Citation : Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, ISSN Lama 0216-2407, Baru 2086-7050 Vol. 18 / No. 4 / Published : 2005-10 ANALISIS DAYA DUKUNG GUA UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA (Studi Kasus: Gua Gong dan Gua Tabuhan, Kabupaten Pacitan) Oleh : Chafid Fandeli 1 Tjahyo Nugroho Adji2 ABSTRACT This research was conducted within the ecotourism object of Gong and Tabuhan caves, Punung sub-district, Pacitan Regency, East Java. This main objective of this research is to assess the potency of speleolothem of these caves and also to evaluate the characteristic, number as well as the behaviour of their tourist in conjunction with the tourism object. Besides that, this research is also aimed to define cave carrying capacity in terms of micro-climatic condition inside the cave. Secondary series data of the number of tourist were collected, and observation by interview was conducted in order to describe the characteristics and behaviour of tourist within these two caves. Next, cave mapping (III B- grade) was also carried out in line with the inventory of speleothem to fully describe the cave potency for ecotourism purpose. Besides that, the description of cave micro-climate is represented by measurement of temperature and relative humidity along the day. Lastly, analysis of discomfort index was conducted to compare this value within the week day against non-week day. The result indicates that most tourists of these two caves may not be considered as an ecotourist since their intention for just getting relaxed in this area. In consequences, it seem that the degradation of cave speleothem occur due to the behaviour by some tourist activities. Then, the mapping of speleothem shows that Gong Cave may be classified in class D (complete and active) while all the speleothem in Tabuhan Cave have already been weathered. Furthermore, the result of micro-climatic condition in Gong Cave confirms that visitors ascended the temperature by almost equal to 3,5oC, whereas it declined the relative humidity value by maximum of 30%, and altered the value of discomfort index into the strongly discomfort condition. INTISARI Penelitian ini dilakukan di obyek wisata alam Gua Gong dan Gua Tabuhan, Kecamatan Punung, Pacitan, Jawa Timur. Maksud utama dari penelitian ini adalah mengevaluasi potensi speleologis kedua gua tersebut, termasuk jumlah, sifat dan perilaku wisatawan terhadap obyek wisata gua. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menghitung daya dukung terkait pada aspek iklim mikro gua. Metode yang dipakai adalah dengan melakukan pencarian data sekunder dari tahun ke tahun terkait dengan fluktuasi pengunjung serta observasi dan wawancara untuk mengetahui sifat dan perilaku wisatawan di kedua gua tersebut. Untuk mendukung deskripsi speleogenesis, potensi gua, pemetaan lorong gua dengan grid III B dilakukan, termasuk didalamnya menginventarisasi keragaman ornamen gua yang ditemui. Selain itu, pengukuran iklim mikro gua dilakukan untuk mengukur nilai suhu (oC) dan kelembapan relatif (%) sepanjnag hari pada week day dan membandingkannya pada saat sepi pengunjung. Analisis yang digunakan diantaranya adalah analisis discomfort index untuk mengetahui perubahan nilai ketidaknyamanan ketika pengunjung padat. 1
Pusat Studi Pariwisata, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
2
Kelompok Studi Karst, Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta (
[email protected])
Citation : Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, ISSN Lama 0216-2407, Baru 2086-7050 Vol. 18 / No. 4 / Published : 2005-10 Hasil menunjukkan bahwa sebagian besar wisatawan yang berkunjung ke kedua gua ini bukan merupakan karakteristik ekowisatawan tetapi sekedar rekreasi atau piknik. Akibatnya, kerusakan ataupun degradasi nilai obyek wisata tampak jelas disengaja di sekitar lingkungan gua. Hasil pemetaan dan inventarisasi juga menunjukkan bahwa kelas ornamen di Gua Gong masuk kelas D (komplit) dengan kondisi yang masih aktif, sementara di Gua Tabuhan kondisi ornamen dapat diklasifikasikan sudah rusak. Selain itu, hasil kajian iklim mikro di Gua Gong menunjukkan bahwa pengunjung mampu meningkatkan suhu gua sebesar 3,5oC dan menurunkan kelembapan relatif hingga 30% pada saat gua penuh pengunjung serta merubah nilai indeks ketidaknyamanan menjadi kategori sangat tidak nyaman (strongly discomfort). PENGANTAR Indonesia dikenal sebagai satu diantara beberapa negara Megabiodiversity terkemuka di dunia. Dengan kekayaan yang luar biasa pada aspek keunikan alam seperti gua-gua karst , terumbu karang , sungai, danau, dan gunung berapinya, maka Indonesia dapat menempatkan diri sebagai negara destinasi utama untuk ekowisata. Pariwisata yang berbasis ekologis dan konservasi ini sangat menguntungkan bila dikembangkan karena adanya jaminan terjaganya keutuhan dan kealamiahan obyek wisata, sebab wisatawan akan ikut berperan aktif untuk mengevaluasi dan memonitor pelestarian obyek ini. Selanjutnya, wisatawan ecotraveler dalam perjalanannya akan memperoleh kepuasan yang tinggi bila mereka memperoleh expansion of life dari obyek-obyek yang dikunjungi. Disamping itu, mereka menghendaki adanya segi ilmiah dan ilmu pengetahuan yang akan mereka peroleh selama berwisata. Hal ini hanya dapat diperoleh bila obyek wisata dalam kondisi alami dan tidak rusak. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Ecotraveler ini pada dasarnya adalah konservasionis. Gua-gua yang merupakan ciri bawah permukaan daerah karst merupakan ekofak yang luar biasa dan tidak ternilai harganya. Meskipun hampir setiap pulau di Indonesia memiliki batuan karbonat, tapi tidak semuanya terkartsifikasi menjadi kawasan karst dan mempunyai gua-gua yang indah. Menurut Balazs (1968), terdapat 17 lokasi yang dapat dikategorikan sebagai kawasan karst.Karst di indonesia seperti yang ditulis oleh Balazs tersebar di sebagian besar pulau-pulau di Indonesia, namun demikian tidak semuanya berkembang dengan baik. Diantara kawasan karst tersebut, terdapat dua kawasan karst yang paling baik dan dianggap sebagai prototipe dari karst daerah tropis, yaitu karst Maros dan Gunung Sewu. Salah satu gua yang termasyhur di karst Gunung Sewu adalah Gua Gong, Kabupaten Pacitan yang ditemukan dan dibuka sebagai obyek wisata masal sejak tahun 1996. Sejak dibuka pertama kali, Gua Gong yang memilki ornamen yang indah dan lengkap ini kemudian selalu dibanjiri oleh pengunjung terutama pada hari-hari libur yang mencapai ribuan orang, bahkan catatan menyebutkan dalam satu hari gua ini pernah dikunjungi oleh 6000 orang (Yayasan Acintyacunyata, 2005). Akibatnya, dengan minimnya pengelolaan yang ada dan dari hasil wawancara singkat, ternyata selama kurang lebih periode waktu 10 tahun telah terjadi kerusakan ornamen yang cukup intensif, ditandai dengan kondisi ornamen yang kotor, lapuk dan ditumbuhi oleh lumut. Salah satu pemanfaatan yang memungkinkan dan menjamin keutuhan gua adalah pengembangan ekowisata. Bentuk ekowisatalah yang dapat menjamin keutuhan dan keberadaan obyek wisata dan wisatawan. Namun demikian, berdasar pengalaman di banyak gua di Indonesia yang sudah dimanfaatkan, telah terjadi kerusakan dan degradasi kualitas lingkungan dalam gua. Pengembangan gua untuk pariwisata alam ternyata juga masih memiliki potensi untuk menimbulkan kerusakan. Sebagai contoh adalah Gua Tabuhan yang lokasinya berdekatan dengan Gua Gong memiliki kondisi ornamen gua yang sudah rusak dan lapuk sehingga tampak tidak indah lagi. Gua Tabuhan, dinamakan demikian karena memiliki ornamen stalagmit yang jika dipukul akan memberikan efek suara seperti alat musik tetabuhan. Musik berupa tetabuhan dengan tema lokal memang dapat menciptakan image khas bagi wisatawan. Ada satu keuntungan di Gua Tabuhan yaitu keberadaan tetabuhan ini untungnya tidak mempengaruhi sistem keseluruhan dalam gua, sebab dari stalaktit yang dipukul , vibrasinya tidak terlalu jauh. Sementara itu,
Citation : Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, ISSN Lama 0216-2407, Baru 2086-7050 Vol. 18 / No. 4 / Published : 2005-10 gangguan terhadap gua justru datang dari cara pengelolaan yang tidak memperhatikan konservasi dan keberadaan serta perilaku wisatawan yang dapat mengancam kualitas gua. Hampir sebagian besar dari wisatawan yang masuk dalam gua adalah wisatawan massal. Sementara wisatawan ekowisata dan wisatawan minat khusus jumlahnya tidak terlalu besar.Pada umumnya mereka tidak menyadari dengan masuk gua bersama akan menggangu pembentukan ornamen dan memicu terjadinya pelapukan ornamen gua. Secara perlahan ornamen yang ada didinding gua terpengaruh oleh gas CO2 dan naiknya suhu udara yang berasal dari pernafasan manusia. Seluruh hewan yang terdapat pada gua baik yang terdapat pada zona terang , zona senja merasa terdesak dengan adanya banyak wisatawan . Akibatnya secara perlahan hewan penghuni gua ini bermigrasi keluar gua. Hal ini dapat ditandai dengan keanekaragaman jenis dan kepadatan individunya yang rendah. Permasalahan menurunnya kualitas ornamen dalam gua, menurunnya keaneka ragaman hayati dalam gua dan hilangnya proses pembentukan gua menyebabkan gua semakin lama akan semakin rusak. Apabila proses ini berhenti dan berganti menjadi proses pelapukan, maka lambat laun ornamen gua akan menjadi rusak. Hal ini secepatnya perlu disadari oleh pengelola wisata gua. Pola pengelolaan gua perlu dilakukan perubahan dari pola paraiwisata massal ke bentuk pariwisata ekologis. Salah satu indikator yang perlu ditetapkan adalah perlu diperhitungkannya daya dukung gua untuk pariwisata. Berbagai cara pengelolaan akan ditetapkan bila daya dukung ini dapat diperhitungkan terlebih dahulu. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah : 1) Bagaimana status dan kondisi dua gua yang diteliti yaitu Gua Tabuhan dan Gong? 2) Berapa wisatawan yang saat ini masuk dalam gua dalam satuan waktu tertentu? 3) Berapa daya dukung gua untuk tetap memberi kenyamanan bagi pengunjung dan dapat mempertahankan kualitas gua? 4) Bagaimana pengelolaan pengunjung sebagai upaya mempertahankan kualitas gua? MAKSUD , TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN Maksud : Penelitian ini dimaksudkan untuk dapat menghasilkan suatu informasi yang berguna bagi pengelola gua untuk dipergunakan sebagai bahan merubah pengelolaan gua atas dasar daya dukungnya. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk : 1) mengetahui kondisi gua yang dijabarkan pada variabel/parameter perubahan ornamen atap dan dinding gua dan perubahan fisik gua serta keaneka ragaman biota 2) mengetahui jumlah wisatawan yang masuk dalam gua pada saat peak season , low season dan rerata berapa daya dukung gua didasarkan pada iklim mikro gua 3) menetapkan model pengelolaan gua dengan berbagai skenario yang mempertimbangkan aspek kelestarian gua dan aspek finansial Kegunaan: Hasil penelitian ini dapat dipergunakan oleh pengelola gua pada khususnya dan pemerintah daerah pada khususnya untuk menetapkan regulasi untuk membuat suatu kebijakan pengelolaan gua dengan memperhatikan daya dukung gua.
