Prospek Pemanfaatan Bioethanol Sebagai Pengganti BBM di Indonesia M. Sidik Boedoyo
Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi, BPPT Gedung 625, Klaster Energi, Kawasan Puspiptek, Kota Tangerang Selatan Email:
[email protected] Abstract As a developing country Indonesia's economy will continue to grow. One of the requirements needed for the smooth development, is the availability of infrastructure, good development, including raw water, land and energy. Indonesia has a range of potential energy resources, both fossil fuels such as oil, natural gas, coal, and renewable energy resources such as hydro, geothermal, solar, wind, biomass, and ocean. The transportation sector is the largest fuel users, followed by the industrial and commercial sectors. Especially for transport sector use of biodiesel to replace most of its use of diesel oil as mandated in the ESDM No. 25 of 2013 has been running, but the use of bioethanol has not run as expected. This is because the raw material of bioethanol is also necessary as food and medicine, while currently the main raw material of bioethanol is molasses which is very limited and also the raw material of monosodium glutamate. When in fact Indonesia has the highly varied potential bioethanol feedstock as crops, sap, roots, even a source of cellulose such as wood and other plantation waste. This paper discusses the development and utilization of bioethanol to replace or reduce the use of fuel, especially gasoline replacement. Keywords: bioethanol, production process, diversification programs 1. Pendahuluan Sebagai negara yang sedang berkembang ekonomi Indonesia akan terus tumbuh. Pertumbuhan ekonomi ini dapat berlangsung bila persyaratan yang dibutuhkan terpenuhi, antara lain adanya target atau perencanaan pembangunan yang jelas, tersedianya sumberdaya manusia yang handal, tercukupinya finansiil, tersedianya sarana dan prasarana pembangunan yang baik, termasuk air baku, lahan dan energi, dan terpeliharanya lingkungan hidup. Dalam hal ini, ketersediaan energi merupakan syarat yang mutlak diperlukan, karena tanpa dukungan energi baik berupa bahan bakar maupun listrik, maka pembangunan dapat terhambat atau bahkan terhenti.
Indonesia memiliki berbagai potensi sumberdaya energi baik energi fosil seperti minyak bumi, gas bumi, batubara, serta sumberdaya energi terbarukan seperti hidro, panas bumi, surya, angin, biomasa, dan samudra. Sumberdaya minyak bumi saat ini sudah sangat membutuhkan perhatian, karena cadangan minyak bumi terus menurun, sementara konsumsi terus meningkat sehingga impor minyak bumi dan bahan bakar minyak terus meningkat. Persoalan lain ialah sejak tahun 1997 sampai sekarang bahan bakar minyak mendapat subsidi yang makin membesar setiap tahun. Sektor transportasi yang merupakan pengguna bahan bakar minyak terbesar justru memperoleh subsidi bahan bakar, sementara industri dan pembangkitan 55
Prosiding Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2014 & Seminar Bersama BPPT dan BKK-PII
Gambar 1. Analisis kajian pemanfaatan bioethanol listrik tidak memperoleh subsidi. Dilain pihak peningkatan arus transportasi barang, dan orang yang kurang didukung oleh tersedianya transportasi masal yang memadai, dan adanya harga bahan bakar bersubsidi yang relatif murah makin mendorong peningkatan kepemilikan kendaraan bermotor yang menyebabkan subsidi BBM makin lama makin meningkat. Beberapa langkah untuk mengurangi subsidi energi dan ketergantungan pada bahan bakar minyak antara lain ialah dengan mengurangi atau mencabut subsidi, mengganti BBM dengan energi alternatif, mengganti teknologi yang menggunakan BBM dengan teknologi dengan energi alternatif, memanfaatkan teknologi yang lebih efisien, dan mengubah pola penggunaan energi. Pemanfaatan biodiesel untuk mengganti sebagian penggunaannya minyak diesel seperti diamanatkan pada Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2013 telah berjalan, tetapi pemanfaatan bioethanol belum berjalan seperti yang diharapkan. Makalah ini membahas pengembangan dan pemanfaatan bioethanol untuk menggantikan atau mengurangi penggunaan BBM. 2. Metodologi Dalam menganalisis pemanfaatan bioethanol untjuk mengurangi atau menggantikan penggunaan bensin, maka dilakakukan tahap-tahap analisis yang meliputi analisis terhadap kondisi saat ini dalam
