Ardianto
REORIENTASI VISI PEMBELAJARAN DAN BEBERAPA AGENDA STRATEGIS PENDIDIKAN DI SEKOLAH Oleh : Ardianto Abstraksi Pemberdayaan pendidikan dalam bentuknya yang lebih konkrit adalah mencakup redefinisi sistim pembelajaran dan proses pendidikan di sekolah. Mempertahankan paradigma lama menjadikan pendidikan kita tetap pada kondisinya yang tidak berdaya dalam mengatasi permasalahan hidup masyarakat yang multikompleks. Pembelajaran kontekstual--yang lebih beroientasi pada konsep learning dan bukannya teaching--dan proses pendidikan partisipatifemansipatoris dari komunitas pendidikan (guru, siswa, orang tua, dan anggota masyarakat) yang dinamis dan sinergis antara satu dengan yang lainnya merupakan langkah prospektif pendidikan kita, kini dan di masa depan. Kata kunci: Visi, Pembelajaran, Pendidikan
Pendahuluan Semua pihak mutlak setuju bahwa pendidikan sangat penting bagi ikhtiar membangun manusia berkualitas, yang ditandai dengan peningkatan kecerdasan, pengetahuan, dan keterampilan. Pendidikan juga merupakan wahana strategis bagi usaha meningkatkan mutu kehidupan manusia, yang ditandai dengan semakin membaiknya derajat kesejahteraan, menurunnya kemiskinan, dan terbukanya berbagai pilihan dan kesempatan mengembangkan diri di masa depan 1 . Dengan demikian, secara umum pendidikan mempunyai peranan yang amat sentral dalam mendorong individu dan masyarakat untuk mencapai kemajuan pada semua aspek kehidupannya. Pendidikan pada tataran ini dipahami sebagai sesuatu yang sangat fundamental atau asasi dalam kehidupan manusia. Atau, dapat disebutkan bahwa di mana ada kehidupan manusia, di situ pula pendidikan berposisi dan diposisikan. Pendidikan dengan demikian dirancang oleh dan untuk manusia dalam kerangka “humanisasi” 2 (lihat Driyarkara, 1980). “Pemanusiaan manusia” meminjam terminologi Driyarkara, hanya mungkin dilakukan melalui pendidikan. Proses humanisasi tercipta berkat kontribusi pendidikan, sebab bukankah kukuhnya bangunan kemanusiaan dalam sejarah
1
Amich Alhumami, “Membangun Pendidikan yang Bermutu” (Kompas, Jumat, 25 Agustus 2000).
2
Konsep tentang pendidikan sebagai proses pemanusiaan manusia (humanisasi) ini lebih jauh dapat dilihat dalam Driyarkara, Tentang Pendidikan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1980).
Volume 2 Juli - Desember2006
IQRA’ 20
Ardianto peradaban manusia itu akibat kuat dan mengakarnya pendidikan yang telah dibuktikan berabad-abad lamanya. Pendidikan sebagaimana telah disebutkan yakni sebagai suatu proses memanusiakan manusia, dalam penjabarannya terkait erat dengan istilah pembelajaran. Dan istilah pembelajaran akan merujuk pada aktivitas sekolah sebagai kelembagaan formal pendidikan. Sehingga upaya memperbaiki sistem pendidikan--yang meliputi perubahan paradigma dan visi--akan berhubungan langsung dengan masalah pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah. Pemberdayaan pendidikan, dalam bentuknya yang lebih konkrit adalah mencakup redefinisi sistem pembelajaran, menjadi sesuatu yang urgen khususnya dalam kerangka peningkatan mutu SDM. Karena kemajuan individu -- yang ditandai dengan peningkatan mutu hidupnya -- dan kemajuan bangsa barometernya adalah peradaban yang tinggi di bidang pendidikan. Hal ini seperti disebutkan Alhumami (2000) bahwa keberhasilan suatu bangsa dalam membangun pendidikan juga menjadi barometer tingkat kemajuan bangsa bersangkutan. Masalah pendidikan kita hari ini, kiranya patut dicermati oleh karena sebagaimana dilaporkan oleh Human Development Index Report (1999), di mana Indonesia berada pada urutan ke105. Urutan ini jauh di bawah Singapura (22) dan Brunei Darussalam (25), bahkan Sri Lanka saja berada pada posisi ke-90. Untuk mengatasi ketertinggalan ini, maka salah satu jalan adalah lewat penataan kembali sistem pendidikan kita dari konsep-paedagogis filosofisnya (paradigma dan visi) sampai pada praksisnya di lapangan (metode pembelajaran di sekolah). Hal ini penting, oleh karena sekolah sebagai lembaga pendidikan formal menjadi tumpuan sekaligus harapan masyarakat dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dan, dari beberapa masalah yang berkaitan dengan (kegagalan) pendidikan, yang paling menonjol dan mendesak untuk dibicarakan secara serius dan terbuka adalah sistem pembelajaran. Tentu saja persoalan sistem pembelajaran tersebut berkaitan dengan suatu paradigma dan visi pendidikan yang diharapkan lebih cocok dengan tuntutan zaman. Sehingga pendidikan yang kita di Indonesia tidak lalu ditinggalkan oleh perkembangan zamanya. Sebab, pendidikanlah yang harus mengendalikan peradaban. Untuk kepentingan itulah, tulisan ini dimulai dengan pembahasan tentang konsep dasar pendidikan dan pembelajaran. Pembahasan kemudian diteruskan pada reorientasi visi dan sistem pembelajaran di sekolah serta beberapa agenda strategis pendidikan lainnya yang dapat merupakan langkah prospektif untuk meretas pendidikan yang lebih emansipatif dan antisipatoris.
