20 Des 2010
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN … TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA HAK ASASI MANUSIA YANG PALING SERIUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa luasnya wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari kebhinekaan suku, ras, adat istiadat, agama, bahasa dan berbagai perbedaan lain yang terjadi di setiap kehidupan masyarakat yang ada di Indonesia, di satu sisi memberikan suatu nilai tersendiri, di sisi lain berbagai perbedaan tersebut dapat memunculkan terjadinya konflik baik vertikal maupun horisontal yang akan berdampak terjadinya tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius; b. bahwa tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius juga dapat terjadi sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh aparatur negara; c. bahwa tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius merupakan tindak pidana yang menjadi musuh bersama bagi seluruh umat manusia, sehingga negara Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional mempunyai kewajiban untuk melakukan penuntutan; d. bahwa negara terutama pemerintah mempunyai kewajiban konstitusional untuk penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia; e. bahwa pelaksanaan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia mewajiban negara untuk melakukan penuntutan secara individu terhadap para pelaku tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius; f. bahwa untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi perlindungan, kepastian hukum, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat dan juga memberikan pemulihan terhadap para korban, pemerintah perlu membentuk Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius untuk menyelesaikan tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius;
1
g. bahwa berbagai peraturan perundang-undangan mengamanatkan pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia di beberapa daerah seperti Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua sehingga perlu dilakukan penyesuaian pengaturan mengenai pengadilan hak asasi manusia; h. bahwa berdasarkan praktik dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, ditemukan berbagai kendala yang disebabkan adanya kelemahan pengaturan yang menghambat proses penyelesaian tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius; i.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Nomor 76 Tahun 1981, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) 3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886); 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4151 ); 5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4633); 6. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4635); 7. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4958); 8. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076); 9. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5077);
2
Dengan persetujuan bersama antara DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA HAK ASASI MANUSIA YANG PALING SERIUS. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 2. Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum yang bertugas untuk memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius. 3. Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius adalah kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. 4. Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual. 5. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Komnas HAM adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 6. Dalam menjalankan undang-undang ini, Komnas HAM bertindak selaku penyelidik dan penyidik terhadap perkara Tindak Pidana Hak Asasi Manusia Yang Paling Serius. 7. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu tindak pidana yang dilihat sendiri, dialami sendiri, atau didengar sendiri. 8. Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya,
3
sebagai akibat tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius, termasuk korban adalah ahli warisnya. 9. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. 10. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari kebenaran materiil dengan cara mengumpulkan bukti-bukti yang dengan bukti tersebut menjadikan terang peristiwa tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius yang terjadi dan menentukan tersangkanya. 11. Penuntutan adalah serangkaian tindakan penuntut umum untuk menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penuntutan tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius, membuat surat dakwaan, dan melimpahkan berkas perkara tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius ke pengadilan yang berwenang dengan permintaaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. 12. Pemeriksaan di Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia Yang Paling Serius adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak, di dalam persidangan pengadilan hak asasi manusia, dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. BAB II KEDUDUKAN DAN TEMPAT KEDUDUKAN PENGADILAN TINDAK PIDANA HAK ASASI MANUSIA YANG PALING SERIUS Bagian Kesatu Kedudukan Pasal 2 Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum.
Bagian Kedua Tempat Kedudukan Pasal 3 (1) Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia Yang Paling Serius berkedudukan di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan, Makassar, Jayapura dan Banda Aceh.
4
(2) Daerah hukum Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia Yang Paling Serius sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada pada Pengadilan Negeri di: a. Jakarta Pusat yang meliputi wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Banten, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah; b. Surabaya yang meliputi Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur; c. Makassar yang meliputi Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, dan Maluku Utara; d. Medan yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, dan Sumatera Barat; e. Jayapura yang meliputi Provinsi Papua dan Papua Barat, f. Banda Aceh yang meliputi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
BAB III LINGKUP KEWENANGAN Pasal 4 Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara yang termasuk dalam tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius. Pasal 5 Pengadilan tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius juga berwenang memeriksa dan memutus perkara tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia, maupun warga negara asing yang berdomisili di Indonesia. Pasal 6 Pengadilan tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius dilakukan. Pasal 7 Tindak Pidana hak asasi manusia yang paling serius meliputi:
5
a. kejahatan genosida; b. kejahatan terhadap kemanusiaan; c. kejahatan perang. Pasal 8 Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan berikut yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, seluruhnya atau sebagian suatu kelompok, semata-mata karena alasan kebangsaan, etnis, ras, atau keagamaan: a. membunuh anggota kelompok tersebut; b. menimbulkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggotaanggota kelompok tersebut; c. dengan sengaja menimbulkan kondisi kehidupan kelompok tersebut yang diperkirakan menyebabkan kehancuran fisik baik secara keseluruhan atau sebagian; d. memaksakan tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran dalam kelompok tersebut; atau e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok itu ke kelompok lain. Pasal 9 Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan berikut yang dilakukan dengan pengetahuan sebagai bagian dari serangan yang luas atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil manapun : a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan; d. deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa; e. pemenjaraan atau perampasan kebebasan fisik lainnya yang berat, yang melanggar aturan-aturan pokok hukum internasional; f. penyiksaan; g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran paksa, kehamilan paksa, sterilisasi secara paksa, atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain apapun yang beratnya setara; h. persekusi terhadap kelompok atau kolektivitas apapun yang dapat dikenali atas dasar politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, keagamaan, jender, atau atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diperbolehkan berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksud dalam pasal ini atau setiap kejahatan yang berada dalam yurisdiksi Pengadilan ini;
6
i.
penghilangan orang secara paksa;
j.
kejahatan apartheid;
k. perbuatan tidak manusiawi lain yang bersifat serupa yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik.
Pasal 10 (1) Kejahatan perang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c adalah kejahatan perang yang pada khususnya apabila dilakukan sebagai bagian dari suatu rencana atau kebijakan atau sebagai bagian dari suatu pelaksanaan secara besar-besaran dari kejahatan tersebut. (2) Kejahatan perang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi: a. pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949, yaitu setiap perbuatan berikut yang dilakukan terhadap orang-orang atau hak-milik yang dilindungi berdasarkan ketentuan Konvensi Jenewa yang terkait: 1. pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja; 2. penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk percobaan biologis; 3. dengan sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau kesehatan; 4. perusakan luas dan perampasan hak-milik, yang tidak dibenarkan oleh keperluan militer dan dilakukan secara tidak sah dan tanpa alasan; 5. memaksa seorang tawanan perang atau orang lain yang dilindungi untuk bekerja dalam pasukan musuh; 6. secara sengaja merampas hak-hak seorang tawanan perang atau orang yang dilindungi lainnya atas pengadilan yang adil dan pengadilan pada umumnya; 7. deportasi tidak sah atau pemindahan atau penahanan tidak sah; 8. penyanderaan. b. pelanggaran serius lain terhadap hukum dan kebiasaan yang dapat diterapkan dalam sengketa bersenjata internasional, dalam kerangka hukum internasional yang ditetapkan, yaitu salah satu perbuatanperbuatan berikut ini: 1. secara sengaja melancarkan serangan terhadap sekelompok penduduk sipil atau terhadap setiap orang sipil yang tidak ikut serta secara langsung dalam pertikaian itu; 2. secara sengaja melakukan serangan terhadap obyek-obyek sipil, yaitu, obyek yang bukan merupakan sasaran militer; 3. secara sengaja melakukan serangan terhadap personil, instalasi, material, satuan atau kendaraan yang terlibat dalam suatu bantuan 7
kemanusiaan atau misi penjaga perdamaian sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, sejauh bahwa mereka berhak atas perlindungan yang diberikan kepada obyek-obyek sipil berdasarkan hukum internasional mengenai sengketa bersenjata; 4. secara sengaja melancarkan suatu serangan dengan mengetahui bahwa serangan tersebut akan menyebabkan kerugian insidentil terhadap kehidupan atau kerugian terhadap orang-orang sipil atau kerusakan terhadap obyek-obyek sipil atau kerusakan yang meluas, berjangka-panjang dan berat terhadap lingkungan alam yang jelas-jelas terlalu besar dalam kaitan dengan keunggulan militer keseluruhan secara konkret dan langsung dan yang dapat diantisipasi; 5. menyerang atau membom, dengan sarana apa pun, kota-kota, desa, perumahan atau gedung yang tidak dipertahankan atau bukan obyek militer; 6. membunuh atau melukai seorang lawan yang, setelah meletakkan senjata atau tidak mempunyai sarana pertahanan lagi, telah menyerahkan diri atas kemauannya sendiri; 7. memanfaatkan secara tidak benar bendera gencatan senjata, atau bendera atau lencana dan seragam militer dari pihak lawan atau milik Perserikatan Bangsa-Bangsa, maupun tanda-tanda khusus dari Konvensi Jenewa, yang menyebabkan kematian atau luka-luka serius pada individu-individu tertentu; 8. pemindahan, secara langsung atau tidak langsung, oleh Pasukan Pendudukan terhadap sebagian dari penduduk sipilnya sendiri ke wilayah yang didudukinya, atau deportasi atau pemindahan semua atau sebagian dari wilayah yang diduduki itu baik di dalam wilayah itu sendiri maupun ke luar wilayah tersebut; 9. secara sengaja melakukan serangan terhadap gedung-gedung yang digunakan untuk tujuan-tujuan keagamaan, pendidikan, kesenian, keilmuan atau sosial, monumen bersejarah, rumah sakit dan tempattempat di mana orang-orang sakit dan terluka dikumpulkan, sejauh bahwa tempat tersebut bukan obyek militer; 10. membuat orang-orang yang berada dalam kekuasaan suatu pihak yang bermusuhan menjadi sasaran perusakan fisik atau percobaan medis atau ilmiah dari berbagai jenis yang tidak dapat dibenarkan oleh perawatan medis, gigi atau rumah sakit dari orang yang bersangkutan ataupun yang dilakukan tidak demi kepentingannya, dan yang menyebabkan kematian atau sangat membahayakan kesehatan orang atau orang-orang tersebut; 11. membunuh atau melukai secara curang orang-orang yang termasuk pada bangsa atau angkatan perang lawan; 12. menyatakan bahwa tidak akan diberikan tempat tinggal bagi para tawanan; 13. menghancurkan atau merampas hak-milik lawan kecuali kalau penghancuran atau perampasan tersebut dituntut oleh kebutuhan perang yang tak dapat dihindarkan; 8
