NERACA KARBON : METODE PENDUGAAN EMISI CO2 DI LAHAN GAMBUT Cahya Anggun Sasmita Sari1), Lidya Astu Widyanti1), Muhammad Adi Rini1), Wahyu Isma Saputra1) 1) Program Studi Rekayasa Kehutanan, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung Abstrak : Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB Litbang SDLP, 2008). Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan permintaan terhadap produk seperti kelapa sawit dan pertanian maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya dianggap sebagai lahan marjinal, seperti lahan gambut, menjadi salah satu sasaran perluasan lahan pertanian atau perkebunan kelapa sawit. Apabila hutan gambut ditebang dan dibakar yang dilakukan untuk konversi lahan, maka karbon tersimpan pada gambut akan hilang dan menjadi gas CO 2. Perhitungan emisi carbon berupa CO2 berguna untuk menduga seberapa besar emisi yang ditimbulkan suatu hutan rawa gambut jika dibandingkan bila lahan tersebut dikonversi atau dialihfungsikan seperti perkebunan sawit. Rumus Emisi CO2 : E = (Ea + Ebb + Ebo – Sa) / Δt. Kata kunci : lahan gambut, emisi karbon, konversi lahan Abstract : Indonesia has the largest peatland among tropical countries, which is about 21 million ha, spread mainly in Sumatra, Kalimantan and Papua (BB SDLP Research, 2008). Peat is formed from the pile remains of dead plants, either already obsolete or not. In line with the increase in population and demand for products such as palm oil and agriculture, the need for expansion of agricultural land and plantations also increased. Land that was once considered as marginal land, such as peatlands, became one of the targets expansion of farmland or oil palm plantations. If the peat forests cut down and burnt committed to land conversion, the carbon stored in the peat will be lost and become CO2. Calculation of carbon emissions in the form of CO2 is useful to estimate how much emissions posed a peat swamp forest than when land is converted, or converted as oil palm plantations. CO2 Emissions formula: E = (Ea + Ebb + Ebo - Sa) / Δt Keywords: peatland, carbon emission, land conversion
PENDAHULUAN Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (Corganik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk (Agus, F dan Made Subiksa, I.G.). Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB Litbang SDLP, 2008). Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan permintaan terhadap produk seperti kelapa sawit dan pertanian maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya dianggap sebagai lahan marjinal, seperti lahan gambut, menjadi salah satu sasaran perluasan lahan pertanian atau perkebunan kelapa sawit. Selain berpotensi memberikan tambahan devisa dan kesempatan kerja bagi masyarakat, lahan gambut juga
merupakan penyangga ekosistem terpenting karena simpanan karbon dan daya simpan airnya yang sangat tinggi. Pengurangan simpanan karbon pada lahan gambut juga dapat diakibatkan oleh konversi lahan gambut menjadi lahan perkebunan sawit. Apabila hutan gambut ditebang dan dibakar yang dilakukan untuk konversi lahan, maka karbon tersimpan pada gambut akan hilang dan menjadi gas CO 2 (salah satu gas rumah kaca terpenting). Oleh karena itu penting untuk Mahasiswa Rekayasa Kehutanan ITB untuk menduga emisi karbon pada lahan gambut sehingga dapat mengetahui pengurangan dan penambahan karbon pada lahan gambut. Tujuan dari penulisan jurnal ini dibuat untuk menduga emisi karbon pada lahan gambut yang diakibatkan oleh faktor tertentu. TINJAUAN PUSTAKA 1. Lahan Gambut Tanah gambut terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tanaman purba yang mati dan sebagian mengalami perombakan, mengandung minimal 12 – 18% C organik dengan ketebalan minimal 50 cm. Secara
taksonomi tanah disebut juga sebagai tanah gambut, histosol atau organosol bila memiliki ketebalan lapisan gambut > 40 cm, bila bulk density > 0,1 g/cm3 (Widjaja Adhi, 1986). Gambut memiliki banyak istilah padanan dalam bahasa inggris, antara lain disebut peat, bog, moor, mure atau fen. Istilah-istilah ini berkenaan dengan perbedaan jenis atau sifat gambut antara satu tempat dan tempat lainnya. Gambut dapat diartikan sebagai material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basa berlebihan, bersifat tidak mampat, dan tidak atau hanya sedikit menagalami perombakan. Dalam pengertian ini, tidak berarti dalam setiap timbunan bahan organik yang basah adalah gambut (Noor, 2001). Gambut terbentuk dari timbunan sisasisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya danau dangkal yang secara perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah. Tanaman yang mati dan melapuk secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi lapisan transisi antara lapisan gambut dengan substratum (lapisan di bawahnya) berupa tanah mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari danau dangkal ini dan secara perlahan membentuk lapisan-lapisan gambut sehingga danau tersebut menjadi penuh (Gambar 2.2a dan 2.2b).