Hakikat Pendidikan dan Pembelajaran Pembicaraan tentang pendidikan melibatkan banyak hal yang harus direnungkan. Sebab, pendidikan meliputi keseluruhan tingkah laku manusia yang dilakukan demi memperoleh kesinambungan, pertahanan, dan peningkatan hidup 3 . Oleh karena itu, renungan tentang apa yang dimaksudkan dengan pendidikan tidak terbatas hanya kepada pengajaran. Pada konteks inilah kemudian terlihat betapa penting peran semua pihak 3 Nurcholis Madjid, “Pendidikan, Langkah Strategis Mempersiapkan SDM Berkualitas” dalam Indra Djati Sidi. Menuju Masyarakat Belajar: Menggagas Paradigma Baru Pendidikan (Jakarta: Paramadina, 2001), h. xi
Volume 2 Juli - Desember2006
IQRA’ 21
Ardianto dalam melakukan aktivitas mendidik melalui, baik melalui pembelajaran formal di sekolah maupun pembelajaran informal (dalam keluarga) dan nonformal (dalam masyarakat). Dalam hal ini yang ditekankan adalah pendidikan dan bukan pengajaran. Hal ini penting oleh karena penekanan pada aspek pengajaran semata belum dapat mewakili konsep dasar pendidikan yang seutuhnya. Buchori (2001), juga mengajukan konsepsi dasar pendidikan yaitu, pendidikan adalah upaya untuk mendidik (membelajarkan) siswa sebagai insan yang mampu menjawab tantangan hidup secara utuh. Lebih jauh dikatakan bahwa pendidikan harus mengedepankan pentingnya the basics, yakni kegiatan pendidikan yang mempersiapkan siswa untuk mampu menjalankan kehidupan. Pendidikan menurutnya bukanlah mempsiapkan siswa untuk mengisi lowongan pekerjaan 4 . Jelas bahwa the basics adalah hal dasar yang diperlukan untuk menjadi manusia yang mampu menjalankan hidupnya. Selama hal ini diabaikan, selama itu pula anak-anak bangsa ini akan kewalahan menghadapi persoalan dalam kehidupan modern. Pada sisi yang lain, pendidikan juga harus membekali generasi muda untuk mampu mengatasi pendangkalan hidup. Untuk itu pendidikan perlu membantu anak didik agar dapat memuliakan hidup (ennobling life), yang tercermin dalam kearifan individu dan berbangsa. Sebagai landasan atau kerangka acuan untuk menjabarkan konsep pendidikan dan pembelajaran, maka pertama dan utama sekali adalah adanya pemahaman yang utuh dan integralistik tentang definisi pendidikan dalam hubungannya dengan proses pembelajaran. Istilah pembelajaran pada konteks proses pendidikan merujuk pada terminologi bahwa pembelajaran lebih inheren dengan perbuatan mendidik yang saling sinergis antara satu dengan yang lainnya, dalam hal ini antara guru dan peserta didik. Konsep dasar pendidikan sebagaimana telah dirumuskan oleh Dewey 5 dapat menjadi kerangka acuan dalam upaya menjabarkan proses pendidikan dan pembelajaran. Dewey mengajukan asumsi dasar pendidikan yakni bahwa hakikat pendidikan ditentukan oleh hakikat manusianya, atau anthropologi metafisikanya, dan bagi aliran ini hakikat manusianya didasarkan pada filsafat Aristoteles bahwa manusia adalah “homosapiens”, artinya sejenis makhluk yang dapat berpikir sehingga definisi pendidikannya adalah: Pendidikan adalah suatu proses dengan mana pikiran, rasio, mental manusia dan disiplin dikembangkan. Secara filosofis, pendidikan dalam hal ini merupakan rumusan konsepsional tentang apa yang disebut dengan kegiatan atau proses pendidikan dan pembelajaran. Rumusan konsepsional yang dimaksud adalah bahwa pendidikan dilaksanakan dengan berpedoman pada landasan-landasan ilmu pendidikan yang harus memiliki metode, objek formal, dinamika, dan organisasi. Keempat hal inilah yang mencirikan pendidikan sebagai suatu disiplin ilmu dan sekaligus menjadi kerangka operasional proses pendidikan dan kegiatan pembelajaran. Dengan demikian antara proses pendidikan dan pembelajaran merupakan dua komponen yang tak dapat terpisahkan. Artinya, suatu kegiatan pembelajaran telah merupakan bagian dari proses 4
5
Mochtar Buchori, Pendidikan Antisipatoris (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h. 41.
