1
Rancang Bangun Sistem Pengendalian Blade Pitch Angle Pada Prototipe Turbin Angin Berbasis euro-Fuzzy Denny Putra Pratama, Dr.Bambang Lelono.W.ST.MT, Ir.Ali Musyafa’M.Sc. Department of Engineering Physics, Faculty of Industrial Technology ITS Surabaya Indonesia 60111, email:
[email protected]
Abstrak—Energi angin merupakan salah satu sumber
energi terbarukan Akan tetapi kecepatan angin yang berubah-ubah menjadikan salah satu kendala terutama bagi desain turbin angin konvensional. Hal ini dapat menyebabkan putaran turbin angin yang tidak konstan dan bergantung pada naik turunnya kecepatan angin. Dalam tugas akhir ini telah dirancang sebuah sistem pengendalian blade pitch angle pada prototype turbin angin yang berbasis euro-fuzzy. Tujuannya adalah untuk menjaga kecepatan putar shaft agar tetap konstan pada range operasi generator, yang dianalogikan dengan sebuah nilai set point tertentu. Kecepatan putaran shaft disensor menggunakan rotary encoder. Berdasarkan kecepatan sudut shaft, sistem kontrol mengendalikan sudut pitch dari blade. Perubahan sudut pitch ini akan secara signifikan mempengaruhi kecepatan putar shaft. Pada tugas akhir ini didesain dua buah kontroler. Kontroler pertama memiliki fungsi keanggotaan input error sebanyak 7 dan delta error sebanyak 3 . Kontroler kedua memiliki fungsi keanggotaan input error sebanyak 9 dan delta error sebanyak 3. Kontroler pertama dinilai gagal melakukan aksi kontrol karena nilai error steady state diatas 5% dan tidak dapat mencapai setpoint pada rpm tinggi. Sedangkan kontroler kedua dapat bekerja dengan baik dalam mempertahankan set point. Kata kunci : euro-fuzzy, sistem pengendalian, sudut pitch, turbin angin.
I. PENDAHULUAN
B
eberapa tahun terakhir ini isu tentang pencemaran lingkungan secara global semakin sering dibicarakan. Oleh karena itu, penggunaan energi alternatif dan energi yang ramah lingkungan semakin meningkat. Energi angin merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang murah harganya dan merupakan sumber energi alternatif yang baik. Sebenarnya penggunaan energi angin telah dilakukan sudah sejak lama. Saat ini turbin angin dipasang pada beberapa negara untuk memproduksi energi listrik. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kecepatan angin yang berubah-ubah. Oleh karena itu pemanfaatan energi anginnya masih sangat minim. Kebanyakan desain dari turbin angin yang masih ada di Indonesia masih sangat konvensional dan belum adanya sistem kontrol sehingga energi listrik yang dihasilkan masih belum maksimal.[1] Ada beberapa cara untuk memaksimalkan daya yang
dihasilkan oleh turbin angin. Salah satu cara yang paling sering digunakan adalah penambahan sistem kontrol pada turbin angin. Tujuannya adalah untuk mengontrol kecepatan sudut dari shaft penggerak rotor dari generator. Kontrol kecepatan sudut ini dibutuhkan generator untuk menghasilkan kecepatan tertentu agar dapat beroperasi secara penuh. Bila kecepatan kurang dari range operasi, maka tidak akan dihasilkan energi listrik yang cukup begitu pula bila kecepatan melebihi range operasi dari generator, maka generator akan rusak. Oleh karena itu diperlukan sebuah sistem pengendalian kemiringan sudut blade yang yang dapat mengantisipasi kecepatan angin yang selalu berubah-ubah. Sistem pengendalian yang akan dibuat berbasis neuro-fuzzy sebab karakteristik dari kecepatan angin yang tidak linear. Selain itu neuro-fuzzy juga memiliki kelebihan dalam mengolah data dan kemampuan untuk mempelajari dan mengatur dirinya. Sehingga diharapkan sistem pengendalian memiliki performansi yang baik dan dapat meningkatkan efisiensi dari turbin angin. II. DASAR TEORI A. Energi Angin Salah satu energi terbarukan yang berkembang pesat di dunia saat ini adalah energi angin. Pemanfaatan energi angin ini, selain dapat mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil, diharapkan juga dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi sistem pertanian, yang pada gilirannya akan meningkatkan produktifitas masyarakat pertanian. Tabel 1. Potensi angin di Indonesia[1] Kelas
Skala Kecil
Kec. Angin ( m/s ) 2.5 – 4.0
Daya spesifik ( W/ m2 ) < 75
Skala Menengah
4.0 – 5.0
75 - 150
Skala Besar
> 5.0
> 150
Lokasi ( Wilayah ) Jawa, NTB, NTT, Maluku, Sulawesi NTB, NTT, Sulsel, Sultra, selatan Jawa Sulsel, NTB dan NTT, Pantai Selatan Jawa
Secara umum, pemanfaatan tenaga angin di Indonesia memang kurang mendapat perhatian. Sampai tahun 2010, kapasitas terpasang dari pemanfaatan tenaga angin hanya mencapai 1,4 MW yang tidakmeningkat dari tahun
2 sebelumnya. Padahal kapasitas pembangkitan listrik tenaga angin di dunia telah berkembang pesat dengan laju pertumbuhan kumulatif sampai dengan tahun 2010 mencapai 23 persen per tahun. Untuk mengetahui perkembangan penggunaan energy angin diseluruh dunia dapat dilihat pada gambar 1.
kecepatan sudut dan torsi poros akan berubah pula. Blade Pitch Angle Control System adalah salah satu mekanisme kontrol pada wind turbine yang bekerja dengan mengontrol aerodinamis dari blade melalui kontrol kemiringan sudut blade terhadap arah tiupan angin (angle of attack) seperti tampak pada gambar 3. Perubahan sudut blade ini akan mempengaruhi kecepatan sudut (RPM) dari shaft karena adanya perubahan jumlah daya tiup angin yang diterima oleh blade yang dikonversi menjadi kecepatan putar shaft.