penggunaan bensin serta bioethanol, analisis tentang potensi produksi bioethanol di Indonesia, analisis tentang status teknologi yangntu ada dan akan dikembangkan, analisis kebijakan Pemerintah dalam pemanfaatan bioethanol, serta strategi yang dapat dilaksanakan untuk mengganti bensin sebagian atau seluruhnya dengan bioethanol. Gambar 1 menunjukkan aliran dari analisis kajian pemanfaatan bioethanol untuk menggantikan atau mengurangi penggunaan bensin. Untuk mencapai target atau kondisi yang diharapkan evaluasi terhadap kebijakan, target capaian, pelaksanaan dan realisasi merupakan hal yang sangat penting karena menentukan apakah target terlalu besar atau terlalu kecil dan atau apakah kebijakan yang ada sudah tepat atau harus diperbaiki. 2.1. Kondisi Saat Ini Peningkatan pertumbuhan sektor transportasi menyebabkan konsumsi bensin setiap tahun makin meningkat dengan pertumbuhan antara tahun 2006-2012 mencapai 9% per tahun. Dari konsumsi bensin tersebut selama periode 2006-2012 sekitar 96% – 97% adalah premium yang mempunyai Oktan 88, sekitar 3% - 4% Pertamax dan sekitar 0,1% Bio Premium + Bio Pertamax khususnya pada tahun 2008 dan 2009. Tabel 1 menunjukkan konsumsi bensin antara tahun 2006-2012 untuk Premium, Pertamax, Bio Premium dan Bio Pertamax.
iii
Prosiding Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2014 & Seminar Bersama BPPT dan BKK-PII
Juta SBM
2006
92,91
2,95
2007
99,17
2,81
2008
111,63
2009
Juta SBM
Juta kl
0,75
96,61
15,36
0,92
102,90
16,36
1,83
0,67
114,13
18,15
121,84
2,80
0,61
125,25
19,91
2010
130,49
3,91
0,66
135,06
21,47
2011
144,33
3,64
1,72
149,69
23,80
160,91
3,88
0,87
165,66
26,34
2012 Sumber:
Handbook of Energy and Economic Statistic 2013, Pusdatin-KESDM
Masalahnya ialah dari pasokan bensin tidak seluruhnya dapat dipenuhi oleh kilang dalam negeri, bahkan pangsa impor bensin terhadap produksi dalam negeri terus meningkat seperti terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Pasokan bensin dalam negeri dan impor 88
95
91
Juta SBM
Total DN
HIGH BAU HIGH BAU HIGH BAU HIGH BAU HIGH BAU HIGH BAU
Produksi Bensin Impor Bensin 0
200
400
600
800
Sumber: OEI 2013, BPPT
Produksi Bensin DN (RON) Tahun
2030 2035
Juta SBM
2025
Juta SBM
Total Bensin
2020
Pertamax
Year
Dalam Gambar 2. terlihat bahwa dari tahun 2012 sampai tahun 2035 konsumsi bensin yang diperoleh dari produksi dalam negeri dan impor meningkat sampai 3 - 4 kali lipat untuk skenario BAU (Business As Usual) maupun skenario HIGH (tinggi).
2015
Premium
Pertamax Plus
2012
Tabel 1. Konsumsi Bensin 2006-2012.
Impor
Juta SBM
Juta kl
Juta SBM
Juta kl
2006
70
2
1
73
12
44
7
2007
71
3
1
75
12
46
7
2008
72
2
0
74
12
54
9
2009
75
3
1
78
12
74
12
2010
67
3
1
71
11
90
14
2011
64
2
1
68
11
99
16
2012
68
2
1
71
11
116
18
Sumber: Handbook of Energy and Economic Statistic 2013, Pusdatin-KESDM
2.2. Proyeksi Kebutuhan Bensin Dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup cepat, maka pertumbuhan sektor transportasi sebagai sektor penunjang utama untuk pengangkutan orang dan barang juga meningkat pula. Diprediksi pertumbuhan bensin yang dipergunakan untuk kendaraan pribadi, angkutan kota dan truk ringan akan meningkat dengan cepat. Berdasar kondisi saat ini maka untuk memenuhi kebutuhan dimasa mendatang, impor bensin diperkirakan akan terus meningkat.