dalam Ali Saifullah. Antara Filsafat dan Pendidikan (Surabaya: Usaha Nasional, 1977), h. 134
Volume 2 Juli - Desember2006
IQRA’ 22
Ardianto pendidikan. Kalau proses pendidikan dikembangkan di atas suatu landasan ilmu pendidikan, maka operasionalisasi dari landasan ilmu yang dirumuskan itu melalui suatu kegiatan pembelajaran. Terminologi pembelajaran yang digunakan di sini adalah untuk merujuk pada aspek-aspek filosofis, yaitu bahwa dalam proses pembelajaran terdapat aspek-aspek potensial yang dimiliki oleh setiap orang yang berinteraksi dalam hal ini antara guru dan peserta didik. Oleh karena konsep dasar pendidikan dan pembelajaran yang sebenarnya lebih diorientasikan pada penciptaan situasi dinamis untuk membangun sinergisitas para stakeholders yang terlibat dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran, maka perlu diperluas pemahaman perspektif filsafat terhadap kedua disiplin keilmuan tersebut. Hal ini penting, oleh karena kegagalan proses pendidikan kita dewasa ini juga diakibatkan oleh keringnya dasar filsafat dalam paradigma pendidikan dan pembelajaran kita. Atau sebagaimana disebutkan Winarno Surakhmad (2000), landasan filosofi pendidikan seakan-akan landasan imajiner saja. Sementara, untuk mengembangkan suatu pendidikan yang bermutu harus berlandaskan pada realitas yang sesungguhnya, yaitu pendidikan harus dikembalikan pada kedudukannya sebagai satu usaha memanusiakan manusia 6 .
Visi dan Sistem Pembelajaran Kontekstual Pendidikan sekolah akhir-akhir ini mendapat sorotan tajam masyarakat pada umumnya. Masalahnya ialah bahwa pendidikan sekolah kurang atau kurang mampu atau tidak dapat menjawab tantangan pembangunan yang memerlukan tenaga-tenaga yang berswadaya dengan watak pembangunan mental yang tangguh. Timbul kesangsian terhadap sekolah yang hanya dapat memberi pelajaran-pelajaran teori dan kurang memberi tekanan pada aspek keterampilan sebagai bekal hidup anak didik kelak. Lebih diperparah lagi di mana pembinaan mental kurang mendapat perhatian. Sekolah lebih banyak memacu kecerdasan intelektual. Sedangkan pada sisi yang lain, masyarakat umumnya menganggap sekolah sebagai “candu sosial” meminjam terminologinya Everett Reimer (2000). Lebih jauh Reimer menyebutkan, bahwa dewasa ini masyarakat sangat menggantungkan hidup anak-anaknya pada pendidikan sekolah 7 . Kenyataan inilah yang mengharuskan pendidikan sekolah, dalam hal ini sistem pembelajaran di sekolah harus direkonstruksi untuk kemudian dirumuskan suatu kerangka operasional yang lebih “njelimet” dalam memenuhi tuntutan masyarakat atas vitalnya peran pendidikan (sekolah) dalam meningkatkan mutu SDM. Sekolah masa depan tentu tidak lagi cukup jika hanya mengelola kecerdasan intellectual semata. Kita perlu memulai memasukkan pelajaran yang mencakup kecerdasan emosioanal (Emotional Intelligence). Sebab dalam mengembangkan kepribadian yang utuh, kecerdasan emosional jauh lebih penting dari pada kecerdasan intelektual (Intellectual Quotient). Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence (1996) mengatakan, bahwa kontribusi IQ dalam menentukan kesuksesan hidup seseorang maksimal sekitar 20 persen, sedangkan 80 persen sisanya ditentukan oleh faktor-faktor lain, yang disebutnya sebagai EQ. 6
Winarno Surakhmad. ‘Jadikan Pendidikan Lembaga Memanusiakan Manusia’. Kompas, Selasa, 19 September 2000. 7
Everett Reimer, Matinya Sekolah (Yogyakarta: Hanindita Graha Widia, 2000)
Volume 2 Juli - Desember2006
IQRA’ 23
Ardianto Mengacu pada pendapat di atas, maka sistem pembelajaran yang urgent dan signifikan dikembangkan di sekolah adalah sistem pembelajaran dengan penekanan pada kecerdasan emotional. Untuk kepentingan ini dibutuhkan paradigma pembelajaran yang sesuai dengan kompetensi yang diajarkan. Dalam hal ini, pembelajaran arus lebih bersifat kontekstual yang lebih mengarah pada proses interaksional, bukan transaksional. Hal ini penting, oleh karena proses pembelajaran yang semata mengutamakan proses transaksional (guru sebagai pusat informasi dan aktivitas) telah mengakibatkan adanya “ketergantungan” peserta didik pada guru. Sehingga pada gilirannya, siswa menjadi tidak kreatif. Kebutuhan-kebutuhan emosional anak tidak terpenuhi. Itulah sebabnya, dalam kerangka mengembangkan pendidikan yang antisipatoris perlu dirumuskan kembali visi dan sistem pembelajaran kita selama ini. Realitas pembelajaran di sekolah dewasa ini, baik ditinjau dari segi metode dan suasana pengajaran tampaknya lebih banyak menghambat daripada memotivasi potensi otak sebagai misal, seorang peserta didik hanya disiapkan sebagai seorang anak yang harus mau mendengarkan, mau menerima seluruh informasi dan mentaati segala perlakuan gurunya. Dan yang lebih parah lagi adalah fakta bahwa semua yang dipelajari di bangku sekolah itu ternyata tidak integrative dengan kehidupan sehari-hari. Bahkan tak jarang realitas sehari-hari yang mereka saksikan bertolak-belakang dengan pelajaran di sekolah 8 . Kenyataan semacam ini pada gilirannya membuat siswa tidak mampu mengaktivasi kemampuan otaknya. Sehingga mereka tidak memiliki keberanian menyampaikan pendapat, lemah penalaran dan tergantung pada orang lain. Budaya dan mental para pelajar seperti itu juga berkorelasi dengan budaya dan mental masyarakat secara luas. Yaitu bahwa masyarakat kita belum bisa berpikir mandiri sehingga budaya “mohon petunjuk” menjadi hiasan harian yang wajar. Kita memang tidak bisa memastikan, apakah budaya tersebut bermula dari sekolah, atau sekolah justru yang dipengaruhi oleh budaya masyarakat luar sekolah. Yang pasti semuanya saling mendukung untuk menyuburkan dan terus memelihara budaya-budaya tersebut. Di sini letak posisi strategis dari pentingnya dirumuskan kembali paradigma dan visi pendidikan yang berujung pada perlunya melakukan reorientasi visi dan sistem pembelajaran yang berlangsung di sekolah saat ini. Orientasi yang selayaknya dikembangkan kaitannya dengan paradigma pembelajaran baru di sekolah tersebut adalah pertama, paradigma learning (belajar). Orientasi pembelajaran di sekolah saat ini yang lebih menekankan pada teaching (pengajaran) tidak relevan lagi diterapkan. Sehingga, memang sudah saatnya dilakukan reorientasi visi pembelajaran atau transformasi pendidikan dari teaching ke learning. Dengan perubahan ini proses pendidikan menjadi “proses bagaimana belajar bersama antara guru dan anak didik”. Guru dalam konteks ini juga termasuk dalam proses belajar. Sehingga lingkungan sekolah, meminjam istilahnya Ivan Illich, menjadi learning society (masyarakat belajar). Dalam paradigma ini, peserta didik tidak lagi disebut pupil (siswa), tapi learner (yang belajar) 9 .