Citation : Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, ISSN Lama 0216-2407, Baru 2086-7050 Vol. 18 / No. 4 / Published : 2005-10 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ekowisata Ekowisata merupakan suatu bentuk pariwisata yang sangat erat kaitannya dengan konservasi. Bentuk pariwisata ini muncul karena adanya kenyataan bahwa pariwisata massal telah menimbulkan berbagai persoalan. Pariwisata massal ternyata merupakan industri yang sifatnya ekploitatif terhadap sumberdaya alam (Prosser,1994). Pada awal berkembangnya, pariwisata massal ini diduga tidak akan menimbulkan kerusakan lingkungan, tetapi dalam perkembangannya kenyataannya banyak kerusakan yang ditimbulkannya. Kemudian, ada gejala terjadi pergeseran pariwisata dari pariwisata massal ini menjadi pariwisata minat khusus atau disebut Special Interest Tourism. Bentuk pariwisata ini sering disebut Real Travel (Hall and Weiler ,1992). Pariwisata real travel ini dengan ditandai 4 kriteria yaitu Rewarding , Enriching , Adventuresome dan Learning experience. Keempat aspek ini untuk pariwisata di daerah yang masih alami sangat menguntungkan karena dapat mempertahankan keutuhan lingkungan alam. Adanya empat aspek ini kemudian bila perjalanan berwisata ke daerah yang masih alami akan mengahasilkan dua hal yang sangat erat kaitannya dengan ekowisata yaitu konservasi dan knowledge serta new experiences. Bentuk pariwisata ini kemudian berkembang menjadi bentuk pariwisata ekowisata pengertian yang di ajukan pertama kali oleh The International Ecotourism Society(Eplerwood,1999). Di dalam perkembangannya ekowisata telah menjadi industri pariwisata baru yang memperjuangkan keutuhan kawasan wisata dengan konservasi, menawarkan produk wisata yang berkait dengan pengetahuan (knowledge), menawarkan kehidupan yang berbeda dengan asal wisatawan dan menawarkan filosofi yang banyak diminati oleh wisatawan mancanegara (Fandeli, 2000). Gua sebagai obyek wisata alam yang proses terbentuknya memakan waktu ribuan tahun memiliki potensi yang sangat tinggi sebagai obyek dan daya tarik wisata. Hanya saja, pengelolaan ekowisata dengan obyek gua harus dilaksanakan dengansangat hati hati. Penetapan daya dukung merupakan langkah yang sangat strategis untuk pengembangan ekowisata ini. Di dalam pengelolaan gua untuk ekowisata perlu dilakukan pengembangan dengan perencanaan yang berbasis konservasi dan pengembangan berbasis masyarakat . Untuk mengelola kawasan yang sangat rentan seperti kawasan gua ini direncanakan dan dikelola dengan pendekatan yang disebut LAC (The Limit of Acceptable Change) yang dikemukankan oleh Eagles and Cool(2002). Pendekatan LAC ini mencakup 4 elemen yaitu : (1) melakukan identifikasi seberapa jauh tingkat penerimaan elemen biofisik dan dampak sosialnya, (2)mengembangkan teknik manajemen yang dapat menjamin penerimaan sesuai dengan standard yang berlaku, (3)memonitor kondisi obyek, dan (4)apabila diperlukan segera mengganti teknikmanajemen yang dipakai. Salah satu bentuk dari aplikasi LAC adalah penetapan daya dukung. Daya dukung obyek wisata alam gua adalah menentukan berapa orang wisatawan yang boleh masuk kedalam gua dengan memperhitungkan waktu dan luas guanya. Didalam mengembangkan kepariwisataan alam di ekosistem termasuk gua perlu ditetapkan dengan azas azas yang dibuat oleh Ko( 2001) sebagai berikut: 1.
Azas daya dukung dinamis. Azas ini dimaksudkan untuk menjaga kualitas dari obyek wisata. Caranya dengan melakukan pembatasan jumlah pengunjung yang berada di suatu obyek dan daya tarik wisata dalam kurun waktu tertentu, misalnya dalam gua selama 30 menit hanya boleh ada pengunjung sebanyak 20 orang. Faktor yang dipergunakan untuk membatasi jumlah pengunjung ini antara lain ketersediaan oksigen atau kandungan CO2 atau yang yang lain.
2. Azas zonasi atau pemintakatan. Azas ini dimaksudkan untuk dapat menyebar wisatawan pada tempat tempat yang telah ditetapkan sesuai dengan peruntukannya. Di setiap area yang memiliki obyek dan daya tarik wisata dibuat pemintakatan . Pada umumnya mintakat ini antara lain Zona Inti , Zona Umum, Zona Peralihan dan Zona Penyangga.
