ISSN: 2503-0965
P r o s i d i n g Te m u I l m i a h
Temu Ilmiah Ikatan Psikologi Sosial 2015 Peran Psikologi Sosial dalam Pembangunan: Dari Teori ke Praktek dan Praktek ke Teori
Penyunting: Dr. Mirra Noor Milla, M.Si Dr. Bagus Takwin Ardiningtiyas Pitaloka, M.Si Subhan El Hafidz, M.Si Whinda Yustisia, M.Sc
Ikatan Psikologi Sosial Himpunan Psikologi Indonesia
Prosiding Temu Ilmiah Ikatan Psikologi Sosial Denpasar 21-23 Januari 2015
Peran Psikologi Sosial dalam Pembangunan: Dari Teori ke Praktek dan Praktek ke Teori iii, 181 halaman
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang Copyright @2015 ISSN: 2503-0965
Penyunting: Dr. Mirra Noor Milla, M.Si Dr. Bagus Takwin Ardiningtiyas Pitaloka, M.Si Subhan El Hafidz, M.Si Whinda Yustisia, M.Sc Tata Letak: Wahyu Cahyono, M.Si
Diterbitkan oleh: Ikatan Psikologi Sosial - Himpunan Psikologi Indonesia
Alamat Penerbit: Fakultas Psikologi UI Kampus Universitas Indonesia - Depok 16424 Website: http://ikatanpsikologisosial.org
[email protected]
i
ISSN: 2503-0965
DAFTAR ISI
Alienasi Diri Pada Komunitas Underground Ditinjau Dari Sikap Terhadap Prasangka Sosial oleh Teguh Yulianto dan Gusti Yuli Asih - Fakultas Psikologi Universitas Semarang
1
Dinamika Kelompok Minoritas dalam Mempertahankan Tradisi Studi pada Keluarga Kerukunan Tabot di Bengkulu oleh Nelly Marhayati Program Doktorat Psikologi Universitas Airlangga
13
Gambaran Kepribadian Altrustik Pada Remaja: Suatu Studi Pada Mahasiswa Universitas HKBP Nommensen Medan oleh Asina Christina Rosito - Program Studi Ilmu Psikologi Universitas HKBP Nommensen Medan
25
Gambaran Kompetensi Sosial Pada Anak Yang Mengikuti Sekolah Bilingual oleh Lenny Veronika Purba dan Rahma Yurliani - Universitas Sumatra Utara Hubungan Antrara Pengetahuan dan Sikap Terhadap HIV/AIDS Pada Murid SMA Islam X Jakarta Timur oleh Fitri Arlinkasari - Universitas YARSI
34
Kekerasan Dalam Pacaran Pada Siswa SMA Ditinjau Dari Konformitas Teman Sebaya dan Efektivitas Komunikasi Dalam Keluarga oleh Anna Dian Savitri dan Fitria Linayaningsih - Fakultas Psikologi, Universitas Semarang
52
Motif Wirausaha, Identitas Wirausaha, dan Enterpreneurial Passion dalam Mencapai Keberhasilan Wirausaha oleh Ismarli Muis Fakultas Psikologi, Universitas Negeri Makassar
63
Nilai Budaya Lokal, Resiliensi, dan Kesiapan Menghadapi Bencana Alam oleh Wanda Fitri - IAIN Iman Bonjol
82
45
Orientasi Akulturasi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa Yang Tinggal di Jakarta (Berdasarkan Interactive Acculturation Model) oleh Clara Moningka dan Steven Wijaya - Universitas Bunda Mulia
94
Pengaruh Hardiness, Konsep Diri, dan Dukungan Sosial Terhadap Orientasi Masa Depan Pada Narapidana Remaja oleh Amirra Nur’indah
108
Peran Media Dalam Menumbuhkan Intensi Remaja Pengendara Motor Untuk Menggunakan Helm oleh William Cahyawan, Manuella Sarlita, Kanti Pernama, Asri Christine, Edira Putri, M. Th. Asti Wulandari, Nani Nurrachman Sutojo Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta
123
ii
Persepsi Agama Pada Anak Dari Orangtua Yang Berbeda Agama oleh Muhammad Syarif Hidayatullah dan Helenda Yolanda Anjaryana - Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Lambung Mangkurat
134
Representasi Sosial Atas Identitas Keindonesiaan Pada Muslim Yogyakarta Pasca Penetapan Status Keistimewaan oleh Muhammad Johan N Huda Fakultas Psikologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
149
Residivisme Narapidana Narkoba Dari Perspektif Kognitif Sosial Bandura oleh Sri Aryanti Kristianingsih - Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
165
iii
ALIENASI DIRI PADA KOMUNITAS UNDERGROUND DITINJAU DARI SIKAP TERHADAP PRASANGKA SOSIAL
Teguh Yulianto dan Gusti Yuli Asih Fakultas Psikologi Universitas Semarang
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara sikap terhadap prasangka sosial dengan alienasi diri pada komunitas underground. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara sikap terhadap prasangka sosial dengan alienasi diri pada komunitas underground. Semakin positif sikap terhadap prasangka sosial maka semakin tinggi alienasi diri pada komunitas underground, dan sebaliknya. Subyek dalam penelitian ini berjumlah 42 subyek yang merupakan anggota komunitas underground di Semarang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik sampling insidental (incidental sampling). Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan dua skala yaitu Skala Alienasi Diri dan Skala Sikap terhadap Prasangka Sosial. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik Korelasi Product Moment. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara sikap terhadap prasangka sosial dengan alienasi diri pada komunitas underground dengan nilai r = 0,574 (p < 0,01), sehingga hipotesis dalam penelitian ini diterima.
Kata Kunci: Alienasi diri, sikap terhadap prasangka sosial, komunitas underground
Pendahuluan Musik merupakan cara mudah untuk mengekspresikan diri. Berbagai jenis aliran musik mewarnai musik Indonesia sehingga tak menutup kemungkinan musik indi atau underground juga ikut meramaikan musik indonesia. Keberadaan musik underground memang menjadi salah satu fenomena yang melanda para remaja saat ini. Terdapat berbagai genre dalam musik underground, antara lain genre Metal, Grunge, Punk, Skinhead, Reggae, SKA, Hardcore, dan Rock n Roll. Adanya paham kebebasan yang ditawarkan untuk remaja, menjadikan remaja juga dapat terjerumus kepada hal-hal negatif seperti narkoba, free sex dan merusak moral. Banyak faktor yang menyebabkan remaja tergabung dalam komunitas underground baik faktor internal maupun eksternal. Ini disebabkan karena remaja memiliki pandangan, kebiasaan, latar belakang, keluarga dan 1
lingkungan sosial. Pertumbuhannya yang semakin pesat tentunya mengundang pro dan kontra dari berbagai kalangan. Penampilan anggota komunitas underground yang terkesan “urakan” seringkali menempatkan penilaian negatif pada dirinya. Hal ini dapat menyebabkan sulitnya anggota komunitas underground untuk dapat membaur dengan masyarakat pada umumnya. Hasil penelitian yang dilakukan Suyatmo (2008) terhadap remaja anggota komunitas underground diketahui bahwa sebagian besar remaja mengenal musik underground pada usia 14 tahun yang diperkenalkan oleh teman. Remaja mengartikan musik underground adalah musik yang keras, penuh ekspresi namun punya maksud dan makna tersendiri. Adanya kesamaan hobi dalam bermusik sehingga mereka tergabung dalam suatu komunitas underground. Menurut remaja manfaat tergabung dalam komunitas underground yaitu menambah banyak teman dan wawasan mengenai musik underground, adapun hal-hal negatif dalam komunitas underground yaitu minum alkohol. Aktivitas yang dilakukan komunitas underground yaitu membuat parade musik, nongkrong, minumminuman beralkohol dan latihan band. Aktivitas yang dilakukan itu memudahkan komunitas underground menambah teman dan keinginan bermusik juga dapat tersalurkan. Aktivitas komunitas underground berpengaruh terhadap bagaimana remaja membina hubungannya dengan lingkungan sosial, selain itu remaja underground seringkali merasa rendah diri dan kesulitan untuk dapat mengaktualisasikan diri dan potensinya dengan berbagai pandangan negatif dari masyarakat. Selain itu, remaja komunitas underground tidak setuju akan asumsi negatif masyarakat tentang keberadaan komunitas underground karena tidak semua remaja komunitas underground melakukan hal-hal negatif tersebut (straight-x). Straight-x merupakan gaya hidup dari anggota komunitas underground, dimana anggota komunitas underground menghindari minuman keras, narkoba, dan mengkonsumsi makanan yang bernyawa. Perilaku negatif yang ditunjukkan komunitas underground tersebut dapat menimbulkan penolakan dari masyarakat, sehingga dapat menyebabkan anggota komunitas underground mengalami alienasi diri. Anggota komunitas underground yang mengalami alienasi diri tersebut pada dasarnya telah dapat menyikapi secara positif dan tidak mempermasalahkan berbagai penilaian negatif yang muncul dari masyarakat terhadap keberadaannya. Fakta yang diungkap berdasarkan hasil wawancara dengan anggota komunitas underground menunjukkan bahwa ketidakpuasan dalam hubungan sosial dialami oleh anggota komunitas underground, sehingga menyebabkan adanya perasaan kesepian, perasaan tertekan akibat kurangnya hubungan sosial. Anggota komunitas underground merasakan adanya perasaan kurang berharga ketika berada di lingkungan sosial. Kondisi 2
tersebut menjadikan anggota komunitas underground menarik diri dari lingkungan sosial. Anggota komunitas underground lebih senang dengan kehidupan pribadi dan kehidupan bersama komunitasnya. Anggota komunitas underground merasa tidak berarti bagi orang lain, sehingga menjadikannya menutup diri dari masyarakat pada umumnya. Perasaan kurang berarti yang dialami anggota komunitas underground menjadikannya pesimis dapat mencapai kesuksesan di masa depan. Hal tersebut disebabkan masyarakat dan norma sosial yang berlaku sangat bertentangan dengan perilaku yang ditunjukkan anggota komunitas underground. Alienasi diri yang dialami anggota komunitas underground menjadikan anggota komunitas underground berusaha mengisi waktu sehari-hari dengan aktivitas bermain musik, dengan lawan jenis, serta minum-minuman keras bersama dengan anggota komunitas yang lain. Namun, anggota komunitas underground pada dasarnya telah menyikapi secara negatif prasangka sosial, dan tidak merasa terganggu dengan berbagai penilaian dari masyarakat. Fromm (dalam Subono, 2010) menyatakan bahwa keselarasan di antara keinginan dan harapan individu dengan moralitas sosial dapat tercapai dengan adanya karakter sosial. Karakter sosial tersebut merupakan serangkaian sikap, nilai, dan bentuk-bentuk perilaku bersama sebagian besar manusia yang berasal dari kebudayaan yang sama. Individu akan menunjukkan sikap yang berbeda satu sama lain, termasuk dalam mensikapi adanya prasangka sosial yang berkembang dalam masyarakat terhadap suatu kelompok tertentu. Hanurawan (2012) menyatakan bahwa sikap adalah tendensi untuk bereaksi dalam cara suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Sikap merupakan emosi atau afek yang diarahkan oleh seseorang kepada orang lain, benda, atau peristiwa sebagai objek sasaran sikap. Keputusan bergabung dalam komunitas underground dapat menempatkan seseorang pada prasangka sosial yang dapat merugikan individu yang bersangkutan ataupun kelompoknya. Sikap negatif yang ditunjukkan anggota komunitas underground akan dapat menjadikan individu terhindar dari keterpurukan karena penilaian negatif dari masyarakat, sehingga dapat terhindar dari alienasi diri. Walgito (2002) mengemukakan sikap sebagai organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yang relatif ajeg yang disertai adanya perasaan tertentu dan memberikan dasar kepada individu untuk membuat respon atau berperilaku dalam cara tertentu yang dipilihnya. Individu dikatakan memiliki sikap positif terhadap suatu objek psikologi apabila individu suka (like) atau memiliki sikap yang favorable, sebaliknya individu yang dikatakan memiliki sikap yang negatif terhadap objek psikologis bila individu tidak suka (dislike) atau sikapnya unfavorable terhadap objek psikologis. 3
Prasangka sosial yang diberikan masyarakat terhadap komunitas underground akan dapat disikapi secara berbeda oleh masing-masing anggota komunitas underground. Sikap negatif terhadap prasangka sosial akan menjadikan anggota komunitas underground mampu menolak berbagai prasangka sosial yang diberikan, sehingga tetap dapat menjalani kehidupan tanpa teralienasi. Kenyataannya, anggota komunitas underground yang telah mempersepsikan secara negatif prasangka sosial, namun masih saja merasa teralienasi dari lingkungan sosial.
Alienasi Diri Badudu (2003) menyatakan bahwa alienasi adalah keadaan terasing (terisolasi), penarikan diri dari kelompok atau masyarakat, atau pemindahan hak milik dan pengkat kepada orang lain. Lebih lanjut Petrovic (dalam Widodo, 2008) menyatakan bahwa alienasi merujuk pada pengertian dasar, seseorang atau sesuatu yang menjadi terasing atau terpisah dari seseorang atau sesuatu lainnya karena suatu tindakan tertentu atau karena akibat dari tindakannya. Alienasi kerap sekali dipakai untuk mengacu pada perasaan terpencil dan terkucil dari individu terhadap masyarakat, alam, dan orang lain atau dirinya sendiri. Maslow (dalam Hall & Lindzey, 1993) menyatakan bahwa tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan menjadikan seseorang mengalami alienasi diri. Hurlock (2012) menyatakan bahwa alienasi membuat orang lain tidak menyukai dan menolak individu. Alienasi diri menunjuk pada pribadi yang sepenuhnya dan secara absolut terasing. Lebih lanjut Johnson (dalam Rosyadi, 2009) menyatakan bahwa alienasi diri merupakan perasaan keterasingan individu terhadap masyarakat, alam, orang lain dan dirinya sendiri. Alienasi diri sebenarnya merupakan sebuah tindakan manusia yang tidak berdasarkan pada kebebasan otonomi individunya, melainkan sebuah aktivitas yang berdasarkan pada kekuatan-kekuatan di luar diri individu. Ahmad, dkk (2009) menyatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari alienasi seringkali berarti menolak atau menjauh dari kawan-kawan atau kelompoknya. Dalam teori Sosial dan Politik, Sosiologi, dan Psikologi, alienasi biasanya dipergunakan untuk menunjuk pada perasaan keterasingan individu sendiri. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan alienasi diri adalah perasaan terpencil dan terkucil dari masyarakat, alam, orang lain atau dirinya sendiri yang disebabkan karena tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan. Penulis akan menggunakan pendapat yang diutarakan oleh Seeman (dalam Mouton dan Marais, 1996) bahwa gejala-gejala alienasi diri adalah ketidakberdayaan (powerlessnes), keadaan moral dimana orang yang bersangkutan kehilangan cita-cita, tujuan dan norma dalam hidupnya (normlessness), ketidakberartian (meaninglessness), 4
isolasi (isolation), serta pemisahan diri (self-estrangement). Gejala-gejala tersebut selanjutnya akan digunakan dalam penyusunan alat ukur untuk mengungkap alienasi diri. Alienasi disebabkan karena adanya perbedaan, sebab perbedaan adalah faktor penyebab permusuhan dan konflik, dimana konflik tersebut mendorong pada sikap fanatisme dan dogmatis, sekaligus menimbulkan permusuhan dan kebencian (Harb, 2004). Lebih lanjut Cozzarelli, dkk (dalam Delamater, 2006) menyatakan bahwa ideologi, nilai, dan sikap memengaruhi partisipasi individu dalam masyarakat dan perasaan individu terhubung dengan masyarakat. Sikap dan nilai merupakan faktor penting yang dapat memprediksi terjadinya keterasingan.
Sikap Terhadap Prasangka Sosial Walgito (2002) mengemukakan sikap sebagai organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yang relatif ajeg yang disertai adanya perasaan tertentu dan memberikan dasar kepada individu untuk membuat respon atau berperilaku dalam cara tertentu yang dipilihnya. Robbins dan Judge (2012) menyatakan bahwa sikap tersusun berdasarkan tiga komponen, yaitu: kognitif, afektif, perilaku. Gea, dkk (2002) menyatakan bahwa prasangka sosial merupakan sikap negatif terhadap sesuatu yang lebih berada pada taraf individual. Jhonson (dalam Liliweri, 2005) menyatakan bahwa prasangka sosial adalah sikap positif atau negatif berdasarkan keyakinan stereotip individu tentang anggota dari kelompok tertentu, seperti halnya sikap, prasangka meliputi keyakinan untuk menggambarkan jenis pembedaan terhadap orang lain sesuai dengan peringkat nilai yang diberikan. Allport (dalam Putra dan Pitaloka, 2012) menyatakan bahwa terdapat lima derajat tindakan yang merupakan wujud dari prasangka, yaitu sebagai berikut: a. Antilokusi Antilokuasi adalah kondisi dimana sebagian besar orang yang memiliki prasangka membicarakan kelompok lain. Individu membicarakan di dalam kelompok atau antar teman sebaya. b. Menghindar Biasanya jika prasangka mengenai kelompok lain telah sering dibicarakan dan jelas di ingatan, anggota kelompok akan berupaya untuk menghindar pada kelompok lain yang dipersepsikan negatif atau tidak disukai kelompok. c. Diskriminasi
5
Pada derajat diskriminasi, anggota kelompok telah melakukan tindakan secara asimetri dan berbeda. Misalnya, kelompok lain yang dipersepsikan negatif akan ditolak menjadi karyawan, penduduk komplek rumah, rumah sakit, atau rumah ibadah. d. Penyerangan fisik Pada kondisi emosi yang sangat tinggi, seperti kebencian yang sulit ditahan lagi, anggota kelompok akan mengekspresikan kebenciannya dengan langsung menyerang fisik. e. Eksterminasi Eksterminasi merupakan tingkatan tertinggi dari ekspresi prasangka, yaitu dengan melakukan pembunuhan dan bahkan pemusnahan besar-besaran salah satu kelompok tertentu. Komponen-komponen sikap terhadap prasangka sosial adalah adalah komponen kognitif, komponen afektif dan komponen konatif dalam kaitannya dengan antilokusi, menghindar, diskriminasi, penyerangan fisik, dan eksterminasi.
Sikap terhadap prasangka sosial dan alienasi diri Fromm menyatakan bahwa alienasi ditemukan pada seluruh lini kehidupan, dalam hubungan manusia dengan pekerjaan, dengan segala benda yang dikonsumsi, dengan negara, dengan sesama, dan juga dengan dirinya sendiri (Fromm, dalam Subono, 2010). Fromm (dalam Subono, 2010) menyatakan bahwa meskipun manusia berbeda, masyarakat dapat menampilkan suatu karakter sosial bersama. Karakter sosial adalah serangkaian sikap, nilai, dan bentuk-bentuk perilaku bersama sebagian besar manusia yang berasal dari kebudayaan yang sama. Karakter sosial memungkinkan keselarasan di antara keinginan dan harapan individu dengan moralitas sosial. Maslow (dalam Hall & Lindzey, 1993) menyatakan bahwa tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan menjadikan seseorang mengalami alienasi diri. Alienasi merujuk pada pengertian dasar, seseorang atau sesuatu yang menjadi terasing atau terpisah dari seseorang atau sesuatu lainnya karena suatu tindakan tertentu atau karena akibat dari tindakannya. Cozzarelli, dkk (dalam Delamater, 2006) menyatakan bahwa ideologi, nilai, dan sikap memengaruhi partisipasi individu dalam masyarakat dalam masyarakat dan perasaan individu terhubung dengan masyarakat. Sikap dan nilai merupakan faktor penting yang dapat memprediksi terjadinya keterasingan. Breckler, dkk (dalam Azwar, 2011) menyatakan sikap sebagai kombinasi reaksi afektif, perilaku, dan kognitif terhadap suatu objek. Individu dikatakan memiliki sikap positif 6
terhadap suatu objek psikologi apabila individu suka (like) atau memiliki sikap yang favorable, sebaliknya individu yang dikatakan memiliki sikap yang negatif terhadap objek psikologis bila individu tidak suka (dislike) atau sikapnya unfavorable terhadap objek psikologis. Sikap terhadap prasangka sosial yang negatif akan dapat menghindarkan anggota komunitas underground dari terjadinya alienasi diri yang membuat anggota komunitas underground merasa terasing dari lingkungan sosialnya. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan positif antara sikap terhadap prasangka sosial dengan alienasi diri pada komunitas underground. Semakin positif sikap terhadap prasangka sosial maka semakin tinggi alienasi diri pada komunitas underground, dan sebaliknya.
Metode Partisipan Partisipan penelitian adalah komunitas underground di wilayah Kota Semarang, dan berusia 18-24 tahun yang berjumlah 42 orang yang terbagi ke dalam genre Metal, Grunge, Punk, Skinhead, Reggae, SKA, Hardcore, dan Rock n Roll. Dari 42 subyek yang merupakan 30 orang anggota komunitas musik underground dari genre Grunge dan 12 orang anggota komunitas musik underground dari genre Skinhead. Pemilihan responden dilakukan dengan incidental sampling, yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan/insidental bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, apabila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data (Sugiyono, 2010).
Instrumen Pengumpulan Data Skala Alienasi diri. Skala ini dirancang berdasarkan gejala-gejala alienasi diri meliputi
ketidakberdayaan
(powerlessnes),
keadaan
moral
dimana
orang
yang
bersangkutan kehilangan cita-cita, tujuan dan norma dalam hidupnya (normlessness), ketidakberartian (meaninglessness), isolasi (isolation), serta pemisahan diri (selfestrangement). Skala Alienasi Diri yang berjumlah 33 item. Koefisien validitas item berkisar antara 0,323 sampai dengan 0,726. Uji reliabilitas item Skala Alienasi Diri diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,921. Skala Sikap terhadap Prasangka Sosial. Skala ini dirancang berdasarkan komponen-komponen sikap terhadap prasangka sosial, yaitu komponen kognitif, 7
komponen afektif dan komponen konatif dalam kaitannya dengan antilokusi, menghindar, diskriminasi, penyerangan fisik, dan eksterminasi. Skala Sikap terhadap Prasangka Sosial awalnya berjumlah 54 item. Koefisien validitas item berkisar antara 0,386 sampai dengan 0,777. Skala Sikap terhadap Prasangka Sosial diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,967.
Hasil dan Analisis Sebelum dilakukan uji hipotesis penelitian, dilakukan uji asumsi normalitas dan linieritas terhadap variabel alienasi diri dan variabel sikap terhadap prasangka sosial. Uji normalitas dilakukan terhadap variabel alienasi diri dan variabel sikap terhadap prasangka sosial dengan tujuan untuk mengetahui normal tidaknya skor variabel penelitian. Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa sebaran data kedua variabel tersebut adalah normal. Tabel Uji Normalitas Variabel Alienasi diri Sikap terhadap prasangka sosial
Z 0,130 0,096
p 0,074 0,200
Hasil uji linieritas antara variabel sikap terhadap prasangka sosial dan variabel alienasi diri menunjukkan bahwa F sebesar 13,701 dengan (p < 0,05) menyatakan terdapat hubungan linier antara sikap terhadap prasangka sosial dengan alienasi diri pada komunitas underground. Berdasarkan hasil penelitian dilakukan, diketahui bahwa hipotesis yang diajukan peneliti bahwa ada hubungan positif antara sikap terhadap prasangka sosial dengan alienasi diri pada komunitas underground terbukti dengan nilai
r = 0,574 (p <
0,01). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa alienasi diri pada komunitas underground pada kategori tinggi dan sikap terhadap prasangka sosial tergolong pada kategori positif. Berdasarkan hasil tersebut disarankan kepada anggota komunitas underground agar dapat semakin berpikir positif bahwa tidak selamanya masyarakat menganggap bahwa komunitas underground negatif, sehingga anggota komunitas underground dapat lebih berani untuk berbaur dengan masyarakat sekitar, tanpa harus merasa takut mendapatkan penolakan dari masyarakat. Anggota komunitas underground juga diharapkan dapat menjaga perilaku agar tidak bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat, sehingga pandangan masyarakat terhadap komunitas musik
8
underground dapat semakin baik dan anggota komunitas musik underground dapat terhindar dari alienasi diri. Sumbangan efektif variabel sikap terhadap prasangka sosial terhadap alienasi diri pada komunitas underground sebesar 33%. Sisanya sebesar 67% dari variabel lain seperti faktor internal, antara lain otoritas anonim – konformitas, prinsip non frustrasi, asosiasi bebas dan berbicara bebas, akal budi, kesadaran, dan agama, kerja, perbedaan, orientasi memiliki, orientasi mengada, ideologi, dan nilai. Berdasarkan hasil data penelitian yang diperoleh, variabel alienasi diri pada komunitas underground diperoleh Mean Empirik sebesar 102,69, Mean Hipotetiknya sebesar 82,5 dan Standar Deviasi Hipotetiknya sebesar 16,5. Mean Empirik variabel Alienasi Diri pada area (+) 1SD hingga (+)2SD. Hal ini mengindikasikan bahwa alienasi diri pada komunitas underground pada kategori tinggi, bahwa komunitas underground mengalami perasaan terpencil dan terkucil dari masyarakat, alam, orang lain atau dirinya sendiri. Pada variabel sikap terhadap prasangka sosial diperoleh Mean Empirik sebesar 162,98, Mean Hipotetiknya sebesar 135 dan Standar Deviasi Hipotetiknya sebesar 27. Mean Empirik variabel sikap terhadap prasangka sosial pada area (+) 1SD hingga (+)2SD dari Mean Hipotetiknya. Hal ini mengindikasikan bahwa sikap terhadap prasangka sosial tergolong pada kategori positif. Hal ini berarti bahwa anggota komunitas musik underground menyetujui adanya prasangka negatif yang diberikan masyarakat terhadap anggota musik underground. Komunitas underground menganggap bahwa masyarakat selama ini menilai negatif komunitasnya, sebagai kelompok yang identik dengan penampilan yang urakan, suka minum-minuman keras, dan hal-hal negatif lainnya.
Diskusi Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara sikap terhadap prasangka sosial dengan alienasi diri pada komunitas underground. Semakin positif sikap terhadap prasangka sosial maka semakin tinggi alienasi diri pada komunitas underground, dan sebaliknya. Hasil penelitian ini mendukung pendapat yang diutarakan oleh Cozzarelli, dkk (dalam Delamater, 2006) yang menyatakan bahwa sikap memengaruhi partisipasi individu dalam masyarakat dan perasaan individu terhubung dengan masyarakat. Sikap dan nilai merupakan faktor penting yang dapat memprediksi terjadinya keterasingan.
9
Breckler, dkk (dalam Azwar, 2011) menyatakan sikap sebagai kombinasi reaksi afektif, perilaku, dan kognitif terhadap suatu objek. Individu dikatakan memiliki sikap positif terhadap suatu objek psikologi apabila individu suka (like) atau memiliki sikap yang favorable, sebaliknya individu yang dikatakan memiliki sikap yang negatif terhadap objek psikologis bila individu tidak suka (dislike) atau sikapnya unfavorable terhadap objek psikologis. Sikap terhadap prasangka sosial yang negatif akan dapat menghindarkan anggota komunitas underground dari terjadinya alienasi diri yang membuat anggota komunitas underground merasa terasing dari lingkungan sosialnya. Sebaliknya, sikap positif yang ditunjukkan anggota komunitas underground terhadap prasangka sosial, dapat menjadikan anggota komunitas underground terjebak dalam alienasi diri. Hasil penelitian yang dilakukan Kurniawan dan Rois (2013) menunjukkan bahwa prasangka sosial terhadap kelompok lain dapat menyebabkan terjadinya tawuran yang lebih tinggi. Hasil penelitian tersebut menggambarkan dampak negatif dari prasangka sosial yang ditujukan terhadap suatu kelompok. Prasangka sosial yang disikapi secara positif dapat menjadikan anggota komunitas underground merasakan adanya diskriminasi dari masyarakat, sehingga dapat mengurangi kesediaan untuk lebih terbuka ketika berada di lingkungan masyarakat. Sikap positif terhadap prasangka sosial pada anggota komunitas underground dapat menjadikan anggota komunitas underground menutup diri dalam lingkungan sosial, sehingga dapat menyebabkan terjadinya alienasi pada anggota komunitas underground. Hanurawan (2012) menyatakan bahwa sikap adalah tendensi untuk bereaksi dalam cara suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Sikap merupakan emosi atau afek yang diarahkan oleh seseorang kepada orang lain, benda, atau peristiwa sebagai objek sasaran sikap. Sikap negatif terhadap prasangka sosial akan menjadikan anggota komunitas underground mampu menolak berbagai prasangka sosial yang diberikan, sehingga tetap dapat menjalani kehidupan tanpa teralienasi. Hasil penelitian yang dilakukan Kamil (2002) yang menggali teori Marx menunjukkan bahwa alienasi sebagai sesuatu yang inheren dalam industrialisasi atau modernisasi. Alienasi merupakan ciri sekaligus sindrom masyarakat modern. Individu terasing dari diri dan lingkungannya, menjadi pasif, tidak berdaya, dan senantiasa berada dalam situasi yang menjemukan. Anggota komunitas underground Semarang yang mengalami alienasi diri dapat menjadi tepuruk karena adanya berbagai penilaian negatif yang melekat pada dirinya. Anggota komunitas underground Semarang yang mengalami alienasi diri dapat merasa kesepian dalam lingkungan sosial yang ramai sekalipun,
10
sehingga dapat menjadikan anggota komunitas musik underground Semarang kurang dapat mengeksplorasi setiap potensi yang dimiliki.
.Daftar Pustaka
Azwar, S. (2011). Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Edisi ke 2. Cetakan XV. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset. Badudu, J. S. (2003). Kamus Kata-Kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara. Delamater, J. (2006). Handbook of Social Psychology. United State of America: Springer. Gea, A.A., Wulandari, A. P. Y., Babari, Y. (2002). Relasi dengan Sesama. Jakarta: Gramedia. Hall, C. S., dan Lindzey, G. (1993). Teori-teori Holistik (Organismik – Fenomenologis). Alih Bahasa: Dr. A. Supratiknya. Yogyakarta: Kanisius. Hanurawan, F. (2012). Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Harb, A. (2004). Kritik Kebenaran. Alih Bahasa: Sunarwoto Dema. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara. Hurlock, E. B. (2012). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Alih Bahasa: Dra. Istiwidayanti dan Drs. Soedjarwo. Jakarta: Erlangga. Kamil, S. (2002). Pemikiran Karl Marx “Agama Sebagai Alienasi Masyarakat Industri” Suatu Apresiasi dan Kritik. Jurnal Universitas Paramadina. 1(2), 116-133. Kurniawan, S., dan Rois, A. M. M. (2013). Tawuran, Prasangka terhadap Kelompok Siswa Sekolah Siswa, serta Konformitas pada Kelompok Teman Sebaya. Proyeksi. 4(2), 85-94. Liliweri, A. (2005). Prasangka dan Konflik. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara. Mouton, J., dan Marais, H.C. (1996). Basic Concepts int the Methodology of the Social Sciences. South Africa: Human Sciences Research Council. Putra, I. E., dan Pitaloka, A. (2012). Psikologi Prasangka: Sebab, Dampak, dan Solusi. Bogor: Ghalia Indonesia. Robbins, S. P., dan Judge, T. A. (2012). Perilaku Organisasi. Alih Bahasa: Diana Angelica, Rica Cahyani, dan Abdul Rosyid. Jakarta : Salemba Empat.
11
Subono, N. I. (2010). Erich Fromm: Psikologi Sosial Materialis yang Humanis. Depok: Penerbit Buku Kepik Ungu. Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: ALFABETA. Suyatmo, W. (2008). Profil Remaja Anggota Komunitas Musik Underground. Tesis. Tidak Diterbitkan. Malang: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang. Walgito, B. (2002). Psikologi Sosial : Suatu Pengantar. Yogyakarta: ANDI. Widodo, M. S. (2008). Cinta dan Keterasingan. Jakarta: Grasindo.
12
Dinamika Kelompok Minoritas dalam Mempertahankan Tradisi Studi pada Keluarga Kerukunan Tabot di Bengkulu Nelly Marhayati Program Doktorat Psikologi Universitas Airlangga
Abstrak Tabot adalah tradisi keagamaan yang telah mengalami perubahan menjadi tradisi local masyarakat di provinsi Bengkulu dan dilakukan satu tahun sekali dari tanggal 1-10 Muharram. Pelaku tradisi ini harus berasal dari keluarga keturunan tabot atau sering disebut dengan KKT. Budaya tabot telah bertahan lebih dari 300 tahun dan sampai sekarang keluarga dari keturunan tabot yang disebut dengan masyarakat keturunan Sepoy mampu bertahan melestarikan tradisi tersebut walaupun berada di bawah tekanan baik dari masyarakat di luar KKT maupun dari pemerintah, dimana anggapan miring terhadap tradisi ini sebagai syirik, syiah dan mubazir terus mengiringi berlangsungnya tradisi tabot setiap tahun sehingga kemampuan survive keluarga kerukunan Tabot sebagai kelompok minoritas dalam melestarikan tradisi mereka menarik untuk diteliti. Untuk menjawab fenomena tersebut dari sudut pandang ilmu Psikologi Sosial peneliti menganalogikan KKT sebagai kelompok minoritas yang berusaha tetap bertahan walaupun dibawah tekanan kelompok mayoritas dalam hal ini masyarakat dan pemerintah. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimanakah model bertahan (survival) KKT dalam mempertahankan atau melestarikan tradisinya. Tulisan ini merupakan prelimenary research atau kajian awal sebelum melakukan kajian utama, peneliti masih terus mencari dan menelusuri teori yang berhubungan dengan kelompok minoritas dan kemampuan mereka dalam mempertahankan kelompoknya, sehingga akan ditemukan grand teori dari perilaku bertahan kelompok minoritas. Informan dalam preliminary adalah tokoh dari pelaksana tradisi tabot. yang telah memberikan beberapa masukan dan saran beberapa informan lain yang bisa memberikan data untuk research selanjutnya. Kata kunci: Kelompok minoritas, survival, tradisi, tabot, keluarga kerukunan tabot,
Latar Belakang Tradisi adalah suatu ide, keyakinan atau perilaku dari suatu masa yang lalu yang diturunkan secara simbolis dengan makna tertentu kepada suatu kelompok atau masyarakat. Karena itu makna “tradisi” merupakan sesuatu yang dapat bertahan dan berkembang selama ribuan tahun dan seringkali tradisi diasosiasikan sebagai sesuatu yang mengandung atau memiliki sejarah kuno. Dalam banyak hal, konstruksi tradisi selalu mengacu pada nilai-nilai atau material khusus seperti kebiasaan, peraturan atau hukum 13
tertulis yang berlaku dalam konteks tertentu setelah melewati suatu generasi (Liliweri, 2014). Kata tabot dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai peti yang terbuat dari anyaman bambu atau burung-burungan buroq yang terbuat dari kayu, biasanya dibawa berarak pada peringatan Hasan dan Husein (tanggal 10 Muharram). Sementara Kartomi (dalam Poniman, 2014) bahwa tabot diartikan berasal dari sebuah ritual sederhana yang ada di Irak, Persia dan India Selatan yang disebut dengan takziah, takziah adalah tampilan tradisional bangsa Iran sebagai ungkapan kesedihan untuk memuji pahlawan legendaris mereka yaitu Husen bin Abi Thalib. Di Indonesia perayaan tabot dapat dijumpai di Aceh, Pariaman (Sumatra Barat) dan Bengkulu. Pada awalnya tabot dianggap oleh masyarakat penyelenggaranya sebagai tradisi keagamaan yang bernuansa Islam. Namun saat ini hanya di Pariaman dan Bengkulu yang melangsungkan tradisi ini. Tabot yang ada di Pariaman pun adalah berasal dari Bengkulu. (Permana, 1997). Sejarah menyebutkan bahwa tabot dibawa oleh para pekerja India Selatan (Madras dan Bengali) yang memiliki paham Syi’ah pada tahun 1718. Mereka membentuk komunitas Sipah/sepoy yang sampai saat ini melanjutkan dan menghidupkan tradisi Tabot. Tabot yang mengandung ajaran syi’ah hanya diterima oleh orang sepoy tetapi tidak oleh masyarakat Bengkulu yang mayoritas menganut ajaran Suni. Semenjak pemerintah Kota Bengkulu ikut terlibat dalam pelaksanaan tradisi tabot. Tradisi ini telah berubah konsep menjadi festival budaya dengan segala kegiatan wisata yang ada, sehingga upacara tabot bagi masyarakat Bengkulu mengandung dua tujuan yang pertama adalah sebagai perayaan menyambut tahun baru Islam. Kedua tradisi ini dengan semua ritual yang ada tujuannya adalah untuk mengenang kisah heroik dan wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW, Husen Bin Ali yang wafat di Padang Karbela Irak. Gumay (2011) dalam penelitiannya mengatakan bahwa upacara Tabot sebenarnya dapat menumbuhkan kultur individu yang berlebihan dimana pada prinsipnya tidak cocok dengan falsafah Pancasila. Namun, dari sudut pandang kebudayaan daerah dan kebudayaan bangsa Indonesia pada umumnya, tradisi tabot dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk kesenian daerah yang punya potensi tersendiri dalam agenda kekayaan budaya bangsa Indonesia. Selain penelitian Gumay (2011) dan Permana (1997), Poniman (2013) dalam penelitiannya menemukan bahwa pertama, secara keseluruhan upacara tabot yang dilaksanakan di Bengkulu bukan lagi dalam konteks ajaran keagamaan syiah, tetapi sebagai ornament budaya. Kedua, kalangan keluarga muslim suni di Indonesia tidak begitu asing lagi dengan upacara-upacara hari Asyura (tanggal 10 Muharam). Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran makna upacara tabot yang tidak lagi dalam 14
konteks keagamaan syiah, tetapi sebagai budaya. Bahkan sudah dianggap sebagai lokal indigenous masyarakat Bengkulu. Sejak upacara tabot diwariskan kepada keturunan orang-orang Sepoy yang telah berasimilasi dengan penduduk asli Bengkulu, maka sejak itu telah terjadi akulturasi dari teologi Syi’ah dan tradisi Islam masyarakat Bengkulu. Pada tahun 1993, masyarakat dari keturunan keluarga tabot membentuk persatuan atau bisa disebut juga dengan organisasi atau kelompok yang di dalamnya terkumpul kelompok-kelompok keluarga penyelenggara tradisi tabot atau lebih sering dikenal dengan KKT.
Dibentuknya
kelompok
KKT
tujuannya
adalah
untuk
mengorganisir
dan
mempertahankan kelestarian ritual tabot dan kesinambungan penyelenggaraan tabot sakral. Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya (Permana, 1997; Yuliati, 2010; Gumay, S, 2011; Poniman, 2014), peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh lagi tentang konteks tradisi tabot, namun tentunya berbeda sudut pandang dari penelitian sebelumnya. Penelitian ini tidak akan membahas tentang apa itu tradisi Tabot, namun yang akan menjadi fokus dari penelitian ini adalah pelaku dari tradisi tabot tersebut. yaitu keluarga keturunan tabot atau sering disingkat dengan KKT. Penelitian ini melanjutkan saran dari penelitian sebelumnya (Permana, 1997) yang menyarankan untuk tidak hanya peduli dengan upacara atau tradisi Tabot tetapi perlu adanya penelitian lebih mendalam tentang pelaku dari tradisi tersebut. Sehingga peneliti terdorong untuk meneliti tentang bagaimana metode survival pada kelompok minoritas, yaitu kelompok Keluarga Kerukunan Tabot dalam mempertahankan tradisi di Bengkulu. Kelompok biasanya diartikan sebagai sekumpulan orang yang setidaknya memilki salah satu dari karakteristik berikut: 1) adanya interaksi langsung dengan orang lain, 2) keanggotaan dalam sebuah kelompok biasanya didasari oleh atribut-atribut seperti, jenis kelamin, ras ataupun etnis, 3) saling berbagi dan memiliki kesamaan tujuan (Suryanto, dkk: 2012). Kelompok mayoritas dan minoritas tidak hanya terkait besar kecilnya jumlah anggota dalam suatu kelompok tetapi juga berdasarkan kepada dominasi kekuasaan dan pengaruh yang di timbulkan. Ketika individu berada dalam kelompok yang minoritas beberapa penelitian menunjukkan bahwa kelompok yang besar akan mempengaruhi kelompok yang kecil.(Thompson. I Stephen, 1974; Maass & Clark, 1984; Betts, K. R.& Hinsz, V. B, 2013). Selain itu, Plaut (2002) menyatakan beberapa penelitian menemukan bahwa terdapat perbedaan akulturasi antara kelompok mayoritas dan minoritas. Dovidio dkk. (2008), (dalam Al Ramiah, 2011) kelompok yang anggotanya banyak biasanya cenderung mempengaruhi akuturasi kelompok yang jumlahnya sedikit. Mengenai pengaruh kelompok mayoritas ke minoritas atau sebaliknya dapat melihat pada Teori konversi Moscovici (1980) dan Devil Advocate dari Nementh (2001). 15
Pada teori ini kehadiran seseorang dalam suatu kelompok khususnya minoritas dengan memiliki pendapat yang bertentangan dengan anggota kelompok lainnya adalah bertujuan untuk menguji argument yang telah ada dan juga untuk memunculkan pendapat anggota kelompok lainnya sehingga musyawarah menjadi lebih efektif. Dalam penelitian selanjutnya menunjukan bahwa ternyata perbedaan pendapat juga dapat meingkatkan kreativitas dan performa yang lebih baik dalam kelompok minoritas dan membuat kelompok dapat bertahan. (Ng dan Van Dyne, 2001; Nementh, dkk. 2004; Frid, 2009) Pembahasan tentang identitas sosial dalam suatu kelompok terutama kelompok minoritas juga penting untuk dibahas dalam menentukan model survival pada kelompok minoritas. Terutama yang berhubungan dengan mempertahankan tradisi. Al Ramiah, dkk (2011) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa identitas memilki perbedaan pengaruh pada kelompok minoritas dan mayoritas. Ada kecenderungan pada asimilasi kelompok bahwa kelompok yang mayoritas berharap kelompok yang minoritas mau mengadopsi identitas mereka dan mengintegrasikan kelompok minoritas kedalam kelompok mayoritas. Menurut para ahli psikologi sosial, perasaan individu terhadap identifikasi kelompok akan kuat apabila penilaian individu terhadap kelompoknya bernilai dan menguntungkan terhadap dirinya (Tajfel, 1986). Pada individu terjadi perubahan yang secara langsung dipengaruhi dari didapatkannya keuntungan akibat adanya perubahan sistem pada kelompok. Dengan melihat bahwa diri mereka adalah bagian yang bernilai dari keanggotaan kelompok. Identifikasi suatu kelompok dapat diperoleh melalui penerimaan keuntungan pada anggota kelompok, hal ini akan meningkatkan pandangan positif anggota kelompok sehingga terjadi kohesivitas dan persatuan yang pada akhirnya akan meningkatkan persepsi kelompok terhadap solidaritas kelompoknya (Willer, Flynn dan Zak, 2012). Identitas individu dapat membentuk identitas kelompok, demikian pula sebaliknya. Munculnya identitas baru akibat saling pengaruh antara identitas individu dengan identitas kelompok akan mempengaruhi perkembangan kelompok (Worchel. S dan Coutant. D, 2003). Forsyth (2010) mengatakan bahwa setiap kelompok selalu berhubungan dengan entitativity walaupun dalam kelompok tersebut anggotanya kurang kohesif. Entitativity dapat didefinisikan sebagai kondisi dimana suatu kelompok menjadi satu kesatuan unit yang koheren sehingga anggota kelompok tetap terikat tidak hanya dalam hal-hal tertentu tetapi dalam segala hal. Dapat diartikan juga entitativity sebagai kekompakan dalam kelompok. Jika suatu kelompok kompak dalam situasi apapun maka suatu kelompok akan dapat terus bertahan dan berkelanjutan (Johnson&Johnson, 2013). Pencetus awal dari ide entitativity adalah Campbell (1958) dimana dikatakan bahwa terdapat tiga faktor pembentuk entitativity yaitu; common fate, similliarity dan proximity. 16
Douglas. T (1995), dalam bukunya survival in group menyebutkan bahwa ketika berbicara tentang kemampuan bertahan suatu kelompok tujuannya adalah tidak hanya sekedar tetap eksisnya suatu kelompok, tetapi tujuannya adalah kepada sesuatu yang lebih baik. Misalnya, keberadaan kelompok akan memberikan manfaat yang lebih banyak lagi kepada anggotanya. Berbicara tentang kemampuan bertahan suatu kelompok berarti kita harus memahami group process, mulai dari proses masuknya seseorang ke dalam kelompok, bertahan menjadi anggota atau meninggalkan kelompok, dan memahami perilaku yang sesuai dengan tujuan anggota kelompok untuk dapat sukses. Terdapat empat faktor yang harus ada supaya kelompok dapat bertahan dengan baik, yaitu: 1) sensitivity; 2) signal, pattern and cues; 3) experience; dan 4) conscious use of learned behavior. Untuk mendapatkan keempat faktor tersebut Douglas membagi keanggotaan suatu kelompok menjadi tiga bagian: joining a group, remaining a member and leaving the group. Berdasarkan paparan singkat di atas dapat dilihat bahwa banyak hal dapat diamati dari adanya sebuah kelompok. Mulai dari hubungan intergroup, hubungan anggota kelompok dengan outgroupnya, persepsi outgroup terhadap ingroup juga dari segi jumlah anggota kelompok. Minoritas dan mayoritas kelompok juga menarik untuk diamati.Namun, pada penelitian ini fokusnya adalah pada kemampuan bertahan (survival) kelompok minoritas khususnya kelompok yang ingin mempertahankan tradisi mereka. Dalam penelitian ini kelompok minoritas yang dimaksud adalah KKT dengan tradisi tabotnya. Beberapa penelitian tentang strategi survival sebelumnya dilakukan dari bidang sosiologi dan antropologi antara lain, Andari (2013) melalui penelitiannya menemukan bahwa kemampuan bertahan pada anak jalanan adalah karena adanya solidaritas sosial diantara mereka. Weintre (2003) meneliti tentang kemampuan bertahan kelompok minoritas dalam hal ini suku Kubu dalam mempertahankan tradisi mereka. Sementara dalam bidang antropologi Selain itu, penelitian sebelumnya yang membahas tentang strategi survival juga lebih banyak dibahas pada bidang antropologi dan sosiologi. Beberapa penelitian tersebut antara lain kemampuan bertahan suku kubu (Weintre, 2003).
Sedangkan pembahasan untuk mengetahui bagaimana suatu kelompok minoritas dapat terus survive dari sudut pandang psikologi sosial. Dapat kita lihat dari dinamika kelompok (group dynamic) kelangsungan keberadaan suatu kelompok sangat tergantung dengan kemampuan anggotanya salah satunya adalah dengan melihat bagaimana suatu kelompok dapat membentuk cohesiveness antara anggota kelompoknya. Kelompok yang kohesif akan lebih mungkin berhasil dari waktu ke waktu karena dengan berhasil mempertahankan anggotanya akan memungkinkan mereka mencapai tujuan kelompok 17
daripada mereka sendiri-sendiri. Kelompok yang tidak memiliki sikap cohesion cenderung akan tidak survive. (Forsyth, 2010) Selain melalui dinamika kelompok, Spoor, J. R., & Kelly, J. R. (2004) dalam penelitiannya menyarankan untuk menggunakan teori psikologi evolusi di dalam menjelaskan tentang peran kondisi emosi dan mood anggota kelompok dalam hubungannya dengan fungsi-fungsi dan kemampuan survival suatu kelompok. Alasannya adalah karena sebagai makhluk sosial dan emosional ketika melakukan hubungan diantara kelompok terutama yang minoritas dipengaruhi oleh mood dan emosi (Kelly, 2001; Kelly & Barsade, 2001). Caporael, L.R (2007) menyatakan bahwa secara mendasar manusia adalah spesies sosial dan mereka tidak akan bisa melakukan reproduksi dan survive tanpa adanya kelompok. Dalam tulisannya Caporael (2007) menyarankan untuk menggunakan teori evolusi dalam memahami psikologi sosial dan budaya, alasannya dengan mengadopsi pandangan evolusi, psikologi, dan budaya ketiga bidang ilmu tersebut satu sama lain akan saling menginspirasi, memvalidasi, mengkoreksi, dan menginterpretasi. Masing-masing bidang pengetahuan tidak akan mengurangi bidang yang lain karena ketiganya saling berevolusi. Metode Penelitian ini menggunakan desain kualitatif dengan metode wawancara. Responden yang digunakan adalah anggota kelompok Keluarga Kerukuran Tabot yang berada di Bengkulu.
Hasil dan Analisis Keluarga Kerukunan tabot yang selanjutnya akan penulis sebut dengan KKT adalah pelaku utama dari tradisi tabot. Jika tidak ada KKT maka mustahil tradisi tabot akan berlangsung. Anggota KKT adalah terdiri dari keturunan Imam Senggolo dan masyarakat di luar keturunan Imam Senggolo yang mempunyai minat besar untuk mempertahankan dan mengembangkan tradisi tabot. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa untuk mempertahankan tradisi tabot sakral masyarakat dari keluarga keturunan tabot membentuk organisasi yang disebut dengan KKT. Pendapat ini didukung dari hasil wawancara peneliti dengan salah seorang ketua penyelenggara tabot sakral KKT dari kelurahan Berkas dimana dalam wawancara tersebut disampaikan bahwa: “Salah satu alasan dibentuknya KKT adalah untuk mempertahankan tradisi tabot, dan anggotanya tidak dibatasi hanya pada keturunan sepoy. Selama orang tersebut memiliki minat yang kuat untuk ikut melestarikan tabot bisa menjadi bagian dari anggota KKT. Hal ini dilakukan karena keturunan sepoy asli terutama generasi mudanya semakin sedikit yang memiliki minat dalam pelaksanaan tradisi tabot. 18
Selain itu sejak ada bantuan dana dari pemerintah sering muncul konflik, bahkan pernah terjadi kasus dimana ketua KKT dianggap menggelapkan dana bantuan pemerintah. Sehingga keberadaan KKT dapat menetralisir konflik-konflik yang muncul diantara anggota kelompok dan juga antara anggota kelompok lainnya” (Wawancara dengan An, 5 Jan 2015) Terjadinya perubahan pola perilaku tradisi tabot yang awalnya tidak terorganisir kemudian menjadi terorganisir merupakan langkah yang tepat dalam mengantisipasi adanya pengaruh akibat perubahan zaman dimana tujuannnya adalah untuk tetap mempertahankan tradisi tabot terutama tabot sakral. Untuk tetap dapat survive di dalam menghadapi perubahan zaman yang terjadi sangat diperlukan adanya kemampuan di dalam mengembangkan dinamika yang jauh lebih tinggi dari pada era sebelumnya. Keterbukaan terhadap semua perubahan diperlukan untuk dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi. Sebenarnya, yang diperlukan untuk tetap survive dalam menghadapi perubahan bukan hanya sekedar penyesuaian diri tetapi lebih kepada kemampuan untuk mengantisipasi perubahan yang diperkirakan akan terjadi dimasa yang akan datang. Cara ini dianggap lebih efisien dari pada hanya sekedar penyesuaian diri. (Muhyadi, 2012). Dibentuknya organisasi KKT oleh masyarakat pelaku tradisi tabot penulis anggap sebagai antisipasi awal dalam menghadapi perubahan yang ada untuk tetap dapat mempertahankan tradisi tabot. Lebih jauh Muhyadi (2012) menyebutkan bahwa dengan kehidupan kelompok potensi individu yang digabungkan dengan potensi individu lain akan mampu menghasilkan sesuatu yang baru dan luar biasa. Dengan dibentuknya KKT dapat menjadi jembatan penghubung antara pemerintah dengan masyarakat pelaku tradisi tabot. KKT sebagai pemegang otoritas tunggal ritual upacara tabot harus menunjukkan profesionalitas mereka di dalam setiap penyelenggaraan tradisi tabot. Terutama dalam hal menjaga kesakralan upacara yang telah mentradisi dan sekaligus berupaya menjadikan upacara ini sebagai tontonan yang ditunggu masyarakat umum. Penafsiran ini penting sebagai cara untuk mempertahankan tradisi tabot sebagai lokal indigenous agar tidak terisolir dari masyarakat pendukunya, sekaligus mampu mempertahankan kesakralannya. (Poniman, 2014) Saat ini dalam organisasi KKT terdiri dari 36 anggota/ kelompok yang terdiri dari 17 kelompok tabot sakral dan 16 kelompok tabot pembangunan.Yang perlu dipertahankan adalah keberadaan dari kelompok 17 sebagai pelaku dari tradisi tabot sakral. Karena untuk tabot pembangunan yang hanya berperan sebagai pendamping atau penyemarak upacara tabot ada kemungkinan untuk bertambah apabila semakin banyak minat masyarakat umum untuk ikut andil dalam perayaan tabot.