14. menyatakan penghapusan, penangguhan atau tidak dapat diterimanya dalam suatu pengadilan hak-hak dan tindakan warga negara dari pihak lawan; 15. memaksa warga negara dari pihak yang bemusuhan untuk ambil bagian dalam operasi perang yang ditujukan terhadap negaranya sendiri, bahkan kalau mereka berada dalam dinas lawan sebelum dimulainya perang; 16. menjarah kota atau tempat, bahkan apabila tempat tersebut dikuasai lewat serangan; 17. menggunakan racun atau senjata yang diberi racun; 18. menggunakan gas yang menyesakkan napas, beracun atau lain-lain dan semua cairan, bahan atau peralatan yang serupa; 19. menggunakan peluru yang menyebar atau merata dengan mudah di dalam badan seseorang, seperti peluru dengan selongsong keras yang tidak seluruhnya menutupi intinya atau yang ditusuk dengan torehan; 20. menggunakan senjata-senjata, proyektil dan material atau cara-cara berperang yang secara alamiah menyebabkan luka berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu atau yang bersifat tidak pandang bulu dengan melanggar hukum internasional mengenai sengketa bersenjata yang secara luas dilarang; 21. melakukan kebiadaban terhadap martabat pribadi, terutama perlakuan yang mempermalukan dan merendahkan martabat manusia; 22. melakukan perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, kehamilan paksa, sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 9 huruf g, sterilisasi yang dipaksakan, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang juga merupakan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa; 23. menggunakan kehadiran seorang sipil dan orang lain yang dilindungi untuk menjadikan beberapa tempat, daerah atau pasukan militer tertentu kebal terhadap operasi militer; 24. secara sengaja menunjukkan serangan terhadap gedung, material, satuan dan angkutan serta personil medis yang menggunakan lencana yang jelas dari Konvensi Jenewa sesuai dengan hukum internasional; 25. secara sengaja menggunakan kelaparan orang-orang sipil sebagai suatu metode peperangan dengan menghilangkan obyek-obyek yang sangat penting bagi kelangsungan hidup mereka, termasuk secara sengaja menghambat pengiriman bantuan sebagaimana ditetapkan berdasarkan Konvensi Jenewa; 26. menetapkan wajib militer atau mendaftar anak-anak di bawah umur lima belas tahun ke dalam angkatan bersenjata nasional atau menggunakan mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam pertikaian. c. dalam hal suatu sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional, pelanggaran serius terhadap Pasal 3 bersama empat Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949, yaitu, setiap perbuatan berikut ini yang dilakukan
9
terhadap orang-orang yang tidak ambil bagian aktif dalam pertikaian, termasuk para anggota angkatan bersenjata yang telah meletakkan senjata mereka dan orang-orang yang ditempatkan di luar pertempuran karena menderita sakit, luka, ditahan atau suatu sebab lain: 1. kekerasan terhadap kehidupan dan orang, khususnya segala jenis pembunuhan, pemotongan anggota tubuh (mutilasi), perlakuan kejam dan penyiksaan; 2. melakukan kebiadaban terhadap martabat orang, khususnya perlakuan yang mempermalukan dan merendahkan; 3. menyandera; 4. dijatuhkannya hukuman dan dilaksanakannya hukuman mati tanpa didahului oleh putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan yang berwenang, yang memberikan seluruh jaminan hukum yang secara umum diakui sangat diperlukan. d. ketentuan ayat 2 (b) berlaku bagi sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional dan dengan demikian tidak berlaku bagi keadaan-keadaan kekacauan dan ketegangan dalam negeri, seperti misalnya kerusuhan, tindakan kekerasan terpisah dan sporadis atau perbuatan-perbuatan lain yang sama sifatnya. e. pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional, dalam kerangka hukum internasional yang ditetapkan, yaitu setiap perbuatan berikut ini: 1. secara sengaja melakukan serangan terhadap penduduk sipil atau terhadap individu sipil yang tidak ikut serta secara langsung dalam pertikaian; 2. secara sengaja melakukan serangan terhadap gedung, material, satuan dan angkutan serta personil medis yang menggunakan lencana Konvensi Jenewa sesuai dengan hukum internasional; 3. secara sengaja melakukan serangan terhadap personil, instalasi, material, satuan atau kendaraan yang terlibat dalam bantuan kemanusiaan atau misi penjaga perdamaian sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa sepanjang mereka berhak atas perlindungan yang diberikan kepada orang-orang dan obyek-obyek sipil berdasarkan hukum konflik bersenjata; 4. secara sengaja melakukan serangan terhadap gedung-gedung yang digunakan untuk keperluan keagamaan, pendidikan, kesenian, keilmuan atau sosial, monumen bersejarah, rumah sakit dan tempattempat di mana orang-orang yang sakit dan terluka dikumpulkan, dengan syarat bahwa hal-hal tersebut bukan sasaran militer; 5. menjarah suatu kota atau tempat, sekalipun tempat itu dikuasai melalui kekerasan/serangan; 6. melakukan perkosaan, perbudakan seksual, prostitusi paksa, kehamilan paksa, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 9, sterilisasi paksa, dan bentuk apa pun lain kekerasan seksual yang juga merupakan
10
pelanggaran serius terhadap pasal 3 bersama Jenewa;
empat Konvensi
7. memberlakukan wajib militer atau mendaftar anak-anak di bawah umur lima belas tahun ke dalam angkatan bersenjata atau memanfaatkan mereka untuk ikut serta secara aktif dalam pertikaian; 8. memerintahkan perpindahan penduduk sipil dengan alasan yang berkaitan dengan sengketa, kecuali apabila keamanan orang-orang sipil tersebut terancam atau alasan militer yang amat penting menuntutnya; 9. membunuh atau melukai secara curang seorang lawan tempur; 10. menyatakan bahwa tidak akan diberikan tempat tinggal kepada tawanan; 11. menempatkan orang-orang yang berkuasa dari pihak lain dalam sengketa itu sebagai sasaran mutilasi/pemotongan anggota tubuh secara fisik atau percobaan medis atau suatu jenis percobaan ilmiah yang tidak dapat dibenarkan oleh perawatan medis, gigi atau rumah sakit dari orang yang bersangkutan ataupun tidak melaksanakan demi kepentingannya, dan yang menyebabkan kematian atau menimbulkan bahaya serius terhadap kesehatan dari orang atau orang-orang tersebut; 12. menghancurkan atau merampas hak milik dari seorang lawan kecuali kalau penghancuran atau perampasan tersebut sangat dituntut oleh kebutuhan dari sengketa tersebut; f. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 huruf e berlaku untuk sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional dan dengan demikian tidak berlaku bagi situasi-situasi kekacauan dan ketegangan dalam negeri, seperti misalnya kerusuhan, tindakan kekerasan secara terpisah dan sporadis atau perbuatan-perbuatan lain dengan sifat yang sama. Ayat ini berlaku terhadap sengketa bersenjata yang berlangsung dalam wilayah suatu negara apabila terjadi sengketa bersenjata yang berkelanjutan antara para pejabat pemerintah dan kelompok bersenjata terorganisasi atau antara kelompok-kelompok semacam itu. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 huruf c dan huruf e tidak boleh mempengaruhi tanggung jawab pemerintah untuk menjaga atau memulihkan hukum dan ketertiban dalam negeri atau untuk mempertahankan kesatuan dan integritas wilayah negara dengan segala cara yang sah.
BAB IV PRINSIP-PRINSIP YANG DAPAT DITERAPKAN DALAM PEMERIKSAAN PERKARA Bagian Satu
11
Hukum Yang Dapat Diterapkan Pasal 11 (1) Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius dilaksanakan dengan menerapkan: a. seluruh ketentuan dalam undang-undang ini, termasuk unsur-unsur tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius sebagaimana diatur dalam pasal 7. b. prinsip serta peraturan hukum internasional, termasuk prinsip-prinsip hukum internasional mengenai sengketa bersenjata yang berlaku dalam hal undang-undang ini tidak mengatur secara jelas. c. prinsip-prinsip hukum umum yang sesuai dengan hukum-nasional dan sistem hukum internasional termasuk hukum nasional dari suatu Negara yang telah memeriksa dan memutus perbuatan yang sama dalam yurisdiksi Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius, dengan syarat bahwa prinsip-prinsip itu tidak bertentangan dengan undang-undang ini, dengan hukum internasional serta norma dan standar yang diakui secara internasional. (2) Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius dapat menerapkan prinsip dan aturan hukum yang tertuang dalam putusan-putusan pengadilan internasional yang mempunyai yurisdiksi atas tindak pidana yang sama dengan yurisdiksi Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius. (3) Tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius yang diatur dalam undang-undang ini harus ditafsirkan dengan ketat dan tidak boleh diperluas dengan analogi. (4) Dalam hal terdapat perubahan dalam hukum yang dapat diterapkan kepada suatu kasus tertentu sebelum dijatuhkannya putusan Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius yang berkekuatan hukum tetap, maka berlaku hukum yang lebih menguntungkan bagi orang yang sedang diselidiki, disidik, dituntut atau diperiksa. (5) Penerapan dan penafsiran hukum sebagaimana diatur dalam pasal ini harus sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang diakui secara internasional dan harus diterapkan tanpa pembedaan atas dasar seperti jender, umur, ras, warna kulit, bahasa, agama atau kepercayaan, pandangan politik atau lainnya, asal-usul kebangsaan, etnis atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.
Bagian Kedua Tanggung Jawab Pidana Individual Pasal 12
12
(1) Setiap orang yang melakukan tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius baik secara sendiri-sendiri, bersama-sama dengan orang lain, atau melalui orang lain, bertanggung jawab secara individual dan dapat dipidana sesuai dengan undang-undang ini. (2) Ketentuan yang berkaitan dengan tanggung jawab pidana individual sebagaimana diatur dalam undang-undang ini tidak akan mempengaruhi tanggung jawab negara berdasarkan hukum internasional.
Bagian Ketiga Permufakatan Jahat, Percobaan, dan Pembantuan Pasal 13 Setiap orang bertanggung jawab secara pidana atas suatu tindak pidana dalam yurisdiksi Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius, dalam hal orang tersebut: a. melakukan suatu kejahatan bersama-sama dengan orang lain atau melalui orang lain, tanpa memandang apakah orang lain itu bertanggung jawab secara pidana. b. memerintahkan, melakukan tindakan-tindakan tertentu atau menyebabkan dilakukannya tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius yang dalam kenyataan memang terjadi atau merupakan tindakan percobaan. c. membantu, bersekongkol atau membantu dilakukannya tindakan atau membantu dilakukannya tindakan percobaan untuk melakukan kejahatan, termasuk menyediakan sarana untuk melakukan tindak pidana tersebut. d. dengan cara lain apapun mendukung tindakan atau percobaan tindak pidana tersebut oleh sekelompok orang yang bertindak dengan tujuan yang sama. Dukungan tersebut harus secara sengaja dan harus merupakan salah satu dari : i.
dilakukan dengan tujuan untuk melanjutkan tindak pidana atau tujuan pidana dari kelompok tersebut, dimana kegiatan atau tujuan tersebut mencakup perbuatan tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia Yang Paling Serius ini; atau
ii. dilakukan dengan pengetahuan tentang maksud dari kelompok tersebut untuk melakukan tindak pidana. e. mencoba melakukan kejahatan dengan tindakan yang memulai pelaksaannya dengan langkah-langkah yang menentukan, namun tindak pidana tersebut tidak terjadi karena keadaan yang tidak tergantung pada maksud orang tersebut. Seseorang yang menghentikan upaya untuk melakukan tindak pidana tersebut atau disamping itu menghentikan diselesaikannya tindak pidana tersebut, tidak dapat dipidana untuk melakukan tindakan percobaan
13
berdasarkan undang-undang ini jika orang tersebut sepenuhnya dan secara sukarela menghentikan tindak pidana tersebut. f. berkenaan dengan kejahatan genosida, secara langsung dan terbuka menghasut orang-orang lain untuk melakukan tindak pidana genosida.
