Proposal Disertasi
KONSEPSI PESANTREN KIAI IDRIS JAUHARI DALAM PERSPEKTIF RELASI FIKIH, TASAWUF DAN PENDIDIKAN
Iwan Kuswandi
A. Latar Belakang Masalah Pondok pesantren adalah pendidikan Islam tradisional pertama di Indonesia. Pesantren sebagai sebuah institusi pendidikan Islam, pesantren bertujuan untuk mempelajari, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya aspek moral keagamaan sebagai pedoman perilaku hidup sehari-hari.1 Hal ini sesuai dengan firman Allah di dalam AlQur'an agar sebagian umat Islam memperdalam ilmu agama, yaitu terdapat pada surah At-Taubah ayat 122: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. Sudah menjadi rahasia umum bahwa peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren sangatlah besar. Ini memiliki arti bahwa sosok kyai merupakan unsur yang paling esensial di sebuah lembaga pendidikan pesantren. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai.
1
A. Rofiq, dkk. Pemberdayaan Pesantren. (Yogyakarta: LKiS, 2005), 1
Pesantren adalah bentuk pendidikan tradisional di Indonesia yang sejarahnya
telah
mengakar
secara
berabad-abad.
Nurcholis
Madjid
menyebutkan, bahwa pesantren mengandung makna keislaman sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia.2 Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kampus) yang santri-santrinya menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dan kepemimpinan seorang atau beberapa orang kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatis serta independen dalam segala hal.3 Lembaga pendidikan yang disebut pondok pesantren sebagai pusat penyiaran Islam tertua yang lahir dan berkembang seirama dengan masuknya Islam di Indonesia. Pada awal berdirinya, pondok pesantren umumnya sangat sederhana. Kegiatan pembelajaran biasanya diselenggarakan di langgar (mushala) atau masjid oleh seorang kyai dengan beberapa orang santri yang datang mengaji. Lama kelamaan “pengajian” ini berkembang seiring dengan pertambahan jumlah santri dan pelebaran tempat belajar sampai menjadi sebuah lembaga yang unik, yang disebut pesantren.4 Pondok pesantren sungguh pun sebagai sebuah lembaga pendidikan tradisional Islam, namun dalam perkembangannya menyelenggarakan sistem pendidikan formal. Nilai-nilai dan norma-norma kepesantrenan yang tadinya sangat sentral, sekarang hanya dilengketkan sebagai nilai tambah (added value) pada lembaga-lembaga pendidikan formal yang didirikan. Perubahan ini terjadi terutama setelah Belanda pada abad 19 memperkenalkan sistem pendidikan 2
Nurcholis Madjid. Bilik-Bilik Pesantren (Jakarta: Paramadina, 1997), 107 . Djamaluddin & Abdullah Aly. Kapita Selekta Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1998), 99. 4 Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 2001), 157. 3
Barat, sebuah sistem pendidikan yang menurut Zamakhsyari Dhofir, bahwa melahirkan lulusan yang kemudian menjadi golongan terdidik yang dapat mengganti kedudukan kiai sebagai kelompok inteligensia dan pemimpinpemimpin masyarakat.5 Salah satu kajian yang paling pokok di pesantren yang ada di Indonesia, adalah kajian tentang fikih. Walaupun mereka tetap menjadikan kajian al-Qur’an dan Hadits sebagai yang paling utama. Namun tidak sedikit yang mempertanyakan kedudukan fikih di dalam Islam. Jasser Auda, misalnya, mempertanyakan di manakah posisi fikih, bagaimana ia dipersepsikan, dan apa peran yang yang seharusnya dimainkan oleh fikih dalam membangun peradaban umat Islam. Pertanyaan ini tentu tidak berlebihan, mengingat fikih adalah the quien of Islamic sciences. H.A.R. Gibb dalam hal ini menyatakan bahwa fikih is the epitom of the true Islamic spirit, the most desicive expression of Islamic thought,the essential kernel of Islam. Inti dari ungkapan ini adalah bahwa fikih merupakan jantung keilmuan Islam, dan tidak mungkin memahami Islam tanpa mengetahui fikih dengan baik. Fikih sebagai garda depan keilmuan Islam idealnya bisa menjadi driving force bagi munculnya iklim keadilan, produktivitas, humanitas, spiritualitas, persaudaraan, dan masyarakat yang demokratis. Menurut banyak pakar keislaman, ketidakmampuan fikih untuk menjadi driving force bagi upaya-upaya developmentalisme adalah, salah satunya, dipengaruhi oleh persepsi fiqhiyah yang cenderung bercorak legal-formal dan mengabaikan sisi-sisi kemanusiaan manusia dan dinamika sejarah kemanusiaan. 5
Zamakhsyari Dhofier. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), 39.
