www.parlemen.net
PROGRAM LEGISLASI NASIONAL DAN KEBUTUHAN HUKUM RAKYAT Sebuah makalah ringkas, disajikan sebagai rujukan ceramah/diskusi dalam rangka Suatu Workshop dan Focus Group Discussion dengan tema “Program Legislasi Nasional Sebagai Politik Pembangunan Hukum Nasional" yang diselenggarakan oleh Badan Legislasi DPR RI Rabu, 21 Mei 2008 Soetandyo Wignjosoebroto Gurubesar Emeritus Pada Universitas Airlangga
Uraian berikut ini akan berkisar di seputar permasalahan legislasi dalam kehidupan bernegara bangsa, dan kemudian daripada itu juga di sekitar permasalahan sejauh mana hasil legislasi nasional itu bergayungsambut dengan kebutuhan hukum warga masyarakat, khususnya - yang hendak diperbincangkan di sini ialah kepentingan dan kebutuhan hukum mereka yang berstatus sosial-ekonomi di kelas bawah.
Legislasi Dan Permasalahannya Legislasi adalah suatu proses pembentukan undang-undang (lege < lex), yang dilakukan oleh suatu badan yang dibentuk secara khusus untuk tujuan itu, disebut ‘badan legislatif’. Badan semacam ini - di samping badan eksekutif dan badan yudisial - adalah sesungguhnya suatu invensi bangsa-bangsa Eropa Barat yang pada suatu kurun waktu dalam sejarah, di wilayah mereka itu, memperlihatkan suatu proses transisi dari fakta the making of Europe is the making of Kings and Queens ke faktanya yang baru, yang dikenali sebagai proses the making of Europe is the making of nations. Pada era transisi itu, tatkala hukum bukan lagi terwujud sebagai titah-titah raja atau fatwafatwa para ulama yang berfungsi sebagai direksi-direksi, melainkan hasil konsensus rakyat yang (melalui banyak reformasi dan revolusi) telah beralih status dari kawula raja ke warga negara, hukum pun lalu mempunyai prosedur dan bentuknya yang baru. Ialah, bahwa hukum yang akan diakui secara positif sebagai hukum nasional yang resmi haruslah merupakan hasil kesepakatan rakyat, melalui wakil-wakilnya, di suatu badan musyawarah guna mempertemukan dan menyepakatkan kehendak. Hukum sebagai hasil kesepakatan antar-manusia ini ditirumuskan dalam bentuk tulis, diregistrasi dan didokumentasikan untuk kemudian diundangkan. Hukum hasil kesepakatan ini bukanlah hokum sembarang hukum (ius) melainkan hukum yang - karena telah dirumuskan secara positif dan diregistrasi serta diundangkan itu - lalu tekah mempunyai bentuknya yang formal (ius positivum, ius constitutum). Dalam kehidupan nasional, yang berseiring dengan itu juga diideologikan berkarakter demokratik, hukum hasil kesepakatan Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
warga yang tercapai dalam suatu proses dialogik itu diakui sebagai norma yang berstatus paling tinggi, mengatasi norma macam apapun yang belum pernah disepakatkan melalui proses legislasi. Inilah doktrin hukum modern dalam kehidupan nasional yang demokratik yang disebut doktrin supremasi hukum undang-undang (atau 'negara hukum', yang menyiratkan ajaran bahwa pengemban kekuasaan negara pun wajib menaati hukum undang-undang hasil kesepakatan rakyat itu)
Distorsi Dan Kritik Menurut idenya, tak ada yang salah dengan konsep negara hukum dan supremasi hukum undang-undang dalam kehidupan nasional. Bukankah hukum undang-undang itu merupakan manifestasi kesepakatan, dan bukan menyiratkan atau meyuratkan kehendak sepihak yang mampu mengandalkan kekuatan pemaksa berikut ulah kesewenang-wenangannya? Akan tetapi masalah segera mencuat ke permukaan tatkala dalam kenyataannya kesetaraan sosial-ekonomik - dan akibatnya juga kesetaraan sosial-politik - tidak terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Dalam situasi yang aktual seperti itu, mereka yang terpuruk ke dan terperangkap di dalam status sosial-ekonomi bawah akan sulit untuk memperoleh akses guna mengemukakan kepentingan dan kebutuhan hukumnya dalam proses-proses legislasi. Dalam kehidupan yang bermodel demokrasi sekalipun, apabila kehidupan telah terlanjur berseiring dengan suatu konfigurasi yang juga kian bersifat kapitalistik, mereka yang tak berbekal modal tidaklah akan