8 Indra Djati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar: Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 24-25. 9
Lihat Ivan Illich, Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000).
Volume 2 Juli - Desember2006
IQRA’ 24
Ardianto Paradigma learning juga jelas terlihat dalam empat visi pendidikan menuju abad 21 versi UNESCO. Keempat visi pendidikan versi UNESCO ini sangat jelas berdasarkan pada paradigma learning, tidak lagi pada teaching. Pertama, learning to think (belajar berpikir). Ini berarti pendidikan berorientasi pada pengetahuan logis rasional sehingga learner berani menyatakan pendapat dan bersikap kritis serta memiliki semangat membaca tinggi. Kedua, learning to do (belajar berbuat/hidup). Aspek yang ingin dicapai dalam visi ini adalah keterampilan seorang anak didik dalam menyelesaikan problem keseharian. Dengan kata lain pendidikan diarahkan pada how to solve the problem. Ketiga, learning to live together (belajar hidup bersama). Di sini pendidikan diarahkan pada pembentukan seorang anak didik yang berkesadaran bahwa kita ini hidup dalam sebuah dunia global bersama banyak manusia dari berbagai bahasa dengan latar belakang etnik, agama dan budaya. Di sinilah pendidikan akan nilai-nilai semisal perdamaian, penghormatan HAM, pelestarian lingkungan hidup, toleransi, menjadi aspek utama yang mesti terinternalisasi dalam kesadaran seorang learner (pembelajar). Keempat, learning to be (belajar menjadi diri sendiri). Visi terakhir ini menjadi sangat penting mengingat masyarakat modern saat ini tengah dilanda suatu krisis kepribadian. Orang sekarang biasanya lebih melihat diri sebagai what you have, what you wear, what you eat, what you drive, dan lain-lain. Karena itu, visi pendidikan hendaknya diorientasikan pada bagaimana seorang anak didik di masa depannya bisa tumbuh dan berkembang sebagai pribadi yang mandiri, memiliki harga diri dan tidak sekadar memiliki having. Karena menurut Fromm, bahwa hakikat manusia sesungguhnya adalah being 10 . Gagasan kedua yang juga relevan dalam konteks learning— adalah berkenaan dengan metode pengajaran yang tidak lagi mementingkan subject matter (seperti terlihat dalam Garis-Garis Besar Program Pelajaran, GBPP, yang rigid) daripada siswa sendiri. Sebab, jika metode pengajaran masih terlalu mementingkan subject matter daripada siswa, akibatnya siswa sering merasa “dipaksa” untuk menguasai pengetahuan dan melahap informasi dari para guru, tanpa memberi peluang kepada para siswa untuk melakukan perenungan secara kritis. Pada gilirannya kondisi semacam itu melahirkan proses belajar-mengajar menjadi satu arah. Pendidikan menjadi sangat analog dengan kegiatan menabung di mana guru menjadi penabung dan murid adalah celengannya. Metode pengajaran seperti ini yang disebut oleh Paulo Freire dengan istilah “gaya bank” (banking system). Lebih lanjut metode pengajaran seperti ini menagkibatkan para siswa tidak memiliki keberanian untuk mengemukakan pendapat, tidak kreatif dan mandiri, apalagi untuk berpikir inovatif dan problem solving. Suasana belajar yang penuh keterpaksaan itu berdampak pada hilangnya upaya mengaktivasi potensi otak, sehingga potebsi otak yang luar biasa itu belum pernah berhasil mengaktual. Untuk mengaktivasi potensi otak itu suasana belajar harus menyenangkan, kesadaran emosional juga tidak boleh dalam keadaan tertekan. Suasana belajar yang terakhir disebutkan itulah yang akan membuat otak kanan terbuka sehingga daya berpikir intuitif dan holistik yang luar biasa itu akan terangsang untuk bekerja. Dengan demikian sebuah metode yang lebih cocok bagi para siswa di masa sekarang ini adalah mutlak mesti ditemukan, untuk kemudian diterapkan. Salah satu satu metode yang dicobauraikan kaitannya dengan pembahasan makalah ini adalah sistem pembelajaran dengan metode kontekstual. Metode ini lebih mengutamakan peran aktif para siswa. Guru tentu saja tetap dianggap lebih berpengalaman dan lebih banyak pengetahuannya, tapi ia bukanlah pemegang satu-satunya 10
Lebih jauh lihat Erich Fromm, Memiliki dan Menjadi (Jakarta: LP3ES, 1987).
