perempuan non–Barat. Model itu sendiri dianggap sebagai simbol feminitas Barat dengan teknik high fashion yang diacukan untuk mendisiplinkan tubuh perempuan agar selalu terlihat cantik dan berpakaian menarik (Bhattacharyya, 2005:140-141). Perempuan diasumsikan memiliki kesenangan dalam berpakaian dan menciptakan fantasi untuk bergerak
64
dan bertransformasi. Melalui pakaian juga dapat dideskripsikan posisi perempuan, apakah ia menjadi subjek atau menjadi objek (Young, 2005:71–72). Dalam buku Fashioning The Feminine (2002), ada beberapa kategori pakaian perempuan yang selanjutnya dijadikan kriteria analisis mise-én-scene dalam penelitian ini, yaitu: Tabel 1.7 Kategori pakaian perempuan Kategori High Fashion
Tubular Dress
Glamour/ Hollywood
Glamour
Minimal Clothing
Shift/slip dresses Miniskirts/ straight skirts
Deskripsi Lady–like style, semacam gaya aristokrat The Lady Victorian. Tubuh terstuktur untuk menggunakan korset dan sheat dress (baju ketat), menekankan pada bagian dada dan pantat, untuk memperlihatkan margin tubuh perempuan. Dress ini popular sejak tahun 1920an, memperlihatkan pergeseran fashion ke arah yang lebih maskulin, perempuan mulai menggunakan trousers dan gaun yang potongannya lurus. Desain pakaian abstrak, kerah kotak, biasanya model rambut pendek. Potongan pada paha, perut, pantat dan pinggang terlihat lurus. Berkembang sejak masa inter-wars 1920an – 1930an. Istilah glamour mengacu pada jenis pakaian yang mengkomodifikasikan seksualitas perempuan, dimaknai sebagai sexualised beauty, dengan erotisme yang melekat. (memberi penekanan pada dada, paha, kaki, perut, punggung, dan pinggang) (red-lipped, silk-stockinged, gaunt, dramatic-makeup, backless gowns, androgynous tubular shifts, figure-hugging biascuts, square-shouldered jackets and nippedin waists)—semua jenis pakaian yang ditujukan untuk mengekspos tubuh seksual. ‘Micro-skirt’, atau disebut juga sebagai microminiskirt, yaitu rok yang lebih pendek dari miniskirt (<20cm); ‘Crop-top’ , yaitu jenis atasan yang modelnya terpotong, sengaja memperlihatkan bagianbagian seperti perut dan sebagian dada. Crop top pada umumnya menyerupai model atasan olahraga dan Choli (pakaian tradisional India) Model dress yang dulunya hanya digunakan sebagai pakaian dalam, di tahun 1950an/1960an mulai digunakan sebagai outer. Rok atau dress pendek (di atas lutut)
(Sumber: Fashioning the Feminine, 2002)
65
Tabel di atas membagi model pakaian perempuan ke dalam dua kategori besar: klasik (high fashion, tubular dress, dan glamour) dan kontemporer (minimal clothing, slip dress, dan mini skirt). Gaya high fashion memperlihatkan citra keluarga, the ruling class (kelas yang berkuasa),
kegairahan
tubuh
perempuan (voluptuous body) sebagai subjek maternal, kekuasaan reproduktif perempuan, Oedipal complex yang tergila-gila pada pemakaian korset untuk menjaga skala tubuh. Jenis tubular dress dikenakan oleh wanita kelas pekerja, material dan desain pakaiannya simple, dan memperlihatkan independensi ekonomi perempuan. Sementara itu, tipe glamour merupakan bentuk penolakan terhadap domestifikasi perempuan sebagai istri dan ibu (yang terlihat dalam model high fashion), memperlihatkan kalangan pekerja perempuan yang belum menikah, memiliki kebebasan dalam berfantasi. Tipe glamour biasanya berkaitan dengan wacana dominan seputar seks, perang seks (sex war), kebebasan seksual, persetubuhan seksual dengan siapa saja (sexual promiscuity), dan sebagainya. Sementara itu, tipe pakaian kontemporer dilihat sebagai heterosexual camp, sebuah hiper-feminitas yang menjelaskan adanya disorientasi kekuasaan dan posisi perempuan di dalam lingkungan urban kontemporer. Tipe pakaian ini merepresentasikan citra muda dan kontemporer, diasosiasikan dengan kesenangan masa muda. Menekankan pada kekurusan (thinness), gaya kekanak-kanakan (stylised child-like); girliness sebagai identitas perempuan muda, bukan woman (perempuan dewasa).
66
Pakaian dapat digunakan sebagai penanda dalam mendefinisikan seksualitas perempuan. Misalnya payudara. Dalam kultur yang maskulin, biasanya payudara akan dikonstruksikan sebagai objek, yang dikorelasikan dengan objektifikasi dari tatapan laki-laki (Young, 2005:90). Semakin terbuka pakaian yang dikenakan, semakin memperlihatkan payudara dan dengan demikian semakin menempatkan perempuan pada posisi objek. Dalam hal ini, tubuh perempuan dipandang sebagai tubuh yang beragam (various body), yang mana dalam masyarakat liberal tidak adalah kategori khusus untuk membedakan jenis pakaian (Young, 2005:13). Pakaian diasumsikan memperlihatkan kelas perempuan (Buckley dan Fawcett, 2002:83,122), pakaian akan mendefinisikan perempuan classy dan common— sebuah defenisi yang mengacu pada perbedaan perempuan yang berkelas dan yang dianggap tidak berkelas.
1.7.5.1.2.3. Performance and Movement Kode sinematik ini berfungsi untuk mengidentifikasi setiap objek tatapan kamera (manusia atau binatang), seperti ekspresi wajah dan posisi tubuh. Kode ini mengacu pada bahasa tubuh (body language), namun kriteria bahasa tubuh dalam penelitian ini terbatas untuk tidak mengkaji bahasa tarian. Bahasa tubuh merupakan elemen kunci dalam penciptaan performa. Kode ini juga nantinya akan mengarahkan karakterisasi karakter mayor dan minor (Wilson, 1985:197,202). Mayor mengacu pada figur yang dianggap penting dan menjadi fokus performa, sementara minor merupakan karakter yang hanya memainkan sebagian kecil performa. Beberapa acuan bahasa tubuh yang digunakan adalah:
67
Tabel 1.8 Kategori Gestur Tubuh Gestures
Keterangan
Palm-up position
Submissive, non-threatening gesture, reminiscent of the pleading gesture of a street beggar
Palm-down Position
Otoritas dan dominasi
Palm-closedfinger-pointed position
Aggresif
Hands clenched together
Awalnya gestur ini memperlihatkan rasa percaya diri dan diikuti dengan ekspresi tersenyum dan terlihat gembira. Namun gestur ini memperlihatkan rasa frustasi dan sikap yang tidak menyenangkan.
Standard-arm cross gestures
Gestur melipat tangan universal, memperlihatkan sikap defensif/negatif, biasanya ditunjukkan ketika seseorang berada di tengah kerumunan yang asing.
Memperlihatkan kenyamanan emosional
Partial arm-cross barriers
Kurang percaya diri
Menggunakan bunga, dompet untuk menciptakan batasan dengan orang lain, dilakukan untuk mengurangi rasa nervous.
Standing leg cross gestures
Nervous, pemalu, dan defensif
Hands-on-hips gestures
Clothing appealing
Sexual aggresiveness gestures
Perilaku seksual yang agresif
Sumber: Pease (1988), Body Language
68
1.7.5.1.2.4. Camera movement Pergerakan kamera dikategorikan sebagai shot berikut: Tabel 1.9 Kategori shot kamera Signifier (shot)
Definition
Signified (meaning)
Close-up
Face only
Intimacy
Medium shot
Most of body
Personal relationship
Long-shot
Setting and character
Context, scope, public distance
Full shot
Full body person
Social relationship
Sumber: Berger, 1991:26
1.7.5.1.2.5. Editing Teknik editing dari pergerakan kamera dikategorikan sebagai berikut: Tabel 1.10 Camera Work and Editing Techniques Signifier (shot)
Definition
Signified (meaning)
Pan down
Camera looks down
Power, authority
Pan up
Camera looks up
Smallness, weakness
Dolly in
Camera moves in
Observation, focus
Fade in
Image appears on blank screen
Beginning
Fade out
Image screen goes blank
Ending
Cut
Switch from one image to another
Simultaneity, excitement
Wipe
Image wiped off screen
Imposed conclusion
Sumber: Berger, 1991:27
1.7.5.1.2.6. Sound (musik) Elemen ini merupakan elemen final dalam kode sinematik yang membantu mengkonstruksi gambar. Musik sendiri terdiri dari beragam genre mulai dari musik country, jazz, rock, dan musik campuran lainnya, seperti yang terlihat dalam tabel 1.11 berikut.
69
Tabel 1.11 Genre Musik Music Genre Jazz Classic Rock Acoustic Rock
Rock
Alternative Rock Punk Rock
Hard Rock Big Band Music Pop Music
Urban Music Disco Music
Electronic Music
Electronica/ Techno Dance Music
Blues
Rap
Soul Music
Ballad
Keterangan Bentuk musikal, yang biasanya improvisasional (improvisational), dikembangkan oleh Afrika-Amerika. Musik rock yang berkembang di tahun 1960-an dan awal 1970an, khususnya dikaitkan dengan pergerakan hippie Jenis musik rock yang dimainkan dengan instrumen akustik (instruments without amplification) Musik rock yang dipertunjukkan oleh musisi yang relatif tidak dikenal dan/atau dipromosikan oleh perusahaan rekaman yang kecil Rock agresif, muncul di tahun 1970-an, berkembang dari artisartis rock counterculture, dan mengakar di kota London, dengan fashion “punk”. Tipe musik rock yang dikarakteristikkan dengan permainan gitar yang kencang dan strong insistent beat, serta cara bernyanyi dengan berteriak Musik populer di tahun 1930-an dan 1940-an, dipertunjukkan oleh band jazz atau band dance yang berjumlah besar, biasanya mengutamakan improvisasi solo oleh pemain utama. Genre musik pop yang disukai oleh khalayak perkotaan, kategorinya didominasi oleh rhythm and blues dan hip-hop. Flamboyan, genre musik populer yang berorientasi pada taruan, berkembang sejak tahun 1970-an. Jenis musik yang mulai dikenal sejak tahun 1980-an, yang menggunakan peralatan seperti synthesizers dan komputer untuk mem produksi karakter musik dengan suara elektronik (“electronic sound”) Jenis musik pop elektronik dengan adanya disc jockey yang berbicara atau nge-rap sebagai penari. Jenis musik yang berasal dari lagu sekuler Afrika-Amerika bagian selatan di awal tahun 1900-an, dibedakan dengan tempo yang cepat serta melodi dan lirik yang menyedihkan, dan dimainkan dengan intrumen yang sederhana. Jenis musik yang liriknya di-rap-kan (rapped/chanted) disesuaikan dengan musik yang ritmik, yang berasal dari kalangan muda Afrika-Amerika. Tema-tema lirik rap secara umum dikategorikan dalam 3 (tiga) yaitu: - those that are blatantly sexual, - those that chronicle and often embrace the so-called gangsta lifestyle of youths who live in inner cities, - and those that address contemporary political and philosophical issues related to the black experience and its history Jenis musik populer yang muncul di tahun 1960-an, dinyanyikan oleh musisi Afrika-Amerika seperti James Brown, Ray Charles, Sam Cooke, dan Aretha Franklin. Mengakar pada jenis musik gospel dan rhythm and blues Musik romantis yang lambat dalam musik populer, atau lagu lama yang mengisahkan cerita yang sentimental
Sumber: Dictionary of Media Studies, Anderson, dkk., 2006
70
Dalam genre film biasa, elemen musik biasanya paling banyak muncul ketika film berada dalam keadaan silent (diam tanpa narasi). Namun MV dalam penelitian ini terkategorikan dalam film non-narasi (silent-film musical), maka musik memegang peranan yang sangat penting dan berkesinambungan dari awal hingga akhir.
Kode sinematik
musik
akan
membantu
peneliti dalam
mengidentifikasikan karakter serta efek emosional yang dihasilkannya.
1.7.5.2. Analisis Paradigmatik Selanjutnya sistem pemaknaan tataran kedua (analisis paradigmatik)
akan
dianalisis melalui 5 (lima) kode pembacaan (Kurniawan, 2009:128-129), yaitu:
1.7.5.2.1. Kode hermeneutika (hermeneutic code) Merupakan kode penceritaan, yang dengannya sebuah narasi dapat mempertajam permasalahan, menciptakan ketegangan dan misteri, sebelum memberikan penyelesaian atau jawaban. Kode ini merupakan satuan-satuan yang dengan berbagai cara berfungsi untuk mengartikulasikan suatu persoalan, penyelesaian, serta aneka peristiwa yang dapat memformulasikan persoalan tersebut, atau justru yang menunda-nunda penyelesaiannya.
1.7.5.2.2. Kode proairetik (proarietic code) Merupakan kode tindakan yang didasari konsep proiresis, yakni kemampuan untuk menentukan hasil atau akibat dari suatu tindakan secara rasional, yang mengimplikasikan suatu logika perilaku manusia, tindakan-tindakan membuahkan
71
dampak, dan masing-masing dampak memiliki nama generik tersendiri, semacam judul bagi sekuens yang bersangkutan.
1.7.5.2.3. Kode Kultural (cultural code) Merupakan kode referensial yang berwujud sebagai suara kolektif yang anonim dan otoritatif, bersumber dari pengalaman manusia, yang mewakili atau berbicara tentang sesuatu yang hendak dikukuhkannya sebagai pengetahuan atau kebijkasanaan yang diterima umum. Kode ini berupa kode-kode pengetahuan atau kearifan yang terus-menerus dirujuk oleh teks atau menyediakan semacam dasar otoritas moral dan ilmiah bagi suatu wacana.
1.7.5.2.4. Kode simbolik (symbolic code) Merupakan kode pengelompokan atau konfigurasi yang gampang dikenali karena kemunculannya yang berulang-ulang secara teratur melalui berbagai sarana tekstual. Kode ini memberikan suatu struktur simbolik.
1.7.5.2.5. Kode semik (codes of semes) Merupakan kode yang memanfaatkan isyarat, petunjuk, atau kilasan makna yang ditimbulkan oleh penanda-penanda tersebut.
1.7.6. Goodness Criteria Menurut Guba dan Lincoln, goodness criteria (atau quality criteria) merupakan perbedaan mendasar yang ada antara paradigma-paradigma penelitian yang
72
mengakar pada pertanyaan ontologi, epistemologi dan metodologi. Dalam paradigma kritis, kualitas data dalam penelitian dilakukan melalui 3 (tiga) kriteria (Guba dan Lincoln, 2000:170; Conrad dan Serlin, 2011:267). Pertama, Historical situatedness, yang merupakan kriteria yang mana sebuah penelitian kritis akan mempertimbangkan nilai-nilai pembentuk realitas yaitu nilai sosial, politik, kultural, ekonomi, etnis, dan gender. Kriteria ini terlihat pada Bab II penelitian, yang menjelaskan bagaimana persoalan perempuan dalam fenomena budaya populer K-Pop sesungguhnya dilatarbelakangi terutama oleh nilai kapitalisme. Kedua, Erosion of ignorance and misapprehensions, yang merupakan kriteria yang mempertimbangkan bagaimana realitas yang terbentuk mampu mengikis ketidaktahuan (atau kebodohan) serta kesalah-pengertian yang terjadi dalam konteks sejarah. Kriteria ini merupakan bagian dari analisis penelitian yang memperlihatkan pengembangan teori sebagai usaha untuk membongkar dan menguraikan persoalan-persoalan yang dimunculkan di masa lampau. Ketiga, Action stimulus, yaitu kriteria yang mempertimbangkan sejauh mana kedua kriteria sebelumnya mampu menstimulasikan tindakan-tindakan yang baik yang mengarah pada transformasi sosial, persamaan, dan keadilan sosial. Kriteria ini dinilai dalam wujud implikasi penelitian yang berefleksi terhadap realitas yang dibentuk oleh sejarah dan masa kini.
1.7.7. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini mengeksplorasi persoalan performa perempuan hanya pada tataran mikro, yaitu teks kultural K-Pop MV yang ditampilkan di YouTube. Dengan
73
demikian, penelitian ini tidak mampu mengungkap proses produksi wacana performa performa perempuan sebagai sebuah realitas. Selain itu, penelitian ini sekedar mengkaji performa perempuan dalam music video dengan tidak terlalu mengindahkan persoalan musikalitas yang ada dalam MV, serta lebih memilih untuk mengkaji teks narasi dalam bahasa Inggris daripada bahasa Hangeul (Korea Selatan). Kajian lebih terfokus pada aspek-aspek sinematografi yang terdapat dalam MV yang menonjolkan performa perempuan. Dengan mempertimbangkan keterbatasan tersebut, penelitian selanjutnya disarankan menggunakan pendekatan FPDAiii (feminist poststructural discourse analysis) untuk dapat memahami secara lebih mendalam mengenai ideologi kultural yang muncul dalam beragam produk budaya populer, serta dapat membongkar wacana performa perempuan yang dihadirkan oleh media massa di Indonesia.
i
Penelitian ini lebih memilih untuk menggunakan terminologi “perempuan” daripada “wanita” karena istilah “wanita” dianggap cenderung memperlihatkan konotasi negatif yang justru merendahkan kaum perempuan (Sunarto, 2009). istilah “perempuan” berasal dari akar kata empu, yang bermakna ‘dihargai, dipertuan, atau dihormati’. Sementara kata “wanita” memiliki dasar kata wan yang berarti ‘nafsu’, sehingga kata “wanita” dimaknai dengan ‘yang dinafsui atau objek seks’. Pemilihan istilah “perempuan” daripada “wanita” merupakan sebuah usaha untuk mengubah objek menjadi subjek (Handayani dan Novianto, 2004:vi).
ii
Istilah ‘Liyan’ atau ‘The Other’ dalam penelitian ini meminjam istilah Simone de Beauvoir dalam karyanya The Second Sex (1949) yang menjelaskan mengenai konstruksi perempuan sebagai ‘Liyan’ atau ‘yang Lain’ (O’Donnell, 2009:86). De Beauvoir berargumentasi bahwa perempuan tidak memiliki alter ego (yang diwakili dengan keberadaan penis), karenanya, perempuan dituntun untuk membuat objek dari seluruh dirinya sendiri sebagai sang Liyan (the Other) (Thornham, 2010:49). Istilah yang sejenis juga digunakan oleh Stuart Hall dalam tulisannya yang berjudul The Spectacle of the ’Other’ (Hall, 1997b). ‘Liyan’ juga diistilahkan sebagai ‘subaltern’ oleh Gayatri Chakravorty Spivak dalam tulisannya Can the Subaltern Speak (Spivak, 1994). Prosa sang Liyan dalam penelitian ini memaknai relasi oposisi antara perempuan
74
versus laki-laki dan Timur versus Barat, untuk memperlihatkan superioritas laki-laki dan Barat terhadap perempuan [Timur]. iii
FPDA (feminist poststructuralist discourse analysis) merupakan sebuah pendekatan untuk mengkaji performa yang diinspirasikan oleh para pemikir feminisme gelombang ketiga, terutama Judith Baxter. FPDA merupakan variasi dari PDA (poststructuralist discourse analysis), sebagai wujud kritik terhadap CA (conversation analysisi) dan CDA (critical discourse analysis). FPDA berfokus pada proses performa itu sendiri. Tujuan utama dari FPDA ini adalah untuk mengkaji bagaimana cara perempuan menegosiasikan identitas,relasi dan posisi mereka dalam lingkungan yang dimultiplikasi oleh beragam diskursus (Kroløkke dan Sørensen, 2006: 61,113).
BAB II “MENARIKAN SANG LIYAN”i: FEMINISME DALAM INDUSTRI MUSIK
“A feminist approach means taking nothing for granted because the things we take for granted are usually those that were constructed from the most powerful point of view in the culture ...” ~ Gayle Austin ~
Bab II akan menguraikan bagaimana perkembangan feminisme, khususnya dalam industri musik populer yang terepresentasikan oleh media massa. Bab ini mempertimbangkan kriteria historical situatedness untuk mencermati bagaimana feminisme merupakan sebuah realitas kultural yang terbentuk dari berbagai nilai sosial, politik, kultural, ekonomi, etnis, dan gender. Nilai-nilai tersebut dalam prosesnya menghadirkan sebuah realitas feminisme dan menjadikan realitas tersebut tak terpisahkan dengan sejarah yang telah membentuknya. Proses historis ini ikut andil dalam perjalanan feminisme from silence to performance, seperti yang diistilahkan Kroløkke dan Sørensen (2006). Perempuan berjalan dari dalam diam hingga akhirnya ia memiliki kesempatan untuk hadir dalam performa. Namun dalam perjalanan performa ini perempuan membawa serta diri “yang lain” (Liyan) yang telah melekat sejak masa lalu. Salah satu perwujudan performa sang Liyan ini adalah industri musik populer K-Pop yang diperankan oleh perempuan Timur yang secara kultural memiliki persoalan feminisme yang berbeda dengan perempuan Barat.
75
76
K-Pop merupakan perjalanan yang sangat panjang, yang mengisahkan kompleksitas perempuan dalam relasinya dengan musik dan media massa sebagai ruang performa, namun terjebak dalam ideologi kapitalisme. Feminisme diuraikan sebagai sebuah perjalanan “menarikan sang Liyan” (dancing othering), yang memperlihatkan bagaimana identitas the Other (Liyan) yang melekat dalam tubuh perempuan [Timur] ditarikan dalam beragam performa music video (MV) yang dapat dengan mudah diakses melalui situs YouTube. Tarian merupakan sebuah bentuk konsumsi musik dan praktik kultural yang membawa banyak makna tersembunyi mengenai konteks sosial (Wall, 2003:188). Tarian merupakan sebuah aksi yang sangat kaya makna, yang maknanya dapat mengarah pada isu-isu mengenai kelas, nasionalitas, etnisitas, gender, dan seksualitas. “Whether we dance (or do not dance), how, where, and to what music we dance, are all very meaningful acts within popular music culture” (Wall, 2003:189). Semua itu, dikatakan Wall, akan membentuk politik resonansi yang mungkin akan selalu terulang sepanjang sejarah. Perjalanan “menarikan sang Liyan”, dengan demikian bukanlah sebuah perjalanan yang cepat saji melainkan dipengaruhi oleh situasi historis dan terjebak pada akar persoalan ideologis bernama kapitalisme.
2.1. Eksploitasi Kapitalisme dalam Industri Musik Populer Keberhasilan Korea Selatan dalam mengembangbiakkan industri K-Pop telah mendorong Indonesia untuk melakukan hal yang sama, seperti yang diungkapkan Menteri Pariwisata dan Industri Kreatif, Mari Elka Pangestu. Mari menyebutkan
77
bahwa pemerintah berharap akan adanya I-Pop sebagai model budaya yang diupayakan untuk menyaingi K-Pop. Mari juga menyebutkan bahwa Indonesia harus mencontoh teknik-teknik musik, lagu, koreografi, dan performa panggung yang
ditampilkan
dalam
industri
musik
K-Pop
(dalam
http://oase.
kompas.com/read/2012/04/30/14332957/Mari.Pangestu.Pop.Harus.Saingi.KPop). Tabel 2.1 Daftar Girlband K-Pop Nama Girlband Girls’ Generation KARA Wonder Girls 2NE1 f(x) Brown Eyed Girls A-Pink T-Ara After School Miss A RaNia 4Minute Brave Girls AOA (Ace of Angels) Girl’s Day Hello Venus
Debut 2007
Anggota Taeyeon, Jessica, Sunny, Tiffany, Hyoyeon, Yuri, Sooyoung, Yoona, dan Seohyun Park Gyuri, Han Seungyeon, Nicole Jung, Goo Hara, dan Kang Jiyoun
Nama Fandom SONE Kamilia
2007
Yubin, Yeeun, Sunye, Sohee, dan Hyerim
Wonderful
2009 2009
Bom, Dara, CL, and Minzy Victoria, Amber, Luna, Sulli, and Krysta
Blackjack Aff(x)tion
2006
JeA, Miryo, Narsha, Gain
Everlasting
2011 2009 2011 2009 2011 2009 2011 2012 2010 2012
Chorong, Bomi, Eunji, Naeun, Yookyung, Namjoo, Hayoung Boram, Qri, Soyeon, Eunjung, Hyomin, Jiyeon, Areum, Dani Jungah, Jooyeon, UEE, Raina, Nana, Lizzy, EYoung, Kaeun Fei, Jia, Min, Suzy Saem, Riko, Jooyi, Di, T-ae, Xia Nam Ji-hyun, Heo Ga-yoon, Jeon Jiyoon, Kim Hyun-a, and Kwon So-hyun Eun Young, Seo Ah, Yejin, Yoojin and Hyeran JiMin, Choa, Yuna, Youkyoung, Mina, Hyejong, Seolhyun, Chanmi So Jin, Ji Hae, Min Ah, Yura, dan Hyeri Yoo Ara, Nara, Alice, Lime, Yoonjo, dan Yooyoung Sumber: dari berbagai sumber
Pink Panda Diadem Play Girlz Say A A1ST 4NIA Fearless Elvis Daisy Hello Cupid
78
Tabel di atas merupakan perwujudan komitmen pemerintah Korea Selatan untuk membentuk sebuah institusionalisasi produksi budaya populer (khususnya girlband). Perkembangan pesat dari kelompok-kelompok tersebut didukung sepenuhnya oleh pemerintah yang dinaungi oleh Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata (Contemporary Korea No.1, 2011). Di sisi lain, Indonesia berharap untuk menciptakan gerakan kebudayaan yang sama yang bisa diterima oleh masyarakat (http://oase.kompas.com/read/2012/04/30/14332957/ Mari.Pangestu.Pop.Harus.Saingi.KPop).
Meskipun belum berkembang pesat
seperti K-Pop, Indonesia pun memperlihatkan adanya pergerakan girlband sebagai bagian dari bayangan institusi kebudayaan yang disebut I-Pop (Indonesian Popular Music). Tabel 2.2 Daftar Girlband I-Pop Nama Girlband 7 Icons Cherry Belle
Debut 2010 2011
G String Tina with D’Girls
2008
Blink Princess Super Girlies
2011 2011 2010
2011
Anggota Angela Tee, Grace Wohangara, Linzy, Mezty, Natly, PJ, Vanilla Cherly, Angel, Anisa, Christy, Devi, Felly, Gigi, Ryn, dan Wenda Araky, Dewa, Saqe, Nonie, Landa Tina Toon, Deyla Setia, Jilly Tan, Elisabeth Jessica, Dina Anjani Sivia, Pricilla, Ify, Febby Elma, Danita, Rachel, Ana, and Alika Laras, Atu, Mega, Opie, Kinang, Sarah, dan Uty Sumber: dari berbagai sumber
Cita-cita Indonesia menghadirkan I-Pop untuk menyaingi K-Pop tampaknya masih jauh dari realitas kultural yang saat ini [masih] berpihak pada Korea Selatan. Ekspansi global dari gelombang Korea (hallyu) yang kini berubah wajah menjadi neo-hallyu merupakan alat diplomatis yang menghasilkan keuntungan
79
kultural, politik, dan ekonomi bagi Korea Selatan. Tanpa disadari, gelombang kultural yang lahir dari desakan krisis moneter ini telah menghasilkan sebuah industri budaya yang dengan lihai mengeksplotasi setiap aspek-aspek kebudayaan yang bisa dijangkau olehnya.
2.1.1. Hollywood di Asia: Sebuah Pemahaman Industri Budaya Produk budaya populer Korea Selatan memang dikenal sangat kental dengan tradisi bangsanya sendiri yang mampu mereka olah dengan menyisipkan tema nilai-nilai kehidupan orang Asia pada umumnya yang dikemas dengan bingkai modern (Nugroho, 2011:118). Korea Selatan berhasil mengemas aspek-aspek kebudayaan tradisional mereka dalam kemasan modern hingga akhirnya mengubah posisi Korea yang semula merupakan negara pengimpor budaya menjadi “Hollywood-nya Asia” yang hingga kini telah banyak mengekspor konten budaya mereka ke seluruh dunia. “In the 1960’s, Korea remained a “culture importer”, content to accept culture from the Unites States, Europe, and Japan. That very same country is now “Asia’s Hollywood” with Korean cultural booms taking place not only in Asia, but also in Europe and the Americas” (Contemporary Korea No.1, 2011:15). Sebutan “Hollywood-nya Asia” melegitimasikan adanya kehadiran Barat di Asia. Hal ini merupakan implikasi dari aliran kebudayaan Timur yang bergerak dinamis dan berkiblat ke Barat. Aliran ini menciptakan gelombang kebudayaan Korea yang merupakan penciptaan kembali budaya-budaya luar dalam kemasan Korea, is not just “Korean”, but a byproduct of clashing and communication
80
among several different cultures (Contemporary Korea No.1, 2011:15). Hal ini mengukuhkan kembali apa yang dikatakan Adorno dan Horkheimer dalam Mahzab Frankfurt mengenai the culture industry. Adorno dan Horkheimer merupakan pewaris terpenting tradisi Marxis yang memperkenalkan gagasan bahwa budaya kontemporer adalah sebuah “industri budaya”, yang merupakan karya kunci dalam pendekatan Marxis untuk kajian budaya. Sebagai Marxis yang penuh komitmen, Adorno dan Horkheimer meyakini bahwa bisnis-bisnis besar yang mengontrol pesan-pesan media memiliki kepentingan ideologis. Di dalam paradigma Marxis, media dipelajari melalui metode-metode materialis/historis, biasanya dengan memperlihatkan kekuasaan ekonomi dan ideologi kelas yang berkuasa (Stokes, 2003 :116). Dalam esai berjudul The Culture Industry: Enlightment as Mass Deception, Adorno dan Horkheimer menjelaskan bahwa industri budaya menawarkan sebuah gambaran ...a society that has lost its capacity to nourish true freedom and individuality – as well as the ability to represent the real conditions of existence (Adorno dan Horkheimer, 1999:31). Bagi Adorno dan Horkheimer, industri budaya modern memproduksi kenyamanan dan produk yang terstandarisasi oleh kepentingan murni dari golongan kapitalis. Dalam hal ini, segala bentuk film, iklan, musik, dan bentuk-bentuk industri budaya lainnya, ditujukan untuk kepentingan hiburan yang menghasilkan kapital. Cikal bakal industri budaya Korea diawali ketika Korea di masa lampau mulai menyerap ajaran Budha, Confucian, dan tradisi-tradisi China, kemudian dilanjutkan dengan penyerapan gaya hidup dan sistem pendidikan Amerika,
81
filosofi Eropa, dan modernitas Jepang. Selanjutnya, perang di Korea Selatan dan di Vietnam telah banyak mendatangkan prajurit-prajurit bantuan yang membawa serta budaya popular dan budaya modern dari AS dan negara lain hingga akhirnya Korea dibanjiri dengan musik impor—American folk, lush ballads, rock, French chansons, Italian canzone, Latin and Cuban music, serta Japanese enka—dan mimikri yang dilakukan oleh penyanyi lokal terhadap gaya dan nada musik-musik impor ini telah menghasilkan ledakan popularitas dari musik kontemporer asing di Korea (Contemporary Korea No.1, 2011: 17). Musik kontemporer asing telah ada cukup lama di Korea Selatan hingga akhirnya mereka berakhir dan berdifusi menjadi industri budaya hallyu yang disebut-sebut sebagai Hollywood-nya Asia. Hal ini merupakan sebuah prestasi dari ekspansi kapitalisme yang menurut Marx, ‘the bourgeoisie’, has through its exploitation of the world market given a cosmopolitan character to production and consumption in every country’ (Elliot, 2009:18). Kata “borjuis” di sini menjelma dalam kontrol korporat yang dinaungi oleh Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata Korea Selatan, yang telah berhasil mengubah pola produksi dan konsumsi budaya kontemporer. Hingga kini, Korea telah berhasil menciptakan karakter-karakter kosmopolitan untuk diproduksi dan dikonsumsi di hampir setiap negara. Industri K-Pop sendiri memiliki banyak karakter kosmopolitan yaitu bintang-bintang hallyu yang diidolakan oleh kelompok manusia yang terkotak-kotakkan dalam kelompok fandomii. Lahirnya berbagai kelompok fandom Korea di berbagai belahan dunia adalah salah satu bentuk perayaan terhadap kehadiran industri budaya hallyu.
82
Ragam produk budaya yang ditawarkan industri budaya untuk dikonsumsi dikaitkan dengan kapitalisme dan komodifikasi, yang selanjutnya memunculkan perdebatan antara Marx (1850), Adorno (1940) dan Althusser (1970), yang mana dalam komoditas tersebut melekat makna ideologis yang melayani kepentingan kapitalisme (...that commodities carry embedded ideological meanings that serve the interests of capitalism and which are taken on board by consumers through the very act of consumption) (Barker, 2004:33). Konsumsi pada dasarnya merupakan wujud kebebasan pribadi individu. Namun ketika praktek konsumsi dikontrol oleh kapitalisme, maka segala bentuk kegiatan konsumsi pada ujungnya akan diakhiri dengan kepentingan kapital. Atas dasar kepentingan kapital inilah, industri budaya memasukkan berbagai nilai-nilai ideologis dalam produk komoditasnya yang ditujukan untuk mengontrol perilaku konsumen menjadi sejalan dengan kepentingan kapitalis. Dalam istilah yang lebih komersial, K-Pop merupakan perwujudan industri kreatif. Istilah ini menciptakan dan mendistribusikan konten kreatif melalui sebuah model perekonomian baru (misalnya, Hollywood, Bollywood, dll). Industri kreatif merupakan sebuah rekonseptualisasi dari industri budaya, dan berfokus pada dua kebenaran, yaitu: (1) inti dari “kebudayaan” adalah kreatifitas, namun (2) kreatifitas diproduksi, didistribusikan, dikonsumsi dan dinikmati dengan cara yang berbeda dengan era post-industrial (Hartley, 2004:43-44; 2005:18).
Sebagai
sebuah
industri
kreatif,
K-Pop
memenuhi
beberapa
karakteristik praktik kreatif yaitu: melibatkan interaktifitas, bersifat hibrid, memunculkan situs-situs dan bentuk produksi kultural yang baru, berorientasi
83
pada distribusi multi-platform, serta produksi kultural yang tak terpisahkan dengan realitas komersial (Haseman, 2005:167-169). Dalam pemahaman industri kreatif, K-Pop dianggap sebagai sebuah strategi kebudayaan (cultural strategic) yang tidak terlepas dari lima kriteria di atas. K-Pop memang dimaksudkan untuk lahir dari logika kapitalisme dan kemudian tumbuh berkembang dengan cara mengkomersialisasikan budaya dalam proses kreatif. Memandang industri musik kontemporer K-Pop sebagai wujud eksploitasi kapitalisme merupakan sebuah usaha pembuktian bahwa K-Pop memperlihatkan superioritasnya terhadap cultural capital yang ada di Korea Selatan, sekaligus sebagai bentuk kejenuhan terhadap ruang publik yang telah dimonopoli oleh musik kontemporer asing selama rentang waktu yang cukup lama. K-Pop kini bebas dan diberikan hak secara legal untuk merepresentasikan cultural capital dalam bentuk-bentuk yang bisa dijual (musik, drama, film, manhwa/komik, animasi, dan sebagainya). Tom Dixon (2011) menyebut K-Pop sebagai sebuah perjalanan kebudayaan yang berasal dari kemampuan untuk mengingini hal yang paling sekuler, kapitalistik, dan materialistik (the Korean Wave may be a result of the ‘ability’ of a most secular, capitalistic, materialistic desire ...). Hal yang hampir sama juga diungkapkan oleh Piliang (2010:209-210) yaitu, kapitalisme adalah sistem yang dibangun terutama di atas prinsip persaingan (competition). Inheren dalam persaingan adalah kehendak berkuasa (menguasai pasar), kehendak mendominasi pihak lain, untuk mendapatkan keunggulan dan kekayaan dan akumulasi kapital sebesar-besarnya.
84
Persaingan untuk menjadi yang paling sekuler, kapitalistik, materialistik, serta yang paling dominan ini berbuahkan hasil yang cukup memuaskan ketika cultural capital mulai diproduksi menjadi komoditas dan didistribusikan melalui media sosial. Dalam hal ini situs YouTube memegang peranan yang penting. YouTube banyak memberikan rekor popularitas kepada artis K-Pop. Girls’ Generation, misalnya. GG merilis MV berjudul “I Got a Boy” yang kemudian dipublikasikan di akun YouTube SM Town pada 1 Januari 2013, dan dalam enam hari MV ini telah ditonton lebih dari 21 juta kali. Fenomena popularitas lain di situs YouTube terlihat ketika MV PSY “Gangnam Style” ditonton lebih dari 1,1 milyar
kali
dalam
rentang
waktu
161
hari
setelah
MV
ini
dirilis
dalam http://english.kofice.or.kr/a00_music/a10_news_detail.asp?seq=182&page= 1&me nu=MUSIC&category). YouTube seolah malaikat yang dikirimkan kepada kaum kapitalis untuk mempertemukan komoditas budaya dengan para konsumennya. Dengan demikian YouTube merupakan media yang bermain bersama dengan para kapitalis. Media, menurut Stuart Hall, merupakan alat ideologis yang sangat kuat (Griffin, 2009:335). Media menjadi alat perpanjangan tangan kapitalis, yang dalam bentuk apapun medianya, selalu membawa serta ideologi kapitalis kemanapun ia pergi.
2.1.2. Girlband Sebagai Cultural Capital Fenomena Hallyu (dan/atau Neo-Hallyu) yang dihasilkan oleh Korea Selatan tidak terlepas dari pembicaraan mengenai produk kultural berupa boyband dan girlband sebagai produk kultural yang paling laris dikonsumsi di berbagai belahan dunia
85
(lihat gambar 1.2.). Boyband dan girlband ini diinstitusikan secara legal sebagai sebuah industri K-Pop yang dikendalikan oleh negara. Girlband mengacu pada kelompok perempuan (girl group) yang dimaknai sebagai musical ensembles made up exclusively of female performer and, usually, potraying a gendered view of topics (Danesi, 2009:134). Logika yang sama dapat digunakan pula untuk mendefinisikan boyband. Pengklasifikasian boys dan girls dalam K-Pop merupakan sebuah usaha untuk memperlihatkan oposisi biner di antara laki-laki dan perempuan. Dengan pengklasifikasian yang seperti ini maka muncul logika laki-laki > < perempuan. Sistem oposisi biner ini terintitusikan dalam K-Pop, mengingat dalam beberapa kasus terbukti bahwa girlband dibentuk sebagai usaha untuk menciptakan counterpart dari boyband. Misalnya, SM Entertainment dengan boyband Super Junior dan girlband Girls’ Generation, atau YG Entertainment dengan boyband BigBang dan girlband 2NE1. Pengklasifikasian sederhana antara perempuan dan laki-laki dalam industri K-Pop ini tidak terlepas dari unsur kontrol korporat atas industri budaya. SM Entertainment, YG Entertainment, JYP, dan sebagainya, merupakan beberapa institusi K-Pop yang diberikan mandat oleh negara untuk mengontrol sumber daya kultural agar bisa diolah menjadi produk budaya yang layak dikonsumsi. Produk unggulan yang dihasilkannya adalah boyband dan girlband. Keduanya sengaja dioposisikan dan kemudian didistribusikan ke ruang publik untuk membuktikan siapa di antara laki-laki dan perempuan yang paling bisa dimonopoli untuk dijadikan sebagai komoditas unggulan K-Pop.
86
Situs YouTube sendiri memberikan ruang yang lebih banyak kepada perempuan, yang mana tiga dari lima MV terbanyak adalah girlband (lihat halaman 3). Hal ini menjadi pengukuhan bahwa perempuan merupakan komoditas yang paling menguntungkan untuk dijual, dengan segala aspek keperempuanan mereka. Bahkan dalam industri K-Pop, telah menjadi sebuah tradisi bahwa boyband K-Pop merupakan kelompok laki-laki yang kebanyakan diberi julukan the flower boys. Istilah ini diacukan karena representasi laki-laki dimasukkan ke dalam frame perempuan, artinya laki-laki tampil dengan kecantikan yang hampir sebanding dengan perempuan. Kapitalisme menjadikan tubuh perempuan sebagai bahan baku sistem pertukaran tanda, dengan melakukan eksplorasi besar-besaran terhadap tubuh perempuan. Tubuh diproduksi sebagai rangkaian teks, yaitu kumpulan tandatanda,
yang dikombinasikan lewat kode-kode semiotik tertentu. Tubuh
disegmentasi menjadi elemen-elemen tanda (mata, bibir, hidung, pipi, rambut, payudara, penis, bahu, tangan, jari, kuku, perut, pinggul, betis, paha, kaki; pakaian, asesori, perhiasan) yang masing-masing mampu menghasilkan makna yang marketable: sensual, erotis, menggairahkan, pesona, fetis (Piliang, 2010:297). Perempuan adalah objek komoditas dalam industri musik secara global. Tidak hanya performa solo saja, performa perempuan secara grouping (berkelompok) juga telah menjadi perhatian dalam dunia internasional. Dua unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu Girls’ Generation dan KARA, termasuk dalam kategori best-selling girls group dan menduduki peringkat ke-19 dan 20 (lihat tabel 2.3).
87
Tabel 2.3 Best-Selling Girl Groups (Worldwide) No
Girl group
Country
Sold (Album)
Genre
Years Active
1
Spice Girls
United Kingdom
80 million
Pop
2
TLC
United States
55 million
R&B / HipHop
1994–2000, 2007, 2008, 2012 1991–2003, 2008–present
3
Destiny’s Child
United States
50 million
R&B
1995–2006, 2013
4
Bananarama
40 million
Pop
1982–present
5
AKB48
United Kingdom Japan
20 million
J-Pop
6
Speed
Japan
20 million
Pop
7 8
The Supremes En Vogue Morning Musume
United States United States
20 million 20 million
R&B R&B
2005–present 1996–2001, 2003, 2008–present 1959–1977 1989–present
Japan
16 million
Pop
1997–present
10
SWV
United States
15 million
R&B
11
Pussycats Dolls
United States
15 million
12
All Saints
13
Atomic Kitten
14
Sugababes
15
Wilson Philips
16
9
United Kingdom United Kingdom United Kingdom
10 million
Pop / R&B Pop / R&B
1990–1998, 2005–present 2005–2009, 2011–present 1994–2001, 2006–2007 1997–2004, 2008, 2012–present
10 million
Pop
10 million
Pop
United States
10 million
Pop
Girls Aloud
United Kingdom
8 million
Pop
17
Rouge
Brazil
6 million
Pop
18
No Angels
Germany
5 million
Pop
South Korea
4.5 million
K-Pop
2007–present
South Korea
4.2 million
K-Pop
2007–present
19 20
Girls’ Generation KARA
Sumber:
1998–2012 1989–1993, 2004–present 2002–2009, 2012–2013 2002–2005, 2012–present 2000–2003, 2007–present
http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_best-selling_girl_groups#Best-selling_girl_groups
88
Dari semua kelompok tersebut, Girls’ Generation dan KARA merupakan dua dari lima kelompok Asia yang muncul (tiga di antaranya berasal dari Jepang), dan keduanya ini tergolong dalam kelompok girlband yang usianya masih muda (7 tahun masa aktif) dan sedang dalam perkembangan dalam meraih popularitas. Kehadiran girlband ini merupakan sebuah bentuk cultural capital yang akan membuka peluang untuk merebut pasar potensial global yang sejauh ini masih dikuasai oleh penjualan produk kultural dari Barat. Untuk masuk ke dalam dunia komoditas K-Pop sebagai sebuah girlband bukanlah hal yang mudah. Perempuan harus memiliki nilai-nilai tubuh yang layak untuk bisa dikategorikan sebagai elemen tanda yang menghasilkan makna yang marketable. Bagi industri budaya K-Pop sendiri, tidak semua artis di bawah manajemen korporat dapat tampil perdana di depan publik (debut), jika ia dinilai tidak layak atau tidak memiliki nilai jual yang sempurna. Dengan demikian, K-Pop hanya menjual yang terbaik, yang paling kapitalistik di antara semuanya. Sekali lagi, kontrol korporat berperan besar dalam membesarkan (baca: mengkomodifikasikan) sebuah girlband. Girls’ Generation atau SNSD (sebutan yang diberikan oleh fans) (lihat gambar 2.1), merupakan girlband yang dibentuk pada tahun 2007 dan memiliki lima label rekaman di lima negara, yaitu SM Entertainment (Korea Selatan), Nayutawave (Jepang), Interscope (AS), Polydor (Perancis), dan Universal Music (Taiwan). Dalam bahasa Korea, Girls’ Generation (GG) disebut So Nye Shi Dae (소녀시대). Nama Girls’ Generation ini memberi arti “the generation of girls’ domination has come”. GG terdiri dari 9 (sembilan) anggota perempuan yaitu, Taeyeon, Jessica, Sunny, Tiffany, Hyoyeon, Yuri, Sooyoung, Yoona, dan
89
Seohyun. GG secara khusus telah menarik perhatian 22.000 khalayak untuk datang ke showcase performance mereka sebagai awal masuknya GG ke pasar Jepang. Selain menarik perhatian publik Jepang, GG menjadi headline news dalam berbagai media, dan terpilih sebagai cover majalah Nikkei Business. Dobrakan terhadap pasar Jepang ini juga telah membantu GG untuk merambah ke wilayah Asia lainnya hingga ke Eropa dan Amerika Serikat (Contemporary Korea No.1, 2011:36,42). Gambar 2.1 Girls’ Generation dalam MV ‘Time Machine’
Gambar 2.2 KARA dalam MV ‘Step’
KARA (lihat gambar 2.2) merupakan girlband yang dibentuk pada tahun 2007 oleh DSP Media. Kelompok ini terdiri dari 5 (lima) orang anggota yaitu, Park Gyuri (leader, lead vocalist, sub-rapper), Han Seungyeon (main vocalist), Nicole Jung (main rapper, main dancer, vocalist), Goo Hara (lead dancer, vocalist, face of the group), dan Kang Jiyoung (vocalist, maknae). Nama KARA dikatakan berasal dari bahasa Yunani “Chara” (χαρά), yang diartikan sebagai ‘sweet melody’. KARA didukung oleh fanbase bernama Kamilia (merupakan gabungan dari “Kara” dan ”familia”).