Citation : Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, ISSN Lama 0216-2407, Baru 2086-7050 Vol. 18 / No. 4 / Published : 2005-10 3. Azas sirkulasi pengunjung. Azas ini dimaksudkan agar tidak terjadi kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya wisatawan yang berjubel/padat di suatu tempat. 4. Azas periodisasi kunjungan. Azas ini berkaitan dengan manajemen pariwisata alam untuk mengatur waktu kunjungan sedemikian rupa sehingga dampak negatif dari pengunjung dapat diminimalisasi. 5. Azas akses ke obyek. Azas ini menganjurkan agar infrastruktur tidak terlalu dekat dibangun dengan gua. Jalan yang dapat dilalui kendaraan dan tempat parkir ditempatkan sedemikian rupa agar tidak terlalu dekat dengan gua. Gua dan teori terbentuknya Menurut Mc Clurg (1964) dalam Ford and Cullingford (1976), gua karst didefinisikan sebagai ruang alamiah didalam bumi yang kebanyakan memiliki ruangan-ruangan dan loronglorong yang merupakan hasil proses pelarutan batuan karbonat. Kadang-kadang, lorong-lorong tersebut membentuk jaringan dengan goa lain yang berdekatan dan dikenal sebagai sistem pergoaan. Selanjutnya, jika sistem tersebut terisi aliran air maka dikenal sebagai sungai bawah tanah. Secara umum terdapat 3 hipothesis pembentukan goa yang diakui di seluruh dunia yaitu seperti yang disajikan pada Gambar 1. dari Gambar tersebut tampak bahwa tiga tipe gua yang umum adalah tipe vadose, water table, dan deep phreatic atau merupakan kombinasi dari ketiganya, yaitu sebagai berikut : • Teori vadose Teori ini menyatakan bahwa sebagian besar volume goa terjadi akibat ekskavasi oleh aliran goa menuju muka airtanah bebas. Air yang berasal dari suatu input yang besar kemudian mengalir menuruni zone vadose/tak jenuh menuju muka airtanah, yang telah terbentuk oleh beberapa proses sebelumnya pada keadaan sebelum goa itu terbentuk . • Teori water table Teori ini mengemukakan bahwa goa terbentuk pada saat air yang tersaring (percolated water) dari vadose yang mengalir menuju muka airtanah membentuk gos di sekitar tempat yang dangkal pada batas freatik. Oleh karenanya, goa berkembang di sepanjang wilayah ini. • Teori Deep Phreatic. Jika perkembangan pemeabilitas sekunder dari input munculnya air yang merupakan pelarut batuan gamping adalah merupakan muka airtanah yang stabil pada suatu periode yang panjang, maka banyak saluran goa yang berkembang jauh di bawah muka airtanah.
Citation : Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, ISSN Lama 0216-2407, Baru 2086-7050 Vol. 18 / No. 4 / Published : 2005-10
Gambar 1. Tiga Teori Pembentukan Goa (Dwerryhouse-1907, Martel-1921, Swinnerton1932, Rhoades and Sinacori-1941, Davis-1930, Bretz – 1942 dalam Dreybrodt, 1988) Iklim Mikro Gua Menurut Mavyludov (1997) iklim dalam sistem pergoaan dipengaruhi oleh (1) iklim dimana goa tersebut berada; (2) morfologi goa yang membatasi sistem sirkulasi udara tempat goa berada; (3) kondisi thermal dari batuan dasar pembentuk goa; (4) sistem aliran sungai bawah tanah; dan (5) intensitas hujan yang jatuh di sekitar goa. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor alami yang tidak akan dibahas pada bahasan kali ini. Selanjutnya, emisi panas yang dibawa pengunjung disinyalir akan mempengaruhi suhu udara di dalam goa dan dapat memodifikasi nilai kelembapannya (RH). Penelitian oleh Cigna (1993) di Goa Grotta, Castellana menunjukkan jika sebanyak 105 pengunjung diisolasi selama 10 menit akan menaikkan suhu sebesar 0,3oC, serta penurunan kelembapan relatif (RH) sebesar 1-2% ketika jumlah pengunjung mencapai 1071 orang. Selanjutnya, penelitian lain oleh Vilar et.al (1986) dalam Yayasan Acintyacunyata (2005), menyebutkan bahwa satu orang pengunjung gua dapat melepaskan pada pada tingkat 82-116 watt. Sementara itu penelitian di Belgia menunjukkan bahwa satu rombongan wisatawan yang terdiri dari 87 orang mampu meningkatkan suhu sebesar 1,5oC selama kunjungan 5 menit (Merene dan Schoumaker, 1975) dalam Yayasan Acintyacunyata (2005).
Citation : Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, ISSN Lama 0216-2407, Baru 2086-7050 Vol. 18 / No. 4 / Published : 2005-10 Berkaitan dengan hal tersebut, jika jumlah pengunjung di Goa Gong yang mencapai ribuan orang pada hari-hari libur, dan dengan morfologi goa yang cukup sempit, maka diperkirakan suhu dan kelembapan iklim mikro di dalam goa akan berubah sehingga mengurangi index kenyamanan untuk berwisata di dalam goa. Selain itu, hal ini juga akan merangsang tingkat pelapukan sehingga akan merusak ornamen goa dengan kisaran waktu yang cukup cepat. METODOLOGI PENELITIAN Pengumpulan data Pengumpulan data sekunder dilakukan untuk menganalisis jumlah, kinjungan dan perilaku wisatawan yangberkunjung ke Gua Gong dan Gua Tabuhan. Pemetaan Gua Sebelum dilakukan pengukuran iklim mikro gua, maka dilakukan terlebih dahulu pemetaan morfometri gua dengan tujuan untuk mengetahui sebaran lorong-lorong perguaan khususnya di Gua Gong serta menginventarisasi keragaman ornamen yang ada. Alat-alat yang digunakan adalah kompas, meteran, GPS, clino meter, abney level, topofil, dan kamera. Berdasarkan alat-alat yang digunakan , maka kelas pemetaan ini adalah mempunyai grade IIIB menurut British Cave Research Association (BCRA). Pengukuran Iklim Mikro vs Jumlah Pengunjung Setelah dilakukan pemetaan, maka kemudian ditentukan jumlah dan distribusi stasiun pengukuran. Pengukuran ini hanya dilakukan di Gua Gong yang memiliki masalah kenyamanan iklim mikro gua ketika penuh pengunjung yang tidak terjadi di Gua Tabuhan. Selanjutnya peta dan lokasi stasiun pengukuran iklim mikro Gua Gong disajikan pada Gambar 2. Variabel iklim mikro yang digunakan pada penelitian kali ini adalah suhu udara (oC) dan kelembapan relatif-RH (%). Untuk mengukur variabel ini digunakan alat Lutron AM-4205. Kemudian, pencatatan dikalukan sepanjang hari pada waktu weekday (Hari Minggu) mulai pukul 06.00-20.00, untuk mewakili kondisi gua tanpa, sedikit hingga penuh pengunjung. Selain itu, peralatan lain yang digunakan adalah : • Alat pit fall trap, untuk menangkap atau mengamati hewan arthropoda dalam gua • Alat countingmeter,untuk menghitung jumlah wisatawan yang berada di dalam • Stopwatch , untuk mengukur lama waktu wisatawan berada di dalam gua Analisis hasil penelitian Hasil pengukuran iklim mikro kemudian disajikan dalam format grafik untuk mengetahui pengaruh jumlah wisatawan dalam gua terhadap kondisi suhu dan kelembaban pada tiap stasiun pengukuran. Selanjutnya, dilakukan pengeplotan nilai suhu dan kelembapan pada waktu gua tidak dipenuhi pengunjung dan waktu banyak pengunjung pada skala discomfort index (indeks ketidaknyamanan) yang dikeluarkan oleh (Euroweather, 2005).