Volume 2 Juli - Desember2006
IQRA’ 25
Ardianto kebenaran. Sebab, kebenaran bisa saja datang dari para siswa. Karena itu, metode-metode tersebut mesti bertumpu pada dialog, sehingga para siswa dituntut untuk berpendapat dan menyampaikan komentar-komentarnya terhadap berbagai materi pelajaran dan informasi yang ada. Juga suasana belajar harus menyenangkan dan tawaran kepada kegiatan ekstrakurikuler harus terbuka seluasluasnya. Pembelajaran kontekstual (contextual learning) mengandung pengertian “meningkatkan hasil belajar siswa dengan cara memperbaiki praktis dan perangkat pembelajaran yang sesuai dengan kehidupan dan konteks sekolah 11 (DePorter, 2001). Perangkat tersebut harus didasarkan atas penelitian yang relevan dan praktik pendidikan internasional, dan diterapkan pada situasi pendidikan Indonesia saat ini. Dalam bukunya Quantum Teaching, DePorter menyebutkan, bahwa konteks adalah salah satu prinsip pembelajaran yang memungkinkan siswa belajar dengan penuh makna. Dengan memperhatikan prinsip konteks, pembelajaran dapat mendorong siswa untuk menyadari dan menggunakan pemahamannya untuk mengembangkan diri dan menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip konteks adalah sangat penting untuk segala situasi belajar. Penekanan pada prinsip konteks dalam proses pembelajaran di sekolah, menjadi penting oleh karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, yang multi cultural dan multi etnik. Oleh karena itu pendidikan harus memiliki orientasi kontekstual agar peserta didik diantarkan untuk melihat realitas dunia secara global dan bertindak secara local. Sehingga, peserta didik mampu, meminjam istilah John Naisbitt (1996) 12 “think globally, and act locally (berpikir global dan bertindak local). Integrasi lokal ini menurut Naisbitt menjadi penting oleh karena trend peradaban di masa depan akan sangat ditentukan oleh kemampuan membaca potensi lokal yang pada akhirnya dapat diangkat menjadi kebutuhan global. Untuk itulah pembelajaran harus lebih diarahkan pada kecerdasan membaca masalah-masalah kontekstual dalam lingkungan anak didik. Yang dimaksud dengan pendekatan kontekstual untuk keperluan aplikasi dalam pembelajaran yang dikembangkan oleh DePorter, et.al mencakup isi, sumber, sasaran, guru, metode, hasil belajar, waktu, lokasi, dan kegunaan. Secara garis besar kesembilan komponen itu diuraikan di bawah ini: 1. Isi - Apa yang Diajarkan. Dalam kaitannya dengan konteks isi, pembelajaran harus memperhatikan nilai-nilai yang ada di dalam keluarga dan masyarakat, memperhatikan kurikulum nasional dan adanya ujian Ebtanas, menyiapkan keterampilan untuk hidup dan bekerja dan mencerminkan harapan bagi siswa untuk hidup yang lebih baik di masa depan. 2. Sumber Belajar—Apa yang Tersedia dan Dapat Diharapkan. Situasi Indonesia saat ini tidak memungkinkan untuk menyediakan sumber belajar berupa buku teks dan perangkat pembelajaran lain yang canggih. Pendidikan masih banyak didasarkan atas buku teks yang didasarkan atas kurikulum yang diproduksi secara massal. Perangkat pembelajaran juga harus
12
11 Bobbi DePorter, et.al., Quantum Teaching. Diterjemahkan oleh Ary Nilandari (Bandung: Penerbit Kaifa, 2001). John Naisbitt, Megatrends Asia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996).
Volume 2 Juli - Desember2006
IQRA’ 26
Ardianto dikembangkan dengan memperhatikan kepraktisannya, ketersediannya dan dibuat secara konkret. Situasi Indonesia saat ini tidak dapat menyediakan sumber kelas yang canggih. 3. Sasaran – Siapa yang Diajar. Dalam pembelajaran, konteks sasaran memiliki makna bahwa pembelajaran harus mempertimbangkan karakteristik siswa yang menjadi sasaran. Inti berarti bahwa kebutuhan pendidikan dan gaya belajar siswa harus dievaluasi dan digunakan sebagai landasan dalam penyusunan program pendidikan. Berbagai faktor lain yang berkenaan dengan siswa sasaran seperti usia, kapasitas intelektual. Riwayat sekolah dan kehidupannya, motivasi, latar belakang keluarga, masyarakat, budaya, nilai-nilai etnik, harapan dan latar belakang lainnya harus menjadi pertimbangan dalam pengembangan kegiatan pembelajaran. 4. Guru – Kualitas Guru yang Dibutuhkan. Kualitas guru yang dibutuhkan adalah memiliki perhatian terhadap kemanusiaan, penuh pengabdian untuk mendarmabaktikan pengetahuan dan keterampilannya, dan memiliki kesadaran yang tinggi dan memandang siswa sebagai pribadi yang sedang bertumbuh menjadi dewasa yang membutuhkan bantuan. 5. Metode – Praktik Pembelajaran yang Direkomendasikan. Guru menggunakan pendekatan yang memungkinkan siswa menggunakannya dalam praktik. Siswa perlu sering menggunakan strategi belajar “bersama” sehingga mereka dapat meraih hasil belajar tinggi melalui saling tukar informasi. 6. Hasil Belajar – Bagaimanakah Menilai Prestasi Siswa. Hasil belajar siswa diukur dengan penjajagan terhadap kemampuan siswa mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilannya. 7.
