PROGRAM PEMBELAJARAN FISIKA DENGAN KONTEKS BUDAYA SENTANI UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP GETARAN DAN BUNYI

PROGRAM PEMBELAJARAN FISIKA DENGAN KONTEKS BUDAYA SENTANI UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP GETARAN DAN BUNYI Triwiyono dan Liliasari FKIP Universitas Cenderawasih Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia [email protected]

Abstract: Physics Learning Program using Indigenous Science of Sentani’s Culture to Improve Vibration and Sound Concepts. The research aimed at creating the programme of learning physics related to the Sentani cultural context. The learning programme was about how to enhance the conceptual mastery of the 8th grade students about vibration and sound. The samples were 154 students of Junior High School in Sentani District of Jayapura. Quasi experimental method of non-equivalent group pretest-postest design was applied to see the effectiveness of the learning programme implementation. Collected data were then analized on N-gain mean for both groups’ achievements. Statistically, the N-gain mean at the significant level of 0.05 of the two groups showed significant difference for all of the topics. Abstrak: Program Pembelajaran Fisika dengan Konteks Budaya Sentani untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Getaran dan Bunyi. Penelitian bertujuan untuk menciptakan program belajar fisika berhubungan dengan konteks budaya Sentani dalam rangka meningkatkan penguasaan konseptual dari siswa kelas 8 tentang getaran dan bunyi. Sampel penelitian adalah 154 siswa SMP Negeri di Kecamatan Sentani Jayapura. Penelitian ini menerapkan metode quasi eksperimen non-equivalent groups pretest-posttest design untuk melihat efektivitas pelaksanaan program belajar. Data yang dikumpulkan kemudian dianalisa N-gain nya. Secara statistik, N-gain signifikan pada tingkat kepercayaan kesalahan 0,05 dari dua kelompok. Hal tersebut menunjukkan perbedaan yang signifikan pada semua topik. Kata Kunci : Pembelajaran Fisika, Konteks Budaya, Sentani

Salah satu masalah pokok dalam pembelajaran IPA di sekolah adalah daya serap siswa yang masih rendah. Rendahnya daya serap siswa tersebut tercermin pada kualitas pendidikan di Indonesia. Prestasi para siswa Indonesia dalam ajang internasional yaitu TIMSS (Trend in International Mathematics and Science Study) tahun 2006 dalam bidang IPA, Indonesia menduduki peringkat 35 dari 48 negara yang berpartisipasi (IEA, 2007). Sementara itu, prestasi literasi sains pada PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2006, Indonesia menempati urutan 50 dari 57 negara (OECD,2008). Kondisi ini tentunya merupakan hasil pembelajaran yang masih bersifat konvensional, yaitu proses pembelajaran didominasi guru dan tidak memberikan akses bagi siswa untuk berkembang secara mandiri melalui penemuan dan proses berpikirnya. Meskipun demikian, guru lebih suka menerapkan

model tersebut sebab tidak memerlukan alat dan bahan praktek, cukup menjelaskan konsepkonsep yang ada pada buku atau referensi lain. Berdasarkan permasalahan itu, perlu diciptakan suatu pembelajaran bermakna sehingga tercipta suatu lingkungan belajar yang memungkinkan terjadi interaksi antara guru dan siswa yang menyenangkan. Komunikasi guru dan siswa sangat penting sehingga mereka dapat saling membantu. Berdasarkan pengamatan di lapangan, didapatkan kesan bahwa guru fisika sering dikatakan galak, tidak suka senyum, dan menakutkan, sehingga relasi dengan siswa jauh. Keberhasilan siswa dalam belajar IPA bergantung pada 1) tingkat perbedaan budaya keseharian dan sekolah yang dirasakan oleh siswa, 2) tingkat keefektifan siswa dalam melintasi batas budaya, dan 3) bantuan guru yang diberikan kepada siswa selama melakukan transisi budaya. Karena itu dalam belajar sains 89