Gambar 2.2 Proses pembentukan gambut di daerah cekungan lahan basah: a. Pengisian danau dangkal oleh vegetasi lahan basah, b.
Pembentukan gambut topogen, dan c.pembentukan gambut ombrogen di atas gambut topogen (Noor, 2001 mengutip van de Meene, 1982). Bagian gambut yang tumbuh mengisi danau dangkal tersebut disebut dengan gambut topogen karena proses pembentukannya disebabkan oleh topografi daerah cekungan. Gambut topogen biasanya relatif subur (eutrofik) karena adanya pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu tertentu, misalnya jika ada banjir besar, terjadi pengkayaan mineral yang menambah kesuburan gambut tersebut. Tanaman tertentu masih dapat tumbuh subur di atas gambut topogen. Hasil pelapukannya membentuk lapisan gambut baru yang lama kelamaan membentuk kubah (dome) gambut yang permukaannya cembung (Gambar 2.2c). Gambut yang tumbuh di atas gambut topogen dikenal dengan gambut ombrogen, yang pembentukannya ditentukan oleh air hujan. Gambut ombrogen lebih rendah kesuburannya dibandingkan dengan gambut topogen karena hampir tidak ada pengkayaan mineral. Lahan gambut hanya meliputi 3% dari luas daratan di seluruh dunia, namun menyimpan 550 Gigaton C atau setara dengan 30% karbon tanah, 75% dari seluruh karbon atmosfir, setara dengan seluruh karbon yang dikandung biomassa (massa total makhluk hidup) daratan dan setara dengan dua kali simpanan karbon semua hutan di seluruh dunia (Noor, 2001 mengutip van de Meene, 1982). 2. Sumber Karbon (Carbon Stock) Tanaman atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun di kebun campuran (agroforestri) merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan C (rosot C = C sink) yang jauh lebih besar daripada tanaman semusim. Oleh karena itu, hutan alami dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang dan serasah yang banyak merupakan gudang penyimpanan C tertinggi (baik di atas maupun di dalam tanah). Hutan juga melepaskan CO 2 ke udara lewat respirasi dan dekomposisi (pelapukan) serasah, namun pelepasannya terjadi secara bertahap, tidak sebesar bila ada pembakaran yang melepaskan CO2 sekaligus dalam jumlah yang besar. Bila hutan diubah fungsinya menjadi lahan-lahan pertanian atau perkebunan atau ladang pengembalaan maka C tersimpan akan merosot. Berkenaan dengan upaya pengembangan lingkungan bersih, maka jumlah CO2 di udara harus dikendalikan dengan jalan meningkatkan jumlah serapan
CO2 oleh tanaman sebanyak mungkin dan menekan pelepasan (emisi) CO2 ke udara serendah mungkin. Jadi, mempertahankan keutuhan hutan alami, menanam pepohonan pada lahan-lahan pertanian dan melindungi lahan gambut sangat penting untuk mengurangi jumlah CO2 Penghitungan emisi dapat dilakukan dengan menghitung perbedaan cadangan karbon (carbon stock) pada waktu tertentu (stock difference method). Perbedaan cadangan karbon tersebut menunjukkan terjadinya pengurangan atau penambahan stok (emisi atau sink). Untuk pengukuran karbon di tingkat subnasional atau skala proyek REDD, dilakukan melalui kombinasi pengukuran karbon di lapangan (ground survey) dan remote sensing (TPIBLK 2010b). yang berlebihan di udara (Hairiah dan Rahayu, 2007). Karbon hutan tersimpan dalam bentuk biomassa sehingga untuk mengetahui kandungan karbon yang tersimpan dalam hutan dapat diperoleh dengan memperkirakan kandungan biomassa hutan. Biomassa hutan didefinisikan sebagai jumlah total bobot kering semua bagian tumbuhan hidup, baik