90
2.2. Performa Feminisme dalam Budaya Kontemporer Kapitalisme selalu berhasil memanfaatkan dan memeras cultural capital yang ada, termasuk perempuan. Eksploitasi kapitalisme semakin memperlihatkan objekobjek feminisme yang menjelma menjadi teks dalam seni kontemporer, termasuk dalam industri musik kontemporer. Perempuan tidak lagi sekedar menari dalam panggung teater, namun kini ia menari dalam panggung media. Perkembangan ini, tentu saja tidak terlepas dari peranan kapitalisme dalam merangkai performa. Bersamaan dengan berkembangbiaknya kapital, muncul pula passionate capitalism yang menurut Piliang (2010:128) berisi usaha mensejajarkan komoditi dengan mesin hasrat. Artinya, kapitalisme akan berusaha mengeksploitasi segala sesuatu yang bisa dijadikan sebagai komoditi pemuas hasrat, dengan perempuan sebagai alat pertukarannya.
2.2.1. Performa Perempuan dalam Teater Performance contains (a lot of) nudity. Performa mengandung (banyak) ketelanjangan. Kalimat ini merepresentasikan sebuah perfoma feminis dalam teater yang berjudul “Untitled Feminist Show”. Untitled Feminist Show merupakan pertunjukan teater karya Young Jean Lee yang memperlihatkan performa feminisme dalam utopia ketelanjangan, memadukan gerakan dan musik dalam
wujud
tarian
kontemporer
performances /now/all/2013/891).
(dalam
http://www.mcachicago.org/
91
Gambar 2.3 “Untitled Feminist Show”
Sumber:
http://www.mcachicago.org/performances/now/all/2013/891
Representasi seksual di atas merupakan titik balik dari modernitas dan kembalinya manusia ke dalam era yang primitif, era modern yang primitif (Piliang, 2010:99). Karya ini disebutkan sebagai performa yang mempertunjukkan a fully nude, wordless celebration of female identity. Untitled Feminist Show memperlihatkan sebuah pertunjukan resistensi terhadap sistem dunia yang penuh dengan
kesenjangan
seksual.
Ia
merupakan
strategi
perempuan
untuk
mengekspresikan Diri dengan tidak dibatasi oleh rasa malu akan identitasnya sebagai perempuan. Namun ini adalah fakta moral yang memang tidak adil. Perjuangan gender yang terlihat dalam teater ini bisa saja diartikan sebagai sebuah perilaku disorder perempuan, yang membuka nilai-nilai tubuh yang seharusnya tertutup. Dengan menelanjangi dirinya, perempuan telah memparodikan keberadaan “yang lain” yang ada dalam dirinya, dengan cara mengeksplorasi tubuh keperempuanan yang ia miliki. Ketika perempuan menarikan “yang lain” (dancing othering), ia akan masuk dalam frame performa di mana ketelanjangan tidak lagi dimaknai sebatas
92
perayaan identitasnya sebagai perempuan, melainkan direduksi menjadi sebatas objek seksual yang direpresentasikan kepada dunia yang sejatinya memihak kepada kapitalisme.
2.2.2. Performa Perempuan dalam Music Video Penggunaan perempuan sebagai ilustrasi musik (video clip) memiliki fungsi utama untuk memberikan nilai-nilai tampilan tubuh (Piliang, 2010:293). Dengan demikian, sesuai dengan pendapat L. Lewis (1993), pendekatan feminis akan membantu dalam menganalisis MV untuk mengidentifikasi
bentuk-bentuk
kultural yang mengobjektifikasikan perempuan. Menurut Lewis, sebagian besar elemen yang ada dalam MV terkonstruksi di seputar fantasi seksual laki-laki. Namun Lewis juga mengungkapkan bahwa MV bisa menjadi ranah kesenangan perempuan bagi mereka yang bisa bermain artikulasi teks MV (Casey, et all, 2008:174).
MV
kini
menjadi
ranah
performa
bagi
feminisme
untuk
mengekspresikan diri, dan mengubah perempuan yang sebelumnya invisible menjadi visible. Dalam musik kontemporer, pengeksposan tubuh tidak lagi dianggap sebagai hal yang melecehkan, namun dilihat sebagai permainan di mana tubuh bagi mereka bukan sesuatu yang esensialis, namun hanya sebagai representasi. Tidak semua representasi menawarkan subordinasi posisi subjek, seperti hasil eksplorasi Kaplan (1992) terhadap sosok Madonna sebagai sebuah teks yang mampu mendekonstruksi norma gender. Madonna dianggap mampu untuk mengubah relasi gender dan mendestabilisasinya (Barker, 2000:255). Madonna
93
digambarkan sebagai perempuan muda yang mencari kebebasan makna seksualitasnya lewat pengeksposan tubuhnya yang menantang. Namun, ia juga menegaskan pengontrolan penuh atas tubuhnya di mana penonton tidak melihatnya untuk dilecehkan, tetapi justru untuk dikagumi. Madonna dengan ungkapan material girl dan Spice Girl dengan ungkapan girl power, merepresentasikan budaya perempuan yang baru, yakni perempuan mandiri yang mendikte sendiri tubuhnya, penonton, dan pasar (Arivia, 2006:116117). Dalam fenomena girl power, gagasan ‘kekuasaan’ Foucault memberikan pemahaman bahwa perempuan tidak melulu dilihat sebagai yang tidak berdaya, namun yang mempunyai kekuasaan sekalipun dengan menggunakan sensualitas dan seksualitasnya, tetapi dengan kesadaran penuh dan kritis (Arivia, 2006:90). Madonna dalam videonya berusaha untuk memperlihatkan kekuasaan perempuan dengan cara mendesak perempuan untuk mengambil alih kontrol atas hidup mereka, dan bermain kode-kode seks dan gender (codes of sex and gender) untuk mengaburkan batas antara maskulinitas dan feminitas (Barker, 2000:256). Madonna pernah dilarang untuk ditayangkan ditelevisi, karena isinya yang terlalu vulgar dan kontroversial, salah satunya MV Like A Prayer. MV-nya dikecam oleh Vatikan karena telah dianggap mencampurkan simbol-simbol Kristiani dengan erotisme. MV tersebut bercerita tentang seorang lelaki kulit hitam yang menolong seorang wanita korban pembunuhan yang kemudian justru dituduh sebagai pembunuhnya. Akibatnya si lelaki kemudian ditangkap dan dipenjarakan sebelum Madonna datang sebagai saksi mata yang akhirnya dapat membuktikan bahwa lelaki itu tidak bersalah.
94
Meskipun MV tersebut dianggap menentang rasisme, kontroversi muncul karena banyaknya penggunaan simbol-simbol Katolik “menyesatkan”, seperti stigmata dan salib yang terbakar, ditambah lagi dengan unsur seksualitas yang sangat kuat. Seiring dengan kontroversi yang terjadi, album Like A Prayer justru meningkat penjualannya dan menghasilkan 4 (empat) kali platinum di Amerika. Madonna juga dianggap berulah lewat MV Justify My Love yang menampilkan aktivitas seksual bersifat sado-machocism dengan karakter gay dan lesbian dan penampilan bugil singkat, serta MV Erotica yang menampilkan sensualitas yang berlebihan hingga akhirnya MTV melarang penayangannya (Munif, 2009:116). Gambar 2.4 Madonna “The Queen of Pop”
Sumber:
http://beverlyhillshoneys.com/marilyn-monroe-madonna-smoking-cigarette-modelsupermodel-lindsay-hancock/
Madonna merupakan ikon pertama dari post-feminisme, yaitu istilah yang dipakai untuk menolak perempuan yang digambarkan sebagai korban, tidak otonom, dan bertanggung jawab. Penggambaran perempuan yang terus-menerus menjadi korban menggambarkan perempuan yang tidak memiliki kontrol atas hidupnya sendiri (Arivia, 2006:129). Madonna terus-menerus menemukan
95
imejnya, sambil mencampuradukkan fesyen, era, kebudayaan, dan gaya (O’Donnell, 2009:18). Madonna menggambarkan dirinya sebagai perempuan yang sepenuhnya bebas, meskipun ekspresi dirinya itu seringkali mendapatkan kecaman dari berbagai pihak. Madonna
adalah
ikon
resistensi
perempuan,
ia
memperlihatkan
independensi seksualnya dalam lagu ‘Like A Virgin’, di sisi yang lain ia mendeskripsikan dirinya dalam sepenggal kalimat berbunyi, “I’m tough, I’m ambitious, and I know exactly what i want. If that makes me a bitch, okay.”. Kalimat tersebut menyiratkan eksistensi perempuan yang berusaha mengabaikan penindasan terhadap dirinya. Kalimat yang diungkapkan Madonna memberikan pelajaran penting bagi perempuan lain untuk “menjadi diri sendiri”. Namun bagi seorang perempuan, “menjadi diri sendiri” dalam artian memperlihatkan kekuasaan dan kontrol keperempuannya, seringkali menimbulkan kontroversi. Seperti yang terlihat dalam kisah Lady Gaga yang selalu tampil tak terprediksi di depan publik. Ia sering tampil di depan publik dengan konsep meat dress, menggunakan bikini daging dalam cover majalah Vogue Hommes Japan, namun ia menyebut dirinya “I’m not a piece of meat”. Terlepas dari kontroversi apakah ia adalah seorang ikon feminis atau bukan, Lady Gaga merupakan sebuah wujud perayaan perempuan atas kontrol penuh terhadap dirinya.
2.3. Performa Feminisme dalam Industri Musik di Indonesia Seiring dengan perkembangan argumen terkait feminisme, Strinati mencatat bahwa sekurang-kurangnya ada tiga golongan feminisme secara umum (Strinati,
96
2009:274; 1995:165). Pertama adalah feminisme liberal, yang mengkritik usaha maupun representasi tak adil dan eksploitatif dalam media maupun budaya populer, serta menyampaikan pendapat tentang berbagai legislasi kesempatan untuk mendapatkan kesetaraan untuk memperbaiki situasi ketidakadilan tersebut. Kedua adalah feminisme radikal, yang memandang kepentingan laki-laki maupun perempuan pada dasarnya dan tak pelak lagi berbeda, menganggap patriarki maupun kontrol dan represi kaum perempuan oleh laki-laki sebagai wujud historis paling krusial dari pembagian sosial maupun sebagai bentuk penindasan, serta memperdebatkan suatu strategi pemisahan kaum perempuan. Ketiga adalah feminis sosialis, yang menerima penekanan pada patriarki tapi berusaha memasukkannya dalam analisis kapitalisme, serta memperdebatkan perubahan radikal reaksi antara gender sebagai bagian integral dari lahirnya sebuah masyarakat sosialis. Menurut Gadis Arivia (2006), peta pergerakan perempuan di Indonesia terbagi dalam empat tahap. Tahap pertama, memunculkan persoalan hak memilih dalam pemilihan pejabat publik, hak pendidikan yang dikemukakan pada jaman Belanda. Pada tahap kedua, memunculkan persoalan politis yang berada pada basis massa dan perkumpulan untuk memajukan baik keterampilan maupun politik perempuan yang ditemui pada masa Orde Lama. Pada tahap ketiga, di masa Orde Baru, menampilkan wacana tugas-tugas domestikasi perempuan sebagaimana yang diinginkan negara. Dan pada tahap yang keempat, di era reformasi, memunculkan pergerakan-pergerakan liberal yang bertemakan anti kekerasan terhadap perempuan (Arivia, 2006:15).
97
Pergerakan perempuan mulai dari masa penjajahan hingga masa Orde Baru pada akhirnya menciptakan sebuah justifikasi perempuan sebagai ‘Ibuisme Negara’ (Suryakusuma, 2011). Ibuisme Negara dipahami sebagai sebuah konstruksi sosial resmi keperempuanan di Indonesia yang mana perempuan dimanfaatkan untuk kepentingan negara dalam mempertahankan kekuasaan dan kontrolnya atas masyarakat (Suryakusuma, 2011:111). Dalam hal ini, perempuan diposisikan dalam posisi ‘silence’, dikontrol sedemikian rupa oleh negara yang sesungguhnya didominasi oleh laki-laki. Konstruksi perempuan sebagai Ibuisme sama halnya dengan memposisikan perempuan sebagai penjaga gawang patriarki yang berfungsi untuk memelihara dan melegalkan dominasi laki-laki di hampir semua aspek kehidupan. Pada masa itu, keterlibatan feminisme di Indonesia memunculkan banyak hambatan, seperti yang dialami di banyak negara Dunia Ketiga lainnya. Ciri dasar feminisme adalah sikap kritis, karena itulah ia tidak bisa diterima di Indonesia. Feminisme disalahpahami dan sengaja dimanipulasi untuk membangkitkan konotasi-konotasi negatif. Feminisme dianggap secara apriori dianggap sebagai paham yang konfrontasional, dipandang “melawan laki-laki”, “kebarat-baratan”, “kekiri-kirian”, tidak sesuai dengan nilai-nilai “ketimuran”, dan merupakan ancaman bagi status quo (Suryakusuma, 2011: 102). Feminisme di Indonesia pada masa setelah reformasi mulai memperlihatkan adanya pergeseran dari silence ke performance. Feminisme pada masa ini tidak lagi terfokus hanya pada batasan politik atau kehidupan domestik. Feminisme kini mulai mempertanyakan ketimpangan representasi perempuan yang ada di media
98
massa. Seiring dengan reformasi, feminisme mulai menyuarakan paham multikultural yang memandang feminisme sebagai sebuah jaringan yang kompleks dan memaknai perempuan dari sudut pandang yang berbeda-beda. Hal ini dimungkinkan di Indonesia mengingat Indonesia adalah negara multikultural yang dikaruniai lebih dari 500 suku bangsa. Jika Madonna adalah ikon post-feminis pertama di tahun 1980-an, Indonesia juga memiliki ikon serupa yaitu Inul Daratista. Inul memperlihatkan adanya girl power di dalam dirinya. Ia bukan seorang perempuan lemah yang melantunkan lagu-lagu melankolis penuh desahan penyesalan nasib, melainkan seorang entertainer yang berbakat dan tahu benar nilai jual dirinya (Arivia, 2010:130). Gambar 2.5 Ainul Rokhimah alias “Inul Daratista”
Sumber: http://www.suaramerdeka.com/harian/0603/05/nas06.htm
Inul dengan performa ‘Goyang Inul’ dan lagu ‘kocok-kocok’ dianggap sebagai sebuah ekspresi publik atas seksualitas naturalnya. Tubuh performatif Inul yang lihai dalam bergoyang sesunggguhnya merupakan tradisi kultural dari tarian perempuan di Indonesia. Indonesia memiliki cultural capital berupa ragam tarian tradisional yang di dalam masing-masing tarian menyiratkan relasi antara
99
perempuan, kekuasaan, dan performa. Tubuh Inul dianggap sebagai contoh ‘pementasan budaya’ dalam demokrasi mendadak pasca masa Orde Baru (Weintraub, 2008:367-392). Performa Inul merupakan sebuah ekspresi demokrasi yang sebelumnya terpendam di masa Orde Baru. Tariannya dianggap melampaui batas moral, namun dari sudut pandang feminisme, tarian itu merupakan wujud pergerakan feminis yang mengartikulasikan bahwa perempuan pun memiliki hak kebebasan berekspresi dengan menggunakan tubuhnya.
i
Judul bab “Menarikan Sang Liyan” terinspirasi dari sebuah chapter berjudul “Dancing Othering” yang diambil dari dalam buku “Of the Presence of the Body: Essay on Dance and Performance Theory” karya André Lepecki (2004). Istilah “menarikan sang Liyan ini merupakan sebuah penggambaran historical situatedness dari penelitian, yang mendeskripsikan bagaimana identitas sang Liyan bagi perempuan bukan merupakan hal yang baru, melainkan sebuah proses panjang yang dipengaruhi oleh proses konstruksi sejarah.
ii
Fandom merupakan sebuah gaya hidup yang bisa muncul ketika identitas budaya yang berbeda dibenturkan dan identitas budaya yang satu menjadi dominan atas budaya yang lain (Hills, 2002:82). Fandom merupakan sebuah bentuk resepsi dan konsumsi publik terhadap artis tertentu yang diidolakannya. Fandom seringkali diasosiasikan dengan pandangan kritis mengenai ketidakdewasaan, ketidak-rasional-an, yang merupakan produk budaya massa dan merupakan contoh perilaku massa. Fandom merupakan sesuatu yang bersifat kolektif, yaitu berbagi perasaan terhadap ketertarikan yang kuat yang dilakukan secara sadar (McQuail, 2010:442, Huat, 2012:152).
BAB III PERFORMA PEREMPUAN DALAM K-POP MV (SEBUAH ANALISIS SINTAGMATIK)
Bab ini akan menguraikan performa perempuan dalam unit analisis penelitian yaitu music video Girls’ Generation “The Boys” dan Kara “Pandora” hingga pada tataran sintagmatik. Dari dua MV yang merupakan unit analisis penelitian tersebut, akan dikategorikan unit pembacaan yaitu leksia yang dipilih berdasarkan satuan tanda yang terdapat dalam unit analisis. Dalam mengkaji leksia ini, perempuan dipandang sebagai seorang bintang (star). Bintang adalah famous individuals, widely known, and often admired and desired. Atribut ini biasanya diperlihatkan sebagai produk talenta serta karisma (Wall, 2003:153). Ketika seorang perempuan menjadi terkenal sebagai seorang bintang, maka pada saat ia melakukan performa, ia akan masuk ke dalam konstruksi diri yang dimainkan oleh tanda-tanda dalam teks media. Dalam hal ini, analisis sintagmatik berfungsi untuk mengawali pemaknaan terhadap teks media hingga akhirnya, dari pemaknaan sintagmatik ini dapat dilakukan penafsiran paradigmatik untuk melihat mitos atau ideologi tentang resistensi perempuan yang bersembunyi di balik teks performa. Analisis sintagmatik mengajak kita untuk mengimajinasikan ke depan atau memprediksi apa yang terjadi kemudian. Suatu tanda mempunyai hubungan sintagmatik dengan tanda lainnya sejauh tanda-tanda itu mempunyai fungsi satu sama lain. Hubungan sintagmatik disebut juga sebagai hubungan fungsional, dan hubungan ini akan tampak jelas dalam sebuah sintagma yang ditata menurut
100
101
sintaks tertentu di mana keberadaan tanda dalam satu sintaks bersifat saling mengadakan (constituent) (Sunardi, 2002:70-74). Analisis sintagmatik dalam penelitian ini mengkaji leksia melalui narasi dan kode-kode sinematik (mise-enscéne) yaitu, setting, costume, performance and movement, camera movement, camera editing, dan sound.
3.1. Unit Analisis 1: “Girls bring the boys out!” Gambar 3.1 Captured Image Unit Analisis “The Boys”
Sumber: data yang diolah
3.1.1. Narasi “The Boys” Narasi dalam MV dikaji melalui struktur lagu dan plot yang nantinya akan dioperasionalisasikan oleh kode-kode sinematik dan akan menghasilkan potongan-potongan gambar seperti yang diperlihatkan dalam gambar 3.1 di atas.
102
Dalam MV, narasi merupakan kumpulan syair yang terpotong-potong yang terdapat dalam lirik lagu. Narasi MV “The Boys”, dilihat dari struktur lagunya dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 3.2 Struktur narasi lirik “The Boys” Musematic repetition
Verse 1 – Verse 2 – Riffs – Verse 3 – Riffs – Verse Rap – Verse 4 – Verse 1 – Bridge – Riffs
Discursive repetition
Sumber: hasil pengamatan penelitian
MV ini terdiri dari 55 (lima puluh lima) syair yang terbagi dalam empat bait, rap, refrain, dan bridge. Dari gambar 3.2 di atas dapat dilihat adanya repetisi musematik (dalam hal ini pengulangan
refrain) dan repetisi diskursif
(pengulangan bait pertama). Pengulangan ini dimaksudkan untuk memberi penekanan penting pada apa yang dianggap penting dalam sebuah narasi. Sebelum memasuki bait pertama (verse 1), MV diawali dengan kalimat intro yaitu, “the boys, the boys, the boys, the boys, the boys, the boys, out.”[1]. Pengulangan kata ‘the boys’ sebanyak enam kali ini merupakan penekanan pada judul lagu, dan diakhiri dengan kata ‘out’, sehingga membentuk pernyataan ‘the boys out’. Namun ‘out’ di sini dimaknai sebagai idiom, sebuah kalimat yang dimaknai untuk mengajak/membuat laki-laki untuk menjadi dikenal (to be known to everyone). Uniknya, syair [1] ini diucapkan oleh laki-laki, bukan perempuan.
103
Pernyataan ‘the boys out’ dalam syair [1] berkaitan dengan syair [4], [6], [7], [8], [16], [19], [21], [30], [33], [35], [36], [42], [46], [49], [50], [53], dan [55]. Sejumlah
17 syair tersebut mengandung kalimat bring the boys out yang diulang sebanyak dua puluh satu kali sepanjang MV dari awal hingga akhir. Istilah bring the boys out tidak dimaknai dengan kalimat membawa laki-laki keluar. Dalam kaidah bahasa Inggris sendiri, kalimat bring the boys out mengacu pada idiom: “to bring (somebody) out” yang artinya “to help somebody to feel more confident” (menolong seseorang untuk menjadi lebih berani). Syair “bring the boys out” selanjutnya sengaja tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk menjaga keaslian pemaknaannya. Bait yang pertama (syair [1] hingga [8]) berisi pernyataan nasihat terhadap seseorang yang merasa takut untuk memulai apapun. Syair [2] dan [3] menceritakan bahwa keluh kesah akan mengakibatkan kesempatan terbuang siasia. Syair [7] yang berisi “we bring the boys out” memberi penekanan pada ‘we’ yaitu perempuan. Bait yang kedua merupakan perpanjangan kisah dari bait pertama, namun dalam bait ini, narasi sudah mulai memperlihatkan siapa seseorang
yang
dimaksudkan
sebagai
penerima
nasihat.
Syair
[15]
memperlihatkan bahwa seseorang yang dimaksudkan adalah my boy, yaitu lakilaki. Pesan inti dari bait ini adalah “get up” (lihat syair [10] dan [14]), yang diungkapkan perempuan sebagai cerminan perasaan yang tidak tahan melihat lakilaki-nya kehilangan semangat. Dalam kacamata perempuan, kehilangan semangat bagi laki-laki adalah hal yang lucu, dan ini merupakan sindiran yang diungkapkan secara gamblang dan bersifat satire (lihat syair [11] dan [12]). Perempuan juga
104
mengungkapkan keinginan hatinya terhadap seseorang yang disebut sebagai ‘my boy’ agar ia mau menunjukkan sisi keliaran dirinya. Bagian terpenting dari narasi lirik dalam MV ini adalah reff (atau refrain). Dalam struktur narasi pada umumnya, reff diibaratkan sebagai klimaks dari cerita secara keseluruhan. Munculnya reff sebanyak tiga kali (lihat gambar 3.2) menjadi penekanan akan pentingnya pesan yang disampaikan. Dalam reff, Syair [17] berbunyi, “Girls’ Generation make’em feel the heat”. Kalimat ini memberi penekanan pada kata ‘heat’, yang dalam bahasa Inggris memiliki kesamaan arti dengan ‘excited’, yaitu kegembiraan yang dimaknai sebagai sensasi yang dirasakan laki-laki ketika mereka bertemu dengan perempuan. Pertemuan yang sensasional ini akan membuat laki-laki mendapat perhatian dari orang banyak (syair [18]). Lirik refrain ini memberi penguatan keyakinan kepada laki-laki bahwa mereka hebat dan kuat, dan selalu terlihat tenang (syair [20]). Selanjutnya, bait ketiga dalam “The Boys” ini mengisahkan perempuan yang berusaha untuk meyakinkan laki-laki untuk tidak goyah [22]. Dalam kalimat yang sama, perempuan berkata pada laki-laki “just protect your place” [22], yang dapat diterjemahkan dalam kalimat lindungi saja posisimu. ‘your place’ di sini mengacu pada posisi laki-laki, yang mana posisi ini dapat dikorelasikan dengan syair [20] dalam reff yang menjelaskan bahwa laki-laki memiliki posisi yang hebat dan kuat. Syair [22] selanjutnya juga menjelaskan bahwa kita manusia (we) hidup dalam kehidupan layaknya peperangan, yang mana ‘kita’ tidak hanya mengacu pada laki-laki saja, namun juga pada perempuan. Pesan inti dari bait ketiga ini terlihat dari syair [24] dan [26] yang menekankan pada lirik “fly high”—terbang
105
tinggi. Bait ini juga menegaskan bahwa kesuksesan (yang dimaknai dalam kalimat “fly high”) hanya diperuntukkan untuk orang-orang yang memiliki kesiapan, jika tidak, maka ia harus menyerah (syair [27]). Rangkaian syair dalam bait ketiga merupakan tuntutan seorang perempuan terhadap laki-laki untuk bisa terbang tinggi, dalam rangka memperlihatkan kepada dunia bahwa ia (laki-laki) mampu mengubah sejarah (syair [28] dan [29]). “History will be written anew, the main character is you, you!”[28], syair ini menekankan pada you, mengacu pada laki-laki yang dianggap sebagai karakter utama dalam sejarah yang dikatakan akan berubah. Bait ketiga diakhiri dengan pernyataan ‘brings the boys out’, dan diikuti dengan pengulangan reff. Selanjutnya, muncul bait yang berisi lirik rap (syair [36] hingga [42]). Dalam bait ini, perempuan lebih banyak berkisah tentang dirinya. Perempuan mendeklarasikan dirinya sebagai Athena, sosok yang dikatakan sebagai pemberi nasihat yang hebat kepada laki-laki (syair [38]). Deklarasi ini ditujukan kepada orang-orang yang disebut sebagai ‘the boys of the world’[38], yang diajak perempuan untuk menari [37], bersenang-senang dan berpetualang [39], dan berharap laki-laki akan tetap menjadi seperti yang diinginkannya [40]. Selanjutnya, syair [41] dan [42], membentuk kalimat utuh yaitu Girls’ Generation we won’t stop [to] bring the boys out!. GG tidak akan pernah berhenti untuk membuat laki-laki menjadi lebih berani. Bait ini selanjutnya diikuti oleh keempat, yang hanya terdiri dari dua syair ([43] dan [44]). Syair [43] berisi tentang nasihat ironis, bahwa usaha untuk menahan masa depan akan masa depan itu akan semakin terserak. Bertentangan
106
dengan syair sebelumnya, syair [44] justru menceritakan tentang isi hati perempuan, “I think I’m falling more and more for you who is becoming more and more perfect, my heart”. Perempuan mengungkapkan bahwa semakin sempurna laki-laki (yang disebut my heart) maka akan semakin mudah bagi perempuan untuk jatuh cinta kepadanya. Bait keempat kemudian diikuti oleh pengulangan bait pertama, sehingga narasi lirik kembali menyampaikan pesan yang terdapat di bait pertama, yang menekankan pada harapan perempuan yang mengingini laki-laki untuk mau membuka hati dan keluar sebagai seorang pemberani (syair [48]). Setelah selesai pengulangan bait pertama, narasi memasuki bridge yang merupakan pengantar menuju pengulangan reff yang ke-3 (lihat gambar 3.2) menjelang akhir dari lagu. Syair [50] berisi satu frasa yang diulang-ulang, ‘cause the girls bring the boys out’, yang dapat diartikan sebagai ‘karena perempuan akan membuat laki-laki menjadi lebih berani’. Selanjutnya, reff kembali diulang hingga akhir lagu. Dari pola narasi yang telah dijelaskan di atas, secara umum dapat disimpulkan bahwa narasi lirik “The Boys” mengisahkan keinginan perempuan yang berharap agar laki-laki(nya) menjadi laki-laki yang berani. Secara keseluruhan, frasa ‘bring the boys out’ dalam lagu ini diulang sebanyak 21 kali. Berdasarkan plotting-nya, narasi lirik memperlihatkan urutan dominasi karakter sebagai berikut: Jessica [22], [25], [27], [43], dan [50]; Tiffany [5], [7], [10], [12], [32], dan [54]; Yoona [11], [13], dan [38]; Taeyeon [9], [29], [44], dan [46]; Sunny [14], [24]. [26], dan [52]; Seohyun [15], [28], [47], dan [48]; Yuri [18] dan [37];
Sooyoung [20], [40], dan [41]; Hyoyeon [34] dan [39]. Selain syair yang disebutkan
107
di atas, merupakan syair yang dinyanyikan secara bersamaan oleh kesembilan karakter perempuan yang ada di dalam GG. Dalam plotting syair, karakter performa didominasi oleh Sunny, namun visualisasi MV justru menekankan pada wajah dominan yang lain yaitu Yoona (lihat gambar 3.1 dan tabel 3.2). Selanjutnya urutan dominasi adalah Taeyeon, Jessica, Tiffany, Yuri, Seohyun, Sunny, Sooyoung, dan yang paling sedikit ditampilkan adalah sosok Hyoyeon. Apa yang terlihat dalam visualisasi MV memang tidak selalu sejalan dengan narasi lirik, inilah yang disebut sebagai struktur episodik yang terdiri dari banyak scene pendek yang terfragmentasi, tidak linear, dan mengalami juxtaposition (kontras/berlawanan) satu dengan yang lainnya (Wilson, 1985:161).
3.1.2. Mise-en-scéne “The Boys” Mise-en-scéne dalam penelitian ini dikategorikan dalam 6 kode sinematik yang dianggap relevan, yaitu: 3.1.2.1. Setting Setting merupakan sebuah perwujudan totalitas visual dalam mengkonstruksi lingkungan performa. Setting diidentifikasi melalui dua elemen yaitu stage dan scenery (Wilson, 1985:278). Setiap tipe panggung akan menentukan scenery yang akan tercipta dalam ruang performa. Tipe panggung yang terlihat dalam MV ini dapat dikategorikan dalam tipe panggung kontemporer yang menciptakan ruang tersendiri dengan lingkungan apa pun yang dianggap memungkinkan (created and found stage space) (lihat tabel 1.6, kategori panggung). Berdasarkan hasil
108
pengamatan penelitian, ada 5 (lima) jenis stage (panggung) yang digunakan dalam MV ini, yaitu: Tabel 3.1 Setting dalam MV “The Boys” Setting (preview)
Menit/detik 01.00–26, 03.40–44, 03.46–56, 04.00, 04.01, 04.02, 04.05, 00.04.06, 04.12, 04.14, 04.20, 04.29, 04.30, 04.31, 04.41–48, 04.52, dan 04.53
(1) Preview 00.01
00.25, 00.27 – 01.07, 02.48, 02.49, 02.50, 02.53, 02.54, 02.57, 02.58, 03.00, 03.02, 03.04, 03.05, 03.06, 03.09, 03.12, 03.18, 03.19, 04.03, 04.04, 04.10, 04.11, 04.21, 04.22, 04.23, 05.00–18 (2) Preview 05.03
01.11–15, 01.28, 01.29, 01.35, 01.42–46, 02.00–02.03, 02.07, 02.09–11, 02.15–17, 02.23, 02.24, 02.30, 02.31, 02.39, 02.41, 02.45–47, 03.01, 03.03, 03.10, 03.11, 03.21, 03.22, 03.25, 03.27–31,03.34–36, 03.45, 03.57, 04.24, 04.26, 04.34, 04.35, 04.38, 04.39, 04.51, 04.54 (3) Preview 01.12
01.08, 01.09, 01.10, 01.16, 01.17, 01.19, 01.21–27, 01.32, 01.33, 01.34, 01.36–39, 01.47, 01.51–54, 01.58, 01.59, 02.06, 02.08, 02.13, 02.14, 02.20–22, 02.26–29, 02.33, 02.34, 02.36–38, 02.40, 02.42–44, 02.55, 02.56, 03.08, 03.16, 03.17, 03.20, 03.23, 03.26, 03.32, 03.33, 03.37–39, (4) Preview 01.23
04.08, 04.09, 04.13, 04.15, 04.19, 04.25, 04.49, 04.55–59 01.18, 01.20, 01.30, 01.31, 01.40, 01.41, 01.49, 01.50, 01.56, 01.57, 02.05, 02.12, 02.18, 02.19, 02.25, 02.32, 02.35, 02.51, 02.59, 03.07, 03.13, 03.14, 03.15, 03.58, 03.59, 04.07, 04.16, 04.17, 04.18, 04.27, 04.28, 04.36, 04.37, 04.40, dan 04.50
(5) Preview 04.27
Sumber: hasil pengamatan penelitian
Kelima tipe panggung dalam tabel di atas banyak mengadopsi konsep panggung tradisional dan kemudian mengkombinasikannya dengan elemenelemen kontemporer yang akhirnya menciptakan lingkungan yang multifokus. Lebih lanjut lagi, masing-masing tipe panggung akan diuraikan sebagai berikut.
109
Gambar 3.3 Tampilan proscenium stage dalam stage 1
(1) Panggung
pertama
(lihat gambar
3.3) merupakan panggung
kontemporer yang mengadopsi model proscenium, yaitu model yang menekankan pada pembingkaian background/latar performa. Panggung ini menghadirkan performa dalam sebuah pembingkaian natural dalam nuansa “salju” yang imajinatif. Dengan mengkolaborasikan warna putih dan hitam, panggung menciptakan dua dimensi antara fondasi dan langit yang ada di atasnya. Dimensidimensi ini berfokus pada satu titik, yaitu sebuah bongkahan kristal hitam yang terletak di bagian tengah panggung, berbentuk gua kecil dengan potongan kristal yang tak beraturan, serta berlapis kristal putih di bagian dalamnya. Di sekitar gua kristal tersebut terdapat pula lima kristal (putih dan hitam) yang ukurannya jauh lebih kecil dan tak beraturan. Keseluruhan dari kristal ini menjadi pembatas untuk memberi ruang gerak bagi performa. Gambar 3.4 Tampilan circle stage dalam stage 2
(2) Panggung kedua (gambar 3.4) dalam MV muncul dengan cara yang unik, yaitu sebagai bentuk imaginatif yang dilihat oleh Yoona melalui sebuah kristal hitam (lihat preview 00.25). Dalam batu tersebut muncul bayangan seorang perempuan, kamera kemudian bergerak sangat cepat seolah-olah membawa
110
imajinasi penonton ikut masuk ke dalam batu, dan seketika pula muncul panggung yang berbeda. Panggung kedua ini mengadopsi model arena stage atau circle stage (panggung arena), karena performa terfokus pada bagian tengah sehingga performa dapat dilihat dari sudut mana pun yang mengelilingi arena panggung. Dalam panggung arena di atas, kamera merupakan lensa yang melaluinya khalayak menonton performa. Bentuk arena akan mempermudah kamera untuk bergerak leluasa memutari arena panggung, sehingga dapat memperlihatkan masing-masing karakter performa dengan lebih jelas dari sisi panggung mana pun yang memungkinkan. Ruang arena yang tersedia dibatasi dengan adanya helai bunga mawar merah muda yang bertaburan dan bertebaran di panggung. Tebaran bunga tersebut berasal dari efek hujan mawar (falling rose petals), yang menciptakan ruang istimewa berbentuk lingkaran dan difungsikan sebagai panggung tempat para karakter GG menyanyi dan menari. Gambar 3.5 Tampilan proscenium stage dalam stage 3
(3) Ruang gerak yang ketiga (gambar 3.5) mengetengahkan visualisasi artifisial dalam panggung kontemporer yang juga mengadopsi tipe klasik proscenium, sama seperti panggung pertama namun dalam frame yang berbeda. Pembingkaian panggung yang ketiga ini menekankan pada desain interior yang mendetail. Dekorasi interior yang ada dalam ruangan menciptakan atmosfir “modern” yang bersumber dari kombinasi kristal dan efek iluminasi.
111
Panggung proscenium kontemporer di atas dibatasi oleh 8 (delapan) pilar yang berdiri sedikit miring ke arah dalam, fungsinya untuk menyanggah 3 (tiga) piramida kristal terbalik yang ada di bagian atas panggung. Dekorasi semacam ini membentuk panggung kubah setengah lingkaran dengan ruang gerak performa yang hanya terbatas di dalam kubah tersebut. Keunggulan dari panggung ketiga ini adalah pembingkaian yang terfokus, sehingga penonton yang melihat dalam bingkai ini akan menikmati pemandangan performa yang konsisten. Desain proscenium dalam panggung ini juga diperkaya dengan adanya efek iluminasi, yang membuat semua keindahan dekorasi yang ada di atas panggung menjadi semakin “terkristalisasi” akibat tata letak cahaya yang memungkinkan untuk mendramatisasi performa. Iluminasi cahaya dalam tata panggung ini memberi kesan misterius dan rasa penasaran terhadap performa. Gambar 3.6 Tampilan glazier stage dalam stage 4
(4) Panggung kontemporer keempat (gambar 3.6) memanfaatkan visualisasi ruangan semacam koridor. Ruang ini merupakan ruang kreatif yang sisi kiri dan kanannya didesain menyerupai bongkahan es (glazier) dan lantai panggung yang didesain berwarna biru laut, seola-olah menampilkan performa di atas hamparan laut biru. Konsep ini menciptakan lingkungan imaginatif sebuah miniatur hamparan laut biru yang penuh dengan bongkahan es yang mengambang bebas. Bagian atas dan latar panggung ditutupi dengan jaring yang tak beraturan, desain
112
abstrak yang dipadukan dengan pencahayaan yang terfokus tepat di bagian tengah panggung, sehingga terkadang memberi efek backlight terhadap performa. Gambar 3.7 Tampilan stage 5
(5) Panggung kelima (gambar 3.7) memiliki konsep yang berbeda dengan panggung lainnya. Jika dalam keempat panggung sebelumnya terlihat model adaptasi kontemporer dengan beragam desain, maka panggung yang kelima ini merupakan panggung yang “tak berbentuk”. Panggung kelima hanya berupa visualisasi latar belakang yang merupakan kombinasi dari ukiran ber-bunga dan efek cahaya yang menembus lewat celah-celah ukir yang ada di dinding latar. Panggung ini tidak mengutamakan pada detail konsep panggung, namun cenderung mengutamakan pada karakter performa yang ditempatkan di depan latar. Panggung yang kelima ini dikhususkan hanya kepada performa yang dilakukan oleh satu karakter saja. Dari keseluruhan tipe panggung yang ditampilkan dalam MV “The Boys”, maka dapat didefinisikan scenery yang diciptakankan dalam masing-masing panggung tergolong dalam tipe non-realistic scenery. Kenapa? kelima tipe panggung dalam MV ini merupakan panggung kontemporer yang sekedar mengadopsi sebagian konsep dari panggung tradisional, namun juga memasukkan elemen dan desain imaginatif yang jauh dari esensi nyata dalam kehidupan seharihari, seperti yang ditemukan dalam konsep panggung tradisional. Scene yang
113
tidak realistik akan menghadirkan pengalaman yang tidak realistik pula. Dengan demikian, kategori setting dalam MV ini tidak memperlihatkan otentikasi lokasi performa. Apa yang diperlihatkan dalam setting MV adalah sebuah pengaturan performa yang didesain secara kontemporer untuk menciptakan lingkungan dan pengalaman performa yang imaji. Tipe panggung dalam MV ini didominasi oleh model proscenium. Model ini merupakan konsep panggung raksasa, sehingga penonton yang melihat performa dalam panggung ini seolah-olah melihat pertunjukan dalam bingkai raksasa. Proscenium awalnya berkembang sebagai model panggung teater Romawi Kuno, namun kini model ini menjadi sebuah konsep panggung populer yang banyak digunakan dalam beragam performa non-teater. Panggung proscenium, ditambah pula konsep scene yang non-realistik telah menciptakan efek spektakuler ke dalam panggung performa. Dengan demikian, perempuan yang menjadi pelaku performa di dalamnya dianggap menjadi bagian dari yang spektakuler tersebut. Apa pun yang dilakukan perempuan dalam panggung tersebut, menyanyi, menari, atau sekedar berjalan, akan membuat perempuan terlihat lebih bermakna. Model panggung ini dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk penghargaan terhadap performa perempuan.
3.1.2.2. Costume Ada beragam kombinasi kostum yang digunakan dalam MV ini, sama halnya dengan bentuk narasi yang tak beraturan, kostum yang dikenakan oleh masingmasing karakter dalam MV ini pun muncul sewaktu-waktu, tak beraturan, dan
114
kadang kala tidak tertangkap oleh frame kamera. Berikut ini merupakan uraian dari pendefinisian kostum yang dikenakan oleh kesembilan karakter GG yang terlihat dalam frame kamera. Pertama, Yoona. Dalam performanya yang pertama (detik 01–25), karakter Yoona muncul dalam balutan gaun mini berwarna putih yang senada dengan setting performa yang didesain bersalju. Tipe kostum Yoona ini bergaya glamour, yang menekankan pada potongan baju pada bagian dada dan paha sehingga membentuk mini-dress. Bagian belakang gaun ini memperlihatkan helaian rok panjang sehingga jika dilihat dari belakang, Yoona seolah-olah mengenakan gaun panjang (preview 00.09). Kostum kedua yang dikenakan Yoona bergaya aristokrat (preview 00.33) yang memberi kesan lady-like pada karakter Yoona. Dalam balutan kostum ini, tubuh Yoona terlihat “terstruktur” karena ia mengenakan gaun berwarna coklat keemasan bermodel korset (lihat preview 02.04) dengan sehelai ikat pinggang kain yang melilit bagian perutnya sehingga tubuhnya terlihat ramping dan menonjol pada bagian dada. Bawahan yang dikenakannya adalah rok panjang yang menjuntai dengan model A. Kostum ini memiliki konsep dasar high–fashion, terlebih lagi karena Yoona dihiasi dengan mahkotai layaknya seorang putri, serta kalung yang mewarnai lehernya dengan berlian. Kostum ini dipadukan dengan long-coat hitam bergaya glamour untuk menutupi gaun yang dikenakan, sehingga jika dilihat dari belakang, model ini terlihat menutupi bentuk tubuh Yoona. Kostum ketiga yang digunakan Yoona bergaya casual, termasuk dalam kategori fashion kontemporer yang memadukan berbagai gaya di dalamnya.