Wiryono, Pembelajaran Fisika dengan Konteks Budaya Sentani

perlu mempertimbangkan konteks budaya sebagai kerangka pengajaran, beberapa konflik yang muncul dalam pikiran siswa berakibat rendahnya partisipasi siswa dalam mengikuti pelajaran terutama untuk siswa dari negaranegara non-barat (Waldrip & Taylor, 1999). Pengaruh latar belakang budaya siswa terhadap pembelajaran ada dua macam, yaitu 1) jika pembelajaran sains di sekolah yang sedang dipelajari selaras dengan budaya keseharian siswa maka proses pembelajaran sains akan mendukung cara pandang siswa terhadap alam sekitarnya. Proses pembelajaran seperti itu disebut dengan proses enkulturasi. Jika proses pembelajaran sains di sekolah tidak selaras dengan dunia keseharian siswa serta guru berusaha untuk memaksa kebenaran materi pelajaran yang disampaikan dengan cara memarjinalkan budaya siswa, maka akibatnya siswa akan menolak atau hanya akan menerima sebagian materi saja yang disampaikan guru (Aikenhead dan Jegede, 1999). Pendapat itu diperkuat oleh Basttiste dan Kawagley (Barnhardt, 2005) yang menyatakan bahwa jika pembelajaran dimulai dengan apa yang telah diketahui siswa berdasarkan budaya kesehariannya maka siswa akan lebih termotivasi untuk belajar. Aikenhead (1997) berpendapat bahwa sains merupakan sesuatu hal yang asing untuk sebagian siswa, apakah mereka hidup di negara barat atau hidup di negara non-barat. Keasingan ini muncul karena adanya perbedaan budaya keseharian siswa dengan budaya sekolah. Dalam pembelajaran sains Aikenhead dan Jegede (1999), menyarankan kepada para guru sains untuk 1) mengenali sains barat sebagai suatu budaya, 2) mengakui adanya variasi siswa dalam melintasi batas budaya ketika mereka bertransisi dari dunia keseharian ke dunia sekolah, 3) menggunakan teori belajar kolateral untuk membuat kepekaan terhadap konflik kognitif yang dialami siswa, 4) mempertimbangkan berbagai cara untuk mengatasi konflik kognitif yang dialami ketika siswa membangun pengetahuan di kelas dari konsekuensi adanya perbedaan budaya rumah dan sekolah, 5) membantu siswa dalam melintasi batas budaya yaitu melakukan transisi budaya dari budaya rumah ke budaya sekolah/sains. Dalam artikel ini dilaporkan hasil penelitian tentang pembelajaran dengan konteks budaya lokal yang dilakukan di Jayapura. Pembelajaran ini menghadapkan siswa dengan masalah-masalah nyata dan kontekstual (real

90

world problems). Tujuan penelitian ini secara umum adalah mengembangkan pembelajaran topik getaran dan bunyi dengan berorientasi pada konteks budaya lokal, sedangkan tujuan khususnya adalah meningkatkan penguasaan konsep siswa. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen. Penggunaan metode kuasi eksperimen dalam penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang pengaruh pembelajaran fisika dengan konteks budaya lokal terhadap hasil belajar fisika pada topik getaran dan bunyi. Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu variabel bebas (metode pembelajaran) dan variabel terikat (hasil belajar). Rancangan penelitian model kuasi ekpserimen non-equivalent groups pretestposttest design. Siswa kelompok eksperimen diajarkan menggunakan pembelajaran dengan konteks budaya, sedangkan kelompok kontrol diajarkan dengan metode konvensional. Kelas Eksperimen (KE) : O X1 O’ Kelas Kontrol (KK) : O X2 O’ (Diadaptasi dari McMillan & Schumacher, 2001). Keterangan : O = pretest O’ = posttest X1 = pembelajaran dengan konteks budaya. X2 = pembelajaran konvensional. Subyek Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada kelas delapan SMP di kabupaten Jayapura, dalam pelaksanaan penelitian sampel di pilih tiga sekolah yang masing-masing mewakili peringkat dengan kategori sekolah tinggi, sedang, dan rendah dalam pencapaian Ujian Nasional (UN) tahun ajaran 2007/2008. Tiga sekolah yang dijadikan sampel disajikan pada tabel 1. Tabel 1. Deskripsi sampel penelitian. No.

1

Nama Sekolah

SMPN A

Kategori Pencapaian Hasil UN Tahun Ajaran 2007/2009 Tinggi

Jumlah Siswa Kelom-pok Eksperimen

Kelompok Kontrol

31

33

91

FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 30, NOMOR 1, JUNI 2010

Tabel 1. Deskripsi sampel penelitian (Lanjutan) No.