untuk seluruh atau sebagian tubuh organisme, populasi atau komunitas dan dinyatakan dalam berat kering oven per satuan area (ton/unit area) (Krisnawati, 2010). Peningkatan penyerapan cadangan karbon dapat dilakukan dengan: (a) meningkatkan pertumbuhan biomasa hutan secara alami, (b) menambah cadangan kayu pada hutan yang ada dengan penanaman pohon atau mengurangi pemanenan kayu, dan (c) mengembangkan hutan dengan jenis pohon yang cepat tumbuh. Karbon yang diserap oleh tanaman disimpan dalam bentuk biomasa kayu, sehingga cara yang paling mudah untuk meningkatkan cadangan karbon adalah dengan menanam dan memelihara pohon (Hairiah dan Rahayu, 2007). Sutaryo (2009) mengemukakan dalam inventarisasi karbon hutan, carbon pool yang diperhitungkan setidaknya ada 4 kantong karbon. Keempat kantong karbon tersebut adalah : 1) Biomassa atas permukaan, semua material hidup di atas permukaan. Termasuk bagian dari kantong karbon ini adalah batang, tunggul, cabang, kulit kayu, biji dan daun dari vegetasi baik dari strata pohon maupun dari strata tumbuhan bawah di lantai hutan. 2) Biomassa bawah permukaan, semua biomassa dari akar tumbuhan yang hidup. Pengertian
akar ini berlaku hingga ukuran diameter tertentu yang ditetapkan. Hal ini dilakukan sebab akar tumbuhan dengan diameter yang lebih kecil dari ketentuan cenderung sulit untuk dibedakan dengan bahan organik tanah dan serasah. 3) Bahan organik mati meliputi kayu mati dan serasah. Serasah dinyatakan sebagai semua bahan organik mati dengan diameter yang lebih kecil dari diameter yang telah ditetapkan dengan berbagai tingkat dekomposisi yang terletak di permukaan tanah. Kayu mati adalah semua bahan organik mati yang tidak tercakup dalam serasah baik yang masih tegak maupun yang roboh di tanah, akar mati, dan tunggul dengan diameter lebih besar dari diameter yang telah ditetapkan. 4) Karbon organik tanah mencakup karbon pada tanah mineral dan tanah organik termasuk gambut. 3. Emisi Karbon Emisi dan penambatan karbon pada lahan gambut berlangsung secara simultan, namun besaran masing-masingnya tergantung keadaan alam dan campur tangan manusia. Dalam keadaan hutan alam yang pada umumnya jenuh air (suasana anaerob), penambatan (sekuestrasi) karbon berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan dekomposisi. Karena itu gambut tumbuh dengan kecepatan 18 antara 0-3 mm tahun-1 (Parish et al., 2007). Pada tahun-tahun di mana terjadi kemarau panjang, misalnya tahun El-Nino, kemungkinan besar gambut tumbuh negatif (menipis) disebabkan lapisan permukaannya berada dalam keadaan tidak jenuh (aerob) dalam waktu yang cukup lama sehingga emisi karbon lebih cepat dari penambatan. Gas rumah kaca (GRK) utama yang keluar dari lahan gambut adalah CO2, CH4 dan N2O. Emisi CO2 jauh lebih tinggi dibandingkan dengan emisi CH4 (walaupun dikalikan dengan global warming potentialnya setinggi 23 kali CO2) dan emisi N2O. Dengan demikian data emisi CO2 sudah cukup kuat untuk merepresentasikan emisi dari lahan gambut, apabila pengukuran GRK lainnya seperti CH 4 dan N2O sulit dilakukan. Konversi hutan dan pengelolaan lahan gambut, terutama yang berhubungan dengan drainase dan pembakaran, merubah fungsi lahan gambut dari penambat karbon menjadi sumber emisi GRK. Lahan hutan terganggu yang kayunya baru ditebang secara selektif dan terpengaruh drainase, emisinya meningkat tajam (Tabel 1). (Jauhiainen et al., 2004 dalam Rieley et al., 2008).
