REAL-TIME FLUTTER SUPPRESSION MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN
Tugas Sarjana Strata I
Disusun oleh :
Nur Uddin 136 96 040
Pembimbing : Dr. Ir. L. Gunawan (PN - ITB) Dr. Ir. Bambang Riyanto (EL - ITB)
DEPARTEMEN TEKNIK PENERBANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2002
Daftar Isi
Bab I
Bab II
Bab III
Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
1
1.2 Tujuan Penelitian
4
1.3 Batasan Masalah
4
1.4 Metode Penelitian
5
1.5 Sistematika Pembahasan
5
Aeroelastik 2.1 Model Aeroelastik
7
2.2 Persamaan Gerak Model Aeroelastik
8
2.2.1 Persamaan Lagrange
9
2.2.2 Penurunan Persamaan Gerak Model Aeroelastik
9
2.3 Fenomena Flutter
12
2.4 Dampak Fenomena Flutter
14
Jaringan Syaraf Tiruan 3.1 Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan
15
3.2 Komputasi Jaringan Syaraf Tiruan
15
3.2.1 Neuron
15
3.2.2 Multi-Layer Perceptron
16
3.3 Pembelajaran Jaringan Syaraf Tiruan
19
3.4 Fungsi Aktivasi
23
3.5 Aspek-Aspek Jaringan Syaraf Tiruan dalam Aplikasi
24
Bab IV
Bab V
Perancangan Flutter Suppression 4.1 Flutter Suppression
25
4.2 Diskripsi Model Aeroelastik
26
4.3 Persamaan Sistem Dinamik Nonlinier
27
4.4 Identifikasi On-Line
27
4.5 Pemodelan Dinamika Model Aeroelastik
28
4.6 Hukum Kendali Flutter Suppression
30
Implementasi Flutter Suppression 5.1 Sistem Real-Time
32
5.2 Software
33
5.2.1 Real-Time Workshop
33
5.2.2 S-Function
35
5.3 Hardware 5.3.1 Target RTW
36
5.3. 2 Aktuator
37
5.3.3 Sensor
39
5.4 Setup Implementasi
Bab VI
36
39
Hasil Implementasi 6.1 Modus Gerakan Model Aeroelastik
42
6.2 Kondisi Flutter Model Aeroelastik tanpa Flutter Suppression
43
6.3 Hasil Implementasi Flutter Suppression
45
6.3.1 Pengaruh Learning Rate terhadap Flutter Suppression Performance
45
6.3.2 Pengaruh Jumlah Neuron terhadap Flutter Suppression Performance
48
6.6.3 Pengaruh Time Sampling terhadap Flutter Suppression Performance
51
6.6.4 Pengaruh Regressor terhadap Flutter Suppression
Bab VII
Performance
53
6.4 Analisa Hasil Implementasi
56
6.4.1 Analisa Besarnya Learning Rate
56
6.4.2 Analisa Jumlah Neuron dan Regressor
59
6.4.3 Analisa Pengaruh Time Sampling
59
6.5 Analisa Flutter Suppression Performance
60
Kesimpulan dan Saran 6.1 Kesimpulan
66
6.2 Saran
67
Daftar Pustaka Lampiran Curriculum Vitae
Daftar Gambar
Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 3.3 Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.4 Gambar 4.5 Gambar 5.1 Gambar 5.2 Gambar 5.3 Gambar 5.4 Gambar 5.5 Gambar 5.6 Gambar 5.7 Gambar 5.8 Gambar 6.1 Gambar 6.2 Gambar 6.3 Gambar 6.4 Gambar 6.5 Gambar 6.6 Gambar 6.7 Gambar 6.8 Gambar 6.9 Gambar 6.10 Gambar 6.11 Gambar 6.12 Gambar 6.13 Gambar 6.14 Gambar 6.15 Gambar 6.16 Gambar 6.17 Gambar 6.18 Gambar 6.19 Gambar 6.20 Gambar 6.21 Gambar 6.22 Gambar 6.23 Gambar 6.24
Model Aeroelastik Model Ekuivalen Root Locus Persamaan Karakteristik Dinamika Aeroelastik Model neuron Multilayer Perceptron Flow Chart Komputasi pada JST Diagram Sistem Kendali Flutter Suppression Foto Model aeroelastik Pemodelan Persamaan Model Aeroelastik Diagram Identifikasi Model Aeroelastik Menggunakan JST Blok Diagram Flutter Suppression Menggunakan JST Real-time Systems dalam Control Engineering Diagram Real-time Control Systems Proses Desain Menggunakan Matlab Proses down load yang dilakukan RTW Diagram Implementasi flutter Suppression secara Real-Time Mekanisme penggerak Bidang Kendali dan Sensor Model Simulink flutter Suppression Konfigurasi Hardware dalam flutter Suppression Spectrum Percepatan Model Aeroelastik Karena Gerakan Bidang Kendali Secara Random pada V=0 m/s Response Percepatan Model Aeroelastik pada Kondisi Flutter Spectrum Percepatan Model Aerolastik pada Saat Flutter Flutter Suppression Performance dengan lr=0.08 Flutter Suppression Performance dengan lr=0.1 Flutter Suppression Performance dengan lr=0.2 Flutter Suppression Performance dengan lr=0.3 Flutter Suppression Performance dengan lr=0.4 Flutter Suppression Performance dengan konfigurasi 5-3-1 Flutter Suppression Performance dengan konfigurasi 10-3-1 Flutter Suppression Performance dengan konfigurasi 15-3-1 Flutter Suppression Performance dengan konfigurasi 20-3-1 Flutter Suppression Performance dengan Sampling Time 0.02 Flutter Suppression Performance dengan Sampling Time 0.01 Flutter Suppression Performance dengan Sampling Time 0.005 Flutter Suppression Performance dengan Sampling Time 0.002 Flutter Suppression Performance dengan Regressor X=[ y( k-1)] Flutter Suppression Performance dengan Regressor X=[ y( k-1), , y( k-2)] Flutter Suppression Performance dengan Regressor X=[ y( k-1), , y( k-2) ,y( k-3)] Flutter Suppression Performance dengan Regressor X=[ y( k-1), , y( k-2) ,y( k-3) ,y(k-4)] Approximasi JST terhadap fungsi f( k) dengan lr =0.1 Approximasi JST terhadap fungsi f( k) dengan lr =0.2 Approximasi JST terhadap fungsi f( k) dengan lr =0.4 Harga salah satu bobot JST hasil pembelajaran dengan lr =0.4
7 8 13 15 16 21 24 25 28 28 30 31 32 33 34 35 37 39 40 42 43 43 45 45 46 46 47 48 48 49 49 50 51 51 52 53 53 54 54 55 56 56 57
Gambar 6.25 Gambar 6.26 Gambar 6.27 Gambar 6.28 Gambar 6.29 Gambar 6.30 Gambar 6.31 Gambar 6.32 Gambar 6.33
Harga salah satu bobot JST hasil pembelajaran dengan lr =0.2 Approksimasi JST terhadap f(x) pada kecepatan flutter Approksimasi JST terhadap f(x) pada kecepatan diatas flutter Sinyal Kendali u pada kecepatan flutter ( V= 12 m/s) Sinyal Kendali u pada kecepatan diatas flutter ( V=13.1m/s) Spectrum response percepatan model aeroelastik pada kecepatan flutter (12 m/s) Spectrum response percepatan model aeroelastik pada kecepatan (13,1 m/s) Spectrum Sinyal Kendali u pada kecepatan flutter, V=12 m/s Spectrum Sinyal Kendali u pada kecepatan , V=13.1 m/s
57 59 60 60 61 61 62 63 63
Daftar Notasi h : gerakan heaving θ : gerakan torsional (pitching) Ξ: langrangian Ek : energi kinetik Ep : energi potensial λi : generalized coordinate Qi : generalized force yang terkait dengan qi
ms : massa model aeroelastik kh
: kekakuan modus heaving
kθ
: kekakuan modus torsional
M s : matrik inersia struktur K s : kekakuan struktur
c
: midchord
S : luas profil sayap
U : kecepatan aliran udara C Lα , C Lδ , C Lα& , C Lq , CM α , C M δ , C M α& , C M q : koefisien-koefisien aerodinamika q adalah tekanan dinamik
α adalah sudut serang
l sebagai jarak titik aerodinamika dari leading edge M a : Matrik inersia aerodinamik Da : Matrik damping aerodinamik K a : Matrik kekakuan aerodinamik, Bδ : Matrik input (bidang kendali) p menyatakan domain laplace
Bab I - Pendahuluan
BAB I PENDAHULUHAN
1.1
LATAR BELAKANG Aeroelastik merupakan ilmu yang mempelajari pengaruh gaya aerodinamika
pada benda elastik [1]. Fenomena aeroelastik terjadi karena interaksi antara gaya inersia, elastik dan aerodinamika pada suatu benda. Fenomena tersebut, antara lain berupa: divergensi (ketidakstabilan statik), flutter (ketidakstabilan dinamik), dan control reversal. Perkembangan teknologi struktur pesawat udara menyarankan penggunaan struktur fleksibel untuk meningkatkan prestasi terbang karena memiliki massa yang lebih ringan daripada struktur kaku (rigid). Penggunaan struktur fleksibel menyebabkan pengaruh aeroelastik tidak bisa diabaikan, khususnya pada bagian sayap. Gaya aerodinamika akan menyebabkan deformasi struktur pada sayap fleksibel, deformasi ini akan mempengaruhi besar gaya yang dihasilkan oleh oleh sayap. Besarnya gaya aerodinamika dan deformasi struktur berbanding lurus. Peningkatan besarnya gaya aerodinamika akan menyebabkan peningkatan besarnya deformasi struktur dan sebaliknya peningkatan besarnya deformasi struktur akan menyebabkan peningkatan besarnya gaya aerodinamika, sehingga akan saling menguatkan. Kejadian tersebut akan menyebabkan kondisi tidak stabil yang dapat menyebabkan terjadinya kegagalan struktur sayap. Kondisi
ketidakstabilan
pada
fenomena
aeroelastik
disebut
sebagai
ketidakstabilan aeroelastik. Terdapat dua jenis kestabilan, yaitu: kestabilan statik dan dinamik. Pada kasus aeroelastik, ketidakstabilan statik disebut sebagai divergence dan ketidakstabilan dinamik disebut sebagai flutter. Flutter merupakan
1
Bab I - Pendahuluan
ketidakstabilan yang lebih dahulu terjadi, sehingga informasi kecepatan dimana terjadi flutter (kecepatan flutter) sangat diperlukan untuk dihindari. Untuk keselamatan penerbangan, kecepatan terbang pesawat harus berada dibawah kecepatan flutter. Hal ini membatasi kemampuan (prestasi) terbang pesawat udara. Peningkatan prestasi terbang dapat dilakukan dengan meningkatkan kecepatan terbang yang dapat dilakukan dengan aman oleh suatu pesawat. Salah satu caranya adalah mempertinggi kecepatan flutter. Cara ini disebut sebagai flutter suppression. Flutter suppression dapat dilakukan dengan menggunakan sistem kendali aktif. Sistem kendali aktif merupakan penambahan suatu sistem kendali yang memanfaatkan bidang kendali pesawat udara yang digerakan oleh suatu actuator. Untuk kajian dan eksperimen aeroelastik di dalam laboratorium, sayap pesawat udara dimodelkan oleh suatu typical wing section yang berupa model sayap dua dimensi yang dilengkapi dengan bidang kendali, aktuator yang berupa servomotor, dan mekanisme penggerak bidang kendali. Typical wing section ini ditopang oleh delapan buah pegas yang memodelkan kekakuan heaving dan torsional sayap pesawat. Kondisi terbang pesawat disimulasikan dengan meniup typical wing section tersebut di dalam wind tunnel. Besarnya pergerakan typical wing section diindera oleh akselerometer yang diletakan didalamnya, dan defleksi bidang kendali diindera oleh potensiometer yang dipasang didalam typical wing section tersebut. Pada kasus ini koefisien aerodinamika typical wing section dan bidang kendali, kekakuan pegas, massa,dan momen inersia typical wing section tersebut juga tidak diketahui. Persamaan dinamika servomotor yang digunakan sebagai aktuator tidak diketahui, hanya diketahui daerah kerjanya. Parameter persamaan dinamika aeroelastik salah satunya dipengaruhi oleh gaya aerodinamika, dimana gaya tersebut merupakan fungsi dari ketinggian dan kecepatan terbang. Dengan demikian aeroelastik merupakan sistem dinamik dengan parameter yang berubah-ubah (varying parameter) untuk setiap perubahan kecepatan atau ketinggian terbang. Sistem kendali adaptif merupakan salah satu sistem kendali yang tepat digunakan untuk mengendalikan sistem dinamik dengan parameter yang berubah-ubah. Hukum kendali adaptif tersebut disusun berdasarkan
2
Bab I - Pendahuluan
persamaan sistem dinamik yang diperoleh melalui proses identifikasi yang dilakukan secara on-line. Dalam kenyataannya semua sistem dinamik bersifat nonlinier, sehingga tidak tertutup kemungkinan dinamika model aeroelastik tersebut bersifat nonlinier. Persamaan sistem dinamik yang diperoleh dari identifikasi sangat mempengaruhi performance dari hukum kendali yang disusun. Semakin dekat persamaan sistem dinamik yang dihasilkan dari identifikasi dengan dinamika plant yang sesungguhnya, maka performance sistem kendali yang dirancang berdasarkan hasil identifikasi tersebut akan semakin bagus. Dengan demikian diperlukan suatu sistem identifikasi yang mampu mengidentifikasi sistem nonlinier. Jaringan syaraf tiruan (JST) merupakan sistem pengolahan informasi secara paralel yang mempunyai kemampuan untuk melakukan pembelajaran. Melalui pembelajaran tersebut JST dapat digunakan untuk mengidentifikasi sistem nonlinier secara on-line [2]. Dengan melakukan identifikasi secara nonlinier, hasil yang diperoleh akan makin mendekati dinamika yang sesungguhnya. Dengan kemampuan JST dalam mengidentifikasi sistem nonlinier secara online, maka pada tugas akhir ini akan dikaji penggunaan JST untuk mengidentifikasi model aeroelastik secara real-time. Hasil identifikasi yang diperoleh akan digunakan untuk keperluan flutter suppression secara real-time pada model aeroelastik tersebut. Untuk keperluan implementasi, Matlab dengan salah satu produknya yaitu Real-time Workshop (RTW) memberikan fasilitas untuk membangun sistem real-time melalui pen-download-an model Simulink kedalam processor hardware yang digunakan (target). Dalam menggunakan RTW ini diperlukan model simulink, sehingga semua algoritma harus dinyatakan dalam model Simulink. Untuk menyatakan algoritma JST dalam Simulink digunakan S-Function yang dibuat dengan bahasa C. S-Function ini memberikan fleksibilitas kepada pengguna untuk membuat suatu blok yang berisi algoritma sesuai keinginan pengguna. Target yang digunakan dalam implementasi ini adalah board DSP RTI 1003 poduksi dSpace, yang mampu melakukan pengolahan sinyal dengan kecepatan tinggi.