19
Telah dijelaskan di atas tentang pentingnya kelompok dalam pelaksanaan dinamika kehidupan keseharian masyarakat. Termasuk dalam hal ini masyarakat keturunan sepoy dengan membentuk KKT. Tanpa disadari ternyata kehidupan keseharian seseorang selalu terlibat dalam suatu kelompok tertentu. Misalnya dalam bekerja, bermain, bahkan dalam berpendapat dan bersikap terkadang dipengaruhi juga oleh kelompok. Seseorang akan langsung dapat menilai orang lain berasal dari kelompok mana ketika mendengar gaya bicara, aksen dan sikap orang lain. (Hogg dan Vaughan, 2011) Dijelaskan di atas ternyata dalam suatu kelompok rentan terhadap adanya bias atau pertentangan antara anggota kelompok. Pertentangan ini dapat berupa prasangka (Newheiser & Dovidio, 2012) (Dovidio, 2011), dan ancaman yang muncul pada intergroup (Blake dkk, 2006). Jika bias atau pertentangan ini terjadi terus menerus maka suatu kelompok tidak akan bertahan lama. Dalam KKT berdasarkan informasi awal yang peneliti dapatkan sejak berdirinya dari tahun 1992 pertentangan yang pernah terjadi adalah ketika antara sesama saudara yang masih keturunan Imam Senggolo saling berebutan untuk menjadi pelaksana dari tabot karena setiap perayaan tabot pemerintah akan memberikan bantuan yang tidak sedikit pada setiap kelompok penyelenggara tradisi tabot. Akhirnya akibat pertentangan yang terjadi, terpecahlah keluarga tabot dan munculah tabot tandingan atau lebih dikenal dengan istilah tabot pembangunan. Dapat juga dikatakan bahwa, pertentangan yang muncul antara anggota kelompok KKT adalah karena permasalahan dana atau anggaran yang didapatkan dari pemerintah. Selain itu telah terjadi perbedaan pandangan antara keluarga tabot yang senior dengan junior. Anggota keluarga tabot yang senior bertujuan ingin mempertahankan sakralisme tradisi sementara yang junior sudah berorientasi profit. “Sekarang anak-anak muda keturunan sepoy sangat jarang yang ingin ikut dalam perayaan tabot dan menjadi bagian dari keanggotaan KKT. Mereka menganggap perayaan tabot tidak menguntungkan. Kalaupun ada bantuan dari pemerintah hanya cukup untuk membuat tabotnya. Untuk beli rokok saja tidak bisa. Dan kalaupun ada yang ikut dalam perayaan tabot hanya ketika ada dana bantuan dari pemerintah. Mereka lebih memilih untuk membuat tabot pembangunan dari pada ikut bergabung untuk membuat tabot sakral”. (wawancara dengan An, 5 Jan 2015) Kesatuan suatu kelompok tidak hanya dipengaruhi oleh kesolidan atau kesatuan orientasi tujuan dari semua anggota kelompok, tetapi juga tergantung kepada persepsi dari outgroup. Terlebih lagi jika outgroup tersebut adalah kelompok mayoritas. (Stephan, W.G dkk, 2002) proyeksi ingroup terhadap outgroup (Mullen, B. dkk. 1992). Pada kelompok KKT persepsi dari outgroup adalah berasal dari masyarakat Bengkulu non KKT. Dimana kebanyakan dari masyarakat saat ini lebih memandang tabot sebagai suatu festival saja tanpa memperhatikan ritual yanga ada. Sehingga sepertinya pandangan masyarakat non
20
KKT tersebut mempengaruhi persepsi generasi muda keturunan keluarga sipoy sebagai anggota inti dari KKT. Penelitian
sebelumnya
menunjukkan
bahwa
kelompok
yang
besar
akan
mempengaruhi kelompok yang kecil.(Thompson. I Stephen, 1974; Maass & Clark, 1984; Betts, K. R.& Hinsz, V. B, 2013). Namun pada kasus ini kelompok minoritas dalam hal ini KKT masih tetap bertahan untuk terus menjalankan tradisi yang mereka miliki, walaupun hidup dibawah prasangka dan tekanan dari berbagai pihak, baik itu dari masyarakat maupun pemerintah. Hal ini ada kemungkinan karena telah terbentuk identitas social kelompok KKT sehingga mereka tetap bisa bertahan walaupun banyak mendapatkan perilaku yang tidak mengenakan dari outgroupnya dalam hal ini masyarakat non KKT. Kesimpulan Berdasarkan kajian teoritik dan preliminary research berupa hasil wawancara kepada salah seorang tokoh utama dari keluarga KKT di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, pembentukan kelompok KKT oleh para pelaku tradisi tabot tujuannya adalah untuk mempertahankan tradisi tabot terutama tabot sakral yang semenjak pemerintah ikut campur tangan dalam pelaksanaanya mulai banyak menimbulkan beberapa masalah. Terutama masalah dana pembuatan tabot yang tidka jarang menimbulkan konflik di antara anggota kelompok. Untuk menemukan seperti apa model dari kemampuan bertahan (survival) kelompok minoritas KKT ini masih perlu di lakukan kajian lebih jauh. Terutama pencarian grand teori dari model survivalnya yang selanjutnya akan dijadikan sebagai pisau analisis dalam penelitian lanjutan.
Daftar Pustaka
Al Ramiah, A., Hewstone, M., & Schmid, K. (2011). Social Identity and Intergroup Conflict. Psychological Studies, 56(1), 44–52. doi:10.1007/s12646-011-0075-0 Al Ramiah, A. , Hewstone, M., Little, T. D., & Lang, K. (2014). The Influence of status on the relationship between intergroup contact, threat, and prejudice in te context of a Nation-building. Journal of Conflict Resolution. Journal of Conflict Resolution, Vol. 58 (7) 1202-1229doi:10.1177/0022002713492634 Betts, K. R., & Hinsz, V. B. (2013). Group Marginalization : Extending Research on Interpersonal Rejection to Small Groups. Personality and social psychology review. 17 (4) 355-270. doi:10.1177/1088868313497999
21
Blake M. Riek,Eric W. Mania and Samuel L. Gaertner. (2006). Intergroup Threat and Outgroup Attitude: A Meta Anaytic Review. Personality and Social Psychology Review. 10: 336-353 doi:10.1207/s15327957pspr1004 Campbell, Douglas T. (1958). Common fate, similarity, and other indicies of aggregates of persons as social entities. Behavioral Science.3: 14-24 Douglas.T., (2000). Survival In Group: The Basic of Group Membership. Buckingham. Open University Press Dovidio, J. F., Eller, a., & Hewstone, M. (2011). Improving intergroup relations through direct, extended and other forms of indirect contact. Group Processes & Intergroup Relations, 14(2), 147–160. doi:10.1177/1368430210390555 Forsyth. D.R, (2010). Group Dynamics. Fifth Edition. USA: Wodsworth Cengange Learning Frid, Ralph. M. (2009). Creativity's Theoretical Relationship To Small Group Survival In Hostile And Competitive Environments. Dissertation. UMI Number: 3363824. Gómez, Á., Dovidio, J. F., Gaertner, S. L., Fernández, S., & Vázquez, A. (2013). Responses to Endorsement of Sommonality by Ingroup and Outgroup Members: The Roles of Group Representation and Threat. Personality and Social Psychology Bulletin. 39 (4).419-431. doi:10.1177/0146167213475366 Gumay, Syuplahan. (2011). Tradisi Tabut Sebagai Medium Pemersatu Masyarakat Kelurahan Berkas Kecamatan Kota Bengkulu.Bengkulu: UNIB. Melalui
19 April 2014 Hogg., M.A. dan Vaughan, G.M. (2011). Social Psychology. Sixth Edition. England: Pearson. Jhonson dan Jhonson (2013). Joining Together. Group Theory And Group Skills. Boston: Allyn and Bacon Kelly, J. R. (2001). Mood and emotion in groups. In M. A. Hogg & R. S. Tindale (Eds.), The Blackwellhandbook of social psychology, Vol. 3: Group processes(pp. 164–181). Oxford, UK: Blackwell. Kelly, J. R., & Barsade, S. (2001). Emotions in smallgroups and work teams. Organizational Behaviorand Human Decision Processes, 86, 99–130. Liliweri, Alo. (2014) Pengantar Studi Kebudayaan. Bandung: Nusa Media. Maass dan Clark III. (1984). Hidden Impact of Minorities: Fifteen Years of Minority Influence Research. Psychological Bulletin. Vol.95. No.3. 428-450 Martin, R dan Hewstone, M. (2003). Conformity and Independence in Group Majorities and Minorities. Dalam M. A. Hogg & R. S. Tindale (Eds.), The Blackwell handbook of social psychology, Vol. 3: Group processes (pp. 209–229). Oxford, UK: Blackwell. Muhyadi. (2012). Dinamika Organisasi Konsep dan Aplikasinya Dalam Interaksi Sosial. Yogyakarta. Ombak.
22
Mullen, B., Dovidio, J. F., Johnson, C., & Copper, C. (1992). In-group-Out-group Differences in Social Projection, Journal of Experimental Social Psychology, 28. 422–440. Moscovici, S dan Personnaz, B. (1980). V.Minority Influence and Conversion Behavior in a Perceptual Task. Journal of Experimental Social Psychology. 16 :270-282 Nemeth, C.J. dkk., (2004). The Liberting Role of Conflict in Group Creativity: A Study in Two Countries. European Journal of Social Psychology. 34. 365-374 Newheiser&Dovidio . (2012). Individual differences and intergroup bias: Divergent dynamics associated with prejudice and strotyping. Personality&Individual Differencies. 53: 70-74 Ng.YK dan Dyne. (2001). Individualism-Collectivism as a Boundary Condition for Effectiveness of Minority Influence in Decision Making. Michigan State University. Organizational Behavior and Human Decision Process. Vol. 84, No. 2, March, pp. 198–225, doi:10.1006/obhd.2000.2927 Plaut, V.C. (2002). Cultural models of diversity: The psychology of difference and inclusion. In R. Shwede, M. Minow, & H.R. challenge in liberal democracies (pp. 365-359). New York: Russel Sage Foundation Press Permana, R Cecep Eka. (1996). Upacara Tradisional Tabut: Dampaknya Terhadap Kebudayaan dan Budaya Pariwisata Budaya Daerah. Laporan Penelitian. Jakarta: Doktor. Universitas Indonesia. Melalui (www.digilib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak76668.pdf) diunduh 18 April 2014 Poniman. (2014). Dialektika Agama dan Budaya Dalam Upacara Tabut. Bogor: IAIN Press Steele, R. R., Parker, M. T., & Lickel, B. (2014). Bias Within Because of Threat From Outside: The Effects of an Exterbal Call For Terrorism on Anti-Muslim Attitude in the United States. Social Psychological and Personality Science . 1-8 doi:10.1177/1948550614548727 Stephan, W. G. (2014). Personality and Social Psychology Review. Intergroup Anxiety: Theory, Research, and Practice. Personality and Social Psychology Review. Vol.18 (3) 239-255 doi:10.1177/1088868314530518 Suryanto, dkk. (2012). Pengantar Psikologi Sosial. Surabaya: Airlangga University Press. Tajfel, H. and Turner, J. C. (1986). The social identity theory of inter-group behavior. In S. Worchel and L. W. Austin (eds.), Psychology of Intergroup Relations. Chigago: Nelson-Hall Thompson. I Stephen. (1974). Survival of Ethnicity in the Japanese Community of Lima , Peru. Urban Antrhopology, 3(2), 243–261. Weintre, Johan. (2003). Organisasi Sosial dan Kebudayaan Kelompok Minoritas Indonesia: Studi Kasus Masyarakat Orang Rimba di Sumatra (Orang Kubu Nomaden): Yogyakarta: Pusat Studi Kebudayaan UGM
23
Willer. Robb, Flynn. Francis J & Zak. Sonya. (2012). Structure, Identity and Solidarity : A Comparative Field Study of Generalized and Direct Exchange. Administrative Science Quarterly. 57 (1)119–155.DOI: 10.1177/0001839212448626 Worchel. S dan Coutant. D. (2003). It Takes To Tango: Relating Group Identity to Individual Identity within The Framework of Group Development. Dalam M. A. Hogg & R. S. Tindale (Eds.), The Blackwell handbook of social psychology, Vol. 3: Group processes (pp. 461-481). Oxford, UK: Blackwell
24
GAMBARAN KEPRIBADIAN ALTRUSTIK PADA REMAJA: SUATU STUDI PADA MAHASISWA UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN MEDAN
Asina Christina Rosito Program Studi Ilmu Psikologi Universitas HKBP Nommensen Medan
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran kepribadian altruistik pada mahasiswa sebagai kelompok dengan tahap perkembangan remaja akhir. Kepribadian altruistik adalah suatu kombinasi variabel disposisional yang berhubungan dengan tingkah laku prososial, dimana komponen yang ada di dalamnya antara lain empati, kepercayaan pada dunia yang adil, penerimaan adanya tanggung jawab sosial, memiliki internal locus of control, dan egosentrisme rendah (Baron & Byrne, 2005). Pendekatan penelitian adalah pendekatan kuantitatif dengan metode deskriptif. Partisipan penelitian adalah 287 mahasiswa/i aktif di Universitas HKBP Nommensen, Medan, dengan usia 18-24 tahun, berasal dari berbagai angkatan dan berbagai program studi. Melalui pengolahan data deskriptif, diperoleh gambaran hasil sebagai berikut. Pertama, secara umum, kategori kepribadian altruistik berada pada kategori sangat tinggi (Mean Empirik: 29.11, Mean Hipotetik: 22.5, SD empirik : 3.03). Kedua, dari hasil analisis post hoct diketahui ada perbedaan signifikan dalam kepribadian altruistik pada beberapa kelompok responden berdasarkan program studi. Mahasiswa program studi Agroekoteknologi lebih tinggi secara signifikan dibandingkan mahasiswa program studi Ilmu Hukum dan program studi Peternakan; mahasiswa program studi Pendidikan Matematika lebih tinggi skornya secara signifikan dibandingkan dengan mahasiswa program studi Ilmu Hukum, program studi Peternakan, dan program studi Pendidikan Bahasa Indonesia. Ketiga, tidak terdapat perbedaan signifikan antara kelompok responden berdasarkan tahun masuk. Implikasi hasil ini dapat ditindaklanjuti secara teoritis maupun praktis.
Kata kunci: kepribadian altruistik , perilaku sosial, remaja akhir
Pendahuluan Manusia tidak dapat hidup sendiri. Ungkapan ini menyatakan dengan jelas bahwa secara hakiki, manusia tidak dapat hidup dalam kesendirian. Dia adalah mahluk sosial, yang membutuhkan interaksi dengan manusia lainnya. Jika dia kehilangan interaksi tersebut, maka dia bisa juga kehilangan jati diri dan identitasnya.
25
Interaksi sosial mengacu pada adanya kontak sosial antara minimal dua orang individu. Dalam interaksi dengan orang lain, terjalin berbagai hubungan antara lain hubungan pertemanan, hubungan karib, dan cinta yang bersifat suportif. Namun disisi lain, dalam interaksi dengan orang lain juga terjadi berbagai perilaku agresi, misalnya, perilaku yang bersifat mengganggu dan merusak. Psikologi sosial mencoba menelusuri apa saja, bagaimana, dalam situasi seperti apa berbagai perilaku sosial (antara lain: tingkah laku prososial, agresi, dll) tersebut terjadi. Perilaku prososial (prosocial behavior) merupakan satu topik yang tidak pernah berhenti untuk dikaji dan dipelajari oleh berbagai ilmuwan psikologi sosial. Di tengah-tengah kondisi dunia masa kini yang semakin kompetitif dan individualis, perilaku prososial sepertinya semakin langka ditemukan. Tingkah laku prososial merupakan suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu resiko bagi orang yang menolong (Baron & Byrne, 2002). Satu konstruk yang relevan dalam pembahasan mengenai perilaku prososial adalah perilaku altruistik yang mengacu pada tingkah laku yang merefleksikan pertimbangan untuk tidak mementingkan diri sendiri demi kebaikan orang lain. Berbagai penelitian dan model teoretis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya perilaku prososial, telah dicoba untuk dibuktikan melalui banyak studi empirik. Satu faktor situasional yang dapat memberi kontribusi signifikan munculnya perilaku prososial antara lain jumlah bystander/orang yang menjadi saksi mata kondisi darurat, yang mana membutuhkan adanya perilaku prososial tertentu (Latane & Darley, 1968, 1970 dalam Baron & Byrne, 2002). Faktor situasional lain yang mendukung atau menghambat munculnya perilaku prososial antara lain sejauh mana bystander mengevaluasi korban secara positif (daya tarik), atribusi yang dibuat oleh bystander mengenai apakah korban bertanggungjawab terhadap situasi yang terjadi padanya, dan pengalaman-pengalaman bystander terhadap model-model prososial baik di masa lampau maupun pada saat situasi darurat terjadi. Batson & Thompson (2001 dalam Baron& Byrne, 2002) menyatakan bahwa unsur motivasi juga sangat signifikan dalam menjelaskan muncul atau tidaknya respon perilaku prososial. Menurut mereka, terdapat tiga motif yang relevan dalam situasi ketika seseorang dihadapkan pada suatu dilema moral. Pertama, self-interest, yang disebut juga dengan egoisme. Kedua, integritas moral yang mengacu pada motivasi untuk bermoral dan benar26
benar terlibat dalam tingkah laku moral. Ketiga, hipokrisi moral yang mengacu pada motivasi untuk terlihat bermoral selagi melakukan apa yang terbaik untuk menghindari kerugian yang dilibatkan dalam tindakan bermoral yang sebenarnya. Beberapa penelitian lain menelusuri peran aspek emosional individu dalam perilaku prososial, dimana emosi yang positif memberikan pengaruh positif yang signifikan terhadap perilaku prososial (Wilson, 1981; Isen & Levin, 1972; Cunningham. 1979; Baron, 1990, 1997; Baron & Thompley, 1994 dalam Baron & Byrne, 2002). Namun, Rosenhan, Salovey, dan Hargis (1981, dalam Baron & Byrne, 2002) juga menemukan kebalikannya, dimana dalam situasi yang darurat, suasana hati yang positif dapat menghambat seseorang untuk melakukan sesuatu hal yang sulit dan tidak menyenangkan. Menanggapi kontradiksi ini, Isen (1984 dalam Baron & Byrne, 2002) menyimpulkan bahwa ketika pertolongan sangat jelas diperlukan dalam situasi yang tidak melibatkan konsekuensi negatif bagi penolong, maka emosi positif akan meningkatkan kemungkinan munculnya perilaku prososial. Sebaliknya, ketika melakukan tindakan prososial dapat merusak suasana hati yang positif, maka suasana hati tersebut dapat menurunkan kemungkinan munculnya perilaku prososial. Dalam upaya para peneliti sebelumnya untuk menjawab apakah terdapat perbedaan disposisional dalam memberikan respon prososial, ditemukan bahwa empati menjadi syarat dasar (Clary & Orenstein, 1991; Grusec, 1991 dalam Baron & Byrne, 2002). Empati merupakan respons afektif dan kognitif yang kompleks pada distres emosional orang lain. Secara afektif, orang yang berempati dapat merasakan apa yang orang lain rasakan; secara kognitif, mereka dapat memahami apa yang orang lain rasakan dan mengapa. Berbagai faktor kepribadian lain yang berhubungan positif dengan empati dan motivasi alturistik antara lain rasa kenyamanan, motivasi berprestasi, kemampuan sosial, kebutuhan akan persetujuan, dan kepercayaan interpersonal. Salah satu faktor kepribadian yang berhubungan secara negatif dengan empati adalah agresivitas (Baron & Byrne, 2002). Shariff & Norenzavan (2007) dalam penelitian mereka menunjukkan bahwa ada pengaruh positif priming konsep Tuhan yang dapat meningkatkan perilaku prososial. Meskipun studi ini dilakukan dalam konteks eksperimen dengan menggunakan satu versi anonim dari permainan ekonomi (economic game), namun ditemukan perbedaan signifikan antara kelompok yang diberi priming konsep Tuhan dan yang tidak diberi. Hal ini ternyata tidak hanya pada populasi mahasiswa, namun juga pada populasi masyarakat luas. Bierhoff, Klein, dan Kramp (1991 dalam Baron & Byrne, 2002), berdasarkan penelitian yang mereka lakukan, membuat kesimpulan mengenai faktor-faktor disposisional yang 27
menyusun kepribadian altruistik. Kepribadian altruistik adalah suatu kombinasi variabel disposisional yang berhubungan dengan tingkah laku prososial, dimana komponen yang ada di dalamnya antara lain empati, kepercayaan pada dunia yang adil, penerimaan adanya tanggung jawab sosial, memiliki internal locus of control, dan egosentrisme rendah (Baron & Byrne, 2005). Sebagai salah satu staf pengajar di salah satu perguruan tinggi di sumatera utara, peneliti berinteraksi dengan berbagai karakter mahasiswa dengan latar belakang yang beragam. Peneliti sering memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan kepedulian antar sesama mahasiswa maupun mahasiswa dengan dosen, dan mahasiswa dengan komunitas
luar
kampus.
Di
program
studi
dimana
peneliti
mengajar,
peneliti
memperhatikan sekelompok mahasiswa yang memiliki empati yang tinggi terhadap masyarakat. Salah satu contohnya, pada akhir tahun 2013 sampai dengan awal 2014, ketika bencana Sinabung terjadi di tanah Karo, Sumatera Utara, mereka berinisiatif menggalang dana dan menjadi sukarelawan di kamp-kamp pengungsi selama beberapa minggu penuh. Para pengungsi masing tinggal di kamp tersebut sampai berbulan-bulan kemudian, dan kelompok mahasiswa ini masih memberikan waktu mereka untuk kembali menjadi relawan, walau hanya di akhir pekan. Kegiatan bakti sosial juga semakin sering dilakukan oleh mahasiswa di program studi ini, maupun di program studi lain di kampus yang sama. Misalnya, melakukan bakti sosial dengan berbagi keceriaan dan waktu dengan para siswa di salah satu yayasan anak berkebutuhan khusus di Medan, dan di lembaga permasyarakatan anak dan remaja di kota yang sama. Peneliti juga mengamati ada kontradiksi yang terlihat ketika ada mahasiswa program studi lain yang kurang menunjukkan empati, dalam berbagai situasi yang membutuhkan perilaku prososial seperti misalnya ketika melihat teman ada yang sedang sakit di kelas, alih-alih menawarkan bantuan untuk mengantar ke klinik, hanya berdiam dan menunggu dosen memberi perintah untuk mengerjakannya. Peneliti juga mengamati bahwa mahasiswa yang lebih senior terlihat lebih inisiatif dalam menunjukkan perilaku menolong dibanding mahasiswa yang lebih junior. Peneliti menduga variasi perilaku ini dapat berbeda untuk berbagai program studi dan usia, yang dalam hal ini dikaitkan dengan berapa lama pengalaman di kampus (tahun masuk). Berbekal berbagai pengalaman peneliti tersebut dan mengingat minimnya studi empiris mengenai perilaku prososial secara khusus dalam konteks populasi remaja dan mahasiswa di Sumatera Utara, maka peneliti tertarik untuk melakukan studi empirik awal mengenai gambaran kepribadian altruistik pada remaja mahasiswa di perguruan tinggi swasta yang dimaksud di atas. Kondisi peneliti sebagai salah satu staf pengajar di salah 28
satu program studi di universitas ini membantu peneliti untuk memperoleh sampel penelitian yang representatif.
Hipotesis Adapun yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1. Terdapat perbedaan signifikan kepribadian altruisme mahasiswa berdasarkan program studinya. 2. Terdapat perbedaan signifikan kepribadian altruisme mahasiswa berdasarkan tahun masuknya
Metode Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan menggunakan metode survey. Instrumen penelitian yang digunakan adalah skala self report kepribadian altruistik yang disusun berdasarkan komponen-komponen antara lain empati, kepercayaan pada dunia yang adil, penerimaan adanya tanggung jawab sosial, memiliki internal locus of control, dan egosentrisme rendah (Baron & Byrne, 2005). Populasi penelitian ini adalah mahasiswa aktif TA. 2014-2015 yang terdaftar di Universitas HKBP Nommensen, Medan. Teknik sampling dalam penelitian ini adalah random sampling clusters, dimana peneliti berupaya ada perwakilan sampel penelitian dari seluruh program studi yang ada di kampus tersebut. Partisipan penelitian adalah 287 mahasiswa/i aktif di Universitas HKBP Nommensen, Medan, dengan rentang usia 18-24 tahun, yang berasal dari berbagai angkatan dan berbagai program studi. Skala kepribadian altruistik yang digunakan dalam penelitian ini merupakan skala yang sudah diujicoba melalui uji coba terpakai. Dari hasil analisis item, diperoleh 9 item yang sudah memenuhi kriteria koefisien korelasi nilai item dengannilai totalnya (rxy) lebih besar dari 0,3 (Azwar, 2007). Nilai reliabilitas skala sebesar 0.61 (Alpha Cronbach) yang tergolong sedang. Dengan demikian, maka skala ini dapat dikatakan reliabel dan valid untuk
mengukur
kepribadian
altruistik,
sehingga
pengumpulan data dalam penelitian ini.
29
layak
digunakan
sebagai
alat
Hasil dan Analisis Dalam upaya untuk mengetahui bagaimana gambaran kepribadian altruism pada sampel penelitian, maka dibandingkan antara mean/nilai rata-rata empirik (29.11) dengan mean/nilai rata-rata hipotetik (22.5) dengan memperhatikan besarnya bilang SD empirik (3.03). Maka, dapat disimpulkan bahwa secara umum, kondisi kepribadian altruistik sampel penelitian berada pada kategori sangat tinggi. Analisa varians dilakukan untuk membandingkan skor rata-rata untuk setiap kelompok sampel berdasarkan program studi. Analisa tersebut dengan menggunakan analisa One way Anova dengan post-hoc tests. Hasil yang diperoleh menunjukkan ada perbedaan skor rata-rata yang signifikan pada beberapa program studi, antara lain: Terdapat perbedaan skor rata-rata yang signifikan antara program studi Agroekoteknologi dengan program studi Ilmu Hukum (Mean differences=2.72, p<0.05), dimana skor kelompok Agroekoteknologi lebih tinggi. Terdapat perbedaan skor rata-rata yang signifikan antara kelompok program studi
Agroekoteknologi
dengan
kelompok
program
studi
Peternakan
(Mean
differences=3.83, p<0.05), dimana skor kelompok Agroekoteknologi lebih tinggi. Terdapat perbedaan skor rata-rata yang signifikan antara kelompok program studi Pendidikan
Matematika
dengan
kelompok
program
studi
Ilmu
Hukum
(Mean
differences=2.75, p<0.05), dimana skor kelompok Pendidikan Matematika lebih tinggi. Terdapat perbedaan skor rata-rata yang signifikan antara kelompok program studi Pendidikan Matematika dengan program studi Peternakan (Mean differences=3.86, p<0.05), dimana skor kelompok Pendidikan Matematika lebih tinggi. Terdapat perbedaan skor rata-rata yang signifikan antara kelompok program studi Pendidikan Matematika dengan kelompok program studi Pendidikan Bahasa Indonesia (Mean differences=2.85, p<0.05), dimana skor kelompok Pendidikan Matematika lebih tinggi. Di luar dari beberapa temuan tersebut, tidak ditemukan ada perbedaan skor rata-rata kepribadian altruistik pada kelompok program studi yang lain. Dalam upaya untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan signifikan berdasarkan tahun masuk maka dilakukan analisa One-way Anova dengan post-hoc tests, untuk membandingkan skor rata-rata setiap kelompok sampel berdasarkan tahun masuk. Berdasarkan analisa tersebut, ditemukan bahwa tidak ada perbedaan skor yang signifikan dalam skor kepribadian altruistik pada masing-masing angkatan. Secara umum, berdasarkan komponen-komponen kepribadian altruistik
yang
dikemukakan dalam Baron & Byrne (2002), sampel penelitian yang dalam hal ini adalah mahasiswa perguruan tinggi Universitas HKBP Nommensen dapat dikategorikan sangat 30
tinggi dalam disposisi untuk berperilaku sosial. Dalam hal ini dilihat dari komponenkomponen empati, kepercayaan pada dunia yang adil, pemahaman akan adanya tanggung jawab sosial, memiliki internal locus of control, dan egosentrisme yang rendah. Hasil ini mungkin dapat dikaitkan dengan konsep religiusitas, mengingat kampus ini adalah kampus dibawah naungan Gereja HKBP yang bercirikan agama Kristen Protestan. Atmosfer religius dibangun dalam proses pembelajaran setiap hari dengan adanya kebaktian pagi setiap hari,berdoa di dalam kelas, dan berbagai kegiatan kerohanian lainnya. Hal ini sejalan dengan studi oleh Sosis and Ruffle (2004, dalam Shariff & Norenzavan, 2007) menemukan bahwa generousity lebih tinggi pada kelompok individu yang rutin melakukan ritual ibadah setiap hari dibandingkan dengan kelompok yang tidak melakukannya. Selain itu, dengan atmosfer religiusitas yang kental di lingkungan kampus, kesadaran (awareness) akan konsep “Tuhan” dapat menjelaskan kondisi kecenderungan prososial yang tinggi. Hal ini sejalan dengan studi oleh Shariff, & Norenzavan (2007), dimana dalam eksperimen mereka tentang aktivasi konsep “Tuhan” terhadap perilaku prososial melalui suatu permainan (games)menunjukkan bahwa ketika konsep Tuhan diberikan, maka perilaku sosial akan meningkat. Selain itu, Fabes, Carlo, Kupanoff, & Laible (1999 dalam Carlo, dkk, 1999) juga menyatakan bahwa ada peningkatan dalam kecenderungan berperilaku prososial seiring bertambahnya usia, dimana peningkatan ini makin besar pada masa remaja awal dan remaja akhir. Dilihat dari berbagai kondisi terkait latar belakang sampel penelitian, dapat dilihat dari berbagai kelompok bidang studi, mahasiswa program studi Agroekoteknologi lebih tinggi secara signifikan dibandingkan mahasiswa program studi Ilmu Hukum dan program studi Peternakan namun tidak berbeda dengan program studi lainnya. Beberapa hal yang peneliti duga berkontribusi akan hal ini adalah jumlah mahasiswa yang tidak terlalu banyak sehingga pendampingan terhadap mahasiswa dapat lebih optimal dilakukan. Selain itu, program studi ini memiliki jumlah dosen wanita lebih banyak dari dosen pria. Dosen wanita tampak lebih sabar dalam berinteraksi dengan mahasiswa dan menunjukkan empati dengan lebih leluasa. Hal ini memungkinkan mahasiswa untuk belajar menempatkan diri pada posisi orang lain dan mahasiswa memperoleh perspektif lebih dalam saat berinteraksi dengan dosen sehingga hal ini mengembangkan kepribadian altruistik mereka. Mahasiswa program studi Pendidikan Matematika lebih tinggi skornya secara signifikan dibandingkan dengan mahasiswa program studi Ilmu Hukum, program studi Peternakan, dan
program studi Pendidikan Bahasa Indonesia namun tidak berbeda
signifikan dengan program studi lainnya. Beberapa hal yang peneliti duga berkontribusi adalah pertama, mahasiswa program studi pendidikan bahasa Indonesia yang terlibat 31
dalam penelitian ini keseluruhannya adalah mahasiswa baru (stambuk 2014 dan saat penelitian masih di semester 1) yang menurut hemat peneliti mungkin belum begitu memahami dalam pengisian angket penelitian. Sementara itu, mahasiswa program studi matematika yang terlibat penelitian ini adalah mahasiswa tingkat 3 (semester 5) yang tentunya lebih mudah memahami pengisian angket penelitian. Kedua, jika dibandingkan dengan program studi ilmu hukum dan peternakan, kegiatan kerohanian lebih banyak dilakukan di program studi pendidikan matematika. Sehingga peneliti menduga, intensitas dan frekuensi dalam kegiatan kerohanian, memberi kontribusi dalam mengembangkan empati, tanggung jawab sosial sebagai bagian dari kepribadian altruistik. Temuan ini menarik untuk dikaji lebih lanjut mengingat mahasiswa program studi Ilmu Hukum dapat dikatakan lebih rendah potensi melakukan perilaku prososial dibandingkan mahasiswa program studi Agroekoteknologi dan Pendidikan Matematika. Berdasarkan pengalaman peneliti, mahasiswa program studi Ilmu Hukum pernah beberapa kali melakukan tindakan agresif kepada mahasiswa program studi lain selama 3 tahun terakhir. Menurut pengamatan peneliti, peneliti menduga beberapa hal bisa berkontribusi akan hasil ini. Pertama, program studi Ilmu Hukum adalah salah satu program studi dengan mahasiswa terbanyak. Hal ini kurang dibarengi dengan pendampingan yang kontinu dari para dosen baik di kelas maupun di luar kelas. Kedua, kurangnya pengalaman langsung mahasiswa terjun dan berhadapan langsung dengan masyarakat dalam aplikasi keilmuan mereka. Selain itu, menjadi catatan penting untuk mahasiswa program studi Peternakan. Peneliti menduga kurangnya pendampingan kontinu dari para dosen dan kurangnya keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan yang mengembangkan perilaku prososial. Berdasarkan hasil pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam upaya pengembangan karakter, sebagai tujuan utama dari pendidikan itu sendiri, perlu upaya yang komprehensif tidak hanya melalui transfer ilmu (transfer of knowledge) tapi juga transfer nilai (transfer of values) melalui keterlibatan langsung dalam tindakan-tindakan yang mengembangkan nilai tersebut. Peran pendidik (baik dosen maupun guru) adalah sebagai fasilitator dalam keseluruhan proses tersebut. Dilihat dari tahun masuk (2014, 2013, 2012, 2011, 2010), ditemukan tidak ada perbedaan signifikan dalam kepribadian altruistiknya. Hasil ini berbeda dari ekspektasi peneliti. Mungkin hal ini berhubungan dengan jumlah responden yang tidak seimbang untuk
masing-masing
stambuk,
sehingga
menggambarkan kondisi yang sebenarnya.
32
kurang
representatif
dan
kurang
Hasil penelitian ini dapat menjadi langkah awal untuk penelitian selanjutnya yang menggali lebih apakah muatan keilmuan yang ditekuni, budaya kampus (nilai-nilai yang ditanamkan lewat berbagai kegiatan baik akademik maupun non akademik) turut berperan dalam
mengembangkan
kepribadian
altruistik.
Mengingat
penelitian
ini
memiliki
keterbatasan hal jumlah sampel disarankan juga untuk memperbesar sampel agar makin representatif
Daftar Pustaka Baron, R.A & Byrne, D. (2002) Psikologi Sosial, jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga Batson, C.D., Duncan, B.D., Ackerman,P., Buckley, T., & Birch, K. (1981).Is Empathic Emotion a Source of Altruistic Motivation? Journal of Personality and Social Psychology, 40 (2), 290-302 Bierhoff, H. W & Rohmann, E. (2004). Altruistic Personality in the Context of the EmpathyAltruism Hypothesis. European Journal of Personality, 18, 351-365 Carlo G., Eisenberg, N. Troyer, D. Switzer, G. Speer, AL., (1991) The Altruistic Personality: In What Contexts Is It Apparent?Journal of Personality and Social Psychology 61 (3), 450–458. Carlo, G., Fabes, R. A., Laible, D., Kupanoff, K. (1999). Early Adolescence and Prosocial/Moral Behavior II: The Role of Social and Contextual Influences, Journal of Early Adolescence, 9 (2), 133-147 Eisenberg, N., Carlo, G., Murphy, B, ; Van Court, P. (1995). Prosocial Development in Late Adolescence: A Longitudinal Study. Child Development, 66, (4), 1179-1197 Gintis, H., Bowles. S., Boyd, R., Fehr, E. (2003).Explaining altruistic behavior in humans. Evolution and Human Behavior 24,153–172 Penner, L.A., Dovidio, J.F., Piliavin, J.A., Schroeder, D.A., (2005). Prosocial Behavior: Multilevel Perspectives. Annual Review. Psychology, 56 (14).1–14 Penner, L. A., Fritzsche, B. A., Craiger, J. P., & Freifeld, T.R. (1995) Measuring the prosocial personality. In J. Butcher & C. D. Spielberger (Eds.) Advances in personality assessment. (Vol. 10). Hillsdale, NJ: LEA. Rushton, JP., Fulker, DW., Neale, MC., Blizard, RA., Eysenck, HJ. (1984). Altruism and Genetics. Proceedings of the Fourth International Congress on Twin Studies Shariff, A. F., & Norenzavan, . (2007). God is watching you, Priming Gid concepts increases prosocial behavior in an anonymous economic game. Psychological science, 18 (9), 803-809 Toi, M & Batson, CD. (1982) More Evidence That Empathy Is a Source of Altruistic Motivation. Journal of Personality and Social Psychology, 43 (2), 281292 33
GAMBARAN KOMPETENSI SOSIAL PADA ANAK YANG MENGIKUTI SEKOLAH BILINGUAL
Lenny Veronika Purba Rahma Yurliani Universitas Sumatra Utara
Abstrak Masa anak-anak madya merupakan masa sekolah, memasuki dunia sosial yang lebih luas dan masa emas untuk belajar. Anak harus memiliki seperangkat kecakapan verbal dan non verbal untuk dapat berkompetensi sosial dengan baik, yang tentunya berbeda pada anak bilingual yang menguasai dua bahasa. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran kompetensi sosial pada anak yang mengikuti sekolah bilingual. Metode pengambilan sampel pada penelitian adalah purposive sampling dengan jumlah sampel penelitian adalah 93 anak berusia 8-11 tahun di salah satu sekolah bilingual di kota Medan. Alat ukur yang digunakan berupa skala kompetensi sosial. Berdasarkan hasil estimasi daya beda aitem dengan menggunakan koefisien korelasi Pearson Product Moment terdapat 26 aitem valid dengan rxx` yang berkisar dari 0,302 hingga 0,678 dan reliabilitas terhadap daya uji coba dengan menggunakan teknik koefisien Alpha Cronbach, diperoleh reliabilitas sebesar 0,891. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kompetensi sosial pada anak yang mengikuti sekolah bilingual yang tergolong tinggi sebanyak 78 anak (83,9%), kompetensi sosial yang tergolong sedang 15 anak (16,1%) dan tidak terdapat anak yang memiliki kompetensi yang tergolong rendah. Hasil menunjukkan bahwa mayoritas sampel termasuk dalam kategori kompetensi sosial tinggi. Hasil penelitian tambahan untuk mengetahui perbedaan kompetensi sosial berdasarkan jenis kelamin dianalisis berdasarkan uji ANOVA dan diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,227. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kompetensi sosial yang signifikan antara anak perempuan dan laki-laki. Kata Kunci : Kompetensi sosial, bilingual, anak-anak madya
Pendahuluan Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia untuk berinteraksi sehingga pesan yang dimaksudkan dapat dimengerti. Hurlock (1978) menyatakan bahwa bahasa mencakup setiap sarana komunikasi dengan menyimbolkan pikiran dan perasaan untuk menyampaikan makna kepada orang lain dalam bentuk yang luas seperti: tulisan, berbicara, bahasa simbol, ekspresi wajah, isyarat, pantomin dan seni. Bahasa ini terus berkembang diawali dengan bahasa pertama individu.
34
Setiap manusia mengetahui bahasa pertamanya melalui proses sosialisasi dengan lingkungan. Pakar bahasa Noam Chomsky (dalam Santrock, 2002) yakin bahwa manusia terikat secara biologis untuk mempelajari bahasa pada suatu waktu tertentu dan dengan cara tertentu sesuai dengan bahasa yang didengar anak sejak kecil. Bahasa inilah yang nantinya akan dikuasai oleh anak untuk berinteraksi dengan lingkungannya, yang disebut sebagai bahasa ibu. Bahasa Indonesia umumnya merupakan bahasa ibu bagi anak Indonesia. Kemampuan berbahasa asing juga menjadi salah satu kebutuhan bagi masyarakat selain bahasa Indonesia. Hal ini dikaitkan dengan globalisasi yang identik dengan tidak ada batasan bagi negara-negara di dunia yang membutuhkan suatu bahasa komunikasi universal (Sutiyoso, 2006). Tanpa adanya ketrampilan yang baik, sulit bagi seseorang untuk mendapatkan dan mempertahankan pekerjaannya. Tingginya tuntutan yang harus dipenuhi pada saat memasuki dunia kerja ini membuat orang tua juga semakin banyak menuntut anak-anak mereka yang masih dalam dunia sekolah (Gunarsa, 2004). Di Indonesia, bahasa asing paling banyak diminati untuk dikuasai adalah bahasa Inggris yang juga dijadikan bahasa universal di dunia. Kemampuan berbahasa asing, terutama berbahasa Inggris, dijadikan prasyarat kesuksesan bagi seseorang di masa depan. Asumsi ini membuat berbagai institusi pendidikan menyediakan pendidikan bahasa asing bagi perkembangan bahasa anak, termasuk menyediakan program bilingual (Sutiyoso, 2006). Bilingual adalah kemampuan menggunakan dua bahasa. Anak yang memiliki kemampuan bilingual memahami bahasa asing dengan baik seperti halnya pemahaman anak terhadap bahasa ibunya dalam empat ketrampilan berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis (Hurlock, 1993). Sekolah yang menyediakan program bilingual berarti menggunakan dua bahasa di dalam kegiatan pendidikannya. Bahasa yang sering digunakan pada sekolah bilingual di Indonesia adalah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam kegiatan belajar mengajar setiap hari. Ada pelajaran yang diajarkan dengan bahasa Inggris, ada pula yang dengan bahasa Indonesia (Gunarsa, 2004). Penerapan konsep bilingual ini membuat pihak sekolah dan orang tua mengharapkan anak dapat lebih mahir dan menguasai bahasa Inggris (Sutiyoso, 2006). Banyak penelitian tertarik untuk meneliti bagaimana dampak dari bilingual ini. Ada penelitian yang mengemukakan hasil negatif dan ada pula yang positif (Gunarsa, 2004). Salah satu hasil yang positif dikemukakan oleh para ahli syaraf yang meneliti hubungan antara belajar bahasa asing dengan perkembangan otak. Kesimpulan dari berbagai penelitian yang telah dilakukan menunjukkan pengaruh mempelajari bahasa asing dan keuntungannya bagi perkembangan otak, yakni perkembangan yang lebih pesat dalam 35
proses kognitif, kreativitas dan divergent thinking dibandingkan dengan anak-anak monolingual (Adepanji, 2010). Menurut Andersson & Andersson (1999) anak yang telah mempelajari dua bahasa akan mudah untuk beradaptasi ketika mengunjungi negara lain yang berbahasa sama dengan bahasa kedua anak. Andersson & Andersson (1999) juga menyatakan bahwa anak yang bilingual akan merasa bangga dengan dirinya karena anak dapat menguasai lebih dari satu bahasa. Bilingual juga memiliki sisi negatif. Dampak bilingualisme juga dikemukakan oleh Gene (2007) yang menyatakan bahwa pasti ada kesenjangan sosialisasi antara anak bilingual dengan keluarga besarnya. Kemungkinannya adalah anak akan menganggap rendah bahasa dan budaya orangtuanya karena dari kecil telah diperkenalkan bahasa asing. Pendapat ini diperkuat oleh Tarigan (1988) yang menyatakan kontak anak bilingual dengan keluarga besarnya akan berbeda. Gene (2007) juga menyatakan bahwa tak sedikit anak yang stres dan tertekan karena dipaksa mengerti bahasa asing. Akibatnya anak akan selalu lambat dalam mengerjakan tugasnya karena ia kurang paham dengan apa yang dijelaskan guru dalam bahasa asing. Salah satu akibat lainnya adalah pembelajaran dua bahasa yang akan menimbulkan konsep pemahaman yang tidak jelas. Masalah ini terjadi karena bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris berbeda secara struktural dan tata cara aturan kalimat (Sutiyoso, 2006). Anak bilingual tidak bisa menguasai satu bahasa secara keseluruhan yang menyebabkan anak berbicara dengan bahasa yang bercampur antara bahasa ibu dengan bahasa asing (Genesse, dalam Gunarsa, 2004). Santrock (2002) menyatakan bahwa anak harus menguasai bahasa pertamanya untuk dapat berkomunikasi secara efektif di lingkungannya, namun di sisi lain mereka juga harus menguasai bahasa asing untuk memudahkan mereka di lingkungan sekolahnya. Akan lebih baik jika anak menguasai bahasa pertamanya terlebih dahulu kemudian mempelajari bahasa asing karena jika anak dihadapkan pada bahasa yang tidak familiar di lingkungan sosialnya, maka anak akan mengalami kebingungan sosial sehingga penggunaan bahasanya menjadi tidak sesuai. Kondisi ini menyebabkan komunikasi kurang lancar dan pada akhirnya dapat mengganggu perkembangan sosialnya dan berujung pada rendahnya kompetensi sosial anak. Anak harus memiliki seperangkat kecakapan verbal dan non verbal untuk dapat berkompetensi sosial dengan baik (Rinn dan Markle, dalam Tarsidi 2009), yang tentunya berbeda pada anak bilingual yang mengetahui dua bahasa. Pellegrini dan Glickman (dalam Tarsidi, 2009) mendefinisikan kompetensi sosial pada anak sebagai suatu derajat dimana anak dapat beradaptasi pada lingkungan sekolah dan rumahnya. Kompetensi sosial merupakan dasar dimana harapan akan interaksi dengan orang lain terbangun dan 36
anak mengembangkan persepsinya kepada perilakunya sendiri. Selain itu, kemampuan dalam melakukan percakapan mengambil peran yang penting dalam interaksi. Anak yang sukses secara sosial ditemukan memiliki kemampuan untuk berkomunikasi secara jelas dan responsif kepada lawan bicaranya (Burleson dalam Clikeman, 2007). Kompetensi sosial menurut Clikeman (2007) adalah sebuah kemampuan untuk mengambil perspektif orang lain dalam suatu situasi dan belajar dari pengalaman masa lalu, kemudian mengaplikasikannya. Kemampuan untuk merespon ini tergantung pada kemampuan komunikasi yang dimiliki anak dan interaksi dengan orang lain yang menggunakan bahasa dan komunikasi non verbal. Clikeman (2007) juga menuturkan elemen-elemen dari kompetensi sosial tersebut, yakni: (1) bahasa dan kemampuan berkomunikasi, (2) kemampuan secara akurat mengirim dan menerima pesan emosional, (3) kemampuan untuk belajar, (4) kemampuan untuk memahami perspektif orang lain, (5) kemampuan untuk mengatur perilakunya sendiri, (6) kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain. Kompetensi sosial merupakan salah satu jenis kompetensi yang penting dan harus dimiliki oleh anak-anak. Masa anak-anak tengah (middle childhood), yaitu masa dengan usia 6-11 tahun (Papalia & Olds, 2004), merupakan masa bermain dan masa sekolah dimana mereka berinteraksi dengan teman sebayanya untuk melakukan suatu kegiatan. Bermain dengan teman sebaya pada usia ini merupakan pengembangan kompetensi sosial anak (Gunarsa, 2004). Anak yang memiliki kompetensi sosial tampak lebih mudah untuk menjalin relasi yang baik dengan orang lain. Selain itu, Piaget (dalam Tarsidi, 2009) juga mengemukakan bahwa interaksi dengan teman sebaya merupakan satu sumber utama perkembangan sosial maupun kognitif, khususnya perkembangan “role taking” dan empati yang merupakan salah satu elemen dari kompetensi sosial. Tokoh psikososial Erikson (dalam Schultz, 1994) juga menyatakan bahwa masa anak-anak
tengah
(middle
childhood)
merupakan
masa
emas
untuk
belajar.
Perkembangan bahasa anak juga lebih berkembang dan berfikir dengan konsep operasional konkrit. Hubungan sosial anak juga lebih ditekankan pada teman sebaya melalui proses bermain. Namun, tidak semua anak dapat bersosialisasi dengan baik. Anak-anak yang tidak mampu berunding atau bekerja sama akan susah untuk diterima di lingkungan teman sebaya dan anak juga akan menunjukkan kompetensi sosial yang buruk (Putallaz & Sheppart dalam Clikeman, 2007). Oleh karena itu, kemampuan anak dalam menganalisa perilakunya sangat diperlukan sehingga dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Salah satu elemen lain dari kompetensi sosial menurut Clikeman (2007) adalah kemampuan anak untuk mengatur perilakunya sendiri yang mencakup bagaimana anak 37
dapat menyesuaikan diri dengan suatu situasi dan mengubah perilakunya sehingga sesuai dengan lingkungan. Berdasarkan berbagai penjelasan diatas maka peneliti ingin melihat bagaimana gambaran kompetensi sosial pada anak yang mengikuti sekolah bilingual, khususnya masa anak-anak madya (middle childhood) yang merupakan masa sekolah dan memasuki dunia sosial lebih luas serta masa emas untuk belajar dan berinteraksi dengan teman sebaya. Selain itu, peneliti juga tertarik untuk mengetahui apakah ada perbedaan kompetensi sosial antara anak laki-laki dan perempuan. Hipotesis Semakin tinggi skor yang diperoleh subyek maka semakin tinggi kompetensi sosial yang dimiliki oleh subyek, begitu juga sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subyek maka semakin rendah kompetensi sosial yang dimiliki oleh subyek.
Metode Populasi dalam penelitian ini adalah anak yang mengikuti sekolah bilingual. Karakteristik sampel penelitian ini antara lain: anak berusia 8 sampai 11 tahun dalam rentang anak-anak madya (middle childhood) dan bersekolah di sekolah bilingual lebih dari satu tahun. Menurut Gunarsa (2004), pengalaman akan kedua bahasa merupakan faktor yang penting untuk terbentuknya perkembangan bilingual yang baik. Sekolah bilingual yang dimaksud di sini adalah sekolah yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sebagai bahasa utama dalam proses pengajarannya. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode purposive sampling. Jumlah anak yang menjadi sampel penelitian adalah sebanyak 93 anak. Pengumpulan data di penelitian ini menggunakan metode self-reports. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebuah skala kompetensi sosial yang disusun berdasarkan keenam elemen dari kompetensi sosial yang dikemukakan oleh Clikeman (2007). Skala ini menggunakan model skala Likert yang dimodifikasi oleh peneliti. Menurut Azwar (2000) responden yang belum cukup dewasa, kadang-kadang diferensiasinya perlu disederhanakan menjadi tiga pilihan saja yaitu Setuju (S), Netral (N), dan Tidak Setuju (TS). Dalam penelitian ini, pilihan respon tersebut dijabarkan masing-masing dalam bentuk kalimat bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan tujuan memudahkan subyek yang merupakan anak bilingual untuk lebih memahami skala penelitian. Ketiga pilihan respon tersebut diganti menjadi pilihan kalimat a, b dan c. 38
Teknik analisis data. Pertama, data diuji dengan menggunakan One Sample Kolmogorov-Smirnov untuk mengetahui data telah terdistribusi secara normal. Setelah data diuji dan telah terbukti memiliki distribusi normal, kemudian data dikategorisasikan dengan kategori jenjang. Untuk hasil tambahan penelitian yang bermaksud untuk melihat perbedaan kompetensi sosial berdasarkan jenis kelamin, data diuji dengan menggunakan Levene Statistik untuk melihat homogenitas sampel. Selanjutnya untuk melihat signifikansi perbedaannya, data dianalisis berdasarkan uji ANOVA. Kemudian, untuk mempermudah penganalisaan data, data diolah dengan menggunakan SPSS 16.00 for Windows. Hasil dan Analisis Berdasarkan deskripsi umum skor maksimum, minimum, mean, dan standar deviasi kompetensi sosial pada anak yang mengikuti sekolah bilingual berdasarkan data hipotetik, maka diperoleh hasil pengkategorian kompetensi sosial sebagai berikut.
Tabel Gambaran Kompetensi Sosial Pada Anak yang Mengikuti Sekolah Bilingual Variabel Kompetensi Sosial
Rentang Skor
Kategorisasi
Frekuensi (N)
Persentase (%)
X < 43
Rendah
0
0
43≤ X <60
Sedang
15
16,1
X ≥60
Tinggi
78
83,9
93
100
Jumlah
Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas sampel memiliki tingkat kompetensi sosial yang tergolong tinggi yaitu sebanyak 78 anak (83,9%) sedangkan kompetensi sosial tergolong sedang sebanyak 15 anak (16,1%) dan tidak ada anak memiliki kompetensi sosial yang tergolong rendah. Karakteristik sampel yang memiliki kompetensi sosial tinggi dapat digambarkan berdasarkan jawaban-jawaban subyek pada skala kompetensi sosial yang digunakan dalam penelitian ini. Pada elemen bahasa dan kemampuan untuk berkomunikasi, anak mampu memahami apa yang dimaksudkan oleh teman-temannya dan memahami penjelasan, ucapan dan perintah yang diberikan oleh guru. Dilihat dari elemen kemampuan secara akurat menyampaikan dan menerima pesan emosional, anak peduli ketika guru sedang marah. Anak juga memahami isyarat non verbal seperti gerakan-gerakan petunjuk dari guru dan dapat merasakan jika temannya sedang bersedih. Dalam elemen kemampuan untuk belajar, anak mampu mengevaluasi perilakunya ketika menghadapi situasi yang sama dengan pengalaman sehingga menghasilkan perubahan perilaku. Anak 39
juga mampu menyadari bahwa perilaku yang ditunjukkannya tidak tepat dan mengetahui konsekuensi dari perilakunya. Pada elemen ke empat yaitu kemampuan untuk mengambil perspektif orang lain, anak mampu menerima perbedaan pendapat dengan teman dan dapat mengikuti saran atau mendengarkan perkataan orang lain. Dilihat dari elemen kemampuan untuk mengatur perilakunya sendiri, anak mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan keadaan di sekitarnya. Anak juga tetap tertib ketika upacara bendera, mampu menahan diri ketika ada orang lain yang mengganggu pada saat jam pelajaran dan menjaga untuk tidak berkelahi di sekolah. Elemen terakhir yakni kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain, anak mampu bernegosiasi dan mampu untuk meminta dengan sopan ketika menginginkan suatu benda. Anak juga merasa bahwa bermain dengan orang lain itu menyenangkan. Peneliti juga melakukan analisis tambahan dalam penelitian ini yaitu perbedaan kompetensi sosial antara anak laki-laki dan perempuan. Gambaran kompetensi sosial pada anak yang mengikuti sekolah bilingual berdasarkan jenis kelamin menunjukkan tidak terdapat perbedaan kompetensi sosial yang signifikan antara anak laki-laki dan perempuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas sampel yang mengikuti sekolah bilingual mampu bernegosiasi dengan orang lain untuk mencapai keinginannya dan senang melakukan suatu kegiatan bersama-sama dengan orang lain untuk mencapai suatu tujuan (Clikeman, 2007). Hal ini sejalan dengan Hurlock (1999) yang menyatakan bahwa anak menunjukkan minat yang tinggi terhadap aktivitas berteman dan berinteraksi dengan teman sebayanya untuk melakukan suatu kegiatan. Gunarsa (2004) juga mengemukakan bahwa bermain di usia ini dapat membuat anak lebih mudah untuk menjalin relasi yang baik dengan orang lain. Hal ini juga didukung oleh Landry, Smith dan Swank (2009) mengemukakan hasil penelitiannya bahwa anak yang memiliki kompetensi sosial yang tinggi adalah anak usia sekolah dalam hal joint problem solving task, yaitu kemampuan anak bekerja sama untuk memecahkan suatu masalah dengan teman sebaya dan mengatasi konflik dengan orangtua. Kategori kompetensi sosial tinggi dalam masing-masing elemen juga menunjukkan mayoritas subyek berada pada kategori sedang dalam elemen kemampuan untuk mengambil perspektif orang lain. Artinya adalah anak masih kurang dapat memahami apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh orang lain dan anak juga masih kurang dapat menyadari bahwa orang lain tidak melihat suatu tindakan dan situasi yang sama dengannya (Clikeman, 2007). Hal ini sesuai dengan pandangan Santrock (2002) yang menyatakan bahwa anak-anak memiliki sifat egois yang tinggi. Anak lebih cenderung untuk mementingkan dirinya sendiri tanpa memperhatikan pemikiran orang lain yang berbeda 40
dengannya. Selain itu juga Andersson (1999) menyatakan bahwa anak bilingual kurang dapat memahami perspektif orang lain terkait dengan perbedaan budaya antar kedua bahasa. Sebanyak 15 sampel dalam kategorisasi kompetensi sosial sedang. Karakteristik sampel dalam kategorisasi ini memiliki beberapa elemen. Pada elemen pertama yaitu bahasa dan kemampuan untuk berkomunikasi, anak mampu memahami apa yang dimaksudkan oleh teman-temannya, namun masih kurang memahami penjelasan dan ucapan guru. Anak juga masih bingung dengan perintah yang diberikan oleh guru. Pada elemen kemampuan secara akurat menyampaikan dan menerima pesan emosional, anak peduli dan memahami ketika guru sedang marah, namun masih kurang memahami isyarat non verbal seperti gerakan-gerakan petunjuk dari guru. Anak juga kurang dapat merasakan jika temannya sedang bersedih. Dilihat dari elemen kemampuan untuk belajar, anak mampu mengevaluasi perilakunya ketika menghadapi situasi yang sama dengan pengalaman. Hal ini dapat menghasilkan suatu perubahan perilaku, namun anak masih kurang menyadari bahwa perilaku yang ditunjukkannya tidak tepat dan anak juga kurang mengetahui konsekuensi dari perilakunya. Pada elemen ke empat yaitu kemampuan untuk mengambil perspektif orang lain anak mampu menerima perbedaan pendapat dengan teman, namun masih sulit untuk mengikuti saran atau mendengarkan perkataan orang lain. Dilihat dari elemen kemampuan untuk mengatur perilakunya sendiri, anak mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan keadaan di sekitarnya. Anak juga mampu menahan diri untuk tidak berkelahi di sekolah dan tetap tertib ketika upacara bendera, namun masih kurang mampu mengontrol perilakunya ketika ada orang lain yang mengganggu pada saat jam pelajaran di sekolah. Pada elemen terakhir yaitu kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain, anak mampu bernegosiasi dengan orang lain. Anak juga mampu untuk meminta dengan sopan ketika menginginkan suatu benda yang dipegang oleh orang lain, tetapi anak merasa bahwa bermain sendiri lebih menyenangkan dibandingkan dengan bermain dengan orang lain. Pada hasil analisis tambahan yakni tidak adanya perbedaan kompetensi sosial antara anak laki-laki dan perempuan, sejalan dengan hasil penelitian Diener dan Kim (dalam Clikeman, 2007) yang menemukan tidak adanya perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan dalam pengukuran social withdrawal. Maccoby dan Jacklin (dalam Clikeman, 2007) juga mengemukakan bahwa walaupun terdapat perbedaan dalam pertemanan antara anak laki-laki dan perempuan pada masa anak-anak madya, namun terdapat kebaikan hati, kepedulian, dan dukungan antara kedua jenis kelamin. Clikeman (2007) sendiri menyatakan bahwa anak laki-laki dan perempuan menunjukkan ketertarikan dalam pertemanan dan ingin dapat diterima (menyesuaikan diri 41
dengan) lingkungannya. Tidak ada perbedaan dalam kemauan untuk mendengarkan orang lain, mengerti perspektif orang lain, dan ketertarikan pada kelompok dan aktivitas individual antara kedua jenis kelamin. Terdapat pula banyak kesamaan yang terjadi dalam kedua jenis kelamin. Hubungan teman sebaya dengan kompetensi akademik muncul menjadi sebuah bagian dari perkembangan dan penekanan pada kebutuhan untuk perkembangan perilaku yang tepat secara sosial untuk kesusksessan perkembangan sosial selanjutnya. Penelitian yang dilakukan oleh Measelle (dalam Clikeman, 2007) juga tidak menemukan adanya perbedaan dalam pencapaian kompetensi sosial antara anak laki-laki dan perempuan.