Citation : Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, ISSN Lama 0216-2407, Baru 2086-7050 Vol. 18 / No. 4 / Published : 2005-10
Gambar 2. Peta dan Distribusi Pengukuran Iklim Mikro Goa Gong HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi dan Speleogenesis Gua Gong dan Tabuhan Secara umum, proses pembentukan Gua Gong dan Tabuhan hampir mirip dan tegantung dari proses geologi regional Jawa bagian selatan dimasa lalu. Kedua gua tersebut pada mulanya membentuk lorong vadose pada daerah di sekitar permukaan. Akan tetapi, temuan di Gua Tabuhan
Citation : Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, ISSN Lama 0216-2407, Baru 2086-7050 Vol. 18 / No. 4 / Published : 2005-10 tidak menunjukkan perkembangan gua kearah vertikal (menuju muka airtanah) sementara di Gua Gong lebih kompleks dan akan secara detail dijelaskan pada bahasan dibawah ini. Secara umum dapat dikatakan bahwa pembentukan ruangan di Goa Gong adalah karena dua proses utama yaitu (1) proses pelarutan dan pengendapan (precipitation) yang membentuk ruangan serta ornamen yang disebut-sebut sebagai yang paling komplit dan indah di Pulau Jawa, dan (2) proses collapsing/peruntuhan ornamen dan dinding goa yang membut ruangan goa menjadi lebih lebar dan mempunyai ruangan besar (chamber). Secara speleogenesis, tampak bahwa ruangan yang didominasi oleh ornamen-ornamen goa (speleothem) merupakan lorong vadose atau lorong fosil yang sudah ditinggalkan oleh muka airtanah pada masa lampau karena adanya proses pengangkatan daerah ini, sehingga muka airtanah seakan-akan berpindah lebih ke bawah untuk mencapai kesetimbangan dengan local base level di sekitarnya. Pada survey kali ini, ditemukan pula dua tingkatan lorong yang lebih rendah dari lorong utama. Dua tingkatan lorong ini kemungkinan merupakan tipe goa water table pada masa lalu. Hanya saja, ada kemungkinan bahwa terdapat lorong yang mempunyai kedudukan lebih rendah lagi yang merupakan tempat hilangnya air. Pada survey kali ini lorong tersebut (mungkin goa deep phreatic) tidak dapat ditemukan dan dibuktikan kerena surveyor tidak berkesempatan untuk membandingkan elevasi lorong terbawah dengan local base level pada dasar bekas danau karst (doline) yang ada di sekitar Goa Gong. Hal lain yang bisa dikemukakan adalah bahwa proses runtuhan telah menyebabkan bergabungnya lorong vadose dan lorong water table menjadi chamber sehingga tampak bahwa Goa Gong ini hanya mempunyai satu tingkatan lorong saja. Selanjutnya, kemungkinan dapat disebutkan pula bahwa setelah proses runtuhan atap atau dinding goa berlangsung, terjadi lagi proses precipitation mineral kalsit (CaCO3) sehingga membentuk speleothem terutama pada atap dan dinding goa. Sampai saat ini, proses itu masih terus berlangsung dengan bukti berupa adanya tetesan pada ornamen menggantung sehingga dapat dikatakan bahwa goa ini masih aktif. Kondisi ornamen di Gua Gong dan Gua Tabuhan jauh berbeda dengan kenampakan yang masih aktif di Gua Gong dengan ornamen-ornamen gua yang spektakuler, sementara di Gua Tabuhan ornamen sudah rusak, lapuk dan terkesan tidak memiliki keindahan lagi. Berdasarkan Klasifikasi Segi Ilmiah Goa yang disosialisasikan oleh HIKESPI (1984) dalam Yayasan Acintyacunyata (2005). Goa Gong termasuk dalam kategori goa yang lengkap dengan Klasifikasi D yaitu dijumpai tiga group ornamen utama yaitu dripstone, flowstone, dan rhimestone. Sementara itu,kondisi biota di Gua Gong dan Gua Tabuhan tidak begitu berbeda dan tidak menunjukan spesifikasi tertentu. Hanya saja, minimnya jumlah biota yang ditemui mengindikasikan bahwa biote gua yang ada sudah dalam kondisi terusik oleh wisatawan. Selanjutnya, jenis dan jumlah hewan gua yang ditemukan disajikan pada Tabel 1 . Jumlah wisatawan dan aktivitas wisatawan dalam gua Pada saat ini wisatawan yang berwisata ke gua Tabuhan maupun gua Gong sebagian besar adalah wisatawan rekereasi dan piknik. Wisatawan rekereasi berkeinginan hanya untuk memperoleh kesenangan belaka. Mereka tidak pernah menyadari bahwa kegiatannya berpotensi merusak gua. Masih diketemukan bekas kegiatan wisatawan vandalisme yang mengotori, merusak dan menghilangkan ornament pada dinding gua.Sebagian dari wisatawan ini telah datang berkali kali ke gua ini (repeater tourist ).Wisatawan yang datang pertama kali biasanya berombongan atau dalam ke lompok kecil.Perkembangan wisatawan yang berkunjung ke dua gua ini dapat pada Tabel 2.