3
Bab I - Pendahuluan
1.2
Tujuan Tugas akhir ini mempunyai tujuan utama yaitu menggunakan JST untuk
flutter suppression pada model aeroelastik secara real-time. Namun sejalan dengan tujuan utama tersebut, didalam kajiannya terdapat beberapa tujuan yang lain, yaitu: a. Melakukan identifikasi model aeroelastik menggunakan JST secara realtime b. Mengetahui beberapa faktor yang mempengaruhi flutter suppression performance c. Menganalisa flutter suppression performance yang digunakan
1.3
Batasan Masalah Dalam tugas akhir ini terdapat pembatasan terhadap masalah-masalah yang
dikaji, yaitu:
Implementasi dilakukan pada model aeroelastik
di Laboratorium
Getaran dan Pengendalian Teknik Penerbangan ITB.
Fenomena aeroleastik yang dibahas berupa flutter
Struktur JST yang digunakan terdiri dari banyak lapisan (multi-layer perceptron) dengan metode pembelajaran back-propagation
1.4
Metode Penelitian Dalam melakukan tugas akhir ini dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
Melakukan kajian literatur untuk memahami dasar teori yang akan digunakan dalam tugas akhir ini
Membuat software untuk keperluan implementasi secara real-time, dengan menggunakan S-Function dengan bahasa C
Melakukan implementasi flutter suppression secara real-time
Menganalisa hasil-hasil yang diperoleh dari implementasi
4
Bab I - Pendahuluan
1.5
Sistematika Pembahasan Pembahasan JST untuk Flutter Supression pada laporan tugas akhir ini
terdiri dari tujuh bab, dengan gambaran umum pembahasan sebagai berikut:
Bab I Bab ini berisi latar belakang, tujuan, batasan masalah, metode penelitian dan sistematika pembahasan dari tugas akhir ini.
Bab II Pada bab ini dibahas dasar teori aeroelastik. Pembahasan meliputi diskripsi model aeroelastik, penurunan persamaan gerak aeroelastik dengan menggunakan persamaan Lagrange, fenomena flutter beserta dampak yang ditimbulkannya.
Bab III Pada bab ini akan dibahas dasar teori JST yang meliputi : pengertian jaringan syaraf tiruan, neuron sebagai elemen dasar JST, JST dengan banyak lapisan, proses komputasi pada JST, pembelajaran JST, fungsi aktivasi dan aspek-aspek JST dalam aplikasi.
Bab IV Pada bab IV akan dibahas perancangan flutter suppression menggunakan
JST.
Pembahasan
meliputi:
pengertian
flutter
suppression, deskripsi model aeroelastik, persamaan sistem dinamik nonlinier, identifikasi on-line, pemodelan dinamika model aeroelastik, dan hukum kendali untuk flutter suppression.
Bab V Pada bab ini akan di bahas hal-hal yang diperlukan untuk keperluan implementasi JST untuk flutter suppression model aeroelastik secara real-time.
Pembahasan
meliputi
pengertian
sistem
real-time,
hardware dan software yang diperlukan untuk membangun sistem real-time, dan set-up pengujian flutter suppression.
5
Bab I - Pendahuluan
Bab VI Analisa terhadap hasil-hasil yang diperoleh dari implementasi menjadi topik pembahasan pada bab ini. Akan dianalisa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja JST, dan performance dari flutter suppression yang disusun.
Bab VII Kesimpulan dan saran terhadap apa yang telah dilakukan pada tugas akhir akan diberikan pada bab ini, yang merupakan bab terakhir dari pembahasan tugas akhir ini.
6
Bab II - Aeroelastik
BAB II AEROELASTIK
2.1
Model Aeroelastik Untuk
mempelajari
fenomena
aeroelastik
didalam
laboratorium,
digunakan mo del aeroelastik. Model aeroelastik dapat berupa suatu typical wing section yang ditopang oleh pegas. Typical wing section merupakan sayap dua dimensi yang memodelkan profil aerodinamika dari suatu sayap pesawat udara yang dilengkapi dengan bidang kendali. Pegas yang menupang digunakan untuk memodelkan
kekakuan
struktur
sayap.
Massa
typical
wing
section
merepresentasikan sifat-sifat inersia sayap. Gaya aerodinamika dibangkitkan dengan meniup typical wing section tersebut didalam wind tunnel. Fenomena yang dapat disimulasikan oleh model aeroelastik ini berupa response dinamik aeroelastik dan kondisi ketidakstabilan aeroelastik (flutter). Model aeroelastik yang digunakan di Laboratorium Getaran Teknik Penerbangan ITB ditunjukkan pada gambar berikut:
k
k h
U
θ
ac
ec
r1
r2
cg
δ
k
k
Gambar 2.1 : Model Aeroelastik
Model aeroelastik pada gambar 2.1 memiliki dua derajat kebebasan gerak, yaitu gerakan rotasional (pitching) yang dinyatakan oleh θ dan translasi dalam arah vertikal (heaving) yang dinyatakan oleh h.
7
Bab II - Aeroelastik
2.2
Persamaan Gerak Aeroelastik Untuk mendapatkan persamaan gerak, model aeroelastik pada gambar
2.1 dapat disederhanakan menjadi model ekuivalen yang ditunjukkan pada gambar berikut:
kh
U
h
ac kα
θ
r1
r3
cg r2
δ
Gambar 2.2 : Model Ekuivalen
Untuk menganalisa model aeroelastik tersebut, digunakan sumbu elastik dan berlaku beberapa konvensi, yaitu:
2.2.1
h positif untuk gerakan ke arah bawah
α positif untuk rotasi ke atas (pitch up )
defleksi bidang kendali δ positif untuk defleksi ke bawah.
Persamaan Lagrange Persamaan Lagrange dapat digunakan untuk menurunkan pesamaan
gerak sistem dinamik yang memiliki beberapa generalize coordinates. Bentuk umum persamaan Lagrange :
d ⎛ ∂Ξ ⎜ dt ⎜⎝ ∂ λ& i
⎞ ∂Ξ ⎟⎟ − = Qi ⎠ ∂λ i
(2.1)
Ξ = Ek − E p dimana : Ξ: langrangian Ek : energi kinetik
8
Bab II - Aeroelastik
Ep : energi potensial λi : generalized coordinate Qi : generalized force yang terkait dengan qi
2.2.2 Penurunan Persamaan Gerak Model Aeroelastik Dengan menggunakan dua buah generalized coordinates, yaitu: h yang menyatakan gerakan heaving dan θ yang menyatakan gerakan torsional, energi kinetik dan energi potensial model aeroelastik ekuivalen didefinisikan sebagai berikut:
(
)
2 1 1 ms h& + r2θ& + Iθ& 2 2 2 1 2 1 2 E p = k h h + k θθ 2 2
Ek =
(2.2)
dimana:
ms : massa model aeroelastik kh
: kekakuan modus heaving
kθ
: kekakuan modus torsional
Dengan mensubtitusikan persamaan (2.2) ke persamaan (2.1), diperoleh :
⎡ m ⎢ ⎣mr2
⎤ ⎡h&&⎤ ⎡k h ⎥⎢ ⎥+ I + mr2 2 ⎦ ⎣&θ&⎦ ⎢⎣ 0
(
mr2
)
0 ⎤ ⎡h ⎤ ⎡Qh ⎤ = k θ ⎥⎦ ⎢⎣ θ⎥⎦ ⎢⎣Qθ ⎥⎦
(2.3.a)
dalam model aeroelastik ini, generalized force yang bekerja pada pada model tersebut adalah aerodinamika (QA) dan redaman struktur (QS).