115
Dalam balutan kostum ini, Yoona terlihat mengenakan celana panjang ketat (legging) dengan atasan ketat tanpa lengan. Model ini tidak memperlihatkan tubuh perempuan secara terbuka, namun mengekspos bentuk tubuh yang tertutup sehingga memperlihatkan margin tubuh Yoona dengan jelas (preview 02.01). Kostum casual lain yang dikenakan Yoona terlihat dalam preview 03.47, ia mengenakan baju ketat berlengan pendek, mengadaptasi model pakaian olahraga yang bagian kerahnya menutupi sebagian leher. Dalam balutan kostum ini Yoona terlihat “tertutup”, namun masih mengekspos pada bentuk tubuh perempuan. Kedua, Yuri. Kostum pertama yang dikenakan Yuri menyerupai fashion bergaya high, memperlihatkan status diri sebagai seorang perempuan dari kalangan aristokrat, namun di sisi lain dipadukan dengan gaya fashion kontemporer. Pilihan warna kostum yang dikenakan adalah emas, dengan konsep gaun panjang yang berbelah tinggi di bagian belakang, memperlihatkan keindahan kaki ketika Yuri berjalan mengitari panggung. Model gaun ini menonjolkan bagian dada, karena gaun ini mengadaptasi model pakaian dalam yang didesain menyerupai korset sehingga memperlihatkan bentuk dada. Bagian bahu Yuri tertutupi oleh jaket hitam bergaya glamour, namun jaket ini tidak dikenakan Yuri melainkan dibiarkan menggantung di bahu Yuri sehingga ia seolah–olah mengenakan jaket (preview 02.25). Kostum kedua yang dikenakan Yuri merupakan model kontemporer bergaya mini-skirt, bawahan pendek di atas lutut yang dipadukan dengan atasan tanpa lengan berkerah–v (preview 01.13, karakter ke–2 dari kiri). Model semacam ini menekankan pada margin kaki perempuan. Tipe kostum lain yang dikenakan Yuri
116
terlihat dalam preview 03.44, yang mana Yuri terlihat mengenakan bawahan berupa celana panjang dengan atasan bermodel crop–top. Atasan model crop–top di sini dimaksudkan untuk mendeskripsikan kemeja putih berlengan panjang yang masing–masing lengannya “tersobek” untuk memperlihatkan tangan. Selain itu kemeja putih ini berkerah–v dengan potongan yang terlalu ke bawah sehingga memperlihatkan belahan dada. Bagian bawah kemeja dibiarkan terpotong pendek sehingga memperlihatkan bagian perut perempuan (preview 03.52). Kostum Yuri ini mengekspose sensualitas tubuh perempuan, terlebih karena kemeja putih yang dikenakan berbahan tipis sehingga memvisualisasikan bayang–bayang tubuh yang ada di balik kemeja. Selain itu, Yuri juga terlihat dalam balutan gaya maskulin berupa celana panjang, kemeja putih, jas, dan juga dasi (preview 04.32). Ketiga, Tiffany. Konsep kostum pertama yang dikenakan Tiffany merupakan minidress yang ditujukan untuk mengekspose bagian paha (preview 00.49). Minidress yang dikenakan Tiffany merupakan model one-piece dress yang merupakan kombinasi dari warna hitam dan hijau keemasan. Gaun mini ini berukuran pendek di atas lutut, dan tanpa lengan (preview 03.04). Gaun mini Tiffany membuat tubuh perempuan terlihat lebih bervolume terutama di bagian depan, hal ini disebabkan detail desain yang ditempeli manik berwarna hitam dan hijau keemasan. Meskipun terkesan lebih bervolume, gaun mini yang dikenakan Tiffany ini tetap mengekspose bentuk tubuh perempuan. Kostum kedua yang dikenakan Tiffany merupakan model fashion kontemporer bergaya microskirt yang dipadukan dengan crop–top yang hanya memiliki lengan di bagian kiri sementara lengan bagian kanan terpotong (preview
117
01.45). Desain minimalis ini mengutamakan eksposur pada paha perempuan serta sebagian belahan tubuh perempuan. Tiffany juga mengenakan gaya kontemporer microskirt dan crop–top dalam kostum ketiga yang dikenakannya dalam MV (lihat preview 04.51). Ia mengenakan celana sangat pendek (disebut juga dengan hot pant). Atasan yang dikenakan merupakan kemeja merah yang di sisi kiri dan kanannya dipadukan dengan kain hitam dengan detail bordir semacam kebaya, sehingga memperlihatkan sebagian bra yang dikenakan di balik kemeja. Gaya kontemporer Tiffany ini menampilkan tubuh natural perempuan yang sebagian “terbuka” dan tidak tertutup dalam kekakuan. Model kostum yang keempat yang dikenakan Tiffany merupakan kostum dengan gaya maskulin (lihat preview 04.53). Ia mengenakan bawahan berupa celana panjang, baju lengan panjang, dilengkapi dengan sarung tangan, dan mengenakan topi sport. Model ini menggiring Tiffany ke pencitraan maskulin perempuan, yang mengadaptasi gaya laki-laki ke dalam tubuh perempuan sehingga potongan tubuh tampak lurus, desain sederhana, dan tidak menonjolkan bentuk tubuh. Keempat, Seohyeon. Kostum pertama yang dikenakan Seohyeon adalah minidress yang mendeskripsikan dengan detail siluet tubuh sang karakter. Gaun mini ini terinspirasi dari model baju tradisional China, dilengkapi dengan detail ornamen bunga yang terdapat di bagian dada, leher, lengan, dan pinggul, sehingga mengarahkan fokus pandangan pada bagian–bagian tersebut (preview 00.39). Selanjutnya Seohyeon memperlihatkan karakter dirinya dalam balutan kostum kedua yaitu model microskirt, dipadukan dengan atasan casual (preview
118
02.16). Kesan yang ditonjolkan melalui kostum ini merupakan tampilan paha dan kaki perempuan. Kostum ketiga yang dikenakan Seohyeon lebih mengarah kepada model kontemporer yang mengadaptasi gaya maskulin, yaitu celana panjang, kemeja putih, rompi, dan sarung tangan yang hanya dikenakan oleh tangan kanan (lihat preview 02.20). Kelima, Jessica. Kostum pertama yang dikenakan oleh Jessica mengesankan karakter seorang perempuan bangsawan dengan gaya high–fashion (preview 01.00, 02.48, 02.51). Jessica mengenakan long–dress (gaun panjang) berwarna biru elegan. Citra elegan ini muncul juga dari konsep gaun korset yang restriktif yang dikenakan oleh Jessica. Korset ketat ini ditutupi oleh ornamen gaun yang dibentuk menyerupai pita, sehingga memberi tambahan volume pada bagian dada. Selain itu, citra klasik seorang aristokrat melekat dalam karakter Jessica karena mengenakan mahkota di rambut, serta didramatisir oleh objek berupa burung merpati putih yang diterbangkan oleh Jessica (preview 00.55). Selain gaya aristokrat, Jessica mengenakan dua model kostum kontemporer yang mengadopsi figur kartun Jepang yaitu Sailormoon (preview 01.13, 01.17). Meski berbeda warna (ungu muda dan putih) dan pola, konsep dasar dari kedua kostum ini sama saja, yaitu model crop–top. Atasan yang dikenakan berupa potongan baju yang hanya menutupi bagian dada, dilengkapi dengan lengan pendek berbahan tipis sehingga mengeskpos keterbukaan di bagian leher dan bahu, ditambah pula belahan kerah baju yang sengaja dibuat lebar untuk memperlihatkan bentuk natural tubuh (preview 02.46, 02.47). Sementara itu, bawahan yang dikenakan adalah miniskirt, yang memiliki lapisan kain lebih dari
119
satu sehingga menambah volume di bagian pinggul dan paha. Tipe kedua kostum ini mengedepankan citra girliness, jiwa muda yang ada dalam sosok Sailormoon yang ditampilkan melalui kostum kontemporer yang dikenakan oleh Jessica. Selain itu, tipe kostum yang hampir sama juga dikenakan oleh Jessica seperti yang terlihat dalam preview 04.43 (karakter yang berada di tengah). Dalam preview tersebut, Jessica tampak menggunakan bra dan miniskirt berwarna hitam, namun dilapisi dengan baju kasual berbahan tipis sehingga memperlihatkan bayang–bayang bra yang dikenakan. Tipe kostum lainnya juga muncul sekilas dalam preview 02.44, yang mana Jessica tampak mengenakan rompi bulu berwarna biru cerah, namun tidak ada preview lain yang menggambarkan dengan detail tipe kostum ini. Keenam, Taeyeon. Kostum pertama yang dikenakan oleh Taeyeon merupakan minidress berwarna krem yang dipadukan dengan gaya klasik high fashion dan kontemporer (preview 00.52, karakter sebelah kiri). Kesan klasik muncul karena gaun yang dikenakan Taeyeon merupakan model korset ketat yang biasanya dipakai tanpa mengenakan bra. Model korset ini memberi potongan yang jelas bagi margin tubuh dan terutama pada belahan dada. Aksesori gelang yang senada dengan warna gaun serta hiasan rambut dengan desain bulu burung, juga ikut menambah citra lady–like bagi Taeyeon (preview 03.15, 04.17). Sementara itu, kesan kontemporer muncul dari detail gaun yang mencampur adukkan gaya glamour dan casual. Kerah gaun dibuat menyerupai kalung berbahan kain, korset yang dikenakan dibuat menyerupai kaca mata dengan untaian manik menghiasi di sekitarnya. Sekilas, gaun ini bahkan tampak menyerupai model slip dress, yaitu
120
jenis pakaian yang mengadaptasi dari model fashion yang dulunya hanya dikenakan sebagai pakaian dalam. Tipe kostum kedua yang dikenakan Taeyeon adalah miniskirt hitam, dipadukan dengan tanktop putih dan kardigan informal berwarna hitam dengan corak putih di bagian tangan (preview 03.08, 03.10). Taeyeon juga tampak sekilas mengenakan crop–top berwarna biru tua (preview 04.24), dan di bagian menjelang akhir MV, ia tampak bergaya maskulin (preview 04.30) dengan mengenakan celana panjang yang dipadukan dengan rok yang panjangnya selutut, serta mengenakan atasan kasual berlengan panjang namun sedikit memperlihatkan bagian perut. Dominasi warna dalam kostum terakhir yang dikenakan Taeyeon adalah hitam. Ketujuh, Sunny. Karakter Sunny mengenakan minidress yang berpadu dengan gaya korset di masa kejayaan high–fashion. Desain dari gaun yang dikenakannya menggunakan dominasi warna polos (ungu gelap dan hitam), gaun hanya diberi corak berwarna abu-bau dibagian dada yang mana korset didesain seperti bra dan dihias oleh payet (preview 02.57). Kostum kombinasi bergaya lady yang dipadukan dengan gaya kontemporer minidress ini menampilkan gambaran nyata mengenai margin tubuh perempuan. Desain gaun yang minimalis semakin memberi imajinasi tentang lekuk tubuh perempuan di bagian dada, pinggul, dan paha. Kostum lainnya yang dikenakan Sunny mengadaptasi gaya glamour, yaitu mantel merah berbahan bulu (tidak diketahui model bawahan yang dikenakan) yang dilengkapi dengan penutup kepala serta perhiasan berupa gelang berukuran besar yang ada di tangan kiri dan kanan (preview 02.05). Dalam gaya glamour ini,
121
Sunny tampak memainkan penutup kepala yang dikenakannya (preview 02.12), tubuhnya juga tampak tertutup karena pakaian yang dikenakan berbahan tebal dan menutupi semua bagian tubuh kecuali telapak tangan dan kepala. Selain kostum bergaya high dan glamour, Sunny juga tampak mengenakan model kontemporer yaitu miniskirt yang dipadukan dengan atasan berupa kaos kasual berwarna keemasan dan rompi (preview 02.16, karakter sebelah kiri). Rompi di sini dimanfaatkan untuk memberi citra informal dan untuk menutupi bentuk tubuh yang diperlihatkan oleh kaos ketat yang dikenakannya. Tipe miniskirt yang sama juga dikenakan Sunny dalam model yang agak berbeda (lihat preview 04.47, yang mengenakan pakaian berwarna merah). Kostum yang dikenakan Sunny merupakan perpaduan dari hotpants, tanktop yang dilapisi dengan jaket crop–top merah yang “sobek” di bagian atas lengan/pundak. Bagian tubuh yang ditonjolkan melalui kostum ini adalah bagian kaki, selain itu, kostum ini juga mencitrakan konsistensi bentuk tubuh Sunny yang mungil. Kedelapan, Sooyoung. Kostum pertama yang dikenakan oleh Sooyoung adalah long–dress berwarna hitam (preview 01.00, karaktaer yang berdiri di belakang Jessica). Konsep gaun panjang ini adalah simple, namun memberi kesan mewah. Potongan gaun panjang ini disesuaikan dengan potongan tubuh Sooyoung yang “panjang”. Ia tidak didesain untuk menampilkan lekuk tubuh karena potongan gaun ini cenderung lurus hingga ke bawah. Namun, di bagian kerah, gaun ini dimodifikasi dengan model kerah sabrina yang menjuntai menutupi sedikit bagian bahu, dan menambah volume pada tubuh bagian dada (lihat preview 03.12).
122
Model kostum kedua dan ketiga yang dikenakan Sooyoung bertipe sama, yaitu miniskirt (preview 02.39, 02.40, karakter yang berada di tengah) yang dipadukan dengan atasan kasual. Kostum lain yang digunakannya adalah gaun berbahan bulu (yang diperlihatkan hanya atasan saja). Dominasi warna dalam kostum ini adalah orange dan perak, ditambah dengan aksesori kalung bermodel mahkota yang memberi kesan glamour. Bagian bahu sebelah belakang terlihat sedikit “sobek”, memberi kesan seksi pada tubuh perempuan (preview 03.07). Kesembilan, Hyoyeon. Awalnya, Hyoyeon tampil dalam gaya glamour minidress dengan sedikit sentuhan futuristik (preview 00.58, karakter sebelah kiri). Konsep minidress yang ia kenakan adalah minimalis dan didominasi oleh warna hitam. Uniknya, kostum ini dipadukan dengan rompi yang terbuat dari bahan yang sedikit keras (preview 02.25). Dari visualisasi MV terlihat bahwa rompi yang ia kenakan bermodel bentuk sayap burung yang didesain sedemikian rupa sehingga bisa berfungsi sebagai rompi (preview 02.50). Konsep ini merupakan model fashion kontemporer yang mencitrakan gaya masa depan, yang tampil berbeda di antara karakter–karakter lain yang kebanyakan mengenakan fashion bergaya kombinasi high–fashion dan glamour. Pada menit pertama detik ke–24, Hyoyeon sekilas tampak mengenakan celana panjang ketat yang ditutupi dengan sepatu boot, dipadukan dengan atasan bermodel crop–top yang memperlihatkan sedikit bagian perut. Tipe kostum lain yang dikenakannya adalah gaya kontemporer miniskirt (preview 03.30) yang memadukan hotpant dengan atasan ketat yang penuh dengan detail bulu burung sehingga menambah volume tubuh bagian dada hingga leher. Di bagian
123
menjelang akhir MV, Hyoyeon tampak mengenakan celana panjang ketat dipadukan dengan atasan crop–top berbentuk bra, ditutupi dengan jaket berwarna merah (preview 03.53). Semua tipe kostum yang dikenakan Hyoyeon, pada umumnya menekankan pada visualisasi perut, pinggul, dan kaki. Gambar 3.8 Kostum dalam MV “The Boys”
Dari keseluruhan uraian di atas, maka dapat disimpulkan model kostum yang paling dominan digunakan dalam MV “The Boys” adalah model yang divisualisasikan kostum dalam gambar 3.8. Tampilan kostum ini diasumsikan paling representatif di antara model kostum lainnya, meskipun di sepanjang MV terlihat juxtaposition (tumpang tindih) antara kostum yang satu dengan kostum lainnya, dan seringkali MV tidak memperlihatkan secara utuh dan jelas model kostum yang digunakan oleh masing–masing karakter. Gambar 3.8 di atas memperlihatkan kesembilan karakter perempuan dalam MV ini dalam balutan kostum yang menggabungkan model klasik high fashion dengan kontemporer. Gaya kontemporer itu sendiri merupakan hasil rekayasa berpakaian yang digunakan untuk mendobrak fashion klasik di masa lampau. Fashion klasik high fashion merupakan tipe pakaian yang awalnya berkembang di Eropa, menekankan pada gaya berpakaian perempuan yang berasal dari kelas atas. Dengan demikian, perpaduan antara klasik high fashion dengan kontemporer
124
merupakan sebuah usaha untuk tidak sekedar menjual seksualitas perempuan yang mengenakan pakaian mini, namun merupakan usaha untuk memvisualisasikan perempuan seksual yang berkelas melalui pakaian yang digunakannya.
3.1.2.3. Performance and Movement Kriteria mise-en-scéne ini mengidentifikasi berbagai model body language yang digunakan dalam MV “The Boys”. Dalam hal ini bahasa tubuh dipandang sebagai sebuah hal yang mewah (luxury), karena pada dasarnya setiap bahasa tubuh yang ditampilkan dalam performa merupakan seperangkat pola yang telah diatur sedemikian rupa dalam ruang bermain performa yang disebut dengan panggung. Kriteria ini berkaitan erat dengan kategori setting karena di dalam performa, pergerakan dan bahasa tubuh karakter tidak pernah melebihi batas panggung yang telah ditentukan. Dengan demikian, karakter akan menyatu dengan lingkungan performanya sehingga ia dapat menghadirkan sebuah pengalaman performa secara total kepada penontonnya. Secara umum, penelitian ini mengkategorikan karakter mayor dan minor berdasarkan visualisasi karakter yang paling banyak ditampilkan di sepanjang MV (lihat tabel 3.2). Secara visual, karakter yang tampil paling dominan adalah
Yoona,
kemudian diikuti oleh Taeyeon, Tiffany, Jessica, Yuri, Seohyun, Sunny, Sooyoung, dan Hyoyeon. Dengan demikian, MV ini menampilkan Yoona sebagai karakter mayor dan Hyoyeon sebagai karakter minor. Yoona sebagai karakter mayor menjadi wajah yang paling sering tampil di panggung performa. MV ini diawali dengan kemunculan sang mayor, Yoona. Dalam balutan gaun mini
125
berwarna putih, Yoona berjalan menuju objek sentral yang ada di stage 1 (detik 00–25). Apa yang dilakukan Yoona di sini merupakan sebuah awalan—yang mengawali kisah “The Boys”. Kehadiran Yoona di awal memiliki pengaruh yang besar bagi keseluruhan rangkaian performa MV, karena ia menghadirkan sebuah ilusi imajinasi. Ilusi ini muncul ketika Yoona memegang sebuah kristal hitam, memandanginya, dan menyadari bahwa ada bayangan seorang perempuan terlihat di permukaan kristal tersebut. Yang terjadi kemudian adalah ekspresi abstrak, yang membuat penonton seolah–olah tertarik masuk ke dalam batu. Ini merupakan momen epic yang memperlihatkan sang mayor Yoona, mengawali performa dengan pergerakan ilusi yang memberikan pengalaman imajiner terhadap orang yang menontonnya. Tabel 3.2 Performa Berdasarkan Visualisasi Dalam MV “The Boys” Menit/Detik
Actress
Menit ke-0
Taeyeon
52
Jessica
53, 54, 55, 56
Sunny
52
Tiffany
36, 37, 49, 50
Hyoyeon Yuri Sooyoung Yoona Seohyun
37, 38 51 (01–25), (29–36) 39
Menit ke-1
Menit ke2
Menit ke-3 10, 11, 13, 14, 15, 18, 19
30, 31, 49, 50
40, 41, 55, 56 25, 50 25, 32, 53, 54 35 18, 57, 59
00, 01, 02, 04
48
18, 19, 59 03, (06–11), (13–17), (20–24), (26–31), 33, 34, (36–40), 42, 43, 45, 47, 55, 56
All
(40–48), 57, 58, 59
00, 01, 02, (08–17),19, (21–29), (32–39), (42– 47), (51–54), 58
Unidentified
26, 27, 28
(03–07)
Menit ke-5
∑
10, 16, 17, 18, 24
17
07, 40
13
11
7
04, 05, 06, 24
50
13
42, 43, 44 07, 12 09, 37, 46, 47, 58, 59 00, 02
32, 33
2 11 4
23, 36, 37
48
27, 28, 30
10
01, 03, 08, 16, 17, (20– 23), (25–36), (38–41), 45, (48–57)
00, 01, 02, 05, 06, 08, 09,(12– 15), 19, 20, 25, 26, 29, 31, 34, 35, 38, 39,(41– 49), (51–59)
00, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18
170
03, 04, 21, 22
(01–11)
22
41, 44, 46, 48, 49, 51 05, 12, 52, 57, 58
20
Menit ke-4
Sumber: hasil pengamatan penelitian
126
Namun di sisi yang berbeda, sang minor Hyoyeon merupakan karakteristik yang paling sering hilang dari visualisasi performa. Secara visual ia hanya tampil selama 2 detik, yang membuat jurang selisih yang cukup luas dibandingkan dengan sang mayor yang tampil sebanyak 48 detik. Meskipun demikian, dikotomi antara mayor dan minor tidak memiliki kaitan langsung dengan pengalaman moral, pengkotak-kotakan antara baik dengan jahat. Dalam jenis film semacam MV, penilaian karakter lebih banyak diaplikasikan berdasarkan visualisasi acak yang muncul dalam potongan-potongan gambar MV yang jika memungkinkan, dikaitkan dengan narasi lirik. Selanjutnya, kategori mise-en-scéne ini mengidentifikasi gestur/bahasa tubuh yang digunakan oleh karakter performa. Berdasarkan kategori gestur tubuh (lihat tabel 1.9), dapat diidentifikasi beberapa gestur yang digunakan dalam MV “The Boys”. Gestur telapak tangan adalah salah satu gestur yang sering dieksplorasi dalam MV ini. Misalnya, tipe palm–up position (telapak tangan terbuka ke arah atas) muncul dalam beberapa preview, yaitu, ketika Yoona mengambil sebuah batu hias berwarna hitam, ia menggenggam batu tersebut sampai akhirnya ia menadahkan tangan dan batu tersebut terangkat perlahan (preview 00.21–25). Preview lainnya memperlihatkan Yoona muncul dalam panggung ke-2, menadahkan tangan kepada hujan helai mawar (preview 00.29– 33, 03.09). Selain itu, tipe gestur yang sama juga digunakan Jessica ketika melepas seekor burung merpati putih dari tangannya (00.53–01.02). Gestur ini juga muncul secara acak dalam preview 00.39, 04.30, 04.07, dan 04.40.
127
Gestur palm–up position ini didefinisikan sebagai gestur yang tidak mengancam. Ketika seseorang menadahkan tangan, berarti ia memposisikan dirinya sebagai individu yang membutuhkan bantuan, layaknya seorang pengemis yang meminta–minta. Sebaliknya, gestur yang berlawanan (disebut palm–down position atau telapak tangan membuka ke arah bawah) didefinisikan sebagai gestur tubuh yang dominan. Individu yang melakukan gestur ini dianggap memiliki otoritas atau dapat dikatakan memiliki kekuasaan. Gestur palm–down position ini muncul dalam beberapa preview, yaitu, detik ke-37 dan 38, ketika Seohyeon berjalan mengitari panggung, ia memposisikan tangannya terbuka ke arah bawah. Preview 01.55 dan 01.56 juga memperlihatkan Tiffany dengan gestur yang sama. Selain itu, gestur telapak tangan lainnya yang muncul adalah palm-closedfinger-pointed position (telapak tangan menutup, dengan jari telunjuk menunjuk). Gestur ini muncul dalam MV pada 01.48, 01.52, 02.38, 02.59, 03.42, 03.47, 04.25, dan 04.42. Menariknya, gestur ini sering dipadukan dengan syair “bring the boys out”, yang mana hal ini dimaknai sebagai sebuah otoritas yang dimiliki perempuan untuk meminta laki-laki untuk out (dalam artian, membuat laki-laki untuk memberanikan diri). Gestur tangan dan gestur melipat tangan (versi standar) merupakan tipe gestur yang
tidak
teridentifikasikan
dalam
MV
ini,
namun
MV
ini
memperlihatkan adanya penggunaan gestur melipat tangan partial. Perhatian terhadap gestur ini muncul berkali-kali dalam preview 00.45, 01.50, 02.48, dan sebagainya. Gestur kaki juga tidak menjadi perhatian dalam MV ini, dikarenakan
128
kamera lebih sering menggunakan teknik close–up dan medium–shot yang tidak memperlihatkan kaki. Meskipun demikian, kaki tetap menjadi salah satu perhatian utama dalam MV ini, terlebih jika kamera menggunakan teknik pan–up yang pandangannya sejajar dengan telapak kaki dan menengadah ke atas. Ketika kamera dalam posisi ini, kaki menjadi perhatian utama, namun biasanya gestur yang diperlihatkan adalah gestur kaki yang menari bersama–sama. Pergerakan performa dari masing–masing karakter juga diperkaya oleh tipe gestur populer yaitu hands-on-hips gestures (gestur berkacak pinggang) dan sexual aggresiveness gestures (gestur yang memperlihatkan agresivitas seksual). Tipe gestur berkacak pinggang ini biasanya muncul untuk memberi penekanan pada bentuk tubuh, sekaligus pada model fashion yang dikenakan oleh karakter performa (lihat preview 00.58–01.02, 01.13, 01.17, 01.48, 02.01, 02.02, 03.18). Selain itu, tipe gestur sexual aggresiveness ini juga menjadi salah satu gestur yang dominan muncul di sela–sela tarian yang dipertontonkan. Gestur ini didukung oleh pemilihan kostum yang ketat dan mungil yang memungkinkan karakter performa untuk menonjolkan sisi seksual yang terlihat melalui tubuhnya.
3.1.2.4. Camera Movement Pergerakan kamera biasanya akan selalu mengikuti pada karakter yang menjadi subjek dalam performa. Kamera sebisa mungkin akan mengekspos apa pun yang dilakukan oleh sang karakter di atas panggung. Dalam MV ini, kamera bergerak sesuai dengan 4 (empat) kategori pergerakan kamera yaitu close–up, medium shot, long shot, dan full shot.
129
Tabel 3.3 Shot
Camera Movement dalam MV “The Boys” Definition Preview
Close-up
Face only
Medium shot
Most of body
Long-shot
Setting and character
Full shot
Full body person
00.03–05, 00.13, 00.14, 00.17, 00.18, 00.30, 00.31, 00.49, 00.50, 01.03– 01.07, 01.18, 01.20, 01.30, 01.31, 01.40, 01.41, 01.49 , 02.05, 02.19, 02.44, 02.49, 02.52, 02.53, 02.54, 02.58, 03.02, 03.05, 03.06, 03.13, 03.14, 03.19, 03.24, 03.37, 03.58, 03.59, 04.07, 04.10, 04.11, 04.17, 04.18, 04.22–24, 04.32, 04.33, 04.36, 04.37, 04.40, 04.50, 00.06–08, 00.10–12, 00.19–24, 00.32–39, 00.51–56, 01.13, 01.16, 01.17, 01.19, 01.26, 01.27, 01.43–45, 01.48, 01.50, 01.51, 01.55–57, 01.59, 02.00, 02.01, 02.02, 02.04, 02.07, 02.08, 02.12, 02.16–18, 02.20, 02.23, 02.26, 02.30, 02.32, 02.35, 02.38, 02.41, 02.42, 02.46, 02.48, 02.50, 02.51, 02.57, 02.59, 03.00, 03.01, 03.04, 03.07, 03.08, 03.10–12, 03.15, 03.25, 03.26, 03.29, 03.30, 03.34, 03.35, 03.42–44, 03.46, 03.47, 03.52, 03.53, 03.56, 04.03, 04.04, 04.13, 04.16, 04.20, 04.27–30, 04.48, 04.51, 04.53, 00.01, 00.02, 00.09, 00.15, 00.16, 00.27–29, 00.40–48, 00.57–01.02, 01.08– 01.12, 01.14, 01.15, 01.21, 01.22–25, 01.28, 01.29, 01.32, 01.33, 01.35, 01.37, 01.39, 01.42, 01.46, 01.47, 01.52–54, 01.58, 02.03, 02.06, 02.09–11, 02.14, 02.15, 02.21, 02.22, 02.24, 02.26–29, 02.31, 02.33, 02.36, 02.37, 02.39, 02.40, 02.43, 02.45, 02.55, 02.56, 03.03, 03.16, 03.17, 03.20–23, 03.27, 03.28, 03.31–33, 03.36, 03.38–41, 03.45, 03.48–51, 03.54, 03.55, 03.57, 04.00–02, 04.05, 04.06, 04.08, 04.09, 04.12, 04.14, 04.15, 04.19, 04.25, 04.26, 04.34, 04.35, 04.38, 04.39, 04.41–47, 04.49, 04.52, 04.54, 04.58–05.18 01.34, 01.38, 02.47, 04.55–57
Sumber: Hasil pengamatan penelitian
Tipe shot yang berbeda biasanya akan menghadirkan pengalaman yang berbeda. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kamera lebih banyak melirik performa dengan menggunakan cara long–shot, hal ini memberi pengalaman utuh karena kamera menghadirkan asosiasi antara karakter dan lingkungan tempat ia melakukan performa. Pemanfaatan teknik long–shot merupakan upaya untuk memberi penekanan pada konteks, ruang lingkup, dan jarak publik antara performa dengan penonton (Berger, 1991:26). Teknik long–shot memberikan harmonisasi penonton dengan performa yang ditontonnya sehingga penonton bisa menikmati performa tersebut seolah-olah ia merupakan bagian dari performa itu sendiri. Ilusi kenikmatan ini akan menjadi sebuah kesempatan besar untuk menentukan sejauh mana performa dapat mempengaruhi penontonnya.
130
Selain long–shot, kamera juga memanfaatkan tipe close up dan medium shot di waktu-waktu tertentu untuk memberikan frame yang lebih dramatis. Kedua teknik kamera ini menitikberatkan pada keintiman dan relasi personal (Berger, 1991:26). Dengan melihat pembingkaian performa dengan teknik close up dan medium shot, akan terjalin kontak personal antara penonton dengan karakter performa seolah-olah sedang melakukan aktivitas face to face. Teknik ini juga menciptakan ilusi cermin, yang mana penonton seolah-olah bercermin terhadap “diri”nya yang ada di panggung performa. Kategori yang paling sedikit digunakan adalah jenis full shot. Kategori ini sesungguhnya menekankan pada relasi sosial, namun teknik ini sedikit ditemukan dalam MV. Kemungkinan alasan yang muncul adalah karena banyaknya karakter yang ada (9 orang) sehingga akan sulit jika memasukkan masing-masing ke dalam frame full shot.
3.1.2.5. Camera Editing Pergerakan kamera dalam menangkap gambar, biasanya akan dibantu dengan teknik editing. Cara ini diperlukan untuk mengarahkan kamera agar lebih fokus dalam mengobservasi performa yang ada di atas panggung. Tabel 3.4 di bawah ini memperlihatkan dinamika teknik editing kamera dari detik ke detik di sepanjang MV. Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa preview MV dari detik ke detik didominasi oleh teknik cut, pergantian gambar yang satu ke gambar yang lain. Hal ini mengindikasikan adanya perubahan gambar yang cukup cepat sehingga apa yang divisualisasikan oleh MV menjadi tidak stabil. Ketidakstabilan muncul
131
karena teknik ini memotong gambar-gambar yang sejenis dan membuatnya menjadi tercerai-berai. Tabel 3.4 Camera Editing dalam “The Boys” Camera Editing
Definition
Pan down
Camera looks down
Pan up
Camera looks up
Dolly in
Camera moves in
Fade in Fade out
Image appears on blank screen Image screen goes blank
Preview 00.50, 01.54, 02.13, 02.34, 03.21, 03.55, 04.05, 04.34 01.52, 01.53, 02.15, 02.22, 02.31, 02.33, 02.36, 02.37, 02.39, 02.40, 02.45, 03.16, 03.17, 03.23, 03.31, 03.57, 04.08, 04.09, 04.35, 04.54–05.00, 00.02, 00.05, 00.07, 00.08, 00.11, 00.12, 00.14, 00.16, 00.18, 00.20–24, 00.26, 00.28– 33, 00.35, 00.38, 00.41–48, 00.50, 00.54, 00.55, 00.56, 00.58–01.02, 01.04–01.07, 01.09–01.12, 01.15, 01.17, 01.22–01.25, 01.29, 01.31, 01.33, 01.41, 01.43–45, 01.56, 02.00–02.02, 02.10, 02.11, 02.16, 02.17, 02.19 , 02.27– 29, 02.54, 02.58, 03.06, 03.11, 03.14, 03.22, 03.28–30, 03.35, 03.43, 03.44, 03.47, 03.51, 03.59, 04.01, 04.02, 04.04, 04.06, 04.17, 04.18, 04.28, 04.33, 04.37, 04.42–44, 04.47, 05.01–03, 05.05–18 00.01 05.20
Cut
Switch from one image to another
00.03, 00.04, 00.06, 00.09, 00.10, 00.13, 00.15, 00.17, 00.19, 00.25, 00.27, 00.34, 00.36, 00.37, 00.39, 00.40, 00.49, 00.51, 00.52, 00.53, 00.57, 01.03, 01.08, 01.13, 01.14, 01.16, 01.18–21, 01.26, 01.27, 01.28, 01.30, 01.32, 01.34– 40, 01.42, 01.46–52, 01.54, 01.55, 01.57–02.00, 02.03–09, 02.12, 02.13, 02.14, 02.15, 02.16, 02.18, 02.20, 02.21–26, 02.30, 02.32, 02.35, 02.36, 02.38, 02.39, 02.40–53, 02.55–57, 02.59, 03.00–05, 03.07–10, 03.12, 03.13, 03.15, 03.16, 03.18–20, 03.24–27, 03.32–34, 03.36–42, 03.45, 03.46, 03.48–50, 03.52–58, 04.00, 04.03, 04.05, 04.07, 04.08, 04.10–16, 04.19–27, 04.29–32, 04.34–36, 04.38–41, 04.45, 04.46, 04.49–55, 05.01, 05.04
Wipe
Image wiped off screen
05.19 Sumber: Hasil pengamatan penelitian
Dominasi teknik editing cut-to-cut merupakan upaya untuk memberi penekanan pada kesenangan (excitement) yang konsisten dari awal hingga akhir MV (Berger, 1991:27). Pola ini seakan memberikan teka-teki bagi penonton untuk menebak scene apa kira-kira akan dihadirkan, sehingga mau tidak mau, penonton akan digiring dengan rasa ingin tahu terhadap akhir kisah dalam MV. Meskipun demikian, teknik ini juga diperkaya dengan teknik lainnya, pan down, pan up, dan dolly in, yang membantu untuk menciptakan visualisasi yang lebih bervariasi.
132
Teknik pan down dan pan up menciptakan dikotomi antara otoritas dan kelemahan. Kecenderungannya, kamera yang melihat ke arah bawah cenderung melemahkan objek yang disorot oleh kamera, sebaliknya, kamera yang melihat ke atas akan memberi arti bahwa objek yang disorot memiliki otoritas atau kekuasaan. Selain itu, teknik dolly in memberi pengaturan fokus pada apa yang harus ditonton dan apa yang tidak.
3.1.2.6. Sound Kriteria suara (sound) dalam penelitian ini diidentifikasi berdasarkan genre musik yang
digunakan
dalam
MV.
Berdasarkan
genre
musik
yang
telah
dikategorisasikan (lihat tabel 1.11), MV “The Boys” dapat tergolong dalam kelompok musik elektronik yaitu dance music, tipe musik pop yang menggunakan irama elektronik dan dipadukan dengan rap. MV ini menggunakan harmonisasi musik bertempo cepat, ceria, dan dipadukan dengan tarian–tarian yang nge-beat. Perpaduan antara dance music dengan rap ini menjadi sebuah fenomena yang sering terlihat dalam musik populer Korea Selatan.
133
3.2. Unit Analisis 2: “Pandora” Gambar 3.9 Captured Image Unit Analisis “Pandora”
Sumber: data yang diolah
3.2.1. Narasi “Pandora” Sama seperti unit analisis sebelumnya, narasi dalam MV “Pandora” ini dikaji melalui struktur lagu dan plot yang nantinya akan dioperasionalisasikan oleh kode–kode sinematik dan akan menghasilkan potongan–potongan gambar seperti yang diperlihatkan dalam gambar 3.9 di atas. Berikut merupakan struktur narasi yang dapat diidentifikasikan dari narasi lirik dalam MV “Pandora”: Gambar 3.10 Struktur Narasi Lirik “Pandora” Musematic repetition
Intro – Verse 1 – Riffs – Verse 2 – Riffs – Verse Rap – Bridge – Riffs Sumber: hasil pengamatan penelitian
134
MV “Pandora” terdiri dari 50 (lima puluh) syair yang terbagi dalam dua bait, satu bait rap, refrain, dan bridge. Gambar 3.10 di atas memperlihatkan struktur narasi “Pandora” yang ditandai dengan keberadaan repetisi musematik, yaitu pengulangan refrain. Dalam MV ini, refrain muncul sebanyak 3 (tiga) kali. Struktur narasi tidak memperlihatkan adanya repetisi diskursif (pengulangan bait yang panjang), karena masing–masing bait (bait 1, 2, dan rap) serta bridge, berdiri sendiri tanpa pengulangan. Sebelum memasuki bait pertama (verse 1), MV diawali dengan kalimat intro, “up and up, ah, ah.. up and up, ah, ah..” (syair [1]). Istilah up and up, ah, ah ini berkesesuaian dengan syair [16], [32], dan [50]. Di dalam keseluruhan narasi, syair tersebut diulang sebanyak 11 (sebelas kali), yang mana syair ini memiliki penekanan penting. Syair ini mengacu pada keinginan untuk “ke atas” dan terus “ke atas (up and up). Bait yang pertama (syair [2]–[11]) berkisah tentang nasihat terhadap seseorang (diidentifikasikan sebagai laki-laki) yang memiliki kekakutan, bersembunyi, dan tidak memiliki keberanian bahkan untuk menatap perempuan. Tatapan perempuan dalam hal ini dianggap sebagai tatapan yang aneh (syair [5]), yang memunculkan sensasi erotis, menstimulasikan keinginan laki-laki untuk menyentuh tubuh sang perempuan (syair [6]). Perempuan kemudian mengingini sang laki-laki agar ia (laki-laki) mau mendapatkan hatinya (syair [11]) dan melihat perempuan tersebut (syair [9]) sehingga sang perempuan mau memperlihatkan dirinya yang sesungguhnya kepada laki-laki. Bait pertama kemudian beralih kepada klimaks narasi, yaitu refrain (syair [12]–[17]). Dalam refrain, syair menekankan pada pesan close to you (syair [13])
135
dan close to me (syair [16]), yaitu sebuah isyarat yang ditujukan perempuan untuk saling mendekatkan diri dengan laki-laki (“me” mengacu pada perempuan, dan “you” mengacu pada laki-laki). Perempuan juga meneriakkan kepada laki-laki untuk mau merasakan dirinya (syair [12]), dan berjanji akan memberikan apa pun (syair [14]) terhadap laki-laki yang mau memandangnya (syair [15]). Klimaks pesan dalam refrain kemudian berubah arah dan memasuki narasi dalam bait kedua (syair [18]–[26]). Rentang bait ini sedikit lebih panjang dari bait pertama dengan pesan–pesan yang lebih beragam. Kisah dalam bait kedua ini masih berada di seputar topik curahan hati perempuan terhadap laki-laki. Perempuan terlihat meremehkan laki-laki yang berhenti di tengah jalan, bahkan ketika perempuan belum memperlihatkan “separuh dari dirinya” kepada laki-laki (syair [18]–[20]). Perempuan mengutarakan harapannya tentang hubungan yang seharusnya tidak berakhir (syair [18]), berharap laki-laki mampu membuat ia (perempuan) menjadi tergerak untuk mengungkapkan rahasianya (syair [21]). Perempuan juga membuat sebuah penawaran kepada laki-laki agar ia (laklaki) tidak melakukan keputusan yang tidak beralasan dan pergi (syair [24]), perempuan juga meminta sang laki-laki untuk tidak melepaskan dirinya (don’t let go of my hand) (syair [25]). Akhir dari permintaan yang diutarakan perempuan dalam bait kedua ini adalah memohon kepada laki-laki untuk mencoba mengenali dirinya (perempuan) dalam segala hal (syair [26]). Bait kedua ini kemudian dilanjutkan dengan pengulangan refrain. Bait yang ketiga berisi syair yang dinyanyikan nge-rap. Bait ini mengisahkan rasa frustasi perempuan yang berusaha untuk meyakinkan laki-laki.
136
Perempuan mengatakan “apa lagi yang bisa aku lakukan?” (syair [34]), pernyataan ini mengungkapkan keterbukaan perempuan terhadap perasaan yang tiada henti. Kejujuran hati perempuan juga terungkap dalam syair [35] ketika ia berbicara tentang dirinya yang berusaha mendekati laki-laki sedikit demi sedikit, namun semacam diabaikan, perempuan akhirnya mengalami stress (syair [36]). Perempuan berada di dalam dilema ketika ia telah memberikan segalanya kepada laki-laki namun laki-laki tidak dapat melakukan apa-apa (syair [36]). Dilema ini kemudian berubah jadi amarah, yang terlihat secara ekspresif dalam syair [37]– [40], “Apa yang kamu harapkan [dari ku]?”. Perempuan menuduh laki-laki tidak
akan bisa datang mendekat, namun juga tidak mampu pergi menjauh, laki-laki hanya akan berputar-putar tanpa menyadari hitungan waktu. Lirik yang penuh amarah dalam bait ini merupakan sebuah taktik untuk membalikkan pesan syair ke dalam refrain, yang sebelumnya diawali dengan bridge: “I waited for a while, I hoped it was you, I pray that it is perfect...” (syair [42]–[44]). Dari kalimat ini, dapat disimpulkan bahwa amarah yang terungkap
dalam bait sebelumnya merupakan sebuah pernyataan strategis untuk meluluhkan hati laki-laki. Perempuan mengatakan bahwa ia menunggu untuk beberapa saat, menanti kehadiran yang sempurna dari seorang laki-laki. Narasi lirik kemudian diakhiri dengan pengulangan refrain. Dengan demikian seluruh kisah di atas kembali kepada klimaks di mana seorang perempuan ingin diakui eksistensinya oleh laki-laki. Pola narasi di atas mengungkapkan bahwa rayuan perempuan untuk dimengerti dan dikenali oleh laki-laki. Berdasarkan pada plotting-nya, narasi lirik
137
memperlihatkan urutan dominasi karakter sebagai berikut: Jiyoung [2], [3], [23], [24], [25], [26], [33], [34], [35]; Nicole [4], [5], [27], [36]–[41]; Seungyeon [8], [9], [10], [11], [20], [44]; Hara [6], [7], [21], [22], [43]; Gyuri [12], [13], [18], [19], [42].
Selain dari syair di atas ([1], [14]–[17], [28]–[32], dan [45]–[50]), merupakan syair yang dinyanyikan secara bersamaan oleh kelima karakter dalam girlband Kara. Dalam plotting syair, karakter performa dalam MV “Pandora” di dominasi oleh Jiyoung dan Nicole (masing–masing 9 syair), sementara itu, visualisasi MV menekankan pada wajah dominan Seungyeon dan Jiyoung (lihat tabel 3.6). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa visualisasi MV tidak selalu berkesesuaian dengan plotting syair.