Tabel 1 Emisi karbon dari permukaan hutan gambut terdegradasi dan dari lahan pertanian gambut terlantar di Kalimantan Tengah (Jauhiainen et al., 2004 dalam Rieley et al., 2008).
Hal ini disebabkan oleh banyaknya bahan organik segar yang mudah terdekomposisi pada hutan terganggu. Emisi CH4 cukup signifikan pada lahan hutan gambut yang tergenang atau yang muka air tanahnya dangkal (<40 cm). Dengan bertambahnya kedalaman muka air tanah, emisi CH4 menjadi tidak nyata. (Jauhiainen et al., 2004). HASIL DAN PEMBAHASAN Pembentukan gambut ditentukan oleh laju masukan dan dekomposisi bahan organik, suhu dan kondisi aerasi. Masukan bahan organik untuk pembentukan gambut berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang tumbuh diatasnya. Pada kondisi jenuh air, ruang pori gambut ditempati oleh air yang menghambat suplai oksigen yang dibutuhkan dalam proses dekomposisi aerobik sehingga laju dekomposisi aerobik terhambat. Dekomposisi anaerobik tetap berlangsung tetapi dengan laju yang lambat. Sebaliknya, dalam kondisi tidak jenuh ruang pori gambut ditempati oleh udara yang menyediakan suplai oksigen untuk dekomposisi aerobik. Semakin tinggi suhu tanah semakin cepat laju dekomposisi. Pada kondisi alami, hutan rawa gambut terdiri atas tiga komponen utama: vegetasi, gambut dan hidrologi. Vegetasi memberikan input bahan organik dan dekomposisi serta emisi merupakan keluaran dari sistem neraca karbon. Perhitungan emisi carbon berupa CO2 berguna untuk menduga seberapa besar emisi yang ditimbulkan suatu hutan rawa gambut jika dibandingkan bila lahan tersebut dikonversi atau dialihfungsikan seperti perkebunan sawit. Rumus Emisi CO2 : E = (Ea + Ebb + Ebo – Sa) / Δt
(1)
Keterangan: Ea = Emisi karena terbakarnya jaringan dipermukaan tanah, misalnya pada waktu pembukaan lahan. Ea = C tanaman yang terbakar * 3,67 (2) (Angka 3,67 adalah faktor konversi dari C ke CO2. Berat atom C = 12, berat atom O = 16, maka CO2/C = (12+(16x2) / 12 atau 44/12 = 3,67) Jika hutan gambut memiliki kandungan C tanaman sebanyak 100 t/ha, maka: Ea = 100 t C/ha * 3,67 CO2/C = 367 t CO2/ha Jika lahan yang diperhitungkan seluas 6.000 ha (Asumsi luas merupakan skala ekonomis perkebunan kelapa sawit), maka jumlah emisi: Ea = 367 t CO2/ha *6.000 ha = 2.202.000t CO2 Ebb = Emisi karena kebakaran gambut. Ebb = volume gambut terbakar (m3) * Cd (t C/m3) * 3,67 CO2/C (3) Misalnya jika 6.000 ha gambut terbakar dengan kedalaman rata-rata 12 cm (berdasarkan data Indonesian Forest Carbon Assembly (IFCA), 2008), maka: Volume gambut terbakar = 0,12 m * 60.000.000 m2 = 7.200.000 m3. Cd = Db * C (4) dimana Db = bulk density atau bobot isi gambut; C = % C organik. Jika Cd = 0,04 t/m3 (hasil taksiran berdasarkan Agus et al. 2011), maka: Ebb = 7.200.000 m3 * 0,04 t C/m3 * 3,67 CO2/C = 1.056.960 t CO2 Ebo = Emisi dari dekomposisi gambut. Terdapat 4 pendekatan untuk menduga nilai Ebo, tergantung pendekatan mana yang akan dipakai. Pendekatan tersebut antara lain: a) Pengukuran