Q = Q A + QS
(2.3.b)
dimana:
⎡− L⎤ QA = ⎢ ⎥ ⎣M ⎦
⎡ m QS = − ⎢ ⎣mr2
mr2
⎤ ⎡2ς h ωh ⎥⎢ 0 ⎦⎣
(I + mr ) 2
2
9
⎤ ⎡h&⎤ 2ς θω θ ⎥⎦ ⎢⎣ θ& ⎥⎦ 0
Bab II - Aeroelastik
L dan M adalah gaya dan momen aerodinamika. L bertanda negative karena mempunyai arah yang berlawanan dengan arah pergerakan h, dan Qs berharga negatif karena redaman mempunyai arah yang berlawanan dengan arah gerakan yang diredam. Dengan mendefinisikan matrik redaman struktur DS,
⎡ m DS = ⎢ ⎣mr2
mr2
⎤ ⎡2ς h ωh ⎥⎢ 0 ⎦⎣
0 ⎤ 2ς θ ω θ ⎥⎦
(I + mr ) 2
2
(2.3.c)
maka bentuk persamaan matrik persamaan (2.3.a) dapat ditulis :
⎡h&⎤ ⎡h&&⎤ ⎡h ⎤ ⎡ − L ⎤ M s ⎢ ⎥ + Ds ⎢ ⎥ + K s ⎢ ⎥ = ⎢ ⎥ && & ⎣ θ⎦ ⎣ M ⎦ ⎣ θ⎦ ⎣ θ⎦
(2.4)
dimana :
⎡ m Ms = ⎢ ⎣mr2 ⎡k Ks = ⎢ h ⎣0
mr2
⎤ ⎥ ⎦
(I + mr ) 2
2
0⎤ k θ ⎥⎦
, adalah matrik inersia struktur
, adalah kekakuan struktur
Gaya dan momen aerodinamika didefinisikan [3]:
)
(
c ⎡ ⎤ L = qS ⎢C L α α + C L δ δ + C Lα& α& + C Lq θ& ⎥ 2U ⎣ ⎦ c ⎡ ⎤ M = qSc ⎢C M α α + C M δ δ + CM α& α& + C M q θ& ⎥ 2U ⎣ ⎦
(
)
(2.5)
dimana,
c
adalah midchord
S adalah luas profil sayap
U adalah kecepatan aliran udara C Lα , C Lδ , C Lα& , C Lq , CM α , C M δ , C M α& , dan C M q aerodinamika
q adalah tekanan dinamik, q =
1 ρU 2 2
α adalah sudut serang
10
merupakan koefisien
Bab II - Aeroelastik
Dengan asumsi α0=0, dan mendefinisikan l sebagai jarak titik aerodinamika dari leading edge (l = r3 − r1) maka sudut serang didefinisikan sebagai :
α = θ+
h& lθ& + U U
(2.6)
Dengan mensubtitusikan persamaan (2.6) ke persamaan (2.5) diperoleh:
⎡0 − C Lα ⎤ ⎡h ⎤ ⎡ − L⎤ ⎢ M ⎥ = qS ⎢0 c C ⎥ ⎢ θ⎥ " Kekakuan " Mα ⎦ ⎣ ⎦ ⎣ ⎦ ⎣ ⎡ c ⎛ ⎞ ⎤ C Lα& + C Lq ⎟ ⎥ − ⎜ lC Lα + ⎢ − C Lα 2U ⎝ ⎠ ⎥ ⎡h&⎤ qS ⎢ + 2 ⎞⎥ ⎢ θ& ⎥ " damping " ⎛ c U ⎢ ⎟ ⎣ ⎦ ⎜ ⎢c C M α − ⎜ lC M α + 2U C M α& + C M q ⎟⎥ ⎠⎦ ⎝ ⎣ & & qSc ⎡ − C Lα& − lC Lα& ⎤ ⎡h ⎤ + ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ " Inersia " 2U ⎣c C M α& − lC M α& ⎦ ⎣&θ&⎦ ⎡ − C Lδ ⎤ (2.7) + qS ⎢ ⎥ δ " control " ⎣c C M δ ⎦
)
( (
)
dalam bentuk yang lebih sederhana persamaan (2.7) dapat ditulis :
⎡h&&⎤ ⎡h&⎤ ⎡ − L⎤ ⎡h ⎤ = + M D a ⎢&&⎥ a ⎢ & ⎥ + K a ⎢ ⎥ + Bδδ ⎢M ⎥ ⎣ ⎦ ⎣ θ⎦ ⎣ θ⎦ ⎣ θ⎦
(2.8)
dimana :
M a : Matrik inersia aerodinamik
Ma =
qSc 2U
⎡ − C Lα& ⎢c C ⎣ M α&
− lC Lα& ⎤ − lC M α& ⎥⎦
Da : Matrik damping aerodinamik
⎡ ⎢ − C Lα qS ⎢ Da = U ⎢ ⎢c C M α ⎣
( (
)
c ⎛ ⎞ ⎤ − ⎜ lC Lα + C Lα& + C Lq ⎟ ⎥ 2U ⎝ ⎠ ⎥ 2 ⎛ ⎞⎥ c − ⎜ lC M α + C M α& + C M q ⎟⎥ ⎜ ⎟ 2U ⎝ ⎠⎦
11
)
Bab II - Aeroelastik
K a : Matrik kekakuan aerodinamik, ⎡0 − C Lα ⎤ K a = qS ⎢ ⎥ ⎣0 c C M α ⎦
Bδ : Matrik input (bidang kendali) ⎡ − C Lδ ⎤ Bδ = qS ⎢ ⎥ ⎣c C M δ ⎦ dengan mensubtitusikan persamaan (2.8) ke persamaan (2.4) akan diperoleh:
⎡ &&⎤
⎡ &⎤
⎣ θ⎦
⎣ θ⎦
(M s − M a ) ⎢&h&⎥ + (Ds − Da ) ⎢h& ⎥ + (K s − K a ) ⎡⎢
h⎤ ⎥ = Bδ δ ⎣ θ⎦
(2.9)
Persamaan karakteristik model aeroelastik adalah:
⎡ &&⎤
⎡ &⎤
⎣ θ⎦
⎣ θ⎦
(M s − M a ) ⎢&h&⎥ + (Ds − Da ) ⎢h& ⎥ + (K s − K a ) ⎡⎢
h⎤ ⎥=0 θ ⎣ ⎦
(2.10)
Persamaan (2.10) dapat dinyatakan dalam domain laplace sebagai berikut:
[(M
s
⎡ H ( p )⎤ − M a ) p 2 + (Ds − Da ) p + (K s − K a ) ⎢ ⎥=0 ⎣ θ( p ) ⎦
]
(2.11)
dimana p menyatakan domain laplace dan H ( p ) menyatakan gerakan heaving
h dalam domain laplace, dan θ ( p ) menyatakan gerakan torsional θ dalam domain laplace.
2.3 Fenomena Flutter Dari
persamaan
(2.10)
umum
persamaan
karakteristik
dinamika
aeroelastik mempunyai parameter yang berubah-ubah, yang dipengaruhi oleh gaya dan momen aerodinamika. Bentuk root locus dari persamaan tersebut ditunjukkan sebagai berikut (diambil dari ref. 3):
12
Bab II - Aeroelastik
Gambar 2.3 : Root Locus Persamaan Karakteristik Dinamika Aeroelastik [3] Dari root locus tersebut terlihat kedua akar karakteristik dinamika aeroelastik mengalami pergeseran, yang disebabkan karena adanya perubahan kecepatan. Hal ini dapat dipahami dengan memperhatikan persamaan (2.10). Pergeseran akar tersebut akan menyebabkan perubahan redaman dan frekuensi pribadi dinamika sistem. Pada root locus tersebut juga terlihat bahwa salah satu akar menuju ke sebelah kanan sumbu imaginer, yang memberikan arti bahwa dinamika aeroelastik menjadi tidak stabil. Fenomena aeroelastik dimana akar karakteristik dinamika aeroelastik menyeberang kesebelah kanan sumbu imaginer (terjadi ketidakstabilan dinamik) disebut sebagai flutter. Kecepatan dimana terjadi fenomena flutter disebut sebagai kecepatan flutter.
2.4
Dampak Fenomena Flutter Fenomena flutter sangat merugikan dalam dunia penerbangan. Hal ini
disebabkan karena struktur pesawat udara akan mengalami kegagalan pada saat terjadi
fenomena
tersebut,
dan
sangat
membahayakan
keselamatan
penerbangan. Dengan adanya fenomena flutter ini, pesawat terbang harus terbang dibawah kecepatan flutter. Hal ini membatasi daerah kerja pesawat udara.
13
Bab III – Jaringan Syaraf Tiruan
BAB III JARINGAN SYARAF TIRUAN
3.1 Jaringan Syaraf Tiruan Jaringan syaraf tiruan (JST) adalah sistem pengolahan sinyal secara parallel. JST memiliki kemampuan untuk menyimpan pengetahuan yang diperoleh melalui pembelajaran dan pengetahuan tersebut disediakan untuk digunakan dilain waktu [4]. Proses pengolahan sinyal pada JST ini menirukan proses pengolahan sinyal yang terjadi pada makhluk hidup Dalam JST, pengetahuan yang diperoleh pada saat pembelajaran disimpan dalam bentuk parameter JST yang berupa bobot sinaptik dan bias neuron. Sinaptik merupakan media aliran sinyal antar neuron. Sinaptik ini memiliki bobot yang berfungsi sebagai gain yang akan menguatkan atau melemahkan sinyal yang melewatinya. Pada setiap neuron terdapat bias, bias ini mirip dengan bobot sinaptik, hanya saja sinyal yang lewat berharga konstan yaitu -1. Bobot sinaptik selanjutnya disebut sebagai bobot dan bias neuron disebut sebagai bias.
3.2
Komputasi Jaringan Syaraf Tiruan Dalam JST terdapat dua proses komputasi, yaitu komputasi maju dan
mundur. Komputasi mundur disebut sebagi pembelajaran. Komputasi maju JST bertujuan
untuk
menghasilkan
output
berdasarkan
input
yang
masuk.
Pembelajaran bertujuan untuk mengkoreksi harga parameter JST sehingga error JST yang dihasilkan minimum. Error JST adalah selisih antara harga output JST yang diinginkan dengan harga output JST yang dihasilkan. Untuk mempermudah memahaminya, terlebih dahulu dibahas komputasi pada neuron kemudian dibahas komputasi pada JST yang terdiri dari banyak neuron dengan banyak lapisan.
14
Bab III – Jaringan Syaraf Tiruan
3.2.1 Neuron Neuron merupakan elemen dasar pengolah sinyal di dalam JST. Berikut ini ditunjukkan model neuron beserta proses komputasi: -1
x1
w11
x2
w12
b
≡ ∑
n
f (.)
a
M xi
w1i
Gambar 3.1 : Model neuron
Dalam sistem dinamik, neuron tergolong sistem dengan multi input single input (MISO). Output yang dihasilkan oleh neuron adalah:
n = Wx - b
(3.1)
a = f (n ) dimana :
x = [x1 , x2 , x3 ,..., xi ]
T
, merupakan vektor input neuron
W = [w11 , w12 , w13 ,..., w1i ]
merupakan matrik bobot
n merupakan sinyal input komulatif neuron b merupakan bias neuron f(.) merupakan fungsi aktivasi a merupakan output neuron
3.2.2 Multil-Layer Perceptrons Dalam aplikasinya, JST yang sering digunakan terdiri dari banyak neuron dan dapat mempunyai struktur yang berlapis-lapis. Struktur JST yang berlapis-
15
Bab III – Jaringan Syaraf Tiruan
lapis ini disebut multi-layer perceptron (MLP). Lapisan pada struktur ini dapat digolongkan menjadi tiga jenis lapisan, yaitu:
lapisan input, yaitu lapisan dimana terdapat nodes tempat masuknya sinyal input JST
lapisan output, adalah lapisan dimana terdapat nodes tempat keluarnya sinyal ouput JST
lapisan tersembunyi, adalah lapisan yang terletak diantara lapisan input dan output
Dalam setiap lapisan tersebut terdapat beberapa neuron. Dalam aplikasi JST, tidak ada ketentuan yang pasti mengenai pemilihan jumlah neuron dalam tiap lapisan. Penggunaan neuron yang banyak akan meningkatkan beban komputasi. Penggunaan neuron yang terlalu sedikit menyebabkan ketidakmampuan jaringan dalam menyelesaikan fungsinya dengan ditunjukkan oleh error jaringan yang dihasilkan cukup besar. Blok diagram dari MLP dengan multi input multi output ditunjukkan sebagai berikut : x1
w [111 ]
n [11]
∑
f1() .
a [11]
b [11 ]
w [112 ]
-1 x2
n [21]
∑
f1() .
a [21 ]
∑
-1 n [31]
f1() .
a [31 ]
b [22 ]
-1
-1 n [41 ]
∑
f1() .
a [41 ]
[1 ]
b4 -1
xg [1 ]
w hg
∑
n [h1 ]
b [13 ]
n [13 ]
f2 () .