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Kompetensi sosial pada anak yang mengikuti sekolah bilingual secara umum tergolong pada kategori tinggi yaitu sebanyak 83,9%, sedangkan yang tergolong kategori sedang sebanyak 16,1% dan tidak terdapat subyek yang tergolong kategori rendah. Gambaran kompetensi sosial dalam kategori kompetensi sosial tinggi dalam keenam elemen kompetensi sosial juga menunjukkan bahwa mayoritas subyek berada pada kategori sedang dalam elemen kemampuan untuk mengambil perspektif orang lain. Hasil penelitian juga menunjukkan tidak terdapat perbedaan kompetensi sosial yang signifikan ditinjau berdasarkan jenis kelamin.
Saran Bagi Anak yang Mengikuti Sekolah Bilingual. Hendaknya anak mengikuti berbagai kegiatan positif yang diadakan di sekolah dan di lingkungan rumah sehingga anak dapat mengasah dan menjadi lebih berani dalam mengembangkan potensi yang ada pada dirinya Bagi Orangtua. Orangtua dapat memberikan penghargaan bagi anak jika menunjukkan perilaku yang baik sehingga anak lebih termotivasi untuk melakukan perilaku yang lebih baik lagi untuk mengembangkan kompetensi sosialnya Bagi Sekolah. Guru dapat memberikan kegiatan-kegiatan yang lebih bervariasi bagi anak sehingga anak dapat mengembangkan kreativitasnya dan mampu bekerja sama dengan baik dengan orang lain
42
Daftar Pustaka
Adepanji. (2010). Pengaruh Bahasa Asing Terhadap Perkembangan Anak (online). Available FTP : http://adepanji.wordpress.com/2010/01/05/pengaruh-bahasaasing-terhadap-perkembangan-anak/ - 02 Agustus 2010 Andersson, Una Cunningham dan Andersson, Staffan. (1999). Growing Up With Two Language : A Practical Guide. London : Routledge Azwar, Saifuddin. (2000). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Pustaka Belajar Offset. _______________ (2009). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset Clikeman, Margaret Semrud. (2007). Social Competence in Children. Michigan : Springer. Gene. (2007). Sekolah Bilingual (Dwibahasa) Ibarat Pisau Bermata Dua. (online). Available FTP : http://genenetto.blogspot.com/2007/09/sekolah-bilingual-dwibahasaibarat.html - 02 Agustus 2010 Gunarsa, Singgih D. (2004). Bunga Rampai Psikologi Perkembangan : Dari Anak Sampai Usia Lanjut. Jakarta : BPK Gunung Mulia Hurlock, Elizabeth B. (1978). Child development (6th ed). Singapore : McGraw-Hill Book Company _________________ (1993). Perkembangan Anak Jilid 1. Edisi Keenam. Jakarta : Erlangga _________________ (1999). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga. Landry, S. H., Smith, K. E., & Swank, P. R. (2009). New directions in evaluating social problem solving in childhood: Early precursors and links to adolescent social competence. In C. Lewis & J. I. M. Carpendale (Eds.), Social interaction and the development of executive function. New Directions in Child and Adolescent Development, 123, 51–68. Papalia & Olds. (2004). Human Development. New York : McGraw-Hill Book Co. Santrock, Jhon W. (2002). Life - Span Development 5th edition. Jakarta : Erlangga _______________ (2007). Perkembangan Anak. Edisi Kesebelas Jilid 1. Jakarta : Erlangga Schultz, Duane. (1994). Theory of Personality. USA: Brooks/Gol Publishing Company Pacific Gove California. Sutiyoso, Andy. (2006). Bahasa Asing Dalam Pendidikan Anak kita (online). http://www.semipalar.net/tulisan/tulisan 24.html - 14 September 2010 Tarigan, Henry Guntur. (1988). Pengajaran Kedwibahasaan. Bandung : Angkasa 43
Tarsidi, Didi. (2009). Perkembangan Kompetensi Sosial pada Anak. (online). Available FTP : http://d-tarsidi.blogspot.com/2007/11/perkembangan-kompetensi-sosialpada.html - 14 September 2010
44
HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP TERHADAP HIV/AIDS PADA MURID SMA ISLAM X JAKARTA TIMUR
Fitri Arlinkasari Universitas YARSI
Abstrak Penelitian ini mengukur hubungan antara pengetahuan mengenai HIV/AIDS dan sikap terhadap HIV/AIDS pada kelompok sampel murid SMA Islam X di wilayah Jakarta Timur. Penelitian ini menjadi dasar untuk menetapkan baseline intervensi berupa promosi pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang diberikan kepada murid SMA Islam X. Sampel penelitian terdiri atas 134 orang, 88 diantaranya adalah murid perempuan dan 47 murid laki-laki dengan rentang usia 15-17 tahun. Berdasarkan hasil pengukuran dengan menggunakan kuesioner sikap dan pengetahuan, didapatkan hasil yang korelasi negatif antara pengetahuan dan sikap terhadap HIV/AIDS dengan rxy=-0.34 (p<0.05). Artinya, semakin tinggi pengetahuan mengenai HIV/AIDS yang dimiliki sampel, semakin negatif sikap mereka terhadap HIV/AIDS. Temuan ini cukup menarik karena kebanyakan hasil penelitian sebelumnya mengungkap hal sebaliknya dimana pengetahuan berkorelasi positif dengan sikap terhadap HIV/AIDS. Berdasarkan hasil survey dan wawancara kualitatif, perbedaan hasil dalam penelitian ini umumnya dipengaruhi oleh pandangan sampel terhadap HIV/AIDS yang mayoritas disebabkan oleh perilaku seksual beresiko. Perilaku seks sendiri bagi kebanyakan sampel masih dipandang sebagai satu hal yang tabu untuk dibahas dalam komunitas mereka, terutama komunitas islam. Implikasi dari penelitian ini adalah untuk menetapkan bentuk intervensi yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman siswa tentang HIV / AIDS dengan pendekatan yang dapat diterima oleh nilainilai Islam yang mereka anut. Kata kunci: HIV/AIDS, sekolah Islam, pengetahuan dan sikap
Pendahulan HIV/AIDS bukanlah hal baru di Indonesia, pertama kali diidentifikasi pada tahun 1987. Pada awalnya, pemerintah memandang bahwa kasus HIV/AIDS tidak akan berkembang di Indonesia karena Indonesia merupakan Negara Pancasilais dan sebagian besar penduduk menganut Islam. Para penderita HIV/AIDS pun mendapatkan perlakuan negatif dari masyarakat seperti dikucilkan, tidak mendapatkan asuransi dan dikeluarkan dari pekerjaan. Menyadari semakin maraknya kasus HIV/AIDS di Indonesia, pemerintah mulai membentuk lembaga tingkat nasional maupun daerah dan bekerja sama dengan berbagai LSM untuk menyebarkan informasi mengenai HIV/AIDS dan pencegahannya.
45
Tampaknya, upaya tersebut tidak begitu berhasil dalam menekan penyebaran kasus HIV/AIDS di Indonesia (Muninjaya, 1998). Selama lima tahun terakhir, penyebaran HIV dan AIDS di Indonesia cukup tinggi bahkan UNAIDS (Joint United Programme on HIV and AIDS) menjuluki Indonesia sebagai Negara di Asia dengan tingkat penyebaran HIV/AIDS paling cepat. Menurut data Kemenkes pada tahun 2012, penderita HIV/AIDS di Indonesia mencapai 131.685 orang, dengan
pembagian
92.251
pengidap
HIV
dan
39.434
(http://lampost.co/berita/penyebaran-aids-di-indonesia-tercepat-di-asia).
AIDS
Penyebaran
HIV/AIDS tidak mengenal jenis kelamin maupun usia, laki-laki maupun perempuan, mulai dari anak-anak hingga dewasa berisiko untuk mengidap HIV/AIDS. Penyebaran HIV/AIDS umumnya terjadi karena perilaku berisiko seperti pengguna narkoba suntik dan hubungan seks tidak aman. Berdasarkan data pada tahun 2012, sebagian besar (77.4%) penyebaran HIV/AIDS tersebut terjadi melalui hubungan seks berisiko (http://lampost.co/berita/penyebaran-aids-di-indonesia-tercepat-di-asia-). Laki-laki pengidap HIV/AIDS melakukan hubungan seks berisiko dengan perempuan, sehingga penularan terjadi dengan mudah. Pada tahun 2012, sekitar 35% dari pengidap HIV/AIDS adalah perempuan yang umumnya ibu rumah tangga. Kurangnya pengetahuan mengenai hubungan seks yang aman dan kurangnya kemampuan/power perempuan untuk menolak hubungan seksual berisiko (menganjurkan menggunakan kondom saat berhubungan intim) menjadi
penyebab
utama
penyebaran
HIV/AIDS
pada
perempuan
(http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2012/12/121130_hiv_aids.shtml). Remaja seringkali mendapatkan tekanan dari teman sebayanya untuk melakukan hubungan seks dini, dan remaja perempuan biasanya tidak memiliki kemampuan untuk menolak melakukan hubungan seks bebas (Mwaba, 2000 dalam Agha 2002). Di Indonesia, perilaku seks pranikah pada remaja tidak lagi menjadi hal aneh diperkirakan dipengaruhi oleh pergeseran budaya di kalangan masyarakat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kementrian Kesehatan pada tahun 2009 mengenai perilaku seks pranikah remaja di empat kota (Jakarta Pusat, Medan, Bandung dan Surabaya) menunjukkan 35.9% remaja mempunyai teman yang sudah pernah melakukan hubungan seksual pranikah. Bahkan 6.9% dari responden tersebut sudah pernah melakukan hubungan seksual pranikah (http://kebijakankesehatanindonesia.net). Dengan demikian, penyebaran HIV/AIDS melalui hubungan seksual pada remaja sangat mungkin terjadi. HIV/AIDS tidak hanya menjadi tanggung jawab bidang kesehatan, tetapi juga melibatkan peranan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Menurut WHO (dalam Muninjaya, 1998) beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk menanggulangi HIV/AIDS adalah: penanganan penderita, penanggulangan penyakit kelamin, perhatian kepada kaum 46
perempuan, dukungan dari lingkungan sosial untuk menunjang upaya pencegahan penularan HIV, antisipasi masalah dampak ekonomi, dan pengembangan pergerakan masyarakat untuk menghilangkan diskriminasi. Berbagai lembaga baik dari pemerintah maupun LSM terkait, giat melakukan promosi kesehatan terutama memberikan pengetahuan dan informasi kepada masyarakat untuk mengurangi penularan HIV/AIDS. Promosi kesehatan untuk mengurangi penularan HIV/AIDS ini juga diberikan kepada generasi muda melalui pendidikan dan penyuluhan di sekolah/universitas (Muninjaya, 1998). Guna mencegah penularan HIV AIDS, sekolah Islam X di wilayah Jakarta Timur bekerja sama dengan Universitas YARSI (melalui Fakultas Teknologi Informasi, Fakultas Psikologi dan YARSI HIV AIDS Care) melakukan studi pendahuluan sebelum menentukan intervensi berupa promosi kesehatan bagi para siswa. Pengukuran yang dilakukan melibatkan variabel sikap dan pengetahuan siswa terhadap HIV AIDS, sebab kedua variabel tersebut secara teoretik dapat memprediksi intensi berperilaku seseorang (Ajzen, 2005; Azwar, 2005).
Metode Penelitian ini dilakukan di sekolah Islam X di wilayah Jakarta Timur. Sekolah tersebut merupakan sekolah binaan Muhammadiyah dan merupakan salah satu sekolah mitra Universitas YARSI untuk kegiatan pengabdian masyarakat serta penelitian. Pengambilan data dilakukan sebanyak tiga kali. Pengambilan data pertama dan kedua dilakukan untuk mendapatkan data kuantitatif dengan menggunakan kuesioner berbasis mobile pada tanggal 16 dan 17 Oktober 2014. Selanjutnya, pengambilan data ketiga dilakukan pada tanggal 28 November 2014 untuk mendapatkan data kualitatif melalui wawancara dengan beberapa siswa yang sebelumnya telah mengisi kuesioner. Pengambilan sampel dilakukan denga teknik purposive sampling. Sampel yang terlibat dalam penelitian ini merupakan siswa-siswi kelas X dan XI SMA Islam X yang sebelumnya secara khusus telah ditargetkan oleh pihak sekolah untuk berpartisipasi sebagai responden dan objek intervensi promosi kesehatan. Sikap terhadap HIV/AIDS diukur dengan menggunakan skala likert yang disusun sendiri dan terdiri atas 12 item dengan 4 alternatif pilihan jawaban, yaitu (1) Sangat tidak setuju, (2) Tidak Setuju, (3) Setuju, (4) Sangat setuju. Sementara variabel pengetahuan disusun dengan menggunakan pilihan jawaban benar-salah. Pertanyaan yang dijawab dengan tepat oleh sampel akan mendapatkan skor 1, sementara pertanyaan yang dijawab
47
dengan tidak diskor 0. Jumlah pertanyaan dalam alat ukur pengetahuan tentang HIV/AIDS adalah sebanyak 30 item. Pada uji validitas dan reliabilitas alat ukur, peneliti melibatkan 47 responden yang merepresentasikan sampel. Dari 47 kuesioner yang terdata hanya 46 kuesioner yang dapat diproses. Skala sikap memiliki 12 aitem dengan reliabilitas sebanyak 0.596 yang menandakan alat ukur ini sudah cukup reliable. Sementara pada skala pengetahuan dengan jumlah aitem sebanyak 30 aitem yang dapat diproses sebanyak 28 aitem memiliki nilai reliabilitas 0.554 yang menandakan alat ukur tersebut cukup reliabel. Hal tersebut dikarenakan dua aitem lainnya, yaitu aitem 5 dan aitem 24 tidak diisi oleh beberapa responden. Setelah memproses reliabilitas dilakukan uji normalitas menggunakan rumus Kolgomorov-Smirnov pada masing-masing skala. pada skala pengetahuan dan skala sikap diketahui bahwa memiliki distribusi normal.
Variabel
K-SZ
p
Pengetahuan
0.858
0.454
Sikap
0.718
0.680
Tipe penelitian ini merupakan penelitian korelasional untuk melihat hubungan antara sikap dengan pengetahuan siswa terhadap HIV/AIDS. Perhitungan korelasi menggunakan teknik statistik pearson product moment dengan menggunakan SPSS.
Hasil dan Analisis Total sampel yang berpartisipasi dalam pengambilan data tahap 1 dan 2 adalah sebanyak 134 siswa. Dua puluh delapan dari 47 responden di antaranya berjenis kelamin perempuan, sementara 18 orang lainnya berjenis kelamin laki-laki. Rentang usia responden pada pengukuran ini adalah 15 – 19 tahun. Sebanyak satu responden berusia 15 tahun, enam belas responden berusia 16 tahun, sebelas responden berusia 17 tahun, Sembilan responden berusia 18 tahun, dan Sembilan responden lainnya berusia 19 tahun.
Uji Korelasi Hipotesis dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan teknik korelasi pearson product moment. Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan yang positif antara pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan sikap terhadap HIV/AIDS. Hasil yang diperoleh setelah dilakukan pengujian adalah rxy= -0,34 (p<0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa hipotesis peneliti ditolak. Hal ini dikarenakan korelasi 48
antara kedua variabel adalah negatif, dimana semakin tinggi pengetahuan sampel tentang HIV/AIDS justru membuat sikapnya semakin negatif terhadap HIV/AIDS. Dengan ditolaknya hipotesis penelitian, maka peneliti tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai sikap beberapa sampel terhadap HIV/AIDS melalui pendekatan kualitatif. Berdasarkan data kuantitatif yang didapat, semakin tinggi pengetahuan subyek mengenai HIV/AIDS, justru membuat sikap subyek terhadap HIV/AIDS semakin negatif. Temuan ini menjadi menarik untuk dikaji sebab dalam banyak penelitian sebelumnya, pengetahuan berkorelasi positif dengan sikap terhadap HIV/AIDS (Oktarina, dkk., 2009; Ouzouni & Nakakis, 2012) . Hal tersebut dikarenakan Pengetahuan merupakan faktor predisposisi terjadinya perubahan sikap (Sarwanto, 1999). Apabila tingkat pengetahuan baik setidaknya dapat mendorong untuk mempunyai sikap dan perilaku yang baik pula (Widodo, dkk., 2005). Dengan demikian, setidaknya orang akan dapat lebih objektif memandang HIV/AIDS sebagai suatu infeksi yang bisa menular kepada siapa saja dan sangat bergantung dari hal-hal yang dapat diubah ataupun dicegah, seperti perilaku dan gaya hidup. Dalam kelompok atau komunitas tertentu, HIV/AIDS maupun penyakit menular lain seringkali dipandang negatif yang dimanifestasikan dalam bentuk stigma dan sikap negatif. Pada kelompok primitif misalnya, penyakit menular ataupun penyakit kronis lainnya dianggap lebih disebabkan oleh kutukan (sumber irasional) dibandingkan oleh perilaku tidak sehat dan beresiko. Akibatnya, orang yang terinfeksi HIV menjadi diasingkan dan tidak mendapatkan penanganan yang tepat sehingga berpotensi menularkan kembali pada orang-orang di sekitarnya. Hal lain yang lebih fatal akibat stigma negatif yang berlebihan adalah masyarakat menjadi tidak belajar tentang penyebab menularnya HIV dan cenderung membesar-besarkan resiko terinfeksi HIV (Woubalem, 2005). Tidak hanya pada kelompok primitif, pada sejumlah kelompok agama pun sikap terhadap HIV/AIDS cenderung negatif. Sebagai contoh, perilaku seksual yang beresiko (seperti hubungan seks di luar nikah, berganti-ganti pasangan seksual, dan hubungan seks sesama jenis) merupakan perilaku yang tidak bisa diterima secara norma, khususnya norma agama dan tabu untuk dibicarakan (Ahmed, 2013). Dengan demikian, dalam berbagai kasus, kelompok muslim cenderung lebih mudah melakukan diskrimnasi kepada mereka yang terinfeksi HIV dengan alasan bahwa ODHA sejak awal tidak memikirkan konsekuensi atas tindakan di luar norma (Hasnain, 2005). Padahal, penularan HIV kini mulai banyak terjadi di kalangan rumah tangga, terutama para istri yang terinfeksi dari suaminya yang tanpa sepengatahuan istri, melakukan hubungan seksual dengan pasangan lain. Tanpa memandang media dan proses penularannya, sejumlah kelompok cenderung tetap memberikan stigma negatif pada orang yang tidak sengaja tertular HIV 49
(dalam hal ini, istri yang tertular dari suami akibat perilaku seksual beresiko dengan pasangan lain atau perselingkuhan). Hasil wawancara dengan 10 subyek dalam penelitian ini secara umum relevan dengan temuan-temuan sebelumnya yang meneliti sikap terhadap HIV/AIDS pada kelompok muslim. Sebagaimana disebutkan dalam bagian hasil penelitian, delapan subyek mengemukakan bahwa HIV/AIDS adalah akibat dari perbuatan berdosa yang dilarang agama sehingga sikap subyek terhadap ODHA dan perbuatan yang membuatnya terinfeksi menjadi negatif. Sikap yang cenderung negatif tersebut bahkan membuat sebagian besar subyek beranggapan bahwa upaya pencegahan akan menjadi sia-sia jika masyarakat tidak memiliki pemahaman yang baik mengenai norma agama (khususnya Islam) yang memang telah melarang umatnya untuk berzinah. Dengan demikian, intervensi promosi pencegahan hanya bisa menjadi efektif bagi kelompoknya atau di sekolahnya jika melibatkan pemimpin agama atau dengan pendekatan nilai-nilai islam.
Daftar Pustaka
Ahmed, S. (2013). Aids and the muslim world: a challenge. Asian Journal Of Social Sciences & Humanities. Vol. 2 No.3. Ajzen, I. (2005). Attitudes, Personality and Behavior (2nd Edition). Poland: Polskabook Azwar, S. 2005. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Hasnain, M. (2005). Cultural approach to HIV/AIDS harm reduction in muslim countries. Harm Reduction Journal. 2: 23. Kebijakan Kesehatan Indonesia. (n.d). “BKKBN: Seks Bebas Kini Masalah Utama Remaja Indonesia”. Diunduh pada 29 Januari 2014 dari http://kebijakankesehatanindonesia.net/component/content/article/73-berita/1233bkkbn-seks-bebas-kini-masalah-utama-remaja-indonesia.html Limputtong, P., (2013). Stigma, Discrimination, and Living With HIV/AIDS. Victoria: Springer Muninjaya, Gde A.A. (1998). AIDS di Indonesia: Masalah dan Kebijakan Penanggulangannya. Jakarta: EGC. Ouzoni, C., Nakakis, K., (2012). HIV/AIDS knowledge, attitudes and behaviors of student nurses. Health Science Journal. Volume 6, Issue 1.
50
Oktarina, dkk., (2009). Hubungan antara karakteristik responden, keadaan wilayah dengan pengetahuan, sikap terhadap HIV/AIDS pada masyarakat Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. Vol 12 No.4 (362-369). Penyebaran AIDS di Indonesia Tercepat di Asia, (2013, Februari). Diunduh pada Desember, 11, 2013 dari http://lampost.co/berita/penyebaran-aids-di-indonesiatercepat-di-asiaPerempuan dan Anak Rentan HIV/AIDS (2012, Desember) Diunduh pada Desember 11, 2013 dari http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2012/12/121130_hiv_aids.shtml Population Council. (n.d.). Peer Education and HIV/AIDS: Past Experience, Future Directions. Diunduh dari http://www.popcouncil.org/pdfs/peer_ed.pdf Sarwanto. Pengetahuan Penyakit Menular Seksual (PMS) dan HIV/AIDS Remaja Pekerja PT Flower Indonesia dan Upaya Peningkatannya, Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, Vol. 3 No. 2, Desember 1999. Widodo AD, dkk., 2005. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku tentang Kehamilan, Persalinan serta Komplikasinya pada Ibu Hamil Nonprimigravida di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Majalah Kedokteran Indonesia 55 (10).
51
KEKERASAN DALAM PACARAN PADA SISWA SMA DITINJAU DARI KONFORMITAS TEMAN SEBAYA DAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI DALAM KELUARGA
Anna Dian Savitri Fitria Linayaningsih Fakultas Psikologi Universitas Semarang
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan konformitas teman sebaya dan efektivitas komunikasi orang tua dengan kekerasan dalam pacaran (KDP) pada remaja. Penelitian dilakukan pada 70 siswi SMAN “X” Semarang yang sudah memiliki pacar. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif, dengan menggunakan skala sebagai alat ukur. Berdasarkan analisis hasil penelitian diketahui bahwa korelasi konformitas dengan KDP sebesar 0,424 sedangkan korelasi efektivitas dengan KDP sebesar 0,381. Diketahui juga bahwa subyek yang mengalami kekerasan verbal sebanyak 13,5%, subyek yang mengalami kekerasan seksual sebanyak 42,7%, subyek yang mengalami kekerasan fisik sebanyak 42,7%. Berdasarkan penggalian informasi terhadap subyek yang mengalami KDP, rata-rata masih banyak yang belum memahami bentukbentuk KDP secara verbal, karena mereka cenderung menganggap KDP verbal apabila dimarahi,dibentak, diancam, dan dilarang melakukan ini itu. KDP seksual yg dialami ratarata adalah pelecehan seksual dalam bentuk diraba-raba dan dicium paksa oleh pasangannya. KDP Fisik yang dialami rata-rata didorong, ditarik,ditampar oleh pasangannya. Kata Kunci : KDP, Konformitas, Efektivitas Komunikasi
Pendahuluan Masa remaja merupakan masa pembentukan identitas diri. Pada masa ini diharapkan remaja mampu membangun sense of identity. Setelah itu dilanjutkan dengan tugas perkembangan berikutnya, yaitu intimacy, atau menjalin hubungan dengan lawan jenisnya, (Havighurst). Pada masa remaja terjadi perkembangan yang dinamis dalam kehidupan individu yang ditandai dengan percepatan pertumbuhan fisik, emosional, dansosial (Hurlock, 1980: 210). Perubahan fisik yang terjadi di antaranya timbul proses pematangan organ reproduksi, selain itu juga sudah terjadi perubahan psikologis. Hal ini mengakibatkan perubahan sikap dan tingkah laku seperti mulai tertarik dengan lawan jenis, berusaha menarik perhatian dan muncul perasaan cinta yang kemudian akan muncul dorongan seksual. Munculnya dorongan seksual karena pada masa remaja cenderung memiliki tingkat seksual yang tinggi sehubungan dengan mulai matangnya hormon seksual 52
dan organ-organ reproduksi. Perasaan suka terhadap lawan jenis atau tertarik dengan lawan jenis merupakan proses perkembangan sosial remaja, yang sering diungkapkan dengan istilah berpacaran. Ada
beberapa
definisi
berpacaran
yang
dikemukakan
oleh
para
tokoh
perkembangan remaja mengenai berpacaran. Menurut Himawan (2007: 3) pacaran adalah penjajakan antar pribadi untuk saling menjalin cinta kasih. Santrock (2003:239) mengemukakan bahwa memilih dan menentukan pasangan untuk dinikahi disebut dengan kencan. Hubungan pacaran yang dilakukan oleh remaja memiliki arti penting bagi remaja yang berpacaran. Manfaat secara umum seseorang berpacaran adalah menikmati kebersamaan bersama orang lain (Santrock, 2003: 243). Dengan berpacaran seseorang merasakan cinta, kasih sayang, penerimaan lawan jenis dan rasa aman dari sang pacar. Berpacaran juga dapat melatih keterbukaan, umpan balik dan menyelesaikan konflik. Harlock (1980:228) juga mengemukakan bahwa dengan berpacaran maka remaja akan mempunyai ketrampilan sosial yang baik, sikap baik hati dan menyenangkan. Fenomena perilaku pacaran di kalangan remaja sudah sangat umum. Hampir sebagian besar remaja yang sekaligus siswa ini telah dan pernah berpacaran, baik remaja kota maupun remaja desa. Hal ini dapat terlihat di salah satu media massa yang membidik anak usia sekolah menengah terkait masalah hubungan antar lawan jenis atau biasa dikenal dengan istilah pacaran. Riset yang dilakukan KPAI di 12 kota di Indonesia tahun 2010, menunjukan bahwa dari 2.800 responden pelajar, 76% perempuan dan 72% laki-laki pernah mengaku berpacaran (Andri Haryanto, 2010). Berpacaran dapat memberikan kontribusi positif maupun negatif bagi remaja yang berpacaran. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Saadatun Nisa (2008), menunjukan bahwa berpacaran dapat memberikan kontribusi positif bagi remaja yang berpacaran. Hasil positif yang didapatkan oleh remaja yang berpacaran adalah ketika mereka dihadapkan oleh suatu konflik, maka jalan untuk menyelesaikan konflik adalah dengan pengendalian diri di antara mereka. Pengendalian diri tersebut di antaranya yaitu kesabaran dan berpikir positif. Selain itu, masa remaja juga merupakan masa yang rentan untuk terpengaruh hal negatif misalnya melakukan bentukbentuk perilaku seksual remaja yang beresiko: gaya pacaran yang tidak sesuai norma, seks pranikah, kehamilan tidak dikehendaki (KTD), aborsi, dan kekerasan dalam berpacaran. Akhir-akhir iniberita-berita kriminal atau infotainment kasus-kasus mengenai kekerasan dalam berpacaran yang merebak terjadi pada pasangan kekasih. Khususnya di kalangan remaja SMA cenderung banyak yang mengalami kekerasan dalam berpacaran yang sekarang kerap disingkat menjadi KDP. Pada saat mengalami masa-masa pacaran, ternyata proses yang dihadapi untuk setiap orang tidak sama. Ada yang berjalan dengan 53
sangat menyenangkan, namun tidak sedikit pula yang terpaksa menjalaninya dengan berbagai hal yang tidak nyaman. Anehnya, meskipun dengan keadaan yang tidak mengenakkan, tetap saja bentuk hubungan bernama pacaran itu tetap saja menjadi impian para remaja. Berbagai bentuk tindakan kurang menyenangkan, seperti hal nya dalam rumah tangga juga banyak terjadi pada remaja sekarang ini, sehingga KDP adalah topik yang sering diperbincangkan akhir akhir ini. KDP tergolong dalam satu bentuk penyimpangan perilaku remaja yang kasusnya biasa terjadi, namun kadang tanpa disadari baik itu oleh korban, atau bahkan pelakunya sendiri. Banyak rasionalisasi yang dilakukan oleh pelaku maupun korban kekerasan. Hal tersebut dikarenakan ketika insan sedang jatuh cinta, rasa indah selalu seperti hidup di surga. Data kasus kekerasan yang ditangani oleh Jaringan Relawan Independen (JaRI) periode April 2002-Juni 2007, yakni, dari 263 kasus kekerasan yang masuk, ada 92% korban perempuan (sekitar 242 orang). Dimana sepertiganya merupakan KDP. Sementara itu, kasus KDP dan perkosaan pun menjadi kasus dominan yang ditangani Rifka Annisa Women`s Crisis Center asal Yogyakarta, setelah kekerasan terhadap istri. Selama 14 tahun terakhir, dari 3.627 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terungkap, sekitar 26 % di antaranya adalah KDP dan perkosaan. Rifka Annisa (2002) mencatat bahwa kekerasan terhadap perempuan yang terjadi antara bulan Januari-Juli 2002 tercatat sebanyak 248 kasus. Dimana 60 kasus merupakan KDP dan perkosaan 30 kasus.Bahkan berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada 10 Juli 2014 dengan salah satu relawan dari PILAR PKBI Jawa Tengah, ditemukan bahwa pada kekerasan dalam pacaran ternyata merupakan kasus terbanyak kedua setelah kekerasan terhadap istri dan banyak menimpa perempuan sebagai korban. KDP adalah perilaku atau tindakan seseorang dapat disebut sebagai tindak kekerasan dalam percintaan atau pacaran apabila salah satu pihak merasa terpaksa, tersinggung dan disakiti dengan apa yang telah dilakukan oleh pasangannya pada hubungan pacaran. Suatu tindakan dikatakan kekerasan apabila tindakan tersebut sampai melukai seseorang baik secara fisik maupun psikologis, bila yang melukai adalah pacar maka ini bisa digolongkan tindak KDP. Sebenarnya kekerasan ini tidak hanya dialami oleh perempuan atau remaja putri saja, remaja putra pun ada yang mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pacarnya. Tetapi perempuan lebih banyak menjadi korban dibandingkan laki-laki karena pada dasarnya kekerasan ini terjadi karena adanya ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang dianut oleh masyarakat luas. Ketidakadilan dalam hal jender selama ini telah terpatri dalam kehidupan sehari-hari, bahwa seorang perempuan biasa dianggap sebagai makhluk yang lemah, penurut, pasif,
54
mengutamakan kepentingan laki-laki dan lain sebagainya, sehingga dirasa “pantas” menerima perlakuan yang tidak wajar atau semena-mena. Payung hukum terhadap terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan, sebetulnya sudah cukup terakomodasi melalui UU No. 23 tahun 2004 tentang KDRT. Namun untuk KDP, belum ada payung hukum khusus, dan masih menggunakan KUHP sebab dianggap kasus kriminal biasa. KDP bisa masuk dalam KDRT, karena kekerasan yang terjadi dalam relasi domestik, antara laki-laki dan perempuan yang memiliki hubungan khusus. Hal yang khas yang sering muncul dalam kasus kasus kekerasan dalam pacaran adalah bahwa korban biasanya memang cenderung lemah, kurang percaya diri, dan sangat mencintai pasangannya. Apalagi karena sang pacar, setelah melakukan kekerasan (menampar, memukul, nonjok, dll) biasanya setelah itu menunjukkan sikap menyesal, minta maaf, dan berjanji tidak akan mengulangi tindakan kekerasan lagi, dan bersikap manis kepada pasangannya. KDP (Dating Violence) adalah segala bentuk tindakan yang mempunyai unsur pemaksaan, tekanan, perusakan, dan pelecehan fisik maupun psikologis yang terjadi dalam hubungan pacaran. Kekerasan dalam pacaran meliputi kekerasan fisik, emosional, dan atau verbal oleh seseorang kepada pasangannya yang dilakukan dalam hubungan pacaran. Hal ini bisa dilakukan tidak hanya oleh pria, melainkan juga oleh wanita. Beberapa bentuk kekerasan yang sering terjadi di dalam pacaran, yaitu: Kekerasan fisik, meliputi memukul, menendang, menjambak rambut, menampar, menonjok, melempar benda, membawa ke tempat yang membahayakan keselamatan korban. Kekerasan seksual, meliputi setiap kontak seksual yang tidak diinginkan, rabaan, ciuman, melakukan hubungan seksual yang tidak dikehendaki dengan berbagai ancaman. Kekerasan emosional atau psikis, meliputi mengejek, curiga berlebihan, selalu menyalahkan pacar, mengekang, melarang atau membatasi aktifitas, memeras, melarang untuk menegur orang lain. Kekerasan secara ekonomi, bentuk kekerasan ini memang tidak terlalu terasa dan bahkan menganggap tidak pernah ada, kekerasan yang sering timbul dalam hal ekonomi diantaranya berupa peminjaman uang dan/atau barang yang pada ketika ingin ditagih maka si peminjam beralasan yang macam-macam, kemudian dapat juga dengan pengendalian terhadap pengeluaran dari salah satu pihak, misal: selalu minta ditraktir dan belanja barang yang mewah, ketika tidak dituruti kemauannya maka akan berimbas kepada kekerasan yang lain, bisa fisik maupu psikis. Berbeda dengan kekerasan fisik dan seksual, kekerasan emosional tidak meninggalkan luka yang jelas dan sulit dijelaskan, tapi efeknya bisa lebih parah daripada luka fisik. Kekerasan fisik ini seringkali dimulai dari hal-hal yang sederhana. Korban 55
membiarkan terjadi karena menganggap tidak ada resiko besar yang akan menjadi konsekuensi dari ‘pembiaran’ tadi. Rasionalisasi yang dilakukan korban misalnya “lagian dia kan pacarku” atau “sesekali bolehlah”. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan kekerasan dalam pacaran,
diantaranya
yaitu
pola
asuh
dan
lingkungan
keluarga
yang
kurang
menyenangkan. Keluarga merupakan lingkungan sosial yang amat berpengaruh dalam membentuk
kepribadian
seseorang.
Masalah-masalah
emosional
yang
kurang
diperhatikan orang tua dapat memicu timbulnya permasalahan bagi individu yang bersangkutan di masa yang akan datang. Misalkan saja sikap kejam orang tua, berbagai macam penolakan dari orang tua terhadap keberadaan anak, dan sikap disiplin yang diajarkan secara berlebihan. Hal-hal semacam itu akan berpengaruh pada peran (role model) yang dianut anak itu pada masa dewasanya. Bisa model peran yang dipelajari sejak kanak-kanak tidak sesuai dengan model yang normal atau model standard, maka perilaku semacam kekerasan dalam pacaran ini pun akan muncul. Penyebab yang lain adalah peer group, teman sebaya memiliki pengaruh yang besar dalam memberikan kontribusi semakin tingginya angka kekerasan antar pasangan. Berteman dengan teman yang sering terlibat kekerasan dapat meningkatkan resiko terlibat kekerasan dengan pasangannya. Berdasarkan penelitian tentang KDP dan Kecemasan Remaja Putri di Kabupaten Purworejo yang dilakukan oleh Ayu Musvita (2012:74) diperoleh hasil bahwa banyak remaja putri yang mengalami kekerasan fisik dari pacarnya, dan mengalami kecemasan yang sedang dalam menghadapi pacarnya. Sementara hasil penelitian dari Ferlita (2008:23) tentang sikap terhadap kekerasan dalam berpacaran diperoleh hasil bahwa kecenderungan sikap positif ataupun negatif pada responden lebih banyak didominasi oleh komponen afektif daripada kognitif dan komponen konatif dalam pembentukan sikap terhadap kekerasan dalam berpacaran. Perilaku atau tindakan seseorang dapat digolongkan sebagai tindak KDP apabila salah satu pihak merasa terpaksa, tersinggung dan disakiti dengan apa yang telah dilakukan oleh pasangannya baik dalam hubungan suami istri atau pada hubungan pacaran. Suatu tindakan dikatakan kekerasan apabila tindakan tersebut sampai melukai seseorang baik secara fisik maupun psikologis, bila yang melukai adalah pacar maka ini bisa digolongkan tindak KDP. Tindakan melukai secara fisik misalnya dengan memukul, bersikap kasar, perkosaan dan lain – lain, sedangkan melukai secara psikologis misalnya bila pacar suka menghina , selalu menilai kelebihan orang lain tanpa melihat kelebihan pasangan, cemburu yang berlebihan dan lain sebagainya. Namun bentuk kekerasan yang
56
paling sering terjadi adalah kekerasan seksual bisa berupa pelecehan seksual secara verbal maupun fisik, memaksa melakukan hubungan seks. Pengaruh keluarga sangat besar dalam membentuk kepribadian seseorang. Masalah – masalah emosional yang kurang diperhatikan oleh orang tua dapat memicu timbulnya permasalahan bagi individu yang bersangkutan di masa yang akan datang. Pengaruh peer group atau konformitas teman sebaya juga menjadi salah satu penyebab munculnya kecenderungan remaja melakukan KDP. Kekerasan dalam pacaran (Dating violence) adalah tindakan atau ancaman untuk melakukan kekerasan, yang dilakukan salah seorang anggota dalam hubungan dating ke anggota lainnya (Sugarman & Hotaling dalam Krahe, 2001). Selain itu, menurut
The
National Clearinghouse on Family Violence and Dating Violence (2006), dating violence adalah serangan seksual, fisik, maupun emosional yang dilakukan kepada pasangan, sewaktu berpacaran. The American Psychological Association (dalam Warkentin, 2008) menyebutkan bahwa
dating violence
adalah kekerasan psikologis dan fisik yang
dilakukan oleh salah satu pihak dalam hubungan pacaran, yang mana perilaku ini ditujukan untuk memperoleh kontrol, kekuasaan dan kekuatan atas pasangannya. Peneliti di The University of Michigan Sexual Assault Prevention and Awareness Center
Burandt, Wickliffe, Scott, Handeyside, Nimeh & Cope (dalam Murray, 2007)
mendefinisikan
dating violence
sebagai tindakan yang disengaja (intentional), yang
dilakukan dengan menggunakan taktik melukai dan paksaan fisik untuk memperoleh dan mempertahankan kekuatan (power) dan kontrol (control) terhadap pasangan dating-nya. Lebih lanjut dikatakan bahwa perilaku ini tidak dilakukan atas paksaan orang lain, sang pelaku lah yang memutuskan untuk melakukan perilaku ini atau tidak, perilaku ini ditujukan agar sang korban tetap bergantung atau terikat dengan pasangannya. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa KDP adalah ancaman atau tindakan untuk melakukan kekerasan kepada salah satu pihak dalam hubungan berpacaran, yang mana kekerasan ini ditujukan untuk memperoleh kontrol, kekuasaan dan kekuatan atas pasangannya, perilaku ini bisa dalam bentuk kekerasan emosional, fisik dan seksual. Murray (2007) dalam bukunya yang berjudul Domestic and Dating Violence: An Information and Resource Handbook menyatakan bahwa terdapat tujuh faktor yang berkontribusi dalam dating violence, yaitu: penerimaan teman sebaya, harapan peran gender, pengalaman yang sedikit, jarang berhubungan dengan pihak yang lebih tua, sedikit akses ke layanan masyarakat, legalitas, penggunaan obat-obatan. World Report On Violence And Health (1999) mengindikasikan enam faktor yang menyebabkan dating violence diantaranya: faktor individual, sejarah kekerasan dalam
57
keluarga, penggunaan alkohol, gangguan kepribadian, faktor dalam hubungan, faktor komunitas Salah satu faktor yang dapat menjelaskan pengalaman KDP adalah konformitas. Menurut Baron dan Byrne (dalam Ayu,dkk, 2009:16) konformitas terjadi ketika individu mengubah tingkah laku mereka dengan tujuan menaati norma sosial yang ada. Menurut Hurlock (dalam Ayu,dkk, 2009:16) menambahkan bahwa peningkatan konformitas tersebut disebabkan waktu yang lebih banyak dihabiskan remaja bersama teman daripada bersama keluarga. Konformitas kelompok merupakan perilaku menyerah pada tekanan kelompok walaupun tidak ada permintaan langsung untuk mengikuti apa yang telah dibuat oleh kelompok tersebut. Individu melakukan konformitas atas dasar keinginan untuk berbuat benar, serta pengaruh negatif karena rasa takut mendapat celaan dari lingkungan sosial (Myers, dalam Indria dan Nindyati, 2007: 89). Myers juga menambahkan bahwa konformitas adalah suatu perubahan sebagai akibat tekanan kelompok, hal ini dapat dilihat dari kecenderungan individu untuk selalu menyamakan perilakunya terhadap kelompok, sehingga terhindar dari dari celaan, keterasingan atau cemooh. Sedangkan menurut Sarwono (Suharsono dan Haryono, 2009: 62) konformitas adalah perilaku sama dengan orang lain yang didorong oleh keinginan sendiri. Konformitas tidak selalu jelek dan tidak selalu baik, begitu pula perilaku yang konformitas yang terjadi pada kelompok teman sebaya. Banyak perilaku yang muncul pada anak karena mereka hanya mengikuti norma yang ada pada kelompoknya. Contohnya membolos sekolah, tawuran, merokok, dan lain sebagainya hanya karena mengikuti teman-teman dalam kelompoknya. Mereka beranggapan bahwa dengan melakukan perilaku tersebut berarti mereka merupakan bagian dari kelompok tersebut. Faktor kedua yang ingin dilihat untuk menjelaskan pengalaman KDP adalah efektivitas komunikasi dalam keluarga. Istilah komunikasi berasal dari kata communication yang bersumber dari kata communis yang artinya sama makna, jadi yang dimaksud dengan komunikasi adalah terjadinya percakapan antara komunikan dengan komunikator karena keduanya ada kesamaan dalam makna yang disampaikan (Bahri, 2004). Komunikasi juga dikatakan sebagai suatu proses antara dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam (Rogers & Kincaid dalam Cangara, 2011). Effendy (2011) menyatakan bahwa proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran dapat merupakan gagasan, informasi, opini, dan lain-lain yang muncul dari benaknya. Perasaan dapat berupa keyakinan, kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian, kegairahan dan lain-lain yang timbul dari lubuk hati. 58
Memahami istilah komunikasi di atas, komunikasi dapat dikatakan efektif apabila pesan diterima dan dimengerti sebagimana dimaksud oleh pengirim pesan, pesan ditindaklanjuti dengan sebuah perbuatan secara suka rela oleh penerima pesan dapat meningkatkan kualitas hubungan antarpribadi dan tidak ada hambatan untuk hal itu (Hardjana dalam Suranto, 2011). Menurut Gunawati, dkk (2006) Komunikasi efektif adalah proses penyampaian pesan verbal dan non verbal secara timbal balik dari komunikator ke komunikan, pesan diinterpretasi sesuai dengan maksud pesan, dan ada umpan balik dari pesan yang disampaikan. Menurut
Supratiknya
(1995)
komunikasi
efektif
tercapai,
bila
komunikan
menginterpretasikan pesan yang diterima mempunyai makna yang sama dengan maksud pesan yang disampaikan oleh komunikator. Komunikasi yang efektif juga dibangun dengan dasar keterbukaan yang menjadi kunci dasar bagi kepercayaan dan kesenangan (Stephen, 2011). Komunikasi orangtua dan anak dikatakan efektif bila kedua belah pihak saling dekat, saling menyukai dan komunikasi diantara keduanya merupakan hal yang menyenangkan dan adanya keterbukaan sehingga tumbuh sikap percaya. Komunikasi yang efektif dilandasi adanya kepercayaan, keterbukaan, dan dukungan yang positif pada anak agar anak dapat menerima dengan baik apa yang disampaikan oleh orangtua (Rakhmat, 2011). Komunikasi efektif antara orangtua dan anak sangat penting untuk menumbuhkan keakraban.Ketika orangtua mendengarkan secara aktif, kemampuan anak untuk mengungkapkan perasaan dan isi hatinya dirangsang dan semakin meningkat.Kebutuhan komunikasi merupakan kebutuhan vital dalam hubungan orangtua dan anak. Orangtualah yang diharapkan anak sebagai teman untuk berkomunikasi karena hanya orangtualah yang dekat dan dapat mendengar dengan penuh perhatian, menerima dan menanggapi segala bentuk perasaan yang dikemukakan anak sehingga anak tidak lari mencari orang lain yang dapat mendengar keluh kesah dan ungkapan perasaan hatinya (Laily & Matulessy, 2004). Gunarsa (2002: 101) menyatakan komunikasi dinilai tidak efektif atau gagal bila orang lain tidak memahami ide, gagasan pengirim pesan. Menurut Mulyana (2003 : 117) komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang hasilnya sesuai dengan harapan orangorang yang sedang berkomunikasi.
Metode Populasi yang akan diambil dalam penelitian ini ada siswi kelas XI SMAN “X” di Semarang. Adapun penelitian ini menggunakan purposive sampling, yaitu teknik 59
penentuan sampel sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh peneliti. Karakteristik subyek dalam penelitian ini adalah siswi SMAN “X” yang sedang proses berpacaran. Alat pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan Skala Kekerasan dalam Pacaran, Skala Konformitas Teman Sebaya dan Skala Efektivitas Komunikasi. Hasil analisis item skala KDP menunjukkan dari 36 item terdapat 25 item yang valid dan 11 item yang gugur, dengan
koefisiencorrected correlation berkisar 0,268 -
0,802. Hasil perhitungan item skala konformitas menunjukkan dari 32 item terdapat 13 item yang valid dan 21 item yang gugur. Setelah 21 item yang gugur itu dihilangkan, dilakukan penghitungan putaran kedua, dan terdapat 12 item valid, dan 1 item gugur, setelah item yang gugur dihilangkan kemudian pada putaran ketiga semua item dinyatakan valid dengan koefisiencorrected correlation berkisar 0,268 - 0,819. Hasil perhitungan item skala efektivitas komunikasi menunjukkan dari 30 item terdapat 22 item yang valid dan 8 item yang gugur dengan koefisiencorrected correlation berkisar 0,291 - 0,914. Dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis data korelasi Product Moment digunakan untuk melihat hubungan antara Kekerasan Dalam Pacaran dengan Konformitas Teman Sebaya dan Efektivitas Komunikasi. Hasil dan Analisis Sebelum melakukan analisis utama, uji lienaritas terlebih dahulu dilakukan. Hasil uji linieritas dengan menunjukkan bahwa :Variabel konformitas terhadap kekerasan dalam pacaran bersifat linier dengan F linier = 16,338 dengan p<0,05. Varibel efektivitas komunikasi terhadap kekerasan dalam pacaran bersifat linier dengan F linier = 18,994 dengan p<0,05. Hubungan konformitas dengan kekerasan dalam pacaran sebesar 0,424 dan dan efektivitas komunikasi dengan kekerasan dalam pacaran sebesar -0,381. Selain itu didapatkan pula data bahwa subyek yang mengalami kekerasan verbal sebanyak 13,5 % , subyek yang mengalami kekerasan seksual sebanyak 42,7 %, subyek yang mengalami kekerasan Fisik sebanyak 42,7 % Selain itu didapatkan pula data bahwa subyek yang mengalami kekerasan verbal sebanyak 13,5 % , subyek yang mengalami kekerasan seksual sebanyak 42,7 %, subyek yang mengalami kekerasan Fisik sebanyak 42,7 %. Berdasarkan penggalian informasi terhadap subyek yang mengalami KDP, rata-rata masih banyak yang belum memahami bentuk-bentuk KDP secara verbal, karena mereka cenderung menganggap KDP verbal apabila dimarahi,dibentak, diancam, dan dilarang melakukan ini itu. KDP Seksual yg dialami rata-rata adalah pelecehan seksual dalam bentuk diraba-raba dan dicium paksa
60
oleh pasangannya. KDP Fisik yang dialami rata-rata didorong, ditarik,ditampar oleh pasangannya. Konformitas teman sebaya dan komunikasi orangtua memiliki kontribusi terhadap KDP yang dialami oleh remaja. Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya tentang Kekerasan Dalam Pacaran dan Kecemasan Remaja Putri di Kabupaten Purworejo yang dilakukan oleh Ayu Musvita (2012:74) diperoleh hasil bahwa banyak remaja putri yang mengalami kekerasan fisik dari pacarnya, dan mengalami kecemasan yang sedang dalam menghadapi pacarnya. Demikian pula dengan pendapat Murray (2007) dalam bukunya yang berjudul Domestic and Dating Violence: An Information and Resource Handbook menyatakan bahwa terdapat tujuh faktor yang berkontribusi dalam dating violence, yaitu: penerimaan teman sebaya, harapan peran gender, pengalaman yang sedikit, jarang berhubungan dengan pihak yang lebih tua. Remaja yang menjadi korban KDP rata-rata kurang memiliki kedekatan dalam hal komunikasi dengan orang tuanya sehingga mereka cenderung kurang memahami bagaimana menjalin hubungan pacaran yang sehat. Sejalan dengan pendapat Laily & Matulessy, (2004), bahwa orang tualah yang diharapkan anak sebagai teman untuk berkomunikasi karena hanya orangtualah yang dekat dan dapat mendengar dengan penuh perhatian, menerima dan menanggapi segala bentuk perasaan yang dikemukakan anak sehingga anak tidak lari mencari orang lain yang dapat mendengar keluh kesah dan ungkapan perasaan hatinya .
Daftar Pustaka
Annisa, R. (2002). Derita Di balik Harmoni. Yogjakarta. Women’s Crissis Centre. Ayu, M. (2012). Kekerasan dalam pacaran dan kecemasan remaja putri di kabupaten purworejo. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol. 6. No. 1. Ayu,dkk. (2009). Hubungan Antara Konformitas Terhadap Teman Sebaya Dengan Intensi Merokok Pada Remaja Perempuan Di SMA Kesatrian 1 Semarang. Jurnal Psycho Idea. Tahun 7, No. 2. Bahri, Syaiful. (2004). Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Keluarga.Jakarta : PT. Reneka Cipta. Cangara. (2011). Pengantar Ilmu Komunikasi. Rajawali Pers. Effendy, Uchajana Onong. (2011). Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. PT Remaja Rosdakarya : Bandung.
61
Ferlita,G. (2008).Sikap Terhadap Kekerasan Dalam Berpacaran (Penelitian Pada Mahasiswi Reguler Universitas Esa Unggul Yang Memiliki Pacar.Jurnal Psikologi Vol 6 No 1 Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Esa Unggul Jakarta Gunarsa, Y. S. D. (2002). Asas-asas Psikologi Keluarga Idaman. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Gunawati & Hartati.(2006). Hubungan antara Efektivitas Komunikasi Mahasiswa Dosen Pembimbing utama skripsi dengan stres dalam Menyusun skripsi pada mahasiswa program Studi psikologi fakultas kedokteran Universitas Diponegoro.Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol. 3 No. 2, 2006. Haryanto, A. (2010). KPAI Ragukan Data BKKBN Soal 51 % PelajarNgeseks di Luar Nikah.Jakarta Himawan. (2007). Perkembangan Cinta Remaja. Hurlock, E. B. (1980). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga Indria, K., &Nindyati, A. D. (2007). Kajian Konformitas dan Kreativitas Affective Remaja. Jurnal Provitae. Vol. 3. No. 1. Hal. 85-108. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara. Laily, N. & Matulessy, A. (2004).Pola Komunikasi Masalah Seksual antara Orangtua dan Anak. Jurnal Psikologi. 19(2): 194-205. Mulyana, Deddy. (2003). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar.Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Murray, J. (2007). Abusive Dating Relationships. United States. HarperCollins Publishers Inc. Rakhmat, J. (2011). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Saadatun Nisa. (2008). Konflik Pacaran Jarak Jauh Dewasa Muda.Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. Santrock,John,W. (2002). Life Span Development : Perkembangan Sepanjang Hidup, Jilid 1, Jakarta : Erlangga Suharsono, M &Haryono, A.W. (2009). Sikap Terhadap Demonstrasi Ditinjau Dari Konformitas Pada Kelompok Teman Sebaya. Jurnal Psikodemensia. Volume. 8 No. 1. Stephen, Littlejohn, W & Karen Foss. (2011). Teori Komunikasi Edisi Sembilan. Jakarta: Salemba Humanika Suranto, AW. (2011). Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta: Graha Ilmu. Warkentin. J. (2008). Dating Violence and Sexual Assault Among College Men: CoOccurrence, Predictors, and Differentiating Factors. OHIO: Dept OfPsycyhology.