Waktu – Kesiapan Siswa. Siswa harus siap untuk belajar. Belajar membutuhkan keterampilan prasyarat.
8. Lokasi – Lingkungan Belajar. Lingkungan belajar harus dikenal oleh siswa sehingga pelajaran baru secara langsung dapat diamati, relevan dan penggunaan praktis dalam kehidupan yang mereka ketahui. 9. Kegunaan – Mengapa Mengajar dengan Cara Seperti Itu. Pendidikan harus menghubungkan apa yang telah diketahui siswa dengan informasi baru yang terkait dengan kegunaan dalam kehidupan saat ini. Belajar harus mulai dengan tugas-tugas spesifik sesuai dengan situasi dan difokuskan pada pengalaman belajar di lapangan. Dari uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sistem pembelajaran dengan metode kontekstual menempatkan guru sebagai fasilitator, yang mengajak, merangsang dan memberikan stimulus-stimulus kepada para siswa agar menggunakan kecakapannya secara bebas dan bertanggung jawab. Di sinilah kemudian baik guru maupun siswa harus sama-sama bersedia mendengar pendapat orang lain, sekalipun mungkin pendapat orang lain tersebut kurang tepat. Dengan demikian kita memulai menggagas pendidikan antisipatoris dan mengembangkan “budaya mendengar” dalam makna yang sebenarnya, untuk suatu Quantum Learning, sebagai bagian dari upaya mengembalikan citra buruk pendidikan kita di sekolah.
Beberapa Agenda Strategis Pendidikan
Volume 2 Juli - Desember2006
IQRA’ 27
Ardianto Untuk upaya ke arah pencapaian tujuan pendidikan secara utuh, maka langkah-langkah prospektif yang penting dan mendesak dilakukan selain menyangkut sistem pengalokasian anggaran pendidikan yang memadai, meningkatkan profesionalisme personalia pendidikan, dan perbaikan manajemen pendidikan, juga menurut hemat penulis, dalam praktiknya yang lebih konkret, pendidikan kita di sekolah sudah saatnya melakukan langkah-langkah berikut: Pertama, dalam praktek pendidikan harus ada balance antara pemenuhan kompetensi akademik (menguasai bidang ilmu yang digeluti) untuk kebutuhan kerja dan pemenuhan kompetensi emosional yang meliputi pembinaan aspek mental kepribadian. Hal ini penting oleh karena sebagaimana diungkapkan oleh Daniel Goleman bahwa dalam mengembangkan kepribadian yang utuh, kecerdasan emosional jauh lebih penting dari pada kecerdasan intelektual (Intellectual Quotient). Lebih jauh dikatakan, bahwa kontribusi IQ dalam menentukan kesuksesan hidup seseorang maksimal sekitar 20 persen saja, sedangkan 80 persen sisanya ditentukan oleh faktor-faktor lain, yang disebutnya sebagai faktor Emotional Quotient (EQ) 13 . Dalam faktanya, pendidikan kita selama ini lebih banyak terarah pada pembentukan sikap intelektual, dan kurang bahkan tidak memberi perhatian pada aspek mental, pembentukan karakter kepribadian. Tingkat prestasi, keberhasilan, dan kesuksesan siswa misalnya, semata diukur dari perolehan nilai yang didapat siswa bersangkutan. Padahal, pendidikan yang dilaksanakan pada dasarnya adalah upaya untuk mendidik siswa menjadi insan yang mampu menjawab tantangan hidup secara utuh. Agar kelak anak didik mampu menjawab tantangan hidupnya, maka pendidikan seharusnya diarahkan tidak hanya pada kepentingan pasaran kerja, tetapi lebih jauh dan mendasar kegiatan pendidikan yang mempersiapkan anak didik untuk mampu menjalankan kehidupan secara utuh. Pendidikan dalam hal ini harus menyeimbangkan orientasinya, yaitu selain berorientasi pada hasil, juga agar kelak output pendidikan tidak bersifat “karbitan”, maka dalam praksis atau dalam bentuknya yang lebih konkret kegiatan pembelajaran di sekolah harus juga memberi penekanan pada proses yang bermakna. Itulah sebabnya, sudah saatnya dalam praktek pendidikan, di samping intelektual dikembangkan, juga aspek emosional seperti pembinaan jati diri, sikap empati, tanggung jawab, dan kepekaan normatif yang menyangkut nilai dan tata nilai perlu dikembangkan secara integratif. Dan untuk kepentingan ini, diperlukan paradigma baru pengajaran khususnya pada tingkat pendidikan nilai --yang selama ini di sekolah dasar dan menengah telah dipersempit sebagai sebatas pemberian mata pelajaran PPKn saja--, dan pelajaran agama. Untuk Perguruan Tinggi (PT) juga harus mengembangkan penanaman nilai bagi mahasiswanya, yang tentu tidak cukup dengan sekedar Pendidikan Pancasila saja). Pendidikan nilai karenanya harus diarahkan pada problem solving, reflective thinking, group dynamic, community building, responsibility building, dan live-in. Lewat pendekatan pendidikan nilai seperti inilah yang memungkinkan “pembelajar” dapat tumbuh berkembang menjadi orang yang berbudi pekerti, orang yang berbudi luhur. Bukan sekedar memahami, menghayati, dan mewujudkan nilai-nilai luhur di dalam kehidupannya, melainkan juga mampu mengorganisir kebhinekaan, kedwitunggalan dirinya dalam kehidupan masyarakat.