M f2 () .
f3(.)
a [22 ]
M ∑
[2 ]
ai
w [ij3 ]
n [j3 ]
b [j3 ]
-1
b [i 2 ]
M f1() .
n [i 2 ]
∑
-1
∑ n [22 ]
∑
b [31]
M
w [113 ]
-1
∑
x4
f2 () .
a [12 ]
b [12 ]
b [21]
x3
n [12 ]
w [ih1]
-1
a [h1 ]
b [h1] -1 lapisan input
lapisan tersembunyi 1
lapisan tersembunyi 2
Gambar 3.2: Multi-Layer Perceptron
16
lapisan output
f 3(.)
a [13 ]
a [j3 ]
Bab III – Jaringan Syaraf Tiruan
dimana:
x = [x1 , x2 , x3 ,..., xg ] T w [uvL ]
, merupakan vektor input JST
: bobot sinaptik yang menghubungkan sinyal output neuron v pada lapisan L-1 ke neuron u pada lapisan L. Untuk L=0, maka v merupakan nodes input JST.
nv[ L ]
: sinyal input komulatif neuron v pada lapisan L
b [vL ] : bias neuron v pada lapisan L f L (.) : fungsi aktivasi pada lapisan L
a [vL ]
: output neuron v pada lapisan L
Indeks yang tertera pada bobot sinaptik juga menunjukan posisi bobot tersebut dalam matrik bobot, indeks pertama menunjukan baris dan indeks kedua menunjukan kolom. Untuk harga-harga elemen pada JST yang memiliki satu indeks, maka indeks tersebut menunjukan posisi elemen tersebut dalam vektor elemen. Sebagai contoh matrik bobot dan vektor bias neuron pada lapisan pertama (L=1) ditunjukan sebagai berikut: [1 ] ⎡ w11 ⎢ [1 ] [1 ] ⎢ w21 W = ⎢ M ⎢ [1 ] ⎢⎣ wh 1
[1 ]
[
[1 ]
[1 ] w12 K w1[1g] ⎤ ⎥ [1 ] w22 L w2[1g] ⎥ M O M ⎥ [1 ] ⎥ wh[12] L whg ⎥⎦
[1 ]
[1 ]
[1 ]
b = b1 , b2 , b3 , ..., bh
]
T
Proses komputasi maju dari MLP pada gambar diatas adalah sebagai berikut :
Output lapisan tersembunyi 1:
n [1 ] = W [1 ] x - b [1 ]
a [1] = f 1 (n [1] )
(3.2)
Output lapisan tersembunyi 2:
n [2 ] = W [2 ]a [1] - b [2 ]
a [2 ] = f 2 (n [2 ] )
(3.3)
17
Bab III – Jaringan Syaraf Tiruan
Output lapisan output:
n [3 ] = W [3 ]a [3 ] - b [3 ]
a [3 ] = f 3 (n [3 ] )
(3.4)
komputasi diatas merupakan komputasi matrik, dimana:
3.3
W [L ]
: matrik bobot sinaptik pada lapisan L
n [ L]
: vektor sinyal input komulatif neuron pada lapisan L
b [L ]
: vektor bias neuron pada lapisan L
a [L ]
: vektor output neuron pada lapisan L
Pembelajaran JST Pembelajaran JST bertujuan untuk mendapatkan harga parameter
optimal JST yang meminimalkan suatu cost function. Harga parameter ini disimpan sebagai informasi tersimpan hasil pembelajaran. Cost function merupakan fungsi error JST. Algorithma back-propagation merupakan salah satu algoritma pembelajaran yang telah banyak digunakan. Berikut ini adalah algorithma back-propagation untuk pembelajaran JST secara on-line mengacu pada gambar 2.5 [4]. Misalkan pada waktu sampling kek diinginkan JST menghasilkan output d(k), namun pada kenyataannya output yang dihasilkan JST adalah e(k)=d(k) -
a [3 ] (k ) , maka error JST adalah :
a [3 ] (k )
(3.5)
Didefinisikan suatu cost function E,
E=
1 T e (k ) e (k ) 2
(3.6)
untuk mendapat cost function yang minimum perlu dilakukan koreksi harga parameter, dimana besarnya koreksi sebanding dengan turunan cost function terhadap parameter tersebut
18
Bab III – Jaringan Syaraf Tiruan
∆Ψ [L ] = −η = −η
dimana
Ψ [L ]
∂E
∂Ψ [L ] ∂ E ∂ n[L ]
(3.7)
∂ n [ L ] ∂ Ψ [L ]
adalah parameter JST pada lapisan L,
n[L]
adalah vektor input
komulatif yang masuk ke neuron-neuron pada lapisan L, dan η adalah learning rate. Learning rate menyatakan kecepatan dalam pembelajaran. Didefinisikan sensitivitas lapisan L sebagai
δ [L ] =
δ [ L ] , dimana:
∂E ∂ n[L]
(3.8.a)
sehingga
∆Ψ = −ηδ
[L ] ∂ n
[L]
(3.8.b)
∂Ψ
Harga bobot terkoreksi adalah:
Ψ (k + 1) = Ψ (k ) + ∆Ψ (k )
(3.9)
Harga parameter pada perumusan ini adalah harga parameter pada sampling waktu ke-k, sehingga indeks waktu
k tidak tulis lagi untuk penyederhanaan
penulisan. Koreksi parameter JST dilakukan sebagai berikut:
Koreksi harga parameter lapisan output ¾ Koreksi harga bobot
∆W [3 ] = −ηδ [3] = −ηδ [3]
∂ n [3 ] ∂W [3 ]
(3.10)
[3 ]
∂n ∂W [3 ]
definisikan sensitivitas lapisan output
19
δ [3 ] sebagai:
Bab III – Jaringan Syaraf Tiruan
δ [3 ] =
∂E ∂ n [3 ]
∂ E ∂ e ∂ a [3 ] = ∂ e ∂ a [3 ] ∂ n [3 ]
(3.11)
harga bobot terkoreksi pada lapisan output adalah:
W [3 ] (k + 1) = W [3 ] (k ) + ∆W [3 ] (k )
(3.12)
¾ Koreksi harga bias
∆b [3 ] = −ηδ [3]
∂ n [3 ] ∂ b [3 ]
(3.13)
= ηδ [3] harga bias terkoreksi pada lapisan output adalah:
b [3 ] (k + 1) = b [3 ] (k ) + ∆b [3 ] (k )
(3.14)
Koreksi harga parameter lapisan tersembunyi kedua ¾ Koreksi harga bobot
∆W
[2 ]
= − ηδ
[2 ]
∂ n [2 ] ∂W [2 ]
(3.15)
∂ n [2 ] = − ηδ [2 ] ∂W [2 ] definisikan sensitivitas lapisan tersembunyi kedua
δ [2 ] =
δ [2 ] sebagai:
∂E ∂ n [2 ]
∂ E ∂ n [3 ] ∂ a [2 ] = ∂ n [3 ] ∂ a [2 ] ∂ n [2 ] =δ
[3 ] ∂ n
[3 ]
∂ a [2 ]
(3.16)
∂ a [2 ] ∂ n [2 ]
harga bobot terkoreksi pada lapisan tersembunyi kedua adalah:
W [2 ] (k + 1) = W [2 ] (k ) + ∆W [2 ] (k )
20
(3.17)
Bab III – Jaringan Syaraf Tiruan
¾ Koreksi harga bias
∆b
[2 ]
= − ηδ
∂ n [2 ]
[2 ]
∂ b [2 ]
(3.18)
= ηδ [2 ] harga bias terkoreksi pada lapisan tersembunyi kedua adalah:
b [2 ] (k + 1) = b [2 ] (k ) + ∆b [2 ] (k )
(3.19)
Koreksi harga parameter lapisan tersembunyi pertama ¾ Koreksi harga bobot
∆W [1] = −ηδ [1]
∂ n [1 ] ∂W [1 ]
(3.20)
[1 ] [1] ∂ n = − ηδ ∂W [1 ]
definisikan sensitivitas lapisan tersembunyi pertama
δ [1 ] = =
δ [1] sebagai:
∂E ∂ n [1 ] ∂ E ∂ n [ 2 ] ∂ a [1 ] ∂ n [2 ] ∂ a [1 ] ∂ n [1 ]
=δ
[2 ]
(3.21)
∂ n [ 2 ] ∂ a [1 ] ∂ a [1] ∂ n [1 ]
harga bobot terkoreksi pada lapisan tersembunyi pertama adalah:
W [1] (k + 1) = W [1] (k ) + ∆W [1] (k )
(3.22)
¾ Koreksi harga bias
∆b
[1 ]
= − ηδ
[1]
∂ n [1 ] ∂ b [1 ]
(3.23)
= ηδ [1] harga bias terkoreksi pada lapisan tersembunyi pertama adalah:
b [1] (k + 1) = b [1] (k ) + ∆b [1] (k )
21
(3.24)
Bab III – Jaringan Syaraf Tiruan
Pembelajaran on-line ini terus dilakukan selama proses berjalan. Proses komputasi JST secara keseluruhan ditunjukkan pada flow chart berikut: Start
Inisialisasi Bobot
Komputasi Maju (persamaan 3.2-3.4)
Hitung Error JST (persamaan 3.5)
Hitung besar perubahan bobot (persaman 3.10-3.24)
Gambar 3.3: Flow Chart Komputasi pada JST
3.4
Fungsi Aktivasi Karena pada algoritma backpropagation terdapat turunan fungsi aktivasi,
maka digunakan fungsi aktivasi yang berupa fungsi continue. Fungsi aktivasi yang disarankan adalah fungsi-fungsi logistik. Cybenko pada tahun 1989 mengungkapkan bahwa JST dengan satu lapisan tersembunyi yang mempunyai fungsi aktivasi sigmoidal atau tangen hiperbolik dan fungsi aktivasi linier pada lapisan ouput dapat digunakan untuk mendekati sembarang fungsi continuous [2]. Namun tidak disebutkan struktur JST yang digunakan dan besarnya learning rate. Persamaan dari fungsi-fungsi tersebut adalah:
22
Bab III – Jaringan Syaraf Tiruan
df (x ) =1 dx
Linier
: f (x ) = x ,
Tangen sigmoid
: f (x ) =
2 −1, 1 + e −2 x
df (x ) 2 = 1 − f (x ) dx
Sigmoid
: f (x ) =
1 , 1 + e −a x
df (x ) = f ( x ) (1 − f ( x )) dx
3.5
Aspek-Aspek JST dalam Aplikasi Dalam
penggunaan
JST
terdapat
beberapa
aspek
yang
perlu
diperhatikan, antara lain:
Harga awal parameter Sebelum dilakukan pembelajaran, JST harus memiliki harga parameter awal. Harga parameter awal menentukan keberhasilan dan kecepatan pembelajaran JST untuk mencapai global minimum cost function. Karena tidak diketahui letak global minimum ini, maka harga awal parameter dipilih secara acak dengan harga yang kecil (kurang dari satu). Semakin dekat
harga
awal
dengan
harga
parameter
optimalnya
akan
mempercepat proses pembelajaran.
Learning rate Learning rate mempengaruhi kecepatan pembelajaran. Learning rate yang kecil menyebabkan perubahan parameter yang terjadi kecil, sehingga pembelajaran menjadi lama menuju konvergen, learning rate yang besar mempercepat pembelajaran namun dapat menyebabkan terjadinya ketidakstabilan pembelajaran.