flux emisi GRK menggunakan Gas Cromatography (GC) ataupun dapat juga digunakan Infra Red Gas Analyzer (IRGA). b) Hubungan empiris, bahwa bertambahnya kedalaman drainase setiap cm maka emisi CO 2 dari dekomposisi gambut meningkat setinggi = 0,91 t/ha/th (untuk kedalaman saluran drainase 30 – 120 cm). Misalnya, hutan gambut yang tidak ada saluran drainase dirubah untuk perkebunan kelapa sawit dengan kedalaman drainase 60 cm maka akan terjadi peningkatan emisi sebesar: Ebo = 0,91 t CO2/ha/th/cm * 60 cm = 54,6 t CO2/ha/th. Apabila luas lahan yang dikonversi 6.000 ha untuk satu siklus perkebunan kelapa sawit selama 25 th, maka:
Ebo = 54,6 t CO2/ha/th * 6.000 ha * 25 th = 8.190.000 t CO2 c) Pendugaan berdasarkan penurunan permukaan gambut (subsiden). Menurut Wosten et al (1997) subsiden berlangsung sangat cepat beberapa tahun pertama sesudah gambut didrainase dan kemudian akan mencapai kestabilan sekitar 2 cm/th. Dijelaskan lebih jauh bahwa dengan asumsi tidak terjadi kebakaran, maka dekomposisi gambut menyumbang 60% terhadap subsiden sedangkan pemadatan (konsolidasi) menyumbang 40%. Berdasarkan prinsip tersebut, apabila dalam 25 tahun gambut mengalami subsiden setinggi 100 cm maka 60% * 100 cm = 60 cm dari subsiden tersebut disebabkan oleh dekomposisi gambut. Jika
kerapan karbon Cd = 0,04 t/m3 maka dari 6.000 ha lahan emisi yang terjadi: Ebo = 0,60 m * 0,04 t C/m3 * 3,67 t CO2/C * 6.000 ha * 10.000 m2/ha = 5.284.800 t CO2 d) Pendugaan berdasarkan perubahan karbon tersimpan pada gambut. Pendugaan didasarkan atas karbon tersimpan pada gambut pada waktu t1, sewaktu lahan gambut masih dalam bentuk hutan dan pada waktu t2, misalnya pada akhir siklus perkebunan sawit. Pengukuran dilakukan per lapisan gambut mulai dari permukaan hingga ditemukan lapisan liat pada dasar (subtratum) lahan gambut. Contoh perhitungan diberikan pada tabel 1.
Tabel 2 Tabel pendugaan berdasarkan perubahan karbon tersimpan pada gambut (Wosten et al, 1997)
Sa = Sekuestrasi atau penambahan karbon oleh tanaman atau rata-rata waktu simpan kandungan karbon pada jaringan tanaman (t/ha) * 3,67. Misalnya, jika pertambahan kandungan karbon rata-rata waktu dari satu siklus ekonomi kelapa sawit 25 tahun = 40 t C/ha, maka untuk 6.000 ha lahan, sumbangannya dalam mengurangi CO 2 di atmosfir = 40 t C/ha * 6.000 ha * 3,67 t CO2/C = 880.000 t CO2. Δt = Perbedaan atau lamanya waktu yang diperhitungkan. Penetapan lamanya waktu tergantung keperluan; bisa dalam hitungan menit, jam, sampai tahunan. Untuk
perdagangan karbon pada umumnya digunakan skala waktu yang panjang sesuai dengan lamanya perjanjian; misalnya selama satu siklus ekonomi tanaman kelapa sawit (25 tahun). Apabila lahan gambut dirubah menjadi kebun kelapa sawit, kemungkinan besar hanya terjadi sekali kebakaran hutan (biomassa tanaman) dan kebakaran lahan gambut. Dengan demikian emisi rata-rata tahunan menjadi lebih kecil dengan semakin panjangnya waktu produksi yang diperhitungkan, sehingga nilai Ea dan Ebb