Prosiding Keuangan dan Perbankan Syariah
ISSN: 2460-2159
Analisis Fatwa MUI V Tahun 2015 tentang Penerapan Denda Keterlambatan Pembayaran BPJS Kesehatan terhadap Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2016 Analysis of Fatwa MUI V 2015 about Application of Late Payment Fines Against Health BPJS Presidential Regulation No. 7 Year 2016 1 1,2,3
Nopi Ayu Setiyowati, 2M. Abdurrahman, 3Neneng Nurhasanah
Prodi Keuangan & Perbankan Syariah, Fakultas Syariah, Universitas Islam Bandung, Jl. Tamansari No. 1 Bandung 40116 email:
[email protected]
Abstract. Social security governing body (BPJS) is a legal entity established to deliver programs social security (Act No. 24 In 2011). Presidential Regulation No. 19 2016 set about fine dues BPJS, namely in the amount of 2.5% of the cost of inpatient health services for each month delinquent. The opinions of scholar about it any differently, Procuring NU said that fines are allowed, and according to the Hisbah Board PERSIS fine the riba. The existence of the prokontra, then the MUI issued a Fatwa about fines BPJS Fatwa MUI V in 2015. The purpose of this research is to know the outcome of the decision of the Fatwa MUI V 2015 about application of late payment fines BPJS, health to figure out the practice of application of late payment fines BPJS health according to presidential Regulation No. 19 2016 about application of late payment fines BPJS, health to figure out the analysis of the Fatwa MUI V 2015 on the practice application of late payment fines BPJS health according to presidential Regulation No. 7 Year 2016. Research methods used in the preparation of this research is the normative methods of analysis. The data used are the primary and secondary data. Engineering data collection done by the study of librarianship. Data analysis techniques used are qualitative analysis. Conclusion of this research is the result of a decision of the Fatwa MUI V 2015 about application of late payment fines Health BPJS, MUI application any fines and bans any amount by the State/Government against conducting BPJS health. That is because the Sharia principle that is not appropriate to contain gharar, maysir and riba. The practice of the application of the fines according to the presidential Regulation No. 7 year 2016 is amounting to 2.5% of the cost of inpatient health services for every month delinquent. the fine applies if there is a delay in payment of the dues from the 10th. Based on Fatwa Fatwa MUI V 2015, application of late payment fines BPJS Health contain elements of gharar, maysir and riba. Keywords: application of late payment fines BPJS presidential Regulation No. 7 Year 2016, Fatwa MUI V 2015.
Abstrak. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial (UU No 24 Tahun 2011). Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2016 mengatur tentang denda iuran BPJS, yaitu sebesar 2.5% dari biaya pelayanan kesehatan rawat inap untuk setiap bulan tertunggak. Pendapat ulama mengenai hal tersebut pun berbeda, Muktamar NU menyebutkan bahwa denda diperbolehkan, dan menurut dewan Hisbah PERSIS denda tersebut riba. Adanya prokontra tersebut, maka MUI mengeluarkan Fatwa tentang denda BPJS dalam Fatwa MUI V Tahun 2015. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil keputusan Fatwa MUI V Tahun 2015 tentang penerapan denda keterlambatan pembayaran BPJS kesehatan, untuk mengetahui praktik penerapan denda keterlambatan pembayaran BPJS kesehatan menurut Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2016 tentang penerapan denda keterlambatan pembayaran BPJS kesehatan, untuk mengetahui analisis Fatwa MUI V Tahun 2015 tentang praktik penerapan denda keterlambatan pembayaran BPJS kesehatan menurut Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2016.Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini adalah metode analisis normatif. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif. Kesimpulan dari penelitian ini adalah hasil keputusan Fatwa MUI V Tahun 2015 tentang penerapan denda keterlambatan pembayaran BPJS Kesehatan, MUI melarang penerapan denda apapun dan berapapun jumlahnya oleh Negara/pemerintah terhadap penyelenggaraan BPJS Kesehatan. Hal tersebut dikarenakan tidak sesuai prinsip syariah yaitu mengandung gharar, maysir dan riba. Praktik penerapan denda menurut Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2019 adalah sebesar 2.5% dari biaya pelayanan kesehatan rawat inap untuk setiap bulan tertunggak. denda tersebut berlaku apabila terdapat keterlambatan pembayaran iuran lewat dari tanggal 10. Berdasarkan Fatwa MUI V tahun 2015, penerapan denda keterlambatan pembayaran BPJS Kesehatan mengandung unsur gharar, maysir dan riba. Kata Kunci: Penerapan denda keterlambatan pembayaran BPJS Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2016, Fatwa MUI V Tahun 2015.