23
Bab IV – Perancangan Flutter Suppression
BAB IV PERANCANGAN FLUTTER SUPPRESSION
4.1
Flutter Suppression Pada bab dua telah dibahas fenomena flutter dan dampaknya yang
merugikan. Untuk itu diperlukan usaha untuk menghilangkan fenomena ini. Dari penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa fenomena flutter tidak bisa dihilangkan, namun diperoleh hasil bahwa kecepatan flutter dapat ditingkatkan. Usaha meningkatkan kecepatan flutter ini disebut flutter suppression. Flutter suppression dapat dilakukan dengan penambahan sistem kendali yang memanfaatkan bidang kendali pesawat udara. Sistem kendali yang digunakan dalam flutter suppression ini merupakan sistem kendali jenis regulator, dimana referensinya berharga nol. Blok diagram sistem kendali untuk flutter suppression ditunjukkan sebagai berikut: response referansi dinamika eroelastik, yr = 0 defleksi bidang kendali
Sinyal Kendali u Hukum Kendali
Aktuator
Dinamika Aeroelastik
response dinamika aeroelastik y
Sensor
Gambar 4.1 Diagram Sistem Kendali Flutter Suppression Untuk kajian fenomena aeroelastik didalam laboratorium, dipergunakan model aeroelastik, yang sekaligus digunakan sebagi objek dalam flutter suppression ini.
24
Bab IV – Perancangan Flutter Suppression
4.2
Diskripsi Model Aeroelastik Model aeroelastik yang digunakan sebagai wahana eksperimen ini
berupa suatu typical wing section yang ditopang oleh delapan buah pegas. Pada typical wing section tersebut terdapat sebuah bidang kendali yang digerakan oleh sebuah servomotor. Defleksi bidang kendali diindera oleh sebuah potensiometer yang terdapat didalam typical wing section tersebut. Di dalam typical wing section tersebut juga dipasang dua buah akselerometer yang digunakan
untuk
mengindera
gerakan
heaving
dan
torsional
model.
Selengkapnya model aeroelastik yang dipergunakan dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 4.2 : Foto Model aeroelastik Persamaan dinamika dari model aeroelastik tersebut tidak diketahui. Sehingga diperlukan proses identifikasi untuk mendapatkan persamaan dinamika tersebut. Hasil identifikasi yang diperoleh akan digunakan dalam perancangan sistem kendali untuk flutter suppression. Keberhasilan proses identifikasi dalam mendapatkan persamaan tersebut sangat mempengaruhi performance flutter suppression. Pada dasarnya semua sistem dinamika adalah nonlinier, namun untuk memudahkan dalam analisa dan perancangan sistem kendali, sistem dinamik
25
Bab IV – Perancangan Flutter Suppression
tersebut diasumsikan sebagai sistem linier.
Dalam perancangan flutter
suppression ini, dinamika model aeroelastik dipandang sebagai sistem nonlinier. Dengan demikian diperlukan identifikasi untuk sistem nonlinier. Salah satu metoda yang dapat digunakan adalah JST.
4.3
Persamaan Sistem Dinamik Nonlinier Suatu sistem dinamik nonlinier dengan relative degree d=1 dapat
dinyatakan dengan persamaan difference sebagai berikut [5]: m −1
y (k + 1) = f [ y (k ) , y (k − 1) ,..., y (k − n + 1) ] + ∑ β i u (k − 1) i =0
dimana k menyatakan waktu sesaat,
(4.1)
y (k − 1 ) menyatakan y (k ) yang ter-delay
satu sampling waktu. Untuk sistem dinamik dengan relative degree d=0 dan m=1, persamaan (4.1) dapat dinyatakan sebagai berikut:
y (k ) = f [ y (k − 1) , y (k − 2) , ... , y (k − n )] + βu (k ) dengan mendefinisikan state pada saat
(4.2)
k sebagai x (k ) , dimana
x (k ) = [ y (k − 1) , y (k − 2) , ... , y (k − n )] maka persamaan (4.2) dapat dinyatakan dalam bentuk:
y (k ) = f [x (k )] + β u (k )
(4.3)
dimana f (.) merupakan fungsi nonlinier. State
x (k )
disebut juga sebagai
regressor.
4.4
Identifikasi On-Line Identifikasi on-line adalah proses identifikasi dimana harga parameter
persamaan matematik yang memodelkan sistem dinamik tersebut dihitung (diperbaharui) setiap satu sampling waktu berdasarkan data input-output sistem dinamik dalam satu sampling itu.
26
Bab IV – Perancangan Flutter Suppression
Identifikasi on-line tepat digunakan untuk mengidentifikasi plant yang mengalami perubahan parameter. Dengan identifikasi on-line, persamaan matematik yang memodelkan dinamika plant akan diperbaharui setiap sampling waktu, sehingga hasil identifikasi akan mengikuti perubahan parameter plant. Hasil identifikasi on-line ini, dapat digunakan dalam penentuan sinyal kendali yang digunakan untuk mengendalikan plant tersebut. Penggunaan hasil identifikasi on-line untuk menentukan besarnya sinyal kendali merupakan ide dasar sistem kendali adaptif [6].
4.5
Pemodelan Dinamika Model Aeroelastik Pada bab kedua disebutkan bahwa persamaan dinamik model aeroelastik
merupakan fungsi kecepatan aliran udara dan semua parameternya tidak diketahui. Dengan demikian identifikasi on-line tepat untuk digunakan untuk mendapatkan persamaan dinamiknya. Dinamika
nonlinier
model
aeroelastik
dapat
dinyatakan
dengan
persamaan berikut:
y (k ) = f [x (k )] + βu (k )
(4.4)
dimana y (k ) merupakan response model aeroelastik pada saat k , dan
u (k ) merupakan sinyal kendali yang diberikan ke servomotor. Dengan mengetahui harga β (dipilih suatu harga tertentu), maka identifikasi bertujuan untuk mendapatkan fungsi nonlinier f [x (k )] . Dalam blok diagram pemodelan ini digambarkan sebagai berikut:
27
Bab IV – Perancangan Flutter Suppression
u (k )
y (k )
Model Aeroelastik
Servomotor
∑
y (k − 1 ) y (k − 2 )
β TDL
M
ˆf (.)
fˆ [x (k )]+
−
yˆ (k )
∑
+ e(k )
+
y (k − n )
TDL : Time Delay Lines
Gambar 4.3 : Pemodelan Persamaan Model Aeroelastik Fungsi f [x (k )] merupakan fungsi nonlinier, salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengestimasi fungsi nonlinier tersebut
adalah JST,.
Gabungan antara servomotor dengan model aeroelastik disebut sebagai model aeroservoelastik. Struktur identifikasi untuk mengestimasi fungsi f [x (k )] adalah:
u (k )
y (k )
Model Aeroservoelastik
e (k )
∑
y (k − 1 ) y (k − 2 )
β TDL
M
y (k − n )
Jaringan Syaraf Tiruan
ˆf [x (k )]
+
∑
yˆ (k )
+
−
+
TDL : Time Delay Lines
Gambar 4.4 : Diagram Identifikasi Model Aeroelastik Menggunakan JST
28
Bab IV – Perancangan Flutter Suppression
Pada bab ketiga telah dijelaskan algoritma pembelajaran JST dengan metode back-propagation secara on-line. Algoritma tersebut dapat digunakan untuk mengestimasi fungsi f [x (k )] secara on-line, sehingga diperoleh harga estimasi ˆf [x (k )] .
4.6
Hukum Kendali Flutter Suppression Dengan memodelkan dinamika model aeroelastik seperti persamaan (4.4)
maka disusun suatu hukum kendali untuk pengendalian model aeroelastik tersebut. Jika diinginkan reponse model aeroelastik pada saat k , y (k ) mengikuti suatu harga referensi yr (k ) , maka besarnya sinyal kendali yang diberikan ke servomotor adalah:
y (k ) − f [x (k )] u (k ) = r β
(4.5)
sehingga kunci utama dalam hukum kendali tersebut adalah ketepatan untuk
[
]
mendapatkan fungsi f x (k ) melalui proses identifikasi. Harga β dipilih sehingga besarnya sinyal defleksi yang diberikan ke servomotor berada pada range yang sinyal yang masuk ke servomotor. Sistem kendali untuk flutter suppression merupakan sistem kendali yang bersifat regulator (stabilizator), dimana harga referensi (output plant yang diinginkan) berharga nol. Dengan memasukan harga referensi tersebut ke persamaan (4.5) diperoleh hukum kendali flutter suppression:
u (k ) =
− f [x (k )] β
(4.6)
karena fungsi f [x (k )] tidak diketahui dan hanya diketahui fungsi estimasinya
ˆf [x (k )] , maka hukum kendalinya menjadi
u (k ) =
− ˆf [x (k )] β
(4.7)
Secara lengkap diagram sistem kendali untuk flutter suppression digambarkan sebagai berikut:
29
Bab IV – Perancangan Flutter Suppression
y r (k ) = 0
+
∑
u (k )
y(k )
Model Aeroelastik
−
ˆf [x (k −1)] β
e(k )
∑
y (k − 1)
β
TDL
y(k − 2 )
Jaringan Syaraf
M
y (k − n )
z −1
fˆ [x (k )]
+
∑
yˆ ( k
)
+
Tiruan
1 β TDL : Time Delay Lines
Gambar 4.5 : Blok Diagram Flutter Suppression Menggunakan JST
30
+
−
Bab V – Implemaentasi Flutter Suppression
BAB V IMPLEMENTASI FLUTTER SUPPRESSION
Setelah mendapatkan hukum kendali, tahap berikutnya yang harus ditempuh adalah menguji hukum kendali yang telah dirancang. Pangujian ini dapat dilakukan dengan mengimplementasikan hukum kendali pada sistem realtime untuk mengendalikan plant yang sebenarnya.
5.1
Sistem Real-Time Sistem real-time adalah sistem pengolahan informasi yang harus
memberikan respons terhadap input dari luar di dalam selang waktu tertentu dan terbatas [7]. Dalam control engineering, sistem real-time diperlukan untuk mengimplementasikan hukum kendali yang dirancang untuk mengendalikan plant secara nyata, bukan sekedar simulasi on-line didalam komputer. Sistem real-time didalam sistem kendali merupakan perpaduan antara control engineering dengan computer engineering, seperti ditunjukkan pada gambar berikut:
Gambar 5.1: Real-time Systems dalam Control Engineering
Sistem kendali yang bekerja secara real-time disebut real-time control. Di dalam real-time control pengolahan informasi (sinyal) dilakukan dengan menggunakan komputer secara digital.
31
Apabila sinyal yang diperlukan untuk
Bab V – Implemaentasi Flutter Suppression
menggerakan aktuator dan sinyal yang dihasilkan oleh sensor berupa sinyal analog, maka diperlukan converter yang mengubah sinyal analog menjadi sinyal digital (ADC atau A/D) dan converter yang mengubah sinyal digital menjadi sinyal analog (DAC atau D/A).
Secara sederhana real-time control digambarkan
sebagai berikut:
Gambar 5.2: Diagram Real-time Control Systems
Definisi sistem real-time diatas memberikan batasan waktu bagi pengolah informasi (processor komputer) dalam mengolah informasi dan memberikan tanggapan, sehingga dibutuhkan processor dengan kecepatan yang mencukupi. Untuk keperluan ini diperlukan dukungan software, dan hardware beserta interface-nya.
5.2
Software Untuk keperluan real time, software Matlab 5.2 menyediakan fasilitas
Real-Time Workshop (RTW). Dengan fasilitas tersebut, suatu blok simulink dapat di-download ke dalam suatu hardware dan dapat digunakan secara real time. Istilah download disini memberikan pengertian sebagai suatu proses dimana suatu algoritma diterjemahkan ke dalam bahasa mesin yang dapat dipahami oleh hardware.
