Prosa Semesta Reza Mardian
Prosa Semesta Reza Mardian Desain Sampul oleh Reza Mardian Diterbitkan melalui www.nulisbuku.com
2
Salutation Let’s face it, most people take small things for granted. They only believe small things mean something when they nearly or already lose them. Believe me. I’ve been there. Setelah empat belas hari dirawat di Intensive Care Unit (ICU) karena infeksi peranapasan, saya merasa kemampuan bernapas adalah hal-hal kecil yang sering kali tidak digubris oleh orang-orang. I could have died, but God decides me not to. Saya diberikan kesempatan kedua untuk hidup. Ah, hidup. Satu hal lagi yang sering kali tidak digubris orang banyak. Despite the fact that i may not be the most religious person on Earth, i do too believe in the concept of God. Those who don’t might only believe in how the Universe works. Begitulah buku ini lahir. Saya merasa alam semesta memiliki cara kerja yang luar biasa dalam menentukan takdir 3
seseorang dan—siapapun yang mengatakannya— saya percaya bahwa tidak ada yang namanya kebetulan. And, so allow me to salute those who support me to finish this piece. God—or some people might say: Universe— to make make me keep breathing up until now. Seluruh keluarga yang telah berkontribusi di masa pemulihan yang saya jalani. Mama yang dengan tegar mendampingi saya di saat-saat saya berada di ICU, My Sinister Sister who became suprisingly nice in the right time, Bi Tun, Tangguh, dan Papa. The Angels in the ICU who manage to heal me in the most unconventional way, Kak Sisca, Kak Ilham, Kak Fitri, Kak Richard, and also Fiska. Thanks for being there by being the extended hands of God. Dewi Lestari dan Eichiro Oda atas inspirasi untuk mengeksplorasi imajinasi dalam diri.
4
Aldi Komarullah, Gayatri Kencana I Gusti, dan Hadiah Ardiani sebagai pembaca-pembaca pertama saya. Ns. Pebriana Damaris, S.Kep yang telah bersedia menjadi editor saya di detik-detik terakhir. I owe you big, really! Everyone—fellow peers & faculty from FIK UI, English Debating Society Universitas Indonesia, CBA, Model UN kids, family from SMAN 5 Jakarta, relatives, childhood chums, and those whom i can’t recall one by one—who managed to succesfully remind me that i still have lots of things to do, one of which is this book. Dan tentunya, anda. Ya, anda yang sedang membaca buku ini. Terima kasih untuk mencoba menjelajahi imajinasi saya. So maybe i have to nearly die to be able to finish this book. Siapa yang tahu? Yang saya tahu adalah bahwa kita tidak pernah tahu bagaimana alam semesta bekerja. Or at least, not yet. Oleh karena itu, silakan menikmati karya saya: Prosa Semesta. 5
Daftar Isi Prologue
7
Vena Cava Aneurisma
12
Sebuah Fakta
60
Kontradiksi
98
Kisah Nenek Mar
131
Titik Koneksi
186
Epilogue
202
Profil Penulis
213
6
Prologue Jumat, Pukul 08.20 WIB Seorang pemuda yang terbaring ringkih di atas brankar tengah di dorong dengan sigap oleh para perawat Instalasi Gawat Darurat (IGD) di sebuah rumah sakit di kawasan Jakarta Barat. Pagi hari yang cukup damai itu berubah seketika menjadi sangat gaduh setelah korban kecelakaan kedua ini dibawa untuk diberi penanganan. “Sa—saya perawat ya—yang kebetulan lewat. Mas yang terserempet motor ini tidak sadar!” ujar seorang pemuda setengah gagap dengan napas yang terengah-engah. “Tidak ada hambatan jalan napas,” pemuda itu berhenti sejenak untuk mengumpulkan oksigen ke paruparunya. “T—tapi napas dan nadinya lemah. Mungkin ada perdarahan dalam!” seru pemuda 7