263
264 |
Nopi Ayu Setiyowati, et al.
A.
Pendahuluan
Secara preventif, perhatian Islam terhadap kesehatan bisa dilihat dari anjuran sungguh-sungguh terhadap pemeliharaan kebersihan. 1 Salah satu bentuk usaha mempersiapkan diri dalam hal keuangan untuk kesehatan yaitu usaha asuransi. Melihat respon masyarakat yang baik tentang asuransi, pemerintah Indonesia mewajibkan masyarakatnya untuk mendaftarkan dirinya, keluarganya, bahkan karyawannya untuk menjadi anggota BPJS Kesehatan. Berdasarkan Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2013 tentang Perubahan Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, setiap orang yang telah mendaftarkan diri menjadi anggota BPJS, dihimbau untuk membayar iuran BPJS tepat pada waktunya paling lambat tanggal 10 setiap bulan.2 Jika pembayaran iuran dilakukan setelah tanggal 10, maka peserta dikenakan denda keterlambatan pembayaran iuran yaitu keterlambatan pembayaran iuran untuk pekerja penerima upah dikenakan denda administratif sebesar 2% per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 3 bulan, yang dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak oleh pemberi kerja. Masalah BPJS dan denda keterlambatan pembayaran iuran BPJS telah dikaji dan dihasilkan Keputusan Fatwa MUI V Tahun 2015 yang menyatakan, “Penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS tidak sesuai dengan prinsip syariah karena mengandung unsur gharar, maysir, dan riba”.3 Kemudian setelah Fatwa tersebut keluar, pada tahun 2016 Peraturan Presiden No. 12 tahun 2013 terkait denda atas keterlambatan pembayaran BPJS diubah menjadi Peraturan Presiden No. 19 tahun 2016 Pasal 17A.1 yaitu dalam keterlambatan pembayaran iuran peserta diberhentikan sementara. Dalam waktu 45 hari sejak status kepesertaan aktif kembali wajib membayar denda kepada BPJS Kesehatan untuk setiap pelayanan kesehatan rawat inap yang diperolehnya. Denda sebagaimana yang dimaksud sebesar 2,5% dari biaya pelayanan kesehatan untuk setiap bulan tertunda. Menurut Muktamar Ke-33 NU hukum denda dalam BPJS kesehatan adalah boleh dalam Islam, karena denda dalam BPJS kesehatan ini termasuk dalam kategori sumbangan, juga termasuk dalam kategori tolong menolong dalam hal kebaikan. Berbeda dengan Dewan Hisbah Persatuan Islam (Persis) dalam Keputusan Sidangnya menyatakan bahwa BPJS faktanya tidak bisa melepaskan diri dari unsur gharar, maysir, riba, ruqba (hibah bersyarat), dan umra (hibah bersyarat selama hidup) yang hukumnya haram.4 B.