Citation : Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, ISSN Lama 0216-2407, Baru 2086-7050 Vol. 18 / No. 4 / Published : 2005-10 Tabel 1. Spesies yang ditemukan di Gua Gong dan Tabuhan GUA NAMA SPESIES GUA GONG TERANG 1 Amblypyghi Rhapidoporidae (jangkrik 2 goa) 3 Milipedes 4 Rattus sp (tikus) 5 Ranidae (katak) 6 Gekko gecko (tokek) V NAMA SPESIES GUA TABUHAN 1 Colocalia (walet) V 2 Ophiliones (laba-laba) V Rhapidoporidae (jangkrik 3 goa) 4 Microchiroptera (kelelawar)
ZONA SENJA V
ZONA V V V V
V
V V V
JUMLAH
SIFAT
XXX
Troglophil
XX X X X X
Troglophil Troglophil Trogloxene Trogloxene Trogloxene
XXX XX
Trogloxene Troglophil
X X
Troglophil Trogloxene
Sumber : Survey (September 2005) Ket :
XXX = > 10 XX = 5 – 9 X = 1-4 Tabel 2. Perkembangan Jumlah Wisatawan Nama Gua
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Gong Tabuhan Sumber : Dinas pariwisata Pacitan (2004) Angka jumlah wisatawan tersebut pada dasarnya belum menunjukkan jumlah wisatawan yang sesungguhnya. Sebab angka tersebut hanya berdasar pada wisatawan yang membeli karcis masuk. Sementara itu masih ada wisatawan yang tidak tercatat karena mereka adalah peneliti, tamu, dan penduduk lokal. Pada dasarnya aktivitas wisatawan dalam gua dapat dikelompokkan soft activities dan hard activities. Kedua aktifitas akan memberikan dampak yang berbeda terhadap keutuhan gua. Tingkat kerusakan gua yang menyebabkan kualitas gua menurun antara lain disebabkan oleh latar belakang sosio demografi dan psikografi wisatawan (Fandeli dan Nurdin, 2005). Kedua faktor ini menyebabkan perilaku wisatawan yang seringkali tidak atau kurang menyadari resiko dari aktivitas mereka yang dapat merusak obyek wisata. Dari hasil pegamatan tampak bahwa sesungguhnya tidak ada wisatawan yang dengan sengaja merusak ornamen gua. Hanya saja, secara tidak langsung mereka merupakan agent of transport dari carbon yang menempel di bagian tubuh mereka yang kemudian bersentuhan dengan ornamen gua. Dari pengamatan tampak sekali bahwa ornemn-ornamen gua di sekitar jalan di dalam gua berwarna hitam akibat terlalu sering disentuh oleh pengunjung. Suhu Gua Gong Sepanjang Hari Dari hasil analisis, ternyata memang tampak jelas bahwa terjadi hubungan yang sangat tegas antara jumlah pengunjung di dalam goa terhadap kenaikan suhu goa, seperti yang terlihat pada Gambar 3.
Citation : Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, ISSN Lama 0216-2407, Baru 2086-7050 Vol. 18 / No. 4 / Published : 2005-10 Dari Gambar 11 tampak bahwa kenaikan jumlah pengunjung dari 12 orang menjadi 90 orang menyebabkan suhu goa naik sekitar 0,6oC, dan selanjutnya kenaikan suhu mencapai puncaknya pada pukul 14.30 mencapai 30,3oC yang merupakan efek dari puncak pengunjung goa yang mencapai klimaks pada pukul 13.00 sebesar 180 orang. Selanjutnya, jika kita tarik grafik ideal untuk mempertahankan suhu goa sebesar ideal sekitar 26,0oC, maka jumlah pengunjung maksimum dalam goa pada satu kali periode pengukuran adalah sekitar 60 orang. Selanjutnya, hal yang sama juga ditemukan pada semua stasiun pengukuran dimana secara signifikan jumlah pengunjung di Goa Gong menyebabkan peningkatan suhu maksimum sebesar 4,0oC dan minimum sebesar 2,5oC di semua stasiun pengukuran. Hasil pengukuran juga mengkonfirmasi bahwa suhu akan normal sesaat setelah tidak ada pengunjung pada kisaran 26 – 26,5oC. Selanjutnya, ilustrasi hubungan suhu dan jumlah pengunjung pada stasiun 2, 3,4, dan 8 disajikan pada Gambar 4.