62
MOTIF WIRAUSAHA, IDENTITAS WIRAUSAHA DAN ENTERPRENEURIAL PASSION DALAM MENCAPAI KEBERHASILAN WIRAUSAHA
Ismarli Muis Fakultas Psikologi, Universitas Negeri Makassar
Abstrak The purpose of present study was to investigate factors that might influence the success of entrepreneurs. It involves the measurement at the individual level that reveals the emotion factor (entrepreneurial passion), entrepreneurial identity and motive of entrepreneurship. In this framework, the authors attempted to test that entrepreneurial passion is determined by the presence of a person's identity. In addition, it also predicted that the motive factor, either on the basis of opportunity and necessity, were related to the identity of an entrepreneur and entrepreneurial passion. Data were collected with questionnaire. The results of this study were expected to provide a more comprehensive understanding of the factors that influence the success of entrepreneurship.
Kata kunci: necessity entrepreneur, opportunity entrepreneur, entrepreneurial
passion,
entrepreneurial identity, entrepreneurial success
Pendahuluan Sejak beberapa tahun terakhir, gerakan penumbuhan wirausaha di Indonesia semakin gencar dilakukan. Jumlah kegiatan usaha di Indonesia berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, Indonesia saat ini telah memiliki 1,59% atau 3.707.205 wirausaha dari jumlah populasi penduduk Indonesia (www.depkop.go.id, 19 March 2013). Kondisi ini semakin mendekati target 2% persen yang merupakan standar bagi suatu negara untuk disebut sebagai negara maju. Sementara itu, berdasarkan hasil survey Global Entrepreneurship Monitor (GEM) 2006, kondisi wirausahawan di Indonesia menunjukkan lebih banyak aktivitias wirausaha yang berada pada tahap awal (19,3% dari 1.998 responden usia 18-64 tahun) dibanding yang telah established (17,6%). Mengingat bahwa aktivitas wirausaha pada tahap awal biasanya masih rentan untuk mengalami kegagalan (Cowling & Bygrave, 2003), maka dengan tingginya jumlah pelaku usaha tahap awal di Indonesia, diperlukan berbagai upaya untuk membantu para pelaku usaha tersebut untuk dapat mengembangkan usahanya ke tahap yang lebih 63
mapan. Permasalahannya, hasil Survey Global Entrepreneurship Monitor (GEM) tahun 2006 terhadap 46 negara menunjukkan bahwa di Indonesia, keinginan untuk memulai usaha pada individu yang sedang tidak bekerja, misalnya karena pengangguran (yang disebut wirausahawan necessity), justru nampak lebih rendah dibanding mereka yang memang ingin menjadi wirausahaan karena ingin memanfaatkan peluang bisnis atau karena adanya minat pribadi (disebut wirausahawan opportunity) (Bosma & Harding, 2007). Sejumlah penelitian juga mengindentifikasi rendahnya peluang berhasil pada wirausahawan necessity dibanding wirausahawan opportunity (J. H. Block & Wagner, 2010; J. Block & Sandner, 2009; Verheul, Thurik, Hessels, & Zwan, 2010; Wagner, 2005). Implikasi dari kondisi tersebut berdampak pada para pengambil kebijakan yang melihat bahwa merancang program-program yang dapat menstimulasi wirausahawan necessity tidak semenguntungkan jika menstimulasi wirausahawan opportunity (Verheul et al., 2010). Dengan kata lain, jika para pengangguran didorong untuk memulai suatu bisnis, maka hanya menghasilkan wirausahawan necessity yang rentan mengalami kegagalan, dan bukan wirausahawan opportunity (Verheul et al., 2010). Namun demikian, apakah wirausahawan necessity memang kurang berpeluang untuk mengalami keberhasilan? Temuan-temuan yang menyatakan bahwa wirausahawan necessity juga potensial untuk mengalami keberhasilan dalam berwirausaha ternyata mulai bermunculan sejak beberapa tahun terakhir. Penelitian-penelitian tersebut antara lain oleh Acs, Arenius, Hay, & Minniti (2005) yang menunjukkan bahwa wirausahawan necessity tidak selalu mengalami kegagalan dan karenanya kurang diinginkan dalam perspektif ekonomi. Block & Sandner (2009) juga menunjukkan bahwa kesempatan bagi wirausahawan necessity untuk bertahan menjalankan usahanya tidak lebih buruk daripada wirausahawan opportunity walaupun wirausahawan necessity tidak memiliki jenjang pendidikan formal yang tinggi. Block & Wagner (2010) kemudian menyarankan bahwa para peneliti sebaiknya memperhatikan definisi keberhasilan atau determinan dari keberhasilan berwirausaha yang digunakan dalam membedakan kedua jenis wirausahawan tersebut. Jorn Block & Sandner (2009) merekomendasikan pentingnya untuk mengenali faktor yang menentukan keberhasilan berwirausaha, agar wirausahawan necessity juga dapat didorong untuk mencapai keberhasilan sebagaimana kesempatan sukses yang dimiliki wirausahawan opportunity. Sebelumnya, hasil penelitian Shane dkk (2003) juga telah merekomendasikan bahwa faktor trait-based seharusnya menjadi perhatian untuk mengenali seorang wirausahawan yang termotivasi, namun hal ini belum banyak diuji.
64
Salah satu faktor yang ditemukan memiliki peran penting dalam aktivitas wirausaha adalah emosi. Dalam cara apapun emosi ini dialami oleh seorang wirausahawan, atau bagaimanapun emosi dioperasionalisasikan oleh para peneliti, satu hal yang disepakati adalah bahwa penciptaan suatu usaha baru diyakini melibatkan pengalaman emosional yang intens (Baron, 2008; Bird, 1989). Goss juga mendukung bahwa emosi membentuk motivasi berwirausaha dan mengarahkan perilaku berwirausaha (Fisher & Langan-Fox, 2009). Cardon dan koleganya (2009) kemudian mengajukan satu konsep dari emosi yang berperan penting untuk memberikan efek motivasional dalam menentukan keberhasilan berwirausaha, yaitu entrepreneurial passion. Terdapat ratusan definisi mengenai entrepreneur dan entrepreneurship (Baum, Frese, & Baron, 2007). Landstrom (1999) mengidentifikasi bahwa kata ‘entrepreneur’ pertama kali dimuat di dalam Kamus Bahasa Prancis pada tahun 1437, yang pengertiannya
menggambarkan
bahwa
entrepreneur
adalah
“one
who
through
determination and stamina was able to accomplish things” (Reaves, 2008, p. 24). Kata yang digunakan adalah “entreprende” (Bird, 1989; Sukardi, 1991), yang secara harafiah berarti “to undertake” atau “to take between”. Menurut Blaug (2000), kata “entrepreneur” ini mulai meluas digunakan sejak diperkenalkan oleh Richard Cantilon (1680-1734), seorang pemilik bank di Perancis, yang mendefinisikan entrepreneur sebagai “those who are willing to buy at a certain price and sell at an uncertain price” (Baum et al., 2007, p. 6). Dari pengertian tersebut, tinjauan wirausahawan lebih didominasi oleh perspektif ekonomi, dengan menekankan pada penciptaan peluang kerja baru untuk memperoleh keuntungan. Hal ini juga dapat kita lihat pada
pengertian
kewirausahaan
yang
dikemukakan
oleh
Weber
(1898),
yaitu
“entrepreneurship means the taking over and organizing of some part of an economy in which people’s needs are satisfied through exchange for the sake of making a profit and at one’s own economic risk” (Baum et al., 2007, p. 6). Pada pengertian Weber tersebut, terlihat bahwa selain untuk mendapatkan keuntungan, faktor risiko ekonomi juga harus diperhitungkan ketika seseorang ingin terjun dalam kegiatan wirausaha. Memasuki abad 20, entrepreneurship atau kewirausahaan menjadi satu kajian hangat karena perannya yang penting dalam pembangunan ekonomi (Priyanto, 2009). Hal ini ditegaskan oleh Schumpeter (1934), seorang ekonom Austria yang dianggap sebagai ‘bapak kewirausahaan modern’, bahwa “entrepreneurship is driving force behind economic growth” (kewirausahaan adalah kekuatan yang mendorong pertumbuhan ekonomi). Schumpeter juga menyatakan bahwa seorang wirausahwan adalah innovator. Wirausaha bukan hanya sekedar melakukan proses ekonomi, tapi terdapat inovasi/kebaruan dalam 65
proses tersebut. Dalam bidang perilaku, pada abad ini, McClelland (1961) adalah tokoh psikologi Amerika yang berkontribusi mengangkat “trait” sebagai faktor yang mendasari aktivitas wirausaha, dengan mengajukan need for achievement sebagai trait yang mendorong seorang wirausahawan memilih terjun ke dunia wirausaha. Gartner (1988) menawarkan pemahaman yang sederhana dan memiliki kegunaan empiri, yakni bahwa “entrepreneurs adalah orang yang mendirikan suatu organisasi baru” (p. 47). Berdasarkan definisi tersebut, maka ‘entrepreneurship’ adalah penciptaan organisasi baru. Oleh Aldrich & Wiedenmayer (1993), definisi Gartner tersebut menjadi landasan bagi mereka untuk menetapkan bahwa pendirian suatu organisasi baru yang bertujuan untuk kewirausahaan, juga harus menciptakan nilai melalui suatu produk atau jasa yang ditawarkan (Baum et al., 2007). Rauch & Frese (2000) kemudian mengembangkan definisi yang dibangun oleh Gartner dengan tidak membatasi wirausahawan hanya pada pendiri (founder) saja, tetapi juga sekaligus sebagai pemilik (owner) dan pengelola (manager) dari suatu organisasi. Hal ini berimplikasi bahwa kewirausahaan tidak hanya berhenti sampai didirikannya suatu usaha baru, tapi juga termasuk memiliki dan mengelola usaha tersebut hingga berkembang. Karenanya, seseorang yang mengambil alih memimpin bisnis dari orang tuanya tidak dapat disebut wirausahawan karena ia bukanlah pendiri perusahaan tersebut. Pada penelitian kewirausahaan di Indonesia, karakteristik sampel wirausahawan yang digunakan umumnya adalah para pelaku usaha kecil dan menengah (UKM), serta umumnya tanpa mendefinisikan secara khusus siapa yang disebut sebagai entrepreneur. Penelitian tersebut antara lain oleh Bhasin & Venkataramany, 2010; Cole, 2007; Indarti & Langenberg, 2004; Riyanti, 2004; Sari, Alam, & Beaumont, 2008; Tambunan, 2007, 2009. Hanya penelitian yang dilakukan oleh Sukardi (1991) yang mendefinisikan wirausahawan sebagai “seseorang yang bersedia mengambil resiko pribadi untuk menemukan peluang berusaha, mendirikan, mengelola, mengembangkan dan melembagakan perusahaan miliknya sendiri, dimana kelangsungan hidupnya tergantung pada tindakannya sendiri” (p. 38). Setelah abad ke 20, perkembangan dari berbagai definisi mengenai kewirausahaan dan wirausahawan nampak makin komprehensif. Tidak hanya mengacu pada proses ekonomi yang terjadi di dalam kegiatan wiruasaha, seperti memperoleh keuntungan, kebaruan dan adanya nilai tambah dari produk, tapi juga memperhatikan pelaku wirausaha sebagai faktor yang diteliti, seperti kemampuan pengambilan resiko dan kemampauan memanfaatkan peluang. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan yang dikemukakan oleh Bhide (2000) bahwa “profit-making exchange, personal risk, opportunity, newness, and added 66
value are explicit or implied in most researches’ conceptions of entrepreneur and entrepreneurship” (Baum et al., 2007, p. 6). Dengan menggabungkan berbagai pengertian mengenai wirausahawan di atas, maka penulis mendefinisikan wirausahawan sebagai seseorang yang mampu menemukan peluang berusaha dan mengambil resiko untuk mendirikan, mengelola dan melembagakan usaha miliknya sendiri, untuk menghasilkan produk atau jasa yang bernilai tambah.
Keberhasilan Wirausaha Keberhasilan wirausaha merupakan tujuan yang ingin dicapai dari setiap penciptaan usaha baru. Bhattacharyya dalam hasil penelitiannya tahun 2006 mengatakan bahwa
seorang
wirausahawan
yang
berhasil
adalah
mereka
yang
mampu
mempertahankan dan menumbuhkan usahanya, serta mampu mengubah cara pikir orang lain (Reaves, 2008). Menurut Reaves (2008), untuk dapat disebut sebagai wirausahawan yang berhasil, seseorang harus mampu mempertahankan usaha yang dibangunnya minimal selama 5 tahun. Namun bagi Ali et al. (2011) dan Bosma & Harding (2007), suatu usaha telah dapat dikatakan mencapai kondisi established jika telah mampu memberikan gaji, tunjangan, atau penghasilan lainnya kepada pemilik dan karyawan selama lebih dari 42 bulan. Panda (2001) mengidentifikasi bahwa sekitar 50% industri skala kecil menutup usahanya dikarenakan mengalami masalah keuangan atau masalah pemasaran. Karenanya, para wirausahawan yang mampu mengelola dua isu penting tersebut akan berhasil mempertahankan kelangsungan bisnis dan menumbuhkan bisnisnya. Menurut Panda, keberhasilan suatu usaha ditandai dengan pertumbuhan unit produksi dan penjualan. Dengan kata lain, profit suatu perusahaan ditentukan oleh kapasitas produksi dan nilai penjualannya. Kedua hal ini dapat digunakan sebagai indikator untuk mendefinisikan keberhasilan wirausaha. Riyanti (2004) menggunakan 3 perspektif untuk mengukur keberhasilan usaha, yaitu learning and growth, financial, dan internal business process. Learning and growth diukur dari kepuasan karyawan, aspek financial diukur dari peningkatan aset perusahaan, dan internal business process diukur dari peningkatan volume produksi, peningkatan kondisi kerja fisik, dan ekspansi usaha.
67
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Wirausaha Menurut Reynolds, Camp, Bygrave, Autio, & Hay (2001), terdapat dua jenis wirausahawan, yaitu necessity entrepreneur dan opportunity entrepreneur (p. 16). Perbedaan antara kedua jenis wirausahawan ini terletak pada motif yang mendasari mereka untuk memulai suatu usaha. Wirausahawan opportunity merupakan wirausahawan yang memulai suatu usaha dalam rangka mengejar suatu peluang (Block & Wagner, 2010), mengambil keuntungan dari adanya suatu peluang bisnis (Bhola, Verheul, Thurik, & Grilo (2006), atau mengerahkan usaha-usaha untuk memanfaatkan peluang bisnis atas dasar minat pribadi (Verheul et al., 2010) dan ditarik (pulled) ke dunia wirausaha karena pilihannya sendiri (Williams, 2007). Sementara itu, wirausahawan necessity didorong (pushed) ke dunia wirausaha (Williams, 2007), yang didasari oleh kebutuhan (need-based) (Block & Wagner, 2010), tidak memiliki alternatif pekerjaan lain, walaupun pada dasarnya menjadi wirausahawan bukan pilihan yang paling disukai (Verheul et al., 2010) atau disebut juga non-voluntary decision (Reynolds et al., 2001), karena terpaksa atau karena pekerjaan lain tidak memberikan kepuasan (Bhola et al., 2006; Giacomin, Guyot, Janssen, & Lohest, 2007). Berdasarkan motif yang mendasari keterlibatan dalam aktivitas wirausaha, necessity entrepreneur umumnya dipicu oleh faktor situasional yang memaksa seseorang untuk menggelutinya, sementara seorang opportunity entrepreneur dipercaya memiliki dorongan yang didasari oleh minat pribadinya untuk secara sukarela terjun pada aktivitas wirausaha. Perbedaan motif tersebut membuat sejumlah peneliti telah memprediksi adanya perbedaan keberhasilan berwirausaha pada kedua jenis wirausahawan tersebut. Umumnya, penelitian menunjukkan bahwa suatu bisnis yang dimulai oleh wirusahawan atas dasar necessity-driven cenderung akan mengalami kegagalan dibanding bisnis yang dibangun oleh opportunity entrepreneurs (Bhola et al., 2006; Block & Wagner, 2010; Block & Sandner, 2009; Verheul et al., 2010; Wagner, 2005). Umumnya, para peneliti menjelaskan proses pencapaian keberhasilan berwirausaha pada kedua jenis wirausahawan tersebut berdasarkan teori push-pull motivation (Giacomin et al., 2007; Verheul et al., 2010). Menurut Shapero & Sokol (1982) serta Gilad & Levine (1986), secara umum, perbedaan motivasi terbagi antara faktor positif yang ‘menarik’ (‘pull’) dan faktor situasional negatif yang ‘mendorong’ (‘push’) seseorang untuk terjun ke dunia wirausaha (Verheul et al., 2010). Lebih lanjut, terdapat konsensus bahwa faktor pull-push motivation mendasari penjelasan mengenai wirausahawan necessity dan opportunity, di mana kedua faktor 68
tersebut dapat mempengaruhi keterlibatan dan kegagalan seseorang dalam berwirausaha (Verheul et al., 2010). Namun demikian, Bird (1993), Shane dkk (2003), dan Cassar (2007) menemukan
bahwa
kekurangan
dari
penelitian-penelitian
tersebut
adalah
tidak
mempertimbangkan fakta bahwa faktor motivasi dapat berubah sepanjang waktu (Verheul et al., 2010). Penelitian Verheul dkk (2010) juga memberikan contoh kegagalan teori tersebut dalam menjelaskan kecenderungan seorang wirausahawan pemula, baik yang didasari oleh kebutuhan (necessity-based) maupun oleh kesempatan (opportunity-based), yang mengalami perubahan secara terus menerus untuk memilih alternatif jenis usaha yang menarik ataupun yang dianggapnya tidak menarik. Shane dkk (2003) mengatakan bahwa penelitian-penelitian sebelumnya gagal untuk memperhatikan adanya efek tidak langsung (indirect effects), serta ternyata fokus pada motif yang salah. Sebagai contoh, pendekatan dalam menjelaskan jenis wirausahawan necessity maupun opportunity lebih didasarkan pada perspektif ekonomi (Block & Wagner, 2010; Block & Sandner, 2009; Wagner, 2005), atau kemungkinan didasari oleh faktor socially desirable, dimana orang lebih memilih untuk mengatakan bahwa mereka memulai bisnis karena mereka ingin memanfaatkan kesempatan daripada mengakui bahwa mereka sebenarnya tidak punya pilihan lain selain berwirausaha (Verheul et al., 2010).
Entrepreneurial Passion Passion telah lama ditemukan sebagai faktor yang memiliki peran penting dalam perilaku wirausaha. Barringer & Ireland (2010) menegaskan bahwa karakteristik pertama yang dimiliki oleh seorang wirausahawan sukses adalah “passion for their business”, baik pada konteks bisnis yang baru dibangun, maupun pada bisnis yang telah lama berjalan. Faktor passion ini secara khusus bersumber dari keyakinan seorang wirausahawan bahwa bisnisnya akan memberi pengaruh positif terhadap kehidupannya. Passion memiliki kaitan yang kuat dengan motivasi (Bierly III, Kessler, & Christensen,
2000).
Dengan
adanya
passion,
seorang
wirausahawan
mencintai
pekerjaannya dan memberi tambahan energi untuk menggeluti bisnisnya (Baum & Locke, 2004; Shane et al., 2003). Passion berfungsi sebagai sumber emosional untuk mengatasi tantangan. Aktivasi passion yang tinggi serta emosi positif yang mendasari passion akan membuat wirausahawan tetap kreatif dan mampu mengenali pola-pola baru yang penting dalam mengeksplorasi dan mengeksploitasi peluang usaha, walaupun berada pada kondisi yang tidak pasti dan beresiko (Laaksonen et al., 2011). Passion membuat seorang 69
wirausahawan mampu memutuskan untuk keluar dari bisnis yang telah dibangunnya dan langsung
menemukan
adanya
peluang
baru,
menciptakan
usaha
baru,
dan
mengembangkan usaha barunya tersebut (Cardon et al., 2009). Cardon dkk (2009) mendefinisikan entrepreneurial passion sebagai “a consciousely accessible, intense positive feeling, and results from engagement in activities with identity meaning and silence to the entrepreneur” (p. 515). Sebelumnya, Vallerand dkk (2003) telah mendefinisikan passion sebagai “a strong inclination toward an activity that people like, that they find important, and in which they invest time and energy” (p.757). Jadi, untuk kegiatan yang dapat mencerminkan adanya passion seseorang, maka kegiatan tersebut harus signifikan dengan hidup mereka, sesuatu yang sangat mereka sukai, dan kegiatan di mana mereka menghabiskan waktunya secara teratur. Passion timbul karena adanya ikatan (attachment) yang kuat antara wirausahawan dengan bisnis yang digelutinya (Cardon et al., 2005). Passion akan meningkat sejalan dengan keyakinan seseorang bahwa pekerjaan yang dilakukannya adalah berarti (meaningful) bagi dirinya (Bierly III et al., 2000). Karena itu, Cardon, et al. (2009), Murnieks, (2007) dan Vallerand et al. (2003) menekankan bahwa seorang wirausahawan yang memiliki passion akan memiliki keterlibatan dengan suatu kegiatan yang sejalan dengan identitas dirinya dimana kegiatan tersebut memiliki makna yang penting bagi dirinya. Dengan kata lain, passion terhadap bisnis yang mereka geluti terasosiasi dengan identitas wirausahawan pada dirinya (Cardon et al., 2009). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa identitas diri memainkan peran penting terhadap passion.
Identitas Wirausaha (Entrepreneurial Identity) Teori identitas menjelaskan bahwa setiap orang memiliki sejumlah identitas yang berbeda sesuai posisi yang mereka tempati dan peran yang mereka jalankan dalam jaringan hubungannya di lingkungan masyarakat. Identitas merupakan hasil internalisasi peran atau perilaku yang diharapkan oleh masyarakat (Stryker & Burke, 2000). Dengan menghubungkan antara identitas internal dengan struktur sosial, teori identitas menunjukkan bahwa konsep diri dan perilaku manusia terikat dan tidak lepas dari interaksinya dalam masyarakat (Murnieks, 2007). Menurut Stryker dan Burke (2000), kaitan antara identitas dan perilaku terletak pada pemaknaan yang terjadi di antara keduanya.
Identitas
dapat
memprediksi
berkorespondensi dengan pemaknaan perilaku.
70
perilaku
ketika
pemaknaan
identitas
Menurut Stryker & Burke (2000), pilihan terhadap peran-peran merupakan fungsi dari identitas yang membentuk konsep diri, dan identitas-identitias dalam diri tersebut terorganisasi menjadi suatu struktur hirarki berdasarkan derajat kepentingannya (salience). Konsep diri seseorang terletak pada kesatuan atau kumpulan identitas yang beragam, sehingga dalam konsep diri seorang wirausahawan juga berisi identitas lain, seperti saudara, orangtua, atasan, rekan bisnis, dan lain-lain, yang melengkapi identitas wirausahanya. Murnieks & Mosakowski, (2007) mengatakan bahwa individu termotivasi untuk menggeluti aktivitas wirausaha dikarenakan mereka menemukan bahwa aktivitas wirausahanya sejalan dengan konsep diri yang penting baginya. Konsep diri yang kongruen akan memunculkan emosi positif dan memotivasi mereka untuk bertindak sebagai seorang wirausahawan. Dengan memfokuskan pada faktor identitas wirausaha, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik untuk menjawab fenomena mengenai mengapa para wirausahawan dapat melakukan aktivitas yang sama, namun tidak memperlihatkan trait kepribadian yang sama. Murnieks (2007) mengatakan bahwa tidak semua individu yang memiliki identitas wirausaha akan menunjukkan passion untuk melakoni identitas tersebut. Lebih lanjut lagi, walaupun identitas wirausaha bersifat stabil dan relatif lambat berubah sepanjang waktu, ia dapat naik atau turun berdasarkan hal yang paling menonjol (prominence) dalam konsep diri. Hal ini dapat menjelaskan mengapa sejumlah orang dapat sangat terdorong untuk menjadi wirausahawan di suatu masa dalam kehidupannya, namun tidak terlalu berminat pada saat lainnya. Teori identitas juga memungkinkan kita memahami mengapa 2 (dua) orang yang memiliki kepribadian yang sama dapat menunjukkan kecenderungan wirausaha yang sangat berbeda. Jika seorang individu menganggap identitas wirausaha lebih penting atau lebih menonjol dalam dirinya, ia akan lebih tertarik untuk terlibat pada perilaku wirausaha. Probabilitas bertindak dan pentingnya suatu identitas merupakan kerangka acuan untuk memahami varian dalam perilaku (Murnieks, 2007). Walaupun pada diri setiap individu terdapat sejumlah identitas, namun identitas-identitas tersebut tidak diurutkan dalam derajat yang sama. Identitas dapat diorganisasikan berdasarkan hirarki. Makin tinggi derajat kepentingan suatu identitas dibanding identitas lain dalam diri seorang individu, maka akan makin besar probabilitas memilih perilaku sesuai harapan yang mencerminkan identitas tersebut (Stryker & Burke, 2000). Stryker menjelaskan bahwa suatu identitas yang menonjol atau penting adalah identitas yang mungkin seringkali diperankan (diaktivasi) pada berbagai situasi yang berbeda, dan satu faktor penting yang mempengaruhi pentingnya atau menonjolnya suatu 71
identitas adalah derajat komitmen yang dimiliki individu terhadap identitas tersebut (Stryker & Burke, 2000). Stryker juga melihat adanya keterkaitan antara identitas dengan emosi, bahwa identitas yang menempati posisi tinggi di hirarki salience akan menghasilkan reaksi emosional yang lebih kuat dibanding identitas yang berada di posisi bawah pada hiraki salience.
Metode Penelitian yang dilakukan saat ini merupakan pilot study yang bertujuan untuk memberikan landasan bagi pengembangan hipotesis yang diajukan oleh peneliti. Terdapat dua pilot study yang mendasari pengembangan hipotesis peneliti, sebagai berikut:
Studi 1 Pilot studi pertama dilakukan dengan memberikan kuesioner terhadap peserta yang menghadiri suatu seminar penumbuhan wirausaha muda. Terdapat 584 kuesioner yang kembali kepada peneliti. Sebanyak 267 diisi oleh peserta telah memiliki usaha dan 317 kuesioner diisi oleh peserta yang belum memiliki usaha. Analisis scara deskriptif dalam bentuk frekuensi menggambarkan kecenderungan respon peserta dalam menanggapi pertanyaan yang terbagi menjadi 3 kategori, yakni data demografis peserta, persepsi kewirausahaan dan kegiatan wirausaha. Bentuk pertanyaan adalah pertanyaan tertutup, dengan pilihan-pilihan jawab yang telah tersedia.
Studi 2 Survey kedua ditujukan pada 95 responden wirausahawan, namun yang mengisi kuesioner secara lengkap hanya 83 orang. Lamanya responden telah menjalankan bisnis bervariasi antara di bawah 1 tahun (30,1%), 1 – 2 tahun (25,3%), 2 – 4 tahun (33,7%), 4 – 6 tahun (7,2%), dan lebih dari 6 tahun (3,6%). Survey menggunakan kuesioner berisi 15 pertanyaan yang bersifat terbuka untuk menggali alasan responden dalam berwirausaha. Hasil survey dideskripsikan dengan menggunakan frekuensi untuk melihat kecenderungan respon peserta survey.
72
Hasil dan Analisis Studi 1 Dari distribusi persepsi mengenai penyebab kesuksesan wirausaha, prosentase tertinggi adalah pada responden yang mengemukakan “keterampilan usaha” sebagai penyebabnya. Ini terjadi baik pada kelompok responden yang memiliki usaha (42.5%) maupun yang belum memiliki usaha (51.4). Selanjutnya pada kelompok yang memiliki usaha, 34.9% karena adanya jaringan usaha, 15.2% karena modal yang besar, 3.9% karena adanya hubungan kekerabatan, dan hanya 1% karena keturunan. Sedangkan pada kelompok yang belum memiliki usaha, 29.8% mengemukakan jaringan usaha sebagai alasan, besarnya modal 14.7%, adanya hubungan kekerabatan 4.6%, dan hanya 1% karena faktor keturunan Studi 2 Untuk mempertajam pemahaman peneliti terhadap kondisi wirausaha di Indonesia, survey kedua kemudian dilakukan dengan memberikan pertanyaan dalam bentuk terbuka, yakni “Menurut Anda, faktor apa saja yang berperan dalam kesuksesan berwirausaha?”. Berdasarkan pertanyaan tesebut, teridentifikasi 30 faktor yang dianggap berperan terhadap kesuksesan berwirausaha, dengan 10 jawaban tertinggi berturut-turut adalah: 1) Berusaha/bekerja keras, 2) Pantang menyerah, 3) Niat/do’a, 4) Komitmen, 5) Inovasi, 6) Jaringan kerja/relasi dan kepuasan pelanggan (kedua jawaban ini memperoleh jumlah yang sama), 7) Kreatif, 8) Disiplin, 9) Manajemen usaha yang baik dan integritas (kedua jawaban ini memperoleh jumlah yang sama), dan 10) Dukungan keluarga, modal, pemasaran (ketiga jawaban ini memperoleh jumlah yang sama). Dari 10 jawaban tertinggi tersebut, terlihat bahwa 3 (tiga) jawaban teratas yang dianggap menjadi faktor penentu keberhasilan wirausaha adalah suatu faktor yang memiliki efek motivasional. Dari survey kedua ini, juga ditemukan bahwa walaupun mayoritas responden wirausahawan pernah mengalami kegagalan atau terhambat dalam mengelola usahanya, namun mereka tetap bertahan untuk terus melanjutkan usaha mereka. Terdapat 3 alasan tertinggi yang mendasari, yakni: 1) karena merasa senang/hobby/minat dengan kegiatan wirausaha, 2) sesuai cita-cita, dan 3) merupakan panggilan jiwa. Jawaban tertinggi pertama menunjukkan bahwa faktor emosi positif (perasaan senang terhadap kegiatan yang dilakukan) menjadi pendorong untuk terus melanjutkan kegiatan wirausaha walaupun terdapat hambatan.
73
Hasil dari survey pertama dan kedua tersebut memberikan informasi penting bagi penulis mengenai faktor-faktor yang dianggap memiliki peran penting dalam keberhasilan wirausaha. Bekerja keras, pantang menyerah dan niat adalah faktor-faktor yang memberikan efek motivasional untuk mencapai keberhasilan wirusaha, sedangkan perasaan senang terhadap kegiatan wirausaha yang dilakukan merupakan faktor emosi positif yang juga memiliki peran penting dalam keberhasilan wirausaha. Kedua hal ini memberikan landasan bagi penulis untuk mengajukan suatu variabel yang mencakup emosi positif dan memberikan efek motivasional, dan variabel tersebut adalah entrepreneurial passion. Bird (1989) dan Smillor (1997) mengatakan bahwa passion telah lama dikenali sebagai sumber dari motivasi dan keberhasilan wirausaha (Cardon, Wincent, Singh, & Drnovsek, 2005; Vallerand et al., 2003; Winnen, 2005). Namun demikian, walaupun pandangan mengenai pentingnya passion dalam pembentukan dan pertumbuhan bisnis tidak diragukan, namun studi teoritis dan empiris yang sistematis mengenai pengaruh passion pada aktivitas wirausaha masih belum mampu menjelaskan dengan tepat mengenai konstruk passion dalam bidang wirausaha ini (Cardon et al., 2005; Laaksonen, Ainamo, & Karjalainen, 2011). Padahal, dengan sisi positif yang dimilikinya, passion merupakan komponen emosi yang telah banyak disepakati sebagai sumber utama dari motivasi (Vallerand et al., 2003; Winnen, 2005). Wirausahawan yang memiliki passion yang tinggi, mampu mengenali hal-hal baru dan kreatif dalam memanfaatkan peluang, walaupun berada dalam lingkungan yang serba tidak pasti dan penuh resiko (Laaksonen et al., 2011). Passion membuat mereka mencintai pekerjaannya dan memberikan tambahan energi (Baum & Locke, 2004; Shane, Locke, & Collins, 2003). Hal ini juga sesuai dengan survey kedua yang dilakukan penulis, bahwa perasaan senang terhadap aktivitas wirausaha akan mendorong individu untuk tetap menjalankan usahanya walaupun pernah gagal atau menemui hambatan. Pada survey kedua yang dilakukan penulis, juga ditemukan bahwa alasan untuk tetap terus bertahan melanjutkan aktivitas wirausaha walaupun pernah mengalami hambatan adalah “sesuai cita-cita” dan “merupakan panggilan jiwa”. Kedua alasan ini menunjukkan pentingnya kesesuaian antara aktivitas wirausaha dengan diri individu. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa seorang wirausahawan mencurahkan dirinya secara penuh pada bisnis yang digelutinya jika bisnis tersebut sesuai dengan dirinya. Naik dan turunnya kelangsungan bisnis yang dijalankan seorang wirausahaan berkaitan dengan sense of self wirausahawan tersebut (Cardon et al., 2005). (Fisher & Langan-Fox, 2009) juga mengemukakan bahwa passion terhadap aktivitas wirausaha menjadi fitur utama dari 74
identitas individu. Berkaitan dengan peranan sense of self serta sebagai pengembangan dari temuan Vallerand dkk mengenai peranan passion, Cardon et al. (2009) mengajukan bahwa elemen kunci untuk memahami peranan passion dalam aktivitas wirausaha adalah identitas diri. Identitas diri menentukan siapa sebenarnya diri orang tersebut. Makna pentingnya identitas diri terletak pada arah dan intensitas respon yang ditunjukkan seseorang. Jika seseorang menganggap identitas dirinya bermakna bagi dirinya, maka akan memberikan dampak motivasional pada perilakunya (Burke, 1982). Individu akan termotivasi untuk memberikan makna pada perilakunya yang konsisten dengan makna identitas dirinya. Kondisi ini disebut congruence (Burke, 1982). Stets & Burke (2005) mengatakan bahwa ketika terjadi kondisi yang congruence, maka akan timbul emosi positif, di mana individu akan merasa senang dan akan terus melakukan aktivitasnya. Sebaliknya, tidak adanya verifikasi terhadap identitas diri akan mengakibatkan timbulnya emosi negatif. Berdasarkan hasil kedua pilot tesebut, peneliti mengajukan adanya keterkaitan yang kuat antara identitas wirausaha dengan entrepreneurial passion, dan bahwa motif memulai kegiatan wirausaha (necessity atau opportunity) akan berpengaruh terhadap identitas diri seorang wirausahawan. Dugaan peneliti tersebut kemudian dibangun dalam 3 hipotesis yang akan diuji secara empiris dalam penelitian selanjutnya.
Kesimpulan Pengaruh Motif Wirausaha terhadap Identitas Wirausaha Stryker menyatakan bahwa dalam diri setiap individu terdapat lebih dari satu identitas peran, dan banyaknya identitas peran tersebut terorganisasi ke dalam suatu struktur hirarki menurut derajat kepentingannya. Dengan kata lain, diri individu bersifat multifaceted, terdiri dari bagian-bagian yang interdependent dan independent satu sama lain, juga saling mendukung maupun saling berkonflik satu sama lain (Stryker & Burke, 2000). Pada wirausahawan opportunity yang memilih peran wirausahawan atas dasar minat pribadi, terjadi keselarasan dengan identitas dirinya. Keselarasan identitas terjadi karena identitas yang diinginkan dan dicita-citakan oleh individu memang adalah menjadi seorang wirausahawan, sehingga ketika ia memutuskan terjun ke dunia wirausaha terjadi verifikasi antara motif opportunity yang dimilikinya dengan identitas dirinya. Pada berbagai
75
kondisi, identitas wirausaha adalah identitias yang memiliki hirarki paling penting dibanding identitas lain yang dimilikinya. Sebaliknya, pada wirausahawan necessity, peralihan peran menjadi wirausahawan yang dilakukan secara ‘terpaksa’ menyebabkan individu harus melakukan peralihan fokus pada hirarki identitasnya. Identitas wirausahawan yang baru diinternalisasikannya harus diorganisasikan dengan identitas lain yang telah ada dalam dirinya. Sebelum beralih ke dunia wirausaha, wirausahawan
necessity telah memiliki identitas yang relatif telah
menetap pada dirinya. Sebagai contoh, sebelumnya ia adalah seorang karyawan yang bekerja di suatu instansi, dan ingin menjadi karyawan yang sukses dalam jenjang karirnya. Pada kondisi terpaksa memilih wirausaha akibat pemutusan hubungan kerja yang dialaminya, identitas sebagai karyawan harus bertransisi menjadi identitas wirausahawan, karena wirausaha menjadi pilihan satu-satunya untuk menjalankan roda ekonomi keluarganya. Masuknya identitas wirausaha pada hirarki berbagai identitas yang ada pada dirinya mempengaruhi derajat kepentingan pada hirarki identitas yang dimilikinya. Walaupun ia memerankan identitas wirausaha saat ini, namun identitas wirausaha bukanlah yang terpenting dalam hirarki identitasnya.
Pengaruh Identitas Wirausaha terhadap Entrepreneurial Passion Passion muncul pada diri seseorang bukan karena wirausahawan dilahirkan membawa perasaan tersebut, melainkan karena wirausahawan terlibat pada suatu hal yang berkaitan dengan identitas diri yang bermakna dan penting bagi diri mereka (Cardon et al., 2009). Para peneliti telah mendefinisikan identitas sebagai penginternalisasian harapan-harapan mengenai sejumlah karakteristik yang dianggap utama, khusus, dan menetap bagi individu, dan tercermin pada peran-peran yang mereka jalankan (Burke & Reitzes, 1991). Identitas peran yang khusus dan penting tersebut dapat memotivasi wirausahawan untuk terlibat pada suatu aktivitas (dan melepaskan diri dari aktivitas lain), dan menimbulkan pengalaman afeksi dari keterlibatan tersebut. Individu akan mengalami emosi positif ketika keterlibatan mereka pada aktivitas wirausaha dapat menjaga dan meningkatkan identitas diri yang penting bagi mereka (Cardon et al., 2009). Ketika memilih menjadi seorang wirausahawan, baik karena alasan terpaksa (necessity) ataupun karena minat pribadi (opportunity), maka pada diri seorang wirausahawan akan muncul satu identitas baru, yakni identitas wirausahawan. Identitas tersebut akan terorganisasi dengan identitas lain yang telah dimiliki individu dan akan
76
terstruktur secara hirarkis menurut derajat kebermaknaan dan kepentingannya bagi diri individu. Menurut Cardon dkk (2009), transisi peran identitas wirausahawan yang dialami seseorang menyebabkan terjadinya peralihan fokus pada hirarki indentitasnya, dan menyebabkan terjadinya perubahan mekanisme dimana diri individu melakukan negosiasi diantara berbagai identitas yang melekat pada dirinya. Hal ini sejalan dengan penjelasan Stryker dan Burke (2000) bahwa adanya ketidakcocokan atau meningkatnya diskrepansi (masalah dalam verifikasi identitas diri) akan menghasilkan emosi yang negatif, sebaliknya, adanya kecocokan atau menurunnya diskrepansi pada verifikasi terhadap identitas diri, akan menghasilkan emosi yang positif. Hal ini yang mendasari dugaan penulis bahwa ketika wirausahawan dapat melakukan transisi diantara identitas peran yang penting, maka hal ini dapat meningkatkan passion pada dirinya, dan selanjutnya akan berdampak pada keberhasilan wirausaha. Sebaliknya, jika terjadi ketidakcocokan pada identitas dirinya, maka akan menurunkan passion pada diri wirausahawan, dan selanjutnya akan menurunkan keberhasilan wirausaha. Pengaruh Entrepreneurial Passion terhadap Keberhasilan Wirausaha Gerakan Kewirausahaan Nasional di Indonesia tidak hanya ditujukan untuk penciptaan usaha-usaha baru sebanyak-banyaknya yang dapat mendukung perekonomian masyarakat. Namun yang paling utama adalah mendorong usaha-usaha baru tersebut untuk terus berkembang dan berhasil. Untuk mencapai keberhasilan wirausaha dibutuhkan kemampuan untuk terus bertahan dan tetap melanjutkan usaha walaupun terdapat hambatan atau bahkan mengalami kegagalan. Hal ini dapat terwujud jika individu memiliki kecintaan terhadap aktivitas yang dilakukannya. Karenanya, enterepreneurial passion menjadi faktor yang penting untuk mewujudkan keberhasilan wirausaha. Berdasarkan ketiga kesimpulan tersebut, maka model teoritis yang dibangun adalah sebagai berikut:
Necessity
Motif Wirausaha
Identitas Wirausaha
Opportunity
77
Entrepreneurial Passion
Keberhasilan Wirausaha
Daftar Pustaka
Acs, Z. J., Arenius, P., Hay, M., & Minniti, M. (2005). Global Entrepreneurship Monitor 2004 Executive Report. Ali, A., Brush, C., Castro, J. De, Lange, J., Lyons, T., Meyskens, M., Whitman, J. (2011). Global Entrepreneurship Monitor 2010 United States Report. Barringer, B. R., & Ireland, R. D. (2010). Entrepreneurship - Successfully Launching New Ventures (3rd ed.). New Jersey: Pearson Education, Inc. Baum, J. R., Frese, M., & Baron, R. (2007). The Psychology Of Entrepreneurship. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Baum, J. R., & Locke, E. A. (2004). The Relationship of Entrepreneurial Traits, Skill, and Motivation to Subsequent Venture Growth. Journal of Applied Psychology, 89(4), 587– 598. Bhasin, B. B., & Venkataramany, S. (2010). Globalization Of Entrepreneurship: Policy Considerations For SME Development In Indonesia. International Business & Economics Research Journal, 9(4), 95–104. Bhola, R., Verheul, I., Thurik, R., & Grilo, I. (2006). Explaining Engagement Levels of Opportunity and Necessity Entrepreneurs. Erasmus UniversityRotterdam. Bierly III, P. E., Kessler, E. H., & Christensen, E. W. (2000). Organizational learning, knowledge and wisdom. Journal of Organizational Change Management, 13(6), 595–618. Bird, B. J. (1989). Entrepreneurial Behavior. USA: Scott, Foresman and Company. Block, J. H., & Wagner, M. (2010). Necessity and Opportunity Entrepreneurs in Germany: Characteristics and Earnings Differentials. Journal of Schmalenbach Business Review, 62(April), 154–174. Block, J., & Sandner, P. (2009). Necessity and Opportunity Entrepreneurs and their Duration in Self-employment: Evidence from German Micro Data. Berlin. Bosma, N., & Harding, R. (2007). Global Entrepreneurship Monitor 2006 Summary Results. Burke, P. J. (1982). Social Identities http://wat2146.ucr.edu/papers
and
Psychosocial
Stress.
Retrieved
from
Burke, P. J., & Cast, A. D. (1997). Stability And Change In The Gender Identities Of Newly Married Couples. Social Psychology Quarterly, 60(4), 277–290. Burke, P. J., & Reitzes, D. C. (1991). An Identity Theory Approach to Commitment. Social Psychology Quarterly, 54(3), 239–251. Cardon, M. S. (2009). The Nature And Experience Of Entrepreneurial Passion, 34(3), 511–532. Cardon, M. S., Wincent, J., Singh, J., & Drnovsek, M. (2005). Entrepreneurial Passion: The Nature of Emotions in Entrepreneurship (pp. 1–7).
78
Cole, S. (2007). Entrepreneurship and empowerment : Considering the barriers - a case study from Indonesia. Tourism Review, 55(594), 461–473. Cowling, M., & Bygrave, W. D. (2003). Entrepreneurship And Unemployment: Relationship Between Unemployment And Entrepreneurship In 37 Nations Participating In The Global Entrepreneurship Monitor (GEM) 2002. In Frontiers of Entrepreneurship Research (pp. 544–555). Fisher, R., & Langan-Fox, J. (2009). Passion And Uncertainty In Successful Entrepreneurial Action. AGSE (pp. 243–253). Gartner, W. B. (1988). “Who Is an Entrepreneur ?” Is the Wrong Question. Retrieved from http://business2.fiu.edu/ Giacomin, O., Guyot, J.-L., Janssen, F., & Lohest, O. (2007). Novice Creators: Personal Identify and Push Pull Dynamics (No. 07/10). Indarti, N., & Langenberg, M. (2004). Factors affecting business success among SMEs : Empirical evidences from Indonesia. In The second bi-annual European Summer University 2004, University of Twente, Enschede, The Netherlands, September, 19-21st, 2004 (pp. 1–15). Laaksonen, L., Ainamo, A., & Karjalainen, T.-M. (2011). Entrepreneurial Passion: An Explorative Case Study of Four Metal Music Ventures. Journal of Research in Marketing and Entrepreneurship, 13(1), 18–36. McClelland, D. C. (1961). The Achieving Society. Mansfield Centre, CT: Martino Publishing. Murnieks, C. Y. (2007). Whoam I? The Quest For An Entrepreneurial Identity And An Investigation Of Its Relationship To Entrepreneurial Passion And Goal-Setting. University of Colorado. Retrieved from www.proquest.com Murnieks, C. Y., & Mosakowski, E. M. (2007). Who Am I? Looking Inside The “Entrepreneurial Identity.” Frontiers of Entrepreneurship Research, 27(5), 1–14. Naude, W. (2010). Entrepreneurship In The Field of Development Economics. In B. Urban (Ed.), Frontiers in Entrepreneurship - Perspective in Entrepreneurship. Springer. Panda, T. K. (2001). Entrepreneurial Success: Key Indicator Analysis In Indian Context. Priyanto, S. H. (2009). Mengembangkan Pendidikan Kewirausahaan di Masyarakat. Journal PNFI : Andragogia, 1(1), 57–82. Rauch, A., & Frese, M. (2000). Psychological approaches to entrepreneurial success: A general model and an overview of findings. International Review of Industrial and Organizational Psychology, 101–142. Reaves, B. B. (2008). Entrepreneurial Success: A Phenomenological Study of The Characteristics of Successful Female Entrepreneurs. University of Phoenix. Retrieved from www.proquest.com Reynolds, P. D., Bygrave, W. D., Autio, E., Cox, L. W., & Hay, M. (2002). Global Entrepreneurship Monitor 2002 Executive Report.
79
Reynolds, P. D., Camp, S. M., Bygrave, W. D., Autio, E., & Hay, M. (2001). Global Entrepreneruship Monitor 2001 Executive Report. Riyanti, B. P. D. (2004). Factors Influencing The Success Of Small-Scale Entrepreneurs In Indonesia. In B. N. Setiadi, A. Supratiknya, W. J. Lonner, & Y. H. Poortinga (Eds.). In Ongoing Themes in Psychology and Culture (Online Ed.). Melbourne: International Association for Cross-Cultural Psychology. Retrieved from http://www.iaccp.org Sari, D., Alam, Q., & Beaumont, N. (2008). Internationalisation of Small Medium Sized Entreprises in Indonesia: Entrepreneur Human and Social Capital. In 17th Biennial Conference of the Asian Studies Association of Australia (pp. 1–12). Schumpeter, J. A. (1934). The Theory of Economic Development. Transaction Publisher. Shane, S., Locke, E. A., & Collins, C. J. (2003). Entrepreneurial Motivation. Human Resource Management Review, 13, 257–279. Shane, S., & Venkataraman, S. (2000). The Promise Of Entrepreneurship As A Field Of Research. Academy of Managamenet Review, 25(1), 217–226. Stets, J. E., & Burke, P. J. (2005). New Directions in Identity Control Theory. Advance in Group Process, 22, 43–64. Stryker, S., & Burke, P. J. (2000). The Past, Present, and Future of Identity Theory. Social Psychology Quarterly, 63(4), 284–297. Sukardi, I. S. (1991). Intervensi Terencana Faktor-Faktor Lingkungan Terhadap Pembentukan Sifat-Sifat Wirausahawan (Entrepreneur Traits). Universitas Indonesia. Tambunan, T. (2007). Entrepreneurship Development: SMES in Indonesia. Journal of Developmental Entrepreneurship, 12(1), 95–118. Tambunan, T. (2009). Women entrepreneurship in Asian developing countries : Their development and main constraints. Journal of Development and Agricultural Economics, 1(2), 27–40. Vallerand, R. J., Blanchard, C., Mageau, G. A., Koestner, R., Ratelle, C., Leonard, M., … Marsolais, J. (2003). Les Passion de l’Ame: On Obsessive and Harmonious Passion. Journal of Personality and Social Psychology, 85(4), 756–767. Verheul, I., Thurik, R., Hessels, J., & Zwan, P. Van Der. (2010). Factors Influencing the Entrepreneurial Engagement of Opportunity and Necessity Entrepreneurs. SCientific AnaLysisOf Entrepreneurship and SMEs, (March), 1–26. Vesala, K. M., Peura, J., & McElwee, G. (2007). The Split Entrepreneurial Identity of The Farmer. Journal of Small Business and Enterprise Development, 14(1), 48–63. Wagner, J. (2005). “Der Noth gehorchend, nicht dem eignen Trieb” - Nascent Necessity and Opportunity Entrepreneurs in Germany: Evidence from the Regional Entrepreneurship Monitor (REM ) (No. 1608). Williams, C. C. (2007). Entrepreneurs Operating in The Informal Economy - Necessity or Opportunity Driven. Journal of Small Business and Entrepreneurship, 20(3).
80
Winnen, C. J. (2005). To be or not to be : The role of passion and obsession in the entrepreneurial process. University of St. Thomas. Retrieved from www.proquest.com Artikel. (2012, May 3). Menkop UKM: Entrepeneur Selalu Siap Hadapi Perubahan. Retrieved from http://www.depkop.go.id Artikel. (2011, April 26). Wirausaha baru kunci kemajuan bangsa. Retrieved from http://www.depkop.go.id
81
NILAI BUDAYA LOKAL, RESILIENSI, DAN KESIAPAN MENGHADAPI BENCANA ALAM
Wanda Fitri IAIN Iman Bonjol
Abstrak Munculnya perspektif psikologi positif telah meningkatkan kesadaran pada banyak ilmuwan sosial tentang nilai-nilai hidup positif yang telah lama tertanam dalam masyarakat lokal. Salah satunya disebut kearifan lokal. Sehubungan dengan isu peran nilai budaya lokal, penelitian ini akan menganalisis secara deskriptif resiliensi dan kesiapan menghadapi bencana di Sumatera Barat dengan menggunakan perspektif nilai budaya lokal Minangkabau. Proses pendalaman analisis peran nilai budaya lokal Minangkabau terhadap resiliensi adalah melalui analisis prediktor yang umumnya memicu gangguan psikologis. Hasil deskriptif-analisis secara positif menunjukkan bahwa nilai budaya lokal Minangkabau memiliki peran positif terhadap resiliensi dan kesiapan menghadapi bencana. Kata kunci: Nilai budaya lokal, resiliensi, bencana
Pendahuluan Indonesia adalah wilayah yang sangat rawan terjadi bencana alam karena terletak dilintasan gugusan pegunungan berapi (the ring of fire) dan dua samudera besar. Oleh karena itu, Indonesia termasuk kawasan dengan gempa tektonik berskala tinggi dengan potensi gempa bumi laut yang besar (tsunami). Masih segar dalam ingatan bangsa Indonesia bagaimana 10 tahun yang lalu (26/12/2014) tsunami telah menghancurkan Aceh dan wilayah di sekitarnya. Bencana tersebut meninggalkan trauma psikologis yang mendalam pada masyarakat Indonesia. Badan Nasional Penganggulangan Bencana mencatat ada beberapa daerah yang berpotensi tsunami yaitu: pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa, kepulauan Papua dan Sulawesi. Disamping itu, iklim Indonesia juga ikut menentukan terjadinya bencana banjir dan tanah longsor mudah terjadi ketika musim hujan dan kekeringan akan menyengsarakan pada saat kemarau. Disamping itu Indonesia juga memiliki potensi sumber gas alam terbesar di dunia yang ternyata juga dapat menyebabkan bencana, seperti kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Bencana alam selain merusak lingkungan juga menelan korban jiwa dan menyisakan stress dan trauma (efek psikologis) bagi masyarakat yang menjadi korban. Menurut Lazarus dan Cohen (dalam Bell dkk, 1996) terdapat 3 tipologi stressor lingkungan yaitu: (1) daily hassles: kejadian singkat setiap hari dan memiliki magnitude yang relatif kecil, antara lain: 82
pergi bekerja, sekolah, dan seterusnya; (2) personal stressor; kejadian yang memberi dampak kuat pada seseorang berupa perasaan terancam atau kehilangan sesuatu, antara lain; kehilangan pekerjaan, kehilangan, orang yang dicintai, dan seterusnya; (3) cataclysmic event; kejadian yang memiliki intensitas dan potensi merusak atau menghancurkan lingkungan secara lebih luas. Selanjutnya, Cohen dan Lazarus menjelaskan, kejadian yang menyebabkan stress tersebut dapat bersifat tiba-tiba seperti; peperangan, hukuman seumur hidup, relokasi, dan bencana alam. Hal ini akan berkaitan dengan kemampuan adaptasi individu dalam perilaku coping. Oleh karena itu, untuk mengurangi resiko dampak bencana diperlukan kemampuan mengelola dan persiapan menghadapi bencana dengan dampaknya terutama yang berefek psikologis (trauma psikologis). Tulisan ini bermaksud menjelaskan dampak psikologis bencana alam secara definitif dan pengaruh nilai-nilai kearifan lokal dalam memahami peran
dukungan lingkungan
terutama dalam kesiapan menghadapi bencana.
Dampak Psikologis dari Bencana Secara umum dampak bencana adalah terjadinya trauma psikologis.