Bagian Keempat Unsur Mental Pasal 14 Setiap orang bertanggung jawab secara pidana dan dipidana untuk tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius sebagaimana diatur dalam Pasal 4 apabila unsur materiil dilakukan dengan suatu maksud dan pengetahuan, kecuali ditentukan lain.
Bagian Kelima Tanggung Jawab Komandan dan Atasan Lainnya Pasal 15 (1) Seorang komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai seorang komandan militer bertanggung jawab secara pidana terhadap tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius yang dilakukan oleh pasukan dibawah komando dan pengendaliannya, atau kekuasaan dan pengendalian yang efektif sebagaimana mungkin terjadi, sebagai suatu akibat dari kegagalannya untuk melakukan pengendalian yang semestinya atas pasukan tersebut, dimana: a. seorang komandan militer atau seseorang baik telah mengetahui atau, berdasarkan pada kondisi pada saat itu, seharusnya telah mengetahui bahwa pasukannya sedang melakukan atau akan melakukan kejahatankejahatan tersebut, dan b. seorang komandan militer atau tindakan yang semestinya dan mencegah atau menghentikan menyerahkan hal tersebut kepada dan penuntutan.
seseorang gagal untuk mengambil layak dalam kekuasaannya untuk perbuatan mereka, atau untuk pihak berwenang untuk penyelidikan
(2) Seorang atasan bertanggung jawab secara pidana atas tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius yang dilakukan oleh bawahan-bawahan yang ada dalam kewenangan dan kendali efektifnya, sebagai suatu akibat dari kegagalannya untuk melakukan pengendalian secara layak terhadap bawahan-bawahan tersebut, dimana: a. atasan tersebut baik mengetahui ataupun secara sengaja mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan-bawahan
14
tersebut sedang, telah, atau baru saja melakukan atau akan melakukan kejahatan tersebut; b. kejahatan tersebut terkait dengan aktivitas-aktivitas yang berada dalam tanggung jawab dan pengendalian yang efektif dari atasan, dan c. atasan telah gagal untuk mengambil seluruh tindakan yang diperlukan dan layak atau semestinya dalam kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan tindak kejahatan tersebut atau untuk menyerahkan hal tersebut kepada pihak berwenang untuk penyidikan dan penuntutan.
Bagian Keenam Tidak Berlakunya Jabatan Resmi Pasal 16 (1) Setiap orang diperlakukan sama di hadapan Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius tanpa suatu perbedaan atas dasar jabatan resmi. (2) Setiap orang yang menduduki suatu jabatan resmi sebagai seorang Kepala Negara atau Pemerintahan, anggota suatu pemerintahan atau parlemen, atau pejabat pemerintah dalam hal apa pun tidak mengecualikan orang tersebut dari tanggung jawab pidana dalam undang-undang ini. (3) Jabatan resmi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat dijadikan suatu alasan untuk mengurangi hukuman atas tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius yang dilakukan. (4) Kekebalan atau peraturan khusus yang mungkin terkait dengan jabatan resmi dari seseorang, baik di bawah hukum nasional atau internasional, tidak menghalangi Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius untuk melaksanakan kewenangannya atas orang tersebut.
Bagian Ketujuh Perintah Atasan Pasal 17 (1) Setiap orang yang melakukan tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius berdasarkan atas perintah suatu pemerintah atau seorang atasan, baik militer atau sipil, tidak membebaskan tanggung jawab pidana orang tersebut, kecuali dalam hal: a. Orang tersebut berada dalam kewajiban hukum untuk menuruti perintah dari Pemerintah atau atasan yang bersangkutan; b. Orang tersebut tidak tahu bahwa perintah itu melawan hukum; dan 15
c. Perintah itu tidak nyata-nyata melawan hukum. (2) Perintah untuk melakukan genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan adalah perintah yang melawan hukum.
Bagian Kedelapan Kekeliruan Fakta atau Kekeliruan Penerapan Hukum Pasal 18 (1) Suatu kekeliruan fakta dapat dijadikan dasar untuk menghilangkan tanggung jawab pidana hanya bila kekeliruan fakta tersebut meniadakan unsur mental yang diperlukan untuk terjadinya kejahatan tersebut. (2) Suatu kekeliruan penerapan hukum tentang apakah suatu jenis tindakan tertentu merupakan suatu tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius tidak boleh menjadi dasar pengecualian tanggung jawab pidana. Suatu kekeliruan penerapan hukum hanya bisa menjadi dasar pengecualian tanggung jawab pidana jika hal itu membuktikan tidak adanya unsur mental yang diperlukan oleh kejahatan yang dilakukan itu, atau sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 14. Bagian Kesembilan Alasan Penghapusan Tanggung Jawab Pidana Pasal 19 (1) Setiap orang tidak bertanggung jawab secara pidana terhadap tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius sebagaimana diatur dalam Pasal 7, dalam hal pada waktu perbuatan itu dilakukan, orang tersebut dalam keadaaan : a. menderita sakit ingatan atau cacat mental yang merusak kemampuan orang tersebut untuk menilai sifat dari perbuatannya, atau kemampuan untuk mengendalikan perbuatannya agar sesuai dengan ketentuan hukum; b. berada dalam keadaan keracunan yang merusak kemampuan orang tersebut untuk menilai ketidakabsahan atau sifat dari perbuatannya, atau kemampuan untuk mengendalikan perbuatannya agar sesuai dengan ketentuan hukum, kecuali kalau orang tersebut telah meracunkan diri secara suka rela dibawah keadaan yang diketahui oleh orang tersebut, atau mengabaikan risiko, bahwa sebagai akibat dari keracunan tersebut, ia mungkin sekali melakukan perbuatan yang merupakan suatu kejahatan yang berada dalam yurisdiksi Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius; c. melakukan tindakan secara masuk akal dan proporsional untuk membela dirinya sendiri atau orang lain atau, dalam hal kejahatan perang, hak milik
16
yang amat penting bagi kelangsungan hidup dari orang atau orang lain atau hak milik yang amat penting untuk memenuhi suatu misi militer, terhadap suatu penggunaan kekuatan yang tidak sah dan segera terjadi. d. melakukan perbuatan yang merupakan suatu kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 yang disebabkan oleh tekanan yang timbul dari ancaman kematian yang segera terjadi atau kerugian fisik secara serius yang berkelanjutan atau segera terjadi terhadap orang itu atau seseorang lain, dan orang itu bertindak seperlunya dan masuk akal untuk mengindari ancaman ini, dengan syarat bahwa orang itu tidak bermaksud menimbulkan suatu kerugian yang lebih besar daripada kerugian yang diupayakan untuk dihindari. (2) Majelis hakim dapat menetapkan alasan-alasan bagi penghapusan tanggung jawab pidana yang ditetapkan dalam undang-undang ini kepada perkara yang sedang diperiksanya. (1) Majelis hakim dapat mempertimbangkan alasan-alasan bagi penghapusan tangung jawab pidana selain dari alasan-alasan yang disebutkan dalam ayat (1) sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Bagian Kesepuluh Daluarsa Pasal 20 Tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dalam undang-undang ini tidak tunduk pada setiap ketentuan mengenai daluarsa.
Bagian Kesebelas Ne Bis In Idem Pasal 21 (1) Setiap orang tidak dapat diperiksa di Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius untuk kedua kalinya dalam hal orang tersebut telah dinyatakan bersalah atau dibebaskan oleh Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius sebelumnya, kecuali ditentukan lain sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. (2) Setiap orang tidak boleh diperiksa dan diputus dalam suatu pengadilan lain untuk tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dimana orang tersebut telah dihukum atau dibebaskan oleh Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius. (3) Setiap orang yang yang telah diperiksa dan diputuskan oleh suatu pengadilan lain untuk perbuatan yang juga dilarang berdasarkan undang-undang ini dapat
17
diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius berkenaan dengan perbuatan yang sama, kecuali proses perkara dalam pengadilan lain itu: a. bertujuan untuk melindungi orang yang bersangkutan dari tanggung jawab pidana untuk kejahatan yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius; atau b. dilakukan secara tidak mandiri atau tidak memihak sesuai dengan normanorma mengenai proses pengadilan yang diakui oleh hukum internasional dan dilakukan dengan cara atau keadaan yang tidak sesuai dengan tujuan untuk memeriksa orang yang bersangkutan ke Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius.
BAB V HUKUM ACARA Bagian Kesatu Umum
Pasal 22 Dalam hal tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini, hukum acara atas perkara tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku.
Bagian Kedua Penangkapan Pasal 23 (1) Komnas HAM sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan untuk kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga kuat terlibat melakukan tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius berdasarkan bukti yang cukup. (2) Pelaksanaan tugas penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penyidik dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dengan menyebutkan alasan penangkapan, tempat dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan. (3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
18
(4) Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dilakukan tanpa surat perintah dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik. (5) Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk paling lama 1 (satu) hari. (6) Masa penangkapan dikurangkan dari pidana yang dijatuhkan.
Bagian Ketiga Paragraf 1 Penahanan Pasal 24 (1) Komnas HAM sebagai penyidik berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan penyidikan. (2) Jaksa Agung sebagai penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan penuntutan. (3) Hakim Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan. (4) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius berdasarkan bukti permulaan yang cukup, dalam hal terdapat keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan mempersulit jalannya pemeriksaan, melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius. (5) Tersangka atau terdakwa yang masih dalam status dinas aktif tidak dapat dikecualikan dari tindakan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Paragraf 2 Jangka Waktu Penahanan Pasal 25 (1) Penahanan untuk kepentingan penyidikan dapat dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius sesuai dengan daerah hukumnya.
19
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius sesuai dengan daerah hukumnya.
Pasal 26 (1) Penahanan untuk kepentingan penuntutan dapat dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 20 (dua puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius sesuai dengan daerah hukumnya. (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) habis dan penuntutan belum dapat diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 20 (dua puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia Yang Paling Serius sesuai dengan daerah hukumnya.
Pasal 27 (1) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius dapat dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius sesuai dengan daerah hukumnya. Pasal 28 (1) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi dapat dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Tinggi sesuai dengan daerah hukumnya.
Pasal 29 (1) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan kasasi di Mahkamah Agung dapat dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Mahkamah Agung.