Jumlah Pengunjung vs Suhu Goa Gong Sepanjang Hari di Stasiun I 180
31 30 29
120
28
90
27 26
60
Suhu (oC)
Jumlah pengunjung
150
25 30
24
0
23 6
7
8
Jumlah orang
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Jam (WIB)
Suhu (oC)
Gambar 3. Hubungan Antara Kenaikan Suhu dan Jumlah Pengunjung Sepanjang Hari di Stasiun 1 Jumlah Pengunjung vs Suhu Goa Gong Sepanjang Hari di Stasiun 3 29.5
180
29
150
28.5
29
28
120
27.5 90
27 26.5
60
26 25.5
30
Ju m lah p en g u n ju n g
28.5
Su h u (o C)
Ju m lah p en g u n ju n g
150
28
120
27.5 90 27 60
26.5
30
26
25 0
24.5 6
7
Jumlah orang
8
9
Suhu (oC)
10
11
12
13
Jam (WIB)
14
15
16
17
18
19
0
25.5 6
7
Jumlah orang
8
9
Suhu (oC)
10
11
12
13
Jam (WIB)
14
15
16
17
18
19
Su h u (o C )
Jumlah Pengunjung vs Suhu Goa Gong Sepanjang Hari di Stasiun 2 180
Citation : Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, ISSN Lama 0216-2407, Baru 2086-7050 Vol. 18 / No. 4 / Published : 2005-10
120
27.2 27
90
26.8
60
Suhu (oC)
27.4
26.6 30
Jum lah pengunjung
27.6
150
26.4
0
26.2 6
7
8
Jumlah orang
9
10
Suhu (oC)
11
12
13
14
15
16
17
18
180
28.5
150
28
120
27.5
90
27
60
26.5
30
26
0
25.5 6
19
Jam (WIB)
7
8
9
10
11
Jumlah orang
12
13
14
15
16
17
18
JamSuhu (WIB)(oC)
Gambar 4. Hubungan antara Suhu dan Jumlah Pengunjung di Dalam Goa di Stasiun 2,3,4 dan 8 Hasil dari gambar-gambar diatas menunjukkan bahwa pengunjung akan menaikkan suhu goa menjadi diatas rata-rata jika dibandingkan ketika gua tanpa atau sedikit pengunjung (Gambar 5). Kenaikan sebesar 4oC merupakan kenaikan yang dramatis dan sangat perlu untuk segera dikendalikan karena pasti akan secara cepat merusak ornamen gua. SUHU KETIKA TANPA PENGUNJUNG (o C) 30
29
SUHU
Jumlah pengunjung
Jumlah Pengunjung vs Suhu Goa Gong Sepanjang Hari di Stasiun 8 27.8
Suhu (oC)
Jumlah Pengunjung vs Suhu Goa Gong Sepanjang Hari di Stasiun 4 180
28 27
26
25 6
8
10
12
JAM
14
16
18
20
Gambar 5. Suhu Sepanjang Hari Rata-Rata 8 Stasiun Tanpa Pengunjung Kelembapan Relatif Gua Gong Sepanjang Hari Hasil survey menunjukkan bahwa kenaikan jumlah pengunjung secara signifikan akan mengurangi kelembaban udara di Goa Gong seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5. Dari Gambar 13 dapat disimpulkan bahwa di Stasiun 1 terlihat penurunan maksimal nila kelembapan relatif mencapai 18 % dengan peningkatan jumlah pengunjung dari 4 orang menjadi sekitar 180 orang. Selanjutnya dari grafik dapat pula dikatakan bahwa setelah tidak terdapat pengunjung dalan jumlah yang banyak, maka kemudian nilai kelembapan menjadi normal kembali (sekitar 95-100%). Kemudian, pada stasiun lain juga selalu terjadi penurunan nilai kelembapan relatif dengan besaran yang bervariasi dengan jumlah pengunjung dalam goa, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 6. Seperti halnya pada grafik suhu udara, maka kelembaban relatif akan kembali normal secara perlahan-lahan setelah tidak adanya pengunjung.
Citation : Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, ISSN Lama 0216-2407, Baru 2086-7050 Vol. 18 / No. 4 / Published : 2005-10 Jumlah Pengunjung vs Kelembaban Goa Gong di Stasiun I 180
100
Kelembaban relatif (%)
Jumlah Pengunjung
150 90 120 90
80
60 70 30 0
60 6
7
8
9
Jumlah Pengunjung
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Jam (WIB)
Kelembaban (%)
Gambar 5. Hubungan Antara Penurunan Nilai RH vs Jumlah Pengunjung Sepanjang Hari di Stasiun 1
Jumlah Pengunjung vs Kelembaban Goa Gong di Stasiun 2
Jumlah Pengunjung vs Kelembaban Goa Gong di Stasiun 3
180
180
100
90
80
60 70 30
90 120 90
80
60 70 30
0
60 6
7
Jumlah Pengunjung
8
9
10
11
Kelembaban (%)
12
13
14
Jam (WIB)
15
16
17
18
0
19
60 6
7
Jumlah Pengunjung
8
9
10
11
Kelembaban (%)
12
13
14
15
16
17
18
19
Jam (WIB)
Gambar 6. Hubungan antara Nilai Kelembapan Relatif dan Jumlah Pengunjung di Dalam Goa Gong di Stasiun 2 dan 3 Evaluasi Terhadap Nilai Indek Ketidaknyamanan Index ketidaknyamanan atau Discomfort Index (DI) adalah suatu index yang menyatakan bahwa tingkat ketidaknyamanan seseorang di suatu ruangan didasarkan oleh nilai variasi terhadap kandungan kelembapan dan suhu udara (Euroweather, 2005). Hasil pengeplotan nlai RH dan T pada grafik index yang ada (Gambar 7) menunjukkan perubahan nilai ketidaknyamanan dari kategori agak tidak nyaman (slight discomfort sensation) index antara 33 – 40 menuju kategori sangat tidak nyaman (strong indisposition sensation) dengan index sebesar 40-47 pada waktuwaktu goa dipadati oleh pengunjung. Sementara itu jika diukur dengan index ketidaknyamanan versi Thom (Gambar 8), maka akan berubah dari hanya sebagian saja dari populasi yang tidak nyaman (angka index 21 – 24) menjadi seluruh populasi merasa tidak nyaman sama sekali (angka 30 – 32).