Trauma
psikologis seringkali dapat digambarkan sebagai penderitaan yang disebabkan oleh adanya rasa tidak berdaya yang membuat individu (korban) merasa sama sekali tidak berdaya oleh tekanan yang luar biasa . Herman (1997) menyebutkan bahwa trauma psikologis adalah suatu perasaan ketakutan yang luar biasa, ketidak berdayaan yang amat sangat, kehilangan kendali, dan ancaman akan adanya penghancuran/pembinasaan. Pengalaman langsung terhadap tekanan yang ekstrim atau trauma akan memengaruhi seseorang pada hampir semua fungsi diri seperti; fisiologis, kognisi, perilaku, bahkan dapat membuat terjadinya perubahan karakter/kepribadian (Lamprecht & Sack, 2002). Peristiwa traumatis biasanya akan memblokir sistem normal yang biasanya membuat orang memiliki kendali minimal terhadap diri sendiri dan lingkungan di sekitarnya. Trauma yang sifatnya interpersonal yaitu menyaksikan kematian tidak wajar dari orang yang dicintai karena kecelakaan, penculikan, dibunuh, dianiaya, pemerkosaan, dan sebagainya biasanya akan memiliki efek psikologis yang lebih buruk dibanding dengan trauma yang sifatnya impersonal, seperti kejadian bencana alam. Pada trauma yang bersifat impersonal, peristiwa pemicu trauma tersebut tidak dialami sendirian sehingga tidak menimbulkan perasaan kesedihan sendirian. Namun tidak demikian pada kasus bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami yang sifat menghancurnya lebih luas. Misalnya tsunami Aceh dan Nias, karena kejadiannya tergolong dahsyat meski traumanya tergolong impersonal tetapi gangguan-gangguan psikologis yang dialami korban selamat (survivor) cukup besar. 83
Nilai-Nilai Budaya dan Kearifan Lokal Nilai-nilai lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus menerus dalam kesadaran masyarakat. Nilai-nilai tersebut berfungsi dalam mengatur kehidupan mulai dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai profan. Menurut Koentjaraningrat (1985), nilai-nilai budaya lokal dalam ranah kebudayaan dapat menjelma dalam berbagai bentuk seperti; ide, gagasan, nilai, norma, dan perarturan. Sedangkan dalam kehidupan sosial dapat berupa sisitem religius, sistim dan organiasi kemasyarakatan, sistim pengetahuan, sistim mata pencarian hidup, dan sistim teknologi/peralatan. Nilai budaya lokal dalam kajian ilmu sosial lebih popular dikenal sebagai kearifan lokal
(local
wisdom)
yang
maknannya
dapat
dipahami
sebagai
gagasan-gasan
setempat/lokal yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Istilah kearifan lokal dalam kajian Antropologi sebagai local genius yang dikenalkan pertama kali oleh Quatrich Wales (Ayatrohaedi, 1986 dalam Sartini, 2004). Sementara local genius dalam konteks psikologi budaya juga disebut sebagai cultural identity (identitas budaya). Identitas budaya atau kepribadian budaya bangsa adalah yang menyebabkan suatu bangsa mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri. Nilai budaya lokal adalah sumber daya yang terdapat dalam masyarakat (kearifan dan pengajaran). Nilai budaya lokal dapat juga dipahami sebagai sekumpulan nilai yang melekat pada diri individu-individu sekaligus komunitas sebagai hasil dari berbagai dimensi sosial di dalamnya (Matsumoto, 1996). Selanjutnya, kearifan lokal lebih menekankan pada kemampuan positif dari nilai-nilai kehidupan hakiki yang dimiliki, diyakini dan biasanya masih dilakukan dalam kehidupan sehari-hari oleh masing-masing masyarakat (Sulastri, 2007). Modal sosial adalah bagian dari kearifan lokal yang didefinisikan sebagai sekumpulan sumber daya potensial dan aktual yang dimiliki dalam hubungan individu di dalam komunitasnya dan jaringan tersebut bertahan lama (Bourdie, 1985, dalam Sumampow, 2009). Bentuk-bentuk kearifan lokal menurut Nyoman Shirta (dalam Sartini, 2004) dapat berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Oleh karena bentuknya yang bermacam-macam dan ia hidup dalam aneka budaya masyarakat maka fungsinya menjadi bermacam-macam. Selanjutnya, Balipos (dalam Sartini, 2004) menjelaskan beberapa fungsi dan makna kearifan lokal yaitu: untuk konservasi dan pelestraian sumber daya alam; untuk pengembangan sumber daya manusia; untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, sebagai petuah; kepercayaan, sastra, dan pantangan; bermakna sosial, misalnya acara integrasi komunal/kerabat dan pada upacara daur pertanian; bermakna etika dan moral; bermakna politik. 84
Penjelasan di atas menunjukan betapa luasnya ranah kearifan lokal mulai dari yang bersifat teologis sampai yang sangat pragmatis, dan teknis. Berdasarkan penjelasan di atas, maka kearifan lokal dapat disebut dengan nilai yang berkaitan dengan persoalan identitas. Sebagai pengetahuan lokal, ia membedakan suatu masyarakat lokal yang satu dengan masyarakat lokal lainnya. Kearifan lokal tidak sekedar sebagai acuan tingkah laku tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban. Menurut Ridwan (2007), secara substansial kearifan lokal adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai yang diyakini sebenarnya dapat menjadi acuan dalam bertingkah laku sehari-hari masyarakat setempat. Oleh karena itu menurut Ridwan (2007) sangat beralasan jika Clifford Geertz mengatakan bahwa kearifan local merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Sehubungan dengan penanggulangan bencana alam di Indonesia, Wardono (Ketua Forum Peduli Bencana Indonesia (FPBI) menjelaskan bahwa
kearifan lokal seringkali
terlupakan. Padahal inti dari penanggulangan bencana itu adalah masyarakat yang tertimpa bencana atau yang berada di wilayah rawan bencana. Hal itu mesti dipahami dalam sebuah penanggulangan bencana alam (Padang Ekspres, 09/07/2011). Dalam kesiagaan bencana, kearifan lokal dapat menjadi early warning system yang andal dibandingkan alat-alat termodern saat ini. Misalnya Jepang, sebagai negara modern mereka masih tetap mengandalkan kearifan lokal dalam melihat gejala-gejala alam. Di Jepang, sering terjadi tsunami tapi jarang memakan banyak korban. Itu tak lepas dari masyarakat dan pemerintahnya yang tidak meninggalkan kearifan lokal dalam menghadapi bencana alam. Jika ada ikan-ikan di laut dalam muncul di permukaan laut dangkal, berarti pertanda akan terjadi tsunami. Biasanya masyarakat yang berada di dekat pantai bersiap untuk menjauh. Penelitian Sulastri (2007) pada masyarakat korban selamat bencana gempa bumi di Bantul Yogyakarta menemukan bahwa sudah cukup bukti bahwa nilai kearifan lokal Jawa (prinsip kerukunan dan prinsip hormat) banyak menjadi faktor penolong munculnya resiliensi. Suatu nilai yang menguatkan daya untuk menghadapi, melawan, dan untuk pulih dari trauma bencana yang banyak didasarkan pada akar-akar tradisi yang masih melekat kuat pada masyarakat setempat.
Kearifan Lokal Budaya Sakato dalam Budaya Minangkabau Dalam kehidupan sehari-hari ajaran-ajaran budaya yang terkandung di dalam nilai-nilai budaya Minangkabau dikena sebagai
“ajaran adat” yang kemudian cenderung disebut
sebagai “adat” saja. Adat bagi orang Minang adalah penuntun kehidupan agar seseorang dapat menjauhi perbuatan jahat sekecil apapun. Sebaliknya sejak kecil seseorang telah dituntun untuk berbuat sesuatu yang berguna bagi dirinya dan orang lain (LKAAM, 1987). 85
Adat juga mengajarkan setiap orang Minang harus berbudi pekerti sebagai dasar perilaku dalam hubungan sosial dengan sesama. Sebagaimana yang disebutkan; nan baiek iolah budi, nan indah iolah baso (yang baik itu hanyalah budi, dan yang indah itu adalah etika). Ajaran utama tentang nilai kebersamaan, kerukunan, kerja keras, berbudi, dan beribadah kepada Tuhan (religius) dibangun dalam ajaran adat budaya Minangkabau. Nilainilai ini melekat kuat sebagai etnisitas orang Minang. Untuk memahami lebih lanjut bagaimana nilai-nilai budaya Minangkabau dapat ditelusuri melalui prinsip pandangan hidup orang Minangkabau. Ada empat pandangan hidup/prinsip orang Minang yaitu pandangan terhadap hidup, pandangan terhadap alam, pandangan terhadap waktu, pandangan terhadap kerja, dan pandangan terhadap sesama. Secara garis besarnya keempat pandangan hidup ini tersimpul di dalam ajaran budaya sakato. Budaya sakato adalah ajaran adat yang mengandung nilai-nilai kebersamaan. Sesuai dengan konteks katanya sakato (satu kata) yang berarti kebersamaan, satu hati, dan kekerabatan (persaudaraan). Menurut Amir (2003) terdapat tiga unsur yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat dalam konsep masyarakat nan sakato yaitu; saiyo-sakato, sahino-samalu, dan sapikue sajinjiang. Saiyo-sakato menunjuk pada konsep yang menjunjung tinggi kebersamaan dengan nilai-nilai demokratis. Menghadapi suatu masalah atau pekerjaan harus selalu diikuti oleh prinsip persetujuan bersama (kebersamaan). Dalam kebersamaan perbedaan pendapat pasti sering terjadi dan tidak dapat dihindarkan dan orang Minang mengakui hal tersebut sebagai sesuatu yang lumrah. Namun perbedaan tersebut jika dibiarkan akan menjadi masalah dan sumber konflik, maka harus segera diselesaikan melalui musyawarah. Dalam budaya Minangkabau ada istilah musyawarah untuk mufakat sebagaimana yang dikatakan adat; bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mufakaik (bulat air karena pembuluh/bambu, satu kata karena mufakat). Maksudnya, kesepakatan hanya bisa diperoleh melalui jalan musyawarah dan kesepakatan itulah yang harus dihormati bersama. Nilai yang terkandung dalam konsep sakato adalah mengajarkan orang Minang untuk lebih mengutamakan demokrasi. Konsep sakato juga mengajarkan orang Minang untuk selalu mengutamakan kesatuan dan keterpaduan dalam masyarakat. Orang Minang yakin tanpa kesatuan dan persatuan, maka akan sulit untuk mencapai tujuan. Namun hal lain yang disadari oleh orang Minang bahwa dengan hidup berkelompok pasti perselisihan tidak bisa dihindari, maka perlu memelihara komunikasi dan dialog. Melalui komunikasi yang baik semua perbedaan dan kesalahpahaman dapat diselesaikan tanpa diiringi oleh kekerasan. Sahino-samalu artinya sikap empati yang harus dikembangkan oleh orang Minang dalam kehidupan kelompoknya/kaum.
Terutama kehidupan kelompok se-suku karena
hubungan tersebut adalah hubungan yang sangat dekat dan sangat erat. Menurut Navis 86
(1984) dalam hubungan tersebut hampir tidak mengenal konsep ‘kau dan aku” tetapi lebih kepada “kita” (awak). Masalah serumit apapun yang diselesaikan dengan cara awak samo awak (kita sama kita) biasanya akan menjadi lebih mudah karena mengandung unsur kekeluargaan. Ditambahkan oleh Amir (2003) bahwa hubungan dalam kelompok suku/kaum ini menjadi harga diri individu yang melebur menjadi harga diri kaum/kelompok suku yang disebut dengan solidaritas. Jika ada satu anggota suku yang diremehkan maka seluruh anggota suku akan ikut merasa tersinggung. Begitu juga jika ada salah satu anggota suku yang dipermalukan, maka seluruh anggota sukunya akan berjuang membela nama baik anggotanya yang lain. Sebaliknya jika salah seorang anggota suku yang melakukan perbuatan yang tidak terpuji atau melanggar aturan dan norma, maka seluruh anggota suku akan menanggung rasa malu. Oleh karena itu orang Minang dalam bersikap dan berperilaku diajarkan oleh adatnya untuk selalu berhati-hati karena setiap perbuatan yang dilakukannya adalah merupakan representatif dari suku/kelompoknya. Maka ketika seseorang berbuat salah maka dia tidak bisa menyembunyikan identitas dirinya sebagai anak siapa, kamanakan (keponakan) siapa, sukunya apa, kampungnya dimana, dan seterusnya. Kebiasaan demikian dilakukan oleh orang Minang dalam berinteraksi sehari-hari karena dengan demikian identitas akan membantu membuat sebuah hubungan baru yang transparan dan bertanggungjawab. Sapikue-sajinjiang mengandung makna gotong royong. Dalam masyarakt komunal semua tugas menjadi tanggungjawab bersama dan harus digotong-royongkan. Sikap saling mendukung dan bantu membantu menjadi sebuah kewajiban bukan lagi hanya sekedar keharusan. Dalam ajaran adat disebutkan bahwa suatu kehidupan bersama yang sejahtera tidak akan dapat dicapai jika tidak saling mendukung. Unsur sapikue-sajinjiang memuat ajaran bagaimana positifnya dari nilai hidup berbagai dan saling mendukung. Pada masyarakat Minang, hubungan kekerabatan adalah salah satu nilai yang melekat kuat dan menjadi ciri dalam hubungan sosialnya. Kekerabatan menjadi nilai dan tradisi yang dihormati sekaligus dipahami sebagai ciri khas dari identitas sosial mereka sebagai orang Minang. Dengan kuatnya nilai kekerabatan telah membantu mengembangkan dukungan sosial yang lebih luas dan sangat dihargai oleh masyarakat Minang. Terpeliharanya nilai nan sakato di tengah kehidupan sosial masyarakat Minang menunjukan betapa kuatnya dan melimpahnya dukungan di sekitar orang Minang.
Resiliensi The American Psychological Association (APA) (dalam Windle, 2011) mendefinisilan resiliensi sebagai proses adaptasi yang baik dalam mengatasi keterpurukan, trauma, tragedi, ancaman, atau sumber tekanan yang signifikan seperti masalah keluarga, hubungan, 87
kesehatan yang serius, atau masalah di tempat kerja dan tekanan finansial. Artinya, resiliensi adalah kemampuan untuk kembali ke keadaan semula dari tekanan-tekanan atau keadaan sulit yang dihadapi. Resiliensi dianggap sebagai kapasitas untuk melakukan penyembuhan sendiri atau bangkit kembali dari situasi sulit (Connor & Davidson, 2003). Resiliensi sering digambarkan sebagai kapasitas yang dimiliki individu dalam menghadapi tekanan atau dampak dari keadan sulit untuk bisa pulih dan kembali pada keadaan semula. Friborg et. Al., (2005) menjelaskan resiliensi sebagai sebuah konstruk yang terdiri dari berbagai dimensi. Konsep resiliensi tidak hanya terbatas pada psychological skills tetapi juga kemungkinan individu untuk mendapatkan dukungan keluarga, sosial, bahkan dukungan yang lebih luas dalam melakukan coping yang lebih baik terhadap stress. Resiliensi dirumuskan sebagai pola adaptasi yang positif yang berhubungan dengan pengalaman, attitude, skill, internal dan eksternal resources untuk mengatasi kondisi yang tidak menyenangkan (adversity). Sementara Grotberg (1995) menyebutkan resiliensi sebagai kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan menjadi sebaliknya (berdamai dengan kondisi tersebut).
Nilai Budaya Lokal dan Resiliensi Norris et. al., (2008) telah menemukan ada korelasi antara tempat, modal sosial (nilai dan belief), dan kondisi kesehatan terhadap resiliensi dan kesiapan masyarakat yang terkena bencana dalam menghadapi bencana atau isu-isu tentang bencana berikutnya. Penelitian Fitri
(2012) mengindikasikan
adanya keterkaitan antara derajat resiliensi
masyarakat yang tinggal di wilayah rentan bencana pasca gempa besar pada tahun 2009 yang lalu dengan nilai-nilai kearifan lokal (tanggap, arif, dan bijaksana dalam memahami gejala alam) dan rasa kebersamaan yang tinggi ketika tahap emergensi dan pasca bencana. Nilai-nilai positif dari kearifan lokal untuk membantu manusia mulai dimunculkan oleh Selligman dan Csikszentmihalyi sejak tahun 2000. Banyaknya terjadi bencana tanah longsor di Sumatera Barat terutama di kabupaten Agam menunjukan adanya kecenderungan pengabaian terhadap nilai-nilai kearifan lokal dalam pengelolaan dan pemanfaatan alam/lingkungan. Berdasarkan laporan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sumatera Barat sepanjang tahun 2014 sejak Februari sampai Oktober telah terjadi 84 kali bencana tanah longsor di kabupaten Agam. Hal ini disebabkan banyaknya perbukitan di Agam dengan hutannya yang mulai beralih fungsi menjadi lahan perkebunan. Kondisi geologis tanahnya yang miring/curam hanya ditanami dengan sayur-sayuran padahal intensitas curah hujan di wilayah ini cukup tinggi sehingga tidak ada kekuatan tanah untuk menopang air hujan tersebut akibatnya mudah menjadi longsor. Disamping itu tingginya intensitas gempa bumi vulkanik telah mengakibatkan 88
pergeseran tanah yang tanpa sengaja telah membentuk bendungan-bendungan alam di lereng-lereng perbukitan yang siap mengancam terjadinya longsor ketika musim hujan tiba. Analisis terhadap daya resiliensi pada masyarakat yang menjadi korban (penyintas) pada saat terjadi bencana alam (pasca gempa 2009, tsunami Mentawai 2010, dan tanah longsor 2011) tetapi masih tinggal di wilayah rentan bencana tersebut sampai sekarang diduga banyak berkaitan dengan nilai-nilai budaya lokal. Orang Minang menjadikan alamnya yang indah sebagai tempat belajar untuk mengembangkan kearifan dalam hidup bermasyarakat dan harmonis dengan lingkungan. Misalnya dalam kehidupan bermasyarakat orang Minang harus mengerti dengan perubahan-perubahan yang terjadi terutama perubahan sosial. Seperti kata adat sakali aie gadang, sakali tapian barubah, namun aie ka ilie juo (sekali air besar , sekali tepian berubah, tapi air mengalir ke hilir juga). Maksudnya setiap kali suatu peristiwa terjadi maka pasti akan memberikan pengarih sekecil apapun pengaruh itu, namun kehidupan harus terus berlangsung.
Metode Analisis nilai budaya lokal dan resiliensi dilakukan dengan menggunakan telaah prediktor terhadap pemicu perilaku resilien dan kekuatan yang member pengaruh terhadap kekuatan resiliensi. Hasil Analisis pada Tahap Tanggap Darurat dan Faktor-faktor pasca kejadian. Pada tahap ini dilihat faktor-faktor apa saja yang memengaruhi resiliensi masyarakat yang tinggal di wilayah rentan bencana dan sering menjadi penyintas pada saat bencana terjadi. Berdasarkan temuan penelitian ditemukan adanya keterkaitan antara nilai-nilai budaya lokal dengan derajat resiliensi. Nilai kebersamaan (saiyo-sakato). Prinsip kebersamaan pada orang Minang adalah merupakan kekuatan spiritual yang mengatur kehidupan bermasyarakat dan sosial orang Minang. Maka tidak heran prinsip kebersamaan ini masih dipertahankan dalam hubungan kekerabatan orang Minang. Hal ini terbukti pada beberapa kali peristiwa bencana alam yang terjadi di Sumatera Barat. Misalnya pada kasus gempa 2009 dan tanah longsor 2010 dan 2012, selama pendampingan dilakukan hampir tidak ada kasus kekurangan bantuan yang berhubungan dengan kebutuhan dasar terutama pangan dan sandang (tenda, selimut, dan obat-obatan). Bantuan yang mengalir cepat tanpa diminta datang dari keluarga besar maupun masyarakat sekitar. Hal tersebut membuat para penyintas merasa memiliki sumberdaya yang selalu siap mendukung mereka sehingga muncul kembali kekuatan psikologis untuk bangkit kembali. 89
Nilai Empati dan Toleransi (sahino-samalu). Sikap empati dan toleransi menjadi ujud nyata dari prinsip nilai kebersamaan. Masyarakat nan sakato (masyarakat yang bersatu) dalam budaya Minang dipahami sebagai masyarakat yang berjiwa prososial, menjaga dan memelihara kebersamaan dengan sikap saling mengerti, menghargai, toleransi dan berempati pada orang lain. Munculnya dapur umum dan berfungsinya kelompok sosial yang ada di lingkungan seperti karang taruna, majlis taklim, kelompok pengajian, dan persatuan/organisasi masyarakat perantauan yang ikut bersama-sama membantu secara materil maupun moril pada masyarakat yang menjadi penyintas bencana. Dukungan nyata tersebut terlihat sangat memengaruhi sikap dan perilaku penyintas sehingga menimbulkan keyakinan dan kekuatan pada diri mereka untuk mengendalikan lingkungan terutama pasca trauma kejadian. Prinsip Gotong-royong (sapikue-sajinjiang). Prinsip gotong-royong merupakan ciri khas utama dari masyarakat Indonesia. Pada orang Minang dalam ajaran budayanya dituntut untuk bekerja keras dan memiliki tanggungjawab terhadap lingkungan sekitarnya. Seseorang belum dikatakan berguna jika tidak dapat membantu dan bekerjasama dengan orang-orang disekitarnya. Apalagi jika mereka itu kerabat sendiri. Terlihat nyata pada penyintas bencana alam gempa 2009 dan tanah longsor 2011 yang lalu bagaimana mereka dengan gigih bahu membahu
membangun tempat tinggal dengan memanfaatkan
sumberdaya yang ada bersama-sama. Mereka tidak tergantung pada bantuan dan mengaku tidak terlalu banyak berharap pada bantuan terutama dalam memperbaiki tempat tinggal mereka. Sehingga dalam waktu setahun pasca bencana masyarakat sudah dapat menempati rumah mereka secara layak. Analisis pada tahap kerentanan terhadap trauma dan faktor-faktor penentu sebelum terjadinya trauma Selain dari nilai-nilai kearifan lokal yang berperan penting terhadap derajat resiliensi dan kemampuan untuk pulih dari trauma, ada beberapa kondisi lain yang juga dapat memberikan pengaruh terhadap kemampuan resiliensi pada penyintas. Pertama kekuatan tekanan dan sumber bencana. Kekuatan tekanan dan jenis bencana alam yang berbeda akan memengaruhi cara respon yang berbeda. Pada kasus masyarakat penyintas korban gempa 2009 lalu akan cepat menjadi cemas ketika gempa bumi yang terjadi berskala besar dan berpotensi tsunami. Sebaliknya, tidak demikian ketika kekuatan tekanannya kecil dan sumber bencananya bukan gempa tektonik, misalnya banjir. Kedua, pengetahuan tentang bencana dan kesiapan menghadapi bencana. Ada perbedaan respon yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang tinggal di dekat pantai dalam merespon isu bencana atau ketika menghadapi bencana gempa bumi yang terjadi. Pada kelompok masyarakat asli (pribumi) mereka tidak cepat percaya apalagi menjadi panik 90
ketika terjadi gempa bumi dan kemudian tiba-tiba merebak akan adanya gempa susulan yang berpotensi tsunami seperti yang diperlihatkan oleh kelompok masyarakat pendatang atau yang sedang melewati daerah tersebut. Hal itu dikarenakan kelompok masyarakat asli memiliki pengetahuan dalam membaca tanda-tanda alam yang dipelajari secara turun menurun dalam keluarga mereka. Ketiga, tingkat Religiusitas. Nilai-nilai religiusitas juga diakui dapat memengaruhi kemampuan resiliensi. Pargament, 1997 (dalam Pargament dan Cummings, 2010) menjelaskan bahwa secara tidak langsung agama dapat digunakan sebagai salah satu bentuk atau sumber dari coping internal. Ia menjelaskan hubungan antara agama dan proses coping dan menyatakan bahwa orang-orang cenderung kembali kepada iman mereka untuk membantu mereka dalam keadaan tertekan (stress). Pargament dan Park,
1995
(dalam Resnick, et al. 2011) menyimpulkan bahwa orang-orang yang menggunakan agama sebagai sumber kekuatan dapat meningkatkan self efficacy dan aktif dalam memecahkan masalah, tidak pasif, tergantung maupun mudah menyerah. Keyakinan terhadap ajaran agama juga dapat mengatasi kesulitan hidup dan mengurangi ancaman hidup. Hal ini mendukung data observasi peneliti di lapangan beberapa minggu setelah bencana gempa 2009, terlihat bagaimana setiap anggota keluarga berusaha bangkit dengan membersihkan puing-puing rumah mereka yang telah hancur untuk dapat digunakan kembali membangun rumah mereka. Mereka juga tampak berusaha untuk tidak larut atau berlama-lama dalam kedukaan. “Kepasrahan” yang lebih tampak sebagai “sikap menerima” ditunjukan oleh penyintas seperti suatu kekuatan tersembunyi yang membantu mereka untuk terus melanjutkan kehidupan. Menurut pengakuan beberapa penyintas, sikap pasrah tersebut adalah bentuk dari sikap
penerimaan
mereka
terhadap
kehendak
Tuhan.
Selanjutnya
dalam
menaggapi/merespon bencana ternyata beberapa penyintas memberikan penfsiran yang beragam tentang peristiwa traumatis tersebut. Ada yang memaknainya sebagai takdir Tuhan (kehendak Allah SWT), teguran Tuhan atas kesalahan yang mungkin mereka lakukan (hukuman), sebagai tanda kasih sayang Tuhan karena memberi kesempatan kepada mereka yang selamat untuk memperbaiki diri dan mengampuni mereka yang meninggal, dan seterusnya. Bahkan tidak sedikit yang mengaku berusaha menerima peritiwa tersebut dengan kesabaran dan keikhlasan.
Kesimpulan Nilai-nilai kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyaraka. Nilai-nilai tersebut tumbuh dan berkembang secara terus menerus di dalam kesadaran masyarakat dan berfungsi dalam mengatur kehidupan dari yang sifatnya 91
berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai profan. Padahal pada prinsipnya ajaran yang terdapat dalam kearifan lokal lebih menekankan pada kemampuan positif dari nilai-nilai hidup hakiki yang dimiliki oleh masing-masing masyarakat. Oleh karena itu nilai-nilai tersebut masih bisa dibangkitkan dan dikuatkan kembali jika sudah mulai memudar. Ada banyak alasan
untuk
mempersiapkan
mempersiapkan diri
masyarakat
dalam
menaggulangi
bencana
dengan
melawan sumber terjadinya bencana melalui melalui pengamalan
terhadap nilai-nilai tradisi yang sebenarnya sudah melekat kuat dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Daftar Pustaka Amir, M.S. 2003. Adat Minangkabau: Pola dan Tinjauan Hidup Orang Minang, Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya Connor, K.M, & Davidson, J.R.T. 2003. Development of a New Resilience Scale: The Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC), depression and Anxiety, 18, 76-82. Fitri, Wanda. 2012. Pengaruh Kelompok Dukungan dan Keberfungsian Sosial terhadap Resiliensi Orang Minang, Makalah disajikan dalam Temu Ilmiah Nasional dan Konferensi Ikatan Psikologi Sosial,Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, Pekanbaru, 2-3 November . Friborg, O., Barlaug, D., Martinussen, M., Rosenvinge, J.H., & Hjemdal, O, 2005. Resilience in Relation to Personality and Intelligence, International Journal of Methods in Psychiatric Research, 14, 29-40. Grotberg, E. 1995. A Guide to Promoting Resilience in Children: Strengthening The Human Spirit, Benard Van Leer Foundation Herman, Judith. 1997. Trauma and Recovery: The Aftermath of Violence-from Domestic Abuse to Political Terror, New York:Basic Books. Koentjaraningrat. 1985. Pengantar ilmu Antropologi, Jakarta: Aksara Baru Lembaga Kerapatan Adat Alam Mingakabau (LKAAM). 1987. Adat Minangkabau: Sejarah dan Budaya, Padang: Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau Sumatera Barat. Matsumoto, D. 1996. Culture and Psychology, New York: Brooks Cole Publishing, Co. Navis, A.A. 1984. Alam Takambang Jadi Guru: Adat Kebudayaan Minangkabau, Jakarta: Garfiti Pers Norris, F.H., Steven, S.P., Pfefferbaum, B., Wyche, K.F., & Pfefferbaum, R.L. 2008. Community Resilience as A Methapor, Theory, Set of Capacities, and Strategy for Disaster Readiness, American Journal of Community Psychology, 41, 127-150. Padang Ekspres, 9 Juli 2011, Simulasi Evakuasi Tsunami yang Bikin Panik, hlm. 9 92
Pargament, K.I. 1997. The Psychology of Religion and Coping, New York: Guilford Press. Pargament, K.I., & Cummings, J. 2010. Anchored by Faith: Religion as A Relience Factor. In, J.W. Reich, A.J. Zautra, & J. S. Hall (Eds), Hanbook of Adult Resilience, New York: Guilford Press. Resnick, Barbara, Gwyther, Lisa P, & Roberto, Karen A. 2011. Resilience in Aging: Concepts, Research, and Outcomes, New York: Springer Sartini. 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati, Jurnal Filsafat, Agustus, Jilid 37, No.2, 111-119 Selligman, M.E.P., & Csikzentmihalyi, M. 2000. Positive Psychology, The American Psychologist Association Journal, 55, 1-17. Sulastri, Augustina. 2007. Kearifan Lokal Jawa dan Resiliensi Terhadap Trauma Psikologis Pada Korban Selamat Bencana Gempa Bumi di Bantul, Yogyakarta, Renai, Jurnal Kajan Politik Lokal dan Sosial,Tahun VII No. 1, 2007 Sumampouw, Nathanael. 2009. Dukungan Psikososial: Satu nama dengan Banyak Wajah. (Online), (http://dukungansosial/diskusi.org/html: diakses 5 April 2011. Ridwan, N.Ali. 2007. Landasan Keilmuan Karifan Lokal, Ibda, Jurnal Studi Ilmu dan Budaya, vo. 5. No.1, Jan-Jun, 27-38 Windle, Gill. 2011. What is Resilience? A Review and Concept Analysis, Review in Clinical Gerontology,
93
ORIENTASI AKULTURASI WARGA NEGARA INDONESIA KETURUNAN TIONGHOA YANG TINGGAL DI JAKARTA (BERDASARKAN INTERACTIVE ACCULTURATION MODEL)
Clara Moningka dan Steven Wijaya Universitas Bunda Mulia
Abstrak Sebagai warga di Indonesia, keturunan Tionghoa telah mendapatkan perlakuan diskriminatif sejak zaman kolonial. Bentuk diskriminasi berkembang menjadi ketidaksadaran kolektif dan mencapai puncaknya pada kerusuhan Mei 1998 yang berpusat di Jakarta. Penelitian ini ditujukan sebagai landasan pembuatan program intervensi terhadap diskriminasi dengan menggunakan mix methods. Pengukuran orientasi akulturasi menggunakan Interactive Acculturation Scale, focus group discussion dan open ended questionnaire. Sampel penelitian ini adalah keturunan Tionghoa yang berusia 20 – 60 tahun. Hasil penelitian menunjukkan skor 563 untuk orientasi integrationism, skor 471 untuk orientasi separatism, skor 369 untuk individualism, skor 295 untuk assimilationism, dan skor 273 untuk marginalisation. Hasil ini menunjukkan bahwa mayoritas responden lebih menyetujui untuk berakulturasi dengan orientasi integrationism pada dimensi budaya. Mayoritas sampel setuju untuk melakukan pembauran dengan budaya Indonesia namun tetap mempertahankan budaya asli mereka. Kata Kunci: akulturasi, keturunan Tionghoa, interactive acculturation model
Pendahuluan Keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia sudah ada sejak abad kesembilan, tepatnya pada kerajaan Dinasti Tang (618-907), di mana saat itu banyak orang Tionghoa berdatangan ke Indonesia untuk tujuan berdagang, namun karena faktor jarak dan waktu tempuh yang cukup panjang, banyak dari mereka menetap di Indonesia. Berdasarkan hasil sensus penduduk yang dilakukan, jumlah etnis Tionghoa di Indonesia sebanyak 1.2% dari jumlah seluruh penduduk yang ada (Badan Pusat Statistik, 2010). Meskipun menjadi kelompok minoritas, namun peranan etnis Tionghoa di Indonesia tidaklah sedikit. Peranan-peranan ini dapat terlihat dari, sekitar 90% perekonomian di Indonesia dikendalikan oleh etnis Tionghoa (Adidharta, 2013). Meskipun sudah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi negeri ini, namun etnis Tionghoa tetap mendapatkan perlakuan diskriminasi dari kelompok pribumi. 94
Diskriminasi tersebut sudah terjadi sejak jaman penjajahan Belanda di mana orang Tionghoa yang melakukan tindakan kriminal, mereka akan dihukum sesuai dengan undang-undang yang sama bagi warga pribumi. Dalam hal dagang, hutang piutang dan harta warisan orang Tionghoa dikenakan peraturan yang digunakan kepada warga Eropa (Pardede dkk, 2002). Perlakuan diskriminasi ini semakin meluas seiring dengan mencuatnya gerakan antikomunis di Indonesia. Baperki (Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia) yang merupakan kumpulan dari berbagai organisasi Tionghoa dianggap sebagai bagian dari gerakan komunis sehingga perlu diberantas keberadaannya. Secara tidak langsung orang-orang dari etnis Tionghoa yang tidak terlibat dalam Baperki ikut terkena imbasnya (Purdey, 2006). Peristiwa ini kemudian membuat masyarakat pribumi mulai membangun dan memiliki prasangka bahwa semua etnis Tionghoa adalah komunis dan karena prasangka tersebut muncul lah sikap-sikap diskriminasi (Pardede dkk, 2002). Pada zaman pemerintahan Presiden Soeharto identitas orang Tionghoa sebagai warga negara Indonesia mendapatkan perlakuan diskriminasi, di mana semua WNI Keturunan Tionghoa tidak diperkenankan untuk menggunakan nama Tionghoa, sehingga mereka harus mengubah nama mereka dengan nama barat atau nama Indonesia. Tidak hanya nama Tionghoa yang tidak boleh digunakan, Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa pun diwajibkan untuk memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia yang merupakan kartu identitas tambahan yang menyatakan bahwa pemiliknya adalah benar merupakan warga negara Republik Indonesia (Gusti, 2010). Perlakuan diskriminasi ini berlanjut dan mencapai puncaknya pada kerusuhan Mei tahun 1998, yang diawali dengan krisis finansial. Kerusuhan tersebut mengakibatkan banyak properti milik warga negara keturunan Tionghoa dirusak dan dihancurkan oleh massa. Hal yang paling mengerikan adalah banyak ratusan wanita keturunan Tionghoa yang menjadi korban pelecehan seksual sampai korban pemerkosaan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia asli atau pribumi. Sampai saat ini perlakuan diskriminasi yang diterima oleh warga negara keturunan Tionghoa masih terjadi, karena diskriminasi ini sangatlah sulit untuk dihilangkan. Diskriminasi terjadi karena adanya stereotype terhadap seseorang atau kelompok orang. Stereotype itu sendiri akan aktif secara otomatis; tanpa
95
disadari (Bargh, Chartrand, Greenwald & Banaji dalam Sanderson, 2010). Stereotype merupakan hasil dari pembelajaran sosial (Sanderson, 2010). Meskipun sulit untuk dihapuskan, namun diskriminasi masih dapat ditekan dengan menambah jumlah interaksi, memberlakukan kesetaraan, menciptakan identitas yang lebih umum, belajar untuk melihat dari sudut pandang orang lain, dan mempelajari informasi tentang orang lain (Sanderson, 2010). Terlepas dari permasalahan pelakuan diskriminasi yang diterima oleh etnis Tionghoa, akulturasi tetap terjadi. sebagai contohnya kebaya encim di mana sudah terdapat pengaruh dari pakaian khas Betawi, makanan peranakan dan lain sebagainya. Selain dari segi budaya, akulturasi pun terlihat dari segi bahasa yang digunakan oleh etnis Tionghoa di mana mereka juga menggunakan bahasa nasional, Bahasa Indonesia, pada keseharian mereka (Coppel, 2003). Hal ini mengindikasikan adanya akulturasi. Berdasarkan fenomena akulturasi yang terjadi diiringi dengan perlakuan diskriminasim peneliti tertarik untuk mengetahui orientasi akulturasi apakah yang terjadi dengan menggunakan acuan dari The Interactive Acculturation Model (IAM), dengan memfokuskan kepada
The
Immigrant
Acculturation
Scale
(IAM)
skala
yang
khusus
diperuntukan untuk melihat sikap akuturasi dari kelompok minoritas.
Etnis Tionghoa Berdasarkan sensus terakhir yang dilakukan pada tahun 1930, keturunan Tionghoa di Indonesia tersebar di beberapa wilayah seperti: Jawa dan Madura, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan di beberapa pulau lainnya. Namun sebagian besar terdapat di pulau Jawa (Ong dalam Tan, 2008).Tan (2008) menyebutkan bahwa etnis Tionghoa sendiri dibagi menjadi dua berdasarkan asalnya, yakni: Tjina Peranakan dan Tjina Totok (dalam bahasa Jawa berarti: baru, murni). Tjina peranakan ditujukan kepada mereka yang merupakan keturunan dari Tionghoa namun lahir di Indonesia, sedangkan Tjina Totok ditujukan bagi mereka keturunan Tionghoa yang lahir di Tiongkok ataupun mereka yang merupakan pendatang dari Tiongkok langsung.Sedangkan jika berdasarkan segi bahasa, terdapat empat buah bahasa yang digunakan, yakni: Hokkiens (Fnjianese), Hakkas, Cantonese, dan Teochews.
96
Akulturasi Berdasarkan American Psychology Association Dictionary of Psychology (2007), akulturasi adalah sebuah proses pengintegrasian nilai-nilai sosial budaya, ide, kepercayaan, dan perilaku antara budaya asli dengan budaya asing yang terjadi pada individu maupun kelompok. Menurut Bourhis & Carignan (2013), akulturasi merujuk pada proses di mana kebudayaan dari kelompok minoritas dan kelompok mayoritas dipengaruhi dan diubah oleh karena adanya kontak interkultural dan mereka diharapkan untuk melakukan modifikasi pada beberapa aspek kebudayaan mereka masing-masing. Menurut Berry (dalam Bourhis & Montreuil, 2013), akulturasi terjadi pada kedua belah pihak, baik pihak minoritas maupun pihak mayoritas dan hal ini ditujukan agar mereka dapat beradaptasi terhadap keberagaman. Menurut Matsumoto dan Juang (2013) akulturasi adalah sebuah proses bagaimana seseorang mengadopsi budaya yang berbeda dengan budaya asli orang tersebut dan memahami proses dari akulturasi itu sangatlah penting bagi setiap individu dewasa ini karena dengan itu mereka dapat mempertahankan dan menyesuaikan diri di lingkungan mereka yang baru.
The Interactive Acculturation Scale (IAM) Skala pengukuran ini berisikan gambaran mengenai bagaimanakah proses akulturasi yang terjadi pada kelompok nasionalis/warga negara mayoritas, kelompok nasionalis/warga negara minoritas maupun imigran (Bourhis & Montreuil, 2013). Terdapat lima kategori sikap yang terdiri dari: a.
Integration, para kelompok minoritas memandang diri mereka sebagai
invidu yang memiliki dua buah kebudayaan yang mana diperoleh dari kebudayaan asli mereka dan juga hasil adaptasi dari budaya tempat mereka berada dan juga mereka berkeinginan melakukan kontak dalam kelompok maupun di luar kelompok budayanya. b.
Individualism, sama seperti sikap yang terjadi pada kelompok mayoritas
yang mana menandang seorang individu bukan karena dari kelompok mana seseorang itu berasal. Dalam hal ini kelompok minoritas mempertimbangkan nilai-nilai
kebudayaan
dari
kelompok
mayoritas
sebagaimana
kebudayaan aslinya yang akan dijadikan nilai-nilai dalam hidupnya.
97
juga
c.
Assimilationism, kelompok minoritas diharuskan untuk mengadopsi
kebiasaan-kebiasaan yang sebenarnya kurang mereka sukai dari kelompok mayoritas. d.
Separation, adalah sikap yang bertolak belakang dengan prinsip
integrasionism
yang
mana
kelompok
minoritas
akan
berusaha
mempertahankan keaslian dari nilai-nilai budaya mereka tanpa mau diusik oleh kebudayaan dari kelompok mayoritas. e.
Marginalization, adalah sikap acuh dari kelompok minoritas yang mana
mereka tidak mau mempertahankan kebudayaan asli mereka dan juga tidak mau mengadaptasi budaya dari kelompok mayoritas.
Metode Rancangan Penelitian Desain penelitian ini menggunakan strategi metode campuran (mixed method) dengan menggabungkan metode penelitian kuantitatif dan kualitatif secara bersamaan
guna
memperkaya
perolehan
data.
Dengan
menggunakan
pendekatan psikologi indigenous.
Subyek Karakteristik subyek dalam penelitian ini adalah warga negara Indonesia yang merupakan keturunan Tionghoa yang tinggal di Jakarta dengan usia minimal 21 tahun. Total partisipan dalam peelitian ini berjumlah 176 orang, yang terdiri dari 110 laki-laki dan 66 perempuan dengan rentang usia dari 21 sampai dengan 57 tahun.
Instrumen Penelitian Instrumen dalam penelitian ini menggunakan kuesioner hasil adaptasi dari skala IAM yang terdiri dari 25 aitem yang terbagi menjadi lima dimensi yaitu culture (budaya),
endogamy/exogamy
(perkawinan),
housing
(tempat
tinggal),
employment (pekerjaan), dan language (bahasa), dan menggunakan skala likert dengan 4 pihan jawaban dari sangat tidak setuju sampai dengan sangat setuju. Serta menambahkan 2 aitem open ended questionaire (OEQ) yang diperoleh dari hasil focus group discussion (FGD) dalam bentuk pertanyaan terbuka.Nilai
98
reliabilitas kuesioner dalam penelitian ini diperoleh dengan cara inter-rater dengan meminta dua orang expert judgement untuk melakukan penilaian terhadap kuesioner pada penelitian in, sehingga diperoleh nilai sebesar 0.80 yang mana berdasarkan standar reliabilitas dari Altman yang mana nilai tersebut tergolong baik. Sedangkan validitas dalam penelitian ini diperoleh dengan cara uji content validity, yang 24 aitem dari 25 aitem yang ada dinyatakan valid oleh expert judgement sedangkan hanya satu aitem yang dianggap perlu dilakukan revisi. Hasil & Analisis Hasil yang diperoleh dari kuesioner pada dimensi budaya sebagai berikut: untuk orientasi integrationism sebesar 563 poin, orientasi separatism sebesar 471 poin, individualism sebesar 369 poin, assimilationism sebesar 295 poin, dan marginalisation sebesar 273 poin. Hasil ini berarti mayoritas responden lebih menyetujui untuk berakulturasi dengan orientasi integrationism pada dimensi budaya yang mana mayoritas setuju untuk melakukan pembauran dengan budaya Indonesia namun tetap mempertahankan budaya asli mereka.
Gambar 1. Grafik Hasil Skor Setiap Orientasi Akulturasi Pada Dimensi Budaya
Akulturasi 600 500 400 300 200 100 0
Score
Pada dimensi pernikahan diperoleh skor sebesar 548 poin untuk orientasi separatism, 485 poin untuk orientasi individualism, 483 poin untuk orientasi integrationis, 295poin untuk orientasi marginalisationdan 287poin untuk orientasi assimilationism.Orientasi separatism memperoleh skor yang lebih tinggi, dengan
99
kata lain mayoritas responden lebih memilih untuk menikah dengan sesama keturunan Tionghoa. Meski demikian, terdapat cukup banyak pula responden yang bersedia untuk memiliki pasangan hidup yang bukan dari etnis Tionghoa. Gambar 2. Grafik Hasil Skor Akulturasi Pada Dimensi Pernikahan
Pernikahan 600 500 400 300 200 100 0
Score
Pada dimensi tempat tinggal diperoleh skor sebesar 532 poin untuk orientasi integrationism, 507 poin untuk orientasi individualism, 484poin untuk orientasiseparatism, 328poin untuk orientasi assimilationismdan 287poin untuk orientasimarginalisation. Orientasi integrationismmemperoleh skor yang lebih tinggi, dengan kata lain mayoritas responden lebih memilih untuk bertempat tinggal di lingkungan yang terdapat etnis Tionghoanya maupun kelompok pribuminya.
Gambar 3. Grafik Hasil Skor Akulturasi Pada Dimensi Tempat Tinggal
Tempat Tinggal 600 500 400 300 200 100 0
Score
100
Pada dimensi employment atau pekerjaan, orientasi yang dominan adalah integrationism dengan skor 544. Hasil ini cukup signifikan perbedaannya dengan orientasi lainnya, seperti: individualismdengan skor yang dihasilkan adalah sebesar 476 poin. Pada orientasi separatism hanya sebesar 426 poin. Orientasi marginalisationdengan skor sebesar 335 poin. Sedangkan untuk orientasi assimilationism mendapatkan poin terendah, yakni sebesar 334. Sehingga hasil pada dimensi ini menunjukkan bahwa responden memilih untuk bekerja dengan rekan yang berasal dari etnis Tionghoa maupun kelompok pribumi. Gambar 4. Grafik Hasil Skor Akulturasi Pada Dimensi Pekerjaan
Pekerjaan 600 500 400 300
Score
200 100 0 Integrationism
Individualism
Separatism
Marginalisation Assimilationism
Pada dimensi yang terakhir, yakni language atau dimensi bahasa diperoleh hasil bahwa responden lebih mengarah kepada orientasi individualism di mana sebanyak 96 responden lebih menjawab setuju dan 52 lainnya menjawab sangat setuju dengan orientasi individualism pada dimensi languange atau bahasa dan mendapat skor sebesar 547, orientasi integrationism dengan skor sebesar 482 dengan selisih 65 poin, assimilationism sebesar 441 dengan selisih 106 poin, separatism sebesar 378 dengan selisih 169 poin, dan marginalisation sebesar 282 dengan selisih 265.Hal ini menunjukkan bahwa bahasa apa pun yang digunakan tidaklah menjadi masalah karena yang terpenting adalah kepribadian dari orang tersebut.
101
Gambar 5. Grafik Hasil Skor Akulturasi Pada Dimensi Bahasa
Bahasa 600 500 400 300
Score
200 100 0 Individualism
Integrationism Assimilationism
Separatism
Marginalisation
Pada pertanyaan OEQ yang pertama, diperoleh tema-tema mengenai hubungan sosial antara WNI etnis Tionghoa dengan pribumi, sebagai berikut: 62.50% memberikan gambaran bahwa etnis Tionghoa merasakan adanya hambatan untuk dapat benar-benar membaur atau diterima, karena selalu mengaitkan unsur SARA ketika terjadi perselisihan. Meski demikian, ada beberapa responden yang merasa bahwa mereka merasa sudah diterima dan ada pula yang beranggapan bahwa sikap dari masing-masing individulah yang memberikan pengaruh terhadap proses terjadinya pembauran. Sebanyak 18.75% menggambarkan perlakuan yang didapatkan etnis Tionghoa dalam menjalin hubungan sosial dengan orang pribumi di Jakarta. Perlakuan tersebut berupa penolakan, merasa dimanfaatkan secara ekonomi, sering mendapatkan kekerasan verbal. Namun ada beberapa responden yang berpandangan bahwa perlakuan tersebut bergantung pada status ekonomi dan pendidikan dari warga pribumi, di mana mereka merasa bahwa warga pribumi yang berstatus ekonomi lebih baik dan pendidikan yang tinggi cenderung lebih terbuka dan menerima keberadaan etnis Tionghoa, sebaliknya warga pribumi yang tingkat ekonominya rendah dan tingkat pendidikan yang kurang baik memiliki kecenderungan menolak keberadaan etnis Tionghoa. Sebanyak 5.68% responden memberikan gambaran bahwa warga pribumi memiliki anggapan terhadap keberadan etnis Tionghoa adalah sebuah ancaraman, karena dipandang sebagai bangsa yang hendak merampok kekayaan negeri ini dan kelompok pendatang yang menindas dan mendominasi.
102
Pada hasil pertanyaan OEQ yang kedua mengenai perlu tidaknya akulturasi.
Sebanyak
65.52%
responden
menyetujui
tema
Assimilation/Integrationism, yang mana responden menyatakan bahwa akulturasi perlu dilakukan baik dengan orientasi Assimilationataupun Integrationism. Sedangkan 23.75% responden merasa bahwa hal tersebut tidaklah perlu. Sebesar 2.3% beranggapan bahwa perlu tidaknya itu tergantung dari pribadi masing-masing, jika dirasakan perlu maka berakulturasilah namun jika tidak ya tidak perlu dilakukan dan hal ini berlainan dengan pandangan lainnya yang mana mereka merasa bahwa pandangan tersebut harus berlaku pada semua WNI etnis Tionghoa. Berdasarkan hasil pertanyaan OEQ yang pertama terlihat bahwa warga negara keturunan Tionghoa yang tinggal di Jakarta lebih banyak yang merasakan perlakuan yang kurang menyenangkan, di mana berdasarkan pernyataan (diskriminasi)
Berry
bahwa
kemungkinan
seseorang akan
yang
sulit
mengalami
untuk
perlakuan
berbaur
dan
buruk
menerima
lingkungannya, dan mungkin akan membuang identitas asli mereka, namun hasil dari penelitian ini bertolak belakang dengan pernyataan tersebut. Kesimpulan Warga negara keturunan Tionghoa yang tinggal di Jakarta menunjukkan bahwa mereka memiliki kecenderungan untuk menerima dan ingin berbaur serta menjalankan aspek-aspek yang terdapat di Indonesia, hal ini terlihat pada tiga dari lima buah dimensi akultrasi yakni budaya, tempat tinggal, dan pekerjaan mereka cenderung memilih untuk berakulturasi dengan orientasi integrationism yang mana berarti mereka hendak menerima aspek-aspek dari Indonesia sekaligus tetap mempertahankan aspek-aspek dari leluhur mereka. Hal ini juga diperkuat oleh hasil dari pertanyaan OEQ yang kedua, di mana sebanyak 60% responden yang menjadi sampel pada penelitian ini menyatakan bahwa pencampuran budaya itu perlu. Hanya pada aspek pernikahan saja di mana orientasi separatism atau penolakan terhadap aspek/pencampuran asing muncul pada warga negara keturunan Tionghoa yang tinggal di Jakarta. Sedangkan aspek bahasa, mayoritas responden lebih bersikap individualis yang artinya menilai segala sesuatunya berdasarkan pribadi dari masing-masing individu tersebut bukan karena atribut tertentu yang mereka miliki.
103
Daftar Pustaka
American Psychology Association. (2007). APA Dictionary of Psychology (Ed. Vandenbos, G.R.). Washington: American Psychology Association Anastasi, A., & Urbina, S. (2007). Tes Psikologi (7th ed.). Jakarta: PT Indeks.
Berstein, K.S., Park, S.Y., Shin, J., Cho, S., & Park, Y. (2011). Acculturation, Discrimination and Depressive Symptoms Among Korean Immigrants in New York City. Community Ment Health J, 47, 24-34
Berry, J.W., Phinney, J.S., Sam., D.L., Vedder, P. (2006).Immigrant Youth: Acculturation Identity, and Adaptation. Applied Psychology: An International Review, 55 (3), 303-332
Bourhis, R.Y., Barrette, G., El-Geledi, S., & Schmidt, R. (2009). Acculturation Orientation and Social Relation Between Immigrant and Host Community Members in California. Journal of Cross-Cultural Psychology, 20, 10.
Bourhis, R.Y., & Carignan, N. (2013). Materials for: Theme 4. Majority relation with majority comunities: Acculturation, orientations, and social cohesion.
Bourhis, R.Y. & Montruil, A. (2013). Methodological issues related to the Host Community Acculturation Scale (HCAS) and the Immigrant Acculturation Scale (IAS): An update. UQAM Working Paper, Département de Psychologie, Université du Quéabec à Montréal. (Update: January 2013).
Badan Pusat Statistik. (2012). Perkembangan Beberapa Indikator Utama SosialEkonomi Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Coppel, C.,A. (2003). Kendala-kendala Sejarah dalam Penerimaan Etnis Cina di Indonesia yang Multikultural. Antropologi Indonesia, 71, 13-22.
104
Creswell, J.W. (2009). Qualitative, Quantitative, and Mixed Method Approaches (3rd ed). In California: SAGE publications. Matsumoto, D. & Juang, L. (2013). Culture and Psychology (5th ed.). Canada: Wadsworth Cengage Learning
Montreuil, A., & Bourhis, R.Y. (2004). Acculturation orientations of competing host communities toward valued and devalued immigrants. International Journal of Intercultural Relations, 28, 507-532.
Narbuko, C., dan Achmadi, H. A. (2010). Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Poewanto, H.(2005). Orang Cina Khek dari Singkawang. Depok: Komunitas Bambu.
Purdey, J. (2006). Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996-1999. Honolulu: University of Hawai'i Press.
Sanderson, C.A. (2010). Social Psychology. United States: Wiley.
Sam, D.L., & Berry, J.W. (2006). Acculturation: conceptual background ad core components. Cambridge Handbook of Acculturation.
Seniati, L., Yulianto, A., & Setiadi, B.N. (2008). Psikologi Eksperimen. Jakarta: Indeks
Setiadi, B.N. (2012). Pengantar Psikologi Lintas-Budaya dan Psiklogi Indigenous. Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya
Shiraev, E.B., & Levy, D.A. (2010). Cross-cultural Psychology: Critical Thinking and Contemporary Applications (4th ed.). Boston: Pearson/Ally Bacon.
Setiono, B.G. (2008). Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: Transmedia
105
Sontosudarmo, A., & Tukiran. (2003). Keragaman Etnis dalam Pengelolaan Wilayah. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Spector, P.E. (2008). Industrial and Organizational Psychology (5th Ed.). United States: Wiley Publisher.
Tan, M.G. (2008). Etnis Tionghoa di Indonesia: Kumpulan Tulisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Website Adidharta, S. (2013). Etnis China Tionghoa Masih Nomor Satu Kuasai Bisnis dan Ekonomi Indonesia.Retrieved from http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2013/10/04/etnis-china-tionghoamasih-nomor-satu-kuasai-bisnis-dan-ekonomi-indonesia-595596.html
Ahira, A. (n.d.). Peranan Etnis Tionhoa dan Sejarah Kemerdekaan RI. Retrieved from: http://www.anneahira.com/sejarah-kemerdekaan.htm
Daniel. (2012). Saatnya WNI Keturunan Tionghoa Memberi Bukti.Retrieved from: http://politik.kompasiana.com/2012/01/24/saatnya-wni-keturunantionghoa-memberi-bukti-433404.html?ref=signin
Gusti. (2010). SBKRI Masih Diterapkan di Daerah. Retrieved from: http://www.ugm.ac.id/id/berita/2263-sbkri.masih.diterapkan.di.daerah
Jasmeena. (2012). Mereka Turut Mengibarkan Merah Putih: Atlet-atlet Keturunan Tionghoa. Retrieved form: http://mjeducation.co/mereka-turutmengibarkan-merah-putih-atlet-atlet-keturunan-tionghoa/
Kambali, A. (2011). Menelusuri Jejak Tionghoa di Jakarta. Retrieved from: http://sejarah.kompasiana.com/2011/05/10/menelusuri-jejak-tionghoa-dijakarta-363698.html
106
Medcal. (2014). Inter-rater agreement (kappa). Retrieved from: http://www.medcalc.org/manual/kappa.php
NASW. (2001). NASW Standards for Cultural Competence in Social Work Practice. Retrieved from: http://www.naswdc.org/practice/standards/NAswculturalstandards.pdf.
Prasetijo, A. (2009). Keberagaman Budaya Indonesia. Retrieved from: http://etnobudaya.net/2009/07/24/keberagaman-budaya-indonesia/
Sulistyawati dan Hadi, C.W. (2011). Meneladani Etos Kerja Warga Tionghoa. Retrieved from: http://profsuli.files.wordpress.com/2011/07/meneladanietos-kerja-warga-tionghoa.pdf
Wikipedia. (2014). Tionghoa-Indonesia. Retrived from: http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia.