2 3

Nama Sekolah

Kategori Pencapaian Hasil UN Tahun Ajaran 2007/2009 SMPN B Sedang SMPN C Rendah Jumlah

Jumlah Siswa Kelom-pok Eksperimen

Kelompok Kontrol

29 15 75

30 16 79

Analisis Data Data yang diperoleh pada penelitian ini merupakan data kuantitatif yaitu data tentang skor tes penguasaan konsep pada topik getaran dan bunyi. Data dianalisis dengan statistik uji perbedaan rata-rata, uji t digunakan untuk data yang berdistribusi normal dan uji U Mann Whitney untuk data yang berdistribusi tidak normal. Hasil belajar siswa dianalisis berdasarkan pencapaian skor gain ternormalisasi (N-gain), sedangkan pengolahan data dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 16.0.

Uji Coba Instrumen Uji coba instrumen dilaksanakan terhadap siswa kelas sembilan SMP A Sentani dan SMP B Sentani di Kabupaten Jayapura. Responden uji coba dipilih secara random sebanyak 54 siswa. Hasil uji coba dianalisis dengan menggunakan ANATES versi 4.0. Berdasarkan hasil analisis butir soal dari 23 item tes, tiga diantaranya dinyatakan gugur karena tidak memenuhi kriteria item tes yang baik. Tabel 2 menunjukkan karakteristik butir soal berdasarkan analisis butir. Tabel 2. Karakteristik butir soal Karakteristik

Nilai

Tingkat kemudahan rata-rata

0,43

Daya pembeda rata-rata

0,36

Homogenitas butir soal rata-rata

0,33

Koefisien Reliabilitas

0,64

Pengembangan Program Pembelajaran Dalam pembelajaran dikembangkan aktivitas siswa dengan melaksanakan beberapa percobaan sederhana. Pada topik getaran dan bunyi ini pengetahauan tradisional tentang gempa bumi dan petir serta hasil karya seni masyarakat Sentani yang berupa tifa digunakan sebagai sumber belajar. Peristiwa gempa bumi dan terjadinya petir menurut pandangan masyarakat Sentani disajikan di awal pembelajaran untuk menarik perhatian dan minat belajar siswa serta sebagai media aktivasi konsepsi siswa. Tifa digunakan sebagai alat percobaan untuk menanamkan konsep getaran dan bunyi. Berikut ini disajikan bagian dari pada kegiatan belajar siswa. Bagian penyajian pengetahuan tradisional tentang gempa bumi yang berkaitan dengan topik getaran. Guru: Siapa diantara kalian yang belum pernah merasakan gocangan akibat gempa bumi? Siswa: “semua sudah pernah merasakan bapak” Guru: Apa yang bisa anda rasakan saat terjadi gempa bumi? Siswa: Bumi bergoyang, bumi bergetar, badan goyang-goyang. Guru: Siapa diantara kalian yang merupakan anak asal Sentani/papa mama berasal dari Sentani ? (beberapa siswa mengangkat tangan) Guru: Gempa bumi di daerah Sentani ini disebut apa? (beberapa anak yang asli Sentani menjawab “Onyeu”) Guru: Bagaimanakah ceritera masyarakat Sentani tentang Gempa bumi? (salah satu anak menjawab ”pertanda akan berganti musim bapak”) Guru: Menyajikan cerita gempa bumi menurut pandangan masyarakat Sentani sebagai berikut. Gempa bumi oleh masyarakat Sentani disebut dengan ”Onyeu” artinya matahari mulai berbalik arah......dan seterusnya. Lalu apabila terjadi gempa bumi masyarakat Sentani meyakini sebagai pertanda akan datang musibah.....dan seterusnya.

Wiryono, Pembelajaran Fisika dengan Konteks Budaya Sentani

Bagian penyajian pengetahuan tradisional tentang petir yang berkaitan dengan topik gelombang (termasuk gelombang suara) Guru: Apa yang kalian ketahui tentang petir? Siswa: Ada cahaya dan bunyi keras, petir menakutkan, ada petir terjadi hujan. Guru: Apa sebutan petir bagi masyarakat Sentani? (tidak seorang pun anak bisa menjawab). Guru: Masyarakat Sentani menyebut petir dengan istilah ”wili” dan guntur disebut ” qurru”. Guru: Kalau ceritera tentang petir ada yang tahu? (tidak seorang pun anak bisa menjawab) Guru: Menyajikan ceritera petir menurut pengetahuan masyarakat Sentani sebagai berikut. Petir bagi masyarakat Sentani disebut ”Wili” dan guntur disebut ”qurru”. Bagi masyarakat Sentani petir terjadi karena matahari murka akibat perbuatan manusia........dan seterusnya. Bagian penyajian materi pembelajaran berkaitan dengan penggunaan benda hasil karya budaya berkaitan dengan topik geteran dan bunyi