Gbr. 3. Vektor Gaya Pada Air Foil dengan Angle of Attack Berbeda [1] Gbr. 1. Laju Pertumbuhan Energi Angin Tahunan di Dunia[2].
B. Turbin Angin Sebuah turbin angin memiliki beberapa komponen utama dalam melakukan fungsinya sebagai alat konversi energi. Sebuah turbin angin memiliki sejumlah blade yang terpasang di bagian depan pada sebuah poros putar (shaft) yang terhubung ke belakang melalui kotak gearbox. Jumlah blade yang dipasang biasanya berjumlah 2,3, atau 4. Blade ini berfungsi untuk menangkap energi angin menjadi energi mekanik putarannya Poros putar keluar dari gearbox menuju generator di bagian belakang yang mengubah energi mekanis menjadi energi listrik. Gearbox berfungsi untuk mengubah kecepatan putar dari shaft yang rendah menjadi kecepatan putar yang tinggi sebelum masuk ke generator. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.
Gbr. 4. Blade Pitch Angle Control System [5] (a) Tampak Depan (b) Tampak Samping
Daya dari angin yang dapat ditangkap oleh sebuah horizontal axis wind turbine (HAWT) dapat diturunkan dari persamaan energi kinetik angin yang bergerak dengan kecepatan tertentu kearah x. adapun persamaan energi yang menabrak wind turbine adalah sebagai berikut[3]: = = ( ) (1) Diketahui bahwa daya adalah turunan dari energi terhadap waktu, maka:
=
Gbr. 2. Komponen Horizontal Axis Wind Turbine 2 Blade[3]
C. Prinsip Kerja Turbin Angin Prinsip dasar bahwa sebuah wind turbine dapat berputar pada porosnya adalah karena adanya vektor dari gaya lift dan gaya drag yang dihasilkan akibat bentuk aerodinamis dari penampang blade tersebut. Pada gambar 2.1 dijelaskan ketika sebuah airfoil terkena angin dari arah depan, maka akan menghasilkan vektor gaya lift (L) dan drag (D). Gaya lift dan gaya drag ini perubahannya dipengaruhi langsung oleh bentuk geometri blade, kecepatan dan arah angin terhadap garis utama blade. Akibat dari perubahan gaya lift dan drag, maka
=
=
(2)
Selain pada kecepatan angin, power juga tergantung pada Cp (Coeffisien Power). Semakin besar nilai Cp maka akan semakin besar power yang dapat ditangkap oleh wind turbine. Cp sendiri adalah merupakan fungsi dari λ (tip speed ratio) dan θ (pitch angle). Jadi persamaan 2dapat ditulis kembali menjadi:
=
(,
%=
&'
)! "#$
(3)
Sedangkan λ sendiri dirumuskan sbagai berikut : Dimana : λ = tip speed ratio
(4)
3 ω = kecepatan sudut (rps) v = kecepatan angin (m/s) R = jari-jari rotor blade (m) Jika diasumsikan ω adalah konstan sesuai set point yang diinginkan dan R blade adalah konstan, maka Cp hanya akan bergantung pada v (kecepatan angin) dan θ (pitcth angle), dari sinilah kemudian θ dijadikan variabel yang dikontrol sebagai kompensasi perubahan kecepatan angin (v) untuk mendapatkan power yang diinginkan. Sedangkan untuk mendapatkan θ sesuai dengan yang dibutuhkan dilakukan pengambilan data dengan menggunakan kecepatan angin (v) yang ditentukan. D. Adaptive euro-Fuzzy Inference System (AFIS) ANFIS adalah penggabungan mekanisme fuzzy inference system yang digambarkan dalam arsitektur jaringan syaraf. Sistem inferensi fuzzy yang digunakan adalah sistem inferensi fuzzy model Tagaki-Sugeno-Kang (TSK) orde satu dengan pertimbangan kesederhanaan dan kemudahan komputasi. Salah satu contoh ilustrasi mekanisme inferensi fuzzy TSK orde satu dengan dua input x dan y. Cara kerjanya seperti sistem FIS biasa akan tetapi cara perhitungannya (algoritmanya) berbeda. 1) Struktur AFIS Struktur ANFIS yang menggambarkan sistem fuzzy TSK seperti yang bisa digambarkan dalam diagram blok atau disebut arsitektur jaringan syaraf feedforward seperti di bawah ini.