Gambar 2. Produksi, impor bensin dan produksi bioethanol (juta BOE) 2.3. Pengembangan Bioethanol Sebagai Bahan Bakar Alternatif Bahan bakar ethanol atau bioethanol merupakan bahan bakar yang dapat menggantikan bensin. Di beberapa negara bioethanol sudah dipergunakan sebagai campuran bensin, di Brazilia bioethanol dipergunakan 100% (B100) untuk menjalankan kendaraan khusus bioethanol. Ethanol atau alkohol merupakan bahan bakar yang bersih, dimana hasil pembakaran menghasilkan CO 2 dan H 2 O. Penambahan bahan yang mengandung oksigen ini pada sistem bahan bakar akan mengurangi emisi gas CO dari sisa pembakaran yang sangat beracun. Aditif TEL (Tetra Ethyl Lead) dan MTBE (Methyl Tertier Buthyl Ether) pada mulanya dipergunakan untuk meningkatkan nilai oktan, namun saat ini dilarang dipergunakan. TEL dan MTBE dapat dideteksi dan menyebabkan pencemaran pada udara dan air tanah sehingga alkohol merupakan alternatif yang menarik untuk mengurangi emisi gas CO. Penggunaan alkohol murni dibanding
57
Prosiding Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2014 & Seminar Bersama BPPT dan BKK-PII
dengan bensin secara umum akan mengurangi pencemaran CO 2 di atmospher hingga 13% karena merupakan hasil dari pertanian yang akan memerlukan gas CO 2 untuk metabolismenya. Penggunaan alkohol bukan tanpa problem pada lingkungan hidup, dimana VOC atau komponen bahan organik yang mudah menguap meningkat, kebutuhan lahan pertanian dikhawatirkan akan mengurangi jumlah hutan dan tentunya akan bersaing dengan kebutuhan makanan. Jenis tanaman yang dapat menghasilkan ethanol seperti terlihat pada Tabel 3. Bahan bakar etanol dari sari tanaman tebu akan lebih mudah diproduksi dibanding dengan fermentasi karbohidrat dari jagung. Di pabrik, tebu digiling ditekan dengan silinder berputar untuk memperoleh sari cairan manis dan menyisakan residu berserat atau bagas. Cairan manis dapat langsung difermentasi oleh ragi yang akan memecah gula menjadi gas CO 2 dan etanol sampai konsentrasi 15%. Campuran air etanol di distilasi untuk memperoleh etanol atau alkohol 95%. Alkohol ini sudah dapat dijual untuk bahan bakar mobil. Namun jika dikehendaki sebagai aditif dengan menambahkan 10% kedalam bensin (gasohol), maka alkohol perlu dimurnikan hingga mendekati 100%. Pemurnian hingga 100% dapat dilakukan dengan absorbsi dengan bahan penghisap air seperti CaO. Setiap 1000 kg tebu yang dikirim ke kilang mengandung serat bagas 145 kg, gula sukrosa 138 kg. Dari jumlah gula tersebut hanya 112 kg yang dapat dijadikan gula pasir, sisanya 23 kg