13
Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional (Jakarta: PT. Gramedia, 1996)
Volume 2 Juli - Desember2006
IQRA’ 28
Ardianto Kedua, kebijakan dan pengelolaan pendidikan (termasuk kurikulum) juga sudah saatnya didesentralisasi, karena kita harus mengakui bahwa salah satu faktor yang mengakibatkan gagalnya pendidikan kita hari ini adalah karena sentralisasi (“Jakartanisasi”) kebijakan. Sehingga, daerah (sekolah) tidak dapat secara kreatif dan inovatif mengelola program pendidikannya alias semua “nurut” dan patuh pada program yang ditetapkan (kurikulum pendidikan) pada pusat-pusat penentu kebijakan. Ketiga, pada tingkat sekolah sudah saatnya dilaksanakan pendidikan multikultural. Perspektif pendidikan multikultural mutlak diperlukan mengingat bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural yaitu terdiri dari bermacam-macam suku, ras, budaya, dengan kemampuan dan latar belakang yang beraneka ragam. Pendidikan multikultural adalah sebuah program pendidikan yang secara integratif mengupayakan pendidikan-pendidikan lintaskultural pada sekolah-sekolah yang ada. Bahkan, bila perlu dipikirkan untuk memasukkan “kurikulum perdamaian” dalam pendidikan kita sebagaimana diterapkan pada sekolah-sekolah di AS, Irlandia, dan Afrika Selatan. Diversitas atau pluralitas ini perlu mendapat perhatian. Para anak didik sejak dini harus dibekali pemahaman yang baik dan utuh tentang pluralisme serta perdamaian abadi, sehingga dengan demikian anak didik akan dapat menjaga pluralitas kehidupannya. Selama ini sekolah-sekolah kita lebih bersifat uniform, dari persoalan baju seragam, sepatu dan kaos kaki yang seragam, sampai pada simbol-simbol kelembagaan. Konsekuensinya, anak didik hanya terdidik dan terbiasa dalam melihat homogenitas sesuatu dan tidak bahkan anti terhadap heterogenitas hidup. Akibatnya, mudah terjadi friksi baik pada tingkat kelompok maupun secara personal. Keempat, perlu pembenahan sekolah dasar. Selama ini banyak yang berpendapat bahwa mengelola sekolah dasar adalah pekerjaan yang mudah, karena sekolah dasar adalah sekolah yang rendah. Sebagai contoh adalah pembangunan gedung sekolah dasar yang bermutu rendah, pengadaan guru yang kurang bermutu pada tingkat sekolah dasar. Sedangkan sekolah dasar sangat penting sebagai tahap pembekalan awal (dasar) bagi para anak didik. Kalau pendidikan itu kita ibaratkan rumah, maka kalau dasarnya tidak kokoh, maka rumah tidak akan berdiri kuat. Untuk itu perhatian terhadap sekolah dasar hendaknya lebih serius dalam rangka peningkatan pendidikan. Kalau perlu, harus diciptakan sekolah dasar-sekolah dasar unggulan. Kelima, perlu penguatan tentang pendidikan dasar (basics of science), termasuk seni, dan olahraga. Ilmu-ilmu dasar yang dimaksudkan tersebut adalah meliputi matematika, fisika, kimia, dan biologi (disebut matematika dan IPA) yang juga termasuk seni dan olahraga. Seni dan olahraga selama ini memang tidak dikategorikan sebagai ilmu-ilmu dasar, tetapi menurut hemat penulis, kedua bidang ini justru mendasari ilmu-ilmu dasar itu sendiri. Dalam prakteknya, ilmu-ilmu dasar, seni dan olahraga yang diajarkan selama ini masih sangat terbatas pada how saja, sedangkan konteks 5W-nya (what, why, when, who, dan where) belum dikembangkan secara maksimal. Ke depan basics of science ini harus dikuatkan untuk menjadi dasar bagi anak didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Keenam, perlu dipertimbangkan pengurangan jam pelajaran yang diberikan di sekolah. Dalam sistem pendidikan kita (baca: kurikulum 1994) jumlah mata pelajaran terlalu banyak, sehingga beban belajar siswa berat, sangat melelahkan, dan membosankan. Selain itu, dengan jumlah mata pelajaran yang banyak menyebabkan anak-anak di Indonesia kurang mempunyai waktu untuk
Volume 2 Juli - Desember2006
IQRA’ 29
Ardianto bermain dan berinteraksi dengan keluarga dan masyarakat. Pada hal tiga pilar pendidikan sebagaimana dikemukakan oleh Indra Djati Sidi 14 (2001), yaitu sekolah, keluarga dan lingkungan masyarakat, mesti berjalan secara seimbang. Jika keadaan ini terus dipertahankan dengan terlalu tingginya jumlah jam pelajaran, maka dalam waktu yang panjang ke depan kondisi ini berakibat pada penurunan kualitas SDM bangsa. Ketujuh, selain hal-hal yang disebutkan di atas, juga sudah saatnya anak-anak didik kita sejak awal dibekali kemampuan dasar yang meliputi: a) basic skills (seperti: membaca dan menginterpretasikan informasi, menulis, dan mengembangkan informasi, matematik dan berhitung, mendengarkan, dan berbicara); b) thinking skills (kreativitas, pengambilan