mampu membiayai - tak hanya dalam arti ekonomik akan tetapi juga dalam arti sosial dan politik - upaya guna merebut akses dan lobi untuk ikut berproses dalam proses legislasi. Apabila proses legislasi didominasi oleh mereka dari kelas-kelas mapan, maka produk-produk legislasipun akan terang-terangan membiaskan kepentingan-kepentingan kaum mapan itu. Apabila kaum mapan ini tidak hanya berdominasi dalam ihwal proses legislasi, akan tetapi juga mengontrol metode dan prosedur pendayagunaannya dalam proses-proses yudisial, maka in abstracto (menurut bunyi undang-undangnya) maupun in concreto (dalam setiap pemutusan perkara dari kasus ke kasus) mereka yang berkelas paria tidaklah akan banyak terlindungi oleh hukum undang-undang yang ada. Di sini hukum telah menjadi bagian dari kekuatan struktural yang dikontrol kaum mapan, yang memerlukan pemikiran paradigmatik yang baru guna melakukan pembaharuan reformatif atas dasar kesadaran-kesadaran baru yang lebih altruistic. Manakala reformasi seperti ini gagal, yang akan dating membayang tidak akan lain daripada kegeraman dan ketidaksabaran yang akan mengundang revolusi. Dari sinilah datangnya gerakan untuk memberikan bantuan kepada golongan rakyat dari stratum bawah yang mengalami kesulitan dalam kehidupan nasional, nota bene suatu kehidupan yang mengontrol perilaku warga atas dasar hukum undang-undang yang (malangnya!) telah dibakukan secara sentral menurut kebutuhan hukum mereka yang mapan. Bantuan-bantuan telah diupayakan melalui cara; yang pertama dan terbilang klasik adalah pemberian bantuan hukum (legal aid) kepada mereka yang miskin tatkala harus berperkara di sidang-sidang pengadilan, dan yang kedua ialah pemberian bantuan untuk memperjuangkan kepentingan ke sidang-sidang legislative, yang diistilahi bantuan hokum structural di Indonesia, atau legal service dalam khazanah kepustakaan berbahasa Inggris.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
Masalah Kebutuhan Rakyat Yang Terpuruk di Stratum Bawah Betapapun juga idealistik dan altruistik mereka yang "turun ke bawah" untuk membantu kepentingan golongan miskin dan semua lapisan masyarakat yang lemah dan terdiskriminasi, ada satu masalah yang masih perlu dipikirkan. lalah, apakah para yuris yang aktivis dan populis ini benar-benar memahami kebutuhan kaum miskin yang sesungguhnya, khususnya apabila hendak membawa persoalannya ke sidang-sidang badan legislatif? Apakah sebenarnya yang dibutuhkan oleh mereka yang miskin itu? Siapakah sebenarnya yang berhak mendefinisikan kebutuhan hukum rakyat miskin itu? Mereka yang miskin itu sendiri, ataukah para yuris berdasarkan persepsinya sendiri, yang mungkin saja -- secara subyektif dan di bawah sadar -- masih dipengaruhi oleh kepentingan politik kelasnya sendiri (yang sebenarnya bukan kepentingan kelas bawah ) itu? Dalam percakapan sehari-hari, apa yang disebut 'kebutuhan' (yang di dalam bahasa Inggris diistilahi 'need') dan 'keinginan' (want) tidaklah dibedakan. Akan tetapi, dalam perbincangan kali ini, perbedaan arti antara keduanya perlulah diutarakan. "Kebutuhan" adalah 'kondisi obyektif yang menyatakan hadirnya keharusan dalam diri sejumlah subyek yang tergolong pemuka untuk segera memperoleh sejumlah sumber daya guna memungkinkan kelangsungan eksistensi mereka'. Kebutuhan bukanlah sekedar keinginan, ialah 'suatu kondisi subyektif yang dirasakan mendesak sebagaimana dinyatakan oleh sejumlah subyek awam untuk memperoleh sumberdaya guna memuaskan hajatnya, dan sekaligus meredakan keresahannya'. Pada dasarnya 'kebutuhan' merefleksikan adanya sesuatu yang amat terasa diperlukan, khususnya dalam rentang waktu yang relatif panjang, sementara itu 'keinginan' hanya merefleksikan hadirnya sesuatu hasrat sesaat, yang pemuasannya, untuk kepentingan jangka panjang sebenarnya tidak diperlukan. Dari definisi tersebut di muka ini dapatlah disimpulkan bahwa apa yang disebut 'kebutuhan' itu ialah suatu persyaratan obyektif yang harus dipenuhi guna menjamin kelestarian ekssistensi seseorang