Landasan Teori
Denda merupakan salah satu jenis dari hukuman ta’zir. Ta’zir ) ) تعزرmenurut bahasa adalah ta’dib )) تعدب, artinya memberi pelajaran. Ta’zir juga diartikan dengan Ar-Raddu Wal Man’u )(الررد و المنع, yang artinya menolak dan mencegah.5 At-ta’zir adalah larangan, pencegahan, menegur, menghukum, mencela dan memukul. Hukuman yang tidak ditentukan (bentuk dan jumlahnya), yang wajib dilaksanakan terhadap segala bentuk maksiat yang tidak termasuk hudud dan kafarat, baik 1
Prof. Dr. K.H. Maman Abdurrahman,MA., Kebersihan Dan Kesehatan Lingkungan Dalam Islam, http://mirajnews.com/2013/09/kebersihan-dan-kesehatan-lingkungan-dalam-islam.html, diakses pada 20/12/2016 2 Ibid., hlm 21. 3 Keputusan Komisi B2 Masa’il Fiqhiyyah Mu’asirah, Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI V Tahun 2015, Panduan Jaminan Kesehatan Nasional dan BPJS Kesehatan, (t.tp: t.p, 2015), hlm 56. 4 www.warnasahabat.com/2015/01/hukum-bpjs-versi-ulama, diakses pada 20/10/2016 5 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm xii Volume 3, No.1, Tahun 2017
Analisis Fatwa MUI V Tahun 2015 tentang Penerapan Denda ...| 265
pelanggaran itu menyangkut hak Allah SWT maupun pribadi. 6 Ulama Mazhab Hambali, termasuk Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah, mayoritas ulama Mazhab Maliki, ulama Mazhab Hanafi, dan sebagian ulama dari kalangan mazhab Syafi’i berpendapat bahwa seorang hakim boleh menetapkan hukuman denda terhadap suatu tindak pidana ta’zir. Alasan yang mereka kemukakan adalah sebuah riwayat dari Bahz bin Hukaim yang berbicara tentang zakat unta. Dalam hadits itu Rasulullah SAW bersabda:
ْ ق إِبِ ٌل ع َْن ِح َسابِهَا َم ْن أَ ْعطَا هَا ُم ْؤتَ ِجرًا فَلَهُ أَجْ ُرهَا َو َم ْن أَبَى فَإِنَّا ا ِخ ُذوهَا َو َش ُ يُفَ َّر ط َر )ت َربَّنَا (رواه النسائ ِ إِبِلِ ِه ع َْز َمةٌ ِم ْن َع َز َما
Artinya: ”Siapa yang membayar zakat untanya dengan patuh, akan menerima imbalan pahalanya, dan siapa yang enggan membayarnya, saya akan mengambilnya, serta mengambil sebagian dari hartanya sebagai denda dan sebagai hukuman dari tuhan kami....”. (HR. an-Nasa’i).7 Menurut mereka hadits ini secara tegas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW mengenakan denda pada orang yang enggan membayar zakat. 8 Imam asy Syafi’i al-qoul ql-jadid, Imam Abu Hanifah dan sahabatnya, Muhammad bin Hasan Asy Syaibani, serta sebagian ulama dari Mazhab Maliki berpendapat bahwa hukuman denda tidak boleh dikenakan dalam tindak pidana ta’zir. Alasan mereka adalah bahwa hukuman denda yang berlaku diawal Islam telah dinasakhkan (dibatalkan) oleh hadis Rasullah SAW, diantaranya hadits yang mengatakan:
ٌّ ال َح )ق ِس َوى ال َّز َكاة (رواه ابن مجه َ لَي ِ ْس فِ ْي ْال َم
Artinya: “Dalam harta seseorang tidak ada harta orang lain selain zakat” (HR. Ibnu Majah).9 Di samping itu mereka juga beralasan pada keumuman ayat-ayat Allah SWT yang melarang bersikap sewenang-wenang terhadap harta orang lain, seperti dalam surat al-Baqarah ayat 188:
ْ ُوا بِهَآ إِلَى ٱ ۡل ُح َّك ِام لِتَ ۡأ ُكل ْ َُو َل تَ ۡأ ُكلُ ٓو ْا أَمۡ َٰ َولَ ُكم بَ ۡينَ ُكم بِٱ ۡل َٰبَ ِط ِل َوتُ ۡدل اس بِٱ ۡ ِۡل ۡث ِم ِ َّوا فَ ِر ٗيقا ِّم ۡن أَمۡ َٰ َو ِل ٱلن ٨١١ ََوأَنتُمۡ تَ ۡعلَ ُمون
188. “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”10 Menurut mereka, campur tangan hakim dalam soal harta seseorang, seperti mengenakan hukuman denda disebabkan melakukan tindak pidana ta’zir, termasuk kedalam larangan Allah SWT dalam ayat di atas, karena dasar hukum denda itu tidak ada.11 Suatu hal yang disepakati oleh fuqaha bahwa hukum Islam menghukum sebagian tindak pidana ta’zir dengan denda. Contohnya adalah sebagai berikut: 1. Pencuri buah yang masih tergantung di pohonnya dijatuhi hukuman denda dua 6