Persoalan kemanusiaan, sebagaimana ia menjadi bagian dari bidang garap fikih, tidak bisa didekati dengan keilmuan fikih atau hukum semata, akan tetapi membuka kontribusi bagi keilmuan-keilmuan lain. Di sinilah pentingnya untuk mempertautkan kembali fikih dengan dimensi keilmuan lain, termasuk dalam hal ini, moralitas (akhlak) dalam rangka menghindarkan fikih dari nuansa legalformal, dan membawanya kembali pada karakter humanisnya. Namun dalam dunia pendidikan pesantren, tidak hanya mengkaji fikih saja. Kajian terhadap tasawuf juga menjadi fokus dalam pembelajaran di pesantren, seperti pengajian kitab Ihyâ` ’Ulum ad-Dîn, walaupun juga banyak karya al-Ghazali yang lain di bidang tasawuf juga dikaji di pesantren. Karyakarya al-Ghazali di bidang tasawuflah yang memberi pengaruh paling besar bagi umat Islam pada segala lapisannya. Karya yang pertama kali harus disebut tentu saja adalah Ihyâ` ’Ulum ad-Dîn, sebuah masterpiece yang terhadapnya Ibn asSubki berkomentar, “Seandainya tidak ada satu pun kitab yang dikarang oleh ulama untuk manusia selain Ihyâ`, maka itu sudah cukup [untuk memenuhi kebutuhan mereka]”.6 Maka sangat menarik kemudian, kalau kemudian menemukan relasi fikih, tasawuf dan pendidikan, dalam hal ini dalam konteks pesantren. Dalam hal ini, objek yang paling tepat untuk dikaji dalam konteks pesantren adalah sosok Kiai Idris Jauhari, pengasuh pondok pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep Madura. Hal ini karena tidak sedikit karya Kiai Idris, yang berdimensi Fikih, tasawuf dan pendidikan.
6
Dikutip dalam Shalih Ahmad asy-Syami, Al-Imâm al-Ghazâlî: Hujjah al-Islâm wa Mujaddid al-Miah al-Khâmisah, hlm. 158.
Namun di samping itu, pemikiran atas ketiga relasi tersebut, tidak hanya tertuang dalam bentuk tulisan buku atau kitab, akan tetapi juga kemudian menjadi tradisi dan disiplin santri di pesantren yang diasuhnya. Seperti kewajiban bagi seluruh santri untuk shalat Jama’ah, shalat tahajjud dan puasa Arafah. Itu merupakan bukti bahwa ibadah fiqhiyah, sengaja diwajibkan kepada santri untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah. Memang nampak berlebihan jika ibadah sunnah kemudian menjadi wajib bagi santri, tapi itu dilakukan karena alasan ingin mendidik santri. Berangkat dari permasalahan tersebut, maka penelitian ini diberi judul, “Konsepsi Pesantren Kiai Idris Jauhari dalam Perspektif Relasi Fikih, Tasawuf dan Pendidikan”.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah Pondok pesantren TMI Al-Amien Prenduan yang merupakan lembaga sejenis KMI di Gontor, tidak sepenuhnya sama dengan apa yang ada dan diterapkan di Gontor. Di TMI, pembelajaran kitab kuning menjadi salah satu fokus pendidikannya. Hal ini dapat dilihat dari program pengajian kitab kuning yang dilaksanakan dengan sistem sorogan (sebagaimana terjadi di pondokpondok tradisional lainnya). Bahkan di TMI juga ada salah satu program khusus (takhassus) mengaji kitab Alfiyah karya Ibnu Malik. Dan hal ini pula tidak ditemukan di pondok Gontor sebagai induknya. Upaya tradisionalisasi pondok modern ini banyak dilakukan oleh sosok Kiai Muhammad Idris Jauhari selaku pengasuh TMI dari awal berdirinya. Atas dasar itu maka tesis ini berusaha untuk melihat dan mengetahui lebih dalam