20
Bagian Keempat Penyelidikan Paragraf 1 Komnas HAM Sebagai Penyelidik Pasal 30 (1) Penyelidikan tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius dilakukan oleh Komnas HAM. (2) Penyelidikan dilakukan berdasarkan adanya dugaan telah terjadi tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius. (3) Penyelidikan dapat dilakukan baik atas laporan, pengaduan, maupun atas inisiatif Komnas HAM sebagai penyelidik. (4) Dalam melakukan penyelidikan Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komnas HAM dan unsur masyarakat. (5) Penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM dimaksudkan sebagai rangkaian tindakan dalam lingkup proyustisia.
Paragraf 2 Tim Penyelidik Ad Hoc Pasal 31 (1) Pembentukan tim penyelidik ad hoc merupakan kewenangan Komnas HAM. (2) Tim penyelidik ad hoc dibentuk melalui Surat Keputusan Ketua Komnas HAM berdasarkan keputusan rapat Sidang Paripurna Komnas HAM. (3) Tim penyelidik ad hoc terdiri atas Komnas HAM dan unsur masyarakat. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan tim penyelidik ad hoc diatur dalam Peraturan Komnas HAM.
Paragraf 3 Pengambilan Sumpah bagi Penyelidik Pasal 32
21
(1) Sebelum melaksanakan tugasnya sebagai penyelidik, penyelidik ad hoc wajib mengucapkan sumpah sesuai dengan agama atau kepercayaannya masingmasing dengan lafal sebagai berikut : “Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu apa pun kepada siapa pun juga”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas ini dengan jujur, seksama dan obyektif dengan tidak membeda-bedakan orang, dan akan menjunjung tinggi etika profesi dalam melaksanakan kewajiban saya ini dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang petugas yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan”. (2) Pengambilan sumpah atau janji penyelidik tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius dilakukan oleh Pimpinan Komnas HAM.
Paragraf 4 Kewenangan Penyelidik Pasal 33 (1) Dalam melaksanakan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 di atas, penyelidik berwenang : a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius, serta mencari keterangan dan barang bukti; b. melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius; c. mencari keterangan dan barang bukti; d. menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; e. melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab; (2) Atas perintah penyidik, penyelidik dapat melakukan tindakan berupa:
22
a. penangkapan, b. larangan meninggalkan tempat, c. penggeledahan dan penyitaan, d. pemeriksaan dan penyitaan surat, e. mengambil sidik jari, f. membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik.
Paragraf 5 Laporan hasil penyelidikan Pasal 34 Penyelidikan Komnas HAM disampaikan dalam bentuk Laporan Penyelidikan yang sekurang-kurangnya memuat: a. bentuk-bentuk tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius; b. lingkup penyelidikan; c. prosedur dan metoda yang digunakan dalam evaluasi bukti-bukti; d. nama-nama orang yang diduga terlibat dalam peristiwa tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius; e. keterangan saksi, korban dan orang-orang yang diduga sebagai pelaku; f. catatan mengenai fakta dan atau benda serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk penyelesaian perkara; g. gambaran kejadian-kejadian mendasari hasil temuan; dan
khusus secara rinci serta bukti-bukti yang
h. kesimpulan dan rekomendasi yang didasarkan pada hasil temuan, fakta berikut dasar-dasar hukumnya.
Paragraf 6 Hasil Penyelidikan Pasal 35 Penyelidik menyerahkan laporan hasil penyelidikan yang telah memenuhi bukti permulaan yang cukup tentang telah terjadinya tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius kepada penyidik guna ditindaklanjuti dengan penyidikan.
23
Bagian Kelima Penyidikan Paragraf 1 Penyidikan oleh Komnas HAM Pasal 36 (1) Penyidikan perkara tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius dilakukan oleh Komnas HAM. (2) Dalam melakukan penyidikan Komnas HAM dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri dari unsur pemerintah dan atau unsur masyarakat. (3) Penyidik ad hoc dapat dipilih dari unsur masyarakat yang memiliki keahlian khusus. (4) Sebelum melaksanakan tugasnya, penyidik ad hoc mengucapkan sumpah atau janji menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Paragraf 2 Pemberitahuan Penyidikan Pasal 37 (1) Pada saat penyidik mulai melakukan penyidikan terhadap suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius, penyelidik memberitahukan hal itu kepada penuntut. (2) Pemberitahuan disampaikan kepada penuntut paling lambat 7 (tujuh) hari setelah rapat Sidang Paripurna Komnas HAM memutuskan dilakukannya penyidikan terhadap suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius. (3) Setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan, penuntut segera membentuk penuntut atau penuntut ad hoc. Paragraf 3 Kewenangan Upaya Paksa Pasal 38 (1) Dalam melaksanakan penyidikan, Komnas HAM dapat melakukan upaya paksa. (2) Kewenangan melakukan upaya paksa merupakan kewenangan yang melekat pada institusi Komnas HAM.
24
(3) Kewenangan upaya paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan Komnas HAM apabila : a. orang yang dipanggil untuk dimintakan keterangannya tidak memenuhi panggilan setelah 3 (tiga) kali dipanggil secara patut; b. lembaga, pejabat atau pihak terkait tidak menyerahkan dokumendokumen, alat bukti atau benda lain yang terkait dengan peristiwa. (4) Dalam hal melakukan upaya paksa penyidik dapat meminta bantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Paragraf 4 Jangka Waktu Penyidikan dan Hasil Penyidikan Pasal 39 (1) Penyidikan wajib diselesaikan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius sesuai dengan daerah hukumnya. (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, penyidikan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius sesuai daerah hukumnya. (4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dari hasil penyidikan tidak diperoleh bukti yang cukup, maka wajib dikeluarkan surat penghentian penyidikan oleh penyidik. (5) Setelah surat perintah penghentian penyidikan dikeluarkan, penyidikan hanya dapat dibuka kembali dan dilanjutkan apabila terdapat alasan dan bukti lain yang melengkapi hasil penyidikan untuk dilakukan penuntutan. (6) Dalam hal penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat diterima oleh korban atau keluarganya, maka korban, keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga, berhak mengajukan praperadilan kepada Ketua Pengadilan Negeri di mana Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius berkedudukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Paragraf 5 Penyerahan Berkas Hasil Penyidikan
25
Pasal 40 (1) Apabila pemeriksaan penyidikan telah selesai dan lengkap, penyidik menyerahkan hasil penyidikan kepada penuntut umum. (2) Berkas pemeriksaan di tingkat penyidikan tersebut mencakup: a. pembuktian terhadap unsur-unsur kejahatan yang termasuk dalam tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius. b. analisis dari penyidik menyangkut uraian peristiwa, saksi, korban, tersangka. c. berkas dan berita acara sebagaimana diatur di dalam Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Paragraf 6 Sumpah bagi penyidik Pasal 41 Sumpah Penyidik ad hoc lafalnya berbunyi sebagai berikut : “Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serat mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas ini dengan jujur, seksama dan obyektif dengan tidak membeda-bedakan orang, dan akan menjunjung etika profesi dalam melaksanakan kewajiban saya ini dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang petugas yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hokum dan keadilan”. Bagian Keenam Hasil Penyidikan
26
Pasal 42 (1) Penyidik menyerahkan hasil penyidikan yang telah memenuhi bukti yang cukup tentang telah terjadinya tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius kepada penuntut. (2) Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah hasil penyidikan diterima, penuntut harus sudah menyimpulkan lengkap atau tidaknya hasil penyidikan. (3) Dalam hal penuntut berpendapat bahwa hasil penyidikan tidak lengkap, maka penuntut mengembalikan hasil penyidikan tersebut kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. (4) Penyidik wajib melengkapi kekurangan hasil penyidikan tersebut paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak diterimanya pengembalian hasil penyidikan oleh penuntut. Bagian Ketujuh Penuntutan Paragraf 1 Penuntut Umum Pasal 43 (1) Penuntutan perkara tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius dilakukan oleh Jaksa Agung. (2) Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Jaksa Agung dapat mengangkat penuntut umum ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat. (3) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memiliki kualifikasi keahlian dan pengalaman di bidang penanganan perkara pidana dan berintegritas tinggi. (4) Untuk dapat diangkat menjadi penuntut umum ad hoc harus memenuhi syarat a. warga negara Republik Indonesia; b. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun; c. berpendidikan sarjana hukum dan berpengalaman sebagai penuntut umum; d. sehat jasmani dan rohani; e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; f. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan
27
g. memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia. (5) Sebelum melaksanakan tugasnya, penuntut umum ad hoc mengucapkan sumpah/janji menurut agama dan kepercayaannya masing-masing
Paragraf 2 Sumpah bagi Penuntut Umum Pasal 44 Sumpah Jaksa Penuntut Umum ad hoc lafalnya berbunyi sebagai berikut : “Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serat mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas ini dengan jujur, seksama dan obyektif dengan tidak membeda-bedakan orang, dan akan menjunjung etika profesi dalam melaksanakan kewajiban saya ini dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang petugas yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hokum dan keadilan”. Paragraf 3 Proses Penuntutan Pasal 45 (1) Penuntutan segera dilakukan setelah pengangkatan penuntut umum ad hoc oleh Jaksa Agung. (2) Penuntut umum atau penuntut umum ad hoc segera melimpahkan berkas dan surat dakwaan ke Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang 28
Paling Serius paling lambat 70 (tujuh puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya berkas hasil penyidikan. (3)
Penuntut Umum melimpahkan berkas dan surat dakwaan ke Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius Ad hoc terhitung 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal terbentuknya Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius Ad hoc. Paragraf 4 Kewenangan Mengetahui Perkembangan Perkara Pasal 46
(1) Komnas HAM sewaktu-waktu dapat meminta keterangan tertulis kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan penuntutan. (2) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberikan oleh Jaksa Agung paling lambat 14 (empat belas) hari setelah diterimanya permintaan keterangan.
Bagian Kedelapan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Paragraf 1 Umum Pasal 47 (1) Pemeriksaan perkara tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius yang berjumlah 5 (lima) orang, terdiri atas 2 (dua) orang hakim karier dari Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. (2) Majelis hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia Yang Paling Serius. (3) Ketua Pengadilan Negeri tempat berdirinya Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius merupakan Ketua Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius. (4) Hakim HAM ad hoc yang sedang memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius dilarang menangani perkaraperkara di luar yurisdiksi Pengadilan Hak Asasi Manusia yang Paling Serius.
29
Paragraf 2 Hakim Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia Yang Paling Serius Pasal 48 (1) Hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia Yang Paling Serius diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Ketua Mahkamah Agung. (2) Jumlah hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang. (3) Hakim ad hoc diangkat untuk selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim ad hoc diatur dalam peraturan pemerintah.
Pasal 49 Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia Yang Paling Serius harus memenuhi syarat : a. warga negara Republik Indonesia; b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun; d. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum; e. sehat jasmani dan rohani; f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; g. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan h. memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia ; dan i.
berpengalaman dibidang hukum dan hak asasi manusia sekurang-kurangnya 15 tahun.