3.2.2. Mise-en-scéne “Pandora” Narasi MV biasanya akan dioperasionalisasikan oleh kode-kode sinematik, yaitu mise-en-scéne, yang dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini. Mise-en-scéne akan dikaji dari 6 (enam) kategori yang dianggap relevan dengan penelitian, yaitu:
3.2.2.1. Setting Dalam MV “Pandora” ini, diidentifikasi 7 (tujuh) setting yang berbeda (lihat tabel 3.5). Masing–masing setting memperlihatkan kombinasi stage dan scene yang berbeda, sehingga menghasilkan visualisasi performa yang berbeda pula. Berdasarkan hasil pengamatan penelitian, setting dalam MV “Pandora” adalah sebagai berikut:
138
Tabel 3.5 Setting dalam MV “Pandora” Setting Preview
Contemporary Stage
Menit/detik Scene
00.01, 00.02, 00.08, 00.12, 00.13, 00.17, 00.18, 00.20, 02.51, 02.52, 02.53 (1a) Preview 00.02
Proscenium
Non – realistic 00.09, 00.10, 00.11, 00.56–01.00, 01.34, 01.55, 02.20, 03.15
(1b) Preview 00.11
Tunnel
Realistic
00.03, 00.35, 00.38, 02.23–27, 02.29–31, 03.00, 03.17
(2) Preview 00.03
00.04, 00.05, 00.39, 00.41, 00.42, 00.47, Path
Realistic
01.42, 01.43, 01.44, 01.52, 02.22, 02.35, 02.38, 03.18, 03.19
(3) Preview 00.04
Parking place
Realistic
00.07, 02.13, 02.14, 02.54
Non –
00.14, 00.15, 00.16, 00.48, 00.51, 00.55,
realistic
01.33–36, 02.46–50, 02.55, 03.11
(4) Preview 00.07
Capsule
(5) Preview 00.14
00.19, 00.22–34, 00.36, 00.37, 00.40,
Proscenium
Non – realistic
(6) Preview 01.04
00.43–46, 00.49, 00.50, 00.52, 00.53, 00.54, 01.01–14, 01.20–27, 01.29, 01.46, 02.28, 02.32–34, 02.36, 02.37, 02.57, 02.58, 02.59, 03.01–10, 03.12, 03.16 01.15–19, 01.28, 01.30, 01.31, 01.32,
Proscenium
(7) Preview 01.15
Non –
01.37–41, 01.45, 01.47–51, 01.53, 01.54,
realistic
01.56–02.12, 02.15–19, 02.21, 02.39–45, 03.13, 03.14, 03.20–24
Sumber: Hasil pengamatan penelitian
139
Dari tabel di atas, diidentifikasi sejumlah 7 (tujuh) model panggung yang konsepnya kebanyakan memperlihatkan konsep panggung kontemporer. Lebih lanjut lagi, ketujuh panggung tersebut akan diuraikan sebagai berikut. Gambar 3.11 Tampilan mini proscenium dalam stage 1a
(1) Panggung pertama dalam MV “Pandora” (lihat gambar 3.11) memperlihatkan sebuah ruang kecil yang hanya diisi oleh seorang laki-laki. Panggung ini merupakan tampilan mini dari model panggung kontemporer yang diadaptasi dari tipe proscenium. Dikatakan mini karena ruang performa yang tercipta dalam panggung ini sangat sempit, menyerupai sebuah ruang lift dengan 3 (tiga) sisi. Titik pandang dalam panggung ini hanya satu arah (dari arah depan), itulah sebabnya kenapa panggung ini disebutkan mengadaptasi model proscenium. Panggung ini memvisualisasikan seorang laki-laki dalam bingkai panggung yang didominasi oleh cahaya merah yang muncul secara acak, membias ke segala arah sehingga menciptakan ruang warna–warni yang sifatnya non–realistik. Latar panggung yang terdiri dari tiga sisi didesain berbentuk susunan ubin persegi yang berbahan transparan, sehingga memungkinkan cahaya untuk merangkai warna yang indah semacam pelangi. Objek yang menjadi fokus dalam panggung ini adalah sebuah kotak kaca yang terletak di tengah panggung. Kotak ini menghasilkan cahaya merah muda dan dijaga oleh seorang laki-laki.
140
Uniknya, panggung yang sama diubah dengan scene yang berbeda sehingga menciptakan setting yang berbeda pula (disebut dengan stage/panggung 1b, lihat gambar 3.12). Model kedua dari panggung pertama ini masih menampilkan model proscenium mini, namun sudut pemandangan ditarik sedikit lebih jauh sehingga menciptakan visualisasi yang lebih panjang. Gambar 3.12 Tampilan mini proscenium dalam stage 1b
Desain latar dari panggung ini masih sama, yaitu susunan ubin persegi yang menutupi tiga sisi yang berfungsi sebagai pembingkaian panggung. Scene yang dihasilkan dari panggung ini juga bersifat non–realistik. Namun yang menjadi pembeda di antara keduanya adalah degradasi warna yang menghiasi latar. Panggung 1b ini menciptakan estetika warna pelangi dengan objek utamanya berupa sebuah kursi kaca yang didesain setengah lingkaran (preview 00.11). Gambar 3.13 Tampilan tunnel stage dalam stage 2
(2) Panggung kedua (lihat gambar 3.13) yang muncul dalam MV ini menawarkan sebuah kesan yang realistik. Panggung kedua dalam MV ini merupakan model kontemporer yang memanfaatkan ruang berbentuk terowongan (tunnel), yang di ujungnya terlihat visualisasi sinar yang berasal dari luar ruangan. Ruang performa dalam panggung ini terlihat kosong. Semua sisi latar
141
memperlihatkan dinding natural, lantai yang sedikit basah, dan langit-langit yang di bagian atasnya terdapat pipa saluran. Dalam preview 00.35, MV memperlihatkan sebuah box telepon umum yang yang diletakkan di bagian tengah panggung. Objek ini menambahkan desain sederhana dari model panggung ini, namun tidak mengubah esensinya. Gambar 3.14 Tampilan path stage dalam stage 3
(3) Tipe ketiga (lihat gambar 3.14) dari panggung “Pandora” menciptakan suasana yang realistik. Panggung ini memanfaatkan sebuah lorong (path) untuk dijadikan sebagai ruang performa. Panggung ini menonjolkan desain arsitektural, yang mana semua sisi latar dari panggung ini adalah susunan batu bata berwarna hijau, yang dipadukan dengan pipa saluran yang menghias dinding bata tersebut. Tidak ada objek khusus yang menghias ruang performa dalam panggung ini. Namun di menit pertama detik ke-43, tampak visualisasi sebuah kotak kaca di sisi kiri panggung ketiga ini. Objek ini merupakan objek yang sama yang terlihat dalam panggung 1a. Gambar 3.15 Tampilan parking place dalam stage 4
(4) Panggung ke empat (lihat gambar 3.15) merupakan panggung yang paling sedikit digunakan dalam MV ini. Panggung ini hanya muncul sekitar 4
142
detik saja dalam keseluruhan MV yang berdurasi 209 detik. Scene yang diciptakan dalam MV ini bersifat realistik. Dikatakan realistik karena hampir menyerupai ruang nyata berupa tempat parkir (parking place) yang biasanya ditemukan di bagian bawah gedung–gedung modern. Desain arsitektur sebagai tempat parkir terlihat dari visualisasi pilar yang tersusun teratur di berbagai sisi dalam ruangan tersebut. Pilar tersebut terlihat dicat berwarna kuning–hitam. Panggung ini merupakan sebuah ruang kosong, meskipun ia terlihat seperti replika gedung parkir, namun tidak ada keberadaan mobil yang membenarkan fungsi ruangan tersebut sebagai gedung parkir. Ekspresi yang dihasilkan dari panggung ini adalah ekspresi yang suram, yang terlihat dari lantai yang sedikit basah, dinding yang mulai memudar warnanya, dan ketidakadaan sumber cahaya dari sisi mana pun. Ruangan divisualisasikan dengan cahaya remang dan tidak ada satu pun karakter yang tampak tampil di ruang performa tersebut. Kekosongan ruang tersebut hanya berisi sebuah kotak kaca yang sebelumnya tidak ada di ruangan tersebut. Sama halnya dengan panggung 1a dan 3, kotak kaca yang sama juga muncul di panggung ke-4 namun dalam ukuran yang lebih besar dari sebelumnya. Gambar 3.16 Tampilan capsule dalam stage 5
(5) Panggung yang kelima dalam MV “Pandora” (lihat gambar 3.16) muncul dengan desain futuristik dan menciptakan kesan non–realistik. Ia merupakan panggung proscenium yang mengadaptasi model teknologi mutakhir,
143
yaitu replika ruang fantasi yang biasanya ditemukan di dalam teritorial pesawat ruang angkasa. Efek yang dimunculkan adalah suasana modernitas yang sangat kental. Ruangan berbentuk kapsul yang berputar-putar secara otomatis, dan citracitraan cahaya putih–biru yang bergantian secara acak. Semua sisi dalam ruangan ini terlarut dalam model yang sama sehingga sulit sekali didefinisikan yang mana sisi sebelah kiri dan yang mana sisi sebelah kanan. Ruang kapsul ini berpusat pada satu titik yang bentuknya menyerupai kipas. Kapsul ini sempat dihiasi oleh kotak kaca yang di dalamnya terdapat kotak yang lebih kecil berwarna merah muda (lihat preview 02.46). Objek ini hanya muncul sekilas saja dalam panggung kelima. Gambar 3.17 Tampilan proscenium dalam stage 6
(6) Panggung keenam (gambar 3.17) didefinisikan sebagai model panggung proscenium yang bernuansa kontemporer. Lingkungan
yang
diciptakan
merupakan lingkungan non–realistik yang bermain di seputar permainan degradasi cahaya merah dan putih. Panggung ini merupakan panggung yang dimanfaatkan sebagai ruang performa bersama bagi kelima karakter perempuan dalam MV ini, hal ini berbeda dengan panggung-panggung sebelumnya yang hanya dimanfaatkan oleh satu karakter saja atau bahkan tidak dimanfaatkan. Pada dasarnya, panggung ini didominasi oleh latar berwarna hitam, dengan margin panggung yang tidak jelas. Di bagian tengah panggung terdapat titik yang dari sana didesain lima tiang lighting yang semakin ke atas semakin terlihat
144
mekar. Tiang tersebut merupakan desain pencahayaan berwarna merah yang disusun vertikal, sehingga menciptakan warna kombinasi antara cahaya merah dan latar hitam. Lantai panggung ini berwarna hitam dan terbuat dari bahan yang memantulkan cahaya. Dikatakan demikian karena tiang lighting yang berada di atas panggung, ketika bercahaya, menimbulkan efek bercermin dengan lantai panggung sehingga desain yang tercipta dari panggung ini adalah desain bunga. Panggung ini juga memiliki kecenderungan kosong, tersentralisasi pada kontrol pencahayaan yang menimbulkan efek yang berbeda–beda. Meskipun demikian, panggung ini sempat menghadirkan sebuah mobil sport berwarna hijau kekuning-kuningan (detik ke-43 hingga ke-45), dikendarai oleh salah satu karakter bernama Hara. Meskipun hanya sebentar, kehadiran mobil ini memperkaya desain panggung yang monoton didominasi oleh warna merah dan hitam. Gambar 3.18 Tampilan proscenium dalam stage 7
(7) Panggung ketujuh (gambar 3.18) merupakan panggung terakhir yang muncul dalam MV “Pandora”. Panggung ini mengadopsi model proscenium, dengan satu latar yang sama yang memasukkan para karakter ke dalam bingkai performa yang sama. Selain panggung ke-6 di atas, panggung ke-7 merupakan panggung yang dimanfaatkan sebagai ruang performa bagi kelima karakter perempuan dalam MV ini. Ruang performa dalam panggung ini menciptakan nuansa non-realistik. Ia berbentuk ruangan tertutup yang keotentikannya digantikan dengan desain futuristik dengan pemanfaatan titik-titik cahaya yang
145
tersebar di seluruh sisi panggung. Ruang ini menciptakan dimensi interior yang bergantung pada kontrol pencahayaan. Semakin jauh sudut pandang kamera dalam melihat performa, dimensi ruangan tersebut akan terlihat semakin mengecil. Di akhir MV, dalam panggung ini muncul sebuah kotak berwarna merah muda (pink) dengan tidak dilapisi kotak kaca. Hal ini kontras dengan pemandangan yang terlihat dalam panggung 1a, 3, 4, dan 5, yang menghadirkan kotak merah muda yang dilapisi dengan kaca. Di bagian akhir MV, objek persegi berwarna merah muda tersebut menjadi fokus dalam pembingkaian panggung dengan karakter-karakter performa yang disusun mengelilinginya. Ruang performa dalam panggung-panggung “Pandora” tampaknya sengaja dikondisikan dengan kecenderungan yang kosong. Satu-satunya objek yang paling sering muncul dalam panggung adalah kotak merah muda yang diasosiasikan dengan judul MV yaitu “Pandora”. Kotak Pandora ini merupakan dimensi penghubung antara panggung yang satu dengan panggung yang lain. Dari tujuh panggung yang dimanfaatkan dalam MV ini, keseluruhannya merupakan panggung kontemporer, ada yang mengadopsi model panggung klasik bertipe proscenium dan ada yang menciptakan ruang tersendiri dengan memanfaatkan ruang-ruang yang menyerupai ruang yang sering ditemukan dalam hidup keseharian. Panggung kontemporer dalam MV ini dapat dikatakan sebagai bentuk penolakan terhadap yang klasik. Tiga dari tujuh panggung tersebut menghadirkan esensi realistik, dan empat lainnya menciptakan ilusi non–realistik yang bernuansa futuristik.
146
3.2.2.2. Costume Dalam unit analisis “Pandora”, terdapat 5 (lima) karakter perempuan yaitu Park Gyuri, Han Seungyeon, Nicole Jung, Goo Hara, dan Kang Jiyoung. Dalam MV ini, kelima karakter tampil dalam 3 (model) model kostum yang seragam, yaitu: Gambar 3.19 Tiga model kostum dalam “Pandora”
Kostum 1 (preview 00.22)
Kostum 2 (preview 01.49)
Kostum 2 (preview 03.22)
Ketiga kostum di atas mengadopsi model pakaian kontemporer minimal clothing, yaitu pakaian yang memadukan microskirt (rok yang sangat pendek) dengan crop–top (atasan yang terpotong). Dikatakan demikian karena visualisasi MV memperlihatkan kelima karakter perempuan menggunakan celana ketat yang pendeknya menyerupai celana dalam (underwear), dengan atasan berbentuk crop– top yang didesain sedikit “sobek”. Crop–top ini tertutupi oleh jas formal yang berbelah di bagian belakang, yang ukuran panjang jas ini sedikit lebih panjang dari micro–skirt yang dikenakan. Dengan demikian micro–skirt dan crop–top dalam tipe kostum ini berfungsi hanya sebagai dalaman, namun keduanya tampak terlihat jelas ketika kelima karakter memperagakan bahasa tubuh membuka pakaian (lihat preview 00.34, 01.26–29, 03.37, 03.38). Meskipun ketiga kostum di atas sama–sama merupakan model minimal clothing dan dipadukan dengan jas formal, yang menjadi pembeda di antara ketiganya adalah warna. Kostum pertama didominasi oleh warna hitam, dengan
147
desain pita yang menghiasi bagian dada. Warna kain pita yang didesain secara acak tersebut merupakan warna kulit tubuh, sehingga menambah ilusi yang menyerupai ketelanjangan. Di sisi lain, kostum kedua didominasi oleh warna putih, ditambah dengan kain pita berwarna emas yang didesain untuk menghiasi margin tubuh antara perut, dada, dan leher. Sedangkan kostum yang ketiga tampil dengan desain yang lebih minimalis, didominasi oleh warna krem, dengan model kerah yang berbeda-beda di masing-masing karakter. Ketiga kostum tersebut menekankan pada visualisasi tubuh sensual perempuan. Objek utama yang ditonjolkan adalah pangkal paha hingga ujung kaki. Selain itu, kostum ini juga menampilkan margin tubuh perempuan yang berfokus pada dada dan pinggul. Nuansa sensual diperkaya dengan postur tubuh yang seksi yang menampilkan citra kedewasaan seksual, terlebih ketika para perempuan mencoba membuka dan menutup jas yang mereka kenakan. Selain ketiga model pakaian di atas, MV ini juga menampilkan performa masing-masing karakter dalam representasi kostum yang berbeda-beda namun tidak meninggalkan logika fashion yang sama seperti tiga rangkaian konstum sebelumnya
yaitu fashion kontemporer.
Konsekuensi
kontemporer
yang
dihasilkan mengarah pada penggunaan model minimal clothing sebagai konsep dasar namun dengan pola yang lebih beragam. Dikarenakan model keempat dari kostum yang dikenakan dalam MV ini berbeda-beda maka model keempat ini akan dibahas berdasarkan karakter performa.
148
Gambar 3.19 Tipe kostum keempat dalam “Pandora”
Karakter pertama adalah Jiyoung, ia muncul dalam balutan gaun mini hitam (mini dress) berbahan ketat dalam preview 00.35, namun awalnya gaun mini yang dikenakannya dilapis dengan jas hujan transparan berwarna merah muda. Kostum ini memadukan gaya kontemporer casual dengan mini dress yang dalam istilah populer dikenal dengan sebutan gaun cocktail. Gaun cocktail mengacu pada model gaun hitam yang mini dengan pola minimalis namun tetap menghadirkan esensi keglamouran. Pakaian ini memperlihatkan muatan sensual perempuan sebagai daya tarik performa, terlebih lagi gaun Jiyoung dipola dengan kerah yang terbuka sehingga memamerkan leher dan sedikit bagian dada (preview 02.29). Bentuk lain dari gaya kontemporer juga terlihat dalam kostum yang dikenakan Nicole. Ia tampil dalam nuansa orange, menggunakan micro skirt serta atasan longgar bermodel crop top yang berpotongan di sisi kiri dan kanan sehingga memperlihatkan bra berwarna hitam yang dikenakannya (preview 03.19). Nuansa cerah yang dikenakan Nicole ini sepadan dengan warna rambut pirang yang diurai panjang, dan kontras dengan latar panggung yang berwarna hijau (panggung ke-3). Dalam balutan kostum ini, Nicole menciptakan pencitraan yang “berani” dan tetap menonjolkan unsur sensualitas tubuh perempuan. Di sisi lain, Hara tampak mengenakan kostum kontemporer bergaya futuristik. Disebut futuristik karena Hara mengenakan mini dress berwarna merah
149
yang terbuat dari bahan campuran plastik (preview 01.46), sehingga menampilkan gaya kebaruan yang hanya muncul di masa depan. Dalam tampilan kostum yang berbeda, Hara tampak tampil mengenakan celana panjang ketat dengan atasan crop-top bermodel bra olahraga berwarna putih (preview 02.31). Gaya kontemporer futuristik juga terlihat dalam busana Seungyeon. Ia tampil dengan gaun mini berwarna kuning emas (preview 02.46). Esensi futuristik dalam hal ini muncul akibat persinggungan antara gaya busana yang dikenakan Seungyeon dengan panggung performa yang menyerupai kapsul dalam perjalanan di masa depan. Seungyeon memadukan gaun ini dengan ikat pinggang berwarna hitam yang memberi penekanan pada margin tubuh di bagian perut dan pinggung. Selain itu, pada bahu Seungyeon, gaun tanpa lengan ini diberikan pola bantalan dan rangkaian kawat-kawat emas yang menghiasi bahu dan leher baju. Hal ini didefinisikan sebagai sebuah variasi futuristik yang di dalamnya tetap menawarkan citra tubuh perempuan yang sensual. Model terakhir dari rangkaian kostum keempat dalam MV ini dikenakan oleh Gyuri (lihat preview 00.58). Gyuri tampil dengan balutan warna ungu yang esensinya menghadirkan nuansa yang glamour. Tipe gaun yang dikenakannya, sama seperti empat karakter lainnya, adalah mini dress dengan leher terbuka dan lengan gaun yang dipola berbentuk segitiga sama sisi. Namun visualisasi gaun yang dikenakan Gyuri tidak tampak dengan cukup jelas, selain karena rambutnya diurai sehingga menutupi detail pakaian, karakter Gyuri sesungguhnya lebih menekankan gaya bahasa tubuh yang tidak terlalu memamerkan pola pakaian,
150
melainkan lebih menekankan pada sensualitas yang berasal dari gerak-gerik performa.
3.2.2.3. Performance and Movement Kriteria mise-en-scéne ini mengeksplorasi tampilan performa yang terfragmentasi dalam dua karakter, yaitu mayor dan minor. Dominansi performa dalam hal ini ditentukan oleh banyaknya tampilan visual yang diperkirakan
muncul
di
sepanjang MV, seperti yang diuraikan dalam tabel berikut. Tabel 3.6 Performa Berdasarkan Visualisasi Dalam MV “Pandora” Actress
Menit/Detik Menit ke-0
Menit ke-1
Menit ke-2
Menit ke-3
∑
Park Gyuri Han Seungyeon
32, 57, 58, 59
00, 02, 32, 33, 55
04, 17, 20
06, 15
14
(49–53), 55
03, 13, 16, 22, (34–37),
02, 09, (46–50), 57
11
23
Nicole Jung
30, (39–42), 47
07, 21, 42, 43, 53
18, 19, 20
21
00, 17, 20
22
12, 18, (23–27) , 29
09, 21
23
01, 03, 05, 06, 08, 10, 11, 15, 19, 21, 28, 32, 34, (39–45), 58, 59
(01–05), 07, 08, 10, 12, 13, 14, 16, 22
73
14, (51–55)
(23–27)
32
Goo Hara Kang Jiyoung
21, 26, 27, 43, 44, 45 29, 35, 36, 37, 38
All
22, 23, 24, 25, 28, 31, 33, 34, 46, 54
Unidentified
(01–20), 48
05, 19, 23, 41, 46, 56 10, 18, 24, 44, 47, 50, 52, 59 01, 04, 06, 08, 09, 11, 12, 14, 15, 17, 20, (25–31), 38, 39, 40, 45, 48, 49, 51, 54, 57, 58
00, 22, 33, 35, 36, 37, 38 07, 13, 16, 30, 31, 36, 56
Sumber: hasil pengamatan penelitian
Arena panggung merupakan arena kompetisi mayor dan minor yang ditengahi oleh karakter-karakter lain yang diposisikan sebagai pendukung. Tabel 3.6 di atas memperlihatkan urutan dominasi adalah Seungyeon dan Jiyoung (masing–masing ± 23 detik), diikuti oleh Hara (± 22 detik), Nicole (± 21 detik), dan Gyuri (± 14 detik). Namun varian jumlah dari masing–masing karakter tidak memperlihatkan adanya kesenjangan jumlah yang signifikan, sehingga peran dari masing-masing karakter membaur sedemikian rupa tanpa mengkontraskan mayor
151
dengan minor. Hal ini mengindikasikan bahwa kebersamaan merupakan sebuah cara performa yang diartikulasikan dalam dimensi kesetaraan. Selanjutnya, mengacu pada kategori gestur tubuh (tabel 1.9), maka dapat diidentifikasi bahwa MV “Pandora” ini hanya menggunakan tipe gestur populer yaitu sexual agresiveness gesture. Gerakan ini mengakomodasi semua bagian tubuh untuk tujuan yang sama, yaitu untuk menonjolkan agresivitas seksual yang dimiliki oleh perempuan. Dalam hal ini, karakter performa mengharmonisasikan gerakan mulai dari kaki hingga kepada ke dalam interaksi vulgar yang diperlihatkan dalam tariannya. Salah satu gestur agresivitas seksual yang paling berkesan dalam MV ini adalah ketika kelima karakter Kara membuka jaket dengan perlahan dan memperlihatkan punggung yang terbuka, setelah itu menutup jaketnya kembali (lihat preview 01.27, 01.28, dan 01.29. Hal ini menciptakan sebuah ilusi ketelanjangan, terlebih karena gestur ini didukung oleh pemilihan kostum yang sangat ketat, pendek, dan terbuka. Selain itu, masing–masing karakter juga memiliki penciri gestur seksual yang berbeda. Nicole merupakan salah satu karakter yang dominan dalam gestur ini. Dalam panggung ke-3 (path stage), Nicole tampak agresif misterius dalam balutan kostum berwarna orange. Setiap kali Nicole
diperlihatkan
dalam
panggung yang menyerupai lorong ini, sang karakter performa tampak lihai menggerakkan tubuhnya secara agresif untuk memperlihatkan daya tarik seksual yang luar biasa. Hal ini didukung juga oleh permainan kamera yang mencoba melirik Nicole dari berbagai arah demi memperlihatkan gestur seksual yang dimainkan oleh sang karakter (lihat preview 00.42, 00.47, 01.42, 02.22, 02.35,
152
02.38). Jiyoung dan Hara juga tampak memainkan gestur seksual mereka seperti yang diperlihatkan dalam preview 02.23 hingga 02.32. Masing–masing karakter terlihat mengenakan minidress dan crop–top,
kemudian
menggerakkan
pinggulnya untuk memperlihatkan agresivitas seksual. Sementara itu, Seungyeon dan Gyuri tampak memainkan gestur seksual mereka dengan agresivitas yang lebih perlahan (misalnya, preview 01.55 dan 03.11). Secara keseluruhan, MV “Pandora” merupakan praktik gestur seksual yang secara agresif dikemas dalam bentuk tarian yang merupakan ekspresi fisik dari perempuan-perempuan Kara.
3.2.2.4. Camera Movement Pergerakan kamera dalam unit analisis “Pandora” ini dikategorikan berdasarkan 4 (empat) kategori dasar dalam mengkaji kriteria pergerakan kamera, yaitu: closeup, medium shot, long shot, dan full shot. Tabel 3.7 Shot
Camera Movement dalam MV “Pandora” Definition Preview
Close-up
Face only
Medium shot
Most of body
Long-shot
Setting and character
Full shot
Full body person
00.12, 00.13, 00.17, 00.18, 00.20, 00.21, 00.37, 00.43, 00.55, 00.57, 00.59, 01.00, 01.44, 02.07, 02.16 –18, 02.48–53, 02.56, 02.57, 03.00, 03.06, 03.25–28 00.08, 00.26, 00.27, 00.29, 00.30, 00.32, 00.34, 00.36, 00.38, 00.40, 00.44, 00.47, 00.49, 00.50, 00.52, 00.53, 00.58, 01.02, 01.03, 01.05, 01.07, 01.10, 01.13, 01.16, 01.18 – 24, 01.27, 01.29, 01.32, 01.33, 01.36, 01.37, 01.39, 01.41, 01.46, 01.47, 01.50, 01.52, 01.53, 01.55, 01.56, 01.59, 02.00, 02.02, 02.04, 02.06, 02.08, 02. 09, 02.12, 02.13, 02.20, 02.26, 02.27, 02.31, 02.33, 02.36, 02.37, 02.38, 02.42–45, 03.07, 03.09, 03.14, 03.17–21, 00.01–07, 00.09–11, 00.14–16, 00.19, 00.23, 00.25, 00.28, 00.31, 00.33, 00.35, 00.39, 00.45, 00.46, 00.48, 00.51, 00.56, 01.01, 01.04, 01.06, 01.08, 01.09, 01.11, 01.12, 01.14, 01.15, 01.17, 01.25, 01.28, 01.30, 01.31, 01.34, 01.38, 01.40, 01.42, 01.43, 01.45, 01.48, 01.49, 01.51, 01.54, 01.57, 01.58, 02.01, 02.03, 02.05, 02.10, 02.11, 02.14, 02.15, 02.19, 02.21, 02.22, 02.28, 02.30, 02.32, 02.34, 02.39–42, 02.46, 02.47, 02.54, 02.55, 02.58, 02.59, 03.01–05, 03.08, 03.10, 03.11, 03.13, 03.15, 03.16, 03.22–24 00.22, 00.24, 00.41, 00.42, 00.54, 01.26, 01.35, 02.24, 02.25, 02.29, 03.12 Sumber: Hasil pengamatan penelitian
Pergerakan kamera dalam MV lebih banyak menggunakan teknik long-shot, yang menekankan pada visualisasi dari karakter dan setting tempat sang karakter
153
tampil. Teknik long-shot ini membantu menciptakan lingkungan non realistik yang menjembatani panggung dengan karakter performa sehingga menyatu dalam sebuah pengalaman virtual yang menyenangkan. Contohnya adalah replika bunga mekar yang dihadirkan (salah satunya preview 02.58) ketika kamera menyorot performa dengan sudut pandang yang jauh sehingga meleburkan performa ke dalam ruang setting yang imajinatif. Kamera juga memanfaatkan teknik medium shot pada saat-saat di mana kamera berusaha untuk berfokus pada ekspresi tubuh, dan menggunakan teknik close up untuk menonjolkan ekspresi wajah. Salah satu ekspresi close up yang paling menonjol dalam MV ini adalah ekspresi mata (preview 00.21), yang menciptakan kesan virtual yang luar biasa tajam. Variasi lain dari teknik editing kamera adalah teknik full shot yang membingkai karakter dalam satu tubuh yang utuh dengan tidak terlalu mengindahkan lingkungan. Teknik ini membantu dalam menciptakan keanekaragaman pose yang di mana tubuh tampil dalam penggambaran fisik yang memperlihatkan dan mengeksplorasi nilai-nilai tampilan tubuh secara utuh.
3.2.2.5. Camera Editing Selain teknik pergerakan kamera, kategori mise-en-scéne mempersyaratkan adanya pemanfaatan teknik editing. Hal ini diperlukan untuk memungkinkan terciptanya rangkaian gambar yang utuh dari awal hingga akhir MV. Teknik editing ini memberi penekanan pada detail saat-saat tertentu yang dianggap merupakan memiliki nilai representatif. Dengan demikian, setiap gambar yang
154
muncul dalam MV merupakan penggambaran representatif dari apa yang dianggap penting untuk ditampilkan di dalam ruang performa. Sama seperti unit analisis sebelumnya, MV ini mengkategorikan 7 (tujuh) teknik editing kamera, dengan kecenderungan sebagai berikut: Tabel 3.8 Camera Editing dalam “Pandora” Camera Editing Pan down Pan up Dolly in Fade in Fade out
Definition
Preview
Camera looks down Camera looks up
00.01, 00.02, 00.12, 00.13, 00.17, 00.18, 00.20, 00.43, 00.46, 00.57 – 01.00, 01.17, 01.48, 02.20, 02.22, 02.35, 02.58, 03.03, 03.20
Camera moves in
00.05, 00.10, 00.11, 00.13, 00.15, 00.16, 00.18, 00.37, 00.42, 00.50, 01.00, 01.12, 01.26, 01.27 , 01.31, 01.35, 01.49, 01.58, 02.25, 02.27, 02.40 – 42, 02.02.44, 02.47, 02.49 – 50, 02.53, 03.02, 03.04, 03.26 – 28
Image appears on blank screen Image screen goes blank
00.25, 00.28, 00.31, 00.33, 00.39, 00.45, 00.54, 01.08, 01.12, 01.14, 01.46, 01.55, 02.51, 02.59, 03.32
00.07 00.06
Cut
Switch from one image to another
00.03, 00.04, 00.07, 00.08, 00.09, 00.12, 00.14 , 00.17, 00.19 – 34, 00.35, 00.36, 00.38 – 41, 00.43 – 49, 00.51 – 59, 01.01 – 11, 01.13 – 25, 01.28 – 30, 01.32 – 34, 01.36 – 48, 01.50 – 57, 01.59 – 02.24, 02.26, 02.28 – 39, 02.43, 02.45, 02.46, 02.48, 02.51, 02.52, 02.54 – 03.01, 03.03, 03.05 – 25
Wipe
Image wiped off screen
Sumber: Hasil pengamatan penelitian
Berdasarkan hasil pengamatan penelitian dalam tabel di atas, maka dapat disimpulkan bahwa gambar yang dihadirkan dalam visualisasi MV merupakan susunan gambar yang telah terlebih dahulu “diatur” dengan memanfaatkan teknik editing kamera. Teknik editing sesungguhnya menawarkan sudut pandang (point of view) yang menghanyutkan penonton dalam pengalaman performa emosional yang dihasilkan. Teknik pan down memperlihatkan sudut pandang dari atas, sebaliknya, pan up memperlihatkan sudut pandang dari bawah. Dalam MV ini, teknik pan down
155
dimanfaatkan untuk merefleksikan performa dari sudut bawah, dan menciptakan tatapan yang dimanipulasi untuk melihat tubuh perempuan dari bawah (misalnya preview 00.31). Teknik pan up dan pan down, dalam studi postkolonial, disebutkan sebagai salah satu penciri dalam film-film yang diproduksi oleh bangsa-bangsa non-Barat (baca: Timur). Disebut demikian karena teknik ini menciptakan angle kamera yang bias terhadap pertunjukan relasi kekuasaan dan dominansi (Gabriel, 1994:354). Teknik lain yang juga banyak digunakan dalam MV ini adalah dolly in. Teknik ini menciptakan sudut pandang yang sejajar dengan karakter performa (eye-looking). Efek yang dihasilkan dari teknik dolly in ini adalah pengalaman menonton performa dalam posisi penonton layaknya dalam model panggung proscenium. Teknik ini juga secara signifikan mengajak penonton untuk “lebih mendekat” ke arah objek performa sehingga menciptakan sebuah pengalaman fisik yang menyenangkan. Teknik fade in, fade out hanya muncul di awal dan akhir MV, hal ini mengasumsikan bahwa MV hanya terdiri dari satu scene yang utuh, yang terdiri dari susunan gambar-gambar yang dieksploitasi dengan teknik cut. Banyaknya teknik cut yang digunakan dalam MV memang didesain untuk memperlihatkan variasi gambar yang menciptakan kesenangan luar biasa dalam menonton performa.
3.2.2.6. Sound Genre musik yang digunakan dalam MV ini merupakan kategori pop yang disebut juga sebagai K-Pop. Namun dalam K-Pop sendiri, musik dicampuradukkan dan
156
membentuk ciri khas masing-masing sesuai dengan lagu dan kelompok yang membawakannya. Dalam MV “Pandora” ini, musik yang diperkenalkan tidak termasuk dalam kategori tertentu, melainkan membuat sebuah model musik pop yang baru yaitu Kara-pop. Kategorisasi ini muncul karena Kara secara spesifik memadukan musik pop dengan musik elektro yang di dalamnya juga terdapat gaya rap. Keunikan dari musik dalam MV ini adalah harmonisasi antara dance dan musik dari awal hingga akhir MV sehingga menciptakan musik yang berada di persimpangan berbagai genre musik pada umumnya.
3.3. Catatan Sintagma: “The Boys” dan “Pandora” Narasi dan masing–masing kriteria mise-en-scéne dalam kedua unit analisis di atas (Girls’ Generation ”The Boys” dan Kara “Pandora”) sesungguhnya merefleksikan sebuah pengalaman emosional yang mengisi ruang imajinasi yang bergantung pada apa yang dihadirkan dan dieksploitasi dalam visualisasi MV. Kedua unit analisis menceritakan kisah tentang laki–laki, meskipun di MV “The Boys” tidak terdapat satu laki-laki pun yang muncul di sepanjang MV. Kisah kedua ini merupakan kisah romansa perempuan yang dikondisikan bersifat persuasif, yang mana perempuan mencoba meyakinkan laki-laki dengan memberi berbagai nasihat kehidupan dan percintaan kepada laki-laki. Praktik narasi terlihat dari operasionalisasi kode-kode sinematik yang pada kenyataannya, di panggung performa, kode dan narasi sering kali tidak berkesesuaian. Karakter yang dominan secara naratif, belum tentu dominan secara visual. Hal ini membuat masing-masing unit analisis memperlihatkan wajah dominan yang muncul dalam panggung performa. Dalam MV “The Boys”,
157
dominansi terlihat sangat jelas dimiliki oleh Yoona, sementara dalam MV “Pandora”, karakterisasi terlihat cenderung paritas meskipun didominasi oleh wajah Jiyoung dan Seungyeon. Setting yang paling banyak digunakan dalam kedua unit analisis adalah tipe panggung kontemporer yang mengadopsi model klasik panggung proscenium dengan scene yang bersifat non-realistic. Sedangkan dalam kategori kostum, kedua unit analisis cenderung berbeda. MV “The Boys” lebih mengedepankan penggunaan kostum kontemporer yang dipadukan dengan gaya high-fashion dan glamour. Namun kesembilan karakter Girls’ Generation juga tidak lepas dari potrait mini-skirt dalam rangka mengeksplorasi tubuh. Kostum yang ditampilkan dalam “The Boys” terlihat lebih bervariasi daripada “Pandora”. “Pandora” mencitrakan kekuatan kontemporer micro yang menampilkan sensasi virtual yang sensual dan futuristik. Bahasa tubuh performa yang banyak digunakan dalam “The Boys” merupakan gestur telapak tangan, serta gestur populer yang seringkali menyatu dengan gerakan artistik dari tarian yang ditampilkan. Sementara itu, “Pandora” berhasil menciptakan fantasi seksual dengan gestur-gestur populer yang agresif. Kode sinematik lainnya, pergerakan kamera dan teknik editing, biasanya menekankan pada harmonisasi antara karakter dengan ruang performa. Masingmasing unit analisis memperlihatkan gerak dan teknik yang saling menyerupai, yang mana kamera ditujukan untuk mengeksplorasi karakter dengan tidak mengabaikan lingkungan performa tempat ia berada.
158
Musik dalam masing-masing MV menghadirkan pencampuran antara melodi dengan tempo yang cepat. Meskipun bahasa yang digunakan adalah bahasa Korea Selatan, kedua MV ini mencampurkannya dengan istilah-istilah bahasa Inggris yang membantu untuk memahami isi cerita meskipun hanya sebagian kecil. Banyak yang mengatakan bahwa tipe musik yang dihadirkan oleh kelompok-kelompok K-Pop sangat efektif untuk membuat lagu tersebut melekat di kepala dengan sangat mudah, bahkan tanpa disadari. Ia dikategorikan sebagai tipe musik kontemporer yang disebut-sebut sebagai hook songs (Contemporary Korea No.1, 2011:58). Ini bukan pengkategorian berdasarkan genre musik, namun berdasarkan efek emosional yang dihasilkan oleh musik yang diproduksi oleh industri musik Korea Selatan, termasuk kedua MV dalam penelitian ini. Musik yang ditampilkan adalah musik yang catchy yang membuat orang-orang yang menontonnya ikut terlarut secara emosional meskipun tidak memahami bahasa yang digunakan.
BAB IV [MEMBUNUH] SANG LIYAN: MITOS RESISTENSI DALAM PERFORMA PEREMPUAN
“We live in the third world from the sun. Number three. Nobody tells us what to do.” ~ Bob Perelman ~
Bagi Barthes, tanda mengambang bebas. Baudrillard menyebutnya sebagai lautan semiotik luas tanda yang menenggelamkan segala sesuatu (O’Donnell, dkk, 2009:50-51). Dengan logika tersebut, maka tanda tidak akan berhenti pada level pemaknaan sintagmatik, namun ia bergerak lebih jauh dari yang bisa dibayangkan dan mencoba menelusuri relasi tanda dengan sesuatu yang ada di luarnya. Eksistensi dari relasi ini membuat tanda bergerak bebas seolah tanpa batas, dan pada akhirnya nanti ia akan berhenti pada dimensi-dimensi mitos yang mencampuradukkan tanda dengan masa lalu, dengan kondisi sosial budaya yang melatarbelakanginya. Dengan kata lain, tanda akan membangun relasi antara realitas sejarah kolonialisme dengan post-, dan menyisakan mitos yang membaurkan keduanya dalam performa Diri sang perempuan. Upaya untuk membongkar kompleksitas tanda memerlukan sebuah pemaknaan yang disebut Barthes dengan sistem pemaknaan tataran kedua, yaitu analisis paradigmatik. Analisis paradigmatik menguraikan dialektika di antara tanda dengan sesuatu yang ada di luar tanda. Keseluruhan pengaturan narasi dan kode sinematik dalam sebuah music video (MV) dianggap menghasilkan efek
159
160
ideologis yang berkaitan dengan produksi mitos yang bersembunyi di balik performa perempuan. Dalam bab IV ini, masing-masing unit analisis (MV “The Boys” dan “Pandora”) akan dikaji secara paradigmatik untuk menguraikan makna yang tersembunyi
di
balik
tanda.
Satuan-satuan
pembacaan
(leksia)
akan
dikelompokkan dan dikaji melalui kode-kode pembacaan yang diartikan sebagai perangkat untuk memaknai teks. Kode-kode pembacaan yang digunakan untuk menganalisis tanda pada tataran paradigmatik adalah: kode hermeneutika, kode proairetik, kode kultural, kode semik, dan kode simbolik (Kurniawan, 2009:128129; Stam, dkk, 1992: 196–200). Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, yaitu “hermeneuein”, yang artinya “to interpret”. Intepretasi mengacu pada varian pertanyaan yang dapat dimunculkan melalui teks, yang mana akumulasi dari pertanyaan tersebut menimbulkan enigma (misteri) tersendiri atas jawaban yang mungkin terungkap. Kode hermeneutika mengontrol kesenangan-kesenangan yang dihasilkan melalui teks, yang menarik pembaca teks ke dalam apa yang disebut Barthes sebagai “narrative striptease”. Dalam kode pembacaan ini, intepretasi hermeneutika mengarah pada penelanjangan teks, yang mempertanyakan misteri teks tersebut, memunculkan rasa ingin tahu, kemudian mengungkapkan kebenaran itu sendiri. Barthes mempercayai bahwa teks selalu mencoba untuk berbohong (to lie as little as possible), sehingga tugas dari hermeneutika adalah mengungkapkan kebenaran. Kode proairetik mengacu pada kode tindakan (code of actions). Istilah “proairesis” sendiri, bagi Aristoteles, dimaknai sebagai kemampuan untuk
161
memutuskan hasil tindakan secara rasional. Dengan demikian, kode proairetik mengacu pada logika tindakan sesuai dengan wacana naratif yang telah diarahkan. Kode ini memastikan bahwa tindakan yang muncul adalah tindakan yang rasional sesuai dengan sekuens naratif yang ada. Tindakan yang dimaksudkan dalam kode ini mungkin saja berupa tindakan yang sepele, namun hal ini menciptakan konjungsi dengan kode-kode lainnya untuk memproduksi sebuah narasi yang koheren, baik narasi yang klasik maupun model narasi modern. Barthes memandang sekuens proairetik sebagai sebuah konstruksi artifisial yang memprediksi seperangkat tindakan apa yang akan muncul dalam sekuens tersebut. Kode kultural disebut juga dengan kode referential. Kode ini mengacukan tanda dengan referensi eksplisit dan implisit tentang “apa yang diketahui semua orang”, kearifan konvensional (conventional wisdom) mengenai waktu, obatobatan, sejarah, dan sebagainya. Dengan kata lain, kode ini ditujukan untuk membuat tanda menjadi masuk akal “to common sense”. Kode ini terkadang sulit dipisahkan dengan kode semik. Barthes menyebutnya juga sebagai doxa, contohnya “voice of natural”, segala sesuatu yang terjadi tanpa perlu dikatakan, opini tertentu, makna yang diulang. Kode simbolik bergantung pada antitesis yang ditentukan secara kultural. Istilah “simbolik” itu sendiri dilatarbelakangi oleh pendapat Lévi-Straussean mengenai peran krusial dari oposisi biner. Istilah ini bermain pada oposisi takenfor-granted yang ada dalam konteks budaya secara keseluruhan, misalnya lakilaki/perempuan. Kode pembacaan ini berfungsi untuk memetakan antitesis yang di dalamnya budaya mengartikulasikan makna melalui representasi diferensial
162
atas identitas simbolik sehingga memunculkan oposisi secara natural, tidak dapat terelakkan, dan bersifat non-linguistik. Oposisi biner yang muncul misalnya: nature/civilization; outdoors/indoors;
sincerity/lies;
organic
lower-class/upper-class;
life/artifacts;
servants/masters;
life/death; female/male;
wildlife/property; greenhouse/manor; childishness/maturity, dan sebagainya. Kode semik berkaitan dengan asosiasi afektif dan emotif antara penanda dengan sebuah nama, karakter, atau wilayah. Barthes menyebut kode ini sebagai sebuah bentuk “noise” yang memunculkan sekaligus membohongi
kebenaran
(both names and dissimulates the truth), sehingga kaya akan ambiguitas. Kode pembacaan ini mengukuhkan premis mengenai tingginya kadar repetisi kultural, yang mana signifikasi konotatif dari tanda biasanya diasosiasikan dengan objek kultural yang telah ada. Kelima kode pembacaan ini tidak selalu terintegrasikan secara sistematis satu sama lainnya. Kode pembacaan dapat muncul dengan intepretasi yang berbeda-beda sehingga cerita yang diungkapkan oleh masing-masing kode pembacaan tidak selalu memiliki akhir yang sama namun hadir dengan pemahaman yang berbeda-beda. Hal ini dimungkinkan terjadi dalam dua unit analisis penelitian dikarenakan teks yang dibaca merupakan teks kontemporer yang di dalamnya unsur-unsur narasi dan kode mise-en-scéne membangun makna yang beragam.