berupa gula tetes yang berharga murah. Jika sari tebu tersebut difermentasi akan menghasilkan 72 liter alkohol. Bagas serat dapat dibakar panas dapat dipergunakan untuk destilasi, pengeringan dan tenaga listrik sebesar 288 MJ. Energi tersebut: 180 MJ untuk pabrik dan 108 dapat dijual ke perusahaan listrik. Setiap hektar lahan tebu dapat menghasilkan 10 – 15 ton tetes tebu per hektar atau 766 – 1150 liter ethanol grade bahan bakar. Penggunaan Luas tanaman tebu Indonesia tahun 2013 adalah 470.000 Ha atau potensi maksimum mencapai 3,6 juta kl ethanol. Pengolahan lahan tebu khusus untuk produksi ethanol akan menghasilkan sekitar 5 kl per Ha. Dengan perbaikan kwalitas tanaman dan teknik penanaman di Brasil dapat menghasilkan alkohol 550 m3/km2 atau 5,5 kl per Ha. Bahan baku selain tetes seperti ketela pohon, ubi jalar, nipah, sorgum dan lain-lain yang banyak dijumpai di Indonesia merupakan potensi yang dapat dikembangkan di masa mendatang. Luas lahan sagu di Indonesia mencapai 1,2 juta Ha dengan potensi produksi sagu sekitar 5 juta ton pati kering. Dengan konsumsi sekitar 210 ribu ton atau 5% produksi dan intensitas produksi 600 liter per ton pati, maka akan diperoleh potensi bioethanol sebesar 2,85 juta kl ethanol. Sumber potensial lain ialah Nipah, Aren dan Lontar. Nipah yang merupakan tumbuhan tepi pantai dan merupakan tumbuhan utama pada hutan manggrove. Luas tanaman Nipah adalah sekitar 0,75 – 1,35 juta Ha atau sekitar 30% luas hutan Manggrove. Dari
Tabel 3. Sumber, hasil panen dan rendemen alkohol sebagai hasil konversi
Hasil panen ton/ha/th Singkong 25 (23,6) Tetes tebu 3,6 Sorgum biji 6 Ubi jalar 62,5 Sagu 6,8 Tebu 75 Nipah 27 Sorgum manis 80 Sumber: Nurdyastuti (2008) dan Assegaf (2009) Sumber karbohidrat
Perolehan alkohol liter/ton liter/ha/th 180 (155) 4500 (3658) 270 973 333,4 2000 125 7812 608 4133 67 5025 93 2500 75 6000
58
Prosiding Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2014 & Seminar Bersama BPPT dan BKK-PII
tanaman Nipah diperkirakan dapat diproduksi 750 ribu kl ethanol (25% produksi). Masalah dalam pengembangan bioethanol ialah hasil produksinya merupakan produk makanan, serta bahan baku industri, sehingga tetap sulit bersaing walaupun telah diberi subsidi harga sebesar Rp. 3500 / liter pada APBN 2013 dan RAPBN 2014. 2.4. Pengembangan Teknologi Bio Ethanol Teknologi proses produksi bioethanol dapat dikatakan sangat sederhana dan sudah dikuasai oleh masyarakat sejak jaman dulu, antara lain dengan produksi alkohol dari bahan nira, gula, tetes tebu. Arah pengembangan Bioethanol dari saat ini sampai masa mendatang dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Arah pengembangan teknologi biofuel Proses produksi ethanol saat ini merupakan generasi pertama yang pada dasarnya terdiri dari dua tahapan proses yaitu proses fermentasi dan proses distilasi. Proses fermentasi adalah tahapan proses di mana gula di dalam bahan baku (tetes tebu) dikonversi menjadi ethanol dengan bantuan ragi (yeast). Proses distilasi adalah tahapan proses di mana hasil fermentasi dilakukan pemurnian, sehingga di dapatkan hasil produk ethanol dengan kadar kemurnian 96,5% . Untuk teknologi proses generasi 1 dapat ditunjukkan dengan diagram proses produksi dari PG Madu Kismo, Yogyakarta dengan bahan baku molasse atau tetes tebu.