92

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. menampilkan N-gain rata-rata yang dicapai siswa kelompok kontrol dan kelompok eksperimen pada topik getaran dan bunyi. Tabel 3 merupakan hasil analisis statistik N-gain penguasaan konsep. Pada topik getaran pencapaian N-gain rata-rata siswa kelompok kontrol 0,13, sedangkan untuk siswa kelompok eksperimen 0,38 sehingga perbedaannya adalah 0,25. Topik bunyi siswa kelompok kontrol memperoleh N-gain rata-rata 0,18, sedangkan siswa kelompok eksperimen memperoleh N-gain rata-rata 0,51 sehingga perbedaanya adalah 0,33. N-gain hasil pembelajaran dengan konteks budaya pada kedua topik termasuk kategori sedang, namun hasil dengan pembelajaran konvensional termasuk rendah. Hasil pengujian statistik N-gain pada taraf signifikansi 0,05 untuk kedua topik yang dicapai kelompok kontrol dan kelompok eksperimen berbeda signifikan. Hasil pengujian itu menunjukkan bahwa program pembelajaran dengan konteks budaya lebih efektif dalam meningkatkan penguasaan konsep dbandingkan dengan pembelajaran dengan metode konvensional. 0.6

Membagi siswa dalam beberapa kelompok kecil dan guru membagikan beberapa tifa serta alat percobaan yang lain. Siswa: Mempersiapkan tifa untuk melakukan percobaan. Siswa: Mengukur diameter dan panjang tifa, memukul tifa dan mengamati bunyi yang dihasilkan serta mancatat hasil pengamatan. Percoabaan dilakukan untuk beberapa tifa deangan ukuran diameter dan panjang berbeda-beda. Siswa: Melakukan diskusi dalam kelompok untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut: 1) Ketika anda memukul tifa terdengar bunyi. Mengapa tifa dapat menghasilkan bunyi? Dapatkah anda menyelidikinya?, dan 2) Dapatkah anda menjelaskan mengapa bunyi tifa yang dihasilkan berbeda-beda untuk ukuran tifa yang berbeda-beda? Siswa: Melaksanakan eksperimen dipandu dengan lembar kerja siswa (LKS) untuk topik getaran dan bunyi.

Rata-rata N-gain

0.5

Guru:

0.4 Kontrol

0.3

Eksperimen

0.2 0.1 0 Getaran

Bunyi Topik

Gambar 1. Diagram N-gain rata-rata penguasaan konsep

Tabel 3. Hasil Analisis Statistik N-gain penguasaan konsep Topik

Getaran Bunyi

N-gain rata-rata (g) Kelompok Kelompok eksperimen kontrol

0,38 0,51

0,13 0,18

Nilai p

Ket.

(g)

0,25 0,33

0,000 0,000

Sig. Sig.