Gbr. 6. Contoh Fungsi Keanggotaan Segitiga[7]
3) Algoritma Pembelajaran Hybrid Pembelajaran ANFIS adalah proses pengubahan parameter fungsi keanggotaan masukan dan keluaran dengan menggunakan algoritma backpropagation atau algoritma hybrid. Algoritma hybrid adalah gabungan antara algoritma backpropagation dan RLSE (Recursive Least Squares Estimator) yang digunakan untuk memperbaharui parameter premis. Tabel 2. Proses Pembelajaran Hybrid ANFIS[6]. Langkah Langkah Maju mundur Parameter Premis Tetap Gradient Descent Parameter RLSE Tetap Konsekuen Sinyal Keluaran Laju Kesalahan Simpul E. Mikrokontroler ATMega 16 AVR merupakan seri mikrokontroler CMOS 8-bit buatan Atmel,berbasis arsitektur RISC (Reduced Instruction Set Computer). Hampir semua instruksi dieksekusi dalam satu siklus clock. AVR mempunyai 32 register general-purpose, timer/counter fleksibel dengan mode compare, interrupt internal dan eksternal, serial UART, Watchdog Timer yang dapat diprogram, dan mode menghemat daya, ADC dan PWM internal. ATMega16 memiliki 40 pin yang memiliki nama fungsi masing-masing seperti yang terdapat pada gambar 7.
Gbr. 5. Struktur ANFIS 5 Lapisan[6]
Pada gambar 5 terlihat sistem neuro-fuzzy terdiri atas lima lapisan dengan fungsi yang berbeda untuk tiap lapisannya. Tiap lapisan terdiri atas beberapa simpul yang dilambangkan dengan kotak atau lingkaran. Lambang kotak menyatakan simpul adaptif artinya nilai parameternya bisa berubah dengan pembelajaran dan lambang lingkaran menyatakan simpul nonadaptif yang nilainya tetap. Adapun persamaan pada tiap – tiap lapisan adalah sebagai berikut 2) Fungsi Keanggotaan Salah satu fungsi keanggotaan yang digunakan pada ANFIS adalah tipe segitiga. Fungsi keanggotaan segitiga dibentuk dari tiga titik dan dua buah garis lurus. Pada software matlab fungsi keanggotaan segitiga dikenal dengan nama trimf.Fungsi keanggotaan segitiga dapat dirumuskan: 0, ) 3 + 145 : / 65 , + 3 ) 3 ,/ ((); +, ,, -) = 754 (10) 0 756 , , 3 ) 3 - 9 / / 0, - 3 ) . 8
Gbr. 7. Contoh Fungsi Keanggotaan Segitiga[7]
Timer/counter adalah fasilitas dari ATMega16 yang digunakan untuk perhitungan pewaktuan ATmega16 memiliki 3 modul timer yang terdiri dari 2 buah timer/counter 8 bit dan 1 buah timer/counter 16 bit. Universal Syncrhronous and Asyncrhronous Serial Receiver and Transmitter (USART) juga merupakan salah satu mode komunikasi serial yang dimiliki oleh ATmega16. USART merupakan komunikasi yang memiliki fleksibilitas tinggi, yang dapat digunakan untuk melakukan transfer data baik antar
4 mikrokontroler maupun dengan modul-modul eksternal termasuk PC yang memiliki fitur UART. Metode Pulsa With Modulation (PWM) dapat digunakan untuk mengatur kecepatan motor dan untuk menghindarkan rangkaian mengkonsumsi daya berlebih. PWM dapat mengatur kecepatan motor karena tegangan yang diberikan dalam selang waktu tertentu saja. PWM ini dapat dibangkitkan melalui software. Lebar pulsa PWM dinyatakan dalam Duty Cycle. Misalnya duty cycle 10 %, berarti lebar pulsa adalah 1/10 bagian dari satu perioda penuh. Berikut adalah rumusan frekuensi sinyal keluaran pin OC1A/OC1B (output compare 1A/1B) pada mode CTC (Clear Timer on Compare Match) PWM dengan menggunakan timer/counter 1. ?@AB (5) (;<=> = (;<=E =
×D×;<=> ?@AB
×D×;<=E
A. Pembuatan Prototype Turbin Angin 1) Pembuatan Blade Turbin Angin Tipe airfoil yang digunakan pada blade turbin anginnya merupakan tipe NREL S83N. Pemilihan tipe airfoil ini berdasarkan referensi yang menyebutkan bahwa tipe NREL S83N ini cocok digunakan untuk turbin angin skala kecil dan digunakan pada daerah yang memiliki kecepatan angin rendah. Blade yang digunakan memiliki panjang 1m dan terbuat dari bahan fiberglass.
(6)
F. Rotary Encoder Rotary encoder, atau disebut juga Shaft encoder, merupakan perangkat elektromekanikal yang digunakan untuk mengkonversi posisi anguler (sudut) dari shaft (lubang) atau roda ke dalam kode digital, menjadikannya semacam tranduser. Perangkat ini biasanya digunakan dalam bidang robotika, perangkat masukan komputer (seperti optomekanikal mouse dan trackball), serta digunakan dalam kendali putaran radar.
Gbr. 8. Rotary Encoder Relatif [8]
G. Motor Servo Motor servo adalah sebuah motor dengan sistem closed feedback di mana posisi dari motor akan diinformasikan kembali ke rangkaian kontrol yang ada di dalam motor servo. Motor ini terdiri dari sebuah motor, serangkaian gear, potensiometer dan rangkaian kontrol. Motor servo memiliki tiga kabel (pin) sebagai inputannya. Secara tipikal (sudah standart) maka kabel-kabelnya memiliki susunan dan warnawarna tertentu untuk satu macam inputan. Susunan kabelnya secara berurutan adalah hitam, merah dan putih, dimana warna hitam merupakan inputan untuk ground, kabel merah merupakan inputan untuk Vcc dan kabel putih merupakan inputan untuk sinyal PWM (kontrol).