Wikipedia. (2014). Tionghoa Benteng. Retrieved from: http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa_Benteng.
Yuwanto, L. (2013). Etnis Tionghoa (juga) Penyebar Agama Islam Di Indonesia. Retrieved from: http://www.ubaya.ac.id/2013/content/articles_detail/105/Etnis-Tionghoa-juga--Penyebar-Agama-Islam-di-Indonesia.html
107
PENGARUH HARDINESS, KONSEP DIRI, DAN DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP ORIENTASI MASA DEPAN PADA NARAPIDANA REMAJA
Amirra Nur’indah
Abstrak Masalah kriminal di Indonesia kian hari kian meningkat. Jumlah narapidana kini sudah melampaui batas tampung LP di Indonesia. Tidak hanya narapidana dewasa saja yang berada di dalamnya, remaja yang melakukan tindak pidana pun ditahan dalam lembaga pemasyarakatan. Kehidupan yang terjadi di dalam penjara sangat mempengaruhi fisik dan psikis setiap orang di dalamnya. Dampak ini menyebabkan orang yang berada di penjara memiliki orientasi masa depan yang kurang jelas. Penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah ada pengaruh dari hardiness, konsep diri, dan dukungan sosial terhadap orientasi masa depan pada narapidana remaja di lembaga pemasyarakatan salemba klas II A. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis regresi berganda. Sampel berjumlah 140 orang narapidana remaja di Lembaga Pemasyarakatan Salemba klas II A. Digunakan skala hasil modifikasi skala asli buatan Kobasa (2007), Fitts (1971), dan skala yang disusun berdasarkan teori Nurmi (1991) dan Sarafino (1990). Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh signifikan dari hardiness, konsep diri dan dukungan sosial terhadap orientasi masa depan pada narapidana remaja di lembaga pemasyarakatan salemba klas II A. Hasil uji hipotesis minor menunjukkan hanya ada dua dimensi yang signifikan dari dukungan sosial yaitu dukungan informasi dan dukungan jaringan. Kata kunci: hardiness, konsep diri, dukungan sosial, orientasi masa depan, narapidana remaja
Pendahuluan Masalah kriminal di Indonesia kian hari kian meningkat. Hal tersebut dapat dilihat dari semakin meningkatnya jumlah narapidana dalam lembaga pemasyarakatan (LP) setiap tahunnya. Hingga bulan Juni 2014, tercatat 111.334 narapidana yang tersebar menghuni di berbagai lembaga pemasyarakatan Indonesia (smslap.ditjenpas.go.id, 2013). Kapasitas lembaga pemasyarakatan di Indonesia tidak sampai mencapai 95.000 orang
108
(suaramerdeka.com, 2012).
Data ini membuktikan akan tingginya tingkat kriminalitas di Indonesia. Ketimpangan sosial, kondisi ekonomi, banyaknya pengangguran, lingkungan yang tidak mendukung, dan banyak hal lainnya yang menjadi pendorong seseorang melakukan tindak kejahatan. Tercatat dalam data terakhir sistem database pemasyarakatan sejumlah 2.446 remaja telah menghuni sel-sel yang terdapat di lembaga pemasyarakatan Indonesia (smslap.ditjenpas.go.id, 2013). Masa remaja terjadi banyak perubahan, maka pada tahap ini seseorang akan terus mencari dan mencoba segala sesuatu untuk mendapatkan jati dirinya. Mereka mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai dengan dirinya (Hurlock, 1980). Dalam proses mencari dan mencoba inilah terkadang merupakan pintu remaja untuk melakukan
tindakan
yang
seharusnya
tidak
mereka
lakukan
hingga
mengakibatkan mereka masuk rumah tahanan. Memakai dan mengedarkan narkotika,
pemerasan
dan
pengancaman,
pemerkosaan,
pembunuhan,
penganiayaan, pencurian, perampokan, pelecehan seksual, kepemilikan senjata api, perjudian, dan penggelapan, merupakan kasus umum yang melatar belakangi seorang remaja masuk ke rumah tahanan. Keberadaan remaja di penjara membuat mereka terpisah dari orangtua dan harus hidup bersama narapidana lain dengan latar belakang kehidupan yang berbeda pula. Banyaknya peraturan penjara yang sangat menekan, rutinitas kehidupan penjara yang sangat membosankan, dan kehidupan sosial bersama narapidana lain yang sering terjadi keributan, pemerasan, dan tindakan kekerasan yang dirasakan sebagai suatu penderitaan lain disamping hukuman pidana sendiri (Atmasasmita, dalam Yulianti, 2008). Kehidupan yang terjadi di dalam penjara sangat mempengaruhi fisik maupun psikis setiap orang di dalamnya. Terjadinya penurunan kualitas hidup dalam penjara dapat menekan kondisi psikologis seseorang. Pemenjaraan menyebabkan narapidana anak jauh dari orang tua, teman sebaya, dan lingkungannya. Dampak ini mengakibatkan adanya kondisi sosioekonomi, kesempatan belajar, dan interaksi anak dengan orang tua yang kurang sehingga subyek yang dipenjara memiliki orientasi masa depan yang kurang jelas (Nurmi, 1991). Padahal orientasi masa depan merupakan salah satu tugas remaja. Mereka diharapkan akan sukses di kemudian hari, mengadakan orientasi masa depan yang lebih optimis dan lebih percaya pada pengendalian internal masa
109
depan mereka. Diperkuat oleh Piaget yang mengatakan pemikiran pada masa remaja menjadi abstrak, konseptual, dan berorientasi masa depan atau futureoriented, (Trommsdorff, 1986). Nurmi (1991) mendefinisikan orientasi masa depan berkaitan erat dengan harapan, tujuan, standar, rencana, dan strategi pencapaian tujuan di masa akan datang. Orientasi masa depan terbentuk dari pengalaman dan interaksi seseorang dengan lingkungannya. Banyaknya pengalaman yang terjadi pada diri remaja menuntutnya untuk dapat melewati segala kejadian dalam hidupnya. Kehidupan penjara yang keras memerlukan ketahanan diri yang baik. Kobasa, Maddi, dan Khan (1982) mendefinisikan hardiness sebagai kumpulan karakteristik kepribadian yang berfungsi sebagai sumber resistensi dalam menghadapi situasi yang menimbulkan stres. Hardiness merupakan salah satu karakteristik kepribadian yang dibutuhkan setiap narapidana untuk melewati situasi di dalam penjara maupun di luar penjara. Likhacheva (2013) mengatakan dalam penelitiannya bahwa seseorang yang memiliki hardiness yang rendah ataupun yang tinggi dapat dibedakan berdasarkan target masa depan dan pemahaman tentang cara pencapaian mereka. Selain ketahanan diri, konsep diri merupakan hal yang penting dalam orientasi masa depan.Untuk membangun orientasi masa depan yang baik, sangat penting seseorang mengenali dan yakin akan kemampuan dirinya sendiri. Fitts (1971) mengatakan bahwa konsep diri adalah diri yang dilihat, dipersepsikan dan dialami oleh individu. Dalam sebuah penelitian didapatkan bahwa adanya hubungan antara konsep diri narapidana dengan jumlah hari ia telah dipenjara (Culbertson, 1975). Penahanan di lembaga untuk penjahat memiliki dampak negatif pada konsep diri, setidaknya bagi mereka yang belum dipenjara sebelumnya. Sangat penting untuk remaja mendapatkan dukungan, terlebih lagi bagi mereka yang terlibat dalam kenakalan remaja. Rumah tahanan tidak mendukung interaksi yang optimal antara remaja dengan orang tua, sedangkan secara konseptual individu yang mendapat bantuan dan dukungan dari orangtuanya dalam pengambilan keputusan akan membuat individu tersebut lebih percaya diri dengan kemampuannya, lebih memiliki harapan, lebih optimis memandang masa depan, dan memiliki orientasi masa depan yang lebih jelas (Lewin& Wang, dalam Yulianti, 2008).
110
Dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan, maupun bantuan dalam bentuk lainnya yang diterima individu dari orang lain ataupun dari kelompok (Sarafino, 1990). Dalam hasil yang didapat dalam penelitian Rarasati (2012) mengurutkan macam dukungan yang paling berpengaruh hingga yang memiliki sedikit pengaruh dalam orientasi masa depan yaitu, dukungan afeksi, dukungan spiritual, dukungan material, dan dukungan pengarahan (Rarasati, 2012). Remaja di Indonesia cenderung menempatkan penyebab pengalaman sukses mereka pada faktor eksternal. Faktor ini terdiri dari dukungan dari orang tua, teman, dan guru. Dukungan keluarga dan teman sangat penting bagi orangorang dengan budaya kolektivis (Rarasati, 2012). Metode Populasi dalam penelitian ini adalah narapidana remaja di Lembaga Pemasyarakatan Salemba Klas II A yang berjumlah 154 narapidana. Sampel dalam
penelitian
ini
berjumlah
140
narapidana
remaja
di
Lembaga
Pemasyarakatan Salemba Klas II A. Peneliti hanya dapat menggunakan 140 sampel dikarenakan adanya narapidana yang sedang kunjungan, sidang, dan sakit. Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dengan menggunakan skala model Likert yang terdiri dari empat pilihan jawaban dari sangat setuju sampai sangat tidak setuju. Terdapat empat skala instrumen pengumpulan data yang digunakan, yaitu skala orientasi masa depan, skala hardiness, skala konsep diri dan skala dukungan sosial.
Skala orientasi masa depan Skala orientasi masa depan yang digunakan disusun berdasarkan toeri Nurmi (1991), yang menyatakan bahwa aspek orientasi masa depan adalah motivasi, perencaaan, dan evaluasi. Skala ini terdiri dari 18 item. Setelah dilakukan uji validitas konstruk dengan menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA) diperoleh model fit dengan chi-square = 126.33, df = 106, Pvalue = 0.08678, RMSEA = 0.037. Skala hardiness Skala hardiness yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari artikel AmericanHealth (2007) yang mengacu kepada alat ukur yang dikembangkan oleh Suzanne Ouellette Kobasa dalam artikelnya “How Hardy Are You?” pada tahun
111
1984. Kobasa menyebutkan tiga aspek hardiness yaitu komitmen, kontrol, dan tantangan. Keseluruhan item berjumlah 12 item. Uji validitas konstruk pada konstruk komitmen dengan menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA) diperoleh model fit dengan chi-square = 0.98, df = 1, P-value = 0.32232, RMSEA = 0.000.Uji validitas konstruk pada konstruk kontrol dengan menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA) diperoleh model fit dengan chi-square = 8.55, df = 2, P-value = 0.01391, RMSEA = 0.154. Uji validitas konstruk pada konstruk tantangan dengan menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA) diperoleh model fit dengan chi-square = 0.68, df = 2, P-value = 0.71166, RMSEA = 0.000.
Skala konsep diri Dalam penelitian ini, alat ukur yang digunakan untuk mengukur tingkat konsep diri yang d
imiliki oleh subyek yaitu dengan menggunakan Tennessee
Self Concept Scale (TSCS) yang dikembangkan oleh William H. Fitts pada tahun 1979, dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Dalam penelitian ini alat ukur dimodofikasi dengan mengurangi item sehingga item yang digunakan berjumlah 55 item. Setelah dilakukan uji validitas konstruk pada konstruk makna hidup dengan menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA) diperoleh model fit dengan chi-square = 627,83, df = 945, P-value = 1.00000, RMSEA = 0.000.
Skala Dukungan Sosial Skala dukungan sosial yang digunakan disusun berdasarkan teori Sarafino (1990) yaitu aspek dukungan sosial yang mencakup dukungan emosional, informasi,
dukungan dan
penghargaan,
dukungan
jaringan.
dukungan Pengukuran
instrumental, dalam
dukungan
penelitian
ini
menggunakan lima hal tersebut sebagai aspek dari dukungan sosial. Alat ukur ini terdapat 24 item. Dilakukan uji validitas konstruk pada konstruk dukungan emosional dengan menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA) diperoleh model fit dengan chi-square = 1.82, df = 2, P-value = 0.40314, RMSEA = 0.000. Uji validitas konstruk pada konstruk dukungan penghargaan dengan menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA) diperoleh model fit dengan chi-square = 0.76, df = 2, P-value = 0.68545, RMSEA = 0.000. Uji validitas konstruk pada
112
konstruk dukungan instrumental dengan menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA) diperoleh model fit dengan chi-square = 2.26, df = 2, P-value = 0.32371, RMSEA = 0.030. Uji validitas konstruk pada konstruk dukungan informasi dengan menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA) diperoleh model fit dengan chi-square = 3.59, df = 3, P-value = 0.30933, RMSEA = 0.038. Uji validitas konstruk pada konstruk dukungan jaringan dengan menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA) diperoleh model fit dengan chi-square = 4.44, df = 5, P-value = 0.48753, RMSEA = 0.000. Untuk melihat pengaruh variabel independen yang diteliti yaitu hardiness (komitmen, kontrol, dan tantangan), konsep diri, dan dukungan sosial (dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informasi, dan dukungan jaringan) terhadap variabel dependen yaitu orientasi masa depan pada narapidana remaja di lembaga pemasyarakatan salemba klas II A, peneliti menggunakan teknik statistik analisis regresi berganda (multiple regression analysis).
Hasil dan Analisis Langkah pertama peneliti melihat besaran R square untuk mengetahui berapa persen (%) varians DV yang dijelaskan oleh IV seperti yang dijelaskan tabel 1.0 di bawah ini.
Tabel 1. Model Summary R
Dari tabel 1.0 dapat dilihat bahwa perolehan R square sebesar 0,328 atau 32,8%, artinya proporsi varian dari orientasi masa depan pada narapidana remaja di lembaga pemasyarakatan salemba klas II A yang dijelaskan oleh semua independent variable diantaranya hardiness (komitmen, kontrol, dan tantangan), konsep diri, dan dukungan sosial (dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informasi, dan dukungan jaringan) adalah sebesar 32,8%, sedangkan 67,2% sisanya dipengaruhi variabel
113
lain diluar penelitian ini. Adapun hasil uji F dapat dilihat pada tabel 2.0 di bawah ini.
Tabel 2. Anova seluruh IV Terhadap DV
Dari tabel Anova, diperoleh F hitung sebesar 7.044 (p=0,000) atau lebih kecil dari alpha 5 % (0,000 < 0,05). Ini berarti dari semua variabel dapat digunakan untuk menjelaskan tinggi orientasi masa depan pada narapidana remaja di LP Salemba Klas II A. Artinya seluruh IV yaitu hardiness (komitmen, kontrol, dan tantangan), konsep diri, dan dukungan sosial (dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informasi, dan dukungan jaringan) dapat memprediksi DV yaitu orientasi masa depan secara signifikan. Selanjutnya melihat signifikan atau tidaknya koefisien regresi dari masingmasing independent variable seperti hasil koefisien regresi yang tertera pada tabel 3.0.
Tabel 3. Koefisien Regresi
114
Berdasarkan Tabel 3.0 dapat disimpulkan persamaan regresi; Orientasi Masa Depan′ = 17.998 - 0.091 (komitmen) – 0.118 (kontrol) + 0.113 (tantangan) + 0.145 (konsep diri) + 0.052 (dukungan emosional) + 0.101 (dukungan penghargaan) – 0.065 (dukungan instrumental) + 0.218 (dukungan informasi) + 0.284 (dukungan jaringan). Untuk melihat signifikan atau tidaknya koefisien regresi yang dihasilkan dapat dilihat pada nilai sig pada kolom di atas, jika sig< 0.05 maka koefisien regresi yang dihasilkan signifikan pengaruhnya terhadap orientasi masa depan pada narapidana remaja di lembaga pemasyarakatan salemba klas II A dan sebaliknya. Dari hasil di atas terdapat dua koefisien regresi yang signifikan pengaruhnya terhadap orientasi masa depan pada narapidana remaja di lembaga pemasyarakatan salemba klas II A, yaitu dukungan informasi dan dukungan jaringan. Penjelasan dari nilai koefisien regresi yang diperoleh pada masingmasing independent variable (IV) adalah sebagai berikut: nilai koefisien komitmen sebesar -0.091 dengan nilai Sig. sebesar 0.281 (Sig.> 0.05). Hal ini berarti variabel komitmen secara negatif berpengaruh terhadap orientasi masa depan pada narapidana remaja di lembaga pemasyarakatan salemba klas II A namun tidak signifikan berdasarkan hasil analisis statistik. Nilai koefisien kontrol sebesar -0.118 dengan nilai Sig. sebesar 0.078 (Sig. > 0.05). Hal ini berarti variabel kontrol secara negatif berpengaruh terhadap orientasi masa depan pada narapidana remaja di lembaga pemasyarakatan salemba klas II A dan tidak signifikan berdasarkan hasil analisis statistik. Nilai koefisien tantangan sebesar 0.113 dengan nilai Sig. sebesar 0.220 (Sig.> 0.05). Hal ini berarti variabel tantangan secara positif berpengaruh terhadap
orientasi
masa
depan
pada
narapidana
remaja
di
lembaga
pemasyarakatan salemba klas II A namun tidak signifikan berdasarkan hasil analisis statistik. Nilai koefisien konsep diri sebesar 0.145 dengan nilai Sig. sebesar 0.098 (Sig. > 0.05). Hal ini berarti variabel konsep diri secara positif berpengaruh terhadap orientasi masa depan pada narapidana remaja di lembaga pemasyarakatan salemba klas II A namun tidak signifikan berdasarkan hasil analisis statistik. Nilai koefisien dukungan emosional sebesar 0.052 dengan nilai Sig.sebesar 0.445 (Sig.> 0.05). Hal ini berarti variabel dukungan emososial secara positif berpengaruh terhadap orientasi masa depan pada narapidana
115
remaja di lembaga pemasyarakatan salemba klas II A namun tidak signifikan berdasarkan hasil analisis statistik. Nilai koefisien dukungan penghargaan sebesar 0.101dengan nilai Sig. sebesar 0.303 (Sig.> 0.05). Hal ini berarti variabel dukungan penghargaan secara positif berpengaruh terhadap orientasi masa depan pada narapidana remaja di lembaga pemasyarakatan salemba klas II A namun tidak signifikan berdasarkan hasil analisis statistik. Nilai koefisien dukungan instrumental sebesar -0.065dengan nilai Sig. sebesar 0.367 (Sig.> 0.05). Hal ini berarti variabel dukungan instrumental secara negatif berpengaruh terhadap orientasi masa depan pada narapidana remaja di lembaga pemasyarakatan salemba klas II A namun tidak signifikan berdasarkan hasil analisis statistik. Nilai koefisien dukungan informasi sebesar 0.218 dengan Sig. 0.018 (Sig. < 0.05). Hal ini berarti variabel dukungan informasi secara positif berpengaruh terhadap
orientasi
masa
depan
pada
pemasyarakatan salemba klas II A dan
narapidana
remaja
di
lembaga
signifikan berdasarkan hasil analisis
statistik. Nilai koefisien dukungan jaringan sebesar 0.284 dengan Sig. sebesar 0.003 (Sig. < 0.05). Hal ini berarti variabel dukungan informasi secara positif berpengaruh terhadap orientasi masa depan pada narapidana remaja. Langkah selanjutnya menguji penambahan proporsi varians dari tiap variabel independen jika IV tersebut dimasukkan satu per satu ke dalam analisis regresi. Besarnya proporsi varians pada ketangguhan mental dapat dilihat pada tabel 4.0 berikut:
Tabel 4. Kontribusi varians indepen variable terhadap dependen variabel
116
Dari tabel di atas dapat diterangkan bahwa variabel komitmen memberikan sumbangan sebesar 0,2% terhadap varians orientasi masa depan. Sumbangan tersebut tidak signifikan dengan F change = 0.312 dan df1 = 1 dan df2 = 138 dengan Sig. F Change = 0.577 (Sig. F Change > 0.05). Variabel kontrol memberikan sumbangan sebesar 3,1% terhadap varians orientasi masa depan. Sumbangan tersebut signifikan dengan F change = 4.420 dan df1 = 1 dan df2 = 137 dengan Sig. F Change = 0.037 (Sig. F Change < 0.05). Variabel tantangan memberikan sumbangan sebesar 3,1% terhadap varians orientasi masa depan. Sumbangan tersebut signifikan dengan F change = 4.446 dan df1 = 1 dan df2 = 136 dengan Sig. F Change = 0.037 (Sig. F Change < 0.05). Variabel konsep dirimemberikan sumbangan sebesar 14,0% terhadap varians orientasi masa depan. Sumbangan tersebut signifikan dengan F change = 23.703 dan df1 = 1 dan df2 = 135 dengan Sig. F Change = 0.000 (Sig. F Change < 0.05). Variabel dukungan emosional memberikan sumbangan sebesar 1,4% terhadap varians orientasi masa depan. Sumbangan tersebut tidak signifikan dengan F change = 2.323 dan df1 = 1 dan df2 = 134 dengan Sig. F Change = 0.130 (Sig. F Change > 0.05). Variabel dukungan penghargaan memberikan sumbangan sebesar 2,9% terhadap varians orientasi masa depan. Sumbangan tersebut signifikan dengan F change = 5.034 dan df1 = 1 dan df2 = 133 dengan Sig. F Change = 0.027 (Sig. F Change < 0.05). Variabel dukungan instrumental memberikan sumbangan sebesar 0,2% terhadap varians orientasi masa depan. Sumbangan tersebut tidak signifikan dengan F change = 0.427 dan df1 = 1 dan df2 = 132 dengan Sig. F Change = 0.515 (Sig. F Change > 0.05). Variabel dukungan informasi memberikan sumbangan sebesar 3.1% terhadap varians orientasi masa depan. Sumbangan tersebut signifikan dengan F change = 5.640 dan df1 = 1 dan df2 = 131 dengan Sig. F Change = 0.019 (Sig. F Change > 0.05). Variabel dukungan jaringan memberikan sumbangan sebesar 4.8% terhadap varians orientasi masa depan. Sumbangan tersebut signifikan dengan F change = 9.367 dan df1 = 1 dan df2 = 130 dengan Sig. F Change = 0.003 (Sig. F Change < 0.05).
117
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan ada pengaruh yang signifikan dari komitmen, kontrol, tantangan, konsep diri, dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informasi, dan dukungan jaringan terhadap orientasi masa depan remaja. Berdasarkan penelitian ini didapatkan variabel dukungan informasi dan dukungan jaringan memberi pengaruh yang signifikan terhadap orientasi masa depan. Dari arah yang positif tersebut dapat diartikan jika skor dukungan informasi seseorang itu tinggi maka skor orientasi masa depannya akan tinggi pula, begitupun sebaliknya. Dalam penelitian Rarasati (2012) mengatakan bahwa dukungan informasi merupakan dukungan sosial yang paling kecil pengaruhnya dalam orientasi masa depan. Namun dalam penelitian ini, dukungan informasi merupakan urutan kedua setelah dukungan jaringan yang paling berpengaruh dan signifikan dalam orientasi masa depan. Lewin dan Wang (dalam Yulianti, 2008) memaparkan bahwa seseorang yang mendapat bantuan dan dukungan dari orang tuanya dalam pengambilan keputusan akan membuat individu tersebut lebih percaya diri dengan kemampuannya, lebih memiliki harapan, lebih optimis memandang masa depan, dan memiliki orientasi masa depan yang lebih jelas. Dukungan informasi menjadi faktor penting untuk orientasi masa depan remaja di lembaga pemasayarakatan salemba klas II A. Keterbatasan informasi dan kehidupan yang monoton di dalam penjara dapat menghambat orientasi masa depan seseorang. Kurangnya informasi ini tidak hanya berasal dari orang tua, tetapi juga dari para sipir, teman setahanan, ataupun teman di luar dari lingkungan mereka sekarang berada. Mereka sangat membutuhkan berbagai macam informasi, terutama dalam bidang pendidikan dan pekerjaan. Dalam kesehariannya di dalam penjara, sangat penting bagi narapidana remaja untuk mendapatkan informasi yang bermanfaat untuk dirinya baik dari sipir maupun dari sesama narapidana. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Rarasati (2012), bahwa dukungan afeksi selalu menjadi nilai tertinggi dalam kategori orientasi masa depan. Remaja di Indonesia cenderung menempatkan penyebab pengalaman sukses mereka pada faktor eksternal. Faktor ini terdiri dari dukungan dari orang tua, teman, dan guru. Dukungan keluarga dan teman sangat penting bagi orang-orang dengan budaya kolektivis.
118
Ki Hajar Dewantara (dalam Rarasati, 2012) mengatakan bahwa orang tua dan anggota keluarga lainnya adalah orang yang paling penting dalam lingkungan mereka yang dapat sangat mendukung pencapaian kehidupan masa depan remaja. Menurut Cheng & Jacob (dalam Rarasati, 2012) dalam studi keluarga, suku, dan masyarakat memainkan peran penting dalam pendidikan dan karir aspirasi seseorang. Dalam teori psikoseksual Erickson, remaja berada dalam tahap identitas versus kebingungan identitas. Dalam masa remaja identitas kelompok menjadi sangat penting untuk permulaan pembentukan identitas pribadi. Memiliki suatu kelompok menjadi kebutuhan remaja untuk merasa menjadi bagian di dalamnya sehingga dapat memberikan mereka status tertentu. Remaja berusaha menggabungkan diri dengan teman-teman sebayanya. Ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan dan dukungan dari teman kelompoknya. Berkumpul bersama teman yang memiliki kesamaan dalam bidang tertentu, dapat mengubah kebiasaan-kebiasaan hidupnya dan dapat mencoba berbagai hal yang baru serta saling mendukung satu sama lain. Dalam Lembaga Pemasyarakatan Salemba Klas II A memakai dan mengedarkan narkoba merupakan kasus terbanyak yang melatarbelakangi remaja memasuki sel jeruji. Hal ini merupakan sesuatu yang harus diwaspadai karena adanya interaksi yang intens antara pemakai dan pengedar narkoba. Adanya pertukaran informasi di dalam penjara dapat memperkuat perilaku yang sudah ada bahkan memperluas kenalan dan jaringan tindak kriminalitas. Dalam penelitian ini, komitmen, kontrol, dan tantangan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap orientasi masa depan. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Haghighatgoo, Besharat, dan Zebardast (2011) yang menyatakan bahwa seseorang yang memiliki hardiness akan memiliki orientasi masa depan yang positif. Hal ini terjadi karena di dalam penelitian sebelumnya, subyek penelitian merupakan para pelajar di Iran. Sedangkan dalam penelitian ini, subyek penelitian merupakan remaja yang berumur 14 tahun – 19 tahun yang berada di lembaga pemasyarakatan salemba klas II A. Dapat diketahui budaya merupakan salah satu faktor pembentuk kepribadian. Perbedaan budaya dari subyek penelitian ini dapat merupakan alasan mengapa penelitian ini tidak sejelan dengan penelitian sebelumnya.
119
Selain itu, kondisi narapidana remaja di lapas memperkecil kemungkinan tumbuhnya daya juang atau hardiness. Narapidana cenderung untuk pesimis, merasa tidak berdaya, serta tidak adanya dorongan untuk berkembang. Banyak dari mereka yang telah putus asa akan statusnya setelah ia bebas nanti. Hal ini membuat narapidana cenderung untuk enggan memikirkan masa depannya. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang akan menjalani jalan kehidupan yang sama ketika mereka bebas nanti. Hal lain dalam penelitian ini yang tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya ialah konsep diri. Dalam penelitian ini konsep diri tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap orientasi masa depan. Tidak seperti yang ditemukan oleh Aslamawati (2012), bahwa konsep diri memiliki kaitan yang sangat erat dengan orientasi masa depan bidang pendidikan pada remaja. Hal ini terjadi karena di dalam penelitian ini sampel merupakan narapidana remaja, sedangkan sampel yang digunakan oleh Aslamawati ialah remaja tuna rungu. Perbedaan
sampel
ini
mempengaruhi
perbedaan
hasil
dari
penelitian
sebelumnya dan penelitian ini. Narapidana memandang diri mereka secara negatif seperti adanya label penjahat, mantan narapidana, bukan anak baik-baik, merasa tidak dapat berbuat banyak, dan sebagainya. Hal ini ditunjang dengan pemikiran diri atau keyakinan diri tentang bagaiaman orang lain menilai dirinya sebagai narapidana sehingga menumbuhkan keyakinan yang negatif pada dirinya dan mengakibatkan ketidakberfungsian konsep diri dalam orientasi masa depan.
Kesimpulan Selain hal-hal yang dijabarkan diatas, dapat disimpulkan dalam penelitian ini bahwa orientasi masa depan narapidana remaja di Lembaga Pemasyarakatan Salemba klas II A cenderung rendah. Dapat dilihat dari kurangnya motivasi narapidana untuk melakukan hal yang dapat merubah hidupnya, tidak dapat memahami dan memiliki tujuan hidup, merasa tidak berdaya, pesimis dalam memandang hidup, tidak adanya perencanaan yang matang untuk masa depannya, dan kecenderungn untuk mengikuti kehidupan yang mereka jalani sebelumnya. Hal-hal ini lah yang menyebabkan orientasi masa depan narapidana remaja cenderung rendah.
120
Daftar Pustaka
Burns, R. B. (1982). Self-concept development and education. London: Holt, Rinehart, and Winston Desmita. (2005). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Fitts, W. H. (1971). The self concept and self actualization. 1st Edition. Los Angeles: Western Psychological Service Gebbardt, W. A., Van der Doef, M. P. & Paul, L. B. (2001). The revised health hardiness inventory (RHHI-24): Psychometric properties and relationship with self reported health and health behavior in two dutch samples. Helath Education Research, Vol. 16, No. 5, 579-592 Gilboe, M. F & Cohen, J. A. (2000). Handbook of stress, coping, an health implication for nursing, research theory and practice. Editor by Virginia Hill Rice. California: Sage Publication, Inc. Sanderson, C. A. (2013). Health psychology. 2nd edition. USA: John Wiley & Sons, Inc Hurlock, E. B. (1980). Psikologi perkembangan: Suatu pendektan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga Kobasa, S. C., Maddi, S. R., & Khan, S. (1982). Hardiness and health: A prospective study. Journal of personality and social psychology. Vol. 42, No. 1, 168-177 Likhacheva, E. V., Ognev, A. S., & Kazakov, K. A. (2013). Hardiness and purposes in life of modern Russian students. Middle-east journal of scientific research. Vol. 16, No. 6, 795798 Haghighatgoo, M., Besharat, M. A., & Zebardast, A. (2011). The relationship between hardiness and time perspective in students. Social and behavior sciences. Vol. 30, 925-928 McCabe, K., & Barnett, D. (2000). First comes work, then comes marriage: Future orientation among African American young adolescent. Journal of family relations. Vol. 49, No. 1 Nurmi, J. E. (1991). How do adolescents see their future? A review of the development of future orientation and planning. Helsinki Academic Press, Inc Rarasati, N., Hakim, M. A., & Yanuarti, K. W. (2012). Javanesse adolescents’ future orientation and support for its effort: An indigenous psychological analysis. World Academy of Science, Engineering, and Technology Sarafino, E.P. (1990). Health psychology: biopsychosocial interaction. 2nd edition. USA; John Witey & Sons, Inc
121
Taylor, S. E. (2006). Health psychology. Sixth edition. New York: McGraw-Hill Trommsdorff, G. (1986). Future time orientation and its relevance for development as action. Berlin: Springer, pp. 121-136 Yulianti. Sriati, A., Widiasih, R. (2008). Gambaran orientasi masa depan narapidana remaja sebelum dan setelah pelatihan di rumah tahanan negara kelas 1 Bandung. Vol. 10, No. 19, 97 http://smslap.ditjenpas.go.id. Diakses pada tanggal 25 April 2014 http://www.suaramerdeka.com. Diakses pada tanggal 25 April 2014 http://smslap.ditjenpas.go.id. Diakses pada tanggal 25 April 2014
122
PERAN MEDIA DALAM MENUMBUHKAN INTENSI REMAJA PENGENDARA MOTOR UNTUK MENGGUNAKAN HELM
William Cahyawan, Manuella Sarlita, Kanti Pernama, Asri Christine, Edira Putri, M. Th. Asti Wulandari, Nani Nurrachman Sutojo Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta
Abstrak Jumlah kecelakaan lalu lintas di Indonesia semakin tahun semakin memprihatinkan. Kecelakaan lalu lintas paling banyak dialami oleh remaja. Salah satu dari kelalaian yang sering dilakukan oleh remaja pengendara motor adalah tidak menggunakan helm tertutup sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji usaha-usaha yang dapat meningkatkan intensi penggunaan helm tersebut. Penulis menggunakan beberapa penelitian dalam menganalisis perilaku remaja. Remaja tidak menggunakan helm saat berkendara karena helm dianggap membebani kepala, membuat panas, dan sesak di kepala. Variabel yang memengaruhi intensi penggunaan helm adalah pengetahuan, pengaruh sosial, dan kondisi lingkungan. Untuk menumbuhkan kesadaran remaja, penulis menggunakan teori media yaitu multiple stage flow dan uses and gratification. Juga digunakan praktik dari kotakota yang mampu membangun kesadaran safety riding. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, penulis mengajukan beberapa rekomendasi yaitu penggunaan role model yang sesuai seperti selebritas sebagai product endorsement ataupun orang-orang yang berkompeten serta memiliki daya tarik bagi remaja. Informasi yang disampaikan kepada remaja harus berhubungan dengan pengetahuan tentang dampak positif dari penggunaan helm dan penyampaiannya dilakukan melalui medium-medium yang digemari, serta memiliki tingkat keterbacaan tinggi pada karakteristik remaja. Penulis menyadari usaha ini harus disertai dengan penegakkan hukum yang lebih baik sehingga mendukung terciptanya kesadaran remaja dalam menggunakan helm. Kata kunci: kecelakaan lalu lintas, penggunaan helm, sepeda motor, role model
Pendahuluan Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada 26 Januari 2014, Indonesia merupakan negara ke-5 dengan jumlah kematian akibat kecelakaan terbanyak di dunia. Indonesia berada di posisi ke-5 di bawah negara Tiongkok, India, Nigeria, dan Brazil (Andika, 2014). Di Indonesa sendiri, kecelakaan lalu lintas menjadi pembunuh terbesar ketiga, setelah penyakit
123
jantung dan tuberkulosis. Jumlah korban jiwa yang disebabkan karena kecelakaan masih sangat tinggi (Priliawito & Budiawati, 2014). Jumlah korban jiwa akibat kecelakaan menunjukkan tren yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009, jumlah kecelakaan sebanyak 62.690 unit kendaraan dan korban meninggal berjumlah 19.979 orang. Jumlah tersebut meningkat drastis sejak tahun 2011, korban kecelakaan mencapai 108.696 unit dan yang meninggal sebanyak 31.195. Tahun 2012, jumlahnya kembali meningkat menjadi 117.949 unit, meskipun jumlah korban meninggal berkurang sedikit yaitu 29.544 orang (Badan Pusat Statistik). Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan dan butuh penanganan segera dari berbagai pihak agar nantinya risiko dari kecelakaan bisa diminimalisir. Data terbaru dari Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia, Inspektur Jenderal Polisi Pudji Hartanto, total kecelakaan lalu lintas yang terjadi pada tahun 2013 mencapai 168.183 unit kendaraan di seluruh Indonesia (Sarono, 2014). Jumlah kecelakaan ini turut dipengaruhi oleh meningkatnya jumlah kendaraan yang ada di Indonesia. Susantoso (2014) dalam event AISI (Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia) dengan tema “Teknologi, Keselamatan dan Sikap” mengatakan bahwa laju pertumbuhan yang paling besar dari semua kendaraan adalah sepeda motor yang mencapai 13,12%. Jumlah sepeda motor mencapai 76 juta lebih, yang berarti mencapai 81% dari jumlah total kendaraan yang ada di Indonesia (Badan Pusat Statistik dalam Susantono, 2014). Selaras dengan tingginya laju pertumbuhan, sepeda motor merupakan moda transportasi yang paling rentan terlibat kecelakaan. Kecelakaan lalu lintas sepanjang tahun 2013 lalu yang melibatkan sepeda motor mencapai119.560 unit atau sebesar 71% dari total jumlah kendaraan (Susantono, 2014; Gunawan, 2014; Priliawito & Budiawati, 2014). Berdasarkan usia pengendara motor, kecelakaan dengan jumlah terbesar berdasarkan usia adalah usia 15-19 tahun dan 20-24 tahun. Pada tahun 20112013, remaja berusia 15-19 tahun yang mengalami kecelakaan motor berjumlah hampir 18.000 orang, sementara usia 20-24 tahun berjumlah 16.000 orang. Setelah itu, baru diikuti orang berusia 25-29 tahun dengan jumlah hampir 12.000 orang (Kementerian Perhubungan, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa remaja dan anak muda merupakan usia yang paling rentan untuk mengalami kecelakaan
124
motor, baik mereka sebagai pengendara motor ataupun orang yang diboncengi motor. Penggunaan helm sebagai perlengkapan pengendara sepeda motor merupakan atribut penting untuk mengurangi risiko kecelakaan. Helm merupakan perlengkapan wajib yang digunakan oleh pengendara sepeda motor. Menurut penelitian yang berjudul helmets reduce death and brain injury in motorcycle and push-bike accidents, penggunaan helm dapat mengurangi risiko kematian sebesar 42% dan risiko cedera di kepala sebesar 70%. Helm juga berpotensi untuk mengurangi risiko keparahan cedera otak sebesar 63-68% (Hakim, 2010). Jenis helm yang digunakan harus Standar Nasional Indonesia (SNI) dan pengendara diharapkan menggunakan helm tertutup yang memberikan proteksi lebih kepada kepala (Kementerian Perhubungan, 2014). Pemerintah sebenarnya sudah melakukan upaya untuk membangun kesadaran remaja dan anak muda agar menggunakan helm saat berkendara sepeda motor, termasuk melalui media. Sayangnya, upaya tersebut masih butuh ditingkatkan
dan
dimaksimalkan,
mengingat
jumlah korban jiwa
akibat
kecelakaan terus meningkat dari tahun ke tahun. Penelitian ini sendiri bertujuan untuk mengkaji upaya yang telah dilakukan sejauh ini, serta membuat rancangan program melalui peran media supaya intensi penggunaan helm pada remaja dan anak muda meningkat. Kajian yang dilakukan penulis menggunakan hasil penelitian-penelitian
terdahulu
dan
teori
media
yang
relevan
dalam
menumbuhkan kesadaran remaja dan anak muda. Kajian penelitian dilakukan oleh penulis untuk mengetahui konten pesan seperti apa yang seharusnya disampaikan agar dapat mengubah perilaku remaja dan anak muda untuk memiliki intensi menggunakan helm. Penulis melakukan tinjauan terhadap penelitian tentang persepsi risiko dan sikap remaja pengendara motor terhadap penggunaan helm. Juga digunakan kajian dari kotakota yang telah mampu membangun kesadaran safety riding. Hal ini diharapkan dapat membantu penulis untuk mengetahui alasan remaja dan anak muda tidak menggunakan helm saat berkendara motor. Penulis menggunakan teori media agar dapat mengetahui bagaimana peran media dalam menyampaikan pesan secara efektif dan efisien. Dalam kaitannya antara media dan remaja, salah satu hal terpenting dari media adalah menyediakan remaja seorang figur yang lebih dewasa yang memiliki peran
125
sentral dalam memengaruhi hidupnya. Secara umum, remaja adalah masa di mana mereka mencari figur yang mampu melampaui orang-orang di lingkungan sosialnya, yang bisa menjadi pahlawan, idola, dan role model. Giles (2003) dalam teorinya menjelaskan bahwa remaja lebih dipengaruhi oleh figur orang dewasa di luar peran keluarga. Erikson (dalam Giles, 2003) mengacu pada hubungan yang disebut dengan secondary attachments yang menjadi batas antara primary attachments pada orangtua dan adult attachments seperti intimacy. Salah satu figur role model yang berperan dalam memengaruhi promosi suatu iklan adalah selebritas. Penggunaan selebritas sebagai role model biasa disebut dengan product endorsement. Dalam penerapannya, penulis melihat multi-step flow theory dapat menjelaskan bagaimana role model mampu berperan dalam mengubah perilaku remaja dan anak muda. Secara singkat multi-step flow theory mengatakan bahwa informasi, bergerak dalam berbagai arah, masing-masing konsumen yang telah menerima informasi akan menyebarkan informasi tersebut kepada konsumen lain (Bennett & Manheim dalam Stansberry, 2012). Dalam tipe penyampaian pesan ini, pesan tidak hanya dapat disampaikan oleh media massa saja, opinion leader atau role model juga dapat digunakan sebagai strategi untuk menyampaikan pesan. Peran role model adalah membantu media massa dan mempercepat penyampaian pesan sampai kepada konsumen.Penulis juga menggunakan teori uses and gratification, teori ini mengatakan bahwa penggunaan media memainkan peran aktif untuk memilih dan menggunakan media tersebut, dengan kata lain konsumen adalah pihak yang aktif dalam proses komunikasi (Blumer, Katz, & Gurevitch, 1974). Teori ini digunakan oleh penulis untuk mengetahui media apa yang digemari dan memiliki tingkat keterbacaan tinggi pada karakteristik remaja. Penelitian akan mengkaji ulang program yang dilakukan sebagai upaya untuk menumbuhkan intensi masyarakat untuk menggunakan helm saat berkendara motor, terutama remaja. Fungsi dan peran media dapat dijadikan sarana dalam penyebaran pesan mengenai pentingnya penggunaan helm untuk mencegah risiko dari kecelakaan.
126
Metode Penulis menggunakan metode kajian penelitian dan membandingkannya dengan studi kasus mengenai kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan untuk membangu kesadaran remaja pengendara motor. Hal ini penulis gunakanuntuk menelaah fenomena danmelihat bagaimana kegiatan-kegiatan yang seharusnya efektif dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran pengendara motor untuk menggunakan helm. Analisis ini diharapkan dapat mengkaji lebih jauh kekurangan-kekurangan dari upaya tersebut dan bagaimana caranya supaya program yang telah dilakukan dapat ditingkatkan dan dimaksimalkan agar sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Berikut ada beberapa studi yang coba penulis uraikan: Kepolisian Republik Indonesia (RI) telah melakukan sejumlah cara untuk menyampaikan pesan penggunaan helm kepada para pengendara sepeda motor. Cara penyampaian pesan yang dilakukan menggunakan media umumnya merupakan tindakan preventif. Penulis mengalami kesulitan untuk menemukan upaya spesifik Kepolisian RI untuk membangun kesadaran remaja pengendara motor, oleh karena itu penulis mengkaji upaya yang dilakukan dalam upaya penyadaran keselamatan berlalu lintas, termasuk pemakaian helm. Berdasarkan
hasil
pencarian
penulis,
terdapat
beberapa
cara
penyampaian pesan penggunaan sepeda motor yang telah dilakukan oleh Polisi Lalu Lintas. Upaya-upaya tersebut bersifat preventif dan dilakukan melalui media, yaitu kampanye melalui media sosial ataupun kampanye melalui media outdoor seperti poster dan baliho di jalan. Kampanye melalui media sosial contohnya twitter di-account @TMCPoldaMetro. Kalimat seperti “Demi keselamatan diri sendiri, gunakan helm saat mengendarai sepeda motor” beberapa kali pernah ditweet oleh administrator dari twitter tersebut. Kampanye yang dilakukan melalui media outdoor. Ada beberapa jenis kampanye yang dilakukan, seperti: (1) Kampanye “Kepeloporan dalam Keselamatan Berkendara” yang dilakukan secara umum untuk semua aspek keselamatan dalam berkendara; (2) Kampanye “Penggunaan Helm Klik” yang dilakukan hanya di beberapa daerah di Indonesia; dan (3) Kampanye penggunaan helm standar yang muncul pada tulisan berjalan saat lampu merah di
beberapa
daerah
di
Indonesia.
127
Kampanye-kampanye
ini
umumnya
memberikan pesan kepada pengendara motor untuk menggunakan helm yang sesuai dengan peraturan, yaitu helm tertutup rapat sehingga dapat memproteksi kepala dari cidera bila mengalami kecelakaan. Penulis melakukan kajian pada dua penelitian yang dilakukan oleh Yogatama (2013) dan Ridho (2012). Penelitian Yogatama (2013) yang berjudul “Analisis Pengaruh Attitude, Subjective Norm, Dan Perceived Behavior Control Terhadap Intensi Penggunaan Helm Saat Mengendarai Motor Pada Remaja Dan Dewasa Muda Di Jakarta Selatan” membahas mengenai persepsi seseorang akan kemampuannya mengontrol perilakunya sendiri untuk menggunakan helm. Penelitian Ridho (2012) yang berjudul “Hubungan Persepsi Risiko Keselamatan Berkendaran denan Perilaku Pemakaian Helm pada Mahasiswa Universitas Indonesia Depok Tahun 2012” membahas hubungan antara persepsi risiko keselamatan berkendara dengan perilaku pemakaian helm. Hasil dari penelitian Yogatama (2013) menunjukkan bahwa variabel sikap dan perceived behavior control berpengaruh terhadap intensi pengendara motor untuk menggunakan helm. Perceived behavior control adalah persepsi seseorang mengenai kemampuannya mengontrol perilakunya sendiri untuk menggunakan helm meski ada hambatan yang dirasakan, seperti perasaan panas atau sesak saat menggunakan helm. Sementara itu, subjective norms seperti sanksi yang diberikan oleh pihak berwenang tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan intensi menggunakan helm (Yogatama, 2013). Penelitian Ridho (2012) melihat hubungan antara persepsi risiko keselamatan berkendara dengan perilaku pemakaian helm. Berdasarkan penelitian tersebut ditemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pengalaman berkendara dan kemampuan berkendara dengan penggunaan helm saat berkendara pada individu usia remaja. Sedangkan pengetahuan mengenai helm, pengetahuan mengenai keselamatan berkendara, pengaruh sosial, dan pengaruh lingkungan memiliki hubungan perilaku individu untuk menggunakan helm saat berkendara (Ridho, 2012). Untuk mendukung hasil di atas, penulis mencoba mencari penelitian dari negara-negara luar. Hasil penelitian dari negara Amerika dan Yunani (Mock et al., 1995, Skalkidou et al., 1999, Eby & Molnar, 1998) menunjukkan hal serupa. Penelitian tersebut menjelaskan kampanye sebaiknya disertai dengan konten yang menekankan pada informasi tentang penggunaan helm juga secara
128
signifikan telah berhasil meningkatkan penggunaan helm pada pengendara sepeda dan sepeda motor. Penelitian juga menjelaskan bahwa hukum saja tidak cukup untuk memengaruhi intensi untuk menggunakan helm saat berkendara.
Hasil dan Analisis Apabila dikaitkan antara uraian hasil penelitian dengan studi yang telah kami jelaskan di atas, maka upaya yang telah dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia masih perlu dioptimalkan.Berdasarkan hasil studi, kebanyakan konten yang disampaikan berisi ajakan menggunakan helm, cara penggunaan helm yang benar, dan peraturan serta hukuman bagi pelanggar aturan tersebut. Namun berdasarkan uraian beberapa penelitian di atas, hal tersebut bukanlah poin utama yang dapat membuat seorang remaja menjadi tergerak untuk menggunakan helm. Penulis menilai bahwa kegiatan untuk menumbuhkan kesadaran remaja pengendara motor dalam menggunakan helm harus memperhatikan konten informasi dan cara penyampaian informasinya. Konten media sebaiknya menekankan pengetahuan yang argumentatif mengenai pentingnya penggunaan helm, seperti seberapa efektif helm dalam menyelamatkan cedera di bagian kepala, bagaimana cara helm melindungi kepala, dan sebagainya. Sementara itu,
penyampaian
informasi
harus
disesuaikan
dengan
karakteristik
perkembangan remaja. Penyampaian informasi harus memerhatikan siapa orang yang menyampaikan informasi, bagaimana cara menyampaikannya, dan media apa yang digunakan dalam penyampaian informasi. Poin utama yang harus ditampilkan oleh media adalah dalam sisi kontennya. Pesan ini harus disampaikan kepada pengendara motor untuk membangun sikap yang positif mengenai helm, yaitu menilai pemakaian helm berdasarkan fungsinya, bukan dari perasaan negatif seperti panas atau sesak.Remaja yang tidak memiliki kebiasaan menggunakan helm tidak akan sadar dengan sendirinya seiring dengan bertambahnya pengalaman dan kemampuannya
dalam
berkendara.
Kedua
hal
tersebut
terbukti
tidak
berpengaruh terhadap intensi penggunaan helm, sehingga kampanye dan upaya untuk meningkatkan penggunaan helm harus tetap dilakukan sedini mungkin, sejak seorang mulai menggunakan kendaraan, khususnya sepeda motor.
129
Demikian juga halnya dengan hukum dan sanksi. Langkah yang difokuskan pemerintah dalam membuat maupun menegakkan hukum dengan berbagai sanksi ternyata tidak cukup untuk menumbuhkan intensi menggunakan helm. Oleh karena itu, perlu ada cara lain seperti sosialisasi dan penggunaan media dalam rangka menanamkan pengetahuan dan kesadaran serta sikap positif terhadap helm, karena hal-hal tersebutlah yang penting dan memiliki pengaruh terhadap intensi penggunaan helm. Selain dari segi konten, cara penyampaian informasi
juga tak kalah
penting. Penulis menggunakan teori-teori psikologi dan media untuk mengkaji hal tersebut. Adanya perbedaan karakteristik perkembangan remaja dengan tahap perkembangan lainnya dan perkembangan new media di kalangan remaja saat ini dirasa membuat upaya peningkatan kesadaran penggunaan helm di kalangan remaja membutuhkan upaya khusus. Dalam teori perkembangan Erik Erikson (dalam Giles, 2003), remaja ada pada tahap identity versus identity confusion. Dalam tahap ini remaja berusaha menemukan identitas dirinya yang sebenarnya melalui “arahan” dari figur yang ia anggap role model di dalam kehidupan sehari-hari. Contoh yang diberikan oleh si role model cenderung lebih berguna bagi remaja ketika kualitas yang mereka tawarkan dapat dicapai dan dimengerti oleh si remaja. Selain itu, kecocokan dengan budaya dimana remaja tersebut berasal juga menjadi variabel penentu dari tertarik tidaknya remaja pada figure tersebut.Role model sendiri disarankan menggunakan tokoh laki-laki dan perempuan, karena penulis melihat risiko kecelakaan tidak hanya dapat dialami oleh pengendara sepeda motor, tapi juga orang yang menjadi penumpang sepeda motor. Orang-orang tersebut bisa lakilaki ataupun perempuan, sehingga contoh dari role model juga harus memerhatikan aspek tersebut. Dalam tipe penyampaian informasi ini, opinion leader digunakan sebagai strategi untuk menyampaikan informasi. Seiring dengan perkembangan sosial media, maka opinion leader yang aktif di sosial media lebih banyak digunakan untuk menjangkau pengguna media. Peran dari opinion leader dan target penonton sendiri juga signifikan dalam memengaruhi orang-orang lainnya. Opinion leader disini salah satunya dapat berasal dari role model seperti yang penulis sebutkan di atas. Salah satu role model atau opinion leader yang berpengaruh adalah selebritas atau tokoh terkenal lainnya. Terdapat empat
130
syarat pemilihan tokoh yang akan digunakan sebagai endorser, yaitu: (1) sosok yang dikenal oleh target konsumen, (2) memiliki image atau diaggap sebagai sumber informasi yang reliabel, (3) memiliki keterkaitan dengan sesuatu yang dipromosikan, (4) atau juga tidak adanya seseorang yang cocok dengan ketiga syarat sebelumnya maka buatlah tokoh baru yang terasosiasi dengan sesuatu yang dipromosikan tersebut. Menurut Harris (2004), tokoh yang dihormati dan tampak berwibawa lebih mudah mempersuasi konsumen, meskipon tokoh tersebut tidak berkompeten dengan sesuatu yang ia promosikan. Cara yang terakhir ialah memaksimalkan teori multi-step flowdan uses and gratification pada remaja. Berdasarkan teori tersebut, penyampaian informasi tidak boleh dilakukan dengan sembarangan. Dalam hal ini, keberadaan internet bisa menjadi medium yang ampuh dalam memengaruhi sikap dan perilaku remaja, penggunaan twitter, facebook, youtube, dan aplikasi lainnya di internet bisa menjadi satu contoh. Penggunaan ini tentu dapat diawali oleh role model yang telah disebutkan di atas. Untuk televisi, tentu kita harus melihat kategori film yang disukai dan sering ditonton oleh remaja, dan waktu remaja dalam menonton film tersebut di Indonesia. Dengan mengetahui hal tersebut, maka kontinuitas dan tingkat frekuensi iklan mengenai pentingnya penggunaan helm ditayangkan dan diperbanyak di waktu dan ketika jeda film tersebut. Cara menyampaikan pesan sebaiknya juga interaktif dan disesuaikan dengan karakteristik remaja. Konten berupa pengetahuan argumentatif mengenai urgensi penggunaan helm dirasa lebih tepat untuk membangun kesadaran dan intensi remaja untuk menggunakan helm. Selain itu, penting pula untuk memanfaatkan peran role model atau opinion leader dalam menumbuhkan kesadaran dan perilaku remaja dan usia muda yang mengendarai sepeda motor untuk menggunakan helm. Penyampaian pesan oleh role model dapat dilakukan dengan menggunakan new media, termasuk media sosial yang saat ini sering digunakan oleh remaja dan anak muda. Penulis
menyadari
bahwa
penelitian
ini
masih
memiliki
banyak
kekurangan. Hasil dari penelitian ini baru sampai pada tahap analisis tinjauan berdasarkan teori-teori dan hasil penelitian sebelumnya. Untuk penelitian selanjutnya, penulis menyarankan agar hasil dari penelitian ini dapat dibuktikan melalui penelitian eksperimental. Hal ini bertujuan untuk melihat seberapa efektif
131
peranan konten dan penyampaian pesan dalam membentuk kesadaran dan perilaku remaja dan anak muda untuk menggunakan helm saat mengendarai motor.