yang mengaku perawat itu sambil menunjuk sang korban yang dipanggilnya “Mas ini”. Pemuda itu memang lebih cocok dikatakan terlihat sebagai karyawan kantoran karena sedang mengenakan kemeja biru muda dan bercelana jeans warna cokelat muda. Terlepas dari apakah dirinya memakai seragam perawat atau tidak, sangat terlihat jelas bahwa pemuda itu tahu benar alur pemeriksaan seseorang yang mengalami kondisi gawat darurat. Airway, breathing, and circulation. Itu pula lah yang dicek ulang para perawat IGD ketika pasien berpindah tangan ke mereka. Setelah memastikan pemeriksaan fisik yang dilakukan pemuda itu benar, para perawat segera membuka pakaian pria berambut klimis itu untuk memastikan apakah terdapat trauma luar pascakecelakaan. Mereka tidak menanggalkan kancingnya satu per satu. Mereka menggunakan gunting agar mereka dapat berpacu dengan waktu. Di saat bersaman ada perawat lain yang tengah memasang selang infus dan selang pembuangan air kecil. Semua terjadi sangat cepat dan berirama. Sesaat, pria berambut klimis itu membuka matanya untuk melirik ke arah pintu masuk. Tidak ada apa-apa di sana, kecuali brankar kosong. 8
Pemuda yang telah menolong korban kecelakaan itu tengah duduk bersama seorang wanita tua yang terlihat seperti ibunya. Wanita tua itu terlihat sedang menenangkan sang pemuda yang cemas karena tak kunjung berhasil menghubungi kontak anggota keluarga si pria berambut klimis. “Denyut nadi pasien di kasur nomor 9 sangat lemah, dok!” seru seorang perawat perempuan yang telah berhasil mendapatkan nadi pria berambut klimis tersebut sesaat setelah rombongan dokter datang. Mayoritas dari mereka terlihat muda, tetapi berpengalaman. Ada integritas yang soild terpancar dari wajah mereka. Hanya satu dokter yang terlihat sangat senior, dan dokter itu memecahkan gugusan dokter lainnya untuk berpencar menangani pasien lain di ruangan gawat darurat. Selain pemuda berambut klimis itu, terdapat dua korban kecelakaan lainnya yang telah lebih dulu diberi penanganan. Mereka merupakan orang yang bertanggung jawab atas kecelakaan si pria berambut klimis. Seorang perempuan berjilbab sedang berteriak histeris karena suaminya—pria yang mengendarai motor bersamanya—tengah kehilangan kesadaran 9
dengan berlumuran darah di depan matanya. Wanita ini meraung-raung tidak karuan sambil berusaha meninggalkan tempat tidurnya. Butuh lebih dari dua perawat untuk menenangkannya agar wanita ini dapat diberi tindakan medis. Kening sebelah kiri wanita ini juga berlumuran darah, tetapi ia terlalu panik untuk menyadarinya. Pria berambut klimis itu pun masih menatap ke arah yang sama. Sesekali, tangan kanannya seperti hendak menggapai sesuatu. Dari arah berlawanan, datang seorang dokter perempuan berambut ekor kuda dengan setengah berlari. Bising sepatu hak tingginya yang biasa menggema di ruangan tidak lagi terdengar jelas karena kegaduhan di ruangan ini. Dokter itu segera meraih stetoskop yang dikalungkan di lehernya untuk mendengarkan suara jantung si pria berambut klimis. Hal yang berikutnya terjadi terlalu ricuh untuk digambarkan sekarang. Akan tetapi, hal-hal yang telah berlalu akan sangat lebih mudah untuk dapat disajikan dengan jelas. Kecelakaan itu terjadi karena suatu alasan. Para korban dan penolong itu memiliki peran yang telah dipersiapkan. 10
Semua itu terjadi bukan karena kebetulan. Semua kejadian itu merupakan rancangan katakata yang terukir dalam semesta. Sebuah cerita panjang yang dirancang oleh dunia: sebuah prosa semesta. Selamat datang, selamat datang. Oh, wahai para titik tak signifikan!
11