163
4.1. Girls’ Generation: “[We] Bring The Boys Out!” Unit analisis pertama yang akan dikaji secara paradigmatik adalah MV Girls’ Generation, “The Boys”. Dalam MV ini terdapat banyak sekali tanda yang selanjutnya akan dikelompokkan ke dalam leksia-leksia yang disesuaikan dengan kode-kode pembacaan.
4.1.1. Kode hermeneutika (hermeneutic code) Leksia pertama dalam kategori kode pembacaan hermeneutika terdapat pada narasi. Leksia ini mengeksplorasi relasi di antara ‘we’ dan ‘you’ untuk mempermainkan peran gender (gender roles) antara laki-laki dan perempuan. Leksia ini mempertanyakan: Bagaimana posisi subjek dan objek dalam narasi? (Bait pertama) “If you haven’t started yet because you’re scared, then stop complaining![2] If you hesistate, opportunities will pass by you, so open your heart and come out![3] Bring the boys out![4] Yeah, you know.[5] Bring the boys out![6] We bring the boys out, we bring the boys out! Yeah![7] Bring the boys out![8]” Secara linguistik, ada tiga posisi yang bisa diungkap dari narasi, yaitu: orang pertama /we/, orang kedua /you/, dan orang ketiga /the boys/. Semua kategori ini mengacu pada pembaca teks (dalam hal ini disebut penonton MV). Kenapa demikian? Mengutip pernyataan Barthes (dalam Stam, dkk, 1992:195), “teks mengakibatkan kematian sang penulis (death of the author) dan memunculkan konsekuensi kelahiran sang pembaca (birth of the reader)”, teks memiliki kecenderungan untuk membuka diri kepada para pembacanya dan menjalin relasi
164
yang intim yang membuat pembaca seolah-olah merupakan bagian dari teks tersebut. Sebagai sebuah teks yang terbuka, narasi MV ini tidak hanya mengacu pada posisi perempuan yang tampil di panggung performa, namun ia juga merefleksikan identitas kolektif dari pembaca teks.. Penamaan orang pertama, orang kedua, dan orang ketiga, merupakan ekspresi bahasa dalam mengungkapkan relasi dikotomi antara subjek dan objek. Penamaan /we/ mengacu pada ‘the girls’ (dalam syair [21]), atau lebih spesifik lagi, /we/ mengacu pada perempuan (syair [17], “Girls’ Generation make you feel the heat”). Di sisi lain, identitas /you/ diperjelas dalam syair “show me your wild side that is sharp and cool, my boy”
[15]
. Sisi liar yang disebutkan dalam narasi
merupakan karakter kelaki-lakian yang memberi pembenaran bahwa /you/ dalam narasi memberikan fungsi objek bagi laki-laki. Narasi MV “The Boys” dengan demikian menjadi sebuah ekspresi universal yang diungkapkan perempuan kepada laki-laki. Namun keduanya telah kehilangan sentuhan personal karena merepresentasikan identitas kolektif. Perempuan (girls atau girls’ generation) dan laki-laki (the boys atau the boys of the world[38]) merupakan identitas kolektif yang mewakili baik laki-laki maupun perempuan lain yang ikut menonton MV tersebut. Uniknya, perempuan didefinisikan sebagai sebuah generasi sedangkan laki-laki didefinisikan sebagai dunia itu sendiri (dikotomi yang dimunculkan adalah: generation > < world). Kenapa demikian? Relasi ini merupakan refleksi terhadap relasi nyata dunia yang dianggap man-made (buatan laki-laki), dan perempuan hanyalah generasi yang hidup di bawah naungan dunia maskulin yang dikontrol oleh cara berpikir laki-
165
laki. Sejauh ini relasi tersebut memang sudah menjadi logika dan norma hidup dalam dunia patriarki, namun kode hermeneutika mengajak kita berjalan lebih jauh untuk membongkar relasi gender yang ditampilkan dalam MV ini. Frasa “bring the boys out” merupakan sebuah idiom yang memiliki arti “untuk membuat laki-laki menjadi lebih berani (to bring [someone] out)”. Siapa yang membuat mereka menjadi berani? Perempuan. Dalam syair yang berbeda (syair [17], misalnya), frasa “bring the boys out!” ditambahi subjek di depan yaitu /we/ sehingga menjadi frasa “we bring the boys out!”. Logika “bring the boys out” yang dibangun dalam ruang performa sejalan dengan commonsense yang dalam kenyataannya sering dinaturalisasikan dalam frasa “behind every successful man is a woman’. Perempuan dalam hal ini dimaknai sebagai “penolong” bagi lakilaki, menekankan pada interferensi perempuan terhadap kesuksesan laki-laki. Pernyataan di atas merupakan penggambaran kondisi di mana perempuan merupakan ‘fakta’ yang penting bagi laki-laki jika ia ingin memperoleh kesuksesan dalam hidupnya. Dengan logika seperti di atas, narasi ini mencoba membalikkan pola “phallogocentrism” dari pemikiran Barat yang menganggap laki-laki sebagai the one and only (Kroløkke dan Sørensen, 2006:14). Bagaimana caranya? Perempuan dalam performa ini berfokus untuk membalikkan posisi antara laki-laki dan perempuan—sebuah relasi kesenjangan yang hingga saat ini masih sangat kuat di dunia Timur karena paham patriarki yang melahirkan sejarahnya. Sejarah merupakan sebuah titik perbedaan antara perempuan Timur dengan perempuan Barat, karena ketika perempuan Barat telah bergerak jauh ke masa depan,
166
perempuan Timur masih terjebak dalam masa lalu. Dalam ruang performa ini, perjuangan perempuan sejalan dengan perjuangan kelas yang memperebutkan kekuasaan untuk menguasai dunia (karena laki-laki dimaknai sebagai dunia). MV ini memunculkan kata kunci “the boys” yang diulang-ulang sebanyak 21 (dua puluh satu). Anehnya, tidak sekalipun muncul penggambaran visual dari laki-laki dalam MV. Laki-laki dengan demikian merupakan perwujudan dari ketidakhadiran (absence) yang menuntut kode pembacaan hermeneutika untuk mengisi ketidakhadiran tersebut. Menghilangkan
laki-laki
sama dengan
menghilangkan satu bagian penting dalam MV ini. Pertanyaan yang dimunculkan adalah, kenapa tidak ada penggambaran laki-laki dalam MV yang diberi judul ‘the boys’? Apa makna dari ‘ketakhadiran’ laki-laki dalam MV ini?. Sesuatu yang tidak hadir adalah makna, ia menyiratkan bahwa sesuatu seharusnya ada di sana (Williamson, 2007:105-106). Ketakhadiran laki-laki dalam MV ini ditafsirkan sebagai upaya pengakuan atas kehadiran laki-laki secara nyata, yang terungkap dalam frasa “the boys of the world”. Hal ini merupakan upaya totalitas perempuan untuk tidak memilih hanya satu atau beberapa figur laki-laki untuk ditampilkan di ruang performa, karena pada dasarnya laki-laki ada dimana-mana, di segala arah. Dengan ketidakhadiran laki-laki, ia (perempuan) berdiri tepat di depan para penonton laki-laki di seluruh dunia sebagai isyarat eksistensi Diri, melepaskan status sebagai sang Liyan dan memiliki kontrol penuh atas laki-laki di seluruh dunia. Kontrol atas laki-laki muncul ketika perempuan menyebut laki-laki dengan sebutan “the boys” (bukan man). Istilah ‘boys’ mengacu pada tingkah laku
167
ketidak-dewasaan untuk mendeskripsikan bahwa laki-laki bisa dipermainkan karena mereka masih anak-anak (boy) (Mills, 1998:42). Penamaan ini membangunkan kesadaran kelas dari perempuan yang menyebut dirinya sebagai bagian dari generasi perempuan untuk mencoba merebut kekuasaan dari tangan laki-laki. Perempuan dalam hal ini memberi apresiasi yang sangat tinggi terhadap dirinya, ia menganugerahi dirinya sebuah kekuasaan yaitu sesuatu yang melebihi manusia—nyaris mendekati sifat ketuhanan. Ia mentransformasikan diri ke dalam dunia mitologis Yunani dan mendeklarasikan diri sebagai Dewi Athena. (rap) “Girls bring the boys out![36] I wanna dance right now. I will lead you, come out![37] The boys of the world, I am Athena, the one who gives the number one wisdom. Check this out![38] Enjoy the excitement of the challenge, You already have everything in this world[40], just keep going like that. Keep up, Girls’ Generation we don’t stop[41]. Bring the boys out[42]. Leksia
di
atas
memunculkan
misteri:
“Mengapa
perempuan
menggambarkan dirinya sebagai Dewi Athena?”, “Mengapa Athena?”. Athena merupakan Dewi perawan dalam mitologi Yunani. Ia merupakan anak perempuan dari Zeus dan istri pertamanya, Metis. Athena dikenal sebagai dewi kearifan, peperangan, seni, dan keadilan. Athena terkenal sebagai dewi yang ahli dalam strategi perang, dan biasanya, ia tidak akan berperang tanpa alasan yang jelas. Dalam mitologi Yunani dikisahkan bahwa Athena pernah murka terhadap Medusa dan akhirnya mengubah kecantikan Medusa menjadi monster Gorgon yang memiliki tatapan mata dingin yang mampu mengubah setiap laki-laki yang
168
melihatnya
menjadi
batu
(Loewen,
1998:12; www.greekmyhtology.com/Olympians/Athena/athena.html). Athena merupakan sosok heroik yang diimajinasikan dalam panggung performa “The Boys”. Para perempuan mendeklarasikan dirinya dengan mengatakan, “Hai laki-laki di seluruh dunia, Akulah Athena, yang akan memberikanmu kearifan yang utama” (syair [38]). Penggunaan kata “I am” (Aku adalah) merupakan sebuah pernyataan yang menciptakan emosi seseorang yang mencoba menegosiasikan identitasnya sebagai subjek yang aktif. Perempuan menonaktifkan identitas sang Liyan ketika ia memposisikan diri sebagai Athena. Identitas perempuan dalam hal ini tidak dimaknai sebagai identitas personal melainkan identitas kolektif. Dalam panggung performa “The Boys”, perempuan hadir mewakili “Athens”, nama yang mengacu pada kota yang dimiliki dan dinamai berdasarkan nama Dewi Athena yaitu “the city of Athens”, maknanya “[many] Athenas”. Dengan demikian, kehadiran Athena mengalami multiplikasi sebanyak jumlah tak-terkuantifikasi dari perempuan-perempuan sang Liyan.
4.1.2. Kode proairetik (proarietic code) Kode proairetik merupakan kode tindakan. Kode ini mendefinisikan leksia berupa detail sekuens-sekuens yang muncul di dalam MV. Kode proairetik dalam MV ini adalah performa perempuan itu sendiri. Kenapa? Ketidakhadiran laki-laki dalam MV telah membuat perempuan menjadi pusat perhatian dalam panggung performa. Feminisme dalam hal ini mengatakan bahwa perempuan harus memiliki kepercayaan diri untuk mengklaim kekuasaan dengan cara memamerkan
169
keperempuanan mereka (Kroløkke dan Sørensen, 2006:17). Menjadi perempuan adalah kata kunci dalam kode pembacaan ini. Perempuan dalam MV ini menamai diri mereka dengan sebutan ‘girl’ (bukan ‘woman’). Istilah ‘girl’ biasanya diacukan kepada perempuan yang berumur 16 tahun, sedangkan istilah ’woman’ akan memunculkan aktivasi organ dan fungsi seksual dari tubuh perempuan itu sendiri (Mills, 1998:98,104-105). Jika istilah ‘girl’ digunakan untuk memaknai ‘woman’ maka ada kemungkinan ekuivalensi di antara keduanya. Hal ini mengakibatkan transformasi kemudaan perempuan menjadi kedewasaan yang tak terkontrol, seperti yang diungkapkan oleh para pemikir feminisme gelombang-ketiga, ‘I’m a grrrl you have no control!” (Kroløkke dan Sørensen, 2006:18). Perubahan woman ke dalam grrrl (baca: girl) merupakan sebuah usaha untuk melecehkan relasi seksis yang diwariskan oleh sistem patriarki. Perempuan, dalam hal seksual, dikontrol oleh laki-laki sesuai dengan aturan patriarki yang berlaku. Transformasi diri ke dalam grrrl membuat perempuan (tua dan muda) mendamaikan dirinya dengan aktivasi tubuh sensual. Untuk memperoleh kontrol atas dirinya dan atas laki-laki, perempuan harus mengaktivasi tubuh sensual yang mempersyaratkan seperangkat aturan kecantikan yang harus dipenuhi. Mengutip kembali perkataan Naomi Wolf (2004) mengenai mitos kecantikan, perempuan dikisahkan berjuang secara sadar untuk diakui sebagai perempuan yang cantik karena sosok perempuan yang sepenuhnya “sempurna” adalah sosok yang kurus, tinggi, putih, dan berambut pirang, dengan wajah yang mulus tanpa noda, simetri, dan tanpa cacat sedikit pun (Wolf, 2004:3-4).
170
MV “The Boys” merupakan visualisasi dari mitos mengenai perempuan Timur yang berusaha mengaktualisasikan diri sebagai ‘perempuan yang sepenuhnya sempurna’, yang populer dengan sebutan the flawless nine. Kelompok ini terdiri dari 9 (sembilan) anggota perempuan, dan masing-masing dari mereka disebutkan memiliki kecantikan yang tak bernoda, tinggi, putih, ramping, rambut bergaya K-cut (sebutan gaya rambut Korea Selatan), memiliki kaki yang panjang, dan terlihat bagus dalam balutan pakaian apa pun. Semua penggambaran ini terlihat dalam MV dengan bantuan kamera yang bergerak mengekplorasi berbagai keindahan tubuh perempuan untuk diperlihatkan dalam ruang performa. Menjadi perempuan merupakan sebuah ritual modern yang ditata untuk lebih mempedulikan penampilan daripada otak. Kemasan tubuh cantik secara artifisial menjadi penting bagi perempuan jika ia tidak ingin memperlihatkan inferioritasnya di hadapan laki-laki. Kenapa? Kecantikan memberikan kontribusi yang besar bagi perempuan yang ingin terlihat (visible). MV ini mewakili konstruksi kecantikan artifisial yang kini sedang menjadi tren bagi perempuan Korea Selatan. Pada dasarnya, orang Korea Selatan menganggap penampilan personal dengan sangat serius sehingga mereka akan sangat hati-hati dalam berpakaian. Berpakaian secara konservatif merupakan pilihan terbaik, mereka cenderung menghindari jeans, kaos, gaun, dan celana pendek kecuali diperkenankan untuk mengenakannya (Connor, 2009:245). Panggung performa membuat perempuan Korea Selatan meninggalkan penampilan konservatif dan beralih pada kecantikan artifisial yang disebut Prabasmoro (dalam Becoming White, 2003) sebagai ideal[ized] beauty.
171
Tubuh yang artifisial dimaknai berbeda dengan tubuh yang natural (Nicholson dan Seidman, 2002: 129, 133). Kemunculan tubuh artifisial sebagai oposisi biner dari tubuh yang natural ditujukan untuk membuang jauh-jauh inferioritas yang dimiliki perempuan Timur. Kenapa demikian?. Kecantikan artifisial mengakibatkan perempuan Timur mengesampingkan tubuh natural dan meniru model kecantikan Barat yang dianggap sebagai kecantikan yang ideal. Namun menjadi cantik secara artifisial tidak sekedar menjadi putih, seperti yang diungkapkan dalam buku berjudul “The Clothed Body” (2004), yang mana pakaian dan segala atribut yang mengikutinya merupakan pelengkap bagi kecantikan yang tidak sempurna (imperfect beauty) untuk bermetamorfosis menjadi kecantikan yang sempurna. “I see myself as another, as another would see me, from the outside, available to all, exposed to everyone’s gaze, let loose in a circuit of cities, streets and pleasures.” (Marguerite Duras, dikutip dari Calefato, 2004:1) Menurut Duras, perempuan memperoleh kesenangan ketika ia berpakaian. Pakaian merupakan sebuah tanda yang sadar (conscience sign) karena perempuan biasanya akan memilih sendiri apa yang ingin dipakainya untuk memperlihatkan dirinya. Asumsinya, pakaian merupakan salah satu atribut artifisial yang membuat perempuan memperoleh identitas yang baru, yang berbeda dari yang natural. Ketika perempuan dalam MV mengenakan pakaian kontemporer bergaya highfashion, perempuan bertransformasi sebagai perempuan Barat. Mengapa? Karena gaya high fashion merupakan gaya yang berkembang di masa aristokrasi Barat di mana perempuan diperlakukan sebagai lady.
172
Dengan berpakaian seperti perempuan Barat, perempuan Timur melihat diri mereka dalam rupa Barat. Hal ini merupakan kesenangan (pleasure) karena ‘menjadi Barat’ dianggap sebagai tolak ukur untuk dapat terlihat bagi semua orang (exposed to everyone’s gaze). Transformasi artifisial ini, tentu saja, tidak terlepas dari apa yang telah diprediksi oleh kode pembacaan hermeneutika mengenai Athena. Girls’ Generation merupakan the city of Athens yang terdiri dari banyak Athena-Athena. Kecantikan artifisial menciptakan kecantikan yang melebihi sekedar kecantikan Barat yaitu kecantikan sang Dewi Athena. Atribut artifisial lainnya adalah bahasa tubuh atau gestur. “A gesture of profound joy and delight, of pleasure in masquerade, and sensual enjoyment” (Calefato, 2004:2). Gestur, sama seperti pakaian, menciptakan kesenangan dalam sesuatu yang bukan dirinya (masquarade). Gestur tangan di pinggang (hands-onhips gesture) misalnya, menandakan perempuan yang
memperlihatkan
kesenangan sensual dengan tujuan menonjolkan bentuk tubuhnya. Gestur seksual agresif (sexual agresiveness gesture), memperlihatkan performa kesenangan sensual perempuan yang biasanya dipadukan dengan model-model pakaian mini yang memperlihatkan bagian tubuh tertentu. Kontruksi artifisial yang diciptakan dalam MV ini berakibat pada apa yang dikatakan narasi: “Girls’ Generation membuat-mu merasakan panas (heat)” (lihat syair [17]). Istilah ‘heat’ merupakan sebuah metafora (lawan katanya, lack of heat) yang mendeskripsikan seksualitas. Seseorang akan dikatakan ‘panas’ ketika ia merupakan seorang pecinta yang baik (Mills, 1998:137). Kadar ‘panas’ merupakan interpretasi terhadap ‘pengetahuan’ mengenai seksualitas yang diukur
173
berdasarkan tingkat responsif seseorang terhadap lawan jenisnya. Ukuran dari panas tidaknya performa perempuan terlihat dari visualisasi tubuh perempuan yang teatris dan menyentil hasrat sehingga memberikan suatu keintiman yang berimajinasi, karena ia mampu membangun sensasi virtual yang memunculkan kenikmatan dalam melihat performa—namun tidak untuk menyentuhnya. Keseluruhan tindakan yang dimainkan dalam ruang performa, apa pun itu, memperlihatkan
seksualitas perempuan.
Perempuan
berjalan,
berpakaian,
bernyanyi, menari, menggerakkan tangan, memutar pinggulnya, memainkan matanya dan sebagainya. Semua hal tersebut di-shooting dan disebarkan sebagai serangkaian tindakan kesenangan seksual. Piliang menyebutnya sebagai logika libidonomics, yang memanfaatkan tubuh untuk menggali kesenangan yang tanpa batas, melalui berbagai bentuk seksualitas (Piliang, 2010:125-126). Sekuens seksualitas dalam MV ini menggambarkan perempuan sebagai sosok heroine yang cantik, romantis, menggoda, dan dinamis. Perempuan Timur yang digambarkan sebagai heroine merupakan replika dari konsep kekuatan perempuan (girls’ power) yang banyak diterapkan oleh perempuan-perempuan Barat, misalnya, Madonna dan Spice Girls. Melalui performa muncul pola tindakan yang diatur untuk memperlihatkan perempuan Timur sebagai subjek yang aktif, yang memiliki kemampuan untuk mengekspresikan tubuh tanpa batasan dari budaya patriarki darimana ia berasal. Athena merupakan salah satu penggambaran girl’s power yang ditampilkan dalam MV ini. Athena merupakan dewi perawan namun diingini oleh banyak lakilaki. Logika yang sama juga berlaku bagi perempuan dalam ruang performa ini.
174
Dewi (goddess) merupakan penggambaran dari perempuan magis (magical female) yang independen secara seksual dan memiliki karakter sebagai pemberi kehidupan. Karakter ‘spiritualitas para dewi’ ini dapat ditemukan dalam seksualitas dan ketelanjangan perempuan yang membentuk karakter yang playful, powerful, kreatif, dan memiliki kekuatan untuk menyembuhkan (Roach, 2007:3). Perempuan dimaknai sebagai simbol-simbol kesucian yang memiliki nilai spiritualitas untuk mengontrol laki-laki—mengutip apa yang telah diungkapkan dalam narasi—“Akulah Athena yang akan memberimu kearifan utama”. Hal ini merupakan eksistensi perempuan yang mampu membuat laki-laki menjadi bergantung padanya dan membuat laki-laki jatuh ke dalam ruang hasrat yang suci, di mana keberadaan hasrat di sini merupakan energi yang dikontrol sepenuhnya oleh perempuan.
4.1.3. Kode Kultural (cultural code) Kode pembacaan kultural terhadap MV ini memperlihatkan adanya utopia terhadap universalitas budaya. Kenapa demikian? MV ini tidak memperlihatkan adanya nostalgia sejarah budaya Korea Selatan atau budaya ke-Timur-an yang kononnya merupakan konteks kebudayaan nyata di mana MV ini diproduksi. Model setting yang digunakan dalam MV ini mengadopsi model teatrikal Barat, terutama model proscenium, yaitu model teater yang awalnya berkembang dalam seni teater Yunani namun kini dominan digunakan di Broadway, sebuah pusat performa teater yang terkenal di Amerika Serikat.
175
Model setting yang keBarat-baratan ini merupakan wujud penyatuan kultural antara Timur dengan Barat. Dengan demikian, MV ini dilatarbelakangi oleh konteks kebudayaan yang “terbuka”, dalam artian meninggalkan nilai-nilai budaya yang berbasis lokalitas dan berusaha untuk mereproduksi nilai-nilai budaya yang berorientasi pada dunia Barat. Nilai ke-Timuran hadir dalam penggunaan bahasa, meskipun aspek ini sifatnya juga terbuka. Dikatakan terbuka karena narasi MV menoleransi keberadaan bahasa Inggris yang dicampuradukkan dengan bahasa Korea Selatan. Dengan demikian, narasi MV itu sendiri menciptakan adanya dialog di antara dua kebudayaan yang melebur dalam citra kontemporer yang menghasilkan sintesis budaya yang kompleks. Kode kultural dapat juga dibaca melalui konsep kecantikan yang dihadirkan dalam MV The Boys. Kecantikan merupakan standarisasi kultural yang diwariskan secara turun temurun. Salah satu panorama kecantikan yang dihadirkan dalam MV ini adalah bentuk tubuh perempuan. MV ini merupakan kumpulan performa dari sembilan perempuan kurus yang dinamis memainkan tubuhnya tanpa lelah. Kenapa harus kurus? Ternyata, preferensi umum terhadap bentuk tubuh yang kurus muncul sebagai norma yang secara kultural berlaku secara konsisten dalam masyarakat, khususnya masyarakat Barat (Wykes dan Gunter, 2005:6). Dalam MV ini, hal ini tampaknya telah menjadi sebuah konsensus yang berlaku universal, dikarenakan sebelumnya MV ini juga memperlihatkan adanya toleransi yang berlebihan terhadap nilai-nilai Barat melalui pemilihan panggung.
176
Dalam kode pembacaan ini, kecantikan dianggap sebagai kode kultural yang memandang kecantikan tersebut melalui konteks kecantikan perempuan Timur, namun ekspresi kecantikan itu ditelan oleh dominasi kecantikan Barat sebagai konsekuensi pengembangan kultural Timur ke arah Barat. Di balik kecantikan yang ditampilkan dalam MV, hadir sebuah dunia yang kontradiksi dengan apa yang ada di dalam versi nyata. Salah satunya adalah penggunaan operasi plastik yang ditujukan untuk memperoleh bentuk wajah V-line, yaitu bentuk wajah yang tirus. Model V-line dianggap sebagai model kecantikan ideal yang diadopsi dari model boneka Barbie. Kenapa demikian? Sudah menjadi rahasia umum bahwa perempuan Korea Selatan ‘gemar’ mengubah bentuk tubuh dan wajah mereka untuk mencapai standar kecantikan kultural Barat yang dianggap sebagai kecantikan yang ideal. Ras Korea, disebut-sebut menyerupai orang Manchuria dan Mongolia dengan ciriciri fisik, mata berbentuk almond, rambut hitam, dan tulang pipi yang tinggi (Connor, 2009:7). Namun MV ini menampilkan perempuan Korea dalam rupa yang berbeda dengan penciri ras mereka. Hal ini merupakan pembenaran keberadaan “grrrl feminism”, yaitu model feminisme baru yang sifatnya eurosentrisme, di mana salah satu karakteristik dari feminisme ini adalah operasi tubuh (operasi plastik) (Kroløkke dan Sørensen, 2006:17). Hal ini dimaksudkan untuk memberi gambaran universal tentang perempuan, bahwa dengan menjadi cantik, perempuan akan lebih mudah memperoleh haknya dan menghapus identitasnya sebagai sang Liyan. Hal ini merupakan usaha untuk melampaui kecantikan Timur dan bertransformasi ke dalam model kecantikan Barat.
177
Cantik dalam sejarah Korea Selatan, biasanya dimiliki oleh kelompok perempuan penghibur, yang dikenal dengan sebutan kisaeng (atau gisaeng). Seorang kisaeng tidak memiliki kebebasan atas hidupnya sendiri, biasanya kelas tertinggi yang bisa dicapai oleh seorang kisaeng adalah menjadi gundik bagi lakilaki kaya. Peran perempuan dalam sejarah Korea Selatan
juga
dibatasi.
Perempuan tidak diperbolehkan untuk mengecap pendidikan dan menjadi setara dengan laki-laki. Selain menjadi kisaeng, perempuan merupakan masyarakat biasa (commoners). Kadang, perempuan hanya diperlakukan sebagai budak atau sebagai shaman (penyihir) (Connor, 2009:183). Uniknya, kode kultural dalam MV ini memperlihatkan pergeseran kelas perempuan ke arah yang positif. Fenomena kaum elit, yang direpresentasikan dalam model pakaian high fashion dan glamour memperlihatkan adanya pengukuhan akan keberadaan kelas aristokrat modern di kalangan perempuanperempuan Timur. Bukti lainnya juga dapat dilihat melalui penggunaan bahasa dalam narasi MV. Dikotomi antara “kami” dan “kalian” (we dan you) merupakan salah satu kode kultural lainnya yang di dalamnya melekat norma perbedaan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Hal ini mengacu pada pembedaan antara perempuan sebagai subjek (we) dan laki-laki sebagai objek (you). Dalam budaya patriarki yang dianut oleh bangsa Korea Selatan, hierarki masyarakat memperlihatkan bahwa kekuasaan sebagai aristokrat dipegang oleh laki-laki (disimbolkan dengan kaisar/king). Namun MV ini memperlihatkan degradasi kekuasaan laki-laki dan akhirnya menimbulkan ketidakpastian arah kekuasaan di antara dua dikotomi gender tersebut.
178
MV ini menampilkan perempuan dalam hierarki kelas sosial aristokrat melalui deskripsi tubuh yang dibalut dengan pakaian-pakaian yang classy. Tampilan classy ini membuat perempuan hadir bukan sebagai masyarakat biasa (commoners), melainkan dihadirkan sebagai ratu (terlihat dengan penggunaan mahkota pada beberapa karakter performa). Dalam konteks kultural yang seperti ini, perempuan sebagai subjek aktif yang terkesan menyingkirkan laki-laki. Meniadakan laki-laki sama halnya dengan membunuh satu identitas penjajah, meskipun ketidakhadiran laki-laki dalam MV ini hanya dimaknai secara parsial saja (laki-laki hadir dalam narasi yang diimajinasikan). Konteks kultural lainnya yang bisa dilihat dalam kode pembacaan ini adalah Athena. Dewi Athena, dalam mitologi Roma, mirip dengan karakter Minerva. Keduanya merupakan dewi kebijakan dan peperangan (goddess of wisdom and war) (Loewen, 1998:8). Penggambaran karakter ini juga sejalan dengan sang Srikandi dalam legenda Jawa. Uniknya, MV ini sengaja meminjam mitos yang berasal dari akar budaya yang berbeda dari Korea Selatan. Hal ini memperlihatkan bahwa budaya Yunani Kuno sebagai asal usul mitologi yang digunakan dalam MV ini merupakan akar kebudayaan yang dianggap penting yang digunakan perempuan sebagai alat resistensi terhadap budaya Barat. Performa perempuan bergerak ke arah Eurosentris. Mengapa? Karena ia meminjam sejarah Eropa yaitu Yunani Kuno yang juga merupakan akar sejarah peradaban Barat. Sejarah Korea Selatan tidak menawarkan kisah semacam Athena, Hawa, atau Srikandi. Namun sejarah Korea mencatat satu perempuan yang paling berpengaruh di sepanjang monarki, Queen Sondak. Ia memerintah
179
Korea di masa 632-647 M, dan merupakan satu dari tiga perempuan yang pernah memimpin kekaisaran di Korea Selatan. Sebagai bangsa patriarki, Korea Selatan pada dasarnya tidak mentoleransi kekuasaan dipegang oleh perempuan. Ratu Sondak sendiri diterima rakyatnya sebagai pemimpin bukan karena nilai keperempuanannya, melainkan karena sistem garis-keturunan yang mana Sondak merupakan satu-satunya keturunan kaisar sebelumnya (Connor, 2009:194-196). Dari sejarah budaya ini, dapat dilihat bahwa perempuan hanya akan diakui ketika ia memiliki darah seorang noble (bangsawan). Jika tidak, ia dianggap sebagai lowborn (lahir dalam kelas yang rendah). Relasi antara perempuan dan laki-laki merupakan relasi subordinasi yang telah melekat menjadi hukum moral dalam masyarakat. Bahkan dalam penyebutan identitas diri (nama), perempuan Korea tidak dipanggil dengan nama mereka sendiri melainkan diidentifikasi berdasarkan posisi dalam relasi mereka dengan laki-laki (Connor, 2009:198). Identitas Athena dalam MV ini dengan demikian merupakan sebuah usaha untuk meniadakan identitas sang Liyan perempuan. Dengan memakai nama Athena, perempuan mendeklarasikan diri tidak sekedar menjadi bangsawan namun menjadi dewi yang memiliki kekuasaan untuk mengatur dunia.
4.1.4. Kode simbolik (symbolic code) Perbedaan jenis kelamin adalah salah satu cara untuk mengenali oposisi biner yang dimunculkan dalam kode pembacaan simbolik. Laki-laki dan perempuan. Kehadiran semu laki-laki dalam MV ini menjadi sebuah simbol yang semu pula, namun simbol itu menjadi nyata ketika ia dikontraskan dengan simbol lainnya,
180
yaitu perempuan. Laki-laki memerankan peranan yang krusial, ia adalah sosok yang hebat, hal ini terlihat dari penggambaran narasi dalam syair [29] yang mengatakan bahwa sejarah akan berubah, dan dalam perubahan sejarah tersebut, karakter utamanya adalah laki-laki. Laki-laki merupakan simbol dari kelemahan. Kenapa? because the girls bring the boys out. Logika yang hendak dibangun dalam MV ini adalah perempuan merupakan sumber kekuatan dan keberanian bagi laki-laki. Hal ini bertolak belakang dengan budaya macho yang menekan anima sekaligus menyembunyikan perasaan, dan menunjukkan kemampuan mereka dengan ekspresi: “Boys don’t cry!” (O’Donnell, dkk, 2009:91). Laki-laki seharusnya mampu menaklukkan perasaannya, ini merupakan karakter universal dari lakilaki. Laki-laki harusnya mampu memakai logika untuk bangkit menghadapi kegelapan dunia yang dalam narasi MV digambarkan dengan kehidupan semacam perang (lihat syair [11] dan [22]). Simbol perempuan dalam MV ini mengubah ruang performa menjadi ruang antitesis yang membongkar identitas perempuan itu sendiri. Kode simbolik ini membaca performa perempuan sebagai upaya untuk menampilkan kekuatan perempuan (girls’ power) dalam sosok seorang Athena. Dewi Athena, dalam mitologi Yunani dikenal sebagai dewi peperang (the goddess of war). Karakter Athena dalam MV ini sebagai dewi peperangan menyimbolkan perempuan maskulin yang memiliki kemampuan untuk menaklukkan kehidupan yang seperti perang (war-like life). Simbol Athena ini jelas sekali bertolak belakang dengan penggambaran perempuan sebagai Liyan. Athena sebaliknya merupakan sebuah
181
babak baru dari performa perempuan sebagai diri yang tidak lagi termarginalisasi, namun justru sebagai pahlawan yang dominan yang mampu menaklukkan apa pun di hadapannya termasuk menaklukkan laki-laki. Identifikasi simbol lain yang terkait dengan perempuan adalah burung merpati. Keberadaan merpati putih dalam MV membalikkan konvensi mitologis Yunani yang mana sang Dewi Athena biasanya dipadankan dengan burung peliharaan disayanginya—burung hantu (owl). Sebaliknya dalam MV ini, perempuan-perempuan yang mengaku diri adalah Athena tidak memperlihatkan simbolisasi burung hantu melainkan menggantinya dengan burung merpati. Kenapa? Tidak ada perempuan yang ingin disamakan dengan hantu. Ia jelas memilih penggambaran visual seekor merpati putih yang cantik, mulus, dan tidak bercacat. Merpati merupakan penggambaran dari tubuh-tubuh tak bernoda. Ia juga mewakili kemurnian dan kepolosan seorang Athena yang masih perawan. Dengan cara yang seperti ini, perempuan memperlihatkan kekuatannya untuk merayu lakilaki melalui usahanya untuk mempercantik diri, berganti-ganti kostum dari fashion yang satu ke fashion lainnya. Banyaknya model fashion yang digunakan dalam MV ini merupakan simbol virtual dari pernyataan perfect dress for perfect body (pakaian yang sempurna untuk tubuh yang sempurna).
4.1.5. Kode semik (codes of semes) Kode pembacaan ini mengungkapkan keberadaan ideologis di antara ruang-ruang kebudayaan Timur dan Barat. Perjuangan ideologis dalam MV ini mengarah pada konflik abadi yaitu relasi konflik antar gender (laki-laki dan perempuan). Dalam
182
logika dunia maskulin, perempuan seharusnya tidak bisa ‘berbicara’, ia merupakan oknum sang Liyan yang memiliki status sebagai kelas subordinat yang tidak memiliki kekuasaan. Konflik ini juga menarik persoalan rasial dan seksualitas, sehingga mau tidak mau, semua faktor tersebut bermain bersama (interplay). Permainan performa yang dihadirkan di dalam panggung performa merupakan relasi budaya-budaya, antara yang terjajah dengan yang menjajah. Status sebagai ‘yang terjajah’ dari masa lalu dikukuhkan sebagai status perempuan. Sementara itu, status ‘yang menjajah’ merupakan status kebanggaan kaum laki-laki. Namun kode semik tidak mendefinisikan relasi ‘yang terjajah’ dan ‘yang menjajah’ hanya berdasarkan relasi gender. Kode semik mengajak sedikit lebih jauh ke arah masa lalu kolonialisme. Status sebagai ‘sang penjajah’ memiliki identitas ganda, yaitu laki-laki, serta—dan konteks postkolonialisme—Barat. Perempuan merupakan manusia postkolonial yang mengusung identitas sang Liyan sejak masa lalu. Perempuan Timur (secara khusus) dianggap sebagai kelompok manusia yang mengalami kolonialisme ganda karena ia diasumsikan dijajah oleh laki-laki, dan bersamaan dengan itu, ia juga dijajah oleh manusiamanusia Barat. Kode pembacaan semik ini mencoba membongkar makna yang ada di balik makna. Ada persoalan ideologis yang hadir ketika MV ini lebih memilih untuk menampilkan perempuan daripada laki-laki meskipun judul MV ini adalah “The Boys”. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, ketakhadiran laki-laki adalah makna bahwa laki-laki seharusnya ada di sana. Logika maskulin membenarkan
183
bahwa penamaan the boys dan the girls tidak sekedar berusaha mendeskripsikan jenis kelamin namun juga mendefinisikan siapa yang punya kekuasaan. Laki-laki dengan sadar telah memberikan posisi subjek kepada perempuan. Kenapa demikian? Lirik lagu “The Boys” ditulis oleh laki-laki, namun diceritakan dengan gaya bahasa perempuan. Hal ini membentuk resistensi melalui pola mimikri yang cara meminjam diskursus patriarki. Perempuan meminjam identitas laki-laki dan masuk ke dalam logika laki-laki. Sosok perempuan pun ditampilkan dalam sosok yang maskulin (Athena). Mimikri direpetisi terus-menerus hingga akhirnya “The Boys” muncul seolah-olah merupakan ekspresi logika perempuan. Selain itu, perempuan juga melakukan mimikri dengan meminjam diskursus Barat. Perempuan Timur merupakan manusia postkolonial yang lahir dari budaya patriarki yang sangat kuat sehingga sangat sulit bagi mereka untuk menanggalkan identitas Liyan kecuali mereka membuka diri terhadap pola-pola kutural Barat. Perempuan Timur mulai masuk ke dalam diskursus Barat ketika mereka menegosiasikan Diri-nya ke dalam girls’ power yang jauh sebelumnya sudah berkembang di Barat, di era feminisme liberal. Perbedaan multikultural membuat perempuan Timur ketinggalan jauh di belakang dan pada akhirnya membuang dirinya ke dalam Barat itu sendiri. Perempuan meminjam banyak hal dari diskursus Barat dan ditampilkan di atas panggung performa: setting, teknik kamera dan editing, kostum, bahasa tubuh, dan sebagainya. Penggabungan mimikri dari dua diskursus ini menciptakan sosok perempuan yang menjebak laki-laki dalam ilusi kesenangan. Dua konteks mimikri yang berbeda ini direpetisi secara terus-menerus sehingga menghasilkan apa yang
184
disebut Butler sebagai drag show (pertunjukan paksaan) (Kroløkke dan Sørensen, 2006:130). Artinya, mimikri yang dilakukan bergerak melampaui identitas yang sesungguhnya dan menghadirkan performa ilusi identitas dalam tubuh yang palsu. Kepalsuan ini menciptakan tubuh-tubuh imitasi yang baru, yang berbeda dari yang asli dan yang dimimikri. Performa the flawless nine merupakan perwujudan dari drag show karena menciptakan model kecantikan yang baru, yang menyerupai (namun tidak sama dengan) Barbie dan juga tidak sama dengan kecantikan alami yang dimiliki oleh ras Korea Selatan. Resistensi
melalui
mimikri
ini
menjadi
sempurna
ketika
MV
memperlihatkan deklarasi perempuan sebagai Diri yang berperang. Konsep peperangan ini ditiru perempuan dari Dewi Athena yang dikenal sebagai dewi peperangan. Perempuan Timur berusaha memperoleh pengakuan dalam panggung performa dengan cara menegosiasikan identitas kultural Korea Selatan ke dalam identitas yang berbeda yaitu Yunani Kuno. Perempuan dalam hal ini terperangkap dalam fase yang disebut Freud sebagai fase narsistik (mengacu pada mitos Yunani tentang Narcissus), di mana Diri jatuh cinta pada bayangannya sendiri (O’Donnell, dkk, 2009:68). Perempuan meminjam identitas yang berbeda dengan identitasnya, yaitu menjadi Athena, dan kemudian sang perempuan jatuh cinta pada karakter yang ditiru olehnya. Dengan cara yang seperti ini, perempuan bermain dengan mimikri, ia menghadirkan identitas fantasi yang diimprovisasi seolah-olah menjadi sesuatu yang nyata.
185
4.2. Pandora: “Up and Up ah ah” Unit analisis kedua yang akan dikaji secara paradigmatik adalah MV Kara yang berjudul “Pandora”. Sama seperti MV sebelumnya, dalam MV ini juga terdapat banyak sekali tanda yang selanjutnya akan dikelompokkan ke dalam leksia-leksia yang disesuaikan dengan kode-kode pembacaan.
4.2.1. Kode Hermeneutika (hermeneutic code) Leksia pertama yang muncul dalam kode pembacaan hermeneutika terletak pada bait pertama. Leksia ini mengungkapan relasi antara subjek dan objek dalam narasi lirik secara keseluruhan. Dari leksia ini muncul berbagai pertanyaan, siapakah yang menduduki posisi sebagai subjek dan objek?. (bait pertama) You can’t hide it[2], your eyes are shaking[3], your heart is beating[4], because I’m strangely looking at you[5]. The rough breaths stimulates your sense of touch[6], crush, crush[7]. Hold on[8], stop right there and look at me[9], I will show you all of my hidden truths now[10]. Capture my heart[11]. Narasi MV mendefinisikan dua posisi, orang pertama /I/ dan orang kedua /you/. Keseluruhan narasi dalam MV diungkapkan oleh perempuan. Syair demi syair yang muncul dalam MV ini memperlihatkan sikap emosional ‘I’ (perempuan) terhadap ‘you’ (laki-laki). Di dalam bahasa Inggris terdapat ungkapan, ‘I’ is not ‘me’ (Aku bukan aku). Permainan kata ini membuat perbedaan yaitu, Aku (subjek) adalah bukan aku (objek) (O’Donnell, dkk, 2009:79). Dengan demikian, keberadaan ‘Aku’ di sini dimaksudkan untuk memberi penekanan bahwa ‘Aku’ adalah subjek dan bukan objek. Pemutarbalikan
186
relasi perempuan dengan laki-laki di mana perempuan sebagai subjek merupakan persoalan yang mendasari tafsiran ideologis mengenai resistensi perempuan. Sebagai subjek, perempuan berbicara kepada laki-laki dalam posisi dominan.