atau sekelompok orang dalam jangka yang relatif panjang. Sementara itu, yang disebut 'keinginan' adalah tak lain daripada suatu kondisi subyektif yang dirasakan seseorang atau sekelompok orang untuk memperoleh kepuasan yang berjangka sesaat. Tak pelak lagi, untuk dapat menentukan "kebutuhan sesungguhnya yang obyektif" itu, seseorang haruslah mampu beranalisis untuk memperoleh wawasan atas situasinya yang makro. Sementara itu, untuk "sekedar merasakan keinginannya yang subyektif', seseorang cukuplah apabila mampu bertindak jujur pada dirinya, tanpa hendak mengingkari nafsu dan nalurinya yang bersifat dasar. Sekarang bagaimana halnya dengan orang-orang miskin? Adakah mereka memiliki kebutuhan juga? Kebutuhan apa? Ialah kebutuhan hukum yang terwujud dalam bentuk untuk memperoleh jaminan hak guna perbaikan status sosial-politiknya dalam jangka panjang sebagai warga yang bermartabat dalam kehidupan bernegara bangsa yang demokratik? Ataukah sebenarnya, yang tersimak ada pada diri mereka itu, hanyalah keinginan-keinginan yang terasa mendesak untuk segera memperoleh sandang dan pangan dan ruang papan yang dapat dimanfaatkan tanpa tunda-tunda guna memenuhi keperluan sesaat
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
Tentang persoalan ini banyak kalangan mengatakan - mungkin saja dengan prasangka -bahwa, per definisi, orang miskin itu tidak akan dapat mengetahui apa kebutuhan mereka yang sebenarnya . Apa yang mereka nyatakan sebagai kebutuhan, umumnya dan sebenarnya tak lain daripada apa yang mereka inginkan. Maka, apa yang harus didefinisikan sebagai kebutuhan orang-orang miskin itu (seperti misalnya kebutuhan hukum dan kebutuhan akan hak) tentulah hanya akan dapat dirumuskan oleh mereka yang profesional, tidak hanya profesional dalam dalam permasalahan hukum, tetapi juga dalam permasalahan sosial dan ekonomi. Acapkali dikatakan bahwa mereka yang terperangkap dalam situasi dan kondisi kemiskinan, yang oleh sebab itu harus bergelut dari hari ke hari untuk mempertahankan hidupnya, tidaklah akan sekali-kali dapat dan sempat mengartikulasikan kepentingan dan kebutuhan mereka sendiri, khususnya yang berjangka panjang. Untuk maksud itu diperlukanlah bantuan orang lain yang tak terdesak situasi kedaruratan orang miskin. Dari hari ke hari, orang-orang miskin tak hendak menghendaki apapun kecuali pangan, dan sesudah itu sandang dan pangan. Semua itu adalah kebutuhan pokok untuk bertahan hidup dalam jangka pendek, yang untuk mendapatkannya, kalaupun perlu, akan dilakukan dengan jalan menghamba, menjual diri dan kesetiaan kepada mereka yang telah mapan di stratumnya yang elit dan berada di atas. Prasangka seperti inilah yang menjadi dasar penjelas mengapa orang-orang miskin sulit diorganisasi untuk suatu perjuangan jangka panjang guna merekonstruksi tatanan sosial yang telah terlanjur terlalu senjang. Mereka Iebih suka menerima sedekah untuk keperluan jangka pendek daripada menerima hak-hak mereka yang asasi yang masih harus diperjuangkan dalam jangka panjang. Mereka Iebih menginginkan sembako daripada membutuhkan hak. Mereka lebih menginginkan nasi kotak dan sebotol air mineral, ditambah uang 25 ribu untuk transport daripada mengukuhi hak suara mereka tatkala acara pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah tiba. Tetapi, betul dan benarkah untuk mengatakan bahwa hanya sembako itu saja yang pada dasarnya dibutuhkan orang miskin? Tidakkah untuk maksud memperoleh kesejahteraan jangka panjang, juga bagi anak-cucu mereka kelak, yang mereka butuhkan itu juga harus Iebih jauh daripada sekedar keinginan untuk menegakkan hidup sesaat? Tidakkah sesungguhnya yang Iebih dibutuhkan itu ialah jaminan untuk memperoleh pekerjaan yang Iayak, pendidikan yang sepadan, dan yang sejalan dengan tuntutan jaman yang terus berubah? Tidakkah orang itu, miskin ataupun tak miskin membutuhkan jaminan undangundang atas hak-hak yang asasi agar tidak didiskriminasikan secara semena-mena dalam berbagai bidang kehidupan ekonomik dan sosial ?