32
Bab V – Implemaentasi Flutter Suppression
5.2.1 Real Time Workshop Dengan Real-Time Workshop (RTW) akan dihasilkan suatu kode dari model Simulink yang telah dioptimasi, portable, dan customizable. Dengan makefile based targeting support, RTW membangun sebuah program yang dapat digunakan secara real-time untuk keperluan pembuatan beraneka ragam prototype secara cepat atau untuk memproduksi target [8]. Target adalah suatu hardware atau sistem operasi yang merupakan tempat dimana kode yang dihasilkan akan dijalankan. Secara konseptual, RTW merupakan bagian terakhir dalam proses desain dengan menggunakan Matlab. Proses desain dengan menggunakan Matlab ditunjukkan sebagai berikut:
Gambar 5.3 : Proses Desain MenggunakanMatlab
33
Bab V – Implemaentasi Flutter Suppression
Proses yang dilakukan RTW secara lebih rinci ditunjukkan sebagai berikut:
Gambar 5.4 : Proses down load yang dilakukan RTW
5.2.2
S-Function Pada gambar (5.4) ditunjukkan bahwa RTW hanya dapat digunakan
untuk men-download model Simulink. Sehingga untuk implementasi real-time dengan menggunakan RTW, algoritma yang digunakan harus dinyatakan dalam model Simulink dengan menggunakan blok-blok Simulink yang disediakan. Dengan demikian hukum kendali flutter suppression yang dirancang pada bab IV harus dinyatakan dalam model Simulink. Pada hasil perancangan flutter suppression ini, digunakan JST dimana di dalam library Simulink tidak terdapat blok JST. Hal tersebut telah diantisipasi oleh Matlab dengan memberikan fasilitas
34
Bab V – Implemaentasi Flutter Suppression
S-Function. Dengan fasilitas ini kita dapat membuat blok Simulink
sendiri
dengan algoritma yang kita definisikan sendiri. S-Function dapat dibuat dalam Mfile atau dalam bahasa C, namun hanya S-Function yang dibuat dengan bahasa C yang dapat di-download oleh RTW.
5.3
Hardware Dalam implementasi flutter suppression secara real-time digunakan
beberapa hardware dan interface pendukung. Hardware yang digunakan dapat digolongkan menjadi: target RTW, aktuator, dan sensor. Blok diagram flutter suppression yang bekerja secara real-time dengan menggunakan ketiga hardware tersebut ditunjukkan pada gambar berikut:
Model Simulink
RTW
Target RTW
Proses Download
Model Aeroelastik
Aktuator
Sensor
Gambar 5.5 : Diagram Implementasi flutter Suppression secara Real-Time
Hardware
beserta interface yang digunakan untuk implementasi flutter
suppression secara real-time akan dijelaskan secara rinci pada sub pasal berikut.
35
Bab V – Implemaentasi Flutter Suppression
5.3.1
Target RTW Dalam implementasi ini digunakan RTI 1003 sebagai target RTW. RTI
1003 (Real-Time Interface) adalah sebuah board buatan dSpace yang mendukung aplikasi real time dengan menggunakan RTW. Di dalam RTI 1003 ini terdapat sebuah DSP (Digital Signal Processor). Agar RTI 1003 dapat beriteraksi dengan hardware yang lain, dSpace menyediakan sebuah junction box DS 2201
yang dapat digunakan sebagi
interface. DS 2201 berisi converter, yang mengkonversikan sinyal analog ke digital (ADC) dan dari sinyal digital ke analog (DAC). Dengan memperhatikan gambar 5.2, DAC berfungsi untuk memberikan sinyal komando ke aktuator, sedangkan ADC digunakan untuk menerima sinyal dari sensor. Pada junction box DS 2201 ini, sinyal yang melewati DAC besarnya sinyal akan diperbesar 10 kali, sedangkan sinyal yang melewati ADC akan diperkecil, sehingga sinyal keluaran ADC mempunyai harga sepersepuluh dari sinyal analog.
5.3.2
Aktuator Mekanisme penggerak bidang kendali terdiri dari sebuah servomotor,
mekanisme batang, dan sebuah potensiometer. Servomotor digunakan sebagi aktuator yang menggerakan bidang kendali. Servomotor dihubungkan dengan poros putar bidang kendali melalui suatu mekanisme batang. Mekanisme batang juga digunakan untuk menghubungkan poros putar bidang kendali dengan poros putar potensimeter. Potensiometer digunakan untuk mengindera besar sudut defleksi bidang kendali. Konfigurasi mekanisme penggerak bidang kendali ditunjukkan sebagai berikut:
36
Bab V – Implemaentasi Flutter Suppression
Gambar 5.6 : Mekanisme penggerak Bidang Kendali dan Sensor
Untuk
menggerakan
bidang
kendali,
poros
putar
servomotor
dihubungkan dengan poros putar bidang kendali dengan suatu mekanisme mekanik. Besarnya sudut defleksi bidang kendali diindera dengan menggunakan potensiometer. Mekanisme penggerak bidang kendali mempunya karakterisktik yang dijelaskan sebagai berikut:
Terdapat nonlinieritas yang berupa backlash antara sinyal yang diberikan ke servomotor dengan sudut defleksi bidang kendali yang dihasilkan.
Band width servomotor sekitar : 30 rad/s atau 4,77 Hz.
Terjadi attenuation (pengurangan amplitude) jika servomotor diberi frekuensi yang lebih tinggi (dalam range 1-5 Hz).
Range defleksi bidang kendali : ¾
δ maks = 23,5 o dicapai dengan sinyal tegangan 4,6 V
¾
δ min = −13,5 o dicapai dengan sinyal tegangan 4,0 V
37
Bab V – Implemaentasi Flutter Suppression
¾ δ = 0 o dicapai dengan sinyal tegangan 4,19 V (δ positif untuk defleksi bidang kendali ke bawah) Dengan tujuan supaya defleksi bidang kendali δ = 0 o pada saat sinyal defleksi yang diberikan ke servomotor u = 0 , maka besarnya sinyal tegangan yang diberikan ke servomotor adalah v = u + 4.19 volt. Besarnya tegangan 4.19 volt ini disebut sebagai tegangan offset.
Dengan range sudut defleksi antara
− 13 o hingga 23 o maka sinyal defleksi u harus mempunyai range di antara 0,19 volt hingga 0,41 volt. Data selengkapnya mengenai mekanisme bidang kendali terdapat dilampiran A. Berbeda dengan motor DC, pada saat diberi tegangan servo motor tidak berputar secara terus menerus, namun hanya akan berputar hingga mencapai sudut putar tertentu. Pada servomotor terdapat tiga buah kabel input, dimana dua kabel digunakan sebagai catu daya servomotor, dan sebuah kabel lagi digunakan untuk memberikan sinyal sudut putar (defleksi) ke servomotor. Untuk menggerakan servomotor, sinyal defleksi yang masuk ke servomotor harus berupa pulsa dengan lebar pulsa tertentu. Besarnya lebar pulsa menentukan besarnya sudut putar yang dihasilkan oleh servomotor. Sinyal defleksi servomotor berasal dari DAC yang terdapat pada interface DS 2201. Sinyal yang dihasilkan DAC ini berupa sinyal tegangan analog. Untuk mengubah sinyal tegangan ini menjadi pulsa dengan lebar pulsa tertentu digunakan PWM (Pulse Width Modulation).
5.3.3
Sensor Untuk keperluan flutter suppression, digunakan dua jenis sensor, yaitu:
akselerometer dan potensiometer. Akselerometer digunakan untuk mengindera percepatan model aeroelastik dalam arah vertikal. Potensiometer digunakan untuk mengindera sudut defleksi bidang kendali. Di dalam model aeroelastik dipasang dua buah akselerometer. Sebuah akselerometer dipasang didepan sumbu elastik, dan yang satu lagi dipasang dibelakang sumbu elastik. Kedua akselerometer yang digunakan adalah buatan Brüel & Kjær tipe 4393 dengan nomer seri 1203420 dan 1203437. Akselerometer depan (yang dipasang di depan sumbu elastik) menggunakan
38
Bab V – Implemaentasi Flutter Suppression
akselemeter dengan nomer seri 1203420 yang memiliki sensitivitas muatan listrik 0,318 pC/ms-2, sedangkan akselometer belakang (yang di pasang di belakang sumbu elastik) menggunakan akselerometer dengan nomer seri 1203437 dengan sensitivitas muatan 0,321 pC/ms-2. Akselerometer ini merupakan akselerometer piezzo electric, sehingga output yang dikeluarkan oleh akselerometer ini berupa muatan listrik. Untuk mengkonversi muatan listrik yang dihasilkan akselerometer tersebut menjadi tegangan listrik digunakan measuring amplifier buatan Brüel & Kjær tipe 2525. Dengan measuring amplifier ini, besarnya tegangan yang menyatakan percepatan dapat diatur besarnya dengan mengatur harga gain.
5.4
Set-up Implementasi Untuk implementasi dilakukan dua jenis set-up, yaitu set-up software dan
hardware. Set-up software dilakukan dengan: a. menyusun model Simulink untuk flutter suppression b. mengatur time sampling c. menyusun struktur JST dan menentukan learning rate d.
menentukan target RTW
e. melakukan proses download ke target RTW f.
melakukan perekaman data
Model Simulink yang digunakan untuk flutter suppression ditunjukkan pada gambar berikut:
Gambar 5.7 : Model Simulink flutter Suppression
39
Bab V – Implemaentasi Flutter Suppression
Untuk set-up hardware dilakukan: a. pengecekan kabel-kabel b. pengaturan sensitivitas dan gain pada measurement amplifier Secara skematik konfigurasi hardware yang digunakan adalah sebagai berikut:
Terowongan Angin
M
Kipas Penyedot
A
V udara
V udara
PWM
Measurement Amplifier
Pengatur Putaran Kipas
Junction Box
M
: Servomotor
DSP DS 1003 A
Gambar 5.8 : Konfigurasi Hardware dalam flutter Suppression
40
:Akselerometer
Bab VI – Hasil Implementasi
BAB VI HASIL IMPLEMENTASI
Implementasi dilakukan untuk menguji kemampuan hukum kendali yang telah dirancang dalam melakukan flutter suppression terhadap model aeroelastik. Implementasi dilakukan dengan meniup model aeroelastik didalam terowongan angin, sehingga muncul fenomena aeroelastik. Hukum kendali yang telah dirancang digunakan untuk melakukan suppression fenomena flutter tersebut. Untuk mengetahui kualitas flutter suppression, dilakukan perbandingan fenomena aeroelastik, antara model aeroelastik tanpa flutter suppression dan model aeroelastik dengan flutter suppression.
6.1
Modus Gerakan Model Aeroelastik Model aeroelastik diasumsikan memiliki dua modus gerakan, yaitu
heaving dan torsional. Untuk melihat frekuensi modus gerakan tersebut dapat dilakukan dengan cara memberi input sinyal random ke servomotor yang akan menggerakan bidang kendali model aeroelastik pada saat kecepatan aliran udara V = 0 m/s . Gerakan bidang kendali ini akan mengeksitasi model aeroelastik, sehingga
akan
terjadi
gerakan.