Pemahaman
kemampuan
laki-laki
perempuan untuk
terhadap
memahami
laki-laki dirinya
terlihat sendiri.
melampaui Perempuan
direpresentasikan sebagai sosok subjek yang aktif, yang diakibatkan dari aktivasi peran seksual perempuan. Perempuan mencoba membujuk rayu laki-laki, mengatakan pada sang lelaki agar menyerah pada usahanya meredam
gelora
hasrat terhadap perempuan. Perempuan menantang laki-laki untuk berserah, dengan catatan, perempuan mengatakan bahwa ia akan memberikan hatinya jika sang laki-laki mau mendekat. Laki-laki tentu saja terdorong untuk menyentuh perempuan, namun ia hanya menahan diri. Pembacaan hermeneutika terhadap narasi teks memperlihatkan ada banyak kerancuan yang dimunculkan. Kenapa perempuan berusaha menggoda laki-laki? Apakah karena sifat alami perempuan sebagai penggoda atau justru dikarenakan oleh keinginan lain? Lalu kenapa laki-laki menolak perempuan? Apakah laki-laki takut terhadap perempuan?. Perempuan tampaknya bergerak sangat aktif untuk mendesak laki-laki, seperti yang diungkapkan dalam refrain. (refrain) Feel me[12]. Close to you and close to you[13], I will give you everything[14], do you see me?[15] Close to me and close to me[16], take me up and up ah ah. Up and up ah ah, up and up ah ah[17]. Perempuan menggunakan dua frasa yang hampir sama, yaitu “close to you” dan “close to me” untuk mendefinisikan dua hal yang berbeda. Perempuan dengan
187
jelas mengatakan “close to you” terlebih dahulu, artinya, perempuan akan mengambil langkah awal untuk mendekati laki-laki yang diingininya. Setelah itu, perempuan berjanji akan memberikan segalanya jika laki-laki tersebut mau berbalik arah untuk mendekati perempuan (“close to me”). Kedekatan perempuan dengan laki-laki bersifat dyadic (dua arah) di mana dua manusia hanya akan bersatu jika keduanya saling mendekatkan diri satu sama lain. Lalu, pertanyaan yang muncul kemudian, apa yang diharapkan perempuan dari laki-laki yang mau mendekatinya? Frasa yang sama ditemukan juga di sepanjang narasi karena frasa ini diulang sebanyak 11 (sebelas kali). Lalu, apa makna yang bisa ditafsirkan dari frasa take me up and up ah ah, up and up ah ah, up and up ah ah?. Pernyataan ini seolah pernyataan erotis yang berupa ajakan untuk melakukan aktivitas seksual. Dengan mengungkapkan pernyataan ini, perempuan tertarik ke dalam pencitraan seksualitas yang memiliki hasrat yang tak terkontrol terhadap laki-laki. Perempuan menganggap remeh laki-laki karena dianggap tidak mampu melakukan apa yang diinginkan perempuan. Di akhir narasi rap, perempuan melampiaskan amarahnya pada laki-laki dengan mengungkapkan, “What do you expect?[37] Next time You can’t come[38], You can’t leave[39]. You just go round and round[40]. The countdown is starting, time is ticking[41]”. Perempuan menghadapi situasi di mana ia telah membuka peluang untuk memberikan segalanya, namun laki-laki masih saja tidak mampu melakukannya (melakukan apa?). Ketidak-mampuan laki-laki dalam melakukan ‘sesuatu’ menyisakan sebuah misteri besar tentang apa sebenarnya yang dimaksudkan
188
dengan pernyataan tersebut. Apa yang diharapkan perempuan dari laki-laki?. Ekspresi yang paling emosional dari perempuan terlihat dalam syair [38] hingga [40], yaitu ketika perempuan mengatakan pada laki-laki, “lain kali kamu tidak
akan bisa datang, tidak akan bisa pergi. Kamu hanya akan berputar dan berputar saja”. Kenapa perempuan berkata demikian kepada laki-laki? Apakah keseluruhan ekspresi perempuan dalam lirik berkaitan dengan judul MV “Pandora”?. Istilah Pandora itu sendiri diambil dari masa lalu, pandora’s box, yaitu salah satu artefak dalam mitologi Yunani. Pandora dalam MV ini merupakan intepretasi modern terhadap salah satu mitologi Yunani. Pandora mengacu pada nama perempuan, yang artinya “all gift” atau “she who gives all gifts”. Nama Pandora itu sendiri sejalan pemaknaan nama ‘Kara’ yang diambil dari bahasa Yunani yaitu “Chara” (χaρά) yang diartikan sebagai ‘sweet melody’. Dengan demikian, MV Kara yang berjudul Pandora merupakan ekspresi perempuan terhadap hadiah melodi indah yang dimilikinya. Pandora adalah perempuan pertama yang diciptakan di dalam dunia oleh dewa-dewi dalam mitologi Yunani, yaitu Zeus, Athena, dan Hermes. Kepada Pandora, Zeus memberikan sebuah kotak dengan pesan agar Pandora tidak membuka kotak tersebut apapun yang terjadi. Namun rasa ingin tahu membuat Pandora mencuri kunci kotak tersebut dari suaminya Epimetheus dan membukanya. Kotak yang terbuka itu ternyata melepaskan banyak roh-roh jahat ke dalam dunia, yang akhirnya membuat Pandora menyesal karena telah membuka kotak tersebut. Namun dalam kotak tersebut, roh terakhir yang tertinggal adalah roh yang bernama ‘hope’, yaitu harapan (Hurwit, 1999:244).
189
Kotak Pandora dalam mitologi Yunani mengisahkan bagaimana perempuan pertama di dunia membawa berbagai berbagai permasalahan ke dalam dunia. Kisah Pandora ini, hampir sama dengan perempuan ciptaan bernama “Eve” yaitu Hawa. Keduanya merupakan perempuan pertama yang diciptakan di dunia namun menghasilkan kesia-siaan. Rasa ingin tahu Pandora, sama halnya dengan ketidakmampuan Hawa menahan godaan setan telah mengakibatkan kesengsaraan pada manusia. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah MV yang berjudul Pandora ini memiliki intepretasi yang sama dengan mitologinya? Di dalam mitologinya, kotak tersebut diberikan Zeus kepada Pandora ketika ia diturunkan ke bumi. Oleh dewa-dewi, Pandora dikaruniai kecantikan yang luar biasa, yang didasarkan pada kecantikan sang Dewi Athena, yaitu Athena Parthenos (Hurwit, 1999:242). Selain itu, ia dianugerahi rasa ingin tahu yang membuatnya penasaran terhadap kotak yang seharusnya tidak dibuka olehnya. Namun jika menarik kisah Pandora ke awal, sesungguhnya Zeus-lah yang dengan sengaja menciptakan Pandora dengan tujuan menghukum manusia di muka bumi. Dengan kata lain, perempuan bernama Pandora terjebak dalam dilema rasa ingin tahu dikarenakan kehendak para dewa, yang akhirnya membuat Pandora dipersalahkan atas semua kutukan yang terlepas dari kotak tersebut. Kisah mitologis Pandora sesungguhnya merupakan representasi dari dominansi laki-laki, dan sebagai bentuk pengukuhan atas patriarki. Pandora disebutkan sebagai figur yang sangat cantik yang tidak ada duanya. Ia bahkan dikategorikan sebagai seorang femme fatale, namun ia juga disebutkan sebagai
190
figur yang sangat ambigu: beautiful, dangerous, and evil. Itulah penggambaran Pandora yang diciptakan sebagai senjata balas dendam dewa Zeus terhadap dunia (Hurwit, 1999:244). Namun logika mimikri yang dimunculkan dalam MV ini menghasilkan ketidaksamaan dengan mitologi aslinya. Kotak Pandora dalam versi mitologis Yunani dibuka oleh Pandora yang adalah perempuan, itulah sebabnya kenapa kotak tersebut dinamai berdasarkan nama Pandora. Namun anehnya, visualisasi Pandora dalam MV ini bukanlah perempuan, namun laki-laki. Yang membuka kotak Pandora dalam MV ini adalah laki-laki. Pembalikan mitologis ini merupakan wujud penolakan perempuan atas tuduhan pembawa masalah. Dalam dunia modern yang diintepretasikan dalam MV ini, masalah tidak hanya berasal dari perempuan, melainkan, masing-masing laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk berbuat kejahatan maupun kebaikan.
4.2.2. Kode Proairetik (proairetik code) Kode proairetik dalam MV ini berusaha untuk membaca implikasi dari dinamika tindakan yang dihadirkan dalam MV ini. Ketika laki-laki membuka kotak Pandora yang ada di tangannya, performa dimulai. Dengan demikian, performa perempuan dalam MV ini merupakan implikasi dari kotak Pandora yang terbuka. Sesuai dengan mitosnya, perempuan-perempuan dalam hal ini digambarkan sebagai rohroh jahat yang dikeluarkan Pandora dari kotak yang diberikan Zeus. Uniknya, perempuan tidak digambarkan serupa dengan kisah mitologisnya. Perempuan tidak dihadirkan sebagai sumber penyakit, kutukan, kemiskinan, atau
191
hal-hal negatif lainnya yang membawa kesengsaraan bagi manusia di dunia. Perempuan justru dihadirkan sebagai sosok perempuan yang cantik, sama seperti ketika Zeus menciptakan Pandora berdasarkan pada kecantikan sang Dewi Athena. Ketika kotak Pandora terbuka, keluarlah lima perempuan cantik yang memiliki kemampuan untuk mengontrol dunia dengan memanfaatkan keindahan tubuhnya. Hal ini dibenarkan oleh frasa “up and up ah ah” yang tedapat dalam narasi. Frasa ini diungkapkan perempuan untuk pertama kalinya ketika laki-laki membuka kotak Pandora, yang bisa disepadankan dengan ungkapan terimakasih perempuan karena telah membebaskan dirinya dari kotak Pandora. Up and up, ah ah. Bukalah, maka kau akan merasakan ah ah. Perempuan berusaha untuk membujuk rayu laki-laki untuk membuka kotak Pandora. Di sisi lain, laki-laki juga memiliki rasa penasaran yang tinggi terhadap perempuanperempuan Pandora. Pada akhirnya, sang laki-laki membuka kotak. Ia (laki-laki) pun terjebak dalam keterpesonaannya terhadap perempuan yang membuat lakilaki ingin memiliki dan menyentuh perempuan, namun ia tidak memiliki keberanian. Laki-laki terprovokasi oleh tubuh-tubuh indah yang muncul dari kotak Pandora yang telah dibukanya. Perempuan dalam MV Pandora ditampilkan dalam tubuh yang provokatif secara seksual, dikarenakan kamera dan bahasa tubuh berfokus pada karakter seksual yang dimiliki oleh masing-masing tubuh. Rangkaian tindakan dalam MV ini menghasilkan pola fragmentasi. Fragmentasi mengacu pada proses di mana karakter-karakter yang ada di dalam teks lebih cenderung dideskripsikan dalam konteks bagian tubuh mereka daripada ditampilkan dalam tubuh yang utuh (Mills,
192
1998:207). Dalam MV ini, fragmentasi tubuh yang sering diperlihatkan adalah mata, dada, punggung, kaki, dan tangan. Kesemuanya ini merupakan aspek-aspek ketubuhan perempuan yang kaya akan ekspresi seksualitas. Tubuh perempuan masuk ke dalam kontruksi dunia performa dan memunculkan memori yang dihasilkan dari bahasa tubuh yang terus-menerus diulang-ulang (Atkinson, 2006:95). Dalam MV ini, bahasa tubuh yang paling dominan digunakan adalah sexual aggresiveness gesture. Tatapan perempuan dalam hal ini merupakan ekspresi seksualitas perempuan yang mempermainkan emosional laki-laki. Perempuan dalam MV ini menampilkan dirinya dalam perilaku seksual yang ekstrim, namun dianggap sebagai hal yang biasa dan natural. Sekuens MV ini menawarkan aktivitas seksual, salah satunya adalah gerakan
tarian
sensual
yang
dipraktekkan
Nicole
dalam
path
stage
memperlihatkan adegan erotik berupa striptease (lihat preview 03.19). Kenapa Nicole melakukan hal tersebut? Ia tampak seperti penari yang hampir telanjang seolah-olah siap melakukan adegan one-night-stand. Hal ini merupakan penggambaran perempuan yang secara visual merupakan subjek yang sangat aktif, yang memperlihatkan identitasnya melalui kemampuannya untuk menggoda lakilaki dengan memanfaatkan tubuhnya. Aktivitas stripping telah mereduksi dunia menjadi sekedar klub penari telanjang, namun ia juga menjustifikasi bahwa aktivitas seksual semacam ini menghasilkan
energi
positif
kepada
pergerakan
feminisme
(Roach,
2007:100,105). Kenapa demikian? Adegan stripping dianggap merupakan ekspresi non-patriarkhis dari seksualitas perempuan dan fantasi aktivitas seksual.
193
Ia berbicara tentang kecantikan bukan tentang uang, ia merupakan performa namun tidak diperuntukkan kepuasan hasrat laki-laki, glamour namun bukan seks, dilihat namun tidak untuk disentuh (Roach, 2007:112). Performa perempuan hanya sekedar menawarkan fantasi aktifitas seksual, ia tidak dimanfaatkan sebagai pemuasan hasrat namun ia mempermainkan hasrat laki-laki. Perempuan seolah-olah merasa puas dengan menggoda laki-laki, namun selanjutnya ia tidak memberikan dirinya kepada laki-laki. Perempuan mendekati laki-laki hingga pada titik tertentu dan kemudian ia akan berpaling pergi. Hal ini memperlihatkan perilaku seksual yang tidak biasa, yaitu ketika perempuan perlahan membuka jaketnya, memperlihatkan separuh punggungnya yang hampir telanjang, namun sekejap kemudian ia kembali memakai jaketnya sambil memainkan mata. Tindakan ini merupakan kenakalan perempuan yang memainkan hasrat laki-laki, seolah-olah berkata pada laki-laki ‘beranikah kamu membuka pakaianku dan menyentuhku?’. Hal ini merupakan perwujudan girls’ power yang dapat diistilahkan dalam frasa berikut, ‘you can see my body, but you can’t touch it’. Perempuan memberikan kesempatan bagi laki-laki untuk bermain hasrat namun tidak sepenuhnya melainkan hanya sebatas pandangan mata. Perempuan sengaja melakukan hal ini untuk jual mahal, ia memposisikan dirinya pada posisi tawar yang tinggi di depan laki-laki dengan mengatakan bahwa ia (perempuan) hanya akan memberikan segalanya kepada laki-laki jika laki-laki berhasil mendapatkan hati sang perempuan. Lebih jauh lagi dikatakan bahwa adegan stripping atau tindakan yang menyerupainya merupakan bagian dari nilai positif yang mengekspansi
194
kecantikan dan keseksian perempuan. Hal ini dianggap sebagai sebuah lelucon terhadap patriarki, karena merupakan parodi terhadap norma-norma budaya patriarki mengenai kecantikan dan seksualitas perempuan (Roach, 2007:112). Dengan logika yang semacam ini, adegan yang menyerupai stripping yang dilakukan perempuan dalam MV “Pandora” dianggap sebagai sebuah performa parodi, yang membuat lelucon mengenai budaya patriarki yang kaku terhadap tubuh perempuan. Hal ini merupakan sebuah pembenaran atas kelicikan perempuan dalam performa parodi yang dilakukannya, mengingat Korea Selatan, dan manusia Timur secara umumnya merupakan bangsa yang kebanyakan lahir dari sejarah patriarki. Implikasi yang dihasilkan dari tindakan ini tentu saja memunculkan perubahan dalam masyarakat secara nyata. Kenapa? Karena adegan-adegan vulgar semacam ini mengijinkan kita untuk melihat lebih jelas bagaimana sebenarnya gender sebagai sebuah sistem regulasi yang ditransmisikan, ditampilkan, dan dipaksakan oleh kebudayaan (Roach, 2007:2).
4.2.3. Kode Kultural (cultural code) Era kebudayaan yang diciptakan MV adalah era irasional, yang mengisahkan nuansa non-realistik. Hal ini terlihat dari gaya panggung yang lebih terlihat sebagai dunia masa depan yang terisolasi dari dunia masa kini yang realistik. Gaya kontemporer yang diimajinasikan dalam panggung MV menciptakan relasi antara ruang dan waktu. Kenapa ruang dan waktu? Karena panggung dalam MV ini memperlihatkan kekuatan futuristik yang memisahkan dunia masa kini dengan
195
dunia masa depan. Orang-orang dari gerakan futuris biasanya berusaha melukiskan kecepatan yang memusingkan dan warna-warni kehidupan kota dalam karya mereka (O’Donnell, dkk, 2009:14), seperti yang divisualisasikan MV ini melalui degradasi warna pelangi yang menghiasi setting performa. Dimensi futuristik yang dihadirkan dalam MV ini merupakan pola yang dicontoh dari budaya populer Barat. Hollywood, misalnya, biasa memproduksi film yang memperlihatkan pesona dunia di masa depan. Dimensi ini menciptakan citra yang sulit diprediksikan. Ia berorientasi pada masa depan yang belum tentu bisa dipastikan
kebenarannya,
menggambarkan
rangkaian
arsitektural
yang
menciptakan ruang-ruang yang menyerupai ruang luar angkasa. Fashion juga merupakan salah satu kode pembacaan kultural yang memunculkan diskusi mengenai penggambaran kelas sosial. Aku berbicara lewat pakaianku (Dick Hebdige, dikutip dari Piliang, 2010:247), ungkapan ini menggambarkan bahwa setiap pakaian membawa serta makna di balik makna. Berbeda dengan MV “The Boys”, MV ini tidak menampilkan perempuan sebagai perempuan classy dengan gaya aristokrat high fashion dan segala atribut classy lainnya. MV “Pandora” justru menekankan pada model pakaian kontemporer, yang mana model ini dianggap sebagai sebuah paradigma dalam sistem penandaan yang memiliki relasi dengan dunia nyata (Calefato. 2004:11). Dalam hal ini, dunia dimaknai berdasarkan pakaian. Model pakaian kontemporer bukan sekedar imitasi melainkan inovasi dari apa yang telah direpetisi. Berpakaian mini bukanlah cara berpakaian natural perempuan Korea Selatan, karena ketimuran
196
mereka membuat mereka patuh pada cara berpakaian yang konservatif (Connor, 2009:245). Perempuan memilih untuk meninggalkan gaya konservatif dan beralih pada inovasi gaya kontemporer yang ditirunya. Dengan tubuh yang dibalut dengan pakaian minimal micro-skirt, perempuan dalam MV ini menampilkan performa playfulness. Istilah playfulness sengaja digunakan untuk menekankan pada perilaku seksual yang ditampilkan melalui potrait fashion yang dikenakan, semacam penari stripping yang dengan lihai memainkan tubuhnya. Dengan fashion yang demikian, perempuan merupakan figur yang sempurna untuk permainan seksual. Mereka mewakili kelas sosial perempuan sebagai wanita penghibur yang dalam sejarah Korea Selatan dikenal dengan sebutan kisaeng. Kisaeng biasanya mendandani dirinya dengan sedemikian rupa untuk menghibur laki-laki (Connor, 2009:183). Logika yang sama juga dapat disambungkan dengan perempuan-perempuan Kara. Mereka secara gamblang memasukkan diri mereka ke dalam konotasi seksual—tampil dalam tubuh yang hampir telanjang dengan pakaian-pakaian yang provokatif, serta masuk ke dalam permainan fisik sebagai penghibur dan penggoda. Ungkapan Descartes mengenai deskripsi Diri yaitu “Cogito, ergo sum” dimaknai sebagai “Aku berpikir, maka aku ada”, mengacu pada “Aku yang berpikir” atau “Diri yang berpikir” (O’Donnell, dkk, 2009:32,64). Pemikiran dalam ungkapan Descartes tampaknya bisa ditafsirkan ke dalam spekulasi pemikiran untuk membangkitkan hasrat, untuk menggoda. Aku menggoda, maka aku ada. Ide ini tampak seperti ocehan, namun ia membawa pemaknaan irasional
197
yang mendalam terhadap Diri perempuan yang selama ini tersembunyi di balik Liyan.
4.2.4. Kode Simbolik (symbolic code) Kode simbolik dalam MV ini mendefinisikan oposisi biner sebagai bentuk ekstrim dari perbedaan-perbedaan yang dihasilkan leksia, yaitu perempuan > < laki-laki.
Kedua
simbol ini merupakan
simbol yang
paling
dominan
diakomodasikan dalam MV, sementara simbol-simbol lainnya merupakan simbol yang dapat diartikan paralel dengan perempuan atau laki-laki. Teori feminis dan postrukturalis menunjukkan bahwa peran konsep biner dapat memunculkan hierarki kekerasan di mana satu kategori yang beroposisi selalu lebih dominan daripada kategori lain (Sutrisno dan Putranto, 2004:20). Relasi biner antara lakilaki dan perempuan pada dasarnya menghadirkan hierarki yang lebih besar, yaitu oposisi biner antara penjajah dengan yang dijajah. Simbol pertama yang diungkapkan oleh teks MV adalah laki-laki. Laki-laki muncul dalam eksistensi yang sederhana dan terbatas. Fungsi performatif laki-laki dalam MV ini hanya sebatas ekspresi singkat dari sifat kelaki-lakian yang pasif. Kenapa dikatakan demikian? Karena laki-laki hadir hanya sebentar saja dalam ruang performa, terkesan tidak melakukan apa-apa selain berdiam diri menjaga kotak kaca berwarna merah muda yang merupakan metafora dari kotak Pandora. Namun, kehadiran laki-laki dalam performa yang singkat merupakan simbol yang penting karena menentukan relasi oposisinya terhadap perempuan. Nantinya, laki-
198
laki dalam MV dianggap sebagai objek ekspresi emosional yang diperlihatkan oleh perempuan. Istilah “ganteng” (handsome) biasanya diacukan pada simbol laki-laki. Ini merupakan ukuran visual yang menjadi tolak ukur derajat ketertarikan (attractiveness) dalam diri laki-laki (Mills, 1998:169). Laki-laki dalam MV ini digambarkan sebagai sosok yang peragu. Hal ini dibuktikan dalam visualisasi MV di awal, ketika sang lelaki memegang kotak kaca berwarna pink. Adegan ini diiringi dengan musik yang sedikit misterius untuk memberi kesan misteri tentang apa yang akan dilakukan laki-laki terhadap kotak tersebut. Kotak ini diintepretasikan sebagai salah satu simbol lain yang muncul dalam MV ini yaitu simbol dari kotak Pandora. Laki-laki dalam MV ini merupakan simbolisasi dari Pandora, sementara perempuan Kara yang muncul dalam MV ini merupakan simbolisasi dari kotak Pandora (Pandora’s box). Performa perempuan disimbolkan dengan kotak pandora yang dibuka oleh laki-laki. Saat kotak terbuka, saat itu pula performa dimulai. MV ini telah melakukan pengambi-lalihan simbol-simbol dari masa lalu dan menyesuaikannya dengan masa kini. Kenapa demikian? Karena perempuan tidak ingin tetap disimbolkan sebagai pembawa masalah seperti yang dikisahkan oleh mitologi Yunani. Simbol Pandora dan kotak Pandora, yaitu laki-laki dan perempuan, memang menyisakan paradoks yang kompleks. Namun makna-makna simbolik yang dihadirkannya dengan sengaja mengubah esensi posisi perempuan sebagai pembawa masalah.
199
Perempuan mentransformasikan dirinya ke dalam representasi estetika kecantikan tubuh. Jika ia (perempuan) dikatakan sebagai masalah, maka ia tidak ingin muncul dalam wujud kesengsaraan, kemiskinan, atau kutukan. Sebaliknya, perempuan muncul dalam setting permainan seksual. Dikatakan demikian karena MV ini menjadikan perempuan sebagai subjek atas seksualitas tubuhnya. Tubuh perempuan ditelanjangi melalui ribuan varian sikap, gaya, penampilan (appearance)
dan
kepribadian,
mengkonstruksikan dan
menaturalisasikan
tubuhnya secara sosial dan kultural sebagai objek fetis, yaitu objek yang dipuja karena dianggap mempunyai kekuatan pesona (rangsangan, hasrat, citra) tertentu (Piliang, 2010: 332). Proyeksi perempuan sensual dan kuat biasanya diposisikan sebagai si penggoda yang pada dasarnya adalah iblis (Arivia, 2006:165). Ia adalah penggambaran dari roh-roh jahat yang dikeluarkan Pandora dari kotak pandora, namun dalam rupa penggambaran yang lebih halus. Iblis di sini dimaknai sebagai iblis penggoda, ia bermain-main dengan laki-laki, menjelajahi hasrat laki-laki tanpa memuaskannya. Perempuan mendaur-ulang konsep ‘masalah’ yang dimaksudkan dalam kotak pandora menjadi persoalan tubuh yang berubah-ubah gaya, berganti-ganti pakaian, berputar-putar di atas panggung performa sesuai dengan kehendaknya sendiri. Segala sesuatu yang ditampilkan perempuan dalam panggung performa adalah kontrol penuh atas dirinya Kebebasan perempuan dari kotak pandora membuat laki-laki menyesal telah membuka kotak tersebut. Kenapa? Karena laki-laki mengakibatkan dominasi perempuan dengan menggunakan simbol-simbol sensualitas yang tidak dimiliki
200
laki-laki. Ia (laki-laki) pun dianggap berhasrat terhadap penggambaran perempuan-perempuan yang memiliki kecantikan setingkat dengan dewi. Lakilaki menjadi tergila-gila pada perempuan, ia mencerminkan kepanikan atas kejatuhan laki-laki karena keterpesonaannya pada perempuan. Pada akhirnya, MV ini menggambarkan bagaimana laki-laki kehilangan dimensi rasionalitasnya dan pada titik yang fatal, ia sendiri yang masuk ke dalam kotak pandora yang telah dibukanya. Hal ini terjadi karena laki-laki dianggap tidak mampu mengontrol emosi dan hasratnya yang pada akhirnya membuat ia terjebak dalam ruang terpisah yaitu kotak pandora. Hal ini mendapatkan pembenaran dari sepotong narasi yang diungkapkan perempuan kepada laki-laki, “lain kali kamu tidak akan bisa datang, tidak akan bisa pergi. Kamu hanya akan berputar dan berputar saja”. Frasa ini menandai ketidakhadiran laki-laki karena sang laki-laki telah menghilang, masuk ke dalam kotak pandora untuk menggantikan posisi perempuan. Simbol lain yang muncul dalam MV adalah mobil sport. Mobil merupakan objek dari dunia masa kini—artefak modern yang memperlihatkan nilai kekinian (Jameson, 1984:496). Simbol ini merupakan strategi untuk mengklaim bahwa masa modern merepresentasikan kehidupan yang menantang karena perempuan tidak lagi takut memperlihatkan seksualitas mereka. Perempuan diperlihatkan duduk di depan kemudi mobil sport yang biasanya dikemudikan oleh laki-laki. Pada saat yang sama, perempuan masuk ke dalam logika maskulin dan menggunakan seksualitas sebagai kontrol simbolis atas laki-laki
201
Simbolisme fashion dalam MV ini memperlihatkan varian yang sama yaitu micro-clothing, tipe pakaian kontemporer yang luar biasa pendeknya. Secara visual, fashion yang dikenakan oleh para perempuan Kara terlihat seperti pakaian dalam (inner). Dengan pakaian yang semacam ini, perempuan Kara tampil sebagai perempuan yang terkesan nakal karena bermain-main dengan tubuhnya sendiri. Fashion yang dikenakan menampilkan dinamisme perempuan Timur yang memiliki ruang gerak yang bebas dan cepat, dengan asumsi perempuan tidak memerlukan tipe pakaian yang membuat ruang geraknya menjadi tertutup, lamban, dan sulit untuk berekspresi.
4.2.5. Kode Semik (Codes of Semes) Kode pembacaan semik dalam MV ini berurusan dengan pemaknaan konotasi, yang membongkar persoalan-persoalan ideologis yang tak kasat mata dan seringkali terpisah jauh dengan tanda-tanda yang. Kode semik menemukan adanya eksistensi dari ruang kebudayaan yang chaotic, di mana seksualitas merupakan permainan virtual antara perempuan dan laki-laki. Seksualitas dalam hal ini tidak lagi dibayangkan sebagai hubungan fisik antara perempuan dan lakilaki, namun dikonotasikan sebagai hubungan virtual yang semata-mata merupakan permainan seks—seolah-oleh menikmati relasi seksual tersebut namun tidak mampu untuk menjangkau tubuh-tubuh seksual dalam ruang performa. MV ini merupakan bagian dari nostalgia masa lalu, ketika eksistensi perempuan di masa lalu diakui sebagai nilai tukar seksual, sebagai Liyan. Namun
202
nostalgia masa lalu ini dihadirkan dalam relasi ruang dan waktu dengan masa depan. Dengan berorientasi pada masa depan, posisi perempuan sebagai Liyan berubah arah. Perempuan menyangkal status diri sebagai Liyan, mengaburkan memorinya akan identitasnya sebagai objek seksual. Sebaliknya, perempuan dihadirkan dalam nuansa kekinian, bahkan dalam imajinasi/prediksi tentang masa depan. Perempuan tidak lagi sekedar nilai tukar seksual, namun ia memiliki kontrol yang sepenuhnya atas seksualitas tubuhnya. Dalam hal ini, performa perempuan membangkitkan ingatan masa lalu dan menggantikannya dengan momen di mana perempuan memiliki imaji dominasi terhadap laki-laki. MV ini menghadirkan mitos baru dengan cara mendaur-ulang mitos lama. Ia menggambarkan perempuan sebagai kotak pandora, bukan sebagai Pandora, karena Pandora dalam MV ini mengacu pada laki-laki. Kotak pandora dalam dunia modern merupakan penggambaran dari dunia perempuan yang ‘nakal’, penuh dengan romantika dan sensualitas di mana perempuan merasa memiliki sensasi kesempurnaan tubuh yang digunakannya untuk mengontrol laki-laki. Ia bersinggungan dengan ruang dan waktu di masa lalu di mana perempuan dulunya dianggap sebagai sosok yang lemah, yang termarjinalkan. Sehingga dapat dikatakan bahwa penggambaran kotak pandora dalam MV ini merupakan wujud penentangan perempuan terhadap posisi Liyan yang selama ini dipikul olehnya. Perempuan meminjam mitologi Yunani yaitu Pandora untuk membalikkan relasi antara Diri dengan Liyan. “Up and up ah ah” merupakan mantra bujuk rayu perempuan kepada laki-laki dengan tujuan agar laki-laki mau membukakan pintu kotak pandora untuknya. Dengan kata lain, laki-laki adalah sang pangeran yang
203
membangunkan snow white dari tidur-nya. Sepenggal mitologi ini mengisahkan strategi muslihat yang digunakan perempuan untuk mentransformasikan posisi Liyan-nya menjadi Diri yang terlihat.
4.3. Mosaik Performa: Sebuah Perbandingan Analisis Kode pembacaan hermeneutika dalam kedua unit analisis penelitian menafsirkan relasi subjek-objek dalam narasi lirik. MV “The Boys” memperlihatkan relasi antara we – you, sementara MV “Pandora” memperlihatkan relasi antara I – you. Kata you di sini sama-sama mendeskripsikan laki-laki, dengan demikian, kedua narasi MV sama-sama mengisahkan relasi antara perempuan dengan laki-laki, namun dari sudut pandang yang berbeda. “The Boys” menganggap laki-laki sebagai imaji, ketidakhadiran laki-laki dalam MV merupakan salah satu bentuk penaklukan perempuan atas the boys of the world (laki-laki di seluruh dunia). Sementara itu, “Pandora” menganggap laki-laki sebagai objek yang menantang perempuan untuk memanfaatkan tubuhnya untuk menggoda laki-laki. Kode hermeneutika juga menafsirkan bahwa masing-masing narasi MV memperlihatkan adanya penggunaan gaya bahasa feminin (feminist stylistic), meskipun masing-masing lirik ditulis oleh laki-laki. Istilah feminist stylistic mengacu pada gaya bahasa feminin biasanya akan memperlihatkan adanya perbedaan-perbedaan yang tersembunyi yang seringkali telah dinaturalisasikan, karena gaya bahasa tersebut dianggap sebagai sesuatu yang ‘normal’ dan merupakan bagian dari ‘common sense’ masyarakat (Mills, 1998:21). Gaya penulisan yang feminin biasanya ditujukan untuk mengartikulasikan pengalaman
204
dan perasaan perempuan (O’Donnell, dkk, 2009:84-85). Contoh intepretasi terhadap gaya bahasa feminin dalam kedua MV di atas yaitu, penggunaan istilahistilah seperti “my boy” dan “my heart” dalam MV The Boys, dan penggunaan istilah “ah ah” dalam MV Pandora merupakan contoh ungkapan yang biasanya hanya keluar dari mulut seorang perempuan. Secara tidak langsung, narasi MV telah menciptakan referensi tersendiri dengan perempuan-perempuan di luar dunia performa dan mensimbolisasikan bahwa bahasa merupakan sebuah diferensiasi yang diperlukan perempuan untuk berinteraksi dengan laki-laki. Selain itu, kode hermeneutika juga melakukan penafsiran yang sama di dalam kedua unit analisis. Mengapa kedua MV ini menggunakan karakterkarakter Mitologi Yunani di dalam panggung performa? Mengapa Athena? Mengapa Pandora? Kenapa Yunani?. Mitos kemurnian ras.
Seperti
yang
dilakukan Hitler untuk menciptakan satu ras unggul yaitu ras para tuan dengan tujuan memperoleh kesempurnaan genetis (O’Donnell, dkk, 2009:103). Kedua MV ini sengaja meminjam mitologi Yunani sebagai upaya penyamaan diri antara Timur dengan Barat. Kode proairetik memunculkan implikasi dari tindakan performa yang dilakukan oleh perempuan dalam K-Pop MV. Dalam “The Boys”, aktivasi girl sebagai woman mengakibatkan aktivasi pengetahuan dan perilaku seksual dari perempuan. Ketakhadiran laki-laki membawa makna subjek yang aktif bagi perempuan, namun dengan kecantikan yang terstandarisasi sesuai
dengan
performa the flawless nine. Perempuan dalam MV “The Boys” digambarkan sebagai sosok heroine yaitu Athena, sebagai perwujudan dari girls’ power.
205
Perempuan tidak lagi menjadi Liyan, namun dia memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk memperlihatkan identitasnya sebagai sosok yang mendominasi laki-laki. Sementara itu, kode proairetik dalam MV Pandora memunculkan implikasi dari visualiasi perempuan dalam tubuh-tubuh yang provokatif. Hal ini dianggap sebagai bentuk penantangan terhadap budaya patriarki yang menganggap perempuan tidak memiliki hak untuk mempertontonkan tubuhnya di depan publik. Perempuan dalam MV ini banyak melakukan tindakan-tindakan sensual yang ekstrim yang dianggap mendobrak nilai-nilai konvensional yang dianut oleh masyarakat ke-Timur-an. Selanjutnya, jika dilihat dari kode pembacaan kultural, kedua MV ini bertumpu pada logika kebudayaan yang sama. Performa perempuan memakai logika teknik performa yang sama dengan Barat (setting, kamera, musik, dll), ia juga menggunakan logika fashion dan kecantikan yang serupa. Selain itu, kedua MV sama-sama bertumpu pada akar mitologis yang sama yaitu mitologi Yunani kuno. Mitologi ini sengaja digunakan dalam MV sebagai identitas pembeda yang dimanfaatkan melalui mimikri. Dalam kode pembacaan simbolik, kedua MV ini memperlihatkan oposisi binair yang sama. Laki-laki versus perempuan, namun dalam relasi ini laki-laki sebagai objek dan perempuan sebagai subjek. Laki-laki dalam MV “The Boys” merupakan perwujudan dari ketakhadiran laki-laki, ia hanya dideskripsikan dalam narasi sebagai sosok yang bergantung pada perempuan. Sementara dalam MV “Pandora”, laki-laki merupakan sosok peragu yang pada akhirnya membuat perempuan berbalik untuk mengontrol dirinya. Simbolisasi perempuan dalam
206
masing-masing MV memanfaatkan simbol mitologis Yunani kuno, yaitu Dewi Athena dan kotak Pandora. Athena merupakan penggambaran perempuan sebagai sosok yang maskulin, sejalan dengan karakter Athena sebagai dewi peperangan. Sementara itu, MV “Pandora” menyimbolkan perempuan sebagai roh jahat yang dikeluarkan laki-laki dari dalam kotak Pandora. Kejahatan perempuan dalam hal ini dimaknai sebagai kontrol seksualitas perempuan atas laki-laki. Kode pembacaan simbolik juga memandang fashion sebagai sebuah simbol. Masing-masing MV memperlihatkan model fashion yang kontemporer (atau perpaduan kontemporer dengan high fashion) yang dimaknai sebagai sebuah wujud kebebasan perempuan untuk memanfaatkan tubuhnya sesuai dengan keinginannya. Simbol lain yang terlihat dalam MV “The Boys” adalah burung merpati sebagai refleksi dari kecantikan tak bernoda yang dimiliki perempuan, sementara, MV “Pandora” memperlihatkan simbol mobil sport sebagai refleksi dari gaya perempuan kontemporer yang maskulin. Pada akhirnya, kode semik dalam masing-masing MV membaca keseluruhan performa sebagai mitos perempuan Timur yang berusaha untuk memperjuangkan negosiasi Diri perempuan dengan memanfaatkan apa pun yang dianggap perempuan bisa digunakan untuk menantang budaya Barat yang selama ini mendominasi Timur. Performa perempuan, dalam bahasa Lacanian, disebutkan sebagai sebuah ideologi yang menantang aturan simbolik (symbolic order) Barat dan patriarki dengan cara menyatakan diri mereka sebagai Diri yang berbicara (Forte, 2002:239). Dengan demikian, ideologi ini merupakan perwujudan
207
resistensi perempuan terhadap Barat, yang dilakukan melalui proses mimikri terhadap diskursus Barat dan patriarki itu sendiri.
4.4. Figur Mimikri Sang Liyan Resistensi bukanlah sebuah utopia. Mengacu pada pendapat Stuart Hall, resistensi bukanlah sebuah realitas tunggal maupun universal, namun resistensi dapat mendefinisikan dirinya sendiri, kapan pun, di mana pun. Resistensi merupakan sebuah aktivitas yang memproduksi nilai-nilai ideologis, sama halnya dengan argumentasi Bennett yang mengkarakteristikkan resistensi sebagai wujud respon virtual terhadap kekuasaan (Barker, 2000:342, 343). Penelitian ini mengindikasikan bahwa resistensi perempuan dalam ruang performa menghadirkan sebuah ruang negosiasi antara kelompok yang tersubordinasi dengan kelompok yang memiliki kekuasaan, dengan kata lain, antara perempuan [Timur] dengan Barat. Resistensi ini merupakan sebuah perjuangan untuk eksis di tengah-tengah maraknya Barat, dan uniknya, resistensi ini tidak hadir sebagai sebuah konfrontasi terhadap Barat namun justru menghadirkan sebuah relasi mediasi. Inilah permainan performa, sebuah usaha untuk membingkai kembali (re-frame) relasi yang tidak seimbang antara perempuan [Timur] dengan Barat. Gambar 4.1. Resistensi Perempuan: Figur Mimikri Sang Liyan
Mimicry
Passing Pastiche
Mediation Mixture
Sumber: Hasil pengamatan penelitian (mengacu pada Gambar 1.3)
208
Mimikri merupakan sebuah perjuangan ideologis perempuan untuk melakukan resistensi. Perempuan dapat dengan sadar melakukan mimikri, strategi ini dianggap sebagai satu-satunya cara untuk membalikkan wacana eksploitasi terhadap dirinya. Melalui mimikri, perempuan masuk dalam logika Barat. Ia bercermin pada perempuan Barat, berdandan seperti perempuan Barat, berpakaian seperti perempuan Barat, berbicara dalam bahasa yang umum digunakan di belahan dunia Barat, mengeskpresikan tubuh seperti perempuan Barat, dan bermain dengan instrumen sejarah yang sama dengan Barat. Itulah yang dilakukan perempuan, merepetisi hal-hal yang sama dengan tujuan membuat untuk mengubah yang invisible menjadi visible. Dengan logika yang semacam ini, seperti yang telah digambarkan di atas, perempuan dalam KPop MV pada akhirnya menciptakan figur mimikri yaitu passing (merujuk pada tabel Figures of Mimicry). Passing merupakan sebuah usaha untuk mengambil (atau meminjam) kategori sosial seseorang yang berbeda dari yang dimiliki (Kroløkke dan Sørensen, 2006:131). Dengan kata lain, pola passing ini dimaknai sebagai sebuah kemampuan untuk menjadi seperti dan/atau melampaui apa yang ditirunya. Passing ini memperlihatkan aktifitas penyamaan identitas untuk meniadakan relasi yang tidak seimbang (inequality), yaitu relasi antara perempuan [Timur] dengan Barat. Passing merupakan salah satu premis penting dalam teori performa poststrukturalis yang memperlihatkan bagaimana seorang mimik berpura-pura
209
menjadi sesuatu yang lain untuk bisa diterima. Idealnya, pola ini akan menghasilkan mimesis (proses peniruan) yang melampaui (lebih baik) dari apa yang yang ditirunya. Dengan kata lain, mimesis yang dihasilkan dari passing adalah pastiche, yaitu pola yang disusun dari elemen-elemen yang dipinjam dari pelbagai sumber dari masa lalu. Pastiche mengambil kepingan-kepingan sejarah, mencabutnya dari semangat zamannya dan menempatkannya dalam konteks masa kini (Hidayat, 2012:129). Pastiche merupakan praktik netral dari mimikri yang dilakukan tanpa adanya maksud parodi tersembunyi. Dengan kata lain, pastiche merupakan parodi yang kosong (blank parody) (Jameson, 1984:493). Berdasarkan dua tataran pemaknaan semiotika Roland Barthes, penelitian ini mengidentifikasi munculnya ideologi (dalam bahasa Barthes disebut mitos) resistensi yang menggunakan instrumen mimikri dalam hal: (1) relasi gender, (2) mitologi, dan (3) kecantikan. Masing-masing dari ketiga diskursus ini memperlihatkan adanya pola passing yang mendeskripsikan bagaimana ideologi resistensi muncul melalui mimikri, seperti yang diuraikan sebagai berikut:
210
Tabel 4.1 “Resistensi Perempuan Melalui Mimikri dengan Pola ‘Passing’” Diskursus Mimikri Relasi Gender
Posisi lakilaki (1)
Posisi perempuan
MV Girls’ Generation “The Boys” Membongkar relasi perempuan dengan laki-laki (we – you); perempuan digambarkan sebagai subjek. Mengacu pada ‘boys’, bukan ‘man’. Hal ini menekankan pada ketidakdewasaan laki-laki (boy). Di sisi lain, ruang performa menawarkan ketidakhadiran (absence) laki-laki sebagai bentuk inferioritas laki-laki terhadap perempuan. Ekuivalensi antara ‘girl’ dan ‘woman’, dengan memperlihatkan pola aktivasi tubuh seksual. Perempuan digambarkan sebagai heroin yang merupakan sumber kearifan bagi laki-laki.
MV Kara “Pandora” Membongkar relasi perempuan dengan laki-laki (I – you); perempuan digambarkan sebagai subjek. Laki-laki sebagai penyelamat perempuan sekaligus sebagai pembawa masalah terhadap diskursus Patriarki, karena telah mengakibatkan perempuan memperoleh kontrol atas dirinya dan atas laki-laki itu sendiri.
Posisi perempuan sebagai ‘woman’, memperlihatkan kontrol sepenuhnya terhadap tubuh seksual perempuan dengan citra playfulness.
Pola Passing
Melampaui konsep Barat mengenai “phallogocentrism” yang menganggap laki-laki sebagai the one and only. Perempuan digambarkan sebagai Diri karena telah membalikkan relasi oposisi antara laki-laki dan perempuan. Melampaui logika oposisi biner laki-laki VS perempuan, di mana perempuan menjadi subjek yang dominan yang meniru konsep feminisme liberal mengenai “girls’ power”.
211
Diskursus Mimikri Akar Peradaban
(2)
Intepretasi Mitologis
Mitos Kecantikan (3) Fashion
Gestur
MV Girls’ Generation “The Boys”
MV Kara “Pandora”
Yunani Kuno
Yunani Kuno
Dewi Athena. Perempuan digambarkan sebagai generasi the city of Athens, yang terdiri dari banyak Athena. Perempuan dalam logika maskulin yang menolong lakilaki dalam menghadapi kehidupanyang-seperti-perang. Menekankan pada perbedaan kelas antara manusia (laki-laki) dan Dewi.