Pasal 50 Hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius, sebelum melaksanakan tugasnya wajib mengucapkan sumpah/janji sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing, lafalnya berbunyi sebagai berikut :
30
“Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas ini dengan jujur, seksama dan obyektif dengan tidak membeda-bedakan orang, dan akan menjunjung tinggi etika profesi dalam melaksanakan kewajiban saya ini dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang petugas yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hokum dan keadilan”.
Paragraf 3 Pemeriksaan Persiapan Pasal 51 (1) Pemeriksaan persiapan adalah pemeriksaan oleh majelis hakim terhadap kelengkapan surat dakwaan beserta kelengkapan alat-alat bukti sebelum pemeriksaan pokok perkara dimulai. (2) Sebelum penetapan hari sidang hakim wajib memeriksa surat dakwaan dan kelengkapan berkas perkara. (3) Dalam hal hakim berpendapat bahwa surat dakwaan belum lengkap, hakim : a. wajib memberi nasihat kepada penuntut umum untuk melengkapi surat dakwaan. b. dapat meminta penjelasan kepada penuntut umum. (4) Nasihat hakim kepada penuntut umum diberikan selama-lamanya 7 (tujuh) hari setelah menerima surat dakwaan; dan penuntut umum memperbaiki atau melengkapi berkas dakwaan dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya nasihat hakim. (5) Apabila dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak ditunjuknya majelis hakim, majelis hakim tidak memberikan nasihat kepada penuntut umum, maka proses persidangan dilanjutkan sesuai proses menurut undang-undang. (6) Apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak nasihat hakim diterima penuntut umum, dan penuntut umum tidak memperbaiki atau melengkapi berkas dakwaan, maka majelis hakim melanjutkan proses persidangan sesuai tahapan pemeriksaan menurut undang-undang.
31
Paragraf 4 Penyelesaian Perbedaan Pendapat Antara Penyidik dan Penuntut Umum Pasal 52 (1) Penyelesaian perbedaan pendapat antara penyidik dengan penuntut tentang hasil penyidikan dilakukan oleh Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius. (2) Pemeriksaan terhadap perbedaan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas didasarkan pada permohonan yang disampaikan secara tertulis baik oleh penyidik maupun penuntut. (3) Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius dalam waktu 14 (empat belas) hari harus memberikan pendapatnya dalam bentuk penetapan sejak diterimanya permohonan penyelesaian perbedaan pendapat oleh penyidik atau penuntut. (4) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilaksanakan oleh para pihak dalam waktu sekurang-kurangnya 14 (empat belas) hari. (5) Keputusan dan alasan dikeluarkannya penetapan tersebut oleh Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius harus diberitahukan sesegera mungkin kepada para pihak yang meminta pendapat terhadap suatu hasil penyidikan. (6) Penetapan Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius tersebut bersifat mengikat dan final.
Paragraf 5 Jangka Waktu Pemeriksaan Pasal 53 (1) Perkara tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius, diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius. (2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana ditentukan pada ayat (1) tidak mencukupi, maka ketua majelis hakim dapat menambah waktu pemeriksaan dengan mendengar pertimbangan dari penuntut umum dan terdakwa atau penasihat hukumnya. Pasal 54
32
(1) Dalam hal perkara tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius dimohonkan banding ke Pengadilan Tinggi, maka perkara tersebut diperiksa dan diputuskan dalam waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi. (2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim berjumlah 5 (lima) orang, yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim pada Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. (3) Jumlah hakim ad hoc di Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 29, dan Pasal 30 juga berlaku bagi pengangkatan hakim ad hoc pada Pengadilan Tinggi. Pasal 55 (1) Dalam hal perkara tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputuskan dalam waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Mahkamah Agung. (2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim yang berjumlah 5 (lima) orang, yang terdiri atas 2 (dua) orang Hakim Agung dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. (3) Jumlah hakim ad hoc di Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang. (4) Hakim ad hoc di Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden selaku kepala negara atas usulan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (5) Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diangkat untuk satu kali masa jabatan selama 5 (lima) tahun. (6) Untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc pada Mahkamah Agung harus memenuhi syarat : a. warga negara Republik Indonesia; b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. berumur sekurang-kurangnya 55 (empat puluh lima) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun; d. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum; e. Sehat jasmani dan rohani; f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; g. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan h. memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia ; dan i.
berpengalaman dibidang hukum dan hak asasi manusia sekurangkurangnya 20 tahun. 33
Paragraf 6 Pemeriksaan Saksi Dalam Kondisi Khusus Pasal 56 (1) Seorang saksi yang berada dalam ancaman, teror, dan kekerasan yang sangat berat baik fisik maupun psikologis atau dalam kondisi yang tidak memungkinkan hadir di persidangan, dapat memberikan keterangan tanpa hadir langsung di tempat di mana perkara tersebut diperiksa. (2) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan keterangan di bawah sumpah secara tertulis atau dengan sarana elektronik di hadapan pejabat yang berwenang. (3) Keterangan saksi yang diberikan secara tertulis atau dengan sarana elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disamakan nilainya dengan keterangan saksi yang diucapkan didalam persidangan. (4) Seorang Saksi yang berada dalam ancaman, teror, dan kekerasan yang sangat berat baik fisik maupun psikologis atau berada dalam kondisi yang tidak memungkinkan, atas persetujuan hakim dapat diperiksa dalam sidang tertutup, atau diperiksa secara sepihak di suatu di tempat tertentu, dan atau dapat diperiksa dengan proses pemeriksaan sidang di tempat dimana saksi berada. Pasal 57 (1) Saksi perempuan korban tindak pidana dengan kekerasan, saksi anak-anak, manusia lanjut usia dan orang cacat berhak memperoleh perlindungan khusus selama proses pemberian keterangan dalam proses penyelesaian perkara tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius. (2) Perlindungan khusus sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) adalah termasuk di dalamnya hak-hak untuk mendapatkan kemudahan-kemudahan bagi kebutuhan-kebutuhan khusus mereka. Pasal 58 (1) Seorang anak yang terdakwa.
menjadi saksi berhak untuk diperiksa tanpa hadirnya
(2) Seorang anak yang menjadi saksi dapat diperiksa dalam ruangan khusus dengan hakim tunggal dan bersifat tertutup. (3) Proses pemeriksaan terhadap anak yang memberikan kesaksian mempertimbangkan peraturan lain yang memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak.
34
Pasal 59 Orang-orang yang sudah lanjut usia dalam hal pemberian keterangan berhak : a. Didampingi seorang pendamping setiap kali mereka atau orang yang lanjut usia memberikan kesaksian dan pendamping tersebut dapat ikut mendampingi dalam setiap proses pemeriksaan kesaksian; b. Mendapatkan alat bantu atau fasilitas lain yang dibutuhkan memberikaaan kesaksianya, seaman dan senyaman mungkin.
dalam
Pasal 60 Proses pemberian kesaksian oleh orang-orang cacat diatur dengan hal-hal berikut: a. Setiap saksi yang termasuk kedalam golongan orang cacat berhak didampingi seorang pendamping; b. Saksi yang tidak dapat berjalan diberikan fasilitas kursi roda pada saat saksi berada didalam setiap proses pemeriksaan; c. Saksi yang tuna rungu wajib disediakan seorang penerjemah untuk menjelaskan maksud dari saksi, dan juga pertanyaan dari hakim atau jaksa, dan penasihat hukum pada waktu di persidangan; d. Saksi dalam kondisi cacat lainnya diberikan fasilitas sesuai dengan kebutuhannya. Pasal 61 (1) Seorang korban perempuan yang menjadi saksi berhak untuk diperiksa tanpa hadirnya terdakwa, diperiksa dalam sidang tertutup tanpa hadirnya terdakwa, dengan menggunakan telewicara, memberikan keterangan yang direkam atau keterangan yang dibacakan. (2) Seorang korban perempuan yang memberikan keterangan sebagai saksi dipersidangan berhak didampingi oleh penasehat hukum dan atau pendamping pekerja sosial lainnya. (3) Proses pemeriksaan terhadap perempuan yang memberikan kesaksian mempertimbangkan peraturan lain yang memberikan perlindungan terhadap hak-hak perempuan.
Paragraf 7 Alat Bukti dan Pembuktian Pasal 62
35
Dalam pemeriksaan di Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius, selain alat bukti sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundangundangan yang berlaku, alat bukti juga dapat diperoleh dari : a. informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik, atau dengan alat optik yang serupa dengan itu; b. dokumen yang berupa rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, atau gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya. Pasal 63 (1) Penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum terdakwa dapat menghadirkan seorang ahli kepada majelis hakim untuk memberikan keterangan sebagai ahli di sidang pengadilan. (2) Ahli sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) harus benar-benar memiliki kualifikasi keahlian di bidangnya. (3) Majelis hakim dapat menerima atau menolak ahli yang diusulkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan disertai alasan serta memperhatikan pemberian kesempatan yang sama kepada penuntut umum dan terdakwa atau penasihat hukum terdakwa. Pasal 64 (1) Saksi yang tidak dapat didengar secara langsung di muka persidangan dapat memberikan keterangan melalui media teknologi audio atau video. (2) Pelaksanaan pemberian keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pada tempat yang dapat menjamin keamanan, kenyamanan fisik dan ketenangan jiwa, serta martabat saksi sehingga pengungkapan kebenaran yang jujur dan terbuka dapat tercapai. Pasal 65 Hakim dapat mengijinkan disampaikannya keterangan saksi yang telah direkam sebelumnya melalui media audio atau video, atau transkrip atau bukti-bukti lainnya dimuka persidangan. Pasal 66 (1) Hakim dapat menerima pemberian keterangan oleh seorang saksi di persidangan yang tidak terbuka untuk umum.
36
(2) Pemberian keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan apabila saksi tersebut tidak terjamin keamanan, kenyamanan fisik dan ketenangan jiwa, serta martabatnya.
Paragraf 8 Pendapat korban dalam Proses Persidangan Pasal 67 (1) Dalam hal pemeriksaan perkara berpengaruh secara langsung terhadap kepentingan pribadi korban, hakim harus mengijinkan pandangan korban untuk disampaikan dan menjadi bahan pertimbangan dalam proses persidangan. (2) Korban dapat menyampaikan permohonan untuk menyampaikan pandangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara tertulis. (3) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diberitahukan oleh ketua majelis hakim kepada penuntut umum dan terdakwa atau penasihat hukumnya. (4) Permohonan yang dimaksudkan dalam aturan ini bisa juga dibuat atau diajukan oleh orang yang bertindak dengan persetujuan korban, atau orang yang bertindak atas nama korban.