Yang Harus Diputuskan Dan Dilanjutkan Sebagai Kebijakan Hukum Maka tidaklah salah kalau dikatakan oleh mereka yang hendak memberikan bantuan hukum struktural kepada golongan rakyat stratum bawah, bahwa --demi terlindunginya kepentingan mereka yang tergolong kelas bawah yang miskin -- hak-hak sosial-ekonomi mereka dalam jangka panjang, haruslah dapat dijamin. Jaminan hukum perundangan-undangan untuk maksud ini tentu saja tidaklah cukup manakala hanya terwujud dalam bentuk statemenstatemen normatif sebagaimana dituliskan dalam tubuh undang-undang saja. Jaminan inipun
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
www.parlemen.net
haruslah terwujud pula dalam realisasi implementatifnya, yang serta merta akan membuktikan telah benar-benar terjadinya reformasi hukum. Namun demikian, jaminan akan terbebaskannya orang-orang miskin dari segala bentuk kekurangan itu tidaklah pula cukup apabila hanya sebatas pembaharuan undang-undang saja (yang dalam istilah asingnya diistilahkan legal reform). Upaya tak boleh berhenti pada tahap proses-prosesnya yang Iegislatifnya saja, melainkan harus bersiterus pada tahaptahap pelaksanaannya, sebagaimana tertampakkan dalam wujud keberpihakan mereka yang berempati kepada golongan rakyat miskin, baik yang berkedudukan di badan-badan eksekutif dan yudisial, maupun mereka yang tengah bergerak sebagai aktivis di berbagai organisasi non-pemerintah, tatkala mereka ini harus mengambil kata putus yang berkonsekuensi hukum. Harus diakui bahwa upaya seperti ini tidak selamanya mudah, dan bahkan tidak akan mungkin berhasil apabila segala upaya berkutat pada formalisme yang terlanjur menjadi esensi hukum undang-undang Jaminan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka yang terpuruk di lapisan-lapisan bawah sebagai orang-orang miskin dalam perhitungan kepentingan jangka panjang tidaklah cukup apabila hanya diwujudkan dalam bentuk amal-amal penyedekahan semata. Beramal sedekah itu, walaupun terpuji dari sudut etika dan/atau kaidah agama, pada ujung-ujungnya hanya akan melahirkan ketergantungan-ketergantungan semata. Kalaupun amal-amal penyedekahan ini diwujudkan dalam bentuk pemberian subsidi-subsidi, lewat anggaran negara yang memperbesar pos bantuan sosial lewat kebijakan perpajakan, efeknya tidaklah pula jauh berbeda. Ialah meningkatnya ketergantungan yang walau demikian tidak juga segera teratasinya kesenjangan sosial-ekonomi, yang pada gilirannya akan mengancamkan stabilitas politik, terkendalanya perkembangan dan pengembangan modal sosial, dan tetap rendahnya produktivitas nasional. . Dalam jangka panjang, pembaharuan yang lebih menyeluruh dan bersifat struktural pada tatarannya yang makro tak ayal ikut diperlukan. Inilah upaya yang tak cuma sebatas legal reform, melainkan sudah selayaknya apabila diteruskan sebagai pembaharuan seluruh institusi hukum (yang disebut law reform). Bahkan, kesempatan harus dibuka, dan kemampuan harus diupayakan pula, agar mereka yang terbilang golongan Iemah dan belum diuntungkan ini dapat mengembangkan kekuatannya secara terorganisasi dalam percaturan politik dan pembelaan hak. Terbentuknya organisasi-organisasi akar rumput (GRO) sudah selayaknya pula memperoleh kemudahan, dengan tunjangan organisasi-organisasi nonpemerintah (NGO) yang berpeluang mengembangkan perannya. Semua itu diupayakan demi tegaknya hak-hak ekonomi dan hak-hak sosial rakyat yang asasi, yang sebagian besar masih harus diperjuangkan, dari statusnya sebagai ius contituendum menjadi ius constitutum. Manakala selama ini terkesan bahwa kehidupan yang ada cenderung berlaku diskriminatif terhadap mereka yang terbilang miskin dan lemah, kini pemberdayaan rakyat melalui proses-proses yang sering juga disebut "diskriminasi terbalik atau diskriminasi positif' mestilah terus diupayakan, tidak hanya dalam tahap pembaharuan undang-undang in abstracto tetapi juga pada tahap pengambilan kata putus in concreto, di loket-loket layanan publik manapun.[**]
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net