Pandora (Pandora’s Box). Pembalikan mitologis yang mana laki-laki membuka kotak Pandora dan mengeluarkan perempuan dari dalam kotak. Perempuan menggoda laki-laki untuk membuka kotak, dan ketika terbuka, laki-laki terjerat dalam hasratnya terhadap perempuan. Kecantikan yang bercermin dari kecantikan tokoh mitologis, Pandora, yang kononnya mendapat warisan kecantikan dari Dewi Athena.
Melampaui konsep kecantikan ideal Barat, dengan bercermin pada kecantikan Dewi Athena.
Meniru konsep high fashion dari Menerapkan konsep fashion Barat, dipadu dengan gaya kontemporer. kontemporer. Gestur seksual sebagai wujud peniruan terhadap grrrl feminism, di mana perempuan memiliki kontrol sepenuhnya atas tubuh dan seksualitasnya Sumber: Data yang diolah
Pola Passing Meniru dan/atau melampaui tolak ukur kebudayaan Barat, yaitu Yunani Kuno. Pola ini mematahkan dominansi Barat karena dianggap bukan sesuatu yang taken-for-granted, melainkan sama seperti budaya Timur dalam kajian ini, bersifat Eurosentrisme. Konstruksi kecantikan artifisial yang ditiru dan/atau melampaui konsep kecantikan Barat yang dianggap sebagai ideal[ized] beauty. Sumber kecantikan artifisial menciptakan tubuh palsu yang berbeda dari tubuh yang natural, dan dilengkapi dengan segala atribut artifisial termasuk fashion dan gestur tubuh.
212
Lebih lanjut lagi, proses mimikri dengan pola passing sebagai sebuah bentuk resistensi perempuan akan dijelaskan sebagai berikut. Pertama, relasi gender. Kedua MV dalam penelitian ini sama-sama mengeksplorasi relasi gender antara perempuan dengan laki-laki dengan tujuan memposisikan perempuan sebagai subjek. Kata pertama “we” dan “I” secara linguistik memposisikan perempuan lebih dominan dibandingkan “you” yang mengacu pada laki-laki. Pola passing menjelajahi relasi gender melampau relasi oposisi biner yang selama ini mengkonstruksikan perempuan sebagai kelompok yang subordinat terhadap laki-laki. Passing memisahkan perempuan dengan objek, dan beralih kepada subjek. Hal ini sejalan dengan kritik Derrida manifestasi filosofi Barat yaitu “phallogocentrism” yang menganggap hierarki binair antara perempuan dan laki-laki merupakan sebuah asumsi beku yang tidak dapat diubah. Kritik Derrida ini menghadirkan sebuah fase yang disebutnya sebagai mirror phase, di mana subjek (Diri/the Self) dapat dikonstitusikan melalui bahasa. Dengan logika Derrida, other akan berefleksi menjadi (m)other (Kroløkke dan Sørensen, 2006:35-36). Penggunaan bahasa dalam narasi MV merupakan persoalan krusial yang bisa mengalihkan objek menjadi subjek, Liyan menjadi Diri, seperti yang diungkapkan oleh Derrida. Dengan demikian, relasi gender menerima pengaruh yang sangat besar dari bahasa (Kroløkke dan Sørensen, 2006:36). Dan secara konsekuen pula, apa yang dihadirkan dalam visualisasi kode sinematik akan menyesuaikan dengan posisi subjek yang dikonstruksikan oleh narasi lirik.
213
Mengutip kembali apa yang diungkapkan Luce Irigaray mengenai konsep mimikri, “to play with mimesis is thus, for a woman, to try to recover the place of her exploitation through discourse, without allowing herself to be simply reduced to it. It means to resubmit herself ..., that are elaborated in/by masculine logic, but so as to make ‘visible’, by an effect of playful repetition, what was supposed to remain invisible...” (Kroløkke dan Sørensen, 2006:129). Pergerakan feminisme Dunia Ketiga sengaja menggunakan perempuan sebagai pemeran utama dalam panggung performa karena perempuan merupakan peniru yang baik (good mimics). Ia dikatakan peniru yang baik karena perempuan [Timur] lahir dari rahim patriarki yang membangun relasi kesenjangan di antara perempuan dan laki-laki. Bagi perempuan [Timur], laki-laki [Barat] adalah pusat peradaban (Mohanty, 1994:215), sehingga perempuan harus bergerak menjadi dan melampaui laki-laki untuk memperoleh kekuasaan. Dengan kata lain, perebutan kekuasaan dimungkinkan terjadi jika sang Liyan mampu meniru atau bahkan meniru lebih baik sosok sang pemilik kekuasaan. Pola passing lain yang bisa diidentifikasi dalam relasi gender adalah penyamaan konsep girl’s power antara perempuan Timur dengan perempuan Barat. Konsep ini sesungguhnya berkembang dalam paham feminisme liberal Barat (salah satu ikonnya adalah Madonna, lihat bab II). Kedua MV memperlihatkan kecenderungan proses mimikri yang berusaha menyamai perempuan Timur dalam hal kontrol penuh atas tubuh dan seksualitas yang dimiliki oleh perempuan. Akhirnya, relasi gender dalam kedua MV analisis memperlihatkan perjuangan ideologis perempuan [Timur] masuk ke dalam logika
214
maskulin untuk mengambil alih posisi subjek, dan juga menolak bias patriarki yang menganggap bahwa perempuan tidak memiliki kebebasan atas dirinya. Kedua, mitologi. Mitologi di sini mengacu pada kumpulan kisah mitos dalam peradaban Yunani Kuno. Mitologi menjadi sebuah persoalan ideologis dalam penelitian ini karena uniknya, kedua MV analisis dengan sengaja memasukkan unsur-unsur mitologi Yunani ke dalam produk budaya populer KPop. Kode hermeneutika sebelumnya telah mempertanyakan, mengapa Yunani?. Salah satu intepretasi passing dalam persoalan mitologi ini adalah karena ‘sejarah’ memiliki sejarah. Kalimat ini diungkapkan oleh Bertens dalam buku terjemahan berjudul ‘Panorama Filsafat Modern’ (2005) untuk menyatakan bahwa manusia berkembang dari dimensi historis yang berlapis. Meskipun Bertens berbicara dari sudut pandang filsafat, namun hal ini menjadi persoalan yang penting dalam penelitian ini mengingat perempuan Timur yang dikaji dalam KPop MV di YouTube ditandai oleh eksistensi sejarah dalam persoalan Liyan yang diperolehnya sebagai manusia postkolonial. History berasal dari bahasa Yunani yaitu historein yang artinya ‘menyelidiki’ (Bertens, 2005:229). Apa yang perlu diselidiki? Sejarah di balik sejarah. Yunani kuno merupakan bagian dari masa lampau yang menjadi titik tumpu pengetahuan masa kini yang dikembangkan oleh Barat. Kenapa demikian? Barat banyak menyandarkan eksistensi manusianya kepada pengetahuanpengetahuan yang telah terlebih dahulu dibangun dalam dimensi sejarah, yaitu masa Yunani Kuno. Filsafat Barat, misalnya, meresap ke dalam masyarakat dan
215
kebudayaan Yunani Kuno dan menyaksikan pahlawan-pahlawan mitologi yang memiliki kehendak dewa-dewi yang tak terelakkan (Bertens, 2005:233). Barat juga banyak bertumpu pada ahli pikir seperti Herodotus Phytagoras, Socrates, Hippocrates, Archimedes, dan Plato. Dan tak jarang, nama dewa-dewi seperti Apollo, Poseidon, Hermes, dan yang lainnya sering dimanfaatkan oleh Barat. Barat bersandar pada dimensi sejarah yang dirintis oleh Yunani. Dengan demikian, dominasi yang dimiliki Barat selama ini bukanlah sesuatu yang takenfor-granted, namun merupakan proses perkembangan kontinuitas. Di sisi lain, dilihat dari sudut pandang feminisme multikultural, pergerakan feminisme Dunia Ketiga (baca: Timur) yang ditampilkan dalam kedua MV ini sengaja menyodorkan perempuan untuk mencari titik temu resistensi Timur terhadap Barat. Resistensi terhadap kebudayaan Barat membuat Timur melakukan kalkulasi kebencian, dan menarik kebudayaan kembali pada akar dari kebudayaan Barat itu sendiri—Yunani Kuno. Feminisme kemudian bergerak untuk meminjam sejarah masa lampau dari Yunani kuno untuk menentang budaya Barat. Resistensi ini terjadi untuk “menciptakan leluhur yang sama” sehingga melahirkan logika kebudayaan yang sama. Perempuan bergerak melampaui dirinya dan berpura-pura menjadi bagian dari sesuatu yang ada di luar dirinya (identitasnya sebagai Athena dan Pandora). Dengan demikian, ruang performa memberi penawaran ideologis tentang resistensi—sebuah proses mimikri yang bergerak melampaui sejarah peradaban Barat dengan tujuan untuk menyamakan diri dengan Barat itu sendiri. Industri kebudayaan raksasa Korea Selatan untuk selanjutnya, perlahan-lahan akan
216
berkembang dan menjadi sejalan dengan industri budaya Barat karena keduanya bergerak dari ruang dan waktu yang sama—mitologi Yunani kuno. Ketiga, kecantikan. Konsep ini sesungguhnya telah menjadi persoalan ideologis dalam pergerakan feminisme di berbagai wilayah. Idealnya, Barat disebut-sebut sebagai standar kecantikan bagi perempuan-perempuan non-Barat. Hal ini tentu saja meninggalkan jejak perbedaan di antara keduanya. Kedua MV dalam penelitian ini muncul dengan nilai ideologis kecantikan yang berbeda dengan kecantikan Barat yang diagung-agungkan. Dilihat dari pola passing-nya, kecantikan yang ditampilkan dalam kedua MV bergerak melampaui konsep kecantikan ideal. Dengan meminjam kisah mitologis Yunani, perempuan dalam MV pun turut meminjam kecantikan Dewi Athena dan sosok Pandora yang memperlihatkan identitas cantik yang tidak biasa. Menjadi cantik dalam hal ini menjadi sebuah persoalan ideologis karena dituntut untuk menciptakan tubuh palsu yang berbeda dari tubuh yang natural. Eksistensi kecantikan yang seperti ini merupakan kecantikan artifisial yang dilengkapi dengan segala atribut artifisial termasuk fashion dan gestur tubuh. Pola passing, dalam teori poststrukturalis performa, merupakan sebuah sumber krusial bagi strategi komunikasi performa (Kroløkke dan Sørensen, 2006:135). Passing merupakan sebuah konstruksi Diri (the Self) yang aktif karena proses mimikri dengan pola ini memungkinkan perempuan bergerak dari satu identitas ke identitas lain, sesuai dengan apa yang ingin ditirunya. Itulah sebabnya mengapa mimikri dengan pola passing ini disebut pula sebagai usaha untuk melakukan mediasi. Proses ini tidak membentuk resistensi sebagai realitas yang
217
universal, namun ia menjadi strategi mediasi yang mencoba membingkai kembali relasi kesenjangan antara Liyan dan Diri. Akhirnya, perempuan dalam hal ini digambarkan sebagai “Diri yang tercabut dari wilayahnya”. Istilah ini ditujukan untuk menggambarkan keinginan untuk menjadi bebas bergerak melampaui masa lalu untuk menghancurkan kultur dominasi (O’Donnell, dkk, 2009:76-77). Perempuan meninggalkan posisi yang selama ini telah diwariskan secara turun-temurun dalam budayanya, dan pada satu titik, perempuan memanfaatkan performa untuk menata-ulang persoalan ideologis seputar diri perempuan, sekaligus menentang dominasi kebudayaan Barat.
BAB V REFLEKSI TERHADAP PERFORMA PEREMPUAN: “DARI SUNYI MENJADI BUNYI”i “I imagine a postcolonial Asia constructed through the flows of popular culture where the term “Korean Wave” will be used together with the “Indonesian Wave”, etc., since it provides us with new “contact zones” to reflect upon them and myself who have been “othered” for so long in modern history.” ~ Cho Hae-Joang, 2005 ~
Ketika Timur dipertemukan dengan Barat, apa yang mungkin terjadi? Ruang ketiga. Dalam pandangan postkolonialis Homi Bhabha, ruang ketiga diistilahkan dengan “liminality”, “in-between” atau “third-space”, yaitu ruang perjumpaan perbedaan-perbedaan kultural dan sekaligus ruang penciptaan identitas di mana terjadi gerak interaktif terus-menerus antara status-status yang berbeda, yaitu di antara “mereka yang merasa diekslusi” dengan mereka yang (dituduh) “mengesklusi” (Sutrisno dan Putranto, 2004:95). Barat dan Timur dalam hal ini bertemu dalam sebuah platform bernama situs YouTube, implikasi yang dimunculkannya adalah hadirnya ruang ketiga yang sifatnya berada di antara (in between). Aktor dalam ruang ini adalah perempuan Timur yang menjadi ramuan utama melakukan perjuangan untuk membunuh identitasnya sebagai Liyan. Industri budaya Barat telah lama mendominasi ruang-ruang kebudayaan multikultural Timur dan memonopoli ideologi sehingga Barat dianggap sebagai sebuah kebenaran. Namun monopoli yang ditanamkan dalam sebuah industri budaya, tidak terlepas dari kemungkinan kecil munculnya resistensi, terlebih
218
219
karena logika kebudayaan mulai bergeser seiring dengan perkembangan teknologi (Adorno dan Horkheimer, 1999:33). Perkembangan masif dari teknologi telah memungkinkan informasi disebarluaskan melampaui ruang dan waktu, dan sebagai efeknya, budaya lokal hadir sebagai sebuah bentuk resistensi terhadap budaya global. Kini, K-Pop tidak lagi sekedar budaya lokal milik Korea Selatan, namun ia menjadi sebuah industri budaya populer dari Asia Timur, yang berdiri sebagai bentuk counter-hegemoni dari budaya Barat. Industri ini perlahan mendominasi media secara global, hingga disebut-sebut telah menggantikan posisi Barat dalam hal imperialisme budaya (Huat, 2012:145, 152). Argumen di atas menjadi substansi penting bagi penelitian ini, untuk merenungkan kembali perkembangan-perkembangan budaya populer yang memenuhi ruang publik masyarakat, yang kemunculannya didukung oleh perkembangan teknologi berbasis internet. Dengan mempertimbangkan aneka ragam teks musik populer yang ada di situs YouTube, penelitian ini memilih dua teks MV untuk ditonton, dicermati, dipahami, dibaca, dan dibongkar pada dua tataran analisis yaitu sintagmatik dan paradigmatik. Pada akhirnya, ada realitasrealitas ideologis yang dimunculkan seiring dengan proses penelitian dilakukan, dan dengan demikian penelitian ini diarahkan untuk merenungkan implikasi yang dimunculkannya terhadap realitas nyata yang ada di dunia. Sesuai dengan signifikansi penelitian (lihat 1.4.), maka implikasi dari penelitian ini terbagi atas 3 (tiga) kelompok yaitu: implikasi teoritis, praktis, dan sosial.
220
5.1. Implikasi Teoritis From silence to performance. Kalimat ini menggambarkan pergerakan feminisme dari diam yang bergerak perlahan menuju performa. Proses ini menggambarkan perkembangan pandangan feminisme dari mulai gelombang pertama hingga gelombang ketiga, yang disebut sebagai performance third-wave feminism (Kroløkke dan Sørensen, 2006:22). Gelombang ketiga menandai pergerakanpergerakan feminisme yang mencoba untuk mendobrak sistem, dan memposisikan perempuan dan feminisme itu sendiri ke dalam politik perbedaan dan multiplisitas. Dalam hal ini perempuan tidak lagi dimaknai sebagai individu yang berasal dari dunia yang sama, melainkan dari dunia yang berbeda yaitu Dunia Pertama dan Dunia Ketiga. Bagi
perempuan-perempuan
Dunia
Ketiga,
sama
halnya
dengan
penggambaran perempuan Timur (Korea Selatan) yang dikaji dalam penelitian ini, feminisme dipandang berbeda dengan yang ada di belahan bumi
Barat.
Perempuan Timur mengalami kolonialisme ganda, yang disebut Trinh T. Minh-ha sebagai “the other Others” dan “inappropriated others” (Kroløkke dan Sørensen, 2006:13). Dengan demikian, feminisme di Dunia Ketiga bergerak dengan cara yang berbeda dengan feminisme di Dunia Pertama, yaitu melalui pola feminisme multikultural—yang menempatkan perempuan pada konteks budaya yang berbeda karena pengalaman sejarah yang berbeda. Konsep teoritis feminisme multikultural dalam penelitian ini membenarkan adanya perbedaan posisi di antara perempuan-perempuan di seluruh dunia. Pada pergerakan feminisme gelombang ketiga, penelitian ini memperlihatkan cikal
221
bakal lahirnya generasi baru yang nantinya akan dikarakteristikkan dengan perkembangan bio-teknologi (Kroløkke dan Sørensen, 2006:17), salah satunya dengan cara melakukan operasi plastik untuk menyembunyikan identitas asli dari ras Korea Selatan dan menjelma ke dalam kecantikan artifisial ala Barbie—yang menyerupai Barat. Feminisme ini akan membenarkan adanya operasi plastik sebagai salah satu hak perempuan untuk bertahan hidup agar mendapat pengakuan atas Diri-nya. Perempuan dalam penelitian ini memperlihatkan keberanian diri untuk mengklaim kekuasaan, seperti yang terungkap dalam perkataan Natasha Walter (tokoh new feminist) yaitu “we embrace the power!” (Kroløkke dan Sørensen, 2006:18). Penelitian ini memperlihatkan performa perempuan sebagai perwujudan dari usaha perempuan untuk membunuh identitas Liyan yaitu “the other Others” dengan menggunakan beberapa instrumen resistensi yaitu: relasi gender, mitologi dan kecantikan. Mitologi Yunani merupakan salah satu point of interest dalam penelitian ini, yang mengeskpos strategi perempuan untuk berdialog dengan dunia Barat—dengan cara
meminjam instrumen ‘masa lalu’
yang kononnya
melatarbelakangi perkembangan peradaban Barat hingga seperti saat ini. Performa perempuan yang bermain dengan sejarah Yunani Kuno ini memperlihatkan adanya klaim kekuasaan, yaitu klaim posisi yang sama antara Barat dan Timur. Keduanya menjadi counter-culture satu sama lainnya dan bermain bersama (interplay) dalam platform media massa bernama situs YouTube. Dengan demikian, penelitian ini membenarkan prediksi
performance
theories mengenai figur mimikri yaitu passing. Pada tahapan lebih lanjut, figur
222
mimikri ini merupakan pilihan strategi untuk melakukan mediasi atau justu konfrontasi. Semua konsep ini teroperasionalisasikan dalam proses pembacaan atas teks MV yang dikaji dalam penelitian ini, yang mana, mimikri yang dilakukan Timur terhadap Barat memanfaatkan pola passing dengan cara meminjam diskursus patriarti dan di sisi lain meminjam diskursus Barat. Hasil dari performa ini memperlihatkan kompleksitas pastiche yang mengembangkan tumpang tindih alternatif bagi perempuan untuk membunuh identitasnya sebagai sang Liyan. Matinya sang Liyan merupakan usaha ideologis mimikri dengan pola (passing), yang pada akhirnya, hasil dari performa memperlihatkan bahwa perempuan [Timur] menciptakan ruang ketiga yaitu “in between” yang di dalamnya terjadi mediasi terhadap narasi kebudayaan Barat. Ideologi resistensi melalui pola mimikri passing ini menciptakan identitas ilusi yang tidak sama dari yang asli dan yang ditiru. Dengan kata lain, mimikri dilakukan bukan sekedar meniru, namun tiruan yang dihasilkan menciptakan figur peniru yang sifatnya berbeda, baru, dan melampauii apa yang ditirunya. Teori-teori dan konsep-konsep yang digunakan sebagai landasan pemikiran dalam penelitian ini telah memperlihatkan adanya diskursus mengenai resistensi sang Liyan melalui performa perempuan dalam K-Pop MV di YouTube. Namun perkembangan pergerakan feminisme (feminism movement) tidak menutup kemungkinan munculnya dunia yang lebih berbeda dari apa yang ditampilkan dalam penelitian ini, sehingga dibutuhkan ruang interaksi teoritis yang lebih terbuka untuk memperkaya penelitian-penelitian komunikasi di ranah feminisme.
223
5.2. Implikasi Praktis Munculnya ruang ketiga atau in between menghadirkan persoalan-persoalan ideologis yang memerlukan adanya kesadaran ideologis dari media massa. Kajian mengenai performa perempuan merupakan salah satu model kajian komunikasi feminis, dengan demikian, mau tidak mau penelitian ini memberikan implikasi penting bagi media massa terutama yang berhubungan dengan konten perempuan yang dihadirkan media massa ke dalam ruang publik. Teks media telah mengaktifkan makna-makna ideologis mengenai resistensi perempuan. Sejalan dengan itu, teks media pun dituntut dengan sejumlah tanggungjawab. Media massa (konvensional maupun digital), bagaimana pun, tidak boleh melupakan tanggungjawab sosialnya di mana penyiaran seharusnya diarahkan untuk menjaga dan mempererat persatuan dan kesatuan bangsa serta diarahkan untuk memajukan kebudayaan nasional (UU Penyiaran No.32/2002 pasal 5). Meskipun kehadiran K-Pop MV di YouTube menjadi cermin resistensi Timur terhadap Barat, media massa tidak boleh sembarangan mengutip, memotong, dan menampilkannya di ruang publik, seperti imitasi-imitasi I-Pop (Indonesia Popular Music) yang merupakan upaya peniruan terhadap K-Pop. Implikasi praktis dalam penelitian ini tidak hanya terfokus pada situs YouTube, yang di Indonesia diwakilkan dengan keberadaan YouTube Indonesia. Namun penelitian ini menjelajahi ruang publik yang dipenuhi oleh varian media yang berbeda-beda, mengingat peperangan antara budaya Timur dan Barat tidak hanya terjadi di situs YouTube. Penelitian ini berharap media massa di Indonesia untuk tidak sekedar menjadi imitator sejati, namun media massa harus mampu
224
mengurai persoalan-persoalan ideologis yang melekat dalam produk-produk budaya populer, dan dengan demikian media massa dapat mengarahkan perkembangan budaya populer Indonesia ke arah yang lebih baik tanpa meninggalkan esensi lokalitas kebudayaan Indonesia yang bhinneka tunggal ika. Ruang publik Indonesia merupakan ruang budaya yang penuh dengan keberagaman. Kehadiran konten media berupa produk budaya populer Korea Selatan diharapkan tidak menjadi bentuk homogenisasi kebudayaan, namun sebaiknya diarahkan pada penciptaan harmonisasi dialog antar ragam produk kebudayaan yang bermunculan seiring dengan perkembangan pesat dari globalisasi. Pada akhirnya, implikasi praktis dari penelitian ini mengarah pada pembentukan jaringan kebijakan (policy network) (Suwitri, 2011:30-32) yang salah satunya mengarah pada institusionalisasi, khususnya institusionalisasi kebudayaan. Mengapa demikian? Tidak bisa dipungkiri bahwa kesuksesan Korea Selatan dengan industri K-Pop telah membuat banyak bangsa mengingini hal yang sama, termasuk Indonesia. Menjadi imitator sejati bukanlah pilihan, namun Indonesia harus bisa bercermin pada Korea Selatan yang sukses menjaga keseimbangan antara budaya populer dengan budaya lokal. Institusionalisasi kebudayaan merupakan usaha menjaga keseimbangan produk budaya dengan cara membentuk jaringan kebijakan mengenai kebudayaan baik di tingkat individu, institusi,
maupun
pemerintah.
Dengan demikian,
implikasi dari
usaha
institusionalisasi kebudayaan ini adalah munculnya pertimbangan peraturan perundang-undangan yang mengatur jalannya strategi kebudayaan.
225
Pertimbangan kebijakan berkaitan dengan usaha institusionalisasi budaya merupakan persoalan penting, mengingat institusionalisasi budaya dapat menjadi langkah awal untuk mengkonseptualisasikan adanya soft power, atau disebut pula diplomasi kultural (Huat, 2012:119). Untuk mencapai soft power, pemerintah Indonesia, bersamaan dengan pelaku media, harus mempertimbangkan produk budaya populer sebagai sebuah sumber daya yang perlu dikontrol dan diawasi perkembangannya.
5.3. Implikasi Sosial Mem-Barat-kan Timur, demikian performa perempuan dihadirkan dalam panggung performa YouTube. Persoalan ini tidak hanya memunculkan implikasi secara praktis terhadap pengelola media massa, namun yang tidak kalah penting, persoalan ini akan menciptakan perubahan dalam masyarakat sebagai konsumen media masa. Jika diabaikan, khalayak media dikhawatirkan akan menciptakan— meminjam istilah Benedict Anderson—imagined community (Anderson, 1991, 2008). Penggunaan komunitas imajinasi dalam hal ini dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat yang mendefinisikan dirinya sebagai bagian dari bangsa yang memproduksi produk budaya yang dikonsumsinya. Lebih lanjut lagi, Appadurai mengembangkan konsep
imagined community Anderson dan
menyebutnya sebagai imagined worlds, yang di dalamnya terdapat beragam dunia yang terbentuk karena situasi historis yang imaji (Appadurai, 1994:329). Fakta penting bagi pembentuk imaji ini adalah media, yang sejak lama menawarkan kepada khalayak beragam bentuk budaya dan ideologi untuk dikonsumsi.
226
Beberapa tokoh cultural studies seperti Stuart Hall, Adorno, Horkheimer, dan Richard Hoggart sama-sama menegaskan bahwa media telah menciptakan audien budaya virtual yang bodoh dan tidak mampu memberikan respons terhadap berbagai produk dan aktivitas budaya yang tidak ditoleransi dan tidak distandarisasikan oleh industri budaya (Tester, 2009:121). Ideologi resistensi yang melekat dalam performa perempuan di dalam K-Pop MV di YouTube pada dasarnya merupakan hal yang baik. Ia memberi ruang kebebasan bagi perempuan Timur untuk memiliki kontrol penuh atas dirinya, dan juga memberikan energi positif bagi perkembangan pergerakan feminisme di dunia ketiga. Namun, jika media massa gagal melakukan fungsinya untuk menjaga harmonisasi dialog antar kebudayaan, maka dikhawatirkan khalayak massa yang diciptakan oleh media merupakan khalayak virtual yang bodoh, yang tidak mampu memilih dengan benar konten yang merupakan kebutuhannya. Dengan demikian, penelitian ini berimplikasi pada perintisan literasi media mengenai konten-konten musik populer di media massa. Penelitian ini mengajak masyarakat untuk menjadi khalayak yang aktif, dengan cara memanfaatkan berbagai jenis media massa sebagai sumber-sumber informasi sehingga khalayak tidak hanya diterpa oleh satu macam ideologi. Khalayak aktif yang dimaksudkan juga diharapkan dapat mengembangkan dan menularkan cara berfikir kritis yang tidak spontan menerima apa yang ditampilkan media massa sebagai perceived reality saja, melainkan mampu mengaktifasi kesadaran khalayak dalam mengkonsumsi media. Penelitian ini memandang literasi media sebagai sebuah regulasi diri dari masyarakat dengan cara mengembangkan sikap toleransi
227
kultural, sebagai bentuk tanggung jawab masyarakat multikultural Indonesia yang mengkonsumsi produk budaya asing namun harus tetap menjaga harmonisasi dialog antar kebudayaan.
i
Judul bab ini terinspirasi dari sub judul buku yang ditulis oleh Kroløkke dan Sørensen (2006) yaitu “Gender Communication Theories and Analysis: From Silence to Performance”. Buku ini digunakan sebagai sumber teori poststrukturalis mengenai performa perempuan yang digunakan sebagai salah satu dasar pemikiran teoritis dalam penelitian ini.
BAB VI PENUTUP
“Mimicry is an exaggerated copying of language, culture, manners, and ideas” ~ Homi K. Bhabha ~
6.1. Simpulan Penelitian ini lahir dari keterpesonaan sekaligus kekhawatiran terhadap perkembangan pesat dari industri budaya Korea Selatan yang disebut-sebut sebagai Hollywood-nya Asia, sebuah wajah baru dalam ruang kebudayaan Timur yang selama ini didominasi oleh Barat. Semula, China menyebutnya sebagai fenomena hallyu. Fenomena yang sama kini bergerak lebih jauh merasuki ruangruang kebudayaan dalam bentuk neo-hallyu—yang berkembang pesat akibat pemanfaatan media internet. Sebagai sebuah efek domino dari krisis ekonomi global di akhir tahun 1900-an, industri budaya Korea Selatan berkembang melampaui batasan geografis, seakan-akan mengambil alih posisi Barat sebagai leluhur yang merintis begitu banyaknya produk-produk budaya kontemporer. Keterpesonaan sekaligus kekhawatiran ini menyisakan sebuah misteri besar mengenai
keberadaan
mitos
resistensi
sang
Liyan,
yaitu Timur
yang
memanfaatkan perempuan sebagai aktor performa karena perempuan adalah the [other] Others, Liyan yang lain. Performa perempuan dalam K-Pop MV di YouTube merupakan hasil pergerakan feminisme Dunia Ketiga, yang menandai adanya perbedaan multikultural antara perempuan Barat dengan perempuan non-Barat. Dengan
228
229
menggunakan pisau analisis semiotika Barthes, penelitian ini mencoba membaca teks K-Pop MV dalam dua tataran, yaitu sintagmatik dan paradigmatik. Dalam tataran sintagmatik, penelitian ini mengurai teks MV dalam dua kategori utama yaitu narasi dan kode-kode sinematik yang diistilahkan dengan mise-en-scéne. Sementara itu, tataran paradigmatik terbagi dalam lima kode pembacaan yang digunakan untuk menelanjangi teks (kode hermeneutika), memprediksikan implikasi tindakan (kode proairetik), mengungkap referensi kultural (kode kultural), mengartikulasikan pemaknaan simbolik (kode simbolik), serta mitos atau ideologi yang ada di balik makna (kode semik). Dari hasil penelitian, ditemukan adanya kecenderungan resistensi yang dilakukan perempuan Timur melalui performa. Perempuan dalam hal ini dianggap sebagai mimik yang baik, dalam artian peniru yang baik. Perempuan adalah mimik laki-laki, dan bersamaan dengan itu, ia adalah mimik Barat. Dengan kata lain, perempuan meniru logika laki-laki, dan bersamaan dengan itu, ia meniru logika Barat. Ideologi resistensi perempuan muncul dalam ruang performa melalui proses mimikri “passing” dengan memanfaatkan instrumen yaitu: relasi gender, mitologi, dan kecantikan. Ideologi resistensi dalam relasi gender memperlihatkan adanya pengambilalihan posisi subjek dari laki-laki. Relasi gender menandai posisi perempuan sebagai Diri. Dengan demikian, perempuan memisahkan dirinya dari Liyan dan masuk ke dalam logika laki-laki untuk mengambil alih posisi laki-laki. Ideologi resistensi dalam hal mitologi merupakan sebuah usaha untuk meleburkan simbolsimbol mitologis Yunani kuno ke dalam teks MV. Mitologi ini menciptakan
230
counter-ideology antara Timur dengan Barat—melampaui sejarah peradaban Barat dan mengakar pada Eurosentrisme (yaitu Yunani Kuno). Sementara itu, ideologi resistensi yang muncul dalam hal kecantikan, memperlihatkan sebuah proses penciptaan model kecantikan yang melampaui kecantikan Barat yang disebut sebagai kecantikan artifisial ala K-Pop. Akhirnya, perempuan [Timur] merupakan figur mimikri (mimik) yang berusaha untuk memperjuangkan eksistensi yang selama ini tidak diakui. Perempuan meminjam kepingan-kepingan budaya berbeda untuk ditiru sama seperti, dan/atau melampaui apa yang ditirunya. Proses perjuangan ideologis ini tidak menghadirkan realitas resistensi yang universal, namun menghadirkan alternatif strategi yaitu mediasi untuk membentuk ruang kebudayaan in between— sebuah negosiasi aktif antara Timur dengan Barat, antara sang Liyan dengan Diri.
6.2. Saran Penelitian ini diharapkan menjadi titik awal yang mewarnai varian kajian komunikasi feminis. Fenomena seperti K-Pop merupakan pergerakan feminisme yang mendobrak sistem dominan—Barat dan laki-laki, sehingga diperlukan ragam kajian untuk membongkar kompleksitas ideologis yang dihasilkan. Secara akademis, penelitian ini menyarankan untuk penggunaan pendekatan FPDA (Feminist Postructuralist Discourse Analysis) untuk membongkar wacana yang lebih mendalam yang terdapat dalam performa perempuan di media massa. Secara praktis, penelitian ini menyarankan para pelaku di media massa untuk lebih mempertimbangkan konten media massa sesuai dengan pertimbangan kebijakan
231
yang lebih matang. Secara sosial, penelitian ini mengajak masyarakat untuk menjadi khalayak aktif yang mampu meregulasi diri sendiri dengan cara merintis literasi media dan mengembangkan sikap toleransi kultural.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Adorno, Theodor dan Max Horkheimer. (1999). The Culture Industry: Enlighment as Mass Deception. Dalam Simon During (ed.), The Cultural Studies Reader (2nd ed.) (31-41). London: Routledge Anderson, Bennedict. (1991). Imagined Communities: Reflections on The Origin and Spread of Nationalism (revised ed.). London: Verso Anderson, Bennedict. (2008). Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang. Yogyakarta: INSIST Anderson, S., Heather Bateman, Emma Harris, dan Katy McAdam (2006). Dictionary of Media Studies. London: A & C Black Publishers Ltd Appadurai, Arjun. (1994). Disjuncture and Difference in The Global Cultural Economy. Dalam Patrick Williams dan Laura Chrisman (eds.), Colonial Discourse and Post-Colonial Theory: A Reader (324-339). Hertfordshire: Harvester Wheatsheaf Appadurai, Arjun. (1999). Disjuncture and Difference in The Global Cultural Economy. Dalam Simon During (ed.), The Cultural Studies Reader (2nd ed.) (220-232). London: Routledge Appadurai, Arjun. (2006). Disjuncture and Difference in The Global Cultural Economy. Dalam Meenakshi Gigi Durham dan Douglas M. Kellner (eds.), Media and Cultural Studies: Key Work (revised ed.) (584-603). USA: Blackwell Publishing. Arivia, Gadis. (2006). Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta: Penerbit Buku Kompas Atkinson, Paul. (2006). Opera and The Embodiment of Performance. Dalam Dessis Waskul dan Phillip Vannini (eds.), Body/Embodiment: Symbolic Interaction and the Sociology of the Body (95-107). Hampshire: Ashgate Austin, Gayle. (2002). Feminist Theory: Paying Attention to Women. Dalam Lizbeth Goodman dan Jane de Gay (Eds), The Routledge Reader in Gender and Performance (136-142). London: Routledge Barker, Chris. (2000). Cultural Studies: Theory and Practice. London: Sage Publications
232
233
Barker, Chris. (2004). The Sage Dictionary of Cultural Studies. London: Sage Publications Barker, Chris. (2005). Cultural Studies: Teori dan Praktek. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka Barthes, Roland. (1990). The Fashion System. London: University of California Press Barthes, Roland. (1991). Mythologies. New York: The Noonday Press Barthes, Roland. (2007). Membedah Mitos-mitos Budaya Massa: Semiotika atau Sosiologi Tanda, Simbol, dan Representasi. Yogyakarta: Jalasutra Bennett, Andy, Barry Shank, dan Jason Toynbee (eds.). (2006). The Popular Music Studies Reader. New York: Routledge Berger, Asa Arthur. (1991). Media Analysis Techniques (revised ed). California: Sage Publications Bertens, K. (2005). Panorama Filsafat Modern (edisi revisi). Jakarta: Teraju Buckley, Cheryl dan Hilary Fawcett. (2002). Fashioning the Feminine: Representation and Women’s Fashion from The Fin De Siecle to The Present. London: I.B. Tauris & Co Ltd Budiawan. (2010). Ambivalensi: Post Kolonialisme Membedah Musik Sampai Agama di Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra Calefato, Patrizia. (2004). The Clothed Body: Dress, Body, Culture. Oxford: Berg Casey, Bernadette, Neil Casey, Ben Calvert, Liam French, dan Justin Lewis. (2008). Television Studies: The Key Concepts (2nd ed.). Oxon: Routledge Christian, Clifford G. (2011). Ethics and Politics in Qualitative Research. Dalam Denzin, Norman K. Dan Yvonna S. Lincoln (eds.), The Sage Handbook of Qualitative Research (ed.4) (61-80). LA: Sage Publications Connor, Marry E. (ed.). (2009). Asias in Focus: The Koreas. California: ABCCLIO, LCC Conrad, Clifton F. dan Ronald C. Serlin. (2011). The Sage Handbook of Research in Education: Pursuing Ideas as the Keystone of Exemplary Inquiry (2nd ed). USA: Sage Publications Danesi, Marcel. (2009). Dictionary of Media and Communications. New York: M. E. Sharpe, Inc
234
Danesi, Marcel. (2012). Popular Culture: Introductory Perspective. Maryland: Rowman & Littlefield Publisher, Inc Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (eds.). (2000). Handbook of Qualitative Research. New York: Sage Publications Durham, Meenakshi Gigi dan Douglas M. Kellner (eds.). (2006). Media and Cultural Studies: Key Works (revised ed.). USA: Blackwell Publishing. Elliot, Anthony. (2009). Contemporary Cultural Theory: An Introduction. London: Routledge Fairclough, Norman. (1995). Media Discourse. London: Edward Arnold Fenton, Natalie (ed.). (2010). New Media, Old News: Journalism & Democracy in the Digital Age. London: Sage Publications Forte,
Jeanie K. (2002). Women’s Performance Art: Feminism and Postmodernism. Dalam Lizbeth Goodman dan Jane de Gay (Eds), The Routledge Reader in Gender and Performance (236-240). London: Routledge
Frith, Simon, Andrew Goodwin, dan Lawrence Grossberg. (2005). Sound and Vision: The Music Video Reader. Oxon: Routledge Gabriel, Teshome H. (1994). Towards a Critical Theory of Third World Films. Dalam Patrick Williams dan Laura Chrisman (eds.), Colonial Discourse and Post-Colonial Theory: A Reader (340-375). Hertfordshire: Harvester Wheatsheaf Gamble, Sarah. (2010). Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme. Yogyakarta: Jalasutra Gandhi, Leela. (1998). Postcolonial Theory: A Critical Introduction. Australia: Allen & Unwin Gandhi, Leela. (2007). Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Jakarta: CV Triarga Utama Gateward, Frances K. (2007). Seoul Searching: Culture and Identity in Contemporary Korean Cinema. Albany: State University of New York Press Griffin, EM. (2009). A First Look at Communication Theory (7th ed). New York: McGraw-Hill Guba, Egon G. dan Yvonna S. Lincoln. (1994). Competing Paradigms in Qualitative Research. Dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln (eds.), Handbook of Qualitative Research (105-117). New York: Sage Publications.
235
Guba, Egon G. dan Yvonna S. Lincoln. (2000). Competing Paradigms in Qualitative Research. Dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln (eds.), Handbook of Qualitative Research (163-255). New York: Sage Publications Guins, Raiford dan Omayra Zaragoza Cruz. (2005). Popular Culture: A Reader. London: Sage Publications Hall, Stuart. (1997a). The Work of Representation. Dalam Stuart Hall (ed.), Representation: Cultural Representations and Signifying Practices (13-70). London: Sage Publications Hall, Stuart. (1997b). The Spectacle of The ‘Other’. Dalam Stuart Hall (ed.), Representation: Cultural Representations and Signifying Practices (223290). London: Sage Publications Handayani, Christina S. dan Ardhian Novianto. (2004). Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta: LKiS Hartley, John. (2004). Communication, Cultural, and Media Studies: The Key Concepts. London: Routledge Hartley, John (ed.). (2005). Creative Industries. Malden: Blackwell Publishing Haseman, Brad. (2005). Creative Practices. Dalam John Hartley (ed.), Creative Industries (158-176). Malden: Blackwell Publishing Hidayat, Medhi Aginta. (2012). Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran Postmodernisme Jean Baudrillard. Yogyakarta: Jalasutra Hills, Matt. (2002). Fan Cultures. London: Routledge Horkheimer, Max dan Theodor W. Adorno. (2006). The Culture Industry: Enlightment as Mass Deception. Dalam Meenakshi Gigi Durham dan Douglas M. Kellner (eds.), Media and Cultural Studies: Key Works (revised ed.) (41-72). USA: Blackwell Publishing Huat, Chua Beng. (2012). Structure, Audience, and Soft Power in East Asian Pop Culture. Hong Kong: Hong Kong University Press Huddart, David. (2006). Homi K. Babha (Routledge Critical Thinkers Series). Oxon: Routledge Hurwit, Jeffrey M. (1999). The Athenian Acropolis: History, Mitology, and Archeology from the Neolithic Era to the Present. UK: Cambridge University Press Kasiyan. (2008). Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan. Yogyakarta: Penerbit Ombak
236
Khair, Tabish. (2009). The Gothic, Postcolonialism and Otherness: Ghosts from Elsewhere. New York: Palgrave Macmillan Kroløkke, Charlotte dan Anne Scott Sørensen. (2006). Gender Communication Theories & Analysis. London: Sage Publications Kurniawan, Heru. (2009). Sastra Anak Dalam Kajian Strukturalisme, Sosiologi, Semiotika, Hingga Penulisan Kreatif. Yogyakarta: Graha Ilmu Lepecki, André. (2004). Of The Presence of The Body: Essay on Dance and Performance Theory. USA: Wesleyan University Press Lidchi, Henrietta. (1997). The Poetics and The Politics of Exhibiting Other Cultures. Dalam Stuart Hall (ed.), Representation: Cultural Representations and Signifying Practices (223-290). London: Sage Publications Loewen, Nancy. (1998). Greek and Roman Mythology: Athena. Minnesota: Capstone Press McQuail, Denis. Publications
(2010).
Mass
Communication
Theory.