K elem b ab an relatif (% )
120
Ju m lah Pen g u n ju n g
150 90
K elem b ab an relatif (% )
Ju m lah Pen g u n ju n g
150
100
Citation : Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, ISSN Lama 0216-2407, Baru 2086-7050 Vol. 18 / No. 4 / Published : 2005-10
Gambar 7. Perubahan Nilai DI Ketika Padat Pengunjung di Goa Gong
Gambar 8. Perubahan Nilai DI versi Thom Ketika Padat Pengunjung di Goa Gong
Citation : Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, ISSN Lama 0216-2407, Baru 2086-7050 Vol. 18 / No. 4 / Published : 2005-10 Permasalahan lain yang ditemui Masalah lain yang ditemui diantaranya adalah ketidaknyamanan ketika pengunjung padat, yang menyebabkan seringnya dijumpai pengunjung yang pingsan. Hal ini disinyalir karena adanya sirkulasi udara yang tidak lancar serta tingginya tingkat gas CO2 dan minmnya oksigen. Selain itu, penggunaan lampu yang bersuhu tinggi dengan sinar UV yang tinggi menyebabkan ornamen disekitar lampu ditumbuhi oleh lumut. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan : • Gua Gong dan Gua Tabuhan mempunyai angka jumlah pengunjung yang cukup besar terutama di hari libur. Hanya saja persepsi wisatawan mereka bukanlah tipe ekowisata melainkan hanya rekreasi/piknik semata • Gua Gong dan Gua Tabuhan merupakan dua gua yang secara morfometri lorongnya memiliki perbedaan kerentanan terhadap daya dukung gua mengingat kondisi Gua Gong dengan ornamen yang masih aktif tetapi mempunyai lorong dengan sirkulasi udara buruk, sementara Gua Tabuhan bersirkulasi baik dengan kondisi ornamen yang rusak • Adanya pengunjung di Gua Gong meningkatkan suhu dan menurunkan kelembapan relatif udara gua • Tingkat kenaikan suhu udara Gua Gong ketika padat pengunjung sudah mengkhawatirkan (lebih dari 3oC) dibandingkan ketika sepi/tanpa pengunjung dan akan mempercepat proses pelapukan ornamen yang masih aktif • Dari evaluasi nilai indeks kenyamanan iklim mikro gua atas dasar nilai suhu dan kelembapan relatif udara gua, maka kondisi Gua Gong ketika padat pengunjung sudah dikategorikan sangat tidak nyaman (strongly discomfort) dan berbahaya bagi kesehatan • Selain belum adanya pengaturan pengunjung terkait daya dukung gua, manajemn lingkungan Gua Gong belum mengaplikasikan teknologi yang mempunyai kaidah konservasi gua seperti penggunaan lampu yang mempunyai daya (watt) tinggi sehingga menumbuhkan lumut. Selain itu, kerusakan ornamen akibat aktivitas wisatawan juga terekam dengan jelas Saran • Perlu segera dilakukan aturan pembatasan jumlah wisatawan untuk menjaga suhu gua tetap optimal • Jumlah wisatawan yang diusulkan adalah sebesar maksimal 100 orang wisatawan dengan dibagi menjadi 5 kali jam kunjungan (masing-masing jam maksimal 20 orang) • Adanya penataan kawasan wisata sekitar berbasis ekowisata sehingga wisatawan tidak harus masuk kedalam gua
Citation : Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, ISSN Lama 0216-2407, Baru 2086-7050 Vol. 18 / No. 4 / Published : 2005-10 DAFTAR PUSTAKA Balazs, 1968, Karst Region in Indonesia, Karszt-Es Barkangkutatas-Volume V, Budapest. Cigna, AA., 1997, Monitoring Results in Grotta Grande del Vento (Frasassi, Ancona, Italy) and its visitors capacity, Proceeding of the 12th International Conggress of Speleology, Switzerland. Dreybrodt, W., 1988, Processes in Karst System, Physics, Chemistry, and Geology, Springer-Verlag. Eagle, P.F.J., and Mc Cool,S.F., 2002. Tourism in National Parks and Protected Areas. Planning and Management. CABI International.New York. Eplerwood,M., 1999. Successful Ecotourism Ecotourism Conference. Kota Kinabalu.
Business.The
Right
Approach.
World
Fandeli, C., 2000. Pengertian dan Konsep Dasar Ekowisata dan Pengusahaan Ekowisata. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Fandeli, C., Nurdin, M., 2005. Pengembangan Ekowisata Berbasis Konservasi di Taman Nasional. Fakultas Kehutanan dan Pusat Studi Pariwisata UGM seta Kantor Menteri Lingkungan Hidup RI. Yogyakarta. Ford, T.D., Cullingford, C.H.D. 1986. The Science of Speleology, Academic Press, London, New York, San Francisco Hall,C.M., and Weiler ,B., 1992.What Belhaven Press. New York.
Special
About
Special
Interest
Tourism?.
Ko, R.K.T.,2001. Pedoman Identifikasi ,Pengembangan ,Pengelolaan, Pemeliharaan dan Pemasarannya.Yayasan Buena Vista . Cisarua. Mavlyudov, BR., 1997, Caves cl imatic systems, Proceeding of the 12th International Conggress of Speleology, Switzerland. Prosser, R., 1994.Societal Change and the Growth in Alternative Tourism, Ecotourism. A Sustainable Option ? John Wiley & Sons. Chichester. Villar E., Bonet A., Dias-caneja B., Fernandez PL., Guiterrez I., Quindos LS., Solana JR., Soto J., 1984, Ambient temperature variation in the Hall of Pantings of Altamira Cave due to the presence of visitors, Cave Sci 11(2): 99-104 Yayasan Acintyacunyata Yogyakarta, 2005, Laporan Survey Tinjau Gua Gong, tidak dipublikasikan