tentang upaya tradisionalisasi tersebut, serta ingin mengetahui hal-hal lain yang berkenaan dengan proses tradisionalisasi lembaga TMI Al-Amien, yang sebenarnya merupakan kelompok pesantren modern dalam pembagian pesantren yang ada. Selain itu, sufisme yang dimaksud dalam tulisan ini adalah paham tasawuf yang dianut dan dikembangkan oleh KH. Muhammad Idris Jauhari. Tasawuf KH. Muhammad Idris Jauhari ini, sebagaimana tasawuf lainnya, memusatkan perhatian pada kebersihan rohani manusia (Tazkiyah al-Nafs) dan tertanamnya rasa dekat dengan Allah SWT, yang selanjutnya membuahkan akhlak (etika) yang mulia. Maka pembahasan di sini dibatasi sekitar konsep tasawuf KH. Muhammad Idris Jauhari dan ciri tasawuf yang dianutnya. Pembahasan masalah ini dilakukan dengan pendekatan ketasawufan dan falsafi yang melihat dan menganalisa sesuatu sampai pada akar permasalahan, karena dengan pendekatan ini hakikat sesuatu dapat dirumuskan dalam kerangka berpikir yang koheren tentang ketasawufan. Pendekatan ini dipakai, guna untuk lebih mudah memahami pemikiran KH. Muhammad Idris Jauhari tersebut. Maka objek material dari bahasan ini adalah Sufisme KH. Muhammad Idris Jauhari dalam bentuk hubungan antara alam, manusia dengan Tuhan. Sedangkan objek formanya adalah sufisme dalam pandangan ulama-ulama tasawuf Islam. Sehubungan dengan keterangan di atas, maka ruang lingkup masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini dibatasi beberapa aspek dari tasawuf yang dibicarakan oleh KH. Muhammad Idris Jauhari yaitu, pendapatnya terhadap
hubungan tasawuf dengan sosial, hubungan tasawuf dengan anak muda, langkah-langkah untuk menjadi
seorang sufi, hakikat dzikrullah dan
implementasi tasawuf dalam konteks modern. semua aspek itu didukung oleh dalil-dalil nash agama Islam dan argumennya sebagai seorang sufi. Maka dengan demikian, pengertian dari judul tulisan ini adalah, paham tasawuf KH. Muhammad Idris Jauhari dalam usaha untuk menuntun kepada suatu pemikiran tentang kedekatan dengan Allah SWT.
C. Rumusan Masalah Berdasar semua ini, tulisan ini mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut: 1). Bagaimana konsep pesantren menurut Kiai Idris Jauhari? 2). Bagaimana kerangka epistemologi Kiai Idris Jauhari dalam membangun konsepsi tentang pesantren? 3). Bagaimana titik singgung konsepsi pendidikan Kiai Idris Jauhari dengan relasi fikih, tasawuf dan pendidikan?
D. Tujuan Penelitian Berdasar rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1). Untuk mengetahui konsep pesantren menurut Kiai Idris Jauhari. 2). Untuk mengetahui kerangka epistemologi Kiai Idris Jauhari dalam membangun konsepsi tentang pesantren. 3). Untuk mengetahui titik singgung konsepsi pendidikan Kiai Idris Jauhari dengan relasi fikih, tasawuf dan pendidikan.
E. Kegunaan Secara akademis: Dengan adanya penelitian ini diharapkan: 1. Dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan khazanah keilmuan sesuai dengan disiplin ilmu pendidikan. 2. Sebagai acuan bagi penelitian selanjutnya dan sebagai bahan komparasi bagi penelitian sebelumnya. 3. Menambah koleksi literatur dalam bidang pengembangan pendidikan pesantren.