Abdul Aziz dahlan, Ensiklopedia hukum islam, Cet VI, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003, hlm. 1771 7 Jalalluddin As-Suyuti, Sunan AN-Nasa’i, jilid: V, Beirut: Darul Qutub Ulumiah, t. th, hlm, 25. 8 Abdul Aziz Dahlan, op. cit., hlm. 1175-1176. 9 Al-hafidh Abi Abdullah Muhammad bin Yazid Al-qozwini, Sunan Ibnu Majjah, juz I, Beirut: Darul Fikr, 275, hlm. 570. 10 Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahan Indonesia, Kudus: Menara Kudus, 2006, hlm. 30. 11 Abdul Aziz Dahlan, Op., Cit., hlm. 1176 Keuangan dan Perbankan Syariah, Gelombang 1, Tahun Akademik 2016-2017
266 |
Nopi Ayu Setiyowati, et al.
kali lipat dari harga buah yang dicuri. 2. Hukuman bagi orang yang menyembunyikan barang yang hilang adalah denda dua kali lipat dari nilainya. 3. Hukuman bagi orang yang enggan menunaikan zakat adalah dengan mengambil secara paksa setengah kekayaannya. C.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Keputusan Fatwa MUI V Tahun 2015 menerangkan bahwa kesehatan adalah hak dasar setiap orang, dan semua warga negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. ijtima MUI menghasilkan keputusan sebagai berikut: 12 1. Penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan, terutama yang terkait dengan akad antar para pihak, tidak sesuai dengan prinsip syariah, karena mengandung unsur gharar, maysir dan riba. 2. MUI mendorong pemerintah untuk membentuk, menyelenggarakan, dan melakukan pelayanan jaminan sosial berdasarkan prinsip syariah dan melakukan pelayanan prima. Berdasarkan penjelasan di atas, MUI melarang penerapan denda apapun dan berapapun jumlahnya oleh Negara/pemerintah terhadap penyelenggaraan BPJS Kesehatan. Hal tersebut dikarenakan tidak sesuai prinsip syariah yaitu mengandung gharar, maysir dan riba. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016 mengenai pembayaran iuran dan denda BPJS Kesehatan yaitu pada Pasal 17A yaitu Iuran Jaminan Kesehatan Peserta PBI Jaminan Kesehatan serta penduduk yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah sebesar Rp23.000,- per orang per bulan Iuran untuk kategori peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Peserta Bukan Pekerja, untuk kelas III Rp25.500,- , kelas II Rp51.000,- dan kelas I Rp80.000,-. Apabila terdapat keterlambatan pembayaran Iuran Jaminan Kesehatan lebih dari 1 (satu) bulan sejak tanggal 10, maka penjaminan peserta diberhentikan sementara. Pemberhentian sementara penjaminan peserta dan status kepesertaan aktif kembali apabila peserta membayar iuran bulan tertunggak paling banyak untuk waktu 12 bulan; dan membayar iuran pada bulan saat peserta ingin mengakhiri pemberhentian sementara jaminan. Dalam waktu 45 hari sejak status kepesertaan aktif kembali maka peserta wajib membayar denda kepada BPJS Kesehatan untuk setiap pelayanan kesehatan rawat inap yang diperolehnya. Denda tersebut sebesar 2,5% dari biaya pelayanan kesehatan untuk setiap bulan tertunggak dengan ketentuan jumlah bulan tertunggak paling banyak 12 bulan; dan besar denda paling tinggi Rp30.000.000,00. Setelah melunasi tunggakan, maka kepesertaannya akan langsung aktif, jika peserta langsung berobat sebelum 45 hari maka dikenakan sanksi dan jika rawat inap dilakukan setelah 45 hari maka tidak kenakan sanksi. Menurut Fatwa MUI V Tahun 2015 penerapan denda BPJS mengandung riba dikarenakan ketetapan denda sebesar 2,5% yang merupakan tambahan akibat sanksi administratif, dan mengandung unsur gharar dikarenakan tidak dijelaskan mengenai fungsi denda tersebut dan mengenai penggunaan dana denda tersebut serta kerugian yang akan ditimbulkan jika peserta terlambat membayar iuran BPJS Kesehatan. Kemudian jika peserta yang terlambat membayar iuran mendapatkan perawatan dalam kurun waktu 45 hari setelah kepesertaannya aktif, maka ia harus membayar denda sedangkan peserta yang menerima perawatan setelah 45 hari tidak harus membayar 12
Majelis Ulama Indonesia, Hasil Ijtima’ Ulama V Tahun 2015, diakses dari http://www.mui.or.id, Pada Tanggal 27 Oktober 2015. Volume 3, No.1, Tahun 2017
Analisis Fatwa MUI V Tahun 2015 tentang Penerapan Denda ...| 267
denda, maka hal tersebut mengandung unsur maysir. D.