Paragraf 9 Dokumentasi Proses Pemeriksaan Pasal 68 (1) Dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius panitera berkewajiban membuat rekaman proses sidang, dan menjaga atau mengamankan, rekaman yang lengkap dan akurat dari semua proses persidangan, termasuk transkrip, rekaman dengan media audio ataupun video dan alat-alat lain yang bisa menangkap suara dan gambar. (2) Majelis hakim dapat memerintahkan pengungkapan semua atau sebagian rekaman dari proses persidangan yang tertutup apabila alasan-alasan yang membuat rekaman-rekaman tersebut tidak boleh diungkapkan tidak ada lagi. (3) Majelis hakim dapat memberikan kewenangan kepada orang selain panitera untuk membuat foto, rekaman audio atau video, dan media-media lain yang bisa menangkap suara ataupun gambar dari proses pengadilan atau persidangan tersebut.
37
BAB VI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN, DAN PERAN SERTA KORBAN DALAM PROSES PERSIDANGAN Pasal 69 (1) Setiap korban dan saksi dalam perkara tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius berhak mendapatkan perlindungan fisik dan mental untuk melindungi keselamatan, kesejahteraan fisik dan psikologis, martabat dan privasi para korban dan saksi. (2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan oleh lembaga-lembaga yang mempunyai kewenangan untuk memberikan perlindungan, diantaranya Lembaga Perlidungan Saksi dan Korban, aparat kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya. (3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan semua faktor terkait, termasuk umur, jenis kelamin, kesehatan, serta sifat kejahatan yang terjadi. (4) Setiap korban dan saksi dalam kejahatan yang melibatkan kekerasan seksual atau gender atau kekerasan terhadap anak-anak, penyelidik, penyidik, penuntut Umum dan pengadilan harus diperlakukan secara khusus termasuk prosedur pemeriksaan mengambil tindakan-tindakan tersebut terutama selama penyelidikan dan penuntutan terhadap kejahatan semacam itu. Tindakan-tindakan ini tidak boleh merugikan atau tidak sesuai dengan hak-hak para tertuduh dan dengan persidangan yang adil dan tidak memihak. (5) Setiap korban dan saksi dapat diperiksa dengan melakukan sebagian atau keseluruhan dari proses persidangan secara tertutup (in camera) atau memperbolehkan pengajuan bukti dengan sarana elektronika atau sarana khusus lainnya dengan mempertimbangkan semua keadaan, terutama pandangan-pandangan para korban atau saksi. (6) Setiap korban berhak memberikan pendapat selama proses pemeriksaan di pengadilan untuk mempertahankan kepentingannya melalui wakilnya, penasehat hukumnya atau melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. (7) Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dapat memberi nasihat kepada penyelidik, penyidik, penuntut umum dan pengadilan mengenai tindakan perlindungan yang tepat, pengaturan keamanan, pemberian nasihat hukum dan bantuan. (8) Penuntut umum berhak menahan bukti-bukti atau menggunakan tanda samaran sebelum dimulainya persidangan apabila bukti-bukti dan dokumen lainnya untuk kepentingan penuntutan dapat menimbulkan bahaya terhadap keamanan seorang saksi dan korban atau keluarganya. (9) Ketentuan tentang perlindungan korban dan saksi dalam pasal ini dilakukan dengan cara yang tidak merugikan atau tidak sesuai dengan hak-hak tersangka atau terdakwa untuk menjamin persidangan yang adil dan tidak memihak.
38
BAB VII PERLINDUNGAN TERHADAP PENEGAK HUKUM Pasal 70 (1) Penyelidik, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim dan Advokat dalam melaksanakan tugasnya dalam perkara tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius berhak atas perlindungan baik fisik maupun mental. (2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang. (3) Tata cara mengenai perlindungan terhadap penegak hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VIII PEMULIHAN KORBAN Pasal 71 (1) Setiap korban tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius berhak mendapatkan pemulihan yang mencakup restitusi, kompensasi dan rehabilitasi. (2) Keputusan mengenai restitusi, kompensasi dan rehabilitasi dicantumkan dalam amar putusan. (3) Pengadilan dapat membuat suatu perintah secara langsung kepada pelaku untuk membayar restitusi kepada korban setelah adanya keputusan yang berkekuatan hukum tetap. (4) Hak atas kompensasi dan rehabilitasi diberikan dalam hal terdapat fakta bahwa telah terjadi tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius atau ditemukannya bukti-bukti bahwa para korban mengalami kerugian atau tindakan lainnya terkait perkara yang diperiksa oleh Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius. (5) Keputusan mengenai kompensasi dan rehabilitasi kepada korban diberikan tanpa memandang apakah terdakwa dinyatakan bersalah atau dikaitkan dengan dihukumnya pelaku. (6) Hak atas kompensasi dan rehabilitasi diberikan kepada para korban terhadap setiap kerusakan, kerugian atau luka yang dialami atas tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius tanpa melihat keterkaitan dengan status pidana pelaku. (7) Keputusan mengenai restitusi, kompensasi dan rehabilitasi harus mempertimbangkan pandangan dari korban, pelaku, dan pihak-pihak lainnya.
39
(8) Ketentuan lainnya mengenai hak-hak korban mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan peraturan perundang-undangan lainnya.
BAB IX KETENTUAN PIDANA Pasal 72 Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, b, c, d, atau e dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.
Pasal 73 Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, b, d, e, atau j dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun. Pasal 74 Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, f atau k dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun. Pasal 75 Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf g, h, atau i dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun. Pasal 76 Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.
Pasal 77 Setiap orang yang melakukan perbuatan berupa permufakatan jahat, percobaan, dan pembantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dipidana dengan
40
pidana yang sama dengan yang diatur dalam Pasal 73, Pasal 74, Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77.
BAB X PENGADILAN TINDAK PIDANA HAK ASASI MANUSIA YANG PALING SERIUS AD HOC Bagian Kesatu Umum Pasal 78 (1) Tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius yang terjadi sebelum tanggal 23 November 2000 diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia Yang Paling Serius ad hoc (2) Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Peraturan Presiden setelah memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan. (3) Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di lingkungan Peradilan Umum. (4) Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini. (5) Pemeriksaan di Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius ad hoc dan upaya hukumnya dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.
Bagian Kedua Penyelidikan dan Penyidikan Pasal 79 (1) Penyelidikan dan Penyidikan terhadap dugaan terjadinya tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius yang terjadi sebelum tanggal 23 November 2000 dilakukan oleh Komnas HAM. (2) Dalam melaksanakan penyelidikan dan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komnas HAM berwenang melakukan tindakan berupa penyitaan surat-surat, penggeledahan, pemanggilan paksa dan tindakan lainnya sebagaimana kewenangan Komnas HAM dalam undang-undang ini.
41
Bagian Ketiga Tata Cara Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius ad hoc Pasal 80 (1) Komnas HAM setelah melakukan penyelidikan tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius yang terjadi sebelum tanggal 23 November 2000 memberikan laporan hasil penyelidikannya kepada Jaksa Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden. (2) Dewan Perwakilan Rakyat memberikan keputusan mengenai usulan pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius ad hoc berdasarkan hasil penyelidikan dan dan penyidikan dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh hari) sejak diterimanya laporan hasil penyidikan. (3) Usulan pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius Ad Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Presiden dalam jangka waktu 1 (satu) bulan. (4) Presiden membuat Peraturan Presiden tentang pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius Ad Hoc dalam jangka waktu 1 (bulan) terhitung sejak diterimanya usulan Dewan Perwakilan Rakyat. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 81 (1) Tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius yang terjadi sebelum tanggal 23 November 2000 tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. (2) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mempunyai kewenangan untuk menggantikan kewenangan Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius Ad Hoc dalam melaksanakan pemeriksaan dan memutus perkara tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius yang terjadi sebelum tanggal 23 November 2000. (3) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk dengan undang-undang.
Pasal 82
42
Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius yang sudah atau sedang dilaksanakan berdasarkan UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.
Pasal 83 Ketentuan mengenai kewenangan Atasan yang Berhak Menghukum dan Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dan Pasal 123 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dinyatakan tidak berlaku dalam pemeriksaan tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius menurut undang-undang ini.
Pasal 84 Dengan berlakunya undang-undang ini, maka Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 191, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3911) dengan ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 85 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal ................................. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd, SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal ............... SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd, ......................... LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ............. NOMOR .........
43
Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT KABINET Republik Indonesia Kepala Biro Peraturan Perundang - undangan II ......................
PENJELASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN … TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA HAK ASASI MANUSIA YANG PALING SERIUS
I. Umum Hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia harus dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab sesuai dengan falsafah yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan asas-asas hukum internasional. Bahwa mekanisme penegakan hukum terhadap pelanggaran hak asasi manusia melalui proses peradilan telah dikenal dalam sistem hukum di Indonesia, dengan adanya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dibentuk tersebut juga telah mengadili beberapa perkara tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius. Sejalan dengan pengalaman yang didapatkan melalui praktik penanganan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang telah dijalankan, maka terdapat beberapa hal didalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang secara substansial perlu diperbaiki. Penyempurnaan tersebut mencakup hukum materiil dan prosedural. Undang-undang yang secara spesifik mengemban mandat untuk penegakan hukum melalui sarana pengadilan atas tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius, tentu mengandung suatu misi mengemban tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia beserta berbagai instrumen hukum lainnya yang mengatur hak asasi manusia yang telah disahkan dan atau diterima oleh negara Republik Indonesia.