keputusan, problem solving, visualizing, knowing how to learn, dan reasoning); dan c) personal skills (kemampuan mengendalikan diri, tanggung jawab, self-esteem, sociability, self-management, dan integritas kejujuran). Ketujuh agenda strategis pendidikan di atas merupakan langkah prospektif dan antisipatif yang mendesak dilakukan dalam praksis pendidikan kita. Langkah prospektif-antisipatif untuk pendidikan tersebut haruslah dilakukan, karena pendidikan, di mana sekolah sebagai salah satu lembaga formalnya, harus menjadi agen perubahan sosial, ekonomi, dan budaya. Atau meminjam terminologi Freire (2000) bahwa pendidikan harus menjadi pilot project dan agent untuk melakukan penataan atau rekayasa sosial (social engineering) dan perubahan sosial (social change) guna membentuk masyarakat baru. Pada tataran inilah, pendidikan kemudian dirumuskan, direncanakan, dan dikelola untuk menjadi wahana strategis dalam melakukan perubahan sosial, peningkatan ekonomi, dan “kedigdayaan” budaya, atau sejatinya untuk meretas peradaban manusia hari ini dan di masa depan. Dan dengan begitu, kita tengah berupaya mengembalikan fungsi fundamental pendidikan serta mengembalikan pendidikan kita dari citra buruknya.
Penutup Pendidikan antisipatoris pada dasarnya bukanlah sebuah temuan baru dalam dunia pendidikan. Tetapi, sebagai sebuah pemahaman yang utuh dan sangat berkorelasi dengan berkembangnya dunia pendidikan di Indonesia. Konsep tersebut terasa amat kontekstual dan mendesak untuk dipikirkan bersama dalam rangka mengembalikan fungsi sejatinya pendidikan, yaitu memanusiakan manusia. Kondisi ideal dunia pendidikan akan sangat terbantu jika sejak awal telah tertanam kesadaran tentang pentingnya learning capability yang memadai dari generasi muda untuk menghadapi kehidupan yang sangat majemuk (multi purposes). Dan, pada saat yang bersamaan juga terbentuk komunitas pendidikan (educational community) atau suatu learning society. Di mana sekolah bukan lagi menjadi belenggu bagi masyarakat, melainkan menjadi suatu mini society yang di dalamnya terdapat interaksi yang partisipatif-emansipatoris dari komunitas pendidikan (guru, siswa, orang tua dan anggota masyarakat) yang dinamis dan sinergis antara satu dengan yang lainnya.
14
Indra Djati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar: Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. (Jakarta: Paramadina,
2001).
Volume 2 Juli - Desember2006
IQRA’ 30
Ardianto Kondisi di atas akan tercipta bila visi baru pendidikan adalah learning dan bukan pada teaching. Dengan kata lain, sistem pembelajaran di sekolah perlu diorientasikan dari paradigma “pengajaran” (teaching) ke paradigma “belajar” (learning) dengan pendekatan “learning contextual”. Hal ini penting karena konsep learning akan tercipta secara dinamis bila sistem pembelajaran yang diterapkan adalah sistem pembelajaran kontekstual (learning contextual) yang secara filosofis menjadikan siswa sebagai subjek pembelajar yang aktif, yang merdeka.
Daftar Pustaka
Alhumami, Amich. 2000. “Membangun Pendidikan yang Bermutu”. Kompas. Jumat, 25 Agustus 2000. Buchori, Mochtar. 2001. Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Kanisius. DePorter, Bobbi & Mike Hernacki. 2001. Quantum Learning. Cetakan ke-11. Diterjemahkan oleh Alwiyah Abdurrahman Bandung: Penerbit Kaifa. DePorter, Bobbi, et.al. 2001. Quantum Teaching. Diterjemahkan oleh Ary Nilandari. Bandung: Penerbit Kaifa. Driyarkara. 1980. Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Feire, Paulo. 1998. Sekolah Kapitalisme Yang Licik. (Penerjemah Mundi Rahayu). Yokyakarta: LKiS. Fromm, Erich. 1987. Memiliki dan Menjadi. Jakarta: LP3ES. Goleman, Daniel. 1996. Kecerdasan Emosional. Jakarta: PT. Gramedia. Illich, Ivan. 2000. Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Madjid, Nurcholis. 2000. “Pendidikan, Langkah Strategis Mempersiapkan SDM Berkualitas” dalam Indra Djati Sidi. 2001. Menuju Masyarakat Belajar: Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Jakarta: Paramadina. Naisbitt, John. 1996. Megatrends Asia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Reimer, Everett. 2000. Matinya Sekolah. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia. Saifullah, Ali. 1977. Antara Filsafat dan Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional. Sidi, Indra Djati. 2001. Menuju Masyarakat Belajar: Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Jakarta: Paramadina. Surakhmad, Winarno. 2000. ‘Jadikan Pendidikan Lembaga Memanusiakan Manusia’. Kompas, Selasa, 19 September 2000.
Volume 2 Juli - Desember2006
IQRA’ 31