Sumber: Madu Baru, PT. Madu Kismo
Gambar 4. Diagram alir proses produksi alkohol PT Madu Kismo
Pada diagram tersebut ada dua aliran proses yaitu aliran dari bahan baku tetes tebu dan aliran dari enzym/mikrobakteri Saccaromyces cerevisiae (ragi roti) untuk pelaksanaan fermentasi dan distilasi sehingga memperoleh alkohol dengan kandungan 94% – 95%. Untuk mencapai kandungan alkohol 99% seperti sebagian besar kebutuhan pasar maka dapat dilaksanakan dengan proses pengeringan dengan menggunakan CaO atau filterisasi. Secara umum pada lahan tebu 1 Ha hanya akan diperoleh 1100 - 1200 liter per tahun, sehingga diupayakan agar biomasa lain yang merupakan sisa seperti sepah tebu atau bagase dan lain-lain dapat dimanfaatkan. Proses produksi ethanol generasi kedua adalah memanfaatkan lignoselulosa biomasa yang terdiri dari selulosa dari kayu dan serat biomasa, dengan pertolongan enzim diubah jadi gula, kemudian melalui proses fermentasi menjadi ethanol. Proses produks ini relatif sulit karena selulosa merupakan bahan yang stabil dan tidak mudah terurai, disebabkan dialam selulosa terikat dengan lignin dan pentosan yang sulit diuraikan. Teknologi yang diperlukan ialah menemukan enzym yang tepat agar dapat menguraikan selulosa dengan cepat dan mengubahnya menjadi gula-gulaan. Sementara itu gambaran tentang proses produksi bioethanol generasi 1 dan 2 dapat dilihat pada gambar 5. Pemanfaatan seluruh limbah produksi gula ini akan dapat meningkatkan produksi ethanol per Ha dari 1200 literhingga menjadi 3600 liter.
59
Prosiding Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2014 & Seminar Bersama BPPT dan BKK-PII
Persoalannya walaupun lignoselulosa relatif murah tetapi memerlukan teknologi tinggi dalam produksi enzim yang dapat mengubah selulosa menjadi gula sehingga biaya produksi ethanol menjadi tidak murah. Pada Gambar 6 berikut ditunjukkan teknologi proses produksi bioethanol generasi 2.
Tabel 4. Mandatori bioethanol (E100) Sektor Transp. PSO Transp. Non PSO Industri
PERMEN No. 25/2013
Pemb. Listrik
Gambar 6. Proses produksi ethanol generasi 2
2.5. Kebijakan Pengembangan Bio-ethanol Sebagai Pengganti Bensin Mengingat kebutuhan Bahan Bakar Minyak terus meningkat setiap tahun yang diakibatkan oleh pertumbuhan jumlah dan jarak tempuh kendaraan sementara cadangan minyak bumi terus menurun, maka dilaksanakan impor BBM yang volumenya terus meningkat pula. Persoalannya ialah BBM memperoleh subsidi yang makin membebani anggaran belanja negara. Salah satu cara untuk mengurangi beban subsidi ini Pemerintah Indonesia berusaha untuk mengurangi pemakaian BBM dengan penggunaan Bahan Bakar Nabati. Kebijakan ini tertuang pada Perpres Nomor 5 Tahun 2006, Inpres Nomor 1 Tahun 2006 dan didukung oleh
2020
2025
Blm. Ditentukan 5
10
15
10
12
15
10
12
15
-
-
-
Rumah Tangga
-
-
-
Transp. PSO
1
5
20
2
10
20
2
10
20
-
-
-
Transp. Non PSO Industri Pemb. Listrik
Sumber: Dian Shofinita, Majari Magazine, 2009
2015
Rumah Tangga PERMEN No. 32/2008
Gambar 5. Proses produksi ethanol generasi 1 dan generasi 2
Permen ESDM Nomor 32 Tahun 2008 yang diperbarui dengan Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2013 tentang mandatori penggunaan BBN. Untuk pengurangan bensin (Premium dan Pertamax) diatur dengan mandatori pemanfaatan bioethanol untuk substitusi bensin di sektor industri dan transportasi baik PSO maupun non PSO, sementara untuk sektor rumah tangga dan pembangkit listrik belum ditentukan. Target dari kebijakan kewajiban penggunaan bioethanol 100 yang sesuai dengan ketentuan yang ada adalah sebagaimana terlihat pada Tabel 4 tentang mandatori bioethanol.
Kebijakan dan regulasi terkait pengembangan biofuel adalah sebagai berikut. • UU No. 12 Tahun 1992, tentang Sistem Budidaya Tanaman. • UU No. 18 Tahun 2004, tentang Perkebunan. • UU No. 30 Tahun 2007, tentang Energi. • Inpres No. 1 Tahun 2006, tentang Percepatan dan Pemanfaatan BBN (biofuel) sebagai bahan bakar lain. • PP No. 79 Tahun 2014 menggantikan Perpres No. 5 Tahun 2006, tentang Kebijakan Energi Nasional. • Perpres No. 10 Tahun 2006, tentang Pembentukan Tim Nasional BBN. • Perpres No. 26 Tahun 2008, tentang DEN.