Gbr. 9. Komponen penyusun motor servo [8]
III. PERANCANGAN BLADE PITCH ANGLE CONTROL SYSTEM PADA TURBIN ANGIN
Gbr. 10. Blade Prototype Turbin Angin
Setelah telah selesai dicetak, blade tidak dapat langsung dipasang pada penopang. Sebelumnya setiap blade harus ditimbang terlebih dahulu agar diketahui massa dari masingmasing blade. Setelah ditimbang pasti terdapat perbedaan massa pada setiap blade. Hal ini dapat menyebabkan putaran dari turbin angin menjadi tidak seimbang. Untuk mengatasinya massa blade harus disamakan dengan cara ditambah atau dikurangi ketebalannya. Pada akhirnya massa setiap blade disamakan menjadi 1297gram 2) Sensor Kecepatan Putaran Pada prototype turbin angin ini membutuhkan sebuah sensor untuk mengetahui kecepatan putaran dari shaft. Oleh karena itu dibuatlah sensor kecepatan putaran shaft yang terbuat dari relative rotary encoder. Komponen darirangkaian sensor yang digunakan terdiri dari piringan hitam tipis yang memiliki 20 lubang dan sebuah optocoupler atau photointeruptor. Berdasarkan kondisi gelap dan terang yang dialami oleh optocoupler inilah yang akan menimbulkan kondisi high dan low.
FG =
HHI
J HHI
Gbr. 11. Sensor KecepatanPutaran
(7)
FK = )60 = G ) 3 (8) J Jumlah pulsa yang dikeluarkan rangkaian sensor selama satu detik (pps) akan diterima mikrokontroler dan akan dikonversi untuk menghitung banyaknya putaran tiap sekon (rps) maupun banyakya putaran tiap menit (rpm) seperti pada persamaan 7 dan 8. 3) Aktuator Sebagai aktuator untuk memutar blade sehingga dapat membentuk sudut pitch pitch yang sesuai digunakan sebuah motor servo untuk masing-masing blade. Motor servo yang digunakan adalah tipe standar dengan merk GWS Servo seriS125. Motor servo ini memiliki dimensi 40.5 x 20 x 42 mm dan dapat berputar 1800 searah maupun berlawanan dengan arah jarum jam. Selain itu servo ini mampu menahan
5 torsi hingga 6kg-cm. Pada setiap motor servo juga dipasang sebuah gear dengan diameter 3cm. Motor servo ini nantinya akan bergerak berdasarkan sinyal pwm yang dikirimkan oleh mikrokontroler. Rangkaian motor servo ini memiliki resolusi sudut sebesar 50.
Gbr. 14. Proses Traning Desain Pertama Gbr. 12. Motor ServoGWS S125
4) Rotational konektor Rotational konektor dibutuhkan untuk memberikan mensuplai sinyal listrik pada motor servo yang berada dalam penopang blade yang ikut berputar bersama shaft. Dengan menggunakan rotational konektor kabel akan berputar didalam shaft sehingga kabel tidak akan mudah putus. Salah satu jenis rotational konektor adalah slip ring. Benda ini memiliki ketahanan dan performansi yang baik. Akan tetapi slip ring ini sulit dijumpai dipasaran, sehingga digunakanlah carbon brush slip ring sebagai penggantinya. . Cara kerjanya adalah dengan menggunakan karbon pada ujung diamnya dan menggunakan tembaga yang diperoleh dari kabel tunggal yang dililitkan shaft. Jadi dengan adanya sentuhan (gesekan) antara karbon dan tembaga inilah yang memungkinkan tersalurkannya arus listrik
Gbr. 13. Carbon Brush Slip Ring
B. Perancangan Kontroler Perancangan kontroler berbasis ANFIS dilakukan dengan menggunakan bantuan ANFIS toolbox yang ada pada software Matlab. Perancangan tersebut dilakukan dengan beberapa tahapan. Tahap pertama merupakan menentukan data yang akan digunakan untuk proses training pembentukan fungsi keanggotaan. Data yang digunakan harus dapat merepresentasikan keseluruhan sistem sehingga nanti didapatkan error yang kecil. Kemudian data tersebut disimpan pada workspace yang ada pada software Matlab. 1) Deain Pertama Pada desain pertama ini variabel input yang berupa error dibagi menjadi 7 fungsi keanggotaan. Sedangkan pada variabel input yang berupa delta error dibagi menjadi 3 fungsi keanggotaan. Sehingga nantinya aka nada 21 aturan yang terbentuk. Proses training berlngsung hingga epoch sekitar 2100 hingga menghasilkan error yang konstan. Tabel 3. Rule Base yang terbentuk pada desain pertama DE / E
NB
NM
NS
Z
PS
PM
PB
N
Out1
Out4
Out7
Out10
Out13
Out16
Out19
Z
Out2
Out5
Out8
Out11
Out14
Out17
Out20
P
Out3
Out6
Out9
Out12
Out15
Out18
Out21
Gbr. 15. Fungsi Keanggotaan Error Setelah Training
Gbr. 16. Fungsi Keanggotaan Delta Error Setelah Training
2) Desain Kedua Pada desain kedua ini variabel input yang berupa error dibagi menjadi 9 fungsi keanggotaan. Sedangkan pada variabel input yang berupa delta error dibagi menjadi 3 fungsi keanggotaan. Sehingga nantinya aka nada 27 aturan yang terbentuk. Proses training berlngsung hingga epoch sekitar 2100 hingga menghasilkan error yang konstan. Tabel 4. Rule Base yang terbentuk pada desain Kedua DE /E N Z P
NBB
NB
NM
NS
Z
PS
PM
PB
PBB
Out 1 Out 2 Out 3
Out 4 Out 5 Out 6
Out 7 Out 8 Out 9
Out 10 Out 11 Out 12
Out 13 Out 14 Out 15
Out 16 Out 17 Out 18
Out 19 Out 20 Out 21
Out 22 Out 23 Out 24
Out 25 Out 26 Out 27
Gbr. 17. Proses Traning Desain Kedua
6
Gbr. 18. Fungsi Keanggotaan Error Setelah Training
Gbr. 19. Fungsi Keanggotaan Delta Error Setelah Training
C. Perancangan Sistem Pengendalian Kemiringan Sudut
Gbr. 20. Diagram Blok Sistem Pengendalian
dengan memasukkan nilai set point pada software monitoring. Kemudian program mengitung jumlah pulsa yang ditangkap oleh sensor rotary encoder setiap sekon (PPS). Selanjutnya nilai pps dibandingkan dengan nilai set point, apabila sudah sama maka sudut pitch tidak akan berubah. Apabila nilai pps yang diterima dari sensor tidak sama dengan set point maka program akan mengklasifikasikan nilai error dan delta error pada fungsi keanggotaan fuzzy yang ada kemudian melakukan aktuasi untuk merngubah sudut pitch berdasarkan FIS.