44
Bertitik tolak dari perkembangan hukum, baik ditinjau dari kepentingan nasional maupun dari kepentingan internasional, untuk menyelesaikan masalah tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius, maka Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia perlu disempurnakan melalui suatu proses penggantian substansi undang-undangnya. Sebagaimana diketahui bersama bahwa dasar pembentukan undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang tentang Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia Yang Paling Serius diharapkan akan dapat melindungi hak asasi manusia, baik perseorangan maupun masyarakat, dan menjadi dasar dalam penegakan, kepastian hukum, keadilan, dan perasaan aman baik bagi perseorangan maupun masyarakat, terhadap tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius. Pembentukan undang-undang tentang Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia yang Paling Serius didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut : a. Tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius merupakan "extra ordinary crimes" dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil yang mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketenteraman, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia; b. Terhadap perkara tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius diperlukan langkah-langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang bersifat khusus. Kekhususan dalam penanganan tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius adalah: 1. diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut umum ad hoc, dan hakim ad hoc; 2. diperlukan penegasan bahwa penyelidikan dan penyidikan hanya dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia; 3. diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan; 4. diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi; 5. diperlukan ketentuan mengenai pemulihan korban; 6. diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kadaluarsa bagi tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius. Bahwa argumentasi dalam pertimbangan pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Hak asasi Manusia yang Paling Serius tersebut sekaligus menjadi prinsipprinsip dasar yang tersebut diatas tetap dipertahankan dalam penggantian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 45
Sebagaimana diketahui bersama bahwa tindak pidana yang menjadi yurisdiksi undang-undang ini adalah kejahatan yang sifatnya sangat serius (the most serious crimes) yang merupakan kejahatan internasional dan menjadi musuh seluruh umat manusia (hostis humani generis). Untuk itu, dalam konteks sebab terjadinya dan perumusan kejahatannya berbeda dengan tindak pidana umum. Dengan adanya perbedaan tersebut, maka tidak mungkin penanganan tindak pidana tersebut dijalankan melalui sarana hukum acara pidana yang biasa dipergunakan untuk menangani perkara tindak pidana umum. Untuk itu dalam perubahan undang-undang ini perlu penyempurnaan subtansinya baik dalam hal hukum materiil maupun hukum formil. Dari konteks penyempurnaan hukum materiil maka ada hal-hal yang perlu ditegaskan kembali dalam rumusan-rumusan pasal undang-undang ini, seperti menegaskan sifat luar biasanya tindak pidana tersebut maka diberikan yurisdiksi ratione tempus, dengan menjangkau perkara-perkara pada masa lalu dengan meniadakan prinsip daluwarsa terhadap tindak pidana yang menjadi yurisdiksi pengadilan serta dapat dikesampingkannya asas nonretroaktif. Selain itu, yurisdiksi tindak pidana yang menjadi kewenangan pengadilan juga ditambah, bukan hanya tindak pidana kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, namun tindak pidana kejahatan perang juga penting untuk dimasukkan dalam undang-undang ini. Dimasukkannya tindak pidana kejahatan perang sesungguhnya merupakan upaya penyelarasan hukum nasional dengan acuan norma internasional Statuta Roma 1998. Bahwa dalam praktik Pengadilan HAM yang sudah berjalan juga ditemui sejumlah kendala berikaitan dengan kelemahan pengaturan khususnya mengenai berbagai asas dan ketentuan lainnya yang belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sehingga menimbulkan ketidakkonsistenan dalam penerapan hukum. Sebagaimana diketahui bahwa tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah kejahatan-kejahatan internasional dan dalam perkembangannya dalam praktik pengadilan internasional atas kejahatan tersebut mengatur norma dan asas yang berbeda dengan tindak pidana umum. Dengan demikian maka dalam perubahan ini perlu untuk menegaskan dan mengatur ketentuan-ketentuan khusus yang telah diterapkan dalam peradilan internasional tersebut. Dari sisi hukum acara terdapat beberapa penyempurnaan, seperti perlunya aturan prosedural yang bersifat khusus tersebut diperlukan sebab standar hukum acara pidana biasa yang ada saat ini tidak mungkin dapat mencukupi tuntutan penanganan dan pemeriksaan tindak pidana yang luar biasa. Hal ini tercermin dengan semakin jelasnya wewenang masing-masing lembaga penegak hukum yang diberikan wewenang untuk menangani perkara tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius oleh undang-undang ini, dari tahap penyelidikan hingga pemeriksaan di muka sidang. Tahap penyelidikan dan penyidikan menjadi wewenang Komnas HAM, penuntutan menjadi wewenang Jaksa Agung, dan Pengadilan Khusus yang memeriksa dan memutus perkara di bawah kewenangan dari Mahkamah Agung. Salah satu perubahan yang sangat penting adalah adanya mekanisme penyelesaian perbedaan pendapat antara penyidik dan penuntut dalam hal
46
melihat terpenuhinya persyaratan formil maupun kesimpulan ada tidaknya dugaan tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius. Selain itu dalam undangundang perubahan ini terdapat satu mekanisme pemeriksaan persiapan, dimana hakim diberikan kewenangan untuk memberikan satu penilaian dan saran terhadap kecukupan berkas sebelum tahap persidangan dilaksanakan. Untuk itulah dalam undang-undang perubahan ini telah diatur suatu rumusan yang memuat kewenangan masing-masing lembaga dan bagaimana hubungan lintas otoritas tersebut dapat berlangsung sebagai satu yang mengarah pada satu sistem penyelenggaraan peradilan pidana yang fair dan bermutu. Dengan melakukan perubahan substansi akan didapatkan suatu undang-undang yang lengkap dan menjawab kendala-kendala yang dihadapi oleh penegak hukum serta masyarakat pencari keadilan pada umumnya.
II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas
Pasal 2 Cukup jelas
Pasal 3 Ayat (1) cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia Yang Paling Serius di Provinsi Papua merupakan mandat dari Pasal 45 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Huruf f
47
Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia Yang Paling Serius di Nanggroe Aceh Darussalam merupakan mandat dari Pasal 229 UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Pasal 4 Yang dimaksud dengan "memeriksa dan memutus" dalam ketentuan ini adalah termasuk menyelesaikan perkara yang menyangkut kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku Pasal 5 Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk melindungi warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius yang dilakukan di luar batas teritorial, dalam arti tetap dihukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia Yang Paling Serius ini. Pasal 6 Seseorang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun yang melakukan tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri.
Pasal 7 Tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius dalam pasal ini sesuai dengan kejahatan-kejahatan paling serius sebagaimana diatur dalam Statuta Roma 1998.
Pasal 8 Huruf a. Yang dimaksud dengan "anggota kelompok" adalah seorang atau lebih anggota kelompok.
Pasal 9 Yang dimaksud dengan “serangan” adalah tindakan-tindakan yang mencakup tindakan baik secara sistematis atau luas, yang dilakukan secara berganda yang dihasilkan atau merupakan bagian dari kebijakan Negara atau organisasi. “Tindakan Berganda” harus diartikan sebagai suatu tindakan yang tidak bersifat tunggal atau berdiri sendiri. “Serangan” baik secara luas atau sistematis tidaklah semata-mata “serangan militer” seperti yang diatur dalam Hukum Humaniter Internasional yang hanya yang melibatkan angkatan bersenjata, atau kelompok bersenjata. Akan tetapi serangan dapat juga berarti lebih luas berupa tindakantindakan penekanan terhadap penduduk dengan cara tertentu. Syarat adanya serangan terpenuhi apabila populasi sipil merupakan objek utama dari serangan. Yang dimaksud dengan “secara luas” menunjuk pada “jumlah korban”. Kata “secara luas” juga mencakup pengertian tindakan yang masif, sering/berulangulang, dalam skala besar yang dilaksanakan secara kolektif dan berakibat serius.
48
Yang dimaksud dengan “sistematis” mencerminkan “suatu pola atau metode tertentu” yang diorganisir secara menyeluruh dan menggunakan pola yang tetap. Kata-kata “secara luas atau sistematis” tidak mensyaratkan bahwa setiap tindakan kejahatan yang dilakukan harus selalu memiliki sifat meluas atau sistematis. Dengan kata lain, jika terjadi pembunuhan, perkosaan dan pemukulan, maka setiap kejahatan itu tidak perlu harus bersifat luas atau sistematis, jika kesatuan dari tindakan-tindakan di atas sudah memenuhi unsur secara luas atau sistematis. Secara luas (widespread) atau sistematis (systematic) tidak harus dibuktikan keduanya, kejahatan yang dilakukan dapat saja merupakan bagian dari serangan yang luas semata atau sistematis saja, dan tidak harus dibuktikan keduanya. Yang dimaksud dengan “populasi sipil” mencakup setiap orang yang tidak ikut secara aktif dalam pertikaian, atau yang bukan lagi pihak peserta tempur, termasuk anggota angkatan bersenjata yang telah menyerah (hors de combat) karena sakit, terluka, ditawan atau karena alasan lainnya. Dengan demikian, milisi, para-militer dan sebagainya tidak termasuk sebagai populasi sipil. Huruf a Yang dimaksud dengan "pembunuhan" mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain.
adalah
setiap
perbuatan
yang
Huruf b Yang dimaksud dengan "pemusnahan" meliputi penderitaan atas kondisi kehidupan yang dengan sengaja diciptakan, antara lain berupa perbuatan menghambat pemasokan barang makanan dan obat-obatan yang dapat menimbulkan pemusnahan pada sebagian penduduk. Huruf c Yang dimaksud dengan "perbudakan" dalam ketentuan ini adalah dijalankannya setiap atau seluruh kekuasaan yang melekat pada hak kepemilikian atas seseorang dan mencakup dijalankannya kekuasaan tersebut dalam bentuk perdagangan manusia, khususnya perdagangan perempuan dan anak-anak. Huruf d Yang dimaksud dengan "deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa" adalah pemindahan orang-orang tersebut secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan-tindakan pemaksaan yang lain dari area di mana mereka bertempat tinggal secara sah, tanpa didasari alasan yang diijinkan oleh hukum internasional. Huruf e Cukup jelas Huruf f Yang dimaksud dengan "penyiksaan" dalam ketentuan ini adalah dengan sengaja dan melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat, baik fisik maupun mental, terhadap seorang tahanan atau seseorang yang berada di bawah kendali tersangka kecuali bahwa penyiksaan tidak mencakup
49
kesakitan atau penderitaan yang muncul dari, melekat di dalam atau, sebagai akibat dari sanksi hukum yang sah . Huruf g Yang dimaksud dengan “kehamilan paksa” atau “forced pregnancy” adalah penahanan tidak sah dari seorang perempuan yang secara paksa dihamili dengan maksud untuk mempengaruhi komposisi etnis dari populasi apa pun atau melakukan suatu pelanggaran berat dari hukum internasional. Definisi, betaapa pun juga tidak dapat ditafsirkan sebagai mempengaruhi hukum nasional yang berkaitan dengan kehamilan. Huruf h Yang dimaksud dengan “persekusi” berarti perampasan hak-hak dasar secara sengaja dan kejam yang bertentangan dengan hukum internasional karena alasan identitas kelompok atau kolektivitas. Yang dimaksud dengan “jender” mengacu kepada dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, dalam konteks masyarakat. Istilah “jender” tidak memperlihatkan suatu arti yang berbeda dengan yang di atas. Huruf i Yang dimaksud dengan "penghilangan orang secara paksa" yakni penangkapan, penahanan, atau penculikan seseorang oleh atau dengan kuasa, dukungan atau persetujuan dari negara atau kebijakan organisasi, diikuti oleh penolakan untuk mengakui perampasan kemerdekaan tersebut atau untuk memberikan informasi tentang nasib atau keberadaan orang tersebut, dengan maksud untuk melepaskan dari perlindungan hukum dalam jangka waktu yang panjang. Huruf j Yang dimaksud dengan "kejahatan apartheid" adalah perbuatan tidak manusiawi dengan sifat yang sama dengan sifat-sifat yang disebutkan dalam Pasal 8 yang dilakukan dalam konteks suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan dominasi oleh suatu kelompok rasial atas suatu kelompok atau kelompokkelompok ras lain dan dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan rezim itu.
Pasal 10 Cukup jelas
Pasal 11 Ayat (1) Cukup Jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3)
50
Dalam hal terdapat kekaburan, pengertian tindak pidana dalam undang-undang ini harus ditafsirkan dengan penafsiran yang menguntungkan orang yang sedang diselidiki, disidik dituntut atau dipidana. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas
Pasal 12 Ayat (1) Cukup Jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan “tanggung jawab negara” adalah misalnya kewajiban negara untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku dan pemulihan korban tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius.