Gerakan
tersebut
akan
diindera
oleh
akselerometer. Dengan melakukan FFT(Fast Fourier Transform) terhadap response percepatan yang dihasilkan akselerometer, akan diperoleh spectrum response dan dapat diketahui frekuensi modus gerakan model aeroelastik tersebut. Spectrum response yang dihasilkan ditunjukkan pada gambar berikut:
41
Bab VI – Hasil Implementasi
Torsional Heaving
Gambar 6.1 : Spectrum Percepatan Model Aeroelastik Karena Gerakan Bidang Kendali Secara Random pada V=0 m/s,
Dari spectrum tersebut diketahui frekuensi modus heaving adalah 24,5 rad/s (3,9 Hz) dan frekuensi modus torsional adalah 31,4 rad/s (5 Hz) dengan melihat frekuensi dimana terdapat puncak magnitude.
6.2
Fenomena Flutter Model Aeroelastik Fenomena flutter dapat diamati dengan meniup model aeroelastik
didalam terowongan angin. Tanpa penggunaan flutter suppression, dari hasil peniupan diketahui flutter terjadi pada kecepatan 12 m/s. Response percepatan model aeroelastik dalam arah vertikal pada kondisi flutter ditunjukkan pada gambar berikut:
42
Bab VI – Hasil Implementasi
Gambar 6.2 : Response Percepatan Model Aeroelastik pada Kondisi Flutter
Untuk mengetahui frekuensi pada saat terjadi flutter, dilakukan FFT terhadap response percepatan tersebut. Dari FFT diperoleh spectrum sebagai berikut:
Gambar 6.3 : Spectrum Percepatan Model Aerolastik pada Saat Flutter
Dari spectrum tersebut diketahui frekuensi flutter adalah 27,6 rad/s atau 4,39 Hz.
43
Bab VI – Hasil Implementasi
6.3
Hasil Implementasi Flutter Suppression Dari bab IV diketahui bahwa JST sangat memegang peranan dalam
hukum kendali flutter suppression yang didesain. Ketepatan hukum kendali tersebut ditentukan oleh kemampuan JST dalam mendekati fungsi f ( x ) . Cybenco mengungkapkan bahwa JST dapat digunakan untuk mendekati segala fungsi, namun tidak disebutkan bentuk struktur dan besarnya learning rate JST yang digunakan [2]. Dalam ekperimen ini akan diamati pengaruh:
jumlah neuron JST
learning rate JST
time sampling
vektor regressor x
terhadap flutter suppression performance. Dalam implementasi ini digunakan JST dengan 3 lapisan, yaitu: lapisan input, lapisan tersembunyi, dan lapisan output.
6.3.1
Pengaruh Learning Rate terhadap Flutter Suppression Perfomance Pada bagian ini akan dilihat pengaruh learning rate JST terhadap flutter
suppression
performance.
Untuk
melihat
pengaruh
tersebut,
digunakan
parameter yang konstan, yaitu:
Konfigurasi JST adalah 5-3-1
regresor , x = [ y (k − 1) , y (k − 2) , y (k − 3) , y (k − 4)]
time sampling : 0,01 detik
Akan digunakan lima harga learning rate (lr) yang berbeda, yaitu: 0.08, 0.1, 0.2, 0.3, dan 0.4 . Konfigurasi JST 3 lapis dinyatakan NL1-NL2-NL3, dengan NLi menyatakan jumlah neuron pada lapisan ke-i. Hasil implementasi ditunjukkan pada gambar berikut:
44
Bab VI – Hasil Implementasi
Flutter Suppression : OFF
Flutter Suppression : ON
Gambar 6.4 : Flutter Suppression Performance dengan lr=0.08
Flutter Suppression : OFF
Flutter Suppression : ON
7
Gambar 6.5 : Flutter Suppression Performance dengan lr=0.1
45
Bab VI – Hasil Implementasi
Flutter Suppression : ON
Flutter Suppression : OFF
Gambar 6.6 : Flutter Suppression Performance dengan lr=0.2
Flutter Suppression : OFF
Flutter Suppression : ON
Gambar 6.7: Flutter Suppression Performance dengan lr=0.3
46
Bab VI – Hasil Implementasi
Flutter Suppression: OFF
Flutter Suppression : ON
Gambar 6.8 : Flutter Suppression Performance dengan lr=0.4
6.3.2
Pengaruh Jumlah Neuron terhadap Flutter Suppression Performance Pada bagian ini akan dilihat pengaruh jumlah neuron JST, akan diamati
pengaruh penambahan jumlah neuron pada lapisan input dan lapisan tersembunyi JST terhadap performance flutter suppression. Untuk melihat pengaruh tersebut, digunakan parameter yang konstan, yaitu:
learning rate sebesar 0,2
regresor , x = [ y (k − 1) , y (k − 2) , y (k − 3) , y (k − 4)]
time sampling : 0,01 detik
Pada variasi ini akan digunakan enam buah konfigurasi neuron yang berbeda, yaitu: 5-3-1, 10-3-1, 15-3-1, 5-8-1, 5-13-1, dan 5-18-1. Hasil implementasi ditunjukkan pada gambar berikut:
47
Bab VI – Hasil Implementasi
Flutter Suppression : ON
Flutter Suppression : OFF
Gambar 6.9 : Flutter Suppression Performance dengan konfigurasi 5-3-1
Flutter Suppression : OFF
Flutter Suppression : ON
Gambar 6.10 : Flutter Suppression Performance dengan konfigurasi 10-3-1
48
Bab VI – Hasil Implementasi
Flutter Suppression : OFF
Flutter Suppression : ON
Gambar 6.11 : Flutter Suppression Performance dengan konfigurasi 15-3-1
Flutter Suppression : OFF
Flutter Suppression : ON
Gambar 6.12 : Flutter Suppression Performance dengan konfigurasi 20-3-1
49
Bab VI – Hasil Implementasi
6.3.3
Pengaruh Time Sampling terhadap Flutter Suppression Performance Pada bagian ini akan dilihat pengaruh time sampling terhadap
performance flutter suppression. Untuk melihat pengaruh tersebut, digunakan parameter yang konstan, yaitu:
learning rate sebesar 0,2
regressor , x = [ y (k − 1) , y (k − 2) , y (k − 3) , y (k − 4)]
konfigurasi JST : 5-3-1
Time sampling yang digunakan akan divariasikan, yaitu: 0.02, 0.01, 0.005, 0.002, dan 0.001 detik . Hasil implementasi yang diperoleh ditunjukkan pada gambar berikut:
Flutter Suppression : OFF
Flutter Suppression : ON
Gambar 6.13 : Flutter Suppression Performance dengan Sampling Time 0.02 detik
50
Bab VI – Hasil Implementasi
Flutter Supp. : OFF
Flutter Suppression : ON
Gambar 6.14 : Flutter Suppression Performance dengan Sampling Time 0.01 detik
Flutter Supp. : OFF
Flutter Suppression : ON
Gambar 6.15 : Flutter Suppression Performance dengan Sampling Time 0.005 detik
51
Bab VI – Hasil Implementasi
Flutter Supp. : OFF
Flutter Suppression : ON
Gambar 6.16 : Flutter Suppression Performance dengan Sampling Time 0.002 detik
6.3.4
Pengaruh Regressor terhadap Flutter Suppression Performance Pada bagian ini akan dilihat pengaruh regressor terhadap performance
flutter suppression. Untuk melihat pengaruh tersebut, digunakan parameter yang konstan, yaitu:
learning rate sebesar 0,2
time sampling 0.005 detik
konfigurasi JST : 3-2-1
Regressor yang digunakan akan divariasikan, yaitu: ¾
x = [ y (k − 1) ]
¾
x = [ y (k − 1) , y (k − 2) ]
¾
x = [ y (k − 1) , y (k − 2) , y (k − 3) ]
¾
x = [ y (k − 1) , y (k − 2) , y (k − 3) , y (k − 4)]
Hasil implementasi yang diperoleh ditunjukkan pada gambar berikut:
52
Bab VI – Hasil Implementasi
Flutter Suppression : OFF
Flutter Suppression : ON
Gambar 6.17 : Flutter Suppression Performance dengan Regressor X=[ y( k-1)]
Flutter Suppression : OFF Flutter Suppression : ON
Gambar 6.18 : Flutter Suppression Performance dengan Regressor X=[ y( k-1), , y( k-2)]
53
Bab VI – Hasil Implementasi
Flutter Suppression : OFF
Flutter Suppression : ON
Gambar 6.19 : Flutter Suppression Performance dengan Regressor X=[ y( k-1), , y( k-2) ,y( k-3)]
Flutter Suppression : OFF
Flutter Suppression : ON
Gambar 6.20 : Flutter Suppression Performance dengan Regressor X=[ y( k-1), , y( k-2) ,y( k-3) ,y(k-4)]
54
Bab VI – Hasil Implementasi
6.4
Analisa Hasil Implementasi Dari data implementasi yang diperoleh, dilakukan analisa untuk berapa
aspek
yang
mempengaruhi
kemampuan
JST
dalam
melakukan
flutter
suppression.
6.4.1 Analisa Besarnya Learning rate Hasil implementasi menunjukkan bahwa pada harga learning rate yang kecil (0.1), JST tidak mampu melakukan peredaman flutter. Hal ini disebabkan karena JST tidak dapat melakukan approksimasi fungsi f ( x ) dengan baik seperti yang ditunjukkan pada gambar 6.20 .
Gambar 6.21: Approximasi JST terhadap fungsi f( k) dengan lr =0.1
(
)
Dimana fn(x) adalah hasil aproksimasi JST fn (x ) ≅ fˆ (x ) terhadap fungsi f(x) model servoaeroelastik. Dengan penggunaan learning rate yang lebih tinggi (0.2), JST mampu melakukan peredaman flutter, dimana JST mampu melakukan approksimasi fungsi f ( x ) , seperti ditunjukkan pada gambar 6.21 .
55
Bab VI – Hasil Implementasi
Gambar 6.22 : Approximasi JST terhadap fungsi f( k) dengan lr =0.2
Pemilihan
yang learning rate yang besar dapat menyebabkan
pembelajaran pada JST tidak stabil, dan harga paramater JST menuju tak hingga seperti yang ditunjukkan pada gambar 6.22.
Gambar 6.23 : Approximasi JST terhadap fungsi f( k) dengan lr =0.4
56
Bab VI – Hasil Implementasi
Gambar 6.24 : Harga salah satu bobot JST hasil pembelajaran dengan lr =0.4
Sebagai perbandingan berikut ini adalah bobot JST hasil pembelajaran dengan learning rate 0.2.
Gambar 6.25 : Harga salah satu bobot JST hasil pembelajaran dengan lr =0.2
57
Bab VI – Hasil Implementasi
6.4.2 Analisa Pengaruh Jumlah Neuron dan Regressor Hasil implementasi menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah neuron, terdapat kecenderungan JST untuk melakukan peredaman flutter dalam waktu yang lebih pendek. Namun antara JST dengan struktur 5-3-1, 10-3-1, dan 15-3-1 tidak terlihat perbedaan yang begitu mencolok, hanya pada struktur 20-3-1 yang terlihat kecenderungan kecepatan suppression yang lebih jelas. Dengan semakin banyak neuron didalam JST, proses komputasi dalam JST semakin berat sehingga diperlukan processor yang makin cepat. Sehingga pemilihan
jumlah
penggunaan
neuron
harus
memperhatikan
kecepatan
processor yang digunakan. Dari data implementasi yang diperoleh juga menunjukan bahwa penambahan jumlah regressor tidak menunjukan peningkatan yang cukup berarti pada performance dari flutter suppression.