London:
Sage
Mills, Sarah. (1995). Feminist Stylistic. London: Routledge Mohanty, Chandra Talpade (1994). Under Western Eyes: Feminist Scholarship and Colonial Discourse. Dalam Patrick Williams dan Laura Chrisman (eds.), Colonial Discourse and Post-Colonial Theory: A Reader (196-220). Hertfordshire: Harvester Wheatsheaf Munif, Achmad. (2009). Kisah Empat Puluh Perempuan yang Mengubah Dunia. Yogyakarta: Penerbit Narasi Nelmes, Jill (ed.). (2003). An Introduction to Film Studies (3rd ed). London: Routledge Nicholson, Linda dan Steven Seidman. (2002). Social Postmodernism: Beyond Identity Politics. UK: Cambridge University Press O’Donnell, Kevin. (2009). Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius O’Sullivan, Tim, John Hartley, Danny Saunders, Martin Montgomery, dan John Fiske. (1994). Key Concepts in Communication and Cultural Studies (2nd ed). London: Routledge Olesen, Virginia. (2011). Feminist Qualitative Research in The Millenium First Decade: Developments, Challenges, Prospects. Dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, The Sage Handbook of Qualitative Research (129146). London: Sage Publications
237
Pease, Allan. (1988). Body Language: How to Read Others’ Thought by Their Gestures. London: Sheldon Press Piliang, Yasraf Amir. (2003). Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra Piliang, Yasraf Amir. (2010). Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui BatasBatas Kebudayaan. Bandung: Matahari Prabasmoro, Aquarini Priyatna. (2003). Becoming White: Representasi Ras, Kelas, Feminitas dan Globalitas dalam Iklan Sabun. Yogyakarta: Jalasutra Ramutsindela, Maano. (2004). Parks and People in Postcolonial Societies: Experiences in Southern Africa. New York: Kluwer Academic Publisher Roach, Catherine M. (2007). Stripping, Sex, and Popular Culture. Oxford: Berg Salih, Sarah. (2003). Judith Butler. London: Routledge Shohat, Ella. (2012). Gender and The Culture Empire: Toward a Feminist Etnography of the Cinema. Dalam Mary Celeste Kearney, The Gender and Media Reader (86-108). New York: Routledge Snickars, Pelle dan Patrick Vonderau. (2009). The YouTube Reader. Sweden: National Library of Sweden Spivak, Gayatri Chakravorty. (1994). Can The Subaltern Speak?. Dalam Patrick Williams dan Laura Chrisman (eds.), Colonial Discourse and Post-Colonial Theory: A Reader (66-111). Hertfordshire: Harvester Wheatsheaf Stam, Robert, Robert Burgoyne dan Sandy Flitterman-Lewis. (1992). Film Semiotics. London: Routledge Sunarto. (2009). Televisi, Kekerasan, dan Perempuan. Jakarta: Kompas Stokes, Jane. (2003). How To Do Media and Cultural Studies. Yogyakarta: Bentang Storey, John. (2003). Inventing Popular Culture: From Folklore to Globalization. USA: Blackwell Publishing, Ltd Storey, John. (2010). Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop: Pengantar Komprehensif Teori dan Metode. Yogyakarta: Jalasutra Strasser, Richard. (2010). Music Business: The Key Concepts. Oxon: Routledge Strinati, Dominic. (1995). Popular Culture: An Introduction to Theories of Popular Culture (2nd ed). London: Routledge Strinati, Dominic. (2009). Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
238
Sunardi, ST. (2002). Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal Suryakusuma, Julia. (2011). Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru. Depok: Komunitas Bambu Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (eds.). (2004). Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas. Yogyakarta: Kanisius Suwitri, Sri. (2011). Konsep Dasar Kebijakan Publik (edisi revisi). Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang Tester, Keith. (2009). Immor[t]alitas Media: Menelisik Moralitas dalam Jejaring Industri Media. Yogyakarta: Juxtapose Thornham, Sue. (2004). Gerakan Feminisme Gelombang Kedua. Dalam Sarah Gamble (Ed), Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme (3552). Yogyakarta: Jalasutra Thornham, Sue. (2010). Teori Feminis dan Cultural Studies. Yogyakarta: Jalasutra Tong, Rosemarie Putnam (2008). Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif Kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra Uricchio, William. (2009). The Future of The Medium Once known Television. Dalam Snickars, Pelle dan Patrick Vonderau. The YouTube Reader (24-39). Sweden: National Library of Sweden Van Zoonen, Liesbet. (1994). Feminist Media Studies. London: Sage Publications Wall, Tim. (2003). Studying Popular Music Culture: Studying the Media. London: Arnold. Webb, Jen. (2009). Understanding Representation. London: Sage Publications Wilson, Edwin. (1985). The Theater Experience. New York: McGraw-Hill Williamson, Judith. (2007). Decoding Advertising: Membedah Ideologi dan Makna Dalam Periklanan. Yogyakarta: Jalasutra Wolf, Naomi (2004). Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan. Yogyakarta: Penerbit Niagara Wykes, Maggie dan Barrie Gunter. (2005). The Media Image: If Looks Could Kill. London: Sage Publications
and
Body
Yoon, Sunny. (2001). Internet Discourse and The Habitus of Korea’s New Generation”. Dalam Charles Ess (ed.), Culture, Technology, Communication: Towards an Intercultural Global Village (241-260). Albany: State University of New York Press
239
Young, Iris Marion. (2005). On Female Body Experience: “Throwing Like A Girl” and Other Essay. Oxford: Oxford University Press
Jurnal Hae-Joang, Cho. (2005). “Reading the “Korean Wave” as a Sign of Global Shift”. Korea Journal Winter 2005:147-182 Korean Culture and Information Service. (2011). The Korean Wave: A New Pop Culture Phenomenon. Contemporary Korea No.1. Republic of Korea: Ministry of Culture, Sports and Tourism Lee, Sue Jin. (2011). The Korean Wave: The Seoul of Asia. The Elon Journal of Undergraduate Research in Communication Vol.2(1):85-93 Moreman. Shane T. (2009). Memoir as Performance: Strategies of Hybrid Ethnic Identity. Text and Performance Quarterly Vol 29:346-366 Nugroho, Suray Agung. (2011). Apresiasi K-Pop di Kalangan Generasi Muda Yogyakarta: Studi Kasus Pengunjung K-Pop Festival UKDW 2010. Korean Studies in Indonesia: An International Journal, Vol.11 No.1 (April): 117138 Ryoo, Woongjae. (2008). The Political Economy of The Global Mediascape: The Case of The South Korean Film Industry. Media, Culture & Society Vol 30 (6):873-889 Shim, Doobo. (2006). Hibridity and The Rise of Korean Popular Culture in Asia. Media, Culture and Society, Vol. 28(1): 25-44 Weintraub, Andrew N. (2008). ‘Dance Drills, Faith Spills’: Islam, Body Politics, and Popular Music in Post-Suharto Indonesia. Cambridge Journal, Popular Music Vol.27(3)
Skripsi Nastiti, Aulia Dwi. (2010). Korean Wave di Indonesia: Antara Budaya Pop, Internet, dan Fanatisme pada Remaja. Skripsi. Prodi Komunikasi Massa, Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia. Dalam http://www. scribd.com/doc/67051422/Korean-Wave-di-IndonesiaBudaya-Pop-Internet- dan-Fanatisme-Remaja diunduh pada 5 November 2011 pukul 16.10 WIB Irvani, Rizal. (2010). Representasi Perempuan dalam Video Klip: Analisis Semiotik pada Video Klip Menghapus Jejakmu, Peterpan. Skripsi. Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang. Dalam eprints.umm.ac.id diunduh pada 7 Juli 2012 pukul 18.20 WIB
240
Artikel Media Cetak Iski. (2011). Hallyu: A Wave Beyond Korean Drama. MIX Marketing Communications: 38-39 Kamil, Ati. (2012, Januari 15). ’Gelombang Korea’ Menerjang Dunia. Kompas:1,11
Artikel Internet Anonim. (2012). Barack Obama: Tidak Heran K-Pop Begitu Dikenal Dunia. Dalam http://www.kapanlagi.com/showbiz/asian-star/barack-obama-tidakheran-k-pop-begitu-dikenal-dunia.html diunduh pada 16 April 2012 pukul 17.30 WIB Anonim. (2013). Girls’ Generation “I Got a Boy” 20 Million Views in 6 DaysNew Record in Korea. Dalam http://english.kofice.or.kr/a00_music/a10_news_detail.asp?seq=182 &page =1&me diunduh pada 17 Maret 2013 pukul 19.30 WIB Anonim. (2011). YouTube Bakal Buat Channel Spesial K-Pop.. Dalam http://www.metrotvnews.com/read/news/2011/11/10/71242/YouTubeBakal- Buat-Channel-Spesial-K-Pop/13 diunduh pada 17 November 2011 pukul 10.17 WIB Anonim.
Athena. Dalam http://www.greekmythology.com/Olympians/ Athena/athena.html di unduh pada 19 Mei 2013 pukul 23.32 WIB
Anonim.
Korean IT News. Dalam http://english.etnews.com/news/detail.html? id=201102250008 diunduh pada 17 November 2011 pukul 17.00 WIB
Anonim.
List of Best Selling Girl Groups. Dalam http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_bestselling_girl_groups#Best- selling_girl_groups diunduh pada 16 Maret 2013 pukul 21.09 WIB
Anonim. Main Statistics of Korea’s Content Market. Dalam http://www.kocca.kr/eng/industry/trend/index.html diunduh pada 21 Oktober 2011 pukul 10.55 WIB Anonim. http://beverlyhillshoneys.com/marilyn-monroe-madonna-smokingcigarettemodel-supermodel-lindsay-hancock/ diunduh pada 2 April 2013 pukul 21.34 WIB Ashayagachat, Achara. (2011). Riding the ‘K Wave’: Seoul Sees Role for its Well-known Pop Culture to Extend Cooperation in East Asia. Dalam http://www.bangkokpost.com/business/economics/261701/riding-the-
241
k-wave diunduh pada 21 Oktober 2011 pukul 09.45 WIB
242
Chong-un, Cho. (2012). KBS drama ‘Dream High’ nominated for European award. Dalam http://www.thejakartapost.com/news/2012/02/29/kbs-dramadream-high-nominated-european-award.html diunduh pada 21 Maret 2012 pukul 21.53 WIB Dixon, Tom. (2011). The Journey of Cultural Globalization in Korean Pop Music. Dalam http://www.e-ir.info/2011/08/17/the-journey-of-culturalglobalization-in-korean-pop-music/ diunduh pada 9 Maret 2012 pukul 11.05 WIB DSPKara. (2012). KARA (카라) – Pandora (판도라) Music Video. Dalam http://www.youtube.com/watch?v=g0XpNvLWimo/ diunduh pada 27 Desember 2012 pukul 12.50 WIB Ja-Young, Yoon. (2011). YouTobe Taking Hallyu on International Ride. The Korea Times. Dalam http://www.Koreatimes.co.kr/www/news/biz/2011/ 02/123_81039.ht ml diunduh pada 14 November 2011 pukul 22.12 WIB K., Rini. (2012). Korea Selatan Ternyata Lebih Kecil daripada Pulau Jawa. dalam http://edsus.tempo.co/kontenberita/musik/2012/12/02/445381/42/Korea-Selatan-Ternyata-Lebih-Kecildari-Pulau-Jawa diunduh pada 5 Desember 2012 pukul 16.49 WIB. Korean Creative Content Agency (KOCCA). Dalam www.kocca.kr diunduh pada 21 Oktober 2011 pukul 10.00 WIB Korean Foundation for International Culture Exchange (KOFICE). Dalam www.kofice.co.kr diunduh pada 21 Oktober 2011 pukul 10.15 WIB Purwanto, Didik dan Tri Wahono. (2012). Mari Pangestu: I-Pop Harus Saingi KPop. Dalam http://oase.kompas.com/read/2012/04/30/14332957/Mari.Pangestu.Pop.Har us.Saingi.KPop diunduh pada 11 Mei 2012 pukul 15.00 WIB Rukardi, Fahmi ZM. (2006). Inul Ngebor Simpang Lima. Dalam http://www.suaramerdeka.com/harian/0603/05/nas06.htm diunduh pada 18 April 2013 pukul 23.03 WIB SMT`OWN. (2011). Girls’ Generation 소녀시대_The Boys_Music Video. Dalam http://www.youtube.com/watch?v=6pA_Tou-DPI/ diunduh pada 27 Desember 2012 pukul 12.37 WIB Young Jean Lee’s Theater Company Untitled Feminist Show. (2013). Dalam http://www.mcachicago.org/performances/now/all/2013/891 diundu h pada 2 April 2013 pukul 22.00 WIB
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1. MUSIC VIDEO “THE BOYS”
Tampilan MV “The Boys” dalam situs www.youtube.com (diunduh pada 27 Desember 2012 pukul 12.37 WIB)
Nama Girlband
: Girls’ Generation a.k.a SNSD
Judul MV
: The Boys
Durasi
: 5’19” (319 detik)
Sumber Data
: http://www.youtube.com/watch?v=6pA_Tou-DPI diunduh pada 27 Desember 2012 pukul 12.37 WIB
Tanggal Rilis
: 19 Oktober 2011
Jumlah Views
: 70.386.942 views (per 28 Maret 2013)
Produser Song-writer & composer Performativity Character
: SM Entertainment : Yoo Young-Jin : Taeyeon, Jessica, Sunny, Tiffany, Hyoyeon, Yuri, Sooyoung, Yoona, dan Seohyun
All Scene (shot /sec)
Angle
Frog angle
00.00.01
00.00.02
00.00.05
Lyrics (Korean Romanization) / Nomor Syair
Unidentified Tampak sebelah kaki perempuan mengenakan highheel
-----
[Yoona] Berjalan, gaun putihnya menyapu lantai yang bersalju
-----
00.00.03
Eye level angle
00.00.04
Performance Character/Activity
00.00.06
00.00.07
00.00.10
00.00.13
00.00.16
00.00.19
00.00.08
00.00.11
00.00.14
00.00.17
00.00.20
Eye level angle
[Yoona] Berjalan mendekati ornamen batu hitam yang dihias menyerupai pintu
-----
Eye level angle
[Yoona] melihat ke bawah
-----
High Angle
[Yoona] melihat sebuah bongkahan batu hitam di dasar lantai, ia berjongkok
-----
High angle
[Yoona] mengambil batu tersebut dengan tangan kiri
-----
Eye level angle
[Yoona] berdiri dengan batu masih digenggam di tangan
-----
00.00.09
00.00.12
00.00.15
00.00.18
00.00.21
[Yoona] menatap batu tersebut; perlahan batu terangkat ke atas semacam tertarik gaya gravitasi
-----
[Yoona] menatap lurus ke arah batu yang sejajar dengan matanya, di permukaan batu terlihat sosok seorang perempuan. Pikiran Yoona seolah ditarik ke dalam batu
-----
Eye level angle; Fade in
[Yoona] Yoona dalam kostum yang berbeda, ia menadahkan tangan.
-----
Eye level angle; Fade out
[Yoona] menadahkan tangan
-----
Frog angle; eye level angle
[Yoona] berjalan, tampak Tiffany melirik dari belakang Yoona dan berlalu
-----
Eye level angle
00.00.22
00.00.23
00.00.24 Eye level angle; muncul scene flashfoward, MV langsung berganti setting
00.00.25
00.00.28
00.00.31
00.00.34
00.00.26
00.00.29
00.00.32
00.00.35
00.00.27
00.00.30
00.00.33
00.00.36
00.00.37
00.00.40
00.00.43
00.00.46
00.00.49
00.00.38
00.00.41
00.00.44
00.00.47
00.00.50
Eye level angle
Yuri muncul bersamaan dengan Tiffany; di sisi yang berbeda terlihat SeoHyun dengan arah yang berlawanan dengan Yoona
-----
Eye level angle; Scene berputar (sudut kamera tetap pada posisi awal)
[Yoona; Yuri; SeoHyun; Tiffany] keempat orang berjalan membentuk lingkaran, scene membeku memberikan kesan perlahan
-----
Eye level angle; Scene berputa
[Yoona; Yuri; SeoHyun; Tiffany] keempat orang berjalan membentuk lingkaran, scene membeku memberikan kesan perlahan
-----
Eye level angle; Scene berputar
[Yoona; Yuri; SeoHyun; Tiffany] keempat orang berjalan membentuk lingkaran, scene membeku memberikan kesan perlahan
-----
Low Angle; Eye level angle
[Tiffany] kamera menyorot bagian paha Tiffany yg mengenakan mini dress [SooYoung] melirik ke arah kamera
-----
00.00.39
00.00.42
00.00.45
00.00.48
00.00.51
00.00.52
00.00.55
00.00.58
00.01.01
00.01.04
00.00.53
00.00.56
00.00.59
00.01.02
00.01.05
Eye level angle
[Taeyon; Sunny] melirik ke arah kamera [ Jessica] memegang seekor burung merpati putih
-----
Eye level angle; dissolve
[Jessica] melepas burung merpati tersebut [Jessica; Taeyon; Sunny; SooYoung; HyoYeon] membentuk lingkaran, masingmasing menghadap ke bagian luar lingkaran
-----
Eye level angle; Scene berputar
[Jessica; Taeyon; Sunny; SooYoung; HyoYeon] kamera berputar mengitari
-----
Eye level angle; Scene berputar
[Jessica; Taeyon; Sunny; SooYoung; HyoYeon] kamera berputar mengitari, tampak burung merpati putih sudah terbang
-----
Eye level angle
Merpati terbang
-----
00.00.54
00.00.57
00.01.00
00.01.03
00.01.06
Frog angle
00.01.07
00.01.08
The boys (6x) Out ...
00.01.09
Frog angle
00.01.10
00.01.11
00.01.16
00.01.19
00.01.14
00.01.17
00.01.20
[All] membentuk formasi
00.01.12
Eye level angle; Frog angle 00.01.13
[All] membentuk formasi
[All] menari
00.01.15
Eye level angle
[All; Yoona] menari
Eye level angle; high angle
[All; Jessica] menari
00.01.18
00.01.21
[All] Keobi naeso shijakjocha an hae bwaht-damyeon Keudaen tudeoldaeji mara jom
Eye level angle
00.01.22
00.01.23
00.01.24
[Jessica] GG
Eye level angle; low angle 00.01.25
00.01.28
00.01.31
00.01.26
00.01.29
00.01.32
00.01.35
[All] menari
00.01.27
[All] Jujeohamyeon gihwehneun modu neoreul bikyeo-ga Gaseum pyeogo nawahbwahra jom [Jessica] T R X
High angle; Eye level angle
[Taeyeon] close up [All] menari
Eye level angle
[Taeyeon] close up [All] menari
00.01.30
[All] B-Bring the boys out
00.01.33
Eye level angle; low angle; high angle 00.01.34
[All] menari
00.01.36
[All] menari
[Tiffany] Yeah~ You know~
low angle
00.01.37
00.01.40
00.01.43
00.01.38
00.01.41
00.01.44
[All] menari
00.01.39
Eye level angle
[Tiffany] close up [all] menari
Eye level angle
[All; Tiffany] menari
Eye level angle; Low Angle
[All] menari [SeoHyun] close up
[All] B-Bring the boys out
00.01.42
00.01.45
[Tiffany] We bring the boys out (x2) Yeah~ [All] B-Bring the boys out
00.01.46
00.01.47
00.01.48
Eye level angle
00.01.49
00.01.50
00.01.51
[Taeyeon] close up [all] menari
[Taeyeon] Sunrie majchwo saneun geot Neon gildeulyeojyeo beoryeonni Kwaehn-chanh-ni
00.01.52
00.01.55
00.01.53
00.01.56
Low angle; high angle
[All; Taeyeon] menari
Eye level angle
[Tiffany; Yoona] close up
00.01.54
00.01.58
00.01.59
[Yoona] Amdamhan sesangi geudael junukdeul-ke Mandeuni
00.01.57
Low angle; Eye level angle
[Tiffany] Get up
[All; Yoona] menari [Tiffany] That’s funny
00.02.00 [Yoona] Kwaehn-chanh-ni
00.02.01
00.02.04
00.02.02
00.02.05
Eye level angle; low angle
[All; Yoona] menari
Eye level angle; low angle
[Yoona; Sunny] close up [All] meanri
00.02.03
00.02.06
[Sunny] Keunyang bol suga eop-seo nan
Budijhigo kkaejyeodo myeoch beonigo i-reona
00.02.07
00.02.10
00.02.13
00.02.08
00.02.11
00.02.14
Eye level angle; low angle
[All; Sunny] menari
Low angle; eye level angle
[All; Sunny] menari
High angle; eye level angle; low ang
[All] menari
00.02.09
00.02.12
00.02.15
Eye level angle
00.02.16
00.02.17
00.02.18
Eye level angle; low angle 00.02.19
00.02.20
[All; SeoHyun] menari
00.02.21
[All; SeoHyun] close up / menari
[Seohyun] Nal-karobge meotjike i-reul naekoya Maldeon ne yaseongeul boyeojwo My boy...
00.02.22
00.02.25.00
00.02.23
00.02.25.05
Low angle; eye level angle
[All; Yuri] menari
Eye level angle; high angle
[All; HyoYeon; Yuri] close up/ menari
00.02.24
00.02.26
High angle; low angle 000.02.27
00.02.28
00.02.31
00.02.34
[All; Yuri; Yoona] menari
[All] Girl’s generation make you feel the heat
[Yuri] Jeon sekye-ga neoreul jurnokhae
00.02.32
Low angle; high angle; eye level angle 00.02.33
[All] menari
00.02.29
Low angle; eye level angle 00.02.30
[All] B-bring the boys out
00.02.35
[All] B-bring the boys out [All; SooYoong] menari
Low angle; eye level angle 00.02.36
00.02.39
00.02.42
00.02.45
00.02.37
00.02.40
00.02.43
00.02.46
00.02.38
Low angle; eye level angle
[All; Jessica] menari
Low angle; eye level angle
[All; Jessica] menari
Low angle; eye level angle
[All; Jessica] menari
00.02.49
[Sooyoung] Wiipungdo dangdang-haji ppyeossokbu-teo Neon wonrae meotjyeosseo You know the girls [All] B-bring the boys out
00.02.41
00.02.44
00.02.47
Eye level angle
00.02.48
[All; SooYoong] menari
00.02.50
[Jessica; HyoYeon] close up
[Jessica] Heunteu-lli-ji mal-go keudaen jaril jikyeo Wonrae jeonjaeng gateun salmeul saneun inkaninkeol
Neoneun waeh
[Sunny] Yes fly high Eye level angle
00.02.51
00.02.52
[Jessica] Beol-sseo waeh
00.02.53
Eye level angle; low angle 00.02.54
00.02.57
00.03.00
00.02.55
00.02.58
00.03.01
00.03.04
[Yuri] close up [All] menari
[Sunny] You fly high
00.02.56
Eye level angle
[Sunny; SeoHyun] close up
Eye level angle
[SeoHyun] close up
[Jessica] Po—gihae Oh neon meo-reot-janha
00.02.59
00.03.02
Low angle; Eye level angle 00.03.03
[Jessica; Sunny; Yuri] close up
00.03.05
[All] menari [SeoHyun; Tiffany] close uo
[Seohyun] Neoye jimnyeomeul boyeojwo jikureul jom Heundeu-reojwo moduga neol bol su itke
00.03.06
00.03.09
00.03.07
00.03.10
Eye level angle
[All; Tiffany; SooYoung; TaeYeon] menari
Eye level angle
[Yoona] close up [Taeyeon] menari di depan, yang lain mengikuti di belakang
00.03.08
00.03.11
Eye level angle
00.03.12
00.03.15
00.03.18
00.03.13
00.03.16
00.03.19
[SooYoung; TaeYeon] close up
[Taeyeon] Yeoksaneun saerob-ge sseuyeojike twehl keol Juwinkongeun baro neo baro neo
00.03.14
Eye level angle; low angle
[Taeyeon] close up [all] menari
Eye level angle; low angle
[Taeyeon] close up [all] menari
00.03.17
00.03.20
[All] B-bring the boys out
00.03.21
00.03.24
00.03.27
00.03.30
00.03.33
00.03.22
00.03.25
00.03.28
00.03.31
00.03.34
High angle; eye level angle; low angle
[All] menari
Eye level angle; low angle
[All] menari dipimpin Tiffany
[All] Girl’s generation make you feel the heat
00.03.23
[Tiffany] Jeon sekye-ga neoreul jurnokhae
00.03.26
Eye level angle; low angle
[All] menari dipimpin HyoYeon
Eye level angle; low angle
[All] menari dipimpin HyoYeon
Eye level angle; low angle
[All] menari dipimpin HyoYeon
[All] B-bring the boys out
00.03.29
00.03.32
00.03.35
[Hyoyeon] Wiipungdo dangdang-haji ppyeossokbu-teo Neon wonrae metjyeosseo You know the girls
[All] B-Bring the boys out
Eye level angle; low angle 00.03.36
00.03.39
00.03.42
00.03.45
00.03.48
00.03.37
00.03.40
00.03.43
00.03.46
00.03.49
[All] menari dipimpin Yoona
00.03.38
Eye level angle
[All] menari, dipimpin Yuri
Eye level angle
[All] menari, dipimpin Yuri
[All] Girls bring the boys out
00.03.41
[Yuri] I wanna dance right now Naega ikkeu-reo jul-ke come out
00.03.44
Eye level angle
[All] menari dipimpin Yoona
Eye level angle
[All] menari, dipimpin SeoHyun
00.03.47
00.03.50
[Yoona] Sesang namjadeu-riyeo nan Number 1 jihyereul juneun Athena Ccheck this out
Eye level angle
00.03.51
00.03.52
[All] menari, dipimpin Yuri
[Hyoyeon] Jeul-kyeobwahra, dojeonye seolle-im Imi modu kajin sesangye namja
00.03.53
Eye level angle
[All] menari
[Sooyoung] Keudaero chuk ganeun geoya keep up Girls’ generation, we don’t stop
00.03.54
00.03.57
00.04.00
00.04.03
00.03.55
00.03.58
00.04.01
00.04.04
00.03.56
Eye level angle
[All] menari [Yoona] close up
Eye level angle
[All] menari
Eye level angle; high angle
[All] menari
[All] Girls bring the boys out
00.03.59
00.04.02
00.04.05
[Jessica] Makhyeobeoryeot-deon miraega anboyeot-deon mirae-ga ne nunape pyeolcheojyeo
00.04.06
00.04.09
00.04.07
00.04.10
Eye level angle; low angle
[All] menari [Jessica] close up
Low angle; Eye level angle
[All] menari [Taeyeon; Sunny] close up
00.04.08
00.04.11
Eye level angle; low angle 00.04.12
00.04.13
00.04.14
Eye level angle
00.04.15
00.04.16
00.04.19
[All] menari [Taeyeon] close up
00.04.17
Eye level angle; high angle 00.04.18
[All] menari, Yoona memimpin
[Taeyeon] Cheomcheom deo wahnbyeokhan ne moseube machi Nan ppallyeodeul keot kata, my heart...
00.04.20
[Taeyeon] close up [all] menari, Sunny memimpin
[All] Keobi naseo shijakjocha an hae bwahtdamyeon Keudaen tudeoldaeji mara jom
Eye level angle
00.04.21
00.04.24
00.04.27
00.04.30
00.04.33
00.04.22
00.04.25
00.04.28
00.04.31
00.04.34
[Yoona] close up
00.04.23
Eye level angle; low angle; high angle
[Taeyeon] close up [all] menari
Eye level angle
[SeoHyun] close up [All] menari
[All/Taeyeon] Just bring the boys out
00.04.26
[All/Seohyun] Jujeohamyeon gihwehneun modu neoreul bikyeo-ga
00.04.29
Eye level angle; high angle
[SeoHyun; Yuri] close up
Eye level angle; high level angle; low angle
[Yuri] close up [All] menari
Gaseum pyeogo nawah bwahra jom
00.04.32
00.04.35
[All] B-Bring the boys out
Eye level angle
00.04.36
00.04.37
[Yoona] close up [All] menari [Jessica] Cause the
00.04.38
[All/Jessica] Low angle; Eye level angle 00.04.39
00.04.40
00.04.43
00.04.46
[All] Girl’s generation make’em feel the heat
00.04.49
[All] menari, Sunny memimpin
00.04.50
[Sunny] Jeon sekye-ga uril jurno-khae [All] B-Bring the boys out
00.04.47
Eye level angle; low level angle 00.04.48
[All] menari
00.04.44
Eye level angle
00.04.45
Girls bring the boys out (x4)
00.04.41
High level angle
00.04.42
[All] menari [Jessica] close up
[All] menari, Sunny memimpin [Tiffany] close up
Eye level angle
00.04.51
00.04.52
00.04.53
Low angle
00.04.54
00.04.55
00.05.00
00.05.03
00.04.58
00.05.01
00.05.04
[All] menari, Tiffany memimpin
00.04.56
[Tiffany] Sesangeurikkeul namja Meotjin yeojadeul yeo-gi moyeora You know the girls [All] B-Bring the boys out
Low angle
00.04.57
[All] menari, Tiffany memimpin
[All] membentuk formasi, dipimpin oleh Jessica dan Tiffany
00.04.59
Eye level angle; fade out
[---]
---
Eye level angle
[---]
---
00.05.02
00.05.05
00.05.06
00.05.09
00.05.07
00.05.10
Eye level angle; fade out
[---]
---
Eye level angle
[---]
---
[All] membentuk formasi, di atas muncul caption “GIRLS’ GENERATION ‘THE BOYS’”
---
Eye level angle
[All]
---
Eye level angle
[All]
---
00.05.08
00.05.11
Eye level angle; fade in fade out 00.05.12
00.05.15
00.05.18
00.05.13
00.05.16
00.05.19
00.05.14
00.05.17
LAMPIRAN 2. LIRIK “THE BOYS” (diterjemahkan dari Hangeul ke dalam Bahasa Inggris)
Plot
[All]
Lirik
Syair
The boys, the boys, the boys, the boys, the boys, the boys, out.
[1]
If you haven’t started yet because you’re scared,
[2]
Verse 1
Then stop complaining! If you hesistate,
Ket.
[3]
Opportunities will pass by you, So open your heart and come out! [All]
Bring the boys out
[4]
[Tiffany]
Yeah~ You know~
[5]
[All]
Bring the boys out
[6]
We bring the boys out
[7]
[Tiffany]
We bring the boys out Yeah~ [All]
[Taeyeon]
Bring the boys out
[8]
Living by reason, has it grown on you?
[9]
Are you alright? [Tiffany]
2
Get up
[10]
Is the dark world making you lose strength?
[11]
That’s funny
[12]
[Yoona]
Are you alright?
[13]
[Sunny]
I can’t stand here and watch,
[14]
[Yoona] [Tiffany]
Verse
Even if it clashes and breaks numerous times, get up! [Seohyun]
Show me your wild side that is sharp and cool, my boy
[15]
[All]
Bring the boys out
[16]
[All]
Girl’s generation make you feel the heat
[17]
The entire world is focusing on you
[18]
Bring the boys out
[19]
You are majestic and strong,
[20]
[Yuri] [All] [Sooyoung]
Riffs
You were always cool, You know the girls [All]
[Jessica]
[21]
Bring the boys out
Don’t be shaken and just protect your place,
[22]
We are all humans living in a war-like life,
3
Why, you?
[23]
[Sunny]
Yes fly high
[24]
[Jessica]
Why already?
[25]
[Sunny]
You fly high
[26]
[Jessica]
Just give up (oh) you’re not ready
[27]
Show me your tenacity,
[28]
[Seohyun]
Verse
Shake the earth so that everyone can see you, [Taeyeon]
History will be written anew,
[29]
The main character is you, you! [All]
Bring the boys out
[30]
[All]
Girl’s generation make you feel the heat
[31]
The entire world is focusing on you,
[32]
Bring the boys out
[33]
You are majestic and strong,
[34]
[Tiffany] [All] [Hyoyeon]
Riffs
You were always cool, You know the girls
[35]
[All]
Bring the boys out
[All]
Girls bring the boys out!
[36]
Verse
[Yuri]
I wanna dance right now
[37]
Rap
I will lead you, come out! [Yoona]
The boys of the world,
[38]
I am Athena, The one who gives the number one wisdom, Check this out! [Hyoyeon]
Enjoy the excitement of the challenge,
[39]
You already have everything in this world, [Sooyoung]
Just keep going like that, Keep up,
[40]
[All]
[Jessica]
Girls’ Generation we don’t stop
[41]
Bring the boys out
[42]
The once clogged up future,
[43]
4
The once imperceptible future is spreading before your eyes, [Taeyeon]
I think I’m falling more and more for you,
Verse
[44]
Who is becoming more and more perfect, My heart..
[All]
If you haven’t started yet because you’re scared,
[45] Verse
Then stop complaining!
1
[All/Taeyeon]
Just bring the boys out
[46]
[All/Seohyun]
If you hesistate,
[47]
Opportunities will pass by you,
[All]
[Jessica] [All/Jessica]
So open your heart and come out!
[48]
Bring the boys out
[49]
Cause the
[50]
Bridge
Girls bring the boys out Girls bring the boys out Girls bring the boys out Girls bring the boys out
[All] [Sunny] [All] [Tiffany]
Girl’s generation make’em feel the heat
[51]
The entire world is focusing on you,
[52]
Bring the boys out
[53]
You are majestic and strong,
[54]
You were always cool, You know the girls [All]
Bring the boys out
Sumber : data yang diolah
[55]
Riffs
LAMPIRAN 3. MUSIC VIDEO “PANDORA”
Tampilan MV “Pandora” dalam situs www.youtube.com (diunduh pada 27 Desember 2012 pukul 12.50 WIB)
Nama Girlband
: KARA
Judul MV
: Pandora
Durasi
: 3’29” (209 sec)
Sumber Data
: http://www.youtube.com/watch?v=g0XpNvLWimo diunduh pada 27 Desember 2012 pukul 12.50 WIB
Tanggal Rilis
: 21 Agustus 2012
Jumlah Views
: 15.050.004 views (per 2 April 2013)
Produser
: DSP Media
Song-writer & composer
: Han Jae Ho; Kim Seung Soo
Performativity Character
: Park Gyuri, Han Seungyeon, Nicole Jung, Goo Hara, dan Kang Jiyoung
Performance Angle
All Scene (Snapshot /sec)
00.00.01
00.00.04
00.00.02
00.00.05
Performance Actor/Activity
Lyrics
High angle; Eye level angle
Laki-laki membawa kota
---
Eye level angle
Tampilan sebuah lorong kosong
---
00.00.03
00.00.06
00.00.07
00.00.10
00.00.13
00.00.16
00.00.19
00.00.08
00.00.11
00.00.14
00.00.17
00.00.20
Eye level angle
Laki-laki melirik ke kanan
---
Eye level angle; high angle
Laki-laki membuka kotak
---
High angle; eye level angle
Laki-laki membuka kotak
---
Eye level angle; high angle
Laki-laki membuka kotak
---
Eye level angle
Kotak pandora dibuka; Scene berganti memperlihatkan mata Hara secara close up
---
00.00.09
00.00.12
00.00.15
00.00.18
00.00.21
00.00.22
00.00.25
00.00.23
00.00.26
Eye level angle; low angle
[all] menari
Low angle; eye level angle
[all; Hara] menari
00.00.24
00.00.29
00.00.32
00.00.35
[all; Jiyoung, Nicole] menari
[All] Up and up ah ah~
[all;Gyuri] menari
---
00.00.33
Eye level angle
00.00.34
Up and up ah ah~
00.00.30
Low angle
00.00.31
[All]
00.00.27
Eye level angle
00.00.28
---
00.00.36
[all] menari [Jiyoung] berdiri di dekat box telepon [Jiyoung] close up
---
[Jiyoung] Eye level angle; low angle
[Jiyoung] close up
Kamchul su eom-neun geoya Ni nunbichi heundeullyeo
00.00.37
00.00.38
00.00.39 [Nicole] Eye level angle
[Nicole] close up
Myohan shiseon so-ge Shimjangi ttwiigo isseo
00.00.40
00.00.41
00.00.42
High angle; low angle
00.00.43
00.00.44
00.00.47
00.00.50
[all] menari [Nicole] close up
Ja-geu-khae crush crush
00.00.48
Eye level angle
00.00.49
[Hara] Keochin sum sori-ga chokka-geul
00.00.45
Eye level angle
00.00.46
[Hara] close up keluar dari mobil sport
00.00.51
[Seungyeon] close up
[Seungyeon] Jamkkan— man geo-gie meomchwoseo Ttokbaro barabwahbwah Sumkyeo-on jinshi-reurije da
boyeojul-ke
00.00.52
00.00.55
00.00.58
00.01.01
00.00.53
00.00.56
00.00.59
00.01.02
Eye level angle; low angle
[Seungyeon] close up [all] menari
High angle; eye level angle
[Seungyeon; Gyuri] close up
High angle
[Gyuri] close up
Low angle; eye level angle
[all] menari [Gyuri; Seungyeon] close up
00.00.54
00.00.57
[Gyuri] Ja nae mameul jababwah
00.01.00
00.01.03
[All] Neukkyebwah close to you and close to you
Low angle; eye level angle 00.01.04
00.01.05
00.01.06
[All; Hara] menari
00.01.07
00.01.10
00.01.13
00.01.16
00.01.19
00.01.08
00.01.11
00.01.14
00.01.17
00.01.20
Eye level angle; low angle
[All; Nicole] menari
Eye level angle; low angle
[Jiyoung] close up [all] menari
Modeunkeol da jul-ke Naega boini
00.01.09
close to me and close to me
00.01.12
Kajyeo-ga nal Eye level angle; low angle
[Seungyeon] close up [all] menari
Eye level angle; high angle
[Seungyeon] close up [all] menari [Jiyoung] close up
Eye level angle; low angle
[Hara; nicole; Jiyoung] menari
00.01.15
[All] Up and up ah ah~
00.01.18
00.01.21
[All] Up and up ah ah~
00.01.22
00.01.25
00.01.28
00.01.23
00.01.26
00.01.29
[All]
Eye level angle
[Seungyeon; Hara; jiyoung] menari
Low angle; Eye level angle
[all] menari
---
Eye level angle
[all] menari [Nicole; Hara; Jiyoung]
---
Eye level angle; high angle
[all] menari [Gyuri] close up
Up and up ah ah~
00.01.24
00.01.27
00.01.30 [Gyuri]
00.01.31
00.01.32
Yeo-gi-ga kkeuchi anya Neon ajing moreul keoya
00.01.33 [Seungyeon] Eye level angle
[Seungyeon] close up
Ajing nae dae-hae Bando an boyeojwosseo
00.01.34
00.01.35
00.01.36
Eye level angle; low angle 00.01.37
00.01.38
[Seungyeon] close up [all] menari [Hara]
00.01.39
Nae sogane i-nneun bimi-reul Umkyeojwo crush crush
00.01.40
00.01.43
00.01.46
00.01.49
00.01.41
00.01.44
00.01.47
00.01.50
Eye level angle
[all] menari [Hara; Nicole] close up
Eye level angle
[all] menari [Nicole; Jiyoung] close up
00.01.42
00.01.45
Low angle, high angle
[all] menari [Hara; Jiyoung] close up
Eye level angle; high angle
[all] menari [Jiyoung] close up
00.01.48
00.01.51
[Jiyoung] Eotteon-i eoseolpeun pyeonkyeone Keommeokko kaji mara Seodbureun pandane nae soneul nohchijima.. Ja
00.01.52
00.01.53
Eye level angle
[Jiyoung; Nicole] close up [all] menari
Low angle; eye level angle
[Gyuri; Hara] close up [all] menari
[Nicole] Nae jeonburarabwah
00.01.54
[All] 00.01.55
00.01.56
00.01.57
Neukkyebwah close to you and close to you
00.01.58
00.01.59
Eye level angle
[all] menari [Jiyoung; Nicole] close up
Eye level angle
[all] menari [Seungyeon] close up
00.02.00
[all] Modeunkeol da jul-ke
00.02.01
00.02.02
00.02.03
Nae-ga boini close to me and close to me Eye level angle
00.02.04
00.02.05
00.02.06
[Gyuri] close up [all] menari
Kajyeo-ga nal
00.02.07
00.02.10
00.02.13
00.02.16
00.02.19
00.02.08
00.02.11
00.02.14
00.02.17
00.02.20
Eye level angle
[Hara; Seungyeon] close up [all] menari
Eye level angle
[all] menari [Jiyoung] close up
Eye level angle
[Hara] close up [all] menari
Eye level angle
[Hara; Gyuri; Jiyoung] close up
Eye level angle
[all] menari [Gyuri] close up
00.02.09
[All] Up and up ah ah~
00.02.12
[All] Up and up ah ah~
00.02.15
[All] Up and up ah ah~
00.02.18
00.02.21
---
00.02.22
00.02.25
00.02.23
00.02.26
High angle; eye level angle
[Nicole; Jiyoung] close up
Eye level angle
[Jiyoung] close up
---
00.02.24
[Jiyoung] Keurae bwaht-ji geureom dwaeht-ji
00.02.27
Iboda eotteohke mwol deohae Low angle; eye level angle 00.02.28
00.02.29
[all] menari [Jiyoung] close up
00.02.30
[Hara] Naega da-gakajanha ja oh kakka-i Deo jo-geumman deo kakka-i
Eye level angle
00.02.31
00.02.32
[Hara] close up [all] menari [nicole] close up
00.02.33 [Nicole] Stress neon da jwodo mothae Low angle; top angle
00.02.34
00.02.35
00.02.36
[all] menari [Hara; Nicole] close up
Mwol gidae-hani next time? Waeh odo kado mothae bingbing
00.02.37
00.02.40
00.02.43
00.02.46
00.02.49
00.02.38
00.02.41
00.02.44
00.02.47
00.02.50
Eye level angle; High angle; low angle
[nicole] close up [all] menari
low angle
[all] menari
Shi-gani ka-unteu da-un chaekkag chaekkak
00.02.39
[Gyuri]
00.02.42
Han-chameul gidaryeosseo
low angle
[all] menari
Eye level angle; high angle
[Seungyeon] close up
Eye level angle; low angle
[Seungyeon] close up
00.02.45
[Nicole] Neoigil baraewah-sseo
00.02.48
00.02.51
[Seungyeon] Wahnbyeokhagil bi-reo
00.02.52
00.02.55
00.02.53
00.02.56
Eye level angle
Kotak
Eye level angle
[Hara; Seungyeon] close up
00.02.54
[All]
00.02.57
Neukkyebwah close to you and Low angle; Eye level angle 00.02.58
00.02.59
[all] menari [Hara] close up
close to you Modeunkeol da jul-ke Nae-
00.03.00 ga boini
00.03.01
00.03.04
00.03.02
00.03.05
Eye level angle; low angle
[all] menari
Low angle, eye level angle
[all] menari [Gyuri] close up
00.03.03
00.03.06
[all] close to me and close to me Kajyeoga nal
00.03.07
00.03.10
00.03.13
00.03.16
00.03.19
00.03.08
00.03.11
00.03.14
00.03.17
00.03.20
Eye level angle
[all] menari [Jiyoung] close up
Eye level angle
[all] menari [Seungyeon] close up
Eye level angle; low angle
[all] menari [Gyuri] close up
Eye level angle
[all] menari [Hara; Nicole] close up
Eye level angle; high angle
[Nicole; Jiyoung; HAra] close up
00.03.09
[All] Up and up ah ah~
00.03.12
[All] Up and up ah ah~
00.03.15
[All] Up and up ah ah~
00.03.18
00.03.21
---
00.03.22
00.03.25
00.03.23
00.03.26
Low angle; frog angle
[all] duduk membentuk formasi
---
end
end
---
00.03.24
00.03.27
LAMPIRAN 4. LIRIK “PANDORA” (diterjemahkan dari Hangeul ke dalam Bahasa Inggris)
Plot
Lirik
Syair
Ket.
[1]
Intro
You can’t hide it,
[2]
Verse
Your eyes are shaking,
[3]
1
Your heart is beating,
[4]
Because I’m strangely looking at you,
[5]
The rough breaths stimulates your sense of touch,
[6]
Crush crush
[7]
Hold on,
[8]
Stop right there and look at me,
[9]
I will show you all of my hidden truths now,
[10]
Capture my heart,
[11]
Feel me
[12]
Close to you and close to you,
[13]
I will give you everything,
[14]
Do you see me?
[15]
Close to me and close to me,
[16]
Take me up and up ah ah~
[17]
Up and up ah ah~ Up and up ah ah~ [Jiyoung]
[Nicole]
[Hara]
[Seungyeon]
[Gyuri]
[All]
Riffs
up and up ah ah~ up and up ah ah~ [Gyuri]
[Seungyeon] [Hara]
[Jiyoung]
This isn’t the end,
[18]
Verse
You still don’t know,
[19]
2
I haven’t even shown you half of me,
[20]
Move me and my secrets inside,
[21]
Crush crush
[22]
How is it?
[23]
Don’t scare yourself with your clumsy judgement and run away,
[24]
[Nicole] [All]
Don’t let go of my hand because of your unskilled judgement,
[25]
Now get to know my everything,
[26]
Feel me
[27]
Close to you and close to you,
[28]
I will give you everything,
[29]
Do you see me?
[30]
Close to me and close to me,
[31]
Take me up and up ah ah~
[32]
Riffs
up and up ah ah~ up and up ah ah~ [Jiyoung]
[Nicole]
Did you see?
[33]
Then that’s that, what more can I do?
[34]
I am approaching you, closer, a bit closer,
[35]
Stress, I give you everything but you still can’t do it,
[36]
What do you expect?
[37]
Next time You can’t come,
[38]
You can’t leave,
[39]
You just go round and round,
[40]
The countdown is starting, time is ticking
[41]
[Gyuri] I waited for a while, [Hara] [Seungyeon]
[42]
I hoped it was you,
[43]
I pray that it is perfect,
[44]
[All] Feel me,
[45]
Close to you and close to you,
[46]
I will give you everything,
[47]
Do you see me?
[48]
Close to me and close to me,
[49]
Take me up and up ah ah~
[50]
up and up ah ah~ up and up ah ah~ Sumber : data yang diolah
Rap
Bridge
Riffs