D. Perancangan Sistem Monitoring Perancangan sistem monitoring ini bertujuan untuk mengetahui kondisi yang terjadi pada plant (turbin angin) secara real time. Selain untuk memantau jalannya plant, sistem monitoring ini juga berfungsi untuk memulai sistem pengendalian sudut blade dengan cara memasukkan set point. Sistem monitoring yang telah dibuat memiliki beberapa fasilitas pendukung untuk mengamati sistem pengendalian diantaranya kemampuan untuk menyimpan hasil respon dari sistem pengendalian dan menunjukkannya pada grafik secara real time. Sistem monitoring yang dirancang menggunakan software Visual Basic versi 6.0 yang nantinya akan dihubungkan dengan mikrokontroler yang terpasang pada minimum sistem dengan komunikasi serial (port DB9). Perancangan sistem monitoring berdasarkan diagram alur program yang terdapat pada gambar 22.
Sistem pengendalian kemiringan sudut blade ini menggunakan kontroler logika fuzzy yang telah didesain pada sub bab sebelumnya. Kontroler fuzzy yang digunakan bertipe Takagi-Sugeno. Hal ini disebabkan karena hasil yang diperoleh menggunakan training Anfis berupa logika fuzzy dengan output yang konstan. Sepeti terlihat pada gambar 20 input dari pengendali adalah error dan delta error. Error adalah selisih setpoint dengan variabel kontrol (dalam hal ini pps), sedangkan delta error adalah selisih error pada waktu sekarang dengan sebelumnya. Start Memasukkan nilai setpoint
Menghitung jumlah Pulsa Per Sekon (PPS)
PPS = Setpoint
Tidak Klasifikasi error dan delta error pada MF Fuzzy yang telah terbentuk
Ya
Gbr. 22. Diagram Alir Program Sistem Monitoring
Melakukan aktuasi berdasarkan FIS
Sudut Pitch tidak berubah Merubah sudut Pitch
Selesai
Gbr. 21. Diagram Alir Program Sistem Pengendalian
Selanjutnya kontroler tersebut didesain dengan menggunakan software CodeVision AVR. Selain Setelah dirancang kemudian program ditanamkan pada mikrokontroler ATMega16. Diagram alur program yang ditanamkan pada mikrokontroler dapat dilihat pada gambar 21. Program diawali
Gbr. 23. Tampilan Sistem Monitoring
7 IV. PENGUJIAN DAN ANALISA DATA A. Pengujian Sensor Rotary Encoder Pengujian diakukan pada 3 kecepatan yang mewakili kecepatan rendah sedang dan tinggi. Pengambilan data dilakukan sebanyak 10 kali untuk setiap rentang kecepatan. Berdasarkan hasil pengujian diperole akurasi dan presisi untuk setiap rentang kecepatan sebagai berikut. Tabel 5. Hasil Pengujian Sensor Kecepatan (RPM) Akurasi Presisi 60 90,17% 89,28% 80 92,40% 91,53% 130 91,33% 83,89%
Gbr. 25. Validasi Anfis Desain Pertama
Secara keseluruhan pembacaan nilai pps yang ditampikan pada software monitoring sudah baik karena memiliki nilai akurasi rata-rata 91% dan presisi 87%. Pembacaan sensor yang baik akan dapat meningkatkan kinerja dari sistem pengendalian secara keseluruhan. B. Pengujian Aktuator Proses pengujian dilakukan dengan cara memberikan sinyal PWM dari mikrokontroler ke motor servo kemudian diukur perubahan sudut yang terjadi pada blade. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian aktuasi motor servo. Pengujian diawali dengan memberikan sinyal pwm yang rendah hingga ke tinggi. Kemudian dilakukan hal yang berkebalikan yaitu dengan memberikan sinyal pwm yang tinggi kemudian menuju ke rendah.