60
Prosiding Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2014 & Seminar Bersama BPPT dan BKK-PII
•
•
•
•
Permen Pertanian No.26 Tahun 2007, tentang Pedoman Perijinan Usaha Perkebunan. Permen ESDM No.32 Tahun 2008, tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga BBN. Permen ESDM No. 04 Tahun 2012, tentang harga pembelian tenaga listrik oleh PT. PLN (Persero) dari pembangkit tenaga listrik yang menggunakan energi terbarukan skala kecil dan menengahatau kelebihan tenaga listrik. Permen ESDM No. 25 Tahun 2013, tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga BBN sebagai perubahan Permen ESDM No.32 Tahun 2008.
3. Analisis Pengembangan Bioethanol 3.1. Permasalahan dalam pengembangan Bioethanol Target mandatori bioethanol pada Permen ESDM Nomor 32 Tahun 2008 cukup besar tetapi karena pelaksanaannya masih terkendala maka untuk tahun 2015 target diturunkan walaupun untuk tahun 2025 target dinaikkan menjadi 20% dari 15%. Gambaran tentang pelaksanaan mandatori bioethanol dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Konsumsi bensin, mandatori bioethanol dan realisasinya
Ribu kl
Bensin bersubsidi Mandatori Bioethanol Mandatori Transpor PSO Realisasi
2011 25.530
2012 28.340
2013 29.260
2014 32.320
694
968
1.167
1.334
230
244
146
165
-
-
-
-
Sumber : Ditjen EBTKE, 2013 dan PT. Pertamina Persero
Tabel tersebut menunjukkan bahwa sampai tahun 2014 mandatori bioethanol pada transpor PSO maupun pada seluruh mandatori bioethanol total bensin premium maupun pertamax pada kenyataannya belum dapat terlaksanakan. Hal yang disebabkan oleh berbagai faktor yang masih menghambat pemanfaatan
bioethanol sebagai substitusi bensin (Premium dan Pertamax). Faktor penghambat ini antara lain adalah : a. Bahan baku utama ethanol adalah gula dan tetes tebu. Saat ini Indonesia merupakan importir gula, sementara tetes tebu yang merupakan produk samping industri gula harganya relatif mahal dan bersaing dengan industri penyedap makanan serta keperluan impor. Saat ini lahan tebu hanya sekitar 400 ribu Ha, dan sulit sekali untuk mengembangkan lahan tebu sampai 3, 6 juta Ha bila kebutuhan bioethanol dipenuhi dari tetes tebu. b. Sumber ethanol yang potensiil lain seperti nipah, ketela pohon, ubi jalar dan lain-lain yang merupakan produk makanan sehingga menyebabkan kesulitan tersendiri dalam pemanfaatannya karena adanya kompetisi antara bahan makanan dengan energi . c. Subsidi harga sebesar Rp. 3500 / liter pada APBN 2013 dan RAPBN 2014BBN yang diberikan oleh Pemerintah untuk pemanfaatan bioethanol belum cukup mendorong industri ethanol untuk mendistribusikan ethanolnya ke Pertamina. 3.2. Strategi Pengembangan Bioethanol Pengembangan bioethanol mungkin dapat dilaksanakan dalam 4 langkah atau strategi sebagai berikut. a. Memperluas lahan penanaman tebu meliputi lahan yang belum digarap termasuk lahan kritis dengan target untuk mencapai kapasitas produksi gula sebagai bahan makanan dan bahan baku bioethanol. b. Mengembangkan tanaman yang berpotensi untuk produksi bioethanol tanpa berkompetisi dengan bahan makanan. c. Mengembangkan teknologi proses produksi bioethanol generasi 2 dengan bahan baku lignoselulosa secara terintegrasi antara lembaga penelitian dan pendidikan, dan bila perlu melalui kerjasama internasional. d. Mengembangkan sistem distribusi gula dan molase (tetes) untuk pengaturan produksi
61
Prosiding Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2014 & Seminar Bersama BPPT dan BKK-PII
e.
gula dan bioethanol, sekaligus mengatur harga jual kedua komoditi tersebut. Mengembangkan sistem penyediaan bioethanol termasuk harga dan subsidi dalam rangka pencapaian target mandatori penggunaan bioethanol.