Secara Praktis: Penelitian ini bisa berguna: 1. Sebagai bahan bagi generasi penerus pondok pesantren Al-Amien Prenduan dalam memetakan antara nilai-nilai tradisional dan hal-hal yang bernilai modern yang diadopsi di pesantren Al-Amien Prenduan. 2. Sebagai bahan kajian bagi generasi muda Prenduan dan sekitarnya dalam memberikan sumbangsih demi kemajuan lembaga pendidikan pondok pesantren.
F. Penelitian Terdahulu Sebetulnya sudah banyak para sarjana dan akademisi lainnya yang sudah melakukan kajian dan penelitian terhadap pemikiran tentang Kiai Muhammad Idris Jauhari yang merupakan pendiri lembaga TMI Al-Amien Prenduan. Adapun penelitian yang mendekati pada penelitian ini adalah:
Pertama, penelitian yang judul: Tradisionalisasi Pondok Modern (Study atas pemikiran pendidikan KH. Muhammad Idris Jauhari Oleh Iwan Kuswandi, Tesis IAIN, tahun 2012. Dalam penelitian ini disebutkan bahwa: Ada tiga faktor dominan yang membentuk dan berpengaruh terhadap pemikiran pendidikan KH. Muhammad Idris Jauhari, yaitu: pertama, pengaruh mainstream pemikiran KH. Jauhari selaku ayah beliau (pesantren tradisional) dan pengaruh prmikiran KH. Zarkasyi (pesantren modern), dalam hal ini KH. Muhammad Idris mengadopsi pemikiran KH. Jauhari dalam hal ubudiyah dan KH. Zarkasyi dalam sistem yang diterapkan di pondok pesantren Al-Amien. Kedua, pengaruh sebagai pembelajar otodidak dan praktisi pendidikan. Dalam hal ini, KH. Muhammad Idris melahirkan sistem materi kompetensi dasar dan kompetensi pilihan. Ketiga, pengaruh atas paham tasawufnya. Dalam hal ini, KH. Idris menjadikan bentuk-bentuk ibadah sunnah menjadi kewajiban pondok sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Ihwan Amalih. Penelitian ini berjudul sufisme dalam perspektif Kiai Muhammad Idris Jauhari. Penelitian Tesis Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya 2012. Penelitian ini merupakan penelitian kualitataif pustaka (library research) dengan jenis penelitian deskriftif-analitis. Adapun metode analisa data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan metode deskripsi, verthesen dan contens analisis. Sehingga dengan pendekatan ini mampu mengungkap dan memahami paham tasawuf KH. Muhammad Idris Jauhari melalui karya-karyanya. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan bahwa Pertama, Tasawuf dalam pandangan KH. Muhammad Idris Jauhari adalah upaya untuk meluruskan niat dalam hati serta memahami hakikat (substansi atau esensi) dari segala apapun yang dilakukan manusia dalam rangka
menjalani kehidupannya (beribadah), agar bisa mencapai tujuan akhir yang sebenarnya dari hidup itu sendiri, sesuai dengan kehendak penciptanya. Kedua, Corak pemikiran tasawuf KH. Muhammad Idris Jauhari yang sangat fundamental adalah sebagai berikut: 1. Sufisme yang dikembangkan oleh KH. Muhammad Idris Jauhari dibangun di atas tradisi pemikiran tasawuf akhlaqi (Konsistensi menjaga ortodoksi Islam, ajaran tasawuf yang humanis, aktivis dan fungsional, pola hubugan dikotomis antara hamba dan Tuhan serta urgensitas dzikrulla>h dalam perjalanan spiritual menuju Tuhan).