Gbr. 24. Grafik Hasil Pengujian Aktuator
Berdasarkan data yang diperoleh dari tabel 4.2 dan gambar 24. perbedaan sudut yang dihasilkan saat diberi sinyal pwm rendah ke tinggi maupun dari tinggi ke rendah sangat kecil. Perbedaan nilai tersebut bias disebut dengan histerisis. Histerisis terbesar terjadi pada saat pemberian sinyal PWM sebesar 14000 atau pada saat 550. Histerisis maksimum tersebut bernilai 3,33%. Selain itu nilai error rata-rata saat sudut naik dan turun bernilai kecil yaitu 1,570 dan 0,890. Dengan demikian proses aktuasi pada sistem yang nantinya akan dikeluarkan oleh kontroler akan bekerja dengan baik. C. Validasi Anfis Validasi model ANFIS dilakukan dengan menggunakan software MATLAB. Hal ini dilakukan untuk mengetahui model terbaik dari software sebelum dilakukan pemrogaman dengan menggunakan CodevisionAVR. Adapun hasil validasi model dengan menggunakan software MATLAB dapat dilihat pada gambar di bawah ini .
Gbr. 26. Validasi Anfis Desain Kedua
Pada gambar 25 dan 26 terdapat dua tanda yaitu tanda biru dan merah. Tanda biru merupakan tanda target dari input yang telah kita berikan pada MATLAB. Data yang diberikan ini merupakan data testing, yaitu data yang tidak digunakan sebagai acuan dalam training data pada MATLAB. Sedangkan tanda merah merupakan tanda hasil prediksi yang dilakukan oleh software MATLAB. Pada validasi desin pertama terlihat bahwa keluaran dari kontroler pertama terdapat selisih saat sudut keluaran 10 dan 20. Akan tetapi pada desain kedua hanya terdapat selisih pada saat sudut keluaran sebesar 20. Selisih yang muncul tersebut diakibatkan oleh fungsi keanggotaan yang diperoleh dari hasil training. Pada validasi desain pertama terlihat bahwa nilai error yang terjadi sebesar 0,34 sedangkan pada desain kedua sebesar 0,272. Berdasarkan hasil validasi, desain kedua memiliki error yang lebih kecil dibandingkan desain pertama. Hal ini disebabkan karena pada desain dua memiliki fungsi keanggotaan yang lebih banyak dan aturan yang terbentuk juga semakin banyak sehingga pendekatan yang dilakukan semakin baik.
D. Analisa Respon Pengendalian Analisa terhadap respon sistem pengendalian dapat berupa analisa kualitatif dan analisa kuantitatif. Analisa kualitatif dapat berupa penilaian terhadap parameter kontrol seperti, maksimum overshoot,dan error steady state. Analisa kuantitatif dapat dilakukan dengan menentukan parameter Integral Time Absolute Error (ITAE).Pengujian dilakukan dengan cara memberikan sumber angin dengan kecepatan yang berbeda-beda pada setiap set point. Hal ini dilakukan untuk mengetahui ketahanan dan kehandalan sistem pengendalian.
8 1) Analisa Respon Desain Pertama 16 14 12
PPS
10 8 6
set point respon
4 2 0
0
20
40
60
80 100 120 Waktu (detik)
140
160
180
200
Gbr. 27. Respon Saat Setpoint=10 25
20
PPS
15
10
Set point respon
5
0
0
20
40
60
80 100 120 Waktu (detik)
140
160
180
200
Gbr. 28. Respon Saat Setpoint=20 35 30
PPS
25 20 15 10
setpoint respon
5 0
0
20
40
60
80 100 120 waktu (detik)
140
160
180
200
Gbr. 29. Respon Saat Setpoint=30 45 40 35
berubah masih ada kecepatan sisa sehingga melebihi set point. Hal ini juga berlaku pada saat nilai pps kurang dari set point. Pada saat selang waktu terjadinya osilasi dihitung nilai ratarata respond an diperoleh nilai sebesar 19,76. Kemudian dihitung standart deviasinya yaitu 1,47. Apabila diambil toleransi sebesar ± 1,47 maka dapat dikatakan bahwa kontroler memiliki kinerja yang baik sebab nilai setpoint berada di luar range toleransi Gambar 29 dan 30 merupakan grafik respon sistem pada saat set point bernilai 30 dan 40 . Pada kedua grafik tersebut terlihat bahwa respon sistem pengendalian tidak sampai mencapai setpoint. Hal ini disebabkan pada hasil training terhadap desain pertama saat keadaan akan mencapai set point sudut blade sudah diubah agar terjadi pengereman. Sehingga sistem pengendalian akan susah mencapai set point yang bernilai besar. Saat diberi set point 30 pps pada kondisi steady memiliki nilai rata-rata sebesar 26,39 dan memiliki nilai standart deviasi sebesar 1,52. Saat diberi setpoint 40 pada kondisi steady memiliki nilai rata-rata 32,58 dan memiliki nilai standart deviasi sebesar 1,89. Apabila diambil toleransi sebesar ± standart deviasi maka dapat dikatakan bahwa kontroler memiliki kinerja yang buruk pada kedua setpoint tersebut sebab nilai setpoint berada di luar range toleransi. Untuk analisa kuantitatif dihitung nilai ITAE dari saat t=0 sampai t=200 untuk masing-masing setpoint. Berikut ini merupakan nilai ITAE untuk setpoint 10, 20, 30,dan 40 secara berturut-turut yaitu 47.036; 29.666; 81.350; dan 184.630. Nilai ITAE terkecil terjadi pada saat setpoint bernilai 20. Hal ini disebabkan memang sistem pengendalian dengan desain pertama hanya bekerja dengan baik pada saat setpoint bernilai 20. Nilai ITAE terbesar terjadi pada saat setpoint bernilai 40. Hal ini disebabkan pada waktu yang sama, error yang terjadi masih cukup besar bila dibandingkan dengan setpoint yang kecil.