Daftar Pustaka Andika, M. L. (2014). Tingkat Kematian Akibat Kecelakaan di Indonesia ke-5 Tertinggi Dunia. Diambil dari http://oto.detik.com/read/2014/09/03/081314/2679633/648/tingkatkematian -akibat-kecelakaan-di-indonesia-ke-5-tertinggi-dunia pada tanggal 9 Desember 2014 Badan Pusat Statistik. (t.th.). Jumlah kecelakaan, korban mati, luka berat, luka ringan, dan kerugian materi yang diderita pada tahun 1992-2012. Diambil dari bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=17¬a b=14 pada tanggal 8 November 2014 Blumer, J.G., Katz, E., & Gurevitch, M. (1974) The uses of mass communication: current perspective on gratification research. London: Sage Publication. Giles, D. (2003). Media Psychology. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Gunawan, H. (2014). Motor jadi penyumbang terbesar kematan di jalan. Diambil dari industri.kontan.co.id/news/motor-jadi-penyumbang-terbesarkematian-di-jalan pada tanggal 8 November 2014 Hakim, E.A. (2010). Helmets reduce death and brain injury in motorcycle and push bike accidents. (Versi Elektronik). South Sudan Medical Journal, 69. Harris, R. J. (2004). A Cognitive Psychology of Mass Communication. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Kementerian Perhubungan. (2014). Sepeda Motor dan Keselamatan Berlalu Lintas. Diambil dari www.aisi.or.id/fileadmin/user_upload/Download/02.DirKTD.pdf pada tanggal 8 November 2014 Mock et al. (1995). Injury Prevention Strategies to Promote Helmet Use Decrease Severe Head Injuries at a Level I Trauma Center. Diambil dari http://journals.lww.com/jtrauma/Abstract/
132
1995/07000/Injury_Prevention_Strategies_to_Promote_Helmet_Use.4.asp x pada tanggal 9 Desember 2014 Priliawito, E., & Budiawati, A.D. (2014). Mengerikan, Angka Kematian di Jalan Lampaui Korban Perang Teluk. Diambil dari fokus.news.viva.co.id/news/read/ 476357-mengerikan--angka-kematian-dijalan-lampaui-korban-perang-teluk pada tanggal 8 November 2014 Ridho, M. (2012). Hubungan Persepsi Risiko Keselamatan Berkendaran denan Perilaku Pemakaian Helm pada Mahasiswa Universitas Indonesia Depok Tahun 2012. Skripsi Sarjana. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta Shimp, Terence A. (2000). Periklanan Promosi. Jakarta: Penerbit Erlangga. Skalkidou et al. (1999). Factors affecting motorcycle helmet use in the population of Greater Athens, Greece. Diambil dari http://injuryprevention.bmj.com/content/5/4/264.full pada tanggal 9 Desember 2014 Stansberry, K. S. (2012). One-Step, Two-Step, Or Multi-Step Flow: The Role Of Influencers. Diambil dari https://scholarsbank.uoregon.edu/xmlui/ bitstream/handle/1794/12416/ Stansberry_oregon_ 0171A_10407.pdf?sequence=1 pada tanggal 11 Desember 2014 Susantono, B. (2014). Sepeda Motor: Peran Dan Tantangan. Diakses pada tanggal 9 Desember 2014dari http://www.aisi.or.id/ fileadmin/user_upload/Download/01.BambangSusantono.pdf Teori komunikasi. (t.th.). Diambil dari directory.ung.ac.id/bei/ CONTOH%20PENELITIAN/BAB%203%20%20TEORI%20KOMUNIKASI.pdf pada tanggal 9 November 2014 Yogatama, L. A. M. (2013). Analisis Pengaruh Attitude, Subjective Norm, Dan Perceived Behavior Control Terhadap Intensi Penggunaan Helm Saat Mengendarai Motor Pada Remaja Dan Dewasa Muda Di Jakarta Selatan. Proceeding PESAT. 5, 1-10.
133
PERSEPSI AGAMA PADA ANAK DARI ORANGTUA YANG BERBEDA AGAMA Muhammad Syarif Hidayatullah dan Helenda Yolanda Anjaryana Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Lambung Mangkurat Abstrak Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki masyarakat majemuk. Pada kondisi tersebut, masyarakat Indonesia memiliki kemungkinan cukup besar mengalami perkawinan beda agama. Perkawinan tersebut mengandung pro dan kontra. Agama menentukan cara pandang seseorang dalam bersikap dan berperilaku. Selain itu, anak dari hasil perkawinan beda agama menghadapi situasi yang cukup unik. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan memahami bagaimana individu yang lahir dari orangtua yang berbeda agama membentuk suatu persepsi mengenai agama dan menginterpretasikan agama yang dianut. Metodologi kualitatif dengan perspektif fenomenologi digunakan untuk menggali data dari dua partisipan penelitian, yaitu individu yang memiliki orangtua berbeda agama. Temuan penelitian menunjukkan bahwa persepsi subyek dibentuk dari kombinasi faktor internal, eksternal dan fungsional, dengan faktor struktural sebagai pendukung. Adapun faktor internal didominasi pandangan bahwa tiap individu harus menganut agama, eksternal didominasi oleh kondisi lingkungan keluarga dengan lingkungan masyarakat sebagai pendukung, sedangkan fungsional didominasi oleh kebutuhan kedekatan pada significant person. Agama dipandang sebagai status atau identitas seseorang dalam menjalani kehidupan di masyarakat dan sesuatu yang sudah terjadi “takdir”. Kata kunci: persepsi, agama, perkawinan, beda agama
Pendahuluan Indonesia dikenal memiliki masyarakat majemuk. Masyarakat yang heterogen dan interaksi yang semakin erat akan meningkatkan kemungkinan terjadinya perkawinan campur atau perkawinan beda agama. Perkawinan tersebut dinilai cukup rumit karena masih mengandung pro dan kontra dari berbagai pihak. Di Indonesia, negara mengambil sikap untuk tidak mengakui perkawinan campur. Pada akhirnya, ketika pasangan berbeda agama tetap ingin melakukan perkawinan, maka ia melaksanakannya di luar negeri. Berdasarkan hasil studi pendahuluan didapatkan bahwa anak hasil dari perkawinan campur mengikuti kegiatan keagamaan di kedua agama yang dianut
134
kedua orangtuanya. Selain itu, mereka juga beranggapan bahwa agama bukanlah sesuatu yang penting. Mereka menganggap agama hanya sekadar status yang wajib dimiliki. Untuk itu, peneliti tertarik untuk memahami lebih dalam tentang persepsi agama pada anak dari orangtua yang berbeda agama dan bagaimana interpretasinya terhadap agama yang dianut. Peneliti memfokuskan penelitian pada pengalaman hidup individu sebagai subyek penelitian. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif fenomenologi.
Perkawinan Beda Agama Perkawinan campur atau berbeda agama bukan hal yang baru di masyarakat Indonesia yang multikultural. Pasal 1 UU Perkawinan No.1 1974, dalam pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa, suatu perkawinan dapat dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing dan kepercayaan pasangan yang melakukan perkawinan. Pasangan perkawinan campur di Indonesia memiliki beberapa potensi masalah, pertama keabsahan perkawinan bahwa UU perkawinan menyerahkan keputusan keabsahan kepada ajaran agama masing–masing, sedangkan dalam ajaran Islam maupun Kristen perkawinan beda agama dilarang. Kedua, pencatatan perkawinan, apabila pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan UU Perkawinan maka ia dapat menolak pencatatan. Ketiga, status anak menurut ketentuan pasal 42 UU Perkawinan, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang sah. Oleh karena tidak dilakukan pencatatan perkawinan, maka menurut hukum anak tersebut bukanlah anak yang sah. Keempat, apabila ternyata perkawinan beda agama dilakukan di luar negeri, maka pencatatan perkawinan hanya sekadar pelaporan administratif bukan dalam konteks sah tidaknya perkawinan (hukumonline.com, 2014). Di Indonesia, perkawinan campur banyak dilakukan justru oleh pasangan yang sebenarnya sudah tahu bahwa perkawinan tersebut tidak diakui dan banyak dampak negatif (Tempo, 2001). Hal tersebut mengisyaratkan bahwa kurangnya pengetahuan bukanlah menjadi sebab terjadinya perkawinan campur. Perkawinan campur juga diidentifikasi sebagai indikasi peningkatan toleransi dan penerimaan antar pemeluk agama yang berbeda di masyarakat serta peningkatan mobilitas penduduk (Pratiwi, 2006).
135
Persepsi terhadap Agama Persepsi individu dipengaruhi oleh dasar pandangan yang terbentuk dari berbagai macam opini (Graham, 2008). Perbedaan agama antara kedua orang tua akan menimbulkan persepsi tersendiri bagi anak. Connelan,dkk (2000), perbedaan jenis kelamin juga menjadi sumber perbedaan persepsi. Selain itu, perbedaan pandangan dari pemuka agama memberikan kontribusi dalam proses pembentukan persepsi pada keluarga yang menjalankan perkawinan campur. Jika ditelaah lebih lanjut, perkawinan campur memberikan implikasi pada perbedaan pandangan mengenai apa yang baik dan yang buruk dan pada cara mendidik anak. Persepsi menjawab pertanyaan bagaimana seseorang memberikan tanggapan atas stimulus yang diterima (Sternberg & Sternberg, 2012). Persepsi anak dipengaruhi oleh bagaimana tanggapan lingkungan sekitar terhadap objek persepsi, karena dari sana lah sebenarnya awal dari persepsi itu terbentuk. Lebih lanjut, lingkungan budaya dalam keluarga dan faktor berbedanya agama pada orang tua membuat kedua belah pihak keluarga besar juga turut berperan. Budaya kolektif masyarakat Indonesia yang memegang teguh budaya tertentu dalam sebuah daerah, saat ini cenderung bergeser menjadi individualis yang lebih memberikan ruang kebebasan untuk memilih. Halama dan Lacna (2011) menemukan bahwa perubahan persepsi bahkan perubahan kepribadian sangat mungkin terjadi karena adanya interaksi hubungan keagamaan. Perubahan persepsi juga berhubungan level pendidikan dan usia seseorang dan kecenderungannya mengikuti persepsi orang–orang terdekatnya meskipun persepsi memiliki bias. Metode Partisipan Partisipan penelitian ini berjumlah 2 orang subyek yang memungkinkan berpartisipasi, mau dan mampu menceritakan pengalamannya. Partisipan adalah anak atau keturunan dari pasangan orangtua yang berbeda agama (lihat tabel 1). Peneliti
tidak
menentukan
jumlah
subyek
di
awal
penelitian.
Peneliti
memfokuskan pada subyek yang benar–benar mengalami fenomena yang dimaksud peneliti, yaitu memiliki orangtua yang berbeda agama. Jumlah subyek
136
tersebut dirasa sudah cukup karena telah memenuhi persyaratan metodologi untuk penelitian fenomenologi (Dukes, 1984). Tabel1 Profil Subyek Penelitian Latar Belakang
BKL
DPR
Usia
23 tahun
22 tahun
Status
Mahasiswa
Mahasiswa
Jenis Kelamin
Laki – laki
Perempuan
Urutan lahir
Anak ke-3 dari 3
Anak tunggal
Suku
Jawa-Tionghoa
Dayak-Tionghoa
Agama Subyek
Islam
Kristen-Protestan
Agama Ayah
KristenProtestan
Kristen Katholik
Agama Ibu
Islam
Islam
Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data menggunakan wawancara intensif dan mendalam (indepth interview). Peneliti mendapatkan informasi baik bertanya secara langsung melalui tatap muka maupun melalui media telekomunikasi. Wawancara dilakukan lebih dari satu kali pada satu orang subyek. Penggalian lebih mendalam (probing) juga dilakukan selama interview. Peneliti menggunakan tiga strategi yang digunakan oleh Moustakas (1994) yaitu: (a) wawancara informal, (b) pertanyaan
terbuka
(open-ended
question),
dan
(c)
wawancara
yang
berpedoman pada topik. Sebelum wawancara dilakukan, peneliti terlebih dahulu menghubungi subyek via telepon, sms atau bbm sekaligus menjalin keakraban (rapport) awal dengan subyek. Wawancara mendalam dilakukan selama kurang lebih 2 bulan (September-Okotober 2014) dengan melibatkan dua orang subyek. Wawancara dilakukan tiga sampai empat kali dengan durasi tiap wawancara 60 menit hingga 75 menit. Namun keberadaan peneliti biasanya melebihi waktu tersebut. Wawancara dilakukan di kediaman subyek, tempat santai (cafe), maupun tempat lain yang disepakati subyek dan peneliti.
137
Prosedur penelitian Studi pendahuluan. Tahap ini dilakukan pengumpulan data melalui wawancara dan
pengamatan terhadap para calon subyek dan informan–
informan yang relevan dan terkait dengan kehidupan para calon subyek Pengambilan Data. Peneliti melakukan pengumpulan informasi baik bertanya jawab secara langsung maupun melalui media telekomunikasi dengan subyek. Sebagai data tambahan, peneliti juga melakukan wawancara dengan para informan meliputi keluarga maupun teman reponden yang mengetahui keseharian subyek dan berhubungan langsung dengan subyek. Analisis Data. Tahap analisis data dan pengumpulan data pada penelitian ini pada dasarnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Peneliti mengikuti pola “zig-zag”, yaitu peneliti ke lapangan mencari informasi, kemudian menganalisis data yang diperoleh, kembali ke lapangan lagi untuk mendapatkan lebih banyak informasi, menganalisis data dan seterusnya. Peneliti melakukan analisis data fenomenologi transendental. Pengujian Kredibilitas Data. Peneliti melakukan perpanjangan kehadiran di lapangan, observasi mendalam dan triangulasi. Verifikasi Penelitian. Peneliti membagikan salinan deskripsi secara tekstural-struktural dari pengalaman subyek. Kemudian tiap individu diminta memeriksa deskripsi tersebut, mereka dapat memberikan masukan dan pembetulan. Terakhir, peneliti merevisi kembali pernyataan sintesisnya.
Teknik Analisis Data Metode analisis yang digunakan adalah analisa data fenomenologi transendental dari Van Kaam (dalam Moustakas, 1994). Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: (1) Listing and Preliminary Grouping, yaitu mendaftar semua jawaban yang relevan dengan pengalaman (horizonalization). (2) Reduction and Elimination, yaitu menguji jawaban informan apakah mengandung makna atas pengalaman penting yang dialami dan mengandung unsur pokok yang cukup baik untuk memahami fenomena, dan apakah jawaban-jawaban tersebut memungkinkan untuk dikelompokkan dalam suatu kelompok dan diberi label. (3) Clustering and Themating the Invariant Constituent (Thematic Potrayal), pengalaman nara sumber yang diungkapkan dalam jawaban atas pertanyaan diberi label dan dikelompokkan dalam tema-tema yang sejenis. Selanjutnya dari
138
tema-tema tersebut akan ditarik benang merahnya. (4) Final Identification of the Invariant Constituent and Themes by Application Validation, mencakup proses memvalidkan
invariant
constituent
dengan
cara
mengkroscek
invariant
constituent beserta tema yang menyertainya terhadap rekaman utuh pernyataan informan. Selanjutnya, (5) Individual Textural Description, yaitu tema-tema yang valid termasuk didalamnya jawaban secara harfiah dari transkrip verbatim. (6) Individual Structural Description, hasil penyusunan individual textural description akan mengkonstruksi individual structural description dari pengalaman informan. (7) Textural-Structural Description, tahap ini merupakan proses menggabungkan textural description dan structural description dari pengalaman masing-masing informan serta mencari kesamaan esensi dari pengalaman tiap-tiap informan. Setelah itu disusun Composite Description yang berisi makna atau esensi pengalaman informan, sehingga menampilkan gambaran utuh pengalaman tiap informan. Hasil dan Analisis Peneliti membagi tema-tema yang muncul ke dalam 2 (dua) kelompok. Pertama, pembentukan persepsi yang mencakup pengalaman internal dari subyek dan interaksinya dengan eksternal serta fungsional. Kedua, interpretasi terhadap agama yang dianut. Berikut peneliti akan menguraikan lebih rinci mengenai temuan tema-tema tersebut:
Pembentukan Persepsi Persepsi agama pada individu yang memiliki orang tua berbeda agama terbentuk sebagai hasil kombinasi dari pengaruh internal, eksternal dan fungsional serta dikuatkan atau di dukung oleh struktural. Pada aspek internal, individu mempelajari agama – agama yang secara sosial dipersepsi memberikan emosi positif dan energi bagi yang bersangkutan. Sebaliknya, individu akan menghindari agama yang dipersepsi kurang nyaman. Hal ini sebagaima jawaban responden: Kenapa kamu nggak ikut agama dari salah satu orang tua gitu? Emm, gimana yaa, jujur sebenar aku dari kecil lebih sering tinggal sama tante jadi yang ngurus apa-apa itu tante (S2,WR1, b-6)
139
ee.. mungkin DPR bisa cerita lagi yaa tentang hal ini? Yaa yang kataku tadi, mungkin aku rasa kurang nyaman tinggal sama orang tua apa lagi mereka berbeda kadang buat bingung gitu,ini aja mama ku mau umroh sebenarnya aku pengen ikut cuman ya apa agama ku bukan islam (S2,WR1, b-7) Emm..jadi juga sebabnya kamu lebih nyaman sama tantemu mungkin juga itu? Yaa sebenarnya sih gitu, makanya aku lebih banyak tinggal sama tanteku (S2,WR2, b-1) Sedangkan pada aspek eksternal yaitu lingkungan eksternal berupa obyek maupun lingkungan adalah kesatuan yang sulit dipisahkan dalam membentuk persepsi agama bagi subyek. Selain itu, kondisi keluarga juga membawa dampak terkait penilaian pada suatu agama dalam situasi tertentu. Lingkungan keluarga dan lingkungan pertemanan memberikan pendidikan mengenai agama, baik secara ritual maupun yang bersifat psikologis atau ruhaniah. Pendidikan ritual di lingkungan keluarga dipegang oleh terutama kedua orangtua dari individu. Beberapa jawaban responden yang terkait aspek eksternal: Terus kalau misalnya ada natal juga ikut ngerayain? Yaa ikut kan keluarga.. papaku yang natalan masa aku nggak ikut (S1,WR1,b10) Ow gitu mas, jadi lebih dekat ke mama ya.. Terus gimana sih mas cara didikan orang tua mas? Didikan mereka tu yaa kayak orang tua pada umumnya, dilarang terus nggak dibiarin terus juga nggak (S1, WR2, b-5) Yaa begitu.. Ada nyamannya, ada nggaknya. Nyamannya itu saat keluarga rukun, rame, bisa diajak ngumpul-ngumpul, nggak ada perdebatanlah. Nggak enaknya itu saat selisih paham apalagi masalah agama, yaa kan nggak bisa ee’ ngebenerin mama atau papaku. Yaa bingung aja ngeposisiin akunya gimana. Biasanya sih aku diem aja, netral lah (S1,WR1,b-6) Jika kedua orangtua dianggap kurang mampu memberikan informasi dan “kenyamanan”, maka individu bergerak pada anggota keluarga yang lain. Individu dihadapkan pada kondisi yang ia anggap bukan ia yang menginginkan namun sudah terjadi semenjak dia lahir, yaitu “takdir”. Maksudnya, ia tinggal menjalani seraya mencari informasi-informasi mengenai agama yang ia anggap “nyaman”. Individu secara implisit mencermati bagaimana interaksi di antara kedua orangtuanya dan bagaimana proses beragama di rumah. Pengalaman ini
140
memberikan tempat tersendiri dalam proses pembentukan persepsi anak. Hal ini dijelaskan dalam hasil wawancara sebagai berikut: Maksudnya DPR biasa aja sama takdir itu gimana? Ya biasa aja soalnya aku biasa aja jalaninnya karena dari lahir sudah seperti ini keadaanya, em terus juga sebenarnya aku juga tidak terlalu sering tinggal sama orang tua ku sih aku tinggal sama tante ku (S2,WR1, b-2) Ow gitu. Knapa kamu gak sering tinggal serumah sama orang tua?Ya mungkin lebih nyaman aja nek misal aku dirumah tante (S2,WR1, b-3) ee.. mungkin DPR bisa cerita lagi yaa tentang hal ini? Yaa yang kataku tadi, mungkin aku rasa kurang nyaman tinggal sama orang tua apa lagi mereka berbeda kadang buat bingung gitu,ini aja mama ku mau umroh sebenarnya aku pengen ikut cuman ya apa agama ku bukan islam (S2,WR1, b-7) Fungsional (Keseimbangan Personal) Keseimbangan personal dipengaruhi oleh kebutuhan subyek untuk berinteraksi secara “nyaman” dengan significant person, yaitu ibu untuk subyek 1 dan dan tante dan sepupu untuk subyek 2. Individu akan memberikan penilaian terhadap kehidupan pengalaman yang dijalani bersama significant person dan pesan–pesan yang diadopsi berkaitan dengan kehidupan beragama. Emm.. Jujur sebenarnya aku ngambil keputusan buat ikut agamanya mama karena sayang sama mama (S1,WR1,b-7) Emm gitu, jadi faktor yang mendasari mas itu karena mama mas ya? Iyaa, apa yang mama pilih dan lakukan itu pasti baik. Sama aku juga sebenarnya gak begitu dalam buat belajar agama soalnya sekarang sering sibuk yaa sibuk gitu sama kuliah ku jadi buat kegiatan agama sebenarnya aku ikutin apa yang di jalanin mama aja (S1,WR1,b-8) Struktural (pendukung) Subyek kurang memedulikan perbedaan dari setiap agama karena nilai – nilai normatif universal yang lebih dominan. Subyek akan menolak informasi yang tidak sesuai dengan keyakinan yang telah dimiliki berdasarkan pengalamannya dalam keluarga dan akan menguatkan jika informasi tersebut sesuai.
141
Interpretasi Agama Subyek menginterpretasi agama sebagai status yang harus dimiliki untuk bisa hidup di masyarakat. Subyek menganggap pendalaman ilmu agama adalah proses berikutnya ketika telah memilih agama tertentu. Subyek memeluk agama dengan pertimbangan ingin merasa dekat dengan significant person. Kesamaan status terhadap figur yang dekat membuat interaksi menjadi lebih nyaman. “Agama dijalankan secara enjoy dan tidak perlu terlalu pusing”. Subyek mempelajari terlebih dahulu informasi yang didapatkan secara menyeluruh sebelum memberikan interpretasi terhadap suatu agama. Hal tersebut ditandai dengan kecenderungan subyek mempelajari
setiap agama
meskipun tidak mendalam. Subyek membandingkan pelajaran agama yang didapatkan dengan praktek beragama di rumahnya. Setelah melakukan perbandingan anak membuat kesimpulan seraya menjalani kehidupan seperti biasa tanpa mempermasalahkan perbedaan agama, jadi agama yang di anut di generalisasikan dengan persepsi kehidupan bukan dari sudut agama itu sendiri.
Emm gitu.. mas jadi kalo boleh tau ni yaa arti dari agama itu gimana sih toh menurut mas sendiri? Heheh Agama ya agama, agama yang dianut seseorang (S1,WR2, b-7) Emm gitu, jadi faktor yang mendasari mas itu karena mama mas ya? Iyaa, Sama aku juga sebenarnya gak begitu dalam buat belajar agama soalnya sekarang sering sibuk yaa sibuk gitu sama kuliah ku jadi buat kegiatan agama sebenarnya aku ikutin apa yang di jalanin mama (S1,WR1,b-8) Terus mas ini ngikutin agama mama mas kan? Itu tuh ada unsur paksaan apa nggak sih? Yaa nggak toh ya, aku milih agama sama kayak agama mamaku karena aku yaa, sayang aja sama mamaku, lagian ini juga emang keputusanku sendiri (S1,WR2,b2) Yaa akunya enjoy aja, kehidupanku yaa gini aja lah nggak perlu terlalu ribet atau pusing-pusing. Santai aja sih (S1,WR1, b-11) Di sisi lain, subyek menganggap kehidupan beragama sudah ada yang mengatur. Subyek merasa kehidupan beragama yang dihadapi saat ini sebagai kondisi yang dianggap bukan ia yang menginginkan namun sudah terjadi semenjak dia lahir, yaitu “takdir”. Perbedaan agama bagi subyek bukan sesuatu yang harus dipermasalahkan. Agama memiliki tuntunan dalam hal peribadatan
142
bagi masing–masing pemeluknya. Subyek lebih mengedepankan nilai–nilai normatif universal jika memandang agama, seperti saling rukun dan menghargai. Berdasarkan analisis tematik di atas, maka secara ringkas temuan penelitian ditampilkan dalam tabel 3. Faktor internal menunjukkan bahwa subyek mempelajari, mencari dan menyadari keharusan status agama bagi seseorang untuk hidup di masyarakat. Selanjutnya, subyek mencari agama yang membuat “nyaman” dalam konteks sosio-emosi. Faktor eksternal di dominasi keluarga, kegiatan keagamaan di masyarakat dan lingkungan pertemanan. Faktor eksternal memberikan masukan informasi bagi subyek untuk diolah, dipersepsi hingga diinterpretasi. Faktor fungsional sebagai keseimbangan personal lebih mempertimbangkan harmonisasi kebutuhan dan tekanan, sehingga agama di usahakan mampu memfasilitasi hal tersebut. Faktor struktural menjadi pendukung, yakni informasi yang berkesesuaian akan memperkuat informasi sebelumnya, sebaliknya jika tidak berkesesuaian cenderung di tolak Tabel 2 Tema Utama Pembentukan Persepsi dan Interpretasi terhadap Agama Kategori Tema Indikator Contoh Perilaku Pembentukan Intenal Mempelajari agama Belajar peribadatan Persepsi Mencari agama yang Mempelajari agama dalam “nyaman” konteks sosial Menyadari identitas agama Eksternal
Kegiatan keagamaan Kondisi keluarga Lingkungan pertemanan
Mengikuti kegiatan – kegiatan keagamaan Mengamati praktek agama di keluarga Mencari informasi agama yang “nyaman”
Keseimbang an personal (fungsional)
Tekanan vs Kebutuhan Harmonisasi Significant Person
Mempertimbangkan kebutuhan sosial, kesiapan mental dan suasana emosional Menjaga harmonisasi antara kebutuhan dan pemenuhan Berinteraksi secara nyaman dengan significant person
Pendukung (struktural)
Menilai penganut agama Mengkritisi penganut
143
Melakukan penilaian agama berdasarkan siapa dan apa
Kategori
Tema
Indikator berdasar pengalaman dalam keluarga
Contoh Perilaku yang dilakukan penganutnya Membandingkan penganut dengan kehidupan keluarga Menolak informasi jika bertentangan dengan pengalaman
Interpretasi Agama
Interpretasi Agama
Identitas dan sesuatu yang harus di anut (status) “Takdir”
Menganut suatu agama Menjalankan agama secara enjoy Memposisikan diri secara normatif Menerima keadaan
Dinamika pembentukan persepsi dan interpretasi terhadap agama Hasil penelitian menemukan adanya interaksi antara faktor internal, eksternal, keseimbangan personal (fungsional) dan struktural (pendukung) membentuk persepsi subyek.
Gambar 1.Dinamika Pembentukan Persepsi dan Interpretasi terhadap Agama
Gambar
1
menunjukkan
dinamika
pembentukan
persepsi
dan
penginterpretasian terhadap agama. Kondisi orangtua yang berbeda agama membuat posisi anak memiliki keunikan baik jika di lihat dari segi kondisi sosial, keberagamaan di masyarakat dan hukum di Indonesia. Untuk itu, bagaimana anak mempersepsi dan menginterpretasikan agamanya menjadi layak untuk dikaji lebih lanjut. Subyek memiliki sumber pengaruh (intervening) beragam yang turut serta dalam proses pembentukan persepsi dan pemberian interpretasi
144
terhadap agama, yaitu pola pikir dan perasaan yang bersangkutan, keluarga, lingkungan masyarakat dan informasi yang bersifat massal. Semua sumber pengaruh melakukan kombinasi dalam kerangka faktor internal, eksternal, fungsional dan struktural. Selanjutnya, subyek melakukan proses pemberian kesan, pendapat, pandangan dan penafsiran.
Diskusi Temuan studi menunjukkan bahwa persepsi anak terbentuk berdasarkan kombinasi faktor internal, eksternal, keseimbangan personal (fungsional) dan pendukung (struktural). Lebih lanjut, dari studi jika diketahui bahwa agama diinterpretasi sebagai status yang harus dimiliki seseorang dan “takdir” yang sudah terjadi dan diatur. Data hasil wawancara menunjukkan bahwa banyak keserupaan dalam proses pembentukan persepsi dan pemberian interpretasi. Dalam hal persepsi, kedua subyek sama – sama mengisyaratkan bahwa keluarga adalah faktor utama sebagai pembentuk persepsi terhadap agama. Namun lebih spesifik jika subyek 1 memiliki ibu sebagai significant person, pada subyek 2 adalah tante dan sepupu. Meskipun dalam hal interpretasi, salah satu subyek memandang agama selain sebagai status juga sesuatu yang sudah terjadi dan diatur “takdir”. Internal, eksternal, keseimbangan personal (fungsional) dan pendukung (struktural) adalah kombinasi dari faktor – faktor yang mempengaruhi subyek dalam membentuk persepsi hingga interpretasi sampai akhirnya pada perilaku. Sebagaimana Golkar dan Ohman (2012) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa persepsi hingga menjadi perilaku adalah hasil interaksi lingkungan yang juga melalui proses kognitif dan evaluasi di dalam diri individu. Subyek
menempatkan
peran
keluarga
sangat
dominan
dalam
pembentukan persepsi. Agama dianggapsebagai sesuatu yang sudah terjadi “takdir” sehingga tidak perlu diperdebatkan atau saling berbantahan. Selanjutnya, isu dan kegiatan di masyarakat sebagai pendukung informasi mengenai agama sehingga memperkaya informasi yang dimiliki. Sebagaimana Artanto (2006) melalui penelitiannya yang mengenai konsep Tuhan pada Anak Usia Akhir Operasional Kongkrit mengungkapkan bahwa gagasan yang dimiliki anak mengenai tuhan lebih merupakan doktrin yang dihasilkan dari pengajaran orangtua dan gurunya.
145
Significant person memiliki peran dominan terhadap persepsi subyek mengenai agama mana yang membuat nyaman dan pada akhirnya dipilih untuk dianut. Significant person tidak selalu di antara kedua orangtua subyek namun orang yang dianggap memberikan kebutuhan sosial lebih banyak dan memberikan. Hal tersebut sebagaiman yang dialami oleh kedua subyek. Subyek 1 menjadikan ibu sebagai figur signifikan, sedangkan subyek adalah tante dan sepupu. Pada subyek 2 menjadikan tante dan sepupu sebagai figur signifikan karena mereka adalah orang–orang yang hampir selalu bersama subyek, subyek lebih banyak menginap dan menghabiskan waktu bersama tante dan sepupu. Untuk maksud tersebut, rumah adalah tempat di mana subyek banyak menghabiskan waktu dan berbagi suka duka (Idrus, 2006). Subyek mempersepsi, menginterpretasi, memilih dan menjalani prkatek keagamaan tidak terlepas dari siapa orang terdekatnya. Perasaan sayang dan kebutuhan akan sosial memberikan pengaruh kunci terhadap pembentukan persepsi dan interpretasi terhadap agama dan memilih untuk memeluk agama tertentu. Keluarga dan significant person adalah orang–orang yang berinteraksi secara dekat dan terus menerus dengan subyek. Selanjutnya, interaksi yang dilakukan dapat membicarakan dan melakukan berbagai persoalan, tidak terkecuali agama. Berdasarkan hal tersebut, sangat mungkin proses persepsi terhadap agama terbentuk meskipun tidak terjadi secara mendadak namun pasti. Sebagaimana hasil penelitian Halama dan Lacna (2011) menegaskan hal tersebut bahwa perubahan persepsi dan kepribadian sangat mungkin terjadi ketika individu berinteraksi dan membicarakan topik–topik yang berkaitan agama dengan orang–orang terdekatnya meskipun dalam interpretasi seringkali terjadi bias. Furlong (2006) membagi tipe adaptasi pasangan beda agama menjadi 6 (enam), yaitu meminta salah satu mengikuti agama dari pasangan, menghindari diskusi mengenai agama, aktif mendorong kebijakan penerimaan terhadap perbedaan agama, kompromi dan negosisasi, melakukan bimbingan dengan pemuka agama dan saling menghormati walaupun berbeda agama. Kondisi keluarga adalah tempat pelajaran dan informasi kunci dari pembentukan persepsi hingga menjadi interpretasi bagi subyek. Adapun pelajaran dan informasi tidak selalu bahkan jarang yang bersifat langsung namun lebih banyak
146
yang bersifat tidak langsung. Subyek mengamati bagaimana orangtua saling menghargai dan mempraktekkan nilai-nilai normatif universal yang dianggap juga bagian dari pengamalan beragama.
Daftar Pustaka Artanto, D. R. (2006). Konsep Tuhan pada Anak Usia Akhir Operasional Konkret. Psikologika, 21, 5-21 Connelan, J., Cohen, S. B., Wheelwright, S., Batki, A., & Ahluwalia, J. (2000). Sex Differences in Human Neonatal Social Perception. Infant Behavior & Development, 23, 113–118. Creswell, J. W. (1998). Qualitative inquiry and research design.Choosing among five traditions. Thousand Oaks: Sage Publications. Dukes, S. (1984). Phenomenological Methodology in the human sciences. Journal of Religion and Health, 23(3), 197-203. doi: 10.1007/BF00990785 Furlong, M., & Ata, A. W. (2006). Observing different faiths, learning about ourselves: Practice with inter-married Muslims and Christians. Australian Social Work, 59, (3), 250 – 264. Golkar, A., & Ohman, A. (2012). Fear extinction in humans: Effects of acquisition–extinction delay and masked stimulus presentations. Biological Psychology, 91, 292 – 301. Graham, L. (2008). Gestalt theory in interactive media design. Journal of Humanities & Social Sciences, 2, 1. Halama P., & Lacna, M. (2011). Personality change following religious conversion: Perceptions of converts and their close acquaintances. Mental Health, Religion & Culture, 14, (8), 757 – 768. Hukumonline.com. (2014).Tanya jawab tentang nikah beda agama menurut hukum di Indonesia. Editor Syakur Dj, Abd & Tim hukumonline.com. Literati: Tangerang. Idrus, M. (2006). Keraguan kepada Tuhan pada remaja. Psikologika, 21, 27-34 Moustakas, C. (1994). Phenomenological research methods. Thousand Oaks: Sage Publications. Pratiwi, N. I. (2006). Pola asuh anak pada pernikahan beda agama. Jurnal Universitas Gunadarma. Diakses tanggal 12 Oktober 2014 dari https://www.academia.edu/6779018
147
Sternberg, R. J., & Sternberg, K. (2012). Cognitive psychology (5th ed). Wadssworth: Cengage Learning. Taylor, B. (1993). Phenomenology: One way to understand nursing practice. International Journal of Nurses Studies, 30, 171-179. TEMPO.
(2001, Nov). Mixing It Up. Diambil http://www.tempo.co.id/majalah/arsip/2nd /edition09/law-5.html.
dari
Thouless, R.H. (1992). Pengantar psikologi agama. Jakarta: PT Rajawali Pers UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
148
REPRESENTASI SOSIAL ATAS IDENTITAS KEINDONESIAAN PADA MUSLIM YOGYAKARTA PASCA PENETAPAN STATUS KEISTIMEWAAN
Muhammad Johan N Huda Fakultas Psikologi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Abstrak Penelitian ini akan memberikan gambaran tentang dinamika representasi sosial atas keindonesiaan dalam sistem negara-bangsa yang ditandai oleh adanya negosiasi antar identitas di akar rumput. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Sedangkan pendekatan yang digunakan untuk memahami realitas di lapangan dengan pendekatan history dan phenomenology yang lalu diberinama pendekatan histofenomemologi. Penelitian ini menggunakan wawancara dan dokumentasi sebagai metode pengambilan data. Subyek penelitian berjumlah 6 orang. Hasil penelitian menggambarkan representasi sosial atas keindonesiaan pada Muslim Yogyakarta terdapat perbedaan. Dimana Muslim tradisional dan modern memiliki banyak kesamaan terhadap aspek perbandingan repesentasi sosial jika dibandingkan dengan muslim transnasional. Muslim transnasional memiliki kesamaan dengan muslim tradisional dan modern dalam merepresentasikan relasi sejarah Islam, Yogyakarta dengan keindonesiaan yaitu menggunakan representasi hegemonik. Sedangkan representasi polemik digunakan Muslim Transnasional dalam menjelaskan strategi pengelolaan keindonesiaan, persepsi terhadap indonesia saat ini dan imajinasi Indonesia ke depan. Pemaknaan Muslim tradisional dan muslim modern atas keindonesiaan merepresentasikan optimisme dan positif. Lain halnnya dengan Muslim transnasional yang dengan tegas mengatakan bahwa indonesia memiliki makna jika diterapkan syariat Islam secara menyeluruh. Kata Kunci : Representasi Sosial, Keindonesiaan, Muslim Yogyakarta, Latar Belakang Di
balik
menguatnya
demokratisasi
sebagai
media
penataan
pemerintahan di Indonesia tidak bisa dipungkiri bahwa ada fakta mengenai status keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang memiliki dimensi historis sangat kuat, dan dilegitimasi pula dalam pasal 18 UUD 1945. Dimana secara historis sebelum bergabung dengan Negera Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Yogyakarta memiliki tatanan pemerintahan sendiri dengan nama Ngayogyakarta Hadiningrat yang berdiri sejak 13 Februari 1755. Disamping
149
memiliki sistem pemerintahan yang telah berjalan ratusan tahun, sistem kesultanan
Yogyakarta
juga
melahirkan
sebuah
entitas
sosial
yang
mengkrostruksi nilai-nilai kultural tertentu, misalnya, tatanan tersebut mampu menghadirkan situasi stabil kondusif, keramahan warga, dan kekayaan budaya menjadi ciri wilayah hingga saat ini. Sebagai implikasi dari fakta sejarah yang mengakar itu muncul kelompok pro-penetapan yang sangat kuat menolak adanya intervensi dari pemerintah pusat maupun kelompok pro-pemilihan. Menurut Widihasto Wasono Putro selaku Koordinator Sekretaris Bersama Keistimewaan Yogyakarta munculnya aspirasi yang berbeda soal keistimewaan Yogyakarta merupakan hal yang wajar. Namun sudah sangat jelas proses perjuangan keistimewaan Yogyakarta telah berjalan bertahun-tahun menunjukkan masyarakat Yogyakarta tetap menginginkan Sultan dan Paku Alam sebagai pemimpin. Dukungan wakil rakyat juga kembali ditegaskan dalam peringatan 66 tahun Amanat 5 September tahun lalu (2011). Saat itu ketua DPRD DIY Yoeke Indra Agung
Laksana menyampaikan isi
amanat rakyat DIY, yang berisi Sultan dan Paku Alam agar tetap memimpin Yogyakarta sebagai gubernur dan wakil gubernur. Status Keistimewaan bagi warga muslim Yogyakarta dapat dilihat dalam kerangka teori representasi sosial sebagai bentuk eksistensi identitas kolektif yang mewakili cita-cita ideal dari perjalanan sejarah masa lalu yang disesuaikan dengan tatanan kehidupan bersama saat ini (Macsovici, 1999). Peristiwa ini dalam konteks negara-bangsa adalah suatu bentuk dinamika dari proses negosiasi antara identitas subordinat dan identitas superordinatnya. Menguatnya identitas kolektif warga Muslim Yogyakarta seolah ingin mereposisikan diri kembali di tengah-tengah pusaran identitas nasional yang menurut Anderson (2005) terlalu imajiner, melalui ingatan kolektif atas sejarah keislaman yang mengakar kuat baik secara personal maupun impersonal. Sejarah masa lalu telah memberikan keabsahan bagi mitos atau ideologi (Sidanus dan Pratto, 1999) dan menjelaskan apa pengertian dari sesuatu itu, serta bagaimana ia menjadi dasar atas bentuk-bentuk yang berbeda dari ingatan kolektif (Paez dan Rime, 1997) yang digunakan untuk situasi saat ini. Lebih lanjut akumulasi pengalaman kesejarahan dapat menghasilkan suatu bentuk narasi kognisi (Wertsch, 2002) atau, dalam pengertian Bar-Tal (2000), etos sosial yang membentuk pola dan menerjemahkan pengalaman baru berdasarkan pada
150
kejadian sejarah. Para peneliti representasi sosial memahami bahwa kognisi itu mengakar dalam konteks sejarah, budaya dan hubungan sosial (Howarth, 2007). Sehingga kognisi tidak murni dikonstruksi oleh individu semata, tetapi besar sekali pengaruh dari berbagai keyakinan di dalam lingkungan individu tersebut. Representasi sosial menggunakan studi kesejarahan untuk menempatkan hubungan antar kelompok dalam sudut pandang yang bersifat temporal, dimana jalinan waktu atas pengalaman masa lalu suatu kelompok merupakan bagian representasi sosial yang dimobilisasi sebagai elemen identitas kelompok (Liu dan Hilton, 2005). Bagaimana sejarah membentuk perilaku kelompok tidak dapat dilihat hanya dengan memperhatikan hubungan antara representasi sosial kelompok dan sejarah secara langsung, tetapi dimediasi oleh organisme kolektif yang akan selalu menerjemahkan rangsangan sebelum respon diberikan (Liu dan Hilton, 2005). Status keistimewaan yang dberikan pada wilayah Yogyakarta adalah wujud dari representasi kelompok berdasarkan kepentingan dan pengalaman bersama, juga terkait dengan proses yang aktif dari pembentukan dan pencitraan mengenai tujuan kelompok serta bagaimana ambisi kelompok dilihat dari sudut pandang yang lain. Selanjutnya hal itu akan membentuk identitas kolektif yang menggambarkan pencapaian sebuah prestasi atas usaha kolektif yang telah melampaui harapan anggota kelompok (Brewer, 2001). Konsep identitas kolektif menyediakan jalur penting antara identitas sosial dan tindakan kolektif dalam sebuah arena politik (Gamson, 1992). Arena politik dan perkembangan nasionalisme di Indonesia telah menempatkan identitas subordinat di tingkat lokal menguat dan memunculkan sebuah pertanyaan serius terhadap nasib keutuhan kebangsaan ini ke depan (Jaques, 2010). Meskipun para pendiri bangsa ini telah meramu identitas kebangsaan dalam slogan “Bhineka Tunggal Ika” yang di dalamnya menawarkan kehidupan kolektif secara paripurna. Namun ancaman kerapuhan ikatan kebersamaan bangsa ini dapat terjadi jika identitas subordinat dipersepsikan tidak memuaskan oleh anggota
dalam hubungannya dengan identitas
superodinat. Menurut Bar-Tal (1989) dalam sistem negara-bangsa setiap elemen di dalamnya memiliki peluang untuk mengalami penguatan internal yang mengarah kepada pembentukan etno-nasionalisme.
151
Persepsi masyarakat sendiri terhadap situasi kebangsaan ini dapat ditilik dari jejak pendapat yang dilakukan oleh Kompas pada 658 responden menujukkan 42,4 persen responden tidak puas terhadap kinerja pemerintah dalam menjaga kebhinekaan/pluralisme di Indonesia; dan
24,4 persen
responden mengatakan sentimen etnis/kedaerahan semakin menguat (Kompas, 2013). Dampak serius dari ketidakpuasan identitas subordinat dapat mengarah pada gejala mal-integrasi sosial. Mal-integrasi ditandai oleh aksi kekerasan kolektif yang dilakukan untuk mengekspresikan ketidaksukaan secara publik; berbentuk tawuran, perusakan, kerusuhan, dan penjarahan (Djajadi, 2004). Yogyakarta mewakili identitas etnik lokal yang menguat oleh spirit umat Islam
di
Indonesia,
pastinya
akan
memiliki
implikasi
bagi
munculnya
nasionalisme baru sebagai produk perbandingan antara identitas muslim lokal terhadap identitas nasional. Bagaimana cara warga masing-masing provinsi mengekspresikan nasionalismenya dalam euforia demokrasi saat ini menarik dikaji secara mendalam karena sangat menentukan eksistensi bangsa ini ke depan. Sebagaimana disampaika oleh Bar-Tal (1989) dalam menjelaskan identitas nasional yaitu sebagai penghayatan kelompok atas dirinya sendiri sebagai suatu kelompok yang memiliki nilai-nilai dasar, kharakteristik dan reputasi dalam memperjuangkan eksistensi institusi dan tradisi yang meliputi sejarah masa lalu, tujuan saat ini dan agenda masa depan. Berdasarkan analisa terhadap fakta-fakta di atas ditegaskan bahwa dalam sistem negara-bangsa setiap elemen di dalamnya memiliki peluang untuk mengalami penguatan internal yang mengarah kepada pembentukan etnonasionalisme (Bar-Tal, 1989). Maka jika dikaitkan dengan pemberian status keistimewaan pada Yogyakarta menarik untuk dikaji secara mendalam bagaimana representasi sosial atas identitas keindonesiaan sebagai identitas superordinat oleh warga muslim di Yogyakarta. Melalui representasi sosial diharapkan status keistimewaan yang diberikan kepada Yogyakarta sebagai embrio dari munculnya komitmen terhadap identitas kolektif memiliki penjelasan yang bersifat komprehensif. Secara spesifik, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dua pertanyaan utama: (1) bagaimana representasi sosial atas identitas keindonesiaan oleh muslim di Yogyakarta pasca penetapan status keistimewaan, (2) bagaimana warga muslim Yogyakarta memaknai identitas keindonesiaan pasca penetapan status keistimewaan.
152
Penelitian ini akan memberikan gambaran tentang dinamika representasi sosial atas identifikasi keindonesaiaa dalam
sistem negara-bangsa yang
ditandai oleh adanya negosiasi antara identitas etnis di akar rumput. Penelitian ini juga akan memberikan kontribusi dengan cara mengkaji dinamika identitas Muslim lokal yang terus menegaskan dirinya, selama peristiwa pembangunan karakter kebangsaan di "rumah besar" identitas nasional, yaitu Keindonesiaan terus berlangsung. Gambaran pemahaman atas identifikasi keindonesiaan dari muslim Yogyakarta dalam iklim demokrasi perlu diungkap secara komprehensif untuk menghindari konflik terbuka yang berujung pada disintegasi bangsa. Akhirnya secara detail tujuan penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu : (1) mengetahui dinamika representasi sosial atas keindonesiaan oleh muslim Yogyakarta pasca penetapan daerah keistimewaan, (2) mengetahui pemaknaan warga muslim Yogyakarta atas identitas keindonesiaan pasca penetapan status keistimewaan.
Identitas Nasional dan Agama Dilihat dari Perspektif Teori Identitas Sosial Penelitian yang dilakukan oleh JMF Jaspars dan Suwarsih Warnaen (1979) dengan judul “Intergroup relations, ethnics identity and self-evaluation in Indonesia” menjelaskan bahwa masing-masing kelompok etnis di Indonesia cenderung menilai baik terhadap kelompoknya dan buruk kepada yang lainya. Namun cukup berbeda jika mereka hidup di daerah yang heterogen. Yang terjadi akan menyebabkan berkurangnya stereotipe negatif antara kelompok, dan kemudian norma kelompok baru akan muncul untuk menjembatani perbedaan di antara mereka. Dalam konteks Indonesia-an ini sangat penting untuk mencapai identitas nasional seperti apa yang dinyatakan dalam slogan "Bhinneka Tunggal Ika”. Penelitian lain dilakukan oleh Mochammad Nur Ichwan (2011) berjudul “Official Ulema and Politics Of Re-Islamization: The Majelis Permusawaratan Ulama, Shari'at’zation and Constested Authority in Post New Order Aceh” menegaskan bahwa era pasca-Orde Baru disorot memajukan identitas Islam dengan menerapkan syariat Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini dapat dilihat dari otoritas khusus yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada lembaga ulama, yang perannya diperluas dalam pembuatan setiap kebijakan di Aceh. Lembaga ulama ini mempunya peran yang sangat signifikan dalam proses
153
a pembentukan identitas muslim di wilayah serambi Mekah ini. Hal ini dibuktikan dengan
produk-produk
Perda
Syari’at
Islam
yang
diberlakukan
pasca
perundingan Helsinki. Penelitian yang dilakukan oleh Seymour Feshbach dan Noboru Sakano (1996) yang berjudul “The Sructure and Correlates of Attitude Toward One’s Nation in Samples of United State and Japanese College Student: A Comparatif Study”.
Inti penelitian ini menggunakan studi komparatif-kuantitatif dalam
mengungkapkan struktur dan hubungan antara sikap dan nasionalismenya. Hasil penelitian
menjelaskan
adanya
perbedaan
terhadap
komponen
sikap
nasionalisme dari mahasiswa Jepang dan Amerika. Sikap nasionalisme dari mahasiswa Jepang diperoleh dari kelekatan fase perkembangan usia anak dengan Ibunya, sedangkan pada mahasiswa Amerika sikap nasionalisme dibentuk dari kelekatan antara anak dengan Bapaknya di fase tumbuh kembangnya anak. Perbedaan sikap nasionalisme disinyalir karena adanya pengaruh budaya pada masing-masing negara. Diketahui pada mahasiswa Amerika skor tertinggi dalam nasionalisme direfleksikan pada dominasi kekuatan militer, sedangkan mahasiswa Jepang memiliki skor yang tinggi dalam nasionalisme atas identifikasi terhadap etnisnya. Penelitian terkait dengan menguatnya identitas sosial Yogyakarta telah dilakukan oleh Muhammad Johan Nasrul Huda (2012) dengan “Judul Strategi Pencapaian Identitas Sosial Positif Atas Status Keistimewaan Yogyakarta”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Yogyakarta memahami keistimewaan wilayahnya meliputi aspek sejarah, politik, budaya dan pengelolaan administrasi pemerintahan. Masyarakat Yogyakarta menilai identitas sosialnya sangat positif dibandingkan dengan identitas sosial lainnya. Sehingga ketika berhadapan dengan identitas nasional masyarakat Yogyakarta memilih strategi kompetisi sosial yang diekspresikan melalui demonstrasi jalanan maupun parlementer. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan status keistimewaan Yogyakarta. Penelitian
yang
dilakukan oleh
Huda
dan kawan-kawan
(2013)
menemukan model identitas ganda dalam menegosiasikan hubungan antara identitas Muslim Aceh dan Yogyakarta dengan identitas Nasional memperoleh
kepuasan
atas
identitas
kolektif.
Melalui
guna
pendekatan
etnofenomenologi pertanyaan dasar penelitian seperti bagaimana proses negosiasi dilakukan dan bagaimana pemaknaan atas identitas nasional akan
154
diuraikan. Subyek dalam penelitian ini adalah elit muslim di Aceh dan Yogyakarta yang berjumlah 8 orang. Hasil penelitian menggambarkan bahwa negosiasi dilakukan dengan model identitas ganda, dimana identitas keacehan (romatisme islam,
partai
politik
lokal,
pemerintahan
Aceh)
dan
keyogyakartaan
(kepemimpinan mataram, keistimewaan, demokrasi mahzab yogya) diterima dengan terbuka menjadi bagian dari identitas nasional. Sedangkan pemaknaan atas identitas nasional ditemukan bahwa muslim Aceh memaknai identitas nasional lebih dinamis, sedangkan muslim Yogyakarta memaknai identitas nasional lebih statis. Penelitian yang akan dilakukan memiliki perbedaan dari studi-studi terdahulu. Pertama, pada fokus permasalahan ingin menelaah lebih dalam terkait dengan dinamika representasi sosial atas identifikasi muslim Aceh dan Yogyakarta atas keindonesiaan serta faktor-faktor apa saja yang terlibat di dalamnya. Kedua, penelitian ini menggunakan pendekatan historis dan fenomenologi yang akan melihat langsung ke lapangan hal-hal yang dirasakan oleh masyarakat muslim Yogyakarta. Pendekatan historis digunakan untuk mengetahui bagaimana peristiwa masa lalu pada muslim Yogyakarta terlibat dalam proses identifikasi terhadap identitas nasional. Sedangkan fenomenologi digunakan untuk memahami bagaimana warga Yogyakarta merepresentasikan keindonesiaan dalam tataran individu dan kelompok. Dari beberapa perbedaan yang telah disebutkan, kiranya penelitian ini memiliki orisinalitas dan tingkat kebaruan isu terkait dengan masalah multikulturalisme dan nasionalisme dalam bingkai keindonesiaan
.
Teori Representasi Sosial Penelitian ini menggunakan teori representasi sosial dalam menjelaskan bagaimana muslim Yogyakarta memaknai keindonesiaan. Representasi sosial ialah suatu kepercayaan sosial yang didalamnya terdapat ide dan nilai, meliputi segala asumsi dan ideologi dari suatu budaya. Pernyataan ini dikuatkan dengan kutipan tentang pengertian representasi sosial oleh Myers di bawah ini: “Social representation is socially shared beliefs widely held ideas and values, including our assumptions and cultural ideologis (Myers, 2008).”
155
Moscovici (Manstead & Hewstone, 1996), mengemukakan bahwa representasi sosial ialah sebuah sistem dari nilai, gagasan, dan praktek yang berfungsi
untuk
memungkinkan
individu
dalam
beradaptasi
atau
mengorientasikan dirinya pada dunia materi dan sosial mereka, serta untuk menguasai lingkungannya. Moscovici tidak memisahkan antara individu dengan sosial, sehingga lebih memilih menggunakan istilah representasi sosial yang bersifat individual sekaligus sosial (Abdul Rahman, 2013) Terdapat tiga kategori representasi sosial yaitu hegemonik, emansipasi dan polemik (Mascovici, 1988). Representasi hegemonik dimiliki oleh kelompok mayoritas dan berskala luas seperti penguasa, bangsa dan negara. Sedangkan representasi emansipasi dimiliki oleh subkelompok tertentu yang dibuat untuk mereka sendiri dengan tingkat otonomi tertentu dan bersifat menwarkan suatu alternatif dari kebiasaan yang sudah berjalan. Lain halnya dengan representasi polemik, biasanya muncul terkait dengan konflik sosial, perjuangan antar kelompok dan selalu bersifat kontroversi dalam masyarakat Indonesia adalah sebuah negara yang dibangun dengan kesadaran oleh dan dengan berbagai unsur yang beraneka ragam, sifat, karakter dan bentuknya untuk meraih tujuan serta kepentingan bersama. Diantara unsur-unsur itu ada kehendak untuk bersatu karena pengalaman dan kesamaan sejarah. Bukan karena kesamaan etnis atau golongan. Seperti yang dikatan oleh Ernest Renan, bahwa ada dua hal pokok yang mendasari terbentuknya suatu bangsa : kesamaan sejarah dan keinginan bersatu (le desire d’entre ensemble). Kesamaan tujuan kepentingan, dan pengalaman sejarah itu mendorong untuk bersatu dalam sebuah negara bangsa (nation state), atau dengan kata lain mereka bersatu dalam keragaman (Bhinneka Tunggal Ika). Representasi sosial atas keindonesiaan pada akhirnya erat kaitanya dengan sejarah panjang pembentukan suatu bangsa yang menjadi elemen di dalamnya. Sebagai seorang teoritikus nasionalisme yang cukup terkenal Anderson menggambarkan bangsa merupakan sebuah komunitas politik yang terbayang, dibayangkan secara terbatas dan berdaulat. Dengan dibayangkan bukan berarti tidak nyata, menurutnya bangsa adalah komunitas-komunitas yang orang
di dalamnya percaya ada hubungan antara mereka dan anggota lain
sebagai bangsa, meskipun mereka tidak pernah secara nyata bertemu dengan anggota yang lain.