2. Sufisme yang dikembangkan dan ditawarkan oleh
KH. Muhammad Idris Jauhari merupakan upaya redefinisi dan reorientasi agar tasawuf baik secara teoretis maupun praktis tidak diposisikan sebagai hal yang elitis, mistis dan individualis. Akan tetapi, tasawuf diposisikan sebagai hal yang inklusif, aktivis dan mudah dijangkau oleh semua kalangan. Ketiga, terdapat enam langkah untuk menjadi sufi menurut KH. Muhammad Idris Jauhari. Yaitu: 1. I>qa>n
al-Nafs (meyakinkan diri), 2. Taqwi>n al-Niyyah (Meluruskan niat), 3. al-Dira>sah wa al-Istithla>’ (belajar dan mengkaji), 4. al-Tafakkur wa al-tadabbur (berfikir dan merenung), 5. al-Takhalli> wa al-Tahalli> (mengosongkan dan mengisi), 6. al-Tajalli> (menampakkan). Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Musleh Wahid. Penelitian ini juga merupakan penelitian Tesis Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya 2012. Judul penelitian ini adalah Inovasi Kurikulum Pesantren: Studi Kasus TMI Al-Amien Prenduan. Penelitian ini menghasilkan bahwa pola pengembangan kurikulum TMI Al-Amien Prenduan berbentuk kurikulum terpadu yang tidak ada pemilahan dan berlangsung selama 24 jam. Di samping itu, desain kurikulum di TMI Al-Amien Prenduan mendasarkan diri pada belajar yang berpusat pada diri
anak didik (student centered), dan bersifat life centered (langsung berhubungan dengan aspek kehidupan).
G. Metode Penelitian Basis Interpretivisme
kefilsafatan bertujuan
dari
penelitian
ini
untuk
mengungkap
adalah
“interpretivisme”.
pengetahuan
yang
bersifat
interpretatif dan mencoba untuk memberikan pemahaman (understanding) yang bersifat menyeluruh dan mendalam terhadap obyek studi. Ini sebagaimana epistemologi keilmuan sosial secara umum yang lebih bercorak humanistik yang mendasarkan diri pada eksplanasi yang bersifat “hermeneutis” daripada yang bersifat “nomologis”. Sesuai dengan jenis dan basis kefilsafatan penelitian ini, pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah hermeneutika. Hermeneutika mempunyai konsen pada penyingkapan makna dan pesan teks, sehingga apa yang terjadi dalam situasi sosial dan budaya yang berbeda pada masa lampau, bisa memberikan arti dalam konteks kekinian pembaca. Problem yang menghinggapi data teks dari sudut hermeneutika adalah adanya kesenjangan antara pembaca (reader) dengan pengarang (author) dari sisi ruang dan, atau waktu. Jawaban dan solusi untuk menengahi kesenjangan tersebut, dan yang dipilih dalam penelitian ini adalah hermeneutika filosofis yang bersifat produktif (pembaca menciptakan makna baru, bukan yang persis sama dengan penulis) sebagaimana dikembangkan oleh Hans George Gadamer. Penulis menilai bahwa pemilihan tipe hermeneutika ini selaras dengan obyak kajian fikih, dan karenanya diharapkan bisa mengungkap pertanyaan penelitian ini, yakni bagaimana konsepsi pendidikan pesantren Kiai Idris Jauhari,
bagaimana kerangka epistemologi yang dikembangkan, dan bagaimana titik singgungnya dengan relasi fikih, tasawuf dan pendidikan. Sebagaimana telah dipaparkan dalam kerangka konseptual, fikih pada dasarnya merupakan formula praktis yang dipahami dari shari>ʻah, atau ia merupakan interpretasi yang bersifat kultural terhadap sumber-sumber hukum. Karena itu, sebagai implikasinya fikih terikat dengan konteks ruang dan waktu, yakni situasi historis penafsir teks (sumber hukum). Fikih bukanlah set aturanaturan hukum baku tanpa mempertimbangkan situasi historis pembacanya. Karakter fikih seperti ini sesuai dengan prinsip hermeneutika filosofis yang menyatakan bahwa pembacaan terhadap teks mensyaratkan adanya fusi horizon pembaca dan horizon teks. Pembacaan terhadap tradisi fikih pada dasarnya bukan bermaksud mereplikasi intensi pengarangnya, akan tetapi mendialogkannya dengan segenap kepentingan dan kemaslahatan pembacanya. Pembacaan Kiai Idris Jauhari terhadap