4. Kesimpulan dan Saran 4.1. Kesimpulan Dari pembahasan dan terhadap pengembangan dan pemanfaatan bioethanol diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut. a. Sampai saat ini bioethanol belum dapat menjadi bahan bakar alternatif karena berbagai hambatan dalam pengembangan dan distribusinya. b. Indonesia mempunyai potensi bahan baku lain berupa bahan makanan maupun bukan yang dapat dimanfaatkan sebagai bioethanol. c. Teknologi produksi Bio-ethanol generasi 1 berbasis fermentasi gula pada umumnya sudah dikuasai, sementara teknologi proses generasi kedua yang prinsipnya mengolah lignoselulosa dengan enzim dan fermentasi atau gasifikasi biomasa dengan proses Fisher Tropch masih dalam pengembangan. d. Saat ini sedang dilaksanakan penelitian produksi bioethanol generasi kedua oleh berbagai institusi baik penelitian maupun pendidikan secara sendiri maupun bekerjasama dengan institusi luar negeri. 4.2. Saran Dari hal-hal yang telah dikaji dan evaluasi tersebut, disampaikan beberapa saran sebagai berikut. a. Perlu perluasan dan penyediaan perkebunan tebu, ketela pohon dan sumber bahan baku ethanol lain yang khusus untuk produksi ethanol untuk bahan bakar, sehingga tidak ada tarikan atau kompetisi antara bahan makan dengan energi. b. Perlu dikembangkan secara serius teknologi bioethanol generasi kedua dengan memanfaatkan lignoselulosa mengingat
c.
potensi bahan bakunya yang sangat tinggi dan saat ini belum termanfaatkan secara optimal. Perlu dibentuk tim atau badan nasioanl yang mengkaji harga BBM dan BBN serta menentukan besar insentif baik melalui subsidi maupun fiskal. Diantaranya menetapkan suatu mekanisme subsidi yang melekat (floating) pada harga BBM yang dikaji dan dievaluasi secara terus menerus sebagai masukan bagi Kementrian Keuangan dan institusi terkait lainnya.
Daftar Pustaka [1] Nurdyastuti, I., 2004, Teknologi Proses Produksi Bio-Etanol: Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak, PTKKE, BPPT. [2] Lennartsson, P.R., Erlandsson, P., and Taherzadeh, M.J., 2014, Integration of the first and second generation bioethanol processes and the importance of byproducts, Bioresource Technology, Vol. 165, p. 3-8, August 2014, Elsevier. [3] Fatimah, N., 2012, Bioetanol Molase Tebu, Hasil Samping Industri Tebu yang Menguntungkan, PBT Pertama, BBP2TP, Surabaya. [4] Rosyadi, E., 2012, Bahan Kuliah Bahan Bakar Nabati, Universitas Pertahanan, Jakarta. [5] PTPN X, 2012, Experiences & Prospects of Bioethanol in Indonesia, Bioethanol ProjectPT. Perkebunan Nusantara X (Persero), Juli 2012. [6] Pusdatin, 2014, Handbook of Energy and Economic Statistics 2013, Pusat Data dan Informasi, Kementerian ESDM, Jakarta. [7] Deinol, 2014, Potential Standard for Production of Second Generation Bioethanol, DEINOVE SA, Grabels, France. [8] Shofinita, D., 2014, Bioethanol Generasi Kedua, Majari Magazine, Tersedia di http://majarimagazine.com/2009/02/bioet anol-generasi-kedua/, Diakses 2 Agustus 2014.
62
Prosiding Peluncuran Buku Outlook Energi Indonesia 2014 & Seminar Bersama BPPT dan BKK-PII
63