156
Metode Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Sedangkan pendekatan yang digunakan untuk memahami realitas di lapangan dengan pendekatan history
dan
phenomenology
yang
lalu
diberinama
pendekatan
histofenomemologi. Penelitian ini menggunakan wawancara dan dokumentasi sebagai metode pengambilan data. Subyek penelitian berjumlah 6 orang yang diarahkan pada elit muslim dalam rangka memperoleh gambaran tentang representasi sosial atas keindonesiaan. Berdasarkan tema penelitian di atas lokasi penelitian adalah DI Yogyakarta sebagai wilayah yang representatif atas munculnya penguatan identitas lokal dalam hubungannya dengan konteks keindonesiaan. Lokasi penelitian di DI Yogyakarta difokuskan di pusat kota Yogyakarta, hal ini disebabkan pusat kota mewakili segenap aspek ritme kehidupan dalam masyarakat Yogyakarta Analisa data dalam penelitian ini menggunakan sistem coding menurut Strauss dan Corbin (1990). Teknik pengkodean analisis data penelitian meliputi tahapan sebagai berikut: (1) open coding: suatu proses untuk mengurai, menganalisis, menafsirkan membandingkan, mengkategorikan data penelitian melalui proses peer review yang ketat secara rinci, (2) axial coding: prosedur bertujuan untuk melihat hubungan antara kategori-kategori, yang didasarkan pada spesifikasi dan karakteristik maping hubungan kontekstual, pemaksaan, dan karakteristik interaksional, (3) selektif coding: memilih kegiatan dan data sistematisasi dan gambar konsepsi alur cerita untuk mengatur proposisi yang membentuk aspek-aspek tertentu dari sistematis laporan
Hasil dan Analisis Yogyakarta Merawat Keindonesiaan Keistimewaan Yogyakarta yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat melalui UUK Nomer 13 tahun 2012 menegaskan bahwa Yogyakarta memiliki keunikan yang terlembaga secara formal dalam aristrokrasi keindonesiaan. Melalui khasanah warisan budaya dan tradisi masa lalu yang sudah terpatri dalam segenap sendi kehidupan warganya Yogyakarta patut memperoleh status keistimewaanya.
157
Titik penting yang dipakai untuk menentukan sejarah keistimewaan Yogyakarta antara lain Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945 dari Presiden Soekarno dan Maklumat (Amanat) 5 September 1945 dari HB IX dan PA VIII yang berisi pernyataan dua pemimpin itu untuk menggabungkan wilayahnya pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).HB IX memang dikenal mempunyai wawasan yang luas, mempunyai kedekatan dengan rakyat jelata dan kemampuan yang luar biasa dalam melihat visi ke depan. Namun, HB IX juga diuntungkan oleh rakyatnya yang mempunyai kesadaran tinggi dalam bidang politik jauh sebelum kemerdekaan. Sejarah Yogyakarta dalam merawat keindonesiaan tidak saja ada ketika zaman kemerdekaan, dan terutama saat ibu kota Republik Indonesia harus berpindah ke Yogyakarta tahun 1946. Namun
Yogyakarta menjadi kota
perjuangan yang berisi pejuang dari berbagai suku, bangsa, dan agama. Semua diterima dengan senang hati oleh Sultan HB IX. Bahkan, tak sekadar diterima, sejumlah pemimpin dari daerah lain juga dibiayai hidupnya oleh HB IX Fakta-fakta sejarah di atas menggambarkan bahwa relasi keindonesiaan dan keyogyakartaan berada di ruang yang sangat intim. Seandainya terjadi upaya-upaya terhadap pelemahan atas keindonesiaan di tempat lain, maka justru sebaliknya di Yogyakarta akan mempertahankan dengan segala kekuatan yang dimilikinya. Hal ini dapat dipahami bahw sejarah membentuk perilaku kelompok tidak dapat dilihat hanya dengan memperhatikan hubungan antara representasi sosial kelompok dan sejarah secara langsung, tetapi dimediasi oleh organisme kolektif yang akan selalu menerjemahkan rangsangan sebelum respon diberikan (Liu dan Hilton, 2005). Warga Yogyakarta secara tidak langsung dapat disebut sebagai organisme kolektif dalam kaitannya dengan sejarah keindonesiaan. Dimana sejarah masa lalu dianggap telah memberikan keabsahan bagi mitos atau ideologi (Sidanus dan Pratto, 1999) dan menjelaskan apa pengertian dari sesuatu itu, serta bagaimana ia menjadi dasar atas bentuk-bentuk yang berbeda dari ingatan kolektif (Paez dan Rime, 1997) yang digunakan untuk situasi saat ini. Lebih lanjut akumulasi pengalaman kesejarahan dapat menghasilkan suatu bentuk narasi kognisi (Wertsch, 2002) atau, dalam pengertian Bar-Tal (2000), etos sosial yang membentuk pola dan menerjemahkan pengalaman baru berdasarkan pada kejadian sejarah.
158
Kesadaran yang tinggi tentang hak merdeka dan nasionalisme diperoleh rakyat berkat pendidikan yang lama mereka peroleh melalui berbagai sekolah yang
didirikan
penjajah
maupun
elite
bangsawan.
Menurut
sejarawan
Abdurrahman Surjomihardjo, sebenarnya sebelum Belanda melakukan gerakan Politik Etis tahun 1900- 1942, juga sebelum zaman Politik Konservatif 1800-1870, Keraton Yogyakarta telah mendirikan sekolah pada 1848, yaitu Sekolah Tamanan dan Sekolah Madya. Kedua sekolah itu bertujuan memberikan pendidikan bagi keluarga Keraton dan keluarga (putra Sentana). Namun, pada tahun 1867, pemerintah kolonial Belanda mendirikan Sekolah Gubernemen yang berlokasi di Keraton, yaitu di Sri Manganti dan Pagelaran. Dengan berdirinya sekolah gubernemen itu, pihak kolonial Belanda melakukan tekanan pada Sekolah Tamanan maupun Sekolah Madya, hingga akhirnya kedua sekolah itu menghentikan aktivitasnya. Pemerintah kolonial Belanda kemudian mendirikan Sekolah Rakyat (SR). Meski mendapat pendidikan dari kolonial, priayi yang memiliki kepedulian pada nasib bangsa terus berupaya mendirikan lembaga pendidikan sendiri. Dari upaya mendirikan sekolah ”swasta” atau sekolah partikelir itulah lahirlah gerakan kebangsaan, seperti Boedi Oetomo (1908), Muhammadiyah (1912), dan Taman Siswa (1922). Berdasarkan pemaparan sejarah di atas nyata-nyata peran Yogyakarta sangat besar dalam sejarah perjuangan Indonesia. dapat dibuktikan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia sendiri. Bahkan saat negeri ini menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS), Yogyakarta tetap mengakui mengakui Negara Kesatuan Indonesia (Kristanto dan Hariadi, 2011). Perbandingan Representasi Sosial Atas Keindonesiaan Pada Muslim Yogyakarta Representasi sosial tentang keindonesiaan pada Muslim Yogyakarta pasca penetapan status keistimewaan sangat beragam. Afiliasi individu dengan kelompok keagamaan memiliki pengaruh dalam melihat
keindonesiaan.
Terdapat nuansa kolektif dari masing-masing afiliasi keagamaan Islam dalam merepresentasikan keindonesiaan.
Hal ini disebabkan agama
sendiri juga
merupakan representasi kolektif yang didalamnya terdapat kepercayaan, norma, dan nilai kolektif, yang mendorong untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan kolektif. Sehingga pengalaman agama dan ide ketuhanan sendiri juga merupakan produk kehidupan kolektif, jadi meskipun masalah beliefs itu
159
individual, ritual dan pelembagaan merupakan produk kolektif di suatu komunitas (Yusuf, 2005). Kategorisasi sosial keagamaan yang digunakan dalam menjelaskan representasi sosial tentang keindonesiaan pada muslim Yogyakarta pasca penetapan keistimewaan berbasis pada kerangka ideologis gerakan keagamaan. Di Indonesia Islam dalam bentuk civil movement memiliki tiga varians yaitu : Islam tradisional, Islam modern dan Islam transnasional. Masing-masing kelompok Islam memiliki basis massa yang berbeda-beda. Kelompok Islam tradisional dipengaruhi oleh pemikiran tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama dengan mengusung harmonisasi antara praktek budaya dan agama. Kelompok Islam modern dipengaruhi oleh pemikiran tokoh-tokoh Muhammadiyah dengan mengusung agenda pemurniaan terhadap ajaran Islam. Sedangkan Islam transnasional lebih menekankan pelembagaan syariat Islam secara menyeluruh baik dalam lingkup lokal, nasional dan juga global. Representasi sosial dari ketiga varian kelompok muslim Yogyakarta tentunya akan berbeda-beda sesuai dengan ide, nilai dan segala asumsi di dalam masing-masing kelompok. Sebab representasi sosial sendiri merupakan kepercayaan sosial yang didalamnya terdapat ide dan nilai, meliputi segala asumsi dan ideologi dari suatu budaya. Pernyataan ini dikuatkan dengan kutipan tentang pengertian representasi sosial oleh Myers di bawah ini: “Social representation is socially shared beliefs widely held ideas and values, including our assumptions and cultural ideologis (Myers, 2008).” Moscovici (Manstead & Hewstone, 1996), mengemukakan bahwa representasi sosial ialah sebuah sistem dari nilai, gagasan, dan praktek yang berfungsi
untuk
memungkinkan
individu
dalam
beradaptasi
atau
mengorientasikan dirinya pada dunia materi dan sosial mereka, serta untuk menguasai lingkungannya. Moscovici tidak memisahkan antara individu dengan sosial, sehingga lebih memilih menggunakan istilah representasi sosial yang bersifat individual sekaligus sosial (Rahman, 2013). Nampak keindonesiaan
sekali
adanya
perbedaan
dalam
merepresentasikan
antara muslim tradisional, modern dan transnasional dari segi
ideologi masing-masing. Muslim tradisional dan modern mencirikan model representasi emansipasi yang menekankan pribumisasi dan kulturisasi dalam
160
relasinya dengan keindonesiaan. Sedangkan muslim transnasional lebih menampilkan representasi polemik yaitu dengan melakukan islamisasi dalam konteks keindonesiaan. Akar
kehidupan
kelompok
masing-masing
muslim
Yogyakarta
memberikan pengaruh terhadap pikiran, perasan dan tingkah laku dalam interaksinya dengan keindonesiaan. Terdapat tiga kategori representasi sosial yaitu hegemonik, emansipasi dan polemik (Mascovici, 1988). Representasi hegemonik dimiliki oleh kelompok mayoritas dan berskala luas seperti penguasa, bangsa
dan
negara.
Sedangkan
representasi
emansipasi
dimiliki
oleh
subkelompok tertentu yang dibuat untuk mereka sendiri dengan tingkat otonomi tertentu dan bersifat menwarkan suatu alternatif dari kebiasaan yang sudah berjalan. Lain halnya dengan representasi polemik, biasanya muncul terkait dengan konflik sosial, perjuangan antar kelompok dan selalu bersifat kontroversi dalam masyarakat. Muslim Yogyakarta yang terbagi atas tiga kategori memiliki style yang khas dalam merepresentasikan keindonesiaan. Muslim Tradisional menekankan sikap kritis dengan melakukan redefinisi seperti melakukan pribumisasi terhadap segala hal yang masuk ke Indonesia meskipun itu agama.
Muslim Modern
menampilkan Islam dalam perkembangannya bukan lagi didakwahkan melalui cara-cara kekerasan maupun peperangan. Namun perlu pendekatan budaya atau kulturisasi melalui ajakan dari hati-hati seperti apa yang dilakukan oleh Wali Songo. Berbeda lagi dengan muslim transnasional menekankan penggantian hukum di Indonesia menjadi hukum Islam dan mengimplementasikan islamisasi menjadi sesuatu yang penting bagi menegakkan keislaman di Indonesia. Diketahui bahwa muslim tradisional dan modern memiliki banyak kesamaan terhadap aspek perbandingan repesentasi sosial jika dibandingkan dengan muslim transnasional. Muslim transnasional memiliki kesamaan dengan muslim tradisional dan modern dalam merepresentasikan relasi sejarah Islam, Yogyakarta dengan keindonesiaan yaitu menggunakan representasi hegemonik. Sedangkan representasi polemik digunakan muslim Transnasional dalam menjelaskan strategi pengelolaan keindonesia, persepsi terhadap indonesia saat ini dan imajinasi indonesia ke depan. Mengusung penegakan syariat Islam baik yang bersifat lokal, nasional maupun melampui batas-batas nasional membuat muslim transnasional tidak
161
jarang
terlibat
konflik
merepresentasikan
dan
pertikaan.
kelompoknya
Muslim
secara
transnasional
internal
dan
cenderung
subyektif
tanpa
memperhatikan suasana obyektif dari suasana keindonesiaan. Sedangkan muslim tradisional dan modern lebih merepresentasikan kelompoknya secara dialogis-kompromis dengan menekankan pada pengembangan solusi alternatif dalam konteks keindonesiaan. Kesimpulan Melalui pemaparan sejarah di atas nyata-nyata peran Yogyakarta sangat besar dalam sejarah perjuangan Indonesia. dapat dibuktikan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia sendiri. Bahkan saat negeri ini menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS), Yogyakarta tetap mengakui mengakui Negara Kesatuan Indonesia. Hal ini didukung oleh tipe representasi sosial Muslim tradisional, modern dan transnasional yang bersifat hegemoni. Berkaitan dengan representasi sosial atas keindonesiaan pada muslim Yogyakarta terdapat perbedaan. Dimana muslim tradisional dan modern memiliki banyak kesamaan terhadap aspek perbandingan repesentasi sosial jika dibandingkan dengan muslim transnasional. Muslim transnasional memiliki kesamaan dengan muslim tradisional dan modern dalam merepresentasikan relasi sejarah Islam, Yogyakarta dengan keindonesiaan yaitu menggunakan representasi hegemonik. Sedangkan representasi polemik digunakan muslim Transnasional dalam menjelaskan strategi pengelolaan keindonesiaan, persepsi terhadap indonesia saat ini dan imajinasi Indonesia ke depan. Mengusung penegakan syariat Islam baik yang bersifat lokal, nasional maupun melampui batas-batas nasional membuat muslim transnasional tidak jarang
terlibat
konflik
merepresentasikan
dan
pertikaan.
kelompoknya
Muslim
secara
transnasional
internal
dan
cenderung
subyektif
tanpa
memperhatikan suasana obyektif dari suasana keindonesiaan. Sedangkan muslim tradisional dan modern lebih merepresentasikan kelompoknya secara dialogis-kompromis dengan menekankan pada pengembangan solusi alternatif dalam konteks keindonesiaan. Pemaknaan Muslim tradisional dan muslim modern atas keindonesiaan merepresentasikan optimisme dan positif dimana bahwa Indonesia sebagai negara yang terbuka terhadap perkembangan bangsa lain dan harus mampu
162
berdaulat dalam segala aspek kehidupan. Lain halnnya dengan muslim transnasional yang dengan tegas mengatakan bahwa indonesia memiliki makna jika diterapkan syariat Islam secara menyeluruh. Relasi agama dan negara dalam kontek keindonesiaan menjadi isu yang menarik untuk terus dikaji secara mendalam terlebih lagi jika metode yang digunakan bersifat kuantitatif. Di samping itu keindonesiaan yang masih terus berproses tentunya banyak variabel yang ikut terlibat di dalamnya. Variabel penting yang perlu dikaji sebagai lanjutan dari penelitian ini identitas kewarganegaraan. Bagaimana muslim di Indonesia mengidentifikasi identitas kewargaaan berkaitan dengan identitas agamanya dan seperti apa model kewargaaan yang sesuai dengan nilai-nilai dasar bangsa Indonesia.
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. (1998) Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta. Rineke Cipta
Bar-Tal.D. 1989. Delegitimazion: The extreme case of stereotyping and prejudice. In.D. Bar-Tal, C. Graumann, A. W. Kruglanski, and W. Strobe (eds), sterotyping and prejudice: Changing Perception (pp.16982). New York. Springer. Verlag. Bar-Tal.D. and Staub.E. 1997. Patriotisme: In the lives of individuals and nations. Chicago. Nelson Hall Phubliser. Bruner, E.M. 1972. The Expression of Etnicity in Indonesia. Seadag Paper. New York : Asian Society Creswell, John, W.1998. Qualitative Inquiry and Research Design : Choosing Among Five Traditions. California. Sage Publications Haslam, Alexander, S. 2001. Psychology in Organzation (The Social Identity Approach). New Delhi. Sage Publication.
163
Ichwan N.M. 2011. Official Ulema and Politics Of Re-Islamization: The Majelis Permusawaratan Ulama, Shari'at’zation and Constested Authority in Post New Order Aceh. Journal Of Islamic Studies. Oxford University Press. Jaspars. J.M.F. & Warnaen Suwarsih. 1979. Intergroup relations, ethnic Identity and Self-evaluation in Indonesia. Henry Tajfel (eds). Social Identity and Intergroup relation. Cambride University Press. London. Kedaulatan Rakyat, Rabu, 10 Oktober 2012. Yogyakarta Akhirnya Istimewa Dengan UUK Tahun 2012” Kelman H.C. and Hamilton, V. L. Crimes of Obdience : Toward a Social Psychology of authority and responsibility. New Haven, CT : Yale University Press. Kohn, H. 1968. Nationalism. In D.L. Sills (ed)., International encyclopedia of the social sciences, vol. 11. (pp. 63-70). New York: Macmillan. Kompas, 2012, Senin, 16 Mei 2012. Otonomi Khusus Untuk Keadilan dan Integrasi Bangsa” Kompas, Selasa, 2 April 2013, “Qonun Aceh dinilai Langgar UU” Munawwar-Rachman, Budhy. 2011. Reorientasi Pembaharuan Islam; Sekularisme, Liberalisme, dan PluralismeParadigma Baru Islam Indonesia. Yayasan Abad Demokrasi. Jakarta Mujiburrahman, 2006. Felling Threatened: Muslim-Christian Relations In Indonesian’s New Order. Amsterdam University Press. Leiden Phol. Florian. 2007. Interrelligous Harmony and Peacebuilding in Indonesia Islamic Education. C.J. Montiel, N.M.Noor (eds). Peace Psychology in Asia. Peace Psychology Books Series. Taher, Elza Peldi (eds.). 2011. Merayakan Kebebasan Beragama; Bunga Rampai Menyambut 70 tahun Djohan Efendi. Yayasan Abad Demokrasi. Jakarta Tajfel. H. 1979. Social Identity and intergroup relation. Sydney. Cambrid University Press. Turner. C. John & Giles H. 1981. Intergroup Behavior. Oxford. UK
164
RESIDIVISME NARAPIDANA NARKOBA DARI PERSPEKTIF KOGNITIF SOSIAL BANDURA
Sri Aryanti Kristianingsih Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Abstrak Definisi residivisme dalam tulisan ini mengacu pada definisi residivisme secara khusus, yaitu pengulangan suatu tindak pidana yang sama oleh pelaku yang sama, di mana tindak pidana yang dilakukan sebelumnya telah dijatuhi pidana dan berkekuatan hukum tetap, serta pengulangan terjadi dalam jangka waktu tertentu yang menjadikan orang tersebut kembali menjadi narapidana. Orang yang melakukannya disebut sebagai residivis. Jumlah residivis di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini cenderung mengalami peningkatan, secara khusus residivis narkoba. Residivisme narapidana narkoba dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Tulisan ini bertujuan untuk memahami residivisme narapidana narkoba dengan menggunakan perspektif kognisi sosial Bandura, yang menekankan bahwa proses sosial maupun proses kognitif adalah sentral bagi pemahaman mengenai motivasi, emosi, dan tindakan manusia. Perspektif kognisi sosial ini didasarkan pada model Triadic Reciprocal Determinism, yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan timbal balik antara tiga faktor yaitu : faktor perilaku (Behavior/B), faktor kognitif atau personal (Person/P), dan faktor lingkungan (Environment/E), yang masing-masing beroperasi secara mandiri sebagai faktor penentu bagi faktor-faktor lainnya. Model tersebut digunakan untuk memahami perilaku residivisme narapidana narkoba. Kata kunci: Residivisme, narapidana narkoba, kognitif sosial Bandura, triadic reciprocal determinism. Pendahuluan Kecenderungan perilaku kriminal di Indonesia masih cukup besar dan keterlibatan penjahat kambuhan (residivis) dalam pengulangan kejahatan masih relatif tinggi. Mantan narapidana masih mungkin mengulangi perilaku kriminal yang membuat mereka masuk kembali ke dalam rumah tahanan (RUTAN) maupun lembaga pemasyarakatan (LAPAS). Bahkan residivis pun bisa kembali masuk ke (RUTAN) maupun LAPAS untuk ke sekian kalinya, khususnya residivis narkoba (http://www.bps.go.id/hasil_publikasi/flip_2011). Residivisme secara umum adalah pengulangan tindak kejahatan atau perilaku kriminal, sementara orang yang melakukan disebut sebagai residivis. Namun, terdapat beberapa definisi yang berbeda tentang residivisme maupun
165
residivis itu sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI (dalam http://kbbi.web.id/residivis)
residivis
adalah
orang
yang
pernah
dihukum
mengulangi tindak kejahatan yang serupa atau penjahat kambuhan. Sementara, undang-undang sendiri tidak mengatur mengenai pengulangan umum yang artinya menentukan pengulangan berlaku untuk dan terhadap semua tindak pidana. Namun, di dalam Kitab Undang -undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal ada beberapa sistem kambuhan atau recidive. Sebagai sistem pokok, ada dua sistem revidive yaitu : 1). Kambuhan Umum (General Recidive), yaitu apabila seseorang setelah melakukan tindak pidana dan atas tindak pidana yang dilakukan itu, telah dijatuhi pidana kemudian melakukan tindak pidana lagi, baik tindak pidana yang sama, sejenis maupun tindak pidana lainnya; 2) Kambuhan Khusus (Special Recidive), yaitu apabila seseorang setelah melakukan tindak pidana dan atas tindak pidana yang dilakukan itu telah dijatuhi pidana, kemudian melakukan tindak pidana yang sama. Wang, Hay, Todak, & Bales (2013) dalam penelitiannya mendefinisikan residivis sebagai mantan narapidana yang dihukum kembali di penjara karena kejahatan yang baru setelah selama masa 2 tahun pembebasan dari penjara. Sementara di lapangan juga terdapat pendefinisian yang berbeda terhadap residivisme maupun residivis. Misalnya, di Rutan Salatiga yang disebut sebagai residivis adalah mantan narapidana yang dihukum kembali di penjara setelah selama masa 1 tahun
pembebasan dari penjara karena
kejahatannya yang baru maupun yang sama dengan yang pernah dilakukannya (berdasarkan wawancara dengan Kepala Bagian Pembinaan Rutan Salatiga, 16 Mei 2014). Di sisi lain, LAPAS Klas II A Wirogunan Yogyakarta menetapkan residivis adalah mantan narapidana yang dihukum kembali di penjara karena kejahatannya yang baru maupun yang sama dengan yang pernah dilakukannya (berdasarkan wawancara dengan Staf Bagian Registrasi LAPAS Klas IIA Wirogunan Yogyakarta, 13 Juni 2014). Namun, secara umum residivisme dapat dikatakan sebagai pengulangan tindak kejahatan atau perilaku kriminal yang menjadikan seseorang kembali menjadi narapidana, sementara orang yang melakukan disebut sebagai residivis. Banyaknya residivis menunjukkan bahwa banyak orang yang melakukan pengulangan tindak kejahatan/kriminalitas meskipun mereka sudah pernah mendapatkan hukuman maupun pembinaan di Rutan maupun Lapas. Hal tersebut dapat berdampak negatif pada negara, masyarakat, keluarga, dan
166
pribadi. Kartono (2005) menyatakan bahwa maraknya tindak kejahatan akan memberikan efek yang mendemoralisir/merusak tatanan; menimbulkan rasa tidak aman, kecemasan, ketakutan, dan kepanikan di tengah masyarakat; banyak materi maupun energi yang terbuang sia-sia karena gangguan kriminalitas; menambah beban ekonomis yang makin besar pada sebagian masyarakat; adanya pemberitaan kriminal akan menyebabkan peningkatan kejahatan dengan mengundang orang yang bernaluri jahat, melukai perasaan keluarga dari pelaku maupun korban, dan menimbulkan kengerian pada masyarakat. Banyak penelitian yang mencoba memahami faktor-faktor perilaku kriminal dan perilaku residivis (individu atau kelompok untuk mengulangi perbuatan tercela walaupun ia sudah pernah dihukum karena melakukan perbuatan itu). Perilaku residivis merupakan produk dari karakteristik individual & karakteristik konteks sosial (Wang, Hay, Todak& Bales, 2013). Studi residivisme banyak yang berfokus pada karakteristik individual. Misalnya, beberapa penelitian menunjukkan bahwa resiko residivisme lebih tinggi pada laki-laki, orang kulit hitam, narapidana muda, narapidana dengan catatan kriminal yang luas. (Gendreau, Little, & Goggin,1996; Langan & Levin,2002). Selain itu, Gottfredson & Hirschi (1990) juga menekankan pada karakteristik individual sebagai pendorong perilaku kriminal daripada karakteristik lingkungan sosialnya. Menurut Gottfredson & Hirschi, orang-orang dengan kontrol diri rendah, seperti impulsif, tidak peka, menekankan fisik, pengambilan resiko dan pandangan pendek, serta menekankan non verbal cenderung mengarah ke perilaku kriminal dan perilaku residivis. Senada dengan hal tersebut, Kjelsberg & Karnik (2009) menemukan bahwa wanita dengan skor kendali diri yang rendah hampir tiga kali lebih mungkin untuk kembali melakukan pelanggarandaripada wanita dengan skor kendali diri dengan tinggi. Dam, Janssens & Bruyn (2005) mengeksplorasi hubungan antara profil kepribadian Psychoticism, Extraversion, Neuroticism (PEN), dengan kenakalan, dan residivisme di pelaku kejahatan usia muda. Meskipun kepribadian berpengaruh, namun hasil menunjukkan bahwa Profil PEN tidak dapat membedakan antara residivis dan non residivis. Parhar, Champion, Chow, Paris, Whtam (2013) juga melakukan penelitian untuk mengidentifikasi bagaimana pelaku kejahatan dapat melakukan kejahatan kembali dan apakah tingkat motivasi berhenti dapat memprediksi dari kejahatan. Meskipun temuan tidak signifikan dan memiliki keterbatasanseperti ukuran sampel yang kecil, studi
167
eksplorasi yang dilakukan Parhar dkk (2013) ini memberikan wawasan penting tentang bagaimana motivasi dan keyakinan pelaku berdampak pada residivisme. Selain itu, Vught, Gibbs, Stams, Bijleveld, Hendriks, Laan, (2011) menemukan bahwa terdapat hubungan terbalik antara perkembangan moral yang lebih matang dengan residivisme. Merrill, Alterman, Cacciola, & Rutherford (1999) memaparkan bahwa sejarah pengobatan sebelumnya berpengaruh negatif pada residivisme. Selain hal-hal tersebut di atas yang berhubungan dengan karakteristik individual pada residivisme, beberapa penelitian juga mencoba memahami peran lingkungan sosial pada perilaku kriminal dan residivisme. Felipe & Sharp (2010) menyatakan bahwa perilaku kriminal dapat dipengaruhi oleh interaksi dengan orang lain melalui belajar sosial. Sementara, Visher & Travis (2003),melakukan studi multilevel terhadap proses integrasi mantan narapidana, karena konteks sosial penting untuk mantan narapidana yang dibebaskan ke komunitas dengan ketersediaan pekerjaan yang terbatas, akses yang kurang terhadap layanan sosial, adanya sub kultur kriminal yang besar, yang kemungkinan besar mengarah ke perilaku residivis.
Beberapa penelitian lainnya menjelaskan
lingkungan sosial antara lain meliputi kelompok sebaya yang melakukan kejahatan, ikatan keluarga, serta konteks lingkungan yang dapat memoderasi kecenderungan
perilaku
kriminal.
(Doherti,2006;
Hay
&
Forrest,2008;
Hay,Fortson, Hollist, Altheimer & Schaible,2006; Wikstrom & Loeber,2000; Wright, Caspi, Moffitt & Paternoster,2004; Tenibiaje, 2013). Cottel & Heilbrun (2001) dan Derson (2010) juga menyatakan bahwa faktor keluarga yang bermasalah berpengaruh pada perilaku bermasalah, termasuk perilaku kriminal maupun residivisme. Selain itu, Urbaniok, Endras, Rossegger,Noll, Gallo, Angst, (2006) menjelaskan bahwa tahap proses peradilan memiliki faktor resiko perilaku residivis yang berbeda (misalnya apakah subyek pada proses didakwa, pada pembebasan bersyarat, pembebasan bersyarat, atau tidak lagi di bawah pengawasan papan pembebasan bersyarat). Sementara menurut Wang, Hay, Todak & Bales (2013) karakteristik struktural komunitas (komunitas yang tidak menguntungkan) juga dapat meningkatkan kejahatan dan residivisme, seperti status sosial ekonomi, mobilitas kediaman, dan heterogenitas ras. Residivisme
juga
dipengaruhi
oleh
efektivitas
program
treatmen
koreksional di penjara. Beberapa peneliti (dalam Murray, 2002) berusaha
168
membuktikan tentang efektivitas program treatmen koreksi pada narapidana di penjara untuk mengurangi kemungkinan peluang menjadi residivis. Para peneliti yang pada awalnya memperdebatkan tentang ketidakberhasilan program tratmen koreksi, seperti dalam penelitian Pritikin (2009), kemudian berbalik arah dan berfokus pada hal-hal yang berhubungan dengan keberhasilan program. Andrews dan Bonta (1998) merumuskan tiga prinsip umum klasifikasi untuk assessment dan treatmen koreksional yang efektif bagi narapidana, meliputi: prinsip resiko, kebutuhan kriminogenik, & responsivitas (model RNR). Dalam treatmen koreksional di penjara tersebut variabel-variabel prediktor residivisme dibagi
menjadi
dua,
yaitu
variabel
statis
(variabel
yang
tidak
dapat
berubah/diubah) dan dinamis (yang dapat berubah/diubah). Kedua variabel tersebut berguna dalam memprediksi residivisme (Andrews dan Bonta,1998; Philipse, Koeter, Staak, & Brink ,2006; Cottle, Lee & Heilbrun,2001). Sementara, Harding (2000) juga menjelaskan bahwa keberhasilan program treatmen di penjara untuk mengurangi residivisme dipengaruhi: penerimaan lingkungan dalam masyarakat, penjara yang memiliki terapeutik yang eksklusif, adanya komunitas terapi di penjara konvensional, penjara konvensional yang mendorong partisipasi narapidana, kemandiriandan, dan aman bagi tahanan. Faktor internal dan eksternal prediktor residivisme secara khusus kasus narkoba sangat kompleks. Oleh karena itu, penulis perlu membatasi penelitian ini supaya lebih fokus, yaitu faktor internal dalam konteks psikologis dan faktor eksternal dalam konteks sosial. Berdasarkan wawancara dengan Kasie Pembinaan dan Kasie Keamanan Rutan Salatiga pada tanggal 17 November 2014, residivis narkoba cenderung lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu tidak adanya penerimaan dalam masyarakat dan tidak adanya dukungan dari keluarga karena berasal dari keluarga yang bermasalah, sehingga mereka tetap melakukan kontak dengan lingkungan sosial negatif dan akhirnya kembali melakukan perilaku kriminal. Di sisi yang lain, para residivis cenderung memiliki karakteristik internal, yaitu kontrol diri yang lemah, memiliki rasa bersalah dan rasa malu yang rendah, serta menyukai hal-hal yang bersifat instan (harapan akan hasil yang cepat). Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika residivisme narapidana residivis narkoba.Tulisan ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan Ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Forensik, dalam hal ini yang berhubungan
169
dengan perilaku residivis narkoba. Selain itu, dengan memahami dinamika residivisme narapidana residivis narkoba, diharapkan dapat menjadi salah satu sarana untuk meminimalkan terjadinya pengulangan perilaku kriminal, khususnya pada residivis narkoba.
Teori Kognitif Sosial Bandura Tulisan ini menggunakan perspektif kognitif sosial yang dikembangkan oleh
Albert Bandura, didasarkan atas proposisi bahwa baik proses sosial
maupun proses kognitif adalah sentral bagi pemahaman mengenai motivasi, emosi, dan tindakan manusia (Bandura,1978) Bandura (1978) percaya bahwa manusia memiliki kapasitas untuk mengarahkan diri sendiri melalui kontrol terhadap proses berpikir, motivasi dan tindakan diri sendiri. Lima kemampuan kognitif dasar yang merupakan karakteristik manusia : 1)
Symbolising
capability.
Manusia
memiliki
kemampuan untuk
mentransformasikan pengalaman-pengalamannya menjadi simbol-simbol dan kemampuan untuk memproses simbol-simbol ini. Mereka dapat menciptakan ide-ide yang melampaui pengalaman penginderaannya. Kenyataanbahwa manusia memiliki kemampuan simbolisasi tersebut tidak berarti bahwa mereka selalu rasional.
Hasil pemikiran itu dapat baik ataupun buruk, tergantung
pada seberapa baik keterampilan berpikir orang itu dan tergantung
pada
kelengkapan informasi yang dimilikinya. 2) Forethought capability. Sebagian besar perilaku manusia diatur oleh pemikiran
antisipatifnya
bukan oleh
reaksinya
terhadap
lingkungannya.
Individu mengantisipasi konsekuensi perbuatannya dan menentukan tujuannya sendiri.
Pemikiran ke depan ini bukan akumulasi konsekuensi-kosekuensi
terdahulu, melainkan hasil pemikiran. 3) Vicarious capability. Hampir seluruh kegiatan belajar pada manusia itu bukan
melalui
pengalaman
terhadap perilaku orang lain pengamatan
ini
langsung, melainkan hasil pengamatannya beserta
memperpendek
waktu
belajar berbagai keterampilan.
170
konsekuensinya. yang
Belajar
dibutuhkan manusia
melalui untuk
4) Self-regulatory capability.
Manusia mengembangkan standar internal
yang dipergunakannya untuk mengevaluasi perilakunya sendiri. Kemampuan untuk mengatur diri sendiri ini mempengaruhi perilakuselanjutnya. 5) Self-reflective capability. Kemampuan refleksi diri ini hanya dimiliki oleh manusia.
Orang
dapat menganalisis berbagai pengalamannya dan
mengevaluasi apakah proses berpikirnya sudah memadai.
Jenis pemikiran
yang paling sentral dan paling mendalam yang terjadi dalam refleksi diri ini adalah penilaian orang tentang kemampuannya sendiri untuk mengatasi berbagai macam realitas. Emergent interactive agency merupakan model bagi teori kognitif sosial. Emergent
interactive
agency
didasarkan
pada
model Triadic Reciprocal
Determinism. Model ini menjelaskan bahwa terdapat hubungan timbal balik antara tiga faktor yaitu : faktor perilaku (Behavior/B), faktor kognitif atau personal (Person/P), dan faktor lingkungan (Environment/E), yang masing-masing beroperasi secara mandiri sebagai faktor penentu bagi faktor-faktor lainnya. Pengaruh-pengaruh tersebut bervariasi kekuatannya dan tidak terjadi secara berbarengan. Perilaku manusia (action maupun decision) interaksi
timbal-balik antara
sosial, budaya,
dan
merupakan hasil
faktor-faktor eksternal seperti lingkungan fisik,
faktor-faktor
personal seperti
kompetensi
kognitif,
emosional, maupun genetiknya. Orang bebas sebatas kemampuannya untuk menggunakan pengaruhnya terhadap dirinya (self-influence) dan menentukan tindakannya sendiri. Reciprocal Determinism adalah konsep yang penting dalam teori belajar sosial Bandura dalam memahami tingkah laku. Teori belajar sosial memakai reciprocal determinism sebagai prinsip dasar untuk menganalisis fenomena psikososial di berbagai tingkat kompleksitas, dari perkembangan intrapersonal sampai tingkah laku interpersonal serta fungsi interaktif dari organisasi dan sistem sosial (Bandura, 1978). Teori belajar social dari Bandura (1978) menekankan pentingnya mengamati dan pemodelan perilaku, sikap, dan reaksi emosional dari orang lain. Adapun proses komponen yang mendasari belajar observasional adalah: (1) Perhatian, termasuk peristiwa yang dimodelkan (kekhasan, valensi afektif, kompleksitas,
prevalensi,
(kemampuan
indera,
nilai
tingkat
fungsional) gairah,
171
dan
sekumpulan
karakteristik
pengamat
persepsi,
penguatan
sebelumnya), (2) Retensi, termasuk kode simbolik, organisasi kognitif, latihan simbolis, latihan motorik), (3) Motor Reproduksi, termasuk kemampuan fisik, reproduksi pengamatan diri, keakuratan umpan balik, dan(4) Motivasi, termasuk eksternal, perwakilan (seolah-olah mengalami sendiri) dan penguatan diri. Prinsip-prinsip dalam Teori Belajar Sosial (1978) , yaitu : 1). Level tertinggi dari belajar observasional dicapai dengan pengorganisasian pertama dan melatih perilaku model secara simbolis, kemudian memberlakukan itu nyata (terang-terangan). Penyandian perilaku dimodelkan ke dalam kata-kata, label atau gambar hasil retensi lebih baik dari sekedar mengamati. 2). Individu cenderung lebih mengadopsi perilaku dimodelkan jika menghasilkan hasil yang mereka hargai. 3). Individu lebih cenderung mengadopsi perilaku dimodelkan jika model mirip dengan pengamat dengan status dikagumi, dan perilaku tersebut memiliki nilai fungsional. Bandura (1978) mengatakan bahwa perilaku manusia sebagian besar merupakan self-regulated behavior. Manusia belajar suatu standar performa (performance standards), yang menjadi dasar evaluasi diri. Apabila tindakan seseorang bisa sesuai atau bahkan melebihi standar performa, maka ia akan dinilai positif, tetapi sebaliknya, bila dia tidak mampu berperilaku sesuai standar, dengan kata lain performanya di bawah standar, maka ia akan dinilai negatif. Selain itu, perceived self-efficacy juga berperan besar dalam self regulated behavior. Perceived self-efficacy ini adalah keyakinan seseorang bahwa dia mampu untuk melakukan sesuatu. Dari anggapan ini, muncul motivasi orang untuk berprestasi (apabila anggapannya positif) atau bahkan dismotivasi untuk melakukan suatu hal (apabila anggapannya negatif). Terkadang, Perceived selfefficacy seseorang tidak sesuai dengan real self-efficacy. Seseorang terlalu yakin dia dapat melakukan sesuatu, tetapi pada kenyataannya sebenarnya dia tidak mampu. Bila hal ini terjadi, maka orang akan merasa frustasi dan rendah diri. Bandura (1978) menjelaskan seseorang akan mempelajari kode moral (moral code) dari model. Kode moral ini menentukan perilaku mana yang boleh dilakukan dan perilaku mana yang akan mendapat sangsi bila dilakukan dan perilaku mana yang tidak. Apabila seseorang melanggar kode moral, orang tersebut akan mengalami self-contempt (menyalahkan/jijik pada diri sendiri), yang merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan. Namun dalam perkembangannya, Bandura melihat sebuah mekanisme dimana seseorang bisa
172
melakukan pelanggaran moral tanpa mengalami self-contempt. Mekanisme ini seperti : •
Justifikasi Moral (Moral Justification): seseorang membenarkan pelanggaran moral karena alasan yang lebih mulia.
•
Pelabelan Eufemistis (Euphemistic Labelling): seseorang menyebut hal yang tercela sebagai suatu ungkapan yang halus.
•
Perbandingan yang Menguntungkan (Advantageous Comparison): seseorang membandingkan perilaku pelanggaran moral dengan pelanggaran lain yang lebih berat, sehingga orang tersebut bisa membenarkan diri.
•
Pengalihan Tanggung Jawab (Displacement of Responsibility): seseorang membenarkan pelanggaran moral karena ada perintah dari pihak otoritas yang lebih tinggi.
•
Difusi
Tanggung
Jawab
(Diffusion
of
Responsibility):
pertanggungjawaban atas suatu pelanggaran moral memudar (bias) atas pelanggaran moral karena ditanggung bersama-sama. •
Pengabaian atau Distorsi Konsekuensi (Disregard or Distortion of Consequences):
seseorang
mengabaikan
bahaya
yang
akan
ditimbulkan dari perbuatannya. •
Dehumanisasi (Dehumanization): menganggap manusia lain sebagai makhluk yang lebih rendah, pelanggaran moral bisa dilakukan tanpa self-contempt.
•
Atribusi Kesalahan (Attribution of Blame): seseorang menyalahkan pihak lain atas pelanggaran moral yang telah diperbuatnya.
Bandura (1978) menekankan bahwa perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh keteraturan konsekuensi respon. Konsekuensi respon itu mempengaruhi perilaku terutama melalui nilai informatif dan insentifnya. Terdapat tiga insentif penting
yang
berfungsi
sebagai sistem
pengatur
perilaku,
yaitu
yang
didasarkan pada konsekuensi eksternal (external motivator), konsekuensi tak langsung (vicarious motivator), dan konsekuensi yang dihasilkan oleh diri sendiri (self-regulatory motivator).
173
Residivisme Narapidana Narkoba Ditinjau dari Perspektif Teori Kognitif Sosial Bandura Residivisme Narkoba dipengaruhi oleh faktor internal individu, faktor eksternal individu, maupun interaksi antara faktor internal dan eksternal (Gottfredson & Hirschi, 1990; Visher & Travis, 2003; Wang, Hay, Todak & Bales, 2013; Andrews, 1989.Perspektif Kognitif Sosial Bandura digunakan untuk memahami bagaimana proses seseorang menjadi residivis narkoba, dengan melihat faktor internal dan eksternal maupun interaksinya. Menurut teori Belajar Sosial (Bandura, 1978) manusia memiliki kapasitas untuk mengarahkan diri sendiri melalui kontrol terhadap proses berpikir, motivasi dan tindakan diri sendiri. Dalam konteks residivis narkoba, dapat diprediksi bahwa kemampuan kognitif residivis narkoba cenderung rendah. Symbolising capability residivis narkoba cenderung rendah di mana informasi yang dimiliki kurang lengkap, sehingga hasil pemikiran cenderung buruk. Forethought capability residivis narkoba juga cenderung rendah. Residivis narkoba cenderung kurang mampu mengantisipasi konsekuensi perbuatannya dan menentukan tujuannya sendiri. Self-regulatory capability residivis narkoba juga cenderung rendah, di mana residivis narkoba tersebut kurang mampu mengembangkan standar
internal
yang
dipergunakannya
untuk mengevaluasi
perilakunya
sendiri.
Kemampuan untuk mengatur diri sendiri yang rendah ini akan
mempengaruhi residivisme narkoba. Self-reflective capability residivis narkoba juga cenderung rendah, dimana kurang mampu menganalisis berbagai pengalamannya dan mengevaluasi apakah memadai.
proses
berpikirnya
sudah
Penilaiannya tentang kemampuannya sendiri untuk mengatasi
berbagai macam realitas juga cenderung rendah. Hal tersebut sangat memungkinkan residivisme narkoba menjadi tinggi. Selain itu, kemungkinan besar residivis narkoba memiliki Perceived self-efficacy yang tidak sesuai dengan real self-efficacy-nya. Bandura (1978) menjelaskan seseorang akan mempelajari kode moral (moral code) dari model. Kode moral ini menentukan perilaku mana yang boleh dilakukan dan perilaku mana yang akan mendapat sangsi bila dilakukan dan perilaku mana yang tidak. Dalam konteks residivis narkoba, kemungkinan besar residivis narkoba kurang mampu mempelajari kode moral dari orang lain (model). Ketika seseorang melanggar kode moral, orang tersebut akan mengalami self-
174
contempt (menyalahkan/jijik pada diri sendiri), yang merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan. Namun, residivis narkoba cenderung melakukan sebuah mekanisme sehingga bisa melakukan pelanggaran moral tanpa mengalami self-contempt. Mekanisme yang banyak dilakukan residivis narkoba adalah Justifikasi Moral (Moral Justification), yaitu membenarkan pelanggaran moral karena alasan yang lebih mulia; Perbandingan yang Menguntungkan (Advantageous Comparison), yaitu membandingkan perilaku pelanggaran moral dengan pelanggaran lain yang lebih berat, sehingga orang tersebut bisa membenarkan
diri;
Pengalihan
Tanggung
Jawab
(Displacement
of
Responsibility), yaitu membenarkan pelanggaran moral karena ada perintah dari pihak otoritas yang lebih tinggi; Difusi Tanggung Jawab (Diffusion of Responsibility), yaitu pertanggungjawaban atas suatu pelanggaran moral memudar (bias) atas pelanggaran moral karena ditanggung bersama-sama; Pengabaian
atau
Distorsi
Konsekuensi
(Disregard
or
Distortion
of
Consequences), yaitu mengabaikan bahaya yang akan ditimbulkan dari perbuatannya;Atribusi Kesalahan (Attribution of Blame), yaitu menyalahkan pihak lain atas pelanggaran moral yang telah diperbuatnya. Di sisi lain residivis narkoba cenderung memiliki Vicarious capabilityyang tinggi. Perilaku kriminal termasuk narkoba dipelajari melalui pengamatan terhadap model. Residivis narkoba akan mengamati dan melakukan pemodelan perilaku, sikap, dan reaksi emosional dari orang lain di luar LAPAS maupun selama di dalam LAPAS. Secara observasional, melalui pemodelan terhadap orang lain: dari mengamati orang lain, satu bentuk gagasan tentang bagaimana perilaku baru dilakukan, dan pada saat ada kesempatan kemudian informasi kode ini berfungsi sebagai panduan untuk bertindak. Selain itu, kejahatan/kriminalitas termasuk narkoba menurut teori belajar sosial (Boduszek, Hyland, Pedziszczak, Kielkiewicz, 2013) merupakan fungsi dari sosialisasi individu, bagaimana individu dipengaruhi oleh pengalaman mereka atau relasi dengan keluarga, kelompok sebaya, guru, gereja, figur otoritas, & agen-agen sosialisasi lain. Teori Belajar Sosial juga dapat menjelaskan penjara sebagai “sekolah kejahatan” (Gendreau, Cullen & Goggin, 1999; Sampson & Laub, 1993; Wermink, Blokland, Niewbeerta, Nagin & Tollenar, 2010). Memiliki teman kriminal membuat orang lebih mengembangkan norma yang
menyukai
kejahatan,
dan
dikuatkan
175
untuk
melakukannya,
&
konsekuensinya
membuat
orang
benar-benar
berkomitmen
pada
kejahatan/kriminalitas. Kontak dengan “ikatan sosial negatif” mengarah pada pemerolehan kemampuan yang memudahkan melakukan kejahatan di masa mendatang. Teori belajar sosial menurut
Baay, Liem, & Nieuwbeerta (2012)
memprediksi hukuman penjara yang lebih lama meningkatkan residivisme karena pengetahuan dan keterampilan kriminal yang diperoleh, serta norma yang menyukai perilaku kriminal terinternalisasi dengan periode waktu yang lebih lama. Berdasarkan model Reciprocal Determinism dari Social Cognitive Theory (Bandura,1978), residivisme narapidana narkoba dapat dijelaskan sebagai berikut: terdapat hubungan timbal balik antara perilaku residivis narkoba dengan faktor internal (yang meliputi kompetensi kognitif, self regulatory, rasa bersalah &rasa malu, dan harapan akan hasil yang cepat), dengan faktor eksternal (yang meliputi penerimaan masyarakat, dukungan keluarga, dan kontak dengan lingkungan sosial negatifnya). Dinamika residivisme narapidana narkoba nampak pada gambar 1.
INTERNAL
EKSTERNAL
- Kompetensi kognitif - Self Regulatory – kontrol diri - Rasa bersalah & malu - Harapan akan hasil
- Penerimaan Masyarakat - Dukungan Keluarga - Kontak dengan Lingkungan Sosial Negatif
PERILAKU RESIDIVIS NARKOBA
Gambar 1. Dinamika Residivisme Narapidana Narkoba
176
Kesimpulan Residivisme narapidana narkoba dapat dijelaskan menggunakan model Reciprocal Determinism dari Social Cognitive Theory (Bandura,1978), yaitu: terdapat hubungan timbal balik antara perilaku residivis narkoba dengan faktor internal (yang meliputi kompetensi kognitif, self regulatory-kontrol diri, rasa bersalah & rasa malu, dan harapan akan hasil yang cepat), dengan faktor eksternal (yang meliputi penerimaan masyarakat, dukungan keluarga, dan kontak dengan lingkungan sosial negatifnya).
Daftar Pustaka
Andrews, DA & Bonta,J. (1998).Psychologycal of criminal conduct. Cincinati, OH : Anderson Publishing Co
Andrews, D. A., & Wormith, J. S. (1984).The criminal sentiments scale. Ottawa, Canada: Ministry of Correctional Services of Canada.
Baay, PE., Liem, M., & Nieuwbeerta, P (2012).”Ex-imprisoned homicide offenders: once bitten, twice shy?” the effect of the length of imprisonment on recidivism for homicide offenders. Homicide Studies 16(3) 259 –279 © 2012 SAGE Publications
Bandura,A.(1978).The Self System in Reciprocal Determinism. American Psychologist.
Boduszek, D, Hyland, P , Pedziszczak, J, Kielkiewicz, K. (2013). Criminal attitudes, recidivistic behaviour, and the mediating role of associations with criminal friends: an empirical investigation within a prison sample of violent offenders. Europe’s Journal of Psychology. 8(1), pp. 18-31
177
Cochran,JC., Breaches in the wall : imprisonment, social support, and recidivism. Journal of Research in Crime and Delinquency. 2014, Vol. 51(2) 200-229
Cottle.C.C Lee .R.J.,& Heilbrun.K.(2001).The prediction of criminal recidivism in juveniles. A meta-analysis. Criminal Justice and Behavior. 28.367-394.
Dam,CV, Janssens,JMAM,& Bruyn,EEJD (2005) Personality and individual differences : PEN, Big Five, juvenile delinquency and criminal recidivism. 39 (2005) 7–19.
Derson,JH. (2010). The correspondence of family features with problem, aggressive, criminal, and violent behavior: a meta-analysis. J Exp Criminol (2010) 6:263–292
Doherty, E. E. (2006). Self-control, social bonds, and desistance: a test of lifecourse interdependence. Criminology, 44, 807-833.
Felipe, J, & Sharp, B. (2010). Modelling social learning of adolescence-limited criminal behavior. ICAART.2009.CCIS.67.pp.19-32
Gendreau, P., Little, T., & Goggin, C. (1996). A meta-analysis of the predictors of adult offender recidivism: What works! Criminology, 34, 575-607
Gendreau, P., Cullen, F. T., & Goggin, C. (1999). The effects of prison sentences on recidivism. Ottawa, Ontario, Canada: Solicitor General Canada.
Gottfredson, M., & Hirschi, T. (1990). A general theory of crime. Palo Alto, CA: Stanford University Press.
Harding, R (2000). The psycho-social environment of prisons and its relationship to recidivism. Report of a project funded by a grant from the Criminology Research Council
178
Hay & Forrest. (2008) Hay, C., & Forrest, W. (2008). Self-control theory and the concept of opportunity: The case for a more systematic union. Criminology, 46, 1039-1072.
Hay, C., Fortson, E. N., Hollist, D. R., Altheimer, I., & Schaible, L. M. (2006). The impact of community disadvantage on the relationship between family and juvenile crime. Journal of Research in Crime & Delinquency, 43, 326-356.
http://www.bps.go.id/hasil_publikasi/flip_2011/4401002/index11.php?pub=Statisti k%20Kriminal%202007-2009
http://www.bps.go.id/hasil_publikasi/stat_kriminal_2012/files/search/searchtext.x ml)
http://lapasnarkotika.wordpress.com/2008/02/05/rutan-dan-solusi-narapidananarkoba/
http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/monthly
http://kbbi.web.id/residivis
Kartono, K. 2005. Patologi Sosial. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Kjelsberg,E, Rustad, AB & Karnik, N. (2009). Low internalised restraint predicts criminal recidivism in young female prisoners. Criminal Behaviour and Mental Health 19: 298–307 (2009)
Langan, P., & Levin, D. (2002). Recidivism of prisoners released in 1994. Washington, DC: Bureau of Justice Statistics..
Merrill, J, Alterman, A, Cacciola, J, & Rutherford, M. (1999). Prior treatment history and its impact on criminal recidivism. Journal of Substance Abuse Treatment, Vol. 17, No. 4, pp. 313–319, 1999
179
Murray (2002). Making rehabilitation work. american experience of rehabilitating prisoners. Washington DC : Statistical Assessment Service
Parhar, K, Champion, A, Chow, I, Paris, K, Whtam, J. (2013). Can offenders predict if they will reoffend? does motivation to desist matter?. American Psychological Association 2013 Convention Presentation
Philipse, MWG., Koeter, MWJ., Staak, CPFVD, and Brink, WVD. (2006). Law and Human Behavior, Vol. 30, No. 3, June 2006 DOI: 10.1007/s10979-0069013-4
Pritikin, Martin H. (2009). Is prison increasing crime. Current Law Journal. Number 6 Volume 2008. p. 1049
Rice, M, & Harris, GT. (2013). What does it mean when age is related to recidivism among sex offenders? Law and Human Behavior. © 2013 American Psychological Association. 2013, Vol. 37, No. 3, 000 01477307/13/$12.00
Urbaniok,F, Endras,J, Rossegger,A, Noll, T, Gallo,WT, Angst, J. (2006). The prediction of criminal recidivism. The implication of sampling in prognostic models. Eur Arch Psychiatry Clin Neurosci (2007) 257:129–134
Visher & Travis. (2003). Visher, C., & Travis, J. (2003). Transitions from prison to community: Understanding individual pathways. Annual Review of Sociology, 29, 89-113.
Vught,EV., Gibbs,J.,Stams,GJ.,Bijleveld,C.,Hendriks,J.,Laan,PVD.(2011) Moral development &recidivism : a meta analysis. International Journal of Offender Therapy & Comparative Criminolog 55(8) 1234-1250 @ 2011 SAGE Publication
Wang,X.,Hay,C.,Todak,EN.,& Bales.,W (2013). Criminal propensity, social context, &recidivism : a multilevel analysis of interactive relationships.
180
Criminal Justice & Behavior.2014. 41 : 300.originally published online 26 November 2013.
Wermink, H., Blokland, A., Nieuwbeerta, P., Nagin, D., & Tollenaar, N. (2010). Comparing the effects of community service and short-term imprisonment on recidivism: A matched samples approach. Journal of Experimental Criminology, 6, 325-349.
Wikstrom, P. H., & Loeber, R. (2000). Do disadvantaged neighborhoods cause well-adjusted children to become adolescent delinquents? A study of male juvenile serious offending, individual risk and protective factors, and neighborhood context. Criminology, 38, 1109-1142.
Wright, B., Caspi, A., Moffitt, T. E., & Paternoster, R. (2004). Does perceived risk of punishment deter criminally prone individuals? Rational choice, selfcontrol, and crime. Journal of Research in Crime & Delinquency, 41, 180214.
www.dpr.go.id/.../Rapat%20Kerja%20dengan%20Departemen%20Hukum
181
Temu Ilmiah Ikatan Psikologi Sosial 2015 Peran Psikologi Sosial dalam Pembangunan: Dari Teori ke Praktek dan Praktek ke Teori