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Hasil keputusan Fatwa MUI V Tahun 2015 tentang penerapan denda keterlambatan pembayaran BPJS Kesehatan yaitu MUI melarang penerapan denda apapun dan berapapun jumlahnya oleh Negara/pemerintah terhadap penyelenggaraan BPJS Kesehatan. Hal tersebut dikarenakan tidak sesuai prinsip syariah yaitu mengandung gharar, maysir dan riba. 2. Keterlambatan pembayaran Iuran Jaminan Kesehatan lebih dari 1 (satu) bulan sejak tanggal 10, maka penjaminan peserta diberhentikan sementara. Dalam waktu 45 hari sejak status kepesertaan aktif kembali maka peserta wajib membayar denda kepada BPJS Kesehatan untuk setiap pelayanan kesehatan rawat inap yang diperolehnya. Denda tersebut sebesar 2,5% dari biaya pelayanan kesehatan dan mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2016. 3. Berdasarkan Fatwa MUI V tahun 2015, penerapan denda keterlambatan pembayaran BPJS Kesehatan yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2016 tidak sesuai prinsip syariah. Terdapat unsur gharar, maysir dan riba dalam pengelolaan keuangannya. Solusi agar tidak terjadi gharar, riba dan maysir adalah hendaknya denda ditangguhkan atau disadaqahkan. Daftar Pustaka Dahlan, Abdul Aziz. 2003. Ensiklopedia Hukum Islam, Cet VI. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. Muslich, Ahmad Wardi. 2005. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika. Al-hafidh Abi Abdullah Muhammad bin Yazid Al-qozwini, Sunan Ibnu Majjah, juz I, Beirut: Darul Fikr, 275 Departemen Agama RI. 2006. Al-Qur'an dan Terjemahan Indonesia. Kudus: Menara Kudus. Jalalluddin As-Suyuti, Sunan AN-Nasa’i, jilid: V, Beirut: Darul Qutub Ulumiah, t. th, Jalalluddin As-Suyuti, Sunan AN-Nasa’i, jilid: IV, Beirut: Darul Qutub Ulumiah, t. th, Majelis Ulama Indonesia, Hasil Ijtima’ Ulama V Tahun 2015, diakses dari http://www.mui.or.id, Pada Tanggal 27 Oktober 2015. Keputusan Komisi B2 Masa’il Fiqhiyyah Mu’asirah, Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI V Tahun 2015, Panduan Jaminan Kesehatan Nasional dan BPJS Kesehatan, (t.tp: t.p, 2015) Prof. Dr. K.H. Maman Abdurrahman,MA., Kebersihan Dan Kesehatan Lingkungan Dalam Islam,http://mirajnews.com/2013/09/kebersihan-dan-kesehatanlingkungan-dalamislam.html, diakses pada 20/12/2016
Keuangan dan Perbankan Syariah, Gelombang 1, Tahun Akademik 2016-2017