Pasal 13 Cukup Jelas
Pasal 14 Yang dimaksud dengan ”pengetahuan” adalah kesadaran bahwa suatu kondisi atau suatu akibat akan terjadi dalam rangkaian kejadian yang biasa. ”Mengetahui” atau ”dengan sengaja” harus ditafsirkan sesuai dengan hal tersebut. Seseorang dianggap memiliki maksud apabila: a. berkaitan dengan tindakan, orang tersebut bermaksud untuk turut serta dalam perbuatan tersebut; b. berkaitan dengan akibat, orang tersebut bermaksud untuk menimbulkan akibat itu atau menyadari bahwa hal tersebut akan terjadi dalam rangkaian kejadian yang biasa. Pasal 15 Cukup jelas.
Pasal 16 Cukup jelas
Pasal 17 Ayat (1) Huruf a
51
Yang dimaksud dengan “kewajiban hukum untuk menuruti perintah” adalah seorang bawahan yang melakukan perbuatan sesuai dengan perintah atasan yang apabila perintah itu diyakininya dengan itikad baik telah diberikan dengan sah dan pelaksanaan perintah itu termasuk ruang lingkup wewenangnya sebagai bawahan. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 18
Pasal 19 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Tindakan pembelaan diri dalam ketentuan ini adalah tindakan yang dilakukan dengan suatu cara yang proporsional dengan besarnya bahaya terhadap orang atau orang-orang lain atau hak milik yang dilindungi. Tindakan atau keadaan bahwa orang itu terlibat dalam suatu operasi yang dilakukan oleh angkatan bersenjata tidak dengan sendirinya merupakan alasan untuk meniadakan tanggung jawab pidana berdasarkan sub ayat ini. Huruf d Yang dimaksud dengan “ancaman” dalam ketentuan ini adalah ancaman semacam yang mungkin dilakukan oleh orang-orang lain atau ditimbulkan oleh keadaan-keadaan lain di luar penguasaan orang tersebut. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas
Pasal 20 Cukup Jelas
52
Pasal 21 Cukup jelas
Pasal 22 Yang dimaksud dengan “ketentuan hukum acara pidana yang berlaku” adalah ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Pasal 23 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “bukti yang cukup” dalam pasal ini adalah telah ditemukannya sekurang-kurangnya dua alat bukti. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Yang dimaksud dengan "1 (satu) hari" adalah dalam waktu 24 (dua puluh empat) jam terhitung sejak tersangka ditangkap. Ayat (6) Cukup jelas
Pasal 24 Cukup jelas
Pasal 25 Cukup jelas
Pasal 26 Cukup jelas
Pasal 27 Cukup jelas
53
Pasal 28 Cukup jelas
Pasal 29 Cukup jelas
Pasal 30 Ayat (1) Kewenangan penyelidikan hanya dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dimaksudkan untuk menjaga objektivitas hasil penyelidikan karena lembaga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia adalah lembaga yang bersifat independen. Ayat (4) Unsur Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang dimaksud dalam ayat (3) tidak terbatas pada komisioner, tetapi meliputi juga staf Komnas HAM. Syarat-syarat keanggotaan tim penyelidik ad hoc sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan tentang profesionalitas, integritas tinggi, berdedikasi, dan mempunyai kepedulian terhadap hak asasi manusia Orang yang ditunjuk menjadi anggota tim ad hoc adalah orang yang tidak mempunyai kedekatan dengan kasus, korban maupun dengan pihak yang diduga bertanggung jawab. Ayat (5) Cukup jelas
Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Ayat (1) Pengambilan sumpah/janji diperlukan untuk memastikan hasil penyelidikan/laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dapat digunakan sebagai alat bukti surat dalam pemeriksaan di persidangan. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 33 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "menerima" adalah menerima, mendaftar, dan mencatat laporan atau pengaduan tentang telah terjadinya tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius, dan dapat dilengkapi dengan barang bukti. Ayat (2)
54
Yang dimaksud dengan "perintah penyidik" adalah perintah tertulis yang dikeluarkan penyidik atas permintaan penyelidik dan penyidik segera mengeluarkan surat perintah setelah menerima permintaan dari penyelidik.
Pasal 34 Cukup Jelas
Pasal 35 Cukup jelas
Pasal 36 Ayat (1) Kewenangan penyidikan hanya dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dimaksudkan untuk menjaga objektivitas hasil penyidikan karena lembaga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia adalah lembaga yang bersifat independen. Ayat (2) Unsur pemerintah dalam hal ini berasal dari penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau penyidik Kejaksaan Agung. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 37 Cukup jelas Pasal 38 Cukup jelas Pasal 39 Cukup jelas
Pasal 40 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas
55
Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 42 Ayat (1) Bukti permulaan yang cukup dalam pasal ini adalah telah ditemukan sekurangkurangnya 1 (satu) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada hasil laporan Komnas HAM atau informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud kurang lengkap adalah belum cukup memenuhi unsur tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius untuk dilanjutkan ke tahap penuntutan Ayat (4) Cukup jelas Pasal 43 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan “unsur masyarakat” adalah praktisi hukum yang telah memiliki pengalaman sekurang-kurangnya sepuluh (10) tahun dalam bidang hukum pidana, tidak termasuk praktisi hukum yang pernah bekerja di lembaga kejaksaan dan oditur militer. Ayat (3)
56
Yang dimaksud dengan keahlian antara lain adalah keahlian di bidang penuntutan, forensik, farmakologi, atau keahlian lainnya yang dibutuhkan. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 44 Cukup jelas
Pasal 45 Cukup jelas
Pasal 46 Cukup jelas
Pasal 47 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “hakim ad hoc” adalah praktisi hukum yang telah memiliki pengalaman sekurang-kurangnya sepuluh (10) tahun dalam bidang hukum pidana, tidak termasuk praktisi hukum yang pernah bekerja di lembaga kejaksaan dan oditur militer. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas
Pasal 48 Cukup jelas Pasal 49 Cukup jelas
Pasal 50 Cukup jelas
57
Pasal 51 Ayat (1) Pemeriksaan persiapan dimaksudkan untuk menyempurnakan dan memperbaiki kesalahan yang terdapat pada surat dakwaan. Hal ini untuk menghindari terbebasnya terdakwa dari dakwaan sebagai akibat kekurangsempurnaan surat dakwaan dan alat-alat kelengkapan lainnya. Pasal ini lebih menekankan pada kewajiban hakim untuk memeriksa berkas perkara yang akan diperiksa dipersidangan. Apabila hakim menilai berkas perkara tersebut belum lengkap atau surat dakwaan mengandung kelemahan maka hakim wajib memberikan nasihat kepada penuntut umum untuk melengkapi dan atau menyempurnakan. Ayat (2) Yang dimaksud surat dakwaan yang belum lengkap adalah surat dakwaan yang tidak memenuhi persyaratan kelengkapan formil berkas dan berita acara yang menjadi bagian tak terpisahkan dari surat dakwaan. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas
Pasal 52 Ayat (1) Yang dimaksud dengan perbedaan pendapat dalam pasal ini adalah perbedaan mengenai alasan pengembalian berkas penyidikan atau tidak ditindaklanjutinya dengan penuntutan. Ayat (2) Permohonan harus disertai dengan dasar atau alasan permohonan tersebut diajukan. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas
58
Pasal 53 Cukup jelas Pasal 54 Cukup jelas Pasal 55 Cukup jelas Pasal 56 Ayat (1) Yang dimaksud “ancaman, teror, dan kekerasan” adalah segala bentuk perbuatan memaksa, mengancam dan menimbulkan ketakutan secara psikologis dengan tujuan menghalang-halangi atau mencegah seseorang, sehingga baik langsung atau tidak langsung mengakibatkan orang tersebut tidak dapat memberikan keterangan yang benar untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan. Yang dimaksud dengan “kondisi tidak memungkinkan” adalah keadaan orang yang tidak diketahui keberadaannya, sakit, dan sedang bepergian. Saksi yang dimaksud dalam pasal ini adalah saksi yang keterangannya sudah tercantum dalam berita acara pemeriksaan (BAP) maupun saksi yang diajukan kemudian atau pada saat pemeriksaan dimuka sidang baik oleh penuntut umum maupun penasehat hukum. Ayat (2) Keterangan tertulis dibawah sumpah yang disahkan oleh pejabat yang berwenang yang dapat digunakan sebagai alat bukti. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 57 Cukup jelas
Pasal 58 Cukup jelas
Pasal 59 Cukup jelas Pasal 60 Cukup jelas
59
Pasal 61 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Istilah pendamping pekerja sosial mengacu kepada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Yang dimaksud dengan “pekerja sosial” adalah seseorang yang mempunyai kompetensi profesional dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan formal atau pengalaman praktik dibidang pekerjaan sosial/ kesejahteraan sosial yang diakui secara resmi oleh pemerintah dan melaksanakan tugas profesional pekerjaan sosial. Ayat (3) Cukup jelas
Pasal 62 Cukup jelas
Pasal 63 Cukup jelas
Pasal 64 Cukup jelas Pasal 65 Cukup jelas
Pasal 66 Cukup jelas
Pasal 67 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kepentingan pribadi korban” adalah pendapat mereka terhadap jalannya persidangan dan kepentingan mereka terkait hak-hak pemulihan kepada korban. Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 68 Cukup jelas
60
Pasal 69 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Yang dimaksud dengan “proses persidangan secara tertutup (in camera) adalah proses persidangan dimana korban atau saksi memberikan keterangan secara tertutup tanpa diketahui oleh para pihak atau publik demi keselamatan korban atau saksi. Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Ayat (8) Cukup jelas Ayat (9) Cukup jelas
Pasal 70 Cukup jelas Pasal 71 Yang dimaksud dengan "kompensasi" adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara atas terjadinya tindak pidana hak asasi manusia yang paling serius. Yang dimaksud dengan "restitusi" adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Restitusi dapat berupa : a. pengembalian harta milik; b. pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan; atau c. penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
61
Yang dimaksud dengan "rehabilitasi" adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain. Pasal 72 Cukup jelas.
Pasal 73 Cukup jelas Pasal 74 Cukup jelas Pasal 75 Cukup Jelas
Pasal 76 Cukup Jelas
Pasal 77 Cukup Jelas
Pasal 78 Ayat (1) Tanggal 23 November 2000 adalah tanggal pengundangan Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Ayat (2) Cukup Jelas Ayat (3) Cukup Jelas Ayat (4) Cukup Jelas Ayat (5) Cukup Jelas Pasal 79 Cukup Jelas
Pasal 80 Cukup Jelas
62
Pasal 81 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi merupakan komisi yang bersifat komplementer terhadap Pengadilan Tindak Pidana Hak Asasi Manusia Yang Paling Serius sehingga tidak dapat menggantikan fungsi-fungsi penuntutan terhadap kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang yang menjadi kewajiban setiap negara untuk melakukan penuntutan dan penghukuman terhadap kejahatan tersebut. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 82 Cukup Jelas
Pasal 83 Cukup jelas Pasal 84 Cukup jelas Pasal 85 Cukup Jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR ...
63