PPS
30
2) Analisa Respon Desain Kedua
25
12
20 15
8 0
20
40
60
80 100 120 waktu (detik)
140
160
180
200
PPS
5
10
setpoint respon
10
Gbr. 30. Respon Saat Setpoint=40
6
set point respon
4 2 0
0
20
40
60
80
100 120 waktu(detik)
140
160
180
200
Gbr. 31. Respon Saat Setpoint=10 25
20
15 PPS
Pada gambar 27 saat sistem pengendalian diberikan set point bernilai 10 sistem merasa kesulitan untuk mempertahankan nilai pps sesuai dengan set point. Nilai pps justru berosilasi pada nilai 12 hingga 14. Hal ini disebabkan kecepatan angin yang terlalu kencang, sehingga meskipun kontroler sudah memerintahkan agar sudut blade berubah untuk mengurangi kecepatan putaran shaft turbin angin tetapi masih tidak mampu mengatasi. Pada saat kondisi steady memiliki nilai rata-rata pps sebesar 11,838 dan memiliki standart deviasi sebesar 1,64. Apabila diambil toleransi sebesar ± 1,64 maka dapat dikatakan bahwa kontroler memiliki kinerja yang buruk sebab nilai setpoint berada di luar range toleransi. Pada gambar 28 saat sistem pengendalian diberikan set point 20 terlihat bahwa sistem dapat mempertahankan nilai pps di sekitar nilai set point. Akan tetapi masih terjadi osilasi yang disebabkan pada saat mencapai set point dan sudut blade
10
set point respon
5
0
0
20
40
60
80 100 120 Waktu (detik)
140
160
Gbr. 32. Respon Saat Setpoint=20
180
200
9 seiring dengan nilai setpoint. Hal ini disebabkan pada waktu yang sama, error yang terjadi pada saat setpoint bernilai besar masih cukup besar bila dibandingkan dengan setpoint yang kecil.
35 30
PPS
25 20 15
set point respon
10 5 0
0
20
40
60
80 100 120 Waktu (detik)
140
160
180
200
Gbr. 33. Respon Saat Setpoint=30 50
40
PPS
30
20
Set point respon
10
E. UJi Setpoint Tracking Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja sistem terhadap perubahan dari luar sistem maka dilakukan pengujian perubahan set point. Pengujian perubahan set point dilakukan dengan cara menaikkan dan menurunkan set point setelah kondisi steady. Pengujian dilakukan dengan cara mengubah setpoint dari 20 pps dan 30 pps. Setpoint tersebut dipilih karena pada setpoint tersebut menggunakan sumber angin dengan yang sama. Pengujian dilakukan dengan cara menaikkan setpoint yang semula 20 pps menjadi 30 pps kemudian setpoint diturunkan kembali pada 20 pps. Setelah itu dilihat respon pengendalian terhadap perubahan setpoint yang diberikan 35
0
0
20
40
60
80 100 120 Waktu (detik)
140
160
180
30
200
25 20 15
Set point respon
10 5 0
0
100
200
300
400 500 Waktu(detik)
600
700
800
900
Gbr. 35. Respon Setpoint Tracking Desain Pertama 35 30 25 PPS
Pada gambar 31 terlihat bahwa terjadi osilasi yang sangat besar karena pada saat kecepatan rendah putaran turbin angin sering tidak stabil. Ketidak stabilan putaran ini disebabkan karena kurang seimbangnya ketiga blade yang menempel pada pusat poros. Pada saat kondisi steady nilai respon rata-rata sebesar 9,8 dan nilai standar deviasi sebesar 1,3. Apabila diambil toleransi sebesar ±1,3 maka dapat dikatakan kontroler memiliki kinerja yang baik sebab nilai setpoint masih berada dalam range toleransi. Pada gambar 32 respon sistem pengendalian cenderung berada diatas nilai setpoint. Hal ini disebabkan karena angin masih terlalu kencang bagi sistem pengendalian. Padahal sebenarnya kontroler sudah mengirimkan sinyal untuk merubah sudut pitch menjadi 50 tetapi masih belum cukup untuk mengerem kecepatan dari putaran turbin angin sehingga nilai pps berada diatas setpoint. Pada saat kondisi steady memiliki nilai rata-rata sebesar 21,02 pps dan standart deviasi sebesar 1,04. Apabila diberi toleransi sebesar ±1,04 maka kontroler dapat dikatakan memiliki kinerja yang baik sebab nilai setpoint masih berada dalam range tolearansi. Pada gambar 33 dan 34 terlihat bahwa sistem pengendalian berjalan cukup baik. Hal ini dapat dilihat pada osilasi yang semakin kecil dan berada di sekitar setpoint. Pada saat terjadi proses pengereman nilai pps akan langsung berkurang banyak sekali sehingga membutuhkan beberapa waktu untuk kembali lagi menuju setpoint. Saat diberi setpoint 30 pada kondisi steady memiliki nilai rata-rata sebesar 30,12 dan nilai standart deviasi sebesar 1,4. Saat diberi set point 40 pada kondisi steady memiliki nilai rata-rata sebesar 39,33 dan nilai standart deviasi sebesar 1,72. Apabila diberi toleransi sebesar ±standart deviasi pada setpoint 30 dan 40, kontroler dapat dikatakan memiliki kinerja yang baik sebab nilai setpoint masih berada dalam range tolearansi.. Untuk analisa kuantitatif dihitung nilai ITAE untuk masingmasing setpoint. Berikut ini merupakan nilai ITAE untuk setpoint 10, 20, 30,dan 40 secara berturut-turut yaitu 20.410; 33.425; 34.916; dan 67.809. Nilai ITAE akan semakin besar