6.4.3 Analisa Pengaruh Time sampling Pengolahan data dengan menggunakan sistem diskrit tidak bisa dipisahkan dengan time sampling. Dari data ekperimen yang diperoleh, terlihat bahwa semakin kecil time sampling yang digunakan, performance peredaman flutter semakin tinggi. Dengan time sampling yang makin kecil, data yang masuk ke processor semakin banyak dalam tiap satuan waktu. Dengan time sampling yang kecil, sinyal yang ter-diskritisasi akan mendekati sinyal analog, sehingga mendekati sinyal yang sebenarnya. Dengan semakin kecil time sampling yang digunakan, sinyal yang merepresentasikan fungsi f ( x ) yang masuk ke komputer sebagai data pembelajaran akan semakin mirip dengan fungsi f ( x ) plant yang sebenarnya, yang berupa suatu fungsi kontinyu. Sehingga dengan keberhasilan pembelajaran JST akan dihasilkan fungsi fˆ ( x ) yang mendekati fungsi f ( x ) plant yang sebenarnya. Dengan demikian predaman flutter akan semakin akurat. Penggunaan time sampling ternyata dibatasi oleh kemampuan hardware. Dengan time sampling yang kecil data yang masuk dalam tiap detik semakin
58
Bab VI – Hasil Implementasi
banyak sehingga diperlukan processor yang mampu mengolah data dengan kecepatan tinggi. Apabila kecepatan pengolahan data processor lebih kecil dari kecepatan data yang masuk (time sampling), maka pada processor akan terjadi over load.
6.5
Analisa Performance Flutter Suppression Analisa performance flutter suppression dilakukan dengan menganalisa
aproksimasi JST terhadap fungsi f ( x ) dan sinyal kendali yang dihasilkan dari hukum kendali. Analisa dilakukan dengan membandingkan pada dua kondisi yang berbeda, yaitu: pada kecepatan flutter (12 m/s) dan pada kecepatan diatas flutter (13,1 m/s). Dari
implementasi
yang
telah
dilakukan,
hasil
yang
diperoleh
menunjukkan bahwa JST mampu melakukan aproksimasi pada kedua kecepatan tersebut, seperti ditunjukkan pada gambar berikut:
Gambar 6.26 : Approksimasi JST terhadap f(x) pada kecepatan flutter
59
Bab VI – Hasil Implementasi
Gambar 6.27 : Approksimasi JST terhadap f(x) pada kecepatan diatas flutter
Dari kedua grafik tersebut terlihat bahwa JST mampu melakukan aproksimasi terhadap fungsi f ( x ) pada kedua kecepatan. Sehingga hukum kendali yang telah disusun seharusnya mampu melakukan flutter suppression terhadap model aeroelastik, namun dari gambar 6.25 terlihat bahwa fungsi f ( x ) menuju kondisi tidak stabil (flutter). Hal tersebut menunjukkan bahwa sinyal kendali yang dihasilkan tidak mampu melakukan flutter suppression. Sinyal kendali yang dihasilkan oleh hukum kendali pada kedua kecepatan tersebut ditunjukkan sebagai berikut:
Gambar 6.28 : Sinyal Kendali u pada kecepatan flutter ( V= 12 m/s)
60
Bab VI – Hasil Implementasi
Terjadi Flutter
Gambar 6.29 : Sinyal Kendali u pada kecepatan diatas flutter ( V=13.1m/s)
Dari kedua gambar tersebut terlihat bahwa, kedua sinyal sama-sama terpotong, namun pada kecepatan flutter sinyal kendali mengecil dimana dari implementasi hal tersebut menunjukkan bahwa fenomena flutter teredam. Sedangkan pada kecepatan diatas flutter, sinyal kendali tidak mengecil, dan dari implementasi terlihat muncul fenomena flutter. Hal ini perlu dilakukan analisa, mengapa terjadi perbedaan akibat dari kedua sinyal, dimana sinyal yang satu mampu meredam flutter sedangkan yang lain tidak. Analisa dilakukan dengan melakukan FFT terhadap percepatan model aeroelastik yang dihasilkan pada kedua kecepatan tersebut. Dari FFT dihasilkan spectrum sebagai berikut:
Gambar 6.30:: Spectrum response percepatan model aeroelastik pada kecepatan flutter (12 m/s)
61
Bab VI – Hasil Implementasi
Gambar 6.31 : Spectrum response percepatan model aeroelastik pada kecepatan (13,1 m/s)
Dari kedua spectrum tersebut ditunjukkan bahwa: ¾ Pada spectrum percepatan model aeroelastik pada kecepatan flutter (12 m/s) terdapat sebuah puncak yang dominan, yaitu pada frekuensi 27,6 rad/s atau 4,39 Hz ¾ Pada spectrum percepatan model aeroelastik pada kecepatan 13,1 m/s terdapat dua buah puncak yang dominan, yaitu pada frekuensi 27,6 rad/s (4,39 Hz) dan 47,25 rad/s (7,52 Hz) Munculnya dua puncak pada spektrum untuk kecepatan 13,1 m/s menunjukkan bahwa pada frekuensi tersebut terdapat dua gerakan yaitu pada frekuensi 27,6 rad/s (4,39 Hz) dan 47,25 rad/s (7,52 Hz). Kedua modus tersebut harus disuppress. Untuk keperluan suppression ini hukum kendali menghasilkan dua jenis sinyal kendali dengan frekuensi yang berbeda yaitu 27,6 rad/s (4,39 Hz) dan 47,25 rad/s (7,52 Hz). Dengan dihasilkan dua jenis sinyal kendali ini, maka energi sinyal kendali yang dihasilkan oleh computer akan terbagi dua. Sehingga jika dibandingkan, energi sinyal kendali pada frekuensi 27,6 rad/s (4,39 Hz) pada kecepatan 13,1 m/s akan lebih kecil dari energi sinyal kendali pada frekuensi 27,6 rad/s (4,39 Hz) pada kecepatan flutter, seperti ditunjukkan pada kedua gambar berikut.
62
Bab VI – Hasil Implementasi
Gambar 6.32 : Spectrum Sinyal Kendali u pada kecepatan flutter, V=12 m/s
Gambar 6.33 : Spectrum Sinyal Kendali u pada kecepatan , V=13.1 m/s
Dengan energi yang lebih kecil tersebut, servomotor tidak dapat melakukan fluttter suppression, sehingga pada model aeroelastik yang ditiup dengan kecepatan aliran udara diatas kecepatan flutter akan muncul fenomena flutter. Keterbatasan servomotor yang hanya memiliki bandwith 4,77 Hz tidak bisa dipaksakan untuk bekerja dengan baik pada frekuensi 7,52 Hz , sehingga servomotor sebagai aktuator tidak dapat menggerakan bidang kendali pada frekuensi tersebut untuk melakukan suppression pada frekuensi 7,52 Hz.
63
Bab VII – Kesimpulan dan Saran
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1
Kesimpulan Setelah melakukan perancangan sistem kendali dengan menggunakan
JST untuk FSS, dan mengimplementasikannya untuk melakukan suppression terhadap fenomena flutter yang terjadi pada model aeroelastik, maka dengan menganalisa data-data yang diperoleh, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: •
JST dapat digunakan dalam FSS secara real-time dan mampu meningkatkan kecepatan flutter hingga 8,9 %.
•
JST dapat digunakan untuk mengidentifikasi sistem dinamik nonlinier secara real-time.
•
Penggunaan sampling time yang kecil meningkatkan performance JST yang diaplikasikan dalam FSS.
•
JST memerlukan learing rate dengan harga tertentu yang bersifat unik. Learning rate yang terlalu cepat akan membuat pembelajaran JST menjadi tidak stabil, dan learning rate yang lambat akan menyebabkan lamanya konvergensi proses pembelajaran. Lamanya konvergensi tersebut akan menyebabkan kegagalan sistem kendali adaptif yang menggunakan JST untuk keperluan identifikasi secara on-line.
•
Penambahan jumlah neuron pada lapisan tersembunyi pertama tidak menunjukan peningkatan performance yang begitu significant.
•
Pada penggunaan JST untuk FSS ini, jumlah regressor tidak begitu mempengaruhi performance dari flutter suppression
•
Kemampuan flutter suppression dengan menggunakan JST ini dibatasi oleh kemampuan servomotor yang digunakan.
•
Dengan S-Function, dapat dibuat blok JST dalam model Simulink yang dapat diterapkan pada sistem real-time
64
Bab VII – Kesimpulan dan Saran
7.2
Saran Saran yang dapat diberikan setelah melakukan perancangan dan
implemantasi flutter suppression dengan menggunakan JST ini , adalah sebagai berikut:
Untuk meningkatkan kemampuan FSS pada model aeroelastik tersebut, sebaiknya digunakan servomotor dengan bandwidth yang lebih tinggi
Dapat dilakukan kajian untuk mengaplikasikan sistem kendali yang digunakan dalam flutter suppression ini untuk sistem dinamik yang lain.
S-Function yang merepresentasikan JST dapat digunakan untuk mengidentifikasi persamaan dinamika sistem dinamik yang lain secara real-time.
Dapat dikembangkan penggunaan JST untuk sistem kendali yang bersifat tracking.
Dapat lakukan kajian penggunaan JST untuk sistem kendali dengan plant yang lebih kompleks, sehingga akan terlihat pengaruh struktur JST dan jumlah regressor terhadap performance dari sistem kendali tersebut.
Dengan melihat kemampuan JST dalam melakukan pembelajaran, dapat dilakukan kajian aplikasi JST dalam sistem kendali yang menggabungkan JST dengan metoda perancangan sistem kendali yang lain, misalnya PID, optimal control, atau sliding mode control.
65
Referensi : 1. Fung, Y.C., “An Introduction to the Theory of Aeroelasticity”, John Wiley & Sons, New York, 1955 2. Noogaard, M., Ravn, O., Poulsen, N.K, and Hansen, L.K, “Neural Networks for Modelling and Control of Dynamic Systems”, Springer, London, 2000 3. G. Looye Basics of Aeroelasticity and Flutter Analysis German aerospace research Center, (DLR) Oberpfaffenhofen, February 4, 1998 4. Haykin, S.,
“Neural Networks: A Comprehensive Foundation”, Macmillan,
New Jersey, 1994 5. Narendra, K.S. and Parthasarasthy,K. “Identification and Control of Dynamic Systems Using Neural Networks” IEEE Trans. On Neural Networks, 1992 6.
Slotine, J.-J.E. and Li, W., “ Applied Nonlinear Control” Prentice-Hall, New Jersey, 1991
7. Karl-Erik
Årzén,
“Real-Time
System”
Lecture
notes,
http://www.control.lth.se/~kurstr/ 8. Real Time Workshop for Simulink: User’s Guide Math Works Inc., 1997 9. Real Time User’s Guide and Reference Guide DSPACE, 1996 10. E.A. Dowell A Modern Course in Aeroelasticity
Kluwer
Academic
Publishers, Netherlands, 1995 11. SIMULINK: Writing S-Function,Version 3 The MathWorks Inc., October 1998 12. A. Kadir Pemrograman Dasar Turbo C :Untuk IBM PC Andi Offset, Yogyakarta, 1991 13. R.J. Zwaan Course Notes on Aeroelasticity of Aircraft ITB, Bandung, Indonesia, August 1998
Lampiran A
A.1 Backlash pada Mekanisme Penggerak Bidang Kendali Karakteristik Mekanisme Penggerak Bidang Kendali 30 25
Sudut Defleksi Bi dang Kendali (de rajat)
20 15 10 5 0 -5 -10 -15
Tegangan Si nyal Defl eksi ke Servom otor (volt)
A.2 Bandwidth Servomotor
Magnitude
Frekuensi (rad/s)
Beda Phase (derajat)
Frekuensi (rad/s)
4. 6
4. 56
4. 52
4. 48
4. 4
4. 44
4. 36
4. 32
4. 28
4. 2
4. 24
4. 16
4. 12
4. 08
4
4. 04
-20
A.3 Attenuasi pada Servomotor Pada
response
berikut
ditunjukan
adanya
atenuasi
(pengecilan
amplitudo) rotasi yang dihasilkan oleh servomotor. Berikut ini response servomotor dengan input sinyal sinusoidal dengan amplitudo konstan, namun dilakukan variasi pada frekuensinya.