tradisi fikih dan pendidikan pesantren diyakini tidak keluar dari prinsip di atas. Paparan tentang poin-poin penting dari hermeneutika filosofis dibawah ini diharapkan semakin menguatkan signifikansi tipologi hermeneutika filosofis dalam membaca konsepsi pendidikan Kiai Idris Jauhari. Hermeneutika menurut Gadamer terpilah menjadi tiga sub divisi; pertama, subtilitas intelligendi (understanding), subtilitas explicandi (interpretation), dan subtilitas applicandi (application). Berdasar kaca mata Gadamer ini, pemahaman pendidikan pesantren bermuara pada apa yang ditulis oleh Kiai Idris atau apa yang sudah ditradisikan di pondok pesantren Al-Amien Prenduan. Pemahaman dalam konteks kekinian penafsir dibahasakan Gadamer dengan “situasi hermeneutika” (hermeneutical situation). Menurut Gadamer, ide terpenting
dari konsep situasi adalah bahwa penafsir tidak bisa keluar dari konteks situasi, dan penafsir tidak akan pernah mendapatkan pengetahuan tentangnya secara obyektif. Penafsir, dalam hal ini mendapati dirinya dalam situasi hermeneutika tertentu vis a vis tradisi yang hendak dipahaminya. Begitu juga pemahaman Kiai Idris Jauhari terhadap konsepsi pesantren diyakini juga tidak keluar dari situasi hermeneutika uang mengitarinya. Pentingnya situasi hermeneutika inilah yang memungkinkan Kiai Idris Jauhari bisa melakukan pembacaan yang yang bersifat positif dan produktif. Situasi hermeneutika ini memberikan basis pra-pemahaman ketika berhadapan dengan literatur tentang pesantren. Sumber data dalam penelitian ini sepenuhnya berasal dari bahan pustaka (library research). Sumber data dalam penelitian ini dipilah menjadi sumber data primer dan skunder. Data primer dalam penelitian ini adalah karya-karya Kiai Idris yang berisikan tentang pembahasan fikih, tasawuf dan pendidikan. Karya-karya tersebut meliputi : a. Adap Sopan Santun b. Bimbingan Pribadi santri c. Cara Belajar Efektif dan Efisien d. Ilmu Jiwa Umum e. Ilmu Jiwa Pendidikan f. Anak Muda Menjadi Sufi Mengapa Tidak?, g. Mengajar Sukses h. Pembudayaan Hidup Islami>, ma’hadi> dan Tarbawi i. Generasi Rabbi> Radiyya> j. Dzikrulla>h Sepanjang Waktu
H. Sistematika Pembahasan Agar penelitian ini lebih terstruktur dan mempermudah peneliti dalam pembahasannya, maka peneliti menyusun sistematika sebagai berikut: BAB I : Pendahuluan A. Latar belakang masalah B. Identifikasi dan batasan masalah C. Rumusan masalah D. Tujuan penelitian E. Kegunaan F. Penelitian Terdahulu G. Metode penelitian H. Sistematika pembahasan BAB II : Tinjauan umum tentang pondok pesantren A. Gambaran umum tentang pondok pesantren di Indonesia B. Kurikulum pendidikan di pesantren C. Kajian fikih dan tasawuf dalam pendidikan di pesantren D. TMI Al-Amien Prenduan: Salah satu potret pesantren di Madura BAB III : Setting Penelitian A. Biografi dan latar belakang pendidikan Kiai Muhammad Idris Jauhari B. Karya-karya dalam dunia pendidikan Kiai Muhammad Idris Jauhari C. Karya dalam bidang fikih Kiai Muhammad Idris Jauhari D. Karya dalam bidang tasawuf Kiai Muhammad Idris Jauhari
BAB IV : Analisa Data A. Konsep pesantren menurut Kiai Idris Jauhari B. Kerangka epistemologi Kiai Idris Jauhari dalam membangun konsepsi tentang pesantren C. Titik singgung konsepsi pendidikan Kiai Idris Jauhari dengan relasi fikih, tasawuf dan pendidikan BAB V : Penutup A. Kesimpulan B. Saran
DAFTAR PUSTAKA SEMENTARA A. Rofiq, dkk. Pemberdayaan Pesantren. Yogyakarta: LKiS, 2005. Djamaluddin & Abdullah Aly. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 1998. Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Logos, 2001. Nurcholis Madjid. Bilik-Bilik Pesantren. Jakarta: Paramadina, 1997. Shalih Ahmad asy-Syami, Al-Imâm al-Ghazâlî: Hujjah al-Islâm wa Mujaddid alMiah al-Khâmisah. Zamakhsyari Dhofier. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1982.