PPS
Gbr. 34. Respon Saat Setpoint=40
20 15 setpoint respon
10 5 0
0
50
100
150
200 waktu (detik)
250
300
350
400
Gbr. 36. Respon Setpoint Tracking Desain Kedua
Berdasarkan Gambar 35 terlihat bahwa sebenarnya kontroler sudah mau mengikuti setpoint yang telah diubah. Akan tetapi pada kontroler desain pertama memang memiliki kendala untuk mencapai setpoint 30. Sehingga nilai pps akan susah untuk mencapai nilai 30. Proses untuk menaikkan nilai pps dari 20 menjadi 30 memerluakan waktu yang lebih lama bila dibandingkan dengan waktu untuk menurunkan nilai pps dari 30 menjadi 20. Penyebab utama adalah untuk menaikkan nilai pps harus menunggu energi dari angin terkumpul terlebih dahulu sedangkan untuk mengurangi nilai pps hanya tinggal mengubah sudut pitch agar hanya sedikit energy angin yang tertangkap oleh blade. Pada kontroler desain kedua dilakukan pengujian dengan mengubah setpoint dari 30 ke 40 kemudian diturunkan kembali ke 30. Setpoint ini dipilih karena kontroler desain pertama memiliki kinerja yang baik pada nilai tersebut. Berdasarkan gambar 36 terlihat bahwa kontroler desain kedua dapat mengikuti perubahan setpoint yang diberikan dengan baik. Kesamaan yang dimiliki kontroler desain pertama dan
10 desain kedua yaitu keduanya memerlukan waktu yang lebih lama untuk menaikkan nilai pps tetepi hanya memerlukan waktu yang singkat untuk menurunkan nilai setpoint. V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan Setelah melakukan penelitian rancang bangun sebuah sistem pengendalian sudut pitch blade prototype turbin angin berbasis neuro-fuzzy dapat diperoleh beberapa kesimpulan diantaranya: 1. Validasi Anfis untuk kontroler desain pertama menghasilkan error sebesar 0,239 dan untuk desain kedua mampu menghasilkan error sebesar 0,0679. 2. Kontroler desain pertama pada kondisi steady memiliki standart deviasi respon rata-rata sebesar 1,63.Kontroler desain pertama dinilai kurang baik karena secara tidak dapat mempertahankan nilai respon berada dalam range toleransi sebesar plus minus standar deviasi. 3. Kontroler desain kedua pada kondisi steady memiliki standart deviasi respon rata-rata sebesar 1,36. Kontroler desain kedua memiliki kinerja lebih baik dibandingkan desain pertama karena mampu mengendalikan pada semua nilai setpoint yang diberikan dan menjaganya tetap berada range toleransi sebesar plus minus standar deviasi. B. Saran Beberapa saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya adalah: 1. Pada saat merangkai turbin angin hendaknya memperhatikan keseimbangan secara keseluruhan. 2. Ditambahkannya sensor kecepatan angin untuk menjadi input ketiga dari kontroler VI. DAFTAR PUSTAKA [1]
[2]
[3]
[4] [5]
[6] [7] [8]
Harika, Adam. 2009. Tugas Akhir Rancang Bangun Blade Pitch Angle Control System Berbasis Classic Fuzzy Pada Prototype Wind Turbine. Teknik FisikaFTI-ITS.Surabaya World Wind Energy Asociation. 2011.World Wind Energy Report 2010. World Wind Energy Conference& Renewable Energy Exhibition.Cairo; World Wind Energy Asociation. Jhonson, Kathryn E. 2004. Adaptive Torque Control of Variable Speed Wind Turbines; National Renewable Energy Laboratory; Colorado. Johnson, Gary. 2001. Wind Energy Systems. ___. ___. Tony Burton, David Sharpe, Nick Jenkins, Ervin Bossanyi. 2001. Wind Energy Handbook.. New York; John Wiley & Sons, Ltd Jang, J.-S. R. 1997. euro-Fuzzy and Soft Computing. NewJersey; Prentice-Hall. Hadi,MS.2008. Mengenal Mikrokontroler ATMega16. Ilmu komputer. Tim Panitia Workshop KRI/KRCI. 2006. Workshop KRI/KRCI 2007 (Modul). Surabaya. PENS-ITS
Biodata Penulis: 4ama : Denny Putra Pratama 4RP : 2407.100.007 TTL : Gresik, 7 Januari 1989 Alamat : Jl. Gebang Putih 62 Riwayat Pendidikan : • SD4 Pongangan 1 Gresik (1995 – 2001) • SMP 4egeri 1 Gresik (2001 – 2004) • SMA 4egeri 1 Gresik (2004 – 2007) • Teknik Fisika-FTI-ITS (2007 – sekarang)