93

FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 30, NOMOR 1, JUNI 2010

Peningkatan penguasaan konsep siswa yang belajar dengan konteks budaya ditafsirkan karena pada konteks budaya, siswa dihadapkan dengan budaya dan diberikan contoh nyata yang berkaitan dengan pelajaran, sehingga membuat siswa merasa senang dan termotivasi tinggi dalam belajar karena merasa membutuhkan. Motivasi belajar siswa yang tinggi dapat ditemukan dari hasil observasi dan analisis tanggapan siswa terhadap implementasi konteks budaya. Perasaan senang dan motivasi tinggi yang ada dalam diri siswa akan mendorong siswa untuk melakukan kegiatan belajar-mengajar dengan baik. Menyenangi kegiatan belajar yang tercermin dalam keasyikan mengerjakan tugas belajar dan keinginan untuk terus mengelaborasi pengetahuan/keterampilan adalah fondasi utama bagi siswa untuk dapat mengatur pembelajarannya sendiri (Nazar, 2007). Senada dengan itu Arends (2007) menyatakan pentingnya motivasi intrinsik dan penyadaran minat siswa dalam suatu kegiatan belajar mengajar. Di samping itu, strategi yang diterapkan dalam konteks budaya diawali dengan pengetahuan awal atau konsepsi yang telah dimiliki siswa. Pengetahuan tidak ditransfer begitu saja melalui kata atau simbol, tetapi dalam proses belajar-mengajar pengetahuan dibangun melalui tindakan eksperimen. Siswa banyak diberikan kesempatan untuk mengekspresikan apa yang mereka ketahui dan apa yang mereka tidak ketahui melalui diskusi kelompok, sehingga menantang siswa untuk lebih berpikir dan membangun pengetahuan. Konteks budaya sejalan dengan pengertian konstruktivis bahwa dalam belajar tekanannya pada siswa mengerti dan berpikir melalui belajar sambil bekerja atau melakukan aktivitas, sehingga materi yang dipelajari tidak mudah dilupakan. Implementasi konteks budaya sesuai dengan pendapat Okebukola (Barker et al, 1995) yang menyatakan bahwa latar belakang budaya mempunyai pengaruh yang kuat pada pembelajaran sains. Senada dengan itu Aikenhead dan Jegede (1999), menyatakan bahwa jika pembelajaran sains di sekolah yang sedang dipelajari selaras dengan budaya keseharian siswa, maka siswa akan memberikan respon posistif. Basttiste dan Kawagley (Barnhardt, 2005) menambahkan apabila pembelajaran dimulai dengan apa yang telah diketahui siswa berdasarkan budaya kesehariannya maka siswa akan lebih termotivasi untuk belajar.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan Berdasarkan temuan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa 1) pembelajaran dengan konteks budaya dapat memperbaiki kualitas pembelajaran fisika pada topik getaran dan bunyi, 2) pembelajaran dengan konteks budaya dapat meningkatkan motivasi belajar siswa dan dapat meningkatkan penguasaan konsep siswa, 3) Pembelajaran dengan konteks budaya lebih efektif dalam meningkatkan penguasaan konsep siswa dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Saran Agar dapat melihat kemampuan siswa yang lebih presis maka untuk melakukan penelitian yang sejenis perlu dikembangkan evaluasi yang lebih menekankan pada soal terbuka, yaitu siswa bebas mengemukakan gagasan atau pemikirannya.

DAFTAR RUJUKAN

Aikenhead, G.S. 1997.“Toward a First Nations Cross-Cultural Science and Technology Curriculum”.[Online].Tersedia:http://sch olar.google.co.id/scholar?q=Toward+a+fi rst+Aikenhead&hl=id&btG. Diakses pada tanggal 1 Mei 2008. Aikenhead, G. and Jegede, O.J. 1999. “CrossCultural Science Education: A Cognitive Explanation of a Cultural Phenomenon”. Journal of Research in Science Teaching. 36, 269-287. Arends, R.I. 2007. Learning To Teach. New York: McGraw Hill Companies. Barker, D., Islands, S. and Taylor, P.C.S. 1995. “The Effect of Culture on The Learning of Science in Non-Western Countries: The Result of an Integrated Research Review”. International Journal Science Education.17, (6), 695-704. Barnhardt, R. 2005. “Indigenous Knowledge Systems and Alaska Native Ways of Knowing”. Anthropology and Education Quarterly. 36, 8-23. Depdiknas. 2006. Permendiknas No 22/2006: Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BSNP.

Wiryono, Pembelajaran Fisika dengan Konteks Budaya Sentani

IEA. 2007. Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS). [Online]. http://nces.ed.gov/timss/table07_3.asp. diakses pada tanggal 15 September 2010. McMillan, J.H. and Schumacher, S. 2001. Research in Education: A Conceptual Introduction (Fiveth ed). New York: Addision Wesley Longman, Inc. Nazar. 2006. Merancang Pembelajaran Aktif dan Kotekstual Berdasarkan SISKO 2006. Jakarta: PT. Grasindo.

94

OECD. 2008. Finland Takas Number One Spot in OECD’s Lates PISA Survey, Advance Figure Show. [Oneline]. Tersedia: http://www.oecd.org/dataoecd/42/8/3970 0724.pdf. diakses pada tanggal 15 September 2010 Waldrip, B.G. and Taylor, P.C. 1999. “Permeability of Student’Worldviews to Their School Views in a Non-Western Developing Country”. Journal of Research in Science Teaching. 36, (3),28--303.